Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 16
Demikianlah,
dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini
berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah
mencapai tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja dengan latihan
selanjutnya.
Ayahnya
telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, demikian juga ibu mereka. Saking
besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh
dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang
dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang
hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya.
Bahkan,
menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas,
seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas
itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat
ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau
digunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat. Akan tetapi Suma Hui
berjanji bahwa ia akan mempergunakan senjata ular dan ilmunya memanggil
ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum
sesat.
Suma Ciang
Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya
dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga
Pulau Es, pemuda ini juga mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in
Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia
berupa jarum-jarum halus yang harum baunya.
Melihat
betapa puteranya amat berbakat bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya
sepasang pedang yang sangat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat
indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam
(Sepasang Pedang Bunga Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang
yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung. Gagangnya dihias emas
permata dan diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah.
Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah
ini sangat disukainya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang
bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Demikianlah
keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu.
Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang
amat besar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun.
Suma Hui!
Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah
mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati
gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya.
Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia
akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan
sukarnya mencari penggantinya.
“Hui-moi....!”
Jeritan hati ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.
Suma Hui
yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia
sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biar pun teriakannya
tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya
terdengar oleh dua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan
kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.
Yang pertama
kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika
melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu
merangkulnya.
“Cin Liong,
ke mana sajakah engkau selama ini? Ahhh, engkau kurus benar!”
Cin Liong
hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti
telah berubah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi
pucat sekali.
“Paman Ciang
Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ahh, ilmu silatmu tentu sudah tinggi
sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan
Ciang Bun.
“Cin Liong,
kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kau beri petunjuk
padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!”
berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.
Melihat
kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil
tertawa dia pun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih
dengan saling serang. Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut
sekali mendapat kenyataan betapa kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga
sinkang yang menggerakkan lengan itu! Dia pun terseret ke dalam kegembiraan dan
bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini
benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali.
Sementara
itu, Suma Ciang Bun juga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan
keponakan yang amat dikagumi dan disukainya itu, melainkan karena kini dia
memperoleh kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia
hanya dapat berlatih melawan enci-nya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat
mereka sama, maka tentu saja dia menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke
mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu. Akan tetapi, kini menghadapi Cin
Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang sungguh-sungguh. Dia harus
berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini merupakan latihan
yang amat baik dan menarik.
Serang-menyerang
terjadi dan makin lama Cin Liong semakin kagum. Tak disangkanya bahwa selama
beberapa tahun ini Ciang Bun sudah memperoleh kemajuan yang begitu pesatnya dan
memiliki banyak macam ilmu silat yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas
serangan, karena kalau dia hanya bertahan, bukan tidak mungkin dia akan kalah
oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah bertanding atau berlatih
sampai lima puluh jurus!
Suma Hui
dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara
mendadak, dia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja dia melarikan
diri atau roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada
saat pertemuan itu. Maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia
mempunyai banyak kesempatan untuk mengatur pernapasannya dan meredakan
jantungnya yang bergelora tadi. Mukanya yang tadinya pucat sekali itu
perlahan-lahan berubah merah dan kedua matanya terasa panas. Ia menahan-nahan
tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu.
Betapa
kurusnya muka Cin Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu.
Baru kini terbuka matanya bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak
pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia bertekad untuk mencari dan membunuh Cin
Liong, hal itu bukan karena benci melainkan karena kecewa mengapa pemuda yang
dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan kini? Ternyata pemuda itu
sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difitnahnya! Dituduhnya melakukan
hal yang demikian kotor dan rendah!
Baru kini ia
merasa menyesal sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang
pendekar gagah perkasa seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir,
seorang panglima muda yang dipercaya kaisar, mau melakukan perbuatan serendah
itu? Mengapa dia dahulu tidak bicara terang-terangan saja dengan Cin Liong dan
menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu?
“Cukup,
paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!” Cin Liong meloncat ke
belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil
tertawa dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.
“Wah,
setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu
mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu.”
“Engkau
terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat
menahannya,” kata Cin Lion memuji.
Suma Hui
sekarang melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan
Cin Liong yang cepat memberi hormat. “Hui-i, maafkan kalau aku datang
mengganggu,” katanya dengan suara gemetar.
Suma Hui tak
mampu menjawab, hanya memandang dan dua titik air mata yang sejak tadi sudah
memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh
kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Bun-te,
tinggalkan kami sendirian....”
Ciang Bun
mengangguk maklum dan pemuda ini pun lalu pergi dan lari dari tempat itu.
Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, barulah Suma Hui memutar
tubuh menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar
suara gadis itu lirih, “Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?”
Pertanyaan
yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan
hati terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus
mengetahui segala yang terjadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak
akan mengganggu, tidak berani, karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri
orang?
“Bibi
Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami
sekeluarga kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka
menyuruhku bertanya kepadamu sendiri.”
Suma Hui
mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya sebentar untuk mengusir semua
kenangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Lalu, dia melolos sepasang
pedangnya. Melihat ini, Cin Liong terkejut bukan main.
“Hui-i, kalau
sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku tidak
akan melawanmu.”
Sepasang
mata itu terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan beberapa butir air mata
mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkannya ke dekat kaki Cin Liong dan
suaranya berbisik dalam gemetar, “Cin Liong, aku telah bersalah kepadamu,
kepada keluargamu, dosaku besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku,
boleh kau pergunakan pedangku yang pernah kupakai menyerang dan melukaimu
dahulu itu.”
“Hui-i....,”
Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan
melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada
pemiliknya. “Mengapa begitu? Simpanlah kembali pedangmu....”
Akan tetapi
Suma Hui tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya. Dia pun menjatuhkan dirinya,
bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua
pundaknya saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari tangannya
yang menunjukkan bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.
Cin Liong
berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin
dia menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingatan bahwa wanita ini adalah
isteri orang lain menahan gelora hatinya.
“Hui-i....
harap jangan menangis. Di manakah.... ehhh, suamimu?”
Pertanyaan
ini agaknya amat mengejutkan Suma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya. Mukanya
pucat dan matanya merah basah, kini memandang kepada wajah pemuda itu bagaikan
orang yang merasa heran dengan pertanyaan itu. “Engkau.... engkau belum
mengetahuinya dari ayah dan ibuku?”
“Belum.
Ketika aku menghadap mereka, mereka hanya menyuruh aku menemuimu di sini dan
minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Aku
merasa bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian
orang tuaku yang datang meminang menerima penghinaan dan aku dituduh
melakukan.... perkosaan. Apakah artinya semua itu? Dan di mana adanya suamimu?
Bukankah engkau telah menikah dengan.... suheng-mu sendiri itu?”
Menerima
pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air matanya
saja yang menyatakan betapa hancur perasaan hatinya. Melihat keadaan wanita
ini, Cin Liong merasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul,
mendekap kepala itu dan menyembunyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan
mengusap air matanya. Akan tetapi dia tidak berani selancang itu terhadap
wanita yang sudah bersuami.
Dia pun tahu
bahwa agaknya baru kini Suma Hui dapat melampiaskan perasaannya, maka dia
membiarkan saja wanita itu menangis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama
bagi wanita yang halus perasaannya, kadang-kadang tangis merupakan obat mujarab
bagi ganjalan hati.
Akhirnya
Suma Hui dapat menguasai hatinya. Tangisnya mereda dan ia pun berkata setelah
menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya yang menjadi basah. “Sudah
sepatutnya engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Mala petaka telah
menimpaku. Semua dimulai pada malam jahanam itu.... Malam itu aku menjadi
korban asap pembius yang ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadan
setengah sadar, aku.... aku menjadi korban…. perkosaan orang.... dan dia....
dia menirukan suaramu. Karena kamar itu gelap dan suara itu mirip benar dengan
suaramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa engkaulah yang melakukan perkosaan
terhadap diriku itu.”
Suma Hui
tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi dan menahan tangisnya sambil
menghapus air matanya yang kembali membanjir keluar.
Cin Liong
mengepal tinjunya. “Hemm, jadi benar-benar ada yang melakukan perbuatan hina
itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, dan
kemudian, ketika orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari
keluargamu. Aku tidak merasa heran sekarang. Akan tetapi mengapa engkau tidak
mau berterus terang saja menegurku waktu itu sehingga aku dapat mengetahui
duduknya persoalan, Hui-i?”
Suma Hui
menunduk. “Aku begitu yakin bahwa engkaulah orang itu.... maka kuanggap tidak
perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku....
sehingga aku.... aku bersumpah.... untuk membunuhmu!”
Cin Liong
mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tetapi.... lalu bagai mana
engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemerkosa biadab itu?”
“Dengarkan
ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang....”
“Suheng-mu?”
“Ya, ayah
sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik hingga ayah berkenan mengangkatnya
sebagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu keluarga kami kepadanya. Tek Ciang
dengan sikapnya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai
bintang penolong untuk menyelamatkan aku dari aib. Biar pun dia sudah
diberitahu bahwa aku telah diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk
menjadi suamiku.”
“Ahhh....!”
“Aku tidak
suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa aku
hanya ingin menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku. Ayah telah
tergelincir oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi
lihai sekali. Aku pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki
Pegunungan Himalaya, dengan maksud untuk menantangmu dan mengajakmu bertanding
sampai aku mati di tanganmu....”
“Hui-i....!”
Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap kembali air
matanya.
“Karena
mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali ke
timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah menjadi lihai sekali. Kembali ayah
mendesak aku tentang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau
menikah deugan orang yang dapat mengalahkan aku.”
“Dan dia
dapat mengalahkanmu?” tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.
Suma Hui
mengangguk. “Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku
terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai,
dia dapat kumintai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu....”
“Hemm....
wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?” Hati Cin Liong mulai tertarik sekali.
“Pernikahan
itu lalu dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang
penting....”
“Sayang kami
tidak dapat hadir....”
“Tentu saja
keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena
kesalahanku....”
“Sudahlah,
Hui-i, penyesalan pun tidak ada gunanya lagi dan sebetulnya bukan karena
kesalahanmu, atau andai kata engkau melakukan kesalahan sekali pun, maka engkau
melakukannya tanpa kau sadari. Lalu bagaimana?”
“Malam
pengantin itulah yang membuka rahasia busuk itu! Seperti kukatakan tadi, ketika
terjadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat melihat wajah
pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu, juga cara
bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Tetapi ada satu hal lagi yang
menjadi rahasiaku, tidak kuberi tahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara
kebetulan, dalam keadaan setengah sadar itu, aku menyentuh punggung jahanam itu
dan aku mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging....”
“Ahh, makin
menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau
melihat punggungku!”
Tanpa
menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan membalikkan tubuh,
memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa adanya cacat
benjolan daging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.
“Cin Liong,
tanpa kau perlihatkan punggungmu, aku pun kini sudah percaya, karena aku telah
menemukan orangnya.”
“Ahhh....?
Benarkah? Siapa si keparat itu?” tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi
bajunya.
“Siapa lagi
kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!”
“Hehh....?”
Cin Liong yang sedang mengancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan.
Matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tak percaya
akan pendengarannya sendiri. “Apa.... apa pula maksudmu? Dia....?
Suheng-mu...., suamimu itu....? Bagaimana pula ini?”
“Benar,
ternyata dialah jahanam pemerkosa itu! Kebetulan aku melihat benjolan daging di
punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya sehingga malam pengantin itu
berubah menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali
dan aku bukan lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara
ribut-ribut.”
“Tentu dia
sudah dapat dibekuk atau dibunuh!” kata Cin Liong penuh semangat.
“Sayang, dia
yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain.”
“Siapa yang
menyelamatkannya?”
“Kenalan
lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru
Tek Ciang.”
Kembali Cin
Liong terperanjat. “Jai-hwa Siauw-ok....?”
“Ya, dan
munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa
Jai-hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu
Pulau Es, yang memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencelakakan kami
dengan cara lain. Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan
Jai-hwa Siauw-ok yang melepas asap pembius, lalu Tek Ciang yang melakukan
pemerkosaan dan menyamar seperti engkau, tentu dengan maksud untuk mengadu
antara keluarga Suma dengan keluarga Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami
memusuhi keluargamu dan aku…. aku telah bersikap bodoh sekali....”
“Di mana
jahanam itu sekarang?” Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya telah
berubah merah. “Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!”
“Tidak
perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah
mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku
sendiri yang akan mencari jahanam itu!”
“Hui-moi....
sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi....”
Mendengar
suara yang menggetar itu dan mendengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi
pucat, kemudian berubah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia
memandang kepada laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.
“Cin
Liong.... maafkan.... kau maafkan aku....,” ratapnya.
“Hui-moi....!”
Cin Liong melangkah maju dan menubruknya, merangkulnya dengan hati yang penuh
rindu.
Seperti
tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima siraman hujan, Suma
Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong sambil menangis
sesenggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka hanya
saling dekap dan saling rangkul. Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap
rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.
Tiba-tiba
Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya,
memandang dengan mata terbelalak. “Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku....
aku sudah tidak berharga untukmu, Cin Liong....!” Dia menangis lagi, menutupi
muka dengan kedua tangan.
“Hui-moi,
jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apa pun yang telah dan akan
terjadi!” kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul
lagi.
Akan tetapi
Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, “Tidak, engkau
jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamahku, Cin Liong. Aku sudah kotor dan
tidak berharga lagi. Aku bukan perawan lagi....”
“Hushhh,
anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan mencinta
keperawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan karena kesalahanmu. Aku tetap cinta
padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku
cinta padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu....”
“Tidak, Cin
Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia,
disaksikan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek
Ciang! Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!”
“Ahhh, kalau
engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas dari ikatan, ikatan
pernikahan dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?”
“Jangan
berkata demikian, Cin Liong. Aku.... aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang
sudah tidak berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, dan kalau engkau masih
sudi menerimaku....”
Cin Liong
menangkap tangan wanita itu, dikepalnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka
saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan
itu. “Hui-moi, aku akan membantumu....”
“Tapi,
engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu.”
“Tidak, aku
akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku
mengambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan,
agar engkau tak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan
urusan dan keadaan orang lain.”
Suma Hui
tersenyum melalui air matanya. “Ahh, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin
Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya? Aku telah
ternoda dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku
telah melakukan penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah
menikah dengan orang lain. Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti
sudah merupakan suatu berkah bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah
merupakan suatu kemurahan darimu. Mana mungkin semua ini ditambah lagi
dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai isterimu. Ah, terlalu langka
dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu....” Suma Hui lalu
lari meninggalkan Cin Liong, sambil menangis.
“Hui-moi....!
Hui-moi....!” Cin Liong mengejar.
Tetapi baru
beberapa jauhnya dia mengejar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya. “Cin Liong,
jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima dengan
tenang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun,
biarlah kebahagiaan mendatanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba
dan dipaksakan, bahkan berbahaya bagi batinnya.”
Cin Liong
menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini. Dalam
beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi dewasa dan matang, dan dia pun
melihat adanya bayangan duka di wajah yang tampan itu. Akan tetapi dia tidak
tahu entah apa dan mengapa.
“Aku hanya
ingin membantunya mencari dan membalas dendam kepada musuh besarnya,” katanya.
“Si jahanam
Tek Ciang?” Suma Ciang Bun tersenyum pahit. “Sejak semula aku tidak suka kepada
orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah, penyesalan
tiada gunanya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu
keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biar pun
demikian, enci Hui dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah
urusan pribadi. Urusan dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan
lakukan itu dengan berterang, Cin Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui
merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia mengangkat kembali kehormatannya dengan
membalas dendam kepada orang yang merenggutnya. Dan hanya akulah satu-satunya
orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap dan sudah bersepakat akan mulai
pergi mencari musuh itu besok pagi.”
Bersama
Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee
dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi
lalu berkata, “Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i,
telah mendengar akan semua yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan
kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya, untuk sekali lagi mengajukan
pinangan terhadap Hui-moi, untuk menjadi isteri saya.”
Sungguh
ucapan ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee
Li. Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan sejenak dia memejamkan mata sambil
menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hatinya.
Pernah ada
seorang pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walau
pun sudah mendengar bahwa gadis itu sudah diperkosa orang. Tetapi ternyata
pemuda itu, Louw Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi
pemerkosanya sendiri. Akan tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pendekar
besar, seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, kini mau menerima Suma
Hui sebagai isteri, setelah mendengar Suma Hui diperkosa orang, setelah
menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar diterima dan
dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang
berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.
“Tapi....
tapi.... kami telah....,” katanya gagap dan isterinya menolongnya.
“Cin Liong,
kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi
mengulang kesalahan yang sama. Urusan pernikahan Suma Hui adalah urusan
pribadinya, oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencintanya seperti yang
kupercaya sepenuhnya, bicarakanlah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju,
kami berdua pun akan menyetujuinya dengan penuh kebahagiaan hati.”
“Saya sudah
bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil membalas
dendam kepada musuh besar itu.”
“Kalau
begitu, tidak ada persoalan lagi!” kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.
“Biarlah
kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini
dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga,” akhirnya Suma Kian Lee
berkata dengan hati lega.
Sampai Cin
Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yang agaknya
sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali
kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka dia pun
berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud
hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusul dan membantu Suma Hui
menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.
Pada
keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang
tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka
mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.
***************
Sudah lama
kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang
digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti
itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka belajar ilmu silat.
Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang
bagaimana sukar pun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang
diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan
baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!
Bukan main
girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki
murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan
penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid,
bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong
telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan
kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia
merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi.
Maka dia pun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di
lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh
dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua
hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari pekerjaan Hek-i Mo-ong hanya mencurahkan
seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan
cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap
tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan
menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang
datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para
pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya
terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya.
Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa
ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang
merasa terharu juga.
Dia tahu
bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga
giat bekerja di ladang, juga tiap hari mencari ikan untuk dimasak dan
dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan
latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia
ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda
remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah,
akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.
Demikian
sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan
ilmu ciptaannya yang terakhir dan mukjijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk
Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda
remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua
ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan
karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan.
Ilmu silat
kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan
tetapi dia tak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong
biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng
Liong memilih senjata kipas dan pedang.
Di samping
mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong
kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi
karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka dia pun
hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja,
antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti).
Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang
Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia
tidak berhasil menguasai kedua ilmu ini.
Ketika itu,
usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya
besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat,
bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih
melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong
bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua
renta ini nampak serius sekali.
“Ceng Liong,
tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”
Ceng Liong
memandang wajah keriputan itu dengan heran. Dia ingin tahu apa yang tersembunyi
di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, “Mungkin antara lima
dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”
“Engkau
menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan
tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah
dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam
sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarang
pun aku mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali
pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian
yang hebat bukan main.”
Ceng Liong
adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan
gurunya itu. Dan dia sendiri pun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan,
ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri,
terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu
merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan
bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i
Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.
“Mo-ong,
apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung
saja.
Hek-i Mo-ong
tertawa. “Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong,
hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap
musuh besar itu. Saat aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji,
aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam,
pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi,
waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu
sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”
“Mengapa
engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”
“Tak ada
persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah
dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku
takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.”
Diam-diam
Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulu terlalu
mengugulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai
dari padanya. Karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini
merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di
dalam hatinya.
“Hemm, kalau
begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan
membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu.
Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”
“Heh-heh-heh,
Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari
Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku
sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan
muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling
Emas. Ha-ha-ha!”
Ceng Liong
terkejut. Pendekar Suling Emas! Pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya
dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak
peduli. Siapa pun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi
hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itu pun kalau dia dan
gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu!
Dan dia
tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di
dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak
terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah
banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dari itu
dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.
“Siapakah
nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”
“Namanya Kam
Hong dan dia tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan di
Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau
sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”
“Baiklah,
Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”
Setelah
berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek
itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong
merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi
itu dan melihat dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang
petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di
punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat
dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga
tidak nampak menyolok.
Ada pun
Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga
sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan
agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali
dengan bajunya yang hitam.
Orang-orang
yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka
bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka
bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang
kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa
saja.
Siapakah
orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya
itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar
seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang akhirnya
menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit
hati dan tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada
suatu pantangan bagi kakek ini, yakni kekalahan.
Dia tidak
pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai
seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan
mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan
Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia
tidak menaruh hati dendam kepada siapa pun. Akan tetapi, di antara
kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia
sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu
itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.....
***************
Para pembaca
kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’ tentu masih mengenal siapa pendekar Kam
Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas
dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas.
Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan
mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling
emas yang amat hebat.
Pendekar ini
akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoi-nya sendiri
karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya
ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu,
sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik
dapat diikuti dalam seri kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Setelah
menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak
Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan
di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit
Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-hang-san. Istana ini dahulu menjadi
pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong)
yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu.
Keturunan
terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis
Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu
Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong,
menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong
sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka,
setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu
kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup
sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara
dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan
sederhana.
Pada waktu
itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang
mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda,
baik wajahnya yang bulat manis itu, mau pun kelincahannya, kejenakaannya dan
keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru
ayahnya, sederhana dan seadanya.
Juga anak
ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas
tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan
juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu
baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis
sajak dan beberapa kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim,
menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusun di sekitar
tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.
Kam Hong
sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia
selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan,
akan tetapi biar sederhana dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan, belum
nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum
bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan
bahwa dia tidaklah muda lagi.
Sepasang
matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat
pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar
ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya,
melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas
yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada
keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia
mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian
Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in.
Selain ini,
dia pernah pula digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim
Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua
ilmu yang termasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan
ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu
Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khikang tingkat
tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya
seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa
dan sukar ditandingi!
Isterinya,
Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah
digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian
Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini dia lalu memperoleh Ilmu
Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, dia pernah memperoleh
hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sinkang Im dan Yang
kepadanya. Selain itu semua, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap,
pendekar yang sangat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang
pendekar besar yang banyak isterinya.
Memiliki
ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi.
Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Dahulu ibunya juga mempelajari
Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling,
bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya,
hanya lebih kecil. Dan ia sendiri pun telah dibuatkan sebuah suling emas
seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula menggunakan sulingnya
sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya
untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan
nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah
serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas
milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tak pernah
mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang
mereka telah menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri
dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di
antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat
dan tenteram.
Oleh karena
itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya
besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin
perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah
yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong
dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena
selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid
ini. Mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang!
Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?
Seperti kita
ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi
musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Berdua guru dan murid itu melakukan perjalanan
naik perahu menuju ke arah timur. Arus air yang deras itu mempercepat
perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan
sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar
menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui
darat, menuju utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang dari situ sudah
nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu
matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung
Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan
dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar
dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi,
ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya
dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis
wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara
isak tangis itu, terdengar suara wanita yang berkata dengan suara memohon.
“....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”
Ceng Liong
makin penasaran, namun Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, “Ceng
Liong, perlu apa kita mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang?
Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”
Ceng Liong
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mencampuri urusan
orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan
suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.” Dan pemuda ini pun
melangkah mendekati kuil.
“He-he-heh,
engkau cari perkara saja!” kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak
mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar saat muridnya memasuki
kuil tua itu.
Ruangan
depan kuil itu kotor karena gentengnya telah banyak yang berlubang sehingga
ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi
isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liong terus memasuki kuil
dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang
menangis itu.
Tiba-tiba
dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek,
agaknya tertawa kepada wanita itu. “Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha-ha,
jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat jika aku sudah bosan
padamu!”
“Cici....!”
Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
“Siauw-moi,
bersabarlah....!” Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita ini pun
menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong
makin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang
kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainya pun agak bersih. Ketika
dia masuk melangkahi pintu tanpa daun itu, dia melihat ke atas lantai dan
mukanya seketika berubah merah karena malu.
Di lantai
itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah
dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua
masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan
wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku
seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki
itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang
gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat
mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak
menangis.
Melihat
betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng
Liong menjadi malu dan kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena
keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan
kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia
akan menemukan pemandangan seperti ini, tentu dia tidak akan sudi masuk. Akan
tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinya pun menjadi penasaran. Hanya, apa
yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk?
Biar pun
usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk
sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya
bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang
sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang
mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja
dapat bicara dengan tenang.
“Apakah yang
sedang terjadi di sini?” Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri,
bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan
itu.
Dua orang
pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya
mereka tetap asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama
sekali tidak mempedulikan adanya Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan
pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang
dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum!
Akan tetapi
senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong.
Senyum yang licik, pikirnya, maka dia pun menentang pandang mata pria itu
dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itu pun tercengang melihat penegurnya
seorang pemuda remaja yang demikian tampan walau pun pakaiannya menunjukkan
bahwa dia seorang petani muda.
“Ehh, bocah
ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini?
Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu
sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak
lihat?”
Biar pun dia
sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa
untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi mengeluarkan pertanyaan itu
hanya untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia
melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru
lima belas tahun usianya, yang tengah memandang kepadanya dengan mata
terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau,
rasa malu dan kikuknya pun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini,
pikirnya. Orang yang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut
dan duka seperti itu!
“Aku tadi
mendengar suara tangisan dan orang minta pulang....,” katanya lagi sambil
menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat
muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan,
nampak lemas.
“Kamu hendak
mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan
matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Tidak, tapi
kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”
“Ha-ha-ha!”
Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak
peduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di
situ tidak terdapat orang lain.
Gadis yang
dipangkunya menggeliat-geliat, kemudian menangis dan berkata, ditujukan kepada
Ceng Liong. “Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”
Barulah Ceng
Liong mengerti dan dia pun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa
wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik
Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar
mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja
itu menjadi marah, maka dia pun tertawa lagi.
“Ha-ha-ha,
memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Kau antarkan
mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke
depan, ke arah Ceng Liong.
“Singgg....!”
Sinar perak
menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang
disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat
tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di
lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau
itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
“Huhhh!”
Tangan
kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari
telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang
demikian tenang, seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan
yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk.
“Krekkk!”
terdengar suara, lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkan
Ceng Liong ke atas lantai!
Pemerkosa
muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia
melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher
putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat
dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to
(pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, bahkan kemudian mematah-matahkan
pisaunya itu bagai orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka!
Dia bangkit
berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping, seperti
orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong
seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara
lantang dia berseru, “Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri
urusan pribadi kami?”
Ceng Liong
tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya. “Siapa mencampuri urusan pribadi
kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya.
Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu
lagi.”
Louw Tek
Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit
kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan
membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
“Setan
cilik! Kau mau apa?”
“Setan
besar!” Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli
melihat lagak orang di depannya itu. “Aku mau agar kalian membebaskan dua orang
nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis,
baru aku mau sudah!”
Tek Ciang
terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking
marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani
bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya.
“Keparat
kau!”
“Jahanam
kau!” Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia
tahu orang ini marah besar, dan justru inilah yang menggembirakan hatinya.
Wataknya yang suka menggoda orang timbul. “Eh, apakah bisamu hanya membikin
susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?”
Louw Tek
Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya
kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya
dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong.
“Mampuslah!”
bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.
Ceng Liong
cepat mengelak dan kini matanya terbelalak.
“Wuuutt!”
Pukulan yang
mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang
juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan
menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih
panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut.
Dia mengenal
pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun belum dikuasainya akan tetapi sudah
amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang!
Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk
dielakkan, terpaksa dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menangkis
pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.
“Desss....!”
Dua tenaga
sinkang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur
sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya
bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang
demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya
hanya seorang yang usil dan lancang yang hendak mencampuri urusannya dan hendak
mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Sementara
itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga
memandang penuh perhatian dan dia pun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja
itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak
datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil.
Maka Jai-hwa
Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu
harus dibunuh dulu supaya tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya
bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar
menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai.
Dua orang
gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika, karena mereka telah menjadi korban
serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah
itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.
Ketika Ceng
Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia
mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek
Ciang menyambar dan menghantamnya. Sekarang Tek Ciang mempergunakan pukulan
Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini
penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Desss....!”
Keduanya
terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya
Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru
dan murid ini, yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat
bergerak hendak maju berbareng.
“Heh-heh-heh-heh,
Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?”
Dan
muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i
Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berubah
pucat.
“Hek-i
Mo-ong....!” serunya.
Seruan ini
lebih ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah
diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang
memang segera teringat akan cerita itu, maka pemuda ini pun cepat melangkah
mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
“Ahh,
kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya
maka terjadi kesalah pahaman,” kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.
Tek Ciang
adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada Jai-hwa
Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiri pun tidak
kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu
juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi,
bukankah mereka itu segolongan? Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat
dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.
“Ahhh,
kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya
menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe
yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa
hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.”
Suasana
penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah
mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu
Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es. Dia sendiri
melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu
Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup
bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya!
Dan kini
mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya
melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja
Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan mau
menyerahkan nyawa begitu saja.
Muridnya
telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat dari
padanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat
menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang
biar pun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin
gelisah. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk
melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.
Dugaan
Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk
besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya
untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa
Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar.
Siauw-ok
telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, yaitu lari menyelamatkan diri
sendiri tanpa mempedulikan kawan-kawan. Dan sekarang, Siauw-ok dan muridnya
malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga
oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan ‘menghukum’
mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada
Tek Ciang.
“Siauw-ok,
dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!”
Jai-hwa
Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong
tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Dia pun merasa girang dan
cepat berkata, “Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!”
“Aaah, kita
di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalah pahaman tadi
adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih.”
“Muridmu
hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.”
“Ha-ha-ha,
tentu saja! Kalau benar-benar dipertandingkan, engkau sendiri pun tentu akan
kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itu pun bukan barang murahan. Siauw-ok,
mengapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada
hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?”
“Bukit
Nelayan....? Ehh, Mo-ong, bagaimana engkau bisa…. bisa mengetahuinya....?”
“Heh-heh,
jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk
mencari Bu Ci Sian, bukan?”
Jai-hwa
Siauw-ok mengangguk-angguk. “Agaknya Mo-ong telah tahu segalanya.”
Kembali
Hek-i Mo-ong tertawa “Tentu saja aku tahu. Coba kau ingat, di antara Im-kan
Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok
Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?”
Jai-hwa
Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, “Kini Bu Ci Sian telah
menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan, maka melihat engkau di sini
bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke
bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha-ha,
agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkan juga
kebiasaanmu!” Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan
tahun itu.
Jai-hwa
Siauw-ok tersenyum. “Ahhh, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua
dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami
hendak membalas dendam kematian guru-guruku.”
“Ha-ha-ha-ha!”
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
Jai-hwa
Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan
tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini
berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang
itu sekutunya mau pun musuhnya.
Dan memang
Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang tadi diawali suara ketawa mengejek
ini. “Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia
belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!”
Kini Jai-hwa
Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan
alis berkerut. Bagaimana pun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan
gurunya dan biar pun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah
orang segolongan seperti itu.
“Harap
locianpwe suka menjelaskan!” katanya penasaran.
Sementara
itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering
tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.
“Ha-ha-ha,
apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam
suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!”
Jai-hwa
Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tak peduli karena memang pemuda yang
belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama
Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih
tua dari pada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok yang sudah
mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, matanya terbelalak dan dia bertanya
dengan suara terheran.
“Ahhh,
jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan
tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah
dengan dia yang sudah lama mati.”
Kembali
Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan
lebih tahu. “Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama,
melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah
mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke
sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya
itu yang sepuluh kali lebih lihai dari pada Bu Ci Sian.”
Jai-hwa
Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama
sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di
puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja
puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih
lihai dari pada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah
seorang cerdik. Dia pun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i
Mo-ong ke tempat itu sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja,
tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.
“Mo-ong,
apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak
mencari.... ehhh, orang she Kam yang lihai itu?”
Hek-i Mo-ong
tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga
mulutnya. “Ha-ha-ha, engkau amat cerdik seperti serigala! Memang benar, aku
hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong.”
Sekarang
mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya.
Kiranya Raja Iblis ini pun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si
Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar
Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan
mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es,
melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan,
yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya.
Jadi dapat saling bantu! Maka dia pun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang
tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.
“Bagus
sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu
dan sekawan dalam menghadapi apa pun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku
dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi
jauh lebih ringan, bukan?”
Hek-i Mo-ong
tertawa. “Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah,
mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik....”
Kakek ini
menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang
bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang
memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda
remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu
seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam
ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari
Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali
tanah yang cukup lebar dan panjang.
“Ehhh, apa
yang kau lakukan?” Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.
Tanpa
menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, “Aku tidak mau
pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini, Mo-ong.”
Dia pun
menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada
tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, dia pun lalu mengangkat dua
mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah.
Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu
telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.
“Ha-ha-ha-ha,
Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!” Jai-hwa
Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.
“Jai-hwa-cat!
Lekaslah kau maju dan kau cobalah kelemahanku!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak
dan memasang kuda-kuda. Kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang
matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.
Dimaki
sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah,
bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan
pujian! Bagaimana pun juga, andai kata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid
Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ,
tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.
“Hemm, orang
muda, gurumu dan aku ialah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh.
Tidak baik jika urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan
kedudukan kita sendiri,” katanya.
“Ceng Liong,
musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan itu, dan bukan Jai-hwa
Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut
cerewet seperti perempuan!” kata Hek-I Mo-ong.
Mo-ong
sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang tadi dikatakan
berhati lemah. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong
hanya tersenyum saja, walau pun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya
dimaki.
Empat orang
itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok
berbincang-bincang membahas musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan
antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit
Nelayan itu dengan mereka berdua.
Kam Hong
pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan
terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat Mo-ong merasa
penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan
itu. Ada pun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian,
pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong.
Bu Ci Sian
pada belasan tahun yang lalu sudah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok
Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat).
Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok
karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat
itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk
dapat membalas dendam..
***************
Gedung yang
nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dulu
terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan
memiliki anggota-anggota yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh,
temboknya tebal. Akan tetapi, walau pun dari luar nampak tua dan kuno, namun di
sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat
baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek
moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang
Khong-sim Kai-pang.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah
pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah
keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena
selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari
Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang
bernama Yu Hwi, sekarang telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang
tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk memperkenalkan
keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisah
’Suling Emas dan Naga Siluman’, marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar
sakti ini.
Kam Hong
adalah keturunan terakhir dari keluarga SULING EMAS dan sejak kecil dia
diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek
tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu
sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan dia pun telah ditunangkan
dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu,
pendiri dari Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya
Tuhan menghendaki lain.
Kam Hong dan
Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu
telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup
masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah,
usaha kedua keluarga untuk menjodohkan mereka gagal.
Kam Hong
bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami
isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang
Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas asli,
saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi, yang
sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong-sim Kai-pang
dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal
di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat
dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.
Demikianlah
sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup
rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal
yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat
enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang
pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh
tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam
keadaan bersih dan terawat baik.
Sudah
menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu
pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak
bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk
dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka
berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya
matahari di pagi yang cerah itu.
Kadang-kadang
Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari,
selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan
alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan
tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang
berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyiknya.
Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga
orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi
inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Seperti ayah
bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini
terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas asli di tangan
ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan
suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari
saja, tarian yang indah dan aneh.
Akan tetapi,
lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar
suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk suling pun lenyap berubah
menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara
melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu. Tubuh yang
berkelebatan gesit itu terbungkus gulungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak
tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum.
Empat orang
itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang
yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang
mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang
berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang
mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.
Akhirnya Bi
Eng menghentikan gerakan silatnya, kemudian duduk bersila di atas tanah
mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa
menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang
mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia
meniup suling itu. Keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan
merendah dengan indahnya.
Akan tetapi,
empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan
merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat
mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk
melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khikang yang amat kuat dan
agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya.
Dan memang
sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan
tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan
dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk
melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat
menusuk-nusuk telinga.
Tek Ciang
sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu
birahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat
menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu.
Siapa pun adanya gadis itu harus dia dapatkan!
Akan tetapi
pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang
pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang
di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia
memberi tahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.
“Siapakah
kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?” tegur seorang di antara
para pembantu keluarga Kam.
“Kami
mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?” tanya Tek
Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya pada Bi Eng yang kini sudah
menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.
“Majikan
kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau
memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu
sampai mereka kembali dari jalan-jalan.”
“Ha-ha-ha,
kiranya kalian hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
Kini Bi Eng
sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia
mendengar kata-kata itu.
“Ada
keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan
orang-orang kasar seperti kalian!” katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam
dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan
tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.
“Ehh,
kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku
bersenang-senang, nona manis!” kata Tek Ciang.
Mendengar
kata-kata ini, dan melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa
mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja, hanya memandang.
Enam orang pelayan
itu pun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa
tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia
terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang.
Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka
guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka.
Sambil
tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula
Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang pelayan pria coba untuk mengelak atau menangkis,
akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan
terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya
sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika!
Empat orang
kawan mereka terkejut dan marah. Mereka lalu mencabut pedang dan menerjang
maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang
dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan
mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika hanya dalam
beberapa gebrakan saja!
“Ha-ha-ha-ha!”
Mo-ong tertawa bergelak. “Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik
Kam Hong? Ha-ha-ha!”
Hatinya
senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh
dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak
bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji
membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan
gurunya. Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang.
Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam.
Orang-orang
itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa
mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Namun karena dia tidak mempunyai
sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengan tangan terkepal dan alis
berkerut tak senang.
Sementara
itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas seketika, Bi Eng
menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki
ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat dari pada
orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh
dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka
berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi,
kemarahannya sudah tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil
mengeluarkan bentakan halus, ia pun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.
“Ha-ha, biar
aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!” Tek Ciang berkata
sambil menyambut terjangannya.
Akan tetapi,
bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan
hendak menangkap suling di tangan si nona. Tiba-tiba saja suling itu mengelak
dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai
lambungnya kalau saja dia tidak cepat-cepat meloncat ke belakang!
Nona itu
dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan
hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah
Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat
menahannya!
Tadinya dia
berniat mempermainkan dara ini sebelum menangkapnya, mempermainkan sepuas
hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi
dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap
bagai asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia
sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk
menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan
kuatnya itu!
Dan semua
itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling
yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga.
Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma
Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang
dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan
bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu.
Perlahan-lahan
dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian
yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum
bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan
gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar
diduga gerakan-gerakannya...
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment