Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 05
Ketika
mereka yang keluar dari tempat pesta itu tiba di ruang luar, ternyata masih ada
lagi belasan orang yang ikut pula meninggalkan tempat itu! Melihat ini,
Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya.
“Siancai...,
kalau mereka semua dibiarkan pergi, tentu gerakan kita akan gagal sebelum
dimulai!” berkata Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu kepada
Siangkoan Lohan.
Ketua
Tiat-liong-pang itu mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya, kemudian
memberi tanda dengan tangan. Lima orang murid kepala cepat datang menghadap.
“Bawalah
teman-teman dan saudara-saudara secukupnya, mereka tadi harus dibasmi. Kalian
tahu apa yang harus dilakukan,” katanya dan lima orang murid itu mengangguk,
lalu menyelinap pergi.
“Aihh, ini
adalah tugas kita bersama,” kata Sin-kiam Mo-li. “Aku akan membantu anak
buahmu, Lohan.”
“Aku akan
membantumu pula, Sian-li,” berkata Toat-beng Kiam-ong sambil bangkit dan
mengikuti wanita cantik itu.
Thian Kong
Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw, bersama dengan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-kauw,
juga cepat-cepat bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, bersama beberapa
orang tokoh lain yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
Sesudah
mengalahkan Ciok Kim Bouw, Siangkoan Liong bersikap acuh tak acuh saja melihat
kesibukan teman-teman ayahnya. Dia hanya mendekati ayahnya dan berkata lirih,
“Ini akibat kekurang telitian Ayah sendiri yang mengundang orang-orang itu.”
Setelah
berkata demikian, dengan suara mengandung penyesalan, dia pun pergi masuk ke
dalam gedung, membiarkan ayahnya duduk kembali sambil mengerutkan alisnya.
**************
Dengan hati
penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang
meninggalkan perkampungan Tiat-liong-pang di lereng bukit itu, menuruni bukit
dengan langkah lebar. Hatinya penuh dengan perasaan marah dan malu, juga
penasaran sekali. Jelaslah bahwa Tiat-long-pang mengambil jalan sesat, bukan
hanya bergaul dengan penjahat, datuk sesat, bahkan juga dengan tokoh-tokoh
pemberontak.
Akan tetapi,
Tiat-liong-pang kuat sekali, dan melihat betapa puteranya saja sedemikian
lihainya, sulit diukur bagaimana tingginya ilmu kepandaian Siangkoan Lohan. Ia
bergidik kalau teringat akan kehebatan ilmu silat lawannya yang masih muda
remaja tadi.
Dia merasa
menyesal bukan main. Semua waktunya selama puluhan tahun digunakan untuk
belajar silat, dan ternyata sekarang menghadapi seorang pemuda remaja saja dia
kalah! Padahal dia menggunakan golok yang diandalkan, sedangkan pemuda itu
hanya bertangan kosong.
Tiba-tiba
dia menggaruk siku lengan kanannya yang mendadak terasa gatal-gatal. Saat dia
menggaruknya, dia meringis karena begitu digaruk terasa panas bukan main. Dia
berhenti melangkah dan menggulung lengan baju untuk melihat lengannya.
Terkejutlah dia melihat betapa di lengan bawah, di bawah siku, terdapat tanda
berwarna merah kebiruan sebesar jari tangan.
Itulah
kiranya yang terasa gatal dan panas! Makin terkejutlah dia ketika teringat
bahwa saat dia dikalahkan oleh pemuda tadi, bagian lengan itulah yang tertotok
dan membuat lengannya lumpuh dan goloknya terlepas. Agaknya totokan itulah yang
mendatangkan bekas yang gatal dan panas ini.
Selagi dia
hendak melanjutkan perjalanan dekat dengan kaki bukit itu, tiba-tiba ada dua
sosok bayangan orang berkelebat, kemudian terdengar suara seorang wanita
tertawa mengejek. Dia mengangkat mukanya dan nampak Sin-kiam Mo-li bersama
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek telah berada di depannya, berdiri sambil
tersenyum dan tertawa mengejek!
Ciok Kim
Bouw tentu saja dapat menduga pula bahwa munculnya wanita ini pasti tidak
mengandung niat baik, maka dia pun sudah mencabut golok besarnya dan
menghardik. “Iblis betina, mau apa engkau menghadangku?”
“Hi-hi-hik,
Cin-sa-pangcu! Selama ini aku tidak pernah tahu bahwa Cin-sa-pang sudah
memiliki seorang ketua baru seperti engkau. Sekarang, setelah kau berani
menghinaku di tempat umum, engkau masih bertanya lagi mau apa aku menghadangmu?
Tentu saja untuk membunuhmu!”
“Bagus!
Memang saat inilah yang kutunggu-tunggu, yaitu membunuhmu atau mati di
tanganmu. Dan engkau, Toat-beng Kiam-ong, apakah jagoan seperti engkau hendak
membantunya mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi kalian!”
tantangnya, mendahului lawan karena dia maklum bahwa tentu orang ini berpihak
kepada Sin-kiam Mo-li.
Toat-beng
Kiam-ong Giam San Ek tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau sungguh tak tahu diri.
Melawan seorang pemuda remaja bertangan kosong saja engkau keok (kalah), perlu
apa membantu Sian-li. Biar engkau memecah diri menjadi rangkap sepuluh, akan
mampus satu demi satu di tangan Sian-li!”
“Iblis
betina, bersiaplah untuk mampus!” bentak Ciok Kim Bouw lantang sambil langsung
menyerang dengan goloknya.
Dia merasa
betapa lengan di bagian dekat siku terasa nyeri, akan tetapi dia tidak peduli
dan terus menyerang sekuat tenaga dan dengan kemarahan meluap-luap. Dia sudah
nekat karena maklum bahwa sekali ini, akibat perkelahian itu hanya dua, yaitu
kalah dan mati, atau menang dan hidup. Meski dia tahu bahwa untuk menang
amatlah sukarnya, apa lagi di situ berdiri si Raja Pedang yang pasti akan
membantu iblis betina itu, namun sedikitnya dia tidak merasa gentar dan
menyerang dengan ganas dan dahsyat.
Sambil tersenyum
mengejek, Sin-kiam Mo-li menggerakkan pedangnya menangkis dan membalas dengan
serangan kebutannya yang bulu-bulunya mengandung racun jahat. Ciok Kim Bouw
mengelak dan melakukan perlawanan mati-matian. Dia bahkan dengan nekatnya
melancarkan gerakan-gerakan untuk mengadu nyawa.
Akan tetapi,
lengannya kini terasa semakin nyeri dan ngilu sehingga jari-jari tangannya
kurang kuat mencengkeram gagang goloknya. Terpaksa ia memindahkan gagang golok
itu ke tangan kiri dan kini melakukan perlawanan mati-matian dengan golok di
tangan kiri.
Dia memang
sudah melatih diri menggunakan golok dengan tangan kiri karena dia pun ahli
bermain sepasang golok. Akan tetapi bagaimana pun juga, tentu saja gerakannya
tidaklah selincah kalau menggunakan golok itu di tangan kanannya. Maka, tentu
saja dia semakin terdesak.
Belum juga
lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li mengenai
pahanya. Ia pun terpelanting, dan untuk mencegah lawan menyusulkan serangan,
ketua Cin-sa-pang itu terus bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuh
dengan putaran goloknya.
Sambil
tertawa-tawa mengejek Sin-kiam Mo-li melakukan pengejaran sambil
melecut-lecutkan cambuknya, mengikuti ke mana tubuh lawan itu bergulingan. Sama
sekali dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melompat bangun kembali.
Dikejar
seperti itu, Ciok Kim Bouw menjadi sibuk sekali. Bukan saja ia harus meiindungi
tubuhnya, akan tetapi juga keadaannya berbahaya sekali karena kalau dia
meloncat bangun, tentu dia akan terkena serangan pedang atau kebutan yang amat
berbahaya itu. Kebutan yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, juga menotok
atau menusuk bagaikan pedang karena dengan kekuatan sinkang bulu-bulu kebutan
itu dapat menjadi kaku seperti baja, sungguh amat berbahaya. Apa lagi tiap
lembar bulunya mengandung racun berbahaya!
“Ha-ha-ha,
Pangcu dari Cin-sa-pang, sekarang engkau seperti seekor tikus yang lari ke
sana-sini dikejar kucing! Sian-li kenapa kau harus main-main dengan dia? Bunuh
saja dengan cepat dan kita kembali ke sana!” Laki-laki yang sudah tidak sabar
karena ingin segera berduaan dengan kekasihnya itu mendesak.
Mendengar
ini, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mengejek dan ia pun menggerakkan
pedangnya untuk melakukan serangan kilat yang amat hebat pada tubuh yang sedang
bergulingan itu. Sukar agaknya bagi Ciok Kim Bouw untuk mampu menyelamatkan
diri dari serangan itu.
Akan tetapi
mendadak Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan halus, lalu cepat menarik
pedangnya kembali. Cepat dia membalik ke kanan dan dia melihat seorang pemuda
sudah berdiri tak jauh dari situ. Tahulah ia bahwa yang menyambitkan kerikil
kecil dan mengenai pundak kanannya sehingga lengan kanannya menjadi kesemutan
itu adalah pemuda ini! Dan ia pun terkejut ketika mengenal pemuda itu.
Toat-beng
Kiam-ong Giam San Ek merasa sangat heran melihat kekasihnya tidak jadi
menyerang, dan ia pun ikut memandang. Dilihatnya seorang pemuda yang mengenakan
pakaian serba putih berdiri di bawah pohon, tak jauh dari situ. Juga Ciok Kim
Bouw yang baru saja terlepas dari bahaya maut, sudah bergulingan menjauh
kemudian melompat berdiri, ikut pula memandang.
Pemuda itu
berpakaian serba putih, sederhana sekali. Sinar matanya lembut dan pada
mulutnya terhias senyum ramah, sama sekali tidak menunjukkan kelebihan dan
nampak seperti seorang pemuda petani biasa saja. Namun, Sin-kiam Mo-li
kelihatan amat kaget dan kemudian marah ketika ia melangkah maju.
“Bocah
setan, kiranya engkau? Bukankah kau... kau ini... yang dari gurun pasir itu?”
tanyanya ragu.
Walau pun ia
masih teringat benar akan wajah yang sudah pernah dibelai, dirangkul dan
diciuminya itu, ia masih belum mau percaya. Pemuda yang pernah dirayunya sampai
ia hampir gila karena dirangsang birahi dan pemuda itu selalu dingin saja dan
tidak pernah tergairah, adalah seorang pemuda yang lemah dan sama sekali tidak
mengenal ilmu silat. Waktunya baru berjalan setahun lebih sedikit, bagaimana
mungkin kini pemuda itu mampu menyambitkan kerikil yang membuat lengannya
hampir lumpuh?
Pemuda itu
memang Tan Sin Hong! Seperti telah kita ketahui, Sin Hong meninggalkan kota
Ban-goan untuk pergi ke kota raja. Ia hendak mencari hartawan she Lay, pengirim
barang-barang berharga yang mengakibatkan hancurnya keluarga ayah ibunya. Ingin
dia menemukan hartawan itu, untuk menyelidiki kematian ayahnya yang penuh rahasia,
karena siapa tahu hartawan itu menyimpan rahasia dan dari dia maka rahasia
kematian ayahnya akan dapat dibongkarnya.
Dan pada
hari itu, dia tiba di kaki bukit di mana terdapat sarang Tiat-liong-pang, tanpa
disengaja, melihat Ciok Kim Bouw yang terancam maut di tangan seorang wanita
yang membuat darahnya berdenyut kencang dan jantungnya berdebar. Dia mengenal
wanita itu yang bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara datuk sesat
yang telah menyerbu Istana Gurun Pasir yang mengakibatkan kematian tiga orang
gurunya.
Sin-kiam
Mo-li yang pernah menggelutinya dan berusaha memperkosanya, kini tiba-tiba saja
berada di kaki bukit itu, sedang berusaha keras membunuh seorang laki-laki
tinggi besar bermuka hitam yang dengan susah payah membela diri. Walau pun dia
tidak mengenal siapa pria bermuka hitam itu dan apa urusannya berkelahi dengan
Sin-kiam Mo-li, tanpa ragu-ragu lagi Sin Hong menyelamatkan pria itu dari
ancaman maut dengan menyambitkan sebuah kerikil kecil yang mengenai pundak
kanan wanita iblis itu.
Sekarang dia
menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan senyum, dan diam-diam dia bersyukur melihat
kenyataan bahwa pertemuan dengan wanita iblis yang sudah menyebabkan kematian
ketiga orang gurunya itu sama sekali tidak membangkitkan kemarahan atau
kebencian dalam hatinya. Ini merupakan suatu kemajuan dalam dirinya, pikir Sin
Hong. Dia lalu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sin-kiam Mo-li tadi,
membuyarkan keraguan wanita iblis itu.
“Benar,
Sin-kiam Mo-li, aku adalah pemuda gurun pasir itu, dan engkau ternyata masih
saja mengumbar kejahatan dan menyebarkan perbuatan kejam di mana pun engkau
berada. Kini engkau bahkan hendak membunuh orang yang sudah jelas-jelas tidak
lagi mampu melawanmu,” Sin Hong menoleh ke arah Ciok Kim Bouw yang berdiri agak
jauh sambil memijit-mijit lengan kanannya, sedangkan golok tadi sudah
disarungkan kembali.
Ciok Kim
Bouw maklum bahwa baru saja dia terbebas dari maut karena kemunculan pemuda
berpakaian putih itu. Entah dengan cara bagaimana pemuda itu bisa membuat
Sin-kiam Mo-li menghentikan serangannya yang membuat dia kewalahan tadi. Kini
dia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu pemuda itu. Bagaimana pun
juga, kini muncul seorang yang agaknya dapat diharapkan akan membantunya
menghadapi musuh-musuhnya yang terlalu lihai baginya itu.
Akan tetapi,
terdapat keraguan pula di dalam hati ketua Cin-sa-pang ini. Pemuda yang
berpakaian serba putih itu kelihatan demikian lemah lembut, dan sejak tadi pun
belum mengeluarkan tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Hanya sikapnya saja yang
demikian tenang, bahkan menghadapi Sin-kiam Mo-li yang sudah dikenalnya, nampak
demikian tenang dan berani pula mencela.
“Awass...!”
Tiba-tiba Ciok Kim Bouw berteriak memperingatkan Sin Hong karena ketika pemuda
itu sedang menoleh kepadanya, pada saat itu dia melihat Sin-kiam Mo-li telah
menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung pemuda berpakaian putih itu!
Akan tetapi,
biar pun dia sedang menoleh ke arah Ciok Kim Bouw, tentu saja Sin Hong sudah
tahu akan serangan gelap itu. Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya telah
mencapai titik yang tinggi sekali berkat penggabungan tenaga sinkang yang
diterimanya dari tiga orang gurunya dan berkat gemblengan ilmu-ilmu yang sudah
mendarah daging di tubuhnya.
Dia tahu
akan tusukan yang datang menuju lambungnya dan tanpa menoleh, ketika tusukan
tiba, tubuhnya sudah bergeser dan mengelak tanpa banyak kesulitan sehingga
tusukan pedang Sin-kiam Mo-li mengenai tempat kosong!
Sin-kiam
Mo-li yang merasa penasaran dan bangkit kebenciannya kepada pemuda yang
membuatnya tergila-gila namun yang berani menolak cintanya itu, sudah
melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan kebutan dan pedangnya.
Demikian cepat dan bersambungan datangnya serangan-serangan ini.
Akan tetapi
semua itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh Sin Hong, hanya dengan
menggerakkan kedua tangannya ke depan seperti menolak. Setiap kali telapak
tangannya mendorong, ada kekuatan dahsyat yang meniup pergi bulu-bulu kebutan,
bahkan telapak tangan itu berani menampar pedang itu sehingga tertangkis.
Ciok Kim
Bouw yang tadinya sudah siap untuk membantu dengan goloknya yang akan dimainkan
dengan tangan kiri, tidak jadi bergerak dan kini dia berdiri melongo. Jika tadi
ada seorang pemuda yang halus dan lembut gerak-geriknya menghadapinya dengan
tangan kosong dan dia dikalahkan, kini ada lagi seorang pemuda lain yang juga
dengan tangan kosong bahkan berani melawan kebutan dan pedang di tangan
Sin-kiam Mo-li! Jika tidak melihat sendiri, tentu dia tidak akan percaya bahwa
ada orang, apa lagi masih begitu muda, berani menghadapi Sin-kiam Mo-li hanya
dengan kedua tangan kosong saja.
Toat-beng
Kiam-ong Giam San Ek juga merasa heran dan amat kagum melihat betapa pemuda
berpakaian serba putih itu berani melawan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong.
Akan tetapi dia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya tentu akan menang dan dalam
waktu singkat merobohkan pemuda itu. Dia pun tidak akan membunuh Ciok Kim Bouw,
khawatir kalau kekasihnya merasa tersinggung dan marah. Biarlah Sin-kiam Mo-li
yang melaksanakannya sendiri.
Tetapi,
betapa kagetnya Kiam-ong ketika tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan
tertahan dan sebagian dari bulu kebutan itu rontok berhamburan ketika bertemu
dengan jari-jari tangan Sin Hong yang mencengkeram! Melihat Sin-kiam Mo-li
terhuyung ke belakang, tentu saja Giam San Ek cepat melompat maju dan lantas
menyerang dengan pedangnya.
“Tranggg...!”
Pedang itu
ditangkis oleh golok Ciok Kim Bouw. Si muka hitam ini menjadi gembira sekali
dan timbul semangatnya melihat betapa pemuda berpakaian putih itu benar-benar
mampu menahan Sin-kiam Mo-li, bahkan dalam belasan jurus saja sudah merontokkan
bulu kebutannya. Maka, melihat majunya Toat-beng Kiam-ong, dia pun maju
membantu Sin Hong.
“Mundurlah!”
Sin Hong membentak sambil mendorongkan kedua tangan bergantian ke arah Giam San
Ek.
Si Raja
Pedang ini loncat meninggalkan Ciok Kim Bouw untuk menghadapi Sin Hong, namun
dia bertemu dengan tenaga dorongan amat kuat, yang merupakan tenaga tidak
nampak, seperti angin yang menahannya dan membuatnya terhuyung. Tentu saja dia
terkejut bukan main dan pada saat itu Sin-kiam Mo-li berseru keras.
“Kiam-ong,
mari kita pergi!” Wanita itu pun sudah meloncat dan melarikan diri!
Melihat ini,
tentu saja Kiam-ong terkejut dan tanpa bertanya lagi dia pun membalik dan
mengambil langkah seribu menyusul temannya. Melihat ini, Ciok Kim Bouw menjadi
semakin kagum kepada Sin Hong. Dia cepat menghadapi pemuda itu dan mengangkat
kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk memberl hormat.
“Pendekar
muda gagah perkasa sudah menyelamatkan nyawaku yang tidak berharga. Aku adalah
Ciok Kim Bouw, ketua dari Cin-sa-pang. Tidak tahu siapakah nama Taihiap
(Pendekar Besar) yang mulia?”
Sambil
memandang wajah laki-laki tinggi besar itu. Sin Hong berkata, “Maaf, Pangcu.
Pertemuan antara kita hanya kebetulan saja dan saya tidak ingin dikenal, yang
paling penting adalah supaya Paman mengetahui bahwa Paman telah menderita luka
pukulan beracun yang amat berbahaya.”
“Ahhh...!”
Ciok Kim Bouw berseru kaget, lalu menyingkap lengan bajunya yang kanan,
memperlihatkan tanda merah kehitaman sebesar jari di bawah sikunya. “Memang
luka ini mendatangkan rasa gatal dan nyeri sekali...“
“Hemmm,
itulah tanda bekas totokan jari beracun yang sangat keji, Pangcu,” kata Sin
Hong. “Biar saya mencoba untuk mengobatinya.”
“Terima
kasih, Taihiap, dan silakan,” berkata ketua Cin-sa-pang itu sambil menyodorkan
lengan kanannya.
Sin Hong
memegang lengan itu, kemudian menggunakan jari tangannya menotok jalan darah di
atas siku, lalu mengurut luka itu. Terasa nyeri bukan main oleh Ciok Kim Bouw,
namun ketua ini menahan rasa nyeri. Sin Hong kemudian mencengkeram bagian yang
berwarna merah kehitaman, menggunakan hawa sakti di tubuhnya melalui tapak
tangan untuk ‘membakar’ hawa beracun itu. Rasa nyeri dan panas membuat wajah
ketua itu berpeluh, akan tetapi rasa panas itu semakin lama makin berkurang dan
rasa nyeri pun lenyap. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, warna merah itu
sudah lenyap dan rasa nyerinya pun lenyap.
“Sudah baik
kembali, Pangcu, dan saya harus melanjutkan perjalanan saya,” berkata demikian,
Sin Hong lalu meloncat dengan cepat.
Ciok Kim
Bouw hendak memanggil, namun diurungkan niatnya karena pemuda itu telah
berkelebat cepat dan sudah jauh sekali. Dia hanya berdiri mengikuti bayangan
itu yang makin mengecil akhirnya lenyap, berulang kali menarik napas panjang,
kemudian dia pun melarikan diri dari tempat berbahaya itu.
Sehari
bertemu dengan dua orang muda yang demikian lihainya cukup bagi ketua ini
membuka matanya bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk
dipakai malang melintang di dunia kang-ouw. Dia merasa rendah diri dan semenjak
itu, dia lebih sering tinggal di pusat perkumpulan Cin-sa-pang untuk giat
melatih diri, serta memperdalam ilmu silatnya.
**************
Sementara
itu, di ruangan paling dalam yang terletak di belakang gedung perkumpulan
Tiat-liong-pang, Siangkoan Lohan menjamu beberapa orang tamunya. Para tamu lain
telah pulang dan sekarang hanya mereka yang menjadi sekutunya sajalah yang
duduk semeja dengannya. Mereka adalah Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam
San Ek, Agakai kepala suku Mongol, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai
dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-lian-pai.
Masih ada
beberapa orang lagi, di antaranya terdapat tiga orang berpakaian perwira yang
agaknya baru datang karena mereka ini tidak nampak dalam pesta perayaan ulang
tahun siang tadi. Ada pula terdapat seorang laki-laki, yang tentu akan membuat
Sin Hong terheran heran kalau dia melihatnya. Laki-laki ini bertubuh tinggi kurus,
bermuka pucat dan bermata tajam sekali.
Kini mereka
tengah bercakap-cakap dengan sikap yang serius, dipimpin oleh Siangkoan Lohan.
Pada ketika itu, Siangkoan Lohan sedang menyatakan penyesalannya kepada
Sin-kiam Mo-li.
“Sungguh
sayang sekali engkau tidak dapat menemukan ketua Cin-sa-pang itu, Mo-li.
Padahal semua orang yang lain telah dapat dibasmi. Akan tetapi sudahlah, kukira
dia tidak akan banyak bercerita. Aku mengundang kalian hadir dalam pesta ulang
tahun sebagai sesama kaum persilatan, tidak ada bukti apa-apa tentang gerakan
kita.”
Sin-kiam
Mo-li memang hanya menceritakan bahwa ia dan Toat-beng Kiam-ong tidak berhasil
mengejar Ciok Kim Bouw. Ia merasa malu kalau harus menceritakan bahwa ia dan
Raja Pedang itu lari ketakutan karena bertemu dengan seorang pemuda dari Istana
Gurun Pasir.
Hanya kepada
Toat-beng Kiam-ong dia terpaksa menceritakan siapa adanya pemuda berpakaian
putih yang amat lihai itu. Pada saat mereka melarikan diri meninggalkan Sin
Hong, Raja Pedang itu bertanya siapa adanya pemuda yang memiliki kepandaian
hebat itu. Terpaksa Sin-kiam Mo-li kemudian menceritakan bahwa ia pernah
bertemu dengan pemuda itu saat ia dan kawan-kawannya melakukan penyerbuan ke
Istana Gurun Pasir sehingga akhirnya berhasil membunuh tiga orang tua sakti di istana
itu, dan kemudian membakar istana kuno itu. Akan tetapi ketika itu, si pemuda
masih merupakan pemuda lemah. Ia pun tidak tahu bagaimana pemuda itu muncul
sebagai seorang yang demikian lihainya.
“Lain kali
harap Siangkoan Pangcu lebih berhati-hati,” salah seorang di antara ketiga
orang berpakaian perwira tinggi itu berkata. “Jangan sampai menimbulkan
kecurigaan, terutama sekali kepada pemerintah sehingga kita akan terbentur dan
mengalami banyak rintangan. Nah, sekarang harap Pangcu ceritakan dengan jelas
segala hasil usaha yang telah dilakukan dan rencana selanjutnya.” Perwira ini
nampaknya berwibawa dengan kumisnya yang tebal dan sikapnya yang agaknya sudah
biasa memerintah dan ditaati.
“Harap
Song-ciangkun jangan khawatir. Kami sengaja sudah mengundang tokoh-tokoh
kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian untuk bisa menarik mereka
sebagai pembantu dan buktinya, sebagian besar dari mereka boleh diharapkan akan
membantu kita. Ada pun mereka yang berani menentang telah kami singkirkan.
Lolosnya seorang di antara mereka, yaitu ketua Cin-sa-pang itu tidak ada
artinya. Hasil besar usaha kami terutama sekali pembasmian Istana Gurun Pasir
dan penghuninya, walau pun untuk hasil itu kami kehilangan banyak sekali kawan
dan untuk itu, biarlah diceritakan sendiri oleh ia yang telah berjasa, Sin-kiam
Mo-li. Mo-li, ceritakanlah pengalamanmu di Gurun Pasir dua tahun yang lalu
itu.”
Sin-kiam
Mo-li tadi sudah diperkenalkan kepada tiga perwira itu dan ia maklum bahwa
Song-ciangkun itu adalah utusan panglima perang Kerajaan Ceng yang berkuasa di
perbatasan utara dan yang telah bersekutu dengan Siangkoan Lohan. Dua orang
perwira lain adalah pembantu-pembantunya.
Memang usaha
persekutuan yang dipimpin oleh Siangkoan Lohan untuk memberontak itu sudah
direncanakan sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Penyerbuannya ke gurun
pasir merupakan satu di antara usaha persekutuan itu untuk memperlicin jalan.
Istana Gurun
Pasir dan para penghuninya dianggap sebagai suatu bahaya besar, sebab mereka
semua maklum belaka bahwa keluarga Istana Gurun Pasir, seperti juga halnya
keluarga Pulau Es, selalu menentang pemberontakan walau pun mereka bukan
orang-orang yang menghambakan diri kepada pemerintah Mancu. Oleh karena itu,
juga akibat terdorong oleh perasaan benci karena permusuhan semenjak dulu,
Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai melakukan
penyerbuan ke Istana Gurun Pasir.
“Penyerbuan
kami yang berhasil baik namun mengorbankan banyak kawan itu terjadi kurang
lebih dua tahun yang lalu. Kami kehilangan empat belas orang kawan, akan tetapi
berhasil membunuh tiga orang penghuni istana yang amat lihai, juga kami telah
membakar habis istana itu.”
Sin-kiam
Mo-li kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu itu,
didengarkan dengan penuh perhatian oleh ketiga orang perwira tinggi itu, dan
mereka mengangguk-angguk kagum dan juga senang. Lenyapnya Istana Gurun Pasir
dan para penghuninya bagi mereka merupakan lenyapnya satu di antara bahaya yang
mungkin akan menyusahkan mereka dan menghalangi rencana mereka.
Setelah
Sin-kiam Mo-li selesai bercerita, Song-ciangkun lalu berkata kepada Siangkoan
Lohan. “Bagus sekali dan jasa itu cukup besar, akan kami catat. Sekarang,
bagaimana dengan usaha menghimpun kekuatan dari luar tembok? Sampai di mana
hasilnya?”
“Hal itu
ditangani sendiri oleh saudara Agakai yang juga hadir di sini dan yang akan
dapat menceritakan dengan jelas,” jawab Siangkoan Lohan sambil memandang kepada
kepala suku Mongol itu.
Kepala suku
Mongol yang mengaku putera mendiang Tailucin dan keturunan Jenghis Khan itu,
yang usianya sudah lima puluh tiga tahun, mengangkat dadanya yang bidang dan
dengan sikap yang agung karena yakin akan kemampuan dirinya, dia kemudian
menceritakan hasil usahanya yang telah dicapai. Dia menceritakan bahwa dia
sudah mendapat banyak kemajuan dalam membangkitkan kembali kekuasaan dan
kebesaran Mongol, untuk membangun kembali Kerajaan Mongol yang pernah menguasai
seluruh daratan Cina dan negeri-negeri di sekitarnya.
“Jangan
khawatir,” dia menutup ceritanya. “Biar pun suku terbesar belum dapat saya
bujuk, tetapi kelompok-kelompok suku yang kecil-kecil, terutama mereka yang
terdesak dan keadaan hidupnya kekurangan, telah menyatakan persetujuan mereka
dan apa bila saatnya tiba, kami dapat mengerahkan tidak kurang dari seratus
ribu orang.”
Song-ciangkun
dan dua orang kawannya kelihatan gembira sekali mendengar laporan Agakai itu.
Bagus, pikir Song-ciangkun yang sudah tahu akan siasat yang dipergunakan oleh
atasannya, yaitu Panglima Coa yang berkuasa sebagai komandan pasukan yang bertugas
jaga di perbatasan utara.
Panglima Coa
memang berniat untuk melaksanakan pemberontakan setelah berhasil dibujuk dan
dihasut oleh Siangkoan Lohan. Dan dia berpendapat bahwa tanpa bantuan dari
pasukan lain yang besar dan kuat, akan sukarlah diharapkan untuk dapat berhasil
menggempur pasukan pemerintah. Tetapi, kalau suku bangsa Mongol mau membantu,
mengingat akan kemampuan tempur mereka, tentu akan lain jadinya.
Pula,
pasukan yang dipimpin Panglima Coa dapat terus minta tambahan pasukan untuk
memperkuat posisinya, dengan dalih bahwa bangsa-bangsa liar dari luar tembok
terus mengadakan gangguan serta pemberontakan. Dan pihak pasukan pemberontak
yang dipimpin Panglima Coa akan membiarkan Agakai bermimpi bahwa gerakan itu
adalah demi kepentingan pembangkitan kembali kekuatan serta kekuasaan Mongol!
Dengan demikian, kedua pihak diam-diam hanya akan saling mempergunakan demi
keuntungan sendiri!
Dan
Siangkoan Lohan tahu akan hal ini. Maka diam-diam dia pun ingin mempergunakan
kesempatan itu untuk keuntungan diri sendiri atau lebih tepat, keuntungan dan
masa depan puteranya! Kalau gerakan itu berhasil, kalau saja mereka berhasil
menggulingkan pemerintah Mancu, Panglima Coa sudah setuju untuk mengangkat
Siankoang Liong menjadi kaisar kerajaan baru yang mereka bangun, dan
Coa-ciangkun tentu saja akan menjadi orang ke dua setelah kaisar!
“Dan
bagaimana dengan pusat kedudukan di perbatasan untuk penyebaran mata-mata dan
utusan melewati Tembok Besar seperti yang Pangcu pernah ceritakan kepada Coa
Tai-ciangkun?” Tanya pula Song-ciangkun.
Siangkoan
Lohan tersenyum gembira. “Itu sudah beres, Ciangkun! Rencana yang kita jalankan
delapan tahun yang lalu kini telah matang. Piauwkiok di Ban-goan itu telah kita
kuasai sepenuhnya sehingga dengan menyamar sebagai para piauwsu, maka
utusan-utusan dan mata-mata kita bisa dengan mudah hilir mudik menyeberangi
Tembok Besar tanpa menimbulkan kecurigaan sama sekali. Dan untuk pengurusan
dalam keperluan itu, telah kami serahkan kepada murid-murid kami sendiri yang
boleh dipercaya.”
Persekutuan
ini lalu berunding sambil makan minum, dan agaknya tiga orang perwira utusan
Coa-ciangkun itu merasa gembira sekali dengan hasil pertemuan malam itu. Apa
lagi ketika pertemuan itu selesai. Mereka diantarkan ke dalam kamar
masing-masing, sebuah kamar yang indah mewah dan bersih. Dan yang lebih hebat
lagi, masing-masing disambut senyum manis dan gaya memikat dari seorang wanita
muda yang siap sedia melakukan apa saja untuk menyenangkan hati para tamu agung
itu.
Siangkoan
Lohan memang pandai mengambil hati orang. Untuk itu dia tak segan-segan
memerintahkan selir-selirnya untuk menghibur tamu agung!
Ambisi
merupakan ladang subur pertumbuhan si aku. Kita tidak pernah merasa puas dengan
apa yang kita miliki, tidak pernah merasa senang dengan keadaan kita sendiri.
Kita selalu memandang keadaan orang-orang lain, kemudian membanding-bandingkan.
Keadaan
orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, lebih pintar, lebih terhormat
dan sebagainya membuat kita selalu merasa diri sendiri rendah, kurang dan serba
tidak memuaskan! Dari sinilah timbul ambisi! Ingin yang lebih dari pada keadaan
sekarang!
Dan mulailah
kita melakukan pengejaran terhadap bayangan indah berupa cita-cita atau ambisi
itu. Bagaikan bayangan, yang kita kejar itu tidak pernah berhenti, makin
didapat, semakin kurang dan semakin haus. Sekali tidak mampu menikmati keadaan
sekarang, sampai kapan pun tak akan pernah mampu menikmati keadaan diri sendiri
karena mata selalu memandang keadaan orang lain yang serba lebih, dan mata
selalu memandang untuk mengejar yang di depan.
Cita-cita
atau ambisi ini makin dikejar makin membesar dan semakin menjauh sehingga tidak
akan habisnya kita mengejar, sampai mati! Kita dibius oleh kata-kata yang indah
seperti cita-cita, kemajuan, dan sebagainya lagi.
Lalu apakah
kita kemudian menjadi layu, melempem, tak bergairah dan tak melangkah, statis
dan acuh, mati kutu? Bukanlah demikian bagi orang yang bijaksana dan waspada
akan keadaan diri pribadi setiap saat.
Kewaspadaan
ini akan menuntun ke arah perbuatan dan langkah yang benar. Hati yang tak
dibebani keinginan-keinginan, iri hati, membanding-bandingkan. Hati yang
demikian itu bersih dan mampu menampung datangnya sinar bahagia, dapat
menikmati keadaan yang bagaimana pun juga. Batin yang kosong dari segala macam
nafsu sajalah yang mengenal apa artinya cinta kasih dan hidup penuh sinar cinta
kasih adalah bahagia.
Ambisi atau
pengejaran keinginan selalu mengakibatkan perbuatan yang menyeleweng! Segala
cara dilakukan orang untuk mencapai tujuan. Tujuan menghalalkan segala cara
karena tujuanlah yang terpenting bagi orang yang ambisius. Namun sebaliknya,
caralah yang paling penting bagi orang yang waspada, karena cara inilah
kehidupan sehari-hari, langkah-langkah hidup, sedangkan tujuan hanyalah
bayangan, khayalan yang sedang dikejar-kejar.
Pengejaran
akan sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kebahagiaan membuat kita buta.
Dalam mengejar itu kita tidak peduli lagi apakah kita melangkahi orang atau
menendang orang yang kita anggap menghalangi di depan. Pengejaran kesenangan
ini sesungguhnya yang menciptakan segala macam tindakan kemaksiatan!
Hal ini
jelas nampak di sekeliling kita kalau saja kita mau membuka mata. Pengejaran
kesenangan melalui uang menimbulkan perampokan, pencopetan, pencurian,
penipuan, korupsi, penyuapan, penyelundupan dan sebagainya lagi. Banyak cara
yang dihalalkan untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh uang secara mudah dan
banyak, termasuk di antaranya perjudian. Pengejaran kesenangan sex menimbulkan
perkosaan, perjinahan dan pelacuran. Pengejaran kesenangan melalui kedudukan
mengakibatkan perebutan kekuasaan, pertentangan pemberontakan, dan perang!
Apakah kalau
begitu kita tidak boleh menikmati kesenangan? Sebaliknya malah! Orang yang
bebas akan pengejaran kesenangan akan menikmati setiap keadaan, sedangkan
pengejaran kesenangan melenyapkan kenikmatan dari keadaan yang sudah ada! Tanpa
keinginan memperoleh minuman lain, segelas air putih akan terasa nikmat,
sedangkan hati yang dipenuhi keinginan minum bir, diberi limun sekali pun
takkan dapat menikmati limun itu!
Ada yang
berkata bahwa orang takkan menjadi kaya raya tanpa pengejaran! Benarkah ini?
Boleh kita lihat buktinya di sekeliling kita! Kita semua ini adalah
pengejar-pengejar uang sejak kecil, siapa di antara kita yang kaya raya? Semua
masih merasa kurang dan tak seorang pun merasa dirinya kaya raya! Namun,
lihatlah dia yang makan demikian lahap dan nikmatnya walau pun hanya dengan
sayur asam dan sambal, lihatlah dia tidur demikian nyenyaknya walau di atas
tikar, dia yang mampu tertawa lahir batin, dia yang menikmati keadaannya. Dia
itulah orang kaya raya!
Cita-cita
atau ambisi yang dimiliki Siangkoan Lohan adalah melihat putera tunggalnya,
Siangkoan Liong, menjadi pengganti kaisar! Cita-cita yang tak kepalang
besarnya, yang muncul dalam benaknya bukan tanpa sebab. Sebab itu terjadi
kurang lebih sebelas atau dua belas tahun yang lalu. Ketika itu, Siangkoan
Liong baru berusia delapan tahun lebih.
Anak ini
memang berbakat sekali dan suka akan ilmu silat sehingga Siangkoan Lohan dengan
penuh semangat menggembleng puteranya itu. Pada waktu itu, sedikit pun dia tak
memiliki keinginan untuk memberontak. Dia adalah seorang yang dianggap keluarga
oleh istana, bahkan isterinya yang telah meninggal, yaitu ibu kandung Siangkoan
Liong, adalah seorang puteri dari istana yang dihadiahkan oleh kaisar
kepadanya.
Siangkoan
Lohan yang bernama Siangkoan Tek itu selalu merasa berterima kasih dan setia
kepada Kerajaan Ceng. Di dalam hatinya, sedikit pun dia tidak pernah mempunyai
hati untuk memberontak.
Pada suatu
hari, selagi Siangkoan Lohan melatih ilmu silat kepada puteranya di kebun
belakang yang sunyi, tiba-tiba saja terdengar seruan halus memuji, “Ilmu silat
bagus...!”
Siangkoan
Lohan cepat-cepat menghentikan gerakannya saat memberi contoh kepada puteranya,
dan menengok. Kiranya yang mengeluarkan seruan pujian itu ialah seorang
laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun yang berdiri tegak di atas
pagar tembok kebun itu. Diam-diam Siangkoan Lohan terkejut. Ada orang meloncat
ke dalam pagar tembok demikian dekat dan dia sama sekali tidak tahu atau
mendengarnya!
Tetapi
laki-laki itu agaknya tidak mempedulikan padanya karena sedang memandang ke
arah Siangkoan Liong dan kembali dia memuji.
“Anak yang
memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi kaisar sekali pun!”
Tentu saja
ucapan ini membuat Siangkoan Lohan menjadi terkejut bukan main, apa lagi
mendengar betapa kata-kata yang keluar dari mulut orang itu logatnya asing
walau pun halus dan teratur rapi. Dia memandang penuh perhatian.
Seorang
laki-laki yang tinggi kurus dan mengenakan pakaian bersih yang sangat rapi
bagai pakaian seorang pelajar, seorang siucai. Rambutnya tersisir rapi dan
segala yang nampak pada dirinya, meski pun tidak mewah namun bersih dan rapi.
Siangkoan Lohan yang dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa,
cepat memberi hormat dari bawah tembok.
“Sahabat
yang baik terlalu memuji ilmu silat kami yang tak ada artinya dan memuji pula
puteraku yang bodoh. Silakan turun dan menikmati secawan arak denganku.”
Orang itu
tersenyum mengangguk, “Tidak salah pendengaranku. Ketua Tiat-liong-pang memang
seorang laki-laki gagah perkasa dan peramah, dapat menghargai orang lain.
Sayang kurang semangat!” Setelah berkata demikian, dia meloncat turun.
Cara dia
meloncat turun ini yang mengejutkan hati Siangkoan Lohan karena tubuh itu sama
sekali tidak membuat gerakan keseimbangan, melainkan meluncur begitu saja
seperti balok jatuh. Akan tetapi ketika tiba di atas tanah, sama sekali tak
mengeluarkan suara dan kedudukan kaki dan anggota tubuh lain masih seperti
tadi.
Juga ia
teringat betapa para anggota Tiat-liong-pang selalu melakukan penjagaan ketat
diluar pagar tembok. Bagaimana orang ini bisa enak-enak begitu saja memasuki
taman tanpa ada muridnya yang mengetahuinya?
“Harap
maafkan jika kami belum mengenal nama besar sahabat yang baru datang dan
sebaliknya engkau sudah mengenalku. Siapakah engkau, Sobat, dan dari mana
engkau datang, ada keperluan apa pula datang berkunjung secara ini?”
Sikap orang
itu terlalu halus sehingga Siangkoan Lohan juga tidak mempunyai alasan untuk
marah. Apa lagi orang itu tadi memuji-muji puteranya, memuji ilmu silatnya, dan
memuji dirinya sebagai ketua Tiat-liong-pang.
Kembali
orang itu tersenyum, bahkan senyumnya saja senyum yang amat sopan!
“Semua orang
menyebutku Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang). Aku harus bercerita panjang lebar
untuk dapat memberi tahu dari mana aku datang, dan sebetulnya aku tak mempunyai
keperluan khusus, hanya kebetulan lewat dan karena mendengar kalian berlatih
silat, aku lalu ingin menonton. Puteramu ini sungguh hebat. Jika dididik dengan
benar, kelak akan menjadi orang besar, bahkan patut menjadi kaisar!”
Siangkoan
Lohan mengerutkan alisnya. Orang ini agak keterlaluan bicaranya, pikirnya.
Bagaimana mungkin puteranya menjadi kaisar? Dan dia seorang yang setia terhadap
kerajaan!
“Ouwyang
Sianseng, harap jangan berlebihan memuji puteraku. Aku hanyalah seorang ketua
perkumpulan, bagaimana mungkin puteraku menjadi kaisar?”
Ouwyang
Sianseng tersenyum. “Semenjak kecil aku mempelajari kesusastraan dan ilmu
perbintangan. Aku melihat bahwa puteramu ini memang pantas untuk menjadi
kaisar, Pangcu. Bukankah dia memiliki darah bangsawan istana pula? Tidak
percuma orang menjuluki aku Nam-san Sianjin (Manusia Dewa Gunung Selatan) kalau
aku tidak dapat melihat arti garis-garis pada wajah anak ini,” katanya tanpa
bernada menyombongkan diri, bahkan pandangan matanya terhadap Siangkoan Liong
jelas membayangkan rasa kagum, “Namun tentu saja ia harus dididik sebaiknya,
dan pendidikanmu hanya menjadi pendidikan dasar saja, Pangcu. Jika nanti aku
yang melanjutkan pendidikannya, barulah kemungkinan dia menjadi kaisar semakin
besar.”
Mendengar
ucapan terakhir ini, tentu saja Siangkoan Lohan mengerutkan alis. Hatinya
merasa tidak senang. Alangkah sombongnya orang ini, pikirnya, berani
mengeluarkan ucapan yang sangat meremehkannya, seolah-olah kepandaiannya masih
amat rendah tingkatnya dibandingkan tingkat kepandaian orang itu!
“Nanti dulu,
Sobat!” katanya sambil tertawa, akan tetapi ketawanya agak masam karena biar
pun orang ini datang memuji puteranya dan bermaksud untuk mendidik puteranya
agar menjadi kaisar, namun nada suara orang ini amat memandang rendah. “Tidak
ada orang lain boleh mendidik puteraku kecuali kalau orang itu memiliki ilmu
kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku. Kelak dia menjadi orang besar atau
tidak, hal itu terserah kepada nasibnya, akan tetapi untuk pendidikannya, ada
aku di sini yang mendidiknya, bukan orang lain. Tentu saja boleh dia berguru
kepadamu kalau memang ada buktinya bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi dari
pada aku.”
Kembali
kakek yang halus tutur sapanya itu tersenyum. “Siangkoan Pangcu, namamu sebagai
ketua Tiat-liong-pang sudah terkenal di empat penjuru, dan semua orang tahu
bahwa engkau memiliki ilmu silat yang hebat, tendangan maut dan tenaga luar
dalam yang sukar dicari tandingannya! Akan tetapi untuk dapat mendidik murid
seperti aku, engkau masih harus belajar lebih banyak. Tentu saja kepandaianku
lebih tinggi darimu, Pangcu. Aku hanya bicara seadanya saja, bukan bermaksud
menyombongkan diri.”
Memang
demikian, ketua Tiat-liong-pang itu pun kini melihat betapa orang di depannya
itu tidak menyombong, bicara dengan suara seakan-akan menerangkan sesuatu yang
sudah pasti. Karena sikap orang itu tidak sombong dan tidak mengandung iktikad
buruk terhadapnya, maka dia tidak marah, hanya merasa penasaran sekali.
Sementara
itu, Siangkoan Liong yang semenjak tadi mendengarkan percakapan antara kedua
orang tua itu, kini dia pun merasa penasaran.
“Ayah,
buktikan bahwa Ayah tidak kalah olehnya, agar dia cepat-cepat pergi dan tidak
mengganggu kita lagi.”
Orang yang
mengaku bernama Ouwyang Sianseng atau berjuluk Nam-san Sianjin itu tersenyum
gembira memandang Siangkoan Liong.
“Bagus, anak
ini sudah memiliki sifat terbuka dan gagah. Majulah, Pangcu, dan mari kita sama
membuktikan kebenaran omonganku tadi. Jika engkau tak mampu mengalahkan aku,
kelak setelah engkau selesai mengajarkan ilmu-ilmu dasar kepada puteramu, aku
akan melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, kalau engkau dapat mengalahkan aku,
aku akan minta maaf dan langsung aku pergi dan tidak akan mengganggu kalian
lagi.”
Tantangan
ini diucapkan dengan suara halus dan sama sekali tidak mengandung nada
permusuhan, maka Siangkoan Lohan lalu melangkah maju menghadapi kakek itu.
“Baik. Mari
kita memulai perkenalan kita dengan saling menguji kepandaian, Ouwyang
Sianseng. Dengan cara bagaimanakah engkau hendak mengadu kepandaian?” Sebagai
seorang ketua yang berwibawa dan sadar akan kedudukannya, Siangkoan Lohan tentu
saja bersikap mengalah dan mempersilakan calon lawan untuk menentukan cara.
Akan tetapi,
kakek berpakaian rapi dan bersikap sopan, itu menjura dengan hormat dan
tersenyum. “Senjata yang paling ampuh berada di dalam diri, bukan di luar diri.
Hal ini tentu telah kau ketahui pula, Pangcu. Aku sudah mendengar akan
kelihaian pukulan dan tendanganmu, dan bahwa dengan kaki tangan dan tenagamu
saja, engkau lebih lihai dari pada puluhan orang bersenjata. Kebetulan aku
sendiri pun seorang yang paling tidak suka melihat orang mempergunakan senjata
dalam perang, membunuhi sesama manusia seperti orang membunuh binatang saja.
Nah, bagaimana kalau kita main-main sebentar dengan mengandalkan kaki tangan saja,
senjata-senjata pemberian Tuhan sejak kita lahir?”
Hati
Siangkoan Lohan tertarik sekali. Tentu saja dia akan merasa beruntung sekali
jika ternyata benar bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi
tingkatnya darinya, untuk menjadi guru puteranya. Bagaimana pun juga, dia
meragukan akan hal ini.
Dia mengenal
tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, dan agaknya hanyalah keturunan para
pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir saja yang akan mampu menandinginya di antara
para pendekar, dan hanya datuk-datuk sesat yang sudah terkenal seperti dari
Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai saja yang setingkat dengan kepandaiannya. Akan
tetapi orang ini sama sekali tidak terkenal biar pun mengaku berjuluk Manusia
Dewa Gunung Selatan (Nam-san Sianjin)!
“Baiklah
Ouwyang Sianseng. Aku mengharapkan petunjuk darimu,” berkata Siangkoan Lohan
sambil menggerakkan dua lengannya, saling berputaran dengan jari-jari tangan
membentuk cakar naga. Kedua lengan itu menggetar dan terdengar suara berkerotok
ketika tenaga yang amat kuat mengalir ke dalam kedua tangan itu.
Melihat ini,
Ouwyang Sianseng tersenyum mengangguk-angguk.
“Memang
bukan nama kosong, hebat Ilmu Liong-jiauw-kang (Tenaga Cakar Naga) itu.
Mulailah, Pangcu, aku siap menyambut seranganmu!”
“Awas
pukulan!” tiba-tiba ketua Tiat-liong-pang itu membentak sebagai isyarat bahwa
dia mulai menyerang.
Angin
menyambar dahsyat ketika lengan kirinya meluncur dari samping dan mengirim
cakaran ke arah telinga kanan lawan, sedangkan tangan kanan juga bergerak dalam
detik berikutnya menyusul serangan pertama itu dengan cengkeraman ke arah
perut.
Dua tangan
dengan jari-jari tangan yang membentuk cakar naga ini luar biasa kuatnya.
Jangankan bagian tubuh manusia, bahkan batu karang pun akan hancur bila terkena
cengkeraman itu! Perlu diketahui bahwa tingkat kepandaian Siangkoan Tek yang
sudah terkenal dengan sebutan Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan) atau Siangkoan
Lohan ini sudah amat tinggi.
Siangkoan
Lohan memiliki tenaga yang dahsyat, yaitu tenaga Liong-jiauw-kang (Cakar Naga),
sedangkan ilmu silatnya yang dinamakan Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Berekor
Besi) amat tangguh pula. Di samping itu, ketua Tiat-liong-pang ini masih
memiliki ilmu andalan yang disebut Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati). Juga dia
adalah seorang ahli ilmu gulat dari bangsa Mongol, maka, kedua tangan yang
membentuk cakar naga itu, selain dapat digunakan untuk memukul, menampar dan
cengkeraman, juga dapat diubah menjadi jari-jari tangan seorang jago gulat yang
tangkapannya membahayakan lawan!
Menghadapi
cengkeraman ke arah kepala dan perutnya sekaligus, Ouwyang Sianseng tidak
nampak gugup. Kakinya melangkah ke belakang dan dua tangannya, dengan jari
tengah dan jari telunjuk tegak, menyambut kedua tangan lawan dengan totokan ke
arah telapak tangan!
Melihat ini
Siangkoan Lohan terkejut. Kalau orang itu berani menotok telapak tangannya yang
penuh dengan tenaga Liong-jiauw-kang, berarti bahwa orang itu tentu mempunyai
sinkang yang amat kuat. Dia tidak berani mencoba mengadu tenaganya, karena
kalau hal itu terjadi, telapak tangannya menyambut totokan jari tangan lawan,
tentu seorang di antara mereka akan dapat terluka parah.
Maka dia pun
cepat menarik kembali kedua tangannya dan tiba-tiba saja kedua kakinya
melakukan tendangan, mula-mula yang kanan lalu disusul yang kiri, kemudian
kanan lagi. Tendangan bertubi-tubi itu selain amat cepat, juga tenaganya bahkan
lebih dahsyat dari pada cengkeraman tadi sehingga debu dan tanah mengebul
tinggi seolah kedua batang kaki itu menjadi kitiran yang mendatangkan angin
besar menerbangkan debu dan daun kering.
Melihat
betapa tendangan itu semakin lama semakin kuat, Ouwyang Sianseng yang mengelak
ke kanan kiri dan ke belakang itu mengeluarkan suara pujian.
“Ilmu
tendangan yang berbahaya!” katanya.
Kini selain
mengelak, kedua tangannya yang dimiringkan juga beberapa kali menyambut
tendangan dengan tangkisan. Terdengar suara berdebuk-debuk ketika tangan
bertemu kaki, dan keduanya terdorong mundur.
Kembali
Siangkoan Lohan terkejut. Tangan itu mampu menahan tendangannya! Bukan main,
kakek ini benar-benar memiliki sinkang yang amat hebat. Dia pun lalu menyerang
dengan desakan, mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Silat Tiat-wi
Liong-kun. Tubuh ketua ini lalu bergerak cepat bagaikan seekor naga sakti, dengan
kedua tangan membentuk cakar dan dua kakinya menyabet-nyabet seperti seekor
naga yang sedang mengamuk.
Namun,
Ouwyang Sianseng mengimbangi kecepatannya dengan gerakan-gerakan aneh dan
lincah sekali. Kadang-kadang kakek ini berloncatan, atau seperti merak terbang,
kedua tangannya digerakkan seperti sayap, kedua kakinya itu berloncatan dan
sambil meloncat, kakinya itu menendang, atau jari tangannya membentuk kerucut
atau paruh burung untuk menotok dari atas. Gerakannya mirip seekor merak dan
memang ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat merak yang aneh dan indah,
juga lihai sekali. Memang ilmu silat yang aneh dan tidak pernah dikenal oleh
Siangkoan Lohan, dan ilmu silat dari selatan ini disebut Kong-ciak Sin-kun
(Ilmu Silat Merak).
Karena
sampai puluhan jurus dia tak mampu mendesak lawan, bahkan kadang-kadang
gerakannya menjadi kacau oleh keanehan gerakan lawan. Siangkoan Lohan menjadi
makin penasaran. Dia menggereng keras dan tiba-tiba cengkeraman tangan kanannya
berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan.
Selagi dia
hendak menggunakan ilmu gulat untuk membanting, tiba-tiba saja kakek itu
mendekat, memutar tubuhnya dan siku lengan dari tangan yang tertangkap itu
sudah menyerang ke arah dada Siangkoan Lohan. Cepat dan hebat serangan ini,
sehingga terpaksa pegangannya dilepaskan dan pada saat itu, kedua tangan lawan
dengan jari tangannya yang lihai telah menghujankan totokan kearah jalan darah
di bagian tubuh depan sebanyak tujuh kali!
Tentu saja
dia terkejut dan menjadi repot untuk mengelak dan menangkis, dan terpaksa harus
loncat ke belakang karena dia merasa terdesak. Rasa penasaran membuat ketua
Tiat-liong-pang ini mengerahkan sinkang, kemudian mengirim serangan dari jarak
jauh dengan mendorong kedua tangan dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan.
Melihat ini,
Ouwyang Sianseng tersenyum. Ia pun menyambut dengan dorongan kedua telapak
tangannya. Segera dua tenaga dahsyat yang tidak nampak bertemu di udara dan
akibatnya, tubuh Siangkoan Lohan terdorong ke belakang sampai terhuyung.
Tahulah
Siangkoan Lohan bahwa lawannya itu benar-benar lebih tangguh darinya. Jika
lawan itu menghendaki, ia tentu telah roboh dan kalah! Hal ini di samping
menimbulkan keheranan dan kekaguman, juga membuat dia merasa girang bukan main
dan mulailah dia percaya akan omongan orang ini bahwa puteranya berbakat untuk
menjadi kaisar! Dia pun menghentikan gerakannya dan menjura dengan sikap
hormat.
“Nam-san
Sianjin, sungguh baru sekarang saya harus mengakui keunggulan seseorang yang
ternyata lebih pandai dari pada saya. Saya persilakan Sianjin untuk menjadi
tamu kami agar perkenalan kita menjadi lebih akrab dan saya ingin minta
petunjuk tentang putera kami kepada Sianjin.”
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Baiklah, Pangcu. Terima kasih atas kepercayaanmu.”
Sementara
itu, Siangkoan Liong yang mendengar pengakuan ayahnya bahwa kakek itu lebih
lihai dari pada ayahnya, menjadi bengong. Kemudian anak yang cerdik ini lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Ouwyang Sianseng atau Namsan Sianjin.
“Locianpwe
berjanji akan mengambil teecu (murid) sebagai murid, oleh karena itu mulai
sekarang, Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah Suhu (Guru) bagi teecu.” Dan dia
pun memberi hormat sebanyak delapan kali sambil menyebut ‘suhu’.
Kakek itu
tersenyum gembira, kemudian membangunkan anak itu, meraba-raba pundak, lengan
dan kakinya sambil mengangguk-angguk.
“Sudah
kuduga, bertulang baik sekali. Pantas menjadi muridku, pantas menjadi seorang
calon kaisar!”
Mendengar
ini, hati Siangkoan Lohan menjadi girang bukan main. Ia pun lalu mengajak
tamunya masuk ke dalam, dan mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati
tamunya. Dalam kesempatan ini, Siangkoan Lohan lebih banyak mengenal tamunya
dan kakek itu pun dengan singkat menceritakan siapa dia sebenarnya.
Nam-san
Sianjin adalah seorang bekas pembesar tinggi di negara Birma! Dia seorang
bangsa Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sejak muda dia suka
merantau untuk memperdalam ilmunya. Perantauannya membawanya ke Birma dan di
sana dia, berkat kelihaiannya, memperoleh kepercayaan dari raja, diberi kedudukan
dan karena jasa-jasanya, dia bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat raja.
Dialah yang
berjasa besar dalam menghadapi penyerbuan bala tentara Mancu yang berkali-kali
menyerbu ke selatan, namun tidak pernah dapat menguasai Birma berkat pertahanan
Birma yang kokoh kuat, di bawah pimpinan Nam-san Sianjin! Dia amat setia kepada
Birma, apa lagi karena oleh raja, dia telah dihadiahi seorang puteri istana
untuk menjadi isterinya. Juga dia menentang keras pasukan Mancu karena dia tahu
bahwa bangsa Mancu adalah bangsa yang menjajah Cina, dari mana dia berasal.
Akan tetapi,
terjadi mala petaka menimpa keluarganya ketika berkobar perang melawan bala
tentara Mancu. Dalam suatu penyerbuan, ada pasukan yang berhasil menerjang kota
dan menyerbu gedungnya, dan isteri bersama tiga orang anaknya tewas dibantai
mereka!
Wajah yang
tadinya halus lembut dan gembira itu berubah menjadi pucat dan matanya
memancarkan sinar berapi ketika dia bercerita sampai di bagian itu. Dia
mengepal tinju. “Mereka sudah membasmi anak isteriku. Keparat Mancu! Aku
kemudian mengamuk, membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang sudah menyerbu
rumah kami itu, dan akhirnya aku terpaksa lari dari Birma...“
Siangkoan
Lohan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia pun ikut merasa prihatin.
“Tapi... mengapa engkau harus lari dari sana, Sianjin?” tanyanya hati-hati
melihat orang itu seperti marah-marah.
“Aku
dikatakan gila! Yang mengatakan adalah salah seorang menteri. Kubunuh dia dan
setelah melakukan pembunuhan terhadap seorang menteri, aku menjadi buronan dan
terpaksa melarikan diri dari Birma. Pula, aku sudah tidak mempunyai sanak
keluarga di sana, untuk apa lebih lama tinggal di sana? Aku lalu membawa simpanan
hartaku dan melarikan diri, dan kini tinggal di bukit selatan menjadi pertapa.
Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut aku Nam-san Sianjin.”
Siangkoan
Lohan merasa kagum sekali mendengar riwayat hidup kakek yang memiliki ilmu
kepandaian sangat tinggi itu. Tentu saja Nam-san Sianjin tidak menceritakan apa
yang menjadi cita-citanya.
Dia
mendendam kepada Kerajaan Mancu yang dianggap telah membasmi keluarganya dan
merusak kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, dia bersumpah untuk membalas
dendam, untuk menghancurkan Kerajaan Mancu. Inilah yang menjadi cita-cita
terakhir dari hidupnya.
Inilah
sebabnya, saat melihat Siangkoan Lohan dan puteranya, ia merasa tertarik
sekali. Melalui perkumpulan Tiat-liong-pang yang dia tahu amat berpengaruh dan
kuat ini dia akan dapat mengumpulkan kekuatan untuk menentang Kerajaan Mancu.
Dan dia dapat menggerakkan hati Siangkoan Lohan dengan memuji-muji puteranya
yang dikatakan berbakat besar untuk menjadi calon kaisar. Tentu saja dia sudah
menyelidiki keadaan keluarga Siangkoan Lohan ini dan tahu bahwa mendiang ibu
anak itu adalah seorang bangsawan tinggi dan masih anggota keluarga Kerajaan
Mancu.
Dan dia pun
berhasil menggerakkan hati Siangkoan Lohan, seperti ternyata kemudian betapa
Siangkoan Lohan yang kini mempunyai ambisi agar puteranya menjadi kaisar, mulai
mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menjatuhkan Kerajaan Mancu supaya
puteranya mendapat kesempatan menjadi kaisar seperti yang diramalkan oleh
Nam-san Sianjin!
Selama
beberapa tahun, kadang-kadang Nam-san Sianjin datang berkunjung. Dalam
percakapan mereka, kakek ini menanam dan menyebar bibit-bibit pemberontakan
dalam hati Siangkoan Lohan demi masa depan puteranya sehingga ketua
Tiat-liong-pang yang tadinya terkenal sebagai seorang yang amat setia kepada Kerajaan
Ceng, kini berubah dan ingin mengadakan persekutuan untuk memberontak!
Sementara
itu, Siangkoan Liong digemblengnya dengan sangat keras sehingga setelah dia
berusia delapan belas tahun, pemuda itu telah berhasil mewarisi dan menguasai
ilmu-ilmu silat dari ayahnya. Juga, menurut nasehat Nam-san Sianjin, Siangkoan
Lohan lalu mengundang guru-guru sastra untuk mengajar puteranya, karena menurut
nasehat Nam-san Sianjin, seorang calon kaisar haruslah menguasai ilmu tentang
sastra dengan baik.
Pada waktu
Siangkoan Liong berusia delapan belas tahun, pada suatu pagi muncullah Ouwyang
Sianseng atau Nam-san Sianjin. Dia pun mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi
Siangkoan Liong untuk digemblengnya.
“Dia akan
kuajak ke tempat tinggalku di Nam-san. Aku mengundang Siangkoan Pangcu untuk
datang berkunjung pula agar hatinya menjadi tenteram karena dia tahu bahwa
puteranya berada di suatu tempat yang dikenalnya.”
Giranglah
hati Siangkoan Lohan. Biar pun sekarang dia sudah menjadi kenalan baik Si
Manusia Dewa, namun belum pernah dia mengetahui di mana tempat tinggal pertapa
itu sehingga tentu saja hatinya akan selalu diliputi kesangsian dan
kekhawatiran melepas puteranya untuk mengikuti gurunya ke tempat tinggalnya.
Dan kini ia diajak berkunjung, maka tentu saja dia merasa girang dan pada hari
itu, berangkatlah dia dan puteranya mengikuti kakek sakti itu.
Pegunungan
di daerah selatan tidak setinggi pegunungan di bagian utara, akan tetapi
hutan-hutannya lebih lebat dan pohon-pohonnya lebih beraneka ragam. Di atas sebuah
puncak di antara bukit-bukit itu terdapat sebuah hutan lebat dan di tempat
inilah tinggal Nam-san Sianjin.
Selama ini,
Siangkoan Lohan sudah menyuruh beberapa orang anggotanya menyelidiki keadaan
kakek pertapa yang menjadi guru puteranya. Dia mendengar hasil penyelidikan
orang-orangnya bahwa kakek itu sering mengulurkan tangan menolong para penghuni
dusun di sekitar pegunungan itu. Bukan hanya menolong dengan pengobatan, akan
tetapi juga sering kali menolong mereka yang kekurangan dan kelaparan dengan
bahan makanan, pakaian atau bahkan uang secara royal sekali.
Tidaklah
mengherankan kalau kakek itu dinamakan Manusia Dewa oleh para penghuni dusun.
Bukan hanya karena dermawan sekali dan pandai mengobati, akan tetapi juga
karena kakek itu datang dan pergi seperti menghilang saja. Tak pernah ada yang
dapat berhubungan langsung dengan kakek pertapa itu, tetapi melalui para
pelayan kakek itu yang kabarnya juga memiliki kepandaian yang tinggi. Akan
tetapi, semua murid dan anggota Tiat-liong-pang gagal ketika berusaha mencari
tempat tinggal Nam-san Sianjin!
Setelah
mereka tiba di tengah hutan di puncak bukit itu, Siangkoan Lohan sendiri lalu
terheran-heran. Tidak nampak ada sebuah pun rumah di puncak itu, akan tetapi
guru puteranya itu mengatakan bahwa dia tinggal di puncak bukit yang penuh
hutan itu! Dan mengertilah dia mengapa anak buahnya gagal semua menemukan
tempat tinggal Si Manusia Dewa, karena tempat tinggalnya amat rahasia dan tidak
nampak!
“Kita sudah
sampai,” kata Nam-san Sianjin seperti dapat membaca kesangsian dalam hati
Siangkoan Lohan.
Tiba-tiba
saja nampak berlompatan tiga orang lelaki berusia antara empat puluh sampai
lima puluh tahun, kesemuanya berpakaian indah seperti pelayan-pelayan pembesar
dan mereka segera memberi hormat kepada Nam-san Sianjin sambil berlutut!
“Siapkan
hidangan untuk menyambut para tamu kita,” kata Nam-san Sianjin kepada tiga
orang pelayannya itu. “Siangkoan Pangcu menjadi tamu kita hari ini dan
Siangkoan Kongcu (Tuan Muda Siangkoan) ini mulai hari ini tinggal di sini
sebagai muridku, jadi sediakan kamar untuknya.”
“Baik,Taijin
(Orang Besar),” kata mereka dan mereka lalu menyelinap di antara semak belukar
di tepi jurang dan lenyap! Terkejutlah Siangkoan Lohan melihat cara mereka
menghilang itu.
“Pangcu,
jangan heran. Semak-semak dan jurang itulah pintu gerbang menuju tempat
tinggalku. Mari, silakan,” kata Nam-san Sianjin dan dia pun mendahului ayah dan
anak itu, menyelinap di antara semak belukar, diikuti oleh Siangkoan Lohan dan
puteranya.
Ketika
mereka menyusup di antara semak belukar, ternyata di balik semak-semak itu
terdapat anak tangga yang menuruni jurang! Pantas tidak ada di antara anak
buahnya yang dapat menemukan tempat tinggal kakek ini! Siapa yang menduga bahwa
di balik semak belukar, di dalam jurang, merupakan tempat tinggal kakek itu?
Anak tangga
itu tidak terus menuju ke dasar jurang, melainkan berhenti hanya sampai di
pertengahan dinding jurang dan kiranya di situ terdapat sebuah goa yang
tersembunyi dan tidak dapat kelihatan dari atas. Akan tetapi mulut goa yang
berada di dinding jurang ini menghadap ke timur sehingga memperoleh penerangan
sinar matahari yang cukup.
“Di sinilah
tempat tinggalku, pangcu. Silakan masuk,” berkata Nam-San Sianjin sambil
melangkah masuk ke dalam goa.
Siangkoan
Lohan mengerutkan alisnya dan ikut masuk bersama puteranya. Diam-diam dia
merasa kecewa. Puteranya harus tinggal di tempat seperti ini?
Akan tetapi,
setelah memasuki goa itu, ia terbelalak dan menjadi bengong! Goa itu lebar dan
nampak biasa saja ketika dia mulai memasukinya, akan tetapi setelah masuk ke
sebelah dalam, dia jadi terpesona. Di dalam goa itu ternyata amat luas, seperti
rumah gedung besar, dan keadaan di dalamnya tidak kalah dengan gedung tempat
tinggalnya sendiri, bahkan jauh lebih mewah. Keadaan goa ini sungguh tiada
ubahnya keadaan di dalam gedung istana!
Terdapat
banyak kamar, dan setiap ruangan dihias gambar-gambar dan tulisan-tulisan
indah. Setiap perabot rumah amat indah dan halus buatannya, dan keadaan di
dalam goa itu luar biasa sekali. Sedemikian luasnya, dengan sebagian atasnya
berlubang dan terbuka sehingga nampak sinar matahari. Bahkan di tengah-tengah
ruangan itu terdapat pula sebuah taman kecil penuh bunga!
Tak nampak
pelayan wanita di situ. Agaknya kakek Ouwyang hanya hidup bersama tiga orang
pelayan laki-laki yang tadi menyambut. Mereka itulah yang membersihkan tempat
tinggal mewah itu, memasak, dan melayani Nam-san Sianjin serta melakukan
pekerjaan lainnya.
Setelah
membiarkan tamunya mengagumi isi goa itu, Nam-san Sianjin mempersilakan mereka
memasuki sebuah ruangan yang paling luas, yang berada di sebelah dalam.
“Ruangan itu
kujadikan sebagai ruangan tamu, juga ruang duduk dan sekaligus ruangan untuk
berlatih silat. Dan kadang-kadang, seperti sekarang ini, bisa juga menjadi
ruangan makan, walau pun baru sekarang aku menjamu seorang tamu.”
Siangkoan
Lohan merasa terhormat sekali dan segera bermunculan tiga orang pelayan tadi
yang datang membawa hidangan yang lalu mereka atur di atas meja. Akan tetapi
perhatian Siangkoan Lohan tertarik kepada hiasan aneh yang terdapat di dekat
dinding, di sebelah rak senjata.
Di situ
terdapat sebuah rak panjang dengan tombak-tombak yang berdiri berjajar. Akan
tetapi, di atas tombak itu tertancap masing-masing sebuah kepala manusia, ada
belasan buah banyaknya! Yang mengerikan sekali, kepala manusia itu seperti
dalam keadaan hidup. Matanya terbuka dan hanya mukanya yang nampak pucat, namun
segalanya masih utuh seperti hidup.
“Itu...
itu... apa maksudnya?” tanya Siangkoan Lohan sambil menuding dan Siangkoan
Liong juga terkejut melihat kepala yang berjajar itu.
“Aahhh,
itu?” berkata tuan rumah sambil menarik napas panjang dan alisnya berkerut,
seolah-olah dia teringat akan hal yang tidak menyenangkan. “Itulah kepala
beberapa orang yang memimpin penyerbuan. Mereka yang menyebabkan matinya semua
anak isteriku. Aku berhasil mencari dan membunuh mereka, kepalanya kuawetkan
dengan ramuan obat dan kupasang di sini agar mendinginkan hatiku setiap kali
teringat kepada anak isteriku.”
Siangkoan
Lohan diam-diam bergidik. Orang yang amat lihai ini ternyata dapat berlaku amat
sadis dalam pembalasan dendamnya. Dia tidak tahu sama sekali bahwa memang
dendam telah membuat Ouwyang Sianseng menjadi seperti gila, dan karena dianggap
gila itulah maka dia dipecat dari kedudukannya dalam istana raja Birma! Dia
dianggap berbahaya dan bahkan kemudian dia membunuh seorang menteri dan menjadi
buronan pemerintah Birma.
Sebaliknya
dari ayahnya, Siangkoan Liong merasa kagum sekali kepada gurunya, yang
dianggapnya telah menebus kematian yang membuat penasaran dari keluarganya dan
telah membuktikan kesetiaannya kepada keluarganya.
Setelah
dijamu dengan masakan yang cukup lezat dan lengkap sehingga terlihat aneh
masakan seperti itu bisa dihidangkan di tempat itu, Siangkoan Lohan lalu
meninggalkan puteranya di situ dan kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Dia
harus berjanji tak akan memberi tahukan pada siapa pun juga tentang tempat
tinggal Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sianjin ini. Dan kemudian ternyata bahwa
kakek ini pun tidak pernah berhubungan dengan orang lain kecuali Siangkoan
Lohan dan puteranya.
Siangkoan
Liong lalu menerima gemblengan di tempat rahasia itu oleh kakek bekas penasehat
Raja Birma sehingga dalam waktu dua tahun ia telah memperoleh kemajuan yang
amat pesat. Setelah lewat dua tahun dan kembali ke rumah orang tuanya, dia melihat
betapa ayahnya kini telah mengadakan persekutuan dengan tokoh-tokoh lihai.
Karena
girang melihat puteranya telah tamat belajar dan mempunyai kepandaian yang
tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari tingkatnya sendiri, Siangkoan Lohan
kemudian mengadakan pesta, sekalian untuk merayakan hari ulang tahunnya yang
keenam puluh tahun. Dia lalu mengundang tokoh-tokoh, baik dari golongan hitam
mau pun putih dan seperti kita ketahui, di dalam pesta itu terjadilah
keributan.
Siangkoan
Liong maklum bahwa ayahnya sedang bersekutu dengan kekuatan-kekuatan yang ingin
menggulingkan pemerintah Mancu. Meski dia sendiri, dalam keangkuhannya merasa
diri jauh lebih tinggi, tak suka bergaul dengan orang-orang kang-ouw itu, namun
dia tidak menghalangi usaha ayahnya karena dia maklum bahwa usaha pemberontakan
itu cocok dengan apa yang dicita-citakan oleh gurunya, yaitu menggulingkan
pemerintah Ceng dan dialah yang kelak dicalonkan menjadi kaisar kalau usaha itu
berhasil.
***************
Setelah
menyelamatkan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang yang hampir saja tewas di tangan
Sin-kiam Mo-li, dan mengobati luka beracun di tangan ketua itu, Tan Sin Hong
segera pergi dengan cepat tanpa memperkenalkan diri lagi. Dia tidak ingin
terlibat dalam urusan orang lain dan dia juga tidak mengenal siapa orang yang
nyaris tewas di tangan Sin-kiam Mo-li itu. Kalau dia turun tangan membantu
orang itu hanyalah karena orang itu terancam maut di tangan Sin-kiam Mo-li yang
sudah dia ketahui kejahatannya.
Sin Hong
melanjutkan perjalanannya dengan secepatnya menuju ke kota raja. Dia harus
menemukan orang kaya yang disebut Lay Wangwe (Hartawan Lay) itu, karena agaknya
hanya kalau dia menemukan Lay Wangwe, maka dia akan melanjutkan penyelidikannya
tentang kematian ayahnya yang penuh rahasia itu. Dia percaya bahwa tidak akan
sukar mencari orang itu karena ciri-cirinya. Pertama, nama keturunannya Lay,
kaya raya dan kepalanya botak perutnya gendut. Tentu tidak banyak orang yang
sekaligus memiliki ciri-ciri itu.
Akan tetapi,
setelah kurang lebih sepekan dia melakukan penyelidikan di kota raja, dia tidak
berhasil menemukan orang yang dicari-carinya. Ada hartawan Lay, bahkan ada
beberapa orang yang kaya dan she Lay di kota raja, akan tetapi kepalanya tidak
botak walau pun ada yang gendut. Kalau ada yang kepalanya botak dan gendut,
namanya bukan Lay, juga tidak kaya raya. Namun, tetap saja dia menyelidiki
orang kaya yang she Lay, botak atau tidak. Namun tidak ada seorang pun di
antara mereka yang pernah mengirim seratus kati emas dari Ban-goan ke Tuo-lun.
Akhirnya Sin
Hong mengambil kesimpulan bahwa nama Lay Wangwe itu mungkin sekali palsu, hanya
untuk pancingan saja. Bahkan mungkin peti yang katanya berisi seratus tail emas
itu pun bohong dan sengaja digunakan untuk selain membunuh Tan-piauwsu, juga
menyita perusahaannya untuk mengganti rugi!
Dan siapa
lagi yang membutuhkan kejatuhan Peng An Piauwkiok kecuali saingannya? Saingan
terbesar dari Peng An Piauwkiok adalah Ban-goan Piauwkiok yang dikepalai Kwee
Tay Seng! Selain saingan dalam urusan perusahaan, juga saingan dalam urusan
wanita! Siapa yang tahu kalau Ciu-piauwsu ternyata benar dalam tuduhannya bahwa
Kwee-piauwsu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, baik terhadap ayahnya
mau pun terhadap Tang-piauwsu.
Pertama
karena dendam atas kekalahannya memperebutkan wanita, dan ke dua karena
persaingan dalam urusan perusahaan. Memang kini, setelah penyelidikannya
terhadap orang bernama Lay Wangwe gagal, satu-satunya orang yang dapat
dicurigai adalah Kwee-piauwsu.
Maka dia pun
memutuskan untuk segera kembali ke kota Ban-goan untuk melakukan penyelidikan
terhadap Kwee-piauwsu dan menunda niatnya berkunjung kepada Kao Cin Liong,
suheng-nya yang tinggal di Pao-teng, di sebelah selatan kota raja.
Malam itu
bulan purnama. Langit amat bersih, hanya ada awan putih tipis yang amat
mengganggu sinar bulan sehingga cuaca amat bersih dan cukup terang. Suasana
amat menggembirakan.
Tapi bersama
dengan sinar bulan yang indah datang pula angin dingin yang memaksa orang-orang
yang tadinya menikmati keindahan sinar bulan di luar rumah, memasuki rumah yang
lebih hangat. Hawa yang sangat dingin membuat orang sore-sore sudah memasuki
kamar tidur dan menjelang tengah malam suasana di kota Ban-goan sudah amat
sunyi. Sebagian besar penduduknya sudah tidur nyenyak.
Ban-goan
Piauwkiok juga nampak sunyi, walau pun setiap malam ada saja anggota piauwkiok
yang melakukan penjagaan secara bergilir di dalam gardu penjagaan di sudut
luar. Perusahaan itu berkantor di depan, sedangkan rumah tinggal Kwee-piauwsu
ada di bagian belakang.
Pekerjaan
sebagai pimpinan suatu piauwkiok (perusahaan pengawal barang) tentu saja
memiliki banyak musuh, yaitu para penjahat, para perampok yang suka mengganggu
pengawalan barang. Oleh karena itulah maka semua pimpinan perusahaan piauwkiok
selalu berhati-hati dan kantor bersama tempat tinggal mereka selalu dijaga oleh
anak buah secara bergilir.
Malam itu
terlampau dingin bagi empat orang piauwsu yang bergilir jaga di dalam gardu
penjagaan. Tadinya mereka masih berusaha melewatkan waktu dengan bermain kartu,
akan tetapi hawa dingin membuat mereka mengantuk sekali dan kini keempat orang
itu duduk berhimpit di dalam gardu jaga, menghangatkan tubuh dengan membuat
unggun di luar gardu.
Apalagi
dalam keadaan kedinginan dan bersembunyi di dalam gardu, andai kata mereka itu
berada di luar gardu, berjaga dengan waspada sekali pun, tak mungkin mereka
akan dapat melihat bayangan orang yang berkelebat dengan amat cepatnya, hanya
nampak berkelebat bagai bayangan burung yang terbang di udara. Dengan kecepatan
luar biasa bayangan itu telah melompati pagar tembok yang mengelilingi rumah
besar itu dan telah menyelinap-nyelinap ke dalam taman di sebelah kanan rumah.
Setelah melihat dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada penjaga di
situ, juga di atas genteng nampak sunyi saja, bayangan itu kemudian melayang
naik ke atas genteng rumah.
Bayangan itu
adalah Tan Sin Hong yang sedang melakukan penyelidikan di rumah keluarga Kwee,
tidak tahu dengan jelas apa yang akan dilakukan dan bagaimana harus memulai
dengan penyelidikannya itu. Dia merasa yakin bahwa dalam hawa sedingin itu,
tidak mungkin ada orang berjaga di atas genteng dan mau menentang hembusan
angin malam yang amat dinginnya. Bulan masih tampak cemerlang di atas, dan
suasana sunyi sekali.
Sejenak Sin
Hong termenung. Dia mengingat kembali ketika Ciu-piauwsu mendatangi rumah ini
kemudian menantang Kwee-piauwsu. Teringat betapa gagah dan tenangnya
Kwee-piauwsu dan betapa piauwsu itu sudah menyangkal bahwa dia telah membunuh
Tan-piauwsu, atau pun Tang-piauwsu. Dia menjadi ragu-ragu. Apa yang harus
dicarinya dan bagaimana dia harus memulai penyelidikannya?
Ahhh, siapa
tahu Tuhan akan membantunya dan mungkin saja dia akan melihat atau mendengar
sesuatu yang akan dapat membantu penyelidikannya. Maka dari itu, setelah mempelajari
keadaan dalam gedung itu dari atas, dia pun lalu melayang turun lagi, kini ke
sebelah dalam dan dia turun dekat lapangan terbuka, di antara deretan kamar dan
lorong menuju ke ruangan besar.
Dengan penuh
keyakinan bahwa semua penghuni rumah itu telah tidur pulas, dia pun melangkah
dengan hati-hati memasuki ruangan yang nampak gelap sekali karena tidak
memperoleh sinar bulan, sedangkan dalam ruangan itu tidak ada lampunya.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melangkah masuk, tiba-tiba saja
terdengar bentakan suara wanita, “Pencuri jahat, berani engkau mencuri ke
sini?”
Dari angin
yang menyambar di tempat gelap, tahulah Sin Hong bahwa ada sebatang pedang
menyambar ke arah dadanya! Cepat dia meloncat keluar kembali dan membuka pintu
kamar. Kalau dia mau meloncat dan melarikan diri pada saat itu, kiranya tidak
akan terlambat. Akan tetapi Sin Hong tidak melakukan hal ini.
Dia maklum
bahwa dia telah ketahuan orang dan disangka pencuri. Kalau dia melarikan diri
dan ketahuan siapa dirinya, tentu hal ini amat tidak baik bagi namanya dan dia
akan disangka sebagai penjahat. Mengapa tidak menghadapi saja mereka dengan
secara terang-terangan dan mengajak Kwee-piauwsu bicara tentang kematian
ayahnya dan Tang-piauwsu? Dari sikap dan kata-kata Kwee-piauwsu dalam
percakapan itu, dia akan dapat menduga apa sebenarnya peran piauwsu itu dalam
urusan ini.
Maka, dia
pun tidak mau meloncat pergi, melainkan menanti saja di luar ruangan itu dan
wajahnya dapat kelihatan jelas karena selain cahaya lentera dan lampu yang
tergantung di situ menerangi wajahnya, juga sinar bulan membuat tempat itu cukup
terang.
Orang
pertama yang melompat keluar dari dalam ruangan itu adalah seorang gadis
berusia kurang lebih delapan belas tahun yang manis sekali. Gadis ini bertubuh
sedang, dengan sepasang kaki nampak panjang, tubuh yang padat dan ranum, tubuh
seorang dara yang mulai dewasa. Rambutnya hitam lebat dan panjang sekali,
dikuncir menjadi dua diikat dengan pita merah. Dua kuncir itu bergantungan
sampai ke pinggulnya.
Pinggangnya
ramping ketika ia bergerak meloncat ke luar dengan pedang di tangan kanan dan sebuah
lentera besar dan baru saja dinyalakan di tangan kiri. Dari cahaya lampu ini,
nampak jelas oleh Sin Hong wajah gadis itu.
Kulitnya
agak hitam, namun manis bukan main, terutama sekali mulutnya. Sepasang bibirnya
berbentuk indah seperti gendewa terpentang, dengan garis yang jelas dan bibir
itu penuh dan merah basah, sedikit terbuka memperlihatkan kilauan gigi putih
seperti mutiara dan sepasang matanya tajam memandang Sin Hong penuh selidik.
Agaknya
gadis itu tertegun dan agak heran melihat betapa ‘maling’ yang mampu mengelak
dari serangannya tadi tidak melarikan diri, melainkan berdiri di situ menanti.
Dan tak disangkanya bahwa penjahat itu seorang laki-laki muda yang berpakaian
serba putih, wajahnya biasa saja, akan tetapi sinar matanya demikian lembut dan
mulutnya terhias senyum ramah dan menarik! Sama sekali bukan wajah seorang
pencuri atau penjahat yang kejam dan ganas, melainkan wajah seorang pemuda yang
ramah dan baik hati.
Akan tetapi
karena ia merasa curiga melihat munculnya pemuda tak di kenal, di tengah malam,
memasuki ruangan gelap di mana ia tadi berlatih semedhi, ia pun kini mendekati
dan menodongkan pedangnya dengan sikap mengancam.
“Menyerahlah
sebelum pedangku yang bicara!” Pedangnya menodong dada dan lampu di tangannya
diangkat menerangi muka Sin Hong.
“Tahan,
jangan serang dia!” Tiba-tiba terdengar suara memerintah.
Mendengar
suara ayahnya, gadis itu melangkah mundur dan menurunkan pedangnya, namun
sikapnya masih mengancam.
“Ayah, dia
sudah memasuki ruangan lian-bu (latihan silat). Lagaknya seperti seorang
pencuri!” bantahnya.
Kwee Tay
Seng atau Kwee-piauwsu tidak menjawab, hanya melangkah menghampiri Sin Hong.
Sejak tadi dia menatap wajah itu dan kini dia sudah berhadapan dengan Sin Hong,
matanya masih terus mengamati wajah pemuda berpakaian putih yang berdiri di
situ dengan sikap tenang dan juga sedang memandangnya.
“Kau... kau
seperti pernah melihatmu... ah, engkau mirip sekali dengannya...! Bukankah
engkau ini putera mendiang Tan-piauwsu?”
Sin Hong
merasa heran mendengar ini, akan tetapi dia pun teringat akan hubungan pria
yang gagah ini dengan mendiang ibunya, dan dia tahu bahwa wajahnya memang mirip
dengan wajah ibunya.
“Ayah, kalau
dia benar putera Tan-piauwsu, jelas bahwa dia datang bukan dengan niat baik.
Tadi dia meloncat turun dari atas genteng dan menyelinap masuk seperti pencuri.
Aku yang tadi berada di dalam ruangan gelap dapat melihat dengan jelas. Begitu
dia melangkah masuk, aku sudah menyerangnya, akan tetapi dia meloncat keluar
lagi,” Kwee Ci Hwa, puteri Kwee-piauwsu itu, berkata lagi.
“Orang muda,
aku mengenal mendiang ayahmu sebagai seorang gagah, dan engkau tentu seorang
pemuda yang gagah pula. Marilah kita bicara secara jantan dan terbuka, dari
pada engkau harus datang secara gelap begini. Silakan masuk dan mari kita
bicara di dalam.”
Sin Hong
merasa malu sendiri dan dia pun mengangguk, lalu mengikuti tuan rumah itu
memasuki ruangan tadi, diikuti oleh Ci Hwa yang membawa lampu. Ternyata ruangan
itu luas dan bersih, hanya terdapat beberapa buah bangku di dekat dinding dan
sisanya kosong karena ruangan itu adalah sebuah tempat berlatih silat.
Ci Hwa
menaruh lampu itu di atas meja kecil, dan dinyalakan lagi tiga buah lentera
lain yang digantungkan di dinding sehingga kini ruangan itu menjadi terang.
Kwee-piauwsu mempersilakan Sin Hong duduk di atas bangku, kemudian dia sendiri
beserta puterinya duduk menghadapinya.
“Orang muda,
katakanlah siapa engkau sebenarnya,” kata Kwee-piauwsu.
“Tidak salah
dugaanmu tadi, Paman Kwee. Aku adalah Tan Sin Hong, putera dari Tan Piauwsu,
dan yang menyebabkan aku malam ini datang menyelundup seperti seorang pencuri
adalah karena aku hendak menyelidiki tentang kematian ayahku dan kematian paman
Tang Lun.”
“Sungguh
aneh,” kata Ci Hwa yang sejak tadi diam saja. “Menyelidiki kematian mereka,
kenapa harus mencari di sini? Apakah pembunuh mereka berada di sini?”
Kwee-piauwsu
mengeluh panjang. Pada saat itu terdengar suara berisik dan ternyata ada
beberapa orang anggota piauwkiok yang meronda dan agaknya mereka merasa heran
dan curiga melihat betapa ada suara orang tengah bicara di lian-bu-thia yang
juga nampak terang.
“Ci Hwa,
engkau keluarlah dan tenangkan mereka. Aku hendak bicara berdua dengan Tan Sin
Hong.”
Biar pun
gadis itu memandang kecewa karena ia pun ingin sekali mengetahui kelanjutan
dari munculnya pemuda itu, namun dia tidak membantah ayahnya, dan dia pun
segera keluar dan tak lama kemudian, para anggota piauwkiok pergi meninggalkan
tempat itu, melanjutkan perondaan.
“Sin Hong,
sudah dua kali ini orang mencurigai aku sebagai pembunuh ayahmu dan
Tang-piauwsu. Padahal, aku sama sekali tidak tahu menahu tentang peristiwa itu.
Ketahuilah, bahwa dahulu persaingan yang terjadi antara aku dengan ayahmu
adalah persaingan sehat dua orang yang memiliki perusahaan yang sama. Kami
sama-sama bersaing untuk mendapat kepercayaan langganan dengan pelayanan
sebaiknya, bukan persaingan dengan cara saling menjatuhkan. Pernah Ciu Hok Kwi,
piauwsu muda yang belum lama menjadi piauwsu itu pun menuduh aku yang membunuh
Tang-piauwsu sehingga dia datang ke sini dan mendatangkan keributan. Dan
sekarang engkau sendiri, putera Tan-piauwsu datang ke sini tentu mempunyai
dugaan pula bahwa aku yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu. Sungguh
membuat aku merasa penasaran sekali!” Kakek itu mengeluh dan mengepal tinju.
“Tidak
kusangkal bahwa aku dan ayahmu bersaingan dalam memajukan perusahaan
masing-masing, akan tetapi aku, Kwee Tay Seng, selama hidupku belumlah demikian
rendah untuk menggunakan cara-cara kotor, apa lagi sampai melakukan pembunuhan
dengan curang!”
Sejak tadi
Sin Hong menatap wajah kakek itu dengan penuh perhatian dan melihat sikap dan
suara Kwee-piauwsu, memang sukar dipercaya orang segagah ini melakukan
kecurangan seperti itu, membunuh dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi masih
ada sesuatu yang membuat Sin Hong penasaran, maka dengan terus terang dia
berkata, “Paman Kwee, selain persaingan dalam perusahaan, aku juga pernah
mendengar dari Tang-piauwsu bahwa dahulu, antara mendiang ibuku dan engkau...“
“Aihh...!”
Kwee Tay Seng menghela napas panjang dan mengangguk-angguk, mukanya berubah
lesu. “Inilah sebabnya mengapa aku menyuruh Ci Hwa pergi meninggalkan kita. Aku
memang hendak membicarakan hal ini, karena aku sudah menduga bahwa tentu ini
merupakan satu di antara sebab mengapa aku yang dicurigai. Tadi pun, ketika
melihatmu, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah putera Bwee Hwa.
Wajahmu demikian mirip dengannya. Sin Hong, tidak perlu kusangkal lagi. Memang
di waktu kami muda, terdapat pertalian cinta antara aku dan ibumu, akan tetapi
sungguh sayang, orang tua kedua pihak tidak setuju sehingga kami terpaksa
saling berpisah. Namun, kemudian aku melihat betapa ia, ibumu yang dulu pernah
menjadi kekasihku itu, hidup dengan bahagia bersama Tan Hok, ayahmu. Aku cinta
kepada ibumu, maka, lebih tak masuk di akal lagi kalau aku ingin membikin ia
sengsara dengan membunuh suaminya! Aku belumlah gila, dan cintaku adalah cinta
suci, bukan cinta nafsu belaka yang menimbulkan iri. Tidak, Sin Hong, aku tak akan
mengganggunya, seujung rambut pun, tetapi aku mendengar bahwa ketika menyusul
suaminya ke utara, rombongannya dihadang perampok dan ia meninggal...“
Sunyi
sejenak dan Sin Hong termangu-mangu. Sedikit pun ia tak meragukan kebenaran
Kwee-piauwsu. Yang melakukan penghadangan terhadap rombongan ibunya, kemudian
mencelakakan dia dan ibunya, juga orang-orang berkedok. Tak mungkin
Kwee-piauwsu yang memimpin penghadangan itu dan membikin celaka ibunya, wanita
yang dicintanya.
Keterangan
dan perasaannya itu melegakan hatinya, akan tetapi juga mendatangkan rasa
kecewa dan penasaran. Hatinya lega karena dia yakin orang tua gagah ini bukan
pembunuh ayahnya dan Tang-piauwsu, akan tetapi dia penasaran dan kecewa karena
kini putuslah sudah jalur penyelidikannya. Setelah Kwee-piauwsu terlepas dari
daftar orang yang dicurigai, maka tidak ada lagi orang yang dapat dicurigainya!
Pada saat itu terdengar suara Ci Hwa dari luar.
“Ayah,
bolehkah aku masuk?” Gadis itu masih ingin melihat bagaimana kelanjutan dari
urusan dengan pemuda she Tan itu.
Karena
cerita tentang Bwee Hwa, ibu Sin Hong, sudah mereka bicarakan dan tidak akan
diulang lagi, maka Kwee Tay Seng lalu menjawab.
“Masuklah,
Ci Hwa.”
Gadis itu
masuk dan duduk di dekat ayahnya. “Bagaimana urusannya dengan dia ini, Ayah?”
Sin Hong
memandang kepada gadis itu dan membungkuk. “Nona, akulah yang salah. Ayahmu
tidak tahu apa-apa tentang kematian ayahku dan Paman Tang, dan karena itu
maafkan aku. Paman Kwee, maafkan aku...“
Melihat
sikap pemuda itu yang nampak kecewa, Kwee-piauwsu berkata, “Sin Hong, aku dapat
merasakan kekecewaanmu. Engkau kehilangan ayah ibu, tentu saja engkau ingin
membalas dendam kepada mereka yang telah membunuhnya.”
“Ibu bukan
dibunuh orang, melainkan meninggal karena badai di gurun pasir, Paman.”
Dengan
singkat dia pun lalu menceritakan betapa rombongan ibunya yang dikawal oleh
mendiang Tang-piauwsu diserang oleh orang-orang berkedok. Dia bersama ibunya
lalu menunggang onta dan melarikan diri memasuki gurun pasir sampai akhirnya
ibunya meninggal di gurun pasir.
Sampai di
sini dia menghentikan ceritanya karena dia tidak ingin bercerita tentang guru
gurunya, hanya menyambung dengan kata-kata yang tegas. “Dan aku sama sekali
tidak ditekan dendam, Paman. Kalau aku mencari pembunuh-pembunuh itu, bukan
terdorong dendam pribadi, tetapi karena perbuatan yang sedemikian jahatnya itu
harus kuselidiki. Apa sebabnya ayah dibunuh, dan kalau pembunuhnya memang
melakukannya karena kejahatan, maka kejahatan itu harus ditentang dan dihukum,
Paman.”
Kwee-piauwsu
mengangguk-angguk. “Tapi, sampai sejauh mana penyelidikanmu? Aku ingin
membantumu, orang muda, karena aku pun merasa penasaran sekarang, apa lagi
karena akulah yang dituduh melakukan perbuatan kejam itu.”
Suara
Kwee-piauwsu terdengar penuh kesedihan. Memang dia merasa berduka sekali
mendengar tentang kematian Bwee Hwa, bekas kekasihnya. Dan biar pun Bwee Hwa
tidak mati dibunuh, namun sama saja, ada orang yang menyebabkan ia sampai lari
ke gurun pasir dan menemui kematiannya di sana.
Dengan
singkat Sin Hong lalu bercerita tentang penyelidikannya terhadap Lay-wangwe,
orang yang dia curigai karena hartawan itulah yang mula-mula menemui ayahnya
dan mengirim barang berharga itu.
“Kurasa
hanya ialah satu-satunya orang yang mengetahui persoalan ini, Paman, karena ia
yang mengirim emas itu, dan ia pula yang menuntut ganti rugi sehingga
perusahaan ayah berikut rumah dan seisinya disita. Akan tetapi, penyelidikanku
gagal. Di kota raja tak pernah ada seorang Lay-wangwe yang berkepala botak dan
berperut gendut seperti itu.”
Kwee-piauwsu
mengangguk-angguk. “Aku juga sudah mendengar tentang penyitaan itu dan menurut
anak buahku, kini Peng An Piauwkiok telah menjadi perusahaan pengawal yang
baru, dengan rumah dan kantornya sudah dibetulkan menjadi cukup megah. Dan
kabarnya, Ciu-piauwsu yang kini menjadi pengurusnya.”
Sin Hong
mengangguk. “Memang benar, Paman. Paman Ciu telah mencarikan seorang sahabat,
atau keluarganya yang kaya untuk memberi pinjaman uang untuk membayar sebagian
kerugian itu, dan kini karena perusahaan mundur dan tak mampu membayar
pinjaman, semua rumah dan kantor terjatuh ke tangan orang yang memberi pinjaman
uang. Agaknya perusahaan itu diperbarui, dilanjutkan dan Ciu-piauwsu yang
menjadi pemimpinnya, mengingat bahwa majikannya adalah keluarganya.”
“Orang yang
kau sebutkan tadi, Lay-wangwe itu, pernah datang ke sini...“
“Ah,
benarkah, Paman? Harap Paman ceritakan...!” Sin Hong memotong, mendapatkan
harapan baru.
“Hal itu
terjadi beberupa hari sebelum dia menyerahkan angkutan barang berharga yang
harus dikawal ke Tuo-lun itu kepada ayahmu. Dia datang dan membawa peti besar
yang tertutup rapat, minta kepadaku untuk mengawal ke Tuo-lun dengan janji upah
besar. Aku menerimanya dengan syarat bahwa isi peti itu harus dibuka dan
dihitung lebih dulu. Dia menolak dan marah-marah karena aku dianggap tak
percaya kepadanya. Akhirnya aku mendengar dia mengirim barangnya itu melalui
pengawalan Peng An Piauwkiok.”
“Akan
tetapi, apakah Paman mengetahui di mana dia tinggal?”
Seperti yang
telah dikhawatirkannya, piauwsu itu menggeleng kepala. “Kami semua tak ada yang
tahu, akan tetapi karena ada beberapa orang anak buahku pernah melihatnya,
biarlah aku membantumu dengan menyebar mereka agar suka mencarinya. Seorang di
antara mereka, baru dua hari yang lalu pernah mengatakan kepadaku bahwa si
gendut botak itu nampak berkeliaran di kota ini.”
Sin Hong
merasa girang sekali dan anak buah itu segera dipanggil.
“Memang saya
melihatnya dua hari yang lalu. Lagaknya masih seperti dahulu, seperti seorang
hartawan besar, dengan pakaian mewah dan royal dengan uangnya.”
“Sekarang
juga, engkau ajak teman-temanmu yang pernah melihatnya untuk melakukan
pencarian secara berpencar dan kalau menemukannya, cepat memberi kabar ke
sini!”
Setelah
orang itu pergi, Kwee Ci Hwa juga bangkit berdiri. “Aku dulu juga melihatnya,
biar aku juga membantu mencarinya!”
Tanpa
menanti jawaban, gadis itu sudah meloncat keluar. Sin Hong merasa tidak enak
sekali.
“Ah, aku ternyata
selain membikin ribut di sini, juga membikin repot saja, Paman Kwee.”
“Jangan
berkata begitu, Sin Hong. Sudah semestinya dalam hal seperti ini kita saling
bantu.”
“Akan tetapi
sampai nona...ehhh, adik Kwee sendiri ikut repot...“
“Aku
mengerti isi hatinya. Tentu ia merasa tidak enak karena tadinya aku yang
disangka sehingga ia ingin sekali membantu untuk membersihkan nama ayahnya.
Engkau tunggu saja di sini malam ini sampai ada berita dari mereka tentang
hasil penyelidikan mereka.”
“Terima
kasih, Paman. Akan tetapi aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi malam
ini. Biarlah besok pagi saja aku datang ke mari lagi untuk mendengar keterangan
hasil penyelidikan itu. Sekarang saya lebih baik pergi saja dulu.”
“Tidak ada
yang terganggu, Sin Hong. Setelah terjadinya peristiwa ini, aku pun tidak akan
dapat tidur lagi. Biarlah kita bercakap-cakap di sini sambil menanti mereka.
Karena kota ini kecil saja kiranya tidak akan lama mereka mencari.”
Karena
ditahan-tahan, Sin Hong merasa tidak enak juga kalau tidak mau menerimanya dan
ketika mereka bercakap-cakap, dia mendengar kenyataan bahwa orang she Kwee ini
memang memiliki sikap yang amat menyenangkan. Dia gagah dan jujur dan Sin Hong
merasa tertarik sekali, juga semakin percaya karena orang seperti ini tak
mungkin melakukan kejahatan yang keji dan curang.
Juga Kwee
Tay Seng mempunyai pengalaman yang luas di dunia kang-ouw, mengenal tokoh-tokoh
kang-ouw yang pandai. Dalam ilmu kepandaian, pernah dia melihat ketika
Kwee-piauwsu menghadapi amukan Ciu Hok Kwi dan dia tahu bahwa dalam hal ilmu
silat, agaknya sukar mencari orang di daerah Ban-goan yang akan mampu
menandingi piauwsu ini.
Karena
mereka asyik bercakap-cakap, tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya dan
menjelang pagi, muncullah Kwee Ci Hwa dan dua orang anak buah piauwkiok.
“Ayah, kami
telah menemukan dia!” kata gadis itu.
Sin Hong
merasa berterima kasih sekali, apa lagi sesudah melihat betapa gadis itu nampak
kedinginan dan lelah.
“Ahh, terima
kasih! Dia berada di mana, Nona?”
“Sin Hong,
anakku yang hanya satu ini bernama Kwee Ci Hwa, harap engkau jangan
sungkan-sungkan dan menyebut nona kepadanya,” kata Kwee-piauwsu yang diam-diam
merasa suka kepada pemuda yang sederhana itu.
“Maaf, adik
Ci Hwa, akan tetapi aku ingin sekali tahu di mana adanya si gendut botak she
Lay itu.”
“Dia...
dia... Gu-toako, engkau saja yang menerangkan,” kata gadis itu dan mukanya
berubah merah.
Anak buah
piauwkiok itu lalu menerangkan dengan jelas. “Orang she Lay yang gendut botak
itu sudah beberapa hari berada di Ban-goan dan agaknya memang hanya kalau malam
saja dia baru berkeliaran keluar, kalau siang entah bersembunyi di mana. Kami
menemukan jejaknya dan kini dia berada di rumah pelesir di ujung timur kota.
Selama beberapa hari ini memang dia langganan di situ dan menurut penyelidikan
kami, dia amat royal dengan uangnya, dan di sana pun dia dipanggil Lay-wangwe
(Hartawan Lay) yang royal memberi hadiah kepada para pelacur.”
Kini
mengertilah Sin Hong mengapa gadis itu malu untuk menceritakan, dan dia sendiri
sungguh pun kelahiran kota itu, namun tidak tahu di mana letaknya rumah pelesir
atau rumah pelacuran itu.
"Di
manakah rumah itu? Ujung timur kota? Jauhkah dari jembatan merah?"
"Tepat
di sebelah timur jembatan itu," kata Kwee-piauwsu, “Hanya terhalang dua
buah rumah. Rumah pelesir itu bercat merah, besar dan di depannya tumbuh
sekelompok mawar.”
“Kalau
begitu, aku akan pergi ke sana sekarang juga!” kata Sin Hong sambil bangkit
berdiri dan menjura kepada Kwee-piauwsu, puterinya dan beberapa orang piauwsu
yang tadi mencari jejak Lay-wangwe. “Terima kasih atas segala kebaikan Paman,
juga engkau adik Ci Hwa, dan para saudara piauwsu yang telah membantuku.”
“Nanti dulu,
Sin Hong,” kata Kwee piauwsu, “Engkau... apa yang hendak kau lakukan terhadap
orang gendut botak itu?”
“Akan
kutangkap dia dan kupaksa mengaku tentang peristiwa yang terjadi.”
“Sin Hong,
engkau tidak boleh memandang rendah pada mereka yang telah melakukan
pembunuhan-pembunuhan terhadap ayahmu dan Tang-piauwsu itu. Mereka itu lihai
dan berbahaya, dan siapa tahu kalau-kalau dugaanmu benar dan di belakang
Lay-wangwe itu terdapat gerombolan jahat itu. Engkau harus berhati-hati...“
“Biarlah aku
yang menemaninya, Ayah! Tan-toako, mari kutunjukkan engkau tempatnya dan aku
akan membantumu kalau muncul orang-orang jahat itu!” kata Ci Hwa dengan gagah.
Tentu saja
Sin Hong merasa semakin tidak enak. Melihat keraguannya, Kwee-piauwsu berkata,
dengan suara yang tegas.
“Ci Hwa
benar, Sin Hong. Engkau boleh mengandalkan ia yang sudah memiliki ilmu silat
cukup tinggi untuk membela diri dan juga membantumu. Nah, kalian pergilah, akan
tetapi berhati-hatilah dan jangan bertindak sembrono.”
Sin Hong
tidak dapat menolak lagi dan terpaksa dia bersama Ci Hwa lalu keluar dari rumah
keluarga Kwee. Mereka berjalan berdampingan. Malam menjelang pagi itu dingin
dan sunyi bukan main, juga agak gelap karena kini bulan sudah lenyap, tinggal
tersisa bintang-bintang yang suram cahayanya.
“Siauw-moi
(adik kecil), sungguh aku hanya membikin repot engkau saja,” Sin Hong berkata,
karena dia merasa tidak enak oleh sikap gadis itu yang diam saja.
“Ah, tidak,
Toako. Bagaimana pun juga, aku merasa berkewajiban untuk ikut membantu
menangkap penjahat itu, yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu, karena aku
harus membersihkan nama ayah yang tadinya ternoda oleh dugaan bahwa ayah yang
melakukan kejahatan itu.”
Sin Hong
tidak bicara lagi, diam-diam dia kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang
tidak banyak bicara, akan tetapi memiliki semangat besar, keberanian dan
kegagahan.
“Nah, itulah
rumahnya,” kata Ci Hwa menunjuk ke sebuah rumah yang cukup besar dan bercat merah,
di halaman depan tumbuh bunga-bunga mawar. Semua daun pintu dan jendela rumah
itu masih tertutup dan suasananya sunyi sekali.
“Aku akan
segera mengetuk pintu dan minta bicara dengan Lay-wangwe,” berkata Sin Hong
sambil melangkah lebar untuk menghampiri pintu depan.
“Nanti dulu,
Toako. Kalau engkau datang begitu saja ingin menemuinya, tentu dia curiga dan
kalau dia melarikan diri, engkau akan kehilangan dia dan akan sukar kalau harus
mencari orang yang sembunyi-sembunyi. Sebaiknya kalau aku berjaga-jaga di
bagian belakang agar dia tidak dapat melarikan diri. Kalau dia lari dari pintu
belakang, aku akan menahannya.”
Sin Hong
merasa semakin kagum. Dibandingkan gadis ini, dia kalah jauh dalam hal
pengalaman dan kecerdikan. “Baiklah, Hwa-moi, engkau benar sekali.”
Gadis itu
lalu berkelebat dan dengan cepat berlari memutari rumah itu untuk mengintai dan
berjaga di belakang rumah. Setelah menunggu beberapa lamanya untuk memberi
kesempatan kepada Ci Hwa tiba di belakang rumah dan mencari tempat pengintaian
yang tepat, Sin Hong kemudian menghampiri pintu depan. Dia tidak ingin
menimbulkan keributan dengan masuk sebagai seorang pencuri. Dia mengetuk pintu
depan beberapa kali.
Tak lama
kemudian daun pintu terbuka dan seorang kakek berusia enam puluh tahun muncul
sambil menggosok-gosok mata dengan punggung tangan. Dia nampak masih mengantuk,
juga ketika pintu terbuka, dia agak menggigil kedinginan oleh angin pagi yang
menerpa masuk.
“Ah, Kongcu,
sungguh merupakan waktu yang aneh untuk mengunjungi rumah pelesir!” Dia
terkekeh. “Kongcu datang terlalu pagi atau justru terlalu malam. Anak-anak
manis itu masih tidur pulas semua, nanti kurang lebih jam sepuluh mereka baru
akan bangun. Apakah Kongcu menghendaki seorang di antara mereka? Dengan
tambahan istimewa, kiranya ia mau dibangunkan pagi-pagi begini.”
Wajah Sin
Hong berubah merah. Sialan, pikirnya, dia disangka ingin melacur!
Dia
menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak, Lopek. Aku bukan datang untuk
pelesir, melainkan mencari seorang tamu, yaitu Lay-wangwe.”
Mendadak
pandang mata orang itu berubah, penuh kecurigaan dan alisnya berkerut. “Tidak
ada yang bernama Lay-wangwe di sini,” katanya ketus.
Sin Hong
tidak mau mempergunakan kekerasan yang akan meributkan suasana dan membikin
takut Lay-wangwe.
“Lopek, aku
tahu bahwa Lay-wangwe bermalam di sini. Ketahuilah, aku adalah seorang sahabat
baiknya yang perlu sekali bicara dengan dia sekarang juga. Amat penting!” Sin
Hong mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkannya kepada pelayan itu.
Melihat
berkilaunya perak, pandang mata kakek itu silau dan sikapnya berubah walau pun
dia masih ragu-ragu.
“Akan tetapi
aku tidak mengenal siapa Kongcu, dan selain itu tamu yang sedang tidur nyenyak
tentu akan marah sekali jika kuganggu dan kuketuk pintunya. Apa yang harus
kukatakan kalau dia terbangun dan marah-marah kepadaku karena gangguanku?”
Uang itu
sudah diterima dan lenyap ke dalam saku baju pelayan itu. Sin Hong sudah merasa
menang, namun dia pun harus berhati-hati dan jangan sampai menimbulkan
kecurigaan. Dia tahu bahwa Lay-wangwe pasti telah memesan kepada para pelayan
di tempat itu untuk merahasiakan kehadirannya di rumah itu.
“Kalau dia
sudah terbangun dan marah-marah, katakan saja bahwa aku adalah seorang
sahabatnya yang datang untuk memberi tahu padanya bahwa ada bahaya mengancam
dirinya, dan dia harus cepat pergi bersamaku kalau ingin selamat.”
Mendengar
ini, pelayan itu terbelalak.
“Wah, kalau
begitu gawat!” katanya dan dia pun lari masuk ke dalam rumah besar itu setelah
menutup kembali pintu depan.
Sin Hong
menanti sambil mendekatkan telinganya ke daun pintu agar dapat mendengar lebih
baik. Dia siap untuk mempergunakan kekerasan kalau jalan halus ini gagal. Akan
tetapi siasatnya tadi berhasil baik.
Pada saat
pelayan itu mengetuk daun pintu kamar di mana Lay-wangwe masih tidur mengorok
sambil merangkul dua orang wanita pelacur yang mengapitnya, dia terbangun dan
tentu saja dia marah-marah karena merasa terganggu.
“Lay-wangwe,
ada keperluan penting sekali, harap bangun!” demikian suara pelayan yang
mengetuk pintu kamar itu.
Dua orang
pelacur terbangun lebih dahulu dan mereka segera menutupi tubuh mereka dengan
selimut, sementara itu Lay-wangwe bangkit dan duduk dengan sukar karena
perutnya amat gendut. Dia pun menutupi tubuhnya dengan selimut dan mengomel.
“Keparat,
siapa berani menggangguku?” Kepada seorang di antara dua orang pelacur itu dia
memberi isyarat untuk membuka daun pintu.
Ketika daun
pintu terbuka dan dengan takut-takut pelayan tua itu terbungkuk-bungkuk masuk.
Lay-wangwe membentak marah.
“Apa kau
sudah bosan hidup, berani mengganggu aku sepagi ini?”
“Maafkan
saya, Lay-wangwe, tetapi di luar sudah datang seorang tamu yang mengaku sahabat
baik Wangwe. Dia mengatakan bahwa ada bahaya mengancam diri Wangwe dan kalau
Wangwe menghendaki supaya selamat, Wangwe harus cepat-cepat pergi bersama dia
sekarang juga.”
Laki-laki
pendek gendut itu terbelalak, wajahnya berubah pucat dan cepat-cepat dia meraih
pakaiannya secepat mungkin.
“Bagaimana
orangnya? Masih mudakah? Atau sudah tua? Dan siapa namanya?” Dia bertanya sambil
mengenakan pakaiannya.
“Dia belum
sempat mengaku siapa namanya, akan tetapi orangnya masih muda dan dia ramah
sekali, baik sekali, Lay-wangwe. Dan dia nampaknya bersungguh-sungguh...“
“Kalau
begitu aku harus cepat pergi dari sini!” katanya sambil melemparkan beberapa
potong uang perak kepada dua orang pelacur itu.
Dia keluar
dari kamar dan melihat betapa beberapa buah kamar yang berderet di situ juga
nampak terbuka. Agaknya ribut-ribut itu sudah membangunkan tamu-tamu lain. Hal
ini sebenarnya biasa saja, namun orang she Lay yang sudah ketakutan itu
sekarang memandang penuh kecurigaan, seakan-akan bahaya yang disebutkan tadi
datang dari kamar-kamar itu. Dia pun cepat-cepat melangkah keluar, tidak tahu
betapa beberapa buah kancing bajunya salah memasuki lubangnya serta kedua
matanya kemerahan dan ujungnya dihias kotoran mata.
Setelah
membuka pintu depan dia berhadapan dengan Sin Hong! Sekali lihat saja Sin Hong
sudah tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan orang yang dimaksudkan oleh
Tang-piauwsu dan Ciu-piauwsu, yaitu orang gendut botak yang terkenal dengan
nama Lay-wangwe, si pengirim emas yang mengakibatkan tewasnya ayahnya dan
membuat perkara menjadi berlarut-larut sampai kematian Tang-piauwsu itu.
Akan tetapi,
dia belum yakin benar bahwa si gendut ini hanya merupakan umpan untuk menjebak
ayahnya. Bagaimana kalau dia ini benar-benar pengirim emas, sama sekali tidak
bersalah?
“Siapa...
siapakah engkau...? tanya Lay-wangwe dengan sangsi ketika melihat seorang
pemuda yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.
Akan tetapi,
Sin Hong melangkah maju. “Apakah engkau yang bernama Lay-wangwe?”
Karena tak
mengenal pemuda itu, muncul lagak Lay-wangwe yang memandang rendah orang lain.
Apa lagi orang ini mengganggunya dan dia tidak melihat adanya gangguan dan dia
tidak melihat adanya bahaya mengancam seperti yang dikatakan pelayan tadi.
“Benar, akulah
Lay-wangwe. Engkau siapa dan mau apa?” Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan
menyambung, “Engkau bilang ada bahaya? Engkaulah yang mengatakan ada bahaya
tadi, dan di mana bahaya itu?”
Sin Hong
tersenyum. “Lay-wangwe, di sinilah letaknya bahaya kalau engkau tidak mau
bicara terus terang padaku. Ketahuilah, aku adalah putera dari mendiang
Tan-piauwsu, pemimpin Peng An Piauwkiok yang dahulu mengangkut emasmu ke
Tuo-lun! Ingatkah engkau? Engkau datang kepada ayah, mengirim peti berisi emas
ke Tuo-lun, kemudian di tengah jalan, ayah dibunuh orang dan engkau menuntut
ganti kerugian dan menyita rumah beserta perusahaan ayah. Lalu terjadi
pembunuhan pula atas diri Tang-piauwsu belum lama ini. Nah, katakanlah, apa
yang kau ketahui tentang semua pembunuhan itu?”
Lay-wangwe
terbelalak memandang kepada Sin Hong, kemudian dia tersenyum lebar, mengejek.
“Orang muda, hanya untuk itu engkau berani mengganggu aku? Memang akulah yang
mengirim emas itu, dan karena hartaku hilang, aku lalu menyita rumah dan
perusahaan ayahmu. Aku sudah menderita kerugian besar dan engkau masih hendak
menggangguku? Aku tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu!” Ia pun
membalikkan tubuhnya hendak masuk lagi.
“Tunggu
dulu!” Sin Hong berseru dengan suara keras.
Lay-wangwe
membalik dan kini matanya menjadi semakin merah dan alisnya berkerut karena dia
sudah marah sekali.
“Engkau
mengaku sebagai seorang hartawan di kota raja, akan tetapi ternyata engkau
bukan hartawan kota raja karena di sana tidak ada seorang pun yang mengenalmu!
Dan pada waktu engkau hendak mengirim peti berisi emas itu melalui Ban-goan
Piauwkiok, engkau menolak ketika petinya hendak dibuka dan isinya diperiksa,
bahkan engkau lalu membatalkan pengiriman itu, dan mengirimkannya tanpa membuka
peti melalui ayahku. Siapakah engkau ini sebenarnya dan apa maksudmu memancing
ayah dengan umpan kiriman emas itu untuk menjebaknya?”
“Bocah
kurang ajar! Berani engkau menyelidiki keadaanku? Engkau patut dihajar!”
Dan
tiba-tiba saja orang yang gendut itu bergerak cepat sekali, menyerang Sin Hong
dengan pukulan dua tangannya secara bertubi-tubi! Orang akan terkejut sekali
melihat betapa ‘hartawan’ Lay itu tiba-tiba saja menjadi seorang laki-laki yang
ganas dan dapat melakukan penyerangan secepat dan sekuat itu, padahal tubuhnya
bulat dengan perut yang gendut.
Sin Hong
tentu saja tidak gugup, akan tetapi dia pun agak terkejut karena tidak mengira
bahwa Lay-wangwe itu ternyata bisa menyerangnya, bukan hanya dengan cepat
sekali, tapi juga dia dapat melihat betapa pukulan-pukulannya mengandung tenaga
yang cukup kuat! Kiranya si gendut ini bukan orang sembarangan dan tentu saja
kecurigaannya semakin bertambah.
“Hemmm,
kiranya engkau seorang tukang pukul!” katanya sambil miringkan tubuhnya.
Pada saat
kedua tangan Lay-wangwe yang melancarkan pukulan bertubi-tubi itu lewat, tangan
Sin Hong bergerak menotok dan robohlah tubuh yang berperut gendut itu, tidak
mampu bangkit lagi karena tubuh itu terasa lemas oleh totokan Sin Hong! Kini
muka orang itu nampak ketakutan karena baru dia tahu bahwa dia berhadapan
dengan lawan yang luar biasa lihainya, yang dapat merobohkannya dalam satu
gebrakan saja! Sulit untuk dipercaya, akan tetapi kenyataannya demikianlah dan
dia mulai merasa ngeri dan takut.
“Nah,
sekarang ceritakan yang sebenarnya. Siapa yang dulu mengatur pancingan dan
jebakan itu? Siapa pula yang sudah membunuh ayahku dan Tang-piauwsu? Katakan
sebetulnya kalau tidak ingin aku terpaksa menggunakan kekerasan memaksamu!”
Sin Hong
sengaja menekankan jari tangannya ke pundak orang gendut itu dan orang itu pun
menyeringai kesakitan. Penekanan pada jalan darah di pundaknya itu membuat
seluruh tubuh bagian atasnya demikian nyeri seperti ditusuki ribuan jarum dan
keringat dingin membasahi muka dan lehernya.
“Aku... aku
tidak tahu siapa pembunuhnya... aku hanyalah anak buah saja...,“ katanya dengan
suara terputus-putus saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya. Sin Hong
melepaskan jarinya.
“Lalu siapa
pemimpinmu? Siapa yang mengutusmu? Jawab!”
“...Tiat...
Tiat-liong-pang...!” Tiba-tiba dia menjerit dan berkelojotan.
Sin Hong
terkejut bukan main. Pada saat orang itu tadi mulai membuat pengakuan, ada
belasan jarum dan paku beracun menyambar ke arahnya dari depan. Ia cepat
mengelak dengan loncatan ke samping dan tangannya mendorong sehingga sisa
senjata rahasia itu terpukul angin dorongannya sehingga runtuh. Akan tetapi
ketika dia memandang, dia melihat orang gendut itu sudah berkelojotan dengan
muka membiru dan mata melotot.
Dia melihat
bayangan orang berkelebat lari ke dalam rumah itu. Sudah terlambat untuk
menyelamatkan si gendut dan dia pun cepat meloncat dan mengejar ke dalam rumah.
Bayangan yang kelihatan berpakaian hitam itu ternyata mempunyai gerakan yang
amat cepat.
Terdengar
jeritan-jeritan para wanita ketika Sin Hong berlari cepat memasuki rumah itu.
Ternyata wanita-wanita pelacur yang keluar dari kamar masing-masing, terkejut
dan ketakutan melihat kejar-kejaran itu, apa lagi yang dikejar adalah seorang
yang memakai pakaian hitam dan kedok hitam pula!
Dengan penuh
semangat Sin Hong melakukan pengejaran. Dia merasa yakin bahwa orang berpakaian
hitam itulah yang menjadi kunci rahasia pembunuhan-pembunuhan itu, setidaknya
orang itu tentu yang sudah membunuh Tang-piauwsu. Maka dia harus dapat
menangkapnya!
Orang itu
menerjang pintu belakang dan terus melompat ke dalam kegelapan pagi yang masih
remang-remang itu. Tetapi tiba-tiba ada orang menyambutnya dengan bentakan
nyaring.
“Berhenti!”
Bentakan itu dibarengi munculnya Kwee Ci Hwa dengan pedang telanjang di tangan.
Melihat
betapa ada seorang gadis berpedang menghadang di depannya, orang itu tidak
berhenti, bahkan menerjang dan menyerang Ci Hwa! Tentu saja Ci Hwa terkejut
akan kenekatan orang itu dan ia pun menyambut dengan tusukan pedangnya! Akan
tetapi, orang itu menangkis dengan tangan kiri dan tangan kanannya tetap saja
mencengkeram ke arah dada Ci Hwa!
“Plakkk!”
Pedangnya
tertangkis oleh tangan kosong itu begitu saja sampai hampir terlepas dari
pegangannya dan dadanya terancam cengkeraman. Terpaksa Ci Hwa melempar tubuh ke
belakang dan berjungkir balik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Tapi
terlambat!
Orang yang
ternyata luar biasa lihainya itu sudah menendang lututnya sehingga Ci Hwa
terguling. Orang itu menubruk lagi dengan hantaman tangan kanannya ke arah
kepala Ci Hwa yang sudah tidak sempat untuk mengelak atau menangkis lagi!
“Dukkk!”
Pukulan
hebat dari orang berkedok hitam itu tertangkis oleh tangan Sin Hong yang datang
tepat pada saat nyawa Ci Hwa terancam bahaya itu.
Orang itu
mengeluarkan seruan kaget, kemudian menyerang dengan kedua tangan didorongkan
ke arah dada Sin Hong. Pukulan jarak jauh! Ini membuktikan bahwa orang berkedok
itu memang lihai bukan main. Sin Hong menyambut dengan dorongan penuh tenaga
sinkang sehingga orang itu terjengkang!
Kembali dia
mengeluarkan seruan kaget dan terus meloncat jauh dan menghilang ke dalam
kegelapan pagi buta itu. Sin Hong tidak mengejar karena dia mengkhawatirkan
keselamatan Ci Hwa melihat kelihaian orang itu. Siapa tahu masih ada kawanan
penjahat di situ yang akan mencelakai Ci Hwa.
“Engkau
terluka, Hwa-moi (adik Hwa)?” tanyanya sambil memegang pundak gadis itu.
Ci Hwa
menggelengkan kepala, lalu bangkit berdiri. Kakinya tidak terluka parah, hanya
agak terpincang.
“Mari kita
kejar dia!” kata Sin Hong dan sambil memegang tangan gadis itu, dia pun
meloncat sehingga Ci Hwa merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dan dibawa
terbang! Sampai beberapa lamanya Sin Hong dan Ci Hwa mencari-cari, namun si
kedok hitam itu sudah lenyap.
“Sayang, dia
telah pergi...!” kata Sin Hong yang terpaksa menghentikan larinya.
Gadis itu
mengangkat muka memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum, lalu ia
merunduk dan merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu.
“Hong-ko...“
“Ya. Kenapa,
Moi-moi, engkau tidak terluka parah, bukan?”
Gadis itu
menggelengkan kepalanya. “Tidak, dan aku tadi terbebas dari maut, berkat
pertolonganmu, Hong-ko.”
“Aih,
sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut lagi. Sayang jahanam itu dapat
lolos. Dia tentu tahu banyak tentang rahasia pembunuhan-pembunuhan itu.”
“Siapakah
orang berkedok yang lihai itu, Hong-ko?”
“Aku tidak
tahu. Aku berhasil bertemu dengan Lay-wangwe yang gendut itu dan ketika aku
mulai mengancamnya untuk mengaku, mendadak dia diserang senjata rahasia dan
tewas. Penyerangnya adalah orang berkedok itu maka aku mengejarnya.”
“Ahhh...!”
Tentu saja Ci Hwa terkejut mendengar bahwa orang she Lay itu tewas pula oleh
orang berkedok tadi.
“Sungguh aku
merasa malu dan menyesal sekali, Hong-ko. Aku memandang rendah padamu, mengira
engkau tidak sedemikian pandainya sehingga aku ikut membantumu, ternyata bahkan
sudah menghalangimu menangkap orang berkedok itu. Kiranya engkau memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa tingginya.”
“Sudahlah,
Hwa-moi, jika tidak ada engkau yang menghadangnya, tentu aku tak sempat bentrok
dengannya dan ia telah lebih dulu menghilang. Mari kita pulang dan melaporkan
hal ini kepada ayahmu sebab tadi aku memperoleh keterangan yang cukup penting
dari Lay-wangwe. Menurut pengakuannya sebelum dia terbunuh, dia hanya diperalat
oleh Tiat-liong-pang.”
“Tiat-liong-pang?
Perkumpulan apa itu dan di mana?”
“Aku tidak
tahu, sebaiknya kalau kita tanyakan hal itu kepada ayahmu, mungkin dia lebih
tahu.”
Benar saja, ketika
Kwee-piauwsu mendengar bahwa si gendut Lay itu diperalat oleh Tiat-liong-pang,
dia terkejut bukan main. “Tiat-liong-pang? Perkumpulan besar di bawah pimpinan
Siangkoan Lohan! Sungguh aneh sekali! Perkumpulan itu terkenal amat kuat, dan
Siangkoan Lohan adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian sangat tinggi.
Perkumpulannya terkenal kuat pula dan dia memiliki hubungan dekat dengan
istana, bahkan kabarnya dihadiahi puteri dari istana yang menjadi isterinya
karena dia banyak berjasa terhadap kerajaan. Apa artinya ini? Mengapa suatu
perkumpulan besar seperti Tiat-liong-pang tiba-tiba ada hubungannya dengan
pembunuhan-pembunuhan ayahmu dan Tang-piauwsu, bahkan kini membunuh Lay-wangwe,
kaki tangannya sendiri untuk menutup mulutnya? Apa yang dikehendaki perkumpulan
macam Tiat-liong-pang di sini? Sungguh aneh dan sukar dipercaya keterangan
orang she Lay itu!”
“Bagaimana
pun juga, keterangan itu sudah mendatangkan jejak baru dan saya akan melakukan
penyelidikan ke sana, paman Kwee. Sayang bahwa orang berkedok itu bisa lolos,
karena dia pasti tahu akan semua peristiwa pembunuhan itu, bahkan mungkin
sekali dialah yang melakukan pembunuhan terhadap ayah dan paman Tang.”
Kwee-piauwsu
mengangguk-angguk. “Memang tidak ada jalan lain untuk melakukan penyelidikan setelah
orang she Lay itu terbunuh. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Hong, karena
Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat dan berpengaruh, juga
bukan perkumpulan penjahat.”
“Baik, Paman
dan terima kasih atas semua nasehat dan bantuan Paman.”
Pada hari
itu juga, Sin Hong meninggalkan rumah keluarga Kwee, dan setelah pemuda itu
pergi, wajah Ci Hwa nampak murung dan sinar matanya suram. Ayahnya melihat hal
ini dan diam-diam merasa heran.
Akan tetapi,
belum sempat dia bertanya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia
mendapatkan bahwa puterinya itu telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit!
Hanya terdapat surat di atas meja dalam kamarnya yang memberi tahukan ayah
ibunya bahwa ia pergi untuk membantu menyelidiki pembunuh Tan-piauwsu dan Tang-piauwsu,
untuk mencuci nama ayahnya yang tadinya disangka menjadi pembunuh.
Nyonya Kwee
menangis dan merasa khawatir sekali, membujuk suaminya agar mencari dan
mengajak kembali Ci Hwa. Akan tetapi suaminya menghiburnya.
“Ia sudah
dewasa dan sudah mempunyai bekal kepandaian silat yang cukup kuat untuk menjaga
diri sendiri. Biarlah ia mencari pengalaman selagi masih bebas.” Demikian dia
berkata kepada isterinya.
Akan tetapi
diam-diam dia mengharapkan puterinya itu dapat bertemu dan bekerja sama dengan Sin
Hong karena Kwee-piauwsu merasa suka sekali kepada Sin Hong yang mirip ibunya,
wanita yang pernah dikasihinya itu. Ia berharap untuk dapat menjodohkan
puterinya dengan pemuda itu!
Sementara
itu, setelah meninggalkan rumah keluarga Kwee, Sin Hong tidak langsung pergi ke
luar kota untuk menyelidiki Tiat-liong-pang, melainkan singgah di bekas rumah
orang tuanya. Dia melihat betapa bangunan itu, baik kantor piauwkiok mau pun
rumah tinggalnya, telah diperbaiki sehingga kelihatan baru dan dicat baru pula.
Hampir dia tak mengenali lagi tempat di mana dia tinggal sejak lahir sampai
berusia belasan tahun.
Ciu-piauwsu
menyambutnya dengan wajah gembira. “Tan Sin Hong, engkau baru saja datang?
Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?” tanyanya langsung setelah pemuda itu
dipersilakan masuk.
Karena
Ciu-piauwsu adalah satu-satunya orang dari pihak ayahnya yang mengetahui akan
semua urusannya itu, Sin Hong lalu menceritakan dengan singkat tentang semua
hasil usahanya. Betapa dia sudah gagal menemukan Lay-wangwe di kota raja,
betapa dia kemudian menyelidiki keluarga Kwee-piauwsu dan atas bantuan keluarga
itu dia lalu berhasil menemukan Lay-wangwe di Ban-goan dan kembali ada
pembunuhan, yaitu terhadap diri si gendut itu, lagi-lagi oleh seorang berkedok.
“Sayang aku
tak dapat menangkap orang berkedok itu,” dia mengakhiri ceritanya. “Akan tetapi
Lay-wangwe sudah meninggalkan suatu pengakuan yang dapat merupakan jejak baru
dalam penyelidikanku, paman Ciu.”
“Ahhh,
benarkah? Apa saja yang diakuinya?” Ciu-piauwsu mendesak.
“Menurut
pengakuannya sebelum dia tewas oleh senjata rahasia orang berkedok itu, dia
hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”
“Ohhhh...!”
Wajah Ciu-piauwsu berubah dan matanya terbelalak. Dia nampak terkejut bukan
main.
“Kenapa,
Paman?”
“Celaka,
tentu orang gendut botak itu telah membohongimu. Mana mungkin semacam
Tiat-liong-pang mencampuri urusan ini? Tiat-liong-pang adalah sebuah
perkumpulan besar dan kuat dipimpin oleh Siangkoan Lohan, seorang kakek yang
gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mana mungkin melakukan kejahatan?
Tentu si gendut itu membohongimu!”
“Kurasa
tidak, Paman. Betapa pun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku
dapat melanjutkan penyelidikanku.”
“Aku lebih
condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan...“
“Tidak,
Paman. Dugaan kita sudah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak
bersalah...“
“Ahhh,
jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!”
“Tidak,
Paman. Aku yakin bahwa ia tak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan
terhadap Tiat-liong-pang.”
Ciu-piauwsu
mengangguk-angguk. “Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati hatilah.
Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang
merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan mempunyai hubungan dekat dengan
istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!”
Pada hari
itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasehat dari
Ciu-piauwsu agar berhati-hati jika menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan
perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di
lereng sebuah bukit di luar kota itu.
*************
Sebuah di
antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di
puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi
pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat
jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni.
Puncak ini
amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dingin.
Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah
atau kaki puncak. Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu
nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa.
Sebuah
bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak memiliki
tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih,
dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon
buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.
Memang
demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang
biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan
hawanya amat dingin itu. Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka
berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di
dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari
Beng-san).
Dua orang
kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain
sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka.
Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah
cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar
dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai.
Biar pun
orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang
Gak Goat Kong, tapi tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membedakan
mereka. Isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan anak angkat
mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh
cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka. Maka
kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walau pun
ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu
menikah dengan seorang wanita saja.
Peristiwa
pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan
berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama
Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai.
Dalam
keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang
dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat sekarang bahkan menikah dengan
seorang wanita saja, maka pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak
Telaga Warna. Dia hidup merana, bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai,
sampai dia kemudian menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang
kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya.
Semenjak
ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak
Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah
mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun yang kini
sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun.
Tentu saja
mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan
mereka, bahkan meninggalkan mereka. Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka,
namun tidak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja
di Puncak Telaga Warna dengan penuh keprihatinan kalau mereka teringat kepada
ayah mereka yang sudah amat tua itu.
Adanya Gak
Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi
rasa dosa terhadap ayah mereka karena bagaimana pun juga, pernikahan mereka
dengan Hui Lian kini telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa
Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu?
Pada suatu
pagi yang sejuk dan indah, karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan
memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam
suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi, Gak Ciang Hun
telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan
bermain main seorang diri di dalam taman. Sepasang matanya penuh kebahagiaan
memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan,
sambil berkicau penuh keriangan.
Anak ini
baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan
seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawa dirinya
menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala
keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka
sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di
dusun-dusun. Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka
tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri
di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan
mendengarkan suara mereka.
Pagi hari
itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, dia pun
melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi
itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih
sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya.
Indah sekali
kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih
cerah, seakan-akan taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang
berkembang. Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya
sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi.
Di kebun
belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak
rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat.
Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya
sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah
melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan.
Tiba-tiba
ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan
menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun lalu menjadi
marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir
burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung
itu terbang ketakutan.
Akan tetapi,
tidak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun lagi sehingga
Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir
mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia menggunakan batu-batu
kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari
kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu.
Ciang Hun
duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Sekarang kupu-kupu kuning
itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke
atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu!
Memang sejak
kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh
tahun, selain dia menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya
telah bersemi watak yang gagah dan tak rela melihat yang lemah dijadikan korban
keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela
golongan lemah yang tertindas.
“Indah
sekali kupu-kupu itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus.
Ciang Hun
cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil
memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa
heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu.
Seorang
gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah
Ciang Hun bahwa gadis itu tidak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis
dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga
sikapnya berbeda.
Gadis ini
mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan!
Seperti pakaian pengemis saja. Akan tetapi, kalau pakaian pengemis
tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis
ini, tambal-tambalan tapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian
gadis dusun yang kebesaran, namun ringkas dan ketat membungkus tubuh gadis itu
sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah.
Sepatunya
yang kecil terbuat dari kulit berwarna hitam dan nampak kuat. Rambutnya juga
berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan
panjang, sekarang digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde
panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Kedua mata gadis itu seperti
mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang
Hun.
“Adik yang
baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir!
Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!” kata pula
gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali.
Ciang Hun
mengerutkan alis, lalu menjawab, “Aku mengusir burung-burung itu bukan karena
menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu
dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!”
Gadis itu
melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu. “Akan tetapi, bukankah
mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?”
“Kita pun
suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah
kita pun menjadi jahat?” Anak itu membantah. “Agaknya kupu-kupu itu memang
menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah
begitu?”
Kini gadis
itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.
“Wah,
agaknya benar juga engkau.” Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan
merdu sekali. “Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin
aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?”
“Namaku
Ciang Hun.”
“Apakah ada
hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?”
“Mereka itu
adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun.”
Gadis itu
kelihatan girang bukan main. “Aihhh, pantas engkau cerdik dan pintar sekali!
Kiranya adik ini putera dari Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci
(kakak perempuan) padaku!”
Biar pun
Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak
pemalu. Ia lalu menghampiri. Agaknya dia senang melihat gadis yang berwajah
manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya, dan pandang
matanya ramah sekali itu.
“Enci,
engkau siapakah?”
“Namaku Suma
Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian.”
Anak itu
terbelalak memandang pada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan
dan kekaguman.
“Suma...?
Enci, she-mu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama
Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada
lawannya di dunia ini!”
Suma Lian
tersenyum dan membelai kepala anak itu. “Tidak salah keterangan ayahmu, adik
Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu
kita adalah enci dan adik sendiri.”
Gadis
bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi
Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, di dekat kota Cin-an. Meski pun ayah ibunya
merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini semenjak berusia dua
belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri.
Pada saat
itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian
dapat melihat mereka. Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua
orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian!
Gadis itu
terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua
orang itu, maka cepat dia pun mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh),
meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok,
ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik,
sedangkan dua orang penyerangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir
enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa!
Kini kedua
orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa
serangan mereka tadi dengan sangat mudah dihindarkan lawan yang ternyata
hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.
“Tahan dulu,
kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat
buruk!” seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena
sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang
putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.
“Ia adalah
enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!” teriak Ciang Hun kepada
ayah ibunya.
Mendengar
ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran,
saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.
“Nanti
dulu!” kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan
dan melindungi puteranya. “Ia harus dapat membuktikannya!”
Ia lalu
melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian
yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar
bahwa wanita itu dahulu merupakan murid dari kedua kakek kembar dan ternyata
ilmu kepandaiannya sudah lumayan.
“Bibi,
apakah engkau tidak percaya kepadaku?” tanyanya sambil tersenyum. “Apakah wajah
dan potonganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga
para Pendekar Pulau Es?”
Suma Lian
memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal ugalan,
mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di
depan kakek kembar dan isteri mereka itu.
Hui Lian
mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya amat aneh, penuh
tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia bisa
percaya begitu saja?
“Kalau
engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?”
bentak Hui Lian.
Suma Lian
tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian. “Bibi yang
baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan
bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah
mertuamu sendiri.”
“Hemm, gadis
muda, jangan engkau bicara sembarangan. Nama Ayah mertuaku bukan Bu Beng
Lokai!” kata pula Hui Lian, semakin curiga walau pun nama ayah ibu gadis itu
sempat mengejutkannya.
“Aihhh,
maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan
tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku
itu bernama Gak Bun Beng...“
“Kong-kong...!”
Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Biar pun dia belum
pernah melihat kakeknya, namun sering kali kedua ayahnya bercerita tentang
kakeknya dan dia amat merindukannya.
“Nanti
dulu!” kata pula Hui Lian. “Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau
tentu dapat melayani seranganku ini!”
Tiba-tiba
saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian
Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit). Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu
silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun
membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun.
Hui Lian
masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang
wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti
dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata
gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa
puas dan dia pun meloncat ke belakang.
Suma Lian
memandang sambil tersenyum manis. “Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh
bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi?”
“Cukup,
engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa
hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,” kata Hui Lian.
“Ehhhhh?”
Suma Lian terkejut mendengar ini.
Baru
sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak
muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur. “Akan tetapi kalau
benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?”
“Aih, anak
itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata pula Souw
Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali.
Suma Lian
tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya. “Maaf, Paman, aku datang
membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, dia cerdik
dan pintar!”
Gak Jit Kong
dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mendengar pujian itu dan mereka pun lalu
masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua
segera muncul pada saat dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan
minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan
kepada pelayannya.
“Aih, Bibi
ini!” Suma Lian berseru memotong ucapan itu. “Kenapa harus menyebutku nona
segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak
sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian, tanpa nona.”
Hui Lian
tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang
ajar tetapi seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka
berpura-pura. “Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah
maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud
yang penting sekali.”
Suma Lian
berpikir sejenak. Dia memang datang membawa keperluan penting, akan tetapi
berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang
gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya
itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam
keluarga paman dan bibinya ini.
"Nanti
dulu, Bibi. Sebelum aku menceritakan keperluan kedatanganku, lebih baik kalau
Bibi menceritakan kepadaku tentang bahaya apa yang mengancam kalian. Aku
bersedia membantu kalian. Ceritakanlah mengapa kalian tadi begitu curiga
kepadaku sehingga tiba-tiba saja menyerangku.”
Gak Jit Kong
kini yang menjawab. “Maafkan kami, Lian-ji (anak Lian). Kami memang sedang
panik sehingga tanpa bertanya lagi menyerangmu, karena kami mengira bahwa
engkau merupakan komplotan orang-orang jahat yang mengancam hendak menculik
anak kami.”
“Komplotan
jahat menculik adik Ciang Hun?”
“Benar, Suma
Lian,” sambung Gak Goat Kong. “Terjadinya sudah kurang lebih sepekan yang lalu.
Mula-mula kami mendengar bahwa di sebuah dusun di kaki gunung terjadi kekacauan
ketika ada seorang nenek yang suka menculik anak kecil. Ketika mendengar itu,
kami lalu turun tangan dan berhasil mengalahkan nenek itu dan mengusirnya dari
dusun yang dikacaunya. Akan tetapi, iblis itu ternyata tidak mau menerimanya
begitu saja. Agaknya ia memanggil kawan yang lebih lihai lagi dan sepekan yang
lalu mereka datang mengganggu kami.”
“Apa yang
mereka lakukan?” Suma Lian bertanya, penasaran.
Sekarang
Souw Hui Lian yang melanjutkan. “Sepekan yang lalu, pada malam hari, aku
mendengar suara gerakan orang di belakang rumah. Ketika aku keluar melalui
pintu belakang, ia sudah berada di sana, nenek iblis yang pernah mengacau dusun
itu, akan tetapi kini ada seorang temannya, seorang kakek botak. Mereka lihai
bukan main.”
“Kami keluar
saat mendengar ribut-ribut di belakang,” sambung Gak Jit Kong, “dan kami
bertiga melawan kakek botak itu. Namun dia sungguh lihai dan kami bertiga
terdesak. Tiba-tiba mereka meloncat pergi dan sambil tertawa kakek itu berkata
bahwa sepekan kemudian dia akan datang lagi dan mengancam kami supaya
menyerahkan putera kami dengan baik-baik, kalau tidak seisi rumah akan
dibunuhnya!”
Suma Lian
mengerutkan alisnya. “Hemmm, sombong sekali iblis itu.”
“Karena itu,
setiap malam kami tidak dapat tidur dan berjaga-jaga, dan beristirahat pada
siang harinya. Tadi kami masih tidur karena semalam berjaga, dan Ciang Hun yang
sudah kami larang untuk keluar sendirian, tadi nekat keluar ke taman,” kata Hui
Lian.
“Aku ingin
nonton kupu-kupu kuning, Ibu!” bantah Ciang Hun. “Dan pula, kata Ibu iblis itu
hanya muncul di waktu malam, bukan?”
“Memang
benar,” kata pula Hui Lian kepada Suma Lian. “Iblis itu mengancam akan datang
pada malam hari, karena itulah kami berani tidur di waktu siang.”
“Hemmm, dan
kapankah malam yang dijanjikannya itu?” tanya Suma Lian.
“Malam ini
tepat sepekan.”
“Harap kedua
Paman dan Bibi tidak khawatir. Kalau malam nanti dia berani muncul, biarlah aku
yang akan menghadapinya,” kata Suma Lian.
Walau pun
kedua suami itu merasa agak tabah dengan munculnya Suma Lian yang dapat mereka
harapkan untuk membantu mereka, namun tentu saja mereka tidak yakin akan
kemampuan Suma Lian. Bagaimana pun juga, Suma Lian baru beberapa tahun ini
menjadi murid ayah mereka, tentu tingkat kepandaiannya tak akan lebih tinggi
dari pada tingkat kedua orang kembar itu.
Kalau mereka
maju bertiga saja tidak mampu menandingi kakek botak itu, apa lagi gadis muda
ini? Betapapun juga, mereka mendapatkan tenaga bantuan dan hal ini saja sudah
mendatangkan hiburan bagi mereka.
Suma Lian
kelihatan tenang-tenang saja hari itu, bahkan bermain-main dengan Ciang Hun,
membiarkan tiga orang itu beristirahat karena selama beberapa hari mereka itu
selalu kurang tidur. Ketika malam tiba, Beng-san Siang-eng dan isterinya sudah
nampak segar dan siap siaga untuk menghadapi ancaman musuh, Souw Hui Lian tidak
pernah mau melepaskan puteranya.
Menjelang
tengah malam, mereka yang berkumpul di ruangan dalam itu mendengar suara ketawa
di luar rumah. “Ha-ha-ha, Beng-san Siang-eng, agaknya kalian sudah siap
menghadapi kunjungan kami. Apakah anakmu, itu telah kau persiapkan untuk
diberikan kepada kami? Keluarlah, kami tidak ingin bersikap tidak sopan
menyerbu ke dalam!”
Mendengar
suara ini, Beng-san Siang-eng dan isterinya nampak amat terkejut dan jelas
kelihatan betapa mereka gentar. Hal ini membuat Suma Lian merasa penasaran dan
marah sekali. Ia lalu meloncat berdiri dan dengan sikap tenang ia melangkah
keluar, diikuti oleh dua orang pamannya, sedangkan Hui Lian tetap tinggal di
dalam melindungi puteranya, seperti yang sudah mereka rancangkan. Memang sebaiknya
jika Ciang Hun disembunyikan di dalam, dilindungi ibunya, agar dia tidak
terancam bahaya langsung seperti kalau diajak keluar.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment