Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 12
Pada saat
Bhe Gun Ek yang cukup bijaksana mengambil keputusan untuk mengunjungi
Kim-liong-pang dan akan mengadakan perundingan yang penuh kekeluargaan dengan
sahabatnya merangkap calon besannya, walau pun puterinya sendiri dan para
muridnya menyatakan tidak setuju, tiba-tiba muncul belasan orang anggota
Kim-liong-pang yang datang marah-marah serta memaki-maki Ngo-heng Bu-koan yang
katanya merupakan pembunuh curang! Bhe Gun Ek melarang puterinya dan para
muridnya yang hendak keluar menghajar orang-orang Kim-liong-pang, dan dia
sendiri lalu keluar, diikuti oleh Siang Cun dan banyak murid kepala yang masih
merasa penasaran.
Para anggota
Kim-liong-pang itu biasanya bersikap hormat kepada Bhe Kauwsu karena guru silat
ini adalah calon besan dari ketua mereka. Tetapi sekarang mereka bersikap lain
sama sekali. Mereka tetap berdiri tegak dan bertolak pinggang biar pun Bhe Gun
Ek sudah muncul dan berdiri di depan mereka!
Melihat
sikap ini, Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya, namun dia menahan sabar karena
maklum bahwa sikap mereka itu pasti ada sebabnya.
“Bukankah
Cu-wi para anggota Kim-liong-pang? Ada keperluan apakah Cu-wi datang berkunjung?
Apakah diutus oleh Ciok Pangcu (Ketua Pangcu)?” Bhe Kauwsu bertanya dengan
suara ramah.
“Bhe Kauwsu,
kami datang untuk menuntut balas atas kematian seorang sute kami yang tidak
berdosa! Sute kami dibunuh oleh seorang murid dari Kauwsu, maka sebaiknya jika
murid yang jahat itu diserahkan kepada kami!” kata seorang di antara mereka,
mewakili teman-temannya, dengan nada suara penuh kemarahan.
Bhe Kauwsu
mengerutkan alisnya lebih dalam lagi dan setelah menarik napas panjang dia
berkata, “Aih, apa lagi ini? Terbunuhnya seorang murid perempuan dari perguruan
kami belum juga diselesaikan, dan sekarang muncul tuduhan bahwa seorang anggota
Kim-liong-pang terbunuh oleh seorang muridku?”
“Bhe Kauwsu!
Kongcu kami sama sekali tak merasa melakukan pembunuhan terhadap murid
perempuan perguruan sini. Kongcu berani bersumpah...“
“Sumpah
palsu! Siapa pun juga dapat bersumpah palsu!” bentak Siang Cun. Gadis ini
sekarang amat membenci tunangannya dan hal inilah yang membuat para murid dari
Ngo-heng Bu-koan semakin bersemangat memusuhi pihak Kim-liong-pang.
“Sebaiknya
jika Kauwsu menyelidiki yang benar. Bukan kongcu kami yang membunuh. Akan
tetapi sekarang murid-muridmu telah membunuh seorang sute kami dengan amat
kejamnya! Mungkin sute dikeroyok, melihat betapa tubuhnya hancur dicacah-cacah
oleh bacokan senjata tajam. Sungguh-sungguh pembunuhan yang kejam dan sama
sekali tidak mengenal peri kemanusiaan!”
“Huhh!
Apakah pembunuhan terhadap sumoi Bong Siok Cin itu berperi kemanusiaan? Sebelum
dibunuh diperkosa lebih dulu! Perbuatan itu biadab dan lebih kejam lagi. Kalau
sampai ada seorang saudara seperguruanku membalas dendam dan membunuh salah
seorang anggota Kim-liong-pang, hal itu sudah sepantasnya!”
“Hok Ci,
diam kau! Dan Siang Cun, jangan kau mencampuri percakapan kami! Kalian
dengarkan saja!” Bhe Kauwsu membentak karena suara para muridnya itu hanya akan
memanaskan suasana saja.
Ia lalu
menghadapi orang-orang Kim-liong-pang itu dan berkata, “Cuwi menuduh bahwa
murid-murid kami sudah melakukan pengeroyokan dan pembunuhan terhadap seorang
anggota Kim-liong-pang. Apa buktinya bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh murid
dari perguruan kami?”
“Jenazah
sute diketemukan di luar tembok kota Lu-jiang, tubuhnya hancur dan di dekat
jenazahnya kami menemukan ini!” berkata anggota Kim-liong-pang sambil
menyerahkan sebuah bungkusan kain kuning panjang.
Bhe Kauwsu
menerima bungkusan itu yang berisi sebuah pedang panjang yang patah menjadi
dua. Dan di gagang pedang patah itu, jelas dapat dilihatnya ukiran dua huruf
berbunyi Ngo Heng, ukiran yang terdapat pada semua senjata di perguruannya,
senjata-senjata yang disediakan di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk
latihan!
Jelas bahwa
pedang itu adalah pedang milik Ngo-heng Bu-koan, dan siapa lagi yang
mempergunakannya kalau bukan seorang di antara para muridnya. Pedang itu
agaknya patah ketika dipakai berkelahi, maka dibuang begitu saja dan ditemukan
sebagai tanda bukti bahwa pembunuh anggota Kim-liong-pang adalah orang Ngo-heng
Bu-koan!
Bhe Kauwsu
menoleh kepada para muridnya, wajahnya berubah merah. Dengan suara yang
mengandung wibawa dia bertanya, “Siapa di antara kalian yang mempergunakan
pedang ini? Hayo mengaku sebagai seorang gagah yang selalu siap mempertanggung
jawabkan perbuatannya!”
Akan tetapi
tak seorang pun di antara murid-muridnya yang menjawab atau mengaku. Semuanya
berdiam diri. Kemudian Siang Cun berkata dengan suara mencela. “Ayah, apakah
Ayah perlu mendengarkan fitnah yang mereka lontarkan kepada kita?”
Pimpinan
anggota Kim-liong-pang berkata dengan nada suaranya mengejek, “Hemmm, Bhe
Kauwsu, tiada muridmu yang berani mengaku. Mereka itu pengecut, sudah berani
berbuat tidak berani bertanggung jawab.”
“Tutup
mulutmu yang bau busuk!” Tiba-tiba Siang Cun meloncat ke depan, menghadapi
anggota pimpinan Kim-liong-pang itu dengan marah sekali. “Tuan mudamu sudah
jelas memperkosa dan membunuh saudara kami, dan ada bukti topinya yang
ketinggalan, akan tetapi dia menyangkal. Dialah yang pengecut besar! Dan kini
kalian membalikkan kenyataan? Lagi pula andai kata ada di antara kami yang
membunuh sute-mu, hal itu sudah tepat, karena orang-orang macam kalian ini
memang patut dibasmi!”
“Siang
Cun...!” Ayahnya mencegah, akan tetapi percuma karena kedua pihak sudah saling
terjang dan saling serang.
Terjadilah
pertempuran antara belasan orang anggota Kim-liong-pang melawan para murid
Ngo-heng Bu-koan yang jumlahnya jauh lebih banyak! Bhe Kauwsu tidak dapat
mencegah lagi, maklum bahwa orang-orang muda kedua pihak itu sudah dibakar oleh
kemarahan dan sakit hati. Dia merasa sedih sekali, akan tetapi mengambil
keputusan untuk tidak campur tangan sendiri, maka dia lalu mengundurkan diri
dan masuk ke dalam kamarnya.
Perkelahian
keroyokan yang berat sebelah itu tentu saja berakhir dengan kekalahan pihak
Kim-liong-pang yang jauh lebih sedikit jumlahnya. Apa lagi pada pihak Ngo-heng
Bu-koan terdapat Siang Cun yang sungguh amat lihai. Akhirnya, belasan orang
anggota Kim-liong-pang itu terpaksa melarikan diri sambil membawa lari
teman-teman mereka yang terluka parah. Masih untung Siang Cun melarang
teman-temannya yang hendak melakukan pengejaran.
“Biarkan
mereka pergi!” teriaknya. “Ketika sebagian dari kalian datang ke sana, kalian
dikalahkan akan tetapi tidak ada seorang pun di antara kalian yang terbunuh.
Biarlah kali ini kita membalas kekalahan itu dan biarkan mereka pulang melapor
kepada ketua mereka!”
Sin Hong dan
Yo Han mendengarkan cerita dari Bhe Gun Ek dengan hati tertarik sekali. Bhe Gun
Ek menarik napas panjang berulang kali, wajahnya nampak berduka dan dia pun
melanjutkan.
“Demikianlah,
Tan Taihiap. Sejak penyerbuan itu, terjadi permusuhan di antara Bu-koan kami
dan Kim-liong-pang. Beberapa kali aku hendak menghubungi Ciok Pangcu, akan
tetapi selalu para murid kedua pihak yang mencegah, mereka sudah dibakar emosi,
bahkan sejak itu, sudah berulang kali terjadi perkelahian, bahkan sudah belasan
orang dari masing-masing pihak jatuh tewas sebagai korban perkelahian terbuka
mau pun pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan secara diam-diam karena dendam.”
“Hemmm, jadi
itulah kiranya yang menyebabkan kesalah pahaman antara aku dan nona Bhe Siang
Cun? Aku sudah disangka seorang dari Kim-liong-pang dan karenanya harus
dibunuh?”
Wajah gadis
itu menjadi kemerahan. “Ada berita bahwa pihak Kim-liong-pang sedang mengundang
jagoan lihai untuk menghadapi kami, karena itulah aku mudah menaruh curiga
kepada seorang asing.”
“Akan
tetapi, Bhe Kauwsu, apakah semenjak peristiwa pertama, yaitu kematian murid
perempuan dari perguruanmu itu, engkau tak pernah mengadakan hubungan langsung
dengan Ciok Pangcu?”
Guru silat
itu menarik napas panjang. “Itulah salahnya. Bagaimana pun harus kuakui bahwa
ada rasa sakit di dasar hatiku akibat perkosaan dan pembunuhan terhadap salah
seorang muridku, dan karena pelaku kejahatan itu ialah putera Ciok Pangcu, yang
juga telah menjadi calon menantuku, tentu saja aku merasa amat tidak enak untuk
menemui dan membicarakannya. Ditambah lagi dengan sikap bermusuhan yang
berlarut-larut dari anggota dan murid kedua pihak, maka sekarang sudah tidak
mungkin lagi bagiku untuk mengadakan pertemuan secara damai dengan Ciok Pangcu.
Bahkan akhir-akhir ini ada berita bahwa pihak Kim-liong-pang hendak mengundang
jagoan yang lihai, kemudian akan menantang kami untuk mengadakan pertempuran
secara terbuka.” Guru silat itu kelihatan penasaran dan berduka.
Sin Hong
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ah, jika keadaan sudah demikian parah, sukar
untuk dicari jalan damai.”
Tiba-tiba Yo
Han bangkit berdiri. “Suhu, ada kemungkinan ke tiga dalam urusan ini yang
agaknya dilupakan orang...”
“Hushhh! Yo
Han engkau anak kecil tahu apa? Jangan ikut campur!” bentak Sin Hong terkejut.
Dia rikuh sekali melihat betapa muridnya demikian lancang untuk mencampuri
urusan yang demikian besarnya.
Mendengar
bentakan gurunya, Yo Han diam dan duduk kembali. Tetapi Bhe Kiauwsu merasa amat
tertarik mendengar ucapan Yo Han tadi. Pemuda yang menjadi tamunya itu seorang
yang berilmu tinggi, tentu muridnya juga bukan anak sembarangan. Sikap bocah
itu saja sudah menunjukkan bahwa dia cerdas sekali.
“Aih, Tan
Taihiap, agaknya muridmu mempunyai pandangan yang amat penting sekali.
Biarkanlah dia bicara. Anak baik, apakah kemungkinan ke tiga yang agaknya telah
kami lupakan itu? Katakanlah.”
Yo Han
melirik ke arah suhu-nya. “Suhu, bolehkah teecu bicara?”
Sin Hong
menahan senyumnya. Dia tahu bahwa muridnya itu, walau pun usianya baru sembilan
tahun, namun mempunyai kecerdikan luar biasa, bahkan dapat mengikuti jalan
pikiran orang dewasa. Dia tahu bahwa pandangan anak itu kadang-kadang tajam dan
tidak ngawur. Kalau tadi dia terkejut dan rikuh adalah karena muridnya itu
dianggapnya lancang mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan permusuhan
yang demikian pentingnya, yang sudah mengorbankan banyak nyawa dan yang membuat
tuan rumah berduka sekali.
“Yo Han,
benarkah apa yang akan kau katakan itu penting sekali? Kalau tidak penting
jangan bicara!”
“Suhu, teecu
tidak berani main-main. Teecu tahu ada waktu untuk main-main dan ada waktu
untuk bersungguh-sungguh, dan apa yang akan teecu katakan ini menurut teecu
penting sekali,” kata Yo Han sambil bangkit berdiri lagi.
“Kalau
begitu, bicaralah,” kata Sin Hong, percaya sepenuhnya kepada murid yang baru
berusia sembilan tahun lebih itu.
Semua mata
ditujukan kepada Yo Han dengan penuh perhatian, namun anak itu sama sekali tak
nampak gugup walau pun yang memandangnya adalah orang-orang dewasa.
“Begini,
Suhu dan para Paman yang terhormat, juga engkau, enci Siang Cun. Aku telah
mendengarkan semua percakapan tadi dan aku membayangkan adanya hal-hal aneh
dalam peristiwa ini. Menurut nalar, kalau Ngo-heng Bu-koan tadinya bersahabat
erat dengan Kim-liong-pang, bahkan ada pengikatan perjodohan, hal itu dapat
dianggap bahwa tentu Kim-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah pula, bukan
perkumpulan penjahat. Maka, andai kata benar bahwa putera ketua Kim-liong-pang
yang melakukan perkosaan dan pembunuhan itu, tidak mungkin orang tuanya dan
juga perkumpulannya yang menjunjung tinggi kegagahan akan membelanya! Kalau
mereka membela mati-matian sampai mengorbankan nyawa, tentu mereka merasa yakin
bahwa mereka itu benar! Seperti halnya Ngo-heng Bu-koan sendiri yang menyangkal
keras ketika dituduh telah membunuh seorang anggota Kim-liong-pang dan ada
pedang Ngo-heng Bu-koan ditemukan di dekat mayat anggota Kim-liong-pang itu.”
“Tapi itu
fitnah!” Siang Cun berseru.
“Akan tetapi
ada bukti pedang...,“ Yo Han berkata dengan maksud memancing.
“Ahh, pedang
itu bukan bukti mutlak. Bisa saja pedang kami dicuri orang dan dijadikan bukti
palsu!” Gadis itu membantah lagi.
“Nah, justru
ini yang menjadi maksudku, enci Siang Cun. Fitnah dan bukti palsu! Kalau pedang
Ngo-heng Bu-koan dapat dicuri orang dan dijadikan bukti palsu, bukankah topi
dari putera Kim-liong Pangcu itu pun dapat dicuri orang dan dijadikan bukti
palsu pula? Nah, kemungkinan ke tiga yang kumaksudkan adalah fitnah dan bukti
palsu itu! Siapa tahu, ada orang ke tiga yang bermain curang di sini, yaitu
menjatuhkan fitnah kepada putera Ciok Pangcu, kemudian menjatuhkan fitnah sana
dan fitnah sini untuk mengadu domba...“
“Tidak
mungkin!” seorang murid Ngo-heng Bu-koan bangkit berdiri dan membantah dengan
suara keras. “Siapa orang yang mau melakukan perbuatan gila itu dan apa
maksudnya?”
“Itulah yang
harus diselidiki,” kata Yo Han dengan sikap serius. “Aku tadi hanya mengatakan
kemungkinan ke tiga, mungkin terjadi demikian mungkin juga tidak.”
“Luar
biasa...!” Tiba-tiba Bhe Kauwsu berseru, matanya terbelalak memandang kepada Yo
Han. “Tan Taihiap, muridmu ini sungguh seorang anak yang luar biasa cerdiknya!
Kemungkinan itu memang ada! Bagaimana tak pernah terpikirkan oleh aku yang
sudah setua ini?”
“Ah, Bhe
Kauwsu terlalu memuji!” kata Sin Hong merendah walau pun di dalam hatinya dia
merasa bangga dan juga kagum karena dia melihat adanya kemungkinan besar dalam
ucapan muridnya tadi. “Yo Han hanya ngawur saja.”
“Tidak,
tidak! Kemungkinan ke tiga itu memang ada! Ahh, kenapa aku tidak menduga akan
hal itu dan siang-siang mengadakan perundingan dengan Kim-liong-pang? Harus
segera diadakan perundingan itu untuk bersama-sama melakukan penyelidikan akan
adanya kemungkinan ketiga itu!”
“Akan
tetapi, Suhu. Keadaan sudah begini meruncing, kedua pihak sudah kehilangan
banyak anggota yang roboh tewas, dan sakit hati telah semakin bertumpuk,
bagaimana mungkin Suhu dapat mengadakan perundingan dengan pihak
Kim-liong-pang? Teecu kira mereka tidak akan mau menerima uluran tangan Suhu.”
kata pula murid Ngo-heng Bu-koan itu.
Bhe Kauwsu
mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, memang sekarang sudah amat terlambat.
Sayang baru sekarang ada anak cerdik ini yang mengingatkan, kalau dulu sebelum
jatuh banyak korban...“
“Bhe Kauwsu,
dalam keadaan seperti ini, memang tidak baik bahkan berbahaya kalau engkau
sendiri yang pergi ke sana, mungkin akan menambah panasnya suasana dan
menimbulkan kesalah pahaman kedua pihak. Biarlah saya yang akan mewakilimu
pergi menghadapi pimpinan Kim-liong-pang untuk membicarakan kemungkinan ke tiga
itu, menawarkan perdamaian dan kerja sama untuk menyelidiki persoalan ini.”
“Ahh, kalau
Taihiap suka, sungguh kami merasa beruntung dan berterima kasih sekali!” kata
guru silat Bhe dengan girang.
“Akan
tetapi, Suhu. Apakah hal itu tidak akan merendahkan nama dan kehormatan Suhu
khususnya dan para murid Ngo-heng Bu-koan pada umumnya? Mereka yang lebih
dahulu memulai permusuhan dan penghinaan yang teramat besar, memperkosa murid
perguruan kita dan membunuhnya. Sudah patutkah kalau sekarang pihak kita yang
melakukan pendekatan untuk berdamai? Kita akan dianggap takut!” yang bicara ini
adalah seorang murid kepala lain dari Ngo-heng Bu-koan dan semua murid yang
hadir dalam perjamuan makan itu mengangguk-angguk menyatakan setuju. Kini yang
mereka bela bukan hanya kebenaran, melainkan juga nama dan kehormatan perguruan
mereka.
Mendengar
ucapan murid kepala ini, Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya dan dia pun
mengangguk-angguk. Dia menjadi ragu! Jika dipikirkan, yang memulai permusuhan
itu memang adalah pihak Kim-liong-pang, maka kalau kini pihak Ngo-heng Bu-koan
yang membuat langkah pertama ke arah perdamaian, seolah-olah pihak Ngo-heng
Bu-koan merasa takut! Dia memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata
ragu-ragu.
“Ucapan
murid kami itu memang benar, Tan Taihiap. Permusuhan antara perguruan kami dan
Kim-liong-pang sudah terlampau berlarut-larut. Sudah banyak korban kedua pihak
berjatuhan. Kalau sekarang tiba-tiba Taihiap muncul sebagai utusan kami untuk
mengajak damai, sungguh, hal itu dapat disalah artikan, disangka bahwa kita
takut atau lebih celaka, kita disangka benar-benar bersalah.”
Sin Hong
mengangguk-angguk, di dalam hati bisa membenarkan pendapat itu. Memang serba
salah. Didiamkan, maka permusuhan itu akan semakin menghebat, tapi kalau dia
mendamaikan, maka akan tersinggung kehormatan dan nama Ngo-heng Bu-koan.
Tiba-tiba
terdengar suara Yo Han, nyaring dan bersungguh-sungguh.
“Ada jalan
yang baik!”
Kembali
semua orang memandang kagum, hanya Sin Hong yang mengerutkan alisnya,
menganggap muridnya itu terlalu lancang walau pun di dalam hati ia makin
mengagumi muridnya itu yang ternyata diam-diam memperhatikan percakapan dan
bahkan turut memikirkan dan mencari jalan keluar! Akan tetapi sebelum dia
menegurnya, Bhe Gun Ek sudah menanggapi.
“Anak yang
baik, ada akal apa lagikah di dalam kepalamu yang luar biasa cerdik itu?
Katakanlah!”
Yo Han
mengerling kepada suhu-nya dan memandang dengan sinar mata seolah-olah minta
perkenan!
Sin Hong
tersenyum melihat ini. Bagaimana pun juga, muridnya yang lancang ini sama
sekali tidak bermaksud menyombongkan dirinya, bahkan selalu minta
persetujuannya. Dia pun mengangguk dan berkata, “Kalau engkau memang ada
pendapat yang baik, katakanlah.”
Yo Han lalu
bangkit berdiri. Dengan wajah bersungguh-sungguh dia berkata, “Pendapat Bhe
Kauwsu memang benar. Permusuhan itu sudah terlalu meruncing sehingga kalau yang
mendamaikan itu anggota atau utusan dari salah satu pihak, tentu mendatangkan
perasaan rendah diri. Akan tetapi jika Suhu bertindak atas nama sendiri,
sebagai orang luar yang berusaha mendamaikan antara kedua sahabat yang kini
bermusuhan, saya kira tidak akan mendatangkan perasaan tidak enak. Dan saya
yakin kalau Suhu mau turun tangan mendamaikan, tentu akan membuat pihak
Kim-liong-pang dapat menerima alasan dan juga mau bekerja sama untuk melakukan
penyelidikan akan kemungkinan adanya pihak ketiga itu.”
Bhe Gun Ek
bertepuk tangan dengan hati girang dan mereka yang hadir tersenyum dan
mengangguk-angguk. Juga Bhe Siang Cun segera berkata, “Adik Yo Han memang luar
biasa sekali, entah gurunya akan mau melaksanakan usulnya ataukah tidak,”
berkata demikian, gadis itu melirik ke arah Sin Hong.
Wajah Sin
Hong berubah kemerahan. Diam-diam ia mendongkol juga kepada muridnya sebab
pendapat muridnya itu seolah-olah telah mendesak dan mendorongnya ke sudut.
Sekali ini dia tidak mungkin mundur, karena kalau dia menolak, seolah-olah dia
enggan untuk mendamaikan kedua pihak. Akan tetapi kalau dia maju, berarti dia
bertindak atas nama sendiri dan hal ini mengandung bahaya bahwa dia akan
diterima sebagai musuh oleh pihak Kim-liong-pang.
Yo Han
agaknya dapat melihat isi hati gurunya melalui sinar mata dan wajah gurunya
yang berubah kemerahan. Dengan suara takut-takut dia pun berkata kepada
gurunya, “Suhu selalu mengajarkan kepada teecu bahwa seorang gagah pantang
mundur untuk melakukan pekerjaan yang dianggap benar, adil dan baik. Dan teecu
yakin sekali bahwa mendamaikan Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liongpang adalah
pekerjaan yang benar dan adil.”
Mau tidak
mau Sin Hong tersenyum. Muridnya ini memiliki kelihaian dalam bicara. Dia
merasa seolah-olah sudah ditodong dan tidak mampu mengelak lagi. Secara halus
anak kecil ini menyudutkannya dan menyerangnya dengan pelajaran yang telah
diajarkannya sendiri kepada murid itu.
“Hemmm, Yo
Han. Bagus engkau masih ingat akan pelajaran itu. Dengan demikian, bagaimana
kalau sekarang aku menyuruh engkau yang menjadi orang yang berusaha mendamaikan
kedua pihak yang bermusuhan itu? Maukah engkau menemui pimpinan Kim-liong-pang
dan bicara dengan mereka, lalu berusaha mendamaikan permusuhan mereka dengan
pihak Ngo-heng Bu-koan?”
Semua orang,
termasuk Bhe Gun Ek dan puterinya, terkejut dan heran mendengar ini. Seorang
anak kecil berusia sembilan tahun lebih disuruh menjadi juru damai antara
Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang? Sungguh tidak mungkin! Mana mungkin pihak
Kim-liong-pang akan sudi mendengarkan omongan seorang bocah? Ngo-heng Bu-koan
sendiri tidak akan mau bicara mengenai permusuhan mereka dengan seorang bocah
seperti Yo Han kalau dia bukan murid Tan Sin Hong!
Akan tetapi
dengan suara lantang dan sikap gagah, Yo Han lalu berkata dengan suara
sungguh-sungguh, “Tentu saja teecu mau, Suhu! Kalau Suhu memerintahkan,
sekarang juga teecu akan suka menemui ketua Kim-liong-pang!”
Mendengar
jawaban ini, Bhe Gun Ek, Bhe Siang Cun dan para murid-murid Ngo-heng Bu-koan
tertegun, bahkan ada juga yang tersenyum geli dan menganggap jawaban itu
merupakan suatu kesombongan kanak-kanak saja. Akan tetapi Sin Hong tahu benar
bahwa muridnya itu tidak akan berlagak, melainkan akan sungguh-sungguh
berangkat kalau dia memerintahkannya.
Diam-diam
Sin Hong bersyukur. Muridnya ini bukan hanya mengemukakan pendapat, melainkan
juga berani mempertanggung jawabkannya.
“Baiklah, Yo
Han. Engkau pergi menemui Kim-liong-pang dan aku akan menemanimu.”
Yo Han
bersorak girang. “Kalau Suhu menemani tecu, semua akan beres!”
Tiba-tiba
terdengar suara gaduh di luar dan beberapa orang murid yang dipimpin oleh Phoa
Hok Ci masuk sambil menggotong sesosok mayat yang masih berlumuran darah!
Ketika semua orang bangkit, Bhe Gun Ek meloncat dekat mayat itu dan berseru
kaget.
“Ciang
Lun...!” Dan dia menoleh kepada Phoa Hok Ci, bertanya dengan suara gemetar.
“Apa yang telah terjadi dengan dia?”
Phoa Hok Ci
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki guru silat itu dan berkata dengan suara
terkandung isak tangis, “Suhu ketika teecu keluar kampung, teecu melihat dari
jauh sute Ciang Lun sedang berkelahi, dikeroyok oleh dua orang murid
Kim-liong-pang. Teecu tidak dapat melihat jelas muka mereka, akan tetapi teecu
mengenal baju yang ada lambang perkumpulan itu. Ketika melihat teecu lari
menuju ke tempat itu, mereka lalu melarikan diri, meninggalkan sute Ciang Lun
yang sudah terluka parah. Ketika teecu membawa sute pulang, di tengah
perjalanan dia tewas. Ah, Suhu sendiri maklum betapa dekatnya teecu dengan sute
Ciang Lun, dia seperti adik teecu sendiri dan kini... ahhh, terkutuk
orang-orang Kim-liong-pang!”
Phoa Hok Ci
bangkit berdiri, mukanya pucat dan basah air mata. Dia mengepal tinju dan
matanya menjadi beringas. Agaknya, kalau di situ terdapat orang Kim-liong-pang,
tidak akan ada yang mampu mencegahnya mengamuk dan menyerang musuh besar itu.
“Tidak ada
damai dengan anjing-anjing Kim-liong-pang!” Tiba-tiba Phoa Hok Ci berteriak dan
para murid Ngo-heng Bu-koan menyambut dengan teriakan setuju.
Pada waktu
mengeluarkan teriakan itu, Phoa Hok Ci memandang ke arah Sin Hong dengan mata
melotot, seolah-olah Sin Hong yang ingin mendamaikan permusuhan itu merupakan
seorang anggota Kim-liong-pang yang harus dimusuhinya! Melihat ini guru silat
Bhe segera berkata kepada muridnya itu.
“Sudahlah,
lekas rawat baik-baik jenazah sute-mu ini. Carikan peti yang baik dan kita
lakukan upacara sembahyang di ruangan depan.”
Phoa Hok Ci
dan teman-temannya mengangkat jenazah itu keluar dari ruangan itu, dan Bhe Gun
Ek berkata kepada Sin Hong, “Taihiap, sekarang urusan menjadi semakin kacau!
Kau lihat sendiri betapa kejamnya orang-orang Kim-liong-pang. Aku tidak dapat
menyalahkan Hok Ci atas kemarahannya karena Ciang Lun yang menjadi korban itu
memang amat dekat dengan dia, seperti adik kandung saja. Dia kehilangan
kekasihnya yang diperkosa dan dibunuh, kemudian sekarang kehilangan sute yang
disayangnya, dan keduanya terbunuh oleh orang-orang Kim-liong-pang atau begitu
menurut dugaan. Bahkan pembunuh sute-nya dilihatnya dari jauh sebagai dua orang
yang mengenakan pakaian Kim-liong-pang. Tentu saja dia merasa sakit hati dan
amat mendendam kepada Kim-liong-pang. Setelah peristiwa ini, agaknya… hemmm,
rencana kita tadi terpaksa harus ditunda dulu, Taihiap.”
Sin Hong
menarik napas panjang dan bangkit dari tempat duduknya.
“Aku
mengerti, Bhe Kauwsu. Sebaiknya kami mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.
Kehadiran kami hanya mengganggu saja.”
“Ahhh, sama
sekali tidak, Taihiap. Bahkan tadinya kami sangat mengharapkan bantuan Taihiap
untuk mendamaikan urusan ini, tetapi kini para murid sedang marah-marahnya, dan
saya sendiri tentu saja juga penasaran karena kembali kehilangan seorang murid
yang baik.”
Sin Hong
lalu menggandeng tangan Yo Han meninggalkan rumah perguruan silat yang besar
itu, bahkan lalu keluar dari kota Lu-jiang. Setiba mereka di luar kota, hari
telah mulai gelap, senja telah mendatang.
“Suhu, apa
yang akan kita lakukan sekarang?” Yo Han bertanya.
Sin Hong
menoleh dan memandang muridnya sambil tersenyum. “Apa yang akan kita lakukan?
Melanjutkan perjalanan, apa lagi?"
“Tapi
permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang itu...“
“Ah, itu
bukan urusan kita, Yo Han. Perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?” Sin
Hong mencela muridnya.
Hening
sejenak dan kedua orang itu melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata. Yo Han
berjalan dan sambil menundukkan mukanya, tiba-tiba dia bertanya, “Suhu, kalau
teecu melihat dua orang berkelahi dan berusaha mati-matian untuk saling bunuh,
apakah yang harus teecu lakukan?”
“Hemmm,
tentu engkau harus melerai dan berusaha untuk mendamaikan mereka, atau kalau
kau tahu bahwa seorang di antara mereka jahat dan hendak menekan, kau harus
membantu yang lemah tertindas.”
“Suhu,
bukankah kalau teecu mencampuri berarti teecu juga mencampuri urusan orang
lain?”
Mendengar
nada suara muridnya, Sin Hong menoleh. Ia pun tersenyum dan mengerti apa yang
dimaksudkan oleh muridnya yang cerdik itu, lalu ia menarik napas panjang.
“Baiklah, Yo Han. Aku pun sedang memikirkan bagaimana cara dapat menghentikan
permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang. Karena dua pihak
berkeras kepala, maka aku tidak ingin lagi ikut mencampuri. Jangan-jangan malah
akan dimusuhi kedua pihak.”
“Suhu telah
berkenalan dengan pihak Bu-koan dan tahu akan isi hati Bhe-kauwsu, akan tetapi
belum mengenal pihak Kim-liong-pang. Kalau Suhu juga berkunjung ke sana dan
berkenalan, teecu kita tidak akan sukar mencari jalan tengah ke arah
perdamaian.”
“Usulmu baik
sekali. Baiklah, mari kita pergi ke bukit Kim-liong-san itu, setidaknya kita
dapat menyelidiki bagaimana sesungguhnya keadaan pihak yang bermusuhan dengan
Ngo-heng Bu-koan itu.”
Yo Han
merasa girang sekali, tetapi dia hanya mengangguk dan mengikuti suhu-nya menuju
ke bukit yang nampak dari situ walau pun cuaca sudah mulai remang-remang.
Tiba-tiba Sin Hong menarik lengan muridnya dan menyelinap ke dalam semak-semak.
Dia melihat bayangan orang.
Yo Han juga
mengintai dari balik semak-semak dan dia pun melihat dua orang laki-laki sedang
menggotong tubuh seorang laki-laki lain yang agaknya telah tewas. Oleh karena
cuaca remang-remang, maka Sin Hong tidak dapat mengenal wajah kedua orang itu.
“Engkau
tunggu saja di sini, aku akan membayangi mereka,” bisiknya kepada Yo Han.
Anak ini
mengangguk, maklum bahwa kalau dia ikut, hanya akan merepotkan saja dan mungkin
akan menggagalkan usaha gurunya yang akan melakukan penyelidikan. Sin Hong
berkelebat dan lenyap dari depan muridnya, membuat Yo Han terbelalak kagum.
Dengan
kepandaiannya yang tinggi, mudah saja bagi Sin Hong untuk membayangi dua orang
itu sampai dekat tanpa mereka melihat atau pun mendengar gerakannya. Dengan
jantung berdebar Sin Hong dapat mengenal seorang di antara mereka, yaitu Phoa
Hok Ci, murid kepala Ngo-heng Bu-koan yang paling mendendam kepada
Kim-liong-pang itu.
Dari Bhe
Kauwsu dia mendengar betapa korban pertama di pihak Ngo-heng Bu-koan adalah
seorang murid perempuan dan gadis yang diperkosa lalu dibunuh itu adalah
kekasih Hok Ci dan korban terakhlr adalah seorang sute yang paling dekat dengan
Hok Ci.
Sekarang dua
orang yang menggotong sesosok mayat itu masuk hutan kecil di lereng
Kim-liong-pang dan mereka berhenti. Sin Hong cepat menyelinap ke belakang
sebatang pohon terdekat. Ia mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati karena
merasa curiga akan sikap mereka.
“Suheng,
kita apakan mayat itu? Kita kubur di sini?” Orang ke dua bertanya dan tahulah
Sin Hong bahwa dia seorang murid Ngo-heng Bu-koan pula, adik seperguruannya
Phoa Hok Ci.
“Kita kubur
di sini? Huh, enaknya! Kita biarkan dia di sini agar besok pagi ada orang
Kim-liong-pang yang melihatnya. Tinggalkan saja golokmu itu di tubuhnya, atau
biarlah kutusukkan golok itu di tubuh mayat ini!”
Phoa Hok Ci
menerima golok dari tangan sute-nya, dan sekali bergerak goloknya itu menancap
sampai dalam di dada mayat. Tidak ada darah keluar, tanda bahwa mayat itu sudah
sejak tadi tewas.
“Tapi...
Suheng, golok itu ada tanda perguruan kita.”
“Bagus,
memang itu yang kukehendaki. Biar mereka tahu bahwa putera ketua mereka dibunuh
oleh orang-orang Ngo-heng Bu-koan!”
“Aihhh,
bagaimana Suheng ini? Bukankah suhu sedang berusaha untuk mengadakan perdamaian
dengan pihak Kim-liong-pang? Perbuatan Suheng kali ini akan menambah besar
dendam dan permusuhan! Aku tadi sudah sangsi ketika Suheng mengajak aku
mengeroyok Ciok Lim, walau pun aku juga tidak suka kepadanya, apa lagi
mengingat bahwa dia tersangka utama dalam perkosaan dan pembunuhan sumoi kita.”
Phoa Hok Ci
mengambil pedang milik Ciok Lim yang sudah menjadi mayat itu. Pedang itu
tadinya masih terselip di sarung pedang yang tergantung di punggung, hal ini
saja menunjukkan bahwa pemuda putera ketua Kim-liong-pang ini agaknya dibunuh
secara mendadak sehingga dia tidak sempat membela diri.
“Aku memang
menghendaki agar kedua belah pihak bermusuhan! Biarlah kedua pihak hancur,
kecuali Bhe Siang Cun! Ia seorang yang harus hidup dan menjadi isteriku!”
“Suheng...
apa... apa pula maksudmu...?” Orang kedua itu agaknya terkejut bukan main
mendengar ucapan Phoa Hok Ci itu.
“Sudah sejak
dulu kurindukan Siang Cun, dan kujelaskan niatku memperisteri gadis itu, akan
tetapi suhu dengan halus menolak, bahkan lalu hendak menjodohkan aku dengan
Cin-sumoi. Aku merasa sangat penasaran, dan lebih sakit hatiku ketika suhu menerima
pinangan Ciok Lim ini! Tidak ada jalan lain bagiku kecuali menggagalkan
perjodohan itu dan untuk itu, Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan harus menjadi
musuh besar yang saling bermusuhan! Aku tidak mencinta Cin-sumoi, cintaku hanya
untuk Bhe Siang Cun, maka biarlah Cin-sumoi menjadi korban pertama untuk
membuka permusuhan antara kedua pihak, dan aku berhasil... ha-ha-ha, aku
berhasil! Apa lagi malam ini, Ciok Lim, telah tewas dan untuk kematian ini,
pihak Kim-liong-pang pasti akan membalas dendam dan tiada kekuatan lain di
dunia ini yang akan mampu menghapus dendam di antara mereka!”
“Suheng...!
Kau... kau gila...!”
“Ha-ha-ha,
memang aku gila, tergila-gila kepada Siang Cun dan apa pun yang akan terjadi,
ia harus menjadi milikku. Kau dengar, Sute? Ia harus menjadi milikku, aih,
Siang Cun jantung hatiku...!”
“Suheng,
jadi kalau begitu, Cin-sumoi bukan terbunuh oleh Ciok Lim, melainkan oleh
Suheng sendiri? Dan Suheng yang memperkosanya lalu membunuhnya?”
“Hemmm,
hanya orang tolol seperti engkau yang tidak mengerti! Aku memperkosa dan
membunuhnya agar api kebencian dan permusuhan mulai bernyala...”
“Suheng
mencuri topi milik Ciok Lim dan meninggalkannya di dekat mayat Cin-sumoi?”
“Benar!”
“Dan
pembunuhan-pembunuhan yang lain itu... pembunuhan terhadap murid perguruan kita
yang tidak diakui oleh pihak Kim-liong-pang, kemudian pembunuhan terhadap murid
Kim-liong-pang yang tidak kita akui, semua itu adalah perbuatanmu pula?”
“Benar.”
“Dan
kematian sute sore tadi... juga engkau yang membunuhnya?”
“Benar!”
“Suheng!
Engkau telah gila, dan kenapa... kenapa kau ceritakan semua ini kepadaku?
Mengapa engkau berani mengakui semua itu kepadaku?”
“Karena
engkau takkan mampu membuka mulut lagi!”
Tiba-tiba
pedang di tangan Hok Ci menyambar dan pedang itu telah menembus dada dan
jantung murid Ngo-heng Bu-koan itu. Dia roboh terjengkang, matanya terbelalak,
mulutnya mengeluarkan suara jerit tertahan dan ia pun tewas seketika, roboh
terlentang dengan pedang masih menancap di dadanya dan agaknya memang dibiarkan
tinggal di dada itu oleh Hok Ci.
Sin Hong
terkejut bukan main dan merasa menyesal. Sungguh tidak disangkanya sama sekali
bahwa Phoa Hok Ci akan membunuh sute-nya sehingga dia pun tak menyangka sesuatu
dan tidak keburu mencegah pembunuhan yang terjadi di depan matanya ini. Tak
disangkanya pula bahwa permusuhan hebat antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng
Bu-koan itu terjadi karena perbuatan Phoa Hok Ci yang agaknya sudah gila!
Orang ini
tergila-gila kepada Bhe Siang Cun. Karena pinangannya ditolak, juga karena
besarnya nafsu menguasai dirinya untuk dapat memiliki Siang Cun, dia tak
segan-segan melakukan segala perbuatan yang amat kejam.
Dia
memperkosa mendiang Bong Siok Cin, sumoi-nya sendiri, lalu membunuhnya, dan di
dekat mayat sumoi-nya itu dia meninggalkan topi milik putera ketua
Kim-liong-pang yang dicurinya. Ia pun masih memperbesar permusuhan dan dendam
antara dua pihak dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan lagi, baik terhadap
murid Kim-liong-pang yang dibunuhnya, mau pun murid Ngo-heng Bu-koan sendiri!
Dan siang
tadi dia membunuh sute-nya yang paling dekat dengan dia, mungkin selain untuk
memperbesar dendam, juga karena sute-nya itu mengetahui atau mencium bau akibat
perbuatannya yang jahat. Pembunuhan terhadap sute-nya ini dilakukan dengan dua
tujuan, pertama supaya sute-nya ini tidak dapat menceritakan hal-hal yang
kiranya mencurigakan, dan kedua agar ada bukti bahwa kematian putera ketua
Kim-liong-pang adalah karena perbuatan sute itu, murid Ngo-heng Bu-koan! Dia
membunuh sute-nya agar kelihatan bahwa mereka berdua itu tewas bersama dalam
suatu perkelahian.
Bukan main
kaget dan marahnya hati Sin Hong dan diam-diam dia kagum sekali kepada
muridnya. Ternyata dugaan Yo Han benar dan tepat! Kemungkinan ketiga itu kini
bukan kemungkinan lagi, melainkan sudah menjadi kenyataan! Ada orang ke tiga
yang sengaja mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan demi
kepentingan diri sendiri! Dan orang itu bukan laan adalah Phoa Hok Ci, murid
utama yang dipercaya oleh Bhe Kauwsu.
Satu-satunya
kebodohan dan kelemahan manusia adalah membiarkan si AKU merajalela dalam diri
kita masing-masing. Kalau si AKU sudah merajalela dalam diri, menguasai diri
sepenuhnya, maka celakalah hidup ini.
Segala
malapetaka dan kesengsaraan, bersumber dari si AKU ini yang mendorong kita
untuk mengejar segala macam kesenangan dengan menggunakan segala macam cara
untuk mencapai hasil pengejaran itu. Si AKU ini yang mendatangkan tamak,
dengki, iri, marah, benci takut dan sebagainya. Si aku mengotori dan merusak
batin.
Si AKU
bagaikan setan yang menjadi raja dalam batin kita masing-masing dan selama
setan itu masih bertahta dalam batin maka hidup ini penuh konflik, penuh
permusuhan, dendam, kebencian dan karenanya terciptalah rasa takut dan
kesengsaraan. Jika setan ini tidak lagi bercokol di dalam batin, maka sinar
cinta kasih akan menerangi batin, dan kekuasaan Tuhan sendiri akan memenuhi
batin.
Sin Hong
cepat meloncat keluar sambil membentak. “Phoa Hok Ci, kiranya engkaulah biang
keladi semua permusuhan ini!”
Phoa Hok Ci
terkejut bukan main, akan tetapi tangan kirinya bergerak ke arah Sin Hong.
Pendekar ini cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran
pasir hitam yang mengandung racun itu! Akan tetapi tiba-tiba tangan kanan murid
Ngo-heng Bu-koan itu bergerak dan segera asap hitam bergumpal-gumpal membuat
penglihatan Sin Hong tertutup. Pada waktu pendekar ini meloncat lagi ke samping
agak jauh dan memandang, ternyata Phoa Hok Ci telah lari jauh sekali!
Sin Hong
terkejut. Dia mengenal ilmu dari golongan hitam dan biasanya hanya orang-orang
seperti para tokoh Pek-lian-kauw yang memiliki senjata rahasia seperti itu.
Bagai mana mungkin seorang murid Ngo-heng Bu-koan dapat menggunakan senjata
rahasia dari golongan sesat? Tentu orang itu diam-diam sudah berguru kepada tokoh
sesat, pikirnya. Akan tetapi Sin Hong cepat meloncat dan melakukan pengejaran.
Kembali dia
terkejut. Kiranya Phoa Hok Ci memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu berlari
cepat sekali! Sin Hong menemui kesulitan karena cuaca sudah mulai gelap dan ia tidak
mengenal lapangan. Tidak seperti Phoa Hok Ci yang agaknya telah hafal benar
akan keadaan di wilayah itu sehingga Sin Hong belum juga mampu menyusul orang
yang melarikan diri, walau pun dia masih belum kehilangan jejaknya.
Phoa Hok Ci
berlari cepat. Dia merasa jeri untuk melawan Sin Hong, karena dia tahu benar
betapa lihainya pemuda yang pernah menjadi tamu di Ngo-heng Bu-koan itu. Dan
yang amat mengecilkan hatinya adalah semua rahasianya. Ia harus bertindak cepat
jika tidak ingin menemui kegagalan dalam akhir rencananya yang sudah berjalan
demikian baiknya. Tanpa disadarinya, dia lari melalui dekat tempat di mana Yo
Han bersembunyi menanti gurunya.
Yo Han
terkejut melihat orang lari berkelebat di dekat tempat persembunyiannya. Dan
dia mengenal orang itu sebagai Phoa Hok Ci! Selagi dia bangkit berdiri dan
memandang keheranan ke arah larinya orang itu, tiba-tiba saja gurunya telah
berada di dekatnya.
“Kau melihat
orang yang lari tadi?” tanya gurunya.
“Phoa Hok
Ci?”
“Benar! Kau
melihat dia?”
“Dia lari ke
sana, Suhu!” Yo Han menunjuk ke arah selatan.
“Kau tunggu
di sini, aku akan mengejarnya! Dialah orang ke tiga itu!” Berkata demikian, Sin
Hong berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Yo Han
berdiri termangu-mangu. Ternyata dugaannya benar. Dua pihak itu telah diadu
domba oleh murid Ngo-heng Bu-koan sendiri. Dia tidak tahu apa sebabnya dan dia
merasa menyesal mengapa dia tidak memiliki kepandaian sehingga tidak mampu ikut
pula mengejar. Akan tetapi, menanti di situ seorang diri saja juga amat tidak
enak, maka dia pun lalu melangkah meninggalkan tempat persembunyiannya, menuju
ke selatan, ke arah larinya Phoa Hok Ci yang dikejar suhu-nya.
Oleh karena
malam itu gelap, langit hanya dipenuhi bintang-bintang yang mengeluarkan cahaya
remang-remang, dan dia sama sekali tak mengenal jalan. Yo Han harus berjalan
dengan hati-hati agar jangan sampai terjeblos ke dalam jurang. Dia meraba-raba,
akan tetapi terus menuju ke selatan.
Sementara
itu, Sin Hong juga menghadapi kesukaran untuk dapat menangkap orang yang
dikejarnya. Kegelapan malam dan asingnya tempat itu baginya membuat dia jauh
kalah cepat bergerak dibandingkan Phoa Hok Ci, meski kalau mereka berdua
berlomba lari cepat, tentu Sin Hong akan menang. Bahkan setelah memasuki sebuah
hutan yang keadaannya lebih gelap lagi, dia kehilangan jejak murid Ngo-heng
Bu-koan itu.
Akan tetapi
tiba-tiba ia melihat dinding putih agak jauh di depan. Agaknya ada bangunan di
depan dan kebetulan bangunan itu berada di tempat terbuka sehingga dindingnya
dapat nampak keputihan di bawah sinar ribuan bintang di langit. Sin Hong cepat
menuju ke dinding putih itu dan tak lama kemudian tibalah dia di depan sebuah
kuil!
Sebuah kuil
tua di tengah hutan. Siapa tahu orang yang dikejarnya bersembunyi di kuil itu,
pikirnya dan dengan tenang namun hati-hati sekali Sin Hong menghampiri kuil dan
masuk ke pekarangan kuil itu.
Sebelum ia
masuk ke ruangan depan, ia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi saja di
tempat itu, akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan pendengarannya yang amat
tajam itu dapat menangkap gerakan lirih di sebelah dalam kuil tua. Kemudian,
pada saat ia menunduk sambil mendengarkan, matanya dapat melihat pula beberapa
batang kayu kering berserakan.
Ini hanya
dapat terjadi, jika ada orang di dalam kuil itu yang mengumpulkan kayu kering
dan membawanya ke dalam kuil karena di tempat dia berdiri, yaitu di pekarangan
depan kuil itu, tidak ada pohon sehingga ranting kayu itu tentu dibawa orang ke
situ.
Dia semakin
waspada. Ada orang di dalam kuil, pikirnya, atau kalau suara tadi bukan gerakan
orang melainkan tikus atau binatang setidaknya kuil itu pernah didatangi orang
dan orang itu mengumpulkan kayu kering untuk membuat api unggun!
Sin Hong
melangkah masuk ruangan depan dan hidungnya lalu berkembang kempis.
Penciumannya juga sangat tajam dan dia mencium bau hangus, bau api unggun yang
baru saja dipadamkan. Mungkin kalau cuaca tidak begitu gelap, akan dapat nampak
asapnya.
Dia semakin
waspada dan tiba-tiba saja dia melempar tubuh ke samping. Untung dia bergerak
cepat karena dari depan dan belakangnya ada pedang dan tombak yang menyambar
amat ganas dan cepatnya. Kalau dia tidak melempar tubuh ke samping, satu di
antara dua buah senjata itu pasti akan mengenai tubuhnya. Dia menjatuhkan diri
dan bergulingan, lalu melompat bangun.
Ketika dia
bergulingan tadi, dia sengaja berguling ke luar sehingga kini dia berdiri di
pekarangan kembali. Dan dari ruangan depan yang gelap itu berloncatan dua
orang. Yang seorang memegang sebatang pedang dan dia itu bukan lain adalah Phoa
Hok Ci! Ada pun orang yang memegang tombak adalah seorang kakek yang berumur
enam puluh tahun, berambut riap-riapan panjang, mukanya seperti seekor singa,
pakaiannya seperti jubah pertapa yang tebal dan matanya mencorong.
“Heh-heh-heh,
inikah pendekar muda sombong yang mengancammu itu, Hok Ci?”
“Benar,
Suhu, dia berbahaya sekali, dan dia bukan hanya mengancam aku, akan tetapi juga
Suhu dan rencana kita akan gagal sama sekali kalau dia dibiarkan hidup lebih
lama lagi.”
“Ha-ha-ha,
jangan khawatir. Serahkan saja dia padaku, akan kuhabiskan dia sekarang juga!”
Kakek bermuka singa itu tertawa sambil menancapkan tombaknya di salah satu
dinding. “Kau pasang saja lampu penerangan agar lebih mudah aku membunuh dia!”
Agaknya kakek
itu tinggi hati sekali dan dia sudah dapat memastikan bahwa dia akan mampu
membunuh pemuda yang mengejar muridnya itu. Bahkan dia berlaku demikian
sombongnya untuk menyimpan tombaknya dan menghadapi Sin Hong dengan tangan
kosong! Akan tetapi begitu dia menyerang dengan kedua lengan dipentang dan
tangan yang berbentuk cakar itu menerkam dari kanan kiri, maklumlah Sin Hong
bahwa orang ini sombong bukan hanya lagak belaka, melainkan karena memang dia
amat lihai.
KAKEK
bermuka singa ini memang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pertapa
yang memiliki kesaktian dan berjuluk Hoan Saikong, dan baru beberapa tahun saja
dia meninggalkan tempat pertapaannya di Pegunungan Thai-san di mana selama
puluhan tahun dia bertapa dan mematangkan ilmu-ilmunya. Dia turun gunung dan
hidup sebagai seorang pertapa yang mengharapkan makanan dari sedekah para
dermawan.
Tapi agaknya
puluhan tahun bertapa itu sama sekali tidak mengubah dasar wataknya, dan
ternyata setelah berada di dunia ramai, sebentar saja dia sudah kembali menjadi
hamba nafsu-nafsunya seperti sebelum dia bertapa. Memang pada waktu muda dahulu
Hoan Saikong terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang amat kejam.
Phoa Hok Ci
secara kebetulan saja bertemu dengan Hoan Saikong empat tahun yang lalu. Dia
melihat betapa saktinya kakek ini, maka segera didekatinya dan dengan royal dia
memberi pakaian dan makan minum kepada kakek itu, bahkan melihat betapa kakek
itu tidak pantang bermain dengan wanita, Phoa Hok Ci lalu mencarikan gadis
panggilan untuk menyenangkan hatinya.
Hoan Saikong
merasa senang dan dia mau menerima Phoa Hok Ci sebagai muridnya, asal Phoa Hok
Ci dapat mencukupi semua kebutuhannya. Kemudian, setelah pergaulan mereka
sebagai guru dan murid semakin akrab, mereka merencanakan sesuatu yang akan
mendatangkan keuntungan bagi keduanya.
Phoa Hok Ci
tergila-gila kepada Siang Cun, puteri gurunya sendiri, akan tetapi gurunya
tidak suka menerimanya sebagai calon mantu, bahkan sudah menerima pinangan
pihak Kim-liong-pang. Hal ini membuat Phoa Hok Ci penasaran dan dia lalu
berunding dengan gurunya yang baru, gurunya yang dia rahasiakan dari siapa pun
juga.
Di dalam
perundingan inilah keduanya merencanakan siasat mereka mengadu domba antara
Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan. Kalau mereka berhasil, maka pertalian
jodoh antara Siang Cun dan Ciok Lim akan putus, dan ada harapan Siang Cun akan
menjadi isteri Phoa Hok Ci. Dan harapan lain bagi Hoan Saikong adalah untuk merebut
dan menguasai Kim-liong-pang di mana dia akan menjadi ketua yang baru sehingga
namanya akan terangkat tinggi dan dia akan menjadi seorang pangcu yang
terhormat.
Hal ini
tidak akan sukar dilakukan kalau Kim-liong-pang sudah menjadi lemah karena permusuhannya
dengan Ngo-heng Bu-koan. Tentu saja dengan bantuan Hoan Saikong yang lihai,
mudah bagi Phoa Hok Ci untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan pada ke dua pihak
dan mengadu domba mereka. Dan sebagai awal siasat keji itu, dengan kejam sekali
dia memperkosa dan membunuh sumoi-nya sendiri, Bong Siok Cin, setelah berhasil
mencuri topi dari Ciok Lim yang baru saja dijamu oleh calon mertuanya sampai
setengah mabuk. Dalam keadaan setengah mabuk itu, mudah saja bagi Phoa Hok Ci
dan Hoan Saikong untuk mencuri topinya tanpa dia ketahui.
Demikianlah
sedikit mengenai Hoan Saikong yang kini berhadapan dengan Sin Hong. Ketika Phoa
Hok Ci melihat bahwa Sin Hong mendengarkan percakapannya dengan sute-nya
sebelum sute itu dibunuhnya, dia menjadi kaget dan juga khawatir sekali. Maka
dia pun teringat kepada gurunya itu dan dia sengaja memancing Sin Hong ke kuil
tua itu di mana terdapat Hoan Saikong yang segera siap untuk membantu muridnya.
Kini, dia
berhadapan dengan Sin Hong, dan karena kesombongannya, dia menghadapi Sin Hong
dengan tangan kosong, mengira bahwa dengan mudah saja dia akan dapat membunuh
lawan yang agaknya ditakuti muridnya itu.
Namun dia
kecelik! Tubrukan dengan kedua lengan mencengkeram dari kanan kiri itu hanya
mengenai angin saja. Tiba-tiba kaki Sin Hong menggeser ke samping dan tangan
kirinya cepat menotok ke arah lambung lawan. Gerakan pemuda itu demikian
cepatnya, merupakan serangan balasan yang serentak sehingga Hoan Saikong juga
cepat-cepat harus menarik tangannya dan menangkis sambil mencoba untuk
mencengkeram lengan Sin Hong.
“Dukkk!”
Tangkisan
itu membuat tubuh Hoan Saikong tergetar hebat dan tentu saja dia tidak jadi
mencengkeram karena lengannya sendiri sudah ditarik saking kagetnya melihat
betapa lawan yang amat muda itu memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya. Dari
pertemuan lengan itu Hoan Saikong dapat menduga bahwa meski lawannya itu masih
amat muda, akan tetapi tidak seperti yang diduganya, bukan seorang lawan yang
boleh dipandang ringan.
Hoan Saikong
kemudian mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan kini dia menyerang
lagi dengan dahsyat, sambil mengerahkan semua tenaganya. Dan tahulah Sin Hong
ketika melihat gerakan kaki tangan lawan bahwa kakek itu adalah seorang ahli
silat dengan gaya harimau. Akan tetapi bukan sembarang Hauw-kun (Silat
Harimau).
Memang
banyak macamnya silat harimau diciptakan oleh perguruan silat yang berbeda
aliran, walau pun pada dasarnya ada persamaan yaitu dengan meniru ketangkasan
dan kegesitan harimau. Akan tetapi gaya silat harimau yang dimainkan oleh kakek
bermuka singa ini sungguh dahsyat sekali, bahkan jauh lebih berbahaya dari pada
melawan seekor harimau tulen!
Kedua tangan
kakek itu membentuk cakar harimau yang amat kuat, dan walau pun kuku-kuku jari
tangannya tidak panjang melengkung dan kokoh seperti kuku harimau, namun
jari-jari tangannya itu mengandung sinkang kuat sekali dan cengkeraman kedua
tangannya dapat menembus batang pohon, bahkan batu karang. Dapat dibayangkan
betapa kulit daging akan koyak-koyak, tulang akan remuk kalau terkena cengkeraman
kedua tangan yang membentuk cakar itu!
Akan tetapi
sekali lagi kakek itu kecelik. Yang dilawannya sekarang bukanlah seorang
pendekar biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
yang sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari para penghuni Istana Gurun Pasir!
Ketika Sin
Hong melihat betapa lawannya menggunakan ilmu silat harimau yang sangat
dahsyat, yang sambaran angin dari kedua tangan itu saja sudah mendatangkan hawa
panas dan sangat berbahaya, dia pun maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang
sakti. Maka, dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat
Pek-ho Sin-kun, yaitu ilmu gabungan dari ketiga orang gurunya.
Ilmu silat
ini memang hebat bukan main, bukannya seperti ilmu-ilmu silat Ho-kun (Silat
Bangau) biasa saja. Biar pun gaya dasarnya meniru gerakan burung bangau putih
yang indah dan lemas di samping kekuatan dan kecepatan burung itu, akan tetapi
intinya mengandung perasan dari ilmu-ilmu yang dikuasai tiga orang tua sakti
itu! Bahkan untuk mempelajari ilmu silat sakti ini, Sin Hong terlebih dahulu
menerima pengoperan sinkang gabungan dari tiga orang gurunya, dan untuk bisa
berhasil menguasai ilmu itu dengan sempurna, dia bahkan harus bertapa selama
setahun, tidak boleh mengerahkan tenaga sedikit pun karena hal ini akan dapat
menewaskannya.
Begitu Sin
Hong menghadapi Houw-kun yang amat hebat dari kakek itu dengan Pek-ho Sin-kun,
kakek itu kembali terkejut. Gerakan dua lengan pemuda itu yang mirip dengan
gerakan leher dan kepala burung bangau, mengandung hawa pukulan yang kuat
sekali. Setiap kali mereka beradu lengan, Hoan Saikong lantas terdorong ke
belakang seperti diserang angin taufan!
“Haaauuuwww...!”
Tiba-tiba
Hoan Saikong mengeluarkan suara gerengan yang sangat dahsyat. Gerengan ini
mengandung khikang yang kuat dan kalau lawannya bukan Sin Hong, sedikit banyak
tentu akan terpengaruh oleh getaran suara menggereng ini. Dan sambil
menggereng, kakek itu menubruk ke depan, cakar kanannya mencakar ke arah
ubun-ubun kepala Sin Hong, cakar kiri dari samping mencakar perut. Gerakannya
cepat dan amat kuat, kedua cakar itu ketika menyambar mendatangkan angin keras.
Sin Hong
maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia pun melangkah ke belakang.
Tubuhnya ditarik ke belakang dan kedua tangannya menyambut serangan itu dengan
tangkisan kedua lengan yang dikembangkan dari tengah, yang kiri mendorong ke
atas dan yang kanan mendorong ke bawah.
“Dukkk!
Dukkk!”
Dua pasang lengan
bertemu dan kembali tubuh kakek itu terdorong ke belakang. Tetapi dengan cepat
Hoan Saikong kini menubruk ke depan, bukan hanya kedua tangan yang bergerak
seperti sepasang kaki depan harimau untuk mencakar, juga mulutnya dibuka lebar
seperti harimau yang hendak menggigit. Namun kakek ini tidak menggigit karena
giginya pun sudah banyak yang ompong, melainkan menggunakan kepalanya untuk
menyeruduk ke arah dada lawan! Serangan kedua tangan dan kepala ini memang
lebih dahsyat dari pada tadi, dan tubuhnya meluncur seperti harimau meloncat.
Dengan
ringan sekali, tiba-tiba tubuh Sin Hong meloncat ke atas seperti seekor burung
terbang. Tubrukan Hoan Saikong lewat di bawahnya dan kini tubuh Sin Hong
berjungkir balik membuat salto, kemudian dengan kepala di bawah, tubuhnya
meluncur ke bawah, tangannya membentuk paruh burung yang menotok ke arah
tengkuk dan pundak Hoan Saikong!
Hoan Saikong
mengeluarkan seruan kaget. Tak disangkanya bahwa serangannya yang dilakukan
dengan seluruh tenaganya itu selain gagal sama sekali, juga berbalik, bahkan
kini lawan yang menyerangnya dari atas. Dan serangan dua totokan dari atas itu
hebat bukan main. Hoan Saikong melempar tubuhnya ke atas lantai dan bergulingan
menjauh sehingga serangan Sin Hong itu pun luput.
Ketika
melihat lawannya menyambar tombak dan kini menyerangnya dengan tombak, Sin Hong
cepat mengatur langkah dan mengelak ke sana-sini dengan ringannya. Kedua
kakinya bagai kaki burung bangau, melangkah ringan tanpa mengeluarkan suara
namun selalu dapat menghindarkan sambaran ujung mata tombak yang berkelebatan.
Namun kini
Phoa Hok Ci sudah maju mengeroyok dengan menggunakan pedangnya. Sebagai murid
pertama dari Ngo-heng Bu-koan, apa lagi telah menerima gemblengan selama empat
tahun dari Hoan Saikong, tingkat kepandaian Phoa Hok Ci ini tidak boleh
dipandang ringan dan begitu dia maju mengeroyok, Sin Hong dihujani serangan
tombak dan pedang.
Jika saja Si
Bangau Putih, demikian julukan Sin Hong, menghendaki, agaknya dia akan mampu
merobohkan dua orang pengeroyoknya itu dengan ilmunya yang tinggi. Namun, dia
tidak bermaksud membunuh mereka, bahkan dia harus dapat menangkap Phoa Hok Ci
hidup-hidup, oleh karena orang inilah yang dapat dijadikan kunci perdamaian
antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan dan melenyapkan kesalah pahaman yang
timbul karena fitnah yang disebarkan oleh Phoa Hok Ci. Karena hendak menangkap
Phoa Hok Ci, maka Sin Hong tidak mau melakukan serangan mautnya. Ia menunggu
kesempatan untuk dapat menangkap pengkhianat itu.
Setelah
menghadapi serangan dua orang bersenjata itu dengan hanya mengandalkan
kelincahan gerakannya, sambil menunggu kesempatan baik, akhirnya Sin Hong
melihat terbukanya kesempatan. Dia berhasil menangkap tombak di tangan Hoan
Saikong, lalu mengerahkan tenaga menarik sehingga lawannya itu ikut tertarik,
dan dengan gagang tombak yang masih dipegangnya itu, Sin Hong menangkis pedang
Phoa Hok Ci yang menyambar, berbareng dia mengirim tendangan kilat ke arah
lutut kaki kiri Phoa Hok Ci.
Orang ini
terkejut, namun masih sempat meloncat ke samping sehingga yang terkena
tendangan hanya betisnya, namun cukup membuat dia terpelanting dan Sin Hong
yang menarik tombak, lalu membalikkan tubuhnya sambil tangan kirinya menampar
ke arah kepala Saikong itu.
Hoan Saikong
cepat memutar tombaknya terlepas dari pegangan Sin Hong, dan sambil mengelak
dengan merendahkan tubuhnya dan menggeser kaki ke kiri, Hoan Saikong
menggerakkan tombaknya untuk menusuk perut lawannya! Tusukan yang sangat cepat
datangnya itu dielakkan oleh Sin Hong yang memiringkan tubuhnya dan ketika
tombak meluncur lewat dekat pinggang, dia mengerahkan tenaga dan memukul dengan
tangan miring ke arah gagang tombak.
“Krekkk!”
Tombak itu pun patah menjadi dua potong!
Hoan Saikong
terkejut dan melompat ke dalam kuil, menyusul muridnya yang sudah lebih dulu
melarikan diri setelah tadi betisnya kena ditendang oleh Sin Hong.
“Phoa Hok
Ci, hendak lari ke mana kau?” Sin Hong membentak dan cepat melompat ke dalam
kuil melakukan pengejaran.
Setelah mencari-cari,
dia melihat Hoan Saikong berdiri menantinya di ruang belakang, sebuah ruangan
kecil yang cukup terang karena di sudut dinding tergantung sebuah lampu dinding
yang cukup terang. Melihat ini, Sin Hong merasa curiga. Dia bukan orang bodoh.
Jika musuh
yang telah melarikan diri dan dikejarnya kini menantinya di sebuah ruangan yang
diterangi lampu, maka hal ini patut dicurigakan. Mungkin ada sebuah perangkap,
pikirnya, maka dia pun melangkah masuk dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan.
Mungkin Phoa Hok Ci yang tidak nampak akan menyerangnya dengan senjata rahasia.
Akan tetapi,
tidak terjadi sesuatu ketika dia melangkah masuk dan dia pun berkata kepada
kakek itu, “Locianpwe, di antara kita tidak ada permusuhan. Aku tidak mengenal
Locianpwe dan sebaliknya Locianpwe pun tidak mengenalku. Aku hanya ingin
mengajak Phoa Hok Ci untuk pulang ke Ngo-heng Bu-koan untuk membuat pengakuan
tentang semua perbuatannya mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng
Bu-koan. Serahkan Phoa Hok Ci dan aku akan pergi dari sini, tidak akan
mengganggu Locianpwe lebih lama lagi.”
Akan tetapi,
sebagai jawaban, Hoan Saikong mengelebatkan pedangnya dan langsung menyerang
Sin Hong dengan permainan pedang yang amat dahsyat dan cepat. Kiranya kakek ini
tadi melarikan diri karena tombaknya patah, dan kini sudah berganti senjata
pedang yang juga dapat dimainkannya dengan cepat sekali.
Sin Hong
menjadi amat penasaran dan marah. Orang ini agaknya hendak mati-matian membela
muridnya yang jelas telah melakukan perbuatan yang amat keji! Kalau dia tidak
lebih dulu merobohkan orang ini dengan cepat, tentu akan sukar untuk menangkap
Phoa Hok Ci.
Karena itu,
begitu lawan menyerangnya, Sin Hong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya,
mengelak sambil membalas dengan cepat dan dahsyat sekali. Totokan demi totokan
yang amat cepat dia lancarkan ke arah lengan yang memegang pedang dan bagian
anggota lain sehingga Hoan Saikong yang menggunakan pedang itu sebaliknya malah
terdesak hebat oleh Sin Hong. Dan karena selama perkelahian itu tidak terjadi
sesuatu yang mencurigakan, tidak ada senjata rahasia dilepaskan dari temat
gelap, maka Sin Hong menjadi agak lengah dan kecurigaannya tadi menipis.
Pada saat
dia mendesak terus dan perkelahian itu terjadi dengan sengitnya di tengah
ruangan yang tidak luas itu, mendadak Hoan Saikong mengeluarkan teriakan
nyaring sekali, tetapi teriakan ini bukan untuk melakukan serangan, melainkan
untuk melompat pergi dari ruangan itu! Dan teriakan itu juga merupakan isyarat
kepada Phoa Hok Ci untuk bertindak karena tiba-tiba saja lantai ruangan yang
diinjak oleh kaki Sin Hong terbuka ke bawah!
Sin Hong
terkejut sekali. Cepat tangannya meraih dan dia masih dapat menangkap kaki Hoan
Saikong yang hendak meloncat pergi dari ruangan itu. Kalau saja Hoan Saikong
melanjutkan loncatannya, tentu dia dan juga Sin Hong akan dapat keluar dari
ruangan itu.
Akan tetapi,
Hoan Saikong agaknya terkejut dan tidak menyangka bahwa pemuda yang menjadi
lawannya itu masih sempat menangkap kakinya. Dengan marah dia kemudian
menusukkan pedangnya ke arah leher Sin Hong. Melihat ini, Sin Hong mengerahkan
sinkang pada tangan kirinya dan dengan tangan miring dia menyampok dan memukul
ke arah pedang yang melakukan serangan maut itu.
“Plakkk!”
Pedang itu
terlepas dari pegangan Hoan Saikong, akan tetapi karena gerakan-gerakan itu,
loncatannya kehilangan tenaga dan tubuh mereka berdua tanpa dapat dicegah lagi
meluncur jatuh ke dalam lubang di ruangan itu!
Melihat
betapa dia bersama lawannya terjeblos ke bawah, Sin Hong cepat melepaskan
pegangannya pada kaki lawan. Dia pun segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk
meringankan tubuhnya. Biar pun Hoan Saikong juga melakukan ini, namun karena
dia nampak ketakutan sekali, maka ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang
dikerahkannya menjadi berantakan dan tubuhnya meluncur lebih cepat dari pada
Sin Hong ke dalam lubang yang dalam dan gelap itu.
Diam-diam
Sin Hong merasa kaget juga melihat betapa lamanya dia tiba di dasar lubang
jebakan itu, tanda bahwa lubang itu cukup dalam! Terdengar jerit mengerikan
dari Hoan Saikong di sebelah bawah ketika tubuh kakek itu lebih dulu tiba di
dasar lubang, teriakan kematian!
Sin Hong
mengerahkan ginkang-nya dan ia memandang ke bawah, melihat garis bentuk tubuh
Hoan Saikong rebah meringkuk ke bawah. Dengan hati-hati sekali Sin Hong lalu
mengarahkan kedua kakinya menginjak tubuh itu. Untung dia melakukan hal ini
karena ternyata bahwa dasar lubang yang sempit itu penuh dengan tombak-tombak
runcing yang siap menerima tubuhnya! Tubuh mayat Hoan Saikong telah
menyelamatkannya! Dia dapat hinggap di atas tubuh itu dan terbebas dari tusukan
tombak-tombak itu.
Pantas saja
Hoan Saikong tadi mengeluarkan teriakan ketakutan saat terjatuh. Agaknya dia
sudah tahu akan keadaan sumur maut ini, dan begitu terjatuh, tubuhnya diterima
tombak-tombak itu hingga tewas seketika.
Sin Hong
meraba ke kanan kiri. Kedua tangannya menyentuh dinding sumur yang licin
sekali, penuh lumut. Tidak mungkin merangkak ke atas menggunakan sinkang karena
dinding itu licin bukan main. Meloncat ke atas? Sama sekali tidak mungkin!
Ketika dia
melihat ke atas, nampak lubang itu, lubang di tengah ruangan yang nampak
samar-samar diterangi lampu di dinding ruangan itu. Lalu nampak kepala orang di
tepi sumur. Dari bawah pun dia dapat melihat bahwa itu adalah kepala Phoa Hok
Ci!
Dia menahan
napas dan tidak bergerak. Biarlah dia disangka mati seperti kakek itu, karena
kalau Phoa Hok Ci mengetahui bahwa dia masih hidup, mungkin orang itu akan
menyerangnya dengan melemparkan sesuatu dan hal ini berbahaya sekali. Kemudian,
dia mendengar suara Phoa Hok Ci tertawa. Agaknya orang itu girang dan mengira
dia telah mati. Murid itu agaknya sama sekali tidak merasa berduka biar pun
gurunya juga mati di dalam lubang jebakan ini. Hal ini saja menunjukkan betapa
buruknya watak laki-laki itu. Kepala Phoa Hok Ci lenyap dan penerangan di atas
padam. Suasana kembali menjadi gelap gulita.
Sin Hong
masih berdiri di atas mayat Hoan Saikong yang tertusuk tombak-tombak itu.
Meloncat ke atas tidak mungkin. Merayap melalui dinding lubang itu pun tidak
mungkin. Tanpa bantuan orang dari atas, tidak mungkin dia naik ke atas! Dalam
keadaan gelap gulita itu, menyelidiki keadaan di dasar lubang itu pun tidak
mungkin. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menanti sampai malam itu lewat
dan ada sinar matahari menerangi dasar lubang itu agar dia bisa menyelidiki dan
mencari jalan keluar. Terpaksa dia harus menanti.
“Locianpwe,
maafkan aku.” bisiknya kepada mayat di bawahnya dan dia pun dengan hati-hati
duduk bersila di atas tubuh mayat yang masih hangat itu.....
**************
Sementara
itu, Yo Han mencari-cari gurunya. Setelah keluar masuk hutan kecil, dia menjadi
bingung. Dia tidak tahu ke mana harus mencari gurunya, dan untuk kembali ke
tempat tadi dia pun tidak mampu lagi. Malam terlalu gelap dan dia tidak
mengenal daerah itu.
Biar pun
hatinya bingung sekali namun Yo Han tidak berani memanggil nama gurunya. Dia
tahu bahwa gurunya sedang mengejar orang, dan mungkin orang itu bersembunyi dan
gurunya sedang mencari-cari. Kalau dia membuat gaduh, mungkin akan dapat
menggagalkan usaha gurunya itu. Dia mencari terus, keluar masuk hutan dan
semalam suntuk dia tidak pernah berhenti.
Sampai
keesokan harinya, setelah sinar matahari mengusir kegelapan malam, Yo Han
memasuki sebuah hutan dan dia melihat sebuah kuil tua. Dimasukinya pekarangan
kuil itu. Anak yang cerdik ini melihat adanya jejak-jejak kaki di tanah
pekarangan. Hatinya menjadi tegang, apa lagi pada waktu dia tiba di ruangan
depan kuil tua itu dan melihat lantainya. Jelas di tempat itu ada tanda-tanda
bahwa baru saja terjadi perkelahian di situ.
Dengan
hati-hati dia masuk ke dalam. Kuil itu sunyi dan tidak nampak seorang pun, juga
tak terdengar ada suara orang. Hatinya terasa kecut dan mulailah ia khawatir.
Gurunya sudah semalam suntuk mengejar orang, kenapa belum juga kembali? Ataukah
mungkin sudah kembali dan tidak bertemu dengan dia? Ah, bagaimana kalau sampai
dia tersesat dan tidak akan berjumpa kembali dengan gurunya? Mungkin sekarang
gurunya, seperti dia, juga sedang mencari-cari dia.
“Suhuuuuu...!“
Akhirnya dia tidak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi dan berteriak
memanggil gurunya sambil menjenguk ke dalam kuil. Suaranya nyaring dan karena
kuil itu merupakan bangunan yang cukup besar dan kosong, suaranya bergema.
“Suhuuuuu...!”
Sekali lagi dia memanggil, lebih kuat karena dia seperti mendapat firasat bahwa
gurunya berada di sekitar tempat itu.
Tiba-tiba
terdengar jawaban yang membuat Yo Han hampir meloncat saking kaget dan
girangnya. “Yo Han...! Engkaukah itu...?”
Suara ini
jelas sekali, akan tetapi terdengar dengan bunyi gaung yang aneh sehingga dia
tak mengenal apakah itu suara gurunya atau bukan dan datangnya dari arah dalam
kuil!
“Suhuuuuu...!
Suhu, di manakah engkau?” Yo Han masuk ke dalam kuil itu sampai ke ruangan
dalam.
“Di ruangan
belakang, Yo Han. Masuklah terus ke belakang sampai ada ruangan yang lantainya
terbuka. Hati-hati, jangan sampai terjatuh ke bawah. Aku terjebak di bawah
sini!”
Yo Han
merasa girang bukan main menemukan gurunya. Cepat ia maju dan ketika tiba di
ruangan yang dimaksudkan, ia melihat betapa lantai ruangan ini memang terbuka
ke bawah. Ia mendekat sampai di tepi lubang dan melongok ke dalam. Akan tetapi
karena ruangan itu terang dengan cahaya matahari sedangkan lubang itu sempit
dan dalam, yang nampak hanyalah kegelapan menghitam saja.
Akan tetapi
Sin Hong dapat melihat kepala muridnya dan hatinya girang bukan main. Girang
dan juga kagum. Bagaimana anak itu bisa menemukannya? Dia sejak tadi sudah
mencari-cari jalan keluar, akan tetapi agaknya tidak ada jalan keluar dari
tempat itu kecuali kalau ada yang datang menolongnya! Dan kuil tua itu tentu
jarang didatangi orang, dalam sebuah hutan sunyi lagi. Diam-diam dia bergidik.
Haruskah dia mati di tempat itu? Dan, sebelum mati, dia akan tersiksa oleh bau
mayat membusuk!
“Suhu,
apakah Suhu berada di bawah sana?” Yo Han berteriak. Dia berusaha keras
menggunakan penglihatannya menembus kegelapan di bawah.
“Yo Han,
dengarkan baik-baik. Aku terjeblos di sini dan tidak akan dapat naik tanpa
bantuanmu. Kau pergilah cari tali yang panjangnya paling sedikit lima belas
tombak. Kumpulkan akar-akar gantung dan sambung-sambung sampai panjang, lalu
turunkan ke sini. Cepat!”
“Baik, Suhu.
Teecu pergi mencari!” kata Yo Han.
Anak yang
cerdik ini tak mau banyak cakap lagi, kemudian keluar dari ruangan itu dan
sebelum mencari keluar kuil untuk mengumpulkan akar gantung, dia lebih dulu
mencari-cari di dalam kuil dan di belakang.
Usahanya
berhasil. Dia menemukan tali yang panjangnya ada lima tombak. Karena permintaan
suhu-nya harus yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak, Yo Han lalu
keluar dan mulai mengumpulkan akar gantung dari pohon-pohon besar.
Untunglah
bahwa selama menjadi murid Sin Hong, biar pun dia belum dilatih ilmu silat,
namun jasmaninya sudah digembleng sehingga dia memiliki tubuh yang kuat, tenaga
besar dan juga tahan uji sehingga biar pun pekerjaan ini amat berat bagi
seorang anak kecil seperti dia, akan tetapi akhirnya setelah matahari naik
tinggi, berhasillah Yo Han menyambung-nyambung akar gantung yang kuat sampai
sepanjang lima belas tombak lebih.
Sementara
itu, dapat dibayangkan betapa tegang rasa hati Sin Hong. Setelah melihat
munculnya Yo Han yang akan menolongnya, hati tegang bukan main, jauh lebih
tegang dan bahkan mulai khawatir kalau-kalau muridnya itu gagal menolongnya.
Akan tetapi dia percaya kepada Yo Han.
Anak itu
cerdik sekali, dan andai kata dia sendiri tidak mampu menolong, tentu Yo Han
akan memperoleh akal untuk minta bantuan orang-orang dusun. Kepercayaan ini
dapat menenteramkan hatinya.
Dia sudah
merasa tidak enak sekali harus duduk bersila di atas tubuh mayat itu. Setelah
ada cahaya terang remang-remang memasuki lubang, dia mendapat kenyataan bahwa
lubang yang di bagian dasarnya sempit ini memang tidak ada tempat baginya untuk
berdiri atau duduk!
Dasar itu
penuh dengan tombak-tombak runcing yang ditanam dengan ujung runcingnya
menghadap ke atas! Maka boleh dikatakan bahwa Hoan Saikong telah menyelamatkan
dirinya! Kalau tidak ada mayat Hoan Saikong di atas tombak-tombak itu, entah
bagai mana dia akan dapat terbebas dari maut di dasar lubang jebakan ini!
Terkutuk
Phoa Hok Ci yang kejam. Teringat akan orang itu tiba-tiba Sin Hong merasa
khawatir sekali. Orang itu telah ketahuan rahasianya. Walau pun menyangka dia
tentu telah tewas di dalam lubang jebakan, mungkin orang itu akan melakukan
rencananya yang terakhir! Menghancurkan kedua perkumpulan itu dan merampas Bhe
Siang Cun sebagai isterinya! Dan orang itu sudah berkeliaran selama semalam dan
setengah hari ini!
“Suhuuuuu...!”
Panggilan
itu membuat Sin Hong yang sedang melamun tersentak dan dia memandang ke atas.
Nampak kepala muridnya di sana.
“Yo Han,
apakan engkau sudah mendapatkan tali itu?”
“Sudah,
Suhu, akan teecu turunkan perlahan-lahan!”
“Baik,
muridku. Turunkanlah dan ikatkan ujung yang di atas pada tiang yang kuat.”
Yo Han sudah
mengikatkan ujung tali itu pada tiang yang kokoh dan sekarang dia menurunkan
ujung yang lain perlahan-lahan ke bawah. Perkiraan Sin Hong memang tepat. Ujung
tali itu menyentuhnya dan hanya kelebihan panjang satu meter saja! Sin Hong
mencoba kekuatan tali itu dengan menarik-nariknya dari bawah. Tahulah dia bahwa
tali itu memang kokoh kuat dan dia semakin kagum saja kepada Yo Han.
“Sudah
habis, Suhu! Apakah ujungnya sampai di sana?”
“Sudah. Aku
siap untuk memanjat naik, Yo Han!”
Sin Hong
lalu memanjat tali itu dengan mudahnya dan akhirnya dia meloncat naik. Yo Han
girang sekali dan memegang lengan suhu-nya, sebaliknya Sin Hong merangkulnya.
“Untung
engkau datang, Yo Han. Sekarang mari, jangan membuang waktu di sini. Kita tidak
tahu apa yang akan dilakukan oleh Phoa Hok Ci yang jahat itu!” berkata Sin Hong
dan dia pun melongok ke dalam lubang sambil berkata, “Locianpwe, terima kasih
atas pertolongan jenazahmu, beristirahatlah dengan tenang!”
Sin Hong
kemudian memondong tubuh Yo Han. Digendongnya anak itu dan dia pun menggunakan
ilmunya berlari cepat meninggalkan kuil. Di sepanjang perjalanan dengan singkat
Sin Hong menceritakan apa yang telah terjadi sejak dia meninggalkan muridnya.
Mendengar cerita suhu-nya, Yo Han terkejut.
“Wah,
kiranya Phoa Hok Ci itu jahat sekali dan dialah orang ke tiga yang mengadu
domba. Wah, kalau Suhu terlambat, mungkin terjadi mala petaka di kedua pihak.”
“Karena itu,
kita harus cepat berkunjung ke Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang!”
Yo Han tak
berkata-kata lagi. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan suhu-nya. Pantas tadi
setelah keluar dari lubang jebakan itu, gurunya membawa tali yang
menyelamatkannya dan membuang tali itu di dalam jurang di tengah perjalanan.
Hal itu memang perlu. Phoa Hok Ci tentu menyangka bahwa gurunya sudah tewas di
dalam lubang jebakan, maka tempat itu mungkin sekali akan menjadi tempat
persembunyiannya kelak, dan kalau tali itu nampak di situ, tentu Phoa Hok Ci
dapat mengetahui bahwa Sin Hong telah lolos.
Apa yang
dikhawatirkan Sin Hong dan Yo Han memang terjadi. Pagi hari tadi, para murid
Kim-liong-pang menemukan mayat Ciok Lim, putera ketua mereka yang dadanya masih
tertusuk golok yang pada gagangnya ada ukiran Ngo-heng Bu-koan, sedangkan di
sisinya menggeletak mayat seorang murid Ngo-heng Bu-koan yang tewas dengan
pedang milik Ciok Lim menembus dadanya! Kedua orang itu agaknya sudah berkelahi
dan akhirnya mati bersama!
Melihat
puteranya tewas, tentu saja Kim-liong-Pangcu Ciok Kam Heng menjadi marah
sekali. Kalau permusuhan antara murid-muridnya dengan para murid Ngo-heng
Bu-koan masih ditahannya dengan sabar mengingat bahwa sebetulnya antara dia
pribadi dan Bhe Gun Ek terdapat tali persahabatan yang baik, sekarang dia tidak
dapat menahan kemarahannya lagi.
Putera
kandungnya, putera tunggalnya, tewas dan tak mungkin dia tinggal diam saja.
Ditulisnya selembar surat tantangan kepada Bhe Gun Ek untuk membereskan semua
perhitungan dengan mengadu nyawa di Bukit Bambu!
Ketika Sin
Hong yang menggendong Yo Han tiba di luar kota Lu-jiang, seorang murid Ngo-heng
Bu-koan yang baru keluar dari pintu gerbang kota mengenalnya dan berseru, “Tan
Taihiap!”
Sin Hong
berhenti dan murid itu dengan sikap gugup berkata, “Suhu sedang menuju ke Bukit
Bambu di sana untuk memenuhi tantangan Kim-liong Pangcu.”
Sin Hong
terkejut. “Di mana?”
“Di bukit
itu, di puncaknya terdapat hutan bambu.”
Mendengar
hal ini, tanpa membuang waktu lagi, Sin Hong membalikkan tubuhnya dan berlari
cepat sekali menuju ke bukit itu. Mudah-mudahan belum terlambat, pikirnya
dengan hati tegang.
Akan tetapi,
ketika dia tiba di puncak bukit itu, di atas padang rumput di tengah hutan
bambu, dia melihat perkelahian sudah dimulai antara Bhe Gun Ek dan seorang
laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh sedang dan
bermata sipit. Dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah Ciok Kam Heng, ketua
Kim-liong-pang yang bersenjatakan sebatang pedang, sedang mati-matian saling
serang dengan Bhe Gun Ek yang bersenjata sebatang sabuk rantai baja.
Ada belasan
orang murid dari kedua pihak berdiri tegak saling berhadapan, akan tetapi
agaknya guru masing-masing pihak melarang mereka mencampuri perkelahian
mati-matian adu nyawa untuk mempertahankan kebenaran dan kehormatan
masing-masing itu! Akan tetapi Sin Hong maklum bahwa kalau satu di antara dua
orang itu roboh, tentu akan terjadi pertempuran mati-matian antara kedua pihak.
Permainan
sabuk rantai baja di tangan Bhe Gun Ek yang beberapa tahun lebih muda dari
lawannya itu memang hebat. Sabuk rantai diputar sedemikian rupa sehingga nampak
gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesing. Namun agaknya dia
menemui tanding yang setingkat. Pedang di tangan ketua Kim-liong-pang itu pun
cepat dan kuat sekali sehingga berkali-kali terdengar suara berdenting disusul
berpijarnya bunga api kalau kedua senjata itu bertemu.
Keduanya
saling serang dan keadaan mereka masih seimbang. Akan tetapi Sin Hong maklum
bahwa justru karena mereka seimbang, maka akhirnya tentu akan ada seorang di
antara mereka yang roboh tewas. Tanpa mengeluarkan serangan-serangan maut,
tidak mungkin di antara mereka ada yang akan keluar sebagai pemenang.
Sin Hong
menyuruh Yo Han meloncat turun dan dia pun cepat meloncat ke depan, langsung
memasuki medan perkelahian antara kedua orang pimpinan perkumpulan itu sambil
berseru, “Kedua Loenghiong harap berhenti dulu!”
Ciok Kam
Heng, pangcu dari Kim-liong-pang masih belum mengenal Sin Hong. Karena itu dia
menganggap bahwa pemuda ini tentulah orang Ngo-heng Bu-koan yang hendak
membantu Bhe Gun Ek, maka dia tidak peduli akan ucapan itu, bahkan pedangnya
menyambar ke arah dada Sin Hong! Melihat ini, Bhe Kauwsu juga menggerakkan
rantai bajanya menyerang lawannya!
Sin Hong
miringkan tubuhnya dan dengan tangan kanan dia menangkap pedang yang menusuk
tubuhnya itu dari samping, sedangkan tangan kirinya menangkap pula rantai baja
yang menyambar ke arah tubuh ketua Kim-liong-pang! Ciok Kam Heng terkejut dan
berusaha menarik pedangnya yang dicengkeram Sin Hong, namun dia gagal. Pedang
itu seperti dicengkeram penjepit baja yang amat kuat!
“Harap Ji-wi
suka berhenti dulu, aku mau bicara penting sekali, mengenai permusuhan Ji-wi
yang menjadi akibat adu domba dan fitnah!”
Mendengar
ucapan ini, kedua orang itu terkejut. Ketika Sin Hong melepaskan senjata
mereka, keduanya meloncat ke belakang dan memandang kepada Sin Hong dengan mata
terbelalak penuh pertanyaan.
“Tan
Taihiap, apa yang kau maksudkan?” Bhe Gun Ek bertanya kaget dan heran.
Sementara
itu, Ciok Kam Heng memandang dengan alis berkerut. Dia melihat bahwa lawannya
telah mengenal baik pemuda pakaian putih yang amat lihai itu.
“Orang muda,
siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan kami? Apa pula maksudmu
dengan fitnah dan adu domba tadi?” tanyanya dengan suara kereng.
Sin Hong
menghadapi ketua Kim-liong-pang dan sekelebatan saja dia dapat melihat bahwa
orang ini memiliki sikap gagah dan juga matanya menyinarkan kejujuran.
“Maaf,
Pangcu. Aku bernama Tan Sin Hong dan kebetulan saja aku berkenalan dengan pihak
Ngo-heng Bu-koan serta mendengar pula akan permusuhan yang timbul di antara
perkumpulan Ji-wi.”
“Hemmm!
Sudah lama terjadi permusunan dan aku masih menahan sabar. Akan tetapi semalam,
puteraku, anakku satu-satunya, tewas pula di tangan Ngo-heng Bu-koan. Bagaimana
mungkin aku mendiamkan saja? Hari ini aku harus mengadu jiwa dengan Bhe Gun Ek.
Dia atau aku yang akan mati di sini demi mempertahankan kehormatan
Kim-liong-pang dan membalas kematian anakku!”
“Aku
mengerti, Ciok Pangcu. Aku mengerti akan semua hal itu, bahkan aku menjadi
saksi utama dan pertama ketika puteramu dibunuh orang!”
“Apa? Tan
Taihiap! Putera Ciok Pangcu mati dalam perkelahian melawan salah seorang
muridku, dan mereka berdua itu berkelahi sampai keduanya tewas!” Bhe Kauwsu
membantah.
Sin Hong
tersenyum. “Tidak, Bhe Kauwsu. Mereka tidak berkelahi sampai keduanya tewas,
akan tetapi mereka berdua itu dibunuh orang secara keji dan orang itulah yang
mengatur agar mereka kelihatan seperti berkelahi sampai keduanya mati bersama.
Aku menyaksikannya dalam hutan itu! Dan bukan hanya itu, juga semua pembunuhan
yang bukan merupakan perkelahian terbuka antara kedua pihak, dilakukan oleh
orang yang sama! Semenjak semula, orang itu yang telah mengatur supaya terjadi
pembunuhan-pembunuhan di kedua pihak dan membuat kedua pihak saling bermusuhan,
tepat seperti yang diduga oleh muridku, Yo Han. Ada orang ketiga yang mengadu
domba dan melempar fitnah.”
“Ahhh...!”
Ciok Pangcu berseru.
“Apa... apa
maksudmu?” Bhe Kauwsu juga berseru kaget. “Dan… peristiwa pertama kali itu,
ketika seorang murid perempuan perguruan kami diperkosa dan dibunuh, ketika
Bong Siok Cin mati dalam keadaan menyedihkan...”
“Itu pun
dilakukan oleh orang yang sama, Bhe Kauwsu! Ketika itu, mendiang Ciok Lim
engkau jamu makan minum, bukan? Nah, dalam keadaan setengah mabuk ketika dia
pulang, dia tidak tahu bahwa topinya dicuri orang. Pencuri topi itulah yang
memperkosa dan membunuh muridmu itu, lalu sengaja meninggalkan topi Ciok Lim
untuk melempar fitnah.”
“Juga atas
semua pembunuhan yang dilakukan terhadap murid-murid kami?” tanya Ciok Pangcu.
“Dan juga
semua pembunuhan terhadap murid Ngo-heng Bu-koan?” Bhe Kauwsu juga bertanya,
hampir tidak percaya.
Sin Hong
mengangguk. “Benar, semua itu dilakukan oleh orang yang sama. Aku sudah mendengar
sendiri pengakuannya kepada muridmu yang akhirnya mati bersama putera Ciok
Pangcu itu, Bhe Kauwsu.”
“Tapi...
siapakah orang terkutuk itu?” tanya Bhe Kauwsu.
“Ya, siapa
dia? Kalau memang benar seperti yang kau katakan, Tan Taihiap, kami akan
mengerahkan semua kekuatan kami untuk membekuk dan menghukumnya!” teriak Ciok
Pangcu pula.
Kini Sin
Hong menghadapi Bhe Kauwsu dan dengan senyum sedih pemuda berpakaian putih ini
berkata, suaranya lantang terdengar semua orang yang berada di situ.
“Bhe Kauwsu,
bersiap-siaplah dan jangan terkejut. Orang ke tiga itu, yang melakukan
pembunuhan dan menyebar fitnah untuk mengadu domba Ngo-heng Bu-koan dengan
Kim-liong-pang, bukan lain adalah Phoa Hok Ci!”
“Ahhhh...!”
Bhe Kauwsu berseru, juga para murid Ngo-heng Bu-koan berseru kaget dan tidak
percaya. “Dia... dia... ahhh, betapa mungkin...”
“Bhe Kauwsu,
aku melihat dengan mata sendiri dan mendengar dengan telinga sendiri. Bahkan
semalam, setelah dia membunuh putera Ciok Pangcu dan muridmu, aku lalu
mengejarnya. Akan tetapi di sebuah kuil tua, dia lalu dibantu oleh seorang
kakek yang disebut gurunya. Kakek itu lihai sekali, dan ketika aku berkelahi
dengan gurunya itu, aku terjebak ke dalam lubang bersama gurunya itu. Gurunya
tewas dan aku pun nyaris tewas kalau tidak muncul Yo Han yang menolongku. Bhe
Kauwsu, Phoa Hok Ci yang menjadi muridmu itu telah berkhianat dan menjadi ular
berkepala dua yang berbahaya sekali.”
“Tapi...
tapi… sungguh sukar dapat dipercaya. Dia selalu baik sekali, dan mengapa...
mengapa dia melakukan hal terkutuk itu?” Bhe Kauwsu berseru.
“Biarlah
lain kali saja kuceritakan, Bhe Kauwsu. Sekarang yang paling penting kita cepat
kembali ke perguruan Ngo-heng Bu-koan untuk mencari dan menangkapnya!” kata Sin
Hong.
“Engkau
benar! Aku sendiri yang akan membekuk batang leher keparat itu, dan akan
kudengar sendiri pengakuannya!” bentak Bhe Kauwsu dengan muka merah sekali.
“Aku pun
akan ikut menangkap jahanam itu!” bentak Ciok Pangcu.
Kedua orang
ketua itu saling pandang, akan tetapi kini permusuhan sudah lenyap dari pandang
mata mereka.
“Sebaiknya
kita pergi bersama-sama dan menangkap orang itu beramai-ramai, akan tetapi
kuminta agar jangan ada yang membunuhnya. Kita membutuhkan pengakuannya sendiri
agar permusuhan antara kedua pihak dapat dibersihkan,” kata Sin Hong.
Mereka pun
berlari-lari menuju ke kota Lu-jiang. Kembali Yo Han digendong oleh Sin Hong
dan sekarang belasan orang Kim-liong-pang itu berlari-lari bersama belasan
murid kepala Ngo-heng Bu-koan seolah-olah mereka adalah sekutu yang hendak
menyerbu musuh mereka bersama.
Tentu saja
para penduduk kota Lu-jiang menjadi heran dan kaget melihat banyak orang
berlarian itu. Apa lagi ketika mereka mengenal orang-orang Ngo-heng Bu-koan dan
orang-orang Kim-liong-pang yang tadinya bermusuhan, tetapi kini berlari
bersama-sama menuju ke Ngo-heng Bu-koan.
Di perguruan
silat ini, Bhe Kauwsu disambut oleh para murid yang nampak bingung dan cemas.
“Celaka, Suhu! Phoa Hok Ci mengamuk, menawan Nona Bhe dan ketika kami mencegah,
dia mengamuk. Dua orang murid tewas oleh pedangnya dan kini dia telah melarikan
puteri Suhu...!”
Tentu saja
semua terkejut bukan main dan kini yakinlah sudah hati Bhe Kauwsu bahwa
muridnya yang bernama Phoa Hok Ci itu memang jahat dan keji, bukan saja
melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan melempar fitnah mengadu domba, bahkan
kini telah menangkap dan melarikan puterinya!
“Keparat
jahanam! Dia lari ke mana?” bentaknya.
“Kami...
kami tidak tahu, Suhu. Dia memondong Nona Bhe yang agaknya tertotok atau
pingsan, dan dia lari dengan cepat tanpa kami mampu mencegah atau mengejarnya.”
“Celaka!
Keparat jahanam itu... Sungguh celaka puteriku...!” Bhe Kauwsu nampak amat
kebingungan. “Ke mana aku harus mengejar jahanam itu?”
Yo Han
menyentuh lengan suhu-nya. “Suhu, kalau tidak salah dugaanku, dia pasti lari ke
sana...“
Sin Hong
mengangguk. “Kau benar, Yo Han, aku pun menduga demikian. Bhe Kauwsu, aku yakin
bahwa keparat itu tentu melarikan puterimu ke kuil tua itu. Biar Yo Han tinggal
di sini, aku akan mengejarnya!” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban
lagi, Sin Hong meloncat keluar dan sebentar saja bayangannya lenyap dari situ.
“Aku pun
ingin mengejarnya!” kata Ciok Pangcu.
“Nanti dulu,
Pangcu. Engkau takkan dapat menyusul Tan Taihiap. Marilah kita bersama mencari
kuil itu. Anak baik, engkau sudah pernah ke sana, tentu engkau tahu di mana
kuil tua itu, bukan?”
Yo Han
mengangguk. “Di dalam sebuah hutan, di bukit nomor lima dari kiri di antara
jajaran bukit di luar kota itu, kalau aku tidak keliru.”
“Mari kita
mengejar ke sana!”
Bhe Kauwsu
kemudian menyuruh para muridnya menyediakan kuda dan mereka pun berangkat
melakukan pengejaran. Ciok Pangcu bersama sebelas orang murid kepala, juga Bhe
Kauwsu dengan belasan orang murid kepala, sedang Yo Han membonceng Bhe Kauwsu
dan dia menjadi penunjuk jalan menuju ke kuil dalam hutan di atas bukit itu.
***************
Memang sikap
Phoa Hok Ci hari itu sangat mengejutkan dan mengherankan bagi para murid
Ngo-heng Bu-koan. Pada saat Bhe Kauwsu menerima surat tantangan dari ketua
Kim-liong-pang, ia tidak berada di perguruan sehingga ia tidak ikut dengan
rombongan Bhe Gun Ek yang pergi menyambut tantangan musuh besar itu bersama
belasan orang murid kepala. Dan Bhe Kauwsu melarang puterinya untuk ikut,
karena guru silat ini maklum bahwa kalau puterinya ikut, tentu puterinya itu
tidak akan mau tinggal diam saja kalau dia mulai mengadu kepandaian melawan
Ciok Pangcu.
“Engkau
tinggallah di rumah dan menjaga keamanan di sini,” demikian katanya kepada
Siang Cun. “Kalau kita pergi semua kemudian terjadi sesuatu di sini, siapa yang
akan mewakili aku?”
Demikianlah,
Siang Cun tetap tinggal di perguruan ketika ayahnya dan para suheng-nya
berangkat. Tak lama kemudian, muncul Phoa Hok Ci. Ketika dia mendengar dari
para murid bahwa suhu-nya menerima surat tantangan dari ketua Kim-liong-pang
dan bahwa suhu-nya pergi menyambut tantangan itu bersama semua murid kepala,
Phoa Hok Ci segera mendatangi Siang Cun.
“Sumoi, suhu
serta para suheng dan sute pergi menghadapi musuh besar kita, kenapa engkau
malah tenang saja tinggal di sini? Kenapa engkau tidak ikut membantu suhu?”
Sambil berkata demikian, sepasang matanya yang ganas dan tajam itu memandang
wajah yang cantik manis dari sumoi-nya.
Siang Cun
mengerutkan alisnya dan menjawab sambil cemberut, “Tadi aku pun ingin sekali
ikut dan menghadapi orang-orang Kim-liong-pang, Phoa-suheng, akan tetapi ayah
melarangku dan menyuruh aku menjaga keamanan rumah.”
Sepasang
mata Phoa Hok Ci semakin terpikat melihat mulut gadis cantik itu cemberut dan
sekarang pandang matanya seperti meraba-raba seluruh tubuh yang telah selama
bertahun-tahun menjadi idaman hatinya, membuatnya tergila-gila itu.
“Hemmm,
katakan saja bahwa engkau takut, Sumoi!”
Siang Cun
terbelalak dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut. “Phoa Suheng! Bagaimana
kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku tidak berani? Aku takut?
Jangan kau menghinaku, Suheng!”
Phoa Hok Ci
yang selalu tersenyum sinis itu, kini memperlebar senyumnya sehingga mulutnya
menyeringai. “Hehheh-heh, kalau engkau tidak takut, tentu kau sudah berada di
sana! Kalau engkau tidak takut, mari bersama aku menyusul ke sana dan membantu
suhu!”
Siang Cun
bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata berapi.
“Phoa-suheng,
mengapa engkau bersikap begini? Mulutmu lancang sekali dan sikapmu mengejek.
Apakah engkau sudah gila?” Memang di samping kemarahannya ia merasa heran bukan
main melihat sikap Phoa Hok Ci dan mendengar kata-katanya, karena biasanya
suheng-nya bersikap sopan dan ramah.
“Ha-ha-ha,
mungkin aku sudah gila oleh kecantikanmu, Sumoi. Marilah, mari kau ikut dengan
aku pergi menyusul suhu!”
“Tidak!
Kalau aku akan menyusul, aku pergi sendiri, bukan karena kau suruh. Sudah,
pergilah sebelum aku habis kesabaranku!”
“Sumoi, mau
tidak engkau harus ikut denganku sekarang juga!” Dan tiba-tiba saja Phoa Hok Ci
menubruk dan mengirim serangan dahsyat dengan cengkeraman ke arah muka Siang
Cun!
Gadis ini
terkejut bukan main, sama sekali tidak pernah mengira bahwa suheng-nya ini akan
menyerangnya sehebat itu, serangan yang dahsyat dan berbahaya. Suheng-nya itu
tentu telah mendadak menjadi gila.
Sebetulnya,
dalam ilmu silat, selisih antara tingkat mereka tidak banyak, mungkin Siang Cun
hanya kalah matang saja. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa diam-diam Hok Ci telah
mempelajari ilmu silat harimau dari Hoan Saikong yang membuat pemuda itu kini
jauh lebih lihai darinya!
Dia cepat
mengelak sambil membuang diri ke samping untuk menghindarkan mukanya dari
cengkeraman itu! Akan tetapi, tetap saja lengannya yang hendak menangkis kena
dicengkeram. Siang Cun mengeluarkan seruan kaget dan kesakitan ketika dia
merasa betapa lengannya seperti dicengkeram benda tajam dan pada saat itu,
pundaknya sudah ditotok oleh Hok Ci dan seketika ia menjadi lemas! Sambil
tertawa, Hok Ci lalu memanggul tubuh gadis itu.
Pada saat
itu, belasan orang murid Ngo-heng Bu-koan menyerbu masuk dan mereka terkejut
sekali melihat betapa puteri guru mereka dirobohkan Hok Ci dan kini ditotok dan
dipanggul. Mereka tadi menyerbu masuk mendengar suara ribut-ribut dan kini
mereka mengepung Hok Ci.
“Suheng, apa
yang kau lakukan ini? Lepaskan Nona Bhe!” bentak beberapa orang di antara
mereka sambil mengepung dan siap untuk mengeroyoknya.
Sepasang
mata itu dengan ganas menyapu mereka. “Kalian mundurlah, atau terpaksa aku akan
membunuh kalian!” Berkata demikian, Hok Ci lalu mencabut pedang dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kirinya memanggul tubuh Siang Cun yang tak mampu
bergerak itu.
Akan tetapi,
para murid Ngo-heng Bu-koan tetap tidak mau pergi dan ingin membela puteri guru
mereka. Hok Ci mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau dan dia pun
mengamuk. Pedangnya berkelebatan dan para murid itu cepat melawan dengan
menyambar senjata yang ada.
Akan tetapi
mereka hanya murid-murid tingkat dua, sebentar saja dua orang di antara mereka
telah roboh mandi darah dan tewas oleh sambaran pedang Hok Ci. Lalu dengan
kecepatan gerakannya, Hok Ci meloncat dan melarikan diri sambil memondong tubuh
Siang Cun!
Hok Ci yang
mengenal baik kota Lu-jiang, mengambil jalan yang sunyi untuk melarikan diri,
bahkan berloncatan ke atas genteng-genteng rumah orang. Dia berhasil membawa
tubuh gadis yang membuatnya tergila-gila itu keluar dari kota Lu-jiang, terus
menuju ke kuil tua yang menjadi tempat tinggal Hoan Saikong.
Satu-satunya
lawan yang ditakutinya hanyalah Tan Sin Hong, akan tetapi pemuda yang
berpakaian putih itu telah terjerumus ke dalam lubang jebakan di ruangan
belakang dan tentu sudah mampus. Orang-orang lainnya, baik dari Ngo-heng
Bu-koan mau pun dari Kim-liong-pang, dipandang rendah olehnya.
Kini
gurunya, Hoan Saikong, sudah mati pula bersama Sin Hong di dalam sumur lubang
jebakan. Dia memang tak ingin merampas Kim-liong-pang mau pun Ngo-heng Bu-koan.
Yang penting baginya hanyalah mendapatkan diri Bhe Siang Cwi yang membuatnya
tergila-gila dan kini gadis itu telah berada di dalam pondongannya! Tiada
seorang pun yang akan dapat mencegahnya memaksa gadis itu menjadi isterinya.
Pula, selain Tan Sin Hong, tidak ada seorang pun dari kedua perkumpulan itu
yang tahu akan tempat persembunyiannya dalam kuil tua di hutan ini.
“Lepaskan
aku...! Ahhh, lepaskan aku...!” Siang Cun berseru dengan mata terbelalak penuh
kengerian, namun ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang masih lumpuh
tertotok.
Pria yang
biasanya dikenalnya sebagai seorang suheng yang pendiam dan bersikap baik itu
kini tersenyum sinis, lalu membawa masuk gadis itu ke dalam kuil. Di dalam kuil
tua itu terdapat dua buah kamar yang bersih dan terawat karena itu merupakan
kamar mendiang Hoan Saikong dan kamarnya sendiri, yang dipergunakan di waktu
dia berada di situ.
Dia memasuki
kamarnya sendiri, sebuah kamar yang hanya terisi sebuah pembaringan kayu dan
sebuah meja serta dua buah kursi kayu yang sederhana. Dengan sikap lembut dia
merebahkan tubuh sumoi-nya di atas pembaringan.
“Lepaskan aku
Phoa-suheng, lepaskan aku! Aku adalah sumoi-mu, ingatkah? Jangan kau ganggu aku
dan lepaskan aku, Suheng.“ Siang Cun kembali berseru dengan suara membujuk dan
mata yang terbelalak penuh kengerian. Ia masih saja menyangka bahwa suheng-nya
ini mendadak menjadi gila dan tidak sadar apa yang dilakukannya.
Hok Ci duduk
di tepi pembaringan, senyumnya menyeringai menakutkan hati gadis itu, apa lagi
ketika dia menunduk dan mencium pipi dan bibir Siang Cun yang sama sekali tak
dapat mengelak. Gadis itu hanya memejamkan mata dan bergidik ngeri dicium oleh
orang yang disangkanya gila.
“Bhe Siang
Cun, aku akan melepaskanmu jika engkau menyatakan bahwa engkau cinta padaku dan
bersedia menjadi isteriku.”
Mata yang
ketakutan itu semakin terbelalak dan muka yang manis itu berubah merah.
“Suheng, kau... kau telah gila...”
Hok Ci
membelai dagu gadis itu, lalu membelai lehernya sehingga gadis itu merasa
betapa bulu tengkuknya meremang.
“Siang Cun,
kekasihku, memang aku telah gila, tergila-gila kepadamu. Apakah kau pura-pura
tidak tahu betapa sejak dulu aku mencintamu? Ah, apa saja akan kulakukan untuk
mendapatkan dirimu, Cun-moi. Selama ini... ahh, betapa segala jerih payah
kulakukan, membunuhi mereka semua, seorang demi seorang, supaya antara kedua
pihak terjadi permusuhan dan ikatan perjodohanmu dengan Ciok Lim terputus.
Sengaja kutanamkan bibit permusuhan sampai mendalam, kulakukan semua itu demi
mendapatkan dirimu, kekasihku. Dan sekarang, engkau telah berada di tanganku,
engkau menjadi isteriku. Ya, kita hari ini akan menjadi pengantin, kita
bersenang-senang di sini, sebagai suami isteri, Siang Cun.”
Wajah gadis
itu tiba-tiba menjadi pucat. Dengan mata terbelalak tanpa berkedip sejak tadi
ia memandang wajah suheng-nya itu, mendengarkan semua ucapannya.
“Kau... kau
yang melakukan semua pembunuhan itu? Jadi engkaulah yang mengatur semua itu,
membunuh dan melempar fitnah, sengaja hendak mengadu domba?”
Kini Hok Ci
tertawa geli. “Benar, Cun-moi, benar. Semua itu akulah yang mengatur dan
melakukannya. Cerdik sekali, bukan? Mereka saling serang, saling bunuh, dan
bahkan sekarang di antara kedua ketua itu sudah saling serang, ha-ha-ha, semua
itu karena kecerdikanku. Dan engkau akan menjadi isteriku sekarang...!”
Kedua tangan
Hok Ci mulai menggerayangi tubuh Siang Cun yang menjadi semakin ketakutan.
Karena belum dapat menggerakkan tubuh untuk mengelak atau melawan, ia hanya
mengeluarkan kata-kata untuk mengalihkan perhatian orang itu.
“Suheng,
jadi engkau yang melakukan semua pembunuhan di kedua pihak itu? Dan bagaimana
dengan sumoi Bong Siok Cin yang diperkosa itu? Ia diperkosa dan dibunuh oleh
Ciok Lim, bukan?”
“Ha-ha-ha,
semua orang tolol itu memang mengira demikian. Akulah yang mengaturnya sehingga
Ciok Lim yang disangka, agar permusuhan itu mulai berkobar.”
“Ahhh, jadi
engkau pula yang memperkosa Siok Cin lalu membunuhnya, menjatuhkan fitnah atas
diri Ciok Lim?”
“Ha-ha-ha,
benar sekali, manisku. Cerdik sekali, bukan?”
Sekarang tahulah
Siang Cun bahwa suheng-nya ini tidak gila. Sama sekali tidak gila, melainkan
jahat dan keji bukan main! Dan ia kini telah terjatuh ke dalam tangan manusia
iblis ini!
“Siang Cun,
sekarang kita menjadi pengantin, engkau menjadi isteriku...“ Tangan pria itu
mulai merenggut ke arah pakaian Siang Cun.
Bukan main
takutnya hati Siang Cun. Ia hendak meronta, hendak melawan, namun ia belum
mampu menggerakkan kaki tangannya.
“Jangan...
ahh, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku...“
“Membunuh
engkau? Ha-ha-ha, kau kira aku sudah gila? Bertahun-tahun lamanya aku
merindukannya, mencintamu, dan kini engkau menjadi milikku. Ah, kau
kekasihku... aku cinta padamu...“
Seperti
orang gila atau seperti seekor harimau kelaparan melihat seekor domba muda yang
lunak dagingnya, Hok Ci menubruk dan menciumi muka gadis itu, menggigiti bibir
dan leher itu seperti orang gila.
Siang Cun
memejamkan mata. Ia hampir pingsan saking takut, ngeri dan jijiknya. Apa lagi
ketika tangan Hok Ci merenggut lepas pakaiannya satu demi satu. Ia hanya dapat
merintih dan mengeluh minta dibunuh saja.
Dalam
keadaan yang amat berbahaya itu, saat kehormatan Siang Cun sudah terancam noda
yang akan menghancurkan hidupnya, nyaris seperti sepotong daging yang sudah
berada di depan mulut seekor serigala buas yang siap mengunyah dan menelannya,
dan Siang Cun sudah memejamkan mata dengan hati hancur, tiba-tiba pintu kamar
itu tertendang roboh dari luar!
“Brakkkkk!”
Daun pintu roboh dan muncullah Sin Hong!
“Phoa Hok
Ci, manusia iblis jahat!” bentak Sin Hong dengan marah sekali saat melihat
keadaan di dalam kamar itu.
Siang Cun
rebah terlentang di atas pembaringan dengan pakaian sudah lepas semua dari
tubuhnya, dan Hok Ci merangkul dan menciuminya, siap untuk memperkosa gadis itu
yang nampak tak berdaya, tidak mampu bergerak karena tertotok jalan darahnya.
Hok Ci
terkejut dan marah bukan main. Dia tadi baru saja membuka bajunya, mulai satu
demi satu melepaskan kancing bajunya yang kini telah menjadi setengah terbuka
ketika terjadi gangguan itu. Ketika dia meloncat bangkit berdiri sambil
membalikkan tubuh dan mengenal Sin Hong, matanya terbelalak. Dia merasa heran
dan terkejut bukan main.
Bukankah Si
Bangau Putih ini sudah mampus di dasar lubang sumur jebakan? Bagai mana
tiba-tiba dapat muncul di sini, pikirnya. Dia cerdik dan maklum akan bahaya
yang mengancam dirinya.
Dia sudah
mengenal baik betapa lihainya Pendekar Bangau Putih ini, bahkan gurunya
sendiri, Hoan Saikong dan dia pernah mengeroyoknya, akan tetapi mereka berdua
pun terdesak hebat. Apa lagi kini ia harus menghadapinya seorang diri saja.
Tetapi ia tidak melihat jalan lain kecuali melawan. Tanpa membuang waktu lagi,
dia pun menyambar pedangnya dan menerjangnya dengan serangan ganas dan dahsyat.
Namun, Sin
Hong sudah bersiap siaga dan dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke
kiri dan dari sudut samping dia menotok ke arah pundak lawan. Totokan itu cepat
sekali datangnya. dan nyaris pundak Hok Ci terkena totokan.
Akan tetapi
Hok Ci dengan cepat memutar tubuh dan pedangnya ikut pula berputar lalu membuat
lingkaran dan menyerang pula ke arah leher Sin Hong! Gerakan ini cepat, namun
sesungguhnya, Hok Ci terkejut dan jeri karena sekali gebrakan saja pundaknya
hampir tertotok yang kalau tadi mengenai sasaran tentu akan membuat dia roboh
tak berdaya!
Menghadapi
sambaran pedang ke lehernya, Sin Hong merendahkan tubuhnya dan tiba-tiba
kakinya mencuat dengan ujung sepatunya menendang ke arah lutut Hok Ci! Ini pun
merupakan serangan yang sangat berbahaya karena sedikit saja sambungan lututnya
tersentuh ujung sepatu, cukup untuk membuat Hok Ci terguling.
Namun Hok Ci
menarik kakinya dan bukan lutut yang tertendang, melainkan pahanya yang tercium
ujung sepatu. Ia tidak roboh, akan tetapi tetap saja terhuyung dan cepat ia
memutar pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar yang melindunginya. Akan
tetapi, tendangan yang mengenai tepi pahanya tadi sudah cukup membuat Hok Ci
jeri.
Sambil
memutar pedangnya, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak dan sinar hitam kecil
menyambar, bukan ke arah Sin Hong melainkan ke arah tubuh gadis yang kini rebah
telanjang di atas pembaringan! Otak Hok Ci yang cerdik dan licik sudah
menemukan akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari tangan Sin Hong
yang terlalu lihai baginya itu. Dia menyerang Siang Cun dengan jarum hitam,
jarum yang mengandung racun! Dan mudah saja dia mengenai sasaran yang tidak
mampu bergerak itu.
Terdengar
Siang Cun mengeluarkan rintihan ketika pahanya terkena jarum hitam yang
menyambar cepat tanpa ia mampu mengelak. Sin Hong terkejut sekali dan terpaksa
dia tidak mengejar ketika Hok Ci melompat keluar dari kamar itu untuk melarikan
diri. Sin Hong tahu bahwa jarum yang melukai Siang Cun adalah jarum beracun dan
kalau tidak ditolong gadis itu dapat terancam maut. Tentu saja jauh lebih
penting menolong Siang Cun dari pada mengejar Hok Ci, apa lagi karena Siang Cun
terancam bahaya maut.
Memang di
sini membuktikan kelicikan dan kecerdikan Hok Ci yang dapat melepaskan diri
dari tangan Sin Hong yang dia tahu bukan lawannya karena pendekar baju putih
itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kepandaiannya.
Sin Hong
melompat ke dekat pembaringan. Siang Cun yang membuka mata melihat betapa Sin
Hong mendekatinya, dan teringat akan keadaannya yang telanjang bulat itu.
Segala bagian tubuhnya nampak jelas oleh pemuda itu dan hal ini membuatnya malu
bukan main. Mula-mula wajahnya berubah merah sekali, lalu pucat dan merah
kembali dan perlahan-lahan kedua matanya menjadi basah air mata.
Akan tetapi
Sin Hong tak peduli akan keadaan gadis itu, tidak melihat ketelanjangannya
karena seluruh perhatiannya sedang tertarik pada bintik hitam di paha kiri
gadis itu. Dia memeriksa dengan teliti sekali, tanpa banyak cakap dia meraba
paha itu dan memijat bagian yang ada bintik hitamnya.
“Aduhhhhh...!”
Siang Cun menjerit karena bagian yang dipijat itulah yang terasa nyeri terkena
jarum tadi.
Yakinlah Sin
Hong bahwa bintik hitam itulah akibat luka oleh jarum. Apa lagi dia melihat
betapa di sekeliling bintik itu sudah ada tanda merah kebiruan tanda bahwa
racun jarum itu mulai berjalan.
Oleh karena
maklum akan bahaya yang mengancam diri Siang Cun, Sin Hong lupa akan sopan
santun lagi. Yang penting baginya adalah menyelamatkan nyawa gadis itu. Maka,
tanpa membuang waktu dia lalu menunduk, menempelkan mulutnya pada bintik hitam
di paha, dan mengerahkan tenaga lalu menyedot!
Dua kali dia
menyedot barulah jarum itu keluar, digigitnya lalu dicabutnya dari daging paha,
dibuangnya ke sudut kamar, lalu dia menempelkan lagi bibirnya pada luka kecil
itu dan menghisap sampai ada darah hitam yang keluar. Diulanginya lagi sampai
akhirnya darah merah yang keluar dan paha itu bebas dari racun jarum.
Legalah
hatinya dan baru Sin Hong sadar akan keadaan pada gadis itu yang telanjang
bulat, maka tiba-tiba saja mukanya berubah merah dan dia mundur beberapa langkah
sambil menyentuh pundak gadis itu untuk membebaskan totokannya, kemudian cepat
ia membalikkan tubuhnya sambil berkata, “Harap maafkan aku, Nona.”
Begitu
totokannya bebas, Siang Cun cepat-cepat menyambar pakaiannya, mengenakan semua
pakaiannya sambil tak dapat lagi menahan air matanya yang turun bercucuran. Ia
menangis tersedu-sedu, karena bermacam perasaan mengaduk hatinya.
Rasa haru
dan terima kasih bahwa dia yang sudah berada di ambang pintu kehancuran dan
kehinaan itu terbebas dari bahaya itu. Rasa malu setengah mati karena Sin Hong
telah melihatnya dalam keadaan telanjang bulat dengan tubuh telentang, dan
lebih malu lagi ketika ia mengingat kembali betapa Sin Hong telah mengecup dan
menyedot luka di pahanya, paha kiri bagian atas dekat perut! Malu yang amat
hebat, malu dan hina walau pun ia tahu bahwa Sin Hong melakukan hal itu untuk
menyelamatkan nyawanya!
Rasa terima
kasih, malu, dan penasaran mengaduk hatinya. Rasanya ia tidak ada muka lagi
untuk melihat wajah Sin Hong, untuk bertemu dengan manusia lain! Bagaimana jika
mereka itu tahu akan keadaannya tadi?
“Phoa Hok
Ci... jahanam keparat busuk... kubunuh engkau... manusia iblis...“ Mulutnya
mendesiskan ancaman ini ketika ia mengenakan pakaiannya.
Mendengar
disebutnya nama Phoa Hok Ci, baru Sin Hong teringat kembali akan orang itu.
Tadinya dia masih merasa ‘nanar’ karena teringat akan ketelanjangan Siang Cun,
teringat betapa dia tadi sudah mengecup paha itu. Betapa janggalnya keadaan itu
tadi sehingga dia lupa keadaan yang lain. Kini, teringat kepada Hok Ci yang
melarikan diri, dia cepat meloncat keluar.
“Akan
kutangkap dia!” katanya dan beberapa kali loncatan saja dia sudah lenyap dari
kuil.
Siang Cun
membereskan pakaiannya dan rambutnya, kemudian dengan hati tak karuan rasanya
ia pun lari keluar untuk mencari musuh besarnya itu.
Sementara
itu, sambil berlari cepat meninggalkan kuil, Hok Ci tersenyum lega. Untung dia
memiliki akal yang amat cerdik, melukai Siang Cun dengan jarum beracun sehingga
Sin Hong tidak sempat mengejar dan menangkapnya. Dia harus berlari cepat, harus
meninggalkan daerah itu jauh-jauh kalau dia ingin selamat.
Dia akan
meninggalkan kehidupannya sebagai murid Ngo-heng Bu-koan, sebagai murid Hoan
Saikong yang sudah mati, dan dia akan memulai hidup baru, di tempat baru dan
melupakan Siang Cun yang terpaksa harus dia tinggalkan. Masih menyesal sekali
kalau dia membayangkan betapa daging lunak yang sudah berada di ujung lidah itu
terlepas pada saat terakhir! Dalam hati ia memaki-maki Si Bangau Putih yang
menggagalkan ia memiliki gadis yang sudah lama membuat dia tergila-gila itu.
Mendadak
terdengar bentakan-bentakan nyaring, dan ketika dia memandang, wajahnya
seketika menjadi pucat! Dirinya sudah dikepung oleh puluhan orang anggota
Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang yang dipimpin sendiri oleh Bhe Kauwsu dan
Ciok Pangcu!
Dia sama
sekali tidak takut menghadapi dua orang ketua itu. Akan tetapi kalau harus
melawan puluhan orang, tentu saja dia merasa gentar sekali! Belum lagi kalau
dihitung datangnya bahaya pengejaran dari Si Bangau Putih!
“Phoa Hok
Ci, murid murtad, jahanam keparat! Di mana anakku Siang Cun?” bentak Bhe Kauwsu
yang marah bukan main dan juga khawatir karena ia tak melihat puterinya bersama
penjahat itu.
Dalam
keadaan panik terkepung itu, Hok Ci masih hendak menggunakan akal liciknya.
“Ia... ia di kuil tua, diperkosa oleh Si Bangau Putih...! Cepat Suhu ke sana,
kalau tidak, akan terlambat...”
Mendengar
ucapan ini, Bhe Gun Ek, guru silat Ngo-heng Bu-koan itu tertegun. Tapi Yo Han
segera berteriak lantang. “Harap Bhe Kauwsu jangan percaya omongan manusia
iblis ini! Suhu tidak mungkin melakukan hal yang terkutuk itu! Sebaiknya
manusia iblis ini segera ditangkap dulu, baru nanti dicari di mana adanya enci
Siang Cun!”
Mendengar
kata-kata Yo Han ini, sadarlah Bhe Kauwsu. Tanpa dikomando lagi, semua orang
yang mengepung pemuda itu, termasuk Ciok Pangcu, menggerakkan senjata dan
berloncatan turun dari atas kuda mengeroyok Phoa Hok Ci! Puluhan orang
mengepung dan mengeroyoknya, dan Phoa Hok Ci mencoba untuk memutar pedangnya
membela diri.
“Jangan
bunuh dia! Tangkap hidup-hidup!” Berkali-kali Bhe Gun Ek dan Ciok Pangcu
berteriak karena kedua orang pemimpin perkumpulan ini ingin mendengar pengakuan
Hok Ci tentang semua perbuatannya yang amat keji, membunuh banyak orang di
kedua pihak untuk mengadu domba antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang.
Betapa pun
lihainya Hok Ci, tapi menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang semua menaruh
dendam padanya, akhirnya ia roboh dengan luka-luka di tubuhnya. Pedangnya
dirampas dan dengan kedua lengan lumpuh karena patah tulangnya, dia diringkus
dan dibelenggu kaki tangannya.
Ciok Kam
Heng yang merasa amat sakit hati karena kehilangan puteranya itu, segera
menjambak rambutnya sambil membentak, “Manusia iblis! Sekarang ceritakan apa
yang telah kau lakukan selama ini untuk menjatuhkan fitnah kepada
Kim-liong-pang!”
Hok Ci
maklum bahwa tiada harapan lagi baginya untuk hidup. Rasa takut, penasaran dan
sesal membuatnya kehilangan keseimbangan batinnya dan mendadak dia tertawa
bergelak. Suara ketawanya membuat semua orang bergidik ngeri karena itu jelas
bukan suara ketawa orang yang waras otaknya!
Segala macam
bentuk kejahatan yang dilakukan orang adalah suatu tanda bahwa pada saat dia
melakukannya, keadaan batinnya memang tidak sehat, tidak waras! Batin yang
dikuasai oleh nafsu apa pun, batin yang diperhamba nafsu, merupakan batin yang
tidak sehat, yang sudah gelap seperti buta sehingga segala yang dilakukan oleh
jasmaninya hanya untuk menuruti dorongan nafsu itu semata.
Belajar
untuk menjadi ‘orang baik’ tidak ada gunanya selama batin masih lemah, masih
mudah dicengkeram oleh nafsu, mudah diperhamba nafsu. Yang penting bukan ingin
menjadi orang baik, melainkan membuka mata batin, menyadarkan batin supaya
tidak sesat, tidak lemah, waspada selalu akan keadaan diri sendiri, selalu
dalam keadaan waspada sehingga tidak lengah dan tidak mudah dinina-bobokkan
oleh nafsu.
“Ha-ha-ha-he-he-heh!
Kalian manusia-manusia tolol! Memang aku yang melakukan itu semua, aku yang
memperkosa dan membunuh Bong Siok Cin, membunuhi para murid Ngo-heng Bu-koan
dan Kim-liong-pang. Aku yang mengadu domba antara kalian! Untuk apa? Agar
ikatan perjodohan antara Bhe Siang Cun dan Ciok Lim terputus karena Siang Cun harus
menjadi isteriku! Ha-ha-ha-ha, hanya akulah yang pantas memiliki diri Siang Cun
yang molek, ha-ha-ha-ha!”
“Keparat! Di
mana anakku Siang Cun sekarang?” bentak Bhe Kauwsu dengan marah. Tangannya
sudah gemetar sebab menurutkan kemarahannya ingin ia membunuh murid murtad itu.
“Siang Cun?
Ha-ha-ha, di kuil tua, diperkosa oleh Si Bangau Putih, mungkin sekarang sudah
mampus pula, heh-heh!”
“Bohong!
Jahanam itulah yang hendak memperkosanya, akan tetapi untung aku segera datang
mencegahnya... Dia melukainya dengan jarum beracun, akan tetapi sekarang telah
selamat!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah Sin Hong.
Mendengar
ini, lega rasa hati Bhe Kauwsu dan kini tidak dapat dicegah lagi, pedangnya
digerakkan menusuk dada Phoa Hok Ci! Pada saat yang sama pedang di tangan Ciok
Pangcu juga bergerak membabat ke arah leher orang jahat itu.
Tubuh itu
terkulai dengan dada berlubang dan leher putus! Para murid Kim-liong-pang dan
Ngo-heng Bu-koan juga menggerakkan senjata mereka. Dalam sekejap saja tubuh
Phoa Hok Ci lantas menjadi korban puluhan senjata, menjadi hancur tidak karuan
lagi bentuknya!
“Sudah
cukup!” Tiba-tiba Sin Hong membentak, suaranya amat nyaring sehingga semua
orang terkejut dan melangkah mundur. “Kalian semua adalah orang-orang yang
gagah, mengapa sekarang dikuasai nafsu amarah dan dendam kebencian, kemudian
berubah menjadi orang-orang yang demikian kejam?”
Semua orang,
termasuk Ciok Kam Heng dan Bhe Gun Ek, tiada yang menjawab, hanya menundukkan
muka dengan rikuh dan malu karena baru sekarang mereka bisa melihat kenyataan
itu, alangkah sadis dan kejamnya mereka tadi karena dibakar oleh dendam
kebencian.
“Ayahhh...!”
Tiba-tiba terdengar jeritan dan Siang Cun datang berlari-lari, disambut oleh
ayahnya. Gadis itu menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis terisak-isak.
Bhe Gun Ek
mengelus-elus rambut kepala puterinya dan menepuk-nepuk pundaknya. “Sudahlah,
Siang Cun, tenanglah. Jahanam keparat itu sudah kami bunuh.”
Siang Cun
menghentikan tangisnya, memandang ke kanan kiri dan seperti orang dalam mimpi
ia bertanya, “Mana dia? Mana manusia iblis itu? Akan kubunuh dia...!”
“Dia sudah
mati di tangan kami, Siang Cun. Nah, itu dia!” Ayahnya menunjuk ke bawah.
Siang Cun
memandang dan seperti terpukau melihat tumpukan daging dan tulang yang sudah
menjadi onggokan tak berbentuk itu. Mendadak ia merampas pedang di tangan
ayahnya, kemudian meloncat ke depan dan hendak membacokkan pedangnya ke arah
onggokan daging dan tulang itu, tapi tiba-tiba lengannya ditangkap orang dari
belakang.
“Nona
sadarlah. Yang sesat biarlah sesat seperti Phoa Hok Ci itu. Akan tetapi tidak
perlu Nona menjadi sedemikian kejam karena dendam kebencian. Dia sudah mati dan
jasmaninya tidak berdosa.”
Siang Cun
menoleh dan ketika ia melihat bahwa yang menahannya adalah Sin Hong, ia lalu
melepaskan pedangnya dan berlari kepada ayahnya, kembali merangkul ayahnya sambil
menangis keras.
***************
“Tidak, aku
tidak ingin hidup lagi, Ayah. Biar pun jahanam itu belum sampai menodaiku, akan
tetapi... ahh, bagaimana aku dapat melupakan aib dan malu itu? Dia... Tan Sin
Hong itu, dia... telah melihat aku bertelanjang bulat, bahkan dia... dia
telah...“
Bhe Kauwsu
memeluk puterinya. Tadi baru saja dia menyelamatkan puterinya dari maut ketika
Siang Cun menggantung diri di dalam kamarnya!
“Anakku,
janganlah mengambil jalan pendek. Bunuh diri merupakan suatu dosa besar, Siang Cun.
Apa yang sudah dilakukan oleh Tan Taihiap padamu? Apa yang sudah dia perbuat?”
Siang Cun
bercerita dengan suara terputus-putus tentang pengobatan yang dilakukan oleh
Sin Hong kepadanya. Betapa pemuda itu bukan hanya melihat ia bertelanjang bulat
dan terlentang di atas pembaringan, bahkan pemuda itu sudah mengobatinya dengan
menyedot darah dan jarum dari paha kirinya, ketika ia dalam keadaan telanjang!
“Bagaimana
mungkin aku dapat melupakan aib dan malu itu, Ayah? Dia bukan apa-apa, bukan
saudara bukan keluarga, bahkan saudara seperguruan pun bukan! Aib ini hanya
dapat dihapus dengan kematianku, Ayah...“ Gadis itu menangis lagi.
Bhe Kauwsu
menarik napas panjang. Dia mengerti akan penderitaan batin puterinya. Kemudian
dia berkata, “Tenanglah, anakku. Ada suatu jalan yang lebih baik dari pada
membunuh diri, dan biarlah aku yang membicarakan urusan ini dengan Tan Taihiap.
Mudah-mudahan saja dia tidak keberatan dan mau menolong kita.”
“Apakah
maksudmu, Ayah?”
“Menjodohkan
engkau dengan Tan Taihiap, anakku.”
Wajah yang
manis itu seketika menjadi merah dan ia menundukkan mukanya. “Memang hanya
itulah jalan satu-satunya untuk menghapus aib dari diriku, Ayah. Jika ia
menolak, lebih baik aku mati saja!” Setelah berkata demikian, Siang Cun
menutupi mukanya dan menangis lagi.
Bhe Kauwsu
segera menemui Sin Hong yang sedang berkemas di dalam kamarnya bersama Yo Han.
Mereka sudah terlalu lama tinggal di tempat itu dan biar pun mereka
diperlakukan sebagai tamu kehormatan dan merasa senang, namun tidak enak juga
jika terus menerus menerima kebaikan orang dan mondok di tempat itu.
Bhe Kauwsu
minta bicara empat mata dengan pendekar itu dan Sin Hong pun segera menyuruh muridnya
keluar dari dalam kamar.
Yo Han pergi
ke belakang rumah. Di tempat itu dia sudah bergaul dengan leluasa sekali,
menjadi sahabat dari para murid Ngo-heng Bu-koan dan dia seorang anak yang amat
disuka oleh para murid.
Setelah
duduk berhadapan berdua, Bhe Kauwsu lalu menyampaikan maksud hatinya untuk
menjodohkan puterinya dengan Tan Sin Hong. Dia berterus terang akan keadaan
Siang Cun.
“Biar pun
kami sekeluarga akan merasa terhormat dan berbahagia sekali kalau Taihiap sudi
menjadi suami Siang Cun, akan tetapi sesungguhnya sampai bagaimana pun aku
tidak akan berani mengemukakan hasrat hati keluarga kami kepadamu, Taihiap.
Akan tetapi, anakku Siang Cun berkeras akan membunuh diri untuk mencuci aib dan
hanya mau melanjutkan hidup kalau dapat menjadi isterimu. Oleh karena itu,
Taihiap, kami sekeluarga yang sudah putus harapan hanya memandang kepadamu
sebagai bintang penolong keluarga kami.”
Tentu saja
Sin Hong terkejut bukan main mendengar permintaan itu! Ia menjadi bingung
karena sama sekali tidak menyangka bahwa secara tiba-tiba dia diminta untuk
menjadi suami Siang Cun!
“Tetapi...
tetapi... maafkan, Paman. Hal ini... harus kupikirkan dulu karena menyangkut
kehidupanku di masa depan. Aku... minta waktu untuk memikirkannya...,“ katanya
agak gagap.
Bhe Kauwsu
tersenyum. “Tentu saja, Taihiap. Karena seperti Taihiap pernah bicarakan dengan
kami bahwa Taihiap adalah seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara, maka
segala keputusan harus dipikirkan dulu. Biarlah kami menanti sampai besok agar
Taihiap mempunyai waktu sehari semalam ini untuk memikirkannya.” Bhe Kauwsu
lalu mengundurkan diri, meninggalkan Sin Hong yang masih bengong dan bingung.
Menjadi
suami Siang Cun? Pertanyaan ini berdengung terus di dalam kepalanya. Tanpa
disengaja, dia pun mengenang gadis itu. Seorang gadis yang cantik manis, juga
gagah perkasa dan terbayanglah tubuh gadis itu yang pernah dilihatnya dalam
keadaan bugil dan polos! Tubuh yang mulus, wajah yang cantik, watak yang gagah
dan kedudukan terhormat. Cukup baik, bahkan terlalu baik untuknya. Dan juga
amat baik bagi Yo Han.
Muridnya itu
masih muda sekali, membutuhkan lingkungan dan pergaulan yang baik. Dan Ngo-heng
Bu-koan merupakan tempat yang amat baik bagi seorang anak, dapat bergaul dengan
murid-murid Ngo-heng Bu-koan yang gagah dan berjiwa pendekar.
Tiba-tiba
terbayang wajah Kao Hong Li! Hatinya berdebar-debar penuh keharuan. Dia
mencinta Hong Li! Sejak pertemuan pertama, dia sudah tertarik dan jatuh cinta
kepada puteri suheng-nya itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia dapat menjadi
suami Kao Hong Li?
Hong Li
adalah puteri Kao Cin Liong, seorang pendekar besar bekas panglima kerajaan,
putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir! Kedudukan keluarga itu amat terhormat,
baik di dalam dunia kang-ouw, dunia persilatan, di masyarakat, bahkan di antara
kalangan para pembesar kerajaan.
Sebaliknya
dia? Seorang yatim piatu, sebatang kara, miskin dan tidak memiliki apa-apa!
Dibandingkan dengan Hong Li, dia bagaikan seekor burung gagak di samping seekor
burung Hong! Belum lagi diingat bahwa dia adalah susiok (paman guru) Hong Li,
walau pun usia mereka sebaya. Tidak, tidak mungkin dia dapat menjadi suami Hong
Li, betapa pun dia mencintanya, bahkan andai kata Hong Li juga mencintanya,
perjodohan antara mereka adalah tidak mungkin.
Kembali dia
membayangkan Siang Cun. Seorang gadis yang sangat baik, dinilai dari keadaan
wajah, bentuk tubuhnya, atau pun wataknya. Dan dia pun akan hidup tenang, bisa
membantu ayah mertuanya untuk memajukan Ngo-heng Bu-koan, memimpin para murid
Bu-koan (Perguruan Silat) dengan ilmu silat.
Hanya itulah
satu-satunya keahliannya. Ilmu silat! Dan dia dapat mempergunakannya di sini.
Pekerjaan lain apakah yang dapat dia lakukan kecuali mengajarkan ilmu silat?
Dan Siang Cun seorang calon isteri yang manis dan molek. Dan Yo Han, muridnya
yang dia sayang, akan memperoleh tempat yang baik pula di Ngo-heng Bu-koan. Dan
ayah mertuanya seorang tua yang gagah dan bijaksana. Mau apa lagi?
“Suhu,
kenapa Suhu melamun setelah Bhe Kauwsu pergi?” tiba-tiba Yo Han memasuki kamar.
Anak ini baru berani memasuki kamar setelah melihat Bhe Kauwsu tidak lagi
berada di kamar gurunya.
Sin Hong
keluar dari dunia lamunan, menoleh pada muridnya. Melihat wajah muridnya
membayangkan kekhawatiran, dia lalu merangkul pundak Yo Han. Muridnya ini
selalu memperhatikan dirinya. Seorang murid yang bukan hanya berbakti, akan
tetapi juga mencintanya seperti seorang adik kepada kakaknya.
“Yo Han, aku
sedang bingung. Bhe Kauwsu mengusulkan perjodohan antara aku dan puterinya.”
Meski Yo Han
baru berusia kurang lebih delapan tahun, namun dia tidak menganggap muridnya
itu anak kecil. Sikap dan jalan pikiran Yo Han seperti seorang dewasa saja.
Oleh karena itu, tanpa ragu lagi dia menceritakan persoalan yang dihadapinya.
Yo Han
mengerutkan alisnya, “Enci Siang Cun seorang wanita yang gagah perkasa dan
cantik, dan Ngo-heng Bu-koan tempat orang-orang gagah, Suhu. Akan tetapi apakah
Suhu mencintanya?”
Mendengar
kata cinta keluar dari mulut anak itu, mau tidak mau Sin Hong tersenyum geli.
“Aih Yo Han, tahu apa engkau tentang cinta? Dan kenapa kau bertanya demikian?”
“Suhu,
menjadi suami isteri berarti hidup berdampingan selama hidup! Kalau Suhu dan
enci Siang Cun saling mencinta, tidak ada masalah apa pun bagi Suhu untuk
berjodoh dengannya.”
Sin Hong
menggeleng kepalanya. “Aku kagum dan suka kepadanya, akan tetapi tentang
cinta... aku masih belum tahu, Yo Han. Akan tetapi, kalau aku menolak, berarti
ia akan mati membunuh diri. Aku akan merasa berdosa, seolah-olah aku yang
membunuhnya.” Kemudian Sin Hong menceritakan mengenai Siang Cun seperti yang
didengarnya dari Bhe Kauwsu tadi.
Yo Han
membelalakkan matanya. “Wah, sungguh aneh-aneh pikiran seorang dewasa!
Kelihatan telanjang bulat saja sudah mau bunuh diri jika tidak dikawin! Jadi
kalau Suhu mengawininya, berarti Suhu menyelamatkan nyawanya?”
“Begitulah!”
“Tapi...
tapi, Suhu. Bagaimana, dengan enci Hong Li?”
Terkejut
rasa nati Sin Hong mendengar ini. Jantungnya berdebar.
“Apa
maksudmu? Ada apa dengan Hong Li?”
“Suhu cinta
padanya, dan enci Hong Li mencinta Suhu. Kalau Suhu menikah dengan gadis
lain...“
“Ah, Yo Han,
jangan sebut-sebut lagi namanya. Engkau tidak tahu bahwa tidak mungkin bagiku
untuk bisa bersanding dengan Hong Li. Pertama, dia adalah murid keponakanku
sendiri, dan kedua, kedudukan kami sungguh berbeda bagai bumi dan langit.
Agaknya... agaknya, tidak ada lain jalan bagiku kecuali menerima uluran tangan
Bhe Kauwsu...“
“Wah,
kionghi (selamat), Suhu!” Yo Han lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan
memberi selamat kepada gurunya.
Dengan muka
berubah agak kemerahan Sin Hong merangkul muridnya sambil tertawa. Setelah
berpikir keras semalam suntuk, akhirnya Sin Hong mengambil keputusan untuk
menerima uluran tangan Bhe Kauwsu.
Ada beberapa
hal yang mendorong dirinya menerima uluran tangan itu. Terutama sekali untuk
mencegah Siang Cun membunuh diri, mencuci perasaan terhina dan malu. Dan masih
banyak segi yang ada kebaikannya. Dia dapat menyumbangkan kepandaiannya untuk
memajukan Ngo-heng Bu-koan dan dapat hidup berkeluarga yang layak. Selain itu,
juga dia dapat menempatkan Yo Han dalam lingkungan yang baik.
Sebaliknya,
kalau dia menolak, besar sekali kemungkinan Siang Cun akan membunuh diri, dan
dia bersama Yo Han akan hidup berkeliaran tanpa tempat tinggal yang tetap, dan
terutama sekali, dia akan selalu merasa berdosa.
Dia tidak
dapat terlalu menyalahkan sikap Siang Cun yang berkeras hendak membunuh diri
jika tidak menjadi isterinya. Bagi seorang gadis yang keras hati dan menjaga
benar nama dan kehormatannya, maka peristiwa yang dialaminya itu, ketika ia
dalam keadaan telanjang bulat dilihat oleh Sin Hong, bahkan diobati oleh pemuda
itu dengan cara yang melanggar batas kesusilaan, sungguh merupakan suatu hal
yang mendatangkan malu dan aib yang akan ditanggung selama hidupnya.
Kalau Sin
Hong menjadi suaminya, maka peristiwa itu dengan sendirinya tidak akan
meninggalkan rasa malu, bahkan mungkin akan menjadi kenangan indah dan mesra
bagi keduanya. Dan biar pun Sin Hong belum dapat memastikan apakah ada perasaan
cinta dalam hatinya terhadap Siang Cun, namun dia harus mengakui bahwa dia
kagum dan suka kepada gadis itu, dan harus diakuinya pula secara jujur bahwa
dia tertarik melihat kecantikan wajah dan keindahan tubuh gadis itu!
Pernikahan
segera dilangsungkan dengan meriah. Pihak Kim-liong-pang yang kini telah
menjadi sahabat baik lagi dari Ngo-heng Bu-koan, juga datang, bahkan atas usul
Ciok Kam Heng atau Ciok Pangcu, ketua Kim-liong-pang, dia dengan suka rela
menjadi wali atas diri Sin Hong yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai wali
itu. Ciok Pangcu merasa berterima kasih kepada pendekar muda ini karena ia
telah berjasa memecahkan rahasia yang mengadu domba antara Kim-liong-pang dan
Ngo-heng Bu-koan.
Biar pun Sin
Hong tidak berani mengirim undangan kepada suheng-nya, yaitu Kao Cin Liong,
karena sesungguhnya dia tak merasa mengadakan pesta dan bukan pihak tuan rumah,
namun dia mengirim surat kepada suheng-nya, memberi tahu bahwa dia telah
melangsungkan pernikahan dengan puteri ketua Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang.
Setelah
menikah, meski pun dia dan isterinya saling memperlihatkan sikap mesra dan
mencinta, akan tetapi diam-diam Sin Hong sering kali melamun. Terasa benar
olehnya betapa dalam hubungan mereka sebagai suami isteri, terdapat suatu kehambaran
atau kehampaan akibat tiadanya pertalian batin atau cinta kasih antara mereka
sebelumnya.
Mereka itu
seolah-olah dua orang asing yang baru bertemu dan belum akrab. Hubungan antara
mereka seperti dipaksakan, dan meski pun di luarnya nampak mesra, namun di
dalam sudut batinnya, Sin Hong merasakan suatu kehambaran. Dia pun dapat
menduga bahwa perasaan yang sama terdapat dalam batin isterinya!
Memang harus
diakuinya bahwa sikap Siang Cun baik sekali kepadanya dan nampak betapa wanita
itu berusaha keras untuk menjadi seorang isteri yang baik, mencinta, setia dan
patuh. Namun tetap saja terasa olehnya bahwa hubungan di antara mereka bagai
dipaksakan, tidak wajar karena tidak adanya ikatan batin yang berupa cinta
kasih.
Segala macam
hubungan antara manusia, baik hubungan suami isteri, antara sahabat, orang tua
dan anak, dan sebagainya, pasti akan selalu mendatangkan konflik selama di
dalamnya tidak ada dasar cinta kasih. Cinta kasih ini berarti tidak adanya
pementingan diri sendiri. Selama ada pementingan diri sendiri, cinta kasih
tidak akan hadir. Yang ada hanyalah cinta nafsu, dan cinta nafsu ini tidak akan
dapat bertahan lama karena selalu timbul pertentangan antara dua kepentingan
yang kadang-kadang saling berlawanan. Kepentingan si aku bertumbuk dengan
kepentingan si kamu dan si dia.
Cinta kasih
meniadakan atau setidaknya mengaburkan dan menipiskan kepentingan si aku. Jika
sudah begitu, maka apa pun yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih, akan
selalu benar dan mendatangkan kebahagiaan.
Sin Hong
mempertahankan keadaan ini dan menutupinya dengan bijaksana, sehingga dia hidup
dalam suasana yang palsu. Pada lahirnya, dia dan isterinya hidup rukun, akan
tetapi di dalam hati, keduanya merasakan suatu kekecewaan, kehilangan sesuatu
yang sepatutnya ada dalam kehidupan suami isteri. Tak seorang pun di luar
mereka berdua maklum akan hal ini, kecuali Yo Han!
Anak ini pun
tidak tahu dengan jelas, namun dia mengerti dan merasakan dengan jelas, namun
dia mengerti dan merasakan betapa suhu-nya kini sering kali duduk melamun,
sering kali duduk sambil memandang jauh, dengan pikiran melayang-layang dan
diam-diam dia merasa kasihan kepada gurunya. Anak yang berperasaan halus dan
berotak cerdas ini dapat menduga bahwa gurunya tidak berbahagia!
Perubahan
itu baginya nampak sekali. Ketika gurunya masih hidup menyendiri, hidup berdua
dengan dia dan dalam keadaan serba kekurangan, merantau dengan bebas, gurunya
nampak selalu riang. Akan tetapi setelah menikah, gurunya sering kali duduk
melamun.
Dia melihat
gurunya seolah-olah seekor burung yang tadinya melayang-layang dengan bebasnya
di udara, kini terkurung di dalam sangkar. Biar pun sangkar itu terbuat dari
pada emas, diukir indah dan di dalam sangkar selalu tersedia makanan dan
minuman, namun burung itu tetap saja sering kali mengeluh duka karena
kehilangan kebebasan!
Namun dia
tidak dapat berbuat apa pun. Bagi Yo Han, kehidupan di Ngo-heng Bu-koan cukup
menyenangkan. Di sini banyak kawan yang baik, dan dia pun tekun berlatih silat
di bawah pimpinan langsung dari Sin Hong.
Tentu saja
Sin Hong membedakan latihan bagi muridnya dengan latihan yang diberikan olehnya
kepada para murid Ngo-heng Bu-koan sebagai usahanya membantu kemajuan perguruan
silat mertuanya. Dan waktu pun meluncur terus, melewati segala suka duka yang
menjadi permainan pikiran dan batin manusia.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment