Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 13
Hong Li
membaca surat itu dan tidak dapat ditahannya lagi air matanya yang jatuh
berderai. Ayah dan ibunya, Kao Cin Liong dan Suma Hui, duduk di depannya dan
suami isteri itu saling pandang, lalu menatap wajah puteri mereka dengan hati
terharu. Mereka berdua sudah lama membujuk Hong Li agar suka menjatuhkan
pilihannya. Sudah terlalu banyak pemuda yang datang meminangnya, akan tetapi
gadis itu selalu menolak.
Walau pun
puteri mereka tidak mengaku terus terang, suami isteri itu dapat mengerti bahwa
Hong Li mencinta Sin Hong dan selalu menanti datangnya pemuda yang masih
terhitung susiok-nya itu. Dan karena cintanya itulah maka Hong Li masih belum
mau menerima pinangan sekian banyaknya pemuda pilihan.
Dan pada
pagi ini, tiba-tiba suami isteri itu menerima sepucuk surat dari Tan Sin Hong,
mengabarkan bahwa pemuda itu telah menikah dengan puteri ketua Ngo-heng Bu-koan
di kota Lu-jiang. Sesudah membaca surat ini, mereka bersepakat untuk membiarkan
puteri mereka membacanya. Dan pada siang hari itu, di depan ayah bundanya, Hong
Li membaca surat Sin Hong.
Sin Hong
telah menikah dengan wanita lain! Begitu membaca surat itu, dunia rasanya gelap
bagi Hong Li dan tanpa dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di
atas kedua pipinya setelah ia membaca surat itu. Surat itu terlepas dari
tangannya dan ia menubruk ibunya sambil menangis!
Suma Hui
lalu merangkul puterinya, juga berlinang air mata. Ia merasa kasihan sekali
kepada puterinya. Tanpa sepatah pun kata, kedua orang wanita ini saling
berangkulan dan sang ibu tahu benar apa yang dirasakan oleh batin puterinya.
“Sudahlah,
anakku. Tenangkan hatimu, tabahkan hatimu. Ada tiga hal dalam hidup ini yang
tidak dikuasai oleh manusia, melainkan diatur oleh Thian sendiri, yaitu
kelahiran, pernikahan dan kematian. Jika dua orang telah berjodoh, dihalangi
bagaimana pun juga akhirnya akan bertemu dan menjadi jodoh. Sebaliknya kalau
memang tidak berjodoh, diusahakan bagaimana pun, akan gagal.”
“Akan
tetapi... Ibu..., dia... kenapa dia menikah begitu saja... kenapa tidak memberi
tahu lebih dulu kepadaku... padahal... dia tahu... bahwa aku... aku mengharapkan
dia…”
“Sudahlah
Hong Li, seorang gagah tidak membiarkan perasaannya hanyut dalam sesal, kecewa
dan duka,” kata Kao Cin Liong dengan sikap tenang. “Agaknya Sin Hong sute
merasa bahwa tidak mungkin dia berjodoh dengan murid keponakannya sendiri, maka
dia menikah dengan gadis lain. Segala sesuatu sudah terjadi dan tidak perlu
disesalkan lagi. Sekarang, kuharap engkau berani menghadapi kenyataan dan
pilihlah seorang di antara para peminang yang masih menanti keputusan kita.”
Semangat
Hong Li bangkit mendengar ucapan ayahnya. Ia menghapus sisa air matanya dengan
ujung baju ibunya, lalu mundur memisahkan diri dari ibunya, duduk di atas kursi
memandang kepada ayah bundanya, lalu berkata dengan suara yang tenang.
“Ayah dan
Ibu ingin sekali agar aku menikah?”
Suami isteri
itu saling pandang dan Suma Hui tersenyum. “Anakku, pertanyaanmu itu sungguh
lucu. Engkau adalah anak kami satu-satunya. Engkau adalah seorang anak
perempuan dan sekarang engkau telah lebih dari dewasa. Usiamu sudah dua puluh
dua tahun. Ayah dan ibu mana yang tidak ingin melihat anak perempuannya
menikah?”
“Bagaimana
dengan Ayah?” tanya Hong Li sambil memandang ayahnya.
Kao Cin
Liong batuk-batuk beberapa kali sebelum menjawab. “Aku setuju sekali dengan
pendapat ibumu. Aku sudah ingin menjadi seorang kakek, menimang cucuku, Hong
Li.”
Mendengar
ucapan ayahnya ini, Hong Li merasa terharu sekali dan ia merasa betapa ia
seorang anak yang tidak berbakti, tidak dapat menyenangkan hati orang tuanya.
“Baiklah,
Ayah dan Ibu. Sekarang aku akan menurut, akan tetapi aku tak dapat memilih,
Ayah, maka harap Ayah dan Ibu yang memilihkan untukku. Aku tidak akan menolak
lagi...“ Setelah berkata demikian, Hong Li bangkit, meninggalkan mereka dan
memasuki kamarnya lalu melempar tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan
mukanya di balik bantal.
Meski pun
hati mereka diliputi keharuan dan iba terhadap puteri mereka, namun ada
perasaan gembira bahwa kini Hong Li tidak menolak. Mereka berdua lalu melakukan
pemilihan dan akhirnya memilih seorang pemuda bernama Thio Hui Kong, seorang
putera jaksa yang tampan dan juga memiliki ilmu silat yang cukup kuat di
samping ilmu sastra yang cukup baik.
Thio Hui
Kong adalah putera tunggal dari Jaksa Thio dan pembesar ini terkenal sebagai
seorang jaksa yang adil dan jujur. Thio Hui Kong itu pun terkenal pula sebagai
seorang pemuda yang alim, dan tekun belajar. Kao Cin Liong dan isterinya merasa
yakin bahwa mereka tidak salah pilih. Sudah lama Jaksa Thio meminang dan selalu
mereka minta waktu dan kini dengan gembira mereka menerima pinangan itu.
Pada waktu
diberi tahu oleh ayah ibunya bahwa telah ditemukan seorang calon suami
untuknya, Hong Li hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu, akan tetapi di
dalam hatinya, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, dia menahan perasaannya
karena dia harus berbakti kepada orang tuanya. Kalau menurut kehendak hatinya,
rasanya ia tidak ingin menikah setelah harapannya terhadap Sin Hong gagal.
Akan tetapi,
ia adalah anak tunggal. Jika ia tak dapat menyenangkan hati orang tuanya,
berarti dia seorang anak yang tidak berbakti dan hal itu sungguh tidak
diinginkannya. Biarlah ia menerima pilihan orang tuanya dan menyerahkan diri
kepada nasib.
Pernikahan
antara Hong Li dan Thio Hui Kong dirayakan secara meriah oleh keluarga Kao.
Maklum, Hong Li adalah anak tunggal dan keadaan orang tuanya memungkinkan untuk
merayakan pernikahan itu secara besar-besaran. Selain itu, juga Thio Hui Kong
adalah putera dan anak tunggal Jaksa Thio yang terkenal. Tidak mengherankan
kalau pesta pernikahan itu dirayakan secara besar-besaran dan banyak tamu
diundang untuk menghadiri perayaan itu.
Di antara
para tamu, datang pula Tan Sin Hong bersama isterinya. Yo Han tidak diajak
walau pun di dalam hatinya, Yo Han ingin sekali menghadiri pesta pernikahan
Hong Li yang sudah dikenalnya dengan baik itu.
Berdebar
juga rasa jantung di dalam dada Sin Hong pada saat dia bersama isterinya
memasuki ruangan pesta dengan para tamu lainnya, disambut oleh Kao Cin Liong
dan isterinya yang duduk di panggung sebagai tuan rumah, tidak begitu jauh
dengan tempat duduk sepasang mempelai yang berada di tengah panggung.
Kao Cin
Liong dan isterinya hanya dapat menyambut Sin Hong dan isterinya dengan singkat
saja karena banyaknya tamu yang berbondong-bondong datang bersamaan waktunya
dengan Sin Hong. Mereka dipersilakan untuk duduk di ruangan tamu yang sudah
disediakan, di depan panggung di mana terdapat ratusan buah kursi. Lebih dari
separuh ruangan itu telah penuh tamu.
Akan tetapi,
Sin Hong tidak langsung duduk di ruangan tamu, melainkan mengajak isterinya
untuk menghampiri sepasang mempelai dan memberi selamat. Dia tak merasa kikuk
karena bukankah dia masih termasuk keluarga, walau pun hanya sute dari tuan
rumah? Dia sudah memberi penjelasan kepada isterinya siapa keluarga Kao dan
tentu saja dia tak pernah menyinggung soal hubungan batin antara dia dan
mempelai wanita kepada isterinya.
Dari jauh
Sin Hong dapat melihat betapa Hong Li nampak cantik jelita dalam pakaian
mempelai, namun wajah Hong Li kelihatan lesu dan tidak membayangkan
kegembiraan. Di sampingnya duduk mempelai pria dan di dalam hatinya, Sin Hong
bersyukur melihat betapa gagah dan tampannya mempelai pria itu. Syukurlah, Hong
Li telah memperoleh seorang jodoh yang memang pantas untuk mendampinginya
selama hidup, pikirnya sambil mengajak isterinya melangkah maju perlahan-lahan
menghampiri tempat duduk sepasang mempelai.
“Nona Kao
Hong Li, kami mengucapkan selamat atas pernikahanmu, semoga kalian mempelai
berdua hidup berbahagia,” berkata Sin Hong yang mengajak isterinya untuk
mengangkat tangan ke depan dada memberi hormat.
Hong Li
memandang dan mata mempelai wanita itu terbelalak ketika ia mengenal Sin Hong.
Bedak tebal yang menutupi wajahnya masih dapat menyembunyikan perubahan mukanya
yang langsung berubah menjadi pucat sekali.
“Kau... kau…
Susiok...,“ katanya berbisik. “Dan ini isteri Susiok...?”
Sin Hong
mengangguk dan tersenyum. “Benar, ini adalah isteriku.”
Hong Li
menoleh kepada suaminya dan memperkenalkan. “Ini Susiok Tan Sin Hong dan
isterinya, dari kota Lu-jiang.”
Tadinya Thio
Hui Kong mengerutkan alisnya, tetapi ketika mendengar bahwa sepasang orang muda
yang memberi selamat kepada isterinya ini adalah susiok (paman guru) isterinya,
kerut di alisnya lenyap dan dia pun cepat membalas pemberian selamat itu sambil
tersenyum. Sin Hong kemudian menggandeng tangan isterinya, diajaknya pergi
meninggalkan sepasang mempelai untuk turut duduk di ruangan yang sudah
disediakan untuk para tamu.
Akan tetapi,
baru beberapa langkah saja Sin Hong dan isterinya meninggalkan tempat itu,
terdengar Hong Li mengeluh lalu disusul suara ribut-ribut dari para wanita yang
mengerumuni sepasang pengantin untuk melayani mereka. Ternyata pengantin wanita
telah roboh pingsan dalam kursinya!
Tentu saja
keadaan menjadi agak sibuk. Kao Cin Liong dan isterinya cepat menghampiri
puteri mereka dan setelah memeriksanya, Kao Cin Liong berkata kepada para tamu
yang mendekat bahwa puterinya terlalu lelah, kurang tidur dan perutnya kosong
selama dua hari ini sehingga masuk angin!
Pengantin
wanita lalu dipondong masuk ke dalam oleh suaminya dan pesta dilanjutkan tanpa
adanya sepasang mempelai. Keluarga tuan rumah tetap melayani tamu dan memang
Kao Cin Liong dan isterinya tidak mengkhawatirkan keadaan puteri mereka walau
pun mereka saling pandang dan maklum bahwa kehadiran Sin Hong itulah yang
membuat puteri mereka mengalami guncangan batin dan menjadi pingsan!
Sementara
itu, Sin Hong yang merasa berduka sekali melihat Hong Li roboh pingsan, hal
yang menjadi pertanyaan besar di dalam hatinya, mengajak isterinya ke ruangan
yang disediakan untuk para tamu. Diam-diam dia merasa khawatir sekali.
Hong Li
adalah seorang gadis yang keras hati dan tabah, juga gagah perkasa sehingga
tidak mudah sakit, apa lagi masuk angin! Tentu ada sesuatu yang menyebabkan
gadis itu pingsan, dan dia merasa khawatir sekali karena gadis itu pingsan
setelah bertemu dengan dia! Agaknya Bhe Siang Cun juga menduga akan hal ini dan
isteri itu cemberut, alisnya berkerut dan terasa betapa tangan dan lengannya
kaku ketika digandengnya menuju ke ruangan tamu.
“Hemmm,
kiranya ada apa-apa antara paman dan keponakan! Bagus, ya?” kata Siang Cun
dengan suara berbisik, namun dalam suara itu terkandung penyesalan besar.
“Hushhh,
jangan menyangka yang bukan-bukan!” balas Sin Hong, juga berbisik, akan tetapi
dia merasa betapa jurang antara dia dan isterinya menjadi semakin lebar dan
kini agaknya tidak ditutupi lagi dengan kepura-puraan yang manis dan mesra.
Isterinya jelas memperlihatkan kekurang senangan hatinya dengan muka merengut
dan pandang mata marah, juga kini isterinya melepaskan tangannya yang
digandeng!
“Cun
Sumoi...!” Tiba-tiba terdengar seruan seorang pria di antara para tamu.
Siang Cun
menoleh dan seketika wajah yang merengut tadi menjadi cerah, berseri dan
senyumnya manis sekali ketika dia mengenal pria muda yang menegurnya itu. Pria
itu adalah seorang di antara para suheng-nya, murid ayahnya yang sudah beberapa
tahun meninggalkan perguruan.
Suheng-nya
itu bernama Ciang Kun, dan ketika ia berusia lima belas tahun, antara ia dan
suheng-nya itu terjalin semacam cinta monyet atau cinta antara dua orang
remaja. Cinta itu terputus ketika Ciang Kun meninggalkan perguruan dan orang
tuanya pindah dari kota Lu-jiang ke kota raja. Tak disangkanya di tempat ini ia
akan berjumpa dengan suheng-nya yang pernah disayangnya dan pernah
dirindukannya itu.
“Kun-suheng...
! Kau di sini? Mana isterimu?” tanya Siang Cun sambil memandang dan kedua
pipinya berubah kemerahan.
Pemuda yang
jangkung dan tampan itu tersenyum lalu menggelengkan kepalanya dan menggoyang
tangan kanan, tanda bahwa dia belum menikah. Karena banyak di antara para tamu
memandang kepada mereka, tentu saja mereka tidak dapat leluasa bicara.
“Kun-suheng,
datanglah ke Lu-jiang, kami semua sudah rindu padamu!”
Ciang Kun
mengangguk. “Baik, aku akan datang berkunjung.”
Percakapan
itu hanya sampai di situ saja. Mereka harus berpisah sebab terpaksa Siang Cun
bersama suaminya mencari tempat kosong di ruangan yang disediakan untuk para
tamu yang berpasangan, yaitu suami isteri yang datang berdua. Ada tiga ruangan
untuk para tamu, yaitu bagian pria, bagian wanita, dan bagian untuk para tamu
yang datang bersama isteri atau suami mereka.
Siang Cun
memilih meja yang masih kosong. Meja itu dikelilingi delapan buah bangku dan
belum ada seorang pun tamu yang duduk di situ. Kesempatan duduk berdua ini
digunakan oleh Siang Cun untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.
Mereka
saling berpandangan, duduk bersanding menghadapi meja bundar. Tak seorang pun
di antara mereka bicara, hanya pandang mata mereka seperti saling menjenguk isi
hati mereka.
Kemudian
Siang Cun lebih dulu berkata, “Engkau tidak bertanya siapa pria muda yang
menegurku tadi?” Ia sengaja memancing pertengkaran.
Akan tetapi
Sin Hong merasa malu kalau harus bertengkar dengan isterinya di tempat pesta
itu. Dia tersenyum dan menjawab halus, “Tanpa bertanya pun aku sudah dapat
menduga bahwa dia tentulah salah seorang suheng-mu yang sudah lama tak bertemu
denganmu.”
Mendengar
suara suaminya yang lembut dan sikapnya yang tenang, agak berkurang kemarahan
Siang Cun yang bangkit karena cemburu itu. “Dia seorang suheng-ku yang
terpandai dan sudah empat atau lima tahun kami tidak saling berjumpa. Aku
gembira sekali dapat bertemu dengan dia di sini! Ketika kita menikah, ayah
tidak dapat mengirim undangan karena tidak tahu di mana dia tinggal.”
Sin Hong
tetap tersenyum dan mengangguk. Bagi dia, pertemuan itu sudah sewajarnya kalau
mendatangkan kegembiraan. Dia masih merasa terharu dan tegang mengenang Hong Li
yang roboh pingsan tadi. Pikirannya penuh dengan itu sehingga dia hampir tak
memperhatikan keadaan isterinya dan pertemuan antara isterinya dan suheng
isterinya itu pun dilupakannya lagi.
Saat melihat
suaminya termenung, Siang Cun segera berkata, “Sebaliknya, pertemuan dengan
murid keponakanmu yang menjadi pengantin itu agaknya sudah menimbulkan kenangan
pahit sehingga dia sampai roboh pingsan. Sebenarnya, ada apakah antara kalian?”
“Tidak ada
apa-apa,” berkata Sin Hong sambil menggelengkan kepalanya dengan wajah diliputi
kedukaan.
“Tidak
mungkin! Tentu ada hubungan yang istimewa, kalau tidak begitu, tak mungkin ia
jatuh pingsan begitu bertemu dan bicara denganmu!” kata Siang Cun yang
meninggikan suaranya sehingga beberapa buah kepala menoleh ke arah mereka.
Sin Hong
mengerutkan alisnya, berbisik, “Tenanglah, di sini bukan tempat untuk
ribut-ribut. Nanti saja kita bicara tentang itu dan aku akan menerangkan
segalanya.”
Siang Cun
mengangguk, akan tetapi selanjutnya ia bersungut-sungut. Meja itu dipenuhi para
tamu yang berdatangan dan mereka pun mulai pesta makan minum hidangan yang
disuguhkan.
Setelah
pesta berakhir, para tamu bubaran dan Sin Hong bersama isterinya juga lalu
berpamit dari tuan rumah. Ketika mereka berkesempatan untuk minta diri dari Kao
Cin Liong dan Suma Hui, Sin Hong merasa sepatutnya kalau dia bertanya tentang
keadaan Hong Li.
“Suheng,
bagaimana dengan kesehatan puterimu? Kuharap dia sudah sehat kembali, Suheng.”
Kao Cin
Liong memandang pada sute-nya dengan alis berkerut. Ia tidak menyalahkan
sute-nya ini, akan tetapi hanya menyesali pertemuan antara puterinya itu dengan
Sin Hong yang mengakibatkan puterinya mengalami guncangan batin.
“Ia sudah
sehat kembali, terima kasih, Sute.”
Dalam
perjalanan pulang ke Lu-jiang, barulah Siang Cun mendapat kesempatan untuk
menuntut agar suaminya suka bicara terus terang mengenai hubungannya dengan Kao
Hong Li. Sin Hong menarik napas panjang.
Sebetulnya,
urusannya dengan Hong Li adalah urusan yang hanya dia ketahui sendiri saja,
mengenai perasaan batin antara mereka dan tidak akan diceritakan kepada siapa
pun juga. Akan tetapi, tak disangkanya bahwa kehadirannya dalam pesta
pernikahan Hong Li itu membuat Hong Li menderita dan isterinya menjadi curiga
dan cemburu. Kalau dia tidak bicara terus terang, tentu hubungannya dengan
isterinya akan menjadi semakin buruk.
“Sesungguhnya,
sama sekali tidak ada apa-apa di antara kami yang perlu dicurigai,” katanya,
mencoba untuk membantah.
“Tidak perlu
berbohong. Aku adalah seorang wanita dan aku tahu apa yang telah terjadi.
Begitu bertemu denganmu, ia menderita guncangan hebat. Biar pun mukanya
tertutup bedak tebal sehingga tidak nampak, aku tahu bahwa dia menjadi
terkejut, pucat dan matanya membayangkan kedukaan yang amat mendalam. Suaranya
juga menjadi lain, menggetar penuh keharuan. Tidak perlu membohongi aku lagi,
ada hubungan. istimewa apakah antara kalian?”
“Baiklah,
Siang Cun, kalau memang engkau ingin sekali mengetahui, aku pun akan berterus
terang saja. Memang tidak dapat kusangkal bahwa dahulu ada pertalian batin
antara kami. Kami saling mencinta walau pun kami tidak pernah menyatakan hal
itu dengan kata-kata. Ketahuilah bahwa Hong Li adalah putera suheng-ku, oleh
karena itu kami mengetahui bahwa tidak mungkin menjadi suami isteri. Karena
itu, maka aku lalu pergi meninggalkannya, merantau bersama muridku dan aku tiba
di Lu-jiang, lalu terlibat dalam urusan antara Ngo-heng Bu-koan dan
Kim-liong-pang. Sungguh mati, tidak ada hubungan yang buruk dan cemar di antara
kami.”
Siang Cun
mendengarkan dengan muka yang berubah agak pucat. “Jadi... jadi itukah
sebabnya?” katanya, seperti kepada diri sendiri.
“Apa
maksudmu? Sebab apa?”
“Jadi selama
ini, hatimu telah dimiliki orang lain, engkau selama ini tak pernah berhenti
mencintanya? Ahhh, kalau saja aku tahu...,“ Siang Cun mulai menangis. “Pantas
kau... kau yang menjadi suamiku tidak pernah mencintaku...!”
Sin Hong
terkejut dan menyentuh lengan isterinya. “Jangan bicara seperti itu, isteriku.
Apakah selama menjadi suamimu aku pernah menyakiti hatimu? Bukankan aku selalu
berusaha untuk menjadi seorang suami yang baik? Aku selalu setia, aku membantu
pekerjaan ayahmu, aku tidak pernah bersikap kasar padamu, aku...“
“Aku tahu!
Akan tetapi semua itu palsu, hanya pura-pura. Keramahan dan kemesraan yang
dibuat-buat. Palsu! Engkau tidak pernah cinta padaku!” Siang Cun menangis dan
merebahkan kepalanya di atas meja dalam kamar hotel itu, menyembunyikan muka di
dalam lingkaran lengannya.
Sin Hong
memandang kepala isterinya itu dengan bingung. Dia seorang laki-laki yang belum
berpengalaman sehingga dia tidak dapat menyelami hati wanita, tidak mengenal
watak wanita pada umumnya.
Wanita
selalu haus kasih sayang dari orang lain, terutama kasih sayang pria. Tidak ada
kepedihan hati yang lebih hebat bagi seorang wanita dari pada merasa tidak
dicinta pria! Apa lagi bagi seorang isteri! Yang didambakannya hanyalah kasih
sayang suaminya, kasih sayang yang kadang-kadang harus diperlihatkan melalui
pemanjaan!
“Jika memang
tak pernah cinta kepadaku, kenapa engkau dulu suka menjadi suamiku? Ahh, engkau
hanya ingin menyiksa hatiku, ingin membuat aku sengsara!” Kembali Siang Cun
berkata sambil menangis. Sin Hong menjadi semakin penasaran ketika masa lalu
itu diungkit-ungkit.
“Siang Cun,
engkau sungguh bersikap tidak adil sama sekali!” katanya dan walau pun suaranya
masih lembut dan tenang, namun hatinya mulai panas. “Lupakah engkau akan
keadaanmu dulu? Engkau hendak membunuh diri jika tidak kuperisteri, karena
merasa malu dan untuk menghapus aib aku harus menjadi suamimu. Aku kasihan
kepadamu, kepada orang tuamu, dan aku melihat engkau adalah seorang calon
isteri yang baik, aku melihat Ngo-heng Bu-koan sebuah tempat dan lingkungan yang
baik untuk muridku. Karena itu aku menerima usul ayahmu dan aku menjadi
suamimu. Aku sudah berusaha untuk memupuk cinta kasih antara kita. Akan tetapi
bagaimana mungkin berhasil kalau dari pihakmu tidak ada bantuan? Engkau sendiri
tidak cinta padaku, Siang Cun.”
Tiba-tiba
wanita itu mengangkat mukanya dan muka itu basah air mata, kedua matanya merah.
“Tidak cinta kau bilang? Aku sudah menyerahkan kehormatanku, seluruh diriku,
melayanimu tanpa mengeluh, dan kau masih bilang aku tidak cinta kepadamu?” Siang
Cun menangis lagi dan Sin Hong termenung.
Jadi
begitukah pendapat isterinya? Karena sudah menyerahkan diri kepadanya, sudah
melayaninya, itukah bukti bahwa isterinya mencintanya? Dia sama sekali tidak
pernah merasakan kasih sayang isterinya melalui penyerahan diri itu.
Isterinya
melakukan hal itu hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri
terhadap suami, lain tidak. Tak ada kasih sayang terkandung dalam pandang
matanya, dalam suaranya, atau dalam sentuhan tangannya.
Agar tidak
mendatangkan percekcokan dan pertengkaran yang lebih jauh, dia pun diam saja.
Selanjutnya perjalanan pulang itu dilakukan tanpa kata-kata antara mereka,
hanya bicara kalau perlu saja dan selebihnya hanya gelengan atau anggukan!
Setelah
mereka berdua tiba di Lu-jiang, mulai saat itu terdapat suatu keretakan atau
kerenggangan di antara mereka. Mulailah keduanya merasa tersiksa. Terjadi
semacam perang dingin di antara mereka, tidak saling menegur dan hanya bicara
seperlunya saja. Tidur pun mereka saling membelakangi, bahkan akhirnya karena
tak tahan menghadapi keadaan seperti itu, Sin Hong tidur di atas lantai,
membiarkan isterinya tidur sendiri di atas pembaringan mereka.
Akan tetapi
di luar kamar, terutama di depan Bhe Gun Ek dan isterinya, suami isteri ini
memaksa diri bersandiwara dan bersikap biasa saja. Biar pun demikian, Bhe
Kauwsu dan isterinya dapat melihat perubahan sikap mereka dan menduga bahwa
tentu ada sesuatu yang mengganggu keakraban puteri dan mantu mereka itu.
Kunjungan
Ciang Kun, bekas murid Bhe Kauwsu, mendatangkan kegembiraan pada diri Siang
Cun. Wanita muda ini menyambut suheng-nya dengan sikap gembira dan akrab
sekali, dan sebaliknya Ciang Kun juga jelas memancarkan sinar kasih sayang dan
birahi dalam pandang matanya terhadap sumoi-nya itu.
Hal ini
nampak jelas oleh Sin Hong, akan tetapi dia diam saja dan pura-pura tidak tahu
akan hal ini, bersikap wajar terhadap Ciang Kun. Akan tetapi, kunjungan Ciang
Kun ini makin memperlebar jurang pemisah antara suami isteri muda yang belum
ada setahun menjadi suami isteri itu, dan membuat Sin Hong makin sering melamun
seorang diri.
“Suhu,
kenapa Suhu kelihatan berduka selalu selama beberapa hari ini? Apa lagi sejak
Suhu pulang dari menghadiri pernikahan enci Hong Li, Suhu nampak semakin berduka
saja dan banyak melamun. Ada urusan apakah, Suhu?”
Sin Hong
memaksa diri tersenyum. Ia tak heran melihat ketajaman mata muridnya dan
keberanian muridnya bertanya kepadanya. Muridnya ini memang lebih pantas
menjadi adiknya atau keluarga yang amat dekat, yang amat sayang kepadanya, juga
amat setia dan berbakti.
“Tidak ada
apa-apa, Yo Han. Ini urusan orang dewasa, keberi tahu pun engkau tidak akan
mengerti.”
Anak itu
mengamati wajah gurunya beberapa lamanya. Dia sangat hafal akan wajah gurunya
yang selalu diterangi kelembutan itu, maka dia melihat perubahan yang amat
besar pada wajah itu. Kini gurunya nampak seperti orang yang berduka, ada
garis-garis di sekeliling kedua matanya dan kerut merut di antara kedua
alisnya. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada gurunya.
“Suhu,
apakah ada sesuatu yang buruk antara Suhu dan Subo?”
Sin Hong
terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang muridnya. “Yo Han!
Omongan apa yang kau keluarkan itu? Jangan sembarangan bicara kau! Berani kau
mengatakan begitu tentang subo-mu (ibu gurumu)?” Biar pun berlawanan dengan
suara hatinya, Sin Hong terpaksa membentak dan menegur muridnya karena sikapnya
ini memang sudah sepatutnya dan Yo Han terlalu berani bicara.
“Suhu, teecu
tidak bicara ngawur atau sembarangan saja, melainkan dengan alasan kuat, dan
teecu bukan sekedar ingin tahu, melainkan teecu ingin sedapat mungkin membantu
Suhu mengatasi kedukaan Suhu. Tadi Suhu mengatakan bahwa urusan itu adalah
urusan orang dewasa, berarti Suhu mempunyai masalah dengan mertua atau dengan
isteri. Tetapi mengingat bahwa Suhu baru saja pergi ke undangan pernikahan
puteri supek di Pao-teng bersama Subo, dan mengingat pula akan hubungan cinta
antara Suhu dan enci Hong Li dahulu, maka teecu menduga bahwa tentu ada sesuatu
yang buruk terjadi antara Suhu dan Subo. Suhu adalah seorang yang bijaksana dan
gagah, mengapa Suhu harus tenggelam dalam kedukaan dan tidak bertindak
mengatasi semua masalah sehingga beres?”
Sin Hong
diam-diam terkejut dan juga kagum. Muridnya ini memang memiliki kecerdikan yang
luar biasa dan jalan pikirannya sudah demikian dewasa. Apakah hal ini karena
gemblengan keadaan hidupnya yang penuh derita, ataukah memang pembawaan yang
dibawa semenjak lahir, dia tidak tahu. Dia menarik napas panjang, tidak jadi
marah mengingat bahwa kelancangan muridnya ini terdorong oleh rasa cintanya
kepadanya, keinginannya untuk membantu.
“Sudahlah,
Yo Han. Urusanku ini tidak dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, apa lagi
kepada engkau yang masih kecil. Engkau takkan dapat membantu, tak seorang pun
di dunia ini akan dapat membantu. Hanya Thian saja yang akan dapat menjernihkan
persoalan ini. Sudah, jangan ganggu aku lebih lama lagi. Pergilah berlatih,
bukankah engkau mengalami kesulitan dengan jurus kedua belas dari Pat-mo
Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) itu? Latihlah lagi dengan tekun, akan
tetapi di dalam kamarmu, jangan perlihatkan kepada murid Ngo-heng Bu-koan yang
lain.”
“Baik, Suhu,
dan maafkan teecu. Akan tetapi ada satu pertanyaan lain mengenai latihan ini.
Suhu mengajarkan Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun kepada teecu, akan tetapi
kenapa tidak kepada para murid lain?”
Sin Hong
tersenyum. “Yo Han, engkaulah satu-satunya muridku, oleh karena itu engkau
berhak mempelajari ilmu-ilmu yang kudapatkan dari para penghuni Istana Gurun
Pasir. Murid-murid Ngo-heng Bu-koan tentu saja hanya mempelajari ilmu silat
yang diajarkan di perguruan ini oleh ayah mertuaku, dan aku hanya sekedar
membantu mereka dalam memperbaiki gerakan mereka saja.”
“Terima
kasih, Suhu, sekarang teecu mengerti. Dan maafkan kelancangan teecu tadi,
sesungguhnya teecu hanya ikut merasa prihatin dan ingin sekali membantu.”
“Aku
mengerti, sudahlah, kau berlatih sana Yo Han!” kata Sin Hong sambil mengangguk
dan tersenyum.
Perih hati
Yo Han melihat senyum suhu-nya itu. Tidak begitu senyum suhu-nya dahulu. Dulu
suhu-nya kalau tersenyum, bebas lepas dan memancarkan kebahagiaan hatinya.
Kini, senyum itu pahit dan seperti di luar saja, menutupi sesuatu yang
menyedihkan, senyum hiburan saja.
Yo Han
merasa penasaran sekali. Ia dapat menduga bahwa tentu ada ‘apa-apa’ antara
suhu-nya dan subo-nya. Ia seorang anak yang cerdik sekali. Ia pun melihat
kedatangan Ciang Kun yang disambut demikian gembira oleh subo-nya.
Sebagai
seorang anak yang cerdik dan amat disukai oleh para murid lain di Ngo-heng
Bu-koan, akhirnya Yo Han dapat mengorek keterangan bahwa Ciang Kun adalah murid
Ngo-heng Bu-koan yang sudah beberapa tahun meninggalkan perguruan dan pindah ke
kota raja, dan terutama sekali keterangan bahwa antara Ciang Kun dan subo-nya
itu pernah terjalin hubungan cinta pada saat keduanya masih remaja! Inikah
masalah yang menyedihkan hati gurunya?
Akan tetapi,
gurunya itu sudah berduka dan berubah lama sebelum Ciang Kun muncul! Bagaimana
pun juga, dia merasa amat penasaran dan karena dia merasa yakin bahwa kedukaan
gurunya itu karena ada sesuatu dengan isteri gurunya, maka dia pun ingin
menyelidiki keadaan subo-nya! Hanya itulah yang dapat dia lakukan dalam
usahanya membantu gurunya. Dia akan menyelidiki subo-nya, mendekati subo-nya
dan kalau mungkin memancing keterangan dari subo-nya!
Pada suatu
malam yang sunyi. Sejak siang tadi, gurunya pergi dan kepada semua keluarga
berpamit hendak pergi berburu ke dalam hutan di sebelah barat karena banyak
penduduk di lembah Yang-ce sekitar hutan itu yang mengeluh akan adanya gangguan
harimau yang mengganas sampai ke dusun-dusun. Mendengar ini, Sin Hong lalu
pergi untuk berburu harimau yang mengganggu penduduk itu, yang kabarnya bahkan
sudah membunuh tiga orang penduduk dusun.
Dia tidak
mengajak Yo Han karena maklum bahwa dalam perburuan ini terdapat bahaya besar
bagi orang yang belum memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Yo Han berlatih
silat di kamarnya, kemudian setelah sunyi dia meninggalkan kamarnya dan
berindap pergi ke dalam taman. Dia bermaksud untuk berlatih di dalam taman itu
yang hawanya sejuk dan malam itu malam terang bulan.
Akan tetapi
ia harus berhati-hati, keluar dari kamarnya dengan sembunyi-sembunyi agar
jangan terlihat oleh murid lain. Tentu gurunya akan ditegur oleh para murid
lain kalau mereka melihat dia berlatih dalam ilmu silat yang asing, dan mungkin
para murid itu lalu menuntut kepada gurunya untuk mengajarkan ilmu silat itu
pula.
Yo Han
menyelinap di antara pohon-pohon sehingga akhirnya dia tiba di tengah taman di
mana terdapat sepetak rumput yang amat enak untuk dipakai sebagai tempat
berlatih silat. Akan tetapi, baru saja dia hendak mulai berlatih, tiba-tiba dia
meloncat dan sekali bergerak dia sudah menyusup dan mendekam di balik
semak-semak. Dia mendengar suara orang! Karena terkejut, takut kalau latihannya
kepergok, maka dia menyusup dan bersembunyi ke balik semak-semak itu.
Muncullah
dua orang yang membuat jantung dalam dada Yo Han berdebar tidak karuan saking
tegangnya. Subo-nya jalan berdampingan dengan Ciang Kun, suheng-nya yang pernah
dilihatnya beberapa hari yang lalu itu. Menurut keterangan yang diperolehnya,
Ciang Kun yang telah sepekan berada di Lu-jiang, tinggal di rumah seorang
pamannya. Sungguh janggal sekali melihat subo-nya berjalan-jalan di dalam taman
bersama Ciang Kun, berdua saja pada saat suhu-nya tidak berada di rumah!
Keduanya
tiba di tengah taman yang sunyi itu dan Yo Han melihat mereka duduk
berdampingan di atas bangku panjang yang terdapat di situ, tidak jauh dari
tempat dia bersembunyi sehingga bukan saja dia dapat melihat mereka di bawah
sinar bulan, juga dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas!
“Suheng,
janganlah terlalu menyalahkan aku kalau aku menikah dengan orang lain. Bukan
sekali-kali aku telah melupakanmu, Suheng, ahh, bagaimana mungkin aku bisa
melupakanmu. Aku menikah dengan dia hanya karena aku harus mencuci aib dan malu
akibat perbuatan si jahanam Phoa Hok Ci.”
“Tapi,
Sumoi, apakah engkau sekarang berbahagia dengan dia?”
Siang Cun
menundukkan mukanya dan menggeleng, “Sama sekali tidak. Dia tidak cinta padaku,
Suheng, dia mencinta wanita lain yang kini menikah dengan orang lain.”
“Ahh,
mengapa begitu? Cun-sumoi, engkau tahu bahwa selama ini aku tidak pernah
melupakanmu. Aku tetap cinta padamu, Sumoi...“
“Aku... aku
juga, Suheng...“
Dengan mata
terbelalak Yo Han yang mengintai melihat betapa subo-nya kini dirangkul oleh
Ciang Kun dan mereka berpelukan, dan berciuman! Agaknya keduanya demikian
bergelora dibakar oleh nafsu birahi sehingga gairah yang memuncak itu membuat
kedua orang itu seperti terguling dari atas bangku dan mereka masih terus
berpelukan di atas rumput!
Yo Han sudah
tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat keluar dari tempat
sembunyinya dan menghampiri mereka yang masih bergelut di atas rumput.
“Subo...!”
Akan tetapi,
dua orang yang sedang terbakar oleh nafsu birahi itu, tidak mendengar suara ini
dan mereka masih saling berciuman dan bergulingan di atas rumput seperti dua
ekor ular bergelut.
“Subo...!”
Yo Han berteriak lebih nyaring lagi.
Sekali ini
mereka berdua terkejut. Cepat keduanya meloncat bangkit dan berdiri dengan mata
terbelalak memandang kepada Yo Han. Rambut Siang Cun kusut, pakaiannya juga
lusuh dan mukanya agak pucat, napasnya masih terengah-engah.
“Yo Han...!
Kau... kau… kenapa kau bisa ada di sini...?!” bentaknya untuk memulihkan
ketenangannya karena ia merasa terkejut bukan main melihat anak itu tiba-tiba
berada di situ dan jelas bahwa anak itu telah melihat perbuatannya bersama
Ciang Kun tadi.
Akan tetapi,
Yo Han tak gentar ketika dibentak oleh subo-nya. Dia terlalu marah melihat
perbuatan subo-nya tadi. Meski dia masih kecil, namun dia tahu apa artinya
perbuatan subo-nya tadi. Subo-nya telah menyeleweng! Subo-nya telah bermain
cinta dengan pria lain, telah mengkhianati suami sendiri!
Tahulah dia
kini mengapa suhu-nya selalu berduka. Kiranya subo-nya ini tidak cinta kepada
suhu-nya, dan agaknya subo-nya tahu bahwa suhu-nya dahulu mencinta wanita lain,
yaitu Kao Hong Li. Dan kini subo-nya dengan berani sekali telah mencemarkan
kesucian rumah tangganya sendiri. Ini berarti suatu penghinaan besar bagi
gurunya!
“Subo! Apa
yang sedang Subo lakukan ini? Sungguh tidak tahu malu sekali! Subo telah
mengkhianati suhu! Subo telah menghina suhu-ku!”
“Tutup
mulut, keparat!” Siang Cun membentak marah, juga malu karena merasa dimaki oleh
anak kecil itu.
Sementara
itu, Ciang Kun melangkah maju dan menghardik Yo Han. “Engkau ini anak kecil
tahu apa? Hayo pergi atau akan kupukul kepalamu!”
Melihat
sikap ini, Yo Han menjadi semakin marah. “Ciang Kun, engkaulah yang perlu
dipukul setengah mati! Engkau tahu, Subo adalah isteri suhu, dan engkau sudah
berani mengganggunya, berani menggodanya! Engkau ini lelaki macam apa? Tidak
tahu malu, merusak kerukunan rumah tangga orang! Engkau sudah menghina suhu dan
engkau layak dihajar!”
“Keparat,
bocah bermulut busuk!” Ciang Kun membentak.
Siang Cun
yang khawatir kalau Yo Han akan membuat ribut, lalu melanjutkan, “Yo Han,
sudahlah engkau anak kecil yang tidak tahu urusan. Ini adalah urusanku sendiri.
Engkau jangan ribut dan jangan menceritakan kepada siapa saja, nanti kuberi
hadiah.”
Yo Han
menjadi semakin marah. Janji hadiah asal dia menutup mulut itu merupakan hinaan
besar sekali baginya.
“Subo, aku
tidak akan tinggal diam. Akan kuberi tahukan kepada Bhe Kauwsu. Akan kuberi
tahukan kepada siapa saja perbuatan kalian yang tidak tahu malu ini!” Yo Han
terengah-engah, dadanya naik turun saking marahnya. Kemarahan yang timbul
karena duka dan prihatin melihat nasib gurunya yang dikhianati isteri sendiri!
“Bocah gila!
Ketahuilah, kami sudah saling mencinta sebelum gurumu datang ke sini!” bentak
Ciang Kun.
“Manusia tak
tahu malu! Tapi Subo kini telah menjadi isteri orang, menjadi isteri suhu!
Butakah matamu, tulikah telingamu?”
“Anak jahat,
engkau bermulut busuk, layak dihajar!” kata Ciang Kun dan dia sudah melangkah
maju dan mengirim tendangan ke arah Yo Han.
Tendangan
itu cukup keras dan kalau mengenai tubuh Yo Han, tentu akan membuat anak itu
terpelanting dan menderita luka yang cukup parah. Akan tetapi, tidak percuma
selama ini Yo Han mempelajari ilmu silat dari gurunya dengan tekun. Sambaran
kaki itu dapat dielakkannya dengan mudah, dengan miringkan tubuh dan menggeser
kaki ke kanan.
Melihat ini,
Ciang Kun menjadi semakin penasaran dan marah. Dia bukan saja murid tingkat
pertama dari Bhe Kauwsu, akan tetapi juga selama beberapa tahun ini di kota
raja, dia telah memperdalam ilmu silatnya dari guru-guru yang lebih pandai
lagi. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, ia menyerang lagi, kini dengan
pukulan tangan kanan ke arah kepala Yo Han, sedangkan tangan kirinya
mencengkeram pundak.
Serangan ini
cepat dan kuat sekali. Namun, Yo Han sudah siap dengan gerakan ilmu silat
Pat-mo Sin-kun yang sedang dipelajarinya. Karena setiap hari berlatih ilmu ini,
otomatis ketika menghadapi serangan, dia pun langsung saja menggerakkan
tubuhnya sesuai dengan ilmu silat yang dipelajarinya ini.
Kembali
kedua kakinya bergeser sambil melangkah mundur dan ketika kedua tangan lawan
sudah menyambar luput, dia pun maju dan membalas dengan pukulan ke arah perut
orang! Menurut ilmu silat itu, pukulan ini ditujukan ke arah ulu hati lawan,
akan tetapi karena tubuh lawan jauh lebih jangkung, Yo Han yang memukul dengan
gerakan lurus ke depan itu menyerang perut.
Ciang Kun
menggerakkan tangan hendak menangkap lengan anak yang memukul itu. Akan tetapi
Yo Han sudah menarik kembali pukulannya dan ini sesuai dengan jurus itu, dan
tiba-tiba sekali tubuhnya sudah membuat gerakan memutar ke sebelah kiri lawan
dan begitu kakinya bergerak, dia sudah menendang ke arah sambungan lutut.
“Dukkk!”
Lutut Ciang
Kun kena ditendang. Tetapi Ciang Kun memiliki kekebalan dan tendangan Yo Han
tentu saja kurang kuat maka tendangan itu hanya membuat Ciang Kun meringis
tanpa mampu menjatuhkannya. Ciang Kun menjadi malu dan marah sekali, dan dia
menyerang kalang kabut, terus mendesak Yo Han sehingga anak ini terpaksa harus
berloncatan dan mengelak ke sana-sini.
Sampai
sepuluh kali Ciang Kun menyerang bertubi-tubi dan selalu dapat dielakkan oleh
Yo Han. Hal ini membuat Ciang Kun marah bukan main, juga malu karena di depan
kekasihnya dia seperti dipermainkan seorang bocah. Makin gencar dia menyerang
dan ketika Yo Han mundur mengelak, kakinya terbentur akar pohon dan anak itu
pun roboh terlentang! Melihat anak itu roboh, Ciang Kun tidak menghentikan
serangannya, bahkan maju dan mengirim tendangan ke arah kepala dengan kuatnya!
“Suheng,
jangan!” teriak Siang Cun khawatir melihat tendangan suheng-nya yang dapat
membahayakan nyawa Yo Han kalau mengenai kepala.
Akan tetapi
terlambat. Dalam kemarahannya karena merasa dipermainkan oleh seorang anak
kecil, Ciang Kun sudah lupa diri dan biar pun dia tahu bahwa tendangannya itu
berbahaya, dia sudah tidak mampu menarik kembali kakinya.
“Tukkk!”
Sebuah
kerikil mengenai sepatu Ciang Kun, demikian kuatnya sehingga Ciang Kun berseru
kaget dan tendangannya tertahan dan meleset sehingga tidak mengenai kepala Yo
Han. Sesosok bayangan putih berkelebat dan Sin Hong sudah berdiri di situ.
Dialah yang melempar kerikil tadi menyelamatkan muridnya.
“Pengecut,
menyerang seorang anak kecil!” Sin Hong mencela.
Akan tetapi
Ciang Kun yang sudah marah, kini melotot kepada Sin Hong, suami dari kekasihnya
yang dianggapnya telah merebut kekasihnya dari tangannya itu. Dia sudah
mendengar akan kelihaian Sin Hong, tetapi justru hal ini yang memanaskan
perutnya dan dia ingin sekali menguji kepandaian suami kekasihnya. Sekarang ada
alasan untuk menentangnya.
“Hemm, anak
setan ini terlalu kurang ajar, agaknya tak pernah memperoleh pendidikan yang
patut dari gurunya! Memang aku hendak menghajarnya karena gurunya tidak mampu
mendidiknya. Kalau gurunya hendak membelanya, silakan!”
Sin Hong
tersenyum pahit. Sebetulnya, sudah semenjak tadi ia pulang dan memergoki
penyelewengan isterinya. Dia melihat pula isterinya bergumul dengan Ciang Kun
di atas rumput tadi. Dia kagum melihat pembelaan muridnya yang begitu berani
mati menegur subo-nya untuk membela gurunya.
Dia dapat
menebak apa yang berkecamuk di dalam hati pria ini. Agaknya pria ini ingin
memperlihatkan di depan kekasihnya bahwa dia tidak kalah oleh suami kekasihnya!
“Bagus!
Kalau aku katakan bahwa bukan muridku yang kurang ajar, melainkan engkau yang
tidak tahu diri, tidak tahu malu dan pengecut, engkau mau apa?”
Ciang Kun
terbelalak dan marah sekali. “Keparat, engkau menantang?!” katanya.
Dia sudah
menerjang ke depan dengan tangannya digetarkan, dan ketika dibuka maka
nampaklah tangan itu tergetar dan warna telapak tangannya berubah agak
kemerahan! Maklumlah Sin Hong bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki
ilmu telapak tangan Ang-see-jiu (Telapak Tangan Pasir Merah), yaitu tangan itu
telah dilatih dengan memukuli pasir merah panas yang direndam racun. Pukulan
telapak tangan seperti itu mengandung racun panas yang dapat melumpuhkan otot
yang membakar daging kulit!
Diam-diam
dia marah. Ciang Kun ini adalah murid pertama Bhe Kauwsu dan tentu saja sudah
tahu bahwa dia adalah mantu Bhe Kauwsu. Biar pun ada urusan cinta antara dia
dan Siang Cun, namun tidak sepantutnya kalau sekarang menyerangnya dengan ilmu
sekeji itu. Terlintas dalam otaknya untuk melumpuhkan ilmu itu dan memberi
hajaran dengan mematahkan tulang lengan itu.
Akan tetapi
dia segera teringat. Orang ini hendak memamerkan kepandaiannya kepada Siang
Cun, dan belum tentu dia menggunakan Ang-see-jiu karena hatinya yang kejam.
Mungkin dia sudah mendengar bahwa yang menjadi lawannya memiliki ilmu yang
tinggi, maka agar jangan sampai kalah, kini begitu menyerang, dia menggunakan
ilmu yang diandalkan. Ingatan ini menyabarkan pula hatinya dan dia pun mengelak
ketika pukulan itu lewat.
Untuk
menghadapi seorang lawan setingkat Ciang Kun ini, meski memiliki Ang-see-jiu,
Sin Hong tidak mau mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat
Sakti Tangan Putih). Dia bahkan menyambut hantaman telapak tangan merah itu
dengan telapak tangannya sendiri sambil menggunakan Tenaga Inti Bumi, hanya
secukupnya saja untuk mengimbangi kekuatan lawan yang dapat diukurnya dari
sambaran hawa pukulannya.
“Plakkk!”
Dua telapak
tangan bertemu dan melekat! Ciang Kun terkejut. Dia memang bukan orang jahat
dan sama sekali tak ingin mencelakai lawan, tetapi hanya untuk mengalahkannya
atau mengimbanginya. Kini, lawannya itu menerima Ang-see-jiu dan telapak tangan
mereka melekat. Dia tidak mampu lagi menarik kembali tangannya.
Akan tetapi,
tiba-tiba dia terbelalak. Lawannya sama sekali tidak menderita oleh hawa
beracun telapak tangannya, bahkan dia sendiri yang merasa ada hawa panas masuk
dari telapak tangannya itu membuat lengannya seperti lumpuh.
“Pergilah!”
Sin Hong mendorong dan tubuh Ciang Kun terjengkang.
Akan tetapi
karena Sin Hong mengukur tenaganya, Ciang Kun tidak terluka dan pemuda ini
marah sekali. Siang Cun menahan jeritnya, kemudian dia menghampiri Ciang Kun
dan membantunya bangkit berdiri.
Ciang Kun
merasa malu, wajahnya memerah dan dia menjadi nekat. Dalam beberapa gebrakan
saja dia telah jatuh terjengkang, di depan kekasihnya lagi! Hati siapa yang
tidak akan merasa malu? Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia sudah
mencabut pedangnya dan kini dia menyerang Sin Hong dengan kemarahan memuncak.
“Suheng,
jangan...!” Siang Cun berseru, akan tetapi suheng-nya yang sudah nekat itu
tidak peduli.
Melihat hal
ini, Sin Hong tersenyum mengejek dan dengan mudah saja dia mengelak sampai lima
kali serangan.
“Ciang Kun,
hentikan seranganmu, kalau tidak, terpaksa aku akan membuatmu malu dan
merobohkanmu!” kata Sin Hong.
Akan tetapi,
Ciang Kun tidak menjawab dan tidak pula menurut, bahkan memutar pedangnya
semakin gencar melakukan serangan bertubi-tubi. Siang Cun yang maklum bahwa
kalau dilanjutkan, suheng-nya yang menjadi kekasihnya itu tentu akan
benar-benar roboh oleh suaminya yang ia tahu amat sakti, lalu maju pula sambil
memegang pedangnya.
“Engkau
tidak boleh merobohkannya!” bentaknya sambil maju mengeroyok Sin Hong! Melihat
ini, Yo Han terbelalak.
“Sungguh
penasaran! Penasaran...!” teriaknya dengan nyaring. Melihat betapa gurunya
dikeroyok oleh isterinya sendiri dan kekasih isteri gurunya, dia sungguh marah
bukan main.
Sin Hong
sendiri menjadi serba salah. Tentu saja dia tidak gentar, dan biar ditambah
beberapa orang lagi yang mengeroyoknya, dia yakin masih akan mampu mencapai
kemenangan. Akan tetapi sungguh tidak mungkin kalau dia harus menjatuhkan
isterinya sendiri, walau pun isterinya telah bersikap tidak patut, membantu
kekasih gelapnya!
“Suhu! Kalau
Suhu tak mau memperlihatkan kelihaian, teecu akan merasa malu sekali!
Disangkanya Suhu takut!” berkali-kali Yo Han berseru dan suaranya ini
berpengaruh juga.
Sin Hong
tadinya hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak ke sana sini. Tapi,
mendengar seruan muridnya, dia teringat akan pedang Cui-beng-kiam yang selalu
disimpan di balik jubahnya. Ada jalan untuk menghentikan serangan kedua orang
itu tanpa melukai mereka, pikirnya.
Sekali
tangannya bergerak, nampak sinar yang menyilaukan mata dan ada hawa yang amat
menyeramkan menyambar. Sinar itu bergulung-gulung dan menyambar dua kali,
terdengar bunyi nyaring dan dua batang pedang di tangan Siang Cun dan Ciang Kun
yang kena disambar sinar itu menjadi buntung! Ketika mereka berdua memandang,
pedang Cui-beng-kiam di tangan Sin Hong sudah masuk lagi ke dalam sarungnya di
balik baju pemuda berpakaian putih itu!
Wajah Ciang
Kun menjadi pucat sekali, akan tetapi dia masih sempat saling berpegang tangan
dengan Siang Cun. Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan muncullah Bhe Kauwsu
dan para murid Ngo-heng Bu-koan.
“Apa yang
telah terjadi di sini...?” katanya dengan mata terbelalak memandang kepada
mantunya lalu kepada puterinya, kemudian kepada Ciang Kun, dan yang terakhir
pada Yo Han, dan pada gagang pedang buntung di tangan puterinya dan Ciang Kun.
Sin Hong
merasa tidak enak sekali. Sama sekali dia tidak ingin membuka rahasia yang akan
mencemarkan nama baik isterinya, apa lagi di situ sedang terdapat banyak murid
Ngo-heng Bu-koan yang mendengarkan.
“Hanya suatu
kesalah pahaman saja, Ayah,” kata Sin Hong kepada mertuanya, “Salah paham
antara Yo Han dan Suheng Ciang Kun yang kemudian melibatkan diriku. Tidak ada
apa-apa...”
“Suhu!
Mengapa Suhu berkata demikian? Inilah saatnya yang terbaik bagi Suhu untuk
membebaskan diri dari sumber kedukaan! Bukankah Suhu mengajarkan teecu supaya
selalu jujur dan tidak berbohong?”
“Yo Han...!”
Sin Hong membentak, tetapi dia lalu memandang kepada ayah mertuanya. “Sebaiknya
kalau kita bicara di dalam saja, ini urusan keluarga.”
Bhe Kauwsu
memandang kepada puterinya yang menangis dan dia pun lalu mengerti, mengangguk
dan membubarkan para murid, kemudian mengajak Sin Hong, Yo Han dan Siang Cun
masuk ke dalam.
“Dia
bersangkutan dengan perkara ini, hendaknya ikut bicara di dalam,” kata Yo Han
sambil menunjuk kepada Ciang Kun.
Sin Hong
diam saja. Bhe Kauwsu yang sudah mengenal Yo Han sebagai anak cerdik yang jalan
pikirannya seperti orang dewasa, lalu menyuruh Ciang Kun ikut.
Pemuda ini
ikut masuk ke dalam rumah sambil menundukkan mukanya, hatinya tegang dan
khawatir karena sekarang dia baru sadar, betapa dia telah melakukan hal yang
salah sama sekali. Juga dia merasa gentar kalau mengenang kembali betapa
saktinya Sin Hong yang telah membuat dia dan Siang Cun tak berdaya hanya dalam
segebrakan saja. Bahkan kalau Sin Hong menghendaki dia dan kekasihnya itu tentu
sudah tewas di ujung pedangnya.
Begitu tiba
di dalam rumah, saat disambut oleh isteri Bhe Kauwsu, Siang Cun menubruk ibunya
dan menangis. “Ibu... Ayah... aku... aku minta agar diceraikan dari dia...“
Mendengar
ucapan puterinya itu, tentu saja Bhe Kauwsu terkejut bukan main. Dia dan
isterinya memang sudah menduga bahwa ada ketidak cocokan antara puterinya dan
mantunya, akan tetapi tidak menyangka sampai sehebat itu.
“Siang Cun!”
bentaknya marah karena merasa tidak enak dan malu. “Omongan apa yang kau
keluarkan itu?” Karena melihat puterinya hanya menangis tersedu-sedu dalam
rangkulan isterinya, Bhe Kauwsu lalu menoleh kepada mantunya dan bertanya, “Sin
Hong, apakah yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa Siang Cun bersikap seperti
itu?”
“Tidak perlu
kiranya saya bicara terlalu banyak,” kata Sin Hong setelah berpikir secara
mendalam dan mengambil suatu keputusan dalam hatinya. “Ayah dan ibu mertua
sudah mendengar sendiri kata-kata Siang Cun. Dia tidak akan berbahagia kalau terus
hidup sebagai isteri saya. Oleh karena itu, satu-satunya jalan terbaik hanyalah
memenuhi permintaannya, yaitu perceraian antara kami berdua.”
Tentu saja
Bhe Kauwsu dan isterinya terkejut bukan main. Sampai saat ini ia yakin akan
kebijaksanaan mantunya itu, dan tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka
pendekar itu berkata demikian. Dan perceraian merupakan hal yang akan
mencemarkan nama baik keluarganya!
“Tetapi…
bagaimana begitu mudahnya membikin putus hubungan perjodohan? Begitu mudahnya
kalian bercerai, padahal belum genap setahun kalian menjadi suami isteri?” Bhe
Kauwsu berkata dengan suara penuh penyesalan.
“Harap
maafkan. Siang Cun yang minta cerai dan saya hanya menyetujui usulnya demi
kebahagiaan kami masing-masing, kami akan mengambil jalan hidup sendiri,” kata
pula Sin Hong.
Ketika Yo
Han memandang kepada gurunya, dia melihat sinar mata gurunya kepadanya dan
maklumlah ia bahwa ia tidak boleh banyak bicara. Diam-diam ia semakin kagum.
Gurunya memang seorang laki-laki sejati, seorang yang berjiwa agung dan tidak
mau membikin malu isterinya hanya demi penonjolan kebenaran diri sendiri saja,
walau pun isterinya sudah melakukan hal yang paling menyakitkan bagi perasaan
seorang suami, yaitu penyelewengan.
“Tapi...
tapi... ahh, kenapa semudah ini? Anak kami adalah seorang wanita, dan kalau
bercerai berarti dia menjadi janda. Dan kami sebagai orang tuanya tentu saja
akan menderita malu dan...“
“Harap Ji-wi
(Anda berdua) tenang saja, karena sesungguhnya, ada calon suami yang lebih
cocok untuk Siang Cun, yaitu Ciang Kun inilah. Siang Cun akan hidup berbahagia
sebagai isterinya.” Sebelum kedua orang bekas mertuanya itu menjawab, Sin Hong
sudah mendahului mereka. “Terus terang saja, antara Siang Cun, Ciang Kun, dan
saya sendiri telah ada saling pengertian dalam hal ini. Kami akan bercerai
dengan baik, saya akan pergi bersama murid saya untuk mengambil jalan hidup
sendiri sedangkan ia akan menjadi isteri yang saling mencinta dengan Ciang Kun.
Ji-wi dapat minta penjelasan mereka sedangkan saya dan Yo Han akan berkemas
karena sekarang juga kami akan pergi dari sini.” Tanpa menanti jawaban, Sin
Hong menggandeng tangan Yo Han untuk membenahi pakaian mereka.
Bhe Kauwsu
dan isterinya saling pandang dan mereka yang sudah berusia lanjut dan banyak
pengalaman, sedikit banyak dapat meraba apa yang telah terjadi.
“Siang Cun!
Benarkah apa yang dikatakan oleh Sin Hong itu tadi? Bahwa engkau dan dia sudah
bersepakat untuk berpisah, dan hendak melanjutkan hidup di samping Ciang Kun
sebagai isterinya?”
Siang Cun
yang sejak tadi tidak berani mengangkat muka, kini mengangkat muka yang pucat
dan basah air mata, lalu mengangguk!
“Bagaimana
ini, Ciang Kun? Benarkah begitu? Sekarang Siang Cun hendak berpisah dari
suaminya dan kemudian menjadi isterimu?”
Tadi Ciang
Kun juga menunduk karena merasa bersalah dan sudah merasa cemas kalau-kalau Sin
Hong mengadukan peristiwa tadi, maka dia merasa semakin terpukul oleh sikap
jantan dari Sin Hong, merasa malu sekali akan tetapi juga berterima kasih
kepada Sin Hong. Dia pun mengangguk.
Bhe Kiauwsu
maklum apa yang sudah terjadi. Dia merasa menyesal dan malu sekali kepada Sin
Hong. Dia mengepal kedua tangannya, lalu mondar-mandir dalam ruangan itu,
membanting-banting kedua kakinya dan memukul-mukul telapak tangan sendiri.
“Sungguh
celaka...! Sungguh celaka...! Dahulu dia bersedia mengawinimu demi untuk
menyelamatkan nyawamu, Siang Cun. Dan sekarang... sekarang... ahh, apa yang
telah kalian lakukan ini...?”
Siang Cun
merasa khawatir kalau ayahnya akan membuat pengakuan, maka ia pun dengan suara
bercampur isak berkata, “Ayah... dia tidak cinta kepadaku... kami tidak saling
mencinta dan dia tidak menemukan kebahagiaan dalam kehidupan suami isteri...”
“Cinta...?
Huh, apa yang kau maksudkan dengan cinta? Dahulu dia menikahimu demi
keselamatan nyawamu setelah dia menyelamatkanmu dari ancaman mala petaka yang
lebih hebat dari maut! Dia menolongmu tanpa pamrih. Dia menikahimu tanpa
dorongan birahi kepadamu! Itukah sebabnya kau katakan tidak adanya cinta? Dan
sekarang... sekarang... dia merelakan engkau hidup berbahagia di samping pria
lain! Apakah sikap ini pun karena tidak cinta?”
Siang Cun
tidak dapat menjawab dan diam-diam merasakan betapa mulia hati bekas suaminya
itu, yang menutup mulut padahal telah memergoki sendiri penyelewengannya dengan
Ciang Kun!
Pada saat
itu, Sin Hong dan Yo Han muncul, masing-masing menggendong sebuah buntalan yang
berisi pakaian mereka.
“Paman Bhe
dan Bibi, perkenankan aku dan Yo Han untuk pergi dan maafkan segala kesalahan
yang kami perbuat selama kami tinggal di sini. Kami berterima kasih sekali atas
segala kebaikan yang Paman berdua limpahkan kepada kami, juga kepada semua
murid Ngo-heng Bu-koan,” kata Sin Hong dengan suara dan sikap tenang saja, sama
sekali tidak hanyut oleh perasaan hati.
Yo Han juga
berdiri dengan semangat. Mulutnya tersenyum pada saat dia mencontoh gurunya
memberi hormat kepada guru silat dan nyonyanya itu.
Tiba-tiba
Siang Cun melepaskan diri dari pelukan ibunya dan menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Sin Hong! Ia menangis sesenggukan sehingga suaranya sukar ditangkap
artinya.
Sin Hong
tersenyum dan menunduk, kemudian berkata dengan suara yang lembut dan
berwibawa. “Tenangkan hatimu, Siang Cun. Di manakah sekarang kekerasan hati dan
kegagahanmu?”
Suara itu
menenangkan Siang Cun, kemudian terdengar suaranya yang lirih bercampur tangis,
“Ampunkan aku... dan terima kasih... terima kasih...”
Tiba-tiba
Ciang Kun juga turut menjatuhkan diri berlutut di samping Siang Cun! Hal ini
sungguh sama sekali tidak disangka oleh Sin Hong yang kini memandang dengan
mata berseri gembira!
“Taihiap,
saya pun berterima kasih sekali dan memohon maaf. Saya tidak akan pernah
melupakan kemuliaan hati Taihiap selama hidup saya.”
Suara Sin
Hong terdengar gembira bukan main pada saat dengan kedua tangannya ia
mengangkat bangun Siang Cun dan Ciang Kun supaya bangkit berdiri. “Tidak ada
yang perlu dimaafkan dan tidak perlu berterima kasih. Semua ini untuk kebaikan
kita masing-masing, dan aku percaya bahwa kalian akan dapat menemukan
kebahagiaan dalam kehidupan kalian sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Biarlah sekarang juga aku ucapkan selamat kepada kalian. Nah, selamat tinggal
semua, semoga Thian selalu memberkahi kalian.”
Berkata
demikian, Sin Hong membalikkan tubuhnya, menggandeng tangan Yo Han dan pergi
meninggalkan rumah keluarga Bhe dengan hati dan langkah yang ringan.....
*************
Keindahan
menerangi seluruh muka bumi bersama dengan sinar matahari pagi yang keemasan. Keindahan
yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, karena ada keindahan yang tidak dapat
diraba dengan pandang mata atau dengan alat panca indera lainnya, melainkan
hanya dapat dirasakan saja.
Keindahan
yang terkandung dalam sinar matahari yang menerobos di antara daun-daun pohon,
membuat garis-garis lurus menyusup dalam kabut pagi, terkandung dalam kicau
burung yang saling bersahutan dalam kesibukan binatang-binatang kecil itu
menyiapkan diri untuk mulai mencari makan, dalam gemercik air Sungai Yang-ce-kiang
pada saat air bermain-main dengan batu-batu di tepinya, dalam keharuman bau
tanah yang sedap, tanah yang segar dibasahi embun pagi, keindahan yang
terkandung dalam keheningan, bahkan keheningan itu sendiri menciptakan
keindahan. Bukan hening karena sunyi, tapi hening tanpa ada penyelewengan di
dalam pikiran.
Kicau
burung, teriakan kanak-kanak, kesibukan para ibu di dapur dan bapak-bapak tani
yang mulai meninggalkan rumah menuju ke sawah ladang, semua itu tidak
mengganggu keheningan itu, bahkan semua itu terserap ke dalam keheningan. Pagi
hari yang indah! Hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memandang semua itu,
mendengar semua itu, mencium semua itu, tanpa menilai. Tanpa ingat sedikit pun
bahwa semua itu indah, yang terasa hanyalah kebahagian, karena seperti
keheningan adalah keindahan, maka keindahan adalah juga kebahagiaan. Yang tiga
itu tak terpisahkan. Eloknya, ketiganya tidak ada selama si aku atau pikiran
ingin merasakan dan menikmatinya!
Wanita muda
yang berjalan seorang diri di atas bukit di tepi sungai itu nampak bersunyi
diri. Berjalan melangkah perlahan-lahan di atas bukit. Ia menjadi bagian dari
keindahan maha besar itu. Dari tempat ia berdiri, nampak Sungai Yang-ce
terbentang luas dan panjang, dan sebelum pandang mata tiba di sungai, melewati
pula sawah ladang dan dusun-dusun serta nampak bukit-bukit kecil yang subur di
kanan kiri sepanjang sungai itu.
Warna hijau
dan kuning serta perpaduan antara hijau dan kuning nampak bagaikan permadani,
menyelimuti tanah, bermandikan cahaya matahari keemasan. Air sungai nampak
berkilau tertimpa sinar matahari, memantulkan cahaya itu hingga menyilaukan
mata.
Dua orang
bapak tani memanggul pacul jalan beriringan di pematang sawah sambil
bercakap-cakap, berangkat menuju ke sawah mereka. Seorang di antara mereka,
yang di depan, merokok dan asap rokoknya mengepul ke atas kepala mereka.
Seorang anak laki-laki dengan pakaian setengah telanjang, hanya bercelana saja,
memegang cambuk panjang menggembala lima ekor kerbau yang gemuk-gemuk, tiga
ekor besar dan dua ekor masih muda dan beberapa kali dua ekor yang muda ini
bergurau dengan tanduk mereka. Jauh di seberang sana, nampak samar-samar
beberapa buah gunung, bagian atasnya tertutup awan. Cuaca pagi itu cerah bukan
main, menjanjikan siang hari yang panas tanpa mendung.
Tetapi,
wajah wanita itu sama sekali tidak cerah, bahkan terbayang mendung kedukaan
dalam pandang matanya, ketika mata itu melihat jauh ke depan tanpa mengenal apa
yang dilihatnya. Pandang matanya seperti melayang-layang saja di permukaan bumi
di bawah itu, dan ia sama sekali tidak merasakan kebesaran alam, melainkan
kerisauan perasaan hatinya sendiri. Batinnya sedang gundah, kadang-kadang
pandang matanya seperti orang yang bingung atau putus asa, tiada gairah hidup!
Padahal dia
adalah seorang wanita yang masih muda, usianya kurang lebih dua puluh tiga
tahun, cantik jelita dan bentuk tubuhnya ramping dan padat, penuh keindahan dan
kesehatan. Wajahnya berbentuk bulat telur, sepasang matanya lebar dan lincah,
sayang saat itu tertutup mendung duka. Pakaiannya yang walau pun bersih namun
kusut itu menunjukkan pula, bahwa ia memang sedang berada dalam keadaan gundah
sehingga tidak mempedulikan keadaan pakaian dan rambutnya yang kusut.
Dia menuruni
bukit itu dan ketika dia melihat anak laki-laki setengah telanjang yang
menggiring lima ekor kerbaunya, hatinya tertarik dan ia pun berhenti, melihat
bagaimana anak laki-laki itu menggiring lima ekor kerbaunya masuk ke dalam
kubangan air. Lima ekor binatang itu nampak gembira ketika memasuki kubangan
air yang segera menjadi keruh berlumpur. Mereka mendekam sehingga hanya nampak
kepala mereka saja, dan mereka diam tak bergerak, mata mereka merem-melek
nampak nikmat sekali.
Wanita itu
berdiri, bersandar pada sebatang pohon, melihat betapa anak laki-laki yang
bertelanjang dada dan bertelanjang kaki, tubuhnya hanya mengenakan celana
sebatas lutut, celana hitam dari kain kasar, kini mengeluarkan sebuah bungkusan
kertas dan dibukanya. Kiranya sepotong roti gandum kering sebesar kepalan
tangan.
Roti itu
digigitnya, akan tetapi roti itu terlalu keras, dan anak itu lalu pergi ke
sebuah pancuran air, membasahi roti itu beberapa saat lamanya, kemudian dia
duduk di dekat kubangan air, di atas batu dan mulai makan roti kering yang kini
sudah menjadi basah dan tidak sekeras tadi. Dia tidak melihat wanita cantik
yang sejak tadi memandanginya dan makan dengan enaknya, menggigiti roti yang
keras itu sedikit-sedikit.
Wanita itu
bagai terpesona, sejak tadi jarang berkedip. Penglihatan itu sungguh menarik
hatinya. Nampak olehnya betapa lima ekor kerbau itu demikian tenteram, damai
dan agaknya berbahagia, nampak dari mata mereka yang merem-melek.
Dan bocah
itu! Usianya paling banyak sepuluh tahun, melihat pakaiannya tentu seorang anak
yang miskin, dan kini anak itu makan roti kering yang keras, dibasahi air
sawah! Dan nampaknya dia makan demikian enaknya, seolah-olah yang dimakannya
bukanlah sepotong roti kering dibasahi air sawah, melainkan makanan yang lezat
dan mahal, dan mata anak itu pun merem-melek, nampaknya dia menikmati makan
roti sambil duduk di atas batu itu! Padahal, ia tahu bahwa makanan itu adalah
makanan paling sederhana, makanan roti gandum yang dikeringkan agar tahan lama
dan kalau akan dimakan harus ditim dulu agar menjadi empuk.
Akan tetapi
roti kering itu digerogoti oleh anak itu begitu saja, hanya dibasahi air sawah!
Bisa dibayangkan betapa miskin keadaan anak itu. Akan tetapi kenapa begitu
kelihatan berbahagia? Anak dan kerbau-kerbau itu demikian bahagia, betapa
menjadi kebalikan dari keadaan batinnya. Ia sendiri begini sengsara dan
menderita! Ia merasa penasaran. Ia bangkit dan perlahan-lahan menghampiri anak
laki-laki yang baru saja menghabiskan rotinya itu.
Anak
laki-laki itu memandang dengan heran, akan tetapi tetap duduk dan matanya yang
lebar memandang dengan penuh perhatian. Wanita itu duduk di atas batu di depan
anak itu. Mereka saling pandang dan anak itu mulai merasa khawatir, menoleh ke
arah kerbau-kerbaunya, lalu memandang lagi kepada wanita di depannya, wanita
yang asing baginya itu.
“Anak yang
baik, jangan takut, aku hanya ingin duduk bersamamu dan mengajak bicara. Engkau
tadi makan roti kering kelihatan enak sekali.”
“Memang
enak,” jawab anak itu, kini berani tersenyum karena sikap wanita itu yang ramah
dan halus. “Perutku tadi lapar, tetapi sekarang sudah kenyang.” Dia mengelus
perutnya yang tidak tertutup baju.
“Apakah ini
kerbau peliharaan orang tuamu?” tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah lima
ekor kerbau yang masih mendekam dalam kubangan air lumpur.
Anak itu
menggeleng kepala. “Orang tuaku sudah tidak ada. Aku tidak punya ayah atau ibu.
Ini kerbau Paman Ciok, dan aku bekerja padanya.”
Wanita itu
memandang heran. “Engkau yatim piatu?”
Anak itu
mengangguk.
“Dan kau
bekerja menggembala kerbau-kerbau ini?”
Anak itu
mengangguk lagi, dan melanjutkan dengan jawaban mulutnya. “Menggembala kerbau,
menyabit rumput dan segala macam pekerjaan lain.”
Bukan main,
pikir wanita itu. Anak ini yatim piatu dan sekecil ini sudah bekerja!
“Kau tidak
mempunyai sanak keluarga lagi? Hidup sebatang kara di dunia ini?”
Kembali anak
itu mengangguk.
Wanita itu
menjadi semakin tertarik. Anak sekecil ini, tidak ada orang tua, tiada sanak
keluarga, hidup hanya sebatang kara, bekerja ikut orang dalam keadaan miskin,
namun kelihatan begitu berbahagia!
“Berbahagiakah
hidupmu, anak baik?”
Anak itu
memandang tidak mengerti. “Berbahagia? Apa maksudmu?”
Kini wanita
itu yang memandang bingung. Apa sih bahagia itu? Ia sendiri pun tidak tahu!
“Ehh, begini, anak baik. Apakah kau... tidak pernah merasa berduka?”
“Berduka?
Kenapa harus berduka?”
“Tidak
harus... akan tetapi, engkau hidup sebatang kara, engkau hidup miskin sekali,
pakaianmu setengah telanjang, makananmu roti kering yang keras seperti tadi,
apakah engkau tidak merasa sedih?”
“Sedih?
Tidak, aku tak pernah sedih, kenapa harus sedih? Setiap pagi aku menggiring
kerbau-kerbau ini ke sini, sarapan apa saja yang ada. Jika Bibi Ciok belum
masak apa apa sepagi ini, aku membawa roti kering. Kemudian aku menggiring
kerbau-kerbau ini ke sawah, kepada Paman Ciok yang akan meluku sawah dengan
para pembantunya, dan aku pergi menyabit rumput, sesudah itu membantu pekerjaan
paman Ciok atau isterinya di rumah, menyapu lantai, membersihkan apa saja di
rumah, atau menimba air. Tidak, aku tidak sedih Bibi, aku memiliki banyak
pekerjaan, tidak sempat bersedih-sedih. Lagi pula, mengapa aku harus sedih?”
Anak itu
lalu bangkit dan menggiring kerbaunya keluar dari dalam kubangan air, tanpa
bicara lagi meninggalkan wanita itu yang masih duduk termenung bagai patung!
Karena banyak pekerjaan, maka anak itu tidak sempat bersedih-sedih, dan pula,
mengapa dia harus sedih?
Dan dia
sendiri? Mengapa dia bersedih? Karena memikirkan keadaan dirinya! Karena
pikirannya selalu melayang-layang memikirkan nasibnya yang dianggap buruk
sehingga dia merasa iba diri, kasihan kepada diri sendiri, lalu menjadi
nelangsa, dan timbullah duka.
Ahhh, ia
sudah tersesat, membiarkan pikirannya menguasai diri. Dan pikiran celaka ini
selalu membayangkan hal-hal yang dianggapnya buruk! Tidak, dia harus mengisi
hidup dengan pekerjaan yang berguna, seperti anak itu! Dan ia seorang pendekar,
mengapa harus menganggur?
“Hong Li,
engkau memang wanita tolol!” Demikian wanita itu memaki diri sendiri.
Ia adalah
Kao Hong Li, puteri tunggal dari pendekar Kao Cin Liong dan isterinya, Suma
Hui. Kao Hong Li adalah cucu tunggal dari mendiang Naga Sakti Gurun Pasir,
bukan seorang wanita biasa. Wanita berusia dua puluh empat tahun ini adalah
seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mewarisi kepandaian ayah
dan ibunya. Ayahnya adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan ibunya
adalah keturunan Para Pendekar Pulau Es!
Seperti
telah kita ketahui, Hong Li telah dijodohkan dengan Thio Hui Kong putera Jaksa
Thio yang jujur dan adil di kota Pao-teng. Hong Li yang menerima berita bahwa
Sin Hong telah menikah dengan puteri guru silat Bhe di kota Lujiang, tak dapat
membantah lagi kehendak orang tuanya.
Usianya
sudah dua puluh tiga tahun, dan harapannya untuk dapat berjodoh dengan pria
yang diam-diam dicintanya, yaitu Sin Hong yang masih terhitung susiok-nya telah
sirna, maka untuk berbakti kepada orang tuanya, ia menurut saja ketika ayah
ibunya memilih Thio Hui Kong menjadi suaminya. Semua orang pun akan menganggap
bahwa pilihan itu sudah tepat sekali.
Thio Hui
Kong seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tampan dan gagah, pandai
silat dan sastra, putera Jaksa Thio yang terkenal sebagai seorang pembesar yang
adil dan bijaksana, kedudukannya tinggi dan dihormati semua orang, juga serba
kecukupan walau pun tidak kaya raya. Kurang apa lagi?
Ternyata
memang kurang satu, dan yang satu inilah yang menjadi syarat mutlak bagi
kebahagiaan rumah tangga. Yang kurang itu adalah cinta kasih antara dua orang
muda yang dijodohkan.
Hui Kong
tadinya girang sekali bahwa dia berhasil mendapatkan gadis yang dijadikan
rebutan, gadis gagah perkasa dan cantik jelita itu. Biar pun ada ganjalan dalam
hatinya melihat betapa calon isterinya roboh pingsan ketika bertemu dengan
susiok-nya yang bernama Tan Sin Hong itu, akan tetapi dia ingin melupakan semua
itu dan dia bersikap mesra dan mencinta.
Ia menikmati
haknya sebagai seorang suami dan menganggap bahwa Hong Li seorang isteri yang
cukup menyenangkan hatinya. Tetapi hanya sampai di situ saja! Hubungan antara
sepasang suami isteri barulah akan membahagiakan kalau didasari cinta kasih
kedua pihak.
Oleh karena
Hong Li tidak dapat memusatkan perhatiannya dalam bermesraan dengan suaminya
karena memang tidak ada dasar cinta, maka hal ini terasa oleh Hui Kong.
Diam-diam ia merasa penasaran dan kecewa, akan tetapi ia lalu menghibur diri
dengan pergaulan di luar dan pergaulan inilah yang menyeret Hui Kong ke dalam
pengejaran kesenangan yang tidak sehat! Ia mulai berfoya-foya,
bermabuk-mabukan, bahkan mulai suka berjudi dan bermain dengan wanita pelacur!
Hong Li
mendengar akan hal ini, bahkan ia melakukan penyelidikan sendiri dan melihat
suaminya mabuk-mabukan di rumah pelesir. Tentu saja Hong Li menjadi marah dan
menegur suaminya. Kekerasan hati Hong Li inilah yang akhirnya justru membuat
Hui Kong memberontak dan melawan!
Dia adalah
seorang putera pembesar, dan melihat betapa isterinya marah-marah dan hendak
menekannya tentu saja dia menjadi penasaran. Seorang isteri harus taat, patuh
dan hormat kepada suaminya, demikian dia memarahi Hong Li. Lalu mulailah
terjadi bentrokan dan percekcokan antara mereka. Baru beberapa bulan menikah
sudah mulai cekcok.
Melihat ini,
orang tua kedua pihak berusaha keras untuk mendamaikan mereka dengan sikap
bijaksana, yaitu memarahi anak masing-masing. Namun, kedua orang suami isteri
muda itu sama-sama keras hatinya dan karena memang pada dasarnya tidak ada rasa
cinta di antara mereka, maka semua usaha orang tua kedua pihak gagal.
Percekcokan makin meningkat.
Melihat
bahwa kalau sampai terjadi perkelahian akan membahayakan, akhirnya kedua orang
tua masing-masing bersepakat untuk mengambil jalan keluar yang paling akhir,
yaitu perceraian! Hong Li bercerai dari suaminya setelah menjadi suami isteri
selama kurang dari setahun saja. Setelah bercerai secara resmi, Hong Li lalu
pergi merantau. Kedua orang tuanya mengijinkannya karena melihat bahwa hal itu
perlu untuk memberi kesempatan anak mereka melupakan peristiwa duka yang
menimpa dirinya.
Demikianlah,
Hong Li mulai merantau. Namun, ia tidak pernah dapat membebaskan diri dari duka
dan kecewa. Apa lagi kalau ia membayangkan betapa susiok yang dicintanya, Sin
Hong, sekarang hidup berbahagia dengan isterinya, ia merasa makin terpukul dan
berduka.
Sampai pada
pagi hari itu, ia bertemu dengan seorang anak penggembala kerbau dan keadaan
anak itu menggugah kesadarannya bahwa selama ini ia membiarkan dirinya
tenggelam ke dalam duka yang diadakan oleh pikirannya sendiri. Ia terlalu
memikirkan diri sendiri, terlalu besar rasa iba dirinya sehingga ia lupa bahwa hidup
bukan sekedar merenungkan segala hal yang buruk dalam hidup yang telah
dialaminya.
Justru hidup
adalah medan di mana pengalaman baik atau buruk terjadi, dan segala peristiwa
yang sudah berlaku itu tidak ada gunanya untuk dikenang dan disedihkan lagi! Yang
sudah biarlah sudah. Yang lewat biarlah lewat! Masih banyak hal-hal lain yang
lebih penting dari pada sekedar termenung menyedihi dan menangisi hal-hal yang
telah terjadi, yang telah lewat. Biar pun ia akan menangis dengan air mata
darah, tetap saja hal yang telah berlalu itu tidak akan dapat kembali.
“Kau sungguh
cengeng, Hong Li. Lihatlah anak itu! Dia jauh lebih bijaksana dari pada engkau!
Dia dapat menikmati hidupnya, dapat hidup bahagia karena mampu menerima apa
adanya dengan penuh gairah. Hayo, waktunya untuk bangkit, untuk bangun!”
Demikian
Hong Li mencela diri sendiri sambil bangkit berdiri. Wajahnya kini berubah.
Tidak lagi murung seperti tadi, melainkan berseri. Sepasang matanya yang lebar
itu mulai bersinar-sinar dan mulutnya yang manis itu mulai dihias senyum.
Tiba-tiba
terdengar jerit tangis di depan. Ia cepat melihat dan alisnya berkerut, matanya
mengeluarkan sinar mencorong marah ketika ia melihat apa yang terjadi tak jauh
di depan sana. Anak penggembala kerbau tadi sedang menangis sambil
menjerit-jerit dan berusaha untuk menghalangi lima orang laki-laki yang hendak
menuntun pergi lima ekor kerbaunya!
“Jangan...!
Jangan ambil kerbau-kerbauku...!” Anak itu menjerit-jerit, akan tetapi seorang
di antara mereka mendorong dada anak itu sehingga dia terlempar dan terjengkang
dengan keras.
Hong Li
melihat bahwa lima orang itu adalah laki-laki yang usianya antara tiga puluh
sampai empat puluh tahun, berpakaian ringkas, bukan pakaian orang dusun. Wajah
mereka itu memperlihatkan kebengisan dan kekejian, dan melihat betapa ada
senjata golok di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka tentulah
orang-orang yang biasa memaksakan kehendak dengan kekerasan dan kini agaknya
hendak merampas lima ekor kerbau gemuk milik bocah itu.
“Perampok-perampok
jahat!” teriak Hong Li dan dengan beberapa kali lompatan saja ia sudah berada
di dekat anak itu. “Jangan takut, adik yang baik, aku akan menghajar mereka dan
mengembalikan kerbau-kerbaumu!”
Melihat
munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita, tentu saja lima orang itu
tidak menjadi takut, bahkan mereka tertawa-tawa secara kurang ajar dan seorang
di antara mereka berkata, “Aduh, nona manis. Mari engkau ikut dengan kami.
Ketahuilah bahwa ketua kami sedang mengadakan pesta, maka engkau dapat
menyenangkan hati kami! Jangan khawatir, ketua kami orangnya royal dan engkau
akan menerima hadiah yang banyak, ha-ha-ha!”
Wajah Hong
Li berubah merah sekali. “Jahanam bermulut busuk!” bentaknya.
Akan tetapi,
dua orang di antara mereka menerjang ke depan, seperti berlomba hendak
menangkap gadis yang cantik itu, tidak seperti gadis dusun yang sederhana.
Diam-diam
Hong Li terkejut juga melihat gerakan mereka. Kiranya mereka ini bukan
orang-orang kasar biasa, bukan para perampok yang lebih mengandalkan kekejaman
dan kekerasan serta tenaga besar saja. Melihat gerakan kedua orang itu, tahulah
dia bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang cukup
tinggi!
Namun tentu
saja Hong Li tidak menjadi gentar menghadapi cengkeraman kedua orang yang
dilakukan dari kanan kiri itu. Ia malah menyelinap maju dengan cepat, di antara
kedua orang itu, dan membalik secara tidak terduga, kaki dan tangannya bergerak
ke kanan kiri.
“Desss!
Plakkk!”
Lima orang
di kanan kirinya terkejut bukan main karena yang seorang sudah tertendang
perutnya dan seorang lagi tertampar pipinya! Itulah satu di antara jurus-jurus
Sin-liong Ciang-hoat yang amat hebat dari Istana Gurun Pasir!
Dua orang
itu mengaduh. Mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Hong Li, yang
seorang mengelus-elus perutnya yang mendadak menjadi mulas, dan yang ke dua
mengusap darah yang mengalir di sudut bibir yang pecah.
Mereka kini
menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang lihai,
maka lenyaplah sikap main-main mereka. Mereka berdua merasa malu sekali dan penasaran
bahwa dalam segebrakan saja mereka telah terpukul dan ditendang oleh gadis itu.
Ini merupakan penghinaan besar! Mereka adalah tokoh-tokoh besar, bukan
sembarangan maling atau perampok kecil, dan kini mereka dihajar oleh seorang
gadis!
“Srat! Srattt!”
Nampak dua sinar berkilauan saat mereka mencabut golok dari punggung
masing-masing.
Tiga orang
teman mereka yang lain hanya menonton karena biar pun tadi dua orang teman
mereka telah terkena tamparan dan tendangan gadis itu, namun mereka masih tidak
meragukan bahwa dengan golok di tangan, kedua orang teman mereka tentu akan
mampu mengalahkan gadis itu. Terlalu memalukan kalau sampai mereka berlima
harus mengeroyok seorang wanita muda seperti itu!
Sekarang
sepasang mata Hong Li mencorong dan kegembiraannya semakin bernyala bersama
semangatnya. Inilah hidup! Inilah sesuatu yang selama ini dia rindukan! Dia
kehilangan gairah ini, gairah seorang pendekar yang menentang kejahatan.
Rasanya ia ingin tertawa sepuasnya.
Inilah
hidupnya. Inilah dunianya! Inilah kewajibannya, seperti kewajiban yang
dikerjakan sehari-hari oleh anak penggembala itu dengan penuh gairah dan
kegembiraan. Sengaja dia tidak mau mencabut pedangnya karena tadi dia sudah
mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dua orang itu. Biar pun mereka
bergolok, ia tidak gentar menghadapi mereka dengan tangan kosong saja!
Golok
pertama menyambar, mengancam lehernya dari samping kanan. Sambaran itu cukup
cepat dan kuat, mendatangkan sinar panjang serta suara mendesing! Dengan
gerakan lincah, hanya menggeser kaki dan memutar tubuh, golok itu mengenai
tempat kosong dan pada saat itu pula, golok ke dua menyambar dari kiri,
membacok ke arah pinggangnya dari samping. Serangan ini berbahaya sekali, datang
dengan cepatnya dan kalau sampai mengenai sasaran, tubuh wanita cantik itu
tentu akan terbabat bagian tengahnya dan akan putus menjadi dua potong!
Akan tetapi
tiba-tiba si penyerang mengeluarkan seruan kaget karena melihat wanita itu
lenyap atau lebih tepat terbang ke atas sehingga goloknya menyambar tempat
kosong! Kiranya Hong Li sudah mempergunakan ginkang-nya yang istimewa untuk
melompat ke atas, dan dari atas kakinya menendang ke pundak si penyerang.
Kembali ia membalik. Begitu tendangannya mengenai pundak, tubuhnya menyambar ke
belakang. Sebelum orang pertama menyerangkan goloknya, tangan Hong Li sudah
mengetuk lengan orang itu sehingga goloknya terlepas dan orang itu berteriak
kesakitan, bersamaan dengan teriakan orang yang tertendang pundaknya tadi.
“Bibi,
tolong...!”
Hong Li
terkejut dan ketika ia melihat betapa bocah penggembala kerbau tadi dikempit di
bawah lengan seorang di antara lima penjahat dan dibawa lari, ia pun mengejar.
“Jahanam
busuk, lepaskan anak itu!” teriaknya sambil mengejar.
Akan tetapi,
penculik anak itu sudah lari agak jauh dan menghilang ke dalam hutan. Karena
khawatir akan keselamatan bocah itu, Hong Li mempercepat larinya dan terus
mengejar. Ternyata orang yang menculik bocah itu mampu berlari cepat sekali dan
agaknya mengenal baik hutan di sepanjang lembah Sungai Yang-ce itu.
Bocah itu
menjerit-jerit terus sehingga mudah bagi Hong Li untuk terus mengejar dan
karena memang ia memiliki ginkang (ilmu meringan tubuh) yang lebih tinggi dan
dapat berlari lebih cepat, maka akhirnya ia dapat menyusul orang itu yang
terpaksa berhenti di tepi sungai. Ketika Hong Li muncul di dekat tempat itu,
dia melemparkan tubuh bocah itu ke dalam sungai! Dan tanpa menoleh lagi dia pun
melarikan diri.
Tentu saja
Hong Li lebih dahulu memperhatikan keadaan bocah penggembala yang dilempar ke
sungai. Bocah ini ternyata pandai berenang dan dapat berenang ke tepi. Akan
tetapi karena tepian sungai itu curam dan anak itu tidak dapat naik, Hong Li
lalu menelungkup dan menjulurkan tangannya untuk menarik anak itu ke atas.
Terpaksa ia melepaskan penculik anak itu yang sudah melarikan diri entah ke
mana.
“Anak baik,
engkau tidak apa-apa, bukan? Apakah orang jahat itu melukaimu?”
Anak itu
tidak menangis lagi dan dia memandang kepada Hong Li sambil menggeleng
kepalanya. “Tidak, Bibi, dan terima kasih atas bantuan Bibi. Akan tetapi
kerbauku...”
Hong Li
teringat. “Mari kita mencari kerbaumu di sana!” katanya.
Dia
memondong tubuh anak itu, lalu berlari secepatnya. Anak itu menggigil
ketakutan, akan tetapi diam saja, hanya memejamkan mata ketika merasa betapa
dia dilarikan seperti terbang cepatnya.
Akan tetapi
ketika mereka tiba di tempat kubangan kerbau, seperti yang telah diam-diam
dikhawatirkannya, lima orang kerbau itu sudah lenyap dan lima orang penjahat
itu pun tidak nampak bayangannya lagi. Tentu saja anak itu lalu menangis.
Hong Li
mengepal tinjunya. Celaka, pikirnya. Dia telah tertipu oleh para penjahat itu.
Agaknya tadi para penjahat itu maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh,
maka seorang di antara mereka sengaja melarikan anak itu untuk memancingnya
pergi dari situ dan mengejarnya. Kemudian, pada waktu hampir tersusul, orang
yang licik itu melemparkan tubuh si anak ke dalam sungai sehingga kembali Hong
Li tidak dapat melanjutkan pengejaran karena harus menolong bocah penggembala,
sementara itu, dengan enak saja keempat orang kawan penjahat itu telah
melarikan lima ekor kerbau yang tidak dijaga!
“Sudahlah,
jangan menangis,” Hong Li membujuk. “Aku akan mencari mereka.”
“Tapi...
tapi, Bibi. Tentu Paman Ciok dan Bibi Ciok akan marah sekali kepadaku karena
kerbau mereka hilang semua. Lima ekor kerbau itulah milik mereka satu-satunya
yang menghidupkan kami semua...”
Hong Li
menarik napas panjang. Benar juga, dan mungkin karena duka dan marah, keluarga
itu akan memukul anak ini atau mengusirnya.
“Mari
kuantar kau ke dusun. Aku yang akan memberi penjelasan kepada Paman Ciok itu,
dan aku yang akan mengganti kerugian mereka. Hayolah!” Ia menggandeng tangan
anak itu yang masih nampak ragu-ragu dan ketakutan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment