Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 09
Siangkoan
Lohan dan puteranya mengerutkan alis dan memeriksa para penjaga yang malang
melintang itu dengan pandang mata mereka.
“Di mana Ciu
Hok Kwi...?” Siangkoan Lohan berseru.
“Mana Kwee
Ci Hwa?” Siangkoan Liong juga berseru heran.
Ayah dan
anak ini masih merasa heran mengapa tiga orang tawanan ini dapat lolos dan
tidak adanya Ciu Hok Kwi dan Kwee Ci Hwa membuat mereka merasa curiga. Namun,
tiga orang pendekar itu yang maklum bahwa tidak perlu lagi banyak bicara dengan
para pimpinan pemberontak yang lihai ini, sudah cepat menggerakkan pedangnya
masing-masing untuk membuka jalan berdarah dan meloloskan diri dari tempat
berbahaya itu.
Akan tetapi
mereka bertiga segera dikeroyok. Bahkan Ouwyang Sianseng sendiri, juga
Siangkoan Lohan turun tangan. Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang yang
menjadi pemimpin pemberontakan itu juga sudah mengeluarkan senjatanya yang
istimewa, yaitu huncwe emas. Ouwyang Sianseng juga sudah menggerakkan kipasnya,
juga Siangkoan Liong sudah menggunakan pedangnya untuk ikut mengepung.
“Tangkap
mereka kembali, jangan dibunuh!” terdengar Ouwyang Sianseng berseru.
Kakek ini
sedang berusaha untuk memberontak untuk membalas dendamnya terhadap kerajaan.
Dia membutuhkan bantuan orang-orang muda ini, maka dia merasa sayang kalau
mereka dibunuh begitu saja. Alangkah akan menguntungkan kalau tiga orang ini
dapat dibujuk untuk membantu gerakan mereka.
Sementara
itu, dalam kamar Ciu Hok Kwi masih terjadi perkelahian mati-matian antara Ci
Hwa dan Ciu Hok Kwi. Meski Ci Hwa mengamuk dengan nekat, namun ia bukanlah
lawan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi. Setelah lewat tiga puluh jurus, kayu
potongan bangku di tangan Hok Kwi berhasil melukai pergelangan tangan gadis
itu.
Ci Hwa
berteriak kesakitan. Pedangnya terlepas, di lain saat pedang itu telah dirampas
oleh Ciu Hok Kwi dan kini, dengan pedang di tangannya, Ciu Hok Kwi dengan
beringas memandang gadis itu. Dia sudah marah sekali karena maklum bahwa dia
telah ditipu oleh Ci Hwa, mempergunakan keindahan wajah dan tubuhnya,
memikatnya sehingga kini tawanan yang lain telah keluar dari kamar-kamar
mereka. Dia akan membunuh Ci Hwa, menyiksanya, untuk melampiaskan kemarahannya.
“Wuuuttt...!”
Pedangnya
menyambar dan karena dia memang ahli pedang, gerakan pedangnya itu cepat
sekali.
Ci Hwa
meloncat ke belakang, tetapi tetap saja paha kirinya terserempet ujung pedang.
Celananya robek dan kulit paha berikut sedikit dagingnya robek pula. Darah
menetes keluar. Ci Hwa menyambar sebuah bangku lain dari sudut kamar dan ia
dengan nekat menyerang lawan itu dengan bangku. Akan tetapi, kembali sinar
pedang berkelebat dan pangkal lengannya robek terluka!
Ci Hwa
menyerang terus mati-matian tanpa mempedulikan dirinya dan dalam belasan jurus
saja, dia sudah menderita belasan luka yang tidak parah namun cukup merobek
pakaian dan kulit tubuhnya, membuat darah berlepotan membasahi seluruh
tubuhnya. Mengerikan sekali keadaan gadis itu, dan Hok Kwi menyeringai puas.
“Akan
kubunuh engkau, perempuan setan!” desisnya berkali-kali setiap kali pedangnya
mengenai sasaran.
Dia sengaja
hanya melukai dengan ujung pedang karena tidak ingin segera membunuh gadis itu.
Setelah gerakan Ci Hwa semakin lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah,
Hok Kwi baru melakukan serangan yang sesungguhnya.
“Cappp...!”
Pedangnya menancap ke lambung Ci Hwa, agak lebih dalam dan gadis itu pun
terhuyung, lalu roboh.
“Mampuslah
kau...!” Ciu Hok Kwi menggerakkan pedangnya untuk dibacokkan ke arah leher,
namun mendadak sebuah tangan menyambar dan mengetuk pergelangan tangan
kanannya.
“Dukkk!
Ahhhhh...!”
Ciu Hok Kwi
terkejut sekali, seketika tangannya lumpuh dan pedangnya terlepas. Ketika dia
mengangkat muka, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian
serba putih, bersama seorang gadis yang cantik jelita dan bersikap gagah
sekali. Makin terkejutlah dia ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain
adalah Tan Sin Hong!
“Paman Ciu
Hok Kwi! Apa… apa yang kau lakukan ini dan mengapa engkau berada di sini?”
tanya Sin Hong yang juga terkejut dan heran sekali melihat bahwa orang yang
hampir membunuh Kwee Ci Hwa itu bukan lain adalah Ciu Hok Kwi atau Ciu Piauwsu,
bekas pembantu mendiang ayahnya!
Hok Kwi
nampak kebingungan, lalu menjawab gagap, “Aku... aku...,” dan tubuhnya lalu
meloncat keluar kamar dan melarikan diri!
“Biar
kukejar dia!” kata Suma Lian, gadis yang datang bersama Sin Hong.
“Jangan,”
kata Sin Hong. “Gadis ini terluka parah, kita harus menyelamatkan dia dan
keluar dulu dari sini.”
Mereka
berdua lalu keluar dari dalam kamar. Sin Hong memondong tubuh Ci Hwa yang
berlumuran darah dan gadis itu dalam keadaan pingsan. Karena pada waktu itu
para tokoh sesat sedang sibuk mengeroyok Hong Beng, Kun Tek, dan Li Sian, maka
dua orang muda perkasa ini dapat melarikan diri keluar dari perkampungan
Tiat-liong-pang dengan aman.
Sementara
itu, dengan amat ketakutan Ciu Hok Kwi meninggalkan kamarnya dan tiba di tempat
di mana tiga orang pendekar muda itu dikeroyok. Perkelahian ini tidak seimbang.
Tiga orang muda itu memang lihai bukan main, akan tetapi, mereka dikeroyok dan
di antara para pengeroyok mereka terdapat orang-orang yang tingkat
kepandaiannya lebih tinggi dari pada mereka, seperti Siangkoan Lohan, Siangkoan
Liong dan terutama sekali Ouwyang Sianseng.
Apa lagi
tiga orang pendekar ini telah kehilangan senjata mereka, hanya menggunakan
pedang biasa saja, hasil rampasan dari para penjaga tadi. Tentu saja
pedang-pedang biasa itu tidak ada artinya ketika bertemu dengan senjata-senjata
pusaka di tangan para pengeroyok mereka.
Ketika
mereka terdesak, kembali dengan gagang kipasnya, Ouwyang Sianseng berhasil
menotok roboh mereka satu demi satu. Tiga orang muda itu lalu dibelenggu dan
kembali dilempar ke dalam sebuah tahanan yang besar, sekali ini disatukan dan
dirantai pada dinding kamar sehingga mereka bertiga tidak akan mampu berkutik
lagi!
Ciu Hok Kwi
mengajak teman-temannya lari ke kamarnya untuk menghadapi Tan Sin Hong dan
wanita cantik itu, akan tetapi ketika mereka tiba di sana, Sin Hong dan Suma
Lian telah lenyap, bahkan Ci Hwa yang tadi telah roboh juga tidak nampak di
situ.
“Hok Kwi,
apa yang telah terjadi?” Siangkoan Lohan menegur muridnya, suaranya tegas dan
kereng. “Bagaimana mereka bisa keluar?”
Wajah Hok
Kwi berubah pucat. Dia tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi dia seorang yang
cerdik dan dalam waktu beberapa detik itu dia telah dapat mengatur siasat untuk
menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Harap Suhu
sudi memaafkan, teecu mengaku telah melakukan kesalahan, telah lalai.”
Siangkoan
Lohan amat menyayang muridnya ini, karena muridnya ini selain merupakan murid
paling lihai, juga cerdik sekali dan selama ini membuat jasa besar untuk
kemajuan gerakan pemberontakannya. Melihat muridnya berlutut minta maaf dan
mengaku salah, kesabarannya telah datang kembali.
“Sudahlah,
ceritakan saja apa yang telah terjadi! Engkau yang memimpin anak buahmu
melakukan penjagaan terhadap para tawanan itu, bagaimana mereka dapat keluar
dan membuat ribut, bahkan telah membunuh banyak penjaga?”
“Maaf, Suhu.
Memang teecu sudah bersalah dan teledor, akan tetapi kalau tidak ada si keparat
Tan Sin Hong, putera Tan Piauwsu dari Ban-goan itu, tentu tidak akan terjadi
pelepasan para tawanan. Harap Suhu ketahui bahwa gadis itu, yang bernama Kwee
Ci Hwa, adalah puteri Kwee Piauwsu di Ban-goan dan sudah mengenali teecu.
Teecu... teecu tergoda dan membawanya ke kamar teecu, karena teecu merasa yakin
bahwa para tawanan takkan mungkin dapat lolos dengan adanya penjagaan ketat.
Akan tetapi, tiba-tiba saja terjadi kegaduhan dan tiga orang tawanan itu lolos,
ternyata dilepaskan oleh Tan Sin Hong itu bersama seorang temannya. Karena
marah, Kwee Ci Hwa lalu teecu lalu bunuh. Tan Sin Hong dan temannya itu datang,
dan terpaksa teecu melarikan diri karena tidak mampu menandingi mereka. Dan
ternyata dia sudah pergi bersama temannya itu, dan agaknya membawa pergi mayat
Kwee Ci Hwa.”
Cerita ini
dapat diterima oleh Siangkoan Lohan. “Sudahlah, sekarang jagalah baik-baik,
awas kalau sampai mereka terlepas lagi. Kecerobohanmu tadi membuat kita
kehilangan belasan anak buah!”
“Maaf, Suhu.
Teecu akan menjaga dengan taruhan nyawa,” kata Ciu Hok Kwi.
Sementara
itu, Sin Hong dan Suma Lian berhasil keluar dari sarang Tiat-liong-pang dan
memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Matahari pagi telah mulai mengirim
cahayanya mengusir kegelapan malam ketika mereka berhenti di atas padang rumput
dalam hutan itu. Dengan hati-hati Sin Hong merebahkan tubuh Ci Hwa ke atas
rumput.
Tadi, dalam
perjalanan, dia telah menghentikan beberapa jalan darah untuk menahan keluarnya
terlalu banyak darah. Akan tetapi, keadaan Ci Hwa sudah sangat payah dan lemah,
disebabkan oleh luka di lambungnya yang dalam, dan juga karena terlampau banyak
keluar darah.
Ci Hwa
membuka matanya dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal wajah Sin Hong yang
berlutut di dekatnya. “Hong-ko... syukurlah... aku dapat bertemu denganmu...”
“Ci Hwa,
tenanglah, aku akan berusaha mengobatimu...“
Ci Hwa
menggelengkan kepala. Di dalam hatinya ia berkata bahwa ia tidak ingin hidup
lagi, setelah penghinaan yang dideritanya dari Siangkoan Liong, juga dari Ciu
Hok Kwi.
“Hong-ko,
dengarlah baik-baik. Ciu Hok Kwi itu..., dialah yang mengatur semua... yang
membunuh ayahmu, membunuh Tang Piauwsu... dan dia pulalah orang bertopeng yang
membunuh orang she Lay itu...“
Sin Hong
terkejut bukan main. Dia memandang wajah Ci Hwa dengan sinar mata tidak percaya
dan mengira bahwa karena keadaannya yang payah, gadis itu telah berbicara tidak
karuan.
“Tapi,
Hwa-moi, dia... dia itu pembantu mendiang ayahku...“
Ci Hwa
menggeleng kepalanya. “Dia murid pertama Siangkoan Lohan..., mereka ingin
memberontak, mereka menguasai Piauwkiok ayahmu... agar dapat mengatur hubungan
dengan luar Tembok Besar... dengan orang-orang Mongol. Semua itu siasat belaka
untuk menguasai Piauwkiok milik ayahmu... dia telah mengaku semua ini
kepadaku...“
“Keparat...!”
Sin Hong terbelalak, baru dia tahu mengapa ayahnya dibunuh, kiranya ada
hubungannya dengan pemberontakan.
Pantas saja
orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Kiranya Tiat-liong-pang yang
mengatur, dan Ciu Hok Kwi adalah murid kepala ketuanya. Sikap Ciu Hok Kwi yang
marah-marah dan menyerbu rumah Kwee Piauwsu, lalu dia dikalahkan Kwee Piauwsu,
semua itu hanya siasat belaka!
“Hong-ko...
engkau telah tahu sekarang siapa musuh besarmu. Aku... aku...“
Tiba-tiba
gadis itu berusaha untuk bangkit duduk, namun tidak kuat dan ia tentu akan
rebah kembali kalau saja Sin Hong tidak cepat membantunya. Mata gadis itu
terbelalak, mukanya membayangkan kemarahan dan kebencian, dan telunjuk kanannya
menuding ke depan, seolah-olah ada orang yang dibencinya berada di situ.
“Siangkoan
Liong! Keparat busuk kau...! Engkau sudah menodaiku... engkau... kubunuh
engkau... ahhhhh...!” Tubuhnya terkulai dan nyawa gadis yang bernasib malang
itu pun melayang pergi meninggalkan tubuhnya.
Sin Hong
merebahkan gadis itu, menutupkan mulut dan matanya, kemudian meletakkan kedua
tangan di depan dada. Suma Lian yang melihat semua ini, mengerutkan alisnya. Ia
melihat betapa Sin Hong duduk tepekur, seperti tenggelam ke dalam lamunan yang
menyedihkan.
“Hong-ko,
siapakah adik yang malang ini?” Suma Lian memecahkan kesunyian dengan
pertanyaannya.
Sin Hong
yang sedang melamun sedih itu terkejut dan seolah-olah terseret kembali ke
dalam kenyataan. Ia menoleh, memandang wajah Suma Lian kemudian menarik napas
panjang. Hubungannya dengan Suma Lian, semenjak mereka berdua meninggalkan Yo
Han kepada Suma Ciang Bun dan menuju ke sarang Tiat-liong-pang itu, menjadi
lebih akrab dan mereka saling menyebut kakak dan adik.
“Namanya
Kwee Ci Hwa,” katanya menjelaskan. “Dia adalah puteri dari Kwee Piauwsu di
Ban-goan, kota kelahiranku. Tadinya aku sudah terbujuk oleh Ciu Piauwsu tadi
untuk mencurigai Kwee Piauwsu sebagai dalang pembunuhan ayahku. Agaknya Ci Hwa
lalu menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri sampai ke sini ketika
ia dan aku memperoleh jejak bahwa Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan
pembunuh ayahku dan beberapa orang lain. Ternyata setelah sampai di sini dia
justru mengalami hal-hal yang lebih menghancurkan kehidupannya, walau pun dia
sudah berjasa untukku, telah mengetahui rahasia pembunuhan ayahku.”
“Hemmm,
agaknya ia telah diperkosa oleh Siangkoan Liong. Bukankah Siangkoan Liong
adalah putera Siangkoan Lohan, pemimpin pemberontak seperti keterangan yang
kita dapatkan di sepanjang perjalanan itu? Sungguh jahat. Kita harus segera
masuk ke sana dan menghajar mereka!”
“Harap sabar
dan tenang, Lian-moi. Kurasa tidak semudah itu. Di sana kini berkumpul banyak
sekali orang pandai, apa lagi karena mereka sedang menyusun kekuatan untuk
memberontak. Dari keterangan yang kita peroleh, baru anak buah mereka saja
sudah tiga ratusan orang, belum lagi anak buah Sin-kiam Mo-li yang merupakan
pembantu utama mereka. Ang-I Mo-pang yang menjadi anak buah Sin-kiam Mo-li itu
tentu lima puluh orang lebih jumlahnya. Dan masih banyak tokoh sesat yang
berada di sarang mereka. Apa artinya tenaga kita berdua?”
Suma Lian
bisa membenarkan pendapat Sin Hong. “Lalu, bagaimana baiknya sekarang, apa yang
harus kita lakukan?”
“Kita rawat
dulu jenazah Ci Hwa, kita kubur saja di bukit ini dengan baik-baik. Kemudian
kita melakukan penyelidikan kembali. Kabarnya banyak orang gagah yang tertawan
oleh mereka. Kalau saja kita dapat menyelundup dan mampu menolong mereka,
alangkah baiknya.”
Suma Lian
hanya menyetujui dan mereka berdua lalu mengurus pemakaman jenazah Ci Hwa
dengan sederhana akan tetapi cukup khidmat. Sin Hong meletakkan sebuah batu
besar di depan makam itu dan menuliskan nama Kwee Ci Hwa di atas batu.
Kemudian,
setelah memberi penghormatan terakhir, dua orang muda perkasa itu mulai
melakukan penyelidikan kembali ke sarang Tiat-liong-pang, dengan hati-hati
sekali.
*************
Pouw Li
Sian, Gu Hong Beng, serta Cu Kun Tek kini ditahan di dalam sebuah kamar tahanan
yang baru, kamar tahanan yang luas sekali. Kaki mereka bertiga dirantai pada
besi di dinding yang kuat sekali. Setelah terbebas dari totokan, mereka dapat
duduk bersila dan dapat bercakap-cakap karena mereka berada dalam satu kamar
tahanan.
Kun Tek yang
sadar lebih dahulu, memandang kepada Pouw Li Sian dengan penuh iba. Gadis itu
pun mulai dapat bergerak kembali, lalu membereskan pakaiannya yang agak kusut,
dan duduk bersila, di sebelah kanan Kun Tek. Hong Beng duduk bersila pula di
sebelah kiri Kun Tek yang berada di tengah-tengah. Jarak di antara mereka hanya
dua meter, namun mereka tidak dapat saling menghampiri karena rantai yang mengikat
kaki mereka.
“Nona,
sungguh aku merasa menyesal bahwa Nona mengalami bahaya seperti ini,” kata Kun
Tek karena tidak tahu apa yang harus dikatakan dalam keadaan seperti itu.
“Kenapa
menyesalkan aku, saudara Cu Kun Tek? Bukankah engkau dan saudara Gu Hong Beng
ini pun mengalami nasib yang sama dengan aku? Kita sama-sama tertawan,
sama-sama terancam bahaya maut!” Li Sian menatap wajah pemuda tinggi besar yang
gagah perkasa itu sambil menahan senyumnya, senyum sedih karena gadis ini masih
menderita tekanan batin akibat dendamnya terhadap Siangkoan Liong yang sedalam
lautan dan setinggi langit!
“Ucapan Kun
Tek memang benar, Nona. Aku pun merasa menyesal sekali bahwa Nona sampai
menjadi tawanan seperti kami. Walau pun kami sendiri tertawan, namun kami adalah
laki-laki. Jika saja kami dapat melakukan sesuatu untuk membebaskanmu,” kata
pula Hong Beng.
Sekarang
Pouw Li Sian mamandang kepada Hong Beng, dan ia pun bertanya, “Menurut
keterangan saudara Cu Kun Tek, engkau adalah murid seorang keluarga Pulau Es.
Bolehkah aku mengetahui siapa nama besar gurumu, saudara Gu Hong Beng?”
Biar pun
Hong Heng tidak pernah membanggakan nama gurunya, namun mendengar pertanyaan
ini, terpaksa dia mengaku dengan sikap rendah hati. “Suhu bernama Suma Ciang
Bun.”
Li Sian
mengangguk-angguk. “Pernah aku mendengar nama besar suhu-mu. Bukankah beliau
itu masih cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ketahuilah, saudara
Hong Beng bahwa mendiang guruku adalah mantu dari Pendekar Super Sakti...“
“Aihhh...!
Apakah beliau kakek guru Gak Bun Beng...?”
“Benar, akan
tetapi namanya sudah berubah menjadi Bu Beng Lokai.”
“Kalau
begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian?”
“Benar
sekali! Engkau mengenal suci-ku? Ahh, sungguh semakin sempit saja dunia ini!”
Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali.
Kun Tek ikut
gembira melihat hal ini. “Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada
hubungan keluarga seperguruan yang sangat dekat dengan Hong Beng, dan dia
adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang
berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini.”
Li Sian
teringat kembali akan keadaan mereka, teringat kembali akan keadaan dirinya. Ia
membayangkan kemungkinan mengerikan yang akan menimpa dirinya. Kini ia tahu
betapa kejam dan kejinya hati Siangkoan Liong dan para pimpinan pemberontak
itu.
Ada bahaya
yang lebih mengerikan dari pada sekedar kematian mengancam dirinya. Hong Beng
dan Kun Tek memang benar kalau tadi mengkhawatirkan keselamatannya karena ia
seorang wanita. Membayangkan semua ini, ia teringat akan keadaan dirinya yang
sudah ternoda dan ia pun mengepal tinjunya.
“Benar apa
yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi,
aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati dari pada
sampai tertawan kembali!” Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya
seperti bernyala.
“Jangan
khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati,” tiba-tiba
Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap.
Mendengar
ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu dan
keduanya saling pandang. Sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat
beberapa detik itu, Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan
cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya
yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua
matanya menjadi basah.
Melihat
keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran di dalam hati Hong Beng. Dia
sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan
berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang bahkan membuat dia
menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu
nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau
mati konyol. Bagaimana pun juga, mereka bertiga tidak akan mungkin mampu
mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang
lebih lihai dari pada mereka.
“Nona Li
Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib
yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimana pun juga, kita harus
dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu, tak mungkin kalau kita hanya
mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan
kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita.
Kalian harus ingat, kalau aku menggunakan akal, hal itu bukan berarti aku
pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya supaya kita dapat lolos lebih
dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat
menghancurkan mereka, jika perlu dengan bala bantuan.”
“Menggunakan
akal? Apa yang kau maksudkan, Hong Beng?” tanya Kun Tek.
“Kita harus
mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan
mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita tidak akan mampu
lolos dan akan mati konyol di sini.”
“Aku tidak
takut, apa lagi untuk melindungi nona Li Sian!” kata Kun Tek dengan sikap
gagah.
Hong Beng
tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar yang
gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!
“Kita semua
tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu
bukanlah perbuatan gagah namanya, namun perbuatan yang bodoh sekali. Bukankah
begitu? Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita
harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku akan bermain sandiwara dan pura-pura
takluk...“
“Takluk
kepada mereka? Tidak sudi! Aku akan melawan!” teriak Kun Tek.
“Saudara Kun
Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar,
kalau tidak ada harapan menang dengan menggunakan kekerasan, kenapa tidak
menggunakan akal mengalah? Mengalah untuk akhirnya menang?”
Aneh sekali,
demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar
kembali dan mengangguk, lalu berkata, “Bagaimana akalmu, coba katakan Hong
Beng.”
Hemmm,
raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat
ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.
“Begini.
Mereka itu jelas musuh kita. Akan tetapi, setelah kita memberontak terhadap
mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, dan setelah kita membunuh belasan orang anak
buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga
tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus
dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini
hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek
berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya
satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka.”
“Tidak sudi!
Aku...“ Kun Tek langsung menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian
menolehkan kepala dan memandang padanya dengan alis berkerut. “Teruskan, Hong
Beng...,“ akhirnya dia berkata lirih.
Hong Beng
menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara
bisik-bisik. “Tentu saja kita takkan bersekutu dengan kaum sesat seperti
mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tak ada pilihan lain, kita
boleh memperlihatkan sikap seakan-akan kita setuju untuk bersama mereka
menentang pemerintah. Bagai mana pun juga, bukankah kita sendiri juga tidak
senang melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita? Jadi, sikap kita
setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan
belaka. Hanya sikap mau untuk bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara
kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk
membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian?”
Kun Tek
masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus
memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan
tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng
itu dan nampaknya setuju, dia pun... mengangguk pula beberapa kali dan menutup
mulutnya!
Mereka
bertiga sekarang terpaksa menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah
kaki menuju ke kamar tahanan itu, dan ternyata yang muncul adalah Ouwyang
Sianseng bersama Siangkoan Liong! Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek,
memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang
Sianseng yang lihai sekali itu, kini datang mengunjungi mereka! Apa lagi kalau
bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama?
Akan tetapi,
Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar
mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu
tidak dapat menipu, yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci
karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera
ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya?
Di belakang
kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya sangat
menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang
hingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga
berbulu!
Mereka itu
bagai segerombolan orang hutan. Mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka
lebar menyeringai. Nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman
yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat
puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal.
Ketika
Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga
belas raksasa Mongol itu tinggal di luar. Akan tetapi mereka menjenguk ke dalam
melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian
seperti segerombolan serigala kelaparan, dengan mulut menyeringai, dan di
antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui
ujung bibir mereka. Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik.
Dua orang
anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberikannya kepada guru
dan murid itu, kemudian keluar lagi. Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat
pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri,
seperti dua orang yang menonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada
dinding.
Cu Kun Tek
memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya
tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya ia
menerjang kedua orang itu! Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja,
sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, sekarang menundukkan pandang matanya
karena ia tidak sudi lagi memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.
“Sian-moi,
sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau sudah terkena
hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita
berbaik kembali? Lupakah engkau akan hubungan antara kita?”
Kalau
tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu,
seakan-akan api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar
kembali, mengingatkan dia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang sudah
ternoda oleh pemuda perayu ini.
Ketika ia
mengangkat mukanya, sepasang mata Li Sian berkilat memandang Siangkoan Liong
penuh kebencian. “Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu
yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara
kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dicuci dan
dihapus dengan darah!”
Seperti juga
Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat
merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong.
Sebelum
Siangkoan Liong menjawab atau berbicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah
mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu
bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya
seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.
“Tidak perlu
berbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya
persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran
dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh? Nah, ketahuilah bahwa
memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik
berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan.”
Li Sian
mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia
mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui
secara jujur.
“Akan
tetapi, mengapa dia dibunuh? Apa kesalahannya?” tanyanya sambil mengamati wajah
kakek itu penuh selidik.
“Ia telah
mengkhianati perjuangan kami! Ia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja.
Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka.”
“Bohong! Aku
tidak percaya!” kata Li Sian, walau pun di sudut hatinya dia meragukan
bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh,
seolah-olah terkejut dan sama sekali tak setuju melihat ia membantu gerakan
perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu? “Bukankah kakakku itu anak buah
Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang?”
“Itulah
sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui
oleh perwira lain dan ketika dia ditegur, terjadi perkelahian di antara mereka.
Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu kami
mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar
sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Oleh karena itu, harap engkau suka
menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw.”
Pouw Li Sian
hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi
Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam
hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.
“Tidak, aku
masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!” katanya.
“Memang kami
hendak memperlihatkan bukti kebenaran omongan kami,” kata kakek itu sambil
memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu.
Terdengar
suara gaduh, dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan
seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga
awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar
dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok
menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang
Sianseng.
“Nah, Nyonya
Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik? Kalau engkau ingin agar kami
dapat mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi
pengkhianat itu!” kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun kereng.
Li Sian
merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah
wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah memiliki seorang isteri dan kini
isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula!
Wajah pucat
itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon
dikasihani. “Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukanlah
seorang pengkhianat...“
“Bohong!”
bentak Siangkoan Liong marah. “Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dan dia
mengkhianati gerakan perjuangan kami. Dia setia kepada pemerintah penjajah
Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo
ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!”
“Kongcu...
sudah berulang kali kunyatakan bahwa aku tidak tahu... dia seorang yang baik
dan tidak mungkin menjadi pengkhianat... Ahhh, Kongcu, aku telah menceritakan
segalanya dan engkau masih belum juga percaya? Kalau begitu, bunuh saja aku
agar aku dapat menyusul suamiku...“ Wanita itu menangis.
Siangkoan
Liong bertukar pandang dengan gurunya dan Ouwyang Sianseng kemudian mengangguk.
Siangkoan Liong lalu memanggil ke luar kamar. “Hei, seorang dari kalian
masuklah ke sini!”
Pada saat
pemuda itu menunjuk kepada mereka, tiga belas orang raksasa Mongol itu menyeringai
dan mereka saling berebut hendak masuk, bahkan dorong mendorong dan tarik
menarik. Siangkoan Liong menghardik dan mereka pun segera diam, lalu seorang di
antara mereka yang paling besar, dengan tubuh yang berbulu seperti seekor
gorila, melangkah masuk. Dua tangannya tergantung panjang sampai ke lutut,
mulutnya yang lebar menyeringai dan matanya yang sipit kemerahan itu ditujukan
kepada wanita yang masih berlutut itu, dan kini memandang dengan mata
terbelalak ngeri kepada manusia monyet itu.
Raksasa itu
lantas menjatuhkan diri berlutut di depan Siangkoan Liong, dan suaranya
terdengar parau dan besar pada saat dia bertanya, “Kongcu, apakah yang harus
saya lakukan?” Karena logat bicaranya asing, maka terdengar lucu dan juga
menyeramkan.
“Engkau
Okatou, kau boleh melakukan apa saja terhadap wanita tawanan ini agar ia mau
mengakui semua pengkhianatan suaminya. Akan tetapi jangan bunuh!”
Raksasa itu
lalu menyeringai dan menoleh kepada isteri mendiang Pouw Ciang Hin.
“Heh-heh-heh, Kongcu. Boleh saya melakukan apa saja terhadapnya, di sini?”
“Ya, bahkan
kalau perlu kau boleh memperkosanya agar ia mau mengaku!” kata pula Siangkoan
Liong.
Mendengar
ini, wajah Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian menjadi merah karena marah. Akan
tetapi mereka tak berdaya dan hanya dapat menonton dengan hati yang tegang.
Sementara itu, dua belas orang raksasa lain di luar kamar, menonton dari balik
jeruji. Mereka tertawa-tawa dan menyeringai dengan mulut berliur, agaknya
mereka sangat iri terhadap kawan mereka yang dianggap mujur itu.
Raksasa
bernama Okatou itu kini bangkit dan menghampiri isteri Pouw Ciang Hin yang
terbelalak dengan muka pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun bangkit
berdiri. Karena keadaan terhimpit, ia pun agaknya hendak berlaku nekat dan
memasang kuda-kuda. Agaknya sedikit banyak wanita ini pernah belajar silat dari
suaminya. Melihat ini, Okatou tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang
besar-besar dan kotor.
“Cui Bi,
mengakulah saja sebelum dia menjamah tubuhmu,” terdengar Siangkoan Liong
berkata.
Mendengar
betapa pemuda ini menyebut nama kecil nyonya itu, mudah diduga bahwa dia sudah
akrab dengannya. Dan memang demikianlah semenjak suaminya meninggal, nyonya ini
diboyong ke dalam kamar Siangkoan Liong dan dengan cara halus, dengan bujuk
rayu dan permainan cinta, pemuda itu sudah berusaha untuk membuat wanita itu
mengakui semua kegiatan suaminya. Karena tidak berhasil walau pun nyonya itu
telah menyerahkan diri dengan terpaksa, maka diambil jalan ini, untuk memaksa
nyonya itu mengaku, juga sekalian untuk membuat Li San dan kedua orang pemuda
tawanan itu menjadi jeri dan tunduk.
Nyonya itu
menggelengkan kepala berkali-kali. “Tidak... tidak... ohhh… jangan lakukan ini,
Kongcu... ahhh, bunuh sajalah aku...”
Raksasa
Okatou itu sambil menyeringai telah menubruk dengan kedua lengannya yang
panjang. Wanita itu lalu mengelak dan mencoba untuk menendang dari samping.
Akan tetapi, sekali sambar, raksasa itu telah menangkap kaki dan menendang.
“Ahhh...
lepaskan kakiku... Lepaskan aku...! Nyonya yang bernama Cui Bi itu
meronta-ronta, namun percuma saja, kaki kanannya seperti terjepit besi.
Kini tangan
kiri raksasa itu menyambar ke depan dan di lain saat tubuh wanita itu telah
dirangkulnya dan ditariknya mendekat, didekapnya dan sambil tersenyum
menyeringai, raksasa Mongol itu itu menciumi muka Cui Bi! Wanita ini berusaha
memutar kepalanya ke kanan kiri untuk mengelak, namun kini tangan kiri Okatou
menjambak rambutnya, memaksa kepala itu untuk diam dan dengan lahapnya dia
mencium pipi dan mulut Cui Bi dengan ciuman yang mengeluarkan bunyi.
Dua belas
orang raksasa Mongol lainnya menonton dengan mata melotot dan mulut
mengeluarkan air liur. Sementara itu, Li Sian menarik-narik rantai di kakinya.
Dia sudah marah sekali dan kalau saja dia dapat melepaskan diri dari rantai itu,
tentu dia akan menerjang raksasa Mongol yang sedang menghina kakak iparnya itu!
Akan tetapi rantai itu telalu kuat.
Kun tek juga
mengepal tinju dan berteriak. “Jahanam busuk, lepaskan ia!”
Akan tetapi,
Okatou yang hanya mentaati perintah Siangkoan Liong, tentu saja tidak mau
memperdulikan semua itu.
“Brettttt!
Brettttt...!”
Kini kedua
tangan raksasa itu merobek-robek dan merenggut pakaian Cui Bi. Bagaikan kertas
saja, kain pakaian itu robek dan tanggal sehingga kini tubuh wanita yang malang
itu menjadi telanjang bulat! Dan jari-jari tangan yang besar berbulu itu, tanpa
rikuh atau malu-malu di depan banyak orang, menggerayangi bagian tubuh dengan
penuh nafsu.
Okatou dan
kawan-kawannya, yang menjadi pasukan khusus dan anak buah Siangkoan Liong,
datang dari luar Tembok Besar. Mereka itu memang merupakan manusia liar yang
buas. Mereka sudah biasa melakukan penyiksaan atau pembunuhan, perkosaan begitu
saja di depan banyak orang tanpa merasa rikuh sedikit pun juga.
Cui Bi,
wanita yang malang itu, hampir pingsan ketika dirinya didekap, diciumi dan kini
pakaiannya telah tanggal semua. Akan tetapi ia masih ingat untuk nekat
menggigit pipi raksasa Mongol itu sekuat tenaga.
“Aughhh...!”
Okatou
mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan dia mendorong tubuh Cui
Bi dengan keras sehingga gigitan itu terlepas dan tubuh Cui Bi terlempar ke
arah Li Sian. Raksasa itu meraba pipinya yang kulitnya robek berdarah oleh
gigitan Cui Bi. Kini matanya makin merah memandang ke arah Cui Bi yang tentu
akan terbanting kalau saja Li Sian tidak menyambutnya dengan tangan kirinya.
“He-he-heh...“
dalam kemarahannya, Okatou menyeringai dan terkekeh, lalu melangkah
perlahan-lahan menghampiri wanita yang telanjang itu. Sinar matanya penuh
ancaman mengerikan.
“He-he-heh,
engkau kuda betina binal... he-he-heh, mari sini manis...“ Okatou tiba-tiba
melompat ke depan, tangannya terulur untuk menangkap rambut Cui Bi yang kini
terurai karena terlepas dari sanggulnya. Akan tetapi, sebuah kaki menyambutnya.
“Dukkk...!”
Tubuh Okatou
langsung terjengkang keras oleh tendangan yang dilakukan Li Sian untuk
melindungi Cui Bi. Tubuh Okatou terbanting keras dan Li Sian berkata kepada Cui
Bi, “So-so (Kakak Ipar), engkau bersembunyilah di belakangku. Aku akan
melindungimu, aku adalah adik perempuan suamimu.”
Pada saat
itu Cui Bi merangkak ke belakang Li Sian. Okatou sudah bangkit lagi dan dengan
kemarahan meluap, Okatou sudah menubruk ke depan, kali ini bukan menubruk ke arah
Cui Bi, melainkan ke arah Li Sian, wanita tawanan yang berani menendang
sehingga dadanya terasa nyeri dan sesak napas itu.
Li Sian yang
sudah amat marah dan membenci raksasa ini, sudah mempersiapkan diri,
mengumpulkan tenaga sinkang pada seluruh tubuhnya. Ia menanti sampai penyerang
itu dekat, lalu ia mendahului dengan luncuran tangan kirinya, dengan dua jari
mencuat, yaitu telunjuk dan jari tengah, agak direnggangkan dan dua buah jari
itu meluncur dan menghujam ke arah kedua mata raksasa itu.
“Creppp...!”
Dua batang
jari itu seperti sumpit baja menusuk dan masuk ke dalam rongga mata Okatou.
Tubuh Okatou menggigil dan gerengan aneh keluar dari mulutnya, kemudian dia
terjengkang. Akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Li Sian menyusul dengan
sebuah tendangan maut.
“Desssss...!”
Sekarang
tubuh itu terbanting keras dan tidak mampu bergerak lagi. Kedua matanya
berlumuran darah dan di bagian tengah celananya juga berlepotan darah. Jika
tusukan dua jari tangan itu membutakan matanya, maka tendangan tadi sudah
menghancurkan selangkangnya dan membuat nyawa raksasa buas itu melayang!
“Soso,
jangan takut, aku melindungimu,” kata pula Li Sian kepada wanita telanjang yang
masih berlutut di belakangnya.
Akan tetapi,
Cui Bi terbelalak memandangnya, kemudian berkata dengan suara lantang. “Hemmm,
kiranya engkau adik suamiku yang bernama Pouw Li Sian? Cihhh, sungguh tidak
tahu malu engkau! Kakakmu dibunuh orang dan engkau malah menyerahkan diri dan
kehormatanmu kepada Siangkoan Kongcu!”
Wajah Li
Sian tiba-tiba menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah dan pada saat itu,
Siangkoan Liong yang juga tidak mengira wanita itu akan mengeluarkan kata-kata
seperti itu, menghardik, “Cui Bi, ke sini engkau!”
Bagaikan
seekor anjing yang takut mendengar panggilan majikannya, Cui Bi berjalan
menghampiri Siangkoan Liong, berusaha menggunakan kedua tangan menutupi bagian
tubuh atas dan bawah, lalu ia berlutut di depan pemuda itu.
“Kongcu,
jangan siksa aku seperti ini. Ampunkan atau bunuh saja aku,” ratapnya.
Ketika
menyaksikan semua peristiwa yang tidak diduganya itu, Ouwyang Sianseng lalu
mengerutkan alisnya. “Hemmm, Siangkoan Kongcu, apakah engkau masih menyayang
dan membutuhkan wanita ini?” tanyanya kepada Siangkoan Liong.
Pemuda itu
menggelengkan kepala dan mendengus dengan pandang mata menghina. “Tidak, Suhu,
saya sudah bosan padanya.”
“Kalau
begitu, suruh bunuh saja ia supaya jangan mendatangkan keributan lagi,” kata
Ouwyang Sianseng.
Siangkoan
Liong memandang kepada Cui Bi, lalu menoleh kepada wajah dua belas orang
raksasa Mongol di luar yang masih terbelalak memandang ke arah tubuh wanita
telanjang itu seperti serigala-serigala kelaparan, lalu dia pun berkata, “Tidak
Suhu. Biar untuk mereka saja! Nih, dia kuberikan kepada kalian. Bawa pergi ke
belakang sana!”
Siangkoan
Liong tiba-tiba melakukan gerakan dengan kakinya, menendang tubuh Cui Bi yang
terlempar keluar dari pintu kamar. Di luar, sambil mengeluarkan suara
teriakan-teriakan liar, dua belas orang itu telah menyambut dan jerit
melengking yang keluar dari mulut Cui Bi mengatasi semua suara gaduh.
Li Sian
melihat tubuh berkulit putih mulus menjadi rebutan, di antara tangan-tangan
yang berbulu dan berotot, lalu tubuh wanita itu diangkat pergi oleh dua belas
orang raksasa itu. Yang terdengar hanya lengking tangis. Li Sian lalu
menundukkan mukanya dan mematikan pendengarannya agar ia tidak lagi mendengar
jeritan kakak iparnya.
Sementara
itu, Kun Tek sudah duduk bersila dan matanya menatap ke arah Siangkoan Liong,
bagaikan mencorong dan mengeluarkan api. Di dalam hatinya, pemuda ini telah
mengambil keputusan untuk kelak membunuh pemuda tampan itu. Bukan hanya untuk
menebus perbuatannya yang keji terhadap Cui Bi, melainkan juga karena Li Sian!
Kini dia mulai mengerti mengapa gadis perkasa itu demikian penuh kebencian
terhadap Siangkoan Liong!
Setelah anak
buah Tiat-liong-pang membawa pergi mayat Okatou, Ouwyang Sianseng lalu
memandang kepada tiga orang tawanan itu. Dia menarik napas panjang kemudian
berkata, “Ahhh, perang memang kejam. Di dalam perjuangan, kadang-kadang memang
harus menggunakan kekerasan terhadap musuh. Apa lagi kaum pengkhianat memang
harusnya dibasmi. Kami mengenal Sam-wi (kalian bertiga) sebagai orang-orang
gagah, keturunan para pendekar sakti, yang sudah tentu mempunyai jiwa patriot
dan membenci pemerintah penjajah Mancu. Kami sedang berusaha untuk menumbangkan
penjajah, dan membebaskan rakyat dari penjajahan. Oleh karena itu, kami yakin
bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah yang biasa membela tanah air dan rakyat,
Sam-wi tentu akan berpikir panjang. Membantu perjuangan kami atau terpaksa kami
lenyapkan Sam-wi sebagai lawan-lawan yang sangat berbahaya. Kami memberi waktu
untuk mengambil keputusan sampai besok pagi.”
Setelah
berkata demikian, Ouwyang Sianseng mengajak muridnya keluar dari kamar itu dan
memesan kepada para anak buah untuk menyuguhkan hidangan yang hangat dan baik
kepada mereka bertiga.
Dengan
cerdik Hong Beng diam saja, tidak menjawab pertanyaan Ouwyang Sianseng. Dia
tahu bahwa batin Kun Tek dan Li Sian masih terguncang menyaksikan kekejaman
yang tak berperi kemanusiaan tadi, maka mereka berdua itu pasti akan
menentangnya kalau dia menyambut dengan lembut. Apa lagi kakek itu memberi
waktu sampai besok. Masih banyak waktu bagi mereka bertiga berunding.
Suma Ceng
Liong dan isterinya, biar pun tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an
yang jauh dari keramaian, jauh pula dari urusan para pendekar di dunia
persilatan, tapi ada saja kenalan yang memerlukan singgah di dusun itu untuk
mengunjungi suami isteri terkenal ini dan menyampaikan penghormatan mereka.
Oleh karena itu, berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw yang memberontak
di perbatasan utara, dipimpin oleh Siangkoan Lohan sebagai ketua
Tiat-liong-pang, dapat pula mereka dengar dan hal ini mengejutkan hati mereka.
“Sungguh
mengherankan sekali berita itu,” kata Suma Ceng Liong kepada Kam Bi Eng,
isterinya. “Padahal, sudah lama nama Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan sebagai
ketua Tiat-liong-pang amat terkenal. Perkumpulan itu bahkan pernah berjasa
terhadap pemerintah Mancu, dan kalau tidak salah, aku pernah mendengar bahwa
Siangkoan Lohan dihadiahi seorang puteri dari keluarga kaisar untuk menjadi
isterinya. Bagaimana sekarang tersiar berita bahwa dia memimpin orang-orang
kang-ouw untuk mengadakan pemberontakan? Sungguh aneh.”
“Hal seperti
itu mungkin saja terjadi,” berkata isterinya. “Bagaimana pun juga, sebagai
seorang pendekar yang gagah, tentu Lohan juga merasa kurang puas melihat betapa
bangsa dan tanah air dijajah oleh orang-orang Mancu. Kalau sekarang dia
mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang pemerintah penjajah, apakah
anehnya hal itu?”
“Kalau dia
menggerakkan orang-orang gagah dan rakyat yang tertindas untuk berjuang
menentang penjajahan Mancu, hal itu tidaklah aneh dan tidak mengkhawatirkan.
Akan tetapi, menurut berita yang kita dengar itu, dia menggerakkan orang-orang
kang-ouw (sungai telaga), golongan hitam dan sesat. Ini amat berbahaya karena
perjuangan itu jelas bukan demi rakyat, bukan untuk bangsa dan tanah air,
melainkan mengandung pamrih untuk golongan itu dan celakalah rakyat jelata
kalau hal itu terjadi. Mereka, kalau menang, bahkan akan lebih jahat dan kejam
dari pada pemerintah penjajah sendiri.”
Kam Bi Eng
memegang lengan suaminya. “Sudahlah, kenapa kita harus memusingkan kepala turut
memikirkan urusan pemberontakan? Itu urusan pemerintah dan bukankah pemerintah
mempunyai pasukan yang kuat untuk memberantasnya? Bukan urusan kita untuk
mencampurinya. Hanya, aku teringat kepada anak kita. Ke mana perginya Lian-ji?
Engkau tahu, watak anak itu masih sangat keras sehingga kalau ia mendengar
tentang persekutuan golongan hitam itu, tentu ia akan maju menentangnya.”
Suma Ceng
Liong mengangguk. “Itulah yang kukhawatirkan. Ia memang telah memiliki ilmu
kepandaian yang cukup untuk membela diri, namun kalau ia sampai mencampuri
urusan pemberontakan itu dan ia turut menentang Tiat-liong-pang, sungguh
berbahaya. Tingkat kepandaian Siangkoan Lohan amat tinggi, belum tentu anak
kita yang kurang pengalaman itu akan mampu menandinginya. Apa lagi kalau
diingat bahwa Siangkoan Lohan mengumpulkan banyak tokoh sesat seperti yang
beritanya kita dengar.”
Kam Bi Eng
mengerutkan alisnya. “Lalu bagamana baiknya? Kita harus menyusulnya dan
melindunginya!”
Suaminya
mengangguk-angguk. “Tapi tidaklah mudah mencari anak kita itu. Sebaiknya kita
pergi berkunjung ke pertapaan kanda Suma Ciang Bun. Tentu dia sudah tiba di
tempat itu untuk menyampaikan pesan kita, dan dari sana kita bisa mengikuti
jejaknya, karena tentu Bun-ko tahu kemana anak itu pergi setelah meninggalkan
tempatnya.”
Karena
mengkhawatirkan keadaan anak tunggal mereka yang tercinta, sepasang suami
isteri perkasa ini lalu berkemas dan meninggalkan rumah mereka menuju ke
Tapa-san di mana Suma Ciang Bun bertapa, untuk mulai mencari jejak puteri
mereka.
Suami isteri
yang sakti ini sudah lama tidak pernah memasuki dunia ramai, apa lagi ikut
mencampuri urusan dunia persilatan. Belasan tahun lamanya mereka hidup dengan
tenang dan tenteram di dusun Hong-cun. Dan kini, begitu meninggalkan rumah, apa
lagi setelah mereka tiba di luar dusun, timbul kegembiraan dalam hati mereka.
Jiwa
petualangan mereka bangkit kembali. Di waktu muda, mereka adalah orang-orang
yang suka bertualang, menghadapi banyak macam bahaya sebagai pendekar-pendekar
yang setiap saat siap menentang kejahatan. Kegembiraan itu jelas nampak pada
wajah mereka yang berubah cerah.
Bagaikan
suami isteri yang sedang bertamasya saja mereka berjalan perlahan menuruni
bukit kecil, menuju ke padang rumput di kaki bukit yang menjadi permulaan sawah
dan ladang yang amat luas, dengan warna hijau menguning menyedapkan mata. Bau
tanah dan tanaman gandum yang harum memasuki hidung mereka, bersama hawa udara
yang amat segar dan nyaman.
Akan tetapi,
tiba-tiba mata mereka yang sudah terlatih dan amat tajam melihat sesuatu yang
menarik perhatian mereka. Jauh di sana, di luar padang rumput yang membatasi
padang rumput dengan sawah ladang, nampak ada beberapa orang manusia
bergerak-gerak. Dari tempat jauh mereka itu nampak kecil sekali, akan tetapi
gerakan-gerakan mereka itu dapat dikenal suami isteri ini sebagai gerakan
orang-orang berkelahi dengan ilmu silat tinggi.
“Di sana ada
orang-orang berkelahi!” berkata Kam Bi Eng kepada suaminya. “Seorang dikeroyok
oleh tujuh lawan!”
“Benar,”
kata suaminya, seolah-olah suami isteri ini sedang mengadu ketajaman mata
mereka. “Yang seorang itu agaknya wanita, sedangkan pengeroyoknya seorang
wanita dan enam orang pria.”
Mendengar
ucapan suaminya itu, Kam Bi Eng mengerahkan tenaganya memandang dan ia pun
berseru membenarkan.
“Hayo cepat
kita ke sana!” teriak wanita sakti itu.
Tanpa
menanti jawaban suaminya, Kam Bi Eng sudah meloncat ke depan dan berlari
secepat angin menuruni bukit. Suma Ceng Liong juga segera mempergunakan ilmunya
berlari cepat, mengejar isterinya. Karena keduanya mempergunakan ilmu berlari
cepat yang hebat sekali, maka tak lama kemudian mereka berdua pun sudah tiba di
tempat perkelahian itu. Memang penglihatan Suma Ceng Liong dari jauh tadi tidak
keliru.
Nampak
seorang gadis cantik manis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun sedang
dikeroyok oleh seorang wanita setengah tua dan enam orang laki-laki. Para
pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun gadis muda
itu pun hebat sekali ilmu silatnya.
Melihat
betapa gadis cantik manis itu memainkan ilmu pedang yang aneh, namun yang tidak
asing baginya, Suma Ceng Liong segera berkata kepada isterinya. “Mari kita
bantu gadis itu, bubarkan para pengeroyoknya sebelum ia celaka!”
Memang pada
saat itu, gadis berpedang itu sudah terdesak hebat karena memang para
pengeroyoknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan wanita setengah
tua itu agaknya jauh lebih menonjol tingkat kepandaiannya dibanding para
pengeroyok lain.
Sesungguhnya,
tidak mengherankan jika para pengeroyok itu amat lihai, karena wanita setengah
tua itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, tokoh sesat yang menjadi pembantu
utama dari Siangkoan Lohan! Dan selain Sin-kiam Mo-li, di antara mereka
terdapat pula Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang menjadi rekan dan juga
kekasihnya, dan lima orang lain yaitu kaki tangan Tiat-liong-pang yang sedang
mengadakan pemberontakan. Ada pun gadis cantik manis yang sedang dikeroyok itu
adalah Hong Li!
Seperti
telah kita ketahui, gadis perkasa ini memang sedang menuju dusun Hong-cun di
luar kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Huang-ho untuk berkunjung ke
rumah Suma Ceng Liong seperti yang dipesan oleh ayah ibunya. Ketika tiba di
padang rumput di kaki bukit itu, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki
setengah tua pesolek yang genit dan ceriwis sekali. Pria itu adalah Toat-beng
Kiam-ong Giam San Ek.
Sudah
menjadi watak atau ciri khas dari tokoh sesat yang berjulukan Raja Pedang ini
untuk tidak melewatkan setiap kesempatan bertemu dengan wanita cantik. Selalu
saja dia mengganggu dan berusaha mendapatkan wanita itu dan kalau hatinya
tertarik, dia tidak peduli lagi siapa wanita itu, isteri orang atau anak gadis
orang. Dia akan berusaha menundukkannya, mungkin dengan bujuk rayu mengandalkan
kegantengannya, kalau tidak, dia akan menggunakan kepandaiannya untuk
mendapatkannya. Dia tidak pantang mempergunakan kekerasan memperkosa wanita
itu.
Melihat
seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu, apa lagi
gadis itu cantik manis sekali, segera hati Giam San Ek terpikat dan ia pun
menghadang sambil cengar-cerigir menyeringai untuk memikat. Baru beberapa hari
dia dan Sin-kiam Mo-li bersama beberapa orang kaki tangan mereka tinggal mondok
di dusun berdekatan dalam tugas mereka menghimpun tenaga bantuan untuk gerakan
yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang.
“Selamat
pagi, Nona Manis! Dari mana hendak ke manakah? Dan bolehkah kutemani Nona yang
berjalan sendirian saja supaya tidak kesepian?” demkian tegur Toat-beng
Kiam-ong Giam San Ek kepada Kao Hong Li.
Wajah yang
bulat telur itu menjadi merah dan mata yang jeli lebar itu mengeluarkan sinar
berapi. Hong Li adalah seorang gadis yang cantik dan manis sekali dan sudah
lama melakukan perjalanan seorang diri, maka sudah tidak aneh baginya melihat
sikap pria yang mencoba untuk menggodanya. Dan setiap kali digoda pria secara
kurang ajar, dia pasti turun tangan menghajar pria yang sama sekali tidak
menyangka bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang lihai
sekali. Kini melihat sikap pria setengah tua yang amat ceriwis itu, Hong Li
yang juga pandai bicara lalu tersenyum simpul, menahan kemarahannya yang
membuat kedua pipinya kemerahan itu.
“Hemmm,
orang tua, pernahkah engkau bercermin?”
Melihat
gadis itu tersenyum simpul yang membuat wajahnya makin manis, dan melihat kedua
pipi yang halus itu kemerahan yang disangkanya gadis itu malu-malu kucing, Giam
San Ek tidak marah mendengar gadis itu menyebutnya orang tua. Dia meraba
rambutnya, dan meneliti pakaiannya apakah ada yang kusut, lalu menjawab.
“Tentu saja,
Nona Manis! Aku selalu membawa cermin ke mana pun aku pergi. Lihat!” Dan
seperti bermain sulap saja, tangan kirinya yang bergerak itu telah mengeluarkan
sebuah cermin kecil dari saku bajunya.
Melihat
betapa ucapannya tadi itu dianggap benar-benar dan orang itu benar-benar pula
mengeluarkan sebuah cermin, Kao Hong Li tak dapat menahan ledakan ketawanya.
“Hemmm,
manusia tak tahu diri! Kalau engkau sering bercermin, apakah engkau belum juga
melihat betapa engkau ini sudah tua? Akan tetapi engkau masih pesolek, genit
dan suka menggoda gadis muda seperti aku. Tidak malukah engkau?”
Mana mungkin
orang macam Giam San Ek memiliki perasaan malu? Teguran Hong Li ini hanya
dianggapnya main-main saja, bahkan disangka sebagai tanda bahwa gadis itu
menanggapi godaannya.
“Ha-ha-ha,
Nona Manis. Betapa pun tuanya seorang laki-laki, kalau melihat gadis manis
sepertimu ini, siapa yang tidak menjadi tergila-gila? Hayolah, tak usah
malu-malu, mari ikut dengan aku bersenang-senang!” Berkata demikian, Toat-beng
Kiam-ong Giam San Ek mengulurkan tangannya untuk mencubit dagu gadis itu.
Tentu saja
Kao Hong Li menjadi marah melihat sikap orang ini makin berkelanjutan, bahkan
makin berani hendak mencolek dagunya. Dengan mudah ia mengelak dengan mundur
selangkah, dan tangannya menampar keras sekali ke arah muka orang.
Giam San Ek
sama sekali tidak mengira bahwa gadis manis itu berani menamparnya, maka ia
cepat mengelak. Akan tetapi karena memandang rendah, dia bergerak kurang cepat
sehingga walau pun mukanya tidak kena ditampar, pundaknya masih terserempet
ujung tangan gadis itu. Dia terkejut, baru tahu betapa tamparan itu mengandung
tenaga yang sangat kuat, maka dia pun melangkah mundur sambil memandang dengan
alis berkerut.
“Ehh? Engkau
hendak membalas keramahan orang dengan pukulan?” bentaknya, kini kurang ramah.
“Keramahanmu
hanyalah kekurang ajaran, dan aku adalah seorang gadis yang tidak sudi kau
permainkan. Pukulanku adalah pukulan untuk menghajar laki-laki kurang sopan
macam kalian ini!” Dan sekarang Kao Hong Li sudah menerjang ke depan, mengirim
tamparan bertubi-tubi. Gerakannya tentu saja cepat dan kuat sekali!
Toat-beng Kiam-ong
Giam San Ek mengelak dan menangkis dua kali.
“Dukkk!
Plak!”
Pertemuan
dua tangan mereka membuat keduanya terkejut. Hong Li juga kaget karena ternyata
dalam tangkisan tangan lawan itu terkandung tenaga sinkang yang amat kuat,
sedangkan Giam San Ek tentu saja kaget sekali karena pertemuan lengan itu
membuat tubuhnya hampir terjengkang kalau saja dia tidak dapat meloncat ke
belakang. Kini dia memandang gadis itu penuh perhatian, dan baru tahu bahwa dia
berhadapan dengan seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga
dalam yang kuat.
“Ahh,
kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, pantas sikapmu jual mahal!” bentak
Giam San Ek dan dia pun sudah menerjang lagi dengan cepat dan ganas, menyerang
dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ingin memegang atau mencolek.
Akan tetapi,
sekali ini dia kecelik dan bukan hanya gadis itu mampu menghindarkan diri dari
semua terkamannya, bahkan membalas tidak kalah dahsyatnya sehingga membuat
Toat-beng Kiam-ong itu terdesak mundur. Kalau dilanjutkan perkelahian tangan
kosong itu, tentu dia akan kalah, karena Kao Hong Li adalah cucu Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir, ahli silat tangan kosong dengan ilmu silat Sin-liong
Ciang-hoat, dan juga isterinya ahli silat tangan kosong Han-tok-ciang (Silat
Tangan Selaksa Racun).
Kedua ilmu
silat ini telah diwarisi Hong Li dari ayahnya, yaitu Kao Cin Liong. Juga dari
ibunya, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es gadis bermata lebar ini telah
mewarisi ilmu-ilmunya. Maka, tidaklah mengherankan kalau Toat-beng Kiam-ong
Giam San Ek terdesak hebat setelah mereka berkelahi selama belasan jurus saja.
“Singgg...!”
Nampak sinar
berkelebat ketika Giam San Ek yang berjuluk Raja Pedang Pencabut Nyawa itu
menghunus pedangnya dan mengelebatkan pedang itu di depan tubuhnya. Melihat
ini, Hong Li juga mencabut pedangnya. Giam San Ek yang berwatak tekebur itu
tertawa mengejek, memandang rendah.
“Ha-ha-ha,
Nona Manis. Dengan tangan kosong memang aku sama sekali tidak berhasil
mengalahkanmu, akan tetapi ketahuilah dengan siapa engkau berhadapan! Aku Giam
San Ek, terkenal dengan julukan Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa),
sungguh sangat disayangkan bahwa seorang gadis jelita seperti engkau terpaksa
harus tercabut nyawanya oleh pedangku!”
“Tak perlu
banyak cakap, lihat pedangku!” bentak Hong Li dan ia pun sudah memutar
pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.
“Haaaiiitt!”
Dengan lagak
mengejek Giam San Ek menangkis serangan, membuat putaran dengan pedangnya dan
membalas dengan tusukan ke arah dada Hong Li. Akan tetapi, gadis itu bukan
hanya tangguh dalam ilmu silat tangan kosong, juga dia sangat lihai dengan
pedangnya. Dia memainkan Ban-tok Kiam-sut dan biar pun ilmu pedang ini paling
tepat dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam milik neneknya, akan tetapi dengan
pedang di tangannya pun yang tidak beracun, ilmu pedang itu tetap hebat.
Kalau
tadinya Giam San Ek masih mengejek dan memandang rendah, makin lama dia menjadi
makin kaget mendapat kenyataan betapa lihainya gadis itu dengan pedangnya. Apa
lagi mencari kemenangan dengan mudah, baru mempertahankan dirinya agar tidak
sampai terkena pedang lawan saja sudah merupakan hal yang tidak mudah baginya!
Bahkan makin lama Si Raja Pedang yang sombong ini menjadi semakin terdesak.
Selagi Giam
San Ek semakin kebingungan, muncullah bala bantuan baginya yang amat
membesarkan hatinya karena yang muncul itu bukan lain adalah kekasihnya,
Sin-kiam Mo-li yang lebih lihai darinya dan lima orang anak buahnya, yaitu tiga
orang anggota Ang-I Mo-pang dan dua orang murid Tiat-liong-pang yang semuanya
memiliki ilmu silat yang sudah boleh diandalkan.
Melihat
betapa kekasih dan rekannya itu terdesak oleh seorang wanita muda yang lihai
sekali, Sin-kiam Mo-li segera mengeluarkan pedang dan kebutannya, lalu ikut
terjun ke dalam pertempuran. Lima orang kawannya juga segera mengeluarkan
senjata masing-masing dan kini Hong Li harus menghadapi pengeroyokan tujuh
orang lawan tangguh!
Akan tetapi,
gadis perkasa ini tidak menjadi gentar meski pun kini ia terkepung, terhimpit
dan terdesak karena fihak para pengeroyoknya memang amat kuat, jauh lebih kuat
dari padanya. Namun, dengan putaran pedangnya, dibantu tangan kirinya yang
mendorong disertai tenaga Swat-im Sinkang, satu di antara ilmu dari Pulau Es
yang sangat hebat karena dorongan tangan itu mengeluarkan hawa dingin yang amat
kuat, ia melindungi dirinya.
Ketika Suma
Ceng Liong melihat dorongan tangan kiri ini, yakinlah dia bahwa gadis itu
tentulah keluarga Pulau Es, anggota dari keluarganya sendiri. Siapa lagi gadis
itu kalau bukan puteri dari enci-nya, Suma Hui, yang bernama Kao Hong Li? Dia
lupa lagi akan wajah keponakannya itu, apa lagi karena bertahun-tahun tidak
pernah berjumpa, akan tetapi pukulan itu bagaimana pun juga akan dikenalnya
dengan baik!
“Jangan
takut, kami datang membantumu!” kata Ceng Liong yang semenjak tadi sudah
menganjurkan isterinya untuk membantu gadis yang dikeroyok.
Kini
tubuhnya berkelebat menerjang ke depan, dan melihat betapa yang paling lihai di
antara para pengeroyok itu adalah wanita yang berpedang dan memegang kebutan,
maka dia pun lalu menerjang wanita itu dengan totokan Coan-kut-ci! Coan-kut ci
(Jari Penembus Tulang) adalah suatu ilmu yang dahsyat sekali, yang dipelajari
Suma Ceng Liong dari Hek-I Mo-ong, gurunya yang juga seorang datuk kaum sesat
yang dahulu amat terkenal.
Terdengar
suara mencicit dibarengi angin yang kuat bukan main menyambar ke arah Sin-kiam
Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main, cepat menyambut dengan kebutannya. Akan
tetapi, begitu bertemu dengan jari tangan Ceng Liong, bulu kebutan itu rontok
dan wanita itu merasa betapa lengannya yang memegang kebutan tergetar hebat.
Ia membalas
dengan tusukan pedang, namun didahului oleh tendangan Soan-hong-twi (Tendangan
Angin Badai) yang cepat dari Ceng Liong, membuat wanita itu cepat-cepat
melempar diri ke belakang. Nyaris perutnya tertendang dan kini Sin-kiam Mo-li
benar-benar kaget bukan main, tidak menyangka akan bertemu dengan lawan sehebat
ini! Ia kemudian berkemak-kemik sambil menudingkan pedangnya ke arah Suma Ceng
Liong, mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak.
“Engkau yang
berani melawan aku, berlututlah!”
Akan tetapi
laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu malah tertawa bergelak. Tentu
saja sihir itu tidak dapat mempengaruhi Ceng Liong karena pendekar ini pun
telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri, yaitu mendiang nenek Teng
Siang In. Sambil tertawa, Ceng Liong juga mengerahkan kekuatan sihirnya dan
tiba-tiba saja Sin-kiam Mo-li juga tertawa bergelak, tidak dapat menahan geli
hatinya karena terseret oleh suara ketawa Ceng Liong!
Sambil
tertawa, Ceng Liong sudah melakukan gerakan-gerakan mendorong dengan dua
tangannya silih berganti, yang kanan dengan Hwi-yang Sinkang mengeluarkan hawa
panas, dan yang kiri mengeluarkan hawa dingin dengan Swat-im Sinkang.
Sin-kiam
Mo-li sedang terkejut bukan main karena melihat dirinya tertawa tanpa dapat
dikuasainya. Cepat dia mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh tawa itu. Dan
pada saat itu, lawannya sudah menyerangnya dengan dua ilmu yang hebat dari
Pulau Es. Tentu saja ia menjadi kaget bukan main dan hanya dengan melempar
tubuh ke belakang kemudian bergulingan saja, wanita ini dapat terhindar dari
pukulan lawan yang dahsyat.
Sementara
itu, Kam Bi Eng juga sudah mencabut suling emasnya dan kini suling itu
mengaung-ngaung ketika ia mainkan ilmu pedang gabungan antara Koai-long
Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Ilmu ini pun merupakan satu di antara
ilmu-ilmu tertinggi pada waktu itu, dan yang diserang oleh Kam Bi Eng adalah
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek.
Orang ini
terkejut, mencoba untuk memutar pedangnya. Akan tetapi tangkisannya tidak dapat
menahan suling itu yang terus menerobos di antara sinar pedangnya sehingga
mengancam ulu hatinya. Giam San Ek berteriak kaget dan melempar tubuh ke
samping, lalu meloncat agak jauh dengan keringat dingin membasahi tubuhnya!
Nyaris dia celaka oleh suling wanita cantik dan gagah itu!
Meski ia
pangling dan tidak mengenal suami isteri perkasa yang datang membantunya, akan
tetapi begitu menyaksikan gerakan-gerakan mereka, apa lagi melihat Kam Bi Eng
memainkan suling emas, Kao Hong Li segera dapat menduga siapa adanya mereka.
“Paman Liong
dan bibi Eng, terima kasih kalian sudah datang membantuku!” teriaknya dan
tendangan-tendangannya langsung membuat kelima orang pengeroyoknya menjadi
kalang kabut.
Sin-kiam
Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong adalah dua orang yang cerdik dan licik. Melihat
kehebatan musuh, mereka berdua tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri,
diikuti oleh lima orang anak buah mereka yang juga menjadi ketakutan! Kao Hong
Li meloncat untuk mengejar, akan tetapi Suma Ceng Liong mencegahnya.
“Musuh yang
lari jangan dikejar!” kata pendekar ini. Dia maklum betapa lihainya lawan, dan
tentu licik sekali sehingga mengejar mereka amatlah berbahaya. Siapa tahu
mereka itu lari ke tempat kawan-kawan mereka.
Kao Hong Li
mentaati cegahan pamannya, tetapi ia mengerutkan alisnya memandang ke arah
menghilangnya tujuh bayangan orang itu dan berkata, “Sayang, seharusnya mereka
itu ditumpas, terutama sekali wanita itu!” Lalu, seperti baru teringat bahwa
baru saja ia berjumpa dengan paman dan bibinya, gadis itu memberi hormat dan berkata,
“Saya segera mengenal Paman dari gerakan Paman, dan mengenal Bibi setelah
melihat suling emas itu!”
“Kami pun
mengenalmu setelah melihat gerakan silatmu, Hong Li,” kata Kam Bi Eng sambil
mengamati wajah yang cantik manis itu.
“Hong Li,
siapakah wanita tadi? Ia kelihatan lihai sekali, dan melihat senjatanya pedang
dan kebutan, mengingatkan aku akan seorang iblis betina...”
“Dugaan
Paman benar. Ia adalah Sin-kiam Mo-li!”
“Ahhh!”
Suami isteri itu terkejut.
“Agaknya ia
tidak mengenal saya lagi, Paman, karena ketika ia menculik saya, ketika itu
usia saya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, saya tidak akan pernah dapat
melupakan iblis itu dan tadi, begitu bertemu, saya segera mengenalnya. Padahal,
saya memang sengaja hendak mencari dan membunuhnya!” kata gadis itu penuh
semangat.
Ia teringat
akan pengalamannya ketika berusia tiga belas tahun. Pernah ia diculik oleh
iblis betina itu, bahkan kemudian diakui sebagai anak angkat dan murid, akan
tetapi ia kemudian tahu bahwa sikap baik iblis betina itu hanya siasat belaka.
Suma Ceng
Liong menatap tajam wajah Kao Hong Li, diam-diam merasa heran kenapa gadis ini
seolah-olah diracuni dendam, padahal, dia mengenal benar pribadi ayah dan ibu
gadis ini, orang-orang yang berjiwa pendekar dan tidak mudah dikuasai dendam.
“Hong Li,
kenapa engkau ingin membunuhnya dan nampaknya engkau amat membenci wanita itu?
Apakah karena ia dahulu menculikmu?” tanya Ceng Liong tak puas.
Hong Li
menarik napas panjang. “Memang saya sedang menuju ke rumah Paman untuk
menceritakan hal ini. Saya tidak mendendam karena ia pernah menculik saya,
Paman. Akan tetapi karena ia dan kawan-kawannya telah menyerbu ke rumah kakek
dan nenek di Gurun Pasir. Mereka mengeroyok dan berhasil membunuh kakek, nenek
dan juga locianpwe Wan Tek Hoat, bahkan membakar Istana Gurun Pasir.”
“Ihhh...!”
Kam Bi Eng berseru kaget.
Suma Ceng
Liong juga terkejut sekali. “Apa?! Bagaimana mungkin ia dapat membunuh
locianpwe Kao Kok Cu, isterinya, dan bahkan locianpwe Wan Tek Hoat?” Hampir dia
tidak percaya bahwa ada orang mampu membunuh tiga orang sakti itu, apa lagi
kalau orang itu hanya wanita tadi dan kawan-kawannya.
“Ayah, ibu
dan saya sendiri tadinya juga merasa amat terkejut, heran dan tidak percaya,
Paman. Akan tetapi pembawa berita itu adalah murid dari ketiga orang tua sakti
itu sendiri.” Hong Li lalu mengulang cerita tentang peristiwa di Istana Gurun
Pasir itu seperti yang didengarnya dari Tan Sin Hong.
Suami isteri
perkasa itu mendengar dengan penuh perhatian. Wajah mereka dibayangi duka
mendengar akan kematian tiga orang tua yang sakti itu. Setelah Hong Li selesai
bercerita, Kam Bi Eng tidak sabar lagi bertanya.
“Tiga orang
tua yang sakti itu tewas semua, akan tetapi bagaimana mungkin murid mereka itu
dapat hidup dan dapat menceritakan peristiwa itu kepada keluargamu?”
“Kami juga
berpendapat demikian dan dengan penasaran menanyakan hal itu kepada Tan Sin
Hong. Dan ternyata bahwa pada saat penyerbuan terjadi, murid itu sama sekali
tidak berdaya. Ia baru saja menerima pengoperan tenaga sakti dari tiga orang
gurunya dan selama satu tahun dia pantang mempergunakan tenaga sakti karena hal
itu berarti akan membunuh dirinya sendiri. Oleh karena itulah maka dia tidak
dapat melakukan perlawanan, karena sekali mengerahkan tenaga, dia akan mati
konyol.”
Mendengar
ini, Ceng Liong menarik napas panjang. “Aihh, sungguh menyedihkan. Akan tetapi
bagaimana pun juga, tiga orang locianpwe itu sudah tua sekali dan mereka tewas
sebagai orang-orang gagah, gugur dalam menghadapi orang-orang sesat. Heran
sekali nasib mereka sama benar dengan nasib kakek dan nenek-nenekku di Pulau
Es! Gugur dalam menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh sesat. Sekarang aku paham.
Tentu setelah mengoper tenaga sakti kepada murid mereka itu, ketiga orang
locianpwe itu mengalami kekurangan tenaga dan pada saat itu, para tokoh sesat
datang menyerbu. Bagaimana pun juga, hampir semua penyerbu itu tewas, dan ini
membuktikan bahwa ketiga orang locianpwe yang sudah berusia tinggi sekali itu
memang masih luar biasa hebat. Nyawa manusia di tangan Tuhan! Kalau Tuhan sudah
menghendaki, maka ada saja penyebab kematian seseorang. Kita tidak mungkin
dapat mengelakkan kehendak Tuhan!”
“Beruntung
sekali bahwa saya dapat bertemu dengan Ji-wi di sini sehingga bukan saja Paman
dan Bibi dapat menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat itu, tetapi
juga saya tidak kecelik berkunjung ke rumah Paman dan Bibi yang kosong.
Sebenarnya, ke manakah Paman dan Bibi hendak pergi, maka kebetulan berada di
sini?”
“Kami memang
sengaja meninggalkan rumah karena sudah mendengar akan gerakan pemberontakan
yang kabarnya dilakukan oleh Tiat-liong-pang dibantu oleh para tokoh sesat.
Karena anak kami Suma Lian juga sedang merantau, maka kami merasa sangat
khawatir dan ingin mencarinya.”
“Ahh, Paman!
Kebetulan sekali belum lama ini saya bertemu dengan adik Suma Lian!”
Hong Li
segera bercerita mengenai pertemuan dirinya dengan Suma Lian yang diawali
perkelahian karena kesalah pahaman ketika Hong Li mengejar seorang laki-laki
yang menculik seorang anak laki-laki.
“Pertemuan
itu singkat saja, Paman. Kami lalu berpisah, saya pergi berkunjung kepada
Paman, sedangkan adik Lian terus melanjutkan pengejaran terhadap laki-laki
penculik anak-anak itu.”
“Di mana
terjadi peristiwa itu?”
“Di kota
Ban-koan.”
“Kalau
begitu, kami akan cepat mencari jejaknya di sana,” kata Ceng Liong.
Mereka
kemudian berpisah. Ceng Liong dan Bi Eng segera menuju ke kota Ban-koan,
sedangkan Hong Li mencoba untuk mencari jejak Sin-kiam Mo-li yang tadi
melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ia kini bersikap lebih berhati-hati,
maklum bahwa Sin-kiam Mo-li mempunyai banyak kawan yang lihai. Menghadapi
wanita itu sendiri, ia tak gentar, akan tetapi kalau dikeroyok banyak orang
seperti tadi, ia bisa celaka.
Akan tetapi,
ketika mereka tiba di kota Ban-koan, tentu saja suami isteri pendekar itu sama
sekali tidak dapat menemukan lagi jejak puteri mereka. Tiada seorang pun tahu
tentang Suma Lian, apa lagi mengenai penculik anak-anak, oleh karena memang
kedua orang ini meninggalkan kota itu secara diam-diam, di waktu malam pula.
Dari tempat
ini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu pergi ke Pegunungan Tapa-san untuk
mengunjungi pondok tempat tinggal Suma Ciang Bun. Sebelum pergi, Suma Lian
telah mereka pesan untuk berkunjung ke rumah pamannya itu dan membujuk Suma
Ciang Bun yang hidup sebatang kara untuk tinggal bersama mereka di dusun
Hong-cun. Tentu Suma Ciang Bun akan dapat memberi keterangan ke mana
selanjutnya puteri mereka itu pergi setelah berkunjung ke sana.
Dugaan
mereka yang juga menjadi harapan mereka memang tidak keliru. Di tempat kediaman
Suma Ciang Bun, mereka memperoleh keterangan yang banyak. Suma Ciang Bun
menyambut mereka dengan gembira sekali dan pendekar ini merangkul adiknya
dengan sepasang mata basah. Dia telah merasa rindu sekali kepada Suma Ceng
Liong dan pertemuan ini sungguh membuat dia terharu dan juga gembira.
“Bagaimana,
Bun-ko, engkau tentu sehat-sehat saja, bukan? Engkau nampak sehat dan segar.”
“Engkau juga
semakin gagah saja, Liong-te. Dan isterimu ini juga semakin gagah dan cantik!”
kata Suma Ciang Bun.
Kam Bi Eng
tertawa, mukanya berubah agak kemerahan. “Ah, Bun-koko ini bisa saja. Orang
sudah semakin tua, mana mungkin semakin cantik?”
Seorang anak
laki-laki muncul. Usianya baru tujuh tahun lebih, tetapi keadaan anak ini
sungguh mengagumkan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Anak itu mempunyai
wajah yang tampan dengan sepasang mata yang tajam bersinar penuh semangat dan
keberanian, juga mengandung kecerdikan.
“Ah, Bun-ko
telah memiliki seorang murid yang baru? Dia baik sekali, Bunko...”
Suma Ciang
Bun tersenyum. “Anak ini hanya titipan, yang menitipkannya di sini adalah
puteri kalian!”
Tentu saja
suami isteri itu terkejut dan girang sekali. “Suma Lian, anak kami?” keduanya
hampir berbareng bertanya.
Suma Ciang
Bun mengangguk, kemudian dia mengajak mereka semua duduk di dalam pondoknya
yang tidak besar namun karena mempunyai banyak jendela maka terbuka dan sejuk
hawanya. Lalu dia menceritakan tentang kunjungan Suma Lian dan Tan Sin Hong dan
tentang Yo Han yang dititipkan kepadanya oleh dua orang muda itu.
“Bun-ko,
apakah yang kau maksudkan Tan Sin Hong murid dari Istana Gurun Pasir itu?”
tanya Ceng Liong memotong cerita kakaknya.
“Benar,
engkau sudah mendengar akan mala petaka yang terjadi di sana?”
“Sudah, dari
Kao Hong Li yang kami jumpai di jalan.”
“Dan tahukah
engkau siapa anak ini? Anak ini adalah putera dari Ciong Siu Kwi dan suaminya,
Yo Jin,” kata Suma Ciang Bun.
“Ciong Siu
Kwi...? Bi...” Suma Ceng Liong yang tadinya hendak mengatakan Bi Kwi, menahan
ucapannya teringat akan kehadiran anak itu.
Suma Ciang
Bun maklum dan dia mengangguk, lalu diceritakannya semua yang pernah
didengarnya dari Suma Lian tentang anak itu, betapa ayah dan ibu anak itu
menjadi tawanan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-long-pang.
Mendengar semua
cerita itu, Suma Ceng Liong saling pandang dengan isterinya, lalu dia menghela
napas panjang. “Kami sudah mengkhawatirkan bahwa tentu Lian-ji akan terlibat
dalam urusan pemberontakan Tiat-liong-pang. Jika ia mendengar akan gerakan kaum
sesat mendukung pemberontakan, tentu ia akan menentangnya. Kami justru amat
mengkhawatirkan hal itu, Bun-ko. Oleh karena itu, kami tidak akan berlama-lama
tinggal di sini. Kami akan segera berangkat untuk mencari puteri kami dan
membantunya jika dia menentang Tiat-liong-pang.”
Suma Ciang
Bun lalu mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya begitu, Liong-te. Kaum muda itu
memang amat berani, dan kadang-kadang terlalu berani sehingga tidak lagi
memakai perhitungan. Aku juga mendengar bahwa gerakan Tiat-liong-pang sekali
ini didukung oleh tokoh-tokoh sesat yang sangat lihai, bahkan kabarnya
Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ikut pula mendukung, belum lagi pasukan pemerintah
yang berkhianat dan orang-orang Mongol.”
Suami isteri
itu lalu berpamit. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari
puteri mereka. Sekali ini, tujuan mereka sudah jelas, yaitu perkumpulan
Tiat-liong-pang yang pusatnya berada di lereng bukit di kota Sang-cia-kou di
utara.
*************
Di benteng
pasukan-pasukan pemerintah Ceng yang berada di perbatasan utara terjadi
peristiwa yang menggegerkan. Selama beberapa minggu ini sudah ada belasan orang
perwira menengah dan perwira tinggi secara mendadak saja hilang tanpa
meninggalkan jejak! Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia
kepada pemerintah.
Karena
sebuah pasukan tidak mungkin tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang
kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara
panglima yang bertugas di perbatasan utara. Coa Tai-ciangkun lalu mengangkat
perwira-perwira baru untuk memimpin pasukan-pasukan yang telah kehilangan
pemimpinnya.
Keadaan
seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang
masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh
orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat
ada beberapa rekan-rekan mereka yang lenyap dan kini kekuasaan Coa Tai-ciangkun
atas pasukan-pasukan di utara semakin besar.
Padahal,
mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan
kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di
luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan
cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.
Pada suatu
pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak
dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam
yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari
situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang
manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti
seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, sehingga
membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati
pemandangan itu.
Mereka
adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih
tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak
kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak.
Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, meski kadang-kadang mencorong
penuh wibawa.
Sementara
nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih. Bentuk
tubuhnya masih ramping, serta gerak-geriknya masih lincah dan cekatan. Keduanya
menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira,
mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat
indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira.
Manusia
adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Oleh
karena itu, walau pun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka
selalu tenggelam dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan
atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan Negara, sekali
waktu akan timbul rindunya kepada alam.
Dan setelah
manusia jenuh dari pada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba
mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di tepi samudera atau di puncak
bukit, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang
amat menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin.
Timbul suatu
pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu: Dapatkah kita bebas
dari pada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat
ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti
kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera?
Biar pun
kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada
yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka
berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti
yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi!
Kakek itu
bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu ia pernah menggegerkan dunia
persilatan dengan ilmunya yang sangat tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas
karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang
dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang juga
berjuluk Suling Emas. (baca kisah Suling Emas Naga Siluman).
Ada pun
nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang
tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih
muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suaminya itu, karena mereka
berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya
mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci
Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah
menerima gemblengan ilmu gabungan sinkang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian
Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Sudah
puluhan tahun kedua suami isteri ini tak pernah terjun ke dunia persilatan,
hidup aman tenteram di istana kuno yang dulu pernah menjadi pusat perkumpulan
Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san,
sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang
sakti itu bisa berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar?
Sebulan yang
lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng
yang sudah menjadi isteri Suma Ceng Liong. Juga dia ingin sekali melihat dunia
luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja.
Ia lalu
mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat
kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun. Akan tetapi, setelah sampai di tempat
itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumahnya dan
menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan
rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari
rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana
majikan mereka pergi.
Kakek dan
nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di
rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan
Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong
menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk
menentang gerakan kaum sesat.
Maka, mereka
berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan
menantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat
dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa
memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan
berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu.
Demikianlah,
pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit,
menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang
berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.
“Eh, lihat
di sana itu!” Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke
bawah. “Bukankah itu sebuah kereta?”
Kakek Kam
Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati. “Benar,
sebuah kereta dikawal oleh belasan orang.”
“Dan para
pengawal itu mengenakan pakaian seragam!” sambung Bu Ci Sian.
“Juga di
kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera
tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu.”
“He, lihat!
Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!”
“Siancai...!
Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!” kata kakek Kam Hong. “Ah, dua
orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat
apa yang telah terjadi!”
Kakek dan
nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari
cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.
Ketika
mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang
melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang
masih terus melindungi kereta itu. Dengan pedang di tangan, keempat orang itu
repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan-serangan
seorang pemuda yang juga memainkan pedang, tetapi permainan pedangnya
sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya
takkan lama lagi mereka dapat bertahan.
Sementara
itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah
mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi
kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan
kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan. Dua
ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri.
Dari dalam kereta
meloncat ke luar seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan,
berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkatnya di pundak dan
dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga dia tidak
ikut terbanting dengan pecahnya kereta.
Melihat
panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas
dan mengipasi tubuhnya.
“Hemmm,
kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja
untuk menyelidiki keadaan di benteng utara? Jangan harap akan dapat menyelidiki
apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah
bersiaplah untuk mati!”
Panglima
Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut
pedangnya, bersiap untuk membela diri sedapat mungkin biar pun dia tahu bahwa
bela dirinya tidak akan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai
saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.
“Bagus, kini
aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami
yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu
dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut
Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang sudah dikabarkan oleh
orang-orang kami. Engkau sudah bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk
mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami
untuk berkhianat.”
Ouwyang
Sianseng menudingkan kipasnya. “Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun. Sekarang bahkan
tiba giliranmu untuk mati di tanganku!”
“Tahan...!”
Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat.
Tahu-tahu di
depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah
Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat
orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali
dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh
Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar
kuning emas.
Siangkoan
Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu
membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang
muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya.
Bu Ci Sian
juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan
dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.
Ouwyang
Sianseng mengamati kakek dan nenek di depannya itu, mengerutkan alisnya dan
bertanya kepada muridnya, “Tahukah engkau siapa mereka ini?”
Siangkoan
Liong juga memandang penuh perhatian, kemudian dia menggeleng kepala sebagai
jawaban. Ouwyang Sianseng kini menatap wajah Kam Hong dengan penuh perhatian
dan diam-diam hatinya diliputi kekaguman.
Kakek di
depannya ini sebaya dengan dia, dan memiliki sikap yang halus berwibawa.
Mengertilah dia bahwa kakek yang pakaiannya juga seperti sastrawan amat
sederhana ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan merupakan lawan yang
tangguh. Ouwyang Sianseng lalu menjura dengan sikap hormat.
“Selamat
berjumpa, Sobat,” katanya dengan suara yang halus, “boleh aku mengetahui,
siapakah Ji-wi dan apa pula alasan Ji-wi hendak mencampuri urusan kami yang
sedang menentang penjajah Mancu?”
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa sikap ramah dan halus dari orang ini
membuat dia waspada karena sikap itu hanya menunjukkan bahwa dia tengah
berhadapan dengan orang yang sama sekali tak boleh dipandang ringan. Apa lagi
orang ini dengan cerdiknya menempatkan dia di posisi yang buruk, seakan-akan
orang itu adalah pejuang dan patriot, sedangkan dia dan isterinya merupakan
orang-orang yang membela kaum penjajah!
Dengan
tenang dia pun tersenyum dan balas menjura dengan hormat, diikuti pula oleh
isterinya karena tadi ketika Ouwyang Sianseng menjura, pemuda tampan itu pun
ikut pula memberi hormat.
“Maaf,
Sobat,” jawabnya dengan halus pula. “Memang di antara kita tidak pernah saling
mengenal, juga tidak ada hubungan apa pun. Penjajah Mancu sudah menguasai tanah
air semenjak hampir seratus tahun dan kami kira panglima ini bukanlah biang
keladi penjajahan, melainkan hanya seorang petugas! Kami melihat betapa Ji-wi
membunuhi para pengawal dan menyerang kereta, maka hal ini sudah merupakan
urusan pribadi, bukan lagi pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah! Dan
kami tidak biasa membiarkan saja manusia saling bunuh, apa lagi melihat yang
lebih kuat membunuh yang lemah tanpa sebab.”
Ouwyang
Sianseng masih bersikap sabar. “Kami adalah pejuang-pejuang yang berjiwa patriot.
Kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, dan kami mulai dari utara
ini dengan cara melenyapkan para perwira dan panglima. Barulah kami akan
bergerak ke selatan, menyerang ke kota raja dan merampas tahta kerajaan!”
Ketika
berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam.
Juga pemuda yang berdiri di sampingnya, yang bukan lain adalah Siangkoan Liong,
memandang dengan muka berseri penuh semangat.
“Kami
percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa
patriot pula. Oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali jika Ji-wi sudi
membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!” kata
Siangkoan Liong.
Kam Hong
tersenyum, diam-diam memuji kecerdikan pemuda itu, dan dia menjawab dengan
cerdik, “Kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang dipelopori oleh
Tiat-liong-pang, tidak tahu apakah Ji-wi ini ada hubungannya dengan
Tiat-liong-pang?” Kemudian disambungnya, “Kami pernah mendengar bahwa Siangkoan
Tek, ketua dari Tiat-liong-pang, adalah seorang yang gagah.”
“Dia adalah
ayah saya!” kata Siangkoan Liong dengan cepat, girang bahwa kakek itu mengenal
ayahnya dan menyebut ayahnya orang gagah.
Kam Hong
mengangguk-angguk dan memandang kepada isterinya, kemudian berkata, seolah-olah
bicara pada isterinya, “Sungguh aneh sekali. Sepanjang pendengaran kita,
sekarang Tiat-liong-pang sedang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat,
bagai mana bisa begitu?”
Bu Ci Sian
mendengus. “Huh, kalau perjuangan sudah dikotori dengan masuknya kaum sesat,
jelas bahwa perjuangan itu tidak bersih lagi, hanya merupakan pemberontakan
yang berpamrih demi kepentingan pribadi atau golongan. Aku tak bisa percaya
dengan gerakan macam itu!”
“Maaf,
maaf...!” kata Ouwyang Sianseng. “Dalam gerakan perjuangan tidak terdapat
istilah golongan jahat atau golongan baik, kaum hitam atau kaum putih. Yang
penting kita haruslah mengumpulkan seluruh kekuatan dari rakyat jelata untuk
bersama-sama menentang pemerintah penjajah. Dan yang paling penting, tujuan
kita adalah baik, yaitu menumbangkan penjajahan, ada pun caranya dapat
menggunakan cara apa saja agar berhasil.”
Kam Hong
tertawa, merasa bahwa lawannya terjebak. “Ha ha! Sobat yang baik, bagaimana
mungkin cara yang kotor bisa menghasilkan tujuan yang bersih? Yang penting
bukanlah tujuannya, melainkan caranya itulah! Jikalau caranya kotor, maka kami
pun tidak ingin mengotorkan tangan untuk membantunya, bahkan sudah menjadi
kewajiban kami untuk menentangnya. Jika kalian telah bersekutu dengan kaum
sesat untuk membunuhi para perwira dan panglima, maka terpaksa kami akan
menentang kalian!”
Habislah
kesabaran Ouwyang Sianseng. Kalau tadi dia bersikap sabar hanya karena dia
menghargai kakek dan nenek itu, dan kalau mungkin dapat menarik orang-orang
pandai sebanyak mungkin untuk membantu gerakannya. Kini, mendengar ucapan Kam
Hong, dia pun maklum bahwa akan percuma saja membujuk kakek dan nenek itu untuk
ikut bekerja sama kalau pendiriannya seperti itu.
“Bagus!
Kalau begitu ternyata kalian adalah pengkhianat penjual negara kepada orang
Mancu dan sebab itu layak mati di tanganku!” berkata demikian, Ouwyang Sianseng
lalu menggerakkan kipasnya, melakukan totokan bertubi dengan cepat sekali ke
arah tujuh jalan darah terpenting di bagian tubuh atas depan dari lawannya.
Melihat
gerakan serangan ini, diam-diam Kam Hong terkejut dan dia pun maklum bahwa
lawannya ini sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sementara
itu, melihat betapa gurunya menyerang kakek lawan, Siangkoan Liong juga
menggerakkan pedangnya, menerjang ke arah nenek yang semenjak tadi memandang
penuh perhatian. Bu Ci Sian tidak terkejut melihat datangnya serangan pedang
secepat kilat itu. Begitu tangannya bergerak, nampak sinar keemasan berkelebat
dan tangannya telah memegang sebatang suling emas, tak sebesar milik suaminya,
akan tetapi cukup panjang untuk menjadi sebuah senjata yang dapat digerakkan
seperti pedang.
Siangkoan
Liong terkejut ketika mendadak saja matanya silau oleh sinar kuning emas yang
mengeluarkan suara mendengung mengerikan, dan tahu-tahu dari gulungan sinar
emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arahnya. Dia harus memutar
pedangnya secepatnya untuk menarik serangan dan mengubah gerakannya menjadi
gerakan pertahanan, membentuk gulungan sinar seperti payung yang menjadi
perisai dan pelindung tubuhnya.
“Trang…!
Cringgg...!”
Kembali
Siangkoan Liong terkejut karena tangannya tergetar dan pada saat itu, tangan
kiri nenek itu telah mendorong dan keluarlah hawa panas sekali ke arahnya.
Siangkoan Liong adalah seorang pemuda perkasa, dengan ilmu silat yang tinggi
tingkatnya. Maka menghadapi pukulan jarak jauh yang mengandung sinkang panas
ini, dia pun cepat mengelak dan mengibaskan lengan kirinya menyampok dan
menangkis, lalu pedangnya berkelebat membalas serangan nenek itu dengan tusukan
yang dahsyat.
Nenek itu
juga maklum akan datangnya tusukan maut, maka dengan amat lincahnya tubuh nenek
itu sudah meliuk dan menghindar, lalu dari samping membalas dengan ujung suling
yang menotok tiga kali bertubi-tubi ke arah leher, pundak, lalu lambung!
Repot juga
Siangkoan Liong menghadapi totokan yang berbahaya ini. Ia hanya mampu
menghindarkan diri dengan keadaan terhimpit dan terdesak, lalu memutar
pedangnya dan membalas dengan gerakan dahsyat dan sengit karena dia merasa
penasaran dan marah sekali.
Ketika
Ouwyang Sianseng melakukan totokan ke arah tubuh atas Kam Hong dengan gagang
kipasnya, mendadak saja kipasnya bertemu dengan sebatang kipas lain yang
dipegang oleh tangan kiri Kam Hong. Ouwyang Sianseng amat terkejut, akan tetapi
juga kagum dan gembira. Kiranya lawannya ini pun agaknya pandai mempergunakan
kipas sebagai senjata!
Ouwyang
Sianseng kemudian mengeluarkan kepandaiannya. Kipasnya bergerak-gerak dengan
cepatnya. Kipas itu bagaikan seekor kupu-kupu raksasa, beterbangan,
kadang-kadang terbuka sayapnya, kadang-kadang tertutup. Dan kalau terbuka
sayapnya, kipas menyambar mendatangkan angin yang kuat, dan kalau tertutup
sayapnya, gagang kipas meluncur dengan totokan-totokan maut!
Diam-diam
Kam Hong kagum sekali dan dia pun menggerakkan kipasnya dan mainkan ilmu kipas
Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang hebat dan kuat. Dengan ilmu
itu, Kam Hong juga ingin menguji ilmu kepandaian lawan.
Ouwyang
Sianseng juga kagum. Ternyata lawannya ini memiliki ilmu permainan kipas yang
kuat dan tangguh, maka ia pun cepat menggerakkan tangan kanannya, membantu
kipasnya dengan pukulan-pukulan tangan miring yang menjadi demikian kuatnya,
tiada ubahnya sebatang pedang, membabat dan mengeluarkan suara bercuitan.
Terkejutlah
Kam Hong. Sungguh seorang lawan yang amat tangguh. Sudah lama sekali dia tidak
pernah bertemu lawan setangguh ini, maka ia pun cepat menggerakkan tangan
kanannya dan nampaklah sinar kuning emas bergulung-gulung, dibarengi suara
suling yang melagu seperti ditiup saja. Padahal suling itu mengeluarkan suara
hanya karena digerakkan oleh Kam Hong. Sinar terang menyambar bagaikan kilat
dari atas mengarah kepala Ouwyang Sianseng.
Orang ini
terkejut, menangkis dengan kipasnya dan akibatnya, ia terhuyung-huyung! Ia
segera meloncat ke belakang.
“Tahan!”
serunya kaget dan dia memandang penuh perhatian.
Kam Hong
menghentikan gerakannya, tersenyum menanti, suling emas di tangan kanan
sedangkan kipas di tangan kiri, sikapnya halus namun gagah sekali, membuat
Ouwyang Sianseng merasa gentar juga.
“Kau… kau…
Pendekar Suling Emas...?” Ouwyang Sianseng bertanya, suaranya agak gemetar
saking tegangnya.
Kam Hong
tersenyum, bukan senyum bangga, tetapi merasa betapa lucunya segala macam
julukan itu, seperti kanak-kanak manja yang ingin dipuji saja!
“Dulu orang
menyebut aku seperti itu, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua bangka
yang sebetulnya tidak ingin lagi mempergunakan senjata, kalau tidak terpaksa.
Serangan-seranganmu berbahaya, engkau seorang yang mempunyai kepandaian tinggi
sehingga terpaksa aku harus mengeluarkan kedua senjataku ini.”
Biar pun
belum berkelahi dengan sungguh-sungguh, namun Ouwyang Sianseng merasa gentar.
Dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Suling Emas, dan sudah mendengar
pula betapa isteri pendekar itu pun merupakan adik seperguruan yang lihai.
Ketika dia
melirik, dia melihat betapa Siangkoan Liong repot bukan main menghadapi
gulungan sinar kuning emas dari suling di tangan nenek itu, maka dia pun
membentak, “Siangkoan Liong, mundur dan jangan kurang ajar di depan orang
pandai!”
Mendengar
bentakan suhu-nya, Siangkoan Liong merasa heran, akan tetapi juga lega dan dia
pun cepat meloncat mundur mendekati gurunya. Dia sudah terdesak hebat dan kini
dia dapat menghentikan perkelahian itu tanpa merasa meninggalkan gelanggang
karena dia dilarang gurunya! Jadi dia berhenti sebelum kalah.
Melihat
lawannya mundur, Bu Ci Sian yang sekarang telah berubah wataknya menjadi
penyabar seperti suaminya, lalu tersenyum sambil berdiri di samping suaminya.
Kalau mengingat wataknya ketika gadis dahulu, tentu ia tidak akan berhenti
sebelum lawannya kalah dan akan mendesak terus!
Ouwyang
Sianseng berkata kepada muridnya, sekedar untuk membuyarkan suasana penuh
pertentangan tadi, “Ketahuilah, bahwa Locianpwe ini bukan lain adalah Pendekar
Suling Emas dan isterinya yang namanya sudah amat terkenal di seluruh dunia
sebagai pendekar-pendekar yang berbudi dan gagah perkasa.”
Lalu dia pun
menjura kepada Kam Hong dan isterinya, diikuti pula oleh Siangkoan Liong yang
sudah cepat-cepat menyimpan kembali pedangnya.
“Saudara
yang perkasa,” berkata Ouwyang Sianseng, “kami sudah mendengar bahwa saudara
dan isteri saudara adalah pendekar-pendekar perkasa. Oleh karena itu, dengan
segala kehormatan kami mengundang Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami,
bersama-sama menentang pemerintah penjajah dan membasmi mereka untuk menyelamatkan
tanah air dan bangsa...”
“Cukup,”
kata Kam Hong dengan alis berkerut. “Sudah kami katakan tadi, kalau gerakan
kalian itu didukung oleh para tokoh sesat, maka itu merupakan suatu
pemberontakan berpamrih demi kepentingan golongan sendiri, dan kami sudah pasti
tidak akan suka bekerja sama, bahkan akan menentangnya.”
Ouwyang
Sianseng tersenyum pahit. “Terserah kalau demikian penilaianmu! Sudahlah,
Siangkoan Liong, mari kita pergi!” katanya dan sekali meloncat, dia pun sudah
lenyap. Demikian cepatnya gerakan kakek ini. Siangkoan Liong juga meloncat dan
berlari cepat mengejar gurunya yang sudah berada jauh di depan.
Kam Hong
menarik napas panjang. “Hebat sekali kepandaian orang itu!”
“Orang muda
itu pun lihai sekali!” kata pula isterinya.
Panglima
yang tadi hampir celaka di tangan guru dan murid yang lihai itu, sekarang
menghampiri mereka dan di depan Kam Hong, dia lalu memberi hormat dengan hati
terharu.
“Kalau bukan
Ji-wi Taihiap yang muncul dan menolong, tentu kami semua telah tewas di tangan Ouwyang
Sianseng dan Siangkoan Liong itu. Kami menghaturkan terima kasih kepada Ji-wi
Taihiap dan mohon tanya nama besar Ji-wi. Kami sendiri adalah Panglima Liu,
utusan dari kota raja yang hendak menyelidiki peristiwa aneh yang belakangan
ini terjadi di benteng pasukan pemerintah di utara.”
Kam Hong dan
Bu Ci Sian membalas penghormatan itu dengan sederhana. Bagaimana pun juga,
mereka berdua tidak memiliki perasaan bersahabat dengan para pembesar
pemerintah Mancu yang menjajah tanah air mereka. Akan tetapi Kam Hong tertarik
juga untuk menyelidiki keadaan para pemberontak yang kini bersekutu dengan
tokoh-tokoh sesat.
“Liu
Tai-ciangkun, sebenarnya apakah yang sudah terjadi? Mengapa kedua orang tadi
menghadang rombongan Ciangkun di sini dan membunuh?” tanya Kam Hong.
“Di
perbentengan utara terjadi kehebohan karena banyak sekali perwira-perwira dan
panglima yang setia kepada pemerintah tiba-tiba lenyap, dan kedudukan mereka
diganti oleh orang-orangnya Coa-ciangkun yang memimpin sebagian besar pasukan
di utara. Menurut laporan yang baru kami terima, Coa-ciangkun dicurigai
mengadakan hubungan dengan Tiat-liong-pang yang akan memberontak. Maka, kami
diutus dengan wewenang penuh dari raja untuk melakukan penyelidikan dan
menangkap mereka yang bersalah dan berkhianat. Kami pun sudah mendapat laporan
lengkap tentang Tiat-liong-pang dan tentang hubungan Coa-ciangkun dengan para
pemberontak. Oleh karena itu, kami tahu bahwa dua orang tadi adalah Ouwyang
Sianseng atau juga dikenal dengan nama Nam San Sianjin, dan yang muda itu
adalah Siangkoan Liong, putera dari Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang.
Mereka hendak membunuh kami karena mudah diduga bahwa Tiat-liong-pang atau para
pemberontak yang bersekutu dengan Coa-ciangkun itulah yang sudah menculik dan
membunuhi para perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah, untuk diganti
dengan kaki tangan mereka sendiri supaya pasukan mudah dikuasai untuk membantu
gerakan pemberontakan.”
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Meski dia sendiri tentu saja sama sekali tidak berniat
untuk membantu tegaknya pemerintah penjajah Mancu, namun gerakan
Tiat-liong-pang yang didukung para tokoh dunia hitam ini amatlah berbahaya bagi
keselamatan rakyat jelata dan dia harus ikut menentangnya. Bukan untuk membantu
pemerintah, melainkan untuk membasmi para tokoh sesat yang tentu hendak
memancing di air keruh itu.
“Kalau
begitu berbahaya sekali. Biar pun Ciangkun sudah terhindar dari bahaya di sini,
akan tetapi kedua orang itu tentu akan menghubungi panglima yang menjadi
sekutunya dan sebelum Ciangkun tiba di benteng, tentu akan dihadang dan
dibunuh.”
Panglima Liu
mengangguk-angguk, lalu saling pandang dengan empat orang pengawal pribadinya
yang tadi sudah mati-matian mempertahankan keselamatan atasan mereka dari
serangan guru dan murid itu.
“Baiklah,
kita mencari jalan bagaimana baiknya. Mari, silakan duduk di sana, karena kami
hendak mohon bantuan Ji-wi untuk mencari jalan keluar yang terbaik, sementara
keempat orang pengawalku ini biar mengubur jenazah belasan orang anggota
pasukan pengawal itu.”
Panglima
besar Liu mengajak Kam Hong dan Bu Ci Sian bercakap-cakap di bawah pohon,
sedangkan keempat orang pengawal itu mulai menggali sebuah lubang besar untuk
mengubur belasan orang rekan mereka yang tewas dalam pertempuran tadi.
Sambil duduk
di bawah pohon, panglima besar Liu bercakap-cakap dengan kakek dan nenek pendekar
itu, minta pendapat dan nasehat mereka. Setelah mendengar semua penjelasan
panglima itu, Kam Hong lalu mengajukan siasat, yaitu agar Liu Tai-ciangkun dan
empat orang pengawal pribadinya bersembunyi dulu di dalam hutan, ditemani dan
dilindungi oleh Bu Ci Sian.
Sedangkan
Kam Hong sendiri akan membawa surat dari panglima itu untuk menemui
Pouw-ciangkun, yaitu perwira yang sudah mengirimkan laporan kepada para
pembesar di kota raja. Kam Hong lalu akan mengajak perwira Pouw itu keluar dari
benteng dan menjumpai Liu Tai-ciangkun, dan kemudian baru akan diatur rencana
sebaiknya untuk menyambut kedatangan panglima besar itu agar supaya bisa
memasuki benteng tanpa gangguan dari pihak pengkhianat dan pemberontak. Setelah
masuk ke dalam benteng, dikawal oleh Kam Hong dan isterinya, maka panglima dan
perwira yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang dapat diringkus sebelum mereka
dapat melakukan gerakan.
Setelah
penguburan itu selesai, Kam Hong dan isterinya mengajak Panglima Liu masuk ke
dalam hutan dan memilih tempat yang baik untuk bersembunyi, yaitu di sebuah
goa. Kemudian, Kam Hong meninggalkan mereka untuk menyelundup ke dalam benteng.
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sukar bagi Kam Hong untuk
menyelundup ke dalam benteng tanpa diketahui para penjaga, melompati pagar
tembok benteng dan mencari perwira Pouw!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya perwira Pouw yang sedang tidur dalam kamarnya
seorang diri ketika tiba-tiba saja ada orang yang mengguncang tubuhnya. Pada
waktu ia terbangun, ia melihat seorang kakek sastrawan sudah berdiri di dekat
pembaringannya. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat agar dia tidak
mengeluarkan suara.
“Tenanglah,
Pouw-ciangkun, aku datang bukan dengan niat buruk. Aku adalah utusan dari
panglima besar yang datang dari kota raja.”
Wajah
Pouw-ciangkun yang tadinya sudah pucat itu menjadi agak kemerahan kembali.
Tadinya dia mengira bahwa tentu orang ini masuk ke kamarnya untuk menculik dan
membunuhnya, seperti yang telah terjadi pada belasan orang rekannya yang lenyap
tanpa meninggalkan bekas. Mendengar kata-kata itu, dia terkejut dan heran, lalu
bangkit duduk, masih belum lenyap kekhawatirannya.
Kam Hong
maklum akan kegelisahan perwira itu, maka cepat dia mengeluarkan sebuah sampul
yang ada cap dari Panglima Besar Liu, dan menyerahkannya kepada perwira itu.
“Nah, inilah
surat dari beliau untukmu, Pouw-ciangkun.”
Perwira itu
menerima sampul, memeriksanya dan hatinya menjadi semakin lega ketika dia
melihat bahwa memang benar cap pada sampul itu adalah cap dari Panglima Besar
Liu yang dikenalnya sebagai seorang panglima yang jujur dan adil, juga
bertangan besi terhadap para pemberontak.
“Akan
tetapi, mengapa Liu Tai-ciangkun tidak langsung saja datang bersama pasukan
pengawalnya ke sini? Kenapa harus mengutus Locianpwe?”
Pouw-ciangkun
menggunakan sebutan penghormatan ini karena dia maklum bahwa dia berhadapan
dengan seorang kakek yang berilmu tinggi sehingga malam itu dapat tiba-tiba
saja muncul di dalam kamarnya bagaikan setan. Bagaimana pun juga, dia masih
sangsi karena peristiwa ini terlalu aneh baginya.
Kam Hong
maklum akan keraguan perwira itu. “Liu-ciangkun dan pasukan pengawalnya sudah
dihadang oleh Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong di dalam perjalanan dan
belasan orang pasukan pengawalnya tewas semua. Hanya beliau dan keempat orang
pengawal pribadinya yang masih hidup ketika aku dan isteriku datang
membantunya. Karena kami maklum bahwa nyawanya masih terancam, maka akulah yang
datang mengantar suratnya, dan isteriku melindunginya di tempat persembunyian.”
Mendengar
ini, terkejutlah Pouw-ciangkun. Kini dia percaya dan surat itu cepat dibuka dan
dibacanya. Ternyata Liu Tai-ciangkun memanggilnya, sekarang juga agar dia ikut
dengan kakek yang sakti ini. Tanpa banyak cakap lagi Pouw-ciangkun lalu
diam-diam memanggil tiga orang rekannya, yaitu para perwira lain yang setia
kepada pemerintah.
Tiga orang
perwira itu pun amat terkejut melihat Kam Hong. Akan tetapi ketika mereka
mendengar keterangan dari Pouw-ciangkun, mereka kemudian mengatur siasat dengan
Pouw-ciangkun.
“Malam ini
aku akan pergi menghadap Liu Tai-ciangkun bersama Locianpwe ini. Kalian harus
dapat merahasiakan kepergianku ini. Aku akan mengambil jalan rahasia kita, dan
mungkin besok malam aku baru kembali.” kata Pouw-ciangkun.
Para
rekannya dapat menyetujui dan demikianlah, Pouw-ciangkun lalu pergi bersama Kam
Hong, melalui jalan rahasia yang ada di belakang benteng. Tanpa diketahui orang
lain, mereka berdua pergi meninggalkan benteng dan lewat tengah malam, mereka
tiba di dalam hutan di mana Liu Tai-ciangkun bersembunyi di dalam goa dijaga oleh
empat orang pengawal pribadi dan juga nenek Bu Ci Sian.
Pouw-ciangkun
cepat memberi hormat kepada atasannya itu dan mereka bersama Kam Hong dan Bu Ci
Sian, segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Pouw-ciangkun
menceritakan betapa keadaan sudah amat berbahaya karena kekuasaan Coa
Tai-ciangkun kini menjadi semakin besar. Ada tak kurang dari dua puluh orang
perwira yang menjadi bawahannya dan yang menyetujui persekutuan dengan
Tiat-liong-pang, termasuk mereka yang diangkat untuk menggantikan para perwira
setia yang diculik.
“Bagaimana
dengan pasukannya sendiri?” tanya Liu-ciangkun, terkejut juga mendengar akan
hal itu.
“Sudah saya
selidiki, Tai-ciangkun. Para anggota pasukan agaknya belum tahu akan niat
Coa-ciangkun yang bersekutu dengan para pemberontak. Akan tetapi, pasukan yang
bertugas di utara adalah pasukan istimewa yang selalu mentaati perintah atasan
tanpa banyak bertanya. Jadi, jika para perwiranya telah dapat dikuasai
Coa-ciangkun, maka dengan sendirinya pasukannya juga akan taat akan segala
perintahnya. Mereka takkan mundur walau pun diperintah untuk menyerbu pasukan
pemerintah sendiri!”
“Berapa
jumlah seluruh pasukan yang berjaga di tapal batas utara?”
“Yang sudah
siap di benteng adalah pasukan-pasukan inti yang jumlahnya kurang lebih selaksa
orang. Pasukan cadangan berada di benteng sebelah selatan, tetapi mereka itu
biasanya kurang siap dan kurang kuat karena merasa jauh dari bahaya, tidak
seperti pasukan inti yang berada di tapal batas.”
“Dan berapa
banyak yang telah dipengaruhi Coa-ciangkun?”
“Melihat
jumlahnya perwira, kurang lebih separuh yang telah dikuasainya. Yang separuh
lagi, sebagian masih setia kepada kerajaan, dan ada pula sebagian yang bimbang
dan gelisah karena adanya penculikan-penculikan itu.”
Liu-ciangkun
mengangguk-angguk. “Kembalilah engkau ke benteng dan hubungi para rekan yang
setia, agar mereka siap siaga. Lalu aturlah agar terdapat pasukan khusus yang
menyambut kedatanganku yang akan dikawal oleh kedua Locianpwe ini. Dengan
adanya penyambutan pasukan khusus yang cukup besar jumlahnya, apa lagi adanya
kedua Locianpwe ini, tentu para penjahat itu tidak berani turun tangan.
Kemudian, di sana aku akan memanggil semua perwira dan para panglima untuk
berkumpul dan mengadakan rapat. Nah, pada saat itu pulalah aku akan mengumumkan
penangkapan terhadap mereka. Juga engkau harus sudah mempersiapkan pasukan yang
setia untuk mengepung tempat pertemuan itu sehingga mereka tidak akan mampu
lolos. Kemudian, akan kuangkat perwira-perwira baru yang setia. Semua gerakan
ini harus dirahasiakan, jangan sampai bocor agar jangan diketahui oleh pihak
Tiat-liong-pang. Selanjutnya akan kuatur lagi nanti.” Demikianlah Liu
Tai-ciangkun mengambil keputusan setelah berunding dengan Kam Hong dan Bu Ci
Sian.
Untuk
menjaga keselamatannya supaya semua rencana dapat berjalan dengan lancar,
ketika kembali ke benteng Pouw-ciangkun kembali ditemani Kam Hong, juga melalui
jalan rahasia di belakang benteng. Setelah melihat betapa Pouw ciangkun telah
kembali dengan selamat tanpa diketahui siapa pun, Kam Hong lalu kembali dan
mereka semua menanti datangnya pasukan yang akan mengadakan penyambutan.
Pouw-ciangkun
berunding dengan para rekannya, kemudian mengumumkan bahwa Liu Tai-ciangkun
akan datang berkunjung ke banteng. Maka ia beserta para rekannya lalu
mempersiapkan dua ratus orang pasukan khusus untuk keluar benteng dan melakukan
penyambutan.
Tentu saja
diam-diam Coa Tai-ciangkun sudah mendengar dari para sekutunya akan datangnya
Lui-tai-ciangkun dari kota raja yang pangkatnya lebih tinggi darinya, bahkan
yang membawa surat kuasa dari para penguasa di kota raja. Dia tidak berdaya
untuk menghalangi kunjungan ini.
Akan tetapi
karena merasa bahwa kekuasaannya di benteng sangat besar, dia tidak merasa
khawatir. Bahkan oleh Ouwyang Sianseng dianjurkan untuk menerima utusan kota
raja itu di dalam benteng. Nanti kalau gerakan dimulai, akan mudah menyergap
Liu Tai-ciangkun, demikian pendapat Ouwyang Sianseng.
Andai kata
pasukan penyambut tidak begitu besar, tentu Coa Tai-ciangkun dan para rekannya
akan turun tangan menghadang dan membasmi pasukan penyambut serta membunuh
utusan kota raja itu. Akan tetapi pasukan yang dikumpulkan dan dikerahkan
Pouw-ciangkun itu berjumlah dua ratus orang dan merupakan pasukan khusus, maka
tentu saja hal ini akan sukar dilaksanakan tanpa terjadi pertempuran besar yang
tentu akan mengguncangkan benteng itu dan akan memecah belah pasukan sehingga
akan terjadi perang saudara sendiri yang akan menghancurkan seluruh pasukan!
Ketika
pasukan khusus itu memasuki hutan, muncullah Liu Tai-ciangkun bersama empat
orang pengawal pribadi, ditemani pula oleh kakek dan nenek itu yang selalu siap
siaga, menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi, penyambutan itu berjalan lancar
dan dengan kehormatan, Liu Tai-ciangkun dikawal oleh pasukan itu memasuki
benteng.
Begitu
memasuki benteng dan disambut oleh semua perwira dan panglima, dengan suara lantang
Liu Tai-ciangkun berkata, “Kami datang membawa perintah dari kota raja! Kami
akan mengadakan rapat rahasia dengan seluruh pimpinan di benteng ini. Tidak ada
seorang pun dari luar, kecuali kedua Locianpwe ini, yang boleh berada di dalam
benteng. Pintu benteng harus ditutup dan dijaga ketat agar tidak ada orang luar
dapat masuk. Kuperingatkan pasukan yang menjemputku tadi supaya dibagi dan
melakukan penjagaan membantu para penjaga di semua pintu benteng! Sekarang,
kuperintahkan agar semua perwira dan panglima berkumpul di ruangan rapat
pusat!”
Karena
utusan dari kota raja itu memperlihatkan pula surat kuasa yang dibawanya dari
kota raja, maka tak seorang pun perwira berani membantah, bahkan Coa
Tai-ciangkun tidak membantah. Dia merasa lega karena sikap panglima tinggi dari
kota raja itu sama sekali tidak memperlihatkan kecurigaan kepadanya, dan tidak
ada tanda-tanda bahwa utusan itu akan melakukan tindakan-tindakan. Maka dia pun
memberi isyarat rahasia kepada para kaki tangannya untuk mematuhi perintah itu,
untuk terlebih dahulu melihat perkembangan selanjutnya sebelum dia mengambil
keputusan untuk bergerak.
Semua
perwira kemudian berkumpul di dalam ruangan rapat yang luas itu. Diam-diam
pasukan khusus yang sudah disiapkan oleh Pouw-ciangkun dan para rekannya
seperti yang telah direncanakan oleh Liu Tai-ciangkun, mulai mengepung ruangan
rapat itu.
Ada lima
ratus orang pasukan dikerahkan, mengepung rapat tempat itu bukan hanya untuk
mencegah mereka yang berada di dalam menerobos keluar, juga untuk menjaga
kalau-kalau ada kaki tangan pemberontak yang menyerbu untuk membebaskan mereka
yang berada di dalam ruangan rapat! Dan semua ini berlangsung diam-diam tanpa
keributan seperti yang diperintahkan Liu Tai-ciangkun sehingga tidak ada
seorang pun di antara para perwira yang mengetahui bahwa tempat itu sudah
dikepung dengan ketat oleh pasukan. Tentu saja yang mengetahui hanya Liu
Tai-ciangkun, Pouw-ciangkun dan para rekan-rekannya yang melaksanakan siasat
itu.
Suasana
dalam rapat itu tenang setelah semua orang mengambil tempat duduk. Ada lebih
dari tiga puluh orang perwira menengah dan perwira tinggi, dan semua kursi
diatur menghadap ke arah panggung di mana duduk Liu Tai-ciangkun yang hanya
dikawal oleh kakek dan nenek yang duduk tenang di belakangnya itu. Tak ada
anggota pasukan pengawal menjaga panglima tinggi ini. Dan kakek nenek itu
kelihatannya sudah tua dan lemah, bahkan sama sekali tidak nampak membawa
senjata.
Setelah
menghitung jumlah perwira. Liu Tai-ciangkun membuka persidangan itu dengan
pertanyaan. “Mengapa yang hadir hanya ini? Di mana lagi yang lain? Bukankah di
sini terdapat perwira-perwira yang jumlahnya ada lima puluh orang?” Lalu dia
memandang ke arah Coa Tai-ciangkun yang duduk di deretan paling depan.
“Coa-ciangkun, setelah dua orang panglima lainnya tak hadir, maka engkaulah
perwira yang pangkatnya paling tinggi di sini. Nah, sekarang aku ingin
mendengar laporanmu di mana adanya belasan orang perwira lainnya itu dan
mengapa pula mereka tidak hadir!”
Wajah Coa
Tai-ciangkun berubah merah. Dia merasa heran mengapa utusan kota raja ini masih
berpura-pura. Dia yakin bahwa tentu ada di antara para perwira yang melapor ke
kota raja dan tentu di dalam laporan itu sudah disebutkan akan lenyapnya
belasan orang perwira secara aneh. Mengapa Liu Tai-ciangkun masih berpura-pura
bodoh dan bertanya kepadanya?
Namun,
dengan sikap tenang dia lalu bangkit berdiri, memberi hormat secara militer dan
melapor dengan suaranya yang lantang. “Lapor kepada Liu Tai-ciangkun! Empat
belas orang perwira dan panglima yang pada hari ini tidak hadir, sudah lenyap
dalam waktu selama dua bulan ini. Mereka lenyap secara aneh dan walau pun kami
sudah mencari-carinya, namun tidak berhasil menemukan di mana mereka berada,
sudah mati ataukah masih hidup!”
Liu
Tai-ciangkun mengerutkan alis. “Hemmm, mana mungkin ada belasan orang perwira
bisa lenyap begitu saja dari dalam benteng tanpa diketahui orang sama sekali ke
mana perginya?”
“Kami semua
sudah berusaha mencari dan menyebar penyelidik, namun tidak berhasil. Kami
telah menunjuk perwira-perwira pengganti untuk sementara, dan karena mereka
belum dilantik dan disahkan, maka tidak kami hadirkan di tempat ini.”
“Hemmm,
sungguh kacau balau dan menyedihkan! Kehilangan belasan orang perwira tanpa
dapat diketahui ke mana mereka pergi, ini hanya menunjukkan kelemahan para
pemimpin yang menguasai benteng ini. Karena itu harus segera diadakan
perombakan seperlunya! Sekarang kami hendak mengadakan pemilihan, dan perwira
yang namanya kami sebut, harap suka berdiri di bagian kiri ruangan ini!”
Mendengar
suara Liu Tai-ciangkun yang penuh wibawa, semua perwira yang hadir di sana
saling pandang dan merasa tegang, bahkan Coa Ciangkun sendiri merasa tidak
enak. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh
utusan kota raja itu, maka dia pun tidak dapat berbuat sesuatu kecuali saling
pandang dengan para anak buahnya. Selagi masih kebingungan karena tidak tahu
harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara Liu Tai-ciangkun yang lantang
memanggil namanya!
“Panglima
Coa Seng! Silakan berdiri di bagian kiri sana!”
Tentu saja
Coa Tai-ciangkun semakin kaget. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat lain
kecuali bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang ke sekeliling,
kemudian kepada Liu Tai-ciangkun yang dengan tangannya mempersilakan dia pergi
ke bagian kiri ruangan itu, di mana sudah ada bangku-bangku kosong menunggu.
Dengan senyum menghias bibirnya dan sikap yang tenang karena dia percaya akan
kekuasaannya, Coa Tai-ciangkun yang bernama Coa Seng itu lalu melangkah,
kemudian duduk di bangku terdepan dari tempat yang ditunjuk itu.
“Perwira
Song Pun Ki!”
Disebutnya
nama yang ke dua ini membuat jantung Coa Tai-ciangkun berdebar tegang. Mengapa
kebetulan sekali yang disebut sebagai orang ke dua adalah Song-ciangkun,
perwira berkumis tebal yang menjadi tangan kanannya dalam persekutuannya dengan
pihak Tiat-liong-pang? Apakah ini hanya kebetulan saja?
Akan tetapi,
seperti juga dia, Song-ciangkun tidak dapat membantah dan dia pun lalu bangkit,
kemudian berjalan dengan langkah lebar, lalu duduk di dekat Coa Tai-ciangkun.
Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi tentu saja tidak sempat untuk
bicara.
Nama demi
nama dipanggil dan keadaan menjadi makin menegangkan karena ternyata bahwa
nama-nama yang dipanggil oleh Liu Tai-ciangkun berikutnya adalah nama-nama para
perwira yang menjadi anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para perwira yang sudah
setuju untuk melakukan pemberontakan bersama Tiat-liong-pang!
Setelah dua
puluh dua orang perwira dipanggil dan berkumpul di bagian kiri ruangan itu,
panggilan dihentikan oleh Liu Tai-ciangkun dan panglima tinggi ini lalu bangkit
berdiri. Sambil memandang ke arah para perwira yang duduk di ruangan sebelah
kiri, dengan suara lantang Panglima Liu itu lalu berkata dengan tegas.
“Panglima
Coa Seng dan semua perwira yang sudah berkumpul di sebelah kiri, semua sebanyak
dua puluh dua orang, atas nama Kaisar, dengan wewenang yang ada pada kami
selaku utusan yang berkuasa penuh, maka kami menangkap dan menahan kalian
dengan tuduhan memberontak!”
Coa-ciangkun,
Song-ciangkun dan rekan-rekannya serentak bangkit berdiri, bahkan ada pula yang
mencabut pedang. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan dua orang berkelebat
cepat sekali. Tahu-tahu, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian, sudah
meloncat ke arah sekumpulan perwira yang hendak ditangkap itu.
Pada saat
itu, Coa-ciangkun dan Song-ciangkun bersama rekan-rekannya sudah siap memberontak
dan memberi tanda kepada para anak buah mereka yang berada di luar. Bahkan
beberapa di antara mereka sudah mencabut pedang masing-masing. Namun, tiba-tiba
saja Coa-ciangkun roboh terkulai karena panglima ini sudah terkena totokan jari
tangan kakek Kam Hong. Sedangkan Song-ciangkun demikian pula, roboh tertotok
oleh nenek Bu Ci Sian!
Para perwira
lainnya segera menyerang dan hendak memberontak di ruangan itu, maka kakek Kam
Hong dan nenek Bu Ci Sian bergerak cepat merobohkan beberapa orang. Pada saat itu,
pasukan yang sudah siap di luar dan mengepung tempat itu, menerjang masuk dan
dengan mudahnya, tanpa banyak menimbulkan kegaduhan, apa lagi karena dibantu
oleh Kam Hong dan Bu Ci Sian, dua puluh dua orang perwira pemberontak itu dapat
dilumpuhkan, kedua tangan mereka diborgol dan dijadikan tawanan! Semua ini
berlangsung tanpa diketahui orang luar.
Liu
Tai-ciangkun lalu memerintahkan supaya menjaga ketat benteng itu dan melarang
semua anggota pasukan keluar dari dalam benteng. Ternyata perintahnya ini membawa
hasil dengan ditangkapnya puluhan orang anak buah pasukan, perwira-perwira
rendah yang hendak melarikan diri keluar benteng. Mereka adalah anak buah Coa
Tai-ciangkun yang mendengar akan penangkapan-penangkapan itu dan hendak
melarikan diri untuk melapor kepada Tiat-liong-pang.
Namun,
berkat kesiap siagaan sesuai dengan perintah Liu Tai-ciangkun, mereka semua
tertangkap dan selanjutnya, dengan memaksa para tawanan ini, dengan mudah
rekan-rekan mereka ditangkapi. Ternyata jaringan itu sudah cukup luas karena
jumlah orang tawanan ada seratus orang lebih!
Liu-ciangkun
segera mengangkat perwira-perwira baru yang setia terhadap pemerintah untuk
menggantikan para pemegang pimpinan di dalam benteng itu dan membersihkan semua
unsur pemberontakan. Para tawanan dikawal dengan sangat ketat oleh pasukan
khusus, kemudian dikirim ke kota raja untuk diadili. Semua ini terjadi tanpa
kebocoran sehingga pihak Tiat-liong-pang sama sekali tidak mengetahuinya.
Setelah
penumpasan para perwira pemberontak dalam benteng itu selesai, kakek Kam Hong
dan isterinya, nenek Bu Ci Sian, segera meninggalkan benteng untuk melakukan
penyelidikan ke Tiat-liong-pang. Mereka kini menduga bahwa besar sekali
kemungkinan puteri mereka juga berada di antara para pendekar yang kabarnya
juga bergerak untuk menentang para tokoh sesat yang bersekutu dengan
Tiat-long-pang untuk melakukan pemberontakan, seperti yang mereka dengar dari
para penyelidik pasukan yang masih setia kepada pemerintah.
Liu-ciangkun
mengucapkan terima kasih. Ketika panglima ini hendak memberi hadiah berupa
barang berharga dan emas, tentu saja kakek dan nenek itu menolak secara halus
dan sekali berkelebat keduanya pergi tanpa pamit lagi.
*************
Pengalamannya
yang pahit ketika bertemu dengan kakek sakti Kam Hong dan isterinya itulah yang
membuat Ouwyang Sianseng tidak mau membunuh tiga orang pendekar yang tertawan
itu begitu saja. Dia tahu betapa di antara para pendekar terdapat banyak sekali
orang sakti, dan bahwa dia harus bisa mendapatkan lebih banyak pembantu yang
memiliki kepandaian tinggi, karena jika tidak, hanya mengandalkan pasukan saja,
akan sukarlah gerakan mereka itu akan berhasil dengan baik.
Para
pendekar yang menentang gerakannya harus dapat dihadapi dengan kekuatan yang
memiliki ilmu silat tinggi pula. Maka, melihat betapa Hong Beng, Kun Tek dan Li
Sian ketiganya adalah orang-orang muda yang mempunyai ilmu silat tinggi,
Ouwyang Sianseng merasa sayang jika harus membunuh mereka begitu saja. Oleh
karena itu, dia berusaha sedapat mungkin untuk membuat mereka bertiga tunduk
dan takluk, kemudian suka membantu gerakan ‘perjuangan’ mereka menjatuhkan
pemerintah Mancu.
Setelah
memperlihatkan hukuman yang amat mengerikan terhadap Cui Bi atau Nyonya Pouw
Ciang Hin untuk membuat hati mereka bertiga itu ngeri, Ouwyang Sianseng pergi
meninggalkan mereka dan memberi waktu sehari semalam untuk memilih, yaitu
mereka bertiga menakluk dan membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang, atau
dibunuh!
Setelah
Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong meninggalkan mereka bertiga, ketiga orang
muda itu saling pandang. Pouw Li Sian bergidik mengenang nasib yang menimpa
diri bekas kakak iparnya tadi. Akan tetapi dia dapat membayangkan apa yang
terjadi pada diri kakak iparnya itu setelah kakaknya terbunuh.
Agaknya
Siangkoan Liong sudah menyuruh tangkap wanita itu. Dengan kepandaiannya merayu
dan ditambah ketampanan dan kegagahannya, Siangkoan Liong telah berhasil
menundukkan wanita yang agaknya tidak mampu mempertahankan kehormatannya dan
menyerahkan diri menjadi kekasih atau permainan Siangkoan Liong! Tadi hal ini
mudah dilihat ketika kakak iparnya itu mencela dan memakinya, dan sikap wanita
itu terhadap Siangkoan Liong.
Sungguh
pemuda berhati iblis! Ia sendiri telah menjadi korban rayuan pemuda jahat itu!
Li Sian merasa menyesal sekali dan diam-diam ia bersumpah untuk membunuh pemuda
itu sebelum ia mati.
Tiba-tiba
terdengar suara Gu Hong Beng, halus namun penuh kesungguhan, ditujukan kepada
dirinya dan Kun Tek. “Bagaimana pendapat kalian dengan pilihan yang mereka
ajukan tadi?”
Mendengar
pertanyaan ini, Li Sian meragu untuk menjawab, akan tetapi Cu Kun Tek, dengan
suaranya yang besar dan lantang, segera menjawab tanpa banyak pikir lagi.
“Pilihan yang mana? Bagiku tidak ada pilihan lain! Lebih baik mati dari pada
harus takluk kepada mereka! Menyerah dan membantu pemberontakan mereka? Huh,
biar mereka membunuh aku seratus kali, aku tetap tidak akan sudi untuk
menakluk!”
“Hemmm, jadi
engkau memilih mati konyol di tangan mereka, Kun Tek? Lalu bagaimana dengan
pendapatmu, nona Pouw?”
Diam-diam Li
Sian merasa kagum sekali melihat sikap Kun Tek. Pemuda tinggi besar ini tidak
hanya gagah wajah dan tubuhnya, akan tetapi juga wataknya amat gagah perkasa.
Sungguh seorang pendekar perkasa sejati! Ia memandang kagum kepada pemuda itu
dan mendengar pertanyaan Hong Beng, ia pun menoleh kepadanya.
“Bagi aku
pun tidak ada pilihan lain. Aku tidak sudi menyerah dan menakluk kepada
mereka!”
“Bagus
sekali! Ha-ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona. Kita berdua tidak sudi menakluk,
biarlah kalau Hong Beng takut mati dan ingin menakluk. Aku akan menemanimu
sampai kita berdua dibunuh, kemudian nyawaku akan menemani nyawamu sampai
selamanya. Jangan khawatir, nona Pouw, sekali bicara, aku akan selalu memegang
teguh janjiku, disaksikan Langit dan Bumi!”
Mendengar
ini, wajah Pouw Li Sian menjadi agak pucat dan ia memandang kepada Kun Tek
dengan mata terbelalak. Hatinya seperti ditusuk dan merasa terharu sekali.
“Saudara Cu
Kun Tek... engkau... mengapa engkau berkata demikian? Mengapa...?”
Dia bertanya
agak gagap karena dia benar-benar merasa terkejut, heran dan bingung mendengar
ucapan Kun Tek tadi. Akan tetapi Hong Beng hanya menahan senyumnya, karena pemuda
ini sudah dapat menjenguk isi hati Kun Tek dan tahu bahwa Kun Tek telah jatuh
hati kepada Pouw Li Sian.
Kun Tek
adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur dan dalam hal cinta mencinta, dia
dapat dikatakan masih hijau. Selama hidupnya, pernah dia satu kali jatuh cinta,
yaitu kepada seorang gadis bernama Can Bi Lan yang kini sudah menjadi isteri
Pendekar Suling Naga.
Ketika
cintanya gagal karena ternyata dia hanya bertepuk tangan sebelah, dia merasa
jera untuk mendekati gadis lagi sehingga sampai sekarang dia tidak pernah lagi
mau bergaul dengan seorang gadis, sampai kini dia bertemu dengan Li Sian dan
tergila-gila karena jatuh cinta! Saking jujurnya, maka di depan Hong Beng dia
pun tidak merasa ragu-ragu lagi untuk membuat pengakuan itu, apa lagi kalau
mengingat bahwa mereka menghadapi ancaman maut yang agaknya takkan terelakkan
lagi itu.
“Nona Pouw
Li Sian, aku kagum padamu, aku kasihan kepadamu, dan aku... aku cinta padamu!
Nah, legalah rasanya hatiku setelah pengakuan ini. Kita akan mati bersama-sama,
dan memang sebaiknya sebelum aku mati engkau mengetahui bahwa aku cinta padamu
dan bersedia mati untukmu. Apa lagi dapat mati bersamamu, merupakan suatu
kebahagiaan bagiku, Nona. Dan jangan khawatir, sampai mati pun, nyawaku pasti
akan tetap mendampingimu, karena kata orang-orang bijaksana, cinta kasih tidak
akan mati bersama badan!”
Kini wajah
Li Sian berubah merah sekali, lalu berubah pucat lagi, dan merah lagi. Dia
merasa begitu terharu sampai tak dapat membendung lagi turunnya air matanya
yang deras. Betapa luhur budi pemuda ini, pikirnya, dan betapa jauh
dibandingkan Siangkoan Liong! Cinta pemuda ini demikian murni dan agung, bukan
sekedar nafsu terselubung kata-kata manis penuh rayuan, melainkan pernyataan
cinta yang tulus dan bersih.
Melihat gadis
itu mendadak menangis dengan air mata bercucuran, seketika wajah Kun Tek
menjadi pucat sekali. Dia khawatir kalau pernyataan cintanya yang
terang-terangan itu malah menyinggung hati gadis ini yang ternyata tidak cinta
padanya! Ingin rasanya dia memukul kepalanya sendiri!
Dengan suara
gemetar ia lalu berkata, “Aih, nona Pouw mohon kau maafkan aku... ahh, mulutku
lancang sekali, aku sudah membuatmu menangis. Tentu engkau tersinggung.
Barangkali aku sudah gila, bagaimana mungkin seorang kasar seperti aku berani
mati mengaku cinta kepada seorang gadis seperti engkau? Maafkanlah aku,
Nona...”
“Tidak,
bukan begitu maksud tangisanku, saudara Cu Kun Tek! Ah, aku berterima kasih
sekali, aku terharu sekali. Aku menangis karena... karena terharu dan bahagia.
Seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, Cu-taihiap (Pendekar Besar Cu),
mencinta seorang gadis seperti aku? Aih, Taihiap, apakah engkau tidak keliru
pilih?”
Kalau tadi
wajah Kun Tek keruh dan berduka, kini seolah-olah ada sinar mencorong dari
dalam, terutama sekali sepasang matanya yang bersinar-sinar.
Kun Tek
tertawa-tawa, suara ketawanya bebas lepas dan keluar langsung dari dalam
perutnya, melepaskan semua keraguan dan kedukaan, dan menjadikannya gembira
luar biasa sehingga segala sesuatu nampak indah.
“Ha-ha-ha,
ahh, nona Pouw, pertama-tama kumohon padamu, janganlah menyebut aku taihiap!
Selain itu, jangan engkau merendahkan dirimu. Engkau sendiri seorang gadis
perkasa dan tentang ilmu silat, belum tentu aku akan mampu menang darimu!
Engkau membuat aku malu saja dengan menyebutku taihiap. Aku tidak keliru, Nona,
karena aku mengenal suara hatiku sendiri. Aku cinta padamu!”
“Tetapi...
Toako (Kakak), aku tidak berharga mendapatkan cintamu. Aku... aku adalah
seorang gadis yang hina, yang ternoda... aku... aku telah...” Ia tidak dapat
melanjutkan kata-katanya karena duka telah menyergap perasaannya lagi ketika ia
teringat betapa ia telah menjadi korban kebiadaban Siangkoan Liong.
“Aku sudah
tahu, Nona,” kata Kun Tek, suaranya tenang saja seolah-olah yang mereka
bicarakan itu tak ada artinya baginya. “Aku telah mendengar apa yang dikatakan
wanita itu, dan aku dapat menduga bahwa engkau tentu sudah menjadi korban dari
pemuda yang bernama Siangkoan Liong itu.”
Li Sian kini
mengusap air matanya, memandang kepada Kun Tek.
“Benar...!”
katanya tegas. “Biarlah engkau mendengarnya, Cu-toako, dan juga saudara Gu Hong
Beng ini mendengarnya. Tak perlu aku menutupi lagi peristiwa itu karena kita
semua akan mati. Dengarlah baik-baik pengakuanku. Ketika aku tiba di sini, aku
telah terbujuk oleh mereka untuk dapat menemui kakak kandungku yang kemudian
mereka bunuh tanpa sepengetahuanku. Dan pada saat aku berduka karena kematian
kakakku, kesempatan itu dipergunakan oleh manusia iblis Siangkoan Liong itu,
untuk merayuku. Terdorong oleh kelemahanku saat itu, juga dengan bantuan
obat-obat, kekuatan sihir, dan rayuannya, akhirnya aku menyerah. Aku
menyerahkan diriku kepadanya, kemudian akhirnya aku dapat melihat kepalsuannya,
bahwa dia menyuruh bunuh kakakku, bahwa dia hanya mempermainkan aku... nah,
engkau telah tahu sekarang, Toako, bahwa aku memang gadis yang sudah ternoda,
bukan perawan lagi, aku seorang gadis hina yang tidak berharga untuk
mendapatkan cintamu...” Li Sian menangis lagi.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment