Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 06
Sambil
mengeluarkan teriakan-teriakan buas, para penjahat maju menyerang. Seorang
penjahat yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah
perut Suma Kian Bu.
Pendekar ini
tidak bergerak dari tempat dia berdiri, melainkan menyambut tusukan itu dengan
tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudah dan sekali betot, orang itu
terbawa mendekat. Begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak
panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya
sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti
ayam ditelikung.
“Plakkk!”
Tangan
pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak
itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan
tubuh itu pun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu
bergerak!
Orang
pertama yang menyerang Teng Siang In ialah seorang penjahat berperut gendut
dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar. Orang inilah yang tadi
menggebuk punggung wanita nelayan itu. Sekarang, dengan ruyung yang besar dan
berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar ini pun tak
bergerak dari tempat ia berdiri, tetapi sepasang matanya yang tajam berpengaruh
itu menatap ke arah wajah si gendut, mulutnya yang manis berkemak-kemik dan
telunjuk kanannya menuding.
Terjadilah
keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong
terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot
dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan
memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul
keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua,
berdarah dan benjol-benjol.
Tangan kiri
orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan
itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya
sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu
akan tetapi ruyung di tangannya masih saja terus memukulinya, dan pada pukulan
terakhir terdengar suara keras.
“Prakkk!”
Dia pun
terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena
pukulan terakhir tadi agaknya telah membuat kepala botaknya retak-retak!
Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang
pendekar itu dan mereka pun bersorak gembira.
Penjahat ke
dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang
bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh
pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya lalu ditusukkan ke depan, ke arah
perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tetap tidak bergerak dari
tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah golok yang
segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung. Namun, penjahat itu
membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung.
Kian Bu
menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia
mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itu pun patah menjadi
dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan
patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan langsung amblas memasuki perut
si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras. Kian Bu menangkap punggung
bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya
terlempar ke air telaga, terus tenggelam oleh karena patahan golok yang
terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.
Penjahat ke
empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia
menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia
menerjang maju, Siang In berkata halus, “Monyet busuk, engkau bermain-main
dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?”
Bagi para
anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu
pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang
menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di
tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan
berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu
yang menakutkan!
Dan memang
sesungguhnya demikian. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya
pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat,
tetapi sudah menggunakan ilmu sihirnya. Yang pertama tadi, ia membuat si
penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir
lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di
tangan itu berubah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan
hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat
ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia masih kebingungan,
sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.
“Dukkk!”
“Ahhhh….”
Penjahat itu
berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu, lalu menimpa
air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!
Si raksasa
tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah
mati melihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan
tak disangkanya bahwa mereka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar
setengah tua ini. Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu
bergantian kemudian dia mengkirik dan membalikkan tubuh, lalu lari hendak
meloncat keluar dari perahu yang mengerikan hatinya itu.
“Eh, ehhh,
nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!” Teng Siang In berkata halus.
Akan tetapi
sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan
menghampiri Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut
yang taat sekali! Siang In menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah
terkejut dan terheran melihat kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia
lalu membalik dan lari.
Tubuhnya
melayang keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu,
nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan sebatang golok terbang menyambar
ke arah leher penjahat itu. Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu
menimpa air, ternyata kepalanya telah terpisah dari badannya oleh goloknya
sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.
Para anak
buah perahu itu bersorak, tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan betapa
suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami
isteri pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat?
Bukan hanya karena para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbahaya
yang sudah berani mencoba untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena
telah terjadi perubahan besar di dalam batin suami isteri pendekar ini yang
tentu saja mempengaruhi tindakan mereka.
Hal ini
terjadi sejak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang
terculiknya putera tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama
sekali mendengar bahwa ayah bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan
terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Sejak itu, mereka berdua merasa sakit hati
sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang membuat mereka sampai hati
melakukan kekejaman tadi.
Dendam
membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat
sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencian dan kebencian inilah
yang memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat
yang kita benci itu menderita sehebat mungkin!
Sekali
diracuni dendam, hati seorang pendekar seperti Suma Kian Bu atau Teng Siang In
sekali pun, akan berubah menjadi sadis dan kejam, tentu saja kejam terhadap
mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupakan suatu penyakit.
Jangan
dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itu pun akan
berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin,
tinggal menanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali
waktu akan muncul bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan
dibencinya lagi. Karena kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah,
kebencian timbul karena si aku merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan
benci yang membuat si aku ingin sekali melihat yang dibenci itu menderita dan
‘terbalas’.
Setelah
menghajar kelima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan
menghadapi kaisar.
Akan tetapi
kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis dan
menciuminya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik
suami isteri pendekar itu berkata, “Suma-taihiap, tolonglah…. tolong selamatkan
nyawa kekasihku ini....”
Mendengar
ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan
memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya dapat saling pandang
setelah mengadakan pemeriksaan. Keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tidak
mungkin dapat diselamatkan lagi.
Bagian dalam
tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh
bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang
cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba dan diam-diam
mereka pun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.
Memang
sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang semenjak lama
menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, yaitu sejak kaisar ini masih menjadi
seorang pangeran.
Beberapa
tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada
Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid
Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia
delapan belas tahun. Ia pun mendendam pada kaisar yang masih terhitung
susiok-nya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu
pada suatu hari diperkosa oleh kaisar!
Souw Li Hwa
ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu
istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu roboh dan tewas semua
kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi
dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera
menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai
selamat.
Ternyata
sang pangeran itu sudah jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah,
pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak
dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini
diceritakan dengan jelas dalam cerita Suling Emas dan Naga Siluman.
Souw Li Hwa
masih sadar dan gadis ini pun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Ia pun
maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka ia pun berkata
lemah, “Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat
hidup....”
“Li Hwa....
ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini
cincinku masih kau bawa.... tapi kenapa engkau tak pernah muncul....?” Kaisar
muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa, ternyata cincin
pemberiannya tergantung pada tali itu.
“Sri
baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu
seorang…. mulia seperti paduka....?”
“Ahhh, Li
Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku sudah melupakanmu.... terlalu banyak
pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal,
cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kau maafkan aku....”
“Sudahlah,
sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat
berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ahhh, hamba puas....
ternyata paduka masih mencinta....” Gadis itu menghentikan kata-katanya,
napasnya terengah-engah.
Melihat
wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar
Kian Liong menjadi panik. “Taihiap.... ahhh, tolonglah dia....”
Namun Kian
Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang. “Luka-lukanya terlampau parah,
sri baginda.”
Jawaban ini
cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil
menangis. “Li Hwa.... ahhh, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku
sebagai isteri tercinta....”
Souw Li Hwa
membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu, walau pun
bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri. “Sri baginda.... kekasih
hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta....”
Dan ia pun terkulai karena nyawanya telah melayang.
“Li
Hwa....!”
“Sri
baginda, ia telah tiada....” Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu
dari pangkuan kaisar.
Kaisar Kian
Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun
dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia
membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar
yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu
mereka, dia cepat memberi perintah, “Tangkap semua penjahat-penjahat itu dan
beri hukuman berat kepada mereka!”
Menerima
perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung,
tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam,
mencari lima orang penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap
lima mayat saja karena lima orang penjahat tadi telah mati semua.
Suma Kian Bu
dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan
jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi
pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu. Jenazahnya dikubur
dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.
Setelah ikut
menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami
isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan mereka pun mulai
melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah
menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar
tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri
itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan tidak akan berhenti
mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.
***************
Peralihan
dari kehidupan ke kematian merupakan rahasia besar yang mentakjubkan. Kalau
memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan
kematian itu tak dapat ditolak dengan cara bagaimana pun juga. Betapa pun
pandainya manusia, namun semua harus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah
kehidupan tentu berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat
mencegahnya atau memperpanjang waktu tibanya kematian.
Jika sudah
tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian
datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada
di bawah ancaman maut yang bagaimana hebat pun, yang nampaknya tidak mungkin
kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita
terluput dari pada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus.
Sudah
terlalu banyak contoh-contoh mengenai kematian yang datang tiba-tiba tanpa
tersangka-sangka. Banyak pula cerita tentang orang-orang yang selamat dan luput
dari kematian padahal sudah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk
lolos lagi.
Ada orang
yang semenjak mudanya menjadi prajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam
kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata
dia selamat, terluka pun tidak, sampai dia mengundurkan diri dari pekerjaan
sebagai prajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit
seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan menyeretnya ke lubang
kubur!
Inikah yang
disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita
kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut
nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati,
melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari
bencana.
Dilihat
keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu
terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan
bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian.
Ceng Liong
yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak
terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin
Liong ternyata juga tidak tewas walau pun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang
penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai.
Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai
seperti yang dikhawatirkau saudara-saudaranya.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar
keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang. Seorang ahli renang yang
bagaimana pandai pun tidak akan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam
badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya di dalam air terbatas.
Dia mencoba
untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh
dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum terlalu
banyak air laut. Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia
merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan
hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sinkang kuat saja maka isi perutnya
tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.
Bagaimana
pun juga, tenaga manusia adalah terbatas. Ketika Ciang Bun sudah hampir tidak
kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong
papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram
kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu. Dia bergantung dalam keadaan setengah
pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke mana pun juga oleh papan kayu yang
dipermainkan gelombang membadai itu.
Kalau memang
belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora
yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu
yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari
cengkeraman maut.
Untung bagi
Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak
demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan
cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang
menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tidak
pernah melepaskan papan kayu itu.
Air lautan
tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar
cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan
itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar
menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah
payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu. Dia menggigil
karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sinkang untuk
melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman.
Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.
Di samping
perasaan yang bercampur aduk ini, dia pun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong
dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa
berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas.
Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan dia pun merasa kasihan sekali kepada
pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru
kemudian dia teringat kepada enci-nya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.
Sejak mereka
tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong
dari pada dengan enci-nya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia
selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal
muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda
itu.
Memang
akhir-akhir ini terjadi suatu perubahan dalam batin Ciang Bun, perubahan yang
dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya
biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di
Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong beserta Suma Hui, tanpa
disadarinya timbul suatu perubahan.
Dia merasa
suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul,
ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang
membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin
selalu kelihatan rapi dan elok seperti enci-nya. Padahal Suma Hui sendiri
termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih
rapi dari pada kakaknya.
Apakah
gejala ini timbul karena semenjak kecil dia hanya berdua saja dengan enci-nya
sebagai saudara kandung yang tunggal? Selalu berdekatan dengan kakak wanita
sehingga dia meniru-niru enci-nya dan mempunyai ciri-ciri seperti seorang
wanita? Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang
diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa
tertarik sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan bentuk tubuh laki-laki
yang jantan.
“Aduh, lapar
sekali perutku....!” Ciang Bun mengeluh, mengusir renungan memedihkan tentang
saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, masih
hidup atau sudah mati.
Mendadak dia
mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan
alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia
yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun
tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu,
seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan!
Bukan
manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air?
Walau pun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang
muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!
“Kalau bukan
sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....,” bisik Ciang Bun dalam
hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang. Dia mengucek matanya
akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih
ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.
“Heii,
lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!” teriak si dara.
“Benar,
tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para
penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di
atas papan itu?”
“Benar,
koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!” teriak si dara dan mereka lalu
menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.
Ciang Bun
memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu
sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu
yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu,
dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan,
alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan!
Akan tetapi,
untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk
dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan
yang hebat, juga tenaga sinkang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan.
Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu
saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang
membuatnya bengong terlongong. Dua orang itu kelihatan demikian eloknya!
Yang
perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu
amat indah. Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara yang mengingatkan
dia akan keindahan tubuh enci-nya. Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh
melampaui enci-nya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan
manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan
mulut yang amat manis.
Akan tetapi,
hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan
tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah
karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak
tubuh yang menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan
kesan mendalam di hati Ciang Bun.
Kini dia
terpesona, ya, amat terpesona memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping
dara itu. Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh
belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya
mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau.
Wajahnya
yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah
dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung
dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini
membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona. Apalagi
tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan
mengandung kekuatan yang mentakjubkan.
Baru
sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya. Tanpa
disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba
saja dia merasa sungkan dan malu-malu.
“Eh, apa
yang kau lihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?” Tiba-tiba gadis
remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak.
Pemuda yang
bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara
itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda
itu.
“Aku....
aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas
lautan seperti kalian ini....”
“Hi-hi-hik....!”
Dara itu tertawa terkekeh geli.
“Ha-ha-ha-ha....!”
Pemuda itu pun tertawa.
Sikap mereka
demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang
biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali
tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti
mentertawakannya. Maka dia pun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walau pun dia
tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.
“Ha-ha-ha-ha!”
Dia tertawa.
Melihat
pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan
dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin
keras.
Ketawa itu
seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut akan semakin keras, akan tetapi
akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya
berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan
tubuh mereka, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan
tenaga pada kaki. Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh
mereka goyah dan mereka pun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya
dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan
terpelanting.
“Byuurrrr....!”
Air muncrat tinggi.
“Heiii....!”
Si pemuda berteriak dan dia pun terpelanting dan jatuh pula.
Air muncrat
semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air,
Ciang Bun merasa geli sekali. Dia pun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada
sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena
terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa
seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.
Suara
ketawanya makin berkurang dan akhirnya bahkan terhenti sama sekali. Matanya
terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang
terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun
menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus!
Sungguh aneh sekali!
Dua orang
yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga
mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka
berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu
meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam
dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air.
Dia merasa
matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke
bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat
dia merasa mukanya panas karena malu. Dua orang muda yang disangkanya tenggelam
dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya,
agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlomba!
Tahulah dia
bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar
memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka dia
pun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia
menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan
napas. Dengan mengandalkan sinkang-nya, memang dia dapat bertahan lebih lama
dari pada orang biasa.
Akan tetapi
dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia
melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa
air sangat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi
tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut
itu.
Tiba-tiba,
selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama
bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu
seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia
merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali.
Ditangkapnya papan itu dan dia pun naik kembali ke atasnya, duduk
terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya.
Dia
memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir. Kedua
orang muda itu sudah demikian lamanya berada di dalam air, bagaimana mereka
kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sinkang yang luar biasa tinggi dan
kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak
melihat perahu di sekeliling tempat itu.
Kembali
Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara
mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka
manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka
yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba
air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu.
Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan
tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar
betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.
“Nih, sobat,
kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu
meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.
Ciang Bun
memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu
hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur
sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandingkan dengan dia sendiri kalau
berenang, walau pun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua
ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar
dan meronta.
Pemuda itu
lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu.
Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada
tali dan dipegang oleh Ciang Bun.
“Kalau
begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai
pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah
lapar sekali, bukan?”
Wajah Ciang
Bun menjadi merah dan dia pun mengangguk.
“Ke pulau?
Pulau manakah?”
“Pulau kami,
yaitu Pulau Nelayan.”
Ciang Bun
terkejut. “Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”
“Heii, orang
muda aneh, apa yang kau ketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya,
sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Ciang Bun
mengangguk. “Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan
tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau
kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”
Dua orang
muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka
memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
“Sobat baik,
siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya
pemuda ganteng itu.
“Mendiang
kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”
“Aihhh....!”
Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke
arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh rasa hormat dan kagum.
“Kiranya engkau ini adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata
pemuda itu.
“Dan kami
melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....,” sambung si dara sambil
terbelalak memandang wajah Ciang Bun.
“Benar,
pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan
saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu
musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!” Ciang Bun menunduk
sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang
belum diketahuinya bagaimana.
“Aihh! Mari
cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang
Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda
itu.
Ciang Bun
memandang, mukanya berubah merah. “Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku
Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”
“Dan namaku
Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas
tahun.”
“Kalau
begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun
ramah.
“Bun-hiante....!”
Lee Siang menyebut girang.
“Bun-koko....!”
Dara itu pun menyebut dengan sikap agak malu-malu, namun ia pun tersenyum dan
wajahnya yang manis itu berseri.
“Kita tidak
mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya
Ciang Bun.
“Hi-hik!”
Lee Hiang tertawa. “Bukankah sekarang engkau sudah naik kereta dan tinggal
menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”
“Kereta?
Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”
Lee Hiang
tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau
tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan
yang memalukan.
“Itu
keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”
Kakak beradik
itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari
punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan
mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang
menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di
pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.
“Bun-hiante,
harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” Lee Siang berkelakar menyebut
papan itu kereta.
Ciang Bun
mengangguk dan memegangi papan. Kedua orang kakak beradik itu lalu
menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang,
tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat
kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga
mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itu pun meluncur ke depan dan papan
kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan
main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda
saja.
“Siang-twako,
kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.
“Apa katamu,
Bun-hiante?” Tanpa menghentikan gerakan tubuhnya Lee Siang balas bertanya
sambil menoleh.
Ciang Bun
maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia sekali lagi mengulang
pertanyaannya, kali ini mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat menembus
tiupan angin dari depan.
“Heiii!
Khikang-mu kuat bukan main, hiante!” Lee Siang memuji.
Pemuda ini
tidak perlu berteriak keras karena suaranya bahkan terbawa angin dan mudah
ditangkap oleh Ciang Bun yang berada di belakangnya.
“Kami
bermain jauh dari pulau karena kami ingin menangkap ikan-ikan itu yang hanya
terdapat di daerah tadi. Setiap hari kami makan daging ikan, maka harus
berganti-ganti agar tidak bosan.”
“Ikan-ikan
yang kami tangkap itu adalah ikan sirip emas, selain lezat juga besar
khasiatnya untuk memulihkan tenaga dan menghilangkan lelah. Sengaja kami
tangkap untukmu, Bun-twako!” berkata pula Lee Hiang.
“Ahh, kalian
sungguh baik sekali. Dan ilmu kalian dalam air amat luar biasa, membuat aku
kagum bukan main.”
“Engkau pun
hebat, Bun-hiante. Engkau mampu melawan badai sampai selamat, dan dalam keadaan
lelah engkau masih menyelam dan mencoba untuk mencari kami. Itu saja sudah
menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi majikan Pulau Es!” kata Lee Siang.
Wajah Ciang
Bun menjadi merah. Kiranya mereka tadi melihatku, pikirnya. Kini dia pun tidak
merasa heran lagi mengapa papan kayu yang sudah hanyut itu tiba-tiba saja dapat
membalik dan meluncur ke arahnya. Kiranya merekalah yang membuatnya.
Tak lama
kemudian nampaklah sebuah pulau. Kiranya pulau itu tidak jauh dari situ, hanya
di daerah ini keluar kabut yang seolah-olah menyelimuti pulau dan tidak tampak
dari jarak agak jauh. Sebuah pulau kecil yang tidak begitu subur, walau pun ada
juga tumbuh-tumbuhan di situ. Apa lagi karena tiga penghuninya memang sengaja
mengolah tanah di pulau itu dan menanam sayur-sayuran yang berguna bagi mereka.
Mereka
disambut oleh seorang kakek yang berdiri di pantai. Kakek ini berpakaian
sederhana serba hitam. Usianya sekitar enam puluh lima tahun dan kulit mukanya
juga coklat seperti kulit muka Lee Siang karena banyak terbakar sinar matahari.
Tangan kirinya membawa sebatang dayung besi yang sesungguhnya merupakan
senjatanya yang ampuh.
Wajah yang
penuh kerut-merut itu berseri ketika melihat datangnya dua orang cucunya yang
tercinta. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat dua orang cucunya itu
datang bersama seorang pemuda tampan.
Tidak pernah
ada orang luar boleh memasuki pulaunya selama ini dan kedua orang cucunya juga
tahu bahwa dia tidak menghendaki ada orang luar berkunjung ke pulau itu. Kenapa
sekarang mereka itu lancang pulang membawa seorang tamu?
Begitu tiga
orang muda itu mendarat, kakek ini segera menegur cucunya, “Lee Siang dan Lee
Hiang, kenapa kalian pulang bersama seorang asing?”
Lee Siang
memandang agak gelisah, akan tetapi Lee Hiang segera berlari menghampiri
kakeknya dan memegang lengan kakek itu. Memang Lee Hiang itu agak manja dan
kakeknya amat sayang kepadanya.
“Kong-kong
jangan marah dulu. Kami berani membawanya ke sini karena pertama, dia
terapung-apung di tengah lautan, dan kedua, dia ini adalah Suma Ciang Bun, cucu
dalam dari Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es.”
“Ahhh….!”
Seperti juga kedua cucunya tadi, ketika mendengar disebutnya nama itu, kakek
ini juga terkejut sekali dan sikap galaknya serta merta lenyap.
“Jadi Kongcu
(tuan muda) ini cucu dari Suma-locianpwe? Tapi…. tapi kulihat Pulau Es terbakar
kemarin malam….” Dia memandang ke timur dengan sikap termenung.
“Memang
benar, kong-kong. Menurut cerita Bun-ko, katanya Suma-locianpwe bersama dua
orang isterinya telah tewas dan pulau terbakar. Bun-twako dan
saudara-saudaranya naik perahu menjauh pulau, akan tetapi di tengah pelayaran
mereka diserang musuh dan perahunya pecah.”
Mendengar
ini tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah timur.
“Ahh, siapa
menduga bahwa Suma-locianpwe bertiga mengalami nasib seperti itu. Semoga arwah
beliau bertiga memperoleh tempat yang penuh damai.”
Lalu kakek
itu bangkit dan menghampiri Ciang Bun, merangkulnya. “Suma-kongcu, mari kita ke
pondok dan ceritakanlah semua yang terjadi kepadaku. Kakekmu itu adalah
junjunganku pula. Dahulu, sebelum burung-burung rajawali di Pulau Es mati
semua, kakekmu kadang-kadang suka datang ke pulau ini menunggang burung
rajawali. Akan tetapi semenjak burung-burung itu tidak ada, kabarnya mati
semua, Suma-locianpwe tidak pernah datang dan akhirnya pulau ini dilanda badai
hebat dan putuslah hubungan antara kakekmu dan pulau ini.”
Mereka lalu
pergi membawa empat ekor ikan itu ke sebuah pondok di tengah pulau itu. Pondok
itu terbuat dari kayu dan batu karang, namun cukup kokoh kuat dan cukup besar,
dengan tiga buah kamar dan di sebelah dalamnya sangat bersih dan terawat
sehingga menyenangkan untuk ditempati.
Setelah tiba
di pondok, Ciang Bun diberi pakaian oleh Lee Siang dan segera berganti pakaian.
Biar pun agak kebesaran, namun kering dan enak dipakai. Setelah berganti
pakaian, tiga orang itu sibuk di dapur untuk masak ikan dan mempersiapkan
makan. Lee Siang dan Lee Hiang tadinya mencegah, akan tetapi Ciang Bun memaksa
untuk membantu hingga akhirnya mereka masak-masak sambil bercakap-cakap.
Sementara itu, kakek itu masih termenung memikirkan nasib Pulau Es di dalam
ruangan sebelah dalam.
Setelah
makanan siap, mereka pun makan minum. Hidangannya sederhana saja, hanya nasi
dengan masakan daging ikan sirip emas dan beberapa macam sayur sederhana. Akan
tetapi karena perutnya lapar sekali, Ciang Bun makan dengan lahapnya. Sikap
tuan rumah yang baik dan ramah membuat dia tidak malu-malu lagi dan memang
benar ucapan Lee Hiang tadi, daging ikan sirip emas itu lezat sekali.
Setelah
makan, barulah mereka bercakap-cakap di ruangan depan sambil melepaskan
pandangan mata ke arah pantai, ke sebelah timur yang menjadi arah letaknya
Pulau Es.
Ciang Bun
sudah percaya benar kepada mereka ini, terutama percaya kepada Lee Siang dan
Lee Hiang, maka dia pun menceritakan segala yang terjadi di Pulau Es, sejak
penyerbuan datuk-datuk kaum sesat, sampai munculnya Kao Cin Liong, jenderal
muda yang banyak berjasa membantu keluarga kakeknya, kemudian tentang tewasnya
kedua neneknya dan kematian kakeknya yang penuh rahasia itu. Kemudian
diceritakan pula ketika perahu mereka diserang oleh gerombolan datuk jahat
sehingga dia terlempar ke lautan yang sedang diamuk badai, terpisah dari tiga
orang muda lainnya.
Kakek dan
dua cucunya itu mendengarkan dengan amat tertarik dan mereka ikut merasa marah
dan penasaran kepada datuk jahat yang kejam itu. Kakek itu mendengar tanpa
pernah mengganggu dan setelah Ciang Bun selesai bercerita, barulah dia menarik
napas panjang penuh penyesalan, lalu berkata, “Suma-kongcu….”
Akan tetapi
Ciang Bun cepat memotong, “Harap locianpwe jangan menyebut kongcu kepadaku….”
Kakek itu
tersenyum sedih. “Kakekmu adalah seorang pendekar sakti yang kujunjung tinggi,
dan dua orang nenekmu itu, yang seorang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, dan
yang seorang lagi masih berdarah keluarga kaisar! Sudah semestinya kalau aku
menyebutmu kongcu.”
Ciang Bun
termenung. Kakek ini biar pun sederhana, namun memiliki kemauan yang teguh dan
akan percuma sajalah kalau dibantahnya. “Terserah padamu, locianpwe,” katanya.
“Suma-kongcu,
apakah engkau mengenal datuk-datuk kaum sesat yang menyerbu Pulau Es itu?”
“Jenderal
muda Kao Cin Liong yang terhitung keponakanku itu mengenal seorang di antara
mereka, yaitu pemimpin yang berjuluk Hek-I Mo-ong Phang Kui….”
Kakek itu
meloncat berdiri dari bangkunya dan wajahnya berubah, matanya terbelalak.
“Ahh…. pantas saja kalau begitu!”
“Apa
maksudmu, locianpwe?”
“Tadinya aku
sudah merasa terheran-heran dan hampir tidak percaya mendengar ceritamu bahwa
keluarga Pulau Es dapat dikalahkan dan ditewaskan oleh musuh, walau pun
Suma-locianpwe sendiri tidak turun tangan. Kiranya yang memimpin gerombolan itu
adalah Hek-I Mo-ong! Aku mengenal nama itu! Seorang datuk yang kabarnya
memiliki kesaktian yang amat tinggi, juga memiliki sihir kuat. Aku tidak merasa
penasaran lagi, apa lagi mendengar bahwa di antara mereka banyak yang roboh
oleh kedua orang nenekmu yang sakti.”
“Kalau saja Bun-ko
sudah lebih dewasa, tentu semua penjahat itu akan mati sebelum mereka berhasil
membasmi Pulau Es!” kata Liu Lee Hiang sambil mengepal tinju.
“Suma-kongcu,
namaku adalah Liu Ek Soan. Apakah kakekmu sewaktu masih hidup tidak pernah
menyebut namaku?” kakek itu bertanya kepada Ciang Bun.
Ciang Bun
menggeleng kepala. “Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau
Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan
disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua
penghuninya telah habis.”
Kakek yang
bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk. “Mungkin begitu dan memang aku
sendiri pun masih merasa heran, kenapa di antara seratus lebih penghuni pulau
ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.”
Kakek Liu Ek
Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa
diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada
badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik
tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di
pulau itu.
Habis
binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah mereka pun terseret bersih
dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan
yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni
Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walau pun dia sendiri terseret
sampai jauh sekali ke tengah lautan.
Dalam
keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan
ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah.
Tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada
keesokan harinya muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang
cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru
berusia enam tahun dan empat tahun.
Kiranya dua
orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah
berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan
tidak berani pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil menangis
keduanya berangkulan di tengah pulau kosong.
Badai
mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak
sampai menyapu permukaan bukit. Baru pada keesokan harinya ketika laut tenang
kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak
melihat lagi perahu mereka.
Dua orang
anak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelum mereka mampu berjalan
kaki, mereka sudah pandai berenang! Maka ketika mereka melihat ada perahu
kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke
air, berenang dan menuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di
antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan
badai semalam.
Didayungnya
perahu ke pantai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di
pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau sudah
menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka,
yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis
sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara
misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera
mengganas.
“Demikianlah,
kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorang pun yang tahu akan
hal ini. Aku lalu merawat dan mendidik kedua orang cucuku ini, kami hidup
sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.”
Ciang Bun
memandang kagum. “Dan berkat pendidikan locianpwe, kini Siang-twako dan
Hiang-siauwmoi menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat
hebat.”
“Ahhh,
Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat
dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya
mempelajari sedikit ilmu dalam air.”
“Itulah yang
amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan
saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian
gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu
itu.”
“Bun-ko,
kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?”
tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.
“Benar, dan
kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu,
Bun-hiante!” Lee Siang menyambung.
Pemuda ini
pun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi
mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan
manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan
dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan hati
mereka.
Lain lagi
yang dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan
kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti,
putera Suma Kian Lee, keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah
menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pendekar besar dan
alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang
terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini!
Dia akan
berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat! Dan hal itu bukan tidak mungkin
terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik
manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak
demikian akrab. Mengapa tidak?
“Tentu saja
aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak
di air,” katanya dengan wajah berseri. “Dan untuk itu sebaiknya kalau
Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu,
kongcu?”
Suma Ciang
Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan
rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda
hebat itu. Dan dia pun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik
dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti
mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti
semalam.
“Baiklah,
locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara waktu dan
mempelajari ilmu itu.”
“Tetapi,
harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa
malu kalau kau sebut begitu, terlalu tinggi bagiku....”
“Lalu aku
harus menyebut bagaimana?”
Kakek itu
tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah
batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa
kakek itu memiliki tenaga sinkang yang kuat! “Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan
dua orang cucuku, bagaimana kalau engkau pun menyebut kakek kepadaku?”
Ciang Bun
menjadi girang sekali “Baik, Liu-kong-kong, akan tetapi karena kong-kong
menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong
menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.”
“Ha-ha-ha,
baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan
pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.”
Demikianlah,
mulai hari itu, Ciang Bun tinggal di Pulau Nelayan bersama Liu Ek Soan, Lee
Siang dan Liu Lee Hiang. Dengan tekun dia mempelajari ilmu dalam air, dibimbing
dengan penuh perhatian oleh Liu Ek Soan, dan dibantu pula oleh Lee Siang dan
Lee Hiang. Seperti yang diidam-idamkan oleh kakek itu, pergaulan antara cucu
keluarga Pulau Es dan cucunya berjalan lancar dan mereka Nampak akrab sekali.
Bahkan pada
bulan-bulan berikutnya, pandangan kakek yang sudah berpengalaman ini dapat
melihat dengan jelas bahwa cucunya perempuan, Lee Hiang, telah jatuh hati pada
Ciang Bun! Akan tetapi kakek ini merasa ragu apakah cucu Pendekar Super Sakti
itu juga ‘ada hati’ kepada dara itu.
Ciang Bun
orangnya pendiam dan sukar menjenguk hatinya. Sikapnya pada Lee Hiang memang
baik dan ramah, tetapi tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda ini
tertarik kepada dara yang sedang manis-manisnya bagaikan bunga sedang mekar
semerbak itu. Sikap Ciang Bun biasa saja, bahkan nampaknya pemuda ini lebih
akrab dan lebih dekat dengan Lee Siang dari pada Lee Hiang!
***************
“Bun-koko,
mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah
itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air telah kau pelajari dari kong-kong,
hanya tinggal mematangkan latihan saja,” kata Lee Hiang yang berdiri di atas
perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan
alas kaki kayunya.
Dia berlatih
membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali.
Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu
memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.
Mendengar
ajakan dara itu, dia mengangguk. “Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu
terlalu cepat dan gesit untukku. Lagi pula, tubuhnya sangat licin sehingga
sukar untuk ditangkap.”
“Aku akan
membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiri pun tanpa
dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan
dalam kebingungan dia baru dapat ditangkap sebab jika bingung dia menyusupkan
kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi
dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.”
“Baiklah,
mari!” kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air.
Akan tetapi
lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang
mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata
Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.
“Ada apakah,
Hiang-moi?”
“Engkau lupa
penutup telingamu,” kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berubah merah karena
pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh
ketegangan aneh.
“Ahh, engkau
benar. Pelupa sekali aku!” kata Ciang Bun.
Dia pun
memasang alat pelindung telinganya. Untuk melakukan penyelaman sampai lama di
dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh
tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam.
Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air.
Ciang Bun
hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya
telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air
itu. Kini dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air
dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sinkang yang amat kuat,
maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai
ilmu itu dan berkat sinkang-nya, dia malah lebih kuat menahan napas
dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki
kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.
Juga pandang
mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal
ini pun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang
menjadi penunjuk jalan.
Tiba-tiba
dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah
berenang perlahan di depan. Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa
dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari
belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti.
Dara itu
lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk
mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan! Belut itu
panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada
mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang
Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka
dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya.
Melihat ini,
belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan
belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri,
akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan.
Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada pula Ciang Bun yang
menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan dia berhasil menangkap
belut itu pada perutnya.
Belut itu
meronta dan membelit hendak menggigit, tapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula,
tepat pada lehernya. Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir
yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu
tidak terlepas kembali.
Dalam
pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu
lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu
merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu
dengan mulut Ciang Bun.
“Ihhh....!”
Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan dia pun
melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu terlepas
dan melarikan diri, sedangkan pelukan mereka pun terlepas.
Ciang Bun
berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang
menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur
dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang
Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya
seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil dari
pada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap
belut itu.
“Pratttt!”
Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun.
Pemuda itu
tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam
dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri. Melihat ini, Lee
Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah
dia menyembulkan kepala di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang
pingsan itu dengan menjambak rambutnya, dia melihat kakaknya duduk di dalam
perahu dan beristirahat.
“Siang-ko....!
Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!”
Mendengar
ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang
menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil
mereka. Melihat Ciang Bun rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas
nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee
Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.
“Bun-ko....!
Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!” Ia
menangis sesenggukan.
Tangan Lee
Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang kereng,
“Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng
ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan
oleh kong-kong.”
Lee Hiang
melepaskan rangkulannya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti
menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee
Siang segera memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan
bahwa urat nadi itu masih berdetak, walau pun lemah sekali. Kalau tidak cepat
ditolong, tentu urat nadi itu akau berhenti berdetak pula.
Maka tanpa
ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada
bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang
hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka
ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun.
Dada Ciang
Bun bergerak mekar. Ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan
‘ciumannya’, dada itu mengempis lagi. Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum
juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya
pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah
berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.
“Bun-koko....
sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!”
Suara inilah
yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Ia telah sadar kembali akan tetapi
belum membuka matanya, bahkan kini hampir tidak berani membuka matanya ketika
mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya!
Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan
pengalamannya tadi.
Dia berhasil
menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium
mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih
yang hendak ditangkapnya. Lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan
tidak ingat apa-apa lagi.
Ciang Bun
membuka mata, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang
merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan
Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk
dan bertanya, “Apakah yang terjadi? Di mana.... ehh, belut itu....?”
Lee Hiang
memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun
merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut
kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja.
“Bun-ko,
tahukah engkau bahwa engkau tadi nyaris tewas sehingga aku menjadi amat
khawatir?”
Ciang Bun
memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya
masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata. “Apa yang
terjadi?”
“Belut putih
yang kau tangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir.
Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang
mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena
lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak
diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia
menyerangmu. Ahhh, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung
ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati
dilecut binatang itu.”
Lee Siang
juga menyambung. “Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sinkang yang amat
kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat,
seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat
sinkang-mu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu
masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.”
“Membantu
pernapasan?” Ciang Bun bertanya heran.
“Ya,
membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti
oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti,
baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat.
Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung
tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sinkang-mu.”
Ciang Bun
memandang dengan rasa kagum. “Ahh, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu,
twako.”
Lee Siang
menggerakkan tangan dengan jengah “Aihhh, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah
sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.”
“Aku pun
ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang
di antara kalian, atau orang lain.” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan,
“Bagaimana sih cara pengobatan itu? Apa menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa
membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti?
Apakah dengan totokan-totokan tertentu?”
“Tidak,
melainkan dengan cara meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,” jawab
Lee Siang.
“Ehhh....?
Bagaimana caranya? Coba kau beri contoh, twako, bagaimana cara engkau
menolongku tadi?”
Mendadak
saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang
tersenyum-senyum aneh.
“Hei, kalian
kenapa?”
“Pengobatan
itu dilakukan dengan cara mencium....,” dara itu berkata jenaka.
“Ehhh?
Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara
pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini.”
“Siang-koko,
kenapa tidak kau beri contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,” Lee Hiang
menggoda.
Lee Siang
menghela napas. “Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau
pingsan.”
Setelah
Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. “Mula-mula engkau
periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan.
Napasmu terhenti sama sekali, akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walau
pun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu
masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya supaya lubang
kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan
meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini….”
Biar pun
sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang
dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan dia pun meniup keras-keras!
Ciang Bun
terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra
merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam
air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan
tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuat ke dalam
paru-parunya. Hal ini terjadi karena ia terkejut dan tentu saja timbul
perlawanan dari kerongkongannya.
Lee Hiang
memandang dan tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja.
“Nah, usaha itu kau ulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau
sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah
tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat
itu, engkau totok dia di sini.” Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas
lambung dan menambahkan, “Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari
dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi
hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk meughimpit dan mendorong
jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja
kembali.”
Akan tetapi
perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras
ketika dia memandang Lee Siang, terutama memandang ke arah mulut itu, ke arah
bibir yang baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan
kakak beradik itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak
ketika ditiup tadi.
“Bun-ko, kau
belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir,
engkau sudah dapat menolongku,” kata Lee Hiang dengan wajah berseri dan bibir
tersenyum nakal.
“Ehhh, bocah
nakal! Mengapa engkau jadi ingin benar ditolong Bun-hiante?” kakaknya menggoda.
“Aku memang
lebih senang dicium oleh Bun-ko dari pada oleh orang lain!” jawab Lee Hiang
dengan polos dan jujur.
Kakak dara
itu tertawa. “Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada
Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?”
Ciang Bun
menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya.
Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan polos, bicara soal cinta begitu
saja dan dara ini menyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cintanya begitu
terang-terangan, sedangkan kakaknya tak menegurnya bahkan membantu dan
mendorongnya bicara tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan
jengah, dan tidak dapat menjawab sama sekali.
Melihat ini,
kakak beradik itu hanya tersenyum, bahkan Lee Siang lalu tertawa keras.
“Ha-ha-ha, Bun-hiante nampak malu-malu, jangan sampai kita membuat dia bingung,
Hiang-moi. Marilah kita pulang agar kong-kong tidak mengharap cemas.”
Mereka
berperahu kembali ke pulau dan Ciang Bun menjadi termenung seorang diri,
memikirkan keadaan dua orang kakak beradik ini, juga memikirkan keadaan
batinnya sendiri yang mengalami gejolak amat hebatnya, membuat matanya terbuka
dan dia melihat hal-hal aneh terjadi pada dirinya yang membuatnya cemas dan
gelisah.
Tentu saja
kepolosan dan kejujuran kakak beradik itu membuat Ciang Bun terkejut dan heran
bukan main, bahkan ada kesan di hatinya bahwa mereka itu tidak sopan!
Apakah soal
cinta, bahkan soal sex, merupakan hal yang tidak patut untuk dibicarakan secara
terbuka? Benarkah bahwa membicarakan hal itu secara jujur merupakan hal yang
‘tidak sopan’? Tentu saja tidak sopan kalau diukur dari ukuran kesopanan umum,
tidak susila jika dipandang dari kacamata kesusilaan umum. Akan tetapi
bagaimanakah sesungguhnya?
Mengapa tata
kesusilaan kita mengharamkan kejujuran terhadap dua hal ini, terutama perihal
sex? Bukankah cinta dan sex merupakan hal-hal yang erat kaitannya dengan
kehidupan, bahkan merupakan kenyataan yang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh
setiap orang manusia sehingga merupakan suatu kewajaran dalam hidup? Mengapa
lalu diharamkan pengertian tentang itu sehingga kita menjauhkan anak-anak dari
pengertian tentang hal itu?
Tak perlu
dibantah lagi bahwa membicarakan cinta dan sex dengan maksud untuk bicara
cabul, untuk main-main, adalah hal yang sama sekali tidak patut. Membicarakan
apa pun juga, jika pamrihnya hanya untuk main-main dan mengandung dasar
pemikiran dan bayangan kotor atau cabul, jelas tiada manfaatnya, bahkan
merusakkan kejernihan batin. Akan tetapi, bagaimana kalau membicarakannya tanpa
dasar kotor seperti itu, melainkan bicara seperti kita membicarakan sesuatu
yang tidak terpisah dari pada kehidupan itu sendiri?
Pandangan
tradisionil nenek moyang kita memang sengaja mengharamkan percakapan tentang
cinta dan sex sebagai sesuatu yang memalukan, tentu saja pada mulanya
dimaksudkan untuk membuat kita malu untuk melanggarnya. Akan tetapi, pandangan
macam ini lalu menimbulkan suatu pandangan yang tidak menguntungkan terhadap
sex, seolah-olah sex merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas, memalukan,
dan membongkar sesuatu yang kotor yang kita lakukan! Inilah yang menyebabkan
semua orang menutup mulut tentang sex dan merahasiakan perasaan cintanya
terhadap orang berlainan kelamin, hanya karena sudah tumbuh dalam batinnya
pendapat tradisionil itu.
Sudah tiba
saatnya bagi kita untuk mengubah pandangan yang keliru ini. Kita harus berani
membuka mata bahwa persoalan cinta dan sex adalah persoalan hidup yang menyangkut
kehidupan setiap orang manusia. Setiap orang anak pada saatnya pasti akan
memasuki tahap ini dan dari pada mereka memasukinya dengan membuta, dari pada
mereka memperoleh keterangan-keterangan yang menyesatkan tentang cinta dan sex
dari orang lain, dari pada mereka memperoleh pengertian melalui
percakapan-percakapan yang berdasarkan pandangan cabul dan kotor, alangkah
baiknya kalau mereka, anak-anak itu mendengarnya dari orang tua atau pendidikan
sendiri, dengan cara yang terbuka dan jujur, tanpa didasari kecabulan.
Liu Lee
Siang dan Liu Lee Hiang sejak kecil hidup di pulau kosong bersama kakeknya, dan
mereka itu hanya sekali waktu saja bertemu dengan orang-orang lain jika
kebetulan mereka ikut kakek mereka untuk berbelanja ke daratan besar atau ke
pulau-pulau lain. Mereka mendapatkan pendidikan bun (tulisan) dan bu (silat)
dari kakek mereka sendiri.
Akan tetapi
kakek mereka cukup bijaksana untuk memberi pengertian kepada mereka tentang
cinta antara pria dan wanita dan tentang hubungan antara pria dan wanita, walau
pun secara sederhana. Kemudian, dengan menyaksikan hubungan-hubungan kelamin
antara binatang-binatang di sekitar tempat itu, antara ikan-ikan, burung-burung
dan binatang hutan yang mereka dapatkan di kepulauan lain, kedua orang kakak
beradik ini tumbuh dengan pengertian tentang cinta dan sex secara wajar.
Mereka tahu
bahwa hubungan itu antara kakak dan adik adalah hal yang tidak baik, tak wajar
dan menurut kakek mereka, berbahaya bagi kesehatan mereka, maka mereka
menganggapnya sebagai hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Pengertian
ini membuat cinta mereka sebagai kakak beradik tidak dipengaruhi birahi sama
sekali. Namun, mereka sudah biasa untuk bicara tentang cinta, bahkan tentang
sex, secara terbuka dan tanpa malu-malu, seperti kalau mereka bicara tentang
penderitaan lapar dan haus, dan tentang kenikmatan makan dan minum. Keterus
terangan inilah yang membuat Ciang Bun menjadi terkejut, heran dan juga malu
dan canggung.
Malam itu
Ciang Bun tak dapat memejamkan matanya. Selama tiga bulan ini dia tinggal di
pulau itu dan merasa betah sekali karena tiga orang penghuni pulau itu amat
baik kepadanya. Dia tidur sekamar dengan Lee Siang. Akan tetapi malam ini dia
gelisah! Dia merasa akan datangnya sesuatu yang mungkin akan merubah seluruh
kehidupannya.
Peristiwa
siang tadi sungguh mendatangkan kesan yang amat mendalam, ketika dia dicium Lee
Hiang, lalu ketika Lee Siang ‘menciumnya’ untuk mengajarnya melakukan
pertolongan kepada korban lecutan belut petir. Akhirnya ketika tanpa malu-malu
lagi Lee Hiang menyatakan cintanya kepadanya, bahkan diperkuat oleh
ucapan-ucapan Lee Siang!
Lee Hiang
jatuh cinta padanya! Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dia sudah
banyak mendengar dan membaca tentang cinta, antara pria dan wanita ini. Akan
tetapi, mengapa dia merasa bingung? Apakah dia tidak mencinta Lee Hiang? Dia
suka sekali pada Lee Hiang yang jenaka dan cantik manis, lincah dan merupakan
seorang sahabat yang amat menyenangkan.
Akan tetapi,
terus terang saja dia sama sekali tidak merasa tertarik atau terangsang oleh
Lee Hiang, bahkan ketika dara itu menciumnya di dalam air, dia merasa terkejut,
malu dan tidak senang! Sebaliknya, ketika Lee Siang mengajarkan cara
pertolongan itu dan beradu mulut dengan dia, dia merasa begitu terangsang dan
senang, begitu nyaman dan.... dia sendiri tidak tahu perasaan apa lagi yang
mengaduk hatinya. Pendeknya dia merasa mesra dan senang sekali!
Kini
teringatlah dia betapa setiap malam, kalau Lee Siang sudah tidur nyenyak,
sering kali dia duduk dan memandangi wajah dan tubuh temannya itu dengan
perasaan yang luar biasa. Dan setelah teringat akan semua itu, teringat pula
akan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya ketika pemuda itu ‘menciumnya’.
Ciang Bun
merasa terkejut, bingung dan gelisah. Kini dia melihat kenyataan aneh dan
mengejutkan yang berada dalam batinnya, yaitu bahwa dia sama sekali tidak
pernah tertarik kepada kaum wanita! Memang dia dapat melihat keindahan tubuh
wanita dan kecantikan wajah wanita, akan tetapi semua itu sama sekali tidak
menimbulkan gairah, sama sekali tidak mendatangkan kemesraan dan tidak
mempunyai daya tarik baginya.
Sebaliknya,
dia sangat tertarik kepada Ceng Liong, kepada Kao Cin Liong dan kini dia arnat
tertarik kepada Lee Siang! Bahkan ketika pemuda itu ‘menciumnya’, dia merasa
amat senang. Bangkit rangsangan gairahnya, terasa amat mesra dan menyenangkan.
“Ya
Tuhan....!” Ciang Bun berseru di dalam hatinya sendiri ketika dia melihat
kenyataan ini.
Birahinya
tidak dapat terangsang oleh wanita, melainkan oleh pria! Dengan bingung dan
gelisah melihat kenyataan yang amat membedakan antara dirinya dengan kaum pria
pada umumnya ini, Ciang Bun lalu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dia
pun menangis!
Tiba-tiba
dua buah tangan yang kuat dengan lembut memegang pundaknya dan Lee Siang
bertanya halus, “Bun-te, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis?”
Dalam
keadaan sedang berduka, pertanyaan seorang yang disayang dapat menambah
keharuan hati. Ciang Bun juga demikian. Dirangkul pundaknya dan ditanya dengan
suara penuh kekhawatiran itu, air matanya makin deras mengalir dan dia pun
balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di atas dada yang bidang itu.
Diam-diam
Lee Siang merasa heran dan kasihan sekali. Heran melihat bagaimana pemuda yang
dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat gagah perkasa ini dapat
bersikap begini lemah, menangis seperti seorang wanita cengeng. Akan tetapi dia
juga merasa kasihan melihat kedukaan Ciang Bun dan mengira bahwa tentu pemuda ini
menangisi nasib keluarganya, yaitu kematian kakek dan para neneknya di Pulau Es
dan kehilangan saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana nasibnya
itu.
Maka, karena
merasa iba, ketika merasa betapa Ciang Bun merangkul dan menangis di dadanya,
dia pun mendekapnya dan mengelus rambutnya untuk menghibur. Hal ini justru
membuat Ciang Bun menjadi semakin terharu dan dia mengangkat mukanya yang
basah, memandang kepada Lee Siang. Melihat wajah yang tampan itu memandang
penuh kekhawatiran, Ciang Bun kembali merangkul.
“Siang-twako....
ahhh, Siang-twako....” keluhnya.
Lee Siang
memeluk. “Bun-te, adikku yang baik, kau tenangkanlah hatimu, kuatkanlah
hatimu....”
Dalam
rangkulan pemuda itu, Ciang Bun merasa demikian senang dan terhibur, akan
tetapi dia teringat akan janggalnya perasaannya sendiri ini. Teringat bahwa dia
pun seorang pria, maka dia pun kembali diingatkan akan keadaannya yang luar
biasa itu, keadaan yang membuatnya berduka dan menangis. Maka dia pun meronta
dan sekali merenggutkan tubuhnya, dia telah terlepas dari pelukan Lee Siang.
“Tidak....
tidak.... jangan....!” Dan dia pun meloncat dan berlari keluar dari kamar,
terus keluar dari pondok itu.
“Bun-hiante....!”
Lee Siang tadi terpental ketika pemuda itu meronta, dan dia memanggil dengan
khawatir, akan tetapi melihat pemuda itu lari keluar, dia tidak berani
mengejar, takut kalau-kalau akan membuat Ciang Bun menjadi marah dan
tersinggung hatinya.
Lee Siang
keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri kamar adiknya. Dia berpikir bahwa
dalam keadaan seperti itu, orang yang paling tepat untuk menghibur hati Ciang
Bun hanyalah Lee Hiang. Adiknya itu mencinta Ciang Bun dan dia pun hampir
merasa yakin bahwa pemuda itu tentu membalas cinta ini. Adiknya amat cantik
manis, dan hubungan antara mereka itu pun nampak demikian akrabnya.
Lee Hiang
belum tidur dan dara ini terkejut sekali ketika mendengar cerita kakaknya bahwa
Ciang Bun berduka dan menangis dan kini keluar dari dalam pondok.
“Agaknya dia
teringat akan keluarga Pulau Es dan dilanda duka yang amat besar sampai dia
lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Sudah kucoba
menghiburnya akan tetapi gagal, malah dia lari keluar pondok. Adikku, kalau
memang engkau mencintanya, engkau harus dapat menghibur hatinya. Kasihan sekali
dia.”
“Baik, koko,
akan kuusahakan agar dia terhibur. Kasihan Bun-ko.” Dan Lee Hiang pun lalu
keluar dari dalam pondok mencari pemuda yang dicintanya itu.
Ciang Bun duduk
termenung di tepi laut, menghadap ke timur di mana nampak bulan mengambang di
atas air. Indah bukan main. Akan tetapi tiada keindahan baginya di saat itu.
Bahkan keindahan itu menambah keharuan hatinya, karena dia teringat akan Pulau
Es, teringat akan keluarga kakeknya yang binasa.
Tetapi semua
kenangan itu ditelan oleh gelombang kesedihannya karena kenyataan yang
dihadapinya. Aku seorang manusia yang tidak lumrah, pikirnya. Akan tetapi,
tiba-tiba darah pendekar di tubuhnya memberontak. Dia tidak boleh bersikap
lemah! Ibunya tentu akan marah-marah dan mentertawakannya. Ibunya adalah
seorang pendekar wanita yang amat keras hati, yang kuat dan sama sekali tidak
lemah, bahkan ibunya membenci kelemahan.
Ketika dia
masih kecil, kalau dia terjatuh atau mengalami nyeri dan menangis, ibunya
marah-marah dan mengatakan bahwa tangis hanya pantas bagi seorang pengecut yang
tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Tangis hanya tanda iba diri dan
kelemahan batin, demikian kata ibunya.
Ciang Bun
yang duduk di atas pantai berpasir itu mengepal tinju. Kenapa dia begini lemah?
Kenapa dia tidak berani menghadapi kenyataan ini dan melawannya? Dia tahu bahwa
perasaannya yang berlainan dengan laki-laki biasa ini, yang condong untuk lebih
menyukai pria dari pada wanita, adalah sesuatu yang tidak lumrah dan dia harus
dapat melawan dan menundukkannya. Akan diperlihatkannya bahwa dia adalah
seorang laki-laki sejati!
“Bun-koko....!
Ehh, Bun-ko, engkau sedang mengapa di situ?”
Ciang Bun
menoleh. Lee Hiang telah berdiri di situ, di belakangnya. Cahaya bulan yang
baru tersembul dari permukaan air itu menyorotkan cahaya kemerahan dan menimpa
kepala dara itu, membuat wajah itu berada di dalam cahaya kemerahan yang indah.
Seorang dara yang cantik manis dengan tubuh yang sedang ranum padat dan nampak
menggairahkan. Mengapa dia tidak tertarik? Bodoh! Demikian Ciang Bun mencela
diri sendiri dan dia pun bangkit berdiri.
“Hiang-moi....,”
katanya perlahan.
“Bun-ko....
ah, Bun-ko, engkau membikin aku khawatir sekali. Siang-koko bilang bahwa engkau
berduka dan keluar dari pondok. Aku mencari-carimu dan melihat engkau duduk
termenung di sini.” Dara itu menghampiri dan merangkul pinggang pemuda itu
dengan mesra, mengangkat mukanya memandang. “Bun-koko, janganlah berduka,
Bun-ko, ada Lee Hiang di sini yang akan ikut memikul semua kedukaanmu....”
Bukan main lembut dan mesranya sikap dan ucapan dara itu.
Aku seorang
laki-laki sejati, demikian Ciang Bun menguatkan hatinya dan dia memaksa diri,
memeluk tubuh dara itu. “Hiang-moi, engkau seorang dara yang baik sekali.”
“Bun-ko....!”
Lee Hiang berkata girang dan mempererat dekapannya pada pinggang pemuda itu.
Aku harus
memperlihatkan kejantananku, pikir Ciang Bun dan dia pun mempererat
rangkulannya. Ketika wajah dara itu terangkat ke atas, menengadah dan memandang
kepadanya dengan sinar mata lembut, dengan mulut setengah terbuka, Ciang Bun
lalu menundukkan mukanya dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri, mencium
bibir yang menantang itu.
Ciuman itu
membuat tubuh Lee Hiang menggigil dan rintihan halus mendesah keluar dari
kerongkongannya. Bagi Ciang Bun sendiri, terjadi hal yang sungguh membuatnya
ngeri. Mulut yang panas itu, bibir yang lunak lembut itu, ketika bertemu dengan
bibirnya dalam sebuah ciuman mesra, mendatangkan rasa muak!
Bukan, bukan
kelembutan seorang wanita yang dia dambakan, sama sekali bukan. Dia merindukan
kejantanan seorang pria, mulut yaug kuat akan tetapi lembut, bukan lunak
menyerah macam mulut wanita ini. Dia tidak tahan lagi dan cepat dia
merenggutkan dirinya, melepaskan pelukan.
“Tidak....!
Tidak....! Jangan....!” Dan dia pun, seperti tadi ketika meninggalkan Lee
Siang, melarikan diri meninggalkan Lee Hiang yang berdiri bengong dengan wajah
berohah pucat dan mata terbelalak.
“Bun-koko....!”
Ia berteriak dan mengejar.
Sesosok
bayangan lain muncul dan ikut mengejar Ciang Bun. Bayangan ini adalah Lee
Siang. Pemuda ini tadi mengintai dan ikut bergembira melihat betapa adiknya dan
Ciang Bun berciuman di pantai. Akan tetapi, dia ikut terkejut melihat perubahan
pada diri Ciang Bun dan ketika Ciang Bun melarikan diri dan dikejar oleh
adiknya, dia pun ikut mengejar dengan hati khawatir.
Ciang Bun
berdiri di tepi pantai utara, berdiri seperti arca memandang jauh ke depan,
tanpa bergerak sama sekali, wajahnya pucat dan matanya sayu.
“Bun-koko....!”
“Bun-hiante....!”
Dia
membalik, memandang kepada dua orang kakak beradik itu dengan muka pucat dan
dia pun menghardik, “Pergilah kalian! Jangan dekati aku....! Pergiiii....!”
Terdengar
Lee Hiang terisak dan Lee Siang menahan napas saking kagetnya melihat sikap
pemuda yang mereka sayang itu. Ciang Bun biasanya bersikap ramah dan halus,
akan tetapi mengapa sekarang begitu berubah sikapnya, menjadi kasar dan seperti
orang yang marah sekali?
Akan tetapi
Lee Siang mempunyai pandangan yang jauh dan bijaksana. Dia memegang lengan
adiknya dan berkata lirih, “Baiklah, kami pergi, kami hanya ingin menghiburmu,
Bun-te. Marilah, adikku!” Dia pun setengah menyeret tubuh Lee Hiang
meninggalkan Ciang Bun sendirian.
Sejenak
Ciang Bun masih berdiri tegak dengan sikap marah seperti tadi, memandang ke
arah dua sosok bayangan yang pergi dengan lemas itu. Kemudian, terasalah
seluruh tubuhnya lemas seperti dilolosi urat-uratnya dan dia pun terkulai,
jatuh berlutut di atas pasir.
“Ya Tuhan,
ampunilah hamba....!” Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan.
Dan semalam
itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia
bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam
batinnya. Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, saat
dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya
menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.
Liu Ek Soan
menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya. Kakek ini
menarik napas panjang. “Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki
keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan
ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.”
Pada
keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di
tepi pantai dan menegur halus, “Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di
sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?”
Ciang Bun
menoleh lalu berkata dengan sedih, “Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri
darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku
atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.”
Kakek itu
mengangguk-angguk, kemudian menarik napas panjang. “Kami akan merasa
kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau
engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih
engkau di sini. Semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih
dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin
kubicarakan denganmu, anak baik.”
“Hal apakah
itu, kong-kong?”
“Tentang
engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu
dan engkau pun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang
tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee
Hiang denganmu.”
Ciang Bun
menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan
kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada
saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini,
maka dia pun cepat berkata,
“Aku masih
terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan
tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tak dapat membicarakannya.”
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu
akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku
hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Namun, kalau
engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar,
biarlah Lee Siang dan Lee Hiang mengantar dan menemanimu.”
“Tidak,
Liu-kong-kong, tidak usah! Aku akan pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan
berada di barat dan sekarang, setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam
air darimu, aku tidak lagi takut menghadapi badai.”
Kakek itu
tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka
berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera
berkata, suaranya penuh penyesalan. “Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian
berdua sudi maafkan sikapku semalam....”
“Tidak ada
yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf?
Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.”
“Sudahlah,
semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.” Ciang Bun menghela napas.
“Bun-koko....
benarkah engkau.... engkau hendak pergi?” Lee Hiang bertanya, suaranya
mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.
Ciang Bun
memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang
jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat
membalas cinta kasih Lee Hiang atau wanita yang mana pun juga di dunia ini.
Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya,
atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik
dan gairah.
“Benar,
siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah
bundaku.”
“Kau pergi....
untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?”
“Ah, kenapa
engkau berkata demikian, adikku?” Ciang Bun berkata ramah. “Selagi kita masih
hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa
lagi.”
“Tapi, kapan,
koko....? Ahhh, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa
hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan
berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku?
Aku ikut....!” Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua
matanya.
Ciang Bun
merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu,
sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.
“Adikku yang
baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu
bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan juga
Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.”
Lee Hiang
sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tak lagi
merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang
menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan
dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan
berhenti menangis.
“Bun-ko,
kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan
mencarimu!” katanya.
“Aihh,
moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!”
kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan
membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.
Akhirnya,
Ciang Bun berangkat naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh
kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk
mencapai pantai daratan besar.
“Angin
bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku,
dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,” kata
kakek itu.
Dengan
diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air
mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun
dan dia pun memandang ke arah pulau itu sampai lambat-laun tiga buah titik di
atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur
cepat ketika layarnya terkembang penuh.
Sambil
mengemudikan perahu, pemuda ini termenung. Terjadi keadaan yang sangat
bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya
meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan
tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan
suram. Keadaan ini membuat mulutnya bergerak, perasaan dan pikirannya
menciptakan sebuah sajak keluhan.
Perahuku
meluncur laju
menuju arah
tertentu
angin
kencang layar terkembang
di depan
terang cemerlang!
Namun betapa
suram jalan hidupku
hati gelisah
tak menentu
gelap pekat
meraba-raba
tak tahu
harus ke mana?
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment