Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 09
"Siapakah
engkau....?" Dengan memberanikan diri Tek Ciang menegur.
Laki-laki
yang tadinya bersila sambil memejamkan matanya itu kini membuka mata memandang
lalu tersenyum. “Engkau hendak mencari seorang pemetik bunga? Nah, di sinilah
aku, lalu engkau mau apa?”
Jawaban dan
pertanyaan itu membuat Tek Ciang terheran. Tentu saja dia sama sekali tidak
pernah mencari penjahat pemerkosa yang biasanya disebut jai-hwa-cat (penjahat
pemetik bunga) karena hal itu dikemukakan kepada Cin Liong dan Suma Hui hanya
untuk menutupi rahasia ayahnya saja. Dan orang ini begitu saja mengaku bahwa
dirinya jai-hwa-cat dan bahkan tahu bahwa dia mencari jai-hwa-cat!
Yang
mendengar pernyataannya itu hanya Cin Liong dan Suma Hui, bagaimana orang ini
dapat mengetahuinya? Tentu orang ini kaki tangan Cin Liong! Benar, bukankah Cin
Liong katanya seorang jenderal dan panglima? Tentu banyak anak buah dan kaki
tangannya, dan orang ini tentu diutusnya untuk menyelidikinya. Tek Ciang merasa
kaget dan juga marah. Dia bukan seorang bodoh yang mudah dipancing begitu saja.
“Hemm,
setiap orang bisa saja mengaku sebagai jai-hwa-cat, akan tetapi apa buktinya
bahwa engkau seorang jai-hwa-cat tulen ataukah palsu yang hanya pura-pura
saja?”
“Bocah
tolol, berani engkau mengatakan aku jai-hwa-cat palsu? Hati-hati menjaga
mulutmu!” Orang itu menegur dengan alis berkerut, jelas merasa tidak senang
dikatakan penjahat palsu.
Sebaliknya,
Tek Ciang yang masih menaruh hati curiga, mendengar ucapan keras itu juga
menjadi marah. “Habis engkau mau apa? Engkau tentu datang untuk memata-mataiku,
keparat!”
Pemuda ini
lalu menerjang ke depan dan menyerang orang itu dengan kedua kepalan tangannya,
menghantam dua kali berturut-turut ke arah kepala orang itu.
Akan tetapi,
sebelum kedua kepalannya menyentuh orang itu, yang diserang mengulur tangan dengan
jari tangan terbuka didorongkan ke depan, dan akibatnya tubuh Tek Ciang
terlempar ke belakang, terjengkang seperti tertolak oleh kekuatan dahsyat yang
tidak nampak!
Pemuda ini
kaget bukan main. Akan tetapi dia bukan seorang penakut dan dengan penasaran
dia sudah menubruk maju lagi, mengirim pukulan yang lebih dahsyat. Kembali
orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras
pula dia terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.
“Ha-ha-ha,
sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau menyerangku
kalau kita mempunyai kepentingan bersama? Engkau kematian ayahmu dan tunanganmu
direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan aku pun juga. Kalau
kita bekerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!”
Tek Ciang
memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah. Orang ini agaknya mengetahui
segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong
sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diangkat menjadi calon suami
Suma Hui, akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!
“Siapakah
engkau....?” Kembali dia bertanya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan
keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga
tanpa menyentuh sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.
“Di dunia
kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa
Siauw-ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan tetapi kalau engkau mencari
pemetik bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!”
Orang itu
memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong ketika
para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita
ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya
lari ke daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu
Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong
muncul dan nyaris dia celaka kalau dia tidak segera melarikan diri.
Tentu saja
hatinya merasa kecewa bukan main dan dia pun tidak mau berhenti sampai di situ
saja. Diam-diam dia lalu melakukan penyelidikan ke Thian-cin dan dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian Lee ketika berkunjung
ke rumah guru silat Louw Kam, dan kemudian dia pun dapat mendengar percakapan
rahasia antara guru silat itu dan puteranya.
Setelah dia
melihat Loaw Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon
mantu oleh Suma Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi girang
sekali. Apalagi setelah dia melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw
Tek Ciang. Dia melihat seorang pembantu yang sangat baik di dalam diri Tek
Ciang, seorang pembantu yang akan dapat melampiaskan seluruh dendam dan
kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan Cin Liong.
Demikianlah,
diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu dia memperoleh kesempatan baik
untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil tua.
Sementara
itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat
Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang
ini, bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya?
Memang, setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan
seorang teman dan pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus
berhati-hati. Biar pun orang ini lihai sekali, akan tetapi dia belum
mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum membuka rahasianya.
“Lociapwe
adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya,” katanya
hati-hati, “tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat
percaya begitu saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?”
“Ha-ha-ha,
di dalam dunia kita, tidak pernah dikenal maksud baik. Aku membutuhkan
bantuanmu, karena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka
engkau pun sepatutnya menerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau
engkau belum yakin bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini
korbanku terakhir malam ini, baru saja kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!”
Jai-hwa Siauw-ok menarik ujung karung dan isinya pun menggelinding keluar.
Tek Ciang
terkejut melihat bahwa isi karung itu ternyata adalah seorang gadis muda
berusia paling banyak lima belas tahun, wajahnya cantik akan tetapi pucat
sekali, rambutnya awut-awutan dan sepasang matanya yang indah lebar itu seperti
mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.
Gadis itu
tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok
menggerakkan tangan menotoknya, ia pun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan
melihat Tek Ciang ia lalu merintih memohon, “Tolonglah aku.... tolonglah
aku.... lepaskan aku....”
Tanpa disadarinya
sendiri, melihat gadis remaja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek Ciang
merasa gembira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati
wanita, hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina
wanita yang dibencinya. Kini, melihat gadis itu menderita, dia pun merasa
gembira dan puas. Seri wajah dan sinar matanya tidak lepas dari pengamatan
Jai-hwa Siauw-ok, walau pun cuaca di situ remang-remang saja, hanya ada sedikit
cahaya bulan yang masuk.
“Ha-ha-ha,
memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat! Engkau
pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
“Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja
Pemetik Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?”
Tek Ciang
menggeleng kepala. “Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang,
locianpwe.”
“Bagus! Nah,
kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi,” katanya sambil menunjuk
ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang sekarang mundur-mundur merangkak
dan mepet di sudut ruangan itu.
Pakaiannya
masih utuh akan tetap kusut dan kini saking takutnya ia sudah tidak mampu
mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada Siauw-ok dan Tek
Ciang. Gadis ini merasa putus asa karena pemuda itu ternyata agaknya sahabat
dari penculiknya.
Tadi dia
masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada bayangan
berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di
depannya. Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu
bersuara, bahkan tubuhnya seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian
dimasukkan karung dan merasa tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan cepat sekali.
Berkali-kali dia pingsan dan ketika sadar, ia masih berada di dalam karung, di
ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan bersuara setelah dikeluarkan
dari dalam karung.
Sepasang
mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata
memperkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja dia pun sudah memperkosa banyak
wanita dengan uangnya, lalu mempermainkan wanita itu serta menghinanya. Sesaat
timbul nafsu birahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam
kesulitan.
Dia masih
mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih
belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan
belaka dan kalau dia terpancing, orang lihai ini segera akan turun tangan
mencegahnya memperkosa gadis itu, atau malah membunuhnya!
Tek Ciang menggeleng
kepala. “Tidak, locianpwe. Aku.... aku tak ingin....”
Siauw-ok
menyeringai. “Siapa bilang tak ingin? Nafsu birahimu telah membakar sampai
nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak berani, engkau takut dan
masih belum percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri.
Nanti lewat tengah malam baru kita bicara!”
Setelah
berkata demikian, Siauw-ok lalu mengangkat muka memandang kepada gadis remaja
yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai.
“Manis, ke
sinilah engkau!”
Tentu saja
gadis itu makin ketakutan, menggeleng-geleng kepalanya dan makin mepet dinding,
seolah-olah dia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding
itu.
“Ke sinilah,
jangan malu-malu dan jangan takut-takut....,” berkata Siauw-ok lagi sambil
menggapai dan tersenyum ramah.
Gadis itu
menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang
kosong. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis
remaja itu bangkit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu belakang itu.
“Ahh, jangan
lari, manis!” Siauw-ok berkata, suaranya masih halus. Tangannya bergerak ke
depan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling seolah-olah kakinya ada yang
menjegalnya.
“Ha-ha-ha,
engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!” Siauw-ok berkata dan kembali ia
mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan
heran melihat betapa tubuh gadis itu kini terguling-guling ke arah Siauw-ok
seperti ditarik oleh suatu kekuatan yang hebat.
“Uhhh....!”
Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya.
Terdengar
suara kain robek berkali-kali yang disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang
tersenyum melihat betapa pakaian gadis itu robek-robek, lalu dia pun
meninggalkan ruangan belakang itu, menuju ke ruangan depan di mana dia lalu
duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan yang terdengar dari ruangan
belakang itu.
Mendengar
rintihan yang memelas itu dia tersenyum dan hatinya merasa senang sekali.
Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik hatinya puas. Kalau saja dia tidak
sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia sudah tidak curiga
sama sekali terhadap orang itu, tentu saja dia ingin sekali melaksanakan
sendiri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton
dengan puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengarannya saja.
Rintihan dan jerit tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang
mengelus hatinya yang luka penuh terisi dendam dan kebencian!
Kalau kita
membuka mata melihat keadaan batin kita sendiri, akan nampaklah hal yang
mengerikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terdapat suatu kekejaman yang
amat hebat dan mengerikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada
kecenderungan dalam batin kita untuk merasa serang dan puas melihat penderitaan
orang lain.
Rasa iba dan
haru baru terasa oleh kita kalau yang tertimpa mala petaka, kalau yang
menderita itu sanak keluarga atau sedikitnya orang yang masih ada ikatannya
dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu kalau kita terpengaruh oleh
orang lain atau orang banyak. Mengapakah kekejaman makin menonjol dalam batin
sedangkan rasa iba dan haru ini sudah tidak peka lagi?
Rasa senang
dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya api
kebencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api
kebencian yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang menebal. Rasa
benci ini yang mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain
menderita dan sengsara.
Dan kalau
kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara jujur, kita
akan melihat betapa kekejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita.
Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang
dilanda kesengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering
sekali, justru mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini?
Semua itu
terjadi karena kita tidak menyadarinya lagi pada saat hati dilanda kebencian,
ketika kita mentertawakan orang lain yang menderita. Kalau kita waspada,
mengamati segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah semuanya
itu dan penglihatan waspada ini akan membasmi semua itu seketika. Dan barulah,
kalau hati tidak lagi dihuni kebencian, iri hati, penonjolan ‘si aku’ yang
semakin menebal, barulah batin kita terbuka untuk dapat menerima sinar cinta
kasih, barulah kita dapat merasakan kesusahan mau pun kesukaan orang lain.
Tek Ciang
melamun dan tenggelam dalam renungan sampai suara rintihan dan isak tangis itu
makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba
namanya dipanggil.
“Louw Tek
Ciang! Ke sinilah engkau!”
Tek Ciang
mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap yang
berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan
dia pun bangkit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini
sinar bulan masuk agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian
ruangan ini menghadap agak ke barat. Tek Ciang menyapu dengan pandang matanya.
Siauw-ok
sudah duduk pula seperti tadi, bersila dan seperti tidak nampak perubahan,
hanya mukanya menjadi agak basah oleh peluh yang diusapnya. Di sebelahnya
nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis remaja tadi
yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yaug pucat seperti mayat, napasnya
yang empas-empis dan matanya terpejam. Tek Ciang terpaksa menahan senyumnya yang
timbul dari hati yang puas. Dia lalu duduk di depan Siauw-ok, tidak lagi
memperdulikan gadis itu.
“Nah,
sekarang kita bicara mengenai urusan kita,” kata Siauw-ok, juga sikapnya sama
sekali tidak perduli akan gadis yang telah diperkosa dan dipermainkannya itu.
“Locianpwe
telah tahu mengapa aku mendendam kepada Kao Cin Liong. Akan tetapi aku belum
tahu mengapa locianpwe juga memusuhinya.” Tek Ciang memulai. Untuk bekerja sama
dengan seseorang, dia harus tahu terlebih dulu dasar yang mendorong orang itu
untuk bekerja sama.
“Kao Cin
Liong adalah seorang panglima muda yang telah banyak menghancurkan dan membunuh
golongan kita, bahkan subo-ku dan semua supek dan susiok-ku juga tewas di
tangan dia dan kawan-kawannya.”
“Lalu apa
maksud locianpwe untuk mengajakku bekerja sama? Aku bukan tandingan Kao Cin
Liong, dan locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi, mengapa
mengajak kerja sama dengan aku yang masih hijau dan lemah?”
“Kita dapat
saling bantu, Tek Ciang. Engkau sudah melihat kepandaianku, dan aku telah
mengenalmu, mengetahui segala hal mengenai dirimu dan rahasia ayahmu. Karena
itu, engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali bekerja sama denganku.
Beberapa patah kata saja dariku tentang engkau dan ayahmu, jangan harap engkau
akan dapat terus menjadi murid Suma Kian Lee, apalagi menjadi mantunya.”
Diam-diam
Tek Ciang terkejut. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang licik,
curang dan kejam sekali, juga amat lihai. “Locianpwe, sebelum kita berunding,
aku ingin lebih dulu mengetahui keuntungan apa yang dapat kuperoleh dengan
kerja sama kita ini.”
Siauw-ok
tertawa. “Ha-ha-ha, engkau cerdik, jauh lebih cerdik dari pada ayahmu yang
tolol itu, yang berani mencoba untuk menyerang Kao Cin Liong.”
“Harap
locianpwe tidak membawa-bawa ayahku yang sudah meninggal, dan katakan
keuntungan apa yang dapat kuperoleh.”
“Keuntungannya?
Wah, banyak sekali bagimu. Pertama, engkau akan terus menjadi murid Suma Kian
Lee. Ke dua, engkau dapat dipastikan akan menjadi suami Suma Hui, atau
setidaknya engkau sudah dapat menikmati kegadisannya. Dan ke tiga, engkau akan
dapat membalas dendam kepada Kao Cin Liong dengan membuat dia sengsara,
terputus hubungannya dengan Suma Hui, bahkan besar sekali kemungkinan dimusuhi
oleh keluarga Suma. Ha-ha-ha, mereka itu, keluarga Suma dan keluarga Kao, akan
menjadi musuh yang saling menghancurkan! Betapa hebat dan bagusnya rencanaku
ini!”
Tentu saja
hati Tek Ciang tertarik sekali. Begitu banyak hal-hal yang menguntungkan
baginya. Akan tetapi dia masih menawar, “Apakah tidak bisa Cin Liong kulihat
mampus di depan kakiku?”
“Oho-ho-ho-ho,
bicara sih mudah! Engkau tahu, ilmu kepandaian Kao Cin Liong itu hebat sekali
dan agaknya Si Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi ayahnya itu telah mewariskan
ilmu-ilmunya yang hebat. Aku sendiri pun tidak sanggup mengalahkannya, apalagi
membunuhnya. Lebih-lebih engkau. Jika ia tidak sampai terbunuh oleh siasatku
ini, kelak engkau masih mempunyai banyak harapan untuk melakukannya sendiri.
Bukankah engkau menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es? Nah,
kelak masih banyak kesempatan bagimu kalau hendak membunuhnya dengan tangan
sendiri. Tetapi, mungkin siasatku ini akan menjerumuskannya ke dalam permusuhan
dengan keluarga Suma dan siapa tahu dia akan mampus karena permusuhan itu.”
“Baik,
locianpwe, aku setuju untuk bekerja sama. Nah, apa yang sekarang harus aku
lakukan?”
“Mendekatlah
dan dengar baik-baik....,” kata Siauw-ok.
Tek Ciang
mendekat dan datuk sesat itu lalu berbisik-bisik dengan suara yang hanya dapat
terdengar oleh mereka yang berada di dalam ruangan itu. Sampai lama mereka
berbisik-bisik dan tahu-tahu malam telah terganti fajar. Mereka sudah selesai
bicara dan bangkitlah keduanya, lalu mereka berjalan ke arah pintu depan.
Tiba-tiba
Tek Ciang teringat sesuatu dan menoleh ke arah gadis remaja yang masih rebah
terlentang. Kini gadis itu agaknya sudah siuman, terdengar ia merintih perlahan
dan mukanya miring, matanya terbuka dan air mata mengalir di sepanjang pipi dan
lehernya.
“Bagaimana
dengan perempuan itu? Ia mungkin mendengar semua percakapan kita,” kata Tek
Ciang.
“Dibiarkanpun
ia akan mati, tapi lebih aman begini!”
Tiba-tiba
Siauw-ok menggerakkan lengannya berputar. Ketika dia melakukan gerakan memukul
dengan jari terbuka ke arah gadis itu, terdengar gadis itu menjerit lemah dan
tubuhnya terkulai. Di dadanya, di antara buah dadanya, nampak guratan merah
yang mengeluarkan darah seolah-olah dada itu baru saja ditusuk pedang. Itulah
Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai dari Siauw-ok, yang diwarisinya dari
mendiang Ji-ok yang menjadi guru dan juga kekasihnya.
Melihat ini,
Tek Ciang melongo penuh kagum. Membunuh orang dari jarak jauh dengan pukulan
sudah banyak didengarnya, akan tetapi dengan pukulan yang mengakibatkan luka
seperti ditusuk pedang, baru kali ini dilihatnya, bahkan belum pernah
didengarnya.
“Engkau
sungguh hebat, locianpwe.”
“Ha-ha,
kalau siasat kita berhasil dan kita menjadi sahabat, aku tidak akan
berkeberatan kelak mengajarmu Ilmu Kiam-ci ini. Nah, sekarang bawalah tubuh itu
berikut semua pakaiannya. Kita harus membuang jauh-jauh dari tempat ini yang
akan menjadi tempat pertemuan kita.”
Tek Ciang
menurut. Dia menghampiri mayat gadis itu, memanggulnya dan membawa semua
robekan pakaiannya, kemudian mengikuti Siauw-ok keluar dari kuil itu. Di tempat
sunyi, jauh dari situ, mereka melemparkan mayat dan sisa-sisa pakaiannya ke
dalam sebuah jurang yang amat dalam sehingga tidak terdapat kemungkinan mayat
itu akan ditemukan orang. Kemudian mereka berdua berpisah dan mengambil jalan
masing-masing tanpa banyak cakap lagi karena semua rencana siasat mereka telah
mereka bicarakan sampai jelas sekali malam tadi.....
***************
Dendam
merupakan racun bagi batin yang amat berbahaya. Dendam bisa menciptakan
perbuatan-perbuatan yang amat keji dan kejam, amat kotor dan hina. Dendam
membuat kita mau melakukan apa saja, betapa pun kotornya, untuk melampiaskan
dendam itu. Dendam menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dendam
adalah kebencian dan penyakit batin ini sudah umum diderita oleh kita semua.
Kalau
perasaan benci dan dendam mulai menyerang batin kita dan kita lalu bersikap
waspada, mengamati perasaan kita sendiri, maka segera akan nampaklah dengan
jelas rangkaian-rangkaiannya, sebab-sebabnya dan timbulnya benci. Mula-mula
kebencian timbul kalau si aku merasa dirugikan, merasa dibikin tidak senang dan
dikecewakan, pendeknya yang membuat si aku merasa rugi, baik lahir mau pun
batin. Dari perasaan tidak senang inilah timbulnya kebencian.
Kalau hanya
sampai di situ, kalau kita lalu mengamati dengan penuh kewaspadaan, mengamati
dengan batin kosong tanpa menilai, maka kebencian akan berakhir pula sampai di
situ. Akan tetapi, biasanya pikiran kita lalu bekerja dengan sibuknya, menilai
perasaan benci ini, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan.
Sebagian
pikiran mencela bahwa benci itu tidak baik, sebagian pikiran pula membela
perasaan itu dengan mengajukan sebab-sebabnya, yaitu karena dirugikan.
Terjadilah pemborosan enersi batin, terjadilah konflik dan tarik-menarik dari
penilaian itu, dan konflik ini bahkan menambah pupuk bagi kebencian itu
sendiri. Yang benci adalah aku, kebencian adalah aku, yang menilai, mencela dan
membela adalah aku pula, yakni kesibukan pikiran sendiri. Dengan demikian,
kebencian takkan mungkin lenyap.
Bisa saja
kebencian dikendalikan dan ditekan dan nampaknya saja lenyap, namun
sesungguhnya hanya merupakan penundaan sementara saja. Api kebencian itu masih
membara, seperti api dalam sekam, nampaknya saja padam namun di sebelah dalam
membara dan sewaktu-waktu pasti akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan
bahan bakar!
Pupuk yang
membuat suburnya kebencian itulah yang harus lenyap dari batin kita. Penilaian,
pengendalian, celaan dan pembelaan itulah yang harus tidak ada. Yang ada hanya
mengamati saja kebencian yang timbul itu, mengamati tanpa menilai, bukan AKU
yang mengamati karena kalau demikian masih sama saja, masih kesibukan pikiran
belaka yang menginginkan lain, yang ingin agar tidak benci, agar baik dan sebagainya.
Yang ada
hanyalah pengamatan penuh kewaspadaan saja, perhatian yang menyeluruh terhadap
kebencian yang mengamuk di hati dan pikiran itu. Tanpa penilaian seperti itu,
kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan daya hidup, seperti api
yang kehabisan bahan bakarnya.
Benci
pribadi, atau kebencian yang timbul karena demi keluarga, demi golongan, demi
bangsa, semua itu pada hakekatnya sama saja. Yang menjadi peran utama adalah si
aku yang dapat saja diperluas menjadi keluargaku, golonganku, bangsaku, agamaku
dan selanjutnya.
Louw Tek
Ciang pulang ke rumah suhu-nya dengan dendam yang sudah digodok matang dengan
rencana siasat keji yang diatur oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng!
Dua hari
kemudian, pada suatu sore, seperti biasa Cin Liong datang mengunjungi
kekasihnya, disambut dengan gembira oleh Suma Hui. Mereka lalu duduk di ruangan
tamu dan pada sore hari itu, seperti sudah dijanjikan, Cin Liong harus makan
malam di situ karena sudah dipersiapkan oleh kekasihnya. Dan baru pada waktu
makan itulah, setelah lewat beberapa hari, Cin Liong berkesempatan jumpa dengan
Tek Ciang. Dia memandang tajam dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah
berubah. Tidak muram atau pucat lagi, bahkan hormat dan ramah kepadanya.
“Kao-taihiap,
aku minta maaf atas segala kesalahanku....”
“Ahh,
Louw-susiok mengapa menyebutku taihiap segala?”
“Suheng,
engkau kenapa sih? Kenapa menyebut taihiap kepada Cin Liong?” Suma Hui juga
menegur sambil tersenyum, merasa geli oleh sikap baru ini.
Tek Ciang
menarik napas panjang. “Ahh, aku ingin menampar pipi sendiri kalau berani
menyebut nama begitu saja.”
“Ih, kenapa
begitu, suheng? Cin Liong ini memang masih terhitung keponakanku, maka sudah
sepatutnya dia menyebutmu susiok dan engkau menyebut namanya begitu saja.
Bukankah yang sudah-sudah engkau pun menyebut namanya saja?”
“Karena aku
belum mengenal siapa dia! Kalau dia seorang biasa yang lemah seperti aku masih
mending. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal, dan
jauh lebih tua dariku. Kalau aku menyebut namanya begitu saja tentu aku akan
menjadi buah tertawaan orang. Tidak, aku harus menyebut taihiap atau aku tidak
akan berani menyebut sama sekali.”
Cin Liong
tersenyum, di dalam hatinya dia membenarkan Suma Hui yang menceritakan
kepadanya bahwa pemuda itu selalu ramah dan hormat. “Baiklah, Louw-susiok,
sesukamulah. Apa artinya dalam sebuah sebutan? Akan tetapi, mengapa engkau
minta maaf?”
“Karena aku
telah bersikap kasar selama ini terhadap taihiap, juga menyangka yang
bukan-bukan berhubung dengan kematian ayah, dan juga.... ketika pertama kali
taihiap datang, aku.... aku telah membayangimu sampai ke rumah penginapan,
maklumlah, aku.... aku ketika itu menaruh curiga kepadamu.”
Cin Liong
tertawa. “Aku sudah tahu akan hal itu dan tak perlu dirisaukan, susiok. Eh,
bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang jai-hwa-cat itu?”
Tek Ciang
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Agaknya aku masih terlalu bodoh,
kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat menemukan jejaknya, walau pun
beberapa kali aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali di
wuwungan rumah-rumah. Bahkan aku mendengar pula berita akan hilang terculiknya
seorang gadis dari keluarga Ciong di ujung barat kota. Aku yakin bahwa ayah
benar, yakni bahwa ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini.”
Cin Liong
mengangguk. “Aku pun sudah mendengar berita itu dari komandan kota. Karena
kebetulan aku sendiri sedang berada di kota ini, biarlah aku akan melakukan
penyelidikan malam ini.”
“Aku juga
akan melakukan penyelidikan sedapatku, taihiap. Pendeknya, aku takkan berhenti
menyelidiki sebelum penjahat itu tertangkap atau terbunuh!” Tek Ciang berkata
penuh semangat.
Setelah
makan selesai, Tek Ciang yang ‘tahu diri’ lalu mundur dan memasuki kamarnya
sendiri, membiarkan sepasang kekasih itu asyik berdua saja di kamar tamu.
Dan
memanglah, setiap kali mereka bertemu berdua saja, Cin Liong dan Suma Hui tentu
menumpahkan rindu dan sayangnya melalui suasana yang akrab dan santai, romantis
dan mesra. Mereka asyik bercakap-cakap, bersendau-gurau, kadang-kadang
berangkulan dan berciuman.
“Hui-moi,
kalau ayah bundaku sudah melamar, dan kalau orang tuamu setuju, aku ingin kita
tidak lama-lama menunda pernikahan. Aku ingin segera menikah denganmu, tinggal
di kota raja dan aku akan mengajukan permohonan kepada sri baginda kaisar agar
ditugaskan di kota raja saja, agar tidak banyak berkeliaran meninggalkan rumah
seperti sekarang. Dengan demikian, kita akan dapat setiap hari berjumpa dan
berkumpul.”
“Ihh, kenapa
tergesa-gesa amat menikah?” Suma Hui menggoda sambil tersenyum dan kedua
pipinya merah.
Cin Liong
mencubit dagunya. “Masa tidak mengerti? Aku… aku sudah ingin.... eh, selalu di
sampingmu, Hui-moi.”
Sejenak
mereka bermesraan. Tiba-tiba Suma Hui menarik napas panjang. “Bagaimana andai
kata.... ayahku tidak setuju?”
Cin Liong
mengerutkan alisnya. “Kalau begitu.... tinggal terserah kepadamu. Tentu saja
aku tidak berani menentang orang tuamu, Hui-moi, akan tetapi demi engkau, apa
pun juga akan kulakukan, kalau perlu menghadapi orang tuamu.”
“Kalau
aku.... jika ayah melarang dan menentang, aku akan pergi meninggalkan rumah
ini, aku akan pergi bersamamu.... maukah engkau, Cin Liong?”
“Tentu saja!
Dan aku akan melindungimu, membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi, mudah-mudahan
tidak sampai sejauh itu, Hui-moi, aku percaya akan kebijaksanaan ayahmu sebagai
seorang pendekar sakti yang berpandangan luas.”
Demikianlah,
mereka bercakap-cakap, kadang-kadang gembira, kadang-kadang gelisah kalau
membayangkan halangan besar yang mungkin timbul dalam hubungan mereka karena
penentangan ayah gadis itu. Lalu pemuda itu menyatakan bahwa sebaiknya jika dia
pergi dulu ke kota raja, selain untuk urusan tugas, juga untuk menanti
datangnya ayah bundanya.
Suma Hui
terkejut mendengar kekasihnya akan pergi. “Apakah engkau tidak dapat menanti
sampai pulangnya ayah dan ibu?” Gadis ini membayangkan betapa hidup akan terasa
sunyi dan tidak menyenangkan kalau kekasihnya ini pergi dari Thian-cin.
“Agaknya
tidak baik kalau di waktu orang tuamu tidak ada di rumah, aku setiap hari
datang mengunjungimu, Hui-moi. Apa akan kata orang nanti? Pula, orang tuaku
sudah berjanji bahwa kalau mereka pergi ke Thian-cin, mereka akan singgah dulu
di kota raja.”
Biar pun
hatinya terasa berat, namun Suma Hui tidak dapat membantah kekasihnya. Ia hanya
bertanya muram, “Kapan engkau akan pergi?”
“Sebaiknya
besok atau lusa, Hui-moi. Sudah agak lama aku berada di sini.”
Malam itu,
ketika Cin Liong hendak meninggalkan Suma Hui, gadis itu merangkulnya dan
suaranya penuh kesedihan pada saat ia berkata, “Cin Liong, jangan terlalu lama
meninggalkan aku.... aku akan merasa kesepian dan tidak betah di rumah ini....”
Cin Liong
merangkul dan menciumnya. Karena mereka berdua maklum bahwa besok mereka akan
berpisah, maka rangkulan dan ciuman mereka lebih hangat dan mesra dari pada
biasanya. Cin Liong yang merasa betapa gairah birahi menyerangnya, cepat
mendorong tuhuh Suma Hui dengan halus sambil berkata dan tersenyum.
“Ahhh,
Hui-moi. Kenapa engkau bersedih? Kita berpisah hanya untuk beberapa bulan saja.
Bagaimana pun juga, engkau adalah calon isteriku, apa pun yang akan terjadi,
bukan? Engkau adalah punyaku....” Mereka berdekapan lagi.
“Aku punyamu
dan engkau milikku, Cin Liong.... hanya kematian yang akan mampu memisahkan
kita....”
“Aku cinta
padamu, Hui-moi.... aku cinta padamu....”
Dengan
kata-kata yang diucapkan suara tergetar ini masih terngiang di telinganya, Suma
Hui mengantar kekasihnya yang meninggalkan rumahnya itu. Cin Liong juga merasa
berat sekali meninggalkan Suma Hui, walau pun besok sebelum berangkat dia tentu
akan singgah untuk berpamit dulu.
Dia tidak
langsung ke rumah penginapan karena teringat akan cerita yang didengarnya
tentang gadis yang lenyap diculik penjahat. Kalau memang benar ada jai-hwa-cat
berkeliaran di kota ini, sebelum dia pergi, dia harus dapat menangkapnya lebih
dulu. Adanya seorang penjahat cabul di Thian-cin sama dengan memandang rendah
kepada keluarga Suma! Maka dia pun mulai melakukan penyelidikan pada malam hari
itu.....
***************
Malam itu
Suma Hui tidak dapat tidur, gelisah saja di atas pembaringannya. Ia sudah
memerintahkan pelayan rumah untuk menutup semua pintu dan jendela rumah setelah
kekasihnya pergi, dan setelah membersihkan diri, ia pun memasuki kamarnya. Ia
tahu bahwa suheng-nya tidak ada, seperti katanya tadi ketika makan bersama,
suheng-nya itu akan melanjutkan usahanya mencari jejak jai-hwa-cat. Juga
kekasihnya akan ikut membantu dalam pengusutan dan pencarian jejak penjahat
itu. Akan tetapi ia sendiri tidak perduli. Hati dan pikirannya sudah penuh
dengan masalahnya sendiri, penuh dengan kekhawatiran bahwa ayahnya akan
menentang perjodohannya.
Akhirnya
pikiran yang sibuk itu membuatnya lelah dan mulailah dara itu terlelap.
Lapat-lapat ia seperti mendengar suara suheng-nya perlahan-lahan bicara dengan
pelayan di belakang. Suheng-nya sudah pulang agaknya, demikian pikirannya yang
terakhir. Lalu ia mencium bau harum yang aneh. Sejenak ia terlena dan bau harum
itu membuat ia sadar dan curiga akan bau harum ini. Cepat ia membuka mata dan
bangkit. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa kepalanya pening
begitu ia membuka mata dan bangkit. Pada saat itu, sesosok bayangan yang amat
ringan gerakannya meloncat masuk kamar melalui jendela yang dipaksanya terbuka
dari luar.
Biar pun
kepalanya pening, akan tetapi kewaspadaan seorang pendekar silat masih ada pada
Suma Hui, membuat dara ini cepat membalikkan tubuh dan siap menghadapi lawan.
Akan tetapi orang itu ternyata lihai bukan main, sekali mengulur tangannya dia
telah mengirim totokan-totokan secara beruntun.
Suma Hui
mencoba untuk mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena
totokan, disusul totokan pada lehernya yang membuat ia tiba-tiba menjadi lemas
dan tak dapat mengeluarkan suara. Dalam keadaan lemas dan setengah terbius,
juga dalam cuaca dalam kamar yang remang-remang, ia tidak mengenal orang ini,
hanya melihat bentuk tubuh seorang pria yang bertubuh sedang dan tegap.
“Cin.... Cin
Liong....” Hatinya berbisik karena dia tidak mampu bersuara setelah urat
gagunya tertotok.
Karena ia
kini direbahkan dengan muka menghadap ke dinding dalam keadaan miring, ia tidak
melihat apa yang dilakukan oleh orang yang menotoknya itu. Hatinya penuh dengan
keheranan dan juga kemarahan. Orang itu bentuk tubuhnya seperti Cin Liong dan
melihat kelihaiannya, agaknya pantaslah kalau ia menduga orang itu kekasihnya.
Akan tetapi,
mungkinkah Cin Liong melakukan hal aneh ini? Ia tidak tahu bahwa orang itu
berkelebat keluar dari lubang jendela. Waktu rasanya berjalan amat lambat bagi
Suma Hui yang tidak mampu bergerak itu. Bau harum masih memasuki hidungnya dan
kepalanya terasa semakin berat dan mengantuk, tubuhnya tak dapat digerakkan
dalam keadaan lemas seperti orang tidur dan dia pun tidak mampu membuka mulut.
Asap harum yang mengandung obat bius itu semakin menguasainya, membuat pandang
matanya semakin suram.
Tiba-tiba ia
menjadi kaget setengah mati ketika merasa betapa sepasang lengan memeluknya. Ia
berusaha membuka mata melihat, akan tetapi cuaca terlalu gelap dan pandang
matanya juga sudah kabur. Ia hanya merasa ada orang yang memeluknya ketat, lalu
ada orang yang menciumi mukanya, menciumi bibirnya. Ia hanya mendengar desahnya
napas memburu, lalu mendengar bisikan-bisikan lembut.
“Hui-moi....
aku cinta padamu.... aku cinta padamu....”
Cin Liong!
Demikian hatinya berteriak. Akan tetapi ia merasa betapa pikirannya pusing.
Dunia bagaikan berputar dan kiamat rasanya ketika ia merasa betapa jari-jari
tangan meraba dan membelainya, membuka pakaiannya.
“Tidak....!
Tidak....! Jangaaaannn....!” Hatinya menjerit-jerit akan tetapi tidak ada suara
yang keluar. Ingin ia menjerit, ingin ia meronta dan mengamuk, ingin ia
menangis. Akan tetapi hanya air matanya saja yang menetes-netes dalam tangis
tanpa suara.
“Hui-moi....
engkau calon isteriku....” demikian suara itu berbisik-bisik.
Selanjutnya
Suma Hui bergidik ngeri merasakan apa yang akan menimpa dirinya dan pada saat
terakhir, ia pun tidak ingat apa-apa lagi, tak sadarkan diri karena tidak dapat
menahan guncangan batin yang terjadi melihat kenyataan bahwa dirinya diperkosa
oleh orang yang dicintanya tanpa mampu mencegah, melawan atau bahkan berteriak.
Ketika ia
siuman kembali, Suma Hui masih belum mampu menggerakkan tubuhnya. Hancur luluh
rasa hatinya, dunianya seperti kiamat. Ia dapat merasakan apa yang telah
menimpa dirinya, mala petaka terbesar bagi seorang wanita, terutama bagi
seorang gadis. Aib telah menimpa dirinya, aib yang hanya dapat ditebus dengan
nyawa, dicuci dengan darah.
Yang membuat
ia merasa semakin sedih adalah kenyataan bahwa yang melakukan hal itu adalah
Cin Liong, pria yang dikasihinya, yang dicintanya, calon suaminya, calon ayah dari
anak-analnya! Cin Liong telah memperkosanya! Padahal, tanpa diperkosa sekali
pun, kalau waktunya telah tiba, ia akan menyerahkan segala-galanya kepada
pemuda itu. Akan tetapi, Cin Liong telah merusaknya, menghancurkan
kebahagiaannya dengan perbuatannya yang keji dan hina!
“Ya
Tuhan....!” Dalam hatinya Suma Hui mengeluh dan merintih.
Ia teringat
kepada ayah ibunya dan kembali air matanya bercucuran. Gadis ini biasanya keras
hati dan tidak mudah baginya mengucurkan air mata, akan tetapi sekali ini,
dirinya telah tertimpa mala petaka yang sangat hebat, yang lebih berat dari
pada kematian sendiri. Ia lalu teringat bahwa dalam keadaan tertotok, ia harus
dapat menenteramkan batinnya agar dapat membuka jalan darah melalui kekuatan
Swat-im Sinkang.
Dengan
segala kekuatan dan kemauan yang ada, ia pun lalu memejamkan matanya,
mengheningkan cipta. Perlahan-lahan, setelah dapat melupakan segala peristiwa
yang menimpanya, dia mulai merasakan adanya gerakan hawa dalam tian-tan di
pusarnya. Ia membiarkan hawa itu bergerak perlahan, makin lama makin cepat dan
makin terasa kekuatannya. Dengan kemauannya yang membaja, akhirnya dia dapat
menggerakkan hawa itu naik, membuka jalan darah yang masih dipengaruhi totokan.
Dapat juga
ia membebaskan diri dari totokan sebelum waktunya. Akan tetapi, karena pengaruh
obat bius masih membuat kepalanya pening, ia pun dengan hati-hati bangkit
berdiri, turun dari pembaringan dan bersila di atas lantai dekat jendela yang
dibukanya. Dia lalu menghadap keluar dan membersihkan diri melalui pernapasan,
mengumpulkan hawa pagi yang murni.
Malam telah
hampir terganti pagi ketika akhirnya ia sadar sama sekali dan bebas dari
pengaruh obat bius. Mulailah dia meneliti keadaan dirinya dan ia mengepal tinju
dengan kemarahan memuncak pada saat melihat betapa sebagian pakaiannya bernoda
darah.
Tanpa
melihat tanda ini pun ia sudah tahu apa yang menimpa dirinya, yaitu bahwa ia
telah diperkosa orang, atau lebih tepat lagi, diperkosa Cin Liong ketika ia
tidak sadar. Dengan menahan tangis ia lalu berganti pakaian, akan tetapi makin
lama, kemarahan makin memuncak dan menusuk-nusuk hatinya seperti jarum beracun.
Makin panaslah ia dan tanpa disadarinya ia lalu mengamuk! Meja kursi dipukuli
dan ditendanginya, kasur dirobek dan diawut-awut dan mulutnya memaki-maki.
“Jahanam!
Keparat bedebah kau! Manusia laknat, aku bersumpah untuk membunuhmu, memusuhimu
sampai tujuh turunan!”
Terdengar
suara hiruk-pikuk yang mengejutkan dari dalam kamarnya, membuat pelayan dan Tek
Ciang datang berlari-larian.
“Brakkkk!”
Kini daun
pintu kamar itu pecah tertendang oleh Suma Hui, hampir saja menimpa Tek Ciang
dan si pelayan yang sudah tiba di luar pintu. Untung Tek Ciang bergerak cepat,
menarik tangan si pelayan kemudian meloncat ke belakang ketika daun pintu
ambrol. Keduanya berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Suma Hui yang
muncul dengan rambut awut-awutan, pakaian kusut dan mata beringas.
“Nona....!”
Pelayan itu menjerit kaget.
“Sumoi....!
Ada apakah, sumoi? Apakah yang telah terjadi....?” Louw Tek Ciang juga menegur
sambil melangkah maju. “Ingatlah, sumoi, ingatlah. Apakah yang telah terjadi
denganmu, sumoi....?”
Suma Hui
yang seperti kesetanan itu, tiba-tiba terbelalak memandang Tek Ciang dan
pelayannya. Mendengar suara Tek Ciang yang halus dan penuh perhatian itu,
tiba-tiba saja ia memperoleh pelepasan dan gadis itu tidak dapat menahan lagi
tangisnya.
“Suheng....
ahhh, suheng.... hu-huuu-huuuhhh....” Ia terhuyung dan Tek Ciang cepat memegang
pundaknya.
Karena Tek
Ciang merupakan satu-satunya orang yang dekat dengannya, Suma Hui kemudian
menangis mengguguk dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan pemuda itu, menangis
sambil menyandarkan muka di dada Tek Ciang. Pemuda ini mengelus kepala Suma Hui
sambil menghiburnya dengan kata-kata yang tenang dan ramah.
“Sumoi,
segala hal dapat diurus dengan baik. Tiada masalah yang tidak dapat diatasi
dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Sumoi, apakah yang telah terjadi....”
Akan tetapi,
Suma Hui makin mengguguk dalam tangisnya sehingga Tek Ciang hanya membiarkannya
saja, malah berkata dengan halus, “Menangislah, sumoi. Menangislah sepuasmu
kalau tangis dapat meringankan hatimu, sumoi....”
Dan memang
hanya tangis saja yang dapat meringankan hati yang sedang sesak oleh kedukaan
bercampur kemarahan. Setelah menangis terisak-isak dan menumpahkan banyak air
mata, Suma Hui dapat menguasai dirinya lagi. Tentu saja dia tidak mau
menceritakan mala petaka apa yang menimpa dirinya. Ia melepaskan diri dari
pelukan Tek Ciang, memandang kepada suheng-nya itu dengan berterima kasih.
“Maafkan
kelemahanku, suheng....”
“Sumoi,
engkau sungguh membuat aku terkejut dan khawatir sekali. Apakah yang telah
terjadi? Kenapa engkau mengamuk?” Dia memandang ke dalam kamar yang kalang
kabut itu.
“Nampaknya
seperti ada perkelahian di dalam kamarmu. Engkau berkelahi dengan siapakah?”
Suma Hui
menggelengkan kepalanya. “Aku sendiri tidak tahu dia siapa. Tapi, suheng,
apakah semalam engkau tidak mendengar apa-apa dan tidak melihat orang memasuki
rumah kita?”
Tek Ciang
menggeleng kepalanya dan alisnya berkerut. “Aku baru pulang menjelang pagi,
bahkan belum dapat tidur saat tiba-tiba mendengar suara ribut-ribut dari
kamarmu. Semalam aku keliling kota melakukan penyelidikan dan kebetulan sekali
aku melihat perkelahian yang amat hebat antara Kao-taihiap dan seorang yang
tidak kukenal....”
Seketika
perhatian Suma Hui tertarik. “Dia....? Dia.... berkelahi? Di mana dan siapa
lawannya? Bagaimana....?” Pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dengan gagap.
“Aku sedang
melakukan penyelidikan ke lorong-lorong gelap pada waktu aku melihat
berkelebatnya bayangan orang yang meloncat ke atas genteng. Aku terkejut sekali
dan menyelinap ke tempat gelap sambil mengintai. Tiba-tiba aku melihat
Kao-taihiap juga meloncat ke atas sambil membentak. Mereka lalu berkelahi di
atas genteng, bahkan lalu keduanya meloncat turun dan melanjutkan perkelahian
di atas tanah. Orang itu lihai sekali dan agaknya menjadi tandingan yang
seimbang dari Kao-taihiap. Keduanya berkelahi tanpa menggunakan senjata. Entah
berapa lama dan siapa yang unggul aku tidak dapat mengikuti saking cepatnya
mereka bergerak. Akan tetapi akhirnya, lawan Kao-taihiap melarikan diri dikejar
oleh Kao-taihiap. Aku berusaha mengejar pula dan mencari-cari, akan tetapi
mereka lari terlampau cepat dan aku kehilangan jejak mereka. Aku terus mencari
sampai hampir pagi tanpa hasil, kemudian aku pulang.”
Suma Hui
mendengarkan semua itu dengan hati tertarik. Siapakah yang berkelahi melawan
Cin Liong? Dan apakah sesudah berkelahi itu Cin Liong kemudian memasuki
kamarnya?
“Apakah engkau
tidak melihat bagaimana wajah lawannya itu, suheng? Bagaimana pula bentuk
tubuhnya?”
“Keadaannya
amat gelap, sukar mengenal wajahnya. Akan tetapi pakaiannya mewah dan agaknya
dia setengah tua, tubuhnya sedang....”
“Ahhh, tentu
dia Jai-hwa Siauw-ok!” Suma Hui berseru.
“Mungkin,
karena ketika mengejar, Kao-taihiap juga berseru begini : Jai-hwa-cat, jangan
lari!”
Suma Hui
termenung. “Mengasolah, suheng. Aku pun hendak istirahat....”
“Tapi,
sumoi.... apa yang terjadi di sini? Engkau belum menceritakan kepadaku.”
Suma Hui
menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa. Ada yang memasuki kamarku. Kami
berkelahi, namun dia keburu pergi tanpa aku dapat mengenalinya. Sudahlah,
suheng, aku lelah dan hendak istirahat.” Suma Hui memasuki kamarnya dan
mengangkat pintu yang jebol itu, menutupkannya begitu saja.
Sejenak Tek
Ciang bengong di depan pintu, lalu mengangkat pundak dan memberi isyarat kepada
pelayan yang juga ikut bengong itu untuk pergi dan membiarkan nona itu
beristirahat dalam kamarnya yang awut-awutan...
Suma Hui
memandang ke sekeliling kamarnya. Meja dan kursi hancur berantakan oleh
amukannya. Kasurnya robek awut-awutan. Akan tetapi dia tak perduli. Dia
menjatuhkan badannya ke atas pembaringan kayu yang kasurnya telah robek-robek
itu, memejamkan matanya dan menahan tangisnya. Tidak, tidak ada gunanya lagi
menangis, pikir dara yang keras hati ini. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi.
Hidupnya
sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur. Dia harus menuntut kepada Cin
Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya. Bagaimana pun juga, ia tak mungkin
dapat mencinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang demikian
kejinya terhadapnya. Cintanya sudah lenyap bersama dengan kehormatannya yang
direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ahhh, benarkah bahwa cinta antara bibi dan
keponakan seperti dia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh
Thian sehingga menimbulkan mala petaka yang begini hebat atas dirinya?
Siapa kalau
bukan Cin Liong yang melakukan perbuatan keji itu? Suaranya tak dapat
dilupakannya. Kelihaian pemerkosa itu pun menunjukkan bahwa Cin Liong orangnya.
Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius? Apakah agar tidak
dikenal? Tetapi, ucapan pemuda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar
dari perbuatan kekasihnya itu? Hanya karena dorongan nafsu birah? Tak mungkin!
Saat mereka
berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, ia pun dapat merasakan
gairah birahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri. Cin
Liong bukanlah seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah....?
Suma Hui
membuka matanya ketika teringat akan hal itu, dan ia cepat bangkit duduk,
mengepal tinju. Apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji itu dengan maksud agar
ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling berjodoh? Karena
ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat menolak pinangannya lagi karena aib
yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci?
“Tidak!” Ia
mendesis. “Aku tidak sudi! Lebih baik mati dari pada menjadi isteri seorang
yang berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!”
Kemarahannya
membuat ia melotot, akan tetapi ia segera membayangkan wajah Cin Liong yang
begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air
matanya menetes turun. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan penyesalan
menguasai dirinya, akan tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia
bangkit berdiri dan membanting-banting kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan
yang tak disadari kalau ia sedang marah.
“Kao Cin
Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi,
engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!”
Dan ia pun
segera membereskan rambut dan pakaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian
dengan hati panas seperti dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang
pedangnya yang digantungkan di punggung. Hanya satu tujuan memenuhi batinnya,
yaitu mencari Cin Liong di rumah penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!
“Sumoi....!”
Louw Tek
Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang
tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidaklah sepucat Suma Hui. Pemuda
itu memandang penuh gelisah ke arah punggung sumoi-nya di mana terdapat
sepasang pedang bersilang. Tidak pernah sumoi-nya pergi meninggalkan rumah
membawa-bawa pedang.
“Sumoi,
engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini? Dan engkau membawa pedang.... mau
apakah engkau....?”
Suma Hui
mengerutkan alisnya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan
suara dingin, “Suheng, engkau jaga rumah baik-baik dan jangan mencampuri
urusanku. Aku mempunyai keperluan dan tak seorang pun boleh mencampuri.”
Setelah berkata demikian, ia membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.
“Hui-moi....!”
Suma Hui
terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak
mendengar suara Cin Liong. Dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda
yang baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tanda-tanda
kurang tidur, hati Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang
tadinya amat dicintanya itu.
“Singgggg....!”
Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan gadis
itu.
“Keparat
jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!” bentaknya.
Dengan kemarahan
meluap-luap, Suma Hui langsung menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya,
langsung mempergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat
karena ia tahu bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.
“Heiiiiii....!”
Terkejut sekali Cin Liong melihat serangan itu. Saking kaget dan herannya,
terlambat dia mengelak.
“Crottttt....!”
Pangkal
lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadi dia mengira bahwa gadis
itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya itu
tidak main-main dan serangan yang ditujukan kepadanya tadi adalah serangan
maut!
“Hui-moi....
tahan dulu....! Apa dosaku? Apa salahku? Apa yang terjadi? Kenapa engkau
menyerangku, memusuhiku....”
“Penghinaan
itu hanya dapat dicuci dengan darah serta ditebus dengan nyawamu, manusia hina
dina!”
Kini Suma
Hui sudah menyerang lagi dengan lebih hebat karena kemarahannya makin memuncak,
seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada pangkal lengan Cin Liong itu
mengingatkan ia akan darahnya sendiri dan membuatnya sedih sekali.
“Eh,
Hui-moi, nanti dulu....!” Cin Liong menjadi bingung sekali.
“Hyaaaattt....
sing-sing-singgg....!”
Suma Hui
menyerang bertubi-tubi. Sepasang pedangnya menjadi dua sinar bergulung-gulung
dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh Cin Liong.
Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong terbabat dan gerakannya
menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempar tubuhnya ke belakang, kemudian
bergulingan dengan cepat.
“Hui-moi,
aku menuntut penjelasan....!” teriaknya penasaran. “Apa salahku?” Dia sudah
berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.
Akan tetapi,
Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia
menyerang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan
main.
Biar pun Cin
Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun menghadapi serangan ilmu
pedang itu tanpa membalas, tentu saja sangat berbahaya. Dia berloncatan dan
menyelinap di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya
tercium ujung pedang, bahkan ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang sudah
robek oleh sambaran pedang yang amat tajam itu.
“Hui-moi, kita
bicara dulu....!”
“Engkau atau
aku yang harus mampus!” bentak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan hebat.
“Sumoi....
sumoi.... sabarlah, sumoi....!” Berkali-kali Tek Ciang juga turut menasehati
sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan
mampu menghadapi permainan pedang yang dahsyat itu.
“Sing-singgg....
wuuutttt....!”
Segumpal
rambut kuncir dari kepala Cin Liong terkena sabetan pedang dan rontoklah
gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa
sentimeter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa
kekasihnya itu sungguh-sungguh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya untuk
bicara.
Tentu saja
kalau dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya
bicara. Namun dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia
merobohkannya, hal itu tentu akan menambah gawatnya keadaan karena tentu gadis
itu akan menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan
membiarkan sampai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak dingin dan marahnya
mereda. Barulah dia akan datang bicara.
“Ahhh,
Hui-moi.... Hui-moi....,” keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang,
berjungkir balik beberapa kali lalu berlompatan jauh melarikan diri.
“Jahanam
jangan lari!” Suma Hui membentak, akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan
cepatnya.
“Sumoi,
jangan kejar....!” Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu.
Karena hari
telah pagi dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka merasa heran melihat
orang-orang muda itu berlarian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak
memperdulikan seruan suheng-nya dan ia terus mengejar menuju ke rumah
penginapan di mana Cin Liong mondok.
Akan tetapi,
ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal
pakaiannya. Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis,
lalu pulang. Di jalan ia bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.
“Sumoi,
percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, dan kalau engkau merasa
penasaran kepada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada suhu. Tentu suhu akan
dapat turun tangan. Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap
yang amat lihai itu.”
Suma Hui
hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah dan
penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan
melarikan diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, lebih nyeri rasanya
karena ia tahu benar bahwa ia masih tetap mencinta pemuda itu.
Setelah
sampai di rumah, Tek Ciang memberanikan diri bertanya, “Sumoi, sebenarnya
apakah yang terjadi? Mengapa sumoi begitu marah dan tiba-tiba hendak membunuh
Kao-taihiap?”
Suma Hui
mengerutkan alisnya, memandang kepada suheng-nya, kemudian berkata,
“Louw-suheng, aku harap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi
kepadaku dan tidak menceritakan semua yang terjadi tadi kepada siapa pun juga.
Kalau suheng melanggar pesanku ini, aku akan marah sekali!” Setelah berkata
demikian, dara itu lalu pergi memasuki kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang
memandang bengong.
Semenjak
hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang mau pun terhadap
pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering
duduk termenung di dalam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur,
sebentar saja wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Sang pelayan
dan Tek Ciang menjadi prihatin sekali, akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa
Tek Ciang selalu berlatih sendirian saja sebab gadis itu sama sekali tak pernah
mau menemaninya latihan lagi.
Beberapa
pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma Ciang
Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak
pucat. Akan tetapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui segera merangkulnya sambil
menangis.
“Bun-te....
ahhh, Bun-te, syukur engkau selamat....!” katanya sambil merangkul Ciang Bun
yang juga merasa terharu.
Kim Hwee Li
mengerutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir melihat puterinya begitu
kurus, akan tetapi juga jarang ia melihat puterinya yang tabah dan keras hati
itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.
“Hui-cici,
kenapa engkau begini kurus?”
“Engkau
kenapakah, Hui-ji?” tanya pula ayahnya.
“Dan mukamu
agak pucat,” sambung ibunya.
Dihujani
pertanyaan oleh ayah, ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan
menyimpang, “Tidak apa-apa, ahhh, aku girang sekali melihat engkau selamat,
Bun-te. Lekas kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak
engkau terlempar ke lautan itu.”
Suma Hui
menggandeng tangan adiknya dan beramai-ramai mereka memasuki rumah. Di pintu
depan muncul Tek Ciang yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat
kepada suhu dan subo-nya. Melihat penghormatan yang amat sopan ini, Suma Kian
Lee memandang girang.
“Bangkitlah,
Tek Ciang dan mari berkenalan dengan sute-mu. Ciang Bun, inilah murid ayah yang
bernama Louw Tek Ciang seperti yang kuceritakan itu.”
“Ehh, Tek
Ciang, kenapa engkau memakai pakaian berkabung?” tiba-tiba Hwee Li yang waspada
itu bertanya.
Ditanya
demikian, Tek Ciang yang masih berlutut itu lalu mengusap air matanya yang
tiba-tiba membasahi kedua matanya. “Suhu, subo, teecu dilanda mala petaka besar
dan mohon petunjuk suhu berdua....”
“Apakah yang
telah terjadi, Tek Ciang?”
“Ayah.... ayah
teecu terbunuh....”
“Ehhh....?
Terbunuh? Siapa yang membunuh ayahmu?” Suma Kian Lee terkejut sekali mendengar
ucapan itu.
Tek Ciang
merasa tidak enak kepada Suma Hui dan melirik ke arah sumoi-nya, akan tetapi
Suma Hui diam saja dan hanya memandang padanya dengan sinar mata kosong.
“Mendiang
ayah tewas…. tewas ketika bertempur melawan.... melawan jai-hwa-cat yang
berkeliaran di kota ini.”
“Ihhh....!”
Kim Hwee Li berseru kaget dan penasaran. “Penjahat cabul mana yang begitu
berani mengacau di Thian-cin?”
“Suheng,
kenapa engkau tidak berterus terang saja? Ayah, Louw-kauwsu tewas ketika dia
berkelahi melawan Kao Cin Liong....”
“Heh,
bagaimana pula ini?” Hwee Li berteriak. “Kao Cin Liong datang ke sini dan dia
berkelahi dengan Louw kauwsu?” Ia memandang tajam kepada Tek Ciang. “Tek Ciang,
ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi!”
“Mari kita
semua masuk dulu dan bicara di dalam rumah,” kata Suma Kian Lee yang dapat
menguasai perasaannya dan sikapnya lebih tenang.
Mereka
kemudian masuk ke dalam rumah dan mereka semua duduk di ruangan dalam. Dengan
sikap ragu-ragu dan kadang-kadang mengerling ke arah Suma Hui, akan tetapi
melihat gadis itu diam saja tidak memberi tanda atau memperlihatkan sikap
sesuatu, akhirnya Tek Ciang lalu bercerita.
“Menurut
ayah, di kota ini ada jai-hwa-cat berkeliaran. Lalu pada suatu malam, ayah
bersama dua orang teman yang melakukan penyelidikan, bertemu dengan
Kao-taihiap, dan ayah agaknya menyangka bahwa Kao-taihiap adalah jai-hwa-cat
itu, maka lalu diserangnya. Tentu saja ayah dan dua orang temannya tak dapat
menang dan akhirnya ayah tewas....”
Suma Hui
hendak membuka mulut, akan tetapi membatalkan niatnya. Apa perlunya ia membela
Cin Liong? Biarlah, biar ayah ibunya menyangka Cin Liong yang membunuh
Louw-kauwsu, ia tidak perduli! Dan ia pun tahu mengapa suheng-nya tak
menceritakan bahwa ayahnya membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian itu.
Tentu pemuda itu merasa malu karena membunuh diri, bukan tewas dalam
perkelahian, berarti pengecut.
Suma Kian
Lee yang sudah merasa tidak senang kepada Cin Liong karena pemuda itu berani
jatuh cinta kepada Suma Hui yang terhitung bibi sendiri, mengerutkan alisnya
dan mengepal tinju. “Sungguh tidak patut sekali perbuatan Cin Liong itu! Andai
kata dia bukan jai-hwa-cat, mengapa dia harus membunuh Louw-kauwsu yang hanya
bertindak untuk menentang kejahatan? Aku pasti akan menegurnya kalau sempat
berjumpa dengannya kelak!”
“Hemm,
kurasa ada apa-apanya di balik peristiwa itu. Putera Naga Sakti Gurun Pasir itu
adalah seorang panglima yang terkenal, dan seorang pendekar perkasa yang sudah
membela Pulau Es secara mati-matian. Tidak mungkin kiranya dia begitu sembrono
membunuh orang yang tidak berdosa. Ehhh, Hui-ji, mustahil kalau engkau tidak
tahu apa-apa tentang peristiwa itu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi
hingga Cin Liong sampai berkelahi serta membunuh Louw-kauwsu?” Dengan sinar
mata tajam penuh selidik, nyonya yang cerdik ini bertanya kepada puterinya.
Namun Suma
Hui tetap berkeras tidak sudi membela Cin Liong yang dibencinya. “Aku tidak
tahu, ibu,” jawahnya singkat, lalu dipegangnya tangan Ciang Bun sambil berkata
mendesak, “Bun-te, hayo ceritakan pengalamanmu sampai engkau dapat selamat dan
dapat pulang bersama ayah dan ibu.”
Tek Ciang
masih berdebar-debar rasa jantungnya karena khawatir kalau-kalau suhu dan
subo-nya mendesak terus sehingga rahasia ayahnya terancam bahaya terbuka
tabirnya, lalu bangkit dan menjura dengan hormat. “Sebaiknya teecu mohon diri
dan mundur agar suhu, subo dan sute dapat beristirahat dan bercakap-cakap
dengan leluasa.”
Kian Lee
mengangkat tangan dan memandang kepada muridnya itu dengan rasa iba dalam
hatinya. Ayah pemuda itu adalah seorang duda, maka sepeninggal ayahnya, berarti
pemuda ini yatim-piatu.
“Duduklah
saja, Tek Ciang. Engkau dapat dibilang anggota keluarga kami sendiri, maka
boleh engkau duduk dan ikut mendengarkan.”
Tentu saja
ucapan suhu-nya ini membesarkan hati Tek Ciang. Dia pun kembali duduk, namun
masih mengambil sikap sungkan-sungkan.
Ciang Bun
lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia diselamatkan dari lautan oleh kakak
beradik Liu dengan kakek mereka sebagai penghuni Pulau Nelayan. Betapa dia
kemudian tinggal di pulau itu bersama mereka bertiga, mempelajari ilmu dalam
air. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang hubungannya yang aneh dengan Liu
Lee Siang dan Liu Lee Hiang, hanya menceritakan kebaikan-kebaikan kakak beradik
dan kakek mereka itu.
“Setelah
merasa bosan tinggal di pulau itu dan sudah mempelajari semua dasar ilmu dalam
air, aku lalu meninggalkan pulau itu dan ketika mendarat, aku bertemu dengan
ayah dan ibu.” Demikian Ciang Bun menutup ceritanya.
“Kebetulan
kami bertemu dengan Ciang Bun,” sambung Kim Hwee Li. “Padahal kami berdua telah
berhari-hari mencari-cari di sekitar pantai namun tidak pernah melihat jejaknya
atau mendengar berita tentang dirinya. Siang hari itu, selagi kami berjalan-jalan
di pantai dan sudah hampir putus asa, bahkan sudah mengambil keputusan untuk
menggunakan perahu melakukan penyeberangan ke Pulau Es untuk menyelidiki di
lautan, muncullah perahu yang membawa Ciang Bun.”
Keluarga
yang telah berkumpul lagi dengan lengkap itu tentu saja merasa gembira. Akan
tetapi Suma Hui seoranglah yang tidak pernah merasakan kegembiraan, walau pun
ia berusaha untuk kelihatan gembira. Ibunya telah mendesaknya dan berkali-kali
menanyakan sikapnya itu di dalam kamar dengan suara bisik-bisik. Akan tetapi,
biar pun terhadap ibu kandungnya sendiri yang biasanya ia menceritakan segala
hal yang rahasia sekali pun, sekali ini ia tidak dapat membuka rahasianya.
Bagaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa dirinya telah dinodai, bahwa
kehormatannya telah dicemarkan, bahwa ia telah diperkosa oleh Cin Liong?
Sikap gadis
itu membuat ayah dan ibunya sering kali membicarakannya dalam kamar mereka.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang dirahasiakan oleh Hui-ji,” demikian antara
lain Hwee Li berbisik kepada suaminya pada malam hari setelah mereka pergi
tidur. “Ia menderita sesuatu.”
“Sungguh
tidak baik kalau hal itu dibiarkan saja. Tek Ciang telah kehilangan ayahnya,
sebaiknya kalau perjodohan antara mereka itu dipercepat. Aku akan memanggil
mereka berdua dan menyatakan terus terang bahwa antara aku dan ayah Tek Ciang
telah ada persetujuan untuk menjodohkan mereka.”
“Suamiku,
kurasa kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa bicara tentang itu dan memberi
tahu kepada Hui-ji. Aku yakin bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa
antara Hui-ji dan Cin Liong. Hui-ji kelihatan demikian menderita tekanan atau
guncangan batin yang hebat. Aku khawatir dia akan jatuh sakit. Hanya kekerasan
hatinya saja yang masih mampu mencegah ia jatuh sakit. Maka, kuharap engkau
suka bersabar dulu dan jangan sampaikan hal yang belum tentu disetujuinya itu
dalam waktu sekarang.”
Suma Kian
Lee mengerutkan alisnya, tetapi dia pun tidak dapat membantah isterinya. Dia
tahu bahwa Suma Hui memiliki kekerasan hati yang sama dengan kekerasan hati
isterinya.
“Baiklah,
dan aku akan segera mulai menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Tek Ciang agar dia
dapat cepat menyusul ketinggalannya dari Hui-ji.”
***************
Suma Hui
sendiri tidak tahu bahwa pada malam harinya ketika terjadi penyerangannya
terhadap Cin Liong, diam-diam Cin Liong kembali mendatangi rumahnya dan dengan
kepandaiannya yang tinggi, Cin Liong berhasil menemui Tek Ciang. Sebelum Tek
Ciang mampu bersuara, Cin Liong telah menotok urat gagunya dan juga membuatnya
lemas, lalu memanggul pemuda itu pergi dari rumah itu menuju ke tempat sunyi.
Setelah tiba
di tempat sunyi, Cin Liong membebaskan totokannya pada tubuh Tek Ciang dan
diam-diam pendekar ini merasa heran dan juga kecewa melihat betapa pucat wajah
pemuda itu dan tubuhnya menggigil ketakutan! Orang penakut begini diangkat
menjadi murid pendekar sakti seperti Suma Kian Lee? Sungguh mengecewakan
sekali. Akan tetapi pikiran itu hanya sekilas saja memasuki benaknya yang sudah
sarat dengan masalahnya sendiri yang membuatnya bingung, penasaran dan berduka
itu.
“Maafkan
aku, Louw-susiok. Terpaksa aku menggunakan jalan ini karena ingin sekali bicara
denganmu tanpa diketahui oleh Hui-moi.”
Tek Ciang
menarik napas lega dan kentara sekali bahwa baru saja dia terlepas dari
himpitan rasa takut yang hebat. “Aahhhh, taihiap, sungguh engkau membikin aku
kaget setengah mati. Perkara apakah yang ingin kau bicarakan?”
“Tidak lain
hanya perkara Hui-moi. Engkau melihat sendiri pagi tadi bagaimana ia telah
menyerangku dan serangan-serangannya itu sungguh-sungguh. Ia berniat keras
untuk membunuhku dengan penuh kebencian. Louw-susiok yang baik, apakah artinya semua
itu? Mengapa ia hendak membunuhku dan demikian membenciku? Apakah yang telah
terjadi malam tadi?”
Tek Ciang
memandang bingung dan mengangkat pundaknya. “Bagaimana aku tahu, taihiap?”
Cin Liong
penasaran dan memandang tajam penuh selidik. “Louw-susiok, kini engkau tinggal
serumah dengan Hui-moi, agaknya tak mungkin kalau terjadi hal-hal yang hebat
engkau tidak mengetahuinya.”
“Malam tadi
hampir semalaman aku tidak berada di rumah, taihiap.”
“Hemm, ke
mana saja engkau pergi?”
“Sudah
kukatakan kepadamu kemarin sore bahwa aku hendak menyelidiki penjahat cabul
yang menyebabkan ayahku tewas itu. Dan aku melihat ketika engkau berkelahi
dengan penjahat itu! Ternyata memang benar ada penjahat yang berkeliaran,
buktinya engkau menyerangnya dan berkelahi dengannya. Benarkah orang yang
berkelahi denganmu itu penjahat cabul?”
“Jadi engkau
melihatnya? Benar, dia adalah penjahat cabul terbesar di dunia hitam. Lalu
bagaimana?”
“Aku
bersembunyi dan nonton sampai penjahat itu lari dan kau kejar. Aku pun lalu
ikut mengejar, akan tetapi sebentar saja kalian berdua sudah lenyap. Aku terus
mencari berputar-putar sampai hampir pagi. Karena tidak berhasil menemukan
penjahat itu mau pun engkau yang mengejarnya, aku lalu pulang dan langsung
memasuki kamarku. Belum juga aku pulas, terdengar suara hiruk-pikuk dari kamar
sumoi. Aku dan pelayan terkejut, lalu lari ke kamarnya. Di dalam kamar itu
sumoi mengamuk, menghancurkan perabot-perabot kamarnya dan katanya ada penjahat
memasuki kamarnya dan penjahat itu melarikan diri tanpa sumoi dapat mengenal
wajahnya.”
Cin Liong
mendengarkan dengan alis berkerut. “Lalu apa katanya kepadamu setelah ia
menyerangku pagi tadi?”
Tek Ciang
menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali.
“Ia tidak mau bicara apa-apa, taihiap. Bahkan ketika aku mencoba bertanya
mengapa ia mengamuk dan menyerangmu, ia marah-marah dan minta kepadaku agar aku
tidak lagi menanyakan hal ini atau bicara tentang itu dengan siapa pun juga.
Ahh, aku khawatir sekali, taihiap. Sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan
diri lebih dulu....”
“Aku harus
menemuinya dan minta keterangan tentang sikapnya itu!” Cin Liong berkata
penasaran.
“Ahh,
bijaksanakah itu, Kao-taihiap? Aku melihat sumoi sedang dalam keadaan tidak
wajar, marah sekali dan juga amat berduka. Melihat keadaannya, aku yakin bahwa
setiap kali taihiap muncul, tentu akan diserangnya tanpa banyak kata lagi.
Watak sumoi keras sekali dan sementara waktu ini percuma saja kalau mengajaknya
bicara. Kalau taihiap muncul, akibatnya hanya akan membuat ia semakin marah.”
Cin Liong
mengepal tinju dan alisnya berkerut. “Habis bagaimana baiknya? Bagaimana
baiknya? Aihhh, kenapa ada urusan yang begini aneh?”
“Kao-taihiap,
kalau taihiap suka mendengar pendapatku, sebaiknya kalau sementara ini taihiap
malah menjauhkan diri. Dan sejauh mungkin karena agaknya sumoi masih terus
merasa penasaran dan hendak mencari taihiap untuk dibunuh. Susah payah aku tadi
membujuknya agar bersabar dan akhirnya baru ia mau berhenti setelah
kuperingatkan bahwa segala urusan harus diselesaikan dengan tenang. Kalau
taihiap menampakkan diri, tentu kemarahannya memuncak dan berkobar lagi.
Biarlah sampai ia dingin dan tenang dulu, baru kelak taihiap boleh menemuiku,
dua tiga bulan lagi, dan aku akan memberitahu taihiap kalau keadaan sudah
mendingin.”
Cin Liong
tidak mengira bahwa pemuda ini sedemikian baiknya. Dia memegang pundak pemuda
itu. “Louw-susiok, engkau sungguh seorang yang berhati mulia. Aku sangat
mengharapkan bantuanmu dalam urusanku dengan sumoi-mu ini.”
Tek Ciang
mengangguk. “Aku mengerti, taihiap, aku tahu bahwa ada hubungan batin antara
kalian dan sekarang agaknya sedang terjadi kesalah pahaman di pihak sumoi.
Engkau sebagai laki-laki sepatutnya mengalah dan bersabar.”
Cin Liong
mengangguk-angguk. “Tapi, apa yang harus kulakukan sementara menanti ia
bersabar itu? Sungguh aku bingung sekali dan baru sekarang dunia seolah-olah
gelap bagiku, membuat aku tak berdaya.”
“Taihiap, kurasa
sudah pasti ada hubungannya antara perkelahianmu melawan penjahat malam itu
dengan sikap sumoi ini....”
“Si keparat
Jai-hwa Siauw-ok!” Cin Liong mengepal tinjunya.
“Nah,
bagaimana taihiap pikir kalau taihiap mencari orang itu sampai dapat tertangkap
dan taihiap menuntut keterangan dari dia?”
“Ah, benar
sekali! Andai kata jahanam itu tidak tahu apa-apa tentang Hui-moi, tetap saja
dia harus ditangkap dan dihukum. Baiklah, susiok. Banyak terima kasih atas
semua bantuan dan nasehatmu. Aku pergi dan harap engkau membantuku menyelidiki
apa sebabnya Hui-moi marah-marah kepadaku dan bahkan hendak membunuhku. Dua
tiga bukan lagi aku datang ke sini dan menemuimu sebelum aku mencoba
menemuinya.”
Tek Ciang
mengangguk-angguk. “Jangan khawatir, aku akan membantumu, Kao-taihiap dan
mudah-mudahan semuanya akan berjalan dengan lancar.”
Demikianlah
pertemuan rahasia antara Kao Cin Liong dan Louw Tek Ciang, yang tidak diketahui
orang lain. Juga masih ada pertemuan lain lagi di malam berikutnya yang lebih
dirahasiakan oleh Tek Ciang. Seorang diri dia pergi menganjungi makam ayahnya
di luar kota pada malam hari itu.
Setelah dia
merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihatnya dia lalu melanjutkan perjalanannya
di malam gelap itu menuju ke sebuah kuil tua yang letaknya terpencil di tempat
sunyi. Seperti sikap seorang maling, pemuda itu menyelinap di tempat-tempat
gelap, memandang ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang
lain melihatnya, barulah dia meloncat masuk ke dalam kuil tua.
Sesosok
bayangan orang yang gerakannya amat ringan dan cepat seperti setan
menyambutnya. Orang itu Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.
“Bagus,
bagus! Engkau amat hati-hati dan memang begitulah seharusnya, waspada dan
hati-hati, begitulah sikap seorang jai-hwa-cat tulen!” Datuk sesat itu tertawa
bergelak.
Tek Ciang
merasa betapa mukanya menjadi panas. “Tapi.... locianpwe.... aku.... bukan
jai-hwa....”
“Ha-ha-ha,
memang belum, baru calon saja! Akan tetapi seorang calon yang amat baik dan
kelak engkau pun bisa menggantikan aku kalau engkau suka belajar dengan tekun.
Ha-ha-ha, sekarang ceritakan semua, bagaimana hasilnya siasat kita?”
Tek Ciang
tersenyum dan wajahnya berseri. Cuaca di dalam kuil itu remang-remang saja karena
Jai-hwa Siauw-ok hanya menyalakan sebatang lilin kecil. Ia melihat betapa wajah
yang masih ganteng dari kakek itu berseri-seri dan diam-diam dia kagum sekali.
Memang kakek ini hebat. Selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga memiliki
kecerdikan seperti setan.
“Semua
berjalan dengan baik sekali, locianpwe. Terima kasih kepada locianpwe.”
“Aha,
setelah aku membuat dara itu tidak berdaya dengan asap bius dan totokan,
melihat ia rebah tak berdaya seperti menantang itu, timbul seleraku, akan
tetapi aku ingat kepadamu, orang muda. Bagaimana, berhasilkah engkau
memperkosanya?”
Pertanyaan
itu diajukan dengan sikap wajar seperti orang menanyakan suatu hal yang lumrah
saja. Akan tetapi bagi Tek Ciang merupakan hal yang membuatnya merasa jengah
dan malu. Dia mengangguk tanpa menjawab.
“Hemm,
engkau menyesal setelah berhasil?”
“Tidak,
tidak, locianpwe. Sebaliknya, aku merasa girang sekali.”
“Dan engkau
sudah merasa puas?”
Pemuda itu
menggeleng kepala. “Belum, ia belum menjadi isteriku dan aku pun belum mewarisi
ilmu Pulau Es dan belum membalas dendam terhadap jenderal itu.”
“Ha-ha-ha,
tak perlu tergesa-gesa. Yang penting, engkau telah berhasil memperkosanya dan
ia tidak mengenalmu?”
“Tidak.
Tempatnya gelap dan dia berada dalam keadaan setengah sadar. Aku sudah sangat
berhati-hati dalam menirukan suara Cin Liong.”
“Bagus! Dan
hasilnya?”
“Hasilnya
baik sekali. Ketika Cin Liong datang, dia diserang dan akan dibunuh oleh
sumoi.” Pemuda itu lalu menceritakan semua yang telah terjadi sampai ketika dia
diculik oleh Cin Liong untuk dimintai keterangan. Semua ini didengarkan oleh
Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum girang, hanya dia merasa agak khawatir
mendengar pemuda itu diculik oleh Cin Liong.
“Untung
engkau cerdik. Jadi engkau berhasil memancingnya agar menjauhkan diri dulu dari
gadis itu dan agar dia mencari aku? Baik sekali. Engkau telah menjalankan
rencana siasatku dengan baik. Ha-ha-ha, kita berdua sudah mengecap hasilnya.
Engkau telah menikmati tubuh dara itu dan aku.... ha-ha-ha, girang hatiku
melihat permusuhan antara keluarga Suma dan keluarga Kao itu mulai tumbuh.
Tentu akan menjadi permusuhan keluarga yang hebat sekali kelak. Tetapi engkau
harus berhati-hati, Tek Ciang. Engkau sebagai orang di belakang layar yang
memainkan semua ini, jangan sekali-kali lantas menonjolkan diri. Tahan dahulu
nafsumu jikalau engkau ingin memiliki tubuh gadis itu sepenuhnya. Kita harus
cerdik. Aku akan memancing agar Cin Liong makin menjauhi tempat ini.”
“Baik, aku
akan mentaati semua pesanmu, locianpwe.”
“Kelak,
sewaktu-waktu aku berada di daerah ini, engkau boleh menemui aku di sini untuk
menerima beberapa macam ilmu dariku seperti yang telah kujanjikan padamu.”
Dengan
girang Tek Ciang menghaturkan terima kasih. Dia menganggap bahwa datuk sesat
ini telah berjasa besar kepadanya. Mereka lalu berpisah dan meninggalkan kuil
yang sunyi itu, kuil tua yang menyeramkan karena baru saja dijadikan tempat
oleh para iblis dan setan untuk mengusik hati dua orang manusia yang tersesat.
Iblis dan
setan yang suka mengusik hati orang tidak pernah jauh dari diri kita sendiri.
Suaranya selalu berbisik dalam batin kita, mendorong kita untuk selalu
mendambakan kesenangan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Tercipta oleh
pikiran kita sendiri, pikiran yang mengumpulkan dan menumpuk semua pengalaman
dalam hidup lahiriah yang yang praktis.
Secara
teknis pikiran dibutuhkan untuk mengingat, bekerja dan segala gerak hidup
lahiriah. Akan tetapi, dalam komunikasi dengan manusia lain, dengan benda,
dengan hal-hal batiniah, pikiran yang masuk hanyalah akan menimbulkan nafsu,
kebencian, keserakahan, dan sebagainya. Jadi setan datangnya bukan dari luar,
melainkan dari dalam batin kita sendiri.....
***************
Dua orang yang
memasuki kota Thian-cin pada sore hari itu menarik perhatian orang. Mereka
adalah sepasang pria dan wanita yang sudah berusia lima puluh tahun lebih,
namun masih nampak gagah perkasa dan sehat, juga wajah mereka jauh lebih muda
dari pada usia mereka yang sebenarnya.
Pria itu
berpakaian sederhana tapi bersih dan cukup rapi. Rambutnya sudah bercampur
sedikit uban, namun masih segar dan panjang, dikuncir tebal dan kepalanya
terlindung sebuah caping lebar. Walau pun pria ini hanya berlengan satu karena
lengan kirinya buntung di atas siku, akan tetapi sikapnya gagah dan langkahnya
tegap dan tenang. Terutama sekali sepasang matanya amat mengejutkan orang
karena mata itu, biar pun lembut dan tenang namun mengeluarkan sinar mencorong
seperti sepasang mata seekor naga sakti!
Yang wanita
juga amat menarik perhatian. Usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi masih
nampak jelas kecantikan membayang di wajahnya. Pakaiannya juga sederhana, tapi
bersih dan rapi. Di punggungnya nampak sepasang pisau belati bersilang,
tertutup oleh jubahnya. Wajahnya selalu riang gembira, di dalam sinar matanya
membayangkan semangat yang tak kunjung padam.
Mereka
adalah Sang Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya yang bernama Wan
Ceng. Suami isteri pendekar ini tinggal jauh di utara, di padang pasir, di
dalam sebuah istana tua yang jarang kedatangan manusia lain. Hanya baberapa
tahun sekali suami isteri ini suka berpesiar ke selatan, kadang-kadang sampai
ke kota raja. Akan tetapi mereka selalu menjauhkan diri dari pada segala
keributan.
Karena
mereka tinggal di tempat jauh dan jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw,
maka jarang ada yang mengenal mereka ketika bertemu di jalan. Padahal, nama
mereka sudah dikenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai datuk yang berilmu
tinggi. Naga Sakti Gurun Pasir mempunyai nama yang sama tenarnya dengan
keluarga Pulau Es. Dan sesungguhnya pendekar ini amat sakti.
Dialah
satu-satunya orang yang telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari Dewa Bongkok
dari Go-bi-san yang bernama Bu Beng Lojin. Biar pun lengan kirinya buntung,
tetapi buntungnya sebelah lengan itu sama sekali tak mengurangi kelihaiannya,
bahkan buntungnya lengan kiri ini membuat dia dapat menguasai Ilmu Sin-liong
Hok-te yang amat lihai kalau dimainkan dengan satu lengan saja.
Isterinya,
Wan Ceng, juga bukan wanita sembarangan. Ia masih cucu dari nenek Lulu, isteri
ke dua dari Pendekar Super Sakti. Dan wanita ini selain telah mempelajari
banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga telah menerima bimbingan dari suaminya
sehingga kelihaiannya juga meningkat.
Suami isteri
yang saling mencinta ini hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kao Cin Liong.
Semenjak anak itu masih kecil, mereka berdua telah menggemblengnya dan oleh
karena Cin Liong seorang putera tunggal, tentu saja mereka amat menyayanginya.
Hampir semua ilmu kepandaian mereka sudah mereka turunkan kepada Cin Liong.
Saat pemuda
itu menarik perhatian istana karena perbuatan-perbuatannya yang gagah perkasa
dan padanya ditawarkan kedudukan dalam kemiliteran, terjadilah perbantahan
antara suami isteri ini.
“Menjadi
tentara hanya menjadi alat pembunuh bagi kepentingan ambisi orang-orang atasan
saja. Apa baiknya? Aku ingin puteraku menjadi seorang pendekar, tidak berfihak
siapa pun kecuali berfihak kepada mereka yang lemah tertindas dan menentang
mereka yang menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menindas,” kata Wan
Ceng penuh semangat.
Suaminya
menarik napas panjang. “Sudahlah, isteriku. Yang penting adalah perasaan Cin
Liong sendiri. Biarkan dia yang menentukan pilihannya. Apakah engkau lupa bahwa
kakeknya adalah seorang jenderal besar, seorang panglima dan pahlawan besar
yang amat perkasa? Siapa tahu dia menuruni darah kakeknya itu. Pula, dia sudah
kita beri gemblengan dasar dan dia dapat melihat mana yang benar dan mana yang
tidak. Aku percaya bahwa dia berjiwa pendekar dan biar pun dia menjadi tentara,
tentu dia tidak akan membuta mentaati perintah atasan kalau perintah itu
melawan hati nuraninya sebagai pendekar.”
Akhirnya Wan
Ceng mengalah setelah melihat kenyataan, bahwa memang puteranya suka sekali
menjadi prajurit. Kemudian ternyata bahwa Kao Cin Liong telah membuat kemajuan
pesat dalam bidang militer ini. Jasa-jasanya menumpas para pemberontak di
perbatasan dan daerah-daerah sangat besar sehingga dalam usia muda dia sudah
diangkat menjadi seorang jenderal, bahkan menjadi seorang kepercayaan Kaisar
Kian Liong.
Suami isteri
ini sudah lama sekali mendambakan seorang mantu dan seorang cucu, akan tetapi
selalu putera mereka menolaknya kalau mereka menganjurkan dia agar segera
menikah. Cin Liong mengemukakan alasan bahwa belum ada wanita yang menarik
hatinya. Tentu saja suami isteri itu maklum akan kegagalan puteranya dalam
jalinan asmara bersama seorang gadis yang bernama Bu Ci Sian sehingga putera
mereka itu menjadi patah hati dan sampai berusia tiga puluh tahun kurang
sedikit masih juga belum mempunyai seorang isteri.
Dan pada
suatu hari, alangkah girang hati mereka ketika putera mereka itu datang
mengunjungi mereka dan menyatakan bahwa putera mereka itu sudah memperoleh
pilihan hati, saling mencinta dengan seorang gadis dan Cin Liong minta kepada
mereka untuk mengajukan pinangan! Akan tetapi, dalam kegembiraan itu mereka
merasa khawatir sekali ketika mendengar penjelasan Cin Liong siapa adanya gadis
yang saling mencinta dengan putera mereka itu. Gadis itu puteri Suma Kian Lee!
“Aihhh....!”
Wan Ceng setengah menjerit ketika mendengar keterangan puteranya itu, matanya
terbelalak dan mukanya berubah. “Puteri.... paman Suma Kian Lee? Cin Liong,
lupakah engkau siapa adanya Suma Kian Lee itu? Dia adalah paman kakekmu sendiri
dan puterinya itu berarti masih bibimu sendiri!”
Cin Liong
menarik napas panjang dan mengangguk. “Hal itu sepenuhnya telah kami sadari,
ibu. Akan tetapi, ia jauh lebih muda dariku, baru berusia delapan belas tahun.”
“Tapi....
engkau tahu ia bibimu dan engkau masih nekat?” teriak Wan Ceng.
Cin Liong
tersenyum menenangkan hati ibunya yang terguncang. “Bukan nekat, ibu. Aku jatuh
cinta dengan bibi sendiri, itulah kenyataannya, dan ia pun cinta kepadaku.
Hubungan keluarga antara kami sudah sangat jauh, kalau ada hubungan keluarga,
itu pun hanya keluarga tiri saja, sudah berlainan nama keluarga.”
“Tapi....
tapi puteri paman Kian Lee...., ya Thian Yang Maha Kuasa!”
Sejak tadi
Kao Kok Cu diam saja, hanya mendengarkan dan melihat isterinya mengeluh seperti
itu. Dia pun memejamkan mata, teringat akan riwayat isterinya di waktu muda
dahulu. Bukankah Suma Kian Lee pernah jatuh cinta kepada Wan Ceng? Dan setelah
mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan sendiri, Suma Kian Lee mundur! Ini
berarti bahwa Suma Kian Lee masih memegang teguh adat istiadat tentang larangan
berjodoh antara keluarga sendiri!
“Tapi....
tapi.... bagaimana mungkin engkau menikah dengan bibimu sendiri, Cin Liong?
Apakah sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini yang pantas menjadi isterimu
kecuali seorang bibimu?” Suara Wan Ceng terdengar seperti hampir menangis.
Cin Liong
mengerutkan alisnya. “Ibu, harap jangan persoalkan itu karena kalau sekali ini
aku gagal berjodoh dengan Hui-moi, selamanya aku tidak mau menikah! Aku tidak
mau gagal sampai ketiga kalinya. Terserah kepada ayah dan ibu apakah suka
melamarkan Suma Hui untukku atau tidak.” Suara pemuda itu tegas akan tetapi
tidak mengandung kemarahan.
“Cin Liong,
aku mengenal benar perangai ibumu dan ia bukan bermaksud menentang kehendakmu.
Hanya aku tahu bahwa ibumu khawatir kalau-kalau pinangan itu ditolak oleh paman
Suma Kian Lee yang kami tahu masih amat memegang teguh adat-istiadat
kekeluargaan.”
“Benar apa
yang dikatakan ayahmu, Cin Liong. Apakah orang tua gadis itu juga sudah
menyetujui ikatan jodoh ini?”
Cin Liong
menggeleng kepala. “Mereka belum tahu, jadi aku pun tidak dapat menduga
bagaimana sikap mereka terhadap hubungan kami.”
“Aihhh.... kalau
mereka belum menyetujuinya, bagaimana kami berani mengajukan pinangan? Anakku
yang baik, sungguh aku merasa amat sungkan, baru menghadap dan meminang saja
aku sudah merasa takut. Kalau sampai ditolak, akan kutaruh ke mana mukaku?” Wan
Ceng berkata sambil mengepal tangan kanannya. Hatinya merasa bingung dan
gelisah sekali. Rasa gelisahnya jauh lebih besar dari pada rasa gembira karena
akhirnya putera mereka minta dilamarkan seorang gadis.
“Ibu, kalau
tidak melamar lebih dahulu, mana mungkin kita bisa tahu apakah mereka itu
setuju ataukah tidak? Pula, kenapa mesti takut mengajukan pinangan? Meminang
anak gadis orang merupakan suatu hal yang terhormat dan menghormati keluarga
gadis yang dilamar. Menerima atau menolak adalah hak mereka, seperti juga meminang
adalah hak kita. Kalau ibu tidak berani melamarkan, apakah aku yang harus
melamarnya sendiri?”
“Liong-ji,
engkau tak boleh mendesak ibumu seperti itu!” Tiba-tiba Kao Kok Cu berkata,
suaranya halus namun penuh wibawa dan Cin Liong merasa akan kesalahannya, maka
dia pun cepat menghampiri ibunya dan berlutut.
“Ibu,
maafkan aku....”
Wan Ceng
cepat merangkulnya. “Aku tidak marah, anakku, hanya aku mengkhawatirkan
perasaan hatimu kalau sampai kami ditolak.”
“Sudahlah,
bagaimana pun juga, kita harus berani menghadapi kenyataan yang bagai mana
pahit pun. Cin Liong, kapan kami harus berangkat ke Thian-cin untuk mengajukan
pinangan itu?”
“Sebaiknya
dua bulan mendatang, ayah. Aku akan kembali lebih dahulu ke kota raja dan
kuharap ayah dan ibu suka singgah dulu di kota raja sebelum melanjutkan
perjalanan ke Thian-cin.”
Demikianlah,
dua bulan kemudian, suami isteri ini melakukan perjalanan ke selatan. Mereka
singgah di kota raja, akan tetapi ternyata gedung Jenderal Muda Kao Cin Liong
kosong dan menurut keterangan para pengawal, jenderal muda itu sedang melakukan
tugas dan sudah beberapa pekan meninggalkan kota raja.
Seperti kita
ketahui, Cin Liong pergi ke Thian-cin, kemudian terjadi peristiwa dia hampir
dibunuh oleh kekasihnya. Dia kemudian berusaha mencari jejak Jai-hwa Siouw-ok,
maka dia tidak sempat kembali ke kota raja sehingga gedungnya kosong ketika
orang tuanya datang. Melihat betapa putera mereka tidak berada di rumah dan
agaknya tentu sedang melaksanakan tugas penting, Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak
lama berdiam di kota raja dan melanjutkan perjalanan mereka ke Thian-cin.
Pada sore
hari itu, mereka memasuki pintu gerbang kota Thian-cin dan sepasang suami
isteri yang gagah perkasa, dalam kesederhanaan mereka, masih saja menarik
perhatian banyak orang yang hanya menduga-duga bahwa suami isteri itu tentulah
pendekar-pendekar yang lihai. Ketika mereka mendengar sepasang suami isteri ini
menanyakan di mana letak rumah keluarga Suma, dugaan bahwa mereka adalah
pendekar-pendekar yang lihai lebih meyakinkan lagi.
Dengan mudah
suami isteri ini dapat memperoleh keterangan tentang rumah keluarga Suma Kian
Lee dan pada sore hari itu mereka sudah berada di pekarangan depan rumah
keluarga Suma, disambut oleh seorang pelayan yang segera melapor ke dalam.
Tak lama
kemudian, keluarlah keluarga Suma selengkapnya, yaitu Suma Kian Lee, Kim Hwee
Li, Suma Hui dan Ciang Bun. Suma Kian Lee dan isterinya menyambut dengan ramah,
sedangkan kedua orang anak mereka menyambut dengan sikap hormat walau pun
dengan pandang matanya yang tajam Wan Ceng melihat betapa gadis kekasih
puteranya itu, walau pun cantik dan gagah, namun sikapnya seperti orang marah
atau galak.
Juga Kao Kok
Cu dapat melihat bahwa di balik keramahan sikap Suma Kian Lee, terdapat sinar
mata yang tajam dan keras, maka diam-diam hatinya merasa tidak enak sekali.
Hanya Kim Hwee Li seorang yang sikap ramahnya tidak dibuat-buat...
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment