Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 04
Gerakan
Bi-kiam Niocu amatlah berbahaya. Sebetulnya tingkat kepandaiannya masih jauh
lebih tinggi dari pada kepandaian si raksasa muka hitam. Tadi ia tertangkap
karena tidak menyangka dan tidak bersiap sehingga dapat tertangkap jala musuh.
Sekarang, dengan pedang di tangan mana mungkin ia tertangkap jala? Bahkan para
pemegang jala itu semua telah tewas di tangannya dan kini wanita itu mendesak
lawannya dengan hebat.
Si tinggi
besar muka hitam menjadi jeri. Melihat anak buahnya banyak yang tewas dan dia
pun menghadapi permainan pedang yang demikian tangguh, apa lagi melihat betapa
pemuda itu pun tidak dapat ditangkap anak buahnya, nyalinya sudah terbang
melayang dan dia menyerang hebat untuk mencari kesempatan melarikan diri.
“Mampuslah!”
bentaknya dan tongkatnya meluncur dengan cepat ke arah dada Bi-kiam Niocu.
Pada saat
gadis ini mengelak ke kiri, tongkat itu menghantam dari kanan ke kiri dengan
kecepatan kilat. Karena serangan itu amat berbahaya untuk ditangkis mengingat
tenaga raksasa itu besar sekali, Bi-kiam Niocu melompat ke belakang dengan
sigapnya. Sejak tadi kesempatan inilah yang selalu dinantikan oleh kepala
gerombolan itu. Maka begitu lawannya melompat ke belakang, dia lalu membalikkan
tubuhnya kemudian melarikan diri tunggang-langgang!
“Jahanam
hendak lari ke mana kau?” Bi-kiam Niocu mengejar sambil sekuat tenaganya
melontarkan pedangnya.
Inilah satu
di antara kepandaiannya yang amat hebat. Ia dapat melontarkan pedang itu dengan
cepat dan pedangnya meluncur bagaikan anak panah saja menuju sasarannya, yaitu
punggung lebar kepala gerombolan itu.
“Singgggg...
cappp!”
Pedang itu
tepat mengenai punggung dan menembus ke dada. Kepala gerombolan itu terbelalak,
mengeluh panjang lalu roboh menelungkup, tewas seketika.
Bi-kiam
Niocu sudah berada di dekatnya dan mencabut pedang itu, lalu membersihkan
pedang pada pakaian si raksasa muka hitam. Kemudian ia pun mulai mengamuk! Anak
buah gerombolan yang sedang mengeroyok Keng Han itu diamuknya dan pedangnya
merobohkan beberapa orang lagi. Melihat ketua mereka sudah tewas, sisa anak
buah gerombolan cepat melarikan diri. Bi-kiam Niocu hendak mengejar, akan
tetapi ditahan oleh Keng Han.
“Musuh yang
sudah lari tidak perlu dikejar lagi, Niocu!” katanya.
Bi-kiam
Niocu menyimpan pedangnya dan dengan puas ia memandang kepada belasan orang
yang sudah menggeletak tanpa nyawa itu. “Hemmm, sayang masih ada yang mampu
meloloskan diri. Seharusnya mereka itu dibasmi habis!”
“Sudahlah,
Niocu. Kalau mereka semua tewas, tentu kita juga yang akan repot, harus
mengubur mereka. Biarlah yang masih hidup nanti mengubur mayat kawan-kawannya.
Sesungguhnya, apa yang telah terjadl Niocu?”
“Mereka
bertindak curang dan berhasil menangkap aku dengan jala, lalu membawaku ke
sini. Ketika tadi engkau menyerang mereka di luar goa, kepala perampok itu
sempat meninggalkan aku sehingga aku pun dapat meloloskan diri lalu mengamuk.
Dan engkau bagaimana engkau bisa menyusul aku ke sini?”
“Aku sudah mendapatkan
binatang buruan, seekor kijang yang muda, dan ketika aku kembali ke tempat kita
tadi, engkau sudah tidak ada. Aku melihat tapak-tapak kaki yang banyak sekali,
lalu aku mengikuti tapak kaki itu hingga ke sini. Ketika mereka melihatku,
mereka lalu mengepung dan mengeroyokku sehingga terjadi perkelahian. Mari,
Niocu, kita kembali ke sana. Bukankah perutmu sudah lapar? Akan tetapi,
sebaiknya kalau aku kubur dulu mayat-mayat mereka.”
“Bodoh! Buat
apa mengubur mereka? Biar teman-teman mereka yang mengurus mayat mereka. Mari
kita pergi!” Bi-kiam Niocu mendengus marah dan Keng Han mengikutinya. Dia pun
percaya bahwa sisa anak buah gerombolan tentu akan kembali ke situ untuk
mengubur teman-teman mereka yang tewas.
Mereka
kemudian cepat pergi meninggalkan bukit itu dan memasuki hutan tadi. Keng Han
mengambil bangkai kijang yang tadinya dia simpan di atas sebatang pohon besar
dan mulai mengambil dagingnya untuk dipanggang.
Dengan sinar
mata termenung Bi-kiam Niocu memandang pada Keng Han yang sedang membakar
daging kijang. Dia sudah menaruh bumbu pada daging itu. Kalau melakukan
perjalanan, wanita ini selalu membawa bekal bumbu, seperti garam, merica dan
lain-lain untuk penyedap makanan.
Ia merasa
heran sekali. Mengapa hatinya begini tertarik kepada Keng Han dan ia tidak
menghendaki pemuda itu jauh darinya? Selama ini, sampai usianya telah dua puluh
dua tahun, ia selalu merasa tidak suka kepada laki-laki.
Semenjak ia
belajar ilmu silat dari gurunya, yaitu seorang pendeta wanita yang hidup
mengasingkan diri, gurunya selalu menekankan betapa jahatnya kaum pria. Karena
ini, sejak kecil sudah tumbuh semacam perasaan tidak suka kepada pria.
Apa lagi
setelah ia mulai remaja ia melihat betapa mata laki-laki seperti mata elang
saja menatapnya, seperti mata elang melihat anak ayam, ingin menerkam. Semakin
tak suka hatinya terhadap pria, makin dewasa ia makin muak. Entah berapa
banyaknya pria yang telah dibunuhnya, hanya akibat pria itu berani memandangnya
terlalu lama, menegurnya secara kurang ajar atau hendak menggodanya.
Akan tetapi
kini dia merasa heran sekali. Mengapa dia begini tertarik kepada Keng Han yang
bahkan lebih muda darinya? Apa lagi kalau dia membayangkan ketika pemuda itu
mendekapnya untuk menghalanginya melakukan pembunuhan. Dekapan yang kuat dan hangat
itu seolah masih terasa! Dan jantungnya berdebar aneh.
Daging
kijang panggang itu sudah matang dan mereka lalu makan daging yang lunak dan
sedap itu. Bi-kiam Niocu mengeluarkan seguci arak dan mereka pun makan minum
dengan lahapnya karena memang perut mereka terasa lapar. Akan tetapi diam-diam
harus diakui oleh Niocu bahwa belum pernah ia makan daging panggang selezat
ini!
Setelah
selesai makan, Bi-kiam Niocu berkata, “Selama perjalanan kita ke Tibet, engkau
harus selalu mentaati omonganku, Keng Han. Aku jauh lebih berpengalaman darimu,
kalau engkau tidak mendengar omonganku, bisa-bisa engkau akan celaka.”
“Tidak,
Niocu. Aku tidak akan melakukan perjalanan bersamamu. Sekarang juga aku akan
memisahkan diri darimu dan aku akan melakukan perjalanan ke Tibet seorang diri
saja.”
“Ehhh,
kenapa begitu?”
“Karena
engkau kejam sekali. Tadi kembali engkau membunuhi banyak orang dan aku merasa
tidak senang sekali melihat engkau begitu kejam.”
“Engkau
tidak boleh meninggalkan aku. Kalau engkau meninggalkan aku, maka dalam
beberapa hari lagi engkau akan mati keracunan. Ingat, tubuhmu sudah kupukul
dengan Tok-ciang, dan hanya aku yang dapat memberi obat pemunahnya.”
“Biarlah!
Lebih baik mati keracunan dari pada menjadi saksi kekejamanmu.”
“Demikian
besarkah perasaan bencimu kepadaku, Keng Han?” Di dalam ucapannya itu
terkandung kesedihan yang mengherankan hati Niocu sendiri.
“Aku tidak
membencimu, Niocu. Bila tadinya aku suka melakukan perjalanan denganmu, tadinya
aku mengharap akan dapat menasehatimu agar tidak terlalu kejam. Akan tetapi
engkau tetap kejam sekali, maka aku tidak tahan lagi untuk terus melakukan
perjalanan denganmu. Nah sekarang aku harus meninggalkanmu, Niocu. Selamat
tinggal!” Keng Han mengemasi buntalan pakaiannya sendiri dan memanggulnya, lalu
melangkah pergi dari situ.
Melihat
kenekatan pemuda itu, Niocu segera bangkit berdiri dan berseru. “Nanti dulu,
Keng Han! Engkau akan mati dalam beberapa hari lagi. Nah, biarlah kusembuhkan
dulu lukamu karena pukulanku yang beracun itu!”
Niocu
menghampiri Keng Han dan menyuruhnya membuka bajunya. Ketika melihat ke arah
dada kiri pemuda itu, ia terbelalak dan ternganga keheranan. Kulit dada itu
putih bersih, sama sekali tidak ada tanda telapak tangan merah seperti yang
seharusnya ada.
“Aihhh...
aneh sekali...!” Keng Han pura-pura terkejut.
“Tanda tapak
tangan merah itu telah lenyap! Ini tidak mungkin!”
“Kenapa
tidak mungkin? Kenyataannya telah lenyap dan berarti aku telah sembuh. Tak perlu
lagi engkau mengobatiku,” kata Keng Han sambil menutupkan kembali bajunya.
“Hemmm, kau
hedak mempermainkan aku, ya! Sambutlah serangan ini!” Wanita itu lalu menyerang
dengan hebatnya!
“Ehhh, apa
yang kau lakukan ini?”
Keng Han
melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Namun wanita
itu mengejarnya dan terus menyerang kalang-kabut dengan gencar sekali. Keng Han
terpaksa mainkan ilmu silat Hong-In Bun-hoat untuk menghindarkan diri. Ternyata
ilmu silatnya ini hebat sekali. Dia seolah tidak bersilat, hanya menuliskan
huruf-huruf di udara dan semua serangan Bi-kiam Niocu dapat dielakkan atau
ditangkis!
Tentu saja
wanita itu menjadi penasaran sekali. Ia mengeluarkan ilmu totokannya yang
ampuh, yaitu Tok-ciang. Ilmu ini bukan hanya menotok, akan tetapi juga menampar
dan kedua tangan itu lalu berubah merah!
Meski pun
Keng Han mampu mengelak sampai puluhan jurus, suatu ketika dia tidak lagi bisa
menghindarkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat tubuhnya
lemas dan tidak berdaya! Bi-kiam Niocu menambahkan beberapa totokan pada kedua
pundak dan dadanya sehingga tubuh Keng Han benar-benar tak mampu bergerak lagi.
Akan tetapi
pemuda itu maklum bahwa kalau dia mengerahkan tenaga dari pusarnya, totokan itu
pasti akan dapat dipunahkannya dalam waktu tidak terlalu lama. Karena itu dia
hanya memandang dengan mata melotot kepada wanita itu.
“Wanita
kejam! Apakah engkau juga hendak membunuhku? Lakukanlah, aku tidak takut mati!”
“Keng Han,
mengapa engkau begini keras kepala? Apakah tidak ada manusia di dunia ini yang
kau taati?”
“Tentu saja
ada. Yang kutaati hanyalah ayah bundaku dan juga guruku. Jika orang lain, hanya
yang benar yang akan kutaati, yang tidak benar tentu tidak kutaati!”
Wanita itu
tersenyum. “Keng Han, aku melihat ilmu silatmu hebat sekali, tetapi buktinya
engkau masih kalah olehku. Maukah engkau menjadi muridku?”
“Hemmm,
untuk apa menjadi muridmu? Untuk belajar membunuh? Ilmu silatku sudah cukup
untuk menjaga diri.”
“Akan tetapi
engkau tidak berdaya menghadapi ilmu totokanku. Bagaimana jika engkau
mempelajari ilmu menotok dariku? Ilmuku menotok itu disebut Tok-ciang
Tiam-hiat-hoat. Kalau engkau memiliki ilmu ini tentu tidak mudah engkau
dikalahkan orang.”
Keng Han
tertarik sekali. Harus dia akui bahwa ilmu totokan dari wanita itu lihai bukan
main. Dua kali sudah dia roboh karena totokan itu. Dan kalau totokan lain dapat
ditolak dengan sinkangnya, ternyata totokan ini tidak. Baru setelah lama
mengerahkan tenaga sinkang, dia dapat membebaskan diri. Padahal totokan lain
dapat ditolak oleh kekebalan tubuhnya karena sinkang di dalam tubuhnya.
“Kalau
engkau suka mengajarkan ilmu totokan itu kepadaku, tentu saja aku suka sekali
mempelajarinya.” Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, dia menjawab.
“Bagus, aku
suka mengajarkannya untukmu. Engkau tadi telah berusaha menolongku, sudah
sepatutnya kalau aku membalas budimu. Akan tetapi untuk mengajarkan ilmu itu, engkau
harus mengangkatku sebagai guru. Ini peraturan perguruanku, dan aku tidak mau
melanggar peraturan. Nah, kubebaskan totokan pada tubuhmu agar engkau dapat
melakukan upacara pengangkatan guru.”
Secepat
kilat tangan wanita itu bergerak menotok beberapa kali ke tubuh Keng Han dan
segera pemuda itu merasa betapa tubuhnya dapat bergerak kembali seperti biasa.
Karena dia memang ingin sekali mempelajari ilmu itu, maka dia lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Bi-kiam Niocu dan memberi hormat sambil menyebut subo
(ibu guru).
Bi-kiam
Niocu tertawa terkekeh, girang bukan main. “Bangkitlah, Keng Han. Mulai saat
ini, engkau adalah muridku dan aku adalah gurumu, bukan?”
“Benar,
Subo. Apakah sekarang Subo akan mengajarkan Tok-ciang Tiam-hiat-hoat itu kepada
teecu (murid)?”
“Tak perlu
tergesa-gesa, Keng Han. Dan mulai sekarang engkau harus mentaati segala
perintahku, mengerti?”
“Akan
tetapi...”
“Akan tetapi
apa? Ingat, aku adalah gurumu dan bukankah engkau sudah mengatakan bahwa engkau
hanya taat kepada orang tua dan gurumu?”
“Ahhh...?
Jadi Subo hanya menggunakan akal agar aku selalu taat...?”
“Bukan hanya
itu, aku memang ingin engkau menjadi muridku, akan tetapi murid yang taat. Nah,
sekarang ceritakan kepadaku tentang suhu-mu yang katanya terbunuh oleh utusan
Dalai Lama. Ingat, aku akan membantumu bertemu Dalai Lama dan hanya aku yang
dapat menolongmu.”
Keng Han
lalu menceritakan dengan singkat tentang tiga orang pendeta Lama Jubah Merah
yang telah membunuh Gosang Lama. Juga tentang pesan terakhir Gosang Lama agar
dia membunuh Dalai Lama yang mengutus tiga orang Lama Jubah Merah itu, dan juga
membunuh ketua Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar gurunya itu.
Setelah Keng
Han selesai bercerita, Bi-kiam Niocu menarik napas panjang dan berkata, “Gurumu
itu agaknya seorang yang benar-benar kejam. Aku membunuhi orang jahat kau
katakan kejam, akan tetapi gurumu itu seperti hendak membunuh engkau sendiri!
Engkau mimpi kalau dapat membunuh Dalai Lama dan ketua Bu-tong-pai. Sukarnya
sama seperti naik ke langit! Aku sendiri, terus terang saja, tidak berani
mencoba untuk melakukan dua hal itu, akan tetapi aku dapat membantumu bertemu
dengan Dalai Lama dan juga dengan ketua Bu-tong-pai.”
Keng Han
merasa girang sekali. “Bantuan itu saja sudah cukup bagi teecu, Subo. Kalau
sudah bertemu dengan mereka, aku akan menuntut mereka dan juga minta keterangan
mengapa mereka memusuhi suhu Gosang Lama. Selanjutnya biarlah aku sendiri yang
akan menghadapi mereka.”
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Sekarang Keng Han merasa lebih senang
karena ternyata gurunya yang baru ini mengenal jalan ke Tibet sehingga tidak
perlu bertanya-tanya lagi seperti ketika dia melakukan perjalanan seorang diri.
Dia percaya bahwa gurunya ini, walau pun masih muda, namun berilmu tinggi dan
sudah memiliki banyak pengalaman.
Ingin dia
menanyakan riwayat subo-nya yang tentu menarik. Apakah subo-nya sudah memiliki
suami? Ataukah masih memiliki keluarga lain, dan kalau ada di mana tempat
tinggalnya? Akan tetapi, dia khawatir kalau dibentak karena subo-nya kadang
bersikap galak kepadanya, maka sampai lama dia tidak pernah mengajukan
pertanyaan ini….
Malam itu
gelap sekali, Keng Han dan Bi-kiam Niocu terpaksa melewatkan malam di sebuah
goa. Menurut Niocu, dusun yang terdekat dari situ masih lima puluh li lebih
sehingga mereka akan kemalaman di tengah jalan kalau melanjutkan perjalanan.
Lebih baik melewatkan malam di goa itu, agak terlindung dari angin dan hawa
dingin.
Keng Han
mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun di depan goa. Dia pun mencari
rumput kering untuk alas lantai goa sehingga gurunya akan dapat mengaso. Akan
tetapi Niocu duduk saja di dekat api unggun dan termenung mengamati api yang
bernyala. Keng Han duduk di depannya, terhalang api unggun.
“Keng Han,
ke sinilah. Duduk di dekatku sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu.”
Keng Han
pindah duduk di sebelah gurunya, tapi diam saja. Setelah agak lama mereka
berdiam diri, Niocu menghela napas panjang dan berkata, “Keng Han, apakah
engkau berbahagia?”
Pemuda itu
terheran mendengar pertanyaan ini. “Bahagia? Apakah artinya bahagia itu, Subo?
Kita sudah makan tadi, perutku kenyang, badan yang letih kini dapat beristirahat
di dekat api unggun yang hangat sehingga tubuh ini terasa enak. Hatiku juga
merasa senang karena kita tidak mendapat gangguan. Ya, boleh jadi aku
berbahagia saat ini, Subo.”
“Aih, betapa
rinduku akan kebahagiaan. Aku tidak pernah merasa berbahagia. Senang, memang.
Akan tetapi itu lain. lagi. Senang hanya sebentar saja lewat dan berlalu. Aku
ingin bahagia! Ahh, betapa aku ingin sekali bahagia, akan tetapi bagaimana
caranya? Di manakah kebahagiaan itu? Aih, aku ingin mencarinya, Keng Han.
Apakah engkau dapat membantuku?”
“Bagaimana
cara membantumu, Subo? Aku sendiri merasa berbahagia, lalu bagaimana aku dapat
menularkan kebahagiaan ini padamu? Kebahagiaan adalah suatu perasaan, suatu
keadaan hati, dan hati orang tidaklah sama. Aku sendiri saat ini merasa senang,
tiada apa pun yang menggangguku, maka aku tidak butuh bahagia itu! Barangkali
Subo merasa tidak berbahagia, bagaimana bisa mencari kebahagiaan? Hilangkanlah
ketidak bahagiaan itu, Subo!”
“Aku merasa
kesepian, merasa tidak bahagia, bagaimana dapat menghilangkan ketidak bahagiaan
ini?”
“Ahh, aku
juga tidak tahu, Subo.” Keduanya melamun sambil memandang ke dalam api yang
bernyala di depan mereka.
Setiap orang
mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu dengan cara
apa pun, ada yang menyiksa diri, ada yang bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula
yang mengejarnya dengan cara belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu
adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan.
Orang yang
mendambakan kebahagiaan sudah pasti adalah orang yang tidak bahagia. Tidak
bahagia adalah suatu perasaan yang muncul apa bila terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan hati. Dalam keadaan yang tidak bahagia ini, bagaimana mungkin
orang mencari dan mendapatkan kebahagiaan? Orang yang sedang berjalan-jalan di
daerah pegunungan, kemudian melihat matahari tenggelam amat indahnya dan
pikirannya tidak melayang-layang tak karuan, sudah tentu dia akan mengalami
kebahagiaan itu. Kalau sudah begitu, tentu dia tidak perlu lagi mencari
kebahagiaan!
Dari pada
mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia
tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi
penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia masih
membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia!
Jadi,
kebahagiaan itu sesungguhnya tak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak
pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang
sering meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan!
Kita
meninggalkan kebahagiaan melalui akal pikiran yang bergelimang nafsu sehingga
kita tak pernah merasa puas dengan keadaan. Kita penuh harap, penuh kecewa,
penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak
nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!
Seperti
halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat
merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita
dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat!
Kebahagiaan sudah
ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak terasa, itu
adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
Kalau
menghadapi mala petaka, di samping berusaha sekuatnya untuk menghindarkan diri,
juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya
Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur kehidupan kita. Makin
kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin
dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.
“Keng Han,
di manakah orang tuamu?”
Ditanya
tentang orang tuanya, Keng Han terkejut. Dia tidak ingin diketahui orang bahwa
dia putera pangeran mahkota dari kerajaan Ceng.
“Aku hanya
tinggal memiliki seorang ibu, Subo. Ayah sudah meninggalkan ibu sebelum teecu
lahir.”
“Ahhh,
keparat!” Dan tiba-tiba tangan wanita itu sudah bergerak cepat dan menotoknya
pula sehingga Keng Han menjadi lumpuh seketika.
“Subo
mengapa... mengapa Subo berbuat begini?”
“Jahanam,
sama saja. Semua laki-laki memang keparat. Benar kata-kata subo. Karena itu aku
benci kepada laki-laki. Ayahmu meninggalkan ibumu ketika ibumu sedang hamil.
Hemmm, dan engkau ini sebagai puteranya tentu sama saja, sama jahatnya!”
“Aku... aku…
selama hidupku belum pernah melihat ayah kandungku, Subo. Aku juga sudah
bersumpah hendak mencari ayah, dan kalau dia tidak mempunyai alasan kuat
meninggalkan dan menyia-nyiakan ibuku, aku akan menghajarnya!”
“Bagus!
Kalau begitu engkau tidak sama dengan ayahmu!” Kini Niocu kembali menotok Keng
Han sehingga terbebas dari totokan. Keng Han mengelus-elus pundaknya yang tadi
ditotok dan meringis karena pundaknya terasa agak nyeri.
“Kenapa Subo
begitu kejam, dengan mudah saja menotokku tanpa sebab?”
“Aku paling
benci kalau mendengar ulah laki-laki yang mempermainkan wanita. Karena ayahmu
berlaku keji terhadap ibumu, maka aku menjadi marah dan karena engkau
puteranya, aku menjadi marah kepadamu. Akan tetapi sekarang tidak lagi karena
engkau menyatakan tidak setuju dengan tingkah laku ayahmu itu.”
“Subo sudah
mengetahui banyak tentang diriku, akan tetapi sebaliknya aku tidak tahu apa-apa
tentang Subo. Bagaimana kalau kelak orang bertanya tentang guruku, apakah harus
kujawab bahwa aku tidak mengenal guruku sendiri?”
Bi-kiam
Niocu menghela napas panjang.
“Riwayatku
tak menarik. Aku yatim piatu. Yang terdekat denganku hanya seorang guru dan
seorang adik seperguruan. Guruku pembenci pria dan entah sudah berapa banyak
pria yang telah dibunuhnya. Ia mengajarkan kami untuk membenci pria pula,
terutama pria-pria mata keranjang dan pria yang suka mempermainkan wanita.
Engkau masih beruntung bertemu dengan aku. Kalau engkau bertemu dengan guruku
atau sumoi-ku, tentu kepalamu sudah dipenggal!”
Keng Han
bergidik. Nona ini saja sudah begitu kejam terhadap pria, apa lagi sumoi-nya
dan subo-nya itu. Hemmm, mengerikan!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Keng Han sudah terbangun dari tidurnya.
Ketika bangun, dia melihat Bi-kiam Niocu sudah berdiri di depan goa dan melihat
jauh ke depan, ke arah bawah karena goa itu terletak di lereng bukit. Tiba-tiba
ia membalik dan dengan kakinya ia memadamkan api unggun, bahkan
mencerai-beraikan kayu-kayu bakar sehingga tidak ada yang membara lagi dan
tidak mengeluarkan asap. Kemudian ia berkata kepada Keng Han, sikapnya seperti
orang ketakutan.
“Keng Han,
cepat kemasi barang-barangmu. Kita pergi dari sini!”
“Kenapa,
Subo?”
“Tidak usah
bertanya, cepat lakukan perintahku!” kata wanita itu bengis.
Keng Han
cepat mengemasi buntalannya. Tak lama kemudian keduanya telah menuruni bukit
itu. Ketika tiba di kaki bukit, tiba-tiba wanita itu menarik tangan Keng Han,
diajak bersembunyi di balik semak belukar.
Keng Han
menurut saja dan ikut mengintai dari balik semak. Dari jauh dia melihat ada
seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang sedang berjalan
terpincang-pincang menggunakan sebatang tongkat. Sungguh aneh sekali. Gurunya
yang sedemikian lihai nampak ketakutan bertemu dengan seorang tua yang timpang
kakinya! Akan tetapi dia tidak berani bertanya.
“Jangan
bergerak dan jangan bersuara,” bisikan halus itu terdengar dekat sekali dengan
telinganya. Dan Keng Han mencium bau harum rambut gurunya.
Keng Han
semakin heran dan mengintai terus. Setelah tiba tak jauh dari semak belukar
itu, si timpang itu lantas berhenti melangkah dan kepalanya dimiringkan
seolah-olah dia sedang menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mendengarkan
sesuatu. Keng Han tidak berani bergerak, bahkan menahan napas.
“Kalian tidak
lekas keluar menghadap aku, masih tunggu apa lagi?”
Keng Han
kaget setengah mati. Kiranya si timpang itu dapat pula mengetahui kehadiran
mereka di situ! Akan tetapi, ketika dia hendak bergerak, ada sebuah tangan
menahan pundaknya sehingga dia tetap tidak bergerak. Tetapi dia siap siaga
kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu.
Tiba-tiba
dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar
dan menjatuhkan diri berlutut di depan si kakek timpang.
“Pangcu,
mohon maaf sebesar-besarnya!” kata mereka sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Tidak perlu
cerewet. Cepat katakan apakah kalian sudah berhasil merampas kuda itu?”
“Ampunkan
kami, Pangcu. Penunggang kuda itu ternyata lihai sekali dan kami bahkan
menerima hajaran darinya. Kami tidak berhasil merampas kuda itu, bahkan nyaris
tewas kalau kami tidak melarikan diri.”
Kakek
timpang itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong marah. “Kalian
orang-orang yang tidak berguna! Cabut pedang kalian!”
Tiga orang
itu tidak berani membantah dan segera mencabut pedang masing-masing dari
punggung mereka.
“Cepat
buntungi telinga kiri kalian sebagai hukuman!”
Kini tiga
orang itu diam saja, agaknya merasa ngeri harus membuntungi daun telinganya
sendiri. Melihat ini, Keng Han yang masih mengintai merasa penasaran sekali.
Alangkah kejamnya pangcu itu!
Dia membuat
sedikit gerakan, akan tetapi tangan Niocu cepat menekannya agar dia tidak
bergerak. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?
“Kau tidak
cepat-cepat melaksanakan perintahku? Baik, akulah yang akan menghukum kalian!”
Gerakannya demikian cepat dan begitu dia menggerakkan tangan, tahu-tahu dia
telah merampas sebatang pedang dari tangan anggota yang terdekat dan nampak
sinar pedang berkelebat tiga kali.
“Sing-sing-sing...!
Crat-crat-crattt...!”
Nampak darah
muncrat dan tahu-tahu ketiga orang itu sudah kehilangan telinga kirinya! Kakek
timpang itu membuang pedang rampasannya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan
kecil.
“Pergunakan
bubuk obat ini supaya darahnya berhenti mengalir dan cepat sembuh. Hati-hati,
kalau lain kali kalian gagal melaksanakan perintahku, bukan hanya telingamu
yang kubuntungi, melainkan leher kalian! Hayo cepat pergi!”
Tiga orang
itu menghaturkan terima kasih. Setelah menerima obat itu, mereka lalu pergi
dengan cepat, menahan rasa nyeri pada telinga kiri yang daunnya telah buntung
itu.
Kini Keng
Han tak lagi dapat menahan kesabaran hatinya. Tanpa mempedulikan tangan gurunya
yang mencoba untuk menahannya, ia telah meloncat keluar menghadapi kakek itu
sambil membusungkan dadanya.
“Orang tua,
engkau sungguh kejam bukan main! Baru terhadap anak buah sendiri yang gagal
melaksanakan tugas, engkau bersikap begitu kejam membuntungi daun telinga kiri
mereka. Apa lagi terhadap orang lain!”
Kakek
timpang ini adalah Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa) Lo Cit,
seorang di antara para datuk persilatan yang terkenal kehebatan ilmu silatnya.
Dan kini, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti seorang tua menegur
seorang anak nakal saja!
Demikian
heran kakek itu sampai dia tidak mampu menbeluarkan kata-kata, hanya terus
memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya, setelah dia merasa yakin
bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis, “Bocah setan, apakah
engkau sudah bosan hidup?”
Bi-kiam
Niocu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jeri melihat
kakek timpang ini. Pada waktu tadi ia melihat seorang pria timpang berjalan
dengan tongkatnya, ia segera mengenal siapa dia dan ia merasa jeri. Lebih baik
tidak bertemu dengan datuk ini, pikirnya. Bagaimana ia tidak akan merasa jeri?
Gurunya sendiri, Ang Hwa Nio-nio, pernah bertanding melawan datuk timpang ini
dan berakhir seri, tidak ada yang menang!
Kini melihat
Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir
bukan main. Di luar kesadarannya sendiri Bi-kiam Niocu merasa amat sayang
kepada Keng Han dan khawatir kalau pemuda itu celaka. Maka ia melupakan rasa
takutnya sendiri dan meloncat pula keluar dari balik semak-semak. Ia cepat
memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata
dengan nada menghormat.
“Harap
Lo-pangcu sudi memberi maaf kepada muridku yang kurang sopan ini. Karena dia
tak mengenal Locianpwe, maka telah bersikap kurang hormat. Dengan memandang
mukaku, dan muka guruku, harap Lo-pangcu sudi memaafkan.”
Kakek itu
menoleh kepada Niocu dan memandang tajam penuh perhatian. “Hemmm, ini muridmu?
Dan siapa gurumu?”
“Guru saya
adalah Ang Hwa Nio-nio!”
Kakek itu
mengangguk-angguk dan kembali memandang kepada Keng Han. “Hemmm, jadi anak
setan ini adalah cucu murid Ang Hwa Nio-nio? Nenek gurunya saja tak mampu
mengalahkan aku, sekarang cucu muridnya malah berani menegur aku. Dia harus
dapat menahan sepuluh jurus pukulanku, baru aku dapat memaafkan dia!”
Bi-kiam
Niocu Siang Bi Kiok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa kakek itu lihai bukan
main. Bukan saja terkenal sebagai ahli pedang sehingga dia disebut Dewa Pedang
dan pedang itu disembunyikan dalam tongkatnya itu, akan tetapi juga dia ahli
menggunakan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Halilintar yang ampuhnya
menggila! Mana mungkin Keng Han dapat bertahan sampai sepuluh jurus? Lima jurus
saja sudah cukup untuk membunuh Keng Han. Ia sendiri belum tentu dapat bertahan
sampai sepuluh jurus.
“Saya hanya
bisa memohonkan ampun bagi nyawa murid saya. Harap Lo-pangcu tidak membunuhnya
karena kalau Pangcu melakukan itu, tentu akan membuat kami semua, juga guru
saya, merasa tidak enak sekali.”
“Ha-ha-ha,
jangan khawatir. Aku tidak perlu membunuhnya, cukup membuat tangan dan kakinya
lumpuh untuk selamanya agar dia tidak berani lagi bersikap kurang ajar!”
Sementara
itu, Keng Han sudah berkata, “Subo, jangan minta-minta seperti itu. Kakek ini
memang kejam bukan main.”
“Keng Han,
cepat minta ampun kepada Lo-pangcu!” kata Niocu.
“Tidak, dia
yang harus minta ampun kepada Tuhan atas dosanya! Aku akan menerima
tantangannya dan menghadapinya sampai sepuluh jurus. Harap Subo tidak khawatir.
Aku mampu menjaga diri!”
“Bagus,
bocah sombong. Nah, terimalah jurus pertama ini!” Kakek timpang itu berseru dan
tangan kirinya sudah menyambar dengan hebat sekali ke arah kepala Keng Han.
Memang bukan
main cepatnya serangan itu, sungguh cepat dan kuat sekali sehingga mendatangkan
angin pukulan yang amat dahsyat. Akan tetapi Keng Han telah bergerak cepat dan
berhasil mengelak dari jurus pertama itu. Dia mengelak dengan gerakan dari
Hong-in Bun-hoat.
Melihat
serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi penasaran sekali dan kini
dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar angin berdesir dan debu
mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi ke arah dada.
Keng Han
mengubah gerakan silatnya dan sekarang dia memakai ilmu silat Toat-beng
Bian-kun, ilmu silat yang dipelajarinya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini
bersifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali
sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air
saja. Kakek itu terkejut bukan main dan dia segera mengamuk, mengirim pukulan
beruntun dengan hebatnya.
Sementara
itu, Bi-kiam Niocu hanya menonton dengan hati tidak karuan rasanya. Dia yakin
bahwa muridnya yang tersayang itu akan terpukul mati atau setidaknya akan
lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun tangan membantu.
Akan tetapi segera ia memandang dengan terheran-heran. Muridnya itu bukan saja
mampu menghindarkan diri, bahkan berani menangkis pukulan datuk itu.
Karena
merasa penasaran bukan main, setelah lewat sembilan jurus dia belum mampu
mengalahkan bocah itu, Toat-beng Kiam-sian lalu merendahkan tubuh dan
menyalurkan tenaga sinkang ke dalam kedua tangannya, kemudian ia memukul ke
depan seperti mendorong. Inilah Pukulan Halilintar yang telah mengalahkan
banyak sekali ahli silat di dunia kang-ouw. Niocu memandang dengan muka pucat
sekali karena kali ini muridnya pasti celaka.
Melihat
pukulan yang luar biasa kuatnya itu, yang mendatangkan angin seolah timbul
badai, Keng Han juga merendahkan tubuhnya dan dia menyambut pukulan itu dengan
kedua tangannya pula. Diam-diam dia mengerahkan dua hawa sakti yang berlawanan
dalam tubuhnya dan dua macam tenaga sakti meluncur melalui kedua tangannya,
yang kanan mengandung hawa panas dan yang kiri mengandung hawa dingin!
“Wuuuuuttttt...
desssss...!!”
Dua tenaga
yang sangat hebat bertumbukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental
ke belakang sampai dia terhuyung beberapa langkah, sedangkan tubuh Keng Han
hanya bergoyang-goyang saja!
Niocu
terbelalak, hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Juga kakek
timpang itu terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu bukan
saja mampu menahan Pukulan Halilintarnya, bahkan dapat mengatasinya dan
membuatnya terhuyung! Dia lalu mengangkat tongkatnya yang menyembunyikan pedang
dan hendak menyerang lagi menggunakan pedangnya.
Akan tetapi
Niocu cepat meloncat ke depan dan berkata, “Lo-pangcu telah menyerang sebanyak
sepuluh jurus dan sudah mengalah, memberi pelajaran kepada murid saya. Saya
sebagai gurunya menghaturkan terima kasih atas kebaikan ini!”
Wajah
Toat-beng Kiam-sian berubah merah. Akan tetapi dia juga meragu dan agak jeri.
Kalau muridnya sudah demikian hebatnya, apa lagi gurunya! Agaknya murid Ang Hwa
Nio-nio ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Juga dia teringat akan
janjinya tadi bahwa dia akan mengampuni pemuda itu kalau mampu menahan sepuluh
jurus serangannya.
Maka sambil
mendengus marah dia membalikkan tubuhnya. Sekali melompat dia sudah hilang di
balik semak belukar. Gerakannya demikian cepat sehingga mengagumkan hati Keng
Han. Setelah bertemu dengan Niocu, baru dia tahu bahwa di dunia ini terdapat
banyak sekali orang yang amat lihai, akan tetapi juga amat kejam.
Niocu
menghampiri Keng Han dan meraba-raba pundaknya. “Engkau tidak apa-apa?”
“Tidak,
Subo. Kenapa Subo melerai? Biarlah dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya,
teecu tidak takut!” kata Keng Han penasaran.
“Sudahlah,
Keng Han. Engkau dapat keluar dengan selamat saja sudah merupakan keajaiban.
Keng Han, sebetulnya engkau mempunyai ilmu apakah? Bagaimana engkau dapat
menahan ilmu Pukulan Halilintar tadi?”
Keng Han
tersenyum. “Aku adalah murid Subo, kenapa Subo bertanya? Semua ilmuku tentu
kudapatkan dari guruku, bukan?” Dia mengejek.
Niocu
terbelalak, sedangkan wajahnya berubah merah. Memang selama ini dia belum
mengajarkan apa-apa, juga ilmu totok itu belum ia ajarkan.
“Marilah aku
mengajarkannya kepadamu. Akan tetapi engkau harus sungguh-sungguh melawanku,
seperti kau melawan kakek tadi!”
“Baik,
Subo,” kata Keng Han dengan girang.
Dia memang
ingin mempelajari ilmu totokan yang disebut Tok-ciang itu, meski bukan itu
benar yang membuat dia betah melakukan perjalanan bersama gurunya ini. Entah
bagaimana, dia pun suka sekali kepada Niocu dan tidak ingin berpisah darinya,
ingin agar di temani ke Tibet. Bukan hanya pribadi Niocu yang menyenangkan
hatinya, akan tetapi juga pengalamannya akan sangat berguna baginya dalam
perjalanan menemui Dalai Lama itu.
Keng Han
telah melepaskan bungkusan pakaian dari pundaknya, dan siap menghadapi serangan
gurunya. Niocu juga melepaskan buntalan pakaiannya dan pedangnya, lalu ia
memasang kuda-kuda.
“Lihat
seranganku!” katanya tiba-tiba.
Bi-kiam
Niocu pun menyerang dengan cepat. Serangannya cepat dan kuat dan ia telah
menggunakan Tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Keng
Han tidak berpura-pura lagi. Dia pun menyambutnya dengan Toat-beng Bian-kun.
Dan sekali
ini benar-benar Niocu dibuat terheran-heran. Ilmu silat muridnya itu demikian
aneh dan asing gerakannya, akan tetapi semua pukulannya meleset dan tidak
pernah mengenai sasaran.
Lalu dia
mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan menyerang dengan hebatnya, menggunakan
dua telapak tangannya. Keng Han menyambut dengan kedua tangannya pula.
“Wuuuttttt...
desss...!”
Dan tubuh
Niocu terjengkang seperti ditolak oleh tenaga yang sangat dahsyat dan ia merasa
betapa tangan kanannya bertemu hawa dingin sekali sedangkan tangan kirinya
bertemu hawa panas luar biasa.
“Ahhh...
Subo, engkau tidak terluka...?”
Keng Han
cepat menghampiri gurunya dan membungkuk, untuk membantunya berdiri. Akan
tetapi secepat kilat tangan Niocu sudah menotok pundaknya dan seketika Keng Han
tidak mampu menggerakkan kedua tanganya.
“Subo,
kenapa...?” tanyanya heran.
Niocu cepat
bangkit berdiri. Wajahnya agak pucat, akan tetapi pandang matanya penuh
keheranan. Dalam pertandingan ilmu silat tadi, jelas bahwa dia kalah kuat dan
bahwa muridnya ini memiliki ilmu silat yang hebat bukan main dan mempunyai
tenaga sinkang yang berlawanan, tangan kirinya dingin dan tangan kanannya
panas. Tapi, menghadapi ilmu totokannya, muridnya ini agaknya tidak berdaya.
“Keng Han,
apakah gurumu Gosang Lama itu adalah seorang anggota keluarga Pulau Es?”
tanyanya.
“Bukan,
Subo. Akan tetapi tolong bebaskan dulu totokan ini.”
Niocu
membebaskan totokannya dan Keng Han dapat bergerak kembali. “Diakah yang
mengajarkanmu menggunakan tenaga tadi? Dan ilmu silatmu itu, apakah dia pula
yang mengajarkannya?”
Terpaksa
Keng Han berterus terang. “Sesungguhnya bukan dia yang mengajarkannya, Subo,
melainkan aku belajar sendiri dari dalam sebuah goa di Pulau Hantu.”
“Pulau
Hantu...?”
Keng Han
lalu meceritakan tentang munculnya sebuah pulau baru di permukaan laut itu yang
oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Diceritakannya pula penemuannya di goa,
yaitu tulisan di dinding batu berikut gambar-gambar tentang ilmu silat yang
dipelajarinya.
Mendengar
ini Niocu kagum bukan main. “Tidak salah lagi! Pulau itu tentulah Pulau Es yang
dikabarkan sudah tenggelam di lautan itu dan engkau telah mewarisi peninggalan
Keluarga Pulau Es!”
“Akan tetapi
pulau itu tidak ada esnya sama sekali. Bukan Pulau Es, melainkan Pulau Hantu,
Niocu.”
Keng Han
kadang-kadang menyebut subo (ibu guru) kepada Bi-kiam Niocu, akan tetapi
kadang-kadang dia terlupa dan menyebut Niocu begitu saja. Akan tetapi agaknya
wanita itu tidak keberatan disebut Niocu.
“Sudahlah,
mungkin karena engkau tidak langsung dilatih orang namun hanya belajar sendiri,
maka gerakanmu masih kaku sehingga engkau mudah terserang ilmu totokku.
Sebetulnya engkau sudah mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu
silatku, Keng Han. Karena itu, tidak perlu lagi engkau mempelajari ilmu menotok
itu, hanya akan kuajarkan bagaimana cara untuk menghindarkan diri dari
totokanku.”
Demikianlah,
mulai saat itu, setiap kali berhenti mengaso, Niocu lalu mengajarkan cara
menghindari ilmu totokannya sehingga Keng Han sekarang selalu dapat mengelak
dan menangkis, tidak sampai tertotok. Ilmu totok itu memang memiliki gerakan
yang amat aneh maka kalau tidak mempelajarinya, tentu dia akan mudah tertotok
dan dibuat tidak berdaya.
Setelah
mempelajari rahasianya, Keng Han bahkan dapat menggunakan sinkang-nya untuk
menolak totokan-totokan itu. Tubuhnya kini menjadi kebal dari totokan itu
seperti dari totokan lain.
Suatu hari,
perjalanan kedua orang ini sudah sampai di daerah Propinsi Secuan sebelah
utara, yaitu di Pegunungan Beng-san. Selama berbulan-bulan melakukan perjalanan
bersama Keng Han, Bi-kiam Niocu nampak semakin akrab. Juga Keng Han merasa
betapa gurunya itu ternyata baik sekali kepadanya dan kini tidak lagi membentak
atau bersikap keras kepadanya.
Bahkan kalau
dia berburu binatang dan memasaknya, wanita itu membantu dan bahkan membuatkan
masakan-masakan yang lezat untuknya. Maka pemuda ini juga merasa senang sekali
dan hubungannya dengan gurunya menjadi semakin akrab. Juga dia pun sudah
mempelajari rahasia ilmu totok gurunya yang aneh sekali itu sehingga kini dia
dapat menghindarkan diri dari serangan totokan seperti itu.
Ketika
mereka sedang menuruni lereng sebuah bukit dari Pegunungan Beng-san, dari jauh
mereka melihat seorang wanita berjalan cepat sekali mendaki lereng itu.
Mendadak Bi-kiam Niocu mendorong punggung Keng Han sambil berkata, “Engkau
jalan duluan, cepat!”
Keng Han
tidak tahu persoalannya, akan tetapi dia tidak membantah dan berjalan cepat
meninggalkan gurunya. Tidak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang wanita
yang aneh. Wanita itu memakai sehelai sapu tangan sutera putih menutupi mukanya
dari hidung ke bawah. Akan tetapi bagian atas dari muka itu, dari hidung ke
atas yang nampak saja sudah membuat Keng Han terpesona!
Hidung
mancung lurus, sepasang mata yang bersinar-sinar seperti mata burung Hong dan
memiliki sinar lembut, dihiasi sepasang alis mata yang kecil melengkung hitam.
Anak rambut yang melingkar di dahi dan pelipis, rambut yang hitam panjang serta
disanggul dan diberi pita putih, semua itu sudah cukup membuat Keng Han
mengakui dalam hati bahwa dia belum pernah melihat yang seindah itu!
Tubuhnya
tertutup pakaian yang serba putih dari sutera halus, dan hanya sepatunya saja
yang hitam. Dari muka dan tangan yang nampak dapat diketahui bahwa gadis itu
memiliki kulit yang putih mulus kemerahan.
Ketika
berpapasan, Keng Han memandang dan wanita itu pun mengerling kepadanya.
Kerlingan yang hanya sebentar itu tidak akan pernah dilupakan Keng Han
selamanya, karena kerlingan itu demikian manisnya. Akan tetapi bukan wataknya
untuk menoleh dan memandangi orang secara kurang ajar, maka dia melangkah
terus, hanya sekarang langkahnya lambat sekali karena dia ingin tahu apa yang
akan terjadi kalau wanita itu berpapasan dengan Bi-kiam Niocu yang berjalan di
belakangnya.
Apa yang
diharapkan Keng Han tercapai. Dia mendengar percakapan mereka.
“Suci...!”
“Sumoi...!
Engkau dari manakah?”
“Aku baru
pulang mencari rumput merah atas perintah subo. Dan engkau sendiri hendak ke
mana, Suci?”
“Aku
mempunyai urusan di barat. Sampaikan saja hormatku kepada subo dan setelah
selesai urusanku di barat, tentu aku akan pulang.”
“Baik, akan
tetapi berhati-hatilah, Suci. Aku mendengar di daerah Tibet sedang terjadi
pergolakan. Ada bentrokan antara para pendeta Lama.”
“Aku akan
berhati-hati, Sumoi.”
Keng Han
yang mendengarkan merasa hatinya semakin tertarik. Jelas bahwa yang disebut
sumoi oleh gurunya itu adalah nona berpakaian serba putih yang mukanya ditutupi
sapu tangan putih itu. Suaranya! Belum pernah dia mendengar ada wanita bersuara
semerdu dan selembut itu! Hanya ibunya yang dapat bersuara seperti itu,
pikirnya.
Jadi nona
itu adalah sumoi dari gurunya. Kenapa pakaiannya serba putih dan mengapa pula
wajahnya bagian bawah ditutupi sutera putih? Wajah itu pasti cantik jelita luar
biasa. Melihat hidung ke atas saja dia sudah dapat membayangkan bahwa wanita
itu pasti cantik seperti bidadari!
Bulu matanya
lentik dan yang tidak akan pernah dapat dilupakan adalah sinar matanya ketika
mengerling kepadanya. Dia belum pernah melihat burung Hong, hanya melihat
gambarnya saja. Akan tetapi seperti itulah mata burung Hong. Cemerlang indah
penuh pesona dengan sinar yang tajam lembut.
Tidak lama
kemudian subo-nya sudah menyusulnya. Dia melihat wajah subo-nya diliputi
ketegangan.
“Subo,
mengapa Subo menyuruh saya berjalan lebih dulu? Ada urusan apakah?”
“Aku baru
saja bertemu dengan sumoi-ku!”
“Kenapa saya
disuruh pergi dulu, dan tidak diperkenalkan kepadanya? Bukankah ia bibi
guruku?”
“Tidak!
Celakalah jika ia mengetahui bahwa engkau adalah muridku. Kalau subo sampai
mengetahuinya, tentu aku disuruh membunuhmu sekarang juga!”
“Ehh,
mengapa begitu, Niocu?”
“Murid-murid
subo harus bersumpah dulu bahwa selama hidupnya tidak akan mencinta dan dicinta
seorang pria. Kalau hal itu terjadi, maka dia harus membunuh pria yang
mencintanya dan dicintanya itu.”
“Ahhh...!”
Keng Han
berseru kaget sekali, bukan hanya kaget mendengar sumpah yang aneh itu,
melainkan kaget sekali terutama karena tanpa langsung gurunya itu telah
menyatakan cinta kepadanya.
“Kalau kita
jalan bersama dan diketahui sumoi, dia tentu akan bertanya kepadaku siapa
engkau dan ada hubungan apa di antara kita, dan itu berarti bahaya maut bagiku
dan bagimu. Kalau subo mengetahui, bersembunyi di mana pun kita akan dapat
ditemukan dan dibunuh.”
“Akan tetapi
bibi guru tadi, mengapa ia menutupi mukanya dengan sapu tangan putih?”
“Itulah
usahanya agar wajahnya tidak dapat nampak oleh pria dan agar tidak ada pria
yang jatuh cinta kepadanya. Sudahlah, kita jangan lama-lama di sini. Daerah ini
masih merupakan wilayah kekuasaan subo.”
Keduanya
melanjutkan perjalanan secepatnya menuju ke barat. Akan tetapi sejak saat itu,
bayangan wanita pakaian putih yang tertutup sebelah bawah mukanya itu sering
kali muncul dalam pikiran Keng Han. Dia tidak dapat melupakan kerling itu!
Berkat
kepandaian mereka yang tinggi, Keng Han dan Bi-kiam Niocu sampai di wilayah
Tibet tanpa ada halangan apa pun. Dalam perjalanan itu, sering kali mereka
melihat serombongan kafilah yang juga menuju ke Tibet.
Rombongan
yang membawa kuda dan onta itu membawa pula pasukan pengawal yang kuat sehingga
mengherankan hati Keng Han dan Bi-kiam Niocu. Pada waktu mereka bertanya,
mereka mendapatkan keterangan bahwa perjalanan ke barat sekarang tidak aman
karena adanya perang saudara antara para pendeta Lama Jubah Kuning yang
memberontak terhadap golongan Lama Jubah Merah.
Sekarang di
wilayah itu sering kali terjadi pertempuran. Selain itu mereka juga mendapat
gangguan dari para pendeta Jubah Kuning yang tidak segan-segan merampok mereka
untuk merampas senjata serta harta benda karena mereka membutuhkan biaya untuk
pemberontakan mereka.
Mendengar
ini, Bi-kiam Niocu menerangkan. “Lama Jubah Merah adalah para pengikut Dalai
Lama. Dan mendengar ceritamu dulu bahwa mendiang gurumu adalah seorang pendeta
Lama Jubah Kuning, kurasa sangat boleh jadi dia masih sekawan dengan para
pemberontak itu. Sekarang tidak aneh lagi kalau sampai gurumu dibunuh oleh
Pendeta Lama Jubah Merah.”
“Aku tidak
peduli akan perang di antara mereka. Aku hanya ingin bertanya kepada Dalai Lama
mengapa dia menyuruh bunuh guruku!” jawab Keng Han bersikeras.
Bi-kiam
Niocu menarik napas panjang. “Wah, kita mencari penyakit.”
“Kenapa
kita, Subo? Akulah yang akan menemui Dalai Lama.”
“Dan aku
akan mengantarmu sampai dapat berjumpa dengan Dalai Lama, bukan? Jadi, kita
berdua yang mencari penyakit.”
“Aku tidak
takut!”
“Aku pun
tidak takut. Mari kita melanjutkan perjalanan secepatnya.”
Beberapa
hari kemudian, pada suatu pagi mereka melihat dua orang pendeta Lama Baju Merah
sedang bertanding melawan delapan orang pendeta Lama Jubah Kuning. Melihat
pertandingan yang tak seimbang ini, Keng Han segera mengajak gurunya untuk
membantu dua orang Lama Jubah Merah itu.
“Ehhh,
kenapa justru membantu mereka? Bukankah gurumu juga Lama Jubah Kuning dan
mungkin mereka itu teman-teman gurumu?”
“Subo, aku
tak peduli. Mereka berlaku curang mengandalkan banyak orang mengeroyok yang
sedikit. Pertama, aku selalu menentang pihak yang curang dan kedua, dengan
membantu Lama Jubah Merah itu siapa tahu aku dapat lebih mudah bertemu dengan
Dalai Lama!”
“Ahh, engkau
ternyata cerdik juga. Keng Han. Marilah kita bantu dua orang Lama Jubah Merah
itu!”
Delapan
orang pengeroyok itu semua mempergunakan tongkat pendeta yang panjang,
sedangkan dua Lama Jubah Merah menggunakan senjata kebutan. Melihat gerakan
mereka, andai kata mereka itu berkelahi dua lawan dua saja, tentu Lama Jubah
Kuning akan kalah. Tetapi menghadapi pengeroyokan delapan orang, kedua orang
Lama Jubah Merah itu menjadi kewalahan juga. Beberapa kali mereka telah
menerima gebukan dan kini hanya lebih banyak main mundur.
Pada saat
Keng Han dan Bi-kiam Niocu muncul dan membantu mereka, keadaannya langsung menjadi
berubah. Biar pun hanya menggunakan kaki tangan saja, namun guru dan murid ini
dapat membuat delapan orang pengeroyok itu menjadi kalang kabut.
Keng Han
telah merobohkan dua orang dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas
sekali, sedangkan dengan tendangannya, Bi-kiam Niocu juga telah berhasil
merobohkan dua orang pengeroyok. Melihat datangnya bala bantuan di pihak musuh
yang demikian kuatnya, delapan orang Lama Jubah Kuning itu segera melarikan
diri cerai berai.
Dua orang
Lama Jubah Merah yang sudah kelelahan itu tidak mengejar, dan mereka mengangkat
tangan memberi hormat kepada Keng Han dan Niocu.
“Ji-wi
(Kalian berdua) menjadi bintang penyelamat kami. Kalau tidak ada Jiwi, tentu
kami berdua sudah binasa di tangan para pemberontak itu,” kata seorang di
antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
“Ah, tidak
mengapa, Losuhu,” kata Bi-kiam Niocu. “Sudah menjadi kewajiban kami untuk
membantu yang tertindas, apa lagi kami sudah mendengar bahwa mereka itu adalah
kaum pemberontak. Dan sekarang, kami berbalik mengharapkan bantuan Ji-wi Losuhu
untuk membantu kami.”
“Tentu saja
kami berdua akan suka sekali membantu Ji-wi, akan tetapi bantuan apakah yang
dapat kami berikan untuk Ji-wi yang lihai?”
“Kami ingin
sekali menghadap dan bertemu dengan Dalai Lama di Lhasa.”
Dua orang
pendeta Lama Jubah Merah itu terkejut bukan main mendengar permintaan ini.
“Ahh, Nona dan Sicu, bagaimana mungkin itu dilaksanakan? Sang Dalai Lama tidak
dapat sembarangan saja dikunjungi orang, kecuali jika ada tujuan yang teramat
penting. Bahkan wakil dari Kaisar Ceng sekali pun, kalau menghadap cukup
diterima oleh wakil atau pembantu beliau. Kami tidak dapat membantu, harap Nona
berdua memaafkan kami.”
Bi-kiam
Niocu mengerutkan alisnya. “Hemmm, begini sajakah watak dua orang pendeta Lama
Jubah Merah? Pantas kalau begitu ada yang memberontak. Kami bermaksud baik,
akan tetapi kalian menolak mentah-mentah. Kalau kalian haturkan kepada Dalai
Lama bahwa yang minta menghadap adalah Bi-kiam Niocu, murid Ang Hwa Nio-nio,
apakah Dalai Lama berani memandang rendah? Dan kunjungan ini amat penting,
untuk membicarakan tentang seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama
Gosang Lama.”
Kembali dua
orang Lama Jubah Merah itu menjadi terkejut. Agaknya nama Bi-kiam Niocu, dan
terutama nama Ang Hwa Nio-nio, sudah mereka kenal dan tentu saja nama Gosang
Lama juga amat terkenal, bahkan sebenarnya dialah yang menjadi biang keladi
pemberontakan Lama Jubah Kuning!
“Ah, kiranya
Nona adalah murid Ang Hwa Nio-nio? Kalau begitu baiklah, mari ikut kami ke
Lhasa, akan kami usahakan untuk dapat diterima oleh Sang Dalai Lama. Akan
tetapi kalau gagal harap Ji-wi jangan menyesal dan menyalahkan kami, karena
untuk dapat menghadap dan berwawancara dengan Sang Dalai Lama bukan perkara
yang mudah.”
Bukan main
girangnya hati Keng Han. Untung ada Niocu, kalau tidak ada wanita itu, agaknya
tak mungkin kedua orang pendeta Lama itu mau membawa mereka ke Lhasa.
Ibu kota
Lhasa amat besar dan terutama sekali bangunan kuno yang megah di bukit itu
nampak sangat megah dan hebat. Keng Han yang sejak kecil berada di daerah
Khitan yang amat sederhana, kemudian berada di Pulau Es sampai lima tahun
lamanya, belum pernah selama hidupnya menyaksikan kemegahan dan keindahan
seperti itu.
Dia merasa
takjub dan merasa dirinya kecil. Apa lagi melihat penjagaan di depan tempat
tinggal Dalai Lama. Dia bergidik. Tidak mungkin dia dapat memasuki tempat itu
dengan kekerasan. Beratus-ratus pendeta Lama yang nampaknya berkepandaian
menjaga di situ, dengan tongkat atau pun kebutan di tangan. Untuk dapat
memasuki istana Dalai Lama dia harus mengalahkan ratusan orang pendeta Lama!
Dua orang
pendeta Lama itu menemui pendeta penghubung dan menceritakan betapa mereka
berdua nyaris tewas di tangan para Lama Jubah Kuning yang memberontak namun
diselamatkan oleh dua orang muda itu. Kemudian mereka minta kepada pendeta
penghubung untuk mengajukan permohonan kepada Dalai Lama agar kedua orang itu,
seorang di antaranya adalah Bi-kiam Niocu murid dari Ang Hwa Nio-nio,
diperkenankan menghadap karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan.
Keng Han dan
Bi-kiam Niocu memperkenalkan nama mereka masing-masing kepada para pendeta
penghubung. Pendeta-pendeta penghubung itu lalu melaporkan ke dalam. Tidak lama
kemudian mereka keluar lagi dan berkata dengan suara lantang dan jelas.
“Tuan muda
Si Keng Han dan Nona Siang Bi Kiok dipersilakan masuk menghadap Yang Mulia
Dalai Lama!”
Mereka
diantar atau dikawal oleh dua orang pendeta Lama. Ketika memasuki bangunan itu,
Keng Han mengamati semua bagian dalam ruangan-ruangan yang luas dan terukir
indah itu dengan penuh kagum sehingga Bi-kiam Niocu merasa geli melihat tingkah
laku Keng Han seperti seorang dusun yang memasuki sebuah istana.
Akan tetapi
yang menyolok sekali, kalau di bagian luar dijaga ketat sekali, di sebelah
dalam bahkan amat sunyi, tidak nampak penjaga atau pengawal. Bahkan ketika
mereka memasuki ruangan di mana Dalai Lama duduk, di situ tak nampak penjaga
sama sekali, hanya ada dua orang pendeta cilik yang agaknya menjadi pelayan
Sang Dalai Lama!
“Si Keng Han
kongcu bersama Siang Bi Kiok siocia telah datang menghadap!” Pendeta pengantar
itu melaporkan.
Sang Dalai
Lama lalu memberi isyarat agar mereka berdua mundur, bahkan kemudian memberi
isyarat pula kepada dua orang pendeta cilik untuk mengambilkan minuman.
Si Keng Han
merasa dirinya kecil ketika berhadapan dengan pendeta yang sederhana itu.
Pendeta Lama itu duduk di atas pembaringan yang bentuknya seperti teratai dari
perak, dengan jubah warna kuning kemerahan yang amat sederhana. Kepalanya
gundul kelimis. Sepasang matanya yang penuh wibawa itu memandang dengan sinar
lembut, mulutnya tersenyum ramah.
Bersama
Bi-kiam Niocu, Keng Han lalu memberi hormat, mengangkat kedua tangan di depan
dada dan membungkuk.
“Kongcu dan
Siocia silakan duduk!” kata Dalai Lama dengan ramah.
Kemudian dua
orang pendeta cilik itu menyuguhkan secangkir air teh harum. Setelah
menyuguhkan air teh, mereka pun mengundurkan diri sehingga yang berada di
ruangan itu tinggal mereka berdua bersama Sang Dalai Lama.
Kalau Keng
Han hendak membalaskan kematian gurunya, alangkah mudahnya dan ini merupakan
kesempatan yang baik. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Kwi Hong dan juga
Bi-kiam Niocu, bahwa Dalai Lama adalah seorang pendeta yang mempunyai ilmu
kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi di luar. Andai kata dia mampu membunuh
Dalai Lama, dia pun tidak akan dapat meloloskan diri dari tempat yang terjaga
oleh ratusan orang pendeta Lama itu.
“Terima
kasih, Losuhu,” kata Bi-kiam Niocu dan Keng Han juga mencontoh wanita itu
mengucapkan terima kasih, kemudian mereka duduk berhadapan dengan pendeta itu.
Wibawa yang
teramat kuat menyinar dari pendeta itu. Pandang matanya yang lembut, mulutnya
yang penuh senyum, kesabaran yang terbayang di seluruh wajahnya, semua itu
membuat Keng Han merasa semakin tidak enak hatinya. Dia seolah merasa berdosa
mendendam kepada seorang pendeta seperti ini.
“Nah,
orang-orang muda yang baik, kini ceritakan apa maksud kalian menemui pinceng
(saya),” kata Dalai Lama dengan suara ramah.
“Saya hanya
mengantar sobat ini menghadap, Losuhu. Saya sendiri tidak mempunyai urusan apa
pun,” jawab Niocu yang agaknya juga merasa tak enak berhadapan dengan pendeta
itu.
Dalai Lama
memandang kepada Keng Han sejenak, kemudian bertanya, “Orang muda, ada
keperluan apakah yang membawamu jauh-jauh datang ke tempat ini dan bertemu
dengan pinceng? Katakanlah sejujurnya, pinceng siap mendengarkan.”
Keng Han
menelan ludah sendiri sebelum dia menjawab dan suaranya terdengar agak gemetar,
“Losuhu, saya datang ini untuk menghadap Losuhu dan bertanya mengapa Losuhu
mengutus tiga orang pendeta Lama Jubah Merah untuk membunuh suhu-ku?”
“Omitohud...!
Siapakah suhu-mu itu, Kongcu?”
“Suhu
bernama Gosang Lama, seorang pendeta Lama Jubah Kuning. Suhu telah hidup
tenteram di daerah utara, kenapa suhu dicari dan kemudian dibunuh dengan
kejamnya? Saya menuntut keadilan, Losuhu.”
“Omitohud...!
Gosang Lama itu suhu-mu? Ahhh, engkau tentu tidak tahu siapa Gosang Lama yang
kau angkat menjadi guru itu, Kongcu. Dia tidak dibunuh, namun menerima hukuman
dari semua kejahatannya.”
“Dihukum?
Jahat? Akan tetapi suhu tidak melakukan sesuatu yang jahat!”
“Mungkin
tidak selama menjadi gurumu. Akan tetapi sebelum itu, apakah engkau tahu apa
saja yang telah dilakukan Gosang Lama?”
Keng Han
menggelengkan kepalanya dan tidak dapat menjawab.
“Orang muda,
berhati-hatilah dengan akal pikiran dan hatimu sendiri, terutama sekali
waspadalah terhadap rasa dendam. Dendam itu merupakan racun yang akan meracuni
dan merusak hati sendiri, menimbulkan perbuatan yang kejam dan tanpa
perhitungan lagi. Dendam bagaikan api yang membakar hati dan mendatangkan
kebencian yang mendalam. Akan tetapi ketahuilah, segala sesuatu yang telah
terjadi itu ada kaitannya dengan karma, ada kaitannya dengan perbuatannya
sendiri. Perbuatannya sendiri itulah yang akan menimbulkan akibat yang menimpa
diri sendiri. Engkau mendendam karena kematian gurumu, akan tetapi tidak tahu
mengapa gurumu dihukum mati. Kalau engkau menuruti nafsu dendam itu, bukankah
berarti engkau bertindak semau sendiri tanpa pertimbangan lagi? Dan mungkin
karena dendam itu engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada orang-orang
yang tidak bersalah. Jangan mencari sebab dan kesalahan keluar, orang muda,
melainkan carilah di dalam diri sendiri, karena sebab dan kesalahan itu berada
di dalam dirinya sendiri.”
Keng Han
tertegun. Dia merasa betapa tepat dan benarnya ucapan itu. Dia mendendam atas
kematian gurunya. Akan tetapi dia tidak tahu kenapa gurunya dibunuh. Bagaimana
kalau gurunya yang bersalah? Bukankah berarti dia membela orang yang bersalah?
“Losuhu,
mohon Losuhu ceritakan apa saja yang sudah diperbuat oleh suhu Gosang Lama
sehingga dia harus dihukum mati.”
“Gosang Lama
sudah melakukan pelanggaran-pelanggaran pada waktu mudanya. Dia melakukan
perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik
penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama
Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua
orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri
dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas-petugas dapat menemukan dia dan
melaksanakan hukuman mati itu. Nah, apakah kini engkau masih juga hendak
membela kematian orang yang telah melakukan demikian banyak dosa, orang muda
yang baik?”
Keng Han
tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya
dan menjawab, “Losuhu, bagaimana pun juga suhu Gosang Lama tidak pernah
melakukan pembunuhan...”
“Omitohud!
Apakah pinceng harus menceritakan semua? Dia telah membunuh banyak orang,
bahkan tiga orang utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, telah
dibunuhnya. Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak
laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim
piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan
tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah
anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya.
Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?”
Keng Han
merasa terpukul sekali. “Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?”
“Benar
sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?”
“Tidak, akan
tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu.”
“Hemmm, dan
engkau tidak merasa heran apa bila ada seorang pendeta Lama dapat mempunyai
anak?”
Keng Han
kembali merasa terpukul dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet.
Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini ia
hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia
lakukan?
“Akan tetapi
saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid adalah untuk
berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu
binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti
saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!”
“Omitohud!
Orang yang bijaksana selalu meneliti perbuatannya sendiri, selalu mencari kekurangan
dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus
diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan
tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh
melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang sudah menyuruh menghukum Gosang
Lama, maka pinceng memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang pinceng. Engkau
boleh menyerang sesukamu dan pinceng tidak akan membalas.”
Setelah
berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan tetap
duduk bersila, lalu melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua
tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah.
“Nah, engkau
boleh menyerang pinceng sesukamu, orang muda.”
Keng Han
merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Jika dia dapat membunuh Dalai Lama,
tentulah roh suhu-nya akan tenang. Akan tetapi dia lalu teringat akan penjagaan
ketat di tempat itu. Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan
tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu.
“Losuhu,
kalau saya menyerang Losuhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya
akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini.”
“Ha-ha-ha,
jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu
membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat
pergi dengan aman.”
Keng Han
masih ragu-ragu dan menoleh kepada Bi-kiam Niocu, bertanya, “Bagaimana, Niocu?
Apa yang harus kulakukan?”
Bi-kiam
Niocu tersenyum dan berkata, “Losuhu Dalai Lama sudah mengijinkan engkau untuk
menyerangnya. Nah, untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak
kau lakukan itu?”
“Baik!”
Akhirnya Keng Han mengambil keputusan. “Akan tetapi kalau saya menyerang Losuhu,
hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!”
“Tentu saja,
dan semenjak tadi pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh
mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu.” Dalai Lama masih tetap duduk bersila
dengan senyumnya yang lembut.
Keng Han
lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke
kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke
lengan kiri, kemudian dia berseru, “Maafkan saya, Losuhu!”
Keng Han pun
memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh tenaganya
karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti. Dua
macam hawa yang berlawanan menyambar ke arah Dalai Lama.
Kakek ini
dengan tenang mengangkat kedua tangan pula untuk menyambut dan ketika
tangan-tangan itu bertemu, Keng Han merasa betapa kedua tangannya bertemu
dengan benda yang lunak dan halus, yang seolah menyerap semua tenaga yang
keluar dari lengannya. Kemudian, sebuah tenaga yang sangat hebat mendorongnya
sehingga dia terhuyung ke belakang, membuat napasnya terengah akan tetapi dia
tidak terluka.
Dalai Lama
masih duduk seperti tadi dan sinar mata yang lembut itu memandang penuh
keheranan. “Orang muda, engkau bilang bahwa engkau muridnya Gosang Lama, akan
tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari
Pulau Es?”
Keng Han
terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua
macam ilmu rahasia yang dipelajarinya di Pulau Hantu!
“Bukan suhu
Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu.”
“Kalau
begitu engkau murid Pulau Es?”
“Juga bukan.
Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu.”
“Hemmm,
suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagaimana,
apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?”
“Tidak,
Losuhu. Mataku kini sudah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali.
Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang
melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang
suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya.”
“Orang yang
dapat melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng
gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu.”
Keng Han dan
Niocu segera berpamit kepada Dalai Lama. Pendeta itu mengucapkan selamat jalan,
kemudian mereka keluar bersama dua orang pendeta pengantar. Setelah
meninggalkan Lhasa, Keng Han merasa girang dan hatinya terasa ringan sekali,
tak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya.
“Ternyata engkau
benar, Niocu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali.
Betapa pun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Kini
tugas itu hanya tinggal satu lagi, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang
menjadi musuh besar suhu.”
Bi-kiam
Niocu tersenyum lebar. “Sama saja, Keng Han. Engkau pun akan kecelik besar
sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana
semuanya adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela kebenaran dan
keadilan. Jika suhu-mu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan
bahwa semua kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu.”
“Bagaimana
pun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Niocu. Kalau ternyata suhu
memang benar telah melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai, biarlah aku yang
akan memintakan maaf dari mereka.”
“Engkau
keras kepala!” Niocu berkata sambil tersenyum.
Perjalanan
meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkat,
Niocu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal
subo-nya itu.
Pada suatu
pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana
munculnya, seorang wanita sudah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya
sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan
tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda.
Wajahnya
yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan.
Matanya tajam sekali dan ketika itu, dia berdiri seperti patung memandang
bergantian kepada Keng Han dan Niocu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan
sedangkan di punggungnya nampak sebatang pedang.
Begitu
melihat wanita ini mendadak muncul di depanya, Bi-kiam Niocu menjadi terkejut
setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia cepat-cepat menjatuhkan
diri berlutut di depan wanita itu.
“Subo...!”
katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar.
Tahulah Keng
Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Niocu yang pernah disebut oleh Niocu
dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu.
Wanita itu
memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia adalah seorang pendeta wanita yang
mengasingkan diri di Pegunungan Beng-san itu, seorang Tokouw (Pendeta To)
berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang
masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah.
Ang Hwa
Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita. Yang pertama adalah Siang Bi Kiok
yang berjuluk Bi-kiam Niocu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah
dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Niocu, yaitu gadis yang berpakaian
putih dan wajah bagian bawahnya tertutup sapu tangan putih pula.
Kini,
melihat Bi-kiam Niocu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang
Hwa Nio-nio marah bukan main. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara, hanya
sepasang matanya saja yang terus memandang kepada murid pertamanya itu seperti
api yang membakar.
Ang Hwa
Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri
kaum pria. Dia malah membuat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali
bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria
itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya
dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali.
Inilah sebabnya mengapa dalam pertemuan pertama, Bi-kiam Niocu juga hendak
membunuh Keng Han.
“Siang Bi
Kiok, apa yang sedang kau lakukan ini?” Akhirnya Ang Hwa Nio-nio menegur
muridnya.
Dengan gugup
Bi-kiam Niocu menjawab, “Apa...apa yang Subo maksudkan?”
“Hemmm,
engkau melakukan perjalanan dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura
bertanya apa yang aku maksudkan?” kata wanita itu bengis.
“Ahhh,
itukah, Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena
sejalan, maka kami pun berjalan bersama. Tidak ada apa-apa di antara dia dan
teecu...” Bi-kiam Niocu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar.
“Bagus!
Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke
Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan
bertemu?”
Bukan main
kagetnya hati Bi-kiam Niocu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana
wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh salah satu
orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Niocu apakah benar murid
Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama!
“Ampun,
Subo. Kami... kami sungguh tidak ada hubungan apa pun, hanya melakukan
perjalanan bersama saja.”
“Diam! Jika
engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini,
dan engkau juga!”
Setelah
berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia
telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya
wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga
seolah-olah ia dapat menghilang!
Wajah
Bi-kiam Niocu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tanpa
bergerak.
Keng Han
lalu berkata, “Sudahlah, Niocu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan
bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku.”
Setelah
berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuhnya. Ia kemudian melanjutkan
perjalanannya, meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi
belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Niocu
sudah berdiri di depannya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar
aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya.
“Berhenti!”
bentaknya. “Si Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus
membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri yang akan dibunuh oleh guruku!”
Keng Han
memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan
akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya.
“Akan
tetapi, mengapa, Niocu? Mengapa engkau hendak membunuhku?” Dia menuntut.
“Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat
jahat kepadamu, Niocu.”
Pedang di
tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah. “Keng Han, kita harus
melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya
jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apa pun yang mampu menghalangi kita
hidup bersama.”
Keng Han
semakin kaget mendengar ucapan itu. “Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku...
aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan
engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta
padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Niocu tidak bisa kita menikah.”
Sepasang
mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali. “Apa?!
Engkau tidak mencinta padaku? Subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka
aku harus membunuhmu. Jadi selama ini aku salah sangka, ternyata engkau tidak
cinta padaku?”
Keng Han
menggeleng kepalanya. “Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau
antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh. Tidak,
Niocu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu.”
“Bagus!
Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau!”
Dan wanita
itu segera menyerang Keng Han, membabi buta mengayunkan pedangnya bagaikan
kilat menyambar-nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk
membunuh.
Keng Han
cepat mengelak sambil mundur. “Niocu, ingat, kita bukan musuh!” Beberapa kali
Keng Han memperingatkan.
Akan tetapi
Bi-kiam Niocu yang sudah marah sekali itu tidak peduli dan hanya berteriak,
“Mampuslah!”
Pedangnya
menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Oleh karena dia
tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia
mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak
melawan dia tentu akan terancam bahaya maut.
Ilmu silat
Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dapat dimainkan dengan tangan
kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan jurus Hong-in
Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Niocu segera terdesak hebat. Bantuan
tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tiada artinya lagi bagi Keng Han
yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong
sehingga serangkum hawa yang sangat dingin dari Swat-im Sinkang menyambar dan
membuat Bi-kiam Niocu terhuyung dan menggigil.
Baru lewat
tiga puluh jurus saja Bi-kiam Niocu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama
sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka
dia hanya mendesak saja.
Pada saat
itu nampak bayangan putih datang berkelebat amat cepatnya dan sinar putih
panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa
Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pendeknya,
akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih
yang panjang dan juga tubuhnya terlibat sehingga tahu-tahu dia telah dibuat tak
berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru datang.
Melihat
keadaan Keng Han, Bi-kiam Niocu, berseru, “Mampuslah engkau sekarang!”
Dengan cepat
ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang
sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu bersama tubuhnya.
Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan
mata terbuka.
“Singgg...
tranggggg...!”
Bunga-bunga
api berpecikan dan menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis
pedang yang ditusukkan Bi-kiam Niocu kepadanya itu. Dan ketika Keng Han
menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok
putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang
melibat tubuhnya!
“Sumoi,
mengapa kau menangkis?”
“Suci,
engkau tidak berhak membunuhnya!” kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu
dalam pendengaran Keng Han.
“Subo sudah
menyuruh aku membunuhnya, Sumoi!” bantah Bi-kiam Niocu.
“Subo
mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki
yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah
mendengar bahwa dia tidak mencintamu. Aku sudah mendengar semua percakapan
kalian. Apakah engkau ingin aku melaporkan pada subo betapa engkau membujuknya
untuk minggat dan menikah denganmu?”
“Sumoi...!
Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang...”
“Tadi aku
membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan kini aku
melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya.
Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang
memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak mencintamu dan bahwa
engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia dan tidak mempunyai hubungan apa
pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu.”
Dengan
uring-uringan Bi-kiam Niocu diam saja. Gadis berpakaian putih itu lalu menarik
kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han.
Pemuda itu
sudah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan
Bi-kiam Niocu kepadanya, dia lalu memberi hormat kepada wanita itu sambil
berkata, “Niocu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan
Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku!” katanya pula
kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat.
Karena kedua
orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak
menengok kembali….
Bukit
Menjangan berada di Pegunungan Cin-ling-san. Disebut demikian karena di bukit
itu memang banyak terdapat binatang kijang dan menjangan. Tadinya banyak
pemburu yang mencari binatang itu di Bukit Menjangan sehingga jumlah binatang
itu makin lama semakin berkurang.
Akan tetapi,
pada suatu hari datanglah seorang datuk yang memilih tempat itu sebagai tempat
tinggalnya. Semenjak dia tinggal di situ, tidak ada lagi pemburu berani naik ke
Bukit Menjangan. Tadinya memang ada yang naik, akan tetapi setiap kali ada
pemburu berani naik ke bukit itu, dia pasti turun lagi dengan digotong karena
terluka parah.
Karena
penyerangnya tidak nampak, hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat, dan
pemburu yang terluka itu menggigil kedinginan, maka segera tersiar berita bahwa
penyerangnya tentu siluman dan sejak itu tidak ada lagi yang berani berburu
binatang di Bukit Menjangan. Pegunungan Cin-ling-san sangat luasnya dan
terdapat puluhan bukit sehingga mereka mengalihkan ladang perburuan mereka ke
bukit-bukit lainnya.
Sebetulnya
siapakah datuk yang kini bertempat tinggal di Bukit Menjangan itu? Kalau saja
ada yang berani dan mampu naik menyelidiki, dia akan melihat sebuah pondok
bambu berada di puncak bukit, dan yang tinggal di situ adalah seorang laki-laki
raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan usianya sudah tujuh puluh lima
tahun lebih. Dia bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi yang dahulu pernah menyerang
Keng Han pada saat pemuda itu pertama kali datang ke Pulau Hantu.
Sebagai
seorang datuk besar, Swat-hai Lo-kwi juga tertarik dengan munculnya Pulau
Hantu. Ia telah melakukan penyelidikan ke sana dan telah berkelahi melawan tiga
puluh orang pimpinan Harimau Hitam yang kemudian dibunuhnya satu demi satu.
Bahkan dia pun sudah melukai Keng Han dengan pukulannya yang mengandung racun
berhawa dingin.
Akan tetapi
kemudian dia merasa jeri menyaksikan betapa pulau itu dihuni oleh ular-ular
merah yang amat berbahaya. Dan melihat pulau itu kosong tidak ada apa-apanya
yang berharga, dia lalu pergi meninggalkan Pulau Hantu. Karena tertarik oleh
pemandangan di Bukit Menjangan, akhirnya dia memilih tempat itu sebagai tempat
tinggalnya.
Sejak dia
tinggal di situ, dia tidak memperkenankan siapa pun juga naik ke bukit. Yang
berani naik tentu dipukulnya dengan pukulannya yang membuat orang lantas
menggigil kedinginan sehingga akhirnya tidak ada yang berani mengunjungi tempat
itu dan dia tidak lagi merasa terganggu.
Swat-hai Lo-kwi
mencari tempat pengasingan yang tidak terganggu orang lain bukan karena ingin
bertapa, melainkan karena dia sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat
yang amat hebat dan dia tidak ingin ada orang lain melihatnya.
Swat-hai
Lo-kwi memang memiliki sinkang yang berhawa dingin sekali. Kini dia melatih
diri untuk menyempurnakan sinkang-nya itu sehingga kalau dia menyerang orang,
dia dapat membuat lawannya itu menjadi beku darahnya dan tewas seketika! Kurang
lebih setahun lamanya dia melatih ilmu itu dan kini dia telah berhasil. Yang
menjadi kelinci percobaan ilmunya itu adalah binatang-binatang kijang dan
menjangan yang berada di bukit itu.
Kini, dari
jarak kurang lebih sepuluh meter, dia mampu memukul binatang-binatang itu
dengan pukulan jarak jauhnya sehingga membuat binatang itu roboh dan tewas
dalam keadaan darahnya beku! Bukan main hebatnya ilmu ini dan Swat-hai Lo-kwi
merasa dirinya yang paling jagoan di antara para ahli silat mana pun.
Pada suatu
pagi yang amat dingin, Swat-hai Lo-kwi sedang menghangatkan diri dengan membuat
api unggun dan memanggang daging kijang untuk sarapan pagi. Mendadak ia menjadi
waspada dan matanya mengerling ke kiri karena dari arah itu ia mendengar suara
langkah orang.
Langkah itu
demikian ringan sehingga dia merasa heran sekali. Orang yang datang ini pasti
seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan
masih saja memanggang paha kijang itu dengan tekun sambil menghangatkan tubuh
dari serangan hawa dingin pagi itu.
“Ha-ha-ha,
sudah kuduga bahwa tentu engkau Iblis Lautan Es yang berada di tempat ini
karena orang-orang yang terpukul itu mati kedinginan!” Tiba-tiba terdengar
suara.
Ketika
Swat-hai Lo-kwi menoleh, ia melihat seorang kakek tinggi kurus yang memegang
sebatang dayung baja berdiri di situ sambil bertolak pinggang dengan tangan
kirinya dan bersandar pada dayungnya. Melihat kakek yang datang itu, Swat-hai
Lo-kwi juga tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha,
kiranya Setan Lautan Timur yang datang berkunjung. Setan tua, mau apa engkau
mengganggu ketenteraman hidupku di tempat ini?” Kata-katanya yang terakhir itu
mengandung tantangan.
“Wah, sejak
kapan Swat-hai Lo-kwi menerima kedatangan seorang sahabat seperti ini? Aku,
Tung-hai Lo-mo (Setan Tua Lautan Timur) tidak pernah datang ke suatu tempat
tanpa urusan penting. Aku sengaja mengunjungimu untuk urusan penting sekali,
penting bagi kita berdua.”
“Nanti dulu,
aku kini tak mau sembarangan bicara dengan orang yang belum kuketahui sampai di
mana tingkat kepandaiannya. Marilah kita main-main sebentar, hendak kulihat
apakah selama ini engkau maju atau bahkan mundur dalam ilmumu, Lo-mo!” tantang
Swat-hai Lo-kwi sambil bangkit berdiri.
“Bagus,
bagus! Engkau masih saja belum berubah, Lo-kwi. Engkau selalu tinggi hati dan
menganggap diri sendiri terpandai. Baiklah, majulah dan coba rasakan hebatnya
dayung bajaku!”
“Awas
seranganku!” Lo-kwi berseru dan dia sudah menyerang dengan tangan kirinya.
Serangkum
hawa yang sangat dingin menyambar. Akan tetapi Lo-mo adalah datuk dari timur
yang kepandaiannya juga sangat tinggi. Dia menghindar dan dayungnya meluncur
menyapu ke arah pinggang Lo-kwi.
Lo-kwi
menggunakan tangannya menangkis, lalu menyerang lagi lebih hebat dari pada
tadi. Akan tetapi, Lo-mo juga dapat menangkis serangannya dan tidak terpengaruh
oleh hawa dingin yang menyambar itu. Keduanya sudah bertanding dengan seru
sekali dan sebentar saja lima puluh jurus telah lewat.
Merasa
betapa lawannya benar-benar tangguh, Lo-kwi lalu menyerang dengan pukulan jarak
jauhnya, yang selama setahun ini dilatihnya di bukit itu.
“Hyaaaaattt...
ahhhhh!”
Dia berseru
dengan suara melengking dan dari kedua telapak tangannya nampak sinar putih
kebiruan menyambar ke arah lawan.
Tung-hai
Lo-mo agaknya maklum akan hebatnya serangan jarak jauh ini. Dia pun cepat
menancapkan tongkatnya di atas tanah, lalu dia pun mengerahkan tenaga
sinkang-nya dan dalam keadaan setengah berjongkok dia menyambut pukulan jarak
jauh itu.
“Wuuuttttt...
desss...!”
Keduanya
terdorong ke belakang dan Tung-hai Lomo agak menggigil kedinginan, akan tetapi
dia segera dapat mengusir hawa itu dengan pengerahan sinkang-nya.
“Hebat!
Pukulanmu tadi hebat sekali. Orang lain mana akan mampu menahannya? Aku kagum
sekali padamu, Lo-kwi!” kata Lo-mo yang merasa kalah kuat dalam adu tenaga ini.
Lo-kwi juga
tertawa. “Ha-ha-ha, engkau juga telah memperoleh kemajuan pesat, Lo-mo. Nah,
engkau memang pantas berunding denganku, lekaslah katakan apa yang menjadi
keperluanmu datang berkunjung ini.”
“Ha-ha-ha-ha,
bicara sih mudah, akan tetapi perut lapar ini perlu diisi. Kulihat panggang
daging kijang itu sudah matang.”
Mereka
kemudian makan daging panggang di dekat api unggun tanpa bicara apa-apa. Lo-mo
mengeluarkan sebuah guci arak dan menenggaknya, lalu menyerahkan kepada Lo-kwi.
“Ini arak
pilihan dari Hang-ciu. Engkau pantas minum bersamaku, Lo-kwi!” katanya.
Swat-hai
Lo-kwi tanpa sungkan-sungkan lagi menerima guci itu lalu menuangkan isinya ke
dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelegak. Setelah itu barulah keduanya
bicara.
“Nah,
sekarang bicaralah!” kata Swat-hai Lo-kwi.
“Begini,
Lo-kwi. Orang dengan kepandaian seperti kita ini, apakah cukup harus begini
saja? Tinggal di tempat sunyi dan tidak dipandang orang? Padahal, orang-orang
macam kita ini sudah sepatutnya kalau memegang kedudukan tinggi, dihormati dan
dipandang orang, hidup penuh kemuliaan dan kemewahan.”
Swat-hai
Lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada Tung-hai Lo-mo dengan alis
berkerut. “Lo-mo, kalau engkau mengharapkan agar aku suka menghambakan diri
kepada penjajah Mancu untuk memperoleh kedudukan tinggi, engkau mimpi!”
“Siapa yang
hendak mengabdikan diri kepada bangsa Mancu? Aku pun tidak sudi. Akan tetapi
persoalannya lain sama sekali. Kita bahkan membantu untuk menjatuhkan Kaisar
Mancu yang sekarang ini.”
Mendengar
ucapan itu, Lo-kwi mulai tertarik. “Aku pun tidak mau membantu dan juga tak
sudi menjadi antek perkumpulan-perkumpulan pemberontak semacam Pek-lian-pai,
Pat-kwa-pai, Thian-li-pang dan sebagainya.”
“Ahh, tidak
sama sekali. Dengar dulu baik-baik, Lo-kwi. Di kota raja terdapat dua orang
pangeran yang pernah dihukum buang oleh kaisar karena mereka hendak membunuh
pangeran mahkota. Sekarang dua orang pangeran itu telah bebas dan kembali ke
kota raja. Nah, mereka berdua itulah yang menghubungi aku dan minta agar aku
juga minta bantuanmu. Merekalah yang ingin memberontak dan hendak menjatuhkan
kaisar yang sekarang bertahta.”
“Hemmm, sama
saja. Kalau mereka berhasil, tentu mereka yang menjadi penguasa dan berarti
kita harus mengabdi kepada bangsa Mancu. Apa bedanya?”
“Engkau
belum mengerti maksudku. Kita membonceng saja, dan kalau pemberontakan ini
berhasil dan kaisar dapat dibunuh, kita akan rebut kedudukan kaisar itu dari
tangan mereka! Kita mempunyai harapan menjadi kaisar atau setidaknya menjadi
Koksu atau Menteri!”
Lo-kwi
semakin tertarik. “Akan tetapi, apa artinya tenaga kita berdua?”
“Kita berdua
menjadi pembantu utama. Sekarang kedua orang pangeran itu sudah mulai menyusun
kekuatan. Kita dapat membujuk partai-partai lain untuk mau bekerja sama.
Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sudah terbujuk. Juga Bu-tong-pai! Dan Bu-tong-pai
bahkan hendak mengadakan pertemuan dengan seluruh perkumpulan dan perorangan
yang berjiwa patriot untuk diajak bekerja sama. Juga kita harus menghubungi
para Pendeta Lama Jubah Kuning yang tentu siap membantu. Pendeknya, gerakan ini
harus berhasil baik. Dan kita berdua yang menjadi pembantu utama kedua orang
pangeran itu tentu dapat mengatur bagaimana sebaiknya untuk kita berdua. Coba
pikir, dari pada engkau hidup seperti ini, makan daging kijang panggang dan
hidup seperti orang liar, bukankah lebih baik menggunakan kepandaianmu untuk
mencari kedudukan setinggi mungkin?”
Swat-hai
Lo-kwi mulai terbujuk. Dia menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama dengan
Lo-mo membantu gerakan Pangeran Tao San dan Pangeran Tao Seng.
Seperti kita
ketahui, kedua orang pangeran ini dihukum buang selama dua puluh tahun dan
sekarang mereka telah bebas. Mereka kembali ke kota raja dan nampaknya mereka
telah bertobat. Akan tetapi, ternyata diam-diam mereka kini sedang menyusun
kekuatan untuk memberontak.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment