Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 06
Kita
tinggalkan dulu Pouw Li Sian yang tanpa disadarinya telah terjatuh ke tempat
yang amat berbahaya baginya, dan mari kita melihat keadaan Suma Lian. Gadis ini
setelah pulang ke rumah orang tuanya, segera menambah kepandaiannya dengan
gemblengan ayah ibunya.
Dari
ayahnya, Suma Ceng Liong, dia tekun berlatih Ilmu Coan-kut-ci, semacam ilmu
totokan yang ampuh sekali karena jari tangannya yang sudah dilatih secara
istimewa itu bukan hanya mampu menotok jalan darah dan menghentikan aliran
darah, bahkan bisa menembus tulang sesuai dengan namanya, yaitu Coan-kut-ci
(Jari Penembus Tulang)! Ilmu ini memang mengerikan dan agak kejam, karena
ayahnya dulu menerimanya dari seorang datuk sesat yang bernama Hek I Mo-ong
(Raja Iblis Baju Hitam).
Ada pun dari
ibunya, Kam Bi Eng, Suma Lian menerima ilmu yang hebat, yaitu ilmu pedang
gabungan yang dimainkan dengan sebatang suling dan diberi nama Koai-siauw
Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman), yaitu gabungan dari Koai-liong Kiam-sut
(Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Kini dia sudah memiliki sebuah suling emas yang dapat dimainkan dengan hebatnya
sehingga suling emas itu bagaikan sebatang pedang saja yang dapat
bergulung-gulung dengan hebatnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking.
Hanya karena
ia sudah memiliki dasar yang amat kuat berkat gemblengan mendiang kakek Gak Bun
Beng atau Bu Beng Lokai, maka gadis ini mampu mempelajari kedua ilmu yang hebat
itu dalam waktu yang tidak berapa lama. Ayah bundanya gembira sekali melihat
kemajuan puteri mereka. Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat suami isteri
ini agak gelisah, yaitu melihat betapa puteri mereka kini telah berusia dua
puluh tahun lebih, hampir dua puluh satu dan puterinya itu bertunangan pun
belum!
Sejak puteri
mereka pulang, suami isteri itu hampir setiap malam membicarakan hal ini. Akan
tetapi mereka merasa ragu untuk mengajak puteri mereka bicara karena melihat
betapa puteri mereka memiliki watak keras, dan puteri mereka demikian lincah
jenaka dan gembira. Mereka khawatir kalau-kalau usul mereka akan diterima
dengan hati yang tidak senang dan membuat puteri mereka menjadi murung.
“Bagaimana
pun juga, kita harus memberi tahunya, isteriku,” kata Suma Ceng Liong. “Usia
dua puluh tahun lebih sudah terlalu dewasa untuk seorang gadis! Sampai kapan
kita harus menanti untuk menikahkan anak kita yang tunggal itu? Biar pun untuk
gadis kang-ouw, urusan pernikahan tidak boleh disamakan dengan gadis biasa,
akan tetapi bagaimana pun juga, seorang wanita haruslah membentuk rumah tangga
dan memiliki keturunan hidup sebagai seorang isteri atau ibu yang berbahagia.
Dan kita menjadi kakek dan nenek yang bahagia pula.”
“Baiklah,
besok akan kuajak dia bicara. Mudah-mudahan saja, selama ini sudah ada pemuda
yang menjadi pilihan hatinya.”
“Aku
meragukan hal itu. Bukankah baru saja dia meninggalkan tempat tinggal paman Gak
Bun Beng setelah orang tua itu meninggal dunia? Aku bahkan jadi teringat akan
cerita kakak Suma Ciang Bun dulu itu...“
“Hemmm,
tentang muridnya, Gu Hong Beng itu?” tanya Kam Bi Eng.
Memang, Suma
Ciang Bun pernah berterus terang kepada mereka bahwa ketika nenek Teng Siang
In, ibu Suma Ceng Liong akan meninggal dunia, ditunggu oleh Gu Hong Beng, nenek
itu pernah minta Hong Beng berjanji agar kelak menjadi suami Suma Lian dan
karena permintaan itu merupakan permintaan atau pesan terakhir seorang yang
akan mati, pemuda itu tentu saja tidak sampai hati untuk menolaknya. Baru
setelah nenek itu meninggal, Gu Hong Beng menjadi bingung dan tidak berani
mengaku kepada Suma Ceng Liong dan isterinya, hanya berani menceritakannya
kepada gurunya, yaitu Suma Ciang Bun. Gurunya inilah yang kemudian memberi
tahukannya kepada Suma Ceng Liong berdua.
Akan tetapi
ketika itu, Suma Lian sedang belajar silat kepada kakek Gak Bun Beng dan baru berusia
tiga belas tahun. Oleh karena itu ayah ibunya menjawab bahwa karena anak itu
masih belum dewasa, maka urusan pernikahan ini sebaiknya pembicaraannya ditunda
dan kelak akan diserahkan kepada Suma Lian sendiri. Mereka memberi tahu kepada
Suma Ciang Bun bahwa tentang perjodohan puteri mereka, mereka akan menyerahkan
kepada pilihan Suma Lian sendiri. Kalau kelak Suma Lian suka menjadi jodoh Gu
Hong Beng seperti yang diusulkan oleh mendiang nenek Teng Siang In, tentu
mereka pun tidak berkeberatan.
Kini,
setelah puteri mereka dewasa dan mereka memikirkan perjodohan puteri mereka,
tentu saja suami isteri itu teringat kepada Gu Hong Beng! Sudah lama sekali
mereka tidak pernah bertemu dengan Gu Hong Beng atau pun gurunya, Suma Ciang
Bun. Akan tetapi mereka pernah mendengar bahwa kakak mereka itu kini tinggal
sebagai pertapa di lereng Gunung Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han-sui
di Propinsi Shensi.
“Hemmm,
entah berapa usianya sekarang. Kalau tidak keliru, ketika kakak Ciang Bun
membicarakan urusan perjodohan itu, Hong Beng berusia sembilan belas tahun dan
Lian-ji baru berusia tiga belas tahun. Kalau sekarang Lian-ji berusia dua puluh
tahun, berarti Hong Beng sudah berusia dua puluh enam tahun,” kata Suma Ceng
Liong mengingat-ingat. “Pemuda itu cukup baik, gagah perkasa dan sederhana dan
tentang ilmunya, walau pun mungkin tidak setinggi yang dikuasai Lian-ji, namun
tentu selama ini dia telah memperoleh banyak pengalaman dan kemajuan.”
“Hanya kita
tidak tahu apakah dia masih belum memperoleh jodoh, dan kita lebih tidak tahu
lagi keadaan anak kita sendiri. Sebaiknya, biarlah besok kutanyai Lian-ji,
apakah selama ini ia sudah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk
menjadi calon suaminya.”
“Kalau sudah
ada?” tanya suaminya.
“Kita akan
desak dia supaya segera diadakan kontak dan kita sebagai orang tua akan
membicarakan dengan pihak sana.”
“Bagaimana
kalau ia belum mempunyai pandangan?”
“Wah, kalau
begitu aku sendiri pun bingung,” kata Kam Bi Eng.
“Begini
saja, kalau memang benar ia masih bebas, kita suruh saja ia pergi berkunjung ke
tempat pertapaan kakak Suma Ciang Bun. Kasihan Bun-toako, hidup seorang diri.
Biarlah Lian-ji berkunjung ke sana dan menyampaikan permintaan kita agar
Bun-toako suka tinggal bersama kita di sini. Dengan demikian, memberi
kesempatan kepadanya untuk bertemu dengan Hong Beng dan kita nanti bicarakan
urusan jodoh itu, kalau-kalau Lian-ji menyetujuinya.”
Kam Bi Eng
menyetujui usul suaminya. Bagaimana pun juga, sebagai seorang ibu tentu saja
dia pun ingin sekali melihat puterinya menikah dan biar pun usianya baru empat
puluh tahun, karena tidak mempunyai anak lain kecuali Suma Lian, maka Kam Bi
Eng juga mendambakan adanya seorang cucu yang mungil.
Demikianlah,
pada keesokan harinya, Kam Bi Eng mengajak puterinya bercakap-cakap.
Dipancingnya puterinya itu dalam sebuah pembicaraan tentang perjodohan. Suma
Lian tersenyum memandang ibunya.
“Aihhh, Ibu
ini! Pagi-pagi bicara tentang perjodohan! Siapa sih yang memikirkan soal
jodoh?” katanya sambil tertawa.
Kam Bi Eng
adalah seorang yang juga berwatak lincah jenaka, akan tetapi ia memiliki
ketegasan. “Hentikan main-main itu, anakku. Ingat, berapa usiamu sekarang?”
“Berapa, ya?
Dua puluh tahun lebih kukira.”
“Nah,
biasanya seorang wanita yang berusia dua puluh tahun lebih telah menggendong
seorang anak. Apakah engkau sama sekali belum memikirkan urusan perjodohan? Aku
dan Ayahmu menyerahkan pemilihan calon suami kepadamu, maka aku ingin sekali
tahu apakah selama ini engkau sudah bertemu dengan seorang pria yang kau anggap
cocok untuk menjadi calon suamimu?”
“Wah, Ibu
ini ada-ada saja. Selama ini aku tekun berlatih silat, mana ada kesempatan
untuk memikirkan soal itu? Tidak, Ibu, aku belum mempunyai pilihan siapa pun
juga.”
“Sudahlah
kalau begitu. Sekarang, ayahmu dan aku minta agar supaya engkau suka mengundang
paman tuamu Suma Ciang Bun. Kasihan dia, hidup mengasingkan diri dan seorang
diri pula. Engkau kunjungilah dia dan atas nama kami, undanglah dia ke sini.
Sebentar, kupanggil ayahmu!”
Kam Bi Eng
lalu memanggil suaminya yang berada di ruangan belakang. Suma Ceng Liong datang
dan dia pun membenarkan apa yang dikatakan isterinya.
“Benar,
Lian-ji. Kami merasa kasihan kepada Bun-toako. Engkau pergilah ke sana dan
katakan bahwa kami mengundang dia untuk datang dan tinggal di sini bersama
kita.”
“Akan
tetapi, di manakah paman Ciang Bun tinggal?”
“Dia bertapa
di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han Sui, di Propinsi
Shensi. Carilah dia sampai dapat, anakku, dan bujuklah dia supaya suka ikut
bersamamu ke sini. Kami sudah rindu padanya dan katakan bahwa kami ingin sekali
agar dia tinggal bersama kami di sini, sedikitnya untuk beberapa waktu lamanya,
syukur kalau dapat selamanya. Dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi, Lian-ji.”
Suma Lian
mengangguk. Memang tidak enak rasanya tinggal di rumah saja, dan ia pun tidak
mengira sama sekali bahwa selain mengundang paman tuanya, juga kedua orang
tuanya itu mengharapkan ia bertemu dengan Gu Hong Beng yang sudah ditunangkan
dengannya secara diam-diam oleh mendiang neneknya!
Beberapa
hari kemudian, setelah membawa bekal pakaian beserta uang secukupnya,
berangkatlah Suma Lian meninggalkan rumah orang tuanya. Kini ia sudah berbeda
lagi dengan ketika dia pulang, karena dia sudah dibekali dua macam ilmu yang
membuat dirinya menjadi semakin lihai. Dan di pinggangnya kini terselip
sebatang suling emas!
Seperti juga
sumoi-nya, Li Sian, ia mampu mempergunakan setiap ranting kayu untuk menjadi
pedang dan memainkan ilmu Lo-thian Kiam-sut. Akan tetapi dengan suling emas itu
ia merasa lebih mantap dan lebih percaya akan kemampuan diri sendiri.
Perjalanan
yang dilakukan Suma Lian cukup jauh, menuju ke barat melalui Propinsi Honan dan
Shensi. Kalau pulangnya, akan lebih mudah mengambil jalan air, yaitu naik
perahu mengikuti aliran Sungai Kuning, akan tetapi berangkatnya, ia mengambil
jalan darat. Namun, bagi seorang gadis perkasa seperti Suma Lian, perjalanan
itu bahkan sangat menggembirakan dan ia sama sekali tidak khawatir akan adanya
gangguan di dalam perjalanan karena ia sudah membawa bekal ilmu kepandaian yang
tinggi.
Akan tetapi,
baru beberapa hari ia meninggalkan Cin-an dan tiba di perbatasan Propinsi Hopei
karena dara ini mengambil jalan lurus ke barat, ia memasuki sebuah kota kecil,
di perbatasan itu dan oleh karena hari sudah mulai gelap, ia mengambil
keputusan untuk bermalam di kota itu. Dia tidak menyangka di tempat itu ia
bertemu dengan pengalaman yang berbahaya!
Sore hari
itu, setelah memasuki kota Bun-koan yang tidak berapa besar. Suma Lian segera
menoleh ke kanan kiri untuk mencari rumah penginapan. Hari itu ia melakukan
perjalanan sehari penuh melalui jalan berdebu dan ia merasa tubuhnya lelah,
panas dan kotor. Ia ingin mandi, kemudian mencari makan malam yang enak sebelum
beristirahat semalam suntuk agar tenaganya pulih kembali dan besok dapat
melanjutkan perjalanan pagi-pagi dengan tubuh segar.
Kota itu
tidak besar dan ternyata hanya mempunyai sebuah rumah penginapan yang tidak
berapa besar. Keadaan rumah penginapan itu terlalu kotor bagi Suma Lian. Akan
tetapi, gadis ini pernah hidup dalam keadaan yang serba sederhana bahkan sangat
kekurangan ketika ia mengikuti gurunya hidup sebagai orang yang miskin, maka ia
tidak dapat terlalu banyak memilih dan tidak pula merasa jijik ketika ia
akhirnya memperoleh sebuah kamar yang tidak besar dan agaknya jarang
dibersihkan. Ia hanya minta agar kain alas tempat tidur dan bantalnya diganti
dengan yang bersih, dan untuk itu ia harus mengeluarkan beberapa uang kecil
untuk pelayan.
Hanya dengan
mengeluarkan uang persenan tambahan pula maka dia akhirnya bisa memperoleh
cukup air untuk mandi. Tubuhnya terasa segar dan nikmat setelah mandi bersih
dan mengenakan pakaian pengganti, dan atas petunjuk pelayan yang sudah dua kali
menerima hadiah uang kecil darinya itu, ia memperoleh keterangan di mana ia
bisa membeli makan malam yang enak.
Benar saja,
restoran kecil itu ternyata dapat menyuguhkan makanan yang cukup lezat,
terutama sekali masakan udang kegemarannya. Harganya pun tidak mahal. Dengan
puas Suma Lian kembali ke kamar di rumah penginapannya, siap untuk tidur.
Selagi ia
berjalan melalui lorong menuju ke kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara anak
laki-laki yang merengek, datangnya dari kamar di sebelahnya.
“Aku mau
pulang! Ah, antarkan aku pulang, atau aku mau pulang sendiri. Aku tidak mau
lagi melanjutkan perjalanan dan ikut denganmu!” Suara itu jelas suara seorang
anak laki-laki dan suaranya terdengar seperti anak yang ketakutan.
Karena
tertarik, dan lorong di mana kamar-kamar berjajar itu sepi, Suma Lian kemudian
menghentikan langkahnya dan mendengarkan.
“Hushhhhh,
jangan ribut-ribut,” terdengar suara seorang laki-lagi, suaranya membujuk.
“Kalau sampai terdengar olehnya dan dia menyusul ke sini, tentu kita akan
dibunuh, terutama sekali engkau.”
“Ahh, kenapa
wanita itu hendak membunuh aku? Kenapa?” Anak itu membentak.
“Ssttt, dia
adalah musuh ibumu. Dan hanya ibumu yang dapat melawannya, dapat melindungimu,
karena itu aku akan mengantar pada ibumu. Ia berada di kota So-tung, tak jauh
dari sini. Besok pagi-pagi kita ke sana dan sekarang diamlah, kita sembunyi di
sini...“
Anak itu
tidak terdengar merengek lagi. Suma Lian tentu saja merasa heran mendengar
ucapan laki-laki itu. Siapakah yang ingin membunuh seorang anak kecil dan
mengapa? Akan tetapi, jangan-jangan laki-laki itu hanya menakut-nakuti saja dan
karena bukan urusannya, maka ia pun melangkah menuju ke kamarnya dan merebahkan
diri setelah membuka sepatunya.
Akan tetapi,
percakapan di kamar sebelah itu membuat ia tidak mudah untuk pulas.
Perhatiannya tetap saja tertuju ke kamar sebelah dan kewaspadaannya tetap
berjaga-jaga, siap untuk turun tangan menolong kalau-kalau benar ada bahaya
mengancam anak di sebelah itu!
Akhirnya,
karena tidak terjadi sesuatu sampai jauh hampir tengah malam, Suma Lian mulai
mengantuk. Ketika ia hampir tertidur, tiba-tiba saja telinganya yang masih
dalam keadaan waspada itu menangkap sesuatu yang mencurigakan, suara gerakan di
atas genteng! Sedikit suara ini saja sudah cukup baginya untuk terbangun.
Cepat
disambarnya sepatunya, dipakainya dan ia pun membuka daun jendela, lalu
tubuhnya sudah meluncur keluar dari jendela kamarnya. Pada saat itu, dia
melihat seorang laki-laki yang menggendong seorang anak laki-laki berusia
kurang lebih tujuh tahun, juga melompat keluar dari jendela kemudian melarikan
diri.
Itulah orang
yang tinggal di kamar sebelah, pikirnya. Agaknya laki-laki itu pun sudah
mendengar akan suara mencurigakan di atas genteng dan kini dia mengajak anak
itu melarikan diri. Dan benar saja, pada saat itu pula, dari atas genteng
menyambar turun bayangan orang yang berseru dengan halus.
“Hemmm,
engkau hendak lari ke mana?“
Mendengar
ini laki-laki yang menggendong anak itu mempercepat larinya. Terkejutlah Suma
Lian melihat bahwa laki-laki itu ternyata dapat berlari cepat sekali, bukan
larinya orang sembarang melainkan larinya orang yang menguasai ilmu berlari
cepat dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat! Akan tetapi
wanita itu, bayangan yang membentak tadi, juga dapat berlari cepat melakukan
pengejaran.
Melihat
kejadian ini, Suma Lian juga mengerahkan tenaganya dan ikut mengejar pula.
Untung baginya bahwa malam itu bulan bersinar terang sehingga ia dapat melihat
jelas dua bayangan yang saling berkejaran itu. Laki-laki yang menggendong anak
itu dapat berlari cepat sekali, akan tetapi pengejarnya agaknya lebih lihai
lagi sehingga jarak di antara mereka menjedi semakin dekat.
Suma Lian
yang khawatir kalau-kalau dua orang itu terkejar dan terbunuh, mempercepat
larinya dan ketika laki-laki itu menghilang ke dalam sebuah hutan kecil,
pengejarnya meragu dan berhenti sebentar di luar hutan. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Suma Lian untuk mempercepat larinya dan membentak,
“Hai, engkau
yang berniat jahat, tunggu dulu!” bentakannya nyaring sehingga membuat wanita
yang tadi melakukan pengejaran itu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya.
Sekarang
mereka berdiri berhadapan, dalam jarak antara dua meter. Sinar bulan cukup
terang sehingga walau pun tidak sangat jelas, namun mereka dapat saling melihat
dan keduanya diam-diam merasa heran. Suma Lian melihat bahwa wanita itu sama
sekali bukan nampak seperti seorang penjahat. Sebaliknya malah, dia seorang
wanita muda, seorang gadis yang cantik jelita, matanya lebar dan sikapnya gagah
sekali.
Akan tetapi,
wanita itu agaknya marah oleh gangguannya. Begitu mereka berhadapan, ia menegur
Suma Lian, suaranya nyaring dan ketus.
“Siapakah
engkau yang berani mencampuri urusan orang lain dengan lancang? Mau apa engkau
mengejar aku?”
Suma Lian
tidak marah, hanya ia merasa heran mengapa ada seorang gadis secantik dan
segagah ini berhati kejam hendak membunuh seorang anak kecil.
“Aku
mengejar untuk mencegah engkau melakukan suatu kejahatan, Sobat! Mengapa pula
engkau mengejar orang yang membawa seorang anak kecil tadi? Tidak usah kau
lanjutkan niatmu yang jahat itu...“
“Lancang
kau! Kalau aku mengejar mereka, engkau mau apa? Apamukah laki-laki itu?”
“Bukan
apa-apa. Aku kebetulan sedang bermalam di kamar dekat kamar mereka dan
mendengar bahwa mereka takut kepadamu yang hendak membunuh, maka aku lalu ikut
pula mengejar. Kalau engkau lanjutkan pengejaranmu, terpaksa aku akan turun
tangan menghalangimu.”
“Hemm,
manusia sombong dan lancang yang hendak mencampuri urusan orang! Atau mungkin engkau
kaki tangannya, ya? Kalau begitu perlu kuhajar dulu engkau!” Gadis itu sudah
menerjang dengan tamparan ke arah muka Suma Lian.
Tentu saja
Suma Lian cepat mengelak dan langsung balas menyerang dengan tak kalah
cepatnya. Namun, gadis itu meloncat ke samping dan kini dia menerjang lagi
sambil menghujankan serangan dengan kaki tangannya, seolah-olah ingin cepat
merobohkan Suma Lian agar ia dapat cepat melakukan pengejaran terhadap
laki-laki yang melarikan bocah tadi.
Menghadapi
serangan yang luar biasa cepatnya ini, Suma Lian terkejut bukan main. Tak
disangkanya bahwa gadis yang menjadi lawannya ini benar-benar lihai sekali.
Serangan gadis itu bukan saja sangat cepat, akan tetapi juga hawa pukulan yang
keluar dari gerakan kaki tangannya amat kuat, tanda bahwa gadis itu memiliki
sinkang yang sudah tinggi tingkatnya. Ia pun cepat melindungi dirinya dengan
langkah-langkah ajaib Sam-po Cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat
menghindarkan semua serangan lawan.
Gadis itu
menjadi semakin penasaran. “Hemmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian,
ya?” bentaknya. “Nah, terimalah ini!”
Tangan
kanannya menyambar cepat dan ada hawa yang panas sekali menyambar dari tangan
kanannya itu, dan kehebatan serangan ini sukar untuk dielakkan lagi oleh Suma
Lian. Ia terkejut, maklum akan hebatnya pukulan lawan, maka ia pun menggerakkan
tangan kirinya sambil mengerakkan tenaga Swat-im Sinkang untuk menyambut
pukulan yang mengandung hawa panas itu.
“Dukkk!”
Dua buah
lengan yang berkulit putih halus itu saling bertemu. Keduanya terdorong ke
belakang dan keduanya memandang dengan mata terbelalak.
“Swat-im
Sinkang...!” teriak gadis yang menyerang itu.
“Hui-yang
Sinkang...!” Suma Lian juga berseru heran.
Gadis itu
memandang marah, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Suma Lian. “Engkau
dari mana mencuri ilmu dari Pulau Es?” bentaknya.
Suma Lian
tersenyum mengejek. “Sobat, engkaulah yang mencuri ilmu dari keluargaku. Aku
bernama Suma Lian, keturunan langsung dari penghuni Pulau Es!”
“Aihhhhh...!”
Gadis itu berseru dan memandang dengan mata terbelalak.
“Kau… kau...
Suma Lian, puteri dari paman Suma Ceng Liong?”
“Benar, dan
siapakah engkau?”
“Aku Kao
Hong Li...“
“Aihhh...!
Engkau puteri bibi Suma Hui...?” seru Suma Lian dan mereka maju saling
berangkulan. “Enci Hong Li, maafkan aku, maafkan kelancanganku tadi.”
”Sudahlah,
adik Lian. Sering kali aku datang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong,
akan tetapi engkau belum juga pulang. Tentu ada sebabnya mengapa engkau tadi
mencegah aku mengejar orang yang menculik anak itu.”
Suma Lian
merasa kaget setengah mati. “Apa? Dia... dia itu menculik anak itu? Wah, kalau
begitu aku yang bersalah, enci Hong Li.”
Lalu ia
menceritakan bahwa tadi ia mendengar anak itu merengek minta pulang. “Dan
laki-laki itu mengatakan bahwa mereka harus cepat melarikan diri darimu yang
hendak membunuh mereka, terutama membunuh anak itu. Maka, ketika melihat betapa
mereka melarikan diri dan engkau mengejarnya, aku pun langsung saja turun
tangan hendak mencegahmu. Maafkan aku...“
“Hemmm,
penculik itu telah menipu si anak dan engkau pun ikut pula tertipu, adik Lian.
Aku melihat dia melarikan anak laki-laki itu yang berteriak minta dilepaskan
dan minta dipulangkan, maka aku melakukan pengejaran sejak kemarin. Aku
kehilangan jejaknya dan baru aku temukan mereka di rumah penginapan ini.”
“Akan tetapi
siapakah dia, Enci? Dan mengapa pula dia menculik anak laki-laki itu? Siapa
pula anak laki-laki itu?”
“Aku juga
tidak tahu siapa mereka dan mengapa pula dia menculik anak itu. Ketahuilah,
adik Lian, aku sedang melakukan perjalanan menuju ke rumah orang tuamu, untuk
memberi kabar tentang meninggalnya kakek dan nenek di gurun pasir...“
“Ahhh!
Penghuni Gurun Pasir...?”
“Benar,
kakek dan nenekku tewas setelah istana itu diserbu banyak datuk sesat, dan
setelah memberi tahukan kepada orang tuamu, aku akan pergi mencari siapa para
datuk yang pernah menyerbu ke sana. Dan engkau sendiri, engkau sudah berapa
lama pulang dan sekarang hendak ke mana?”
“Aku diutus
oleh orang tuaku untuk mengundang paman tua Suma Ciang Bun agar suka datang ke
rumah kami.”
“Aih, paman
Suma Ciang Bun? Dia bertapa di Tapa-san dan agaknya sudah tidak mau lagi
mencampuri dunia ramai. Aku pun pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Ahhh,
sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu seperti ini, adik Lian!”
“Aku pun
girang sekali dapat bertemu denganmu, enci Hong Li. Akan tetapi, setelah
mendengar keteranganmu tentang lelaki yang bercaping lebar tadi bahwa dia
menculik anak itu, biarlah aku akan melakukan pengejaran dan menolong anak
itu!”
“Tapi, ke
mana engkau akan mencarinya, adik Lian? Dan aku pun belum yakin benar, baru
mencurigainya menculik anak, belum ada bukti nyata, bahkan aku tidak tahu siapa
dia dan siapa anak itu.”
“Biarlah,
Enci. Aku akan menyelidiki. Terpaksa kita harus berpisah di sini, Enci. Engkau
melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuaku menyampaikan berita duka itu, dan
aku akan pergi berkunjung kepada paman Suma Ciang Bun setelah menyelidiki
penculik itu.”
Kao Hong Li
merangkul lagi, merasa sayang untuk saling berpisah. “Aih, kita baru saja
bertemu secara tidak sengaja. Kalau tadi kita tidak sama-sama menggunakan
Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, entah bagaimana jadinya dengan kita yang
saling hantam sendiri. Akan kuceritakan ini kepada orang tuamu. Ahhh, aku masih
ingin sekali bersamamu dan bercakap-cakap lama, adik Lian.”
“Aku pun
begitu, Enci. Akan tetapi karena kita berdua sama-sama mempunyai tugas, biarlah
lain kali masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi dan
bercakap-cakap sepuasnya.”
“Baiklah,
adik Lian. Nah, selamat berpisah. Akan tetapi kalau engkau mengejar orang
bercaping lebar itu, berhati-hatilah. Melihat gerakannya ketika lari, kurasa
dia bukanlah seorang yang lemah.”
“Engkau
benar, enci Hong Li. Akan tetapi aku pun belum yakin benar bahwa dia seorang
penjahat yang menculik anak itu. Mungkin hanya timbul kesalah pahaman saja
antara dia dan engkau. Aku tahu ke mana harus mencarinya karena ketika dia
bicara dengan anak itu di dalam kamarnya, dia ada menyebutkan bahwa mereka akan
pergi ke kota So-tung. Aku akan menyusul ke sana.”
“Aku tidak
khawatir, engkau tentu akan mampu mengatasinya, Lian-moi.”
Kedua orang
gadis itu yang masih saudara misan, saling peluk lagi kemudian Kao Hong Li
meninggalkan tempat itu, berkelebat lenyap di kegelapan bayangan pohon. Suma
Lian juga cepat masuk kembali ke dalam kamarnya dan setelah menggendong
buntalan pakaiannya, dia pun meninggalkan kamar rumah penginapan itu tanpa
pamit karena dia sudah membayar sewa kamar itu sore tadi.
Tidak sukar
bagi Suma Lian untuk menemukan kota So-tung yang letaknya kurang lebih tiga
puluh li dari kota di mana ia bermalam itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia
telah memasuki kota So-tung. Sayang ia tertinggal jauh sehingga ia tidak lagi
melihat bayangan laki-laki bercaping lebar bersama anak laki-laki itu. Namun,
Suma Lian tidak putus asa dan ia pun segera berputar-putar melakukan
penyelidikan di seluruh kota.
Ketekunannya
berhasil baik. Ketika berjalan tiba di dekat pintu gerbang barat, ia melihat
bayangan orang berkelebat dan ternyata bayangan itu adalah laki-laki berpakaian
serba hijau yang mengenakan caping lebar, yang semalam melarikan diri bersama
anak laki laki yang dikejar oleh Kao Hong Li itu! Akan tetapi, kini laki-laki
itu berjalan seorang diri tanpa menggendong anak laki-laki itu dan nampaknya
tergesa-gesa hendak keluar dari kota melalui pintu gerbang barat.
Melihat ini,
Suma Lian juga mempercepat langkahnya keluar dari pintu gerbang itu. Pagi itu
masih sunyi sekali, belum nampak seorang pun manusia di luar pintu gerbang dan
Suma Lian melihat betapa laki-laki bercaping itu menoleh, kemudian melarikan
diri!
“Hei,
tunggu...!” Suma Lian berseru.
Dan ia pun
mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat gadis itu
melakukan pengejaran, laki-laki itu mempercepat larinya. Hal ini membuat Suma
Lian semakin curiga dan ia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga tidak
lama kemudian ia dapat menyusul dan bahkan mendahului, lalu membalik dan
menghadang.
“Tunggu
dulu!” bentaknya lagi.
Laki-laki
itu terkejut bukan main, akan tetapi, ketika melihat bahwa gadis yang larinya
melebihi kijang cepatnya ini bukanlah gadis yang kemarin membayanginya,
wajahnya menjadi agak lega.
“Ahh, kukira
tadinya engkau adalah orang yang jahat itu, Nona,” katanya, dan sepasang
matanya mengamati wajah Suma Lian penuh perhatian, dan penuh kagum pula.
Sebaliknya,
Suma Lian juga memperhatikan orang ini. Seorang laki-laki muda, usianya tentu
paling banyak tiga puluh tahun, agak kurus dan kedua pipinya nampak peyot bagai
orang yang pemadatan. Akan tetapi sepasang matanya tajam mencorong menandakan
bahwa dia seorang yang ‘berisi’, dan sinar mata itu tajam, juga mengandung
kekejaman dan kelicikan. Mulutnya tersenyum dan nampak giginya yang agak
menghitam karena banyak yang sudah rusak.
Wajah yang
sebetulnya tampan itu nampak tidak menarik lagi ketika dia tersenyum dan
diam-diam Suma Lian bersikap waspada. Orang seperti ini tentu tidak boleh
dipercaya, demikian bisik hatinya. Sementara itu, pria yang kurus itu ketika
melihat bahwa yang mengejarnya seorang gadis yang teramat cantik menarik,
memperlebar senyumnya dan melangkah maju sambil menjura dengan sikap sopan.
“Aih, ada
urusan apakah engkau mengejar dan menahan aku, Nona? Siapakah nama Nona dan ada
keperluan apakah dengan aku?”
Suma Lian
mengerutkan alisnya. Orang ini biasa mempergunakan topi caping lebar untuk
menyembunyikan mukanya, akan tetapi sekarang dia mengangkat topi itu
tinggi-tinggi sehingga nampak wajahnya yang sebenarnya tampan namun kurus
sekali itu.
Dan sepasang
mata yang tajam itu, selain mengandung kelicikan dan kekejaman, juga Suma Lian
merasakan adanya kekuatan yang tidak wajar, seperti dimiliki orang yang biasa
mempergunakan ilmu sihir. Hal ini diketahuinya semenjak ia dilatih ilmu sihir
oleh ayahnya, sepulangnya dari perguruan. Oleh karena itu, ia pun bersikap
hati-hati.
“Tidak ada
urusan antara kita, dan tidak ada perlunya aku memperkenalkan nama. Akan
tetapi, semalam aku melihat engkau melarikan seorang anak laki-laki sehingga
timbul keinginan tahuku apa yang terjadi dengan anak itu? Di mana adanya anak
laki-laki itu sekarang dan mengapa engkau melarikannya malam-malam dari rumah
penginapan itu?”
Pria itu
terbelalak. “Tapi... tapi... kulihat engkau bukanlah wanita yang membayangi dan
mengejarku kemarin...”
“Memang
bukan! Aku yang bermalam di kamar sebelah dan mendengarmu melarikan diri. Hayo
katakan, siapakah anak itu dan mengapa pula engkau melarikannya dan di mana dia
sekarang?”
“Bukan
urusamu, Nona, dan kunasehatkan agar engkau tidak mencampuri urusanku yang sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu.”
“Hemmm,
setiap kali hidungku mencium sesuatu yang busuk, tak mungkin aku tinggal diam
begitu saja sebelum aku tahu betul bahwa tidak ada kejahatan dilakukan orang!
Bawa aku pada anak itu agar aku dapat bicara sendiri dengan dia baru aku
percaya bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang jahat terhadap dia!”
Laki-laki
ini mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.
“Nona, engkau masih muda dan cantik, tetapi amat sombong. Engkau tidak
memandang sebelah mata kepada orang lain, agaknya engkau belum mengenal siapa
diriku. Aku Liok Cit, tak percuma mempunyai julukan Tok-ciang Hui-moko (Iblis
Terbang Bertangan Racun), dan tidak biasa aku diperintah orang lain! Pergilah
sebelum terlambat!”
Suma Lian
belum pernah mendengar nama julukan itu dan ia tersenyum. Ia seorang gadis yang
lincah jenaka dan pemberani, maka mendengar nama julukan itu ia merasa geli.
“Wah-wah,
julukanmu demikian hebatnya, seakan-akan engkau ini pandai terbang dan
seolah-olah tanganmu beracun. Kulihat mungkin hanya hatimu saja yang beracun,
dan mukamu seperti orang berpenyakit keracunan yang sudah mendekati liang
kubur. Kalau engkau tak mau membawaku kepada anak itu, sekali dorong engkau
tentu akan masuk liang kubur!”
“Bocah
sombong!” Liok Cit, laki-laki itu, memaki.
Mendadak dia
pun menyerang dengan terkaman tangan kanan ke arah pundak Suma Lian, sedangkan
tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan ini ganas dan berbahaya
sekali, namun dengan mudahnya Suma Lian mengelak sambil mundur dan kakinya
mencuat dengan tendangan menyamping, mengarah lambung lawan.
“Dukkk!”
Liok Cit
menangkis tendangan itu dan balas menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Tubuhnya
mendoyong ke depan, kedua tangannya terbuka dan dipergunakan sebagai golok,
yang kanan membacok leher, yang kiri menusuk ke arah dada.
Melihat
gerakan orang, Suma Lian maklum bahwa lawan ini memang bukan orang sembarangan,
memiliki gerakan yang cepat dan dari sambaran kedua lengannya pun dapat dilihat
bahwa dia memiliki tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi ia tidak takut. Ia
melindungi kedua tangannya dengan tenaga Inti Bumi yang dapat menolak semua
hawa beracun, dan menangkis sambil mengerahkan Swat-im Sinkang.
“Plak!
Plak!”
Kedua pasang
lengan bertemu dan tubuh Liok Cit terdorong ke belakang dan dia agak menggigil
karena ketika lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, ada hawa dingin
melebihi salju menyusup ke tubuhnya melalui lengan yang beradu dengan lengan
gadis itu.
“Ihhhhh...!”
Dia
mengguncang tubuhnya untuk mengusir hawa dingin dan pada saat itu, Suma Lian
sudah datang menyerangnya dengan totokan ke arah pundaknya. Cepat sekali
gerakan gadis itu, akan tetapi lebih cepat lagi gerakan Si Iblis Terbang,
karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang.
Suma Lian
terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh)
yang istimewa dan kiranya pantas memakai julukan Iblis Terbang. Ia mendesak
lagi dengan serangan-serangannya, untuk memaksa orang itu supaya membawanya ke
tempat anak yang semalam dibawanya pergi. Kini ia percaya akan keterangen Hong
Li. Orang ini tentulah seorang penjahat lihai yang melakukan penculikan
terhadap anak itu. Buktinya anak itu merengek minta pulang dan tentu kini
disembunyikan di suatu tempat.
Liok Cit
mengelak sambil berloncatan ke sana-sini. Dia mempergunakan kecepatan
gerakannya, namun dia tidak mampu melepaskan diri dari desakan Suma Lian. Hanya
dengan cara berloncatan yang amat cepat dia selalu dapat menjauh lagi tiap kali
sudah terdesak hebat.
“Engkau
masih tidak mau menyerah dan membawaku kepada anak itu?” bentak Suma Lian dan
tiba-tiba ia menotok dengan ilmu totok Coan-kut-ci yang baru saja dipelajarinya
dari ayahnya.
Ilmu totokan
ini adalah ilmu yang berasal dari golongan hitam, merupakan ilmu yang keji dan
dahsyat bukan main. Baru hawa totokannya saja sudah terasa oleh lawan dan Liok
Cit juga merasa terkejut. Tadi ketika gadis itu menggunakan tenaga yang berhawa
dingin, dia sudah terkejut dan jeri, kini gadis itu menyerangnya dengan totokan
yang demikian dahsyatnya.
Kembali dia
menyelamatkan diri dengan ilmu ginkang-nya. Tubuhnya terjengkang ke belakang
seperti dilemparkan akan tetapi dia selamat dari totokan yang amat dahsyat itu.
Tahulah dia bahwa jika dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka. Akan tetapi
susahnya, kalau hendak melarikan diri pun pasti dapat dikejar karena ilmu
berlari cepat gadis itu pun hebat sekali. Diam-diam dia berkeringat dingin,
menduga-duga siapa adanya gadis muda yang demikian lihainya.
Sementara
itu, Suma Lian sendiri juga menjadi penasaran. Jelaslah bahwa dalam hal ilmu
silat, ia tidak kalah oleh si baju hijau ini, akan tetapi orang ini sungguh
licin seperti belut dan mempunyai ginkang yang istimewa sehingga selalu dapat
menghindarkan diri pada detik terakhir kalau serangannya sudah hampir mengenai
sasaran.
Dengan marah
dia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya dan menyerang dengan suling
emasnya yang diputar dengan cepat. Suling itu mengeluarkan gaung merdu seperti
ditiup dan berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata,
menyambar-nyambar ke arah Liok Cit.
Orang ini
pun cepat mencabut pedangnya. Melihat gulungan sinar emas menyambar-nyambar,
dengan gugup dia lalu menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga
sekuatnya.
“Cringgg...!“
Pedang itu
seperti terlibat gulungan sinar dan Liok Cit tidak mampu mempertahankan
pegangan gagang pedangnya yang langsung terlepas dari tangannya. Mana dia mampu
menandingi Ilmu Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman) yang baru saja
dipelajari gadis itu dari ibunya.
Namun begitu
sinar emas menyambar ke arah dadanya, sambil mengeluarkan teriakan melengking
tahu-tahu tubuh Liok Cit sudah mencelat ke atas sebatang pohon tak jauh dari
situ. Hebat memang gerakan ini, cepat seperti setan terbang saja!
Suma Lian
menudingkan sulingnya ke arah lawan yang berada di puncak pohon itu. “Engkau
masih belum mau menyerah? Biar engkau melarikan diri ke neraka sekali pun,
jangan harap dapat terlepas dari sulingku ini! Cepat turun dan tunjukkan aku di
mana adanya anak itu!”
Tok-ciang
Hui-moko Liok Cit menghela napas panjang. Dia maklum bahwa dia kalah, akan
tetapi dia masih mempunyai andalan lainnya untuk menundukkan gadis ini. Dia
adalah seorang yang lama berkecimpung di dunia hitam dan menjadi sahabat baik
dari para tosu Pek-lian-kauw sehingga pernah dia mempelajari ilmu sihir. Tentu
saja ilmu ini selalu digunakannya untuk melakukan kejahatan dan kini dia hendak
mempergunakan ilmu ini untuk menundukkan gadis yang membahayakan dirinya itu.
“Baiklah,
Nona aku menyerah kalah. Aku bukan musuhmu, bukan orang jahat dan tidak
bermaksud jahat kepadamu. Biarkan aku turun dan mari kita bicara baik-baik,
Nona.”
“Turunlah.
Tidak usah banyak bicara, asal engkau membawa aku kepada anak itu dan
membiarkan aku bicara sendiri dengan dia, cukuplah. Kalau memang engkau tidak
melakukan kejahatan, aku pun tidak suka mengganggu orang yang tidak berdosa,”
kata Suma Lian sambil menyimpan kembali suling emasnya di ikat pinggang,
tertutup oleh bajunya.
Dengan
gerakan bagai seekor burung melayang turun, Liok Cit meloncat turun dari atas
puncak pohon itu dan berdiri di depan Suma Lian. Diam-diam gadis ini amat kagum
dan memujinya. Ginkang orang ini memang hebat sekali, pikirnya, dan ia sendiri
masih kalah setingkat dalam hal meringankan tubuh. Untung bahwa dalam hal ilmu
silat dan tenaga, ia masih menang jauh sehingga tadi ia mampu membuat orang ini
tidak berdaya.
Akan tetapi,
kini Liok Cit merangkapkan kedua tangannya seperti orang menyembah di depan
dada, matanya memandang tajam penuh wibawa dan suaranya terdengar halus, namun
mendesis dan mengandung pengaruh yang kuat pula. “Aku seorang sahabat, Nona,
bukan musuh. Aku bermaksud baik kepadamu. Lihat, mukamu penuh keringat, usaplah
dulu keringatmu baru kita bicara.”
Otomatis,
Suma Lian mengusap sedikit keringat di dahinya dengan ujung lengan baju.
Tiba-tiba saja gadis ini maklum. Keparat, pikirnya di dalam hati, orang ini
menggunakan kekuatan sihir! Tentu saja ia mengerti dan dapat merasakan karena
bukankah baru saja ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya sendiri? Tadi pun, dari
pandang mata Liok Cit, ia sudah menduga bahwa orang ini menguasai kekuatan
sihir dan sekarang agaknya hendak mempengaruhinya dengan sihir.
Diam-diam
gadis ini tersenyum geli dalam hatinya. Baiklah, pikirnya, kalau ia tidak dapat
menundukkannya karena orang ini terlalu cepat mengelak, dia akan pura-pura
tersihir agar dapat dibawa ke tempat anak itu. Akan tetapi, diam-diam ia
mengerahkan tenaga batinnya, bukan hanya sekedar untuk melawan ilmu sihir lawan,
melainkan juga untuk mempengaruhi Liok Cit sehingga Liok Cit percaya bahwa ia
yang tersihir.
Liok Cit
tersenyum girang melihat gadis itu mengusap keringat di dahi dengan ujung
lengan bajunya. Hal itu baginya menjadi tanda bahwa dia sudah berhasil
menguasai kemauan gadis itu!
“Mari
kubantu menghapus keringatmu, nona man...“
Dia hendak
mengatakan kata ‘manis’, akan tetapi tiba-tiba saja dia merasa takut dan tidak
sepatutnya mengatakan itu, juga tidak sepatutnya dia menjamah muka gadis itu,
maka dia pun menarik kembali tangannya dan berkata, “Ah, mana aku berani?
Maafkan aku, Nona...“
Sama sekali
Liok Cit tidak tahu bahwa perasaan takut dan mengundurkan diri ini berarti
bahwa dialah yang terpengaruh oleh kekuatan kemauan sihir dari nona itu! Dia
percaya bahwa dia telah berhasil menyihir Suma Lian, padahal sebetulnya,
kepercayaan itu adalah hasil tanaman kekuatan sihir Suma Lian kepadanya!
“Marilah,
Nona, mari ikut bersamaku!” katanya dengan ramah dan dengan hati gembira karena
dia telah dapat menangkap gadis itu dengan pengaruh sihirnya.
“Kau akan
membawa aku bertemu dengan anak laki-laki semalam?” bertanya Suma Lian, masih
mengendalikan lawannya itu.
“Tentu,
tentu..., ha-ha-ha, marilah ikut denganku!” kata pula Liok Cit, agak
tergesa-gesa.
Dia khawatir
kalau sampai kekuatan sihirnya lenyap kekuatannya. Dia mulai ragu-ragu, akan
tetapi melihat betapa lawan yang tadinya galak itu kini menjadi ‘jinak’, dia
masih yakin bahwa sihirnya yang menang.
Suma Lian
memang belum yakin siapa orang ini dan apa yang telah dilakukan orang ini
terhadap anak laki-laki itu, dan siapa pula anak laki-laki itu. Kao Hong Li
sendiri pun hanya menyangka saja bahwa orang ini telah menculik anak itu tanpa
ada keterangan yang jelas. Oleh karena itu, ia tidak mau turun tangan sebelum
ia bertemu dengan anak itu dan mendengar sendiri dari anak itu apa yang sebenarnya
yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan orang ini terhadap dirinya.
Tok-ciang
Hui-moko Liok Cit berjalan cepat memasuki sebuah hutan di bukit kecil yang
sunyi. Suma Lian juga mengerahkan ilmunya berlari cepat, mengikutinya dari
belakang. Kadang-kadang lelaki itu memperlambat larinya dan menoleh,
memerintahkan sesuatu yang selalu diturut oleh Suma Lian! Disuruh berlari
lambat, ia menurut, disuruh cepat, ia pun cepat. Hal ini semakin memperbesar
keyakinan diri Liok Cit bahwa gadis itu masih berada dalam kekuasaan sihirnya,
padahal justru sebaliknya.
Akhirnya,
tibalah mereka di depan sebuah pondok kecil yang nampaknya masih baru. Di
belakang pondok itu nampak banyak sekali pondok-pondok lain yang sederhana
sekali, agaknya baru dibuat secara darurat untuk menjadi tempat tinggal banyak
sekali orang. Di sebelah kanan pondok itu terdapat sebuah kereta, lengkap
dengan empat ekor kuda dan selanjutnya sunyi, tidak nampak ada orang di luar
pondok.
Suma Lian
bersikap waspada. Dia dapat menduga bahwa agaknya ia diajak ke tempat sarang
yang berbahaya di mana tinggal banyak orang yang tentu menjadi teman-teman dari
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit ini!
Suma Lian
sama sekali tidak tahu bahwa biar pun ia sudah berhasil menguasai Liok Cit
sehingga laki-laki itu membawanya ke tempat di mana adanya anak laki-laki itu
berada, sebenarnya ia dibawa ke tempat yang amat berbahaya. Tempat apakah
pondok-pondok baru di tengah hutan di bukit yang sunyi itu?
Kiranya itu
adalah sarang sementara yang dipergunakan oleh Sin-kiam Mo-li yang mulai
menghimpun kekuatan dari golongan sesat untuk memperkuat pasukan yang sedang
dibentuk dan dibangun oleh Tiat-liong-pang di bawah pimpinan Siangkoan Lohan!
Sin-kiam
Mo-li berhasil mengumpulkan sisa orang-orang Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis
Baju Merah) yang dulu pernah merajalela. Perkumpulan ini dahulunya bekas anak
buah dari Iblis Baju Hitam yang membentuk Hek-i Mo-pang, tapi kemudian
sisa-sisanya, di bawah pimpinan seorang datuk sesat bernama Tee Kok, memimpin
orang-orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dan mengubah
pakaian mereka menjadi merah dan menamakan perkumpulan itu Ang-i Mo-pang.
Kemudian,
perkumpulan ini takluk pada Bi-kwi atau yang bernama Ciong Siu Kwi, murid dari
Sam Kwi. Setelah Bi-kwi mengundurkan diri dari dunia sesat, bahkan menikah dan
menjadi orang biasa yang hidup melalui jalan yang benar, perkumpulan itu pun
segera ditinggalkannya dan menjadi gerombolan liar!
Kini, karena
mendapat tugas mengumpulkan kekuatan dari golongan hitam, Sin-kiam Mo-li
berhasil menghubungi dan menghimpun mereka. Dengan kepandaiannya yang tinggi,
mudah saja baginya untuk menguasai mereka dan kini ada kurang lebih lima puluh
orang sudah siap di bawah perintahnya, dan untuk sementara, Sin-kiam Mo-li
membangun sarang sementara di bukit itu karena ia ingin mengumpulkan
tenaga-tenaga yang kuat sebelum membawa mereka semua kepada Siangkoan Lohan.
Tok-ciang
Hui-moko Liok Cit adalah salah seorang pembantu Sin-kiam Mo-li, karena
Toat-beng Kiam-ong bertugas di lain tempat, juga bertugas menghimpun para tokoh
persilatan untuk bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Liok Cit merupakan pembantu
yang amat baik, karena selain pemuda ini cukup lihai ilmu silatnya, walau pun
tidak selihai Toat-beng Kiam-ong, namun pemuda ini memiliki dua keistimewaan,
yaitu dia seorang ahli ginkang yang sukar dicari bandingannya dan dia pandai
pula ilmu sihir yang pernah dipelajarinya dari para tosu Pek-lian-kauw.
Sin-kiam
Mo-li yang cerdik itu kini memberi sebuah tugas istimewa kepada Liok Cit, yaitu
menculik seorang anak laki-laki yang tinggal di sebuah dusun yang aman dan
kecil. Putera sebuah keluarga petani biasa! Memang aneh bagi orang lain, akan
tetapi Sin-kiam Mo-li adalah seorang wanita yang cerdik sekali.
Ia teringat
akan seorang yang tenaganya sangat boleh diandalkan untuk bisa membantu
persekutuan mereka. Orang itu bukan lain adalah seorang wanita yang dahulu
bernama Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Setan Cantik), seorang datuk sesat
yang luar biasa lihainya, murid terkasih dari Sam Kwi (Tiga Setan). Kalau saja
ia mampu membujuk atau memaksa Bi-kwi menjadi sekutu mereka, tentu Siangkoan
Lohan akan girang sekali dan persekutuan mereka akan menjadi kuat. Selain lihai,
Bi-kwi juga amat cerdik.
Seperti
telah diceritakan dalam kisah SULING NAGA, Bi-kwi telah bertobat setelah ia
bertemu jodohnya, yaitu seorang pemuda petani biasa bernama Yo Jin. Demi
cintanya, Bi-kwi rela meninggalkan kehidupannya sebagai seorang ahli silat
tingkat tinggi, menjadi isteri Yo Jin dan hidup sebagai petani biasa di dusun
itu, sama sekali tidak pernah mau mencampuri urusan dunia persilatan.
Bahkan ia
selalu bersikap wajar sehingga semua penghuni dusun itu tidak seorang pun
mengetahui bahwa isteri Yo Jin adalah seorang wanita yang lihai bukan main!
Bahkan setelah mereka memiliki seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Yo
Han, anak ini sama sekali tidak pernah dilatih silat oleh ibunya, sesuai dengan
keinginan ayahnya.
Nama Bi-kwi
sudah dilupakan oleh dunia persilatan, bahkan para pendekar pun tidak ada yang
mengetahuinya. Biar pun pada akhir kehidupannya sebagai seorang ahli silat,
Bi-kwi telah menebus dosa-dosanya dengan jasa yang besar, yaitu menyelamatkan
Kao Hong Li dari tangan Sin-kiam Mo-li, Bi-kwi dianggap sudah hilang dari dunia
persilatan!
Tetapi
tidaklah demikian bagi Sin-kiam Mo-li! Wanita ini tidak pernah lupa bahwa
Bi-kwi pernah menggagalkan usahanya, dan diam-diam ia pun lalu menyebar
orang-orangnya untuk melakukan penyelidikan di mana adanya wanita bekas
musuhnya itu. Dan orang-orang yang disebarnya untuk melakukan penyelidikan
justru orang-orang bekas anak buah Ang-i Mo-pang!
Setiap orang
Ang-i Mo-pang tentu saja mengenal Bi-kwi yang pernah menaklukkan mereka
sehingga akhirnya, seorang di antara mereka berhasil menemukan Bi-kwi yang
telah menjadi seorang isteri dan ibu rumah tangga keluarga petani Yo Jin di
dusun itu. Setelah tempat tinggal Bi-kwi ditemukan, tibalah giliran Tok-ciang
Hui-moko Liok Cit!
Jagoan ini
sudah dipesan dengan teliti oleh Sin-kiam Mo-li supaya tidak menggunakan
kekerasan di depan Bi-kwi, karena kalau hal itu terjadi, tidak akan mungkin dia
akan berhasil menculik anak keluarga itu. Maka, Liok Cit menggunakan kesempatan
selagi Yo Jin dan isterinya, Ciok Siu Kwi, sibuk menuai gandum di sawah, dan
mengajak pergi anak mereka yang hanya seorang, yaitu seorang anak laki-laki
yang bernama Yo Han. Dengan kepandaian sihirnya, dengan mudah Liok Cit membuat
Yo Han menurut saja diajak pergi dari dusun itu tanpa ada yang melihatnya.
Setelah
sampai di luar dusun, karena masih ngeri membayangkan keterangan Sin-kiam Mo-li
bahwa ibu anak itu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi dan bekas murid
terkasih dari Sam Kwi, maka Liok Cit lalu menggendongnya dan berlari cepat.
Larinya yang cepat menarik perhatian Kao Hong Li dan gadis perkasa itu lalu
membayanginya sampai pada malam hari itu ia bertemu dengan Suma Lian.
Demikianlah,
tanpa diketahui Suma Lian, dia diajak oleh Liok Cit masuk ke sarang di mana
tinggal Sin-kiam Mo-li dan lima puluh orang lebih anggota Ang-i Mo-pang, juga
para pembantunya yang rata-rata memiliki ilmu yang tinggi!
Dan memang
Yo Han, anak laki-laki itu, berada di situ, di dalam kamar dalam keadaan
baik-baik saja dan dijaga oleh beberapa orang anggota Ang-i Mo-pang,
diperlakukan dengan baik. Hal ini adalah karena maksud Sin-kiam Mo-li menculik
Yo Han bukanlah untuk mencelakainya, melainkan untuk memaksa ibu anak itu agar
mau bersekutu dan membantu Siangkoan Lohan!
Setelah tiba
di depan pondok itu, Suma Lian memperkuat pengaruh sihirnya sehingga dengan
penuh kepercayaan Liok Cit lalu berteriak ke arah dalam pondok dengan nada
suara girang, “Mo-li, keluarlah dan lihatlah siapa yang sudah berhasil kutuntun
datang seperti seekor domba ke sini!”
Tadi pun
melalui para penjaga, Sin-kiam Mo-li sudah diberi tahu akan datangnya Liok Cit
bersama seorang gadis cantik yang gagah perkasa, maka ia pun sudah siap siaga
dan menyuruh semua anak buah untuk bersembunyi dan siap menanti komando. Ketika
ia mendengar seruan Liok Cit, hati Sin-kiam Mo-li menjadi gembira dan diam-diam
ia mengagumi pembantunya itu. Kiranya gadis itu sudah berada di bawah pengaruh
sihir Lok Cit, maka pembantunya itu berani berucap demikian.
Ia pun
segera meloncat keluar dari dalam pondok itu sambil tersenyum. Akan tetapi,
begitu tiba di luar pondok, senyumnya menghilang dan matanya terbelalak.
Sin-kiam Mo-li sendiri seorang yang pandai ilmu sihir, maka ia pun segera dapat
melihat keadaan yang aneh pada diri Liok Cit itu.
Tadi Liok
Cit meneriakkan bahwa ia telah menuntun seekor domba. Akan tetapi setelah tiba
di luar, ia melihat Liok Cit berdiri tanpa daya dengan mata kosong. Di
belakangnya berdiri seorang gadis cantik manis dan gagah yang tersenyum penuh
kemenangan. Bukan gadis itu yang berada di bawah pengaruh sihir, melainkan
justru Liok Cit yang kelihatannya kehilangan pengaruh sama sekali!
“Liok Cit,
mengapa engkau?” Sin-kiam Mo-li membentak sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Liok Cit
teringat dan dia pun sadar, akan tetapi menjadi bingung karena tiba-tiba jari
tangan Suma Lian telah menempel di tengkuknya.
“Aku...
aku...,“ katanya gagap dan bingung, tak tahu apa yang telah terjadi pada
dirinya. Dia hanya menyadari bahwa jari tangan di tengkuknya itu sekali
bergerak dapat saja membuat nyawanya melayang meninggalkan tubuhnya.
“Hayo cepat
suruh anak itu datang ke sini dan bicara denganku!” Suma Lian membentak sambil
menggerakkan jari tangannya yang menempel di tengkuk Liok Cit.
Diam-diam
Sin-kiam Mo-li terkejut. Kiranya gadis ini datang untuk membebaskan anak itu!
Ia merasa heran karena belum pernah mengenal gadis itu. Kenapa bukan Bi-kwi
yang muncul? Ia lalu melangkah maju dan tersenyum kepada Suma Lian.
“Adik yang
manis,” katanya sambil tersenyum dan dengan sikap yang ramah. “Apakah engkau
diutus oleh Bi-kwi Ciong Siu Kwi untuk datang menjemput Yo Han?”
Suma Lian
memandang bingung tidak tahu apa arti ucapan itu karena memang ia tidak
mengenal nama-nama yang disebutkan tadi. “Aku datang untuk bicara dengan anak
laki-laki yang telah dilarikan oleh orang ini. Suruh dia lekas keluar, aku
tidak mempunyai urusan lain dengan siapa pun juga.”
Sin-kiam
Mo-li tersenyum lebar, diam-diam ia pun terkejut. Ia tadi telah mengerahkan
kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi gadis ini, akan tetapi merasa betapa malah
ada kekuatan yang membuat pengaruh sihirnya itu membalik!
“Ahh,
kiranya begitu, adik yang baik. Agaknya engkau telah salah paham dengan Liok
Cit. Anak itu adalah keponakanku dan dia kuajak ke sini untuk berlibur. Ibunya
akan datang menjemputnya. Anak itu baik-baik saja, kalau engkau tidak percaya,
tunggulah sebentar, akan kusuruh dia keluar.”
Sin-kiam
Mo-li masuk ke dalam pondoknya, diam-diam memberi perintah kepada anak buahnya,
kemudian menuntun seorang anak laki-laki keluar pondok.
Suma Lian
memandang penuh perhatian. Seorang anak laki-laki yang usianya sekitar tujuh
tahun. Agaknya pakaiannya baru saja diganti, masih bersih dan baru. Anak yang
tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam, akan tetapi pada
saat itu, pandang matanya kosong.
“Nah, inilah
dia Yo Han, keponakanku itu. Anak Han, cici di sana itu mengira bahwa engkau
dipaksa datang ke sini. Katakan bahwa engkau mengunjungi bibi tuamu ini dan
menanti jemputan ibumu dan bahwa engkau senang berada di sini,” kata Sin-kiam
Mo-li.
Anak itu
memandang kepada Suma Lian dengan bingung, kemudian menoleh ke arah Sin-kiam
Mo-li yang menggandeng tangannya, dan dia pun bicara dengan suara gagap,
“Aku... aku senang di sini...“
Suma Lian
dapat mencium sesuatu yang tidak beres. Ia sudah tahu bahwa Liok Cit ialah
seorang yang amat lihai dan pandai ilmu sihir. Agaknya penculik anak ini
membawanya menghadap kepada wanita cantik itu yang tentu saja sebagai
pemimpinnya lebih lihai lagi.
Ada sesuatu
yang nampaknya tidak beres pada anak itu. Matanya demikian tajam dan
membayangkan kecerdikan, akan tetapi sama sekali kehilangan cahayanya.
Diam-diam dia pun mengerahkan tenaga batinnya seperti yang diajarkan ayahnya
baru-baru ini, memandang ke arah anak laki-laki itu di antara kedua matanya dan
suaranya terdengar lantang penuh wibawa,
“Anak baik,
engkau meninggalkan ibumu tanpa pamit! Engkau dibawa pergi laki-laki ini di
luar kehendakmu dan engkau ingin bertemu dengan ibumu, ingin pulang. Katakan,
apa yang telah terjadi?”
Tiba-tiba
anak itu terbelalak dan seolah-olah dia baru teringat akan keadaan dirinya!
Dengan kaget dia memandang ke arah Liok Cit, lalu menoleh kepada Sin-kiam Mo-li
dan dia pun berteriak.
“Ibu! Mana
ibuku! Katanya di sini...!” Dan anak itu berusaha melepaskan pegangan tangan
Sin-kiam Mo-li untuk melarikan diri.
Akan tetapi,
sekali menggerakkan tangan, Sin-kiam Mo-li sudah kembali menangkap anak itu.
Kini marahlah Sin-kiam Mo-li dan dengan mata mencorong dia memandang kepada
Suma Lian.
“Hemmm,
siapakah engkau yang hendak mencampuri urusan kami?”
“Tidak perlu
dikatakan aku siapa, akan tetapi kembalikanlah anak itu, lepaskan biar kubawa
dia kembali kepada orang tuanya,” kata Suma Lian.
“Hemmm,
kalau aku menolak?” tantang Sin-kiam Mo-li.
“Terpaksa
akan kurobohkan penculik ini terlebih dahulu sebelum aku merampas kembali anak
itu dengan kekerasan!” Suma Lian menjawab tenang, jari tangannya siap menotok
tengkuk dan Liok Cit menjadi pucat wajahnya, tengkuknya terasa dingin seperti
terkena es!
Sin-kiam
Mo-li yang tadi telah membuat persiapan tetap tersenyum. Wanita ini memang
memiliki pembawaan tenang, penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dan hal ini
yang membuat ia semakin berbahaya.
“Nona, tak
perlu engkau menggunakan kekerasan. Anak ini jelas adalah keponakanku sendiri,
kami tidak ingin menyusahkan dia. Kalau memang engkau ingin membawa dia pulang
ke rumah ibunya, silakan, akan tetapi harap kau bebaskan dulu Liok Cit. Dia tak
berdosa, dia hanya kusuruh jemput anak ini saja.”
Suma Lian
juga tersenyum. Ia seorang gadis yang lincah jenaka dan pintar bukan main. Mana
mau dikelabui begitu saja? “Hemmm, agaknya engkau mengajak tukar. Baiklah,
lepaskan anak itu dan berikan kepadaku, baru aku akan melepaskan tikus ini!”
Diam-diam
Sin-kiam Mo-li mendongkol juga terheran. Ia tahu akan kemampuan Liok Cit. Tidak
sembarang orang mampu mengalahkannya, akan tetapi mengapa kini di tangan gadis
yang masih amat muda itu, Liok Cit menjadi seperti seekor tikus saja yang sama
sekali tidak berdaya? Demikian lihaikah gadis ini?
“Nah, engkau
ambillah keponakanku ini jika memang dia ingin pulang,” katanya sambil
melepaskan pegangannya pada lengan Yo Han.
Entah
mengapa, begitu terlepas, Yo Han langsung berlari menghampiri Suma Lian. Ada sesuatu
pada diri gadis itu yang menimbulkan kepercayaan dalam hatinya.
“Enci,
benarkah engkau hendak mengantarkan aku pulang ke rumah ayah ibuku?” dia
bertanya sambil memegang ujung baju gadis itu.
“Jangan
khawatir, aku pasti akan membawamu pulang,” kata Suma Lian dan dia pun
melepaskan tangannya dari tengkuk Liok Cit.
Orang ini
seperti seekor tikus yang baru saja terlepas dari kurungan, cepat lari ke depan
menghampiri Sin-kiam Mo-li.
“Jangan
lepaskan, ia berbahaya sekali!” katanya.
Sin-kiam
Mo-li tertawa. ““He-he-he, siapa yang begitu bodoh hendak melepaskannya?
Engkaulah yang tolol, tidak mampu mengatasi seorang ingusan!”
Tiba-tiba
Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara melengking dan Suma Lian cepat menoleh ke
kanan kiri ketika mendengar ada gerakan di sekelilingnya. Kiranya tempat itu
telah terkepung oleh puluhan orang yang memakai pakaian serba merah,
sungguh-sungguh menyeramkan sekali!
“Hemmm,
sudah kuduga bahwa kalian bukanlah orang baik-baik!” berkata Suma Lian marah,
akan tetapi sikapnya tetap tenang. “Akan tetapi jangan dikira bahwa aku takut
menghadapi badut-badut ini!”
Padahal
diam-diam ada suatu hal yang dikhawatirkan Suma Lian, yaitu anak itu. Bagai
mana mungkin ia dapat melindungi anak itu kalau ia harus menghadapi
pengeroyokan begitu banyak orang!
“Yo Han,
dengar baik-baik. Kalau nanti aku berkelahi dengan mereka berusahalah untuk
melarikan diri dari sini!” bisiknya kepada anak itu yang hanya dapat
mengangguk.
Akan tetapi
mata anak itu memandang ke sekeliling di mana orang-orang berpakaian serba
merah telah bergerak maju mengepung. Dia memang sudah melihat orang-orang itu
ketika dibawa pergi ke sini dan dia tidak tahu siapa mereka, apa pula maksud
wanita cantik yang menahannya.
“Adik
manis,” kata Sin-kiam Mo-li yang dapat menduga bahwa gadis itu tentu lihai.
Ia justru
bertugas untuk menghimpun orang-orang lihai. Mengapa tidak dicobanya untuk
mendekati gadis ini dan membujuknya untuk bersahabat dan bersekutu?
“Di antara
kita tak ada permusuhan apa pun dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kami tidak
berniat buruk terhadap Yo Han. Kalau kami berniat buruk, tentu dia tidak
selamat sampai sekarang. Nah, setelah engkau datang memintanya dan kami telah
memberikan dengan suka rela, apakah engkau tidak mau menghargai sikap
persahabatan ini? Mari kita bersahabat dan siapa tahu di antara kita dapat
bekerja sama!”
Suma Lian
semakin waspada. Wanita ini terang mempunyai niat tertentu, pikirnya. Ia
tersenyum. Orang itu menyebut adik, maka biar pun ia tahu bahwa usia wanita itu
lebih tua dari ibunya, ia menyebutnya enci.
“Enci, aku
adalah seorang yang suka hidup mengembara, seorang diri dan tidak ingin
mengikatkan diri dengan kerja sama dengan orang lain. Dan masih banyak urusan
yang harus kuselesaikan. Kalau kalian memang berniat baik dan mengembalikan
anak ini kepadaku, terima kasih dan biarlah aku membawa Yo Han pulang ke
rumahnya. Nah, selamat tinggal! Mari, Yo Han, kita pergi!”
Akan tetapi,
tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru marah. “Tahan! Hemmm, engkau ini masih muda
akan tetapi sungguh tinggi hati sekali. Engkau datang tanpa kami undang, engkau
menggunakan kekerasan terhadap pembantu kami, dan sekarang hendak pergi begitu
saja? Tidak mungkin! Engkau harus berjanji membantu kami, mau atau tidak. Kalau
melawan celaka. Liok Cit, pergunakan pasukan tangkap gadis ini!”
Biar pun
Liok Cit sudah merasa jeri terhadap gadis ini, namun kini di situ ada Sin-kiam
Mo-li dan ada puluhan orang anak buah Ang-i Mo-pang, maka tentu nyalinya menjadi
besar. Pula dengan ginkang-nya yang istimewa, dia masih mampu menyelamatkan
diri kalau sampai gadis ini mengamuk.
“Kepung dia,
tangkap!” teriaknya.
Serentak
belasan orang anggota Ang-i Mo-pang yang belum mengenal Suma Lian dan memandang
rendah, lalu mengurungnya dan serentak mereka itu menubruk hendak menangkap,
seperti sekawanan serigala memperebutkan kelinci yang muda dan segar dagingnya.
Mereka berlomba untuk dapat merangkul dan memeluk gadis yang cantik itu.
Menghadapi
sergapan mereka, Suma Lian memutar tubuhnya sambil menggerakkan kedua tangannya
dan terjadilah hal yang membuat Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Belasan
orang itu seperti disambar halilintar, atau bagaikan sekumpulan daun kering
yang diterjang angin keras. Mereka terpelanting dan terbanting jatuh sebelum
dapat menyentuh tubuh gadis itu!
Tentu saja
Sin-kiam Mo-li terkejut. Belasan orang anggota Ang-i Mo-pang itu bukanlah
orang-orang lemah! Akan tetapi, bahwa hawa pukulan yang keluar dari kedua
tangan gadis itu, juga gerakan memutar tubuh itu, menunjukkan ilmu yang tinggi
tingkatnya! Tahulah ia kini mengapa Liok Cit menjadi seperti tikus yang tidak
berdaya menghadapi gadis ini.
“Pergunakan
senjata!” bentaknya dengan penasaran.
Belasan
orang anggota Ang-i Mo-pang yang lain, yang marah melihat teman-teman mereka
berpelantingan, sudah mencabut pedangnya. Juga Tok-ciang Hui-moko Liok Cit
mencabut pedang. Kini, dibantu oleh belasan orang, timbul keberaniannya, bahkan
dia bernafsu untuk membalas kekalahannya tadi ketika melawan Suma Lian.
Melihat
belasan orang mengepungnya dengan pedang telanjang di tangan, Suma Lian
tersenyum mengejek.
“Orang yang
suka menggunakan kekerasan, pasti akan menjadi korban kekerasannya sendiri.
Kalian membawa pedang, nah, biarlah kalian rasakan bagaimana terluka oleh
senjata itu!” Dan ia pun mencabut suling emasnya dari pinggang.
Melihat
suling emas ini, Sin-kiam Mo-li terkejut sekali.
“Suling
Emas...?” serunya kaget.
Pernah ia
dahulu melawan seorang pendekar yang amat lihai, yang juga menggunakan sebatang
suling, yaitu pendekar Sim Houw, suami dari Can Bi Lan. Pendekar itu hebat
sekali ilmunya dan harus diakuinya bahwa melawan pendekar itu, ia tak dapat
menang. Dan kini, gadis ini mengeluarkan pula sebatang suling emas, walau pun
tidak sepanjang suling naga di tangan pendekar Sim Houw itu.
Akan tetapi
Liok Cit dan belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang dan
mengeroyok Suma Lian. Sin-kiam Mo-li hanya nonton saja sambil memperhatikan
gadis yang bersenjata suling emas itu. Ia melihat betapa suling itu digerakkan
dan bentuknya lenyap, berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan
suara berdengung seolah-olah suling itu ditiup orang. Dan sekarang, gulungan
sinar emas itu menyambar-nyambar ke sekeliling, menyambut pengeroyokan belasan
orang yang mulai menyerang gadis itu.
Terdengar
suara nyaring berdencing berulang kali dan beberapa orang pengeroyok terdorong
ke belakang, bahkan ada dua batang pedang yang terlempar dan terlepas dari
pegangan. Demikian hebatnya kekuatan gulungan sinar keemasan itu.
Liok Cit
menusukkan pedangnya dari belakang, mengarah punggung Suma Lian, akan tetapi
dengan amat mudahnya gadis itu menggeser kedua kakinya dan kini hujan senjata
pedang itu dielakkannya dengan gerakan langkah-langkah ajaibnya. Dengan
mengandalkan San-po Cin-keng, biar pun dikeroyok orang yang jauh lebih banyak
lagi, Suma Lian akan mampu menyelamatkan dirinya. Yang membuat ia khawatir
adalah memikirkan Yo Han. Anak itu masih berada di pinggiran, agaknya masih
mencari-cari kesempatan untuk melarikan diri karena tempat itu masih terkepung
oleh banyak orang berpakaian merah.
Agaknya
sekarang Yo Han menjadi nekat. Melihat betapa gadis penolongnya itu masih
dikeroyok dan kini lebih banyak lagi orang berpakaian merah mencabut pedang
hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dia melarikan diri hendak menerobos keluar.
Akan tetapi, tiba-tiba Sin-kiam Mo-li meloncat dan sekali menotok, tubuh anak
itu pun terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi!
Sin-kiam
Mo-li menjadi marah. “Hemmm, kiranya engkau mempunyai juga sedikit ilmu
kepandaian!” katanya.
Ia pun telah
mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu kebutan merah bergagang emas dan pedang
di tangan kanan. Dengan sepasang senjatanya ini, Sin-kiam Mo-li meloncat ke
depan dan seperti seekor burung saja, tubuhnya melayang ke atas, lalu menukik
ke bawah. Kebutan berbulu merah itu menotok ke arah ubun-ubun kepala Suma Lian
sedangkan pedangnya membabat ke arah leher. Serangan ini cepat, kuat dan tidak
terduga datangnya.
“Ihhh!” Suma
Lian terkejut juga.
Tidak
disangkanya bahwa wanita cantik itu sedemikian lihainya. Cepat dia mengelak
dengan geseran kaki ke kiri dan sulingnya diangkat untuk menangkis kebutan yang
datang dari atas, berusaha untuk membabat bulu kebutan merah yang menotok ke
arah ubun-ubun kepalanya!
Patut
diketahui bahwa biar pun senjata yang berada di tangan Suma Lian itu sebatang
suling emas yang tentu saja tidak setajam seperti pedang, namun karena ilmu
yang dimainkan itu adalah ilmu pedang gabungan yang amat lihai, maka sinar
suling itu saja sudah mengandung hawa kuat dan ketajaman seperti pedang!
Sin-kiam
Mo-li juga bukan seorang bodoh yang memandang rendah lawan. Ia tadi telah tahu
bahwa gadis yang memegang suling emas ini lihai bukan main dan suling itu sama
sekali tak boleh dipandang ringan. Maka, melihat betapa sinar emas yang
menyilaukan mata itu menyambar ke arah kebutannya, dia merasa khawatir kalau
kebutannya rusak atau rontok bulunya. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan dengan
tenaga sinkang ini ia membuat bulu-bulu kebutannya itu berubah kaku seperti
kawat baja.
“Traaanggg...!”
Bunga api
berpijar dan kembali Sin-kiam Mo-li terkejut karena tangan yang memegang gagang
kebutan itu tergetar hebat dan ada hawa yang dingin sekali menyusup melalui
tangannya sampai ke siku lengan!
“Ihhhhh...!“
Cepat ia
mengerahkan sinkang untuk melawan dan mendorong hawa dingin itu agar keluar
kembali karena kalau dibiarkan, hawa dingin itu akan terus memasuki tubuhya dan
ia bisa celaka. Wajahnya berubah agak pucat karena hawa dingin itu mengingatkan
ia akan keluarga para pendekar Pulau Es. Ia melompat ke belakang dan membiarkan
orang-orangnya yang berpakaian merah untuk terus melakukan pengepungan dan
pengeroyokan.
Akan tetapi
orang-orang Ang-i Mo-pang juga merasa jeri dan mereka hanya mengurung sambil
berputaran saja. Liok Cit sendiri pun belum berani menyerang lagi. Melihat
betapa Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan pedang dan kebutannya saja kini
meloncat mundur dengan kaget, apa lagi dia!
Sementara
itu, Sin-kiam Mo-li yang meloncat mundur kini memandang tajam, karena ia
teringat akan gadis yang bernama Pouw Li Sian itu, yang ternyata adalah murid
mantu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan kini tiba-tiba saja muncul
seorang gadis lain yang mempergunakan sinkang yang mengandung hawa dingin pula.
“Kau... kau murid
keluarga Pulau Es?” tanyanya, agak gagap karena bagaimana pun juga, ia merasa
jeri berhadapan dengan orang-orang Pulau Es.
Melihat
betapa wanita cantik yang lihai itu meloncat mundur, tetapi bagaimana pun juga
tadi dapat menahan Swat-im Sinkang yang dia pergunakan untuk menangkis kebutan,
dan bulu kebutan itu pun berubah menjadi kaku seperti kawat baja, bahkan kini
dapat mengenal sinkang-nya sehingga dapat menduga bahwa ia murid keluarga Pulau
Es, diam-diam Suma Lian merasa kagum. Wanita ini jelas bukan orang sembarangan
saja. Kalau saja ia dapat lebih lama bercakap-cakap dengan Kao Hong Li dan
mendengar bahwa seorang di antara para pembunuh penghuni Istana Gurun Pasir
adalah Sin-kiam Mo-li, wanita ini tentu akan lain lagi sikapnya!
Mendengar
pertanyaan wanita itu, Suma Lian tersenyum. Ia tahu bahwa lawan ini lihai
sekali dan dibantu oleh demikian banyaknya anak buah yang juga tak boleh
dipandang ringan. Kalau dia dikeroyok, keadaannya cukup berbahaya. Apa lagi
mengingat akan anak laki-laki yang kini telah tertawan kembali dan tertotok
oleh wanita itu, bahkan kini telah dijaga oleh dua orang berpakaian merah, ia
tahu bahwa pihaknya berada dalam keadaan yang lemah.
Sebaiknya
kalau ia dapat minta anak itu secara damai. Ia sendiri tidak khawatir akan keselamatan
dirinya karena ia yakin akan mampu membela diri, akan tetapi bagaimana dengan
anak laki-laki itu? Maka ia pun tersenyum dan menjawab terus terang untuk
mempergunakan nama besar keluarganya agar wanita itu tunduk.
“Enci,
engkau sendiri seorang yang berilmu tinggi. Ketahuilah, namaku Suma Lian, aku
cucu buyut dalam dari penghuni Istana Pulau Es. Dan siapakah engkau, dan
kuharap engkau suka menyerahkan anak itu kepadaku supaya dapat kuantar pulang
ke rumah orang tuanya.”
Akan tetapi,
begitu mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia adalah cucu Pendekar Super Sakti,
Sin-kiam Mo-li terkejut dan cepat memberi aba-aba kepada anak buahnya. “Serang
dan tangkap gadis ini, kalau perlu bunuh!”
Tentu saja
Suma Lian terkejut mendengar ini dan dia pun marah. Mukanya menjadi merah dan
sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. “Bagus! Kau kira aku takut
menghadapi pengeroyokan kalian? Majulah jika kalian semua sudah bosan hidup!”
Mendengar
perintah Sin-kiam Mo-li, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit lalu memberi aba-aba
rahasia kepada para anak buah Ang-i Mo-pang. Dua puluh empat orang membuat
lingkaran mengepung Suma Lian dan mereka berlari-lari mengelilingi gadis itu.
Suma Lian
maklum bahwa mereka itu mempergunakan barisan yang teratur dan kalau ia
terpengaruh oleh gerakan mereka yang berlari-larian mengelilingi, sedikitnya ia
akan merasa pening. Oleh karena itu, ia tidak mempedulikan gerakan mereka yang
berlarian mengelilinginya itu.
Ia melihat
pula betapa di luar barisan pertama yang berlarian mengelilinginya searah jarum
jam itu, terdapat pula belasan orang berpakaian merah yang juga berlarian, akan
tetapi dengan arah yang berlawanan dari barisan pertama yang berada di sebelah
dalam. Ia tidak membiarkan dirinya terpengaruh.
Sebagai
puteri Suma Ceng Liong yang telah digembleng oleh ayahnya dalam ilmu sihir,
Suma Lian maklum bahwa dalam barisan ini pun ada unsur kekuatan sihirnya, maka
ia pun tidak mau terpengaruh, melainkan berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang, tangan kanan memegang suling emas yang dilintangkan di depan dada,
tangan kiri digantung di pinggang. Biar pun ia nampak santai saja, namun
sesungguhnya ia telah siap siaga dan seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah siap
menghadapi serangan.
Terdengar
Liok Cit memberi aba-aba dan mulailah barisan sebelah dalam yang terdiri dari
dua puluh empat orang yang mengelilinginya itu mempersempit lingkaran, terpecah
menjadi tiga kelompok dan kini delapan orang yang mengepungnya, masing-masing
dua di depan belakang dan kanan kiri dan delapan orang ini sudah menyerangnya
dalam saat yang bersamaan, mempergunakan pedang mereka. Ada pun sisanya, dua
kelompok lagi dari masing-masing delapan orang siap menjadi pasukan lapis ke
dua dan ke tiga, dan masih ada lagi lapisan di sebelah luarnya!
Diserang
oleh delapan orang dari delapan penjuru, Suma Lian tidak merasa gentar. Ia
seorang gadis yang cerdik dan ia tidak sudi membiarkan dirinya dikepung oleh
barisan berlapis-lapis itu. Kalau ia melayani mereka, tentu akan habis
tenaganya dan agaknya inilah yang akan dilakukan mereka.
Maka,
melihat dirinya diserang dari delapan penjuru, ia malah menubruk ke depan,
memutar sulingnya dan dua orang penyerang di depannya terjungkal dan ia pun
terus menerobos keluar kepungan itu karena serangan enam orang lainnya tidak
mengenai sasaran dan kepungan itu pun bobol dengan robohnya dua orang di
depannya. Ia sudah dihadang oleh barisan lapis ke dua, juga berjumlah delapan
orang yang kiri langsung menyerangnya sambil lari berputar.
Agaknya Liok
Cit cukup pandai sehingga ketika melihat cara Suma Lian membobolkan kepungan
lapisan pertama, dia lalu memerintahkan lapisan kedua untuk menyerang sambil
bergerak memutari gadis itu agar gadis itu tidak mampu membobol satu bagian
saja seperti yang dilakukannya tadi.
Akan tetapi,
Liok Cit terlalu memandang rendah gadis itu jika ia mengharapkan akalnya
berhasil. Kalau Suma Lian menghendaki, sekali memutar sulingnya, tentu saja ia
akan mampu merobohkan delapan orang penyerangnya itu, sekaligus membunuh
mereka. Akan tetapi, ia seorang pendekar wanita yang pantang membunuh
sembarangan saja.
Ia tahu
bahwa orang-orang yang berpakaian serba merah itu hanyalah anak buah yang
mentaati perintah atasan. Mereka itu sama sekali tidak bermusuhan dengannya. Yang
harus dirobohkan adalah Liok Cit dan pemimpinnya, yaitu wanita cantik itu.
Kalau dia berhasil merobohkan mereka, tentu akan mudah baginya untuk
menyelamatkan anak laki-laki yang mereka culik dan tawan.
Dengan
langkah ajaib San-po Cin-keng dan Ilmu Silat Kong-jiu Jip-tin (Tangan Kosong
Memasuki Barisan) mudah saja baginya untuk melangkah dan mengelak dari sambaran
delapan batang pedang itu. Dan tiba-tiba delapan orang itu menjadi terkejut dan
bingung karena tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan mereka tidak lagi
melihat gadis itu, seolah-olah gadis itu dapat menghilang dari depan mata
mereka.
Padahal,
Suma Lian tadi mempergunakan ginkang-nya dan ia sudah mencelat ke atas,
melampaui kepala delapan orang itu dan dari atas ia melihat betapa Liok Cit memberi
aba-aba sambil berdiri di atas gundukan tanah yang tinggi. Maka, sekali
meloncat, kini tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu!
Tentu saja
Liok Cit kaget setengah mati ketika melihat gadis itu sekarang meloncat ke
arahnya dan menyerang dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas
itu. Dia sendiri seorang ahli ginkang yang bahkan lebih lihai dari gadis itu.
Tetapi, karena serangan yang dilakukan Suma Lian itu tiba-tiba sekali datangnya
dan tak terduga lebih dahulu, dia pun tidak sempat untuk mengelak dan terpaksa
mempergunakan pedangnya menangkis sinar emas yang menyambar ke arah dadanya.
“Tranggg...!”
Sungguh
hebat pertemuan antara suling dan pedang itu sehingga akibatnya, pedang di
tangan Liok Cit terlepas dan orang ini lalu menyelamatkan diri dengan melempar
tubuh ke belakang, bergulingan di atas tanah! Suma Lian mengejar dan siap untuk
menotok dengan sulingnya, akan tetapi, sebatang pedang menangkisnya.
“Cringgg...!”
Kiranya yang
menangkis adalah Sin-kiam Mo-li dan wanita ini merasa kagum bukan main, juga
kaget. Sungguh hebat ilmu kepandaian cucu buyut penghuni Istana Pulau Es ini.
Sementara
itu, melihat betapa pedang yang menangkisnya tadi berada di tangan wanita itu
yang agaknya mulai turun tangan sendiri membantu anak buahnya, Suma Lian
menjadi girang. Memang inilah yang diharapkan, yaitu langsung bertanding
melawan wanita itu dan Liok Cit! Dia sudah siap menyerang wanita itu, akan
tetapi tiba-tiba ia menghentikan gerakannya dan berdiri terpukau, melihat
betapa sambil tersenyum licik wanita itu sedang menodongkan pedangnya ke dada
anak laki-laki yang dicengkeram pundaknya!
“Suma Lian,
menyerahlah atau terpaksa aku akan menusuk dada anak ini dengan pedangku, baru
akan mengeroyokmu sampai engkau tertawan, hidup atau mati!”
Tentu saja
Suma Lian menjadi bingung. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa wanita yang
cantik dan berkepandaian tinggi itu akan melakukan muslihat yang demikan
curang, tanpa malu-malu melakukan siasat licik ini. Dia terlibat dengan mereka
hanya untuk menyelamatkan anak laki-laki itu, lalu apa artinya kalau sampai
anak itu terbunuh karena ia mengamuk?
Dan wanita
itu bukan orang yang bodoh, agaknya tidak akan segan lagi membunuh anak itu
untuk memaksakan kemauannya, untuk membuat ia tidak berdaya. Akan tetapi, ia
pun tak tega meninggalkan anak itu begitu saja. Ia pun menjadi bingung dan
meragu, dan pada saat itu terdengar suara anak laki-laki itu, lantang dan penuh
keberanian.
“Enci,
jangan dengarkan gertak kosong iblis ini! Di antara kita tidak ada hubungan apa
pun, kalau dia membunuhku pun, Enci tidak akan rugi apa-apa. Jangan mau diancam
dan digertak. Kalau ia mau membunuhku, boleh bunuh, siapa sih yang takut mati?
Akan tetapi, Enci sebagai pendekar harus menentangnya dan membunuh iblis jahat
ini berikut anak buahnya!”
Suma Lian
terbelalak memandang anak laki-laki itu. Tidak kelirukah pendengarannya? Anak
itu baru berusia kurang lebih tujuh tahun! Akan tetapi ketika mengeluarkan
kata-kata tadi, berdirinya tegak, matanya mencorong dan suaranya lantang, lebih
pantas diucapkan oleh seorang laki-laki dewasa yang gagah perkasa, yang sedikit
pun tidak takut mati! Jelas bahwa anak ini pun bukan bocah sembarangan saja,
tentu keturunan dari pasangan orang tua pendekar!
Mendengar
ucapan itu, Suma Lian tersenyum lebar bahkan tertawa. Ia pun mengerti bahwa
sikap dan ucapan anak itu sekaligus menghantam dan menghancurkan siasat wanita
itu untuk memaksanya dengan cara mengancam hendak membunuh anak itu.
Anak itu
benar! Kalau ia merasa khawatir akan keselamatan anak itu, tentu saja hal ini
merupakan senjata ampuh bagi lawan, dan lawan dapat memaksakan kehendaknya
dengan mengancam anak itu, melakukan pemerasan kepadanya. Sebaliknya, kalau
lawan mengetahui bahwa ia tidak peduli akan keselamatan anak itu, tentu lawan merasa
percuma mempergunakan siasat seperti itu, dan tidak mau membunuh anak itu
dengan sia-sia, apa lagi agaknya anak itu penting bagi mereka.
“Hemmm,
iblis betina, engkau sudah mendengar sendiri ucapan bocah yang gagah perkasa
itu! Dia bukan apa-apaku, mau kau bunuh atau kau apakan terserah, tetapi
ketahuilah bahwa setelah aku mengetahui akan kejahatan kalian, aku pasti tidak
akan tinggal diam sebelum membasmi kalian dengan sulingku ini!”
Sin-kiam
Mo-li merasa mendongkol bukan main kepada Yo Han. Tak disangkanya anak itu
sedemikian nekat dan beraninya, mengeluarkan kata-kata seperti itu hingga
gagallah semua siasatnya terhadap Suma Lian. Ia merasa gemas dan ingin sekali
ia sekali tusuk dengan pedangnya menembusi dada anak itu.
Akan tetapi
dia masih membutuhkannya, untuk memancing datangnya ibu anak ini dan memaksa
ibunya untuk membantu gerakan persekutuannya. Kalau kini ia membunuh anak ini,
selain Suma Lian akan menentangnya mati-matian, juga kalau ibunya kelak
mengetahui, tentu ia mendapat tambahan musuh yang berbahaya juga. Ibu anak ini
sama sekali tidak boleh dipandang ringan, walau pun ia percaya bahwa dengan
ilmu kepandaiannya, ia mampu mengalahkan Bi-kwi (Setan Cantik) Ciong Siu Kwi
itu.
“Hemmm, kau
kira aku hanya gertak kosong belaka? Lihat, anak ini tidak akan kubunuh memang,
belum lagi, tetapi aku dapat menyiksanya!” katanya sambil menggerakkan
kebutannya di atas kepala anak itu yang memandang tanpa berkedip, penuh
keberanian dan ketabahan.
Suma Lian
memandang dengan menahan napas penuh kekhawatiran yang tentu saja disimpannya
saja di dalam hatinya. Ia khawatir kalau-kalau iblis betina itu benar-benar
menyiksa anak itu, karena bagaimana pun juga, walau pun anak itu bukan
apa-apanya, tentu saja ia tidak rela kalau anak itu disiksa atau dibunuh!
Pada saat
itu, mendadak terdengar bentakan nyaring, “Sin-kiam Mo-li, berani engkau hendak
menyiksa anakku?”
Tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita. Suma Lian
memandang penuh perhatian. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun,
pakaiannya sederhana sekali dari kain kasar yang kuat, jelas pakaian seorang
petani seperti yang biasa dipakai wanita petani.
Wajahnya pun
tidak memakai alat kecantikan, namun harus diakui bahwa wajahnya itu cantik
menarik, dan tubuhnya pun masih padat dan langsing. Kulit mukanya, leher dan
tangannya nampak kecoklatan, tanda bahwa ia biasa bekerja di sawah ladang dan
terbiasa setiap hari dibakar matahari. Seorang wanita dusun biasa saja, akan
tetapi ada sesuatu yang luar biasa, yaitu pada sinar matanya yang mengeluarkan
sinar tajam sekali.
“Ibu...!”
Tiba-tiba Yo Han, anak itu, berseru. “Aku diculik oleh laki-laki kurus di sana
itu, atas perintah iblis wanita ini!”
Wanita itu
memandang kepada puteranya sambil tersenyum dan berkata, “Tenanglah, anakku.”
Kemudian ia pun memandang kepada Sin-kiam Mo-li.
Sesaat kedua
orang wanita ini saling pandang, seperti hendak menjenguk isi hati
masing-masing, kemudian wanita dusun itu berkata.
“Sin-kiam
Mo-li, engkau tahu bahwa sejak dahulu aku tak pernah lagi mencampuri dunia
kang-ouw. Sekarang aku hidup di dusun bersama suamiku dan puteraku, hidup
bersih sebagai petani. Mengapa kini tiba-tiba engkau masih mengganggu kami dan
menculik anakku? Jika engkau hendak menggunakan anakku sebagai sandera untuk
memaksaku melakukan sesuatu, ingatlah bahwa biar engkau membunuh kami
sekeluarga, aku tidak akan sudi membantu engkau melakukan kejahatan, Sin-kiam
Mo-li!”
Sin-kiam
Mo-li yang masih mengamati wanita itu, tiba-tiba tertawa. “Hiik-hi-hi, sungguh
mati, hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, Bi-kwi! Engkau, yang dahulu
cantik jelita, gagah perkasa dan cerdik sekali, murid tersayang dari Sam Kwi,
sekarang telah menjadi seorang wanita dusun yang kotor, dungu dan berbau pupuk
tahi kerbau! Heh-heh-hi-hik, alangkah lucunya. Akan tetapi, janganlah salah
sangka, Bi-kwi. Kalau engkau dapat berubah, kau kira aku tidak dapat? Aku pun
sudah meninggalkan dunia hitam dan kini aku bahkan sedang bergerak bersama para
pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa kita dari cengkeraman penjajah
Mancu!”
Bi-kwi,
yaitu julukan dari Ciong Siu Kwi, wanita itu, memandang terbelalak tak percaya,
akan tetapi sinar matanya memandang penuh selidik kepada wanita yang dikenalnya
sebagai wanita iblis yang pernah dimusuhinya beberapa tahun yang lalu. Ia
maklum betapa cerdik dan liciknya wanita yang berjuluk Sin-kiam Mo-li ini, maka
ia pun tahu bahwa nyawa puteranya berada di tangan wanita iblis itu, dan bahwa
ia sama sekali tidak boleh bersikap lengah. Ia harus berhati-hati sekali
berurusan dengan iblis betina ini.
SEMENTARA
itu, Suma Lian sekarang teringat. Ayah ibunya banyak bercerita kepadanya
tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan pernah ayahnya bercerita tentang
Sam Kwi, tentang dua orang murid Sam Kwi. Yang seorang bernama Can Bi Lan dan
kini menjadi isteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw, yaitu suheng dari
ibunya.
Can Bi Lan
mempunyai seorang suci (kakak seperguruan perempuan) yang tadinya merupakan seorang
tokoh sesat yang amat terkenal dengan julukannya Bi-kwi, bernama Ciong Siu Kwi
yang menurut ayah ibunya, kini tokoh sesat itu telah sadar, bahkan telah
melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa membela para pendekar.
Menurut
ayahnya, tokoh itu telah menikah dengan seorang pemuda petani yang berjiwa
gagah perkasa walau pun tidak paham ilmu silat, dan kini kabarnya telah
mengundurkan diri dan hidup sebagai petani, entah di mana. Keluarga itu tidak
pernah menghubungi teman-teman lagi, bahkan tidak pernah mencampuri urusan
dunia persilatan.
Tadinya,
cerita tentang wanita itu tidak begitu menarik perhatiannya, akan tetapi kini,
secara aneh dan kebetulan, ia dihadapkan dengan tokoh itu! Maka, tentu saja ia
merasa amat tertarik dan ingin sekali ia melihat apa yang akan terjadi antara
bekas tokoh sesat itu dan wanita lihai yang berjuluk Sin-kiam Mo-li ini. Kini
ia pun mengerti mengapa anak kecil berusia tujuh tahun itu memiliki sikap
seorang jantan, seorang pendekar. Kiranya dia putera bekas tokoh sesat yang
pernah dipuji-puji oleh orang tuanya itu!
Memang tidak
bohong kalau Ciong Siu Kwi mengatakan kepada Sin-kiam Mo-li bahwa sudah lama
sekali ia tidak pernah lagi mencampuri dunia persilatan. Jangankan dunia
persilatan, bahkan selama ini ia belum pernah memperlihatkan ilmu silatnya
sehingga kecuali suaminya sendiri, tak seorang pun di dalam dusun mereka atau
di dusun-dusun sekitar tempat tinggal mereka tahu bahwa nyonya Yo Jin yang tiap
hari bekerja seperti wanita petani biasa itu sebetulnya ialah seorang wanita
yang memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi! Bahkan Yo Han sendiri pun
tidak tahu! Yo Jin ayah anak itu, melarang isterinya untuk melatih putera
mereka dengan ilmu silat.
“Ilmu silat
tak terpisahkan dari kekerasan,” demikian suami itu berkata. “Dan kekerasan
selalu mendatangkan permusuhan, dendam, kebencian dan kekejaman. Kita tidak
boleh membiarkan putera kita menjadi seorang yang banyak musuh dan akhirnya
menjadi seorang manusia yang berhati keras dan kejam.”
“Kurasa
tidak selalu harus begitu, karena ilmu silat selain menjadi ilmu bela diri,
juga merupakan olah raga yang menyehatkan badan dan batin, juga merupakan
kesenian yang indah, bahkan kalau tidak keliru penggunaannya, dapat membuat
orang menjadi seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan.”
“Hemmm,
bagaimana pun juga alasannya tetap saja akhirnya dia akan mempergunakan
kepandaiannya, yaitu ilmu memukul roboh, melukai dan membunuh orang lain, untuk
mempertahankan apa yang dinamakannya kebenaran dan keadilan itu,” kata Yo Jin.
“Tidak perlu kita melihat terlalu jauh atau mencari contoh yang terlalu jauh,
ingat saja pengalamanmu sendiri. Ketika engkau masih berkecimpung di dunia
persilatan, dengan modal kepandaian silatmu, bagaimana keadaan dirimu?
Kemudian, lihat keadaanmu sekarang, semenjak kita menikah, sejak engkau
meninggalkan dunia persilatan, sejak engkau tak pernah lagi menggunakan ilmu
silatmu, hidup sebagai petani biasa. Apakah engkau tidak melihat perbedaannya?”
Ciong Siu
Kwi tersenyum dan merangkul suaminya. Ia merasa kalah. “Tentu saja aku melihat
perbedaannya yang sangat jauh, jauhnya seperti langit dan bumi! Kini hidupku
tenteram, tak pernah mempunyai musuh, bahkan tak pernah dimusuhi orang.”
“Dan engkau
bahagia?”
“Ya, aku
berbahagia sekali.”
“Nah,
mengapa engkau hendak menyeret anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan
pertentangan, perkelahian, permusuhan itu? Coba bayangkan saja. Andai kata
engkau melatih Han-ji (anak Han) memainkan ilmu silat, andai kata dia telah
pandai ilmu silat, tentu terjadi perubahan dalam pergaulannya dengan
teman-temannya. Dia akan ditakuti, disegani, juga tentu ada yang iri. Lalu,
kalau ada anak lain yang juga pernah belajar silat, tentu akan terjadi
bentrokan antara dia dan anak itu, karena keduanya tentu ingin melihat siapa
yang lebih unggul. Mereka akan berkelahi, menggunakan ilmu silat mereka, saling
pukul. Kalau tidak anak kita yang terluka, tentu anak yang lain itu dan lalu
timbullah permusuhan dan dendam antara keluarga kita dengan keluarga anak itu!
Tidak, aku tidak suka melihat anak kita menjadi jagoan dan tukang pukul. Aku
lebih ingin melihat anak kita kelak menjadi seorang laki-laki sejati, yang
gagah berani menentang kelaliman, bukan mengandalkan kerasnya tulang dan kulit,
akan tetapi mengandalkan kebenaran yang tidak dipaksakan oleh kekerasan.”
Ciong Siu
Kwi yang amat mencinta suaminya mengalah. Demikianlah, sampai berusia tujuh
tahun, Yo Han tidak pernah diajarkan ilmu silat. Namun, anak itu mewarisi watak
ayahnya. Dia pemberani, jujur, dan terbuka, tetapi juga mewarisi kecerdikan
ibunya.
Ketika
sampai sore suami isteri itu tidak melihat putera mereka, keduanya menjadi amat
khawatir. Ciong Siu Kwi mencari-cari dan bertanya-tanya. Akhirnya ada seorang
petani yang melihat ketika dia berada di luar dusun betapa Yo Han dipondong dan
dilarikan seorang laki-laki yang berpakaian serba hijau dan memakai caping
lebar sehingga tidak nampak wajahnya, dan tubuhnya kurus.
Mendengar
ini, Ciong Siu Kwi gelisah bukan main. Demikian juga Yo Jin. Keduanya dapat
menduga bahwa putera mereka diculik orang! Yo Jin menarik napas panjang.
“Aih, tak
kusangka bahwa setelah bertahun-tahun hidup tenteram, kembali terjadi kekerasan
seperti ini. Aku yakin bahwa ini juga merupakan akibat dari keadaan hidupmu
yang dahulu. Balas dendam! Ah, balas-membalas tiada habisnya, Yo Han yang tidak
berdosa ikut pula terseret ke dalam permusuhan dunia persilatan.”
“Sudahlah,
apa pun yang terjadi, kita tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus mencari
anakku dan merampasnya kembali. Kalau perlu, aku akan mempergunakan kepandaian
yang dulu. Anakku harus diselamatkan, dengan taruhan nyawaku!”
Yo Jin tidak
dapat membantah, hanya menarik napas panjang ketika melihat isterinya berangkat
setelah membawa perbekalan. Bukan hanya lenyapnya Yo Han diculik orang itu saja
yang membuat dia prihatin, akan tetapi terutama sekali terseretnya kembali
isterinya ke dalam arus kehidupan dunia persilatan itulah!
Ia dapat
membayangkan betapa isterinya akan bertemu dengan lawan-lawan dan akan selalu
diancam bahaya dalam usahanya merampas kembali putera mereka. Dia sendiri tidak
mungkin dapat melakukan pengejaran. Dan setelah isterinya pergi meninggalkan
dusun itu, dia termenung. Diakah yang benar, atau isterinyakah ketika mereka berdebat
apakah putera mereka perlu diajari ilmu silat ataukah tidak?
Dunia begini
penuh orang jahat! Cukupkah mengandalkan para petugas keamanan saja untuk
menjaga keamanan keluarga atau diri sendiri? Tanpa ilmu silat, dia sekarang
merasa sama sekali tidak berdaya kalau menghadapi perbuatan jahat orang lain
yang menimpa dirinya atau keluarganya.
Akan tetapi,
andai kata dia pandai ilmu silat, bukankah kemungkinan puteranya diculik orang
lebih besar lagi karena musuh-musuh mereka akan lebih banyak lagi? Buktinya,
demikian banyaknya anak-anak dusun itu, tak ada penjahat yang mengganggu
mereka, kecuali anaknya atau lebih tepat lagi anak isterinya!
Ini hanya
disebabkan karena isterinya pernah menjadi seorang tokoh dunia persilatan!
Andai kata isterinya seorang wanita dusun biasa, seorang wanita petani yang
lemah, sama sekali tidak ada kemungkinan dan alasan bagi orang jahat mana pun
juga untuk menculik Yo Han!
Demikianlah,
Ciong Siu Kwi meninggalkan suaminya yang duduk termenung, dan begitu keluar
dari dalam dusun, ia sudah menjadi Bi-kwi yang dahulu, dalam arti kata sebagai
seorang wanita perkasa yang siap menghadapi bahaya dan lawan. Dia mengerahkan
tenaganya untuk berlari cepat, tangkas seperti seekor harimau betina yang
kehilangan anaknya, siap untuk mencakar dan merobek-robek dada siapa pun juga
yang berani mengganggu anaknya! Bukan lagi sebagai Ciong Siu Kwi yang rajin
bekerja di ladang setiap hari.
Karena ia
pernah menjadi seorang tokoh besar dunia persilatan, bahkan seorang datuk sesat
yang ditakuti, banyak pengalaman, maka tidak sulit baginya untuk mengikuti
jejak penculik puteranya. Ia pandai mencium jejak, pandai mencari keterangan di
sepanjang perjalanan sehingga akhirnya ia dapat juga tiba di dalam hutan di
mana Sin-kiam Mo-li tinggal untuk sementara waktu dalam tugasnya menghimpun
kekuatan.
Kebetulan
sekali dia melihat seorang gadis yang cantik dan lihai bertanding dikeroyok
oleh Sin-kiam Mo-li dan para pembantunya, kemudian melihat betapa Sin-kiam
Mo-li mengancam hendak membunuh Yo Han! Melihat Yo Han berada di tangan
Sin-kiam Mo-li, mengertilah Ciong Siu Kwi.
Benar sekali
dugaan suaminya. Kiranya yang menculik puteranya bukanlah orang asing, akan
tetapi musuh lamanya, yaitu Sin-kiam Mo-li. Dan melihat betapa gadis cantik itu
tadi dikeroyok dan bahkan Sin-kiam Mo-li menggunakan siasat curang untuk
memaksa gadis itu menyerah dengan mengancam Yo Han, tahulah Ciong Siu Kwi bahwa
gadis itu adalah orang yang berusaha menolong puteranya.
Sebagai
seorang bekas tokoh sesat yang banyak pengalaman, sekali melepas pandang saja
Ciong Siu Kwi sudah dapat menilai keadaan. Ia tahu bahwa gadis itu tentu lihai
bukan main. Kalau tidak demikian, tidak mungkin seorang seperti Sin-kiam Mo-li
akan menggunakan cara curang, yaitu dengan mengancam akan membunuh Yo Han kalau
gadis itu tidak mau menyerah.
Dengan
adanya gadis selihai itu, ditambah ia sendiri, kiranya mereka berdua tidak
perlu takut menghadapi Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika
ia teringat kepada puteranya, hatinya seperti ditusuk-tusuk. Tidak, tidak
mungkin ia menggunakan kekerasan karena setelah dirinya hadir, Sin-kiam Mo-li
bukan lagi menggunakan gertak kosong belaka jika mengancam Yo Han, seperti yang
tadi dilakukannya terhadap gadis itu. Dan demi keselamatan puteranya, tidak ada
jalan baginya kecuali untuk sementara mengalah. Untuk sementara!
Ketika
mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li bahwa wanita itu sedang bergerak bersama para
pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu,
tentu saja di dalam hatinya Ciong Siu Kwi tidak percaya seujung rambut pun. Ia
bisa menduga ‘gerakan’ macam apa yang dilakukan orang-orang seperti Sin-kiam
Mo-li.
Dahulu pun
wanita ini bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Memang
kedua perkumpulan itu sejak dahulu menentang pemerintah Mancu, namun sama
sekali bukan demi perjuangan membela rakyat, melainkan untuk kepentingan
perkumpulan mereka sendiri. Akan tetapi, semua ini ia sembunyikan di lubuk
hatinya saja dan wajahnya kini berubah, senyumnya menjadi ramah.
“Aih,
benarkah itu, Mo-li? Jika begitu, sungguh aku pun ikut merasa girang dan bangga
sekali kepadamu! Dan tentu saja aku mendukung perjuanganmu yang mulia itu. Akan
tetapi, mengapa engkau menyuruh orang membawa puteraku ke sini?”
Sin-kiam
Mo-li kembali tersenyum. “Hi-hi-hik, Bi-kwi, apakah kecerdikanmu juga sudah
hilang setelah engkau menjadi seorang wanita petani? Tentu saja bukan percuma
aku membawa puteramu yang tampan dan gagah ini ke sini. Hal ini bukan lain
karena kami menginginkan tenagamu, menghendaki bantuanmu dalam gerakan kami.”
“Ahhh,
Mo-li, untuk urusan begitu saja mengapa harus membawa anakku ke sini? Kita
pernah menjadi rekan segolongan, kenapa bersikap sungkan dan ragu? Kalau engkau
datang kepadaku dan berterus terang, tidak perlu lagi engkau menggunakan cara
yang membikin aku kaget dan khawatir itu. Tentu saja untuk gerakan perjuangan
menentang kaum penjajah Mancu, aku selalu siap siaga setiap saat. Nah, biarkan
anakku ke sini, aku sudah rindu padanya. Aku akan membantu perjuanganmu itu,”
kata Ciong Siu Kwi sambil mengembangkan kedua lengannya untuk menyambut
puteranya.
Akan tetapi
Yo Han tak dapat bergerak karena pundaknya masih dipegang dan ditekan oleh
tangan Sin-kiam Mo-li, dan ketika Ciong Siu Kwi melangkah mendekati puteranya,
tekanan jari tangannya semakin kuat membuat Yo Han meringis karena nyeri.
“Berhenti,
Bi-kwi!” Sin-kiam Mo-li membentak. “Kalau engkau berani maju lagi, sekali menggerakan
jari tanganku ini, anakmu akan mampus!”
Tentu saja
Ciong Siu Kwi cepat menghentikan langkahnya dan ia memperlihatkan muka
terheran-heran.
“Aih,
kenapa, Mo-li? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku dengan senang hati akan
membantu gerakan perjuanganmu? Bebaskan puteraku, dan anggap aku ini sudah
menjadi rekanmu seperjuangan!” Ia berkata sambil tersenyum ramah.
Akan tetapi
Sin-kiam Mo-li tetap memandang dengan alis berkerut dan senyumnya yang
mengejek. “Hemmm, Bi-kwi, kau kira aku begitu bodoh untuk mempercayaimu begitu
saja? Aku belum lupa ketika beberapa tahun yang lalu engkau sudah menipuku
dengan sikapmu seperti ini, datang dan pura-pura bersahabat! Aku tak akan
pernah melupakan kecerobohanku itu, dan sekarang jangan harap engkau akan dapat
menipuku lagi!”
Diam-diam
Ciong Siu Kwi merasa khawatir sekali. Ia tahu akan kecerdikan dan kelihaian
Sin-kiam Mo-li. Memang, kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika ia
membebaskan Kao Hong Li yang waktu itu baru berusia tiga belas tahun dari
tangan Sin-kiam Mo-li yang menculik anak itu, dia pun mempergunakan siasat
bersahabat sehingga akhirnya, bersama dengan pendekar Gu Hong Beng, ia berhasil
menyelamatkan Kao Hong Li dari tangan iblis betina ini. Tentu saja kini
Sin-kiam Mo-li tidak percaya lagi padanya! Ia pun tidak perlu berpura-pura lagi
sekarang, tetapi harus menghadapi kenyataan ini dengan tabah.
“Baiklah,
Sin-kiam Mo-li. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan demi menebus
keselamatan dan kebebasan puteraku? Engkau tahu, jika sampai engkau mengganggu
anakku, melukainya apa lagi membunuhnya, hemmm, berarti engkau telah
menciptakan seorang musuh yang akan terus mengejarmu sampai engkau mati. Aku
akan berubah menjadi setan yang haus akan darahmu, hal ini tentu engkau tahu!”
Diam-diam
Sin-kiam Mo-li, iblis betina yang berhati kejam itu bergidik juga mendengar
ucapan yang mengandung ancaman yang amat mengerikan itu dan dia tahu bahwa
wanita ini tidaklah menggertak saja.
“Bi-kwi,
engkau bukan orang bodoh, demikian pula aku. Kalau kita bekerja sama, aku yakin
kita berdua akan mencapai hasil yang amat hebat. Engkau tentu maklum pula,
bahkan aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kalau itu yang kuinginkan, tentu
sudah kubunuh anakmu ini. Tidak, aku sungguh ingin bekerja sama denganmu, namun
demi keamanan dan agar aku tidak ragu lagi akan kesetiaanmu, terpaksa anakmu
kujadikan sandera.”
Sejak tadi,
Suma Lian hanya mendengarkan saja. Kalau dia mau, tentu saja mudah baginya
untuk melarikan diri walau pun puluhan orang anak buah Ang-i Mo-pang masih
mengepung tempat itu dengan senjata di tangan.
Juga para
anggota Ang-i Mo-pang berdiri seperti patung, memandang dan mendengar dengan
penuh perhatian. Tentu saja mereka semua mengenal baik Bi-kwi atau Ciong Siu
Kwi, karena wanita ini pernah menjadi pemimpin mereka setelah menaklukkan ketua
mereka, beberapa tahun yang lalu ketika Bi-kwi masih berkecimpung di dunia
kang-ouw.
Kini,
melihat betapa dengan sangat cerdiknya Sin-kiam Mo-li menekan Ciong Siu Kwi
dengan ancaman terhadap putera wanita itu, Suma Lian tiba-tiba mengeluarkan
suara tertawa yang cukup lantang sehingga mengejutkan semua orang. Suma Lian
kemudian berkata dengan lantang pula.
“Bibi yang
baik, bukankah engkau ini bibi Ciong Siu Kwi, isteri dari paman Yo Jin? Aku
adalah Suma Lian dan ayahku adalah Suma Ceng Liong. Aku yakin tentu bibi sudah
mengenalnya. Ibuku Kam Bi Eng.”
Diam-diam
Ciong Siu Kwi terkejut dan juga girang mendengar nama gadis itu dan nama ayah
bundanya. Tentu saja dia mengenal baik ayah bunda gadis ini, akan tetapi dia
mengerutkan alisnya. Sungguh ceroboh bagi gadis itu memperkenalkan namanya
begitu saja di depan Sin-kiam Mo-li!
Akan tetapi,
Suma Lian agaknya dapat menduga apa yang dikhawatirkan karena dia segera
melanjutkan kata-katanya, “Bibi Ciong Siu Kwi, perlu apa mendengarkan ocehan
iblis betina itu? Dia hanya akan menipumu dan membohongimu dengan kelicikannya.
Jangan percaya padanya. Aku pun pernah mendengar dari ayah akan namanya yang
tersohor jahat. Orang macam ia mana mungkin menjadi patriot dan pendekar?
Jangan takut, Bibi, ancamannya terhadap puteramu hanya gertakan kosong belaka.
Kalau dia berani mengganggu anakmu, aku akan membasmi ia dan semua anak buahnya
ini!”
“Enci itu
benar, Ibu!” Tiba-tiba Yo Han berseru kepada ibunya. “Lawan saja iblis ini. Aku
tidak takut mati! Mati pun aku akan tersenyum karena aku yakin, dengan bantuan
enci yang gagah itu, Ibu akan mampu membalaskan kematianku dan membasmi iblis
ini dan semua anak buahnya...”
Tiba-tiba
anak itu berhenti bicara karena tubuhnya menjadi lemas ketika Sin-kiam Mo-li
menotoknya dengan hati gemas.
“Han-ji...!”
teriak Ciong Siu Kwi dan Sin-kiam Mo-li tersenyum.
Bagaimana
pun juga, pada saat melihat puteranya ditotok pingsan, hati ibunya menjadi
gelisah sekali dan tak dapat ditahan lagi dia pun menjerit. Sin-kiam Mo-li
memandang dengan hati gembira, penuh kemenangan.
“Bi-kwi,
jangan dikira aku tidak akan berani menggorok leher puteramu! Dan aku pun tidak
takut akan balas dendammu. Tinggal kau pilih saja, bekerja sama dengan kami dan
anakmu selamat atau kubunuh dulu puteramu, baru kami akan membunuhmu, juga
suamimu!”
Ciong Siu
Kwi menjadi ragu-ragu. Bagaimana pun juga, melihat puteranya, ia khawatir
sekali, dan orang macam Sin-kiam Mo-li memang tidak boleh dipandang ringan
begitu saja. Ancamannya akan dapat dibuktikan karena hati wanita itu kejam
melebihi binatang buas.
“Mo-li...
apa... apa yang harus kulakukan?” tanyanya, suaranya melemah dan ia tidak
berani memandang kepada Suma Lian.
“Pertama,
engkau harus memperlihatkan kesungguhan hatimu bekerja sama denganku, Bi-kwi.
Maka aku minta agar engkau membantu kami menghadapi gadis ini! Mari kita
tangkap gadis ini!”
Seperti
orang yang sudah tidak memiliki kemauan sendiri lagi karena putus asa melihat
puteranya yang sedang berada di dalam cengkeraman Sin-kiam Mo-li, Ciong Siu Kwi
mengangguk. “Baik!”
Ia lalu
tiba-tiba saja bergerak dan menyerang ke arah Suma Lian yang masih berdiri
tegak. Gadis ini sudah menyelipkan suling emasnya di ikat pinggang, akan tetapi
selalu siap siaga menghadapi serangan lawan. Dan sekarang, melihat betapa Ciong
Siu Kwi menyerangnya, ia menjadi terkejut dan amat bingung. Ia tahu benar
mengapa wanita ini menyerangnya. Karena terpaksa, untuk menyelamatkan
puteranya! Dan ia tidak dapat menyalahkan wanita ini.
Akan tetapi,
serangan Siu Kwi demikian hebat! Ketika tubuh wanita ini menerjang dan tangannya
menyambar ke arah dadanya, tangan itu didahului angin pukulan yang amat dahsyat
hingga mengeluarkan suara bercuitan yang mengerikan. Sungguh merupakan serangan
maut yang amat berbahaya.
Suma Lian
cepat mempergunakan langkah ajaibnya untuk mengelak dan serangan itu pun
mengenai tempat kosong. Ciong Siu Kwi memang menyerangnya dengan
sungguh-sungguh.
Di dalam
hatinya, tentu saja Siu Kwi tidak membenci atau memusuhi gadis keturunan
keluarga Pulau Es ini, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat melakukan serangan
pura-pura terhadap Suma Lian di depan Sin-kiam Mo-li yang tentu akan mengetahui
apakah serangannya itu benar-benar ataukah hanya main-main saja.
Oleh karena
itulah, begitu bergerak, Ciong Siu Kwi sudah mengerahkan tenaga dan menggunakan
Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot), semacam ilmu pukulan
yang amat dahsyat. Tentu saja di dalam hatinya Ciong Siu Kwi berharap agar
gadis keturunan keluarga Pulau Es ini telah memiliki ilmu kepandaian yang lebih
tinggi darinya supaya semua serangannya tak akan berhasil.
Maka,
gembiralah hatinya ketika ia melihat betapa dengan gerakan langkah yang luar
biasa anehnya, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dan telah berada di samping
kanannya sehingga serangannya yang pertama tadi pun hanya mengenai tempat
kosong! Melihat kehebatan cara gadis ini mengelak dari serangannya, Ciong Siu
Kwi lalu membalik ke kanan sambil menyerang lagi, kini lebih hebat karena kedua
tangannya dibuka dan kini kedua tangan itu membacok dari kanan kiri dan
mengeluarkan suara berdesing seolah-olah kedua tangan itu telah berubah menjadi
pedang yang tajam! Inilah Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang amat ampuh,
peninggalan dari Sam Kwi. Kedua tangan itu kalau mengenai tubuh lawan dapat
membuat bagian tubuh itu terluka seolah-olah terbacok pedang!
Kembali Suma
Lian mengelak dengan gerakan yang aneh. Gadis ini pun kagum bukan main. Tidak
heran kedua orang tuanya pernah menceritakan bahwa wanita ini dahulu menjadi
seorang tokoh yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Baru saja ia mengelak,
Ciong Siu Kwi sudah menyerangnya lagi, kini dengan tendangan bertubi-tubi yang
tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dua macam serangannya yang pertama dan ke
dua.
Meski ia
memiliki San-po Cin-keng yang merupakan langkah ajaib, namun menghadapi
tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) itu, terpaksa Suma
Lian harus menggunakan kedua-tangannya untuk kadang-kadang menangkis. Akan
tetapi ia berhasil pula menghalau serangkaian tendangan yang ampuh itu.
Diam-diam
Ciong Siu Kwi menjadi kagum bukan main dan semakin girang karena seperti yang
diharapkan, gadis ini mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat dan agaknya
masih berada di atas tingkat kepandaiannya sendiri! Dengan kenyataan ini maka
bagaimana pun ia menyerang untuk memenuhi paksaan Sin-kiam Mo-li, ia tidak akan
mungkin dapat mengalahkan Suma Lian! Ia menyerang terus, akan tetapi tidak mau
mempergunakan ilmunya yang paling dahsyat, yaitu Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang
(Delapan Belas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam), walau pun serangan-serangannya
juga cukup dahsyat dan bersungguh-sungguh.
“Hemmm,
Bi-kwi, apakah engkau sudah lupa bahwa ada Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang yang kau
miliki? Kenapa tidak mengeluarkan ilmu itu?” Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru.
Bi-kwi
sangat terkejut. Iblis betina itu sungguh cerdik dan dia harus berhati-hati.
Tanpa menjawab, dia segera mengubah ilmu silatnya dan kini dia mainkan delapan
belas jurus ilmu silat yang hebat ini.
Suma Lian
bersikap hati-hati dan dia pun mengimbanginya dengan Ilmu Silat Lo-thian
Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) yang sudah dipelajarinya dengan baik
sekali dari kakek Gak Bun Beng. Dan dia pun mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang
sehingga ketika beberapa kali ia menangkis dan lengannya bertemu dengan lengan
Bi-kwi, maka wanita itu menggigil kedinginan!
Melihat
serangan-serangan yang dilakukan Bi-kwi, diam-diam Sin-kiam Mo-li menjadi
girang. Semua serangan itu bukanlah palsu dan tentu saja ia tidak merasa heran
kalau Bi-kwi tak mampu mengalahkan gadis keluarga Pulau Es itu. Maka ia pun
menyerahkan Yo Han yang masih tertotok itu kepada dua orang anak buahnya,
memberi perintah agar jangan ragu-ragu membunuh anak itu bila sampai ada yang
mau merampasnya dengan paksa.
Kemudian ia
mengeluarkan aba-aba kepada Tok-ciang Hui-moko Liok Cit yang segera mengerahkan
kembali anak buah Ang-i Mo-pang untuk mengepung dan mengeroyok Suma Lian.
Sin-kiam Mo-li sendiri sudah mencabut kebutan dan pedangnya, dan langsung ia
terjun ke lapangan pertempuran, menyerang Suma Lian dengan sepasang senjatanya
yang ampuh itu.
Akan tetapi,
Suma Lian sudah siap siaga dan kini suling emasnya itu telah berada di tangan
kanannya. Nampak gulungan sinar emas ketika ia memutar sulingnya untuk
melindungi dirinya dari sambaran kedua senjata lawan, kemudian ia membalas
dengan hantaman suling ke arah kepala Mo-li, disusul totokan dengan jari tangan
kiri ke arah lambung.
Saking
hebatnya serangan balasan ini, Sin-kiam Mo-li terpaksa melompat ke belakang dan
pada saat itu, Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi sudah pula mengirim serangannya dengan
tendangan berantainya yang berbahaya. Juga Liok Cit sudah masuk pula
menggunakan pedangnya, namun begitu pedangnya bertemu sinar suling emas, pedang
itu terpental dan terpaksa Liok Cit juga melompat ke belakang.
Tentu saja
kini Bi-kwi merasa khawatir sekali. Betapa pun pandainya Suma Lian, kalau ia
maju mengeroyoknya bersama Sin-kiam Mo-li dan pembantunya yang kelihatannya
juga lihai itu, tidak mungkin gadis itu akan mampu bertahan.
Melihat
keraguan Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li membentak. “Bi-kwi, hayo cepat bantu kami
merobohkan gadis ini. Ingat, anakmu masih berada di tangan kedua orang anak
buahku dan sekali aku memberi isyarat, mereka akan menggorok lehernya!”
Bi-kwi masih
belum menyerang Suma Lian lagi dan mereka bertiga hanya mengepung gadis itu.
“Mo-li,
bukankah yang kau kehendaki adalah agar aku mau bekerja sama denganmu? Nah, aku
sudah siap dan mau, oleh karena itu, untuk apa mengeroyok Suma Lian ini? Suma
Lian, engkau pergilah dan jangan mencampuri urusanku! Aku mau bekerja sama
dengan Sin-kiam Mo-li untuk menentang pemerintah penjajah!”
Tentu saja
bukan tidak ada artinya Bi-kwi menyuruh Suma Lian pergi. Pertama, supaya gadis
itu selamat, ke dua agar gadis itu mencari bala bantuan untuk menyelamatkan ia
dan puteranya.
Akan tetapi,
Suma Lian mempunyai pikiran yang lain lagi. Gadis yang cerdik ini melihat
kesempatan bagus terbuka ketika Sin-kiam Mo-li menyerahkan anak itu kepada dua
orang anggota Ang-i Mo-pang.
“Apa, Bibi?
Engkau suruh aku pergi? Aku justru hendak membasmi iblis ini. Cepat ambil
puteramu!” Berkata demikian, dengan tiba-tiba sekali ia sudah memutar suling
emasnya dan menyerang dengan amat dahsyatnya kepada Sin-kiam Mo-li!
Gadis ini
mempergunakan jurus ampuh dari gabungan Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu
Pedang Suling Emas, yang baru-baru ini sudah dilatihnya dengan tekun di bawah
bimbingan ibunya. Sambil menyerang, dia lantas mengerahkan tenaga Inti Bumi,
yang merupakan sinkang yang paling cocok untuk memainkan ilmu pedang dengan
suling itu, juga ia mengeluarkan suara melengking nyaring yang mengandung
kekuatan sihir untuk mengejutkan lawan!
Menghadapi
serangan ini, Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Kekuatan sihir dalam suara
melengking itu membuat ia terkejut dan kehilangan akal sehingga ia tidak dapat
berbuat atau mengeluarkan suara ketika pada saat itu Bi-kwi sudah meloncat ke
arah puteranya. Sin-kiam Mo-li sibuk menghadapi serangan dahsyat dari Suma Lian
itu dan biar pun ia menggunakan pedang dan kebutan untuk melindungi dirinya,
tetap saja ia terdesak sampai mundur beberapa langkah namun belum juga mampu
membebaskan diri dari ancaman gulungan sinar suling emas itu!
Melihat ini,
Liok Cit menyergap dari belakang, menusukkan pedangnya untuk membantu
pemimpinnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Suma Lian membalik dan sebuah
tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) menyerempet lambungnya sehingga
Liok Cit terpelanting!
Sementara
itu Ciong Siu Kwi cukup cerdik untuk dapat menangkap seketika teriakan Suma
Lian tadi. Ia pun cepat meloncat ke arah Yo Han yang dijaga oleh dua orang
anggota Ang-i Mo-pang. Gerakannya demikian cepat, loncatannya seperti seekor
singa betina menubruk saja.
Dua orang
yang menjaga Yo Han tidak mendapat aba-aba dari Sin-kiam Mo-li, dan mereka
tidak sempat menggerakkan senjata untuk menyerang Yo Han karena tiba-tiba saja
Ciong Siu Kwi sudah datang dengan kedua tangannya menyambar, menampar dan dua
orang itu pun terpelanting bagai tersambar petir! Mereka memang sudah mengenal
Bi-kwi dan sudah merasa jeri, maka begitu terpelanting dan terbanting, mereka
tak mampu bangun lagi atau pura-pura pingsan saja agar lebih aman! Ciong Siu
Kwi segera menyambar tubuh puteranya, membebaskan totokannya dan memondongnya,
siap untuk melarikan diri.
Tetapi,
Sin-kiam Mo-li yang berkat bantuan Liok Cit tadi sudah terbebas dari desakan
Suma Lian, cepat berseru, “Bi-kwi, tahan dulu. Lihat siapa yang berada di
tangan kami!”
Ciong Siu
Kwi yang sudah siap melarikan puteranya, menengok dan seketika wajahnya berubah
pucat sekali dan seluruh tubuhnya menegang, lalu lemas. Sungguh sama sekali
tidak pernah disangkanya bahwa Sin-kiam Mo-li akan bertindak sedemikian jauh
sehingga ketika ia pergi meninggalkan dusunnya, agaknya telah ada orang
kepercayaan iblis itu yang segera menangkap suaminya! Yo Jin kini telah menjadi
tawanan, kedua tangannya diikat di belakang tubuhnya dan sehelai rantai panjang
kini dipegangi oleh dua orang anggota Ang-i Mo-pang!
Bahkan
ketika Yo Han yang juga melihat ayahnya, melepaskan diri dari pondongannya,
Bi-kwi tidak mampu menahannya. Anak itu melorot turun dan lari menghampiri
ayahnya. “Ayah...! Ayah...! Lepaskan ayahku!”
Anak itu
kemudian mengamuk, menggunakan kakinya menendang dan tangannya untuk memukul ke
arah dua orang yang memegang rantai yang membelenggu kedua tangan Yo Jin. Akan
tetapi Sin-kiam Mo-li telah menangkap pundaknya dan anak itu pun lemas tak
mampu bergerak lagi.
“Ikat setan
cilik ini dan satukan dengan ayahnya!” perintahnya.
Dua orang
anak buah yang lain segera mengikat kedua tangan Yo Han dan rantai pengikatnya
disatukan dengan rantai pengikat tangan Yo Jin.
“Bawa mereka
masuk dan jika kalian melihat Bi-kwi berani memberontak dan melawan aku, jangan
ragu-ragu lagi, bunuh suami dan anaknya itu!” Mendengar perintah ini, empat
orang anak buah Ang-i Mo-pang lalu menyeret Yo Jin dan Yo Han pergi dari situ.
Yo Jin tidak
berkata sesuatu, hanya memandang kepada isterinya. Dan pandang mata itu! Bagai
ribuan ujung pedang yang menghujam ke dalam hati Ciong Siu Kwi! Pandang mata
suaminya tercinta itu penuh penyesalan, seolah-olah suaminya itu menegur dan
mengingatkannya bahwa mala petaka yang menimpa keluarganya itu adalah akibat
dari kesalahannya di waktu dahulu! Dan memang suaminya benar. Semua ini terjadi
karena ia pernah menjadi seorang Bi-kwi, seorang datuk sesat yang penuh dosa!
Kini datanglah hukuman dari Tuhan!
Dengan kedua
mata basah, penuh air mata, kini tanpa menunggu perintah lagi, Bi-kwi langsung
maju menyerang Suma Lian! Serangannya sekali ini penuh semangat, penuh
kesungguhan sehingga mengejutkan Suma Lian.
“Bibi...!”
Suma Lian berseru sambil mengelak cepat.
“Engkau
harus mati untuk menghidupkan suami dan anakku!” bentak Bi-kwi yang sudah
menerjang lagi dengan sepenuh tenaganya. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li tersenyum
girang karena ia merasa yakin bahwa kini Bi-kwi telah berada dalam
cengkeramannya.
“Bagus, Bi-kwi,
begitulah baru seorang sahabat sejati!” katanya dan dia pun memberi isyarat
kepada Liok Cit untuk kembali maju. Kebutan dan pedangnya sudah digerakkan
untuk menyerang Suma Lian.
Gadis ini
sekarang menjadi marah bukan main. “Sin-kiam Mo-li, sungguh engkau iblis kejam
dan aku harus membasmi engkau untuk membersihkan dunia dan menentramkan
kehidupan rakyat!”
Sambil
membentak marah, Suma Lian mengelak dari serangan Bi-Kwi dan meloncat ke kiri
menyambut terjangan Sin-kiam Mo-li dengan suling emasnya. Karena ia tahu bahwa
setelah melihat ancaman terhadap suami dan anaknya, Bi-Kwi sekarang benar-benar
tak berdaya dan membutakan mata, maka wanita itu dapat merupakan lawan
berbahaya sekali.
Bi-Kwi
menyerangnya dengan sungguh-sungguh, sedangkan dirinya tentu saja tak tega
membalas serangan wanita itu, karena dia maklum benar bahwa Bi-Kwi memusuhinya
secara terpaksa sekali. Dia menimpakan kemarahannya kepada Sin-kiam Mo-li,
bukan karena dirinya, melainkan karena melihat cara Sin-kiam Mo-li menguasai
Bi-Kwi dengan cara yang amat licik.
“Trang-tranggg...!”
Saking
hebatnya serangan Suma Lian dengan sulingnya, dua kali sulingnya bertemu dengan
pedang dan kebutan di kedua tangan Sin-kiam Mo-li dan akibatnya iblis betina
itu mengeluh dan meloncat jauh ke belakang. Ketika kedua senjatanya tadi
bertemu dengan suling, tiba-tiba saja tangan kiri Suma Lian menampar. Benturan
dengan suling itu membuat tubuhnya terasa dingin seperti disiram air es
sehingga ia harus cepat mengerahkan sinkang-nya karena ia maklum bahwa gadis itu
tentu mempergunakan Swat-im Sinkang, yaitu Tenaga Inti Salju, sinkang yang amat
hebat dari pulau es.
Ketika
tamparan tangan kiri menyambar, ia pun cepat menyambut dengan kebutannya,
dengan maksud melukai tangan itu atau kalau mungkin melibat pergelangan tangan
lawan dengan bulu kebutannya yang beracun. Tetapi, gadis perkasa itu tidak
menarik kembali tangannya sehingga tangan itu bertemu dengan bulu kebutan dan
akibatnya, Sin-kiam Mo-li merasa tubuhnya panas seperti dibakar api.
Itulah yang
membuat ia meloncat mundur. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dengan
tangan kanannya yang mempergunakan suling emas mengerahkan tenaga Swat-im
Sinkang yang dingin sekali, sedangkan detik berikutnya, tangan kirinya yang
menampar itu mengandung tenaga panas. Ia sudah pula mendengar bahwa di samping
Swat-im Sinkang yang amat dingin, juga keluarga Pulau Es memiliki Hwi-yang
Sinkang atau Tenaga Sakti Inti Api yang amat panas.
Suma Lian
hanya mengelak dari serangan-serangan Bi-kwi, bahkan juga serangan yang dilakukan
Liok Cit hanya dielakkannya, karena seluruh daya serangnya ditujukannya kepada
Sin-kiam Mo-li. Maka, melihat wanita ini meloncat mundur, ia pun mengejarnya
dengan loncatan dan kembali ia telah menyerangnya dengan dahsyat dan
bertubi-tubi!
Sin-kiam Mo-li
berusaha melindungi tubuhnya dengan pedang dan kebutan, akan tetapi hawa
pukulan dahsyat yang dikeluarkan dari tangan kiri dan suling emas di tangan
Suma Lian membuat ia kembali terhuyung ke belakang. Pada saat itu Bi-kwi
kembali sudah menghantam dari samping untuk menolong Sin-kiam Mo-li yang
terdesak. Suma Lian memutar tubuhnya, sekaligus menangkis pukulan Bi-kwi dengan
tangan kiri dan menangkis pedang Liok Cit dengan sulingnya.
“Dukkk!”
Tubuh Bi-kwi
terpental sehingga hampir roboh karena tenaganya membalik sedemikian kuatnya.
“Cringgg...!”
Kembali Liok
Cit merasa betapa tangannya yang memegang pedang disergap hawa dingin yang
membuatnya menggigil. Namun dia masih sempat mengeluarkan aba-aba dan belasan
orang berpakaian merah telah menerjang Suma Lian dari segenap penjuru.
Gadis itu
memutar sulingnya sambil mengerahkan tenaga dan beberapa orang anggota Ang-i
Mo-pang berseru kesakitan dan pedang mereka terlepas, bahkan ada pula yang
roboh karena tidak kuat menahan tangkisan suling yang amat kuat itu. Akan
tetapi, lebih banyak lagi orang berpakaian merah mengepung dan mengeroyok Suma
Lian. Gadis itu hanya mempergunakan sulingnya melindungi diri, dan mencari-cari
dengan pandang matanya. Kiranya Sin-kiam Mo-li sudah menjauhkan diri, berdiri
di atas sebuah batu di bawah pohon dan di depannya terbentang petak rumpun yang
hijau subur.
Karena Suma
Lian maklum bahwa sekali ia mampu merobohkan Sin-kiam Mo-li, tentu dengan mudah
ia mengalahkan anak buah iblis betina itu dan menyelamatkan keluarga Yo, ia
memutar sulingnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyok terpaksa mundur.
Dengan menerjang ke kiri, ia merobohkan empat orang anggota Ang-i Mo-pang dan
ia pun lalu menerobos keluar dari kepungan untuk mengejar Sin-kiam Mo-li.
“Iblis
betina, mau lari ke mana kau...?” bentaknya sambil berlari cepat melintasi
petak rumput sambil memutar suling emasnya.
“Nona Suma,
hati-hati...“ Tiba-tiba Bi-kwi berseru, akan tetapi terlambat karena tubuh Suma
Lian tiba-tiba terjeblos ke dalam sebuah lubang sumur yang berada di bawah
rumput hijau subur itu.
Oleh karena
sama sekali tidak menyangka dan tidak curiga, Suma Lian tidak mampu
menghindarkan dirinya pada saat kedua kakinya terjeblos ke bawah. Dia hanya
dapat mengerahkan ginkang-nya agar luncuran tubuhnya ke bawah tidak terlampau
cepat dan berat. Untunglah bahwa ketika ia terjeblos dan rumput penutup sumur
itu ikut terjeblos, lubang sumur itu terbuka lebar dan ada sinar matahari yang
menerobos masuk ke dalam sumur. Biar pun hanya remang-remang, namun cukup bagi
mata Suma Lian yang tajam terlatih itu untuk dapat melihat apa yang berada di
bawah, di dasar sumur dan ia pun terkejut.
Kiranya
sumur itu merupakan sumur yang tiada airnya, dan di dasar sumur dipasangi
tombak-tombak runcing menghadap ke atas, siap untuk menerima tubuh siapa pun
yang masuk ke dalam sumur! Untung ada sinar masuk dan ia dapat melihatnya,
kalau tidak, besar sekali bahayanya ia akan terluka dan mungkin tewas!
Kini ia
cepat menusukkan suling emas yang masih dipegangnya ke dinding sumur dan
ternyata dinding yang hanya merupakan tanah padas itu, dengan mudah tertusuk
suling. Ia pun bergantung pada suling yang masuk seluruhnya ke dalam padas
kecuali ujung yang dipegangnya!
Suma Lian
memandang ke bawah. Tombak-tombak itu hanya tinggal satu meter saja di
bawahnya. Ia harus dapat turun ke bawah, berpijak pada ujung mata tombak-tombak
itu karena kalau tidak demikian, ia tidak mempunyai dasar untuk meloncat ke
atas.
Sementara
itu, dari atas terdengar suara ketawa Sin-kiam Mo-li. Suma Lian tidak tahu
betapa Sin-kiam Mo-li tadi dengan marah sudah menyerang Bi-kwi dan karena
Bi-kwi tidak melawan, maka ia dapat dirobohkan dengan totokan. Dan Sin-kiam
Mo-li tertawa, suara ketawanya terdengar dari bawah sumur oleh Suma Lian.
“Bi-kwi,
ternyata kau hendak berkhianat lagi! Engkau mencoba untuk memperingatkan gadis
itu!” bentak Sin-kiam Mo-li. “Aku akan membunuh suami dan puteramu di depan
hidungmu, kemudian membunuhmu juga!”
Terdengar
oleh Suma Lian, betapa Bi-kwi menjawab dengan suara lirih dan nadanya merendah.
“Mo-li, engkau pun tahu bahwa aku baru datang dan aku sama sekali tidak tahu
akan lubang jebakan itu. Aku tadi berseru memperingatkan karena naluri belaka,
bukan kusengaja. Hal itu membuktikan bahwa perbuatan jahat sudah tercuci bersih
dari lubuk hatiku, Mo-li. Karena itu, kalau engkau hendak memaksaku melakukan
kejahatan, biar pun engkau bunuh kami sekeluarga, aku tidak akan sudi
menaatimu. Kalau untuk perjuangan, tentu saja aku sanggup membantumu karena hal
itu bukanlah kejahatan, bahkan merupakan kewajiban para patriot dan pendekar.
Akan tetapi, nona Suma Lian ini bukanlah musuh kita, bukanlah bangsa Mancu yang
menjajah bangsa kita!”
Kembali
Sin-kiam Mo-li tertawa. “Bi-kwi, sudah kukatakan bahwa engkau kuajak untuk
bekerja sama menentang pemerintah penjajah Mancu. Dan tentang gadis ini, kau
lihat sendiri, bukan aku yang memusuhinya, melainkan ia yang datang memusuhi
kami! Pula, engkau harus ingat bahwa ia adalah keturunan keluarga Pulau Es dan
keluarga Pulau Es masih terhitung keluarga dari Kerajaan Mancu! Nah, kubebaskan
totokan padamu, akan tetapi ingat, jika sekali lagi engkau berani melakukan hal
yang merugikan aku dan mencurigakan, jangan harap engkau akan dapat bertemu
kembali dengan suami dan puteramu!”
Setelah
dibebaskan totokannya, Bi-kwi lalu bertanya, “Mo-li, bagaimana pun juga nona
Suma Lian itu hanya datang dengan niat menyelamatkan anakku. Ia bukan orang
jahat, bukan pula kaki tangan Kerajaan Mancu. Oleh karena itu, perlu apa
membunuhnya? Bukankah lebih baik kalau dia diselamatkan, kemudian diajak
bekerja sama menentang pemerintahan penjajah?”
“Heh-heh-heh,
engkau tidak tahu Bi-kwi. Siapa pun yang terjebak ke dalam sumur ini, tentu
mampus karena di dasar sumur sudah menanti banyak tombak yang akan menembus
tubuhnya. Ia tentu sudah tewas, kalau belum, batu ini yang akan membantu supaya
kematiannya datang dengan cepat!” Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li
mengerahkan tenaganya mendorong batu besar yang tadi diinjaknya.
Batu itu
besar sekali, akan tetapi dengan tenaganya yang kuat, Sin-kiam Mo-li akhirnya
berhasil mendorongnya setelah dibantu oleh Liok Cit dan anak buah Ang-i
Mo-pang. Batu itu menggelinding ke arah sumur dan kalau terjatuh ke dalam sumur
itu, betapa pun tinggi ilmu kepandaian Suma Lian, pasti ia tidak akan mampu
menyelamatkan diri lagi, tergencet batu dari atas dan tertusuk tombak-tombak
runcing dari bawah!
Bi-kwi hanya
dapat melihat dengan wajah pucat, ngeri membayangkan betapa tubuh nona
pendekar, keturunan keluarga Pulau Es itu akan binasa secara menyedihkan tanpa
dia mampu berbuat sesuatu.
Tiba-tiba
nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang
pemuda yang berseru lantang, “Sin-kiam Mo-li, sungguh di mana-mana engkau hanya
menyebar kejahatan!”
Dan pemuda
itu lalu meloncat ke arah batu yang menggelinding dan sudah tiba dekat sumur
itu. Sekali dia mendorong, batu itu lalu terpental dan terlempar sampai
beberapa meter jauhnya!
Melihat ini,
Bi-kwi terbelalak penuh kagum. Dia maklum betapa sukarnya melakukan perbuatan
seperti itu, membutuhkan tenaga yang bukan main besarnya! Ia memandang penuh
perhatian.
Seorang
pemuda sederhana saja. Pakaiannya serba putih, wajahnya sederhana, tidak
terlalu tampan biar pun juga tidak buruk, akan tetapi sinar matanya lembut dan
mulutnya selalu membayangkan senyum ramah sehingga wajah itu mendatangkan rasa
suka di dalam hatinya.
Sementara
itu, melihat pemuda yang baru muncul dan yang sekali mendorong dapat membuat
batu yang amat berat dan besar tadi terpental, Sin-kiam Mo-li mengerutkan
alisnya. Wajahnya agak berubah dan sinar matanya membayangkan rasa gentar. Ia
mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Tan Sin Hong, atau yang kini dikenal
banyak orang kang-ouw sebagai Pek-ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih)!
Akan tetapi,
beberapa orang anggota Ang-i Mo-pang tidak mengenal pemuda ini. Walau pun
mereka tadi terkejut juga melihat batu itu terpental oleh dorongan seseorang,
akan tetapi melihat bahwa orang itu hanyalah seorang pemuda sederhana berpakaian
putih, mereka mengira bahwa pemuda itu hanya memiliki tenaga besar saja. Enam
orang anggota Ang-i Mo-pang, dengan pedang di tangan, untuk mencari muka dan
jasa, cepat menerjang Sin Hong dengan ganas sekali.
Melihat enam
batang pedang menyambar dari semua penjuru, mengarah hampir semua bagian tubuh
berbahaya darinya, Sin Hong tidak menjadi gentar. Dia memutar tubuhnya dan
dengan Ilmu Silat Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), secara beruntun
dia mampu mengelak dan menangkis pedang-pedang itu dengan kedua lengannya, dan
kakinya juga membagi-bagi tendangan.
Empat batang
pedang yang bertemu dengan lengannya langsung terpental dan terlepas dari
pegangan pemiliknya, disusul robohnya enam orang itu oleh tendangan Sin Hong.
Untung bagi mereka bahwa pemuda itu bukan seorang pembunuh, maka mereka hanya
terpelanting dan terbanting keras saja, tetapi tidak menderita luka yang
membahayakan keselamatan hidup mereka. Tanggung amat.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment