Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 07
"Ayah....!
Ibu....!"
Melihat Sama
Hui datang bersama seorang pemuda tampan dan dari pekarangan dara itu sudah
lari menghampiri mereka sambil menangis, hati Suma Kian Lee dan isterinya
diliputi kekhawatiran yang timbul dari kejutan dan keheranan. Mereka mengenal
puteri mereka yang cerdik, lincah dan galak, keras hati dan tidak mudah menjadi
lemah, tidak mudah menangis cengeng menghadapi apa pun juga.
Kalau
sekarang puteri mereka sampai demikian sedihnya, tentu telah terjadi sesuatu
yang amat hebat. Puteri mereka berada di Pulau Es bersama Ciang Bun, akan
tetapi sekarang puteri mereka itu pulang tanpa Ciang Bun, bahkan bersama
seorang pemuda asing, dan dara itu menangis seperti itu!
Suma Kian
Lee, ayah Suma Hui, adalah seorang pendekar sakti, putera dari Pendekar Super
Sakti Suma Han dengan Lulu. Berbeda dengan Suma Kian Bu, pendekar ini orangnya
serius, pendiam, tenang dan sabar. Isterinya bernama Kim Hwee Li, dahulu
seorang gadis petualang yang gagah perkasa dan berani, yang berkecimpung di
dalam dunia kaum sesat namun tak pernah ikut menjadi jahat, seperti mutiara
yang terendam di lumpur, tetap cemerlang bahkan lebih cemerlang.
Akan tetapi,
hidup di antara kaum sesat itu membuat hatinya menjadi keras sekali dan tidak
pernah merasa takut, sedangkan ilmu kepandaiannya juga amat hebat. Ia berusia
kurang lebih empat puluh tiga tahun sekarang, empat tahun lebih muda dari
suaminya. Tetapi, dengan pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, ia
masih nampak ramping dan padat, wajahnya masih tetap cantik dan nampak jauh
lebih muda dari pada usianya yang sesungguhnya.
Mereka hidup
dengan tenang di Thian-cin, sebuah kota di selatan kota raja. Seperti telah
kita ketahui, kedua orang anak mereka, yaitu Suma Hui dan Suma Ciang Bun,
menemani kakek nenek mereka di Pulau Es sambil memperdalam ilmu mereka.
Tentu saja
suami isteri ini merasa kesepian setelah dua orang anak mereka pergi ke Pulau
Es dan hampir setiap hari mereka membicarakan dua orang anak mereka dengan hati
rindu. Mereka tidak menyangka bahwa pagi hari itu, selagi mereka duduk di
serambi depan, mereka akan melihat puteri mereka pulang dalam keadaan yang
sedemikian mengherankan dan mengkhawatirkan.
Suami isteri
itu menyambut Suma Hui dengan rangkulan dan ciuman. Kalau Suma Kian Lee
bersikap tenang-tenang saja, tidak begitu dengan Kim Hwee Li. Setelah merangkul
dan menciumi pipi puterinya, ibu ini membentak, “Apa-apaan engkau ini, Hui-ji?
Hayo hentikan kecengenganmu ini dan ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi
denganmu! Dan mana Ciang Bun?”
“Nanti
dulu,” kata Kian Lee. “Hui-ji, perkenalkan dulu siapa orang muda yang datang
bersamamu ini.”
Suma Hui
juga memiliki kekerasan hati seperti ibunya, maka sebentar saja ia sudah dapat
menguasai hatinya dan menghentikan tangisnya. “Ayah, ibu, dia ini adalah Kao
Cin Liong, putera dari enci Wan Ceng.”
“Aihhh....!
Jadi engkau ini putera Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu?” Kim Hwee Li berseru
girang.
“Hemm, kalau
begitu dia masih cucu keponakanku sendiri, bukan orang lain. Mari kita masuk
dan bicara di dalam,” kata Kian Lee dengan sikapnya yang tenang.
Kao Cin
Liong memandang kepada sepasang pendekar itu dengan kagum. Sikap kakek pamannya
itu sungguh mengagumkan, begitu tenang dan terkendali, sebaliknya suami isteri
pendekar itu pun membayangkan keagungan dan wibawa yang gagah perkasa. Hatinya
terasa gentar dan mengecil kalau dia teringat bahwa dia telah jatuh cinta
dengan Suma Hui dan dia gentar membayangkan bagaimana suami isteri pendekar ini
akan bersikap kalau mendengar akan urusan cintanya itu. Maka dia pun cepat
menjura dengan hormat.
Sebenarnya
dia harus menyebut cek-kong (kakek paman) kepada pendekar ini, akan tetapi dia
tidak berani dan menyebut locianpwe, sebutan yang menghormat dalam dunia
persilatan terhadap orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.
“Terima
kasih, locianpwe.”
Mereka pun
memasuki ruangan dalam. Setelah pelayan mengeluarkan air teh, Hwee Li
menutupkan pintu yang menembus ruangan itu sebagai tanda bahwa para pelayan
tidak diperkenankan masuk atau mendekat. Setelah itu berkatalah nyonya ini,
“Nah, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi.”
“Ohh, ibu,
telah terjadi malapetaka yang amat hebat menimpa keluarga kita....” Suma Hui
mengeluh, “peristiwa yang amat buruk....”
“Setiap
peristiwa yang terjadi pun terjadilah. Setiap penilaian baik atau buruk hanya
menipiskan kewaspadaan,” kata Kian Lee mencela pendapat puterinya. “Ceritakan
saja selengkapnya dan jangan menilai.”
Akan tetapi
Hwee Li sudah memegang lengan puterinya dan cengkeramannya itu kuat sekali
sehingga kalau bukan puterinya yang dicengkeram, tentu tulang lengan itu akan
patah atan setidaknya kulit lengan itu akan terluka! “Hayo cepat katakan, apa
yang telah terjadi?”
Karena
maklum akan watak ibunya yang dikenalnya dengan baik, yaitu tidak sabaran dan
menjadi kebalikan dari watak ayahnya, Suma Hui tidak mau membuat ibunya
kehilangan kesabaran, maka ia pun langsung saja menceritakan inti semua
peristiwa dengan kata-kata lirih, “Kakek dan kedua orang nenek telah tewas,
Pulau Es telah terbakar habis dan lenyap, adik Ciang Bun terjatuh ke dalam
lautan berbadai dan lenyap, sedang adik Ceng Liong dilarikan oleh Hek-i Mo-ong!”
Suma Kian
Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin kuat, tenang dan
bijaksana, sedangkan isterinya adalah seorang pendekar wanita yang gagah dan
tabah, tidak mengenal takut. Akan tetapi, berita yang diucapkan dari mulut
puteri mereka sekali ini sungguh terlalu amat hebat!
Wajah Kian
Lee menjadi pucat dan alisnya berkerut, matanya memandang jauh dengan kosong
dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, sedangkan isterinya juga terbelalak
pucat, mulutnya terbuka dan mulut itu ditutup dengan punggung tangan
seolah-olah nyonya ini hendak menahan jeritnya. Suasana menjadi sunyi dalam
beberapa detik, kesunyian yang mengerikan dan suasana menjadi tegang penuh
getaran.
“Tidak....!
Tidak mungkin....! Siapa yang melakukan itu? Siapa? Hayo katakan, siapa yang
melakukan kebiadaban itu? Akan kuhancurkan kepalanya, kupecahkan dadanya,
kupatahkan kaki tangannya!” Nyonya itu bangkit dan mengepal tinjunya, dan Cin
Liong mendengar suara berkerotokan pada buku-buku jari tangan yang masih halus
itu! Bukan main hebatnya nyonya ini, pikirnya kagum dan juga gentar.
Melihat
keadaan isterinya tercinta itu, Kian Lee melangkah maju dan memegang kedua
tangan Hwee Li. Nyonya yang seperti tidak sadar ini merasakan hawa yang hangat
menggetar memasuki kedua lengannya dan ia pun tersadar, lalu menoleh memandang
suaminya dan tiba-tiba ia terisak, merangkul suaminya dan menangis tanpa suara
di dada suaminya. Kian Lee memejamkan kedua matanya dan mengelus rambut
isterinya, menepuk-nepuk bahu isterinya, suatu gerakan yang sebenarnya untuk
menepuk hatinya sendiri setelah mendengar akan kematian ayah bundanya di Pulau
Es itu.
“Tenanglah....
mati hidup adalah wajar, bukan kita yang menguasainya....,” katanya lirih
sekali sehingga seperti bisikan dan tidak kentara kalau suaranya tergetar.
Hanya
sebentar saja nyonya itu menangis tanpa suara, hanya pundaknya bergoyang
sedikit. Kini ia telah mengangkat mukanya dari dada suaminya dan bukti
tangisannya hanyalah baju suaminya yang menjadi basah dan matanya yang agak
merah. Akan tetapi kini tidak nampak setetes pun air mata pada mata atau pipinya
ketika ia duduk kembali.
“Hui-ji,
kini ceritakanlah selengkapnya terjadinya peristiwa itu,” Kian Lee berkata
dengan suara yang lirih dan lesu.
Dan untuk
kedua kalinya, pertama kali kepada Suma Kian Bu dan isterinya, dan kedua
kalinya kini kepada ayah bundanya, Suma Hui menceritakan peristiwa di Pulau Es
itu, didengarkan oleh ayah bundanya dengan penuh perhatian. Tentang penyerbuan
para datuk, tentang kedatangan Kao Cin Liong dan kemudian tentang kematian dua
orang neneknya yang disusul kematian aneh dari kakeknya. Kemudian tentang
penyerbuan para datuk dan anak buahnya atas perahu mereka sehingga mereka
cerai-berai dan tentu saja Suma Hui menceritakan dan menonjolkan peran Cin
Liong yang telah banyak berjasa itu. Bahkan dara itu menceritakan dengan teliti
tentang jasa dan pertolongan Cin Liong kepadanya ketika dia ditawan oleh
Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.
“Kalau tidak
ada Cin Liong yang menyelamatkan aku, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama
saja,” demikian dara itu menutup kata-katanya sambil mengerling ke arah Cin
Liong.
“Bibi Hui
terlalu memuji-muji saya, sesungguhnya saya merasa menyesal sekali tidak dapat
melindungi para paman kecil sehingga tidak diketahui bagaimana dengan nasib
mereka sekarang,” Cin Liong merendahkan diri.
“Jadi di
antara lima orang datuk itu, tiga telah tewas dan yang masih hidup adalah Hek-i
Mo-ong yang melarikan Ceng Liong dan Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng itu?” tanya Kim
Hwee yang seolah-olah hendak mencatat kedua nama itu baik-baik dalam
ingatannya.
“Betul,
ibu,” kata Suma Hui. “Aku pun kelak harus dapat membalas sakit hati ini kepada
dua orang datuk sesat itu, mencari adik Ciang Bun dan menolong adik Ceng
Liong.”
“Mudah saja
engkau bicara,” kata Suma Kian Lee. “Mereka adalah orang-orang lihai, kalau
tidak mana mungkin kedua orang nenekmu sampai tewas? Lagi pula, nama Hek-i
Mo-ong sudah amat tersohor karena ilmu-ilmunya yang hebat. Engkau tinggal di
rumah, aku sendiri yang akan mencari Ciang Bun.”
“Aku juga
pergi!” kata Kim Hwee Li. “Biar Kian Bu dan isterinya menyusul dan mencari Ceng
Liong sedangkan kita pergi mencari anak kita yang hilang. Perkara balas dendam,
kelak kita rundingkan bersama keluarga Pulau Es.”
Kian Lee tak
dapat membantah keinginan isterinya. Cin Liong lalu berkata dengan sikap
hormat, “Karena sudah berhasil menemani bibi Hui sampai di rumah, perkenankan
saya untuk melanjutkan tugas saya. Dan saya berjanji untuk ikut juga
mendengarkan berita tentang paman-paman kecil Ciang Bun dan Ccng Liong.”
“Tugasmu
sebagai jenderal?” tanya Kim Hwee Li tertarik.
“Benar,
locianpwe. Saya ditugaskan oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki berita
tentang pergerakan-pergerakan para pemberontak di barat dan utara. Saya ke
Pulau Es juga hanya kebetulan saja dalam perjalanan saya melakukan tugas itu,
ketika saya melihat rombongan anak buah para datuk itu sedang membicarakan
tentang Pulau Es. Sekarang saya akan melapor dulu ke kota raja, kemudian
melanjutkan perjalanan ke barat.”
Kian Lee
mengangguk-angguk. “Jika memang begitu, tak sepatutnya kami menahanmu, Cin
Liong. Dan kami sekeluarga mengucapkau terima kasih atas segala bantuanmu, baik
terhadap keluarga Pulau Es mau pun terhadap Hui-ji.”
“Saya kira
tak perlu demikian, locianpwe, mengingat bahwa di sana terdapat pula nenek
buyut Lulu dan agaknya sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu keluarga
Pendekar Super Sakti Suma Han locianpwe dari serbuan para penjahat. Nah, saya
mohon diri, locianpwe.” Dia memberi hormat kepada Suma Kian Lee dan Hwee Li,
kemudian menghadapi Suma Hui.
“Bibi Hui,
selamat tinggal....”
“Cin
Liong....!” kata Suma Hui ketika ia melihat pemuda itu melangkah keluar, lalu
ia meragu dan akhirnya ia lari menghampiri dan berbisik, “Bagaimana dengan
urusan kita....?”
“Jangan
khawatir, sebelum pergi ke barat, aku akan memberitahukan orang tuaku,” bisik
Cin Liong kembali, lalu dia menjura lagi dan pergi dari situ, meninggalkan Suma
Hui yang berdiri termangu-mangu dan merasa betapa hatinya perih dan sepi
ditinggal pemuda yang semenjak beberapa lama menemaninya dan telah memenuhi
hatinya itu. Ia tidak tahu betapa suami isteri itu saling pandang dengan penuh
arti, dan Suma Kian Lee membalikkan tubuhnya dengan tiba-tiba.
Malam itu
Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bicara bisik-bisik di dalam kamar
gadis itu. “Hui-ji, engkau cinta padanya, bukan?”
Dalam
pelukan ibunya, Suma Hui mengangguk. Suasana sunyi dan tegang karena Suma Hui
maklum betapa pentingnya pengakuannya itu bagi ibunya dan ia menantikan
datangnya teguran ibunya.
Setelah
hening beberapa lama, terdengar suara ibunya, akan tetapi bukan suara marah
sehingga debar jantung di dalam dada Suma Hui menjadi tenang. “Hui-ji, sudah
kau yakini akan cintamu itu?”
Kembali Suma
Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi di dalam
rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama beberapa
hari berturut-turut ini, kini dia merasa aman sentosa dalam rangkulan ibu
kandungnya.
Kembali sunyi
sejenak. Dan sekarang kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan,
“Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!”
Meski ibunya
tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja
merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka ia pun merenggutkan dirinya
terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada
ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai
beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling
pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak
menentangnya. Maka ia pun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya
di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.
“Akan tetapi
dia lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih
segala-galanya, ibu. Ia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, ia
gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang
membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia jugalah yang menyelamatkan aku
dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku,
padahal, hubungannya sudah amat jauh!”
“Memang
sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya
yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah.
Jadi, kalau pun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui
darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan.”
Mendengar
ini, Suma Hui lalu bangkit dan memandang ibunya penuh harapan. “Kalau begitu,
ibu setuju?”
Kim Hwee Li
menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air
matanya. Bagaimana pun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan yang
mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama.
Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk. “Ibu sih setuju saja.”
“Ibuuu....!”
Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya. “Ibu memang seorang yang amat
berbudi....! Terima kasih, ibu.”
Kim Hwee Li
mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung
lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, dia tidak begitu malu menitikkan
air mata walau pun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.
“Jangan
bergirang-girang dulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan
pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah
ayahmu sebelum bertemu dengan aku, sudah jatuh hati kepada Ceng Ceng. Akan
tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng ialah keponakan tirinya, segera
perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar
bahwa kau saling mencinta dengan orang yang masih terhitung keponakanmu
sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya.”
“Akan tetapi....
ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!” kata Suma Hui, sikapnya
keras.
Kim Hwee Li
menarik napas panjang. Dia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya
walau pun pendiam dan tenang, akan tetapi juga di dasar hatinya memiliki kekerasan
dan pendirian yang teguh. Maka ia telah dapat melihat bayangan yang tidak
menyenangkan dalam peristiwa ini.
“Mudah-mudahan
saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri oleh karena
urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu.”
“Terima
kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!” Suma Hui
kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas
rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya
itu dengan hati khawatir.
Pada malam
hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar
puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.
“Tidak!
Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tak tahu aturan sekali. Apakah mereka
sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat
besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang
tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan
juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!”
Dengan muka
merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa
puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah
disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia
merasa tidak enak sekali. Dialah yang tadi menyuruh isterinya menyelidiki
persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa
memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri,
dia marah bukan main.
“Akan
tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek
Lulu,” isterinya mencoba untuk membantah.
“Jauh atau
dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan
dikata orang-orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang
keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama
dan kehormatan lebih berharga dari pada nyawa!” Makin bicara, makin marahlah
Kian Lee. “Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!”
“Tenanglah,
suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biar ia
beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong,
apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia
tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan
perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan
kurasa, ayah bundanya pun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak
berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Jika benar
mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan
itu.”
“Kalau Kao
Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku
dan aku akan menghajar mereka!” kata pula Kian Lee semakin panas.
Isterinya
kemudian merangkulnya. “Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua semakin
pemarah, sungguh tidak baik itu. Sudahlah, marilah kita tidur. Kita masih
mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan
menemukan anak kita Ciang Bun.”
Diingatkan
akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan.
Akan tetapi, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya
sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itu pun tertidur.
Tetapi,
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya,
“Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu
mengatur sebaiknya untuk Hui-ji.”
“Apa
maksudmu?”
“Maksudku,
niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek
Ciang, akan kulaksanakan.”
“Putera
Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ahh, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji
belum berkenalan dengan dia.”
“Sudah
kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana dari pada membiarkan dia
jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan
berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw-twako adalah sahabatku terbaik
di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup
baik, berwatak gagah pula.”
“Tapi....
bagaimana pun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah
hal ini tidak akan mengecewakan kelak?”
“Hal itu
tidak perlu kau khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri
akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji.”
“Ahhh....!”
Kim Hwee Li mengerutkan alisnya.
Melihat
kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas.
“Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama
dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini
juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau
kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara
tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka punya kesempatan untuk
saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?”
“Hemm, aku
tidak yakin. Kukira semua ini kau lakukan bukan untuk Hui-ji, melainkan untuk
menjaga nama kehormatanmu sendiri.”
“Apa
bedanya? Kehormatan kita adalah kehormatan Hui-ji pula. Kebahagiaan kita juga
kebahagiaannya. Dia masih muda dan perlu dibimbing, baik dalam urusan cinta dan
jodoh sekali pun. Percayalah, aku tidak akan bertindak salah, isteriku.”
“Sesukamulah,”
akhirnya sang isteri menjawab, walau pun hatinya merasa tidak enak karena ia
belum yakin betul akan kebenaran ucapan suaminya.
Suma Kian
Lee, pendekar sakti itu, bagaimana pun juga hanyalah manusia biasa yang dapat
terjerumus ke dalam pendapat yang keliru seperti terjadi kepada sebagian orang
besar, orang-orang tua di dunia ini. Orang-orang tua seperti Suma Kian Lee itu
terlalu memandang rendah kepada anaknya sehingga seolah-olah merasa dapat
mengatur kehidupan dan kebahagiaan anaknya. Seolah-olah kebahagiaan dalam
kehidupan itu adalah sesuatu yang dapat diatur.
Dia lupa
bahwa kehidupan seseorang adalah mutlak milik si orang itu sendiri, tidak
peduli orang itu adalah anaknya. Tiap orang berhak menentukan jalan hidupnya
sendiri, dan si orang itu sendirilah yang dapat merasakan kebahagiaan hidupnya.
Orang boleh
saja mengatur untuk mengadakan kesenangannya, seperti kekayaan, kedudukan,
termasuk pula suami yang dianggap sempurna dan sebagainya. Akan tetapi semua
itu hanyalah bayangan khayal belaka dan hanya berlangsung sementara saja.
Siapa yang
berani memastikan bahwa bagi seorang wanita, mempunyai suami yang muda, kaya,
pandai dan berkedudukan itu pastilah akan mendatangkan bahagia? Atau sebaliknya
bagi seorang pria mendapatkan isteri yang muda dan cantik jelita, pintar dan
halus budi itu pun akan mendatangkan bahagia?
Kebahagiaan
dalam perjodohan hanya mempunyai satu syaratnya, yaitu cinta kasih! Tanpa ini,
segala macam kesenangan yang terdapat dalam perjodohan itu akan luntur dan
besar kemungkinannya akan berakhir dengan percekcokan dan kesengsaraan.
Orang-orang tua
banyak yang tidak sadar bahwa cintanya terhadap anaknya sudah menyeleweng ke
arah cinta terhadap diri sendiri atau keinginan untuk mencari kepuasan diri
sendiri. Itulah sebabnya mengapa orang-orang tua selalu memilihkan sesuatu bagi
anaknya, dengan keyakinan bahwa pilihannya itu tentu akan cocok bagi anaknya,
tentu akan membahagiakan anaknya! Padahal pada dasarnya, yang dapat dipilihnya
itu yang dapat menyenangkan hatinya sendiri.
Orang tua
seperti ini akan merasa senang jika yang dipilih anaknya itu yang disukainya
pula, dan akan merasa tidak senang dan menentang kalau yang dipilih anaknya itu
tidak mencocoki seleranya. Dia lupa bahwa selera anaknya itu, biar pun
keturunannya sendiri belum tentu sama dengan seleranya sendiri.
Kalau orang
tua sungguh-sungguh mencinta anaknya, dia harus berani membiarkan anaknya itu
bebas menentukan jalan hidupnya, bebas memilih segala hal mengenai hidupnya,
jodohnya, agamanya, pekerjaannya, sahabatnya, dan sebagainya. Tentu hal ini
bukan berarti orang tua harus diam saja tak acuh dan tak peduli. Sama sekali
bukan demikian.
Bahkan
sebaliknya orang tua harus selalu waspada dan kalau dia melihat anaknya itu
bertindak menuju ke arah hal yang membahayakan kehidupannya, adalah menjadi
kewajibannya, berdasarkan cinta kasih, untuk mengingatkan anaknya, menantunya.
Ini bukan berarti memaksanya menuruti kemauan orang tua dalam menentukan jalan
hidup.
Akan tetapi,
Suma Kian Lee agaknya merasa yakin bahwa tindakannya benar kalau dia dengan
kekerasan menentang pilihan hati puterinya. Bahkan mengusahakan supaya
puterinya itu berjodoh dengan orang lain yang dipilihnya, yang menurut
anggapannya, cocok menjadi suami anaknya dan kelak akan berbahagia…..
***************
Pilihan Suma
Kian Lee itu adalah seorang pemuda berusia Sembilan belas tahun, dan bernama
Louw Tek Ciang. Pemuda ini cukup tampan, bahkan kelihatan menarik karena kulit
mukanya yang putih bersih. Matanya tajam membayangkan kecerdikan, mulutnya
selalu tersenyum dan sikapnya ramah. Biar pun tubuhnya agak pendek, namun tegap
dan gagah, apalagi karena pemuda ini selalu berpakaian yang bagus-bagus dan
agak pesolek.
Ayahnya
bernama Louw Kan atau terkenal di kota Thian-cin sebagai Louw-kauwsu (guru
silat Louw) karena kakek berusia lima puluh tahun yang sudah menduda ini membuka
sebuah perguruan silat yang diberi nama Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda
Putih) di mana dia mengajarkan ilmu silat cabang Siauw-lim-pai dengan memungut
bayaran.
Semenjak
berusia lima tahun, Tek Ciang telah kematian ibunya, dan ayahnya tidak pernah
menikah lagi. Dia merupakan anak tunggal yang tentu saja amat dimanja oleh
ayahnya. Sejak kecil dia telah digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri, dan
ternyata Tek Ciang memiliki bakat yang amat baik. Di antara murid-murid
ayahnya, tidak ada yang dapat menandinginya dalam ilmu silat dan bahkan dia
mulai mewakili ayahnya dan membimbing murid-murid ayahnya.
Ketika dia
berusia delapan belas tahun, terjadi gejolak batin yang amat hebat dalam diri
pemuda ini, tanpa diketahui oleh ayahnya atau pun oleh dirinya sendiri. Ketika
itu, untuk ke sekian kalinya, Tek Ciang bertanya kepada ayahnya tentang ibunya.
“Ayah dulu
pernah bilang bahwa ada suatu rahasia besar tentang kematian ibu dan jika aku
sudah dewasa, baru ayah akan menceritakan rahasia itu. Ayah, aku sangat rindu
kepada ibu yang sudah tidak dapat kuingat wajahnya, akan tetapi aku masih ingat
bahwa ibu adalah seorang wanita yang cantik. Ceritakanlah, ayah, mengapa ibu
mati muda?”
Louw-kauwsu
mengerutkan alisnya, dan sambil mengisap huncwe (pipa tembakau) yang panjang,
wajahnya berubah menjadi muram. Kemudian, setelah menghembuskan asap
tembakaunya, dia berkata, “Memang ibumu itu wanita yang amat cantik, paling
cantik bagiku di dunia ini dan aku amat mencintainya. Akan tetapi sayang….,
batinnya tidaklah secantik wajahnya, hatinya tidak sebersih kulitnya.”
“Kenapa,
Ayah?” Tanya Tek Ciang kaget.
“Ia adalah
wanita berhati palsu, seorang isteri yang menyeleweng dan menyakitkan hati suaminya,
seorang wanita yang gila lelaki.”
“Isteri
menyeleweng? Gila lelaki?” pemuda itu bertanya bingung mengapa ayahnya yang
katanya mencintai isterinya itu kini memakinya dengan kata-kata keji.
“Ya,
cintanya terhadap suaminya hanya di mulut saja dan diam-diam dia melakukan
penyelewengan, berjinah dengan pria lain. Mula-mula suaminya masih
mengampuninya. Akan tetapi penyakit itu tidak dapat sembuh, berulang kali
dilakukannya perjinahan itu dengan lelaki demi lelaki. Ia memang gila lelaki
sehingga akhirnya, perbuatan yang kotor dan keji itu membuatnya mati terbunuh.”
Tek Ciang
mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, dan dia kaget bukan main
mendengar ucapan terakhir dari ayahnya itu.
“Terbunuh?
Jadi ibu mati terbunuh? Siapa yang membunuhnya, Ayah?”
“Suaminya
yang entah berapa kali disakiti batinnya.”
Makin pucat
wajah Tek Ciang ketika dia bangkit dari tempat duduknya. “Jadi…. jadi…. ayah
sendiri yang membunuh ibu?”
Louw-kauwsu
menarik napas panjang. “Duduklah, anakku. Memang aku sendiri yang membunuhnya,
demi cintaku kepadanya. Karena kalau tidak dibunuh, dia akan terus melakukan
hal yang amat tidak sepatutnya itu. Tentu saja bukan tangan ini yang dahulu
membunuhnya. Pada penyelewengan terakhir saat tertangkap basah, aku membuatnya
berjanji bahwa kalau sekali lagi ia berjinah dan ketahuan, ia akan bunuh diri.
Nah, baru beberapa bulan saja, ia telah berjinah lagi dan saat ketahuan olehku,
ia lalu membunuh diri, mungkin karena takut atau karena malu. Aku cinta
padanya, bahkan aku tidak mau menikah lagi sejak ia meninggal karena aku takut
kalau-kalau penyiksaan terhadap perasaanku akan terulang lagi. Jarang ada
wanita yang dapat dipercaya, Tek Ciang, oleh karena itu engkau harus
berhati-hati sekali dalam memilih jodoh. Dari pada tersiksa hatinya setelah
menikah, lebih baik tinggal membujang selama hidup.”
Percakapan
dengan ayahnya itulah yang menimbulkan guncangan hebat dalam batin Tek Ciang
dan tanpa disadarinya, dia memandang rendah kepada kaum wanita, bahkan ada
timbul semacam kebencian! Akan tetapi, hal ini tumbuh di bawah sadar dan dia
sendiri tidak merasakannya, karena pada lahirnya, dia suka melihat
wanita-wanita cantik dan bukan tergolong seorang pemuda alim.
Dengan para
murid ayahnya yang sudah dewasa, kadang-kadang dia pergi bermain main dan ada
kalanya pula dia terbawa oleh teman-teman itu pergi mengunjungi tempat pelesir
dan bergaul dengan pelacur-pelacur sehingga dalam hal permainan cinta, Tek
Ciang bukanlah pemuda yang hijau. Akan tetapi, dia bersikap halus dan
kelakuannya sopan seperti seorang terpelajar, maka tidak seorang pun yang akan
menduga bahwa sebetulnya pemuda ini tidak asing di antara para pelacur kelas
tinggi di kota Thian-cin.
Tek Ciang
terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya terlihat oleh umum di tempat-tempat
pelacuran itu. Maka ayahnya sendiri pun tak tahu bahwa putera tunggalnya itu
bukanlah seorang perjaka tulen dan kadang-kadang menghamburkan uang di tempat
pelesir itu.
Juga dia
tidak tahu bahwa biar pun pada lahirnya begitu halus, ramah dan sopan, namun
setelah berada berdua saja dengan seorang pelacur di dalam kamar, pemuda itu
dapat bersikap lain, menjadi kejam dan suka mempermainkan wanita pelacur sesuka
hatinya, suka menghinanya dan agaknya menikmati penderitaan lahir batin seorang
wanita pelacur. Maka, pemuda ini tersohor sebagai pemuda yang kejam dan tidak
disukai di kalangan para pelacur, walau pun dia memang royal dengan uangnya.
Louw Kam
atau Louw-kauwsu bersahabat dengan pendekar sakti Suma Kian Lee. Tentu saja
guru silat ini mengenal siapa pendekar itu, dan selain kagum, juga amat hormat
kepadanya. Maka, dia merasakan sebagai kehormatan besar sekali dapat berkenalan
bahkan bersahabat dengan pendekar sakti itu.
Saling
berkunjung di antara mereka sering terjadi, dan perkenalannya dengan pendekar
ini sungguh amat menguntungkan dirinya. Perguruannya makin maju karena para
murid itu berpendapat bahwa seorang guru silat yang menjadi sahabat pendekar
sakti Suma Kian Lee, tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Bahkan kalau
ada yang diam-diam memusuhi guru silat ini, akhirnya menjadi gentar melihat
hubungan yang akrab antara Louw-kauwsu dan pendekar sakti itu. Oleh karena
hubungan persahabatan ini maka martabat Louw-kauwsu ikut terangkat.
Demikianlah
perkenalan kita dengan keluarga Louw ini…..
Pada suatu
pagi, Louw-kauwsu merasa girang sekali melihat munculnya Suma Kian Lee di depan
pintu rumahnya. Akan tetapi alisnya berkerut ketika ia melihat wajah pendekar
itu nampak agak muram yang berarti bahwa hati sahabat yang dihormatinya itu
tentu sedang kesal.
“Ah, selamat
pagi, Suma-taihiap!” kata guru silat itu dengan ramah. “Silakan masuk dan
duduk. Sungguh gembira sekali hati saya menerima kunjungan taihiap sepagi ini.”
“Terima
kasih, Louw-twako,” kata Suma Kian Lee dan mereka pun duduk menghadapi minuman
teh panas sebagai sarapan pagi di atas meja.
“Eh, kenapa
taihiap memakai pakaian berkabung?” Tiba-tiba guru silat itu terkejut ketika
melihat pakaian serba putih dan tanda berkabung yang dipakai oleh pendekar itu.
Pendekar itu
menarik napas panjang. Dia tidak ingin menceritakan tentang mala petaka yang
menimpa keluarga ayah bundanya di Pulau Es, akan tetapi pakaian berkabung yang
dipakainya itu tentu saja tidak dapat disembunyikan. Mengingat bahwa guru silat
ini adalah sahabat baiknya dan juga bahkan mungkin akan menjadi calon besannya,
maka dia mengambil kebijaksanaan untuk berterus terang saja.
“Anak
perempuan kami pulang dari Pulau Es kemarin....”
“Ahh, Siocia
sudah pulang? Tentu telah membawa ilmu-ilmu yang luar biasa dari Pulau Es!”
teriak guru silat itu dengan kagum.
“Ia membawa
berita buruk, yaitu bahwa ayah ibuku telah meninggal dunia.”
“Ahhh....!”
Guru silat itu terkejut bukan main, cepat bangkit berdiri dan menjura dengan
hormat kepada pendekar itu sambil berkata, “Maafkan saya, taihiap, karena tidak
tahu maka berani bicara sembarangan. Semoga saja Thian dapat menerima arwah
orang tua taihiap dan memberi tempat yang baik.”
“Terima
kasih, Louw-twako. Kematian adalah hal yang wajar saja dan kami pun dapat
menerimanya dengan tenang. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, terjadi mala
petaka di perahu yang mengakibatkan puteraku hilang....”
“Ahhh!”
Untuk kesekian kalinya guru silat itu terkejut. “Suma-kongcu hilang? Ke mana
dan bagaimana?”
“Dia
tercebur ke lautan, terpisah dari enci-nya dan sampai kini belum ada
kabar-kabar tentang dia.”
“Siancai....!
Sungguh saya ikut merasa berduka sekali, taihiap. Bagaimana mala petaka menimpa
demikian berturut-turut?”
“Memang
itulah nasibku sekarang ini. Aku dan isteriku akan melakukan perjalanan untuk
mencari anakku yang hilang itu dan sebelum aku pergi, aku ingin membicarakan
hal penting yang pernah kusinggung dahulu itu, twako, yaitu tentang perjodohan
antara puteri kami dan puteramu.”
Berdebar
kencang jantung dalam dada Louw Kam. Hal itu memang menjadi idamannya selama
ini. Pernah secara iseng-iseng pendekar ini bicara tentang kemungkinannya tali
perjodohan itu dan tentu saja dia akan merasa girang dan bangga sekali untuk
dapat berbesan dengan pendekar sakti ini. Mempunyai mantu cucu Pendekar Super
Sakti! Tentu saja cucu pendekar itu tidak dapat disamakan dengan
perempuan-perempuan biasa macam isterinya itu. Biar pun jantungnya berdebar
kencang penuh kegembiraan, namun sikapnya biasa dan tenang saja.
“Bagaimanakah
kehendak taihiap? Sejak dahulu kami hanya dapat menanti keputusan taihiap dan
tentu saja pihak kami setuju sepenuhnya, bahkan merasa memperoleh kehormatan
besar sekali kalau anakku yang bodoh itu terpilih untuk menjadi calon jodoh
puteri taihiap yang mulia.”
“Tak perlu
memuji atau merendah, twako. Manusia ini di permukaan bumi sama saja, dan
kelebihan orang dalam suatu hal tidak perlu dijadikan alasan untuk
mengangkatnya tinggi-tinggi. Kami merasa setuju dengan puteramu, tetapi....
maafkan pernyataanku ini, agaknya kelak akan merupakan kepincangan yang kurang
sehat kalau ilmu silat antara mereka berselisih jauh.”
Wajah guru
silat itu menjadi merah dan dia menutupinya dengan tertawa. “Ah, biar saya
latih seratus tahun lagi, takkan mungkin tingkat kepandaian Tek Ciang akan
dapat menandingi tingkat Suma-siocia.”
“Bukan
maksudku untuk merendahkan, twako. Tetapi kenyataannya memang demikian, yaitu
bahwa puteriku dalam ilmu silat jauh lebih pandai dari pada puteramu. Akan
tetapi kulihat puteramu itu pun memiliki bakat yang baik sekali, maka andai
kata engkau memperkenankan, kalau dia menjadi muridku dan menerima bimbinganku
sehingga dia dapat menyamai tingkat Hui- ji, alangkah akan baiknya itu....”
Louw-kauwsu
cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat. “Laksaan terima
kasih saya kepada taihiap! Tentu saja saya setuju sepenuhnya dan agaknya sudah
menjadi anugerah bagi anakku yang bodoh untuk memperoleh nasib sebaik ini.
Heii! Tek Ciang....! Di mana engkau? Ke sinilah!”
“Jangan beri
tahukan dia tentang perjodohan itu lebih dulu, twako,” kata Suma Kian Lee
berbisik sebelum pemuda itu muncul dari belakang.
Melihat
pendekar itu, Tek Ciang segera menjura dengan sikap hormat dan sopan.
“Ahhh,
kiranya Suma-locianpwe yang hadir. Harap locianpwe dalam keadaan baik saja dan
terimalah hormat saya,” katanya ramah.
“Terima
kasih, Tek Ciang,” jawab Suma Kian Lee senang melihat sikap pemuda yang sopan
itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, sayang agak pendek, dan
pakaiannya selalu rapi dan bagus.
“Tek Ciang,
cepat engkau berlutut pada Suma-taihiap dan menyebut suhu. Dia hendak mengangkatmu
sebagai muridnya!” kata Louw-kauwsu dengan girang.
Mendengar
ucapan ayahnya ini, Louw Tek Ciang terkejut bukan main dan memandang kepada
pendekar itu. Suma Kian Lee mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tek Ciang
adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menjadi
murid pendekar ini, selain kemungkinan besar untuk memperoleh ilmu yang hebat,
juga namanya akan terangkat dan tak seorang pun di kota Thian-cin, bahkan
sampai di kota raja yang akan berani menentangnya! Maka tanpa ragu-ragu lagi
dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Kian Lee, memberi hormat
sampai delapan kali dan menyebut “Suhu!” berkali-kali.
Kian Lee
membangunkan pemuda itu dan berkata, “Tek Ciang, engkau adalah murid pertama
dariku. Selama ini aku belum pernah menerima murid dan hanya mengajarkan
ilmu-ilmuku kepada kedua orang anakku saja. Sekarang, melihat kebaikan ayahmu
dan besarnya bakatmu, aku suka membimbingmu mempelajari ilmu silat.”
“Terima
kasih, suhu. Segala petunjuk dan bimbingan suhu pasti akan teecu taati dan
junjung tinggi.”
“Sekarang
keluarlah dulu dari ruangan ini karena aku hendak bicara urusan penting dengan
ayahmu.”
Tek Ciang
kembali menghaturkan terima kasih, kemudian pergi dari tempat itu dengan sikap
patuh sekali. Setelah pemuda itu pergi dan dengan pendengarannya yang tajam
Kian Lee merasa yakin bahwa pemuda itu sudah pergi jauh ke belakang rumah, dia
pun berkata, “Louw-twako, biarlah sementara ini perjodohan antara puteramu dan
anakku tidak diumumkan dulu, akan tetapi kita berdua telah menyetujui untuk
menjodohkan mereka. Dan demi kebaikan mereka berdua, kurasa mereka berdua harus
dipertemukan dan diperkenalkan. Maka, aku akan mengajak puteramu untuk tinggal
di rumahku, dan selama aku dan isteriku pergi mencari putera kami, biarlah
anakku yang memberi petunjuk-petunjuk dalam latihan dasar. Dengan demikian, ada
dua keuntungan, yaitu pertama, anakku tidak akan bersendirian saja di rumah dan
ke dua, mereka dapat saling berkenalan sebelum perjodohan diumumkan. Bagaimana
pendapatmu, Louw-twako?”
Louw-kauwsu
yang sudah kegirangan dan merasa amat beruntung itu tentu saja merasa setuju
sekali dan berkali-kali dia mengangguk. Demikian girang hatinya sehingga guru
silat ini tidak lagi mampu berkata-kata! Betapa tidak? Putera tunggalnya yang
amat disayangnya itu selain akan dipungut mantu juga diangkat menjadi murid
pertama dan tunggal oleh pendekar sakti Suma Kian Lee! Peristiwa itu tentu saja
akan mengangkat namanya setinggi langit. Baru menjadi sahabat dekatnya pendekar
itu saja dia sudah merasakan keuntungan besar di bidang nama, kedudukan dan
pekerjaannya. Apalagi kalau puteranya menjadi murid, bahkan mantu Suma-taihiap!
“Jika
begitu, sebaiknya kalau Tek Ciang hari ini juga berangkat ke rumahku, membawa
bekal pakaian karena kami harus segera bersiap-siap. Dalam seminggu ini kami
sudah akan berangkat pergi mencari puteraku, Louw-twako. Dan selama kami pergi
dan putera twako menemani anakku di rumah, harap twako suka berbaik hati untuk
kadang-kadang lewat di rumah kami melihat-lihat keadaan.”
“Jangan
khawatir, taihiap. Mulai hari ini, rumah keluarga taihiap sama dengan rumah
yang menjadi tanggung jawab saya sendiri. Pasti akan saya bantu jaga seperti
rumah saya sendiri selama taihiap berdua bepergian.”
Setelah Suma
Kian Lee pulang, Louw-kauwsu menyuruh puteranya segera berkemas. Dia memberi
banyak nasehat kepada puteranya itu. “Tek Ciang, engkau memperoleh berkah yang
jauh lebih berharga dari pada harta benda apa saja di dunia ini. Engkau
diangkat menjadi murid putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Tahukah
engkau apa artinya itu? Berarti bahwa kalau engkau belajar dengan baik-baik,
kelak engkau akan menjadi seorang pendekar sakti yang hebat! Bahkan seluruh
nasib hidupmu di kemudian hari tergantung pada saat-saat inilah. Suma-taihiap
menghendaki supaya engkau berangkat ke rumahnya sekarang juga. Engkau akan
diberi latihan dasar dan disuruh berlatih dengan petunjuk dari Suma-siocia,
karena gurumu itu bersama isterinya akan melakukan perjalanan jauh dan
meninggalkan engkau di sana bersama puteri mereka. Berhati-hatilah engkau di
sana, jagalah rumah itu seperti rumahmu sendiri, bersikaplah sopan terhadap
Suma-siocia dan semua pelayan di sana. Berusahalah agar semua orang menyukaimu,
Tek Ciang. Dengan demikian, engkau tidak akan membikin malu aku sebagai
ayahmu.”
Tek Ciang
tersenyum. Ayahnya ini bersikap seperti memberi nasehat kepada seorang anak
kecil saja! Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dibuatnya agar suhu-nya
suka kepadanya. Dan tentu saja dia sudah mendengar akan Suma-siocia, dara
remaja yang kabarnya selain lihai dan sakti, juga memiliki kecantikan yang amat
menggairahkan! Ah, betapa beruntungnya dia! Berlatih diri di bawah petunjuk
seorang dara remaja yang lihai dan cantik jelita!
Akan tetapi,
pemuda yang cerdik ini pandai menyembunyikan perasaannya, dan dia pun
mengangguk taat. “Baik, ayah. Aku akan mengingat semua nasehatmu.”
Ketika Tek
Ciang tiba di rumah keluarga Suma, Kim Hwee Li dan juga Suma Hui sudah
mendengar dari Suma Kian Lee tentang pemuda itu yang diangkat menjadi murid dan
akan tinggal di rumah itu selama suami isteri itu pergi mencari Ciang Bun.
“Ayah,” Suma
Hui membantah ketika ayahnya memberitahukan perihal pemuda yang belum
dikenalnya itu. “Apakah ilmu keluarga kita akan diturunkan kepada orang luar?”
Ayahnya
mengerutkan alis. “Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang
melarang bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang
luar. Ayah dari Louw Tek Ciang, yaitu Louw-kauwsu, adalah seorang sahabat
baikku. Dia seorang yang bersih namanya dan aku melihat putera tungggalnya itu
pun memiliki bakat yang amat baik, juga sikapnya baik. Karena itu aku
mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima ilmu-ilmu dariku
secara sempurna, maka dia harus lebih dahulu berlatih sinkang dan semedhi yang
bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sinkang dari kita.
Karena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau
mewakili aku dan kadang-kadang memberi petunjuk kepadanya kalau dia berlatih.”
Mendengar
kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan nada sungguh-sungguh, Suma Hui
mengangguk. Ia belum memperoleh kepastian dari ibunya tentang sikap ayahnya
terhadap urusannya dengan Cin Liong, maka dari itu ia berpendapat bahwa
sebaiknya, sebelum urusan pribadinya itu dibikin terang, ia tidak membuat
ayahnya marah. Bagai mana pun juga, hatinya seperti merasa tidak rela ayahnya
mengangkat seorang murid.
Ketika Tek
Ciang muncul dengan buntalan pakaiannya dan menjatuhkan diri berlutut di depan
ayah ibunya dan menyebut mereka suhu dan subo dengan sikap menghormat sekali,
Suma Hui terkejut. Tak disangkanya bahwa murid yang diangkat oleh ayahnya itu
ternyata adalah seorang pemuda dewasa yang lebih tua darinya! Seorang pemuda
yang cukup ganteng dan gagah, dan sikapnya amat sopan.
Pemuda itu
sedikit pun tidak pernah melirik kepadanya dan hanya menunduk ketika memberi
hormat kepada suami isteri pendekar itu.
“Bangkitlah,
Tek Ciang. Perkenalkan, ini adalah puteri kami yang bernama Suma Hui,” kata Kim
Hwee Li yang sudah diberi tahu oleh suaminya tentang ‘siasat’ suaminya untuk
mendekatkan kedua orang muda itu. Hwee Li menyuruh pemuda itu bangkit untuk
dapat melihat lebih jelas wajah dan perawakan pemuda yang oleh suaminya telah
dipilih untuk menjadi calon mantunya ini.
“Terima
kasih, subo,” berkata Tek Ciang sambil memandang kepada suhu-nya dengan
ragu-ragu, seolah-olah dia tidak berani bangkit sebelum menerima perintah
suhu-nya.
Melihat ini,
diam-diam Suma Kian Lee menjadi girang. Bocah ini sungguh amat taat dan
bijaksana, berhati-hati dalam sikap agar tidak menyinggung hati gurunya,
menandakan bahwa dia amat teliti dalam melakukan tindakan dan menentukan sikap!
“Bangkit dan
duduklah, Tek Ciang,” katanya halus.
Baru pemuda
itu bangkit dan menjura kepada suhu dan subonya. “Terima kasih, subo.”
Kemudian dia
baru menoleh kepada Suma Hui, akan tetapi hanya sekelebatan saja dia berani
menatap wajah itu, wajah yang membuat jantungnya berdebar kencang walau pun
baru melihat sekelebatan saja, kemudian dia pun cepat menjura kepada dara itu.
“Suma-siocia
(nona Suma), saya Louw Tek Ciang yang bodoh menghaturkan hormat kepada siocia.”
Sepasang
alis Kim Hwee Li berkerut sebentar. Pemuda ini terlalu sopan, pikirnya, begitu
amat sopan sehingga berkelebihan dan cenderung kepada sikap bermuka-muka dan
menjilat. Tentu saja dia segera menekan perasaannya karena dugaan itu pun masih
membuat dia ragu.
Sebaliknya,
Suma Hui merasa canggung juga diperlakukan dengan sikap yang demikian merendah
dan menghormatnya. Ia cepat membalas penghormatan itu.
“Terima
kasih, Louw-kongcu (tuan muda Louw),” katanya.
“Hemm, buang
saja cara panggilan yang sungkan-sungkan itu!” Suma Kian Lee berkata sambil
tersenyum. “Hui-ji, dia adalah murid ayahmu dan biar pun dia murid baru, akan
tetapi dia lebih tua darimu dan juga engkau puteriku, bukan muridku. Maka, biar
pun sebagai murid tingkatmu lebih tinggi, namun sepatutnya engkau menyebutnya
suheng. Dan engkau Tek Ciang, engkau harus menyebut sumoi kepada Hui-ji.”
Kembali Louw
Tek Ciang menjura kepada Suma Hui dan tetap saja dia tidak berani mengangkat
muka memandang langsung, dan suaranya halus sopan merendah ketika dia berkata,
“Maafkan saya, sumoi (adik perempuan seperguruan), saya hanya mentaati perintah
suhu, walau pun sesungguhnya saya tidak berani lancang.”
Bagaimana
pun juga, sikap pemuda ini menyenangkan hati Suma Hui. Pemuda ini jelas tidak
kurang ajar, dan matanya juga tidak jelalatan ketika memandang kepadanya, tidak
seperti mata laki-laki lain yang kalau memandang kepadanya seperti mata seekor
singa kelaparan. Maka ia pun menjura dan berkata manis, “Tidak mengapa
Louw-suheng, kurasa ayah benar sekali dan panggilan ini terasa lebih mudah, bukan?”
“Tek Ciang,
dalam beberapa hari ini aku dan subo-mu akan pergi merantau untuk beberapa
lamanya. Karena itu, sebelum aku pergi, aku akan menurunkan beberapa latihan
dasar untuk mempelajari sinkang dan semedhi. Harus kau perhatikan baik-baik
karena dasar latihan sinkang ini adalah pokok dari pada ilmu-ilmu yang akan
kuturunkan kepadamu. Kalau latihan dasar keliru, maka kelak dalam mempelajari
ilmu-ilmu dariku engkau pun tak akan dapat menguasainya dengan sempurna. Karena
itu, engkau harus selalu tekun berlatih dan teliti, jangan sampai keliru. Di
sini ada sumoi-mu yang akan dapat memberi petunjuk sewaktu-waktu kalau engkau
merasa ragu-ragu.”
“Baik, suhu.
Sumoi, saya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari sumoi, dan untuk itu sebelumnya
saya menghaturkan banyak terima kasih kepadamu.”
“Aku
bersedia membantumu, suheng. Harap jangan sungkan bertanya,” jawab Suma Hui
yang mulai merasa suka kepada pemuda yang sopan dan halus budi ini.
Hanya Kim
Hwee Li yang sejak tadi tidak berkata apa-apa, karena nyonya ini masih merasa
tidak puas melihat sikap pemuda itu yang dianggapnya tidak wajar dan terlalu
sopan, seperti dibuat-buat. Ia hanya mengharapkan bahwa sikap itu adalah sikap
yang sewajarnya dan bahwa pemuda itu memang seorang yang sopan dan halus budi,
bukannya dibuat-buat karena di baliknya terkandung suatu pamrih tertentu.
“Sekarang
pergilah ke kamarmu dan simpan pakaianmu, lalu kita pergi ke lian-bu-thia
(ruangan berlatih silat) untuk mulai dengan teori-teori dasar latihan sinkang,”
kata pula Suma Kian Lee. “Hui-ji, suruh pelayan datang mengantar suheng-mu ke
kamarnya yang sudah disediakan untuknya itu.”
“Baik,
ayah.” Melihat sikap ayahnya yang gembira, hati Suma Hui juga menjadi gembira.
Ayahnya tidak kelihatan marah, padahal ibunya tentu sudah menyampaikan kepada
ayahnya itu perihal urusannya dengan Cin Liong dan ini berarti bahwa ayahnya
itu tidak menjadi marah atau menentang. Hal itu pun mendatangkan kegembiraan
dalam hati Suma Hui dan ia melakukan perintah ayahnya dengan hati senang pula.
Demikianlah,
dalam beberapa hari itu Suma Kian Lee memberi dasar latihan sinkang dengan
sungguh-sungguh kepada Tek Ciang. Biar pun pemuda ini pernah mempelajari
semedhi dan latihan sinkang dari ayahnya, akan tetapi dasar latihan yang
diberikan oleh suhu-nya itu amat berbeda, juga amat sukar sehingga dia harus
bersungguh-sungguh kalau dia ingin mengerti benar-benar.
Memang
pemuda ini cerdik dan berbakat sekali sehingga walau pun latihan itu tidak
mudah dan membutuhkan perhatian dan pengerahan semua kemauan dan kejujuran
hati, akhirnya dia dapat juga mengerti. Selagi ayahnya memberi petunjuk, Suma
Hui juga hadir dan gadis ini diam-diam harus memuji ketekunan murid ayahnya ini
dan ia pun yakin bahwa seorang murid seperti Tek Ciang ini pasti kelak akan
menjadi seorang ahli silat keluarga Pulau Es yang baik dan belum tentu akan
kalah tinggi tingkatannya dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hemm...
Seminggu
kemudian, suami isteri itu berangkat meninggalkan rumah mereka, memulai dengan
perjalanan mereka yang tanpa tujuan tempat tertentu, seperti orang meraba-raba
di dalam kegelapan. Bagaimana pun juga, sungguh amat sukar mencari seorang anak
yang hilang di tengah lautan yang demikian luasnya. Setelah memberi pesanan
banyak nasehat kepada puterinya dan muridnya, Suma Kian Lee dan isterinya pun
berangkatlah dengan menunggang dua ekor kuda.
Louw-kauwsu
sering kali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin
sekali agar puteranya jangan sampai ‘gagal’ menjadi mantu pendekar sakti Suma
Kian Lee, maka berlawanan dengan kekerasaan hatinya sendiri dia pun diam-diam
membisikkan urusan pertalian jodoh itu kepada puteranya!
“Tek Ciang,
engkau harus pandai-pandai membawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja telah
diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah
diangkat menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini
masih belum diresmikan, maka engkau pun pura-pura tak tahu sajalah. Aku
menceritakan padamu agar engkau pandai-pandai membawa diri.” Demikianlah
bisikannya dan mendengar ini tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.
Dan pemuda
ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang kurang
hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui
sehingga tiada alasan sedikit pun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka
kepada suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi
petunjuk-petunjuk kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar
sinkang itu dengan baik.
***************
“Hyaaaaatttt,
ahh…! Hyaaaaatttt, ahh…!”
Lengkingan
ini terdengar berkali-kali, menggema di sekeliling tempat yang amat sunyi itu,
dari bagian belakang sebuah pondok yang berdiri terpencil di bukit rimbun itu.
Itulah bukit Pegunungan Ci-lian-san yang terdapat di perbatasan Sin-kiang
dengan Cing-hai.
Sebuah
pondok kayu yang nampak masih baru di antara puing-puing banyak bangunan yang
pernah kebakaran. Dan pondok ini memang baru saja dibangun oleh Hek-i Mo-ong
yang dibantu oleh muridnya yang baru, yaitu Suma Ceng Liong!
Puing-puing
itu adalah bekas sarang Hek-i-mo-pang, yaitu Perkumpulan Iblis Baju Hitam yang
pernah dipimpinnya akan tetapi yang dihancurkan oleh tiga orang pendekar pada
waktu itu, ialah Bu Ci Sian, Kam Hong, dan Sim Hong Bu, bahkan kemudian bekas
sarang itu dibakar oleh rakyat yang tinggal di bawah gunung.
Karena
tempat itu sunyi dan indah, Hek-i Mo-ong mengajak muridnya tinggal di situ,
membangun sebuah pondok kayu yang cukup kuat biar pun sederhana dan mulailah
dia melatih ilmu-ilmu yang dahsyat kepada muridnya yang baru berusia sepuluh
tahun lebih itu.
Lengkingan
nyaring berulang-ulang yang terdengar dari belakang pondok itu adalah lengking
suara Ceng Liong! Dan kalau ada orang yang berani melongok ke dalam tanah
daratan di belakang pondok itu, tentu dia akan bergidik. Akan tetapi siapa yang
berani mengunjungi tempat itu?
Sebelum
Hek-i Mo-ong pulang ke situ pun tiada orang yang berani mendekat. Rakyat yang
membakar sarang itu hanya melampiaskan dendam mereka terhadap gerombolan yang
sudah banyak mengganggu mereka itu. Akan tetapi setelah membakar, mereka pun
cepat-cepat pergi, tak berani berlama-lama di situ apalagi saat mereka
mendengar berita bahwa Hek-i Mo-ong sendiri tidak nampak mayatnya di antara
anak buahnya, berarti bahwa iblis itu masih belum mati. Maka yang tinggal di tempat
mengerikan itu hanyalah puing bersama tulang-tulang dan tengkorak anak buah
Hek-i-mo-pang yang berserakan di tempat yang kini menjadi tanah datar, di
belakang pondok batu itu.
Apakah yang
sedang dilakukan oleh guru dan murid di belakang pondok itu? Mereka sedang
berlatih dengan cara yang aneh dan mengerikan. Hek-i Mo-ong sendiri nampak
sedang bersemedhi dengan cara yang aneh, yaitu dengan jungkir balik. Semedhi
jungkir balik ini memang tidak mengherankan dan sudah banyak dilakukan orang,
yaitu dengan kepala di atas tanah, kedua kaki lurus ke atas, kedua tangan
menopang kepala.
Semedhi
seperti ini amat baik untuk melancarkan jalan darah, untuk memperbanyak dan
memperlancar jalannya darah ke dalam kepala untuk memulihkan kembali ketidak
seimbangan antara hawa Im dan Yang di dalam tubuh. Akan tetapi, apa yang
dilakukan oleh Hek-i Mo-ong itu lain dari pada yang lain.
Kepalanya
memang di bawah dan kedua kakinya tegak lurus ke atas, tetapi kepalanya tidak
berada di atas tanah, melainkan di atas sebuah tengkorak! Dan kedua lengannya
bersedakap di depan dadanya, dan dia pun tidak berjungkir balik dengan diam
saja, melainkan tubuhnya yang berjungkir balik itu berloncatan! Kepalanya itu
meloncat dan hinggap di atas sebuah tengkorak lainnya dan demikian seterusnya,
berpindahan dari tengkorak yang satu ke tengkorak yang lain.
Semuanya
terdapat sembilan buah tengkorak yang diletakkan di atas tanah dengan membentuk
garis bintang Sim-seng (Bintang Hati) yang terdiri dari tiga titik dengan tiga
buah tengkorak dan bintang Jui-seng (Bintang Mulut) yang terdiri dari enam buah
tengkorak. Dia berpindah-pindah dengan berloncatan seperti itu, dan terdengar
suara dak-duk-dak-duk saat kepalanya bertemu dengan sebuah tengkorak
berikutnya, seperti seorang anak kecil bermain loncat-loncatan.
Tak jauh
dari situ, Ceng Liong juga berlatih dengan ilmu pukulan yang diajarkan gurunya.
Setiap kali berteriak “hyaaaaaatt!” dia berlari menyerbu ke arah sepotong
tulang, baik itu tulang kaki atau tengkorak atau tulang-tulang lainnya, dan
begitu tiba dia berteriak “ahh!” dan tangannya dengan jari-jari terbuka, agak
melengkung seperti cakar, mencengkeram ke arah tulang-tulang itu. Dan
tulang-tulang itu pun berlubang! Nampak lubang-lubang kecil bekas cengkeraman
jari-jari tangannya!
Itulah Ilmu Coan-kut-ci
(Jari Penusuk Tulang) yang sangat keji karena selain jari-jari tangan itu
dilatih untuk dapat menembus tulang, juga serangan jari itu membawa hawa
beracun yang lama-lama terkumpul dari hawa dalam tengkorak-tengkorak dan
tulang-tulang mayat itu ketika berlatih! Meski masih kecil, Ceng Liong adalah
putera Pendekar Siluman Kecil dan cucu Pendekar Super Sakti, sejak kecil sudah
digembleng dengan hebat dan lebih dari itu, dia telah menerima warisan sumber
tenaga sakti dari mendiang kakeknya. Oleh karena itu, kini mudah saja bagi
Hek-i Mo-ong untuk menggerakkan sumber tenaga sakti itu dan mempergunakannya
untuk mempelajari ilmu-ilmu sesat darinya. Tentu saja Ceng Liong belum tahu apa
artinya ilmu bersih dan ilmu kotor, hanya merasa suka kalau diberi pelajaran
ilmu-ilmu baru yang aneh dan dahsyat.
Agaknya
kakek iblis itu telah merasa cukup berlatih dengan loncatan-loncatan itu, maka
tiba-tiba tubuhnya meloncat agak tinggi dan membuat poksai (salto), terus turun
dan kini dia berdiri dengan biasa sambil tersenyum memandang kepada muridnya
yang berlatih itu. Kakek itu nampak mengerikan sekali. Tubuhnya yang tinggi
besar seperti raksasa itu nampak kuat dan kokoh. Pakaian sampai ke sepatunya
serba hitam hingga rambutnya yang putih nampak menyolok.
“Cukup, Ceng
Liong. Sekarang engkau harus membantuku melakukan latihan yang amat penting.”
Berkata demikian, kakek ini lalu mengumpulkan tengkorak-tengkorak di tempat itu
dan mulai menumpuki tengkorak-tengkorak itu dengan cara-cara tertentu, bersusun
teratur dengan tengkorak-tengkorak itu seperti saling mengisap tengkuk
tengkorak di atasnya dan semua terlentang. Paling bawah diatur sepuluh buah,
lalu di atasnya sembilan buah, terus delapan buah, dan seterusnya setiap
tingkat berkurang satu sampai paling atas hanya sebuah tengkorak saja.
“Latihan
bagaimana, Mo-ong ?” Ceng Liong bertanya.
Memang anak
ini tidak menyebut suhu kepada gurunya, melainkan menyebut Mo-ong (Raja Iblis)
begitu saja karena dia memang sudah berjanji bahwa dia mau menjadi murid akan
tetapi tidak mau menyebut suhu dan tidak mau mempelajari kejahatan. Dan bagi
seorang datuk kaum sesat yang berwatak aneh seperti Hek-i Mo-ong, sebutan
Mo-ong sebaliknya dari pada suhu ini justru menggembirakan hatinya. Makin aneh
keadaannya, makin sukalah datuk ini, dan dia akan berbangga kalau orang-orang
lain mendengar bahwa muridnya menyebutnya Mo-ong begitu saja, tanda keanehan
mereka yang lain dari pada orang lain!
“Aku hendak
berlatih Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun) bagian yang paling akhir. Selama
aku berlatih, keadaan diriku kosong dan sama sekali tidak berdaya andai kata
ada musuh datang menyerang. Dengan pukulan sederhana saja aku bisa mati! Oleh
karena itu, engkau harus berjaga-jaga dan engkau lindungi aku selama aku
berlatih. Ingat, selama hawa api itu masih di luar badan dan belum kutarik
kembali, berarti aku masih tak berdaya dan engkau harus melindungiku dari
serangan lain dari luar.”
“Tapi,
siapakah yang akan berani menyerangmu, Mo-ong?”
“Memang
tidak ada, akan tetapi siapa tahu? Di dunia ini lebih banyak musuh dari pada
sahabat. Dan siapa tahu malapetaka datang selagi aku berlatih. Kau jagalah
baik-baik dan hentikan latihanmu.”
“Baik,
Mo-ong. Aku akan menjagamu,” anak itu berjanji.
Ia lalu
berdiri di bawah pohon tak jauh dari timbunan tengkorak itu, memandang dengan
hati tertarik sekali karena dia tahu bahwa gurunya itu memang amat lihai dan
memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh.
“Nah, kau
siaplah!” kata Hek-i Mo-ong.
Dia sendiri
lalu mengatur pakaiannya, menggulung lengan bajunya, mempererat ikat pinggang,
membetulkan ikatan pita rambutnya, lalu dia berdiri tegak dan mengambil napas
dalam-dalam sampai beberapa lamanya. Kemudian, tiba-tiba saja tubuhnya itu
meloncat ke atas tumpukan tengkorak, berjungkir balik dan kepalanya hinggap di
atas tengkorak yang berada di tumpukan paling atas. Oleh karena tengkorak ini,
seperti tengkorak-tengkorak yang lain, menghadap ke atas, maka mulut tengkorak
itu seperti mengecup tengkuknya.
Setelah
tubuhnya yang berjungkir balik itu tegak lurus dan sedikit pun kakinya tidak
bergoyang, kedua lengannya lalu bersedakap seperti tadi. Terdengar dia bernapas
dalam dan keras, makin lama suara napasnya semakin keras mendesis-desis dan tak
lama kemudian, Ceng Liong melihat betapa ada uap putih perlahan-lahan keluar
dari mulut kakek itu yang terbuka!
Dan dia yang
berdiri di sebelah kiri gurunya dalam jarak hampir tiga meter sudah mulai
merasakan adanya hawa panas! Uap putih itu ternyata tidak melayang pergi,
melainkan berkumpul di depan mulut, perlahan-lahan melayang maju dan makin
memanjang, ada kalanya tertarik kembali mendekati mulut.
Ceng Liong
memandang dengan penuh perhatian. Biar pun dia masih kecil, namun sudah banyak
melihat ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan dia pun telah mempelajari teori-teori
ilmu yang tinggi dari Pulau Es. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu keluarganya juga amat
tinggi dan di antara ilmu-ilmu itu terdapat pula penggunaan hawa sinkang yang
panas, yaitu Hwi-yang Sinkang yang dapat membakar dan mencairkan es. Akan
tetapi, hawa tenaga sakti itu hanya dipergunakan melalui gerakan pukulan. Dan
Raja Iblis ini menggunakan hawa sakti itu melalui pernapasannya, dikeluarkan
dari dalam tubuh berupa uap panas yang langsung dipergunakan untuk menyerang
musuh!
Kini, uap
putih yang tebal itu makin lama semakin tebal dan semakin panjang, sampai
melayang lebih dari satu meter dari mulut, akan tetapi tidak pernah terlepas
dari mulut yang terbuka itu. Kalau uap itu sampai dapat mencapai dua meter
lebih, baru akan menjadi senjata yang amat berbahaya bagi lawan.
Dan agaknya,
dalam latihan ini, Hek-i Mo-ong mengerahkan banyak tenaga. Tubuhnya mandi peluh
dan napasnya mulai terengah. Padahal, uap itu baru melayang sejauh satu
setengah meter. Terpaksa dia menghentikan dorongan dari dalam itu dan uap itu
kini berhenti dan tidak bergerak, nampak aneh karena seperti benda keras saja.
Pada saat
itu, tiba-tiba telinga Ceng Liong mendengar gerakan ringan dari belakangnya dan
munculah seorang kakek berpakaian seperti tosu dengan rambut digelung ke atas.
Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan mukanya merah sekali. Usianya ada
enam puluhan tahun. Selain tosu ini, Ceng Liong masih melihat berkelebatnya
banyak bayangan orang di sekitar tempat itu. Tentu saja dia bersikap waspada
dan siap sedia melindungi gurunya.
Mula-mula
tosu itu nampak kaget dan heran, akan tetapi setelah dia mengenal muka Hek-i
Mo-ong, matanya segera mendelik, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan dan
tiba-tiba saja dia mengirim serangan, pukulan yang dahsyat dilayangkannya ke
arah punggung Raja Iblis itu!
“Desss....!”
Tubuh tosu
itu terhuyung ke belakang dan dia memandang terbelalak kepada anak berusia
sepuluh tahun yang tiba-tiba menangkis pukulannya tadi dan membuatnya
terhuyung! Hampir saja dia tidak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri.
Dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat, dan ketika anak kecil tadi
menangkis, dia merasa adanya hawa sakti yang amat kuat menolaknya. Dia
terhuyung dan anak itu hanya mundur dua langkah, tanda bahwa dia kalah kuat!
Tentu saja
dia menjadi penasaran dan marah, dan menduga bahwa tentu anak ini murid Hek-i
Mo-ong. Tidak terlalu mengherankan kalau Raja Iblis itu memiliki murid kecil
yang sudah begini lihai, dan sebelum membunuh iblis itu dia harus lebih dulu
menyingkirkan anak ini. Akan tetapi, bagaimana pun juga, di depan banyak orang
dia masih merasa malu untuk mempergunakan pedangnya. Maka tanpa banyak cakap,
dia lalu menerjang maju dan menyerang Ceng Liong.
Ceng Liong
mengelak, menangkis dan membalas. Dia mainkan Iimu Silat Sin-coa-kun yang pada
waktu itu merupakan satu-satunya ilmu silat dari keluarganya yang sudah agak
matang dilatihnya. Maka, untuk berkali-kali, tosu itu merasa terheran-heran
karena serangannya luput dan tertangkis, bahkan anak itu dapat mengirim
serangan balasan yang cukup cepat.
Bagaimana
pun juga, Ceng Liong hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Gerakannya
belum mantap, lengannya masih terlalu pendek dan biar pun dia sudah mewarisi
tenaga sakti kakeknya, namun dia belum menguasainya benar-benar sehingga belum dapat
mempergunakan sumber tenaga itu dengan baik. Maka, belasan jurus kemudian, dia
mulai dihajar tunggang-langgang oleh tamparan, pukulan dan tendangan tosu itu.
“Plakkk!”
Keras sekali
pukulan sekali ini yang mengenai dada Ceng Liong, membuat tubuhnya terjengkang
dan terbanting keras. Akan tetapi, bulu tengkuk tosu itu meremang ketika dia
melihat anak itu meloncat bangun kembali. Padahal pukulannya tadi amat keras
dan akan dapat mencabut nyawa seorang lawan yang cukup tangguh! Akan tetapi,
Ceng Liong merasa agak pening dan tahulah anak ini bahwa keadaan gurunya
terancam bahaya. Kalau orang-orang lain yang kini sudah berdiri mengepung
tempat itu turun tangan, tak mungkin dia dapat melindungi gurunya.
“Mo-ong,
sadarlah, bantulah! Sadarlah kalau engkau tidak ingin mati!” Ceng Liong mulai
berteriak-teriak menyadarkan gurunya.
Teriakannya
itu tentu saja membuat si tosu dan orang-orang lain merasa terheran-heran. Tosu
itu pun meragu mendengar seruan anak itu. Tidak mungkin murid si raja iblis
kalau menyebut kakek itu Mo-ong begitu saja. Bagaimana pun juga, dia khawatir
kalau-kalau Raja Iblis itu sadar dan tentu tidak akan mudah menyerangnya. Maka
dengan gemas tosu ini pun melakukan serangan dahsyat sekali.
“Bresss....!”
Tubuh Ceng
Liong kini terlempar sampai empat meter lebih terkena tendangan kilat tosu itu.
Tubuhnya terbanting keras dan sebelum anak itu sempat bangkit, tosu tadi telah
tiba di depannya dan dengan ganas tosu itu mengirim pukulan ke arah kepala Ceng
Liong!
Anak itu
maklum akan datangnya bahaya maut, maka dia pun teringat akan ilmu yang baru
saja dilatihnya, yaitu Coan-kut-ci. Maka dia mengangkat tangan kanan menyambut
pukulan itu dengan cengkeraman tangannya.
“Crottt....!
Aughhh....!”
Tosu itu
terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari tangan Ceng Liong tidak
sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan dagingnya
terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan dia pun mencabut
pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak
menyambar ke arah kepalanya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin
menyambar kuat.
“Trakkk....!”
Tosu itu
mengggerakkan pedangnya menangkis. Dia berhasil menangkap tengkorak itu yang
runtuh ke atas tanah, akan tetapi dia sendiri pun hampir saja terjengkang
saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya. Dia
pun terkejut dan memandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah
berdiri di atas tumpukan tengkorak dengan kaki di bawah dan tadi dia mengunakan
kakinya untuk menendang sebuah tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.
Akan tetapi,
Hek-i Mo-ong tidak memperhatikan tosu itu, melainkan memandang kepada beberapa
orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Pada saat itu,
Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan
tengkorak.
“Huh,
bukankah Thong-ciangkun yang datang ini? Dan juga bersama Thai Hong Lama dari
Tibet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang
belum kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan
mendatangi aku secara begini, ada keperluan apakah?” Hek-i Mo-ong menatap wajah
mereka satu demi satu dan diam-diam dia pun terkejut karena banyak di antara
mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Mau apa
begini banyak orang sakti yang ia tahu adalah dari golongan sesat berkumpul?
Kalau mereka ini terdiri dari para pendekar, tentu dia akan merasa khawatir
karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Tapi mereka jelas datang dari
golongan hitam bercampur dengan orang-orang yang sedang menduduki jabatan
penting seperti Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.
“Hek-i
Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk
mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk
seorang di antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali.
Maka dengan resmi aku atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar
ikut bersama kami ke gedung gubernur.”
“Hemm, mana
bisa begitu? Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tidak mungkin
aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang
mengundang itu gubernur sekali pun!”
Thong-ciangkun,
perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di wilayah
barat ini adalah seorang perwira yang usianya sudah enam puluh tahun dan sudah
lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis
ini memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pembesar, bahkan ada
hubungan baik antara dia dan Gubernur Yong, maka sekarang perwira itu maklum
bahwa menghadapi seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati.
Sambil tersenyum dia lalu berkata.
“Hek-i
Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan
dari Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin.
Maka engkau diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak
dapat memperoleh kemuliaan bersama.”
Diam-diam
Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya
untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak
mempunyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu
Pulau Es saja, biar pun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai,
dia telah kehilangan kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang
lagi entah lari ke mana!
Kini terbukalah
kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja. Akan
tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat
menjadi yang nomor satu atau setidaknya, menjadi pembantu gubernur yang paling
berpengaruh dan lihai. Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaiannya di
depan semua orang ini. Dia tersenyum kepada Thong-ciangkun.
“Baik, aku
akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku
akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau
pergi.”
Dia
menudingkan telunjuknya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi
dengan Ceng Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang
matanya berapi-api penuh kebencian.
Thong-ciangkun
memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah Yang I Cinjin,
seorang tosu perantau pertapa di daerah Pegunungan Himalaya, bukan dari
golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak
memperoleh kedudukan tinggi yang mulia. Oleh karena kepandaiannya tinggi maka
Gubernur Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di
samping pengetahuannya yang luas menguasai daerah Himalaya dari sekitar Tibet.
“Sungguh
kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i
Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?”
“Iblis ini
pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi
selirnya. Maka, apa pun akibatnya, hari ini pinto harus menebus hutang itu!”
kata Yang I Cinjin.
Mendengar
keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan
melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agaknya telah terlampau mendalam
sehingga satu-satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa!
Maka dia pun
melangkah mundur dan berkata, “Kami mempunyai urusan penting, tidak akan
mencampuri segala urusan pribadi.”
Mendengar
ucapan ini, para tokoh lain juga melangkah mundur dan hanya menonton dari jauh.
Bagaimana pun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka
berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang
lebih berharga bagi persekutuan mereka.
Hek-i Mo-ong
menghampiri tosu yang mukanya pucat itu. “Ha-ha-ha, kiranya engkau adalah sute
dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya
menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama
dan membalas, majulah!”
Yang I
Cinjin mencabut pedangnya dan nampak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa
pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i
Mo-ong tertawa mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga ikut melangkah
mundur dan menonton dengan jantung berdebar tegang dan gembira melihat gurunya
akan bertanding dengan tosu yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
“Heh, Ceng
Liong, Coan-kut-ci yang kau mainkan tadi sudah baik, akan tetapi kurang kuat.
Kau lihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu
bau ini!”
“Iblis
busuk, lihat pedang!” Tiba-tiba tosu itu membentak.
Pedangnya
diputar sedemikian cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi
sinar bergulung-gulung. Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah
seorang ahli pedang yang kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang
adalah karena sebagai seorang ahli pedang dia enggan menghadapi seorang bocah
berusia sepuluh tahun dengan senjata yang ampuh itu. Akan tetapi sekali ini,
ahli pedang itu berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk kaum sesat yang
memiliki kepandaian amat tinggi.
Sebelum
menghadapi pedang lawan, Hek-i Mo-ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini
dengan kedua lengan telanjang dia menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong
menangkis, mengelak dan mempermainkan. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok pada
saat kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali menangkis dan pedang
bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya tergetar
hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil
mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.
Setelah
membiarkan lawan menghunjamkan serangan sampai tiga puluh jurus tanpa
dibalasnya, seakan memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa
serangan-serangan itu sama sekali tiada artinya baginya, dan menyatakan pula
bahwa dia sudah banyak memberi ‘hati’ dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk
mendemonstrasikan keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba saja kakek itu
berseru, “Ceng Liong, lihatlah Coan-kut-ci ini!”
Maka
mulailah kakek ini mengerahkan tenaga dan kedua tangannya membentuk cakar,
persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.
“Haaaiiiiittt....
ahh....!”
Tangan
kirinya bergerak dan mencengkeram ke depan, ke arah pedang yang menusuk
lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang membentuk
cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya bergoyang dengan kuat,
tangannya mencengkeram dibarengi bentakan “ahh!” tadi.
“Krekkk!”
Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!
“Haaaiiiiittt....
ahh....!”
Tangan
kanannya menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu yang terkejut
setengah mati melihat betapa pedang pusakanya dicengkeram patah itu, tangan
kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang
pedang.
“Krakkk....!”
Tosu itu
mengeluh. Ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya terkulai karena
tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulitnya saja yang
menahan sehingga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas
tanah.
Kini tubuh
Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking.
“Haaaiiiiittt....
ahh....!”
Dan
cengkeraman tangan kirinya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan
hebatnya cengkeraman tangan yang mengandung hawa mukjijat Coan-kut-ci itu,
cepat mengelak ke samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata
cengkeraman itu hanya merupakan pancingan karena sekarang cengkeraman tangan
kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.
“Haaaiiiiittt....
ahh....!”
Dan
cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat dielakkan lagi.
“Crotttt....!”
Lima
jari-jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu
membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong
mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh
terguling ke atas tanah. Terdapat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur
darah bercampur otak dan tosu itu tewas seketika.
Semua yang
menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu karena
mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan
pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu cengkeraman maut yang
mengerikan itu.
Mereka yang
mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih merasa kagum
bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepandaian yang amat
tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan
beberapa orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong
tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Ha-ha-ha,
bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi semakin
lihai saja!”
“Omitohud!”
kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada seperti
orang bersujud. “Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!”
Hek-i Mo-ong
tertawa. “Hahh, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian
mentertawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin
Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong
atau ilmu pukulan Cui-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai
Hong Lama?”
“Heh-heh,
itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!” kata Pek-bin Tok-ong
sambil terkekeh.
“Omitohud,
mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!” kata pula Thai Hong Lama
dan ucapan itu pun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.
Thong-ciangkun
lalu melangkah maju dan menjura. “Hek-i Mo-ong, setelah urusan pribadi selesai,
kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemuan.
Bagaimana, dapatkah undangan kami ini diterima?”
Hek-i Mo-ong
mengangguk-angguk. “Baik, akan tetapi aku harus datang berdua dengan muridku
ini. Bukankah begitu, Ceng Liong muridku?”
Ceng Liong
mengangguk. Ia merasa bangga akan kemampuan gurunya yang demikian mudah
mengalahkan tosu tadi dan dia merasa kagum akan kelihaian gurunya. “Memang
harus begitu, Mo-ong. Aku tidak sudi ditinggal di sini sendirian saja!” Tentu
saja semua orang merasa heran sekali mendengar ucapan bocah itu terhadap
gurunya, demikian kasar tanpa hormat, bahkan menyebut gurunya Mo-ong begitu
saja.
“Kalau
begitu, marilah kita berangkat!” kata pula Thong–ciangkun.
Hek-i Mo-ong
mengangguk dan menyuruh Ceng Liong berkemas membawa pakaian. Pada saat itu
terdengar teriakan dan tangis orang. Kiranya seorang pemuda tanggung yang
usianya tidak akan lebih dari tiga belas tahun telah berlutut dan menangisi
mayat Yang I Cinjin, kemudian memondong mayat itu dan pergi dari situ. Sebelum
pergi dia menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.
Peristiwa
ini mengejutkan semua orang dan seorang di antara mereka yang berada di situ
berkata, “Itu adalah muridnya....”
Mendengar
ini, Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Hei, anak tikus, lihat dan ingat baik-baik
muka Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong muridku ini. Aku tak akan membunuhmu, memberi
waktu dan kesempatan kepadamu untuk kelak dapat datang mencari aku atau muridku
ini, ha-ha-ha!”
Di dalam
hatinya, Ceng Liong sungguh tidak setuju dengan sikap gurunya itu, akan tetapi
karena ucapan itu sudah terlanjur dikeluarkan, dia pun hanya memandang kepada
anak itu dengan penuh perhatian agar dia tidak akan mudah melupakannya kelak.
Dia melihat sebuah tahi lalat hitam di ujung bawah telinga kiri anak itu dan
ini menjadi tanda yang takkan pernah dilupakan oleh ingatan Ceng Liong yang
tajam. Setelah menatap wajah Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, anak itu sambil
menangis melanjutkan perjalanan memondong jenazah gurunya dan pergi dari tempat
itu.
Bagaimana
pun juga, peristiwa ini membuat Thong-ciangkun merasa tidak enak dan dia pun
cepat merubah suasana dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang lain kepada Hek-i
Mo-ong.
“Karena akan
menjadi rekan seperjuangan, maka kami ingin memperkenalkan sahabat-sahabat ini
kepadamu, Mo-ong. Ini adalah saudara Siwananda, dialah wakil koksu (guru
negara) Kerajaan Nepal yang baru dan yang telah memperoleh kekuasaan mutlak
dari Raja Nepal untuk menghadap Yong-taijin.”
“Hemm, Koksu
Nepal? Aku pernah mengenal Sam-ok Bun Hwa Sengjin....,” kata Hek-i Mo-ong.
“Saudara
Lakshapadma? Dia memang pernah menjadi Koksu Nepal, akan tetapi karena
mengalami kegagalan tidak berani pulang ke Nepal. Kami pernah mendengar bahwa
dia bekerja sama denganmu sampai menemui kematiannya di tangan Jenderal Muda
Kao Cin Liong.”
Hek-i Mo-ong
mengangguk-angguk. Kiranya orang-orang Nepal ini telah mendengar segalanya dan
dia percaya bahwa tentu orang ini pun lihai seperti juga Sam-ok Ban Hwa Sengjin
dahulu. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas dan Naga Siluman’, Sam-ok
Ban Hwa Sengjin adalah orang ke tiga dari Ngo-ok (Lima Jahat) dan pernah
menjadi Koksu Nepal. Akhirnya, ketika Sam-ok bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan
bentrok dengan para pendekar muda, Sam-ok tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin
Liong.
“Dan saudara
ini adalah kepala Suku Tailu-cin dari Mongol. Dia mewakili sukunya untuk
berunding dengan Gubernur Yong.”
Hek-i Mo-ong
dan orang Mongol bertubuh raksasa itu saling memberi hormat. Kemudian mereka
berangkat menuju ke kota Li-tan yang letaknya di dekat perbatasan antara Tibet,
Ching-hai dan Propinsi Uighur yang lalu menjadi daerah yang disebut Sin-kiang
(Daerah Baru). Pasukan pengawal Thong-ciangkun mengiringkan mereka sehingga
mereka itu dianggap sebagai tamu-tamu pemerintah dan tidak menimbulkan
kecurigaan pada rakyat.
Di dalam
sebuah gedung di kota Li-tan ini telah menanti Gubernur Yong. Pembesar ini
bernama Yong Ki Pok, peranakan Ulghur yang memperoleh kedudukannya melalui
ketentaraan. Karena Kaisar Kian Liong paling benci akan kecurangan para
pembesar, maka pembersihan diadakan sampai ke daerah ini, dan Gubernur Yong
merasa sangat tersinggung ketika menerima teguran dari para pejabat pemeriksa.
Maka,
diam-diam gubernur ini lalu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak lain yang
menentang kekuasaan kaisar. Apalagi ketika dia mendengar pergerakan pasukan
Nepal yang melakukan penyerbuan ke Tibet, dianggapnya itulah kesempatan baik
untuk bersekutu dengan pasukan asing agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Maka
dia lalu mengutus Thong–ciangkun, orang kepercayaannya untuk menghubungi
pihak-pihak itu dan pada hari ini diadakan pertemuan antara wakil-wakil semua
pihak dan dengan Gubernur Yong sendiri.
Mereka sudah
berkumpul di dalam ruangan itu, sebuah ruangan besar yang cukup mewah. Meja
besar diatur memanjang sehingga semua orang dapat duduk di sekelilingnya. Agak
lucu melihat Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu, duduk pula semeja
dengan gubernur dan tokoh-tokoh kaum persilatan yang berilmu tinggi itu. Lucu
dan janggal.
Akan tetapi
ini merupakan syarat kehadiran Hek-i Mo-ong, yang tidak mau berpisah dari
muridnya. Tak ada seorang pun di antara mereka itu pernah menduga seujung
rambut pun bahwa bocah itu adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es! Entah apa yang akan menjadi reaksinya kalau hal ini mereka ketahui.
Hek-i Mo-ong sendiri duduk dengan tenang sambil memandang dan memperhatikan
orang-orang yang duduk semeja dengannya itu.
Dengan sinar
matanya yang tajam, Hek-i Mo-ong memperhatikan tokoh-tokoh yang hadir dan sinar
matanya seperti menilai dan mengukur kelihaian mereka itu. Yang hadir di tempat
itu memang merupakan tokoh-tokoh yang amat lihai.
Panglima
Thong Su adalah tangan kanan Gubernur Yong dan panglima yang usianya sudah enam
puluh tahun ini, yang tubuhnya tegap dan terlatih, adalah seorang ahli perang
yang amat berpengalaman. Biar pun ilmu silat atau kekuatan pribadinya tidaklah
demikian hebat, namun dalam gerakan perang, orang seperti dia amat diperlukan
untuk memimpin pasukan dan mengatur siasat pertempuran.
Thai Hong
Lama, pendeta dari Tibet yang kepalanya gundul dan jubahnya merah itu nampak
menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh serta kuat, sepasang
telinganya lebar sekali dan tangan kirinya memutar-mutar biji tasbeh dengan
sikap alim, seperti sepatutnya sikap seorang pendeta. Sebatang suling terselip
di pinggang, tertutup jubah. Akan tetapi, di balik sikap alim ini tersembunyi
ambisi yang amat besar.
Saat itu
Tibet adalah wilayah yang tunduk kepada pemerintah Ceng yang dikendalikan oleh
Kaisar Kian Liong. Sebagai kepala-kepala daerah, ditunjuklah beberapa orang
pembesar yang bekerja sama dengan para pendeta Lama yang berpengaruh. Dan Thai
Hong Lama tidak kebagian tempat karena pendeta ini, biar pun memiliki
kepandaian tinggi, telah dicap sebagai seorang penyeleweng ketika beberapa
tahun yang lalu dia tertangkap basah memperkosa seorang wanita di kuilnya.
Maka, diam-diam dia merasa sakit hati dan bercita-cita untuk menggulingkan
mereka yang berkuasa di Tibet dan agar dia dapat terangkat menjadi orang nomor
satu yang paling berkuasa di daerah itu.
Ilmu
silatnya tinggi dan sinkang-nya sudah demikian kuatnya sehingga dengan tenaga
khikang kalau dia meniup sulingnya, dia dapat menyerang lawan dengan suara
suling itu! Juga tasbeh yang selalu dipermainkan oleh jari-jari tangan kirinya
seperti orang bersembahyang membaca mantera setiap saat itu sesungguhnya
merupakan senjata yang ampuh.
Kemudian
Hek-i Mo-ong memperhatikan Pek-bin Tok–ong. Dia sudah tahu kelihaian orang ini.
Pek-bin Tok-ong (Raja Racun Muka Putih) adalah seorang kakek berusia enam puluh
lima tahun, seorang tokoh Pegunungan Go-bi-san yang maha luas itu. Dia
berpakaian pertapa serba putih dan longgar, rambutnya putih panjang dan
kadang-kadang dibiarkan terurai, kadang-kadang digelung ke atas secara
sembarangan saja.
Tubuhnya
kurus tinggi dan mukanya putih seperti kapur, karena muka yang putih itulah
maka dia dijuluki Raja Racun Muka Putih. Dari julukannya saja orang sudah dapat
menduga bahwa tokoh ini adalah seorang ahli yang lihai sekali dalam hal racun.
Akan tetapi, bukan dalam urusan mengenai racun saja dia lihai, juga ilmu
silatnya amat tinggi dan lebih berhahaya lagi adalah ilmu-ilmunya yang semua
dilatih dengan hawa beracun sehingga pukulannya bukan saja kuat, melainkan juga
mengandung racun mengerikan. Satu di antara ilmu-ilmunya yang amat hebat,
seperti yang disebut oleh Hek-i Mo-ong tadi, adalah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang
(Tangan Memutuskan Otot Melepaskan Tulang).
Orang lain
yang diperhatikan oleh Hek-i Mo-ong adalah Siwananda dan Tailucin. Siwananda
berusia enam puluh tahun lebih, seorang Gorkha yang berkulit kehitaman, tinggi
besar dan tubuhnya berbulu, mukanya brewok dan rambut kepalanya yang masih
hitam itu dibalut kain kuning. Wakil Koksu Nepal ini juga amat lihai dan
tenaganya dapat dilihat dari keadaan tubuhnya. Walau pun dia kurus, namun
nampak tinggi besar karena tulang-tulangnya memang besar dan kokoh kuat. Dia
bukan hanya pandai ilmu silat Nepal, akan tetapi juga ahli gulat dan pandai
pula ilmu sihir.
Biar pun
tubuh Thai Hong Lama dan Siwananda dari Nepal itu termasuk tinggi besar, tetapi
mereka itu nampak sedang-sedang saja kalau dibandingkan dengan Tailucin, tokoh
Mongol itu. Tailucin ini, yang mengaku sebagai keturunan Jenghis Khan, itu Raja
Mongol yang amat termasyhur, bertubuh raksasa. Dia pun lihai sekali dan
bertenaga gajah. Juga dia pandai berlari sangat cepat seperti larinya kuda dan
juga amat pandai menunggang kuda, bahkan pandai menjinakkan kuda-kuda liar.
Tentu saja di samping itu semua, dia ahli pula dengan ilmu silat dan gulat
Mongol.
Seperti
diketahui, Bangsa Mongol pernah menjajah daratan Tiongkok dan mendirikan
Dinasti Goan-tiauw, mengoper sebagian besar kebudayaan Tiongkok, termasuk ilmu
silatnya. Maka raksasa Mongol ini pun tidak asing dengan ilmu silat yang telah
dipelajarinya semenjak dia masih kecil. Kalau senjata dari Siwananda berupa
sebatang tongkat pikulan yang berat, maka senjata Tailucin ini lebih dahsyat
lagi, yaitu sebuah tongkat penggada yang besar dan lebih berat, terbuat dari
pada kayu dari batang semacam pohon yang dinamakan pohon besi.
Hek-i Mo-ong
sudah pernah mendengar banyak mengenai kelihaian Thai Hong Lama dari Tibet dan
Pek-bin Tok-ong dari Go-bi, akan tetapi dia belum pernah mendengar tentang
Siwananda dan Tailucin, maka dia pun hanya dapat menduga-duga saja sampai di
mana kehebatan kedua orang ini.
“Kami merasa
gembira sekali melihat betapa lo-sicu (orang tua gagah) Hek-i Mo-ong suka
memenuhi undangan kami dan dapat hadir dalam pertemuan ini. Kami harap saja
bahwa kehadiran lo-sicu ini berarti bahwa lo-sicu telah sanggup untuk membantu
kami, bukan?” Demikian antara lain Gubernur Yong berkata kepada Hek-i Mo-ong.
Hek-i Mo-ong
menatap wajah pembesar itu dengan berani dan tajam seperti hendak menjenguk isi
hatinya, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab, “Taijin, terus terang
saja tadinya saya sedikit pun juga tidak mempunyai niat atau minat untuk
mencampuri urusan pergerakan dan pemberontakan terhadap pemerintah. Resiko dan
bahayanya terlampau besar menentang pemerintah yang amat kuat. Namun, karena
saya sejak dahulu tidak suka kepada Kaisar Kian Liong dan melihat adanya
sahabat-sahabat dari Tibet, Nepal, dan Mongol yang bekerja sama, saya sanggup
membantu, akan tetapi hanya dengan satu syarat....” Hek-i Mo-ong menghentikan
kata-katanya dan menatap wajah mereka yang hadir satu demi satu, seolah-olah
hendak melihat apakah ada yang menentang atau merasa tidak setuju dengan
ucapannya itu.
Akan tetapi
semua orang hanya mendengarkan tanpa reaksi pada wajah mereka, hanya Gubernur
Yong mengerutkan alisnya karena pembesar ini diam-diam mengkhawatirkan bahwa
syarat yang diajukan oleh Raja Iblis ini akan terlampau memberatkan dirinya.
“Syarat
apakah itu? Kalau memang pantas dan dapat dilaksanakan, apa salahnya? Harap
lo-sicu suka memberitahu.” Gubernur Yong yang pandai mempergunakan tenaga
orang-orang kuat ini berkata dengan nada suara ramah.
“Taijin,
sudah menjadi watakku bahwa satu kali saya bekerja, saya akan melakukannya
dengan pencurahan seluruh tenaga dan pikiran, dan akan saya bela sampai mati.
Oleh karena itu, tanpa imbalan yang pantas, tentu saja saya segan untuk
melakukannya. Imbalan atau syarat itu adalah bahwa taijin akan mengangkat saya
menjadi penasehat utama dan kalau kelak taijin berhasil, saya diangkat menjadi
koksu.”
Semua orang
terkejut mendengar ini. Jabatan koksu adalah jabatan yang amat tinggi dalam
sebuah pemerintahan karena koksu memiliki kekuasaan yang amat besar, hanya di
bawah kekuasaan raja. Bahkan sang raja akan selalu bertindak setelah memperoleh
nasehat dan persetujuan dari koksu. Akan tetapi, Gubernur Yong tertawa gembira.
“Ahhh, tanpa
syarat itu pun kami akan merasa berterima kasih dan bergembira sekali kalau
lo-sicu suka menjadi pembantu dan penasehat utama kami. Tentu saja syarat itu
kami terima dengan segala senang hati!”
Tiba-tiba
Thong-ciangkun, panglima yang telah belasan tahun mengabdi pada gubernur itu
dan menjadi kepercayaan utama, berdehem lalu berkata dengan lembut dan sopan,
“Harap taijin dan cu-wi yang hadir suka memaafkan saya. Dan terutama sekali
harap Mo-ong suka memaafkan karena sesungguhnya saya bukan bermaksud menentang,
melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengingatkan Yong-taijin yang
menjadi atasan saya. Begini, taijin. Jabatan calon koksu adalah jabatan yang
penting sekali. Seorang koksu bukan saja harus pandai mengatur siasat dan
menasehati atasannya, akan tetapi juga harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi,
lebih tinggi dari pada kepandaian orang-orang lain yang membantu taijin. Karena
itu saya kira sudah amat tepat kalau kita semua melihat sampai di mana
kehebatan ilmu kepandaian Mo-ong agar kita semua dapat menilai apakah memang
dia sudah cukup pantas untuk menjadi seorang calon koksu.”
Wajah Hek-i
Mo-ong berubah merah ketika dia menatap tajam kepada panglima itu. “Hemm,
Thong-ciangkun, agaknya engkau sendiri juga menginginkan kedudukan calon koksu?
Kalau begitu, majulah dan marilah kita memperebutkan kedudukan itu!” berkata
demikian, Hek-i Mo-ong sudah bangun dari tempat duduknya.
Thong Su
juga bangkit lalu menjura kepada Hek-i Mo-ong sambil tersenyum. “Ah, satu di
antara syarat menjadi koksu haruslah dapat menahan kesabaran hati, Mo-ong.
Bukan sekali-kali aku bermaksud memperebutkan kedudukan koksu. Aku seorang
prajurit, seorang perwira, sama sekali tidak pandai bersiasat, kecuali siasat
perang. Dalam hal perang, tentu saja aku berani melawanmu, akan tetapi dalam
hal ilmu silat, sedikit pun aku tidak akan menandingimu.”
Hek-i Mo-ong
tersenyum “Kalau engkau tidak ingin menjadi koksu, mengapa engkau mengusulkan
agar aku diuji? Nah, kalau engkau hendak menguji, majulah!”
Kembali
Thong Su mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Jangan salah sangka, Mo-ong.
Bukan sekali-kali aku hendak mengujimu, dan bukan sekali-kali pula aku tidak percaya
kepandaianmu. Tetapi, tanpa memperlihatkan kepandaian, kedudukan jabatan
penting itu berarti kau peroleh secara terlalu mudah dan tidak mengesankan.
Karena itu, engkau harus memperlihatkan kepandaianmu di depan gubernur.”
“Dengan cara
bagaimana? Siapa yang akan mengujiku?” tanya Hek-i Mo-ong dengan sikap takabur
karena tokoh ini memang sudah biasa memandang rendah semua orang dan mengangkat
diri sendiri di tempat tertinggi.
“Aku sendiri
tidak begitu pandai ilmu silat, akan tetapi di sini hadir ahli-ahli yang
pandai, yaitu Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, saudara Siwananda dan saudara
Tailucin. Sebagai para pembantu dan sekutu dari taijin, maka saya kira mereka
berempat tidak keberatan untuk membantu taijin menguji kelihaian orang yang
pantas menjadi calon koksu. Kelirukah pendapat hamba ini, taijin?”
Gubernur
Yong tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. “Sungguh bagus sekali usul itu!
Memang sudah lama aku mendengar akan kelihaian cu-wi lo-sicu yang terhormat.
Dan sekarang, setelah kita memperoleh kesempatan berkumpul, agaknya sayang
kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyaksikan dengan mata sendiri
kehebatan para pembantu dan sekutuku. Tentu saja kalau cu-wi tidak
berkeberatan.”
Hek-i Mo-ong
segera menjawab, “Saya tidak berkeberatan, kalau saja keempat orang saudara
yang gagah ini ingin melakukan ujian terhadap diri saya.” Ucapan ini setengah
merupakan tantangan kepada empat orang yang hadir itu!
Pek-bin
Tok-ong adalah tokoh dunia persilatan yang seperti kebanyakan para tokoh
kang-ouw selalu ‘haus’ akan ilmu silat dan mempunyai kesukaan mengadu ilmu
untuk menguji kepandaian masing-masing. Kini mendengar usul Thong-ciangkun yang
sudah disetujui oleh gubernur dia menjadi gembira sekali.
“Jika hanya
merupakan ujian kepandaian, apa salahnya? Pibu untuk menguji seseorang
merupakan hal yang biasa saja dan saya sungguh merasa setuju sekali!” Tokoh ini
baru saja merampungkan ilmunya Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat, maka
diam-diam dia pun ingin sekali mengadu ilmunya dengan Ilmu Tok-hwe-ji yang dikuasai
Hek-i Mo-ong!
Tailucin
mengerutkan alisnya. Dengan bahasanya yang kaku dan asing dia pun berseru,
“Akan tetapi, saya sama sekali tidak mengenal ujian kepandaian berkelahi yang
tidak akan mendatangkan cedera, bahkan mungkin kematian kepada seseorang. Kalau
sekali saya maju memperlihatkan kepandaian, maka akibatnya hanya dua, yaitu
saya menang atau kalah. Kalau memang, tentu pihak lawan cedera atau mati dan
demikian sebaliknya kalau saya kalah, saya cedera atau mati. Bukankah hal ini
akan merugikan sekali bagi persekutuan kita?”
Siwananda
hanya tersenyum saja. Dia hanya akan menurut bagaimana keputusan teman-temannya
yang hadir di situ. Wakil Koksu Nepal ini adalah seorang cerdik dan tidak mau
mengambil tindakan sembrono. Dia tidak mau menyinggung hati seorang di antara
mereka yang dianggap akan menjadi sekutunya, yang akan menguntungkan negaranya
dalam pergerakan negaranya.
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment