Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 10
Kalau saja
tidak ada rantai yang menghalanginya, tentu Kun Tek sudah menghampiri untuk
merangkul dan menghibur gadis itu. Dia menggerak-gerakkan rantai panjang itu
sehingga mengeluarkan bunyi berkerontangan, lalu berkata dengan suara tegas.
“Nona Pouw
Li Sian, jangan berkata demikian! Aku cinta padamu, aku semakin kasihan padamu.
Dan yang kucinta adalah engkau seluruhnya, bukan keperawananmu! Engkau sekarang
inilah yang kucinta, bukan engkau sebelum engkau menjadi korban kejahatan
pemuda itu karena ketika itu aku belum mengenalmu. Akulah yang akan membalas
sakit hatimu, Nona. Meski pun andai kata aku dibunuh, nyawaku masih akan
berusaha untuk membalas kejahatan pemuda itu!”
Kata-kata
ini seperti sebuah nyanyian merdu bagi Li Sian. Bukan sekedar menghibur, akan
tetapi juga mengangkatnya, dan juga membersihkannya! Ia tidak lagi merasa kotor
dan hina rendah dalam pandangan pemuda itu atau bahkan orang lain!
“Terima
kasih, Cu-koko..., terima kasih! Aku akan berbohong kalau sekarang mendadak
mengaku cinta padamu. Akan tetapi aku kagum padamu, aku berterima kasih padamu,
dan aku berjanji bahwa kalau kita berhasil lolos dari maut, kelak aku akan siap
untuk menjadi isterimu yang setia, atau kalau kita mati, aku ingin mati
bersamamu, dan aku akan girang kalau nyawamu mendampingi nyawaku...”
Cu Kun Tek
terbelalak. Ingin rasanya dia bersorak, ingin dia berjingkrak-jingkrak saking
girang hatinya. Akan tetapi karena tidak mungkin hal itu dia lakukan, kini
matanya yang lebar itu hanya mengamati wajah Li Sian, dan perlahan-lahan ada
dua butir air mata besar menggelinding keluar dari kedua matanya, menuruni
pipinya!
Melihat ini
Li Sian terharu sekali. Bahkan Hong Beng juga merasa terharu dan maklum bahwa
cinta pemuda itu memang murni dan hebat! Dia membiarkan saja kedua orang itu
saling mencurahkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, kemudian ia menarik
napas panjang dan berkata, seperti kepada diri sendiri.
“Ah, betapa
anehnya kalian ini. Saling mencinta dalam menghadapi maut, dan rela mati
konyol...! Sungguh, ke manakah larinya kegagahan kalian?”
Mendengar
ucapan ini, Kun Tek memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata marah. “Gu
Hong Beng, sudahlah engkau jangan mengeluarkan suara karena tiap kali engkau
bicara, engkau hanya membuat hatiku muak saja! Sepantasnya pertanyaanmu itu kau
ajukan pada dirimu sendiri, bukan kepada kami. Ke mana larinya kegagahanmu? Aku
dulu mengenalmu sebagai seorang pendekar gagah perkasa, akan tetapi sekarang
engkau hanya seorang pengecut yang takut mati!”
“Kun Tek,
engkau bicara tanpa dipikir lebih dahulu. Aku bukan pengecut, bukan pula takut
mati. Akan tetapi aku bukan orang tolol yang ingin mati seperti seekor babi,
mati konyol tanpa melawan. Kalau toh kita harus mati, sepatutnya kita mati
sebagai harimau, mati dalam perlawanan. Akan tetapi, kalau kita dibelenggu
seperti ini, bagaimana kita mampu melawan? Kita mati konyol begitu saja!”
“Karena
tidak ada pilihan, perlu apa takut mati? Jauh lebih baik mati dibunuh lawan
dari pada harus menyerah dan takluk! Dan engkau ingin takluk kepada lawan?
Bukankah itu hanya untuk menyelamatkan nyawamu dan itu berarti engkau seorang
pengecut?” tanya Kun Tek penasaran.
“Hemmm,
nekat dan mati konyol bukan perbuatan gagah perkasa, melainkan perbuatan tolol!
Dan menyerah karena keadaan belum tentu pengecut, melainkan perbuatan yang
cerdik dan mempergunakan perhitungan.”
“Sudahlah,
aku tak sudi mendengar omonganmu lagi. Terserah engkau mau takluk, mau
menjilati sepatu para pemberontak itu, mau masuk menjadi anggota golongan
sesat. Akan tetapi, aku dan Pouw-moi lebih suka memilih mati!” kata Kun Tek.
Semenjak
tadi Li Sian hanya mendengarkan saja. Kini, melihat percekcokan dua orang gagah
yang tadinya menjadi sahabat itu, ia lalu berkata, “Cu-koko, kurasa ada
benarnya juga apa yang dikatakan saudara Gu Hong Beng. Biarkan dia bicara
mengemukakan pendapatnya dan jangan dibantah dulu sebelum dia selesai bicara.”
Kun Tek
mengerutkan alisnya, akan tetapi melihat sinar mata Li Sian yang lembut dan
senyum manis ditujukan kepadanya, dia pun mengangguk dan menoleh kepada Hong
Beng sambil berkata, “Nah, bicaralah!”
Gu Hong Beng
menahan senyumnya karena baginya, sikap Kun Tek itu nampak lucu sekali.
“Begini, Kun Tek dan nona Pouw. Memang sepintas lalu tidak ada pilihan lain
bagi kita kecuali mati sebagai orang-orang gagah yang tidak sudi menyerah.
Namun, kurasa jalan itu amat bodoh karena apa untungnya kalau kita mati konyol?
Mereka itu akan melanjutkan gerakan pemberontakan mereka, sehingga rakyat
banyak yang akan menderita dan mati pula, juga sakit hati nona Pouw takkan
dapat dibalas sama sekali! Dan mereka itu memberi kesempatan kepada kita, sebab
mereka membutuhkan tenaga kita. Nah, kenapa kita tidak mau berlaku cerdik?
Tentu saja aku sendiri tidak sudi untuk benar-benar membantu mereka! Akan
tetapi, kenapa kita tak menggunakan kelemahan mereka, yaitu membutuhkan tenaga
kita, untuk berusaha meloloskan diri? Kita boleh pura-pura menyerah, dan kita
melihat perkembangan selanjutnya. Yang penting, kalau kita dapat bebas dari
belenggu-belenggu ini, kita dapat bergerak leluasa. Andai kata kita akan
mengamuk juga, sebelum kita mati, kita akan dapat menewaskan banyak lawan
sebelum kita mati konyol! Bukankah itu jauh lebih baik dari pada mati konyol
seperti babi-babi dalam kandang?”
Kun Tek
bukan seorang bodoh. Mendengar pendapat Hong Beng ini, dia pun mulai
mengangguk-angguk dan melihat kebenarannya. Dia tadi terlalu terburu nafsu
menduga bahwa kawannya itu ketakutan lalu ingin menyerah agar selamat. Kini dia
tahu bahwa kalau mereka menakluk, hal itu hanya sebagai siasat untuk mencari
kesempatan agar dapat memberontak dan menghantam musuh dengan leluasa. Dan
tentu saja dia setuju sekali!
“Cu-koko,
kurasa pendapat saudara Gu Hong Beng ini ada benarnya juga. Kalau aku diberi
kesempatan, tentu akan kukerahkan seluruh tenaga dan kepandaianku untuk bisa
menyerang dan membunuh si keparat Siangkoan Liong!” kata Li Sian.
Kun Tek
mengangguk-angguk. “Memang benar juga. Aku pun setuju jika kita menyerah
pura-pura saja, hanya untuk mencari kesempatan lolos dan menghantam mereka.
Akan tetapi terserah kalian yang bicara, kalau aku yang disuruh berbicara
dengan mereka, kiranya aku hanya dapat memaki dan mencaci mereka!”
“Serahkan
saja kepadaku,” kata Hong Beng gembira.
“Aku akan
membantu saudara Gu Hong Beng,” sambung Li Sian dan Kun Tek diam saja, namun
setuju sepenuhnya.
Jika mereka
dapat berhasil lolos, kemudian menghajar para pemberontak, dan akhirnya mereka
dapat bebas, dan dia bersama Li Sian tidak mati, alangkah akan bahagianya. Ia
akan dapat hidup berdua dengan gadis pujaannya itu, menjadi suami isteri!
Bayangan ini saja mendatangkan semangat kepada Kun Tek!
“Sekarang
lebih baik kita memperkuat tubuh. Kita menerima hidangan yang mereka suguhkan
dan makan sekenyangnya, kemudian malam ini kita bersemedhi menghimpun tenaga
baru. Besok, barulah kita menghadapi mereka dan aku sudah mengatur siasat untuk
menghadapi mereka. Harap kalian jangan heran dan menyangka yang bukan-bukan
kalau aku bersikap ramah kepada mereka. Mengertikah kalian, terutama engkau,
saudara Kun Tek?”
Kun Tek
mengangguk, setelah melihat Li Sian mengangguk.
“Aku akan
sekuat tenaga menahan kemarahanku kalau melihat muka mereka!” katanya.
Li Sian
menghadiahinya dengan sebuah senyuman manis. “Aku percaya engkau akan kuat,
Cu-koko. Seorang gagah harus kuat segala-galanya, terutama sekali menekan
perasaannya sendiri, bukan?”
Senyum itu
cukup sudah bagi Kun Tek. Dia mau menebus apa saja untuk memperoleh senyuman
seperti itu.
“Jangan
khawatir, Moi-moi, demi engkau, aku mampu melakukan apa saja!” katanya bangga
dan sekali ini kedua pipi Li Sian menjadi agak merah karena ia melihat betapa
ada senyum mengembang di bibir Hong Beng.
Demikianlah,
ketiga orang muda ini mulai memperlihatkan sikapnya yang suka bekerja sama
ketika mereka menerima hidangan yang disuguhkan, dan mereka melihat bahwa pihak
lawan memang agaknya ingin sekali menarik mereka sebagai pembantu. Sebagai
bukti, hidangan yang disuguhkan selain banyak, juga masih panas dan cukup
mewah, seperti hidangan di rumah makan besar saja!
Mereka
bertiga lalu makan sampai kenyang, akan tetapi hanya minum arak sedikit saja.
Mereka lebih banyak minum air teh yang mereka minta dari petugas yang
menyuguhkan makanan dan minuman. Sesudah itu, semalaman suntuk mereka duduk
bersila sambil bersemedhi, menghimpun tenaga murni untuk memulihkan kekuatan
dan melenyapkan kelelahan mereka.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ouwyang Sianseng sudah datang berkunjung.
Dia datang tanpa diikuti oleh Siangkoan Liong. Ouwyang Sianseng cukup cerdik
untuk lebih dulu menjauhkan pemuda itu, mengingat betapa Li Sian mendendam
kepadanya. Sebaliknya, dia datang bersama Siangkoan Lohan!
Dua orang
paling tinggi kedudukannya dalam persekutuan pemberontakan itu, datang
mengunjungi tiga orang tawanan muda itu! Hal ini saja sudah meyakinkan hati
Hong Beng bahwa mereka itu benar-benar mengharapkan kerja sama, dan hal ini
amat baik.
Setelah
mengucapkan selamat pagi dengan sikap lembut seperti biasanya, Ouwyang Sianseng
dan Siangkoan Lohan kemudian duduk di atas bangku yang berada di kamar tahanan
itu, menghadapi tiga orang tawanan yang masih duduk bersila. Kun Tek dan Li
Sian hanya mengangguk sebagai jawaban, akan tetapi Hong Beng membalas ucapan
selamat pagi itu dengan suara yang cukup ramah.
“Bagaimana,
orang-orang muda yang gagah. Apakah Sam-wi (Kalian bertiga) sudah mengambil
keputusan dan pilihan yang tepat?”
Hong Beng
menjawab dengan suara yang cukup tenang. “Ouwyang Sianseng, aku telah mendapat
kepercayaan dua orang kawanku ini untuk menjadi wakil pembicara mereka. Sebelum
kami menjawab, harap jelaskan lagi apakah pilihan yang harus kami pilih itu?”
Ouwyang
Sianseng tersenyum. Sikap pemuda itu saja sudah melegakan hatinya, tidak
seperti kemarin di mana mereka bertiga itu memperlihatkan sikap bermusuhan dan
tidak ada kompromi.
“Hanya ada
dua pilihan sederhana saja. Kalian sanggup bekerja sama dengan kami dan
membantu kami berjuang melawan pemerintahan penjajah Mancu, atau kalian
menolak, dan terpaksa kami akan membunuh kalian sebagai musuh yang berbahaya.
Nah, bagai mana keputusan kalian bertiga...?”
“Nanti dulu,
Locianpwe,” kata Hong Beng, kini menyebut locianpwe untuk menghormati orang tua
yang memang sakti itu. “Jika kami menolak, hal itu tak perlu dibicarakan lagi.
Akan tetapi, kalau kami menerima, lalu bagaimana? Apakah yang harus kami
lakukan? Bukankah sekarang belum terjadi perang antara pasukan yang Locianpwe
pimpin dan pasukan pemerintah?”
“Lohan, coba
jelaskan mengenai kedudukan dan rencana kita kepada mereka ini,” kata Ouwyang
Sianseng, suaranya ramah dan halus akan tetapi jelas bernada memerintah dan hal
ini saja menunjukkan bahwa kedudukan kakek ini masih lebih tinggi dari pada
ketua Tiatliong-pang itu.
Siangkoan
Lohan yang dulunya ialah seorang yang terkenal sebagai ketua perkumpulan orang
gagah yang pernah membantu Kerajaan Mancu sehingga dia dihadiahi seorang
puteri, dapat mengerti akan siasat rekannya untuk membujuk orang-orang muda
berilmu tinggi ini supaya mau bekerja sama membantu mereka. Maka dia pun
menarik napas panjang dan berkata dengan suara tenang setelah mengisap hun-cwe
emasnya dan mengepulkan asap yang berbau tembakau harum.
“Memang
menggemaskan sekali kalau mengingat betapa penjajah Mancu yang dulunya kita
semua harapkan akan mampu memimpin bangsa kita ke arah kemakmuran, kini
ternyata malah menindas bangsa kita dan mendatangkan banyak kesengsaraan kepada
rakyat, sedangkan mereka sendiri hidup serba berkelebihan! Hal inilah yang
membuat kami semua merasa penasaran untuk berjuang menumbangkan kekuasaan
penjajah Mancu! Kalian tiga orang muda yang perkasa, tentu mempunyai jiwa
patriot, siap untuk mengusir penjajah dan menyelamatkan bangsa dan tanah air
kita. Dalam usaha untuk menumbangkan kekuasaan Mancu yang besar, tentu saja kita
membutuhkan bantuan semua tenaga para patriot dan terus terang saja, kami
terpaksa menerima pula uluran tangan dari dunia hitam. Kita membutuhkan tenaga
mereka, dan karena itu, kami tidak pedulikan perasaan pribadi, yang terpenting
menghimpun tenaga untuk menumbangkan pemerintah penjajah. Tentu saja, kami akan
merasa gembira sekali kalau para pendekar dan patriot, seperti kalian, suka
membantu perjuangan ini.” Dia berhenti sebentar untuk melihat reaksi dari tiga
orang muda itu.
Kun Tek yang
diam-diam tidak percaya, kalau menurutkan gairah hatinya, ingin memaki-maki dan
mengatakan bohong, akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu, demi Li Sian
tentu saja, dan dia hanya menundukkan mukanya agar jangan nampak isi hatinya
melalui sikap dan pandangan matanya. Li Sian lebih mampu menguasai perasaannya,
maka dia pun mendengarkan seolah-olah merasa tertarik.
“Akan
tetapi, Pangcu.” kata Hong Beng dengan sikap hormat. “Walau pun semua yang
Pangcu katakan itu benar belaka, akan tetapi bagaimana Pangcu akan bisa
melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan yang mempunyai banyak bala
tentara? Baru pasukan yang berjaga di tapal batas utara ini saja sudah banyak
sekali! Dan tiga orang seperti kami ini, dapat berbuat apakah terhadap pasukan
pemerintah yang besar jumlahnya?”
Siangkoan
Lohan tersenyum bangga. Ia dan Ouwyang Sianseng memang telah sepakat untuk menceritakan
segalanya kepada tiga orang muda itu. Andai kata mereka menolak, bukankah
mereka akan dibunuh dan semua rahasia itu akan terkubur bersama mereka? Dan
jika mereka suka bersekutu, berarti mereka adalah orang-orang sendiri yang
layak mengetahui keadaan mereka.
“Hemmm,
tentu kalian memandang rendah kepada kami. Akan tetapi ketahuilah, kami sudah
lama mengadakan persiapan untuk gerakan perjuangan ini. Kami sendiri sudah
mengumpulkan orang-orang yang menjadi anggota kami, yang jumlahnya tidak kurang
dari lima ratus orang. Selain itu, kami mengadakan kontak dengan pimpinan
bangsa Mongol, bahkan keturunan Jenghis Khan yang perkasa. Mereka sudah bersiap
dengan pasukan yang akan dapat melintasi perbatasan dengan mudah berkat
kekuasaan kami yang telah memungkinkan penyeberangan itu tanpa terhalang.
Selain itu, kami tak takut menghadapi pasukan penjaga perbatasan ini, karena
mereka itu pun akan membantu kami!”
“Ehhh...?”
Hong Beng pura-pura kaget walau pun sudah dapat menduga bahwa tentu orang-orang
cerdik ini berhasil pula mengadakan persekutuan dengan para pimpinan pasukan
yang berkhianat terhadap negaranya. “Ahhh, kalau seperti itu keadaannya,
sungguh membesarkan hati. Akan tetapi, kami ingin sekali tahu, kalau kami
menerima uluran tangan Pangcu dan mau bekerja sama, lalu apakah tugas kami?
Terus terang saja, kami bertiga sama sekali tidak mempunyai kepandaian untuk
memimpin pasukan dalam peperangan.”
Ouwyang
Sianseng tertawa lembut. Hatinya gembira karena sikap tiga orang muda itu
agaknya sudah condong untuk mau bekerja sama. Bagaimana pun juga, ketiga orang
muda itu agaknya merasa ngeri dengan terjadinya peristiwa kemarin. Mereka tidak
ingin mati konyol dan tersiksa, melainkan memilih hidup dan bekerja sama!
“Ha-ha-ha,
orang muda yang gagah. Tentu saja untuk memimpin pasukan, kami sudah mempunyai
ahli-ahlinya. Tugas kalian sama dengan tugas para orang gagah yang akan
membantu kami, yaitu menghadapi pihak lawan yang mempunyai ilmu kepandaian
silat tinggi sebab pihak pasukan juga tentu mempunyai banyak jagoan. Akan
tetapi, sebelum kami menerima penyerahan diri dari kalian, terpaksa kami harus
menguji kalian lebih dahulu. Apakah kalian bertiga ini benar-benar jujur untuk
bekerja sama menentang pemerintah penjajah, atau hanya siasat saja dan mencari
kesempatan untuk kemudian melarikan diri atau membalik mengkhianati kami.”
Diam-diam
tiga orang muda perkasa itu terkejut, dan Hong Beng memuji dalam hatinya. Kakek
ini selain lihai sekali ilmu silatnya, juga ternyata amat cerdik. Dia harus
sangat berhati-hati menghadapi kakek ini. Seketika wajah Hong Beng menjadi
merah dan sinar matanya mencorong karena marah.
“Locianpwe
terlalu memandang rendah pada kami orang-orang muda!” katanya dengan nada suara
marah, “Kami bukanlah pengkhianat bangsa, kami bukan penjilat penjajah asing.
Kami berani bersumpah bahwa di dalam hati kami selalu menentang penjajahan!
Kalau gerakan perjuangan yang Ji-wi pimpin ini bukan untuk kepentingan pribadi,
tetapi demi membebaskan rakyat jelata dari penindasan penjajah asing, maka kami
akan rela membela dengan pertaruhan nyawa sekali pun!”
Hong Beng
memang cerdik sekali. Seperti tanpa disengaja, dia menyinggung cita-cita
perjuangan itu. Siapakah orangnya yang mau berterus terang mengemukakan
cita-cita pribadinya? Setiap pemimpin penggerak perjuangan atau pemberontakan
sudah pasti menyembunyikan tujuan pribadi, dan menonjolkan cita-cita yang mulia
demi bangsa dan tanah air. Demikian pula dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan
Lohan.
Mendengar
ucapan itu, Siangkoan Lohan yang sebenarnya memberontak karena ingin mengangkat
puteranya menjadi kaisar, cepat berseru. “Ahhh, tentu saja! Sudah pasti
perjuangan ini demi kepentingan rakyat!”
Ouwyang
Sianseng yang cerdik lalu berkata, “Bagaimana pun juga kami harus melihat bukti
kejujuran kalian. Gu Hong Beng, dari beberapa orang pembantu kami, kami sudah
mendengar bahwa semenjak dulu engkau adalah seorang pendekar muda yang gagah
perkasa, dan sekarang kami ingin melihat bukti kegagahanmu itu. Kami mempunyai
tugas untukmu. Dua orang temanmu ini akan tetap menjadi sandera, walau pun
mereka akan diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, bukan sebagai tawanan.
Nah, kalau tugasmu itu berhasil kau lakukan dengan baik, barulah kami percaya
dan kalian bertiga akan kami terima sebagai pembantu-pembantu yang kami hargai.
Dan sebaliknya, kalau engkau bermain curang, ingat bahwa dua orang temanmu
masih berada di sini sebagai sandera.”
Ouwyang
Sianseng tentu saja sudah mendengar banyak tentang ketiga orang muda itu dari
Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, karena mereka itu merupakan musuh-musuh
lama, terutama sekali Hong Beng dan Kun Tek.
Hong Beng
saling pandang dengan dua orang temannya, lalu berkata kepada mereka, “Kalian
berdua tenanglah menjadi sandera di sini, karena sudah pasti aku akan mampu
melaksanakan tugas itu dengan baik.”
Kemudian dia
menghadapi lagi Ouwyang Sianseng dan berkata, “Baiklah, Locianpwe. Tugas apa
yang diserahkan kepadaku? Akan kulaksanakan dengan baik!”
Hong Beng
merasa perlu untuk menenangkan hati dua orang temannya, terutama Kun Tek yang
keras hati itu, agar Kun Tek mengerti bahwa tentu ia akan bisa mencari akal dan
jalan yang baik untuk menghadapi tugas itu! Padahal, tentu saja Hong Beng
sendiri belum mengerti bagaimana dia akan dapat keluar dari ujian ini, karena
macam ujian itu pun dia belum tahu.
“Begini,
orang muda. Seperti telah kukatakan tadi, kami mempunyai hubungan dengan
panglima tinggi pemimpin pasukan yang berjaga di tapal batas. Komandan itu
adalah Coa Tai-ciangkun sedangkan wakilnya ialah Song-ciangkun. Mereka berdua
itulah yang kini memimpin puluhan orang perwira yang mengepalai pasukan-pasukan
pemerintah di perbatasan! Dan mereka sudah siap membantu kami. Oleh karena itu,
engkau kuberi tugas untuk pergi menyelundup ke dalam benteng itu sambil membawa
surat kami untuk disampaikan kepada komandan Coa.”
“Akan
tetapi, Locianpwe, jika memang Locianpwe sudah mempunyai hubungan dengan
mereka, apa perlunya lagi aku harus menyelundup ke dalam benteng? Bukankah
masuk lewat pintu gerbang pun tak mengapa? Jika mereka tahu bahwa aku adalah
utusan dari Tiat-liong-pang, tentu akan diterima sebagai sahabat,” bantah Hong
Beng yang cerdik.
“Ah, engkau
sungguh bodoh, orang muda. Memang komandannya dan para perwiranya sudah
bersekutu dengan kita, akan tetapi karena hal itu berbahaya tentu saja mereka
tidak terang-terangan, dan tidak semua anak buah pasukan tahu akan hal itu.
Pasukan hanya mentaati perintah komandannya, maka tidak perlu mengetahui semua
hal, takut kalau-kalau hal itu dibocorkan mereka sebelum gerakan kita berhasil.
Sudahlah, engkau bawalah surat dari kami, malam-malam menyelundup masuk ke
dalam benteng dan menyerahkan surat kepada Panglima Coa atau Perwira Song.
Sanggupkah?”
Hong Beng
tersenyum. “Tugas itu tidak berat, tentu saja aku sanggup!”
“Masih ada
kelanjutannya. Jika engkau telah menyerahkan surat kepada Panglima Coa atau
Perwira Song, engkau harus siap melaksanakan semua tugas yang diserahkan mereka
kepadamu! Ingat, membantah mereka berarti membantah kami pula.”
Hong Beng
diam-diam merasa gentar juga, akan tetapi dengan tenang dia mengangguk,
“Bagaimana andai kata aku ketahuan orang di dalam benteng dan aku diserang dan
hendak ditangkap? Apakah aku harus melarikan diri ataukah...”
“Kalau yang
melihatmu hanya beberapa orang saja, bunuh mereka. Kalau banyak orang larilah.
Akan tetapi kalau mungkin yakinkan hati mereka bahwa engkau adalah sahabat
Panglima Coa. Nah, ini suratnya sudah kami persiapkan, sekarang juga
berangkatlah, dan ini peta petunjuk di mana adanya benteng itu.”
Hong Beng
menerima surat dan peta itu, lalu sebelum berangkat dia menoleh kepada dua
orang temannya. “Harap kalian bersabar dan percayalah kepadaku.”
Li Sian
merasa terharu. Tentu saja ia percaya kepada pemuda itu. Dia merasa betapa
beratnya tugas Hong Beng, bukan hanya tugas menyerahkan surat itu, terutama
sekali karena pemuda itu bertanggung jawab atas nyawa mereka berdua,
seolah-olah nyawa mereka berdua di dalam genggaman tangan Hong Beng.
“Berangkatlah
dan harap hati-hati, saudara Gu Hong Beng,” katanya.
Kun Tek
memandang kepada Hong Beng dan terdengar suaranya yang lantang. “Hong Beng,
semenjak dahulu aku selalu percaya kepadamu, dan sekarang pun kami percaya
penuh kepadamu!”
Hong Beng
mengangguk. Setelah semua rantai yang membelenggunya dilepas dia pun segera
berangkat meninggalkan sarang pemberontak itu, menuju ke benteng pasukan
pemerintah seperti yang ditunjukkan di dalam peta.
Setelah Hong
Beng berangkat, Ouwyang Sianseng memegang janji. Dia pun bersama Siangkoan
Lohan membebaskan belenggu yang mengikat Kun Tek dan Li Sian, lalu mengantar
mereka, dikawal oleh pasukan penjaga, menuju ke dua buah kamar di mana mereka
berdua menjadi sandera. Hidup bebas seperti tamu, akan tetapi selalu dikawal
dan dijaga ketat.
Ouwyang
Sianseng tidak bodoh, maka yang bertugas menjaga kedua orang sandera ini adalah
tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Sin-kiam Mo-li,
Thian Kong Cinjin, Thian Kek Sengjin, Ciu Hok Kwi, Toat-beng Kiam-ong Giam San
Ek, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit bahkan Siangkoan Liong sendiri selalu berada di
tempat dekat sehingga selalu siap kalau kedua orang sandera itu mencoba untuk
memberontak dan melarikan diri.
Akan tetapi
dengan cerdik Siangkoan Liong tidak pernah lagi mencoba untuk menggoda Li Sian,
bahkan dia tidak pernah memperlihatkan diri agar gadis itu tidak menjadi marah.
Dia pun tahu akan siasat gurunya, dan memang dia harus mengakui perlunya banyak
tenaga bantuan para ahli silat.
Dia masih
ngeri kalau membayangkan kelihaian kakek dan nenek yang telah menolong
rombongan utusan kota raja itu. Dia pun mengerti bahwa kini gurunya mengutus
Hong Beng pergi mengunjungi Panglima Coa juga untuk melihat apa yang sudah
terjadi di dalam benteng itu, karena sudah beberapa hari Panglima Coa tidak
pernah mengirim utusan.
*************
Hong Beng
yang melakukan perjalanan seorang diri, dengan hati-hati sekali menyusup-nyusup
ke dalam hutan. Beberapa kali dia berhenti dan menyelinap untuk bersembunyi,
kemudian memanjat pohon untuk meneliti apakah perjalanannya itu diikuti orang
atau tidak. Akhirnya dia merasa yakin bahwa pihak pemberontak tidak mengutus
orang untuk membayanginya, maka hatinya menjadi lega.
Dengan
hati-hati Hong Beng lalu membuka sampul surat yang diserahkan kepadanya oleh
Ouwyang Sianseng untuk diberikan kepada Panglima Coa atau Perwira Song. Di
dalam keadaan seperti itu, ia tidak rikuh lagi membuka surat orang, dan
dibacanya surat itu. Isinya memang penting sekali.
Dalam surat
itu, terang-terangan Ouwyang Sianseng memperkenalkan dirinya sebagai pembantu
baru yang sedang diuji kesetiaannya! Dan Ouwyang Sianseng menanyakan tentang
utusan kota raja kepada Panglima Coa, dan bahwa kalau tidak ada suatu hal yang
menjadi penghalang, supaya panglima Coa mempersiapkan pasukannya karena pasukan
mereka akan mulai bergerak ke selatan!
Disebutkan
pula bahwa sekarang Tiat-liong-pang telah siap, dengan anak buahnya yang
berjumlah hampir lima ratus orang banyaknya, dengan Ang-I Mo-pang lima puluh
orang, dan agaknya orang-orang Mongol di bawah pimpinan Agakai sudah terkumpul
seribu orang! Jika Panglima Coa telah siap, harap membawa pasukannya berkumpul
di sarang Tiat-liong-pang agar supaya pasukan itu dapat dibagi-bagi untuk melakukan
gerakan ke berbagai jurusan!
Hong Beng
termenung. Surat ini penting sekali! Dan dia yang menjadi utusan. Bagai mana
pun juga, dia tak dapat mundur, karena di sana ada nyawa dua orang sahabatnya
menjadi tanggungan. Dia harus menyampaikan surat ini, dan kembali. Jika Pouw Li
Sian dan Cu Kun Tek sudah dibebaskan, baru mereka akan melihat perkembangannya.
Sekarang, dia tidak dapat melakukan sesuatu kecuali menyampaikan surat itu
kepada Panglima Coa atau Perwira Song.
**************
Sin Hong
termenung. Malam itu dia dan Suma Lian terpaksa bermalam di hutan lebat, tidak
jauh dari sarang Tiat-liong-pang. Mereka telah melakukan penyelidikan semenjak
mengubur jenazah Kwee Ci Hwa, dan mereka berdua terkejut melihat betapa
kekuatan para pemberontak memang besar.
Sekarang,
agaknya pasukan Mongol sudah pula berkumpul di tempat itu, dan jumlah
orang-orang Mongol ini banyak sekali, bahkan jauh lebih banyak dari pada
orang-orang Tiat-liong-pang sendiri. Pasukan Mongol yang kelihatan buas ini
berkumpul di lapangan luas yang terdapat di sebelah timur sarang
Tiat-liong-pang. Mereka membuat banyak sekali tenda-tenda sementara.
Melihat
kenyataan ini, Sin Hong dan Suma Lian terkejut sekali dan tentu saja mereka
berdua takkan mampu melakukan sesuatu terhadap kekuatan yang demikian besarnya.
Mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari para pendekar yang kabarnya
banyak berkumpul di situ, untuk menentang para tokoh sesat supaya mereka dapat
melakukan gerakan bersama, atau menyampaikan berita tentang gerakan kaum sesat
ini kepada benteng pasukan penjaga perbatasan.
Malam itu
terpaksa mereka melewatkan malam di dalam hutan. Karena melihat Suma Lian
kelelahan, setelah mereka makan malam yang terdiri dari roti dan daging kering,
Sin Hong mempersilakan gadis itu untuk beristirahat dan tidur, sedangkan dia
berjaga di dekat api unggun yang mereka buat.
Sin Hong
melamun setelah melihat gadis itu rebah sambil berkerudung jubah luar yang
lebar di dekat api unggun. Ia terkenang pada Ci Hwa dan keterangan yang
dikemukakan gadis itu sebelum tewas. Dan Sin Hong mengepal tinju.
Sama sekali
tak pernah disangkanya bahwa pembunuhan terhadap ayahnya itu benar-benar
didalangi oleh Tiat-liong-pang. Sedangkan Ciu Hok Kwi, Ciu Piauwsu yang dulu
pernah menjadi pembantu ayahnya, ternyata adalah tokoh Tiat-liong-pang yang
pandai. Bahkan orang she Ciu itu pula yang menjadi pembunuh bertopeng, pembunuh
orang she Lay yang gendut, dan kalau begitu, Ciu Hok Kwi ini pula yang mengatur
segalanya.
Dia telah
terkecoh. Pada waktu Ciu Hok Kwi marah-marah dan pergi menantang Kwee Piauwsu,
semua itu ternyata hanya sandiwara belaka! Kini jelaslah sudah semuanya bagi
dia.
Tiat-liong-pang
memang amat membutuhkan perusahan Piauwkiok itu. Dengan adanya perusahaan itu,
mudah saja bagi Tiat-liong-pang untuk mengadakan hubungan dengan sekutunya,
yaitu orang-orang Mongol di luar Tembok Besar. Tanpa dicurigai pasukan
pemerintah yang berjaga di tapal batas utara. Dan usaha mereka telah berhasil
karena buktinya sekarang pasukan Mongol telah dapat diselundupkan ke
Tiat-liong-pang dalam jumlah besar tanpa diketahui oleh pasukan pemerintah.
Dan dia
tidak tahu bahwa kaum sesat, termasuk Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, tentu
membantu pula gerakan pemberontakan itu. Sin-kiam Mo-li berada di sana, tentu
dua orang kawannya yang lihai, yaitu Thian Kong Cinjin tokoh Pat-kwa-pai dan
Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai, juga berada di sana. Tiga orang itulah
yang masih hidup di antara mereka yang menyerbu Istana Gurun Pasir! Dan dua
batang pedang pusaka Istana Gurun Pasir, yaitu Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam,
berada di tangan tiga orang itu dan dia harus merampasnya kembali.
Dengan
demikian, semua persoalan yang harus dibereskan berada di Tiat-liong-pang.
Urusan ayahnya, urusan guru-gurunya, dan juga urusan umum! Bagaimana pun juga
ia harus bangkit menentang Tiat-liong-pang, demi orang tuanya, demi
guru-gurunya dan demi rakyat karena jika pemberontakan yang dipimpin para tokoh
sesat itu terjadi, tentu banyak rakyat yang menjadi korban keganasan mereka.
Terdengar
Suma Lian mengeluh dan Sin Hong melirik. Gadis itu bergerak dan kini tidur
terlentang. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Cantik jelita, gagah perkasa,
pemberani, jenaka dan serba menyenangkan, keturunan keluarga Pulau Es pula!
Seorang gadis pilihan dan harus diakuinya bahwa hatinya tertarik sekali begitu
dia bertemu Suma Lian.
Ia merasa
kagum bukan main. Dengan mudah sekali ia akan dapat jatuh cinta kepada seorang
gadis seperti Suma Lian ini. Akan tetapi, dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin,
bahkan tidak boleh sama sekali. Dia mendengar sendiri percakapan antara Suma
Lian dan paman gadis itu, yaitu Suma Ciang Bun. Gadis jelita ini sudah
ditunangkan, telah dijodohkan dengan murid pendekar itu yang bernama Gu Hong
Beng!
Tidak, dia
sama sekali tidak boleh mengganggu gadis ini! Pantangan besar baginya! Dia
tidak akan mengorbankan orang lain, apa lagi keluarga para pendekar terhormat
itu, demi kesenangan dirinya sendiri! Dia harus menjauhkan diri dari Suma Lian,
secepatnya agar jangan sampai pergaulan mereka menjadi semakin akrab, sebab ia
melihat betapa ada tanda-tanda gadis ini bersikap sangat baik dan manis
kepadanya. Hal ini harus dia cegah!
“Hong-ko,
apakah yang kau pikirkan?”
Sin Hong
terkejut bukan main mendengar teguran suara halus Suma Lian itu. Dia cepat
menoleh. Ternyata gadis itu yang masih terlentang, sudah membuka sepasang
matanya yang indah dan kocak itu dan sedang memandang kepadanya dengan penuh
selidik, sedangkan mulut tersenyum jenaka.
“Apa? Aku…
aku tidak memikirkan apa-apa, Lian-moi.”
Suma Lian
bangkit duduk. Pita rambutnya terlepas dan rambut yang hitam panjang itu
terurai. Disanggulnya rambut itu dan gerakan kedua lengan ketika menyanggul
rambut itu sungguh luwes dan indah, membuat Sin Hong terpesona sejenak. Akan
tetapi dia segera menundukkan mukanya agar tidak terus melihat pemandangan yang
menarik itu. Seorang gadis menyanggul rambutnya, betapa luwes dan sedap
dipandang!
"Hong-ko,
tidak perlu kau menyangkal. Semenjak tadi aku melihat engkau melamun,
kadang-kadang mengepal tinju, merentang-rentangkan jari tangan, belasan kali
engkau menarik napas panjang dan engkau memandangi api seolah-olah seluruh
semangatmu melayang-layang ke dalamnya. Dan dari samping aku melihat wajahmu
seperti orang berduka. Ada pakah Hong-ko?" Suma Lian selesai menyanggul
rambutnya dan ia duduk berhadapan dengan Sin Hong, terhalang api unggun
sehingga mereka dapat saling melihat wajah masing-masing dengan jelas.
Sin Hong
melihat betapa wajah gadis itu kemerahan oleh sinar api, cantik jelita seperti
wajah bidadari. Sin Hong merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kembali
dia menundukkan mukanya agar tidak memandang keindahan yang nampak di depannya
itu. Sungguh berbahaya sekali, pikirnya. Betapa mudahnya aku jatuh cinta
kepadanya. Akan tetapi ia sudah ada yang punya! Ia harus menggunakan akal untuk
menjauhkan jarak di antara hati mereka.
Dia menghela
napas panjang. "Ahhh, hati siapa yang takkan berduka kalau kehilangan
orang yang amat disayangnya? Lenyapnya orang yang dikasihi agaknya melenyapkan
pula rasa bahagia di hati, melumpuhkan semangat..."
Suma Lian
tertarik sekali dan memandang penuh selidik. Kerut di alisnya menunjukkan bahwa
ia terkejut dan juga kecewa bahwa pemuda di depannya ini sudah mempunyai
seorang kekasih. Padahal ia mulai tertarik sekali!
"Siapakah
orang yang kau sayang sedemikian besarnya itu, Hong-ko? Dan mengapa engkau
kehilangan? Kemanakah ia pergi?"
"Baru
saja dia meninggal dunia secara amat menyedihkan, Lian-moi."
Sepasang
mata Suma Lan memandang penuh selidik, kemudian terbelalak ketika dia teringat.
"Ohhh!
Kau maksudkan... gadis yang tewas itu, yang bernama... Kwee Ci Hwa...?"
Sin Hong
memang suka kepada Ci Hwa, akan tetapi bukan gadis itu yang menjatuhkan
hatinya, melainkan gadis yang berada di depannya ini. Akan tetapi dia
mengangguk. Inilah satu-satunya jalan untuk menjauhkan diri dari Suma Lian,
mengaku cinta kepada gadis yang telah tiada! Tidak ada halangannya. Kalau dia
mengaku cinta kepada gadis yang masih hidup tentu akan mendatangkan kesulitan
baru saja.
Suma Lian
merasa betapa kekecewaan menusuk hatinya, membuat dia heran sekali. Mengapa dia
merasa kecewa mendengar Sin Hong cinta kepada seorang gadis lain? Dan di
samping kekecewaannya, juga terdapat perasaan lega bahwa gadis yang dicintai
Sin Hong itu telah tiada!
"Aih,
sungguh aku tidak menyangka, Hong-ko. Kasihan sekali gadis itu."
Sin Hong
menarik napas panjang. "Memang patut dikasihani. Ia puteri Kwee Piauwsu
yang tadinya kusangka menjadi biang keladi pembunuhan ayahku. Ci Hwa merasa
amat penasaran bahwa ayahnya dituduh, maka ia lalu meninggalkan rumah untuk
membantu mencari siapa adanya pembunuh ayahku, bukan hanya untuk membantuku,
akan tetapi juga untuk membersihkan nama ayahnya. Dan dia berhasil! Dia
berhasil menemukan bahwa pelakunya adalah Ciu Hok Kwi, piauwsu yang dahulu
pernah menjadi pembantu ayahku, seorang tokoh Tiat-liong-pang yang menyelundup.
Dia berhasil mencuci bersih nama ayahnya, dan berhasil membantuku menemukan
pelakunya, tapi dengan tebusan nyawanya!"
Sin Hong
tidak berpura-pura kalau dia nampak terharu dan berduka mengingat akan nasib yang
menimpa diri Ci Hwa. Dan diam-diam dia mengepal tinju teringat akan kata-kata
terakhir gadis itu yang menyatakan betapa Siangkoan Liong telah menodainya.
"Ahh,
kalau begitu pantas dia mendapatkan cinta dan kasih sayangmu, Hong-ko. Akan
tetapi, dia sudah meninggal dunia, tidak perlu diingat dan disedihkan lagi. Di
dunia ini masih banyak terdapat gadis-gadis cantik yang akan dapat menggantikan
Ci Hwa di dalam hatimu."
Sin Hong
menggelengkan kepala. "Agaknya tidak mudah, Lian-moi. Seseorang haruslah
setia terhadap perasaan hatinya sendiri. Kematian Ci Hwa telah membuat aku
merasa lumpuh lahir batin, tidak akan memikirkan lagi tentang ikatan batin
dengan wanita lain sampai entah kapan."
Kembali Suma
Lian merasa betapa hatinya tertusuk kekecewaan yang membuatnya heran. Ucapan
pemuda itu sekaligus mengingatkan dia akan keadaan dirinya yang telah
dipertunangkan, dijodohkan oleh neneknya sebagai pesan terakhir. Dijodohkan
dengan Gu Hong Beng! Dan ia pun termenung.
Mendadak Sin
Hong meloncat dan menginjak-injak api unggun sehingga padam. Tentu saja Suma
Lian terkejut, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Sin Hong sudah
menaruh telunjuk di depan mulutnya.
"Shhhhh,
lihat di sana...," bisiknya.
Suma Lian
yang juga sudah meloncat berdiri itu cepat membalikkan tubuh memandang ke arah
yang ditunjuk Sin Hong. Bulan sepotong memberi penerangan yang cukup bagi
matanya yang berpenglihatan tajam sehingga ia mampu pula melihat adanya
bayangan yang berlari cepat, datang dari arah sarang Tiat-liong-pang.
"Aku
mau kejar dia!" kata Sin Hong.
Tiba-tiba
tubuhnya berkelebat cepat sekali, melakukan pengejaran. Sejenak Suma Lian
tertegun dan kagum, kemudian dia mengumpulkan buntalan pakaiannya dan buntalan
pakaian Sin Hong, dipanggulnya dua buntalan pakaian itu dan dia pun mengejar.
Bayangan
yang berlari cepat meninggalkan sarang Tiat-liong-pang itu bukan lain adalah Gu
Hong Beng! Seperti kita ketahui, pemuda perkasa ini sedang diuji oleh Siangkoan
Lohan untuk mengantarkan surat dari para pimpinan pemberontak itu kepada
Panglima Coa, komandan pasukan di benteng pemerintah yang bertugas di
perbatasan utara. Komandan Coa inilah tokoh yang bersekutu dengan pihak
pemberotak. Gu Hong Beng diuji dengan mengadakan hubungan ke benteng itu,
mengantar surat dan dua orang temannya, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, masih
ditahan dan menjadi sandera.
Selagi dia
berlari cepat menuju ke perbentengan, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan di
depannya berdiri seorang laki-laki muda yang membentak, "Sobat, berhenti
dahulu! Siapakah engkau, dari mana dan hendak ke mana? Aku melihat engkau baru
keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang!"
Mendengar
bentakan ini, dan melihat betapa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi yang
dapat dilihat dari gerakannya yang cepat, Hong Beng mengira bahwa tentu orang
ini seorang pandai yang menjadi kaki tangan pemberontak dan yang menjadi satu
di antara mata-mata pemberontak yang banyak disebar di daerah itu. Agaknya
orang ini belum sempat mengenalnya, pikir Hong Beng. Untuk menghindarkan
kesalah pahaman, dia pun langsung saja mengaku.
"Sobat,
harap jangan menggangguku. Aku adalah utusan pribadi Siangkoan Pangcu yang
melakukan. tugas rahasia amat penting, maka harap kau suka memberi jalan!"
Tetapi sungguh
di luar dugaan Hong Beng. Begitu dia menjawab, pemuda itu langsung saja
menyerangnya dan menotok ke arah dada dan pundaknya, untuk merobohkannya. Hong
Beng cepat meloncat ke belakang sambil menangkis, lalu membalas karena kini dia
pun sadar bahwa orang ini berniat buruk kepadanya. Mungkin saja para pimpinan
pemberontak itu memang berniat buruk dan sengaja menyuruh kaki tangannya untuk
menghadang dan membunuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghadangnya ini
adalah Tan Sin Hong, yang tentu saja segera menyerang untuk menangkapnya begitu
mendengar bahwa dia adalah utusan pribadi yang membawa tugas rahasia dari ketua
Tiat-liong-pang.
"Dukkk!”
Kedua lengan
mereka bertemu dan keduanya terkejut. Hong Beng yang terdorong oleh tenaga yang
amat kuat, merasa terkejut karena sama sekali tidak menyangka bahwa
penghadangnya ini adalah seorang yang demikian lihainya. Sebaliknya, Sin Hong
juga kagum karena merasa betapa lengannya tergetar oleh pertemuan dua tenaga
sakti itu.
Hong Beng
yang maklum bahwa lawannya walau pun di bawah sinar bulan redup itu nampak
masih amat muda, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tidak mau
kalau tugasnya terganggu, dan mungkin saja orang ini adalah utusan khusus
Siangkoan Lohan yang dikirim ke situ untuk sengaja menghadangnya dan menguji
kesetiaannya!
Maka, begitu
menyerang lagi, dia sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu Swat-im
Sinkang. Ketika tangan kirinya mendorong ke arah dada Sin Hong, maka hawa yang
amat dingin menyambar dahsyat.
Ketika ia
menghadapi pukulan ini, merasakan hawa dingin yang menyengat mendahului
pukulan, Sin Hong mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia menghindar
dengan loncatan ke kiri.
"Haiiiii!
Apakah itu bukan Swat-im Sinkang?" tanyanya heran.
Mendengar
pertanyaan ini, Hong Beng juga tertegun. Kiranya lawannya ini sedemikian
lihainya sehingga mengenal pula pukulan dahsyat dari Pulau Es. Pada saat itu,
nampak bayangan lain berkelebat dan ternyata bayangan itu adalah seorang gadis
cantik jelita yang menggendong dua buntalan pakaian.
Sejenak Hong
Beng menjadi bengong. Meski sudah bertahun-tahun tak saling bertemu dan pada
saat dia bertemu dengan gadis itu, Suma Lian baru berusia tiga belas tahun,
akan tetapi dia tidak pernah dapat melupakan wajah remaja itu, semenjak gadis
itu oleh neneknya dijodohkan dengan dia.
Apa lagi
setelah dia mengalami kegagalan dalam cintanya kepada gadis bernama Can Bi Lan
yang kini menjadi isteri pendekar Sim Houw, maka wajah Suma Lian selalu
terbayang di dalam hatinya. Kini, begitu bertemu, dia yakin bahwa gadis cantik
jelita ini adalah Suma Lian!
Di lain
pihak, Suma Lian juga mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia merasa tidak
asing dengan pria yang tadi berkelahi melawan Sin Hong itu.
"Bukankah...
bukankah… Nona ini adalah Sumoi Suma Lian...?" Akhirnya Hong Beng berseru,
sedangkan Sin Hong menghentikan serangannya setelah tadi mengenal ilmu dahsyat
Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) dari keluarga Pulau Es.
"Ahhh,
suheng Gu Hong Beng kiranya...!"
Suma Lian
baru teringat begitu pemuda itu menyebutnya sumoi dan seketika wajahnya berubah
kemerahan. Dia teringat akan pesan pamannya, Suma Ciang Bun bahwa murid
pamannya ini telah dijodohkan dengannya.
"Sumoi,
sungguh tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Bagaimana engkau bisa
berada di sini dan... dan... saudara ini siapakah?" Dia memandang kepada
Sin Hong yang tersenyum.
Kiranya
inilah yang bernama Gu Hong Beng, pikir Sin Hong. Tunangan dari Suma Lian!
Seorang pria yang tampan dan gagah, pakaiannya biru sederhana dan bicaranya
halus. Juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, pantas jika menjadi suami Suma
Lian. Akan tetapi dia teringat akan pengakuan Gu Hong Beng tadi. Utusan
Siangkoan Pangcu, membawa tugas rahasia yang amat penting! Oleh karena itu,
timbul kecurigaannya dan sebelum Suma Lian menjawab, dia sudah mendahului.
"Lian-moi,
hati-hati, bagaimana pun juga dia adalah utusan dari Siangkoan Lohan, yang
sedang membawa tugas rahasia yang penting!"
Ucapan Sin
Hong ini mengejutkan hati Suma Lian dan ia memandang kepada pria yang
dicalonkan sebagai suaminya itu dengan pandang mata penuh selidik dan
kecurigaan. "Apa? Suheng, benarkah bahwa engkau kini sudah menjadi kaki
tangan pemberontak yang bergabung dengan para tokoh sesat itu?"
Hong Beng
menghela napas panjang, lalu memperhatikan sekeliling tempat itu. "Mari
kita bicara," bisiknya, "akan tetapi harus berhati-hati agar tidak
terdengar orang lain."
"Mari
ikut denganku," berkata Sin Hong yang lalu mengajak Hong Beng dan Suma
Lian memasuki hutan di mana dia dan gadis itu tadi sudah membuat api unggun.
Tempat ini memang terlindung pohon-pohon, dan berada di tempat yang agak tinggi
sehingga bisa melihat kalau ada orang datang ke tempat itu.
"Nah,
di sini kita bisa bicara dengan aman," katanya.
Hong Beng
lalu memandang Suma Lian dan kembali sinar kagum terbayang di matanya melihat
gadis ini. Betapa cantik jelitanya Suma Lian sekarang dan jantungnya berdebar
tegang, bukan hanya tegang karena girang membayangkan gadis ini telah
ditunangkan dengan dia, akan tetapi juga tegang melihat betapa gadis ini
sekarang berdua dengan seorang pemuda yang lihai! Biar pun pemuda itu tidak
dapat dikatakan berwajah tampan sekali, namun dia tidak buruk, dan wajahnya
cerah, ramah dan menarik.
"Sumoi,
apa yang kulakukan ini memang benar, yaitu bahwa aku tengah menjadi utusan
Siangkoan Lohan membawa tugas rahasia yang penting sekali. Tetapi, hal ini
kulakukan dengan terpaksa karena aku sedang bersandiwara untuk menyelamatkan
nyawa dua orang sandera. Engkau mengenal baik seorang di antara mereka, karena
ia bukan lain adalah nona Pouw Li Sian...”
“Aihh...!"
Tentu saja Suma Lian amat kaget mendengar nama saudara seperguruannya itu.
"Apa yang telah terjadi? Bagaimana Sian-sumoi sekarang dapat menjadi
sandera di Tiat-liong-pang?"
Hong Beng
kemudian menceritakan semua yang sudah terjadi, betapa tadinya mereka berempat,
dia, Cu Kun Tek, Pouw Li Sian, dan juga Kwee Ci Hwa menjadi tawanan dan
terancam nyawa mereka. Diceritakannya pula betapa Ci Hwa berhasil membebaskan
mereka, entah dengan cara bagaimana, akan tetapi gadis itu lalu lenyap.
"Setelah
membebaskan kami, ia pergi entah ke mana..."
"Ia
telah tewas!" kata Sin Hong cepat, sengaja untuk memberi kesan kepada Suma
Lian bahwa dia berduka atas kematian gadis yang dicintanya. Lalu diceritakannya
kepada Gu Hong Beng tentang peristiwa itu, ketika dia dan Suma Lian membantu Ci
Hwa melarikan diri akan tetapi gadis itu tewas karena luka-lukanya.
Mendengar
ini, Gu Hong Beng menarik napas panjang. "Ahh, sungguh kasihan sekali
gadis bernasib malang itu..."
Dia lalu
melanjutkan ceritanya, betapa mereka bertiga tertangkap lagi karena dikeroyok
dan dimasukkan tahanan. "Ouwyang Sianseng yang menjadi pelopor
pemberontakan itu bersama Siangkoan Lohan, lalu menyuruh kami bertiga mengambil
keputusan, memilih satu di antara dua. Membantu pemberontakan mereka atau dibunuh!
Kami tidak takut mati, akan tetapi juga enggan mati konyol. Oleh karena itu,
aku bersandiwara, pura-pura menakluk dan aku diuji dengan tugas ini, tugas
khusus menyampaikan surat penting kepada Panglima Coa yang bersekutu dengan
pemberontak. Aku sedang mencari jalan bagaimana sebaiknya untuk dapat
menyelamatkan kedua orang kawan yang dijadikan sandera, dan tiba-tiba saudara
ini menyusul dan menyerangku."
"Gu-suheng,
saudara ini adalah Tan Sin Hong. Kami berdua juga sedang melakukan penyelidikan
untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang dan yang bersekutu
dengan para tokoh sesat itu. Kami tidak tahu bahwa engkau dan bahkan juga
Sian-sumoi ditawan di sana."
Mendadak Sin
Hong berkata, "Lian-moi, harap kau suka membantu saudara Gu Hong Beng
menyampaikan surat dan mencari akal, sedangkan aku sendiri akan menyelundup ke
sarang Tiat-liong-pang untuk mencoba kalau-kalau aku akan dapat membebaskan
saudara Cu Kun Tek dan nona Pouw Li Sian itu!" Tanpa menanti jawaban, Sin
Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Hong-ko...!"
Suma Lian memanggil, tetapi pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Diam-diam Gu Hong Beng kagum bukan main.
"Dia
amat lihai...," katanya.
"Tentu
saja, Suheng. Dia adalah murid terakhir dari para locianpwe di Istana Gurun
Pasir."
"Ahhh...!"
Hong Beng terkejut dan kagum sekali, "Pantas saja dia tadi dapat mengenal
Swat-im Sinkang begitu aku mempergunakan ilmu itu."
"Kasihan,
dia berduka karena kehilangan kekasihnya, yaitu gadis yang kami tolong dari
dalam sarang Tiat-liong-pang itu."
"Kwee
Ci Hwa...?"
"Benar.
Sudahlah, Suheng. Bagaimana sekarang? Apakah aku dapat membantumu?"
Hong Beng
menjawab ragu. "Aku sendiri masih bingung, Sumoi. Kalau tugas ini tidak
kulaksanakan, nyawa Kun Tek dan nona Li Sian terancam bahaya maut. Mereka tentu
akan dibunuh kalau aku tidak kembali ke sana membawa balasan dari Panglima Coa.
Akan tetapi kalau aku melanjutkan tugas ini, berarti aku membantu pemberontakan
itu. Isi surat itu amat penting."
Sambil
berjalan menuju ke perbentengan, Hong Beng lalu memberi penjelasan kepada Suma
Lian agar gadis itu dapat membantunya mencari akal yang baik.
"Sebaiknya
kau lanjutkan itu. Biar aku menanti di luar benteng, siap membantumu jika
engkau terancam bahaya kegagalan. Kalau di dalam surat hanya disebutkan engkau
seorang sebagai utusan, tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau aku ikut masuk
ke dalam benteng."
Hong Beng
membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, selagi mereka berjalan sambil
bercakap-cakap, tiba-tiba saja bermunculan tiga belas orang berpakaian serba
merah, dipimpin oleh seseorang yang berpakaian hijau! Mereka ini segera membuat
gerakan mengepung Hong Beng dan Suma Lian, dan orang berpakaian hijau yang
bertubuh kurus sekali itu, dengan suaranya yang parau menudingkan pedangnya ke
arah Hong Beng.
"Hemm,
sudah kami duga, tentu engkau akan berkhianat! Baiknya Mo-li menyuruh aku
melakukan penghadangan di sini! Ternyata benar saja, engkau menemui kawanmu ini
dan hendak berkhianat kepada Tiat-liong-pang!"
Hong Beng
tidak mengenal orang itu, akan tetapi Suma Lian segera mengenalnya.
"Hei
bukankah engkau Tok-ciang Hui-moko Liok Cit, tikus busuk itu?" bentaknya
sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si kurus berpakaian hijau.
Orang itu
memang Liok Cit, tangan kanan Sin-kiam Mo-li yang sedang bertugas di situ
memimpin tiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang atas perintah Sin-kiam Mo-li
yang cerdik dan yang meragukan kejujuran Hong Beng. Kini dia pun mengenal Suma
Lian, dan wajahnya berubah agak pucat.
Celaka,
pikirnya. Gadis liar yang amat lihai itu kiranya teman Gu Hong Beng ini! Makin
yakinlah dia bahwa Hong Beng memang bersekutu dengan pihak musuh.
"Tangkap
mereka berdua, hidup atau mati!" Perintahnya dengan suara lantang.
Perintah ini
berarti bahwa orang-orang Ang-I Mo-pang itu boleh membunuh pemuda dan gadis
itu. Maka ketiga belas orang itu langsung mencabut pedang masing-masing dan
membuat lingkaran, membentuk barisan aneh yang berlari-lari mengelilingi Hong
Beng dan Suma Lian.
Gadis ini
sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan marah sekali. Dicabutnya suling emas
dari balik bajunya, dan ia berkata kepada Hong Beng dengan sikap tenang sekali.
"Suheng, kau hadapi barisan siluman ini dan aku akan menghajar si cacing
kurus itu. Biarkan aku menggempur barisan untuk berhadapan dengan tikus
itu!"
Mendengar
betapa gadis yang lihai itu menyebut Hong Beng sebagai suheng, makin
khawatirlah hati Liok Cit.
"Hayo
gempur mereka!" bentaknya dari luar barisan.
Tiga belas
orang anggota Ang-I Mo-pang ini memang ahli dalam pembentukan barisan yang
aneh-aneh. Walau pun tingkat kepandaian mereka itu kalau maju seorang demi
seorang tidak akan ada artinya bagi para pendekar seperti Hong Beng dan Suma
Lian, akan tetapi kalau sudah membentuk barisan, mereka menjadi kekuatan yang
dahsyat, yang bisa bekerja sama dengan baik sekali sehingga seolah-olah
dikendalikan oleh satu pikiran, dengan tiga belas pasang kaki dan tangan,
dengan tiga belas batang pedang!
Barisan itu
mulai menyerang sambil tetap berlari mengelilingi gadis dan pemuda itu,
bertubi-tubi dan saling melindungi, susul menyusul, ke arah tubuh Hong Beng dan
Suma Lian. Namun Hong Beng yang ketika berangkat melaksanakan tugas telah
memperoleh kembali pedangnya, yaitu sepasang pedang, kini sudah siap dengan
sepasang senjata itu, memutarnya dengan ilmu pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu
Pedang Sepasang Iblis) yang hebat. Sedangkan Suma Lian telah menerjang ke
depan, memutar suling emasnya dengan Ilmu Suling Naga Siluman yang mengeluarkan
suara melengking-lengking dan membentuk gulungan sinar kuning emas yang
menyilaukan mata.
Hong Beng
yang maklum bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan dia tahu bahwa gadis itu
memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya, kini memutar sepasang
pedang untuk membendung serangan tiga belas anggota barisan Ang-I Mo-pang itu,
memberi kesempatan kepada Suma Lian untuk menerjang keluar.
Kesempatan
ini memang dipergunakan oleh gadis itu. Dia memutar sulingnya semakin dahsyat
sambil menerjang ke arah kiri. Anggota barisan yang berlari di sebelah kiri
cepat-cepat menangkis dengan pedangnya ketika ada sinar emas mencuat ke
arahnya, dibantu pula oleh teman di kanan kirinya yang menahan serangan Suma
Lian dengan tusukan pedang mereka ke arah gadis itu.
Namun Suma
Lian memutar sulingnya, menangkis pedang-pedang itu sambil tangan kirinya
mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang mendorong ke arah mereka. Hawa dingin
menyambar dahsyat ke arah tiga orang anggota barisan itu, dan mereka
mengeluarkan teriakan kaget sambil terhuyung ke belakang, namun tempat mereka
segera diisi oleh tiga orang teman lainnya sehingga jalan keluar bagi Suma Lian
tertutup lagi.
Melihat ini,
Gu Hong Beng menerjang pula ke bagian itu. Sepasang pedangnya lantas
menyambar-nyambar, akan tetapi segera sepasang pedang itu disambut pula oleh
tidak kurang dari enam batang pedang lawan.
Tiba-tiba
Suma Lian mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya lalu berkelebat
meloncat tinggi melampaui atas kepala para pengepungnya! Ketika barisan itu
hendak menghalanginya, ia kembali mendorong tangan kirinya yang kini mengandung
tenaga sakti Hui-yang Sinkang yang panas dan mereka yang berusaha
menghalanginya itu pun terdorong mundur dan berteriak kaget karena merasa
betapa hawa panas menyambar ke arah mereka. Barisan itu menjadi kacau dan Suma
Lian sudah tiba di luar barisan. Tanpa membuang waktu lagi, Suma Lian langsung
menyerang Liok Cit dengan suling emasnya.
"Tikus
pengecut, sekarang kuantar kau ke neraka!" bentak Suma Lian.
Liok Cit
yang menjadi ketakutan cepat menyambut dengan pedangnya. Ia mengerahkan segenap
tenaga dan kepandaiannya untuk membendung serangan suling emas yang sinarnya
menyilaukan mata itu.
Sementara
itu, Hong Beng juga mengamuk dengan pedangnya. Barisan itu telah kacau karena
enam orang di antara mereka sudah dibikin terhuyung oleh pukulan Swat-im
Sinkang dan Hui-yang Sinkang dari Suma Lian tadi. Kini Hong Beng memainkan ilmu
pedangnya dengan dahsyat, mengerahkan tenaganya sehingga tubuh dan pedangnya
bagaikan bola api yang menggelinding ke sana ke mari, dan barisan itu pun
menjadi semakin kacau dan tidak dapat mempertahankan lagi keutuhan atau
kerapian gerakan mereka.
Sementara
itu, perkelahian antara Suma Lian melawan Liok Cit terjadi berat sebelah. Liok
Cit yang berjuluk Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Tangan Beracun) itu
ternyata bukan tandingan Suma Lian. Ia pun tidak berani mencoba-coba untuk
mempergunakan sihirnya, karena hal ini hanya berarti menggugah harimau tidur.
Gadis itu
memiliki kekuatan sihir yang jauh lebih kuat darinya, maka akan percuma saja
jika dia menggunakan sihir. Satu-satunya jalan bagi Liok Cit hanyalah
mempertahankan diri dan sedapat mungkin mencari kesempatan untuk dapat
melarikan diri.
Akan tetapi,
agaknya Suma Lian tidak mau melepaskan lagi musuhnya ini. Ia teringat akan
perbuatan Liok Cit yang lalu, mencoba untuk menyihirnya, dan menculik Yo Han
sehingga mengakibatkan tewasnya ayah dan ibu anak itu, bahkan dirinya sendiri
hampir celaka kalau saja tidak ada Sin Hong yang menolongnya. Maka, Suma Lian
mendesak dengan suling emasnya dan tidak memberi jalan keluar sama sekali.
Liok Cit
melawan mati-matian sambil terus mundur. Akhirnya, tanpa dapat dihindarkan
lagi, ujung suling gadis itu menyentuh pelipis kirinya. Tubuh Liok Cit
terjungkal dan dia tewas seketika tanpa mengeluarkan suara lagi!
Setelah
merobohkan Liok Cit, Suma Lian lalu membalikkan tubuhnya dan terjun ke dalam
pertempuran membantu Hong Beng yang dikeroyok oleh barisan Ang-I Mo-pang.
Barisan itu memang sudah kacau balau, bahkan telah kehilangan tiga orang
anggota barisan yang tadi roboh terkena pedang di tangan Hong Beng. Maka,
begitu Suma Lian masuk, sisa pasukan menjadi semakin kacau dan gentar.
Namun,
sepasang pendekar itu agaknya tak mau melepaskan mereka. Hal ini memang sudah
semestinya, karena kalau ada seorang saja di antara mereka lolos dan melapor
kepada pimpinan Tiat-liong-pang, tentu rahasia Hong Beng segera diketahui dan
akan celakalah Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera.
Maka, mereka
mengamuk dan sisa barisan yang berusaha menyelamatkan diri itu sia-sia belaka. Akhirnya
mereka roboh seorang demi seorang dan setelah perkelahian itu berhenti, ketiga
belas orang anggota Ang-I Mo-pang dan Liok Cit sudah tewas semua, tubuh mereka
malang melintang di antara darah yang membasahi tanah.
"Bagus,
bagus! Orang-orang muda mempergunakan ilmu kepandaian untuk melakukan
pembunuhan terhadap banyak orang, sungguh menyedihkan!"
Hong Beng
dan Suma Lian cepat membalikkan tubuh mereka, siap siaga menghadapi lawan baru.
Juga mereka terkejut karena kehadiran orang yang mengeluarkan suara itu sama
sekali tidak mereka ketahui, hal ini saja menunjukkan betapa lihainya orang
itu. Dan ketika mereka membalik, mereka melihat dua orang kakek dan nenek sudah
berdiri di situ sikap mereka tenang dan berwibawa.
Kakek itu
sudah tua, usianya antara tujuh puluh tahun berpakaian sastrawan sederhana,
sikapnya lembut namun berwibawa, wajahnya masih memperlihatkan ketampanan dan
kegagahan. Ada pun nenek itu belasan tahun lebih muda, usianya sekitar lima
puluh empat tahun. Wajahnya masih nampak cantik dan sepasang matanya bergerak
lincah dan penuh semangat.
"Kongkong
dan Bobo (Kakek dan Nenek)...!" Suma Lian berseru ketika ia mengenal kedua
orang itu.
Mereka
berdua itu memang kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian yang baru saja
meninggalkan benteng pasukan pemerintah setelah mereka menolong Panglima Liu,
utusan dari kota raja. Kalau Suma Lian langsung mengenal mereka, kedua orang
tua itu tertegun sejenak, akan tetapi mereka pun teringat bahwa gadis cantik
dan gagah yang memegang sebatang suling emas itu bukan lain adalah Suma Lian,
cucu mereka sendiri!
"Hemmm,
kiranya engkau, Lian?" Nenek Bu Ci Sian meloncat dekat dan memegang pundak
cucunya. "Sudah begini dewasa, sampai tidak dapat mengenalmu tadi!"
"Dan
kini menjadi seorang yang begitu ganas, membunuhi orang seperti membunuh semut
saja!" kata pula Kam Hong dengan alis berkerut karena hatinya merasa tidak
puas melihat betapa cucunya tadi membunuh semua lawannya.
Suma Lian
lari menghampiri kakeknya, memegang tangan kakeknya kemudian berkata dengan
lagak manja, "Aih, Kakek ini! Bertahun-tahun tidak saling jumpa, begitu
bertemu langsung memarahi aku, bukannya memberi hadiah! Ketahuilah, Kongkong,
terpaksa sekali kami harus membunuh semua orang ini. Kalau seorang saja kami
biarkan lolos, maka nyawa sumoi-ku dan nyawa seorang pendekar lain yang menjadi
sandera tentu akan melayang!"
"Ehhh?
Apa maksudmu? Dan siapakah orang muda ini?"
"Kakek
dan Nenek, dia ini adalah suheng-ku sendiri, namanya Gu Hong Beng. Ia murid
dari paman Suma Ciang Bun."
Kakek dan
nenek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Hong Beng dengan kagum.
Seorang pemuda yang perkasa, pikir mereka.
"Bagus,
kalau begitu bukan orang lain," kata Bu Ci Sian.
Gu Hong Beng
lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada mereka. "Harap Ji-wi
Locianpwe memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat," katanya.
"Lian-ji,
sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apa artinya kata-katamu tadi bahwa
kalau kalian tidak membunuh semua orang ini maka nyawa sumoi-mu dan seorang
pendekar lain akan melayang?"
Suma Lian,
dibantu oleh Hong Beng, kemudian menceritakan semua yang telah terjadi. Tentang
Hong Beng yang menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menyerahkan surat kepada
Coa Tai-ciangkun, tentang Li Sian dan Kun Tek yang masih menjadi sandera dan
betapa mereka tadi diserang oleh orang-orang Ang-I Mo-pang yang menjadi sekutu
Tiat-liong-pang. Hong Beng menceritakan pula akan isi surat rahasia yang telah
sempat dibacanya.
Mendengar
cerita mereka, Kam Hong mengerutkan alisnya, "Wah, kalau begitu gawat
sekali. Surat itu harus diperlihatkan kepada Liu Tai-ciangkun secepatnya!"
"Maaf
Locianpwe, yang harus menerima adalah panglima she Coa, bukannya she Liu,"
bantah Hong Beng.
Kakek itu
tersenyum, "Engkau belum tahu apa yang terjadi di dalam benteng itu, orang
muda. Beruntunglah bahwa engkau bertemu dengan kami, jika tidak, begitu
memasuki benteng tentu engkau akan ditangkap dan dianggap mata-mata yang
sesungguhnya dari kaum pemberontak." Kakek itu lalu menceritakan apa yang
telah terjadi, betapa Coa Tai-ciangkun dan antek-anteknya telah ditangkap dan
kekuasaan di benteng itu telah dipegang oleh pemerintah.
Hong Beng
terkejut mendengar keterangan itu. "Wah, jika sudah begini, lalu bagaimana
baiknya, Locianpwe?"
"Kami
mengenal Liu-ciangkun dengan baik, mari kalian kami ajak masuk ke benteng
menemuinya dan berunding. Peristiwa yang terjadi di dalam benteng itu
dirahasiakan sehingga orang luar tiada yang tahu, maka pihak pemberontak juga tidak
tahu bahwa sekutu mereka yang berada di dalam benteng telah ditangkap
semua."
Mereka
berempat lalu kembali ke banteng. Karena para penjaga mengenal baik kakek dan
nenek yang pernah berjasa besar dalam menggulung komplotan yang berkhianat,
maka keempat orang ini dapat memasuki benteng tanpa banyak susah, bahkan segera
mereka malam itu juga disambut sendiri oleh Panglima Liu yang dibangunkan dari
tidur dan diberi laporan.
"...Ah,
Jiwi Locianpwe datang kembali tentu membawa berita penting," kata panglima
itu dengan ramah. Dia mengamati Hong Beng dan Suma Lian penuh perhatian.
"Siapakah Ji-wi yang gagah perkasa ini?"
Kam Hong
segera menjawab. "Mereka ini adalah dua orang cucu kami, Tai-ciangkun, dan
memang betul bahwa kedatangan kami membawa berita yang amat penting. Orang muda
bernama Gu Hong Beng ini, bersama dua orang kawannya yang juga
pendekar-pendekar yang menentang gerakan Tiat-liong-pang dan para tokoh sesat,
telah tertawan oleh Siangkoan Lohan. Dua orang dijadikan sandera dan dia ini
dipaksa untuk menjadi utusan, mengirim surat untuk Coa-ciangkun. Dia bersedia
melakukannya hanya untuk menyelamatkan dua orang kawannya dan kebetulan sekali
dia bertemu dengan kami, maka kami bawa ke sini."
Hong Beng
lalu menceritakan kembali semua yang terjadi di Tiat-liong-pang, kemudian dia
menyerahkan pula surat yang ditulis oleh Siangkoan Lohan untuk diberikan kepada
Coa-ciangkun itu kepada Panglima Liu. Panglima itu membacanya dan dia pun
lantas mengerutkan alisnya, lalu memanggil semua perwira pembantunya.
Malam itu
juga mereka mengadakan rapat, dihadiri pula oleh Kam Hong, Bu Ci Sian, Gu Hong
Beng dan Suma Lian. Dalam rapat itu lalu diambil keputusan bahwa Gu Hong Beng
akan membawa pasukan yang dianggap ‘sekutu’ pemberontak untuk bergabung.
Kesempatan ini akan digunakan oleh pasukan untuk mengepung Tiat-liong-pang
tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga akan memudahkan serangan mereka kalau
saatnya tiba. Sedangkan kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian dan cucu mereka, Suma
Lian, akan menyelinap ke dalam sarang gerombolan pemberontak dan membantu
gerakan pasukan itu dari dalam.
"Jangan
khawatirkan nasib adik Li Sian," kata Suma Lian kepada Hong Beng.
"Aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan ia dan kawannya
lebih dulu!"
Gu Hong Beng
menyetujui. Memang itu satu-satunya jalan terbaik. Dia akan kembali dan membawa
pasukan, tentu pihak pemberontak takkan mencurigainya dan pasukan itu akan
dapat mengepung pemberontak dengan leluasa dan tanpa dicurigai. Dia sendiri
kalau sudah tiba di dalam akan segera berusaha membebaskan dua orang kawannya
itu, bergabung dengan Suma Lian.
Hatinya lega
jika mengingat bahwa Suma Lian ditemani oleh kakek dan neneknya, dua orang yang
dia tahu amat sakti, maka hatinya tak perlu mengkhawatirkan ‘tunangannya’ yang
kali ini benar-benar menjatuhkan hatinya itu! Dia tahu bahwa dia telah jatuh
cinta kepada tunangannya sendiri, setelah bertemu dengan Suma Lian yang
sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik menarik.
Setelah
berunding masak-masak, Suma Lian bersama kakek dan neneknya lalu pergi
meninggalkan benteng karena mereka akan bergerak terpisah, bahkan kalau mungkin
mendahului menyelundup ke dalam sarang pemberontak dan membantu pasukan dari
sebelah dalam.
***************
Kao Hong Li terus
melakukan pengejaran dan mencari jejak Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Tapi,
sampai di pegunungan dekat dengan sarang gerombolan pemberontak
Tiat-liong-pang, gadis ini kehilangan jejak mereka. Ia pun memasuki hutan,
mengambil keputusan untuk menyelidiki Tiat-liong-pang karena ia tahu bahwa
musuh besarnya itu, Sin-kiam Mo-li yang dahulu memimpin rombongan penyerbu ke
Istana Gurun Pasir dan membunuh kakek beserta neneknya, tentu bersekutu dengan
para pemberontak seperti yang telah didengarnya. Pemberontak Tiat-liong-pang
itu kabarnya telah mengumpulkan banyak tokoh sesat sehingga keadaan mereka kuat
sekali.
Karena belum
mengenal keadaan daerah itu, Kao Hong Li bersikap hati-hati sekali. Ia tidak
berani melakukan perjalanan di waktu malam, maka ia lalu melewatkan malam di
dalam hutan, di atas pohon besar. Ia mengisi perutnya dengan roti dan daging
kering yang dibawanya sebagai bekal, minum air putih jernih yang dibawanya
dalam botol.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kao Hong Li sudah membersihkan tubuhnya di
sebuah sumber air kecil di tengan hutan. Ia merasa segar dan tenaganya pulih
kembali. Setelah berganti pakaian yang ringkas, ia melanjutkan penyelidikannya.
Dengan hati-hati ia hendak keluar dari dalam hutan itu, menuju ke bukit di mana
sore kemarin dia sudah melihat perkampungan Tiat-liong-pang.
Ketika ia
tiba di pinggir hutan, tiba-tiba nampak bayangan beberapa orang berkelebat dan
tahu-tahu ia telah dikepung lima orang laki-laki yang nampaknya gagah.
"Hemm,
engkau tentu kaki tangan pemberontak!" seorang di antara mereka membentak
dengan sikap mengancam. "Hayo menyerah untuk kami tawan dari pada kami
harus menggunakan kekerasan!"
"Lebih
baik menyerah sajalah, Nona. Kami adalah orang-orang gagah yang segan untuk
menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita lemah!" kata orang ke dua.
Kao Hong Li
adalah seorang gadis yang galak, cerdik dan pandai bicara. Dari sikap dan
ucapan mereka, ia dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah penjahat, bukan pula
anak buah pemberontak. Kalau bukan mata-mata pasukan pemerintah, tentu mereka
ini pendekar-pendekar yang menentang gerakan pemberontakan Tiat-liong-pang.
Akan tetapi,
ucapan mereka yang memandang rendah padanya memanaskan perutnya dan
mendorongnya untuk menguji kepandaian mereka. Maka ia lalu tersenyum sindir,
menghadapi mereka yang mengepungnya itu dengan sikap tenang saja.
"Hemmm,
andai kata, benar aku ini kaki tangan pemberontak dan tidak mau menyerah, lalu
kalian ini mau apakah? Kalian ini mirip lima ekor anjing hutan yang
menggonggong mengancam seekor kucing hutan, akan tetapi tidak berani
menyerang!"
Kucing hutan
adalah harimau, maka dengan menyebut dirinya kucing hutan dan mereka itu anjing
hutan, berarti Hong Li meninggikan dirinya dan merendahkan mereka. Salah
seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, mengerutkan alisnya.
"Nona,
jangan disangka kami hanya menggertak saja. Kami adalah para pendekar yang siap
menggempur para pemberontak, dan kalau engkau mata-mata pemberontak, kami tidak
segan-segan menggunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerah dengan
baik-baik."
Hong Li
tersenyum mengejek dan melirik kepadanya, "Hemmm, ingin sekali aku melihat
kekerasan yang bagaimana yang hendak kalian lakukan? Apakah kalian ini lima
orang laki-laki hendak mengeroyok aku? Pendekar macam apa kalau beraninya hanya
main keroyokan?"
Muka si
kumis tebal menjadi merah. "Kawan-kawan, mundurlah dan biarkan aku yang
menangkap wanita yang sombong ini!"
Teman-temannya
yang sudah maklum akan kelihaian jagoan muda murid Kun-lun-pai ini, mundur dan
membiarkan si kumis tebal untuk menghadapi Hong Li. Namun, sebagai seorang
pendekar, agaknya si kumis tebal masih saja sungkan untuk melawan seorang
wanita muda.
Dia lalu
memasang kuda-kuda dengan gagahnya, kuda-kuda dari silat Kun-lun-pai yang
terkenal indah gerakannya itu, akan tetapi tidak segera menyerang, melainkan
berkata kepada Hong Li. "Nona, silakan mulai menyerang!"
Hong Li
tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri santai saja, bahkan mentertawakan
lawannya. "Ehh, kenapa? Bukankah yang hendak menggunakan kekerasan itu
engkau? Kenapa aku yang disuruh menyerang? Aku tidak bisa menggunakan
kekerasan!"
Teman-temannya
tertawa sehingga si kumis tebal menjadi semakin kikuk. "Kalau begitu,
biarlah aku yang mulai dulu. Awas, Nona, aku akan bergerak menangkapmu,
maaf!"
Dan orang
itu, dengan kedua lengan bergerak cepat, menubruk ke depan, maksudnya hendak
menangkap kedua pergelangan tangan Hong Li supaya dia dapat menangkap gadis itu
tanpa banyak pergulatan.
"Ihhh...!"
Hong Li berseru dan dengan gerakan kaku yang disengaja, ia mengelak, akan
tetapi cukup untuk membuat tubrukan lawan itu mengenai tempat kosong belaka!
"Wah,
sayang luput, ya?" Hong Li mentertawakannya sambil melenggang-lenggokkan
tubuhnya yang ramping padat. Kembali terdengar suara ketawa teman-teman si
kumis tebal.
"Awas,
aku akan menotok dan membuat engkau tidak mampu bergerak, Nona. Maaf!"
Kini si
kumis tebal kembali menyerang, bukan sembarangan lagi menubruk, melainkan
mengirimkan totokan dengan dua jari tangan kanan kiri, yang kanan menotok
pundak kiri, yang kiri menotok pinggang. Hong Li yang melihat bahwa tingkat
kepandaian lawan ini masih jauh berada di bawah tingkatnya, menyambut
totokan-totokan itu dengan dua pasang jari tangannya pula, jari telunjuk dan
jari tengah dipergunakan untuk menangkap atau menjepit totokan lawan.
"Cuppp!
Cappp!"
Si kumis
tebal itu terbelalak melihat betapa totokannya itu disambut jepitan jari tangan
lawan. Dia berusaha menarik kembali jarinya, namun sia-sia dan terasa nyeri,
seolah-olah jari tangannya telah terjapit oleh jepitan besi! Tentu saja nampaknya
lucu sekali perkelahian itu dan teman-teman si kumis kembali tertawa. Kaki Hong
Li bergerak dan tubuh si kumis tebal itu terpelanting, tidak begitu keras
karena Hong Li memang tidak mempergunakan tenaga besar.
Empat orang
kawan si kumis tebal kini menghentikan suara ketawa mereka dan baru mereka
sadar bahwa gadis cantik itu ternyata bukan orang sembarangan, buktinya si
kumis tebal yang mereka kenal sebagai murid Kun-lun-pai yang cukup kuat, dalam
satu gebrakan saja roboh secara aneh! Kini mereka berempat berloncatan
menghadapi Hong Li dan seorang di antara mereka membentak.
"Nona,
siapakah engkau? Harap jangan main-main dengan kami dan mengaku terus terang,
apakah engkau seorang mata-mata pemberontak?" Mereka sudah mendengar bahwa
gerombolan pemberontak sudah bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat yang tinggi
ilmunya.
"Siapakah
main-main dengan kalian?" Hong Li menjawab. "Siapa adanya aku tidak
ada hubungannya dengan kalian. Aku berjalan seorang diri tanpa mengganggu siapa
pun juga. Adalah kalian yang menghadang perjalananku dan andai kata aku benar
mata-mata pemberontak, habis kalian mau apa?"
"Tangkap
mata-mata ini!" bentak si kumis tebal yang sudah meloncat bangun kembali
dan kini lima orang itu sudah menerjang untuk menangkap Hong Li.
Gadis ini
dengan lincah sekali lalu berloncatan mengelak. Gadis ini adalah cucu dalam
dari Naga Sakti Gurun Pasir, juga cucu luar dari Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Dari ayahnya ia mewarisi ilmu-ilmu dari Gurun Pasir, dan dari ibunya ia
mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, tentu saja ia lihai bukan main.
Diserang
oleh lima orang pendekar yang tingkatnya masih tengah-tengah tentu saja ia
seperti menghadapi pengeroyokan lima orang anak kecil saja. Dengan mudah dia
dapat menghindarkan setiap serangan dengan elakan dan setiap kali tangannya
menangkis, orang yang ditangkisnya tentu terpelanting!
Sungguh mereka
itu seperti sekumpulan semut yang mengeroyok jangkrik, beberapa kali
terpelanting dan bangkit kembali. Kalau saja Hong Li menghendaki, tentu dengan
mudah ia akan membuat mereka roboh untuk tidak dapat bangun kembali. Akan
tetapi gadis ini pun tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang baik-baik, dan
dia pun hanya ingin main-main saja, menghajar mereka karena mereka memandang
rendah padanya!
Pada saat
itu tampak berkelebat bayangan orang, bayangan putih dan seorang pemuda
berpakaian serba putih tiba di situ.
"Tahan...!"
serunya kepada kelima orang itu yang segera menghentikan pengeroyokan mereka.
Mereka
terengah-engah, dengan tubuh basah oleh keringat dan babak belur. Sedikitnya
setiap orang sudah terpelanting dua kali dalam pengeroyokan itu.
Melihat kehadiran
si baju putih, si kumis tebal cepat berseru girang, "Tan Taihiap, cepat
bantu kami menangkap mata-mata musuh yang lihai ini!"
Akan tetapi
lima orang itu tertegun ketika melihat betapa orang yang mereka harapkan akan
membantu mereka itu kini berdiri berhadapan dengan gadis itu, saling pandang
dan akhirnya pemuda berpakaian putih itu berseru girang.
"Nona
Kao Hong Li...!"
"Ehhh,
engkau... ehhh… Susiok...!”
Pemuda
berpakaian putih itu bukan lain adalah Tan Sin Hong. Baru kemarin ia bertemu
dengan para pendekar, ketika para pendekar yang jumlahnya kurang lebih lima
belas orang itu dikepung dan dikeroyok, bahkan terancam oleh orang-orang
Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai yang bersekutu dengan para pemberontak. Sin Hong
lantas turun tangan membantu mereka sehingga mereka berhasil mengusir musuh
dari dalam hutan. Dan semua pendekar mengagumi Tan Sin Hong yang mereka sebut
Tan Taihiap (Pendekar Besar Tan).
Para
pendekar itu adalah mereka yang berdatangan karena merasa penasaran ketika
mendengar bahwa Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan dan bersekutu dengan
kaum sesat. Pada waktu itu masih banyak lagi para pendekar yang berpencaran di
sekitar daerah yang dijadikan sarang Tiat-liong-pang, bersiap untuk menggempur
kaum sesat yang berkumpul di atas apa bila saatnya tiba.
Mendengar
betapa gadis itu menyebut susiok (paman guru) kepada Sin Hong, tentu saja para
pendekar itu terkejut dan melongo. Sin Hong lalu menoleh kepada mereka. “Aihh,
sobat-sobat sungguh kurang cermat. Nona ini adalah nona Kao Hong Li, seorang
pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bagaimana kalian sangka ia seorang
mata-mata pemberontak?"
Kao Hong Li
mengerling ke arah si kumis tebal dan kawan-kawannya sambil tersenyum.
"Habis, kalian tidak memberi kesempatan kepadaku, datang-datang kalian
menuduh aku mata-mata musuh sih, jadi aku menjadi marah dan ingin menguji
kalian!"
Si kumis
tebal dan teman-temannya menjadi malu, dan dengan muka merah mereka memberi
hormat, dipimpin oleh si kumis tebal yang berkata. "Maaf, maaf, karena
tidak mengenal Lihiap (Pendekar Wanita) maka kami berlaku kurang hormat.
Maklumlah, baru kemarin kami diserang oleh gerombolan pemberontak, maka tadi
kami menyangka Lihiap seorang di antara mereka. Maaf!"
"Sudahlah,"
berkata Hong Li. "Aku yang minta maaf. Susiok, bagaimara engkau bisa berada
di sini?"
Sin Hong
memandang kepada lima orang itu dan berkata. "Harap kalian suka memberi
kesempatan kepada kami untuk bicara berdua."
Lima orang
itu mengangguk maklum. Mereka pun berloncatan masuk ke dalam hutan dan
menghilang di balik batang-batang pohon. Sin Hong lalu menghampiri Hong Li.
"Bagaimana,
Nona, apakah selama ini engkau baik-baik saja? Aku harap kedua orang tuamu juga
berada dalam keadaan selamat dan sehat," katanya dengan sikap sopan.
Kao Hong Li
cemberut. "Susiok, bagaimana sih engkau ini? Bukankah engkau ini murid
kongkong, jadi engkau adalah sute dari ayahku dan karena itu, engkau ini
susiok-ku dan aku masih terhitung keponakanmu sendiri, murid keponakan! Mengapa
engkau masih menyebut aku nona-nona segala? Lupakah engkau bahwa namaku Hong
Li? Kao Hong Li?"
Menghadapi
berondongan serangan ini, Sin Hong jadi tersipu. Bagaimana pun juga, ia seorang
pemuda yang tidak biasa berhadapan dengan wanita, apa lagi yang galak dan
lincah seperti Hong Li ini. Dalam hal kelincahan, kejenakaan dan kegalakan,
gadis ini rupanya menjadi saingan berat dari Suma Lian!
"Habis,
aku harus menyebut apa kalau bukan nona?"
"Memangnya
seorang susiok hendak dijadikan bujang maka menyebut nona kepadaku? Sebut saja
namaku!"
"Mana
aku berani?"
"Kalau
tidak berani, sudahlah. Kita tidak usah bicara. Aku tidak sudi kau sebut
nona!" Gadis itu membalikkan tubuhnya dan cemberut.
Melihat ini,
Sin Hong cepat meloncat ke depan gadis itu. "Baiklah, Hong Li. Sebenarnya,
aku sendiri pun merasa tidak enak kalau kau sebut susiok. Usia kita sebaya, dan
paling banyak aku lebih tua satu dua tahun darimu, akan tetapi kau sebut paman
guru!"
"Itu
kan keharusan! Kalau aku tidak menyebut susiok padamu, tentu ayah akan marah.
Sudahlah. Susiok, engkau belum menjawab. Bagaimana engkau bisa berada di
sini?"
"Aku
pun heran menjumpaimu di sini, Hong Li. Bukankah engkau berada di rumah orang
tuamu ketika aku pergi dari sana?"
"Kau
dulu bercerita, baru aku akan menceritakan pengalamanku," kata Hong Li
sambil duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah.
Sin Hong
lalu mengambil tempat duduk di atas batu besar. Keduanya berhadapan dan saling
pandang.
Sin Hong
lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan pertemuannya yang terakhir
dengan Suma Lian. Betapa dia dan gadis itu sudah pernah memasuki sarang
Tiat-liong-pang dan berhasil menolong Kwee Ci Hwa, akan tetapi gadis itu tewas oleh
luka-lukanya. Dia pun menceritakan tentang kemunculan Gu Hong Beng yang
kemudian dibantu oleh Suma Lian untuk menyampaikan tugas dari pimpinan
pemberontakan yang terpaksa harus dilakukannya demi menyelamatkan dua orang
kawannya yang menjadi sandera.
"Aku
sendiri ingin menyelundup ke dalam sarang gerombolan itu. Aku hendak mencoba
menyelamatkan dua orang sandera itu. Di tengah hutan ini, kemarin, aku melihat
para pendekar diserbu para anggota gerombolan yang dibantu oleh banyak tokoh
sesat yang pandai. Kami berhasil mengusir mereka dan aku lalu bergabung dengan
para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan.
Nah, demikianlah pengalamanku sampai aku melihat engkau sedang mempermainkan
beberapa orang teman pendekar itu."
Hong Li
menarik napas panjang. "Ah, kiranya semua telah berada di sini! Gu Hong
Beng masih suheng-ku sendiri karena gurunya, paman Suma Ciang Bun adalah adik
ibuku. Suma Lian adalah adik misanku sendiri. Akan ramai nanti di sini kalau
begitu dan aku gembira sekali mendengar mereka semua turun tangan hendak
menentang kaum sesat yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sendiri, setelah
engkau pergi, Susiok, masih merasa penasaran. Aku lalu pergi dari rumah dengan
maksud mencari para penyerbu Istana Gurun Pasir seperti yang Paman ceritakan
itu, terutama Sin-kiam Mo-li. Jejaknya menuju ke sarang Tiat-liong-pang ini,
maka aku sampai pula di tempat ini."
“Memang
benar dia merupakan seorang di antara tokoh sesat yang bersekutu dengan
Tiat-liong-pang."
Sin Hong
lalu menceritakan keadaan Tiat-liong-pang yang sangat kuat, terutama sekali
karena ternyata gerombolan pemberontak itu telah bersekutu dengan panglima
pasukan pemerintah yang bertugas jaga di benteng utara tidak jauh dari situ.
"Ahhh,
kalau begitu kebetulan sekali. Aku dapat membantu para pendekar menentang kaum
sesat yang membantu pemberontakan, juga sekalian dapat menuntut balas atas
kematian kakek dan nenekku dari Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya!" kata
Hong Li penuh semangat sambil mengepal tinju.
Sin Hong menarik
napas panjang. "Hong Li, jangan engkau mengira bahwa aku tidak berduka
karena kematian ketiga orang guruku, akan tetapi justru dari merekalah aku
menerima pelajaran, bukan hanya ilmu silat, akan tetapi gemblengan batin
sehingga aku berhasil melenyapkan dendam dari hatiku. Kalau sekarang aku
menentang Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, bukan karena aku mendendam kepada
mereka, melainkan karena mereka adalah orang-orang jahat yang sudah selayaknya
ditentang agar tidak banyak jatuh korban keganasan mereka. Dan juga aku harus
dapat merampas kembali Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam, dua buah pedang pusaka
milik Istana Gurun Pasir yang dirampas mereka, karena selama pedang-pedang itu
berada di tangan mereka, maka kejahatan mereka akan meningkat dan dua buah pusaka
itu tentu hanya akan dipergunakan untuk kejahatan."
Hong Li
mengangguk. "Tadinya aku memang merasa penasaran sekali, Susiok. Kedua
orang kakek dan nenekku, juga kakek Wan Tek Hoat tewas di Gurun Pasir, akan
tetapi Susiok sebagai murid tunggal dan terakhir mereka, tetap hidup dan
agaknya tidak hendak membalas dendam. Akan tetapi sekarang aku mengerti, dan
aku setuju dengan pendirianmu. Memang aku pun sudah sering kali mendengar dari
ayah dan ibu betapa buruknya membiarkan dendam meracuni batin kita sendiri.
Akan tetapi bagi aku, kalau mengingat betapa jahatnya mereka dan betapa kakek
dan nenek yang sudah tua itu mereka serbu dan mereka bunuh, betapa sukarnya
untuk tidak menjadi sakit hati dan membebaskan hati dari dendam."
Sin Hong
mengangguk pula. "Aku tidak menyalahkanmu, Hong Li. Memang kelemahan
seperti itu adalah manusiawi, akan tetapi jika kita sudah tahu bahwa hal itu
merupakan suatu kelemahan dan kekeliruan, maka sudah selayaknya kalau kita
menghilangkannya, bukan? Aku sendiri kehilangan orang tuaku yang menjadi korban
kejahatan orang lain, dan ternyata pembunuh ayahku juga berada di sini karena
pembunuhan itu dilakukan sebagai akibat dari usaha pemberontakan
Tiat-liong-pang pula."
Sin Hong
kemudian menceritakan tentang keterangan terakhir Kwee Ci Hwa yang telah dapat
membongkar rahasia pembunuhan Tan-piauwsu. Dua orang muda itu terus saja
bercakap-cakap dengan asyik sekali, seperti dua orang sahabat lama yang baru
saja saling bertemu setelah lama berpisah. Barulah mereka terkejut ketika ada dua
orang gagah berlari-larian dari dalam hutan dengan wajah agak pucat dan napas
mereka yang memburu.
"Celaka,
Tan Taihiap! Kami diserbu dari arah selatan. Musuh kami lihai bukan main
sehingga ada beberapa orang saudara kita yang sudah roboh! Cepat, harap bantu
kami, Tan Taihiap dan Lihiap, kalau tidak, kami semua akan celaka!"
Tanpa
menanti keterangan lainnya lagi, tubuh Sin Hong berkelebat diikuti oleh Hong
Li. Keduanya berlari cepat sekali memasuki hutan dan Hong Li hanya mengikuti
Sin Hong karena dia masih belum mengenal jalan sama sekali. Sin Hong berlari
cepat menuju ke perkampungan darurat yang dibuat oleh para pendekar di dalam
hutan itu.
Banyak para
pendekar dari berbagai kalangan yang berdatangan ke arah daerah utara, tempat
pemberontakan Tiat-liong-pang terjadi. Mereka tertarik bukan untuk mencampuri
pemberontakan itu, karena bagaimana pun juga, tak ada pendekar yang dalam
hatinya membela pemerintah penjajah. Mereka berdatangan untuk menentang kaum
sesat yang kabarnya memimpin pemberontakan, karena mereka semua maklum bahwa
jika kaum sesat yang memberontak dan berhasil berkuasa, maka rakyat akan lebih
celaka lagi, lebih sengsara dari pada kalau kekuasaan dipegang penjajah Mancu.
Bukan hanya
di hutan itu saja terdapat para pendekar yang membuka perkampungan darurat. Di
situ hanya berkumpul belasan orang pendekar. Di tempat-tempat lain bahkan
terdapat lebih banyak persembunyian para pendekar yang juga saling menggabung
dan siap menghadapi para tokoh sesat.
Ketika Sin
Hong dan Hong Li yang jauh mendahului kedua orang pendekar itu tiba di
perkampungan di dalam hutan, mereka melihat bahwa belasan orang pendekar sedang
dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih orang yang dilihat dari pakaian
mereka adalah orang-orang Mongol yang tinggi besar, dan mereka di pimpin oleh
seorang tosu dan seorang nenek bongkok. Kedua orang inilah yang amat lihai.
Tosu itu
bertubuh pendek berkepala botak, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dia
memainkan sehelai sabuk kain yang ujungnya dipasangi pisau. Ada pun nenek itu
bertubuh bongkok kurus, kulitnya hitam dengan muka buruk berkeriputan. Usianya
juga enam puluh tahun lebih, tangannya memegang sebuah tongkat hitam butut.
Nenek ini tak kalah lihainya dibandingkan tosu itu, dan sepak terjangnya ganas
sekali, membuat para pendekar kocar-kacir dan terdesak hebat.
Sin Hong dan
Hong Li tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi maklum bahwa kedua orang itu
memang lihai sekali, dan agaknya, melihat bahwa mereka memimpin orang-orang
Mongol yang ganas dan kasar menyerang para pendekar, mudah diduga bahwa mereka
tentulah kaki tangan pemberontak. Memang dugaan mereka sungguh tepat karena
mereka adalah orang-orang yang menjadi pembantu Tiat-liong-pang, sedangkan
pasukan kecil Mongol itu adalah sebagian dari lima ratus lebih orang pasukan
Mongol yang dipimpin oleh Agakai dan sudah berkumpul di sarang Tiat-liong-pang.
Kakek itu
bernama Hok Yang Cu, seorang tokoh Pat-kwa-pai yang banyak melakukan kejahatan,
satu di antara para tokoh Pat-kwa-pai yang membantu pemberontakan itu. Ada pun
nenek itu adalah Hek-sim Kui-bo, seorang datuk sesat yang lihai pula. Dua orang
ini memang bersahabat dan pernah kita jumpai mereka ketika mereka melakukan
serangan terhadap keluarga Beng-san Siang-eng di puncak Telaga Warna Pegunungan
Beng-san.
Untunglah
pada waktu itu muncul Suma Lian yang lalu membantu keluarga pendekar itu mengusir
dua orang kakek dan nenek ini. Pada waktu itu mereka berdua menyerang keluarga
Beng-san Siang-eng bukan saja untuk mengganggu keturunan keluarga Pulau Es itu,
juga karena Hek-sim Kui-bo hendak menculik Gak Ciang Hun, putera Beng-san
Siang-eng yang baru berusia sepuluh tahun.
Melihat
kelihaian kakek dan nenek ini, tanpa berunding Sin Hong dan Kao Hong Li telah
maklum apa yang harus mereka lakukan. Mereka melihat sudah ada empat orang
pendekar roboh, maka Sin Hong lalu meloncat ke tengah medan pertempuran,
langsung saja dia menghadapi tosu yang amat lihai itu.
Pada saat
itu, Hok Yang Cu sedang menggunakan sabuknya untuk mendesak seorang pendekar
yang bersenjata pedang. Sabuk itu berhasil melibat pedang sehingga tidak dapat
digerakkan lagi, mereka saling betot dan saat itu dipergunakan oleh Hok Yang Cu
untuk menggunakan tangan kirinya menghantam. Hantaman ini amat dahsyat karena
dia mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga kepala lawannya terancam.
"Dukkk!"
Tangan
terbuka yang dihantamkan ke arah kepala lawan itu bertemu dengan tangan lain
dari samping yang menangkisnya, dan akibatnya, tubuh Hok Yang Cu terhuyung dan
sabuknya terpaksa melepaskan pedang. Pendekar itu pun terhuyung ke belakang,
girang bukan main melihat munculnya Sin Hong yang menyelamatkannya dari ancaman
bahaya maut tadi.
Sebaliknya,
Hok Yang Cu terkejut sekali, cepat memandang dan ternyata orang yang
menangkisnya dan membuat ia terhuyung tadi hanyalah seorang pemuda yang usianya
baru dua puluh tahun lebih, berpakaian putih sederhana! Dia merasa penasaran
bukan main dan cepat dia memutar sabuknya.
Terdengar
suara mendesir saat ujung sabuk yang ada pisaunya itu terbang menyambar ke arah
kepala Sin Hong. Akan tetapi dengan mudahnya, Sin Hong mengelak dan dia mencium
bau amis keluar dari pisau di ujung sabuk. Maka tahulah dia bahwa pisau itu
beracun!
Seorang tosu
yang keji, pikirnya. Ia pun membalas dengan desakan pukulan jarak jauh, dengan
kedua telapak tangan terbuka yang membuat kakek itu gelagapan sehingga terus
menerus mundur karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang telapak tangan
pemuda itu bukan main kuatnya!
Sementara
itu, Kao Hong Li juga sudah terjun ke dalam kalangan pertempuran dan langsung
saja gadis itu menerjang nenek buruk rupa dan yang lihai sekali permainan
tongkatnya itu. Nenek Hek-sim Kui-bo kaget bukan main ketika tiba-tiba ada
bayangan berkelebat dan ada hawa pukulan yang sangat dahsyat serta mengandung
tenaga sakti yang panas menyambar ke arahnya dari kiri. Dia cepat membalikkan
tubuh ke kiri dan tangan kirinya sengaja menangkis, karena nenek ini memang
biasa memandang ringan semua lawannya.
"Desss...!"
Lengan kiri
nenek itu yang hanya tulang terbungkus kulit bertemu dengan lengan kanan Hong
Li yang padat lembut dan berkulit halus. Akibatnya, nenek itu mengeluarkan
pekik melengking karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya terasa
nyeri. Hong Li juga terhuyung, maka tahulah gadis ini bahwa lawannya sungguh
tak bisa dipandang ringan.
Ketika
Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam) melihat bahwa yang menyerangnya
hanya seorang gadis muda yang cantik, dia marah dan penasaran sekali.
Tongkatnya segera diputar dan nampaklah sinar hitam yang mengerikan, datang
bergulung-gulung dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar hitam itu menyambar
ujung tongkat, menotok ke arah dada Hong Li, merupakan serangan maut!
Namun, Hong
Li sudah siap siaga karena dia pun dapat menduga akan kelihaian lawan. Begitu
melihat ada sinar hitam mencuat dan menotok ke arah dadanya, dengan sikap
tenang akan tetapi cepat sekali, tubuhnya miring mengelak. Kakinya membuat
gerakan melangkah maju dari samping, tangan kiri menjaga kemungkinan serangan
selanjutnya, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka membalas
dengan tamparan ke arah kepala nenek itu, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang
yang dipelajarinya dari ibunya.
Hwi-yang
Sinkang adalah tenaga sakti milik keluarga Pulau Es. Baru hawa pukulannya saja
sudah mengandung panas yang luar biasa. Nenek itu merasa adanya hawa panas ini,
maka ia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar tongkat bututnya untuk
melindungi dirinya. Diam-diam dia kaget dan dapat menduga bahwa lawannya
tentulah seorang murid atau keturunan keluarga Pulau Es.
Selain kaget
dan penasaran, ia pun girang karena keluarga Pulau Es dianggap musuh besarnya,
maka kalau ia dapat merobohkan gadis ini, berarti ia melenyapkan seorang di
antara musuh-musuh yang dibencinya. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking
lagi dan tongkatnya menyambar-nyambar ganas, namun dengan sikap tenang, Hong Li
dapat mengatasi desakan tongkat itu dengan kecepatan gerakan badannya dan dapat
pula membalas dengan tak kalah dahsyatnya sehingga membuat nenek itu tak mampu
mengembangkan permainan tongkatnya.
Para
pendekar juga berkelahi dengan serunya melawan pasukan Mongol. Orang-orang
Mongol itu bertenaga besar dan berkelahi dengan nekat, juga jumlah mereka lebih
banyak sehingga para pendekar yang tiga belas orang itu harus melawan
mati-matian.
Sin Hong
mulai mendesak lawannya. Ketika pisau di ujung sabuk Hok Yang Cu untuk ke
sekian kalinya menyambar, Sin Hong meloncat ke atas, tinggi dan dari atas, bagaikan
seekor burung bangau, tubuhnya meluncur turun.
Kembali
sabuk itu berkelebat menyambar. Tangan kiri Sin Hong, seperti paruh seekor
burung bangau, meluncur ke bawah dan menangkap sabuk di belakang pisau.
Demikian cepatnya gerakan jari tangannya, seperti gerakan leher burung bangau
mematuk leher ular. Sabuk itu tidak dapat dipergunakan lagi, dan tangan kanan
Sin Hong menampar ke bawah, ke arah tengkuk lawan. Karena sabuk itu tidak dapat
ditariknya, dan tamparan orang muda itu amat dahsyatnya mengarah tengkuk, Hok
Yang Cu terkejut dan cepat dia menangkis dengan lengannya.
"Dukkk!"
Pertemuan
antara kedua lengan itu sedemikian hebatnya dan akibatnya, Hok Yang Cu
terpelanting ke tanah. Sabuk yang dipegangnya itu pun putus, dengan bagian yang
ada pisaunya tertinggal di tangan Sin Hong! Dia terbanting keras dan cepat
menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan.
Pada saat
itu, Kao Hong Li juga berhasil menendang paha Hek-sim Kui-bo sehingga nenek ini
terjengkang. Namun, dengan bantuan tongkatnya, nenek itu dapat meloncat bangun
lagi dan agak terpincang sebab pahanya terasa nyeri walau pun tulangnya tidak
patah serta daging dan kulitnya tidak terluka parah.
Pada saat
itu juga, muncullah dua orang tosu. Yang seorang adalah Thian Kong Cinjin,
kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, bertubuh tinggi
kurus, dengan sebuah tongkat setinggi badan berada di tangan kanannya. Thian
Kong Cinjin adalah wakil ketua Pat-kwa-pai, mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Orang ke dua
juga seorang kakek yang usianya sebaya dengan Thian Kong Cinjin, yaitu
mendekati delapan puluh tahun. Dia adalah Thian Kek Sengjin, seorang tokoh
besar dari Pek-lian-pai, kakek kurus kering dengan muka merah darah. Dia pun
membawa sebatang tongkat naga hitam, dan kakek yang pandai sihir ini memiliki
sepasang mata mencorong seperti mata kucing!
Dengan sudut
matanya Sin Hong melihat munculnya dua orang kakek ini. Tentu saja dia mengenal
mereka dengan baik karena kedua orang kakek itu adalah dua di antara tiga orang
yang berhasil keluar dengan selamat dari penyerbuan di Istana Gurun Pasir,
yaitu bersama Sin-kiam Mo-li, sedangkan belasan orang lainnya telah tewas
ketika mereka itu mengeroyok tiga orang gurunya. Karena itu, Sin Hong maklum
bahwa di pihak musuh datang dua orang lawan tangguh, maka dia pun cepat
meloncat, meninggalkan Hok Yang Cu dan langsung menerjang dan orang kakek yang
baru datang itu tanpa banyak cakap lagi!
Melihat seorang
pemuda tahu-tahu berada di depan mereka dan menyerang dengan totokan jari
tangan yang amat dansyat ke arah leher mereka secara bertubi-tubi, kedua orang
kakek itu mengeluarkan seruan dan cepat berloncatan ke belakang. Mereka telah
lupa kepada Sin Hong dan biar pun tadi mereka melihat betapa berbahayanya
serangan pemuda itu, mereka masih memandang rendah kepada Sin Hong.
Thian Kek
Sengjin yang melihat betapa Hek-sim Kui-bo sedang didesak oleh seorang gadis
yang sangat cantik, segera meloncat ke sana dan menghadapi Hong Li. Begitu
Thian Kek Sengjin memutar tongkat naga hitam menyerang, Hong Li cepat
berloncatan ke belakang untuk mengelak. Akan tetapi tongkat itu mendesak terus,
dan terdengar suara ketawa kakek itu.
"Heh-heh-heh,
nona cantik, lebih baik engkau menyerah dan menjadi muridku, tanggung engkau
akan mengalami kesenangan, heh-heh-heh!"
Hong Li
mendengus marah, lalu menerjang maju dengan nekat. Karena ia tahu bahwa kakek
itu sangat lihai, maka ia pun memainkan Sin-liong Ciang-hoat yang dahsyat dari
Gurun Pasir.
Begitu gadis
itu mendesak, kakek itu terbelalak heran karena dia mengenal ilmu silat yang
aneh dengan tubuh kadang-kadang direndahkan dan jurus seperti mau bertiarap ini
adalah ciri khas ilmu silat dari Istana Gurun Pasir. Nyaris dia celaka ketika
tiba-tiba tubuh gadis itu meluncur dari bawah dengan tangan kiri menangkis
tongkat dan tangan kanannya menusuk ke arah ulu hatinya.
Untung bahwa
ia masih sempat melempar tubuh ke belakang, kemudian berjungkir balik dibantu
tongkatnya, dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kalau tidak, tentu
gadis itu akan terus mendesak dan melukainya dengan serangan-serangan dahsyat
itu. Kini dia tidak berani main-main lagi, dengan sekuat tenaga dia memainkan
tongkatnya sehingga gadis itu pun tidak dapat mendesaknya lagi. Sebaliknya,
perlahan-lahan Thian Kek Sengjin mulai membuat Hong Li terpaksa harus main
mundur, karena tongkat hitam yang berbentuk naga itu sungguh berbahaya.
Di lain
pihak, Sin Hong yang tadi mulai mendesak Hok Yang Cu, kini mendapatkan lawan
tangguh, yaitu Thian Kong Cinjin. Wakil ketua Pat-kwa-pai ini memang lihai,
lebih lihai dari pada Thian Kek Sengjin, dan jauh lebih lihai dari Hok Yang Cu.
Dan sekarang, kakek lihai dengan tongkatnya yang ampuh ini masih dibantu oleh
Hok Yang Cu!
Namun, Sin
Hong tidak gentar. Dengan ilmu silatnya yang hebat, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat
Sakti Bangau Putih), dan dengan landasan tenaga saktinya yang amat kuat, dia
mampu menandingi pengeroyokan kedua orang ini, bahkan membalas setiap serangan
mereka dengan tamparan-tamparan atau tendangan, juga totokan-totokan yang tidak
kalah dahsyatnya, sehingga membuat kedua orang pengeroyoknya sama sekali tidak
mampu mendesaknya.
Akan tetapi,
dengan munculnya dua orang kakek itu, keadaan pertempuran berubah. Kini nenek
Hek-sim Kui-bo berani meninggalkan Hong Li untuk dilayani oleh Thian Kek
Sengjin sendiri, dan ia pun membantu para anggota pasukan Mongol untuk
mengeroyok para pendekar yang sudah kewalahan. Kini, pihak para pendekarlah
yang terdesak dan kembali ada dua orang yang roboh.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi para pendekar itu, tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring. "Hong Li, jangan takut, aku membantumu!"
Terdengar
bunyi melengking nyaring seperti suling ditiup ketika sinar kuning emas itu
menyambar dan langsung menyambut tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin
yang sedang mendesak Hong Li.
"Takkkkk!"
Thian Kek
Sengjin mengeluarkan seruan kaget karena dua tangannya yang memegang tongkat
tergetar hebat ketika bertemu dengan suling emas di tangan wanita cantik dan
gagah itu. Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong segera turun tangan membantu Hong Li
dan Sin Hong. Tentu saja Hong Li girang bukan main melihat betapa bibinya
datang membantunya. Dia dan bibinya lantas mendesak Thian Kek Sengjin yang
menjadi sibuk setengah mati.
"Pergilah
kau bantu mereka menghadapi orang-orang Mongol," kata Kam Bi Eng.
Hong Li
menjawab gembira, "Baiklah, Bibi. Hajar kakek siluman ini, Bibi!"
Hong Li lalu
meloncat pergi meninggalkan Thian Kek Sengjin. Langsung dia menerjang Hek-sim
Kui-bo lagi yang sedang mengamuk di antara para pendekar dengan tongkat
hitamnya.
Sementara
itu, melihat betapa Sin Hong dikeroyok oleh dua orang tosu yang berilmu tinggi,
diam-diam Suma Ceng Liong menjadi kagum sekali. Pemuda berpakaian putih itu
sungguh lihai bukan main! Walau pun dikeroyok oleh dua orang kakek yang
demikian hebat permainan tongkatnya, namun pemuda yang bertangan kosong itu
sama sekali tidak terdesak.
Gaya
permainannya pun amat menarik, dengan gerak dan sikap seperti seekor burung
bangau namun tidak seperti ilmu silat bangau pada umumnya. Gerakan itu aneh dan
kadang-kadang lucu serta sukar sekali, akan tetapi jelas bahwa pada setiap
gerakan mengandung tenaga dahsyat sehingga pemuda itu berani menangkis
tongkat-tongkat lawan dengan lengan tangannya!
"Paman
Ceng Liong, dialah susiok Tan Sin Hong, harap suka bantu dia!" tiba-tiba
Hong Li berteriak kepadanya.
Ceng Liong
semakin kagum. Kiranya inilah pemuda yang bemama Tan Sin Hong itu, murid dari
istana Gurun Pasir! Pantas demikian lihainya. Akan tetapi bukankah pemuda
bernama Tan Sin Hong itu yang datang bersama puterinya dan menyerahkan Yo Han
kepada Suma Ciang Bun?
Menurut
penuturan Suma Ciang Bun, puterinya dan pemuda itu melakukan penyelidikan ke
sarang pemberontak, tetapi kenapa sekarang pemuda itu berada di sini dan ke
mana perginya Suma Lian? Karena sekarang tidak mungkin menanyakan semua itu,
Ceng Liong segera terjun ke dalam pertempuran dan langsung saja dia menyerang
kakek Thian Kong Cinjin yang dia lihat lebih lihai dari pada yang ke dua, yaitu
Hok Yang Cu.
Begitu
menerjang maju, dia sudah memainkan ilmu silat Coan-kut-ci, yaitu ilmu totokan
penembus tulang yang dahulu dipelajarinya dari Hek I Mo-ong. Tusukan jari
tangannya mengeluarkan suara mencicit dan terkejutlah Thian Kong Cinjin karena
ketika dia coba menangkis, tongkatnya tertusuk jari telunjuk pendekar itu dan
langsung berlubang! Sin Hong girang mendapatkan bantuan ini, dan dia pun lalu
mendesak Hok Yang Cu yang kembali menjadi sibuk bukan main.
Sekarang
keadaannya kembali membalik dengan cepatnya. Pihak pemberontak menjadi
terdesak, dan para tokoh sesat yang kini memperoleh tanding menjadi bingung.
Thian Kong Cinjin menemukan tanding yang amat kuat, yaitu Suma Ceng Liong.
Thian Kek Sengjin juga sibuk menghadapi gulungan sinar emas dari suling di
tangan Kam Bi Eng. Hek-sim Kui-bo terdesak hebat oleh Hong Li, sedangkan Hok Yang
Cu hampir tak dapat menahan serangan Sin Hong. Dan pasukan Mongol itu pun repot
menghadapi amukan para pendekar sehingga sudah banyak di antara mereka yang
roboh dan terluka.
Melihat
keadaan yang sangat tidak menguntungkan ini, mendadak terdengar Thian Kek
Sengjin mengeluarkan seruan keras, "Lariiiii...!"
Dia pun
melontarkan sebuah benda hitam yang mengeluarkan ledakan keras sehingga
nampaklah asap hitam bergumpal-gumpal, menggelapkan tempat yang menjadi medan
perkelahian itu. Sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, tentu saja kakek ini
memiliki bahan peledak yang suka digunakan orang-orang Pek-lian-pai dalam
pertempuran, juga merupakan alat untuk mengelabui rakyat.
Suma Ceng
Liong sudah mengenal senjata-senjata gelap orang-orang Pek-lian-pai. Ada bahan
peledak yang mengandung asap beracun, maka dia pun cepat berseru supaya semua
orang mundur menjauhi asap. Maka, semua orang segera berloncatan mundur.
Setelah asap
hitam itu menipis, ternyata tokoh-tokoh sesat itu sudah lenyap, agaknya sudah
melarikan diri. Juga orang-orang Mongol yang masih belum terluka, sudah lari.
Kini hanya tinggal orang-orang Mongol yang terluka, yang nampak dengan
susah-payah menyeret tubuh mereka untuk pergi dari tempat itu.
"Biarkan
mereka pergi!" berkata Sin Hong ketika melihat ada di antara pendekar yang
hendak mengejar. "Lawan yang sudah terluka jangan didesak!"
Kembali Ceng
Liong kagum sekali melihat sikap Sin Hong ini. Mereka lalu berkumpul dan Hong
Li memperkenalkan Sin Hong kepada paman dan bibinya.
"Susiok,
ini adalah paman Suma Ceng Liong beserta bibi Kam Bi Eng. Paman dan Bibi,
pemuda ini adalah susiok Tan Sin Hong, murid terakhir dari mendiang kakek dan
nenek di Gurun Pasir."
Sin Hong
cepat-cepat memberi hormat kepada suami isteri sakti itu. "Sudah lama saya
mendengar nama besar Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), maka hari ini saya
merasa bangga dapat bertemu dengan Ji-wi, bahkan mendapat bantuan Ji-wi."
Hati Ceng
Liong semakin suka kepada pemuda ini. "Orang muda, harap jangan terlalu
merendahkan diri. Kami pun sudah mendengar namamu dan ternyata engkau memang
pantas menjadi murid orang-orang sakti penghuni Istana Gurun Pasir. Akan
tetapi, kami juga mendengar dari toako Suma Ciang Bun bahwa puteri kami, Suma
Lian, melakukan perjalanan bersamamu. Di mana ia sekarang? Mengapa kami tidak
melihat ia di sini?"
Sin Hong
lalu bercerita tentang pengalamannya bersama Suma Lian masuk ke dalam sarang
Tiat-liong-pang dan menolong Ci Hwa yang akhirnya tewas pula. Kemudian dia
bercerita tentang perjumpaan mereka dengan Gu Hong Beng yang terpaksa menjadi
utusan Siangkoan Lohan untuk menghubungi Panglima Coa yang bersekutu dengan
para pemberontak karena ada dua orang kawan yang dijadikan sandera.
"Karena
saya ingin mencoba menyelamatkan dua orang sandera itu, maka saya minta kepada
Lian-moi untuk membantu saudara Gu Hong Beng, sedangkan saya sendiri lalu
berusaha menyelundup ke Tiat-liong-pang, akan tetapi bertemu dengan para pendekar
di sini, dan tadi bertemu pula dengan nona Kao Hong Li."
Mendengar
bahwa puteri mereka membantu Gu Hong Beng, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng
merasa lega dan girang. Selagi mereka bercakap-cakap, seorang pendekar yang
baru saja datang berlari menghampiri Sin Hong. Melihat di situ terdapat banyak
orang-orang baru yang tidak dikenalnya, pendekar ini pun menjadi ragu-ragu.
"Yang
berada di sini adalah kawan sendiri," kata Tan Sin Hong, maklum akan
keraguan orang itu, "Kedua Locianpwe ini adalah Locianpwe Suma Ceng Liong
dan isterinya."
Mendengar
disebutnya nama keluarga Suma, pendekar itu memberi hormat, lalu dia
menyampaikan berita yang amat penting.
"Dalam
pengamatanku, malam tadi aku melihat ada ribuan orang pasukan pemerintah
meninggalkan benteng menuju ke Tiat-liong-pang dan kini mereka agaknya
mengepung Tiat-liong-pang dari empat penjuru!"
Mendengar
hal ini, semua orang terkejut dan Sin Hong menarik napas panjang. "Wah,
jangan-jangan saudara Gu Hong Beng terpaksa menyampaikan surat rahasia itu dan
kini pasukan yang berkhianat mulai bergabung dengan pemberontak. Tentu tidak
lama lagi mereka akan melakukan gerakan."
"Sebaiknya
kita menyelundup ke dalam, kita bebaskan mereka yang tertawan dan kita kacaukan
sarang mereka. Kita serbu para tokoh sesat itu. Jika memang benar pasukan
pemerintah itu adalah yang berkhianat dan akan bergabung dengan para
pemberontak, belum terlambat bagi kita untuk menyelamatkan diri. Sebaiknya yang
menyelundup ke dalam hanya yang memiliki ilmu kepandaian cukup saja," kata
Suma Ceng Liong yang merasa khawatir kalau-kalau puterinya yang menemani Gu
Hong Beng itu berada di dalam sarang Tiat-liong-pang pula dan terancam bahaya.
Sin Hong
menyetujui saran ini. Jika mereka tidak beramai-ramai dengan bekerja sama
menyelundup ke dalam, akan sukarlah Gu Hong Beng dan teman-temannya itu dapat
diselamatkan. Dan jika sudah berhasil menyelamatkan mereka yang tertawan,
barulah mereka kelak akan membantu pasukan pemerintah yang akan membasmi
gerombolan pemberontak.
Lalu dipilih
di antara para pendekar yang berkumpul di situ dan hanya ada empat orang yang
dianggap cukup kuat untuk melakukan penyusupan. Tentu saja selain mereka juga
Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Kao Hong Li, dan Tan Sin Hong. Empat orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi ini ikut pula menyelundup.
**************
Gu Hong Beng
diterima oleh para penjaga pintu gerbang Tiat-liong-pang. Dia muncul seorang
diri di waktu pagi sekali itu, dan para penjaga yang sudah mengenalnya lalu
membiarkan dia masuk. Gu Hong Beng segera diterima oleh Ouwyang Sianseng dan
Siangkoan Lohan, serta beberapa orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan
mereka yang diandalkan. Dan di antara mereka, tentu saja nampak Siangkoan
Liong.
Dengan
matanya yang cerdik serta tajam, Hong Beng melihat bahwa tidak ada sinar
kecurigaan dalam pandang mata mereka itu, maka hatinya menjadi lega. Untung
bahwa dia dan Suma Lian telah berhasil membunuh belasan musuh yang
menghadangnya itu, karena kalau ada seorang saja yang lolos, tentu dia tidak
akan berani kembali ke sarang ini dan tentu akan celaka nasib Li Sian dan Kun
Tek.
"Gu-taihiap,
engkau sudah kembali?" Siangkoan Lohan menyambut dengan sikap yang ramah.
"Dan berhasilkah tugasmu?"
Hong Beng
mengangguk dan tersenyum. "Berhasil dengan baik, Pangcu."
"Apakah
ada balasan surat dari Coa Tai-ciangkun?" tanya Ouwyang Sianseng.
Hong Beng
maklum bahwa mereka ini masih bersikap pura-pura, karena mata-mata mereka tentu
sudah menyelidiki dan mereka pun pasti sudah tahu bahwa dia datang bersama
pasukan pemerintah! Dia bersikap seperti yang sudah direncanakan bersama
Liu-ciangkun, kakek Kam Hong dan isterinya.
"Coa
Tai-ciangkun mengirim salam. Karena beliau masih harus menyelesaikan urusan di
dalam benteng, maka beliau mengirim Pouw-ciangkun dengan pasukan besar untuk
bergabung dengan pasukan Pangcu, siap untuk melakukan gerakan menurut petunjuk
Pangcu."
"Pouw-ciangkun?
Yang mana...?" Siangkoan Lohan bertanya sambil memandang heran karena
sepanjang pengetahuannya, di antara anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para
perwira yang ikut dalam persekutuan itu, tidak terdapat seorang Pouw-ciangkun.
"Bukankah
Pouw-ciangkun termasuk seorang di antara para perwira yang setia kepada
kerajaan?" Tiba-tiba Siangkoan Liong berkata. Pemuda ini juga hafal akan
para perwira di benteng, mana yang berpihak kepada pemberontak dan mana yang
setia kepada kerajaan.
Diam-diam Gu
Hong Beng terkejut mendengar ini, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak
memperlihatkan sesuatu. Dengan tenang dia berkata, "Menurut keterangan
yang aku peroleh dari Coa Tai-ciangkun, Pouw-ciangkun adalah seorang bawahannya
yang sangat baik dan dapat dipercaya. Mungkin saja sudah terjadi perubahan dan
akhir-akhir ini Pouw-ciangkun telah menjadi orang kepercayaannya."
"Suruh
Pouw-ciangkun masuk!" tiba-tiba Ouwyang Sianseng berseru kepada pengawal.
Beberapa
orang pengawal memberi hormat, kemudian lari keluar. Hong Beng menanti dengan
jantung berdebar. Inilah saatnya yang amat kritis dan dia sudah memperhatikan
hal ini dengan teman-temannya ketika mereka berunding di dalam benteng.
Tidak
disangkanya bahwa Ouwyang Sianseng demikian cerdiknya, jauh lebih cerdik dari
pada para pemimpin pemberontak yang lain. Dan dia pun tahu bahwa Pendekar
Suling Emas, kakek Kam Hong dan isterinya, tentu sudah bersiap siaga pula
karena mereka berdua yang bertugas menjadi pengawal Pouw-ciangkun. Demikian
pula Suma Lian. Mereka bertiga sekarang tentu sudah menyelundup masuk ke dalam
sarang itu karena kesempatan untuk itu besar sekali dengan adanya pasukan
pemerintah yang sangat banyak berada di sekitar sarang pemberontak.
Tidak lama
kemudian dua orang penjaga yang tadi disuruh memanggil Pouw-ciangkun, telah
kembali bersama Pouw-ciangkun yang diiringkan oleh dua belas orang pengawal.
Para pengawal ini adalah pendekar-pendekar yang menyamar.
Siangkoan
Lohan, Siangkoan Liong dan para pembantunya bersiap untuk menyambut sekutu yang
sangat diandalkan ini. Akan tetapi tiba-tiba Ouwyang Sianseng meloncat ke depan
dan menudingkan telunjuknya pada Pouw-ciangkun sambil membentak nyaring,
"Tangkap dia!"
Tentu saja kejadian
ini amat mengejutkan Hong Beng, juga Pouw-ciangkun sendiri. Tak disangkanya
sama sekali bahwa Ouwyang Sianseng akan dapat mengetahui sandiwara mereka!
Padahal,
sesungguhnya Ouwyang Sianseng juga belum yakin bahwa Hong Beng telah
membohonginya, tak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar di dalam benteng.
Kalau mendadak dia menyuruh tangkap Pouw-ciangkun, hal ini adalah karena
kecerdikannya yang luar biasa. Perintah ini sebetulnya hanya gertakan dan
pancingan saja. Di dalam hatinya, dia merasa heran mengapa yang disuruh
memimpin pasukan kerajaan oleh Coa Tai-ciangkun adalah Pouw-ciangkun. Maka ia
pun menggertak untuk melihat reaksi dari pihak Pouw-ciangkun. Gertakan atau
pancingannya ini memang berhasil baik.
Pouw-ciangkun
yang telah menerima perintah Liu Tai-ciangkun, telah memperhitungkan
kemungkinan kecil bahwa mereka akan dicurigai dan ditangkap, maka begitu
Ouwyang Sianseng memerintahkan penangkapan, Pouw-ciangkun langsung loncat ke
belakang, berlindung di balik dua belas orang pengawalnya yang semua telah
mencabut pedang.
Juga Hong
Beng yang mengira bahwa perintah Ouwyang Sianseng tadi merupakan bukti bahwa
rahasianya sudah diketahui pihak lawan, cepat meloncat ke dalam untuk
menyelamatkan Li Sian dan Kun Tek. Akan tetapi Thian Kek Sianjin, tokoh besar
dari Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di tempat paling dekat dengan Hong
Beng, sudah memalangkan tongkat naga hitamya lalu menyambut pemuda itu dengan
hantaman tongkat!
Melihat
reaksi ini, Ouwyang Sianseng terbelalak dan mukanya berubah. Tahulah dia bahwa
benar seperti yang dikhawatirkannya, telah terjadi pengkhianatan!
"Bunuh
mereka semua! Semua pasukan siap untuk melawan musuh di luar...!"
Akan tetapi,
Pouw-ciangkun, tepat seperti yang sudah diatur sebelumnya, sudah berlari keluar
dan memberi isyarat kepada para perwira di luar untuk memulai penyerbuan! Dua
belas orang pendekar yang menyamar sebagai pengawal melindunginya dan langsung
menyerang kaki tangan pemberontak yang hendak mengejar Pouw-ciangkun. Namun
tentu saja mereka ini bukanlah lawan orang-orang seperti Siangkoan Liong,
Siangkoan Lohan dan para pembantunya. Dalam waktu sebentar saja, dua belas
orang pengawal itu roboh seorang demi seorang!
"Bunuh
pengkhianat ini, aku akan membunuh dua orang kawannya!" teriak Ouwyang
Sianseng.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar sorak-sorai gemuruh dibarengi suara terompet dan
tambur, tanda bahwa pasukan pemerintah mulai menyerbu dari luar, dari empat
penjuru! Dan sebelum Ouwyang Sianseng sempat melompat ke dalam, dari dalam
justru muncul beberapa orang yang langsung membuat wajah Ouwyang Sianseng dan
para pimpinan pemberontak berubah pucat!
Dari dalam,
dengan sikap gagah dan tenang, nampak kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian, Suma
Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong, Kao Hong Li, Suma Lian, dan dua orang
muda yang tadinya menjadi tawanan, yaitu Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian!
Kiranya,
kedua rombongan pendekar itu sudah berhasil menyelundup ke dalam sarang
pemberontak. Pertama adalah rombongan yang terdiri dari Tan Sin Hong, Kao Hong
Li, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Ada pun rombongan ke dua adalah rombongan
kakek Kam Hong, Bu Ci Sian dan Suma Lian.
Mereka
bertemu di dalam sarang pemberotak, dan tentu saja pertemuan itu sangat
menggembirakan hati mereka walau pun dilakukan secara bersembunyi. Tan Sin Hong
lalu berhasil membebaskan Kun Tek dan Li Sian. Kedua orang muda yang tadinya
menjadi tawanan itu lalu bergabung dengan mereka dan begitu mendengar
ribut-ribut di luar, tanda bahwa pasukan mulai bergerak, mereka pun ramai-ramai
menerjang keluar dan berhadapan dengan seluruh pimpinan pemberontak dan para
pembantu mereka!
Melihat
betapa Hong Beng sudah berkelahi melawan Thian Kek Sengjin yang amat lihai
dengan tongkat naga hitamnya, Suma Lian segera meloncat dan membantunya. Suling
emas kecil di tangannya langsung berubah menjadi gulungan sinar kuning emas
yang menyambar-nyambar ke arah Thian Kek Sengjin. Kakek Pek-lian-pai ini
menjadi terkejut dan juga repot sekali karena Hong Beng yang amat girang
melihat betapa ‘tunangannya’ membantunya, juga mengerahkan tenaga dan
kepandaiannya untuk mendesak lawan.
Kakek Kam
Hong berhadapan dengan Ouwyang Sianseng.
"Saudara
Ouwyang Sianseng, petualanganmu agaknya hanya akan beraknir sampai di sini
saja. Sarang pemberontak ini sudah terkepung oleh pasukan besar!"
Wajah
Ouwyang Sianseng pucat, akan tetapi sikapnya masih tenang, bahkan dia masih
bisa tersenyum sambil memandang kakek sastrawan sederhana di depannya itu
dengan pandang mata penuh kagum. Tentu Pendekar Suling Emas ini yang sudah
membuat semua rencananya gagal, pikirnya.
"Sungguh
membuat orang amat penasaran," katanya lirih, akan tetapi karena suaranya
mengandung khikang yang sangat kuat, maka dapat terdengar jelas oleh semua
orang. "Seorang pendekar besar seperti Pendekar Suling Emas yang konon
kabarnya pembela rakyat, penegak kebenaran dan keadilan, kiranya tidak lain
hanyalah seorang budak penjajah Mancu yang tidak segan-segan mengkhianati
bangsa sendiri!"
Ejekan yang
amat menghina ini diterima oleh kakek Kam Hong dengan senyum. Tangan kiri kakek
ini bergerak, cepat sekali dan hanya lengan kirinya yang bergerak karena seluruh
tubuhnya tetap diam, dan nampaklah bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu,
seperti orang bermain sulap saja, tangan kiri kakek itu telah memegang sebuah
kipas, mengebutkan kipas yang terpentang itu perlahan-lahan mengipasi lehernya
seolah-olah dia merasa kegerahan.
Ouwyang
Sianseng melihat kipas yang terpentang lebar ini dan dapat membaca tulisan
indah dan gagah pada permukaan kipas yang digerakkan perlahan-lahan.
Hanya yang
kosong
dapat
menerima tanpa meluap
Hanya yang
lembut
mampu
menerobos antara yang kasar
Yang merasa
cukup
adalah yang
sesungguhnya kaya raya!
Tulisan itu
sebenarnya adalah motto dari Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati
Kosong). Guru kakek Kam Hong, salah satu di antaranya, adalah Sai-cu Kai-ong,
keturunan dari pendiri Khong-sim Kai-pang, maka sajak ini disukai oleh Kam Hong
dan dijadikan hiasan kipasnya yang merupakan senjatanya yang ampuh pula, di
samping senjata suling emas.
Agaknya,
dengan membeberkan kipas dan memperlihatkan sajak itu, kakek Kam Hong sudah
menjawab ucapan Ouwyang Sianseng tadi. Ia menyindirnya sebagai orang yang
sombong dan kasar yang tak pernah mengenal puas hingga mengadakan persekutuan
pemberontakan.
Akan tetapi,
benarlah ujar-ujar kuno yang mengatakan bahwa mengenal kelemahan dan keburukan
diri sendiri merupakan perbuatan yang teramat sukar. Bahkan orang sesakti
Ouwyang Sianseng rupanya masih sukar untuk dapat melakukan pemawasan diri ini.
Dia, seperti kebanyakan dari kita, selalu menganggap diri sendiri paling baik,
paling pintar, paling benar dan tanpa cacat.
"Tak
perlu mengejek, orang she Kam!" katanya dan sinar matanya mengeluarkan
kilatan marah. "Aku memang memimpin perjuangan melawan penjajah ini, lalu
apa salahnya?"
Kini
terpaksa Kam Hong berkata, "Ouwyang Sianseng, lupakah engkau ketika engkau
memimpin pasukan Birma melawan pasukan dari tanah air sendiri walau pun pasukan
itu adalah pasukan Mancu? Lupakah betapa engkau melarikan diri dengan membawa
banyak harta benda, kembali ke tanah air dan kini mengadakan pemberontakan?
Siapa percaya akan kemurnian gerakan pemberontakan ini jika engkau malah
mengumpulkan tokoh-tokoh sesat untuk membantumu? Bolehlah engkau mengelabui
orang lain, akan tetapi kami para pendekar sudah dapat melihat kebusukan yang
tersembunyi di balik pemberontakan ini!"
"Hemmm,
bagus! Ada saja alasanmu untuk membantu pemerintah penjajah Mancu. Nah,
sekarang bersiaplah untuk menandingi aku!" kata Ouwyang Sianseng yang juga
mengeluarkan sebuah kipas dengan tangan kirinya untuk mengipasi badan,
sedangkan tangan kanannya menghunus sebatang pedang!
Ouwyang
Sianseng tidak tahu bahwa sejak tadi Kam Hong telah siap siaga. Sikapnya
berdiri tegak dengan kipas terpentang mengipasi leher ini adalah gerak
pembukaan dari ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Namun
bagaimana pun juga, hati Ouwyang Sianseng sudah merasa gentar, apa lagi ketika
melihat betapa di luar telah terjadi pertempuran antara pasukan pemerintah dan
pasukan pemberontak.
Maka dia pun
tidak mau membuang waktu lagi. Walau pun mulutnya menantang agar lawan bersiap,
namun pedangnya sudah menyambar, diikuti serangan kipasnya yang tidak kalah
dahsyatnya dibandingkan dengan gerakan pedangnya.
Namun Kam
Hong dengan gerakan tenang mengebutkan kipasnya. Angin yang aneh berputaran
meniup ke arah lawan, dan disusul gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara
melengking bagai suling ditiup dan dimainkan seorang ahli. Dari gulungan sinar
keemasan itu mencuat sinar yang menyambar ke arah Ouwyang Sianseng, sedangkan
putaran kipas tadi merupakan perisai putih yang telah menangkis dua serangan
bekas pembesar di Birma itu.
Terjadilah
perkelahian yang amat hebat antara dua orang tua itu. Hebat dan aneh, dan biar
pun mereka bergerak kadang-kadang amat lambat, akan tetapi angin pukulan yang
keluar dari kedua buah kipas, sebatang pedang dan sebatang suling itu amat
kuatnya sehingga orang-orang lain tidak berani mendekati dua orang jago tua
itu.
Melihat
betapa Thian Kek Sianjin amat repot menghadapi pengeroyokan Gu Hong Beng dan
Suma Lian, maka Thian Kok Cinjin cepat bergerak maju dengan tongkatnya. Suma
Lian menyambut kakek ini dan membiarkan Gu Hong Beng menghadapi Thian Kek
Sengjin. Maka terjadilah perkelahian yang seru antara gadis perkasa itu dengan
ketua Pat-kwa-pai, tidak jauh dari perkelahian antara Hong Beng dan tokoh
Pek-lian-pai, yaitu Thian Kek Sengjin.
Sementara
itu, melihat Sin-kiam Mo-li, Kao Hong Li sudah tidak sabar lagi. Itulah iblis
betina yang dahulu melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir dan bersama
kawan-kawannya menyebabkan kematian kakek dan neneknya.
"Sin-kiam
Mo-li, lihat baik-baik, siapa aku! Akulah yang akan mencabut nyawamu agar
engkau dapat bertemu dengan roh kakek dan nenekku di sana!" bentaknya
sambil melompat ke depan wanita itu.
Sin-kiam
Mo-li memandang tajam dan ia mengenal Hong Li sebagai gadis yang pernah
dikeroyoknya bersama Toat-beng Kiam-ong dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka
kemudian terpaksa melarikan diri saat muncul Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Akan tetapi, mendengar bentakan Hong Li, ia memandang lebih teliti.
“Aku adalah
Kao Hong Li, lupakah engkau kepadaku, iblis busuk?" Hong Li kembali
membentak.
"Ahhh...!"
Sin-kiam Mo-li terkejut dan baru ia mengenal gadis itu.
Pada waktu
Hong Li masih berusia tiga belas tahun, pernah dia menculik gadis ini dan
mengambilnya sebagai murid, bahkan ia mulai merasa suka dan sayang kepada gadis
itu. Sekarang gadis itu telah dewasa dan bahkan harus berhadapan dengannya
sebagai seorang musuh.
Ia tidak
sempat banyak bicara karena Hong Li telah menyerangnya dengan sepasang pedang.
Untuk penyerbuan itu dan menghadapi musuh-musuh yang tangguh, Hong Li sudah
mempersiapkan diri dan kini membawa sepasang pedang, langsung menyerang lawan
tangguh itu dengan permainan ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang
Iblis) yang dipelajari dari ibunya.
Sin-kiam
Mo-li sudah maklum akan kelihaian gadis ini, maka dia pun cepat mencabut pedang
dan kebutannya, menangkis serangan Hong Li dan balas menyerang dengan ganasnya.
Segera terjadi perkelahian sengit antara kedua orang wanita ini.
Seperti
halnya Ouwyang Sianseng, Siangkoan Lohan juga bingung melihat penyerbuan
pasukan pemerintah secara mendadak dan pihaknya harus berhadapan dengan banyak
pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kini ia dihadapi oleh Suma Ceng
Liong, keluarga Pulau Es paling lihai pada jaman itu.
Pendekar ini
maklum bahwa di antara para pimpinan pemberontak itu, yang paling lihai adalah
Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Oleh karena Ouwyang
Sianseng kini sudah dilawan oleh ayah mertuanya, maka dia pun cepat maju
menghadapi Siangkoan Lohan yang segera menyerang dengan hun-cwe emasnya.
Sin Hong
juga tak mau tinggal diam. Melihat betapa kedua orang pimpinan pemberontak yang
paling lihai itu sudah dihadapi dua orang locianpwe yang dia tahu amat sakti,
dia pun segera menerjang Siangkoan Liong, orang ke tiga yang paling lihai di
antara pihak musuh.
Siangkoan
Liong menyambut serangan Sin Hong dengan pedangnya, dan putera ketua
Tiat-liong-pang yang juga adalah murid tunggal Ouwyang Sianseng ini berusaha
keras untuk merobohkan lawan dengan pedangnya. Akan tetapi biar pun bertangan
kosong, ternyata Sin Hong merupakan lawan yang sangat tangguh sehingga
perkelahian antara mereka tak kalah serunya dengan perkelahian lain yang
terjadi di tempat itu.
Toat-beng
Kiam-ong Giam San Ek mendapatkan lawan yang amat berat baginya, yaitu nenek Bu
Ci Sian yang mempergunakan sebatang suling emas, persis seperti yang kini
sedang dimainkan oleh suaminya, Kam Hong, hanya ukurannya yang lebih kecil
sedikit.
Hok Yang Cu,
tokoh Pat-kwa-pai yang pendek botak dan menggunakan senjata sabuk yang ujungnya
dipasangi pisau beracun, senjata yang baru dibuatnya karena yang lama telah
putus ketika dia mengeroyok Sin Hong dan Hong Li, kini dihadapi oleh seorang
lawan yang juga sangat berat baginya, yaitu Kam Bi Eng yang juga seperti ayah
dan ibunya, mempergunakan senjata sebatang suling emas!
Nenek
Hek-sim Kui-bo, seorang di antara kaki tangan pemberontak yang lihai, dihadapi
oleh Pouw Li Sian. Gadis ini baru saja dibebaskan oleh Sin Hong dan telah merampas
sebatang pedang dari para penjaga yang mereka robohkan. Kini gadis itu dengan
sengit menyerang nenek bongkok kurus hitam itu, yang segera menangkis dengan
tongkatnya dan membalas pula dengan tak kalah serunya.
Ada pun Cu
Kun Tek, ketika dibebaskan mendengar dari Sin Hong bahwa Ci Hwa tewas karena
luka-lukanya yang diperoleh ketika gadis itu bertempur melawan Ciu Hok Kwi yang
berjuluk Tiat-liong Kiam-eng, yang juga pernah menjadi piauwsu, murid utama
dari Siangkoan Lohan. Kini Kun Tek telah menerjang dengan sengitnya, menyerang
Ciu Hok Kwi. Tadi pendekar ini juga merampas pedang dari seorang penjaga karena
pedangnya sendiri yaitu Koai-liong Po-kiam, telah dirampas oleh Ouwyang
Sianseng.
Masih banyak
sekali tokoh-tokoh sesat yang menjadi kaki tangan pemberontak dan kini dihadapi
oleh para pendekar. Bahkan sekarang para pendekar yang tadinya menanti
kesempatan di beberapa tempat persembunyian di daerah itu, setelah mendengar
ribut-ribut penyerbuan pasukan ke sarang Tiat-liong-pang sudah berdatangan dan
membantu pasukan menggempur para pemberontak. Di antara mereka terdapat pula
Ciok Heng, putera Ciok Kim Bouw dengan banyak anggota Cin-sa-pang yang
dipimpinnya.
Pertempuran
antara para tokoh sesat melawan para pendekar ini seru bukan main, mati-matian
dan satu lawan satu, tidak seperti pertempuran yang terjadi di luar sarang.
Pertempuran di luar itu adalah perang antara pasukan pemerintah melawan pasukan
pemberontak yang terdiri dari pasukan Mongol pimpinan Agakai sebanyak lima
ratus orang lebih, anak buah Tiat-liong-pang sendiri tidak kurang dari tiga
ratus orang, anak buah Ang-I Mo-pang antara lima puluh orang dan anak buah para
tokoh sesat yang juga membantu pemberontak.
Akan tetapi,
jumlah mereka tidak lebih dari seribu orang, sedangkan Liu Tai-ciangkun sudah
mengerahkan pasukan yang jumlahnya tidak kurang dari tiga ribu orang! Tentu
saja gelombang besar pasukan penyerbu yang melakukan serangan tiba-tiba dan
sama sekali tidak pernah diduga oleh pasukan pemberontak, membuat para
pemberontak itu kewalahan dan mereka terus didesak mundur dan terhimpit karena
sarang pemberontak itu sudah dikepung dari empat penjuru oleh pasukan
pemerintah.
Apa lagi
para pimpinan pemberontak sendiri sibuk di sebelah dalam sarang menghadapi
penyerbuan para pendekar yang berilmu tinggi sehingga mereka tidak sempat lagi
untuk memimpin pasukan mereka. Hal ini tentu saja membuat pasukan pemberontak
menjadi semakin panik akibat kehilangan komando.
Pada setiap
pertempuran antara para pendekar melawan para tokoh sesat juga jelas memperlihatkan
bahwa pihak para pendekar rata-rata mulai bisa mendesak musuhnya. Hanya Kao
Hong Li yang belum mampu mendesak Sin-kiam Mo-li. Memang wanita iblis itu lihai
bukan main dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kirinya.
Masih untung
bagi Kao Hong Li bahwa ia berhasil merampas sepasang pedang dari penjaga
sehingga kini ia dapat menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan permainan Siang-mo
Kiam-sut. Akan tetapi, sepasang pedangnya adalah pedang biasa, maka gadis ini
yang dapat menduga bahwa pedang di tangan Sin-kiam Mo-li tentulah pedang
pusaka, tidak berani mengadu pedang secara langsung, khawatir kalau pedangnya
akan rusak atau patah.
Dan kebutan
di tangan kiri wanita iblis itu amat berbahaya, menyambar-nyambar ganas dengan
setiap bulu kebutan yang mengandung racun jahat. Maka dari itu, Hong Li sama
sekali tidak mampu mendesak Sin-kiam Mo-li dan untuk melindungi tubuhnya, gadis
itu memainkan Siang-mo Kiam-sut sebaik mungkin, mengerahkan pada bagian
pertahanan dengan memutar dua pedangnya bersilang yang merupakan benteng kuat
atau perisai yang melindungi tubuhnya dengan ketat. Tak mudah bagi pedang dan
kebutan Sin-kiam Mo-li membobol gulungan sinar kedua pedang yang menjadi
perisai itu.
Siangkoan
Liong repot sekali menghadapi Sin Hong. Meski dia menggunakan sebatang pedang
dan lawannya itu bertangan kosong, namun tingkat kepandaian Sin Hong masih jauh
berada di atasnya sehingga biar hanya bertangan kosong, Sin Hong selalu dalam
posisi mendesaknya. Serangan pedang Siangkoan Liong selalu bisa dielakkan oleh
Sin Hong dengan baiknya, bahkan beberapa kali hampir saja pedang itu dapat
dirampas.
Dengan ilmu
silatnya yang bermacam-macam dan kesemuanya adalah ilmu silat tingkat tinggi,
Sin Hong terus mendesak Siangkoan Liong. Sepasang tangan kosong Sin Hong tiada
bedanya dengan dua buah senjata yang ampuh. Dengan tamparan-tamparannya yang
mendatangkan angin pukulan dahsyat, Sin Hong terus membuat Siangkoan Liong
hanya dapat mengelak sambil berlompatan mundur, dan mengelebatkan pedang untuk
mencoba membacok lengan Sin Hong. Akhirnya sebuah tendangan dari Sin Hong yang
ditujukan ke arah perut dan dielakkan oleh Siangkoan Liong, masih mengenai
pinggir pinggangnya, membuat tubuh Siangkoan Liong terpelanting keras!
Sin Hong
yang teringat akan sikap Ci Hwa sebelum gadis itu meninggal, betapa gadis itu
memaki Siangkoan Liong yang telah menodainya, kini menerjang ke depan. Orang
seperti pemuda itu berbahaya sekali, pikirnya, amat jahat, maka sudah
sepatutnya kalau diakhiri saja hidupnya. Melihat lawannya terpelanting, Sin
Hong berniat untuk mengirim pukulan susulan yang mematikan.
Akan tetapi
tiba-tiba nampak sinar terang dan terdengar bunyi seperti auman binatang buas.
Sinar itu menyambar ke arah Sin Hong bagaikan seekor naga yang menubruk. Sin
Hong terkejut sekali dan berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri
dari tusukan pedang yang luar biasa ampuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa itulah
pedang Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) milik Cu Kun Tek yang
dirampas oleh Ouwyang Sianseng dan telah diberikan kepada muridnya.
Dalam saat
yang amat gawat bagi keselamatan dirinya, setelah terpelanting, Siangkoan Liong
lalu mencabut pedang pusaka rampasan itu dan menusuk dari bawah. Berkat
keampuhan Koai-liong Po-kiam, maka terhindarlah dirinya dari bahaya maut karena
Sin Hong yang terkejut mengurungkan serangannya dan berjungkir balik ke
belakang.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment