Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 17
HAMPIR saja
Ceng Liong berseru kaget pada saat dia mengenali gerakan ilmu silat keluarganya
dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernama Tek Ciang itu. Bagaimana
penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan
Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya? Bahkan setiap kali bergerak, muncullah
hawa panas sekali atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang
itu telah benar-benar menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu!
Juga Hek-i
Mo-ong diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan
tak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat dari pada gurunya. Sedang
Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah muridnya dan
dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu keturunan keluarga Pulau
Es!
Akan tetapi,
di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu.
Ilmu silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan
sinar emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan. Diam-diam
gadis itu sendiri pun kaget betapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka dia pun
tidak mau kalah dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya.
Ilmu
Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mukjijat, akan tetapi ia belum menguasai
secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih selama beberapa
bulan. Kepandaiannya dalam ilmu silat ini belum matang dan menurut ayahnya,
kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan yang lama dan tepat.
Maka, ia pun
mengeluarkan bermacam ilmu yang dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah
bundanya. Sulingnya berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang
yang langka di dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, juga
Hong-in Bun-hoat dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.
Oleh karena
merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan mengandalkan ilmu
silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan dia hendak mengadu tenaga.
Dia maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga sinkang yang kuat, tetapi dia
tidak percaya kalau dia kalah kuat. Bagaimana pun juga, lawannya hanyalah
seorang dara remaja!
Maka, ketika
untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gulungan sinar emas
menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya
menangkis dengan usaha menangkap suling itu sambil mengerahkan tenaga
sinkang-nya.
“Plakkk!”
Telapak
tangan Tek Ciang bertemu dengan suling. Jangankan menangkap, telapaknya malah
terasa bagaikan dibakar. Cepat-cepat dia mengerahkan Hwi-yang Sinkang untuk
melawannya, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan dara
itu hanya melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah
bahwa dara itu lebih kuat dalam tenaga sinkang dari padanya!
Sesungguhnya
tidaklah demikian. Kalau saja Tek Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang hampir
setiap malam menghamburkan tenaganya dengan mempermainkan wanita yang diculik
dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari Bi
Eng. Akan tetapi, dia malas berlatih, malah memboroskan tenaganya dengan
perbuatan jahat menculik dan memperkosa wanita seperti yang sering dilakukan
pula oleh sang guru, Jai-hwa Siauw-ok.
Benturan
tenaga sinkang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat orang ini merasa
malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimana pun juga, sejak tadi masih belum
ada niat di dalam hatinya untuk membunuh atau mencelakai gadis ini. Ingin dia
membuat gadis itu tidak berdaya, mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia
dapat lebih dulu mempermainkannya sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi,
sikapnya yang mengalah ini bahkan hampir mencelakakan dirinya sendiri.
“Ciiiittt....
ciiittt....!”
Tek Ciang
menyerang ganas. Kini tusukan-tusukan jari tangannya yang menggunakan Ilmu
Kiam-ci (Jari Pedang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng terkejut. Belum
pernah ia melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak dan
tusukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya itu
terbabat putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan kelincahannya
sambil membalas dengan sulingnya.
Tiba-tiba
Tek Ciang tergelincir dan roboh miring. Jika saja Bi Eng sudah berpengalaman
dalam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering berhadapan dengan lawan
dari golongan sesat, tentu ia akan bersikap waspada karena ia tentu tahu bahwa
golongan sesat tidak segan mempergunakan siasat curang untuk memperoleh
kemenangan. Ia tidak mengira bahwa Tek Ciang mempergunakan siasat itu. Maka
sulingnya menyambar dalam kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang
pelayannya.
Pada saat ia
menubruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan suara berkokok dan dia mendorongkan
kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil
mengerahkan ilmu pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok.
Ilmu pukulan ini dahulu merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke
empat dari Im-kan Ngo-ok yang berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui
Ji-ok dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek Ciang.
“Desss....!”
Bi Eng yang
sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang sudah tergelincir itu akan mampu
melakukan pukulan sehebat itu, terlanda pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya
terpelanting roboh dalam keadaan pingsan!
Memang
kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang itu adalah cara penggunaannya dari bawah,
dari dalam keadaan rebah miring atau berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu
pukulan ini dilakukan dan Bi Eng yang roboh pingsan itu mukanya berubah agak
kehijauan karena ia telah terkena pukulan beracun yang amat hebat.
“Tolol
kamu....!” Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang segera
melangkah mundur dengan muka pucat.
Biar pun dia
telah berhasil, akan tetapi pukulannya tadi bertemu dengan kekuatan sinkang
yang membuatnya jantungnya terasa tergetar. Kini dia dibentak dan dimarahi,
maka dia menjadi sangat khawatir.
“Mo-ong,
kenapa engkau marah-marah? Bukankah muridku telah berhasil....”
“Berhasil
apa? Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu? Ia merupakan sandera yang
paling berharga, kenapa malah dibunuh? Kalau ia ditangkap dalam keadaan hidup
dan sehat, kita akan mudah menundukkan ayah ibunya!”
Jai-hwa
Siauw-ok baru mengerti dan dia pun menyesal. “Bagaimana pun juga, dara itu
belum mati, dan menghadapi suami isteri itu, kita berempat tentu mampu
mengalahkan mereka.”
“Hei, ke
mana engkau akan membawanya?” Tiba-tiba Tek Ciang berteriak.
Semua orang
menengok dan ternyata Ceng Liong sudah memanggul tubuh Bi Eng yang sudah lemas
tak berdaya itu.
“Mo-ong, aku
akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya,” Ceng Liong berkata,
ditujukan kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak mempedulikan teriakan Tek
Ciang.
“Tahan
dulu....!” Tek Ciang hendak mengejar.
“Diam
kau....!” Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya.
Tek Ciang
menoleh dan melihat betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong sedang memandang kepadanya
dengan marah. Tahulah dia mengapa gurunya menghardik, karena kalau dia mengejar
murid iblis itu, siapa tahu Hek-i Mo-ong akan membunuhnya. Watak dan sikap
kakek iblis itu memang sukar diselami, maka dia pun mengalah, bahkan diam-diam
tersenyum mengejek. Biarlah, biarlah dicobanya oleh anak setan itu untuk mengobati
bekas tangannya dengan pukulan Hoa-mo-kang tadi, pikirnya.
Dia sendiri
tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati,
ingin dia mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita
dan sedang mekar itu dibiarkan mati tanpa diganggu.
“Sudahlah,
mari kita segera mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian,” kata Hek-i Mo-ong,
kemarahannya mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut
kepadanya. “Biar nanti muridku menyusul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan
sandera kita.”
“Locianpwe,
gadis itu tadi akulah yang merobohkannya, maka aku yang berhak untuk
menikmatinya, bukan murid locianpwe,” kata Tek Ciang yang masih merasa
penasaran, akan tetapi suaranya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek
iblis ini akan menjadi marah.
“Cihhh!
Jangan samakan muridku dengan manusia gila perempuan macam engkau! Muridku
adalah laki-laki sejati. Kalau dia bilang mau mencoba mengobati, tentu dia akan
mengobati saja dan tidak melakukan hal lain! Mari kita pergi!”
Jai-hwa
Siauw-ok berkedip kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi.
Bagaimana pun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan betapa
Ceng Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai gadis cantik
yang sudah pingsan itu!
Memang,
orang yang sudah biasa melakukan penyelewengan di dalam kehidupannya, akan
selalu menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan dapat
mempercayai orang lain. Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan
gurunya adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua orang
laki-laki tentu mempunyai watak seperti dia pula dan timbul cemburu dan tidak
percaya ketika Ceng Liong membawa pergi gadis cantik yang pingsan itu.
Hek-i Mo-ong
sendiri tentu saja sudah mengenal watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia
sedang melamun, dia merasa malu sendiri kepada muridnya. Jelas nampak olehnya
bahwa biar pun selama bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak
itu sungguh memegang teguh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepadanya
dan tidak mau belajar menjadi manusia sesat! Dia kadang-kadang merasa malu
mengapa anak itu dapat memiliki watak gagah, seorang pendekar tulen!
Kadang-kadang
timbul penyesalan pula di dalam hatinya, mengapa dia yang di waktu mudanya juga
mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian dapat menyeleweng dan sekali
menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan, sukarlah untuk keluar dari situ.
Dia sudah merasa terlanjur menjadi tokoh kaum sesat dan dia akan merasa malu
kalau keluar dari lingkungan itu.
Ia tahu
pasti bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis yang terkena pukulan murid
Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh Ceng Liong dan tak
mungkin ada sedikit pun niat buruk lain di dalam hati muridnya. Diam-diam kakek
iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa muridnya adalah seorang pendekar,
bahkan bukan sembarangan pendekar melainkan cucu asli dari Pendekar Super Sakti
dari Pulau Es!
Dia pun tahu
bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu sukar sekali
ditolong. Apalagi muridnya tidak pernah mempelajari cara menyembuhkan korban
seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal. Gadis itu akan tewas dan tidak
lama kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.
Akan tetapi,
dia merasa kehilangan muridnya ketika mendadak dia dan kedua orang kawannya
mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mereka berhenti serentak, saling
pandang dan jelas betapa wajah mereka menjadi tegang. Bahkan Tek Ciang yang
biasanya bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah
air mukanya mendengar suara suling itu.
Suara suling
itu aneh sekali, tidak seperti suara suling biasanya. Melengking-lengking naik
turun, dan terdengar dua suara suling yang saling susul, saling belit dan
saling mengisi. Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira,
kadang-kadang seperti berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu
asmara, dan ada kalanya berubah menjadi gegap-gempita seperti ada perang di
sana. Dan dalam nada bagaimana pun juga, selalu ada getaran yang amat kuat, yang
membuat tiga orang itu harus mengerahkan sinkang untuk melawannya.
Kemudian
suara suling itu merendah, sampai rendah sekali dan jantung tiga orang itu
terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat, berdentang-dentang dan dada
seperti akan pecah rasanya. Hanya dengan pengerahan sinkang saja mereka dapat
bertahan. Tiba-tiba, suara yang amat rendah itu melengking, makin lama makin
tinggi. Tiga orang itu hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan
mengerahkan sinkang. Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai
lenyap suaranya tak dapat tertangkap lagi oleh pendengaran, akan tetapi
getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk jantung mereka rasanya.
Akhirnya,
suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati mereka dan mereka membuka mata,
saling pandang dan muka mereka menjadi agak pucat. Bukan main hebatnya suara
tadi dan tanpa bicara pun mereka dapat menduga siapa yang meniup suling seperti
itu. Dugaan mereka terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan
bergandengan tangan dan suling yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan
suara aneh, kini terselip aman di ikat pinggang mereka.
Yang seorang
laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang terlalu
lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan
anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapun membayangkan keramahan dan
kehalusan budi. Hanya sepasang matanya yang tidak dapat dicuri memiliki sinar
mencorong seperti naga. Kumis dan jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat
baik. Seorang sasterawan yang tampan dan halus!
Dan di
sebelahnya berjalan seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima
tahun, masih nampak cantik dan manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria itu
dan kalau bicara melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu
dengan perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong,
keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci Sian
yang juga menjadi sumoi-nya dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu
meniup suling dengan khikang yang sangat tinggi. Mereka kelihatan begitu rukun
dan saling mencinta.
Melihat
musuh besarnya, Hek-i Mo-ong lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah memandang
dengan mata mendelik dan napas memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak
dada. Ada pun Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya memandang ke arah wanita itu.
Seorang wanita cantik yang sudah matang, agaknya inilah musuh besarnya, pikir
Jai-hwa Siauw-ok dengan jantung berdebar. Kalau saja dia mampu membalaskan
sakit hati guru-gurunya! Dengan mengalahkan wanita ini, merobohkannya, kemudian
memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan membunuhnya! Alangkah akan puas
rasa hatinya.
Sekarang
sepasang suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu,
melihat adanya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan. Mereka
merasa heran dan amat kaget. Biasanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati
matahari terbit, mereka suka iseng-iseng dan berlatih suling. Tadi pun mereka
berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu sunyi tidak ada orang
lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga orang itu agaknya
tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka, mudah diduga bahwa tiga orang
ini tentu ‘berisi’.
Akan tetapi,
keheranan hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal kakek berpakaian
hitam yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuhnya dengan
sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis itu
yang kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berbahaya itu?
Ketika
mengerling kepada dua orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam Hong dan
isterinya tidak mengenal mereka, akan tetapi dapat menduga bahwa dua orang yang
datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong, mudah diduga tentu juga
bukan orang-orang baik dan juga tentu memiliki kepandaian yang tinggi.
Sikap Kam
Hong amat tenang ketika sambil tersenyum dia menjura. “Ah, kiranya Hek-i Mo-ong
yang datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau dalam
keadaan sehat, Mo-ong?”
Sungguh
tidak dapat dimengerti oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh
menyambut Hek-i Mo-ong dengan keramahan seperti itu, seolah-olah bertemu dengan
seorang sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga menjawab dengan suara wajar, akan
tetapi mengandung penuh ancaman.
“Orang she
Kam, selama belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat
bertemu lagi denganmu dan menebus kekalahanku dahulu. Nah, sekarang kita
bertemu di sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!”
Kam Hong
menarik napas panjang. “Mo-ong, seorang tua seperti engkau ini, pantaskah untuk
meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan oleh kekalahan dalam suatu
perkelahian? Sungguh kasihan!”
Saat itu
dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke arah muka
wanita cantik itu sambil bertanya, “Apakah engkau yang bernama Bu Ci Sian dan
dahulu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu?”
Bu Ci Sian
memandang laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang
berwajah ganteng berpakaian pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat
pernah berkenalan dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa
laki-laki ini pun baru sekarang bertemu dengannya.
“Benar,
siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?” tanyanya, suaranya
juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari suaminya sendiri
dan kini menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai dibandingkan dahulu
sebelum ia menjadi isteri Kam Hong. Sikap seorang yang penuh kepercayaan akan diri
sendiri.
“Namaku Ouw
Teng dan orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok adalah
guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku ini.”
Bu Ci Sian
tersenyum dan menoleh kepada suaminya, saling pandang, lalu berkata kepada
suaminya, sikapnya tak acuh, “Aihh, sudah belasan tahun kita tidak pernah
mencampuri urusan dunia, siapa tahu kini bajingan-bajingan ini malah yang
datang sendiri mengantar nyawa. Sungguh tidak dapat disalahkan peri bahasa ular
mencari penggebuk!”
Kam Hong
mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka dia pun
hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan, “Apa boleh buat. Akan
tetapi berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani datang mengantar
nyawa tentu telah memperhitungkan sebelumnya dan agaknya mereka ini sudah
membawa bekal yang cukup memadai.” Setelah berkata demikian, pendekar ini
berdiri membelakangi isterinya beradu punggung.
Isyarat ini
dapat dimengerti oleh Bu Ci Sian. Suaminya bersikap hati-hati dan karena lawan
mereka bertiga, sedangkan mereka belum mengenal sampai di mana kepandaian
mereka bertiga itu, suaminya minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan
berdiri saling membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di
pinggang dan memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut,
persis seperti orang yang hendak meniup suling!
Akan tetapi,
suaminya berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut sulingnya, seolah-olah hendak
menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi karena Kam Hong
menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah Hek-i Mo-ong
maka dia pun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan membiarkan
isterinya menghadapi dua orang lawan lainnya.
Jai-hwa
Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan wanita
musuh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada muridnya untuk maju
bersama mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i Mo-ong ketika melihat sikap Kam
Hong yang demikian tenangnya, muncul kembali rasa gentar di hatinya.
Memang benar
bahwa dia sudah menguasai ilmu-ilmu barunya seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus
Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi dia pun dapat menduga
bahwa selama ini tentu Kam Hong juga memperdalam ilmunya! Baru tiupan sulingnya
tadi saja sudah membuat dia dapat mengerti akan kelihaian lawan ini. Maka
teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia mengerahkan
khikangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya suara itu
dibawa oleh tenaga khikang sampai jauh sekali.
“Ceng Liong,
cepat engkau ke sinilah....!”
Kam Hong
tersenyum. “Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup untukmu? Haruskah
engkau mendatangkan teman lagi untuk mengeroyok kami?”
Ucapan yang
halus ini lebih menusuk dari pada makian. Hek-i Mo-ong menjadi merah mukanya
dan dia pun mengeluarkan suara gerengan.
Akan tetapi
sebelum dia menggerakkan tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya telah lebih
dahulu maju menyerang Bu Ci Sian. Begitu maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya
mengeluarkan ilmunya yang istimewa, yaitu Kiam-ci yang merupakan ilmu andalan
mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Suara mencicit segera terdengar ketika
jari-jari tangannya menyambar ke arah lawan.
Ci Sian
sudah mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebatannya, maka ia pun sudah
mengebutkan sulingnya menghalau dan balas menotok. Dari samping, Tek Ciang
mengirim serangan hebat karena pemuda ini menggunakan Ilmu Thian-te Hong-i
(Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah menjadi ilmu andalan dari Sam-ok Ban Hwa
Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari pusingan itu mencuat lengannya yang
mengirim serangan amat cepat dan kuatnya!
Ci Sian
terkejut, tak mengira bahwa laki-laki muda ini demikian hebat sudah menguasai
ilmu andalan dari Sam-ok yang pernah menjadi musuh lamanya, maka ia pun cepat
menyambut lengan lawan yang menyerang dengan totokan ke arah pergelangan
tangan. Melihat kecepatan wanita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali
lengannya. Dia tahu bahwa betapa pun cepat serangannya tadi, kalau dilanjutkan,
dia kalah cepat dan sebelum tangannya mengenai tubuh lawan, tentu pergelangan
tangannya akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.
Sementara
itu, Hek-i Mo-ong juga sudah menyerang Kam Hong. Karena maklum akan kelihaian
pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan sepasang
senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia tidak mau mencoba
untuk menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa kuatnya sinkang dan khikang
pendekar itu yang tidak akan dapat ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka dia
pun sudah menyerang dengan hebat, menggunakan tombaknya menyerang dan kipas
merahnya menyambar ke arah muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut.
Serangan ini amat hebatnya karena Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan
begitu menyerang telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya!
“Tringg....
trakkk....!”
Hebat sekali
cara Kam Hong mencabut suling dan menggunakannya. Sekali bergerak, suling itu
menangkis tombak dan kipas berturut-turut dan lawannya terdorong dua langkah ke
belakang! Hek-i Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa selama ini Kam Hong telah
melatih diri dan tenaga sinkang-nya menjadi jauh lebih hebat dari pada dahulu.
Dia harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sinkang.
“Hiyeeeeehhhh!”
Dia
mengeluarkan bentakan aneh dan tangan kiri yang sudah menyimpan kipasnya itu
kini menyambar ke depan dengan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian hebat dan cepatnya dan mengandung hawa
yang menyeramkan, seperti digerakkan oleh tenaga mukjijat. Itulah Ilmu
Coan-kut-ci yang selama itu dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama
muridnya! Entah sudah berapa banyak tengkorak yang menjadi bulan-bulanan
jari-jari tangannya ketika dia berlatih. Dan sebelum serangan dengan ilmu
menyeramkan ini dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih dahulu ke arah
lambung lawan!
Kini Kam
Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal ilmu serangan aneh itu, tetapi
dengan tenang dia hantamkan lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan
sinkang sekuatnya. Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan
tenaganya pada tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka
pegangan pada tombaknya tidak begitu kuat. Dan tombaknya itu pun tadi hanya
menggertak saja, sedangkan serangan dipusatkan pada tangan kiri yang
mencengkeram ke arah ubun-ubun itu.
Karena itu,
begitu kena dihantam oleh lengan kiri Kam Hong, tombaknya terlepas dan
terlempar jauh. Akan tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah
kepala dengan kedahsyatan yang mengerikan. Akan langsung hancurlah kepala itu
kalau kena cengkeraman itu!
Kam Hong
mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah mencabut kipasnya dan kini sekali
bergerak, kipasnya yang berkembang menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri
melempar kepala ke belakang.
“Bretttt....!”
Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman Coan-kut-ci.
Kam Hong
terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke belakang, bergulingan dan meloncat
bangun. Kipasnya hancur dan dia melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti
satu lawan satu. Tombak Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur.
Kam Hong tersenyum gembira. Ternyata lawannya ini jauh lebih lihai dari pada
dahulu. Tentu saja memperoleh lawan yang demikian kuatnya, timbul
kegembiraannya.
“Mo-ong,
engkau makin tua makin hebat saja!” katanya dengan tenang dan gembira,
seolah-olah dia baru saja tidak terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya!
Kini Kam
Hong menerjang dengan sulingnya. Demikian hebat terjangannya sehingga Hek-i
Mo-ong terpaksa meloncat ke sana-sini sambil mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci yang
hebat itu. Ketika Hek-i Mo-ong terdesak oleh gulungan sinar emas suling,
tiba-tiba dia membuka mulutnya dan uap putih yang amat panas menyambar ke arah
muka Kam Hong!
Kembali
pendekar ini terkejut. Dia tidak mengenal Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu
bahwa uap itu berbahaya sekali. Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping
dia memutar sulingnya. Untung dia melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi
sudah disusul dengan cengkeraman tangan maut itu lagi. Putaran suling menahan
serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum bahwa sekali tubuhnya tertotok
suling, tentu dia akan celaka. Mereka bertanding lagi dengan hati-hati karena
maklum bahwa lawan masing-masing sungguh tak boleh dihadapi dengan ceroboh.
Sementara
itu, Bu Ci Sian juga mendapat kenyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu lihai
bukan main, dan terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda
itu malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang
membuat ia terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari ilmu
silat keluarga Pulau Es!
Ia sendiri
pernah menerima pelajaran penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu,
dan kini ia melihat betapa laki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai
sekali memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu
Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada murid
Pulau Es yang membantu penjahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini. Akan tetapi
karena tidak ada kesempatan lagi bertanya, ia pun mengeluarkan semua ilmunya
dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan dengan memutar
sulingnya yang memiliki kecepatan dan kekuatan luar biasa itu.
Melihat
betapa dia dan gurunya mampu menandingi wanita yang hebat ini, timbullah
kegembiraan di hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan
siasat untuk memancing kemarahan Ci Sian.
“Ha-ha-ha,
suhu, perempuan ini lebih montok dari pada puterinya. Biarlah dia nanti
diserahkan kepadaku saja. Timbul birahiku melihatnya, suhu!” Mendengar ucapan
ini, Jai-hwa Siauw-ok maklum akan akal muridnya dan dia pun tertawa bergelak
untuk memanaskan hati lawan.
Akal
muslihat Tek Ciang ini memang baik sekali untuk memanaskan hati lawan. Bagi
orang yang sedang bertanding, sungguh menjadi pantangan besar untuk membiarkan
hatinya panas dan marah. Kemarahan mengurangi kewaspadaan. Akan tetapi tentu
saja kalau akal itu ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap
suami isteri itu, akal Tek Ciang bahkan mendatangkan mala petaka bagi dia dan
kawan-kawannya sendiri.
Tadinya, Kam
Hong dan Ci Sian hanya mengerahkan ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk
menghadapi lawan karena memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan
pertikaian itu tidak berniat untuk mencelakai lawan. Cukup asal dapat menahan
mereka dan mengusir mereka saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat
menghina tadi sama sekali tidak dapat memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong,
hanya mendatangkan rasa khawatir karena mereka berdua teringat akan puteri
mereka yang disebut oleh Tek Ciang tadi.
Mereka
khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang
dilakukan oleh orang-orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang membuat
suami isteri itu merubah gerakan mereka. Mereka hendak mengakhiri perkelahian
itu secepatnya untuk dapat segera menengok puteri mereka yang berada sendirian
saja, hanya ditemani enam orang pelayan di dalam istana tua.
Kini
terjadilah keajaiban. Bukan hanya permainan suling mereka yang berubah, akan
tetapi terdengarlah bunyi suara melengking-lengking dari suling mereka.
Terutama sekali suling di tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking
demikian kuatnya sehingga Hek-i Mo-ong merasa kedua telinganya seperti
ditusuk-tusuk pedang. Dia terkena pengaruh yang paling hebat, sedangkan dua
orang kawannya juga menjadi pusing oleh serangan suara suling yang
melengking-lengking itu. Permainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini
dipergunakan oleh suami isteri pendekar itu untuk mendesak.
Mula-mula
Hek-i Mo-ong yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras, akan
tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan sampai
jauh. Kam Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya dan dengan cepat
mereka juga telah mengalahkan dua orang lawannya. Suling di tangan Ci Sian
berhasil menotok lambung Tek Ciang. Pemuda ini berteriak kesakitan dan terjengkang
lalu bergulingan, sedangkan pundak Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman
suling Kam Hong. Tulang pundaknya remuk dan dia pun terpelanting jauh.
“Mari
pulang!” kata Kam Hong kepada isterinya dan tanpa mempedulikan tiga orang yang
sudah terluka parah itu, suami isteri ini mempergunakan ilmu lari cepat seperti
terbang menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.
Mereka
memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika mereka
berlari-larian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat tubuh keenam orang
pelayan mereka malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Akan tetapi
seorang di antara mereka masih merintih. Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di
dekat orang itu. Sekali pandang saja tahulah mereka bahwa orang ini pun tak
mungkin tertolong lagi karena kepalanya retak.
“Mana....
mana nona?” tanya Ci Sian.
Orang itu
mengumpulkan kekuatan terakhir. “Nona.... nona.... dilarikan.... seorang di
antara.... mereka, seorang pemuda....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya
dan terkulai, tewas.
Tentu saja
suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke mana puteri
mereka dilarikan orang dan siapa pula yang melarikannya. Bagaimana mereka akan
dapat melakukan pengejaran?
“Iblis-iblis
itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!” tiba-tiba Kam Hong berkata
dan dia pun meloncat dan lari, diikuti isterinya.
“Kulumatkan
kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!” teriak Bu Ci Sian yang teringat
bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang
penjahat pemerkosa wanita!
Dengan
kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu lari ke
tempat di mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan tetapi, betapa
kaget, gelisah dan marah rasa hati mereka ketika mereka tidak menemukan tiga
orang bekas lawan yang telah mereka lukai tadi di tempat itu. Mereka
mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Tentu saja suami
isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka lalu mencari di sekitar puncak
Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal mereka lalu menjelajahi Pegunungan
Tai-hang-san untuk mencari puteri mereka yang dilarikan orang.
Sebelumnya,
mereka minta bantuan penduduk yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus
mayat enam orang pelayan mereka, sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari
tanpa jejak dan tujuan tertentu. Selama belasan tahun hidup dalam keadaan aman
dan tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu mengalami bencana yang
menggelisahkan hati mereka.....
***************
Ceng Liong
memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja yang lihai itu
terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan siasat curang, hatinya merasa
penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada gurunya maka dia tidak mau
mencampuri perkelahian itu, akan tetapi hatinya berfihak sepenuhnya kepada
gadis yang tidak berdosa itu dan diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada
Tek Ciang yang dianggapnya tak tahu malu dan jahat.
Maka begitu
melihat nona itu terpukul roboh dan pingsan, dia lalu mendekati dan menyambar
tubuh dara itu, dipanggul dan dibawanya pergi. Dia tidak mempedulikan teguran
Tek Ciang dan hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati
dara itu.
Dia sudah
memperhitungkan bahwa andai kata Tek Ciang menghalanginya, tentu dia akan
menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya. Akan tetapi, berkat
kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak berani menghalanginya maka
Ceng Liong cepat membawa tubuh yang pingsan itu menuruni lereng.
Setelah tiba
di tempat sunyi, dia menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan
hati-hati dia rebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya
sejenak. Dilihatnya wajah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya tinggal
satu-satu dan detik jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan lemas tak
berdaya sama sekali. Ketika dia membuka kelopak mata, ternyata mata itu
kehilangan cahayanya.
Baju di
pundak kanan nona itu hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru
kehijauan. Agaknya pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini.
Ketika disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat
dinginnya, seperti ada esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh itu
mengandung hawa dingin, pikirnya.
Dia bukan
seorang ahli pengobatan, tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang
sakti seperti Hek-I Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan dia pun tahu
bahwa dara itu menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka
dia pun lalu meletakkan telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu,
kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga panas Hwi-yang Sinkang
disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang menempel di pundak
berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu, sedangkan
yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan sinkang-nya ke dalam pusar
nona itu untuk membantu nona itu membangkitkan kembali sinkang-nya.
Dengan
hati-hati dan penuh ketekunan Ceng Liong menyalurkan sinkang-nya yang panas,
dan tiba-tiba nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika
melihat betapa tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat,
juga telapak tangannya merasa betapa detak jantung nona itu tidak selemah tadi.
Akan tetapi,
yang membuat dia terkejut dan gelisah adalah ketika melihat bahwa warna
kehijauan pada wajah dara remaja itu menjadi semakin gelap! Pemuda remaja ini
sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sinkang yang disalurkan pada tubuh dara
itu memang benar mampu mengusir hawa dingin dari pukulan Hoa-mo-kang, akan
tetapi sama sekali tidak mampu mengeluarkan racun yang terkandung dalam hawa
dingin itu. Maka, nona itu hanya terbebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi
tidak terbebas dari racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni
jalan darahnya!
Betapa pun
juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong ketika melihat nona itu membuka kedua
matanya. Sesaat dua pasang mata itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan
terkejut dan hendak meronta. Akan tetapi ketika merasa betapa ada hawa panas
memasuki tubuhnya dari pundak dan perut, puteri suami isteri pendekar sakti ini
pun mengerti bahwa pemuda yang duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha
mengobatinya. Maka dia pun diam saja, bahkan dia lalu menerima hawa panas yang
memasuki perutnya itu dan mencoba untuk membangkitkan hawa sinkang-nya sendiri
dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia mencoba mengerahkan sinkang,
ia merasakan kenyerian hebat di perutnya dan ia pun mengeluh.
“Aduuuhhh....!”
Mendengar
keluhan ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi suara
berkeruyuk, Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua tangannya, lalu bangkit
sambil membantu nona itu bangkit duduk.
“Bagaimana?
Sakitkah rasanya? Mana yang sakit?” tanyanya dengan wajah khawatir.
Bi Eng
adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa mengeluh
merupakan suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang gagah, maka sambil
menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mengaduk perutnya, ia menggeleng
kepala. “Tidak sangat nyeri.... ehhh, bukankah engkau yang datang bersama
iblis-iblis itu?”
Ceng Liong
menarik napas panjang dan menundukkan mukanya sebentar, kemudian diangkatnya
lagi memandang wajah yang masih kehijauan itu. “Benar, aku adalah.... eh, murid
Hek-i Mo-ong.”
Wajah yang
gelap kehijauan itu nampak kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita ayah
ibunya tentang dania kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong
pernah disebut oleh ayahnya sebagai seorang di antara para datuk sesat yang
paling berbahaya dan lihai. Akan tetapi menurut ibunya, tokoh ini pernah
dikalahkan oleh ayahnya dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i Mo-ong.
Dara ini pun teringat akan kakek berjubah hitam yang tua renta tadi. Seperti
itulah penggambaran orang tuanya tentang diri Hek-i Mo-ong.
“Jadi kakek
berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya? Lalu mengapa engkau....
berusaha mengobati dan menolongku?”
Melihat
betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat tajam penuh selidik,
Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki sepasang mata yang amat indah dan
tajam, membuat dia merasa tidak enak untuk menentang pandang matanya, apa lagi
karena dia merasa malu akan sekutunya.
“Mo-ong dan
aku sudah berjanji bahwa aku hanya belajar ilmu silat darinya, bukan
mempelajari kejahatannya. Aku melihat engkau tidak berdosa dan engkau
dirobohkan secara curang oleh murid Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke
sini untuk mengobatimu, akan tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana
caranya....”
Hati Bi Eng
merasa tertarik sekali. “Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau....
berani menentangnya?”
“Mo-ong baik
kepadaku, sayang aku tidak mampu merubah wataknya.... tetapi.... aku menjadi
bingung bagaimana aku harus mengobatimu, nona?”
“Engkau
sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi....”
“Tapi....
wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali.”
Bi Eng
memaksa senyum. “Bagaimana pun juga, engkau sudah menyelamatkan dan menolongku,
mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mereka bunuh. Tentang pengobatan,
biarlah ayah ibuku yang akan mengobatiku. Ehh, siapa namamu?”
“Namaku Ceng
Liong.... dan.... dan engkau, nona?”
“Aku Kam Bi
Eng dan orang tuaku....”
“Aku sudah
tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar keturunan keluarga
Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu bernama Bu Ci Sian.”
“Ahh, mereka
itu sedang mencari ayah dan ibu! Mari kita kembali ke sana....”
Dara remaja
itu bangkit berdiri, tetapi segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya,
terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar dara itu
tidak sampai jatuh.
“Kenapa,
nona....?”
“Kepalaku....
ah, kepalaku pening sekali....” Terpaksa Bi Eng duduk kembali dan setelah duduk
barulah ia dapat membuka kedua matanya walau pun masih agak pening. Sepasang
matanya nampak kemerahan dan Ceng Liong menjadi semakin khawatir.
“Bagaimana
rasanya, nona? Apakah engkau tidak dapat berjalan....?”
Bi Eng
menggelengkan kepala. “Jangankan berjalan, baru berdiri saja rasanya tanah di
sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main.”
“Kalau
begitu, mari kupondong engkau....”
“Ihh! Tidak
sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!” Tiba-tiba Bi Eng menghardik.
Pemuda
remaja itu memandang dengan mata terbelalak. Selama ini sudah beberapa kali dia
bertemu anak perempuan dan selalu sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona ini
pun tidak terkecuali, baru sekali bertemu sudah membuat dia bingung karena
wataknya yang aneh.
“Apa
salahnya? Bukankah ketika membawamu ke sini aku pun memanggulmu, nona? Apanya
yang kurang ajar?” dia membantah penasaran.
Agaknya Bi
Eng menyadari bahwa dengan tergesa-gesa ia telah menuduh orang. Ia teringat
betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan sedikit pun tdak
memperlihatkan tanda-tanda atau sikap kurang ajar. Ia pun tersenyum. “Maafkan,
Ceng Liong, dan jangan engkau menyebut nona-nonaan segala kepadaku. Namaku Bi
Eng, lupakah engkau?”
Ceng Liong
semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim hujan!
Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk. “Baiklah, Bi Eng. Bagaimana
sekarang baiknya? Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan kalau orang tuamu
dapat mengobatimu, itu baik sekali. Akan tetapi engkau tidak dapat berjalan
sendiri, dan tidak mau kupondong....”
“Siapa
bilang tidak mau?”
“Engkau
tadi....”
“Bukankah
tadi aku sudah minta maaf? Kalau memang perlu kau pondong dan engkau
memondongnya dengan sungguh-sungguh, dan bukan untuk main-main, tentu saja aku
mau.”
Ceng Liong
menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak dapat
menyelami hati wanita. “Kalau begitu marilah, non.... ehh, Bi Eng.”
Dia lalu
menggunakan kedua lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan
memanggulnya seperti tadi. Kini Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik
kalau dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi
Eng juga merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.
“Tidakkah
terlalu berat, Ceng Liong?” tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa
mengganggu pemuda itu.
“Engkau?
Berat? Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmu pun aku masih
mampu mengangkatnya.”
“Hemm,
jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat mengerahkan sinkang,
hendak kulihat apakah engkau akan mampu memondongku....”
Tiba-tiba
Ceng Liong menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang sekutunya berlari
turun dari puncak dan wajah mereka nampak pucat. Tadi ketika dia sedang
mengobati Bi Eng, dia mendengar suara suhu-nya memanggil, akan tetapi dia
sengaja diam saja tidak menjawab karena hatinya masih mendongkol melihat
kecurangan Tek Ciang dan juga tadi dia sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak
ada waktu untuk memenuhi panggilan gurunya. Kini dia melihat mereka turun dan
melihat gelagatnya, mereka bertiga itu sedang menderita luka.
Memang
demikianlah. Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang
melarikan diri dari puncak dalam keadaan menderita luka oleh pukulan-pukulan
suling suami isteri yang sakti itu...
Begitu
melihat nona yang dirobohkannya itu dipondong dengan amat mesranya oleh Ceng
Liong, Tek Ciang menjadi marah sekali. Dia yang merobohkan, pemuda ingusan itu
yang menikmati hasilnya sedangkan dia dan gurunya terluka oleh orang tua gadis
itu!
“Ceng Liong,
dia milikku, lekas berikan kepadaku!” kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan,
menubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong. Namun
dengan sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubrukan Tek Ciang.
“Berikan
sandera ini kepadaku!” Jai-hwa Siauw-ok juga berteriak dan kakek cabul ini
menubruk pula ke depan.
Ceng Liong
terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk mengelak. Kini guru dan murid
itu menghadapinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam. Ceng Liong menjadi
bingung. Melawan mereka dia tidak takut sama sekali. Namun kalau kedua
lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu melawan mereka yang
lihai itu? Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu menghadapi mereka, dia
khawatir kalau-kalau salah seorang di antara mereka akan merampas dan
mencelakai dara itu. Dia sudah mengenal watak mereka yang cabul dan jahat.
“Perlahan
dulu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong melangkah maju menghadapi guru dan murid itu.
Ceng Liong
melihat betapa gerakan gurunya ini amat lemah, bahkan wajah gurunya pucat
sekali. Napasnya juga memburu tanda bahwa gurunya itu pun terluka, mungkin
lebih parah dari pada luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan
memang sesungguhnya begitulah. Luka dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong
paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam oleh kedua orang itu, Hek-i
Mo-ong menjadi marah dan membelanya.
Melihat
Hek-i Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini
tidak merasa takut lagi karena mereka berdua maklum bahwa iblis tua itu telah
menderita luka yang lebih parah dari pada mereka.
“Mo-ong,
sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!” katanya.
“Aku yang
tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!” kata pula Tek Ciang.
Hek-i Mo-ong
mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.
“Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkannya, berarti aku pun tidak
membolehkan kalian merampas gadis ini. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi!”
Akan tetapi,
sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya tidak mau mentaati perintah kakek
iblis itu. Mereka melawan bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu,
melainkan terutama sekali mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Setelah
mereka dihajar oleh suami isteri dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi
gentar sekali.
Kalau suami
isteri itu mengetahui bahwa puteri mereka terculik, apalagi terkena pukulan
Jai-hwa Siauw-ok, tentu mereka berdua akan melakukan pengejaran dan celakalah
kalau sampai suami isteri itu dapat mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu
harus mereka kuasai untuk dijadikan sandera kalau-kalau orang tua gadis itu
dapat menyusul mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras hendak merampas
Bi Eng dari tangan Ceng Liong.
“Mo-ong,
kami sama sekali tidak ingin mengganggumu, akan tetapi muridmulah yang merusak
rencana kita. Kalau tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan
belum tentu kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka
kami berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan kami
akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi,” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil
memandang dengan mata disipitkan.
“Setan,
berani engkau menentangku, manusia rendah?”
Hek-i Mo-ong
marah sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar
menyambar ke arah ubun-ubun kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan
dengan Ilmu Coan-kut-ci ini, akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan
kelihaian lawan, cepat meloncat ke belakang, kemudian bersama muridnya dia maju
membalas dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!
Hek-i Mo-ong
sudah terluka parah oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa
sesak dan napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang
lihai sekali. Biar pun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang
pengeroyoknya dengan gagah. Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya juga
sudah terluka, walau pun tidak separah luka yang diderita Hek-i Mo-ong namun
setidaknya mengurangi kekuatan mereka.
Dan oleh
karena dikeroyok dua, Hek-i Mo-ong terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok yang
menggunakan Ilmu Kiam-ci. Jari tangan yang tajam seperti pedang itu menyerempet
lambungnya, merobek baju dan kulit lambung sehingga mengeluarkan darah dan pada
saat itu juga, hantaman tangan Tek Ciang yang disertai tenaga Hwi-yang
Sin-ciang mengenai punggung kakek iblis itu.
“Dukkk....!”
Hek-i Mo-ong
terpelanting roboh. Melihat ini, giranglah hati Jai-hwa Siauw-ok. Kakek iblis
ini harus ditewaskan dulu, baru dengan mudah muridnya akan dapat mereka hadapi
dan merampas gadis itu. Ia pun menubruk ke bawah, hendak menghabisi nyawa Hek-i
Mo-ong dengan Kiam-ci. Akan tetapi, pada saat itu, tiba-tiba saja Hek-i Mo-ong
mengeluarkan bentakan nyaring sekali.
“Diam
kau....!”

Dibentak
dengan kekuatan sihir ini, seketika Jai-hwa Siauw-ok terdiam dan tubuhnya
seperti menjadi kaku. Pengaruh bentakan itu hebat sekali dan biar pun hanya
beberapa detik dia berhenti, sudah cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk melontarkan
serangannya. Jari tangan kirinya mencengkeram, lalu terdengar suara berbeletok
ketika jari-jari tangan itu terhunjam ke dalam kepala Jai-hwa Siauw-ok.
Penjahat cabul ini menjerit mengerikan, tubuhnya terjengkang roboh dan dari
kepala yang berlubang-lubang itu mengalir keluar darah bercampur otak!
Melihat ini,
wajah Tek Ciang menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tanpa menoleh lagi
ke arah mayat gurunya, pemuda pengecut ini pun sudah meloncat jauh dan
melarikan diri tunggang-langgang! Hek-i Mo-ong bangkit berdiri,
terhuyung-huyung dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar! Kiranya tenaga
yang diperas dalam perkelahian itu, apalagi akibat pukulan-pukulan lawan,
membuat luka yang dideritanya semakin parah. Dia pun cepat-cepat menjatuhkan
dirinya, duduk bersila dan mengatur pernapasan.
Ceng Liong
menurunkan tubuh Bi Eng. Setelah Jai-hwa Siauw-ok tewas dan kini tinggal Tek
Ciang yang juga sudah melarikan diri, dia tidak khawatir lagi menurunkan dara
itu. Andai kata Tek Ciang datang lagi, dia dapat menghadapinya tanpa
mengkhawatirkan keadaan Bi Eng. Kemudian Ceng Liong menghampiri gurunya yang
duduk mengatur pernapasan.
Tadi dia
tidak membantu Hek-i Mo-ong karena melihat bahwa gurunya belum perlu dibantu.
Ketika gurunya terjatuh, dia pun sudah tahu bahwa jatuhnya kakek itu setengah
disengaja untuk memancing lawan dan ternyata akalnya itu berhasil. Akan tetapi
dia pun tahu bahwa luka di dalam tubuh gurunya semakin hebat.
Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, Ceng Liong bersila di depan gurunya, menempelkan
kedua tangannya di dada dan pundak, lalu dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk
membantu gurunya. Ketika Hek-i Mo-ong merasa ada saluran hawa panas memasuki
tubuhnya, dia membuka matanya dan melihat betapa muridnya yang membantunya, dia
pun tersenyum lebar dengan wajah berseri gembira.
“Heh-heh,
manusia macam Ouw Teng itu berani melawan aku? Hah, dia bosan hidup!” katanya
terengah-engah.
“Mo-ong,
engkau tenanglah dan beristirahatlah. Biarkan aku membantumu meringankan
penderitaanmu,” kata Ceng Liong dengan halus.
Kakek itu
terdiam dan beberapa lamanya mereka duduk bersila berhadapan dan Ceng Liong
membantu gurunya dengan penuh ketekunan. Bi Eng melihat semua itu dengan sinar
mata penuh keheranan. Jelas bahwa Ceng Liong bukan orang jahat, akan tetapi
bagaimana seorang pemuda seperti ini bisa menjadi murid datuk sesat yang
demikian mengerikan seperti Hek-i Mo-ong?
Akhirnya
Hek-i Mo-ong berkata, “Cukup untuk sementara ini. Ceng Liong, lekas bawa aku
pergi dari sini....!” Di dalam ucapan itu terkandung rasa gentar.
“Akan
tetapi.... aku ingin membawa nona Kam kepada orang tuanya supaya dia dapat
memperoleh pengobatan,” Ceng Liong membantah.
“Apa engkau
ingin melihat aku dibunuh mereka? Aku sudah terluka dan tidak mungkin melakukan
perlawanan.”
“Tapi, luka
nona Kam Bi Eng juga parah....”
“Bawa ia
bersama kita, aku dapat mengobati luka akibat pukulan Hoa-mo-kang,” kata kakek
itu.
Melihat
keraguan Ceng Liong, Bi Eng berkata, “Turutilah permintaannya, Ceng Liong,
karena kalau ayah dan ibu melihatnya tentu mereka akan turun tangan
membunuhnya, membikin aku merasa tidak enak kepadamu. Mari kita pergi.”
Ceng Liong
memandang heran. Sungguh makin tidak mengerti saja dia terhadap watak gadis
ini. Akan tetapi dia pun menjadi girang dan tanpa banyak cakap dia memondong
tubuh Bi Eng dan bersama gurunya dia pun lari meninggalkan tempat itu. Gurunya
yang mencari jalan dan ternyata Hek-i Mo-ong yang banyak pengalamannya itu amat
cerdik.
Dia menuruni
kaki gunung dan meninggalkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia dapat menduga
bahwa Kam Hong dan isterinya yang tidak tahu harus mengejar ke mana itu tentu
akan mencari-cari di sekitar Pegunungan Tai-hang-san dan untuk mencari daerah
yang luas itu membutuhkan waktu sedikitnya tiga hari! Maka dia meninggalkan
daerah Tai-hang-san. Kalau tidak cerdik, tentu dia memilih yang dekat, dan
dianggap aman, yaitu di dalam hutan-hutan yang lebat dari daerah itu dan kalau
dia berbuat demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari suami
isteri yang luar biasa lihainya itu.
Pada
keesokan harinya, di dalam sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai
Sungai Huang-ho, mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanjikannya, Hek-i
Mo-ong mencarikan obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng
Liong mencari anak-anak katak yang banyak terdapat di tepi sungai. Puluhan ekor
katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i Mo-ong, air perasan ditampung dan dicampur
dengan obat pulung yang dibawanya. Hampir tidak dapat Bi Eng menelannya karena
baunya yang amis, akan tetapi Ceng Liong membujuknya dengan halus.
“Minumlah,
Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur.
Minumlah.”
Bi Eng
teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia bergidik. Akan tetapi
ia percaya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil memejamkan kedua matanya ia
pun menuang obat cair itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Dengan menutup
hidungnya, obat itu tidak terasa apa-apa, bahkan baunya yang amis pun tidak
terasa. Baru setelah obat itu memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan
yang menutup hidung, tercium bau amis yang hampir membuat ia muntah. Akan
tetapi, dara remaja yang sejak kecil menerima gemblengan orang tuanya itu cepat
mengerahkan tenaga mencegah muntah.
Akan tetapi,
dorongan dari dalam hampir tidak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya
menjadi pucat sekali menahan rasa hendak muntah, terdengar suara Hek-i Mo-ong,
“Ha-ha, nona kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau
engkau menahan muntah itu, engkau baru akan mati dalam waktu tiga hari lagi,
ha-ha-ha!”
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Bi Eng mendengar ucapan itu dan seketika rasa
hendak muntah itu hilang. Tentu saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biar
pun demikian, wajahnya menjadi semakin pucat karena nyawanya hanya tinggal tiga
hari saja.
Kekagetan
hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia mendengar ucapan
gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya mencorong menakutkan.
“Mo-ong, apa artinya kata-katamu itu?” tanyanya dengan suara membentak.
“Heh-heh,
Ceng Liong. Kata-kataku sudah jelas bukan? Gadis ini akan mati seketika kalau
muntah, dan akan mati tiga hari kemudian kalau tidak muntah.”
“Mo-ong,
engkau sengaja meracuni Bi Eng?” Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal kedua
tangannya.
Kakek itu
mengangguk dan tertawa. “Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yaug baik.”
Keheranan
yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa marahnya.
“Apa.... apa maksudmu....?”
“Heh-heh,
kau tunggulah saja.” Kakek itu lalu memandang Bi Eng yang masih duduk dengan
muka pucat dan memegangi perutnya yang mual. “Nona, nyawamu tergantung kepada
keputusanmu sendiri. Yang engkau makan tadi menambah hebatnya pengaruh pukulan
Hoa-mo-kang dan engkau tentu akan mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat
yang akan dapat menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang
atau.... obat dariku. Sekarang, aku mau menukar nyawamu itu dengan sebuah
janjimu.”
Bi Eng
merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan
kakek itu, ia menjawab dengan ketus, “Kakek iblis berhati keji! Janji apakah
yang kau kehendaki dariku maka engkau tidak segan melakukan kekejian yang kotor
ini?”
“Berjanjilah
bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku berjanji akan
mengembalikan nyawamu!”
“Ahhhh....!”
Teriakan ini keluar dari mulut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya dengan
pukulan keras.
“Dukkk!”
Hek-i Mo-ong
menangkis dan terjengkang, dari mulutnya keluar darah segar lagi karena untuk
menangkis pukulan hebat tadi dia harus mengeluarkan tenaga sinkang sekuatnya,
padahal luka di dalam tubuhnya belum sembuh benar.
“Ahhhhh....”
kembali Ceng Liong berseru, kini bukan karena marah melainkan karena kaget
melihat suhu-nya terjengkang lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia
menubruk dan merangkul suhu-nya, dipapahnya duduk di atas rumput.
“He-he-heh....!”
Hek-i Mo-ong terkekeh melihat betapa muridnya yang tadi memukulnya itu kini
malah memapahnya. “Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi muridku,
baru sekarang berani memyerangku, kusangka tadinya engkau lemah, kiranya berani
memukulku. Hebat....”
Ceng Liong
sudah lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang amat
aneh, tidak lumrah manusia. Dia pun tahu bahwa kakek itu dalam pandangan umum
tentu merupakan iblis yang kejam dan ganas, tetapi dia sendiri mengenalnya
sebagai seorang kakek yang wataknya aneh dan kekejaman-kekejamannya itu pun
termasuk satu di antara keanehan-keanehannya yang tidak normal.
Kadang-kadang
dia berpikir bahwa gurunya ini sebenarnya menderita suatu penyakit dalam
otaknya atau jiwanya, sudah gila sehingga segala yang dilakukannya itu sama
sekali bukan karena kekejaman, namun karena pandangannya yang berbeda, bahkan
kadang-kadang terbalik dari pandangan umum. Kini pun gurunya telah melakukan
hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak kesenangan melihat
muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru macam ini di seluruh
dunia ini?
Dan dia
sendiri merasa amat menyesal. Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati
gurunya terhadap dirinya, dan kini dia berani memukul gurunya yang sedang
terluka parah itu! Dia pun merasa tidak perlu minta maaf walau pun hatinya
menyesal. Bagi orang seperti Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!
“Mo-ong,
mengapa kau lakukan itu? Terlalu sekali engkau!”
“Apanya yang
terlalu? Sudahlah, kau diam saja. Biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan
gadis itu!”
Kakek itu
masih bersila, akan tetapi kini sambil mengatur pernapasan, dia memandang
kepada Bi Eng yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang kepada Ceng
Liong dan sebentar pula kepada kakek iblis itu. Mukanya yang tadi pucat
tiba-tiba berubah merah, lantas pucat kembali.
“Bagaimana,
nona cilik? Jawablah sebelum terlambat. Kalau racun itu keburu bekerja, engkau
takkan bisa menjawab lagi.”
“Kakek
iblis! Kau kira aku ini orang macam apa? Kau kira aku takut mampus? Lebih baik
mati dari pada menuruti kehendakmu yang hina!”
“Eh-ehh-ehh,
bocah sombong! Kau bilang hina kalau aku minta engkau menjadi calon isteri Ceng
Liong? Ha-ha-ha, bercerminlah. Sepuluh kali engkau pun belum tentu pantas
menjadi isteri muridku, tahu?”
“Mo-ong....!”
Ceng Liong memprotes.
“Diamlah dan
jangan mencampuri urusanku!” kakek itu membentak muridnya.
Ceng Liong
terdiam sambil cemberut. Sungguh keterlahuan gurunya ini. Membicarakan urusan
perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh mencampuri urusannya.
Diam-diam dia merasa geli. Biarkan saja kakek gila ini melanjutkan kehendaknya.
Masih ada batu penghalang besar bagi keinginannya yang gila itu. Kalau gurunya
itu nanti hendak melanjutkan niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan
berhak menolak! Kalau gadis itu tidak mampu menolak karena tertekan dan
terancam nyawanya, masih ada dia yang dapat menolak dan dia tidak terancam apa
pun!
“Iblis tua,
kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab menyuruh aku
berjanji.... seperti itu?” Bi Eng yang menjadi sangat tertarik dan ingin tahu,
mengajukan pertanyaan sebelum mengambil keputusan, walau pun dara ini tadi
sudah menunjukkan ketidak setujuannya tanpa mempedulikan ancaman nyawa.
“Heh-heh-heh,
kenapa aku ingin menjodohkan muridku denganmu, begitukah maksud pertanyaanmu?
Karena.... karena dia mencintamu, anak bodoh!”
“Ahhhh....!”
Kembali Ceng Liong yang berteriak mendengar ini dan matanya melotot, mukanya
menjadi merah sekali dan dia memandang gemas kepada gurunya, namun dia teringat
bahwa dia harus membiarkan gurunya itu menyelesaikan ‘urusannya’ dengan gadis
itu.
Bi Eng
memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek. Perbuatan kakek
itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang menjadi murid kakek iblis
ini. Bahkan kini timbul dugaannya bahwa Ceng Liong menolongnya dengan niat
buruk, mungkin sudah diatur terlebih dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap
pemuda itu pun hanya pura-pura, hanya sandiwara saja!
“Kakek
iblis, kau kira aku sudi menjadi isteri murid seorang iblis macam engkau? Lebih
baik seribu kali mati dari pada.... aukhhh....!”
Dara remaja
itu hampir muntah. Dia menekuk tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual.
Sekali meloncat, Ceng Liong sudah berada di dekatnya dan menyentuh pundak dara
itu.
“Bi Eng,
jangan muntah....,” katanya khawatir sekali. Sekali muntah, dara ini akan
tewas! Betapa mengerikan bayangan ini.
“Ha-ha-ha,
bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah? Dia adalah Suma Ceng
Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan kau bilang seribu kali
lebih baik mati dari pada menjadi isterinya?”
“Mo-ong....!”
Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah gurunya karena tidak dapat
menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini sungguh amat menghina Bi Eng dan
seolah-olah memaksa gadis itu agar mau berjanji menjadi isterinya!
“Desss....!”
Dalam
keadaan bersila itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang tertuju ke
arah kepalanya dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit
duduk, dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.
“Ahhh!” Ceng
Liong terkejut dan dia cepat-cepat menghampiri, berlutut dan membantu
pernapasan gurunya dengan saluran sinkang dari telapak tangannya.
“Heh-heh-heh,”
Hek-i Mo-ong merangkulnya penuh kasih sayang. “Tahukah engkau bahwa baru kini
engkau memukulku? Semua terjadi karena engkau mencinta gadis itu, tahukah
engkau?”
Ceng Liong
terkejut bukan main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek ini,
bahkan tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia
menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan melihat gurunya menghina Bi
Eng!
“Tapi,
Mo-ong, kenapa kau lakukan ini? Kenapa....?”
“Uakhhhh....!”
Mendengar
suara muntah ini, Ceng Liong menoleh. Bisa dibayangkan betapa kagetnya melihat
Bi Eng tak dapat menahan lagi muntahnya, dan sudah mulai hendak muntah. Melihat
ini, sekali meloncat tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan tangannya
bergerak menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hebat itu tidak sempat
mengelak dan roboh terkulai. Ceng Liong cepat memondongnya dan merebahkannya di
atas rumput. Dalam keadaan tertotok pingsan, dara itu tidak jadi muntah.
Kini Ceng
Liong kembali meloncat ke dekat gurunya. “Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng!
Cepat sebelum ia muntah!” teriaknya kepada gurunya sambil memegang pundak
gurunya.
“Heh-heh-heh....!”
Kakek itu hanya tertawa.
“Cepat,
Mo-ong!” Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-ong
bergoyang-goyang keras.
“Heh-heh,
kalau aku tidak mau mengobatinya?”
Tangan yang
mengguncang pundak itu mencengkeram makin kuat. “Kalau tidak mau, aku akan
memaksamu!” bentak Ceng Liong.
“Ha-ha-ha,
muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana....?”
Ceng Liong
kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin dia akan dapat
memaksa kakek iblis ini? Gertakan-gertakannya tentu hanya akan disambut dengan
ketawa geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia merasa kalah segala-galanya.
“Ha-ha-ha,
engkau paling-paling hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau sudah membunuhku,
gadis itu pun akan mati dan engkau ditinggalkan oleh dua orang yang mencintamu,
atau setidaknya ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kau cinta.
Ha-ha-ha, apa enaknya hidup begitu? Masih lebih enak aku yang mati!”
Melihat
bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup semua
harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri berlutut di
depan gurunya! “Suhu, kau tolonglah Bi Eng....!”
Tiba-tiba
sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat berdiri, mukanya yang
tadinya pucat itu berubah merah. Memang seorang manusia yang luar biasa kakek
ini! Menerima penghormatan seperti itu dia malah merasa tersinggung dan marah,
sedangkan kalau muridnya bersikap tidak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya
Mo-ong saja, dia malah merasa girang!
“Enak saja!
Aku baru mau mengobatinya kalau kau mau berjanji. Kalau tidak, biar kau
membunuhku, aku tidak akan sudi mengobatinya!”
“Baiklah,
suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu.”
“Nah,
berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!”
Ceng Liong
terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar
permintaan aneh itu.
“Hayo cepat
berjanji sebelum aku berubah pikiran dan menolak pengobatan atas diri gadis
ini!” Hek-i Mo-ong mengancam.
Tidak ada
lain jalan bagi Ceng Liong. “Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami
gadis ini....”
“Sebutkan
namamu dan nama nona itu!”
“Aku Suma
Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi Eng....,” katanya
dengan suara terpaksa sekali.
Sementara
itu, wajah Bi Eng berubah merah, akan tetapi nona ini tidak mampu berkutik.
Kalau ia bisa berkutik, tentu ia akan mengamuk dan menyerang guru dan murid itu
kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya, keheranan yang
muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan cucu Pendekar Super
Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu?
Menurut
penuturan ayahnya, Pendekar Super Sakti adalah seorang pendekar yang amat
tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang memiliki keluarga hebat terdiri
dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu pendekar itu malah menjadi
murid seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong? Benar-benar ia tidak mengerti
sama sekali.
“Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Ingat, seorang gagah harus memegang teguh janjinya sampai mati!”
kata kakek itu dengan girang bukan main.
“Suhu....”
“Heh? Apakah
engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-ong lagi?”
“Tidak,
engkau adalah guruku, sudah sepatutnya kusebut suhu. Nah, suhu, sekarang
cepatlah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam nyawanya.”
“Ha-ha-ha,
siapa yang mengancam nyawanya? Ia sudah sembuh kalau engkau tidak usil tadi.
Bebaskan totokan itu dan biarkan ia muntah-muntah, tentu sembuh!”
Ceng Liong
melongo. “Ehhh....? Jadi....”
“Jadi apa?
Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau ia mau muntah
karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat, kini tinggal muntahkan
saja dan sembuh!”
Ceng Liong
tertegun. Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali
kakek ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia
menotok tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu bangkit
duduk, Bi Eng lalu muntah-muntah! Dan yang dimuntahkan adalah gumpalan-gumpalan
darah hitam!
Ceng Liong
mendekatinya. Dia berlutut dan menekan-nekan tengkuk serta mengelus punggung
gadis itu untuk membantu mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula
Bi Eng yang dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia
berhenti muntah-muntah, ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun
berdiri dengan sinar mata galak.
Ia merasa
kepalanya agak pening dan tubuhnya gemetar. Wajah dan lehernya penuh keringat,
akan tetapi dalam tubuhnya terasa ringan dan enak. Ia benar-benar telah sembuh.
Dengan pikiran tidak karuan, bercampur aduk antara rasa girang dan marah,
terima kasih dan dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal
harus bicara apa dan bertindak bagaimana.
Mereka telah
menghinanya, menipunya, namun juga telah menyelamatkan nyawanya! Apa yang
sekarang harus dilakukannya untuk mengimbangi semua perbuatan mereka? Mendadak
ia memejamkan matanya karena rasa pusing membuat pandangan matanya berputar
melihat segala di sekelilingnya.
“Calon
mantuku, engkau baru saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya.
Duduklah dan bersilalah menghimpun hawa murni,” kata Hek-i Mo-ong.
Dan seperti
mimpi Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena
sebagai puteri seorang pendekar sakti ia pun tahu bahwa nasehat itu amat tepat
baginya. Begitu bersila dan mengatur pernapasan, tubuhnya terasa sangat enak
dan nyaman. Akan tetapi pikirannya tidak mau diam, terus melayang-layang tidak
karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu adalah ingatan tentang keadaan Ceng Liong
seperti yang dikatakan oleh kakek iblis itu tadi. Cucu Pendekar Super Sakti
majikan Pulau Es! Hal inilah yang mengganggu pikirannya.
Pada saat itu
terdengar bentakan orang. “Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga menemukanmu
setelah mencari bertahun-tahun lamanya!”
Hek-i Mo-ong
saat itu sudah duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita
luka yang cukup berat. Pukulan yang diterimanya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok
membuat luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling Emas Kam
Hong makin menghebat dan dalam keadaan luka parah sekali itu dia masih mengadu
tenaga dengan muridnya sendiri. Kalau bukan Hek-i Mo-ong yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pukulan sakti
yang melandanya bertubi-tubi itu.
Maka ketika
terdengar bentakan itu, walau pun telinganya dapat menangkapnya, dia masih saja
duduk bersila dengan mata terpejam dan dia sibuk mengatur pernapasan. Juga Bi
Eng masih duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk mengusir kepeningan
kepalanya. Tinggal Ceng Liong seorang yang begitu mendengar bentakan ini
kemudian membalikkan tubuh menghadapi orang yang baru datang itu.
Ternyata
yang muncul itu seorang pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua
puluh tahun. Seorang pemuda bertubuh jangkung, dengan punggung agak sedikit
bongkok. Pakaiannya sederhana dan sikapnya juga sederhana seperti orang biasa
saja. Namun sepasang mata yang mencorong itu, dan wajah yang mengandung
bayangan dendam penuh kebencian, membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia
dapat menduga bahwa orang ini datang bukan dengan niat hati yang baik. Dengan
penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu karena dia merasa seperti pernah
mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan di mana.
Pemuda itu
agaknya tak memperhatikan Ceng Liong sebab pandang matanya ditujukan terus pada
Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan
tenang namun penuh ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan
terkejutlah Ceng Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh.
Pedang itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dicabut dan tahulah dia bahwa
pedang itu bukan pedang sembarangan, melainkan sebatang pedang yang terbuat
dari bahan yang amat baik dan ampuh.
“Hek-i
Mo-ong, janganlah berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!”
pemuda itu membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong
yang masih duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.
“Perlahan
dulu, sobat!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua
kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpedang itu dan dia bertolak
pinggang menghadang. “Mau apa engkau menghampiri guruku dengan menghunus
pedang?”
Pemuda itu
tertegun, mengamati wajah Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik
napas panjang. “Aihh, jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu?
Bagus, membasmi pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh
lagi!”
Ceng Liong
mengerutkan alisnya. Kini dia melihat sesuatu yang menggugah ingatannya. Tahi
lalat di ujung bawah telinga kiri itu! Terbayanglah dia ketika anak laki-laki
berusia tiga belas tahunan itu memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di
tangan Hek-i Mo-ong, pandang mata anak laki-laki itu yang penuh dendam
kebencian kepada Hek-i Mo-ong!
“Ahh,
kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin....!”
Pemuda itu
tersenyum. “Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki ingatan baik sekali.
Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu membawa pergi jenazah suhu
ketika suhu terbunuh oleh gurumu. Dan sekarang telah tiba saatnya bagiku untuk
membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk!”
Ceng Liong
melihat betapa sikap pemuda ini gagah dan tidak kelihatan jahat. Dia pun
teringat pada mendiang Yang I Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang
pendekar dari pada seorang sesat, walau pun pada waktu itu Yang I Cin-jin
agaknya ikut pula bersekutu dengan para pemberontak. Dia pun menarik napas
panjang.
“Pouw Kui
Lok, urusan antara guruku dan gurumu dahulu itu adalah urusan pribadi. Tentu
engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang menyerang lebih dahulu adalah
gurumu dan mereka lalu berkelahi secara adil. Kalau seorang di antara mereka
kalah dan tewas, bukankah hal itu wajar saja? Urusan di antara mereka, kenapa
engkau harus mencampurinya?”
Diam-diam
Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak diduganya bahwa
murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu mempunyai pandangan seperti itu!
Maka, kemarahannya terhadap Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan
suaranya pun terdengar lembut.
“Orang muda,
urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau tidak tahu berapa
banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh mendiang kakek guruku yang
bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh paman guruku Yang Heng Cin-jin dan
memperkosa isterinya. Kemudian, ketika guruku mencoba untuk membalas dendam,
guruku malah tewas di tangannya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku
mendiamkannya saja? Selama ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua
kulakukan hanya untuk hari ini, untuk membalas semua itu kepada gurumu.
Sebaiknya engkau jangan mencampuri, dan aku tidak akan mengganggumu. Biarlah
permusuhan habis di sini saja setelah gurumu atau aku tewas dalam suatu
perkelahian yang adil!”
Sikap Pouw
Kui Lok gagah sekali. Diam-diam Ceng Liong merasa menyesal mengapa dia harus
berdiri di situ sebagai murid Hek-i Mo-ong, sehingga dia terpaksa terlibat
dalam urusan permusuhan pribadi yang tidak menyenangkan itu, karena bagaimana
pun juga dia dapat merasakan bahwa permusuhan itu diawali oleh perbuatan
gurunya yang tidak benar.
“Pouw Kui
Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas kematian gurumu. Aku tidak akan
mencampuri urusan permusuhan pribadi, akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong
sedang dalam keadaan sakit, maka aku akan melarangmu jika engkau hendak
menyerangnya. Aku terpaksa mencampuri karena melihat ketidak adilan....”
“Ho-ho-ho,
siapa bilang aku sakit? Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan
hanya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk membunuhnya satu
demi satu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan tertawa-tawa dengan
sikap mengejek.
“Suhu....!”
Ceng Liong berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhu-nya hanya
berpura-pura saja karena sebenarnya suhu-nya terluka parah dan tidak mungkin
dapat menghadapi lawan tangguh.
“Heh-heh,
Ceng Liong. Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh? Jangan kau
turut campur, biar kuhabiskan riwayat bocah sombong itu!”
Mendengar
ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu
mendengar bahwa musuh besarnya berada dalam keadaan sakit, kini mendengar
ucapan dan tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega. Dengan pedang di
tangan, dia kemudian mengeluarkan suara geraman nyaring menyerang ke arah Hek-i
Mo-ong. Akan tetapi, bayangan Ceng Liong berkelebat dan pemuda remaja ini sudah
menghadangnya dan memandangnya dengan tajam.
“Guruku
sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!”
“Bocah
tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!”
Tetapi Ceng
Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan pedangnya.
Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw Kui Lok
terkejut dan meloncat ke samping.
Pada saat
itu, muncul dua orang tosu berpakaian kuning. Mereka segera menghadapi Ceng
Liong dari kanan kiri sambil berkata, “Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi
iblis muda ini!” Dan mereka pun langsung menyerang Ceng Liong dengan tangan
kosong.
Ceng Liong
melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan
kosong, tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka
menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang
tosu ini bukan lawan yang lunak, maka dia pun cepat mengelak dan menangkis
pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.
“Dukkk!”
Tosu itu
hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka
berubah.
“Siancai....!
Iblis muda ini berbahaya....!” katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati
sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang
sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.
Hek-i Mo-ong
memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya, hanya
untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya
ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat,
pedangnya lenyap bentuknya berubah menjadi sinar terang yang menyambar laksana
kilat.
Memang
sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan berhasil mewarisi ilmu
pedang mendiang Yang I Cin-jin. Bahkan telah pula memperdalam ilmu pedangnya di
Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin
adalah seorang tosu, dan biar pun bukan menjadi pendekar budiman yang terkenal,
setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai.
Inilah
sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan tentang kematian gurunya di tangan
datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau membantunya, menggemblengnya, bahkan
ketika pemuda ini mencari musuh besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang
menjadi para suheng-nya menemaninya.
Sebagai
pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok
Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan
pribadi. Akan tetapi mereka menemani pemuda itu karena ingin membantunya
kalau-kalau sute mereka yang ilmu pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh
kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong. Inilah sebabnya ketika Ceng Liong
maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng Liong untuk membantu
gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk dapat bertanding
secara adil melawan musuh besarnya.
Walau pun
kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya,
akan tetapi andai kata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak
sedang menderita luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mampu
mengalahkannya. Akan tetapi saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali.
Dipakai bernapas saja dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan
sinkang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya.
Dan penyerangnya
yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung
dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini. Dia tidak berani menggunakan
kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat
ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu
banyak tenaga sinkang. Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka
tidaklah mengherankan apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus,
mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.
Hek-i Mo-ong
bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia
tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai
yang demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi.
Kini, dia terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga
tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya. Dia harus menghadapi sendiri
amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya.
Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya terserempet ujung
pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek. Darah bercucuran!
Sejak tadi
Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini
tidak mengenal siapa adanya pemuda dan kedua orang tosu yang memusuhi Hek-i
Mo-ong dan Ceng Liong. Akan tetapi, ia pun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu
adalah pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimana pun juga, ia adalah puteri
Pendekar Suling Emas.
Ayahnya
sudah sering kali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang
dari keadaan lahirnya. Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya,
kekayaannya, kepandaiannya, agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian.
Yang penting adalah manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang
kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan
keburukannya.
Ternyata dua
orang tosu itu lihai sekali, walau pun mereka belum juga dapat mendesak Ceng
Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian
lihainya, diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika
dara remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan
alisnya.
Kakek itu
sedang terluka parah dan sekarang didesak amat hebatnya oleh pemuda berpedang.
Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng
memiliki harga diri. Ia tidak mungkin dapat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong.
Hal itu akan berarti pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut
paut dengan urusan pribadi dua orang itu.
Bagaimana
pun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya. Kalau kini dia
mendiamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang
di depan matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi
orang yang tidak mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai
mencari-cari senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi
melawan Louw Tek Ciang.
Melihat
keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw Kui Lok memperhebat desakannya.
Pedangnya membentuk sinar bergulung-gulung yang seperti tali-temali
melibat-libat tubuh Hek-i Mo-ong.
“Cetttt....!”
Kembali
ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan
terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan
kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehingga tahu-tahu pedangnya telah
amblas ke dalam dada Hek-i Mo-ong.
“Cratttt....!”
Kakek itu
meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah
kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa
kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan
sedemikian hebatnya! Itulah ilmu mukjijat Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)
dari Hek-i Mo-ong!
Kalau tadi
kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena ilmu ini membutuhkan
pengerahan sinkang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan
membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka
baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu
ini.
“Crokkk....!”
Betapa pun
lihainya Pouw Kui Lok dan biar pun dia sudah berusaha untuk mengelak, dia hanya
berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja
mencengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan
ujung tulang pundak juga patah!
Pouw Kui Lok
mengeluh kesakitan dan meloncat ke belakang. Pundak kirinya terluka parah dan
lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum
tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada
saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara
istimewa menyerangnya dari samping!
Pouw Kui Lok
terkejut dan menangkis dengan pedangnya.
“Trakkk!”
Ranting itu
tertangkis, akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung
ranting hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar
tubuhnya ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat
dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan ranting tadi.
Ketika dia
meloncat dan menyeringai kesakitan karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri
sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat dengan heran bahwa yang
menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih
pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.
“Suheng,
pergi....!” Pouw Kui Lok berseru.
Dia sudah
terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia
merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati. Dan di situ selain ada murid
Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis remaja yang memiliki ilmu
silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan menghadapi Ceng
Liong, meloncat jauh ke belakang dan mereka bertiga melarikan diri.
“Suhu....!”
Ceng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan
kiri ke dadanya. Wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya
terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha,
dalam saat terakhir hidupku, muridku membelaku dan calon isterinya juga
membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar
oleh hati orang-orang muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!” Dan kakek itu tentu
terguling kalau tidak cepat dipondong oleh Ceng Liong.
Gurunya
setengah pingsan dan ketika Ceng Liong memondongnya dan merebahkannya di atas
rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti
raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya. Hatinya merasa terharu,
apalagi saat melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali.
Dada dan
punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu. Bi Eng
juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka
berdua.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment