Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 03
Setelah
melihat tindakan Kwi Hong yang gagah, beberapa orang di antara mereka teringat
akan pendekar wanita yang berjuluk Si Bangau Emas. Dan memang gadis itu memakai
perhiasan bangau emas di rambutnya.
“Si Bangau
Emas, ia tentulah Si Bangau Emas yang terkenal gagah dan pemberantas
kejahatan!” demikian segera tersiar berita itu sehingga nama Si Bangau Emas
semakin dikagumi orang.
Sementara
itu, Kwi Hong tengah memandang kepada Keng Han. Seorang pemuda yang tampan dan
gagah, pikirnya, dan sangat sederhana. Kebetulan Keng Han juga sedang memandang
kepadanya. Dua pasang mata yang bersinar tajam itu saling bertemu dan bertaut
sejenak.
Kwi Hong
lalu membungkuk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu, Sobat!”
“Tak perlu
berterima kasih, Nona. Aku tahu bahwa tanpa dibantu sekali pun Nona akan mampu
menghajar mereka semua, akan tetapi melihat demikian banyaknya orang pria
mengeroyok seorang gadis, bagaimana aku bisa tinggal diam? Terpaksa tadi aku
harus mencampuri, Nona.”
“Ahh, tidak
mengapa. Aku tadi melihat ilmu silatmu sangat hebat, Sobat. Bolehkah aku
mengetahui siapa namamu dan dari perguruan silat manakah engkau?”
Keng Han
tidak ingin memperkenalkan diri sebagai seorang she Tao, putera pangeran
mahkota!. Ia akan merahasiakan keadaan dirinya itu hingga ia dapat bertemu
ayahnya. “Aku bernama Keng Han... Si Keng Han, dan guruku adalah seorang hwesio
perantauan dari Tibet. Dan engkau sendiri, bolehkah aku mengetahui siapa
namamu, Nona? Dan siapa pula gurumu? Ilmu sepasang pedang yang kau mainkan itu
demikian hebat, tentu suhu-mu seorang yang amat terkenal pula.”
Seperti juga
Keng Han, Kwi Hong tak ingin orang mengenalnya sebagai puteri Pangeran Mahkota
Tao Kuang. Ia tidak ingin menarik perhatian orang. Kebetulan namanya Kwi Hong
dan nama Kwi itu boleh dipakai sebagai nama marga.
“Namaku Kwi
Hong, dan guruku adalah kakekku sendiri. Ilmu silatku biasa saja, tidak dapat
dibandingkan dengan ilmu kepandaianmu, Saudara Keng Han. Atau bolehkah aku
menyebutmu Han-koko saja? Lagi pula, bukankah sekarang kita telah menjadi
kenalan dan sahabat?”
Girang
sekali hati Keng Han. Gadis ini selain tabah, lihai ilmu silatnya, bicaranya
pun lihai pula, juga wataknya amat polos! Sungguh watak yang menyenangkan
sekali.
“Tentu saja
boleh dan aku pun tentu boleh menyebutmu Moi-moi saja, karena aku yakin bahwa
engkau jauh lebih muda dari padaku.”
“Hik-hik-hik,
Han-ko. Engkau bicara seolah engkau ini sudah menjadi kakek-kakek saja. Memang
aku lebih muda darimu, akan tetapi aku yakin kalau selisihnya tidak seberapa
banyaknya. Berapa usiamu sekarang?”
“Sudah
hampir dua puluh satu tahun, Nona... ehhh, Hong-moi.”
“Nah, dan
kini aku sudah hampir delapan belas tahun! Selisihnya hanya sedikit saja, tiga
tahun. Ehh, Han-ko, sebetulnya engkau hendak ke manakah dan datang dari mana?”
Pertanyaan
ini lebih lagi tidak dapat dijawab sejujurnya oleh Keng Han. Tidak mungkin dia
menceritakan bahwa dia datang dari Pulau Hantu dan kini dia hendak pergi
mencari ayahnya, Pangeran Mahkota.
“Aku
hanyalah seorang perantau, Hong-moi, dan aku sedang menuju ke kota raja untuk
mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Aku belum pernah ke sana dan aku
mendengar bahwa kota raja amat besar dan indah.”
“Ahhh,
kebetulan sekali, aku pun kini sedang pergi ke kota raja. Kita dapat melakukan
perjalanan bersama, Han-ko.”
“Aih, apakah
engkau tidak merasa... janggal, Hong-moi? Melakukan perjalanan bersama seorang
pemuda seperti aku yang sama sekali asing bagimu? Apa akan kata orang nanti?”
“Peduli amat
dengan pendapat orang, Han-ko. Jika aku terlalu mempedulikan pendapat orang
lain, tak mungkin aku dapat berkelana seperti ini seorang diri. Aku selalu
meneliti langkah sendiri, kalau aku tidak melakukan sesuatu yang tidak benar,
habis perkara. Orang lain boleh menilai bagaimana pun sesuka perut mereka, aku
tidak peduli. Kita telah berkenalan, kita pun telah menjadi sahabat, sama-sama
menghadapi orang-orang yang sesat jalan. Nah, bukankah kita tidak asing lagi
satu sama lain? Atau... engkau yang tidak suka melakukan perjalanan bersamaku,
Han-ko?”
Keng Han
menghela napas panjang. Tepat dugaannya, gadis ini seorang yang polos dan keras
hati. Tentu gadis ini minggat dari rumahnya karena kalau terang-terangan, tentu
orang tuanya tidak akan mengijinkannya merantau seorang diri seperti itu!
“Hong-moi,
bagaimana aku dapat tidak suka melakukan perjalanan bersamamu? Tentu saja aku
suka sekali, apa lagi engkau dapat menjadi penunjuk jalan. Aku tadi ragu hanya
karena mengingat akan dirimu, jangan sampai engkau menjadi celaan orang.”
“Biarkan
saja orang mencelaku, asal tidak di depanku. Kalau ada yang berani mencela di
depanku, tentu akan kutampar mulutnya sampai semua giginya copot. Han-ko, yang
penting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita berdua melakukan perjalanan dengan
wajar, sebagai dua orang sahabat yang saling menghormati dan saling menghargai,
tak melakukan sesuatu yang melanggar susila, siapa yang akan berani mencela?”
Bukan main
kagumnya hati Keng Han. Seorang gadis yang masih begini muda, akan tetapi
pengetahuannya tentang kehidupan dan tentang kemanusiaan sudah sedemikian
mendalam. Tentu seorang gadis yang amat terpelajar, di samping ahli silat yang
pandai.
“Engkau
benar, Hong-moi. Mendengar pendapatmu, aku menjadi tidak ragu-ragu lagi, dan
bahkan besar dan bangga hatiku mendapatkan seorang sahabat yang masih muda akan
tetapi demikian bijaksana sepertimu. Nah, mari kita berangkat, Hong-moi. Mana
jalan yang menuju ke kota raja?”
“Kita keluar
dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke utara, tentu akan sampai ke kota
raja, Han-ko. Mari kita berangkat.”
Mereka lalu
berangkat, meninggalkan Tung-san melalui pintu gerbang utara. Ternyata
perjalanan itu harus melalui daerah pegunungan yang sunyi. Baru kurang lebih
sepuluh li mereka berjalan, mendadak dari depan datang seorang petani
berlari-lari dan nampak ketakutan.
Keng Han
segera menghadang dan bertanya. “Paman, ada apakah Paman berlari-lari seperti
orang ketakutan?”
“Ahh, orang
muda, jangan pergi ke sana. Aku melihat perkelahian antara orang-orang yang
berkepala gundul dan berjubah merah. Tiga orang mengeroyok satu orang dan
agaknya mereka itu hendak membunuhnya. Aku menjadi ketakutan. Ahh,
jangan-jangan mereka akan mengejarku pula...!” Orang itu berlari lagi
ketakutan.
Mendengar
ini, Keng Han menjadi tidak enak hati. Tiga orang gundul berjubah merah
mengingatkan dia akan tiga orang pendeta Lama yang dahulu pernah mencari
gurunya, Gosang Lama. Mereka berkepandaian sangat tinggi sehingga ketika dia
memukulnya, tangannya sendiri merasa kesakitan dan sekali dorong saja seorang
di antara mereka dapat merobohkannya! Jangan-jangan yang dimaksudkan petani
tadi adalah tiga orang pendeta Lama itu dan yang dikeroyok adalah gurunya!
“Mari kita
ke sana!” katanya dan dia pun berlari cepat, dikejar oleh Kwi Hong.
“Tunggu aku,
Han-ko!” teriak gadis itu yang mengejar dengan secepatnya sehingga ia dapat
menyusul Keng Han.
Tidak lama
kemudian mereka melihat tiga orang berpakaian pendeta berjubah merah sedang
mengeroyok seorang kakek yang berpakaian biasa seperti seorang petani yang
kepalanya botak hampir gundul. Pada saat mereka tiba di situ, kakek yang
dikeroyok itu agaknya telah terluka parah dan sempoyongan hampir roboh. Melihat
ini Kwi Hong yang penasaran melihat seorang dikeroyok tiga, sudah menerjang
maju dan membentak.
“Pengecut-pengecut
tidak tahu malu! Mengeroyok seorang tua!”
Dia
menyerang pendeta yang terdekat. Pendeta itu pun menangkis serangannya.
“Dukkk...!”
Tubuh Kwi
Hong terhuyung ke belakang. Dia merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali
ketika lengannya tertangkis tadi. Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang
pandai, Kwi Hong langsung mencabut sepasang pedangnya dan menyerang pendeta itu
dengan ilmu Ngo-heng-kiam.
Pendeta itu
terkejut melihat kehebatan serangan sepasang pedang. Dia menggunakan lengan
bajunya yang lebar untuk menangkis sambil mundur.
Sementara
itu, Keng Han melihat bahwa kakek yang terluka parah itu adalah Gosang Lama.
Dia cepat menyambar tubuh yang hampir roboh itu.
“Suhu...!”
teriaknya.
“Keng
Han..., pergilah... mereka lihai sekali. Larilah!” kata Gosang Lama ketika
melihat muridnya.
Akan tetapi
Keng Han segera merebahkan gurunya dan cepat meloncat berdiri. Ketika memutar
tubuhnya, dia melihat betapa Kwi Hong sudah bertanding melawan seorang pendeta
jubah merah kotak-kotak, sedangkan dua pendeta lainnya hanya menonton. Dia
menjadi marah sekali dan meloncat ke depan dua orang pendeta yang menonton
pertandingan itu.
“Pendeta-pendeta
keparat dan kejam!” bentaknya.
Karena
maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh sekali, maka dia lalu
menyerang dengan pukulan yang dilatihnya di Pulau Hantu. Tangan kanannya
memukul dengan kandungan hawa yang amat panas sedangkan tangan kirinya memukul
dengan kandungan hawa yang amat dingin.
Melihat
pemuda itu memukul dan ada angin menyambar dahsyat, dua orang pendeta itu
terkejut dan cepat menangkis dengan tangan mereka.
“Wuuuuuttt...
desssss...!”
Pertemuan
tenaga itu hebat sekali dan akibatnya dua orang pendeta itu terjengkang dan
terbanting. Yang seorang merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa panas sekali dan
yang kedua merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa yang amat dingin. Mereka tidak
terluka parah, akan tetapi terkejut bukan main. Seorang pemuda dapat
menggunakan pukulan berlawanan dalam satu saat sungguh luar biasa sekali!
Mereka
pernah dengar bahwa ilmu-ilmu tangguh seperti itu hanya dimiliki oleh pendekar
keluarga Pulau Es! Mereka menjadi jeri dan dalam bahasa Tibet mereka memanggil
temannya yang bertanding melawan Kwi Hong untuk melarikan diri. Pemuda itu
terlalu tangguh, apa lagi di situ masih terdapat Kwi Hong yang memiliki ilmu
sepasang pedang yang hebat. Mereka lalu melarikan diri dengan cepat, jubah
mereka berkibar di belakang mereka.
Keng Han
hendak mengejar, akan tetapi ia mendengar suara gurunya mengeluh, “Keng Han,
jangan...!”
Mendengar
suara gurunya ini, Keng Han tidak jadi mengejar dan berlutut di samping tubuh
gurunya. Ternyata Gosang Lama telah terluka parah sekali, napasnya
terengah-engah. Melihat keadaan gurunya ini Keng Han mencoba untuk membantunya
dengan menempelkan kedua tangan di dada gurunya dan mengerahkan sinkang-nya.
Akan tetapi
tiba-tiba mata Gosang Lama mendelik dan napasnya makin ngos-ngosan! Keng Han
terkejut dan segera menghentikan pengerahan tenaganya. Bagaimana napas Gosang
Lama tidak akan menjadi terengah-engah kalau mendadak ada dua hawa yang
berlawanan memasuki tubuhnya yang sudah terluka parah?
“Ahhh, Suhu.
Bagaimana keadaanmu?” Keng Han mengguncang pundak kakek berusia sudah tujuh
puluh tahun itu.
Gosang Lama
hanya menggelengkan kepala dan mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara
berbisik. Keng Han mendekatkan telinganya dan mengerahkan pendengarannya untuk
menangkap pesan terakhir itu.
“Semua
ini... gara-gara... Dalai Lama..., Keng Han. Kau… kau bunuh Dalai Lama untuk
membalas dendamku... kemudian kau hancurkan Bu-tong-pai... itu juga musuh
besarku. Ada puteraku...Gulam Sang temui dia, ajak kerja sama... aku... aku...”
Kepala itu
terkulai dan Gosang Lama telah menghembuskan napas terakhir, membawa semua
rahasia hidupnya bersamanya.
“Suhu...!”
Keng Han menangis sambil memeluk tubuh yang masih hangat itu.
Sebuah
tangan yang halus menyentuh pundaknya. “Han-ko, yang sudah mati tidak ada gunanya
ditangisi lagi. Suhu-mu sudah meninggal, sebaiknya diurus jenazahnya.”
Ucapan ini
menyadarkannya. Tadi dia menangis karena terharu. Selama lima tahun dia
digembleng oleh kakek ini dengan penuh kesungguhan hati. Kakek inilah
satu-satunya gurunya. Teringat akan kebaikan kakek itu maka dia tadi terharu
dan menangis. Ucapan Kwi Hong menyadarkannya dan dia berhenti menangis.
Dia
menghapus air matanya, menoleh kepada Kwi Hong dan berkata, suaranya sudah
tenang lagi. “Engkau benar, Hong-moi. Aku tadi terlalu lemah.”
Dengan
dibantu Kwi Hong, Keng Han menggali lubang dan mengubur jenazah Gosang Lama
dengan sederhana dan khidmat. Setelah itu dia berlutut di depan makam gurunya
sambil berjanji, “Suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu.”
Kwi Hong mengerutkan
alisnya ketika mendengar ucapan Keng Han ini. “Han-ko, pesan terakhir suhu-mu
itu sungguh luar biasa sekali.”
Keng Han
menoleh kepada gadis itu. “Luar biasa? Apanya yang luar biasa? Suhu hanya
menyuruh aku membasmi musuh-musuh besarnya yang telah berlaku jahat kepadanya.”
“Pertama,
agaknya suhu-mu itu juga seorang pendeta. Seorang pendeta tapi memesan kepada
muridnya untuk membalas dendam! Sungguh luar biasa dan aneh sekali. Pada
umumnya seorang pendeta justru melarang muridnya mengandung dendam di hati. Dan
kedua kalinya, pesan itu sungguh amat tidak mungkin kau lakukan, Han-ko.”
“Tidak
mungkin?” Keng Han mengerutkan alisnya. “Kenapa tidak mungkin, Hong-moi?”
Dia merasa
penasaran sekali walau pun alasan pertama tadi kini juga menjadi bahan pemikirannya.
Dia pun telah banyak membaca kitab-kitab agama yang melarang adanya dendam di
hati, akan tetapi kenapa suhu-nya malah menyuruh dia membalas dendam? Akan
tetapi tidak mungkin dia mengingkari janjinya kepada suhu-nya sendiri!
“Tidak
mungkin karena permintaan suhu-mu itu luar biasa beratnya. Kau tahu siapa itu
Dalai Lama?”
Keng Han
menggelengkan kepalanya. Memang dia belum pernah mendengar atau pun membaca
tentang Dalai Lama.
“Belum
pernah. Siapa sih dia?”
“Dalai Lama
adalah pendeta kepala dari para pendeta Lama di Tibet. Kekuasaannya besar
sekali, bahkan melebihi kekuasaan raja. Dan di Tibet terdapat banyak sekali
pendeta berilmu tinggi yang tentu akan melindungi Dalai Lama. Kurasa engkau
tidak akan dapat menyentuh sehelai rambut pun dari Dalai Lama. Beliau sendiri
merupakan seorang yang sangat tinggi ilmunya. Bagaimana mungkin engkau
melaksanakan tugas yang amat berbahaya itu?”
“Bagaimana
besar pun bahayanya, tugas yang diberikan oleh suhu harus kulaksanakan,
Hong-moi. Aku tidak takut!” kata Keng Han dengan suara tegas.
“Hemmm, dan
tugas kedua lebih aneh lagi.”
“Membasmi
Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu? Apa anehnya? Kalau mereka itu musuh
besar suhu, memang harus dibasmi!”
“Tahukah
engkau siapa Bu-tong-pai itu, Han-ko?”
“Yang pernah
kudengar, Bu-tong-pai adalah satu di antara perguruan-perguruan silat yang
terkenal...”
“Bukan hanya
terkenal karena ilmu silatnya, melainkan lebih terkenal lagi bahwa murid-murid
Bu-tong-pai merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela
kebenaran dan keadilan. Bu-tong-pai adalah perkumpulan para pendekar. Bagaimana
engkau disuruh untuk membasminya? Sungguh aku merasa heran sekali. Kalau gurumu
itu musuh besar Bu-tong-pai, maka...” Kwi Hong tidak mau melanjutkan
kata-katanya karena dia tidak ingin menyinggung perasaan hati Keng Han.
“Maka
bagaimana, Hong-moi? Apakah engkau hendak bilang bahwa gurukulah yang berada di
pihak yang salah?”
“Mungkin
saja, karena Bu-tong-pai selalu menentang kejahatan dan tidak pernah murid
mereka melakukan kejahatan.”
“Apa pun
alasannya, kalau mereka itu musuh besar suhu, harus kulaksanakan janjiku kepada
suhu untuk membasmi mereka!” kata Keng Han berkeras.
“Jangan,
Han-ko. Engkau mempertaruhkan nyawamu!”
“Bukankah
sudah sepatutnya budi kebaikan guru dibalas dengan taruhan nyawa?”
“Han-ko...”
Kwi Hong
merasa bingung sekali. Dara ini mengkhawatirkan Keng Han, pemuda yang menarik
perhatiannya dan yang mendatangkan suatu perasaan aneh di dalam hatinya. Ia
merasa sayang sekali kalau sampai Keng Han menderita celaka dalam tugasnya itu,
apa lagi memusuhi Bu-tong-pai! Pemuda itu dapat dianggap sebagai seorang
penjahat!
“Han-ko,
urungkan niatmu itu! Marilah engkau pergi bersamaku ke kota raja...!”
“Tidak,
Hong-moi. Aku mengubah tujuan perjalananku. Aku sekarang juga harus pergi
mencari Dalai Lama di Tibet!”
“Akan tetapi
perjalanan itu jauh sekali, Han-ko.”
“Aku tidak
peduli,” Keng Han bangkit berdiri. “Selamat tinggal, Hong-moi. Aku berangkat
sekarang juga.” Dia lalu melompat pergi.
“Han-ko...
tunggu...!” Teriakan ini membuat Keng Han menahan larinya dan dia berhenti.
Gadis itu mengejar dan menyusulnya.
“Ada apa,
Hong-moi?”
“Han-ko, aku
ikut denganmu!” katanya dengan tegas, lupa sama sekali bahwa ia adalah puteri
Pangeran Mahkota! “Aku akan ikut ke Tibet!”
Benar-benar
Kwi Hong sudah lupa diri dan lupa keadaan. Hasrat hatinya hanya ingin bersama
pemuda itu, tidak ingin berpisah.
Akan tetapi
Keng Han masih memiliki kesadaran. Tidak mungkin dia membawa seorang gadis yang
baru dikenalnya melakukan perjalanan sejauh itu. Apa akan kata orang tua gadis
itu? Juga ini di luar kepantasan.
“Tidak,
Hong-moi. Ini adalah urusan pribadiku yang harus kuselesaikan sendiri. Aku tak
ingin engkau terbawa-bawa. Kalau sudah selesai tugasku, mungkin kita dapat
bertemu kembali. Nah, selamat tinggal!”
Dia
menggunakan ilmunya berlari cepat sekali sehingga sebentar saja sudah lenyap
dari pandang mata gadis itu. Dan tanpa disadarinya, kedua mata Kwi Hong menjadi
basah! Dia merasa menyesal sekali. Pemuda sehebat itu menerima tugas seberat
dan seaneh itu. Dia menoleh dan memandang kepada makam Gosang Lama.
“Hemmm, aku
sangsi apakah dia ini seorang baik-baik,” gumamnya, kemudian dia pun pergi
meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja….
Kita
tinggalkan dulu Kwi Hong yang kembali ke kota raja dan Keng Han yang pergi ke
Tibet dan mari kita menengok keadaan perkumpulan Thian-li-pang.
Thian-li-pang
terkenal sebagai perkumpulan para pendekar dan patriot yang diam-diam menghendaki
kemerdekaan bagi nusa dan bangsanya, terbebas dari penjajahan bangsa Mancu.
Perkumpulan Thian-li-pang tadinya dibawa menyeleweng oleh seorang sesat, akan
tetapi kemudian setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, kembali ke jalan
benar. Biar pun sama-sama menentang kekuasaan Mancu, tapi Thian-li-pang tidak
sudi bekerja sama dengan dua perkumpulan lain yang dianggap sesat, yaitu
Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
Setelah
dipegang oleh ketuanya yang sekarang, yaitu Yo Han, seorang pendekar yang
terkenal dengan julukan Pendekar Tangan Sakti, perkumpulan itu menjadi makin
besar dan maju. Pusat perkumpulan ini berada di puncak Bukit Naga.
Ada satu
peraturan yang dipegang keras oleh para murid Thian-li-pang, yaitu tidak boleh
sembarangan membunuh, biar yang dibunuh pejabat pemerintah kerajaan Mancu
sekali pun. Sasaran mereka bukan para pembesar yang baik, akan tetapi para
pembesar yang melakukan penindasan terhadap rakyat jelata.
Yo Han
benar-benar mengerti bahwa belum tiba saatnya untuk memberontak terhadap
pemerintah Mancu. Keadaan pemerintah Mancu masih terlampau kuat. Bahkan banyak
pula bangsa Han yang mendukungnya, termasuk perkumpulan-perkumpulan besar dan
pendekar-pendekar sakti.
Yo Han hanya
memimpin para murid untuk bertindak sebagai pendekar-pendekar yang menegakkan
kebenaran dan keadilan, menentang si jahat dan melindungi si lemah yang
tertindas. Oleh karena itu, pemerintah pun tidak melakukan usaha untuk
membasminya sebagai pemberontak, karena tindakan para murid Thian-li-pang
seperti para pendekar, bukan seperti pemberontak.
Yo Han, sang
ketua Thian-li-pang, adalah seorang pendekar besar yang namanya amat terkenal
di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti berjuluk Pendekar
Tangan Sakti. Selain terkenal amat lihai, dia juga bijaksana sekali. Pendekar
yang satu ini pantang membunuh lawan, bahkan para penjahat yang ditundukkannya
selalu diberi nasehat agar kembali ke jalan benar dan tidak dibunuh. Oleh
karena itu, banyak sekali penjahat besar yang berhutang budi kepadanya, telah
kembali ke jalan benar karena sikap pendekar ini.
Yo Han telah
berusia hampir lima puluh tahun, akan tetapi dia masih nampak tampan dengan matanya
yang bersinar tajam dan cerdik. Wajahnya berbentuk lonjong dengan dagu runcing
berlekuk, kini ditumbuhi jenggot sedang yang sebagian sudah berwarna putih.
Rambutnya
yang panjang juga bercampur sedikit uban, tetapi alisnya yang menghias dahinya
yang lebar masih tetap hitam tebal. Hidungnya mancung dan mulutnya ramah
sekali, selalu dihias senyum. Tubuhnya sedang-sedang saja, namun tegap berisi.
Inilah pendekar sakti Yo Han yang menjadi ketua Thian-li-pang di Bukit Naga.
Isterinya
juga bukan orang sembarangan. Isterinya yang bernama Tan Sian Li, dahulu ketika
masih menjadi gadis sudah terkenal pula sebagai seorang pendekar wanita yang
berjuluk Si Bangau Merah. Julukan ini karena pakaiannya yang selalu berwarna
merah dan karena ilmu silatnya yang khas, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti
Bangau Merah).
Walau pun
tingkat ilmu kepandaiannya tidak sehebat suaminya, akan tetapi Tan Sian Li
merupakan seorang wanita yang sukar dicari tandingnya. Wanita ini adalah
campuran keturunan dari para Pendekar Gurun Pasir dan Pendekar Pulau Es, bahkan
juga pernah mempelajari ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling
Naga). Tidak heran jika wanita ini amat mahir menggunakan sebatang suling yang
berselaput emas sebagai senjata.
Akan tetapi
ilmunya yang paling diandalkan adalah Angho Sin-kun yang ia pelajari dari
ayahnya. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih yang namanya juga amat terkenal
di dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu. Sekarang usia Tan Sian Li sudah
empat puluh tahun, tujuh tahun lebih muda dari suaminya. Dalam usianya yang
empat puluh tahun, ia masih nampak cantik jelita.
Wajahnya
bulat telur dan kulitnya putih mulus. Matanya lebar, hidungnya mancung dan
mulutnya selalu senyum mengejek dengan dihias lesung pipit di kanan kiri.
Wataknya keras dan agak galak. Selain pandai ilmu silat, Tan Sian Li ini juga
pernah belajar ilmu pengobatan tusuk jarum dari mendiang Yok-sian Lo-kai
(Pengemis Tua Dewa Obat).
Suami isteri
ini hanya memiliki seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapan belas
tahun. Puteri mereka ini diberi nama Yo Han Li, yaitu gabungan dari nama Yo Han
dan Tan Sian Li. Dengan ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Han Li amat cantik
manis. Sejak kecil ia juga sudah digembleng ilmu silat sehingga setelah berusia
delapan belas tahun ilmu kepandaiannya sudah setingkat dengan ibunya! Namun,
Han Li yang cantik ini berwatak pendiam dan anggun, tidak seperti ibunya yang
dahulu lincah dan galak.
Yo Han dan
isterinya memimpin Thian-li-pang dengan bijaksana dan keras memegang peraturan
sehingga para murid semuanya patuh dan tunduk. Tak ada di antara mereka yang
berani melanggar pantangan perkumpulan. Mereka tidak boleh mencari perkara, tak
boleh mengganggu rakyat, tidak boleh bermain judi, dan kalau bertemu lawan,
tidak boleh membunuh.
“Kita memang
membenci kaum penjajah dan sudah menjadi cita-cita kita bersama untuk
membebaskan rakyat kita dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi kini belum
saatnya. Kekuatan kita tiada artinya dibandingkan kekuatan kerajaan Mancu.
Kalau saatnya telah tiba, dan hanya dalam pertempuran dengan bangsa Mancu, maka
larangan membunuh dengan sendirinya dihapus. Demi membela bangsa serta
memerdekakan tanah air dari cengkeraman penjajah, kita harus berjuang
mati-matian, kita dibunuh atau membunuh,” demikianlah antara lain Yo Han
memberi peringatan kepada para murid atau anggota Thian-li-pang.
Perguruan-perguruan
lain sangat menghormati Thian-li-pang sehingga terjalin hubungan baik antara
Thian-li-pang dengan partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai,
Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Sudah beberapa kali Pek-lian-pai dan
Pat-kwa-pai mencoba untuk menghubungi Thian-li-pang untuk bekerja sama
memberontak, namun Thian-li-pang selalu mengelak dan tidak bersedia bekerja
sama dengan mereka.
Yo Han
mengenal benar mereka yang memimpin kedua partai ini. Mereka adalah orang-orang
golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan untuk keuntungan mereka
sendiri.
Untuk
membiayai perkumpulan mereka, Yo Han lalu menyuruh para muridnya bekerja.
Mereka membuka piauw-kiok (pengawal barang kiriman), juga menjadi
penjaga-penjaga keamanan. Oleh karena barang kiriman yang dikawal Thian-lipang
selalu aman dan tak pernah diganggu oleh penjahat, maka usaha mereka itu maju
sekali dan hasilnya dapat untuk biaya perkumpulan mereka. Di samping itu, ada
pula para murid yang bekerja sendiri, ada yang berdagang, ada yang menjadi
karyawan, ada pula yang bertani. Yo Han sendiri membuka sebuah toko
rempah-rempah dan isterinya suka menolong orang sakit dengan pengobatan tusuk
jarum.
Pada suatu
hari, sebuah kereta mewah berhenti di depan rumah ketua Thian-li-pang ini. Para
murid Thian-li-pang merasa heran karena kereta seperti itu tentulah milik
seorang bangsawan tinggi. Segera mereka melapor kepada ketua mereka dan mendengar
ada kereta bangsawan datang, Yo Han bersama isterinya segera keluar menyambut
karena mereka sudah dapat menduga siapa yang datang berkunjung.
Dari kereta
itu turun seorang laki-laki bertubuh tegap, berusia empat puluh tiga tahun.
Leaki ini bermuka bundar berkulit putih dengan mata tajam dan hidungnya agak
besar. Alisnya tebal dan mulutnya tersenyum-senyum.
Di
sampingnya turun pula seorang wanita yang usianya sebaya, anggun serta cantik.
Tubuhnya masih ramping, juga wajahnya nampak berseri ketika melihat Yo Han dan
Tan Sian Li keluar menyambut. Rambutnya digelung tinggi dan dihias dengan
hiasan rambut terbuat dari emas permata. Wajahnya yang cantik dan anggun itu
agak dingin, akan tetapi senyumnya begitu manis sehingga dapat mengusir kesan
dingin itu. Paling akhir keluar seorang pemuda bangsawan yang gagah dan tampan.
Siapakah
mereka ini yang menjadi tamu-tamu Thian-li-pang? Mereka memang keluarga
bangsawan tinggi karena laki-laki setengah tua itu bukan lain adalah Pangeran
Cia Sun, seorang pangeran yang tidak penting kedudukannya di kota raja, karena
ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan hanya menjadi anak angkat mendiang Kaisar Kiang
Liong.
Pangeran Cia
Sun ini juga agaknya tidak terlalu membanggakan kedudukannya sebagai pangeran,
bahkan di waktu mudanya dia suka pergi berkelana di dunia kang-ouw. Dia memang
pandai ilmu silat dan mengenal banyak pendekar dan tokoh kang-ouw. Bahkan ia
pernah bersahabat baik dan mengangkat saudara dengan Yo Han. Di waktu mudanya
pernah ia melakukan perjalanan petualangan dengan Yo Han hingga hubungan mereka
akrab sekali, pernah mengalami suka duka bersama dan menghadapi ancaman maut
bersama!
Wanita
cantik anggun dingin itu adalah isterinya yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini
juga bukan wanita sembarangan. Ketika masih muda, dia pernah menjadi puteri
angkat ketua Lembah Ban-kwi-kok, yaitu ketua Pao-beng-pai, juga sebuah
perkumpulan sesat yang berkedok perjuangan melawan penjajah.
Akan tetapi
ternyata kemudian bahwa Sim Hui Eng ini adalah puteri dari Sim Houw dan Can Bi
Lan, sepasang suami isteri pendekar sakti. Wanita ini hilang diculik orang
ketika berusia tiga tahun. Baru setelah gadis, ia bertemu kembali dengan ayah
bundanya dan kini ia menjadi isteri Pangeran Cia Sun, hidup berbahagia dengan
suaminya tercinta di kota raja.
Pemuda itu
adalah putera mereka, anak tunggal yang diberi nama Cia Kun. Sebagai putera
dari ayah dan ibu yang pandai, tentu saja dia tidak asing dengan ilmu silat.
Selain mempelajari sastra seperti layaknya pemuda keluarga bangsawan tinggi,
Cia Kun juga digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya sendiri. Bahkan oleh
ibunya dia telah diajar ilmu yang sangat tangguh dari ibunya, yaitu Kang-kin
Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi)! Dan sebagai anak tunggal, watak Cia Kun agak
manja dan tinggi hati, walau pun watak itu agak tertutup oleh ketampanan
wajahnya yang menimbulkan rasa suka di hati orang yang bertemu dengannya.
“Yo-twako...!”
Cia Sun lari menghampiri Yo Han dan merangkulnya.
“Cia-te...!”
Yo Han juga memeluknya dengan terharu.
Mereka
memang seperti kakak adik saja. Setelah bertahun-tahun tidak saling berjumpa,
mereka merasa saling rindu. Sim Hui Eng juga segera saling memberi hormat
dengan Tan Sian Li.
Pada waktu
melihat Han Li, Sim Hui Eng memandang dan tersenyum manis. “Ini tentu puterimu
Han Li itu! Aihhh, sudah begini besar, sudah dewasa dan cantik jelita seperti
ibunya!”
“Aihh,
engkau terlalu memuji. Han Li ini bodoh seperti ibunya. Hayo, Han Li, beri
hormat kepada Paman Cia Sun dan Bibi Sim Hui Eng!” kata Tan Sian Li kepada
puterinya yang berada di belakangnya.
Han Li cepat
memberi hormat kepada suami isteri itu, akan tetapi ia hanya memandang saja
sejenak kepada Cia Kun.
“Dan ini
tentu putera kalian, bukan? Siapa namanya? Cia Kun, bukan? Ahh, sudah lama
tidak berjumpa, sekarang tahu-tahu sudah menjadi seorang perjaka dewasa yang
gagah dan tampan seperti ayahnya!” kata Yo Han memuji.
“Cia Kun,
hayo cepat engkau memberi hormat kepada pamanmu Yo Han yang sering aku
ceritakan padamu itu, dan juga kepada bibimu Tan Sian Li.”
Cia Kun
mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada suami isteri itu.
“Aih, kenapa
kalian berdua hanya saling pandang saja?” tiba-tiba Sim Hui Eng menegur
puteranya dan juga Han Li. “Cia Kun, gadis ini adalah Yo Han Li, puteri paman
dan bibimu, engkau harus menyebutnya adik. Dan Han Li, jangan malu-malu
terhadap Cia Kun, ini adalah putera kami atau kakakmu!”
Mendapat
teguran itu, Han Li segera mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi
hormat yang segera disambut oleh Cia Kun dengan hormat pula.
“Mari,
silakan masuk!” Tan Sian Li mempersilakan tamu-tamunya masuk dan duduk di
ruangan dalam.
Sebuah pesta
kecil segera diadakan oleh tuan rumah untuk menjamu para tamu yang mereka
sayangi dan hormati itu. Para anak buah Thian-li-pang hanya saling pandang dan
saling berbisik saja melihat ketua mereka menyambut tamu keluarga bangsawan
dari istana demikian akrabnya. Akan tetapi, tidak seorang pun di antara mereka
berani menyatakan ketidak senangan hati mereka dan hanya memendam di dalam hati
saja.
Di tengah
makan minum, Yo Han berkata, “Cia-te kunjunganmu sekeluarga ini sangat
menggembirakan hati kami sekeluarga. Akan tetapi di balik itu juga mengherankan.
Ada suatu keperluan penting apakah yang kalian bawa dengan kunjungan ini?”
Cia Sun
saling pandang dengan isterinya, lalu tersenyum dan menjawab. “Memang ada,
Yo-toako. Akan tetapi sebaiknya urusan itu kita bicarakan setelah selesai makan
agar lebih santai dan leluasa.”
Demikianlah,
setelah makan, mereka pindah duduk di ruang tamu di samping yang lebih luas dan
setelah semua pelayan meninggalkan ruangan, baru Cia Sun bicara.
“Sebetulnya,
Yo-toako, kunjungan kami ini selain karena merasa rindu kepada kalian, juga
kami membawa niat yang amat baik untuk mempererat tali kekeluargaan di antara
kita. Melihat kenyataan bahwa anak-anak kita sudah dewasa, dan kebetulan anakmu
wanita dan anak kami pria, maka kami mengusulkan supaya di antara mereka diikat
tali perjodohan. Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, Toako dan Toaso?”
Mendengar
ucapan itu, Yo Han Li bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang itu
dengan muka kemerahan. Melihat ini keempat orang tua itu hanya tersenyum,
maklum bahwa sudah wajar kalau seorang gadis merasa malu saat mendengar dirinya
dibicarakan untuk urusan perjodohan!
Sementara
itu, Cia Kun juga merasa tidak enak. Melihat ini, Yo Han berkata kepadanya,
“Cia Kun, kalau engkau ingin menemani adikmu, pergi ke taman bunga di sebelah.
Biar kami orang-orang tua dapat berbicara dengan leluasa.”
Cia Kun
berterima kasih sekali. Dia pun cepat-cepat bangkit, lalu melangkah ke taman
bunga yang berada di pinggir bangunan itu.
“Yo-toako,
tentu saja kami tidak minta keputusan yang tergesa-gesa dan kalau engkau hendak
membicarakan lebih dulu dengan Toaso (Kakak ipar), silakan. Kami akan sabar
menunggu.”
“Tidak
perlu, Cia-te. Apa yang akan menjadi keputusan kami adalah sama dan dapat kami
jawab sekarang juga. Sebelumnya kami mengharapkan maaf kalau kami hendak bicara
terus terang dan sejujurnya.”
“Mengapa
minta maaf? Bicara terus terang dan sejujurnya, itulah yang kami harapkan. Nah,
utarakan pendapatmu itu, Yo-toako.”
“Begini, Cia-te
berdua. Andai Cia-te bukan seorang Pangeran Mancu, tentu pinangan itu akan kami
terima dengan kedua tangan dan hati terbuka. Akan tetapi sungguh sayang, Cia-te
adalah seorang Pangeran Mancu. Sedangkan kami, Cia-te tentu maklum sendiri
bahwa kami adalah orang-orang yang berjuang dan bercita-cita memerdekakan
bangsa dari tangan kaum penjajah. Kami berjiwa patriot yang mendambakan
kemerdekaan bangsa. Bagaimana mungkin kami berbesan dengan Pangeran Mancu? Nah,
Cia-te tentu dapat memaklumi alasan kami yang berkeberatan untuk menerima usul
itu.”
“Akan
tetapi, Yo-toako!” Sim Hui Eng membantah. “Suamiku bukan orang yang berjiwa
penjajah. Hal ini aku yakin Toako telah mengetahui sendiri!”
“Aku tahu.
Cia-te adalah orang yang berjiwa pendekar gagah perkasa. Akan tetapi aku juga
yakin dia bukan seorang pengkhianat keluarga dan bangsanya. Kita berdua berdiri
di seberang yang berlawanan. Kalau kelak terjadi perang antara para pejuang dan
para penjajah, lalu bagaimana anak-anak kita akan bersikap? Aku tentu tidak suka
apa bila melihat menantuku membantu penjajah memerangi pejuang, sebaliknya aku
pun tidak suka melihat menantuku menjadi seorang pengkhianat bagi keluarga dan
bangsanya sendiri. Tidak, Cia-te berdua. Ikatan perjodohan ini tidak mungkin
kita lakukan. Biarlah mereka berdua menjadi sahabat saja seperti halnya kita.”
“Ahh,
Yo-toako, engkau membuat semua harapanku terbanting dan hancur berantakan.
Semula aku datang dengan penuh harapan untuk bisa mengekalkan persaudaraan
kita, siapa kira engkau menolaknya dengan keras,” kata Cia Sun menyesal sekali.
“Maafkan
kami, Cia-te. Ada suatu saat di mana kita harus mengambil sikap tegas agar
kelak di kemudian hari tak akan menderita akibat keputusan yang diambil
tergesa-gesa.”
“Aku
mengerti maksudmu, Toako. Dan aku tidak menyalahkan engkau. Aku mendengar bahwa
Thian-li-pang di bawah pimpinanmu menunjukkan sikap sebagai para pendekar,
bukan pemberontak, karena itu aku datang penuh harapan. Siapa tahu...”
“Kami memang
bukan pemberontak, Cia-te, namun cita-cita kami untuk kemerdekaan bangsa tidak
pernah padam. Apa bila sudah tiba waktunya, tentu kami akan bergerak dengan
rakyat jelata untuk menuntut kemerdekaan kami.”
“Sudahlah,
dasar nasib kami yang tak baik. Kalau begitu, kami mohon pamit, Yo-toako. Harap
suruh orang memanggil putera kami.”
Dengan sikap
tenang walau pun hatinya merasa tidak enak sekali, Yo Han mengutus seorang
pelayan untuk memanggil Cia Kongcu yang berada di taman bunga. Ketika itu, Cia
Kun sudah dapat bertemu dengan Han Li di taman.
Ketika
pemuda itu memasuki taman bunga, dia melihat gadis itu sedang duduk di antara
banyak bunga yang sedang berkembang dengan indahnya. Bermacam bunga ditanam di
dalam taman itu dan kebetulan sekali waktu itu musim bunga sedang berkembang.
Keharuman bunga semerbak di mana-mana dan pemandangan di taman itu sungguh
indah. Tentu saja kalau dibandingkan dengan taman bunga di istana, taman bunga
di Thian-li-pang itu bukan apa-apanya, bahkan tidak ada artinya.
“Li-moi,
engkau di sini?” tegur pemuda itu setelah menghampiri Han Li.
Han Li
membalikkan tubuhnya, memandang pada pemuda itu dengan kedua pipi agak
kemerahan. Ia merasa tersipu-sipu karena baru saja orang tua mereka
membicarakan tentang perjodohan mereka. Ia merasa heran akan keberanian pemuda
itu menyusulnya ke taman bunga.
“Ah, kiranya
engkau, Kun-ko. Aku di sini sedang menikmati bunga-bunga yang sedang mekar.
Indah sekali bunga-bunga di taman ini, bukan?”
Cia Kun
mempunyai watak yang tinggi hati. Mendengar ucapan itu, dia memandang ke
sekeliling, lalu katanya, “Ahhh, tidak artinya apa bila dibandingkan dengan
taman bunga kami di istana, Li-moi. Datanglah ke taman bunga kami dan engkau
akan takjub melihat keindahan bunga-bunga yang ratusan macam di sana!”
Han Li
mengerutkan alisnya. Tentu saja hatinya tidak senang mendengar ini. Pemuda itu
meremehkan keindahan taman bunganya!
“Hemmm,
tentu saja di istana segalanya serba lebih besar dan lebih indah. Akan tetapi
aku tidak ingin melihatnya!” katanya agak ketus karena hatinya tersinggung.
Agaknya Cia
Kun menyadari kesalahannya dan dia segera berkata, “Akan tetapi di sini ada
setangkai bunga yang tidak ada duanya, bahkan di istana juga tidak ada, Li-moi.
Bunga itu amat cantik jelita, membuat hatiku terkagum-kagum, Li-moi.”
“Ahh,
benarkah itu?” Han Li kelihatan girang dan memandang ke sekelilingnya. “Bunga
mana yang kau maksudkan itu, Toako?”
“Bunga itu
adalah engkau, Li-moi. Dirimu yang amat mengagumkan hatiku! Dan orang tua kita
sedang membicarakan urusan perjodohan kita, Li-moi. Tidakkah hatimu senang
sekali, seperti juga perasaan hatiku?”
Han Li
mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan tajam. “Kun-ko aku tidak
suka mendengar omonganmu ini! Pergilah dan jangan ganggu aku lebih lama lagi!”
Cia Kun
hendak membantah, akan tetapi pada saat itu datang pelayan berlarian yang
melapor bahwa Cia Kongcu dipanggil oleh orang tuanya, karena hendak diajak
pulang. Cia Kun merasa heran, akan tetapi dia segera memberi hormat kepada Han
Li sambil berkata, “Maafkan aku, Limoi. Kita berpisah dulu, sampai bertemu
kembali.”
Han Li hanya
mengangguk dan tidak mempedulikan lagi pemuda itu yang meninggalkan taman. Cara
pemuda itu membandingkan taman bunganya dengan taman istana, lalu cara pemuda
itu menyatakan perasaan hatinya, sungguh mendatangkan kesan yang tak
menyenangkan di dalam hatinya. Ia akan membantah ayah bundanya kalau sampai dia
dijodohkan dengan pemuda itu.
Akan tetapi
hatinya merasa sangat lega karena ayah bundanya ternyata tidak pernah
menyinggung-nyinggung soal perjodohan itu dalam percakapan mereka…..
***************
Tiga hari
setelah kunjungan Pangeran Cia Sun sekeluarga, datang dua orang tosu dari
Bu-tong-pai berkunjung ke Thian-li-pang. Karena Thian-li-pang di bawah
bimbingan Yo Han memang memiliki hubungan baik dengan semua partai dan
perguruan silat besar termasuk Bu-tong-pai, maka Yo Han sendiri yang menyambut
kunjungan kedua orang tosu utusan Bu-tong-pai itu dan mempersilakan mereka
berdua masuk ruangan tamu.
Yo Han
menyambut dua orang tamu itu bersama isterinya dan ketika mempersilakan mereka
duduk, dia mengamati kedua orang itu. Dua orang tosu yang nampak gagah dan
bertubuh tegap.
Yang seorang
berusia kurang lebih lima puluh tahun, yang kedua lebih muda beberapa tahun.
Yang pertama bertubuh jangkung kurus dengan sepasang mata yang sipit sekali,
sedangkan yang lebih muda bertubuh tinggi besar dan memiliki mata yang tajam
dan agak liar. Terutama sekali mata itu seperti hendak menelan bulat-bulat
nyonya rumah yang cantik jelita itu. Diam-diam Yo Han merasa tidak senang
dengan sikap tosu yang lebih muda itu.
“Yo-pangcu
(ketua Yo),” kata yang lebih tua sambil mengangkat dua tangan ke depan dada,
“Pinto (saya) bernama Thian Yang Cu dan ini adalah sute pinto bernama Bhok Im
Cu. Pinto berdua mendapat perintah dari suhu Thian It Tosu untuk datang
berkunjung ke sini dan menyampaikan salam suhu kepada Yo-pangcu sekeluarga.”
Yo Han
tersenyum dan membalas penghormatan itu. “Totiang berdua, terima kasih atas
kunjungan Ji-wi To-tiang (totiang berdua) dan salam dari Thian It Tosu telah
kami terima dengan baik. Sampaikan juga salam hormat kami kepada beliau kalau
Ji-wi pulang nanti. Dan selain menyampaikan salam, ada kepentingan lain apa
pula yang membawa Ji-wi datang berkunjung ini?”
“Memang ada
keperluan lainnya, Pangcu. Kami membawa sepucuk surat dari guru kami untuk
disampaikan kepada Pangcu,” kata Thian Yang Cu sambil mengeluarkan sepucuk
sampul surat yang dia berikan kepada Yo Han.
Sementara
itu, Tan Sian Li mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia memergoki Bhok Im
Cu memandang kepadanya dengan mata lahap sekali. Dia merasakan benar betapa
mata tosu itu mengaguminya dan hal ini dianggapnya sama sekali tidak pantas,
apa lagi tamu itu seorang tosu.
Setelah
menerima surat itu, Yo Han lantas membacanya. Alisnya berkerut dan pandang
matanya mengandung keheranan ketika dia menyerahkan surat itu kepada isterinya
untuk dibaca. Juga Tan Sian Li merasa heran setelah membaca surat itu.
Di dalam
surat yang ditulis sendiri oleh Thian It Tosu, dinyatakan bahwa Bu-tong-pai
mengajak Thian-li-pang untuk memberontak dan bergerak. Waktunya sudah tiba dan
untuk apa menunda dan menanti lagi, demikian isi surat itu. Nadanya keras dan
penuh kebencian kepada pemerintah Mancu.
Yang membuat
suami isteri itu heran adalah bahwa biasanya Thian It Tosu bersikap lunak dan
biar pun berjiwa patriot seperti mereka, akan tetapi tosu tua itu tidak pernah
menyatakan keinginannya untuk memberontak sekarang. Kekuatan pihak pemerintah
masih terlampau besar sedangkan para pejuang belum bersatu, bahkan masih banyak
golongan pendekar yang mendukung pemerintah Mancu.
Bergerak dan
memberontak pada saat sekarang sukar diharapkan hasilnya dan sama dengan bunuh
diri. Itulah sebabnya mereka terheran-heran membaca surat yang keras itu, yang
mengajak mereka untuk memberontak dan bergerak sekarang juga.
Setelah
isterinya selesai membaca surat dan mengembalikannya kepadanya, Yo Han
menyimpan surat itu dan memandang kepada kedua orang utusan itu.
“Apakah
Ji-wi Totiang telah diberitahu akan isi surat ini?”
“Tentu saja
sudah, Pangcu!” berkata Bhok Im Cu dengan suara lantang dan mulutnya tersenyum.
Matanya kembali mengerling genit ke arah nyonya rumah. “Kami berdua adalah
murid-murid utama yang dipercaya oleh suhu, maka selain mengirimkan surat, kami
juga diberi kuasa untuk membicarakan urusan dalam surat itu dengan Pangcu.”
“Hemmm,
begitukah? Nah, kalau begitu, ingin kami bertanya, dengan alasan apakah
Bu-tong-pai hendak mengajak kami untuk bergerak sekarang?”
Kini Thian
Yang Cu yang menjawab. “Menurut suhu, alasannya adalah bahwa sekarang tiba
saatnya yang amat baik. Kaisar Cia Cing yang sekarang ini tidak dapat disamakan
dengan mendiang Kaisar Kian Liong. Kedudukannya kini lemah, apa lagi di
mana-mana terjadi pemberontakan dan perlawanan dari suku-suku bangsa liar mau
pun dari bajak laut. Kalau sekarang kita menyerbu dan dapat membunuh kaisar,
maka pemberontakan kita akan berhasil baik.”
Yo Han
menggeleng kepalanya. “Aku sangsikan betul akan keberhasilan itu. Jika hanya
dengan menyerbu istana dan membunuh kaisar saja lalu berarti sudah memenangkan
perang dan menggulingkan pemerintah Mancu, ahhh, hal itu hanya merupakan
lamunan kosong belaka. Kita harus ingat akan ratusan ribu bala tentara
pemerintah yang berada di luar istana. Mereka itu dapat menyerbu dan
menghancurkan kita, kemudian dalam sehari saja mereka dapat mengangkat seorang
kaisar baru. Lalu pengorbanan kita apa artinya? Tidak semudah itu, Totiang!”
Bhok Im Cu
mengerutkan alisnya yang tebal dan dia bangkit berdiri. “Apakah itu berarti
bahwa Pangcu tidak menyetujui niat guru kami yang berjiwa patriot? Demi
kemerdekaan bangsa, kami rela mempertaruhkan nyawa. Kalau Pangcu merasa takut,
Pangcu boleh membantu di belakang saja dan biarkan kami yang maju di depan!”
Biar pun
ucapan itu memanaskan hati, Yo Han tetap tersenyum dan bersikap tenang.
“Totiang, ingatlah bahwa perjuangan kita bukan sekedar hendak menjatuhkan
seorang kaisar untuk diganti kaisar baru, melainkan mengusir penjajah dari
tanah air. Untuk itu, kita harus mampu menggerakkan seluruh kekuatan para
pejuang dan bukan hanya membunuh kaisarnya, melainkan mengalahkan semua
kekuatan mereka dan mengusir mereka dari tanah air. Dan untuk itu, kami rasa
waktunya belum tepat. Kita masih belum bersatu, dan di belakang kita rakyat
juga belum siap.”
“Kalau
menanti seperti yang Pangcu katakan itu, sampai mati pun kita tidak akan pernah
bergerak. Membunuh kaisar berarti mengacaukan keadaan mereka. Sekali lagi,
kalau Pangcu takut...”
“Bhok Im Cu
Totiang!” bentak Yo Han memotong kata-kata orang itu. “Mengapa aku mesti takut?
Kalau Totiang tidak takut, aku pun tidak takut. Apa yang dapat Totiang lakukan,
aku pun tentu dapat! Aku bukan takut, hanya menggunakan perhitungan akal, bukan
hanya ingin mati konyol seperti seorang laki-laki yang tolol!”
Bhok Im Cu
menjadi merah mukanya. “Bagus! Sudah lama pinto mendengar kehebatan Pendekar
Tangan Sakti Yo Han. Pinto hanya mempunyai sedikit saja kepandaian, akan tetapi
kalau Yo-pangcu dapat menyamainya, biarlah pinto mengaku kalah!”
Bhok Im Cu
sudah mencabut sebatang golok. Melihat ini, Thian Yang Cu terkejut dan hendak
mencegah sutenya.
“Sute,
jangan bersikap kasar!” celanya.
“Suheng, aku
hanya ingin minta petunjuk dari Yo-pangcu saja. Jangan khawatir!” jawab Bhok Im
Cu.
Di sudut
ruangan itu, terpisah sedikitnya dua puluh meter dari sana, terdapat sebuah
orang-orangan dari kayu. Patung ini gunanya untuk belajar ilmu totok bagi
murid-murid Thian-li-pang. Sekali Bhok Im Cu menggerakkan tangannya, goloknya
sudah meluncur dengan cepat sekali dan tahu-tahu golok itu sudah menancap di
ulu hati patung itu, menancap sampai setengahnya!
Melihat hal
ini, Yo Han tersenyum. Harus diakuinya bahwa tosu itu selain pandai sekali
menyambit dengan golok, semacam ilmu yang disebut hui-to (golok terbang), juga
tosu itu memiliki tenaga yang cukup hebat sehingga dalam jarak sejauh itu
goloknya mampu menancap sampai setengahnya pada patung kayu yang keras itu.
“Pinjam pedangmu!”
kata Yo Han kepada isterinya.
Tan Sian Li
yang berjuluk Si Bangau Merah ini memang selalu membawa dua macam senjata,
yaitu sebatang pedang dan suling yang berselaput emas. Dia mencabut dan
menyerahkan pedangnya kepada suaminya.
Yo Han
menerima pedang itu. Tanpa membidik pula dia sudah menggerakkan tangan,
melontarkan pedang itu ke arah patung. Pedang itu meluncur bagaikan sebatang
anak panah, mengeluarkan suara berdesing panjang.
"Singgg...
cringgg...!”
Pedang itu
dengan tepat mengenai gagang golok sehingga gagang golok terbelah dua, akan
tetapi pedang masih meluncur dan tepat menancap pada patung itu, dekat sekali
dengan golok dan pedang itu menembus sampai ke gagangnya!
“Maaf,
Totiang, kalau tanpa sengaja aku telah merusak gagang golokmu. Nah, ambillah
golokmu itu!”
Dengan muka
merah Bhok Im Cu menghampiri patung itu dan mencabut goloknya yang sudah pecah
gagangnya itu, kemudian menghampiri tuan rumah dan memberi hormat.
“Kepandaian
Yo-pangcu memang bukan berita kosong belaka. Pinto kagum sekali.”
Sementara
itu, Thian Yang Cu yang mendongkol melihat sikap sute-nya, telah memberi hormat
dan berkata, “Yo-pangcu, sekarang kami mohon dlri dan maafkanlah kelakuan kami
yang tidak sepatutnya.”
“Selamat
jalan, Ji-wi Totiang dan sampaikan pesanku kepada Thian It Tosu bahwa pada
saatnya nanti kami akan menerima undangannya dan menghadiri pertemuan itu.”
Dua orang
tosu itu lalu meninggalkan Thian-li-pang. Setelah mereka pergi, Tan Sian Li
mendengus.
“Hemmm, kenapa
para tosu Bu-tong-pai sekarang menjadi begitu pongah? Sikap tosu tadi tidak
mencerminkan kalau Bu-tong-pai ada di bawah pimpinan yang baik. Mengapa engkau
berjanji mau datang memenuhi undangan Thian It Tosu?”
Suaminya
menghela napas panjang. “Meski pun sikap tosu tadi tidak patut, akan tetapi aku
tetap menghormat pada Thian It Tosu sebagai seorang tokoh yang lebih tua. Dalam
suratnya dia menyatakan untuk mengundang semua perkumpulan yang berjiwa patriot
untuk hadir. Dan aku akan menghadirinya, walau pun hanya untuk mencegah
terjadinya penyerbuan ke istana yang tergesa-gesa, yang tak ada manfaatnya dan
bahkan hanya akan membuat kita semua menjadi buruan pemerintah saja.”
Setelah dua
orang tosu itu pergi, barulah muncul Han Li. Gadis ini memandang kepada ayah
dan ibunya, lalu bertanya, “Ayah dan Ibu, siapakah dua orang tosu tadi dan apa
keperluan mereka?”
“Mereka
adalah murid-murid Bu-tong-pai. Mereka mengundang kami untuk menghadiri
pertemuan rapat yang hendak diadakan oleh ketua Bu-tong-pai,” jawab Yo Han
sambil berjalan menghampiri patung dan mencabut pedang isterinya dari situ.
“Ehh, kenapa
pedang Ibu menancap di patung itu? Apa yang telah terjadi, Ibu? Engkau
kelihatan seperti sedang tak senang hati!” Han Li kembali bertanya, sekarang
ditujukan kepada ibunya.
“Hemmm,
salah seorang di antara dua tosu Bu-tong-pai tadi memamerkan ilmu golok
terbangnya dan menantang ayahmu sehingga ayahmu pun terpaksa melayaninya. Tosu
sombong itu menjemukan!” kata Tan Sian Li, masih mendongkol karena Bhok Im Cu
tadi memandangnya dengan sinar mata kurang ajar.
“Sudahlah,
urusan itu dihabiskan sampai di sini saja!” kata Yo Han.
Dan mereka
bertiga lalu meninggalkan ruangan tamu itu….
Keng Han
melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Dia masih saja membayangkan wajah
Kwi Hong dan merasa kagum sekali kepada gadis itu. Seorang gadis yang hebat,
pikirnya. Kalau saja dia tidak ingat akan kepantasan dan juga akan keselamatan
gadis itu, tentu dengan senang hati dia akan menerima tawaran Kwi Hong yang
menyatakan hendak ikut dan membantunya menuntut Dalai Lama yang telah menyuruh
orang untuk membunuh gurunya!
Pada suatu
hari, tibalah dia di sebuah dusun di daerah pegunungan. Ketika dia mendaki
bukit itu, dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di depan dan melihat
orang-orang dusun berkumpul di luar dusun. Dia mempercepat jalannya dan berlari
mendaki lereng.
Setelah
sampai di sana dia tertegun. Mula-mula jantungnya berdebar karena mengira bahwa
Kwi Hong yang mengamuk itu, akan tetapi ternyata bukan, melainkan seorang gadis
lain yang sama cantiknya dengan Kwi Hong. Bahkan gadis ini agaknya memiliki
gerakan ilmu pedang yang lebih hebat dari pada ilmu pedang yang dikuasai Kwi
Hong, juga jauh lebih ganas.
Gadis itu
dikeroyok oleh sedikitnya tiga puluh orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika
Kwi Hong dikeroyok para murid Pek-houw Bu-koan, yang membuat dia terpaksa turun
tangan membantu, gadis ini agaknya sama sekali tidak perlu dibantu! Setiap
kelebatan pedangnya merobohkan seorang pengeroyok, bukan hanya melukai ringan,
melainkan merobohkan dan menewaskannya seketika!
Melihat
orang-orang dusun yang menonton bersorak setiap kali ada pengeroyok yang roboh,
Keng Han mengambil kesimpulan bahwa gadis itu tentulah orang yang dianggap baik
oleh penduduk dusun itu dan mungkin sekali pembela mereka. Dan melihat bahwa
para pengeroyok itu rata-rata orang yang kasar dan buas, dia lalu mengambil
keputusan untuk menjadi penonton saja.
Karena di
situ terdapat banyak penduduk dusun, supaya tidak menarik perhatian, diam-diam
ia melompat ke atas pohon besar yang berada dekat dengan tempat pertempuran
itu. Dari atas pohon Keng Han dapat melihat lebih jelas lagi dan kini nampak
olehnya betapa hebatnya gerakan gadis itu.
Gadis itu
lebih tua dari Kwi Hong, lebih matang dan dewasa. Kwi Hong masih dapat
dikatakan seorang gadis remaja. Gerakan pedangnya yang sangat hebat itu
diimbangi pula dengan gerakan tangan kirinya yang menyambar-nyambar. Setiap
kali tangan kiri itu menyambar dan mengenai tubuh lawan, maka pengeroyok itu
tentu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali!
Dan agaknya
gadis itu berkelahi dengan gembira sekali. Mulutnya yang amat manis itu
tersenyum-senyum, senyum mengejek. Sedangkan kedua matanya yang bersinar-sinar
seperti bintang kejora itu berseri-seri.
Sudah dua
puluh orang lebih yang malang melintang menjadi korban amukan gadis itu.
Sisanya tinggal sepuluh orang anak buah dan dua orang pimpinan mereka. Dua
orang pemimpin ini adalah dua orang pria setengah tua yang bertubuh tinggi
besar. Wajahnya menakutkan, bengis dan kasar. Mereka menggunakan golok besar
sebagai senjata.
Melihat anak
buahnya banyak yang menjadi korban amukan gadis itu, dua orang itu lalu
melompat ke belakang dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.
“Pergunakan
paku-paku beracun!”
Mendengar
ini, agaknya para anak buah baru menyadari dan ingat akan senjata rahasia
mereka yang ampuh. Mereka juga berlompatan ke belakang, dan serentak mereka
mengeluarkan senjata rahasia itu dan menghujankan ke arah gadis itu.
Gadis itu
sama sekali tak menjadi gugup. Pedangnya diputar dan paku-paku itu rontok
semua, dan ketika tangan kirinya bergerak, ia sudah menangkap beberapa batang
paku beracun itu. Begitu gadis itu menggerakkan tangan dan menyambitkan
paku-paku itu ke arah penyerangnya, empat orang terjungkal roboh oleh senjata
mereka sendiri. Agaknya gadis itu marah diserang dengan cara curang. Tubuhnya
tiba-tiba melayang bagaikan seekor burung ke arah dua orang pimpinan itu.
Mereka terkejut
dan mengangkat golok untuk menangkis. Namun, pedang itu bergerak cepat sekali
dan tahu-tahu dua orang pimpinan itu sudah roboh dengan dada tertusuk pedang.
Bukan main hebatnya gerakan itu. Menyerang dengan tubuh masih di udara,
sekaligus merobohkan dua orang pemimpin para pengeroyok yang dilihat dari
gerakan golok mereka juga bukan orang-orang lemah.
Keng Han
bergidik. Gadis itu lihai bukan main, akan tetapi juga kejam tanpa mengenal
ampun. Sisa para pengeroyok kini melarikan diri cerai berai dan gadis itu tidak
mengejar mereka.
Orang-orang
dusun yang tadi menjadi penonton, kini serentak menjatuhkan diri berlutut ke
arah gadis itu, dipimpin oleh seorang tua yang agaknya menjadi kepala dusun.
“Kami semua
menghaturkan terima kasih atas pertolongan Lihiap dengan membasmi gerombolan
penjahat yang selalu mengganggu kehidupan kami. Akan tetapi, bagaimana kalau
kawan-kawan mereka datang hendak membalas dendam, Lihiap?”
Gadis itu
mencibirkan bibir, membersihkan pedangnya pada pakaian para korbannya, lalu
menyimpan kembali pedangnya di pinggang, dan barulah ia berkata,
“Hemmm,
kalian ini memang pengecut-pengecut besar! Kalian memiliki banyak laki-laki,
kenapa membiarkan diri ditekan dan diganggu gerombolan perampok itu? Kalau
kalian bersatu, jumlah kalian ratusan orang, tentu akan mampu melakukan
perlawanan! Mulai sekarang bersatulah. Kalau ada gerombolan perampok datang
mengganggu, lawanlah. Bila ada yang hendak membalas dendam, katakan saja bahwa
yang membunuh mereka adalah aku, Bi Kiam Niocu (Nona Pedang Cantik). Nah,
sekarang urus dan kuburlah mereka semua ini, aku harus pergi!”
Gadis itu
melangkah pergi dan kebetulan lewat di bawah pohon di mana Keng Han
bersembunyi. Tiba-tiba ia berhenti dan tersenyum-senyum.
“Engkau yang
di atas pohon, tidak lekas turun?”
Keng Han
terkejut, akan tetapi diam saja, pura-pura tidak mendengar. Dia merasa malu
telah ketahuan persembunyiannya, juga dia khawatir akan terjadi kesalah pahaman
jika dia turun. Maka dia diam saja.
“Nonamu
bilang turun, engkau tidak cepat turun?!” Gadis itu kembali berseru.
Para
penduduk yang mendengar ini sudah cepat memandang ke atas pohon dan kini mereka
melihat seorang pemuda duduk nongkrong di atas cabang pohon. Mereka memandang
dengan hati tegang, tidak tahu siapa pemuda itu, kawan dari para penjahat tadi
ataukah bukan.
Keng Han
sudah terlanjur diam saja. Dia merasa malu untuk melompat turun. Tiba-tiba
tubuh gadis itu melayang ke atas. Tidak nampak kapan ia mencabut pedang akan
tetapi tiba-tiba ada sinar terang menyambar ke arah cabang pohon.
“Krakkk...!”
Cabang pohon itu terpotong dan jatuh ke bawah.
Tentu saja
tubuh Keng Han ikut melayang ke bawah. Akan tetapi tubuh pemuda itu tidak
terbanting karena Keng Han sudah dapat menguasai dirinya dan hinggap di atas
tanah dengan ringan.
Gadis itu
kini sudah berada di depannya. Pedangnya sudah disarungkannya kembali dan
sepasang matanya memandang dengan liar dan penuh ancaman.
“Engkau anak
buah mereka?” tanyanya dengan sikap siap untuk menyerang sehingga diam-diam
Keng Han juga bersiap siaga untuk membela diri.
“Sama sekali
bukan. Aku hanyalah seorang perantau yang kebetulan lewat dan melihat
pertempuran tadi aku lalu menonton dari atas pohon.”
Agaknya
wanita itu dapat membedakan pemuda yang gerak-geriknya lembut ini dengan para
anggota gerombolan yang kasar dan buas, maka pandang matanya lantas menjadi
lembut.
“Hemmm,
engkau tidak terbanting jatuh, agaknya engkau memiliki kepandaian ilmu silat
yang boleh juga.”
“Ah, tidak,
aku hanya belajar satu dua jurus untuk membela diri dari tangan orang-orang
kejam.”
“Apa?! Kau
berani mengatakan aku orang kejam?” Wanita itu membentak marah.
“Tidak,
hanya memang kenyataannya engkau kejam sekali, Nona. Demikian banyaknya orang
kau bunuh tanpa berkedip mata, apa lagi namanya itu kalau tidak kejam?”
“Apa engkau
melihat bagaimana perlakuan perampok-perampok itu terhadap penduduk dusun?
Mereka memperkosa, menyakiti, membunuh dan merampok! Sudah sepatutnya mereka
kubunuh! Dan kau berani bilang aku kejam?”
“Ya, memang
engkau kejam sekali,” kata Keng Han bersikeras karena sudah tak dapat mundur
lagi.
“Setan
cilik! Tanyakan saja kepada penduduk dusun ini! Heiii, warga dusun! Adakah di
antara kalian yang menganggap aku kejam karena membunuhi para perampok ini?”
Serentak
mereka semua menjawab. “Tidaaak! Yang kejam adalah para perampok itu!”
“Nah, kau
dengar itu, bocah kepala batu?”
“Aku tidak
mau ikut-ikutan dengan mereka. Aku tadi melihat betapa kau membunuhi
orang-orang yang tidak mampu melawanmu dan itu sungguh kejam sekali!”
“Bagus, jika
begitu hanya ada dua pilihan untukmu. Pertama, kau ambil sebatang golok mereka
dan membunuh diri di depanku, atau kau boleh membela diri dari seranganku, dan
aku yang akan membunuhmu!”
“Nah, inilah
dia bukti baru dari kekejamanmu, Nona. Aku yang tidak bersalah apa pun hendak
kau bunuh juga. Bukankah itu kejam sekali namanya?”
“Tidak
peduli! Engkau memanaskan perutku, engkau berani memaki aku kejam. Hayo kau
pungut golok di sana itu dan membunuh diri di depanku.”
“Aku
mendengar bahwa bunuh diri adalah perbuatan seorang pengecut, dan aku bukan
pengecut. Aku berani hidup dan tidak takut mati demi membela kebenaran.”
“Ahaa!”
Wanita itu mencibir, “kiranya engkau seorang pendekar pembela kebenaran?”
“Bukan hanya
pendekar yang harus membela kebenaran. Biar orang awam seperti aku pun
berkewajiban untuk membela kebenaran!”
“Jadi engkau
tidak mau membunuh diri mentaati perintahku?” tanya wanita itu, nadanya
mengancam.
Keng Han
menggelengkan kepalanya. “Tidak mau!” jawabnya tegas.
“Kalau
begitu, engkau harus membela dirimu dari seranganku. Aku akan menyerangmu,
kalau sampai sepuluh jurus aku tidak mampu membunuhmu, biarlah aku mengampuni
nyawamu. Akan tetapi kalau sebelum sepuluh jurus kau mati, jangan sampai
arwahmu menyalahkan aku!”
“Engkau
memang wanita kejam!” Keng Han memaki marah dan memandang dengan mata melotot.
Dia tidak menganggap wanita itu jahat, karena wanita itu telah membantu para
penduduk dusun dari gangguan gerombolan perampok, namun wanita itu terlalu kejam,
terlalu mudah membunuh orang.
“Lihat
serangan!” Wanita itu berseru dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat
sekali menampar ke arah pelipis kanan Keng Han.
Akan tetapi
dengan mudah saja Keng Han menarik kepalanya ke belakang sehingga tamparan tangan
kiri itu lewat di depan hidungnya dan dia mencium bau harum ke luar dari lengan
baju itu.
Agaknya
wanita itu pun terkejut melihat betapa tamparannya dengan mudah dielakkan oleh
pemuda itu, maka ia pun menyusulkan serangan yang lebih hebat lagi, menotok ke
arah dada Keng Han. Kembali pemuda ini bergerak, miringkan tubuhnya dan totokan
itu pun luput!
Ketika
wanita itu mendesak terus dengan pukulan ketiga yang amat ganas, Keng Han
menggerakkan tangan menangkis pukulan yang mengarah mukanya itu.
“Dukkk!”
Pertemuan
dua tenaga sinkang itu membuat wanita itu terdorong mundur dua langkah. Tentu
saja ia terkejut bukan main dan merasa penasaran sekali. Pemuda itu ternyata
bukan hanya mampu mengelak, bahkan tangkisannya demikian kuat sehingga membuat
ia terdorong mundur! Dengan kemarahan berkobar wanita itu menyerang terus
secara bertubi-tubi, akan tetapi hingga jurus ke sembilan serangannya selalu
gagal.
Keng Han
juga harus mengeluarkan kepandaiannya karena ia pun mendapat kenyataan alangkah
dahsyat dan hebatnya serangan-serangan itu. Hanya dengan ilmu silat sakti
Hong-in Bun-hoat dia berhasil lolos dari serangkaian serangan itu.
Tiba-tiba
ada sinar hitam menyambar. Keng Han terkejut bukan main karena sinar hitam itu
adalah rambut wanita itu yang bergerak secara luar biasa sekali dan tahu-tahu
telah melibat muka dan lehernya! Bau harum menusuk hidungnya dan selagi dia
tertegun, tidak tahu harus berbuat apa karena untuk merenggut rambut itu dia
merasa tidak tega, sebuah totokan mengenai kedua pundak secara beruntun dan dia
pun tidak mampu bergerak lagi!
“Hi-hi-hik!”
Wanita itu tertawa puas. “Ternyata tepat pada jurus ke sepuluh engkau tidak
berdaya, orang muda keras kepala! Sekarang bersiaplah untuk mampus!”
“Hemmm, aku
sudah bisa menduga bahwa engkau hanyalah seorang wanita yang suka menjilat
ludah sendiri dan melanggar janji sendiri!” kata Keng Han yang maklum bahwa
keselamatan nyawanya sedang terancam.
“Keparat!”
bentak wanita itu. “Engkau masih berani memaki aku sebagai penjilat ludah
sendiri? Kapan aku melakukan pelanggaran janji itu?”
“Memang
belum, akan tetapi hampir. Tadi engkau berjanji bahwa kalau sampai sepuluh
jurus engkau tak mampu membunuhku, engkau akan mengampuni nyawaku. Sekarang
sudah lewat sepuluh jurus dan engkau tidak mampu membunuhku, namun engkau akan
membunuh aku juga! Bukankah itu berarti menjilat ludah sendiri? Cih, tak tahu
malu!”
Keng Han
sengaja mengejek karena dia sudah sedikit mengenal watak wanita ini, yaitu
angkuh dan tidak mau dianggap rendah budi.
“Baik, aku
tidak membunuhmu, akan tetapi aku tidak berjanji akan membebaskanmu. Engkau
akan menjadi tawananku dan jika kelakuanmu baik, kelak barangkali aku akan
membebaskanmu!” Setelah berkata demikian, ia menangkap lengan kanan Keng Han
yang tidak dapat digerakkan itu dan menarik Keng Han pergi dari situ.
Keng Han
terseret, akan tetapi wanita itu tetap menariknya dan berlari dengan cepat
sekali meninggalkan dusun itu. Para penduduk dusun hanya dapat menonton saja
dan menganggap bahwa pemuda itu tentu mempunyai kesalahan, maka pendekar wanita
yang telah menolong mereka menjadi marah.
Wanita
cantik itu kini mencengkeram baju di punggung Keng Han dan membawa lari Keng
Han sambil mengangkatnya bagaikan menenteng seekor ayam saja. Keng Han
membiarkan dirinya dibawa pergi. Dia sama sekali tidak merasa khawatir karena
dia merasa yakin bahwa dengan hawa sakti yang terkandung di dalam tubuhnya,
dengan menyalurkan hawa itu, dia akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari
pengaruh totokan.
Ketika
wanita itu sudah menuruni bukit dan masuk sebuah hutan, Keng Han mulai
menyalurkan tenaga dari tantian untuk membebaskan dirinya dari pengaruh
totokan. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa
jalan darahnya yang pokok tetap saja tidak dapat ditembus. Dia hanya mampu
menggerakkan kedua kaki dan lengannya dengan perlahan saja dan belum dapat
menggerakkan jari-jarinya!
Dia mencoba
dan terus mencoba, akan tetapi hasilnya sama saja. Barulah dia merasa khawatir
karena kini dia merasa bahwa dia benar-benar berada dalam cengkeraman wanita
kejam ini.
Tiba-tiba
wanita itu berhenti. Di depannya sudah berdiri dua orang tosu. Mereka itu bukan
lain adalah Thian Yang Cu yang tinggi kurus dan Bhok Im Cu yang tinggi besar.
Bhok Im Cu
ini biar pun sudah menjadi seorang tosu, akan tetapi dia masih tidak dapat
meninggalkan wataknya di waktu muda, yaitu mata keranjang. Kini pun dia
memandang wanita itu dengan mata liar seolah-olah matanya menggerayangi seluruh
bagian tubuh wanita cantik itu dan mulutnya berliur seperti seekor serigala
kelaparan melihat seekor kelinci gemuk.
Akan tetapi,
suheng-nya sudah menegur wanita itu dengan suara yang lantang. “Nona, siapakah
Nona dan mengapa Nona menawan seorang muda ini?”
“Apa
urusanmu, tanya-tanya? Lekas pergilah dan jangan menghadang di jalan, atau aku
akan marah!” kata gadis itu dengan suara ketus.
“Aih, Nona.
Engkau begini cantik kenapa bersikap begini kasar? Sayang kecantikanmu kalau
begitu!” kata Bhok Im Cu mencela.
Mata gadis
itu melotot. “Apa engkau ingin mampus? Pergilah, atau aku terpaksa akan
menghajar kalian!” Gadis itu kini membentak marah.
Ia mendorong
Keng Han ke belakang sehingga pemuda itu terhuyung, kemudian roboh terguling
karena tubuhnya masih terasa lemas walau pun sebetulnya dia sudah mampu
menggerakkan kaki tangannya dengan kaku, belum sempurna benar.
“Siancai...!”
Thian Yang Cu berseru.
“Engkau
tentu seorang wanita jahat, Nona. Dan kami dari Bu-tong-pai tidak mungkin
tinggal diam saja melihat orang berbuat jahat. Bebaskan pemuda ini atau cepat
jelaskan mengapa engkau menawannya, kalau engkau tidak ingin kami terpaksa
turun tangan mencampuri urusanmu!”
“Tosu bau!
Kalian kira aku takut kepada kalian?” Gadis itu membentak marah dan ia pun
sudah menggerakkan kaki tangannya, menyerang ke arah kedua orang tosu itu.
Thian Yang
Cu dan Bhok Im Cu adalah dua orang tosu murid utama, tentu saja sudah memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Mereka dapat menghindarkan diri dan Thian Yang Cu lalu
membalas dengan serangan tendangannya. Gadis itu mengelak cepat dan kembali
tangannya meluncur untuk melakukan totokan ke arah dada lawan.
Bhok Im Cu
juga menyerang dan dia merangkul dari belakang untuk meringkus nona itu.
Serangannya ini membuat gadis itu bertambah marah karena mengira bahwa tosu itu
hendak berkurang ajar. Ia cepat mengelak sambil membalik dan sebuah tendangan
kilat menyambar ke arah perut Bhok Im Cu.
Hanya dengan
melempar tubuh ke samping dan bergulingan saja Bhok Im Cu mampu meloloskan diri
dari tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia menjadi terkejut sekali dan
bersikap lebih hati-hati, maklum bahwa nona itu memang lihai bukan main.
Thian Yang
Cu adalah seorang murid pertama Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mau bertindak
sembrono terhadap gadis yang belum diketahui kesalahannya itu. Dia hanya
mencurigai karena melihat gadis itu menawan seorang pemuda, namun belum ada
bukti bahwa gadis itu adalah seorang yang jahat. Oleh karena itu, dia pun tidak
menyerang dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi
setelah beberapa gebrakan, ia menjadi terkejut bukan main karena gadis itu
ternyata memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terpaksa dia menambah tenaga
pada tangannya dan dia sudah menyerang cepat, memukul ke arah pundak gadis itu.
Akan tetapi
agaknya gadis itu sudah tahu bahwa si tosu tidak mempergunakan seluruh
tenaganya, maka ia hanya miringkan sedikit pundaknya sehingga pukulan itu
mengenai pangkal lengan, dan berbareng dengan itu ia telah meluncurkan jari
tangannya menotok dada Thian Yang Cu sehingga tosu ini langsung terpelanting
roboh dan tidak mampu bangkit kembali.
Melihat ini,
Bhok Im Cu terkejut dan marah. Lenyaplah sifatnya yang main-main melihat gadis
cantik. Dengan amat marah dia menubruk, akan tetapi dengan gerakan memutar yang
indah, gadis itu dapat mengelak dan mengirim tendangan yang mengenai perutnya
sehingga Bhok Im Cu juga terpelanting roboh. Sebetulnya kedua orang tosu ini tak
akan demikian mudah dirobohkan kalau saja mereka tidak memandang ringan
lawannya.
“Hemmm,
tosu-tosu bau dari Bu-tong-pai hanya memiliki sedikit kepandaian telah berani
mencampuri urusan orang? Kalian yang lancang tidak pantas dibiarkan hidup!”
Gadis itu lalu melangkah maju, siap untuk membunuh.
Akan tetapi
pada saat itu Keng Han yang belum dapat menggerakkan kaki tangannya dengan
baik, sudah melompat dan menerkam seperti seekor singa menerkam kambing,
tahu-tahu tubuhnya sudah menimpa punggung gadis itu, dua lengannya mendekap dan
kedua kakinya juga mengait.
Gadis itu
terkejut sekali. Dia meronta untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak mampu
karena dekapan Keng Han kuat bukan main.
“Heiii,
bocah gila! Lepaskan aku, lepaskan...!” Gadis itu berteriak-teriak.
“Tidak,
engkau tidak boleh membunuh orang!” kata Keng Han.
Dengan gemas
gadis itu terus meronta pula, mencoba melepaskan dekapan itu, bahkan menampar
dan menyikut. Akan tetapi tamparan dan sikunya menghantam tubuh yang keras dan
kenyal seperti karet sehingga tamparan itu membalik. Ia terkejut bukan main.
“Anak setan!
Tidak tahu malu kau! Hayo lepaskan...!” Gadis itu menjerit-jerit.
Entah
mengapa, ketika merasa betapa tubuhnya didekap lengan dan tubuh yang tegap dari
seorang pemuda, mendadak saja dia merasa seluruh tubuhnya lemas, jantungnya
berdebar keras dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia tidak peduli lagi
melihat dua tosu itu merangkak dan pergi dengan cepat dari situ.
“Berjanjilah
terlebih dahulu bahwa engkau tidak akan membunuh orang, baru aku mau
melepaskanmu.”
Keng Han
kini juga menyadari bahwa perbuatannya itu sungguh-sungguh tidak pantas,
mendekap tubuh seorang gadis seperti itu. Baru sekarang terasa olehnya betapa
hangat dan lunak tubuh itu berada dalam dekapannya!
“Aku
berjanji...!” kata gadis itu hampir menangis.
Keng Han
melepaskannya dan begitu dilepaskan, sebuah tamparan mengenai pipi Keng Han,
membuat dia terpelanting roboh. Akan tetapi dia cepat bangkit kembali dan
berdiri memandang gadis itu sambil meraba pipinya, kemudian tersenyum.
“Engkau...
engkau sudah mampu bergerak? Bagaimana mungkin ini?”
“Melihat
engkau akan membunuh orang, agaknya mendatangkan tenaga bagiku untuk
menggerakkan tubuh. Nona, mengapa engkau begitu kejam? Sedikit-sedikit membunuh
orang, menganggap nyawa orang seperti nyawa nyamuk saja!”
“Huh, kau
tahu apa? Orang-orang jahat itu, kalau tidak dibunuh merekalah yang akan
menyusahkan atau membunuh kita. Dari pada dibunuh orang, lebih baik aku
membunuh lebih dulu, bukan?”
Gadis itu
lalu mendekati Keng Han dan memeriksa tangannya. Jari-jari tangan Keng Han
masih terasa kaku, terlihat jelas bahwa dia masih belum dapat bergerak leluasa.
“Jalan
darahmu baru setengahnya terbuka,” kata gadis itu. “Biarlah aku membukanya sama
sekali!”
Gadis itu
lalu menggerakkan jari-jari tangannya dan kini terbebaslah seluruh jalan darah
di tubuh Keng Han. Akan tetapi di luar dugaan Keng Han, tiba-tiba telapak
tangan kiri gadis itu menghantam dadanya.
“Plakkk...!”
Tidak
terlalu nyeri, akan tetapi dia merasa betapa ada hawa panas memasuki dadanya.
Gadis itu tertawa.
“Hemmm,
kenapa engkau memukul dadaku lalu tertawa?” tanya Keng Han penasaran. Namun dia
tidak marah karena tamparan tadi tidak mengandung tenaga sakti sehingga seperti
main-main saja.
“Jangan kira
bahwa sesudah aku membebaskan totokanmu, engkau akan dapat pergi dan bebas
dariku. Engkau mau atau tidak mau harus menemani aku.”
“Hemmm,
kenapa begitu? Kalau aku tidak mau dan pergi, engkau mau apa?”
“Tidak mau
apa-apa, hanya melihat engkau mati dalam waktu sebulan dan tidak ada obat di
dunia ini yang mampu menyembuhkanmu. Aku telah membebaskan totokanmu, akan
tetapi aku juga sudah memukulmu dengan tok-ciang (tangan beracun). Kalau tidak
percaya, lihatlah dadamu!”
Keng Han
penasaran dan membuka bajunya. Di sana, di dadanya sebelah kiri, nampak ada
tanda lima telapak jari merah, jelas sekali. Diam-diam Keng Han mentertawakan
gadis itu. Pukulan beracun tidak akan mencelakainya, dan sekali mengerahkan
tenaga dia akan mampu melenyapkan tanda jari merah itu. Tubuhnya sudah kebal
racun berkat makan daging ular merah dan gigitan binatang itu. Namun dia diam
saja dan memakai kembali bajunya.
“Nona,
kenapa engkau hendak memaksaku mengikutimu?” tanyanya.
“Engkau
sudah berani memaki, mengatakan aku kejam, bahkan tadi engkau berani pula
merangkul diriku. Hemmm... untuk kesalahan itu saja sudah cukup alasan bagiku
untuk membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak akan membunuhmu dulu. Terlampau
enak untukmu. Engkau harus ikut aku, menyaksikan kekejamanku seperti yang kau
katakan itu, dan engkau akan mati perlahan-lahan. Racun di tubuhmu itu sebulan
lagi baru akan bekerja. Dan melihat engkau masih muda, biar aku melihat
kelakuanmu selama sebulan ini. Kalau kelakuanmu selama ini baik saja, aku akan
mengobatimu, kalau sebaliknya, engkau akan mati tersiksa. “
“Kejamnya!”
Maki Keng Han dalam hatinya.
Dia tahu
bahwa gadis ini seorang yang berilmu tinggi dan tidak jahat, hanya kejam dan
tangannya ringan sekali membunuh orang, meski pun orang yang dibunuhnya itu
jahat atau bersalah kepadanya. Dua orang tosu Bu-tong-pai itu pun tentu sudah
dibunuhnya hanya karena mencampuri urusannya dan hendak membebaskannya. Dan dia
merasa sayang sekali.
Gadis ini
cantik jelita, dan tidak jahat. Mungkin kalau melakukan perjalanan bersamanya
selama sebulan, dia akan dapat membujuknya dan memberinya nasehat sehingga
tidak kejam lagi.
“Akan tetapi
aku mempunyai urusan penting sekali. Aku harus pergi ke Tibet!” kata Keng Han.
“Hemmm, ke
Tibet atau ke neraka, apa bedanya bagiku? Aku tidak mempunyai tujuan tertentu,
dan tidak mengapa bagiku kalau harus pergi ke Tibet sekali pun. Akan tetapi mau
apa engkau pergi ke Tibet? Apakah engkau ingin menjadi hwesio dan mempelajari
agama?”
“Aku hendak
mencari dan bertemu dengan Dalai Lama!”
Gadis itu
tertegun dan memandang kepadanya dengan sinar matanya yang tajam. Mata yang
indah itu mengamatinya penuh selidik. Agaknya banyak keanehan terdapat pada
diri pemuda ini. Ilmu silatnya cukup baik, dapat menghindarkan diri dari
sembilan jurus serangannya, bahkan dapat hampir membebaskan diri dari
totokannya. Dan kini hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama? tanyanya
dengan hati tertarik.
“Mau apa?”
“Dia seorang
yang sewenang-wenang. Aku akan menuntutnya, bertanya mengapa dia mengutus
orang-orang untuk membunuh guruku!”
Tiba-tiba
gadis itu tertawa. Tawanya lepas bebas, tidak ditutup-tutupi seperti gadis
lain. Akan tetapi pada saat ia tertawa bebas itu, wajahnya nampak lucu dan
cerah, nampak semakin manis bagai wajah seorang kanak-kanak. Lenyap sudah
garis-garis kekerasan dan sifat dingin dari wajahnya yang berubah menjadi
anggun dan menyenangkan sekali sehingga Keng Han terpesona. Gadis ini
sesungguhnya cantik bukan main kalau saja mau melenyapkan kekerasan hatinya.
“Semestinya
engkau lebih sering tertawa, Enci!” katanya tiba-tiba, menyebut enci karena
setelah gadis itu tertawa, dia merasa hubungannya dekat dengannya.
“Ehhh?!”
Gadis itu dua kali terkejut. Oleh ucapan itu sendiri dan oleh sebutan ‘enci’.
“Mengapa?”
“Kalau
tertawa, wajahmu indah sekali!”
Mendadak
wajah itu menjadi dingin kembali. Tangan kanan itu sudah diangkat hendak
menampar, akan tetapi ditahannya.
“Apa kau
ingin ditampar?”
“Kenapa
ditampar? Apa salahku?”
“Kau bilang
wajahku indah sekali.”
“Habis,
harus bilang apa? Apakah aku harus mengatakan bahwa wajahmu buruk sekali,
padahal kenyataannya memang indah kalau engkau tertawa?”
Gadis itu
menghela napas panjang, agaknya dia merasa kewalahan untuk berbantahan dengan
Keng Han.
“Siapa sih
namamu?”
“Namaku Keng
Han, Si Keng Han, jawabnya, menyembunyikan nama marganya yang dia tahu hanya
akan menimbulkan persoalan baru. “Dan engkau siapa?”
Kembali
helaan napas panjang. “Orang menyebut aku Bi-kiam Niocu. Aku hampir lupa dengan
namaku sendiri, kalau tidak salah Siang Bi Kiok. Akan tetapi engkau pun harus
menyebut Bi-kiam Niocu kepadaku. Berapa usiamu?”
“Usiaku dua
puluh tahun.”
“Biar pun
engkau lebih muda dariku, jangan menyebut enci padaku. Sebut saja Bi-kiam
Niocu. Ehh, gurumu yang dibunuh oleh utusan Dalai Lama itu, siapa namanya?”
“Dia pun
seorang bekas Lama, namanya Gosang Lama.”
“Aku tidak
pernah mendengar nama itu. Akan tetapi, keinginanmu untuk menuntut Dalai Lama
ini sangat aneh. Orang dengan kepandaian seperti engkau ini berani menuntut
Dalai Lama? Engkau mencari mati!”
“Aku tidak
takut. Budi seorang guru amat besar, pantas dibela dengan taruhan nyawa.”
“Hemmm,
engkau seorang pemuda yang sangat aneh. Mungkin karena inilah aku tidak
membunuhmu. Nah, sekarang carilah binatang buruan untukku. Perutku sudah terasa
lapar sekali, Keng Han.”
“Engkau
tidak takut kalau aku melarikan diri, Niocu?”
“Mengapa
harus takut? Engkau tidak akan melarikan diri, kalau engkau tidak ingin mati
keracunan sebulan kemudian. Obat penawarnya berada padaku. Kini nyawamu berada
di tanganku.”
“Hemmm,
baiklah, Niocu. Aku pun ingin melakukan perjalanan bersamamu. Siapa tahu dalam
sebulan ini aku dapat membujukmu agar jangan bertindak kejam lagi.”
Setelah
berkata demikian, Keng Han kemudian memasuki hutan dan mencari binatang buruan.
Sesudah berada seorang diri, dia lalu mengerahkan tenaga dari dalam tantian
menuju ke dadanya dan dalam waktu sebentar saja dia sudah mengusir racun itu
dari tubuhnya. Pada waktu dia membuka bajunya, ternyata tanda telapak jari
merah itu telah lenyap sama sekali.
Dia
tersenyum dan merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak lari saja
dan pergi meninggalkan gadis itu? Atau melawannya? Kalau dia berhati-hati, belum
tentu dia kalah. Wanita itu hanya mempunyai kelebihan dalam ilmu totok yang
memang hebat. Bahkan tenaga sinkang-nya tidak mampu menahan totokan wanita itu!
Juga dia merasa heran mengapa wanita itu mau saja mengikutinya pergi ke Tibet!
Tiba-tiba ia
melihat seekor kijang muda muncul dari semak belukar. Cepat ia menunduk dan
bersembunyi di balik semak-semak. Untung baginya bahwa angin datang dari arah
kijang itu. Kalau sebaliknya, tentu kijang itu tahu bahwa ada manusia di
dekatnya dan kalau ia sudah melarikan diri, bagaimana mungkin dapat
mengejarnya?
Sambil
bertiarap itu tangannya mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan
setelah mengintai dan membidik dengan tepat, tiba-tiba ia bangkit dan
melontarkan batu itu ke arah kepala kijang.
“Wuuuttttt...
takkk!”
Tepat sekali
batu itu menghantam bagian belakang kepala kijang itu. Binatang itu hanya
berkuik satu kali, lantas roboh dan mati dengan kepala retak. Dengan girang
Keng Han kemudian mengambil bangkai binatang itu dan dipanggulnya, dibawa kembali
ke tempat dimana tadi Bi-kiam Niocu sedang menunggu…..
***************
Sementara
itu, Bi-kiam Niocu menanti kembalinya Keng Han. Sambil duduk di bawah sebatang
pohon, di atas sebuah batu datar. Hawa udara sangat panas, akan tetapi di bawah
pohon itu teduh dan angin yang semilir membuatnya mengantuk.
Tiba-tiba
dia dikejutkan oleh suara berdetak di belakangnya. Pada waktu dia menengok,
beberapa helai jala sedang menyambar ke arah tubuhnya dari atas. Dia mencoba
untuk mengelak, akan tetapi terlalu banyak jala yang menyerangnya sehingga
tanpa dapat dia elakkan lagi, tubuhnya telah terbungkus dua helai jala hitam.
Ia meronta
dan mencoba untuk mencabut pedangnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan
karena tali jala-jala itu ditarik sehingga kedua tangannya terbalut dan seperti
teringkus jala. Dan jala itu agaknya terbuat dari tali yang amat kuat. Ia sudah
diringkus dan ketika ia memandang dari celah-celah jala, ia melihat belasan
orang laki-laki berada di sana. Beberapa orang memegang jala yang meringkusnya.
Ketika mereka maju mengikatnya bersama jala, ia pun tidak berdaya.
“Jahanam
pengecut. Cepat lepaskan aku dan mari kita bertanding kalau memang kalian
gagah!” Ia mendamprat akan tetapi sia-sia belaka karena orang-orang itu hanya
tertawa.
Seorang yang
bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang memegang tongkat besar, agaknya
menjadi pemimpin mereka, memberi aba-aba dan mereka semua berloncatan pergi
sambil menggotong Bi-kiam Niocu bagaikan menggotong seekor binatang buruan yang
terjerat.
Wanita itu
memaki-maki, menantang-nantang, akan tetapi tak ada yang mempedulikan. Ternyata
mereka itu rata-rata dapat berlari cepat, didahului oleh si rakasasa pemegang
tongkat besar itu.
Orang-orang
itu berpakaian sederhana sekali, dari kulit binatang. Melihat wajah mereka yang
berewokan mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup
di dalam hutan. Mereka membawa Bi-kiam Niocu ke sebuah bukit yang penuh dengan
goa-goa batu yang besar. Setelah tiba di depan goa-goa itu, sang pemimpin lalu
membawa tawanan itu dengan sebelah tangannya, ditentengnya memasuki sebuah di
antara goa-goa terbesar.
Bi-kiam
Niocu kini diam saja. Ia tidak takut, melainkan mengumpulkan tenaga, bersiap
untuk memberontak dan menyerang kalau dirinya dibebaskan dari ikatan tali dan
jala itu. Akan tetapi, raksasa yang membawanya itu melemparkannya di atas
sebuah dipan kayu yang kasar, kemudian dia mengambil guci dan cawan dan tak
lama kemudian dia sudah minum arak seorang diri. sambil terkekeh-kekeh
senang…..
Ketika tiba
di tempat tadi, Keng Han tidak melihat Bi-kiam Niocu.
“Niocu...!”
Dia
memanggil beberapa kali, akan tetapi tidak ada jawaban. Dia lalu memeriksa
tempat itu dan melihat bekas tapak kaki banyak orang di situ. Agaknya Niocu
didatangi banyak orang dan terjadi pergulatan, pikirnya, melihat banyak semak
dan pohon kecil yang rusak. Celaka, jangan-jangan Niocu ditangkap gerombolan
penjahat, pikirnya.
Meski
pikiran ini agak aneh mengingat bahwa Niocu seorang wanita yang tidak mudah
ditangkap begitu saja, tetapi Keng Han merasa khawatir. Dia lalu mencari dan
mengikuti jejak belasan pasang kaki itu yang menuju ke bukit di luar hutan. Dia
terus menelusuri jejak-jejak kaki itu dan mendaki bukit…..
“Heh-heh-heh,
engkau sungguh cantik. Pantas menjadi isteriku dan menemani aku di sini,”
akhirnya raksasa muka hitam itu berkata sambil menghentikan minumnya. Dia lalu
menghampiri Bi-kiam Niocu yang masih meringkus dan terikat di atas dipan.
Wanita ini
dapat berusaha untuk membalikkan tubuh dan telentang sehingga dia dapat melihat
keadaan di kamar itu. Sebuah kamar goa yang cukup lebar. Terdapat tiga buah
bangku, sebuah meja dan sebuah dipan kayu itu. Sederhana sekali.
Ketika
laki-laki tinggi besar itu menghampiri dirinya, mau tidak mau ia merinding
juga. Akan tetapi ia tetap tenang. Kalau saja ia membuka ikatan dan jala ini,
pikirnya.
Akan tetapi
raksasa itu mengangkatnya, masih dalam buntalan jala dan memangkunya.
Meraba-raba lehernya yang putih mulus, meraba-raba pipinya.
“Cuh...!”
Bi-kiam Niocu yang tidak dapat menahan kemarahannya, meludahi muka pria itu.
Raksasa muka
hitam itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau kuda betina
yang liar! Bagus! Aku senang dengan yang liar!”
Kini
tangannya merogoh di antara celah-celah jala, kemudian mengambil pedang dari
pinggang Bi-kiam Niocu! Dia memandang pedang itu dan mengangguk-angguk.
“Pedang yang
baik. Tidak pantas seorang wanita secantik engkau bermain-main dengan senjata
tajam seperti ini!” Dia melontarkan pedang itu dan…
“Ceppp!”
pedang menancap di atas meja. Gagangnya bergoyang-goyang ketika pedang itu
menancap sampai setengahnya.
Diam-diam
Bi-kiam Niocu memperhatikan dan mengertilah dia bahwa laki-laki kasar ini
memiliki kepandaian, setidaknya mempunyai tenaga yang kuat. Maka ia menjadi
makin waspada. Biarlah pedangnya diambil, ia tidak takut. Masih ada tangannya,
kakinya, dan bahkan rambutnya untuk membela diri.
“Engkau
cantik, engkau liar, engkau menarik!”
Raksasa itu
mulai menimangnya dan aneh cara menimangnya. Ia melempar-lemparkan tubuh
Bi-kiam Niocu yang masih terikat itu ke atas, diterimanya dan dilontarkannya
lagi. Dia terus mempermainkan tubuh wanita itu seperti sebuah bola saja.
Demikian ringan dia melempar-lemparkan tubuh itu. Bi-kiam Niocu bergidik ngeri.
Laki-laki ini berbahaya, pikirnya, dan celakalah aku kalau sampai tidak dapat
lolos dari tangannya.
Pada saat
itu terdengar teriakan-teriakan di luar goa. Ada orang-orang berkelahi di luar
goa itu. Kepala gerombolan itu lalu melempar tubuh Niocu ke atas pembaringan
dan dia bergegas keluar, membawa tongkatnya yang besar.
Setelah
ditinggal seorang diri, Niocu kembali berusaha untuk membebaskan dirinya dan
sekali ini ia berhasil. Ternyata ketika raksasa tadi melambung-lambungkannya ke
atas, tali pengikat tubuhnya mengendur sehingga ia mampu membebaskan kedua
lengannya. Ia mencoba untuk membikin putus tali jala itu, akan tetapi usahanya
gagal.
Maka ia lalu
berlompatan sambil masih diselubungi jala, mendekati jala di mana pedang
miliknya diletakkan oleh raksasa tadi. Dan dengan pedang di tangannya, dia
kemudian mampu membebaskan diri dan membikin putus tali-tali jala itu. Sebentar
saja ia sudah bebas!
Dengan
kemarahan meluap-luap, ia lalu menerjang keluar dan melihat betapa di luar,
Keng Han sedang bertanding melawan kepala gerombolan itu dengan dikeroyok
banyak anak buahnya. Melihat hal ini, hatinya merasa girang bukan main. Keng
Han berusaha menolongnya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri melawan
raksasa yang tangguh itu!
“Keng Han,
serahkan anjing besar itu kepadaku!” bentaknya dengan suara melengking. Bi-kiam
Niocu telah menerjang ke depan, memutar pedangnya dan menyerang raksasa yang
memegang tongkat itu.
Keng Han
girang melihat Bi-kiam Niocu selamat. Dia meloncat mundur sambil berseru,
“Niocu, mari kita lari saja!”
“Tidak,
terlebih dahulu aku harus membunuh anjing ini dan semua pengikutnya!” Bi-kiam
Niocu membantah dan menyerang terus. Serangannya amatlah hebatnya sehingga si
tinggi besar itu terdesak mundur.
Kepala
gerombolan itu terkejut bukan main melihat gadis tawanannya bebas, maka dia
berteriak, “Pergunakan jala! Tangkap mereka!”
“Awas, jala
mereka amat lihai, Keng Han!” seru Bi-kiam Niocu sambil memutar pedang lebih
cepat lagi.
Ia mendesak
kepala gerombolan dengan amat hebatnya sehingga raksasa itu terpaksa harus
memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Sementara itu, beberapa orang anak
buahnya sudah mencoba membantu ketua mereka dengan menggunakan jala.
Tetapi
sekali ini Bi-kiam Niocu sudah siap dengan pedangnya. Begitu jala menyambar, ia
melompat dan menggerakkan pedangnya ke belakang dan terdengar jerit mengerikan
pada saat si pemegang jala roboh mandi darah. Dalam waktu sebentar saja, tiga
orang pemegang jala sudah tewas di tangan Bi-kiam Niocu!
Sementara
itu, Keng Han juga dikeroyok banyak orang. Dia pun bergerak dengan cepat,
merobohkan para pengeroyoknya hanya dengan dorongan kedua tangannya, dan ketika
dirinya tertutup jala, dengan mengerahkan tenaga jala itu pecah dan talinya
putus-putus! Gegerlah anak buah gerombolan itu. Mereka seperti puluhan ekor
semut mengeroyok dua ekor jangkerik......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment