Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 07
Sementara
itu, Suma Lian yang berada di dalam sumur, berhasil melompat turun dan hinggap
di atas dua ujung tombak dengan kedua kakinya. Akan tetapi pada waktu dia
memandang ke atas, ternyata lubang sumur itu terlalu tinggi baginya. Tidak
mungkin melompat ke atas dengan hanya menekankan kedua kaki pada ujung tombak
yang runcing dan lentur! Kalau tombak itu patah, ia malah akan celaka, dan
kalau sampai loncatannya tidak sampai ke atas sumur, ia akan jatuh lagi dan hal
itu lebih berbahaya lagi!
Gadis ini
cerdik. Ia mengukur lebar sumur. Tidak begitu lebar. Ketika ia berdiri di
tengah dan mengembangkan kedua lengannya, maka kedua lengannya itu lebih
panjang dari pada lebarnya sumur. Ia lalu mencoba untuk menusukkan tangannya
dengan jari-jari terbuka pada dinding sumur.
“Ceppp!”
Tangan yang
terlatih itu, bagaikan tombak saja menancap di dinding sumur padas itu sampai
ke pergelangan tangannya! Ia lalu mencoba untuk mencengkeram dan dengan mudah
jari-jari tangannya dapat mencengkeram. Ahh, ia menemukan akal untuk dapat
mendaki naik, pikirnya.
Diselipkannya
suling emas di pinggangnya, kemudian mulailah dicengkeramnya dinding sumur di
kanan kiri dengan kedua tangannya dan mulailah ia mendaki. Kedua kakinya
terpentang dan membantu dua tangannya, menginjak pada bekas cengkeraman tangan
dan dengan cepat dia mendaki naik. Sebentar saja ia sudah melompat naik keluar
dari dalam sumur, tepat pada saat Sin Hong merobohkan enam orang pengeroyoknya.
Sin-kiam
Mo-li yang terkejut melihat kehebatan Sin Hong merobohkan enam orang anak
buahnya, menjadi semakin kaget melihat munculnya Suma Lian dari dalam sumur.
Sin Hong sendiri tadi tidak melihat gadis itu terjebak ke dalam sumur. Ia hanya
mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li yang hendak membunuh seseorang di dalam sumur
dengan cara menggelindingkan batu besar, maka dia cepat turun tangan mendorong
pergi batu itu. Kini, melihat munculnya seorang gadis dari dalam sumur, dia
juga terkejut dan kagum bukan main.
Gadis itu
demikian cantik. Mukanya yang sebagian terkena lumpur, coreng-moreng tidak
menyembunyikan kecantikannya. Matanya demikian bening, tajam dan kocak,
mulutnya demikian manisnya dan tersenyum mengejek ketika ia memandang kepada
Sin-kiam Mo-li.
Suma Lian
menoleh kepada Sin Hong. Ia tak mengenal pemuda ini, akan tetapi melihat betapa
pemuda itu tadi dikeroyok oleh enam orang berpakaian merah, ia bisa menduga
bahwa pemuda ini tentulah bukan sahabat atau pembantu Sin-kiam Mo-li. Ketika
dia memandang kepada Bi-kwi yang tadi mencoba untuk memperingatkannya pada saat
ia hampir terjeblos ke dalam sumur, ia melihat wanita itu nampak diam saja,
tidak berdaya.
“Sin-kiam
Mo-li, engkau sungguh-sungguh seorang iblis betina yang tidak tahu malu,
mengandalkan pengeroyokan dan mengandalkan jebakan keji. Sungguh, tidak mungkin
lagi engkau dibiarkan hidup di dunia ini!” bentak Suma Lian dan ia sudah
mengeluarkan suling emasnya, tidak peduli bahwa kedua tangannya kotor karena
lumpur.
“Ucapan Nona
ini memang tepat. Engkau terlampau jahat, Sin-kiam Mo-li, dan terpaksa pula aku
harus berusaha membasmimu, demi keamanan hidup orang-orang lain!” kata Sin
Hong, diam-diam dia kagum dan kaget melihat gadis itu memegang sebatang suling
emas.
Melihat
sikap kedua orang muda itu dan mendengar ancaman mereka, mau tidak mau Sin-kiam
Mo-li merasa takut. Ia memandang kepada Tan Sin Hong dengan mata penuh
kebencian.
“Huh, engkau
lagi yang merusak semua rencanaku!” Ia lalu berseru kepada Ciong Siu Kwi.
“Bi-kwi, hayo cepat usir mereka berdua itu, atau suami dan puteramu akan
kusuruh bunuh sekarang juga!”
Ia hendak
mempergunakan Bi-kwi sebagai perisai karena ia maklum bahwa kalau Suma Lian dan
Tan Sin Hong maju bersama, biar ia dibantu oleh Liok Cit, Bi-kwi dan puluhan
orang Ang-i Mo-pang juga tak akan ada gunanya. Suma Lian sudah demikian
hebatnya, dan ia tahu bahwa Tan Sin Hong lebih lihai lagi!
Bi-kwi juga
maklum bahwa di antara mereka semua, ialah yang paling terjepit. Sin-kiam Mo-li
dan kawan-kawannya agaknya takut menghadapi pemuda yang baru datang ini, akan
tetapi bagaimana pun juga, iblis betina itu masih dapat membela diri
mati-matian dan ia pun tahu betapa lihainya iblis betina itu. Akan tetapi ia
sendiri?
Ia merasa
seakan-akan kaki tangannya dibelenggu. Dengan disanderanya suami dan puteranya,
ia tidak mampu berbuat apa pun kecuali mentaati perintah Sin-kiam Mo-li.
Melihat Suma Lian dan pemuda yang baru muncul ini, ia pun maklum bahwa keduanya
tentulah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, bahkan Suma Lian sudah tahu
siapa dirinya.
Maka ia
mempunyai suatu gagasan yang baik sekali. Kenyataannya bahwa Sin-kiam Mo-li
takut terhadap pemuda dan gadis itu harus dimanfaatkannya sebaik mungkin.
“Mo-li, aku
yakin bahwa nona Suma Lian dan juga Taihiap (Pendekar Besar) yang tidak kukenal
ini akan suka memenuhi permintaanku, akan tetapi aku baru mau melakukan
perintahmu kalau engkau suka membebaskan puteraku.”
Sin-kiam
Mo-li mengerutkan alis, kemudian tersenyum mengejek. “Bi-kwi, engkau tidak
berada dalam keadaan untuk memaksaku. Engkaulah yang harus mentaati perintahku,
dan engkau sama sekali tidak boleh menuntut sesuatu dariku. Ingat, sekali aku
memberi isyarat, suami dan puteramu akan mampus.”
“Apa boleh
buat, Mo-li. Kalau engkau membunuh mereka, aku akan membantu Taihiap ini dan
Suma-lihiap untuk membasmi engkau dan anak buahmu ini tidak seorang pun akan
kuberi ampun. Orang-orang bekas anggota Ang-i Mo-pang ini mengenal siapa aku
dan aku tidak biasa menjilat kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan! Engkau
boleh pilih. Membebaskan puteraku, dan aku akan membantu perjuangan yang kau
sebutkan itu, dengan suamiku menjadi sandera. Atau, engkau boleh membunuh
mereka, akan tetapi engkau sendiri dan juga semua anak buahmu ini akan mati
semua di tangan kami bertiga!”
Sin Hong
yang mendengarkan percakapan itu menjadi bingung karena ia memang tidak tahu
apa yang sedang terjadi dan siapa pula wanita yang disebut Bi-kwi oleh Sin-kiam
Mo-li itu. “Apakah artinya semua ini? Aku tidak ingin mencampuri urusan antara
kalian berdua dan...“
“Diamlah
engkau!” Suma Lian membentak Sin Hong dengan suara nyaring sehingga Sin Hong
tersentak kaget, tidak mengira bahwa gadis itu sedemikian galaknya terhadap dia
yang sama sekali tidak saling mengenal. “Jangan turut campur dan diamlah saja
karena engkau tidak tahu urusannya!”
Sin Hong
tersenyum. Dia hanya mengangguk, lalu berdiri sambil bersedakap, saling
bertumpang lengan di atas dadanya seolah-olah dia hendak memperlihatkan bahwa
dia tidak akan mencampuri urusan mereka dan hanya mendengarkan saja.
Sin-kiam
Mo-li mempertimbangkan ucapan Bi-kwi tadi. Diam-diam ia pun dapat mengerti bahwa
apa yang dikatakan oleh Bi-kwi memang benar. “Engkau berjanji bahwa kalau aku
membebaskan puteramu, engkau akan ikut bersama kami dan suamimu menjadi
sandera, dan engkau berjanji membantu perjuangan kami?” tanyanya kepada Bi-kwi.
“Aku
berjanji!” jawab Bi-kwi dengan tegas.
Sin-kiam
Mo-li merasa lega. Ia mengenal kekerasan hati Bi-kwi dan tahu pula bahwa wanita
itu, sesudah kini meninggalkan dunia kang-ouw, lebih lagi menjaga kehormatan
dan pasti tidak akan mau melanggar janjinya.
“Baiklah,
engkau sudah berjanji dan didengarkan, disaksikan oleh semua orang yang berada
di sini!”
Sin-kiam
Mo-li kemudian memerintahkan Liok Cit untuk mengambil anak itu dari dalam
pondok. Liok Cit lalu pergi memasuki pondok dan tak lama kemudian dia keluar
sambil menggandeng tangan Yo Han. Setelah dilepaskan, Yo Han lari kepada
ibunya.
“Ibu, kata
ayah, Ibu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ibu, selamatkan ayah dari tangan
mereka yang jahat ini!” kata Yo Han.
“Tenanglah,
anakku. Han-ji, sekarang engkau harus mendengarkan kata-kata Ibu dan
mentaatinya, mengerti? Nah, mulai sekarang, engkau ikutlah pergi dengan enci
Suma Lian itu.”
“Tapi, ibu
dan ayah...”
“Jangan
membantah lagi. Pergilah bersama enci Suma Lian. Ia adalah pendekar wanita
perkasa yang tentu akan mau mengatur dirimu, dan engkau taatilah dia, turut
saja ke mana engkau dibawa pergi dan apa yang selanjutnya dia atur mengenai
dirimu. Nona Suma, sudikah Nona menolong anak kami Yo Han ini, mengajaknya
pergi dari sini?”
Suma Lian
mengerutkan alisnya. Dia maklum akan maksud Ciong Siu Kwi. Agaknya wanita itu
hendak mengorbankan dirinya dan suaminya demi keselamatan anak mereka.
“Bibi,
tidakkah lebih baik kalau kita hancurkan saja iblis betina ini dan
kawan-kawannya.”
“Tidak!
Harap jangan lakukan ini. Mereka akan membunuh suamiku, dan dan aku sudah
mengeluarkan janji. Kalau kalian berdua melakukan itu, terpaksa aku akan
membelanya dan akan melawanmu sampai mati! Tidak, aku mohon kepadamu, nona Suma
Lian, bawalah anakku Yo Han dan terserah kepadamu akan kau berikan kepada siapa
anak kami itu. Budimu tidak akan kami lupakan, Nona, dan kalau Tuhan menghendaki,
kelak tentu kami akan dapat bertemu kembali dengan dia. Nah, bawalah dia pergi,
Nona.”
Suma Lian
menarik napas panjang. Ia merasa menyesal sekali jika harus melepaskan Sin-kiam
Mo-li. Akan tetapi, demi keselamatan keluarga Yo, ia tidak mempunyai pilihan.
“Marilah, Yo Han, marilah ikut dengan aku!” katanya sambil mengulurkan tangan.
Akan tetapi Yo Han menarik diri dan memegang tangan ibunya.
“Tidak, aku
tidak mau meninggalkan ibu dan ayah!” katanya.
“Yo Han,
jangan engkau membantah lagi. Kalau engkau tidak mau, maka ayah, ibu, dan
engkau akan mati semua, dibunuh oleh orang-orang ini!” kata Ciong Siu Kwi.
“Aku tidak
peduli! Biar pun mereka membunuh kita, aku tidak takut Ibu, asal bersama dengan
ayah dan ibu!” bantah pula Yo Han.
“Yo Han,
anakku. Kalau engkau pergi ikut dengan enci Suma Lian ini maka ayah dan ibumu
tidak akan dibunuh dan kelak kita akan berjumpa lagi,” bujuk Ciong Siu Kwi.
“Tapi, Ibu.
Tadi ayah menceritakan semua. Katanya Ibu lihai dan dia menyesal kenapa tidak
membolehkan aku belajar silat dari Ibu, agar aku dapat menentang dan melawan
orang-orang jahat.”
“Han-ji,
anakku. Kepandaian enci Suma dan Paman itu jauh lebih tinggi dari pada ilmu
kepandaian ibumu. Kalau engkau ikut dengan enci Suma Lian, maka dia tentu akan
mampu mencarikan guru yang jauh lebih lihai dari pada ibumu. Pergilah dan
jangan membantah lagi, anakku.”
Sejak tadi
Sin Hong mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa kagum
sekali kepada anak laki-laki itu. Sekarang, setelah mendengarkan dengan penuh
perhatian, ia mulai mengerti. Kiranya wanita yang cantik dan berpakaian seperti
seorang petani wanita itu telah dibikin tidak berdaya oleh Sin-kiam Mo-li
karena suaminya dan puteranya disandera oleh iblis betina itu. Memang, jalan
satu-satunya agar supaya bisa menyelamatkan suami isteri itu hanyalah
membiarkan anak itu dibawa pergi.
Pada saat dia
mendengar disebutnya nama gadis itu oleh ibu anak itu, dia pun terkejut
setengah mati. Dia memang belum mengenal nama itu, akan tetapi nama keluarga
itu! Suma! Siapa lagi yang memakai nama keluarga itu kalau bukan keturunan
keluarga Pulau Es yang nama keluarganya juga Suma? Dia sudah banyak mendengar
kehebatan ilmu kehebatan keluarga Pulau Es seperti yang sudah sering
diceritakan oleh tiga orang gurunya!
Kini,
melihat kebandelan Yo Han yang ingin hidup atau mati bersama ayah ibunya, dia
pun lalu ikut bicara. “Seorang anak yang ingin menjadi seorang calon pendekar,
lebih dulu harus menjadi seorang anak berbakti yang mentaati semua perintah
orang tuanya, terutama ibunya!”
Mendengar
ucapan laki-laki itu, Yo Han menoleh dan menghadapi Sin Hong. Sepasang matanya
yang kecil namun amat tajam itu mengamati Sin Hong dari kepala sampai ke kaki,
kemudian terdengar suaranya lantang.
“Paman, kata
ibu Paman memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari ibu, dan Paman tadi
menasehati aku bagaimana sikap seorang calon pendekar! Kalau Paman sudah dapat
menasehati orang, tentu seorang pendekar. Apakah Paman seorang pendekar?”
Ditanya
demikian oleh seorang anak kecil, Sin Hong agak tersipu-sipu, akan tetapi dia
mengangguk sambil tersenyum. “Hemmm, begitulah...“
“Kalau Paman
seorang pendekar, tentu berani menentang iblis betina ini! Lawanlah dia, Paman
agar aku percaya akan semua omonganmu!” kata Yo Han sambil menudingkan
telunjuknya ke arah Sin-kiam Mo-li.
Sin Hong
menoleh ke arah iblis betina itu, dan wajah Sin-kiam Mo-li menjadi agak pucat.
Ia sudah merasakan kelihaian pemuda itu. Ia dibantu oleh Toat-beng Kiam-ong
Giam San Ek saja masih belum mampu mengalahkan Tan Sin Hong, apa lagi kalau ia
harus maju seorang diri.
Sin Hong
berkata kepada anak itu sambil tersenyum, “Kalau ia berani, boleh saja.”
Suma Lian
yang semenjak tadi melihat dan mendengar, merasa agak mendongkol juga.
Dianggapnya pemuda yang berpakaian serba putih dan sikapnya lembut sederhana
itu terlalu sombong dan bicara besar. Ia sendiri tahu bahwa Sin-kiam Mo-li
adalah seorang wanita yang sakti dan tidak boleh dipandang ringan, akan tetapi
pemuda ini tadi berani mengejek, mengatakan apakah wanita itu berani kepadanya!
Bukan hanya
Suma Lian yang merasa penasaran, akan tetapi terutama sekali Liok Cit, Si Iblis
Terbang Tangan Beracun itu. Sikap dan ucapan pemuda itu dianggapnya terlalu
menghina wanita yang amat dikaguminya, dan dengan adanya Sin-kiam Mo-li, juga
anak buah Ang-i Mo-pang, bahkan kini dibantu Bi-kwi yang sudah dapat
ditundukkan dengan disanderanya suami wanita itu, hatinya menjadi besar dan
dengan gerakan ringan sekali, tubuhnya yang kurus itu sudah melayang ke depan
Sin Hong.
Pria berusia
tiga puluh tahun yang pakaiannya serba hijau ini, dengan tubuh kurus bagai
pemadatan, berwajah tampan akan tetapi semua giginya menghitam, lantas
mendorong capingnya yang lebar ke belakang sehingga kini wajahnya nampak semua.
Dengan hati penasaran dia ingin mempermainkan pemuda yang sederhana itu.
Walau pun
dia tadi telah melihat betapa pemuda ini mendorong batu besar yang nyaris
menggelinding ke dalam sumur, dia tidak merasa gentar. Diam-diam dia
mengerahkan kekuatan sihirnya. Sebagai murid pertama dari Pek-lian-kauw, tentu
saja dia sudah memiliki ilmu sihir yang lumayan. Kalau hanya untuk menyihir dan
menundukkan wanita cantik untuk dikuasainya saja, dia sudah mahir!
“Hei, orang
muda, lihat aku adalah ayahmu. Engkau harus tunduk dan taat kepadaku.
Berlututlah engkau!” Dia lalu membuat gerakan dengan kedua tangannya dengan
gaya orang menyihir.
Akan tetapi,
Sin Hong adalah murid tiga orang sakti yang sudah mempunyai tenaga gabungan
ketiga orang itu. Hawa sakti di tubuhnya sudah sangat kuat. Apa lagi hanya
kekuatan sihir yang dimiliki seorang seperti Liok Cit, bahkan Sin-kiam Mo-li
sendiri tidak mampu menguasai pemuda ini dengan sihirnya pada waktu Sin Hong
belum menguasai sepenuhnya Ilmu Pek-ho Sin-kun.
Maka,
menghadapi serangan ilmu sihir yang masih amat lemah ini, dia hanya berdiri
saja sambil tersenyum, lalu berkata, “Apakah engkau sudah menjadi gila?”
Mata Liok
Cit terbelalak. Dia mencoba untuk memperkuat ilmu sihirnya sampai mulutnya
mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh-uh dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan
aneh, namun tetap saja Sin Hong hanya memandang sambil tersenyum geli.
Kini
marahlah Liok Cit. Dia adalah murid kepala Pek-lian-kauw, ilmu sihirnya telah
amat kuat menurut anggapannya sendiri, dan kini dia dibikin malu di depan para
anggota Ang-i Mo-pang oleh seorang pemuda tak terkenal. Dalam kemarahannya, dia
mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, pedangnya menusuk
ke arah dada Sin Hong!
Gerakan
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit ini amat cepat dan kuat, karena memang tingkat
kepandaiannya sudah cukup tinggi. Namun, tidak terlalu tinggi bagi Sin Hong.
Melihat tusukan pedang itu sekilas saja, Sin Hong tahu apa yang harus dia
lakukan. Tubuhnya miring ke kanan sehingga pedang lewat depan dadanya, lalu
tangan kanan mengetuk sambungan siku, tangan kiri menampar pundak dan kaki
kirinya menyapu belakang lutut lawan.
Gerakan yang
dilakukan Sin Hong itu sedemikian cepatnya, hampir berbareng dengan datangnya
serangan Liok Cit, atau paling tidak sedetik berikutnya, dan dilakukan secara
otomatis sehingga tak ada kesempatan sama sekali bagi Liok Cit untuk
menghindarkan diri. Pedang yang dipegangnya lantas terlepas sebab lengan kanan
yang ditekuk bagian sikunya itu seperti lumpuh, kakinya tertekuk dan tamparan
pada pundak membuat dia terjungkal!
Masih untung
baginya bahwa Sin Hong membatasi tenaganya. Kalau saja pemuda ini menyerang
sungguh-sungguh, tentu dia langsung tewas seketika. Dengan penasaran Liok Cit
mengambil pedangnya dan meloncat berdiri, siap untuk menyerang lagi, akan
tetapi terdengar bentakan Sin-kiam Mo-li.
“Liok Cit,
mundur kau!”
Wanita iblis
ini maklum bahwa jangankan Liok Cit, bahkan ia sendiri pun dibantu oleh semua
anak buahnya yang berada di situ, takkan mampu menandingi Sin Hong yang tentu
akan dibantu oleh Suma Lian pula.
Sementara
itu, Yo Han langsung bersorak gembira melihat kehebatan Sin Hong dan dia pun
berkata, “Paman, aku akan ikut bersama Paman dan ingin menjadi murid Paman.”
Setelah berkata demikian, dia lari mendekat dan memegang tangan Sin Hong.
Melihat ini, legalah hati Bi-kwi yang tadinya khawatir kalau-kalau puteranya
itu tetap tidak mau pergi.
“Taihiap, tolonglah,
harap Taihiap sudi membawa puteraku ini. Kami suami isteri akan berterima kasih
sekali,” kata Bi-kwi dengan suara memohon. Ia mengenal kekerasan hati
puteranya, sekali pilihan puteranya dijatuhkan kepada pemuda itu, tentu dia
tidak mau disuruh ikut orang lain.
Sin Hong
memandang kepada Yo Han yang memegang tangannya dan dia tersenyum. Semenjak
tadi dia memang sudah merasa suka sekali kepada Yo Han. Akan tetapi mempunyai
murid? Dia masih terlalu muda, hidupnya sendiri masih berkelana dan dia masih memiliki
banyak tugas, menyelidiki pembunuh ayahnya dan lain-lain. Akan tetapi, dia pun
tahu bahwa dalam keadaan terjepit seperti sekarang ini, ibu dari anak itu tidak
berdaya dan dia harus menolongnya, maka dia pun mengangguk.
“Baiklah,
harap jangan khawatir, Enci,” katanya.
Hampir saja
Bi-kwi bersorak saking girang dan lega hatinya. “Terima kasih, Taihiap, dan
harap suka memperkenalkan nama agar kami tidak akan melupakan Taihiap.”
Jarang Sin
Hong memperkenalkan namanya, apa lagi nama tiga orang gurunya. Akan tetapi
karena ia hendak membawa pergi anak orang, maka terpaksa ia berterus terang,
“Namaku Tan Sin Hong, Enci. Mari Yo Han, mari kita pergi dari sini.”
Dia lalu
menggandeng tangan anak itu dan pergi sambil melirik ke arah Suma Lian dan
mengangguk sebagai tanda hormat.
“Ibu,
selamat tinggal. Tolong sampaikan hormatku kepada ayah!” Yo Han berteriak pada
ibunya sambil menoleh, lalu dia pun melanjutkan langkahnya di samping penolong
yang kini menjadi gurunya. Bi-kwi memandang dengan kedua mata basah.
Suma Lian
merasa serba salah. Ingin dia menerjang Sin-kiam Mo-li yang tadi hampir
mencelakainya dengan jebakan. Akan tetapi bukan dia takut melakukan ini, melainkan
karena ia tahu bahwa Bi-kwi tentu akan membantu iblis betina itu demi
keselamatan suaminya yang menjadi sandera. Tidak, ia harus dapat mencari jalan
lain, ia tidak ingin mengorbankan keselamatan wanita itu dan suami wanita itu
yang tidak berdosa.
Sejak tadi
ia menonton dan diam diam ia pun terkejut melihat betapa lihainya Sin Hong.
Akan tetapi setelah Yo Han memilih pemuda itu untuk diikutinya, ia merasa
mendongkol bukan main. Bukan karena ia terlalu senang kalau dititipi seorang
anak laki-laki, akan tetapi ibu anak itu tadinya minta tolong kepadanya, ibu
anak itu hendak menitipkan Yo Han kepadanya.
Akan tetapi
pemuda bernama Tan Sin Hong itu seolah-olah menyainginya dan merebut Yo Han
dari tangannya. Hal ini membuat hatinya penasaran bukan main. Seolah-olah
pemuda itu membuat ia malu dan menurunkan harga dirinya di depan banyak orang!
Kini,
Sin-kiam Mo-li, Liok Cit, juga Bi-kwi dan semua anak buah yang berpakaian serba
merah itu menunggu apa yang akan dilakukannya dan mereka agaknya sudah bersiap
siaga. Juga Bi-kwi memandang kepadanya dengan sinar mata memohon, sinar mata
yang jelas mengharapkan supaya dia pergi saja dan tidak melanjutkan
perkelahiannya melawan Sin-kiam Mo-li dan anak buahnya.
“Huhhh!”
Suma Lian mengeluarkan dengus marah dan tanpa berkata sesuatu, dia pun
membalikkan tubuhnya. Dengan beberapa loncatan saja bayangannya lenyap di
antara pohon-pohon.
“Bukan
main...!” Bi-kwi menarik napas panjang memuji. “Orang-orang muda sekarang
sungguh amat hebat, demikian muda telah memiliki ilmu silat yang begitu hebat.
Ahhh, kita seperti katak dalam tempurung..., ketinggalan jauh...“
Sin-kiam
Mo-li merasa diejek dan diremehkan. Ia cemberut dan menjawab seperti orang
bersungut, “Tentu saja, gadis itu cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es, dan pemuda itu murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya...“
“Ohhh...!”
Wajah Bi-kwi
berseri dan matanya bersinar-sinar. Ia sudah dapat menduga bahwa gadis yang
bernama Suma Lian itu tentu keturunan Pendekar Pulau Es, akan tetapi yang
membuat ia merasa amat gembira adalah ketika mendengar tentang pemuda yang kini
menjadi guru puteranya itu. Murid suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir!
Bukan main! Tentu saja hatinya girang mendengar bahwa puteranya menjadi murid
seorang muda yang sakti. Pantas pemuda itu sedemikian lihainya!
Melihat
kegembiraan di wajah Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li merasa semakin mendongkol. Dia
sendiri amat membenci pemuda murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu.
Teringat ia betapa kurang lebih dua tahun yang lalu, ia dan enam belas orang
lainnya, sebagian dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, menyerbu ke Istana Gurun
Pasir. Mereka berhasil menewaskan tiga orang tua penghuni istana itu, akan
tetapi di pihaknya sendiri, empat belas orang tewas sedangkan sisanya, yaitu ia
sendiri, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, terluka cukup parah!
Dan kini
muncul murid mereka yang sangat lihai! Ia merasa menyesal sekali mengapa dahulu
dia tidak membunuh saja pemuda itu, bahkan usahanya untuk ‘memperkosa’ pemuda
itu pun gagal!
“Sudahlah,
Bi-kwi. Mari kita pergi. Yang penting, mulai sekarang engkau harus mentaati
semua perintah dari pimpinan kami, membantu gerakan kami berjuang dan berusaha
menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu.”
Bi-kwi
mengangguk dan sambil tersenyum dia mengikuti rombongan Sin-kiam Mo-li
meninggalkan tempat itu. Ia melihat betapa suaminya terdapat pula dalam
rombongan itu, bahkan tidak dibelenggu dan ia pun diperbolehkan berjalan dekat
suaminya. Tanpa berkata-kata, mereka saling berpegang tangan dan berjalan.
Sin-kiam
Mo-li berjalan di belakang mereka siap dengan senjatanya untuk mencegah
kalau-kalau Bi-kwi berusaha melarikan suaminya. Namun, Bi-kwi tidaklah sebodoh
itu. Ia tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li, apa lagi ditambah dengan banyak
anak buahnya. Ia takkan mampu melarikan suaminya dengan jalan kekerasan. Kalau
hal itu dicobanya, berarti ia hanya akan bunuh diri bersama suaminya.
Biar pun
hatinya sudah merasa lega dan tenang karena putera mereka telah ikut pergi
bersama Tan Sin Hong yang sakti, namun ia harus dapat mempertahankan dirinya
dan suaminya dari kebinasaan. Dan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri
mereka berdua hanyalah mentaati perintah Sin-kiam Mo-li untuk sementara waktu
ini.
Tentu saja
dia tidak mau percaya begitu saja bahwa seorang jahat dan keji semacam Sin-kiam
Mo-li, mendadak bisa berubah menjadi seorang patriot! Tentu ada apa-apanya
dalam pergerakan yang dimaksudkan Sin-kiam Mo-li itu. Maka, ia pun menjadi
penurut. Wajahnya selalu cerah, apa lagi karena dia diberi kebebasan untuk
berkumpul dengan suaminya, biar pun siang malam mereka berdua selalu dibawah
pengawasan ketat.
***************
Suma Lian
merasa penasaran sekali. Ketika ia meninggalkan rombongan Sin-kiam Mo-li yang
menawan Yo Jin dan memaksa Bi-kwi menjadi pembantunya, dia masih merasa
penasaran bukan main.
Ia memang
tidak begitu peduli akan keadaan Bi-kwi. Bukankah menurut cerita yang ia pernah
dengar dari ayah ibunya, Bi-kwi memang dahulunya seorang tokoh sesat dan
mungkin sejalan dengan Sin-kiam Mo-li? Kalau sekarang ia ‘kembali’ kepada
golongan hitam, hal itu tiada anehnya walau pun hal itu masih meragukan melihat
bahwa Bi-kwi memang dalam keadaan terjepit. Suaminya masih ditawan dan
dijadikan sandera, maka terpaksalah wanita itu menyerah.
Betapa pun
juga, ia percaya bahwa seorang wanita yang demikian cerdik dan banyak
pengalaman seperti Bi-kwi, tentu akan mampu menjaga diri sendiri dan suaminya
dan tidaklah perlu dikhawatirkan benar. Akan tetapi, yang membuat hatinya
mendongkol adalah karena Yo Han oleh Bi-kwi diserahkan kepada pemuda yang
mengaku bernama Tan Sin Hong itu!
Huh, tidak
tahu diri, pikirnya dengan hati dan perut panas bukan main ketika ia berlari
cepat meninggalkan hutan itu. Bukankah ia sendiri hampir saja tewas karena
membela anak itu? Hampir saja ia mengorbankan nyawanya demi menolong Yo Han.
Dan apa balasnya? Anak itu diserahkan orang lain yang datang belakangan,
seolah-olah anak itu dan ibunya lebih percaya kepada Tan Sin Hong dari pada
kepadanya! Bahkan anak itu sendiri pun memilih Sin Hong!
Memang itu
hak mereka. Hanya ia mendongkol kepada pemuda itu yang dianggapnya menonjolkan
diri dan menyainginya! Seolah-olah pemuda itu lebih lihai darinya, maka Yo Han
memilih pemuda itu dari pada ia untuk menjadi gurunya! Bukan karena ia ingin
sekali menjadi guru Yo Han! Ia pun tidak mau menjadi guru, karena kalau anak
itu ikut dengannya, malah hanya akan menjadi beban saja. Ia seorang gadis muda,
untuk apa mengambil murid? Andai kata Yo Han jadi dibawanya, paling-paling akan
dititipkannya kepada keluarga lain, atau juga kepada ayah ibunya.
Makin panas
rasa perutnya kalau ia teringat kepada Tan Sin Hong. Pemuda itu agaknya sengaja
memamerkan kepandaiannya pada saat melawan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit! Huh, ia
pun mampu merobohkan Liok Cit dalam sejurus saja! Apa anehnya kalau bisa
mengalahkan si baju hijau itu? Dasar pemuda sombong! Tak sobek-sobek kowe!
Dengan
pikiran yang makin menggerogoti hatinya dan membuat hati itu menjadi makin
panas, Suma Lian mempercepat larinya untuk mengejar dan mencari Sin Hong yang tadi
membawa pergi Yo Han!
Segala macam
emosi datangnya dari pikiran! Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah pengalaman
lampau, menonjolkan kepentingan diri sendiri, dan menciptakan gambaran si aku
yang demikian agung dan tingginya sehingga kalau diganggu sedikit saja akan
menimbulkan emosi dan perasaan marah, duka, takut dan sebagainya.
Pikiran yang
hening dan kosong dari beban ingatan masa lalu dan bebas dari bayangan khayal
masa depan, akan membuat kita menjadi waspada akan diri sendiri lahir batin,
sekarang saat demi saat, waspada akan keadaan sekeliling kita, sehingga kita
akan mampu menghayati hidup yang sesungguhnya, hidup yang seutuhnya!
Karena Sin
Hong yang pergi sambil menggandeng tangan Yo Han berjalan biasa, tidak
mempergunakan ilmu berlari cepat, tentu saja dia segera dapat disusul oleh Suma
Lian. Pemuda itu berjalan seenaknya sambil mengobrol dengan Yo Han. Dia minta
kepada anak itu untuk menceritakan keadaan keluarganya.
Tak banyak
yang dapat diceritakan oleh Yo Han. Anak itu hanya tahu bahwa ayah dan ibunya
adalah petani-petani yang hidup penuh damai dan tenteram, cukup makan dan
pakaian. Dia sendiri sejak kecil hidup di dusun itu, bermain dengan anak-anak
dusun lainnya. Hanya bedanya dengan anak-anak dusun, dia sejak kecil diberi
pelajaran baca tulis oleh ibunya sehingga sekarang dia sudah pandai membaca dan
menulis, bahkan membuat sajak.
“Engkau
tidak pernah dilatih ilmu silat?” tanya Sin Hong yang merasa heran sekali.
Yo Han
menggeleng kepala. “Jangankan dilatih ilmu silat, bahkan mengetahui bahwa ibu
pandai ilmu silat pun baru saja tadi ketika ayah ditawan. Sebelum ini ayah dan
ibu tidak pernah bicara tentang ilmu silat dan aku pun tidak pernah mimpi bahwa
ibuku pandai ilmu silat.”
Diam-diam
Sin Hong merasa heran akan tetapi juga kagum. Dia dapat menduga bahwa agaknya
ayah ibu dari anak ini ingin menjauhkan anak mereka dari kehidupan kang-ouw
yang serba keras dan penuh dengan permusuhan.
“Ibumu
memang memiliki ilmu silat yang cukup hebat, akan tetapi apakah ayahmu tidak
memiliki ilmu kepandaian silat pula yang tinggi?”
“Tidak,
tidak. Ayah hanya seorang petani biasa. Pada waktu di dalam tahanan itu, ayah
menceritakan semua padaku, Paman. Katanya bahwa ibu dahulu adalah seorang tokoh
besar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga di juluki Bi-kwi (Setan Cantik),
sedangkan ayah hanyalah seorang petani biasa saja. Ketika ayah dan ibu menjadi
suami isteri, ibu berjanji akan meninggalkan kehidupannya sebagai seorang ahli silat.
Bahkan ayah pula yang melarang agar ibu tidak mengajarkan ilmu silat kepadaku.
Akan tetapi setelah terjadi penculikan atas diriku, ayah merasa menyesal bahwa
aku tidak diajar ilmu silat sehingga tidak mampu membela dan melindungi diri
sendiri….”
Atas
permintaan Sin Hong, Yo Han kemudian menceritakan bagaimana dia diculik dan
dilarikan oleh Liok Cit. Betapa kemudian di tengah jalan dia dilarikan oleh
karena Liok Cit dikejar-kejar oleh Suma Lian.
“Enci Suma
Lian yang gagah perkasa itu hampir saja celaka karena membelaku. Betapa
gagahnya enci Suma Lian. Untung kemudian muncul engkau, Paman. Dan aku merasa
girang sekali bahwa Paman suka membawa aku pergi. Paman tentu akan melatih ilmu
silat kepadaku, bukan? Aku suka sekali menjadi muridmu, Paman. Sebaiknya
sekarang juga aku mengangkat Paman menjadi guruku.” Dan setelah berkata
demikian, Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong sambil
menyebut, “Suhu...!”
Sin Hong
cepat memegang pundak Yo Han dan menariknya bangun. Wajahnya merah karena dia
merasa rikuh sendiri menerima penghormatan sebagai seorang guru. Baru saja dia
meninggalkan perguruannya dan kini sudah hendak diangkat menjadi guru. Dia
canggung dan merasa belum saatnya menerima seorang menjadi muridnya. Hidupnya
sendiri masih tidak menentu, bagaimana mungkin dia kini menerima beban baru
berupa seorang murid?
“Nanti dulu,
Yo Han. Jangan tergesa-gesa mengangkatku sebagai guru...“
“Akan
tetapi, Suhu! Bukankah Suhu sudah menerima permintaan ibu? Dan teecu sudah
mengambil keputusan meninggalkan ayah dan ibu, hanyalah karena teecu (murid)
suka untuk menjadi murid Suhu!”
“Tadinya aku
hanya ingin menyelamatkanmu dan kedua orang tuamu, maka kemudian aku mau
menerimamu dan mengajakmu pergi, Yo Han. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku
adalah seorang pemuda pengembara yang hidupnya pun belum menentu. Aku tidak
memiliki tempat tinggal, tidak berkeluarga...”
“Teecu akan
ikut Suhu, ke mana pun Suhu pergi, dan teecu tidak takut menghadapi hidup serba
kurang dan sederhana. Teecu akan bekerja dan melakukan apa saja yang Suhu
kehendaki...“ Yo Han berkata, nada suaranya khawatir kalau-kalau pemuda yang
sakti itu tidak akan suka menjadi gurunya.
Tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat disusul suara Suma Lian. “Bagus! Sudah berani
berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab, ya?”
Sin Hong
mengangkat mukanya dan gadis itu sudah berada di situ, berdiri tegak, kedua
kaki terpentang lebar dan kedua tangan di pinggang, sepasang matanya memandang
tajam.
“Orang she
Tan! Jika engkau tidak suka menerima Yo Han ini menjadi muridmu, kenapa engkau
tadi menjual lagak dan memamerkan kepandaian, lalu menerima permintaan ibu anak
ini?”
Sin Hong
tertegun. “Nona Suma Lian, harap jangan salah sangka. Bukan maksudku untuk
melepaskan tanggung jawab dan menolaknya, aku hanya menjelaskan padanya bahwa
tak mungkin dia hidup bersama aku yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak
berkeluarga. Hidupku sendiri tidak menentu, sebagai petualang dan pengelana,
bagai mana mungkin kini ditambah seorang lagi? Dan juga aku mempunyai tugas
yang belum kuselesaikan. Tugas itu akan membawaku ke tempat-tempat berbahaya,
berhadapan dengan lawan-lawan yang berbahaya. Kalau dia ikut denganku, bukankah
hal itu berarti membawa dia ke dalam ancaman bahaya pula?”
Suma Lian
tersenyum mengejek, diam-diam ia tertawa dan hatinya senang. Rasakan kamu,
pikirnya. Untung bukan ia yang tadi menerima beban itu!
“Lalu apa
maksudmu tadi memamerkan kepandaian dan menerimanya dari ibunya?”
“Aku tadi
hanya bermaksud menolong dan menyelamatkan...“
“Huh, engkau
tadi hanya ingin berlagak dan memamerkan ilmu kepandaian silatmu, dan memandang
rendah kepada orang lain ya? Hemmm, ingin aku melihat sampai di mana
kepandaianmu maka engkau menjadi sombong dan besar kepala! Nah, bersiaplah dan
majulah melawanku, manusia sombong!”
Sin Hong
terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa dia akan disusul oleh gadis yang galak
ini. Tentu saja dia merasa segan untuk bertanding tanpa sebab dengan gadis itu,
apa lagi gadis itu memiliki she Suma yang membuktikan bahwa gadis ini ialah
keturunan pendekar Pulau Es!
“Aku tidak
mempunyai urusan denganmu, Nona. Lalu untuk apa aku harus melayanimu
bertanding?” bantahnya.
“Hemmm,
engkau agaknya hanya berani berlagak karena mengetahui betapa lawanmu memang
tolol dan rendah ilmu silatnya, macam Tok-ciang Hui-moko tadi. Dan engkau
menjadi jeri ketika kutantang untuk mengadu ilmu. Apakah engkau selain sombong
juga seorang pengecut?”
Suma Lian
sengaja mengeluarkan makian ini dengan maksud untuk memaksa pemuda itu
bertanding dengannya. Ia ingin sekali menguji kepandaian pemuda itu, juga ia
ingin mengetahui tingkat kepandaiannya sendiri.
Wajah Sin
Hong berubah merah. Panas juga perutnya saat mendengar ucapan terakhir itu. Dia
dianggap sombong dan pengecut! Sungguh keterlaluan sekali nona ini, pikirnya.
Dari ucapannya itu saja jelas menunjukkan bahwa yang sombong adalah nona ini!
Timbul pula
keinginan hatinya untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu gadis keturunan
para pendekar Pulau Es ini. Sudah banyak dia mendengar dari ketiga orang
gurunya akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga para pendekar Pulau Es, dan
sekarang kebetulan sekali dia ditantang dan dipaksa untuk bertanding melawan
seorang di antara mereka. Kesempatan yang amat baik! Dan pertandingan itu
dipaksakan oleh gadis itu, bukan atas kehendaknya.
“Baiklah,
nona Suma. Kalau memang engkau menghendaki kita mengadu ilmu, terpaksa aku
melayanimu untuk membuktikan bahwa aku tidak takut dan bukanlah pengecut, juga
bukan orang sombong seperti yang kau sangka tadi.” Berkata demikian, Sin Hong
lalu melangkah maju menghadapi nona itu.
Yo Han
berdiri dengan mata terbelalak lebar dan jantung berdebar tegang. Enci Suma
Lian ini tak tahu bahwa tadi ia diselamatkan oleh gurunya, ketika gurunya itu
mencegah batu besar menggelinding masuk ke dalam sumur. Kalau enci Suma Lian
mengetahui, tentu ia tidak akan bersikap seperti ini, pikirnya.
Mulutnya
sudah bergerak hendak memberi tahu, akan tetapi ditahannya karena dia pun ingin
sekali melihat pertandingan adu ilmu antara dua orang yang menurut ibunya
memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada ibunya itu. Tentu
saja diam-diam dia berpihak kepada suhu-nya!
Sementara
itu, melihat betapa Sin Hong telah menghadapinya, Suma Lian memandang dengan
penuh perhatian. Ia memang sengaja mengeluarkan kata-kata sombong dan pengecut,
untuk memaksa pemuda itu mau melayaninya bertanding. Kini ia mengamati pemuda
itu.
Seorang
pemuda yang wajahnya biasa saja, seperti seorang pemuda petani biasa yang
sederhana. Pakaiannya serba putih, dari kain kasar pula. Tetapi, pada wajah
yang biasa itu terdapat sepasang mata yang sinarnya lembut sekali, dan mulut
yang mengandung keramahan, dengan senyum lembut pula. Dua mata dan mulut itulah
yang mengandung daya tarik yang amat kuat.
Di lain
pihak, Sin Hong juga mengamati gadis yang dikaguminya itu. Gadis keturunan
keluarga Suma dari Pulau Es! Tadi ketika tersenyum mengejek, dia melihat betapa
di tepi kedua ujung mulut gadis itu tiba-tiba muncul dua lesung pipit yang
membuat wajah itu menjadi semakin manis. Sepasang mata yang tajam dan jeli,
juga lincah. Sikap yang gagah dan berani, agak ugal-ugalan. Seorang gadis yang
jelas menunjukkan bahwa ia biasa hidup di dunia persilatan, berani menghadapi
kehidupan yang keras dan penuh tantangan.
Kedua orang
muda itu kemudian saling pandang seperti dua ayam jago yang saling menilai
sebelum bertarung. Atau juga seperti sepasang muda-mudi yang saling menilai
sebelum jadian.
Walau pun
dia tahu bahwa pemuda ini lihai, Suma Lian tidak mengeluarkan sulingnya karena
pemuda itu pun bertangan kosong. Dia ingin menguji kepandaian pemuda itu dalam
ilmu silat tangan kosong. Melihat pemuda itu sudah berdiri dengan sikap tenang
di depannya, ia pun mulai memasang kuda-kuda dan membentak nyaring.
“Orang she
Tan, lihat seranganku!”
Teriakan ini
disusul serangan yang amat cepat dan kuat, karena ia sudah mengerahkan tenaga
Swat-im Sinkang dalam jurus serangan Ilmu Silat Lothian Sin-kun. Hebat bukan
main serangannya, karena memang Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti
Pengacau Langit) yang dipelajarinya dari mendiang Bu Beng Lokai itu merupakan
ilmu silat tingkat tinggi yang ampuh. Juga tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti
Inti Salju) merupakan ilmu keturunan keluarga Pulau Es yang hebat.
Sin Hong
kagum melihat gerakan serangan yang amat cepat dan dahsyat itu, dan dia sudah
merasakan sambaran hawa dingin ke arah dadanya sebelum tangan gadis itu sendiri
tiba, dan tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung hawa pukulan sinkang dari
keluarga Pulau Es. Karena dia memang tidak mempunyai maksud untuk bermusuhan
dengan gadis itu, maka dia pun tidak mau melawan keras dengan keras. Dia hanya
menggerakkan kedua kakinya dan menggeser kaki depan ke belakang menghindarkan
diri dari serangan pertama itu dengan elakan.
Melihat
betapa serangannya dapat dielakkan dengan mudahnya. Suma Lian mendesak lagi
dengan serangan berikutnya yang lebih hebat. Sekarang tangan kirinya menampar
dengan pengerahan tenaga Swat-im Sinkang, sedangkan pada detik berikutnya,
tangan kanannya sudah menjotos ke arah dada dengan tenaga Hui-yang Sinkang
(Tenaga Sakti Inti Api)!
Gadis ini
sudah menerima gemblengan penggunaan dua sinkang yang berlawanan dari keluarga
Pulau Es, digembleng oleh ayahnya sendiri setelah dia pulang dari berguru
kepada mendiang Bu Beng Lokai. Karena ia sudah memperoleh dasar yang amat kuat,
maka tidak sukar baginya menerima penggabungan kedua inti tenaga sakti itu yang
merupakan kebanggaan dari keluarga Pulau Es.
Ketika ada
dua macam tenaga yang berlawanan, dingin sekali kemudian disusul panas sekali,
Sin Hong terkejut bukan main. Kedua hawa sakti yang menyambar itu seperti
mengepungnya dan agaknya sulit baginya untuk hanya mengandalkan kelincahan
tubuh untuk mengelak. Gadis itu ternyata mampu bergerak dengan amat cepat, dan
gerakan kaki gadis itu pun aneh, mengepung dan memotong jalan keluarnya, maka,
kini terpaksa dia harus membela diri dengan tangkisan.
Hal ini
memang disengaja oleh Suma Lian yang hendak memaksa pemuda itu mengadu tenaga
sakti, karena gadis ini merasa yakin bahwa penggabungan kedua sinkang yang
berlawanan itu tentu takkan dapat ditahan oleh lawan.
Sin Hong
tidak berani menggunakan tenaga sinkang gabungan dari tiga orang gurunya dalam
Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun, melainkan menangkis dengan pengerahan tenaga Inti
Bumi yang pernah dipelajarinya dari Tiong Khi Hwesio, seorang di antara tiga
orang gurunya itu. Ketika kedua tangan gadis itu menyambar hampir berbareng
dengan kedua sinkang yang berlawanan, dia pun menangkisnya dengan pengerahan
tenaga Inti Bumi. Tak dapat dicegah lagi, dua pasang lengan itu saling bertemu
di udara.
“Plakkk!
Plakkkkk!”
Melihat
betapa pemuda itu merendahkan badan seperti mendekam, kemudian meloncat dan
menangkis serangannya, dan hawa pukulan yang luar biasa kuat menahan kedua
pukulannya, membuat tubuhnya terdorong ke belakang bagaikan dilanda angin
badai, Suma Lian mengeluarkan seruan kaget dan cepat ia berjungkir balik tiga
kali untuk mematahkan tenaga yang mendorongnya. Dengan gerakan yang indah, ia
sudah dapat meluncur turun kembali setelah membuat salto tiga kali sehingga ia
dapat pula melihat betapa pemuda itu juga terdorong mundur dan nampak sedikit
menggigil.
Suma Lian
tersenyum. Tadinya ia terkejut dan juga takut kalau-kalau ia kalah kuat, akan
tetapi sekarang ternyata bahwa lawannya juga terdorong ke belakang, bahkan
bekas kehebatan Swat-im Sinkang masih nampak mempengaruhinya dan membuatnya
agak menggigil.
Akan tetapi
yang membuat ia tadi kaget setengah mati adalah ketika mengenal gerakan Sin
Hong. Tidak salah lagi, pemuda itu tadi jelas mengeluarkan tenaga sakti Inti
Bumi, melihat dari caranya mendekam lalu meloncat ketika menangkis.
Sin Hong
juga terkejut bukan main. Dia kagum sekali. Sekarang baru dia tahu mengapa tiga
orang gurunya memuji-muji ilmu dari keluarga Pulau Es. Ketika tadi dia
menangkis, memang dia tidak berani mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi
akibatnya, dia terdorong mundur sampai ia terhuyung-huyung. Tubuhnya diserang
hawa panas sekali, kemudian dingin sekali sampai membuat dia menggigil.
Memang dia
dapat segera mengatasi hawa dingin ini dengan tenaga sinkang-nya, akan tetapi
hal itu membuatnya terkejut sekali. Juga dia kagum melihat betapa gadis itu
dengan indahnya dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik sampai
tiga kali dengan gaya dan gerakan indah.
Akan tetapi,
sebelum hilang kaget dan kagumnya, sekarang dia menjadi semakin kaget melihat
betapa gadis itu merendahkan tubuhnya. Tiba-tiba saja gadis itu menyerangnya
lagi. Dari jarak yang agak jauh, karena gadis itu tadi berjungkir balik ke
belakang sejauh tiga meter lebih.
Mendadak
gadis itu meluncur, bagaikan seekor naga menyerangnya dengan serangan yang
dahsyat dan aneh sekali, dengan kedua tangan dibentangkan dan jari telunjuknya
ditudingkan, kemudian secara bertubi-tubi kedua jari telunjuk itu melakukan
totokan-totokan dengan tenaga yang amat dikenalnya, karena cara gadis itu tadi
mengumpulkan tenaga, jelas bahwa gadis itu menggunakan tenaga Inti Bumi!
Serangan
totokan bertubi-tubi itu mengeluarkan suara mencicit-cicit seperti benda tajam
yang menyambar-nyambar! Dia tidak tahu bahwa gadis itu kini menggunakan Ilmu
Totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari ayahnya, sebuah ilmu totokan yang
sangat ganas dan berbahaya, juga amat aneh dan sukar dihindarkan lawan.
Sin Hong
merasa betapa dirinya diserang oleh banyak jari tangan yang lebih berbahaya
dari pada dua batang tombak, yang seolah-olah bermata dan menyerang
bertubi-tubi ke arah bagian tubuhnya yang berbahaya. Dia sudah menangkis dengan
kedua lengannya juga mengelak ke sana-sini, namun akhirnya dia menjadi sibuk
karena sukar sekali mematahkan serangkaian serangan yang mengandung tenaga Inti
Bumi itu.
Ia tak
mengenal ilmu totokan yang aneh sekali gerakannya itu, yang biar pun dilakukan
dengan sebuah saja jari tangan, namun amat berbahaya karena jari telunjuk itu
menjadi keras bagaikan baja. Dia pernah mempelajari ilmu Toat-beng-ci (Jari
Maut), sebuah ilmu totokan yang istimewa dari seorang di antara tiga gurunya.
Gurunya itu,
Tiong Khi Hwesio, dahulunya ketika masih bernama Wan Tek Hoat pernah mendapat
julukan Si Jari Maut karena ilmu totoknya itu. Dan kalau dibandingkan dengan
Toat-beng-ci, kedua jari tangan gadis itu tidak kalah ampuhnya. Akan tetapi,
teringat akan Toat-beng-ci, dia pun kemudian cepat mengubah gerakannya dan kini
dia pun menghadapi totokan-totokan itu dengan totokan pula!
“Tuk! Tuk!”
Ketika kedua
telunjuk tangan Suma Lian bertemu dengan ujung telunjuk kedua tangan Sin Hong,
gadis segera itu berseru kaget. Pemuda itu menghadapi totokannya dengan
tangkisan berupa totokan pula, dan dapat pula dengan tepat menotok ujung
telunjuknya dengan tenaga Inti Bumi yang sama pula! Ia menjadi semakin
penasaran dan marah, lalu kedua tangannya dibuka, dihantamkan ke arah lawan
dengan mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya!
Sambaran
hawa pukulan ini makin mengejutkan hati Sin Hong karena dia tahu akan
kehebatannya. Tiada lain jalan baginya kecuali menerima hantaman itu dengan
kedua tangan terbuka pula.
“Plakkk!”
Kedua pasang
tangan itu kini saling melekat dan keduanya terkejut sekali! Dua tenaga raksasa
dari tubuh masing-masing telah bertemu dan mereka berdua berada dalam keadaan
terjepit. Siapa yang lebih dulu menarik tenaganya akan celaka! Tidak ada lain
jalan kecuali melanjutkan pengerahan tenaga sinkang yang sekarang seolah-olah
macet dalam pertemuan kedua pasang telapak tangan itu, saling dorong dalam
kekuatan yang sama.
Kalau Sin
Hong menghendaki, dia dapat menggunakan tenaga gabungan dalam dirinya dengan Ilmu
Pek-ho Sin-kun. Akan tetapi dia khawatir kalau-kalau gadis itu tidak akan kuat
menerimanya dan akan tewas atau setidaknya terluka parah. Karena hal itu tidak
dikehendakinya, maka dia tidak mau mempergunakannya. Akan tetapi, dia pun tidak
mungkin dapat menarik kembali tenaganya karena kalau hal itu terjadi, dia akan
celaka.
Di dalam
kedua telapak tangan gadis itu terkandung tenaga sakti Inti Bumi, Hui-yang
Sinkang dan Swat-im Sinkang. Kalau dia menarik tenaganya, satu di antara tiga
tenaga sakti itu akan terus meluncur melalui telapak tangan dan menghantamnya.
Dia dapat tewas atau terluka parah! Darahnya dapat menjadi beku oleh Swat-im
Sinkang, atau hangus oleh Hui-yang Sinkang, atau bahkan semua ototnya,
setidaknya jantungnya, akan remuk oleh tenaga sakti Inti Bumi!
Di lain
fihak, Suma Lian juga terkejut bukan main. Ia pun mengerti bahwa keadaannya
amat berbahaya. Ia tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya, karena kalau
ia lakukan ini, ia akan dihantam tenaga dahsyat dari pemuda itu. Maka jalan satu-satunya
baginya hanyalah menambah tenaganya dan mengerahkan semua tenaga yang ada.
Namun, betapa pun dia mengerahkan tenaga, di fihak pemuda itu pun agaknya
selalu menambah tenaga untuk mengimbanginya hingga mereka berdua bagai sedang
dalam keadaan melayang, tenggelam tidak terapung pun tidak.
Kalau
pertandingan adu tenaga sinkang itu dilanjutkan, akhirnya mereka berdua akan
kehabisan tenaga. Siapa yang lebih dahulu habis tenaganya, dialah yang akan
celaka! Sebaliknya, kalau mereka menarik kembali tenaga mereka, siapa yang
terlebih dahulu menarik kembali tenaganya, dia yang akan binasa! Sungguh suatu
keadaan yang amat mengerikan.
Mereka
berdua saling pandang. Melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat, pandang
matanya mulai panik, Sin Hong merasa kasihan. Dari kepala mereka sudah mengepul
uap putih, tanda bahwa keduanya telah mengerahkan tenaga yang amat hebat dan di
dalam tubuh mereka bergolak mendidih oleh kekuatan yang berputaran itu.
Tiba-tiba
saja, Suma Lian mendengar suara berbisik dan melihat betapa bibir pemuda itu
bergerak perlahan. Terdengar olehnya, sayup sampai dan lirih sekali suara
pemuda itu.
“Dorong dan
tarik berbareng, lempar tubuh ke belakang.”
Sejenak Suma
Lian memandang bingung lalu ia mengerti. Memang, kalau mereka dapat melakukan
hal itu dalam detik yang sama, yaitu keduanya saling dorong kemudian keduanya
dalam saat yang sama saling menarik tenaga kemudian melempar tubuh ke belakang,
kemungkinan besar mereka akan dapat saling melepaskan diri. Memang harus tepat
sekali, karena kalau tidak tepat dan dalam detik yang sama yang berbareng,
seorang di antara mereka dapat celaka. Selagi gadis itu meragu walau pun ia
sudah mengangguk sebagai jawaban, terdengar, lagi bisikan pemuda itu
menghitung.
“Satu...
dua... tiga...!”
Seperti
menurutkan naluri saja, tepat pada hitungan ketiga, Suma Lian mengerahkan
tenaga sinkang-nya mendorong, lalu menarik. Hal yang sama dilakukan pula oleh
Sin Hong, tepat pada waktunya sehingga tiba-tiba saja kedua pasang tangan yang
tadinya saling menempel itu terlepas dan seperti didorong oleh tenaga raksasa.
Tubuh mereka terpental ke belakang seperti dua helai layang-layang putus
talinya.
Ini saja
sudah berbahaya sekali karena mereka itu tadi dalam keadaan ‘kosong’ setelah
masing-masing menarik tenaga, kini terpental karena ledakan tenaga
masing-masing yang tadi saling mendorong. Akan tetapi berkat ketinggian ilmu
kepandaian mereka, keduanya dapat menguasai dirinya sehingga ketika tubuh
mereka terpental itu, mereka dapat membuat pok-sai (salto) sampai beberapa kali
dan dapat turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri, tidak sampai terbanting
keras.
Wajah Suma
Lian nampak pucat, akan tetapi perutnya masih panas sekali. Ia masih merasa
panasaran oleh karena merasa belum dikalahkan. Di lain saat, tubuhnya sudah
meluncur ke arah Sin Hong, didahului sinar kuning emas dari sulingnya.
Gadis ini
telah mencabut suling emasnya dan dengan gerakan luar biasa cepat sudah
menyerang dengan memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Naga Siluman) yang
dimainkannya dengan suling emas. Sulingnya lenyap bentuknya, berubah menjadi
sinar keemasan yang bergulung-gulung serta mengeluarkan suara mengaung-ngaung
tinggi rendah, sungguh dahsyat sekali!
“Aih, Nona,
harap hentikan seranganmu!” Sin Hong berseru terkejut sekali.
Baru saja
mereka berdua terlepas dari bahaya maut, dan nona ini masih melanjutkan
pertandingan itu dengan serangan yang begini hebat! Karena dia terkejut dan
tidak menyangka biar pun dia sudah mengelak, tetap saja sinar suling itu masih
merobek baju di pundak kirinya. Akan tetapi dia masih dapat menghindarkan diri
dengan bergulingan dan menjauh.
“Tidak,
seorang di antara kita belum kalah!” bentak Suma Lian galak dan gadis ini sudah
menyerang lagi.
Terpaksa Sin
Hong melawan karena dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini yang memang amat
lihai dan memiliki banyak macam ilmu silat tinggi, setelah menggunakan suling
emas ternyata semakin berbahaya pula. Dan begitu tubuhnya meloncat bangun dari
bergulingan tadi, dia sudah mainkan Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun!
Hanya ilmu
simpanannya inilah yang akan bisa menyelamatkan dirinya, pikirnya, sebab kalau
dia mengandalkan ilmu silatnya yang lain kiranya akan sukar menghindarkan diri
dari ancaman suling emas yang amat dahsyat itu. Tubuhnya bergerak dengan lambat
namun cepat, lemah namun kuat! Inilah inti dari ilmu silatnya itu, nampak
kosong namun berisi.
Gerakannya
bagaikan seekor burung bangau, demikian tenang dan lambat, indah dan setiap
gerak mengandung kekuatan tersembunyi yang amat hebat, kekuatan yang dapat
menerbangkan tubuh seekor burung bangau itu jauh tinggi di angkasa, kelemasan
yang dapat membuat seekor burung bangau mampu melawan dan mengalahkan seekor
ular, kecepatan tersembunyi yang dapat membuat seekor burung bangau bisa
menangkap seekor katak yang meloncat dengan cepatnya.
Tubuh Sin
Hong bergerak seperti menari di antara gulungan sinar kuning emas itu. Kedua
lengannya kadang-kadang terpentang bagai sayap seekor burung bangau putih.
Lengan tangan itu demikian lemasnya, kadang-kadang lengan itu seperti leher bangau,
tangannya membentuk kepala bangau yang menyampok suling dan menotok ke arah
jalan darah di sekitar tubuh Suma Lian.
Gadis ini
kagum bukan main. Belum pernah ia menyaksikan ilmu silat yang seindah itu.
Pernah ia mempelajari Ilmu Silat Panca Hewan, yaitu gerakan lima binatang,
harimau, kijang, biruang, kera dan burung. Akan tetapi, Ilmu Silat Burung yang
dipelajarinya itu berbeda dengan ilmu silat yang kini dimainkan lawannya. Dan
kedua lengan lawannya itu demikian lemas dan kuat, ketika menangkis sulingnya
membuat tangannya yang memegang suling tergetar. Namun, ia hanya kagum dan sama
sekali tidak gentar.
“Hyaaaaa...!”
Suma Lian
menyerang lagi setelah memutar sulingnya yang berubah menjadi lingkaran lebar.
Sinar terang mencuat ke depan ketika sulingnya menusuk ke arah ulu hati lawan.
Sin Hong menyambut dengan tangkisan tangan kanan dari samping sambil miringkan
tubuhnya.
Lengan
kanannya itu seperti leher burung Bangau Putih menangkis terus melibat dan
tangannya yang sudah membentuk kepala bangau itu, langsung menotok ke depan, ke
arah pergelangan tangan yang memegang suling, dan tangan kirinya, juga
membentuk kepala burung bangau menotok ke arah pundak kiri dari arah belakang
tubuh gadis itu. Kedua serangan balasan ini masih dibantu kaki kirinya yang
seperti kaki bangau yang mencakar menendang ke arah bagian sisi luar dari lutut
kanan Suma Lian.
Gadis itu
terkejut bukan main. Gerakan lawan demikian otomatis dan cepat walau pun
nampaknya lambat dan tenang sekali. Ia tidak tahu bahwa itulah jurus Bangau
Mencuci Sayap dari Ilmu Pek-ho Sin-kun yang amat sakti dari lawannya. Ia
cepat-cepat menarik kembali sulingnya, diputar untuk menangkis totokan pada
pundaknya, sedangkan untuk menghindarkan diri dari tendangan itu ia terpaksa
meloncat jauh ke belakang dalam keadaan terhuyung! Tenaga yang dipergunakan Sin
Hong adalah tenaga gabungan dari tiga orang gurunya, maka tentu saja pertemuan
tenaga itu, walau pun bukan merupakan benturan langsung, membuat Suma Lian
terhuyung.
Tiba-tiba
terdengar teriakan Yo Han, “Enci Suma Lian, tadi Suhu telah menyelamatkan nyawa
Enci, kenapa sekarang Enci menyerangnya mati-matian? Begitukah cara Enci
membalas budi kebaikan orang?”
Anak ini
sejak tadi memang diam saja untuk menyaksikan pertandingan antara gurunya dan
gadis yang oleh ibunya dikatakan amat lihai itu. Akan tetapi dia menjadi pening
ketika menonton pertandingan itu, tidak tahu siapa kalah siapa menang atau
siapa yang lebih unggul di antara mereka. Gerakan mereka berdua itu terlalu
cepat bagi matanya yang tidak terlatih. Hanya ketika dia melihat Suma Lian
mempergunakan senjata suling emas yang mengeluarkan sinar menyilaukan itu,
sedangkan gurunya tak menggunakan senjata, hatinya lalu merasa khawatir
kalau-kalau gurunya sampai celaka. Maka kini dia mengeluarkan seruan itu.
Tentu saja
Suma Lian yang telah siap untuk menyerang lagi, menjadi heran mendengar ucapan
dari anak itu. Ia menahan dirinya, dan menoleh kepada Yo Han. Napasnya agak
memburu dan baru terasa olehnya betapa lelah tubuhnya dan pakaiannya telah
basah oleh keringat.
“Yo Han, apa
artinya ucapanmu itu?” tanyanya dengan alis berkerut karena dia tidak pernah
merasa diselamatkan nyawanya oleh Tan Sin Hong.
“Enci,
ketika Enci tadi terjatuh ke dalam sumur, iblis betina itu menggelindingkan
sebuah batu besar ke dalam sumur untuk membunuhmu. Ibu tidak berdaya mencegah
dan ibu sudah pucat sekali, akan tetapi pada saat batu hendak menggelinding ke
dalam sumur, tiba-tiba muncul suhu Tan Sin Hong yang memukul dan mendorong batu
sehingga tidak sampai jatuh ke dalam sumur dan menimpa Enci yang masih berada
di dalam sumur itu.”
Tentu saja
Suma Lian terkejut bukan main mendengar keterangan Yo Han itu. Ia cepat
menoleh, memandang kepada Sin Hong dengan sepasang mata tajam menyelidik, juga
mengandung rasa heran.
“Benarkah
itu? Kenapa engkau diam saja dan tidak menceritakan hal itu ketika aku
menyerangmu?”
Sin Hong
tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan. “Nona, hal yang sekecil itu tidak
perlu disebut lagi. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita masing-masing untuk
mencegah terjadinya kejahatan, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan
keadilan?”
“Wah,
sungguh aku harus malu sekali! Engkau sudah menolongku menghindarkan aku dari
kematian mengerikan di dalam sumur itu, sedangkan aku masih bersikap buruk,
menantangmu, dan engkau masih juga menyebut aku nona! Aihhh, Toako (Kakak Tua),
jangan membuat aku menjadi makin malu dan berdosa. Maafkan aku, Toako!” katanya
tersenyum dan ia pun menjura dengan membungkukkan tubuhnya sampai dalam sekali.
Sin Hong
memandang dengan wajah berseri dan dia pun tersenyum geli. Nona ini sungguh
gagah perkasa, lincah polos dan juga ugal-ugalan. Melihat sikap Suma Lian,
lenyap sudah semua rasa penasaran karena gadis ini tadi menyerangnya
mati-matian. Memang gadis ini berwatak aneh, akan tetapi harus diakuinya bahwa
dia mempunyai kegagahan yang luar biasa, juga demikian ringannya mulut yang
manis itu mengakui kesalahannya dan minta maaf.
Sikap mau
mengakui kesalahan dan minta maaf inilah yang amat mengagumkan hati Sin Hong
karena pemuda ini maklum bahwa sikap demikian hanya dimiliki oleh orang-orang
yang berjiwa pendekar gagah perkasa dan bijaksana, dan merupakan sifat yang
amat sukar dilakukan oleh kebanyakan orang. Dia pun cepat membalas penghormatan
itu dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya.
“Sudahlah,
Nona. Semua kesalah pahaman itu mungkin saja terjadi karena Nona belum
mengenalku.”
“Ah, Toako.
Engkau masih saja menyebutku nona-nona! Padahal, engkau yang memiliki tenaga
sakti Inti Bumi, jelas masih mempunyai hubungan dengan aku, kenapa masih
mempergunakan tata cara sungkan-sungkan! Kalau engkau tidak mau menyebut adik
kepadaku itu berarti bahwa engkau tidak mau berkenalan denganku dan kuhabisi
saja pertemuan kita sampai di sini saja!”
Tentu saja
Sin Hong terkejut. Gadis ini sungguh aneh sekali, hatinya keras dan agaknya ia
tidak mau mengalah dalam hal apa pun juga! Maka sambil tersenyum dia pun cepat
berkata,
“Baiklah,
Non... ehh, adik Suma Lian yang baik. Maafkan aku karena sesungguhnya aku
merasa kurang pantas kalau aku berkakak adik dengan seorang gadis seperti
engkau, keturunan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa.”
Wajah yang
cemberut itu kini sudah tersenyum kembali, matanya bersinar-sinar dan lesung
pipit yang manis muncul kembali di kanan kiri mulutnya. “Uhh, Hong-ko (kakak
Hong) engkau hendak mengejekku, ya? Siapa tidak tahu bahwa engkau memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa sekali. Baru sekarang aku bertemu tanding yang
demikian lihai, dan aku sungguh mengaku kalah!”
“Ahhh,
jangan merendahkan diri, Lian-moi (adik Lian)! Kepandaianmulah yang hebat bukan
main. Aku sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es
dan baru hari ini aku beruntung sekali merasakan semua kehebatan itu. Akan
tetapi yang membuat aku bingung, bagaimana engkau mahir pula menggunakan tenaga
sakti Inti Bumi?”
“Marilah
kita duduk dan bicara, Hong-ko. Hei, Yo Han, marilah engkau duduk di sini.
Kenapa berdiri bengong saja di situ?” teriak Suma Lian sambil menggapai kepada
anak itu yang sejak tadi berdiri di pinggir.
Mendengar
panggilan ini, Yo Han lari menghampiri.
“Enci,
bagaimana pendapatmu dengan ilmu kesaktian suhu-ku? Siapakah yang lebih unggul
antara Enci dan Suhu tadi?” tanyanya sambil duduk di atas rumput, dekat Suma
Lian.
“Tentu saja
gurumu yang lebih lihai,” kata Suma Lian tersenyum.
“Yo Han,
duduk saja di situ dan tutup mulut, jangan bicara kalau tidak ditanya!” Sin
Hong berkata dengan tegas.
“Baik,
Suhu,” jawab Yo Han, tegas pula walau pun sepasang mata anak itu bersinar-sinar
penuh kegembiraan. Agaknya Yo Han sudah mengenal betul watak gurunya yang lemah
lembut dan tahu bahwa kegalakan tadi dibuat-buat saja.
Mereka duduk
berhadapan, dan Yo Han duduk agak mundur di belakang.
Setelah
beberapa lamanya saling pandang, Suma Lian lalu berkata, “Hong-ko, agaknya
engkau sudah tahu bahwa aku adalah keturunan keluarga Pulau Es. Tentu engkau
mendengar dari percakapan ketika aku menghadapi orang-orang sesat tadi. Akan
tetapi aku sendiri belum tahu siapakah engkau sebenarnya.”
“Namaku Tan
Sin Hong.”
“Itu aku
sudah tahu. Akan tetapi, siapakah gurumu, Hong-ko? Aku yakin bahwa ada hubungan
antara perguruan kita karena kita berdua sama-sama menguasai tenaga Sakti Inti
Bumi, walau pun ilmu-ilmu silatmu aneh dan banyak yang tidak kukenal.”
Sin Hong
mengerutkan alisnya. Selama ini, belum pernah dia menceritakan kepada orang
lain tentang guru-gurunya, tentu saja kecuali kepada keluarga suheng-nya, Kao
Cin Liong sebagai putera tunggal suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir. Akan
tetapi, dia pun sudah sering mendengar dari para gurunya bahwa keluarga Pulau
Es tak boleh dianggap sebagai ‘orang luar’ karena ada hubungan erat sekali
antara keluarga Istana Gurun Pasir dan Pulau Es.
Dia tahu
bahwa gadis yang wataknya aneh ini akan tersinggung dan marah kembali kalau dia
tidak mau mengaku siapa guru-gurunya. Kiranya tidak ada salahnya kalau dia
mengaku kepada seorang gadis she Suma, keturunan asli dari Pulau Es.
“Terus
terang saja, Lian-moi, belum pernah aku memperkenalkan nama guru-guruku kepada
orang lain. Akan tetapi karena para guruku mengenal baik keluarga Pulau Es,
bahkan masih mempunyai hubungan dekat, dan mengingat pula bahwa di antara kita
sudah terjadi tali persahabatan yang akrab, maka biarlah aku mengaku kepadamu.
Aku memiliki tiga orang guru, mereka adalah mendiang suami isteri penghuni
Istana Gurun Pasir...“
“Ahhh!
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?” Suma Lian berseru, hampir berteriak.
“Benar, dan
yang seorang lagi adalah suhu Tiong Khi Hwesio. Mereka bertiga berada di Gurun
Pasir dan aku menjadi murid para guruku itu selama tujuh tahun di sana.”
“Aihh...!
Pantas saja engkau demikian lihai! Tapi... tapi... engkau tadi berkata
mendiang? Apakah... apakah mereka itu sudah...”
“Mereka
sudah meninggal dunia, Lian-moi, tewas pada saat belasan orang tokoh sesat
menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Dan ketahuilah bahwa para penyerbu itu bukan
lain adalah Sin-kiam Mo-li tadi bersama kawan-kawannya yang lihai.”
“Iblis
betina tadi?” Suma Lian berseru kaget dan matanya terbelalak. “Tapi...
bagaimana mungkin iblis betina itu dan kawan-kawannya mampu menewaskan mereka
yang sakti? Padahal di sana ada engkau pula, Hong-ko?” Suma Lian bertanya
dengan nada suara mengandung penasaran.
Ia tahu
bahwa Sin-kiam Mo-li lihai, akan tetapi ia sendiri mampu menandingi iblis
betina itu bahkan Sin Hong sendiri jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li.
Bagaimana mungkin iblis betina itu bersama kawan-kawannya mampu menewaskan
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, juga Tiong Khi Hwesio yang
pernah didengarnya pula dari ayah ibunya sebagai seorang yang amat lihai?
Sin Hong
menarik napas panjang. “Agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa tiga orang guruku
itu harus gugur dan tewas sebagai orang-orang yang gagah perkasa. Kurang lebih
dua tahun yang lalu terjadinya. Tiga orang guruku adalah orang-orang sakti,
akan tetapi usia mereka pun sudah amat lanjut, rata-rata delapan puluh tahun,
bahkan suhu Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sudah berusia delapan
puluh lima tahun. Ada pun yang datang menyerbu, bukan orang-orang sembarangan,
banyak yang lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Mereka adalah tokoh-tokoh besar
dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw semua berjumlah tujuh belas orang. Tiga
orang guruku tewas akan tetapi dari tujuh belas orang penyerbu itu empat belas
orang tewas pula, sedangkan yang masih hidup namun terluka parah adalah
Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, Thian Kek Sengjin,
tokoh besar Pek-lian-kauw.”
“Akan tetapi
engkau sendiri, bukankah engkau berada di sana, Hong-ko dan bagaimana gurumu
tewas?” Suma Lian memandang dengan alis berkerut, agaknya merasa heran dan
menyesal mengapa pemuda ini tidak dapat membela guru-gurunya.
Sin Hong menarik
napas panjang, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk setiap kali dia teringat
akan peristiwa itu.
“Sudah
kukatakan tadi Lian-moi, agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian dan
menakdirkan tiga orang guruku itu sudah tiba saatnya meninggal dunia. Pada
waktu itu, aku tidak berdaya. Tiga orang guruku itu mengajarkan sebuah ilmu
gabungan ciptaan mereka bertiga dan mengoperkan gabungan tenaga sakti kepada
diriku. Ilmu itu harus kupelajari selama satu tahun, dengan syarat bahwa selama
setahun itu aku sama sekali tidak boleh melakukan gerakan silat apa lagi
mengerahkan sinkang karena kalau hal ini kulakukan... aku akan segera tewas
dengan sendirinya, terpukul sendiri oleh tenaga yang kukerahkan itu. Nah
bayangkan saja, Lian-moi. Aku tidak dapat bergerak, terpaksa melihat tiga orang
guruku tewas di tangan mereka, dan aku sendiri tertawan tiga orang yang masih
tersisa itu. Mereka mengira aku seorang kacung yang tidak memiliki ilmu silat,
mereka memaksaku untuk menunjukkan di mana adanya pusaka-pusaka istana tua itu.
Karena memang tidak ada pusaka, mereka menyiksaku. Aku membakar istana tua itu
berikut jenazah tiga orang guruku, dan aku disuruh menguburkan jenazah empat
belas orang penyerbu yang tewas. Untung bagiku pada malam harinya, aku berhasil
melarikan diri dan sembunyi di dalam hutan selama satu tahun untuk
menyelesaikan latihanku.”
Suma Lian
mendengarkan dan sekarang senyumnya timbul kembali. Kiranya pemuda ini bukan
seorang pengecut, melainkan karena terpaksa maka tidak mampu membela
guru-gurunya.
“Tapi kenapa
Sin-kiam Mo-li tadi tidak heran melihat engkau muncul sebagai seorang yang
berilmu tinggi, Hong-ko?”
“Semenjak
aku keluar dari dalam hutan, sudah pernah aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li,
yaitu ketika ia hendak membunuh ketua Cin-sa-pang. Aku menyelamatkan ketua itu
dan sejak itu Sin-kiam Mo-li sudah tahu bahwa aku mewarisi ilmu dari para
guruku.”
“Akan
tetapi, Hong-ko, yang satu ini sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah bertemu
dengan seorang di antara para pembunuh guru-gurumu, yaitu Sin-kiam Mo-li.
Mengapa engkau tidak membalas dendam dan membunuh iblis betina itu?”
Sin Hong
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Ketahuilah Lian-moi, guru-guruku pernah
memesan dengan amat sangat kepadaku supaya jangan membiarkan dendam meracuni
hatiku. Jika selama ini aku menentang Sin-kiam Mo-li, yang kutentang adalah
perbuatannya yang jahat, bukan karena dendamku kepada pribadinya, karena
kematian guru-guruku.”
Suma Lian
mengerutkan alisnya. Pernah pula ia mendengar ayahnya juga berpendapat
demikian, namun ia sendiri tidak pernah dapat menerima dan menyetujui pendapat
itu. “Sudahlah, sekarang ceritakan, siapa keluargamu, Hong-ko, dan bagaimana
engkau sampai dapat menjadi murid para penghuni Istana Gurun Pasir.”
Terpaksa Sin
Hong menceritakan riwayatnya, betapa keluarga ayahnya menjadi hancur karena
perbuatan jahat musuh yang sampai sekarang belum diketahuinya benar siapa
orangnya. Betapa ayahnya dibunuh orang, ibunya tewas di gurun pasir, dan dia
sendiri tertolong oleh para penghuni Istana Gurun Pasir sehingga lalu menjadi
murid mereka. Betapa kemudian dia menyelidiki pembunuh ayahnya dan sampai
sekarang belum juga berhasil.
“Hemmm,
kalau begitu engkau tentu menaruh dendam dan hendak membalas kematian ayahmu?”
Suma Lian memancing.
Pemuda itu
menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak, Lian-moi. Aku hanya mencari pemecahan
rahasia itu. Ingin aku mengetahui siapa pembunuh ayahku dan mengapa pula ayah
dibunuh sehingga ibu pun tewas dalam keadaan sengsara. Kalau pembunuh itu
memang jahat, tentu saja akan kutentang seperti aku menentang para penjahat
lainnya, siapa dan di mana pun juga. Menurut hasil penyelidikanku, rahasianya
agaknya terletak pada perkumpulan Tiat-liong-pang dan aku sedang hendak pergi
ke sana.”
Suma Lian
mengangguk-angguk. “Dan tentang ilmu sinkang Inti Bumi itu, kau pelajari dari
siapa?”
“Dari suhu
Tiong Khi Hwesio.”
“Ahhh!
Menurut cerita ayahku, Tiong Khi Hwesio dahulunya bernama Wan Tek Hoat,
berjuluk Si Jari Maut, seorang pendekar yang lihai sekali.”
“Benar, dan
menurut mendiang Tiong Khi Hwesio guruku itu, sinkang Inti Bumi berasal dari
para penghuni Pulau Neraka. Bagaimana engkau sendiri yang menjadi keturunan
keluarga Pulau Es, dapat menguasai sinkang itu, Lian-moi?”
“Aku… meski
aku adalah cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan ayahku merupakan
keturunan langsung, namun aku pernah menjadi murid paman kakekku sendiri yang
berjuluk Bu Beng Lokai dan sekarang telah meninggal dunia. Dari dialah aku
mempelajari sinkang itu. Kemudian tentu saja aku memperdalam ilmu-ilmu dari
keluarga Pulau Es, dari ayah dan juga ilmu mempergunakan suling emas ini dari
ibuku.”
Sin Hong
memandang kagum. “Ahhh, tidak heran kalau engkau begitu lihai, Lian-moi.
Kiranya engkau sudah mempelajari banyak ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu
dari keluarga Pulau Es.”
“Sudahlah,
Toako, tak perlu memuji lagi. Sudah jelas bahwa dalam hal ilmu silat, bagai
mana pun juga aku masih kalah olehmu. Sekarang, engkau hendak pergi ke mana?
Aku sendiri akan pergi ke lereng Gunung Tapa-san, untuk menemui seorang paman
tua dan menyampaikan pesan ayahku. Dan engkau?”
“Seperti
sudah kuceritakan tadi, penyelidikanku membawaku ke sini dan aku akan pergi
mengunjungi Tiat-liong-pang, melanjutkan penyelidikanku karena sebelum mati, orang
she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Dan menurut penyelidikanku, perkumpulan
itu bersarang di luar kota Sang-cia-kou, di lereng sebuah bukit.”
“Sang-cia-kou
di selatan? Kalau begitu dapat melalui Tapa-san. Bagaimana kalau kita melakukan
perjalanan bersama saja, Hong-ko?”
Sin Hong
tersenyum gembira. Gadis ini demikian lincah dan ternyata ramah dan manis
sekali kalau tidak marah, dan tentu perjalanan akan menjadi menyenangkan dan
tidak sepi kalau dilakukan bersama Suma Lian.
“Baiklah,
Lian-moi. Hanya ada satu hal yang membuat aku agak bingung, yaitu anak ini. Aku
masih mempunyai banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan banyak menempuh
perjalanan jauh yang sukar, bahkan mungkin bertemu lawan yang jahat dan
tangguh. Bagaimana aku akan dapat leluasa bergerak kalau harus menjaga dia?”
“Akan tetapi
dia muridmu dan ibunya sudah menyerahkan kepadamu, Hong-ko. Engkau pun sudah
menerimanya!” kata Suma Lian. Ia pun tersenyum lebar karena ia merasa gembira
bahwa bukan ia yang menerima beban berat itu! Kalau ia yang menerima Yo Han
dari ibunya, tentu ia akan menjadi lebih bingung dibandingkan Sin Hong.
“Benar, dan
terus terang saja, biar pun aku belum mempunyai niat mengambil murid, merasa
masih terlalu muda, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Aku suka
melihatnya, akan tetapi, kalau sekarang dia terus mengikuti aku, bagaimana aku
akan dapat berhasil melaksanakan tugasku?”
“Suhu, harap
Suhu tidak khawatir!” Tiba-tiba Yo Han berkata dengan penuh semangat, “Suhu
tidak perlu mempedulikan teecu, tidak perlu menjaga teecu, karena teecu dapat
menjaga diri sendiri.”
Mendengar
ucapan itu, Sin Hong dan Suma Lian saling pandang. Keduanya tersenyum, ada rasa
kagum membayang pada wajah mereka. Anak itu memang luar biasa. Sedikit pun
tidak pernah belajar silat akan tetapi memiliki keberanian dan semangat yang
hebat, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi ancaman maut di tangan
Sin-kiam Mo-li. Sungguh amat sukar dicari keduanya anak dengan nyali seperti
ini, nyali seorang calon pendekar sejati.
“Ahhh, aku
mempunyai jalan keluar yang amat baik!” tiba-tiba Suma Lian berkata. Sin Hong
memandang kepadanya dengan penuh harapan.
“Ketahuilah,
Hong-ko. Paman tua yang akan kukunjungi itu adalah saudara sepupu dari ayahku.
Dia bernama Suma Ciang Bun, keturunan langsung pula dari keluarga Pulau Es.
Pek-hu (Uwa) Suma Ciang Bun itu hidup seorang diri, hanya berdua dengan
muridnya yang sering kali pergi merantau. Dan dia pun tidak berkeluarga, bahkan
kini ayah menyuruh aku pergi mengunjunginya dan menyampaikan ajakan ayahku
supaya pek-hu suka tinggal bersama ayah dan ibu, agar hidupnya di hari tua
tidak kesepian. Nah, bagaimana kalau engkau titipkan Yo Han kepadanya lebih
dahulu selama engkau melaksanakan tugasmu? Aku yang akan bicara dan setelah
melihat Yo Han aku yakin pek-hu akan suka pula menerimanya.”
Wajah Sin
Hong berseri. “Ahhh, itu merupakan jalan keluar yang baik sekali!” Tiba-tiba
wajahnya berubah. “Akan tetapi, bagaimana aku berani mengganggu locianpwe itu?”
Ia lalu
menoleh kepada Yo Han dan berkata, “Dan bukankah itu berarti aku melepaskan
pula tanggung jawabku setelah menerima anak ini dari ibunya?”
“Urusan
pek-hu akulah yang akan bicara, Hong-ko. Dan jika pek-hu mau menerimanya,
kurasa bukan berarti engkau melepas tanggung jawab, karena bukankah maksud bibi
Bi-kwi hanya supaya engkau membawa pergi Yo Han dan anak ini dihindarkan dari
gangguan Sin-kiam Mo-li?”
Akan tetapi
Sin Hong masih meragu, memandang kepada Yo Han dengan bingung. Melihat ini, Yo
Han segera berkata, “Suhu, teecu mengerti bahwa kalau teecu ikut dengan Suhu
sekarang, teecu akan menjadi beban dan Suhu akan merasa terhalang dan
terganggu. Karena itu, teecu akan mentaati semua perintah Suhu, disuruh tinggal
di mana pun teecu menurut, asal Suhu tidak melupakan teecu dan kelak pada
waktunya Suhu datang menjemput teecu.”
Mendengar
ini, Suma Lian bertepuk tangan dan memuji. “Murid yang bagus sekali, ahh engkau
beruntung mempunyai seorang murid seperti dia, Hong-ko!”
Mau tak mau
Sin Hong tersenyum. Bagaimana pun juga, dia memang suka dan kagum kepada Yo
Han. “Kalau begitu, baiklah, dan sebelumnya kuhaturkan terima kasih atas
bantuanmu, Lian-moi.”
Mereka
bertiga kemudian melanjutkan perjalanan, menuju ke Tapa-san. Di sepanjang
perjalanan Sin Hong merasa gembira selalu karena Suma Lian memang merupakan
seorang gadis yang lincah jenaka, sedangkan Yo Han juga merupakan seorang anak
yang menyenangkan dan murid yang taat dan cekatan.
Setiap kali
mereka berhenti di hutan dan terpaksa bermalam di tempat terbuka, tanpa
diperintah lagi anak itu mencari kayu bakar, atau air dan sebagainya. Juga Yo
Han amat pandai membawa diri, pendiam tak pernah bicara kalau tidak ditanya.
Wajahnya selalu cerah walau pun kadang-kadang, terutama sekali di waktu malam
kalau dia sedang duduk menghadapi api unggun, anak itu sering kali termenung.
Sin Hong dan
Suma Lian bisa menduga bahwa tentu anak ini teringat dan rindu kepada ayah
bundanya. Namun, tak pernah anak itu mau mengatakan hal ini dan dengan keras
hati menyembunyikan kesedihannya itu di balik dagu yang mengeras dan mata yang
bersinar-sinar.
**************
Kita
tinggalkan dahulu perjalanan Sin Hong, Suma Lian dan Yo Han yang menuju ke
Pegunungan Tapa-san itu, dan mari kita mengikuti keadaan Pouw Li Sian yang
telah berada di sarang Tiat-liong-pang. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, gadis ini berkunjung ke Tiat-liong-pang karena ketuanya yaitu Siangkoan
Lohan (Kakek Gagah Siangkoan) atau bernama Siangkoan Tek, dulu adalah sahabat
dari mendiang ayahnya, Menteri Pouw Tong Ki.
Bahkan
pernah satu dua kali ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang sehingga
ia sudah mengenal Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong. Ia berkunjung
untuk bertanya mengenai salah seorang kakaknya, satu-satunya anggota
keluarganya yang kabarnya masih hidup, yaitu Pouw Ciang Hin, yang menurut hasil
penyelidikannya, kini menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas
jaga di perbatasan utara dekat Tembok Besar.
Munculnya
gadis itu di Tiat-liong-pang, sempat menggemparkan karena ketika Sin-kiam Mo-li
yang mencurigainya menyuruh anak buahnya untuk menangkap, Pouw Li Sian
menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis yang sangat lihai. Sin-kiam Mo-li
sendiri tidak mampu mengalahkannya! Siangkoan Lohan segera menerimanya dengan
ramah dan baik ketika mendengar pengakuan Li Sian bahwa gadis yang cantik dan
lihai ini bukan lain adalah puteri sahabatnya, Pouw Taijin.
Gadis ini
diterima dan disambut dengan gembira, dan ketika bertemu dengan Siangkoan Liong
yang pernah dikenalnya ketika mereka masih kecil, di antara mereka berdua lalu
segera terjalin suatu keakraban.
Pouw Li Sian
adalah seorang gadis yang biar pun telah mempegoleh pendidikan ilmu silat
tinggi sehingga membuatnya menjadi seorang gadis yang amat lihai, namun dia
masih hijau dalam pengalaman. Ia baru saja meninggalkan perguruan dan
pengetahuan umumnya masih dangkal, walau pun ia bukan seorang gadis bodoh. Oleh
karena itu, ketika ia tinggal di sarang Tiat-liong-pang, ia tidak menaruh
curiga sedikit pun.
Tetapi,
bagaimana pun juga, ia merasa heran ketika diperkenalkan dengan para tokoh
sesat yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Banyak di antara mereka yang
sikapnya kasar, bahkan amat menjemukan hatinya karena mereka itu jelas-jelas
memperlihatkan pandang mata yang kurang ajar dan tidak sopan.
Perasaan
penasaran yang terkandung di dalam hatinya pada saat melihat orang-orang
kang-ouw yang kasar itu berada di situ, dan agaknya menjadi pembantu atau tamu
dari Tiat-liong-pang, mendorong Li Sian untuk membicarakannya dengan Siangkoan
Liong yang telah dipercayainya. Sesudah beberapa hari tinggal di situ dan dia
melihat betapa Tiat-liong-pang melatih para anggotanya untuk bermain
perang-perangan, seolah-olah perkumpulan itu sedang mempersiapkan diri untuk
berperang, ia pun pada suatu senja bercakap-cakap tentang semua itu dengan
Siangkoan Liong dalam sebuah taman.
Mereka duduk
berhadapan di atas bangku kayu sederhana di dekat kolam ikan buatan yang
membuat tempat itu terasa nyaman dan sejuk segar. Baik Siangkoan Liong mau pun
gadis itu, baru saja mandi dan berganti pakaian bersih sehingga keduanya merasa
segar pula.
Biar pun Li
Sian baru tinggal belasan hari di tempat itu, namun pergaulannya dengan
Siangkoan Liong telah cukup akrab karena pemuda itu memang pandai membawa diri,
selalu sopan dan ramah. Siangkoan Liong adalah seorang yang amat cerdik,
bagaikan seekor harimau yang mengenakan bulu domba, sedikit pun tak nampak
wataknya yang mata keranjang dan siap menerkam ketika melihat Li Sian yang
cantik. Bahkan Li Sian merasa amat tertarik kepada pemuda yang memang tampan
dan gagah ini.
Setelah
mereka duduk saling berhadapan keduanya saling pandang. Seperti biasanya
Siangkoan Liong duduk dengan tenang. Sikapnya pendiam, halus serta lembut.
Wajah yang tampan itu terpelihara dengan cermat. Rambutnya hitam licin dan
disisir rapi, dan tercium keharuman dari pakaian dan rambutnya. Pakaiannya pun
selalu rapi dan setiap hari berganti pakaian baru. Dilihat sepintas lalu, tidak
nampak bahwa Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang amat lihai ilmu
silatnya, lebih pantas dia menjadi seorang kongcu (tuan muda) bangsawan yang
hartawan dan terpelajar tinggi.
Pemuda itu
pun memandang Li Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. Gadis ini nampak manis
sekali, terutama adanya tahi lalat di dagunya, menjadi penambah dalam
kecantikannya. Biar pun bukan pesolek, namun Li Sian pandai berdandan. Pakaiannya
yang sederhana nampak rapi, juga rambutnya digelung dengan indahnya. Ada
sedikit anak rambut terjuntai di dahinya, lembut sekali. Sikapnya halus dan
lembut namun anggun, seperti puteri bangsawan sejati. Gerak-geriknya halus
tetapi di balik kehalusan itu nampak jelas oleh mata Siangkoan Liong yang
terlatih bahwa di situ tersembunyi kekuatan dahsyat.
Siangkoan
Liong semakin kagum. Tidak disangkanya bahwa dalam diri seorang gadis yang
begini cantik dan halus, terdapat kepandaian silat yang tinggi, bahkan lebih
tinggi tingkatnya dari pada Sin-kiam Mo-li! Dia amat kagum dan makin bulat
tekadnya untuk menundukkan gadis ini, untuk memilikinya agar dapat
dibanggakannya. Bukan sekedar dijadikan permainannya, sebagai sumber kesenangan
jasmani saja. Tidak, dia ingin mempersunting Li Sian menjadi isterinya karena
agaknya hanya gadis yang berdarah bangsawan ini saja yang patut untuk
mendampinginya kalau kelak dia menjadi seorang kaisar!
Setelah
sekian lamanya saling pandang, baru terasalah oleh Li Sian ketidak wajaran itu,
betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya tak seperti biasa, akan tetapi
penuh dengan kekaguman dan daya tarik. Tiba-tiba ia merasa mukanya panas dan
gadis itu pun menundukkan mukanya.
“Ehh, Twako,
kenapa sejak tadi memandang saja padaku tanpa bicara?” tegurnya.
Siangkoan
Liong tersenyum dan nampak seperti baru sadar dari mimpi. Dia cepat-cepat
bangkit berdiri dan memberi hormat dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya
sampai dalam.
“Ahhh,
maafkan aku, Sian-moi. Tanpa kusadari aku sudah terpesona... maaf, bukan
maksudku untuk merayu, akan tetapi sore hari ini engkau sungguh nampak begini
cantik jelita seperti bidadari, membuat aku terpesona tadi...”
Menghadapi
ucapan dengan sikap yang demikian sopan, bagaimana Li Sian dapat merasa tidak
senang oleh pujian itu? Pujian yang terdengarnya demikian sopan, disertai maaf,
bukan sekedar rayuan kasar. Ia pun tersenyum dan mukanya menjadi semakin merah,
sampai ke lehernya.
Ia melempar
kerling malu-malu dan berkata, “Aih, Toako, harap jangan bicara seperti itu,
membuat aku merasa malu saja. Kalau kau lanjutkan pujian-pujianmu itu, aku akan
segera pergi ke dalam kamarku dan tidak mau bicara padamu sore ini.”
“Maaf,
maaf...! Aku tidak bermaksud membuat hatimu tersinggung, Sian-moi. Maafkan aku
dan aku berjanji tidak akan mengulangi lagi.”
Li Sian
tersenyum. “Sudahlah, Toako, engkau tidak bersalah apa-apa, tidak perlu minta
maaf. Aku sengaja ingin bicara denganmu sore hari ini, karena ada beberapa hal
yang selama ini menjadi pertanyaan dalam hatiku dan menimbulkan rasa
penasaran.”
Siangkoan
Liong segera memperlihatkan sikap serius pada saat dia memandang wajah gadis
itu penuh perhatian. “Persoalan apakah yang membuatmu penasaran, Sian-moi?
Tanyakanlah, tidak ada rahasia bagimu di sini.”
“Begini,
Toako. Pertama, begitu tiba di sini, aku bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw
yang melihat sikap mereka agaknya bukanlah manusia baik-baik, tetapi lebih
pantas kalau menjadi tokoh-tokoh kaum sesat dari dunia hitam! Misalnya Sin-kiam
Mo-li itu, selain julukannya saja sudah jelas menunjukkan bahwa dia seorang
iblis betina, juga sikapnya demikian menyeramkan, seperti lagi menyembunyikan
sesuatu dan pandang matanya kadang-kadang begitu kejam dan buas. Dan Toat-beng
Kiam-ong itu, hihhh, pandang matanya padaku membuat aku bergidik dan hampir
saja aku menyerangnya ketika pada suatu kali dia memandang dan tersenyum
kepadaku. Juga para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, agaknya mereka
pun bukan orang baik-baik. Toako, benarkah dugaanku bahwa mereka adalah
tokoh-tokoh sesat dan kalau benar demikian, kenapa Tiat-long-pang menerima
orang-orang seperti itu di sini?” Pertanyaan ini diajukan Li Sian dengan
pandang mata tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah pemuda itu.
Siangkoan
Liong tetap tersenyum tenang, bahkan lalu berkata, “Selain itu, adakah lagi hal
lain yang mendatangkan perasaan heran dan penasaran di dalam hatimu, Sian-moi?
Kalau ada, ajukanlah pertanyaan itu agar sekalian kujawab, karena memang terdapat
banyak hal yang belum kau ketahui dan agaknya kesemuanya itu perlu aku jelaskan
kepadamu.”
“Ada satu
lagi, Toako. Aku melihat betapa para anggota Tiat-liong-pang dilatih
perang-perangan seolah-olah mereka itu menghadapi suatu pertempuran atau
perang. Apakah artinya semua itu? Apakah ada bahaya yang mengancam
Tiat-liong-pang?”
Pemuda itu
tertawa, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Sian-moi, sebelum aku
menjawab pertanyaanmu itu, menjelaskan hal-hal yang telah kau lihat terjadi di
sini dan menimbulkan keheranan dalam hatimu, ingin aku bertanya, ingatkah
engkau akan peristiwa yang menimpa keluarga orang tuamu, beberapa tahun yang
lalu ketika engkau masih kecil, peristiwa yang mengakibatkan hancurnya keluarga
orang tuamu?”
Li Sian
mengerutkan alisnya dan mengangguk. “Karena sebagai seorang menteri ayah berani
menentang Thaikam Hou Seng yang berkuasa. Menurut penjelasan mendiang guruku,
kaki tangan Hou Seng itulah yang membunuh ayah ibu dan kemudian ayah difitnah
sehingga sisa keluargaku ditangkap sebagai pemberontak. Semua kakakku tewas
kecuali kakak Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi perwira...“
Pemuda itu
mengangguk-angguk, “Jelaslah bahwa keluargamu hancur karena kelaliman kaisar!
Kaisar yang menjadi permainan para thaikam dan para menteri yang jahat dan
korup. Ingat, Sian-moi, biar pun menjadi menteri, akan tetapi ayahmu bukanlah
seorang Mancu asli, melainkan peranakan dan darahmu lebih banyak darah Han dari
pada darah Mancu.”
Mata gadis
itu terbelalak. “Maksudmu bagaimanakah Toako, dengan menyinggung soal keturunan
dan darah?”
“Maaf,
Sian-moi. Kita adalah orang-orang Han. Engkau tentu tahu bahwa pemerintah
sekarang ini adalah pemerintah penjajah bangsa Mancu yang menjajah tanah air
kita, memperbudak bangsa kita!” Ucapan ini penuh semangat dan gadis itu
memandang dengan penuh perhatian.
“Lalu,
bagaimana?” tanyanya, ingin tahu karena ia belum dapat menduga ke arah mana
percakapan itu.
“Nah, karena
itulah Tiat-liong-pang menganggap sudah tiba saatnya untuk menentang
pemerintahan penjajah, menumbangkan kekuasaan bangsa Mancu!”
“Kau
maksudkan… memberontak?” Li Sian membelalakkan matanya, tidak menyangka sama
sekali bahwa Tiat-liong-pang bermaksud memberontak.
Pemuda itu
mengangguk-angguk. “Memberontak terhadap kekuasaan penjajah Mancu, Sian-moi,
berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa kita dari cengkeraman penjajah.
Itulah sebabnya mengapa kami menghimpun kekuatan, melatih anak buah kami dan
tentang para tokoh itu, engkau tidak keliru, memang di antara mereka terdapat
orang-orang kang-ouw dari dunia hitam. Kami membutuhkan tenaga mereka, bantuan
mereka karena mereka itu memiliki kepandaian tinggi, juga memiliki banyak anak
buah. Kami harus menghimpun kekuatan dari mana pun juga untuk memperkuat
kedudukan kami agar perjuangan kami menentang penjajah dapat berhasil. Nah,
engkau mengerti sekarang keadaan di sini, Sian-moi?”
Sesungguhnya,
hati Li Sian diliputi kekhawatiran dan kebingungan. Ia belum mengerti benar,
akan tetapi ia mengangguk-angguk. Bagaimana pun juga pada dasarnya ia dapat
mengerti. Tiat-liong-pang hendak memberontak, menentang pemerintah sebab
kerajaan yang sekarang adalah Kerajaan Mancu, bangsa asing yang menjajah tanah
air dan bangsa! Dan ia pun merasa bangga dan kagum.
Kiranya
Tiat-liong-pang sedang mengadakan gerakan perjuangan yang demikian mulia, akan
tetapi juga amat berbahaya. Tiba-tiba ia pun teringat akan sesuatu dan wajahnya
mendadak berubah pucat.
"Liong-ko,
kalau begitu Tiat-liong-pang akan memusuhi pasukan pemerintah?"
Pemuda itu
mengangguk, “Tentu saja, pasukan pemerintah adalah pasukan kerajaan penjajah
dan...“
“Tapi...
tapi kakakku, Pouw Ciang Hin kabarnya menjadi perwira pasukan pemerintah!
Kabarnya dia ditugaskan di perbatasan utara ini dan apakah sampai sekarang anak
buahmu belum dapat menemukannya?”
Siangkoan
Liong tersenyum tenang.
“Jangan
khawatir, Sian-moi. Ketahuilah bahwa komandan pasukan yang bertugas di utara
ini telah mengadakan hubungan dengan kami dan dia mendukung gerakan kami. Jadi,
kalau kakakmu itu menjadi perwira bawahannya, tentu hal itu berarti bahwa
kakakmu juga akan bekerja sama dengan kita. Engkau tentu suka membantu, bukan?”
Gembira rasa
hati Li Sian mendengar tentang kakaknya itu. “Ahh, kalau begitu bagus sekali.
Tentu saja aku suka membantu, Liong-ko.”
Namun
Siangkoan Liong masih belum merasa puas dengan kesanggupan ini. Selama belasan
hari ini, diam-diam dia mengamati gerak-gerik Li Sian dan bahkan menyuruh
Sin-kiam Mo-li diam-diam melakukan pengamatan dari jauh. Satu hal yang membuat
dia merasa gelisah dan belum percaya benar adalah karena menurut keterangan
Sin-kiam Mo-li, Pouw Li San adalah murid dari mantu Pendekar Super Sakti Pulau
Es!
Padahal, dia
sudah mendengar bahwa di antara keluarga Pulau Es dan keluarga kaisar Mancu,
masih terdapat hubungan kekeluargaan yang dekat. Isteri Pendekar Pulau Es
adalah seorang puteri Mancu, bahkan isterinya dan puterinya pernah menjadi
panglima-panglima Mancu yang gagah perkasa dan pada waktu yang lampau sudah
menumpas banyak gerakan pemberontakan.
“Sian-moi,
engkau pernah menceritakan kepada ayah bahwa gurumu adalah seorang sakti,
keluarga Pulau Es, bahkan mantu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es. Lalu bagaimana pendapat mendiang gurumu itu tentang pemerintah penjajah dan
gerakan para patriot?” Dia memancing.
Li Sian
mengingat-ingat, lalu menggeleng kepalanya. “Seingatku, suhu belum pernah
bicara tentang pemerintahan dan jika sekali waktu aku bertanya dia tak mau
memberi penjelasan. Hanya pernah dia mengeluh tentang kelemahan kaisar yang
membiarkan dirinya dipermainkan para pembesar durjana.”
“Nah, tidak
salah lagi. Diam-diam suhu-mu itu pun tentu tidak setuju dengan adanya
pemerintah penjajah yang lalim!” Siangkoan Liong berseru girang. Tadinya dia
khawatir bahwa guru gadis ini condong memihak kerajaan.
Pada saat
itu, nampak serombongan orang datang. Dari jauh saja Siangkoan Liong dan Li
Sian bisa mengenal rombongan yang dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li, kini
mengiringkan seorang laki-laki dan seorang wanita yang berjalan sambil
bergandeng tangan.
Laki-laki
itu nampak bersikap gagah walau pun langkahnya tak menunjukkan dia pandai ilmu
silat. Sedangkan wanita itu cantik manis, berusia mendekati empat puluh tahun,
sebaya dengan laki-laki itu. Tetapi wanita yang nampak tenang sederhana itu
memiliki langkah kaki yang mengejutkan Siangkoan Liong dan Li Sian karena
mereka berdua dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan.
Laki-laki
dan wanita itu adalah Yo Jin dan Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi yang baru datang
bersama rombongan Sin-kiam Mo-li. Setelah rombongan mereka sampai di luar
daerah kekuasaan Tiat-liong-pang, rombongan ini disambut oleh Toat-beng
Kiam-ong dan para tokoh yang membantu pergerakan Tiat-liong-pang, di antaranya
nampak ada beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Melihat
mereka diam-diam Bi-kwi terkejut. Tadinya ia mulai percaya akan pengakuan
Sin-kiam Mo-li bahwa iblis betina itu sedang membantu perjuangan orang-orang
gagah yang dipimpin oleh ketua Tiat-liong-pang, akan menentang pemerintah
penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat orang-orang yang dikenalnya sebagai
tokoh sesat, dia pun mulai meragu lagi. Akan tetapi, dengan cerdik Bi-kwi diam
saja, bahkan pura-pura tidak mengenal mereka.
Melihat
betapa Sin-kiam Mo-li pulang sambil membawa laki-laki dan wanita yang tidak
dikenalnya itu, Siangkoan Liong segera bangkit dan menghadang, diikuti oleh Li
Sian yang juga ingin tahu.
“Mo-li,
siapakah dua orang saudara yang barusan datang ini?” tanya Siangkoan Liong
sambil memandang kepada Bi-kwi karena kecantikan wanita ini pun menarik
hatinya.
Sin-kiam
Mo-li tersenyum dengan bangga karena dia merasa betapa usahanya telah berhasil
baik. “Siangkoan-kongcu, dia inilah Bi-kwi yang pernah saya bicarakan dengan
Kongcu dan dengan bengcu (pemimpin). Saya telah berhasil mengajaknya ke sini
dan bergabung dengan kami. Dan laki-laki ini adalah suaminya. Bi-kwi adalah
murid utama dari mendiang Sam Kwi, dia lihai bukan main, Kongcu.” Kemudian ia
memperkenalkan pemuda itu kepada Bi-kwi dan Yo Jin. “Kongcu ini adalah putera
dari pimpinan kami bernama Siangkoan Liong.”
Bi-kwi
memandang pemuda itu. Sekali pandang saja tahulah Bi-kwi bahwa pemuda tampan
yang kelihatan lemah lembut ini mempunyai kepandaian tinggi. Juga di balik
kelembutan sikapnya itu, di balik sinar matanya yang lembut, dia dapat melihat
gairah nafsu yang besar, maka diam-diam ia berhati-hati.
Juga ia
memandang kepada gadis yang berada di dekat Siangkoan Liong, dan ia pun bisa
menduga bahwa gadis itu pun bukan gadis sembarangan. Hemmm, di sini banyak
terdapat orang pandai, pikir Bi-kwi khawatir. Tadi pun ia mengenal Toat-beng
Kiam-ong, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-kauw, juga beberapa orang
kang-ouw yang berkepandaian tinggi berada di tempat itu.
Siangkoan
Liong mengerutkan alisnya. Agaknya dia memandang rendah kepada Bi-kwi dan
suaminya. Betapa pun lihainya, agaknya suami isteri itu berada di bawah
pengaruh Sin-kiam Mo-li. Orang yang kelihaiannya tidak melebihi Sin-kiam Mo-li,
kurang menarik hatinya walau pun sempat hatinya terguncang dan gairahnya
bangkit oleh kecantikan Bi-kwi yang sudah matang itu!
“Bawalah
mereka menghadap ayah,” katanya. Dia pun mengajak Li Sian untuk kembali duduk
bercakap-cakap di dalam taman. Rombongan itu lalu masuk ke dalam untuk
menghadap Siangkoan Lohan.
Setelah
mereka berdua duduk lagi di dalam taman. Li Sian bertanya, “Apakah suami isteri
itu pun hendak membantu gerakan yang dipimpin oleh ayahmu, Liong-toako?”
“Agaknya
begitulah. Perjuangan ini didukung oleh orang gagah, dan aku yakin bahwa usaha
ayah akan berhasil baik,” kata Siangkoan Liong gembira.
“Wanita itu
kelihatan memiliki kepandaian tinggi,” kata pula Li Sian.
“Kau tunggu
saja, Sian-moi. Kalau ada kesempatan akan kuperkenalkan engkau kepada suhu-ku.”
“Gurumu?”
Gadis itu memandang wajah pemuda di depannya dalam keremangan cuaca senja.
“Bukankah gurumu itu adalah paman Siangkoan Tek sendiri? Bukankah ayahmu
memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi?”
Pemuda itu
tersenyum bangga. “Memang benar, Sian-moi. Akan tetapi guruku ini lebih lihai
lagi. Ayah sendiri pernah menguji kepandaiannya maka ayah memperbolehkan aku
berguru padanya. Ilmu kepandaian guruku itu sulit diukur sampai bagaimana
tingginya!”
Li Sian
tersenyum dalam hatinya. Baru kini dia mendengar ucapan yang mengandung nada
bangga dan bahkan sombong dari pemuda ini. Dia tidak merasa heran karena
mungkin saja apa yang dikatakan pemuda ini benar. Menurut keterangan gurunya,
di dunia ini memang banyak terdapat orang-orang sakti.
“Siapakah
gurumu, Liong-toako? Dan kenapa tidak sejak kemarin aku kau perkenalkan
padanya?”
“Guruku
sedang bertapa dan dia tidak suka diganggu. Kelak jika dia kebetulan datang
berkunjung ke sini, barulah akan kuperkenalkan engkau kepadanya. Beliau bernama
keturunan Ouwyang, biasa disebut Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang) dan tak pernah
ada yang tahu siapa namanya. Nama julukannya adalah Nam-san Sianjin (Manusia
Dewa Pegunungan Selatan). Dia bukan orang sembarangan, Sian-moi, karena dahulu
dia pernah menjadi seorang yang sangat penting, bahkan menjadi penasehat raja
di Kerajaan Birma.”
Li Sian
tertarik sekali. Ia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian
tinggi, akan tetapi belum pernah dia menyaksikannya. Selama belasan hari ini
mereka bergaul cukup rapat hingga dia seolah-olah diberi kesempatan untuk
mengenal pemuda ini, bukan hanya wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya, akan
tetapi juga keadaan dan wataknya. Akan tetapi dia belum melihat sampai di mana
tingkat kepandaiannya, dan berkenalan tanpa mengetahui atau melihat
kepandaiannya tentulah tidak lengkap. Ingin ia menguji kepandaian pemuda itu.
Apakah jauh di atas tingkatnya sendiri?
“Liong-ko,
setelah engkau menerima gemblengan dari ayahmu sendiri, kemudian dilatih pula
oleh seorang sakti seperti gurumu, tentu engkau kini telah memiliki tingkat
ilmu silat yang amat tinggi. Semenjak kecil kita sudah saling mengenal, bahkan
kini ayahmu juga menerimaku dengan ramah dan baik, bahkan menganggap aku
sebagai keponakannya sendiri sehingga antara kita terdapat pertalian
persaudaraan. Oleh karena itu, aku ingin sekali melihat sampai di mana tingkat
kepandaianmu itu, Toako, agar supaya aku dapat menambah pengetahuanku darimu.”
Siangkoan
Liong tersenyum, apa lagi melihat gadis itu sudah bangkit berdiri menuju ke
petak rumput yang cukup luas dan enak untuk dipakai berlatih silat, di dalam
taman itu dekat kolam ikan, dan gadis itu berdiri tegak menantinya. Tentu saja
dia tahu bahwa gadis itu agaknya ingin sekali menguji kepandaiannya, tentunya
dengan maksud baik, karena jelas nampak olehnya betapa Li Sian mulai tertarik
kepadanya. Dia pun bangkit berdiri dan menghampiri gadis itu.
“Sian-moi,
aku sudah melihat bahwa engkau mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga
pada waktu engkau pertama kali muncul di sini, engkau mampu menandingi
kelihaian Sin-kiam Mo-li. Aku menjadi gentar melawanmu, Sian-moi. Bagaimana
kalau sampai aku tewas atau terluka parah karena pukulanmu?”
“Aih,
Liong-toako, harap jangan berkata demikian. Kepandaian Sin-kiam Mo-li amat
lihai dan kalau tidak muncul ayahmu datang melerai, tentu aku akan celaka di
tangannya. Aku hanya ingin melihat sendiri kelihaianmu dalam suatu permainan
bersama. Bagai mana mungkin kita akan saling melukai? Sudahlah, Toako, jangan
terlalu pelit, mari kita main-main sebentar untuk membuka mataku.”
“Baik,
Sian-moi. Nah, aku sudah siap, kau mulailah keluarkan seranganmu!” pemuda itu
berkata sambil memandang dengan senyum memikat dan dia pun membuka pasangan
kuda-kuda yang gagah dan indah.
Li Sian yang
memang ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian pemuda yang menarik
hatinya ini, segera mengeluarkan seruan sebagai isyarat bahwa dara ini mulai
menyerang. Serangan awalnya merupakan tamparan ke arah pundak Siangkoan Liong,
seperti main-main saja, akan tetapi gadis ini mengerahkan tenaga Hui-yang
Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) ke dalam telapak tangannya sehingga hawa panas
menyambar ke arah pundak Siangkoan Liong.
Pemuda ini
kagum sekali ketika merasakan betapa tangan kanan gadis itu menyambar lambat
namun membawa hawa yang amat panas. Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya
menangkis untuk melindungi pundaknya. Karena dia maklum bahwa gadis manis itu
menggunakan sinkang untuk menguji tenaganya, maka dia pun mengerahkan tenaga
sinkang dalam lengan yang menangkis itu.
“Dukkk!”
Kedua lengan
bertemu dan hampir Siangkoan Liong berseru karena dia merasa betapa hawa panas
menyusup ke dalam lengannya. Cepat dia menarik kembali lengannya dan loncat ke
belakang, mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk mendorong keluar lagi
hawa panas itu.
Li Sian tadi
tidak menggunakan seluruh tenaganya, seperti juga yang dilakukan pemuda itu,
karena memang dara ini hanya ingin menguji saja. Ketika melihat bahwa pemuda
itu mampu menangkis tamparan yang mengandung Hui-yang Sinkang, dia merasa kagum
dan menyerang lagi, kini dengan tangan kiri yang mendorong dengan tenaga
Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju).
Kembali
pemuda itu menangkis, agak menambah tenaga sinkang-nya karena dia tahu bahwa
gadis cantik ini memang lihai dan kuat. Kembali kedua lengan mereka bertemu dan
Siangkoan Liong kini meloncat mundur, tidak lagi sambil menahan seruannya.
“Bukankah
itu tadi dua tenaga sakti dari Pulau Es yang terkenal itu? Yang panas adalah
Hui-yang Sinkang dan yang dingin ini tadi Swat-im Sinkang?” tanyanya setelah
berhasil mendorong keluar pengaruh hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya.
Li Sian
menjadi semakin kagum. Pemuda itu ternyata mampu mengenali dua macam tenaga
sinkang yang dipelajarinya dari gurunya, Bu Beng Lokai.
“Benar
sekali, Toako. Sekarang terimalah lagi seranganku ini!” katanya gembira.
Kini
tubuhnya bergerak cepat karena dia sudah memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun
(Silat Sakti Mengacau Langit) yang juga merupakan salah satu ilmu silatnya yang
paling hebat di samping ilmu pedangnya yang sama dasarnya, yaitu Lo-thian
Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).
Menghadapi
gerakan ilmu silat yang amat dahsyat itu, cepat dan mengandung tenaga besar,
Siangkoan Liong berseru, “Bagus sekali!”
Dia pun
menghadapi terjangan Li Sian dengan hati-hati, juga dengan cepat sekali. Dia
maklum akan kelihaian gadis ini, dan tahu pula bahwa kalau dia hanya
mengandalkan kelincahan dan tenaga untuk bertahan saja, akhirnya dia akan
kalah. Maka, pemuda ini, yang tidak mau dikalahkan karena hal itu akan
merendahkan dirinya dalam pandangan gadis yang sangat menarik hatinya itu,
segera bergerak membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Dia telah mainkan ilmu silatnya yang aneh, yang lebih banyak mempergunakan
loncatan-loncatan dan tendangan sambil meloncat, yaitu Kong-ciak Sin-kun (Silat
Sakti Burung Merak) yang pernah dipelajarinya dari Ouwyang Sianseng dan kini
menjadi ilmu andalannya.
Memang hebat
sekali ilmu silat ini karena mampu menandingi Lo-thian Sin-kun yang merupakan
satu di antara ilmu-ilmu silat tinggi. Makin kagum rasa hati Li Sian melihat
betapa ilmu silat aneh dari pemuda itu sangat lincah dan berbahaya, sehingga
ketika ia memainkan Lo-thian Sin-kun, Siangkoan Liong sama sekali tidak
terdesak, bahkan dia mampu membalas setiap jurus serangannya dengan sama
hebatnya.
Mereka
saling serang sampai tiga puluh jurus lebih dan melihat ini, Li Sian makin lama
semakin menambah tenaganya. Sampai akhirnya dia mengerahkan semua tenaga dan
kepandaian, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak Siangkoan Liong,
sebaliknya, pemuda ini juga semakin kagum pula karena baru setelah dia
mengerahkan hampir semua tenaganya, gadis itu tidak mampu menjadi semakin
hebat. Hal ini menunjukkan bahwa biar pun tidak banyak selisihnya, namun
tingkatnya masih lebih tinggi.
Akan tetapi
tentu saja dia tidak ingin mengalahkan nona itu dengan keras, tidak mau
melukainya, maka otaknya yang cerdik itu mencari-cari akal bagaimana dia akan
dapat memenangkan pibu (adu silat) itu tanpa melukai lawan. Dia pun teringat
akan sebuah ilmu silat dari keluarganya, yaitu Tiat-wi Liong-kun (Ilmu Silat
Naga Ekor Besi) yang juga menggunakan tenaga sinkang yang istimewa dan semenjak
tadi dipergunakannya untuk menandingi sinkang dari Li Sian, yaitu
Liong-jiauw-kang (Tenaga Sakti Cakar Naga).
Sinkang yang
dimilikinya telah diperkuat dengan gemblengan Ouwyang Sianseng, maka kini dalam
hal sinkang, dia malah lebih kuat dari pada ayahnya sendiri. Ilmu Silat Naga
Ekor Besi ini mempunyai beberapa jurus yang dicampur dengan ilmu gulat dari
Mongol, yaitu ilmu untuk menangkap dan membanting. Juga terdapat cara-cara
menangkap dan mengempit lawan sampai tidak mampu lolos atau pun bergerak lagi.
Inilah yang akan digunakannya karena hanya ilmu ini yang akan mampu memberinya
kemenangan tanpa melukai atau merobohkan lawan.
Akan tetapi,
Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang selain cerdik, juga sudah
mempelajari kebudayaan sejak kecil. Dia tahu bahwa jika dia melakukan
penangkapan dan himpitan seperti itu terhadap Li Sian, tentu akan membuat Li
Sian menyangka dia sengaja mempermainkan dan hendak kurang ajar, mempergunakan
‘kesempatan’ untuk memeluk dan menangkap gadis itu.
Maka,
sebelum mempergunakan ilmu itu, dia terlebih dahulu akan memberi peringatan
agar gadis itu tidak menyangka yang bukan-bukan, walau pun tentu saja satu di
antara sebab yang mendorongnya menaklukkan Li Sian dengan cara itu adalah untuk
dapat merangkul dan mendekap tubuh yang membuatnya tergila-gila itu!
Mendadak
Siangkoan Liong mengubah gerakannya dan berseru, “Awas, Sian-moi, aku akan
menyerang dengan tendangan Ban-kin-twi!”
Dan kini
Siangkoan Liong sudah menggunakan kedua kakinya yang secara bertubi-tubi
melakukan tendangan yang amat cepat dan kuat. Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa
Kati) adalah ilmu tendangan dari ayahnya, yang selain cepat dan sukar diduga
dari mana datangnya tendangan, juga amat kuat, sesuai dengan namanya.
Melihat
tendangan kedua kaki yang menyambar-nyambar dari segala jurusan ini, Li Sian
cepat mainkan San-po Cin-keng. Kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh yang
teratur rapi dan sungguh aneh, semua sambaran kaki Siangkoan Liong hanya
mengenai angin saja karena setiap kali kakinya meluncur, tubuh gadis itu telah
bergeser dengan langkahnya yang ringan, aneh dan cepat. Akan tetapi, dengan
begini, Li Sian pun tidak mampu lagi balas menyerang sehingga ia nampak
terdesak.
“Sekarang
aku akan menyerang dengan Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun, Sian-moi. Awas!” Dan
pemuda itu sudah menghentikan rangkaian tendangannya, kini menyerang dengan
cengkeraman-cengkeraman yang dicampur dengan totokan dan tendangan.
Li Sian
menghadapi serangan-serangan ini dengan kembali mainkan Lo-thian Sin-kun agar
ia dapat membalas serangan sehingga keduanya sudah bertanding lagi dengan amat
serunya.
Pada waktu
Siangkoan Liong melihat kesempatan baik, melihat tangan kanan Li Sian menyambar
ke arah lambungnya dengan pukulan jari tangan terbuka, seperti pedang, secepat
kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan itu dengan tangan kanannya dan
cepat sekali, tanpa dapat diduga oleh Li Sian, dia sudah menyusup ke belakang
tubuh gadis itu sambil memuntir lengan kanan Li Sian sehingga lengan kanan
gadis itu terpuntir ke belakang tubuhnya.
Kini tubuh
Siangkoan Liong berada di sebelah kiri agak ke depan, dengan lengan kanan gadis
itu masih dipuntir dan dicengkeram pergelangannya. Li Sian cepat menggunakan
siku lengan kirinya untuk menyerang agar pemuda itu melepaskan lengan kanannya,
akan tetapi serangan ini sudah diduga lebih dahulu oleh Siangkoan Liong yang
cepat menggunakan tangan kirinya mencengkeram pula ke arah siku lengan kiri Li
Sian.
Siku itu
dapat dicengkeram dan seketika gadis itu merasa tenaga pada lengan kirinya
lenyap dan lumpuh. Ia terkejut dan cepat memutar tubuh ke kiri dan kakinya
bergerak hendak mengirim tendangan. Akan tetapi kembali gerakan ini sudah dapat
diduga oleh Siangkoan Liong dan cepat sekali kaki pemuda itu telah mendahului,
dimajukan ke depan di antara kedua kaki Li Sian.
Dengan
demikian, tentu saja gadis itu tidak berani melakukan tendangan karena bagian
tubuhnya yang paling rahasia menempel pada paha di atas lutut Siangkoan Liong.
Gadis itu mencoba untuk meronta, namun hasilnya hanya membuat dadanya bergeser
dengan lengan kiri pemuda itu yang mencengkeram siku kirinya dan lengan itu
ditekuk sehingga siku kiri pemuda itu mengancam dadanya! Wajah Li Sian berubah
merah sekali merasa betapa bagian tubuh depan telah bersentuhan dan didekap
oleh siku dan lutut pemuda itu!
“Sian-moi,
inilah ilmu gulat yang terdapat dalam Tiat-wi Liong-kun kami. Maafkan aku!”
katanya dan ketika bicara ini, wajahnya dekat sekali dengan wajah Li Sian.
Ia pun cepat
melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur sambil berkata lagi, “Wah, ilmu
kepandaianmu hebat sekali, Sian-moi. Kalau aku tidak mempergunakan akal dengan
ilmu gulat yang tidak kau kenal, belum tentu aku akan mampu menyelamatkan diri
dari serangan-serangan dan desakanmu.”
Sampai
beberapa lamanya Li Sian tak mampu bicara, jantungnya masih berdebar keras dan
tubuhnya terasa panas dingin. Ia merasa malu sekali. Bukan karena kekalahannya,
sama sekali bukan, melainkan mengingat betapa tadi ia sudah dirangkul, didekap
dan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pemuda itu!
Ia tidak
dapat marah, karena ia tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak bermaksud
menghinanya, tidak bermaksud melakukan perbuatan cabul dan tidak sopan.
Bukankah Siangkoan Liong sudah memperingatkannya setiap kali hendak
mengeluarkan suatu ilmunya? Dan pemuda itu tadi mempergunakan ilmu gulat untuk
mengalahkannya, dan tentu saja ilmu gulat itu dimainkan dengan cara menangkap,
memuntir dan menekan atau menghimpit. Akan tetapi, mengingat betapa payudaranya
tadi tertekan oleh lengan Siangkoan Liong, dan antara kedua pahanya tertekan
oleh lutut pemuda itu, sungguh membuat ia merasa tubuhnya panas dingin.
“Kenapa,
Sian-moi? Maafkan aku, kalau aku telah mengalahkanmu dengan ilmu gulat hingga
membuat hatimu kecewa,” kata Siangkoan Liong sambil memandang khawatir.
Li Sian
tersenyum malu-malu dan menggelengkan kepala. “Ahh, tidak, Liong-toako. Aku
memang sudah menduga bahwa aku takkan menang melawanmu dan ternyata engkau
memang hebat, tingkat kepandaianmu lebih tinggi dari pada aku, Toako.”
“Sudahlah,
Sian-moi. Terus terang saja, kalau aku tidak menguasai ilmu silat bercampur
ilmu gulat, agaknya aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Malam telah tiba,
marilah kita mencari anak buahku yang berjanji bahwa malam ini dia akan
mengajak kakakmu itu datang untuk bertemu denganmu.”
Bukan main
girangnya hati Li Sian. Ia bangkit lagi dari tempat duduknya dan berseru,
“Ahhh, terima kasih, Toako. Sungguh aku berterima kasih sekali kalau hal itu
benar dan aku dapat bertemu dengan kakak sulungku Pouw Ciang Hin!”
Mereka lalu
meninggalkan taman itu dan sungguh aneh, seperti sudah sewajarnya saja tangan
pemuda itu menggandeng tangan Li Sian dan lebih aneh pula, gadis ini pun tidak
menarik tangannya, hanya tangan itu agak dingin dan sedikit gemetar ketika
Siangkoan Liong menggenggamnya. Akan tetapi dalam genggaman tangan pemuda itu
yang mesra dan lembut, tangan Li Sian menjadi makin hangat dan tidak gemetar
lagi.
***************
Mereka
berdua duduk menanti di dalam ruangan itu, ruangan bagian belakang rumah induk
yang luas. Ruangan ini biasanya digunakan oleh pangcu Siangkoan Lohan untuk
mengadakan rapat dan perundingan dengan para pembantunya.
Siangkoan
Liong mempersilakan Li Sian duduk setelah dia berbicara dengan beberapa orang
anak buahnya. “Kita tunggu di sini sebentar, Sian-moi. Tak lama lagi utusanku
itu akan datang dan mudah-mudahan dia tidak gagal membawa kakakmu ke sini untuk
berjumpa denganmu.”
Gadis itu
menatap wajah Siangkoan Liong dengan sinar penuh rasa syukur dan terima kasih.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan sebab akan berjumpa dengan kakaknya
sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara untuk menjawab, melainkan hanya
dapat mengangguk. Tetapi setelah beberapa menit lamanya, gadis ini dapat
menenteramkan gejolak perasaan hatinya dan ia pun mengangkat muka memandang
wajah pemuda itu.
Kebetulan
sekali Siangkoan Liong juga sedang memandang sehingga dua pasang sinar mata itu
saling tatap dan sejenak melekat. Akhirnya Li Sian menundukkan pandang matanya
dan bertanya dengan suara lirih.
“Toako, di
mana engkau menemukan kakakku? Benarkah dia bekerja menjadi perwira dalam
pasukan pemerintah yang berjaga di perbatasan utara ini?”
Siangkoan
Liong tersenyum dan mengibaskan ujung bajunya dengan jari tangannya. Ujung baju
itu agak kotor karena pi-bu yang mereka adakan di taman tadi.
“Menurut
laporan para penyelidik, memang begitulah, Sian-moi. Akan tetapi sebaiknya
engkau bertanya sendiri kepada kakakmu nanti kalau benar dia dapat diajak
datang oleh utusanku. Jangan khawatir, utusanku itu adalah suheng-ku sendiri.
Dia adalah murid ayahku yang paling lihai dan paling dipercaya, oleh karena itu
maka aku sengaja mengutus dia untuk menjemput kakakmu.”
Percakapan
mereka terputus ketika nampak dua orang memasuki ruangan itu dari pintu
samping. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi
kurus, mukanya pucat dan matanya tajam. Di punggungnya tergantung sebatang
pedang.
Akan tetapi
Li Sian tidak memperhatikan orang itu, melainkan memperhatikan orang ke dua
yang usianya sebaya dengan orang pertama, kurang lebih tiga puluh lima tahun
yang mengenakan pakaian perwira pasukan kerajaan. Biar pun kini nampak jauh
lebih tua, namun ia tidak pangling melihat wajah orang ini. Kakaknya! Wajah
yang tampan ini nampak jauh lebih tua dari pada usianya, penuh garis-garis
penderitaan hidup, bahkan pandang matanya pun sayu.
Sementara
itu laki-laki berpakaian perwira itu pun memandang kepada Li Sian, dengan mata
agak terbelalak.
“Li Sian…
engkau Li Sian...,“ kata laki-laki itu yang bukan lain adalah Pouw Ciang Hin,
kakak sulung Pouw Li Sian.
Hanya dialah
seorang di antara keluarga Pouw-taijin yang selamat serta diampuni, dan bahkan
kemudian masuk menjadi tentara. Mengingat bahwa dia adalah putera seorang
pejabat tinggi, juga karena kecakapannya, dia pun sekarang menjadi seorang
perwira yang ditugaskan dalam pasukan yang berjaga di perbatasan.
“Kakak Pouw
Ciang Hin...“ Li Sian juga berkata lirih.
Keduanya
merasa agak kikuk karena selain di situ terdapat orang lain, juga karena telah
lama sekali mereka saling berpisah, bahkan menyangka bahwa masing-masing sudah
meninggal dunia. Akan tetapi sekali berjumpa, mereka saling mengenal, biar pun
ketika mereka berpisah, Li Sian baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.
Melihat
sikap kakak beradik itu, Siangkoan Liong tersenyum dan berkata kepada pria yang
tadi menemani Pouw Ciang Hin memasuki ruangan itu, “Ciu-suheng, mari kita
keluar dan biarlah kakak beradik yang berbahagia ini bercakap-cakap. Sian-moi,
biarlah kami pergi dulu, dan Pouw-ciangkun, selamat bertemu dengan adikmu.”
Setelah berkata
demikian, dengan sikap hormat Siangkoan Liong lalu menjura kepada mereka
berdua, kemudian dia keluar meninggalkan ruangan itu bersama suheng-nya yang
sejak tadi diam saja.
Suheng-nya
itu juga adalah tangan kanan Siangkoan Lohan, murid utama yang terkenal dengan
julukannya Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Tiat-liong-pang). Memang ia
sangat berbakat memainkan pedang sehingga bukan hanya mampu menguasai dengan
baik ilmu pedang dari gurunya, bahkan sudah dapat melampaui gurunya dalam hal
ilmu pedang. Oleh karena kelihaiannya dalam berolah pedang, maka di
Tiat-liong-pang dia terkenal sebagai Kiam-eng (Pendekar Pedang)!
Setelah dua
orang itu pergi, kakak beradik itu kembali saling pandang dan kini, semua
perasaan yang tadi ditahan-tahan, seperti air bah menjebol bendungan.
“Koko...!”
Li Sian berseru sambil berlari, disambut oleh kakaknya yang mengembangkan kedua
lengannya.
“Siauwmoi...!”
Kedua orang
kakak beradik itu saling peluk dan bertangisan sampai beberapa lamanya, tak
mampu mengeluarkan kata-kata sebab keduanya merasa terharu sekali. Teringatlah
oleh mereka semua kenangan lama, tentang kehancuran keluarga mereka, dan bahwa
hanya mereka berdualah yang tersisa hidup.
Akhirnya Li
Sian yang sudah lama digembleng oleh mendiang Bu Beng Lokai mampu lebih dulu
menguasai dirinya. Dengan lembut ia melepaskan diri dari pelukan kakaknya, lalu
berkata halus.
“Koko, mari
kita duduk dan bicara dengan tenang.” Ia pun duduk sambil menyediakan sebuah
kursi lain untuk kakaknya, diletakkan di depannya, terhalang sebuah meja.
Pouw Ciang
Hin dapat pula menenangkan dirinya setelah melihat sikap adiknya sudah pulih
dan tenang kembali. Dia menggunakan punggung tangan untuk menghapus sisa air
matanya, lalu keduanya duduk sambil berpandangan.
“Adikku,
engkau sekarang sudah menjadi seorang gadis dewasa! Ahhh, sungguh tidak
kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini! Ke manakah saja engkau selama
ini, adikku? Dan bagaimana dapat lolos dari serbuan pasukan yang membasmi
keluarga kita itu?”
Li Sian lalu
menceritakan pengalamannya, betapa ia diselamatkan oleh mendiang Bu Beng Lokai
dan dijadikan muridnya, dan betapa selama ini ia ikut bersama gurunya ke puncak
Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Kemudian, setelah turun gunung dia
melakukan penyelidikan ke kota raja tentang keluarganya dan dia kemudian
mendengar bahwa semua anggota keluarganya telah habis kecuali kakak sulungnya
yang menjadi perwira dan bertugas di perbatasan utara.
“Aku lalu
ingin mencarimu, Koko, dan aku teringat bahwa Tiat-liong-pang yang diketuai
oleh paman Siangkoan Tek adalah sahabat mendiang ayah, maka aku lalu
mengunjungi Tiat-liong-pang dan berkat bantuan Liong-toako dan anak buahnya, akhirnya
malam ini kita dapat saling berjumpa. Dan bagaimana dengan engkau sendiri,
Koko?”
“Tidak
banyak hal lain di luar yang telah kau dengar, adikku. Tadinya aku pun
ditangkap dan dipenjara karena fitnah setelah seluruh keluarga kita dibasmi.
Akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang setia, yang memintakan ampun,
akhirnya Sri Baginda berkenan mengampuniku, bahkan untuk membuktikan darma
baktiku kepada kerajaan aku dianjurkan untuk masuk menjadi tentara. Nah, aku
masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang
penting adalah...” Perwira itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin
bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun melanjutkan, suaranya
direndahkan sehingga terdengar lirih, “... adalah kehadiranmu di sini, adikku.”
“Kehadiranku
di sini? Kenapa, Koko?” tanya gadis itu heran.
“Ah,
mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada
di antara para pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan
para pemberontak, adikku.”
Li Sian
mengerutkan alis. Ia memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu
terdengar suaranya penuh kesungguhan. “Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau
dapat mengatakan Tiat-liong-pang pemberontak? Keluarga Siangkoan semenjak
dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga menjadi sahabat baik ayah kita.
Dan kalau Tiat-liong-pang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti
hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!”
“Siauwmoi...!”
“Nanti dulu,
Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu
dan saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar!
Oleh karena itu, aku telah mengambil keputusan membantu perjuangan
Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk membalas atas kematian
keluarga kita...”
“Moi-moi!
Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa
pergi oleh gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada
waktu itu...“
Pada saat
itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan. Melihat bahwa yang masuk adalah
Siangkoan Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya.
Siangkoan
Liong tersenyum gembira dan ramah. “Ahh, sungguh aku merasa menyesal sekali
harus menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan
tetapi, masih terdapat banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk
bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku mengganggu kalian karena
baru saja aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun sekarang
juga.”
Pouw Ciang
Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut.
“Keperluan apakah itu, Kongcu?”
Siangkoan
Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan
itu kepada Pouw Ciang Hin. “Ayah mohon bantuanmu supaya surat yang sangat
penting ini disampaikan kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat
disampaikan sekarang juga karena amat penting.”
Pouw Ciang
Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang
peristiwa yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa
keraguan akan mendatangkan bencana, dia pun lalu mengangguk.
“Baiklah,
akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah
selama satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan
bermalam satu malam di sini sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bisa
bercakap-cakap.”
“Baiklah,
Koko,” kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi
meninggalkan ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong
untuk pergi ke kamarnya.
Di dalam
kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya.
Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk
meragukan perjuangan Tiat-liong-pang yang diketuai seorang sahabat ayahnya.
Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan. Buktinya, empat
orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam
penjara. Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah
kekuasaan kaisar yang lalim?
Katakanlah
keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah jika sampai
menjatuhkan hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya sama sekali tidak
bersalah. Ayahnya seorang menteri yang baik, jujur dan bijaksana! Betapa pun
juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung lagi dan melanjutkan
keterangannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.
Memang Pouw
Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita
mengenai hal itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang
sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu.
Di dalam
kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai
Menteri Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa
Hou Seng, seorang thaikam yang amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan
besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi kaisar dan kekuasaannya
digunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela
perbuatan Hou Seng di depan kaisar.
Hal ini
tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu
memerintahkan seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya.
Untung pada saat itu Bu Beng Lokai sedang menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai
yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat yang kemudian melarikan
diri.
Akan tetapi,
Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan
fitnah bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera
Pouw Tong Ki ditangkap dengan tuduhan memberontak, serta rumah keluarga Pouw
disita! Demikianlah keadaan yang tadinya hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin
kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan Siangkoan Liong.
Dan Li Sian
menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir,
pagi-pagi sekali Siangkoan Liong sudah menemuinya dan dengan muka serius pemuda
itu berkata,
“Sian-moi,
telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!”
Tentu saja
Li Sian terkejut bukan main. “Apa yang telah terjadi dengan kakakku?”
“Dia dibunuh
orang...“
“Ahhhh!”
Betapa pun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah
pucat. “Siapa yang membunuhnya dan mengapa?” tanyanya dengan suara membentak,
hatinya penuh duka dan kemarahan.
“Tenanglah,
Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku
sudah memesan anak buahku supaya keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang
bersamaku.”
Mendengar
ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti
Siangkoan Liong yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan
Tiat-liong-pang. Sambil berlari, Siangkoan Liong berkata,
“Agaknya
kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janjinya
denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan
dia tewas bersama seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya.”
Setelah
mereka memasuki hutan, Li Sian langsung dapat melihat beberapa orang anak buah
Tiat-liong-pang berjaga, dan di tengah hutan, dia melihat belasan orang anggota
perkumpulan itu berdiri melingkari dua sosok orang yang menggeletak di atas
rumput. Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw Ciang Hin, dan orang
yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya
setengah tua.
Ketika telah
mendekat, ia melihat bahwa di antara anggota Tiat-liong-pang terdapat pula
Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil
ketua Pat-kwa-pai, yaitu tiga orang yang sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh
sakti yang ikut membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga ia bisa
melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi berada di situ, sekali ini tanpa
suaminya.
Akan tetapi,
Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena dia sudah lari
dan berlutut di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya sudah tewas, tidak dapat
diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri. Dan orang ke dua yang berpakaian
perwira itu pun tewas, juga mandi darah.
“Siapakah
orang ini?” Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk
kepada perwira asing yang tangannya masih memegang sebatang golok besar,
sedangkan di dekat tangan kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan
darah.
“Kami tidak
tahu,” berkata Siangkoan Liong. “Dia tidak berada di dalam pasukan Coa
Tai-ciangkun yang semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira
pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia memaksa kakakmu untuk mengkhianati
komandan pasukannya, mungkin juga memaksanya untuk menjadi mata-mata kerajaan.
Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas.”
Mendengar
penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat dia akan semua ucapan
kakaknya yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan. Apakah
kakaknya sudah mulai tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan?
Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya mungkin sadar dan hal ini membuat
dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh?
Dia mengepal
tinju dan di dalam hatinya dia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban
keganasan tentara kerajaan kaisar lalim! Satu-satunya anggota keluarganya yang
tersisa dari pembasmian tentara kerajaan, kini sudah dibunuh pula.
“Aku
bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!” katanya sambil bangkit
berdiri, mengusap beberapa butir air matanya.
Mereka
kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Jenazah Pouw-ciangkun dipanggul,
sedangkan jenazah perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah
hutan itu juga. Pada keesokan harinya, jenazah Pouw Ciang Hin dimakamkan dengan
dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, dengan satu upacara
kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari pasukan Coa Tai-ciangkun turut
pula hadir dan memberi penghormatan.
Li Sian
merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari
kakak sulungnya, satu-satunya keluarganya yang masih ada di dunia ini, dan
berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan tetapi, semua hanya untuk diakhiri
dengan kedukaan. Pertemuan singkat, bahkan mereka belum lagi sempat
bercakap-cakap secara panjang lebar. Lebih dari itu malah, agaknya terjadi
ketidak sesuaian paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan kini ia
tidak sempat lagi bicara karena kakaknya dibunuh orang.
Sejak
kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan
semua orang. Ia merasa lelah sekali, lelah lahir batin. Setelah jenazah itu
dimakamkan, dia duduk terkulai di depan makam. Semua orang sudah pergi
meninggalkan kuburan kakaknya, kecuali dia sendiri dan Siangkoan Liong yang
selalu menemaninya dengan penuh perhatian dan mencoba untuk menghiburnya.
Melihat
gadis itu masih bersimpuh dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut
di samping Li Sian. Dengan lembut sekali tangannya menyentuh pundak gadis itu
dan terdengar suaranya halus menggetar penuh perasaan iba, “Sian-moi...
sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal itu
sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau
harus menjaga kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan
hanya menangis saja.”
Li Sian
menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena
kebanyakan menangis. “Akan tetapi, Liong-ko, dia... dia ini adalah satu-satunya
orang di dunia ini yang kumiliki... satu-satunya keluargaku...“
“Aihhh,
harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah
menerimamu dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku
ini, Sian-moi. Sampai sekarang aku masih ada di sampingmu, dan aku akan
melindungimu terus, menemanimu, menjadi pengganti seluruh keluargamu, karena
aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita
berjumpa, aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku...“
Dalam
keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra
dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap
wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih, “Liong-ko...“
Ketika
pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda
itu sambil menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian,
tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik dari pada Siangkoan Liong. Karena
hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu,
maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap
air mata dari pipinya. Bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup
bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan dia menemukan perasaan bahagia yang
mendalam di antara kedukaannya.
“Sian-moi,
aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi
isteriku, Sian-moi?” tanya Siangkoan Liong dengan suara halus dan lirih sekali
sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu.
Li Sian
kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab. Memang sukar baginya di saat
itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih
bersandar pada dada pemuda itu.
Mereka masih
duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw
Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian penuh kasih sayang Siangkoan Liong
perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat
memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannya. Dengan lembut dia lalu menarik diri
terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan
kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.
“Ahhh,
Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Kita bersenang-senang di depan makam
kakakku yang masih baru...!” katanya agak menyesal.
“Sian-moi,
kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya
mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan.
Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”
Mereka
bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu dia
menjura sebagai penghormatan terakhir sambil berkata, “Koko, tenangkanlah
hatimu. Adikmu ini yang akan membalaskan kematianmu dengan menentang pasukan
kerajaan, menentang kaisar yang lalim...!”
“Bagus...
bagus...!” Terdengar suara yang dalam dan lantang.
Li Sian dan
Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang mendadak
muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.
“Paman
Siangkoan...!” Li Sian memberi hormat.
“Bagus, Li
Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah
yang lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu sudah membasmi keluargamu,
sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini
membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu,
aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”
“Ayah, masih
ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan
persetujuan dan keputusan Ayah.”
“Hemmm,
berita apakah itu, Liong-ji (anak Liong)?”
“Ayah, baru
saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah
menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon
persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”
Siangkoan
Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu.
“Ha-ha-ha-ha!
Bagus, bagus sekali! Sungguh-sungguh merupakan berita yang sangat membahagiakan
hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali. Biarlah nanti jika sudah habis
perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”
Siangkoan
Liong cepat berkata, “Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian.
“Mari, kita pulang dan makan.”
Mereka
berdua kemudian pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan
Lohan yang tersenyum lebar......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment