Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 18
Pada saat
itu ada angin menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ
telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga
menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka melihat Bi
Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat.
Akan tetapi
gadis itu berlutut di dekat tu-buh Hek-i Mo-ong yang sudah terluka parah,
bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa jalan
darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bercucuran dan
menghilangkan rasa nyeri.
Begitu
melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus
dan dia pun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk kemudian berdiri
menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya!
“He-he-heh,
orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik,
hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.
Tentu saja
Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan
nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri mereka pun terculik dan nyaris
celaka.
“Hek-i
Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan
dari muka bumi!” bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.
“Ha-ha-ha,
biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semua pada akhirnya akan
lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak
akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam,
karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!”
Keadaan
kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicara pun sudah terengah-engah, sudah
lebih mendekati mati dari pada hidup. Akan tetapi dia kelihatan sangat gembira
menghadapi kematiannya. Dengan kedua tangan membentuk cakar penuh pengerahan
hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.
Akan tetapi,
Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah
atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biar pun dia
marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para
pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu
untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.
Mendadak
nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja sudah berdiri menghadang
di antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap,
wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum
dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau
itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!
“Suhuku
sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya
menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya,” kata Ceng Liong dengan sikap
tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut
menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Dia pun tahu dari
ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat
diduganya tentu lihai bukan main.
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid
Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. “Hemm, tidak patut aku menyerang
seorang bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah
semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih
jahat dari pada gurunya kelak!”
Akan tetapi
anak muda itu hanya terus berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang.
“Majulah,”
kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”
Akan tetapi
Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin memusuhi siapa pun juga, akan
tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapa pun juga!”
Kerut di
antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari
hidungnya. “Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu
menjadi calon iblis pula!”
“Heh-heh-heh,
muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan
semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti dari
pada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!” Hek-i Mo-ong
terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan
karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar lagi dari
luka di dadanya.
“Hahh!” Kam
Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan
yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga
terdengar suara angin mendesis.
“Dukk! Dukk!
Dukkk!”
Tiga kali
Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan
itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong
terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan
tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri!
Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka. Anak ini,
biar pun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu!
Tentu saja
dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andai kata diadukan antara
Hek-i Mo-ong dengan Ceng Liong, agaknya kakek itu pun belum tentu akan mampu
mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita
ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu
Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, pemuda tanggung ini juga telah
mewarisi semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong.
Setelah
merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau
membuang waktu lagi dan dia pun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat
menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng
melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega
dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat.
Tadinya, Bi
Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya
karena ia pun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi
dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan.
Namun ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabut
suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan
ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap
dirinya.
“Ayah....!
Jangan....!” teriaknya sambil melompat.
Kam Hong
terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh
besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang
puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.
“Bi Eng! Kau
kenapakah?” bentak ayah ini.
Tentu saja
dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng
sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang
jahat ini!
Bi Eng
maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di
dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari
kemarahan ayahnya.
“Ayah,
jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!”
“Hemm,
bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.
“Benar, akan
tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan
tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini.
Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya
ayah hendak membunuhnya?”
Kam Hong
menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah
murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh
besarnya itu menolong puterinya.
“Tapi....
tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”
“Bukan Ceng
Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.
Kam Hong
mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat
cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau
memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan bahkan sudah
menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.
“Baik,”
katanya, “akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis
jahat Hek-i Mo-ong itu.” Dia pun melangkah maju dengan suling di tangannya.
“Siapa pun
hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!” kata Ceng Liong,
sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas.
Sikap pemuda
ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapakah orangnya yang
tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut
di tempat tinggalnya?
“Ayah, Hek-i
Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk
membelaku....”
“Apa....?!”
Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh
tak disangkanya.
“Aku
dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku
terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat
guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh
guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku
juga diobati oleh Hek-i Mo-ong.”
Kembali Kam
Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i
Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan
ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan
tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau sekarang dia menyerang
dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan
tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja
penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.
Hek-i Mo-ong
yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai
dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa
karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir
yang masih bersisa, dia berkata, “Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat
dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang
puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir,
tanpa kau turun tangan pun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati
aku ingin memberi tahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri
muridku....”
“Apa?! Tidak
mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong
puteriku, akan tetapi jangan harap lebih dari pada itu. Sampai mati kami tidak
sudi berbesan denganmu!”
“Tapi....
tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”
Kam Hong dan
isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja,
tiba-tiba menjadi marah. “Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji
seperti itu?”
“Tidak, ibu.
Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi
Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong
saja ia dapat merubah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas
dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir kalau membayangkan
puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walau
pun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu
tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan
suaminya.
“Bi Eng,
katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti
Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat
ini?”
Didesak oleh
ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak
pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia
berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras,
bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan
ia tidak mau tunduk. Namun mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah
memikirkan. Biar pun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti
itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng
hanyalah dengan menolak.
“Tidak, ibu,
aku tidak mau.”
Hening sejenak
setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu
yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah
memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan
suka biasa saja. Kalau tadi dia bersikeras menolong dara itu adalah karena
terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dirinya memang tidak senang melihat
kejahatan dilakukan orang di depan matanya.
Biar pun
demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas
memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya, merupakan suatu hal yang amat tidak
enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang
kepada suhu-nya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk
kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan
itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau
mengobati Bi Eng.
“Hemm, kakek
iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri
muridmu!” kata nyonya itu dengan hati lega.
Hati Ceng
Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu sekarang
memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak
begitu kecewa hingga mewek-mewek bagai anak kecil yang mau menangis. Sepasang
mata kakek itu yang sudah mulai kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng
Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri
pendekar itu.
“Tapi....
tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ahh, aku
tidak akan dapat mati dengan tenang kalau mereka belum terikat jodoh....”
Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi
kekecewaan dan penyesalan yang amat menyedihkan.
Akan tetapi,
tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian,
sikap itu tentu saja malah menjengkelkan sekali. Puteri tunggal mereka hendak
dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan
besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan
kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian
sudah menyerangnya.
“Hek-i
Mo-ong,” kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang
dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa
kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami
tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya
tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari
kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan
tempat itu.
“Kam Hong,
kau.... kau....!” Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan,
maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi
tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.
“Suhu....!”
Ceng Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas
dalam pelukannya, tak bernapas lagi!
Kakek itu
tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka
melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak
bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.
Kam Hong
bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam
Hong melangkah maju. “Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i
Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di
akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan
para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah
menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini
dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, jika memang
engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh
mendiang gurumu, silakan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga.”
Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan.
Sebenarnya
bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu
memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang,
akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, sikap pemuda itu
juga sama sekali tidak mirip penjahat. Maka kini dia mempergunakan kesempatan
itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dengan pihak
Hek-i Mo-ong sampai di situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau
menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi
persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu
masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.
Bagaimana
pun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas.
Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali
peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang
gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya
kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara,
membelanya mati-matian. Biar pun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh
bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan,
dan terhadap dirinya amat baik.
Memang dia
melihat dan mengalami sendiri, betapa gurunya bersekongkol dengan datuk-datuk
lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para
neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan
antara mereka.
Dia sendiri
tak menyetujui cara hidup gurunya. Andai kata suhu-nya tidak menolong dan
menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i
Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia
dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan
mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah
memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong.
Dia sendiri
tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu
adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri. Namun cara penolakan
keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!
“Kam-locianpwe,”
katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. “Aku tak pernah mencampuri
urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku
membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia
guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapa pun juga.
Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau
ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah
suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, aku
pun tak akan mengelak. Kalau memang locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid
suhu, aku pun tidak akan melarikan diri.”
Ucapan
pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi. Walau
pun dia bersikap hormat, ucapannya mengandung penyambutan tantangan!
Kam Hong
tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului
isterinya yang berkata, “Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin
muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari
pada gurunya!” Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya
setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi
ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa
sungkan-sungkan lagi.
“Hemm, orang
muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi aku pun kematian enam orang
muridku. Biar pun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi
sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas.
Agaknya biar pun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah
berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Dari pada berlarut-larut,
marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang
muda!”
Ini
merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu
telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap
tempur.
Wajah Ceng
Liong berubah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya sering kali
mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat
angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang
dianggap sesat dan jahat. Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang
suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu,
akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan
golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merubah jalan kehidupan
mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin
menjauh dan ganas.
“Locianpwe,
sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe hendak
menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada
sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, aku pun
tidak akan mundur selangkah pun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang
dulu. Nah, silakan!”
Dia pun
sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah
memegang senjata, maka dia pun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong
saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga
menjadi merah.
“Bagus,
orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!”
“Aku hanya
memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!”
Tentu saja
Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling
emasnya, maka dia pun menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya, kemudian
dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.
“Orang muda,
lihat seranganku!” katanya.
Kam Hong pun
menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong
sudah amat tinggi. Serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat hingga
angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara
bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai
alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan
menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan
itu menampar ke dada.
Melihat
dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya
lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau
balas menyerang. Dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan
lawan yang lihai ini.
Akan tetapi,
ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya.
Tangan kirinya ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti
arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa
suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikit pun.
Heranlah
hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama
sekali tidak mengandung sinkang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih
lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga
sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau
dipandang rendah, maka dia pun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk
membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.
“Dukkk!”
Tubuh Ceng
Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak.
Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu
membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan
merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sinkang
tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan
membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi.
Akan tetapi
dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin
waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu
pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti
Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan
untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sinkang tadi
terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.
Ceng Liong
adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, dia pun maklum
akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Sekarang dia pun membalas dengan
serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong
ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang dia pun
mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!
Melihat
serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil
mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut.
“Ilmu
keji....!” serunya.
Dia pun
tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini
memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga
mukjijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang
dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia.
Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya
tarik sembrani. Maka, biar pun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari
tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan
dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri
seperti ular-ular yang ganas.
“Plak-plak-plakk!”
Terpaksa Kam
Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya,
mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah
berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sinkang, barulah daya serang
jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka
tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.
“Ayah,
jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia
adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!” Tiba-tiba Bi Eng
berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya
dan Ceng Liong.
Mendengar
ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong
sudah cepat meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak
memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.
“Apa
katamu....?” Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap
wajah Ceng Liong. “Dia.... dia she Suma....?”
“Ayah, Ceng
Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberi
tahu padaku,” kata Bi Eng.
Kam Hong
masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan
dia kini bertanya halus. “Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe,
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau
dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar
dipercaya....”
Ceng Liong
mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, “Kam-locianpwe, orang tak
dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan bagaimana aku menjadi murid
Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa
pun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!”
Dia lalu
menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat
dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.
“Ceng
Liong....!” Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan
sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.
Dara remaja
itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan
pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu
saja dia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu telah berkelahi melawan
ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.
“Bi Eng,
sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar
Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?” kini Bu Ci
Sian bertanya.
Bi Eng lalu
menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek
Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i
Mo-ong. “Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biar pun ia berwatak aneh,
akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik.”
Kam Hong
mengangguk-angguk dan mengelus dagunya. “Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar
dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku,
Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri
Milana yang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya
adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar
itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid
datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti....”
“Dan
bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?” Bu Ci Sian
bertanya.
Nada
suaranya masih penasaran, walau pun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang
menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti! Kita dapat
memaafkan sikap Ci Sian ini.
Jika kita
membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga
diri kita, bukankah kita semua sudah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan
dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tak lagi memandang
orangnya, manusianya, tetapi kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya,
agamanya, dan sebagainya lagi.
Pada waktu
mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya
sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa
direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan
tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu
Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para
Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama
sekali!
“Ibu,
mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia
berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan
menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji
seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa
Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji
karena ingin agar gurunya menyembuhkanku.”
Suami isteri
itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa. “Sudahlah, memang orang-orang
sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja
tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk
mengurus jenazah para pelayan.”
Mereka
bertiga, ayah, ibu dan anak itu, beriringan melangkah ke arah yang sama, tapi
jalan pikiran mereka belum tentu seiring dan sama.....
***************
Biar pun
mereka itu hanya pelayan, akan tetapi mereka menerima pelajaran ilmu silat dari
Kam Hong sehingga mereka pun dapat disebut murid-muridnya. Maka, ketika menyembahyangi
enam buah peti mati yang berjajar di halaman depan rumahnya, Kam Hong, Ci Sian
dan Bi Eng merasa berduka sekali.
Bahkan Ci
Sian dan Bi Eng tak kuasa menahan air mata mereka. Enam orang itu tewas karena
membela keluarga mereka. Akan tetapi, siapakah yang akan dikutuk? Hek-i Mo-ong
yang agaknya menjadi biang keladi penyerbuan itu telah tewas, juga Jai-hwa
Siauw-ok sudah tewas. Hanya tinggal murid-murid mereka.
Banyak juga
tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah enam orang
itu. Mereka sebagian besar adalah penduduk dusun di sekitar pegunungan itu. Ada
pula beberapa orang tokoh ilmu silat yang kebetulan mendengar akan mala petaka
yang menimpa keluarga pendekar Kam kemudian datang pula berkunjung untuk
menyatakan bela sungkawa.
Malam itu
tidak ada tamu lain. Hanya tiga orang anggota keluarga itu saja yang masih
duduk di ruangan depan sambil menjaga enam buah peti jenazah. Bulan bersinar
terang sehingga pekarangan depan pondok itu, yang merupakan istana tua, nampak
jelas. Maka, ayah, ibu dan anak itu pun dapat melihat dengan jelas ketika ada
dua bayangan orang berkelebat di pekarangan mereka.
Kam Hong
memberi isyarat dengan tangan kepada isteri dan puterinya agar waspada. Akan
tetapi dua orang wanita itu juga sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang
itu dan mereka pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah peristiwa
penyerbuan Hek-i Mo-ong dengan kawan-kawannya, keluarga Kam menjadi waspada dan
selalu dalam keadaan tegang dan curiga.
Kini dengan
gerakan gesit, dua bayangan itu telah tiba di tengah pekarangan, berdiri di
situ dengan tegak. Di bawah sinar bulan, nampak jelas bahwa mereka adalah dua
orang pria.
Yang seorang
berusia hampir empat puluh tahun, kira-kira tiga puluh enam tahun. Tubuhnya
tegap dan bersikap gagah, dengan pakaian sederhana dan ringkas sehingga
membayangkan tubuh yang masih kekar. Wajahnya cerah, mulutnya membayangkan
senyum ramah.
Ada pun pria
yang ke dua, berusia kurang lebih enam belas tahun, wajahnya putih bundar dan
alisnya tebal, nampak tampan dan gagah. Kalau pria setengah tua itu membawa
sebatang pedang di punggung, pemuda itu membawa sebatang pedang di pinggang dan
kedua orang itu jelas merupakan orang-orang yang datang bukan dengan maksud
baik.
Maka,
terdorong oleh rasa duka dan marah kehilangan enam orang pelayan yang tewas, Bi
Eng tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi dan sambil mengeluarkan suara
melengking, tubuhnya sudah melayang ke depan, agak tinggi dan membuat gerakan
jungkir balik tiga kali baru tubuhnya itu hinggap dengan ringannya di depan dua
orang pria itu yang memandang dengan kagum.
“Ginkang
yang bagus!” Pria setengah tua itu berseru memuji.
Sementara
itu, Bu Ci Sian sudah bangkit berdiri, dan wanita inilah yang lebih dulu mengenal
pria itu. “Hong Bu....! Dia Hong Bu, Sim Hong Bu....!”
Dan sekali
meloncat, tubuh nyonya ini pun melayang sampai ke depan dua orang pria itu, di
sisi puterinya yang memandang ragu mendengar seruan ibunya. Kam Hong juga
melangkah keluar menyambut dengan wajah berseri. Kini dia pun mengenal pria
yang gagah itu, dan dia pun terkenang akan masa lalu, belasan tahun yang lalu.
Pria itu
bernama Sim Hong Bu, seorang ahli pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga
Siluman) yang amat lihai dan boleh dibilang masih seketurunan dalam ilmu silat
dengannya, karena Ilmu Pedang Naga Sihunan berasal dari sumber yang sama dengan
Ilmu Pedang Suling Emas (baca kisah’Suling Emas dan Naga Siluman’).
Bukan itu
saja. Sim Hong Bu dahulu, di masa mudanya, pernah jatuh cinta kepada Bu Ci
Sian. Ketika masih gadis, Bu Ci Sian menjatuhkan hati banyak sekali
pemuda-pemuda pilihan, di antaranya Jenderal Muda Kao Cin Liong dan pendekar
pedang Sim Hong Bu ini. Akan tetapi akhirnya Bu Ci Sian memilih yang dekat,
memilih dia yang menjadi suheng-nya sendiri walau pun usianya belasan tahun
lebih tua.
Selain
pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian, juga Hong Bu inilah yang merupakan lawan
paling tangguh di antara semua jagoan yang pernah dilawannya. Sim Hong Bu
inilah yang paling gigih melawan Ilmu Pedang Suling Emas, merupakan lawan yang
seimbang, dan sungguh tidak mudah mengalahkan Hong Bu pada belasan tahun yang
lalu itu. Mereka pernah saling gempur, bertanding mati-matian, kemudian
berpisah sebagai sahabat. Dan kini, setelah belasan tahun berpisah dan tidak
saling memberi kabar, tahu-tahu pendekar itu muncul pada saat mereka berkabung
atas kematian enam orang pelayan atau murid itu.
Pendekar
bernama Sim Hong Bu itu menjura kepada Bu Ci Sian. “Nona Bu Ci Sian.... ehhh,
maaf, nyonya Kam Hong, selamat bertemu! Aku berani bertaruh bahwa nona ini
tentulah puterimu!” Sikap Sim Hong Bu nampak gembira sekali.
Kam Hong
yang sudah tiba pula di situ tersenyum. “Saudara Sim Hong Bu, apa kabar? Dan
aku pun berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah puteramu!”
Sim Hong Bu
tertawa bergelak, kemudian menepuk pundak pemuda di sebelahnya. “Houw-ji (anak
Houw), lihatlah baik-baik. Inilah keluarga yang sudah sering kuceritakan
padamu. Inilah Kam-taihiap yang perkasa, Pendekar Suling Emas yang tanpa
tanding, dan isterinya yang lihai pula!”
Pemuda itu
adalah putera tunggal Sim Hong Bu. Setelah cintanya dengan Bu Ci Sian mengalami
kegagalan, pendekar ini kemudian menikah dengan Cu Pek In, puteri dari gurunya
sendiri yang bernama Cu Han Bu. Dia bersama isteri dan anak mereka itu tinggal
di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Himalaya, di mana tinggal keluarga Cu
yang merupakan keluarga sakti itu. Dan di sini pula Sim Hong Bu menggembleng
putera tunggalnya yang kini diajaknya melawat ke timur mengunjungi bekas lawan,
juga bekas sahabat yang menikah dengan wanita yang menjadi cinta pertamanya
itu.
Pada saat
dia diperkenalkan kepada keluarga Kam yang memang sudah sering kali diceritakan
oleh ayahnya, Sim Houw memberi hormat.
“Saya Sim
Houw memberi hormat kepada Kam-locianpwe dan....”
“Wah, anak
baik. Kalau engkau putera saudara Sim Hong Bu, engkau jangan menyebut locianpwe
kepadaku. Sebut saja paman!” kata Kam Hong gembira.
Pemuda itu
kembali menjura. “Terima kasih, paman Kam Hong dan bibi!”
Bu Ci Sian
memandang kepada pemuda itu sambil tersenyum. Ia merasa suka kepada pemuda yang
gagah ini, yang mengingatkan ia akan keadaan Sim Hong Bu di waktu mudanya.
Sejak kecil Sim Hong Bu adalah seorang pemburu binatang buas di hutan sehingga
sikapnya gagah dan jantan. Demikian pula sikap pemuda yang menjadi putera Sim
Hong Bu ini.
“Sim Houw,
apakah seperti ayahmu, engkau juga suka berburu binatang?” tanya nyonya ini
sambil tersenyum.
“Karena
daerah tempat tinggal kami penuh dengan hutan-hutan, maka saya memang
kadang-kadang suka pergi berburu, bibi,” jawab Sim Houw sederhana.
“Kam-taihiap,”
kata Hong Bu yang memang sejak dahulu menyebut taihiap kepada Kam Hong.
“Maafkan kami yang datang mengganggu di waktu malam. Akan tetapi kami tadi
menjadi ragu-ragu melihat adanya perkabungan di sini. Ada enam buah peti
jenazah! Apakah yang telah terjadi dan siapakah yang meninggal dunia?”
“Mereka
adalah enam orang muridku yang tewas di tangan penjahat-penjahat yang datang
menyerbu tempat tinggal kami. Engkau tentu masih ingat pada Hek-i Mo-ong?”
“Apa? Iblis
tua itu yang datang menyerbu?” Sim Hong Bu bertanya kaget.
“Dia dan
Jai-hwa Siauw-ok murid Im-kan Ngo-ok, bersama dua orang murid mereka.”
“Ahhh....!”
Sim Hong Bu berseru kaget dan marah. “Dan di mana mereka? Tentu taihiap telah
dapat memukul mundur mereka.”
Kam Hong
menarik napas panjang. “Dua orang datuk sesat itu tewas dan murid-murid mereka
melarikan diri. Mari, mari kita bicara di dalam, saudara Hong Bu,” ajak Kam
Hong.
Sim Hong Bu
dan Sim Houw lalu mengikuti Kam Hong sekeluarga setelah Bu Ci Sian
memperkenalkan Kam Bi Eng yang segera memberi hormat kepada ‘paman Sim Hong
Bu’. Ayah dan anak yang datang sebagai tamu itu lalu memasang hio di depan enam
buah peti jenazah. Kemudian mereka duduk di ruangan depan sambil
bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sejak berpisah
belasan tahun yang lalu.
“Tempat
tinggal kalian terlalu jauh, di Himalaya, maka kami tidak pernah mendapat
kesempatan untuk berkunjung ke tempat sejauh itu,” kata Bu Ci Sian kepada
tamunya. “Baik sekali kalian datang berkunjung, kami merasa gembira dan
berterima kasih.”
Sim Hong Bu
menarik napas panjang. “Bertahun-tahun kami seperti hidup terasing di Lembah
Gunung Naga Siluman. Baru sekarang saya mendapat kesempatan mengajak anak kami
memperluas pengetahuan dan menjelajah ke timur. Di dalam perjalanan menuju ke
sini, saya mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa Kam-taihiap telah mempunyai
seorang puteri. Maka ketika puteri kalian tadi muncul, saya dapat segera mengenalnya,
apalagi karena wajahnya mirip benar dengan ibunya.”
“Dan
puteramu mirip sekali dengan ayahnya,” kata Bu Ci Sian.
“Kam-taihiap
dan lihiap, begitu melihat puteri kalian, saya merasa terharu dan timbul suatu
niat dalam hati, bahkan maksud hati ini pernah saya bicarakan dengan isteri
saya sebelum saya berangkat.”
“Kenapa
isterimu tidak ikut datang berkunjung juga?” Bu Ci Sian bertanya seperti baru
teringat.
“Ibunya
Houw-ji pasti akan datang berkunjung kalau maksud hati kami ini mendapatkan
sambutan baik dari Kam-taihiap berdua.”
“Saudara Sim
Hong Bu, katakanlah terus terang, apakah maksud baik kalian itu?” Kam Hong
sudah dapat menduga, tetapi dia menginginkan kepastian maka dia mengajukan
pertanyaan itu.
“Baiklah,
saya akan berterus terang saja. Dan kehadiran anak-anak kita di sini pun saya
kira tidak menjadi halangan, karena bukankah kita senantiasa menghargai
keterbukaan dan kejujuran? Kam-taihiap, kita menikah dalam waktu yang tidak
begitu jauh selisihnya, bahkan mungkin saya lebih dahulu beberapa bulan.
Mengingat bahwa setahun kemudian terlahir Houw-ji, maka saya yakin Houw-ji
lebih tua dari puteri taihiap berdua. Nah, maksud hati kami adalah untuk mengharapkan
persetujuan Kam-taihiap berdua, kalau berkenan di hati, kami ingin sekali
melihat anak kami yang bodoh dapat berjodoh dengan puteri taihiap yang mulia.”
Hening
sejenak, keheningan yang terasa seperti mencekik leher Bi Eng. Sebagai seorang
dara remaja, biar pun sejak kecil ia digembleng menjadi orang gagah yang
berpikiran terbuka, namun kalau orang-orang membicarakan tentang perjodohannya,
tentu saja ia merasa risih, rikuh dan malu. Akhirnya, keheningan yang
menyambung akhir ucapan Sim Hong Bu yang jujur itu, begitu mencekam hatinya dan
dia pun tanpa bicara bangkit berdiri perlahan-lahan, dengan kepala tunduk lalu
pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam kamarnya!
Ada pun Sim
Houw, pemuda remaja itu, juga tak berani bergerak dari tempat duduknya, hanya
menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ayah dan ibunya tidak pernah
mengajaknya bicara tentang perjodohan, apalagi tentang maksud hati ayahnya yang
berkunjung ke rumah keluarga Kam, yang kini ternyata adalah untuk membicarakan
perjodohannya atau melamar gadis orang...
Kemudian
terdengar Kam Hong menarik napas panjang, disusul suara ketawanya yang lembut.
"Aihh,
saudara Sim, sungguh pernyataanmu tadi seperti serangan mendadak yang membuat
kami terkejut dan bungkam. Betapa pun juga, kami merasa berterima kasih sekali,
bangga dan girang bahwa engkau mempunyai niat yang demikian mulia terhadap diri
puteri kami yang bodoh. Karena pinanganmu ini datangnya terlalu tiba-tiba, dan
untuk mengambil keputusan kami perlu mengadakan perundingan dalam keluarga
lebih dulu, maka harap engkau suka bersabar menanti. Tunggulah sampai kami
selesai mengurus penguburan jenazah-jenazah ini, baru kami akan memberi
keputusan dan jawaban.”
Sim Hong Bu
cepat bangkit dan menjura dengan hormat. “Maaf.... harap ji-wi maafkan karena
memang aku telah tergesa-gesa dan lancang sekali. Baik, tentu saja aku harus
tahu diri, lupa bahwa sekarang bukan saatnya yang baik. Saya akan menanti
dengan sabar, Kam-taihiap.”
“Akan
tetapi, kalian tinggal saja di sini,” kata Bu Ci Sian.
“Benar,
tinggallah di sini selama beberapa hari,” sambung suaminya.
Hong Bu
tidak menolak dan ayah bersama puteranya ini tinggal di rumah gedung tua itu,
bahkan membantu pihak tuan rumah ketika mengurus penguburan enam buah peti
jenazah. Pekerjaan ini dibantu pula oleh para penduduk yang berdekatan. Selama
itu, biar pun sering kali jumpa, Bi Eng dan Sim Houw tidak pernah bicara.
Bi Eng
biasanya lincah jenaka dan gembira, juga pandai bicara. Akan tetapi karena para
orang tua membicarakan perjodohannya dengan pemuda ini, ia menjadi malu dan
tidak berani mendahului menegur pemuda itu. Sebaliknya, Sim Houw memang seorang
pemuda yang pendiam dan canggung kalau berhadapan dengan wanita, maka mereka
hanya saling bertukar pandang saja sekilas tanpa saling menegur kecuali
mengangguk tanda hormat.
Kam Hong
selalu membicarakan perkara perjodohan itu dengan isterinya. Sebetulnya mereka
merasa suka melihat putera Hong Bu itu. Mereka mengenal ayah pemuda itu sebagai
seorang pendekar perkasa, juga ibunya adalah keturunan keluarga Cu yang sakti.
Sim Houw adalah keturunan orang-orang gagah. Pemuda itu pun cukup tampan dan
bersikap baik, pantas kalau menjadi suami Bi Eng. Akan tetapi, mereka harus
berhati-hati agar jangan sampai salah memilih calon suami puteri tunggal
mereka. Oleh karena itu, setelah upacara penguburan para jenazah itu selesai,
suami isteri ini lalu mengadakan perundingan dan memanggil puteri mereka.
Keluarga ini
selalu bersikap bebas dan dalam hal ini pun mereka akan bersikap terbuka kepada
puteri mereka.
“Eng-ji,”
kata ibunya yang bertugas menyampaikan urusan itu kepada puteri mereka,
“seperti telah kau dengar sendiri, keluarga Sim datang meminangmu. Engkau telah
melihat sendiri pemuda itu dan kami dapat menerangkan bahwa keluarga Sim adalah
keluarga gagah perkasa dan ayah pemuda itu sejak dahulu telah menjadi sahabat
baik kami. Betapa pun juga, ayah ibumu ingin mengetahui isi hatimu karena
engkaulah yang akan menjalani dan urusan pernikahan adalah urusan yang
menyangkut diri selamanya. Nah, bagaimana pendapatmu, Eng-ji, setujukah engkau
kalau menjadi calon isteri Sim Houw?”
Biar pun
pada waktu itu belum dikenal orang tentang kebebasan memilih jodoh sendiri, dan
hampir setiap perjodohan yang terjadi selalu terjadi atas pilihan orang tua
masing-masing bahkan jarang ada pemuda atau pemudi yang dapat mengenal lebih
dahulu siapa calon jodohnya dan tahu-tahu saling berjumpa di waktu upacara
pernikahan, namun keluarga Kam memang menganut sikap bebas dalam kehidupan
keluarga mereka. Bagaimana pun juga, tentu saja pengaruh tradisi yang sudah
mengakar dan menjadi kebiasaan dan kesopanan umum itu tidak dapat terlepas
begitu saja, maka Kam Hong dan Ci Sian juga terpengaruh dan mereka lebih
condong untuk menilai dan memilih calon jodoh puteri mereka, walau pun mereka kini
menyerahkannya kepada penilaian Bi Eng sendiri.
Di lain
pihak, juga Bi Eng sebagai seorang dara muda yang hidup di jaman itu, tidak
terlepas dari rasa kikuk dan malu untuk membicarakan urusan perjodohannya. Pada
jaman itu, hubungan antara pria dan wanita merupakan suatu hal yang dianggap
rahasia dan amat memalukan kalau dilihat atau didengar orang lain, sedangkan
urusan pernikahan adalah urusan hubungan antara pria dan wanita. Maka tiap
orang, terutama gadisnya, tentu akan merasa malu sekali kalau diajak berunding
tentang pernikahannya.
Bi Eng yang
baru berusia lima belas tahun itu sebetulnya belum pernah berpikir tentang
perjodohan, maka ketika tempo hari mendengar pinangan yang diajukan tamunya, ia
tidak kuat mendengar terus saking malunya, dan ia melarikan diri bersembunyi ke
dalam kamarnya. Kini, mendengar pertanyaan ibunya, ia pun menunduk dan mukanya
berubah merah sekali. Ia menjadi bingung karena sama sekali belum pernah
membayangkan bahwa ia akan dilamar orang, akan menjadi isteri orang.
Harus diakuinya
bahwa pemuda yang akan dijodohkan dengannya itu cukup ganteng dan gagah, akan
tetapi ia tidak tahu apakah ia akan suka menjadi isteri pemuda itu. Kini, ia
merasa bingung harus berkata apa. Untuk menolak begitu saja tentu dia tidak
sampai hati kepada orang tuanya, karena bukankah urusan jodoh adalah urusan
orang tua dan anak yang berbakti tinggal mentaatinya saja? Demikianlah anggapan
umum para muda pada jaman itu. Menyimpang dari anggapan ini akan dianggap hal
yang amat tidak patut sekali! Maka, seperti sikap seorang gadis sopan yang
diharapkan semua orang pada jaman itu, ia pun menunduk ketika menjawab lirih.
“Aku.... aku
tidak tahu, ibu.... hal ini.... terserah kepada ayah dan ibu saja!” setelah
berkata demikian, Bi Eng lalu pergi meninggalkan orang tuanya, keluar dari
rumah melalui pintu belakang dan memasuki kebun belakang yang luas.
Hatinya
bingung dan perasaannya masih terguncang akibat pertanyaan ibunya tadi. Selama
ini belum pernah ia berpikir tentang perjodohan, maka datangnya pertanyaan itu
sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan membingungkan hatinya.
“Ahh, ia
masih terlalu muda untuk dapat mengambil keputusan tentang perjodohannya
sendiri,” kata Ci Sian kepada suaminya.
Suaminya
mengangguk. “Akan tetapi kita sudah menanyakan pendapatnya sehingga kelak ia
tak akan dapat menuduh kita melakukan pemaksaan dalam hal perjodohannya. Dan
sebagai seorang anak yang amat baik ia telah menyerahkan urusan itu kepada kita
untuk mengambil keputusan.”
“Apakah ini
berarti bahwa engkau akan menerima begitu saja pinangan Sim Hong Bu?” isterinya
bertanya.
Suaminya
menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Memang, dilihat begitu saja tiada
alasan apa pun bagi kita untuk tidak menerima pinangan Hong Bu. Dia seorang
gagah perkasa yang sudah kita kenal benar wataknya, dan isterinya pun keturunan
keluarga Cu yang perkasa. Pemuda itu sendiri kelihatan tidak ada cacatnya dan
cukup gagah. Betapa pun juga, kita harus berhati-hati sekali memilihkan jodoh
anak kita. Aku pun tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, maka aku mengajakmu
berunding dan kita pun tadi sudah menanyakan pendapat Eng-ji sendiri.”
Suami isteri
itu termenung, masih diliputi kebimbangan meski mereka berdua memang telah
condong sebelumnya untuk menerima pinangan itu dengan girang karena merasa
bahwa puteri mereka telah mendapatkan jodoh yang cocok.
Pada jaman
itu memang belum ada apa yang dinamakan pergaulan bebas antara para gadis dan
pemuda seperti sekarang. Gadis yang sudah mulai dewasa dikurung oleh orang
tuanya, dijadikan semacam benda berharga yang menanti penawaran yang tentu saja
diharapkan mendapat penawaran tertinggi! Pingitan para gadis itu oleh orang tua
mereka dianggap sebagai hal yang amat baik, bahkan akan mengangkat derajat dan
harga diri gadis mereka dalam pandangan para calon besan.
Keadaan yang
sudah menjadi tradisi ini, yang pada jamannya masing-masing berlaku pula di
seluruh bagian dunia agaknya, tidak memungkinkan adanya perjodohan atas pilihan
hati sendiri. Pernikahan terjadi atas pilihan dan kehendak orang tua yang tentu
saja dengan cara masing-masing, dengan perhitungan dan pertimbangan
masing-masing, bertindak dengan tujuan membahagiakan anak sendiri.
Pada jaman
dulu dan mungkin masih ada pula terjadi di jaman sekarang, orang-orang tua
lebih menilai keadaan si calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya,
kedudukannya, kekayaannya dan sebagainya. Ini penilaian orang tua si gadis. Ada
pun orang tua si pemuda akan menilai seorang gadis calon mantu dari keadaan
keluarga, keturunannya, kecantikannya, dan kepandaiannya atau juga sikapnya.
Mereka itu,
orang-orang tua yang memang tak mengerti itu, tak tahu bahwa perjodohan adalah
urusan hati, urusan cinta. Bersatunya dua orang manusia pria dan wanita untuk
hidup bersama, membentuk rumah tangga dan keluarga, hanya dapat berhasil apabila
terdapat cinta di dalam hati masing-masing. Tanpa adanya cinta kasih, segala
macam sarana lahiriah seperti kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya
itu tidak mungkin dapat mengokohkan hubungan antara dua orang manusia yang
berjumpa setelah keduanya dewasa dan hidup bersama selamanya!
Bukan
kebahagiaan yang nantinya diperoleh, bahkan sebaliknya, mereka akan tersiksa
selamanya. Berkumpul terus menyiksa hati, bercerai tidak mungkin seperti
keadaan di jaman itu. Sebaliknya, kasih sayang akan mengalahkan segala
rintangan.
Harus diakui
bahwa memang ada pertumbuhan cinta kasih setelah keduanya bertemu dalam upacara
pernikahan. Namun, kebanyakan tidaklah demikian. Kebanyakan hanya memaksa
dirinya sendiri sesuai dengan tradisi yang sudah menjadi peraturan, kesusilaan
dan kesopanan di jaman itu. Mereka, terutama yang wanita, hanya mampu menangis
dan menerima nasib, lalu memaksa diri melayani suaminya sebaik mungkin agar
disebut sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga yang baik!
Pada jaman
itu ‘nama baik’ merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Untuk
mengejar ‘nama baik’ ini, orang rela mengorbankan apa saja, kalau perlu
berkorban nyawa sekali pun! Betapa banyaknya wanita di jaman itu, bahkan
mungkin juga masih ada di jaman sekarang, yang hidup tersiksa batinnya dan
menderita sengsara, sebagai seorang isteri yang sebenarnya tidak mencinta
suaminya, namun memaksa diri mempertahankan nasibnya itu sampai selama
hidupnya, hanya karena ingin menjaga nama baiknya.
Lebih baik
hidup menderita selamanya namun mendapat nama baik sebagai seorang isteri yang
setia, yang baik dan sebagainya dari pada bebas penderitaan batin namun menjadi
bahan cemoohan dan celaan umum. Demikianlah pegangan batin mereka.
Perjodohan
adalah urusan hati dan dasarnya hanya satu, ialah cinta kasih. Hanya cinta
kasih sajalah yang kekal. Cinta bukanlah nafsu. Nafsu hanya sementara saja dan
mudah luntur. Boleh saja untuk menentukan jodoh orang memperhitungkan keadaan
lahiriah, misalnya keadaan pekerjaan dan keuangan sebagai sarana hidup berumah
tangga, namun sesungguhnya bukan itu yang menentukan.
Uang,
kedudukan, dan segala keadaan lahiriah dapat berubah sewaktu-waktu. Pangkat
dapat dicopot, uang dapat habis. Akan tetapi cinta kasih akan dapat mengatasi
segala macam gelombang hidup dan akan dapat bertahan dalam keadaan bagaimana
pun juga. Tetapi, kenapa kita masih saja tidak mau membuka mata melihat
kenyataan ini? Mengapa kita sampai sekarang masih meributkan urusan perjodohan
dan menilai orang dari keadaan lahiriah seperti keturunan, kekayaan, kedudukan,
agama, suku, bangsa dan sebagainya?
Setelah
suami isteri itu termenung beberapa lamanya, akhirnya Ci Sian memperoleh suatu
hasil pemikiran yang dianggapnya baik sekali. “Memang kita harus berhati-hati,
dan kurasa ada jalan yang amat baik. Kita berdua memang sudah merasa cocok,
kalau anak kita menjadi mantu Sim Hong Bu. Bagaimana kalau kita menerima
pinangan mereka, tetapi menangguhkan pernikahannya sampai satu dua tahun lagi?
Pertama, mengingat Bi Eng sekarang baru berusia lima belas tahun dan ke dua,
penangguhan ini dapat kita pergunakan sebagai waktu untuk melakukan
penyelidikan. Kita amati bagai mana tingkah laku calon mantu itu agar hati kita
menjadi lega dan puas.”
Kam Hong
menjawab hati-hati, “Usulmu itu memang baik sekali, akan tetapi kurasa sangat
tidak mudah untuk dilaksanakan. Engkau tahu, keluarga itu tinggal jauh sekali
di Pegunungan Himalaya. Dalam jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kita akan
dapat mengamati kelakuan calon mantu kita? Tidak, kita harus mencari jalan lain
yang lebih baik.”
“Jalan lain
bagaimana?”
“Aku
mempunyai pikiran yang kukira baik sekali. Ingat, ilmu yang kita warisi, yaitu
Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, merupakan lawan paling seimbang dan juga
pasangan yang amat baik dari ilmu pedang warisan mereka, yaitu Koai-liong
Kiam-sut. Kurasa Sim Houw telah memarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut,
sedangkan anak kita pun sudah mewarisi Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut kita,
walau pun belum sempurna benar dan tinggal memperdalam dengan latihan saja. Untuk
dapat menilai keadaan Sim Houw, satu-satunya jalan adalah kalau dia tinggal
bersama kita di sini.”
“Ehh?
Bagaimana mungkin? Tidak pantas kalau dia tinggal dulu di sini sebelum menjadi
suami Bi Eng....”
“Bukan
begitu maksudku. Biarlah perjodohan itu kita ikat, akan tetapi masa pertunangan
itu kita manfaatkan, baik juga sebagai syarat pernikahan. Biar Eng-ji mereka
didik dan diajari Koai-liong Kiam-sut, sedangkan Sim Houw kita didik dan kita
ajari Kim-siauw Kiam-sut. Dengan demikian, kita mendapat dua keuntungan.
Pertama, dengan menjadi murid kita beberapa tahun lamanya, tentu saja kita akan
dapat mengenal wataknya yang sebenarnya dan kita dapat menilai apakah dia
memang pantas menjadi jodoh anak kita. Dan ke dua, dengan penukaran ilmu itu,
tentu anak kita akan menguasai dua ilmu itu dan menggabungnya sehingga ia akan
menjadi seorang yang amat tangguh, lebih tangguh dari pada kita. Bagaimana?”
Bu Ci Sian
termenung. Usul suaminya itu sungguh baik sekali, akan tetapi kalau ia
membayangkan harus berpisah dari puterinya selama beberapa tahun, hatinya
merasa sedih. Agaknya Kam Hong dapat mengetahui isi hati isterinya. Dia
memegang lengan isterinya dengan mesra lalu berkata, suaranya halus dan penuh
kasih sayang.
“Isteriku,
engkau tahu bahwa demi cinta kita kadang-kadang harus berani berkorban. Aku
sendiri pun tentu saja merasa berat harus berpisah dari puteri kita yang kita
cinta. Akan tetapi, ingatlah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Sekali
waktu, pasti kita akan berpisah dari orang-orang yang kita cinta, termasuk Bi
Eng. Akan tetapi, biar pun kita merasa tidak senang kalau harus berpisah dari
anak kita, kita harus ingat bahwa perpisahan sementara ini adalah demi kebaikan
anak yang kita cinta. Maka, demi anak kita, perasaan kita sendiri haruslah
dikesampingkan. Setujukah engkau?”
Bu Ci Sian
menghela napas panjang. Tentu saja, demi kebaikan Bi Eng sendiri, mau tidak mau
ia harus menyetujui usul suaminya ini. Bagaimana pun juga, amat baik kalau Bi
Eng memperdalam ilmunya dengan menguasai Koai-liong Kiam-sut. Ilmu yang amat
tinggi dan penting untuk kehidupan puterinya. Bukankah ia dan suaminya sendiri,
walau pun sudah memiliki kepandaian tinggi, tidak luput dari pada bencana pada
saat Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya muncul?
Dan Bi Eng
pernah hendak dijodohkan oleh iblis itu dengan muridnya! Biar kemudian ternyata
bahwa murid iblis itu adalah cucu Pendekar Super Sakti, namun sebagai murid
iblis itu tentu saja ia tidak setuju kalau menjadi suami Bi Eng. Putera Sim
Hong Bu jauh lebih baik dibandingkan dengan murid iblis itu. Maka ia pun
mengangguk setuju.
Tiba-tiba
suami isteri ini terkejut mendengar suara angin dan lengkingan-lengkingan
nyaring diseling suara mengaum dan berdesing. Lengkingan itu adalah suara
senjata suling anak mereka, dan hal itu berarti bahwa Bi Eng sedang berkelahi
mempergunakan sulingnya! Seperti disengat binatang berbisa karena teringat akan
mala petaka yang baru saja menimpa keluarga mereka dengan kemunculan
datuk-datuk sesat, suami isteri perkasa ini sudah meloncat dan seperti berlomba
saja mereka lari menuju ke arah datangnya suara itu, ialah dari kebun belakang.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan marah hati Bu Ci Sian melihat bahwa puterinya itu
sedang bertanding mati-matian melawan Sim Houw, pemuda yang direncanakan akan
menjadi mantunya itu! Tentu saja ia marah dan hendak meloncat dan membentak,
akan tetapi lengannya dipegang Kam Hong dan ketika isteri itu menoleh kepada suaminya,
ia melihat suaminya memberi tanda agar ia diam saja.
“Agaknya
mereka sedang berlatih,” bisik Kam Hong.
Ci Sian
memandang dengan mata terbelalak khawatir. Ia sama sekali tidak melihat mereka
sedang berlatih, tetapi karena perkelahian yang nampak sungguh-sungguh itu
agaknya dikuasai oleh Bi Eng yang lebih banyak menyerang dan mendesak dengan
sulingnya dibandingkan dengan Sim Houw yang lebih banyak mengelak atau
menangkis dengan pedangnya, maka ia pun diam saja.
Apakah yang
telah terjadi antara Sim Houw dan Bi Eng? Seperti kita ketahui, ketika ia
diajak bicara tentang perjodohan oleh ayah ibunya, Bi Eng menyerahkan urusan
itu kepada orang tuanya dan karena merasa risi, canggung dan malu, ia pun
meninggalkan orang tuanya dan memasuki kebun belakang rumahnya. Kebun ini luas,
terdapat banyak pohon buah, sayur dan bunga-bunga yang dirawatnya sendiri
dibantu oleh para pelayan yang kini telah tewas semua.
Melihat
kebunnya, Bi Eng teringat kepada para pembantu yang juga merupakan murid-murid
ayahnya dan hatinya bersedih. Apalagi teringat akan pembicaraan ayah ibunya
tadi, hatinya menjadi semakin sedih. Ia belum mengenal Sim Houw dan ia tidak
tahu apakah ia suka atau tidak menjadi isteri pemuda itu. Ia lebih suka kepada
Ceng Liong, walau pun bukan suka sebagai isterinya. Masih terlalu jauh
memikirkan hal itu. Ia suka kepada Ceng Liong yang dianggapnya amat baik
kepadanya, juga seorang pemuda gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, cucu
Pendekar Super Sakti pula!
Tentang Sim
Houw, ia tidak tahu sama sekali. Pernah ayah dan ibunya bercerita tentang Sim
Hong Bu, yang menurut cerita ayahnya merupakan seorang pendekar gagah perkasa
yang kepandaiannya setingkat dengan ayahnya. Bahkan menurut ibunya, pernah
terjadi pertandingan antara ayahnya dan Sim Hong Bu dan ayahnya hanya menang
tipis saja.
Menurut
orang tuanya, keluarga Sim mempunyai ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang masih
sesumber dengan Kim-siauw Kiam-sut. Hal ini membuat hatinya penasaran. Kalau
begitu, keluarga Sim adalah musuh, atau setidaknya juga saingan! Mengapa
sekarang ia akan dijodohkan dengan puteranya? Pikiran ini membuat hati dara
remaja itu menjadi bimbang dan penasaran. Keputusan orang tuanya untuk
menjodohkannya dengan putera keluarga Sim apakah tidak akan diartikan orang
bahwa keluarga Kam merasa takut terhadap keluarga Sim sehingga ingin mengakhiri
persaingan itu dengan perjodohan?
Api
penasaran dan kemarahan yang mulai bernyala ini menjadi berkobar ketika
tiba-tiba ia melihat seorang pemuda berjalan-jalan di dalam tamannya itu.
Pemuda itu adalah Sim Houw. Karena ia sedang merasa penasaran dan marah, timbul
tidak senangnya melihat pemuda itu dan di dalam pandangan mata yang dipengaruhi
perasaan tidak senang itu. Sim Houw kelihatan angkuh dan congkak! Hatinya
menjadi semakin panas. Pemuda yang selalu membawa pedang di pinggang itu
kelihatan seperti memamerkan pedangnya!
Ketika Sim
Houw melihat Bi Eng, mukanya berubah merah, akan tetapi dia melangkah maju dan
menjura dengan sikap hormat. “Selamat pagi, nona Kam. Maafkan, karena
mengganggu, aku telah berjalan-jalan di dalam kebunmu yang indah ini tanpa
ijin.”
Hemm,
ternyata pemuda pendiam ini pandai juga bicara, pikir Bi Eng, akan tetapi
perasaan marah dan penasaran membuat ia beranggapan bahwa sikap pendiamnya
tempo hari itu tentu hanya palsu saja untuk menarik perhatian!
“Pedang di
pinggangmu itu tentulah Koai-liong Po-kiam, bukan?” Tanya Bi Eng tanpa
mempedulikan salam dan ucapan orang.
Sim Houw
menunduk. Ia memandang pedangnya, merabanya sambil menahan senyum dan
menggelengkan kepala. “Bukan, nona. Koai-liong Po-kiam adalah senjata pusaka
milik ayahku, pedangku ini biasa saja.”
“Akan tetapi
engkau tentu telah mewarisi semua kepandaian ayahmu dan sudah pandai pula
memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut!”
“Memang aku
pernah mempelajari ilmu silat ayah dan ibu, akan tetapi tidak berani aku
mengatakan pandai,” jawab Sim Houw sederhana.
Akan tetapi
karena Bi Eng sedang marah, kesederhanaan jawaban itu dianggap sebagai
kepura-puraan yang menyembunyikan kesombongan.
“Koai-liong
Kiam-sut adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan?”
“Aku tidak
beranggapan begitu, nona.”
“Tak perlu
berpura-pura. Keluarga Sim sangat membanggakan ilmu pedang itu dan aku ingin
sekali merasakan sendiri sampai bagaimana kehebatannya!” Berkata demikian Bi
Eng mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang suling emas kecil, panjangnya
tidak sampai dua kaki, besarnya hanya seibu jari dan berlubang-lubang seperti
sebatang suling biasa.
Sim Houw
membelalakkan matanya.
“Ahhh, nona
Kam, mana aku berani?” katanya bingung.
“Tidak usah
berpura-pura! Orang tua kita pernah saling bertanding, kini apa salahnya jika
kita melanjutkan dan menguji kehebatan ilmu masing-masing? Ingin kulihat apakah
Koai-liong Kiam-sut sehebat Kim-siauw Kiam-sut kami. Cabutlah pedangmu!”
“Aku.... aku
tidak berani, nona. Ayah akan marah....”
“Pengecut!
Kau bukan anak kecil dan mau atau tidak, aku tetap akan menyerangmu!”
“Wuuuuttt....
singggg....!”
Suling itu
meluncur dan mengeluarkan suara berdesing saat menyambar di atas kepala Sim
Houw yang cepat mengelak tadi. Pemuda yang pada dasarnya pendiam ini pun
memiliki keberanian besar dan hatinya keras. Dimaki pengecut, mukanya berubah
pucat dan dia tidak mau bicara lagi. Ketika suling yang ternyata amat hebat itu
berkelebat mendesaknya, pemuda ini pun terpaksa mencabut pedangnya menangkis.
Bi Eng makin
penasaran sebab jurus-jurus serangannya dapat dielakkan atau ditangkis lawan,
maka ia melanjutkan serangannya semakin dahsyat. Sim Houw terus melindungi diri
dan hanya membalas dengan serangan kalau dia betul-betul terdesak. Serangan
balasan itu hanya untuk menahan hujan serangan lawan. Maka kini terdengarlah
suara suling yang melengking-lengking dan suara pedang di tangan Sim Houw yang
mengeluarkan suara mengaum seperti suara singa marah.
Kam Hong dan
Ci Sian melihat pertandingan yang amat menarik itu dan diam-diam Kam Hong
melihat kenyataan bahwa sesungguhnya tingkat kepandaian pemuda itu masih menang
dibandingkan Bi Eng. Bukan karena ilmu silatnya lebih tinggi, akan tetapi jelas
bahwa pemuda itu menang matang dalam latihan, juga memiliki tenaga yang lebih
kuat.
Hati
pendekar ini merasa puas, juga girang melihat kenyataan betapa pemuda itu
bertanding dengan hati-hati dan selalu mengalah. Hal ini menunjukkan bahwa
pemuda itu mempunyai kelembutan hati, dan juga kegagahan yang membuat dia
berpantang mengalahkan seorang dara remaja dalam suatu perkelahian latihan. Dia
sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya sama sekali bukan berlatih,
melainkan dengan sungguh hati menyerang pemuda itu untuk mengalahkannya!
Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dekat dua orang yang bertanding itu
muncul Sim Hong Bu.
“Tahan....!
Houw-ji.... apakah engkau sudah gila? Berani engkau kurang ajar terhadap nona
rumah?” bentak Sim Hong Bu dengan marah, mukanya merah dan matanya melotot
memandang puteranya.
Sim Houw
cepat meloncat mundur dan dengan gerakan kilat, tahu-tahu pedangnya sudah
berada kembali di dalam sarung pedang dan dia pun menunduk.
“Aku tidak
berani, ayah....,” katanya lirih.
Jawaban ini
cukup melegakan hati ayahnya dan Hong Bu kini menoleh kepada dara itu. Tadi dia
melihat betapa puteranya mengalah dan betapa dara itu menyerang dengan sungguh hati,
maka timbullah kekhawatirannya dan mengira bahwa tentu puteranya melakukan
suatu kesalahan maka dara itu menjadi marah.
Kam Hong dan
isterinya juga sudah meloncat keluar dari tempat mereka menonton. Ci Sian
segera mendekati puterinya dan menegur, “Bi Eng, apa yang terjadi? Kenapa kau
menyerang Sim Houw?”
Wajah dara
itu menjadi merah. Dasar ia masih remaja dan berdarah panas, ia tidak merasa
betapa pemuda itu tadi banyak mengalah dan ia mengira bahwa sulingnya dapat
mengungguli pedang lawan sehingga biar pun ia belum dapat mengalahkan Sim Houw,
setidaknya ia dapat mendesaknya dan ini berarti bahwa Kim-siauw Kiam-sut lebih
lihai dari pada Koai-liong Kiam-sut! Akan tetapi kini ia ditegur ibunya. Tentu
saja ia tidak berani mengaku bahwa ia sengaja menantang pemuda itu, bahkan
memaksa pemuda itu mengadu ilmu pedang. Dan ia merasa takut kepada ayahnya yang
tentu akan marah kalau tahu akan tantangannya. Maka kini ia menjawab.
“Ibu, kami
hanya berlatih. Dia.... dia mengajakku berlatih maka kulayani!”
“Houw-ji,
benarkah kalian tadi sedang berlatih?” Sim Hong Bu tidak dapat menahan hatinya
untuk bertanya dengan penuh harapan karena dia akan merasa lega kalau dua orang
muda itu tadi hanya berlatih, bukan berkelahi sungguh-sungguh yang tentu akan
membuat keadaan menjadi tidak enak sekali. Dia datang untuk melamar gadis itu
sebagai calon isteri Sim Houw, maka akan repotlah hatinya kalau mereka berdua
itu tadi berkelahi sungguh-sungguh.
Sim Houw
melirik ke arah Bi Eng yang tengah memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
Dia mengangguk. “Benar, ayah, kami hanya berlatih, dan nona Kam telah memberi
banyak pelajaran kepadaku.”
Mendengar
ucapan ini, Bi Eng merasa bangga dan girang sehingga kedua pipinya merah
berseri, matanya bersinar dan hidungnya kembang kempis. Ayahnya melihat hal ini
dan dia pun tertawa. Pendekar Kam Hong tertawa bergelak menghampiri puterinya.
“Anak bodoh!
Kau kira engkau unggul dalam latihan tadi, ya? Hayo lekas mengucapkan terima
kasih kepada kakakmu Sim Houw karena ia telah banyak mengalah dan memberi
pelajaran kepadamu!”
Lenyaplah
seri wajah dara itu, alisnya berkerut. Kegembiraannya lenyap dan berbalik ia
menjadi marah. Benarkah pemuda itu tadi mengalah? Jika begitu, dia
mempermainkan aku dan diam-diam mentertawakan aku, pikirnya jengkel dan ketika
dia melirik, sinar matanya panas mengejutkan Sim Houw.
“Locianpwe,
nona Kam tadi benar-benar hebat ilmu sulingnya, saya sungguh merasa
kewalahan....”
Kam Hong
saling pandang dengan Sim Hong Bu dan keduanya tertawa, sama-sama maklum bahwa
Sim Houw sengaja melindungi muka Bi Eng supaya jangan sampai menjadi malu.
“Sudahlah, mari kita semua masuk ke dalam. Saudara Sim, kami ingin bicara
denganmu sebagai jawaban atas maksud kedatanganmu.”
Mereka lalu
masuk ke dalam dan duduk di dalam ruangan dalam. Dua orang pelayan baru yang
diambil dari dusun terdekat, kemudian menghidangkan arak dan makanan. Kemudian
mereka disuruh mundur dan Kam Hong lalu berkata kepada Sim Hong Bu yang
mendengarkan dengan hati penuh harapan.
“Saudara
Hong Bu, kami sekeluarga mengulang pernyataan terima kasih kami kepada saudara
yang telah mengajak kami untuk mengikat tali kekeluargaan. Pinangan saudara
sangat kami hargakan dan dapat kami terima dengan baik, akan tetapi....”
Wajah Sim
Hong Bu yang tadinya berseri itu kini berubah dan timbul kerut-merut di antara
kedua alisnya karena ucapan tuan rumah itu seperti akan mengusir harapan yang
sudah membesar tadi.
“Akan
tetapi....?” Dia mengulang ketika Kam Hong menghentikan kata-katanya.
Kam Hong
tersenyum. “Jangan salah mengerti, saudara Sim. Kami mempunyai usul atau
permintaan, akan tetapi usul kami ini adalah untuk kebaikan kedua pihak.”
Sim Hong Bu
menggeser kursinya, bangkit dan memberi hormat. “Saya percaya akan
kebijaksanaan Kam-taihiap, katakanlah apa yang taihiap kehendaki dan saya tentu
akan mempertimbangkannya dengan seksama.”
“Kami berdua
sudah sepakat menerima pinanganmu dan kami akan merasa gembira kalau puteri
kami kelak menjadi jodoh puteramu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa puteri
kami baru berusia lima belas tahun, dan kami pun melihat betapa puteramu juga
belum berusia dewasa benar, kami minta agar pernikahan antara mereka sementara
ditangguhkan dahulu.”
“Bagus!
Memang itu pun menjadi keinginan kami berdua ayah dan ibu Sim Houw. Kami
sekeluarga sudah merasa terhormat dan berbahagia andai kata pinangan kami
diterima, sedangkan mengenai upacara pernikahan, kami serahkan kepada taihiap
berdua, kapan sekiranya waktu yang paling tepat. Kami pun tidak tergesa-gesa
dan memang benar bahwa putera kami pun baru berusia enam belas tahun, jadi
belum matang benar.”
“Syukurlah
kalau begitu, dalam hal ini kita sudah ada kecocokan. Sekarang kami hendak
menyampaikan keinginan kami. Sebelum tiba saatnya, biarlah urusan jodoh ini
dirahasiakan dahulu, belum terdapat pengikatan apa pun, dan kami minta agar
saudara Sim suka mendidik puteri kami, mengajarkan Koai-liong Kiam-sut
kepadanya....”
“Ahhh....!”
Sim Hong Bu terkejut setengah mati mendengar ini.
Mengajarkan
Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain merupakan pantangan besar dan tentu
takkan diperkenankan oleh para gurunya. Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pusaka
keluarga Cu yang dikuasai olehnya seorang, bahkan guru-gurunya, keluarga Cu
tidak ada yang mampu menguasai ilmu itu. Bahkan juga pedang Koai-liong Po-kiam
menjadi miliknya. Ilmu itu hanya boleh diwariskan kepada keturunannya dan Sim
Houw sudah pula mempelajarinya dengan baik. Kini, mendengar permintaan Kam Hong
agar dia menurunkan ilmu itu kepada Bi Eng calon mantunya, dia menjadi
ragu-ragu dan terkejut juga. Ada apakah di balik permintaan aneh ini?
“Kalau boleh
saya bertanya, mengapa Kam-taihiap mengajukan syarat seperti itu?”
“Saudara
Sim, engkau melihat sendiri betapa kami sekeluarga baru saja ditimpa bencana
yang mengakibatkan tewasnya enam orang pembantu kami. Melihat ini, timbul
gagasanku untuk memberi ilmu yang setinggi-tingginya kepada anak kami. Kami
tahu bahwa kedua ilmu kita merupakan ilmu dari satu sumber yang kalau
digabungkan akan menjadi semacam ilmu yang amat hebat. Jangan engkau khawatir,
saudara Sim. Engkau mendidik dan melatih anak kami selama beberapa tahun sampai
ia menguasai Koai-liong Kiam-sut, sedangkan puteramu pun sebagai gantinya akan
kami didik di sini untuk mempelajari Kim-siauw Kiam-sut sampai berhasil.”
“Ahhh....!”
kembali Sim Hong Bu mengeluarkan seruan, akan tetapi sekali ini bukan seruan
kaget dan bimbang melainkan seruan lega dan girang, walau pun masih ada
keraguan di dalam hatinya, bagaimana mungkin dia menurunkan Koai-liong Kiam-sut
kepada orang lain.
Dia bangkit
berdiri lagi dan menjura. “Saya tahu bahwa Kam-taihiap amat bijaksana dan usul
itu memang baik sekali. Akan tetapi tetap saja saya masih belum dapat menangkap
maksud yang sebenarnya dari usul taihiap ini. Karena, kalau mereka sudah
menjadi suami isteri, bukankah mereka dapat saling mengajarkan ilmu mereka?”
Kam Hong dan
isterinya saling pandang dan mereka tersenyum, lalu Bu Ci Sian berkata dengan
jujur, “Sudah kukatakan bahwa Hong Bu memang cerdik sekali. Lebih baik kita
berterus terang. Beginilah maksud kami. Kalau mereka itu belajar dari kita,
kita yang lebih berpengalaman dan sudah mendalam penguasaan kita akan ilmu
masing-masing, akan dapat membantu mereka untuk menggabungkan kedua ilmu kita
itu sehingga lahir suatu ilmu gabungan yaug amat kuat. Selain itu, sambil
mengajar, bukankah kita memperoleh kesempatan banyak sekali untuk lebih
mengenal watak dan keadaan calon mantu kita masing-masing?”
Mendengar
ucapan ini, Sim Hong Bu tertawa pula dan mengangguk-angguk. “Sungguh bijaksana
sekali. Memang tepat. Orang tua tentu akan memilihkan orang yang paling cocok
untuk anaknya. Baiklah, aku terima usul itu. Houw-ji, lekas kau memberi hormat
kepada calon mertuamu, juga gurumu!”
Dengan muka
merah Sim Houw mentaati perintah ayahnya dan dia pun berlutut di depan kaki Kam
Hong, menyebut ‘suhu’ lalu memberi hormat di depan kaki Bu Ci Sian sambil
menyebut ‘subo’.
Kam Hong dan
isterinya tersenyum gembira menerima penghormatan itu. “Bi Eng, lekas kau beri
hormat kepada suhu-mu dan calon mertuamu!” kata Kam Hong.
Akan tetapi
dara itu memandang ragu. Sejak tadi ia sudah mendengarkan percakapan mereka
dengan alis berkerut dan muka agak pucat. Walau pun mulutnya tidak mengeluarkan
bantahan, namun hatinya sangat tidak setuju. Dara yang berhati keras ini lalu
berkata, “Ayah, aku tidak ingin mempelajari Koai-liong Kiam-sut! Dengan
ilmu-ilmu kita sendiri, aku merasa sudah cukup untuk melindungi diri sendiri!”
Ucapan dara
ini mengejutkan tiga orang pendekar itu. Kam Hong dan isterinya merasa tidak
enak sekali dan wajah Kam Hong menjadi merah. Akan tetapi dia tidak marah.
Memang sejak kecil dia mendidik puterinya untuk hidup bebas dan memberi
kebebasan kepadanya mengeluarkan pendapat dan isi hati. Kini, dara itu bicara terus
terang seperti itu, sesungguhnya tak dapat dipersalahkan. Maka, dia pun
mendebat, bukan memarahi.
“Bi Eng,
jangan engkau tekebur! Lupakah engkau betapa baru beberapa hari yang lalu
engkau dirobohkan penjahat? Hal itu tidak akan terjadi kalau ilmu kepandaianmu
tinggi, tidak akan terjadi kalau engkau sudah menguasai gabungan antara ilmu
silat Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut. Mengapa engkau kini memandang
rendah Koai-liong Kiam-sut?”
“Ayah, aku
dikalahkan penjahat karena dia menggunakan kecurangan. Pula, kalau aku sampai
kalah, tentu karena aku kurang matang berlatih ilmu-ilmu kita sendiri. Aku tadi
sudah merasakan Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi tidaklah seberapa hebat. Apa
artinya kalau aku membuang waktu bertahun-tahun mempelajarinya? Bukankah lebih
baik aku memperdalam ilmu-ilmu yang kudapat dari ayah?”
Hati Kam
Hong semakin tidak enak terhadap Sim Hong Bu. “Saudara Sim, harap kau sudi
memaafkan kelancangan mulut anak kami.”
Tapi Sim
Hong Bu tertawa girang dan wajar, tidak dibuat-buat. “Ha-ha-ha, Kam-taihiap,
aku kagum sekali kepada puterimu. Ia memiliki kewajaran dan kejujuran yang amat
mengagumkan!”
Ucapan ini
bukan basa basi belaka. Pendekar ini di waktu kecilnya adalah seorang pemburu
dan hidup di antara keluarga pemburu. Keluarganya, para pemburu, memang sudah
biasa dengan sikap wajar dan watak yang jujur berterus terang, maka kini dia
merasa kagum sekali melihat dan mendengar betapa dara calon mantunya ini berani
mengemukakan pendapatnya sebebas itu tanpa pura-pura!
Tentu saja
hati suami isteri itu merasa lega mendengar tanggapan Sim Hong Bu terhadap
sikap yang diperlihatkan Bi Eng. Akan tetapi diam-diam Kam Hong merasa malu
karena biar pun Bi Eng memperlihatkan kebebasannya bersikap dan berpendapat,
namun pendapatnya tentang ilmu silat tadi hanya menunjukkan betapa dara itu
masih mentah.
“Bi Eng,
engkau bodoh dan tekebur sekali. Memang, biar pun engkau masih kalah matang
dalam ilmu silatmu dibandingkan dengan Sim Houw, akan tetapi Ilmu Kim-siauw
Kiam-sut sebanding dengan Ilmu Koai-liong Kiam-sut. Memang kedua ilmu pedang
itu dari sumber yang sama, walau pun mempunyai perbedaan besar karena Kim-siauw
Kiam-sut memang khusus diciptakan untuk dimainkan dengan suling, adapun Koai-liong
Kiam-sut khusus diciptakan untuk dimainkan dengan pedang. Akan tetapi, kalau
kedua ilmu itu digabung, kehebatannya menjadi berlipat ganda dan satu di antara
kedua ilmu itu kalau dihadapi dengan gabungan kedua ilmu, akan mati kutu.”
“Tapi, bagaimana
hal itu dapat dibuktikan sehingga dapat meyakinkan hatiku, ayah?” tanya Bi Eng
yang masih merasa penasaran. Ia merasa yakin bahwa ilmu keluarganya masih
menang atas ilmu keluarga Sim, maka ia pun segan kalau harus mempelajari ilmu
itu. Bukankah dahulu ayahnya juga menang ketika bertanding melawan Sim Hong Bu?
Kembali Sim
Hong Bu tertawa. “Ha-ha-ha, jujur, tabah dan juga cerdik, tidak mudah dibujuk.
Sungguh watak yang amat baik untuk mempelajari Koai-liong Kiam-sut!” Dia memuji
sejujurnya, bukan sembarang memuji untuk menyenangkan hati calon mantu itu.
“Bi Eng,
engkau tahu bahwa tingkat kepandaianmu dalam ilmu Kim-siauw Kiam-sut sudah
setaraf dengan tingkat ibumu dan aku sendiri belum tentu dapat menundukkanmu
kurang dari tiga puluh jurus. Nah, sekarang engkau cobalah hadapi penggabungan
ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan oleh ibumu dan
saudara Sim Hong Bu. Padahal, kalau dia seorang diri saja, aku berani tanggung
bahwa dalam tiga puluh jurus belum tentu dia pun akan dapat menundukkanmu.
Lihat kehebatan penggabungan kedua ilmu itu,” kata Kam Hong.
Bu Ci Sian
mengerti akan maksud hati suaminya. Ia sendiri dahulu, di waktu gadisnya,
pernah menghadapi lawan berat dengan cara bergabung dengan Sim Hong Bu dan
hasilnya memang hebat. Ilmu mereka menjadi kuat sekali karena kedua ilmu itu
mengandung unsur saling membantu. Maka dengan gembira ia pun mencabut sulingnya
dan berkata kepada tamunya.
“Hong Bu,
mari kita perlihatkan kepada calon muridmu yang bandel ini!”
Tentu saja
Hong Bu merasa tidak enak hati. Akan tetapi dia pun maklum bahwa seorang anak
keras hati seperti Bi Eng ini perlu diyakinkan, maka dia pun mencabut pedangnya
sambil tertawa. “Baik, aku pun ingin melihat bekal yang dibawa muridku.”
Bukan main
kagetnya hati Bi Eng ketika melihat pedang itu dicabut. Terdengar suara mengaum
dan nampak sinar yang demikian berkilau menyeramkan sehingga ia pun harus
memicingkan matanya. Sungguh sebatang pedang yang luar biasa hebatnya!
Kedua orang
tua itu kini sudah memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing menghadapi Bi
Eng, bukan mengurung dari kanan kiri atau depan belakang, melainkan maju
bersama dari depan. Melihat ini, Bi Eng merasa agak lega. Ia pun tahu bahwa
ibunya memiliki gerakan yang amat cepat, sedangkan laki-laki setengah tua yang
gagah itu tentu lihai sekali mengingat dia pernah bertanding dengan ayahnya dan
kata ayahnya tingkat mereka seimbang. Kalau mereka itu maju mengepung, ia akan
repot juga.
Akan tetapi
kini mereka maju bersama, biar pun ia tidak mungkin dapat mengharapkan menang,
namun setidaknya ia akan dapat membela diri dan akan diperlihatkan kepada
mereka bahwa penggabungan kedua ilmu itu pun tidak banyak artinya. Ia akan
berusaha mempertahankan diri selama tiga puluh jurus agar ayahnya dan keluarga
Sim ayah dan anak itu akan menjadi kecelik dan ia pun tidak usah belajar ilmu
kepada ayah Sim Houw!
Dengan
tenang ia pun menggerakkan sulingnya, melintang di depan dada, memasang
kuda-kuda untuk bertahan sebaik mungkin.
Melihat ini,
ibunya lalu berseru, “Bi Eng, kami berdua akan menundukkanmu secepat mungkin.
Engkau harus siap menjaga diri dan pergunakan segala daya tahan Kim-siauw
Kiam-sut dengan sulingmu!”
Hemm, ibunya
terlalu memandang rendah kepadanya, pikir Bi Eng. Masih diberi peringatan dan
nasehat pula, seolah-olah ia tidak akan mampu bertahan. Ia telah mengenal semua
jurus serangan yang akan dilakukan ibunya dan tahu pula bagaimana harus
menghindarkan diri dari jurus itu, dan biar pun ia belum mengenal jurus
serangan Koai-liong Kiam-sut, namun dengan mengandalkan kehebatan gerakan
sulingnya, mustahil ia akan dapat dikalahkan dalam waktu singkat!
“Baik, ibu.
Aku sudah siap! Majulah dan keroyok aku!”
Ci Sian
menoleh kepada Hong Bu sambil berkata, “Aku menjadi inti dan engkau pelengkap.”
Hong Bu
tersenyum mengangguk dan membiarkan wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu
bergerak lebih dulu.
“Singgg....!”
Suling emas
di tangan nyonya itu menyambar ke arah kaki puterinya dengan totokan-totokan.
Tentu saja Bi Eng mengenal jurus ini dan tahu bahwa cara menghindarkannya
adalah meloncat ke atas dan ke belakang. Akan tetapi, pada saat itu, nampak
sinar berkelebat dibarengi suara mengaum dan tahu-tahu pedang Koai-liong
Po-kiam telah menyambar dari atas dan terus ke arah belakangnya, menutup jalan
keluarnya! Bi Eng terkejut dan cepat memutar sulingnya menangkis pedang itu.
“Cringg....!
Tukk....!”
Dan dia pun
roboh terguling. Ketika dia menangkis pedang, ternyata perhatiannya ke bawah
menjadi lengah dan dengan mudah ibunya telah menotok betisnya sehingga betis
itu menjadi kesemutan dan tanpa dapat ditahan lagi ia pun terguling.
Dengan muka
merah Bi Eng meloncat bangun lagi. “Aku masih belum puas!” teriaknya.
“Sekarang
engkau penyerang inti dan aku pelengkap!” kata Ci Sian kepada Hong Bu sambil
tersenyum. Hong Bu mengangguk.
“Nona, awas
serangan!” Pedangnya berkelebat dan nampaklah gulungan sinar pedang menyambar
dengan lengkungan indah, menyambar ke arah leher dan dilanjutkan dengan tusukan
ke arah perut.
Bi Eng
mengelak dan menggerakkan sulingnya menangkis. Ketika itu, suling di tangan
ibunya berkelebat ke arah pinggangnya. Ia pun tahu bagaimana harus
menghindarkan serangan ini, akan tetapi karena pedang tadi mengancam perutnya,
ia tidak dapat menangkis pedang dan suling sekaligus dan terpaksa hanya
menangkis pedang sambil meloncat ke belakang menghindarkan suling ibunya. Akan
tetapi pedang itu meluncur terus dari atas, membuat ia terpaksa memutar suling ke
atas dan saat itu, kaki Hong Bu menyambar, ujung sepatunya menyentuh lutut dan
kembali Bi Eng terguling roboh!
Kini Bi Eng
yakin akan kehebatan penggabungan dua ilmu itu. Rasanya tidak mungkin ia dapat
dirobohkan sedemikian cepatnya oleh seorang di antara mereka. Gerakan dua orang
itu begitu tepat pada waktunya, dan kedua senjata itu saling bantu secara tepat
pula, menutup jalan keluar dan menyambung serangan dengan serangan lain yang
tak terduga-duga.
Sebagai
seorang yang keras hati namun jujur dan memegang teguh janjinya, Bi Eng lalu
menyelipkan suling di pinggang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sim Hong
Bu seperti yang dilakukan Sim Houw tadi sambil berkata, “Suhu....!”
Sim Hong Bu
tertawa girang. “Ha-ha, anak baik.... anak baik....”
Akan tetapi
muridnya yang dipuji sebagai anak baik itu seorang anak yang bandel dan kritis.
“Suhu, teecu memang telah dijatuhkan dua kali secara mudah. Akan tetapi, yang
maju adalah ibu dan suhu berdua, berarti teecu dikeroyok dua. Kalau yang maju
seorang saja, biar pun sudah memiliki kedua ilmu itu, mana mungkin? Seorang dan
dua orang tentu berbeda sekali!”
“Anak baik,
kalau engkau sudah menguasai kedua ilmu itu dan menggabungnya, gerakanmu akan
jauh lebih lihai dari pada penggabungan yang dimainkan dua orang. Gerakanmu
menjadi otomatis. Karena sejak kecil engkau telah menguasai Kim-siauw Kiam-sut,
biarlah ilmu itu akan menjadi penyerang inti, sedangkan Koai-liong Kiam-sut
menjadi pelengkapnya, dan untuk itu tangan kirimu akan memegang sebatang pedang
pendek atau pisau belati.”
“Bi Eng,
kata-kata suhu-mu itu tepat sekali. Tadi pun mereka berdua maju dengan
jurus-jurus yang saling melengkapi, bukan merupakan jurus terpisah. Dan kelak
engkau akan mainkan Kim-siauw Kiam-sut yang dilengkapi oleh Koai-liong Kiam-sut,
sebaliknya Sim Houw akan memainkan Koai-liong Kiam-sut dengan pedang di tangan
kanan, dilengkapi oleh Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling di
tangan kiri.”
“Bagus
sekali! Dan kita sama lihat saja kelak siapa di antara keduanya yang lebih
lihai!” kata Sim Hong Bu dengan suara setengah bersorak. “Kurasa tiga tahun pun
sudah cukup karena sumber kedua ilmu itu sama sehingga tidak sukar mempelajari
gerakan dasar pada kaki.”
“Benar!”
kata pula Kam Hong gembira. “Tiga tahun lagi dan kita boleh coba murid kita
masing-masing, gabungan siapa yang lebih jitu!”
Diam-diam Bu
Ci Sian tersenyum geli. Dua orang pendekar itu begitu gembira dengan murid baru
mereka sehingga seperti bersaing, agaknya sudah lupa bahwa murid saingan
masing-masing adalah anak sendiri dan juga agaknya sudah lupa akan urusan
perjodohan.
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment