Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 11
PADA saat
itu terjadi perubahan menarik pada pertempuran antara Ouwyang Sianseng dan Kam
Hong. Mereka berdua kini lebih mengandalkan tenaga sakti mereka. Maklum,
keduanya adalah tokoh-tokoh tua. Usia Ouwyang Sianseng telah mendekati tujuh
puluh tahun, demikian pula dengan Kam Hong.
Betapa pun
lihai dan kuatnya seseorang, tubuhnya hanya terbuat dari darah dan daging
diperkuat oleh tulang belaka. Tulang-tulang tua dapat rapuh, daging pun
mengendur, dan tubuh tak terhindarkan dari kelemahan dimakan usia dari dalam.
Maka, jika orang-orang seusia mereka hendak mengandalkan tenaga, tentu mereka
tidak akan mampu bertahan lama.
Mereka
bertanding dengan gerakan yang lambat, tapi setiap gerakan itu mengandung
tenaga dalam, tidak menggunakan tenaga luar yang dibutuhkan untuk bergerak
cepat. Dan dalam hal tenaga dalam ini, ternyata tingkat mereka seimbang!
Jika
keduanya masih muda, tentu kakek Kam Hong akan bisa mengalahkan lawannya tanpa
banyak kesulitan, mengandalkan ilmunya yang sulit dicari bandingannya di dunia
ini. Mungkin hanya ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Istana Gurun Pasir sajalah yang
dapat menandingi tingkat ilmu suling dan kipas dari Pendekar Suling Emas itu.
Betapa pun
juga, karena memang kalah tinggi ilmunya, ketika kedua kipas bertemu di udara
terdengar suara keras dan kipas di tangan Ouwyang Sianseng robek! Kam Hong
mempergunakan kesempatan ini untuk mendesak. Sulingnya menyambar, menotok ke
arah pelipis, dan kipasnya juga menyambar, gagangnya menotok ke lambung.
Ouwyang
Sianseng yang masih terkejut karena robeknya senjata kipas di tangannya, cepat
mundur sambil mengelebatkan pedangnya untuk membalas, ditusukkan ke arah kipas
lawan untuk membuat kipas itu robek. Akan tetapi, pada saat itu, sinar kuning
emas menyambar dari atas, menghantam pedangnya.
"Tranggggg...!"
Keras sekali
hantaman suling emas itu, membuat tangan Ouwyang Sianseng tergetar dan ujung
pedangnya patah! Kakek itu terkejut sekali, lalu mencabut sebatang pedang dari
balik jubahnya. Begitu pedang itu dicabut, Kam Hong terbelalak, lalu bergidik.
Dia mengenal sebatang pedang yang ampuhnya menggiriskan hati. Baru hawanya saja
sudah membuat orang menggigil, dan begitu pedang dicabut, dan digerakkan,
tercium bau yang dapat membuat orang muntah. Pedang itu pun mengeluarkan sinar
abu-abu kehitaman, sinar maut! Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa
Racun)!
Seperti
diketahui, ketika menyerbu ke Istana Gurun Pasir, Sin-kiam Mo-li dan
kawan-kawannya berhasil menewaskan tiga orang tua sakti di sana, walau pun
mereka sendiri hampir habis terbasmi. Hanya Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin,
dan Thian Kek Sianjin saja yang masih hidup walau pun menderita luka-luka. Dan
Sin-kiam Mo-li yang cerdik dapat menyita dua batang pedang pusaka dari Istana
Gurun Pasir, yaitu Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam.
Ketika ia
dan kawan-kawannya bergabung dengan para pemberontak, melihat kesaktian Ouwyang
Sianseng, Sin-kiam Mo-li lalu menyerahkan sebatang di antara dua batang pedang
rampasan itu, yaitu Ban-tok-kiam. Ada pun pedang yang ke dua, Cui-beng-kiam,
kemudian disimpannya sendiri.
Ouwyang
Sianseng adalah orang yang amat cerdik, juga memiliki ambisi besar. Begitu
melihat betapa dia dan kawan-kawannya tertipu, dan pasukan yang datang bukanlah
pasukan pemerintah yang bersekutu melainkan pasukan yang menyerang dalam jumlah
yang amat besar, dan melihat pula munculnya para pendekar yang sebagian
memiliki kesaktian hebat, dia pun maklum bahwa dia sudah kalah dalam
permainannya sendiri. Kini, yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri.
Karena itu,
melihat betapa kakek Kam Hong yang membuatnya jeri itu nampak gentar melihat
dia mengeluarkan Ban-tok-kiam, Ouwyang Sianseng segera memutar pedang itu dan
meloncat ke belakang, menyelinap di antara para anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai
yang membantu para tokoh sesat menghadapi para pendekar.
Kam Hong
tidak mengejarnya dan hanya menarik napas panjang. Dia masih tertegun melihat
pedang tadi. Pendekar ini pun teringat akan pedang yang disebut Ban-tok-kiam,
sebuah di antara pusaka Istana Gurun Pasir dan dia kagum bukan main, juga ngeri
membayangkan kehebatan pedang itu.
Pada saat
Ouwyang Sianseng melompat ke belakang dan melarikan diri menyelinap di antara
para anggota Pek-lian-pai itulah yang menarik perhatian Siangkoan Liong. Pada
saat itu, Sin Hong tengah berjungkir balik ke belakang sebab terkejut sekali
menghadapi serangan pedang Koai-liong Po-kiam.
Siangkoan
Liong tidak mendesak Sin Hong lebih jauh karena bagaimana pun juga, dia sudah
merasa jeri menghadapi pemuda berpakaian putih itu. Sekarang melihat gurunya
melarikan diri, tanpa berpikir dua kali Siangkoan Liong juga melompat ke
belakang dan menyelinap di antara para anggota Pat-kwa-pai dan menghilang.
Sin Hong
juga tidak mengejar karena di situ terdapat banyak lawan. Dia menoleh ke arah
Kao Hong Li yang bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan terkejutlah pemuda ini.
Tadinya dia tidak khawatir akan keselamatan Hong Li melihat gadis ini cukup
lihai untuk mengimbangi permainan Sin-kiam Mo-li. Akan tetapi kini Hong Li
terdesak hebat sekali, bahkan sepasang pedangnya rusak-rusak, sedangkan
Sin-kiam Mo-li dengan senyum menyeringai terus mendesak dengan sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar yang sangat menyeramkan.
Itulah
pedang pusaka Cui-beng-kiam! Pedang ini, seperti juga Ban-tok-kiam merupakan
pusaka Istana Gurun Pasir dan sudah puluhan tahun tidak pernah dipergunakan
orang. Sekarang, di tangan Sin-kiam Mo-li, pedang itu menjadi senjata iblis
yang haus darah! Gulungan sinarnya mengandung hawa yang mukjijat, dan jelas
nampak betapa Hong Li merasa ngeri dan jeri menghadapi desakan pedang yang tadi
telah merusak sepasang pedangnya itu. Gadis ini terus main mundur sambil
memutar kedua pedangnya sekuat tenaga untuk melindungi tubuhnya dari ancaman
Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang menggiriskan itu.
"Kembalikan
pedang itu!" Tiba-tiba Sin Hong membentak.
Tubuh Sin
Hong sudah melesat ke depan, langsung saja dia menyerang Sin-kiam Mo-li dengan
jurus ampuh dari Pek-ho Sin-kun. Tenaga yang terkandung dalam sambaran tangan
Sin Hong itu hebat bukan main, membuat Sin-kiam Mo-li menjadi gugup dan memaksa
wanita ini menangkis dengan kebutannya.
"Plak!
Pyarrr...!"
Kebutan itu
rontok bulunya hingga berhamburan dan tubuh Sin-kiam Mo-li terjengkang. Namun,
ia bergulingan dan memutar pedang Cui-beng-kiam. Pedang ini mengeluarkan sinar
kilat bergulung-gulung sehingga Sin Hong tidak berani mendesak. Kesempatan ini
kemudian digunakan oleh Sin-kiam Mo-li untuk cepat-cepat meloncat dan
menyelinap di antara kawan-kawannya yang sedang berkelahi melawan para
pendekar.
Sin Hong
mencoba untuk mengejar, akan tetapi wanita itu sudah lenyap dan dia yang
mengkhawatirkan keselamatan Hong Li segera mendekati gadis itu.
"Bagaimana
denganmu? Engkau tidak terluka, bukan?"
Hong Li
menggeleng kepala dan tersenyum. Bukan main gadis ini, pikir Sin Hong, baru
saja terlepas dari ancaman maut, bahkan wajahnya masih basah dengan keringat,
akan tetapi sudah mampu tersenyum demikian manisnya!
"Tidak,
berkat pertolonganmu, Susiok."
Mereka tak
sempat bicara banyak karena perkelahian masih berlangsung, lalu mereka segera
terjun ke dalam kancah pertempuran, membantu para pendekar. Kini keadaan menjadi
semakin berat sebelah setelah tiga orang terpenting di antara para pimpinan
pemberontak itu melarikan diri.
Pertama-tama
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang mendapat lawan berat sekali, yaitu nenek Bu
Ci Sian. Tingkat kepandaian si raja pedang ini jauh berada di bawah tingkat
kepandaian nenek itu. Sejak semula, dengan suling emasnya, nenek itu sudah
menekan dan mengurung, membuat si raja pedang itu tidak mampu mengembangkan
permainan pedangnya.
Akhirnya,
kaki kiri nenek itu sempat menyentuh lututnya, membuat Toat-beng Kiam-ong
setengah berlutut. Sebelum dia mampu bangkit kembali, ujung suling sudah
mengetuk ubun-ubun kepalanya dan dia pun roboh tewas seketika karena isi
kepalanya tergetar dan batok kepalanya retak!
Sungguh
sayang sekali. Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek sebenarnya bukan seorang
penjahat. Tadinya dia pun pernah terkenal sebagai seorang pendekar yang lihai,
pernah menjadi murid Bu-tong-pai yang patuh. Akan tetapi, dia mempunyai satu
kelemahan, yaitu terhadap wanita cantik. Inilah yang menjerumuskannya ke lembah
hitam.
Karena dia
tergila-gila kepada wanita cantik dan selalu mengejar kesenangan ini, maka dia
pun terjerumus, tidak pantang lagi melakukan kejahatan dan kekejaman demi untuk
memenuhi keinginan hatinya. Makin lama dia pun semakin dalam terjerumus, apa
lagi pergaulannya dengan para tokoh sesat makin menyelewengkannya dan akhirnya
dia harus tewas secara menyedihkan.
Melihat
betapa Suma Lian yang tengah memutar suling emasnya itu belum juga mampu
menandingi kelihaian Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai yang memang
bukan main lihai itu, Hong Li tidak membuang banyak waktu. Segera ia terjun dan
sepasang pedangnya lalu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, merupakan sinar
maut yang menyambar ke arah Thian Kong Cinjin.
Bukan main
kagetnya kakek ini. Tadinya ia merasa lega bahwa ia hanya dilawan oleh seorang
gadis muda yang biar pun lihai dengan suling emasnya, akan tetapi dalam hal
pengalaman jauh kalah olehnya. Ketua Pat-kwa-pai ini sudah berusia tua sekali,
hampir delapan puluh tahun. Akan tetapi sebagai seorang wakil ketua
Pat-kwa-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi.
Sebetulnya,
kalau dibuat perbandingan, Suma Lian lebih lihai dari pada kakek ini, apa lagi
mengingat bahwa kakek yang menjadi lawannya itu sudah tua sekali. Sepandai-pandainya
orang, dan sekuat-kuatnya orang, takkan mungkin dapat melawan usianya sendiri.
Usia tua akan menggerogotinya dari dalam, menghabiskan semua tenaga dan
kesaktiannya.
Demikian
pula keadaan Thian Kong Cinjin. Sesungguhnya lawan yang muda itu berat sekali
baginya. Akan tetapi, berkat pengalamannya yang banyak, dia masih mampu
bertahan, bahkan dengan permainan tongkatnya yang luar biasa dia tidak
membiarkan gadis itu mendesaknya.
Begitu Kao
Hong Li turut terjun membantu Suma Lian dengan permainan sepasang pedangnya
yang hebat, tentu saja kakek Thian Kong Cinjin menjadi repot bukan main.
Mengalahkan seorang Suma Lian saja dia belum juga mampu, kini ditambah lawan
yang juga merupakan seorang gadis yang amat lihai, yang telah mewarisi
ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Gurun Pasir!
Permainan
tongkatnya menjadi kacau dan ia tidak mampu menghindarkan diri lagi saat suling
di tangan Suma Lian menyambar dan menotok dadanya. Dia berteriak keras dan
tubuhnya terpelanting roboh, namun dia masih cukup kuat walau pun dadanya
terasa nyeri dan napasnya terengah-engah. Pada waktu dia bergerak hendak
meloncat bangun dengan muka pucat dan dada sesak, sinar pedang di tangan Hong
Li menyambar dan tusukan pedangnya tepat menembus leher kakek wakil ketua
Pat-kwa-pai itu.
Mata Thian
Kong Cinjin melotot. Tongkatnya menyambar ke arah Hong Li dari bawah, dan
ketika gadis itu dengan cekatan melompat ke belakang untuk mengelak, tongkat
itu terus menyambar ke arah kepala kakek itu sendiri. Terdengar suara keras dan
kakek itu pun roboh dan tak berkutik lagi, kepalanya pecah karena dipukulnya
sendiri. Agaknya dia memilih mati di tangan sendiri dari pada di tangan lawan,
setelah menderita luka parah karena totokan suling di dadanya dan tusukan
pedang yang menembus lehernya.
Melihat
lawannya telah tewas, Suma Lian dan Kao Hong Li mengamuk terus, membantu
kawan-kawan lainnya menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan.
Terutama sekali mereka berdua menghadapi para anggota Pek-lian-pai karena
mereka itulah yang merupakan lawan-lawan lihai dari para pendekar.
Sementara
itu, Sin Hong juga sudah membantu Gu Hong Beng yang nampak terdesak pula oleh
Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-pai yang amat lihai itu. Memang Hong Beng
belum kalah, akan tetapi pemuda itu kerepotan juga menghadapi tongkat naga
hitam dari tokoh Pek-lian-pai itu.
Begitu Sin
Hong berkelebat masuk ke dalam gelanggang pertempuran membantu Hong Beng, kakek
itu cepat menyambutnya dengan pukulan tongkat naga hitam, mengarah kepala Sin
Hong. Dia maklum akan kehebatan pemuda ini, maka begitu menyerang, dia lantas
mengerahkan segenap tenaganya. Tongkat berbentuk naga hitam itu berkelebat dan
lenyap bentuknya, berubah menjadi seberkas gulungan sinar hitam panjang yang
mengeluarkan bunyi desir angin.
Namun Sin
Hong tidak mengelak, bahkan mengangkat lengan kanannya ke atas untuk menangkis
tongkat hitam, sedangkan tangan kirinya membentuk moncong bangau, lalu menotok
ke depan sambil melangkahkan kaki maju mendekati lawan. Moncong bangau itu
menotok ke arah ulu hati lawan.
"Takkk!"
Lengan
pemuda itu bertemu tongkat, dan Thian Kek Sengjin merasa betapa lengannya
tergetar hebat. Pemuda itu telah menangkis tongkat dengan lengan begitu saja,
dan membuat tongkatnya terpental serta lengannya tergetar dan telapak tangannya
terasa panas.
Pada saat
itu Hong Beng telah menyerang dari samping dengan sepasang pedangnya. Pedang
kiri membacok kepala dan pedang kanan menyusul cepat menusuk dari bawah menuju
lambung! Thian Kek Sengjin yang masih merasa amat kaget dan getaran akibat
benturan lengan Sin Hong tadi masih belum lenyap, menggerakkan tongkatnya
hendak menangkis sinar pedang yang membacok kepalanya, tapi dia terlambat
menghindarkan diri dari tusukan pedang dari bawah.
Pedang di
tangan Hong Beng itu menembus lambungnya. Darah muncrat dan kakek itu pun roboh
dan tewas. Seperti juga Suma Lian dan Kao Hong Li, setelah melihat betapa tokoh
Pat-kwa-pai itu roboh, Sin Hong dan Hong Beng lalu melanjutkan amukan mereka
dengan membantu para pendekar menghadapi para tokoh sesat lainnya.
Perkelahian
antara para pendekar dan para tokoh sesat kini tak berlangsung lama. Hok Yang
Cu yang pendek botak itu mendapatkan lawan yang terlalu berat baginya yaitu
pendekar wanita Kam Bi Eng yang sangat lihai ilmu silatnya dengan suling
emasnya. Nyonya Suma Ceng Liong ini tanpa mengalami banyak kesulitan akhirnya
merobohkan dan menewaskan Hok Yang Cu dengan totokan ujung suling emasnya pada
beberapa jalan darah yang mematikan.
Juga nenek
iblis Hek-sim Kui-bo tidak kuat melawan Pouw Li Sian. Gadis yang perkasa ini
menggunakan senjata pedang rampasannya, mendesak terus dan akhirnya sebuah
tusukan pada dada nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo roboh dan tewas.
Perkelahian
antara Cu Kun Tek dan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi berjalan dengan seru dan
seimbang. Tidak percuma Ciu Hok Kwi menjadi murid pertama Siangkoan Lohan dan
berjuluk Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), karena ilmu pedangnya
memang hebat dan tenaganya juga kuat sekali. Akan tetapi, walau pun dia tidak
dapat dirobohkan oleh Cu Kun Tek, dia sendiri pun mengalami kesukaran untuk
mengalahkan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, pendekar muda dari Lembah
Naga Siluman ini.
Cu Kun Tek
memang sudah kehilangan pedang pusakanya, yaitu Koai-long Po-kiam yang dirampas
oleh Siangkoan Liong. Tetapi ia tidak kehilangan ilmu pedang Koai-liong
Kiam-sut, dan biar pun dia hanya mempergunakan sebatang pedang rampasan, namun
permainan pedangnya masih sangat hebat dan membuat Ciu Hok Kwi terpaksa harus
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk dapat mengimbangi permainan
pedang lawan.
Selagi kedua
orang ini saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba nampak berkelebatnya
bayangan putih dan tahu-tahu Sin Hong telah berdiri di antara mereka.
"Saudara
Cu Kun Tek, harap berikan orang ini kepadaku, dia adalah musuh besarku!"
kata Sin Hong.
Mendengar
ini, Cu Kun Tek yang tadi bersama Pouw Li Sian dibebaskan oleh Sin Hong,
mengangguk dan dia pun menggunakan pedangnya untuk membantu para pendekar lain,
mengamuk di antara para tokoh sesat.
Ada pun Sin
Hong kini berhadapan dengan Ciu Hok Kwi. Keduanya saling pandang dan sinar mata
Sin Hong mengeluarkan sinar berkilat. Dia memang marah sekali, bukan hanya
karena orang ini yang telah membunuh ayah kandungnya, melainkan terutama sekali
karena dia juga telah membunuh pula Kwee Ci Hwa.’
Dia tahu
bahwa orang ini hanya kaki tangan Tiat-liong-pang. Akan tetapi orang seperti
Ciu Hok Kwi ini amat jahat dan berbahaya sekali karena pandai bersandiwara
sehingga mendiang ayahnya sendiri kena dikelabui. Bahkan dia sendiri pun kena
ditipu dan telah sempat menaruh kepercayaan kepada bekas ‘pembantu’ ayah
kandungnya ini.
"Ciu
Hok Kwi, sekarang engkau hendak berkata apa lagi? Kiranya semua pembunuhan itu
engkaulah yang melakukannya, terhadap ayah kandungku, terhadap orang she Lay,
dan juga Kwee Ci Hwa."
Mendengar
ini, Ciu Hok Kwi yang sudah tahu bahwa dia pun tidak akan dapat melarikan diri
dan terpaksa harus melawan sampai mati, tersenyum mengejek kemudian berkata,
"Engkau baru tahu? Alangkah bodohnya! Memang aku yang telah mengatur semua
itu, demi perjuangan Tiat-liongpang, membunuh ayahmu, anak buahnya, dan orang
she Lay yang berkhianat. Akulah yang... ha-ha-ha, mempermainkan Kwee Ci Hwa
sepuas hatiku lalu membunuhnya! Habis, engkau mau apa?"
Keterangan
tambahan dari Ciu Hok Kwi bahwa dia pun telah mempermainkan Ci Hwa, menambah
api yang waktu itu sedang berkobar di kepala Sin Hong. Kiranya sebelum
membunuhnya, orang ini telah mempermainkan Ci Hwa! Kini baru dia mengerti.
Ci Hwa telah
mengorbankan diri, dalam usahanya menyelamatkan Gu Hong Beng, Cu Kun Tek dan
Pouw Li Sian. Gadis itu telah berhasil merayu Ciu Hok Kwi, menyerahkan diri,
agaknya demikian melihat pengakuan Ciu Hok Kwi tadi, dan berhasil mencuri kunci
dan membebaskan tiga orang tawanan itu sebelum ia kembali ke kamar dan berusaha
membunuh Ciu Hok Kwi akan tetapi malah terluka parah dan biar pun akhirnya
dapat dibebaskan, tetap saja tewas karena luka-luka itu.
"Jahanam,
engkau memang jahat sekali!" kata Sin Hong.
Ia pun
menerjang ke depan dengan kedua tangan digerakkan bagai leher dan moncong
burung bangau. Dalam kemarahannya, begitu menyerang dia telah mengeluarkan ilmu
simpanannya, yaitu ilmu silat tangan kosong Pek-ho Sin-kun! Dari kedua
tangannya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat bukan main.
Melihat ini,
Ciu Hok Kwi cepat mengelebatkan pedangnya membacok ke arah lengan yang meluncur
ke depan itu. Sin Hong sama sekali tidak menarik tangannya, bahkan sengaja
menerima bacokan pedang itu dengan lengannya.
"Takkk!"
Bukan lengan
itu yang putus, melainkan pedang itu yang terpental bahkan terlepas dari
pegangan tangan Ciu Hok Kwi saking kerasnya pertemuan antara pedang dan lengan
yang mengandung tenaga sinkang yang amat hebat itu!
Dapat
dibayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang dari pemuda berpakaian putih ini
kalau diingat betapa mendiang kakek Kao Kok Cu, nenek Wan Ceng, dan kakek Tiong
Khi Hwesio telah mengoperkan tenaga mereka kepadanya dan ia telah memiliki
tenaga gabungan dari tiga orang sakti yang semuanya terkandung di dalam gerakan
silat sakti Bangau Putih!
Ciu Hok Kwi
terkejut bukan main, akan tetapi sebelum dia sempat mengelak, sebuah tendangan
dari kaki Sin Hong mengenai pahanya. Tubuhnya terpelanting sampai empat lima meter
jauhnya dan kebetulan sekali jatuh di dekat kaki Gu Hong Beng.
Melihat
orang yang amat dibencinya ini terbanting keras dan merangkak hendak bangun
Hong Beng mengelebatkan pedangnya dan leher Ciu Hok Kwi yang sedang merangkak
seperti anjing itu terbabat pedang! Leher itu putus seketika dan kepalanya
terpental, menggelinding sampai jauh.
Kini banyak
di antara para pendekar yang melihat betapa para tokoh sesat yang terlihai
sudah roboh, berdiri menonton perkelahian yang berlangsung dengan amat hebatnya
dan amat menarik, yaitu perkelahian antara Suma Ceng Liong dan Siangkoan Lohan!
Memang hebat sekali perkelahian antara dua orang gagah perkasa ini!
Siangkoan
Lohan atau yang bernama Siangkoan Tek, ketua Tiat-long-pang memang seorang yang
amat gagah perkasa. Tubuhnya tinggi kurus akan tetapi mukanya merah dengan
jenggot panjang sampai ke dada dan matanya mencorong seperti mata naga. Dia
memiliki tenaga raksasa, bukan saja tenaga luar dengan otot-ototnya, melainkan
juga memiliki sinkang yang amat kuat.
Banyak ilmu
silat aneh dan lihai dikuasainya, bahkan dia menguasai pula ilmu gulat dari
utara. Tendangan mautnya Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) amat berbahaya,
dan dia juga mempunyai ilmu silat Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Ekor Besi) yang
dimainkan dengan menggunakan tenaga dalam Liong-jiauw-kang (Tangan Cakar Naga)
yang amat dahsyat. Semua ini masih ditambah lagi dengan Kim-hun-cwe (Pipa
Tembakau Emas) sebagai senjata, maka lengkaplah Siangkoan Lohan sebagai seorang
lawan yang amat tangguh. Dia pun memiliki pengalaman berkelahi yang sudah
puluhun tahun.
Akan tetapi,
lawannya bukan pula orang sembarangan. Sungguh sial sekali bagi ketua
Tiat-liong-pang itu bahwa sekali ini dia mendapatkan lawan seorang pendekar
besar, yaitu Suma Ceng Liong! Pendekar ini adalah seorang cucu Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es, cucu yang paling pandai di antara semua cucu pendekar
sakti itu.
Sejak
kecilnya, Suma Ceng Liong berbakat sekali dan selain ilmu-ilmu yang tinggi dari
keluarga Pulau Es, juga dia menguasai dengan amat baiknya beberapa macam ilmu
aneh, di antaranya Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) semacam ilmu totokan yang
amat dahsyat dari mendiang Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang pernah
menjadi gurunya. Juga dia mahir ilmu sihir yang dipelajarinya dari ibunya.
Karena telah
memiliki ilmu-ilmu yang demikian tingginya, juga karena seluruh tubuhnya telah
dilindungi tenaga sinkang yang membuatnya kebal, Suma Ceng Liong melawan
Siangkoan Lohan hanya dengan kedua tangan kosong saja!
Perkelahian
antara kedua orang ini merupakan pertandingan yang paling menarik dan hebat.
Semua pendekar yang tak merasa perlu lagi membantu kawan-kawannya yang sedang
membabat sisa orang-orang sesat, kini menonton dan tidak seorang pun di antara
mereka berani membantu Suma Ceng Liong. Sebagai seorang pendekar besar, tentu
Suma Ceng Liong akan merasa tersinggung kalau perkelahiannya melawan ketua
Tiat-liong-pang ini dibantu orang lain.
Sin Hong
sendiri yang sudah merasa gatal tangan untuk menghajar dan menundukkan ketua
Tiat-liong-pang yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini, bahkan yang
menjadi biang keladi kehancuran keluarga ayahnya, juga hanya menonton saja
seperti yang lain. Apa lagi dia, bahkan Kam Hong dan Bu Ci Sian sendiri,
sepasang suami isteri sakti yang menjadi mertua dari Suma Ceng Liong, juga
hanya menonton, demikian pula isterinya, Kam Bi Eng.
Ketika
melihat betapa tempat itu dikelilingi para pendekar yang menonton, diam-diam
hal ini mengecilkan hati Siangkoan Lohan. Kalau para pendekar itu sudah duduk
enak-enakan menonton, hal itu hanya berarti bahwa semua pembantunya telah gagal
dan telah roboh.
Dia tadi
sudah merasa marah dan penasaran, juga menyesal dan kecewa melihat betapa
Ouwyang Sianseng melarikan diri, demikian pula Sin-kiam Mo-li dan puteranya
sendiri. Diam-diam dia memaki mereka sebagai pengecut-pengecut yang curang,
yang ingin mendapatkan enaknya saja, dan tidak bertanggung jawab kalau ada mala
petaka menimpa, tidak setia kawan. Perasan ini, ditambah perasaan gentar
menghadapi para pendekar yang sudah mengurung tempat itu, setidaknya
mempengaruhi permainan kaki tangan ketua Tiat-liong-pang ini.
“Haiiiiittttt...!”
Melihat
betapa semua pembantu utamanya telah roboh, Siangkoan Lohan yang sudah hampir
putus asa kini mengirim hantaman dengan hun-cwe mautnya. Dia menggunakan
seluruh tenaganya karena dia ingin mengakhiri perkelahian itu secepatnya, kalah
atau menang, maka dia hendak mengadu tenaganya. Hun-cwe menyambar menjadi sinar
keemasan ke arah kepala Suma Ceng Liong.
Suma Ceng
Liong juga percaya akan kekuatan sendiri, akan tetapi dia belum nekat seperti
lawannya. Kalau dia mengadu tenaga secara langsung, belum tentu dia kalah kuat,
akan tetapi karena dia pun tahu bahwa lawannya bertenaga besar, maka kalah
menang akan membawa akibat yang merugikan dirinya, setidaknya dia akan
terguncang hebat.
Dia tidak
sebodoh itu, maka dia pun menangkis sambaran hun-cwe itu bukan secara langsung
dari depan, melainkan dari samping sehingga mereka tidak mengadu tenaga dengan
langsung. Pada saat itu, tangan kiri ketua Tiat-liong-pang itu memukul dengan
telapak tangan terbuka. Melihat hal ini, terpaksa Suma Ceng Liong menyambut
dengan telapak tangan kanannya sambil mendorong.
“Dukkk!
Plakkk!”
Pertemuan
telapak tangan itu membuat keduanya terpental ke belakang dan mereka berdiri
berhadapan dalam jarak yang cukup jauh. Tiba-tiba Siangkoan Lohan kembali
mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya lalu meloncat tinggi ke depan. Dari
atas dia lalu menyerang dengan hun-cwe dan tangan kirinya.
Inilah jurus
terakhir dari kakek itu setelah tadi berkali-kali dia menggunakan tendangan
Ban-kin-twi tanpa hasil apa pun karena lawannya selalu dapat mengelak, bahkan
kalau menangkis dari samping, kakinya terasa nyeri dan tergetar hebat. Kini dia
mengerahkan seluruh tenaganya dalam satu serangan saja sambil meloncat setengah
terbang ini.
Suma Ceng
Liong menyambutnya dengan loncatan yang sama, dan pendekar ini tanpa ragu-ragu
lagi mempergunakan ilmu Coan-kut-ci dari mendiang Hek I Mo-ong, ilmu yang amat
dahsyat dan mengerikan. Begitu dia meloncat dan menggerakkan kedua tangan
dengan jari-jari terpentang lurus ke depan, segera terdengar suara bercuitan.
Orang-orang
hanya melihat betapa dua tubuh yang meloncat itu seperti saling terkam, dan
melihat betapa kedua orang gagah perkasa itu dapat meloncat turun pula ke atas
tanah, saling membelakangi. Kalau Suma Ceng Liong dengan cepat membalikkan
tubuh menghadap lawan, adalah tubuh Siangkoan Lohan yang diam saja, tetap
membelakangi lawan.
Kam Bi Eng
melihat betapa baju di dada suaminya terobek dan nampak ada tanda menghitam
pada dada itu, maka cepat dia menghampiri suaminya. Suma Ceng Liong tersenyum
menggeleng kepala tanda bahwa luka di dadanya tidak berbahaya sehingga Kam Bi
Eng menjadi lega, lalu mereka menoleh dan memandang kepada Siangkoan Lohan.
Semua mata
kini ditujukan kepada ketua Tiat-liong-pang itu. Tubuhnya masih berdiri tegak,
dan kini perlahan-lahan tubuh itu membalik kaku. Semua orang melihat betapa
kakek itu masih memegang senjata hun-cwe emasnya, tubuhnya tidak nampak
terluka, akan tetapi dari bawah kain penutup rambut itu menetes darah yang
berjatuhan ke atas dahi, pipi dan dagunya!
Dia
memandang kepada Suma Ceng Liong, kemudian terdengar dia berkata, “Mereka,
pengecut-pengecut itu berada di rumah Ouwyang Sianseng di lereng di balik bukit
ini.”
Setelah
berkata demikian, tubuhnya lalu jatuh kaku seperti sebatang balok dan ketika
diperiksa, ternyata dia telah tewas karena luka-luka di kepalanya, di balik
kain penutup kepala! Kiranya, ilmu Coan-kut-ci (Jari. Penembus Tulang) dari
Suma Ceng Liong tadi telah membuat jari-jari tangan pendekar itu menembus
kepala!
Mendengar
ucapan ketua Tiat-liong-pang sebelum tewas, Sin Hong maklum siapa yang
dimaksudkan oleh Siangkoan Lohan.
“Ban-tok-kiam,
bahkan Koai-liong Po-kiam mereka bawa, aku harus mengejar mereka!” katanya
kepada Kao Hong Li dan dia pun cepat melompat dan lari.
“Susiok,
tunggu, aku akan membantumu!” teriak Hong Li yang melompat mengejar pula.
Dia maklum
pula bahwa susiok-nya itu akan mengejar Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan
Sin-kiam Mo-li, tiga orang yang lolos dari situ dan yang melarikan
pusaka-pusaka dari Istana Gurun Pasir, juga pusaka dari Lembah Naga Siluman
yang mereka rampas dari tangan Cu Kun Tek.
“Ahhh,
berbahaya sekali membiarkan mereka berdua menghadapi Ouwyang Sianseng yang amat
lihai,” kata Kam Hong dan dia pun mengejar ke arah balik puncak bukit itu.
Ketika
mereka tiba di luar sarang Tiat-liong-pang, ternyata pertempuran juga sudah
tinggal sedikit. Semua pasukan pemberontak dapat dirobohkan, tewas atau
terluka, dan sisanya hanya melawan untuk mempertahankan diri saja. Jumlah
pasukan pemerintah memang jauh lebih banyak sehingga perlawanan pasukan yang
terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang, pasukan Mongol, anggota Ang-I Mo-pang
beserta anak buah beberapa orang tokoh sesat itu tidak ada artinya sama sekali.
**************
Rumah itu
merupakan sebuah gedung yang tidak berapa besar akan tetapi kokoh kuat dan
nampak menyeramkan, dilindungi oleh pohon-pohon dan hampir tidak nampak dari
luar. Sin Hong dan para pendekar lainnya berdiri di depan rumah itu, di
pekarangan depan, memandang ke arah pintu dan jendela yang tertutup. Cuaca
senja itu muram, seolah-olah sang matahari lebih siang menyembunyikan diri di
balik awan tebal karena merasa ngeri menyaksikan ulah manusia yang saling bunuh
di bukit itu.
Beberapa
kali Sin Hong berteriak sambil mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya
bergema sampai jauh, memanggil nama-nama Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan
Sin-kiam Mo-li yang ditantangnya keluar. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari
dalam rumah itu.
“Biar aku
menerjang masuk!” kata Sin Hong.
Tetapi
sebelum dia bergerak, Kam Hong mencegahnya. “Berbahaya sekali memasuki sarang
seorang seperti Ouwyang Sianseng. Rumah itu pasti penuh dengan alat rahasia dan
jebakan. Dia licik dan curang, sebaiknya memaksa mereka keluar dengan api.”
Sin Hong
mengangguk kagum. “Pendapat Locianpwe benar sekali, terima kasih!”
Dia melinat
betapa di bagian belakang rumah itu terdapat bagian kecil, mungkin dapur atau
gudang, yang atapnya terbuat dari daun kering. Dia lalu membuat api, menyalakan
sebatang ranting kayu kering dan dengan pengerahan tenaga dia melemparkan kayu
yang menyala itu ke atas atap daun kering di bagian belakang rumah itu.
Api itu
cepat sekali menyambar daun kering dan sebentar saja atap itu pun terbakar. Api
menyala dengan cepatnya, menjadi semakin besar dan mulai membakar rumah induk.
Para pendekar sudah siap dan mereka pun tanpa berunding dulu sudah mengepung
rumah itu agar mereka yang berada di dalam rumah itu tidak mampu melarikan
diri, atau setidaknya akan ketahuan ke arah mana larinya.
Akan tetapi,
ternyata mereka yang berada di dalam rumah itu dapat melihat pula bahwa
melarikan diri agaknya tidak mungkin lagi, maka tiba-tiba saja pintu depan
terbuka dari dalam. Belum nampak ada orang muncul keluar, akan tetapi dengan
jelas terdengar suara Ouwyang Sianseng yang tenang dan dingin.
“Heiii,
anjing-anjing Mancu! Kami akan keluar, hendak kami lihat apakah kalian cukup
berani untuk menghadapi kami satu lawan satu, tidak keroyokan macam
segerombolan anjing peliharaan orang Mancu!”
Mendengar
ucapan ini, semua orang memandang marah dan muka mereka berubah merah. Sungguh
keji ucapan itu, juga amat memanaskan hati, terutama sekali Cu Kun Tek yang
memang berdarah panas.
“Keparat!”
bentaknya nyaring. “Kalian yang pengecut seperti anjing-anjing takut digebuk,
berani membalikkan kenyataan dan memaki kami!”
Pendekar ini
marah sekali mengingat betapa pedang pusakanya dirampas dan dilarikan mereka
yang berada di rumah itu. Kam Hong yang tahu bagaimana untuk menghadapi seorang
tokoh jahat, lihai dan cerdik macam Ouwyang Sianseng, berkedip kepada Kun Tek
agar pemuda ini bersabar dan menahan diri tidak bicara lagi. Melihat sikap Li
Sian, Kun Tek cepat mengangguk patuh!
“Ouwyang
Sianseng,” terdengar kini suara Kam Hong, juga tenang dan perlahan saja, namun
suaranya terdengar jelas sekali dari dalam rumah itu. “Keluarlah kalian dan
kami siap untuk menghadapi kalian satu lawan satu seperti lajimnya pertandingan
di antara orang-orang gagah!”
Mendengar
jawaban Kam Hong ini, muncullah tiga orang dari pintu depan itu. Mereka itu
bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li!
Ouwyang Sianseng nampak tenang-tenang saja, bahkan mulutnya terhias senyuman,
seakan-akan dia merasa bangga dan gagah, akan tetapi Siangkoan Liong dan
Sin-kiam Mo-li jelas nampak gugup dan gelisah melihat demikian banyaknya pendekar
sudah menanti di pekarangan.
Karena ia
pun tahu bahwa tiada jalan keluar lagi kecuali melawan mati-matian, Sin-kiam
Mo-li sudah mendahului Ouwyang Sianseng. Dia melompat ke depan menghadapi para
pendekar, kemudian berteriak dengan suara dibikin gagah dan penuh keberanian
untuk menutupi keadaan hatinya yang terguncang takut.
“Tan Sin
Hong, aku tantang padamu untuk maju mengadu ilmu dan nyawa dengan aku!
Engkaulah biang keladi semua kegagalan kami!”
Memang di
dalam hatinya, wanita iblis ini merasa marah sekali kepada Sin Hong. Telah
beberapa kali pemuda itu menjadi penghalang baginya, dan dia masih tetap merasa
menyesal mengapa ketika dia dan kawan-kawannya dahulu menyerbu Istana Gurun
Pasir, dibiarkannya pemuda itu terlepas dan selamat dari cengkeramannya.
Padahal, ketika itu, Sin Hong sama sekali tidak berdaya dan belum memiliki ilmu
kepandaian sehebat sekarang ini.
Setelah
berteriak seperti itu, Sin-kiam Mo-li lantas mengeluarkan sepasang senjata yang
menyeramkan, yaitu pedang pusaka Cui-beng-kiam dan kebutan merah yang tadi dia
peroleh dari dalam rumah Ouwyang Sianseng. Pedang Cui-beng-kiam (Pengejar
Arwah) itulah yang mendatangkan pengaruh amat menyeramkan.
Sin Hong
mengenal pedang pusaka Istana Gurun Pasir ini dan dia pun maklum bahwa sekali kena
gurat saja oleh pedang Cui-beng-kiam atau Ban-tok-kiam, sudah cukup untuk
membuat seorang yang betapa pun kuat tubuhnya, roboh dan mungkin tewas seketika
atau menderita luka beracun yang sukar dicarikan obat penawarnya.
Untung bahwa
kakek dan nenek sakti penghuni Istana Gurun Pasir sudah memberi tahu dengan
jelas tentang asal-usul kedua pedang pusaka itu, bahkan juga memberi tahu
rahasia penawar racun-racun yang terkandung dalam pedang-pedang pusaka itu.
Oleh karena itu, tadi ketika melakukan pengejaran, dia sudah bersiap-sedia,
sudah menelan tiga butir pil putih yang menjadi obat penawar racun pedang
Cui-beng-kiam.
Kini
menghadapi Sin-kiam Mo-li yang menggunakan Cui-beng-kiam, tentu saja dia tidak
merasa gentar. Pedang itu dahulu adalah milik seorang di antara ketiga orang
gurunya, yaitu Tiong Khi Hwesio, dan bahkan obat pil putih itu juga pemberian
Tiong Khi Hwesio kepadanya, dan dia pun sudah mempelajari cara pembuatannya.
“Sin-kiam
Mo-li, agaknya takaran kejahatan yang kau lakukan sudah melampaui batas
sehingga sekarang ini saatnya engkau harus menebus semua kejahatanmu itu. Lekas
majulah!” tantangnya dan dengan tangan kosong saja Sin Hong melangkah maju.
“Susiok, kau
pakailah pedang ini!” tiba-tiba Hong Li berseru sambil kedua tangannya
menyodorkan sepasang pedangnya, pedang rampasan yang cukup baik, bahkan tadi ia
gunakan untuk melawan iblis betina itu. Sin Hong menoleh dan tersenyum
kepadanya sambil menggelengkan kepala.
Pada saat
itu, Hong Li menahan jeritnya dan semua orang pun menahan napas ketika melihat
betapa selagi Sin Hong menoleh kepada Hong Li, Sin-kiam Mo-li telah dengan amat
cepatnya menyerang dengan tusukan pedang Cui-beng-kiam!
Memang
pedang ini hebat sekali. Ketika ditusukkan, bukan saja mengeluarkan suara
mengaung yang aneh, namun juga mendatangkan hawa dingin yang membuat orang
bergidik karena seram. Tusukan Cui-beng-kiam itu masih disusul dengan totokan
maut yang dilakukan dengan kebutan merah yang beracun itu!
Namun, Sin
Hong bukan seorang pemuda yang ceroboh atau lengah. Biar pun tadi dia
menanggapi usul Hong Li dan menolak pemberian pedang sambil menoleh ke arah
Hong Li, tetapi seluruh perhatiannya masih tertuju kepada calon lawannya
sehingga tentu saja serangan dahsyat itu telah dapat diketahuinya. Cepat sekali
tubuhnya sudah bergerak dengan amat lincahnya, membuat langkah-langkah gesit
yang aneh, tubuhnya meliuk ke sana sini dan dia pun sudah dapat mengelak dari
semua serangan pedang dan cambuk itu.
Sin Hong
bukan saja mampu menghindarkan semua serangan lawan, bahkan dia juga mampu
membalas dengan dahsyat. Perlu diketahui bahwa pada saat itu Sin Hong telah
menguasai banyak sekali ilmu silat yang tinggi, dan tingkatnya tidak kalah oleh
para pendekar lainnya. Bahkan mungkin orang seperti Ouwyang Sianseng takkan
mampu mengalahkannya dengan mudah. Ilmu-ilmunya bahkan lebih tinggi dari pada
Ouwyang Sianseng, hanya tentu saja masih belum matang dibandingkan orang tua
ini.
Dari tiga
orang gurunya yang sakti, Sin Hong sudah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat. Dari
mendiang Tiong Khi Hwesio atau ketika mudanya terkenal dengan nama Wan Tek Hoat
berjuluk Si Jari Maut, dia telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut
Nyawa), Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) yang digabung dengan
Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), juga melatih diri untuk menghimpun
sinkang dengan ilmu Tenaga Inti Bumi.
Dari Kao Kok
Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, dia menerima ilmu hebat Sin-liong
Ciang-hoat (Ilmu Pukulan Naga Sakti), dan dari nenek Wan Ceng dia pun
mempelajari Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dan ilmu pedang
Ban-tok-kiamsut. Bahkan lebih dari itu, tiga orang tua sakti itu lalu
menggabungkan ilmu-ilmu mereka dan mengambil inti sarinya untuk dimasukkan ke
dalam sebuah ilmu silat tangan kosong yang mereka ciptakan bersama yang mereka
beri nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih).
Ilmu inilah
yang sekarang digunakan oleh Sin Hong untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li yang amat
lihai dengan senjata cambuk beracun dan pedang pusaka Cui-beng-kiam!
Sin-kiam
Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah mempunyai tingkat kepandaian
tinggi. Wanita ini demikian lihainya sehingga dengan bantuan belasan orang
datuk dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ia berhasil menyerbu ke Istana Gurun
Pasir dan berhasil menewaskan kakek dan nenek sakti penghuni istana tua itu dan
juga Tiong Khi Hwesio yang tinggal bersama mereka, walau pun untuk itu ia harus
kehilangan belasan orang kawan, bahkan yang hidup hanya ia sendiri, Thian Kong
Cinjin dan Thian Kek Sengjin yang juga masih menderita luka-luka yang cukup
berat.
Kebutannya
amat terkenal kehebatannya, dengan gagangnya yang terbuat dari emas, dan bulu
kebutan yang mengandung racun jahat. Juga ilmu pedangnya cukup tinggi, ditambah
lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun kalau ia sudah mainkan ilmu
Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).
Namun,
sekali ini kembali Sin-kiam Mo-li harus mengakui keunggulan lawannya yang biar
pun masih muda, namun telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa itu. Biar
pun bertangan kosong, namun kedua lengan tangan Sin Hong merupakan dua benda
yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata mana pun juga, bahkan
lebih hidup dan mempunyai banyak perubahan, baik pada tekukan siku, pergelangan
tangan, mau pun jari-jarinya, tidak seperti senjata tajam yang kaku dan mati.
Kedua lengan
itu bergerak-gerak seperti hidup, kadang-kadang membentuk leher dan kepala
bangau, kadang-kadang bergerak seperti menjadi sepasang sayap, dan jari-jari
tangan itu dapat membentuk moncong bangau yang panjang runcing. Selain itu,
dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang amat kuat! Kedua lengan pemuda
itu tidak hanya menjadi hidup dengan perubahan aneh-aneh, akan tetapi bahkan
kadang-kadang dapat digunakan untuk menangkis kebutan dan lengan itu berubah
keras kaku seperti baja!
Hanya
terhadap Cui-beng-kiam pemuda itu tidak berani menangkis langsung dengan
tangannya karena dia cukup mengenal pedang pusaka ampuh itu, dan kalau pedang
itu menyambar, dia hanya mengelak atau kadang-kadang menangkis dari samping
dengan jalan menyampok sehingga lengannya atau tangannya tidak beradu langsung
dengan mata pedang.
Perkelahian
itu berlangsung dengan seru dan mati-matian, Sin-kiam Mo-li yang sudah maklum
bahwa ia tidak akan mampu lolos dari situ kecuali mengadu nyawa, menjadi nekat
dan karena kenekatannya ini, maka gerakannya menjadi liar dan buas, amat
berbahaya karena ia mencurahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menyerang dan
merobohkan lawan!
Sebaliknya,
tentu saja Sin Hong tidak ingin mengadu nyawa dan tidak nekat seperti lawannya.
Dia memakai perhitungan dan membagi perhatiannya antara menyerang dan membela
diri. Biar pun demikian, karena Sin Hong menang segala-galanya, perlahan lahan
dia mulai mendesak iblis betina itu.
Pada suatu
kesempatan yang baik, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Sin Hong menyambut
sambaran kebutan dengan pukulan tangannya yang lalu dilanjutkan dengan
cengkeraman! Hebat sekali sambutannya ini terhadap kebutan karena seketika
nampak bulu kebutan berhamburan. Ternyata bulu-bulu kebutan itu telah rontok
semua, tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini
terkejut bukan main, apa lagi ketika Sin Hong mendesaknya dengan
totokan-totokan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri pemuda itu melakukan
cengkeraman ke arah pergelangan tangan Sin-kiam Mo-li untuk merampas pedang
Cui-beng-kiam! Sin-kiam Mo-li yang sudah menjadi semakin gentar karena
kebutannya rontok, memutar pedangnya untuk melindungi diri, akan tetapi ia
terhuyung dan terus mundur.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi Sin-kiam Mo-li itu, tiba-tiba nampak sinar amat
menyeramkan meluncur dan pedang Ban-tok-kiam yang sinarnya kehitaman itu sudah
menusuk ke arah dada Sin Hong!
“Curang,
keparat!” teriak Kao Hong Li.
Semua orang
memandang kaget, melihat betapa Sin Hong diserang secara mendadak oleh Ouwyang
Sianseng dengan menggunakan Ban-tok-kiam untuk menolong Sin-kiam Mo-li. Sin
Hong berusaha untuk mengelak dengan membuang diri ke samping.
Tetapi
Ouwyang Sianseng memang lihai bukan main. Meski lawannya sudah mengelak cepat,
dia masih sempat membalikkan pedang yang luput sasaran itu dan pundak kiri Sin
Hong terserempet pedang Ban-tok-kiam! Pemuda itu mengaduh dan tubuhnya lalu
roboh terguling!
“Siancai...!
Sungguh tak tahu malu engkau, Ouwyang Sianseng!” Kam Hong membentak dan kakek
ini sudah mencabut suling emas beserta kipasnya, lalu menyerang Ouwyang
Sianseng yang bersenjata kipas pula di tangan kiri dan pedang Ban-tok-kiam di
tangan kanan!
“Jangan
sentuh aku...!” Sin Hong berseru mencegah ketika Hong Li hendak menubruk dan
menolongnya.
Hong Li
terkejut dan menghentikan gerakannya. Sebagai cucu dari pasangan kakek dan
nenek penghuni Istana Gurun Pasir, tentu saja ia telah pernah mendengar dari
ayahnya tentang kehebatan Ban-tok-kiam. Sekali saja kena goresan pedang pusaka
itu, jangan harap akan dapat bertahan untuk hidup terus!
Racunnya
amat jahat, sesuai dengan namanya. Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Memang
berbahaya sekali, bahkan seorang nenek sakti seperti Teng Siang In, yaitu ibu
kandung Suma Ceng Liong, mantu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es, begitu
terluka oleh Ban-tok-kiam yang pada waktu itu terjatuh ke tangan Sai-cu Lama
yang jahat, tidak dapat tertolong nyawanya dan tewas!
Dan sekarang
Sin Hong terkena pedang itu, bukan sekedar tergores, melainkan terluka
pundaknya! Tentu saja Hong Li memandang dengan hati khawatir sekali.
Akan tetapi
dengan sikap tenang sekali, Sin Hong mencengkeram tanah, membongkar permukaan
tanah sampai dia memperoleh tanah bersih yang lembut, mencengkeram tanah itu
dengan tangan kanannya, merobek baju bagian pundak kiri lalu menggosok-gosok
luka di pundak itu dengan tanah! Beberapa kali dia menggosok dengan keras
sampai luka itu mulai mengucurkan darah merah yang sehat, barulah dia berhenti,
lalu sekali melompat, dia sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li lagi sambil
tersenyum.
"Sin-kiam
Mo-li, mari kita lanjutkan perkelahian kita!” kata Sin Hong.
Tanpa
memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menyerang lagi dengan
hebatnya. Sin-kiam Mo-li terpaksa memutar Cui-beng-kiam untuk melindungi
tubuhnya.
Melihat
betapa Sin Hong seolah-olah tidak merasakan lukanya, hati Hong Li merasa tenang
kembali walau pun dia masih amat khawatir. Tentu saja dia tidak tahu bahwa
satu-satunya obat penawar racun Ban-tok-kiam memang hanya tanah itulah! Tentu
saja hal ini tadinya menjadi rahasia penghuni Istana Gurun Pasir dan hanya
diberi tahukan kepada Sin Hong sebagai murid terakhir mereka. Bahkan Kao Cin
Liong sendiri tidak tahu akan hal ini!
Sementara
itu, melihat betapa ayah mertuanya sudah menghadapi Ouwyang Sianseng dan Sin
Hong sudah pula menyerang Sin-kiam Mo-li, Suma Ceng Liong lalu melompat ke
depan menghadapi Siangkoan Liong. Dia tahu bahwa pemuda ini sangat lihai pula,
dan kini memegang pedang Koai-liong-kiam, maka dari pada membiarkan seorang di
antara para pendekar terancam bahaya kalau menghadapinya, ia pun sudah lebih
dulu maju menantangnya.
“Siangkoan
Liong, majulah dan mari kita tentukan siapa yang lebih unggul antara kita, dari
pada engkau nanti bertindak curang seperti Ouwyang Sianseng yang melakukan
pengeroyokan dan serangan gelap! Atau, jika engkau takut menghadapi aku,
berlututlah agar kami menangkapmu sebagai pimpinan pemberontak dan
menyerahkanmu kepada pemerintah!”
Tentu saja
Siangkoan Liong yang berhati angkuh itu tidak sudi untuk menyerah. Tanpa banyak
cakap lagi dia pun telah menerjang maju, menyerang Suma Ceng Liong dengan
sengitnya. Pedang Koai-liong-kiam di tangannya diputar dengan cepat dan
terdengarlah suara mengaung yang mengerikan, seolah-olah dari pedang itu keluar
auman binatang buas dan pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan.
Cu Kun Tek
yang juga ikut nonton di situ merasa tidak enak sekali. Pedang yang berada di
tangan pemuda itu adalah pedang pusaka keluarganya. Sepatutnya dia yang harus
maju melawan Siangkoan Liong untuk merampas pedangnya kembali. Akan tetapi dia
pun maklum betapa lihainya Siangkoan Liong dan bahwa kalau dia yang maju, kecil
sekali harapannya pedang pusaka Koai-liong-kiam itu akan dapat dirampasnya
kembali, bahkan bukan tidak mungkin dia sendiri akan roboh menjadi korban
pedang pusaka milik keluarganya itu! Maka, melihat Suma Ceng Liong yang maju, dia
pun diam saja, karena dia sudah tahu siapa adanya pendekar itu, cucu Pendekar
Super Sakti Pulau Es!
Seperti juga
Sin Hong yang menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong, Suma Ceng Liong
juga menghadapi Siangkoan Liong dengan tangan kosong pula!
Kini
terjadilah pertempuran yang amat seru. Ouwyang Sianseng, seperti juga dua orang
anak buahnya itu, maklum bahwa dia sudah terkurung dan terhimpit, maka
satu-satunya jalan hanyalah melawan dengan nekat, kalau perlu mengadu nyawa
dengan lawannya. Apa lagi yang dilawannya adalah Pendekar Suling Emas yang dia
tahu amat tinggi ilmu kepandaiannya.
Sekali ini
dia sama sekali tidak dapat mengandalkan ilmu silatnya, karena dia seolah-olah
bertemu dengan gurunya! Dia kalah dalam segala hal, baik keaslian ilmu silat,
kecepatan gerak mau pun kekuatan tenaga sakti. Satu-satunya yang diandalkan
hanya kenekatannya. Maka dari itu dia pun menyerang dengan membabi buta,
mengandalkan kenekatan dan kehebatan pedang Ban-tok-kiam.
Kakek Kam
Hong maklum pula akan kelihaian lawan. Diam-diam dia merasa menyesal dan sayang
sekali mengapa seorang laki-laki yang demikian pandai seperti Ouwyang Sianseng
sampai terperosok ke dalam kehidupan sesat. Orang she Ouwyang ini selain tinggi
ilmu silatnya, juga ahli pedang dan ahli dalam kesusastraan, memiliki
kecerdikan pula.
Akan tetapi
ternyata nafsu dan ambisinya jauh lebih besar dari semua hal itu sehingga
menyeretnya untuk melakukan perbuatan sesat demi tercapainya keinginan hati
untuk mengejar kesenangan. Dan dia tahu bahwa orang seperti ini memang
berbahaya sekali jika dibiarkan berkeliaran. Tentu dia akan berusaha kembali
untuk melakukan kegiatan pemberontakan pula, atau akan menghimpun orang-orang
sesat lagi untuk mencapai ambisinya, yaitu kekuasaan dan kesenangan.
Biar pun
sudah puluhan tahun lamanya pendekar sakti ini lebih banyak mengasingkan diri
dan hidup tenteram, tidak pernah lagi membunuh orang, namun sekali ini terpaksa
dia mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ouwyang Sianseng, demi keamanan
kehidupan banyak manusia yang tidak berdosa. Kalau orang she Ouwyang ini dapat
bebas dan membuat keonaran, yang banyak menjadi korban adalah rakyat jelata
yang tidak berdosa sama sekali. Berpikir demikian Kam Hong lalu mempercepat
gerakannya dan mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk mendesak lawan.
Ouwyang
Sianseng yang semenjak tadi memang sudah mengeluarkan semua ilmunya namun
selalu tak mampu mengimbangi permainan lawan, begitu didesak menjadi repot
sekali. Sinar emas yang bergulung-gulung, yang diikuti suara melengking tinggi
rendah seperti suling ditiup itu, amat mengacaukan pikirannya. Suara itu
mengandung tenaga mukjijat yang membuat permainan pedangnya kacau dan suatu
saat, kipasnya bertemu dengan kipas lawan.
“Desss...!
Prakkk...!”
Kipas di
tangan kiri Ouwyang Sianseng hancur berkeping-keping. Dia marah sekali dan
pedang Ban-tok-kiam di tangannya segera berubah menjadi gulungan sinar hitam
yang mendirikan bulu roma karena mengandung hawa yang kuat, dingin dan
menyeramkan.
Namun kakek
Kam Hong yang sudah melindungi diri lahir batin dengan sinkang, tidak
terpengaruh. Dia bahkan menggerakkan suling emasnya lebih cepat lagi. Kini
gulungan sinar kuning emas itu berpusing sedemikian cepatnya, juga sinarnya
panjang dan lebar.
Perlahan-lahan
sinar kuning emas itu mulai menggulung dan melibat sinar hitam hingga pedang di
tangan Ouwyang Sianseng itu kini hanya mampu bergerak dalam lingkungan gulungan
sinar kuning emas! Ruang gerak pedang Ban-tok-kiam semakin lama semakin sempit,
dan selagi Ouwyang Sianseng kerepotan setengah mati, gagang kipas di tangan
kakek Kam Hong meluncur dan menotok pangkal tengkuknya.
“Tukkk...!”
Tubuh
Ouwyang Sianseng terhuyung, lantas dia terpelanting jatuh. Separuh badannya
yang sebelah kiri lumpuh tanpa mampu digerakkan. Sesudah melihat keadaan
dirinya, pedang Ban-tok-kiam di tangan kanannya bergerak ke arah leher sendiri
dan sebelum dapat dicegah, pedang itu telah membacok batang lehernya!
Anehnya,
biar pun leher itu hampir setengahnya terbacok, hanya sedikit darah mengalir
dan seketika, wajah mayat Ouwyang Sianseng menjadi menghitam dan perlahan-lahan
warna hitam itu menjalar di seluruh tubuhnya. Itulah kehebatan racun
Ban-tok-kiam!
Kakek Kam
Hong mengambil pedang yang terlepas dari tangan Ouwyang Sianseng itu, mengamati
pedang itu dan menggeleng-geleng kepala penuh kagum dan ngeri melihat kehebatan
Ban-tok-kiam yang menjadi pusaka dari Istana Gurun Pasir itu.
Setelah
melihat Ouwyang Sianseng roboh dan tewas, Sin-kiam Mo-li serta Siangkoan Liong
merasa terkejut bukan main. Wajah mereka berubah pucat dan tentu saja nyali
mereka menjadi kecil, semangat mereka terbang sebagian sehingga permainan
pedang mereka menjadi kacau!
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Sin Hong untuk mendesak lawannya dan akhirnya dia
berhasil ‘mematuk’ pergelangan tangan kanan Sin-kiam Mo-li dengan tangan
kirinya yang membentuk moncong atau patuk burung bangau. Terkena patukan ini,
seketika tangan kanan itu lumpuh dan di lain detik, Cui-beng-kiam sudah
berpindah ke tangan kanan Sin Hong!
Nenek itu
sungguh tidak tahu diri atau memang sudah mata gelap dan nekat. Biar pun kini
dia bertangan kosong, dia masih nekat menubruk maju untuk menyerang Sin Hong
dengan Hek-tok-ciang, yaitu pukulan yang lebih mirip cengkeraman dan
mengandalkan kuku-kuku jari tangan yang mengandung racun!
“Cappp!”
Sin Hong
menyambut dengan tusukan Cui-beng-kiam. Pedang itu hanya kurang lebih satu dim
saja memasuki dada Sin-kiam Mo-li lalu dicabutnya, namun cukup membuat nenek
itu terjengkang dan tewas seketika karena keampuhan pedang Cui-beng-kiam! Ia
tewas tanpa sempat mengeluh lagi dan setelah tewas, wajahnya nampak jauh lebih
tua dari pada ketika masih hidup. Hal ini adalah karena kecantikannya ketika
masih hidup tidak wajar, mengandalkan polesan bedak dan gincu.
Siangkoan
Liong semakin panik melihat robohnya Sin-kiam Mo-li. Agaknya dalam hati Suma
Ceng Liong timbul perasaan ragu untuk merobohkan pemuda itu. Ia merasa tak
pantas baginya yang tingkat, kedudukan mau pun usianya lebih tinggi dari pada
lawan untuk menekan dan merobohkan lawannya. Bagaimana pun juga, dia
menyayangkan kemudaan dan ketampanan Siangkoan Liong yang telah mempunyai
kepandaian cukup tinggi itu.
Melihat
sikap ini, Sin Hong dapat menyelami isi hati Suma Ceng Liong, maka dengan
Cui-beng-kiam di tangan, dia melompat maju dan berkata dengan nyaring,
“Locianpwe Suma Ceng Liong, harap suka memberikan Siangkoan Liong ini kepada
saya!”
Lega hati
Suma Ceng Liong melihat ada orang yang menggantikannya, apa lagi orang itu
adalah Sin Hong yang dia ketahui kelihaiannya dan masih sama mudanya dengan
Siangkoan Liong pula. Ia pun cepat meloncat ke belakang, membiarkan Sin Hong
yang menghadapi Siangkoan Liong.
Kedua orang
muda itu berdiri tegak, berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tajam.
“Siangkoan
Liong, selagi masih sempat kenanglah semua perbuatanmu yang penuh dosa!” kata
Sin Hong dan dia membayangkan wajah Kwee Ci Hwa.
Siangkoan Liong
tersenyum mengejek, “Tak ada perbuatanku yang pantas kusesalkan, Tan Sin Hong.
Selama ini aku sudah berjuang untuk membebaskan negara dan bangsa dari
cengkeraman penjajah, sebaliknya engkau menjadi anjing penjajah Mancu!”
Sin Hong
memandang dengan mata mencorong. “Masih ingatkah apa yang telah kau lakukan
terhadap mendiang Kwee Ci Hwa dan para wanita lain yang menjadi korban
kebuasanmu?”
Ditegur
seperti itu, wajah Siangkoan Liong berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, merah
karena malu dan marah. Ia melirik ke arah Li Sian yang memandang kepadanya
dengan mata mencorong dan kedua tangan terkepal, dan tahulah dia bahwa tidak
ada jalan keluar baginya.
“Sin Hong,
tutup mulutmu dan mari kita bertanding seperti laki-laki sejati!”
“Hemmm,
orang macam engkau masih hendak bicara tentang laki-laki sejati?”
Sin Hong
terpaksa menghentikan kata-katanya karena nampak sinar pedang berkilauan
meluncur dibarengi suara mengaum. Itulah Koai-liong Po-kiam yang sudah
digerakkan oleh Siangkoan Liong untuk menyerangnya. Namun dengan tenang saja
Sin Hong juga menggerakkan Cui-beng-kiam untuk menangkis dan dia pun membalas
serangan lawan dengan tidak kalah dahsyatnya.
Terjadilah
perkelahian tunggal yang seru dan mati-matian serta disaksikan oleh semua orang
yang hadir di situ. Menghadapi Sin Hong, Siangkoan Liong juga tidak berdaya,
karena seperti ketika menghadapi Suma Ceng Liong tadi, dia kalah
segala-galanya.
Kalau tadi
Suma Ceng Liong seperti mempermainkannya saja, dengan tangan kosong melawan dia
yang bersenjata pedang pusaka, sekarang Sin Hong sama sekali tidak main-main,
tidak mengalah, bahkan di tangan Sin Hong terdapat pedang yang tidak kalah
ampuhnya dibandingkan Koai-liong-kiam! Maka, setelah lewat dua puluh jurus
saja, Siangkoan Liong mulai terdesak hebat dan dia selalu main mundur, hanya
mampu mengelak atau menangkis saja tanpa sempat membalas serangan sama sekali.
Sin Hong
mendesak terus dan menggunakan Cui-beng-kiam untuk memainkan ilmu pedang
Ban-tok-kiam-sut. Meski pun ilmu pedang ini biasa dimainkan dengan pedang
Ban-tok-kiam, tapi dengan Cui-beng-kiam sekali pun Sin Hong dapat memainkan
ilmu pedang itu dengan baik.
Siangkoan
Liong berusaha untuk membela diri sebaik mungkin, namun di dalam suatu
perkelahian, tidak mungkin orang hanya selalu menangkis dan mengelak terus
tanpa mampu membalas serangan. Dan akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi,
ujung pedang Cui-beng-kiam melukai paha kanannya.
Seketika
kaki kanan itu menjadi lumpuh dan seluruh tubuh terasa dingin sekali. Kaki itu
pun membengkak dan Siangkoan Liong yang langsung melompat ke belakang melihat
bahwa keadaan dirinya takkan mampu tertolong lagi. Dia pun menggerakkan
Koai-long Po-kiam dan di lain saat, lehernya telah terbabat putus oleh pedang
Koai-liong Po-kiam!
Kun Tek
cepat menyambar pedang Koai-liong-kiam dari tangan Siangkoan Liong serta
membawanya menjauh, sedangkan Sin Hong menarik napas panjang, lalu mengambil
sarung pedang Cui-beng-kiam yang masih terselip di pinggang Sin-kiam Mo-li.
Ketika Kam Hong menyerahkan Ban-tok-kiam kepadanya, Sin Hong lalu mengambil
sarung pedang di punggung mayat Ouwyang Sianseng.
Setelah tiga
orang tokoh pimpinan pemberontak ini tewas, selesai sudah pertempuran itu. Para
pendekar tidak kembali ke sarang Tiat-liong-pang, di mana masih berlangsung
pertempuran berat sebelah antara sisa pasukan kaum pemberontak melawan pasukan
pemerintah.
Sebenarnya
tiada seorang pun di antara para pendekar yang ingin membantu pasukan
pemerintah. Jika tadi mereka menentang pemberontakan Tiat-liong-pang adalah
karena Tiat-liong-pang bukan memberontak demi kepentingan bangsa, namun dengan
pamrih untuk berkuasa. Dan selain itu, Tiat-liong-pang juga tidak segan-segan
untuk bersekutu dengan para tokoh sesat.
Setelah
kemenangan itu, para pendekar lalu berkumpul dan saling memperkenalkan diri,
kemudian mereka saling berpisah untuk kembali ke tempat asal masing-masing.
Cu Kun Tek
dapat membujuk Pouw Li Sian untuk ikut bersama dia pulang ke Lembah Naga
Siluman di barat, di mana dia akan memperkenalkan Pouw Li Sian sebagai calon
isterinya kepada orang tuanya. Pouw Li Sian yang sudah membalas cinta kasih
yang tulus dari Kun Tek, yang tetap mencintanya walau pun ia sudah berterus
terang bahwa dirinya sudah ternoda oleh Siangkoan Liong, kini menaruh
kepercayaan sepenuhnya kepada pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu.
Setelah kakak kandungnya yang merupakan sisa keluarganya terakhir tewas, gadis
ini tidak mempunyai seorang pun anggota keluarga, hidup sebatang kara di dunia
ini.
Suma Lian,
Gu Hong Beng, Sin Hong dan Kao Hong Li melakukan perjalanan bersama ke Tapa-san
untuk pergi ke tempat pertapaan Suma Ciang Bun, di mana Sin Hong menitipkan Yo
Han.
Gu Hong Beng
dan Suma Lian menghadap pendekar itu untuk melaporkan semua hasil pembasmian
gerombolan sesat itu dan juga Hong Beng hendak minta dukungan gurunya untuk
membicarakan urusan perjodohannya dengan Suma Lian, karena gadis itu kini
agaknya tidak akan keberatan lagi terhadap ikatan perjodohan yang dahulu telah
dipesankan mendiang nenek Teng Siang In.
Suma Ciang
Bun gembira bukan main menyambut empat orang muda itu, mendengar akan hasil
yang baik dari usaha para pendekar menumpas gerombolan pemberontak, terutama
sekali mendengar permintaan Hong Beng agar dia suka membicarakan urusan
perjodohan antara Hong Beng dan Suma Lian dengan orang tua gadis itu. Pada hari
itu juga, Suma Ciang Bun pergi mengunjungi rumah adik sepupunya, yaitu Suma
Ceng Liong di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.
Yo Han yang
kini dijemput oleh Sin Hong, juga merasa gembira walau pun dia juga menyesal
harus berpisah dari Suma Ciang Bun yang bersikap amat baik kepadanya, bahkan
telah mengajarkan dasar-dasar teori persilatan tinggi kepadanya. Sin Hong lalu
mengajak Yo Han bersama dengan Kao Hong Li pergi berkunjung ke rumah gadis itu,
yaitu rumah Kao Cin Liong ayah gadis itu di Pao-teng di sebelah selatan kota
raja.
***************
Kao Cin
Liong dan isterinya juga menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira, apa
lagi mendengar betapa para pendekar telah berhasil menumpas para tokoh sesat
yang bersekutu dengan gerombolan pemberontak. Kao Cin Liong berterima kasih
sekali kepada Sin Hong yang telah berhasil mendapatkan kembali kedua buah
senjata pusaka itu, terutama Ban-tok-kiam yang memang menjadi pusaka ibunya. Pada
saat Sin Hong menyerahkan kedua buah pedang pusaka itu, Kao Cin Liong hanya
menerima pedang Ban-tok-kiam saja.
“Biarlah
kami menyimpan Ban-tok-kiam sebagai peninggalan ibuku,” katanya kepada Sin
Hong, “Engkau boleh menyimpan Cui-beng-kiam itu, Sute, karena pusaka itu adalah
milik mendiang locianpwe Tiong Khi Hwesio yang menjadi suhu-mu pula.”
Sin Hong
menghaturkan rasa terima kasihnya kepada Kao Cin Liong, kemudian dia pun
berpamit dari keluarga itu. Walau pun sudah berusaha, Kao Cin Liong dan Suma Hui,
isterinya, tidak berhasil menahannya.
Sin Hong
menggandeng tangan Yo Han, mengajaknya keluar dari rumah pendekar Kao Cin Liong
yang masih terhitung suheng-nya itu. Ketika tiba di luar, di pekarangan rumah
itu, dia mendengar langkah kaki ringan dan dia menoleh.
Kao Hong Li
berdiri di depannya dan dia melihat betapa kedua mata gadis itu basah oleh air
mata dan agak kemerahan, tanda bahwa gadis itu menahan-nahan tangisnya. Dia pun
menatap tajam, diam-diam dia menyelidiki isi hati gadis itu dan Sin Hong dapat
merasakan getaran yang sama mendebarkan jantungnya ketika pandang mata mereka
saling bertemu dan bertaut.
“Kau... kau…
hendak pergi… Su... siok?” Suara Hong Li lirih dan gemetar.
Sin Hong
menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu dia
mengangguk. “Benar, Hong Li. Aku harus pergi bersama Yo Han karena akulah yang
bertanggung jawab atas anak ini dan harus mendidiknya.”
“Tapi...
engkau akan pergi ke manakah?” Gadis ini tahu benar bahwa keadaan Sin Hong
tiada bedanya dengan Yo Han, yaitu sebatang kara, tiada seorang pun keluarga,
tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!
Ditanya
demikian, Sin Hong tersenyum, senyum bebas, seperti bebasnya hatinya sebab dia
sama sekali tidak memikirkan hal itu, sama sekali tidak merasa khawatir.
“Ke mana
sajalah, Hong Li. Bukankah dunia ini cukup luas dan amat indahnya? Kami berdua
akan menyongsong matahari pagi yang muncul dari timur, kemudian mengikuti
tenggelamnya matahari senja di barat, atau menempuh semilirnya angin dari utara
atau selatan.”
“Tapi...
tapi engkau tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Bagaimana jika engkau...
dan Yo Han tinggal saja di sini? Akan kuminta kepada ayah dan ibuku untuk dapat
menerima kalian...”
Diam-diam
Sin Hong merasa terharu. Dia pun merasa betapa sangat menggirangkan hatinya dan
betapa ingin dia menyambut penawaran itu dengan baik, betapa ingin dia dapat
tinggal terus berdekatan dengan gadis yang gagah perkasa ini. Akan tetapi tidak
mungkin! Betapa dia akan merasa rendah diri! Menumpang tinggal di situ, makan
dan segala keperluannya bersandar pada keluarga Kao. Dan dia masih membawa
seorang murid lagi!
“Terima
kasih, Hong Li. Engkau... sungguh baik sekali. Percayalah, aku akan merasa
berbahagia sekali kalau tinggal di sini. Akan tetapi, bagaimana mungkin? Aku
seorang laki-laki, dan aku bahkan memiliki seorang murid, aku tentu akan merasa
rendah diri. Biarlah aku merantau dulu, mencari pengalaman hidup, mencari
kedudukan yang cukup pantas agar aku dapat mempunyai tempat tinggal yang
tetap...“
“Tapi...
tapi... kapankah kita dapat saling bertemu kembali, Susiok? Dan ke mana aku
harus mencarimu kalau... kalau aku ingin mengunjungimu?” Dalam suara ini
terkandung tangis yang ditahan-tahan sehingga Yo Han sendiri yang baru berusia
tujuh tahun itu sudah dapat merasakannya.
Jika Yo Han
yang sekecil itu sudah dapat mengerti akan perasaan Hong Li, tentu saja Sin
Hong pun bisa merasakan isi hati gadis itu melalui getaran-getaran yang
terkandung di balik ucapan dan isak tangis yang tertahan itu. Namun pemuda ini
segera sadar dan ingat akan keadaan dirinya, karena itu dia hanya menjawab
sesuai keadaannya itu pula.
“Terus
terang saja, sampai saat ini aku belum tahu ke mana aku akan pergi bersama Yo
Han. Akan tetapi, di bumi yang begitu lebar ini, aku tidak percaya kalau kami
sampai tak kebagian tempat untuk dapat sekedar berpijak dan berteduh. Kami akan
pergi ke mana pun kaki ini ingin melangkah, Hong Li…”
“Ahh,
Susiok…, lalu kapan… kapan kita akan bertemu lagi?” Hong Li bertanya di tengah
air matanya yang kini mulai dibiarkannya turun.
Gadis ini
sudah tahu bahwa saat perpisahan telah diambang waktu. Karena itu tanpa
malu-malu lagi dia melepaskan tangisnya di depan Sin Hong, sebab dia memang
tidak akan mampu lagi menahan air mata itu lebih lama.
“Entahlah,
Hong Li… entahlah…”
Itulah
kata-kata terakhir yang terdengar oleh Hong Li, kata-kata yang keluar dari
bibir Sin Hong dengan lirih sekali, sebab setelah itu Sin Hong menggandeng
tangan Yo Han dan berlalu dengan langkah gontai, tanpa tahu tujuan perginya.
***************
Sambil tetap
menggandeng tangan Yo Han, Sin Hong terus melangkah tanpa menoleh sampai mereka
keluar dari Pao-teng. Pemuda ini tidak ingin melihat cucuran air mata di pipi
murid keponakannya yang nampak penuh duka. Tanpa perlu sepatah kata pun, dia
sudah mengerti isi hati puteri suheng-nya itu.
“Ahh,
langkah kita berbeda dan jalan kita pun tak sama…, tidak mungkin kita bisa
sama-sama melangkah beriringan….,” bisik hatinya.
Sin Hong
benar-benar berjalan tanpa tujuan dan hanya menurutkan kemauan kakinya melangkah
saja, yang penting baginya adalah meninggalkan Pao-teng secepatnya. Yo Han
berjalan mengikuti suhu-nya, mengiringi sedikit di belakangnya sebab begitu
keluar dari batas dusun Pao-teng tangannya sudah dilepaskan oleh Sin Hong.
Karena itulah, dan disebabkan pula pemuda ini sudah terbiasa berkelana seorang
diri, maka Sin Hong tidak menyadari lagi akan keberadaan Yo Han. Pikirannya
mengembara mengenangkan dua wajah yang sama cantik jelita.
Pertama
terbayang di benaknya wajah Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong dan
isterinya, Kam Bi Eng. Selama hidupnya dapat dikatakan bahwa dara lincah jenaka
ini merupakan gadis pertama yang dekat dengannya. Sekian lama mereka melakukan
perjalanan bersama, bercakap-cakap dan saling bersenda gurau, sehingga hubungan
keduanya sudah bagaikan sahabat lama.
Lalu muncul
wajah gadis yang kedua, wajah Kao Hong Li yang cantik manis dan gagah perkasa,
puteri dari Kao Cin Liong dengan Suma Hui. Walau pun dia mengenal gadis itu
belum sedekat seperti dengan Suma Lian, namun secara hubungan justru Hong Li
lebih dekat dengannya. Dara ini adalah puteri suheng-nya, cucu dari dua di
antara tiga orang gurunya, atau dengan kata lain murid keponakannya sendiri.
Alangkah
mudah bagi dirinya untuk jatuh cinta kepada salah satu di antara dua gadis itu.
Keduanya sama cantik jelita dan berwatak gagah, sama memperlakukannya dengan
sangat baik dan manis budi, juga sama-sama keturunan pendekar sakti paling
terkenal pada jamannya, yang satu keturunan Pulau Es, yang satunya lagi bahkan
keturunan Istana Gurun Pasir, tempat di mana dia mempelajari semua
kepandaiannya.
Lalu dia
membandingkan dengan dirinya sendiri yang hanya seorang pemuda yatim piatu,
bahkan sebatang kara sama sekali, tanpa sanak tiada saudara, hanya putera dari
seorang piauwsu yang tak terkenal, dan sekarang hidup berkelana tanpa memiliki
apa pun. Ahhh…
Apa lagi
sudah jelas bahwa sejak kecil Suma Lian sudah ditunangkan, telah dijodohkan
oleh neneknya dengan Gu Hong Beng, suheng-nya sendiri, seorang pendekar tampan
yang gagah perkasa. Keadaan Hong Li bahkan lebih parah lagi. Dara ini adalah
puteri dari suheng-nya, cucu dari dua di antara guru-gurunya di Istana Gurun
Pasir, yang berarti masih terhitung sebagai murid keponakannya sendiri!
“Suhu, kita
hendak ke mana?” Yo Han yang berjalan di belakangnya, tiba-tiba bertanya.
Suara anak
itu menyeret Sin Hong kembali ke alam nyata.
“Ehhh… ohhh…
ke… luar kota!” katanya agak gagap karena pertanyaan itu demikian tiba-tiba.
“Kita merantau kemana pun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tak memiliki
tempat tinggal tetap, aku miskin tiada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan.
Apakah engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak punya apa-apa begini,
menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?”
“Mengapa
tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!” jawabnya dengan gagah
dan Sin Hong tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun
itu menuju ke selatan, sampai lama tidak berkata-kata.
“Suhu,
kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia pun amat
sayang kepada Suhu.”
Sin Hong
terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu.
Wajah yang tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.
“Yo Han,
bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?”
“Jelas
sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat
untuk berpisah. Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal saja di
sana sehingga Suhu selalu dapat dekat dengan enci Hong Li?”
Sin Hong
mengerutkan alisnya. “Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?”
Yo Han
menggeleng kepala. “Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di
mana pun menurut perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu.”
“Tidur di
dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?”
“Biar di
bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu.”
Sin Hong
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong hidup
baru! Tinggalkan semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi
semakin besar dan tabah karena ada engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala
tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!”
“Baik, Suhu,
teecu (murid) siap!” berkata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan,
melangkah dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan!
Setelah tiba
di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti sebentar
di sini. Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu.”
Melihat
sikap suhu-nya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon,
sedangkan Sin Hong ikut duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang
wajah muridnya, hatinya penuh rasa iba. Dia telah mengambil keputusan untuk
menceritakan semuanya kepada anak ini supaya dia tidak perlu menyimpan rahasia
lagi. Dia percaya seorang anak seperti Yo Han akan mampu menerima keadaan yang
bagaimana pahit pun.
“Yo Han,
engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu
silat?”
“Untuk
menjadi seorang yang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan
keadilan, Suhu.”
“Hemm,
tahukah engkau bahwa seorang gagah pertama-tama harus bisa mengalahkan
kelemahan hati sendiri? Bahwa seorang gagah berani menghadapi segala hal sulit,
dan tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam duka dan putus asa?”
Anak itu
mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik.
“Aku tahu, Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah
mereka telah tewas?”
Bukan main
anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk. “Mereka tewas
sebagai pendekar-pendekar perkasa, muridku!”
Dengan
singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para
pimpinan pemberontak dan betapa para pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis.
Setelah dia selesai bercerita, dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali
dan kedua matanya mencorong.
“Muridku,
seorang pendekar memang tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi
melepaskan perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!”
Baru saja
Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis
tersedu-sedu. Sin Hong membiarkannya saja, hanya mengelus kepala muridnya
sambil tersenyum. Tidak lama kemudian, dia sudah membimbing tangan muridnya dan
mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.
Pada suatu
hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini
adalah kota Lu-jiang. Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah
sungai mengalir menuju ke selatan di mana sungai itu akan menumpahkan airnya ke
dalam Sungai Yang-ce yang besar.
Sin Hong
tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan
yang merupakan bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apa
lagi ketika melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah
kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan sebuah
menara kecil tinggi. Dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti
di tempat itu untuk beberapa lamanya. Kadang-kadang ia membutuhkan tempat yang
baik untuk memberi pendidikan dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya.
Selama
perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali
dan tahu-tahu kini Yo Han sudah berumur kurang lebih sembilan tahun. Sudah
hampir dua tahun mereka merantau dan belum juga dia memperoleh sebuah tempat
yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal dan belum juga
dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan.
Karena dia
bukanlah orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat. Ada
kalanya mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapatkan makan,
dan bahkan pakaian mereka pun sudah mulai ditambal-tambal!
Sin Hong
membiarkan keadaan mereka seperti itu sebab hal ini merupakan gemblengan batin
bagi muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biar pun
pakaiannya sudah bertambal-tambal dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak
muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan pernah mereka berpuasa sampai dua
hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah mengeluh, hati Sin
Hong merasa semakin suka kepada anak itu.
Mereka
memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor,
di ruangan samping kiri. Tanpa diperintah Yo Han kemudian membersihkan tempat
itu, menyapu dengan daun-daun kering dan mengumpulkan jerami untuk menjadi
tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun ditiduri.
Sin Hong
mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkan uang itu kepada
muridnya. “Yo Han, pergilah ke kota dan beli makanan serta sedikit arak.”
“Baik, Suhu,
akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu
untuk dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?”
Sin Hong
tersenyum. Sama sekali tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak
itu selalu memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tak pernah
sedikit pun dia merasa bahwa kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban.
Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia menemukan seorang murid, seorang
kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur sebab anak itu amat pandai
memancing kegembiraannya.
Yo Han
lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tak pernah membikin
marah dan selalu siap melayani gurunya.
“Biarlah aku
sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan,
tentu sudah lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau
engkau ingin membeli buah-buahan segar untukmu, belilah. Boleh kau habiskan
uang itu membeli makanan.”
Yo Han mengangguk
dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan
cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari sana.
Kuil itu berada di atas bukit kecil dan dari sana dapat nampak kota Lu-jiang.
Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang matanya sambil tersenyum.
Yo Han tentu
saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber
saja karena suhu-nya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh. Dia
tahu bahwa suhu-nya amat sayang padanya dan bahwa suhu-nya adalah seorang
pendekar yang budiman. Jika suhu-nya membiarkan dia kurang makan, bahkan
kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak menganiayanya.
Suhu-nya
sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhu-nya menahan lapar
hanya untuk kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa makin
berterima kasih kepada gurunya itu, satu-satunya orang di dunia ini yang baik
padanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya!
Mengingat
kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke
kota, membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat
akan kesukaan dirinya sendiri. Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng
serta arak, kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah jeruk yang manis,
kesukaan gurunya!
Ketika
berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau
hanya lebih tua dua tiga tahun darinya sedang bermain-main di tepi jalan. Dia
tidak memperhatikan karena dia sedang melamun tentang apa yang akan dibelinya
untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan main ketika
terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit
kakinya!
Yo Han sudah
mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan
langkah-langkah kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Sekarang ketika dia merasa
betapa kakinya menjadi sasaran moncong anjing yang terbuka, dia cepat menarik
kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke arah perut
anjing yang tidak berapa besar itu.
“Hukkk!
Kaing... kaing...!”
Anjing itu
terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Saat itu barulah Yo Han tahu
bahwa yang ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan
bagus sekali!
“Keparat
kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang
tidak bersalah!”
Yo Han
menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi
jalan, kini sudah berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya
anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati menyesal.
“Tapi...
tapi... ia tadi akan menggigit kakiku...,“ dia membela diri.
“Menggigit?
Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu bermain-main. Ia tak pernah
menggigit, kalau menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan
kejam engkau telah menendangnya!” kata seorang di antara mereka yang terkecil,
yang kini telah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu sambil
mengelus-elus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Yo Han merasa semakin
menyesal.
“Maaf...
aku... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku
sambil menyalak, aku tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena
kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku.”
Dia teringat
akan nasehat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap
seorang anak kecil sekali pun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan
minta maaf.
“Enak saja
minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak
merasa nyeri lagi oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang
datang dari luar kota maka tidak mengenal kami dan berani berbuat kurang ajar!”
seorang di antara mereka yang paling besar membentak sambil bertolak pinggang,
usianya kurang lebih dua belas tahun.
Kini, Yo Han
melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas
seperti pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat. Kembali Yo Han
meminta maaf, sekali ini dia merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi
hormat.
“Saya merasa
bersalah dan saya menyesal sekali sudah lengah dan terburu nafsu, menendang
anjing kecil yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya.” Dia
mengatur kata-katanya dengan sopan dan merendahkan diri.
“Orang yang
melakukan kesalahan harus dihukum!” bentak orang ke dua yang usianya sebaya
dengan Yo Han. “Kau layak dipukul!”
Yo Han
menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasehat gurunya
masih bergema di telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah.
“Kalau
kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai
hukuman atas kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!” Dia
memanjangkan leher, memberikan mukanya untuk ditampar.
“Bagus kalau
kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!” kata anak terbesar. “Mari, Sute,
kita hajar anak jembel ini sampai dia bertobat!”
Yo Han yang
sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai
penebus kesalahannya, memejamkan kedua matanya dan bersiap menerima tamparan
yang bagaimana keras pun pada mukanya.
“Plakkk!
Dukkk! Desss...!”
Tubuh Yo Han
terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, menggoyang-goyang kepalanya
yang terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu
kali tamparan, akan tetapi juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang!
Yo Han
merasa penasaran sekali. Mereka itu sangat keterlaluan, pikirnya. Sekali maju
tiga orang menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan
kesalahannya tadi. Akan tetapi karena teringat akan kesalahannya, dia pun
menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang berdarah karena ujung bibir itu
pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.
“Aku sudah
menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang,” katanya.
Dia hendak
melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti
yang dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di
sentakkan ke belakang sehingga Yo Han hampir jatuh.
“Hemmm, kau
hendak lari ke mana? Tak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!”
Sepasang
alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut, sepasang mata itu mencorong
penuh selidik ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal
itu. “Bukankah kalian sudah memukul aku sebagai hukuman atas kesalahanku?
Kalian mau apa lagi dan mengapa menahan aku?”
“Kesalahanmu
ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami
tadi sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua belum
lunas, dan harus dibayar sekarang.”
“Kesalahan
yang mana lagi?” Yo Han bertanya penasaran.
“Engkau tak
menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah
murid-murid Ngo-heng Bu-koan, dan kau sudah bersikap kurang ajar kepada kami.
Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini, engkau harus berlutut dan menyebut
kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar itu.”
Wajah Yo Han
berubah merah. Suhu-nya selalu menekankan bahwa dia harus rendah hati dan
mengalah, akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini
jelas hendak menghinanya dan kalau dia mentaati perintah mereka, berlutut minta
maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu sewenang-wenang dan
sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.
“Aku tidak
mengenal siapa kalian, dan andai kata sudah mengenal sekali pun, aku tak biasa
menjilat orang yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tak merasa bersalah dengan
sikapku, maka sudahlah, aku masih banyak urusan dan harus pergi sehingga tak
dapat melayani kalian lebih lama lagi!” Berkata demikian Yo Han lalu
membalikkan tubuh dan hendak pergi.
“Jembel
sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!”
bentak anak terbesar.
Yo Han
maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan
tetapi pukulan anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya
kena tonjokan yang membuat tubuhnya terjengkang! Akan tetapi kali ini Yo Han
sudah marah sekali. Dia cepat meloncat bangun dan melihat seorang di antara
mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.
“Uukkk!”
Anak itu
kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju
mengeroyok dan anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut
mengeroyok.
Yo Han
dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya sudah pandai bermain
silat, sedangkan dia baru mempelajari langkah-langkah dasar saja. Melawan
mereka satu lawan satu saja belum tentu dia bisa menang, apa lagi dikeroyok
tiga. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka.
Akan tetapi
Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biar pun sudah
puluhan kali dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya
robek-robek, dia tidak pernah mengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia
bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian!
Hal ini
membuat ketiga orang lawannya menjadi bingung dan sedikit gentar. Mereka
mengira bahwa dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan
berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira, sudah puluhan kali jatuh, anak
itu tetap melawan. Apa lagi minta ampun, mengeluh pun tidak pernah!
Karena
gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan
menjambak rambut seorang di antara mereka, dia membanting anak itu,
menggumulnya dengan kedua tangan menjambak rambut dan dia membentur-benturkan
kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubi-tubi yang
dilakukan dua orang anak lain pada tubuhnya. Ia tetap menunggangi anak yang
dijambaknya, dan kepalanya terus dibentur-benturkannya di atas tanah.
Tiba-tiba
anak terbesar menolong sute-nya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya
dan menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han
gelagapan dan terpaksa melepaskan anak yang dijambaknya tadi. Anak itu sudah
mulai menangis dan daun telinganya robek dan berdarah.
Yo Han
meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan
menggigit pergelangan tangan anak yang memitingnya! Digigitnya sekuat tenaga.
Mulutnya merasakan darah yang asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar
itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Gigitan Yo Han baru terlepas sesudah
anak yang ketiga menghantam pelipisnya sehingga membuatnya pening.
Anak yang
digigit pergelangan tangannya tadi meloncat bangun dan menangis sambil memegang
lengan yang tadi digigit. Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, tetapi
karena khawatir melihat betapa dari pergelangan tangan yang tergigit itu
bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sute-nya juga bingung dan takut,
lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih.
Yo Han
berusaha membereskan pakaiannya, akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena
pakaian yang tua itu memang sudah compang-camping, maka akhirnya dia hanya
mengebut-ngebutkan bagian yang kotor oleh tanah dan debu saja.
Akan tetapi,
tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan
tidak menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah
robek dan uangnya entah jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat
itu, namun sia-sia. Karena tidak berhasil menemukan uang itu, akhirnya terpaksa
dia kembali ke bukit di mana suhu-nya menanti di kuil tua.
Sin Hong
sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran
karena alangkah cepatnya anak itu kembali. Akan tetapi keheranannya berubah
menjadi kekagetan melihat anak itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya
robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babak-belur.
Akan tetapi,
Sin Hong tetap bersikap tenang-tenang saja ketika dia bertanya, “Yo Han, apakah
yang telah terjadi denganmu?”
Yo Han duduk
di atas lantai, tepat di hadapan gurunya. “Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang
sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.”
“Hemmm, dan
pakaianmu robek-robek, tubuhmu babak-belur...“
“Teecu...
telah berkelahi, Suhu.”
Sin Hong
memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai
muridnya itu terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak
yang salah. Akan tetapi, dia telah berulang kali memberi nasehat supaya
muridnya itu menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan, maka kini dia
bersikap kereng.
“Ceritakan
semua!”
“Sebelum
tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat ada tiga orang anak sebaya teecu
bermain-main di tepi jalan. Mendadak ada anjing menyalak dan akan menggigit
kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit, teecu menendang perut anjing
itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing dan
tiga orang anak itu adalah pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng
Bu-koan. Mereka lalu marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan
mereka menghukum teecu. Mereka bertiga memukul teecu satu kali sampai teecu
roboh. Teecu sudah menerima hukuman yang keterlaluan itu dan hendak pergi, akan
tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai satu kesalahan
lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan.
Mereka mengharuskan teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak
pergi, kemudian mereka menyerang dan memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan.”
“Dan kau
kalah?”
“Mereka
bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani
pukulan dan tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu
tidak merasa bersalah, teecu melawan terus. Akhirnya teecu dapat menghajar
mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis.”
Sin Hong
terbelalak, memandang tidak percaya. “Mereka lari sambil menangis? Bagai mana
engkau menghajar mereka?”
“Teecu dapat
menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas
tanah. Ketika datang seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit
pergelangan tangannya. Darahnya keluar banyak sekali dan mereka lalu melarikan
diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu hilang dan harap Suhu
maafkan teecu.”
Sin Hong
menahan ketawanya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han
yang bernama Yo Jin itu sungguh-sungguh merupakan seorang pria yang amat
mengagumkan. Seorang petani dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu
silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang pendekar yang pandai
silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biar
pun diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada
Yo Han.
“Anak bodoh!
Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?”
Dibentak
demikian, Yo Han cepat menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Harap Suhu
maafkan teecu. Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!”
Sin Hong
tersenyum dalam hatinya. Anak ini memang hebat, pikirnya.
“Sudahlah,
Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu
adalah konyol. Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Jika tadi engkau
melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan menganggap engkau penakut. Orang
berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat tanpa
perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya
yang tidak dapat ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut,
namun dia menggunakan kecerdikannya. Berani membuta bukanlah gagah namanya,
melainkan bodoh dan konyol.”
“Maaf, Suhu.
Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak
pernah melupakan nasehat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andai kata
teecu tidak melawan dan melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut?
Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki kesaktian, bukankah kalau teecu
lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?”
Sin Hong
tersenyum. “Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri hanya
merupakan kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kau kira aku pelit dan tidak
suka mengajarkan silat kepadamu. Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar
memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan, bagaimana mungkin
engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai
puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki
kepandaian silat tinggi jika tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti
mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu silat, hanya penggemblengan
kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai
hari ini, aku akan mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan.”
Bukan main
girang hati Yo Han. Dia cepat memberi hormat sampai delapan kali untuk
menyatakan terima kasihnya.
Pada saat
itu, terdengar suara orang di luar kuil. “Kau yakin bahwa dia masuk ke dalam
kuil ini?” demikian terdengar suara seorang wanita.
“Benar, Suci
(Kakak Seperguruan). Sudah kutanya-tanyakan, dia berada di dalam kuil tua ini,”
terdengar jawaban seorang anak-anak.
“Heiii,
jembel busuk, keluarlah engkau!” Suara anak-anak itu berteriak.
“Wah, itu
adalah suara anak yang teecu gigit pergelangan tangannya, Suhu,” kata Yo Han
kepada gurunya, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut.
“Hemmm, mau
apa dia datang? Dan dengan siapa?” Sin Hong mengangkat cawannya dan minum air
teh yang masih panas. Mereka, guru dan murid itu, selalu membawa perabot masak
dalam buntalan pakaian mereka, juga mangkok, cawan dan sumpit.
“Entahlah,
Suhu. Mungkin dia minta digigit sebelah lengannya yang lain!” kata Yo Han
gemas. Gurunya mengerutkan alisnya, dan Yo Han lalu bangkit berdiri. “Suhu,
biarlah teecu menghadapi mereka.”
“Tunggu, Yo
Han. Jangan engkau membuat urusan menjadi semakin parah. Mari kita keluar
bersama, kita lihat apa yang mereka kehendaki.”
Sin Hong
bangkit dan bersama muridnya dia keluar dari ruangan samping itu, menuju ke
depan di mana dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga
belas tahun bersama seorang gadis yang bertubuh ramping padat.
Gadis itu
berusia kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas seperti pakaian
seorang ahli silat. Rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias oleh bunga
emas. Pakaian berwarna hijau muda yang berpotongan ringkas itu membuat tubuhnya
nampak menggairahkan. Akan tetapi melihat sepintas saja mudah diduga bahwa dia
seorang gadis yang gagah. Wajahnya manis dengan dagu runcing, mulut kecil dan
sepasang mata yang jeli dan tajam. Seorang gadis yang gagah dan cantik.
Dengan hati
yang merasa agak tidak enak karena dia harus menghadapi seorang gadis cantik
yang agaknya sedang marah, Sin Hong menghampiri mereka.
Begitu
melihat Yo Han, anak itu yang kini lengannya dibalut, berseru, “Itulah dia,
Suci! Itulah jembel busuk itu!”
Gadis itu
hanya sebentar saja memandang kepada Yo Han. Diam-diam ia mendongkol sekali
mengingat betapa tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan dikalahkan oleh seorang anak
laki-laki yang pakaiannya tambal-tambalan dan compang-camping, yang usianya dua
tiga tahun lebih muda dari sute-nya ini! Memalukan sekali, pikirnya.
Dia lalu
memandang kepada Sin Hong, memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang
usianya kurang lebih dua puluh empat tahun, berpakaian serba putih, bersih,
tapi juga ada tambalannya. Wajah pemuda itu biasa saja, tidak terlalu menarik,
juga tidak buruk, namun sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum ramah
membayangkan kehalusan watak.
Sin Hong
mendahului gadis itu, mengangkat dua tangan ke depan dada untuk memberi hormat.
Perbuatannya ini diturut oleh muridnya sehingga gadis itu kembali terheran
melihat betapa kedua orang jembel itu bersikap demikian sopan.
“Maafkan
kami, Nona. Apakah Ji-wi (Kalian berdua) datang untuk mencari kami?” Sin Hong
bertanya dengan sikap yang halus dan sopan.
Gadis itu
memandang bingung. Kalau yang menggigit dan menjambak para murid kecil
perguruan ayahnya hanya seorang bocah berusia kurang lebih sembilan tahun,
tentu saja ia tidak bisa turun tangan menghajarnya! Bagaimana mungkin ia harus
menyerang seorang bocah?
Dia adalah
Bhe Siang Cun, puteri dari ketua atau kauwsu (guru silat) perguruan silat
Ngo-heng Bu-koan! Bahkan kini dialah yang setiap hari membimbing dan mengajar
para murid perguruan silat itu mewakili ayahnya. Memalukan sekali kalau ia
harus berkelahi melawan seorang anak kecil berusia sembilan tahun!
Dia lalu
mengalihkan pandang matanya dan memperhatikan Sin Hong tanpa membalas
penghormatan pemuda itu. “Aku mencari bocah bengal ini. Apamukah dia?”
Ia melirik
kepada Yo Han yang menahan dirinya untuk diam saja sebab ia takut kepada
gurunya. Akan tetapi ia membalas pandang mata gadis itu dengan berani dan
sikapnya tenang sekali. Ia merasa tidak bersalah, maka sedikit pun tidak merasa
takut.
“Dia ini
adalah muridku, Nona. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan
hatimu, harap Nona suka memaafkan anak yang masih kecil ini.”
Mendengar
bahwa pemuda itu adalah guru dari anak nakal itu, legalah rasa hati Siang Cun.
Setidaknya ia akan dapat berurusan dengan gurunya, bukan dengan bocah itu.
“Bagus!”
katanya. “Engkau adalah gurunya maka harus engkau pula yang bertanggung jawab
atas kejahatannya! Biar pun dia masih kecil, akan tetapi dia jahat sekali.
Lihat apa yang telah dilakukannya terhadap sute-ku ini. Dia ini sute-ku, akan
tetapi akulah yang membimbing mereka, maka aku dapat juga disebut guru mereka.
Ketiga orang sute-ku ini telah luka-luka karena perbuatan muridmu yang jahat
ini. Lihat pergelangan tangan sute-ku yang ini digigit sampai terluka parah dan
banyak darah terbuang.”
Sin Hong menahan
senyumnya. Gadis itu lincah dan galak, menunjukkan sikap yang mengandung
kegagahan biar pun ada keangkuhan membayanginya. “Sekali lagi maaf. Muridku
telah bercerita kepadaku tentang perkelahian antara dia dan tiga orang
anak-anak yang usianya lebih tua darinya. Menurut dia, dia telah dihina dan
dikeroyok oleh tiga orang anak itu, maka dia membela diri...”
“Dia telah
menendang anjing peliharaan dan kesayangan kami!” Gadis itu memotong. “Sudah
sepatutnya jika dia dihajar atas perbuatannya itu! Dan kalau ia melawan secara
gagah dan benar, kami pun tidak akan ribut lagi. Kalau ketiga orang sute-ku
kalah oleh ilmu silatnya, aku hanya akan menegur murid-murid ini. Akan tetapi
muridmu ini jahat, menggunakan kecurangan, menggigit dan mencakar!”
Sin Hong
kini tersenyum. “Muridku ini sudah mengakui kesalahannya menendang anak anjing
itu karena kaget ketika diserbu oleh anjing itu, akan tetapi ketiga orang anak
itu mengeroyoknya. Muridku ini tidak pandai silat, mana mungkin menggunakan
ilmu silat untuk membela diri? Ia hanya bisa menggigit, mencakar, hanya untuk
membela dirinya yang dipukuli tiga orang anak. Harap Nona suka memaafkan kami
dan menyudahi saja urusan antara anak-anak kecil ini. Lihat, muridku juga sudah
babak belur. Tentu dia lebih banyak menerima pukulan dari pada para sute-mu,
dan dia lebih banyak menderita kesakitan.”
Diam-diam
Sin Hong merasa bangga melihat kenyataan betapa muridnya itu, biar pun lebih
banyak menerima hantaman, tapi tetap tenang dan tabah, tidak seperti anak yang
lengannya dibalut itu, kelihatan cengeng.
“Tidak
bisa!” Siang Cun membantah. “Jika tidak ada gurunya, aku hanya akan menegur
bocah bengal ini. Namun setelah ada gurunya yang bertanggung jawab, maka engkau
sebagai gurunya harus berani menghadapi akibat perbuatan muridmu dan
bertanggung jawab sepenuhnya!”
Sin Hong
mengerutkan alisnya. Gadis ini terlalu mendesak dan mau menang sendiri saja,
pikirnya. Akan tetapi dia masih tersenyum.
“Lalu apa
yang harus kulakukan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan muridku, Nona?
Tentu saja aku suka bertanggung jawab.”
“Para
sute-ku atau juga murid-muridku berkelahi dengan muridmu yang menggunakan
kecurangan. Kini, kita sama-sama guru atau pelatih masing-masing harus
menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul! Aku tantang kamu untuk
mengadu ilmu silat secara adil dan jujur, tidak menggunakan kecurangan.”
Setelah berkata demikian, Siang Cun sudah mengambil sikap, memasang kuda-kuda
ilmu silat perguruan ayahnya.
Ayahnya
adalah seorang ahli ilmu silat Ngo-heng-kun, dan ilmu silat tangan kosong ini
memiliki banyak sekali perkembangan sehingga dapat dipergunakan untuk memainkan
senjata apa pun juga. Sesuai namanya, Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) memiliki
lima macam sifat yang paling berlawanan dan juga saling membantu.
Ayah Siang Cun
yang bernama Bhe Gun Ek adalah seorang pendekar yang menguasai ilmu-ilmu silat
Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Penggabungan kedua aliran inilah yang
menciptakan Ngo-heng-kun seperti yang dimilikinya sekarang, yang berbeda dengan
Ngo-heng-kun dari Siauw-lim-pai mau pun Bu-tong-pai, akan tetapi yang
mengandung bagian-bagian terindah dan terlihai dari keduanya.
Ketika
memasang kuda-kuda ilmu silat Ngo-heng-kun, Siang Cun berdiri dengan kedua kaki
terpentang, yang kiri di depan, yang kanan di belakang, ditekuk agak menyerong.
Tubuhnya tegak, kedua lengannya melingkar di depan dada, membentuk tanda
Im-yang karena Im-yang merupakan inti dari Ngo-heng. Sikapnya gagah dan
kuda-kuda itu amat indah, membuat Sin Hong kagum dan tertarik.
Tentu saja
sama sekali dia tidak berniat untuk berkelahi apa lagi bermusuhan dengan gadis
itu atau siapa saja hanya karena perkelahian anak-anak maka dia pun tidak mau
melayani gadis itu.
“Nona,
maafkanlah kami. Aku tidak ingin berkelahi dan biarlah sebelum berkelahi aku
mengaku kalah padamu!”
Mendengar
ini, diam-diam Yo Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap gurunya orang
yang amat gagah perkasa, sakti dan tak mengenal takut. Akan tetapi mengapa
gurunya menerima saja sikap gadis ini yang demikian angkuh dan memandang
rendah? Dia tidak berani menegur gurunya, akan tetapi anak yang banyak akalnya
ini mengambil keputusan untuk menambah minyak pada api yang membakar dada gadis
itu agar gadis itu benar-benar dapat bertanding melawan gurunya!
“Bibi yang
baik...“ Dia berkata sambil melangkah maju mendekati Siang Cun.
“Aku bukan
bibimu!” bentak gadis itu, semakin marah karena ia merasa tidak pantas seorang
anak berusia sembilan atau sepuluh tahun menyebut ia bibi, padahal ia baru
berusia sembilan belas tahun.
Yo Han yang
memang sengaja, segera melanjutkan. “Ah, Enci yang baik, harap jangan
melanjutkan sikap Enci menantang Suhu-ku. Tidak tahukah Enci bahwa Suhu
bersikap mengalah kepadamu? Kalau Suhu menanggapi dan menyambut tantanganmu,
dalam beberapa jurus saja Enci tentu akan kalah...“
“Yo Han...!”
Sin Hong berseru, alisnya berkerut. Ia terkejut mendengar ucapan muridnya itu
yang demikian menyombongkan diri.
Yo Han
membungkam dan melangkah mundur, tetapi sudah cukup baginya. Akalnya itu
berhasil, karena wajah Siang Cun menjadi merah padam dan gadis itu sudah
menjadi marah sekali.
“Bagus,
kalian adalah orang-orang sombong! Nah, sambutlah seranganku, hendak aku lihat
apakah benar dalam beberapa jurus engkau mampu mengalahkan aku!” Berkata
demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah lagi, Siang
Cun sudah menyerang dengan cepatnya. Serangannya itu cepat bertubi-tubi
datangnya, dan setiap tamparan, tonjokan atau tendangan mendatangkan angin yang
kuat, tanda bahwa gadis ini memiliki kekuatan sinkang yang sudah lumayan
hebatnya.
“Plak-plak!
Wuuuuuttt...! Plak-wuuut-wuuuttt!”
Lima kali
berturut-turut Siang Cun mengirim serangan yang cukup dahsyat. Sin Hong yang
didesak itu hanya main mundur, menangkis atau mengelak. Ketika menangkis, dia
menyimpan tenaganya karena tidak ingin mencelakai gadis itu.
Akan tetapi
dia kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan
karena gadis itu ternyata memiliki sinkang yang kuat! Dan setiap serangan yang
dilakukan gadis itu pun dahsyat, cepat dan amat kuat sehingga dalam gebrakan
pertama saja tahulah Sin Hong bahwa gadis ini bukan seorang ahli silat
sembarangan saja, melainkan seorang yang telah mewarisi ilmu silat tingkat
tinggi.
Di lain
pihak, Siang Cun juga terkejut bukan main. Tadinya dia memandang rendah pemuda
berpakaian putih itu. Muridnya hanya pandai mencakar dan menggigit, tentu
gurunya juga hanya mempunyai ilmu silat pasaran saja. Tetapi, sungguh
mengherankan sekali betapa serangkaian serangannya yang termasuk jurus-jurus
cukup ampuh dapat dihindarkan pemuda itu dengan tangkisan dan elakan yang cukup
lincah! Dan biar pun ia tidak merasakan adanya tenaga yang kuat ketika pemuda
itu menangkis, namun pemuda itu pun tidak nampak terhuyung atau terdorong
mundur.
Ia menjadi
amat penasaran. Sekarang Bhe Siang Cun mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan serangkaian jurus-jurus simpanan dari Ngo-heng-kun untuk
merobohkan atau mengalahkan lawannya!
Sin Hong
semakin kagum. Kiranya gadis ini memang lihai sekali. Ilmu silatnya itu hebat,
selain cepat dan kuat, juga memiliki gaya yang indah dan daya serang yang
berbahaya. Terpaksa dia mulai menggunakan sinkang-nya jika dia tidak ingin
celaka atau benar-benar roboh di tangan gadis ini!
Kini Sin
Hong mulai memainkan ilmu silat gabungan antara Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan
Dewa) yang dipelajarinya dari seorang di antara tiga orang gurunya di Istana
Gurun Pasir, yaitu Tiong Khi Hwesio. Dia tidak memainkan Pek-ho Sin-kun, karena
ilmu ini terlalu hebat untuk dipakai main-main, dan hanya dia pergunakan kalau
terpaksa sekali menghadapi lawan yang amat tangguh.
Begitu dia
mainkan gabungan kedua ilmu silat sakti ini dan mengerahkan sinkang-nya,
beberapa kali Siang Cun mengeluarkan seruan kaget. Barulah ia tahu bahwa pemuda
berpakaian putih ini benar-benar lihai sekali dan ia pun kini merasa betapa
pemuda itu sejak tadi banyak mengalah dan jarang membalas serangannya, bahkan
main mundur saja. Padahal, setiap kali beradu lengan, ia merasa lengannya
kesemutan dan seperti hampir lumpuh disebabkan getaran hebat yang terkandung
dalam lengan pemuda itu. Mulailah ia merasa kagum, heran dan menduga-duga siapa
adanya pemuda yang amat lihai ini.
Sementara
itu, melihat betapa gurunya selalu menangkis, mengelak, dan selalu main mundur,
diam-diam Yo Han merasa khawatir juga. Dia percaya penuh kepada suhu-nya, yakin
akan kelihaian suhu-nya. Akan tetapi agaknya suhu-nya tidak mau
bersungguh-sungguh melawan gadis ini dan hal inilah yang membuatnya khawatir.
Ada pun anak
laki-laki yang dibalut lengannya, yang tadi digigitnya, kelihatan gembira
sekali. Anak itu lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan nada suara sombong.
“Gurumu itu
sebentar lagi tentu akan dipukul roboh oleh Suci!”
Yo Han
mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada bekas lawan itu. “Belum tentu!
Suhu-ku bukan orang yang mudah dikalahkan!”
“Hemmm, kita
lihat saja! Suci-ku adalah puteri dari suhu, ketua dari Ngo-heng Bu-koan yang
telah terkenal di seluruh dunia. Suci-ku gagah perkasa dan tak pernah
terkalahkan seperti seekor Naga Betina!”
Diam-diam Yo
Han mendongkol. Mana ada manusia dibandingkan naga? Bohong dan membual saja,
akan tetapi karena marah dia pun tidak mau kalah. “Apa anehnya Naga Betina?
Suhu-ku sama dengan Naga Emas!”
Mendengar Yo
Han menyebut Kim-liong (Naga Emas), tiba-tiba anak itu terbelalak dan wajahnya
berubah kaget dan agak pucat. “Dia... dia... dari Kim-liong?”
Tentu saja
Yo Han tidak mengerti apa yang dimaksudkan anak itu, akan tetapi karena sudah
terlanjur membual, dia pun mengangguk. “Tentu saja dia adalah Kim-liong. Kau
kira siapa?”
Sungguh
mengherankan sekali. Mendengar ini, anak itu lalu lari menghampiri suci-nya
yang sedang bertanding dan dia pun berteriak, “Suci, awas! Dia itu dari
Kim-liong-pang!”
Mendengar
ini, Siang Cun juga nampak terkejut dan ia pun cepat mencabut sepasang pedang
yang semenjak tadi tergantung di punggungnya. Dara ini memang tadi ingin
mengadu ilmu dengan Sin Hong, akan tetapi hal itu terdorong oleh rasa penasaran
saja. Ia tidak ingin bermusuhan pula, maka tidak pernah menggunakan senjata.
Akan tetapi
kini, begitu mendengar disebutnya Kim-liong-pang, ia menjadi marah dan kaget,
lalu seketika mencabut sepasang pedangnya dan membentak. “Keparat, kiranya
engkau jahanam dari Kim-liong-pang!”
Dan tanpa
memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah, Siang Cun kini sudah
memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan hebat! Gadis ini memang
mempunyai keahlian memainkan sepasang pedang. Ilmu pedangnya masih merupakan
perkembangan dari Ngo-heng-kun. Dengan bantuan ayahnya yang ahli, gadis ini
telah berhasil menciptakan ilmu pedangnya sendiri yang diberi nama
Ngo-heng-kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Unsur) yang hebat.
Sin Hong
terkejut sekali. Dia hendak menyangkal bahwa dia dari Kim-liong-pang, karena
memang ia sama sekali tidak tahu menahu tentang Kim-liong-pang. Akan tetapi
melihat permainan sepasang pedang yang indah dan ampuh itu, dia pun tertarik.
Seperti para
pendekar pada umumnya, ilmu silat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan Sin Hong. Ilmu silat merupakan kesukaannya, olah raganya,
keseniannya, bahkan pelindung dirinya. Maka, tiap kali mendapat kesempatan
bertemu tanding, hal ini merupakan suatu kegembiraan tersendiri. Apa lagi kalau
melihat ilmu silat lawan yang indah dan ampuh, tentu timbul keinginan hatinya
untuk menguji ilmu itu, atau juga untuk menguji kepandaian sendiri, apakah akan
mampu melawan orang yang memiliki ilmu yang indah dan ampuh itu.
Karena itu,
begitu melihat gadis itu memainkan sepasang pedangnya, timbul keinginan hati
Sin Hong untuk menguji ilmu itu dan dia pun segera memainkan Pek-ho Sin-kun!
Terjadilah
perkelahian yang amat indah ditonton, akan tetapi juga menegangkan karena nampaknya
amat berbahaya bagi Sin Hong. Dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar
dengan dahsyatnya, dibarengi suara berdesing.
Tubuh Sin
Hong lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan
sinar pedang. Sin Hong memainkan Pek-ho Sin-kun dengan cekatan sekali. Kedua
lengan ditelusuri tenaga sinkang yang amat hebat, yaitu sinkang gabungan yang
diterimanya dari ketiga orang gurunya, manusia-manusia sakti di Istana Gurun
Pasir.
Dengan
tangan dan lengan telanjang, pemuda ini sekarang berani menangkis pedang atau
senjata apa pun tanpa takut kalau kulit lengannya lecet! Kedua tangan itu
kadang-kadang membentuk moncong atau paruh burung bangau putih, lengan menjadi
leher yang panjang dan paruh itu dapat mematuk-matuk berupa totokan-totokan
pada jalan darah di tubuh lawan, bahkan lengan yang menjadi leher itu juga
dapat menangkis dan membelit senjata, mencoba merampasnya.
Kadang-kadang
kedua lengan itu menjadi seperti sepasang sayap burung dan gerakan tubuh pemuda
itu indah bukan main. Kadang-kadang, kedua kakinya membuat langkah yang lebar,
kadang-kadang pula geseran kakinya halus dan pendek-pendek, dan ada kalanya
tubuhnya itu meloncat tinggi seperti bangau terbang, dan dalam keadaan tubuh
melayang ini keempat buah kaki dan tangannya dapat melakukan serangan yang amat
dahsyat dari atas!
Akan tetapi,
seperti juga tadi, Sin Hong yang hanya ingin menguji ilmu pedang gadis itu
tidak bertindak sungguh-sungguh dalam serangannya, lebih banyak membela diri
saja. Jika dia menghendaki, mengingat bahwa tingkat ilmu kepandaiannya masih
jauh di atas Siang Cun, tentu dalam waktu yang tidak terlalu lama dia akan
dapat merobohkan gadis itu, atau setidaknya merampas sepasang pedangnya.
Namun, dia
tidak mau melakukan hal itu, karena kalau dia berbuat demikian, tentu akan
semakin besar kemarahan dan dendam gadis itu kepadanya dan permusuhan antara
mereka tentu akan menjadi-jadi. Dia kini dapat menduga bahwa selain marah
karena para sute-nya tadi dijambak dan digigit Yo Han, juga dalam urusan antara
dia dan gadis ini timbul suatu kesalah pahaman mengenai Kim-liong-pang yang
belum dikenalnya.
Sementara
itu, Bhe Siang Cun kini benar-benar terkejut. Bukan hanya karena seruan
sute-nya yang mengatakan bahwa pemuda berpakaian putih ini dari Kim-liong-pang,
akan tetapi kenyataan bahwa betapa dengan kedua tangan kosong, pemuda itu mampu
menghindarkan semua serangannya! Dan hebatnya, pemuda itu berani menangkis dua
pedangnya dengan tangan dan lengan begitu saja tanpa terluka atau lecet sedikit
pun!
Tak
disangkanya bahwa lawan ini demikian lihainya dan ia pun mulai merasa khawatir.
Jika lawannya ini dari Kim-liong-pang, maka ia tak mungkin bisa keluar dari
perkelahian itu dalam keadaan hidup! Tinggal dua pilihan, yaitu membunuh atau
terbunuh! Maka ia pun semakin nekat memutar pedangnya dengan cepat dan
mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.
Melihat
kenekatan gadis itu, Sin Hong merasa semakin khawatir. Perkelahian ini harus
dihentikan secepatnya, pikirnya. Maka, ketika pedang kanan dari gadis itu
menyambar dari atas ke bawah, dia menggeser kaki mundur dan ketika pedang itu
lewat, tangan kanannya menyambar bagaikan paruh bangau putih, dan tahu-tahu dua
jari tangannya ditekuk, yaitu telunjuk dan jari tengah, dan dua jari itu telah
menjepit pedang itu!
Bhe Siang
Cun sekuat tenaga menarik pedangnya, namun sia-sia. Pedang itu seperti terjepit
catut baja yang amat kuat!
“Sudahlah,
Nona. Hentikan pertandingan ini dan mari kita bicara!”
“Tutup
mulutmu! Aku tidak takut mati dan aku tidak sudi berunding dengan orang-orang Kim-liong-pang!”
Gadis itu menarik-narik lagi tanpa hasil.
“Nona, aku
bukan orang Kim-liong-pang!”
“Tak perlu
berbohong!”
Siang Cun
merasa gemas sekali karena pedangnya dijepit dua jari dan ia tidak mampu
menarik kembali, merasa terhina dan dipermainkan. Hampir tidak masuk di akal
kalau pedangnya dapat dijepit dua buah jari lawan tanpa ia mampu melepaskannya
kembali! Ia dianggap anak kecil yang tidak berdaya saja! Sambil membentak, kini
pedang di tangan kirinya membuat gerakan memutar dan membacok ke arah kepala
Sin Hong.
“Tranggg...!”
Gadis itu
terkejut karena pedang kirinya tertangkis oleh pedang kanannya sendiri, yang
terbawa oleh dua buah jari tangan yang membetotnya! Beberapa kali pedang
kirinya coba membacok, selalu ditangkis oleh pedangnya sendiri. Ia demikian
jengkel dan malu sehingga mukanya merah dan matanya panas. Hampir ia menangis!
Tiba-tiba
terdengar lagi suara anak yang dibalut lengannya itu berseru, “Suhu, dia orang
Kim-liong-pang!”
Dan pria
yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bhe Gun Ek, melihat betapa
puterinya dipermainkan oleh seorang pemuda yang amat lihai. Melihat betapa
dengan sepasang pedang di tangan Siang Cun masih dapat dipermainkan, tahulah
dia bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Orang
Kim-liong-pang banyak lagak!” serunya dan dia pun meloncat ke dekat dua orang
yang sedang tarik menarik pedang itu, dan dengan kedua tangan didorongkan,
Bhe-kauwsu (guru silat Bhe) menyerang Sin Hong.
Sin Hong
mendengar suara angin pukulan itu dan terkejut sekali. Itulah pukulan yang
mengandung tenaga sakti amat kuat dan amat berbahaya. Terpaksa dia lalu
mendorong sehingga tubuh Siang Cun terhuyung ke belakang, dan dia pun
cepat-cepat menyambut dorongan kedua tangan lawan baru itu dengan kedua
tangannya sendiri. Namun karena dia tidak bermaksud untuk mencari musuh, maka
dia tidak mau menyambut dengan perlawanan keras, melainkan menyambut dan mengatur
tenaganya untuk menyedot dan melumpuhkan tenaga dorongan lawan.
“Wuuuuuttt...!
Plak! Ahhh...!”
Bhe Gun Ek
terkejut bukan main sehingga mengeluarkan seruan sambil melompat jauh ke
samping ketika dia merasa betapa kedua telapak tangannya bertemu dengan dua
telapak tangan lawan yang lembut, dan merasa betapa tenaga sinkang-nya bagaikan
amblas masuk atau bertemu dengan benda yang lembut. Dia merasa khawatir kalau
sekali pukul dia mencelakai lawan yang belum dikenalnya siapa, walau pun tadi
anak itu mengatakan dia dari Kim-liong-pang, dan untuk menarik kembali
pukulannya sudah tak mungkin, maka jalan satu-satunya adalah melompat jauh ke
samping sehingga hal ini akan mengurangi daya pukulannya.
Namun,
alangkah terkejut dan herannya ketika dia melihat pemuda itu tidak apa-apa,
bergeming sedikit pun tidak, masih berdiri tegak bahkan tersenyum kepadanya.
Dia pun tahu bahwa pemuda itu memang lihai, maka dia lalu menghampiri.
“Orang muda
dari Kim-liong-pang, katakan dulu siapa namamu sebelum kita bertanding mati-matian
di tempat ini!” tantangnya.
Sin Hong
memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki yang gagah, berusia sekitar empat
puluh lima tahun. Tubuhnya sedang namun kokoh kuat membayangkan adanya tenaga
besar. Pakaiannya sederhana saja, seperti umumnya pakaian seorang guru silat
yang ringkas. Di pinggangnya nampak sebuah sabuk rantai dari baja sehingga Sin
Hong dapat menduga bahwa tentu orang ini ahli pula memainkan rantai baja yang
dipakai sebagai sabuk itu sebagai sebuah senjata yang ampuh. Ia lalu menjura
dengan hormat.
“Harap Paman
suka memaafkan saya. Sesungguhnya, saya sama sekali bukan orang Kim-liong-pang,
bahkan nama perkumpulan itu pun baru sekali ini saya dengar. Saya adalah
seorang perantau yang kebetulan saja hari ini tiba di sini dan memilih kuil tua
ini sebagai tempat tinggal sementara.”
Melihat
sikap sopan pemuda itu dan mendengar kata-katanya, Bhe Gun Ek menjadi heran.
Dia pun menoleh kepada puterinya. “Benarkah dia seorang dari Kim-liong-pang?”
tanyanya.
“Ayah, aku
pun hanya mendengar dari Ceng Ki!” jawab gadis itu sambil menoleh kepada
sute-nya yang lengannya dibalut. Kini Bhe Gun Ek memandang muridnya itu dengan
sikap kereng.
“Ceng Ki,
bagaimana engkau berani mengatakan bahwa dia ini orang Kim-liong-pang?”
Anak itu
nampak ketakutan berhadapan dengan Bhe Kauwsu yang memang terkenal galak
terhadap para muridnya dan mengharuskan para muridnya memegang peraturan dan
tidak melanggar. Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan menjawab pertanyaan
gurunya.
“Teecu...
teecu hanya mendengar keterangan muridnya itu...“
Sekarang Sin
Hong yang menjadi terkejut. “Yo Han, keterangan apakah yang telah kau berikan?”
tanyanya kereng.
“Teecu tidak
memberi keterangan bahwa Suhu adalah orang Kim-liong-pang,” Yo Han membantah
sambil memandang kepada Ceng Ki dengan mata melotot marah, “tadi dia mengatakan
bahwa suci-nya adalah Naga Betina, dan karena tak mau kalah teecu lalu
mengatakan bahwa Suhu tak akan kalah karena Suhu adalah Kim Liong (Naga Emas).
Teecu tidak tahu mengapa mereka lalu menganggap Suhu orang dari
Kim-liong-pang!”
Mendengar
ini, Sin Hong dan Bhe Gun Ek saling pandang. Guru silat itu mengangguk-angguk,
menarik napas panjang dan bertanya kepada puterinya. “Nah, engkau sudah
mendengar sendiri, semua ini hanya kesalah pahaman saja karena mulut anak-anak.
Lalu kenapa engkau menyerangnya mati-matian?”
“Begini,
Ayah. Mula-mula, aku melihat Ceng Ki dan dua orang sute-nya pulang dalam
keadaan luka-luka. Ada yang kepalanya benjol-benjol karena dibentur-benturkan
tanah, dan Ceng Ki sendiri pergelangan tangannya luka karena digigit sehingga
harus diobati dan dibalut untuk menghentikan darah yang banyak keluar. Dan
menurut cerita mereka, mereka baru berkelahi dengan seorang anak jahat yang
menjambak dan menggigit. Aku segera bersama Ceng Ki mencari anak itu dan
ternyata dia berada di sini dan anak itu adalah murid orang ini. Kami berdebat,
berselisih dan berkelahi.”
Bhe Gun Ek
mengerutkan alisnya. “Hemmm, hanya karena perkelahian anak-anak lalu engkau
membela sampai berkelahi dengan orang? Siang Cun, bukanlah itu keterlaluan
namanya?”
“Aku menjadi
marah melihat para sute itu, apa lagi Ceng Ki yang luka tergigit. Kalau mereka
berkelahi biasa saja dan kalah pandai, aku pun tidak ambil peduli. Akan tetapi
digigit!”
Sin Hong
melangkah maju dan memberi hormat. “Maaf, Paman, sesungguhnya urusan ini kecil
saja dan harap dihabiskan saja. Murid saya ini sudah minta maaf dan menyadari
kesalahannya, juga saya minta maaf untuk dia. Kami hanya dua orang perantau
yang tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun, karena itu, sekali lagi, harap
urusan kecil ini dihabiskan sampai di sini.”
Bhe Gun Ek
tadi sudah melihat betapa pemuda berpakaian putih ini mempunyai ilmu kepandaian
yang amat hebat. Dengan tangan kosong ia mampu menghadapi sepasang pedang
puterinya, bahkan dia juga melihat betapa kedua pedang itu tidak berdaya sama
sekali, yang sebatang dijepit dua buah jari dan dipakai menangkisi pedang yang
lain!
Bukan itu
saja. Dia sendiri tadi menyerang dengan pukulan tenaga sakti, tetapi secara
aneh dan mengejutkan dapat disambut oleh pemuda itu sebab tenaga pukulannya
bagai mengenai benda lunak yang membuat pukulan itu kehilangan kekuatannya.
Mendengar
semua keterangan itu, dia pun cepat membalas penghormatan Sin Hong.
“Orang muda
yang gagah, harap jangan terlalu merendahkan diri. Sepatutnya, kami dari
Ngo-heng Bu-koan yang harus meminta maaf. Sikap murid-murid kecil kami, juga
puteri kami tadi terhadap engkau dan muridmu sungguh tidak patut. Maafkanlah,
orang muda, dan tentu saja dengan senang hati kami menghabiskan urusan kecil
itu sampai di sini saja. Bahkan, perkenankan kami mengundang Ji-wi untuk
berkunjung ke rumah kami agar perkenalan ini dapat dipererat. Saya Bhe Gun Ek,
juga puteri kami ini, Bhe Siang Cun, dan semua murid Ngo-heng Bu-koan
mengundang Ji-wi untuk makan bersama di tempat kami.”
Sin Hong
merasa rikuh sekali. Dia memang menghargai sikap guru silat itu, akan tetapi
tentu saja dia merasa malu untuk hadir sebagai tamu, untuk dijamu makan,
mengingat bahwa dia dan muridnya tidak mempunyai pakaian yang pantas untuk
bertamu.
Akan tetapi sebelum
dia menolak dengan halus, tiba-tiba Yo Han berkata, “Wah, Suhu. Bhe-kauwsu yang
terhormat ini sungguh gagah perkasa dan baik hati sekali, cocok seperti yang
Suhu nasehatkan kepada teecu bahwa seorang gagah lebih dahulu akan mencari
kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain! Dan bersikap ramah
terhadap siapa pun juga tanpa memandang kedudukan atau harta benda. Suhu, teecu
senang sekali berkenalan dengan orang-orang gagah dari Ngo-heng Bu-koan!”
Mendengar
ucapan yang lantang dan keluar dari mulut seorang bocah berusia sembilan tahun,
Bhe Gun Ek memandang kagum dan tahulah dia mengapa bocah yang kabarnya tadi
hanya mampu menampar dan menggigit, bisa menjadi murid seorang pemuda yang
berilmu setinggi ini. Kiranya bocah ini baru menerima gemblengan batin yang
lebih dulu ditanamkan oleh gurunya sehingga sekecil itu sudah mempunyai jiwa
yang amat gagah perkasa!
Sedangkan
Sin Hong diam-diam mendongkol, tetapi juga hatinya merasa geli terhadap
muridnya. Dia tahu bahwa Yo Han kegirangan diundang makan, karena anak itu
masih menyesal sesudah menghilangkan uang dari gurunya tadi, dan kini gurunya
diundang makan, maka dia pun girang sekali. Gurunya sejak kemarin belum makan
dan dia pun demikian pula, dan perutnya sudah lapar sekali!
Bhe Gun Ek
tersenyum girang. “Wah, sungguh kami merasa berbahagia sekali, ternyata Ji-wi
guru dan murid merupakan orang-orang gagah yang mengagumkan.” Lalu kepada
puterinya dan Ceng Ki ia berkata, “Hayo Siang Cun, engkau minta maaf kepada
Taihiap (Pendekar Besar) ini, dan kau Ceng Ki, minta maaf kepada saudara kecil
yang gagah ini!”
Siang Cun
memang sudah tidak marah lagi setelah mendengar bahwa lawannya itu sama sekali
tak ada sangkut pautnya dengan Kim-liong-pang, bahkan ia merasa kagum bukan
main. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu tanding seorang pemuda yang
selihai ini. Maka, mendengar ucapan ayahnya, ia pun cepat memberi hormat kepada
Sin Hong.
“Saudara
yang gagah, harap maafkan kesalahanku tadi karena kurang pengertian.”
Sin Hong
cepat membalas penghormatan itu.
“Akan
tetapi, engkau sudah mengenal nama kami semua sedangkan kami sama sekali belum
mengenal namamu dan muridmu,” kata Siang Cun.
Sin Hong
tersenyum. “Nona, aku dan muridku hanyalah orang-orang pengembara yang tidak
tentu tempat tinggalnya, nama kami pun sama sekali tidak terkenal.”
“Enci yang
gagah, jangan percaya kata-kata Suhu. Dia dijuluki orang Pek-ho Enghiong
(Pendekar Bangau Putih)...“
“Yo Han!
Berapa kali kularang engkau menyombongkan diri?” Sin Hong membentak dengan muka
merah.
Muridnya itu
memang kadang-kadang nakal sekali, dan dia cepat menjura kepada Bhe Gun Ek dan
Bhe Siang Cun, berkata dengan sikap merendah. “Namaku Tan Sin Hong, dan muridku
yang bodoh dan bandel ini bernama Yo Han.”
Sementara
itu, ketika Ceng Ki memberi hormat dan minta maaf kepadanya, Yo Han cepat
berkata, “Sudahlah, jangan meminta maaf kepadaku, akan tetapi mintalah maaf
kepada suhu-mu karena engkau telah melanggar ajarannya yang baik.”
Kemudian,
kontan Yo Han berlutut di depan suhu-nya sendiri dan berkata, “Harap Suhu sudi
memaafkan kenakalan dan kebandelan teecu.”
Yo Han
memang cerdik sekali. Dia maklum bahwa dia telah membuat gurunya rikuh, maka
kini setelah memberi nasehat kepada Ceng Ki, dia pun cepat mendahului minta
maaf kepada gurunya sendiri.
Mendengar
ucapan Yo Han tadi, dan melihat anak itu minta maaf kepada gurunya, tentu saja
Ceng Ki merasa malu dan cepat-cepat dia pun menjatuhkan dirinya di depan kaki
gurunya dan mohon maaf atas kesalahannya. “Harap Suhu sudi memaafkan teecu yang
telah membuat keributan.”
Melihat ini,
Bhe Gun Ek tertawa bergelak dengan girang sekali. “Ha-ha-ha-ha! Memang banyak
untungnya bergaul dengan orang-orang bijaksana. Tan Taihiap, kami merasa amat
gembira dan beruntung sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan engkau dan
muridmu. Yo Han, terima kasih atas pelajaran yang telah kau berikan kepada Ceng
Ki! Marilah, Tan Taihiap, mari kita bercakap-cakap di rumah kami agar lebih
leluasa!”
Sin Hong
tidak dapat menolak lagi dan dia berjalan seiring dengan Bhe Gun Ek dan
puterinya. Yo Han mengiringkan di belakangnya, bersama Ceng Ki yang kini
bersikap manis kepadanya.
Sin Hong dan
muridnya disambut sebagai seorang tamu kehormatan. Pihak tuan rumah, dari Bhe
Kauwsu, puterinya sampai para murid utama yang ikut menyambut, bersikap hormat
kepada Sin Hong dan muridnya walau pun pakaian guru dan murid ini dihias
tambalan. Hal ini membuat Sin Hong amat tertarik dan juga kagum. Tahulah dia
bahwa dia berada di antara orang gagah sehingga hatinya merasa senang.
Dalam
perjamuan yang meriah, ketika mereka makan minum bersama di sebuah meja besar
yang terbuat dari meja disambung-sambung, yang duduk mengelilingi meja itu ada
belasan orang banyaknya termasuk murid-murid kepala, Sin Hong bertanya kepada
tuan rumah tentang Kim-liong-pang.
“Bhe Kauwsu,
aku masih merasa heran sekali ketika disangka aku adalah orang dari
Kim-liong-pang. Aku menduga agaknya ada permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan
Kim-liong-pang itu. Perkumpulan apakah Kim-liong-pang itu dan jika boleh aku
bertanya, mengapa terjadi permusuhan?”
Ditanya
demikian, wajah tuan rumah dan para muridnya mendadak menjadi muram. Setelah
beberapa kali menarik napas panjang, Bhe Gun Ek lalu berkata, “Kalau dipikir
memang membuat orang menjadi penasaran dan sakit hati, Tan Taihiap. Bayangkan
saja, Kim-liong-pang yang sarangnya berada di puncak bukit Kim-liong-san di
luar kota Lu-jiang ini, di pimpin oleh seorang sahabat baik, bahkan puteranya
menjadi tunangan puteriku Siang Cun ini. Akan tetapi, kini kami kedua pihak
telah menjadi musuh besar dan terjadi perkelahian yang mengorbankan banyak
murid-murid kami dan para anggota Kim-liong-pang sendiri.”
Tiba-tiba
seorang di antara para murid kepala bangkit berdiri dan sambil mengepal tinju
dia berkata, “Suhu, maafkan teecu! Membicarakan Kim-liong-pang telah membuat
teecu kehilangan nafsu makan dan sebaiknya kalau teecu tidak ikut mendengarkan.
Maka dari itu, perkenankan teecu mengundurkan diri, Suhu!”
Bhe Kauwsu
memandang kepada murid itu dan menarik napas panjang. “Aku dapat mengerti
perasaanmu, Hok Ci. Kuperkenankan engkau mengundurkan diri.”
Murid
Ngo-heng Bu-koan itu kemudian menjura ke arah Sin Hong. “Tan Taihiap, harap
maafkan saya.” Dan dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah lebar.
Sin Hong
memperhatikan murid itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun.
Tubuhnya sedang saja namun nampak kuat dan gesit. Wajahnya tampan namun ia
melihat keganasan membayang pada pandang matanya, sedangkan mulutnya selalu
tersenyum agak sinis.
“Kasihan
dia...!” kata Bhe Kauwsu. “Harap maafkan dia, Tan Taihiap. Di antara kami,
mungkin dia yang paling menderita akibat permusuhan dengan Kim-liong-pang.
Bahkan dialah yang mula-mula kehilangan seorang tunangannya yang mati terbunuh
oleh pihak Kim-liong-pang.”
Sin Hong
memandang tajam penuh selidik. “Apakah Kim-liong-pang perkumpulan orang jahat?”
“Sama sekali
tidak. Bahkan ketuanya, Ciok Kam Heng adalah bekas sahabat baikku, seorang
gagah yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Puteranya, Ciok Lim, tadinya
bahkan bertunangan dengan puteri kami Siang Cun. Sekarang tentu saja
pertunangan itu putus dan mereka menjadi musuh besar kami.”
“Tapi...
mengapa begitu?” Sin Hong penasaran.
“Engkau
sudah kami anggap sebagai seorang sahabat baik, Tan Taihiap, maka kami takkan
menyimpan rahasia. Baiklah, kami akan bercerita mengenai permusuhan itu.”
Bhe Gun Ek
lalu bercerita dengan singkat namun jelas. Dia adalah seorang ahli silat yang
banyak mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, bahkan
berhasil menggabungkan ilmu kedua partai persilatan itu dan menciptakan
beberapa macam ilmu silat sendiri, di antaranya yang paling hebat adalah
Ngo-heng-kun.
Pada saat
dia membuka rumah perguruan silat, dia memakai nama Ngo-heng Bu-koan karena
memang inti pelajaran yang dia berikan adalah Ngo-heng-kun. Bhe Gun Ek dan
isterinya hanya memiliki seorang anak, yaitu Bhe Siang Cun yang sudah mewarisi
ilmu ilmunya, bahkan gadis ini sudah membantu para suheng-nya, yaitu
murid-murid tertua dan utama dari ayahnya, untuk membimbing kepada para murid
muda.
Pada waktu
Siang Cun berusia delapan belas tahun, setahun yang lalu, Bhe Gun Ek menerima
pinangan seorang sahabatnya, yaitu Ciok Kam Heng, ketua Kim-liong-pang di
puncak bukit Kim-liong-san yang nampak dari kota Lu-jiang. Sudah lama dia
bersahabat dengan Ciok Kam Heng sehingga pinangan itu lalu diterima dengan senang
hati. Juga Siang Cu tidak membantah.
Putera
tunggal ketua Kim-liong-pang itu bernama Ciok Lim, kini berusia dua puluh lima
tahun. Dia seorang pemuda yang cukup ganteng dan memiliki ilmu silat yang
tinggi pula, bahkan dalam suatu pesta tahun baru, iseng-iseng kedua orang tua
mereka menguji ilmu kepandaian pemuda dan gadis ini.
Mereka yang
sudah ditunangkan itu mengadu ilmu, dan harus diakui oleh Siang Cun bahwa
tingkat kepandaian tunangannya itu sedikit lebih tinggi darinya. Hal ini
membuat hatinya senang, apa lagi dalam adu ilmu itu, Ciok Lim selalu mengalah
sehingga tidak membikin malu padanya.
Akan tetapi,
pada suatu malam, ketika Ciok Lim yang dijamu oleh Bhe-kauwsu pulang dalam
keadaan setengah mabuk, terjadilah hal yang amat mengerikan. Seorang murid
perempuan dari Ngo-heng Bu-koan yang bernama Bong Siok Cin, seorang gadis manis
berusia tujuh belas tahun, kedapatan tewas dalam keadaan telanjang bulat di
dalam hutan kecil di kaki bukit Kim-liong-san! Jelas bahwa gadis itu telah
diperkosa orang lalu dibunuh! Dan di antara pakaiannya yang berserakan akibat
direnggut dengan paksa dan robek-robek, para murid Ngo-heng Bu-koan menemukan
sebuah topi merah. Topi yang biasa dipakai oleh Ciok Lim!
Tentu saja
terjadi geger di kalangan murid Ngo-heng Bu-koan! Yang paling berduka dan marah
adalah Phoa Hok Ci, sebab Bong Siok Cin yang terbunuh dalam keadaan terhina dan
menyedihkan itu bukan lain adalah tunangannya! Meski Bhe Kauwsu membujuknya
supaya bersabar dan kematian murid itu perlu diselidiki dengan seksama, namun
Phoa Hok Ci tidak dapat menahan dendam sakit hatinya. Bersama tiga orang sute
yang ikut berbela sungkawa dan bersetia kawan ia kemudian pergi ke
Kim-liong-san, mendatangi perkumpulan Kim-liong-pang dan lantas menantang Ciok
Lim yang dituduhnya sebagai pemerkosa dan pembunuh!
Ciok Lim
yang keluar menemui empat orang murid Ngo-heng Bu-koan itu terkejut bukan main
dan tentu saja dia menyangkal keras.
Akan tetapi,
dengan sikap menantang dan dengan senyumnya yang sinis, Phoa Hok Ci yang
menaruh dendam hebat atas kematian tunangannya itu, segera bertanya. “Ciok Lim,
kami tidak menuduh membuta-tuli! Coba katakan, ke mana semalam engkau pergi
sampai larut malam?”
Ciok Lim
mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengenal Phoa Hok Ci, sebagai suheng dari
tunangannya, yaitu puteri Bhe Kauwsu. “Kukira semua murid Ngo-heng Bu-koan tadi
malam juga melihatku. Aku mendapat kehormatan dijamu minum arak oleh calon ayah
mertuaku, yaitu guru kalian. Menjelang tengah malam, aku pulang.”
“Dalam
keadaan mabuk, bukan?” Phoa Hok Ci mendesak.
“Aku tidak
pernah mabuk, dalam arti kata sampai tidak sadar. Memang aku telah minum
banyak, akan tetapi aku masih sadar dan dapat pulang, setibanya di rumah
langsung tidur.”
“Hemmm,
bagus sekali cerita karanganmu itu! Engkau dalam keadaan setengah mabuk,
bertemu dengan sumoi Bong Siok Cin di jalan. Engkau menggodanya dan tentu saja
ia bukan lawanmu. Engkau lalu menangkapnya dan membawanya sampai ke hutan di
kaki bukit Kim-liong-san, kemudian engkau memperkosanya! Dan oleh karena takut
gadis itu membuka rahasia kejahatanmu, engkau lalu membunuhnya!”
“Tidak
benar! Itu fitnah belaka!” bantah Ciok Lim dan ketika itu sudah banyak anggota
Kim-liong-pang yang keluar menyaksikan percekcokan itu. “Aku tidak bertemu
siapa pun dan dan tidak melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kau
tuduhkan.”
“Ciok Lim,
tidak perlu engkau menyangkal lagi. Semua bukti-bukti telah lengkap, maka aku
nasehatkan engkau supaya menyerah saja untuk kami tangkap dan kami bawa
menghadap suhu kami!” kata pula Phoa Hok Ci dengan muka merah dan mencorong
marah.
“Tidak! Apa
buktinya bahwa aku melakukan perbuatan jahat itu?” tantang Ciok Lim.
“Hemmm,
engkau masih hendak menyangkal dan mau melihat buktinya?” Phoa Hok Ci
mengeluarkan sebuah topi merah yang sejak tadi disimpannya di dalam saku
bajunya. Itulah topi yang ditemukan di antara pakaian Bong Siok Cin yang
berserakan. “Nah, lihat, topi siapakah ini?”
Sepasang
mata Ciok Lim terbelalak memandang kepada topi di tangan murid Ngo-heng Bu-koan
itu, dan wajahnya berubah. “Itu... itu memang topiku... semalam aku kehilangan
topiku itu! Ah, aku berada dalam keadaan setengah mabuk akibat terlalu banyak
minum sehingga aku lupa lagi di mana kutaruh topiku. Akan tetapi... bagaimana
topiku itu dapat berada di tanganmu?”
Mulut Phoa
Hok Ci semakin sinis menyeringai. “Hemmm, pandai berpura-pura pula! Ciok Lim,
tidak perlu engkau menyangkal lagi. Topi ini kami temukan di dekat mayat sumoi
Bong Siok Cin!”
“Suheng,
tangkap saja dia. Untuk apa banyak cakap lagi terhadap seorang pemerkosa dan
pembunuh yang amat keji?” teriak seorang murid Ngo-heng Bu-koan.
Phoa Hok Ci
lalu maju menyerang dengan pedangnya. Ciok Lim terpaksa membela diri dan
mencabut pedang pula. Ketika tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan maju, mereka
disambut oleh banyak murid atau anggota Kim-liong-pang.
Terjadilah
perkelahian dengan kekalahan di pihak empat orang murid-murid Ngo-heng Bu-koan!
Mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan sambil mengeluh
mereka mengadu kepada guru mereka.
Bhe Kauwsu
menjadi bingung. Memang murid perempuan dari perguruannya diperkosa dan dibunuh
orang, akan tetapi dia masih meragukan apakah benar calon menantunya yang
melakukan perbuatan keji itu. Bagaimana pun juga, topi merah itu ditemukan di
antara pakaian mendiang Siok Cin yang berserakan, dan semalam, ketika dia
menjamu minum arak kepada calon mantunya ltu, memang Ciok Lim memakai topi
merah itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment