Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 19
Tiga hari
kemudian, Bi Eng telah menggendong buntalan bekalnya meninggalkan rumah orang
tuanya untuk mengikuti Sim Hong Bu yang kini menjadi guru dan calon ayah
mertuanya, untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun. Sedangkan Sim Houw tinggal
di rumah keluarga Kam.
Keberangkatan
Bi Eng diantar oleh ayah bundanya. Bu Ci Sian, walau pun ia seorang wanita yang
tabah dan keras hati, hanya mampu menahan tangis selama Bi Eng masih nampak
saja. Setelah bayangan dara itu lenyap, ia tidak dapat membendung tangisnya karena
kesedihannya ditinggalkan puteri tunggalnya. Suaminya mendiamkannya saja, lalu
merangkul dan menghiburnya.
“Bi Eng
hanya pergi sementara dan mempelajari ilmu, sedangkan kita pun memperoleh
penggantinya, murid yang cerdik dan juga calon mantu. Apa yang perlu
disedihkan?”
“Bagaimana
hati ini tidak akan merasa sedih?” bantah isterinya. “Semenjak lahir sampai
sekarang, Eng-ji tak pernah berpisah dari sampingku, dan sekarang aku harus
berpisah darinya untuk selama bertahun-tahun....”
“Jangan
terlalu dipikirkan, bukankah semua itu memang sudah kita sengaja? Pula, kita
yakin bahwa ia berada di tangan yang baik dan dapat dipercaya sepenuhnya. Kita
telah mengenal benar keadaan dan watak Sim Hong Bu, bukan?”
Ci Sian
mengangguk dan akhirnya hatinya terhibur juga, apalagi ketika ternyata bahwa
Sim Houw adalah seorang murid yang amat baik. Bukan saja pemuda ini memiliki
bakat yang tidak kalah dibandingkan dengan Bi Eng, akan tetapi pemuda ini
berwatak pendiam, tidak banyak cakap akan tetapi amat rajin bekerja di ladang.
Kam Hong dan isterinya merasa suka sekali kepada calon mantu ini dan Kam Hong
mengajarkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dengan sepenuh hatinya, memberi sebatang
suling emas kepada murid atau calon mantunya ini.
***************
Kepercayaan
penuh keyakinan yang terkandung dalam hati Kam Hong dan Ci Sian terhadap Sim
Hong Bu yang membawa pergi puteri mereka tidaklah sia-sia belaka. Sim Hong Bu
adalah seorang pendekar besar yang berhati bersih. Semenjak semula dia
memandang Bi Eng sebagai calon mantu, jadi seperti anaknya sendiri.
Apalagi kini
dara itu telah mengakuinya sebagai guru, maka sikapnya terhadap dara itu pun
penuh rasa sayang. Lebih lagi karena bagaimana pun juga, dia merasa kehilangan
puteranya yang ditinggalkan di rumah keluarga Kam. Dara itu kini menjadi
pengganti anaknya.
Biar pun
hati Sim Hong Bu penuh dengan kegembiraan karena pinangannya diterima, bahkan
kini mereka saling menukar anak untuk dididik selama tiga tahun, hal yang sama
sekali tak pernah disangkanya dan yang amat menggembirakan hatinya, namun
diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya.
Dia teringat
akan isterinya, Cu Pek In, yang pada mulanya merasa agak tidak setuju mendengar
suaminya mengajak putera mereka pergi ke timur untuk berkunjung kepada keluarga
Kam. Apalagi nanti kalau mendengar bahwa putera mereka telah dijodohkan dengan
puteri keluarga Kam, bahkan kini dia pulang membawa calon mantu itu.
Hong Bu tahu
bahwa di lubuk hati isterinya masih ada perasaan dendam dan tidak suka kepada
Kam Hong bersama isterinya yang oleh keluarga Cu dianggap sebagai pencuri ilmu
keluarga Cu! Walau pun demikian, Hong Bu yakin akan dapat melunakkan hati
isterinya dan memperoleh persetujuan isterinya, karena isterinya amat
mencintanya dan selalu taat kepadanya. Yang membuat dia ragu-ragu adalah kedua
orang gurunya, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu ayah Pek In dan Bu-eng-sian Cu
Seng Bu.
Keluarga Cu
terdiri dari tiga saudara, yang pertama adalah Kim-kong-sian Cu Han Bu yang
kini sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ke dua adalah Bu-eng-sian Cu Seng
Bu berusia lima puluh tiga tahun dan selamanya tidak menikah. Dua orang kakak
beradik ini sejak kalah bertanding melawan Kam Hong lalu pergi bertapa dan
tidak pernah mencampuri urusan dunia lagi.
Ada pun
orang ke tiga dari keluarga Cu itu adalah Ban-kin-sian Cu Kang Bu yang menikah
dengan Yu Hwi bekas tunangan Kam Hong. Suami isteri itu kini tinggal pula di
Lembah Naga Siluman, tempat tinggal keluarga Cu yang dahulunya disebut Lembah
Suling Emas dan dirubah namanya setelah keluarga itu kalah oleh Kam Hong.
Demikian sekelumit riwayat keluarga Cu. Riwayat yang lengkap dapat dibaca dalam
kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Sim Hong Bu
merupakan pewaris tunggal dari ilmu simpanan keluarga Cu, yaitu Ilmu Pedang
Koai-liong Kiam-sut. Dia pula yang dulu memanggul tugas untuk mengalahkan
Kim-siauw Kiam-sut dengan ilmu pedangnya itu dan dia sudah pula menantang Kam
Hong bertanding.
Dua ilmu
yang sebetulnya dari satu sumber itu pernah dipertandingkan dan Hong Bu yang
ketika itu memenuhi tugas sebagai murid dan pewaris keluarga Cu, hanya kalah
sedikit saja. Akan tetapi, di dalam hati Hong Bu sama sekali tidak memusuhi Kam
Hong, apalagi Bu Ci Sian yang merupakan dara pertama yang pernah menjatuhkan
hatinya. Dia malah merasa suka dan kagum sekali kepada Kam Hong.
Ini pula
yang membuat dia ingin mengikat tali perjodohan antara anak mereka, agar
suasana persaingan itu dapat dilenyapkan. Maka dia pun merasa berbahagia sekali
menerima usul Kam Hong untuk menyatukan kedua ilmu yang dipertentangkan oleh
keluarga Cu itu dalam diri anak-anak mereka sehingga persaingan atau pertentangan
itu lenyap dan menjadi persatuan yang kokoh kuat.
Kekhawatiran
hati Sim Hong Bu bahwa usahanya membuat ikatan kekeluargaan antara keluarganya
dan keluarga Kam akan mendapat tentangan dari keluarga isterinya, bukan tanpa
alasan. Keluarga Cu adalah sebuah keluarga kuno yang tinggi hati, menganggap
keluarga mereka tinggi dan mulia. Kekalahan mereka terhadap Kam Hong merupakan
pukulan batin hebat bagi mereka. Apalagi kalau diingat bahwa suling emas dan
ilmunya di tangan Kam Hong itu berasal dari nenek moyang mereka.
Biar pun Kam
Hong menemukan ilmu itu secara kebetulan, bukan mencuri, dan senjata suling
emas itu pun merupakan warisan nenek moyangnya, akan tetapi karena pusaka dan
ilmunya itu memang berasal dari nenek moyang keluarga Cu, maka keluarga Cu
tetap menganggap Kam Hong sebagai pencuri! Dan mereka telah berusaha keras
untuk menyaingi dan mengalahkan Kam Hong, dengan mengangkat Sim Hong Bu sebagai
pewaris tunggal ilmu Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ini pun gagal. Cu Han Bu
dan Cu Seng Bu menderita pukulan batin dan mereka tekun bertapa di goa rahasia
di lembah mereka.
Pada pagi
hari itu, tiga orang penghuni Lembah Naga Siluman duduk di serambi depan sambil
menikmati udara pagi dan minum teh panas. Mereka adalah Cu Pek In isteri Sim
Hong Bu, dan pamannya yang ke tiga, yaitu Cu Kang Bu dan isterinya yang bernama
Yu Hwi. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’, Yu Hwi
adalah bekas tunangan Kam Hong, maka tentu saja dalam pertentangan itu, Yu Hwi
sepenuhnya berpihak kepada keluarga suaminya!
Cu Pek In
sudah berusia tiga puluh empat tahun, wajahnya yang cantik membayangkan
kekerasan hatinya, terutama pada mulut yang kecil dan dikatupkan rapat-rapat
itu. Pamannya yang termuda, Cu Kang Bu, adalah seorang pria berusia empat puluh
enam tahun yang perawakannya kokoh kuat dan tinggi besar, nampak gagah sekali.
Cu Kang Bu
berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Seribu Kati) dan dari julukannya saja
dapat diduga bahwa dia memiliki tenaga yang amat kuat. Di antara tiga saudara
Cu, yang termuda ini memiliki hati yang paling terbuka, jujur dan gagah
perkasa. Maka, dia pun juga mengagumi Kam Hong dengan sejujurnya dan tidak
mendendam atas kekalahannya seperti halnya kedua orang kakaknya yang sampai
kini masih bertapa dengan tekunnya.
Dia hidup
saling mencinta dengan Yu Hwi, isterinya yang usianya sekarang sudah empat
puluh tahun. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai keturunan dan karena sejak Sim
Houw terlahir selalu tinggal bersama mereka dalam Lembah Naga Siluman itu, maka
suami isteri yang tidak mempunyai anak ini juga amat menyayang Sim Houw, cucu
keponakan itu. Kini, tiga orang itu merasa kehilangan sekali semenjak Sim Houw
pergi merantau bersama ayahnya.
“Aahhh....,”
terdengar Yu Hwi menarik napas panjang. “Alangkah sepinya tempat ini semenjak
Houw-ji pergi....”
Mendengar
ucapan isterinya, Cu Kang Bu melirik keponakannya, akan tetapi yang dilirik
hanya menundukkan muka tanpa menanggapi.
“Ahh, engkau
ini!” katanya mencela isterinya sambil tersenyum. “Sebelum Sim Houw lahir,
engkau tidak pernah merasa sepi!”
“Tentu
saja!” Yu Hwi membantah. “Akan tetapi semenjak lahir, anak itu telah menjadi
sebagian dari pada hidup kita semua. Kalau sekarang ditinggal pergi, tentu akan
merasa kehilangan dan kesepian. Pek In, kapan sih suami dan puteramu akan
pulang?”
“Dia tidak
pernah mengatakan kapan, bibi. Akan tetapi mengingat akan jauhnya tempat yang
akan dikunjunginya, kurasa akan memakan waktu berbulan-bulan.”
Yu Hwi
menghela napas. “Aku tidak mengerti mengapa suamimu itu jauh-jauh pergi ke
Bukit Nelayan mengunjungi keluarga Kam yang sepantasnya malah harus dijauhinya.
Bukankah keluarga Kam itu musuh keluarga kita?”
Cu Pek In
diam saja, akan tetapi Cu Kang Bu mengerutkan alisnya mendengar ucapan
isterinya yang membakar ini. Akan tetapi, pendekar tinggi besar ini terlalu
mencinta isterinya untuk menegur dengan keras, maka dia pun tertawa.
“Ha-ha-ha,
agaknya engkau lupa bahwa istana tua di puncak Bukit Nelayan itu adalah
peninggalan nenek moyangmu sendiri yang sudah kau serahkan kepada Kam-taihiap
untuk dijadikan tempat tinggal! Dan mengapa pula Hong Bu tidak mengunjunginya?
Kam-taihiap adalah seorang sahabat baik.”
Yu Hwi
adalah seorang wanita yang galak, genit dan tentu saja sejak menikah ia sudah
menguasai suaminya. Kini dia cemberut memandang suaminya, lalu berkata dengan
suara mengandung kejengkelan. “Aihh, sungguh aku tidak mengerti jalan
pikiranmu! Ke manakah harga dirimu sebagai anggota penting keluarga Cu? Hemm,
kalau sampai kedua kakak kita mendengar kata-katamu tadi, tentu mereka takkan
merasa senang.”
Cu Kang Bu
tidak marah. Dia tahu bahwa di balik segala kecerewetannya, isterinya amat
mencintanya dan selalu akan membela pendiriannya. Dia hanya menarik napas
panjang dan berkata. “Sejak dahulu aku tidak suka menyimpan dendam. Apalagi
urusan antara keluarga kita dengan keluarga Kam sebetulnya tak perlu diributkan
lagi. Menurut keadaannya bahkan di antara kita masih ada sangkutan perguruan, jadi,
kalau kini Sim Hong Bu mendekatinya, itu malah baik sekali!”
Cu Pek In
yang semenjak tadi diam saja, tiba-tiba berkata dan suaranya mengandung
penyesalan besar yang ditahan-tahan. “Paman, bukan hanya mendekati, bahkan dia
pernah mengatakan bahwa kalau Kam Hong mempunyai seorang anak perempuan, dia
ingin menjodohkan Houw-ji dengan keturunan keluarga Kam!”
“Ahhh....
gila itu!” Yu Hwi berseru kaget dan marah.
Akan tetapi
Cu Kang Bu tertawa gembira. “Bagus! Itu adalah niat yang bagus sekali! Dengan
ikatan perjodohan, kelak antara keluarga Cu dan keluarga Kam tidak ada lagi
dendam dan menjadi keluarga. Bagus!”
“Tidaaak,
aku tidak mau....!” Tiba-tiba Cu Pek In menjerit, menangis lalu bangkit dari
tempat duduknya dan lari memasuki kamarnya.
Cu Kang Bu
dan isterinya terkejut dan saling pandang. Tak mereka sangka Cu Pek In akan
bersikap seperti itu. Memang nyonya muda ini sudah menahan-nahan kemarahan dan
penasaran dalam hatinya, akan tetapi dia tidak tega untuk menentang suaminya.
Kini, selagi suaminya tidak ada, tekanan batin itu meledak dan dia pun menjerit
dan menangis.
“Ahhh,
lihat, engkau membuat Pek In marah dan berduka,” Yu Hwi mengomel. “Sudah jelas
ia tidak menyetujui suaminya, akan tetapi engkau malah mendukung Hong Bu
sehingga menjengkelkan hati Pek In.”
“Akan
tetapi, aku memang melihat kebaikan bagi keluarga Cu dengan adanya niat Hong Bu
itu...”
“Hemm,
engkau sudah pikun agaknya. Siapa yang bilang ini urusan keluarga Cu? Yang
hendak dijodohkan adalah keturunan keluarga Sim dan Kam, apa ada sangkut
pautnya dengan keluarga Cu? Dalam hal ini, kiranya kita tidak perlu
mencampurinya.”
Cu Kang Bu
termangu-mangu. Baru dia teringat bahwa putera Pek In adalah keturunan Sim,
bukan Cu! Dia pun menarik napas panjang dan tidak mau membantah lagi, sedangkan
Yu Hwi lalu menyusul Pek In untuk menghiburnya.
Dalam
keadaan seperti itu, dapat dibayangkan betapa kemunculan Sim Hong Bu yang
pulang ke Lembah Naga Siluman membawa Kam Bi Eng mendatangkan bermacam perasaan
pada keluarga itu.
Cu Kang Bu
sendiri menyambutnya dengan ramah dan diam-diam pendekar raksasa ini setuju
dengan tindakan yang diambil mantu keponakannya. Yu Hwi menerima tanpa bicara
akan tetapi nyonya ini jelas tidak senang hatinya. Yang paling menderita
batinnya adalah Pek In. Bermacam perasaan mengaduk hatinya ketika suaminya
bercerita di depan keluarga Cu. Ada rasa marah, penasaran, kecewa dan juga berduka.
Terutama sekali mendengar bahwa puteranya kini berada di rumah keluarga Kam,
menjadi murid!
Kam Bi Eng
sendiri bersikap tenang. Di sepanjang perjalanan, gurunya bersikap baik sekali
dan ia sudah mulai merasa hormat dan sayang kepada gurunya, juga calon ayah
mertuanya. Di sepanjang perjalanan ia sudah mulai menerima petunjuk mengenai
teori ilmu Koai-long Kiam-sut. Ternyata pengetahuan pendekar itu amat luas
mengenai ilmu silat dan petunjuk pendekar itu amat berharga.
Maka, ketika
ia bersama gurunya tiba di depan jurang yang lebar dan curam, yang memisahkan
Lembah Naga Siluman dengan dunia luar, ia memandang dengan penuh kagum. Sudah
beberapa kali Bi Eng diajak pergi ayah ibunya, akan tetapi belum pernah ia
pergi merantau sejauh ini. Perjalanan yang memakan waktu berpekan-pekan dan
melalui daerah-daerah yang sama sekali asing baginya.
Apalagi
setelah tiba di daerah Pegunungan Himalaya, dia merasa kagum menyaksikan
kebesaran alam yang sedemikian luas dan hebatnya. Dia berdiri di tepi jurang
lebar, lalu melihat gurunya memberi tanda ke seberang dengan teriakan yang
menggetarkan pohon-pohon dan pegunungan, melihat betapa ada tali perlahan-lahan
naik dari dalam jurang yang tertutup kabut, dia semakin kagum.
“Mari kita
masuk lembah,” kata gurunya yang meloncat ke atas tambang itu, setelah tambang
terentang lurus.
Hati Bi Eng
merasa ngeri. Berjalan di atas tambang sebesar itu bukan merupakan pekerjaan
sukar baginya. Akan tetapi, kalau tambang itu melintang di atas jurang yang
demikian lebarnya, demikian dalamnya sehingga dasarnya yang tertutup kabut itu
tidak nampak, merupakan hal lain lagi. Melintasi jembatan tambang seperti itu
membutuhkan ketahahan yang luar biasa.
Akan tetapi
ia bukan seorang dara penakut dan ia pun meloncat di belakang gurunya. Hong Bu
tersenyum girang dan mereka pun berjalan, setengah berlari, menyeberangi jurang
itu di atas tambang yang hanya bergoyang sedikit saja karena keduanya telah
mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Sebentar saja mereka sudah tiba di seberang dan disambut oleh tiga orang
penjaga jembatan yang cepat memberi hormat kepada Hong Bu dan Bi Eng.
“Suhu,
apakah jalan ke lembah hanya melalui jembatan tambang ini?” tanya Bi Eng.
Ia menyebut
suhu kepada calon mertuanya, karena untuk menyebut ayah mertua ia merasa malu.
Lagi pula, bukankah ia memang sudah resmi menjadi murid sehingga layak menyebut
suhu, sedangkan ia masih belum resmi menjadi mantu?
“Benar,
tidak ada jalan lain kecuali melalui jembatan tambang karena Lembah Naga
Siluman dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam, tidak mungkin dilalui
manusia.” Sim Hong Bu menerangkan ketika mereka berjalan melalui lorong penuh
pohon-pohon besar.
“Sebuah
tempat yang hebat, tidak mungkin didatangi orang jahat dari luar,” gadis itu
memuji.
“Keluarga Cu
amat terkenal, Bi Eng. Para datuk sesat tidak ada yang berani main-main di
sini, karena selain tempatnya sukar diserbu, juga keluarga Cu termasuk keluarga
sakti. Pula, keluarga Cu tidak pernah mencampuri urusan orang luar, maka dapat
dikata tidak mempunyai musuh pribadi.”
Kecuali
ayah, pikir Bi Eng, dan hatinya menjadi kecut mengenang cerita ibunya betapa
ayahnya pernah dimusuhi oleh keluarga Cu yang lihai. Dan kini ia datang sebagai
murid. Akan tetapi gurunya hanya mantu keluarga Cu, dan gurunya she Sim, bukan
she Cu. Hal ini agak menenangkan hatinya yang mulai merasa tidak enak,
seolah-olah di dalam dada gadis ini timbul perasaan bahwa tempat yang angker
ini tidak suka didatangi olehnya.
Dan perasaan
hatinya itu ternyata tidak menipunya. Ia merasakan penyambutan yang dingin
sekali ketika akhirnya ia berhadapan dengan tiga orang penghuni rumah besar di
lembah itu. Ban-kin-sian Cu Kang Bu menyambut Hong Bu dengan gembira, hanya
nampak heran dan terkejut ketika Hong Bu memperkenalkan Bi Eng sebagai
muridnya. Tetapi Yu Hwi dan Cu Pek In tidak dapat menyembunyikan perasaan tak
senangnya ketika mendengar bahwa dara remaja itu adalah puteri Kam Hong!
“Apa.... apa
artinya ini?” Cu Pek In bertanya kepada suaminya dengan muka pucat. “Di mana
anakku....?”
“Mari kita
bicara di dalam. Aku membawa kabar yang baik dan menggembirakan sekali,” kata
Hong Bu sambil tersenyum, menyembunyikan rasa gelisahnya karena dia tahu bahwa
berita yang dibawanya itu belum tentu menggembirakan hati isterinya.
Demikianlah,
akhirnya mereka semua berada di ruangan dalam, duduk mengitari meja dan Hong Bu
lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan keluarga Kam. Dia menceritakan
dengan singkat akan tetapi jelas dan mengakhiri dengan kata-kata yang
mengandung nada gembira.
“Begitulah.
Kami bersepakat untuk saling mendidik anak masing-masing selama tiga tahun dan
aku akan memimpin Bi Eng untuk menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong
Kiam-sut dan sebaliknya, Houw-ji akan digembleng oleh Kam-taihiap. Setelah
lewat waktu itu, baru kami akan mematangkan pembicaraan tentang perjodohan
antara kedua anak itu.”
Tiba-tiba Cu
Pek In bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan muka pucat memandang
kepada Hong Bu, lalu terdengar suaranya yang bernada marah, “Suamiku, mengapa
engkau bertindak begini lancang?”
Hong Bu
mengerutkan alisnya, lalu tersenyum, senyum yang agak masam. “Isteriku, mengapa
engkau berkata demikian? Urusan Houw-ji adalah urusan pribadi kita berdua,
karena dia adalah anak kita berdua, dan sebelum berangkat aku sudah memperoleh
persetujuanmu untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam!”
“Bukan itu
maksudku!” bantah isterinya. “Akan tetapi tentang ilmu pusaka keluarga Cu itu!
Bagaimana engkau berani lancang hendak mengajarkannya kepada orang lain tanpa
lebih dulu mendapat perkenan dari ayah?”
Hong Bu yang
diserang dengan kata-kata keras itu menjadi terkejut. Dia menoleh kepada Cu
Kang Bu yang sedikit banyak berhak pula bersuara dalam hal ini, akan tetapi
pendekar raksasa itu hanya menunduk. Bibinya bahkan memandang padanya dengan
sikap marah, jelas sekali betapa wanita itu mendukung pendirian Cu Pek In.
“Ini adalah
urusan dan tanggung jawabku, biarlah aku akan menghadap ayah mertua untuk mohon
perkenan beliau,” akhirnya dia berkata dan pertemuan itu dibubarkan dalam
keadaan yang amat tidak menyenangkan semua pihak.
Namun, meski
hatinya sendiri diliputi ketegangan melihat betapa suhu-nya menghadapi sikap
menentang keluarganya, sikap Bi Eng sendiri tetap tenang. Hanya ada perasaan
tidak suka kepada ibu dari Sim Houw itu yang memiliki pandang mata demikian
dingin kepadanya, bahkan seperti orang membenci.
Menghadap
atau menemui Kim-kong-sian Cu Han Bu bukanlah merupakan hal yang mudah.
Semenjak dikalahkan oleh Kam Hong kemudian mengasingkan diri bertapa,
Kim-kong-sian Cu Han Bu dan adiknya, Bu-eng-sian Cu Seng Bu, jarang mau
diganggu dan kalau tidak ada hal yang amat penting sekali, mereka tidak mau
keluar dari tempat mereka bertapa atau membolehkan orang luar datang menghadap.
Dua kakak beradik ini bertapa bukan hanya untuk memenuhi janjinya terhadap Kam
Hong akibat kekalahan mereka, akan tetapi juga diam-diam keduanya tekun
mempelajari ilmu-ilmu mereka dan memperdalamnya dengan cara menciptakan
ilmu-ilmu secara bersama hingga selama belasan tahun mengasingkan diri itu
mereka telah menjadi semakin lihai saja!
Dua hari
kemudian barulah Hong Bu diperkenankan untuk menghadap guru atau ayah
mertuanya. Karena dia berwatak terbuka dan ingin agar semua urusan segera
beres, dia mengajak Bi Eng menghadap bersama. Dara itu pun pergi bersama
gurunya dengan sikap tenang dan di dalam hatinya, ingin sekali dia melihat
wajah orang-orang yang pernah menjadi musuh ayahnya, dan ingin ia mengetahui
bagaimana sikap keluarga Cu itu.
Tempat
pertapaan itu sunyi sekali, berada di lereng bukit, di dalam sebuah goa besar
ciptaan alam yang disempurnakan oleh tenaga keluarga Cu. Goa itu menerima sinar
matahari yang cukup banyak, dibersihkan dan dibagi menjadi tiga ruangan. Dua
buah tempat untuk bersemedhi yang terpisah, semacam kamar tidur kecil dan di
tengah terdapat sebuah ruangan lebar yang lantainya rata dan tempat ini selain
menjadi semacam ruangan duduk, juga menjadi tempat kakak beradik pertapa ini
berlatih silat dan menciptakan ilmu baru bersama. Di ruangan inilah Sim Hong Bu
diterima oleh ayah mertua dan pamannya.
Dua orang
pendekar Cu itu sudah duduk menanti di ruangan tengah yang luas itu. Matahari
pagi menyorotkan sinarnya melalui lubang di atas sebelah kiri sehingga ruangan
itu terang dan bersih.
Cu Han Bu
sudah berusia lima puluh enam tahun akan tetapi wajahnya masih nampak segar.
Hanya rambutnya yang putih semua itu yang menunjukkan bahwa dia sudah berusia
agak lanjut. Pakaiannya bersih sederhana dan longgar seperti pakaian pertapa
akan tetapi pinggangnya memakai sabuk emas yang bukan hanya merupakan sabuk
biasa, melainkan menjadi senjata andalannya yang ampuh. Dia duduk bersila di
atas dipan panjang bertilam kasur bulu, bersanding dengan Cu Seng Bu.
Kakek ke dua
yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) ini usianya baru lima puluh
satu tahun, akan tetapi kelihatan tidak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya
tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan. Di punggungnya
tergantung sebatang pedang tipis. Mereka berdua duduk bersila seperti orang
sedang semedhi ketika Sim Hong Bu melangkah memasuki goa itu bersama Bi Eng.
“Suhu,
susiok, teecu datang menghadap,” kata Hong Bu sambil berlutut di depan dipan
panjang bersama Bi Eng yang diam saja, hanya melirik ke arah dua orang itu.
Hening
sejenak. Kedua orang tua itu membuka mata dan beberapa lamanya mereka memandang
kepada Bi Eng dengan pandang mata penuh selidik. Melihat betapa dua pasang mata
itu mengeluarkan sinar mencorong, Bi Eng merasa tegang dan ia cepat menundukkan
mukanya.
“Hong Bu,
ada keperluan penting apakah maka engkau berani mengganggu ketenangan kami?”
ayah mertua atau gurunya bertanya.
Sampai kini,
sesuai dengan kehendak para tokoh keluarga Cu, dia menyebut suhu dan susiok
kepada mereka. Hal ini menunjukkan kekerasan hati keluarga itu mengenai
perguruan mereka. Hong Bu merupakan pewaris ilmu pusaka keluarga mereka, oleh
karena itu dipentingkan kenyataan bahwa pendekar itu adalah murid mereka yang
berhak mewarisi ilmu keluarga, bukan sekedar mantu!
“Suhu,
seperti telah teecu laporkan ketika teecu berpamit kepada suhu, teecu telah
mengajak Houw-ji merantau ke timur dan sekarang teecu hendak melaporkan segala
peristiwa yang kami alami dalam perjalanan itu.”
“Hong Bu,
siapakah anak perempuan yang kau ajak masuk ini?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya
datar saja akan tetapi pandang matanya mengeras.
“Anak ini
bernama Kam Bi Eng....”
“She
Kam....?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya mengeras.
“Benar,
susiok. Bi Eng adalah puteri Kam Hong-taihiap.”
“Ehhh?
Tindakan apa yang kau ambil ini, Hong Bu?” Cu Seng Bu berseru, matanya
terbelalak.
“Biarkan dia
menceritakan semua. Bicaralah, Hong Bu, kami siap mendengarkan,” kata Cu Han Bu
dengan suara tenang, akan tetapi jelas bahwa dia pun menekan perasaan marahnya.
Hong Bu
memang sudah siap. Dia tahu bahwa tindakannya itu tentu akan menghadapi tentangan,
maka dengan sikap tenang tapi hormat dia pun bercerita.
“Teecu
bersama Houw-ji pergi ke Puncak Bukit Nelayan dan berkunjung ke tempat kediaman
Kam-taihiap. Di sana teecu melihat bahwa Kam-taihiap mempunyai seorang anak
perempuan, yaitu Kam Bi Eng ini dan timbullah niat di dalam hati teecu, yang
sebelumnya memang sudah teecu rundingkan dengan isteri teecu, untuk mengikat
tali kekeluargaan dengan keluarga Kam, menjodohkan Houw-ji dengan Bi Eng.” Sim
Hong Bu berhenti sebentar untuk melihat reaksi dua orang tua itu.
Akan tetapi
Cu Seng Bu diam saja sedangkan Cu Han Bu hanya mengeluarkan suara tidak jelas,
dan disusul kata-kata tak acuh.
“Hemm, niat
yang ganjil. Teruskan ceritamu.”
“Pinangan
teecu diterima, lalu kami bersepakat untuk menukar anak masing-masing, untuk
saling dididik ilmu sehingga kedua anak itu kelak akan dapat menggabungkan
Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, maka Houw-ji teecu tinggalkan di
sana sedangkan Bi Eng teecu bawa pulang....”
“Sim Hong
Bu....! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau sudah gila?” Cu Han Bu
membentak. Sekarang dia tak lagi menahan-nahan kemarahannya yang memang sudah
dipendamnya semenjak kemarin ketika dia mendengar pelaporan Pek In yang datang
bercerita sambil menangis.
“Suhu, teecu
kira tidak ada sesuatu yang ganjil dalam tindakan teecu itu,” Sim Hong Bu
berkata dengan sikap masih tetap tenang.
“Tidak
ganjil? Engkau hendak berbesan dengan keluarga Kam dan kau katakan tidak
ganjil? Sejak dahulu keluarga Kam adalah saingan dan musuh keluarga Cu dan engkau
malah hendak mengikat tali perjodohan anakmu, mengikat tali kekeluargaan dengan
pihak musuh?”
“Suhu, harap
Suhu maafkan. Urusan perjodohan putera teecu adalah urusan teecu sendiri dan
Houw-ji adalah she Sim, jadi tidak dapat disangkutkan dengan adanya permusuhan
keluarga. Pula, sejak dahulu teecu tidak melihat suatu kesalahan pada
Kam-taihiap maka teecu tidak dapat menganggapnya sebagai musuh. Harap suhu
maafkan.”
Cu Han Bu
mengepal tinju dan mengerutkan alis. “Baiklah, Sim Houw hanyalah cucu luarku,
bukan she Cu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu itu. Akan tetapi, engkau
adalah muridku dan engkau pewaris ilmu pusaka keluarga kami. Bagaimana kini
engkau berani hendak menurunkan ilmu keluarga kami kepada seorang murid, dan
murid itu orang luar, bahkan anak musuh kami?”
“Suhu,
kiranya dalam hal menerima murid, tidak dapat dibatasi dengan keluarga saja.
Buktinya, suhu menurunkan ilmu pusaka keluarga kepada teecu yang she Sim. Andai
kata harus diturunkan kepada keluarga sendiri, Bi Eng ini adalah calon anak
mantu teecu, berarti dia pun anggota keluarga sendiri. Maka teecu berani
mengangkatnya menjadi murid.”
“Brakkk!”
Ujung dipan
di depan Cu Han Bu pecah berantakan oleh tangan pendekar ini ketika dia
menamparnya untuk menyatakan kemarahannya. “Sim Hong Bu! Bagaimana pun juga,
aku tidak rela kalau ilmu keluarga kami diberikan kepada anak si pencuri Kam
Hong!”
Sejak tadi
Bi Eng mendengarkan dengan hati merasa tidak senang. Kini, mendengar ayahnya
dimaki pencuri, dia bangkit berdiri. “Suhu, bawa aku pergi dari sini! Mereka
begini sombong, siapa sih yang kepingin belajar ilmu keluarga Cu? Jika
dibandingkan dengan ilmu keluarga Kam, ilmu keluarga Cu tidak ada artinya!”
Bi Eng
mengeluarkan kata-kata itu dengan bernapsu dan dia berdiri sambil bertolak
pinggang. Tentu saja Sim Hong Bu terkejut bukan main sampai mukanya menjadi
pucat, sedangkan ucapan dan sikap yang merendahkan dan menantang itu membuat Cu
Seng Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia pun meloncat turun dari atas
dipan.
“Lihat
kesombongan setan cilik ini! Dan anak seperti ini akan mewarisi ilmu kita?
Bocah she Kam, ingin kulihat sampai di mana kehebatan ilmu keluarga Kam!”
berkata demikian Cu Seng Bu meloncat ke depan dan menggunakan tangan kirinya
menampar ke arah leher Bi Eng!
Orang ini
berjuluk Bu-eng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan, maka tentu saja dapat diduga
bahwa dia adalah seorang ahli ginkang yang telah tinggi tingkatnya. Gerakannya
demikian cepat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan Bi Eng dan tangannya
menyambar seperti kilat cepatnya.
Akan tetapi
tidak percuma Bi Eng sejak kecil digembleng ayahnya sendiri sebagai anak
tunggal Pendekar Suling Emas itu. Ia memiliki kewaspadaan dan gerakan yang amat
lincah. Begitu melihat tangan menyambar, ia sudah mengelak ke samping dan
bersiap untuk membalas.
Namun, belum
sempat ia membalas, Cu Seng Bu sudah menyusulkan totokan-totokan ke arah pelipis,
pundak dan pinggang secara bertubi dan cepat sekali. Melihat ini, Bi Eng
terpaksa melempar tubuhnya ke belakang dan membuat jungkir balik sebanyak tiga
kali ke belakang. Gerakannya indah dan gesit seperti burung walet saja.
Cu Seng Bu
merasa penasaran bukan main. Empat kali dia menyerang dan empat kali dara
remaja itu dapat menghindarkannya dengan mudah! Jika dara ini tidak dihajar dan
berkenalan dengan kelihaian keluarga Cu, tentu kelak akan mentertawakan
keluarga Cu, apalagi diingat bahwa dara ini adalah anak Kam Hong! Maka kini ia
pun menerjang lagi ke depan dengan niat untuk menurunkan tangan yang lebih
keras!
Tetapi
tiba-tiba Sim Hong Bu meloncat dan menghadangnya. “Susiok, harap maafkan Bi Eng
yang masih kanak-kanak,” katanya.
“Kau.... kau
pun berani melawan susiok-mu?” Cu Seng Bu membentak, kemarahannya semakin
menjadi.
“Teecu bukan
melawan susiok, melainkan melindungi Bi Eng yang menjadi tanggung jawab teecu,”
jawab Hong Bu dengan suara tegas.
“Bagus,
engkau sudah terang-terangan melindungi anak musuh!” Cu Seng Bu sekarang dengan
dahsyatnya menyerang dan mengirim pukulan ampuh kepada Hong Bu.
Pendekar ini
terpaksa menggunakan tangannya menangkis, akan tetapi karena dia merasa sungkan
dan hanya menggunakan tenaga setengah-setengah saja, dia lantas terdorong ke
belakang dan hampir roboh.
Sementara
itu, ketika tadi Bi Eng berjungkir balik membuat salto tiga kali, tahu-tahu
pundaknya dicengkeram orang dari belakang dan ia tidak mampu berkutik lagi.
Kiranya ia telah dipegang oleh Cu Han Bu secara aneh dan pegangan kakek itu
kuat sekali. Begitu Bi Eng mengerahkan sinkang dan hendak meloloskan diri dari
cengkeraman, dara itu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, maka ia
berhenti meronta. Kini, melihat suhu-nya terdorong oleh pukulan kakek yang tadi
juga menyerangnya, ia pun menjadi marah.
“Hemm, bagus
sekali! Kiranya jagoan-jagoan she Cu ini hanya tukang keroyok saja, tukang
menghina murid sendiri dan kakek tidak tahu malu yang beraninya melawan anak
kecil. Kalau kalian memang gagah, mengapa menyerang aku dan tidak berani
menghadapi ayah dan ibuku? Cih, sungguh tak tahu malu, pengecut dan curang!”
Hebat bukan
main makian yang dilontarkan oleh mulut dara remaja itu, terasa oleh kedua
orang kakek itu seperti kotoran busuk dilemparkan ke muka mereka. Mereka berdua
adalah pendekar-pendekar perkasa yang semenjak kecil menjunjung tinggi
kehormatan, nama dan kegagahan. Kini mereka dicaci-maki seorang anak perempuan
yang mengatakan mereka curang, pengecut dan tak tahu malu.
Kalau
menurutkan nafsu kemarahannya, ingin Cu Han Bu sekali pukul menghancurkan
kepala anak itu, akan tetapi dia tidak mungkin melakukan hal ini karena dia
akan merasa menyesal selama hidup dan caci maki anak itu akan menjadi
kenyataan! Maka dengan hati mendongkol dia melempar tubuh anak itu ke atas
lantai.
“Brukk!”
Tubuh Bi Eng
terbanting, akan tetapi anak itu dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat
bangun lagi dengan sikap penuh keberanian.
“Anak setan
yang takabur, segera suruh ayah ibumu datang ke sini dan kami akan
memperlihatkan bahwa kami tidak takut menghadapi mereka!” Kata Cu Seng Bu yang
maklum betapa kakaknya marah sekali akan tetapi juga tidak berdaya.
“Ayahku
bukan tukang cari perkara seperti kalian! Kalau kalian datang menyerbu rumah
kami, tentu ayah dan ibu akan menghajar kalian sampai kalian terkentut-kentut!”
Memang dara ini lincah jenaka dan pandai bicara, maka kembali muka dua orang
kakek itu menjadi merah karena marah. Belum pernah selamanya, sebagai
orang-orang yang paling dihormati dunia kang-ouw, mereka dimaki seperti itu.
Sim Hong Bu
juga sudah mengenal watak muridnya yang berani mati dan pandai bicara dan
menggoda orang, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
“Suhu dan
susiok, maafkanlah murid teecu....”
“Sim Hong
Bu! Keluarkan anak setan ini dari lembah kita, baru engkau menghadap lagi dan
akan kami pertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni tindakanmu yang
dangkal ini!” bentak ayah mertuanya.
“Suhu, teecu
adalah seorang laki-laki sejati, murid dan mantu suhu! Apakah suhu ingin
melihat teecu menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan, melanggar janji
sendiri? Tidak, suhu. Teecu sudah mengikat janji dengan Kam-taihiap dan teecu
tidak akan melanggarnya.”
“Maksudmu?”
“Teecu akan
tetap mendidiknya sampai tiga tahun seperti yang sudah teecu janjikan kepada
Kam-taihiap.”
“Engkau
lebih memberatkan keluarga Kam dari pada kami?”
“Teecu
memberatkan janji, dan teecu memberatkan nasib Sim Houw anak teecu. Teecu tidak
mau membawa anak teecu terseret ke dalam permusuhan antara keluarga Cu dan
keluarga Kam yang tidak ada gunanya itu.”
“Mantu
jahat! Murid murtad! Kalau begitu, engkau boleh pilih antara kami dan anak ini.
Kalau engkau memilihnya, pergilah dari Lembah Naga Siluman dan jangan injakkan
kaki lagi di tempat kami! Juga kami tidak lagi mengakuimu sebagai murid atau
mantu! Pergilah!” Cu Han Bu berteriak marah dan dalam suara teriakannya
terkandung isak kekecewaan dan kedukaan hatinya.
Dahulu, dia
dan adik-adiknya mendidik Sim Hong Bu dengan harapan bahwa murid itu yang kelak
akan membalaskan kekalahan mereka terhadap Kam Hong. Harapan itu tidak pernah
terkabul karena biar pun Hong Bu sudah melaksanakan tugasnya dan menandingi Kam
Hong, ternyata murid mereka itu tidak mampu mengalahkan Pendekar Suling Emas.
Dan sekarang, selagi mereka prihatin dan berusaha menciptakan ilmu lain, dengan
harapan masih tertuju kepada murid yang juga menjadi mantu itu, tumpuan harapan
mereka buyar dan porak-poranda. Murid itu bahkan mau berbesan dengan musuh,
bukan itu saja, malah saling bertukar ilmu!
“Baiklah,
suhu. Teecu akan pergi dari sini bersama Bi Eng dan.... dan kalau dia mau,
dengan isteri teecu.” Setelah berkata demikian, dia lalu bangkit berdiri dan
memegang tangan Bi Eng, untuk diajak pergi dari tempat itu.
“Nanti dulu!
Engkau lupa mengembalikan Koai-liong Po-kiam! Engkau tidak berhak lagi
memiliknya!” bentak Cu Han Bu dengan hati penuh rasa sesal dan kecewa.
Tanpa banyak
cakap, Sim Hong Bu menanggalkan pedang dan sarungnya, kemudian menyerahkannya
kepada gurunya yang menyambarnya dari tangannya dengan kasar. Setelah menjura
sekali lagi, pendekar itu kemudian menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan
goa itu. Dia kembali ke rumah besar di mana Cu Pek In menyambutnya dengan muka
pucat.
Isteri yang
mencinta suaminya ini memandang khawatir. Sinar matanya mengandung kedukaan
ketika ia melihat betapa gadis cilik itu masih bersama suaminya, akan tetapi
pedang Koai-liong-kiam tidak lagi berada di punggung pendekar itu. Sebelum
suaminya berbicara, dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebagai
akibat pertemuan suaminya dengan ayahnya.
Dengan lemas
Sim Hong Bu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Isteri yang menyambutnya
juga duduk di depannya sedangkan Bi Eng berdiri saja di belakang kursi gurunya.
Hati Bi Eng diliputi keharuan karena dia merasakan benar perlindungan dan
pembelaan gurunya terhadap dirinya. Kini ia merasa tegang karena tahu bahwa
gurunya akan menghadapi suatu hal yang paling berat, yaitu isterinya yang sejak
semula sudah memperlihatkan sikap tidak setuju.
“Suhu tadi
mengusirku karena aku bertahan untuk mendidik Kam Bi Eng. Terpaksa aku harus
pergi dan terserah kepadamu, apakah engkau akan ikut bersamaku ataukah tetap
tinggal di sini.”
Suara
pendekar itu datar saja karena dia menekan batinnya yang terguncang hebat. Dia
mencinta isterinya dan tentu saja merasa berat kalau harus berpisah, akan
tetapi keadaan memaksanya. Dia tidak sudi menjadi seorang lemah yang
mengingkari janji sendiri.
Wanita itu
menangis, akan tetapi tanpa suara. Hatinya terlalu keras untuk menangis sampai
mengeluarkan suara. Semenjak kecil Pek In seperti laki-laki. Hanya air matanya
yang mengalir keluar dan segera ia menghapus air matanya.
“Keluarga Cu
tidak mempunyai anak kecuali aku, dan tadinya engkau diharapkan untuk menjadi
keturunan mereka. Akan tetapi sekarang engkau malah menentang, dan kalau aku
juga pergi, habis siapa lagi yang akan dipandang oleh ayah dan para paman? Aku
tidak bisa meninggalkan ayah, aku akan tinggal di sini sampai mati.... sampai
engkau atau Houw-ji ingat kepadaku....” Wanita itu menutupi mukanya dan air
matanya mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya.
Sim Hong Bu
merasa terharu dan kasihan sekali. Ingin dia merangkul dan menghibur isterinya,
akan tetapi dia tahu bahwa hal itu akan percuma saja. Maka dia
mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga akan begini jadinya
dan aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, isteriku. Biarlah aku memenuhi
janjiku, setelah lewat tiga tahun tentu aku akan mencarimu di sini. Selamat
tinggal, isteriku, dan kau maafkan suamimu ini....”
Sim Hong Bu
lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu bersama Bi Eng, diikuti oleh pandang
mata isterinya yang masih terus berlinang air mata. Pada saat itu muncullah Cu
Kang Bu dan Yu Hwi.
“Ehhh,
engkau hendak pergi lagi?” Cu Kang Bu menegur.
Hong Bu
menjura kepada paman dan bibinya. “Suhu mengusir teecu pergi karena teecu
bertahan hendak mendidik Bi Eng. Teecu memilih pergi dari pada harus mengingkari
janji yang telah teecu ikat bersama Kam-taihiap. Sam-susiok, bibi dan engkau
Pek In, harap diketahui bahwa aku sama sekali tidak memihak musuh, bahwa aku
sama sekali tidak menentang keluarga Cu. Kalau aku terpaksa pergi dan tidak
mentaati suhu, hanyalah karena aku sudah mengikat janji, dan semua ini
kulakukan demi kebaikan anakku Sim Houw. Aku tidak ingin Sim Houw terseret
dalam permusuhan antar keluarga yang tidak ada gunanya ini. Kalau pendirianku
ini benar, semoga Thian melindungiku, dan kalau aku bersalah, biarlah aku
terhukum karena kesalahanku. Selamat tinggal!”
Sim Hong Bu
bergegas pergi sambil menggandeng tangan Bi Eng yang sejak tadi diam saja. Cu
Kang Bu dengan kakinya yang panjang melangkah lebar mendampingi Hong Bu,
mengantarnya sampai di tepi jurang.
“Aku harus
melihatmu sendiri menyeberang dengan selamat,” katanya lirih.
Diam-diam
Hong Bu bersyukur dan berterima kasih. Agaknya paman yang dikenalnya amat jujur
dan gagah ini meragukan kalau-kalau dua orang kakaknya akan berbuat curang dan
karena dendam lalu berusaha melenyapkan Hong Bu dan Bi Eng dengan misalnya
membuat mereka terjatuh ke dalam jurang selagi melakukan penyeberangan melalui
tali.
“Terima
kasih, susiok, terutama akan sikap susiok yang tidak marah kepada teecu.”
Pendekar
tinggi besar itu tersenyum dan menghela napas. “Tak tahulah, Hong Bu. Aku
menghargai sikapmu yang memegang teguh perjanjian, tetapi kalau sudah
menyangkut nama dan kehormatan, orang dapat berbuat apa saja dan aku tidak tahu
lagi mana benar mana salah. Kalau dipikir, bukankah mati-matian memegang janji
juga merupakan usaha mempertahankan nama dan kehormatan? Nah, selamat jalan,
mudah-mudahan segalanya akan dapat berakhir dengan baik kelak.”
“Selamat
tinggal, susiok.”
Sim Hong Bu
lalu mengajak muridnya meloncat ke atas jembatan tambang yang sudah direntang.
Mereka berlarian menuju ke seberang, dan pada saat itu, dari balik batang pohon
muncul dua bayangan orang yang bukan lain adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.
Mereka melihat adik mereka Cu Kang Bu berdiri di tepi jurang. Keduanya lalu
menyelinap pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata...
"Ayah,
bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau Houw-ji menjadi murid orang she Kam
itu! Kalau ayah tidak mau pergi mengambilnya, biarlah aku sendiri yang akan
pergi ke sana untuk mengajaknya pulang!” Pek In berkata.
Wanita ini
wajahnya pucat sekali dan matanya merah oleh karena banyak menangis. Ia
menghadap ayahnya di goa pertapaannya. Dia pulalah yang kemarin dulu mendahului
suaminya, menghadap ayahnya dan melaporkan tentang tindakan suaminya yang amat
tidak disetujuinya itu. Ayahnya dan pamannya terpengaruh sehingga begitu Hong
Bu dan Bi Eng muncul, kedua orang tua ini sudah menghadapinya dengan hati
dicekam kemarahan.
Dan kini,
setelah Hong Bu pergi bersama Bi Eng, Pek In menghadap ayahnya lagi dan
merengek, minta agar ayahnya suka pergi mengambil Sim Houw dari tangan keluarga
Kam yang dibencinya.
“Baiklah,
memang aku sendiri pun berpikir bahwa Sim Houw harus diajak pulang. Kami ingin
menggemblengnya dan kelak dia akan menjadi seorang yang lebih lihai dari pada
ayahnya. Dialah kelak yang akan membersihkan nama keluarga kita,” jawab kakek
itu dengan suara mengandung kekerasan dan ketegasan. “Panggil pamanmu Cu Kang
Bu ke sini.”
Ketika Cu
Kang Bu datang menghadap kedua orang kakaknya, Cu Han Bu berkata bahwa dia dan
Cu Seng Bu hendak pergi menyusul Sim Houw dan mengajak pulang anak itu, dan dia
memesan agar Cu Kang Bu menjaga lembah baik-baik.
“Akan
tetapi, toako. Bukankah Houw-ji telah diserahkan kepada Kam Hong dan yang
menyerahkannya adalah ayahnya sendiri?” Cu Kang Bu membantah.
Saudara
termuda keluarga Cu ini maklum bahwa kepergian kakaknya itu berarti hanya akan
memperdalam permusuhannya dengan keluarga Kam saja.
“Akan
tetapi, aku adalah ibu kandungnya, paman! Aku berhak memintanya kembali dan
dalam hal ini aku diwakili ayah. Sebagai kakeknya, ayah berhak mewakili aku
untuk minta kembali Houw-ji!” Pek In berseru dengan nada suara penuh kemarahan.
Ia pun tahu bahwa watak paman ke tiga ini lain, dan dalam banyak hal, Cu Kang
Bu condong kepada suaminya.
Cu Kang Bu
menggerakkan kedua pundaknya. “Terserah kepadamu. Sebagai ibunya tentu saja
engkau berhak mengaturnya. Akan tetapi kalau yang menyerahkan ayahnya, dan yang
meminta ibunya, hal itu sama saja dengan membuka borok di muka umum, membuat
orang mengerti bahwa ada ketidak cocokan antara suami isteri,” kata Cu Kang Bu.
“Sudahlah,
sam-te. Kami sendiri tidak mempersoalkan itu, yang kami ingat hanyalah bahwa
kalau kita menyerahkan Houw-ji kepada keluarga Kam, sama saja artinya bahwa
kita telah merasa jeri dan merasa tidak mampu menandinginya. Penyerahan Houw-ji
sama saja dengan tanda takluk. Karena itulah maka aku dan ji-te akan pergi ke
sana untuk memintanya kembali.”
Cu Kang Bu
tidak dapat membantah, hanya merasa prihatin sekali ketika kedua orang kakaknya
berangkat meninggalkan Lembah Naga Siluman untuk pergi menyusul Sim Houw dan
mengajak anak itu kembali ke lembah. Dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi
ketegangan di sana. Dia hanya mengharapkan saja agar kedua orang kakaknya yang
sudah belasan tahun bertapa dan berlatih siu-lian itu sekarang sudah memiliki
cukup kesabaran untuk menjauhkan pertikaian baru.
Dua orang
tokoh Lembah Naga Siluman itu melakukan perjalanan secepatnya. Mereka memiliki
cukup bekal untuk membeli kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan
membalapkan kuda mereka, ditukar di setiap tempat setelah kuda mereka
kelelahan. Karena mereka hanya merupakan dua orang laki-laki setengah tua
berpakaian pendeta, maka tidak ada gangguan di perjalanan dan akhirnya, pada
suatu siang, tibalah mereka di Puncak Bukit Nelayan, di sebelah selatan kota
Pao-ting.
Mereka
langsung mendaki bukit itu dengan jalan kaki, meninggalkan kuda mereka di dusun
sebelah bawah dan ketika mereka tiba di gedung tua tempat tinggal keluarga Kam,
kebetulan sekali saat itu Kam Hong dan isterinya sedang melihat murid mereka
berlatih silat yang baru pada taraf gerakan dan geseran kaki membentuk dan
merubah kuda-kuda yang dipergunakan dalam Kim-siauw Kiam-sut.
Melihat
munculnya dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pertapa, Kam Hong dan
isterinya memandang penuh curiga, teringat akan malapetaka yang baru saja
menimpa keluarganya. Tentu saja mereka merasa curiga karena mereka tidak
mengenal siapa adanya dua orang ini yang melihat sinar mata mereka tentu sedang
berada dalam keadaan marah.
“Kong-kong....!”
Sim Houw menghentikan latihannya, lari menghampiri dan berlutut di depan
seorang di antara dua kakek itu dan seketika teringatlah Kam Hong dan Ci Sian
siapa adanya dua orang kakek itu. Kiranya dua orang tokoh Lembah Naga Siluman
yang dahulu disebut Lembah Suling Emas!
“Aihhh,
kiranya ji-wi locianpwe Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu yang
datang berkunjung!” kata Kam Hong sambil menjura dengan hormat, diturut oleh
isterinya.
Dua orang
pertapa itu membalas penghormatan Kam Hong dengan sikap kaku, hanya mengangkat
dan merangkap kedua tangan di depan dada sebentar saja, kemudian Cu Han Bu
berkata dengan lantang.
“Kam-sicu,
kami datang untuk menjemput cucu kami Sim Houw dan mengajaknya pulang!”
Suami isteri
itu saling pandang dan bersikap waspada. Dari sikap dan nada suara kakek itu
saja mereka berdua maklum bahwa dua orang itu datang bukan membawa iktikad
baik, melainkan didorong oleh hawa permusuhan yang panas.
“Locianpwe,
Sim Houw adalah murid saya dan dia datang dibawa oleh ayahnya sendiri.”
“Kam Hong!”
kini Cu Han Bu tidak lagi berpura-pura sopan melainkan menurutkan kata hatinya
yang panas. “Mana mungkin ada keganjilan seperti ini? Mana mungkin keturunan
keluarga Cu berguru kepada orang she Kam? Apakah kau kira kami sudah takluk dan
tunduk kepadamu, sudah menganggap kepandaianmu paling hebat di dunia sehingga
cucu kami harus menjadi muridmu?”
Ucapan itu
sudah bernada menyerang. Kam Hong masih tenang saja, akan tetapi Bu Ci Sian
yang memang memiliki watak keras, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke
arah muka tamunya. “Orang she Cu, dengarkan baik-baik! Bukan kami yang membujuk
Sim Hong Bu datang ke sini. Dia datang sendiri bersama puteranya dan mengajukan
pinangan kepada puteri kami. Dan adanya puteranya di sini adalah atas
persetujuan kedua pihak untuk saling menurunkan ilmu kepada anak kita
masing-masing. Kalau kalian datang mencari perkara dan mengajak berkelahi,
bilang saja terus terang, jangan memakai kata-kata yang memutar!”
“Eh, siapa
takut kepadamu?” Cu Seng Bu juga membentak dan meloncat ke depan. Dia dan
nyonya rumah sudah saling berhadapan, seperti dua ekor ayam yang berlagak
hendak saling terjang.
Namun Kam
Hong maju memegang lengan isterinya dan dengan lembut menariknya mundur,
sedangkan Cu Han Bu juga menyentuh lengan adiknya agar adiknya bersabar.
“Kami bukan
datang untuk mengajak berkelahi walau pun kami tidak pernah akan mundur apabila
ditantang. Kami adalah kakek Sim Houw, dan kami datang mewakili ibu kandung
anak itu untuk mengajaknya pulang. Hanya itu saja keperluan kami dan terserah
bagaimana kalian menyambut dan menanggapinya!”
Ci Sian
hendak menerjang dengan kata-kata lagi, akan tetapi suaminya menyentuh
tangannya dan Kam Hong mendahuluinya. “ Maaf Cu-locianpwe. Sebagai tuan rumah,
tentu saja kami menyambut kunjungan ji-wi locianpwe sebagai tamu dengan hormat
dan senang hati. Mari, silakan ji-wi duduk di sebelah dalam dan kita bicara
dengan leluasa.”
“Tidak
perlu, terima kasih. Cukup di sini saja, karena keperluan kami hanya menjemput
cucu kami,” jawab Cu Han Bu yang masih bersikap kaku.
Kam Hong
tersenyum dan menarik napas panjang. “Sesuka locianpwe kalau begitu. Harap
ji-wi suka mendengarkan dengan baik-baik. Di dalam urusan Sim Houw menjadi
murid saya ini tidak terdapat sesuatu yang buruk dan tercela....”
“Hemm, bagi
kami tetap saja buruk kalau ada seorang keturunan keluarga Cu berguru kepada
orang she Kam!” Cu Seng Bu memotong.
Kam Hong
tetap tersenyum. “Agaknya ji-wi lupa bahwa Sim Houw bukanlah she Cu melainkan
she Sim, jadi yang berhak menentukan tentang keadaan dirinya adalah ayah
kandungnya, Sim Hong Bu yang menjadi sahabat baik kami. Sim Houw dibawa ke sini
oleh ayahnya, dia diserahkan oleh ayahnya sendiri kepada kami sebagai penukar
anak kami yang dibawa Sim Hong Bu untuk dididik.”
“Jadi
jelasnya, engkau tidak mau menyerahkan Sim Houw kepada kami yang menjadi
kakeknya? Begitukah?” Cu Han Bu bertanya, nadanya menantang.
“Ada tiga
cara untuk mengajak Sim Houw pergi dan kalau satu di antara tiga cara itu
terpenuhi, dengan senang hati kami akan melepas Sim Houw pergi. Pertama, karena
yang menyerahkan dia kepada kami adalah Sim Hong Bu, maka biarlah Sim Hong Bu
sendiri yang datang menjemput dan memintanya kembali. Ke dua, karena anak ini
berada di sini sebagai penukar anak kami, maka kalau anak kami dikembalikan,
boleh saja kedua anak itu ditukar kembali. Ke tiga, kalau memang Sim Houw yang
menghendaki sendiri pergi dari sini, tentu kami pun tidak akan mau menahan atau
memaksanya. Nah, kami harap saja ji-wi locianpwe dapat berpikiran luas dan
bertindak bijaksana sesuai dengan nama besar ji-wi, dan tidak hanya menuruti
nafsu kemarahan sehingga kelak dapat ditertawakan orang gagah sedunia!”
Cu Han Bu
dan adiknya adalah orang-orang gagah dan tentu saja mereka dapat menerima
ucapan itu dan dapat melihat bahwa Kam Hong sudah bersikap jujur dan adil.
Kalau mereka tidak dapat menerima, berarti merekalah yang bo-ceng-li (tidak
mengenal aturan) dan mereka akan berada di pihak salah kalau sampai terjadi
bentrokan antara mereka.
Akan tetapi,
cara pertama menyuruh Sim Hong Bu datang sendiri tidak mungkin, juga cara ke
dua menukarkan kembali dua orang anak itu tidak mungkin pula, yang ada hanya
tinggal cara ke tiga. Mereka dapat membujuk Sim Houw untuk pulang dan kalau
memang Sim Houw mau pulang, keluarga Kam tidak akan mau menahan atau
memaksanya. Maka Cu Han Bu lalu menghampiri Sim Houw, mengelus kepala anak itu
dan berkata dengan suara halus.
“Houw-ji,
cucuku yang baik. Ibumu menyuruh kami menjemputmu dan mengajakmu pulang. Ibumu
selalu menangis dan rindu kepadamu, dan kalau kau pulang, aku sendiri yang akan
menggemblengmu dengan ilmu-ilmu ciptaanku yang baru, yang tidak akan kalah
dibandingkan dengan ilmu yang bagaimana pun. Marilah, kau pamitlah kepada tuan
rumah dan ikut kami pulang ke lembah, cucuku.”
Sim Houw
memang adalah seorang anak yang pendiam, akan tetapi bukannya tidak cerdik.
Mendengar ucapan kakeknya, dia tahu bahwa kakeknya hanya membujuknya.
Selamanya, belum pernah dia melihat ibunya menangis! Ibunya adalah seorang
wanita gagah yang pantang menangis. Mana mungkin kini mendadak ibunya begitu
cengeng, menangis hanya karena rindu kepadanya? Dia tidak percaya.
Dan tentang
mempelajari ilmu, bukan dia tidak ingin menerima pelajaran ilmu-ilmu sakti dari
kakeknya, akan tetapi setelah dia mengetahui untuk apa dan sebab apa dia
belajar di bawah bimbingan Pendekar Suling Emas Kam Hong, dia pun tidak mungkin
dapat meninggalkan tempat ini tanpa setahu ayahnya. Dia dapat menduga bahwa
tentu terjadi pertentangan antara ayahnya dan kakeknya, dan tentu saja dia
berpihak pada ayahnya. Sejak kecil, jarang dia bertemu dengan kakeknya, apalagi
bergaul karena kedua orang kakeknya yang kini muncul itu selalu bersembunyi di
dalam goa pertapaan dan tidak pernah bersikap manis kepadanya.
“Tidak
kong-kong,” katanya dengan suara tegas. “Aku tidak mau pulang dan akan tetap
tinggal di sini.”
Wajah Cu Han
Bu menjadi merah. “Anak bandel! Berani engkau membantah perintah kakekmu?”
“Kong-kong,
aku tidak berani melanggar perintah ayah. Aku akan tetap berada di sini sampai
ayah datang menjemputku. Harap kong-kong maafkan!” kata pula Sim Houw dengan
suara tegas.
Kakek itu
marah sekali, bukan marah karena penolakan cucunya, tetapi marah karena kembali
dia merasa dikalahkan oleh Kam Hong. Jari-jari kedua tangannya meregang dan
melihat ini, Kam Hong sudah siap-siap untuk melindungi muridnya. Tiba-tiba Cu
Han Bu memutar tubuhnya, kedua tangannya bergerak ke arah dua batang pohon yang
tadi berada di belakangnya. Mereka memang berada di dalam kebun di mana Kam
Hong melatih muridnya.
“Ciutt…
ciuuuttt.... brakkk....!”
Dua batang
pohon itu tumbang dan runtuh, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Inilah satu di
antara ilmu-ilmu baru ciptaan kedua orang kakek yang sakti itu. Diam-diam Kam
Hong kagum sekali. Pukulan tadi memang hebat. Batang pohon yang kuat dan
sebesar perut manusia itu sekali pukul remuk dan tumbang, apalagi badan
manusia!
Setelah
merobohkan dua batang pohon untuk memuntahkan kedongkolan hatinya, Cu Han Bu
lalu melangkah lebar pergi dari situ diikuti oleh adiknya. Kam Hong hanya
memandang dengan sikap tenang, dan isterinya tersenyum, sementara itu Sim Houw
memandang dengan mata terbelalak karena terkejut melihat ulah kakeknya tadi.
“Sim Houw,
lihat betapa saktinya kakekmu. Sayang dia pemarah. Kesaktiannya boleh kau tiru,
hasil dari pada ketekunan, akan tetapi pemarahnya itu jangan kau tiru. Nah,
mulai sekarang belajarlah dan berlatihlah dengan tekun agar kelak tidak
mengecewakan keluargamu, juga kakek-kakekmu itu.”
Mulai hari
itu, Kam Hong menggembleng muridnya lebih tekun lagi dan pemuda remaja itu pun
mengimbangi ketekunan gurunya dengan berlatih setiap ada kesempatan. Terjadilah
perlombaan antara Kam Hong dan Sim Hong Bu dalam melatih murid masing-masing,
seperti juga perlombaan antara keluarga Kam dan keluarga Cu. Akan tetapi bentuk
perlombaan antara kedua orang pendekar sekali ini adalah perlombaan yang sehat,
yang dapat membawa kemajuan kepada kedua pihak...
***************
Senja itu
cerah akan tetapi tidak mampu menjernihkan batin orang-orang yang sedang
melakukan perbuatan jahat itu. Senja yang cerah dan tadinya hening itu kini
dikotori oleh teriakan-teriakan, tawa bergelak, dan jerit tangis. Segerombolan
orang laki-laki yang rata-rata bersikap kasar, dipimpin oleh seorang laki-laki
berusia empat puluh tahun yang berkumis lebat sedang menyerbu dua rumah yang
agak terpencil di luar dusun pada sore hari itu. Pihak tuan rumah mengadakan
perlawanan yang sia-sia, karena beberapa orang pria dari dua keluarga itu dalam
waktu singkat saja sudah rohoh bermandi darah terkena bacokan dan tusukan golok
gerombolan perampok itu.
Kemudian,
kepala gerombolan muncul dari rumah sebelah kiri, tertawa-tawa dan kedua
lengannya yang berbulu dan besar-besar itu mengempit tubuh dua orang wanita
dusun yang cukup cantik. Dua orang wanita itu menjerit dan meronta-ronta, namun
mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan
kedua lengan yang kekar itu. Para anak buahnya bersorak dan tertawa-tawa ketika
melihat pemimpin mereka menawan dua orang wanita itu dan teriakan-teriakan yang
bernada kotor dan cabul terlontar dari mulut mereka.
Di balik
sebatang pohon besar, seorang pria muda mengintai semua peristiwa itu sejak
tadi. Pria itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya agak pendek
namun tegap, mukanya putih dan matanya bersinar-sinar, pakaiannya mewah. Dia
seorang pesolek muda yang cukup tampan dan yang sejak tadi mengintai dan
diam-diam menjadi penonton ketika gerombolan perampok itu menjalankan aksi
mereka merampok dua rumah yang terpencil itu. Rumah itu milik dua keluarga yang
terhitung kaya di daerah itu, maka kini para anak buah perampok dengan gembira
mengangkuti peti-peti berisi pakaian dan harta benda mereka.
Ketika
kepala perampok itu merangkul dua orang wanita muda yang meronta-ronta sehingga
kaki seorang di antara dua orang wanita itu nampak keluar sampai ke atas lutut,
pemuda pesolek itu memandang penuh gairah sambil menggumam, “Hemm, lumayan
untuk hiburan malam ini!”
Kini para
perampok keluar membawa peti-peti harta dan melihat ini, kembali pemuda pesolek
itu menggumam, “Lumayan untuk penambah bekal!”
Dia sudah
membayangkan betapa malam ini dia akan menghibur diri bersenang-senang
menggumuli salah seorang atau mungkin keduanya dari wanita itu, dan menambah
isi buntalan pakaiannya dengan emas permata dari dalam peti itu.
Orang muda
ini adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah kita ketahui, putera mendiang
Louw-kauwsu ini berhasil menipu keluarga Suma Kian Lee. Bukan hanya diambil
murid dan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, bahkan juga diambil mantu dan dia bahkan
telah berhasil memperkosa puteri Pendekar Pulau Es itu. Tapi semua perbuatannya
itu telah ketahuan dan dia nyaris tewas kalau saja dia tidak berhasil melarikan
diri ditolong oleh gurunya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok. Kemudian, dia mengikuti
Jai-hwa Siauw-ok pergi ke Puncak Bukit Nelayan untuk membantu suhu-nya yang
hendak membalas dendam kepada keluarga Kam. Di tempat itu mereka bertemu dengan
Hek-i Mo-ong dan seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, akhirnya
Jai-hwa Siauw-ok tewas di tangan Hek-i Mo-ong sendiri karena memperebutkan Bi
Eng, sedangkan Louw Tek Ciang terpaksa melarikan diri.
Semenjak
kehilangan gurunya yang amat menyayangnya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, Tek Ciang
hidup bertualang seorang diri. Dia sudah tidak mempunyai keluarga dan kini
keluarga Suma malah memusuhinya dan tentu akan selalu mencari-carinya untuk
menghukumnya. Dia hidup seorang diri, merantau ke mana-mana dan dari Jai-hwa
Siauw-ok, selain mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dia juga mewarisi kegemarannya
yang amat merusak, yaitu kalau membutuhkan, tidak segan-segan melakukan pencurian
dan setiap melihat wanita cantik, hatinya terpikat dan dia pun melakukan
kebiasaannya yang terkutuk, yaitu mempergunakan kepandaian menculik dan
memperkosa wanita yang disukainya.
Pada senja
hari itu, tanpa disengaja dia menyaksikan segerombolan perampok beraksi
menyerbu rumah dua keluarga. Dia menjadi penonton yang melihat peristiwa itu
sebagai suatu kejadian yang lucu. Biarkan mereka itu bekerja untukku, pikirnya.
Kalau mereka sudah selesai, dia tinggal turun tangan merampas dua orang wanita
yang kelihatan montok dan cukup menarik itu dan merampas beberapa buah barang
berharga.
Ketika
gerombolan itu sambil tertawa-tawa meninggalkan dua rumah yang sudah mereka
rampok ludes dan hendak menghilang ke dalam hutan yang berdekatan dengan
rumah-rumah itu, tiba-tiba saja Tek Ciang meloncat keluar. Gerakannya amat
cepat, tahu-tahu sudah berada di depan kepala gerombolan yang berjalan di muka.
“Serahkan
dua anak ayam ini kepadaku!” bentak Tek Ciang dan tangannya sudah menusuk ke
arah sepasang mata kepala perampok itu dengan totokan yang sangat berbahaya.
Agaknya pemuda ini bukan hanya hendak merampas wanita, akan tetapi juga ingin
membikin buta kepala perampok itu dengan tusukan dua buah jari tangan kanannya.
“Wuuuuuttt....!”
Tiba-tiba
saja kepala perampok yang kumisnya tebal itu membuat gerakan meloncat ke
belakang. Sambil tetap mengempit tubuh dua orang wanita itu, dia dapat membuat
gerakan meloncat ke belakang sedemikian ringan dan cepatnya sehingga
mengejutkan hati Tek Ciang. Orang yang dapat meloncat ke belakang secepat itu
sambil mengempit tubuh dua orang berarti memiliki ilmu kepandaian yang tidak
boleh dipandang ringan!
Agaknya
kepala perampok itu pun menyadari akan kelihaian pemuda yang hendak merampas
tawanannya, karena tusukan jari tangan ke arah matanya tadi benar-benar amat
berbahaya dan kalau kurang cepat sedikit saja dia meloncat, tentu kedua matanya
telah menjadi buta! Marahlah dia. Dengan suara menggeram hebat, dia
menggerakkan tangan kanannya melontarkan tubuh wanita yang dipegang tangan kanannya
ke arah Tek Ciang sedangkan wanita yang dipeluk tangan kirinya dia lemparkan
begitu saja ke kiri. Tubuh dua orang wanita itu melayang dan ini pun
membuktikan betapa kuat tenaga kepala perampok berkumis lebat itu.
Dengan mudah
saja Tek Ciang menyambut tubuh yang melayang ke arahnya itu dan dengan lunak
tubuh wanita itu dapat dirangkulnya, kemudian dia menurunkan wanita itu yang
segera lari menjauh dan menangis di bawah pohon dengan ketakutan.
Pada saat
itu, sesosok bayangan berkelebat menyambar tubuh wanita ke dua yang tadi
dilemparkan tangan kiri si kepala perampok. Cara bayangan ini menyambar tubuh
itu mengagumkan hati Tek Ciang, apalagi ketika dilihatnya bahwa yang menyambar
tubuh itu adalah seorang pemuda berusia antara dua puluh tahun dan berwajah
gagah. Pemuda itu pun menurunkan tubuh si gadis yang terculik, yang berlari
menghampiri kawannya dan mereka berdua berangkulan sambil menangis.
“Kau....?”
Si kepala perampok terkejut dan marah ketika melihat pemuda yang baru tiba itu.
Sebaliknya, si pemuda juga memandang tajam dan tersenyum mengejek.
“Murid
murtad, kiranya benar engkau yang mengotorkan nama Kun-lun-pai!” pemuda itu
meloncat ke depan menghadapi kepala perampok berkumis tebal.
Kepala
perampok itu marah sekali. Dia cepat mencabut pedang yang tergantung di
punggungnya, lalu menyerang pemuda baju hijau yang menghadapinya itu. Serangan
itu dahsyat sekali, akan tetapi si pemuda dapat mengelak dengan gesitnya.
“Phang Hok,
aku datang atas nama suhu. Menyerahlah dari pada harus kuwakili suhu
membunuhmu!” Pemuda baju hijau itu masih mencoba untuk mengajak damai. Akan
tetapi lawannya mendengus dan pedangnya berkelebat semakin dahsyat menyerang.
“Singggg....!”
Pemuda baju
hijau itu mengelak sambil mencabut pedangnya dan sekarang terjadilah
pertandingan yang amat seru dan menarik.
Tek Ciang
berdiri menonton dengan hati kagum. Tidak disangkanya bahwa kepala perampok itu
ternyata memiliki kepandaian yang hebat, ilmu pedangnya juga dahsyat. Akan
tetapi pemuda baju hijau itu pun ternyata memiliki ilmu pedang yang sama
gerakannya, bahkan lebih mantap dan lebih cepat. Dia dapat menduga bahwa mereka
itu tentulah saudara seperguruan dan melihat kelihaian pemuda baju hijau itu,
Tek Ciang mengambil keputusan lain. Melihat betapa belasan orang perampok itu
kini telah mencabut senjata dan bersikap hendak mengeroyok, dia pun menerjang
ke depan.
“Perampok-parampok
hina, kalian hanya mengotorkan dunia saja!” bentaknya dan sebagai seorang
pendekar tulen, dia pun lalu menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok itu
dengan tangan kosong saja.
Memang sukar
mengatakan bahwa Tek Ciang seorang penjahat, walau pun dia jauh dari pada
seorang pendekar! Dia tidak pernah melakukan kejahatan secara berterang. Kalau
sekali waktu dia mencuri uang, hal itu dilakukan karena dia membutuhkan untuk
bekal perjalanan, dan dia selalu tidak pernah meninggalkan jejak. Demikian pula
kalau dia menculik dan memperkosa wanita, dia melakukannya tanpa ada yang
melihatnya dan untuk menghilangkan jejaknya, bukan jarang dia membunuh wanita
yang sudah dipermainkannya sampai puas itu.
Akan tetapi,
hal ini bukan berarti bahwa dia suka berhubungan atau berdekatan dengan kaum
penjahat. Bahkan tidak jarang dia menentang kalau terjadi kejahatan, bukan
karena tergerak hatinya menentang kejahatan itu sendiri, melainkan karena dia
ingin mencari kepuasan dengan anggapan sendiri bahwa dia adalah seorang
pendekar. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang keluarga pendekar sakti Suma,
keturunan para Pendekar Pulau Es!
Kecondongan
untuk mencari nama dan kehormatan bukan hanya merupakan penyakit yang diderita
Louw Tek Ciang ini. Keinginan agar dianggap sebagai seorang baik, orang pandai
dan yang serba menonjol merupakan penyakit kita semua, walau pun kadang-kadang
sifat itu kita lakukan di luar kesadaran kita sendiri. Kita sukar menghentikan
perbuatan-perbuatan buruk yang sudah menjadi kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan
buruk yang sesungguhnya menjadi cara untuk mencari atau mencapai kesenangan.
Akan tetapi
di samping itu, ada hasrat dalam batin kita untuk dianggap sebagai orang baik
tanpa cacat. Inilah sebabnya mengapa para koruptor condong untuk menjadi
penderma paling royal. Bahkan orang yang dianggap paling jahat sekali pun, di
lubuk hatinya merindukan kehormatan dan nama baik ini. Maka terjadilah konflik
dalam batin antara kenyataan yang ada dengan keinginan yang kita dambakan.
Kalau saja
pelaku kejahatan mengakui kejahatannya lahir batin, maka kehidupan dan dunia
ini agaknya akan menjadi berbeda. Kita condong untuk membela perbuatan kita,
memulasnya agar nampak tidak kotor, bahkan kita selalu mengingkari semua
perbuatan buruk kita, hanya karena ingin memenuhi hasrat hati, yaitu ingin
dianggap baik dan terhormat itulah! Maka timbullah kepura-puraan, timbullah
kemunafikan.
Perbuatan
yang oleh umum dianggap baik bagaimana pun juga, kalau hal itu dilakukan karena
ada pamrih ingin dianggap baik, maka perbuatan itu adalah suatu hal yang kotor
dan palsu, yang munafik dan karenanya jelas tidak baik lagi. Perbuatan baik
adalah perbuatan yang sama sekali tak dinilai oleh pelakunya, perbuatan yang
wajar, perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sehingga perbuatan itu
tidak ada ujung pangkalnya, tidak ada sebab akibatnya, tidak terikat karma.
Perbuatan berdasarkan cinta kasih adalah wajar, tidak melepas atau menanamkan
budi, tidak menimbulkan dendam, tidak ditumpuk dalam ingatan, dan selesai
sampai di saat itu saja!
Pemuda
berbaju hijau itu pun kaget dan girang melihat munculnya seorang pemuda tampan
yang mengamuk dan menghadapi pengeroyokan anak buah perampok yang rata-rata
memiliki ilmu silat yang lumayan itu. Dia pun kagum karena segera dapat melihat
betapa lihainya pemuda bertangan kosong itu menghadapi para pengeroyoknya yang
semuanya bersenjata.
Perkelahian
antara pemuda baju hijau itu sendiri melawan kepala perampok tidak berlangsung
terlalu lama. Betapa pun lihainya kepala perampok itu, menghadapi si pemuda
baju hijau, dia kalah cepat dan kalah tinggi tingkatnya, kalah segala-galanya.
Dalam waktu kurang dari lima puluh jurus, pedang di tangan pemuda baju hijau
itu sudah menusuk leher lawannya yang roboh dan tewas seketika.
Ketika
pemuda itu menyimpan kembali pedangnya dan menoleh, dia melihat betapa belasan
orang perampok itu semua sudah roboh dan tewas, sedangkan pemuda tampan itu
sedikit pun tidak terluka, bahkan pakaiannya yang mewah itu sama sekali tidak
kusut atau kotor. Pemuda itu sekarang berdiri memandang kepadanya sambil
tersenyum.
“Ilmu
pedangmu hebat sekali, sobat!” kata Tek Ciang memuji.
“Engkaulah
yang berilmu tinggi sehingga dapat mengalahkan pengeroyokan para perampok
dengan tangan kosong saja,” pemuda baju hijau itu balas memuji.
Tek Ciang
tertawa, girang dan bangga karena dipuji. “Ahhh, dibandingkan dengan ilmu
pedangmu, apa artinya kepandaianku? Kalau tidak salah, ilmu pedangmu itu adalah
ilmu pedang dari Kun-lun-pai, benarkah? Sudah lama aku mengagumi ilmu-ilmu
silat Kun-lun-pai dan baru sekarang aku bertemu dengan seorang ahlinya.
Perkenalkan, sobat, namaku adalah Louw Tek Ciang.” Tek Ciang memberi hormat
yang cepat dibalas oleh pemuda itu.
“Engkau
adalah penolongku, Louw-toako dan terima kasih atas bantuanmu. Namaku adalah
Pouw Kui Lok. Dugaanmu memang tepat karena aku adalah murid Kun-lun-pai, akan
tetapi sama sekali bukan tokoh ahli.”
Para pembaca
tentu masih ingat akan nama ini. Pemuda baju hijau itu adalah Pouw Kui Lok
pemuda murid Kun-lun-pai yang pernah mencari Hek-i Mo-ong untuk membalaskan
kematian gurunya, yaitu Yang I Cinjin yang dahulu tewas oleh Hek-i Mo-ong.
“Ah,
Pouw-lauwte, kalau orang yang sudah pandai ilmu pedang seperti engkau ini masih
bukan ahli, lalu yang ahli yang bagaimana? Janganlah terlalu merendahkan diri.
Akan tetapi, kalau tidak salah, kepala perampok itu mempunyai ilmu dari
Kun-lun-pai pula. Benarkah?”
“Benar, dia
adalah seorang murid Kun-lun-pai yang murtad dan tersesat. Aku diutus oleh para
pimpinan Kun-lun-pai untuk mencari dan menghukumnya. Dia cukup lihai dan anak
buahnya juga rata-rata pandai ilmu silat. Untung ada engkau yang membantuku.
Akan tetapi marilah kita antarkan dulu dua orang nona itu pulang dan membawa
barang-barang rampasan itu kembali ke keluarga mereka, baru kita bicara dan
mempererat perkenalan.”
“Baik, kita
harus menolong mereka tidak kepalang tanggung,” berkata pula Tek Ciang dengan
sikap gagah. Dua orang muda itu lalu menghampiri dua orang wanita yang masih
berlutut menangis.
“Sudahlah,
nona-nona, jangan menangis. Lihat, semua penjahat telah kami bunuh. Sekarang
mari kami antar pulang dan kami bawakan barang-barang keluarga nona yang
dirampok.” Dengan sikap ramah Tek Ciang menghampiri mereka dan dua orang gadis
itu pun menghentikan tangis mereka dan ketika mereka melihat bahwa semua
penjahat telah tewas, keduanya menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Ciang.
“Kami
menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan taihiap....”
Tek Ciang
tersenyum. Kebanggaan bagaikan hendak meledakkan dadanya. Kadang-kadang,
kegembiraan yang timbul karena kebanggaan ini lebih nikmat dari pada kalau dia
memperkosa wanita.
“Ah, bukan
hanya aku seorang yang turun tangan, nona. Kami dua orang she Pouw dan she Louw
tidak akan membiarkan kejahatan merajalela di dunia ini,” katanya dengan sikap
orang yang berhati lapang dan pandai merendahkan hati.
Dua orang
muda itu lalu mengangkut semua barang rampokan, kemudian mengawal dua orang
gadis itu kembali ke rumah mereka yang tadi dirampok. Dan di tempat itu mereka
disambut ratap tangis, bukan hanya karena bersyukur melihat mereka pulang
dengan selamat membawa semua barang yang dirampok, akan tetapi juga karena
terlukanya para anggota keluarga laki-laki yang tadi melakukan perlawanan.
Kui Lok dan
Tek Ciang tidak berlama-lama di tempat itu. Mereka segera meninggalkan keluarga
itu tanpa memberi kesempatan mereka berterima kasih, sesuai dengan watak para
pendekar yang tidak mengharapkan balas jasa atas pertolongan yang mereka
berikan kepada orang-orang yang dilanda malapetaka.
Demikianlah
perkenalan yang terjadi antara dua orang muda itu. Ketika Pouw Kui Lok
mendengar bahwa pemuda yang lihai itu adalah murid pendekar sakti Suma Kian Lee
keluarga Pulau Es, kekagumannya bertambah dan dia pun mempersilakan Tek Ciang
untuk singgah di Kun-lun-pai cabang kota Tung-keng yang meliputi cabang
perguruan silat ini di daerah tengah, di mana Kui Lok kini tinggal bersama para
tosu yang menjadi pimpinan kuil Kun-lun-pai cabang Tung-keng itu.
Kui Lok
ingin lebih mempererat persahabatannya dengan Tek Ciang karena sejak lama dia
sudah mendengar tentang keluarga Pulau Es dan merasa kagum sekali. Juga para
tosu Kun-lun-pai merasa gembira sekali dan kagum ketika mendengar bahwa pemuda
yang pesolek itu adalah murid keluarga Pulau Es!
Tek Ciang
telah tinggal di kuil itu selama tiga hari ketika pada pagi hari ke empat, Hong
Tan Tosu, ketua kuil itu, seorang tosu tinggi kurus berusia enam puluh lima
tahun, yang sejak pagi tadi keluar kuil, kembali membawa dua orang tamu. Dan
dua orang tamu itu adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.....
***************
Seperti kita
ketahui, dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman ini baru saja kembali dari
Puncak Bukit Nelayan dimana mereka menanggung kecewa dan malu karena tidak
berhasil membawa pulang cucu mereka, Sim Houw. Dengan hati kesal mereka menuju
pulang dan di kota Tung-keng mereka berdua bertemu dengan Hong Tan Tosu.
Tosu
Kun-lun-pai ini dahulu, ketika masih berada di Kun-lun-san, pernah bertemu di
lembah keluarga Cu sehingga dia mengenal baik keluarga Cu. Maka, ketika bertemu
dengan dua orang sakti itu, dia merasa gembira sekali dan mempersilakan dua
orang kenalannya itu untuk singgah di kuilnya.
Cu Han Bu
yang sedang kesal hatinya menerima undangan ini, maka mereka lalu mengikuti
Hong Tan Tosu mengunjungi kuil Kun-lun-pai. Dan di sinilah dua orang tokoh
Lembah Naga Siluman itu bertemu dengan Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang.
Kebetulan
sekali pada saat itu, ketika dua orang sakti memasuki kuil, mereka melihat dua
orang pemuda itu sedang berlatih silat di dalam kebun di samping kuil. Sebagai
ahli-ahli silat tinggi, dua orang kakak beradik Cu itu segera merasa tertarik
sekali karena sekali pandang saja maklumlah mereka bahwa dua orang muda yang
sedang berlatih silat itu memainkan ilmu-ilmu silat tinggi.
Dua orang
muda itu adalah Kui Lok dan Tek Ciang. Mereka telah menjadi sahabat karib dan
pada pagi hari itu, atas usul Kui Lok, mereka berlatih silat bersama. Melihat
gerakan Kui Lok, dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu mengenal ilmu silat
Kun-lun-pai dan mereka kagum karena pemuda itu memiliki gerakan yang amat
ringan dan kuat. Akan tetapi mereka terbelalak memandang dan memperhatikan
gerakan Tek Ciang. Pemuda ini memainkan ilmu silat yang aneh dan hebat, apalagi
ketika terasa oleh mereka betapa dari kedua tangan pemuda ini menyambar hawa
yang berubah-rubah, kadang-kadang dingin kadang-kadang panas.
Hong Tan
Tosu yang menemani mereka, melihat kekaguman dua orang sakti itu, lalu berkata
lirih. “Orang-orang muda sekarang bertambah hebat saja, akan kalah kita yang
tua-tua ini.”
“Hong Tan
To-yu, siapakah mereka ini?” tanya Cu Han Bu dengan hati tertarik.
“Yang
berbaju hijau itu adalah Pouw Kui Lok, sute pinto sendiri dan dia memang sudah
mencapai tingkat tertinggi di dalam perguruan kami. Dan yang ke dua itu bukan
orang sembarangan. Namanya Louw Tek Ciang. Dia adalah murid Suma Kian Lee,
pendekar Pulau Es.”
“Ahhh....!”
Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menahan seruan mereka dan memandang kagum.
Pantas saja
pemuda itu demikian lihainya, tidak tahunya murid pendekar PULAU ES! Pada waktu
yang bersamaan, kakak beradik ini saling pandang dengan gejolak hati yang sama.
Alangkah baiknya kalau mereka bisa menarik dua orang pemuda perkasa itu sebagai
ahli waris baru mereka yang akan mewarisi ilmu-ilmu silat keluarga Cu dan kelak
menjunjung tinggi nama keluarga Cu!
Setelah
mereka duduk di dalam, Cu Han Bu langsung saja menyampaikan keinginan hatinya
kepada sahabatnya. “To-yu, melihat gerakan dua orang muda itu, hati kami jadi
sangat tertarik. Kebetulan sekali kami memang sedang mencari orang-orang yang
agaknya tepat untuk mewarisi semua ilmu kami, yang lama mau pun yang baru saja
kami ciptakan, dan kami melihat bahwa dua orang muda itu agaknya tepat dan
berjodoh sekali. Bagaimana pendapatmu andai kata kami mengajak mereka ke lembah
kami untuk menerima ilmu-ilmu silat keluarga kami?”
Mendengar
ucapan ini, sejenak mata tosu itu terbelalak penuh keheranan. Dia sudah
mengenal benar keluarga Cu ini yang selalu merahasiakan ilmu-ilmu mereka dan
tidak akan menurunkan kepada orang luar, maka pernyataan tokoh nomor satu dari
keluarga Cu itu tentu saja amat mengherankan hatinya.
Dia pun
sudah mendengar bahwa keluarga Cu tidak memiliki keturunan laki-laki, akan
tetapi sudah mempunyai seorang mantu yang lihai sekali dan kabarnya mantu itu
yang telah mewarisi ilmu-ilmu keluarga Cu. Kenapa sekarang mendadak
Kim-kong-sian ini menyatakan hendak mewariskan ilmu-ilmu keluarga Cu kepada
orang luar? Akan tetapi, wajahnya segera berseri gembira ketika teringat bahwa
yang dipilih adalah sute-nya sendiri.
“Ahh, entah
bintang apa yang menerangi nasib sute!” Dia berseru gembira. “Tentu saja dua
orang muda itu akan beruntung sekali kalau dapat terpilih menjadi
murid-muridmu, Cu-taihiap! Biar pinto panggil mereka datang!”
Tosu itu
sendiri segera bangkit dan meninggalkan dua orang tamunya untuk memanggil dua
orang muda yang sedang berlatih silat di kebun. Setelah tosu itu pergi, Cu Han
Bu berkata kepada adiknya.
“Bagaimana
pendapatmu, ji-te?”
Cu Seng Bu
mengangguk-angguk. “Aku setuju sekali, toako. Agaknya merekalah yang amat tepat
menjadi ahli waris kita yang kelak akan menghadapi orang-orang yang hendak
meremehkan nama kita. Apalagi mereka itu yang seorang adalah murid utama
Kun-lun-pai dan yang ke dua bahkan murid keluarga Pendekar Pulau Es. Tepat
sekali!” jawab adiknya.
Keduanya
diam-diam merasa girang sekali. Memang pilihan mereka tepat. Dengan mengangkat
murid dua orang muda itu, sedikit banyak Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es akan
berdiri di belakang mereka dan kalau sudah begitu, siapa berani meremehkan
mereka?
Tak lama
kemudian, Hong Tan Tosu datang kembali ke dalam ruangan tamu diikuti dua orang
muda yang tadi berlatih dan kini leher dan muka mereka masih basah berpeluh.
Keduanya sudah mendengar secara singkat pemberitahuan Hong Tan Tosu bahwa dua
orang sakti dari Lembah Naga Siluman datang dan tertarik kepada mereka, dan
mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu-ilmu sakti dari lembah itu kepada
mereka.
Tentu saja
dua orang itu terkejut dan heran juga, terutama Pouw Kui Lok yang sama sekali
tidak pernah membayangkan akan berguru kepada orang lain kecuali Kun-lun-pai.
Akan tetapi diam-diam Louw Tek Ciang merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa
dirinya mempunyai banyak sekali musuh-musuh yang sangat lihai, terutama sekali
keluarga Pulau Es, maka kalau dia dapat mengumpulkan ilmu-ilmu tinggi sebanyaknya,
berarti dia akan lebih mampu membela diri.
“Ahh,
Pouw-lauwte, sungguh kita beruntung sekali!” katanya sambil memegang lengan Kui
Lok. “Aku sudah mendengar nama besar keluarga Cu dari Himalaya itu, dan kalau
kita dapat mewarisi ilmu-ilmu mereka, sungguh kita memperoleh keuntungan
besar.”
“Akan
tetapi....” Kui Lok memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata ragu-ragu.
Agaknya Hong
Tan Tosu dapat menduga pikiran sute-nya. “Pouw-sute, jangan khawatir. Setiap
orang murid Kun-lun-pai memang dilarang berguru kepada orang lain, akan tetapi
kalau sudah mendapat perkenan orang yang berhak, dan mengingat bahwa keluarga
Cu adalah keluarga pendekar besar yang kukenal baik, maka pinto memberi
perkenan kepadamu dan pintolah yang akan bertanggung jawab kalau ada pertanyaan
dari para suhu dan susiok.”
Tentu saja
ucapan Hong Tan Tosu ini membesarkan hati Kui Lok dan dengan girang mereka
berdua lalu mengikuti tosu itu ke ruangan tamu di mana telah menanti Cu Han Bu
dan Cu Seng Bu. Melihat dua orang setengah tua yang bersikap angker itu, Kui
Lok dan Tek Ciang cepat memberi hormat.
Setelah kini
berhadapan dengan Kui Lok dan Tek Ciang, pandang mata kedua orang tokoh Lembah
Naga Siluman itu memandang penuh selidik dan mereka merasa puas dengan apa yang
mereka lihat. Kedua orang muda itu jelas memiliki tubuh yang baik sekali dan
juga memiliki sinar mata yang tajam dan cerdik. Calon-calon murid yang baik
sekali, apalagi karena mereka telah memiliki dasar ilmu-ilmu silat yang tinggi
pula.
Dalam
keadaan sekarang ini pun, mereka sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan dua
orang muda ini dengan mudah. Apalagi kalau dua orang muda ini sudah menguasai
ilmu-ilmu silat keluarga Cu, tentu keduanya akan jauh lebih lihai dari pada
mereka sendiri dan akan dapat menjunjung nama kehormatan keluarga Cu dengan
baiknya, jauh lebih baik dari pada Sim Hong Bu yang murtad itu!
“Pouw Kui
Lok dan Louw Tek Ciang,” kata Cu Han Bu secara langsung setelah dua orang muda
itu diajak berkenalan. “Kami berdua telah mendengar keadaan kalian dari Hong
Tan To-yu, dan melihat kalian, kami tertarik sekali untuk mengajak kalian ke
lembah kami dan mengajarkan ilmu-ilmu silat keluarga Cu kepada kalian. Tentu
saja kalau kalian sudi menjadi murid kami.”
“Saya akan
merasa gembira dan terhormat sekali, locianpwe,” kata Tek Ciang dengan cepat
tanpa ragu-ragu lagi.
“Saya....
saya juga merasa setuju kalau memperoleh perkenan dari suheng sebagai wakil
para suhu di Kun-lun-pai,” kata Kui Lok hati-hati.
“Ha-ha-ha,
sute. Pinto sudah memberi perkenan dan harap saja engkau sebagai murid
Kun-lun-pai tidak mengecewakan menerima ilmu-ilmu keluarga Cu yang amat tinggi
itu.”
Cu Han Bu
dan Cu Seng Bu menjadi girang. Tak mereka sangka akan semudah itu mereka
menerima murid-murid yang begini lihai.
“Pouw Kui
Lok sudah disetujui oleh Kun-lun-pai untuk menjadi pewaris ilmu-ilmu kami, akan
tetapi bagaimana dengan engkau, Louw Tek Ciang? Kami mendengar bahwa engkau
adalah murid pendekar Suma Kian Lee tokoh Pulau Es, apakah gurumu tidak akan
marah dan berkeberatan kalau mendengar engkau belajar silat kepada kami?”
Hampir saja
Tek Ciang tertawa. Gurunya akan berkeberatan? Gurunya sekarang telah menjadi
musuh besarnya. Akan tetapi dengan cerdik dia memberi hormat dan berkata, “Suhu
telah memberi kebebasan kepada saya untuk memperluas pengetahuan dan
mempelajari ilmu apa saja asal ilmu itu digunakan demi kebaikan, menentang
kejahatan seperti layaknya seorang pendekar. Karena itulah maka saya berani
menerima uluran tangan locianpwe.”
Tentu saja
hati kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu menjadi girang bukan main. Dua
hari kemudian, Kui Lok dan Tek Ciang berangkat mengikuti dua orang kakek itu ke
lembah di Pegunungan Himalaya itu.
Di sana
mereka berdua digembleng secara telaten oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang
merasa girang dan beruntung sekali melihat betapa dua orang murid baru ini
benar-benar tidak mengecewakan. Selain berbakat dan tekun, juga mereka adalah
dua orang muda yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, terutama sekali Tek
Ciang. Benar-benar tidak mengecewakan.
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment