Tuesday, June 26, 2018

Cerita Silat Serial Kisah Si Bangau Putih Jilid 07



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
     Serial Kisah Si Bangau Putih
               Jilid 07


Sementara itu, Suma Lian yang berada di dalam sumur, berhasil melompat turun dan hinggap di atas dua ujung tombak dengan kedua kakinya. Akan tetapi pada waktu dia memandang ke atas, ternyata lubang sumur itu terlalu tinggi baginya. Tidak mungkin melompat ke atas dengan hanya menekankan kedua kaki pada ujung tombak yang runcing dan lentur! Kalau tombak itu patah, ia malah akan celaka, dan kalau sampai loncatannya tidak sampai ke atas sumur, ia akan jatuh lagi dan hal itu lebih berbahaya lagi!

Gadis ini cerdik. Ia mengukur lebar sumur. Tidak begitu lebar. Ketika ia berdiri di tengah dan mengembangkan kedua lengannya, maka kedua lengannya itu lebih panjang dari pada lebarnya sumur. Ia lalu mencoba untuk menusukkan tangannya dengan jari-jari terbuka pada dinding sumur.

“Ceppp!”

Tangan yang terlatih itu, bagaikan tombak saja menancap di dinding sumur padas itu sampai ke pergelangan tangannya! Ia lalu mencoba untuk mencengkeram dan dengan mudah jari-jari tangannya dapat mencengkeram. Ahh, ia menemukan akal untuk dapat mendaki naik, pikirnya.

Diselipkannya suling emas di pinggangnya, kemudian mulailah dicengkeramnya dinding sumur di kanan kiri dengan kedua tangannya dan mulailah ia mendaki. Kedua kakinya terpentang dan membantu dua tangannya, menginjak pada bekas cengkeraman tangan dan dengan cepat dia mendaki naik. Sebentar saja ia sudah melompat naik keluar dari dalam sumur, tepat pada saat Sin Hong merobohkan enam orang pengeroyoknya.

Sin-kiam Mo-li yang terkejut melihat kehebatan Sin Hong merobohkan enam orang anak buahnya, menjadi semakin kaget melihat munculnya Suma Lian dari dalam sumur. Sin Hong sendiri tadi tidak melihat gadis itu terjebak ke dalam sumur. Ia hanya mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li yang hendak membunuh seseorang di dalam sumur dengan cara menggelindingkan batu besar, maka dia cepat turun tangan mendorong pergi batu itu. Kini, melihat munculnya seorang gadis dari dalam sumur, dia juga terkejut dan kagum bukan main.

Gadis itu demikian cantik. Mukanya yang sebagian terkena lumpur, coreng-moreng tidak menyembunyikan kecantikannya. Matanya demikian bening, tajam dan kocak, mulutnya demikian manisnya dan tersenyum mengejek ketika ia memandang kepada Sin-kiam Mo-li.

Suma Lian menoleh kepada Sin Hong. Ia tak mengenal pemuda ini, akan tetapi melihat betapa pemuda itu tadi dikeroyok oleh enam orang berpakaian merah, ia bisa menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan sahabat atau pembantu Sin-kiam Mo-li. Ketika dia memandang kepada Bi-kwi yang tadi mencoba untuk memperingatkannya pada saat ia hampir terjeblos ke dalam sumur, ia melihat wanita itu nampak diam saja, tidak berdaya.

“Sin-kiam Mo-li, engkau sungguh-sungguh seorang iblis betina yang tidak tahu malu, mengandalkan pengeroyokan dan mengandalkan jebakan keji. Sungguh, tidak mungkin lagi engkau dibiarkan hidup di dunia ini!” bentak Suma Lian dan ia sudah mengeluarkan suling emasnya, tidak peduli bahwa kedua tangannya kotor karena lumpur.

“Ucapan Nona ini memang tepat. Engkau terlampau jahat, Sin-kiam Mo-li, dan terpaksa pula aku harus berusaha membasmimu, demi keamanan hidup orang-orang lain!” kata Sin Hong, diam-diam dia kagum dan kaget melihat gadis itu memegang sebatang suling emas.

Melihat sikap kedua orang muda itu dan mendengar ancaman mereka, mau tidak mau Sin-kiam Mo-li merasa takut. Ia memandang kepada Tan Sin Hong dengan mata penuh kebencian.

“Huh, engkau lagi yang merusak semua rencanaku!” Ia lalu berseru kepada Ciong Siu Kwi. “Bi-kwi, hayo cepat usir mereka berdua itu, atau suami dan puteramu akan kusuruh bunuh sekarang juga!”

Ia hendak mempergunakan Bi-kwi sebagai perisai karena ia maklum bahwa kalau Suma Lian dan Tan Sin Hong maju bersama, biar ia dibantu oleh Liok Cit, Bi-kwi dan puluhan orang Ang-i Mo-pang juga tak akan ada gunanya. Suma Lian sudah demikian hebatnya, dan ia tahu bahwa Tan Sin Hong lebih lihai lagi!

Bi-kwi juga maklum bahwa di antara mereka semua, ialah yang paling terjepit. Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya agaknya takut menghadapi pemuda yang baru datang ini, akan tetapi bagaimana pun juga, iblis betina itu masih dapat membela diri mati-matian dan ia pun tahu betapa lihainya iblis betina itu. Akan tetapi ia sendiri?

Ia merasa seakan-akan kaki tangannya dibelenggu. Dengan disanderanya suami dan puteranya, ia tidak mampu berbuat apa pun kecuali mentaati perintah Sin-kiam Mo-li. Melihat Suma Lian dan pemuda yang baru muncul ini, ia pun maklum bahwa keduanya tentulah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, bahkan Suma Lian sudah tahu siapa dirinya.

Maka ia mempunyai suatu gagasan yang baik sekali. Kenyataannya bahwa Sin-kiam Mo-li takut terhadap pemuda dan gadis itu harus dimanfaatkannya sebaik mungkin.

“Mo-li, aku yakin bahwa nona Suma Lian dan juga Taihiap (Pendekar Besar) yang tidak kukenal ini akan suka memenuhi permintaanku, akan tetapi aku baru mau melakukan perintahmu kalau engkau suka membebaskan puteraku.”

Sin-kiam Mo-li mengerutkan alis, kemudian tersenyum mengejek. “Bi-kwi, engkau tidak berada dalam keadaan untuk memaksaku. Engkaulah yang harus mentaati perintahku, dan engkau sama sekali tidak boleh menuntut sesuatu dariku. Ingat, sekali aku memberi isyarat, suami dan puteramu akan mampus.”

“Apa boleh buat, Mo-li. Kalau engkau membunuh mereka, aku akan membantu Taihiap ini dan Suma-lihiap untuk membasmi engkau dan anak buahmu ini tidak seorang pun akan kuberi ampun. Orang-orang bekas anggota Ang-i Mo-pang ini mengenal siapa aku dan aku tidak biasa menjilat kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan! Engkau boleh pilih. Membebaskan puteraku, dan aku akan membantu perjuangan yang kau sebutkan itu, dengan suamiku menjadi sandera. Atau, engkau boleh membunuh mereka, akan tetapi engkau sendiri dan juga semua anak buahmu ini akan mati semua di tangan kami bertiga!”

Sin Hong yang mendengarkan percakapan itu menjadi bingung karena ia memang tidak tahu apa yang sedang terjadi dan siapa pula wanita yang disebut Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li itu. “Apakah artinya semua ini? Aku tidak ingin mencampuri urusan antara kalian berdua dan...“

“Diamlah engkau!” Suma Lian membentak Sin Hong dengan suara nyaring sehingga Sin Hong tersentak kaget, tidak mengira bahwa gadis itu sedemikian galaknya terhadap dia yang sama sekali tidak saling mengenal. “Jangan turut campur dan diamlah saja karena engkau tidak tahu urusannya!”

Sin Hong tersenyum. Dia hanya mengangguk, lalu berdiri sambil bersedakap, saling bertumpang lengan di atas dadanya seolah-olah dia hendak memperlihatkan bahwa dia tidak akan mencampuri urusan mereka dan hanya mendengarkan saja.

Sin-kiam Mo-li mempertimbangkan ucapan Bi-kwi tadi. Diam-diam ia pun dapat mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Bi-kwi memang benar. “Engkau berjanji bahwa kalau aku membebaskan puteramu, engkau akan ikut bersama kami dan suamimu menjadi sandera, dan engkau berjanji membantu perjuangan kami?” tanyanya kepada Bi-kwi.

“Aku berjanji!” jawab Bi-kwi dengan tegas.

Sin-kiam Mo-li merasa lega. Ia mengenal kekerasan hati Bi-kwi dan tahu pula bahwa wanita itu, sesudah kini meninggalkan dunia kang-ouw, lebih lagi menjaga kehormatan dan pasti tidak akan mau melanggar janjinya.

“Baiklah, engkau sudah berjanji dan didengarkan, disaksikan oleh semua orang yang berada di sini!”

Sin-kiam Mo-li kemudian memerintahkan Liok Cit untuk mengambil anak itu dari dalam pondok. Liok Cit lalu pergi memasuki pondok dan tak lama kemudian dia keluar sambil menggandeng tangan Yo Han. Setelah dilepaskan, Yo Han lari kepada ibunya.

“Ibu, kata ayah, Ibu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ibu, selamatkan ayah dari tangan mereka yang jahat ini!” kata Yo Han.

“Tenanglah, anakku. Han-ji, sekarang engkau harus mendengarkan kata-kata Ibu dan mentaatinya, mengerti? Nah, mulai sekarang, engkau ikutlah pergi dengan enci Suma Lian itu.”

“Tapi, ibu dan ayah...”

“Jangan membantah lagi. Pergilah bersama enci Suma Lian. Ia adalah pendekar wanita perkasa yang tentu akan mau mengatur dirimu, dan engkau taatilah dia, turut saja ke mana engkau dibawa pergi dan apa yang selanjutnya dia atur mengenai dirimu. Nona Suma, sudikah Nona menolong anak kami Yo Han ini, mengajaknya pergi dari sini?”

Suma Lian mengerutkan alisnya. Dia maklum akan maksud Ciong Siu Kwi. Agaknya wanita itu hendak mengorbankan dirinya dan suaminya demi keselamatan anak mereka.
“Bibi, tidakkah lebih baik kalau kita hancurkan saja iblis betina ini dan kawan-kawannya.”

“Tidak! Harap jangan lakukan ini. Mereka akan membunuh suamiku, dan dan aku sudah mengeluarkan janji. Kalau kalian berdua melakukan itu, terpaksa aku akan membelanya dan akan melawanmu sampai mati! Tidak, aku mohon kepadamu, nona Suma Lian, bawalah anakku Yo Han dan terserah kepadamu akan kau berikan kepada siapa anak kami itu. Budimu tidak akan kami lupakan, Nona, dan kalau Tuhan menghendaki, kelak tentu kami akan dapat bertemu kembali dengan dia. Nah, bawalah dia pergi, Nona.”

Suma Lian menarik napas panjang. Ia merasa menyesal sekali jika harus melepaskan Sin-kiam Mo-li. Akan tetapi, demi keselamatan keluarga Yo, ia tidak mempunyai pilihan. “Marilah, Yo Han, marilah ikut dengan aku!” katanya sambil mengulurkan tangan. Akan tetapi Yo Han menarik diri dan memegang tangan ibunya.

“Tidak, aku tidak mau meninggalkan ibu dan ayah!” katanya.

“Yo Han, jangan engkau membantah lagi. Kalau engkau tidak mau, maka ayah, ibu, dan engkau akan mati semua, dibunuh oleh orang-orang ini!” kata Ciong Siu Kwi.

“Aku tidak peduli! Biar pun mereka membunuh kita, aku tidak takut Ibu, asal bersama dengan ayah dan ibu!” bantah pula Yo Han.

“Yo Han, anakku. Kalau engkau pergi ikut dengan enci Suma Lian ini maka ayah dan ibumu tidak akan dibunuh dan kelak kita akan berjumpa lagi,” bujuk Ciong Siu Kwi.

“Tapi, Ibu. Tadi ayah menceritakan semua. Katanya Ibu lihai dan dia menyesal kenapa tidak membolehkan aku belajar silat dari Ibu, agar aku dapat menentang dan melawan orang-orang jahat.”

“Han-ji, anakku. Kepandaian enci Suma dan Paman itu jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian ibumu. Kalau engkau ikut dengan enci Suma Lian, maka dia tentu akan mampu mencarikan guru yang jauh lebih lihai dari pada ibumu. Pergilah dan jangan membantah lagi, anakku.”

Sejak tadi Sin Hong mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa kagum sekali kepada anak laki-laki itu. Sekarang, setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, ia mulai mengerti. Kiranya wanita yang cantik dan berpakaian seperti seorang petani wanita itu telah dibikin tidak berdaya oleh Sin-kiam Mo-li karena suaminya dan puteranya disandera oleh iblis betina itu. Memang, jalan satu-satunya agar supaya bisa menyelamatkan suami isteri itu hanyalah membiarkan anak itu dibawa pergi.

Pada saat dia mendengar disebutnya nama gadis itu oleh ibu anak itu, dia pun terkejut setengah mati. Dia memang belum mengenal nama itu, akan tetapi nama keluarga itu! Suma! Siapa lagi yang memakai nama keluarga itu kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es yang nama keluarganya juga Suma? Dia sudah banyak mendengar kehebatan ilmu kehebatan keluarga Pulau Es seperti yang sudah sering diceritakan oleh tiga orang gurunya!

Kini, melihat kebandelan Yo Han yang ingin hidup atau mati bersama ayah ibunya, dia pun lalu ikut bicara. “Seorang anak yang ingin menjadi seorang calon pendekar, lebih dulu harus menjadi seorang anak berbakti yang mentaati semua perintah orang tuanya, terutama ibunya!”

Mendengar ucapan laki-laki itu, Yo Han menoleh dan menghadapi Sin Hong. Sepasang matanya yang kecil namun amat tajam itu mengamati Sin Hong dari kepala sampai ke kaki, kemudian terdengar suaranya lantang.

“Paman, kata ibu Paman memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari ibu, dan Paman tadi menasehati aku bagaimana sikap seorang calon pendekar! Kalau Paman sudah dapat menasehati orang, tentu seorang pendekar. Apakah Paman seorang pendekar?”

Ditanya demikian oleh seorang anak kecil, Sin Hong agak tersipu-sipu, akan tetapi dia mengangguk sambil tersenyum. “Hemmm, begitulah...“

“Kalau Paman seorang pendekar, tentu berani menentang iblis betina ini! Lawanlah dia, Paman agar aku percaya akan semua omonganmu!” kata Yo Han sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin-kiam Mo-li.

Sin Hong menoleh ke arah iblis betina itu, dan wajah Sin-kiam Mo-li menjadi agak pucat. Ia sudah merasakan kelihaian pemuda itu. Ia dibantu oleh Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek saja masih belum mampu mengalahkan Tan Sin Hong, apa lagi kalau ia harus maju seorang diri.

Sin Hong berkata kepada anak itu sambil tersenyum, “Kalau ia berani, boleh saja.”

Suma Lian yang semenjak tadi melihat dan mendengar, merasa agak mendongkol juga. Dianggapnya pemuda yang berpakaian serba putih dan sikapnya lembut sederhana itu terlalu sombong dan bicara besar. Ia sendiri tahu bahwa Sin-kiam Mo-li adalah seorang wanita yang sakti dan tidak boleh dipandang ringan, akan tetapi pemuda ini tadi berani mengejek, mengatakan apakah wanita itu berani kepadanya!

Bukan hanya Suma Lian yang merasa penasaran, akan tetapi terutama sekali Liok Cit, Si Iblis Terbang Tangan Beracun itu. Sikap dan ucapan pemuda itu dianggapnya terlalu menghina wanita yang amat dikaguminya, dan dengan adanya Sin-kiam Mo-li, juga anak buah Ang-i Mo-pang, bahkan kini dibantu Bi-kwi yang sudah dapat ditundukkan dengan disanderanya suami wanita itu, hatinya menjadi besar dan dengan gerakan ringan sekali, tubuhnya yang kurus itu sudah melayang ke depan Sin Hong.

Pria berusia tiga puluh tahun yang pakaiannya serba hijau ini, dengan tubuh kurus bagai pemadatan, berwajah tampan akan tetapi semua giginya menghitam, lantas mendorong capingnya yang lebar ke belakang sehingga kini wajahnya nampak semua. Dengan hati penasaran dia ingin mempermainkan pemuda yang sederhana itu.

Walau pun dia tadi telah melihat betapa pemuda ini mendorong batu besar yang nyaris menggelinding ke dalam sumur, dia tidak merasa gentar. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sebagai murid pertama dari Pek-lian-kauw, tentu saja dia sudah memiliki ilmu sihir yang lumayan. Kalau hanya untuk menyihir dan menundukkan wanita cantik untuk dikuasainya saja, dia sudah mahir!

“Hei, orang muda, lihat aku adalah ayahmu. Engkau harus tunduk dan taat kepadaku. Berlututlah engkau!” Dia lalu membuat gerakan dengan kedua tangannya dengan gaya orang menyihir.

Akan tetapi, Sin Hong adalah murid tiga orang sakti yang sudah mempunyai tenaga gabungan ketiga orang itu. Hawa sakti di tubuhnya sudah sangat kuat. Apa lagi hanya kekuatan sihir yang dimiliki seorang seperti Liok Cit, bahkan Sin-kiam Mo-li sendiri tidak mampu menguasai pemuda ini dengan sihirnya pada waktu Sin Hong belum menguasai sepenuhnya Ilmu Pek-ho Sin-kun.

Maka, menghadapi serangan ilmu sihir yang masih amat lemah ini, dia hanya berdiri saja sambil tersenyum, lalu berkata, “Apakah engkau sudah menjadi gila?”

Mata Liok Cit terbelalak. Dia mencoba untuk memperkuat ilmu sihirnya sampai mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh-uh dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, namun tetap saja Sin Hong hanya memandang sambil tersenyum geli.

Kini marahlah Liok Cit. Dia adalah murid kepala Pek-lian-kauw, ilmu sihirnya telah amat kuat menurut anggapannya sendiri, dan kini dia dibikin malu di depan para anggota Ang-i Mo-pang oleh seorang pemuda tak terkenal. Dalam kemarahannya, dia mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, pedangnya menusuk ke arah dada Sin Hong!

Gerakan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit ini amat cepat dan kuat, karena memang tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi. Namun, tidak terlalu tinggi bagi Sin Hong. Melihat tusukan pedang itu sekilas saja, Sin Hong tahu apa yang harus dia lakukan. Tubuhnya miring ke kanan sehingga pedang lewat depan dadanya, lalu tangan kanan mengetuk sambungan siku, tangan kiri menampar pundak dan kaki kirinya menyapu belakang lutut lawan.

Gerakan yang dilakukan Sin Hong itu sedemikian cepatnya, hampir berbareng dengan datangnya serangan Liok Cit, atau paling tidak sedetik berikutnya, dan dilakukan secara otomatis sehingga tak ada kesempatan sama sekali bagi Liok Cit untuk menghindarkan diri. Pedang yang dipegangnya lantas terlepas sebab lengan kanan yang ditekuk bagian sikunya itu seperti lumpuh, kakinya tertekuk dan tamparan pada pundak membuat dia terjungkal!

Masih untung baginya bahwa Sin Hong membatasi tenaganya. Kalau saja pemuda ini menyerang sungguh-sungguh, tentu dia langsung tewas seketika. Dengan penasaran Liok Cit mengambil pedangnya dan meloncat berdiri, siap untuk menyerang lagi, akan tetapi terdengar bentakan Sin-kiam Mo-li.

“Liok Cit, mundur kau!”

Wanita iblis ini maklum bahwa jangankan Liok Cit, bahkan ia sendiri pun dibantu oleh semua anak buahnya yang berada di situ, takkan mampu menandingi Sin Hong yang tentu akan dibantu oleh Suma Lian pula.

Sementara itu, Yo Han langsung bersorak gembira melihat kehebatan Sin Hong dan dia pun berkata, “Paman, aku akan ikut bersama Paman dan ingin menjadi murid Paman.” Setelah berkata demikian, dia lari mendekat dan memegang tangan Sin Hong. Melihat ini, legalah hati Bi-kwi yang tadinya khawatir kalau-kalau puteranya itu tetap tidak mau pergi.

“Taihiap, tolonglah, harap Taihiap sudi membawa puteraku ini. Kami suami isteri akan berterima kasih sekali,” kata Bi-kwi dengan suara memohon. Ia mengenal kekerasan hati puteranya, sekali pilihan puteranya dijatuhkan kepada pemuda itu, tentu dia tidak mau disuruh ikut orang lain.

Sin Hong memandang kepada Yo Han yang memegang tangannya dan dia tersenyum. Semenjak tadi dia memang sudah merasa suka sekali kepada Yo Han. Akan tetapi mempunyai murid? Dia masih terlalu muda, hidupnya sendiri masih berkelana dan dia masih memiliki banyak tugas, menyelidiki pembunuh ayahnya dan lain-lain. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa dalam keadaan terjepit seperti sekarang ini, ibu dari anak itu tidak berdaya dan dia harus menolongnya, maka dia pun mengangguk.

“Baiklah, harap jangan khawatir, Enci,” katanya.

Hampir saja Bi-kwi bersorak saking girang dan lega hatinya. “Terima kasih, Taihiap, dan harap suka memperkenalkan nama agar kami tidak akan melupakan Taihiap.”

Jarang Sin Hong memperkenalkan namanya, apa lagi nama tiga orang gurunya. Akan tetapi karena ia hendak membawa pergi anak orang, maka terpaksa ia berterus terang, “Namaku Tan Sin Hong, Enci. Mari Yo Han, mari kita pergi dari sini.”

Dia lalu menggandeng tangan anak itu dan pergi sambil melirik ke arah Suma Lian dan mengangguk sebagai tanda hormat.

“Ibu, selamat tinggal. Tolong sampaikan hormatku kepada ayah!” Yo Han berteriak pada ibunya sambil menoleh, lalu dia pun melanjutkan langkahnya di samping penolong yang kini menjadi gurunya. Bi-kwi memandang dengan kedua mata basah.

Suma Lian merasa serba salah. Ingin dia menerjang Sin-kiam Mo-li yang tadi hampir mencelakainya dengan jebakan. Akan tetapi bukan dia takut melakukan ini, melainkan karena ia tahu bahwa Bi-kwi tentu akan membantu iblis betina itu demi keselamatan suaminya yang menjadi sandera. Tidak, ia harus dapat mencari jalan lain, ia tidak ingin mengorbankan keselamatan wanita itu dan suami wanita itu yang tidak berdosa.

Sejak tadi ia menonton dan diam diam ia pun terkejut melihat betapa lihainya Sin Hong. Akan tetapi setelah Yo Han memilih pemuda itu untuk diikutinya, ia merasa mendongkol bukan main. Bukan karena ia terlalu senang kalau dititipi seorang anak laki-laki, akan tetapi ibu anak itu tadinya minta tolong kepadanya, ibu anak itu hendak menitipkan Yo Han kepadanya.

Akan tetapi pemuda bernama Tan Sin Hong itu seolah-olah menyainginya dan merebut Yo Han dari tangannya. Hal ini membuat hatinya penasaran bukan main. Seolah-olah pemuda itu membuat ia malu dan menurunkan harga dirinya di depan banyak orang!

Kini, Sin-kiam Mo-li, Liok Cit, juga Bi-kwi dan semua anak buah yang berpakaian serba merah itu menunggu apa yang akan dilakukannya dan mereka agaknya sudah bersiap siaga. Juga Bi-kwi memandang kepadanya dengan sinar mata memohon, sinar mata yang jelas mengharapkan supaya dia pergi saja dan tidak melanjutkan perkelahiannya melawan Sin-kiam Mo-li dan anak buahnya.

“Huhhh!” Suma Lian mengeluarkan dengus marah dan tanpa berkata sesuatu, dia pun membalikkan tubuhnya. Dengan beberapa loncatan saja bayangannya lenyap di antara pohon-pohon.

“Bukan main...!” Bi-kwi menarik napas panjang memuji. “Orang-orang muda sekarang sungguh amat hebat, demikian muda telah memiliki ilmu silat yang begitu hebat. Ahhh, kita seperti katak dalam tempurung..., ketinggalan jauh...“

Sin-kiam Mo-li merasa diejek dan diremehkan. Ia cemberut dan menjawab seperti orang bersungut, “Tentu saja, gadis itu cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan pemuda itu murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya...“

“Ohhh...!”

Wajah Bi-kwi berseri dan matanya bersinar-sinar. Ia sudah dapat menduga bahwa gadis yang bernama Suma Lian itu tentu keturunan Pendekar Pulau Es, akan tetapi yang membuat ia merasa amat gembira adalah ketika mendengar tentang pemuda yang kini menjadi guru puteranya itu. Murid suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir! Bukan main! Tentu saja hatinya girang mendengar bahwa puteranya menjadi murid seorang muda yang sakti. Pantas pemuda itu sedemikian lihainya!

Melihat kegembiraan di wajah Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li merasa semakin mendongkol. Dia sendiri amat membenci pemuda murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu. Teringat ia betapa kurang lebih dua tahun yang lalu, ia dan enam belas orang lainnya, sebagian dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Mereka berhasil menewaskan tiga orang tua penghuni istana itu, akan tetapi di pihaknya sendiri, empat belas orang tewas sedangkan sisanya, yaitu ia sendiri, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, terluka cukup parah!

Dan kini muncul murid mereka yang sangat lihai! Ia merasa menyesal sekali mengapa dahulu dia tidak membunuh saja pemuda itu, bahkan usahanya untuk ‘memperkosa’ pemuda itu pun gagal!

“Sudahlah, Bi-kwi. Mari kita pergi. Yang penting, mulai sekarang engkau harus mentaati semua perintah dari pimpinan kami, membantu gerakan kami berjuang dan berusaha menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu.”

Bi-kwi mengangguk dan sambil tersenyum dia mengikuti rombongan Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat itu. Ia melihat betapa suaminya terdapat pula dalam rombongan itu, bahkan tidak dibelenggu dan ia pun diperbolehkan berjalan dekat suaminya. Tanpa berkata-kata, mereka saling berpegang tangan dan berjalan.

Sin-kiam Mo-li berjalan di belakang mereka siap dengan senjatanya untuk mencegah kalau-kalau Bi-kwi berusaha melarikan suaminya. Namun, Bi-kwi tidaklah sebodoh itu. Ia tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li, apa lagi ditambah dengan banyak anak buahnya. Ia takkan mampu melarikan suaminya dengan jalan kekerasan. Kalau hal itu dicobanya, berarti ia hanya akan bunuh diri bersama suaminya.

Biar pun hatinya sudah merasa lega dan tenang karena putera mereka telah ikut pergi bersama Tan Sin Hong yang sakti, namun ia harus dapat mempertahankan dirinya dan suaminya dari kebinasaan. Dan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri mereka berdua hanyalah mentaati perintah Sin-kiam Mo-li untuk sementara waktu ini.

Tentu saja dia tidak mau percaya begitu saja bahwa seorang jahat dan keji semacam Sin-kiam Mo-li, mendadak bisa berubah menjadi seorang patriot! Tentu ada apa-apanya dalam pergerakan yang dimaksudkan Sin-kiam Mo-li itu. Maka, ia pun menjadi penurut. Wajahnya selalu cerah, apa lagi karena dia diberi kebebasan untuk berkumpul dengan suaminya, biar pun siang malam mereka berdua selalu dibawah pengawasan ketat.


                  ***************


Suma Lian merasa penasaran sekali. Ketika ia meninggalkan rombongan Sin-kiam Mo-li yang menawan Yo Jin dan memaksa Bi-kwi menjadi pembantunya, dia masih merasa penasaran bukan main.

Ia memang tidak begitu peduli akan keadaan Bi-kwi. Bukankah menurut cerita yang ia pernah dengar dari ayah ibunya, Bi-kwi memang dahulunya seorang tokoh sesat dan mungkin sejalan dengan Sin-kiam Mo-li? Kalau sekarang ia ‘kembali’ kepada golongan hitam, hal itu tiada anehnya walau pun hal itu masih meragukan melihat bahwa Bi-kwi memang dalam keadaan terjepit. Suaminya masih ditawan dan dijadikan sandera, maka terpaksalah wanita itu menyerah.

Betapa pun juga, ia percaya bahwa seorang wanita yang demikian cerdik dan banyak pengalaman seperti Bi-kwi, tentu akan mampu menjaga diri sendiri dan suaminya dan tidaklah perlu dikhawatirkan benar. Akan tetapi, yang membuat hatinya mendongkol adalah karena Yo Han oleh Bi-kwi diserahkan kepada pemuda yang mengaku bernama Tan Sin Hong itu!

Huh, tidak tahu diri, pikirnya dengan hati dan perut panas bukan main ketika ia berlari cepat meninggalkan hutan itu. Bukankah ia sendiri hampir saja tewas karena membela anak itu? Hampir saja ia mengorbankan nyawanya demi menolong Yo Han. Dan apa balasnya? Anak itu diserahkan orang lain yang datang belakangan, seolah-olah anak itu dan ibunya lebih percaya kepada Tan Sin Hong dari pada kepadanya! Bahkan anak itu sendiri pun memilih Sin Hong!

Memang itu hak mereka. Hanya ia mendongkol kepada pemuda itu yang dianggapnya menonjolkan diri dan menyainginya! Seolah-olah pemuda itu lebih lihai darinya, maka Yo Han memilih pemuda itu dari pada ia untuk menjadi gurunya! Bukan karena ia ingin sekali menjadi guru Yo Han! Ia pun tidak mau menjadi guru, karena kalau anak itu ikut dengannya, malah hanya akan menjadi beban saja. Ia seorang gadis muda, untuk apa mengambil murid? Andai kata Yo Han jadi dibawanya, paling-paling akan dititipkannya kepada keluarga lain, atau juga kepada ayah ibunya.

Makin panas rasa perutnya kalau ia teringat kepada Tan Sin Hong. Pemuda itu agaknya sengaja memamerkan kepandaiannya pada saat melawan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit! Huh, ia pun mampu merobohkan Liok Cit dalam sejurus saja! Apa anehnya kalau bisa mengalahkan si baju hijau itu? Dasar pemuda sombong! Tak sobek-sobek kowe!

Dengan pikiran yang makin menggerogoti hatinya dan membuat hati itu menjadi makin panas, Suma Lian mempercepat larinya untuk mengejar dan mencari Sin Hong yang tadi membawa pergi Yo Han!

Segala macam emosi datangnya dari pikiran! Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah pengalaman lampau, menonjolkan kepentingan diri sendiri, dan menciptakan gambaran si aku yang demikian agung dan tingginya sehingga kalau diganggu sedikit saja akan menimbulkan emosi dan perasaan marah, duka, takut dan sebagainya.

Pikiran yang hening dan kosong dari beban ingatan masa lalu dan bebas dari bayangan khayal masa depan, akan membuat kita menjadi waspada akan diri sendiri lahir batin, sekarang saat demi saat, waspada akan keadaan sekeliling kita, sehingga kita akan mampu menghayati hidup yang sesungguhnya, hidup yang seutuhnya!

Karena Sin Hong yang pergi sambil menggandeng tangan Yo Han berjalan biasa, tidak mempergunakan ilmu berlari cepat, tentu saja dia segera dapat disusul oleh Suma Lian. Pemuda itu berjalan seenaknya sambil mengobrol dengan Yo Han. Dia minta kepada anak itu untuk menceritakan keadaan keluarganya.

Tak banyak yang dapat diceritakan oleh Yo Han. Anak itu hanya tahu bahwa ayah dan ibunya adalah petani-petani yang hidup penuh damai dan tenteram, cukup makan dan pakaian. Dia sendiri sejak kecil hidup di dusun itu, bermain dengan anak-anak dusun lainnya. Hanya bedanya dengan anak-anak dusun, dia sejak kecil diberi pelajaran baca tulis oleh ibunya sehingga sekarang dia sudah pandai membaca dan menulis, bahkan membuat sajak.

“Engkau tidak pernah dilatih ilmu silat?” tanya Sin Hong yang merasa heran sekali.

Yo Han menggeleng kepala. “Jangankan dilatih ilmu silat, bahkan mengetahui bahwa ibu pandai ilmu silat pun baru saja tadi ketika ayah ditawan. Sebelum ini ayah dan ibu tidak pernah bicara tentang ilmu silat dan aku pun tidak pernah mimpi bahwa ibuku pandai ilmu silat.”

Diam-diam Sin Hong merasa heran akan tetapi juga kagum. Dia dapat menduga bahwa agaknya ayah ibu dari anak ini ingin menjauhkan anak mereka dari kehidupan kang-ouw yang serba keras dan penuh dengan permusuhan.

“Ibumu memang memiliki ilmu silat yang cukup hebat, akan tetapi apakah ayahmu tidak memiliki ilmu kepandaian silat pula yang tinggi?”

“Tidak, tidak. Ayah hanya seorang petani biasa. Pada waktu di dalam tahanan itu, ayah menceritakan semua padaku, Paman. Katanya bahwa ibu dahulu adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga di juluki Bi-kwi (Setan Cantik), sedangkan ayah hanyalah seorang petani biasa saja. Ketika ayah dan ibu menjadi suami isteri, ibu berjanji akan meninggalkan kehidupannya sebagai seorang ahli silat. Bahkan ayah pula yang melarang agar ibu tidak mengajarkan ilmu silat kepadaku. Akan tetapi setelah terjadi penculikan atas diriku, ayah merasa menyesal bahwa aku tidak diajar ilmu silat sehingga tidak mampu membela dan melindungi diri sendiri….”

Atas permintaan Sin Hong, Yo Han kemudian menceritakan bagaimana dia diculik dan dilarikan oleh Liok Cit. Betapa kemudian di tengah jalan dia dilarikan oleh karena Liok Cit dikejar-kejar oleh Suma Lian.

“Enci Suma Lian yang gagah perkasa itu hampir saja celaka karena membelaku. Betapa gagahnya enci Suma Lian. Untung kemudian muncul engkau, Paman. Dan aku merasa girang sekali bahwa Paman suka membawa aku pergi. Paman tentu akan melatih ilmu silat kepadaku, bukan? Aku suka sekali menjadi muridmu, Paman. Sebaiknya sekarang juga aku mengangkat Paman menjadi guruku.” Dan setelah berkata demikian, Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong sambil menyebut, “Suhu...!”

Sin Hong cepat memegang pundak Yo Han dan menariknya bangun. Wajahnya merah karena dia merasa rikuh sendiri menerima penghormatan sebagai seorang guru. Baru saja dia meninggalkan perguruannya dan kini sudah hendak diangkat menjadi guru. Dia canggung dan merasa belum saatnya menerima seorang menjadi muridnya. Hidupnya sendiri masih tidak menentu, bagaimana mungkin dia kini menerima beban baru berupa seorang murid?

“Nanti dulu, Yo Han. Jangan tergesa-gesa mengangkatku sebagai guru...“

“Akan tetapi, Suhu! Bukankah Suhu sudah menerima permintaan ibu? Dan teecu sudah mengambil keputusan meninggalkan ayah dan ibu, hanyalah karena teecu (murid) suka untuk menjadi murid Suhu!”

“Tadinya aku hanya ingin menyelamatkanmu dan kedua orang tuamu, maka kemudian aku mau menerimamu dan mengajakmu pergi, Yo Han. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda pengembara yang hidupnya pun belum menentu. Aku tidak memiliki tempat tinggal, tidak berkeluarga...”

“Teecu akan ikut Suhu, ke mana pun Suhu pergi, dan teecu tidak takut menghadapi hidup serba kurang dan sederhana. Teecu akan bekerja dan melakukan apa saja yang Suhu kehendaki...“ Yo Han berkata, nada suaranya khawatir kalau-kalau pemuda yang sakti itu tidak akan suka menjadi gurunya.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat disusul suara Suma Lian. “Bagus! Sudah berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab, ya?”

Sin Hong mengangkat mukanya dan gadis itu sudah berada di situ, berdiri tegak, kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan di pinggang, sepasang matanya memandang tajam.

“Orang she Tan! Jika engkau tidak suka menerima Yo Han ini menjadi muridmu, kenapa engkau tadi menjual lagak dan memamerkan kepandaian, lalu menerima permintaan ibu anak ini?”

Sin Hong tertegun. “Nona Suma Lian, harap jangan salah sangka. Bukan maksudku untuk melepaskan tanggung jawab dan menolaknya, aku hanya menjelaskan padanya bahwa tak mungkin dia hidup bersama aku yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak berkeluarga. Hidupku sendiri tidak menentu, sebagai petualang dan pengelana, bagai mana mungkin kini ditambah seorang lagi? Dan juga aku mempunyai tugas yang belum kuselesaikan. Tugas itu akan membawaku ke tempat-tempat berbahaya, berhadapan dengan lawan-lawan yang berbahaya. Kalau dia ikut denganku, bukankah hal itu berarti membawa dia ke dalam ancaman bahaya pula?”

Suma Lian tersenyum mengejek, diam-diam ia tertawa dan hatinya senang. Rasakan kamu, pikirnya. Untung bukan ia yang tadi menerima beban itu!

“Lalu apa maksudmu tadi memamerkan kepandaian dan menerimanya dari ibunya?”

“Aku tadi hanya bermaksud menolong dan menyelamatkan...“

“Huh, engkau tadi hanya ingin berlagak dan memamerkan ilmu kepandaian silatmu, dan memandang rendah kepada orang lain ya? Hemmm, ingin aku melihat sampai di mana kepandaianmu maka engkau menjadi sombong dan besar kepala! Nah, bersiaplah dan majulah melawanku, manusia sombong!”

Sin Hong terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa dia akan disusul oleh gadis yang galak ini. Tentu saja dia merasa segan untuk bertanding tanpa sebab dengan gadis itu, apa lagi gadis itu memiliki she Suma yang membuktikan bahwa gadis ini ialah keturunan pendekar Pulau Es!

“Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Nona. Lalu untuk apa aku harus melayanimu bertanding?” bantahnya.

“Hemmm, engkau agaknya hanya berani berlagak karena mengetahui betapa lawanmu memang tolol dan rendah ilmu silatnya, macam Tok-ciang Hui-moko tadi. Dan engkau menjadi jeri ketika kutantang untuk mengadu ilmu. Apakah engkau selain sombong juga seorang pengecut?”

Suma Lian sengaja mengeluarkan makian ini dengan maksud untuk memaksa pemuda itu bertanding dengannya. Ia ingin sekali menguji kepandaian pemuda itu, juga ia ingin mengetahui tingkat kepandaiannya sendiri.

Wajah Sin Hong berubah merah. Panas juga perutnya saat mendengar ucapan terakhir itu. Dia dianggap sombong dan pengecut! Sungguh keterlaluan sekali nona ini, pikirnya. Dari ucapannya itu saja jelas menunjukkan bahwa yang sombong adalah nona ini!

Timbul pula keinginan hatinya untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu gadis keturunan para pendekar Pulau Es ini. Sudah banyak dia mendengar dari ketiga orang gurunya akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga para pendekar Pulau Es, dan sekarang kebetulan sekali dia ditantang dan dipaksa untuk bertanding melawan seorang di antara mereka. Kesempatan yang amat baik! Dan pertandingan itu dipaksakan oleh gadis itu, bukan atas kehendaknya.

“Baiklah, nona Suma. Kalau memang engkau menghendaki kita mengadu ilmu, terpaksa aku melayanimu untuk membuktikan bahwa aku tidak takut dan bukanlah pengecut, juga bukan orang sombong seperti yang kau sangka tadi.” Berkata demikian, Sin Hong lalu melangkah maju menghadapi nona itu.

Yo Han berdiri dengan mata terbelalak lebar dan jantung berdebar tegang. Enci Suma Lian ini tak tahu bahwa tadi ia diselamatkan oleh gurunya, ketika gurunya itu mencegah batu besar menggelinding masuk ke dalam sumur. Kalau enci Suma Lian mengetahui, tentu ia tidak akan bersikap seperti ini, pikirnya.

Mulutnya sudah bergerak hendak memberi tahu, akan tetapi ditahannya karena dia pun ingin sekali melihat pertandingan adu ilmu antara dua orang yang menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada ibunya itu. Tentu saja diam-diam dia berpihak kepada suhu-nya!

Sementara itu, melihat betapa Sin Hong telah menghadapinya, Suma Lian memandang dengan penuh perhatian. Ia memang sengaja mengeluarkan kata-kata sombong dan pengecut, untuk memaksa pemuda itu mau melayaninya bertanding. Kini ia mengamati pemuda itu.

Seorang pemuda yang wajahnya biasa saja, seperti seorang pemuda petani biasa yang sederhana. Pakaiannya serba putih, dari kain kasar pula. Tetapi, pada wajah yang biasa itu terdapat sepasang mata yang sinarnya lembut sekali, dan mulut yang mengandung keramahan, dengan senyum lembut pula. Dua mata dan mulut itulah yang mengandung daya tarik yang amat kuat.

Di lain pihak, Sin Hong juga mengamati gadis yang dikaguminya itu. Gadis keturunan keluarga Suma dari Pulau Es! Tadi ketika tersenyum mengejek, dia melihat betapa di tepi kedua ujung mulut gadis itu tiba-tiba muncul dua lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis. Sepasang mata yang tajam dan jeli, juga lincah. Sikap yang gagah dan berani, agak ugal-ugalan. Seorang gadis yang jelas menunjukkan bahwa ia biasa hidup di dunia persilatan, berani menghadapi kehidupan yang keras dan penuh tantangan.

Kedua orang muda itu kemudian saling pandang seperti dua ayam jago yang saling menilai sebelum bertarung. Atau juga seperti sepasang muda-mudi yang saling menilai sebelum jadian.

Walau pun dia tahu bahwa pemuda ini lihai, Suma Lian tidak mengeluarkan sulingnya karena pemuda itu pun bertangan kosong. Dia ingin menguji kepandaian pemuda itu dalam ilmu silat tangan kosong. Melihat pemuda itu sudah berdiri dengan sikap tenang di depannya, ia pun mulai memasang kuda-kuda dan membentak nyaring.

“Orang she Tan, lihat seranganku!”

Teriakan ini disusul serangan yang amat cepat dan kuat, karena ia sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang dalam jurus serangan Ilmu Silat Lothian Sin-kun. Hebat bukan main serangannya, karena memang Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) yang dipelajarinya dari mendiang Bu Beng Lokai itu merupakan ilmu silat tingkat tinggi yang ampuh. Juga tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) merupakan ilmu keturunan keluarga Pulau Es yang hebat.

Sin Hong kagum melihat gerakan serangan yang amat cepat dan dahsyat itu, dan dia sudah merasakan sambaran hawa dingin ke arah dadanya sebelum tangan gadis itu sendiri tiba, dan tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung hawa pukulan sinkang dari keluarga Pulau Es. Karena dia memang tidak mempunyai maksud untuk bermusuhan dengan gadis itu, maka dia pun tidak mau melawan keras dengan keras. Dia hanya menggerakkan kedua kakinya dan menggeser kaki depan ke belakang menghindarkan diri dari serangan pertama itu dengan elakan.

Melihat betapa serangannya dapat dielakkan dengan mudahnya. Suma Lian mendesak lagi dengan serangan berikutnya yang lebih hebat. Sekarang tangan kirinya menampar dengan pengerahan tenaga Swat-im Sinkang, sedangkan pada detik berikutnya, tangan kanannya sudah menjotos ke arah dada dengan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api)!

Gadis ini sudah menerima gemblengan penggunaan dua sinkang yang berlawanan dari keluarga Pulau Es, digembleng oleh ayahnya sendiri setelah dia pulang dari berguru kepada mendiang Bu Beng Lokai. Karena ia sudah memperoleh dasar yang amat kuat, maka tidak sukar baginya menerima penggabungan kedua inti tenaga sakti itu yang merupakan kebanggaan dari keluarga Pulau Es.

Ketika ada dua macam tenaga yang berlawanan, dingin sekali kemudian disusul panas sekali, Sin Hong terkejut bukan main. Kedua hawa sakti yang menyambar itu seperti mengepungnya dan agaknya sulit baginya untuk hanya mengandalkan kelincahan tubuh untuk mengelak. Gadis itu ternyata mampu bergerak dengan amat cepat, dan gerakan kaki gadis itu pun aneh, mengepung dan memotong jalan keluarnya, maka, kini terpaksa dia harus membela diri dengan tangkisan.

Hal ini memang disengaja oleh Suma Lian yang hendak memaksa pemuda itu mengadu tenaga sakti, karena gadis ini merasa yakin bahwa penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu tentu takkan dapat ditahan oleh lawan.

Sin Hong tidak berani menggunakan tenaga sinkang gabungan dari tiga orang gurunya dalam Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun, melainkan menangkis dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang pernah dipelajarinya dari Tiong Khi Hwesio, seorang di antara tiga orang gurunya itu. Ketika kedua tangan gadis itu menyambar hampir berbareng dengan kedua sinkang yang berlawanan, dia pun menangkisnya dengan pengerahan tenaga Inti Bumi. Tak dapat dicegah lagi, dua pasang lengan itu saling bertemu di udara.

“Plakkk! Plakkkkk!”

Melihat betapa pemuda itu merendahkan badan seperti mendekam, kemudian meloncat dan menangkis serangannya, dan hawa pukulan yang luar biasa kuat menahan kedua pukulannya, membuat tubuhnya terdorong ke belakang bagaikan dilanda angin badai, Suma Lian mengeluarkan seruan kaget dan cepat ia berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga yang mendorongnya. Dengan gerakan yang indah, ia sudah dapat meluncur turun kembali setelah membuat salto tiga kali sehingga ia dapat pula melihat betapa pemuda itu juga terdorong mundur dan nampak sedikit menggigil.

Suma Lian tersenyum. Tadinya ia terkejut dan juga takut kalau-kalau ia kalah kuat, akan tetapi sekarang ternyata bahwa lawannya juga terdorong ke belakang, bahkan bekas kehebatan Swat-im Sinkang masih nampak mempengaruhinya dan membuatnya agak menggigil.

Akan tetapi yang membuat ia tadi kaget setengah mati adalah ketika mengenal gerakan Sin Hong. Tidak salah lagi, pemuda itu tadi jelas mengeluarkan tenaga sakti Inti Bumi, melihat dari caranya mendekam lalu meloncat ketika menangkis.

Sin Hong juga terkejut bukan main. Dia kagum sekali. Sekarang baru dia tahu mengapa tiga orang gurunya memuji-muji ilmu dari keluarga Pulau Es. Ketika tadi dia menangkis, memang dia tidak berani mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi akibatnya, dia terdorong mundur sampai ia terhuyung-huyung. Tubuhnya diserang hawa panas sekali, kemudian dingin sekali sampai membuat dia menggigil.

Memang dia dapat segera mengatasi hawa dingin ini dengan tenaga sinkang-nya, akan tetapi hal itu membuatnya terkejut sekali. Juga dia kagum melihat betapa gadis itu dengan indahnya dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik sampai tiga kali dengan gaya dan gerakan indah.

Akan tetapi, sebelum hilang kaget dan kagumnya, sekarang dia menjadi semakin kaget melihat betapa gadis itu merendahkan tubuhnya. Tiba-tiba saja gadis itu menyerangnya lagi. Dari jarak yang agak jauh, karena gadis itu tadi berjungkir balik ke belakang sejauh tiga meter lebih.

Mendadak gadis itu meluncur, bagaikan seekor naga menyerangnya dengan serangan yang dahsyat dan aneh sekali, dengan kedua tangan dibentangkan dan jari telunjuknya ditudingkan, kemudian secara bertubi-tubi kedua jari telunjuk itu melakukan totokan-totokan dengan tenaga yang amat dikenalnya, karena cara gadis itu tadi mengumpulkan tenaga, jelas bahwa gadis itu menggunakan tenaga Inti Bumi!

Serangan totokan bertubi-tubi itu mengeluarkan suara mencicit-cicit seperti benda tajam yang menyambar-nyambar! Dia tidak tahu bahwa gadis itu kini menggunakan Ilmu Totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari ayahnya, sebuah ilmu totokan yang sangat ganas dan berbahaya, juga amat aneh dan sukar dihindarkan lawan.

Sin Hong merasa betapa dirinya diserang oleh banyak jari tangan yang lebih berbahaya dari pada dua batang tombak, yang seolah-olah bermata dan menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuhnya yang berbahaya. Dia sudah menangkis dengan kedua lengannya juga mengelak ke sana-sini, namun akhirnya dia menjadi sibuk karena sukar sekali mematahkan serangkaian serangan yang mengandung tenaga Inti Bumi itu.

Ia tak mengenal ilmu totokan yang aneh sekali gerakannya itu, yang biar pun dilakukan dengan sebuah saja jari tangan, namun amat berbahaya karena jari telunjuk itu menjadi keras bagaikan baja. Dia pernah mempelajari ilmu Toat-beng-ci (Jari Maut), sebuah ilmu totokan yang istimewa dari seorang di antara tiga gurunya.

Gurunya itu, Tiong Khi Hwesio, dahulunya ketika masih bernama Wan Tek Hoat pernah mendapat julukan Si Jari Maut karena ilmu totoknya itu. Dan kalau dibandingkan dengan Toat-beng-ci, kedua jari tangan gadis itu tidak kalah ampuhnya. Akan tetapi, teringat akan Toat-beng-ci, dia pun kemudian cepat mengubah gerakannya dan kini dia pun menghadapi totokan-totokan itu dengan totokan pula!


“Tuk! Tuk!”

Ketika kedua telunjuk tangan Suma Lian bertemu dengan ujung telunjuk kedua tangan Sin Hong, gadis segera itu berseru kaget. Pemuda itu menghadapi totokannya dengan tangkisan berupa totokan pula, dan dapat pula dengan tepat menotok ujung telunjuknya dengan tenaga Inti Bumi yang sama pula! Ia menjadi semakin penasaran dan marah, lalu kedua tangannya dibuka, dihantamkan ke arah lawan dengan mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya!

Sambaran hawa pukulan ini makin mengejutkan hati Sin Hong karena dia tahu akan kehebatannya. Tiada lain jalan baginya kecuali menerima hantaman itu dengan kedua tangan terbuka pula.

“Plakkk!”

Kedua pasang tangan itu kini saling melekat dan keduanya terkejut sekali! Dua tenaga raksasa dari tubuh masing-masing telah bertemu dan mereka berdua berada dalam keadaan terjepit. Siapa yang lebih dulu menarik tenaganya akan celaka! Tidak ada lain jalan kecuali melanjutkan pengerahan tenaga sinkang yang sekarang seolah-olah macet dalam pertemuan kedua pasang telapak tangan itu, saling dorong dalam kekuatan yang sama.

Kalau Sin Hong menghendaki, dia dapat menggunakan tenaga gabungan dalam dirinya dengan Ilmu Pek-ho Sin-kun. Akan tetapi dia khawatir kalau-kalau gadis itu tidak akan kuat menerimanya dan akan tewas atau setidaknya terluka parah. Karena hal itu tidak dikehendakinya, maka dia tidak mau mempergunakannya. Akan tetapi, dia pun tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya karena kalau hal itu terjadi, dia akan celaka.

Di dalam kedua telapak tangan gadis itu terkandung tenaga sakti Inti Bumi, Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Kalau dia menarik tenaganya, satu di antara tiga tenaga sakti itu akan terus meluncur melalui telapak tangan dan menghantamnya. Dia dapat tewas atau terluka parah! Darahnya dapat menjadi beku oleh Swat-im Sinkang, atau hangus oleh Hui-yang Sinkang, atau bahkan semua ototnya, setidaknya jantungnya, akan remuk oleh tenaga sakti Inti Bumi!

Di lain fihak, Suma Lian juga terkejut bukan main. Ia pun mengerti bahwa keadaannya amat berbahaya. Ia tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya, karena kalau ia lakukan ini, ia akan dihantam tenaga dahsyat dari pemuda itu. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah menambah tenaganya dan mengerahkan semua tenaga yang ada. Namun, betapa pun dia mengerahkan tenaga, di fihak pemuda itu pun agaknya selalu menambah tenaga untuk mengimbanginya hingga mereka berdua bagai sedang dalam keadaan melayang, tenggelam tidak terapung pun tidak.

Kalau pertandingan adu tenaga sinkang itu dilanjutkan, akhirnya mereka berdua akan kehabisan tenaga. Siapa yang lebih dahulu habis tenaganya, dialah yang akan celaka! Sebaliknya, kalau mereka menarik kembali tenaga mereka, siapa yang terlebih dahulu menarik kembali tenaganya, dia yang akan binasa! Sungguh suatu keadaan yang amat mengerikan.

Mereka berdua saling pandang. Melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat, pandang matanya mulai panik, Sin Hong merasa kasihan. Dari kepala mereka sudah mengepul uap putih, tanda bahwa keduanya telah mengerahkan tenaga yang amat hebat dan di dalam tubuh mereka bergolak mendidih oleh kekuatan yang berputaran itu.

Tiba-tiba saja, Suma Lian mendengar suara berbisik dan melihat betapa bibir pemuda itu bergerak perlahan. Terdengar olehnya, sayup sampai dan lirih sekali suara pemuda itu.

“Dorong dan tarik berbareng, lempar tubuh ke belakang.”

Sejenak Suma Lian memandang bingung lalu ia mengerti. Memang, kalau mereka dapat melakukan hal itu dalam detik yang sama, yaitu keduanya saling dorong kemudian keduanya dalam saat yang sama saling menarik tenaga kemudian melempar tubuh ke belakang, kemungkinan besar mereka akan dapat saling melepaskan diri. Memang harus tepat sekali, karena kalau tidak tepat dan dalam detik yang sama yang berbareng, seorang di antara mereka dapat celaka. Selagi gadis itu meragu walau pun ia sudah mengangguk sebagai jawaban, terdengar, lagi bisikan pemuda itu menghitung.

“Satu... dua... tiga...!”

Seperti menurutkan naluri saja, tepat pada hitungan ketiga, Suma Lian mengerahkan tenaga sinkang-nya mendorong, lalu menarik. Hal yang sama dilakukan pula oleh Sin Hong, tepat pada waktunya sehingga tiba-tiba saja kedua pasang tangan yang tadinya saling menempel itu terlepas dan seperti didorong oleh tenaga raksasa. Tubuh mereka terpental ke belakang seperti dua helai layang-layang putus talinya.

Ini saja sudah berbahaya sekali karena mereka itu tadi dalam keadaan ‘kosong’ setelah masing-masing menarik tenaga, kini terpental karena ledakan tenaga masing-masing yang tadi saling mendorong. Akan tetapi berkat ketinggian ilmu kepandaian mereka, keduanya dapat menguasai dirinya sehingga ketika tubuh mereka terpental itu, mereka dapat membuat pok-sai (salto) sampai beberapa kali dan dapat turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri, tidak sampai terbanting keras.

Wajah Suma Lian nampak pucat, akan tetapi perutnya masih panas sekali. Ia masih merasa panasaran oleh karena merasa belum dikalahkan. Di lain saat, tubuhnya sudah meluncur ke arah Sin Hong, didahului sinar kuning emas dari sulingnya.

Gadis ini telah mencabut suling emasnya dan dengan gerakan luar biasa cepat sudah menyerang dengan memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Naga Siluman) yang dimainkannya dengan suling emas. Sulingnya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar keemasan yang bergulung-gulung serta mengeluarkan suara mengaung-ngaung tinggi rendah, sungguh dahsyat sekali!

“Aih, Nona, harap hentikan seranganmu!” Sin Hong berseru terkejut sekali.

Baru saja mereka berdua terlepas dari bahaya maut, dan nona ini masih melanjutkan pertandingan itu dengan serangan yang begini hebat! Karena dia terkejut dan tidak menyangka biar pun dia sudah mengelak, tetap saja sinar suling itu masih merobek baju di pundak kirinya. Akan tetapi dia masih dapat menghindarkan diri dengan bergulingan dan menjauh.

“Tidak, seorang di antara kita belum kalah!” bentak Suma Lian galak dan gadis ini sudah menyerang lagi.

Terpaksa Sin Hong melawan karena dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini yang memang amat lihai dan memiliki banyak macam ilmu silat tinggi, setelah menggunakan suling emas ternyata semakin berbahaya pula. Dan begitu tubuhnya meloncat bangun dari bergulingan tadi, dia sudah mainkan Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun!

Hanya ilmu simpanannya inilah yang akan bisa menyelamatkan dirinya, pikirnya, sebab kalau dia mengandalkan ilmu silatnya yang lain kiranya akan sukar menghindarkan diri dari ancaman suling emas yang amat dahsyat itu. Tubuhnya bergerak dengan lambat namun cepat, lemah namun kuat! Inilah inti dari ilmu silatnya itu, nampak kosong namun berisi.

Gerakannya bagaikan seekor burung bangau, demikian tenang dan lambat, indah dan setiap gerak mengandung kekuatan tersembunyi yang amat hebat, kekuatan yang dapat menerbangkan tubuh seekor burung bangau itu jauh tinggi di angkasa, kelemasan yang dapat membuat seekor burung bangau mampu melawan dan mengalahkan seekor ular, kecepatan tersembunyi yang dapat membuat seekor burung bangau bisa menangkap seekor katak yang meloncat dengan cepatnya.

Tubuh Sin Hong bergerak seperti menari di antara gulungan sinar kuning emas itu. Kedua lengannya kadang-kadang terpentang bagai sayap seekor burung bangau putih. Lengan tangan itu demikian lemasnya, kadang-kadang lengan itu seperti leher bangau, tangannya membentuk kepala bangau yang menyampok suling dan menotok ke arah jalan darah di sekitar tubuh Suma Lian.

Gadis ini kagum bukan main. Belum pernah ia menyaksikan ilmu silat yang seindah itu. Pernah ia mempelajari Ilmu Silat Panca Hewan, yaitu gerakan lima binatang, harimau, kijang, biruang, kera dan burung. Akan tetapi, Ilmu Silat Burung yang dipelajarinya itu berbeda dengan ilmu silat yang kini dimainkan lawannya. Dan kedua lengan lawannya itu demikian lemas dan kuat, ketika menangkis sulingnya membuat tangannya yang memegang suling tergetar. Namun, ia hanya kagum dan sama sekali tidak gentar.

“Hyaaaaa...!”

Suma Lian menyerang lagi setelah memutar sulingnya yang berubah menjadi lingkaran lebar. Sinar terang mencuat ke depan ketika sulingnya menusuk ke arah ulu hati lawan. Sin Hong menyambut dengan tangkisan tangan kanan dari samping sambil miringkan tubuhnya.

Lengan kanannya itu seperti leher burung Bangau Putih menangkis terus melibat dan tangannya yang sudah membentuk kepala bangau itu, langsung menotok ke depan, ke arah pergelangan tangan yang memegang suling, dan tangan kirinya, juga membentuk kepala burung bangau menotok ke arah pundak kiri dari arah belakang tubuh gadis itu. Kedua serangan balasan ini masih dibantu kaki kirinya yang seperti kaki bangau yang mencakar menendang ke arah bagian sisi luar dari lutut kanan Suma Lian.

Gadis itu terkejut bukan main. Gerakan lawan demikian otomatis dan cepat walau pun nampaknya lambat dan tenang sekali. Ia tidak tahu bahwa itulah jurus Bangau Mencuci Sayap dari Ilmu Pek-ho Sin-kun yang amat sakti dari lawannya. Ia cepat-cepat menarik kembali sulingnya, diputar untuk menangkis totokan pada pundaknya, sedangkan untuk menghindarkan diri dari tendangan itu ia terpaksa meloncat jauh ke belakang dalam keadaan terhuyung! Tenaga yang dipergunakan Sin Hong adalah tenaga gabungan dari tiga orang gurunya, maka tentu saja pertemuan tenaga itu, walau pun bukan merupakan benturan langsung, membuat Suma Lian terhuyung.

Tiba-tiba terdengar teriakan Yo Han, “Enci Suma Lian, tadi Suhu telah menyelamatkan nyawa Enci, kenapa sekarang Enci menyerangnya mati-matian? Begitukah cara Enci membalas budi kebaikan orang?”

Anak ini sejak tadi memang diam saja untuk menyaksikan pertandingan antara gurunya dan gadis yang oleh ibunya dikatakan amat lihai itu. Akan tetapi dia menjadi pening ketika menonton pertandingan itu, tidak tahu siapa kalah siapa menang atau siapa yang lebih unggul di antara mereka. Gerakan mereka berdua itu terlalu cepat bagi matanya yang tidak terlatih. Hanya ketika dia melihat Suma Lian mempergunakan senjata suling emas yang mengeluarkan sinar menyilaukan itu, sedangkan gurunya tak menggunakan senjata, hatinya lalu merasa khawatir kalau-kalau gurunya sampai celaka. Maka kini dia mengeluarkan seruan itu.

Tentu saja Suma Lian yang telah siap untuk menyerang lagi, menjadi heran mendengar ucapan dari anak itu. Ia menahan dirinya, dan menoleh kepada Yo Han. Napasnya agak memburu dan baru terasa olehnya betapa lelah tubuhnya dan pakaiannya telah basah oleh keringat.

“Yo Han, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya dengan alis berkerut karena dia tidak pernah merasa diselamatkan nyawanya oleh Tan Sin Hong.

“Enci, ketika Enci tadi terjatuh ke dalam sumur, iblis betina itu menggelindingkan sebuah batu besar ke dalam sumur untuk membunuhmu. Ibu tidak berdaya mencegah dan ibu sudah pucat sekali, akan tetapi pada saat batu hendak menggelinding ke dalam sumur, tiba-tiba muncul suhu Tan Sin Hong yang memukul dan mendorong batu sehingga tidak sampai jatuh ke dalam sumur dan menimpa Enci yang masih berada di dalam sumur itu.”

Tentu saja Suma Lian terkejut bukan main mendengar keterangan Yo Han itu. Ia cepat menoleh, memandang kepada Sin Hong dengan sepasang mata tajam menyelidik, juga mengandung rasa heran.

“Benarkah itu? Kenapa engkau diam saja dan tidak menceritakan hal itu ketika aku menyerangmu?”

Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan. “Nona, hal yang sekecil itu tidak perlu disebut lagi. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita masing-masing untuk mencegah terjadinya kejahatan, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”

“Wah, sungguh aku harus malu sekali! Engkau sudah menolongku menghindarkan aku dari kematian mengerikan di dalam sumur itu, sedangkan aku masih bersikap buruk, menantangmu, dan engkau masih juga menyebut aku nona! Aihhh, Toako (Kakak Tua), jangan membuat aku menjadi makin malu dan berdosa. Maafkan aku, Toako!” katanya tersenyum dan ia pun menjura dengan membungkukkan tubuhnya sampai dalam sekali.

Sin Hong memandang dengan wajah berseri dan dia pun tersenyum geli. Nona ini sungguh gagah perkasa, lincah polos dan juga ugal-ugalan. Melihat sikap Suma Lian, lenyap sudah semua rasa penasaran karena gadis ini tadi menyerangnya mati-matian. Memang gadis ini berwatak aneh, akan tetapi harus diakuinya bahwa dia mempunyai kegagahan yang luar biasa, juga demikian ringannya mulut yang manis itu mengakui kesalahannya dan minta maaf.

Sikap mau mengakui kesalahan dan minta maaf inilah yang amat mengagumkan hati Sin Hong karena pemuda ini maklum bahwa sikap demikian hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa pendekar gagah perkasa dan bijaksana, dan merupakan sifat yang amat sukar dilakukan oleh kebanyakan orang. Dia pun cepat membalas penghormatan itu dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya.

“Sudahlah, Nona. Semua kesalah pahaman itu mungkin saja terjadi karena Nona belum mengenalku.”

“Ah, Toako. Engkau masih saja menyebutku nona-nona! Padahal, engkau yang memiliki tenaga sakti Inti Bumi, jelas masih mempunyai hubungan dengan aku, kenapa masih mempergunakan tata cara sungkan-sungkan! Kalau engkau tidak mau menyebut adik kepadaku itu berarti bahwa engkau tidak mau berkenalan denganku dan kuhabisi saja pertemuan kita sampai di sini saja!”

Tentu saja Sin Hong terkejut. Gadis ini sungguh aneh sekali, hatinya keras dan agaknya ia tidak mau mengalah dalam hal apa pun juga! Maka sambil tersenyum dia pun cepat berkata,

“Baiklah, Non... ehh, adik Suma Lian yang baik. Maafkan aku karena sesungguhnya aku merasa kurang pantas kalau aku berkakak adik dengan seorang gadis seperti engkau, keturunan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa.”

Wajah yang cemberut itu kini sudah tersenyum kembali, matanya bersinar-sinar dan lesung pipit yang manis muncul kembali di kanan kiri mulutnya. “Uhh, Hong-ko (kakak Hong) engkau hendak mengejekku, ya? Siapa tidak tahu bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Baru sekarang aku bertemu tanding yang demikian lihai, dan aku sungguh mengaku kalah!”

“Ahhh, jangan merendahkan diri, Lian-moi (adik Lian)! Kepandaianmulah yang hebat bukan main. Aku sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dan baru hari ini aku beruntung sekali merasakan semua kehebatan itu. Akan tetapi yang membuat aku bingung, bagaimana engkau mahir pula menggunakan tenaga sakti Inti Bumi?”

“Marilah kita duduk dan bicara, Hong-ko. Hei, Yo Han, marilah engkau duduk di sini. Kenapa berdiri bengong saja di situ?” teriak Suma Lian sambil menggapai kepada anak itu yang sejak tadi berdiri di pinggir.

Mendengar panggilan ini, Yo Han lari menghampiri.

“Enci, bagaimana pendapatmu dengan ilmu kesaktian suhu-ku? Siapakah yang lebih unggul antara Enci dan Suhu tadi?” tanyanya sambil duduk di atas rumput, dekat Suma Lian.

“Tentu saja gurumu yang lebih lihai,” kata Suma Lian tersenyum.

“Yo Han, duduk saja di situ dan tutup mulut, jangan bicara kalau tidak ditanya!” Sin Hong berkata dengan tegas.

“Baik, Suhu,” jawab Yo Han, tegas pula walau pun sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Agaknya Yo Han sudah mengenal betul watak gurunya yang lemah lembut dan tahu bahwa kegalakan tadi dibuat-buat saja.

Mereka duduk berhadapan, dan Yo Han duduk agak mundur di belakang.

Setelah beberapa lamanya saling pandang, Suma Lian lalu berkata, “Hong-ko, agaknya engkau sudah tahu bahwa aku adalah keturunan keluarga Pulau Es. Tentu engkau mendengar dari percakapan ketika aku menghadapi orang-orang sesat tadi. Akan tetapi aku sendiri belum tahu siapakah engkau sebenarnya.”

“Namaku Tan Sin Hong.”

“Itu aku sudah tahu. Akan tetapi, siapakah gurumu, Hong-ko? Aku yakin bahwa ada hubungan antara perguruan kita karena kita berdua sama-sama menguasai tenaga Sakti Inti Bumi, walau pun ilmu-ilmu silatmu aneh dan banyak yang tidak kukenal.”

Sin Hong mengerutkan alisnya. Selama ini, belum pernah dia menceritakan kepada orang lain tentang guru-gurunya, tentu saja kecuali kepada keluarga suheng-nya, Kao Cin Liong sebagai putera tunggal suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir. Akan tetapi, dia pun sudah sering mendengar dari para gurunya bahwa keluarga Pulau Es tak boleh dianggap sebagai ‘orang luar’ karena ada hubungan erat sekali antara keluarga Istana Gurun Pasir dan Pulau Es.

Dia tahu bahwa gadis yang wataknya aneh ini akan tersinggung dan marah kembali kalau dia tidak mau mengaku siapa guru-gurunya. Kiranya tidak ada salahnya kalau dia mengaku kepada seorang gadis she Suma, keturunan asli dari Pulau Es.

“Terus terang saja, Lian-moi, belum pernah aku memperkenalkan nama guru-guruku kepada orang lain. Akan tetapi karena para guruku mengenal baik keluarga Pulau Es, bahkan masih mempunyai hubungan dekat, dan mengingat pula bahwa di antara kita sudah terjadi tali persahabatan yang akrab, maka biarlah aku mengaku kepadamu. Aku memiliki tiga orang guru, mereka adalah mendiang suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir...“

“Ahhh! Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?” Suma Lian berseru, hampir berteriak.

“Benar, dan yang seorang lagi adalah suhu Tiong Khi Hwesio. Mereka bertiga berada di Gurun Pasir dan aku menjadi murid para guruku itu selama tujuh tahun di sana.”

“Aihh...! Pantas saja engkau demikian lihai! Tapi... tapi... engkau tadi berkata mendiang? Apakah... apakah mereka itu sudah...”

“Mereka sudah meninggal dunia, Lian-moi, tewas pada saat belasan orang tokoh sesat menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Dan ketahuilah bahwa para penyerbu itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li tadi bersama kawan-kawannya yang lihai.”

“Iblis betina tadi?” Suma Lian berseru kaget dan matanya terbelalak. “Tapi... bagaimana mungkin iblis betina itu dan kawan-kawannya mampu menewaskan mereka yang sakti? Padahal di sana ada engkau pula, Hong-ko?” Suma Lian bertanya dengan nada suara mengandung penasaran.

Ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li lihai, akan tetapi ia sendiri mampu menandingi iblis betina itu bahkan Sin Hong sendiri jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Bagaimana mungkin iblis betina itu bersama kawan-kawannya mampu menewaskan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, juga Tiong Khi Hwesio yang pernah didengarnya pula dari ayah ibunya sebagai seorang yang amat lihai?

Sin Hong menarik napas panjang. “Agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa tiga orang guruku itu harus gugur dan tewas sebagai orang-orang yang gagah perkasa. Kurang lebih dua tahun yang lalu terjadinya. Tiga orang guruku adalah orang-orang sakti, akan tetapi usia mereka pun sudah amat lanjut, rata-rata delapan puluh tahun, bahkan suhu Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sudah berusia delapan puluh lima tahun. Ada pun yang datang menyerbu, bukan orang-orang sembarangan, banyak yang lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw semua berjumlah tujuh belas orang. Tiga orang guruku tewas akan tetapi dari tujuh belas orang penyerbu itu empat belas orang tewas pula, sedangkan yang masih hidup namun terluka parah adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw.”

“Akan tetapi engkau sendiri, bukankah engkau berada di sana, Hong-ko dan bagaimana gurumu tewas?” Suma Lian memandang dengan alis berkerut, agaknya merasa heran dan menyesal mengapa pemuda ini tidak dapat membela guru-gurunya.

Sin Hong menarik napas panjang, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk setiap kali dia teringat akan peristiwa itu.

“Sudah kukatakan tadi Lian-moi, agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian dan menakdirkan tiga orang guruku itu sudah tiba saatnya meninggal dunia. Pada waktu itu, aku tidak berdaya. Tiga orang guruku itu mengajarkan sebuah ilmu gabungan ciptaan mereka bertiga dan mengoperkan gabungan tenaga sakti kepada diriku. Ilmu itu harus kupelajari selama satu tahun, dengan syarat bahwa selama setahun itu aku sama sekali tidak boleh melakukan gerakan silat apa lagi mengerahkan sinkang karena kalau hal ini kulakukan... aku akan segera tewas dengan sendirinya, terpukul sendiri oleh tenaga yang kukerahkan itu. Nah bayangkan saja, Lian-moi. Aku tidak dapat bergerak, terpaksa melihat tiga orang guruku tewas di tangan mereka, dan aku sendiri tertawan tiga orang yang masih tersisa itu. Mereka mengira aku seorang kacung yang tidak memiliki ilmu silat, mereka memaksaku untuk menunjukkan di mana adanya pusaka-pusaka istana tua itu. Karena memang tidak ada pusaka, mereka menyiksaku. Aku membakar istana tua itu berikut jenazah tiga orang guruku, dan aku disuruh menguburkan jenazah empat belas orang penyerbu yang tewas. Untung bagiku pada malam harinya, aku berhasil melarikan diri dan sembunyi di dalam hutan selama satu tahun untuk menyelesaikan latihanku.”

Suma Lian mendengarkan dan sekarang senyumnya timbul kembali. Kiranya pemuda ini bukan seorang pengecut, melainkan karena terpaksa maka tidak mampu membela guru-gurunya.

“Tapi kenapa Sin-kiam Mo-li tadi tidak heran melihat engkau muncul sebagai seorang yang berilmu tinggi, Hong-ko?”

“Semenjak aku keluar dari dalam hutan, sudah pernah aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, yaitu ketika ia hendak membunuh ketua Cin-sa-pang. Aku menyelamatkan ketua itu dan sejak itu Sin-kiam Mo-li sudah tahu bahwa aku mewarisi ilmu dari para guruku.”

“Akan tetapi, Hong-ko, yang satu ini sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah bertemu dengan seorang di antara para pembunuh guru-gurumu, yaitu Sin-kiam Mo-li. Mengapa engkau tidak membalas dendam dan membunuh iblis betina itu?”

Sin Hong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Ketahuilah Lian-moi, guru-guruku pernah memesan dengan amat sangat kepadaku supaya jangan membiarkan dendam meracuni hatiku. Jika selama ini aku menentang Sin-kiam Mo-li, yang kutentang adalah perbuatannya yang jahat, bukan karena dendamku kepada pribadinya, karena kematian guru-guruku.”

Suma Lian mengerutkan alisnya. Pernah pula ia mendengar ayahnya juga berpendapat demikian, namun ia sendiri tidak pernah dapat menerima dan menyetujui pendapat itu. “Sudahlah, sekarang ceritakan, siapa keluargamu, Hong-ko, dan bagaimana engkau sampai dapat menjadi murid para penghuni Istana Gurun Pasir.”

Terpaksa Sin Hong menceritakan riwayatnya, betapa keluarga ayahnya menjadi hancur karena perbuatan jahat musuh yang sampai sekarang belum diketahuinya benar siapa orangnya. Betapa ayahnya dibunuh orang, ibunya tewas di gurun pasir, dan dia sendiri tertolong oleh para penghuni Istana Gurun Pasir sehingga lalu menjadi murid mereka. Betapa kemudian dia menyelidiki pembunuh ayahnya dan sampai sekarang belum juga berhasil.

“Hemmm, kalau begitu engkau tentu menaruh dendam dan hendak membalas kematian ayahmu?” Suma Lian memancing.

Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak, Lian-moi. Aku hanya mencari pemecahan rahasia itu. Ingin aku mengetahui siapa pembunuh ayahku dan mengapa pula ayah dibunuh sehingga ibu pun tewas dalam keadaan sengsara. Kalau pembunuh itu memang jahat, tentu saja akan kutentang seperti aku menentang para penjahat lainnya, siapa dan di mana pun juga. Menurut hasil penyelidikanku, rahasianya agaknya terletak pada perkumpulan Tiat-liong-pang dan aku sedang hendak pergi ke sana.”

Suma Lian mengangguk-angguk. “Dan tentang ilmu sinkang Inti Bumi itu, kau pelajari dari siapa?”

“Dari suhu Tiong Khi Hwesio.”

“Ahhh! Menurut cerita ayahku, Tiong Khi Hwesio dahulunya bernama Wan Tek Hoat, berjuluk Si Jari Maut, seorang pendekar yang lihai sekali.”

“Benar, dan menurut mendiang Tiong Khi Hwesio guruku itu, sinkang Inti Bumi berasal dari para penghuni Pulau Neraka. Bagaimana engkau sendiri yang menjadi keturunan keluarga Pulau Es, dapat menguasai sinkang itu, Lian-moi?”

“Aku… meski aku adalah cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan ayahku merupakan keturunan langsung, namun aku pernah menjadi murid paman kakekku sendiri yang berjuluk Bu Beng Lokai dan sekarang telah meninggal dunia. Dari dialah aku mempelajari sinkang itu. Kemudian tentu saja aku memperdalam ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, dari ayah dan juga ilmu mempergunakan suling emas ini dari ibuku.”

Sin Hong memandang kagum. “Ahhh, tidak heran kalau engkau begitu lihai, Lian-moi. Kiranya engkau sudah mempelajari banyak ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es.”

“Sudahlah, Toako, tak perlu memuji lagi. Sudah jelas bahwa dalam hal ilmu silat, bagai mana pun juga aku masih kalah olehmu. Sekarang, engkau hendak pergi ke mana? Aku sendiri akan pergi ke lereng Gunung Tapa-san, untuk menemui seorang paman tua dan menyampaikan pesan ayahku. Dan engkau?”

“Seperti sudah kuceritakan tadi, penyelidikanku membawaku ke sini dan aku akan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang, melanjutkan penyelidikanku karena sebelum mati, orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Dan menurut penyelidikanku, perkumpulan itu bersarang di luar kota Sang-cia-kou, di lereng sebuah bukit.”

“Sang-cia-kou di selatan? Kalau begitu dapat melalui Tapa-san. Bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama saja, Hong-ko?”

Sin Hong tersenyum gembira. Gadis ini demikian lincah dan ternyata ramah dan manis sekali kalau tidak marah, dan tentu perjalanan akan menjadi menyenangkan dan tidak sepi kalau dilakukan bersama Suma Lian.

“Baiklah, Lian-moi. Hanya ada satu hal yang membuat aku agak bingung, yaitu anak ini. Aku masih mempunyai banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan banyak menempuh perjalanan jauh yang sukar, bahkan mungkin bertemu lawan yang jahat dan tangguh. Bagaimana aku akan dapat leluasa bergerak kalau harus menjaga dia?”

“Akan tetapi dia muridmu dan ibunya sudah menyerahkan kepadamu, Hong-ko. Engkau pun sudah menerimanya!” kata Suma Lian. Ia pun tersenyum lebar karena ia merasa gembira bahwa bukan ia yang menerima beban berat itu! Kalau ia yang menerima Yo Han dari ibunya, tentu ia akan menjadi lebih bingung dibandingkan Sin Hong.

“Benar, dan terus terang saja, biar pun aku belum mempunyai niat mengambil murid, merasa masih terlalu muda, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Aku suka melihatnya, akan tetapi, kalau sekarang dia terus mengikuti aku, bagaimana aku akan dapat berhasil melaksanakan tugasku?”

“Suhu, harap Suhu tidak khawatir!” Tiba-tiba Yo Han berkata dengan penuh semangat, “Suhu tidak perlu mempedulikan teecu, tidak perlu menjaga teecu, karena teecu dapat menjaga diri sendiri.”

Mendengar ucapan itu, Sin Hong dan Suma Lian saling pandang. Keduanya tersenyum, ada rasa kagum membayang pada wajah mereka. Anak itu memang luar biasa. Sedikit pun tidak pernah belajar silat akan tetapi memiliki keberanian dan semangat yang hebat, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi ancaman maut di tangan Sin-kiam Mo-li. Sungguh amat sukar dicari keduanya anak dengan nyali seperti ini, nyali seorang calon pendekar sejati.

“Ahhh, aku mempunyai jalan keluar yang amat baik!” tiba-tiba Suma Lian berkata. Sin Hong memandang kepadanya dengan penuh harapan.

“Ketahuilah, Hong-ko. Paman tua yang akan kukunjungi itu adalah saudara sepupu dari ayahku. Dia bernama Suma Ciang Bun, keturunan langsung pula dari keluarga Pulau Es. Pek-hu (Uwa) Suma Ciang Bun itu hidup seorang diri, hanya berdua dengan muridnya yang sering kali pergi merantau. Dan dia pun tidak berkeluarga, bahkan kini ayah menyuruh aku pergi mengunjunginya dan menyampaikan ajakan ayahku supaya pek-hu suka tinggal bersama ayah dan ibu, agar hidupnya di hari tua tidak kesepian. Nah, bagaimana kalau engkau titipkan Yo Han kepadanya lebih dahulu selama engkau melaksanakan tugasmu? Aku yang akan bicara dan setelah melihat Yo Han aku yakin pek-hu akan suka pula menerimanya.”

Wajah Sin Hong berseri. “Ahhh, itu merupakan jalan keluar yang baik sekali!” Tiba-tiba wajahnya berubah. “Akan tetapi, bagaimana aku berani mengganggu locianpwe itu?”

Ia lalu menoleh kepada Yo Han dan berkata, “Dan bukankah itu berarti aku melepaskan pula tanggung jawabku setelah menerima anak ini dari ibunya?”

“Urusan pek-hu akulah yang akan bicara, Hong-ko. Dan jika pek-hu mau menerimanya, kurasa bukan berarti engkau melepas tanggung jawab, karena bukankah maksud bibi Bi-kwi hanya supaya engkau membawa pergi Yo Han dan anak ini dihindarkan dari gangguan Sin-kiam Mo-li?”


 Kisah si bangau putih


Akan tetapi Sin Hong masih meragu, memandang kepada Yo Han dengan bingung. Melihat ini, Yo Han segera berkata, “Suhu, teecu mengerti bahwa kalau teecu ikut dengan Suhu sekarang, teecu akan menjadi beban dan Suhu akan merasa terhalang dan terganggu. Karena itu, teecu akan mentaati semua perintah Suhu, disuruh tinggal di mana pun teecu menurut, asal Suhu tidak melupakan teecu dan kelak pada waktunya Suhu datang menjemput teecu.”

Mendengar ini, Suma Lian bertepuk tangan dan memuji. “Murid yang bagus sekali, ahh engkau beruntung mempunyai seorang murid seperti dia, Hong-ko!”

Mau tak mau Sin Hong tersenyum. Bagaimana pun juga, dia memang suka dan kagum kepada Yo Han. “Kalau begitu, baiklah, dan sebelumnya kuhaturkan terima kasih atas bantuanmu, Lian-moi.”

Mereka bertiga kemudian melanjutkan perjalanan, menuju ke Tapa-san. Di sepanjang perjalanan Sin Hong merasa gembira selalu karena Suma Lian memang merupakan seorang gadis yang lincah jenaka, sedangkan Yo Han juga merupakan seorang anak yang menyenangkan dan murid yang taat dan cekatan.

Setiap kali mereka berhenti di hutan dan terpaksa bermalam di tempat terbuka, tanpa diperintah lagi anak itu mencari kayu bakar, atau air dan sebagainya. Juga Yo Han amat pandai membawa diri, pendiam tak pernah bicara kalau tidak ditanya. Wajahnya selalu cerah walau pun kadang-kadang, terutama sekali di waktu malam kalau dia sedang duduk menghadapi api unggun, anak itu sering kali termenung.

Sin Hong dan Suma Lian bisa menduga bahwa tentu anak ini teringat dan rindu kepada ayah bundanya. Namun, tak pernah anak itu mau mengatakan hal ini dan dengan keras hati menyembunyikan kesedihannya itu di balik dagu yang mengeras dan mata yang bersinar-sinar.


                    **************


Kita tinggalkan dahulu perjalanan Sin Hong, Suma Lian dan Yo Han yang menuju ke Pegunungan Tapa-san itu, dan mari kita mengikuti keadaan Pouw Li Sian yang telah berada di sarang Tiat-liong-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis ini berkunjung ke Tiat-liong-pang karena ketuanya yaitu Siangkoan Lohan (Kakek Gagah Siangkoan) atau bernama Siangkoan Tek, dulu adalah sahabat dari mendiang ayahnya, Menteri Pouw Tong Ki.

Bahkan pernah satu dua kali ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang sehingga ia sudah mengenal Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong. Ia berkunjung untuk bertanya mengenai salah seorang kakaknya, satu-satunya anggota keluarganya yang kabarnya masih hidup, yaitu Pouw Ciang Hin, yang menurut hasil penyelidikannya, kini menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas jaga di perbatasan utara dekat Tembok Besar.

Munculnya gadis itu di Tiat-liong-pang, sempat menggemparkan karena ketika Sin-kiam Mo-li yang mencurigainya menyuruh anak buahnya untuk menangkap, Pouw Li Sian menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis yang sangat lihai. Sin-kiam Mo-li sendiri tidak mampu mengalahkannya! Siangkoan Lohan segera menerimanya dengan ramah dan baik ketika mendengar pengakuan Li Sian bahwa gadis yang cantik dan lihai ini bukan lain adalah puteri sahabatnya, Pouw Taijin.

Gadis ini diterima dan disambut dengan gembira, dan ketika bertemu dengan Siangkoan Liong yang pernah dikenalnya ketika mereka masih kecil, di antara mereka berdua lalu segera terjalin suatu keakraban.

Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang biar pun telah mempegoleh pendidikan ilmu silat tinggi sehingga membuatnya menjadi seorang gadis yang amat lihai, namun dia masih hijau dalam pengalaman. Ia baru saja meninggalkan perguruan dan pengetahuan umumnya masih dangkal, walau pun ia bukan seorang gadis bodoh. Oleh karena itu, ketika ia tinggal di sarang Tiat-liong-pang, ia tidak menaruh curiga sedikit pun.

Tetapi, bagaimana pun juga, ia merasa heran ketika diperkenalkan dengan para tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Banyak di antara mereka yang sikapnya kasar, bahkan amat menjemukan hatinya karena mereka itu jelas-jelas memperlihatkan pandang mata yang kurang ajar dan tidak sopan.

Perasaan penasaran yang terkandung di dalam hatinya pada saat melihat orang-orang kang-ouw yang kasar itu berada di situ, dan agaknya menjadi pembantu atau tamu dari Tiat-liong-pang, mendorong Li Sian untuk membicarakannya dengan Siangkoan Liong yang telah dipercayainya. Sesudah beberapa hari tinggal di situ dan dia melihat betapa Tiat-liong-pang melatih para anggotanya untuk bermain perang-perangan, seolah-olah perkumpulan itu sedang mempersiapkan diri untuk berperang, ia pun pada suatu senja bercakap-cakap tentang semua itu dengan Siangkoan Liong dalam sebuah taman.

Mereka duduk berhadapan di atas bangku kayu sederhana di dekat kolam ikan buatan yang membuat tempat itu terasa nyaman dan sejuk segar. Baik Siangkoan Liong mau pun gadis itu, baru saja mandi dan berganti pakaian bersih sehingga keduanya merasa segar pula.

Biar pun Li Sian baru tinggal belasan hari di tempat itu, namun pergaulannya dengan Siangkoan Liong telah cukup akrab karena pemuda itu memang pandai membawa diri, selalu sopan dan ramah. Siangkoan Liong adalah seorang yang amat cerdik, bagaikan seekor harimau yang mengenakan bulu domba, sedikit pun tak nampak wataknya yang mata keranjang dan siap menerkam ketika melihat Li Sian yang cantik. Bahkan Li Sian merasa amat tertarik kepada pemuda yang memang tampan dan gagah ini.

Setelah mereka duduk saling berhadapan keduanya saling pandang. Seperti biasanya Siangkoan Liong duduk dengan tenang. Sikapnya pendiam, halus serta lembut. Wajah yang tampan itu terpelihara dengan cermat. Rambutnya hitam licin dan disisir rapi, dan tercium keharuman dari pakaian dan rambutnya. Pakaiannya pun selalu rapi dan setiap hari berganti pakaian baru. Dilihat sepintas lalu, tidak nampak bahwa Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, lebih pantas dia menjadi seorang kongcu (tuan muda) bangsawan yang hartawan dan terpelajar tinggi.

Pemuda itu pun memandang Li Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. Gadis ini nampak manis sekali, terutama adanya tahi lalat di dagunya, menjadi penambah dalam kecantikannya. Biar pun bukan pesolek, namun Li Sian pandai berdandan. Pakaiannya yang sederhana nampak rapi, juga rambutnya digelung dengan indahnya. Ada sedikit anak rambut terjuntai di dahinya, lembut sekali. Sikapnya halus dan lembut namun anggun, seperti puteri bangsawan sejati. Gerak-geriknya halus tetapi di balik kehalusan itu nampak jelas oleh mata Siangkoan Liong yang terlatih bahwa di situ tersembunyi kekuatan dahsyat.

Siangkoan Liong semakin kagum. Tidak disangkanya bahwa dalam diri seorang gadis yang begini cantik dan halus, terdapat kepandaian silat yang tinggi, bahkan lebih tinggi tingkatnya dari pada Sin-kiam Mo-li! Dia amat kagum dan makin bulat tekadnya untuk menundukkan gadis ini, untuk memilikinya agar dapat dibanggakannya. Bukan sekedar dijadikan permainannya, sebagai sumber kesenangan jasmani saja. Tidak, dia ingin mempersunting Li Sian menjadi isterinya karena agaknya hanya gadis yang berdarah bangsawan ini saja yang patut untuk mendampinginya kalau kelak dia menjadi seorang kaisar!

Setelah sekian lamanya saling pandang, baru terasalah oleh Li Sian ketidak wajaran itu, betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya tak seperti biasa, akan tetapi penuh dengan kekaguman dan daya tarik. Tiba-tiba ia merasa mukanya panas dan gadis itu pun menundukkan mukanya.

“Ehh, Twako, kenapa sejak tadi memandang saja padaku tanpa bicara?” tegurnya.

Siangkoan Liong tersenyum dan nampak seperti baru sadar dari mimpi. Dia cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya sampai dalam.

“Ahhh, maafkan aku, Sian-moi. Tanpa kusadari aku sudah terpesona... maaf, bukan maksudku untuk merayu, akan tetapi sore hari ini engkau sungguh nampak begini cantik jelita seperti bidadari, membuat aku terpesona tadi...”

Menghadapi ucapan dengan sikap yang demikian sopan, bagaimana Li Sian dapat merasa tidak senang oleh pujian itu? Pujian yang terdengarnya demikian sopan, disertai maaf, bukan sekedar rayuan kasar. Ia pun tersenyum dan mukanya menjadi semakin merah, sampai ke lehernya.

Ia melempar kerling malu-malu dan berkata, “Aih, Toako, harap jangan bicara seperti itu, membuat aku merasa malu saja. Kalau kau lanjutkan pujian-pujianmu itu, aku akan segera pergi ke dalam kamarku dan tidak mau bicara padamu sore ini.”

“Maaf, maaf...! Aku tidak bermaksud membuat hatimu tersinggung, Sian-moi. Maafkan aku dan aku berjanji tidak akan mengulangi lagi.”

Li Sian tersenyum. “Sudahlah, Toako, engkau tidak bersalah apa-apa, tidak perlu minta maaf. Aku sengaja ingin bicara denganmu sore hari ini, karena ada beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan dalam hatiku dan menimbulkan rasa penasaran.”

Siangkoan Liong segera memperlihatkan sikap serius pada saat dia memandang wajah gadis itu penuh perhatian. “Persoalan apakah yang membuatmu penasaran, Sian-moi? Tanyakanlah, tidak ada rahasia bagimu di sini.”

“Begini, Toako. Pertama, begitu tiba di sini, aku bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang melihat sikap mereka agaknya bukanlah manusia baik-baik, tetapi lebih pantas kalau menjadi tokoh-tokoh kaum sesat dari dunia hitam! Misalnya Sin-kiam Mo-li itu, selain julukannya saja sudah jelas menunjukkan bahwa dia seorang iblis betina, juga sikapnya demikian menyeramkan, seperti lagi menyembunyikan sesuatu dan pandang matanya kadang-kadang begitu kejam dan buas. Dan Toat-beng Kiam-ong itu, hihhh, pandang matanya padaku membuat aku bergidik dan hampir saja aku menyerangnya ketika pada suatu kali dia memandang dan tersenyum kepadaku. Juga para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, agaknya mereka pun bukan orang baik-baik. Toako, benarkah dugaanku bahwa mereka adalah tokoh-tokoh sesat dan kalau benar demikian, kenapa Tiat-long-pang menerima orang-orang seperti itu di sini?” Pertanyaan ini diajukan Li Sian dengan pandang mata tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah pemuda itu.

Siangkoan Liong tetap tersenyum tenang, bahkan lalu berkata, “Selain itu, adakah lagi hal lain yang mendatangkan perasaan heran dan penasaran di dalam hatimu, Sian-moi? Kalau ada, ajukanlah pertanyaan itu agar sekalian kujawab, karena memang terdapat banyak hal yang belum kau ketahui dan agaknya kesemuanya itu perlu aku jelaskan kepadamu.”

“Ada satu lagi, Toako. Aku melihat betapa para anggota Tiat-liong-pang dilatih perang-perangan seolah-olah mereka itu menghadapi suatu pertempuran atau perang. Apakah artinya semua itu? Apakah ada bahaya yang mengancam Tiat-liong-pang?”

Pemuda itu tertawa, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Sian-moi, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, menjelaskan hal-hal yang telah kau lihat terjadi di sini dan menimbulkan keheranan dalam hatimu, ingin aku bertanya, ingatkah engkau akan peristiwa yang menimpa keluarga orang tuamu, beberapa tahun yang lalu ketika engkau masih kecil, peristiwa yang mengakibatkan hancurnya keluarga orang tuamu?”

Li Sian mengerutkan alisnya dan mengangguk. “Karena sebagai seorang menteri ayah berani menentang Thaikam Hou Seng yang berkuasa. Menurut penjelasan mendiang guruku, kaki tangan Hou Seng itulah yang membunuh ayah ibu dan kemudian ayah difitnah sehingga sisa keluargaku ditangkap sebagai pemberontak. Semua kakakku tewas kecuali kakak Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi perwira...“

Pemuda itu mengangguk-angguk, “Jelaslah bahwa keluargamu hancur karena kelaliman kaisar! Kaisar yang menjadi permainan para thaikam dan para menteri yang jahat dan korup. Ingat, Sian-moi, biar pun menjadi menteri, akan tetapi ayahmu bukanlah seorang Mancu asli, melainkan peranakan dan darahmu lebih banyak darah Han dari pada darah Mancu.”

Mata gadis itu terbelalak. “Maksudmu bagaimanakah Toako, dengan menyinggung soal keturunan dan darah?”

“Maaf, Sian-moi. Kita adalah orang-orang Han. Engkau tentu tahu bahwa pemerintah sekarang ini adalah pemerintah penjajah bangsa Mancu yang menjajah tanah air kita, memperbudak bangsa kita!” Ucapan ini penuh semangat dan gadis itu memandang dengan penuh perhatian.

“Lalu, bagaimana?” tanyanya, ingin tahu karena ia belum dapat menduga ke arah mana percakapan itu.

“Nah, karena itulah Tiat-liong-pang menganggap sudah tiba saatnya untuk menentang pemerintahan penjajah, menumbangkan kekuasaan bangsa Mancu!”

“Kau maksudkan… memberontak?” Li Sian membelalakkan matanya, tidak menyangka sama sekali bahwa Tiat-liong-pang bermaksud memberontak.

Pemuda itu mengangguk-angguk. “Memberontak terhadap kekuasaan penjajah Mancu, Sian-moi, berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa kita dari cengkeraman penjajah. Itulah sebabnya mengapa kami menghimpun kekuatan, melatih anak buah kami dan tentang para tokoh itu, engkau tidak keliru, memang di antara mereka terdapat orang-orang kang-ouw dari dunia hitam. Kami membutuhkan tenaga mereka, bantuan mereka karena mereka itu memiliki kepandaian tinggi, juga memiliki banyak anak buah. Kami harus menghimpun kekuatan dari mana pun juga untuk memperkuat kedudukan kami agar perjuangan kami menentang penjajah dapat berhasil. Nah, engkau mengerti sekarang keadaan di sini, Sian-moi?”

Sesungguhnya, hati Li Sian diliputi kekhawatiran dan kebingungan. Ia belum mengerti benar, akan tetapi ia mengangguk-angguk. Bagaimana pun juga pada dasarnya ia dapat mengerti. Tiat-liong-pang hendak memberontak, menentang pemerintah sebab kerajaan yang sekarang adalah Kerajaan Mancu, bangsa asing yang menjajah tanah air dan bangsa! Dan ia pun merasa bangga dan kagum.

Kiranya Tiat-liong-pang sedang mengadakan gerakan perjuangan yang demikian mulia, akan tetapi juga amat berbahaya. Tiba-tiba ia pun teringat akan sesuatu dan wajahnya mendadak berubah pucat.

"Liong-ko, kalau begitu Tiat-liong-pang akan memusuhi pasukan pemerintah?"

Pemuda itu mengangguk, “Tentu saja, pasukan pemerintah adalah pasukan kerajaan penjajah dan...“

“Tapi... tapi kakakku, Pouw Ciang Hin kabarnya menjadi perwira pasukan pemerintah! Kabarnya dia ditugaskan di perbatasan utara ini dan apakah sampai sekarang anak buahmu belum dapat menemukannya?”

Siangkoan Liong tersenyum tenang.

“Jangan khawatir, Sian-moi. Ketahuilah bahwa komandan pasukan yang bertugas di utara ini telah mengadakan hubungan dengan kami dan dia mendukung gerakan kami. Jadi, kalau kakakmu itu menjadi perwira bawahannya, tentu hal itu berarti bahwa kakakmu juga akan bekerja sama dengan kita. Engkau tentu suka membantu, bukan?”

Gembira rasa hati Li Sian mendengar tentang kakaknya itu. “Ahh, kalau begitu bagus sekali. Tentu saja aku suka membantu, Liong-ko.”

Namun Siangkoan Liong masih belum merasa puas dengan kesanggupan ini. Selama belasan hari ini, diam-diam dia mengamati gerak-gerik Li Sian dan bahkan menyuruh Sin-kiam Mo-li diam-diam melakukan pengamatan dari jauh. Satu hal yang membuat dia merasa gelisah dan belum percaya benar adalah karena menurut keterangan Sin-kiam Mo-li, Pouw Li San adalah murid dari mantu Pendekar Super Sakti Pulau Es!

Padahal, dia sudah mendengar bahwa di antara keluarga Pulau Es dan keluarga kaisar Mancu, masih terdapat hubungan kekeluargaan yang dekat. Isteri Pendekar Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan isterinya dan puterinya pernah menjadi panglima-panglima Mancu yang gagah perkasa dan pada waktu yang lampau sudah menumpas banyak gerakan pemberontakan.

“Sian-moi, engkau pernah menceritakan kepada ayah bahwa gurumu adalah seorang sakti, keluarga Pulau Es, bahkan mantu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Lalu bagaimana pendapat mendiang gurumu itu tentang pemerintah penjajah dan gerakan para patriot?” Dia memancing.

Li Sian mengingat-ingat, lalu menggeleng kepalanya. “Seingatku, suhu belum pernah bicara tentang pemerintahan dan jika sekali waktu aku bertanya dia tak mau memberi penjelasan. Hanya pernah dia mengeluh tentang kelemahan kaisar yang membiarkan dirinya dipermainkan para pembesar durjana.”

“Nah, tidak salah lagi. Diam-diam suhu-mu itu pun tentu tidak setuju dengan adanya pemerintah penjajah yang lalim!” Siangkoan Liong berseru girang. Tadinya dia khawatir bahwa guru gadis ini condong memihak kerajaan.

Pada saat itu, nampak serombongan orang datang. Dari jauh saja Siangkoan Liong dan Li Sian bisa mengenal rombongan yang dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li, kini mengiringkan seorang laki-laki dan seorang wanita yang berjalan sambil bergandeng tangan.

Laki-laki itu nampak bersikap gagah walau pun langkahnya tak menunjukkan dia pandai ilmu silat. Sedangkan wanita itu cantik manis, berusia mendekati empat puluh tahun, sebaya dengan laki-laki itu. Tetapi wanita yang nampak tenang sederhana itu memiliki langkah kaki yang mengejutkan Siangkoan Liong dan Li Sian karena mereka berdua dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan.

Laki-laki dan wanita itu adalah Yo Jin dan Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi yang baru datang bersama rombongan Sin-kiam Mo-li. Setelah rombongan mereka sampai di luar daerah kekuasaan Tiat-liong-pang, rombongan ini disambut oleh Toat-beng Kiam-ong dan para tokoh yang membantu pergerakan Tiat-liong-pang, di antaranya nampak ada beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.

Melihat mereka diam-diam Bi-kwi terkejut. Tadinya ia mulai percaya akan pengakuan Sin-kiam Mo-li bahwa iblis betina itu sedang membantu perjuangan orang-orang gagah yang dipimpin oleh ketua Tiat-liong-pang, akan menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat orang-orang yang dikenalnya sebagai tokoh sesat, dia pun mulai meragu lagi. Akan tetapi, dengan cerdik Bi-kwi diam saja, bahkan pura-pura tidak mengenal mereka.

Melihat betapa Sin-kiam Mo-li pulang sambil membawa laki-laki dan wanita yang tidak dikenalnya itu, Siangkoan Liong segera bangkit dan menghadang, diikuti oleh Li Sian yang juga ingin tahu.

“Mo-li, siapakah dua orang saudara yang barusan datang ini?” tanya Siangkoan Liong sambil memandang kepada Bi-kwi karena kecantikan wanita ini pun menarik hatinya.

Sin-kiam Mo-li tersenyum dengan bangga karena dia merasa betapa usahanya telah berhasil baik. “Siangkoan-kongcu, dia inilah Bi-kwi yang pernah saya bicarakan dengan Kongcu dan dengan bengcu (pemimpin). Saya telah berhasil mengajaknya ke sini dan bergabung dengan kami. Dan laki-laki ini adalah suaminya. Bi-kwi adalah murid utama dari mendiang Sam Kwi, dia lihai bukan main, Kongcu.” Kemudian ia memperkenalkan pemuda itu kepada Bi-kwi dan Yo Jin. “Kongcu ini adalah putera dari pimpinan kami bernama Siangkoan Liong.”

Bi-kwi memandang pemuda itu. Sekali pandang saja tahulah Bi-kwi bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah lembut ini mempunyai kepandaian tinggi. Juga di balik kelembutan sikapnya itu, di balik sinar matanya yang lembut, dia dapat melihat gairah nafsu yang besar, maka diam-diam ia berhati-hati.

Juga ia memandang kepada gadis yang berada di dekat Siangkoan Liong, dan ia pun bisa menduga bahwa gadis itu pun bukan gadis sembarangan. Hemmm, di sini banyak terdapat orang pandai, pikir Bi-kwi khawatir. Tadi pun ia mengenal Toat-beng Kiam-ong, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-kauw, juga beberapa orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi berada di tempat itu.

Siangkoan Liong mengerutkan alisnya. Agaknya dia memandang rendah kepada Bi-kwi dan suaminya. Betapa pun lihainya, agaknya suami isteri itu berada di bawah pengaruh Sin-kiam Mo-li. Orang yang kelihaiannya tidak melebihi Sin-kiam Mo-li, kurang menarik hatinya walau pun sempat hatinya terguncang dan gairahnya bangkit oleh kecantikan Bi-kwi yang sudah matang itu!

“Bawalah mereka menghadap ayah,” katanya. Dia pun mengajak Li Sian untuk kembali duduk bercakap-cakap di dalam taman. Rombongan itu lalu masuk ke dalam untuk menghadap Siangkoan Lohan.

Setelah mereka berdua duduk lagi di dalam taman. Li Sian bertanya, “Apakah suami isteri itu pun hendak membantu gerakan yang dipimpin oleh ayahmu, Liong-toako?”

“Agaknya begitulah. Perjuangan ini didukung oleh orang gagah, dan aku yakin bahwa usaha ayah akan berhasil baik,” kata Siangkoan Liong gembira.

“Wanita itu kelihatan memiliki kepandaian tinggi,” kata pula Li Sian.

“Kau tunggu saja, Sian-moi. Kalau ada kesempatan akan kuperkenalkan engkau kepada suhu-ku.”

“Gurumu?” Gadis itu memandang wajah pemuda di depannya dalam keremangan cuaca senja. “Bukankah gurumu itu adalah paman Siangkoan Tek sendiri? Bukankah ayahmu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi?”

Pemuda itu tersenyum bangga. “Memang benar, Sian-moi. Akan tetapi guruku ini lebih lihai lagi. Ayah sendiri pernah menguji kepandaiannya maka ayah memperbolehkan aku berguru padanya. Ilmu kepandaian guruku itu sulit diukur sampai bagaimana tingginya!”

Li Sian tersenyum dalam hatinya. Baru kini dia mendengar ucapan yang mengandung nada bangga dan bahkan sombong dari pemuda ini. Dia tidak merasa heran karena mungkin saja apa yang dikatakan pemuda ini benar. Menurut keterangan gurunya, di dunia ini memang banyak terdapat orang-orang sakti.

“Siapakah gurumu, Liong-toako? Dan kenapa tidak sejak kemarin aku kau perkenalkan padanya?”

“Guruku sedang bertapa dan dia tidak suka diganggu. Kelak jika dia kebetulan datang berkunjung ke sini, barulah akan kuperkenalkan engkau kepadanya. Beliau bernama keturunan Ouwyang, biasa disebut Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang) dan tak pernah ada yang tahu siapa namanya. Nama julukannya adalah Nam-san Sianjin (Manusia Dewa Pegunungan Selatan). Dia bukan orang sembarangan, Sian-moi, karena dahulu dia pernah menjadi seorang yang sangat penting, bahkan menjadi penasehat raja di Kerajaan Birma.”

Li Sian tertarik sekali. Ia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum pernah dia menyaksikannya. Selama belasan hari ini mereka bergaul cukup rapat hingga dia seolah-olah diberi kesempatan untuk mengenal pemuda ini, bukan hanya wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya, akan tetapi juga keadaan dan wataknya. Akan tetapi dia belum melihat sampai di mana tingkat kepandaiannya, dan berkenalan tanpa mengetahui atau melihat kepandaiannya tentulah tidak lengkap. Ingin ia menguji kepandaian pemuda itu. Apakah jauh di atas tingkatnya sendiri?

“Liong-ko, setelah engkau menerima gemblengan dari ayahmu sendiri, kemudian dilatih pula oleh seorang sakti seperti gurumu, tentu engkau kini telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Semenjak kecil kita sudah saling mengenal, bahkan kini ayahmu juga menerimaku dengan ramah dan baik, bahkan menganggap aku sebagai keponakannya sendiri sehingga antara kita terdapat pertalian persaudaraan. Oleh karena itu, aku ingin sekali melihat sampai di mana tingkat kepandaianmu itu, Toako, agar supaya aku dapat menambah pengetahuanku darimu.”

Siangkoan Liong tersenyum, apa lagi melihat gadis itu sudah bangkit berdiri menuju ke petak rumput yang cukup luas dan enak untuk dipakai berlatih silat, di dalam taman itu dekat kolam ikan, dan gadis itu berdiri tegak menantinya. Tentu saja dia tahu bahwa gadis itu agaknya ingin sekali menguji kepandaiannya, tentunya dengan maksud baik, karena jelas nampak olehnya betapa Li Sian mulai tertarik kepadanya. Dia pun bangkit berdiri dan menghampiri gadis itu.

“Sian-moi, aku sudah melihat bahwa engkau mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga pada waktu engkau pertama kali muncul di sini, engkau mampu menandingi kelihaian Sin-kiam Mo-li. Aku menjadi gentar melawanmu, Sian-moi. Bagaimana kalau sampai aku tewas atau terluka parah karena pukulanmu?”

“Aih, Liong-toako, harap jangan berkata demikian. Kepandaian Sin-kiam Mo-li amat lihai dan kalau tidak muncul ayahmu datang melerai, tentu aku akan celaka di tangannya. Aku hanya ingin melihat sendiri kelihaianmu dalam suatu permainan bersama. Bagai mana mungkin kita akan saling melukai? Sudahlah, Toako, jangan terlalu pelit, mari kita main-main sebentar untuk membuka mataku.”

“Baik, Sian-moi. Nah, aku sudah siap, kau mulailah keluarkan seranganmu!” pemuda itu berkata sambil memandang dengan senyum memikat dan dia pun membuka pasangan kuda-kuda yang gagah dan indah.

Li Sian yang memang ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian pemuda yang menarik hatinya ini, segera mengeluarkan seruan sebagai isyarat bahwa dara ini mulai menyerang. Serangan awalnya merupakan tamparan ke arah pundak Siangkoan Liong, seperti main-main saja, akan tetapi gadis ini mengerahkan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) ke dalam telapak tangannya sehingga hawa panas menyambar ke arah pundak Siangkoan Liong.

Pemuda ini kagum sekali ketika merasakan betapa tangan kanan gadis itu menyambar lambat namun membawa hawa yang amat panas. Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya menangkis untuk melindungi pundaknya. Karena dia maklum bahwa gadis manis itu menggunakan sinkang untuk menguji tenaganya, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang dalam lengan yang menangkis itu.

“Dukkk!”

Kedua lengan bertemu dan hampir Siangkoan Liong berseru karena dia merasa betapa hawa panas menyusup ke dalam lengannya. Cepat dia menarik kembali lengannya dan loncat ke belakang, mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk mendorong keluar lagi hawa panas itu.

Li Sian tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya, seperti juga yang dilakukan pemuda itu, karena memang dara ini hanya ingin menguji saja. Ketika melihat bahwa pemuda itu mampu menangkis tamparan yang mengandung Hui-yang Sinkang, dia merasa kagum dan menyerang lagi, kini dengan tangan kiri yang mendorong dengan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju).

Kembali pemuda itu menangkis, agak menambah tenaga sinkang-nya karena dia tahu bahwa gadis cantik ini memang lihai dan kuat. Kembali kedua lengan mereka bertemu dan Siangkoan Liong kini meloncat mundur, tidak lagi sambil menahan seruannya.

“Bukankah itu tadi dua tenaga sakti dari Pulau Es yang terkenal itu? Yang panas adalah Hui-yang Sinkang dan yang dingin ini tadi Swat-im Sinkang?” tanyanya setelah berhasil mendorong keluar pengaruh hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya.

Li Sian menjadi semakin kagum. Pemuda itu ternyata mampu mengenali dua macam tenaga sinkang yang dipelajarinya dari gurunya, Bu Beng Lokai.

“Benar sekali, Toako. Sekarang terimalah lagi seranganku ini!” katanya gembira.

Kini tubuhnya bergerak cepat karena dia sudah memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Mengacau Langit) yang juga merupakan salah satu ilmu silatnya yang paling hebat di samping ilmu pedangnya yang sama dasarnya, yaitu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).

Menghadapi gerakan ilmu silat yang amat dahsyat itu, cepat dan mengandung tenaga besar, Siangkoan Liong berseru, “Bagus sekali!”

Dia pun menghadapi terjangan Li Sian dengan hati-hati, juga dengan cepat sekali. Dia maklum akan kelihaian gadis ini, dan tahu pula bahwa kalau dia hanya mengandalkan kelincahan dan tenaga untuk bertahan saja, akhirnya dia akan kalah. Maka, pemuda ini, yang tidak mau dikalahkan karena hal itu akan merendahkan dirinya dalam pandangan gadis yang sangat menarik hatinya itu, segera bergerak membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Dia telah mainkan ilmu silatnya yang aneh, yang lebih banyak mempergunakan loncatan-loncatan dan tendangan sambil meloncat, yaitu Kong-ciak Sin-kun (Silat Sakti Burung Merak) yang pernah dipelajarinya dari Ouwyang Sianseng dan kini menjadi ilmu andalannya.

Memang hebat sekali ilmu silat ini karena mampu menandingi Lo-thian Sin-kun yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu silat tinggi. Makin kagum rasa hati Li Sian melihat betapa ilmu silat aneh dari pemuda itu sangat lincah dan berbahaya, sehingga ketika ia memainkan Lo-thian Sin-kun, Siangkoan Liong sama sekali tidak terdesak, bahkan dia mampu membalas setiap jurus serangannya dengan sama hebatnya.

Mereka saling serang sampai tiga puluh jurus lebih dan melihat ini, Li Sian makin lama semakin menambah tenaganya. Sampai akhirnya dia mengerahkan semua tenaga dan kepandaian, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak Siangkoan Liong, sebaliknya, pemuda ini juga semakin kagum pula karena baru setelah dia mengerahkan hampir semua tenaganya, gadis itu tidak mampu menjadi semakin hebat. Hal ini menunjukkan bahwa biar pun tidak banyak selisihnya, namun tingkatnya masih lebih tinggi.

Akan tetapi tentu saja dia tidak ingin mengalahkan nona itu dengan keras, tidak mau melukainya, maka otaknya yang cerdik itu mencari-cari akal bagaimana dia akan dapat memenangkan pibu (adu silat) itu tanpa melukai lawan. Dia pun teringat akan sebuah ilmu silat dari keluarganya, yaitu Tiat-wi Liong-kun (Ilmu Silat Naga Ekor Besi) yang juga menggunakan tenaga sinkang yang istimewa dan semenjak tadi dipergunakannya untuk menandingi sinkang dari Li Sian, yaitu Liong-jiauw-kang (Tenaga Sakti Cakar Naga).

Sinkang yang dimilikinya telah diperkuat dengan gemblengan Ouwyang Sianseng, maka kini dalam hal sinkang, dia malah lebih kuat dari pada ayahnya sendiri. Ilmu Silat Naga Ekor Besi ini mempunyai beberapa jurus yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol, yaitu ilmu untuk menangkap dan membanting. Juga terdapat cara-cara menangkap dan mengempit lawan sampai tidak mampu lolos atau pun bergerak lagi. Inilah yang akan digunakannya karena hanya ilmu ini yang akan mampu memberinya kemenangan tanpa melukai atau merobohkan lawan.

Akan tetapi, Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang selain cerdik, juga sudah mempelajari kebudayaan sejak kecil. Dia tahu bahwa jika dia melakukan penangkapan dan himpitan seperti itu terhadap Li Sian, tentu akan membuat Li Sian menyangka dia sengaja mempermainkan dan hendak kurang ajar, mempergunakan ‘kesempatan’ untuk memeluk dan menangkap gadis itu.

Maka, sebelum mempergunakan ilmu itu, dia terlebih dahulu akan memberi peringatan agar gadis itu tidak menyangka yang bukan-bukan, walau pun tentu saja satu di antara sebab yang mendorongnya menaklukkan Li Sian dengan cara itu adalah untuk dapat merangkul dan mendekap tubuh yang membuatnya tergila-gila itu!

Mendadak Siangkoan Liong mengubah gerakannya dan berseru, “Awas, Sian-moi, aku akan menyerang dengan tendangan Ban-kin-twi!”

Dan kini Siangkoan Liong sudah menggunakan kedua kakinya yang secara bertubi-tubi melakukan tendangan yang amat cepat dan kuat. Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) adalah ilmu tendangan dari ayahnya, yang selain cepat dan sukar diduga dari mana datangnya tendangan, juga amat kuat, sesuai dengan namanya.

Melihat tendangan kedua kaki yang menyambar-nyambar dari segala jurusan ini, Li Sian cepat mainkan San-po Cin-keng. Kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh yang teratur rapi dan sungguh aneh, semua sambaran kaki Siangkoan Liong hanya mengenai angin saja karena setiap kali kakinya meluncur, tubuh gadis itu telah bergeser dengan langkahnya yang ringan, aneh dan cepat. Akan tetapi, dengan begini, Li Sian pun tidak mampu lagi balas menyerang sehingga ia nampak terdesak.

“Sekarang aku akan menyerang dengan Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun, Sian-moi. Awas!” Dan pemuda itu sudah menghentikan rangkaian tendangannya, kini menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman yang dicampur dengan totokan dan tendangan.

Li Sian menghadapi serangan-serangan ini dengan kembali mainkan Lo-thian Sin-kun agar ia dapat membalas serangan sehingga keduanya sudah bertanding lagi dengan amat serunya.

Pada waktu Siangkoan Liong melihat kesempatan baik, melihat tangan kanan Li Sian menyambar ke arah lambungnya dengan pukulan jari tangan terbuka, seperti pedang, secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan itu dengan tangan kanannya dan cepat sekali, tanpa dapat diduga oleh Li Sian, dia sudah menyusup ke belakang tubuh gadis itu sambil memuntir lengan kanan Li Sian sehingga lengan kanan gadis itu terpuntir ke belakang tubuhnya.


Kini tubuh Siangkoan Liong berada di sebelah kiri agak ke depan, dengan lengan kanan gadis itu masih dipuntir dan dicengkeram pergelangannya. Li Sian cepat menggunakan siku lengan kirinya untuk menyerang agar pemuda itu melepaskan lengan kanannya, akan tetapi serangan ini sudah diduga lebih dahulu oleh Siangkoan Liong yang cepat menggunakan tangan kirinya mencengkeram pula ke arah siku lengan kiri Li Sian.

Siku itu dapat dicengkeram dan seketika gadis itu merasa tenaga pada lengan kirinya lenyap dan lumpuh. Ia terkejut dan cepat memutar tubuh ke kiri dan kakinya bergerak hendak mengirim tendangan. Akan tetapi kembali gerakan ini sudah dapat diduga oleh Siangkoan Liong dan cepat sekali kaki pemuda itu telah mendahului, dimajukan ke depan di antara kedua kaki Li Sian.

Dengan demikian, tentu saja gadis itu tidak berani melakukan tendangan karena bagian tubuhnya yang paling rahasia menempel pada paha di atas lutut Siangkoan Liong. Gadis itu mencoba untuk meronta, namun hasilnya hanya membuat dadanya bergeser dengan lengan kiri pemuda itu yang mencengkeram siku kirinya dan lengan itu ditekuk sehingga siku kiri pemuda itu mengancam dadanya! Wajah Li Sian berubah merah sekali merasa betapa bagian tubuh depan telah bersentuhan dan didekap oleh siku dan lutut pemuda itu!

“Sian-moi, inilah ilmu gulat yang terdapat dalam Tiat-wi Liong-kun kami. Maafkan aku!” katanya dan ketika bicara ini, wajahnya dekat sekali dengan wajah Li Sian.

Ia pun cepat melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur sambil berkata lagi, “Wah, ilmu kepandaianmu hebat sekali, Sian-moi. Kalau aku tidak mempergunakan akal dengan ilmu gulat yang tidak kau kenal, belum tentu aku akan mampu menyelamatkan diri dari serangan-serangan dan desakanmu.”

Sampai beberapa lamanya Li Sian tak mampu bicara, jantungnya masih berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Ia merasa malu sekali. Bukan karena kekalahannya, sama sekali bukan, melainkan mengingat betapa tadi ia sudah dirangkul, didekap dan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pemuda itu!

Ia tidak dapat marah, karena ia tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya, tidak bermaksud melakukan perbuatan cabul dan tidak sopan. Bukankah Siangkoan Liong sudah memperingatkannya setiap kali hendak mengeluarkan suatu ilmunya? Dan pemuda itu tadi mempergunakan ilmu gulat untuk mengalahkannya, dan tentu saja ilmu gulat itu dimainkan dengan cara menangkap, memuntir dan menekan atau menghimpit. Akan tetapi, mengingat betapa payudaranya tadi tertekan oleh lengan Siangkoan Liong, dan antara kedua pahanya tertekan oleh lutut pemuda itu, sungguh membuat ia merasa tubuhnya panas dingin.

“Kenapa, Sian-moi? Maafkan aku, kalau aku telah mengalahkanmu dengan ilmu gulat hingga membuat hatimu kecewa,” kata Siangkoan Liong sambil memandang khawatir.

Li Sian tersenyum malu-malu dan menggelengkan kepala. “Ahh, tidak, Liong-toako. Aku memang sudah menduga bahwa aku takkan menang melawanmu dan ternyata engkau memang hebat, tingkat kepandaianmu lebih tinggi dari pada aku, Toako.”

“Sudahlah, Sian-moi. Terus terang saja, kalau aku tidak menguasai ilmu silat bercampur ilmu gulat, agaknya aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Malam telah tiba, marilah kita mencari anak buahku yang berjanji bahwa malam ini dia akan mengajak kakakmu itu datang untuk bertemu denganmu.”

Bukan main girangnya hati Li Sian. Ia bangkit lagi dari tempat duduknya dan berseru, “Ahhh, terima kasih, Toako. Sungguh aku berterima kasih sekali kalau hal itu benar dan aku dapat bertemu dengan kakak sulungku Pouw Ciang Hin!”

Mereka lalu meninggalkan taman itu dan sungguh aneh, seperti sudah sewajarnya saja tangan pemuda itu menggandeng tangan Li Sian dan lebih aneh pula, gadis ini pun tidak menarik tangannya, hanya tangan itu agak dingin dan sedikit gemetar ketika Siangkoan Liong menggenggamnya. Akan tetapi dalam genggaman tangan pemuda itu yang mesra dan lembut, tangan Li Sian menjadi makin hangat dan tidak gemetar lagi.


                  ***************


Mereka berdua duduk menanti di dalam ruangan itu, ruangan bagian belakang rumah induk yang luas. Ruangan ini biasanya digunakan oleh pangcu Siangkoan Lohan untuk mengadakan rapat dan perundingan dengan para pembantunya.

Siangkoan Liong mempersilakan Li Sian duduk setelah dia berbicara dengan beberapa orang anak buahnya. “Kita tunggu di sini sebentar, Sian-moi. Tak lama lagi utusanku itu akan datang dan mudah-mudahan dia tidak gagal membawa kakakmu ke sini untuk berjumpa denganmu.”

Gadis itu menatap wajah Siangkoan Liong dengan sinar penuh rasa syukur dan terima kasih. Jantungnya berdebar penuh ketegangan sebab akan berjumpa dengan kakaknya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara untuk menjawab, melainkan hanya dapat mengangguk. Tetapi setelah beberapa menit lamanya, gadis ini dapat menenteramkan gejolak perasaan hatinya dan ia pun mengangkat muka memandang wajah pemuda itu.

Kebetulan sekali Siangkoan Liong juga sedang memandang sehingga dua pasang sinar mata itu saling tatap dan sejenak melekat. Akhirnya Li Sian menundukkan pandang matanya dan bertanya dengan suara lirih.

“Toako, di mana engkau menemukan kakakku? Benarkah dia bekerja menjadi perwira dalam pasukan pemerintah yang berjaga di perbatasan utara ini?”

Siangkoan Liong tersenyum dan mengibaskan ujung bajunya dengan jari tangannya. Ujung baju itu agak kotor karena pi-bu yang mereka adakan di taman tadi.

“Menurut laporan para penyelidik, memang begitulah, Sian-moi. Akan tetapi sebaiknya engkau bertanya sendiri kepada kakakmu nanti kalau benar dia dapat diajak datang oleh utusanku. Jangan khawatir, utusanku itu adalah suheng-ku sendiri. Dia adalah murid ayahku yang paling lihai dan paling dipercaya, oleh karena itu maka aku sengaja mengutus dia untuk menjemput kakakmu.”

Percakapan mereka terputus ketika nampak dua orang memasuki ruangan itu dari pintu samping. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat dan matanya tajam. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Akan tetapi Li Sian tidak memperhatikan orang itu, melainkan memperhatikan orang ke dua yang usianya sebaya dengan orang pertama, kurang lebih tiga puluh lima tahun yang mengenakan pakaian perwira pasukan kerajaan. Biar pun kini nampak jauh lebih tua, namun ia tidak pangling melihat wajah orang ini. Kakaknya! Wajah yang tampan ini nampak jauh lebih tua dari pada usianya, penuh garis-garis penderitaan hidup, bahkan pandang matanya pun sayu.

Sementara itu laki-laki berpakaian perwira itu pun memandang kepada Li Sian, dengan mata agak terbelalak.

“Li Sian… engkau Li Sian...,“ kata laki-laki itu yang bukan lain adalah Pouw Ciang Hin, kakak sulung Pouw Li Sian.

Hanya dialah seorang di antara keluarga Pouw-taijin yang selamat serta diampuni, dan bahkan kemudian masuk menjadi tentara. Mengingat bahwa dia adalah putera seorang pejabat tinggi, juga karena kecakapannya, dia pun sekarang menjadi seorang perwira yang ditugaskan dalam pasukan yang berjaga di perbatasan.

“Kakak Pouw Ciang Hin...“ Li Sian juga berkata lirih.

Keduanya merasa agak kikuk karena selain di situ terdapat orang lain, juga karena telah lama sekali mereka saling berpisah, bahkan menyangka bahwa masing-masing sudah meninggal dunia. Akan tetapi sekali berjumpa, mereka saling mengenal, biar pun ketika mereka berpisah, Li Sian baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.

Melihat sikap kakak beradik itu, Siangkoan Liong tersenyum dan berkata kepada pria yang tadi menemani Pouw Ciang Hin memasuki ruangan itu, “Ciu-suheng, mari kita keluar dan biarlah kakak beradik yang berbahagia ini bercakap-cakap. Sian-moi, biarlah kami pergi dulu, dan Pouw-ciangkun, selamat bertemu dengan adikmu.”

Setelah berkata demikian, dengan sikap hormat Siangkoan Liong lalu menjura kepada mereka berdua, kemudian dia keluar meninggalkan ruangan itu bersama suheng-nya yang sejak tadi diam saja.

Suheng-nya itu juga adalah tangan kanan Siangkoan Lohan, murid utama yang terkenal dengan julukannya Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Tiat-liong-pang). Memang ia sangat berbakat memainkan pedang sehingga bukan hanya mampu menguasai dengan baik ilmu pedang dari gurunya, bahkan sudah dapat melampaui gurunya dalam hal ilmu pedang. Oleh karena kelihaiannya dalam berolah pedang, maka di Tiat-liong-pang dia terkenal sebagai Kiam-eng (Pendekar Pedang)!

Setelah dua orang itu pergi, kakak beradik itu kembali saling pandang dan kini, semua perasaan yang tadi ditahan-tahan, seperti air bah menjebol bendungan.

“Koko...!” Li Sian berseru sambil berlari, disambut oleh kakaknya yang mengembangkan kedua lengannya.

“Siauwmoi...!”

Kedua orang kakak beradik itu saling peluk dan bertangisan sampai beberapa lamanya, tak mampu mengeluarkan kata-kata sebab keduanya merasa terharu sekali. Teringatlah oleh mereka semua kenangan lama, tentang kehancuran keluarga mereka, dan bahwa hanya mereka berdualah yang tersisa hidup.

Akhirnya Li Sian yang sudah lama digembleng oleh mendiang Bu Beng Lokai mampu lebih dulu menguasai dirinya. Dengan lembut ia melepaskan diri dari pelukan kakaknya, lalu berkata halus.

“Koko, mari kita duduk dan bicara dengan tenang.” Ia pun duduk sambil menyediakan sebuah kursi lain untuk kakaknya, diletakkan di depannya, terhalang sebuah meja.

Pouw Ciang Hin dapat pula menenangkan dirinya setelah melihat sikap adiknya sudah pulih dan tenang kembali. Dia menggunakan punggung tangan untuk menghapus sisa air matanya, lalu keduanya duduk sambil berpandangan.

“Adikku, engkau sekarang sudah menjadi seorang gadis dewasa! Ahhh, sungguh tidak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini! Ke manakah saja engkau selama ini, adikku? Dan bagaimana dapat lolos dari serbuan pasukan yang membasmi keluarga kita itu?”

Li Sian lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia diselamatkan oleh mendiang Bu Beng Lokai dan dijadikan muridnya, dan betapa selama ini ia ikut bersama gurunya ke puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Kemudian, setelah turun gunung dia melakukan penyelidikan ke kota raja tentang keluarganya dan dia kemudian mendengar bahwa semua anggota keluarganya telah habis kecuali kakak sulungnya yang menjadi perwira dan bertugas di perbatasan utara.

“Aku lalu ingin mencarimu, Koko, dan aku teringat bahwa Tiat-liong-pang yang diketuai oleh paman Siangkoan Tek adalah sahabat mendiang ayah, maka aku lalu mengunjungi Tiat-liong-pang dan berkat bantuan Liong-toako dan anak buahnya, akhirnya malam ini kita dapat saling berjumpa. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Koko?”

“Tidak banyak hal lain di luar yang telah kau dengar, adikku. Tadinya aku pun ditangkap dan dipenjara karena fitnah setelah seluruh keluarga kita dibasmi. Akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang setia, yang memintakan ampun, akhirnya Sri Baginda berkenan mengampuniku, bahkan untuk membuktikan darma baktiku kepada kerajaan aku dianjurkan untuk masuk menjadi tentara. Nah, aku masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang penting adalah...” Perwira itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun melanjutkan, suaranya direndahkan sehingga terdengar lirih, “... adalah kehadiranmu di sini, adikku.”

“Kehadiranku di sini? Kenapa, Koko?” tanya gadis itu heran.

“Ah, mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada di antara para pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan para pemberontak, adikku.”

Li Sian mengerutkan alis. Ia memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu terdengar suaranya penuh kesungguhan. “Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau dapat mengatakan Tiat-liong-pang pemberontak? Keluarga Siangkoan semenjak dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga menjadi sahabat baik ayah kita. Dan kalau Tiat-liong-pang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!”

“Siauwmoi...!”

“Nanti dulu, Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu dan saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar! Oleh karena itu, aku telah mengambil keputusan membantu perjuangan Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk membalas atas kematian keluarga kita...”

“Moi-moi! Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa pergi oleh gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu...“

Pada saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan. Melihat bahwa yang masuk adalah Siangkoan Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya.

Siangkoan Liong tersenyum gembira dan ramah. “Ahh, sungguh aku merasa menyesal sekali harus menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan tetapi, masih terdapat banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku mengganggu kalian karena baru saja aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun sekarang juga.”

Pouw Ciang Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut. “Keperluan apakah itu, Kongcu?”

Siangkoan Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan itu kepada Pouw Ciang Hin. “Ayah mohon bantuanmu supaya surat yang sangat penting ini disampaikan kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat disampaikan sekarang juga karena amat penting.”

Pouw Ciang Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang peristiwa yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa keraguan akan mendatangkan bencana, dia pun lalu mengangguk.

“Baiklah, akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah selama satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan bermalam satu malam di sini sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bisa bercakap-cakap.”

“Baiklah, Koko,” kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi meninggalkan ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong untuk pergi ke kamarnya.

Di dalam kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya. Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk meragukan perjuangan Tiat-liong-pang yang diketuai seorang sahabat ayahnya. Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan. Buktinya, empat orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam penjara. Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah kekuasaan kaisar yang lalim?

Katakanlah keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah jika sampai menjatuhkan hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya sama sekali tidak bersalah. Ayahnya seorang menteri yang baik, jujur dan bijaksana! Betapa pun juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung lagi dan melanjutkan keterangannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.

Memang Pouw Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita mengenai hal itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu.

Di dalam kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai Menteri Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa Hou Seng, seorang thaikam yang amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi kaisar dan kekuasaannya digunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela perbuatan Hou Seng di depan kaisar.

Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu memerintahkan seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya. Untung pada saat itu Bu Beng Lokai sedang menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat yang kemudian melarikan diri.

Akan tetapi, Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan fitnah bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera Pouw Tong Ki ditangkap dengan tuduhan memberontak, serta rumah keluarga Pouw disita! Demikianlah keadaan yang tadinya hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan Siangkoan Liong.

Dan Li Sian menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir, pagi-pagi sekali Siangkoan Liong sudah menemuinya dan dengan muka serius pemuda itu berkata,

“Sian-moi, telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!”

Tentu saja Li Sian terkejut bukan main. “Apa yang telah terjadi dengan kakakku?”

“Dia dibunuh orang...“

“Ahhhh!” Betapa pun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah pucat. “Siapa yang membunuhnya dan mengapa?” tanyanya dengan suara membentak, hatinya penuh duka dan kemarahan.

“Tenanglah, Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku sudah memesan anak buahku supaya keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang bersamaku.”

Mendengar ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti Siangkoan Liong yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan Tiat-liong-pang. Sambil berlari, Siangkoan Liong berkata,

“Agaknya kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janjinya denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan dia tewas bersama seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya.”

Setelah mereka memasuki hutan, Li Sian langsung dapat melihat beberapa orang anak buah Tiat-liong-pang berjaga, dan di tengah hutan, dia melihat belasan orang anggota perkumpulan itu berdiri melingkari dua sosok orang yang menggeletak di atas rumput. Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw Ciang Hin, dan orang yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya setengah tua.

Ketika telah mendekat, ia melihat bahwa di antara anggota Tiat-liong-pang terdapat pula Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu tiga orang yang sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh sakti yang ikut membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga ia bisa melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi berada di situ, sekali ini tanpa suaminya.

Akan tetapi, Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena dia sudah lari dan berlutut di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya sudah tewas, tidak dapat diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri. Dan orang ke dua yang berpakaian perwira itu pun tewas, juga mandi darah.

“Siapakah orang ini?” Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk kepada perwira asing yang tangannya masih memegang sebatang golok besar, sedangkan di dekat tangan kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan darah.

“Kami tidak tahu,” berkata Siangkoan Liong. “Dia tidak berada di dalam pasukan Coa Tai-ciangkun yang semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia memaksa kakakmu untuk mengkhianati komandan pasukannya, mungkin juga memaksanya untuk menjadi mata-mata kerajaan. Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas.”

Mendengar penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat dia akan semua ucapan kakaknya yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan. Apakah kakaknya sudah mulai tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan? Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya mungkin sadar dan hal ini membuat dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh?

Dia mengepal tinju dan di dalam hatinya dia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban keganasan tentara kerajaan kaisar lalim! Satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa dari pembasmian tentara kerajaan, kini sudah dibunuh pula.

“Aku bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!” katanya sambil bangkit berdiri, mengusap beberapa butir air matanya.

Mereka kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Jenazah Pouw-ciangkun dipanggul, sedangkan jenazah perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah hutan itu juga. Pada keesokan harinya, jenazah Pouw Ciang Hin dimakamkan dengan dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, dengan satu upacara kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari pasukan Coa Tai-ciangkun turut pula hadir dan memberi penghormatan.

Li Sian merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari kakak sulungnya, satu-satunya keluarganya yang masih ada di dunia ini, dan berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan tetapi, semua hanya untuk diakhiri dengan kedukaan. Pertemuan singkat, bahkan mereka belum lagi sempat bercakap-cakap secara panjang lebar. Lebih dari itu malah, agaknya terjadi ketidak sesuaian paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan kini ia tidak sempat lagi bicara karena kakaknya dibunuh orang.

Sejak kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan semua orang. Ia merasa lelah sekali, lelah lahir batin. Setelah jenazah itu dimakamkan, dia duduk terkulai di depan makam. Semua orang sudah pergi meninggalkan kuburan kakaknya, kecuali dia sendiri dan Siangkoan Liong yang selalu menemaninya dengan penuh perhatian dan mencoba untuk menghiburnya.

Melihat gadis itu masih bersimpuh dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut di samping Li Sian. Dengan lembut sekali tangannya menyentuh pundak gadis itu dan terdengar suaranya halus menggetar penuh perasaan iba, “Sian-moi... sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal itu sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau harus menjaga kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis saja.”

Li Sian menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena kebanyakan menangis. “Akan tetapi, Liong-ko, dia... dia ini adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki... satu-satunya keluargaku...“

“Aihhh, harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah menerimamu dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku ini, Sian-moi. Sampai sekarang aku masih ada di sampingmu, dan aku akan melindungimu terus, menemanimu, menjadi pengganti seluruh keluargamu, karena aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku...“

Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih, “Liong-ko...“

Ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik dari pada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya. Bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan dia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.

“Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sian-moi?” tanya Siangkoan Liong dengan suara halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu.

Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab. Memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu.

Mereka masih duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian penuh kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannya. Dengan lembut dia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.

“Ahhh, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Kita bersenang-senang di depan makam kakakku yang masih baru...!” katanya agak menyesal.

“Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”

Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu dia menjura sebagai penghormatan terakhir sambil berkata, “Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini yang akan membalaskan kematianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim...!”

“Bagus... bagus...!” Terdengar suara yang dalam dan lantang.

Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang mendadak muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.

“Paman Siangkoan...!” Li Sian memberi hormat.

“Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah yang lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu sudah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”

“Ayah, masih ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan keputusan Ayah.”

“Hemmm, berita apakah itu, Liong-ji (anak Liong)?”

“Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”

Siangkoan Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu.

“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh-sungguh merupakan berita yang sangat membahagiakan hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali. Biarlah nanti jika sudah habis perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”

Siangkoan Liong cepat berkata, “Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. “Mari, kita pulang dan makan.”

Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang tersenyum lebar......






















Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12