Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 08
Pada waktu
mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ sudah duduk Sin-kiam Mo-li,
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari
Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, serta
beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua
Tiat-liong-pang. Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka
sedang makan minum, atau baru saja selesai. Pada waktu melihat Siangkoan Liong
datang memasuki ruangan makan sambil menggandeng tangan Pouw Li Sian, mereka
semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong, kemudian mereka
memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.
“Para
locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw
Li Sian dan saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan dari sekarang,” kata
Siangkoan Liong dengan wajah berseri gembira.
Mendengar
ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira. Ada yang bersorak, ada yang
tertawa, kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita
ini melempar pandang mata tajam ke arah wajah Pouw Li Sian.
“Ahh, kalau
begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini
dengan suguhan secawan arak!” kata Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini
kemudian menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan. Bau arak semerbak
harum ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah dua
cawan ini penuh arak merah yang harum, Sin-kiam Mo-li kemudian membawanya dan
menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang masih berdiri. Dengan sikap
dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil berkata
dengan gembira.
“Perkenankanlah
saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi
yang berbahagia,” katanya.
Semua orang
telah mengisi cawan arak mereka masing-masing, kemudian mereka pun ramai-ramai
mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata, “Selamat kepada
Siangkoan-kongcu dan Pouw-siocia!”
Pouw Li Sian
sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang
genit itu, dan tadi dia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat
itu. Akan tetapi melihat betapa semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka,
dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga sudah menerimanya, terpaksa dia
menerimanya pula. Mereka semua lalu minum arak masing-masing sampai habis
secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.
“Cu-wi
(saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon
pengantin belum makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan
biarlah mereka makan berdua saja dengan asyik.” Semua orang tertawa dan setelah
memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil tertawa-tawa.
Siangkoan
Liong memanggil pelayan. Empat orang pelayan datang dan dia menyuruh mereka
membersihkan meja, kemudian menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka
berdua.
Mereka lalu
makan minum dan perlahan-lahan, Li Sian sudah melupakan kedukaannya. Ia merasa
semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan
wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya
tersenyum kalau Siangkoan Liong bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun
tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan sumpitnya, memilihkan daging
yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.
Li Sian sama
sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk
menghormatinya, diam-diam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu
telah menjadi arak obat perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong
yang memang sudah mengaturnya bersama wanita itu dan para pembantunya yang lain.
Mereka semua
maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat
ditundukkan akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi
lawan, ia amat berbahaya. Dan cara satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau
ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.
Bahkan
ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan
mengajaknya masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut
saja seperti seekor domba dituntun ke dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama
sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua orang yang
berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik.
Mereka
adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin, tokoh besar dari perkumpulan
Pek-lian-kauw itu. Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah
mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong, mereka berdua sekarang membantu
pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li Sian.
Gadis itu
tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan
tertarik kepada Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia kini berada
dalam keadaan duka sehingga batinnya menjadi lemah. Kemudian dia pun sudah
terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan juga keputusan Siangkoan Lohan di
kuburan kakaknya, bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong.
Dalam makan
minum lagi, sebelumnya dia pun sudah menerima arak obat perangsang dari
Sin-kiam Mo-li dan kini, di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan
bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja habislah semua daya tahannya. Ia sama
sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah peristiwa dalam kamar
itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.
Baru pada
keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri
sendiri yang demikian lemahnya. Akan tetapi, semuanya telah terjadi dan karena
Siangkoan Liong amat pandai menghiburnya, apa lagi karena pemuda itu adalah
calon suaminya sendiri, maka Li Sian akhirnya takluk dan tunduk, tidak lagi
menyesali perbuatannya. Sama sekali dia tidak sadar bahwa dia telah menjadi
korban dari siasat yang amat lihai, yang telah diatur oleh Siangkoan Liong
bersama para sekutunya untuk menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu
mereka yang setia.
Masih untung
bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak
seperti Kwee Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah
manisnya dihisap habis. Dan ia pun mencinta calon suaminya dengan sepenuh
hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan yang sedang
direncanakan oleh calon ayah mertuanya.
**************
Pria yang
duduk bersila seorang diri di dalam gubuk itu usianya sudah mendekati lima
puluh tahun. Belum tua benar, namun wajahnya sudah mulai nampak tua karena
penuh guratan derita hidup yang membayang pada wajahnya yang masih nampak
tampan. Muka yang berbentuk bulat dengan kulit agak gelap, tubuhnya tegap dan
pakaiannya sederhana walau pun rapi dan bersih.
Gubuk itu
berada di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air yang kemudian
mengalir menjadi awal Sungai Han Sui. Pemandangan alam di situ indah sekali,
dan sunyi karena dusun-dusun terletak jauh di sebelah bawah, di mana terdapat
tanah pertanian di sepanjang kedua tepi sungai yang subur. Pertapa di dalam
gubuk itu adalah Suma Ciang Bun, seorang di antara cucu Pendekar Super Sakti
dari Pulau Es.
Semenjak
muridnya, Gu Hong Beng, pergi dua tahun yang lalu meninggalkannya untuk
melakukan perjalanan merantau dan menentang gerakan para tokoh sesat, Suma
Ciang Bun berdiam seorang diri dalam gubuknya di lereng Pegunungan Tapa-san
yang sunyi itu. Ia hidup menyendiri, bercocok tanam sedikit, hanya cukup untuk
keperluan hidupnya sehari-hari dan waktu selebihnya hanya diisi dengan semedhi.
Dia sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia ramai dan di dalam tempat
yang sunyi itu, pendekar ini telah memperoleh kedamaian batin. Dia tidak ingin
mengganggu ketenteraman batinnya itu dengan segala urusan dunia yang baginya
selalu hanya menimbulkan pertentangan dan keruwetan belaka.
Tidak dapat
disangkal bahwa kedamaian terdapat di dalam batin, dan tergantung dari keadaan
batin, bukan dari keadaan di luar. Segala keinginan timbul dari batin sendiri,
bukan dari keadaan di luar. Hal ini tentu saja memang benar. Akan tetapi tidak
boleh diremehkan daya tarik keadaan di luar batin sendiri.
Tempat yang
sunyi dan tenteram mempunyai banyak pengaruh terhadap ketenteraman batin,
seperti juga benda-benda yang memiliki daya tarik bagi keinginan batin. Jauh
dari benda-benda itu tentu sedikit sekali membangkitkan keinginan, tak seperti
kalau benda-benda itu berada di depan mata.
Biar pun
demikian, tentu saja yang menentukan semuanya adalah keadaan batin itu sendiri.
Batin yang kosong dan damai akan tetap tenang biar orangnya berada di tempat
ramai, sebaliknya batin yang penuh persoalan dan tegang akan tetap merana biar
pun orangnya berada di tempat yang sunyi.
Karena Suma
Ciang Bun memang tidak mempunyai keinginan apa pun, tidak memiliki pamrih atau
cita-cita apa pun, maka dia sama sekali bukan melakukan pertapaan yang menyiksa
diri seperti banyak dilakukan orang yang ingin mencapai sesuatu. Ada banyak
orang-orang yang melakukan tapabrata untuk berprihatin, dengan pamrih agar
sesuatu yang diinginkannya akan tercapai, dan tapa seperti ini sering kali
disertai penyiksaan diri, seperti menahan lapar, menahan haus, menahan kantuk,
dan sebagainya sampai berhari-hari, bahkan berminggu atau berbulan.
Akan tetapi
Suma Ciang Bun tidak melakukan penyiksaan diri. Ini bukan berarti bahwa dia
menuruti semua nafsu badannya, bukan ingin menyenangkan tubuhnya, karena jika
demikian halnya, tidak ada bedanya dengan para pertapa yang ingin mencari
sesuatu yang diinginkan.
Pada saat
perutnya berkuruyuk, Suma Ciang Bun sadar dari semedhinya dan dia pun teringat
bahwa sudah tiba saatnya perutnya diisi karena sejak kemarin sore, dia belum
lagi mengisi perut, dan hari ini matahari sudah naik tinggi. Dengan tenang dia
pun turun dari tempat semedhi, menuju ke luar gubuk melalui pintu gubuk yang
semenjak pagi tadi telah dibukanya lebar-lebar sehingga hawa pegunungan
memenuhi gubuknya. Dia pergi ke bagian belakang gubuk, di sebelah luar dan
nampaklah asap mengepul ketika Suma Ciang Bun membuat api dan menanak nasi,
memasak air dan sayuran, dengan bumbu sederhana.
Selagi dia
masak itulah terdengar langkah kaki orang dan dia pun menengok. Kiranya ada
tiga orang yang berjalan menghampirinya dari depan gubuk. Seorang gadis yang
cantik dan lincah berusia sekitar dua puluh satu tahun, seorang pemuda yang
wajah dan pakaiannya sederhana, pakaian yang serba putih, berusia sekitar dua
puluh dua tahun, dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun
yang tampan dan matanya bersinar tajam.
Suma Ciang
Bun tidak mengenal siapa mereka itu dan dia memandang heran sambil
mengingat-ingat. Hanya gadis itulah dia merasa seperti pernah mengenalnya.
Gadis itu pun segera lari menghampirinya dan memegang lengannya.
“Paman Suma
Ciang Bun! Lupakah Paman kepadaku?” kata Suma Lian sambil tertawa gembira. “Aku
adalah Suma Lian!”
Suma Ciang
Bun terbelalak memandang gadis itu. “Aihhh, engkau, Lian-ji? Wah, sudah begini
dewasa engkau! Angin apakah yang meniupmu sampai ke sini? Dan siapakah mereka
itu?”
Dia
memandang kepada pemuda dan anak laki-laki itu dengan alis berkerut. Gadis ini
adalah keponakannya, keponakan dalam, tapi sebetulnya juga tunangan dari
muridnya. Semenjak Suma Lian berusia dua belas tahun, gadis ini telah
dijanjikan oleh mendiang neneknya untuk menjadi isteri Gu Hong Beng, muridnya
itu.
Mendengar
pertanyaan bertubi-tubi itu Suma Lian tersenyum. “Dia adalah saudara Tan Sin
Hong, Paman. Kami berjumpa dalam perjalanan dan berkenalan. Ternyata antara
dirinya dengan keluarga kita masih ada hubungan dekat, Paman. Dan tahukah
Paman, siapa guru-gurunya? Kakek Kao Kok Cu dan isterinya, penghuni Istana
Gurun Pasir, juga kakek Wan Tek Hoat. Tiga orang sakti itu telah menggemblengnya
di Istana Gurun Pasir.”
Tentu saja
Suma Ciang Bun terkejut bukan main mendengar keterangan itu dan dia pun
membalas penghormatan Sin Hong kepadanya sambil memandang pemuda itu dengan
penuh perhatian. “Ah, kiranya murid para locianpwe yang sakti itu. Sungguh
beruntung dapat berjumpa dengan seorang pemuda yang gagah perkasa. Dan siapakah
anak ini?”
Dia
memandang kepada Yo Han, seorang anak laki-laki yang memiliki sikap gagah dan
sepasang mata yang mencorong. Suma Ciang Bun merasa suka sekali, dan dia agak
tercengang ketika anak itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan
kakinya. Dia mengelus rambut kepala anak itu.
“Aihhh, anak
yang baik, tidak perlu melakukan penghormatan seperti itu. Bangkitlah.” katanya
lembut.
“Paman, dia
bernama Yo Han. Ayahnya adalah paman Yo Jin dan kurasa Paman sudah mendengar
nama ibunya yang gagah perkasa, yaitu bibi Ciong Siu Kwi...“
Suma Ciang
Bun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
“Ciong Siu
Kwi...,“ katanya perlahan.
Dia sudah banyak
mendengar akan nama ini dari muridnya. Bukankah wanita iblis yang amat jahat,
akan tetapi kemudian telah mengubah jalan hidupnya setelah dia menikah dengan
seorang pemuda petani, bahkan kemudian menjadi orang yang mengasingkan diri
dari dunia persilatan?
“Apakah dia
yang berjuluk Bi-kwi...?”
Suma Lian
mengangguk. “Benar sekali, Paman.”
Suma Ciang
Bun memandang kepada anak itu dengan kagum. Dan anak laki-laki ini adalah
putera bekas iblis betina itu?
“Akan
tetapi, mengapa dia ikut denganmu? Apa yang telah terjadi...?”
“Panjang
ceritanya, Paman...”
“Ahh, benar
juga. Sampai lupa aku. Marilah kalian masuk, kita bicara di dalam,” ajaknya
sambil mendahului ketiga orang tamu itu memasuki gubuknya yang sederhana namun
bersih.
Tidak ada
kursi atau bangku di dalam gubuk itu. Lantainya ditilami jerami kering dan
mereka duduk di atas tikar anyaman sendiri yang bersih dan lunak karena di
bawah tikar itu terdapat lapisan jerami kering yang tebal.
Setelah
mereka semua duduk di atas tikar itu, Suma Lian lalu menceritakan maksud
kunjungannya. “Paman Suma Ciang Bun, sebetulnya kunjunganku ke sini adalah
diutus oleh ayah dan ibu. Mereka rindu kepada Paman dan mengutusku untuk
menengok dan menanyakan keselamatan Paman. Selain itu, apa bila Paman tidak
merasa keberatan, ayah dan ibu ingin sekali supaya Paman suka pindah saja ke
rumah kami dan tinggal bersama kami di sana, dari pada Paman hidup menyendiri
di tempat sunyi ini. Kata ayah, dia dan Paman sudah mulai tua dan ayah ingin
dekat dengan Paman.”
Mendengar
ucapan keponakannya itu, Suma Ciang Bun merasa terharu, akan tetapi dia
tersenyum.
“Ahhh, sejak
dulu ayahmu memang amat baik! Aku sudah merasa cukup berbahagia di sini, akan
tetapi undangan ayah ibumu itu bukannya tidak menarik. Berilah waktu, akan
kupikirkan masak-masak dan kalau kelak aku ingin hidup santai dan tenang, aku
akan datang ke rumah kalian.”
Selanjutnya,
Suma Ciang Bun bertanya tentang Sin Hong dan Yo Han. Maka Suma Lian lalu
berceritalah tentang pengalaman perjalanannya, betapa ia melihat Yo Han
dilarikan penculik, kemudian ia berusaha menyelamatkannya dan nyaris tewas jika
tidak ditolong oleh Sin Hong. Ia menceritakan betapa orang-orang golongan sesat
itu telah menawan ayah dan ibu Yo Han. Mereka terpaksa menyerahkan diri demi
menyelamatkan Yo Han yang dijadikan sandera oleh para penjahat.
“Saudara Tan
Sin Hong ini dan aku bermaksud untuk melakukan penyelidikan terhadap para tokoh
sesat yang kabarnya membuat gerakan untuk memberontak, Paman. Kami ingin
melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang di utara. Karena kami tidak
ingin membawa Yo Han ke dalam bahaya sewaktu melakukan tugas itu, maka aku
teringat untuk menitipkan dulu anak ini di sini, Paman. Tentu saja jika Paman
tak berkeberatan dan hanya untuk sementara. Kelak, kalau tugas kami selesai,
saudara Tan Sin Hong ini tentu akan menjemputnya, karena Yo Han telah menjadi
muridnya.”
Mendengar
ini, wajah Suma Ciang Bun berseri dan dia memandang kepada anak laki laki di
depannya itu. Sejak melihatnya pertama kali, memang hatinya telah tertarik
sekali dan dia merasa kagum dan suka kepada Yo Han. Oleh karena itu, mendengar
ucapan Suma Lian, dia mengangguk-angguk.
“Baiklah,
biarlah dia berada di sini saja selama kalian melaksanakan tugas penting itu.
Ketahuilah bahwa muridku, Gu Hong Beng, juga sudah pergi merantau dua tahun
yang lalu dan aku merasa yakin bahwa dia tentu tidak akan tinggal diam kalau
mendengar akan pergerakan kaum sesat itu. Engkau tentu belum lupa kepada
muridku Gu Hong Beng itu, bukan?” tanyanya sambil menatap tajam wajah manis
keponakannya.
Suma Lian
tersenyum, membuat wajahnya nampak makin cerah dan jelita. “Aih, Paman.
Bagaimana mungkin aku dapat melupakan suheng Gu Hong Beng? Tidak akan pernah
dapat kulupakan betapa dulu, ketika aku berusia dua belas tahun dan diculik
oleh Sai-cu Lama, suheng Gu Hong Beng membelaku mati-matian.”
Gadis ini
teringat akan pengalamannya ketika masih kecil itu, ketika ia diculik seorang
datuk sesat, Sai-cu Lama, dan mengakibatkan kematian neneknya.
Mendengar
jawaban itu, Suma Ciang Bun merasa gembira sekali dan dia mendapat pikiran yang
amat baik. Pemuda yang datang bersama Suma Lian ini adalah seorang pemuda yang
memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah diduga kalau mengingat betapa pemuda
ini pernah menyelamatkan Suma Lian, apa lagi karena ketiga orang gurunya adalah
tokoh-tokoh besar yang sakti.
Melihat
pergaulan yang nampak akrab di antara pemuda itu dan keponakannya, timbul
kekhawatiran dalam hatinya walau pun dia tidak merasa heran melihat pergaulan
yang akrab antara muda mudi itu. Memang kehidupan di dunia persilatan lebih
bebas. Bagi seorang gadis ahli silat yang suka merantau, merupakan hal yang
biasa bergaul dengan seorang pemuda karena gadis itu mampu menjaga diri dengan
kepandaiannya. Akan tetapi dia khawatir kedahuluan, maka dia mempunyai pikiran
untuk menyampaikan saja pesan rahasia mendiang nenek Teng Siang In kepada
keponakannya, di depan pemuda itu.
“Lian-ji,
keponakanku yang baik. Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan suatu
berita yang mungkin selama ini masih menjadi rahasia besar bagimu. Mengingat
bahwa pemuda perkasa ini adalah murid Istana Gurun Pasir, maka berarti dia
bukan orang luar dan tidak ada jeleknya kalau dia mendengarkan pula.”
Mendengar
ucapan yang dikeluarkan dengan wajah serius itu, Suma Lian terkejut dan menatap
wajah pamannya dengan penuh keinginan tahu. “Paman, rahasia apakah itu?”
“Rahasia
peninggalan pesan terakhir nenekmu Teng Siang In. Atau barang kali engkau sudah
mendengarnya dari orang tuamu?”
“Pesan
terakhir nenek Teng Siang In? Belum, Paman, aku belum mendengar tentang itu.
Apakah pesan terakhir itu ditujukan kepadaku?”
“Bukan
kepadamu, akan tetapi justru pesan itu mengenai dirimu, atau lebih tepatnya
mengenai perjodohanmu.”
Sepasang
mata yang lebar dan jeli itu terbelalak, kemudian kedua pipinya berubah
kemerahan.
“Apa... apa
maksudmu, Paman?” tanyanya agak tergagap karena hatinya terguncang mendengar
bahwa mendiang neneknya meninggalkan pesan mengenai perjodohannya.
Suma Ciang
Bun menarik napas panjang. “Hal ini sudah pernah kuceritakan pada ayah ibumu,
akan tetapi agaknya mereka belum menceritakannya kepadamu. Baiklah akan
kuceritakan saja agar aku tidak akan selalu merasa berhutang janji kepada
nenekmu itu, melalui muridku. Hal itu terjadi ketika engkau diculik oleh Sai-cu
Lama. Engkau tentu masih ingat betapa telah terjadi perkelahian antara mendiang
nenekmu dan Sai-cu Lama. Nenekmu kemudian dibantu oleh suheng-mu, Gu Hong Beng,
akan tetapi Sai-cu Lama amat lihai dan akhirnya nenekmu roboh dan terluka parah
oleh Sai-cu Lama yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam...“
“Ban-tok-kiam...?”
Tiba-tiba Sin Hong berseru kaget, di luar kesadarannya.
Suma Ciang
Bun memandang kepadanya dan mengangguk. “Benar, Tan-sicu (orang gagah Tan),
datuk sesat itu mempergunakan Ban-tok-kam, karena pedang dari Istana Gurun
Pasir itu pernah terjatuh ke dalam tangannya.”
Sin Hong
sadar bahwa dia telah lancang bicara dan kini diam saja, membayangkan betapa
Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam kini terjatuh ke dalam tangan Sin-kiam Mo-li.
Hal ini mengingatkan dia bahwa amatlah berbahaya kalau pedang-pedang yang amat
ampuh dan ganas itu terjatuh ke tangan orang jahat.
Bagaimana
pun juga, dia harus mencari Sin-kiam Mo-li, bukan untuk sekedar membalas dendam
atas kematian tiga orang gurunya, akan tetapi terutama sekali untuk merampas
kembali Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam. Dua batang pedang pusaka yang amat
ganas itu tidak boleh disalah gunakan oleh Sin-kiam Mo-li atau para tokoh jahat
lainnya untuk melakukan kejahatan.
“Lalu
bagaimana, Paman?” tanya Suma Lian tidak sabar karena cerita pamannya yang akan
membuka rahasia pesan terakhir neneknya itu tadi diselingi urusan Ban-tok-kiam.
“Nenekmu
terluka parah dan dibawa pulang oleh Hong Beng, sedangkan engkau lalu dilarikan
Sai-cu Lama. Ketika ayah ibumu mendengar pelaporan Hong Beng, mereka segera
melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama sedangkan Hong Beng menjaga dan
merawat nenekmu. Tapi nenekmu tak tertolong lagi, dan sebelum menghembuskan
napas terakhir, nenekmu telah meninggalkan pesan kepada Hong Beng.” Kembali
Suma Ciang Bun menghentikan ceritanya, agaknya dia sendiri juga merasa canggung
untuk membuka rahasia itu.
“Pesan
mengenai diriku, Paman? Bagaimanakah pesan itu?”
Suma Ciang
Bun menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Sebetulnya pesan ini bukan
kepadamu, namun kepada Hong Beng. Nenekmu itu sebelum meninggal dunia, minta
kepada Hong Beng untuk berjanji. Betapa pun berat rasanya janji itu oleh Hong
Beng, namun mengingat bahwa pesan itu adalah pesan dari seorang yang menghadapi
kematian, Hong Beng tidak tega untuk menolak dan dia pun telah berjanji seperti
yang diminta oleh mendiang nenekmu itu...” Kembali dia berhenti.
“Apakah
janji itu, Paman? Katakanlah, kenapa Paman nampak ragu-ragu?” Suma Lian
mendesak.
“Hong Beng
diminta berjanji agar kelak dia suka menjadi suamimu...“
Sepasang mata
itu kembali terbelalak dan kini kedua pipi yang halus itu berubah merah sekali.
“Ahhhhh...“
Suma Lian menahan seruannya.
Suma Ciang
Bun merasa hatinya lapang setelah dia menceritakan pesan yang selama
bertahun-tahun dirahasiakan itu. “Demikianlah pesan nenekmu, Suma Lian. Hong
Beng tidak berani menolak dan dia pun sudah berjanji di depan nenekmu yang
sedang menghadapi kematian. Tentu saja janji itu amat mengganggu hati Hong Beng
dan dia tidak berani menceritakannya kepada siapa pun, apa lagi kepada orang
tuamu. Setelah engkau dewasa, akhirnya dia menceritakannya kepadaku. Mendengar
itu, aku segera menemui orang tuamu dan sudah kuceritakan kepada mereka tentang
pesan terakhir nenekmu itu.”
Tanpa
disengaja, Suma Lian menoleh kepada Sin Hong. Akan tetapi pemuda itu hanya
duduk bersila dengan muka ditundukkan sehingga Suma Lian tidak dapat mengetahui
bagaimana wajah pemuda itu yang tentu saja ikut mendengarkan semua percakapan
tadi. Hati Suma Lian menjadi agak lega karena tadinya ia merasa rikuh sekali
bahwa Sin Hong ikut mendengarkan percakapan tentang perjodohannya.
“Dan
mereka... ayah ibuku..., bagaimana pendapat mereka, Paman?”
Dia teringat
akan peringatan ayah ibunya kepadanya bahwa ia telah lebih dari dewasa untuk
segera menentukan jodohnya! Akan tetapi ayah ibunya sama sekali tak menyebut
nama Gu Hong Beng. Teringat akan ini, ia pun membayangkan wajah Gu Hong Beng.
Akan tetapi, ia tidak dapat mengingatnya dengan baik. Ketika itu, ia baru
berusia dua belas tahun! Delapan atau sembilan tahun telah lewat ketika ia
melihat Gu Hong Beng.
Akan tetapi,
karena pemuda itu dahulu pernah membelanya dari ancaman penculikan Sai-cu Lama,
tentu saja dia mengenang pemuda itu dengan hati kagum dan berhutang budi.
Samar-samar ia masih ingat bahwa Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang
berpakaian sederhana, sikapnya lemah lembut, pendiam, halus, serta berwajah
cerah dan tampan.
“Ayah dan ibumu,
hemmm... mereka tak dapat mengambil keputusan dan mengatakan bahwa untuk urusan
perjodohanmu, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadamu. Lalu bagaimana dengan
pendapatmu mengenai pesan terakhir nenekmu itu, Lian-ji (anak Lian)?”
Suma Lian
tersenyum. Hatinya merasa lega dan bersyukur. Ayah ibunya memang amat bijaksana
dan sangat mencintanya. Ia tahu bahwa ayah ibunya amat menginginkan ia segera
menikah, akan tetapi mereka menyerahkan pemilihan jodoh kepadanya sendiri.
Kembali
tanpa disengaja, ia melirik ke arah Sin Hong. Pemuda itu tetap menundukkan muka
dan nampaknya rikuh sekali. Seorang pemuda yang sopan dan baik, pikir Suma
Lian. Sikapnya yang diam menunduk itu banyak menolongnya dari kerikuhan.
“Aku tidak
tahu, Paman...“ Suma Lian memandang pamannya dengan senyum lebar. “Ayah dan ibu
sungguh bijaksana sekali. Terus terang saja, aku berterima kasih atas sikap
mereka yang menyerahkan keputusan urusan perjodohanku kepadaku sendiri.”
Suma Ciang
Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah
kembali. “Maksudku, bagaimana pendapatmu dengan muridku Gu Hong Beng? Setujukah
engkau kalau dia menjadi calon suamimu seperti yang dipesankan mendiang
nenekmu? Kalau engkau setuju, aku akan merasa berbahagia sekali dan segera aku
akan membicarakan urusan ikatan jodoh itu dengan orang tuamu.”
“Aihhh,
Paman mengapa demikian tergesa-gesa? Kurasa, urusan perjodohan bukanlah urusan
sederhana dua orang untuk selamanya di kemudian hari! Mana mungkin aku dapat
menentukan sekarang? Sedangkan suheng Gu Hong Beng itu seperti apa pun aku
tidak tahu...“
“Ah,
bukankah engkau sudah pernah bertemu dengan dia?”
“Itu
sembilan tahun yang lalu, Paman, dan kini aku sudah lupa lagi bagaimana
rupanya. Kurasa, suheng Gu Hong Beng sendiri juga sudah lupa kepadaku...“
“Tidak,
Lian-ji. Dia tidak pernah lupa, dan kurasa dia selalu menunggu keputusanmu
tentang perjodohan itu.”
Diam-diam
Suma Lian terkejut juga mendengar hal ini karena dia merasa yakin bahwa
pamannya ini tidak berbohong. Mungkinkah murid pamannya itu sejak dia berusia
dua belas tahun telah jatuh hati kepadanya? Menggelikan!
“Biarlah aku
akan memberi jawaban kalau kami sudah saling jumpa, Paman.”
Mendengar
ketegasan dalam suara keponakannya, Suma Ciang Bun tidak mendesak lebih jauh,
lalu mengalihkan percakapan ke arah gerakan para tokoh sesat yang hendak
memberontak itu sehingga Sin Hong mendapat kesempatan pula untuk ikut bicara
tanpa merasa kikuk.
Atas
pertanyaan Suma Ciang Bun, Sin Hong lalu menceritakan tentang dirinya, tentang
orang tuanya yang menjadi korban pembunuhan dan betapa ia melakukan
penyelidikan yang jejaknya membawanya kepada Tiat-liong-pang pula. Pada waktu
Suma Ciang Bun mendengar cerita Sin Hong betapa ketiga orang gurunya di Istana
Gurun Pasir diserbu oleh banyak datuk sesat sehingga ketiga orang gurunya itu
tewas, pendekar ini terkejut bukan main. Sepasang matanya terbelalak
seolah-olah ia tak percaya mendengar berita mengejutkan itu.
“Apa?”
teriaknya. “Tiga orang locianpwe yang sakti itu bisa tewas di tangan para tokoh
sesat? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Siapakah mereka? Ceritakanlah!”
“Mereka
adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, yang bersekutu dengan Sin-kiam
Mo-li dan Sai-cu Sin-touw,” kata Sin Hong.
Dia
selanjutnya menceritakan betapa di antara ketujuh belas orang tokoh sesat yang
menyerbu Istana Gurun Paisir itu, hanya ada tiga orang yang tidak tewas, yaitu
Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek
Sengjin tokoh besar Pek-Lian-kauw, sedangkan empat belas orang tokoh lainnya
sudah tewas. Akan tetapi tiga orang gurunya juga tewas dalam perkelahian
keroyokan itu.
“Akan
tetapi, bagaimana engkau sendiri dapat lolos dari kematian, sedangkan tiga
orang gurumu tewas?” Suma Ciang Bun bertanya.
Hati Suma
Ciang Bun diliputi rasa penasaran besar mendengar bahwa tiga orang yang
dianggapnya memiliki tingkat ilmu kepandaian yang sulit dibayangkan tingginya,
bahkan mendekati kebesaran nama kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es, dapat tewas di tangan pengeroyokan orang-orang sesat.
Tan Sin Hong
menghela napas panjang. Pertanyaan seperti itu selalu membuat dirinya merasa
menyesal dan memancing datangnya rasa duka. Dengan singkat dia kemudian
menceritakan mengapa dia masih hidup dan mengapa dia tidak berdaya membela tiga
orang gurunya ketika Istana Gurun Pasir diserbu para penjahat itu.
Dia
ceritakan pula, tanpa menyinggung tentang usaha Sin-kiam Mo-li untuk merayunya
tanpa hasil, betapa akhirnya dia berhasil lolos dan menyelamatkan dirinya,
sesudah membakar istana itu dengan jenazah tiga orang gurunya berada di
dalamnya dan ikut terbakar. Betapa selama setahun dia bersembunyi di dalam
hutan untuk menyelesaikan latihannya, menguasai ilmu silat baru ciptaan tiga
orang gurunya yang membuat dia tak berdaya ketika istana diserbu karena pada
waktu itu dia belum menguasai Ilmu Pek-ho Sin-kun dan setiap kali mengerahkan
tenaga dia akan roboh sendiri.
Setelah
mendengar penjelasan Sin Hong, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia pun
menarik napas panjang. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa saat
itu keluarga sakti penghuni Istana Gurun Pasir harus mengalami kematian seperti
itu. Buktinya, kebetulan sekali ketika mara bahaya itu tiba, murid mereka yang
mereka andalkan sedang dalam keadaan tak berdaya. Andai kata pemuda ini telah
menamatkan ilmunya yang baru itu, tentu akan mampu membela mereka dan belum
tentu mereka bertiga itu akan tewas.
“Paman,
keadaan tiga orang locianpwe di Istana Gurun Pasir itu sama benar dengan nasib
keluarga kakek buyutku di Istana Pulau Es. Mereka semua adalah keluarga yang
sakti, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi mengapa mereka semua
tewas dalam tangan orang-orang jahat? Tewas dalam perkelahian?” kata Suma Lian
dengan penasaran. “Bukankah mereka semua adalah orang-orang gagah perkasa yang
selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”
Mendengar
pertanyaan ini, Suma Ciang Bun hanya mengembangkan kedua lengannya lalu
mengangkatnya ke atas, kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada sambil
berkata dengan suara lirih, “Kekuasaan Tuhan menuntun segala sesuatu dan
kehendak Tuhan pun terjadilah! Tiada kekuasaan lain di dunia ini dapat
mengubah, mempercepat atau memperlambat setiap peristiwa yang sudah ditentukan
Tuhan. Hukum Karma tidak akan terelakkan oleh siapa pun juga. Siapa menanam dia
memetik buahnya, pohon apel berbuah apel, pohon mawar berbunga mawar, pohon
racun berbunga racun. Siapa bermain air akan basah, bermain api akan terbakar,
bermain lumpur akan kotor. Siapa hidup di dalam kekerasan, takkan terelakkan
lagi tentu akan menjadi korban kekerasan pula. Betapa pun gagahnya seseorang,
akan tiba saatnya dia menemukan tanding yang lebih gagah, atau sebaliknya, akan
tiba saatnya di mana usianya akan menggerogoti kegagahannya. Dia akan menjadi
lemah. Keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir memang terkenal sebagai
keluarga yang sakti dan gagah perkasa. Justru karena itulah maka mereka gugur
di dalam kekerasan, di dalam perkelahian. Kalau kita mengingat akan Hukum
Karma, hal itu sama sekali tidak aneh, bukan?”
“Tetapi,
Locianpwe,” kata Sin Hong. “Harap maafkan kalau saya lancang mencampuri bicara
dan mengemukakan pendapat saya. Biar pun para guru saya itu merupakan ahli ahli
silat sehingga mereka itu tentu saja selalu mempergunakan kekerasan karena
harus menentang para penjahat, akan tetapi, bukankah mereka itu adalah pembela
kebenaran dan keadilan? Bukankah perbuatan mereka itu mulia dan sesuai dengan
kebajikan? Akan tetapi mengapa mereka harus menerima nasib tewas di tangan kaum
sesat yang jahat? Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai hukum yang adil?”
Suma Ciang
Bun tersenyum. Dari nada bicara pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda ini
bukannya tidak tahu mengenai masalah itu, melainkan hendak mengajak dia
berbincang tentang hukum yang nampaknya tidak adil itu.
“Orang muda
yang gagah, pendapatmu itu mewakili pendapat umum, tetapi hendaknya dimengerti
benar bahwa pendapat umum bukanlah merupakan ukuran akan kebenaran dan keadilan
kekuasaan Tuhan. Masih terdapat banyak rahasia yang tersimpan di balik semua
peristiwa yang terjadi. Apa pun yang terjadi di dalam kehidupan ini, sudah
pasti sesuai dengan kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kewajaran, tidak
terlepas dari Hukum Karma yang mencerminkan keadilan kekuasaan Tuhan. Mungkin
saja nampak tidak adil, bahkan ada kalanya suatu peristiwa dianggap janggal dan
tidak adil sama sekali oleh kita, namun hal itu hanya membuktikan betapa lemah
dan bodohnya kita. Akal kita, batin kita, pikiran kita, sama sekali tidak mampu
menjangkau rahasia itu. Ada seorang bayi yang begitu dilahirkan sudah harus
menderita, entah karena kemiskinan keluarganya, atau dikarenakan cacad badan,
atau karena tertimpa bencana alam dan sebagainya. Menurut pendapat akal kita,
tentu saja hal itu sama sekali tidak adil! Ada pula orang yang hidupnya penuh
dengan kecurangan dan kejahatan, nampaknya hidup serba mewah, mulia dan senang.
Sebaliknya, orang yang kita anggap berbudi mulia, baik dan dermawan, hidupnya
serba kekurangan atau menderita karena penyakit yang berat dan lama. Nah, semua
itu hanya sekedar bukti bahwa akal pikiran kita tidak akan mampu menguak
rahasia kekuasaan Tuhan!”
“Paman,
kalau begitu, apa gunanya kita membela kebenaran dan menentang kejahatan kalau
hasilnya belum tentu menguntungkan kita?” Suma Lian membantah dengan hati
penasaran.
Mendengar
bantahan keponakannya itu, Suma Ciang Bun tertawa. “Ha-ha-ha-ha, Suma Lian,
pertanyaanmu itu mengejutkan dan mengherankan, seolah-olah engkau bukanlah
keturunan keluarga Pulau Es saja, seolah-olah engkau bukan murid terkasih dari
paman Gak Bun Beng! Jika kita membela kebenaran dan keadilan serta menentang
kejahatan dengan pamrih hasil yang menguntungkan, apakah hal itu bisa disebut
perbuatan gagah seorang pendekar? Ketahuilah, lahir dan matinya seorang manusia
seutuhnya berada di dalam kekuasaan Tuhan yang menentukan. Tapi bagaimana
mengisi kehidupan, antara kelahiran dan kematian itulah tugas hidup seorang
manusia. Dan aku merasa yakin, demi keadilan Tuhan, bahwa kekuasaan yang
menentukan itu tentu disesuaikan dengan mutu dan nilai kehidupan yang diisi
oleh manusia sendiri. Jadi, tugas kita hanyalah agar selalu harus menjauhkan
segala macam kebencian iri hati, pementingan diri sendiri, dan sebagainya.
Sesudah itu, selesailah, karena yang lain-lain berada di tangan Tuhan dan kita
harus menyerahkannya dengan penuh keimanan akan kekuasaan Tuhan.”
Sin Hong
menundukkan mukanya. Dia dapat merasakan kebenaran ucapan pendekar itu.
Bagaimana
pun juga, manusia adalah makhluk yang lemah sekali. Biar pun kebanyakan manusia
merasa dirinya besar dan berkuasa, akan tetapi sesungguhnya itu hanyalah
kesombongan kosong belaka. Jangankan menguasai hidup matinya, bahkan menguasai
sehelai rambut pun tidak! Rambut itu tumbuh sendiri di luar kekuasaan manusia
yang mengaku memilikinya. Penyerahan diri dalam kekuasaan Tuhanlah satu-satunya
jalan tempat manusia berlindung, di samping, tentu saja, segala ikhtiar
sekuatnya.
“Aku sudah
mendengar akan semua itu, Paman.” Suma Lian mendesak, “akan tetapi, aku tetap
merasa penasaran mengapa kakek buyut dan kedua nenek buyutku di Pulau Es, dan
juga para locianpwe di Istana Gurun Pasir, enam orang yang terkenal memiliki
kesaktian dan nama mereka pernah menggemparkan dunia persilatan itu, di dalam
usia tua sekali meninggal dunia secara menyedihkan, yaitu tewas di tangan
orang-orang sesat.”
Kembali Suma
Ciang Bun tersenyum. “Watak orang muda memang selalu penasaran dan ingin tahu.
Akan tetapi sikap demikian itu baik sekali. Janganlah mudah puas dan
selidikilah segala sesuatu dengan seksama sampai engkau mengerti benar. Agaknya
aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, Lian-ji, karena aku juga dapat menyelami
watak orang-orang tua yang gagah perkasa itu dan aku dapat menduga mengapa
mereka itu tewas dalam perkelahian melawan kaum sesat. Kematian memang hanya
satu macam saja, yaitu nyawa meninggalkan badan, akan tetapi ada berbagai macam
cara kematian. Tidak ada kematian yang lebih membanggakan dari pada kematian
yang terjadi ketika sedang melaksanakan tugas. Tugas seorang pendekar adalah
menentang kejahatan, berarti menentang golongan sesat. Agaknya itulah yang
membuat para orang tua gagah itu lebih suka memilih kematian ketika mereka
sedang menentang golongan sesat. Hal itu pada umumnya oleh para pendekar
dianggap mati sebagai harimau, bukannya mati sebagai seekor babi. Dan ini ada
hubungannya dengan perputaran Hukum Karma tadi. Prajurit mati dalam perang,
pendekar mati dalam pertempuran melawan golongan sesat. Ini sudah tepat
namanya.”
“Semua
keterangan Locianpwe sungguh-sungguh membuka mata batin dan menambah pengertian
saya. Terima kasih, Locianpwe,” kata Sin Hong dengan pandang mata amat kagum.
“Tetapi, dalam kesempatan ini saya mohon agar Locianpwe suka menerangkan kepada
saya yang bodoh ini, apa sesungguhnya hakekat hidup dan mati. Mengapa kita
dilahirkan, hanya untuk dimatikan pada akhirnya? Apa artinya semua ini Locianpwe?”
Suma Ciang
Bun tersenyum. Persis seperti yang sering kali dia renungkan ketika mulai
menyendiri dalam pertapaan!
“Orang muda
yang gagah. Siapakah kita ini yang akan mampu membicarakan rahasia yang hanya
diketahui Tuhan? Segala bentuk kelahiran di dunia pasti akan diakhiri pula
dengan kematian. Hal ini sudah terbukti di atas bumi ini. Kalau ada kelahiran
tanpa kematian, maka kelahiran seperti itu tentu terjadi bukan di dunia ini.
Keadaan yang menyebutnya Sorga atau Nirwana atau sudah bersatu dengan Tuhan.
Lebih tepat kalau kita bicara tentang kehidupan di atas dunia ini, kehidupan
kita bersama yang sama kita rasakan. Kini kita hanya dapat bicara tentang
pengalaman, hal-hal yang kita ketahui dari pengalaman orang lain. Sebelum kita
dilahirkan, kita ini tidak ada. Kita lalu ada setelah terlahir dan hidup.
Kemudian, setelah mati, kembali keadaan kita lenyap dan menjadi tidak ada lagi!
Nah, keadaan tidak ada itu, sebelum terlahir dan sesudah mati, bukanlah urusan
kita, melainkan urusan yang ditangani oleh kekuasaan Tuhan. Bukan hak mau pun
kewajiban kita untuk menyelidikinya, lagi pula, bagaimana kita mampu
menyelidiki sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan akal budi dan
pikiran kita? Lebih baik kita bicarakan tentang keadaan yang ada saja, yaitu keadaan
hidup kita ini. Hak kita adalah menghayati kehidupan ini sepenuhnya, kewajiban
kita adalah mengisi hidup ini sebagaimana mestinya, memupuk kebaikan dan
menjauhi kejahatan, tanpa pamrih mendapatkan upah. Ada pun semua penilaian
tentang prilaku kita semasa hidup, kita serahkan saja kepada Tuhan!”
Kalau Sin
Hong mendengarkan dengan penuh hormat. Suma Lian sebaliknya menjadi kagum.
Dahulu, pernah beberapa kali dia mendengar pamannya ini bicara, akan tetapi
alangkah bedanya cara pamannya bicara. Kini pamannya demikian pasrah, demikian
dekat dengan Tuhannya. Agaknya itulah hasil pertapaannya, hasil perenungan di
dalam semedhinya, dan Suma Lian menjadi kagum, juga terharu.
Dari ayah
dan ibunya ia telah banyak mendengar mengenai Suma Ciang Bun, tentang keadaannya
yang luar biasa, kecondongannya untuk menyukai sesama jenisnya, yaitu
laki-laki. Karena itu sampai setua itu dia tidak pernah menikah dan lebih suka
hidup menyendiri di lereng Tapa-san yang sunyi itu.
Setelah
bercakap-cakap dan menyerahkan Yo Han untuk dititipkan sementara waktu di
tempat tinggal Suma Ciang Bun, Sin Hong dan Suma Lian lalu berpamit untuk
memulai dengan perjalanan mereka, yaitu melakukan penyelidikan terhadap
Tiat-liong-pang yang kabarnya menghimpun para tokoh hitam untuk memberontak itu.
Mereka pun
ingin berusaha membebaskan ayah ibu Yo Han yang menjadi tawanan para tokoh
hitam itu, di samping juga kepentingan Sin Hong yang hendak menyelidiki rahasia
pembunuhan ayahnya, juga untuk menentang Sin-kiam Mo-li yang dia tahu amat
jahat. Yo Han suka tinggal untuk sementara waktu dengan kakek yang amat ramah
dan halus budi itu, apa lagi karena Sin Hong sudah berjanji bahwa setelah
selesai tugasnya, dia pasti akan datang menjemput muridnya.
SEMENTARA itu,
Tiat-liong-pang kini mulai memperkuat diri, menerima banyak anggota baru.
Bahkan orang-orang suku Mongol anak buah Agakai, sedikit demi sedikit mulai
menyusup masuk lewat perbatasan bergabung dengan Tiat-liong-pang. Semua anak
buah itu mulai dilatih perang-perangan, dan para tokoh sesat yang menjadi
pembantu Siangkoan Lohan, sibuk disebar ke selatan untuk menghimpun kekuatan
dan membujuk perkumpulan-perkumpulan untuk mendukung rencana pemberontakan
mereka.
Bi-kwi belum
dipercaya untuk bertugas keluar. Ia ditugaskan untuk ikut melatih
pasukan-pasukan kecil yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang yang sekarang
sudah menjadi semacam benteng. Tentu saja Bi-kwi tak berdaya selama suaminya
masih berada di situ dan selalu diawasi. Dia masih dapat mencoba untuk
membebaskan diri, mengandalkan kepandaiannya meski di situ masih terdapat
banyak orang pandai, tetapi sukar baginya untuk menjamin keselamatan suaminya.
Masih baik bahwa mereka berdua mendapat sebuah kamar yang cukup luas, walau pun
setiap malam kamar itu tidak pernah sunyi dari penjaga yang mengepungnya.
Ketika
Bi-kwi pada suatu malam hari memberi tahukan kepada suaminya, Yo Jin, akan
peristiwa kematian Pouw Ciang Hin, kakak Pouw Li Sian, mengemukakan dugaannya
bahwa kakak gadis itu tewas secara aneh dan kemungkinan besar sudah dibunuh
oleh Siangkoan Liong dan kaki tangannya, Yo Jin yang berwatak gagah dan jujur
itu menjadi marah.
“Huh,
orang-orang macam apa yang kau bantu ini? Kita tidak boleh tinggal diam saja!
Engkau harus memberi tahukan hal itu kepada nona Pouw Li Sian. Kalau hal itu
tidak kau lakukan, sama saja halnya dengan membantu mereka melakukan pembunuhan
keji terhadap kakak gadis itu!”
Bi-kwi dapat
menyetujui keinginan suaminya itu. Ia pun merasa muak melihat sepak terjang
Siangkoan Liong dan ia yang bermata tajam dan berpengalaman luas itu segera
dapat melihat apa yang sama sekali tidak dapat diduga oleh Pouw Li Sian, yaitu
bahwa dalam peristiwa kematian kakak gadis itu, terdapat hal-hal yang tidak
wajar. Maka ketika mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Li Sian,
Bi-kwi lalu berbisik, “Nona Pouw, mari ke sini, aku ingin membicarakan sesuatu
yang penting mengenai kematian kakakmu.”
Li Sian baru
mengenal Bi-kwi dari cerita Siangkoan Liong. Pemuda itu memberi tahu kepadanya
bahwa Bi-kwi adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat dan licik, maka ia
harus berhati-hati terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi, saat Bi-kwi
menyebut tentang kematian kakaknya, dia pun segera mengangguk dan mengikuti
wanita itu ke sebuah sudut bangunan di mana mereka tersembunyi dan mudah
melihat kalau ada orang lain datang menghampiri tempat itu.
“Apakah yang
hendak kau bicarakan dengan aku, Enci?” tanya Li Sian.
Setelah kini
mereka berdiri berhadapan dekat dan ia memperhatikan wajah wanita itu, ia bisa
melihat betapa wajah yang cantik itu membayangkan kekhawatiran dan juga sinar
matanya nampak lembut, bukan seperti mata seorang yang berwatak jahat.
“Nona Pouw,
aku merasa kasihan sekali kepadamu dan tidak ingin melihat engkau akan tertipu
semakin jauh. Ketika kita semua menyaksikan kematian kakakmu, perwira Pouw
Ciang Hin, di dalam hutan itu, aku pun ikut menyaksikan dan aku melihat suatu
hal yang amat penting dan menunjukkan dengan jelas kepadaku bahwa kakakmu itu
sama sekali tidak tewas karena berkelahi melawan perwira kerajaan.”
Pouw Li Sian
mengerutkan alisnya dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah
wajah wanita cantik itu. Ia teringat akan pesan Siangkoan Liong bahwa ia harus
berhati-hati terhadap wanita yang amat jahat dan licik. Siapa tahu, wanita ini
hendak mempergunakan suatu tipu muslihat yang licik terhadap dirinya.
“Apa
maksudmu yang sebenarnya, Enci? Sudah jelas bahwa mendiang kakakku itu tewas
dalam perkelahian dan lawannya juga tewas. Apa buktinya dugaanmu itu bahwa dia
tidak tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan itu?”
“Memang
tadinya aku pun percaya akan keterangan mereka bahwa kakakmu itu mati bersama
lawannya berkelahi. Akan tetapi ketika aku memperhatikan lukanya, dan juga
melihat betapa perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu binasa sambil
memegang senjatanya, yaitu sebatang golok, aku pun menjadi curiga. Aku mendekat
dan melihat keadaan luka pada kakakmu yang membawa kematian itu dan aku pun
yakin setelah melihat dari depan dan belakang, bahwa kakakmu itu tewas bukan
oleh perwira yang menjadi lawannya itu.”
“Apa
buktinya? Coba terangkan yang jelas,” kata Li Sian, jantungnya berdebar tegang
walau pun ia belum percaya benar dan masih mencurigai wanita ini.
“Pada
jenazah kakakmu itu terdapat beberapa luka sabetan golok, pada paha, pangkal
lengan kiri, dan pundak kanan. Akan tetapi tiga buah luka yang jelas disebabkan
oleh bacokan golok itu bukan luka yang mematikan. Luka yang telah menyebabkan
kematian kakakmu adalah luka tusukan pada dada yang menembus ke punggung, dan
hal ini kulihat benar dari arah depan dan belakang. Jadi, kakakmu bukan tewas
oleh golok di tangan perwira itu, melainkan oleh tusukan pedang dari depan,
yang dilakukan dengan kuat sekali. Luka itu kecil dan hanya dapat diakibatkan
tusukan pedang, bukan bacokan atau tusukan golok.”
Sepasang
mata Li Sian terbelalak, kecurigaannya lenyap dan dia nampak ragu-ragu, mulai
percaya karena dia pun teringat akan luka-luka di tubuh kakaknya, akan tetapi
sebelum ini ia tidak memikirkan sejauh itu.
“Lalu...
kalau menurut pendapatmu… bagaimana, Enci?” tanyanya, suaranya gemetar karena
ia mendapat perasaan yang amat tidak enak.
“Aku pernah
melihat perwira yang menjadi lawan kakakmu itu, nona Pouw. Kalau tidak keliru,
dia seorang kepercayaan Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan
pasukan perbatasan yang agaknya telah bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Dan
melihat tanda pangkat yang dipakainyanya, dia memiliki pangkat yang lebih
tinggi dari kakakmu. Dan itu dapat dibuktikan dengan adanya tiga luka bacokan
golok pada tubuh kakakmu, sedangkan pada tubuh perwira itu, hanya ada satu luka
tusukan pedang, dari punggung yang menembus ke dada. Jadi menurut
perhitunganku, kakakmu memang berkelahi melawan perwira itu, akan tetapi
kakakmu kemudian terdesak dan menderita tiga luka itu. Lalu, kalau tidak keliru
dugaanku, muncul seorang lain yang membunuh perwira itu dari belakang dengan
tusukan pedang. Orang itu tentu lihai sekali sehingga sekali tusuk dia mampu
langsung merobohkan perwira itu. Kemudian, dengan mudah dia membunuh pula
kakakmu yang sudah luka-luka itu dengan tusukan pedang dari depan.“
“Akan
tetapi, pedang kakakku yang berada di situ juga berlumuran darah!”
Bi-kwi
tersenyum. “Apa sukarnya mengenai itu, pembunuh itu dapat saja mengambil pedang
kakakmu dan melumurinya dengan darah perwira itu yang masih bercucuran.”
“Akan
tetapi... siapakah orang yang sekeji itu membunuh kakakku, dan mengapa pula dia
mengatur muslihat supaya kelihatannya kakakku tewas dalam perkelahian melawan
perwira itu? Apa alasannya?” Li Sian bertanya, penasaran walau pun ia melihat
bahwa pendapat wanita ini memang sangat mungkin terjadi.
“Sukar untuk
menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia
tentulah seorang pembantu Siangkoan Lohan, di antara tokoh-tokoh yang lihai
itu. Dan siasat itu sengaja dilakukan orang untuk mengelabuimu, nona Pouw.”
“Apa? Untuk
mengelabui aku? Mengapa?”
“Ini hanya
dugaanku belaka. Engkau seorang gadis muda yang menurut pendengaranku memiliki
ilmu kepandaian yang sangat tinggi, bahkan ilmu-ilmu dari Pulau Es pun kau
kuasai, tentu Siangkoan Lohan ingin mengikatmu. Dan agaknya, kakakmu itu adalah
seorang perwira yang setia kepada kerajaan sehingga dia mungkin saja akan
membuka rahasia pemberontakan Tiat-liong-pang ini kepadamu. Nah, karena itulah,
mereka harus membunuh kakakmu dan yang menerima tugas adalah rekannya yang
lebih lihai, yaitu perwira yang tewas pula itu. Dan agaknya perwira itu memang
dikorbankan, dibunuh agar nampaknya kakakmu tewas dalam perkelahian melawan
rekannya sendiri. Tentu hal ini selain untuk mengelabuimu agar supaya engkau
tak menyangka buruk terhadap Tiat-liong-pang, juga untuk menanamkan kebencian
di dalam hatimu terhadap pasukan kerajaan.”
“Ahhh...!”
Sepasang
mata Li Sian terbelalak, karena ia teringat akan sikap dan kata-kata kakak
kandungnya sebelum mereka dipisahkan oleh kemunculan Siangkoan Liong. Kakaknya
sempat berjanji akan mengunjunginya dan bicara panjang lebar seminggu kemudian,
akan tetapi tahu-tahu dia tewas. “Memang kakakku pernah memperingatkan aku
dalam pertemuan pertama itu, memperingatkan aku tentang Tiat-llong-pang...”
“Ah, kalau
begitu sudah pasti tepat dugaanku tadi, Nona. Kakakmu itu telah mengetahui akan
rahasia busuk dari Tiat-liong-pang dan hendak memperingatkanmu, maka mereka
telah mendahuluinya, membunuhnya dengan siasat agar engkau tidak menduga buruk
terhadap mereka.”
“Akan tetapi
Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah! Sejak aku kecil dahulu,
mendiang ayahku telah bersahabat erat dengan Siangkoan Lohan, dan kalau
sekarang mereka hendak melakukan pemberontakan, hal itu adalah wajar, bukan?
Setiap orang gagah tentu tidak rela melihat tanah airnya dijajah oleh bangsa
Mancu, dan sedapat mungkin hendak membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan
ini!” Li Sian membela. “Menurut, perkiraanku, kakakku itu mulai menyadari akan
kebaikan gerakan perjuangan Tiat-liong-pang, maka dia hendak membalik dan
hendak membantu Tiat-liong-pang. Hal ini agaknya diketahui oleh pihak tentara
kerajaan, maka kakakku dibunuh.”
“Itulah
cerita yang sengaja mereka buat untuk mengelabuimu, nona Pouw. Akan tetapi
kalau benar demikian halnya, lalu dari mana pula datangnya luka tusukan pedang
yang menewaskan kakakmu? Harap jangan lengah dan bodoh, nona Pouw, dan
waspadalah terhadap bujuk rayu Siangkoan Liong itu. Dia seorang pemuda yang
bukan hanya lihai sekali ilmu silatnya, akan tetapi juga amat cerdik dan pandai
membawa diri, sehingga gadis-gadis yang berhati polos dan jujur sepertimu ini
akan mudah sekali terjatuh dan...”
“Diam! Itu
bukan urusanmu!” Li Sian membentak dengan muka berubah merah, lalu ia pergi meninggalkan
Bi-kwi.
Wanita ini
hanya menghela napas panjang, dan ia mengambil keputusan bahwa kalau tidak
dapat menggandeng Li Sian sebagai kawan untuk menentang persekutuan itu, ia
akan maju sendiri. Bagaimana pun juga, dia sudah bersumpah di dalam hatinya
untuk meninggalkan jalan kejahatan, bahkan akan menentang kejahatan.
Pemberontakan
yang akan dilakukan Tiat-liong-pang ini sama sekali bukan menentang penjajah,
melainkan pemberontakan yang jahat, persekutuan dengan para kaum sesat. Dan ia
pun sudah mendengar betapa Siangkoan Liong dicalonkan menjadi kaisar kalau
pemberontakan itu berhasil! Ia pun cepat-cepat menuju ke kamarnya untuk menemui
suaminya dan membicarakan urusan itu.
Sementara
itu, dengan muka masih merah dan jantungnya berdebar, serta dada terasa panas,
Li Sian lari meninggalkan Bi-kwi dan segera pergi mencari Siangkoan Liong.
Ketika itu,
Siangkoan Liong sedang bercakap-cakap dengan ayahnya, yaitu Siangkoan Lohan, di
ruangan sebelah dalam. Karena hatinya terguncang dan dia menjadi sangat
penasaran dan tidak sabaran Li Sian tidak peduli dan langsung saja memasuki
rumah induk untuk mencari Siangkoan Liong.
Hatinya
bagaikan ditusuk-tusuk. Kalau benar semua dugaan Bi-kwi itu, lalu bagaimana?
Bagaimana kalu memang benar Siangkoan Liong sedang menjalankan siasat busuk itu
dan bahkan pemuda itu telah berhasil membujuk rayu sehingga ia terjatuh!
Seperti yang dikhawatirkan Bi-kwi tadi, ia telah jatuh! Ia telah menyerahkan
dirinya bulat-bulat kepada Siangkoan Liong, karena memang ia tertarik dan
katakanlah tergila-gila kepada pemuda itu, merasa bahwa ia memang mencinta
pemuda itu!
Bagaimana
jika benar Siangkoan Liong membunuh atau menyuruh bunuh kakaknya dan menguasai
tubuhnya hanya sebagai siasat busuk belaka untuk menguasainya, bukan karena
cinta kasih? Hampir Li Sian menjerit membayangkan semua kemungkinan itu! Ia
akan dapat menjadi gila kalau semua itu ternyata benar demikian!
Pada saat
dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah induk yang luas itu, ia mendengar suara
Siangkoan Liong di sebuah ruangan samping yang daun pintunya tertutup. Cepat
dia mengerahkan tenaganya agar tidak sampai ada suara pada langkah kakinya dan
ia pun mendekati daun pintu itu. Dengan cukup jelas ia mendengar percakapan
antara Siangkoan Liong dan suara wanita yang dikenalnya adalah suara Sin-kiam
Mo-li!
"Sudahlah,
Mo-li. Jangan kau ganggu aku sekarang ini! Aku sedang sibuk dan aku tidak ada
nafsu untuk..." suara Siangkoan Liong ini seperti orang yang jengkel dan
terganggu.
"Kongcu,
engkau sungguh tidak adil!" Terdengar suara Sin-kiam Mo-li memotong, suara
yang direndahkan supaya lirih sehingga terdengar mendesis. "Engkau tahu
betapa aku mengagumimu, tergila-gila kepadamu dan mendambakan kasih sayangmu.
Aku sudah pantas menerima kasih sayangmu sebagai balas jasa atas semua
bantuanku, bukan? Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang kalau aku sudah amat
rindu, Kongcu. Marilah, engkau kasihanilah aku, karena aku seperti seorang yang
kehausan membutuhkan air cintamu..."
"Mo-li,
jangan ganggu aku. Nanti saja, besok atau pun lusa kalau aku sudah tidak sibuk
lagi..."
"Sibuk
apa lagi? Bukankah sudah banyak pembantu yang melatih pasukan? Ingatlah,
bukankah aku pula yang sudah membantu sehingga gadis mulus itu terjatuh ke
dalam pelukanmu? Betapa dengan susah payah aku menggunakan akal membiarkan ia
minum anggur rahasiaku yang mengandung rangsangan-rangsangan kuat, dan ditambah
pula dengan kekuatan sihirku pada malam itu, bahkan dibantu pula oleh Thian Kek
Sengjin yang dapat kubujuk. Dan engkau sudah melupakan semua jasaku itu?"
"Ssttt...
jangan lancang mulut, Mo-li. Dinding pun mungkin mempunyai telinga. Sudahlah
biar aku berjanji, malam nanti aku akan menantimu dalam kamarku!"
"Hi-hi-hik-hik,
begitu barulah pujaanku yang tampan dan gagah! Sampai malam nanti,
Kongcu," kata wanita itu dan Sin-kiam Mo-li keluar ruangan itu, diikuti
oleh Siangkoan Liong.
Melihat
mereka Li Sian tidak mampu menahan kemarahan dan rasa penasaran di dalam
hatinya lagi. Jelaslah bahwa di antara Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li,
nenek yang masih cantik jelita itu, terdapat hubungan gelap! Maka ia pun segera
meloncat keluar dari balik pilar itu, mengejutkan mereka berdua. Tanpa
mempedulikan Sin-kiam Mo-li, Li Sian lalu menghampiri Siangkoan Liong yang juga
memandang dengan mata terbelalak dan hati tak enak melihat betapa wajah gadis
itu nampak marah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi!
“Sian-moi,
kau...“ Dia maju sambil mengembangkan kedua lengan seolah-olah hendak memeluk
Li Sian. Akan tetapi gadis itu menahan langkahnya, berhenti kurang lebih dua
meter dari pemuda itu, matanya memandang tajam penuh selidik.
“Siangkoan
Liong!” bentak gadis itu, dan sebutan ini saja sudah amat mengejutkan hati
pemuda itu. “Aku menuntut penjelasan darimu!”
“Sian-moi
ada apakah? Apakah yang telah terjadi dan penjelasan apa pula yang kau
inginkan?” Siangkoan Liong yang memang merupakan seorang pemuda luar biasa itu
sudah dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang.
Sementara
itu Sin-kiam Mo-li memandang gadis itu dengan bibirnya tersenyum penuh
kemenangan. Bagaimana pun juga, gadis itu sudah ternoda, dan berarti sudah
mampu ditundukkan. Dia tidak percaya bahwa gadis yang sudah terjatuh ke dalam
pelukan Siangkoan Liong itu akan berani atau masih ingin memberontak.
“Mo-li,
sebaiknya engkau keluar dahulu dan biarkan aku berbicara empat mata dengan
Sian-moi.”
“Tidak
perlu! Boleh saja ia ikut menghadiri karena ia pun agaknya merupakan anggota
komplotanmu yang jahat!” kata pula Li Sian dan kedua orang itu saling pandang,
jelas nampak ada kekagetan dalam pandang mata mereka.
“Sian-moi,
aku tidak mengerti...“
“Katakanlah
terus terang, siapakah yang sudah membunuh kakakku Pouw Ciang Hin?!” bentak Li
Sian sambil menatap tajam.
Siangkoan
Liong yang sudah menduga buruk, telah siap siaga. Wajahnya tidak berubah
mendengar pertanyaan ini dan dia bahkan bersikap seperti orang terheran-heran,
lalu tersenyum. “Ah, Sian-moi, apakah engkau sudah lupa? Ataukah kedukaanmu
membuat engkau menjadi bingung? Sudah jelas kau lihat sendiri betapa kakakmu
itu tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan, mati sampyuh (keduanya tewas)...“
“Bohong!
Kakakku mati oleh tusukan pedang sedangkan lawannya itu bersenjatakan golok!
Hayo katakan saja, siapa yang membunuh kakakku, dan mengapa kalian semua
melakukan tipu muslihat itu untuk mengelabui aku mengenai kematian kakakku?
Hayo jawab sejujurnya!”
Tentu saja,
betapa kuat pun batinnya, Siangkoan Liong terkejut bukan main mendengar
pengungkapan rahasia itu dari mulut Li Sian. “Ahh, itu fitnah belaka! Dari
siapa engkau mendengar fitnah itu, Sian-moi?”
“Tidak
peduli dari siapa! Pokoknya katakanlah siapa pembunuh kakakku dan mengapa ada
siasat buruk itu untuk mengelabui aku?”
Mendadak
muncul Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek dan dia segera berkata dengan suara
lantang, “Siangkoan-kongcu, tadi aku melihat ia bicara bisik-bisik dengan
Bi-kwi!”
“Ah, kalau
begitu siluman betina itu yang telah menyebar fitnah jahat!” Siangkoan Liong
berseru marah. “Aku harus menegur wanita itu!”
Dia pun
segera meloncat pergi untuk mencari Bi-kwi di kamarnya, diikuti oleh Sin-kiam
Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Melihat ini, Li Sian juga cepat mengikuti karena
ia ingin kepastian, siapa yang benar antara mereka.
Sementara
itu, Bi-kwi telah berada di dalam kamarnya, “Telah kuceritakan kepada Pouw Li
Sian itu tentang pembunuhan atas diri kakaknya, dan kurasa tidak lama lagi
badai akan segera datang menyerang.”
“Hemmm,
biarkan saja, aku tidak takut,” kata Yo Jin dengan gagah. “Bagaimana pun juga,
anak kita telah selamat, dan kita tidak boleh membantu perbuatan jahat.”
Bi-kwi
merasa amat terharu melihat kegagahan suaminya. Ia kemudian maju merangkul
suaminya, merasa bahwa kali ini mereka terancam bahaya maut yang amat berbahaya
dan ia tidak berdaya menyelamatkan suaminya.
“Engkau
memang benar, dan aku merasa amat berbahagia berada di sampingmu sebab sikapmu
yang gagah membangkitkan semangatku. Memang kita sudah tertipu. Mereka sama
sekali bukan perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang penjajah dan
membebaskan nusa bangsa dari penjajahan, tetapi sekelompok orang-orang jahat
yang sedang bersekutu untuk memberontak, demi diri mereka sendiri. Siangkoan
Lohan telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam di sini, dan aku mendengar
bahwa usaha pemberontakan ini hanyalah untuk cita-cita agar supaya kelak
puteranya dapat diangkat menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil. Ibu
Siangkoan Liong adalah seorang puteri istana, karena itu Siangkoan Lohan merasa
bahwa puteranya itu adalah seorang pangeran dan karenanya patut untuk menjadi
kaisar. Itulah yang mendorong adanya pemberontakan mereka, bukan karena
kesadaran politik untuk membebaskan nusa dan bangsa dari belenggu penjajahan.”
Yo Jin
bangkit berdiri dan mengepal tinju. “Dan engkau hendak mereka paksa menjadi
kaki tangan mereka, membantu usaha mereka yang jahat itu? Tidak, isteriku, tak
boleh sama sekali!”
“Jangan
khawatir suamiku, jangan khawatir. Aku pun setuju denganmu, aku tidak sudi
membantu mereka. Akan tetapi, hal ini akan mengakibatkan bahaya besar mengancam
keselamatan kita.”
“Tidak
mengapa! Aku tidak takut. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan jauh lebh baik
mati sebagai seorang terhormat dan bersih dari pada hidup sebagai kaki tangan
orang-orang jahat!”
Bi-kwi
semakin kagum dan terharu. Ia merangkul dan mencium suaminya dengan kedua mata
basah air mata. Dalam keadaan berangkulan itulah pintu depan jebol ditendang
orang dan muncullah Siangkoan Liong, Sin-kiam Mo-li, dan Toat-beng Kiam-ong
dengan sikap garang sekali! Dan di belakang mereka, muncul pula Pouw Li Sian
yang mukanya nampak pucat!
Bi-kwi cepat
menyembunyikan suaminya di belakang tubuhnya, menghadapi mereka dengan sikap
tenang namun waspada, maklum bahwa badai yang sudah disangkanya akan muncul itu
kini telah tiba.
“Bi-kwi,
engkau berani menyebar fitnah, meracuni hati Sian-moi dengan berita bohong!”
bentak Siangkoan Liong dengan sikap, marah biar pun suaranya masih terdengar
halus seperti biasa. “Hayo cepat engkau tarik kembali fitnah itu dan mengaku
salah agar aku masih dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat dimaafkan atau
tidak.”
Bi-kwi masih
tetap tenang dan ia malah tersenyum manis. “Kenapa aku harus menarik kembali
tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw itu terbunuh
oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau turut bersekutu dengan
rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali
bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan
hanyalah untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!”
“Ihhh...!”
Li Sian mengeluarkan teriakan marah.
Akan tetapi
Siangkoan Liong kini tertawa. “Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus
sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, di dalam
darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah
sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang,
akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, cepatlah berlutut mengaku salah,
dan nyawamu juga nyawa suamimu mungkin takkan kucabut.”
“Keparat
kau!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan
menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati?
Nyawaku berada di tangan Tuhan, bukan di tangan seorang manusia rendah semacam
engkau!”
Siangkoan
Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.
“Wuuuttttt...
klukkk!”
Hantaman itu
ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi
suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu pula Toat-beng Kiam-ong telah
maju menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa
mengelak cepat ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat
dielakkan pula oleh lawan.
Si Raja
Pedang yang jahat ini memutar pedang dan terus mendesak Bi-kwi. Wanita ini
memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan
diri, tapi ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang
melindunginya.
Siangkoan
Liong yang masih marah, sekarang menerjang ke depan, tangannya kembali
menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.
“Desss...!”
Tangan itu
terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin
terjungkal dan tewas seketika oleh karena kepalanya retak terkena hantaman
tangan pemuda yang bukan main lihai itu.
Bi-kwi
menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia
mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris saja membuat pedang di tangan Toat-beng
Kiam-ong terlepas. Walau pun Si Raja Pedang ini masih sempat melompat ke
belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu
kaki Bi-kwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri
sekali. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang
Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan
kebutan di tangan kiri.
“Kau...
kau... keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian
telah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda
ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.
“Sian-moi,
tenanglah, sabarlah...”
“Manusia
iblis...!” Li Sian menyerang terus, dan kembali Siangkoan Liong menangkis
sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.
“Sian-moi,
ingatlah, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku... bahkan engkau... sudah
menjadi isteriku...” Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu
agar mereda kemarahannya.
Akan tetapi
sebaliknya dari pada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah
ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang
bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban
siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena
telah terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang
dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi
jinak!
“Kalian...
kalian... iblis-iblis busuk...!” Li Sian menjerit dan pedangnya langsung
diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu.
Melihat hal
ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan
berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan
mempunyai kekuatan sakti yang menggiriskan. Apa lagi kini gadis ini agaknya
demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah.
Maka,
Siangkoan Liong segera memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan
kekuatan gadis itu hingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang
mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali. Karena memang
tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng
oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin, dan tingkatnya
lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan
mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahan-lahan Li Sian mulai
terdesak.
Namun gadis yang
merasa sakit hati ini tidak menjadi jeri dan melawan terus dengan nekat. Ia
tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini
membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali. Beberapa kali,
ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau pun
mengelak, tetapi mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi
menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri
akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati
sampyuh sehingga dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan
diri pula.
Bi-kwi
sendiri dikeroyok dua orang lawan yang sangat tangguh. Menghadapi Toat-beng
Kiam-ong Giam San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia bahkan
sedang terdesak hebat karena ia tidak bersenjata, sedangkan lawannya itu
merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apa lagi kini Sin-kiam Mo-li juga
maju mengeroyoknya.
Tingkat
kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang
sepasang senjata yang sangat berbahaya. Namun Bi-kwi juga sudah nekat. Ia
melihat suaminya tewas di depan matanya. Suaminya yang tercinta, satu-satunya
manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya
mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jeri menghadapi
kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian
tenang dan gagah perkasa!
Maka,
kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan dia lalu
mengamuk seperti seekor naga betina. Walau pun dia tidak bersenjata lagi, akan
tetapi serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua
orang lawannya yang lebih kuat karena memegang senjata itu sama sekali belum
juga mampu menundukkannya.
Sin-kiam
Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tak mungkin bisa dibujuk untuk membantu mereka lagi
setelah sekarang suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru
kepada Toat-beng Kiam-ong. “Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini supaya
kelak di kemudian hari tidak membikin repot!”
Siangkoan
Liong mendengar ucapan ini dan meski pun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan
Li Sian, dia segera berseru, “Benar! Bunuh perempuan itu!”
Setelah
mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu
lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Akan tetapi, wanita ini memang hebat.
Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan
saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena
kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang
mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid
tercinta ini.
Walau pun
kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan itu
menggunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan
itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja.
Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia
mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung
Hitam).
Selain
tendangan-tendangan bertubi Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia
memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat
tinggi yang aneh-aneh. Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih
tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru
sesudah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena
selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa
tusukan serta lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dan
kulitnya terluka.
“Siangkoan
Liong manusia busuk!” Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan
muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng.
Seperti
telah kita ketahui, sesudah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa
oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, maka Ci
Hwa merasa sakit hati dan putus harapan. Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya
yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada
Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya.
Akan tetapi,
ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia sudah
diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan
nasehat-nasehat. Keduanya kemudian bersahabat dan bersama-sama pergi melakukan
penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang, karena Hong Beng juga mendengar berita
akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang. Dan
akhirnya, pada sore hari itu setelah cuaca mulai gelap, dan atas petunjuk Ci
Hwa yang sudah mengenal lapangan, keduanya pun berhasil menyelundup masuk
sampai ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk
yang besar.
Sebetulnya,
Hong Beng hendak bersikap hati-hati. Namun, Ci Hwa yang merasa sakit hati,
ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda
itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya, maka ia tidak takut dan mengharapkan
akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng.
Ketika
mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat
Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai pula, ia
lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok
Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang
memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya.
Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong
dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka meski pun tingkat kepandaian Ci
Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap
mengadu nyawa serta melakukan serangan secara nekat sekali!
Sementara
itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan
Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi bisa mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi
agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat
betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun
tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.
Dalam
usahanya melakukan penyelidikan itu, ia telah menyiapkan diri dengan sepasang
pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu
Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apa lagi setelah mendengar dari
Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai.
Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi
yang sudah mulai payah dan terdesak hebat.
Gu Hong Beng
adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat
keluarga Pulau Es. Akan tetapi harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun,
bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, yang bakatnya
tidak terlalu menonjol. Oleh karena itu, biar pun Hong Beng menerima gemblengan
seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol
sekali dan jika dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang saja.
Namun,
masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap
atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li
yang lihai segera mengerahkan tenaga. Dia lantas memutar sepasang pedangnya
dengan ganas.
Sin-kiam
Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang dahulu pernah membuat ia
tergila-gila. Pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng
dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika dua orang ini berusaha untuk merampas
kembali Kao Hong Li yang diculiknya.
Maka,
marahlah Sin-kiam Mo-li dan dia pun berteriak, “Bagus! Kiranya engkau kembali
datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong
Beng!”
Dan wanita
ini kemudian menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah
perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini. Kini pertempuran terjadi
lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian
melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya. Gu Hong Beng
maju bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li
Sian dan Ci Hwa.
Diam-diam
Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu.
Walau pun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang
sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan
Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa
tidak enak.
Tingkat
kepandaiannya lebih tinggi dan biar pun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama
sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh
untuk dapat menandinginya. Akan tetapi, kenekatan dua orang gadis yang hendak
mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak
sukar baginya untuk membunuh mereka. Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih
merasa sayang sekali membunuh mereka. Apa lagi Li Sian. Dia ingin menangkap
mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna
untuk dijadikan hiburan hatinya, walau pun dengan paksaan!
Akan tetapi
pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Gu Hong Beng, jangan takut aku
datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!”
Dan
muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh
tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa bagai
tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok. Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan
mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah
pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.
“Kakak Cu
Kun Tek...!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus
sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”
Akan tetapi
sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua
orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi
kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang
dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru
Siangkoan Liong!
Tentu saja
kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan. Seperti
telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua dari partai
Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia
mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang
sudah bergabung dengan tokoh-tokoh sesat.
Andai
pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang
itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, melihat betapa
Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor semacam
Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja
dia tidak sudi bekerja sama. Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam
Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong.
Dalam
percakapan itulah Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya
tergerak untuk menentang. Maka, dia pun segera berangkat ke utara untuk
melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke
perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.
Ketika itu,
Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng,
melanjutkan percakapan mereka bertiga tadi dengan Siangkoan Liong. Dua orang
tua itu masih bercakap-cakap setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam,
terus mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai
dalang pemberontakan. Saat bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan
akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut
pedangnya.
Melihat
pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw
yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan
pedang pusaka di tangan pemuda itu.
“Ahhh,
bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil
menggerakkan kedua kakinya.
Tubuhnya
melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas
gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari
telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu,
sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini!
Cu Kun Tek
ialah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari
ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjulukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga
Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang kuat seperti gajah,
sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai.
Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali,
apa lagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka
keluarganya yang amat ampuh.
Akan tetapi
kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki
tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun
Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.
“Hyaaaaattt...!”
Ia
mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai
perisai. Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan serta mengeluarkan suara
mengaung bagaikan binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani
melanjutkan serangan kedua tangannya.
Ia menarik
kembali dua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang,
nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah
mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya sekitar tiga
kaki! Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe
itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau
yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat
ampuh dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu.
Dengan sikap
tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek. “Orang muda,
apa hubunganmu dengan keluarga Cu yang tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman?!”
bentaknya.
Kun Tek
maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi ia tidak tahu bahwa
kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat
bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai
musuh.
“Namaku Cu
Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman...”
“Bagus!”
Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong
Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku, maka engkau akan kami terima
sebagai seorang sahabat baik!”
“Simpan saja
bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu
Hong Beng dan para wanita ini!”
“Bocah
sombong, engkau memilih mampus agaknya!”
Siangkoan
Lohan telah menyerang dengan hun-cwenya. Nampak sinar emas berkelebat di depan
mata Kun Tek yang segera memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka
sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia
benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh.
Terutama
sekali tendangan-tendangan yang dilakukan dua kaki kakek itu sungguh amat
berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga
datangnya. Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tendangan yang hebat. Juga
tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup
berbahaya.
Untung bagi
Kun Tek bahwa ia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya
membuat kakek itu agak jeri, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan
pedang. Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut
kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya.
Sementara
itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid
pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat
ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa
pihak lawan mempunyai demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah
dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri.
Mereka tidak
tahu bahwa kekuatan yang dihimpun oleh Tiat-liong-pang memang besar dan sangat
kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi
melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, di
sana berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw
dan Pat-kwa-kauw.
Agaknya
Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tak sabar melihat betapa
pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang
wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja
yang datang mengacau, agaknya sulit untuk menundukkan mereka, apa lagi kalau
musuh-musuh yang lebih berat.
Dia pun
melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau
melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri
terlihat jeri menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat bukan main
itu. Dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak
Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.
“Hemmm,
sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini...!” katanya, seperti
kepada diri sendiri.
Dia
mengembangkan kipasnya, kemudian dengan langkah lebar dia memasuki medan
pertempuran. Gerakannya gesit dan ringan sekali. Mula-mula dia menghampiri
muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang
terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut.
Li Sian dan
Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam
kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka.
Tiba-tiba saja kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua
orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka
pun sudah terkulai dan roboh dengan lemas!
Dengan
langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri
Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng.
Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan
darah terpenting di tubuh Hong Beng.
Pemuda
perkasa ini terkejut sekali. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan
lawan yang berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya.
Serangkaian serangan itu demikian cepatnya, tanpa mengeluarkan bunyi dan
tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan
menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia
pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li.
Karena
sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam
Mo-li, maka akhirnya dia tak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas
yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, kemudian sebuah totokan
susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya
pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.
“Biar
kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah
meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan
dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek.
Melihat
berkelebatnya bayangan kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun
Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan,
cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan. Tapi Ouwyang Sianseng bukan mengelak,
bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat
mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang.
Dalam
sedetik saja pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini
hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua
pundak Kun Tek. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan
kokoh kuat itu terkulai dan roboh.
Ketika itu
Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang. Maka
mendadak ia meninggalkan Toat-beng Kiam-ong, dan tepat pada saat Ouwyang
Sianseng merampas pedang Kun Tek, wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang
dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot), mengarah ke
tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaga dengan tujuan membalas
kekalahan kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.
“Desss...!”
Pukulan
kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi
akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia
tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin! Maklum bahwa
ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu
musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah
suaminya.
“Suamiku,
tunggu... aku menyusulmu...,” katanya.
Dan pada
saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi sudah
mencengkeram ke arah kepalanya sendiri. Dia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan
Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya
sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo
Jin, tewas seketika!
Meski
hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya
dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang Siangkoan Lohan terganggu oleh
kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ.
“Tangkap
mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan
sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga
masuk tanpa ijin!” bentaknya kepada murid utamanya, Tiat-liong Kiam-eng yang
segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong
Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar
sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan
membersihkan ruangan itu.
Siangkoan
Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama dengan para
pembantunya yang berada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding.
Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, sekarang sudah tiba waktunya untuk segera
melakukan gerakan.
Penyerbuan
orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang
luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium
akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan untuk
menghubungi para sekutunya, terutama Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja
Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di
perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para
pembantu yang bertugas ke luar, dipanggil agar segera pulang.
*************
Empat orang
muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka.
Akan tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka
terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang mengikat kaki mereka pada tonjolan
besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga dibelenggu, disambung
dengan rantai sehingga biar pun mereka mampu menggerakkan kaki tangan, namun
mereka tidak dapat bebas.
Hanya Ci Hwa
seorang yang tidak terbelenggu, dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng
menganggap Ci Hwa sama sekali tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu
kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan
akan mampu memberontak.
Dia sendiri
yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh
orang ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri sering kali meronda
untuk meneliti keadaan empat orang tawanan itu agar jangan sampai ada
kesempatan atau kemungkinan bagi mereka untuk lolos.
Ketika Ci
Hwa sudah bisa menggerakkan tubuhnya lagi, ia segera bangkit dalam kamar
tahanan yang luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar
tahanan. Sebuah kamar yang kuat, dengan tembok tebal dan di bagian depannya ada
sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali baja. Ia segera melangkah
ke pintu dan memandang keluar.
Tempat itu
merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara
atau tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang
ditempatinya itu. Sebuah kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus
tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras! Ketika ia didorong ke dalam
kamar ini secara kasar oleh anggota Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa
hal yang sama diperlakukan oleh para anggota Tiat-liong-pang kepada Gu Hong
Beng dan juga kepada gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak
dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiat-liong-pang dan sekutunya.
“Kasihan
Beng-ko...” Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng. “Karena menolongku, dia sampai
ikut tertawan. Ahh, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa
sekali pun, aku bersedia untuk menyelamatkannya.”
Ia termenung
dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan
halus yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh
diri di hutan itu. Ia tahu bahwa ketiga orang tawanan lain berada di dalam
kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam kamar terakhir, dan dia pun
melihat betapa tiga orang itu terlebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan
di dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka
karena kamar mereka bersebelahan.
Meski pun
malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat
tawanan ini cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu
sengaja diterangi agar supaya gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh
para penjaga.
Ci Hwa
melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi
kurus menuju ke tempat para tawanan. Agaknya masih ada lagi tawanan lain di
tempat itu selain mereka berempat. Kini laki-laki tinggi kurus itu melakukan
perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan melalui ruji
besi di bagian atas pintu. Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan
kembali ia tertegun.
Tadi, ketika
ia dan ketiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah
tertegun dan terheran melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi
pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang melakukan penjagaan di tempat itu.
Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu, akan tetapi lupa lagi di mana.
Seorang
laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi
kurus, dengan sepasang mata tajam dan muka yang agak pucat. Pedangnya
tergantung di punggung dan pandang matanya yang tajam itu membayangkan
kecerdikan dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang
itu, melihat lirikan mata itu, tiba-tiba Ci Hwa teringat.
Ciu Piauwsu!
Ya, telah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia adalah seorang
piauwsu (pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya.
Sebagai seorang piauwsu, rekan dari ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti
ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan. Bahkan akhir-akhir ini, Ciu Piauwsu
yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya saat Ciu Piauwsu
mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya!
Ayahnya,
Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, lalu menyambut tantangan Ciu Piauwsu sehingga
terjadi perkelahian, di mana Ciu Piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya,
mengaku kalah dan pergi sambil mengancam. Itulah Ciu Piauwsu! Dan kini,
tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggota
Tiat-liong-pang!
Mengingat
hal ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong
Beng dan dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu Piauwsu! Bagai
mana pun juga, mereka adalah sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu,
seperti ayahnya.
Dia pun teringat
bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan
Sin Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini
hanya suatu kebetulan saja? Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya
untuk mendekati bisa Ciu Piauwsu, dengan cara apa pun, bukan sekedar untuk
berusaha menyelamatkan Hong Beng dan kedua orang tawanan lainnya, namun juga
untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu dari Ban-goan yang kini
berada di antara orang-orang Tiat-liong-pang!
Seseorang
yang sudah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang
dapat berubah segala-galanya. Rasa kekhawatiran, sakit hati, putus asa, dan
duka yang melanda hatinya semenjak dia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan
Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia tidak lagi menghargai dirinya
sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam, melampiaskan
kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa mempedulikan
keselamatan diri atau harga diri lagi.
Kini, Ciu
Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni
kamar-kamar tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri
memegangi terali besi dan memandang keluar.
“Ciu
Piauwsu...!” Ci Hwa memanggil dengan suara lembut.
Ciu Hok Kwi
memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian.
Ketika Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong,
Ciu Hok Kwi tidak berada di sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa
yang menimpa diri gadis itu. Sekarang, ketika dia melakukan perondaan,
tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali
dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebuah
sebutan yang luar biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya
seperti itu!
Dia
memandang tajam dan heran, lalu melangkah mendekat. Dia hanya tahu bahwa di
antara empat orang tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah
yang paling lemah dan tidak berbahaya, demikian menurut keterangan Siangkoan
Kongcu. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk membelenggu gadis
ini.
Ci Hwa
melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak
mengenalnya. Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tiada hubungan
sesuatu dan amat jarang berjumpa.
Gemblengan
batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang
hijau itu kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan! Ia
tersenyum, senyum manis dan ia tahu bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya
itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada lekukan pipinya yang kiri,
yang sengaja dia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua
orang anak buah Tiat-liong-pang itu.
“Aihh, Ciu
Piauwsu, apakah engkau sudah tidak ingat kepadaku? Kita sama-sama dari
Ban-goan, dan oleh karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan
suka menolong aku...!” di dalam suaranya, Ci Hwa menggetarkan permohonan yang
amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh harapan.
Ciu Hok Kwi
tertarik. Dia bukanlah seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau
Siangkoan Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak pula. Dia seorang
laki-laki dewasa yang sudah berpengalaman, maka tentu saja dapat menangkap
gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana terkandung penawaran dan
janji manis sekali.
“Hemmm,
jangan ngawur! Aku bukan piauwsu...!” Dia masih mencoba karena dia belum
mengenal gadis itu. Matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan
tonjolan bukit dada yang menjadi amat jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada
jeruji besi kuat-kuat.
“Aih, Ciu
Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku... aku mengenalmu sebagai seorang
piauwsu yang gagah. Namaku Kwee Ci Hwa... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau
tentu masih ingat, bukan?”
Ciu Hok Kwi
terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup
bersih. Matanya yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh
perhatian.
“Ahh, engkau
she Kwee... dari Ban-goan Piauwkiok?”
“Benar, Ciu
Piauwsu, aku puteri majikan Ban-goan Piauwkiok!”
Ciu Hok Kwi
mengangguk-angguk dan tersenyum simpul, lalu mendekat, untuk dapat mengamati
wajah cantik itu lebih jelas lagi. “Ahhh, kiranya puteri Kwee Piauwsu! Dan
mengapa pula engkau sampai tertawan di sini?”
Ci Hwa,
gadis yang sebetulnya masih hijau itu, kini telah menjadi matang oleh musibah
yang menimpa dirinya, membuatnya menjadi wanita yang amat cerdik dan pandai
sekali bersandiwara. Mudah saja baginya kini untuk menekan batinnya sehingga
air matanya mengalir turun dari kedua matanya ketika ia mendengar pertanyaan
Ciu Hok Kwi itu.
“Aih, Ciu
Piauwsu, harap engkau suka menaruh kasihan padaku dan suka menolongku,
mengingat bahwa kita sama-sama datang dari Ban-goan. Nasibku sungguh malang...
dan di tempat asing ini, siapa lagi yang dapat kumintai tolong kecuali engkau
seorang? Tolonglah aku, selamatkan aku dan... aku akan berterima kasih sekali,
aku berhutang budi dan aku akan membayarmu dengan apa saja, Ciu Piauwsu...“
Kembali Ciu
Hok Kwi melihat sikap yang menantang dan penuh janji manis itu, dari sepasang
mata yang basah air mata, dari mulut yang setengah terbuka, dari tonjolan dada
yang ditekan pada jeruji besi.
“Bagaimana
aku dapat menolongmu? Aku tidak berani membebaskanmu, nona Kwee, karena para
pemimpin sendiri yang menawanmu.”
“Tidak usah
membebaskan aku, asal aku... jangan sampai terbunuh... katakan kepada mereka
bahwa aku ini adalah calon isterimu atau apa saja, asal aku dapat terhindar
dari bahaya maut...“
Berdebar
rasa jantung Ciu Hok Kwi. Dia memang belum menikah, dan sukar ditemukan seorang
gadis yang demikian manis seperti Ci Hwa menawarkan diri seperti ini!
“Akan tetapi
ceritakan lebih dulu bagaimana engkau sampai tertawan? Apakah engkau memusuhi
Tiat-liong-pang?”
“Mana aku
berani? Aku akan bercerita terus terang saja kepadamu, Ciu-toako, dan hal ini
baru kepadamu saja kuceritakan,” Ci Hwa berbisik-bisik.
Ciu Hok Kwi
semakin tertarik karena gadis itu menyebutnya toako, bukan Piauwsu lagi,
sebutan yang lebih akrab.
“Aku
meninggalkan rumah orang tuaku, engkau tentu mengerti, sebagai seorang gadis
yang ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Ketika tiba di dekat
tempat ini, aku diganggu lima orang pemburu, aku dikeroyok dan kalah, dan
hampir aku diperkosa oleh mereka berlima. Aku sudah ditelanjangi, empat orang
memegang kaki tanganku dan orang ke lima sudah siap untuk memperkosa aku yang
masih perawan...“ Entah dari mana Ci Hwa memperoleh kemampuan untuk bercerita
seperti itu, sengaja menggambarkan keadaan yang dapat merangsang pendengarnya.
Dan usahanya
berhasil. Mendengar cerita itu, sepasang mata Ciu Hok Kwi seakan-akan
menelanjanginya, meraba-raba tubuhnya sebab piauwsu muda itu lalu menggambarkan
keadaan Ci Hwa seperti yang diceritakannya itu. Dan Ci Hwa sengaja berhenti
untuk memancing reaksi dari pendengarnya.
“Lalu
bagaimana...? Lanjutkan ceritamu...!” kata Ciu Hok Kwi agak terengah-engah dan
mukanya yang biasanya pucat itu sekarang menjadi agak kemerahan, matanya tetap
menggerayangi lekuk lekung tubuh Ci Hwa dengan lahap.
“Aku sudah
putus asa, hendak menjerit namun mulutku dibungkam. Aku hanya dapat
meronta-ronta sekuatku, akan tetapi sia-sia karena keempat orang itu memegangi
kaki tanganku. Dan pada saat terakhir, muncullah Siangkoan Kongcu! Dengan
gagahnya dia menghajar lima orang pemburu itu sampai mereka terbunuh semua dan
mayat mereka dilempar ke dalam jurang. Lalu Siangkoan Kongcu menghampiri aku
yang masih belum sempat berpakaian...”
Kembali ia
berhenti dan melihat dengan kegembiraan yang disembunyikan betapa laki laki itu
berkeringat dan menjilati bibirnya sendiri seperti seekor anjing kelaparan
melihat daging segar yang membangkitkan selera dan menambah rasa lapar.
“Kemudian...
bagaimana...?” Suara Ciu Hok Kwi lirih dan parau.
“Aku adalah
seorang yang mengenal budi. Kalau sudah ditolong orang, maka aku mau membalas
budi itu dengan apa saja. Dan Siangkoan Liong seorang laki-laki muda yang
tampan, seperti... engkau ini, Ciu-toako, dan aku dalam keadaan telanjang. Kami
saling tertarik dan aku lalu menyerahkan diri bulat-bulat, menyerahkan
segalanya dengan suka rela. Segala yang tadinya hendak diminta secara paksa
oleh kelima orang pemburu itu, kuberikan kepada Siangkoan Kongcu dengan senang
hati, apa lagi karena dia berjanji hendak mengawini aku yang selamanya belum
pernah berdekatan dengan pria.”
“Lalu...
lalu bagaimana...?”
Kembali Ci
Hwa menangis dan suaranya tersendat-sendat ketika ia melanjutkan. “Akan tetapi
dia... dia mengingkari janji... aku lalu pergi, hendak membunuh diri... aku
yang masih perawan telah menyerahkan kehormatanku, dan dia ingkar janji...!
Ketika sedang membunuh diri, aku dicegah oleh seorang pendekar yang bernama Gu
Hong Beng itu. Dia mencegah aku bunuh diri dan menasehati aku kemudian dia
hendak membelaku, hendak menuntut pertanggungan jawab Siangkoan Kongcu. Akan
tetapi kami kalah dan tertawan...“
“Hemmm,
salahmu sendiri, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana berani hendak menuntut
Siangkoan Kongcu?”
“Begini,
Ciu-toako. Kalau tadinya dia tidak berjanji akan mengawiniku, tentu aku tidak
menuntut. Tapi aku tahu bahwa itu tidak tahu diri, karena itu, aku mohon
kepadamu, Ciu-toako yang baik, tolonglah aku, selamatkanlah aku dan aku akan
berhutang budi kepadamu...“ Kembali pandang mata Ci Hwa menantang.
Ciu Hok Kwi
yang sudah terangsang oleh cerita gadis itu tadi, sekarang tersenyum dan
kembali mengelus dagunya, “Dan dengan apa engkau hendak membalas budiku itu?”
Pertanyaannya ini disertai kerling tajam, mengandung kegenitan yang jelas.
“Ciu-toako,
sudah kukatakan bahwa aku adalah seorang gadis yang suka membalas budi. Aku
pasti akan mau melakukan apa saja yang kau kehendaki dariku!” Jawabannya
demikian meyakinkan dan melenyapkan keraguan hati Ciu Hok Kwi.
“Engkau mau
kalau malam ini engkau menemani aku tidur di kamarku?” tanya murid pertama
Siangkoan Lohan itu dengan tegas, tanpa malu-malu lagi.
Mau tidak mau,
wajah Ci Hwa menjadi merah dan ia merasa betapa mukanya panas sekali, akan
tetapi gadis ini memaksa diri tersenyum malu-malu.
“Tentu saja
aku mau, Ciu-toako. Apa lagi engkau nampaknya jauh lebih jujur dari pada
Siangkoan Kongcu.”
“Tapi aku
tidak berjanji bahwa kelak aku akan mengawinimu!”
Ci Hwa
tersenyum semakin cerah. “Baik, memang benar bahwa engkau jauh lebih jujur dari
pada Siangkoan Kongcu. Kalau engkau tidak menjanjikannya, aku pun kelak tidak
akan menuntut, Toako.”
Sepasang
mata Ciu Hok Kwi, yang tajam seperti mata kucing itu bersinar-sinar. Namun, dia
bukan orang bodoh. Dia tak akan mau percaya demikian saja sebelum ada buktinya.
Rasanya terlampau mudah, aneh dan tidak masuk di akal kalau seorang gadis
baik-baik seperti Kwee Ci Hwa ini, puteri Kwee Piauwsu yang gagah perkasa di
Ban-goan itu, begitu saja menyodorkan dirinya kepadanya!
“Kalau
begitu, marilah ikut denganku,” katanya sambil mengeluarkan seuntai kunci-kunci
dari saku bajunya, lalu membuka daun pintu kamar sel itu.
Melihat
banyak kunci itu, diam-diam Ci Hwa girang sekali. Tidak keliru dugaannya, Ciu
Hok Kwi ini menjadi kepala jaga di sini dan dialah yang memegang semua kunci
pintu kamar-kamar tahanan! Ia pun keluar dari kamar tahanan itu dan membiarkan
dirinya dirangkul dan dipandangi oleh Ciu Hok Kwi, bahkan dia pun dengan sikap
malu-malu melingkarkan lengannya pada pinggang laki-laki tinggi kurus itu.
“Jaga di
sini baik-baik, aku mau bicara penting dengan Nona ini!” katanya kepada para
anak buahnya yang lalu berkedip-kedip sambil tersenyum simpul melihat atasan
mereka menggandeng seorang tahanan wanita yang manis, hal yang tidak asing lagi
bagi mereka. Sudah menjadi hak Ciu Hok Kwi agaknya, untuk melakukan apa saja
terhadap para tahanan, membawa tahanan wanita cantik ke kamarnya, menyiksa,
atau bahkan membunuh tahanan!
Setelah tiba
di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi yang masih sangsi dan belum dapat percaya benar
kepada Ci Hwa, segera minta bukti dari gadis itu untuk melayaninya! Barulah dia
percaya benar setelah gadis itu menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan dengan
sikap gembira dan manis seolah-olah gadis itu menyukai dan menikmati pula apa
yang terjadi antara ia dan Ciu Hok Kwi.
Orang she
Ciu ini sama sekali tidak tahu betapa di dalam batinnya, gadis itu menangis dan
menjerit, betapa tersiksa dan sakit rasanya badan dan batinnya ketika ia harus
pasrah saja digeluti oleh orang yang dibencinya itu! Ya, dia membenci Ciu Hok
Kwi, pertama-tama karena pernah Ciu Hok Kwi menantang ayahnya dan akhirnya
orang ini dikalahkan oleh ayahnya. Kedua, sebab melihat piauwsu ini ternyata adalah
kaki tangan pemberontak, dan kini bahkan terpaksa ia menyerahkan diri
kepadanya.
Akan tetapi
biarlah! Ia sudah tidak memiliki harapan untuk bisa hidup terus, setelah apa
yang dialaminya, setelah ia terhina, direnggut kehormatannya oleh Siangkoan Liong.
Ia harus mati untuk menebus aib, tetapi sebelum mati, ia harus dapat
menyelamatkan Gu Hong Beng.
Pemuda itu
telah menolongnya, bahkan sudah memberi penerangan batin kepadanya. Dan
sekarang pemuda itu, karena hendak membelanya telah terjatuh ke tangan musuh!
Ia harus menyelamatkannya, dengan jalan apa pun juga. Dan kini telah ia
laksanakan cara yang paling menyakitkan, baik badannya mau pun batinnya. Ia
telah melayani Ciu Hok Kwi, melayani dengan sikap manis pula!
Setelah
memperoleh bukti berulang kali dari pelayanan manis Kwee Ci Hwa, akhirnya Ciu
Hok Kwi mulai percaya. Ketika mereka mengaso dan rebah bersanding di dalam
kamarnya, Ciu Hok Kwi tanpa ragu-ragu lagi menceritakan kepada Ci Hwa yang kini
telah dianggapnya sebagai kekasihnya. Menceritakan bahwa dia sesungguhnya
adalah Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dan terpandai dari Siangkoan Lohan,
juga adalah pembantu utama Siangkoan Lohan!
“Akan
tetapi, Ciu-toako yang baik...,” Ci Hwa bertanya sambil memeluk dengan sikap
merayu, “bagaimana engkau yang menjadi murid utama Siangkoan Lohan, bisa
bekerja sebagai seorang piauwsu di Ban-goan...?”
Ciu Hok Kwi
tertawa dan mencium gadis itu, “Itu adalah siasatku. Kami membutuhkan
penghubung yang baik untuk keluar masuk perbatasan Tembok Besar tanpa dicurigai,
supaya lebih mudah bagi kami berhubungan dengan orang-orang Mongol yang akan
membantu gerakan kami. Karena itulah, di Ban-goan tempatnya untuk mengatur
semua itu dengan kedok perusahaan Piauwkiok.”
“Tapi…
bukankah engkau menjadi piauwsu pembantu dari Tan-piauwsu yang kabarnya
terbunuh di utara itu?”
“Ha-ha-ha,
benar, memang benar. Itulah siasatku yang sangat cerdik. Tanpa disangka orang,
aku kini menguasai piauwkiok itu, sehingga terbukalah jalan bagi gerakan kami
untuk berhubungan dengan kawan-kawan di luar Tembok Besar...”
“Ahh, jadi
kematian Tan-piauwsu itu termasuk rencana siasatmu? Engkau sungguh lihai
sekali, Koko!” Ci Hwa balas mencium meski di dalam hatinya ia ingin muntah
karena jijik mendengar bahwa pembunuhan atas diri Tan-piauwsu itu adalah perbuatan
orang ini. “Kalau begitu, yang membunuh Tan Piauwsu...”
“Ha-ha-ha,
akulah orangnya!” kata Ciu Hok Kwi sambil tertawa.
Sepasang
mata Ci Hwa terbelalak dan ia mengamati wajah laki-laki itu yang di bawah sinar
lilin itu cukup tampan, akan tetapi juga menyeramkan. “Dan orang berkedok yang
membunuh Lay-wangwe...”
“Aku juga
orangnya! Ehh, bagaimana engkau bisa tahu...? Ah, kiranya engkaukah yang
mencoba untuk menangkap aku itu, Manis? Ha-ha-ha! Untung saat itu hanya
kutendang lututmu…!”
Ci Hwa terkejut
dan juga marah bukan main, akan tetapi ia memaksa dirinya untuk ikut tertawa,
kemudian merangkul dan mencium laki-laki itu sambil memuji. “Wah, kiranya
engkaukah orang itu? Aku sudah merasa amat kagum karena kelihaiannya! Dan
engkau pernah pula menantang ayahku? Bagaimana engkau dapat dikalahkannya jika
ternyata engkau selihai itu?”
Ciu Hok Kwi
balas merangkul dan mencium. “Siasat, Manisku, siasat! Aku harus pura pura
mengalah supaya tidak mendatangkan kecurigaan putera Tan-piauwsu itu. Engkau
tentu telah mengenalnya.”
“Ya, Tan Sin
Hong itu bukan? Dia menuduh ayah yang mengatur pembunuhan terhadap ayahnya,
maka aku ingin mencuci nama baik ayahku dengan membantunya menangkap pembunuh.
Kiranya engkau orangnya dan sekarang engkau malah menjadi kekasihku, orang yang
akan menyelamatkan aku dari bahaya di sini.”
Kembali Ci
Hwa melayani Ciu Hok Kwi dengan sikap manja, mesra dan manis sehingga Ciu Hok
Kwi menjadi tergila-gila, tenggelam dalam nafsunya dan akhirnya, setelah lewat
tengah malam, dia pun tidur pulas kelelahan.
Ci Hwa yang
tadinya sudah pura-pura tidur pulas lebih dahulu, segera membuka kedua matanya.
Dengan hati-hati ia melepaskan lengan dan kaki pria itu yang merangkulnya, lalu
melepaskan diri dan sejenak duduk di atas pembaringan sambil mengamati muka dan
pernapasan laki-laki itu.
Sudah tidur
nyenyak, dapat di ketahuinya dari pernapasannya dan dengkurnya. Sekali pukul
saja ia akan dapat membunuh laki-laki ini! Akan tetapi, ia tidak berani
melakukan hal ini, karena kalau sampai ia gagal, kalau sampai Ciu Hok Kwi tidak
mati oleh sekali pukul dan sempat berteriak, akan gagallah usahanya menolong Gu
Hong Beng! Yang terpenting adalah menyelamatkan pemuda itu lebih dulu,
pikirnya.
Rasanya
tangannya telah gatal hendak menyerang dan membunuh orang yang sedang tidur
ini. Apa lagi kalau diingatnya betapa ia tadi digeluti dan menderita siksaan
lahir batin yang bagi seorang gadis tidak tertandingi oleh penderitaan yang
bagaimana pun juga.
Akan tetapi,
Ci Hwa dapat menekan perasaannya. Dengan hati-hati dia pun mengambil baju Ciu
Hok Kwi yang tadi ditanggalkan dan dilemparkan ke sudut pembaringan. Jari jari
tangannya gemetar pada saat ia mencari-cari dan akhirnya ia menemukan seuntai
kunci-kunci dan matanya bersinar-sinar.
Dia lalu
mengenakan pakaiannya, dan sepatunya, kemudian turun perlahan-lahan dari atas
pembaringan. Ciu Hok Kwi masih mendengkur pulas. Melihat sebatang pedang
tergantung di dinding kamar itu, dicabutnya pedang itu dan dibawanya keluar
kamar bersama kunci-kunci tadi. Berindap-indap ia menghampiri tempat tahanan.
Ci Hwa
menyelinap di balik dinding yang gelap dan mengintai. Jalan menuju ke kamar
tahanan itu melalui sebuah lorong dan ada tiga orang penjaga bercakap-cakap di
mulut lorong itu. Penjaga-penjaga lainnya entah pergi ke mana. Di situ terdapat
belasan orang penjaga dan agaknya mereka merasa aman, maka diadakan pergantian
penjagaan. Mungkin yang lainnya sedang tidur dan mereka berjaga dengan
bergiliran.
Kenyataan
bahwa yang berjaga di situ hanya tiga orang, jantung dalam dada Ci Hwa berdebar
tegang dan juga gembira. Jika hanya tiga orang, tentu saja tak berat baginya
untuk membunuh mereka, apa lagi keadaan tiga orang itu kini nampak mengantuk.
Malam telah amat larut, lewat tengah malam dan mereka bertiga kini tidak
bercakap-cakap lagi, melainkan duduk melenggut.
Ci Hwa
kemudian memungut batu kerikil yang dilontarkan ke depan. Suara kerikil jatuh
menggelinding di lantai ini cukup membuat salah seorang di antara tiga orang
penjaga itu terkejut dan memandang dengan curiga. Dia mencabut goloknya dan
bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah perlahan ke arah pilar yang agak
gelap, di mana tadi dia mendengar suara kerikil jatuh.
Baru saja
kakinya menginjak di sudut dinding, mendadak nampak sinar berkelebat dan
penjaga itu tersentak kaget. Dua matanya terbelalak ketika sebatang pedang
menempel jantungnya dan mulutnya tak sempat bersuara karena ada tangan mendekap
mulutnya. Dia pun roboh tanpa mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya diseret Ci
Hwa ke tempat gelap.
Kembali Ci
Hwa melempar kerikil, lebih keras dari tadi. Kini, dua orang penjaga yang
mengantuk itu terkejut dan bangkit, memandang ke kanan kiri, mencari kawan
mereka dan keduanya kemudian melangkah perlahan-lahan ke depan, mencari-cari.
Tadi ketika kawan mereka bangkit dan memeriksa keadaan, mata mereka sudah
terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan.
Ci Hwa
menanti mereka dengan hati tegang. Ia harus dapat sekaligus merobohkan dua
orang ini tanpa menimbulkan banyak kegaduhan, pikirnya, bersiap dengan
pedangnya yang sudah bersih dari darah karena ia mengusapkannya ke tubuh korban
pertamanya. Ketika dua orang penjaga itu tepat tiba di sudut dinding, dua kali
pedang di tangan Ci Hwa berkelebat, menyambar ke arah tenggorokan kedua orang
itu.
Hanya
terdengar suara mengorok seperti babi disembelih ketika dua orang itu terkulai
roboh mandi darah dan berkelojotan tanpa mengeluarkan teriakan karena
tenggorokan mereka hampir putus! Ci Hwa tidak membuang banyak waktu lagi. Ia
meloncati mayat dua orang penjaga itu dan berlari memasuki lorong. Pertama-tama
ia menghampiri pintu kamar di mana Gu Hong Beng ditahan.
Hong Beng
sedang duduk bersila menghimpun tenaga. Dia tentu saja, seperti yang lain,
tidak dapat tidur. Melalui ketukan pada dinding, ia telah mengadakan hubungan
dengan Kun Tek yang ditahan di kamar sebelah kirinya, bahkan mereka berdua
dapat bicara sambil berbisik, mengerahkan khikang untuk dapat saling tangkap.
Dari suara bisik-bisik ini, dia dan Kun Tek sudah sepakat untuk bersiap-siap
menghimpun tenaga dan pada keesokan harinya atau kapan saja ada kesempatan,
mereka akan menggunakan tenaga dan kekerasan untuk mengamuk.
Dengan
bisikan-bisikannya, Hong Beng dan Kun Tek telah berjanji masing-masing akan
menghubungi Ci Hwa dan Li Sian. Cu Kun Tek bertugas menghubungi Li Sian yang
berada di sebelah kamarnya, sedangkan Gu Hong Beng akan menghubungi Ci Hwa.
Akan tetapi,
setelah beberapa kali mencoba, Hong Beng tidak menerima jawaban dari Ci Hwa
sehingga dia merasa gelisah sekali. Apa lagi kalau dia teringat akan perjumpaan
mereka pertama kali. Gadis itu hampir saja mati membunuh diri tanpa dia tahu
akan sebabnya. Bagaimana kalau sekarang gadis itu mengulang kembali usahanya
untuk membunuh diri dalam sel tahanannya karena putus asa? Kini takkan ada lagi
yang dapat menghalanginya!
Akan tetapi,
satu-satunya cara membunuh diri dalam sel itu, apa lagi setelah mereka semua
dilucuti senjatanya, hanyalah dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah
pada dinding kamar tahanan. Dan sejak tadi, dia memperhatikan dengan hati
gelisah dan tidak pernah mendengar suara mengerikan dari pecahnya kepala
terbentur pada dinding.
Akan tetapi
kenapa gadis itu tidak menjawabnya? Sudah beberapa kali dia mengetuk-ngetuk
dinding, juga melalui jeruji besi itu dia pun ‘mengirim’ suaranya dengan
kekuatan khikang ke dalam kamar tahanan Ci Hwa di sebelah, namun semua usahanya
itu sia-sia belaka.
Tidak pernah
ada jawaban dari kamar sebelah, bahkan dia tak mendengar ada suatu gerakan.
Tadi memang dia tahu bahwa ada rombongan penjaga yang mendekati pintu kamar
tahanan Ci Hwa, bahkan mereka bercakap-cakap, akan tetapi karena ada pula
penjaga berdiri di depan pintu kamar tahanannya, dia pun tidak dapat mendekati
dan mencoba untuk mendengarkan. Kemudian para penjaga itu pergi dan suasana
menjadi sunyi dan sejak itu, dia tidak dapat mendengar sesuatu dari kamar Ci
Hwa.
Di lain
pihak, Kun Tek yang mencoba untuk menghubungi Li Sian, ternyata memperoleh
hasil baik. Ketukannya pada dinding dibalas oleh Li Sian, dan ketika Kun Tek
mendekati pintu, ternyata gadis di kamar sebelah itu pun sudah mendekati ke
pintu.
“Maaf, Nona,
apakah aku mengganggu? Aku adalah Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman, dan
datang ke sini untuk menentang Tiat-liong-pang yang bersekutu dengan kaum sesat
untuk melakukan pemberontakan. Jika tidak berkeberatan, maukah Nona
memperkenalkan diri kepadaku?”
Mendengar
suara bisikan yang dikirim dengan khikang yang cukup kuat ini, Li Sian kagum.
Tadi ia sudah melihat kemunculan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu,
bahkan dia sudah mendengar pengakuan Kun Tek kepada Siangkoan Lohan. Ia pernah
mendengar nama besar Lembah Naga Siluman dan ada rasa kagum terhadap pemuda
itu.
“Namaku Pouw
Li Sian,” dia pun berbisik dan mendorong bisikan itu dengan khikang sehingga
dapat terdengar jelas oleh Kun Tek yang juga menjadi kagum. Dia tadi sudah
melihat kehebatan Li Sian yang bertanding melawan Siangkoan Liong, dibantu Ci
Hwa. “Aku seorang yatim piatu, mendiang guruku adalah Bu Beng Lokai. Aku
mempunyai permusuhan pribadi dengan Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan,
tetapi karena mereka semua adalah penjahat-penjahat yang licik, curang dan kejam,
aku menentang mereka.”
Kun Tek
mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Li Sian, terutama
sekali ketika mendengar betapa suara bisikan gadis itu tadi gemetar pada saat
mengatakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu. Agaknya gadis itu teringat akan
keadaan dirinya yang yatim piatu dan menjadi sedih, pikir Kun Tek dengan hati
terharu. Biar pun baru beberapa kali saja dia mendapat kesempatan mengamati
wajah gadis itu, dia masih teringat akan seraut wajah yang cantik dan anggun,
dengan sinar mata tajam namun lembut, dengan mulut yang membayangkan kehalusan
watak.
“Kalau
begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama, Nona. Apakah Nona sudah mengenal
dua orang kawan lain yang tertawan di sebelah?”
“Belum, aku
belum mengenal mereka berdua. Apakah engkau telah mengenal mereka?”
“Aku belum
mengenal gadis itu, akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu adalah seorang
sahabat lamaku, sahabat baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bernama Gu
Hong Beng dan dia murid seorang anggota keluarga Pulau Es yang terkenal.”
“Ahhh...!”
Mendengar
seruan Li Sian, Cu Kun Tek menjadi heran. Dalam seruan itu, bukan hanya
terkandung rasa kaget atau kagum, melainkan lebih mengandung keheranan.
“Kenapakah,
Nona?”
“Mendiang
guruku, Bu Beng Lokai, adalah mantu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!”
“Ahhh...!”
Kini Kun Tek yang berseru, seruan kaget, heran dan kagum menjadi satu. “Kalau
begitu, tentu engkau mengenal Gu Hong Beng karena ada hubungan perguruan antara
dia dan engkau, Nona.”
“Aku belum
pernah mengenalnya. Saudara Cu Kun Tek, apa yang dapat kita lakukan sekarang?
Mereka itu ternyata memiliki banyak orang pandai, terutama sekali siucai tua
yang tinggi kurus itu, yang merobohkan kita. Dia sungguh mempunyai ilmu
kepandaian tinggi dan lihai bukan main.”
“Benar,
Nona. Tadi aku sudah bicara dengan Hong Beng dan kami bersepakat untuk malam
ini menghimpun tenaga, bersiap-siap untuk memberontak apa bila kesempatan tiba.
Meski pun kakek itu lihai, kalau kita bertiga, berempat dengan nona yang
seorang lagi itu, kurasa kita akan dapat menghadapi kakek lihai itu.”
Mereka
menghentikan percakapan, kemudian duduk bersila di tengah kamar tahanan
masing-masing untuk menghimpun tenaga. Dalam hati Li Sian terasa agak lega
setelah ia dapat bercakap-cakap dengan Cu Kun Tek, pemuda tinggi besar yang
gagah perkasa itu. Mendengar suara yang berat dan tegas itu, hatinya menjadi
lebih tenang dan ia menghadapi segala kemungkinan dengan penuh semangat.
Diam-diam ia
mengingat kembali tiga orang yang tidak dikenalnya itu, yang berdatangan
membantunya dalam perkelahian sehingga akhirnya mereka semua menjadi tawanan.
Ia merasa terharu kalau teringat akan nasib Bi-kwi dan suaminya. Yo Jin, suami
wanita lihai itu, tewas seperti seorang yang gagah perkasa walau pun pria itu
tidak pandai silat, dan Bi-kwi tewas sebagai seorang isteri yang amat mencinta
suaminya.
Ketika ia
teringat akan sikap gadis yang menjadi tawanan di sebelah, ia merasa heran
sekali. Gadis itu begitu muncul, memaki Siangkoan Liong dan menyerang
mati-matian, walau pun tingkat kepandaian silat gadis itu masih jauh di bawah
tingkat Siangkoan Liong. Gadis itu demikian nekat dan agaknya sangat membenci
Siangkoan Liong. Ada dendam apa antara gadis itu dan Siangkoan Liong? Ia menduga-duga,
dan mengingat akan dendamnya sendiri, dia menduga bahwa agaknya gadis itu pun
menjadi korban rayuan Siangkoan Liong.
Ingin
rasanya ia menampar pipinya sendiri jika teringat betapa ia telah menyerahkan
dirinya dengan suka rela kepada pemuda biadab itu! Ia telah terpikat dan memang
telah jatuh cinta pada pemuda tampan itu, tak tahu bahwa pemuda itu selain
menggunakan rayuan maut, juga menggunakan minuman yang merangsang, dan juga
pengaruh ilmu sihir untuk menjatuhkannya!
“Keparat!
Aku harus membunuhmu!” Ia mengepal tinju, tetapi lalu mengusir gangguan pikiran
ini yang akan melenyapkan ketenteraman hatinya dan juga akan menggagalkan
usahanya untuk menghimpun tenaga dalam.
Lewat tengah
malam, tiba-tiba Hong Beng dikejutkan dengan munculnya Ci Hwa di luar pintu
kamar selnya dan gadis itu malah membuka daun pintu kamarnya dengan kunci,
dengan hati-hati sekali.
“Adik Ci
Hwa...! Bagaimana engkau dapat keluar dari kamar selmu...?”
“Sssttttt...!”
Ci Hwa memberi isyarat agar pemuda itu tidak membuat gaduh, dan ia pun masuk ke
dalam kamar itu.
Hong Beng
melompat bangun dan ketika Ci Hwa lari merangkulnya, dia pun memeluk dengan
hati yang cemas dan amat girang. Akan tetapi dia melihat Ci Hwa menangis
sesenggukan di dadanya, dan dia menjadi semakin heran. Dia tentu saja tidak
tahu betapa Ci Hwa menangis karena teringat akan pengorbanannya, telah
membiarkan dirinya diperhina sesuka hati oleh Ciu Hok Kwi, demi untuk
menyelamatkan Hong Beng.
Namun hanya
sebentar saja Ci Hwa dipengaruhi kesedihannya. Ia segera melepaskan pelukannya
dan berbisik, “Cepat bebaskan teman-teman yang lainnya. Ini kunci-kunci kamar
tahanan, cepat dan larilah kalian semua dari sini selagi masih ada kesempatan!”
Berkata demikian, Ci Hwa menyerahkan kunci-kunci itu kepada Hong Beng, kemudian
melompat keluar.
“Hwa-moi...!”
Hong Beng berseru lirih memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan
menghilang dalam kegelapan malam.
Hong Beng
hanya tertegun, tidak tahu kemana gadis itu pergi. Akan tetapi dia segera
melangkah keluar dari dalam kamar tahanan itu, dan dengan kunci-kunci itu ia
berhasil membebaskan Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek yang tentu saja menjadi girang
sekali.
“Bagaimana
engkau dapat keluar membebaskan kami?” bisik Kun Tek.
“Kita sudah
ditolong oleh adik Kwee Ci Hwa. Dialah yang tadi membebaskan aku dan menyerahkan
kunci-kunci ini,” jawab Hong Beng.
“Di manakah
dia sekarang?” Li Sian bertanya sambil memandang wajah pemuda yang menurut
keterangan Kun Tek adalah murid keluarga Pulau Es itu.
Hong Beng
juga memandang wajah Li Sian dan menggeleng kepala dengan khawatir. “Entahlah,
setelah menyerahkan kunci-kunci ini, ia terus melompat pergi.”
“Ah,
berbahaya sekali jika begitu. Kita harus mencarinya, dan bersama-sama mencoba
untuk meloloskan diri dari tempat ini!” kata Kun Tek.
Li Sian dan
Hong Beng mengangguk tanda setuju dan mereka bertiga kemudian berindap-indap
keluar melalui lorong kecil itu.
Akan tetapi,
pada saat itu para penjaga telah menemukan mayat ketiga orang kawan mereka.
Begitu muncul tiga orang tawanan ini, belasan orang penjaga sudah langsung mengepung
dan mengeroyok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru di mulut lorong, di
mana tiga orang muda itu mengamuk hanya dengan tangan kosong saja menghadapi
belasan orang penjaga yang semuanya bersenjata tajam.
Sementara
itu, Ci Hwa sudah berhasil kembali ke dalam kamar Ciu Hok Kwi yang masih tidur
mendengkur. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena kini dia memasuki kamar
itu hanya dengan satu tujuan, yaitu membunuh Ciu Hok Kwi dengan pedang di
tangannya. Oleh karena ketegangan ini, Ci Hwa menjadi agak gugup dan tidak
tenang sehingga tubuhnya melanggar bangku, membuat bangku itu roboh dan
mengeluarkan bunyi gaduh.
Suara ini
menggugah Ciu Hok Kwi. Dia membuka mata dan tubuhnya bergerak untuk duduk. Pada
saat itu, nampak sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Ci Hwa menyambar,
membacok ke arah leher Ciu Hok Kwi dengan cepat dan kuat!
Ciu Hok Kwi
adalah murid pertama dari Siangkoan Lohan. Ilmu kepandaiannya sudah tinggi,
bahkan dia dijuluki Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), seorang
ahli pedang yang amat lihai. Oleh karena itu, biar pun dia baru saja bangun
tidur dan belum sempat mempersiapkan diri, lalu tiba-tiba diserang dengan
bacokan pedang ke lehernya, dia tidak kehilangan akal dan dengan cepat dia
melemparkan tubuhnya yang masih telanjang bulat itu ke bawah pembaringan, lalu
bergulingan di lantai. Untung dia bergulingan sehingga pedang di tangan Ci Hwa
yang mengejarnya hanya bisa melukai pundak kiri, merobek kulit dan sedikit
dagingnya sehingga darah bercucuran keluar.
“Heh, apakah
engkau mendadak menjadi gila?!” bentaknya marah sambil meloncat dan menyambar
pakaiannya, dikenakan pakaian itu sedapatnya karena pada saat itu Ci Hwa sudah
menyerangnya lagi.
Dengan
tangan kiri memegang bangku yang disambarnya, Ciu Hok Kwi menangkisi serangan
Ci Hwa, sedangkan tangan kanan sibuk mengenakan pakaian pada tubuhnya. Bajunya
terbalik-balik, celananya sampai robek bagian bawahnya, tetapi setidaknya kini
tubuhnya tidak lagi telajang bulat dan dia dapat menghadapi Ci Hwa dengan
tenang.
“Ci Hwa,
mengapa engkau melakukan semua ini? Bukankah tadi kita saling mencinta dan
kau...”
“Tutup
mulutmu yang bau busuk dan bersiaplah untuk mampus!” bentak Ci Hwa yang merasa
menyesal sekali bahwa ia telah gagal membunuh orang yang amat dibencinya ini.
Ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh, maka kini ia dengan nekat
menyerang terus.
Ciu Hok Kwi
mulai marah, apa lagi pada waktu dia meraba saku bajunya dan tidak mendapatkan
untaian kunci-kunci itu. Dia juga seorang yang cerdik, maka tahulah dia bahwa
gadis ini sengaja menyerahkan diri untuk membuat dia terlena dan tertidur, lalu
mencuri kunci-kunci kamar tahanan itu.
Celaka,
pikirnya, tentu tahanan-tahanan itu telah dikeluarkan oleh gadis ini! Dan
tiba-tiba dia pun mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi, maka tahulah dia
bahwa para tawanan lain itu telah keluar dan kini berkelahi melawan anak
buahnya.
“Perempuan
jahanam! Jadi engkau hanya menipu aku, ya? Kalau begitu, mampuslah kamu!”
Ciu Hok Kwi
menyerang dengan patahan bangku, yang disambut oleh Ci Hwa dengan serangan
pedangnya, penuh kebencian dan kenekatan, dan terjadilah perkelahian
mati-matian di dalam kamar itu. Hanya karena kenekatan Ci Hwa saja maka dia mampu
mengadakan perlawanan mati-matian, karena sesungguhnya, tingkat kepandaiannya
masih kalah jauh dibandingkan lawannya.
Sementara
itu, tiga orang pendekar perkasa, Gu Hong Beng, Cu Kun Tek, dan Pouw Li Sian,
tanpa banyak membuang waktu dan tenaga, telah merobohkan belasan penjaga itu.
Mereka bertiga merampas masing-masing sebatang pedang dan berloncatan untuk
mencari Ci Hwa.
Akan tetapi,
sebelum mereka berhasil menemukan gadis itu tiba-tiba muncul Siangkoan Lohan,
Siangkoan Liong, dan Ouwyang Sianseng! Di samping tiga orang sakti ini, masih
nampak belasan orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka, mengepung
tiga orang muda yang baru saja merobohkan belasan orang penjaga itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment