Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 05
Ci Hwa
dikeroyok dua. Gadis ini coba untuk mempertahankan diri, mengirimkan pukulan
dan tendangan. Tapi, dua orang anggota Tiat-liong-pang itu adalah anggota yang
sudah agak tinggi tingkatnya, ilmu kepandaian mereka pun sudah cukup kuat.
Sedangkan Ci Hwa sudah kehilangan sabuk rantai yang diandalkannya.
“Brettttt!!”
Tiba-tiba
cengkeraman tangan si muka hitam dapat menangkap baju Ci Hwa dan baju itu
berikut baju dalamnya terlepas dari tubuhnya sehingga tubuh bagian atasnya
terbuka dan buah dadanya pun nampak. Hal ini membuat kedua orang itu menjadi
semakin gila dan penuh nafsu. Sebaliknya, Ci Hwa dibuat malu dan canggung
karena tubuh atasnya telanjang sehingga gerakannya menjadi kacau. Akhirnya,
sebuah tendangan mengenai lututnya dan tubuh Ci Hwa terpelanting. Kedua orang
itu menubruknya seperti dua ekor harimau menubruk kambing. Ci Hwa
berteriak-teriak pada saat mereka menggumulinya, mencoba untuk melepaskan semua
pakaiannya.
“Tahan!”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Kedua orang
itu kelihatan terkejut, cepat melepaskan Ci Hwa dan meloncat berdiri. Kini
mereka berdiri berjajar, berhadapan dengan seorang pemuda dengan muka pucat dan
ditundukkan, kelihatan takut sekali.
“Kiranya
Kongcu yang datang...!” kata mereka dan selanjutnya mereka mengambil sikap
seperti orang menunggu perintah.
Ci Hwa
merasa seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena kedua orang tadi dengan kasar
menggumulinya. Pakaiannya sudah tidak karuan lagi letaknya, baju atasnya robek.
Dia mengeluh, kemudian bangkit duduk sambil berusaha keras menutupi dadanya
dengan robekan bajunya, lalu memandang.
Kiranya yang
muncul adalah seorang pemuda berwajah tampan. Pakaiannya seperti seorang pemuda
terpelajar tinggi, pakaian yang bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan itu
pesolek dan gerak-geriknya halus, bahkan dia tidak mau terlalu lama memandang
keadaan gadis yang setengah telanjang itu. Sepasang matanya ditujukan kepada
lima buah mayat para pemburu, kemudian menatap dua orang anggota
Tiat-liong-pang yang berdiri di depannya. Suaranya tetap halus, namun penuh
teguran dan dari alis matanya yang berkerut itu dapat diduga bahwa hatinya
tidak senang.
“Apa yang
telah terjadi di sini?” tanyanya, suaranya halus namun kereng.
Si muka
hitam yang galak tadi kini menjawab dan Ci Hwa merasa heran mendengar betapa
suara orang itu terdengar gemetar. “Begini, Kongcu... mereka itu adalah lima
orang pemburu yang tanpa seijin kita berani melakukan perburuan di hutan ini.
Mereka menangkap gadis ini dan menculiknya, maka kami lalu turun tangan
membunuh mereka berlima.”
“Hemmm, akan
tetapi apa yang kalian lakukan tadi terhadap Nona ini?”
Kedua orang
kasar itu saling pandang dan untuk menyembunyikan rasa takut, mereka tersenyum
menyeringai. “Hemm, Kongcu, setelah tadi kami menolongnya, ia berterima kasih
dan hendak membalas budi kami berdua...”
Pemuda itu
bukan lain adalah Siangkoan Liong. Meski pun pemuda ini selalu bersikap halus
dan jarang mendekati para anggota Tiat-liong-pang, namun dia lebih ditakuti
oleh para anggota itu dari pada terhadap Siangkoan Lohan sendiri karena pemuda
ini dapat bertindak tegas dan tidak mengenal ampun kepada mereka yang bersalah.
Sekarang, mendengar laporan si muka hitam, pemuda itu menoleh ke arah Ci Hwa,
hanya melirik saja.
Ci Hwa tidak
tahu siapa pemuda itu, akan tetapi melihat betapa dua orang itu bersikap
takut-takut, ia pun dapat menduga bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang yang
amat berpengaruh di Tiat-liong-pang.
“Mereka
bohong!” katanya membantah keterangan si muka hitam. “Memang dia benar bahwa
tadi aku diganggu dan ditawan lima orang pemburu, dan mereka berdua muncul
menolongku dan membunuh lima orang itu, dan aku memang berterima kasih, akan
tetapi mereka berdua itu tidak ada bedanya dengan lima orang pemburu itu.
Mereka hendak memaksaku, menggangguku. Aku terlepas dari cengkeraman lima ekor
serigala akan tetapi terjatuh ke cengkeraman dua ekor harimau!” Gadis yang
biasanya berwatak pendiam dan halus ini sekarang bicara berapi-api, penuh
kemarahan.
Siangkoan
Liong memandang dua orang anak buahnya. “Benarkah itu?”
Dua orang
itu saling lirik, tak berani berbohong lagi, tetapi mereka masih menyeringai.
“Ehh... begini, Kongcu... ehh, kami melihat ia begitu cantik manis wajarlah
kalau kami tertarik dan hanya ingin main-main sedikit, bukan mengganggunya.“
“Cukup!”
Siangkoan Liong membentak. “Cepat kalian bunuh diri sendiri!”
Tentu saja
ucapan ini amat mengejutkan. Dua orang itu seketika terbelalak dan wajah mereka
pucat sekali. Bahkan Ci Hwa juga kaget bukan main. Begitu mudahnya pemuda ini
menjatuhkan hukuman yang luar biasa, menyuruh dua orang itu membunuh diri!
Keduanya
saling pandang dengan mata liar dan jelas bahwa mereka amat ketakutan, seperti
dua ekor kelinci bertemu harimau.
“Tapi...tapi...,“
kata yang seorang.
“Kita lapor
Pangcu (ketua)!” kata yang lain dalam usahanya untuk menyelamatkan diri.
Keduanya seperti dikomando tiba-tiba, segera membalikkan tubuh dan melarikan
diri.
Akan tetapi,
nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat, kedua
tangannya bergerak dan tanpa ada suara keluhan apa pun, tubuh dua orang itu pun
terjungkal dan tewas seketika! Melihat ini, Ci Hwa merasa ngeri, juga kagum,
juga agak takut.
Pemuda
tampan itu demikian lihainya. Gerakannya ketika merobohkan orang itu sama
sekali tidak dapat diikuti dengan pandang matanya, demikian cepat sehingga dia
tidak tahu bagaimana dua orang itu roboh terus mati. Pemuda ini memiliki
pembawaan yang demikian agung dan berwibawa, halus gerak-gerik serta tutur
sapanya, dan demikian tampan memikat, seperti seorang tokoh bangsawan dalam
dongeng saja!
Sementara
itu, dengan sikap acuh, Siangkoan Liong menghampiri tujuh buah mayat itu dan
setiap kali kakinya bergerak, sesosok mayat terlempar ke dalam jurang di
samping jalan, jurang yang dalam seperti mulut raksasa terpentang lebar menelan
mayat-mayat itu sampai tidak nampak lagi dari atas.
Setelah
menendangi tujuh buah mayat itu masuk jurang, Siangkoan Liong melangkah pergi
meninggalkan Ci Hwa tanpa menoleh satu kali pun. Ci Hwa cepat mengejarnya.
“Kongcu...
nanti dulu...!” katanya dan sekaligus bingung juga apa yang harus dikatakan dan
mengapa pula ia mengejar pemuda itu.
Siangkoan
Liong dengan sikapnya yang halus lembut dan anggun itu menahan langkah dan
membalikkan tubuhnya menghadapi Ci Hwa, kemudian agaknya baru sekarang dia
memperhatikan gadis itu, dari ujung rambut sampai ke alas kaki dan agaknya dia
harus membenarkan pendapat dua orang anak buahnya bahwa gadis ini memang hitam
manis dan cantik menarik.
“Ada apa
lagikah, Nona? Sudah kusingkirkan para pengganggumu.”
Ci Hwa agak
gugup dan mukanya menjadi merah. “Aku... aku berterima kasih sekali atas
pertolonganmu, Kongcu.”
Siangkoan
Liong tersenyum dan Ci Hwa merasa betapa jantungnya seolah berjungkir balik.
Betapa tampannya pemuda itu ketika tersenyum seperti itu. Sepasang matanya yang
indah tajam itu bagaikan menyalakan api, wajahnya nampak ramah dan tampan bukan
main.
“Tidak perlu
berterima kasih, Nona, dan engkau boleh melanjutkan perjalanan dengan hati
tenang sekarang.”
“Akan
tetapi... aku memang sengaja datang hendak berkunjung ke Tiat-liong-pang dan
melihat sikap kedua orang Tiat-liong-pang tadi kepadamu, agaknya Kongcu juga
dari Tiat-liong-pang. Benarkah itu?”
Siangkoan
Liong jadi tertarik dan mengamati lebih tajam. Apa maunya gadis muda ini,
pikirnya. “Siapakah engkau, Nona? Apa pula keperluanmu datang berkunjung kepada
Tiat-long-pang?”
Ci Hwa
mengangkat muka memandang. Sampai lama mereka kini saling pandang dan hati Ci
Hwa makin tertarik. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu dengan seorang
pemuda yang begini hebat. Wajahnya demikian tampan, anggun dan juga agung,
penuh wibawa namun tidak nampak galak, melainkan halus sikapnya lembut dan
ramah gerak geriknya.
Ketampanan
itu mengandung kegagahan tersembunyi, sedang pakaiannya yang seperti seorang
terpelajar tinggi itu rapi, bagaikan pakaian seorang pemuda bangsawan saja.
Ketika ditanya tentang keperluannya hendak mengunjungi Tiat-liong-pang, tentu
saja ia merasa rikuh untuk memberi tahukan, sebelum ia mengenal benar siapa
pemuda ini dan apa hubungannya dengan Tiat-liong-pang.
Akan tetapi
karena orang ini telah menyelamatkannya dan bersikap baik juga ramah, ia pun
segera memberi hormat dan menjawab dengan sikap halus pula.
“Nama saya
Kwee Ci Hwa, Kongcu, dan saya datang dari dusun Ban-goan. Ayah saya adalah Kwee
Tay Seng atau Kwee Pangcu, ketua dari perusahaan Ban-goan Piauwkiok di kota
kami. Ada pun keperluan saya mencari Tiat-liong-pang adalah... akan tetapi aku
harus mengetahui dulu siapa Kongcu ini sebelum kuberi tahukan kepentinganku.”
Pemuda itu
setelah lama saling berpandangan, cara memandangnya tidak acuh lagi seperti
tadi, menemukan sesuatu yang amat menarik dalam diri Ci Hwa. Seorang gadis yang
memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang sangat menggairahkan, dengan
sinar mata yang memancarkan semangat dan keberanian, dengan sebuah mulut yang
teramat menarik, mulut yang agaknya memang diciptakan sebagai alat menyampaikan
kemesraan yang penuh gairah.
Mulailah
sinar mata pemuda itu mencorong dan dia pun sudah mengambil keputusan bahwa dia
tidak boleh melewatkan seorang gadis semanis ini begitu saja! Siangkoan Liong
bukan seorang pemuda yang terlalu mudah jatuh menghadapi kecantikan wanita.
Akan tetapi, matanya tajam sekali untuk bisa menangkap keindahan yang khas
seorang wanita. Terutama sekali setelah di antara semua orang yang bersekutu
dengan ayahnya terdapat Sin-kiam Mo-li.
Wanita itu,
biar usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun masih cantik dan lemah
lembut, dan tentu saja amat berpengalaman dalam ilmu menundukkan hati pria.
Dengan keahliannya, ia pun pernah berhasil menundukkan pemuda yang luar biasa
itu dan tentu saja dalam hal satu ini, Sin-kiam Mo-li menjadi seorang guru yang
teramat pandai dan berpengalaman.
Peristiwa
yang terjadi dengan Sin-kiam Mo-li sudah membangkitkan naga yang tadinya masih
tertidur dalam diri Siangkoan Liong, dan sekali naga nafsu itu bangkit maka
selalu hendak mencari korban. Dan dalam pandangan pemuda itu, Ci Hwa merupakan
calon korban yang amat menarik.
“Aihhh,
kiranya engkau puteri seorang piauwsu, nona Kwee Ci Hwa. Aku heran sekali,
kenapa ada puteri seorang piauwsu mencari Tiat-liong-pang. Ketahuilah, bahwa
ketua Tiat-liong-pang, yaitu Siangkoan Pangcu, adalah ayah kandungku. Ibuku
seorang puteri dari istana dan aku masih disebut orang pangeran karena aku
putera ibuku. Namaku Siangkoan Liong.”
Ci Hwa
semakin kagum. Seorang pangeran? Pantas, pemuda ini begini tampan gagah dan
berwibawa. Dan tentang kepandaian silatnya, dia tidak meragukannya lagi, walau
pun dia juga bergidik ngeri melihat betapa mudahnya pangeran ini membunuh
orang, anak buahnya sendiri malah!
“Aihh, kalau
begitu aku telah bersikap kurang hormat, Pangeran...“
“Hushhh,
jangan sebut pangeran. Kita bukan di istana. Semua orang memanggil aku
Siangkoan Kongcu. Nah, nona Ci Hwa, katakan mengapa seorang gadis yang begini
muda dan manis seperti engkau ini, puteri seorang piauwsu, jauh-jauh datang
untuk mencari Tiat-liong-pang. Ada urusan apakah?”
Hati Ci Hwa
sudah jatuh benar sekarang. Siangkoan Liong memperlihatkan sikap manis, pada
waktu berbicara dibarengi senyum dan pancaran matanya tidak menyembunyikan
kekagumannya, maka gadis itu pun merasa betapa jantungnya berdebar tidak
karuan.
Dia pun lalu
menceritakan apa maksud kedatangannya itu. Diceritakannya betapa di Ban-goan
terjadi pembunuhan-pembunuhan, sejak delapan tahun yang lalu ketika Tan Piauwsu
dibunuh orang, kemudian juga Tang Piauwsu, dan yang terakhir adalah orang she
Lay terbunuh pula oleh orang berkedok.
“Keluarga
Tan menuduh ayahku sebagai pembunuh itu, Kongcu, dengan alasan bahwa mungkin
ayahku membenci karena persaingan di dalam perusahaan. Akan tetapi, ayah sama
sekali tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan aku merasa penasaran. Aku
harus mencari pembunuh itu untuk mencuci nama baik ayahku. Sebelum orang she
Lay itu tewas oleh orang berkedok, dia menyebutkan nama perkumpulan
Tiat-liong-pang dan karena itu maka aku meninggalkan rumah dan pergi
mengunjungi Tiat-liong-pang untuk mencari keterangan. Tapi di hutan tadi aku
bertemu dengan lima orang pemburu yang menawanku, kemudian muncul pula dua
orang anggota Tiat-liong-pang. Untung ada engkau, Kongcu, yang telah
menyelamatkan aku.”
Siangkoan
Liong tersenyum lebar dan pandang matanya ramah sekali. “Aih, nona yang baik,
kenapa engkau bercuriga kepada Tiat-liong-pang? Perkumpulan kami terlalu besar
untuk berurusan dengan segala macam pembunuhan seperti yang terjadi di Ban-goan
itu. Perkumpulan kami dekat dengan istana, dan ayahku adalah keluarga istana,
mana mungkin memusuhi segala macam perusahaan Piauwkiok? Akan tetapi agar
engkau merasa puas, marilah ikut denganku, dan kau lihat sendiri keadaan
perkumpulan kami. Kami sudah cukup kaya dan tak membutuhkan barang orang lain
untuk dirampok. Nah, marilah, Nona. Engkau menjadi seorang tamuku, tamu
terhormat.”
Tentu saja
Ci Hwa merasa girang dan terhormat sekali. Semangatnya untuk menyelidiki
Tiat-liong-pang seperti awan tipis tersapu angin, lenyap sudah. Dan kini, ia
berjalan di sebelah pemuda itu bukan lagi seperti seorang yang ingin
menyelidiki, tetapi sebagai seorang tamu yang merasa gembira bukan main telah
dapat menjadi tamu seorang tuan rumah seperti pemuda ini. Jika saja para gadis
lain melihatnya, berjalan berdampingan dengan seorang pangeran yang demikian
tampan dan demikian gagah perkasa, tentu mereka akan merasa iri hati!
Siangkoan
Liong membawa Ci Hwa ke rumah gedung keluarganya, akan tetapi ia tidak
mengajaknya berjumpa dengan ayahnya. Juga tak memperkenalkannya kepada semua
orang yang terdapat di gedung itu, dan karena dia diam saja, tak seorang pun di
antara para anggota mau pun tamu di rumah itu berani bertanya kepadanya siapa
gerangan gadis manis yang datang bersamanya itu.
Sedangkan Ci
Hwa, melihat betapa semua orang memberi hormat kepada pemuda itu, merasa
semakin bangga! Apa lagi ketika ia melihat betapa rumah gedung itu memang penuh
dengan perabot rumah yang indah, bagaikan sebuah istana seorang pembesar saja.
Tidak salah. Pemuda yang berdarah pangeran ini memang kaya raya dan tentu saja tidak
perlu harus melakukan perampokan terhadap Tan Piauwsu.
Ia dibawa ke
ruangan-ruangan yang amat indah, dan akhirnya pemuda itu mengajaknya duduk di
dalam sebuah ruangan makan yang tidak seberapa luas, namun ruangan ini terhias
indah dengan lukisan-lukisan, juga amat bersih dan berbau harum. Sebuah pintu
menembus ke sebuah kamar, yaitu kamar pemuda itu, dihiasi tirai sutera dan dua
pot bunga tumbuh subur di kanan kiri pintu. Inilah ruangan makan pribadi dari
Siangkoan Kongcu.
Pemuda ini
memang merasa derajatnya lebih tinggi dari pada para sahabat dan anak buah
ayahnya, maka dia jarang sekali mau makan bersama teman-teman ayahnya yang
dianggapnya orang-orang kasar itu. Dia lebih suka makan seorang diri saja di
ruangan khusus itu, hanya ayahnya saja yang kadang menemaninya jika tidak
sedang menjamu tamu.
“Duduklah,
nona Kwee. Hari sudah siang dan aku sudah lapar. Apakah engkau tidak merasa
lapar juga?”
Ditanya
demikian, Ci Hwa yang berwatak pendiam dan halus itu merasa sungkan dan hanya
menggelengkan kepalanya.
“Ah, sekali
waktu orang harus menanggalkan rasa rikuh dan bersikap jujur, Nona. Tadi pernah
aku mendengar keruyuk perutmu ketika kita jalan bersama, itu tandanya engkau
pun lapar seperti aku. Kenapa harus malu mengakuinya?”
Ditegur
seperti itu, mau tidak mau Ci Hwa tersenyum dengan kedua pipinya berubah merah
dan tidak dapat menjawab.
“Nah, engkau
sebagai tamuku, tamu agung, harap tidak menolak kalau kuajak makan bersama
sebelum kita bercakap-cakap lebih lanjut.”
Tanpa
menanti persetujuan gadis itu, Siangkoan Liong bertepuk tangan tiga kali dan
muncullah dua orang pelayan wanita, gadis-gadis muda yang mulus dan cantik.
Mereka memberi hormat dengan sikap lembut.
“Cepat
kalian keluarkan hidangan makan siang berikut minumannya yang lengkap untuk menghormati
tamu agungku!” perintahnya. Dua orang gadis pelayan itu membungkuk lalu
mengundurkan diri dengan cepat.
“Silakan
duduk, nona Kwee Ci Hwa.”
Terpaksa Ci
Hwa mengambil tempat duduk, berhadapan dengan pemuda itu, terhalang sebuah meja
yang lebarnya satu meter. Mereka kembali saling pandang. Melihat betapa sinar
mata pemuda itu mengamatinya dengan kagum, debar jantung Ci Hwa mengeras dan ia
pun menunduk malu-malu.
Tak
dibayangkannya semula bahwa ia akan dapat duduk semeja dan menjadi tamu agung
putera ketua Tiat-long-pang yang hendak diselidikinya. Ia merasa malu kepada
diri sendiri. Bagaimana mungkin ia mencurigai seorang seperti pemuda ini, perkumpulan
besar yang kaya raya ini? Tentu orang she Lay itu sudah dengan sengaja menyebut
nama Tiat-liong-pang untuk menjebak Sin Hong.
“Aih,
celaka...!” Tiba-tiba ia menggumam, suaranya yang timbul dari kekagetan
hatinya. Hal ini diketahui oleh Siangkoan Liong yang memandang heran.
“Ehh, ada
apakah nona Ci Hwa?”
Ci Hwa
merasa terkejut dan menyesal sekali mengapa ia tidak mampu menahan gejolak
batinnya tadi. Tentu saja ia terkejut teringat akan hal itu karena sudah pasti
Sin Hong akan datang pula menyelidiki ke sini dan kalau sampai bentrok dengan
orang-orang Tiat-liong-pang yang tidak bersalah, pemuda itu bisa celaka!
Padahal dia kagum dan suka sekali kepada Tan Sin Hong!
Sekarang,
karena sudah terlanjur bicara dan diketahui Siangkoan Kongcu, terpaksa ia pun
menjawab. “Kongcu, aku teringat akan putera mendiang Tan Piauwsu. Dialah orang
yang tadinya menjatuhkan tuduhan kepada keluarga kami sebagai pembunuh ayahnya.
Dan dia pun sudah mendengar dari orang she Lay itu bahwa yang berdiri di
belakang pembunuhan itu adalah Tiat-liong-pang. Tentu dia akan menyerbu ke
sini!”
Siangkoan
Kongcu hanya tersenyum. “Biarkanlah kalau dia akan menyerbu. Kami tidak
bersalah dan kami tidak takut akan serbuan siapa pun juga.”
“Bukan
begitu maksudku, Kongcu. Akan tetapi dia... Tan Sin Hong itu, dia akan salah
serbu dan bahkan tentu akan celaka di sini...“
Sepasang
alis yang berbentuk golok dan hitam itu agak berkerut dan sepasang mata yang
tajam itu memandang penuh selidik ke arah wajah manis itu.
“Kalau
begitu mengapa? Kalau dia menyerbu ke sini dan celaka, bukankah itu salahnya
sendiri? Apa hubungannya dengan engkau, Nona? Mengapa engkau mengkhawatirkan
dia padahal dia sudah menuduh ayahmu sebagai seorang bersalah?”
Sepasang
pipi itu semakin merah. Tentu saja ia tidak dapat menyatakan bahwa ia tertarik
dan kagum, bahkan suka sekali kepada Sin Hong!
“Ahhh, tidak
ada hubungan apa pun. Hanya aku kasihan kepadanya karena dia telah kehilangan
ayah ibunya, kehilangan perusahaannya, kehilangan segalanya.”
“Jadi karena
itu engkau membantunya dan menyelidiki kami? Apakah engkau jatuh cinta padanya,
Nona?”
“Ihh...!
Kenapa engkau bertanya begitu, Kongcu? Aku menyelidiki untuk menebus nama baik
ayahku, bukan untuk membantunya, dan tentang cinta... ahh... tidak sama
sekali!” Tentu saja dia menyangkal walau pun hatinya penuh tanda tanya dan
keraguan karena selama ini dia sendiri pun belum pernah bertanya kepada dirinya
sendiri apakah rasa tertariknya kepada Sin Hong ini karena cinta.
Siangkoan
Liong menarik napas lega dan sementara itu hidangan pun tiba.
“Sudahlah,
kita bicarakan hal lain saja, Nona. Kalau sampai orang yang bernama Tan Sin
Hong itu datang menyerbu, mengingat bahwa dia itu kenalanmu, tentu akan kujaga
agar dia jangan sampai celaka.”
“Terima
kasih, Kongcu. Engkau memang orang yang baik sekali.”
“Ha-ha-ha,
bukan baik, Nona. Tapi menghadapi seorang gadis yang begini cantik manis,
begini ramah dan halus budi, juga gagah perkasa seperti engkau, siapa orangnya
yang tidak akan menjadi baik?”
Sudah
semenjak sejarah dicatat orang, wanita merupakan makhluk yang amat lemah
terhadap cumbu rayu dan bujukan. Pujian-pujian merupakan hal yang menyenangkan
hati, bahkan didambakan setiap wanita. Hanya wanita yang tidak normal saja kiranya
yang tidak haus akan pujian dan rayuan.
Hal ini
kiranya bukan karena suara kelemahan batin atau juga karena kekurangannya,
melainkan sudah menjadi pembawaan, naluri yang ada pada setiap makhluk betina,
termasuk wanita. Sudah sejak mulanya, wanita atau semua makhluk betina memiliki
daya tarik yang amat besar bagi makhluk jantan, seperti juga wanita memiliki
segalanya yang amat menarik hati pria. Suaranya yang lembut, rambut panjang
halus, kulit mulus, raut wajah yang indah, lekuk lengkung tubuh menggairahkan,
pandang mata yang penuh romantika, senyum memadu, leher jenjang, pinggang
ramping, dada dan pinggul membukit, kaki yang mungil, pendeknya segala sesuatu
pada diri wanita mengandung daya tarik bagi pria.
Wanita
menyadari akan hal ini, karena itu berupaya menonjolkan daya tarik itu dan jika
sampai terlontar pujian dari mulut atau mata pria, maka berhasillah ia dan
banggalah ia. Sebaliknya, pria yang pandai, yang mengerti akan kelemahan wanita
ini sengaja akan mempergunakan kelemahan itu sebagai umpan untuk memancing dan
mendapatkan wanita yang diidamkannya. Daya tarik kedua pihak, yang menarik satu
kepada yang lain, memang pembawaan semenjak lahir, mungkin hal itu diperlukan
sekali agar ada pendekatan antara keduanya sebagai sarana perkembang biakan. Tanpa
saling tertarik, mana mungkin ada hasrat pendekatan, dan tanpa pendekatan,
bagaimana mungkin terjadi perkembang biakan?
Di pihak
pria, memang ada pula perasaan suka dipuji itu, akan tetapi biasanya, berbeda
dengan wanita, pria suka dipuji akan kejantanannya, bukan karena keelokan
parasnya. Siangkoan Liong, biar pun sejak kecil digembleng dengan ilmu silat
dan sastra, sebelum Sin-kiam Mo-li menjadi sekutu ayahnya, memang sama sekali
tidak berpengalaman dengan wanita. Setelah dia terpikat oleh Sin-kiam Mo-li dan
mendapatkan seorang guru baru dalam permainan asmara, dia pun berubah. Walau
pun dia masih jual mahal dan tidak sembarangan mau mendekati wanita seperti
para gadis pelayannya sendiri, tapi dia mulai memperhatikan wanita dan sekali
dia menaruh minat, jangan harap wanita itu akan mampu terlepas dari pikatannya
yang lihai.
Ci Hwa
berkali-kali memerah muka karena pujian-pujian yang dilontarkan tidak secara
kasar atau langsung itu. Sambaran-sambaran sinar mata penuh kagum dari pemuda
itu lebih membingungkannya dari pada kalau dirinya dirayu. Andai kata Siangkoan
Kongcu merayunya dengan kata-kata, apa lagi kalau agak kasar, kiranya belum
tentu ia akan terpikat. Ci Hwa bukanlah wanita yang mudah jatuh hati oleh
ketampanan. Akan tetapi, menghadapi sikap yang demikian lembut, halus dan
ramah, serta pandai membawa diri, bahkan kata-katanya kini mulai indah seperti
sajak, dengan kata-kata pilihan, luluhlah hati Ci Hwa.
Melihat
betapa calon korbannya itu sudah mulai terpikat, yang dapat diketahuinya dari
senyum dikulum, lirikan mata mengandung kegenitan, kedua pipi kemerahan, dada
naik turun dan mata yang seperti mengantuk itu, Siangkoan Kongcu lalu memesan
anggur merah dari pelayan. Sebuah guci berlapis emas dengan ukiran-ukiran
sepasang burung Hong sedang bermain asmara kemudian disuguhkan dan diletakan di
atas meja. Ketika Siangkoan Liong menuangkan anggurnya, ternyata anggurnya
warna merah dan berbau harum sekali.
Diisinya
penuh cawan mereka dan Siangkoan Liong mengangkat cawannya yang penuh arak
merah itu sambil diacungkannya kepada Ci Hwa sambil berkata dengan senyum ramah
dan manis.
“Marilah
kita minum anggur ini, Nona!”
Biar pun Ci
Hwa tidak asing dengan minuman arak dan anggur karena ayahnya juga seorang
peminum yang kuat, namun tadi sambil makan dia telah minum arak cukup banyak.
Ia tidak mabuk, akan tetapi ia harus waspada karena berada di tempat asing, apa
lagi sebagai seorang tamu wanita. Alangkah akan memalukan kalau sampai dia
mabuk dan mengeluarkan kata-kata di luar kesadarannya, maka dia pun menggeleng
kepala sambil tersenyum.
“Sudah
cukup, Kongcu. Sungguh aku sudah kenyang sekali dan sudah banyak minum, rasanya
tidak ada tempat lagi untuk ditambah minum anggur. Kebaikanmu sebagai tuan
rumah sudah berlimpahan, membuat aku merasa tidak enak saja, dan sebaiknya
kalau aku minta diri sebelum berhutang budi terlalu banyak.”
Ci Hwa
adalah seorang gadis pendiam dan jarang bicara, akan tetapi sekali ini ia
pandai bicara. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan tempat yang indah itu,
mungkin juga oleh kegembiraan berdua dengan Siangkoan Kongcu, atau juga
lidahnya agak terlepas karena pengaruh minuman arak yang tua dan baik tadi.
“Ha-ha-ha,
nona Ci Hwa yang mulia! Ketahuilah bahwa anggur ini merupakan anggur simpananku
yang kuberi nama Anggur Emas. Tidak keras seperti arak, melainkan lezat, manis
dan harum, juga mengandung khasiat menyehatkan tubuh dan membangkitkan hawa
sakti dalam tubuh. Jika bukan tamu agung, jangan harap bisa merasakan anggur
suguhanku ini. Anggur ini adalah minuman para puteri dan pangeran di istana,
Nona. Oleh karena itu, mari kita minum untuk pertemuan kita yang berbahagia
ini!”
Betapa Ci
Hwa dapat menolak penawaran seperti itu? Tentu saja akan tidak enak sekali dan
nampak tidak dapat menerima budi orang jika ia menolak. Maka sambil tersenyum
ia pun mengangkat cawan araknya. Kini senyumnya agak lebar, lebih lepas dan
dengan sinar mata kagum Siangkoan Liong melihat deretan gigi yang putih
cemerlang seperti mutiara, rapi berjajar dan samar-samar nampak rongga mulut
yang merah dengan ujung lidah jambon yang sehat.
Keduanya
mengangkat cawan, kemudian saling mengacungkan cawan sambil berkata lirih,
“Selamat!” dan keduanya minum anggur merah dari cawan itu.
Begitu
anggur memasuki mulut, Ci Hwa terkejut, heran dan juga kagum! Belum pernah
selama hidup ia minum minuman selezat itu! Bagaikan sari buah anggur tulen.
Mungkin anggur dengan mutu terbaik diperas dan entah dicampur apa maka dapat
sedemikian manisnya dan harumnya.
Tentu tidak
memabukkan sama sekali, pikirnya. Dia pun menuangkan seluruh isi cawan itu ke
dalam tenggorokannya. Terasa manis dan hangat memasuki tenggorokan dan perut.
Memang ada rasa hangat, akan tetapi tidak panas menyentak seperti jika minum
arak.
Mereka
saling berpandangan dan pemuda itu tersenyum. Wajah pemuda itu nampak lebih
cerah dan lebih tampan saja.
“Bagaimana,
nona Ci Hwa? Enak tidak?”
“Bukan
main!” Ci Hwa memuji. “Engkau sungguh pandai sekali, Kongcu. Selama hidup baru
sekarang aku merasakan minuman yang begini lezatnya.”
“Ha-ha-ha,
pujian seperti itu harus diberi hadiah secawan lagi.” Dia cepat mengisi pula
dua cawan arak mereka. “Sekarang mari kita minum untuk persahabatan kita, bukan
hanya karena pertemuan antara kita!”
Karena
minuman itu bukan arak dan tidak akan memabukkan, Ci Hwa tanpa ragu-ragu minum
lagi anggur itu sampai habis. Dan untuk ke tiga kalinya Siangkoan Liong kembali
menuangkan isi guci ke dalam cawan mereka.
Ci Hwa
merasa sungkan juga, takut dianggap gembul dan murka. “Cukup, Kongcu. Minuman
seperti itu amat berharga dan jangan terlalu banyak dihamburkan untukku!”
“Sama sekali
bukan begitu. Memang amat mahal harganya, akan tetapi seguci hanya terisi enam
cawan. Dan kiranya tidak ada orang yang lebih patut untuk mendapatkan setengah
guci. Engkau tiga cawan dan aku tiga cawan baru puaslah hatiku. Sekali ini kita
minum untuk menghormati perasaan suka dan tertarik di antara kita!”
Ci Hwa
terkejut dan mukanya menjadi semakin merah, jantung berdebar kuat sekali. Akan
tetapi dia tidak marah. Bagaimana dia dapat marah terhadap seorang pemuda
seperti ini? Dalam pandangan matanya, pemuda itu nampak terlalu tampan, terlalu
halus dan sopan dan memang harus diakuinya bahwa timbul perasaan tertarik dan
suka di dalam hatinya. Biar pun agak malu-malu, dia minum juga cawan ke tiga
berisi anggur merah yang penuh.
Sekarang
barulah terasa olehnya. Ia merasa seperti melayang ke atas, terapung-apung
tanpa bobot, dibuai dan ditimang. Tubuhnya seperti tak merasakan apa-apa lagi
kecuali kenikmatan yang aneh. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya masih
duduk di depan meja, dan di seberangnya, wajah tampan itu nampak tersenyum
ramah.
Ia merasa
aneh akan tetapi tidak heran, tidak merasa mabuk, akan tetapi masih agak sadar
bahwa terjadi suatu keanehan yang selamanya tak pernah dirasakannya. Lukisan di
dinding itu, sebuah lukisan gunung dan awan, nampak demikian indah seolah-olah
bukan lukisan, melainkan jendela terbuka dari mana ia dapat melihat gunung dan
awan yang sungguh-sungguh.
Dan lukisan
burung merak itu, bukankah burung itu menggerak-gerakkan sayap dan kepalanya?
Dan warna sutera yang menjadi tirai depan pintu kamar itu, warnanya bagai
pelangi, akan tetapi dalam keadaan yang luar biasa indahnya. Bukan sekedar
warna biasa, melainkan warna yang demikian jelas. Seperti ia bisa mendengar
suara beraneka macam, dengan suara berbeda, seperti nyanyian, membawakan irama
yang demikian halus dan enak sehingga tanpa terasa lagi Ci Hwa
menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama itu!
Suara ketawa
halus dari Siangkoan Liong memasuki telinganya, seperti suara bisikan dari jauh
sekali, namun juga jelas sekali. “Aih, nona Kwee Ci Hwa yang manis, agaknya
engkau... engkau lelah dan mengantuk. Benarkah itu?”
Ci Hwa
menggeleng kepala dan menahan ketawanya. Aneh, mengapa dia ingin sekali
tertawa, tertawa sepuasnya dan sebebasnya? Tidak ada lagi ikatan malu atau apa
saja, yang ada hanya keinginan hati untuk senang!
“Aku tidak
lelah, tidak mengantuk, akan tetapi wah… enaknya rasanya...“
“Kalau
dipakai beristirahat tentu lebih enak. Mari, Nona, marilah engkau
beristirahat...“ Dan tiba-tiba tangan pemuda itu sudah menyentuh tangannya.
Sejenak Ci
Hwa seperti orang kaget, tetapi lalu tersenyum. Tangan pemuda itu hangat dan
halus, dan apa salahnya berpegang tangan? Wajar saja, bukan?
“Ya-ya-ya,
istirahat…, aku seperti melayang-layang...,“ katanya seperti dalam mimpi.
Ia pun sama
sekali tidak memiliki daya lawan atau sama sekali tidak ingin menentang ketika
Siangkoan Liong memutari meja, menghampirinya, kemudian memegang kedua
pundaknya, bahkan lalu membantunya bangkit berdiri.
Pada waktu
Ci Hwa berdiri, ia limbung dan tentu bisa jatuh kalau tidak segera dirangkul
Siangkoan Liong pundaknya. Tubuhnya rasanya begitu ringan seperti bola karet
penuh angin, kedua kakinya seperti agar-agar saja, dan pikirannya tidak ada!
Yang ada hanya perasaan senang, perasaan enak, perasaan bebas dari segala
persoalan hidup. Dia bahkan terkekeh sedikit ketika pemuda itu menuntunnya
masuk ke dalam kamar yang bertiraikan kain sutera pelangi tadi.
Ci Hwa sama
sekali tidak memiliki niat apa-apa, apa lagi membantah ketika pemuda itu
memondong dan merebahkannya di atas sebuah pembaringan yang tebal, lunak, harum
dan indah. Bahkan ia pun tidak membantah ketika pemuda itu melepaskan
sepatunya. Ia terlentang dan memandang langit-langit kelambu, lalu menarik
napas panjang, penuh kelegaan.
“Aaaahhh...
alangkah senangnya… alangkah enaknya...“
Dia tidak
tahu bahwa gelung rambutnya terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu
terurai di atas bantal. Juga dia tidak peduli ketika pemuda itu menutupkan daun
pintu, bahkan tidak merasa heran atau aneh ketika pemuda itu pun membuka baju
luar dan rebah di sampingnya!
Siangkoan
Liong yang maklum bahwa calon korbannya sudah terbius oleh obat luar biasa yang
terkandung dalam anggur tadi, juga maklum bahwa pada dasarnya gadis itu memang
sudah terpikat dan tertarik kepadanya, lalu mulai mencumbunya. Hanya sekali
kali saja kesadaran seperti hendak menyeret kembali Ci Hwa ke dalam keadaan
normal, namun pemuda itu pandai sekali merayu, dengan bisikan-bisikan, dengan
sentuhan sentuhan, dengan dekapan dan ciuman.
Dan
akhirnya, api birahi yang ada dalam diri setiap manusia, juga dalam diri Ci
Hwa, tersulut dan berkobar. Ia pun membalas belaian dan pelampiasan kemesraan
pemuda itu dengan menggebu-gebu, lupa akan segala, yang ada hanya keinginan
memuaskan hasrat yang berkobar membakar seluruh keadaan dirinya, lahir batin.
Tanpa ada
paksaan semua itu terjadi, walau pun Ci Hwa melakukannya dalam keadaan
seperempat sadar saja. Berkali-kali ia menyerahkan diri, penuh kerelaan dan
keduanya berada di dalam kamar itu sampai keesokan harinya!
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali, Ci Hwa terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun,
dia merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan lelah sekali, seolah-olah
telah dilolosi semua urat di tubuhnya. Ingin ia memejamkan mata kembali, tidur
kembali, akan tetapi ketika tangannya bergerak, ia mendapatkan dirinya tanpa
pakaian!
Ia terkejut,
memiringkan tubuhnya. Ia pun melihat Siangkoan Liong rebah di sampingnya dalam
keadan yang sama! Teringat ia akan semuanya itu seperti ada kilat menyambar
menerangi benaknya. Kini, semua pengaruh obat telah lenyap dan ia sadar
seutuhnya!
“Ihhh...!”
Ia menahan jeritnya, bangkit duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya.
Rambutnya
terurai lepas menutupi kulit pundak dan dada yang mulus, kedua matanya
terbelalak memandang kepada Siangkoan Liong. Siangkoan Liong juga terbangun
oleh jerit ditahan dan gerakan gadis itu. Dia memandang dan tersenyum, lalu
bangkit duduk juga. Dadanya yang bidang nampak berkeringat dan biar pun
rambutnya kusut dan dia baru bangun tidur, tetap saja dia merupakan seorang
pria yang jantan dan menarik.
“Selamat
pagi, Hwa-moi, kekasihku!” katanya dan tangannya meraih, hendak merangkul dan
mencium.
Akan tetapi
Ci Hwa menggeser pinggulnya, menjauh dan matanya terbelalak. “Kongcu! Engkau...
kita...?” bisiknya, seolah-olah baru melihat kenyataan yang sungguh teramat
mengejutkan hatinya.
Melihat ini
Siangkoan Kongcu tidak menjadi gugup, bahkan dia menyentuh lengan gadis itu
sambil tersenyum. Begitu merasa lengannya disentuh tangan pria, Ci Hwa merasa
bulu tengkuknya meremang dan ia cepat menarik lengannya dan menjauh.
“Tenanglah,
Hwa-moi, tenanglah kekasihku. Lupakah engkau? Sejak kemarin siang kita sudah
tidur di sini. Kita memang telah berkasih-kasihan, dan kita... kita sudah
saling mencurahkan kasih sayang. Engkau memang seorang wanita hebat...!”
“Tidak!
Oohhhh... tidak...!” Ci Hwa menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari
celah-celah antara jari-jari tangannya mengalir air mata.
“Ci Hwa,
tenangkan dirimu. Kita memang telah melakukan hubungan dengan suka rela, karena
kita saling menyayang, saling menyukai. Apa salahnya itu? Dan aku merasa
berbahagia sekali.”
“Tidak...!
Engkau... engkau tentu telah menjebakku...“
“Hwa-moi,
apakah engkau mimpi? Lihat ini dadaku, leherku, masih merah-merah bekas gigitanmu.
Gigitan manja! Ingat, Hwa-moi, aku tidak memaksamu dan engkau tidak memaksaku.
Kita melakukan dengan suka rela, karena saling mencinta. Beberapa kali engkau
membisikkan kata cinta kepadaku, kenapa sekarang tiba-tiba engkau menangis dan
menyesal dan menuduh yang bukan-bukan?”
Ci Hwa
menurunkan kedua tangannya. Air matanya masih mengalir turun dan matanya basah.
Sejenak dia memandang wajah pemuda itu melalui air matanya dan dia pun
teringatlah semuanya. Ia merasa malu sekali, akan tetapi segalanya telah
terjadi.
“Aku... aku
agaknya sudah gila,” ratapnya. “Aku... tergila-gila kepadamu, Kongcu. Akan
tetapi, apakah engkau cinta padaku?”
Siangkoan
Liong merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra dan Ci Hwa hanya setengah
meronta saja.
“Cinta
padamu? Kalau tidak cinta padamu, untuk apa aku melakukan ini? Aku bukan pria
yang kegilaan perempuan! Aku tentu saja cinta padamu, Hwa-moi.”
Sinar terang
memenuhi batin Ci Hwa dan ia pun balas merangkul. “Aihh, Kongcu, terima kasih.
Kalau begitu, sekarang juga, hari ini juga, engkau harus ikut bersamaku pergi
ke Ban-goan.”
“Ehhh?”
Siangkoan Kongcu mengerutkan alis dan memandang heran. “Ikut denganmu ke
Ban-goan?” tanyanya ragu. “Mau apa?”
Kini Ci Hwa
yang terbelalak. “Mau apa lagi? Bukankah engkau sudah menggauli diriku,
bukankah aku telah menyerahkan diriku padamu dan kita seperti sudah menjadi
suami isteri? Tentu saja untuk menghadap ayahku dan untuk melamarku menjadi
isterimu. Apa lagi!”
“Ahhh, ini
tidak mungkin!”
Seketika
pucat wajah Ci Hwa. Kemudian mukanya merah sekali dan ia pun menyambar
pakaiannya dan mengenakan pakaiannya sejadinya. Hal ini diturut pula oleh
Siangkoan Kongcu dan kini mereka berdiri di kamar itu, berdiri saling
berhadapan.
“Siangkoan
Kongcu, setelah apa yang kau lakukan semalam...“
“Engkau
juga, bukan aku sendiri!”
“Benar,
setelah apa yang kita lakukan bersama semalam, apakah engkau masih berani
mengatakan bahwa engkau tak akan melamarku dan mengambil aku sebagai isterimu?”
Pemuda itu
memandang tajam, lalu menarik napas panjang. Dalam keadaan seolah-olah dia
terdesak itu, dia masih bersikap tenang dan halus.
“Kwee Ci
Hwa, dengarlah baik-baik. Engkau datang ke sini tanpa diundang. Aku sudah
menyambutmu dengan baik, bahkan untuk keselamatanmu dan harga dirimu, aku telah
membunuh dua orang anggota perkumpulan kami. Kemudian kita saling mencinta, dan
saling menumpahkan perasaan cinta dan kasih sayang, tanpa paksaan dan dengan
suka rela. Akan tetapi sekarang engkau menuntut aku agar mengambil engkau
sebagai isteri!”
“Bukankah
itu sudah pantasnya dan seharusnya?” Ci Hwa membantah dengan suara mendesak.
Siangkoan
Liong menggeleng kepala. “Tak ada paksaan dalam hubungan kita. Engkau tahu
bahwa aku seorang pangeran, seorang keturunan bangsawan dan tidak mudah
mengikatkan diri menikah begitu saja. Kita saling suka, dan aku pun cinta
padamu. Mengapa kita tidak tetap seperti sekarang saling mencinta dan melakukan
hubungan setiap kali kita inginkan? Apa perlunya ikatan pernikahan? Aku tidak
bisa memenuhi permintaanmu itu, Ci Hwa.”
Wajah gadis
itu berubah pucat, matanya terbelalak dan kembali air mata bercucuran keluar.
“Kongcu, setelah apa yang kau lakukan, setelah engkau meniduriku, merenggut
keperawananku... ah, bagimu sebagai pria memang mungkin tidak apa-apa, akan
tetapi aku seorang wanita! Seorang wanita, seorang gadis! Tahukah engkau
akibatnya? Aku akan dikejar aib, namaku akan rusak dan hina, lebih hebat dari
pada kematian!”
Siangkoan
Liong menggeleng kepala dan tersenyum. “Bodoh kau! Tetap saja menjadi kekasihku
seperti sekarang, dan aku akan melindungimu.”
“Tidak!
Engkau harus melamarku, harus mengambilku sebagai isterimu, kalau tidak...“
“Hemmm,
kalau tidak mengapa?” Siangkoan Liong kini bertanya dengan alis berkerut dan
pandang matanya mencorong marah.
“Kalau
tidak, engkau atau aku harus mati!” Dan tiba-tiba Ci Hwa yang sudah merasa
putus asa itu lalu menyerang dengan hebatnya, menghantam ke arah dada pria yang
pernah membahagiakannya selama sehari semalam itu.
Serangannya
dilakukan dengan sepenuh tenaga karena kini, perasaan cintanya sudah berubah
seketika menjadi kebencian yang bernyala-nyala. Kini baru terbuka matanya orang
macam apa adanya pemuda yang tampan, halus dan perkasa itu. Ia telah terjebak
dan tahulah ia bahwa semua sikap baik, kehalusan, bahkan pertolongan itu,
ditambah dengan makan minum dan terutama sekali minuman anggur merah itu, hanya
merupakan perangkap saja untuknya. Ia telah terperangkap, telah menjadi korban.
Pemuda ini
sama sekali tidak mencintanya, tidak menginginkan dirinya menjadi isteri, melainkan
mempermainkannya saja! Oleh karena kesadaran ini, dia pun menyerang dengan
sekuatnya, serangan dahsyat walau pun tubuhnya masih terasa lemas karena malam
tadi menghabiskan tenaga dan kurang tidur.
Akan tetapi,
tingkat kepandaian Siangkoan Liong jauh lebih tinggi dibandingkan Ci Hwa, maka
serangan itu dengan mudah dihadapinya dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua
tangannya, bukan dia yang terserang, bahkan Ci Hwa sudah dapat ditangkap dan
ditelikungnya. Kedua lengan gadis itu dipuntir ke belakang, lalu dipegang
dengan satu tangan dan tangan lain merangkul.
Ci Hwa
hendak meronta, namun sekali jari tangan pemuda itu menekan, tubuh Ci Hwa
menjadi lemas dan ia pun terkulai dalam pelukannya tanpa dapat melawan lagi
kecuali menangis.
“Sayang,
jangan menangis. Bukankah kita saling mencinta? Ingatlah betapa mesra dan
bahagianya kita semalam, dan aku masih saja rindu padamu, belum juga puas aku
minum madu darimu.” Siangkoan Liong memondongnya dan membawanya kembali ke
pembaringan.
Ci Hwa
menangis. Menangis dalam batin. Kini, biar pun dibelai dan dihujani pernyataan
dan pencurahan cinta kasih yang sangat mesra, sama sekali dia tidak merasa
senang. Sebaliknya dia merasa tersiksa, tanpa mampu menolak dan tanpa mampu
meronta. Ia merasa diperkosa, dihina sampai sehebat-hebatnya oleh pria yang
kini amat dibencinya itu. Seperti bumi dan langit bedanya dengan hubungan
antara mereka mulai kemarin siang sampai semalam, begitu penuh dengan kemesraan
dan perasaan cinta kedua pihak. Kini ia merasa diperkosa dan ditekan,
dihancurkan dan dipatah-patahkan.
Hubungan sex
antara pria dan wanita sesungguhnya merupakan hubungan puncak kemesraan yang
indah dan suci apa bila dilakukan oleh kedua pihak karena dorongan cinta kasih.
Hubungan sex merupakan puncak kemesraan pernyataan sayang, saling mengisi,
saling membahagiakan melalui perasaan yang paling halus dan paling dalam, di
mana masing-masing sudah bebas dari keakuan masing-masing, melebur menjadi satu
dan tidaklah mengherankan kalau saat yang amat suci dan indah itu menjadi sarana
penciptaan seorang manusia baru!
Sex adalah
suatu hubungan antara dua jenis makhluk berlawanan kelamin yang indah, suci dan
nikmat. Tetapi, betapa kenikmatan itu selalu berubah menjadi kesenangan!
Kenikmatan adalah suatu pengalaman perasaan pada saat itu, detik itu, dan jika
sudah disimpan dalam ingatan, dijadikan kenangan, lalu diharapkan dan dikejar
sebagai suatu kesenangan!
Alangkah
jauh beda antara kenikmatan dan kesenangan! Kenikmatan datang seketika, pada
saat itu juga, tanpa adanya aku yang mengecamnya, dan tanpa adanya aku yang
mencatatnya. Sebaliknya, kesenangan ialah suatu bayangan yang digambarkan oleh
si aku yang selalu mengejar-ngejarnya. Jika sudah begini, maka terjadilah
penyelewengan yang timbul dari pengejaran itu!
Cinta kasih
bukanlah sex semata, walau pun sex merupakan sebagian dari cinta kasih,
merupakan kembangnya yang indah. Jika sex telah menjadi alat bersenang diri,
dikejar, maka ia berubah menjadi nafsu yang akan membakar diri lahir batin. Sex
merupakan suatu hubungan yang suci di mana terdapat cinta kasih. Tanpa cinta
kasih, sex hanya merupakan suatu permainan untuk memuaskan nafsu yang tak
kunjung padam, tak kunjung habis, dan nafsu ini kalau dituruti akhirnya akan
membakar diri sampai hangus!
Bagi seorang
wanita yang lebih halus perasaan ketimbang pria, sikap cinta kasih jauh lebih
berkesan di dalam hati sanubarinya dari pada sekedar hubungan sex yang baik
saja. Pada umumnya, wanita mendambakan kasih sayang dalam sikap, pandang mata,
tutur kata, dan perbuatan yang pada puncaknya akan menuju kepada hubungan sex.
Sebaliknya, pria kurang peka terhadap sikap ini, dan biasanya, pria lebih
condong minta bukti melalui hubungan sex dan kepatuhan, dan kesetiaan.
Dapat
dibayangkan betapa hancurnya hati Ci Hwa saat ia digelut oleh Siangkoan Liong
pada pagi hari itu. Ia merasa malu, terhina, tersiksa namun tidak berdaya walau
pun pemuda itu telah berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan tubuhnya.
Hanya air matanya saja yang menjadi saksi kehancuran hatinya. Bercucuran
membasahi bantal.
Setelah
merasa puas, Siangkoan Liong membebaskan totokan pada tubuh Ci Hwa. Gadis itu
terisak dan mengenakan pakaiannya, kepalanya pening dan dia tidak tahu harus
berbuat atau berkata apa.
“Kwee Ci
Hwa, engkau sungguh seorang gadis yang tidak tahu diri dan tidak mengenal budi.
Gadis-gadis lain akan saling berebutan agar dapat tidur dengan aku. Aku bukan
hanya tidur bersamamu, bahkan telah menyelamatkanmu. Aku suka dan cinta padamu,
akan tetapi engkau tidak mau menerimanya. Nah, sekarang tinggal kau pilih,
tinggal di sini sebagai kekasihku, bukan isteri, atau engkau boleh pergi.”
Ci Hwa sudah
selesai mengenakan sepatunya. Kini ia mengangkat mukanya yang pucat dan matanya
yang merah itu seperti hendak membakar wajah Siangkoan Liong. Kedua tangannya
dikepal.
“Kalau aku
mampu, tentu aku akan membunuhmu, keparat! Biar Tuhan mengutukmu!” Setelah
berkata demikian, Ci Hwa lalu meloncat keluar dari dalam kamar itu, langsung
melarikan diri keluar.
Masih ia
mendengar suara tawa pemuda itu mengikutinya sampai ia jauh meninggalkan
perumahan Tiat-liong-pang. Ia berlari sambil menangis, tanpa suara, hanya
terisak dan air matanya terus berjatuhan di sepanjang jalan. Dia tidak tahu
harus pergi ke mana, kini satu-satunya keinginannya hanyalah menjauhi tempat
laknat itu sejauh dan secepat mungkin. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama
karena perbuatan Siangkoan Liong tadi yang diterimanya dengan batin yang
meronta.
Ci Hwa
memasuki sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon liar dan
akhirnya kakinya terantuk akar pohon dan tubuhnya pun terpelanting jatuh ke
atas rumput. Dia tidak bangun dan sekaranglah baru ia menangis sesenggukan
seperti anak kecil, menangis sampai mengguguk sambil menelungkup di atas tanah
itu. Kedua tangannya dikepal dan ia memukuli tanah, juga kakinya
menendang-nendang tanah.
Penyesalan
demi penyesalan datang bagai gelombang samudera yang maha dahsyat melanda
dirinya, menyeretnya sehingga dia gelagapan di dalam tangisnya, kehilangan
pegangan. Ia merasa menyesal sekali mengapa telah bertindak demikian bodoh,
kurang waspada, mudah sekali terbujuk rayu sampai-sampai mengorbankan
keperawanannya, kehormatannya, bahkan ia telah diilas-ilas, dihina tanpa daya
sama sekali.
Andai kata
ia diperkosa saja, kiranya penyesalannya tak sehebat ini. Akan tetapi tidak, ia
sama sekali tidak diperkosa untuk pertama kalinya. Dia menyerah dengan suka
rela, bahkan menikmatinya, meneguk minuman beracun. Betapa memalukan! Betapa
rendah dirinya.
“Aku layak
mampus! Aku tidak berharga lagi untuk hidup!” teriaknya ketika teringat akan
itu semua.
Dia
meninggalkan rumah dengan cita-cita untuk mencuci nama ayahnya yang ternoda
karena dituduh membunuh. Tapi ia sendiri, apa yang dilakukannya? Menjadi
perempuan hina, bahkan lebih hina dari pelacur. Seorang pelacur menyerahkan
diri dengan harapan imbalan. Akan tetapi dia? Menyerah secara membuta, tak tahu
bahwa dia dipermainkan orang!
“Aku harus
mampus…! Aku harus mampus…!” Dan gadis itu pun menanggalkan ikat pinggangnya,
memasangnya di atas cabang sebatang pohon, lalu mengalungkan ujung yang lain di
lehernya dan ia pun meloncat turun dari cabang itu. Tali itu mengikat dan
menjerat lehernya yang berkulit halus mulus, dan tubuhnya tergantung!
Ci Hwa
merasa betapa kulit lehernya nyeri dan perih, napasnya terhenti, akan tetapi ia
tidak meronta dan bersiap menerima kematian dengan tenang. Matanya yang
terpejam nampak cahaya kuning, lalu merah api, lalu kabur agak kelabu, mulai
menghitam.
“Anak
bodoh!”
Tiba-tiba
saja tubuhnya terlepas dan ia tidak tergantung lagi! Ci Hwa yang sudah hampir
pingsan itu merintih, lehernya tidak terikat lagi dan ia roboh di atas tanah,
merasakan ada jari tangan menekan pundak dan tengkuknya, pernapasannya yang
terengah itu kembali normal.
Ia lalu
membuka mata dan melihat seorang pemuda sudah berlutut di dekatnya! Hampir ia
memaki karena mengira bahwa pemuda itu Siangkoan Liong, akan tetapi setelah
pandang matanya dapat melihat jelas, ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan
Siangkoan Liong! Pemuda itu jelas lebih tua dari pada Siangkoan Liong, usianya
tentu sedikitnya dua puluh enam tahun. Ia mengerutkan alis, mengingat-ingat dan
merasa tak pernah bertemu dengan pemuda ini.
Dia seorang
pemuda yang mengenakan pakaian kebiruan sederhana. Mukanya berkulit bersih,
cerah dan dapat dibilang tampan. Matanya bersinar lembut, seperti sinar mata
Siangkoan Liong, tetapi terdapat kejujuran pada sinar mata dan mulut yang
tersenyum lembut itu.
Sepasang
mata itu sekarang mengamati wajahnya seperti orang yang menyesal dan
menyalahkannya. Alis itu agak berkerut, dan pada pandang matanya yang lembut
itu, jelas nampak penasaran dan juga keheranan. Siapa orangnya tak akan heran
melihat seorang gadis semuda ia berada dalam hutan sedang berusaha membunuh
diri dengan menggantung?
Akan tetapi,
perasaan hati Ci Hwa yang sudah dipenuhi perasaan dendam kebencian kepada pria,
segera membuat dia memandang pria ini sebagai seorang musuh, seperti setan yang
tentu juga berniat jahat terhadap dirinya!
Pertama kali
dia terjatuh ke tangan lima orang pemburu, semuanya laki-laki yang berniat
buruk akan memperkosa dirinya. Kemudian berganti jatuh ke tangan dua orang
anggota Tiat-liong-pang, sama saja, mereka juga hendak memperkosa dirinya. Dan
terakhir kali terjatuh ke tangan Siangkoan Liong, yang disangkanya
sebaik-baiknya orang, ternyata juga ia malah terperangkap.
Sekarang,
ketika ia sudah di ambang pintu maut, ia diselamatkan seorang laki-laki muda
pula. Orang macam apa lagi ini kalau bukan seorang calon pemerkosa berikutnya?
“Engkau sama
busuknya dengan mereka!” teriak Ci Hwa.
Tiba-tiba
saja dia pun sudah meloncat dan langsung saja menyerang dengan pukulan
tangannya ke arah dada laki-laki yang sedang berlutut di dekatnya itu. Pemuda
itu sama sekali tak pernah menyangkanya dan dari jarak sedemikian dekat, tanpa
menduga akan diserang, maka tentu saja pukulan tangan Ci Hwa tepat mengenai
dadanya.
“Dukkk...!”
Tubuh
laki-laki itu terjengkang dan bergulingan, akan tetapi dia meloncat bangun dan
tak terluka, hanya memandang dengan mata terbelalak dan agaknya bingung,
mengira bahwa gadis yang malang yang ditolongnya itu mungkin sudah menjadi
gila!
“Eih,
Nona... kenapa... kenapa kau memukulku?” tanyanya, suaranya tetap tenang dan
pandang matanya jelas memancarkan belas kasihan karena dia menduga bahwa gadis
ini tentu gila atau tergoncang jiwanya.
“Engkau
menolongku, mencegah aku mati, tentu hanya dengan satu niat yang keji dan
buruk! Karena itu, akan kubunuh engkau lebih dulu sebelum aku membunuh diri!”
Ci Hwa berteriak-teriak dan ia pun sudah lari maju dan menerjang kalang kabut!
Akan tetapi
sekali ini, pemuda, itu sudah siap siaga. Dari pukulan gadis itu tadi, dia pun
tahu bahwa gadis itu bukanlah seorang wanita sembarangan, bukan wanita lemah
dan pukulannya tadi merupakan pukulan gaya ilmu silat dan mengandung tenaga
dalam yang cukup ampuh. Dia pun tertarik sekali dan kini, menghadapi serangan
bertubi-tubi itu dia pun mengelak dan berloncatan ke kanan kiri sambil
memperhatikan gerakan silat penyerangnya itu.
Setelah
lewat dua puluh jurus, dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini dapat bersilat
dengan baik sekali, dan cukuplah kepandaian itu untuk membela diri dalam
perjalanan, sehingga tidak aneh jika gadis itu berani melakukan perjalanan
seorang diri. Akan tetapi mengapa di sini hendak bergantung diri? Dan pakaian
atasnya itu terobek, rambutnya kusut, matanya merah, jelas bahwa gadis itu
menderita kedukaan dan penekanan batin yang amat hebat.
Sementara
itu, Ci Hwa semakin terkejut, dan semakin marah karena kembali ia bertemu
dengan seorang pemuda yang jauh lebih lihai darinya. Semua serangan yang
dilakukan sepenuh hati terdorong dendam dan kemarahan, sama sekali tidak pernah
menyentuh tubuh pemuda itu, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah
menangkis, hanya mengelak saja dengan gerakan aneh dan amat lincahnya. Timbul
dugaan bahwa tentu ia akan ditangkap lagi, dipermainkan lagi dan mengingat ini,
ia merasa khawatir sekali.
Lebih baik
mati kalau ia harus mengalami lagi penderitaan diperkosa orang seperti tadi!
Pikiran ini membuat ia putus asa. Tak mungkin ia menang dan ketika ia melihat
batang pohon di mana tadi ia bergantung diri, tiba-tiba ia mendapat akal dan ia
pun melompat untuk membenturkan kepalanya pada batang pohon itu, sekuat
tenaganya.
“Bukkk!”
Kepalanya
tidak membentur benda keras, bahkan tidak membentur apa-apa karena tubuhnya
tertahan ketika dua buah tangan yang menerima kedua pundaknya dengan lembut.
Saat Ci Hwa melihat, ternyata pemuda itu telah mendahuluinya berdiri di depan
batang pohon dan menerima tubuhnya tadi! Dengan sendirinya ia semakin marah dan
penasaran.
“Kau... kau
berani menghalangiku!” bentaknya.
Kini ia
memukul, mencakar, menendang kalang kabut, tidak memakai gerakan silat lagi
melainkan gerakan seekor harimau betina yang lagi marah. Terdengar bunyi kain
robek ketika cakarannya mengenai baju pemuda itu.
Pemuda itu
cepat menotok pundaknya dan Ci Hwa terkulai lemas. Dengan sopan dan hati-hati,
pemuda itu membaringkan tubuh Ci Hwa di bawah pohon dan kembali ia berlutut
seperti tadi. Diusapnya kulit dada yang agak berdarah terkena cakaran kuku Ci
Hwa.
“Nona, tadi
engkau telah bersikap keliru sama sekali. Mengapa engkau bertekad untuk
membunuh diri? Sudah demikian burukkah hidup ini sehingga seorang gadis semuda
engkau sudah putus asa dan lebih memilih mati saja?”
Ci Hwa hanya
tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara sehingga ia
membentak ketus, “Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu kalau aku mau hidup atau
mampus?”
“Nona,
agaknya hatimu sudah penuh prasangka buruk terhadap manusia lain. Agaknya
hatimu sudah disakitkan orang, maka setiap kali bertemu orang lain, engkau
langsung menyangka buruk. Memang tidak ada hubungannya mati hidupmu dengan
diriku, akan tetapi manusia mana yang dapat membiarkan orang lain membunuh diri
begitu saja? Nona, dengar baik-baik. Ketika engkau dilahirkan oleh ibumu,
apakah ada engkau minta kepadanya atau kepada Tuhan agar engkau dilahirkan?”
Mendengar
pertanyaan seperti itu, Ci Hwa terbelalak. Kaget dan heran. Gilakah orang ini,
bertanya seperti itu? Memikirkannya tentang hal itu saja belum pernah ia
lakukan!
“Ibuku sudah
tidak ada.”
“Ahh, maaf,
engkau tidak mempunyai ibu lagi? Akan tetapi, kuulangi pertanyaanku tadi, pada
saat engkau dikandung dan dilahirkan, apakah hal itu terjadi atas permohonanmu
kepada Tuhan atau kepada mendiang ibumu atau ayahmu?”
Ci Hwa
mengerutkan alisnya. “Tentu saja tidak! Mana bisa! Apa engkau ini orang gila,
bertanya seperti itu?”
Pemuda itu
tersenyum lembut dan tidak ada sedikit pun tanda bahwa dia terpikat oleh
kewanitaan Ci Hwa. “Kalau engkau tidak pernah minta dilahirkan, tidak pernah
minta dihidupkan, berarti engkau tidak berhak pula untuk memaksa kehidupan
terhenti dengan cara bunuh diri! Rasakan saja, bukankah detak jantungmu bekerja
tanpa kau rasakan? Bukankah pernapasanmu juga berjalan sendiri tanpa kau
sengaja? Dan setiap anggota tubuhmu, rambut, kuku, bulu badan, semuanya tumbuh
tanpa kau sengaja? Semua itu bukan milikmu, bukan milik pikiranmu, dan engkau
berani hendak melenyapkan semua itu yang sesungguhnya bukan hakmu? Seperti juga
hidupmu, matimu pun bukan berada dalam kekuasaanmu, bukan menjadi milikmu.
Kalau yang berkuasa akan hidup matimu menghendaki, biar kau usahakan bagaimana
pun, engkau takkan mati, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya engkau harus mati,
biar ada seribu orang dewa sekali pun takkan mampu menghidupkanmu!”
Ci Hwa
termenung. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar ucapan seperti itu, dan ia
kini menjadi bingung.
“Apakah kau
kira kalau menghadapi kesulitan maka kesulitan itu akan berakhir dengan
kematian, Nona? Ingat, yang kesulitan itu bukanlah badannya, melainkan
batinnya, dan apakah kau kira kalau sudah mati, batinmu tidak akan terus
berkelanjutan menjadi setan penasaran?”
Ci Hwa
semakin terpukul dan kini air matanya mengalir, tubuhnya terkulai lemas “...aku
tidak tahu... ahhh, aku tidak tahu...“
Melihat
keadaan gadis ini, pemuda itu lalu mengurut pundaknya dan terbebaslah Ci Hwa
dari totokannya. Akan tetapi, begitu dapat bergerak, Ci Hwa lantas teringat
akan nasibnya dan dia pun menangis, meraung-raung seperti anak kecil sambil
duduk dan menutupi mukanya. Ia megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan.
Pemuda itu
tiba-tiba memegang kedua pundak Ci Hwa, beberapa kali mengguncangnya
keras-keras sampai kepala Ci Hwa pun terguncang ke kanan kiri, kemudian pemuda
itu melayangkan tangannya ke arah pipi Ci Hwa, dua kali.
“Plak!
Plakkk!”
Tentu saja
Ci Hwa terkejut bukan main. Seperti ia diseret kembali ke dunia kenyataan oleh
dua kali tamparan yang membuat kedua pipinya terasa panas, perih dan nyeri itu.
Ia memandang terbelalak.
“Kau... kau
jahanam, berani memukulku!” katanya dan dia pun membalas dengan dua kali
tamparan ke arah pipi pemuda itu.
“Plak!
Plakkk!”
Pemuda itu
tidak mengelak, membiarkan pipinya ditampar dan Ci Hwa melihat bekas tangannya
nampak jelas di kedua pipi itu, bekas tangan yang membuat tanda merah di situ.
Ia terbelalak dan terheran memandang pemuda aneh itu. Akan tetapi pemuda itu
tersenyum girang.
“Nah, kini
engkau sudah waras kembali. Ditampar balas menampar. Baru ditampar saja
membalas, kenapa bodoh amat membunuh diri? Tidak ada persoalan di dunia ini
yang tak dapat diatasi! Iba diri terlalu besar membuat orang kehilangan kesadaran.
Dan ingat, di dunia ini tidak semua orang jahat, Nona. Aku tidak berani mengaku
bahwa aku ini orang baik, akan tetapi setidaknya aku selalu berjaga-jaga di
dalam hidupku agar tidak melakukan kejahatan. Oleh karena itu, jangan kau takut
kepadaku, Nona. Aku tak akan mengganggumu, dan dalam keadaan seperti ini engkau
membutuhkan seorang kawan yang jujur dan beriktikad baik. Bagaimana kalau
engkau anggap aku ini kakakmu saja?”
Sejak tadi
Ci Hwa memandang dengan mata terbelalak, mata yang masih basah, akan tetapi
sinar matanya penuh selidik, seolah-olah melalui matanya hendak menjenguk isi
hati orang ini.
Orang itu
kembali tersenyum sambil mengembangkan kedua lengannya. “Namaku Gu Hong Beng
dan selama hidupku, aku tidak pernah mau mengganggu orang lain.”
Sikap ini
diterima oleh Ci Hwa dan ia pun tiba-tiba menangis dan menubruk pemuda itu,
merangkul lehernya dan gadis itu menangis di atas pundak Hong Beng, merasa
seperti menangis di dada ayahnya sendiri atau seorang kakaknya sendiri.
Pemuda itu
tersenyum, mengelus rambut itu penuh belas kasihan.
“Menangislah,
menangislah sepuas hatimu, itulah cara terbaik untuk mencairkan segala yang
membeku dalam hatimu,” katanya lirih dan kata-kata ini seperti mendorong Ci Hwa
untuk menangis lebih hebat lagi sampai sesenggukan.
Para pembaca
SULING NAGA tentu masih ingat siapa adanya Gu Hong Beng ini. Dia seorang pemuda
sederhana, putera seorang tukang kayu sederhana pula, yang dahulu tinggal di
kota Siang-nam di Propinsi Hunan. Dia sudah kehilangan ayah bundanya dan hidup
sebatang kara, kemudian ia beruntung diambil murid oleh seorang pendekar sakti
keluarga Pulau Es, yaitu Suma Ciang Bun!
Banyak sudah
dialami oleh Gu Hong Beng sebagai seorang pendekar muda, bekerja sama dengan
para pendekar lainnya untuk menentang kejahatan. Dia pernah jatuh cinta kepada
seorang pendekar wanita Can Bi Lan, akan tetapi cintanya bertepuk sebelah
tangan karena pendekar wanita Can Bi Lan itu memilih Sim Houw sebagai suaminya.
Sim Houw yang terkenal sebagai Pendekar Suling Naga. Namun Gu Hong Beng dapat
menerima kenyataan pahit ini dan sudah lama dia dapat melupakan kepahitan itu.
Juga dia
pernah diikat perjanjian ketika dia membantu nenek Teng Siang In, yaitu ibu
kandung pendekar Suma Ceng Liong yang bertempur melawan seorang datuk jahat,
Sai-cu Lama. Nenek sakti itu tewas dan cucunya, yaitu puteri Suma Ceng Liong
yang bernama Suma Lian, dilarikan Sai-cu Lama. Dalam keadaan menghadapi maut
inilah nenek Teng Siang In mengikat janji agar Hong Beng kelak memperisteri
Suma Lian!
Karena dia
menghadapi pesan seorang nenek yang menjelang mati, terpaksa Hong Beng
menyanggupi. Hal ini sangat mengganggu hatinya dan akhirnya, melalui gurunya,
Suma Ciang Bun yang masih saudara sepupu Suma Ceng Liong, disampaikanlah pesan
itu. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng menyerahkan keputusan itu kepada
yang bersangkutan kelak, yaitu puteri mereka kalau sudah dewasa. Semua kejadian
ini diceritakan dalam kisah SULING NAGA!
Hong Beng
sudah hampir melupakan semua itu. Melupakan wanita yang dahulu pernah
dicintanya, yang kini telah menjadi isteri orang lain, dan juga dia berusaha
melupakan janjinya kepada mendiang nenek Teng Siang In. Dia hanyalah seorang
pemuda miskin, tidak punya apa-apa, keturunan tukang kayu, bahkan tidak lagi
memiliki ayah bunda. Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan puteri seorang
pendekar seperti Suma Ceng Liong?
Suma Lian
adalah cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Dan dia hanyalah cucu murid saja!
Pula dia belum pernah bertemu lagi dengan Suma Lian selama bertahun-tahun ini.
Yang pernah ditemuinya adalah Suma Lian yang baru berusia tiga belas tahun.
Bagai mana dia dapat menentukan jodohnya dengan gadis itu? Andai kata pun dia
mau, bagai mana dengan gadis itu? Dia pun sama sekali tak pernah memikirkan
soal jodoh, sampai kini berusia dua puluh enam tahun!
Gu Hong Beng
meninggalkan gurunya yang kini menjadi seorang pertapa. Sudah dua tahun dia
meninggalkan gurunya, Suma Ciang Bun yang kini lebih suka bersembunyi di dalam
sebuah gubuk kecil di lereng Pegunungan Tapa-san, tak jauh dari situ di antara
sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shen-si.
Kalau orang
mengenal Gu Hong Beng beberapa tahun yang lalu, kini dia akan terheran melihat
Hong Beng telah menjadi seorang pemuda yang matang, tenang dan sabar,
berpikiran luas dan mendalam. Tidak lagi seperti dulu di mana dia mudah
tersinggung dan amat pencemburu! Tubuhnya agak kurus, namun sepasang matanya
memancarkan kelembutan seorang yang berjiwa besar.
Pada saat Ci
Hwa menangis di dadanya, diam-diam keharuan menyelinap di dalam hati Hong Beng.
Keharuan dan kelegaan. Gadis ini telah tertolong, pikirnya, tertolong secara
batiniah karena telah mampu melepaskan semua duka yang menghimpit kalbu. Dan
dia terharu karena dia sendiri dulu pernah merasakan hal seperti yang dirasakan
gadis itu. Kosong, berduka, merana, kecewa dan kesepian, di mana sudah tidak
ada seorang pun di dunia ini yang dapat diharapkan, ditengok, merasa seperti
sepotong batang pohon kering di tengah gurun yang kering.
Dia mendekap
kepala itu, mengelus rambutnya, merasa seperti mendapatkan sesuatu, merasa
dirinya berguna karena dia sudah dapat menjadi tempat seorang menumpahkan
kesedihannya.
“Menangislah...
menangislah sampai terkuras habis semua kedukaan itu...,“ bisiknya, lebih
ditujukan kepada hatinya sendiri dari pada gadis yang tidak dikenalnya itu.
Duka selalu
timbul dari iba diri. Tanpa adanya pikiran yang mengenang keadaan dirinya
sendiri yang dianggap sengsara, tidak akan timbul rasa iba diri dan takkan
timbul duka. Iba diri adalah pembengkakan dari pada gambaran si aku, dan si aku
ini memang selalu ingin meraih yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak
menyenangkan.
Selain iba
diri, si aku ini pun menjadi sumber dari segala iri hati, cemburu, kemarahan,
kebencian dan selanjutnya. Si aku memang diperlukan untuk kehidupan lahiriah,
dimana diatur ketentuan dan norma kehidupan bermasyarakat. Ada hakku dan hakmu,
punyaku dan punyamu, akan tetapi seyogianya cukup sampai di situ saja.
Lahiriah! Kalau sampai menyusup ke dalam, menjadi batiniah, maka si aku selalu
mengadakan ikatan-ikatan sebanyaknya.
Ikatan
inilah yang menimbulkan iba diri, menimbulkan duka. Senang jika mendapatkan,
dan susah jika kehilangan. Senang jika merasa diuntungkan, dan susah jika
dirugikan, demikian seterusnya. Dapatkah kita hidup tanpa bayangan si aku
secara batiniah? Dan dapatkah batin ini bebas dari pada kepemilikan? Lahiriah
mempunyai namun batin tidak memiliki? Mungkinkah itu? Tidak akan terjawab
melalui teori dan pendapat yang masih bersumber dari akal si aku, yaitu pikiran
yang selalu mempertimbangkan untung rugi. Jawabannya hanya terdapat dalam
penghayatan, penelitian, dan pengamatan secara waspada, mawas diri lahir batin
tanpa pendapat.
Ci Hwa
menemukan hiburan bagi kesedihannya yang tadi hampir tak tertahankan lagi.
Hidup bukan hanya urusan hilang atau tidaknya keperawanan! Hidup ini masih
panjang, dan beraneka ragam isinya! Orang ini benar! Tidak ada kesulitan yang
tak dapat diatasi.
Ia memang
sudah diperkosa orang, sudah tidak perawan lagi, akan tetapi apakah hal itu
harus berarti bahwa hidupnya tidak penting lagi, dia tidak berhak lagi untuk
hidup dan menikmati hidup ini? Betapa bodohnya. Enak saja kalau ia mati tanpa
hukuman bagi orang yang menjadikan dia begini! Enak, terlalu enak bagi
Siangkoan Liong! Tidak, dia bahkan harus hidup, dan satu di antara tujuan hidupnya
adalah membalas penghinaan ini kepada Siangkoan Liong!
Air matanya
sudah habis. Tangisnya pun terhenti dan ia pun sadar bahwa secara tidak pantas
dia telah bersandar di dada orang sekian lamanya, sampai baju biru itu basah
kuyup oleh air matanya. Ci Hwa menarik kepalanya ke belakang, melepaskan
dirinya dan mundur tiga langkah, lalu mengangkat muka memandang.
Mukanya
pucat sekali. Pipinya masih basah, namun matanya yang membendul merah itu tidak
menitikkan air mata lagi. Sinar matanya memandang penuh selidik dan karena Hong
Beng juga memandang kepadanya, mereka saling pandang dan barulah tampak oleh Ci
Hwa bahwa wajah pemuda di depannya ini sama sekali berbeda dengan wajah
Siangkoan Liong.
Bukan hanya
bentuknya yang berbeda, tapi bayangan yang terkandung dalam pandang mata itu,
senyum itu sama sekali berbeda. Pandang mata dan senyum Siangkoan Liong penuh
daya tarik memabukkan, kelembutannya seperti besi sembrani yang dingin dan
membetot. Akan tetapi kelembutan pada wajah pemuda ini seperti kelembutan langit
biru. Dan ia pun merasa malu kepada diri sendiri.
“Maafkan
aku... sekali lagi maafkan aku. Aku tadi telah gila barangkali. Engkau benar,
aku telah gila dan aku hanya menuruti dorongan hati saja. Maafkan aku.”
katanya.
Hong Beng
tersenyum. “Namaku Gu Hong Beng, seorang perantau yang tidak tentu tempat
tinggalku. Boleh aku mengetahui namamu?”
“Namaku Kwee
Ci Hwa, aku datang dari Ban-goan.”
Jawaban Ci
Hwa yang singkat membuat Hong Beng maklum bahwa gadis ini tentu ingin
menyembunyikan persoalan dirinya, maka dia pun tidak mendesak.
“Aku tak
ingin minta kepadamu untuk menceritakan segala urusanmu, nona Kwee akan
tetapi...“
“Nanti dulu,
kalau aku tidak salah ingat, engkau tadi menyuruh aku menganggap engkau seorang
kakak sendiri. Benarkah?”
“Benar, lalu
kenapa?” Hong Beng memandang, tersenyum ramah. “Aku memang belum pernah
mempunyai seorang adik perempuan.”
“Aku belum
pula mempunyai seorang kakak laki-laki, bahkan tidak mempunyai saudara. Boleh
aku memanggilmu Beng-ko (kakak Beng)?”
“Tentu saja,
Hwa-moi (adik Hwa), tentu saja dan aku merasa terhormat sekali!” berkata Hong
Beng.
“Nah,
sekarang legalah hatiku. Aku memiliki seorang kakak dan pelindung, akan tetapi
maaf, aku tidak mungkin dapat menceritakan mengapa aku tadi hendak membunuh
diri.”
“Jangan
khawatir aku selalu menghargai rahasia seseorang. Akan tetapi, tentu boleh aku
mengetahui keadaan dirimu, keluargamu, ke mana dan apa maksud perjalananmu,
bukan?”
Gadis itu
mengangguk. Keduanya duduk di atas akar pohon besar, saling berhadapan. Ci Hwa
mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia menceritakan bahwa ayahnya, Kwee Tay
Seng atau Kwee Piauwsu, seorang duda, sudah tertuduh melakukan pembunuhan
terhadap seorang rekannya, seorang piauwsu lain, dan segala yang terjadi
kemudian di Ban-goan.
“Oleh karena
aku merasa penasaran, nama baik ayah ternoda, maka aku pun kemudian pergi
hendak melakukan penyelidikan kepada perkumpulan Tiat-liong-pang yang pernah
disebut-sebut oleh orang she Lay itu. Itulah sebabnya aku berada di sini.”
Gu Hong Beng
mengangguk-angguk, sama sekali tidak mau menduga-duga mengapa hal itu
menyebabkan Ci Hwa hendak membunuh diri tadi.
“Dan engkau
sudah melakukan penyelidikan?”
“Sudah.
Tiat-liong-pang terletak di atas bukit sana itu, akan tetapi perkumpulan itu
amat besar, amat berpengaruh dan sangat kuat, juga dekat dengan keluarga istana
sehingga rasanya sedikit kemungkinan mengapa perkumpulan itu sampai membunuh
piauwsu di Ban-goan. Tidak ada hubungan dan kepentingannya sama sekali.”
“Hemmm,
siapa tahu ada rahasia yang lain. Kadang-kadang kebakaran besar dimulai dari
bunga api kecil, peristiwa besar dimulai dari urusan sepele.”
“Mungkin
benar, akan tetapi seorang seperti aku bagaimana mungkin dapat menyelidiki
perkumpulan besar itu lebih mendalam lagi? Di sana adalah gudangnya orang
pandai sedangkan ilmu silatku hanya terbatas sekali. Dan engkau sendiri, Koko,
ceritakanlah keadaan dirimu dan bagaimana engkau dapat berada di sini.”
Hong Beng
tersenyum. Kalau hendak menceritakan pengalamannya, tentu tidak cukup sehari,
maka dia pun hanya menceritakan keadaan dirinya secara singkat saja.
“Aku seorang
yang sebatang kara, sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi, dan selama
bertahun-tahun ini aku hidup bersama guruku. Akan tetapi, semenjak dua tiga
tahun ini guruku bertapa, tidak mau diganggu dan tidak mau mencampuri urusan
dunia. Karena itulah aku diijinkan untuk mengembara, tanpa tujuan, ikut saja
keinginan hati dan kaki meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Dan di dalam
perjalanan itu, aku mendengar akan kebangkitan para datuk sesat yang katanya
membuat persekutuan di utara ini. Karena semenjak dahulu guruku selalu
membawaku menentang para datuk kaum sesat, maka aku tertarik sekali dan aku pun
mendengar bahwa Tiat-liong-pang yang menjadi pusat persekutuan itu. Dan di sinilah
aku, kebetulan bertemu denganmu tadi.”
Wajah Ci Hwa
agak berseri. “Ahh, jadi engkau pun hendak menyelidiki Tiat-liong-pang?”
Hong Beng
mengangguk. “Apakah barangkali dari engkau aku bisa mendengar sesuatu tentang
Tiat-liong-pang? Bukankah engkau sudah menyelidiki ke sana?”
Ci Hwa
mencabut sebatang kembang rumput, menggigit-gigit ujung tangkai kembang rumput
itu. Manis sekali gadis ini kalau sedang begitu asyik dan juga memiliki daya
tarik besar. Dia berpikir-pikir, mengingat apa yang pernah dialaminya dan apa
yang pernah didengarnya dari Siangkoan Lohan.
“Memang aku
pernah ke sana, akan tetapi tidak banyak yang kuketahui. Aku hanya tahu bahwa
penjagaan di sana ketat bukan main. Pernah aku melihat betapa ada lima orang
pemburu binatang yang memasuki wilayah itu, lalu dibunuh begitu saja oleh dua
orang anggota Tiat-liong-pang. Dan mereka berdua itu lihai bukan main, dalam
waktu sebentar saja kelima orang pemburu itu tewas. Kemudian aku mendengar
bahwa Tiat-liong-pang selain besar dan memiliki banyak anak buah yang pandai,
juga dekat dengan istana. Kabarnya, ketuanya yang bernama Siangkoan Tek atau
disebut Siangkoan Lohan, dulu beristeri seorang puteri istana...“
Ci Hwa
teringat akan Siangkoan Liong dan menghentikan ceritanya, lalu disambungnya,
“…selain itu, aku tidak tahu apa-apa lagi.”
Hong Beng
bukanlah seorang bodoh. Gadis ini hendak melakukan penyelidikan tentang
Tiat-liong-pang untuk membersihkan nama baik ayahnya. Setelah tiba di situ dan
sudah melakukan penyelidikan, mendadak saja dia hendak membunuh diri. Tentu
telah terjadi sesuatu yang hebat menimpa dirinya. Akan tetapi dia tidak berani
bertanya tentang hal itu.
“Ceritamu
tentang perkumpulan itu semakin menarik hatiku, Hwa-moi. Biarlah aku akan
melakukan penyelidikan yang mendalam, dan kalau benar berita yang kuterima
bahwa Tiat-liong-pang menghimpun persekutuan kaum sesat, aku harus menentang
mereka. Bahkan kabarnya, seorang iblis betina yang berjuluk Sin-kiam Mo-li
bergabung pula di situ, padahal iblis betina itu adalah musuh besarku semenjak
bertahun-tahun yang lalu, bersama dengan para tosu Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-kauw. Selama mereka itu masih berkeliaran, sepak terjang mereka selalu
hanya membikin kekacauan dan mengganggu keamanan rakyat belaka.”
Ci Hwa
memandang kagum. Pemuda ini kelihatannya demikian sederhana. Dia sudah
membuktikannya sendiri tadi. Semua serangannya yang dilakukan dengan marah,
tidak pernah dapat menyentuh ujung bajunya sedikit pun. Dan kini pemuda itu
menyatakan sebagai musuh datuk-datuk sesat yang lihai.
“Beng-koko,
engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Bolehkah aku
mengetahui, siapa gerangan gurumu?”
Hong Beng
tidak pernah menyembunyikan sesuatu, akan tetapi dia pun bukan orang yang suka
menyombongkan diri dan gurunya. Akan tetapi, mendengar pertanyaan yang polos
itu, dia pun menjawab sederhana, “Suhu-ku bernama Suma Ciang Bun, seorang
pendekar keluarga Pulau Es.”
“Aihhh...!”
“Kenapa?”
“Ayahku
pernah mendongeng tentang keluarga pendekar Pulau Es yang memiliki ilmu
kepandaian seperti dewa saja! Engkau tentu lihai sekali, Koko!” pandang mata
itu sekali ini tidak menyembunyikan kekaguman mendalam sehingga wajah Hong Beng
menjadi kemerahan.
“Sudahlah,
Hwa-moi, tidak perlu memuji. Pertemuan kita ini kebetulan saja, akan tetapi
agaknya Tuhan telah mempertemukan kita sehingga kita dapat saling bantu dan
seperti telah menjadi kakak beradik. Akan tetapi, aku hendak melanjutkan penyelidikanku,
dan bagaimana dengan engkau, Hwa-moi?”
“Biar pun
aku hanya seorang gadis lemah, akan tetapi aku pun masih ingin mencuci nama
baik ayahku. Kalau boleh, aku akan membantumu, Beng-ko.”
“Baiklah,
asal engkau berhati-hati dan melaksanakan semua petunjukku. Yang pertama,
engkau lebih dulu harus sudah dapat mengusir jauh-jauh kenekatan dan
kebodohanmu tadi. Engkau berjanji?”
Ada perasaan
perih menusuk ulu hati Ci Hwa, akan tetapi dia harus membantu Hong Beng
menyelidiki dan menentang Tiat-liong-pang. Bukan sekedar untuk mencuci nama
baik ayahnya, tetapi yang lebih penting juga mencuci noda pada dirinya dengan
darah dan nyawa Siangkoan Liong!
“Aku
berjanji dan bersumpah tidak akan melakukan lagi kebodohan itu, Koko.”
Keduanya
lalu meninggalkan tempat itu, menyusup di antara hutan-hutan lebat untuk
menyelidiki keadaan Tiat-liong-pang.
Setiap orang
manusia hidup takkan terluput dari pada peristiwa yang menimpa dirinya, baik
peristiwa itu biasa saja, agak hebat, hebat atau bahkan sangat hebat seperti
yang sudah dialami Ci Hwa. Peristiwa hebat yang diterima sebagai suatu mala
petaka dapat menghancurkan perasaan, melenyapkan harapan, bahkan juga dapat
membuat orang menjadi mata gelap. Ada pula yang ingin menghentikan semua derita
dan siksa batin dengan jalan membunuh diri!
Akan tetapi,
sesungguhnya bunuh diri bukanlah jalan pemecahan yang tepat, melainkan hanya
merupakan suatu pelarian yang mata gelap. Peristiwa yang telah terjadi pun
terjadilah, merupakan sesuatu yang telah lalu. Kalau peristiwa itu terus
dikeram di dalam sanubari, maka tentu saja hanya akan menjadi siksaan yang
timbul dari kenangan.
Kenangan ini
menimbulkan iba diri, dendam, dan duka. Mengapa kita suka menyimpan suatu
peristiwa sebagai kenangan? Mengapa tidak kita biarkan saja peristiwa itu
lenyap, seperti sebuah mimpi buruk? Hidup adalah saat ini, bukan kemarin!
Kemarin itu sudah mati, baik mau pun buruk.
Kenangan
akan masa lalu hanya mendatangkan dua hal, yaitu penyesalan dan duka, juga
kerinduan dan harapan akan mengulang pengalaman lalu yang menyenangkan. Hanya
kalau kita mampu menghapus semua kenangan peristiwa masa lalu, baik mau pun
buruk, maka batin kita akan menjadi bersih, bebas dan siap menghadapi peristiwa
yang terjadi di saat ini, dalam keadaan sehat, tanpa dendam, tanpa prasangka,
tanpa kebencian.
Peristiwa
adalah kejadian yang telah terjadi, sesuatu fakta yang tak dapat diubah pula,
karena sudah terjadi. Baik buruknya hanya tergantung dari pada penilaian kita
sendiri. Di dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi, yang terpenting
bukanlah penilaian, melainkan kewaspadaan. Kewaspadaan mendatangkan
kebijaksanaan dan kesadaran, sehingga kita dengan sepenuhnya dapat menghadapi
dan menanggulanginya, sepenuh akal budi yang ada pada kita. Perbuatan
menghadapi sesuatu yang diliputi penilaian selalu mengandung pamrih, dan tentu
tidak bijaksana lagi.
*************
Cin-sa-pang
ialah perkumpulan orang gagah yang bermarkas di lembah Sungai Cin-sa. Kita
telah mengenal ketuanya, yaitu Ciok Kim Bouw, seorang kakek berusia lima puluh
tahun lebih yang gagah perkasa dan bersemangat baja.
Perkumpulan
ini sekarang memiliki anggota tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Mereka
bekerja sebagai nelayan, juga sebagai pengawal perahu-perahu para pedagang yang
melakukan pelayaran di sungai itu dengan berupa imbalan sekedarnya.
Seperti
banyak perkumpulan orang gagah di jaman itu, mereka merasa tidak suka akan
penjajahan yang dilakukan bangsa Mancu sejak ratusan tahun, akan tetapi mereka
pun tidak berdaya. Mereka tidak memberontak terhadap pemerintah yang teramat
kuat, tapi mereka pun enggan menjadi kaki tangan penjajah, dan hidup sebagai
kelompok orang gagah yang suka membela kepentingan rakyat dari penindasan atau
kejahatan.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan. Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang, ikut pula
diundang dan menjadi tamu dari perkumpulan Tiat-liong-pang dengan para datuk
sesat sehingga hampir saja dia menjadi korban. Sejak lama dia memang telah
bermusuhan dengan Sin-kiam Mo-li, maka melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu
dengan Sin-kiam Mo-li dan segala pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw segera
dia menentang dan akibatnya, hampir saja dia terbunuh ketika dalam perjalanan
pulang dia dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya.
Untung
ketika itu muncul seorang pemuda sakti yang tak dikenalnya akan tetapi berhasil
menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan musuh-musuhnya. Dia merasa sangat
menyesal mengapa tidak sempat mengenal nama pemuda itu yang begitu menolongnya
dan mengobati lukanya, terus pergi begitu saja. Ciok Kim Bouw tidak tahu bahwa
di antara semua tamu yang tidak menyetujui persekutuan itu, hanya dia
seoranglah yang selamat!
Ciok Kim
Bouw adalah seorang yang gagah, dengan tubuh tinggi besar dan muka hitam bagai
tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok. Keistimewaannya adalah menggunakan
senjata golok besarnya. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang kini
sudah berusia dua puluh lima tahun, bernama Ciok Heng.
Pemuda ini
memiliki tubuh tinggi besar seperti ayahnya. Wajahnya tidak berkulit hitam,
bahkan tampan gagah dengan sepasang mata lebar yang penuh dengan kejujuran dan
keterbukaan. Sejak kecil dia digembleng ayahnya dan setelah berusia dua puluh
lima tahun, dia sudah mewarisi semua ilmu ayahnya dan menjadi seorang pemuda
yang gagah perkasa.
Ketika Ciok
Kim Bouw pulang dalam keadaan marah dan kecewa, puteranya segera dapat menduga
bahwa tentu pertemuan itu tidak menyenangkan hati ayahnya, maka dia pun langsung
bertanya. Ciok Kim Bouw menceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi di sana.
“Tiat-liong-pang
kini telah dibawa menyeleweng oleh Siangkoan Lohan!” katanya sambil menggebrak
meja. “Dia mengajak sekongkol datuk-datuk sesat. Bayangkan saja, iblis iblis semacam
Sin-kiam Mo-li, para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-wa-kauw, kini menjadi
sekutunya!”
“Ahhh...!”
Ciok Heng terkejut bukan main mendengar ini.
“Bukan
mereka saja,” sambung ayahnya. “Masih banyak lagi orang-orang dari golongan
hitam menjadi sekutunya, dan para tamu yang tidak setuju akan persekutuan itu
pasti dimusuhi. Aku terang-terangan menyatakan tidak setuju dan aku dihina di
depan umum oleh putera Siangkoan Lohan yang amat lihai. Bahkan ketika aku
pulang, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Nyaris saja
aku tewas. Kalau tidak muncul seorang pemuda sakti yang tidak mau mengaku
namanya, tentu aku tidak dapat pulang dan sudah mati konyol di sana.”
Selanjutnya dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada puteranya, juga
kepada para pembantunya yang setia.
“Brakkk!”
Ciok Heng menggebrak meja dan mukanya menjadi marah sekali.
“Tiat-liong-pang
menyeleweng, kita tidak boleh mendiamkannya saja. Ayah, biarkan aku
menggerakkan teman-teman untuk menyerbu dan menghancurkan Tiat-liong-pang!”
Ayahnya
mengangkat tangan ke atas. “Ciok Heng, jangan bersikap bodoh seperti anak kecil
yang hanya menurutkan dorongan hati yang marah. Tiat-liong-pang itu kuat
sekali, Siangkoan Lohan amat sakti, puteranya agaknya tidak kalah hebatnya oleh
ayahnya dan di sana berkumpul datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi. Belum lagi
diingat betapa para anak buah mereka mungkin lebih banyak dari pada jumlah
teman-teman kita. Jika engkau dan teman-teman menyerbu ke sana, akan sama
artinya dengan segerombolan nyamuk menyerbu api. Memang kita harus
menentangnya, namun dengan cara halus, bukan menggunakan kekerasan dan untuk
itu kita harus berunding dan mengadakan kontak dengan para pendekar.”
Ciok Heng
mengangguk-angguk membenarkan ayahnya. “Kalau begitu, aku dan kawan kawan akan
menyebarkan berita itu pada para pendekar, Ayah, dan mengajak mereka untuk
turun tangan karena persekutuan itu akan berbahaya sekali jika didiamkan saja.”
Ciok Kim
Bouw menyetujui. “Baiklah, kalau mungkin, undang para orang gagah untuk
mengadakan perundingan di sini.”
Ciok Heng
segera menyiapkan teman-temannya. Mereka pun lalu menyebar, memberi tahukan
kepada para pendekar yang mereka anggap patut mengetahui perubahan di dunia
kaum sesat yang kini sedang mengadakan persekutuan dengan para pimpinan
Tiat-liong-pang yang agaknya kini hendak melakukan penyelewengan itu.
Memang tidak
ada perjanjian dan ketentuan harinya untuk mengadakan perundingan. Namun, di
antara para pendekar yang menaruh perhatian akan berita ini, berjanji akan
berkunjung untuk bercakap-cakap bahkan ada pula yang mengatakan hendak langsung
pergi menyelidiki urusan itu di Tiat-liong-pang.
Sementara
itu, dengan penuh semangat Ciok Kim Bouw dan puteranya mulai melatih anak buah
mereka dengan tekun agar supaya mereka memperoleh kemajuan sehingga
sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan untuk menghadapi musuh, mereka sudah
berada dalam keadaan yang kuat. Barisan golok segera dibentuk dan tiap hari
mereka berlatih, juga golok mereka semua selalu tajam terasah.
Dua bulan
sudah lewat dengan cepatnya. Sementara itu berita mengenai persekutuan
Tiat-liong-pang yang disebarkan oleh orang-orang Cin-sa-pang itu sudah
terdengar pula sampai ke beberapa propinsi. Berita itu disambut dengan sikap
yang bermacam-macam oleh para orang gagah di dunia persilatan.
Ada pula
yang menanggapinya dengan senang karena bukankah sudah sepatutnya jika orang
gagah mengumpulkan kekuatan untuk menentang pemerintah penjajah Mancu? Ada pula
yang merasa tidak senang karena mereka mendengar betapa persekutuan
Tiat-liong-pang itu merangkul tokoh-tokoh sesat, apa lagi Pek-lian-pai dan
Pat-kwa-pai disebut dalam persekutuan itu. Biar niatnya baik, yaitu menentang
penjajah, akan tetapi jika harus bekerja sama dengan golongan hitam, banyak di
antara para pendekar yang tidak mau.
Pendeknya,
berita yang disebar luaskan oleh Cin-sa-pang di dunia persilatan akhirnya
menimbulkan kegemparan. Banyak di antara para pendekar meragukan
kepatriotannya, apa lagi kalau mereka mendengar dan mengingat bahwa
Tiat-liong-pang tadinya adalah kaki tangan pemerintah penjajah! Betapa pun
juga, peristiwa ini lalu menarik perhatian banyak kaum pendekar untuk
meninggalkan tempat mereka dan berangkat menuju ke selatan untuk melakukan
penyelidikan sendiri.
Pada suatu
pagi yang amat cerah, nampak seorang pemuda memasuki perkampungan perkumpulan
Cin-sa-pang di lembah Sungai Cin-sa. Semua orang yang bersua di jalan dengan
pemuda ini pasti menengok dan merasa kagum. Pemuda itu usianya sekitar dua
puluh tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, mukanya agak
hitam akan tetapi bentuk muka itu gagah, dengan hidung mancung, mata tajam dan
mulut membayangkan kekerasan hati dan keberanian.
Sikapnya
pendiam. Dia tidak pernah menengok ke kanan kiri, hanya lurus memandang ke
depan sambil melangkahkan kedua kakinya dengan mantap. Pada saat melangkah,
tubuhnya bergerak seperti seekor harimau berjalan. Pakaiannya sederhana,
terbuat dari kain yang tebal, dan di balik jubahnya terdapat sebatang pedang
yang tergantung di pinggang, tersembunyi namun ujung gagang pedang masih nampak
tersembul di bawah jubah.
Tanpa
melihat pedangnya pun, baru melihat perawakannya, mudah diduga bahwa dia tentu
seorang pemuda gemblengan, seorang jago silat yang tangguh. Dugaan ini tepat
karena dia adalah Cu Kun Tek, jago silat muda dari Lembah Naga Siluman yang
terletak di Pegunungan Himalaya.
Orang tua
pemuda itu juga merupakan pendekar-pendekar yang sangat lihai. Ayahnya bernama
Cu Kang Bu, pewaris Lembah Naga Siluman dengan ilmu silat keluarga Cu yang amat
tinggi, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Cu Kang Bu ini
terkenal pula dengan julukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Ada
pun ibunya juga seorang pendekar wanita yang lihai dengan ilmu-ilmu pukulan
Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) dan Pat-liong Sin-kun (Silat
Sakti Delapan Penjuru Angin)! Tentu saja Cu Kun Tek mewarisi ilmu-ilmu dari
ayah bundanya.
Cu Kun Tek
meninggalkan tempat tinggal keluarga ayahnya ketika dia mendengar berita yang
disebar oleh Cin-sa-pang itu. Sebagai seorang pendekar, hatinya tergerak dan
dia tidak akan tinggal diam begitu saja. Maka dia pun pergi dan berkunjung ke
tempat perkampungan Cin-sa-pang untuk mendengar sendiri kebenaran berita itu.
Dia pernah berjumpa dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang yang dianggapnya
seorang yang cukup gagah. Perkumpulannya juga merupakan perkumpulan orang-orang
gagah.
Pada saat para
anggota Cin-sa-pang melaporkan kepada ketua mereka akan datangnya seorang tamu
dan Ciok Kim Bouw cepat keluar, dia menjadi gembira sekali melihat pemuda
tinggi besar yang gagah perkasa itu.
“Aihh,
kiranya Cu-enghiong yang datang!” katanya sambil dia membalas penghormatan
pemuda itu.
“Bagaimana
kabarnya, Ciok Pangcu? Mudah-mudahan baik-baik saja.”
“Terima
kasih, Cu-eng-hiong. Mari silakan duduk di dalam!” Mereka masuk ke ruangan
dalam dan bercakap-cakap.
Dalam
kesempatan ini Cu Kun Tek bertanya mengenai berita yang dia dengar tentang
Tiat-liong-pang. Ketua Cin-sa-pang itu segera menceritakan semua pengalaman
dirinya ketika dia menghadiri undangan Tiat-liong-pang, yaitu pada pesta ulang
tahun ke enam puluh tahun dari Siangkoan Lohan.
“Bayangkan
saja, hati siapa tidak menjadi geram melihat betapa di antara para tamu
kehormatan itu terdapat orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, bahkan di
sana aku melihat pula iblis betina Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong Giam
San Ek. Jelaslah bahwa Tiat-liong-pang hendak merencanakan sesuatu
pemberontakan!”
Cu Kun Tek
mendengarkan penuh perhatian, alisnya berkerut dan dia pun lalu berkata, “Akan
tetapi, bukankah sudah menjadi idaman semua orang gagah untuk membantu usaha
mengusir pemerintah penjajah dari tanah air, Pangcu?”
Ciok Kim
Bouw menghela napas panjang. “Kalau ada gerakan seperti itu, gerakan para
patriot sejati dengan tujuan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah
Mancu, percayalah, kami seluruh anggota Cin-sa-pang akan berdiri di
belakangnya. Kami akan bergabung dan siap mempertaruhkan nyawa untuk membantu
gerakan itu! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang-orang Tiat-liong-pang dapat
merupakan patriot-patriot sejati? Mereka bahkan berjasa terhadap penjajah
Mancu, bahkan Siangkoan Lohan dihadiahi banyak harta dan seorang puteri dari
istana kaisar! Kini, dia mengadakan persekutuan dengan para pemberontak, tetapi
pemberontak semacam Pek-lian-kauw, dan bersekutu pula dengan orang-orang dari
kaum sesat! Bagaimana mungkin gerakan seperti itu bisa mengandung niat bersih
dan gagah untuk membebaskan rakyat jelata?”
Dia lalu
menceritakan apa yang telah terjadi di dalam pesta itu, tentang kecabulan dan
lain-lain, kemudian menceritakan betapa dia secara terang-terangan mengatakan
tidak senangnya dengan kehadiran tokoh-tokoh sesat sehingga dia dianggap
menghina dan dikalahkan oleh Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan.
“Ketika aku
pergi meninggalkan pesta, masih banyak di antara teman-teman sepaham yang juga
meninggalkan tempat itu, sebagai protes dan pernyataan tidak suka karena
Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat. Dan tahukah engkau
apa yang terjadi setelah aku pergi meninggalkan tempat itu? Di tengah
perjalanan, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong dan mereka
itu sengaja hendak membunuhku!”
Lalu
diceritakan betapa dia nyaris tewas kalau tidak muncul seorang pemuda lihai
yang berhasil mengusir kedua orang itu, bahkan menyelamatkan nyawanya dari
ancaman racun di lengannya akibat serangan Siangkoan Liong.
“Nah,
melihat perkembangan itu, kami merasa amat khawatir, Cu-enghiong. Puteraku,
Ciok Heng, tadinya berkeras ingin memimpin anak buah menyerbu ke
Tiat-liong-pang, akan tetapi kularang dia karena hal itu sama dengan membunuh
diri. Di sana berkumpul banyak orang pandai dan agaknya Tiat-liong-pang sudah
menyusun kekuatan. Maka, kami lalu menyebarkan berita itu supaya terdengar oleh
para pendekar dan orang gagah sehingga gerakan yang berbahaya dari
Tiat-liong-pang dapat dicegah.”
Cu Kun Tek
diam-diam merasa heran juga mendengar semua cerita itu. Dia pun sudah mendengar
perkumpulan macam apa adanya Tiat-liong-pang, yaitu suatu perkumpulan yang
pernah membuat jasa terhadap serbuan orang Mancu sehingga perkumpulan itu
dianggap pro pemerintah Mancu. Akan tetapi kenapa kini mendadak saja
perkumpulan itu hendak memberontak, bahkan bersekutu dengan orang-orang
golongan hitam? Hal ini perlu diselidiki secara teliti sebelum dia mempercayai
begitu saja keterangan Ciok Pangcu.
Hanya satu hari
Cu Kun Tek berdiam di Cin-sa-pang sebagai tamu, bercakap-cakap dengan ketua
Cin-sa-pang dan puteranya, Ciok Heng yang gagah perkasa. Kemudian dia minta
diri karena dia hendak melanjutkan perjalanannya ke utara, untuk melakukan
penyelidikan pada perkumpulan yang katanya bersekutu dengan para golongan sesat
dan hendak memberontak itu.
Di dalam
perjalanan ini, Kun Tek mengenangkan masa lampaunya, tujuh delapan tahun lalu
ketika dia baru berusia sembilan belas tahun, ketika dia bersama para pendekar
lain seperti Gu Hong Beng, Can Bi Lan, Sim Houw dan yang lain-lain menghadapi
musuh musuh yang amat kuat seperti Kim Hwa Nionio, Sai-cu Lama, dan Sam Kwi
yang amat lihai itu. Mereka menjadi kaki tangan Thaikam Hou Seng yang menjadi
kekasih Kaisar dan yang hendak merajalela dengan kekuasaannya. Dengan demikian,
para datuk sesat itu seolah-olah bekerja sama dengan pemerintah dan membantu
pemerintah, sehingga kadang-kadang para pendekar berhadapan dengan pasukan
pemerintah.
Tapi kini
keadaan berbalik. Tiat-liong-pang yang tadinya menjadi perkumpulan yang pro
pemerintah penjajah, kini kabarnya tiba-tiba membalik dan hendak memberontak.
Akan tetapi, melihat betapa perkumpulan itu bersekongkol dengan datuk kaum
sesat, Kun Tek meragukan kebersihan usaha pemberontakan mereka itu. Tentu
mereka tak bermaksud berjuang untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kaum
penjajah, namun hendak memberontak dan merebut kekuasaan, untuk mengangkat diri
sendiri menjadi golongan pimpinan baru!
Kalau benar
demikian, maka gerakan itu harus ditentangnya! Dia hanya akan membantu
perjuangan yang benar-benar ditujukan untuk membebaskan rakyat dari tindasan
kaum penjajah. Bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Long yang
sekarang ini masih jauh lebih baik dan bijaksana dari pada kaisar-kaisar Mancu
yang lalu, dan dia tak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya kalau sampai
kendali pemerintahan terjatuh ke dalam tangan para datuk sesat yang jahat dan
kejam melebihi iblis itu.
Teringat
akan masa lalunya, dada yang bidang itu menghembuskan napas panjang. Dia pernah
jatuh cinta pada Can Bi Lan, cinta sepihak, karena akhirnya wanita itu menikah
dengan Sim Houw, yang masih keponakannya sendiri biar pun usia Sim Houw lebih
tua empat belas tahun darinya. Sejak itu dia kembali ke Lembah Naga Siluman dan
tidak pernah memasuki dunia ramai.
Dia tidak
merasa patah hati, bahkan sudah melupakan peristiwa itu. Namun, kegagalan
cintanya itu membuat dia malas dan segan untuk mencari jodoh seperti yang
selalu dianjurkan kedua orang tuanya.
Sekarang,
setelah kembali dia melakukan perjalanan seorang diri, baru dia dapat
membayangkan betapa selama ini ia telah mengecewakan hati ayah bundanya, bahwa
membuat mereka berduka dan kecewa merupakan suatu perbuatan yang tidak
berbakti. Pula, kenapa dia seolah-olah menjadi putus asa dan tidak pernah
mempunyai keinginan untuk berumah tangga?
Ah, siapa
tahu, sekali ini Thian akan menunjukkan jalan baginya, akan mempertemukan dia
dengan jodohnya. Atau mungkin juga dia akan gugur dalam menunaikan tugasnya
sebagai seorang pendekar ketika menyelidiki Tiat-liong-pang. Bagaimana nanti
sajalah! Keberuntungan atau kegagalan di masa depan, aku siap menghadapimu,
demikian dia menyongsong masa depannya dengan hati lapang dan gagah.
Kun Tek
memang keturunan keluarga Cu yang sudah ratusan tahun tinggal di Lembah Naga
Siluman sebagai keluarga sakti yang mengasingkan diri. Keluarga Cu ini memiliki
ilmu silat keluarga yang sukar dicari bandingannya di dunia persilatan, dan nama
besar keluarga Cu telah dikenal oleh hampir semua tokoh dunia persilatan, baik
dari golongan putih mau pun golongan hitam.
Dan
sekarang, Cu Kun Tek, keturunan terakhir mereka, mengubah kebiasaan nenek
moyangnya, dia keluar dari lembah untuk mencampuri urusan dunia ramai. Tentu
saja sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, siap
untuk melindungi yang lemah dan tertindas dan menentang yang kuat
sewenang-wenang, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Juga
diam-diam dia mengharapkan mudah-mudahan kali ini dia akan bertemu dengan
jodohnya karena bagaimana pun juga ia merasa kasihan kepada ayah dan ibunya
yang sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu dan terutama sekali menimang
cucu.
************
Semenjak
Siangkoan Liong membunuh dua orang anggota Tiat-liong-pang yang hendak
memperkosa Kwee Ci Hwa, para anggota Tiat-liong-pang kini tidak berani lagi
berbuat jahat dan sembarangan saja. Mereka semua maklum betapa kejam dan tanpa
ampun adanya putera ketua mereka itu dan mereka kini patuh akan semua perintah
atasan. Siangkoan Lohan juga sudah mendengar akan peristiwa itu dan dia sempat
menegur puteranya mengapa membunuh dua orang anak buah sendiri.
“Ayah, apa
yang akan dapat diharapkan dari anak buah yang suka berbuat sewenang-wenang
tanpa menurut peraturan? Akhirnya mereka tak akan dapat dikendalikan dan kalau
sudah begitu, mungkin kelak mereka akan berani membalik dan melawan kita.
Mengendalikan orang-orang itu harus dengan tangan besi. Mereka harus tunduk dan
takut, taat sepenuhnya kepada kita, barulah kita dapat mempergunakan mereka
dengan baik. Apa lagi, bukankah kita mempunyai tujuan yang tinggi dan
membutuhkan disiplin yang kuat? Kalau mereka tidak berdisiplin, tidak sangat
taat seperti sepasukan tentara yang terkendali baik, bagaimana mungkin usaha
kita akan berhasil?”
Siangkoan
Liong yang biasanya pendiam itu kini bicara penuh semangat dan Siangkoan Lohan
menjadi girang sekali.
Benar
kata-kata Ouwyang Sianseng, pikirnya. Puteranya ini memang ada bakat untuk
menjadi kaisar! Sikapnya saja sudah nampak jelas. Maka, mulai hari itu,
Siangkoan Lohan lalu mengadakan peraturan-peraturan yang membuat para anak
buahnya tidak lagi berani berbuat sewenang-wenang tanpa perintah atasan.
Setiap hari
mereka dilatih oleh Siangkoan Lohan sendiri, kadang-kadang dibantu oleh para
sekutunya, yaitu Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Siangkoan
Lohan bahkan kadang-kadang turun tangan sendiri dan memberi gemblengan sehingga
pasukan Tiat-liong-pang yang kini ditambah jumlahnya itu terbentuk sebagai
pasukan yang cukup kuat, dengan jumlah hampir tiga ratus orang!
Pada suatu
hari, pasukan itu dilatih perang-perangan, dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li dan
Toat-beng Kiam-ong. Pasukan dibagi dua, dengan pakaian seragam yang berbeda
pula, yang setengah dipimpin Sin-kiam Mo-li dan yang sebagian lagi dipimpin
oleh Toat-beng Kiam-ong. Pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong bertugas
untuk menyerbu Tiat-liong-pang, sedangkan yang dipimpin Sin-kiam Mo-li bertugas
mempertahankan benteng perkumpulan itu.
Penjagaan
dilakukan dengan amat ketat, bahkan sebelum tiba saatnya pasukan ‘musuh’ datang
menyerbu. Benteng Tiat-liong-pang itu dianggap sebagai benteng kota raja yang
harus diserbu dan diduduki. Tentu saja ada pula disebar mata-mata dari pihak
penyerbu untuk menyelidiki pertahanan benteng, juga dari pihak yang diserbu
untuk mengetahui gerak-gerik musuh. Sampai malam pun masih dilakukan penjagaan
ketat, dan pasukan penyerbu yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong belum juga
melakukan penyerbuan.
Latihan itu
memang dilakukan secara besar-besaran. Diam-diam Siangkoan Lohan telah
memerintahkan kepada Toat-beng Kiam-ong sebagai penyerbu untuk bisa berhubungan
dengan Cia Tai-ciangkun, komandan pasukan pemerintah di perbatasan utara yang
juga sudah bersekutu dengan mereka, demikian pula menghubungi Agakai sehingga
dari dua orang sekutu itu, diterima bantuan pasukan yang akan menyergap
Tiat-liong-pang dari berbagai jurusan!
Siangkoan
Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong, sendiri merencanakan bagaimana sebaiknya
kelak kalau mereka sudah menyerbu kota raja, untuk bisa menyusupkan dan
menyelundupkan kawan-kawannya yang berkepandaian tinggi, dari golongan hitam,
dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ke dalam benteng kota raja sehingga dapat
melakukan pengacauan dan bantuan dari dalam.
Pagi hari
itu nampak sunyi saja di sekitar bukit di luar kota San-cia-kou yang menjadi
benteng Tiat-liong-pang itu. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi.
Padahal, semua mata-mata dari kedua pihak sudah berkeliaran, bersembunyi di
balik pohon-pohon dan semak-semak belukar.
Tiba-tiba
muncullah seorang gadis dari kaki bukit. Pada waktu gadis itu tadi melewati
San-cia-kou dan bertanya tentang letak Tiat-liong-pang, jejaknya sudah selalu
diikuti orang dari jauh. Namun gadis itu acuh saja walau pun ia tahu bahwa ada
beberapa orang selalu mengamati dan membayanginya.
Ketika
dahulu ia berkunjung ke Tiat-liong-pang bersama ayahnya, mereka naik kereta dan
tentu saja ia sudah lupa akan jalannya, apa lagi hal itu sudah terjadi sangat
lama, di waktu ia masih kecil. Dengan langkah santai ia mendaki bukit. Seorang
gadis yang amat menarik perhatian orang, apa lagi melakukan perjalanan seorang
diri di tempat sunyi itu.
Ketika ia
sudah tiba di lereng, tentu saja kehadirannya segera menimbulkan kecurigaan
para mata-mata yang bertugas mempertahankan benteng Tiat-liong-pang. Ada
seorang gadis cantik dan sikapnya halus, gerak-geriknya pun halus, naik seorang
diri ke bukit ini! Tentu mata-mata musuh! Akan tetapi kalau mata-mata musuh,
mengapa naik ke bukit secara terang-terangan begitu saja, mudah dilihat dari
mana pun juga?
Tiba-tiba
muncullah lima orang anggota pasukan Tiat-liong-pang yang bertugas jaga di
lereng itu. Jika pasukan penyerbu mengenakan seragam warna kuning, pasukan yang
bertahan ini mengenakan seragam warna biru, hampir sama dengan seragam pasukan
pemerintah karena memang Tiat-liong-pang pada waktu itu dianggap sebagai
benteng kota raja yang hendak diserbu. Lima orang pasukan itu muncul dan
mengepung gadis itu sambil menodongkan tombak mereka, sikap mereka galak.
“Berhenti!”
bentak kepala pasukan yang berkumis jarang itu, “Siapakah engkau dan
menyerahlah, engkau tentu mata-mata musuh!”
Gadis itu
bukan lain adalah Pouw Li Sian. Seperti telah kita ketahui, gadis ini baru saja
datang dari kota raja di mana ia menyelidiki keadaan keluarganya. Dengan hati
berduka dia memperoleh berita bahwa selain ayah ibunya, juga semua keluarganya,
kakak-kakaknya telah ditawan dan tewas, kecuali seorang kakaknya yang sulung,
bernama Pouw Ciang Hin, yang kabarnya diampuni, bahkan kini menjadi seorang
perwira yang bertugas di perbatasan utara. Karena Pouw Ciang Hin kini merupakan
satu-satunya anggota keluarganya, maka dengan nekat ia pun menyusul ke utara.
Ia teringat
akan Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan, ketua dari Tiat-liong-pang yang pernah
menjadi sahabat baik ayahnya. Ayahnya dahulu seorang Menteri Pendapatan,
sedangkan Siangkoan Lohan sangat berjasa terhadap pemerintah sehingga mendapat
kekuasaan dan dikenal semua pembesar tinggi. Pernah ia diajak ayahnya
berkunjung ke Tiat-liong-pang dan karena ia tahu betapa sulitnya mencari
seorang perwira di antara pasukan yang berjaga di tapal batas utara, maka dia
pun ingin meminta bantuan ketua Tiat-liong-pang agar dapat diselidiki, di mana
kakaknya itu ditugaskan.
Kini,
tiba-tiba saja ia ditodong tombak, oleh lima orang prajurit! Ia tidak merasa
gentar, bahkan dengan wajahnya yang manis itu berseri gembira, ia balas
bertanya, “Apakah kalian ini prajurit kerajaan yang berjaga di tapal batas
utara?”
Lima orang
prajurit itu saling pandang. Mereka jelas anak buah Tiat-liong-pang, akan
tetapi pada saat itu mereka bertugas sebagai pasukan yang harus mempertahankan
benteng ‘kota raja’. Oleh karena itu, ketika ditanya apakah mereka prajurit
kerajaan, mereka menjadi bingung.
“Kalau benar
kami prajurit kerajaan, lalu engkau mau apa, Nona?” Lima orang prajurit itu
memandang kagum.
Mereka
adalah orang-orang kasar yang biasa bersikap kasar dan kurang ajar terhadap
wanita, apa lagi secantik ini. akan tetapi sejak ada dua orang kawan mereka
dibunuh oleh Siangkoan Kongcu karena mengganggu wanita, mereka kini harus
menahan diri dan tidak berani mengulangi perbuatan itu.
Dengan wajah
tetap gembira penuh harap, Pouw Li Sian berkata, “Aku bernama Pouw Li Sian dan
datang ke sini untuk mencari kakak sulungku yang bernama Pouw Ciang Hin. Dia
menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di tapal batas utara...“
Mendengar
bahwa gadis ini adik seorang perwira kerajaan, berarti musuh, tentu saja
berubah sikap lima orang itu. Tombak-tombak itu dipegang semakin erat dan
pemimpin mereka membentak, “Kalau begitu, menyerahlah engkau, karena engkau
harus menjadi tawanan kami dan akan kami hadapkan kepada pimpinan kami!”
Li Sian
adalah seorang gadis yang berwatak halus. Walau pun ia telah menjadi murid
seorang sakti seperti Bu Beng Lokai dan kini telah mempunyai ilmu kepandaian
tinggi, namun ia tetap berwatak halus, bahkan belum pernah ia berkelahi
mempergunakan ilmu kepandaiannya. Sikapnya jauh berbeda dengan Suma Lian yang
menjadi suci-nya.
Suma Lian
galak, keras dan pemberani di samping lincah jenaka. Akan tetapi Li Sian
pendiam dan penyabar. Ia tahu bahwa berurusan dengan lima orang prajurit biasa
ini tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menimbulkan keributan saja, maka dia
pun mengangguk dan senyumnya masih melekat di bibir.
“Baiklah,
aku tidak akan melawan, dan bawalah aku kepada pemimpin kalian agar aku dapat
bicara dengan dia.”
Lima orang
itu dengan masih menodongkan tombak mereka, memberi isyarat agar Li Sian
berjalan memasuki hutan. Hemmm, pikir mereka. Kalau saja mereka tidak takut
kepada Siangkoan Lohan apa lagi Siangkoan Kongcu, tentu gadis yang cantik ini
sudah menjadi korban mereka. Takkan ada orang yang tahu!
Tidak lama
kemudian, di dalam hutan yang kini menjadi markas besar sementara dari Sin-kiam
Mo-li yang bertugas sebagai komandan yang harus mempertahankan benteng, Li Sian
digiring masuk ke dalam sebuah pondok besar di mana duduk Sin-kiam Mo-li dan
beberapa orang pembantunya yang menjadi perwira-perwira di dalam pasukan itu.
Jumlah perwira itu ada lima orang dan mereka tengah merundingkan siasat
pertahanan menggunakan sebuah peta yang mereka bentangkan di atas meja. Melihat
masuknya lima orang prajurit sambil menggiring seorang gadis cantik, Sin-kiam
Mo-li mengangkat muka dan mengerutkan alisnya.
Kelima orang
prajurit itu memberi hormat, dan pimpinan mereka lalu melapor kepada Sin-kiam
Mo-li dengan sikap seperti seorang prajurit yang melapor kepada atasannya.
“Li-ciangkun (Panglima Wanita), kami berlima telah menangkap seorang wanita
yang kami curigai sebagai mata-mata, dan menurut pengakuannya ia bernama Pouw
Li Sian yang hendak mencari kakaknya yang katanya menjadi seorang perwira
kerajaan yang bertugas di perbatasan.”
Kerut di
antara alis mata Sin-kiam Mo-li semakin dalam. Sinar matanya membayangkan
kemarahan.
Hemmm, tentu
ini seorang mata-mata yang dilepas oleh Toat-beng Kiam-ong, pikirnya. Laki-laki
semacam Toat-beng Kiam-ong mana mau melepaskan seorang gadis secantik ini?
Tentu gadis ini seorang di antara kekasihnya, pikirnya dengan hati penuh
cemburu.
Memang,
sejak dia berkasih-kasihan dengan Toat-beng Kiam-ong, di antara keduanya
terdapat rasa cemburu besar karena keduanya saling menemukan pasangan yang amat
cocok. Tentu saja Toat-beng Kiam-ong juga membatasi rasa cemburunya sehingga
biar pun dia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li juga bermain cinta dengan Siangkoan
Liong, dia tidak berani mencampuri.
“Tinggalkan
ia di sini dan kalian boleh ke luar lagi, berjaga yang hati-hati dan jangan
ijinkan siapa pun juga masuk!” perintah Sin-kiam Mo-li kepada lima orang itu
yang cepat memberi hormat dan keluar lagi.
Kini Pouw Li
Sian yang masih tegak itu beradu pandang dengan Sin-kiam Mo-li. Ia tidak
memperhatikan lima orang laki-laki berpakaian perwira yang memandangnya dan
juga duduk di situ, karena ia tahu bahwa agaknya pimpinan di sini adalah wanita
cantik itu. Diam-diam Li Sian merasa heran dan juga kagum melihat Sin-kiam Mo-li,
wanita yang sudah setengah tua akan tetapi nampak cantik lemah lembut akan
tetapi juga gagah perkasa dan memiliki wibawa besar itu.
Teringat dia
akan cerita gurunya, mendiang Bu Beng Lokai, yang pernah menceritakan tentang
isteri gurunya itu. Isteri gurunya juga seorang panglima wanita yang terkenal
sekali, bernama Panglima Milana, yang kabarnya dahulu memimpin laksaan pasukan
menundukkan pemberontakan di mana-mana.
Juga ibu
dari isteri gurunya itu bernama Puteri Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es, pernah menjadi seorang panglima wanita yang gagah perkasa. Seperti
inikah mereka itu? Karena membayangkan isteri dan ibu mertua gurunya itu, Li
Sian cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.
“Harap
Li-ciangkun suka memaafkan kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan.
Sesungguhnya, seperti yang dilaporkan oleh para prajurit tadi, saya datang ke
sini untuk mencari kakak kandung saya, kakak sulung saya yang bernama Pouw
Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang
bertugas di perbatasan utara. Semenjak berusia dua belas tahun saya berpisah
darinya, dan sekarang saya mencarinya.”
Sin-kiam
Mo-li masih memandang dengan sikap tidak senang karena dia masih curiga. “Kalau
kau mencari kakakmu, kenapa di sini? Apakah di sini tempat pasukan kerajaan
bertugas? Tahukah engkau tempat ini, bukit ini?” tanya Sinkiam Mo-li.
Walau pun
pertanyaan itu diajukan dengan kaku, namun Li Sian tidak menjadi marah.
Dianggapnya bahwa sikap seorang panglima perang memang harus tegas seperti itu!
“Maaf,
Li-ciangkun. Saya sudah tahu bahwa bukit ini adalah tempat pusat perkumpulan
Tiat-liong-pang. Saya memang hendak mencari ketua Tiat-liong-pang untuk
bertanya, barang kali dia dapat membantu saya memberi tahu di mana adanya kakak
saya itu.”
Sin-kiam
Mo-li menjadi makin curiga. Tak salah, lagi, tentulah seorang mata-mata yang
dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong, dan wanita secantik ini siapa lagi kalau bukan
seorang di antara kekasih laki-laki mata keranjang itu?
“Jangan
berbohong!” bentaknya. “Engkau tentu mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng
Kiam-ong! Mengakulah saja!”
Li Sian
terkejut, dan cepat dia menggeleng kepala. “Saya bukan mata-mata dan tidak
mengenal siapa itu Toat-beng Kiam-ong. Saya datang untuk mencari kakak saya dan
bertanya kepada ketua Tiat-liong-pang!”
Sin-kiam
Mo-li tersenyum. “Mana ada mata-mata mau mengaku? Kalau mengaku bukan mata-mata
yang baik dan melihat engkau berani memasuki wilayah ini seorang diri, tentu
engkau memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Nah, engkau menyerahlah, kami
tangkap untuk menjadi tawanan perang!”
Tentu saja
Li Sian menjadi semakin kaget. Mulailah ia merasa curiga dan penasaran.
Jangan-jangan ia masih dianggap musuh oleh pasukan pemerintah, sebagai keturunan
keluarga Pouw! Akan tetapi, mengapa kakaknya sudah diampuni dan bahkan
dijadikan perwira?
“Ciangkun,
kalau tadi saya ikut lima orang prajurit itu menghadap ke sini adalah karena
saya yakin akan dapat bicara lebih baik dengan pimpinan pasukan. Akan tetapi
saya datang bukan untuk menyerahkan diri ditangkap begitu saja tanpa bersalah!”
Sin-kiam
Mo-li bangkit dan matanya memancarkan sinar mencorong. “Apa? Engkau seorang
mata-mata biasa berani membantah? Kalau begitu tentu engkau mata-mata istimewa
dari Toat-beng Kiam-ong maka berani menentang aku. A Sam, tangkap wanita ini!”
perintahnya kepada seorang di antara lima perwira yang duduk di situ.
Yang
dipanggil A Sam ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang tubuhnya
gendut seperti babi dikebiri. Perutnya besar dan kepalanya kecil, akan tetapi
ketika dia meloncat dari tempat duduknya, dia memiliki kegesitan sehingga mudah
diduga bahwa tubuh yang gembrot ini memiliki ketangkasan seorang ahli silat.
Dia tersenyum senang, membayangkan bahwa setidaknya dia akan dapat merangkul
dan mendekap tubuh gadis cantik manis di depannya itu!
“Baik,
Li-ciangkun!” katanya.
Dia pun
menubruk ke depan. Agaknya dengan dua lengannya yang panjang dan besar itu dia
hendak sekali tubruk sudah bisa menempelkan mukanya pada muka yang cantik itu!
“Hemmm...!”
Li Sian berseru lirih dengan hati penuh penasaran.
Sama sekali
tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan sambutan seperti itu! Tentu
saja baginya gerakan A Sam itu terlalu lambat. Dengan teramat mudahnya, sekali
menggeser kaki, tubrukan A Sam itu mengenai angin kosong saja dan begitu Li
Sian menggerakkan kaki menotok pinggiran lutut, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh
yang perutnya membengkak itu terjerumus ke depan.
“Ngekkk!”
ketika terbanting ke atas lantai, perutnya yang lebih dulu menghantam lantai
mengeluarkan bunyi. Orang itu pun terengah-engah sehingga sukar bernapas!
Melihat ini,
Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, tak senang hatinya dan diam-diam ia memaki
pembantu yang tidak becus itu. Juga dia tahu bahwa gadis ini mempunyai
kepandaian yang lebih tinggi dari pada yang diduganya. Akan tetapi tentu saja
ia masih memandang rendah. Sepintar-pintarnya seorang mata-mata dari Toat-beng
Kiam-ong, tentu masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkatnya. Pikiran ini
membuat Sin-kiam Mo-li merasa malu kalau harus turun tangan sendiri menandingi
seorang mata-mata!
Memang dalam
latihan perang-perangan ini, tentu saja tak boleh saling membunuh atau melukai
dengan berat karena mereka semua adalah satu golongan. Bahkan juga sudah
direncanakan bahwa kalau sampai terjadi pertempuran, semua senjata harus
dibuang dan hanya boleh menggunakan kaki tangan saja. Ini pun dengan larangan
keras saling membunuh atau melukai dengan parah.
Melihat
betapa gadis itu tadi hanya menotok tepi lutut A Sam dengan ujung sepatunya,
yang hanya mengakibatkan A Sam jatuh telungkup, ia lebih yakin bahwa tentu
gadis ini mata-mata yang sudah tahu pula akan peraturan itu sehingga tidak
sampai melukai A Sam.
“Tangkap
gadis ini!” bentaknya kepada empat orang perwira yang lain.
Empat orang
itu pun penasaran melihat betapa kawan mereka, dalam segebrakan saja sudah
roboh oleh gadis cantik itu. Mendengar perintah ini, mereka berempat lalu
bangkit dan mengurung Li Sian dari empat penjuru. Pondok itu cukup besar dan
karena kosong dan hanya ada meja kursi yang mereka duduki tadi, tempat itu cukup
luas untuk suatu perkelahian walau dikeroyok empat sekali pun.
Li Sian
tidak merasa gentar. Dia hanya menyayangkan bahwa penyelidikannya harus
bertumbuk pada halangan perkelahian seperti ini.
“Ciangkun,
aku datang bukan untuk berkelahi!” katanya, kini suaranya agak marah, “Aku
datang mencari kakakku. Kalau kalian tahu, beri tahulah, kalau tidak, tidak
mengapa, aku akan pergi lagi dari sini!”
“Engkau
harus menyerah, Nona. Itu peraturannya. Menyerah atau kalau engkau dapat
mengalahkan kami dan dapat meloloskan diri, cobalah!” kata empat orang perwira
itu yang sudah mengurungnya.
Sekarang
mereka berempat sudah menerjang maju sambil mengulurkan tangan hendak menangkap
gadis yang cantik manis itu. Ada yang coba untuk menangkap lengannya,
pundaknya, pinggangnya, bahkan ada yang langsung merangkulnya. Karena gerakan
mereka itu datang dari empat penjuru, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi
Li Sian, demikian pendapat empat orang perwira atau sebenarnya merupakan
murid-murid atau anggota Tiat-liong-pang yang tingkatnya sudah agak tinggi itu.
Akan tetapi,
betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba saja gadis itu lenyap
berkelebat ke atas dan mereka hanya dapat saling menangkap lengan
masing-masing! Mereka kebingungan, akan tetapi Sin-kiam Mo-li dapat melihat
dengan jelas betapa gadis cantik itu tadi ketika ditubruk dari empat penjuru,
telah meloncat dengan gerakan seperti seekor burung walet cepatnya, sehingga
luput dari tubrukan itu dan tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu pondok.
Ia terkejut dan sekali melompat ia pun sudah meluncur keluar pondok dan
menghadang di depan gadis itu.
“Berhenti!”
bentaknya.
Lima orang
perwira itu kini berlarian keluar dan mereka memandang kepada Li Sian penuh
kagum. Baru kini mereka mengerti bahwa Li Sian bukanlah seorang gadis biasa,
melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Sin-kiam
Mo-li kini berhadapan dengan Li Sian. Gadis ini mengerutkan alisnya, merasa
makin tidak senang. Kenapa ia dianggap musuh dan hendak ditangkap, pikirnya
penuh dengan perasaan yang penasaran.
“Hemmm,
Li-ciangkun, apa kesalahanku maka engkau agaknya hendak memaksa dan menangkap
aku?” tanyanya, sekarang sepasang matanya yang biasanya bersinar halus penuh
kesabaran itu mencorong.
Melihat
sinar mata ini, Sin-kiam Mo-li juga terkejut dan tahulah ia bahwa gadis ini
benar-benar hebat, seorang yang berilmu tinggi, hal yang sama sekali tidak
pernah diduganya. Apakah kekasih Toat-beng Kiam-ong? Agaknya bukan, pikirnya
dan biar pun ia tidak merasa cemburu lagi, namun ia merasa penasaran.
Alangkah
akan malunya kalau tersiar kemudian bahwa ia, sebagai komandan pasukan yang
mempertahankan benteng, tidak mampu menahan seorang wanita asing yang kesalahan
masuk ke tempat itu!
Kemudian ia
teringat akan sesuatu! Ketika dirayakan ulang tahun Siangkoan Lohan, terjadi
keributan di tempat ini dan belasan orang tamu, yaitu para pendekar yang tidak
sudi menggabungkan diri, telah dibunuh. Jangan-jangan gadis ini mempunyai
seorang kakak yang ikut pula terbunuh pada waktu itu dan kini dia datang untuk
mencari dan menyelidiki!
“Bocah yang
tak tahu diri!” bentak Sin-kiam Mo-li sambil menuding dengan telunjuknya ke
arah wajah Li Sian. “Engkau seorang asing berani datang ke wilayah kami tanpa
ijin, dan kami masih menerimamu dengan baik-baik dan hanya akan menahanmu
menanti sampai para pimpinan berkumpul untuk menentukan keputusan atas dirimu,
dan engkau berani memamerkan kepandaian di depanku?”
Wajah Li
Sian berubah merah. Baru kini ia melihat bahwa wanita cantik ini sama sekali
tidak mengagumkan sikapnya, walau pun dia menjadi seorang panglima wanita.
Isteri gurunya tentu tidak seperti ini sikapnya, tinggi hati dan memandang
rendah orang lain.
“Ciangkun,
aku datang bukan untuk berkelahi, aku datang dengan baik-baik akan tetapi
disambut dengan kekerasan. Sudah menjadi hak setiap orang untuk membela diri.
Aku sudah banyak mengalah dan hendak pergi saja, kenapa engkau masih juga
berkeras hendak menghalangi aku?”
Sin-kiam
Mo-li tersenyum mengejek. Memang cantik sekali kalau ia tersenyum, akan tetapi
kecantikan yang membayangkan kekejaman.
“Engkau
masih muda sudah lihai mulutmu dan ilmumu. Coba aku ingin melihat apakah engkau
akan mampu melawan aku.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Li
Sian, Sin-kiam Mo-li sudah menyerang gadis itu dengan cepat dan ganas sekali.
Sin-kiam
Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah tinggi ilmu silatnya, amat lihai.
Banyak ilmu silat kaum sesat ia kuasai. Akan tetapi selain kebutan gagang emas
dan pedang yang keduanya beracun, ia pun memiliki ilmu silat tangan kosong yang
ampuh.
Karena itu
kedua tangannya berubah kehitaman dan terutama sekali ujung kuku jari-jari
tangannya berubah hitam sekali dan mengandung racun jahat. Sekali tergores kuku
itu saja sudah cukup membuat kulit yang terluka menjadi bengkak, apa lagi kalau
sampai terkena tamparan tangan yang penuh mengandung hawa beracun itu. Ilmunya
ini diberi nama Hek-tok-ciang. Kini, begitu maju menyerang, ia telah
mengerahkan Hek-tok-ciang!
Li Sian
memang belum berpengalaman dalam hal perkelahian. Namun, gadis ini sejak
berusia dua belas tahun telah digembleng dengan hebat dan tekun oleh seorang
sakti dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat-hebat selain juga telah berhasil
menghimpun tenaga sinkang yang tinggi seperti Hui-yang Sinkang dan Swat-im
Sinkang dari keluarga Pulau Es, juga tenaga Inti Bumi yang luar biasa kuatnya.
Pula, ia
sudah banyak mendengar nasehat kakek Gak Bun Beng tentang jahatnya ilmu ilmu
yang dikuasai para datuk sesat. Maka kini melihat betapa kedua tangan wanita
itu berubah kehitaman, ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan lawan
dari golongan hitam yang memiliki ilmu pukulan sesat dan curang. Ia pun berlaku
hati-hati dan cepat menggeser kakinya untuk mengelak, tidak berani sembarangan
menangkis.
Sin-kiam
Mo-li merasa amat penasaran saat serangannya yang dilakukan dengan cepat dan
kuat itu dengan amat mudahnya dielakkan oleh gadis muda itu. Ia mengeluarkan
suara melengking dan kini tubuhnya bergerak cepat sekali, menghujankan serangan
secara bertubi-tubi dan setiap serangan, mengarah bagian yang berbahaya dari
tubuh lawan.
Diam-diam Li
Sian menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa wanita cantik ini, yang
semula disangkanya gagah perkasa seperti mendiang isteri gurunya, ternyata
hanya seorang wanita yang berhati kejam dan serangannya itu ganas sekali, juga
jelas menunjukkan gejala bahwa wanita ini adalah dari golongan sesat! Maka, ia
pun cepat memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun yang sudah dilatihnya dengan
baik.
Ilmu Silat
Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) adalah ilmu silat yang memiliki
kecepatan, juga didukung tenaga Inti Bumi, maka kini ia berani untuk menangkal
dan balas menyerang. Pada waktu sebuah cengkeraman kuku dan tangan menghitam
itu menyambar ke arah dadanya, Li Sian menangkisnya dengan memutar lengannya
dari samping.
“Dukkk!”
Keduanya tergetar dan melangkah mundur.
Sin-kiam
Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis itu sedemikian lihai dan
kuatnya sehingga mampu menangkis serangan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan juga
membuat lengannya tergetar hebat! Ia menyerang lagi, sekali ini dengan serangan
yang lebih dahsyat.
Namun
sekarang Li Sian bukan hanya menjaga diri, melainkan juga membalas dengan
tamparan dan totokan dari ilmu silat Lo-thian Sin-kun, karena dia pun maklum
akan kelihaian lawan sehingga kalau saja ia hanya membiarkan diri diserang
terus dan hanya bertahan, besar kemungkinan ia akan celaka dan terkena tangan
hitam yang jahat itu.
Serang-menyerang
terjadi dengan hebatnya sampai dua puluh jurus lebih, dan hal ini dianggap
keterlaluan oleh Sin-kiam Mo-li. Menghadapi seorang gadis muda, sampai dua
puluh jurus Hek-tok-ciang kedua tangannya tidak mampu merobohkannya. Jangankan
merobohkan, baru mendesak pun tak mampu. Padahal di situ telah berkumpul belasan
orang perwira atau anggota Tiat-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya menjadi
saksi.
Sin-kiam
Mo-li yang selalu membanggakan kepandaiannya itu merasa malu sekali dan
kemarahannya pun berkobar. Kalau tadi dia hanya menggertak dan hendak membuat
gadis itu menyerahkan diri, maka kini timbul niatnya untuk merobohkan, dan jika
perlu membunuh gadis muda yang dianggapnya telah membuatnya malu ini.
“Keparat,
engkau tidak boleh dikasih hati!” bentaknya.
Tiba-tiba
saja kedua tangannya telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh. Tangan
kirinya sudah memegang sebuah kebutan berbulu merah bergagang emas, dan tangan
kanannya memegang sebatang pedang. Inilah sepasang senjatanya yang amat ampuh.
Selain ia ahli bersilat pedang sehingga mendapat julukan Sin-kiam Mo-li (Iblis
Betina Pedang Sakti), juga kebutannya itu tidak kalah berbahaya dari pada
pedangnya karena bulu-bulu kebutan berwarna merah itu mengandung racun yang
jahat.
Setelah
membentak demikian, Sin-kiam Mo-li sudah menggerakkan kedua senjatanya, menyerang
dengan dahsyatnya tanpa malu-malu lagi meski melihat bahwa gadis muda yang
diserangnya itu bertangan kosong.
Melihat ini,
Li Sian terkejut. Namun, gadis ini memang memiliki ketenangan luar biasa dan ia
pun tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat-cepat ia memainkan Ilmu San-po
Cin-keng, yaitu ilmu langkah ajaib dan bersilat dengan Kong-jiu Jip-tin (Dengan
Tangan Kosong Memasuki Barisan).
Langkah-langkah
atau geseran-geseran kedua kakinya dengan indahnya dan lembutnya membuat
tubuhnya berkelebatan seperti bayangan yang sukar diserang! Meski pedang dan
kebutan itu mengepung dan menyambarnya dari semua jurusan, namun Li Sian tetap
saja dapat menghindarkan diri dengan langkah ajaibnya!
Namun,
melihat kehebatan lawan, kalau hanya terus mengelak pun ia masih terancam
bahaya, maka kedua tangannya tidak tinggal diam. Kadang-kadang ia pun
melayangkan tamparan yang mengandung Hui-yang Sinkang di tangan kanan dan
Swat-im Sinkang di tangan kiri.
Kembali
Sin-kiam Mo-li kaget bukan main. Sambaran tangan kanan yang mengandung hawa
panas dan tangan kiri mengandung hawa dingin itu amat mengejutkannya.
“Bocah
setan! Apakah engkau seorang murid Pulau Es?” bentaknya tanpa mengurangi
serangannya. Kebutannya membabat ke arah muka, sedangkan pedangnya menusuk
dada.
Li Sian
menggeser kaki memutar tubuh sehingga kedua serangan itu luput dan ia pun
mendorong dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Hui-yang Sinkang. Hawa amat
panas menyambar ke arah dada Sin-kiam Mo-li yang terpaksa harus meloncat ke
samping untuk menghindarkan diri dari serangan yang cukup berbahaya itu.
“Tidak ada
hubungannya denganmu!” jawab Li Sian.
Gadis ini
melihat sebatang ranting tidak jauh dari situ, maka cepat kakinya membuat
langkah-langkah aneh dan dia sudah berhasil menyambar ranting itu. Sebatang
ranting kayu sebesar ibu jari kaki yang panjangnya kurang lebih empat kaki,
tepat sekali untuk dipakai sebagai pengganti pedang. Kini dia pun memutar
ranting itu sambil memainkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut menghadapi sepasang
senjata lawan!
Kini lebih
mudah bagi Li Sian untuk melindungi dirinya. Akan tetapi karena maklum akan
kelihaian sepasang senjata lawan, tetap saja dia mengandalkan langkah-langkah
ajaib San-po Cin-keng untuk mengelak dan lantas membalas dengan tusukan ranting
yang dia mainkan sebagai pedang!
Terjadilah
perkelahian yang amat seru. Gerakan mereka itu cepat dan aneh sehingga para
murid Tiat-liong-pang yang menjadi penonton memandang dengan mata kabur dan
kepala pening. Mereka tidak berani turun tangan membantu tanpa diperintah
karena hal ini tentu akan membuat Sin-kiam Mo-li marah.
Tiba-tiba
terdengar suara orang melerai. “Tahan senjata!”
Mendengar
suara Siangkoan Lohan ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li menahan serangannya, Li Sian
juga cepat melompat mundur dan mengangkat muka memandang. Dia melihat munculnya
seorang lelaki yang usianya sekitar enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka
merah dan jenggot panjang sampai ke dada. Yang seorang lagi adalah seorang
pemuda tampan yang berpakaian indah seperti seorang pelajar kaya raya atau
seorang pemuda bangsawan.
Melihat
kakek itu, hatinya berdebar girang karena ia masih mengenal bahwa kakek ini
adalah Siangkoan Lohan yang pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu.
“Apakah yang
telah terjadi di sini?” tanya Siangkoan Lohan, diam-diam kagum sekali melihat
betapa seorang gadis muda, dengan hanya sebatang ranting di tangan, mampu
menandingi Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan sepasang senjatanya.
“Ia datang
secara mencurigakan sekali, tentu ia seorang mata-mata pihak musuh!” kata
Sin-kiam Mo-li kepada Siangkoan Lohan, agak malu karena tuan rumah dan
puteranya itu sempat melihat betapa ia tadi belum mampu merobohkan seorang
gadis yang hanya bersenjata ranting.
Kini
Siangkoan Lohan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian, kemudian ia
bertanya, “Nona, siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke wilayah kami?”
Li Sian
melangkah maju menghampiri kakek itu. Ia memberi hormat setelah melepaskan
ranting dari tangannya, kemudian berkata, “Bukankah saya berhadapan dengan
paman Siangkoan Tek, pangcu dari Tiat-liong-pang?”
Siangkoan
Lohan memandang semakin tajam, akan tetapi betapa pun dia mengingat-ingat, dia
tidak dapat mengingat siapa adanya gadis yang cantik manis dengan tahi lalat di
dagunya ini.
“Maaf, Nona,
mungkin penglihatanku sudah tidak terang lagi. Memang benar aku adalah
Siangkoan Tek, akan tetapi siapakah engkau?”
“Paman
Siangkoan, sudah lupakah engkau kepada saya? Saya bernama Pouw Li Sian. Pernah
belasan tahun yang lalu saya bersama ayah datang berkunjung ke sini!”
“Pouw...?”
Siangkoan Lohan mengulang nama keturunan itu dengan heran.
“Benar,
Paman. Mendiang ayahku adalah Pouw Tong Ki.”
“Ahhhhh...!
Ayahmu dahulu Menteri Pendapatan, seorang sahabatku itu? Dan engkau puterinya?
Bukankah seluruh keluarga Pouw sudah...“
“Tidak semua
binasa, Paman. Ketika rumah kami diserbu, saya sempat melarikan diri. Sekarang,
setelah saya menjadi dewasa, saya ke kota raja dan menyelidiki keadaan keluarga
saya. Empat orang kakak saya ditahan, tiga orang tewas dan saya mendapat kabar
bahwa kakak sulung saya, Pouw Ciang Hin, diampuni bahkan sekarang menjadi
seorang perwira yang bertugas di tapal batas utara. Oleh karena itulah, saya
menyusul ke utara, dan teringat kepada Paman, saya berkunjung ke sini untuk minta
bantuan Paman. Siapa tahu Paman dapat memberi tahu di mana adanya kakak sulung
saya itu. Akan tetapi, ketika tiba di sini, saya ditahan dan hendak ditangkap,
maka terpaksa saya melawan dan maafkan saya Paman.”
Siangkoan
Lohan memandang penuh kagum. “Ahh, sekarang aku ingat. Engkau adalah nona kecil
yang pernah ikut dengan Pouw Taijin dahulu itu. Aihh, sungguh penasaran sekali.
Ayahmu adalah seorang pejabat yang baik dan setia, akan tetapi, keluarganya
kena fitnah karena dia berani menentang pembesar laknat Hou Seng. Kerajaan
Mancu memang tidak mengenal budi!”
Siangkoan
Lohan mengepal tinju, lalu berkata kepada Sin-kiam Mo-li, “Mo-li, Nona ini
adalah orang sendiri, keluarganya terbasmi oleh kerajaan penjajah! Dan nona
Pouw, ini adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara kawan-kawan kita yang siap
untuk menentang pemerintah penjajah!”
Walau pun di
dalam hatinya merasa penasaran karena tadi belum dapat mengalahkan gadis ini,
terpaksa Sin-kiam Mo-li tersenyum, menyimpan sepasang senjatanya dan ia
mengangguk-angguk.
“Engkau
masih begini muda akan tetapi sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, nona Pouw.
Engkau tadi mempergunakan sinkang panas dan dingin, mengingatkan aku akan ilmu
dari Pulau Es. Apakah engkau murid dari keluarga Pulau Es?”
“Mendiang
guruku adalah mantu dari sucouw Pendekar Super Sakti Pulau Es,” jawab Li Sian
sejujurnya.
Mendengar
ini terkejutlah semua orang, termasuk Siangkoan Lohan. Pantas gadis ini
demikian lihainya. Akan tetapi diam-diam dia pun girang sekali. Bagaimana pun
juga, gadis ini telah disudutkan oleh kerajaan, menjadi musuh kerajaan karena
keluarganya dibasmi oleh kerajaan sehingga dapat diharapkan gadis ini akan suka
membantunya.
“Mari kita
bicara di dalam, nona Pouw. Ahh, ya, apakah engkau lupa kepada anakku ini?
Bukankah pada saat engkau bersama ayahmu dahulu berkunjung ke sini, kalian
sudah saling berkenalan? Ini adalah Siangkoan Liong. Anakku, apakah engkau
sudah lupa kepada nona Pouw?”
Mereka
saling pandang dan Li Sian merasa kagum. Pemuda ini tampan dan halus, nampak ramah
sekali dan juga sopan ketika menjura dengan hormat kepadanya. “Tentu saja aku
tidak lupa kepada nona Pouw Li Sian, biar pun dahulu hanya menjadi tamu
beberapa hari saja di sini,” katanya.
Li Sian juga
teringat, walau pun hanya samar-samar bahwa Siangkoan Lohan dahulu memang
mempunyai seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Ia pun cepat balas
menjura.
“Aku pun
masih ingat kepadamu, saudara Siangkoan Liong.”
Mereka lalu
masuk ke dalam rumah. Sin-kiam Mo-li tidak ikut masuk, namun diam-diam ia
merasa tidak enak. Gadis itu lihai, dan agaknya pihak tuan rumah
menghormatinya. Kenyataan bahwa gadis itu masih keturunan murid keluarga Pulau
Es, membuat hatinya merasa tidak enak.
Gadis itu
berbahaya, pikirnya, kecuali kalau sinar matanya mencorong gembira. Benar!
Itulah satu-satunya jalan. Gadis itu harus dapat ditaklukkan oleh Siangkoan
Liong, menjadi kekasihnya atau isterinya, barulah diharapkan gadis itu akan
benar-benar setia membantu gerakan persekutuan mereka!
Dia akan
membicarakan hal ini dengan Siangkoan Liong. Dengan bantuannya, mustahil gadis
itu tidak akan dapat ditundukkan oleh Siangkoan Liong.
Sementara
itu, Li Sian diajak bercakap-cakap di sebelah dalam, diterima dengan ramah dan
hormat oleh Siangkoan Lohan dan puteranya, dijamu dan di dalam percakapan itu,
pihak tuan rumah mulai menanamkan bibit-bibit permusuhan dan sakit hati
terhadap Kerajaan Mancu yang telah membasmi keluarga Pouw.
“Kaum
penjajah Mancu memang keterlaluan sekali,” demikian antara lain Siangkoan Lohan
berkata, “Bayangkan saja. Pihak kami, Tiat-liong-pang, kurang bagaimana dahulu
membantu mereka dan kami telah mengorbankan segalanya untuk membantu mereka.
Tetapi ternyata mereka itu merupakan bangsa yang tidak mengenal budi dan mudah
melupakan jasa orang. Ayahmu sendiri, nona Pouw, adalah seorang di antara
pembesar tinggi yang setia dan baik. Akan tetapi apa jadinya? Keluarga ayahmu
dibasmi hanya karena ayahmu berani menentang Hou Seng, padahal ayahmu menentang
Hou Seng justru untuk menyelamatkan negara dan kerajaan!”
Sedikit demi
sedikit hati Li Sian dibakar. Akan tetapi gadis ini masih ragu-ragu. Gurunya
selalu memberi wejangan supaya ia tidak menyimpan dendam terhadap siapa pun
juga, dan hidup sebagai seorang pendekar harus bebas dari api dendam karena
dendam akan melenyapkan pertimbangan adil. Seorang pendekar harus bertindak
adil, membela kebenaran dan keadilan tanpa pilih bulu. Sebaliknya dendam
membutakan mata akan kebenaran dan keadilan, semata-mata hanya untuk
melampiaskan nafsu dendam saja.
“Saya masih
bingung, Paman. Saya ingin sekali berjumpa dengan kakak sulung saya, oleh
karena itu saya mohon bantuan Paman, sukalah membantu saya mencari di mana
adanya kakak saya itu bertugas supaya saya dapat bertemu dengan anggota
keluarga yang tinggal satu-satunya itu.”
“Tentu,
tentu sekali, Nona. Kami akan membantumu dan sementara ini, tinggallah di sini
sebagai tamu kehormatan, ahhh, tidak, sebagai anggota keluarga kami sendiri,
sebagai keponakanku!” kata Siangkoan Lohan dengan ramah sekali.
Li Sian
merasa terharu. Kakek ini dan puteranya sungguh baik, menerimanya demikian
ramahnya, bahkan menganggapnya sebagai anggota keluarga. Dia pun bangkit
berdiri dan memberi hormat.
“Paman
sungguh melimpahkan banyak budi kebaikan kepada saya, entah bagaimana saya akan
mampu membalasnya. Akan tetapi, harap Paman jangan menyebut saya nona, membuat
saya merasa kikuk saja, Paman.”
Siangkoan
Lohan tertawa. “Ha-ha-ha, baiklah, Li Sian, baiklah. Mulai sekarang engkau
kuanggap keponakanku sendiri, karena mendiang ayahmu dulu amat cocok denganku,
seperti saudara pula. Nah, anak Liong, engkau mendengar sendiri. Sekarang,
engkau harus bersikap seperti seorang kakak terhadap Li Sian.”
Siangkoan
Liong bangkit berdiri, dan sambil tersenyum membalas penghormatan Li Sian. “Aku
merasa girang sekali dapat menjadi kakak misanmu, Sian-moi (adik Sian).”
Kedua pipi
Li Sian berubah agak merah mendengar sebutan Sian-moi itu, akan tetapi, kalau
ia dianggap sebagai keponakan dari Siangkoan Lohan, sudah sepatutnya pemuda itu
menyebutnya adik.
“Terima
kasih atas kebaikanmu, Liong-toako (kakak Liong),” jawabnya.
Mereka lalu
duduk kembali dan melanjutkan makan minum. Semenjak hari itu, Li Sian
memperoleh sebuah kamar di rumah besar itu serta diperlakukan sebagai seorang
tamu terhormat. Bahkan pada waktu ia diperkenalkan kepada para murid
Tiat-liong-pang, juga kepada Sin-kiam Mo-li, semua orang tak berani bersikap
kurang ajar padanya, maklum bahwa gadis itu selain lihai sekali, juga diterima
sebagai keponakan Siangkoan Lohan. Bahkan Li Sian ikut pula dalam latihan
perang-perangan itu, membantu Sin-kiam Mo-li untuk mempertahankan ‘benteng kota
raja’ yang diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong.
Setelah
latihan itu selesai, Li Sian diperkenalkan kepada para sekutu yang lain, kepada
Toat-beng Kiam-ong, kepada Agakai kepala suku Mongol, dan kepada Song Ciangkun,
tangan kanan Coa Tai-ciangkun yang menjadi komandan pasukan pemerintah yang
bertugas jaga di utara. Song Ciangkun inilah yang berjanji kepadanya untuk
menyelidiki di mana adanya Pouw Ciang Hin, kakak sulung Li Sian sehingga gadis
ini merasa gembira sekali.
Hubungannya
dengan Siangkoan Liong juga akrab sekali karena pemuda itu memang pandai
mengambil hati, ramah, sopan dan memiliki pengertian yang mendalam tentang
sastra dan silat. Bahkan pemuda itu, untuk melakukan penyelidikan, beberapa
kali telah mengajak gadis itu berlatih silat. Dengan lega dia mendapat
kenyataan bahwa betapa pun lihai Li Sian, akan tetapi dia mampu mengatasi gadis
itu walau pun selisihnya tidak berapa jauh!
Sebaliknya,
Li Sian kagum sekali akan pengertian pemuda itu mengenai sastra dan tentang
pengetahuan lain yang membuat dia merasa bodoh ketinggalan dan dia dapat banyak
belajar dari pemuda itu. Dalam ilmu silat, ia pun dapat melihat bahwa Siangkoan
Liong ini bahkan jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li, dan sungguh pun belum
pernah mereka mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, namun dia
sendiri merasa bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menang
menandingi ilmu kepandaian pemuda yang tampan itu. Tidaklah mengherankan kalau
hati Li Sian mulai terpikat.
************
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment