Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 20
SUMA KIAN
BU, seperti yang sudah kita kenal, adalah seorang pendekar sakti, putera
Pendekar Super Sakti yang selain memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman
yang matang, juga telah memiliki batin yang kuat.
Demikian
pula isterinya yang bernama Teng Siang In bukanlah wanita sembarangan,
melainkan seorang pendekar wanita yang amat lihai dan pandai pula ilmu sihir.
Apalagi setelah kini mereka berusia kurang lebih setengah abad, kematangan
lahir batin mereka sebenarnya sudah sepatutnya mencapai tingkat yang tinggi.
Akan tetapi,
biar pun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah kehidupan yang
timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan kebesaran hati dan
kematangan batin, mereka runtuh juga saat mereka kehilangan putera tunggal mereka,
yaitu Suma Ceng Liong!
Mereka,
sebagai suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera
mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus asa dan
terendam dalam kesedihan dan kekecewaan.
Anak mereka
hanya Ceng Liong satu-satunya. Kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak,
kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui
bagaimana matinya dan di mana makamnya. Mereka menjadi sedih dan seolah-olah
merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahun mereka hanya bertapa di rumah
mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho.
Mempunyai
tidak sama dengan memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia
hidup dalam masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri
atau suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian, semua
itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan.
Akan tetapi,
kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang menjadi
pangkal kesengsaraan! Kalau batin sudah memiliki, maka akan tumbuhlah akar yang
memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang kita miliki itu akan
mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih dan nyeri sekali. Yang
memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan kekerasan untuk
mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan dan permusuhan.
Yang
memiliki tentu akan bergantung karena dalam pemilikan itu terdapat kesenangan
yang amat menghibur. Memiliki ini jelas timbul dari keinginan untuk senang,
mengulang kesenangan itu, dan tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari
yang dimiliki itu tidak dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya
dimiliki dan dipertahankan itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena
dianggap tidak berguna lagi.
Cinta
bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Tetapi kita manusia sedemikian
lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa manusia lain,
berupa benda, atau pun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri
untuk membiarkan diri kosong tanpa memiliki ketergantungan, takut untuk berdiri
bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan
dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini.
Dalam
keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak
di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki,
timbullah kecondongan di dalam hati kita untuk dimiliki. Karena, di dalam
memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan aman, perasaan bersandar
yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa hanya yang memiliki yang akan
kehilangan, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan sengsara.
Bukan
berarti bahwa kita menjadi tidak peduli akan segala yang kita punyai. Bukan
berarti bahwa kita lalu menjadi tidak peduli kepada isteri atau suami, kepada
keluarga, dan anak-anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya.
Mencinta bukan memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh.
Mencinta
berarti memberi kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak
menginginkan agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan
segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti
tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri
itu tidak ada.
Suma Kian Bu
yang sudah berusia lima puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar
sakti yang ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini
membuktikan bahwa dia pun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja. Dia
merasa sangat kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam
penderitaan kesengsaraan batin yang membuat ia dan isterinya setiap hari lebih
banyak bersemedhi dari pada melakukan pekerjaan lain. Tubuhnya dan tubuh
isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu masih nampak segar dan
sehat berkat semedhi dan latihan-latihan silat, akan tetapi wajah kedua suami
isteri ini nampak berkeriput dan nampak tua karena setiap saat dibakar
penderitaan hati yang berduka dan kecewa.
Pagi itu
sangat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi bersinar terang, tanpa
gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari bermain-main mengejar pergi
kabut pagi dari permukaan air sungai dan rumput.
Dan secerah
itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki dusun Liong-cun. Seorang
pemuda berusia lima belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya sedikit agak
lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu yang membayangkan kekuatan batin.
Mulutnya selalu tersenyum, membayangkan kenakalan anak-anak. Pemuda ini
berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya tersenyum dan matanya yang
bersinar sinar membuat wajah itu nampak cerah sekali.
Pemuda itu
adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun lebih dia meninggalkan dusun tempat
tinggalnya ini. Sejak dia kecil berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung
halaman atau tanah air di mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai
daya tarik mukjijat yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan
Ceng Liong.
Seluruh
permukaan dusun ini amat dikenalnya, bagai seorang sahabat lama yang amat baik.
Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan gundukan tanah berbukit,
dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu pernah menjadi tempat dia
bermain. Baru sekarang setelah dia kembali dan melihat itu semua, terasa
olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini, jauh lebih besar dari pada
tempat-tempat lain walau pun tempat ini sederhana sekali dan tidak sangat
menonjol.
Beberapa
orang penghuni dusun yang sedang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang
kepada Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak
pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena ketika
pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi seorang pemuda
menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi orang-orang dewasa pada umumnya.
Ceng Liong
masih mengenal wajah-wajah itu, tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja
berdiam diri karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya,
yaitu ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan
menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu akan
geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak tawa gembira
di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan seluruh penghuni dusun
mengenalnya.
Teringat
akan ayah bundanya, Ceng Liong lantas mempercepat langkahnya menuju ke rumah
pondok yang dari jauh sudah amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada
jantungnya itu.
Dia merasa
heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak kotor tak teratur,
seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun pohon memenuhi halaman
depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu, juga lantainya kotor tanda
sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa heran. Apakah orang tuanya tidak
berada di rumah? Kalau mereka ada, tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi
ibunya adalah seorang wanita yang rapi dan rajin, tidak senang melihat tempat
yang kotor.
Ahhh,
jangan-jangan kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Atau jangan-jangan
malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan tetapi kalau pindah, kenapa
meja kursi lama itu masih ada?
Dengan hati
gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka. Tiba-tiba
terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak ramah.
“Siapa di
luar?”
Suara
ibunya! Tidak mungkin dia salah dengar. Walau pun sudah bertahun-tahun tidak
mendengar suara ibunya, akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara
itu. Agaknya ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di
luar, dia sudah mendengar dan mengetahui adanya orang yang datang tanpa
melihatnya. Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.
“Saya....
saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.
Hening agak
lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya, “Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan
ganggu kami....!”
Ceng Liong
terkejut mendengar ini. Biar pun suara itu suara ibunya, halus merdu, akan
tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya. Ibunya biasanya bicara
ramah kepada siapa pun dan juga selalu menyambut tamu dengan ramah dan hormat,
biar tamu orang desa sekali pun. Akan tetapi suara ibunya ini demikian ketus
dan galak, seolah-olah ibunya merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya
seorang tamu walau pun belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa
demikian? Benarkah wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?
“Saya....
saya ingin bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang
In!” jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang.
Hening lagi
setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya sehingga Ceng Liong
dapat menangkap suara air terjun yang berada tak jauh di belakang rumah.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dari dalam dan seorang wanita cantik yang
bermuka kurus dan agak pucat telah berada di situ, sikapnya seperti orang
marah.
“Hemm, siapa
engkau yang berani lancang mengganggu ketenteraman.... ehhh, siapa engkau....?”
Kini sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu
gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara, tubuhnya tidak
bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi seluruh tubuh Ceng Liong.
Wanita itu
adalah Teng Sian In, isteri pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong.
Ketika Ceng Liong pergi ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh
tahun, masih kanak-kanak. Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biar
pun usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar seperti
orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat mengenalnya
lagi, walau pun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berdiri di
depannya itu.
Di lain
pihak, Ceng Liong juga memandang bengong. Hatinya seperti disayat rasanya.
Seperti suaranya tadi, kini dia pun dapat mengenal ibunya walau pun jauh
bedanya dengan wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia
merenungkan dan membayangkan wajah ibunya. Wanita ini jauh lebih tua dan lebih
kurus.
Biar pun
demikian, tidak mungkin dia dapat melupakan sepasang mata indah tajam mencorong
itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar aneh dan penuh kekuatan, yang
dahulu sering kali memandangnya dengan penuh kemesraan seperti yang belum
pernah ditemuinya dalam pandang mata siapa pun. Dan mulut itu! Biar pun kini
mulut itu membayangkan kekerasan dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut
yang dahulu sering tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata
indah dan penuh kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi!
Dan
tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.
“Ibu....!”
Seruan ini keluar dari lubuk hatinya. Panggilan yang telah sering kali disuarakan
hatinya selama bertahun-tahun ini. Panggilan penuh kerinduan, penuh kasih
sayang, penuh keharuan.
Wajah itu
menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang seperti
orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang melihat setan di
siang hari.
“Siapa....
siapakah.... anda....?” tanyanya gagap dan merasa seperti dalam mimpi.
Ia ingat
wajah ini, ingat pandang mata ini, tetapi hatinya tidak berani mengharapkan
bahwa pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut
kalau-kalau akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah terlalu
sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya bagaikan
disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya yang pulang, akan
tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa lagi.
“Ibu....
ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”
“Ceng....
Ceng Liong....?” Bibir itu berbisik lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, kedua
kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya
pemuda itu berdiri. Sepasang mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus
berdongak ia kalau memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi dari
padanya.
“Ceng
Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!” Dan wanita itu
terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang tak dapat menahan
mengalirnya air matanya saking terharu.
“Ceng
Liong.... ohhh.... anakku....!” Kini wanita itu dapat menangis, menangis
tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong yang
merangkul ibunya.
“Kau.... kau
diculik Hek-i Mo-ong....?” Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In
dapat bertanya.
Wanita yang
biasanya berhati baja ini akhirnya bisa menekan keharuan dan kegirangan
hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata. “Apa yang telah
dilakukan iblis itu kepadamu?”
Ceng Liong
mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Dia.... dia
mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”
Siang In
melapaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak. “Selama ini, selama
bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong....?”
“Benar, ibu.
Dia sudah menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan semua ilmunya kepadaku.
Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik kepadaku....”
“Haiiiittttt....!”
Tiba-tiba
sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong
dengan dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng
Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya,
mendorong ibunya ke samping dan dia pun meloncat ke belakang. Serangan pukulan
itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang menyerangnya
adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam sehingga mukanya tak
dapat dikenal.
“Ehhh,
kenapa kau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran.
Akan tetapi
orang itu sudah kembali menerjang, bahkan dengan serangan yang lebih dahsyat.
Biar pun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah merasakan hawa
pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum bahwa lawannya ini seorang
sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh yang mengandung sinkang amat kuat.
Maka dia pun cepat bergerak, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Dukkkk....!”
Kedua pihak
merasa betapa mereka barusan didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya
terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.
“Siapa
engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?”
Namun ibunya
sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata terbelalak. Dan karena
orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong tidak mempunyai banyak kesempatan
untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa ibunya tidak berdaya dan tidak pula
berniat membantunya atau melerai, maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan
kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya
ini.
Ia melihat
datangnya serangan yang ke tiga kalinya. Ia mengerti pula bahwa lawannya tidak
main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan serangan maut yang amat
berbahaya. Dia pun mengelak dan balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang
amat seru dan baru sekarang Ceng Liong menemui lawan yang demikian lihai.
Akan tetapi
dia pun merasa heran ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang
digunakan lawan ini. Walau pun lawan agaknya hendak merubah dan menyembunyikan
ilmu silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa
lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya berdebar tegang
dan penuh keheranan.
“Hyaaaaatt....!”
Untuk ke
sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu keluar
dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan hawa dingin luar
biasa, akan tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap
panas.
Mata Ceng
Liong terbelalak. Itulah pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang
Sin-ciang yang dilakukan serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulan ini
sekaligus dengan kedua tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es
saja, termasuk ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang
di antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak peduli siapa adanya orang
bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan maut yang sukar
ditahan oleh lawan yang bagaimana kuat pun juga.
Melihat
bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang
dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka
menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sinkang-nya yang kini
sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang
kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini
dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak tangan lawan.
“Blarrrr....!”
Dua tenaga
yang amat dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke
belakang, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting
jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi
terkejut bukan main saat melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkulnya,
membantunya bangkit berdiri.
“Ha-ha-ha,
bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng
itu sambil merenggut lepas topengnya.
“Ayah....!”
Ceng Liong terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya.
“Ayah.... maafkan aku....!” Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
ayahnya.
Yang
dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu
bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena
melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena
ditinggalkannya selama ini. Dia kini merasakan, betapa dia telah menyusahkan
dan menggelisahkan hati mereka, dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong
tanpa memberi tahu orang tua.
Tentu saja hati
Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah tak
diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di
samping keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di
hati ayah ini.
Apalagi
ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa
puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan
marah. Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau
Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es
menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh
besar itu! Hati siapa yang tidak akan marah? Yang paling tidak menyenangkan
hatinya adalah membayangkan betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam,
ilmu kotor dan keji dan jahat.
Maka dia
lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu dengan
pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk memancing dan mencoba kepandaian
puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat
dari Hek-i Mo-ong. Lebih baik melihat puteranya mati dari pada melihatnya hidup
menjadi seorang calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat
kenyataan bahwa ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan
Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walau pun harus diakuinya bahwa ilmu
terakhir yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat
mengerikan dan mengandung hawa iblis!
Kini dia
melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai
rambut di kepala itu sebentar. “Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa
tinggimu sekarang!”
Dengan hati
terharu karena dalam rabaan tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan
sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya.
Dua orang laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan,
dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong
kini sedikit lebih tinggi dari pada ayahnya!
“Ha-ha-ha,
engkau sudah lebih tinggi dari pada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita
bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak.
Mana arak dan mana masakan?”
Siang In
menghampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang
suami dan puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main.
“Arak? Ahhh,
ada kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada
beberapa ekor ayam kita. Tunggu, akan kumasak untuk kalian....!”
“Nanti saja,
ibu. Nanti kubantu. Aku sekarang pun sudah pandai masak setelah banyak
merantau,” kata Ceng Liong gembira.
“Engkau
benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang
selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan
minum,” kata Suma Kian Bu.
Suami isteri
itu kini berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, bagaikan hidup kembali
setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa. Dan tidak lama
kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya
mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam. Maka duduklah ketiga orang itu saling berhadapan
dan Ceng Liong pun mulai menceritakan semua pengalamannya, sejak Pulau Es
diserbu dan dia dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah
berkali-kali menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.
“Mula-mula
aku hanya ingin membalas budinya sebab telah dua kali dia menyelamatkan
nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu,
juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul rasa kasihan dan
suka di dalam hatiku terhadap orang tua itu.”
Ceng Liong
melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat,
bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan
suaminya, pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga
Dewi atau Wan Hong Bwee.
Suma Kian Bu
dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh perhatian.
Mereka merasa amat heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam
perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka
harus menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman
aneh dan hebat dialami putera mereka.
Ceng Liong
menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong. Betapa dia pernah bertemu
dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di bagian dia dijodohkan
kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang
tuanya. Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya
tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka
dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka.
Setelah
pemuda itu menceritakan semua pengalamannya, Suma Kian Bu lalu menarik napas
panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan,
memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun mereka
di belakang rumah.
“Ceng Liong,
tahukah engkau mengapa aku tadi menyerangmu sambil mengenakan topeng?” Kian Bu
bertanya kepada puteranya.
Ceng Liong
tersenyum. “Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru
setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain
dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku.”
Kian Bu
menggelengkan kepala. “Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar
percakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau
menjadi murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa.
Kalau menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah
memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Dari pada melihat engkau
menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati. Maka aku lalu
keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah engkau benar-benar
mewarisi ilmu kotor.”
“Kalau benar
demikian?”
“Aku akan
berusaha memukulmu roboh.”
“Ayah hendak
membunuhku?”
“Bukan,
tetapi hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan itu
engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati dari pada menjadi orang jahat.
Akan tetapi, ternyata engkau memiliki dasar sinkang keluarga kita, bahkan
teramat kuat sehingga terus terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum
tentu aku akan kuat melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong
akan tetapi engkau memiliki sinkang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana
ini, anakku?”
“Ayah,
tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi
dari mendiang kakek Suma Han....”
“Ahhh....?”
Ceng Liong
lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sinkang dari kakeknya, sebelum
terjadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan
main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya
bercahaya.
“Ah, jadi
kakekmu telah mengoperkan tenaga sinkang kepadamu? Bukan main! Kepada
putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima
pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mampu
menghimpun dan menggunakannya, sungguh tenaga itu amat dahsyat. Sumber tenaga
itu mengandung tenaga Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang yang sudah
tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor
dari Hek-i Mo-ong....”
“Maaf, ayah.
Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasehat-nasehat ayah dahulu yang pernah
kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah
yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda, hanya dapat
ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”
Ucapan
pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa
menentukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang
tidak baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai
predikat baik atau buruk kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah
yang mengandung baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri.
Sebatang
pisau umpamanya, apakah pisau itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya
pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk. Baru disebut buruk kalau
orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain, untuk membunuh
atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi
sebaliknya, kalau pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk
membuat kerajinan tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan
yang baik, benda itu pun menjadi benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apa pun
macamnya ilmu itu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu
jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat
dalam penilaian yang timbul karena adanya penggunaan.
Suma Kian Bu
menarik napas panjang. “Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam ilmu
silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan
hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar.”
Pemuda itu
mengangguk. “Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin
seorang yang menyeleweng dari kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Walau
pun mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan
lain dalam ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang.
Betapa pun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi
diri dari malapetaka.”
Kembali
pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa
puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang
luas dan matang.
“Ceng Liong,
engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi
ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih oleh mendiang kakekmu untuk mewarisi
tenaga yang mukjijat, sumber tenaga sinkang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga
kita belum kau kuasai sepenuhnya, baru kau ketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya
belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku
secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di
Pulau Es.”
Demikianlah,
mulai hari itu juga, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan,
sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada
puteranya. Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi
tenaga sakti kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami
ilmu-ilmu keluarganya.
Bahkan
diam-diam pemuda yang cerdik ini lalu dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan
antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang dulu dipelajarinya dari Hek-i
Mo-ong. Tentu saja penggabungan dua ilmu yang amat tinggi itu hasilnya hebat
sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya
sendiri pun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh
ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu
sihirnya.....
***************
Sang waktu
meluncur dengan pasti, tak terelakkan oleh siapa pun juga, menerkam dan menelan
segala sesuatu di jagad raya ini. Kalau lepas dari perhatian, waktu meluncur
dengan sangat cepatnya, seakan-akan baru kita memejamkan mata sebentar saja,
bertahun-tahun telah lewat tanpa terasa. Sebaliknya kalau diperhatikan, sang
waktu merayap dengan amat lambatnya, kadang-kadang tak tertahankan oleh
kesabaran kita. Nampak jelas betapa cepatnya waktu meluncur lewat kalau kita
menengok ke belakang. Seolah-olah masa kanak-kanak kita baru terjadi kemarin
dulu!
Waktu
meluncur amat cepatnya sehingga kehidupan normal seorang manusia antara enam
puluh sampai delapan puluh tahun itu nampak pendek sekali. Hal ini membuat kita
termenung memikirkan. Apakah yang telah kita lakukan di dalam waktu sesingkat
itu sebagai manusia hidup? Apakah kita mengisi penuh waktu singkat dalam hidup
itu hanya dengan mengejar kesenangan?
Hanya untuk
diombang-ambingkan oleh suka dan duka? Dihimpit bermacam penderitaan,
kekecewaan, kegelisahan, kebencian dan lebih banyak sengsara dari pada bahagia?
Pernahkah kita mengisi waktu yang sesempit itu dengan perbuatan-perbuatan yang
bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain?
Kalau tidak
atau belum, mengapa tak kita lakukan mulai saat ini juga sebelum terlambat,
sebelum kita kembali ke dalam tiada? Dan perbuatan yang bermanfaat, baik bagi
diri sendiri mau pun bagi orang lain dan bagi dunia, hanyalah perbuatan yang
lahir dan batin yang penuh cinta kasih. Perbuatan apa pun juga, tanpa dasar
cinta kasih, adalah palsu dan hanya akan menimbulkan pertentangan batin.
Sungguh amat
menyedihkan melihat betapa kita sudah hampir kehilangan sinar cinta kasih itu,
sehingga hampir semua perbuatan di sekitar kita adalah perbuatan pura-pura,
tidak wajar, kesemuanya didasari perhitungan rugi untung, dan kebaikan-kebaikan
yang dilakukan hanyalah kebaikan rugi untung, bahkan apa yang kita namakan
cinta kita juga adalah cinta berdasarkan rugi untung. Si-aku yang selalu
mengejar-ngejar kesenangan itu tak pernah lepas dari pada perhitungan rugi
untung ini, baik keuntungan lahir mau pun keuntungan batin yang dicarinya.
Karena itu, setiap gerak perbuatan adalah palsu.
Tak terasa
tiga tahun telah lewat. Tiga tahun yang merupakan waktu penggemblengan bagi
para tokoh muda kita dalam cerita ini. Dan sudah terlalu lama kita meninggalkan
Suma Hui dan Suma Ciang Bun, enci adik yang bernasib malang itu.
Seperti
telah kita ketahui, enci adik ini pun menerima gemblengan yang amat keras dan
tekun dari ayah mereka sendiri, yaitu pendekar sakti Suma Kian Lee dan ibu mereka,
pendekar wanita Kim Hwee Li. Karena ayah bunda mereka khawatir kalau-kalau
kedua orang anak mereka itu tidak akan dapat mengalahkan Louw Tek Ciang musuh
besar mereka, maka keduanya menurunkan semua ilmu mereka. Kedua orang muda itu
mewarisi semua ilmu keluarga Pulau Es dari ayah mereka, bahkan ibu mereka turut
pula menurunkan ilmu-ilmunya termasuk ilmu menaklukkan ular.
Dengan bekal
banyak ilmu, Suma Hui dan Suma Ciang Bun meninggalkan Thian-cin, pergi mencari
musuh besar mereka, yaitu Louw Tek Ciang. Bukan hanya mencari murid ayah mereka
yang jahat dan murtad itu, tetapi juga hendak mencari musuh-musuh yang telah
menimbulkan malapetaka di Pulau Es, yaitu Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan
kawan-kawan mereka.
Tentu saja
mereka tidak tahu bahwa para tokoh yang pernah melakukan penyerbuan ke Pulau Es
itu telah meninggal dunia. Dan mereka tidak tahu pula bahwa musuh besar mereka,
Louw Tek Ciang, telah berada di tempat yang amat sukar untuk didatangi karena
pemuda itu beruntung sekali terpilih oleh keluarga Cu untuk menjadi murid
keluarga sakti itu dan berada di Lembah Naga Siluman, digembleng oleh Cu Han Bu
dan Cu Seng Bu, bersama Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai itu.
Tentu saja
semua usaha enci dan adik itu untuk mencari musuh-musuh mereka tak kunjung
berhasil. Akan tetapi mereka tidak mau pulang ke Thian-cin sebelum berhasil,
terutama sebelum berhasil mencari Louw Tek Ciang. Dan untuk lebih mudah
mencari, akhirnya mereka berpencar dan berpisah, dengan perjanjian bahwa enam
bulan kemudian, sebulan sebelum tiba hari raya Sin-cia (Hari Raya Musim Semi),
mereka akan saling jumpa di kota raja untuk kemudian bersama-sama pulang
terlebih dahulu ke Thian-cin, berhasil mau pun tidak.
Selama
melakukan perjalanan bersama enci-nya, Suma Ciang Bun juga melakukan segala
usaha untuk mengatasi masalah dirinya sendiri. Dibantu oleh enci-nya, dia
berusaha untuk menyelidiki keadaan dirinya yang mempunyai kelainan di bidang
sex, tidak seperti pria pada umumnya. Dia melakukan penyelidikan mengapa
dirinya memiliki kelainan seperti itu agar dia dapat mengobatinya kalau hal itu
merupakan penyakit, dan merubahnya kalau memang seharusnya demikian. Dengan
latihan pernapasan dia mencoba untuk mengatasi masalah tubuhnya.
Dari
penyelidikan bersama Suma Hui, dia dapat menemukan kesimpulan. Ada berbagai
kemungkinan yang mungkin dapat menimbulkan kelainan itu. Pertama adalah
pengaruh sekeliling. Kalau seorang anak laki-laki semenjak kecil lebih dekat
dengan ibunya, lebih banyak bergaul dengan anak perempuan, maka
kebiasaan-kebiasaan dan selera-selera wanita dapat mempengaruhinya dan menular
kepada anak laki-laki itu yang lambat laun bisa saja memberinya selera wanita
sehingga dia lebih menyenangi apa yang disukai wanita dari pada laki-laki
biasa. Dan hal ini pun dapat saja membuat dia lebih condong merasa peka dalam
soal sex terhadap seorang pria dari pada terhadap seorang wanita.
Ke dua,
terjadinya suatu peristiwa yang hebat dan mengguncangkan batin, misalnya
kekecewaan berulang kali dengan wanita, mungkin saja dapat membuat hati seorang
pria menjadi hambar terhadap wanita dan dia mengalihkan perhatian untuk
melepaskan gairah sexnya kepada pria lain, atau karena di samping kekecewaan
terhadap wanita itu kebetulan dia bertemu dengan seorang sahabat pria yang amat
menyenangkan dan disayangnya.
Ke tiga,
seorang pria yang bertemu dengan seorang pria lain yang memiliki kelainan
seperti itu, dapat saja terpengaruh dan ketularan. Dan ke empat, kelainan pada
tubuh, pada kelenjar-kelenjar dan mungkin syaraf, dapat pula mendatangkan
kelainan selera di bidang sex seperti yang dialaminya itu.
Dari
penyelidikan dia dan enci-nya, dia menarik kesimpulan bahwa sebab-sebab lain
itu tidak pernah terjadi pada dirinya sehingga satu-satunya kemungkinan adalah
bahwa memang terdapat kelainan di dalam tubuhnya. Dan hal ini tentu saja hanya
dapat diatasi dengan pengobatan jasmani. Akan tetapi, siapakah yang akan mampu
memberi obat? Pula, berkali-kali Ciang Bun bertanya kepada batin sendiri.
Adakah dia menghendaki dirinya berubah? Dan jawabannya adalah Tidak!
Dia suka
berdekatan dengan pria, dan hal ini sama sekali bukan hal yang aneh baginya,
bahkan terasa wajar. Kalau pun dia menjadi prihatin adalah karena dia melihat
betapa pria pada umumnya tidak demikian, sehingga dia seolah-olah merasa
dirinya ganjil dan terasing.
“Bun-te,”
kata Suma Hui setelah mereka berdua berbincang-bincang tentang hal dirinya.
“Engkau adalah seorang gagah, keturunan keluarga Pulau Es. Bagaimana pun juga
beratnya, engkau tentu kuat untuk melawan dorongan yang tidak wajar itu. Kalau
perlu, kita tidak usah berurusan dengan cinta birahi pun kita akan kuat!
Pergunakanlah tenaga dalam untuk melawan dorongan-dorongan tidak wajar itu, dan
jika engkau belum dapat menemukan obatnya, lawan saja dengan tenaga sakti.
Pendeknya, engkau jangan menurutkan dorongan hasrat hati sehingga melakukan
perbuatan yang ganjil. Apa sih sukarnya melawan dorongan birahi? Kita kan sudah
terlatih.”
Suma Ciang
Bun mengangguk dan menarik napas panjang. “Benar, enci. Memang hal ini tidak
perlu dipersoalkan, tidak perlu dijadikan masalah. Ternyata yang paling berat
adalah karena adanya pertentangan dalam batinku. Jika kudiamkan saja dan
kuanggap sebagai sesuatu yang wajar, dan aku tidak menurutkan dorongan hasrat
nafsu, maka sebetulnya juga tidak ada apa-apa.”
Demikianlah,
setelah berpisah dari enci-nya, Ciang Bun mulai dapat menguasai diri
sepenuhnya. Dia tidak lagi mau memaksa diri untuk menjauhi pria atau pun
berusaha mendekati wanita, melainkan memandang dan mengikuti saja hasrat yang
tenggelam timbul di batinnya sebagai dorongan naluri jasmaninya. Dan dia
mengerti bahwa satu-satunya jalan terbaik untuk penyaluran hasratnya tanpa
menyinggung orang lain adalah kalau dia dapat bertemu dengan seorang pria yang
mempunyai masalah yang sama dengan dirinya!
Akan tetapi,
hal ini pun merupakan suatu kesukaran tersendiri. Pria yang tidak diganggu
kelainan akan dapat memilih di antara laksaan wanita dan tentu akan bertemu
dengan seorang yang disukainya. Akan tetapi, berapa banyak adanya pria seperti
dia? Andai kata ada pun tentu tidak akan terang-terangan mengaku dan sukar
dikenal dari keadaan lahirnya saja. Tentu hanya ada beberapa orang saja dan
andai kata bertemu dengan satu dua orang yang sama keadaannya dengan dia, belum
tentu dia menyukai orang itu. Maka, Ciang Bun kemudian mengambil keputusan
untuk berdiam diri saja dan melihat perkembangan hidupnya tanpa banyak mengeluh
dan tanpa banyak menentang.
Keadaan
jasmaninyalah yang membuatnya seperti itu, bukan keadaan batinnya. Tetapi,
untuk sementara waktu, kekuatan batinnya dapat menundukkan jasmaninya, sehingga
dia tidaklah menderita lagi.
Suma Ciang
Bun kini sudah dewasa. Usianya sudah dua puluh tiga tahun. Kumis tipis mulai
tumbuh bersama jenggot tipis. Mukanya yang bulat dengan kulit yang agak gelap
membuat dia nampak gagah, dan keadaan dirinya membuat wataknya yang memang
pendiam itu menjadi semakin serius. Pakaiannya selalu rapi dan indah karena dia
memang suka akan pakaian yang halus dan indah. Kesukaan akan pakaian yang
merupakan satu di antara kecondongannya seperti wanita ini tidak ditekannya dan
Ciang Bun selalu mengenakan pakaian yang rapi dan rambutnya selalu disisir dan
dikuncir dengan rapi pula. Pemuda ini selalu nampak bersih dan tampan sekali.
Kalau pun
ada nampak sifat kewanitaannya mungkin hanya pada kerling matanya. Biji matanya
bergerak tanpa mukanya ikut bergerak, seperti kebiasaan wanita mengerling ke
kanan kiri. Akan tetapi kebiasaan ini pun tidak akan mudah diketahui orang
kalau tidak amat memperhatikannya. Sepasang siang-kiam yang tergantung di punggungnya
juga bergagang indah, dengan ronce-ronce merah. Bahkan untuk memilih senjata
rahasia pun dia memilih jarum-jarum halus yang berbau harum! Senjata rahasia
ini dia peroleh dan dia pelajari dari ibunya. Dandanan dan sikapnya yang halus
pendiam itu tentu akan membuat dia disangka seorang pelajar dari pada seorang
pendekar, kalau saja tidak nampak sepasang pedang di punggungnya.
Pada waktu
itu, untuk mengurangi terjadinya kekerasan, pemerintah melarang orang
berlalu-lalang membawa senjata tajam. Akan tetapi, para pendekar tidak
mengabaikan larangan ini dan memang bagi para pendekar, bukan penjahat,
larangan itu tidak begitu menekan. Apalagi seorang pendekar seperti Suma Ciang
Bun, keturunan keluarga Pulau Es yang amat dikenal oleh para pejabat tinggi.
Bagaimana pun juga, keluarga Pulau Es masih mempunyai hubungan keluarga dengan
keluarga kaisar.
Hari masih
pagi ketika dia memasuki taman umum di kota raja itu. Sejak kemarin dia berada
di kota raja, sesuai dengan janji yang telah diadakan dengan enci-nya, enam
bulan yang lalu. Selama ini dia merantau dan mencari jejak musuh-musuhnya tanpa
hasil. Dia telah berpencar dengan enci-nya, enci-nya mengambil jalan barat dan
dia mengambil jalan timur.
Dia telah
merantau memasuki Propinsi An-hwi, Ce-kiang, Kian-su dan Shan-tung. Banyak
pengalaman dirasakan dan perjalanan berbulan-bulan sendirian itu membuat pemuda
ini menjadi semakin matang. Banyak pertemuan dengan penjahat-penjahat dan di
mana pun dia berada, dia selalu menentang para penjahat. Akan tetapi belum pernah
dia bertemu dengan Louw Tek Ciang atau musuh-musuh lain, bahkan menemukan jejak
mereka pun tidak pernah.
Janji
pertemuannya dengan Suma Hui di kota raja, di dalam taman umum itu, masih
beberapa hari lagi. Dia datang terlampau pagi dan memang dia ingin melihat-lihat
dan berjalan-jalan di kota raja yang indah. Dan pagi hari itu dia memasuki
taman, bukan untuk bertemu dengan enci-nya karena memang belum waktunya,
melainkan untuk pelesir. Dia mengenakan pakaian serba biru sehingga wajahnya
yang memang tampan nampak semakin gagah.
Taman itu
sudah mulai dibanjiri tamu. Di situ terdapat kolam-kolam ikan dengan bunga
teratainya. Juga banyak terdapat kedai-kedai arak yang diatur indah menarik.
Ada pula beberapa pondok yang menjulang ke kolam teratai di mana orang dapat
bersembunyi diri menikmati ikan-ikan di kolam, atau termenung sendirian melihat
bunga-bunga teratai yang beraneka warna. Sebuah telaga buatan yang cukup lebar
berada di ujung taman dan di situ para pelancong dapat berperahu sambil minum
arak.
Ciang Bun
merasa perutnya lapar karena ketika meninggalkan kamar hotel di pagi hari itu
dia belum sarapan. Dimasukinya sebuah di antara kedai-kedai arak itu. Ketika
dia masuk, di ruangan itu sudah terdapat beberapa orang pelancong dan ada pula
beberapa orang gadis dari keluarga hartawan yang duduk di situ. Mereka ini
segera mengangkat muka memandang kagum kepada Ciang Bun.
Pemuda ini
tidak merasa aneh dengan pandangan ini. Di mana pun berada banyak dia menerima
pandang mata seperti itu dari para wanita. Ia pun bersikap wajar, tersenyum
sedikit lalu memilih tempat duduk di sudut. Seorang pelayan menghampirinya dan
dia pun memesan beberapa butir bak-pauw dan air teh panas. Dia tidak biasa
minum arak di pagi hari.
Bukan hanya
para wanita yang memandang kagum melihat kegagahan pemuda yang baru masuk ini,
akan tetapi juga para tamu pria memandang, tertarik melihat sepasang pedang
yang tergantung di punggung itu. Ciang Bun tidak mempedulikan semua perhatian
yang ditujukan kepadanya dan dia segera makan bak-pauw dan minum teh panas
sambil memandang lurus ke depan.
Akan tetapi,
di sebelah depannya, di meja yang berdekatan, terdapat seorang pemuda lain yang
juga sedang duduk sendirian, agaknya sudah selesai makan minum karena ada
mangkok bubur kosong di depannya, juga cangkir teh. Dan kini pemuda itu sedang
mencoret-coret menggunakan pencil buhr di atas sehelai kertas putih, nampaknya
asyik sekali.
Berdebar
rasa jantung dalam dada Ciang Bun, akan tetapi segera ditekannya perasaan itu.
Kambuh kembali penyakitnya, pikirnya tak enak. Kenapa baru melihat saja seorang
pemuda yang amat tampan ini lalu jantungnya berdebar-debar? Benarkah dia semata
keranjang ini? Apakah seorang wanita juga akan berdebar seperti ini kalau
melihat seorang pemuda tampan? Apakah wanita-wanita yang duduk di sana itu pun
berdebar ketika melihat dia masuk dan mereka tadi memandang kepadanya?
Tanpa
menggerakkan mukanya yang kini dimiringkan agar tidak lurus memandang ke depan,
Ciang Bun mengerling ke arah pemuda itu. Seorang pemuda yang masih amat muda,
paling-paling baru tujuh belas atau delapan belas tahun usianya. Pakaiannya
sederhana, berwarna hijau. Tubuhnya agak kecil kurus, akan tetapi wajahnya
sungguh amat menarik hati.
Wajah itu
berbentuk tampan bukan main, dengan hidung kecil mancung, mulut kecil yang
mengarah senyum, sepasang mata yang hidup dan tajam menatap kertas yang
dicoretinya. Rambutnya dikuncir besar karena rambut itu hitam gemuk dan
panjang. Alisnya hitam dan agak terlalu tebal, akan tetapi bulu matanya lentik
panjang. Seorang pemuda yang amat tampan, terlalu tampan malah, seperti seorang
wanita saja. Akan tetapi bulu alis tebal itu jelas bukan alis wanita.
Agaknya
pemuda remaja itu sudah selesai menulis. Kini dia menyimpan alat tulisnya di
dalam buntalan pakaian yang berada di atas meja. Sambil tersenyum-senyum
sendiri dia mengambil kertas itu dan diangkatnya untuk dibaca. Karena Ciang Bun
duduk arah belakangnya, tentu saja Ciang Bun dapat ikut pula membaca tulisan
itu yang ditulis dengan huruf besar dan indah. Tulisan indah bersajak! Ciang
Bun membacanya cepat.
Pergi
merantau seorang diri
Berkelana
menjelajah negeri
Pamer
senjata menimbulkan ngeri
Apakah hanya
untuk menakuti?
Wajah Ciang
Bun berubah merah. Biar pun tidak secara langsung, bukankah isi sajak itu
menyindir, bahkan mengejeknya? Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa
semua tamu yang berada di situ tidak ada yang membawa senjata. Dialah
satu-satunya orang yang membawa pedang dan karena pedangnya itu tergantung di
punggung, maka disebut pamer oleh si penulis sajak. Akan tetapi penulis itu
mengejeknya, mengatakan bahwa senjatanya itu hanya untuk menakut-nakuti!
Sungguh pemuda remaja ini usil, lancang, akan tetapi jenaka dan tulisannya
halus indah, dengan goresan-goresan aneh seperti yang biasa terdapat pada
tulisan seorang asing.
Ciang Bun
semakin tertarik dan memperhatikan. Hatinya tidak marah oleh sindiran dan
ejekan itu, bahkan dia pun merasa geli dan lucu. Pemuda bengal, pikirnya, akan
tetapi menarik hati. Ingin dia berkenalan dengannya. Sekedar berkenalan karena
selama ini dia malah menjauhkan diri dari para pemuda. Kini dia tidak perlu
khawatir. Dia sudah dapat menguasai hatinya, lagi pula pemuda itu masih remaja
dan dia pun hanya ingin bersahabat, tidak lebih…..
Akan tetapi,
tiba-tiba pemuda itu memanggil pelayan dengan suaranya yang lantang dan benar
dugaannya, pemuda remaja itu mempunyai suara yang nadanya asing. Setelah membayar
harga makanan, pemuda remaja itu bangkit berdiri, menyandang buntalannya yang
cukup panjang, lalu melangkah ke luar. Akan tetapi ketika lewat di dekat Ciang
Bun, pemuda remaja itu mengerling dan tersenyum, kerling dan senyum yang
mengejek.
Ciang Bun membalas
senyuman itu, senyuman yang mengandung kesabaran dan menawarkan persahabatan.
Akan tetapi pemuda remaja itu malah membuang muka dan melangkah lebar keluar
dari kedai arak.
Ciang Bun
menarik napas panjang dan menenteramkan hatinya. Terasa benar olehnya bahwa
penyakit pada dirinya itu belum sembuh. Kalau selama ini dia tidak merasakan
getaran seperti ini, getaran yang pertama kali dirasakan ketika dia berada di
Pulau Nelayan bersama Liu Lee Siang, adalah karena memang hatinya tidak pernah
tertarik kepada seorang pemuda seperti halnya Lee Siang atau pemuda remaja ini.
Biar pun dia lebih condong menyukai pria, akan tetapi tidak sembarang pria
membuatnya berdebar seperti ini.
Setelah
membayar harga makanan, Ciang Bun bangkit berdiri dan dengan keputusan hati
untuk segera melupakan pemuda tampan tadi, dia pun melangkah keluar dari kedai
arak. Dia berjalan-jalan di taman itu. Karena tertarik oleh keadaan telaga
buatan, dia menyewa sebuah perahu dan membeli seguci arak, karena akan nikmat
sekali naik perahu sambil minum arak nanti kalau matahari sudah naik agak
tinggi.
Taman ini
indah sekali. Dahulu merupakan taman pribadi milik kaisar. Tapi sejak kaisar
Kian Liong bertahta, kaisar yang mencinta atau lebih dekat dengan rakyat
dibandingkan kaisar-kaisar terdahulu, kemudian membuka taman itu menjadi taman
umum yang boleh dikunjungi rakyat. Kaisar Kian Liong memang bijaksana dan
pandai menyenangkan hati rakyatnya, maka di jaman pemerintahannyalah rakyat
merasa lebih tenteram hidupnya.
Ciang Bun
mendayung perahunya berputar-putar di telaga buatan itu. Semua orang yang
berada di sekitar tempat itu, tidak ada yang tidak berseri wajahnya tanda bahwa
mereka semua bergembira. Ketika Ciang Bun mendayung perahunya sampai di dekat
sebuah pondok kecil yang berada di atas permukaan air di tepi telaga, tiba-tiba
dia mendengar suara lantang disertai ketawa mengejek.
“Ha-ha-ha,
Siang-kiam taihiap (Pendekar Besar Sepasang Pedang) nongol lagi untuk memamerkan
pedangnya!”
Ciang Bun
menghentikan dayungnya dan mengangkat muka. Kiranya pemuda remaja yang tadi
sedang nongkrong di pondok itu menjenguk keluar dari sebuah jendela kecil dan
tersenyum mengejek. Mendongkol juga rasa hati Ciang Bun. Pemuda itu sungguh
bengal, suka menggoda orang. Akan tetapi dia masih dapat menahan rasa marahnya
dan sambil tersenyum ramah dia pun berkata.
Bersama
pedang menjelajah negeri
bukan pamer
bukan menakuti
sekedar alat
pembela diri
harap adik
jangan salah mengerti!
Sepasang
mata yang lebar dan jeli itu terbelalak. “Aihh, kiranya engkau adalah seorang
terpelajar, pandai bersajak, bukan tukang pukul yang suka menakut-nakuti
orang!”
Ciang Bun
tersenyum. “Aku seorang biasa saja yang suka bersahahat. Kalau adik suka, kita
boleh berkenalan dan menunggang perahu bersama.”
Sepasang
mata itu bersinar-sinar. “Benarkah? Engkau tidak marah kepadaku karena aku
telah mengganggumu tadi?”
Ciang Bun
tersenyum dan menggeleng kepalanya. Hatinya merasa semakin tertarik dan suka
kepada pemuda remaja itu yang walau pun bengal akan tetapi ternyata pandai
membawa diri dan juga jujur, mau mengakui kesalahannya. Buktinya, dia kini
mengaku terus terang bahwa tadi telah mengganggunya.
“Engkau
gembira dan jenaka, bukan mengganggu melainkan bicara sebenarnya. Di jaman
sekarang memang banyak orang berlagak, dan engkau tadi menganggap aku tukang
menjual lagak, jadi sajakmu tadi wajar saja.”
Pemuda
remaja itu nampak semakin gembira. “Ahh, begitukah? Kalau begitu, biar aku ikut
naik perahu bersamamu.”
Gembira
sekali rasa hati Ciang Bun. “Tunggu, akan kudaratkan perahu ini....”
“Tidak usah.
Awas, aku melompat turun!” Dan tiba-tiba saja pemuda remaja itu sudah meloncat
keluar dari jendela itu, meluncur turun ke atas perahu yang jaraknya masih
cukup jauh.
Ciang Bun
terkejut bukan main, akan tetapi dia memandang kagum ketika pemuda itu sudah
tiba di dalam perahu dan perahu itu sama sekali tidak terguncang seolah-olah
yang tiba di dalam perahu dari atas itu hanya sehelai daun kering saja. Dia
terkejut dan kagum, tahu bahwa pemuda remaja ini memiliki ginkang yang amat
hebat.
“Aihhh, kiranya
engkaulah sebenarnya seorang taihiap!” katanya jujur. “Sungguh malu sekali aku
yang tidak bisa apa-apa ini berani membawa-bawa pedang di depan seorang
pendekar lihai sepertimu ini.”
Pemuda
remaja itu tertawa. Wajahnya nampak semakin muda dan tampan. “Sudahlah, toako,
tak perlu merendahkan diri. Dari sikapmu menanggapi gangguanku dan pujianmu
tadi, menunjukkan bahwa engkau berhati lapang dan juga berwatak rendah hati.
Dan sikap ini hanya dimiliki oleh orang yang sudah patut disebut pendekar.
Pula, siapa lagi kalau bukan pendekar yang lihai yang berani membawa-bawa
pedang secara berterang, di kota raja pula?”
Seorang
pemuda yang ahli ginkang dan juga cerdik, pikir Ciang Bun. Juga dari nada
suaranya jelas menunjukkan lidah asing, walau pun bicaranya cukup lancar. Tentu
seorang pemuda asing yang sudah lama berada di sini atau yang mempelajari
Bahasa Han dengan baik.
“Siauw-te,
tak perlu engkau memuji. Akan tetapi sungguh ginkang yang kau perlihatkan tadi
mengagumkan hatiku. Dan mendengar suaramu, agaknya engkau adalah seorang yang
datang dari jauh. Kalau boleh aku bertanya, siapakah namamu dan dari mana
engkau datang?”
“Aku pun
seorang pengembara seperti engkau, toako, hanya saja aku datang jauh dari luar
negeri, dari barat. Dan karena orang tuaku kagum akan kebesaran Sungai Gangga,
aku diberi nama Ganggananda (Putera Sungai Gangga).”
“Ahh....!
Kalau begitu engkau tentu datang dari See-thian (Negara Barat). Akan tetapi
kulitmu putih dan mukamu, biar pun agak asing, tidak jauh bedanya dengan muka
bangsa kami. Dan semuda ini engkau sudah berani merantau sejauh itu. Bukan
main! Padahal, usiamu tentu baru lima belas atau enam belas tahun, masih belum
dewasa benar.”
“Siapa
bilang? Aku telah berusia delapan belas tahun! Dan aku sudah merantau selama
satu tahun lebih. Girang sekali hari ini di kota raja dapat bertemu dengan
seorang pendekar seperti engkau, toako. Siapakah namamu?”
Biasanya,
Suma Ciang Bun segan memperkenalkan nama, apalagi nama keturunannya, karena she
Suma akan mendatangkan daya tarik dan kecurigaan, membuka rahasia bahwa dia
masih keturunan keluarga Suma dari Pulau Es. Memang tidak semua orang she Suma
keluarga Pulau Es, akan tetapi she ini jarang terdapat sehingga menarik
perhatian. Akan tetapi terhadap pemuda remaja yang jujur ini, yang amat menarik
hatinya, dia tidak mau berbohong.
“Namaku Suma
Ciang Bun....”
“Wah....!
Kau tentu cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!”
Kini wajah
Ciang Bun berubah agak pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda remaja yang asing
ini begitu mendengar namanya langsung saja menebak dengan demikian tepatnya.
Biar pun tokoh kang-ouw kenamaan tentu masih akan meragu.
“Pantas saja
begitu bertemu aku tertarik untuk menggoda agar dapat berkenalan denganmu!”
kata lagi pemuda yang bernama Ganggananda itu.
“Eh,
Ganggananda, bagaimana engkau bisa tahu?”
Pemuda itu
tertawa. “Dan engkau tentu masih saudara dari Suma Ceng Liong, bukan?”
Sekarang
Ciang Bun yang terbelalak, memegang lengan pemuda remaja itu. “Engkau
mengenalnya? Engkau bertemu dengan Ceng Liong? Dia masih hidupkah?”
Ganggananda
tersenyum. “Tentu saja dia masih hidup, setidaknya enam tujuh tahun yang lalu
dia masih hidup. Aku bertemu dan kenal dengannya ketika dia pergi ke barat.”
Tiba-tiba wajah pemuda ini menjadi muram. “Heran sekali mengapa engkau tidak
tahu dan mukamu berubah ketika mendengar namanya?”
“Dengar,
Nanda, aku berterus terang saja. Kami semua mengira bahwa Ceng Liong sudah
tewas kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Dan sekarang, bertemu denganmu
mendengar bahwa dia masih hidup, sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan.”
“Memang dia
masih hidup, akan tetapi ada hal aneh sekali yang tentu akan membuatmu menjadi
semakin terkejut.”
“Apa itu?”
“Katakanlah
dahulu. Betulkah engkau dan Ceng Liong cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es? Kalian adalah keluarga para pendekar Pulau Es?”
“Benar,
ayahku dan ayahnya adalah kakak beradik, dan Pendekar Super Sakti adalah kakek
kami.”
“Nah, itulah
yang aneh. Ceng Liong cucu Pendekar Super Sakti, akan tetapi dia juga menjadi
murid seorang raja iblis.”
“Apa?
Siapa?”
“Hek-i
Mo-ong!”
“Ahhh....!”
Tentu saja Ciang Bun kaget setengah mati mendengar berita ini, lebih kaget dari
pada berita bahwa adiknya itu masih hidup.
Hek-i Mo-ong
adalah raja iblis yang memimpin penyerbuan ke Pulau Es. Dialah musuh besar
nomor satu. Bagaimana mungkin kini Ceng Liong malah menjadi muridnya? Dia
begitu terkejut sehingga memandang ke depan, jauh ke depan dan tiba-tiba
wajahnya berubah pucat pada saat dia melihat dua orang pria berada di dalam
sebuah perahu meluncur datang dan sudah dekat.
“Kau.... kau
kenapa....?” Ganggananda memegang lengan Ciang Bun melihat pemuda itu wajahnya
menjadi pucat sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Diamlah,”
bisik Ciang Bun, “Dan jangan mencampuri kalau aku nanti berkelahi. Aku bertemu
dengan musuh besarku!”
Perahu di
depan itu kini mendekat dan yang membuat hati Ciang Bun terkejut adalah ketika
dia mengenal bahwa seorang di antara dua pria yang berada di dalam perahu itu
adalah Louw Tek Ciang! Dia tidak mungkin pangling. Pria itu biar pun kini sudah
lebih tua, masih seperti dahulu. Pakaiannya mewah dan bibirnya masih
tersenyum-senyum mengejek, pandang matanya membayangkan kecerdikan dan
kelicikan. Biar pun dia belum bertemu dengan enci-nya, akan tetapi setelah kini
melihat musuh besar itu, dia harus turun tangan membunuh orang yang telah
merusak kehidupan enci-nya!
Akan tetapi,
agaknya Tek Ciang juga bermata tajam. Mula-mula dia tidak mengenal Ciang Bun,
tetapi begitu Ciang Bun berdiri di dalam perahunya dan dia memandang penuh
perhatian, Tek Ciang segera mengenalnya. Dengan sikap congkak dan manis
dibuat-buat penuh ejekan, dia melambaikan tangan.
“Aha,
kiranya bertemu dengan adikku Ciang Bun di sini! Apa kabar, adikku?”
Akan tetapi
Ciang Bun membentak sambil mencabut sepasang pedangnya. “Louw Tek Ciang keparat
busuk! Bersiaplah untuk mampus!”
“Aihh, anak
kurang ajar. Lupakah engkau bahwa aku ini kakak iparmu, juga suheng-mu sendiri?
Keturunan keluarga Suma memang kurang ajar semua!” Louw Tek Ciang juga
membentak.
Kawannya,
pemuda yang berpakaian serba hijau, memandang dengan alis berkerut. Pemuda ini
adalah Pouw Kui Lok, murid Kun-lun-pai yang kini menjadi sute dari Tek Ciang
itu. Seperti kita ketahui, dua orang ini beruntung sekali diangkat menjadi
murid-murid oleh kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman, yaitu Kim-kong-sian Cu
Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu. Mereka diajak ke Lembah Naga Siluman di
Pegunungan Himalaya dan selama kurang lebih tiga tahun mereka menerima
gemblengan dari dua orang tokoh sakti itu.
Karena Louw
Tek Ciang adalah murid Suma Kian Lee yang sudah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi
dari pendekar Pulau Es itu, juga murid Jai-hwa Siauw-ok yang lihai, sedangkan
Pouw Kui Lok adalah murid utama Kun-lun-pai, keduanya memiliki dasar yang kuat.
Karena itulah, dalam waktu tiga tahun saja mereka mampu menguasai ilmu-ilmu
tertinggi ciptaan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Juga kedua orang muda itu oleh guru
mereka diberi masing-masing sebuah suling emas dan mereka mahir menggunakannya
sebagai senjata.
Setelah
turun gunung, kedua orang muda itu lalu kembali ke timur dan untuk
bersenang-senang setelah mereka bertapa selama tiga tahun itu, mereka pergi ke
kota raja untuk bersantai. Secara kebetulan sekali, ketika mereka berdua sedang
berpesiar di dalam taman itu, Tek Ciang melihat Ciang Bun yang segera dikenalnya.
Tentu saja Tek Ciang merasa terkejut sekali, akan tetapi dia tidak merasa
takut, malah mengejek. Selain ilmunya sendiri sudah memperoleh kemajuan pesat,
juga di sebelahnya terdapat Pouw Kui Lok, seorang sute-nya dan juga sahabat
baiknya yang tentu akan membelanya kalau ada bahaya mengancam dirinya. Apa yang
ditakutkan lagi?
Pouw Kui Lok
telah menjadi saudara seperguruan Tek Ciang dan hubungan di antara mereka akrab
sekali. Tek Ciang memang seorang yang amat cerdik. Seperti ketika dia
mengelabui Suma Kian Lee sehingga pendekar itu amat percaya kepadanya, ketika
berada di Lembah Naga Siluman pun dia dapat membawa diri sehingga tidak nampak
sama sekali sifat jahatnya.
Kedua orang
sakti she Cu itu menganggapnya seorang murid yang baik dan yang berwatak gagah
perkasa, pantas menjadi seorang pendekar yang akan menjunjung tinggi nama dan
kehormatan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Juga Kui Lok, murid Kun-lun-pai
yang berwatak pendekar itu merasa suka kepada Tek Ciang dan menganggap
suheng-nya ini benar-benar seorang gagah sejati. Apalagi suheng-nya pernah
menjadi murid, bahkan mantu pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es itu.
Dengan
cerdik Tek Ciang pernah menceritakan riwayatnya kepada Kui Lok. Ia bercerita
bahwa dia sebagai murid Suma Kian Lee lalu diambil mantu. Akan tetapi akhirnya
keluarga Suma yang tinggi hati itu merasa menyesal karena dia hanya anak
seorang guru silat yang tak ternama. Dan keluarga itu hendak memisahkan dia
dari isterinya.
Pouw Kui Lok
tadinya merasa terkejut dan heran mendengar cerita itu. Sukar untuk dapat
dipercaya. Akan tetapi, ketika dia menyebut nama Suma Ceng Liong sebagai murid
Hek-i Mo-ong yang merupakan musuh besarnya, dia mendengar dari suheng-nya bahwa
Suma Ceng Liong juga cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, masih adik sepupu
isterinya.
Barulah
timbul semacam perasaan tidak suka di hati Kui Lok dan dia percaya bahwa
keluarga Suma dari Pulau Es memang congkak, tinggi hati dan condong ke arah
penyelewengan, seperti dibuktikan dengan kenyataan bahwa Suma Ceng Liong
menjadi murid Hek-i Mo-ong, dan keluarga Suma Kian Lee bersikap tidak adil
terhadap Tek Ciang. Bukan hanya Kui Lok yang terpengaruh. Saking pandainya Tek
Ciang bersikap dan bicara, kedua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang
tadinya kagum kepada keluarga Pulau Es, kini pun merasa tidak senang.
“Engkau atau
aku yang mati!” bentak Ciang Bun yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan
pemuda ini meloncat ke arah perahu di depan.
Ganggananda
menjadi bingung dan menahan agar perahu yang terguncang itu tidak sampai
terguling, kemudian dia cepat mendayung perahu agak menjauh sambil memandang
dengan alis berkerut dan hati khawatir. Dia tidak tahu harus berbuat apa karena
sahabat barunya itu tidak bercerita tentang musuh besarnya. Dia tidak tahu
bagaimana urusannya. Apalagi ketika mendengar betapa orang yang diserang Ciang
Bun tadi bicara seperti kakak ipar Ciang Bun sendiri, dia menjadi semakin
bingung dan tidak berani sembarangan mencampuri.
“Trang....
trangg....!”
Bunga api
berpijar ketika sepasang pedang di tangan Ciang Bun yang menyerang itu
ditangkis oleh suling di tangan Tek Ciang.
Pemuda yang
baru saja turun dari Lembah Naga Siluman ini terkejut ketika menangkis sepasang
pedang Ciang Bun. Tadinya dia mengira bahwa tingkat kepandaian Ciang Bun tentu
tidak banyak bedanya dengan dahulu. Maka dia tadi mengerahkan tenaga untuk
menangkis dengan keyakinan bahwa tangkisan itu akan membuat sepasang pedang
lawan terpental. Tetapi ternyata ketika sulingnya bertemu dengan sepasang
pedang, dia merasa lengannya tergetar dan tenaga bekas adik iparnya itu bukan
main kuatnya.
Di lain
pihak, Ciang Bun juga kaget sekali karena selain tiba-tiba saja musuh besar itu
memiliki senjata aneh, yaitu sebatang suling emas yang digerakkan menangkis
dengan tenaga dahsyat, juga suling itu dapat mengeluarkan suara melengking yang
seolah-olah menusuk telinganya. Akan tetapi karena hati Ciang Bun sudah penuh
kemarahan dan dendam, dia tak peduli akan kenyataan itu dan dia pun sudah
menggerakkan sepasang pedangnya lagi, menyerang dengan dahsyat. Dan terjadilah
perkelahian sengit di atas perahu kecil itu.
Pouw Kui Lok
yang masih duduk di ujung perahu sambil memegang dayung, menjadi bingung
melihat perkelahian seru di atas perahu kecil itu. Seperti juga Ganggananda,
dia pun tak tahu harus berbuat apa. Bedanya, jika Ganggananda tidak tahu
urusannya, dia sendiri sudah tahu dan karenanya tidak berani lancang
mencampuri. Bukankah urusan antara suhengnya dan keluarga Suma adalah urusan
pribadi mereka? Perahu itu terguncang hebat dan dengan susah payah Kui Lok
berusaha menahan dengan dayungnya agar perahu tidak sampai terguling.
Tingkat
kepandaian Ciang Bun pada waktu itu sungguh tak dapat dibandingkan dengan
beberapa tahun yang lalu. Semenjak ayahnya sadar akan kekeliruannya, pendekar
itu menggembleng Suma Hui dan Ciang Bun dengan tekun sehingga kedua orang
anaknya itu memperoleh kemajuan pesat sekali.
Namun
lawannya sekarang adalah Louw Tek Ciang yang bukan saja telah mengenal semua
ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi di samping itu juga telah mewarisi
ilmu-ilmu silat dari para datuk Ngo-ok melalui gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa
Siauw-ok. Apalagi setelah selama tiga tahun dia digembleng oleh orang-orang
sakti she Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja tingkat kepandaiannya masih
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Ciang Bun.
Maka, meski
Ciang Bun menggerakkan siang-kiamnya dan menyerang dengan sengit, tetap saja
Tek Ciang dapat menguasai keadaan. Dia mengenal jurus-jurus gerakan Siang-mo
Kiam-hoat yang dimainkan Ciang Bun. Sebaliknya Ciang Bun sama sekali tidak
mengenal ilmu serangan yang dimainkan dengan suling itu, yang penuh dengan
totokan-totokan amat berbahaya. Ciang Bun terdesak hebat dan menjadi bingung.
Betapa pun
juga, karena mereka berkelahi di atas perahu kecil yang terombang-ambing, tentu
saja gerakan mereka tidak sempurna benar. Sebagian dari perhatian mereka
dikerahkan untuk menjaga agar tubuh mereka jangan sampai terjungkal jatuh
keluar perahu. Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Tek Ciang yang
lebih unggul belum juga mampu merobohkan Ciang Bun yang melawan dengan gigih.
Karena
maklum akan kelihaian lawan yang ternyata memiliki tenaga amat kuat dan dapat
memainkan suling itu sedemikian aneh dan berbahaya, Ciang Bun memutar sepasang
pedangnya untuk melindungi dirinya. Dua gulung sinar menyelimuti tubuhnya,
merupakan perisai yang kokoh kuat dun sukar ditembus.
Tek Ciang
menjadi penasaran sekali. Dia tahu bahwa kalau mereka berkelahi di darat, tentu
tidak akan begitu sukar baginya untuk merobohkan pemuda ini. Perahu yang
terombang-ambing dan miring ke sana-sini itu sungguh membuat gerakannya amat
sukar dan tidak leluasa, bahkan besar bahayanya dia akan terkena senjata lawan
yang selain lebih panjang juga berjumlah dua itu. Maka tiba-tiba dia lalu
merendahkan tubuhnya, mengerahkan tenaga sakti Hoa-mo-kang, yaitu ilmu pukulan
Katak Buduk yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok sebagai ilmu peninggalan
mendiang Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok.
“Arrghhh....!”
Suara yang menyerupai katak berkokok keluar dari perutnya dan tangan kirinya
sudah mendorong ke depan, ke arah Ciang Bun.
Serangkum
angin pukulan dahsyat yang mengandung bau amis sekali menyambar. Ciang Bun
terkejut bukan main. Dia maklum akan datangnya pukulan jahat. Cepat dia
miringkan tubuh untuk mengelak sambil meloncat, akan tetapi karena perahu
miring, dia terpeleset. Sebelum dia mampu mengatur keseimbangan tubuhnya,
suling di tangan Tek Ciang meluncur. Ciang Bun masih dapat melihat sinar kuning
emas menyambar pusarnya dan dalam keadaan miring hampir jatuh itu dia
merendahkan tubuhnya agar suling tidak mengenai tempat berbahaya. Dia
mengerahkan sinkang untuk menerima suling yang kini menyambar ke arah perutnya.
“Dukkk!”
Sinkang dari
Pulau Es memang hebat, membuat tubuhnya kebal, akan tetapi, totokan suling itu
pun dahsyat sekali sehingga biar pun kulit perutnya tidak terluka, namun hawa
pukulan kuat menembus dan mengguncangkan isi perut, membuat Ciang Bun menahan
keluhannya karena rasa nyeri dan kepalanya pun pening. Sementara itu, kaki Tek
Ciang masih menyusulkan tendangan.
“Bukk....
byuurrr....!” Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ciang Bun terlempar keluar dari
perahu dan menimpa air telaga.
“Ha-ha-ha-ha,
mampus engkau sekarang!” Tek Ciang tertawa bergelak. Da baru sadar bahwa dia
telah membiarkan perasaannya meliar ketika melihat pandang mata Kui Lok
terbelalak ditujukan kepadanya.
Memang
pemuda Kun-lun-pai itu terkejut dan ngeri melihat sikap Tek Ciang. Dia pun
mengenal pukulan keji tadi dan kini melihat sikap Tek Ciang demikian kejam
tertawa-tawa buas, dia terheran sampai terbelalak!
Tek Ciang
sudah cepat menguasai dirinya, maklum bahwa dia telah tanpa disengaja
memperlihatkan perasaannya yang sesungguhnya. Dia pun menghentikan tawanya, dan
menarik napas panjang.
“Aihhh....
betapa tega hatiku melihat dia roboh. Pemuda itu lihai sekali dan tadi dia
bersungguh-sungguh hendak membunuhku.” Ucapan ini agaknya untuk membela diri
mengapa dia tadi kelihatan kejam.
Tiba-tiba dua
orang itu terkejut bukan main. Perahu mereka tiba-tiba terguncang hebat dan
miring, seperti ada yang membalikkannya dari bawah! Tentu saja Tek Ciang sama
sekali tidak tahu bahwa biar pun sudah terkena pukulan dan tendangannya, namun
Ciang Bun belum tewas dan begitu tubuhnya terlempar ke dalam air, pemuda ini
bahkan menjadi semakin berbahaya! Dia tidak tahu bahwa Ciang Bun telah memiliki
ilmu dalam air yang jarang tandingannya, berkat latihan yang diperolehnya dari
keluarga di Pulau Nelayan.
Bagaikan seekor
ikan, walau pun dirinya sudah terluka, Ciang Bun dapat menyelam, menyimpan
sepasang pedangnya dan kini dia berusaha menggulingkan perahu yang ditumpangi
Tek Ciang dan kawannya. Kalau sampai Tek Ciang dapat terlempar ke air, dia
yakin akan dapat membunuh musuh besar itu!
“Hei, apa
ini....?” Tek Ciang berseru kaget dan mengatur keseimbangan tubuhnya.
“Ada yang
hendak menggulingkan perahu!” Kui Lok juga berseru kaget.
Mereka
melongok ke bawah dan melihat kepala Ciang Bun nongol. Dengan marah Tek Ciang lalu
memukul ke arah kepala itu, akan tetapi kepala itu menyelam dan lenyap.
Kemudian perahu terguncang lagi dan tiba-tiba ada pedang menembus dasar perahu
yang tentu saja menjadi bocor! Air memasuki perahu dari bawah!
“Celaka!
Perahu bocor....!” seru Tek Ciang.
Tiba-tiba
dia tersentak kaget ketika ada pedang menyambar dari luar perahu. Kiranya,
dengan kecepatan seperti ikan berenang Ciang Bun sudah muncul lagi dan langsung
menyerangnya dari luar perahu. Tek Ciang cepat mengelak dan siap untuk melawan,
namun tubuh Ciang Bun sudah lenyap menyelam lagi. Kini kembali terasa
guncangan-guncangan dan perahu itu pun berlubang-lubang karena ditusuki dari
bawah oleh Ciang Bun!
“Ahh, iblis
itu pandai bermain di air!” kata pula Tek Ciang terbelalak kaget dan khawatir.
“Berbahaya!
Kita harus pergi dari sini!” Pouw Kui Lok juga berseru kaget melihat betapa
dengan cepat air memasuki perahu yang hampir tenggelam.
“Byarrrr....!”
Kembali
perahu yang hampir tenggelam itu terguncang hebat, membuat kedua orang muda itu
terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang menyambar pula, membabat ke arah kaki
Tek Ciang. Pemuda ini cepat meloncat, akan tetapi pedang ke dua menusuk dan
walau pun dia mengelak pula, tetap saja ujung pedang menyerempet pahanya.
Celananya robek berikut kulit paha dan darahpun mengucur deras.
Pouw Kui Lok
yang melihat bahaya mendadak menyambar tubuh suheng-nya yang pahanya terluka
itu, membawanya melompat ke arah sebuah perahu lain yang datang mendekat.
Perahu itu ditumpangi dua orang yang agaknya melihat keributan di situ menjadi
tertarik. Terkejutlah mereka melihat betapa pemuda berpakaian hijau sambil
memondong seorang pemuda lain yang terluka, tiba-tiba melompat ke perahu
mereka. Bukan main hebatnya lompatan pemuda itu dan mereka mengeluarkan
teriakan kaget ketika Kui Lok berhasil hinggap di atas perahu bersama
suheng-nya.
Akan tetapi
dengan mata terbelalak Tek Ciang dan Kui Lok melihat betapa Ciang Bun berenang
dengan amat cepatnya menuju ke perahu itu. Bukan main cepatnya pemuda itu
bergerak dalam air. Seperti seekor ikan saja.
“Ikan
besar....!” Dua orang penumpang perahu yang masih belum hilang kagetnya itu pun
kini melihat Ciang Bun dan mengira bahwa ada ikan besar hendak menyerang perahu
mereka.
Kini Pouw
Kui Lok merasa khawatir dan dengan sendirinya dia pun harus melindungi dirinya.
Kalau perahu terbalik, tentu dia pun menjadi korban. Dia merasa ngeri ketika
menyaksikan kehebatan gerakan pemuda tampan di dalam air itu sehingga dia tahu
bahwa sekali mereka terjatuh ke air, tentu nyawa suheng-nya tidak akan
tertolong lagi. Maka dia lalu menyambar sebatang dayung dalam perahu itu dan
secepat kilat dia menggerakkan dayungnya menyerang ketika pemuda yang berenang
seperti ikan itu mendekati perahu.
Ciang Bun
sudah terluka. Perutnya terasa nyeri. Juga pahanya biru terkena tendangan Tek
Ciang tadi. Akan tetapi dengan gigih dia menyerang terus, karena dia melihat
satu-satunya kesempatan baginya untuk membalas semua sakit hati keluarganya
terhadap iblis itu. Kalau dia mampu membuat Tek Ciang terlempar ke air, dia
pasti akan dapat membunuhnya.
Maka, ketika
melihat betapa pemuda teman Tek Ciang membawa Tek Ciang meloncat ke perahu
lain, dia pun mengejar. Tak disangkanya pemuda teman iblis itu pun memiliki
ginkang sedemikian baiknya sehingga dapat menolong Tek Ciang yang sudah terobek
sedikit pahanya oleh pedangnya. Dan kini, tiba-tiba saja ada dayung
menyambutnya dari atas perahu. Ciang Bun terpaksa mengangkat pedangnya menangkis.
“Tranggg....!”
Tubuh Ciang
Bun tenggelam dan dia terkejut sekali. Tenaga hantaman dayung itu kuat bukan
main! Kiranya teman Tek Ciang itu pun memiliki kepandaian tinggi. Ciang Bun
diam-diam mengeluh. Makin tipis harapannya kalau teman iblis itu kini membantu
Tek Ciang.
Dia muncul
kembali dan kini bukan hanya sebuah dayung, melainkan ada dua buah dayung
panjang menyambutnya sehingga terpaksa dia menyelam kembali. Kiranya kini Tek
Ciang juga memegang sebatang dayung panjang dan bersama dengan Kui Lok berjaga
di kedua ujung perahu.
“Lekas
dayung perahu ke tepi!” Tek Ciang berkata kepada dua orang penumpang perahu
yang masih ketakutan itu. Mereka tidak membantah dan mendayung dengan dayung
pendek.
Sementara
itu, Ciang Bun masih penasaran. Dia menyelam dan mencoba untuk menggulingkan
perahu dari bawah. Akan tetapi selagi dia mengerahkan tenaga untuk
menggulingkan perahu, dayung Tek Ciang menghantam punggungnya dengan cara
diluncurkan. Ternyata Tek Ciang dapat melihat bayangan tubuhnya dalam air dan dari
atas, iblis itu menusuknya dengan dayung yang mengenai punggungnya.
“Bukkk....!”
Hantaman itu
tidak terlalu kuat karena tenaga hantaman sudah dilawan air, akan tetapi karena
tenaga Tek Ciang memang besar, tetap saja Ciang Bun merasa nyeri sekali pada
punggungnya. Kembali ada rasa muak dan bau amis membuat kepalanya terasa
pening.
Dia tidak
tahu bahwa yang paling hebat dideritanya adalah pukulan Hoa-mo-kang yang
dilakukan Tek Ciang di atas perahu tadi. Pukulan itu tidak mengenai dengan
tepat, tapi karena perut Ciang Bun terkena sodokan suling, membuat isi perutnya
terguncang sehingga hawa beracun pukulan Hoa-mo-kang yang hanya menyerempet itu
pun dapat menerjang dan meracuninya.
Menerima
pukulan dengan dayung yang mengenai punggungnya itu membuat Ciang Bun merasa
pening. Sejenak pandang matanya menjadi gelap. Antara sadar dan tidak sadar dia
menggerakkan kaki tangannya menjauhi perahu karena kalau sampai dalam keadaan
seperti itu dia diserang lagi, tentu dia akan celaka.
Dia masih
dalam keadaan setengah pingsan terapung ketika tiba-tiba ada dua tangan yang
kuat mencengkeram leher bajunya dan menariknya ke atas perahu. Dengan
terengah-engah karena terlalu lama bertahan dalam air, Ciang Bun terguling ke
dalam sebuah perahu kecil dan dengan pandang mata masih berkunang-kunang dia
melihat wajah Ganggananda, sahabat barunya. Lega hatinya melihat sahabatnya ini
dan kini dia pun dapat melepaskan pertahanannya untuk jatuh tak sadarkan diri
lagi. Hanya dalam keadaan seperti itu saja semua rasa nyeri dan kecewa lenyap
dari dirinya.
Ganggananda
sejak tadi nonton perkelahian itu dan hatinya merasa amat khawatir ketika
melihat Ciang Bun terlempar ke dalam air. Akan tetapi, dia pun terbelalak kagum
melihat betapa Ciang Bun masih mampu membuat dua orang lawan dalam perahu itu
kebingungan dengan cara menyerang perahu dari bawah. Pemuda keturunan penghuni
Pulau Es itu sungguh hebat sekali! Kiranya memiliki ilmu di dalam air yang
hebat pula.
Akan tetapi
dia pun melihat betapa dua orang dalam perahu yang menjadi musuh besar Ciang
Bun itu bukan orang-orang sembarangan. Mereka dapat menyelamatkan diri ke lain
perahu, bahkan dapat memukul Ciang Bun dengan dayung. Tadinya dia merasa
terkejut karena perahu itu didayung pergi dan tidak lagi nampak gerakan Ciang
Bun dalam air. Celaka, pikirnya, agaknya Ciang Bun terkena pukulan dayung dan
tenggelam ke dasar telaga!
Ganggananda
mendayung perahunya mendekat dan akhirnya dia melihat tubuh Ciang Bun
bergerak-gerak lemah di bawah permukaan air. Cepat dia lalu mendekatinya dan
meraihnya, berhasil menangkapnya dan menariknya ke dalam perahu. Kini Ciang Bun
rebah di dalam perahu, tidak nampak dari jauh dan dia pun dengan pengerahan
tenaga sinkang, cepat mendayung perahu ke tepi yang berlawanan dengan tempat di
mana dua orang musuh besar Ciang Bun tadi mendarat.
Begitu
mendarat, Ganggananda cepat memondong tubuh Ciang Bun dan meloncat ke darat.
Dia sengaja mendarat di bagian yang sunyi, di mana tidak terdapat pelancong
karena bagian itu penuh dengan batu-batu koral dan semak-semak belukar. Pemuda
remaja ini pun bukan seorang bodoh, sebaliknya, dia cerdik sekali.
Dia dapat menduga
bahwa tentu dua orang musuh besar Ciang Bun itu tidak akan tinggal diam dan
tentu mencurigai perahunya karena tadi mereka melihat Ciang Bun berperahu
bersamanya. Maka dia pun mendarat di bagian yang berlawanan dan sunyi, dan
begitu dia mendarat, dia memondong tubuh Ciang Bun yang masih pingsan itu dan
melarikan diri.
Ketika dia
menoleh, benar saja dugaannya. Dua bayangan orang mengejarnya dan biar pun
mereka masih jauh dan tidak dapat melihat wajah mereka, namun dia yakin bahwa
mereka itu tentulah dua orang musuh besar tadi. Hal ini dapat diketahui betapa
seorang di antara mereka terpincang-pincang.
Memang
dugaan Ganggananda itu benar. Begitu mendarat, Tek Ciang lalu mengobati lukanya
sambil memperhatikan ke tengah telaga. Dia melihat perahu kecil di mana
terdapat seorang pemuda remaja yang menjadi teman berperahu Ciang Bun tadi.
Kini perahu itu meluncur cepat ke daratan yang berlawanan.
“Hemm,
mencurigakan. Agaknya perahu itu membawa Ciang Bun. Mari kita mengejar mereka.”
Dan tanpa mempedulikan pahanya yang terluka, Tek Ciang lalu lari memutari
telaga untuk mengejar, dibayangi oleh Pouw Kui Lok yang mengerutkan alisnya
karena hatinya sungguh merasa kurang enak melihat bahwa dia terlibat dalam
permusuhan itu.
“Lihat,
benar saja! Itu pemuda cilik memondong dan melarikannya. Mari cepat!” teriak
Tek Ciang saat melihat perahu itu mendarat dan Ganggananda meloncat keluar
sambil memondong tubuh Ciang Bun.
Akan tetapi
sekali ini, dua orang murid Lembah Naga Siluman itu kecelik. Pemuda remaja itu
ternyata dapat berlari luar biasa cepatnya sehingga biar pun mereka sudah
mengerahkan tenaga, pemuda remaja yang memondong Ciang Bun itu sebentar saja
sudah berlari jauh seperti terbang cepatnya.
Tek Ciang
membanting-banting kakinya yang tidak sakit ketika melihat pemuda itu lenyap.
“Ahhh, kalau saja kakiku tidak terluka, tentu aku akan dapat menyusulnya!”
Akan tetapi
Pouw Kui Lok menggelengkan kepalanya. “Suheng, apakah engkau tidak melihat
kehebatan itu? Pemuda remaja itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, dan aku
hampir percaya bahwa kepandaiannya dalam hal ginkang dan berlari cepat, lebih
lihai dari pada suhu Cu Seng Bu sendiri!”
Tek Ciang
cemberut, walau pun diam-diam dia juga terkejut menyaksikan kehebatan pemuda
remaja itu yang ternyata dapat berlari sedemikian cepatnya walau pun sambil
memondong tubuh orang yang jelas lebih berat dari pada tubuh pemuda itu
sendiri. Dengan uring-uringan Tek Ciang terpaksa kembali ke rumah penginapan bersama
sahabat atau sute-nya itu, untuk mengobati luka di pahanya yang pecah kembali
karena dipakai berlari cepat tadi.
“Hemmm,
kalau kakiku sudah sembuh, aku harus dapat mencari keparat itu untuk membuat
perhitungan!” Dia mengomel di dalam kamar ketika mengobati lukanya.
Sejak tadi
Pouw Kui Lok mengerutkan alisnya. “Suheng, aku tidak ingin mencampuri urusan
pribadimu, dan aku pun tidak ingin memberi pendapat karena sesungguhnya hal itu
sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Mungkin saja keluarga
Pulau Es memang congkak dan tinggi hati, akan tetapi hal itu pun tidak ada
sangkut-pautnya dengan aku. Kepada mereka aku tidak mempunyai dendam, tidak ada
urusan apa-apa antara aku dan mereka. Maka, aku tidak ingin terbawa-bawa dalam
urusan pribadimu, suheng.”
“Sute,
lupakah engkau bahwa Suma Ceng Liong adalah murid Hek-i Mo-ong, seperti yang
pernah kau ceritakan itu? Tidakkah sepatutnya engkau memusuhi keluarga Suma
mengingat bahwa Ceng Liong juga musuhmu?”
Kui Lok
menggelengkan kepalanya. “Seperti sudah kuceritakan kepadamu, suheng. Mendiang
guruku, Yang I Cin-jin, tewas di tangan Hek-i Mo-ong dan kepada raja iblis itu
sajalah aku mendendam dan aku bersumpah di depan mayat suhu untuk membalas
kematiannya. Dan aku telah berhasil membunuh Hek-i Mo-ong. Suma Ceng Liong,
biar pun murid iblis itu, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Kecuali kalau
dia hendak membalaskan kematian Hek-i Mo-ong kepadaku, tentu saja akan kulawan.
Sementara ini, aku menganggap urusanku dengan Hek-i Mo-ong sudah habis dan aku tidak
ingin bermusuhan dengan Suma Ceng Liong.”
“Akan
tetapi, selama keluarga itu masih ada, mereka akan selalu memusuhiku.”
“Hem,
mengapa begitu, suheng?”
“Seperti
sudah kuceritakan, Suma Kian Lee merasa menyesal telah mengambil aku sebagai
mantu. Dia tentu hendak menjodohkan puterinya dengan orang lain, kabarnya dia
telah memilih calon mantu yang dianggapnya sederajat, yaitu Jenderal Muda Kao
Cin Liong di kota raja....”
“Ahh,
jenderal gagah perkasa yang terkenal itu, putera Pendekar Naga Gurun Pasir?” seru
Kui Lok terbelalak karena pemuda ini pernah mendengar akan kebebatan jenderal
muda ini.
Tek Ciang
mengangguk dan tersenyum kecut. “Benar, keluarga itu menganggap bahwa Suma Hui,
isteriku itu, lebih cocok menjadi isteri jenderal muda itu yang juga jatuh
cinta kepada isteriku. Akan tetapi, karena perkawinan antara kami sudah
disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, mana mungkin Suma Hui menikah dengan
orang lain kalau aku masih hidup? Karena itulah, keluarga Suma menginginkan aku
mati. Engkau sudah melihat sendiri betapa ganasnya adik isteriku tadi
menyerangku.”
“Begitu
jahatkah mereka?” Kui Lok mengerutkan alisnya dan hatinya merasa amat ragu.
Keluarga Suma dari Pulau Es terkenal sebagai keluarga sakti yang berjiwa besar,
bahkan siapakah tidak mengenal nama-nama hebat seperti Puteri Nirahai, Puteri
Milana, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan lain-lainnya itu?
“Sute, kalau
tidak mengalaminya sendiri tentu tidak percaya. Akan tetapi, kalau orang sudah
tergila-gila akan kedudukan dan derajat, tentu mampu berbuat kejam. Aku
dianggap penghalang kebahagiaan mereka, tentu saja mereka berdaya upaya agar
aku lenyap dari muka bumi. Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus cepat
mendahului mereka, dan pertama-tama Suma Ciang Bun yang sudah menyerangku tadi
akan kucari dan kubunuh.”
“Aku tidak
akan mencampuri urusan pribadimu, suheng, akan tetapi harap kau ingat pesan
suhu. Kita bertugas untuk pergi ke Puncak Bukit Nelayan, mencari kemudian
menantang Kam Hong sebagai wakil suhu, wakil Lembah Naga Siluman untuk mengadu
ilmu dengan keluarga Suling Emas.”
“Hem, itu
pun bukan urusan pribadi kita, sute.”
Kui Lok
memandang suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehhh, bagaimana engkau dapat
berkata demikian, suheng? Kita tahu bahwa para suhu di Lembah Naga Siluman
mengambil kita sebagai murid, bukan hanya untuk mewarisi ilmu keluarga Cu, akan
tetapi juga untuk mewakili Lembah Naga Siluman dalam menghadapi satu-satunya
musuh atau saingan keluarga Cu, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong di Puncak
Bukit Nelayan!”
Melihat
ketegasan sikap Kui Lok, Tek Ciang merasa tidak enak kalau mengingkari hal itu.
Memang para suhu di Lembah Naga Siluman sudah menekankan hal itu dan kini pun
mereka diserahi tugas mewakili para suhu itu untuk menghadapi Kam Hong.
Mengingkarinya berarti akan merupakan kemurtadan dan dia tentu akan dihadapi
oleh Kui Lok dan keluarga Cu sebagai musuh pula. Sungguh tidak enak.
Musuh-musuhnya sudah terlalu banyak dan mereka semua sakti, kalau ditambah lagi
dengan keluarga Cu, sungguh berbahaya.
“Baiklah,
sute. Aku terpaksa membiarkan Ciang Bun pergi. Mari kuturuti kehendakmu, kita
pergi ke Puncak Bukit Nelayan. Akan tetapi setelah itu, maukah engkau berjanji
untuk membantuku?”
“Suheng,
urusan pribadimu seharusnya kau hadapi sendiri. Jangan kau melibatkan aku dalam
urusan pribadimu. Akan tetapi kalau aku melihat engkau terancam bahaya, tentu
aku akan turun tangan melindungi dan membantumu. Hal itu wajar, bukan?”
Tek Ciang
tidak berani terlalu banyak cakap lagi. Dia khawatir kalau sute-nya ini
mencurigainya dan dapat melihat rahasia di balik semua sikapnya. Dia tidak tahu
bahwa memang Kui Lok sudah menjadi heran dan mulai menaruh curiga.
Hari itu
juga mereka meninggalkan kota raja, melanjutkan perjalanan menuju ke pegunungan
Tai-hang-san untuk mencari Pendekar Kam Hong sebagai wakil keluarga Cu di
Lembah Naga Siluman.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment