Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 04
Dengan
langkah tegap dan sikap tenang sekali Suma Lian melangkah terus menuju ke
serambi luar, di mana memang sengaja dipasangi empat buah lampu gantung yang
cukup terang. Kedua orang kembar itu sendiri merasa kagum akan ketabahan hati
keponakan mereka walau pun mereka masih merasa khawatir apakah kehadiran gadis
itu akan cukup membuat mereka mampu mengusir dan mengalahkan lawan yang amat
tangguh.
Kalau
tingkat kepandaian Suma Lian hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat Hui Lian,
tidak mungkin mereka akan menang. Bahkan andai kata tingkat ilmu kepandaian
gadis itu sama dengan tingkat mereka pun, masih amat disangsikan apakah mereka
akan mampu mengalahkan kakek botak itu, apa lagi kalau si nenek buruk itu
membantunya.
Ketika
mereka membuka pintu depan dan tiba di luar, ternyata benar seperti yang
dikhawatirkan Beng-san Sian-eng. Kakek botak pendek dan nenek bongkok buruk itu
sudah berada di situ, berdiri dengan sikap memandang rendah.
Nenek
bongkok bermuka buruk itu memegang tongkatnya yang butut dan kakek yang
bertubuh pendek berkepala botak dengan muka seperti seekor ikan itu menyeringai
lebar. Dia tidak nampak memegang senjata, tetapi melihat pakaiannya seperti
seorang tosu dengan gambar pat-kwa (segi delapan) di dadanya, tahulah Suma Lian
bahwa ia berhadapan dengan seorang pendeta dari perkumpulan sesat Pat-kwa-pai.
Ketika
melihat Beng-san Siang-eng muncul bersama seorang gadis yang muda dan cantik
manis, sepasang mata kakek pendek itu bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai
semakin lebar.
“Bagus, bagus...!
Beng-san Sian-eng, dari mana kalian mendapat seekor domba betina yang begini
muda, montok dan mulus, ha-ha-ha! Apa dia hendak kau tukarkan dengan anak
kalian? Gadis muda ini untuk aku, wah, aku suka sekali!”
“Hok Yang
Cu, jangan gila kau! Aku tidak butuh gadis ini dan tidak sudi kalau ditukar
dengan bocah laki-laki putera mereka!” tiba-tiba nenek itu membentak, nadanya
marah.
Kakek botak
itu tertawa bergelak. “Ha-ha, Beng-san Sian-eng, kalian sudah mendengar
sendiri, bukan? Puteramu itu tetap harus kalian berikan kepada kami, sedang
gadis ini untuk aku, sebagai pengganti kepala kalian! Nah, lekas berikan gadis
ini kepadaku dan keluarkan pula bocah laki-laki itu supaya jangan membikin
Kui-bo (Nenek Iblis) marah marah!”
Mendengar
kata-kata mereka yang amat memandang rendah, apa lagi juga sangat menghinanya,
Suma Lian menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang indah itu
mengeluarkan sinar mencorong. Ia melangkah maju menghadapi dua orang kakek dan
nenek itu sambil menudingkan telunjuknya.
“Dua orang
tua bangka tidak tahu diri dan tak mengenal malu! Kalian muncul sebagai
iblis-iblis yang curang, tidak memperkenalkan nama. Siapakah kalian dan mengapa
kalian mengganggu kedua orang pamanku ini?”
Kakek yang
sudah menjadi merah matanya melihat Suma Lian yang cantik manis, kini tertawa
bergelak sambil mengelus kepala yang botak dengan tangan kiri sedangkan tangan
kanannya menggoyang-goyangkan tangan kanan dengan sikap sombong.
“Ha-ha-ha,
anak manis, ketahuilah bahwa pinto disebut Hok Yang Cu, dan seperti dapat kau
lihat pada gambar di dadaku, aku adalah seorang tokoh Pat-kwa-pai yang
terkenal! Ada pun nenek buruk ini adalah Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati
Hitam), seorang sahabatku. Dia minta bantuanku untuk mengambil putera Beng-san
Sian-eng. Akan tetapi engkau muncul, anak manis, he-he-heh, dan setelah
melihatmu, mana aku dapat melepaskanmu lagi?”
“Tua bangka
iblis! Kedua orang pamanku tidak pernah merasa bermusuhan dengan kalian,
mengapa kalian datang mengganggu mereka? Mengakulah apa sebabnya kalian
mengganggu, ataukah kalian hanya dua orang tua bangka pengecut yang tidak
berani mengaku?” Suma Lian sengaja memanaskan hati mereka untuk mengetahui
mengapa mereka itu memusuhi kedua orang pamannya.
“Bocah
sombong!” bentak nenek itu yang jelas memperlihatkan sikap membenci wanita
muda. “Beng-san Siang-eng adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es! Kenyataan ini saja sudah cukup bagi kami untuk memusuhi mereka!”
Kini
mengertilah Suma Lian, juga Beng-san Siang-eng mengapa nenek dan kakek itu
memusuhi mereka. Kiranya mereka itu, golongan sesat, selalu tak pernah
melupakan keluarga Pendekar Pulau Es dan selalu memusuhi anggota keluarga itu
setiap kali ada kesempatan.
Hal ini
membuat Suma Lian menjadi semakin marah. Akan tetapi gadis yang pemberani ini
tidak memperlihatkan kemarahannya, sebaliknya ia marah tertawa. Suara ketawanya
nyaring dan bebas, tidak ditahan-tahan atau ditutupi mulutnya sehingga nampak
rongga mulutnya yang kemerahan dan kilatan giginya yang putih.
“He-he-hi-hi-hik!
Hek-sim Kui-bo dan Hok Yang Cu, dua orang kakek dan nenek tua bangka yang mau
mampus, orang-orang macam kalian ini berani memusuhi keluarga para Pendekar
Pulau Es? Dengar baik-baik, aku bernama Suma Lian? She Suma, ingat! Aku adalah
cucu buyut dalam dari kakek buyut Suma Han. Hayo cepat kalian berlutut minta
ampun, kemudian minggat dari sini dan jangan memperlihatkan ekor kalian lagi
sebelum aku mewakili keluarga para Pendekar Pulau Es untuk menghajarmu!”
Mendengar
ucapan yang amat merendahkan itu, si nenek sudah menjadi marah dan
mencak-mencak, akan tetapi kakek itu malah menjadi girang sekali dan dia
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku! Jadi engkau she Suma,
keturunan langsung Pendekar Pulau Es? Ha-ha-ha-ha, sudah lama sekali aku ingin
mendapatkan seorang wanita she Suma, dan baru sekarang agaknya akan berhasil,
ha-ha-ha!”
Tiba-tiba
saja dia sudah menubruk ke arah Suma Lian, tangan kirinya mencengkeram ke arah
muka gadis itu, akan tetapi dengan kecepatan kilat tangan kanannya menyusul
dengan cengkeraman ke arah dada kiri Suma Lian. Serangan ini tidak sopan, akan
tetapi juga sangat berbahaya karena gerakannya cepat sekali dan dari kedua
telapak tangan yang mencengkeram itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahsyat!
Melihat
betapa kakek yang lihai itu menyerang Suma Lian, Beng-san Siang-eng tentu saja
menjadi khawatir sekali. Akan tetapi mereka belum merasa perlu turun tangan
karena di situ juga masih ada nenek yang mereka tahu amat lihai pula itu.
Suma Lian
adalah murid terakhir dari Bu Beng Lokai di samping Pouw Li Sian yang menjadi
sumoi-nya. Selama delapan tahun, Suma Lian dan Pouw Li Sian menerima gemblengan
yang amat tekun dari Bu Beng Lokai, dan kini boleh dibilang semua inti ilmu
kepandaian kakek itu telah diwariskan, tentu saja dipilih yang ampuh-ampuh
saja. Sebelum menjadi murid Bu Beng Lokai, sebagai puteri ayah ibu pendekar
sakti, tentu saja sejak kecil Suma Lian telah menerima gemblengan orang tuanya,
maka tentu saja ia kini telah memiliki ilmu silat yang hebat.
Menghadapi
serangan kakek pendek botak, ia tidak menjadi gentar atau gugup, hanya merasa
gemas karena kakek itu ternyata seorang yang benar-benar tidak sopan, begitu
menyerang hendak mencengkeram buah dadanya! Dengan gerakan amat lincah ia pun
melangkah mundur mengelak sehingga dua tangan kakek itu yang tadi mencengkeram
dada dan kepala, tidak dapat menjangkaunya dan sebagai sambutan, kakinya
melayang tinggi dari samping mengarah muka lawan!
Kakek pendek
itu terkejut juga ketika mendadak gadis itu selain dapat menghindarkan
cengkeramannya, juga membalas dengan tendangan yang demikian kuat dan cepatnya.
Akan tetapi dia tidak mengelak, melainkan memutar lengan kanannya ke kanan
untuk menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya dari
samping.
Suma Lian
cepat-cepat menarik kembali kakinya, maklum bahwa lawannya amat lihai sehingga
dari keadaan terserang dapat mengubah kedudukan penyerang! Dan kakek itu pun
tertawa bergelak melihat gadis itu menarik kembali kakinya.
“Ha-ha-ha,
kakimu kecil dan indah, harum pula!” Dia memuji dengan nada mengejek.
Tentu saja
Suma Lian menjadi marah bukan main, akan tetapi gadis ini memang pandai sekali
menyembunyikan perasaannya, bahkan dia pun tersenyum mengejek. “Hemmm, tua
bangka buruk dan busuk. Mukamu demikian jelek dan kotor sehingga untuk menjadi
penjilat kaki pun belum cukup berharga!”
Begitu
melihat mata kakek itu terbelalak dan mukanya menjadi merah karena marah
mendengar penghinaan itu, Suma Lian sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri
ke arah ubun-ubun kepala kakek pendek itu sedangkan tangan kanannya menampar ke
arah dada. Gerakannya amat cepat dan kuat.
Pukulan ke
arah ubun-ubun itu dilakukan dengan kelima jari dibentuk paruh meruncing,
seperti paruh seekor burung garuda mematuk ubun-ubun yang botak itu. Tangan
yang berjari mungil ini jangan dipandang ringan karena pada saat itu dipenuhi
tenaga Swat-im Sinkang, yang membuat hawa yang menyambar dari tangan itu terasa
dingin sekali dan kalau sampai ubun-ubun kepala itu terkena hantaman ini, tentu
akan berlubang atau setidaknya tentu isinya akan terguncang hebat dan orangnya
tewas.
Juga
tamparan yang ke arah dada itu bukan main-main, melainkan mengandung tenaga
dahsyat sehingga sekiranya mengenai sasaran, tulang-tulang iga akan patah-patah
dan jantung di dalam dada dapat copot karena guncangannya!
“Hyaaahhhhhh...”
Kakek itu sekarang terkejut dan sambil mengeluarkan seruan ini, dia melempar
tubuh ke belakang dan berjungkir balik.
Akan tetapi,
gerakan Suma Lian luar biasa cepatnya, disusulnya tubuh yang berjungkir balik
itu dan kini tangan kanannya menghantam pula dari atas. Kakek itu yang baru
saja berjungkir balik, tidak sempat pula untuk mengelak dan terpaksa dia pun
mengangkat lengan kiri menangkis.
“Dukkk...!”
Dua lengan
bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu lalu bergulingan sambil menggigil
kedinginan!
“Swat-im
Sin-jiu...!” serunya kaget.
“Hemmm, baru
engkau mengenal kesaktian keluarga Pulau Es, ya? Nah, terimalah ini!” bentak Suma
Lian dan dengan cepatnya ia pun menerjang terus, sekali ini tubuhnya merendah
sampai hampir menelungkup dan tiba-tiba saja tubuh itu mencelat ke atas, kedua
tangan mendorong dan sekali ini ia mempergunakan tenaga sakti yang diwarisi
dari gurunya, yaitu Tenaga Inti Bumi!
Serangan
yang dilakukan dengan lebih dahulu menjatuhkan diri ke atas tanah ini sama
sekali tidak terduga oleh lawan sehingga kakek itu terkejut dan tidak sempat
mengelak. Dia kembali harus menangkis dan kini, maklum akan kelihaian gadis itu,
dia menangkis dengan kedua tangan didorongkan sambil mengerahkan seluruh tenaga
sinkang-nya.
“Desss...!”
Hebat sekali
pertemuan tenaga itu dan akibatnya, tubuh yang pendek itu terjengkang dan
kembali bergulingan. Namun Hok Yang Cu sudah meloncat bangun dengan cepat,
mukanya agak pucat dan di tepi mulutnya nampak darah. Ternyata pertemuan tenaga
sinkang melalui dua telapak tangan tadi telah mengguncangkan tubuhnya dan
membuat dia terluka di sebelah dalam tubuh sehingga muntahkan darah segar.
Kemarahan dan penasaran membuat kakek itu lupa diri dan dia sudah meloloskan
sabuknya, sabuk kulit yang ujungnya dipasangi pisau beracun.
Dua orang
kakek Gak tadinya merasa kaget, kagum dan gembira bukan main melihat betapa
keponakan mereka itu mampu menandingi, bahkan membuat kakek pendek botak itu
dua kali roboh bergulingan! Tetapi kini mereka merasa khawatir lagi melihat
betapa Hok Yang Cu melolos senjata sabuk yang mengerikan itu karena mereka
dapat melihat betapa kedua batang pisau yang ujungnya menghitam itu tentulah
mengandung racun.
Juga mereka
melihat betapa nenek Hek-sim Kui-bo kini juga memutar tongkatnya. Maka mereka
pun cepat saling memberi tanda dan keduanya sudah mencabut pedang dan meloncat
ke depan, menghadang nenek buruk itu.
“Lian-ji,
apakah engkau memerlukan pedang?” teriak Gak Jit Kong pada keponakannya. Akan
tetapi Suma Lian tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Paman,
menghadapi tua bangka yang sudah mau mampus ini perlu apa menggunakan pedang?
Sebaiknya kedua Paman mundur dan menonton saja, biarlah aku yang akan menghajar
sepasang anjing tua betina dan jantan ini sampai mereka lari terbirit-birit menyembunyikan
ekor di selangkangnya!”
“Bocah
sombong lihat senjataku!” bentak Hok Yang Cu yang kembali menyerang penuh
semangat walau pun tadinya dia sudah merasa gentar. Kini dia marah sekali dan
masih belum mau melihat kenyataan, belum mau percaya bahwa dia kalah oleh gadis
muda!
Juga nenek
Hek-sim Kui-bo menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya, akan tetapi dua
orang kakek kembar telah menyambutnya dengan pedang mereka. Maka terjadilah
perkelahian mati-matian antara nenek buruk itu melawan dua orang kakek kembar
yang memainkan pedang mereka dengan cepat dan saling membantu.
Serangan
sabuk berujung pisau beracun itu sangat berbahaya, namun dengan tenang Suma
Lian menggerakkan kakinya dan ia sudah mempergunakan langkah-langkah ajaib dari
Ilmu Sam-po Cin-keng yang luar biasa. Jangankan baru diserang oleh satu orang
yang bersenjata sabuk berpisau. Dengan ilmu langkah ajaib ini, yang sudah
dikuasainya dengan baik, bahkan Suma Lian akan berani memasuki barisan senjata
dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahannya dan keampuhan ilmu
langkah-langkah ajaib itu! Dengan mudah dia menghindarkan diri dari serangan
bertubi-tubi yang dilakukan oleh kakek pendek botak, bahkan dapat membalas
dengan tamparan atau tendangan yang membuat kakek itu kadang-kadang terdesak
hebat.
Pengeroyokan
kedua orang kakek kembar Gak terhadap nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo repot
juga. Biar pun tingkat kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya dibandingkan
masing-masing pendekar Gak itu, akan tetapi ketika mereka maju berbareng
sebagai Beng-san Sian-eng, nenek itu kewalahan juga.
Dua orang
kakek kembar ini selain memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan ampuh, juga
kalau maju berdua seperti satu orang yang berbadan dua saja. Mereka dapat
bergerak otomatis saling bantu sehingga seperti seorang lawan yang berkepala
dua dan berkaki tangan empat!
Harus diakui
bahwa biar pun mereka lebih dahulu mempelajari ilmu silat dibandingkan Suma
Lian, namun pada waktu itu tingkat kepandaian Suma Lian jauh melampaui kedua
orang pamannya. Hal ini adalah karena memang bakat gadis itu jauh lebih besar,
juga karena kedua orang saudara kembar ini belum menguasai inti dari ilmu-ilmu
silat tinggi ayah mereka.
Walau pun
demikian, karena maju berdua, cukup merupakan lawan yang amat lihai dan kuat.
Dengan Ilmu Pedang Pengacau Langit (Lo-thian Kiam-sut) mereka berdua dapat
membendung gelombang serangan tongkat Hek-sim Kui-bo, bahkan dengan pedang
mereka, kini Beng-san Siang-eng mulai mendesak nenek yang menjadi repot dan
harus terus main mundur, gelisah sekali melihat betapa teman yang
diandalkannya, si pendeta pendek itu, juga terdesak hebat oleh gadis yang amat
lihai itu!
Perkelahian
antara Suma Lian dan Hok Yang Cu memang berat sebelah. Kepandaian gadis itu
memang jauh lebih tinggi dan wataknya yang nakal dan jenaka membuat Suma Lian
sengaja mempermainkan lawan. Kalau dia menghendaki, tentu saja sejak tadi dia
sudah mampu merobohkan lawan, bahkan kalau perlu membunuhnya, akan tetapi dasar
gadis yang memiliki watak aneh dan kadang-kadang suka ugal-ugalan, maka dia pun
lebih senang mempermainkannya!
Tiba-tiba
terdengar suara seruan kanak-kanak, “Enci Lian, hajar setan pendek itu, Enci!”
Suma Lian
menengok. Ternyata Souw Hui Lian menggandeng tangan Gak Ciang Hun telah muncul
di ambang pintu depan. Wanita itu tentu saja merasa khawatir mendengar suara
perkelahian di luar dan sampai lama tiada tanda kemenangan di pihak suaminya.
Maka sambil menuntun tangan puteranya ia pun keluar untuk menonton.
Ketika ia
melihat betapa suaminya mengeroyok nenek buruk itu, sedangkan keponakan wanita
itu dengan tangkasnya mampu menandingi kakek bersabuk itu dengan tangan kosong
saja, hati Hui Lian menjadi kagum dan girang bukan main. Jelas bahwa di situ
tidak ada musuh lain kecuali dua orang itu. Maka ia pun cepat mencabut
pedangnya dan meninggalkan puteranya di ambang pintu. Ia sendiri cepat meloncat
dan membantu suami-suaminya untuk mengeroyok Hek-sim Kui-bo!
Melihat
betapa Suma Lian menandingi kakek pendek sambil berloncat cepat dan aneh dan
gadis itu tersenyum-senyum mengejek, Ciang Hun menjadi gembira dan berseru
kepada gadis itu untuk menghajar lawannya.
Pada waktu
Suma Lian menengok, kesempatan ini digunakan oleh Hok Yang Cu untuk
menyerangnya dengan hebat. Sabuknya bergerak cepat bagai kilat dan sebatang
pisau beracun meluncur ke arah tenggorokan gadis itu. Cepat bukan main serangan
ini dan tahu-tahu pisau itu telah terbang menyambar ke arah tenggorokan Suma
Lian yang berkulit halus mulus dan putih bersih!
Namun Suma
Lian tahu akan hal ini. Dia teringat akan seruan Ciang Hun, maka kini tangannya
menangkis, dan jari-jari tangannya yang kecil mungil itu menjentik ke arah
pisau.
“Tringggg...!”
Pisau itu
terpental, membalik dan terdengar kakek ini berteriak kesakitan ketika pisau
yang membalik itu tahu-tahu telah melukai pundaknya! Sebuah tendangan membuat
tubuhnya yang tersentak kaget ini terlempar dan jatuh terbanting lalu
bergulingan.
“Kui-bo…,
lari...!” teriaknya.
Dan tanpa
menanti jawaban temannya lagi, dia pun terus menggelinding ke pekarangan depan
dan meloncat bangun lalu melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam.
Sementara
itu, Hek-sim Kui-bo yang memang sudah terdesak oleh kedua orang kakek kembar
itu, menjadi semakin repot ketika Hui Lian maju membantu dua orang suaminya.
Tingkat kepandaian Hui Lian tidak banyak selisihnya dengan tingkat suaminya.
Apa lagi ketika ia melihat betapa temannya semakin terdesak.
Ketika Hok
Yang Cu terkena pisau beracunnya sendiri, hanya beberapa detik kemudian pedang
Gak Jit Kong juga sudah melukai pangkal lengan kanannya, dan tendangan Hui Lian
juga telak mengenai pahanya. Maka ia pun terhuyung ke belakang dan mendengar
seruan temannya, dia pun langsung meloncat ke pekarangan dan menghilang di
dalam kegelapan malam.
“Kejar
mereka...!” Hui Lian berseru, siap untuk mengejar. Akan tetapi sebuah tangan
yang halus menyentuh tangannya.
“Sebaliknya
tidak usah, Bibi. Musuh yang sudah melarikan diri tidak perlu dikejar, apa lagi
dalam gelap begini. Mereka adalah orang-orang yang curang dan berbahaya. Pula,
menurut kata ayah, keluarga Pulau Es tidak pernah memusuhi orang-orang golongan
hitam, hanya menentang perbuatan mereka yang jahat. Kalau mereka tidak menyerang,
tidak perlu dilayani.”
“Ia benar.
Mari kita masuk saja,” kata Gak Jit Kong dan mereka lalu memasuki rumah dan
menutup daun pintu depan dengan rapat.
“Wah, enci
Lian sungguh hebat! Kakek pendek yang lihai itu dijadikan bola olehnya!” kata
Ciang Hun gembira.
“Itulah
hasilnya kalau belajar dengan baik dan tekun,” kata Hui Lian kepada puteranya.
“Engkau harus meniru enci-mu. Suma Lian, kami berterima kasih sekali karena
kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan kami berempat.”
“Ahhh, Bibi,
kita adalah orang sekeluarga sendiri, tidak perlu bersikap sungkan. Pula,
kurasa dua orang penjahat tadi tidak akan mudah saja mengalahkan Bibi dan Paman
berdua.”
“Sudahlah,
Lian-ji, tidak perlu memuji kami. Yang jelas, kami berdua sudah ketinggalan
jauh dalam ilmu silat dibandingkan denganmu dan biarlah kami akan berlatih
dengan lebih tekun. Akan tetapi, setelah urusan yang mengganggu kami ini dapat
dihindarkan, sekarang engkau harus menceritakan keperluanmu datang berkunjung
ini.”
Suma Lian
menarik napas panjang. Memang sejak tadi selalu ditahannya berita yang tidak
menyenangkan itu karena keluarga ini sedang menghadapi ancaman bahaya. Dan
setelah kini bahaya itu lewat, tentu saja ia harus menceritakannya.
“Aku datang
berkunjung karena diutus oleh kongkong, Paman. Beliau meminta supaya Paman
berdua dan sekeluarga suka datang menengok beliau karena pada waktu ini
kongkong sedang menderita sakit...“
“Ayah
sakit...?” Dua orang kakek kembar itu berseru hampir berbareng.
“Lian-ji,
kenapa tidak dari kemarin engkau memberi tahu kami?” Gak Jit Kong menegur
dengan muka sedih.
“Ayah sakit
apakah, Suma Lian?” sambung Gak Goat Kong.
“Aku memang
menahan berita ini ketika melihat keluarga Paman terancam bahaya agar jangan
menambahi gelisah. Sebetulnya, penyakit kongkong adalah penyakit biasa, yaitu
kelemahan setiap orang yang usianya sudah terlalu tua, demikian menurut
keterangan kongkong sendiri. Karena itu, diharap agar Paman sekalian suka
berkunjung ke sana sekarang juga.”
“Ahhh,
ayah...“
Kedua orang
kembar itu merasa gelisah dan berduka, mengingat betapa selama ini mereka gagal
mencari ayah mereka. Sampai kurang lebih sepuluh tahun semenjak ayah mereka
meninggalkan Puncak Telaga Warna, mereka tidak pernah mendengar tentang ayah
mereka lagi, apa lagi melihatnya.
“Di mana
dia?” tanya Gak Jit Kong. “Jauhkah dari sini?”
“Tidak jauh,
hanya di lereng Cin-ling-san, pegunungan itu nampak dari sini kalau siang hari,
Paman.”
Dua orang
kembar itu terkejut dan girang. Ternyata ayah mereka berada di gunung sebelah!
Malam itu mereka tidak tidur lagi dan mereka berdua bertanya tentang ayah
mereka dan mereka berdua terharu bukan main mendengar betapa ayah mereka kini
berjuluk Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama) dan bahkan ketika untuk
pertama kalinya bertemu dengan Suma Lian, kakek itu seperti seorang jembel tua
yang kotor dan tidak waras!
“Aihhh,
akulah yang berdosa terhadap ayah mertuaku...“ Tiba-tiba Hui Lian menangis
ketika melihat betapa dua orang suaminya berlinangan air mata. “Akulah yang
membuat kalian berdua menjadi anak-anak yang tidak berbakti, membuat hati ayah
kalian menjadi merana dan kecewa...“
Hui Lian
menangis sesenggukan. Dia tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan dia pun
merangkul puteranya. Ciang Hun kemudian ikut menangis pada saat melihat betapa
ibunya menangis sedih.
Melihat
sikap isteri mereka itu, Beng-san Siang-eng menjadi terharu dan wajah mereka
diliputi kedukaan, “Hui Lian, kamilah yang bersalah terhadap ayah!” kata Gak
Jit Kong.
“Engkau
tidak bersalah, dan biarlah nanti kami yang akan mohon ampun kepada ayah.”
sambung Gak Goat Kong.
Suma Lian
adalah seorang gadis yang memiliki perasaan yang peka, mudah tersentuh sehingga
ia mudah riang gembira dan jenaka, akan tetapi mudah pula terharu. Melihat Hui
Lian menangis, diikuti puteranya, dan melihat pula sikap dua orang kakek kembar
itu yang gagah perkasa dan masing-masing mengakui kesalahan dengan isteri
mereka, ia pun merasa terharu sekali sampai kedua matanya menjadi basah.
Ia dapat
merasakan cinta kasih yang besar antara dua orang kembar itu dengan isteri
mereka. Keadaan mereka itu memang amat ganjil bagi Suma Lian dan ia tidak dapat
menyelaminya, namun ia dapat merasakan kasih sayang yang amat mendalam di dalam
keluarga orang kembar ini.
“Paman dan
Bibi, harap kalian jangan berduka. Ketahuilah bahwa kongkong sering kali
membicarakan tentang Paman dan Bibi dengan sikap yang amat mencinta dan rindu.
Dari kata-katanya aku dapat memastikan bahwa beliau sama sekali tidak marah
kepada kalian, apa lagi membenci.”
Mendengar
ini, dua orang saudara kembar itu memandang kepada Suma Lian dengan sinar mata
penuh harapan. “Suma Lian, benarkah kata-katamu barusan ataukah hanya hiburan
belaka untuk kami?” tanya Gak Goat Kong.
“Paman, mana
aku berani membohong?”
“Sudahlah,
mari kita semua berangkat. Andai kata ayah marah-marah kepada kita sekali pun,
hal itu sudah sepatutnya dan kita hanya bisa minta maaf kepadanya. Yang
penting, kita dapat bertemu dan menghadap ayah. Aihh, Lian-ji, betapa selama
bertahun-tahun ini kami bersusah payah mencari ayah, namun selalu gagal,” kata
Gak Jit Kong.
Konflik atau
pertentangan yang terjadi antara kita dengan orang lain, sama sekali tidak
dapat diatasi dengan prasangka, dengan sikap ingin benar sendiri dan ingin
menang sendiri. Konflik akan makin memuncak kalau kita saling menilai keadaan
orang lain itu, karena penilaian selalu dipengaruhi keadaan hati seseorang,
didasari rasa suka dan tidak suka yang timbul dari si aku yang merasa
diuntungkan atau dirugikan.
Kalau kita
sedang bertentangan dengan seseorang, biasanya kita selalu menilai orang itu,
segala sikap dan perbuatannya terhadap kita yang tentu saja menimbulkan nilai
buruk karena orang itu kita anggap merugikan. Penilaian ini akan menambah
tebalnya kebencian dan permusuhan.
Akan tetapi,
cobalah kita mulai mengarahkan pengamatan kepada diri kita sendiri, sikap dan
perbuatan kita sendiri tanpa penilaian, tetapi dengan pengamatan yang waspada,
tanpa memihak, menyalahkan atau membenarkan diri sendiri. Maka, akan nampak
jelas bahwa segala sebab yang mengakibatkan pertentangan, sebagian besar
terletak dalam diri kita sendiri masing-masing.
Pengamatan
terhadap diri ini akan dapat mendatangkan perubahan, dan ini menghapus
pertentangan, sebab konflik keluar hanyalah pencerminan dari konflik yang
terjadi dalam diri sendiri. Pengamatan kita terhadap diri sendiri, setiap saat,
akan mengubah semua ulah kita terhadap orang lain, tidak mudah mata kita
dibutakan oleh nafsu belaka, tidak mudah kita menjadi ‘mata gelap’ seperti
dikatakan orang-orang bijaksana di jaman dahulu bahwa musuh yang paling kuat,
paling berbahaya, paling licik, adalah diri sendiri, pikiran sendiri! Setan
pembujuk dan penipu bukan berada di luar diri kita sendiri! Karena itu,
pengamatan yang waspada terhadap diri sendiri akan melumpuhkan setan ini!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah keluarga Beng-san Siang-eng yang
terdiri dari dua orang suami, satu isteri dan satu anak itu, mengikuti Suma
Lian, menuju ke Pegunungan Cin-ling-san yang luas dan mempunyai banyak
bukit-bukit. Di satu di antara lereng bukit inilah kini tinggal Bu Beng
Lokai.....
***************
Bukit itu
mempunyai sumber air dan tanahnya amat subur, penuh dengan pohon-pohon besar.
Di tengah sebuah di antara hutan-hutan yang memenuhi bukit yang merupakan anak
bukit Pegunungan Cin-ling-san ini terdapat sebuah pondok. Tidak besar, hanya
terbuat dari kayu-kayu pohon besar, dan memiliki dua buah kamar saja. Namun
pondok itu terawat bersih, dan di depannya bahkan terdapat sebuah taman bunga
yang indah.
Inilah
tempat tinggal Bu Beng Lokai bersama dua orang muridnya, yaitu Suma Lian dan
Pouw Li Sian. Muridnya yang bernama Suma Lian telah kita kenal, dan Suma Lian
masih terhitung cucu keponakannya sendiri, atau lebih tepat, cucu keponakan
mendiang isterinya. Ada pun muridnya yang ke dua, juga seorang gadis yang
bernama Pouw Li Sian, usianya sebaya dengan Suma Lian, hanya lebih muda
beberapa bulan saja.
Seperti Suma
Lian, Pouw Li Sian ini juga tekun belajar silat dan kini telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Ia juga cantik manis, dengan tahi lalat kecil di
dagunya yang meruncing, menambah manis. Tetapi, wataknya sungguh jauh berbeda
dengan Suma Lian.
Jika Suma
Lian seorang gadis lincah, jenaka gembira yang kadang-kadang ugal-ugalan,
dengan pakaian yang nyentrik dan seenaknya, sebaliknya Pouw Li Sian adalah
seorang gadis yang cantik dan halus gerak-geriknya, sopan santun tutur katanya,
dan biar pun pakaiannya juga sederhana dan tambal-tambalan seperti pakaian
gurunya dan pakaian Suma Lian, namun potongan pakaian itu rapi dan sopan.
Di dalam
kisah SULING NAGA telah diceritakan betapa Pouw Li Sian ini adalah seorang
keturunan bangsawan tinggi. Mendiang ayahnya adalah seorang menteri, seorang
bangsawan tinggi yang berjiwa satria.
Pada waktu
Pouw Tong Ki, demikian nama menteri itu, masih duduk sebagai Menteri
Pendapatan, ia telah bentrok dengan pembesar tinggi Hou Seng, thaikam (orang
kebiri) yang menjadi kekasih kaisar dan karenanya mempunyai kedudukan yang amat
tinggi dan kekuasaan yang tak terbatas. Dalam bentrokan inilah Pouw Tong Ki
kena fitnah dan bahkan terbunuh oleh kaki tangan Hou Seng yang bersekutu dengan
datuk-datuk sesat dari golongan hitam.
Seluruh
keluarganya lalu terbasmi dan ditangkap sebagai pemberontak karena difitnah,
kecuali Pouw Li Sian, puteri menteri itu yang dapat diselamatkan oleh Bu Beng
Lokai. Ketika peristiwa itu terjadi, Pouw Li Sian baru berusia dua belas tahun
dan bersama Suma Lian ia lalu diajak pergi oleh Bu Beng Lokai sebagai muridnya.
Kini Li Sian
telah berusia dua puluh tahun, dan selama delapan tahun itu ia ikut bersama
guru dan suci-nya (kakak seperguruannya) merantau, hidup menempuh kesulitan dan
kekerasan serta kekurangan. Dan akhirnya, dua tahun yang lalu, gurunya menetap
di dalam hutan di lereng bukit Pegunungan Cin-ling-San itu.
Li Sian,
seperti juga Suma Lian, sangat sayang kepada gurunya, karena selain sebagai penyelamat
dirinya, juga Bu Beng Lokai adalah satu-satunya orang yang melindungi dan
menyayangnya. Seperti juga Suma Lian ia tidak menyebut suhu (guru) kepada Bu
Beng Lokai, melainkan kongkong (kakek) dan hal ini diterima dengan senang oleh
kakek itu karena dia merasa seolah-olah puteri menteri itu adalah seorang
cucunya sendiri, seperti Suma Lian. Dan hubungan antara Suma Lian dan Pouw Li
Sian juga akrab sekali karena mereka hidup berdua di bawah asuhan kakek sakti
itu sehingga mereka seolah-olah dua orang kakak beradik saja.
Ketika
melihat kakek itu makin lemah karena usia yang tua, sudah mendekati seratus
tahun, nampak semakin malas dan lebih sering bersemedhi atau tidur, mulailah
kedua orang kakak beradik seperguruan itu merasa khawatir. Akhirnya kakek yang
gagah itu pun harus mengalah dan mengakui keunggulan sang waktu.
Segala
sesuatu di dunia ini akan berakhir, sedikit demi sedikit akan lenyap ditelan
sang waktu. Demikian pula kehidupan manusia. Sang waktu akan menelan manusia
sedikit demi sedikit melalui usia. Tanpa terasa manusia mendapatkan dirinya
makin tua, makin dekat dengan saat akhir di mana dia harus mengakui kelemahan
dirinya, mengakui betapa kehidupan ini tidaklah abadi, dan kematian akan
menjemputnya dan mengakhiri segala perjalanan hidupnya.
Ketika kakek
itu lebih banyak berbaring dengan lemah, dan sering kali mengigau dalam tidur
memanggil-manggil nama kedua anak kembarnya, Suma Lian lalu memberanikan diri
mengajukan usul kepada kongkong-nya, setelah berunding dengan sumoi-nya, Li
Sian.
“Kongkong,
bagaimana kalau aku pergi ke Beng-san dan menemui kedua orang paman Gak Jit
Kong dan Gak Goat Kong, memberi tahu mereka bahwa Kongkong berada di sini dan
mengajak mereka untuk datang ke sini?” demikian usulnya sambil duduk di tepi
pembaringan kakek itu, sementara itu Li Sian memijati kaki gurunya.
Kakek itu
membuka matanya dan sejenak sepasang mata itu mengeluarkan sinar, akan tetapi
menjadi redup kembali, kemudian dia menghela napas panjang dan terdengar
kata-katanya, seperti kepada diri sendiri, hanya lirih saja. “Ahhh, mereka
tidak akan mau datang menengokku, mereka telah melupakan ayah mereka...“
Melihat,
sikap kongkong-nya ini, Suma Lian lalu berunding dengan sumoi-nya dan Pouw Li
Sian juga merasa setuju untuk mengundang putera kembar guru mereka itu.
Akhirnya diputuskan bahwa Suma Lian akan pergi mengabarkan kepada Beng-san
Siang-eng, sedangkan Pouw Li Sian tetap tinggal di rumah itu untuk menjaga dan
melayani semua keperluan gurunya.
Setelah Suma
Lian pergi dan pada suatu pagi Bu Beng Lokai menanyakan kepada Li Sian ke mana
perginya suci-nya itu, Li Sian terus terang mengatakan bahwa suci-nya itu pergi
ke Beng-san untuk mengundang Beng-san Siang-eng. Wajah kakek itu nampak berseri
dan sinar matanya penuh harap sehingga diam-diam Li Sian merasa terharu dan
bersyukur bahwa suci-nya mempunyai pendapat yang amat baik untuk mengundang
kedua orang pendekar kembar itu.
Beberapa
hari kemudian, Li Sian duduk di depan pondok bersama gurunya. Kakek Bu Beng
Lokai nampak agak segar pagi itu, dan begitu merasa tubuhnya sehat, dia pun
duduk di depan pondok untuk membiarkan sinar matahari pagi memandikan dirinya.
Li Sian sudah selesai berlatih dan mencuci pakaian dan kini ia menemani kakek
itu duduk di luar pondok. Kakek itu sudah sarapan bubur yang tadi dipersiapkan
Li Sian dan gadis itu duduk di atas sebuah bangku kecil, di sebelah kanan
gurunya yang membuka baju atas membiarkan sinar matahari menghangatkan dadanya.
“Saya
gembira sekali, pagi ini Kongkong nampak sehat sekali,” berkata Li Sian sambil
memandang kakek itu dengan sinar mata penuh hormat dan sayang.
Bu Beng
Lokai memandang muridnya itu dan tersenyum. “Li Sian, aku sudah lama tidak
melihat engkau berlatih. Sekarang cobalah engkau mainkan Lo-thian Sin-kun, aku
ingin sekali melihat sampai di mana kemajuanmu.”
“Baik,
Kongkong,” kata Li Sian.
Gadis ini
bangkit berdiri lalu meloncat ke tengah pekarangan depan rumah itu, di dekat
taman bunga yang dirawatnya dengan amat baik bersama suci-nya. Ilmu Silat
Lo-thian Sin-kun dan Lo-thian Kiam-sut memang merupakan dua buah ilmu silat
tinggi yang telah disempurnakan oleh kakek itu dan merupakan inti dari pada
ilmu-ilmu yang diajarkan kepada dua orang muridnya. Setelah memberi hormat
dengan mengepal tangan kanan dilekatkan tangan kiri yang terbuka di depan ulu
hati dan menghadap gurunya, Li Sian lalu bersilat.
Indah bukan
main gerakan gadis ini. Orangnya memang cantik, bentuk tubuhnya indah. Tubuh
seorang dara yang sedang masak-masaknya, dengan pinggang ramping dan lekuk
lengkung tubuh yang sempurna, penuh sifat kehalusan dan kelembutan seorang
wanita, maka gerakan silat itu sungguh amat indah. Memang Bu Beng Lokai yang
sudah mendalami ilmu silat sampai ke intinya, menekankan segi-segi terpenting
dari ilmu silat.
Di dalam
gerakan ilmu silat terkandung seni tari yang indah, gerakan tubuh demikian
hidup dan penuh keindahan, juga mengandung seni olah raga yang menyehatkan
tubuh sebab gerakan-gerakan itu memperlancar jalan darah bahkan mengendalikan
hawa dan tenaga sakti dalam tubuh. Selain seni tari dan olah raga, juga
mengandung pengaruh menyehatkan batin di samping ilmu bela diri.
Permainan Li
Sian memang indah sekali, juga gerakannya mantap, setiap pukulan atau tangkisan
mengandung tenaga yang nampaknya halus namun sesungguhnya amat kuat karena
gadis ini pun sudah menguasai penggunaan Tenaga Inti Bumi, bahkan sudah mahir
pula mempergunakan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari Pulau Es!
Kecepatannya
mengagumkan sehingga diam-diam Bu Beng Lokai mengangguk-angguk bangga.
Keindahan, kecepatan, kekuatan, tiga hal ini sudah terwujud dalam ilmu silat
yang dimainkan Li Sian.
“Ambil
ranting dan pergunakan sebagai pedang, mainkan Lo-thian Kiam-sut,” kata Bu Beng
Lokai.
Tubuh gadis
itu tiba-tiba berkelebat ke atas, ke arah sebatang pohon di tengah taman bunga
dan ketika berkelebat kembali ke depan gurunya, ia sudah memegang sebatang
ranting pohon. Sekali menggerakkan ranting itu, daun-daun yang melekat di situ
rontok dan mulailah ia memainkan ilmu pedang yang diminta gurunya. Seperti juga
ilmu silat tangan kosong yang tadi dimainkan dengan halus namun dengan kecepatan
yang luar biasa, membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar hijau dari ranting
itu, sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya!
Melihat
kemajuan muridnya ini, timbul kegembiraan hati Bu Beng Lokai dan tiba-tiba dia
sudah bangkit berdiri. “Li Sian, mari kita latihan bersama!” katanya gembira.
Dan kakek
itu sudah meloncat memasuki gulungan sinar pada ranting pohon yang dimainkan
sebagai pedang oleh gadis itu. Dia mainkan kedua tangannya dan kakinya bergerak
dalam langkah-langkah ajaib Sam-po Ci-keng dan melihat ini, Li Sian girang
bukan main. Ini menandakan bahwa gurunya itu telah sehat benar!
Maka, ia pun
melayani gurunya dan mereka berlatih bersama. Biar pun sudah tua dan baru saja
sembuh dari keadaan tidak sehat, namun begitu tubuhnya bergerak dalam permainan
silat, tubuh itu seperti mendapatkan kekuatan baru dan gerakannya lincah dan
kuat! Li Sian juga bersilat dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengalahkan
gurunya.
Namun, biar
gurunya sudah sangat tua, bagaimana pun juga dia kalah jauh dalam hal
kematangan ilmu silat dan pengalaman. Tiba-tiba ujung ranting yang dimainkan
sebagai pedang itu dapat tertangkap oleh tangan kanan kakek itu. Li Sian
mengerahkan tenaga untuk merampas kembali senjatanya, kakek itu mempertahankan.
“Krekkk!”
Ranting itu patah-patah dan keduanya melompat ke belakang. Wajah Li Sian
berubah merah.
“Wah,
Kongkong sudah sehat benar, sudah mampu mengalahkan saya dengan amat mudah!”
kata Li Sian.
Bu Beng
Lokai berkata setelah menghapus peluhnya yang membasahi tubuh atas itu dengan
bajunya.
“Li Sian,
pada saat lawan berhasil menangkap senjata, kesempatan itulah yang teramat baik
untuk menyerangnya. Biarkan ia kegirangan karena berhasil menangkap senjatamu
sehingga dia lengah. Dan pada detik itu pula muncul kesempatan yang teramat
baik untuk merobohkannya.”
“Maksud
Kongkong, saya tidak seharusnya mengerahkan tenaga untuk coba merampas kembali
senjata yang sudah tertangkap, tetapi menggunakan saat itu untuk menyerang
lawan dengan tangan kiri?”
Kakek itu
mengangguk. “Benar, tertangkapnya senjatamu merupakan pancingan yang tidak
disengaja dan dapat berhasil baik. Lawan akan lengah dan saat itu engkau dapat
mempergunakan tangan kiri atau kakimu untuk menyerangnya. Ini berarti
membiarkan kemenangan datang melalui kekalahan. Kelihatannya saja engkau sudah
kalah karena senjatamu tertangkap, akan tetapi kekalahan itu justeru membuka
kesempatan bagimu untuk memperoleh kemenangan. Mengertikah engkau?”
“Saya
mengerti, Kongkong.”
“Nah, bagus.
Bagaimana pun juga, engkau sudah memperoleh kemajuan yang cukup baik. Tentu
selama aku mengaso dan tak mampu mengawasimu, engkau terus berlatih dengan
giat.”
“Ahhh,
betapa pun kerasnya saya berlatih, masih sukar bagi saya untuk mengimbangi
kemajuan suci, Kongkong.”
Kakek itu
tersenyum. “Bukan salahmu. Suma Lian memang berbakat sekali, dan selain itu,
ingatlah bahwa ia keturunan langsung dari ayah mertuaku, Pendekar Super Sakti
Suma Han dari Pulau Es! Bahkan ayah ibunya juga merupakan sepasang pendekar
yang sakti. Sejak kecil ia sudah digembleng ayah ibunya dan ketika ia menjadi
muridku, ia telah memiliki dasar yang kuat sekali, berbeda dengan engkau yang
ketika itu belum pernah mempelajari ilmu silat sama sekali. Ilmu kepandaian
silat mendiang ayahmu, Menteri Pouw Tong Ki itu tidak ada artinya kalau
dibandingkan dengan tingkat ilmu silat ayah ibu Suma Lian. Ketahuilah, Li Sian,
bahwa ilmu-ilmu dari Pulau Es amat tinggi dan karenanya tidak mudah dikuasai
dengan sempurna. Misalnya saja Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang yang pernah
kau latih itu, kiranya sekarang sukar mencari orang yang mampu menguasainya
sesempurna mendiang ayah mertuaku! Mungkin hanya Suma Ceng Liong ayah Suma Lian
saja yang saat ini memiliki tingkat paling tinggi dalam hal ilmu silat keluarga
Pulau Es. Akan tetapi, bekalmu sudah lebih dari cukup. Kalau engkau giat
berlatih dan ditambah pengalaman-pengalamanmu nanti, kiranya engkau tidak akan
tertinggal terlalu jauh. Eh, mengapa Suma Lian belum juga pulang?”
Li Sian
masih duduk bersila di atas batu datar untuk mengatur pernapasan, memulihkan
tenaga setelah latihan tadi. Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, ia pun
menjawab. “Menurut perhitungan Lian-suci, mestinya kemarin ia sudah pulang.
Saya kira hari ini ia akan pulang, Kongkong.”
Kakek itu
mengangguk-angguk, lalu duduk bersila pula di atas batu datar lain yang banyak
terdapat di pekarangan itu. “Aku harus mengaso, sedikit latihan tadi melelahkan
tubuhku, akan tetapi juga amat menggembirakan dan memberi semangat,” katanya.
Dan tidak lama kemudian, Bu Beng Lokai sudah tenggelam dalam semedhinya.
Belum satu
jam mereka berlatih semedhi, baru saja Li Sian bangkit dari duduknya untuk
melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari
jauh.
“Kongkong...!
Sumoi...! Aku datang...!”
Suara
sucinya, Suma Lian, siapa lagi! Suara itu demikian nyaring dan bening, seperti
kepingan perak atau emas berdencing, mendatangkan kecerahan dan kegembiraan.
Li Sian
cepat memandang dan ia melihat suci-nya datang berjalan bersama dua orang
laki-laki yang usianya mendekati enam puluh tahun, sikap mereka gagah. Selain
dua orang kakek yang wajah dan tubuhnya sangat serupa itu, nampak pula seorang
wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun dan seorang anak laki-laki
berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia pun segera tahu siapa mereka dan dengan
girang ia lalu berseru kepada gurunya.
“Kongkong,
mereka telah datang!”
Bu Beng
Lokai membuka matanya, akan tetapi tidak turun dari atas batu datar karena
nampaknya masih lelah. Dia hanya memandang ke arah rombongan yang kini sedang
menghampiri tempat itu.
Ketika Gak
Jit Kong dan Gak Goat Kong melihat kakek tua renta yang tidak berbaju duduk di
atas batu datar, nampak tua dan lelah serta lemah, mereka merasa jantung mereka
seperti ditusuk-tusuk dan keduanya lalu berlari menghampiri sambil menangis,
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dan mereka menangis mengguguk
seperti dua orang anak kecil.
“Ayah...
bertahun-tahun kami mencari Ayah tanpa hasil,“ kata Gak Jit Kong.
“Ayah,
ampunkan semua dosa kami, Ayah...“ kata pula Gak Goat Kong.
Bu Beng Lokai
atau Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum dan kedua tangannya menyentuh kepala
dua orang yang berlutut di depannya. Matanya basah dan suaranya lirih gemetar
ketika dia berkata, “Anak-anakku... anak-anakku... mana dia, isterimu dan
apakah kalian mempunyai keturunan?”
Hui Lian
sejak tadi sudah menarik tangan puteranya dan berlutut tidak jauh dari situ.
Mendengar ucapan ini, ia pun bergeser maju sambil menggandeng tangan puteranya.
Ia telah menangis semenjak tadi melihat betapa dua orang suaminya mengguguk
dalam tangisnya di depan kaki ayah mertuanya itu.
“Ayah...
saya Souw Hui Lian mantumu yang hina dan bodoh dan ini adalah Gak Ciang Hun,
anak tunggal kami...”
Gak Bun Beng
memandang mereka. “Anak baik, engkau telah membahagiakan kedua anak-anakku...
terima kasih… dan cucuku... ke sinilah, cucuku...“
Gak Ciang
Hun sudah sering mendengar dari kedua ayahnya tentang kakeknya yang dikatakan
memlliki ilmu kepandaian amat tinggi seperti dewa, maka sejak tadi dia sudah
memandang dengan kagum, juga agak jeri. Mendengar kini kakek itu memanggilnya,
dia pun cepat maju menghampiri.
“Cucuku...
ahh, sudah begini besar, cucuku...!” Dia mencoba untuk bangkit akan tetapi
terhuyung.
Suma Lian,
juga dua orang puteranya cepat meloncat untuk menolongnya, akan tetapi kakek itu
menolak mereka dan berkata,
“Biarkan aku
dengan cucuku sendiri!” Suaranya tegas sehingga Suma Lian dan Li Sian mundur
kembali.
Suma Lian
dan Li Sian hanya saling pandang dengan alis berkerut dan pandang mata
khawatir. Mereka tahu benar bahwa guru mereka, juga kakek mereka itu berada
dalam keadaan yang tidak sehat dan lemah, bukan hanya karena penyakit, tetapi
terutama karena usia tua.
Sementara
itu, Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng telah menggandeng tangan cucunya, diajak
memasuki ruangan latihan silat. Kedua orang saudara kembar Gak bersama isteri
mereka, juga Suma Lian dan Li Sian, hanya mengikuti dari belakang.
Setelah tiba
di ruangan latihan silat, kakek Gak Bun Beng lalu berkata kepada cucunya,
“Ciang Hun, engkau tentu telah dilatih silat oleh orang tuamu. Nah, perlihatkan
kepada kakekmu ini sampai di mana kemampuanmu.”
Ciang Hun
memang sejak kecil digembleng oleh kedua orang ayahnya dan seorang ibunya.
Sebetulnya dia malu dan khawatir ditegur kakeknya karena di depan kakeknya yang
kabarnya sakti itu tentu kepandaian silatnya masih belum ada artinya. Akan
tetapi dia pun tidak berani membantah, melangkah ke tengah ruangan dan setelah
memberi hormat, dia pun lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat
dasar Lo-thian Sin-kun. Gerakannya cukup gesit dan penggunaan tenaga yang
tepat, sesuai dengan usianya.
Melihat ini,
agaknya Bu Beng Lokai cukup puas. Biar pun tidak mempunyai bakat yang terlalu
menonjol, akan tetapi Ciang Hun cukup baik, bahkan kelak tingkatnya dapat lebih
tinggi dari pada orang tuanya kalau rajin berlatih.
“Nah,
sekarang duduklah bersila di situ, cucuku,” kata kakek itu. Dia pun menghampiri
cucunya yang duduk bersila itu. “Buka bajumu!”
Ciang Hun
merasa heran akan tetapi tak berani membantah dan anak itu pun membuka bajunya.
Kakek itu lalu duduk bersila di belakang cucunya. Melihat ini, Suma Lian dan Li
Sian dapat menduga apa yang akan dilakukan guru mereka dan keduanya merasa amat
khawatir.
“Kongkong...!”
Mereka berdua berseru lirih.
Kakek itu
menoleh kepada mereka, lalu tersenyum. “Lian dan Sian, kalian berdua telah
menerima semua ilmuku dan kurasa sudah cukup bagi kalian untuk mempergunakan
ilmu-ilmu itu untuk berjaga diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Aku tak
punya apa-apa lagi untuk diwariskan kepada cucuku, maka semua yang ada padaku
akan kutinggalkan kepadanya.”
“Akan tetapi,
Kongkong sedang sakit...,“ bantah Suma Lian.
“Dan
Kongkong baru saja berlatih dan dalam keadaan lelah...,“ sambung Li Sian, sama
khawatirnya dengan suci-nya.
“Sudahlah,
harap kalian jangan khawatir. Jika tidak sekarang saatnya, mau kapan lagi?
Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk cucuku, dan tentang mati hidup, hal itu
adalah urusan Tuhan!”
Setelah
berkata demikian, kakek itu menempelkan kedua tapak tangannya di punggung
cucunya dan matanya terpejam. Melihat ini, barulah kedua orang bersaudara kembar
Gak itu dan isteri mereka tahu apa yang akan dilakukan ayah mereka, dan mereka
pun memandang dengan khawatir, akan tetapi tidak berani menghalangi.
“Kendurkan
seluruh urat-urat tubuhmu, cucuku, dan jangan melawan. Terima saja hawa panas
yang memasuki tubuhmu,” kakek itu berbisik dan dia pun segera mengerahkan
sinkang-nya untuk disalurkan ke dalam tubuh cucunya!
Biar pun
usianya baru sepuluh tahun, sebagai putera pendekar, Ciang Hun sudah tahu apa
yang sedang dilakukan oleh kakeknya. Tentu kakeknya akan menyalurkan tenaga
sinkang, memindahkan tenaga sakti itu kepadanya. Diam-diam dia merasa girang
bukan main walau pun hatinya tegang karena dia belum pernan merasakan hal ini
dan dia pun maklum bahwa pengoperan tenaga sakti itu dapat membahayakan dirinya
sendiri kalau dia tidak mentaati sepenuhnya. Maka dia pun mengendorkan semua
urat di tubuhnya dan menghentikan semua pikiran seperti dalam latihan semedhi.
Tidak lama
kemudian anak itu merasakan betapa ada hawa yang mula-mula hangat memasuki
tubuhnya. Hawa itu makin lama makin panas, masuk makin banyak sampai memenuhi
tubuhnya dan berputaran. Kepalanya mulai terasa pening, keringatnya keluar di
seluruh tubuhnya dan hampir saja dia tidak kuat menahan.
Namun Ciang
Hun mematikan semua rasa dan pasrah. Hawa yang tadinya amat panas itu kemudian
menjadi hangat kembali, makin lama makin berkurang panasnya, bahkan menjadi
dingin dan semakin dingin sampai Ciang Hun menggigil dan giginya berbunyi. Akan
tetapi anak itu tetap diam dan dapat mempertahankan kebekuan yang menyerang
dari dalam itu! Dia lapat-lapat mendengar seruan-seruan khawatir dari dua orang
gadis murid kakeknya, akan tetapi tidak dipedulikan.
Rasa dingin
luar biasa itu makin lama semakin berkurang dan akhirnya kembali hangat seperti
semula. Akan tetapi dia merasa tengkuknya panas sekali dan ada hembusan panas
meniup tengkuknya dari luar yang membuatnya sadar dari semedhinya. Kini dia
mendengar betapa hembusan napas panas itu keluar dari mulut dan hidung kakeknya
yang kini terdengar terengah-engah. Kedua tangan kakeknya yang tadi tertempel
di kulit punggungnya, kini terlepas.
“Kongkong...!”
Terdengar Suma Lian dan Li Sian berseru.
“Ayah...!”
Kedua ayahnya juga berteriak dan mereka sudah berlutut mendekat.
Ciang Hun
mencoba berdiri, akan tetapi kepalanya menjadi pening seketika dan tentu dia
sudah terguling roboh jika saja tidak ada ibunya yang cepat merangkulnya. Ibu
dan anak itu berangkulan memandang pada kakek itu yang ternyata telah roboh
terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, akan tetapi mulutnya
yang setengah terbuka itu nampak tersenyum!
“Kongkong...
ahhh, mengapa engkau melakukan ini?” Suma Lian nampak meraba dada gurunya.
“Kongkong,
kenapa engkau memaksa diri...?” Li Sian juga meraba pundak gurunya dan ia pun
mulai menangis.
Gak Jit Kong
dan Gak Goat Kong saling pandang. Mereka pun telah tahu bahwa ayah mereka tadi
sudah memindahkan sinkang ke tubuh putera mereka. Akan tetapi hal ini amat
memeras tenaga kakek itu yang sedang dalam keadaan lemah dan lelah.
“Ayah...
kembali kami yang datang hanya menyusahkan Ayah saja,” kata Goat Kong menyesal.
“Ayah, kami
tidak pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan hatimu, akan tetapi Ayah telah
mewariskan sinkang kepada Ciang Hun dengan mengorbankan diri...!” kata pula Gak
Jit Kong.
Kakek itu
dengan lemah membuka kedua matanya. Dengan napas terengah-engah dia tersenyum,
memandang kepada mereka yang merubungnya.
“Aku puas...
aku tak dapat meninggalkan apa-apa... latihlah ia dengan Hui-yang Sinkang dan
Swat-im Sinkang... dia... dia akan kuat sekali... ahh, sayang aku harus mati
dalam keadaan lemah! Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia
dan aku mati dalam perkelahian! Sayang... tapi... ahhh, lihat itu... ibu kalian
datang... Milana... tungguuu...!” Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan
tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.
Tiga orang
wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang
dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan
suara penuh penyesalan.
“Ahhh, semua
ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami...“
Mendengar
ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka.
Suma Lian
memandang mereka dengan mata basah. “Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman.
Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kongkong, dan agaknya
memang sudah tiba saatnya bagi kongkong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan
sinkang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semuanya sudah dipastikan dan
ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.”
Mereka lalu
mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, menantu pertama dari
Pendekar Super Sakti. Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya,
maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana.
Sungguh
menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka,
yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia
kang-ouw, kini meninggal dunia serta diperabukan tanpa ada yang menghadiri,
kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan dua orang muridnya, di tempat
yang amat sunyi itu.
Setelah
jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah
mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah
mereka itu. Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama
isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang
mengeluh akibat tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia
panas dingin. Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam
perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi
petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di
dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu
sudah mampu mengendalikannya.
Tinggallah
dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas
tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapa pun juga, dua
orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan
di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung
saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa
berat untuk saling berpisah.
Juga mereka
merasa terharu dan sangat berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin
kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka
kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh dua orang kembar
Gak yang lebih berhak.
Guru mereka
tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu.
Barang-barang yang dipakai Bu Beng Lokai sehari-hari, telah diikutkan bersama
jenazah ketika dibakar. Yang masih tersisa hanyalah batu datar yang hitam
mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersemedhi. Saking merasa
kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian
duduk bersemedhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala
budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.
Setelah tiga
hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada
manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan,
kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk
meninggalkan tempat itu.
Suma Lian
berkata dengan suara yang berat kerena bagaimana pun juga, ia merasa berat
untuk berpisah dari sumoi-nya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu.
“Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal
lebih lama di sini.”
“Engkau benar,
Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu... ke mana kita akan pergi, Suci?” Li
Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus
pergi ke mana karena orang tuanya sudah tiada.
“Aku sendiri
akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan
engkau, Sumoi?”
“Aku...?
Aku... entah akan pergi ke mana...?” kata Li Sian dan melihat wajah sumoi-nya
menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.
“Ahh, aku
lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Nah, bagaimana kalau
engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal
bersama di sana, alangkah akan senangnya...!”
Akan tetapi
Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Terima kasih, Suci, Engkau baik
sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat
tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu
dengan kehadiranku dan...”
“Ahh, mereka
pasti akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap
seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk
mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!”
Kini Li Sian
yang merangkul suci-nya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada
suci-nya. “Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku
pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biar
pun ayah bundaku sudah tidak ada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih
mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu,
ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa
tahu ada di antara mereka yang dapat kutemukan. Mereka merupakan satu-satunya
keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal,
barulah aku akan menyusulmu ke dusun Hong-cun, Su-ci.”
Suma Lian
mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun
gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan,
sedangkan Li Sian menuju ke utara. Dua orang saudara seperguruan yang berangkat
dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah mereka saling rangkul sampai
sekian lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat
dengan kedua mata basah.
*************
Kao Cin
Liong dan isterinya, Suma Hui, tinggal di kota Pao-teng, di sebelah selatan
kota raja. Bekas panglima Kao ini berdagang rempah-rempah, dan terlihat sebagai
pedagang biasa saja bagi mereka yang tidak mengenalnya. Akan tetapi, dunia
kang-ouw tahu belaka siapa sesungguhnya pria yang kini usianya telah lima puluh
delapan tahun tetapi masih nampak gagah perkasa itu. Juga siapa kira isterinya
sendiri yang telah mendekati usia lima puluh tahun namun masih nampak lincah
dan jauh lebih muda dari usianya, tubuhnya masih tegap dan ramping, dulu adalah
seorang wanita kang-ouw pula.
Tidaklah mengherankan
kalau suami isteri ini nampak lebih muda dan sehat, karena mereka adalah suami
isteri pendekar yang sesungguhnya mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali dan
jarang dapat menemukan tandingan di masa itu!
Kao Cin
Liong adalah putera tunggal dari penghuni Istana Gurun Pasir, putera Naga Sakti
Gurun Pasir, dan dia pernah menjadi seorang panglima muda yang amat berjasa
memadamkan banyak api pemberontakan di selatan dan barat. Ada pun isterinya,
Suma Hui, juga bukanlah wanita sembarangan. Dari nama keturunannya juga dapat
diduga bahwa dia adalah keturunan keluarga pendekar Pulau Es, dan sesungguhnya
ia masih cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, penghuni Istana Pulau Es.
Sebetulnya,
dengan tingkat ilmu kepandaian silat mereka yang sangat tinggi dan lihai,
mereka menjadi guru-guru yang cukup baik untuk anak tunggal mereka, yang bukan
lain adalah Kao Hong Li. Hanya karena Kao Hong Li merupakan anak tunggal yang
manja, maka ayah ibunya tidak terlalu menekan, meski mereka tetap memberikan
gemblengan ilmu silat tingkat tinggi.
Karena itu,
setelah kini berusia dua puluh tahun lebih, Kao Hong Li menjadi seorang gadis
dewasa yang sangat tangguh. Walau pun tingkat kepandaiannya tidak setinggi
ayahnya karena kadang-kadang ia malas berlatih dan orang tuanya tidak
menekannya, namun setidaknya ia sudah mampu mengimbangi tingkat kepandaian
ibunya!
Kao Hong Li
merupakan seorang gadis yang cantik dan cerdik. Ia manis seperti ibunya, dengan
wajah bulat telur dan sepasang matanya amat menarik, mungkin memiliki daya tarik
terbesar di antara semua kecantikannya. Mata itu lebar dan jeli, dengan bulu
mata yang panjang dan lentik, serta dihiasi sepasang alis yang hitam lebat,
kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja. Ia lincah dan galak seperti
ibunya, cerdik dan pandai bicara seperti ibunya pula, dan gagah perkasa tak
mengenal takut seperti ayahnya.
Ada satu hal
yang membuat suami isteri itu akhir-akhir ini agak murung kalau teringat, yaitu
bahwa sampai kini berusia dua puluh tahun lebih, puteri mereka itu masih belum
mau juga dicarikan jodoh! Setiap kali mereka membicarakan urusan jodoh, gadis
itu lalu cemberut dan marah-marah, tidak mau mendengarkan dan lari ke dalam
kamarnya. Jika Suma Hui melakukan pendekatan dan menyusul ke dalam kamarnya,
Kao Hong Li akan mencela ibunya.
“Mengapa Ibu
dan Ayah selalu mendorongku untuk menikah? Apa Ayah dan Ibu sudah bosan dan
tidak suka kepadaku, ingin melihat aku pergi dari rumah ini dan mengikuti
suami?”
Ibunya
segera merangkul dan tersenyum. “Hushhh! Bagaimana engkau dapat berkata
demikian, Hong Li? Ayah dan ibumu sayang kepadamu, mana bisa bosan dan tak
suka? Kalau kami membujukmu untuk menikah, bukankah hal itu sudah wajar? Ingat,
usiamu kini sudah mendekati dua puluh satu tahun. Mau tunggu apa dan kapan
lagi? Biasanya, seorang gadis akan menikah dalam usia antara enam belas sampai
dua puluh tahun, dan engkau sudah hampir dua puluh satu...”
“Ibu
sendiri, berapa umur Ibu pada waktu menikah dengan Ayah?” Inilah senjata yang
digunakan Hong Li kalau ibunya mendesak dengan alasan usia.
Suma Hui
hanya menarik napas panjang. “Lain lagi dengan aku, anakku. Memang aku menikah
dengan ayahmu ketika sudah berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, akan
tetapi...”
“Nah, aku
pun tidak tergesa-gesa. Bagaimana pun juga, aku tidak mau menikah dengan
seorang laki-laki yang asing bagiku, yang tidak kusuka!”
“Hemmm, kau
maksudkan, engkau hanya akan menikah dengan seorang pemuda yang kau cinta?”
Wajah Hong
Li berubah merah, tetapi dia menjawab juga, “Bukankah begitu sebaiknya Ibu?”
Suma Hui
menghela napas lagi dan mengangguk. “Yah, memang demikian sebaiknya. Tetapi,
kapan engkau akan bertemu dengan seorang pemuda yang kau cinta? Atau... apakah
sudah ada pemuda itu?” tanyanya penuh harap.
Wajah itu
menjadi semakin merah dan cepat Hong Li menggelengkan kepalanya. “Tidak ada,
Ibu! Mana ada pemuda yang seperti kuidamkan dan yang pantas kucinta di tempat
ini? Yang ada hanya pemuda brengsek, tukang jual lagak, pamer kekayaan dan
pangkat ayahnya, menyebalkan!”
“Hemmm,
jangan begitu anakku. Habis, pemuda macam apa yang kiranya akan dapat
menundukkan hatimu?”
“Dia harus
seperti ayah, memiliki ilmu silat dan ilmu surat yang tinggi, setidaknya dapat
mengalahkan atau mengimbangi kepandaianku. Ia harus pula gagah perkasa, pembela
kebenaran, dan harus... harus orang yang dapat menimbulkan kekaguman dan rasa
suka di dalam hatiku!”
Diam-diam
Suma Hui terharu. Betapa sama benar keinginan anaknya dengan keinginan hatinya
sendiri ketika ia masih gadis! Dan bukankah setiap gadis juga menginginkan hal
seperti itu? Bagaimana ia dapat menyalahkan puterinya?
“Akan tetapi
Hong Li, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini, kiranya di dunia ini tidak
ada banyak pemuda yang akan mampu menandingimu!”
“Tentu ada,
Ibu. Kalau memang sudah kutemukan yang cocok dengan hatiku, aku juga dapat
mengalah...“
Suma Hui
tertawa dan merangkul anaknya. Mengertilah dia. Ketinggian ilmu itu bukan
merupakan syarat mutlak, melainkan kalau ada perasaan cinta di dalam hati
puterinya, tentu puterinya itu akan mengalah terhadap pemuda yang dicintanya!
“Aihhh, Hong
Li, aku hanya mendoakan semoga engkau akan segera bertemu dengan jodohmu.
Ingatlah, kini ayah ibumu sudah mulai tua dan kami sungguh mendambakan seorang
cucu darimu.”
“Ihhh, Ibu!”
kata Hong Li dan dia pun merebahkan dirinya menelungkup dan menutupi telinganya
dengan bantal. Ibunya tertawa dan meninggalkan kamar puterinya untuk menghibur
suaminya, menceritakan percakapannya dengan Hong Li.
Meski
demikian, tetap saja suami isteri itu merasa kecewa karena mereka tidak melihat
kemungkinan puteri mereka akan bisa bertemu dengan jodohnya dalam waktu dekat.
Kalau puterinya hanya tinggal di rumah saja, di kota Poa-teng yang tidak berapa
besar, bagaimana mungkin dia bertemu dengan seorang pemuda yang sepadan menjadi
calon jodohnya?
“Aihh, kalau
aku teringat kepada murid adikmu itu, rasanya aku akan suka kalau dia menjadi
calon mantu kita,” kata Kao Cin Liong kepada isterinya.
“Kau
maksudkan Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun itu? Hemmm, dia memang baik, dan
tentang ilmu silat, tentu masih di bawah tingkat anak kita. Akan tetapi, kita
tidak tahu dia berada di mana sekarang! Ciang Bun tidak pernah singgah di sini
dan tak pernah memberi kabar sekarang berada di mana. Sudahlah, jodoh sudah
diatur oleh Tuhan, kita tinggal berdoa saja.”
Kao Cin
Liong kembali menarik napas panjang. “Sebaiknya kalau aku membawa dia melakukan
perjalanan, berkunjung ke kakek dan neneknya.”
“Di gurun
pasir?”
“Ya, ayah
dan ibu sudah sangat tua, sayang bahwa mereka tidak mau kita ajak tinggal di
sini. Siapa tahu dari mereka aku akan mendapatkan petunjuk tentang jodoh anak
kita, dan aku pun sudah rindu kepada mereka.”
“Habis toko
kita bagaimana? Kalau ditutup terlalu lama, tentu kita akan kehilangan para
langganan.”
“Karena itu,
biarlah aku seorang saja yang mengajak Hong Li pergi ke utara. Engkau mengurus
toko, isteriku.”
Sebetulnya
Suma Hui juga ingin ikut, akan tetapi dia merasa sayang meninggalkan tokonya yang
mulai maju, maka ia pun akhirnya setuju. “Asal kalian pergi jangan terlalu
lama.”
Akan tetapi,
sebelum mereka memberi tahukan Hong Li tentang maksud Kao Cin Liong, pada sore
hari muncullah seorang pemuda di rumah mereka. Pemuda yang berpakaian serba putih,
berusia dua puluh dua tahun, bersinar mata lembut dan wajah cerah ramah, juga
bersikap sopan santun. Begitu Kao Cin Liong dan isterinya menyambut, pemuda itu
segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong.
“Suheng,
saya datang menghadap...”
Tentu saja Cin
Liong kaget dan heran. Dia lupa lagi kepada Tan Sin Hong yang pernah dilihatnya
ketika pemuda itu masih remaja. Akan tetapi karena satu-satunya orang di dunia
ini yang menyebutnya suheng hanya seorang, yaitu pemuda remaja yang pernah
dilihatnya menjadi murid ayah ibunya di gurun pasir itu, dan kedua yang
menyebutnya suheng adalah seorang wanita bernama Can Bi Lan yang pernah menjadi
murid ayah ibunya pula, dia pun segera dapat menduga siapa pemuda itu.
“Engkau Tan
Sin Hong?”
“Benar,
Suheng.”
“Ah, kau
telah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang. Masuklah, dan perkenalkan, ini
isteriku.”
Sin Hong
segera memberi hormat dengan sikap sopan kepada Suma Hui yang juga telah pernah
diceritakan oleh suaminya bahwa di gurun pasir terdapat seorang pemuda remaja
yang menjadi murid ayah bundanya. Wanita ini menerima penghormatan sute
suaminya itu sambil mengamati dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Ia mendapat
kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berjiwa sederhana, tercermin dari
keadaan pakaiannya dan gerak-geriknya, sopan dan rendah hati, tidak menonjolkan
diri walau pun dia sebagai murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama
isterinya tentu telah memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Wajah pemuda
itu sedang saja, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan. Mata yang
bersinar lembut dan mulut yang selalu tersenyum ramah itu sangat menarik, juga
sepasang mata lembut itu kadang-kadang mengeluarkan sinar yang mencorong, tanda
bahwa dalam diri pemuda ini ada suatu kekuatan yang dahsyat.
Pemuda itu
dipersilakan duduk di ruangan dalam. Pada saat itu, muncullah Kao Hong Li.
Melihat bahwa orang tuanya menerima tamu pria yang disangkanya tentulah seorang
yang datang untuk urusan dagang rempah-rempah, dia hanya menjenguk keluar pintu
dan hendak masuk ke belakang lagi. Akan tetapi ayahnya memanggilnya.
“Hong Li, ke
sinilah dan bertemu dengan Susiok-mu!”
Mendengar
kata-kata ayahnya ini, Hong Li lalu memandang heran. Ia memang pernah mendengar
dari ayahnya, ketika ayahnya itu berkunjung ke gurun pasir, bahwa ayahnya
mempunyai seorang adik seperguruan yang sedang belajar di gurun pasir. Akan
tetapi, tidak disangkanya bahwa susiok-nya (paman guru) itu adalah seorang
laki-laki yang masih demikian mudanya, kiranya tidak banyak selisihnya dengan
usianya sendiri. Akan tetapi ia pun segera memasuki ruangan itu, menghampiri
meja di mana Sin Hong duduk berhadapan dengan Kao Cin Liong dan Suma Hui.
Melihat ada
seorang gadis yang cantik dan gagah, Sin Hong cepat bangkit berdiri dari tempat
duduknya.
Hong Li
segera memberi hormat dan berkata dengan jujur, “Inikah Susiok dari gurun
pasir? Tak kusangka masih begini muda!”
Sin Hong
membalas penghormatan itu, tidak seperti seorang paman, melainkan seperti orang
yang seusia, dan menjawab, “Aku sungguh merasa terlalu tinggi untuk menjadi
susiok-mu, Nona.”
Kao Cin
Liong tersenyum. “Duduklah, Hong Li. Susiok-mu Tan Sin Hong ini baru saja
datang. Kami sedang bersepakat untuk berangkat berkunjung ke gurun pasir, yaitu
aku dan engkau, Hong Li, dan ibumu berjaga di rumah. Aku telah rindu kepada
kakek dan nenekmu, dan akan mengajak engkau berangkat besok pagi, eh, tiba-tiba
saja muncul sute Sin Hong! Tentu dia membawa banyak kabar dari Istana Gurun
Pasir.”
Sin Hong
menarik napas panjang. Sungguh amat tidak menyenangkan harus membawa berita
yang amat buruk kepada keluarga perkasa ini. Dia melihat betapa kegembiraan
telah membayang di wajah gadis itu ketika mendengar kata-kata ayahnya yang
hendak mengajaknya berkunjung ke gurun pasir. Maka cepat-cepat dia bangkit
berdiri dan menjura kepada suheng-nya.
“Suheng,
sungguh saya merasa sangat menyesal sekali bahwa saya datang berkunjung ini
hanya membawa berita yang amat buruk dan mendatangkan duka.” Dia menahan diri
agar tidak memperlihatkan wajah duka, bahkan mengeraskan hati agar kedua
matanya yang sudah terasa panas itu tidak sampai menjadi basah oleh air mata.
Namun, ayah
ibu dan anak yang bermata tajam itu tentu saja melihat perubahan pada wajah Sin
Hong dan ketiganya terkejut bukan main.
“Sute,
berita buruk apakah yang kau bawa? Ada apa dengan ayah ibuku?” tanya Kao Cin
Liong, hatinya merasa tidak enak sekali.
“Ketiga
orang tua itu, subo dan kedua orang suhu, kini telah... tiada lagi, Suheng.”
“Apa... apa
maksudmu!” Kao Cin Liong membentak, terkejut bukan main dan matanya terbelalak,
mukanya pucat.
Dengan
kepala ditundukkan, Sin Hong menjelaskan. “Mereka telah meninggal dunia.”
“Ahhh...!”
Kao Cin Liong terkulai lemas dan tak dapat berkata-kata lagi, sedangkan Kao
Hong Li merangkul ibunya dan kedua orang wanita ini mulai menangis.
“Tan Sin
Hong sute, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi!” berkata Kao Cin Liong.
Suaranya parau akan tetapi tidak ada air mata keluar dari sepasang matanya yang
jelas dibayangi duka itu.
Sungguh
merupakan tugas yang amat tidak enak bagi Sin Hong untuk menceritakan semua
yang telah terjadi di Istana Gurun Pasir. Namun dia mengeraskan hatinya.
“Maafkan
saya, Suheng. Baru sekarang saya dapat datang untuk melapor. Peristiwa itu
telah terjadi setahun yang lalu...”
“Setahun?
Mereka telah meninggal dunia selama satu tahun dan baru hari ini engkau datang
mengabarkan? Sute, apa artinya keterlambatan yang amat lama ini?”
“Sekali lagi
maafkan saya, Suheng. Saya terpaksa harus menyembunyikan diri selama satu tahun
karena keadaan saya. Untuk jelasnya, baik saya ceritakan semua yang telah
terjadi, Suheng.”
Dengan jelas
Sin Hong lalu menceritakan apa yang telah terjadi setahun yang lalu itu di
gurun pasir. Betapa Istana Gurun Pasir diserbu oleh tujuh belas orang datuk
sesat yang menyerang tiga orang tua itu. Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan Tiong Khi
Hwesio membela diri mati-matian sehingga di antara tujuh belas orang penyerbu
itu, empat belas orang tewas dan yang hidup hanya tiga orang saja, itu pun
dalam keadaan terluka. Akan tetapi, tiga orang tua itu tewas semua!
“Lalu untuk
apa engkau berada di sana?!” bentak Suma Hui dengan marah sekali, sinar matanya
seperti hendak menyerang Sin Hong.
Pemuda itu
memandang wajah Suma Hui. “Maafkan saya. Pada waktu itu, saya sama sekali tidak
mampu bergerak. Tiga orang guru saya telah mengajarkan Pek-ho Sin-kun dan
menyalurkan sinkang mereka kepada saya, dengan syarat bahwa selama setahun,
saya tidak boleh bermain silat atau menyalurkan sinking. Kalau pelanggaran itu
saya lakukan, saya tentu seketika akan mati terpukul tenaga sendiri dari dalam!
Saya menjadi seperti seorang yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan.”
Kao Cin
Liong dapat memaklumi hal itu dan dengan suara masih serak karena duka, namun
halus, dia berkata, “Lanjutkan ceritamu, Sute. Lalu bagaimana?”
“Ketiga
orang yang masih hidup itu adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin tokoh dari
Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw. Mereka lalu menangkap
saya dan memaksa saya menunjukkan tempat disimpannya kitab-kitab rahasia. Akan
tetapi beberapa waktu yang lalu, tiga orang guru saya telah membakari semua
kitab sehingga yang terambil oleh tiga orang itu hanyalah Ban-tok-kiam dan
Cui-beng-kiam saja.”
Suma Hui
mengepal tinjunya. “Celaka! Sungguh celaka! Dua batang pedang pusaka yang ampuh
itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat!”
Kao Cin
Liong mengangguk-angguk. “Tidak anehlah kalau yang memimpin penyerbuan itu
Sin-kiam Mo-li dan para tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Sekarang
lanjutkan ceritamu, Sute.”
“Mereka
memaksa saya untuk menguburkan jenazah empat belas orang teman mereka, dan
kemudian, memenuhi pula pesan tiga orang guru saya, maka saya lalu membakar
Istana Gurun Pasir setelah mengangkut jenazah mereka ke dalam sehingga jenazah
itu ikut terbakar habis. Saya lalu menjadi tawanan mereka, dan untung bahwa
pada malam harinya, saya mendapat kesempatan melarikan diri dan bersembunyi di
sebuah bukit sampai setahun, sampai habis waktu yang ditentukan untuk
bersemedhi dan tidak boleh menggerakkan tenaga sinkang.”
Kembali Suma
Hui dan puterinya menangis.
Kao Cin
Liong menghela napas panjang berkali-kali. “Aihh, ayah ibuku dan paman Wan Tek
Hoat dibunuh orang-orang jahat tanpa kami sedikit pun dapat membantu, bahkan
engkau sendiri tidak dapat membela mereka, Sute. Betapa menyedihkan!”
“Akan
tetapi, Suheng. Sudah sering kali saya mendengar dari mereka bahwa mereka
memang mendambakan kematian dalam keadaan seperti itu, menentang datuk sesat.
Mereka tewas, walau pun dalam usia yang sudah sangat tua, akan tetapi tetap
sebagai pendekar-pendekar sakti seperti yang selalu mereka inginkan. Mereka
sama sekali tak menyesal dan wajah jenazah mereka tersenyum penuh kebanggaan.
Andai kata saat itu saya tidak dalam keadaan tak mampu bergerak dan dapat
membela mereka sekali pun, agaknya saya akan tewas pula dan jenazah mereka
bahkan akan terlantar. Sekali lagi maaf, Suheng, bahwa saya datang hanya
membawa berita buruk.”
“Sudahlah,
Sute. Engkau tak bersalah. Dan bagaimana dengan Istana Gurun Pasir itu?”
“Sudah rata
dengan tanah, menjadi gundukan puing dan abu, menjadi kuburan ketiga guru
saya.”
Tiba-tiba
Hong Li bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal, kedua matanya merah dan basah
oleh air mata. Dia berkata, “Di antara para penjahat itu masih ada tiga orang
yang hidup! Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin beserta Thian Kek Sengjin! Aku
harus mencari mereka untuk membuat perhitungan atas kematian kakek dan
nenekku!”
“Tenanglah,
Hong Li. Mereka bukan orang sembarangan, melainkan datuk-datuk sesat yang lihai
dan mempunyai banyak sekali kawan. Apa lagi kedua orang kakek itu yang
merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-liankauw! Memang kita tak boleh
tinggal diam, akan tetapi juga tidak boleh sembrono. Sute, bagaimana
selanjutnya ceritamu? Apa yang selama ini kau lakukan sebelum engkau datang ke
sini?” tanya Kao Cin Liong kepada Sin Hong.
Sin Hong
lalu menceritakan riwayat dirinya, betapa ayahnya terbunuh orang dan ibunya
tewas di padang gurun pasir sampai dia ditolong oleh Tiong Khi Hwesio, kakek
Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, kemudian menjadi murid mereka. Diceritakannya
mengenai penyelidikannya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya dan betapa
akhirnya dia bisa memperoleh jejak bahwa di balik semua itu terdapat
Tiat-liong-pang.
“Saya hendak
melakukan penyelidikan ke pusat Tiat-liong-pang, Suheng. Bagaimana pun juga,
mereka yang telah membunuh ayah saya, menyebabkan kematian ibu saya, kemudian
membunuh pula Tang-piauwsu, kemudian orang she Lay itu, sungguh amat jahat dan
perlu diselidiki. Oleh karena itu, setelah menyampaikah berita duka tentang
kematian ketiga guru saya, saya mohon diri, hendak melanjutkan penyelidikan
saya terhadap Tiat-liong-pang.”
Keluarga Kao
merasa terharu juga mendengar akan riwayat anak muda yang kini telah menjadi
yatim piatu dan kehilangan tiga orang gurunya pula. “Tiat-liong-pang? Sungguh
aneh. Menurut pengetahuanku, Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah
yang telah banyak berjasa kepada pemerintah, bahkan jika tidak salah, ketuanya,
Siangkoan Tek telah menikah dengan seorang puteri istana sebagai hadiah atas
jasanya terhadap pemerintah.”
“Saya pun
sudah mendengar akan hal itu, Suheng. Akan tetapi ketika hendak mati oleh
serangan gelap, orang she Lay itu mengaku bahwa dia hanyalah anak buah saja
dari Tiat-liong-pang. Pasti di sana ada apa-apanya. Saya akan menyelidiki
sampai terbuka rahasia pembunuhan ayah saya itu.”
“Memang
sebaiknya demikian, Sute. Akan tetapi, hari telah mulai malam dan sebaiknya
malam ini engkau bermalam di sini. Belum cukup kita bercakap-cakap dan aku
ingin mendengar tentang kehidupan ayah ibuku pada waktu terakhir. Kiranya besok
pagi baru engkau dapat melanjutkan perjalanan.”
Sin Hong
tidak membantah dan malam itu dia bermalam di rumah keluarga suheng-nya. Mereka
bercakap-cakap sampai jauh malam. Sin Hong menceritakan keadaan ketiga orang
gurunya itu sebelum mala petaka itu datang menimpa.
Dalam
kesempatan itu, keluarga Kao juga bertanya tentang ilmu yang diwariskan oleh
ketiga orang tua sakti itu. Sin Hong berterus terang mengakui bahwa ilmu-ilmu
mereka telah dipelajarinya dengan baik, bahkan sebelum meninggal, mereka telah
menggabung ilmu-ilmu mereka, diambil inti sarinya dan mereka bertiga
bersama-sama menciptakan Pek-ho Sin-kun, lalu mengoperkan sinkang mereka kepada
Sin Hong untuk digunakan dalam permainan ilmu silat tinggi itu.
Kao Cin
Liong berhasil pula membujuk sute-nya untuk berdemonstrasi memperlihatkan ilmu
silat ciptaan baru itu. Sin Hong tidak berkeberatan dan ibu ayah dan anak itu
amat mengagumi ilmu silat yang sangat dahsyat dan hebatnya, juga indah karena
banyak di antara gerakan meniru gerakan burung bangau yang anggun, tenang dan
gagah.
Setelah pada
keesokan harinya Sin Hong pergi meninggalkan rumah suheng-nya, Hong Li
menghadap kedua orang tuanya. Wajahnya keruh dan alisnya berkerut. “Ayah dan
Ibu, aku merasa tidak puas sama sekali melihat sikap susiok Tan Sin Hong itu!”
Ayah
bundanya terkejut dan memandang puteri mereka penuh perhatian.
“Ehhh, apa
maksudmu, Hong Li?” tanya ibunya.
“Susiok itu
telah diselamatkan nyawanya oleh kakek dan nenek dan juga kakek Tiong Khi
Hwesio, kemudian diberi pelajaran ilmu silat bahkan mewarisi penggabungan ilmu
mereka. Dia berhutang budi yang tidak terhitung banyaknya kepada tiga orang tua
itu. Akan tetapi, ternyata ia terlalu mementingkan diri sendiri. Setelah keluar
dari gurun pasir dia sibuk mengurusi kematian orang tuanya sendiri dan tidak
mencari para pembunuh ketiga orang gurunya!”
“Aih, jangan
berkata demikian, anakku! Bukankah sute Tan Sin Hong juga menceritakan betapa
tiga orang tua itu selalu menekan kepadanya bahwa dia tidak boleh menyimpan
dendam atas kematian ayahnya? Dendam adalah racun yang membakar diri sendiri,
anakku. Karena itu, Sin Hong tidak mendendam, biar pun dia melihat sendiri
betapa tiga orang gurunya tewas karena dikeroyok musuh, akan tetapi ternyata
pihak musuh juga ada empat belas orang yang tewas! Kalau dihitung, kematian tiga
orang tua itu tidaklah rugi dan tidak ada yang harus dibuat penasaran.”
“Dia boleh
saja berpendapat demikian, akan tetapi aku tidak, Ayah! Tanpa dosa, kakek dan
nenekku, juga kakek Tiong Khi Hwesio, tiga orang tua yang selama ini kukagumi
meski aku hanya mendengar penuturan ayah dan ibu saja, telah diserbu
orang-orang jahat dan mereka sampai tewas. Bagaimana aku dapat tinggal diam
saja kalau para pembunuhnya ada yang masih berkeliaran? Tidak, aku harus pergi
mencari mereka untuk membalas kematian orang-orang tua yang tidak berdosa itu,
Ayah!”
Kao Cin
Liong saling pandang dengan isterinya. Setelah Istana Gurun Pasir terbakar dan
kedua orang tuanya tidak ada lagi, memang tidak mungkin lagi mengajak puteri
mereka merantau ke sana. Hong Li sudah terlalu dewasa dan cukup kuat berjaga
diri, maka kalau ia hendak mencari para penjahat itu, hal ini baik sekali untuk
mematangkan pengalamannya dan memungkinkannya untuk menemukan jodohnya.
“Dengar
baik-baik, anakku! Kami takkan menghalangi niatmu. Kami menggemblengmu selama
ini memang dengan harapan supaya engkau menjadi seorang pendekar wanita yang
selalu menentang kejahatan. Akan tetapi jangan engkau sesalkan kematian kakek
dan nenekmu itu. Mereka adalah orang-orang yang sejak mudanya telah
berkecimpung di dunia persilatan, membuat nama besar di dunia kang-ouw, telah
menentang dan membasmi entah berapa banyak orang jahat di dunia ini. Siapa
bermain air basah, bermain api terbakar, dan kalau kini mereka itu tewas
menentang para datuk hitam, hal itu sudah wajar. Setelah pertentangan itu hanya
ada dua akibatnya, kalah atau menang, hidup atau mati. Mereka mati dalam tugas
mereka, sama sekali mereka tidak menyesal dan tidak perlu disesalkan. Ingat,
nenek moyangmu, dari ibumu, para pendekar Pulau Es, juga selalu menentang kejahatan.
Kakek buyutmu, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, bersama kedua orang nenek
buyutmu, juga tewas dengan gagahnya di Pulau Es, sama dengan kematian kakek dan
nenekmu di Istana Gurun Pasir. Kematian seperti itu tidak perlu disesalkan.
Jadi, kalau engkau hendak mencari Sin-kiam Mo-li dan orang-orang Pat-kwa-kauw
dan Pek-lian-kauw, jangan sekali-kali dasarnya membalas dendam kematian kedua
orang kakek nenekmu, melainkan karena sudah menjadi tugasmu menentang mereka
yang jahat. Mengertikah engkau?”
Hong Li
mengangguk. “Aku mengerti Ayah.”
“Akan
tetapi, nanti dulu, Hong Li. Benarkah engkau hendak menentang Sin-kiam Mo-li?
Sudah bulat benarkah tekadmu itu? Engkau harus ingat bahwa bagaimana pun juga,
di waktu kecil engkau pernah mengangkatnya sebagai guru, bahkan menjadi ibu
angkat! Nah, yakinkah hatimu bahwa engkau akan mampu menentangnya?”
Gadis itu
tertegun sejenak dan teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu kecil.
Ketika masih berusia tiga belas tahun, pernah dia diculik seorang pendeta Lama
yang sebetulnya ialah penyamaran Sin-kiam Mo-li. Kemudian di tengah perjalanan,
Sin-kiam Mo-li bersandiwara, seolah iblis betina itu yang menyelamatkannya dari
tangan pendeta Lama itu sehingga dia diambil menjadi anak angkat dan murid!
Akan tetapi kemudian muncul Gu Hong Beng dan Bi-kwi, juga Bi Lan dan Sim Houw,
dan mereka itu berhasil menyelamatkannya, dan dia pun tahu akan tipu muslihat
Sin-kiam Mo-li yang berhasil melarikan diri dari tangan para pendekar itu.
"Ibu,
tentu saja aku sanggup untuk menentangnya. Memang benar dahulu aku pernah
menganggap ia ibu angkat dan guru, akan tetapi semua itu terjadi karena ia
menipuku, berpura-pura menjadi penolongku. Tidak, aku sudah tahu betapa
jahatnya iblis betina itu, bahkan justeru karena ia yang telah membawa
orang-orang jahat menyerbu istana kakek dan nenek, maka aku ingin sekali
mencari dan menentangnya!”
“Tapi jangan
engkau lengah dan memandang ringan lawan, Hong Li. Engkau tentu tahu betapa
lihainya Sin-kiam Mo-li. Selain amat lihai ilmu silatnya, juga ia menguasai
sihir. Meski kami telah menggemblengmu dengan kekuatan sinkang untuk menolak
pengaruh sihir, namun dalam hal ilmu silat, kiranya engkau masih kalah
pengalaman. Apa lagi jika dia dibantu oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang
rata-rata pandai sihir dan orang-orang Pat-kwa-pai yang juga amat tangguh.
Engkau harus hati-hati, dan sebaiknya bergabung dengan para pendekar lainnya.
Bagaimana kalau engkau mengunjungi dulu pamanmu Suma Ceng Liong di dusun
Hong-cun dekat Cin-an? Siapa tahu puterinya Suma Lian, sekarang sudah pulang
dan tentu sudah sebaya denganmu dan tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi
karena selain kedua orang tuanya amat sakti, juga ia digembleng oleh paman Gak
Bun Beng.”
“Akan tetapi
aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan jarang berkunjung ke rumah paman
Suma Ceng Liong. Aku merasa malu kalau harus minta bantuan mereka Ayah.”
“Maksud
ayahmu bukan minta bantuan, akan tetapi hanya untuk singgah di sana dan
menyampaikan salam kami dan kabar selamat. Juga memberi tahu mengenai kematian
kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Dan dari percakapan itu, mungkin
engkau akan dapat memperoleh petunjuk mereka,” kata ibunya.
“Kalau
begitu lain lagi persoalannya, Ibu. Baiklah, aku akan singgah di Hong-cun untuk
mengunjungi keluarga paman Suma Ceng Liong.”
Tentu saja
di balik anjuran itu tersembunyi harapan dalam hati Kao Cin Liong dan Suma Hui
agar puteri mereka itu bertemu dengan keluarga dan siapa tahu dari keluarga itu
akan muncul seorang calon jodoh bagi puteri mereka yang sudah cukup dewasa itu.
Sudah lajim
bagi orang-orang tua yang hatinya selalu dipenuhi harapan-harapan bagi
anak-anak mereka. Di waktu berada dalam kandungan, orang tua sudah mengharapkan
supaya anaknya lahir laki-laki atau perempuan, biasanya orang pada jaman dahulu
lebih condong menghendaki agar kandungan itu lahir laki-laki. Kemudian kalau
sudah lahir, mereka mengharapkan anak itu tumbuh menjadi seorang muda yang
sehat dan pandai.
Kalau sudah
tiba waktunya menikah, mereka juga berharap anak itu segera mendapat jodoh yang
baik, kemudian harapan itu mulur terus. Mengharapkan agar mendapat cucu yang
baik, agar keluarga anaknya itu menjadi keluarga bahagia, serba berkecukupan
dan selalu dalam keadaan sehat. Semua ini akan menyenangkan hati orang tua, dan
kalau terjadi sebaliknya, tentu saja mengecewakan dan mendatangkan duka!
Memang
harapanlah yang mendatangkan kekecewaan! Mengharapkan suatu keadaan yang lain
dari pada keadaan yang ada saat ini, suatu keadaan yang dibayangkan akan lebih
baik dan lebih menyenangkan. Kalau harapan itu terlaksana, datanglah kepuasan,
akan tetapi sebentar saja karena kepuasan ini akan pudar lagi, tertutup harapan
baru yang mulur dan mengejar harapan itu yang lebih jauh lagi. Kalau harapan
pertama tidak tercapai, timbullah kekecewaan!
Dan ini
terjadi sejak manusia mulai mengerti sampai tiba ajalnya! Betapa menyedihkan
hidup seperti itu, selalu dipermainkan harapan-harapan sendiri. Bukan berarti
kita harus menjadi orang-orang yang putus asa, putus harapan dan mandeg, muram
dan frustasi. Sama sekali tidak!
Akan tetapi,
lakukan saja segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta kasih
terhadap apa yang kita lakukan dan terima saja hasilnya, apa pun juga, dengan
wajar tanpa mengharapkan apa-apa. Hasil itu adalah kenyataan yang ada, yang
nyata dalam hidup, dan itulah keindahan.
Terimalah
anak yang lahir sebagai hasil dari pada perbuatan kita sendiri dengan pasrah,
tanpa pilihan dan menikmati apa yang ada, baik laki-laki mau pun perempuan.
Dengan demikian, maka tidak akan timbul kekecewaan apa-apa. Kemudian, dalam
pendidikan berilah cinta kasih, karena pendidikan yang terbaik adalah kasih
sayang, cinta kasih yang berarti ingin melihat si anak itu bebas dan berbahagia
hidupnya. Bukan sekedar menjejali otaknya dengan ilmu-ilmu agar kelak menjadi
ORANG, yang tentu maksudnya menjadi orang yang berharta dan berkedudukan!
Kalau
demikian harapannya, maka orang tua akan kecewa kelak, karena bukan harta dan
kedudukan yang membahagiakan seseorang! Berilah anak kebebasan sebab dalam
kebebasan itu terletak sinar kebahagiaan. Hal ini bukan pula berarti bebas
semau gua. Orang tua hanyalah mengamati, mengawasi, mengingatkan tanpa terlalu
mencampuri, mengarahkan tanpa terlalu mengikat.
Anak kita
adalah manusia tersendiri, dengan alam pikiran, selera dan perasaan sendiri.
Dia adalah mahluk yang hidup, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk
sekehendak hati kita sendiri. Bahkan, dia dilahirkan bukan atas kehendaknya
sendiri, dan lebih condong menjadi korban atau akibat dari pada perbuatan kita!
Jadi, meski
dia kita namakan anak kita, namun itu hanyalah pengakuan saja. Anak kita akan
tetapi bukan milik kita! Sekali batin kita memiliki, maka anak itu akan kita
anggap sama dengan semua benda lain yang mengikat batin kita, yang menjadi
milik kita. Ingin kita jadikan begini begitu menurut keinginan kita, kita jaga
dan pelihara dengan pamrih agar menyenangkan kita. Jika begitu, apa bedanya
dengan memelihara seekor binatang peliharaan?
Kita
pilihkan agamanya, sekolahnya, bahkan jodohnya, dan kita gariskan bagaimana dia
harus hidup! Dan semua itu dengan dasar bahwa kita melakukannya demi
kebahagiaan dia! Kalau dikaji benar, bukankah dasarnya sesungguhnya adalah demi
kebahagiaan kita, demi kesenangan kita karena tercapai sudah harapan dan
keinginan kita?
Kewajiban
kita untuk membimbing anak yang masih belum dewasa, yang masih belum dapat
memilih sendiri, dengan cinta kasih, dengan waspada akan minat dan seleranya.
Akan tetapi kalau dia sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau kita membebaskan dia
dan hanya mengamati dari jauh, dari belakang yang bukan berarti acuh. Kalau toh
ada pamrih, maka pamrih itu hanya satu, yaitu kita ingin melihat dia
berbahagia, tanpa memperhitungkan selera dan perasaan hati sendiri yang
kemungkinan sekali bertolak belakang dengan selera dan perasaan hatinya.
Bukankah cinta itu hanya memberi dan bukan meminta? Bukankah cinta itu berarti
meniadakan diri yang berarti meniadakan nafsu pribadi?
Setelah
mendapat banyak petuah dari ayah ibunya, dan membawa bekal secukupnya, baik
pakaian mau pun uang, berangkatlah Kao Hong Li meninggalkan rumah orang tuanya,
diantar oleh ayah ibunya sampai di pintu pekarangan depan.
Setelah
gadis itu tidak nampak lagi, dengan lesu Suma Hui dan suaminya masuk lagi ke
dalam rumah. Melihat betapa isterinya nampak lesu dan bersedih ditinggalkan
oleh puterinya, Kao Cin Liong membimbingnya dan diajaknya duduk di ruangan
dalam.
“Mudah-mudah
ia akan memperoleh pengalaman dan terutama sekali dapat bertemu jodoh dalam
perjalanannya,” kata Kao Cin Liong.
“Setelah
melihat Tan Sin Hong, aku merasa bahwa dia pun merupakan seorang calon mantu
yang baik di samping Gu Hong Beng,” kata Suma Hui melamun.
Kao Cin
Liong tersenyum. “Biarkanlah dia memilih sendiri. Kalau memang Tuhan sudah
menghendaki, tentu ia akan bertemu dengan jodohnya. Lahir, jodoh dan mati
agaknya sudah ada garisnya.”
Memang,
lahir, jodoh dan mati dalam cerita ini sudah digariskan oleh pengarang.
***************
Ada lagi
pasangan suami isteri pendekar sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Si
suami adalah Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari keluarga para pendekar
Pulau Es, cucu dari Pendekar Super Sakti. Usia Suma Ceng Liong telah empat
puluh satu tahun dan dia bersama isterinya, Kam Bi Eng tinggal di dusun
Hong-cun, di sebelah luar kota Cin-an di Propinsi Shantung.
Pendekar
Suma Ceng Liong ini, berbeda dengan cucu-cucu penghuni istana Pulau Es yang
lain, dahulu adalah seorang yang ugal-ugalan, nakal dan gembira, tetapi
memiliki kegagahan yang luar biasa. Tubuhnya tinggi besar. Dalam usia empat
puluh satu tahun, dia kelihatan gagah dan berwibawa sekali, namun, wajahnya
selalu cerah dan banyak senyum. Di antara cucu Pendekar Super Sakti penghuni
Pulau Es, agaknya Suma Ceng Liong inilah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia
tidak saja mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga mewarisi ilmu
sihir dari mendiang ibunya. Bahkan dia pernah berguru kepada seorang datuk sesat
yang amat lihai, yaitu Hek I Mo-ong.
Isterinya
yang bernama Kam Bi Eng juga bukanlah orang sembarangan. Ia adalah puteri dari
pendekar sakti yang terkenal sekali di waktu dahulu sebagai seorang pendekar
suling emas dan dalam hal ilmu silat, kiranya tidak begitu jauh tertinggal dari
suaminya.
Kini, dua
orang suami isteri itu tinggal di dusun Hong-cun dan hidup sebagai petani yang
cukup kaya dan memiliki tanah pertanian yang luas. Hidup tenteram, bahkan
hampir tak pernah lagi mereka berkecimpung di dunia kangouw.
Memang agak
mengherankan bahwa suami isteri yang demikian lihainya, dan hanya memiliki
seorang saja anak perempuan, yaitu Suma Lian, bisa membiarkan puterinya itu
digembleng oleh Bu Beng Lokai yang dahulu bernama Gak Bun Beng, masih terhitung
paman sendiri dari Suma Ceng Liong. Hal ini adalah karena ketika masih kecil,
dalam usia kurang dari tiga belas tahun, Suma Lian diculik datuk-datuk sesat
dan kemudian ditolong dan dirampas kembali dari tangan para datuk sesat oleh Bu
Beng Lokai.
Suma Lian suka
kepada kakek itu dan kedua orang tuanya tidak berkeberatan ketika puterinya
menyatakan hendak ikut kakek itu merantau dan menjadi muridnya. Memang
pendirian orang-orang kang-ouw seperti sepasang suami isteri ini agak berbeda
dengan pasangan-pasangan biasa. Mereka merelakan puteri mereka di dalam asuhan
paman yang mereka tahu memiliki kesaktian itu.
Akan tetapi,
delapan tahun kemudian, tetap saja mereka berdua merasa rindu bukan main
terhadap puteri mereka. Suma Lian telah berusia dua puluh tahun lebih, sudah
dewasa dan tentu sudah menjadi seorang gadis cantik yang sudah tiba saatnya
untuk menikah!
Maka, dapat
dibayangkan betapa gembira rasa hati mereka ketika pada suatu pagi, secara
tiba-tiba saja seorang gadis cantik muncul di depan mereka! Gadis itu, dengan
sepasang matanya yang kocak, pakaiannya yang nyentrik, sikapnya yang lincah
jenaka, dan ketika itu memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum yang
menciptakan lesung pipit di kanan kiri ujung mulutnya, segera mereka kenal
dengan baik.
“Lian-ji...!”
teriak suami isteri itu hampir berbareng.
Suma Lian
segera menubruk ibunya.
“Aihh,
anakku...!” Kam Bi Eng menjerit dan merangkul gadis itu, menciuminya dengan
penuh kerinduan dan kedua orang wanita itu pun menangis, menangis penuh
keharuan dan kebahagiaan.
“Ayah...!”
Suma Lian lalu melepaskan ibunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki
ayahnya. Akan tetapi Suma Ceng Liong menangkapnya dan menariknya berdiri, lalu
memegang kedua pundaknya.
“Biarkan aku
melihat wajah anakku...!” katanya dengan suara gemetar karena dia pun gembira
dan terharu bukan main. Ayah dan anak itu saling pandang, kedua mata Suma Lian
basah air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum sehingga nampak deretan giginya
yang putih dan rapi seperti mutiara berbaris.
“Ha-ha-ha-ha!”
Tiba-tiba Suma Ceng Liong tertawa. “Engkau... engkau persis ibumu di waktu masih
gadis, ha-ha-ha! Engkau cantik manis dan gagah!”
“Dan engkau
pun masih sama seperti dulu, Ayah. Malah semakin gagah saja!” kata pula Suma
Lian yang juga tertawa.
Ayah yang
merasa amat gembira itu segera berangkulan dengan puterinya. Kam Bi Eng juga merangkulnya
dan tiga orang itu saling berangkulan sambil memasuki rumah.
Tidak ada
kebahagiaan yang lebih besar dirasakan dalam hubungan antara manusia yang
melebihi pertemuan dari orang-orang yang saling merindukan dan berpisah dalam
waktu yang amat lama. Apa lagi bagi suami isteri itu, yang seolah-olah
kehilangan puteri mereka, tidak tahu di mana adanya puteri mereka itu selama
tujuh delapan tahun!
Dan kini,
tanpa kabar berita, puteri mereka itu muncul begitu saja, bukan hanya dalam
keadaan sehat selamat, tetapi lebih dari pada itu, telah menjadi seorang gadis
dewasa yang amat cantik manis mengagumkan, dengan ilmu kepandaian yang amat
tinggi pula.
Tentu saja
Suma Lian ditagih untuk menceritakan segala pengalamannya selama pergi merantau
dan menjadi murid paman mereka Bu Beng Lokai. Suma Lian, si gadis lincah dan
pandai bicara, membuat cerita yang menarik sekali. Ia menceritakan dengan gaya
dan gerak lincah semua pengalamannya ketika merantau mengikuti kakeknya sebagai
pengemis-pengemis nyentrik! Pengemis yang hanya sebatas pakaian tambal-tambalan
saja, tetapi tidak pernah meminta-minta, bahkan terlalu sering memberi sedekah
kepada orang lain, baik dengan perbuatan atau pun dengan barang dan uang.
Diceritakannya
pula tentang sumoi-nya, Pouw Li Sian, dan tentang mereka berdua saat
mempelajari ilmu silat tinggi, digembleng oleh guru dan kakeknya itu. Akhirnya
Suma Lian bercerita pula tentang pamannya, Gak kembar yang datang menengok
orang tua itu bersama isteri mereka yang seorang dan putera mereka. Betapa ia
terpaksa harus membantu keluarga Gak mengusir nenek iblis Hek-sim Kuibo dan Hok
Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang ingin menculik putera mereka. Kemudian sekali,
dengan wajah amat berduka ia menceritakan tentang kematian kakek Gak Bun Beng.
Ketika ayah
dan ibunya mendengar akan kematian kakek itu, mereka terkejut dan wajah mereka
pun diliputi kedukaan.
“Ahhh, tak
kusangka paman Gak Bun Beng sudah meninggal dunia!” kata Kam Bi Eng yang merasa
terharu mendengar akan kematian kakek itu setelah bertemu dengan dua orang anak
kembarnya.
Suma Ceng
Liong menarik napas panjang, “Bagaimanapun juga, usia paman Gak Bun Beng sudah
tua sekali, sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Memang kasihan sekali. Aku
mendengar bahwa sejak ditinggal mati isterinya, bibi Milana, dia hidup
menderita kesepian, apa lagi karena merasa kecewa akan keadaan dua orang putera
kembarnya. Karena itulah, dulu ketika anak kita diajak pergi untuk dididiknya,
aku menyetujuinya karena aku merasa kasihan kepadanya.”
“Ayah dan
Ibu, kulihat bahwa kehidupan kedua paman Gak kembar itu cukup bahagia dengan
seorang isteri dan seorang putera mereka. Kenapa mendiang kongkong tadinya
merasa kecewa melihat kedua orang putera kembarnya menikah dengan seorang
wanita?”
“Aih,
Lian-ji, hal itu hanya karena menyimpang dari kebiasaan saja. Biasanya, seorang
pria menikah dengan seorang wanita. Kalau pun ada pria menikah dengan dua orang
wanita, hal itu masih dianggap lumrah. Akan tetapi seorang wanita menikah
dengan dua orang pria? Memang tidak lumrah.”
“Tapi mereka
itu saling mencinta dan rukun sekali, dan aku melihat kedua orang paman Gak
kembar itu amat serupa, bukan hanya sama wajah, tubuh dan gerak-geriknya,
bahkan sikap, dan bicaranya, bahkan jalan pikirannya, serupa benar, seperti
satu orang dengan dua badan saja. Kalau memang mereka sudah menghendaki, mereka
berdua saling mencinta bibi Souw Hui Lian, mau apa lagi? Sebelum meninggal
dunia, kongkong sering bicara akan hal itu dan dia menyatakan kesadarannya
bahwa dialah yang keliru kalau merasa kecewa dalam urusan itu. Yang penting
dalam pernikahan adalah mereka yang langsung terkena dan yang mengalaminya,
bukan pandangan orang lain, demikian dia pernah berkata.”
“Sudahlah,
kita memang tak berhak untuk membicarakan dan menilai akan hal itu,” kata Suma
Ceng Liong. “Sekarang ceritakan saja tentang ilmu-ilmu apa saja yang pernah kau
dapatkan dari mendiang paman Gak Bun Beng. Kami ingin sekali melihatnya.”
Untuk
melegakan dan memuaskan hati ayah ibunya, Suma Lian lalu memperlihatkan
ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakek Bu Beng Lokai. Dari kakek
itu, Suma Lian menerima banyak sekali ilmu silat, terutama sekali ilmu silat
yang berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai, juga Ilmu Pukulan Pengacau Lautan
(Lo-thian Sin-kun) beserta ilmu pedangnya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, dan di
samping tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, juga mempelajari
ilmu tenaga sakti yang disebut Tenaga Inti Bumi.
Melihat
gerakan lincah puteri mereka, dan menyaksikan kekuatan sinkang yang cukup
dahsyat, Suma Ceng Liong dan isterinya merasa gembira sekali dan puas. Ternyata
puteri mereka itu tidak percuma meninggalkan rumah sampai tujuh delapan tahun.
Akan tetapi,
tentu saja mereka tidak merasa puas kalau belum menurunkan ilmu-ilmu simpanan
mereka. Karena itu, Suma Ceng Liong lalu mengajarkan Ilmu Coan-kut-ci (Jari
Penembus Tulang) yang dipelajarinya dahulu dari Hek I Mo-ong, juga mengajarkan
ilmu sihir dari ibunya. Sementara itu, Kam Bi Eng juga mengajarkan ilmu pedang
yang dimainkan dengan suling atau dapat juga dengan ranting pohon, yaitu
penggabungan ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Kim-sim Kiam-sut.
**************
Kita
tinggalkan dulu Suma Lian yang kini sudah berada di rumah orang tuanya, saling
melepas rindu dan juga gadis ini tekun memperdalam ilmu silatnya dengan
tambahan ilmu-ilmu tinggi dari ayah bundanya, dan mari kita mengikuti
perjalanan sumoi-nya, yaitu Pouw Li Sian.
Setelah
meninggalkan lereng bukit di mana untuk beberapa tahun dia tinggal bersama
gurunya dan suci-nya, kemudian berpisah dari suci-nya, hati Li Sian terasa
berat sekali. Baru ia merasa kehilangan sekali. Selama hampir delapan tahun ia
seperti mengalami suatu kehidupan baru.
Sebelum itu
dia adalah puteri bangsawan yang hidup dalam gedung yang mewah dan besar, hidup
terhormat dan mulia, berenang di dalam kemewahan. Kemudian secara mendadak
sekali, timbul mala petaka menghantam keluarganya. Dia lalu hidup terlunta
lunta, seperti seorang pengemis, bersama kakek Bu Beng Lokai dan suci-nya, Suma
Lian.
Namun,
akhirnya ia menemukan suatu kehidupan yang berbahagia bersama mereka,
menganggap mereka berdua seperti keluarganya sendiri, pengganti keluarganya
yang telah binasa. Ia hampir melupakan keadaannya semula dan sudah dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu. Akan tetapi kembali kini
terjadi perubahan. Ia harus meninggalkan lagi keadaan itu, memasuki keadaan
lain yang mencemaskan hatinya.
Ia seorang
diri! Kehilangan gurunya yang sangat disayangnya, kemudian berpisah dari
suci-nya yang dianggapnya seperti enci sendiri. Ingin rasanya dia menangis
ketika Li Sian melakukan perjalanan seorang diri di antara pohon-pohon di
tempat sunyi itu.
Keadaan yang
bagaimana pun juga dalam kehidupan ini tidaklah abadi. Sewaktu-waktu sudah
pasti akan terjadi perubahan. Hal seperti inilah yang menimbulkan kesengsaraan.
Orang diharuskan terpisah dari apa yang disayanginya, dan orang dipaksa bertemu
dengan keadaan-keadaan baru yang asing dan dianggap tidak menyenangkan.
Semua ini
terjadi karena adanya ikatan-ikatan dengan masa lalu dan harapan-harapan untuk
masa depan. Ikatan dengan benda, dengan orang, atau dengan gagasan. Selalu
menimbulkan rasa nyeri kalau ikatan itu dipaksa lepas dari kita. Dan
harapan-harapan di masa depan, hanya mendatangkan kekecewaan saja kalau tidak terlaksana
seperti yang kita harapkan. Hanya orang bijaksana saja, yang hidup dari saat ke
saat, yang tidak terikat oleh masa lalu dan tidak menjangkau masa depan, dia
saja yang akan tetap kokoh kuat dan tak tergoyahkan angin ribut yang terjadi
karena suatu perubahan!
Hidup dari
saat ke saat bukan berarti penyesuaian diri, karena penyesuaian diri juga
hanyalah suatu pemaksaan belaka. Hidup dari saat ke saat berarti menghadapi apa
pun yang terjadi saat ini seperti apa adanya, penuh kewajaran, tanpa menolak,
tanpa menentang, tanpa menilai baik buruknya. Kewaspadaan setiap saat dalam
menghadapi segala peristiwa hidup yang menimpa diri ini menimbulkan
kebijaksanaan seketika, tidak lagi dituntun oleh perhitungan pikiran yang
selalu ingin merangkul kesenangan dan menolak kesusahan.
Li Sian
menuju ke kota raja, di mana dulu ayahnya, Pouw Tong Ki, Menteri Pendapatan,
tinggal dan menjadi seorang di antara bangsawan tinggi, seorang menteri! Oleh
karena permusuhannya dengan thai-kam (orang kebiri) Hou Seng yang menjadi
kekasih kaisar, maka Menteri Pouw sekeluarganya terbasmi, dan Li Sian tertolong
oleh Bu Beng Lokai. Ada pun empat orang kakaknya, semuanya laki-laki, ditawan
dan dimasukkan penjara.
Li Sian
memasuki kota raja dan mulai melakukan penyelidikan tentang nasib keluarga orang
tuanya. Dia sudah tahu bahwa keluarga ayahnya sebagian besar tewas dalam
penyergapan kaki tangan Hou Seng seperti ayah dan ibunya, akan tetapi ia
mendengar bahwa empat orang kakaknya telah ditawan dan dijebloskan ke penjara.
Dia lalu
menyelidiki tentang empat orang kakaknya itu dan mendapat berita yang amat
menyedihkan hatinya. Tiga di antara mereka dibuang dan kemungkinan besar sudah
tewas. Akan tetapi seorang di antara mereka, kakaknya yang sulung, bernama Pouw
Cian Hin, telah diampuni oleh kaisar dan sekarang telah menjadi seorang perwira
yang bertugas di perbatasan utara. Mendengar ini, hati Li Sian menjadi girang.
Segera dia pergi meninggalkan kota raja dan melakukan perjalanan ke utara, ke
perbatasan dekat Tembok Besar.
Akan tetapi,
tentu saja sebagai seorang gadis yang selama hidupnya belum pernah melakukan
perjalanan ke utara, ke daerah yang amat sukar dan berbahaya itu, amatlah sukar
bagi Li Sian untuk dapat menemukan kakaknya itu. Daerah utara ini luas sekali.
Tembok Besar itu panjang ribuan li, melalui gunung dan jurang, dan tak
terhitung pula banyaknya pasukan yang berjaga di sepanjang Tembok Besar,
sedangkan ia tidak tahu kakaknya itu bertugas di pasukan yang mana.
Kemudian
teringatlah ia kepada Tiat-liong-pang! Ketua Tiat-liong-pang, Siangkoan Tek,
dahulu adalah seorang sahabat baik ayahnya. Pernah ketua Tiat-liong-pang itu
datang berkunjung kepada ayahnya dan sempat berjumpa dengannya. Ia teringat
betapa ketua Tiat-liong-pang itu amat baik dengan ayahnya, seorang yang amat
ramah. Teringat ini, ia pun menjadi girang dan timbul harapannya.
Kalau ia
berkunjung ke Tiat-liong-pang dan minta bantuan ketuanya, tentu akan lebih
mudah baginya untuk menemukan kakaknya yang menjadi perwira itu. Dengan penuh
harapan, mulailah Li Sian menyelidiki di mana adanya Tiat-liong-pang dan
ternyata tidak banyak kesukaran ia memperoleh keterangan bahwa perkumpulan itu
berada di lereng bukit di luar kota Sang-cia-kou. Maka, dia pun segera
melakukan perjalanan menuju ke sana.
**************
Gadis hitam
manis itu dengan langkah lebar menuju ke lereng bukit yang mendaki. Dia adalah
seorang gadis yang baru tumbuh dewasa, berusia delapan belas tahun, bagai
setangkai bunga mulai mekar. Tubuhnya yang sedikit jangkung dengan sepasang
kaki panjang itu nampak segar dan tegap berisi. Langkahnya lebar dan kuat,
pinggangnya ramping dan ketika ia melangkah mendaki bukit, pinggulnya
menari-nari.
Gadis itu
manis sekali, terutama sekali mulutnya yang bibirnya selalu basah kemerahan.
Bibir yang penuh dan membuat dirinya kelihatan berwajah cerah, ramah dan
bergairah. Namun, sinar matanya lembut, membayangkan kehalusan dan kesabaran
meski sinar matanya yang tajam membayangkan keberanian dan kegagahan.
Dia adalah
Kwee Ci Hwa, puteri tunggal Kwee Tay Seng yang tinggal di Ban-goan. Perjalanan
dari Ban-goan ke Sangcia-kou tidaklah begitu jauh, akan tetapi menempuh
perjalanan melalui pegunungan dan tanah tandus, di antara Tembok Besar yang
liar. Namun Ci Hwa adalah seorang gadis yang sejak kecil sudah digembleng oleh
ayahnya dengan ilmu silat sehingga dia sudah cukup kuat untuk membela diri
kalau ada bahaya mengancamnya.
Dia sama
sekali tidak tahu bahwa dunia ramai di luar pekarangan rumahnya penuh dengan
orang-orang jahat yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, dan bahwa tingkat
kepandaiannya itu, kalau digunakan untuk berjaga diri terhadap ancaman
orang-orang jahat, sungguh masih jauh dari pada mencukupi.
Memang, bila
menghadapi gangguan pemuda-pemuda atau pria-pria hidung belang dan mata
keranjang biasa saja yang berani mengganggunya, Ci Hwa sudah cukup mampu
membela diri dan menghajar mereka. Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan
penjahat yang berilmu tinggi.
Dengan
langkah lebar dan gagah ia mendaki bukit itu. Tiat-liong-pang berada di lereng
bukit itu dan sudah nampak pagar temboknya yang tinggi dari bawah. Akan tetapi
untuk mencapai lereng itu, ia masih harus melalui beberapa daerah berhutan, dan
naik turun beberapa anak bukit. Keadaan di situ sunyi sekali, tak nampak
seorang pun manusia.
Dia harus
mendatangi Tiat-liong-pang. Dia akan menemui pengurus Tiat-liong-pang dan
bertanya secara terang-terangan mengenai urusan Tiat-liong-pang dengan
perusahaan piauwkiok yang dimiliki oleh Tan Piauwsu, ingin bertanya apa
hubungan Tiat-liong-pang dengan kematian dan pembunuhan-pembunuhan itu. Dia
ingin mencuci nama ayahnya yang tadinya dituduh sebagai pembunuh Tan Piauwsu,
dan yang terakhir sekali orang she Lay si gendut itu. Ia harus membersihkan
nama ayahnya dari Sin Hong! Pemuda itu amat menarik dan mengagumkan hatinya,
dan dia merasa kasihan atas nasib pemuda itu, merasa ikut bertanggung jawab
setelah ayahnya dicurigai.
Ketika ia
melangkah memasuki hutan pertama yang tidak begitu besar, tiba-tiba saja muncul
lima orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun.
Melihat pakaian mereka yang ringkas, dan mereka semua membawa busur dan anak
panah, mudah diduga bahwa mereka adalah lima orang pemburu binatang.
Lima orang
itu memang merupakan pemburu binatang di daerah itu, dan mereka tentu saja
bukanlah orang-orang yang biasa melakukan kejahatan. Akan tetapi, agaknya di
dunia ini memang ada suatu kelemahan pada diri semua pria. Pria yang lajim,
kalau berada seorang diri saja, memang tidak mempunyai keberanian untuk
mengganggu seorang wanita, kecuali kalau memang pria itu berwatak mata
keranjang dan memiliki kecondongan sebagai pengganggu wanita yang nekat.
Akan tetapi,
biar pun pria yang tak suka mengganggu wanita kalau berada seorang diri, akan
timbul kecondongan itu kalau mereka didampingi teman! Kekurang ajarannya akan
menonjol dan akan timbul keberaniannya untuk melakukan gangguan, mungkin karena
hati mereka menjadi besar dengan adanya teman-teman, mungkin pula karena mereka
ingin menonjol dan agar dianggap cukup ‘jantan’.
Demikian
pula dengan lima orang itu. Begitu melihat bahwa di tempat sunyi itu muncul
seorang gadis yang amat manis seorang diri saja, mereka segera menyeringai dan
siap untuk menggoda. Kesunyian tempat itu membuat mereka iseng dan sifat kurang
ajar pria terhadap wanita pun menonjol sepenuhnya, tak terbendung lagi oleh
perasaan malu dan segan seperti kalau seorang diri saja.
“He, di sini
tidak menemukan harimau, yang muncul malah seekor kijang betina muda yang amat
cantik!”
“Wah, seekor
domba muda yang indah sekali!”
“Tentu lunak
sekali dagingnya!”
“Ha-ha-ha,
jangan-jangan ia seorang dewi penunggu hutan bukit!”
“Wahai nona
manis, dari mana hendak ke mana dan siapa namamu?”
Ci Hwa
mengerutkan alisnya ketika lima orang laki-laki itu sudah berdiri menghadang di
depannya sambil menyeringai. Jelas sekali betapa pandang mata mereka yang
sedang menjelajahi tubuhnya itu amat kurang ajar, seolah-olah hendak
menelanjanginya. Tetapi dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan sikap
halus dia pun menunduk.
“Aku adalah
seorang yang sedang lewat di jalan ini untuk mencari dan mengunjungi
Tiat-liong-pang, harap Cu-wi (Tuan sekalian) suka memberi jalan,” katanya halus
dan ia pun hendak melangkah maju, mengharapkan lima orang itu akan membuka
jalan.
Tetapi, lima
orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat
dan ranum, dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan
hal-hal yang amat menyenangkan bagi mereka. Maka sedikit pun mereka tidak mau
membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai dengan pandang mata cabul.
“Aih,
mengapa tergesa-gesa, Nona?”
“Mari kita
berkenalan lebih dulu.”
“Siapakah
nama nona manis?”
“Apakah
engkau sudah menikah dengan seorang anggota Tiat-liong-pang?”
“Hai, nona
manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”
Ci Hwa
mengerutkah alis, maklum bahwa ia tengah berhadapan dengan segerombolan orang
yang kurang ajar.
“Aku tidak
mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecuali kalau kalian
ini anggota-anggota Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggota perkumpulan itu?”
Lima orang
itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he, menggelengkan kepala. Seorang
di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya
menjadi kepala di antara mereka, lalu bertanya,
“Nona manis,
apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”
“Bukan, akan
tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan sedang mencari
perkumpulan itu.”
“Ha-ha-ha,
kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak
kalah gagah oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona.
Mari kau ikut saja dengan kami, kita bersenang-senang!” Si brewok itu mengulur
tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa.
Gadis itu
cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.
“Kalian ini
orang-orang kurang ajar! Aku tak mempunyai urusan dengan kalian!” Setelah
berkata demikian Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka
untuk melanjutkan pendakiannya naik ke bukit itu.
Akan tetapi
salah seorang di antara mereka telah meloncat dan menghadangnya sambil
menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak
dan tak pernah dibersihkan.
“He-he-he,
jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu
padaku, he-he-he!” Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang
menggiurkan hatinya itu.
Namun, Ci
Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama
sekali tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.
“Dukkkk!”
Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu.
“Aughhh...!”
Orang itu
membungkuk, memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas itu. Mungkin usus
buntunya tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan
berloncatan seperti seekor monyet menari-nari.
Melihat ini,
dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.
“Wah, galak
juga perempuan ini!” kata yang seorang.
“Makin liar
semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak,
ha-ha-ha!” kata orang kedua.
Ditubruk
oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimana pun
juga, sejak kecil ia sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke
belakang, tubrukan itu pun luput dan dari samping kembali kakinya menendang.
Akan tetapi sekali ini tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang itu bermaksud
menangkap kakinya. Ci Hwa telah menarik kembali kakinya dan kini ia
mendoyongkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar
orang ke dua.
“Plakkk!”
Tamparan itu keras sekali.
“Aduhhh...!”
Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali
meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu.
“Bedebah!”
Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.
Orang yang
tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima
ekor kucing yang kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.
“Perempuan
liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap dia dan kita gilir dia sampai dia minta
ampun!”
Kini Ci Hwa
terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha
membalas dengan tendangan dan pukulan. Namun, lima orang itu ternyata bukan
orang lemah sehingga baju Ci Hwa dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar
suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa, memperlihatkan sedikit
bukit dadanya yang masih tertutup pakaian dalam.
“Hemmm,
mulus !” Mereka berteriak-teriak.
Kini Ci Hwa
cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai terbuat dari perak. Senjata
ini merupakan andalan ayahnya dan dia pun sudah pernah berlatih dengan senjata
ini. Begitu dia menggerakkan tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan
menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara mereka kurang cepat mengelak.
“Tukkk!”
Ujung sabuk
perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan
dan terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah
itu sambil mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah. Melihat ini, empat orang
temannya menjadi marah.
“Gadis
liar!” bentak si brewok.
Mereka lalu
mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing. Itulah senjata mereka untuk
menangkap binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat
sekali, terbuat dari pada tali-tali sutera yang tidak mudah putus. Kini mereka
mengepung Ci Hwa dengan jaring siap di tangan, bibir mereka menyeringai dengan
napas memburu penuh ketegangan. karena mereka merasa seakan-akan mereka sedang
mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!
Ci Hwa
menjadi bingung. Selama hidupnya baru sekali ini ia berkelahi dikeroyok banyak
orang, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang
jaring seperti itu.
Tiba-tiba si
brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang
berdiri di belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada
jaring menyambar ke atas kepalanya dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula
jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya!
Ia meronta
dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain
sudah menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta,
makin terlibat-libatlah tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal
kenapa senjatanya itu bukan golok atau pedang yang tajam untuk dapat membikin
putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja
tidak ada gunanya.
Lima orang
itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk
mengikat tubuhnya. Ci Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu
berkutik lagi kecuali memaki-maki.
“Lepaskan
aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap
kalian, mengapa kalian hendak menggangguku? Lepaskan!” Dia berteriak dan
meronta, namun hanya dapat bergerak sedikit saja setelah tali itu
membelit-belit tubuhnya.
“Ha-ha-ha,
merontalah, Manis. Ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini,
ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena
tendangan, kena gampar dan terkena hantaman ujung sabuk rantai, sudah melupakan
nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa nanti mereka akan
kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan
kesenangan yang berlipat ganda.
Si brewok
lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di
atas pundak. Dia membawa Ci Hwa masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang
kawannya yang tertawa-tawa. Ci Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap
dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.
Tiba-tiba
saja, dari balik semak belukar, muncullah dua orang laki-laki bertubuh tinggi
besar. Di pinggang mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan
pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka garang sekali. Mereka tiba-tiba
muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang dengan
kaget.
Si brewok,
pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan
teman-temannya bukan menangkap binatang buruan, tapi seorang perempuan dalam
jaringnya, maka dia yang dapat mengenal orang kang-ouw itu segera tersenyum
ramah.
“Selamat
pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”
Akan tetapi
dua orang laki-laki tinggi besar itu hanya memandang dengan alis berkerut,
memandangi wajah mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam
jaring yang tidak dapat terlihat jelas mukanya karena tali-tali jaring yang
rapat.
“Hemmm,
kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya
hitam, sikapnya garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah
pemburu-pemburu binatang hutan!”
Si brewok
masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum
kang-ouw, para perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan
hidup mereka memang bersimpangan. Kalau para pemburu memburu binatang untuk
dijual kulit dan dagingnya, maka para perampok memburu manusia yang berharta
untuk dirampok hartanya.
“Tidak
keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak
mengadu untung di daerah pegunungan ini untuk memburu binatang hutan.”
“Dan
binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?” Tiba tiba
si muka hitam bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang
dibelit jaring.
“Aih, ini?
Ia… ia adalah ehh... tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia... ia
menjadi milik kami...,” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan
tetapi mengingat bahwa dia berlima sedangkan di depannya hanya terdiri dua
orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak ada sangkut
pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian
dan membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.
“Diam!”
bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah
kalian berani berkeliaran di sini, menangkap binatang mau pun perempuan?
Katakan, atas ijin siapa?!”
“Kami...kami
memburu di tempat bebas...“
“Butakah
matamu? Tulikah telingamu? Ini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan
kalian berani memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian
sudah bosan hidup rupanya!” Si muka hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan
tendangan.
Serangannya
demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut. Untuk
dapat menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang
dipanggulnya sehingga tubuh gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke
atas tanah. Kini lima orang pemburu itu sudah berkelahi mengeroyok dua orang
anggota Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.
Lima orang
pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring.
Untuk menggunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi
dari jarak dekat. Akan tetapi sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggota
Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka sehingga dalam waktu
yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun
roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi
besar itu!
Setelah lima
orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di
golok mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya
lalu menghampiri Ci Hwa yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari
antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka jaring dan membebaskan Ci
Hwa.
Gadis ini
merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan dia pun bangkit berdiri dengan susah,
agak terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang
usianya tiga puluh tahun lebih. Dia lalu memberi hormat.
“Terima
kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua
orang laki-laki itu sekarang memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak
ada bedanya dengan cara lima orang pemburu tadi memandangnya, bahkan kini
pandang mata mereka tidak pernah melepaskan bagian baju yang robek terbuka
sehingga sedikit memperlihatkan bukit dadanya.
Si muka bopeng,
orang ke dua, terkekeh. “Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka
berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis
sekali!”
Si muka
hitam menyambung, “Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, bagaimana lalu
engkau hendak membalas budi kami?”
Ci Hwa
terkejut. Baik isi ucapan mau pun nada suara kedua orang ini sama sekali tak
menyenangkan hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka
itu memandang ke arah dadanya, cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu
dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut dan wajahnya penuh
kekhawatiran.
“Aku
berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan.
Ehh, bukankah Ji-wi adalah dua orang anggota Tiat-liong-pang?”
“Benar,”
kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”
“Aku aku
ingin bertemu dengan ketuanya.“
Dua orang
itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati
mereka ini kenal dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka
sama sekali takkan berani mengganggunya.
“Apakah Nona
mengenal ketua kami?”
Ci Hwa
menggeleng kepalanya, “Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin
bertemu dengan dia dan bertanya tentang suatu urusan yang menyangkut perusahaan
piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun
yang lalu.”
Kembali
kedua orang itu saling pandang, “Ehhh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”
“Benar aku
adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauwkiok dan aku ingin
menyelidiki tentang beberapa pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa
orang piauwsu di sana.”
Kembali
kedua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai
senang.
“Aha,
kiranya Nona ini adalah seorang penyelidik! Tetapi tadi engkau belum menjawab
pertanyaan kami, Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang
pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana Nona hendak berterima kasih dan
membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam mendekat, diikuti
oleh si muka bopeng yang menyeringai.
Ci Hwa
mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.
“Aku... aku
berterima kasih, kalian mau apa lagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”
“Heh-heh-heh,
engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk.
Ci Hwa
menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si
bopeng cukup gesit dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga
tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini pun bukan orang lemah. Ia sudah
meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk menangkapnya
dari samping dengan tubrukannya.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment