Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 08
Thai Hong
Lama masih memutar tasbehnya saat dia berkata, “Omitohud....! Kekerasan tak
akan mengatasi persoalan! Masalah ujian kepandaian ini dapat saja dilakukan
tanpa kekerasan, yaitu dengan menguji ketangkasan yang menjadi inti dari ilmu
kepandaian silat. Entah Hek-i Mo-ong setuju ataukah tidak dengan pendapat
pinceng ini?”
“Ha-ha-ha!
Thai Hong Lama memang pandai. Akan tetapi bagiku, diuji secara bagaimana pun
juga aku tentu setuju saja, demi untuk memenuhi harapan Yong-taijin. Nah,
katakanlah, bagaimana usulmu itu, Lama?”
“Menggunakan
sepasang sumpit untuk menjepit makanan, merupakan hal yang amat mudah dan
seorang anak kecil sekali pun akan mampu melakukannya. Akan tetapi, untuk
melakukan hal itu, tenaga dalam tangan yang memegang sumpit haruslah seimbang
dan tidak boleh terganggu, karena kalau terganggu, banyak bahayanya makanan
yang dijepit sumpit akan terlepas. Kalau Mo-ong mempertahankan makanan yang
dijepit di antara dua batang sumpitnya supaya jangan sampai terlepas ketika
menghadapi serangan sampai sepuluh jurus dari kami masing-masing, maka dapat
dianggap dia menang. Akan tetapi, pinceng peringatkan kepada Mo-ong bahwa
amatlah sukar mempertahankan makanan itu sampai sepuluh jurus serangan karena
selain tenaganya harus dibagi, juga kalau dia terlalu mempertahankan makanan
itu, tubuhnya terbuka dan dapat menjadi sasaran serangan. Kalau makanan itu
terlepas, dia kalah, juga kalau sampai ada serangan yang menyentuh sasaran di
tubuhnya, dia dapat dianggap kalah.”
Hek-i Mo-ong
yang menghadapi syarat berat ini, tidak menjadi khawatir malah tertawa
bergelak. “Bagus! Bagus! Usulmu itu baik dan cerdik sekali, Lama! Nah, aku
sudah siap! Siapa yang sekarang hendak menguji lebih dulu? Ataukah kalian
berempat hendak maju berbarengan?” tantangnya dan tangan kanannya yang memegang
sepasang sumpit itu telah menjepit sepotong daging dari dalam panci masakan.
“Ahhh, tidak
adil kalau maju berbareng. Seyogianya satu demi satu.” Mendadak saja
Thong-ciangkun berkata dan memang perwira ini cerdik sekali.
Selain ingin
menguji kemampuan Hek-i Mo-ong, juga ia tidak ingin membuat Raja Iblis itu
tidak senang kepadanya karena usulnya tentang ujian tadi, maka kini dia cepat
mencela kalau empat orang penguji itu maju semua.
“Dan pula,
karena yang boleh menyerang hanya pihak penguji sedangkan Mo-ong sendiri hanya
mempertahankan dan tidak boleh membalas, maka terlalu berat bagi yang
mempertahankan kalau sampai sepuluh jurus. Lima jurus pun sudah cukup baik
kalau dia mampu mempertahankan diri.”
Gubernur
Yong sudah memiliki kepercayaan mutlak kepada pembantunya ini, maka biar pun
dia tidak paham tentang ilmu silat, dia tahu bahwa tentu Thong-ciangkun
memiliki alasan kuat dengan pendapat-pendapatnya itu. Maka dia pun mengangguk
dan berkata, “Benar sekali seperti yang dikatakan oleh Thong-ciangkun. Harap
maju satu demi satu dan menggunakan lima jurus saja!”
Karena meja
di mana mereka duduk itu penuh hidangan, maka Thong-ciangkun lalu mengatur
sebuah meja kecil dengan dua bangku berhadapan, terhalang meja. Di atas meja
itu hanya ditaruh semangkok masakan dan dua pasang sumpit. Kini Hek-i Mo-ong
sambil tersenyum-senyum memandang rendah, duduk di atas sebuah bangku dan
memegang sepasang sumpit. Orang-orang lain masih duduk di tempat masing-masing
dan memandang dengan penuh perhatian. Tailucin sudah bangkit dari tempat
duduknya dan kini raksasa ini duduk di atas bangku, berhadapan dengan Hek-i
Mo-ong terhalang meja.
Hek-i Mo-ong
lalu menggunakan sumpitnya, menjumput sepotong daging, kemudian mengacungkan
daging itu ke depan sambil berkata kepada Tailucin, “Nah, saudara Tailucin,
engkau cobalah merampas daging ini kalau mampu. Pergunakan sepasang sumpitmu
itu!”
Akan tetapi
Tailucin hanya memandang ke arah sepasang sumpit yang menggeletak di depannya
tanpa menyentuhnya, lalu menggeleng kepala. “Biar pun banyak bangsaku sudah
ikut-ikut makan dengan sumpit, akan tetapi aku sendiri lebih suka makan dengan
menggunakan tangan. Oleh karena itu, bagaimana kalau aku mencoba merampas
daging itu dari sumpitmu menggunakan tangan saja, Mo-ong?”
Tentu saja
kalau lawan menggunakan tangan, keadaan ini amat tidak menguntungkan bagi Hek-i
Mo-ong. Akan tetapi karena tokoh ini memang angkuh dan memandang rendah lawan,
dia pun mengangguk. “Boleh saja, akan tetapi, makan dengan tangan tanpa mencuci
tangan lebih dulu, amatlah tidak sehat!” Ucapan ini sama saja dengan mengejek
lawan yang memiliki kebiasaan makan tanpa sumpit!
“Mo-ong,
jagalah seranganku!” Raksasa Mongol itu membentak tanpa mempedulikan ejekan
orang.
Tangan kanannya
yang besar dan lebar itu terbuka jari-jarinya menyambar ke arah daging di ujung
sumpit dengan cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin keras.
“Wuuuutttt....!”
Raksasa itu
tercengang karena sumpit yang disambarnya itu tiba-tiba saja lenyap dan sambarannya
hanya mengenai angin kosong belaka. Tidak disangkanya bahwa lawan dapat
bergerak sedemikian cepatnya. Tentu saja dia merasa penasaran dan dengan
bentakan nyaring, kini kedua tangannya menyambar dari kanan kiri!
“Ha-ha-ha,
agaknya Tailucin biasa makan dengan kedua tangan!” Hek-i Mo-ong tertawa dan
seperti tadi, dia cepat menggerakkan tangan kanannya, mengelak dari sambaran
kedua tangan dari kanan kiri itu.
“Plakkk!”
Kedua
telapak tangan besar itu bertemu seperti bertepuk dan untuk kedua kalinya
serangan itu gagal. Wajah raksasa itu menjadi merah karena kembali terdengar
Hek-i Mo-ong mentertawakannya.
Karena tadi
dia mendengar bahwa usaha merampas daging itu boleh dilakukan dengan menyerang,
maka kini dia menggunakan lengannya yang panjang dan kuat itu untuk menonjok ke
arah muka lawan sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sambaran ke arah ujung
sumpit. Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-i Mo-ong mengelak dari pukulan itu
tanpa menarik tubuhnya dan juga tangan yang memegang sumpit itu mengelak tepat
pada saat tangan kiri lawan menyambar dari kiri.
Melihat
usahanya gagal lagi, si Raksasa Mongol sudah melanjutkan serangannya, kini
mencengkeram dengan tangan kanan ke arah pundak Hek-i Mo-ong dan tangan kirinya
menghantam ke arah lengan kanan yang memegang sumpit. Hebat serangan yang
keempat kalinya ini dan amat berbahaya bagi Hek-i Mo-ong. Kalau dia hanya
mengelak dari cengkeraman itu, tentu lengannya akan diancam bahaya pukulan yang
seperti palu godam datangnya itu.
Tetapi, Raja
Iblis ini dengan tenang saja menerima cengkeraman itu dengan pundaknya sambil
menarik tangan yang memegang sumpit sehingga terhindar dari hantaman. Saat
cengkeraman tiba, si raksasa Mongol sudah merasa girang karena cengkeramannya
itu tentu akan membuat lengan kanan itu lumpuh dan sumpitnya akan terlepas!
Tetapi
alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa jari-jari tangan yang mencengkeram
itu meleset seperti mencengkeram bola baja yang amat licin saja. Hanya
terdengar kain robek, yaitu baju Hek-i Mo-ong yang hitam itu di bagian
pundaknya robek terkena cengkeraman yang amat kuat.
“Ha-ha,
engkau telah menyerang empat jurus, Tailucin!” Hek-i Mo-ong memperingatkan
sambil tertawa lagi.
Tiba-tiba
semua orang menahan napas sebab tanpa menjawab, tahu-tahu kedua tangan orang
Mongol itu telah berhasil menangkap lengan kanan Hek-i Mo–ong! Ternyata raksasa
Mongol itu mengeluarkan ilmu gulatnya dan dengan kecepatan kilat tahu-tahu
kedua tangan dan jari-jari tangan yang panjang dan kuat berotot itu telah
menangkap lengan Hek-i Mo–ong, mencengkeram dengan keras hendak memaksanya
melepaskan sumpit!
Terjadilah
adu tenaga yang amat menegangkan. Buku-buku jari tangan raksasa Mongol itu
berkerotokan dan otot-ototnya menggembung. Akan tetapi, lengan Hek-i Mo-ong
yang nampak kecil dibandingkan dengan lawannya itu, sama sekali tidak
terguncang dan sepasang sumpit di tangannya itu masih tetap menjepit potongan
daging, bahkan jari-jari tangan itu masih dapat mempermainkan sumpit itu
sehingga bergerak ke sana-sini! Selain itu, dari wajah Raja Iblis itu dapat
dilihat bahwa dia sama sekali tidak merasa nyeri, seolah-olah himpitan dan
cengkeraman jari-jari tangan yang amat kuat itu tidak terasa sama sekali
olehnya!
Dan terjadilah
keanehan ketika tiba-tiba raksasa Mongol itu melepaskan cengkeraman kedua
tangannya, menggerak-gerakkan dua tangan seperti orang kepanasan, lalu dia
bangkit dan menjura ke arah Hek-i Mo-ong sambil berkata, “Aku terima kalah!”
Lalu dia kembali ke tempat duduknya di meja besar.
Ternyata
kedua telapak tangannya itu nampak merah sekali seperti baru saja dekat dengan
benda panas. Rakasa itu mengambil arak dan membasahi kedua tangannya dengan
arak! Memang sesungguhnya, tadi Hek-i Mo-ong menunjukkan kepandaiannya dengan
penyaluran tenaga sinkang yang mengeluarkan hawa panas sehingga raksasa Mongol
itu merasa seolah-olah telapak kedua tangannya dibakar, maka terpaksa dia
melepaskan cengkeramannya.
“Omitohud!
Nama besar Hek-i Mo-ong ternyata bukanlah kosong belaka. Biarlah pinceng yang
bodoh mencoba-coba.” Sambil berkata demikian, Thai Hong Lama lalu bangkit dan
menghampiri meja kecil, duduk berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, dan mengeluarkan
suling dan tasbehnya. “Maaf, Mo-ong, walau pun pinceng biasa makan dengan
sumpit, akan tetapi tidak biasa mempergunakannya untuk menguji. Maka, kalau
engkau tidak berkeberatan, pinceng hendak mempergunakan tasbeh dan suling untuk
menguji. Bagaimana?”
Hek-i Mo-ong
mengangguk sambil tersenyum. “Boleh saja, Lama. Suling adalah alat musik untuk
menghibur hati lara, sedangkan tasbeh adalah alat pemusatan pikiran. Kedua
benda itu tentu tidak akan menyakitkan aku, ha-ha-ha!”
Pendeta Lama
itu lalu menoleh ke arah meja besar dan berkata, “Harap taijin dan ciangkun
suka menggunakan kedua tangan untuk menutupi kedua telinga rapat-rapat jangan
sampai suara suling pinceng kedengaran oleh ji-wi.”
Mendengar
ini gubernur itu menoleh dan memandang kepada Thong-ciangkun dengan heran, akan
tetapi melihat panglimanya itu mengangguk dan panglima itu mengunakan kedua
telapak tangan menutupi kedua telinganya sendiri, dia pun melakukan hal serupa.
Sementara itu, Pek-bin Tok-ong, Siwananda dan Tailucin sudah mengatur
pernapasan dan mengerahkan sinkang karena mereka maklum apa yang akan dilakukan
oleh rekan mereka itu. Hanya Ceng Liong yang tidak mengerti dan anak ini hanya
memandang kepada gurunya yang amat dikagumi karena gurunya tadi telah
mengalahkan lawan dengan baik sekali.
“Ceng Liong,
kau tutuplah kedua telingamu dengan tangan, atau untuk sementara ini keluarlah
engkau dari ruangan ini,” kata Hek-i Mo-ong kepada muridnya.
“Aku ingin
menonton, Mo-ong!” Ceng Liong membantah dan gurunya tertawa. Anak itu sungguh
tabah dan membanggakan hati yang menjadi gurunya.
Sementara
itu, Thai Hong Lama telah mulai meniup suling dengan tangan kanannya. Terdengar
suara melengking nyaring, semakin lama semakin tinggi dan halus sekali,
memasuki anak telinga seperti jarum menusuk-nusuk! Itulah suara suling yang
ditiup dengan pengerahan khikang yang amat kuat.
Hek-i Mo-ong
melempar pandang sekali lagi ke arah muridnya, akan tetapi dia tidak bicara
lagi karena dia harus mengerahkan sinkang-nya untuk menghadapi serangan suara
ini. Dia merasa tubuhnya agak tergetar dan maklumlah dia bahwa suara suling itu
sungguh berbahaya dan kalau dia tidak hati-hati, maka pertahanannya dapat
dibobolkan sekali ini oleh Lama yang lihai itu.
“Rrrrtttt....!”
Tiba-tiba
nampak sinar putih berkelebat dan tasbeh di tangan kiri kakek gundul itu telah
menyambar ke arah sepasang sumpit yang menjepit daging. Hek-i Mo-ong terkejut
dan cepat menarik tangan kiri mengelak, akan tetapi dia merasa betapa jari
tangannya tergetar, tanda bahwa pertahanannya sudah goyah oleh suara suling
itu. Urat-urat halus di jari-jari tangan yang memegang sumpit itu terpengaruh
dan keadaannya berbahaya sekali.
“Rrrrkkkkkkk!”
Kembali tasbeh menyambar, sekali ini ke arah pergelangan tangan yang memegang
sumpit.
“Trikkkkk!”
Hek-i Mo-ong
terpaksa melempar daging itu ke atas, menggunakan sumpit menangkis tasbeh dan
ketika daging itu meluncur turun, disambutnya dengan sepasang sumpitnya lagi!
Sungguh indah sekali pertahanan ini sampai Thai Hong Lama mengangguk sedikit
tanpa menghentikan permainan sulingnya. Memang hebat Raja Iblis ini, pikirnya.
Akan tetapi dia masih mempunyai tiga jurus lagi.
Sementara
itu, ketika suling mulai ditiup, Ceng Liong mendengarkan dengan penuh
perhatian. Ada getaran halus yang menyerang telinganya, membuat tubuhnya tergetar,
akan tetapi tanpa disadarinya, sumber tenaga sinkang yang amat kuat, yang
berada di pusarnya, bergerak sendiri naik dan melindungi tubuhnya yang segera
terasa hangat. Suara suling itu sama sekali tidak mempengaruhi telinga, jantung
mau pun syarafnya. Hanya anak ini merasa tidak senang sekali oleh suara itu,
yang dianggapnya sumbang dan tak enak bagai orang mendengarkan kaleng diseret.
Maka, kegemasan mendengar suara tidak enak ini mendorong Ceng Liong untuk
memukul-mukulkan sumpit gading di bibir mangkok kosong di atas meja di depannya
sehingga terdengarlah bunyi tang-ting-tang–ting yang nyaring.
Suara
tang-ting-tang-ting ini berlawanan dengan suara suling, dan karena Ceng Liong
memukulnya dengan sengaja untuk mengacaukan suara suling yang dianggapnya tidak
enak itu, maka terdengarlah paduan suara yang sumbang dan tidak karuan!
Mula-mula suara ini membuat Thai Hong Lama terheran, akan tetapi perhatiannya
segera tertarik dan suara sulingnya tersendat-sendat seperti dihalangi oleh
suara pukulan mangkok itu. Tentu saja kekuatan dalam suara suling menjadi
terpecah dan kehilangan banyak daya serangnya.
Hal ini amat
terasa oleh Hek-i Mo-ong dan Raja Iblis ini pun tertawa, suara ketawanya
mengandung khikang dan segera sisa tenaga dalam suara suling itu lenyap oleh
suara ketawa ini.
“Ha-ha-ha,
Lama apakah engkau sudah lupa akan sisi seranganmu?”
Diejek
demikian, tanpa mengandalkan suara sulingnya lagi, Thai Hong Lama kemudian
menggunakan suling yang sudah dilepas dari mulutnya itu untuk menotok ke arah
pundak lawan sedangkan tasbehnya menyambar ke arah daging di sumpit.
“Wirrr....
wuuuutt!”
Kembali
serangan itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Hek-i Mo-ong yang kini telah
bebas dari gangguan suara suling sehingga mampu mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk mempertahankan daging di ujung sumpit.
Dua kali
lagi berturut-turut Lama itu menyerang, akan tetapi, selain sumpit itu selalu
dapat dihindarkan dari benturan, juga kini tangan kiri Hek-i Mo-ong membantu
dan melakukan penangkisan. Pada serangan terakhir, mendadak tangan kiri Hek-i
Mo-ong menyambar sepotong bakso di dalam mangkok. Sekali menyentilkan bakso itu
dengan telunjuk kirinya, ‘peluru’ ini meluncur cepat dan memasuki lubang
suling. Kalau tadinya suling yang digerakkan itu mengeluarkan suara, kini
tiba-tiba saja suara itu terhenti seperti jengkerik terpijak! Serangan terakhir
itu menjadi kacau dan tidak berhasil menjautuhkan daging dari jepitan suling di
tangan Hek-i Mo–ong.
“Sungguh
Hek-i Mo-ong amat lihai, pinceng mengaku kalah,” kata pendeta berjubah merah
itu yang segera kembali ke tempat duduknya semula.
Kini Pek-bin
Tok-ong mempersilakan Siwananda untuk maju akan tetapi Siwananda yang merasa
bahwa dia adalah wakil pemerintah Nepal, seorang wakil koksu negara, bersikap
tenang dan berkata, “Silakan Tok-ong maju memperlihatkan kepandaian, kami ingin
memperluas pengetahuan dengan menjadi saksi saja.”
Terpaksa
Pek-bin Tok-ong maju dan menghampiri Hek-i Mo-ong. Kakek iblis ini tertawa dan
mengganti daging baru yang diambilnya dari dalam mangkok. “Ha-ha-ha. Tok-ong,
terhadap engkau aku akan menghormati dengan daging baru, dan juga harus
berhati-hati. Jangan-jangan semua ototku akan putus dan tulang-tulangku akan
terlepas!” Jelas bahwa dengan kata-kata itu Hek-i Mo-ong hendak menyindir calon
lawan ini dengan Ilmu Hun-kin Coh-kut-ciang yang dimiliki Si Raja Racun itu.
Pek-bin
Tok-ong tersenyum. Tokoh Go-bi pertapa ini sudah pandai sekali menyimpan
perasaannya dan wajahnya nampak sabar dan tenang walau pun sesungguhnya orang
ini memiliki kekejaman yang luar biasa.
“Mo-ong, aku
selalu tidak percaya bahwa ada ilmu lain dapat menandingi ilmu barumu
Tok-hwe-ji itu. Marilah kita coba-coba dalam kesempatan ini!” Sambil berkata
demikian, kakek ini menyingkap jubah putihnya, menggulung lengan bajunya
sehingga nampak kedua lengannya yang kurus panjang seperti tulang terbungkus
kulit saja.
Akan tetapi,
begitu dia menggerak-gerakkan kedua lengannya, kulit lengan yang tadinya putih
pucat itu berubah menjadi agak biru seperti warna baja matang! Biru mengkilap
dan kelihatan keras sekali. Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut juga dan maklumlah
dia bahwa lawannya ini ternyata telah melatih sinkang yang amat kuat, yang
membuat kedua lengan itu menjadi seperti baja dan jari-jari tangan itu tentulah
amat kuat pula sehingga mampu memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan.
Maka, diam-diam dia pun mengerahkan tenaganya dan mempersiapkan diri dengan
ilmunya yang mukjijat, yaitu Ilmu Tok-hwe-ji yang mengerikan itu.
Dengan tubuh
tegak di bangkunya, tangan kanan memegang sumpit yang menjepit daging baru,
tangan kiri siap di atas meja di depan dadanya, Hek-i Mo-ong memandang lawan
dengan mata beringas. Dari pandang matanya saja keluar tenaga mukjijat dan
walau pun dia tidak bermaksud mempergunakan ilmu sihirnya di dalam ujian itu,
namun tenaga ilmu hitam keluar dari matanya dan membuat Pek-bin Tok-ong
bergidik. Tokoh ini pun maklum bahwa kalau saja pertandingan ilmu ini bukan
hanya sekedar ujian dan main-main, dia akan berpikir beberapa kali sebelum
menentang seorang seperti Raja Iblis ini.
“Mo-ong,
jaga seranganku!” Tiba-tiba Pek-bin Tok-ong berseru nyaring dan berbareng
dengan bentakannya itu, tubuhnya sudah bergerak dan kedua lengannya menyambar
ke arah lawan melalui atas meja yang menjadi penghalang di antara mereka.
Kedua
tangannya itu menyambar ke depan dengan jari terbuka, seperti sepuluh batang
pisau yang amat kuat dan cepat menyambar ke arah pundak dan lengan kanan
Mo-ong. Terdengar suara bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar dan terasa
angin yang dingin sekali bertiup. Itulah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang
yang dahsyat itu.
Namun, Hek-i
Mo-ong tidak merasa gentar dan cepat tangan kirinya melakukan totokan-totokan
ke arah pergelangan tangan dan siku untuk menangkis sekaligus mematikan
serangan pertama itu, sedangkan tangan kanan yang memegang sumpit juga bergerak
untuk mengelak.
Serangannya
belum mencapai sasaran dan di tengah gerakan telah disambut oleh totokan jari
tangan yang dia tahu amat ampuh itu, maka tentu saja Pek-bin Tok-ong terpaksa
menarik kembali serangannya sehingga serangan pertama itu gagal. Lantas dia
menyerang lagi dengan Hun-kin Coh-kut-ciang dan lawannya menyambut dengan
Tok-hwe-ji yang menggerakkan ilmu totokan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)
yang amat ampuh itu. Hebatnya, ketika mengerahkan ilmu ini, bukan hanya
jari-jari tangannya yang amat hebat, dapat menembus tulang, akan tetapi juga
dari mulutnya keluar uap putih yang amat panas dan inilah yang membuat Pek-bin
Tok-ong merasa kewalahan.
Beberapa
kali kedua lengan bertemu, bahkan jari-jari tangan mereka sempat bertemu, akan
tetapi selalu pertemuan itu mengakibatkan lengan dan tangan Raja Racun Muka
Putih itu terpental dan tubuhnya tergetar. Setelah lewat lima jurus dia
menyerang tanpa hasil, akibatnya malah muka dan lehernya penuh keringat dan
mukanya yang putih itu menjadi kemerahan seperti terbakar. Itulah akibat dari
serangan atau tangkisan Ilmu Tok-hwe-ji!
“Hebat....
engkau memang pantas menjadi calon koksu, Mo-ong!” kata kakek muka putih itu
sambil menjura dan kembali ke tempat duduknya.
Melihat
kemenangan Hek-i Mo-ong secara berturut-turut itu, Yong-taijin memuji dan
merasa girang sekali. Mempunyai seorang pembantu atau koksu seperti Hek-i
Mo-ong sungguh membesarkan hati, pikirnya. Akan tetapi di situ masih terdapat
Siwananda yang menjadi seorang di antara sekutunya yang terpenting. Bukankah
kakek berkulit kehitaman ini wakil dari Kerajaan Nepal yang amat diharapkan
akan dapat memperkuat kedudukannya kalau tiba waktunya dia menyerang kota raja?
Maka, Gubernur Yong lalu berkata sambil tersenyum, “Sekarang tiba giliran
saudara Wakil Koksu Nepal untuk menguji calon pembantu kami.”
Siwananda
bangkit berdiri dengan sikap angkuh, menjura kepada sang gubernur dan berkata,
“Maaf, taijin. Sesungguhnya, kami sudah melihat kelihaian calon koksu yang menjadi
pembantu taijin dan merasa kagum sekali. Karena tiga orang rekan kami tadi
sudah mengujinya dan dia lulus dengan baik, biarlah sekarang kami menguji
sampai di mana kekuatan batinnya, karena kekuatan badan saja bukan merupakan
syarat mutlak untuk menjadi seorang koksu yang baik.”
Gubernur
Yong sudah mendengar bahwa orang Nepal ini, di samping ilmu silatnya, juga
mahir ilmu sihir. Akan tetapi dia pun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong juga
seorang ahli sihir, maka dia merasa gembira akan dapat menyaksikan pertandingan
adu kekuatan sihir. Dia mengangguk gembira dan berkata, “Silakan, saudara
Siwananda.”
Kakek Gurkha
yang tinggi besar ini lalu menghampiri meja kecil di mana Hek-i Mo-ong telah
menantinya dan duduk berhadapan dengan Raja Iblis itu. Sejenak mereka hanya
saling berpandang mata. Biar pun bagi orang lain mereka itu hanya saling
pandang, namun sesungguhnya kedua orang ini sedang mengukur tenaga dan kekuatan
batin mereka masing-masing melalui pandang mata itu!
Terjadilah
adu kekuatan mukjijat melalui sinar mata mereka dan diam-diam Siwananda
terkejut. Dia pun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong pandai ilmu sihir, akan
tetapi dia tidak mengira bahwa kekuatan yang terkandung dalam sinar mata itu
demikian kuatnya! Dia tidak tahu bahwa kekuatan ilmu sihir memang menjadi
berlipat ganda dengan kuatnya tenaga sinkang yang dimiliki Hek-i Mo-ong. Biar
pun mereka yang hadir itu hanya menduga-duga bahwa kedua orang itu saling
mengukur tenaga batin, namun mereka mulai merasakan getaran aneh yang memenuhi
ruangan itu, yang membuat mereka merasa tegang dan juga seram.
“Hek-i
Mo-ong, yang kau pegang dengan sumpit itu seekor burung hidup!” Tiba-tiba
terdengar suara Wakil Koksu Nepal itu.
Semua orang
memandang ke arah potongan daging yang dijepit sumpit di tangan Hek-i Mo-ong
dan terbelalaklah mereka ketika melihat bahwa daging itu kini benar-benar telah
menjadi seekor burung kecil yang menggelepar-geleparkan sayapnya berusaha untuk
lolos dari jepitan sepasang sumpit. Kalau burung itu sampai lolos, maka berarti
Hek-i Mo-ong kalah sebab bukankah ujian itu untuk merampas daging dari jepitan
sumpitnya? Dan agaknya tidak akan mudah menahan terbangnya burung itu dengan
jepitan sumpit saja.
“Biar pun
burung hidup, kalau sayapnya gundul, mana bisa terbang?” tiba-tiba terdengar
suara Hek-i Mo-ong, sama berwibawanya dengan suara Siwananda tadi.
Burung yang
tadinya menggeleparkan sayap itu tiba-tiba saja kehilangan kekuatannya dan
sayap itu benar-benar telah kehilangan bulunya, menjadi gundul dan hanya dapat
digerak-gerakkan naik turun dengan lemah saja!
“Hek-i
Mo-ong, sepasang sumpitmu itu adalah sepasang ular!”
Dan semua
orang terbelalak kaget dan heran karena begitu Siwananda mengeluarkan teriakan
ini, sepasang sumpit di tangan Raja Iblis itu benar-benar berubah menjadi dua
ekor ular, sedangkan burung tadi telah berubah pula menjadi sepotong daging!
“Sepasang
ular yang membantuku menjaga agar daging jangan terlepas!” Hek-i Mo-ong
menyambung, dan dua ekor ular itu kini ‘menari–nari’ berlenggak-lenggok, akan
tetapi daging itu mereka gigit dengan kuat-kuat sehingga tidak mungkin terlepas
lagi.
Siwananda
tertawa dan bangkit sambil menjura. “Hek-i Mo-ong memang hebat dan kami
mengucapkan selamat kepada Yong-taijin yang telah memperoleh seorang calon
koksu yang amat pandai!”
Kakek Gurkha
ini lalu memberi hormat kepada Gubernur Yong. Pembesar ini merasa girang
sekali, memandang kepada Hek-i Mo-ong yang kini mengantar sepotong daging
dengan sepasang sumpitnya yang telah kembali berbentuk sumpit biasa itu ke
mulut, lalu makan dengan lahapnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Ceng Liong
merasa bangga dan girang. Ia menghampiri gurunya dan berkata, “Mo-ong, aku
mengucapkan selamat atas pengangkatanmu sebagai koksu!” Dan dengan hati
setulusnya anak ini mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat!
“Ha-ha-ha,
terima kasih, Ceng Liong. Akan tetapi aku belum menjadi koksu, hanya baru calon
koksu saja. Mudah-mudahan semua usaha kita bersama ini berhasil sehingga aku
benar-benar menjadi koksu dan engkau menjadi seorang pemuda bangsawan, murid
koksu. Ha-ha-ha!”
Tailucin,
Thai Hong Lama, dan Pek-hin Tok-ong juga memberikan ucapan selamat atas
kemenangan dan keberhasilan Hek-i Mo-ong menempuh ujian itu.
Dan Thai
Hong Lama yang tadi merasa betapa suara sulingnya sudah dikacaukan oleh anak
itu sehingga memudahkan Hek-i Mo-ong memperoleh kemenangan atas dirinya, lalu
menambahkan, “Omitohud.... Mo-ong, muridmu ini benar-benar hebat dan kelak dia
akan lebih hebat dan lebih jahat dari pada gurunya!”
Dikatakan
jahat bagi seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong sama saja dengan menerima pujian!
Maka dia pun tertawa bergelak. Akan tetapi Ceng Liong memandang pendeta Lama
itu dengan mata mendelik, lalu terdengar dia berkata lantang.
“Lama,
jangan sembarangan saja bicara! Aku bukan seorang penjahat dan tidak akan
menjadi seorang penjahat biar pun aku mempelajari ilmu dari Hek-i Mo-ong!”
Tentu saja
semua orang menjadi heran mendengar ucapan anak itu, akan tetapi Hek-i Mo-ong
tertawa semakin keras karena dia melihat betapa lucunya keadaan yang
ditimbulkan oleh sikap muridnya yang aneh ini. Semakin aneh watak muridnya,
semakin sukalah hati Hek-i Mo-ong, karena bagi kaum sesat, yang diutamakan
adalah keanehan dan sifat yang lain dari pada orang lain, dan menerjang semua
hukum-hukum yang telah ada tanpa memperdulikan tata susila atau kesopanan pula.
Gubernur
Yong yang diam-diam tidak suka dengan watak orang-orang ini, akan tetapi
terpaksa bersikap ramah terhadap mereka karena memang dia amat membutuhkan
bantuan mereka, lalu mengajak mereka untuk mulai berunding yang sesungguhnya
merupakan acara inti dari pertemuan itu.
Sebagai
seorang yang mengharapkan kedudukan koksu dan pembantu utama gubernur yang
hendak memberontak itu, Hek-i Mo-ong mendengarkan dengan penuh perhatian. Juga
Ceng Liong, walau pun belum dapat menangkap seluruh maksud dari percakapan itu,
mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia mendapatkan perasaan bahwa apa yang
didengarnya itu amat penting baginya.
Dengan
panjang lebar dan jelas, Gubernur Yong lalu menceritakan rencana mereka
bersama. Kerajaan Nepal akan mengirim pasukan yang sangat kuat dan besar untuk
menyerang Tibet. Serbuan ini diharapkan dapat berhasil dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan mengandalkan bantuan dari dalam yang akan digerakkan dan
diatur oleh Thai Hong Lama.
“Jangan
khawatir, untuk keperluan itu pinceng telah memiliki banyak kawan sehaluan dan
sewaktu-waktu tentu kami akan dapat membantu. Pendeknya, dengan bantuan kami,
bala tentara Nepal tentu tidak akan sukar untuk menduduki Tibet.” Demikian Thai
Hong Lama mengutarakan isi hatinya.
Menurut
perjanjian mereka, setelah Tibet jatuh ke tangan Kerajaan Nepal, Thai Hong Lama
yang akan diangkat sebagai penguasa Tibet, tentu saja sebagai negara taklukan
dari Nepal. Dan untuk keperluan menyerbu Tibet, Gubernur Yong akan membantu,
yaitu dengan mencegah datangnya bala bantuan berupa bala tentara Kerajaan Ceng.
Dengan
demikian, tentu Tibet akan mudah direbut dan bantuan Gubernur Yong ini amat
penting karena kalau sampai bala tentara Ceng membantu Tibet, tentu akan
sukarlah daerah itu direbut oleh pasukan Nepal. Apalagi kalau bala tentara
Kerajaan Ceng itu dipimpin oleh panglima-panglima pandai seperti Jenderal Muda
Kao Cin Liong yang pernah membuat tentara Nepal kocar-kacir beberapa tahun yang
lalu.
Kemudian,
setelah mereka berhasil merebut Tibet, barulah mereka akan mengadakan pasukan
gabungan antara bala tentara Nepal, Tibet dan pasukan-pasukan yang berjaga di
barat dan telah dikuasai oleh Thong-ciangkun sebagai pembantu Gubernur Yong dan
melakukan penyerbuan ke timur untuk menentang Kerajaan Ceng.
“Akan
tetapi, kita harus bertindak hati-hati sekali, tidak perlu tergesa-gesa dan
menanti saat yang baik. Kita harus ingat bahwa kerajaan memiliki banyak
panglima yang pandai dan pasukan yang kuat,” kata sang gubernur.
“Ha-ha-ha,
harap taijin tenangkan hati dan tidak perlu khawatir tentang orang-orang pandai
itu. Dengan bantuan para rekan yang kini hadir, saya sanggup untuk menentang
dan membasmi para jagoan kerajaan itu. Dengan bantuan teman-teman, bahkan para
penghuni Pulau Es pun tidak dapat melawan kami!”
Akan tetapi,
ketika bicara sampai di situ, Hek-i Mo-ong merasa betapa ada sepasang mata yang
mendelik kepadanya. Dia menoleh dan terkejut melihat bahwa orang yang melotot
kepadanya itu adalah muridnya. Dia sadar dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Akan tetapi ucapannya yang terakhir itu telah membuat para tokoh di situ
menjadi terbelalak.
“Apa katamu?
Para penghuni Pulau Es....?” kata Pek-bin Tok-ong kaget.
“Omitohud!
Kau maksudkan bahwa engkau telah berhasil membunuh Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es?” tanya pula Thai Hong Lama yang menganggap berita itu seperti petir
menyambar di siang hari panas.
Hek-i Mo-ong
menjadi serba salah. Dia tahu bahwa di depan muridnya, amat tidak baik
membicarakan tentang kebinasaan para penghuni Pulau Es, akan tetapi dia telah
terlanjur bicara dan tidak akan dapat ditariknya kembali. Maka dia pun menarik
napas panjang.
“Manusia
mana di dunia ini yang sanggup mengalahkan Pendekar Super Sakti, majikan Pulau
Es? Bahkan dewa sekali pun akan sukar mengalahkannya. Tidak, kami tidak berani
melawan Pendekar Super Sakti. Kami hanya melawan isteri-isterinya dan hal itu
pun mengakibatkan tewasnya banyak anak buah dan hampir semua kawan-kawanku.
Mereka itu sungguh hebat bukan main. Aku sendiri nyaris binasa. Bagaimana pun
juga, sekarang Pulau Es telah terbakar habis berikut para penghuninya, dan kami
akan terus melakukan sampai semua pendekar yang menentang kami lenyap dari
permukaan bumi. Bukankah kalau sudah begitu, gerakan taijin akan lebih mudah
dilakukan?”
Gubernur
Yong mengangguk-angguk, akan tetapi Pek-bin Tok-ong agaknya masih penasaran
mengenai Pulau Es. “Mo-ong, kau katakan bahwa Pulau Es terbakar habis berikut
para penghuninya. Benarkah itu? Apakah engkau dan kawan-kawanmu yang telah
berhasil membakar pulau itu?”
Kalau saja
dia tidak teringat kepada kehadiran muridnya, tentu dengan senang dan bangga
sekali Hek-i Mo-ong akan membual dan mengaku bahwa dialah yang telah
menghancurkan dan membakar Pulau Es. Akan tetapi, kehadiran Ceng Liong membuat
dia tidak mungkin dapat membohong. Watak muridnya ini aneh sekali, siapa tahu
muridnya akan membuatnya malu dan menyangkalnya kalau dia berbohong.
“Tidak, kami
sisa para penyerbu telah meninggalkan pulau ketika kami melihat dari jauh pulau
itu terbakar habis.” Karena tidak ingin mereka itu mendesak lebih lanjut
tentang Pulau Es dan kini sikap Ceng Liong telah biasa kembali, Hek-i Mo-ong
lalu berkata cepat, “Akan tetapi, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan
perjuangan kita. Lebih baik kita sekarang melihat halangan dan hambatan apa
yang kiranya akan mengganggu gerakan kita dan kita lenyapkan halangan itu.”
Semua orang
mengangguk setuju dan Wakil Koksu Nepal lalu berkata, “Memang benar apa yang
dikatakan Mo-ong. Kita harus menghalau semua hambatan dan ada beberapa hal yang
membuat kami merasa gelisah. Pertama-tama adalah negara tetangga kami yang
kecil, yakni Bhutan. Negara kecil itu menjadi penghalang besar bagi gerakan
kami menyerbu Tibet karena sampai sekarang Bhutan tak mau tunduk, bahkan tidak
memiliki sikap bersahabat dengan kami. Sebab itu, setiap gerakan kami yang
melanggar wilayah mereka, tentu akan mereka tentang dan hal ini sungguh
memusingkan dan membuang banyak tenaga kalau kami harus menggempur Bhutan lebih
dulu.”
“Bhutan?
Negara yang demikian kecilnya?” Gubernur Yong memandang rendah. “Apa sih
kekuatan negara kecil itu? Mengapa tidak ditundukkan saja lebih dulu? Hal itu
tentu jauh lebih mudah dari pada menundukkan Tibet.”
“Agaknya
Yong-taijin belum mendengar. Bhutan sekarang tak dapat disamakan dengan Bhutan
belasan tahun yang lalu. Biar pun negara itu kecil, akan tetapi memiliki
pasukan pilihan yang amat kuat, di bawah pimpinan Puteri Syanti Dewi yang lihai
dan suaminya yang lebih lihai lagi. Tidak, menyerbu Bhutan sama dengan mencari
penyakit,” kata Siwananda, orang Gurkha yang menjadi Wakil Koksu Nepal itu dan
sikapnya nampak jeri.
Tentu saja
hal ini membuat semua orang merasa heran. Wakil koksu itu sendiri begitu lihai,
akan tetapi kelihatan jeri ketika menyebutkan nama seorang Puteri Bhutan dan
suaminya.
“Omitohud,
pinceng pernah mendengar tentang mereka dan kabarnya suami isteri itu memang
luar biasa lihainya. Kabarnya, puteri itu pandai menghilang saking cepatnya ia
dapat bergerak, sedangkan suaminya adalah seorang Han yang pada belasan tahun
yang lalu pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Kalau tidak salah, dahulu dia
berjuluk Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Sang puteri kabarnya tidak mau
menggantikan ayahnya dan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang saudara
laki-laki, sedangkan ia sendiri bersama suaminya menjadi panglima-panglima yang
memimpin bala tentara Bhutan. Benarkah demikian, saudara Siwananda?”
Yang ditanya
mengangguk membenarkan.
“Dan
halangan lain, apakah itu, saudara Siwananda?” tanya sang gubernur.
“Selain
adanya Bhutan yang menjadi penghalang, juga kini banyak terdapat tokoh-tokoh
pertapa di Himalaya yang kabarnya diam-diam juga mengamati gerak-gerik kami.
Mereka itu kadang-kadang mengambil sikap bermusuhan dan agaknya mereka tentu
akan ikut menentang kalau kami menyerbu Tibet. Semua ini adalah gara-gara
Jenderal Kao Cin Liong yang dahulu pernah menentang kami dan di sana dia telah
mempunyai banyak sahabat yang siap membantunya dan menentang kami.”
Semua orang
merasa khawatir dengan berita yang tidak baik ini. “Ahh, kalau begitu....
gerakan kita menghadapi ancaman yang berat,” kata Gubernur Yong, kemudian ia
teringat akan Hek-i Mo-ong yang menjadi pembantu utamanya, maka dia pun menoleh
kepada Raja Iblis itu.
“Lo-sicu,
kita menghadapi rintangan yang cukup berat, kalau menurut pendapatmu, apa yang
harus kita lakukan?” Pertanyaan ini selain hendak memancing, juga agaknya sang
gubernur ingin melihat kegunaan dari orang lihai ini.
Hek-i Mo-ong
mengangguk-angguk sambil mengerutkan sepasang alisnya yang sudah beruban,
seperti seorang ahli pikir yang sedang mengerjakan otaknya yang cerdik. “Hal
itu sudah saya pikirkan sejak mendengar dari saudara Siwananda tadi, taijin.
Harap taijin jangan khawatir. Kalau yang menjadi penghalang itu berupa pasukan
besar, tentu saja yang harus menghalaunya juga pasukan yang lebih kuat lagi.
Akan tetapi kalau yang dikhawatirkan itu perorangan, seperti suami isteri
bangsawan Kerajaan Bhutan itu atau tokoh-tokoh pertapa di Himalaya, serahkan
saja kepada saya, tentu akan dapat saya enyahkan mereka!”
Sang
gubernur mengangguk-angguk gembira. “Lalu, sekarang apa yang hendak sicu
lakukan?”
“Perkenankan
saya dan murid saya pergi ke Bhutan dan Himalaya untuk melakukan penyelidikan
dan saya akan membasmi setiap orang yang hendak menentang gerakan kita dari
Nepal ke Tibet lalu ke timur.”
“Omitohud....!
Itulah cara yang terbaik!” kata Thai Hong Lama. “Kalau Mo-ong mau membantu,
nanti akan pinceng tunjukkan siapa-siapa orangnya yang patut dibasmi. Kita
dapat bekerja sama, Mo-ong.”
“Aku pun
telah mengenal mereka yang berpihak kepada Kerajaan Ceng!” kata Pek-bin
Tok-ong. “Dan engkau bisa mendapatkan bantuanku untuk menghantam para pertapa
itu, Mo-ong.”
Hek-i Mo-ong
mengangguk. “Baik, kalau perlu, aku akan menghubungi kalian di sana. Akan tetapi,
agaknya untuk melaksanakan pekerjaan yang ringan ini aku tidak akan membutuhkan
bantuan orang lain.”
“Dan kami
akan mempersiapkan pasukan kami di perbatasan utara dan Tibet. Harap saudara
Siwananda selalu mengirim kurir penghubung agar kami selalu dapat mengikuti
sampai di mana majunya gerakan dari Nepal,” kata Tailucin.
“Baik, kami
tentu selalu menghubungi pasukanmu, saudara Tailucin, jangan khawatir,” jawab
orang Gurkha itu.
Perjamuan
dilanjutkan dengan meriah dan gembira. Kemudian sang gubernur dengan royal lalu
membagi-bagi hadiah berupa barang-barang berharga kepada mereka semua sebelum
mereka bubaran. Hek-i Mo-ong menerima sekantung uang emas sebagai bekal, juga
dua ekor kuda yang sangat baik. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-i
Mo-ong dan Ceng Liong telah berangkat menunggang kuda menuju ke barat…..
***************
“Sumoi,
engkau lihat bagaimana dengan kemajuan latihanku? Sudah selama empat bulan aku
berlatih menurut petunjuk suhu, aku khawatir masih belum sempurna,” kata Louw
Tek Ciang, pemuda yang diambil murid dan diambil calon mantu pula oleh Suma
Kian Lee itu, pada suatu pagi kepada Suma Hui yang sedang bertugas mengawasi
dan membimbingnya.
Mereka
berada di halaman samping rumah yang juga merupakan sebuah taman bunga. Entah
sudah berapa puluh kali pemuda itu selalu minta pendapat dara itu. Suma Hui
menganggap pertanyaan itu lumrah saja, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa
memang pemuda itu sengaja bertanya agar kembali diuji oleh Suma Hui. Dan cara
mengujinya adalah mengadu telapak tangan, suatu hal yang amat disuka oleh
pemuda itu.
“Dua pekan
yang lalu latihanmu sudah hampir sempurna, suheng. Kurasa sekarang engkau tentu
sudah paham benar,” jawab Suma Hui yang sedang memotongi daun-daun bunga yang
ditempeli telur belalang.
“Maukah
engkau mencoba dan mengukur latihan dasar sinkang yang kupelajari, sumoi?” Tek
Ciang memohon dan seperti biasa.
Suma Hui
tidak menolaknya. Biar pun tadinya ia merasa tidak puas melihat ayahnya
menerima pemuda ini sebagai murid, akan tetapi setelah bergaul selama empat
bulan, sikap Tek Ciang selalu baik kepadanya, ramah dan sopan, sehingga tidak
ada alasan bagi Suma Hui untuk membencinya, walau pun hal itu bukan berarti
bahwa ia suka kepada pemuda ini. Ada sesuatu dalam sikap pemuda ini, mungkin
sikap yang terlalu sopan dan terlalu manis itu, yang membuatnya selalu curiga
dan kepercayaan hatinya belum penuh kepada suhengnya ini.
“Tentu saja.
Nah, marilah kita mulai!” kata Suma Hui.
Dengan
girang Tek Ciang Lalu memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan suhu-nya,
menggerakkan kedua lengannya ke atas bawah kemudian bersilang dan pada saat itu
mendorongkan kedua lengannya ke depan dengan tangan terbuka sambil mengerahkan
tenaga. Suma Hui yang berdiri di depannya menyambut tangan yang didorongkan itu
dengan kedua tangannya sendiri.
“Plakkk!”
Dua pasang
telapak tangan itu saling bertemu dan seperti biasa, Tek Ciang merasakan
telapak tangan yang lunak, halus dan hangat, membuat jantungnya berdebar penuh
gairah.
Suma Hui
mengerutkan alisnya. Pemuda ini memang berbakat dan agaknya telah menguasai
tehnik latihan dasar dari Pulau Es, yaitu dasar sinkang yang kemudian dapat
dilanjutkan dengan latihan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Akan tetapi,
seperti juga dua pekan yang lalu, pada akhir getaran itu terdapat kekacauan
yang hanya terjadi kalau pemuda itu kurang memusatkan perhatian pada getaran
melalui telapak tangan itu. Ini menjadi tanda bahwa pikiran pemuda itu melayang
atau terkacau oleh sesuatu.
“Suheng,
engkau telah berhasil baik, hanya masih saja engkau belum bisa memusatkan
seluruh perhatianmu kepada telapak tangan yang mendorong. Aku merasakan adanya
kekacauan pada akhir getaran itu. Apa sih yang kau pikirkan setelah engkau
melakukan gerakan mendorong itu?”
Apa lagi
yang mengacaukan pikiranku kalau bukan telapak tanganmu yang lunak, halus dan
hangat itu, demikian pikir Tek Ciang. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk
berkata demikian lancang, maka dia pun mengambil sikap menyesal. “Ahhh, dasar
aku yang bodoh, sumoi. Aku selalu merasa ragu-ragu akan kemampuan sendiri
sehingga pada saat aku mendorong, aku merasa khawatir kalau-kalau salah.”
“Aihh,
engkau terlalu merendahkan diri, suheng. Gerakanmu sudah benar, dan engkau pun
sudah menguasai dasar penghimpunan tenaga sinkang dari keluarga kami. Aku
mengucapkan selamat, suheng.”
“Dan engkau
terlalu memuji, sumoi, padahal aku belum bisa apa-apa. Memang engkau amat baik
hati, sumoi. Engkaulah gadis yang paling baik, paling gagah perkasa, paling
cantik jelita, yang pernah kukenal.”
“Suheng....!”
Suma Hui berseru agak keras untuk menegur, akan tetapi mukanya sudah berubah
merah. Bagaimana pun juga, suhengnya ini hanya memujinya, jadi tidak ada alasan
baginya untuk marah-marah.
“Aku hanya
bicara apa adanya, sumoi....” Tek Ciang melanjutkan rayuannya.
“Sudahlah,
aku tidak suka bicara tentang diriku....”
“Tapi,
sebaliknya aku suka sekali....”
Pada saat
itu, terdengar langkah orang di atas lorong berkerikil yang menuju ke taman itu
dari luar. Keduanya mengangkat muka memandang.
“Siapa
engkau berani masuk ke sini tanpa ijin.....?” Tek Ciang membentak marah akan
tetapi dia menghentikan tegurannya ketika melihat sikap sumoi-nya berubah
menjadi amat gembira.
“Cin
Liong....!” Suma Hui berseru gembira dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ berdiri
orang lain, tentu ia sudah berlari menghampiri pemuda yang baru datang itu.
“Hui-i....!”
Cin Liong juga berseru girang, akan tetapi dia pun berhenti berdiri saja sambil
memandang kepada pemuda tampan bermuka putih dan pesolek yang tidak dikenalnya
itu.
Melihat
sikap Cin Liong yang ragu-ragu, Suma Hui lalu memperkenalkan, “Cin Liong, dia
ini adalah suheng Louw Tek Ciang, murid ayah yang baru empat bulan
diangkatnya.”
“Ahh....!”
Cin Liong kelihatan terkejut dan juga girang, kemudian teringat bahwa menurut
kedudukan, dia lebih rendah, maka dia pun menjura dengan sikap hormat kepada
pemuda itu sambil berkata, “Susiok....!”
Sekarang
giliran Tek Ciang yang termangu-mangu. Pemuda yang baru datang ini tadi
menyebutnya susiok (paman guru)! “Sumoi.... siapakah orang ini....?” tanyanya
gagap dan bingung.
“Suheng, dia
bernama Kao Cin Liong dan dia ini adalah.... ehh, seorang keponakanku.”
Sepasang
mata pemuda itu terbelalak dan dia memandang Suma Hui dan Cin Liong bergantian
dengan sinar mata tidak percaya. “Keponakan....? Tapi.... tapi…. mana
mungkin....?”
Suma Hui
tersenyum. Kegembiraannya melihat kedatangan kekasihnya itu terlalu besar untuk
dapat diganggu oleh keheranan dan kebingungan Tek Ciang. “Sudahlah, suheng.
Engkau tidak mengerti dan terlalu panjang kalau diterangkan. Biarlah lain kali
saja kuceritakan dan sekarang kuharap engkau suka meninggalkan kami dan
membiarkan kami bercakap-cakap.”
Tek Ciang
merasa terpukul. Dia menunduk dengan muka merah, sekali lagi mengerling ke arah
Cin Liong lalu berkata, “Baiklah, sumoi, baiklah....”
Dia pun
pergi dari situ menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kamarnya di
dekat lian-bu-thia, yakni ruangan berlatih silat.
Melihat
pemuda itu telah pergi, Suma Hui lalu memandang kekasihnya. Sejenak mereka
saling pandang, kemudian Suma Hui tersenyum, sepasang matanya agak membasah.
Selama ini dara itu merasa rindu bukan main kepada kekasihnya dan merasa
seolah-olah kehidupan menjadi sepi dan lesu. Kini, kemunculan Cin Liong yang
tiba-tiba itu membuat hidup seolah-olah menjadi cerah dan penuh dengan sinar
kebahagiaan.
“Cin Liong,
mari bicara di dalam....,” ajaknya dengan gembira dan ia pun mengulurkan tangan
kanan untuk menggandeng tangan pemuda itu.
Melihat
sikap kekasihnya ini, tentu saja Cin Liong merasa gembira sekali, akan tetapi
juga membuatnya ragu-ragu dan takut.
“Ayah
ibumu....?” bisiknya khawatir ketika tangan mereka sudah saling bergandengan
dalam pertemuan antara jari jemari tangan yang hangat dan bergetar mesra penuh
perasaan rindu dan sayang.
“Mereka
telah pergi empat bulan yang lalu, mencari Ciang Bun dan sampai kini belum
kembali. Di rumah kosong tidak ada orang....”
“Dan susiok
tadi?”
“Ahhh,
jangan terlalu banyak peraturan. Tidak patut engkau menyebut susiok kepada
pemuda yang baru belajar itu. Dia disuruh tinggal di kamar belakang oleh ayah,
untuk melatih diri dengan dasar sinkang kami dan aku membimbingnya. Mari, Cin
Liong....” Mereka bergandengan tangan dan berjalan memasuki rumah itu dari
pintu samping, menuju ke ruangan depan atau ruangan tamu.
Begitu tiba
di ruangan itu, keduanya kembali saling berpandangan dengan tangan masih
bergandengan dan agaknya seperti ada daya tarik yang luar biasa membuat
keduanya makin mendekat dan tahu-tahu mereka telah berangkulan dan berdekapan,
entah siapa yang lebih dahulu memulai gerakan itu.
“Hui....,”
bisik Cin Liong.
“Cin
Liong....” Dan seperti secara otomatis, pemuda itu mengangkat dagu Suma Hui dan
menciumnya. Suma Hui mendesah, tubuhnya tergetar dan matanya terpejam, kemudian
ia menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu, menghela napas lega dan bahagia.
“Aku.... aku
sudah bertemu dengan ayah ibuku, dan aku sudah minta kepada mereka untuk datang
ke sini meminangmu, mungkin dalam waktu dua tiga bulan ini....,” bisik Cin
Liong.
Suma Hui
hanya mengangguk, hatinya terharu bukan main, keharuan yang timbul akibat
kegirangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.
“Dan
engkau.... sudahkah orang tuamu mengetahui?”
Suma Hui
hanya menarik napas panjang, kemudian melepaskan dirinya dari rangkulan, dan
menggandeng tangan kekasihnya untuk duduk di atas bangku. Mereka duduk
berhadapan, terhalang meja. Tangan mereka masih saling berpegangan di atas
meja. Kemudian Suma Hui menceritakan keadaannya, bahwa ia sudah berterus terang
pada ibunya dan bahwa ibunya agaknya tidak berkeberatan.
“Ahh, bagus
sekali! Jadi ibumu setuju? Ayah ibuku tadinya terkejut dan meragu, akan tetapi dengan
bijaksana mereka akhirnya juga setuju, walau pun mereka masih merasa
takut-takut untuk melakukan peminangan atas dirimu.”
“Ibuku amat
bijaksana dan mencintaku. Dia setuju sepenuhnya, tetapi ibu menyatakan
kekhawatirannya kalau-kalau ayahku yang tidak setuju.”
“Lalu
bagaimana dengan ayahmu?” tanya Cin Liong khawatir.
“Entahlah,
aku minta tolong ibu untuk memberitahukan ayah, dan aku tidak tahu apakah hal
itu sudah dilakukan dan tidak tahu pula bagaimana tanggapan ayah....”
“Aihh, aku
merasa khawatir sekali.... jangan-jangan beliau tidak setuju....”
Melihat
wajah kekasihnya muram dan agak pucat, Suma Hui mencengkeram tangan kekasihnya.
Mukanya menjadi merah, sepasang matanya berapi-api ketika ia berkata, “Baik
ayah mau pun segala dewa dan siluman di dunia ini, tidak akan ada yang dapat
menghalangiku berjodoh denganmu!”
Cin Liong
memejamkan mata, mengusir kengerian yang membayang di matanya. Dia mengenal
benar watak kekasihnya ini yang amat keras dan memiliki tekad sekuat baja yang
tak mungkin ditekuk sampai bagaimana pun juga. Dia khawatir kalau-kalau jalinan
cinta mereka ini akan mengakibatkan kemelut dan mala petaka di dalam keluarga
itu.
“Kita harus
tenang dan menghadapi segala sesuatu dengan tabah, tanpa kekerasan. Ingat, Hui,
andai kata ada yang menentang, maka yang menentang itu bukan orang lain,
melainkan orang tua kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mempergunakan
kebijaksanaan dan menjauhkan kekerasan antara keluarga yang hanya akan
mendatangkan kedukaan besar.”
Suma Hui
merangkul lagi, menyembunyikan mukanya yang kini dibayangi kekhawatiran itu di
dada kekasihnya. Sepasang kekasih ini lalu bicara bisik-bisik sampai beberapa
lamanya, sama sekali tidak tahu bahwa segala percakapan mereka telah
didengarkan telinga lain dan segala yang terjadi antara mereka telah ditonton
mata orang lain yang penuh dengan kemarahan, mata yang beringas kemerahan, mata
dari Louw Tek Ciang!
Biar pun
mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Cin Liong, namun saat
itu mereka lengah. Gelora asmara yang sedang mengamuk dan melanda hati mereka
mengurangi kewaspadaan. Selain itu, juga Tek Ciang amat cerdik. Sebelum dua
orang muda itu masuk ruangan itu, dia telah lebih dulu berada di tempat
persembunyiannya sehingga dia dapat mengintai tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun juga.
“Aku akan
pergi mencari rumah penginapan dulu, Hui-i....”
“Hishh, masa
engkau masih harus terus menyebut i-i (bibi) kepadaku? Tidak pantas!” sela Suma
Hui.
Cin Liong
tersenyum, “Ah, segala macam sebutan dalam huhungan keluarga yang jauh masih
terus dipertahankan orang, sungguh membuat kita merasa canggung saja. Di dalam
hatiku, tentu saja aku menyebutmu Hui-moi (dinda Hui)....”
“Kenapa
mesti lain di mulut lain di hati? Sebut saja begitu!”
“Tapi kalau
terdengar orang....”
“Perduli apa
dengan orang lain? Cin Liong, hidup kita tidak mungkin dapat seterusnya
disandarkan pada pendapat orang lain, bukan?”
Cin Liong
menarik napas panjang. “Baiklah, Hui-moi. Memang manusia amatlah lemah, sukar
sekali dan merasa takut meninggalkan kebiasaan lama atau tradisi, dan aku
agaknya termasuk satu di antara manusia-manusia lemah itu. Selanjutnya aku akan
banyak belajar tabah dan berani menghadapi kenyataan seperti engkau. Nah, aku
pergi dulu, Hui-moi. Sore nanti aku akan datang berkunjung.”
“Baik, kita
makan bersama sore ini di sini, Cin Liong. Aku akan masak-masak untukmu.”
“Baiklah,
tentu lezat sekali masakanmu.”
Mereka lalu
bangkit berdiri dan dengan bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu menuju
keluar. Cin Liong kemudian meninggalkan kekasihnya yang mengantar dengan
pandang mata mesra dan wajah berseri-seri. Setelah berpisah dari kekasihnya,
barulah kewaspadaan Cin Liong timbul kembali sehingga dia dapat melihat bahwa
ada orang membayanginya dari jauh!
Hatinya
tertarik sekali dan juga merasa terheran-heran setelah mendapatkan kenyataan
bahwa yang membayanginya itu adalah Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng
dari Suma Hui dan yang tadi disebutnya susiok itu! Diam-diam dia merasa geli
hatinya. Apakah suheng yang tolol itu diutus oleh Suma Hui untuk membayanginya
dan untuk melihat di rumah penginapan mana dia bermalam?
Ahhh, apakah
kekasihnya akan melakukan hal yang sebodoh itu? Ataukah pemuda itu sendiri yang
membayanginya, mungkin karena pemuda itu belum begitu mengenalnya dan merasa
curiga dan seolah-olah hendak ‘melindungi’ sumoi-nya? Bagaimana pun juga, Cin
Liong tidak mau membuat ‘susiok-nya’ itu menjadi tidak enak hati dan malu kalau
dia memperlihatkan bahwa dia tahu akan perbuatan pemuda pesolek itu, maka dia
pura-pura tidak tahu dan memilih kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah
memperoleh kamar dia keluar lagi untuk melihat. Ternyata ‘susiok’ itu telah
lenyap dan dia pun tersenyum sendiri.
Dengan napas
terengah karena hampir seluruh perjalanan menuju ke rumah ayahnya dilakukan
sambil berlari cepat, Tek Ciang menghadap ayahnya. Guru silat Louw terkejut
melihat puteranya datang terengah-engah seperti itu dan cepat menyambutnya.
“Wah,
celaka, ayah! Aku tidak sudi menikah dengan Suma Hui....!”
“Hushhh....!”
Louw-kauwsu terkejut bukan main, cepat menarik tangan anaknya masuk ke dalam
kamar dan menutup pintu kamarnya. “Ucapan apa itu?” bentaknya ketika dia berada
aman di dalam kamar bersama puteranya.
“Siapa sudi
menikah dengan gadis seperti itu? Ia gadis tak tahu malu, ayah, berpacaran
dengan keponakannya sendiri!” Dengan suara mengandung kemarahan Tek Ciang lalu
menceritakan semua yang telah didengar dan dilihatnya ketika pemuda bernama Kao
Cin Liong datang berkunjung ke rumah suhu-nya.
Bukan main
kaget dan heran hati Louw Kam mendengar penuturan puteranya. Sungguh merupakan
hal yang amat aneh dan sukar dapat dipercaya.
“Benarkah
ceritamu itu? Benarkah pemuda itu keponakannya?”
Kalau Suma
Hui mempunyai seorang kekasih, hal itu masih dianggapnya biasa walau pun tentu
saja tidak menyenangkan. Akan tetapi berpacaran dengan seorang keponakan
sendiri? Mustahil rasanya!
“Aku pun
tadinya tidak percaya, ayah. Akan tetapi setelah diperkenalkan, orang itu
mengaku keponakan Suma Hui, bahkan dia menyebut aku susiok.”
“Jangan-jangan
hanya murid keponakan saja, bukan keluarga.”
“Dia
menyebutnya Hui-i, berarti sumoi adalah i-i-nya, bukan hanya sekedar bibi
gurunya. Ayah, aku tidak sudi berjodoh dengan gadis tak tahu malu begitu!”
“Tolol!
Engkau menjadi murid, bahkan calon mantu seorang pendekar sakti seperti Suma
Kian Lee-taihiap, dan engkau mengatakan tidak sudi! Kita harus berusaha untuk
menggagalkan hubungan mereka. Aku yakin kalau Suma-taihiap mengetahui hubungan
antara puterinya dan keponakan puterinya itu, tentu dia akan menentang.
Bukankah dia sudah memilih engkau untuk menjadi calon menantunya? Pula, kurasa
hubungan itu hanya hubungan akrab antara bibi dan keponakannya saja.”
“Hubungan
akrab? Ayah, kalau mereka itu sudah saling berpelukan, saling berdekapan,
saling berciuman bibir, mungkin sekali mereka itu sudah saling bermain cinta,
tidur bersama....!” kata Tek Ciang marah.
“Hushh....!
Tahan mulutmu. Pemuda itu pun sungguh jahat dan kurang ajar. Kalau benar dia
itu keponakan Suma Hui, kenapa dia berani bermain gila dengan bibi sendiri? Tek
Ciang, kita adalah calon keluarga Suma-taihiap, dan engkau sendiri malah
muridnya yang ditugaskan menemani nona Suma di rumah. Kini, pemuda itu datang
mengacau, kita harus melindungi kehormatan calon isterimu. Aku sendiri yang
akan menghajar dan membunuh pemuda tidak sopan itu. Di mana dia?”
Louw-kauwsu
tentu saja marah dan khawatir sekali melihat bahaya kegagalan ikatan jodoh
antara puteranya dan puteri Suma Kian Lee. Hal ini berarti akan hancurnya semua
kebanggaan hatinya dapat berbesan dengan keturunan Pendekar Super Sakti,
keluarga Pulau Es yang amat terkenal itu.
“Tadi aku
membayanginya dan dia bermalam di hotel Tong-an, kamar nomor lima yang berada
di bagian kiri.”
“Baik,
engkau jangan ikut-ikut. Malam ini akan kubereskan dia! Kukira itu satu-satunya
jalan untuk membela kehormatan calon mantuku dan melenyapkan saingan untukmu.
Nah, kau kembalilah ke rumah suhu-mu dan bersikap seolah-olah tidak pernah
terjadi sesuatu.”
“Tapi,
ayah....!” Tek Ciang yang merasa cemburu dan panas hatinya membantah karena
sudah tertanam rasa tidak senang dan bahkan kebencian terhadap diri Suma Hui
yang mengecewakan hatinya.
“Diam!
Engkau harus mentaati perintahku. Ketahuilah bahwa aku melakukan semua ini demi
masa depanmu sendiri, tahu?” Tek Ciang tidak berani membantah lagi, kemudian
kembalilah dia ke rumah keluarga Suma.
Bagaimana
pun juga Tek Ciang adalah seorang pemuda yang cerdik dan amat pandai
menyembunyikan perasaan hatinya. Ketika sore hari itu Cin Liong datang dan dia
pun diundang untuk makan bersama, dia duduk semeja dengan Cin Liong dan Suma
Hui menikmati masakan gadis itu. Biar pun Cin Liong dan Suma Hui menjaga sikap
mereka sehingga tidak menonjolkan kemesraan di antara mereka, namun Tek Ciang
merasa sekali adanya kemesraan itu di dalam pandang mata, senyum dan suara
mereka. Tentu saja hatinya terasa panas membakar, namun dia menekannya dan diam
saja. Akan tetapi begitu selesai makan, dia pun berpamit dengan alasan untuk
berlatih di dalam kamarnya.
Cin Liong
bercakap-cakap dengan Suma Hui. Dia mengatakan bahwa dia akan tinggal beberapa
hari saja di Thian-cin, karena kedatangannya itu hanya untuk menyampaikan
berita tentang akan datangnya orang tuanya ke Thian-cin untuk mengajukan
pinangan.
Mereka
bercakap-cakap dengan santai dan tentu saja dengan mesra, seperti yang hanya
dapat dirasakan oleh dua orang yang saling mencinta. Kekhawatiran yang timbul
bahwa hubungan mereka akan ditentang oleh ayah gadis itu, dapat mereka
lenyapkan dengan kebulatan tekad mereka bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka
berdua akan menghadapinya bersama dan takkan ada apa pun di dunia ini yang
dapat menghalangi huhungan mereka dan niat mereka untuk menjadi suami isteri!
Senja telah
berganti malam ketika Cin Liong meninggalkan rumah kekasihnya. Bagaimana pun
juga, dia dan Suma Hui masih menjaga anggapan orang luar yang kurang baik
sehingga pemuda itu bermalam di rumah penginapan. Dia pun tidak berani terlalu
malam bertamu walau pun hatinya merasa berat untuk meninggalkan kekasihnya. Dia
berjalan menuju ke rumah penginapan Tong-an dengan mulut tersenyum dan hati
yang penuh rasa bahagia. Biar pun usianya sudah dua puluh sembilan tahun, namun
baru dua kali inilah Cin Liong jatuh cinta.
Pertama
kali, cintanya terhadap pendekar wanita Bu Ci Sian mengalami kegagalan karena
cintanya tidak terbalas dan semenjak itu, dia tidak pernah mengalami jatuh
cinta lagi sampai dia bertemu dengan Suma Hui. Maka, kebahagiaan yang terasa di
hatinya membuat pemuda ini melenggang dengan senangnya, seperti seorang pemuda
remaja mengalami cinta pertama saja.
Cin Liong
adalah seorang jenderal muda yang namanya sudah amat terkenal di kota raja, di
antara prajurit dan perwira, juga terkenal di dunia sesat, di antara para datuk
yang menganggapnya sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai, putera dari
Si Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, rakyat tidak mengenalnya karena dia
selalu pergi dengan pakaian preman, bagaikan seorang pemuda pelajar biasa.
Hanya pada waktu memimpin pasukan sajalah maka ia berpakaian seragam seorang
panglima. Kebiasaan berpakaian preman ini dilakukan karena memudahkan dia dalam
tugasnya untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan rahasia.
Itulah
sebabnya, walau pun Thian-cin sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari kota raja,
akan tetapi ketika pemuda ini melenggang menuju ke hotelnya, tidak ada yang
mengenalnya sebagai Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu.
Demikian
pula Louw Kam atau Louw-kauwsu bersama dua orang pembantunya yang membayanginya
sejak tadi, sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang dibayangi dan hendak
diserang itu adalah seorang panglima kerajaan yang ternama, putera Si Naga
Sakti Gurun Pasir yang sakti. Andai kata Louw-kauwsu tahu akan hal ini, tentu
dia akan menghitung sampai seribu kali sebelum dia berani menggunakan tindakan
menyerang pemuda ini dan tentu akan menggunakan akal lain.
Penyerangan
itu dilakukan ketika Cin Liong tiba di lorong yang gelap dan sepi itu. Ketika
ada tiga orang laki-laki menyerangnya dari belakang dan kanan kiri, mempergunakan
golok dan pedang. Cin Liong cepat mengelak, melompat ke depan, lalu membalikkan
tubuhnya.
Penyerangan
gelap merupakan hal yang tidak aneh baginya, bahkan dia sudah hampir terbiasa
oleh peristiwa seperti ini. Dalam tugasnya, sudah sering kali dia menghadapi
penyerangan gelap yang dilakukan oleh pihak lawan. Orang-orang ini tentu kaki
tangan pemberontak, atau mata-mata yang mengenalinya dan yang berusaha
membunuhnya dengan jalan membokong. Dia pun tidak merasa heran ketika melihat
bahwa dia sama sekali tidak mengenal tiga orang ini.
Sementara
itu, melihat betapa serangan mereka yang pertama itu dengan mudah dapat
dielakkan lawan, Louw-kauwsu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Tadinya
sudah dibayangkannya bahwa pemuda itu akan dapat dirobohkan dengan sekali
serang saja.
Maka dia pun
lantas membentak marah, “Penjahat cabul perusak anak gadis orang, rasakan
pedangku!” Dan dia pun sudah menyerang lagi dengan tusukan pedangnya ke arah
dada Cin Liong.
“Wirrrrr....!”
Cin Liong
mengelak lagi. Pemuda ini agak heran mendengar tuduhan orang. Biasanya, kalau
dia diserang orang-orang secara menggelap, tentu ada hubungannya dengan tugas
dan kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi sekali ini dia diserang orang
dengan tuduhan menjadi penjahat cabul perusak anak gadis orang! Tentu saja dia
menjadi penasaran sekali.
“Ehhh, nanti
dulu, sobat. Kalian salah melihat orang!” bantahnya.
Akan tetapi,
dua orang pembantu Louw Kam sudah menyerangnya dari kanan kiri, menggunakan
golok mereka. Serangan mereka jelas adalah serangan untuk membunuh dengan
gerakan yang cepat, kuat dan keji sekali. Dan memang dua orang ini adalah
pembunuh-pembunuh bayaran yang telah disewa oleh Louw Kam untuk membantunya
membunuh pemuda yang dianggapnya menjadi penghalang dan pengacau besar itu.
Karena
menghadapi serangan maut, Cin Liong tidak tinggal diam lagi. Cepat tubuhnya
berkelebat ke belakang dan pada saat dua batang golok itu menyambar, dia
bergerak seperti kilat ke depan sambil menggerakkan kaki kiri dan tangan
kanannya.
“Bukkk!
Dessss....!”
Dua orang
itu terpelanting, golok yang berada di tangan mereka terpental dan mereka
mengaduh-aduh kesakitan. Yang seorang tertendang patah tulang lututnya, dan
orang ke dua terkena tamparan dan patah-patah tulang pundaknya.
Melihat ini,
Louw Kam makin kaget dan juga makin penasaran. Dua orang pembantunya itu adalah
pembunuh-pembunuh bayaran yang walau pun tidak memiliki ilmu silat terlalu
tinggi, akan tetapi cukup dapat diandalkan. Siapa kira dalam segebrakan saja
mereka sudah roboh dan tidak berdaya menghadapi pemuda yang tadinya dianggap
sebagai makanan lunak itu.
Karena sudah
terlanjur, guru silat yang ambisius ini kemudian menyerang lagi dengan
pedangnya. Cin Liong dapat mengenali jurus ilmu silat yang baik, jauh lebih
baik dan lebih tangguh dibandingkan dua orang pertama tadi, maka dia pun dapat
menduga bahwa tentu orang ke tiga inilah pemimpinnya. Dia cepat mengelak dan
membiarkan tusukan itu lewat di samping tubuhnya dan dengan perlahan dia
mendorong dengan tangan kirinya. Louw Kam tak dapat menahan hawa dorongan
dahsyat itu dan dia pun terjengkang!
Akan tetapi,
Louw Kam sudah meloncat bangun lagi. Dia menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa
pemuda itu bukan orang sembarangan. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa hal
ini tidak diselidiki lebih dahulu. Betapa bodohnya dia. Tentu saja seorang
anggota keluarga Pulau Es memiliki kepandaian yang tinggi!
Kenekatan
Louw Kam membuat dia dapat meloncat bangun dan segera menyerang lagi, kini
menggunakan jurus-jurus dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Biar pun baru diserang
beberapa kali, Cin Liong sudah dapat mengenali dasar gerakan silat
Siauw-lim-pai ini, maka dia pun mengelak lagi, merasa ragu menjatuhkan atau
melukai lawan.
“Nanti dulu,
sobat. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Kenapa tanpa sebab engkau
menyerangku?”
Makin
jelaslah bagi Louw-kamsu bahwa pemuda ini benar-benar seorang ahli silat yang
pandai sehingga dalam beberapa jurus saja sudah mengenal dasar ilmu silatnya.
Dia merasa makin menyesal, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berterus
terang. Terus terang sama saja artinya dengan membongkar rahasianya. Jalan
satu-satunya hanyalah membunuh orang ini.
Dia
menyerang lagi tanpa menjawab dan sekarang dia menyerang sambil mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya. Pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar
ketika menyambar ke depan, dibarengi bentakannya yang nyaring.
Cin Liong
menjadi marah. Dia pun tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai ada pula yang
murtad, di antaranya adalah mendiang Kaisar Yung Ceng sendiri. Maka tentu orang
di depannya ini juga seorang murid Siauw-lim-pai yang telah murtad, atau bukan
murid Siauw-lim-pai yang mencuri ilmu perguruan silat itu. Dia harus dapat
membongkar rahasia penyerangan ini dan untuk itu, dia tidak akan membunuh
lawannya.
“Bressss....!”
Serangan
Louw Kam disambut oleh Cin Liong dengan sebuah tendangan kilat yang amat
dahsyat dan membuat tubuh guru silat itu terlempar sampai empat meter jauhnya
dan terbanting ke atas tanah. Diam-diam guru silat itu merasa terkejut bukan
main. Jika bukan seorang sakti, mana mungkin menghadapi serangan pedangnya tadi
dengan tendangan yang membuatnya terlempar?
Dia merasa
sakit pada iganya, maklum bahwa ada tulang iganya yang patah. Akan tetapi,
tidak ada jalan lain baginya. Menyerah dan mengaku berarti akan mencelakakan
namanya dan nama puteranya. Kalau sampai terdengar oleh Suma Kian Lee bahwa dia
sudah mengajak dua orang pembunuh bayaran berusaha membunuh cucu keponakan
pendekar itu, sungguh dia tak berani membayangkan apa yang akan menjadi
akibatnya sehubungan dengan rencana perjodohan antara puteranya dan puteri
pendekar sakti itu!
Satu-satunya
jalan hanyalah melawan dan berusaha sedapat mungkin untuk membunuh pemuda ini.
Dua orang kawannya sudah dapat bangkit kembali dan mereka kini sudah maju pula,
biar pun dengan terpincang-pincang. Ternyata dua orang pembunuh bayaran itu
juga memegang teguh janji mereka dan biar pun mereka sudah terluka, melihat
betapa Louw-kauwsu melawan terus, mereka pun mencoba untuk membantunya.
Diam-diam
Cin Liong merasa heran dan juga penasaran. Dia sudah menghajar orang-orang ini,
akan tetapi mereka nekat terus. Apakah yang menyebabkan mereka begini nekat dan
membencinya? Tentu ada sebabnya, dan mungkin juga hanya suatu kesalah pahaman
belaka.
Maka, ketika
mereka menerjang lagi, dia pun cepat bergerak dan mendorong mereka sampai
mereka terlempar jauh ke belakang. Sekali ini, dua orang pembantu Louw Kam
tidak dapat bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh saja. Louw Kam sendiri
mengalami patah tulang pundak kirinya dan dia maklum bahwa melawan terus tidak
ada artinya.
Pemuda itu
sungguh terlampau kuat untuk dilawan olehnya. Dan ia tahu bahwa pemuda itu
agaknya hendak menangkapnya dan hendak memaksanya mengaku mengapa dia dan dua
orang temannya melakukan serangan-serangan tanpa alasan. Hal ini membuat Louw
Kam menjadi bingung sekali.
Tetapi
tiba-tiba dia memperoleh jalan terbaik untuk menolong nama puteranya dan juga
menjatuhkan fitnah buruk terhadap pemuda yang kini menjadi penghalang
kebahagiaan puteranya ini. Melihat betapa kedua orang temannya menggeletak
tidak jauh dari tempat dia roboh, cepat dia menggerakkan pedangnya. Dua kali
dia menusuk dan pedangnya menembus jantung dua orang pembantunya itu. Darah
muncrat-muncrat dan mereka berkelojotan dalam sekarat.
“Heiiii!”
Cin Liong berseru kaget melihat perbuatan laki-laki murid Siauw-lim-pai itu.
Dia melihat orang itu meloncat dan melarikan diri. Tentu saja dia tak mau
membiarkan orang itu lari.
“Tunggu
dulu, jangan lari!” bentaknya.
Dengan beberapa
kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul. Akan tetapi, tiba-tiba Louw Kam
membalik dan menggunakan pedang di tangannya menggorok leher sendiri.
“Celaka....!”
Cin Liong berteriak.
Cepat
kakinya menendang lengan yang memegang pedang. Namun karena perbuatan guru
silat itu sama sekali tidak pernah diduganya, meski tendangan itu tepat
mengenai lengan dan pedang itu terlempar, akan tetapi leher orang she Louw itu
sudah tergorok hampir putus dan tubuh Louw Kam berkelojotan lalu tewas tak lama
kemudian!
Sejenak Cin
Liong termenung, memandangi tiga mayat itu dengan hati sedih. Banyak orang
jahat memusuhinya, akan tetapi setiap kali dia merobohkan lawan, tentu dia
mengenal siapa lawan itu dan apa sebabnya lawan menyerangnya. Akan tetapi, tiga
orang ini menyerangnya tanpa alasan dan mereka mati bukan di tangannya. Mengapa
mereka begitu nekat? Mengapa pemimpin mereka itu sampai tega membunuh
kawan-kawan sendiri kemudian membunuh diri?
Hanya satu
jawaban, yakni bahwa orang itu tentu menyimpan rahasia dan tidak ingin
diketahui rahasianya, tidak ingin dikenal dan lebih baik mati dari pada
menyerah dan tertangkap!
Cin Liong
lalu pergi mengunjungi perwira yang menjadi komandan keamanan di kota
Thian-cin. Ketika Cin Liong malam-malam datang ke rumah komandan ini dan
kemudian memperkenalkan diri, tentu saja komandan itu terkejut bukan main dan
dengan gugup melakukan penyambutan atas kedatangan Jenderal Kao Cin Liong,
panglima muda yang amat terkenal dan yang datang dengan pakaian preman itu.
Cin Liong
menceritakan tentang penyerangan ketiga orang itu. “Harap ciangkun suka
melakukan penyelidikan, siapakah mereka itu dan mengapa pula mereka menyerangku
mati-matian. Besok kutunggu laporanmu di hotel Tong-an.”
Coa-ciangkun,
komandan itu, mengangguk-angguk. “Baik, Kao-goanswe, besok akan saya laporkan.
Akan tetapi, apakah Kao-goanswe sebaiknya tidak bermalam saja di rumah kami?
Dari pada di rumah penginapan umum itu....”
Akan tetapi
Cin Liong menggoyang tangan. “Engkau tahu, aku lebih suka menyamar dan
melakukan perjalanan dengan diam-diam untuk dapat melakukan pengamatan dan
penyelidikan dengan mudah. Jangan beritakan tentang kehadiranku di kota ini.”
Walau pun
kehadiran jenderal muda itu dirahasiakan sehingga tidak ada yang tahu, namun
peristiwa itu diketahui umum dan menggegerkan kota Thian-cin. Louw Kam yang
dikenal sebagai Louw-kauwsu, bersama dua orang yang dikenal sebagai
pembunuh-pembunuh bayaran, telah tewas di tepi jalan tanpa diketahui siapa
pembunuhnya!
Tentu saja
Tek Ciang kemudian menjadi terkejut sekali dan pemuda ini menangisi jenazah
ayahnya. Hanya dialah seorang yang tahu benar mengapa ayahnya tewas dan dia
dapat menduga siapa pembunuh ayahnya itu. Akan tetapi, dia tidak dapat membuka
mulut mengatakan kepada siapa pun juga karena hal itu akan membuka rahasia
ayahnya yang hendak membunuh Cin Liong dan juga membuka rahasia dirinya
sendiri.
“Ayah, aku
bersumpah untuk membalaskan kematian ayah kepada Kao Cin Liong itu, apa pun
jalannya!” Begitulah dia berbisik dalam hati ketika dia menyembahyangi peti
mati ayahnya.
Suma Hui
yang mendengar berita itu pun terkejut sekali dan dara ini menyatakan duka
citanya atas malapetaka yang menimpa diri ayah suheng-nya. Karena orang tuanya
tak berada di rumah, ia pun mewakili mereka untuk datang melayat dan
bersembahyang di depan peti mati guru silat Louw Kam. Dara ini tak tahu betapa
selagi ia bersembahyang, sepasang mata Tek Ciang memandangnya dengan penuh rasa
dendam dan kemarahan yang ditahan-tahan.
Sementara
itu, pada keesokan harinya Cin Liong menerima laporan dari komandan Coa
mengenai tiga orang itu. Akan tetapi, laporan itu hanya menjelaskan siapa
adanya mereka.
“Kami tidak
dapat mengetahui mengapa mereka itu menyerang paduka,” demikian kata komandan
Coa. “Louw Kam adalah seorang duda, pekerjaannya guru silat, seorang murid
Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan dua orang itu
adalah dua orang pembunuh bayaran dan siapa pun akan mereka serang dan bunuh
asalkan mereka diberi uang. Louw-kauwsu sudah tewas, kami tidak dapat mencari
keterangan mengapa dia minta bantuan dua orang penjahat itu untuk menghadang
dan menyerang paduka. Putera tunggalnya juga tidak tahu, apalagi karena sudah
beberapa bulan ini putera tunggalnya tinggal bersama Suma-taihiap....”
“Suma-taihiap?”
Cin Liong bertanya kaget. “Suma-taihiap siapa?”
“Pendekar
Suma Kian Lee. Kabarnya, putera Louw-kauwsu itu menjadi murid Suma-taihiap dan
memang ada jalinan persahabatan antara Suma-taihap dan Louw-kauwsu.”
“Ahhhhh....!”
Cin Liong tidak bertanya lagi dan mengucapkan terima kasih. Kemudian pergilah
dia bergegas ke rumah Suma Hui.
Gadis itu
menyambutnya dengan berita yang mengejutkan itu. “Cin Liong, telah terjadi
malapetaka hebat. Ayah Louw-suheng tewas terbunuh orang!”
Akan tetapi,
bukan Cin Liong yang terbelalak kaget, sebaliknya malah Suma Hui yang memandang
dengan mata terbelalak melihat kekasihnya itu tenang-tenang saja, bahkan
menjawab, “Aku sudah tahu, Hui-moi, karena orang itu adalah aku sendiri.”
“Apa.... apa
maksudmu....?”
Cin Liong
menyambar tangan kekasihnya yang terasa agak dingin itu dan menariknya masuk ke
dalam rumah. “Mari kita bicara di dalam.”
Setelah
mereka berada di dalam rumah, Cin Liong kemudian menceritakan semua
pengalamannya malam tadi sesudah meninggalkan rumah kekasihnya.
“Aku
berusaha untuk mengetahui sebab-sebab mengapa mereka menyerangku kalang kabut
tanpa alasan, dan aku sudah berhati-hati agar tidak sampai membunuh mereka.
Maka aku hanya merobohkan mereka dengan mematahkan tulang pundak saja. Siapa
kira, orang itu membunuh kedua orang temannya dengan tusukan pedang, kemudian
melarikan diri. Pada saat aku mengejarnya, tiba-tiba dia menggorok leher
sendiri. Aku menyesal tidak dapat mencegah kenekatannya itu. Komandan Coa yang
kuperintahkan menyelidiki, juga tidak dapat menerangkan mengapa guru silat Louw
itu mati-matian hendak membunuhku.”
Suma Hui
merasa demikian kaget dan heran sehingga tak dapat berkata-kata sampai beberapa
lamanya. Kemudian ia menarik napas panjang. “Sungguh mati kejadian itu amat
aneh dan sukar dipercaya. Ketika komandan Coa itu datang dan bertanya kepada
Louw-suheng pagi tadi, aku pun berada di sana melayat. Louw-suheng tidak dapat
memberi keterangan apa-apa, karena dia pun sama sekali tidak tahu dan sudah
empat bulan selalu berada di rumah ini.”
Cin Liong
mengangguk akan tetapi alisnya berkerut karena dia ingat betapa siang hari
kemarin, Tek Ciang membayanginya dari rumah ini sampai ke rumah penginapan! Ada
sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu, pikirnya.
“Aku ingin
dapat bicara dengan Louw Tek Ciang. Bagaimana pun juga, aku ingin mengetahui
apa sebabnya ayahnya yang sama sekali tidak kenal denganku itu demikian
membenciku dan ingin membunuhku, sampai ditebus dengan nyawanya sendiri. Tentu
ada sebab-sebab yang amat penting di balik perbuatannya itu dan agaknya, tidak
mungkin kalau puteranya tidak tahu.”
Suma Hui
memandang khawatir. “Akan tetapi, suheng masih belum tahu bahwa yang
menyebabkan kematian ayahnya adalah engkau! Apakah perlu hal itu diberi tahukan
kepadanya?”
Cin Liong
tersenyum dan memandang wajah kekasihnya, lalu memegang tangannya. “Hui-moi,
kenapa engkau? Bukankah itu sudah seharusnya? Seorang gagah tidak akan
memyembunyikan semua perbuatannya, bahkan berani bertanggung jawab atas semua
perbuatannya. Guru silat she Louw itu tewas bukan oleh tanganku, melainkan
akibat membunuh diri karena tidak mau kutangkap. Dan serangan-serangan itu pun
dimulai dari pihaknya terhadap diriku tanpa alasan. Betapa pun pahitnya, Louw
Tek Ciang harus berani menghadapi kenyataan ini, dan kalau dia menganggap aku
sebagai pembunuh ayahnya dan mendendam, dia bukan seorang berwatak gagah dan
tidak patut menjadi suheng-mu!”
Suma Hui
sadar dan ia pun mencengkeram tangan kekasihnya. “Engkau benar, Cin Liong,
engkau benar dan memang seharusnya hal ini dibicarakan dengan terus terang
kepadanya. Aku sungguh merasa heran sekali. Ayahnya adalah sahabat baik ayahku.
Agaknya ayahku tidak akan keliru memilih sahabat.”
“Aku pun
sudah mendengar pelaporan dari Coa-ciangkun bahwa Louw-kauwsu belum pernah
melakukan kejahatan. Hal ini membuat aku semakin tertarik dan ingin tahu apa
sesungguhnya yang menjadi sebab hingga dia membenciku. Apakah dia telah
tersesat menjadi kaki tangan pemberontak? Dan ada satu hal lagi yang sangat
mengganggu pikiranku. Sebelum roboh dan sebelum membunuh diri, orang itu pernah
memakiku sebagai seorang penjahat cabul perusak gadis orang!”
“Ehhh....?”
Suma Hui mengerutkan alisnya, menjadi makin heran dan tidak mengerti.
Kekasihnya
dimaki penjahat cabul perusak anak gadis orang? Sungguh aneh, lucu dan membuat
orang menjadi penasaran! Kekasihnya ialah seorang jenderal muda, seorang
panglima muda yang terhormat, seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi dan
gagah perkasa!
“Itulah
sebabnya yang mendorongku untuk bicara dengan Tek Ciang. Mungkin dia dapat
membantu memecahkan persoalan yang membingungkan ini.”
Terpaksa Cin
Liong menunggu sampai upacara pemakaman jenazah Louw Kam selesai dan dia pun
memperpanjang tinggalnya di Thian-cin selama beberapa hari lagi. Setelah acara
penguburan selesai dan Tek Ciang kembali ke rumah suhu-nya dengan pakaian
berkabung, Cin Liong datang menemuinya dengan perantaraan Suma Hui. Wajar Tek
Ciang masih pucat ketika dia duduk berhadapan dengan Cin Liong dan Suma Hui.
“Louw-suheng,
Cin Liong ingin bicara dengan jujur dan terbuka denganmu mengenai ayahmu,” Suma
Hui memulai dengan percakapan yang amat tidak enak itu.
Tek Ciang
mengangkat mukanya yang agak pucat, sejenak memandang kepada Cin Liong,
kemudian menoleh kepada Suma Hui. “Sumoi, apa lagi yang dapat dibicarakan? Ayahku
telah meninggal....,” suaranya gemetar dan matanya menjadi merah.
“Louw-susiok,”
kata Cin Liong dengan sikap tenang. Dia tetap menyebut susiok untuk menghormati
Suma Kian Lee, walau pun kekasihnya sudah menegurnya akan hal itu. “Apakah
engkau tahu bagaimana meninggalnya ayahmu?”
Louw Tek
Ciang memandang dan matanya mengandung kemarahan dan dendam. “Dia dibunuh
penjahat, apa lagi yang perlu diketahui? Kalau aku dapat mengetahui siapa
penjahat itu....!” Pemuda ini mengepal tinjunya dan pandang matanya menjadi
beringas.
Tentu saja
hati Suma Hui menjadi semakin tidak enak. Kalau saja bukan kekasihnya yang
menghadapi urusan ini, tentu ia lebih baik pergi saja dan tidak usah menjadi
saksi dalam perkara yang tidak enak ini.
“Susiok,
ayahmu sama sekali tidak dibunuh penjahat. Ayahmu telah membunuh dirinya
sendiri dengan menggorokkan pedangnya sendiri ke lehernya.”
Tek Ciang
bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Bagaimana
engkau bisa tahu?”
“Karena
akulah orangnya yang kau namakan penjahat tadi.”
Wajah itu
semakin pucat dan matanya makin terbelalak. “Kau.... kau....? Kau pembunuh
ayahku!” Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah
menyerang Cin Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.
“Suheng,
tenang dan duduklah lagi!”
Tek Ciang
menoleh kepada sumoi-nya, kemudian menjatuhkan diri duduk kembali dan
menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.
“Maaf,
Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi,
engkau sebagai puteranya harus mendengarkan peristiwa yang sesungguhnya
terjadi. Akulah orangnya yang semalam diserang oleh ayahmu tanpa sebab.
Kemudian ayahmu menggunakan pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia
membunuh diri dengan pedangnya pula.”
“Aku sudah
mendengar akan kematian ayah!” Tek Ciang memotong, menurunkan kedua tangannya
dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipinya basah air mata. “Kedua orang itu
adalah penjahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh
mereka, kemudian ayah dibunuh orang yang lebih kuat!”
“Suheng! Cin
Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri dengan
pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kau
percaya sepenuhnya. Akulah yang menanggung bahwa keterangannya itu benar dan
tidak bohong.”
Sejenak Tek
Ciang menentang pandang mata sumoi-nya, kemudian menunduk sambil berkata
penasaran, “Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di
akal kalau dia membunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia
membunuh diri.”
“Untuk hal
itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok,
kemudian kau coba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin
malam, ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan gelap,
tiba-tiba ada tiga orang menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang
lagi, yaitu ayahmu, menggunakan pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya,
mengatakan bahwa mungkin mereka salah mengenal orang. Akan tetapi mereka
bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan bertubi-tubi yang berbahaya.
Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud merobohkan dan menangkap
mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka menyerangku dan siapa
pula adanya mereka. Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang pemegang golok yang
rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai
yang dimainkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai
adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Beberapa kali
aku membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat.
Tiba-tiba saja ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok
yang telah roboh terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melarikan
diri. Aku mengejarnya dan dia lalu menggorok leher sendiri. Sayang aku tidak
sempat mencegahnya. Nah, demikianlah kejadian yang sebenarnya, Louw-susiok.
Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu, dapatkah engkau mengetahui atau
menduga-duga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan membenciku, lalu menyerang
dan hendak membunuhku?”
Sebetulnya,
tanpa mendengarkan cerita itu pun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang telah
terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal
bahwa ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biar pun dia suka
menjadi murid Suma Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma
Hui, akan tetapi kalau harus mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak
rela!
Dan kini,
melihat orang yang menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan
menjadi saingannya dan agaknya akan menjadi penghalang perjodohannya dengan
Suma Hui, bagaimana dia tidak akan membencinya setengah mati?
Pertanyaan
Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu
mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu benar adalah bahwa ayah seorang guru
silat yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu.”
Dengan
ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah
gadis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka kenyataan ini dapat dipakai untuk
menyudutkan pemuda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayahnya yang baik sampai
terbunuh, kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!
Mendengar
jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir.
“Dengarlah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku
sebagai penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu
sama sekali tidak mengingatkan engkau akan sesuatu? Barangkali ayahmu
bermusuhan dengan seseorang? Ataukah engkau mengenal seorang penjahat cabul
yang dimusuhi ayahmu, seorang penjahat yang suka merusak kaum wanita dan
membuat ayahmu marah dan mendendam kepadanya?”
“Ahhh....!
Itukah sebabnya?” Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di
depannya. “Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari
yang lalu, ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seorang penjahat
cabul, seorang jai-hwa-cat dan ketika bertemu denganmu... hemmm, kau Cin Liong,
mengapa ayahku memakimu penjahat cabul? Siapa tahu penjahat cabul yang
berkeliaran di kota ini adalah engkau?”
“Suheng,
jangan menuduh sembarangan!” Tiba-tiba Suma Hui membentak suhengnya dengan muka
merah karena marah.
Akan tetapi
Cin Liong hanya tersenyum “Maafkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh perasaan
dendam dan duka.”
“Louw-suheng,
buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa
adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin
Liong, panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar,
berkedudukan tinggi dan dia pun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga
Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah engkau masih mempunyai kecurigaan bahwa dia
adalah seorang penjahat cabul?”
Pemuda itu
duduk bengong, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa dia
dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini
adalah seorang panglima kota raja dan bahkan putera pendekar sakti yang amat
ditakuti semua orang itu? Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak
heran kalau ayahnya membunuh diri karena khawatir tertawan dan kemudian terbuka
rahasianya.
“Ahhh....!”
keluhnya lirih. “Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa, akan tetapi agaknya
ayah menyangka engkaulah penjahat itu.”
Cin Liong
mengangguk-angguk. “Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang tersisa. Mungkin
memang ada penjahat cabul berkeliaran di sini dan ayahmu belum mengenal
mukanya, lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat
itu dan aku atau....” Cin Liong berhenti.
“Atau
kemungkinan apa lagi?” Suma Hui mendesak.
“Tidak ada
lagi,” kata Cin Liong menahan diri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek
Ciang yang membayangi kemarin.
“Bagaimana
pun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!”
teriak Tek Ciang. “Aku tak akan tinggal diam dan setiap malam aku akan mencoba
melanjutkan usaha ayah, mencari jejaknya.”
Suma Hui dan
Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap malam
keluar rumah dan baru pada pagi harinya pulang dengan wajah pucat dan tubuh
lesu. Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya
penjahat cabul yang berkeliaran, melainkan hal itu dilakukan karena
kecerdikannya.
Dia tahu
bahwa penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking
marahnya melihat Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui.
Cin Lionglah yang dimaki ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak
Suma Hui! Akan tetapi, untuk mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong
bahwa memang ayahnya tidak punya rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat
cabul, maka dia pun berpura-pura mencari penjahat cabul itu setiap malam!
Sebenarnya,
ke manakah perginya pemuda ini setiap malam? Dia pergi ke tempat sunyi di luar
kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan
duduk melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam
ke tiga, selagi dia duduk melamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian
belakang kuil.
Tek Ciang
terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apalagi setelah dia
merasa menjadi murid pendekar sakti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan
cepat menuju ke ruangan belakang. Sinar bulan memasuki ruangan itu dari atap
yang sebagian besar telah berlubang dan rusak.
Dan di
bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya sudah disapu
bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila! Diam-diam dia merasa heran
bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia
tidak mendengar kedatangannya?
Laki-laki
itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak ganteng dan pakaiannya
juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang masih
mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang.
Agaknya
angin datang dari arah depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah
belakang. Kalau terjadi sebaliknya, tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini
karena dupa itu telah terbakar setengahnya lebih.
Dan di
sebelah kanannya terdapat pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang
isinya entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia...
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment