Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 14
DUSUN itu
kecil saja, hanya ditempati oleh puluhan keluarga yang hidupnya amat miskin,
petani-petani sederhana. Seperti yang dikhawatirkan anak itu, kedua orang suami
isteri itu terkejut bukan main ketika melihat anak itu pulang tanpa membawa
lima ekor kerbau mereka, bersama seorang gadis cantik. Mereka menjadi marah dan
berduka mendengar bahwa lima ekor kerbau mereka dirampas orang.
“Anak
celaka! Anak tidak mengenal budi, tidak tahu diri...!” Laki-laki she Ciok itu
dengan muka merah dan mata melotot sudah menyambar sebuah gagang cangkul,
kemudian menghantamkan kayu yang sebesar lengan itu ke arah kepala anak
penggembala yang ketakutan.
“Plakkk!”
Kayu pemukul
itu tertahan di atas dan si petani terpaksa melepaskan kayu itu karena
tangannya terasa nyeri bukan main ketika pemukul itu tertangkis oleh tangan
Hong Li.
“Kau hendak
membelanya? Siapakah kau yang berani membela anak durhaka ini? Dia telah
membikin kami bangkrut, membikin kami celaka... ah, kami akan mati kelaparan
tanpa lima ekor kerbau itu...!” Petani itu membentak marah dan mengeluh penuh
duka.
Juga
isterinya marah sekali dan ia maju mendekati Hong Li.
“Kau ini
perempuan siluman dari mana berani mencampuri urusan kami? Anak ini jahat.
Sudah kami pelihara baik-baik, eh, hari ini dia membikin hilang lima ekor
kerbau kami. Mungkin dia bersekongkol dengan pencuri kerbau, anak jahat!” Dan
ia pun hendak maju menerkam anak penggembala itu. Hong Li cepat menangkap
lengan wanita itu.
“Sabarlah,
Bibi dan kau juga Paman. Ketahuilah bahwa aku menyaksikan sendiri ketika lima
ekor kerbau itu dicuri orang jahat. Mereka adalah lima orang perampok jahat.
Bahkan adik kecil ini hampir saja mereka bunuh, untung aku kebetulan lewat dan
dapat menyelamatkannya. Jangan khawatir, aku tahu akan keadaan kalian yang
melarat. Aku akan sungguh-sungguh mencari lima ekor kerbau itu sampai aku dapat
mengambilnya kembali dan menyerahkan kepada kalian. Anak ini tidak bersalah,
harap jangan dipukul atau dihukum.”
“Enak saja!”
Petani itu bersungut. “Mudah saja kau berjanji, Nona. Kalau engkau pergi lalu
tidak kembali, tidak membawa kerbau-kerbau itu kembali kepada kami, ke mana
kami harus mencarimu? Tetap saja lima ekor kerbau kami hilang!”
Hong Li
tersenyum. “Jangan khawatir, sebelum kerbau-kerbau itu kutemukan biarlah
kalungku ini kalian pegang dulu, dan benda ini sebagai penggantinya kalau lima
ekor kerbau itu tidak dapat kukembalikah kepada kalian.”
Isteri petani
itu menerima kalung dan bersama suaminya memeriksa benda itu. Sebuah kalung
emas dengan mainan dari kemala yang indah. Akan tetapi, keduanya adalah
penduduk dusun yang tidak pernah mempunyai perhiasan seperti itu, maka keduanya
tidak tahu apakah benda itu cukup berharga untuk mengganti lima ekor kerbau
mereka.
“Tunggu
dulu, kupanggil Coan-toako di sebelah, dia tahu tentang harga barang seperti
ini!” Tiba-tiba sang suami berkata dan dia pun lari keluar dari rumahnya.
Isterinya
memandang kepada Hong Li dan tersenyum masam. “Kami... kami tidak tahu harga
barang seperti ini...”
Hong Li
tersenyum maklum. Ia tahu bahwa harga kalungnya itu dapat dipakai membeli
sepuluh ekor kerbau! Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia mau menyerahkannya
kepada mereka. Ia bukan seorang penipu.
Petani itu
datang berlari-lari bersama seorang petani lain yang lebih tua. “Coan-toako,
tolong kau lihat dan taksir barang ini, apakah benar tulen dan dapatkah
dipergunakan membeli lima ekor kerbau?”
Petani she
Coan itu menerima kalung. Dengan sikap seorang ahli, dia memeriksanya,
menimbang dengan tangan, memeriksa kemala yang menjadi mainan kalung, kemudian
memandang kepada Hong Li. Dia tadi sudah mendengar dari petani Ciok tentang
lima ekor kerbau yang hilang dan hendak diganti dengan kalung ini.
“Kalau aku
yang menjualnya ke kota, kiranya hanya bisa pas saja untuk membeli lima ekor
kerbau. Sekarang begini saja, dari pada engkau susah-susah, lebih baik barang
ini kutukar saja dengan lima ekor kerbau. Bagaimana pendapat kalian?” tanyanya
kepada suami isteri Ciok.
Hong Li
mengerutkan alisnya. Ia berhadapan dengan seorang penipu, dan hal ini
membuatnya marah. Sekali sambar, ia sudah merampas kalung itu dari tangan
petani she Coan.
“Kau mau
menipu, ya? Pergi sana sebelum kutampar kepalamu!” bentaknya.
Petani Coan
hendak marah, akan tetapi tuan rumah Ciok yang maklum bahwa gadis itu bukan
hanya menggertak kosong, cepat menarik tangannya diajak ke luar, kemudian dia
kembali sambil membungkuk-bungkuk.
“Sekarang
kami percaya, Nona. Baiklah kalung ini kami terima sebagai pengganti lima ekor
kerbau kami yang hilang,” katanya.
“Hemmm,
siapa mau memberikan kalung ini kepadamu!” bentak Hong Li. “Kalung ini cukup
untuk membeli sedikitnya sepuluh ekor kerbau. Kukatakan tadi, aku akan mencari
kerbau-kerbau kalian itu dan mengembalikannya kepada kalian. Kalung ini hanya
untuk pegangan saja, supaya kalian tidak menyiksa anak ini. Nanti kalau aku
tidak berhasil menemukan kerbau-kerbau itu, barulah aku akan berikan kalung ini
kepada kalian.”
Suami isteri
itu tersenyum dengan wajah berseri. “Nona, kami berdua amat mencinta anak ini,
kami anggap seperti anak sendiri. Bagaimana kami akan tega menyiksanya? Jika
tadi aku hendak memukul adalah karena kesedihanku mendengar lima ekor kerbau
kami hilang. Kami tidak akan marah kepadanya, Nona.”
Hong Li
memandang kepada anak itu dan ia melihat kepala anak itu mengangguk,
membenarkan apa yang diucapkan petani itu. Hatinya menjadi lega dan ia pun
berkata, “Baiklah, kalau begitu sekarang juga aku akan mencari para perampok
itu. Jangan kalian kena ditipu orang tadi. Dia penipu. Kalau kelak harus
menjual kalung ini, kalian jual sendiri ke kota, ditukar dengan sedikitnya
sepuluh ekor kerbau. Kalian harus memperlakukan anak ini baik-baik. Awas, kalau
aku mendengar kalian menyiksanya, aku tidak akan memberi ampun.” Setelah
berkata demikian, sekali meloncat, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
Suami isteri
itu melongo. Muka mereka pucat dan mengira bahwa gadis cantik tadi tentulah
seorang dewi atau seorang siluman.
Percuma saja
Hong Li melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya kepada para penghuni di
dusun-dusun sekitar tempat itu. Mereka semua tidak tahu apakah di daerah itu
muncul perampok jahat. Menurut mereka, tidak pernah ada gangguan perampok dan
daerah itu miskin, akan tetapi aman. Para petani hidup dengan tenteram walau
pun keadaan mereka sederhana sekali.
Mendengar
keterangan ini, Hong Li berpendapat bahwa tentu para perampok itu adalah
orang-orang baru, gerombolan jahat yang agaknya baru saja berdiam di daerah
itu. Ia lalu keluar dari dusun dan mulai melakukan penyelidikan di daerah
pegunungan dan hutan-hutan.
Hong Li
adalah seorang pendekar wanita yang sudah sering kali melakukan perantauan dan
sudah berpengalaman. Ia dapat menduga bahwa gerombolan perampok yang baru tiba
di suatu daerah yang sedang mencari sarang baru, tentu bersembunyi di
hutan-hutan dan di gunung-gunung yang sunyi. Maka dia pun mendaki sebuah bukit
yang penuh dengan hutan lebat karena dari jauh kelihatan bahwa bukit inilah
yang paling baik untuk tempat persembunyian para penjahat. Juga tadi ia melihat
asap mengepul dari lereng bukit ini, padahal menurut keterangan para penduduk
dusun, di bukit itu tidak ada penghuninya.
Ketika Hong
Li menyusup-nyusup ke dalam hutan untuk mendaki bukit itu, tiba-tiba saja dia
menahan langkahnya. Dia mendengar suara berkeresekan di sebelah kiri, di balik
semak-semak. Hutan itu lebat. Mungkin saja ada binatang buas sedang mengintai
di balik semak-semak itu. Atau orang jahat? Apakah mungkin perampok-perampok
itu?
Tiba-tiba
dua bayangan berkelebat dan muncullah dua orang yang sudah menghadang di
depannya. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih empat
puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas, dapat diketahui bahwa mereka
bukanlah orang-orang tani atau orang-orang dusun, dan dari gerakan mereka pun
dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.
“Singgg!
Singgggg...!”
Dua orang
itu sudah mencabut pedang mereka dan dengan pedang di tangan mereka mengamati
Hong Li penuh perhatian. Sebaliknya Hong Li juga memperhatikan mereka dan
melihat bahwa dua orang itu nampak lemas dan lelah, juga pria itu agaknya
terluka, karena ada warna merah darah di pakaiannya bagian pundak dan pinggang.
“Siapakah
engkau?” bentak wanita itu sambil melintangkan pedangnya, sikapnya sangat
mengancam.
Hong Li
tersenyum. “Aku sedang berjalan, kalian yang menghadang. Sepatutnya kalian yang
lebih dulu mengatakan siapa kalian dan kenapa pula menghadang perjalananku!”
Dua orang
itu saling pandang, lalu yang pria menjawab. “Nona, apakah engkau anggota
gerombolan yang berada di bukit ini?”
Hong Li
berpikir cepat. Kalau dua orang ini anggota gerombolan penjahat yang agaknya
bersembunyi di situ, tidak mungkin mereka bertanya seperti itu. Akan tetapi
siapakah mereka dan kenapa pula mereka berada di tempat sunyi ini? Ia harus
menyelidikinya, karena di tempat seperti ini, semua orang harus dicurigai.
“Kalau benar
demikian, kalian mau apa?” Ia balas bertanya.
Mendadak
saja keduanya menggerakkan pedang dan langsung menyerangnya. “Kami akan
membunuhmu!” bentak wanita itu.
Hong Li
memang sudah menjaga akan segala kemungkinan, maka ia tetap waspada. Begitu dua
orang itu bergerak menyerang dengan pedang mereka, ia sudah meloncat ke
belakang mengelak. Kedua orang itu menyerang dengan semakin dahsyat, pedang
mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara
berdesingan dan angin menyambar-nyambar.
Diam-diam
Hong Li harus mengakui bahwa ilmu pedang dua orang ini cukup hebat, dan mereka
berdua ini lebih lihai dibandingkan lima orang perampok kerbau itu. Ia lantas
menggunakan kegesitannya, dan dengan Sin-liong Ciang-hoat menghadapi dua batang
pedang itu tanpa gentar sedikit pun. Ia bukan hanya mampu mengelak dan
menangkis lengan lawan yang menggerakkan pedang, bahkan ia juga mampu membalas
dengan tamparan atau tendangan yang membuat dua orang itu menjadi repot!
Setelah
mengukur kepandaian mereka, Hong Li yang tak ingin membikin mereka malu, lalu
meloncat ke belakang. Dua orang itu mengejar ke depan, dan Hong Li menendang
dua batu di depannya. Dua buah batu itu melesat cepat ke depan, menyambar ke
arah dua orang itu. Mereka amat terkejut dan menangkis dua buah batu itu dengan
pedang masing-masing, dan akibatnya mereka berteriak karena tangan mereka
tergetar hebat.
“Cukup!”
Hong Li berseru. “Aku bukanlah anggota gerombolan penjahat!”
Mendengar
ini, dua orang yang agaknya sudah menjadi gentar terhadap Hong Li, cepat
menghentikan serangan dan mereka memandang kepada Hong Li penuh perhatian dan
ada sinar kekaguman pada sinar mata mereka.
“Nona
sungguh lihai!” berkata wanita itu. “Ketahuilah, kami adalah suami isteri Liok
Cin yang datang ke sini untuk mencari puteri kami yang diculik gerombolan
penjahat.”
“Ahhh!” Hong
Li memberi hormat kepada mereka. “Paman dan Bibi, harap maafkan aku. Tadi aku
hanya ingin menguji kalian karena belum tahu siapa kalian. Aku pun sedang
mencari perampok yang sudah merampas kerbau-kerbau milik petani dusun. Namaku
Kao Hong Li dan hanya kebetulan saja aku lewat di dusun bawah sana, lalu
melihat perampokan kerbau, maka untuk menolong pemilik kerbau itu aku mencari
gerombolan perampok. Entah sama tidak orang-orangnya dengan yang menculik
puteri kalian itu.”
“Tidak salah
lagi, tentu mereka juga!” berkata pria yang bernama Liok Cin itu sambil
mengepal tinju. “Kerbau-kerbau itu tentu untuk keperluan pesta karena mereka
hendak merayakan pernikahan kepala mereka dengan puteri kami yang dipaksa untuk
menjadi isterinya!”
Hong Li
mengerutkan alisnya. “Ahh, kenapa kalian diam saja di sini kalau begitu?”
“Ahh, engkau
tidak tahu, Nona Kao! Mereka itu lihai bukan main, terutama sekali pimpinan
mereka yang berjuluk Ang-I Siauw-mo (Setan Kecil Pakaian Merah).”
“Ang-I...?”
Hong Li mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
Ia pernah
mendengar nama ini dan ia pun teringat akan Ang-I Mo-pang, gerombolan pakaian
merah yang pernah membantu Tiat-liong-pang memberontak itu! Ahh, kiranya
gerombolan pakaian merah itu pula yang bersembunyi di sini?
“Engkau mengenalnya,
Nona?” tanya Liok Cin.
Hong Li
menggeleng kepalanya. “Apakah kalian sudah mencoba untuk menyelamatkan puteri
kalian itu?”
“Sudah dua
kali kami mencoba menyerbu dan menolong anak kami, akan tetapi selalu gagal,
bahkan yang terakhir ini kami hampir celaka kalau tidak cepat dapat melarikan
diri dan bersembunyi di sini. Anak kami itu ditawan dan dikurung dalam sebuah
kamar. Ahh, kalau saja… engkau suka membantu kami, Nona,” kata isteri Liok Cin.
Tentu saja
Kao Hong Li berniat membantu mereka. Urusan kerbau hanya merupakan urusan kecil
saja dibandingkan urusan tertahannya seorang gadis yang hendak dipaksa menjadi
isteri kepala perampok itu!
Ia
mengangguk. “Aku akan membantu kalian membebaskan puteri kalian itu. Tunjukkan
jalannya kepadaku, dan kita masuk ke sarang mereka. Kita coba membebaskan
puteri kalian, dan kalau sampai ketahuan dan kita diserang, serahkan saja
kepadaku untuk membasmi mereka!”
Suami isteri
itu kelihatan gembira sekali dan mereka cepat menghaturkan terima kasih,
kemudian mereka menjadi penunjuk jalan mendaki bukit menuju ke sarang
gerombolan. Dalam perjalanan ini, suami isteri Liok Cin menjelaskan bahwa
gerombolan itu memang masih belum lama menetap di bukit itu. Buktinya, bangunan
yang dijadikan sarang gerombolan itu masih baru dan nampak seperti bangunan
darurat.
Hal ini pun
sudah dimengerti oleh Hong Li. Tentu mereka terdiri dari para anak buah Ang-I
Mo-pang yang berhasil menyelamatkan diri dari sergapan pasukan pemerintah!
Mereka kemudian bersembunyi di bukit ini dan menjadi perampok. Yang ia tidak
tahu, siapakah orang yang mengaku berjuluk Ang-I Siauw-mo dan yang kini menjadi
pimpinan mereka itu, dan mengapa pula para perampok kerbau yang berjumlah lima
orang itu tidak ada yang mengenakan pakaian merah seperti anggota Ang-I
Mo-pang?
Dugaan Hong
Li memang tidak keliru. Yang kini menjadi pimpinan di sarang gerombolan
penjahat di puncak bukit itu adalah orang-orang Ang-I Mo-pang yang berhasil
lolos dari kepungan para pasukan ketika dulu mereka membantu pemberontakan
Tiat-liong-pang. Hanya ada belasan orang yang lolos dan mereka ini dipimpin
oleh tokoh di antara mereka yang berjuluk Ang-I Siauw-mo, seorang laki-laki
berusia empat puluh tahunan yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara
mereka yang dapat lolos.
Belasan orang
ini lalu menarik belasan orang perampok lainnya untuk menjadi anak buah mereka,
dan kini dalam jumlah kurang lebih tiga puluh orang, mereka membuat sarang di
puncak bukit itu, dipimpin oleh Ang-I Siauw-mo. Karena tahu bahwa mereka
menjadi orang-orang buruan pemerintah, maka Ang-I Siauw-mo melarang para anak
buahnya mengenakan pakaian merah. Hanya dia seorang yang masih mengenakan
pakaian serba merah, sesuai dengan julukannya.
Ketika
akhirnya mereka tiba di sarang gerombolan penjahat yang berada di puncak bukit,
matahari mulai condong ke barat. Dari jauh sudah terdengar suara gaduh para
anggota gerombolan yang tengah mengadakan persiapan untuk pesta pernikahan
Ang-I Siauw-mo dengan seorang gadis dusun yang ditawan mereka. Gadis itu dari
dusun sebelah utara bukit sehingga Hong Li tidak pernah mendengar tentang
penculikan itu karena ia datang dari dusun-dusun di sebelah selatan bukit.
Liok Cin dan
isterinya dengan hati-hati mengajak Hong Li memasuki sarang itu dari belakang.
Dengan menyusup melalui pohon-pohon dan semak belukar, akhirnya tiga orang itu
berhasil masuk pekarangan belakang sarang gerombolan penjahat itu tanpa
diketahui oleh mereka yang kini sedang sibuk mengatur pesta pernikahan yang
akan diadakan pada malam nanti.
Hong Li
membayangkan betapa lima ekor kerbau yang dirampas itu kini tentu telah
disembelih dan dagingnya dimasak. Ia merasa mendongkol sekali karena kalungnya
tentu akan terpaksa ia berikan kepada suami isteri petani pemilik kerbau.
“Ssttttt,
kita masuk ke dalam melalui pintu belakang itu. Kamar di mana puteri kami
ditahan, berada di ruangan tengah, di kamar yang sebelah kiri,” bisik Liok Cin
kepada Hong Li yang mengangguk.
Akan tetapi
sebelum mereka membuka daun pintu tembusan di belakang itu, tiba-tiba nampak
enam orang berloncatan dari samping rumah. Tanpa banyak cakap lagi enam orang
itu dengan golok di tangan sudah menyerang Hong Li, Liok Cin, serta isterinya!
Liok Cin dan
isterinya sudah mencabut pedang mereka dan melawan, sedangkan Hong Li cepat
meloncat ke samping untuk mengelak dari sambaran dua batang golok! Dan
ternyata, melihat dari gerakan mereka, enam orang ini lihai sekali, tidak kalah
lihai dibandingkan Liok Cin dan isterinya! Hong Li mempergunakan kepandaiannya,
ketika ada golok menyambar dari samping, ia miringkan tubuh, tangan kirinya
meluncur ke depan memukul ke arah siku kanan lawan dan kakinya melayang ke
depan.
“Desss!”
Paha
penyerangnya itu terkena ciuman ujung kakinya dan orang itu pun terpelanting.
Agaknya hal ini mengejutkan yang lain karena kini tiga orang sudah menyerang
Hong Li, sedangkan yang jatuh tertendang tadi sudah meloncat berdiri dan ikut
pula mengeroyok! Hong Li dikeroyok empat orang, sedangkan suami isteri Liok Cin
dihadapi dua orang lawan bergolok!
Hong Li
marah sekali. Mereka ini harus dirobohkannya dengan cepat, pikirnya. Ia lalu
mengerahkan tenaga Hui-yang Sinkang dan kedua tangannya mengeluarkan hawa panas
ketika ia menangkis dan memukul, membuat empat orang pengeroyoknya tidak mampu
dekat. Hawa pukulan yang panas itu membuat mereka jeri.
Akan tetapi
setiap kali Hong Li hendak merobohkan seseorang, ia melihat Liok Cin atau
isterinya terancam golok lawan, maka ia pun terpaksa harus melindungi suami
isteri itu lebih dulu sebelum merobohkan para pengeroyoknya. Ia hanya dapat
membuat mereka itu menjauh dengan pukulan jarak jauh dan tendangannya.
Akhirnya
enam orang pengeroyok itu agaknya jeri oleh amukan Hong Li yang biar pun
bertangan kosong, namun terlalu lihai bagi mereka itu, dan mereka lalu
melarikan diri.
“Cepat, kita
bebaskan puteri kalian sebelum mereka semua datang!” berkata Hong Li sambil
menendang daun pintu terbuka.
Suami isteri
Liok Cin lalu mendahului Hong Li, menjadi penunjuk jalan memasuki lorong di dalam
bangunan itu dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang daun pintunya
tertutup.
“Di sinilah
ia disekap,” kata ibu gadis itu.
Hong Li
menggunakan kakinya menendang dan daun pintu terbuka. Benar saja, di dalam
kamar itu terdapat seorang gadis yang pakaiannya seperti gadis dusun, namun
wajahnya manis sekali, nampak dibelenggu kaki tangannya di atas sebuah
pembaringan dan ia terbelalak ketakutan.
Hong Li dan
suami isteri itu berloncatan dan memasuki kamar. Hong Li tetap bersikap
waspada, khawatir kalau di dalam kamar itu dipasangi jebakan. Akan tetapi tidak
ada perangkap di situ, hanya ada sesuatu yang dirasakan sangat ganjil.
Sejenak ia
termenung dan memandang ke sekeliling, tidak tahu apakah yang membuat ia merasa
ganjil itu. Kemudian, ia memandang suami isteri itu dan ia pun teringat, dan
terkejut, heran dan curiga. Suami isteri itu melihat pakaian mereka, jelas
bukan petani dusun, akan tetapi mengapa puteri mereka ini berpakaian seperti
seorang dusun? Dan pula, mengapa setelah mereka berdua masuk, gadis itu diam
saja, bahkan kelihatan ketakutan, tidak memanggil mereka yang mengaku ayah
bundanya itu?
“Kalian...
kalian siapakah...?” tanyanya penuh kecurigaan, namun terlambat.
Pada saat
itu terdengar suara keras dan pintu yang tadinya terbuka itu kini tertutup
terali baja yang kokoh kuat, yang muncul dari dalam dinding tebal! Hong Li
terkejut dan pada saat itu, dari luar nampak beberapa orang menyemprotkan asap
putih ke dalam kamar itu menggunakan alat semprotan!
Hong Li
mencoba untuk meloncat dan mendobrak terali baja, tapi belasan ujung tombak
menyambutnya, ditusukkan dari luar terali sehingga terpaksa Hong Li
mengurungkan niatnya mendobrak terali. Apa lagi pada saat itu asap sudah
memenuhi kamar. Ia masih dapat bertahan dengan menahan napas, akan tetapi
akhirnya, asap itu tersedot pula. Ia terbatuk-batuk. Ia mendengar pula gadis
itu, juga suami isteri itu batuk-batuk dan ia lalu roboh tak sadarkan diri.
Beberapa
orang menggunakan kipas mengebutkan asap putih itu sehingga keluar dari dalam
kamar dan setelah asap itu bersih dari kamar, muncullah seorang laki-laki yang
perutnya gendut sekali, kepalanya botak dan dia mengenakan pakaian serba merah.
Inilah Ang-I Siauw-mo, seorang laki-laki yang mukanya hitam dan kasar, sambil
tertawa-tawa dia memasuki kamar itu.
Hong Li
menggeletak pingsan di atas lantai, demikian pula halnya Liok Cin dan
isterinya, sedangkan gadis dusun yang terbelenggu itu pun pingsan di atas
pembaringannya.
“Ha-ha-ha,
gotong Liok Cin dan isterinya keluar, sadarkan mereka. Mereka telah berjasa
besar.” Dia lalu mendekati Hong Li dan melihat betapa gadis itu cantik sekali,
kembali dia tertawa senang. “Ha-ha-ha-ha-ha, dia malah lebih cantik dari
perawan dusun itu.” Dia lalu melangkah maju dan menotok kedua pundak gadis
dusun, dan dia berkata kepada anak buahnya yang berkumpul di dalam dan di luar
kamar.
“Angkat
mereka ke dalam kamarku, siapkan mereka untuk menjadi pengantinku malam ini
sehabis pesta. Ha-ha-ha, sekaligus aku memperoleh dua orang isteri yang
manis-manis. Akan tetapi, walau pun sudah tertotok jalan darahnya, dia ini
harus dibelenggu kedua kaki tangannya di atas pembaringanku. Ia lihai sekali.
Gadis dusun itu tidak perlu dibelenggu. Hati-hati, jangan ganggu mereka. Mereka
adalah isteri-isteriku, tahu?”
Sambil
tertawa, Ang-I Siauw-mo meninggalkan kamar itu dan empat orang wanita yang
menjadi anggota gerombolan itu lalu melaksanakan perintahnya, mengangkat tubuh
Hong Li dan gadis dusun yang pingsan, digotong ke dalam kamar pengantin!
Hong Li
menggerakkan pelupuk matanya. Kesadarannya kembali perlahan-lahan. Dia berusaha
menggerakkan kaki tangannya, namun sia-sia. Ia telah ditotok sehingga jalan
darahnya terhenti. Ia membuka matanya dan terkejut, juga marah sekali. Bukan
hanya tertotok, bahkan kedua kaki dan tangannya dibelenggu dengan kaki
pembaringan! Dan dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat!
Dia melirik
dan melihat bahwa gadis dusun itu pun rebah terlentang bagaikan dirinya,
telanjang bulat, di pinggir yang lainnya dari pembaringan itu. Akan tetapi
gadis itu tidak dibelenggu, hanya melihat betapa gadis itu juga tidak mampu
bergerak, jelas bahwa gadis itu pun telah tertotok jalan darahnya.
Ia melirik
ke kanan kiri, dan ia masih bisa menggerakkan kepalanya. Ternyata ia berada di
atas sebuah pembaringan yang lebar, di dalam sebuah kamar yang dihias dengan
bunga-bunga dan kertas berwarna! Ada sebuah meja dengan empat buah bangkunya,
ada almari pakaian, ada jendela dan pintunya yang semua dicat baru. Kamar
pengantin! Kemarahannya memuncak, akan tetapi dicampuri rasa khawatir!
Jantungnya berdebar tegang.
“Tenanglah,
Hong Li, tenanglah engkau...” demikian bisik hatinya.
Ia melihat
betapa belenggu kaki tangannya terbuat dari baja yang kuat. Pendeknya, ia tidak
berdaya dan tidak mungkin dapat melepaskan diri mengandalkan kekuatannya. Ia
lalu mengenangkan apa yang telah terjadi.
Tidak salah
lagi, pikirnya gemas. Suami isteri Liok Cin itu adalah kaki tangan penjahat
yang sengaja memancing dan menjebaknya masuk ke dalam kamar itu! Suami isteri
itu pura-pura saja ketika mereka dikeroyok oleh enam orang penjahat. Kini
teringatlah ia.
Pantas saja
suami isteri itu selalu terdesak dan terancam kalau ia hendak merobohkan lawan,
kiranya memang mereka itu sengaja mencegah ia untuk melukai kawan mereka
sendiri! Agaknya mereka diutus oleh kepala mereka untuk memancing dan ini hanya
berarti bahwa kepala mereka sudah tahu akan kelihaiannya!
Tentu saja!
Orang-orang Ang-I Mo-pang tentu saja mengenalnya sebagai seorang gadis yang
berilmu tinggi! Dan suami isteri itu bahkan disuruh mengujinya, mengeroyoknya,
juga enam orang yang menyerang itu, disuruh mengujinya. Baru setelah mereka
yakin tidak akan mampu mengalahkannya, ia dipancing masuk kamar oleh suami
isteri Liok Cin dan dibuat pingsan dengan semprotan asap pembius!
Sudah jelas
bahwa gadis dusun yang diculik ini sama sekali bukan puteri Liok Cin dan
isterinya! Mereka itu orang kota, orang-orang kang-ouw, dan gadis ini gadis
dusun yang lemah! Betapa bodohnya dia dapat memasuki perangkap!
Gadis dusun
itu mengeluh, siuman dari pingsannya. Hong Li menoleh kepadanya. Gadis itu pun
berusaha menggerakkan kaki tangannya akan tetapi tidak berhasil. Dan ia sudah
membuka kedua matanya dan kelihatan ketakutan, sepasang matanya terbelalak! Dan
ia menangis!
“Ahh,
menangis tidak ada gunanya...” kata Hong Li.
Gadis itu
menoleh dan baru melihat Hong Li.
“Apa... apa
yang telah terjadi...?” tanya gadis dusun itu, “dan siapakah engkau, Nona?
Kenapa Nona dapat berada di sini...?”
Hong Li
tersenyum dan merasa heran sendiri. Dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat
tersenyum!
“Nanti dulu.
Katakan apakah engkau mengenal laki-laki dan perempuan yang datang bersamaku
memasuki kamar di mana engkau terbelenggu itu?”
Ia memang
sudah dapat menduga akan jawaban gadis itu. “Tidak, aku tidak mengenal mereka,
Nona.”
“Hemmm,
sudah kuduga begitu. Mereka adalah kaki tangan penjahat. Aku datang untuk
menolongmu, akan tetapi juga tertawan dan kini kita mempunyai nasib yang sama.
Sekarang ceritakan bagaimana engkau terculik oleh mereka.”
Gadis itu
bercerita. Ia tinggal di dusun sebelah utara bukit ini dan ia terkenal sebagai
kembang dusun-dusun di sekitar daerah itu. Ia sudah ditunangkan dengan putera
lurah dusun. Akan tetapi pada hari yang naas itu, ketika dia mencuci pakaian di
sungai, dia terlihat oleh seorang laki-laki gendut yang berpakaian serba merah.
Ia lalu
ditangkap, ditotok sehingga tak mampu berteriak dan dibawa ke sarang penjahat
ini, lalu disekap dalam kamar selama tiga hari. Ia belum diganggu oleh si
gendut baju merah, akan tetapi dibujuk untuk dengan suka rela mau menjadi
isteri si gendut. Mereka akan menikah, dan perayaannya dilakukan hari ini,
malam ini!
“Apakah
orang tuamu dan para penghuni dusun, juga lurah calon mertuamu itu, tidak
mencarimu?”
“Tentu
mereka mencari, akan tetapi bagaimana mereka akan mampu melawan para penjahat
kejam itu? Dan ternyata sampai kini, tak ada yang datang menolongku kecuali
engkau, Nona. Sayang engkau sendiri tertangkap...,” dan gadis dusun itu
menangis lagi.
“Sudah,
jangan menangis. Selagi aku masih hidup, aku akan selalu berusaha untuk
menyelamatkan diriku sendiri dan juga engkau. Kita tunggu saja apa yang akan
terjadi.”
Walau pun
mulutnya bicara demikian, namun kalau membayangkan apa yang mungkin terjadi,
Hong Li merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ketakutan. Ia tahu
bahwa tentu kepala penjahat itu akan menggauli ia dan gadis dusun itu dengan
paksa! Kepala penjahat itu akan memperkosa mereka berdua, di atas pembaringan
itu! Dalam keadaan tertotok dan terikat, bagaimana dia mampu membebaskan diri
dan mencegah terjadinya penghinaan itu?
Dari kamar itu,
Hong Li dapat mendengar suara riuh rendah orang tertawa di ruangan depan.
Mereka sedang berpesta pora, pikirnya. Dan kamar ini sama sekali tidak terjaga!
Alangkah akan mudahnya membebaskan diri kalau saja ia tidak tertotok,
terbelenggu lagi! Dan mereka berdua, ia dan gadis dusun itu, dalam keadaan tak
berdaya, bugil dan tidak ada yang dapat menolong mereka!
Tiba-tiba ia
mendengar sesuatu di jendela, di luar jendela kamar itu.
“Ssttttt...
jangan menangis...,” bisiknya kepada gadis itu yang masih terus tersedu-sedu.
“Jangan berisik...!”
Gadis dusun
itu memaksa dirinya untuk berhenti menangis, atau setidaknya berhenti
mengeluarkan suara tangis.
Perhatian
Hong Li dicurahkan ke arah jendela kamar. Jelas ada gerakan orang di luar
kamar, di luar jendela, disusul suara seorang laki-laki, berbisik namun
terdengar jelas olehnya.
“Yo Han,
cepat kau masuk ke dalam dan... selimuti mereka...”
Hong Li
merasa betapa jantungnya berdetak keras sekali, terasa benar di telinga dan
tenggorokannya, seolah-olah jantungnya akan meledak! Yo Han! Anak itu...! Dan
suara yang bicara itu... siapa lagi kalau bukan Sin Hong yang bicara kepada Yo
Han tadi?
Terbelalak
ia memandang ke arah jendela. Daun jendela tiba-tiba terbuka dan seorang pemuda
kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun, meloncati jendela itu dan masuk ke
dalam kamar! Meski penerangan dalam kamar itu remang-remang, kemerahan karena
lampu meja itu dikerudungi kertas merah, namun Hong Li masih mengenal Yo Han!
“Yo Han...!”
“Enci Hong
Li... jangan khawatir, Suhu datang menolong!” kata anak itu yang cepat
menyambar sebuah selimut yang terlipat di sudut pembaringan, lalu dia
menyelimutkan selimut itu di atas tubuh Hong Li dan gadis dusun itu dari kaki
sampai ke leher.
Kemudian, Yo
Han menoleh ke arah jendela dan berbisik, “Suhu, dua-duanya sudah teecu
selimuti...!”
Bayangan itu
berkelebat cepat sekali melompati jendela, dan Sin Hong sudah berdiri di kamar
itu! Hong Li memandang kepadanya, dan Sin Hong juga memandang kepada Hong Li.
Dua pasang mata bertemu, bertaut dalam kemuraman kamar itu, dan perlahan-lahan
dua buah mata yang bening dari Hong Li menjadi basah dan air matanya pun
terurai keluar.
“Adik Hong
Li...!”
“Sin Hong
koko…. ehhh, Susiok...”
Kecanggungan
dan kegagapan Hong Li ini cukup sudah untuk membuyarkan keharuan dari batin
kedua orang muda ini. Mereka memang dua orang muda yang tergembleng sehingga
memiliki batin yang sudah amat kuat sehingga keharuan itu hanya merupakan
gelombang yang melewat begitu saja. Keduanya tersenyum.
Seruan itu
saja cukup bagi mereka, cukup jelas mengungkap isi hati mereka yang penuh
kerinduan dan kemesraan satu kepada yang lain.
Sin Hong
lalu menghampiri Hong Li dan membebaskan totokan dengan menekan kedua pundak
Hong Li. Seketika tubuh Hong Li dapat bergerak. Melihat belenggu rantai baja
yang kuat itu, Sin Hong mencabut Cui-beng-kiam dan empat kali menggerakkan
pedang pusaka itu, belenggu kaki tangan Hong Li terlepas.
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar suara tertawa dari luar kamar, “Ha-ha-ha, dua orang
isteriku, pengantinku, bersiaplah kalian. Suamimu datang, ha-ha-ha!”
Mendengar
ini, Sin Hong cepat berbisik, “Hong Li, kau pura-pura masih terbelenggu dan
tertotok...!”
Dan secepat
kilat Sin Hong sudah menyambar tubuh muridnya, sekali meloncat sudah keluar
dari dalam kamar melalui jendela dan menutupkan daun jendela, lalu mengintai
dari luar.
Daun pintu
kamar terbuka dan masuklah seorang laki-laki berperut gendut berkepala botak
yang pakaiannya serba merah. Diam-diam Hong Li memperhatikan pria itu dan biar
pun ia tidak ingat lagi, namun ia merasa yakin bahwa tentu pria ini seorang
bekas anak buah Ang-I Mo-pang yang berhasil meloloskan diri dari pasukan
pemerintah yang menyergap para pemberontak.
Ang I
Siauw-mo kembali tertawa bergelak melihat dua orang pengantinnya masih rebah
terlentang di atas pembaringan, yang seorang di pinggir sana dan seorang lagi
di pinggir sini. Tadi dia sudah membayangkan, alangkah nyamannya kalau dia
rebah di tengah-tengah, di antara mereka berdua!
“Ha-ha-ha,
isteri-isteriku yang manis! Kalian sungguh sabar menanti kedatangan suami
kalian yang mencinta. Heh-heh-heh, dan para pelayan itu sungguh sungkan,
menutupi tubuh kalian yang mulus dengan selimut. Tunggulah, sayang, bersabarlah
sedikit lagi, suamimu segera akan menemani kalian bersenang-senang,
ha-ha-ha-ha-ha...!” Dia lalu menghampiri pembaringan, agak terhuyung karena
terlalu banyak minum.
Hong Li
mencium bau arak dan ia hampir muntah, bukan hanya karena bau itu, tetapi
karena muak menyaksikan tingkah laku orang berperut gendut dan berkepala botak
ini. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah meregang semua, tubuhnya pun
dipenuhi hawa sinkang seperti hendak meledak, akan tetapi ia menahan diri.
Si gendut
botak itu menyingkap selimut dan melihat dua tubuh telanjang bulat itu, dia
menyeringai. Mulutnya mengeluarkan bunyi berdecak sambil mengeluarkan air liur
yang menetes di ujung bibirnya. Akan tetapi pada saat dia mengulur tangan
hendak meraba tubuh Hong Li, mendadak saja wanita ini bergerak memukul dengan
kedua tangannya, tangan kiri dengan pengerahan tenaga Hui-yang Sinkang
menghantam kepala botak itu, dan tangan kanan menonjol ke arah dada.
“Desss...
prokkk...”
Tubuh Ang-I
Siauw-mo terjengkang. Dia tidak sempat lagi mengeluarkan suara karena serangan
yang sangat dahsyat itu sudah membuat kepalanya pecah dan jantungnya tergetar
rontok dan dia tewas seketika sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai!
Hong Li
cepat-cepat menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaiannya, kemudian dia
membebaskan pula totokan gadis dusun itu yang juga segera mengenakan pakaian
dengan seluruh tubuh menggigil dan tangan gemetar, mulutnya menahan tangis
saking takutnya.
Sin Hong dan
Yo Han melompat masuk ke dalam kamar melalui jendela. “Yo Han, kau bawa Enci
ini keluar dari sini dan tunggu kami di hutan belakang sarang ini. Kami akan
membasmi gerombolan penjahat,” kata Sin Hong kepada muridnya.
“Baik, Suhu.
Mari, Enci...!” katanya dan Yo Han menggandeng tangan gadis dusun itu yang
tidak banyak tingkah lagi, menurut saja dituntun oleh Yo Han keluar dari dalam
kamar melalui jendela dan mereka berdua menghilang di dalam kegelapan malam.
“Hong Li,
mari kita hajar mereka!” kata Sin Hong sambil memandang wanita muda itu dengan
sinar mata berseri.
Hong Li
mengangguk dan tersenyum pula. Setelah terbebas dari ancaman mala petaka dan
kini sudah berpakaian lagi, apa lagi, di situ ada Sin Hong di sampingnya,
segala sesuatu berubah baginya. Kegembiraannya serta kegairahan hidupnya,
kembali pulih seperti dahulu.
“Mari,
Hong-ko!” Ia tidak ragu-ragu menyebut orang muda itu ‘kakanda’, bukan paman
guru! Sin Hong tersenyum dan dia lalu mencengkeram baju di punggung mayat Ang-I
Siauw-mo, dan keluar dari dalam kamar itu melalui pintu.
Para anak
buah perampok itu masih berpesta pora mabuk-mabukan di ruangan tengah yang
luas, di antara mereka terdapat pula Liok Cin dan isterinya, dan empat orang
anggota wanita. Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh sebuah benda merah yang
melayang dari luar dan benda itu jatuh terbanting ke atas meja, membuat mangkok
piring berhamburan dan ketika mereka melihat bahwa benda merah itu adalah Ang-I
Siauw-mo, ketua mereka yang sudah tewas dengan kepala pecah, tentu saja mereka
semua terkejut bukan main.
Pada saat
itu, nampak dua sosok bayangan berkelebat dan gadis yang tadi ditawan dengan
asap pembius dan akan dijadikan isteri oleh ketua mereka, kini telah berdiri di
situ bersama seorang pria muda yang berpakaian serba putih! Hong Li yang sudah
tidak sabar lagi lalu meloncat dan menyerang Liok Cin dan isterinya.
“Jahanam
busuk, kalian tak layak hidup!” bentak Hong Li.
Liok Cin dan
isterinya terkejut bukan main. Mereka mencabut pedang dan berusaha melawan,
tapi gerakan mereka terlambat. Hong Li sudah mengirim tamparan-tamparan maut
dengan kedua tangannya dan suami isteri jahat itu terpelanting, hanya sempat
mengeluarkan keluhan pendek dan keduanya tewas dengan kepala retak-retak!
Gegerlah
keadaan di situ. Sin Hong dan Hong Li mengamuk. Biar pun keduanya hanya bertangan
kosong, tapi anak buah penjahat itu mana mungkin dapat menahan amukan mereka?
Tadinya para penjahat itu masih mengandalkan jumlah banyak. Akan tetapi mereka
kecelik karena dalam waktu singkat saja, separuh jumlah mereka sudah roboh dan
tewas! Setiap kali tangan atau kaki Sin Hong dan Hong Li bergerak, tentu ada
seorang yang roboh dan tewas.
Melihat ini,
sisa para penjahat melarikan diri dan tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak
dapat merobohkan mereka semua karena mereka melarikan diri secara berpencaran.
Namun, banyak yang dapat dikejar dan dirobohkan sehingga tak kurang dari dua
puluh orang penjahat malam itu roboh dan tewas di tangan dua orang pendekar
yang sakti itu.
Karena semua
sisa penjahat sudah lari entah ke mana, Sin Hong dan Hong Li berdiri di ruangan
yang penuh mayat itu, saling pandang sampai beberapa lamanya. Akhirnya, Hong Li
menundukkan mukanya.
“Hong-ko...
terima kasih... engkau telah menyelamatkan aku...”
“Aihh,
Li-moi, perlukah di antara kita berterima kasih? Saling tolong antara kita
sudah menjadi keharusan, bukan? Apakah kalau engkau melihat aku berada dalam
ancaman bahaya, engkau tidak akan mencoba untuk menolongku?”
“Tentu saja,
dengan mempertaruhkan nyawaku, Hong-ko.”
Sin Hong
menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya. “Demikian pula aku, Li-moi. Nah,
mari kita cari Yo Han.”
Keduanya
meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu, di mana terdapat banyak mayat
bergelimpangan. Tanpa saling mengetahui, mereka masing-masing merasa amat
gembira, begitu bahagia, begitu lengkap rasanya hidup!
Yo Han
menanti bersama gadis dusun itu di dalam hutan. Dia menyambut munculnya dua
orang itu dengan gembira, “Apakah mereka telah terbasmi semua, Suhu dan Enci
Hong Li?”
“Ada
sebagian yang berhasil melarikan diri,” kata Sin Hong.
Hong Li
memegang tangan gadis dusun itu. “Sekarang mari kami antar kau pulang ke
dusunmu.”
Pada
keesokan harinya, keluarga gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan tangis
keharuan dan kegembiraan. Orang sedusun berduyun datang ketika mendengar bahwa
gadis itu telah dapat diselamatkan orang, dan mereka ingin menjamu kepada Sin
Hong dan Hong Li, juga Yo Han untuk menyatakan terima kasih. Akan tetapi Sin
Hong dan Hong Li menolak dan mereka segera berpamit, meninggalkan tempat itu.
"Enci
Hong Li, bagaimana Enci sampai tertangkap oleh para penjahat itu? Enci hendak
ke mana dan datang dari manakah?” tanya Yo Han ketika mereka menanti Sin Hong
yang pergi berburu binatang hutan untuk mereka makan karena mereka sudah merasa
lapar sekali. Mereka duduk di bawah pohon dan bercakap-cakap.
“Nanti dulu,
Yo Han. Kau ceritakan dulu bagaimana engkau dan gurumu dapat datang tepat pada
waktunya dan dapat menyelamatkan aku dan gadis dusun itu. Kalian dari manakah
dan bagaimana bisa sampai di sarang penjahat itu?” Hong Li balas bertanya
karena ia pun ingin sekali mendengar tentang keadaan Sin Hong.
Semenjak
pertemuan mereka di sarang penjahat, mengantarkan gadis dusun pulang ke
rumahnya dan melakukan perjalanan bersama sampai di hutan itu, di mana mereka
merasa lapar dan Sin Hong pergi berburu binatang, mereka berdua tidak pernah
saling menyinggung keadaan masing-masing sejak pertemuan mereka yang terakhir
kalinya, yaitu ketika Sin Hong bersama isterinya menjadi tamu dalam pesta
pernikahan Hong Li dan Thio Hui Kong.
Tentu saja
di dalam hati mereka timbul pertanyaan besar dan keinginan tahu yang mendalam
mengapa mereka, yang sudah beristeri dan bersuami, sekarang melakukan
perjalanan bersama, tanpa isteri dan tanpa suami mereka. Akan tetapi, untuk
bertanya, mereka merasa canggung dan malu, apa lagi untuk menceritakan
perceraian mereka, keduanya merasa sangat sungkan.
Kini Yo Han
berdua saja dengan Hong Li dan inilah kesempatan baik baginya untuk mencari
tahu tentang keadaan Sin Hong. Sebaliknya, Sin Hong sengaja meninggalkan Yo Han
berdua saja dengan Hong Li, tentu saja mengharapkan murid itu dapat menjadi
‘wakil’ untuk bicara dengan Hong Li. Hal ini dimengerti sepenuhnya oleh Yo Han,
anak yang cerdik itu.
“Enci Hong
Li, suhu dan aku sedang merantau. Sudah hampir setahun kami merantau berdua...”
“Ehhh?
Bukankah kalian tinggal bersama-sama keluarga isteri gurumu, di perguruan
Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang?”
Yo Han
menarik napas panjang. Ia sengaja mengulur waktu dalam jawabannya untuk
menambah kesan. “Aihhh, agaknya Enci Hong Li belum tahu, ya? Suhu sudah lama
sekali bercerai dari isterinya.”
“Hehhh...?
Bercerai...?” Seruan Hong Li seperti sorakan, dan ia nampak terkejut sekali,
akan tetapi tidak berduka. “Mengapa?”
Otak di
kepala yang belum dewasa itu bekerja dan Yo Han melihat kesempatan baik untuk
‘mendekatkan’ dua orang yang dia tahu saling mencinta itu. Beberapa kali dia
mendengar suhu-nya mengigau memanggil-manggil nama Hong Li dalam tidurnya!
“Enci Hong
Li, apa yang kuceritakan ini rahasia, dan jangan sekali-kali diberi tahukan
suhu. Tentu aku akan mendapat marah besar kalau sampai aku membocorkan rahasia
suhu.”
“Baik, aku
berjanji akan menyimpan rahasia itu. Ceritakanlah!”
“Begini,
Enci Hong Li. Suhu sebetulnya terpaksa ketika menikah dengan Bhe Siang Cun itu.
Suhu menyelamatkannya pada waktu dia akan diperkosa orang, dan suhu bahkan
mengobatinya dari racun. Karena suhu pernah melihat dia dalam keadaan
telanjang, gadis itu mengancam akan membunuh diri kalau tidak dijodohkan dengan
suhu karena ia merasa telah mendapat aib dan malu. Nah, terpaksa suhu menikah
dengan wanita yang sama sekali tidak pernah dicintanya.”
“Hemmm, jadi
itukah sebabnya mengapa semalam dia tidak berani masuk menolong aku dan gadis
dusun itu?”
“Benar, Enci
Hong Li. Suhu tidak berani lagi melihat wanita telanjang, takut kalau terjadi
lagi kawin paksa itu. Akan tetapi suhu bilang, andai kata Enci Hong Li sendiri
saja yang berada di kamar itu, tidak bersama gadis dusun itu, tentu suhu akan
langsung masuk!”
“Ehhh?!”
“Tentu saja!
Apa Enci tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu? Semenjak dahulu, suhu hanya
mencinta Enci seorang. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang dicinta suhu
kecuali Enci Hong Li!”
Sepasang
mata itu terbelalak dan menatap wajah Yo Han dengan basah. “Kau... kau yakin
benar akan hal itu?”
“Tentu saja,
Enci. Suhu sendiri yang memberi tahu kepadaku.”
“Kalau
begitu, kenapa dulu dia tidak melamarku?”
“Suhu ingin
sekali, akan tetapi tidak berani, Enci. Suhu tidak mempunyai keluarga, tidak
mempunyai guru lagi dan tidak ada walinya. Apa lagi Enci adalah puteri
suheng-nya, dan suhu seorang yang miskin dan sebatang kara, suhu tidak
berani...”
“Hemmm,
sudahlah, teruskan ceritamu. Kenapa dia bercerai dengan isterinya?”
“Sudah
kukatakan tadi, suhu tidak cinta kepada isterinya, juga isterinya tidak cinta
kepada suhu. Isterinya hanya ingin dinikah untuk menebus rasa aib dan malu.
Akhirnya, isterinya itu bertemu dengan bekas kekasihnya dan mereka berhubungan
kembali. Suhu melihat ini, lalu mengalah, memberikan isterinya kepada orang
yang dicinta isterinya, dan bercerai. Kemudian kami pun pergi merantau.”
Hong Li termenung,
pikirannya melayang jauh sekali.
“Enci...”
Hong Li
terkejut dan kembali sadar dari lamunannya. “Sekarang ceritakan bagaimana dapat
datang ke sarang penjahat itu.”
“Kami lewat
dusun tempat tinggal gadis yang diculik. Suhu mendengar bahwa ada gadis yang
diculik penjahat, maka suhu kemudian melakukan penyelidikan dan akhirnya dapat
menemukan sarang penjahat itu, sama sekali tidak pernah mimpi akan bertemu
dengan Enci di sana. Nah, demikianlah ceritanya, Enci Hong Li. Sekarang, harap
Enci juga suka menceritakan tentang diri Enci. Bagaimana Enci dapat berada di
sarang penjahat itu, bahkan menjadi tawanan? Rasanya sangat mustahil Enci
sampai dapat tertawan oleh mereka, mengingat ilmu kepandaian Enci yang sangat
tinggi!”
Hong Li
menarik napas panjang. “Aku tertipu, Yo Han.”
Lalu ia
menceritakan betapa ia hendak menyelidiki penjahat yang merampas lima ekor
kerbau milik petani dusun, dan betapa ia tertipu oleh Liok Cin dan isterinya,
anak buah penjahat sehingga ia terperangkap dan pingsan oleh asap pembius.
“Untunglah
suhu-mu datang tepat pada waktunya, Yo Han. Aku berterima kasih sekali
padanya.”
“Tapi, Enci
Hong Li. Bagaimana Enci melakukan perjalanan sendirian saja, tanpa... ahh,
maaf, tanpa suami Enci Hong Li?”
Hong Li
menundukkan mukanya yang berubah merah. Memang tidak sepantasnya jika dia
menceritakan perceraiannya kepada seorang bocah, akan tetapi bocah ini adalah
murid Sin Hong dan tentu dia akan menyampaikannya kepada Sin Hong!
“Aku aku
telah bercerai!”
“Wahhhhh...!”
Yo Han meloncat dan bersorak.
“Ihhh! Apa
kau gila? Kenapa malah bersorak?”
Yo Han duduk
kembali di atas rumput. “Maaf, Enci. Aku bersorak karena heran. Kenapa sama
benar dengan keadaan suhu? Maaf, dapatkah Enci menceritakan keadaan Enci, mengapa
bercerai? Suhu tentu akan senang sekali mendengarnya.”
Kembali
wajah Hong Li menjadi merah, akan tetapi dia menekan perasaannya. Bagai mana
pun juga, Yo Han ini masih kecil dan belum mengerti ‘urusan’.
“Seperti
juga suhu-mu, pada saat itu aku menikah tanpa rasa cinta. Setelah mendengar
bahwa gurumu menikah, aku lalu dinikahkan dengan putera Jaksa Thio di Pao-teng.
Akan tetapi, pernikahan itu gagal. Kami tidak saling cocok, dan akhirnya
bercekcok terus hingga aku minta cerai. Lalu aku melakukan perjalanan merantau
untuk menghibur diri, sampai aku terperangkap oleh penjahat itu.”
Yo Han
mengangguk-angguk. “Sungguh mati, sama benar nasib Enci dan nasib suhu. Agaknya
suhu juga merasakan hal ini dalam batinnya, maka dia pernah mengatakan kepadaku
bahwa suhu tak akan menikah lagi kecuali dengan satu-satunya wanita yang
dicintanya di dunia ini, yaitu Enci Hong Li. Dan suhu bilang bahwa...” Yo Han
diam dan menoleh ke sana-sini seolah-olah yang akan diucapkan itu rahasia besar
dan dia takut terdengar orang lain.
“Dia bilang
apa? Cepatlah katakan, Yo Han!” Hong Li tentu saja ingin tahu sekali dan
mendesaknya.
“Suhu bilang
bahwa suhu akan mencukur rambut kepalanya dan masuk menjadi hwesio kalau dalam
tahun ini dia tidak dapat bertemu dan menjadi suami Enci Hong Li.”
“Ahhh...!”
Hong Li tak dapat menahan perasaannya dan ia pun terisak menangis!
“Enci...!
Kenapa... kau menangis?”
Hong Li
menghapus air matanya. “Yo Han, katakan kepada suhu-mu... jangan... jangan dia
menjadi hwesio...”
Yo Han
mengangguk dan pada saat itu, Sin Hong muncul membawa seekor kijang yang sudah
mati, dirobohkannya kijang itu dengan sambitan batu yang mengenai kepalanya.
Hong Li sudah dapat menguasai dirinya lagi dan sekarang Hong Li dan Yo Han
sibuk menguliti dan menyayat daging kijang.
“Aku akan
mengumpulkan kayu bakar!” kata Sin Hong yang melangkah pergi.
“Mari
kubantu, Suhu!” kata Yo Han sambil melompat dan lari mengejar, meninggalkan
Hong Li seorang diri melanjutkan perjalanannya.
**************
“Suhu, tadi
teecu bicara dengan enci Hong Li,” kata Yo Han sambil memunguti ranting-ranting
kayu kering.
“Hemmm...?”
Sin Hong pura-pura tidak memperhatikan. Bagaimana pun juga, ia merasa malu
untuk memperlihatkan perhatiannya terhadap Hong Li kepada muridnya yang amat
cerdik itu.
“Tahukah
Suhu bahwa enci Hong Li telah bercerai dari suaminya?”
“Brakkk...!”
Sebongkok kayu yang sudah dikumpulkan di tangannya, kini terlepas dan kayu
kering itu jatuh ke depan kakinya.
“Ehhh?
Benarkah...?” Sin Hong cepat memunguti lagi kayu-kayu itu untuk menutupi
kekagetan dan kegembiraannya mendengar berita itu. Yo Han tersenyum sendiri.
“Benar,
Suhu. Enci Hong Li menikah karena desakan orang tua dan karena enci Hong Li
mendengar Suhu sudah menikah dengan gadis lain. Akan tetapi karena pernikahan
itu tanpa cinta, mereka hidup menderita, selalu cekcok dan akhirnya enci Hong
Li minta cerai dari suaminya. Dia lalu pergi merantau untuk menghibur dirinya
sampai akhirnya bertemu dengan Suhu di sarang penjahat itu.”
Yo Han
menceritakan dan mengulang kembali apa yang didengarnya. Sin Hong pura-pura tak
memperhatikan, tapi ia membuka kedua telinganya lebar-lebar dan menangkap semua
cerita muridnya, tidak ada sebuah kata pun terlewat.
“Apakah...
apakah ia tidak bilang bahwa ia akan menikah lagi?”
“Ia memang
mengatakan isi hatinya itu, Suhu, akan tetapi itu rahasia! Teecu mana berani
membuka rahasia hatinya kepada orang lain? Bukankah Suhu mengajarkan agar orang
dapat menyimpan rahasia orang lain?”
“Hushhh! Aku
bukan orang lain! Aku gurumu, mengerti? Hayo katakan, aku perintahkan engkau
untuk mengatakan, apa yang diucapkan oleh Hong Li kepadamu!”
Yo Han
tersenyum dan berdiri tegak. “Siap, Suhu! Enci Hong Li mengatakan bahwa ia
hanya mencinta seorang pria saja di dunia ini, yaitu Suhu sendiri! Dulu dia
menanti lamaran Suhu, akan tetapi Suhu malah menikah dengan wanita lain.
Sekarang, ia hanya mengharapkan supaya dipinang oleh Suhu. Ia hanya mau menikah
dengan Suhu, tidak dengan orang lain dan katanya lagi...” Yo Han berhenti dan
memandang ke kanan kiri.
“Ya? Lalu
bagaimana? Katakanlah, tidak ada orang lain yang mendengarkan di sini!”
“Kata enci
Hong Li, kalau Suhu tidak meminangnya untuk menjadi isteri Suhu, kalau Suhu
sampai berpisah lagi dengan enci Hong Li tanpa pinangan itu, maka enci Hong Li
tidak akan pulang.”
“Tidak
pulang? Lalu ke mana?”
“Ia mau
langsung saja pergi ke kuil dan mencukur gundul rambut kepalanya!”
“Mencukur
kepalanya?”
“Ya, untuk
menjadi nikouw (pendeta wanita)!”
“Ahhh...!”
Kembali kayu-kayu ranting itu terlepas dan runtuh. “Kau kumpulkan dan bawa kayu
ini kesana. Aku mau bicara dengan Hong Li!”
Sin Hong
berlari-lari meninggalkan muridnya! Yo Han berdiri dan tertawa-tawa seorang
diri dengan penuh kebahagiaan, lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, tidak
tergesa-gesa, bahkan berlambat-lambat!
Sin Hong
berlari bagai terbang dan dia mendapatkan Hong Li sudah selesai memotong-motong
daging kijang. Melihat dia datang dengan tangan kosong, kedua mata Hong Li
membelalak.
“Ehh, mana
kayu keringnya?” tanyanya sambil tersenyum.
Sin Hong
berdiri terpesona. Alangkah cantik jelitanya Hong Li, pikirnya, matanya yang
lebar indah itu berseri, mulutnya menahan senyum.
“Hong Li...
aku... aku mau bicara denganmu...,” kata Sin Hong gagap sambil melangkah maju
menghampiri.
Hong Li
bangkit berdiri. “Tentu saja boleh, Hong-koko. Mau bicara apakah?”
Mereka
berdiri berhadapan, dalam jarak dekat, saling pandang dan kembali dua pasang
mata bertaut, melekat dan muncul getaran aneh yang membuat dada mereka laksana
diamuk badai.
“Li-moi,
aku... aku... meminangmu untuk menjadi isteriku!”
Sepasang
mata itu makin terbelalak. Sungguh pun ucapan itu merupakan harapannya semenjak
dahulu, namun begitu tiba-tiba datangnya dan ia benar terkejut bukan main.
Wajahnya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan ia tidak tahu harus
berkata apa.
“Li-moi,
maafkan aku... akan tetapi, aku... aku cinta padamu, Li-moi, aku tidak tahan
untuk hidup jauh darimu lagi. Aku... aku ingin menjadi suamimu, selama hidup
berada di sampingmu, kau... kau... sudikah kau menjadi isteriku, Hong Li...?”
Sepasang
mata yang terbelalak lebar itu memandang wajah Sin Hong tanpa berkedip,
kemudian perlahan-lahan mata itu menjadi basah dan air matanya bercucuran. Hong
Li menangis!
“Li-moi,
kau... kau menangis...?” Sin Hong melangkah maju, akan tetapi tidak berani
menyentuh, hatinya bingung sekali melihat wanita itu menangis.
Hong Li
mengangkat mukanya dan Sin Hong makin heran. Muka itu seperti tersenyum
bahagia. Akan tetapi air mata itu bercucuran!
“Hong-ko...
be... benarkah engkau… cinta kepadaku? Benarkah engkau ingin menjadi suamiku?
Ahhh, Hong-ko...!”
Mereka
saling merangkul dan dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, penuh
kerinduan yang sudah menahun, Sin Hong mengangkat muka itu, muka yang basah air
mata dan dia pun menciumi muka itu, mengecup mata, hidung, mulut dengan sepenuh
cinta hatinya. Tak ada puasnya dia mencium muka Hong Li, bagaikan turunnya
hujan setelah langit mendung gelap dan tebal. Hong Li menerimanya dengan
pasrah, dengan bahagia, kadang-kadang membalas dengan malu-malu, bagaikan
setangkai bunga yang menjadi segar tersiram air hujan.
Setelah
melepaskan kerinduan hati masing-masing, sampai kedua pasang kaki mereka
gemetar. Sin Hong menarik tubuh kekasihnya itu, dipangkunya di atas rumput dan
dengan sikap manja Hong Li menyandarkan mukanya di atas dada Sin Hong.
“Hong-koko...
“
“Hemmm...?”
“Kau... kau
jangan menjadi... hwesio...!”
“Jadi
hwesio?”
“Katanya,
kalau aku tidak mau menjadi isterimu, engkau akan menjadi hwesio...?”
“Kata
siapa?”
“Yo Han!”
“Hemmm,
tidak, Sayang. Engkau sudah menerima pinanganku, bukan? Kalau engkau menolak,
bukan hanya menjadi hwesio, bahkan aku akan menjadi gila. Dan engkau pun jangan
masuk kuil mencukur rambutmu yang indah ini dan menjadi nikouw!”
“Ehhh? Siapa
jadi nikouw?”
“Katanya,
kalau aku tidak meminangmu, engkau akan mencukur rambutmu dan menjadi nikouw?”
“Siapa
bilang?”
“Yo Han!”
Keduanya
tertawa dan kembali mulut mereka saling bertemu dalam sebuah ciuman yang
menumpahkan seluruh curahan kasih sayang dan kerinduan hati mereka. Barulah
terasa oleh mereka berdua, betapa selama ini mereka kehilangan kebahagiaan
mereka, kehilangan orang yang mereka cinta dan rindukan.
Yo Han
datang perlahan-lahan. Ketika melihat dia, Hong Li hendak menjauhkan diri dari
kekasihnya, akan tetapi Sin Hong memeluknya makin erat, lalu memanggil, “Yo
Han, ke sini kau!”
“Ya, Suhu “
Dengan sikap
takut-takut Yo Han melangkah maju mendekat dan setelah menurunkan sebongkok
besar kayu kering, dia kemudian menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri
berlutut karena gurunya duduk di atas tanah berumput.
“Kau bocah
pembohong besar!” Sin Hong membentak. “Apa yang sudah kau katakan kepada Hong
Li?”
“Mengatakan
apa, Suhu?”
“Tentang
menjadi hwesio!”
“Dan apa
yang kau katakan kepada suhu-mu tentang menjadi nikouw, Yo Han?” Hong Li juga
bertanya.
Yo Han
menjadi bingung dan ketakutan. Lalu dia memberi hormat sambil berlutut.
“Teecu...
teecu minta maaf, teecu bersalah... teecu siap dihukum...”
“Maju ke
sini kau!” bentak Sin Hong.
Yo Han
merangkak maju dan setelah dekat, Sin Hong lalu merangkulnya. Juga Hong Li
merangkulnya, bahkan mencium pipi anak itu. Keduanya tertawa-tawa sehingga Yo
Han membelalakkan matanya dan ikut tertawa gembira.
“Kau... kau
anak nakal... kami berterima kasih kepadamu, Yo Han. Biarlah aku yang mintakan
ampun kepada suhu-mu untuk kesalahanmu,” kata Hong Li.
Yo Han
memberi hormat. “Terima kasih... terima kasih, Subo!” Disebut subo, Hong Li
tertawa lagi dan ketiganya tertawa gembira.
“Aihhh,
perutku lapar sekali!” Sin Hong berkata.
“Aku juga!”
kata Hong Li.
“Teecu
juga!” sambung Yo Han.
Mereka
bertiga segera membuat api unggun untuk memanggang daging kijang itu. Api
unggun bernyala dan berkobar, terang dan indah, seterang dan seindah masa depan
mereka.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment