Friday, June 29, 2018

Cerita Silat Serial Pusaka Pulau Es Jilid 04



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Pusaka Pulau Es

                   Jilid 04


Gerakan Bi-kiam Niocu amatlah berbahaya. Sebetulnya tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian si raksasa muka hitam. Tadi ia tertangkap karena tidak menyangka dan tidak bersiap sehingga dapat tertangkap jala musuh. Sekarang, dengan pedang di tangan mana mungkin ia tertangkap jala? Bahkan para pemegang jala itu semua telah tewas di tangannya dan kini wanita itu mendesak lawannya dengan hebat.

Si tinggi besar muka hitam menjadi jeri. Melihat anak buahnya banyak yang tewas dan dia pun menghadapi permainan pedang yang demikian tangguh, apa lagi melihat betapa pemuda itu pun tidak dapat ditangkap anak buahnya, nyalinya sudah terbang melayang dan dia menyerang hebat untuk mencari kesempatan melarikan diri.

“Mampuslah!” bentaknya dan tongkatnya meluncur dengan cepat ke arah dada Bi-kiam Niocu.

Pada saat gadis ini mengelak ke kiri, tongkat itu menghantam dari kanan ke kiri dengan kecepatan kilat. Karena serangan itu amat berbahaya untuk ditangkis mengingat tenaga raksasa itu besar sekali, Bi-kiam Niocu melompat ke belakang dengan sigapnya. Sejak tadi kesempatan inilah yang selalu dinantikan oleh kepala gerombolan itu. Maka begitu lawannya melompat ke belakang, dia lalu membalikkan tubuhnya kemudian melarikan diri tunggang-langgang!

“Jahanam hendak lari ke mana kau?” Bi-kiam Niocu mengejar sambil sekuat tenaganya melontarkan pedangnya.

Inilah satu di antara kepandaiannya yang amat hebat. Ia dapat melontarkan pedang itu dengan cepat dan pedangnya meluncur bagaikan anak panah saja menuju sasarannya, yaitu punggung lebar kepala gerombolan itu.

“Singgggg... cappp!”

Pedang itu tepat mengenai punggung dan menembus ke dada. Kepala gerombolan itu terbelalak, mengeluh panjang lalu roboh menelungkup, tewas seketika.

Bi-kiam Niocu sudah berada di dekatnya dan mencabut pedang itu, lalu membersihkan pedang pada pakaian si raksasa muka hitam. Kemudian ia pun mulai mengamuk! Anak buah gerombolan yang sedang mengeroyok Keng Han itu diamuknya dan pedangnya merobohkan beberapa orang lagi. Melihat ketua mereka sudah tewas, sisa anak buah gerombolan cepat melarikan diri. Bi-kiam Niocu hendak mengejar, akan tetapi ditahan oleh Keng Han.

“Musuh yang sudah lari tidak perlu dikejar lagi, Niocu!” katanya.

Bi-kiam Niocu menyimpan pedangnya dan dengan puas ia memandang kepada belasan orang yang sudah menggeletak tanpa nyawa itu. “Hemmm, sayang masih ada yang mampu meloloskan diri. Seharusnya mereka itu dibasmi habis!”

“Sudahlah, Niocu. Kalau mereka semua tewas, tentu kita juga yang akan repot, harus mengubur mereka. Biarlah yang masih hidup nanti mengubur mayat kawan-kawannya. Sesungguhnya, apa yang telah terjadl Niocu?”

“Mereka bertindak curang dan berhasil menangkap aku dengan jala, lalu membawaku ke sini. Ketika tadi engkau menyerang mereka di luar goa, kepala perampok itu sempat meninggalkan aku sehingga aku pun dapat meloloskan diri lalu mengamuk. Dan engkau bagaimana engkau bisa menyusul aku ke sini?”

“Aku sudah mendapatkan binatang buruan, seekor kijang yang muda, dan ketika aku kembali ke tempat kita tadi, engkau sudah tidak ada. Aku melihat tapak-tapak kaki yang banyak sekali, lalu aku mengikuti tapak kaki itu hingga ke sini. Ketika mereka melihatku, mereka lalu mengepung dan mengeroyokku sehingga terjadi perkelahian. Mari, Niocu, kita kembali ke sana. Bukankah perutmu sudah lapar? Akan tetapi, sebaiknya kalau aku kubur dulu mayat-mayat mereka.”

“Bodoh! Buat apa mengubur mereka? Biar teman-teman mereka yang mengurus mayat mereka. Mari kita pergi!” Bi-kiam Niocu mendengus marah dan Keng Han mengikutinya. Dia pun percaya bahwa sisa anak buah gerombolan tentu akan kembali ke situ untuk mengubur teman-teman mereka yang tewas.

Mereka kemudian cepat pergi meninggalkan bukit itu dan memasuki hutan tadi. Keng Han mengambil bangkai kijang yang tadinya dia simpan di atas sebatang pohon besar dan mulai mengambil dagingnya untuk dipanggang.

Dengan sinar mata termenung Bi-kiam Niocu memandang pada Keng Han yang sedang membakar daging kijang. Dia sudah menaruh bumbu pada daging itu. Kalau melakukan perjalanan, wanita ini selalu membawa bekal bumbu, seperti garam, merica dan lain-lain untuk penyedap makanan.

Ia merasa heran sekali. Mengapa hatinya begini tertarik kepada Keng Han dan ia tidak menghendaki pemuda itu jauh darinya? Selama ini, sampai usianya telah dua puluh dua tahun, ia selalu merasa tidak suka kepada laki-laki.

Semenjak ia belajar ilmu silat dari gurunya, yaitu seorang pendeta wanita yang hidup mengasingkan diri, gurunya selalu menekankan betapa jahatnya kaum pria. Karena ini, sejak kecil sudah tumbuh semacam perasaan tidak suka kepada pria.

Apa lagi setelah ia mulai remaja ia melihat betapa mata laki-laki seperti mata elang saja menatapnya, seperti mata elang melihat anak ayam, ingin menerkam. Semakin tak suka hatinya terhadap pria, makin dewasa ia makin muak. Entah berapa banyaknya pria yang telah dibunuhnya, hanya akibat pria itu berani memandangnya terlalu lama, menegurnya secara kurang ajar atau hendak menggodanya.

Akan tetapi kini dia merasa heran sekali. Mengapa dia begini tertarik kepada Keng Han yang bahkan lebih muda darinya? Apa lagi kalau dia membayangkan ketika pemuda itu mendekapnya untuk menghalanginya melakukan pembunuhan. Dekapan yang kuat dan hangat itu seolah masih terasa! Dan jantungnya berdebar aneh.

Daging kijang panggang itu sudah matang dan mereka lalu makan daging yang lunak dan sedap itu. Bi-kiam Niocu mengeluarkan seguci arak dan mereka pun makan minum dengan lahapnya karena memang perut mereka terasa lapar. Akan tetapi diam-diam harus diakui oleh Niocu bahwa belum pernah ia makan daging panggang selezat ini!

Setelah selesai makan, Bi-kiam Niocu berkata, “Selama perjalanan kita ke Tibet, engkau harus selalu mentaati omonganku, Keng Han. Aku jauh lebih berpengalaman darimu, kalau engkau tidak mendengar omonganku, bisa-bisa engkau akan celaka.”

“Tidak, Niocu. Aku tidak akan melakukan perjalanan bersamamu. Sekarang juga aku akan memisahkan diri darimu dan aku akan melakukan perjalanan ke Tibet seorang diri saja.”

“Ehhh, kenapa begitu?”

“Karena engkau kejam sekali. Tadi kembali engkau membunuhi banyak orang dan aku merasa tidak senang sekali melihat engkau begitu kejam.”

“Engkau tidak boleh meninggalkan aku. Kalau engkau meninggalkan aku, maka dalam beberapa hari lagi engkau akan mati keracunan. Ingat, tubuhmu sudah kupukul dengan Tok-ciang, dan hanya aku yang dapat memberi obat pemunahnya.”

“Biarlah! Lebih baik mati keracunan dari pada menjadi saksi kekejamanmu.”

“Demikian besarkah perasaan bencimu kepadaku, Keng Han?” Di dalam ucapannya itu terkandung kesedihan yang mengherankan hati Niocu sendiri.

“Aku tidak membencimu, Niocu. Bila tadinya aku suka melakukan perjalanan denganmu, tadinya aku mengharap akan dapat menasehatimu agar tidak terlalu kejam. Akan tetapi engkau tetap kejam sekali, maka aku tidak tahan lagi untuk terus melakukan perjalanan denganmu. Nah sekarang aku harus meninggalkanmu, Niocu. Selamat tinggal!” Keng Han mengemasi buntalan pakaiannya sendiri dan memanggulnya, lalu melangkah pergi dari situ.

Melihat kenekatan pemuda itu, Niocu segera bangkit berdiri dan berseru. “Nanti dulu, Keng Han! Engkau akan mati dalam beberapa hari lagi. Nah, biarlah kusembuhkan dulu lukamu karena pukulanku yang beracun itu!”

Niocu menghampiri Keng Han dan menyuruhnya membuka bajunya. Ketika melihat ke arah dada kiri pemuda itu, ia terbelalak dan ternganga keheranan. Kulit dada itu putih bersih, sama sekali tidak ada tanda telapak tangan merah seperti yang seharusnya ada.

“Aihhh... aneh sekali...!” Keng Han pura-pura terkejut.

“Tanda tapak tangan merah itu telah lenyap! Ini tidak mungkin!”

“Kenapa tidak mungkin? Kenyataannya telah lenyap dan berarti aku telah sembuh. Tak perlu lagi engkau mengobatiku,” kata Keng Han sambil menutupkan kembali bajunya.

“Hemmm, kau hedak mempermainkan aku, ya! Sambutlah serangan ini!” Wanita itu lalu menyerang dengan hebatnya!

“Ehhh, apa yang kau lakukan ini?”

Keng Han melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Namun wanita itu mengejarnya dan terus menyerang kalang-kabut dengan gencar sekali. Keng Han terpaksa mainkan ilmu silat Hong-In Bun-hoat untuk menghindarkan diri. Ternyata ilmu silatnya ini hebat sekali. Dia seolah tidak bersilat, hanya menuliskan huruf-huruf di udara dan semua serangan Bi-kiam Niocu dapat dielakkan atau ditangkis!

Tentu saja wanita itu menjadi penasaran sekali. Ia mengeluarkan ilmu totokannya yang ampuh, yaitu Tok-ciang. Ilmu ini bukan hanya menotok, akan tetapi juga menampar dan kedua tangan itu lalu berubah merah!

Meski pun Keng Han mampu mengelak sampai puluhan jurus, suatu ketika dia tidak lagi bisa menghindarkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan tidak berdaya! Bi-kiam Niocu menambahkan beberapa totokan pada kedua pundak dan dadanya sehingga tubuh Keng Han benar-benar tak mampu bergerak lagi.

Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa kalau dia mengerahkan tenaga dari pusarnya, totokan itu pasti akan dapat dipunahkannya dalam waktu tidak terlalu lama. Karena itu dia hanya memandang dengan mata melotot kepada wanita itu.

“Wanita kejam! Apakah engkau juga hendak membunuhku? Lakukanlah, aku tidak takut mati!”

“Keng Han, mengapa engkau begini keras kepala? Apakah tidak ada manusia di dunia ini yang kau taati?”

“Tentu saja ada. Yang kutaati hanyalah ayah bundaku dan juga guruku. Jika orang lain, hanya yang benar yang akan kutaati, yang tidak benar tentu tidak kutaati!”

Wanita itu tersenyum. “Keng Han, aku melihat ilmu silatmu hebat sekali, tetapi buktinya engkau masih kalah olehku. Maukah engkau menjadi muridku?”

“Hemmm, untuk apa menjadi muridmu? Untuk belajar membunuh? Ilmu silatku sudah cukup untuk menjaga diri.”

“Akan tetapi engkau tidak berdaya menghadapi ilmu totokanku. Bagaimana jika engkau mempelajari ilmu menotok dariku? Ilmuku menotok itu disebut Tok-ciang Tiam-hiat-hoat. Kalau engkau memiliki ilmu ini tentu tidak mudah engkau dikalahkan orang.”

Keng Han tertarik sekali. Harus dia akui bahwa ilmu totokan dari wanita itu lihai bukan main. Dua kali sudah dia roboh karena totokan itu. Dan kalau totokan lain dapat ditolak dengan sinkangnya, ternyata totokan ini tidak. Baru setelah lama mengerahkan tenaga sinkang, dia dapat membebaskan diri. Padahal totokan lain dapat ditolak oleh kekebalan tubuhnya karena sinkang di dalam tubuhnya.

“Kalau engkau suka mengajarkan ilmu totokan itu kepadaku, tentu saja aku suka sekali mempelajarinya.” Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, dia menjawab.

“Bagus, aku suka mengajarkannya untukmu. Engkau tadi telah berusaha menolongku, sudah sepatutnya kalau aku membalas budimu. Akan tetapi untuk mengajarkan ilmu itu, engkau harus mengangkatku sebagai guru. Ini peraturan perguruanku, dan aku tidak mau melanggar peraturan. Nah, kubebaskan totokan pada tubuhmu agar engkau dapat melakukan upacara pengangkatan guru.”

Secepat kilat tangan wanita itu bergerak menotok beberapa kali ke tubuh Keng Han dan segera pemuda itu merasa betapa tubuhnya dapat bergerak kembali seperti biasa. Karena dia memang ingin sekali mempelajari ilmu itu, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi-kiam Niocu dan memberi hormat sambil menyebut subo (ibu guru).

Bi-kiam Niocu tertawa terkekeh, girang bukan main. “Bangkitlah, Keng Han. Mulai saat ini, engkau adalah muridku dan aku adalah gurumu, bukan?”

“Benar, Subo. Apakah sekarang Subo akan mengajarkan Tok-ciang Tiam-hiat-hoat itu kepada teecu (murid)?”

“Tak perlu tergesa-gesa, Keng Han. Dan mulai sekarang engkau harus mentaati segala perintahku, mengerti?”

“Akan tetapi...”

“Akan tetapi apa? Ingat, aku adalah gurumu dan bukankah engkau sudah mengatakan bahwa engkau hanya taat kepada orang tua dan gurumu?”

“Ahhh...? Jadi Subo hanya menggunakan akal agar aku selalu taat...?”

“Bukan hanya itu, aku memang ingin engkau menjadi muridku, akan tetapi murid yang taat. Nah, sekarang ceritakan kepadaku tentang suhu-mu yang katanya terbunuh oleh utusan Dalai Lama. Ingat, aku akan membantumu bertemu Dalai Lama dan hanya aku yang dapat menolongmu.”

Keng Han lalu menceritakan dengan singkat tentang tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang telah membunuh Gosang Lama. Juga tentang pesan terakhir Gosang Lama agar dia membunuh Dalai Lama yang mengutus tiga orang Lama Jubah Merah itu, dan juga membunuh ketua Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar gurunya itu.

Setelah Keng Han selesai bercerita, Bi-kiam Niocu menarik napas panjang dan berkata, “Gurumu itu agaknya seorang yang benar-benar kejam. Aku membunuhi orang jahat kau katakan kejam, akan tetapi gurumu itu seperti hendak membunuh engkau sendiri! Engkau mimpi kalau dapat membunuh Dalai Lama dan ketua Bu-tong-pai. Sukarnya sama seperti naik ke langit! Aku sendiri, terus terang saja, tidak berani mencoba untuk melakukan dua hal itu, akan tetapi aku dapat membantumu bertemu dengan Dalai Lama dan juga dengan ketua Bu-tong-pai.”

Keng Han merasa girang sekali. “Bantuan itu saja sudah cukup bagi teecu, Subo. Kalau sudah bertemu dengan mereka, aku akan menuntut mereka dan juga minta keterangan mengapa mereka memusuhi suhu Gosang Lama. Selanjutnya biarlah aku sendiri yang akan menghadapi mereka.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Sekarang Keng Han merasa lebih senang karena ternyata gurunya yang baru ini mengenal jalan ke Tibet sehingga tidak perlu bertanya-tanya lagi seperti ketika dia melakukan perjalanan seorang diri. Dia percaya bahwa gurunya ini, walau pun masih muda, namun berilmu tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman.

Ingin dia menanyakan riwayat subo-nya yang tentu menarik. Apakah subo-nya sudah memiliki suami? Ataukah masih memiliki keluarga lain, dan kalau ada di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi, dia khawatir kalau dibentak karena subo-nya kadang bersikap galak kepadanya, maka sampai lama dia tidak pernah mengajukan pertanyaan ini….

Malam itu gelap sekali, Keng Han dan Bi-kiam Niocu terpaksa melewatkan malam di sebuah goa. Menurut Niocu, dusun yang terdekat dari situ masih lima puluh li lebih sehingga mereka akan kemalaman di tengah jalan kalau melanjutkan perjalanan. Lebih baik melewatkan malam di goa itu, agak terlindung dari angin dan hawa dingin.

Keng Han mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun di depan goa. Dia pun mencari rumput kering untuk alas lantai goa sehingga gurunya akan dapat mengaso. Akan tetapi Niocu duduk saja di dekat api unggun dan termenung mengamati api yang bernyala. Keng Han duduk di depannya, terhalang api unggun.

“Keng Han, ke sinilah. Duduk di dekatku sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu.”

Keng Han pindah duduk di sebelah gurunya, tapi diam saja. Setelah agak lama mereka berdiam diri, Niocu menghela napas panjang dan berkata, “Keng Han, apakah engkau berbahagia?”

Pemuda itu terheran mendengar pertanyaan ini. “Bahagia? Apakah artinya bahagia itu, Subo? Kita sudah makan tadi, perutku kenyang, badan yang letih kini dapat beristirahat di dekat api unggun yang hangat sehingga tubuh ini terasa enak. Hatiku juga merasa senang karena kita tidak mendapat gangguan. Ya, boleh jadi aku berbahagia saat ini, Subo.”

“Aih, betapa rinduku akan kebahagiaan. Aku tidak pernah merasa berbahagia. Senang, memang. Akan tetapi itu lain. lagi. Senang hanya sebentar saja lewat dan berlalu. Aku ingin bahagia! Ahh, betapa aku ingin sekali bahagia, akan tetapi bagaimana caranya? Di manakah kebahagiaan itu? Aih, aku ingin mencarinya, Keng Han. Apakah engkau dapat membantuku?”

“Bagaimana cara membantumu, Subo? Aku sendiri merasa berbahagia, lalu bagaimana aku dapat menularkan kebahagiaan ini padamu? Kebahagiaan adalah suatu perasaan, suatu keadaan hati, dan hati orang tidaklah sama. Aku sendiri saat ini merasa senang, tiada apa pun yang menggangguku, maka aku tidak butuh bahagia itu! Barangkali Subo merasa tidak berbahagia, bagaimana bisa mencari kebahagiaan? Hilangkanlah ketidak bahagiaan itu, Subo!”

“Aku merasa kesepian, merasa tidak bahagia, bagaimana dapat menghilangkan ketidak bahagiaan ini?”

“Ahh, aku juga tidak tahu, Subo.” Keduanya melamun sambil memandang ke dalam api yang bernyala di depan mereka.

Setiap orang mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu dengan cara apa pun, ada yang menyiksa diri, ada yang bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula yang mengejarnya dengan cara belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan.

Orang yang mendambakan kebahagiaan sudah pasti adalah orang yang tidak bahagia. Tidak bahagia adalah suatu perasaan yang muncul apa bila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hati. Dalam keadaan yang tidak bahagia ini, bagaimana mungkin orang mencari dan mendapatkan kebahagiaan? Orang yang sedang berjalan-jalan di daerah pegunungan, kemudian melihat matahari tenggelam amat indahnya dan pikirannya tidak melayang-layang tak karuan, sudah tentu dia akan mengalami kebahagiaan itu. Kalau sudah begitu, tentu dia tidak perlu lagi mencari kebahagiaan!

Dari pada mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia masih membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia!

Jadi, kebahagiaan itu sesungguhnya tak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang sering meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan!

Kita meninggalkan kebahagiaan melalui akal pikiran yang bergelimang nafsu sehingga kita tak pernah merasa puas dengan keadaan. Kita penuh harap, penuh kecewa, penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!

Seperti halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat!

Kebahagiaan sudah ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak terasa, itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih.

Kalau menghadapi mala petaka, di samping berusaha sekuatnya untuk menghindarkan diri, juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur kehidupan kita. Makin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.

“Keng Han, di manakah orang tuamu?”

Ditanya tentang orang tuanya, Keng Han terkejut. Dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia putera pangeran mahkota dari kerajaan Ceng.

“Aku hanya tinggal memiliki seorang ibu, Subo. Ayah sudah meninggalkan ibu sebelum teecu lahir.”

“Ahhh, keparat!” Dan tiba-tiba tangan wanita itu sudah bergerak cepat dan menotoknya pula sehingga Keng Han menjadi lumpuh seketika.

“Subo mengapa... mengapa Subo berbuat begini?”

“Jahanam, sama saja. Semua laki-laki memang keparat. Benar kata-kata subo. Karena itu aku benci kepada laki-laki. Ayahmu meninggalkan ibumu ketika ibumu sedang hamil. Hemmm, dan engkau ini sebagai puteranya tentu sama saja, sama jahatnya!”

“Aku... aku… selama hidupku belum pernah melihat ayah kandungku, Subo. Aku juga sudah bersumpah hendak mencari ayah, dan kalau dia tidak mempunyai alasan kuat meninggalkan dan menyia-nyiakan ibuku, aku akan menghajarnya!”

“Bagus! Kalau begitu engkau tidak sama dengan ayahmu!” Kini Niocu kembali menotok Keng Han sehingga terbebas dari totokan. Keng Han mengelus-elus pundaknya yang tadi ditotok dan meringis karena pundaknya terasa agak nyeri.

“Kenapa Subo begitu kejam, dengan mudah saja menotokku tanpa sebab?”

“Aku paling benci kalau mendengar ulah laki-laki yang mempermainkan wanita. Karena ayahmu berlaku keji terhadap ibumu, maka aku menjadi marah dan karena engkau puteranya, aku menjadi marah kepadamu. Akan tetapi sekarang tidak lagi karena engkau menyatakan tidak setuju dengan tingkah laku ayahmu itu.”

“Subo sudah mengetahui banyak tentang diriku, akan tetapi sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang Subo. Bagaimana kalau kelak orang bertanya tentang guruku, apakah harus kujawab bahwa aku tidak mengenal guruku sendiri?”

Bi-kiam Niocu menghela napas panjang.

“Riwayatku tak menarik. Aku yatim piatu. Yang terdekat denganku hanya seorang guru dan seorang adik seperguruan. Guruku pembenci pria dan entah sudah berapa banyak pria yang telah dibunuhnya. Ia mengajarkan kami untuk membenci pria pula, terutama pria-pria mata keranjang dan pria yang suka mempermainkan wanita. Engkau masih beruntung bertemu dengan aku. Kalau engkau bertemu dengan guruku atau sumoi-ku, tentu kepalamu sudah dipenggal!”

Keng Han bergidik. Nona ini saja sudah begitu kejam terhadap pria, apa lagi sumoi-nya dan subo-nya itu. Hemmm, mengerikan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Keng Han sudah terbangun dari tidurnya. Ketika bangun, dia melihat Bi-kiam Niocu sudah berdiri di depan goa dan melihat jauh ke depan, ke arah bawah karena goa itu terletak di lereng bukit. Tiba-tiba ia membalik dan dengan kakinya ia memadamkan api unggun, bahkan mencerai-beraikan kayu-kayu bakar sehingga tidak ada yang membara lagi dan tidak mengeluarkan asap. Kemudian ia berkata kepada Keng Han, sikapnya seperti orang ketakutan.

“Keng Han, cepat kemasi barang-barangmu. Kita pergi dari sini!”

“Kenapa, Subo?”

“Tidak usah bertanya, cepat lakukan perintahku!” kata wanita itu bengis.

Keng Han cepat mengemasi buntalannya. Tak lama kemudian keduanya telah menuruni bukit itu. Ketika tiba di kaki bukit, tiba-tiba wanita itu menarik tangan Keng Han, diajak bersembunyi di balik semak belukar.

Keng Han menurut saja dan ikut mengintai dari balik semak. Dari jauh dia melihat ada seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang sedang berjalan terpincang-pincang menggunakan sebatang tongkat. Sungguh aneh sekali. Gurunya yang sedemikian lihai nampak ketakutan bertemu dengan seorang tua yang timpang kakinya! Akan tetapi dia tidak berani bertanya.

“Jangan bergerak dan jangan bersuara,” bisikan halus itu terdengar dekat sekali dengan telinganya. Dan Keng Han mencium bau harum rambut gurunya.

Keng Han semakin heran dan mengintai terus. Setelah tiba tak jauh dari semak belukar itu, si timpang itu lantas berhenti melangkah dan kepalanya dimiringkan seolah-olah dia sedang menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mendengarkan sesuatu. Keng Han tidak berani bergerak, bahkan menahan napas.

“Kalian tidak lekas keluar menghadap aku, masih tunggu apa lagi?”

Keng Han kaget setengah mati. Kiranya si timpang itu dapat pula mengetahui kehadiran mereka di situ! Akan tetapi, ketika dia hendak bergerak, ada sebuah tangan menahan pundaknya sehingga dia tetap tidak bergerak. Tetapi dia siap siaga kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu.

Tiba-tiba dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar dan menjatuhkan diri berlutut di depan si kakek timpang.

“Pangcu, mohon maaf sebesar-besarnya!” kata mereka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tidak perlu cerewet. Cepat katakan apakah kalian sudah berhasil merampas kuda itu?”

“Ampunkan kami, Pangcu. Penunggang kuda itu ternyata lihai sekali dan kami bahkan menerima hajaran darinya. Kami tidak berhasil merampas kuda itu, bahkan nyaris tewas kalau kami tidak melarikan diri.”

Kakek timpang itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong marah. “Kalian orang-orang yang tidak berguna! Cabut pedang kalian!”

Tiga orang itu tidak berani membantah dan segera mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka.

“Cepat buntungi telinga kiri kalian sebagai hukuman!”

Kini tiga orang itu diam saja, agaknya merasa ngeri harus membuntungi daun telinganya sendiri. Melihat ini, Keng Han yang masih mengintai merasa penasaran sekali. Alangkah kejamnya pangcu itu!

Dia membuat sedikit gerakan, akan tetapi tangan Niocu cepat menekannya agar dia tidak bergerak. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?

“Kau tidak cepat-cepat melaksanakan perintahku? Baik, akulah yang akan menghukum kalian!” Gerakannya demikian cepat dan begitu dia menggerakkan tangan, tahu-tahu dia telah merampas sebatang pedang dari tangan anggota yang terdekat dan nampak sinar pedang berkelebat tiga kali.

“Sing-sing-sing...! Crat-crat-crattt...!”

Nampak darah muncrat dan tahu-tahu ketiga orang itu sudah kehilangan telinga kirinya! Kakek timpang itu membuang pedang rampasannya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil.

“Pergunakan bubuk obat ini supaya darahnya berhenti mengalir dan cepat sembuh. Hati-hati, kalau lain kali kalian gagal melaksanakan perintahku, bukan hanya telingamu yang kubuntungi, melainkan leher kalian! Hayo cepat pergi!”

Tiga orang itu menghaturkan terima kasih. Setelah menerima obat itu, mereka lalu pergi dengan cepat, menahan rasa nyeri pada telinga kiri yang daunnya telah buntung itu.

Kini Keng Han tak lagi dapat menahan kesabaran hatinya. Tanpa mempedulikan tangan gurunya yang mencoba untuk menahannya, ia telah meloncat keluar menghadapi kakek itu sambil membusungkan dadanya.

“Orang tua, engkau sungguh kejam bukan main! Baru terhadap anak buah sendiri yang gagal melaksanakan tugas, engkau bersikap begitu kejam membuntungi daun telinga kiri mereka. Apa lagi terhadap orang lain!”

Kakek timpang ini adalah Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa) Lo Cit, seorang di antara para datuk persilatan yang terkenal kehebatan ilmu silatnya. Dan kini, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti seorang tua menegur seorang anak nakal saja!

Demikian heran kakek itu sampai dia tidak mampu menbeluarkan kata-kata, hanya terus memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis, “Bocah setan, apakah engkau sudah bosan hidup?”

Bi-kiam Niocu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jeri melihat kakek timpang ini. Pada waktu tadi ia melihat seorang pria timpang berjalan dengan tongkatnya, ia segera mengenal siapa dia dan ia merasa jeri. Lebih baik tidak bertemu dengan datuk ini, pikirnya. Bagaimana ia tidak akan merasa jeri? Gurunya sendiri, Ang Hwa Nio-nio, pernah bertanding melawan datuk timpang ini dan berakhir seri, tidak ada yang menang!

Kini melihat Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir bukan main. Di luar kesadarannya sendiri Bi-kiam Niocu merasa amat sayang kepada Keng Han dan khawatir kalau pemuda itu celaka. Maka ia melupakan rasa takutnya sendiri dan meloncat pula keluar dari balik semak-semak. Ia cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan nada menghormat.

“Harap Lo-pangcu sudi memberi maaf kepada muridku yang kurang sopan ini. Karena dia tak mengenal Locianpwe, maka telah bersikap kurang hormat. Dengan memandang mukaku, dan muka guruku, harap Lo-pangcu sudi memaafkan.”

Kakek itu menoleh kepada Niocu dan memandang tajam penuh perhatian. “Hemmm, ini muridmu? Dan siapa gurumu?”

“Guru saya adalah Ang Hwa Nio-nio!”

Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali memandang kepada Keng Han. “Hemmm, jadi anak setan ini adalah cucu murid Ang Hwa Nio-nio? Nenek gurunya saja tak mampu mengalahkan aku, sekarang cucu muridnya malah berani menegur aku. Dia harus dapat menahan sepuluh jurus pukulanku, baru aku dapat memaafkan dia!”

Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa kakek itu lihai bukan main. Bukan saja terkenal sebagai ahli pedang sehingga dia disebut Dewa Pedang dan pedang itu disembunyikan dalam tongkatnya itu, akan tetapi juga dia ahli menggunakan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Halilintar yang ampuhnya menggila! Mana mungkin Keng Han dapat bertahan sampai sepuluh jurus? Lima jurus saja sudah cukup untuk membunuh Keng Han. Ia sendiri belum tentu dapat bertahan sampai sepuluh jurus.

“Saya hanya bisa memohonkan ampun bagi nyawa murid saya. Harap Lo-pangcu tidak membunuhnya karena kalau Pangcu melakukan itu, tentu akan membuat kami semua, juga guru saya, merasa tidak enak sekali.”


“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak perlu membunuhnya, cukup membuat tangan dan kakinya lumpuh untuk selamanya agar dia tidak berani lagi bersikap kurang ajar!”

Sementara itu, Keng Han sudah berkata, “Subo, jangan minta-minta seperti itu. Kakek ini memang kejam bukan main.”

“Keng Han, cepat minta ampun kepada Lo-pangcu!” kata Niocu.

“Tidak, dia yang harus minta ampun kepada Tuhan atas dosanya! Aku akan menerima tantangannya dan menghadapinya sampai sepuluh jurus. Harap Subo tidak khawatir. Aku mampu menjaga diri!”

“Bagus, bocah sombong. Nah, terimalah jurus pertama ini!” Kakek timpang itu berseru dan tangan kirinya sudah menyambar dengan hebat sekali ke arah kepala Keng Han.

Memang bukan main cepatnya serangan itu, sungguh cepat dan kuat sekali sehingga mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat. Akan tetapi Keng Han telah bergerak cepat dan berhasil mengelak dari jurus pertama itu. Dia mengelak dengan gerakan dari Hong-in Bun-hoat.

Melihat serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi penasaran sekali dan kini dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar angin berdesir dan debu mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi ke arah dada.

Keng Han mengubah gerakan silatnya dan sekarang dia memakai ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu silat yang dipelajarinya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini bersifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air saja. Kakek itu terkejut bukan main dan dia segera mengamuk, mengirim pukulan beruntun dengan hebatnya.

Sementara itu, Bi-kiam Niocu hanya menonton dengan hati tidak karuan rasanya. Dia yakin bahwa muridnya yang tersayang itu akan terpukul mati atau setidaknya akan lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun tangan membantu. Akan tetapi segera ia memandang dengan terheran-heran. Muridnya itu bukan saja mampu menghindarkan diri, bahkan berani menangkis pukulan datuk itu.

Karena merasa penasaran bukan main, setelah lewat sembilan jurus dia belum mampu mengalahkan bocah itu, Toat-beng Kiam-sian lalu merendahkan tubuh dan menyalurkan tenaga sinkang ke dalam kedua tangannya, kemudian ia memukul ke depan seperti mendorong. Inilah Pukulan Halilintar yang telah mengalahkan banyak sekali ahli silat di dunia kang-ouw. Niocu memandang dengan muka pucat sekali karena kali ini muridnya pasti celaka.

Melihat pukulan yang luar biasa kuatnya itu, yang mendatangkan angin seolah timbul badai, Keng Han juga merendahkan tubuhnya dan dia menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya pula. Diam-diam dia mengerahkan dua hawa sakti yang berlawanan dalam tubuhnya dan dua macam tenaga sakti meluncur melalui kedua tangannya, yang kanan mengandung hawa panas dan yang kiri mengandung hawa dingin!

“Wuuuuuttttt... desssss...!!”

Dua tenaga yang sangat hebat bertumbukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental ke belakang sampai dia terhuyung beberapa langkah, sedangkan tubuh Keng Han hanya bergoyang-goyang saja!

Niocu terbelalak, hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Juga kakek timpang itu terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu bukan saja mampu menahan Pukulan Halilintarnya, bahkan dapat mengatasinya dan membuatnya terhuyung! Dia lalu mengangkat tongkatnya yang menyembunyikan pedang dan hendak menyerang lagi menggunakan pedangnya.

Akan tetapi Niocu cepat meloncat ke depan dan berkata, “Lo-pangcu telah menyerang sebanyak sepuluh jurus dan sudah mengalah, memberi pelajaran kepada murid saya. Saya sebagai gurunya menghaturkan terima kasih atas kebaikan ini!”

Wajah Toat-beng Kiam-sian berubah merah. Akan tetapi dia juga meragu dan agak jeri. Kalau muridnya sudah demikian hebatnya, apa lagi gurunya! Agaknya murid Ang Hwa Nio-nio ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Juga dia teringat akan janjinya tadi bahwa dia akan mengampuni pemuda itu kalau mampu menahan sepuluh jurus serangannya.

Maka sambil mendengus marah dia membalikkan tubuhnya. Sekali melompat dia sudah hilang di balik semak belukar. Gerakannya demikian cepat sehingga mengagumkan hati Keng Han. Setelah bertemu dengan Niocu, baru dia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang amat lihai, akan tetapi juga amat kejam.

Niocu menghampiri Keng Han dan meraba-raba pundaknya. “Engkau tidak apa-apa?”

“Tidak, Subo. Kenapa Subo melerai? Biarlah dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, teecu tidak takut!” kata Keng Han penasaran.

“Sudahlah, Keng Han. Engkau dapat keluar dengan selamat saja sudah merupakan keajaiban. Keng Han, sebetulnya engkau mempunyai ilmu apakah? Bagaimana engkau dapat menahan ilmu Pukulan Halilintar tadi?”

Keng Han tersenyum. “Aku adalah murid Subo, kenapa Subo bertanya? Semua ilmuku tentu kudapatkan dari guruku, bukan?” Dia mengejek.

Niocu terbelalak, sedangkan wajahnya berubah merah. Memang selama ini dia belum mengajarkan apa-apa, juga ilmu totok itu belum ia ajarkan.

“Marilah aku mengajarkannya kepadamu. Akan tetapi engkau harus sungguh-sungguh melawanku, seperti kau melawan kakek tadi!”

“Baik, Subo,” kata Keng Han dengan girang.

Dia memang ingin mempelajari ilmu totokan yang disebut Tok-ciang itu, meski bukan itu benar yang membuat dia betah melakukan perjalanan bersama gurunya ini. Entah bagaimana, dia pun suka sekali kepada Niocu dan tidak ingin berpisah darinya, ingin agar di temani ke Tibet. Bukan hanya pribadi Niocu yang menyenangkan hatinya, akan tetapi juga pengalamannya akan sangat berguna baginya dalam perjalanan menemui Dalai Lama itu.

Keng Han telah melepaskan bungkusan pakaian dari pundaknya, dan siap menghadapi serangan gurunya. Niocu juga melepaskan buntalan pakaiannya dan pedangnya, lalu ia memasang kuda-kuda.

“Lihat seranganku!” katanya tiba-tiba.

Bi-kiam Niocu pun menyerang dengan cepat. Serangannya cepat dan kuat dan ia telah menggunakan Tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Keng Han tidak berpura-pura lagi. Dia pun menyambutnya dengan Toat-beng Bian-kun.

Dan sekali ini benar-benar Niocu dibuat terheran-heran. Ilmu silat muridnya itu demikian aneh dan asing gerakannya, akan tetapi semua pukulannya meleset dan tidak pernah mengenai sasaran.

Lalu dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan menyerang dengan hebatnya, menggunakan dua telapak tangannya. Keng Han menyambut dengan kedua tangannya pula.

“Wuuuttttt... desss...!”

Dan tubuh Niocu terjengkang seperti ditolak oleh tenaga yang sangat dahsyat dan ia merasa betapa tangan kanannya bertemu hawa dingin sekali sedangkan tangan kirinya bertemu hawa panas luar biasa.

“Ahhh... Subo, engkau tidak terluka...?”

Keng Han cepat menghampiri gurunya dan membungkuk, untuk membantunya berdiri. Akan tetapi secepat kilat tangan Niocu sudah menotok pundaknya dan seketika Keng Han tidak mampu menggerakkan kedua tanganya.

“Subo, kenapa...?” tanyanya heran.

Niocu cepat bangkit berdiri. Wajahnya agak pucat, akan tetapi pandang matanya penuh keheranan. Dalam pertandingan ilmu silat tadi, jelas bahwa dia kalah kuat dan bahwa muridnya ini memiliki ilmu silat yang hebat bukan main dan mempunyai tenaga sinkang yang berlawanan, tangan kirinya dingin dan tangan kanannya panas. Tapi, menghadapi ilmu totokannya, muridnya ini agaknya tidak berdaya.

“Keng Han, apakah gurumu Gosang Lama itu adalah seorang anggota keluarga Pulau Es?” tanyanya.

“Bukan, Subo. Akan tetapi tolong bebaskan dulu totokan ini.”

Niocu membebaskan totokannya dan Keng Han dapat bergerak kembali. “Diakah yang mengajarkanmu menggunakan tenaga tadi? Dan ilmu silatmu itu, apakah dia pula yang mengajarkannya?”

Terpaksa Keng Han berterus terang. “Sesungguhnya bukan dia yang mengajarkannya, Subo, melainkan aku belajar sendiri dari dalam sebuah goa di Pulau Hantu.”

“Pulau Hantu...?”

Keng Han lalu meceritakan tentang munculnya sebuah pulau baru di permukaan laut itu yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Diceritakannya pula penemuannya di goa, yaitu tulisan di dinding batu berikut gambar-gambar tentang ilmu silat yang dipelajarinya.

Mendengar ini Niocu kagum bukan main. “Tidak salah lagi! Pulau itu tentulah Pulau Es yang dikabarkan sudah tenggelam di lautan itu dan engkau telah mewarisi peninggalan Keluarga Pulau Es!”

“Akan tetapi pulau itu tidak ada esnya sama sekali. Bukan Pulau Es, melainkan Pulau Hantu, Niocu.”

Keng Han kadang-kadang menyebut subo (ibu guru) kepada Bi-kiam Niocu, akan tetapi kadang-kadang dia terlupa dan menyebut Niocu begitu saja. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak keberatan disebut Niocu.

“Sudahlah, mungkin karena engkau tidak langsung dilatih orang namun hanya belajar sendiri, maka gerakanmu masih kaku sehingga engkau mudah terserang ilmu totokku. Sebetulnya engkau sudah mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu silatku, Keng Han. Karena itu, tidak perlu lagi engkau mempelajari ilmu menotok itu, hanya akan kuajarkan bagaimana cara untuk menghindarkan diri dari totokanku.”

Demikianlah, mulai saat itu, setiap kali berhenti mengaso, Niocu lalu mengajarkan cara menghindari ilmu totokannya sehingga Keng Han sekarang selalu dapat mengelak dan menangkis, tidak sampai tertotok. Ilmu totok itu memang memiliki gerakan yang amat aneh maka kalau tidak mempelajarinya, tentu dia akan mudah tertotok dan dibuat tidak berdaya.

Setelah mempelajari rahasianya, Keng Han bahkan dapat menggunakan sinkang-nya untuk menolak totokan-totokan itu. Tubuhnya kini menjadi kebal dari totokan itu seperti dari totokan lain.

Suatu hari, perjalanan kedua orang ini sudah sampai di daerah Propinsi Secuan sebelah utara, yaitu di Pegunungan Beng-san. Selama berbulan-bulan melakukan perjalanan bersama Keng Han, Bi-kiam Niocu nampak semakin akrab. Juga Keng Han merasa betapa gurunya itu ternyata baik sekali kepadanya dan kini tidak lagi membentak atau bersikap keras kepadanya.

Bahkan kalau dia berburu binatang dan memasaknya, wanita itu membantu dan bahkan membuatkan masakan-masakan yang lezat untuknya. Maka pemuda ini juga merasa senang sekali dan hubungannya dengan gurunya menjadi semakin akrab. Juga dia pun sudah mempelajari rahasia ilmu totok gurunya yang aneh sekali itu sehingga kini dia dapat menghindarkan diri dari serangan totokan seperti itu.

Ketika mereka sedang menuruni lereng sebuah bukit dari Pegunungan Beng-san, dari jauh mereka melihat seorang wanita berjalan cepat sekali mendaki lereng itu. Mendadak Bi-kiam Niocu mendorong punggung Keng Han sambil berkata, “Engkau jalan duluan, cepat!”

Keng Han tidak tahu persoalannya, akan tetapi dia tidak membantah dan berjalan cepat meninggalkan gurunya. Tidak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang wanita yang aneh. Wanita itu memakai sehelai sapu tangan sutera putih menutupi mukanya dari hidung ke bawah. Akan tetapi bagian atas dari muka itu, dari hidung ke atas yang nampak saja sudah membuat Keng Han terpesona!

Hidung mancung lurus, sepasang mata yang bersinar-sinar seperti mata burung Hong dan memiliki sinar lembut, dihiasi sepasang alis mata yang kecil melengkung hitam. Anak rambut yang melingkar di dahi dan pelipis, rambut yang hitam panjang serta disanggul dan diberi pita putih, semua itu sudah cukup membuat Keng Han mengakui dalam hati bahwa dia belum pernah melihat yang seindah itu!

Tubuhnya tertutup pakaian yang serba putih dari sutera halus, dan hanya sepatunya saja yang hitam. Dari muka dan tangan yang nampak dapat diketahui bahwa gadis itu memiliki kulit yang putih mulus kemerahan.

Ketika berpapasan, Keng Han memandang dan wanita itu pun mengerling kepadanya. Kerlingan yang hanya sebentar itu tidak akan pernah dilupakan Keng Han selamanya, karena kerlingan itu demikian manisnya. Akan tetapi bukan wataknya untuk menoleh dan memandangi orang secara kurang ajar, maka dia melangkah terus, hanya sekarang langkahnya lambat sekali karena dia ingin tahu apa yang akan terjadi kalau wanita itu berpapasan dengan Bi-kiam Niocu yang berjalan di belakangnya.

Apa yang diharapkan Keng Han tercapai. Dia mendengar percakapan mereka.

“Suci...!”

“Sumoi...! Engkau dari manakah?”

“Aku baru pulang mencari rumput merah atas perintah subo. Dan engkau sendiri hendak ke mana, Suci?”

“Aku mempunyai urusan di barat. Sampaikan saja hormatku kepada subo dan setelah selesai urusanku di barat, tentu aku akan pulang.”

“Baik, akan tetapi berhati-hatilah, Suci. Aku mendengar di daerah Tibet sedang terjadi pergolakan. Ada bentrokan antara para pendeta Lama.”

“Aku akan berhati-hati, Sumoi.”

Keng Han yang mendengarkan merasa hatinya semakin tertarik. Jelas bahwa yang disebut sumoi oleh gurunya itu adalah nona berpakaian serba putih yang mukanya ditutupi sapu tangan putih itu. Suaranya! Belum pernah dia mendengar ada wanita bersuara semerdu dan selembut itu! Hanya ibunya yang dapat bersuara seperti itu, pikirnya.


                
cerita silat karya kho ping hoo


Jadi nona itu adalah sumoi dari gurunya. Kenapa pakaiannya serba putih dan mengapa pula wajahnya bagian bawah ditutupi sutera putih? Wajah itu pasti cantik jelita luar biasa. Melihat hidung ke atas saja dia sudah dapat membayangkan bahwa wanita itu pasti cantik seperti bidadari!

Bulu matanya lentik dan yang tidak akan pernah dapat dilupakan adalah sinar matanya ketika mengerling kepadanya. Dia belum pernah melihat burung Hong, hanya melihat gambarnya saja. Akan tetapi seperti itulah mata burung Hong. Cemerlang indah penuh pesona dengan sinar yang tajam lembut.

Tidak lama kemudian subo-nya sudah menyusulnya. Dia melihat wajah subo-nya diliputi ketegangan.

“Subo, mengapa Subo menyuruh saya berjalan lebih dulu? Ada urusan apakah?”

“Aku baru saja bertemu dengan sumoi-ku!”

“Kenapa saya disuruh pergi dulu, dan tidak diperkenalkan kepadanya? Bukankah ia bibi guruku?”

“Tidak! Celakalah jika ia mengetahui bahwa engkau adalah muridku. Kalau subo sampai mengetahuinya, tentu aku disuruh membunuhmu sekarang juga!”

“Ehh, mengapa begitu, Niocu?”

“Murid-murid subo harus bersumpah dulu bahwa selama hidupnya tidak akan mencinta dan dicinta seorang pria. Kalau hal itu terjadi, maka dia harus membunuh pria yang mencintanya dan dicintanya itu.”

“Ahhh...!”

Keng Han berseru kaget sekali, bukan hanya kaget mendengar sumpah yang aneh itu, melainkan kaget sekali terutama karena tanpa langsung gurunya itu telah menyatakan cinta kepadanya.

“Kalau kita jalan bersama dan diketahui sumoi, dia tentu akan bertanya kepadaku siapa engkau dan ada hubungan apa di antara kita, dan itu berarti bahaya maut bagiku dan bagimu. Kalau subo mengetahui, bersembunyi di mana pun kita akan dapat ditemukan dan dibunuh.”

“Akan tetapi bibi guru tadi, mengapa ia menutupi mukanya dengan sapu tangan putih?”

“Itulah usahanya agar wajahnya tidak dapat nampak oleh pria dan agar tidak ada pria yang jatuh cinta kepadanya. Sudahlah, kita jangan lama-lama di sini. Daerah ini masih merupakan wilayah kekuasaan subo.”

Keduanya melanjutkan perjalanan secepatnya menuju ke barat. Akan tetapi sejak saat itu, bayangan wanita pakaian putih yang tertutup sebelah bawah mukanya itu sering kali muncul dalam pikiran Keng Han. Dia tidak dapat melupakan kerling itu!

Berkat kepandaian mereka yang tinggi, Keng Han dan Bi-kiam Niocu sampai di wilayah Tibet tanpa ada halangan apa pun. Dalam perjalanan itu, sering kali mereka melihat serombongan kafilah yang juga menuju ke Tibet.

Rombongan yang membawa kuda dan onta itu membawa pula pasukan pengawal yang kuat sehingga mengherankan hati Keng Han dan Bi-kiam Niocu. Pada waktu mereka bertanya, mereka mendapatkan keterangan bahwa perjalanan ke barat sekarang tidak aman karena adanya perang saudara antara para pendeta Lama Jubah Kuning yang memberontak terhadap golongan Lama Jubah Merah.

Sekarang di wilayah itu sering kali terjadi pertempuran. Selain itu mereka juga mendapat gangguan dari para pendeta Jubah Kuning yang tidak segan-segan merampok mereka untuk merampas senjata serta harta benda karena mereka membutuhkan biaya untuk pemberontakan mereka.

Mendengar ini, Bi-kiam Niocu menerangkan. “Lama Jubah Merah adalah para pengikut Dalai Lama. Dan mendengar ceritamu dulu bahwa mendiang gurumu adalah seorang pendeta Lama Jubah Kuning, kurasa sangat boleh jadi dia masih sekawan dengan para pemberontak itu. Sekarang tidak aneh lagi kalau sampai gurumu dibunuh oleh Pendeta Lama Jubah Merah.”

“Aku tidak peduli akan perang di antara mereka. Aku hanya ingin bertanya kepada Dalai Lama mengapa dia menyuruh bunuh guruku!” jawab Keng Han bersikeras.

Bi-kiam Niocu menarik napas panjang. “Wah, kita mencari penyakit.”

“Kenapa kita, Subo? Akulah yang akan menemui Dalai Lama.”

“Dan aku akan mengantarmu sampai dapat berjumpa dengan Dalai Lama, bukan? Jadi, kita berdua yang mencari penyakit.”

“Aku tidak takut!”

“Aku pun tidak takut. Mari kita melanjutkan perjalanan secepatnya.”

Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi mereka melihat dua orang pendeta Lama Baju Merah sedang bertanding melawan delapan orang pendeta Lama Jubah Kuning. Melihat pertandingan yang tak seimbang ini, Keng Han segera mengajak gurunya untuk membantu dua orang Lama Jubah Merah itu.

“Ehhh, kenapa justru membantu mereka? Bukankah gurumu juga Lama Jubah Kuning dan mungkin mereka itu teman-teman gurumu?”

“Subo, aku tak peduli. Mereka berlaku curang mengandalkan banyak orang mengeroyok yang sedikit. Pertama, aku selalu menentang pihak yang curang dan kedua, dengan membantu Lama Jubah Merah itu siapa tahu aku dapat lebih mudah bertemu dengan Dalai Lama!”

“Ahh, engkau ternyata cerdik juga. Keng Han. Marilah kita bantu dua orang Lama Jubah Merah itu!”

Delapan orang pengeroyok itu semua mempergunakan tongkat pendeta yang panjang, sedangkan dua Lama Jubah Merah menggunakan senjata kebutan. Melihat gerakan mereka, andai kata mereka itu berkelahi dua lawan dua saja, tentu Lama Jubah Kuning akan kalah. Tetapi menghadapi pengeroyokan delapan orang, kedua orang Lama Jubah Merah itu menjadi kewalahan juga. Beberapa kali mereka telah menerima gebukan dan kini hanya lebih banyak main mundur.

Pada saat Keng Han dan Bi-kiam Niocu muncul dan membantu mereka, keadaannya langsung menjadi berubah. Biar pun hanya menggunakan kaki tangan saja, namun guru dan murid ini dapat membuat delapan orang pengeroyok itu menjadi kalang kabut.

Keng Han telah merobohkan dua orang dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas sekali, sedangkan dengan tendangannya, Bi-kiam Niocu juga telah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Melihat datangnya bala bantuan di pihak musuh yang demikian kuatnya, delapan orang Lama Jubah Kuning itu segera melarikan diri cerai berai.

Dua orang Lama Jubah Merah yang sudah kelelahan itu tidak mengejar, dan mereka mengangkat tangan memberi hormat kepada Keng Han dan Niocu.

“Ji-wi (Kalian berdua) menjadi bintang penyelamat kami. Kalau tidak ada Jiwi, tentu kami berdua sudah binasa di tangan para pemberontak itu,” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

“Ah, tidak mengapa, Losuhu,” kata Bi-kiam Niocu. “Sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu yang tertindas, apa lagi kami sudah mendengar bahwa mereka itu adalah kaum pemberontak. Dan sekarang, kami berbalik mengharapkan bantuan Ji-wi Losuhu untuk membantu kami.”

“Tentu saja kami berdua akan suka sekali membantu Ji-wi, akan tetapi bantuan apakah yang dapat kami berikan untuk Ji-wi yang lihai?”

“Kami ingin sekali menghadap dan bertemu dengan Dalai Lama di Lhasa.”

Dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu terkejut bukan main mendengar permintaan ini. “Ahh, Nona dan Sicu, bagaimana mungkin itu dilaksanakan? Sang Dalai Lama tidak dapat sembarangan saja dikunjungi orang, kecuali jika ada tujuan yang teramat penting. Bahkan wakil dari Kaisar Ceng sekali pun, kalau menghadap cukup diterima oleh wakil atau pembantu beliau. Kami tidak dapat membantu, harap Nona berdua memaafkan kami.”

Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya. “Hemmm, begini sajakah watak dua orang pendeta Lama Jubah Merah? Pantas kalau begitu ada yang memberontak. Kami bermaksud baik, akan tetapi kalian menolak mentah-mentah. Kalau kalian haturkan kepada Dalai Lama bahwa yang minta menghadap adalah Bi-kiam Niocu, murid Ang Hwa Nio-nio, apakah Dalai Lama berani memandang rendah? Dan kunjungan ini amat penting, untuk membicarakan tentang seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama.”

Kembali dua orang Lama Jubah Merah itu menjadi terkejut. Agaknya nama Bi-kiam Niocu, dan terutama nama Ang Hwa Nio-nio, sudah mereka kenal dan tentu saja nama Gosang Lama juga amat terkenal, bahkan sebenarnya dialah yang menjadi biang keladi pemberontakan Lama Jubah Kuning!

“Ah, kiranya Nona adalah murid Ang Hwa Nio-nio? Kalau begitu baiklah, mari ikut kami ke Lhasa, akan kami usahakan untuk dapat diterima oleh Sang Dalai Lama. Akan tetapi kalau gagal harap Ji-wi jangan menyesal dan menyalahkan kami, karena untuk dapat menghadap dan berwawancara dengan Sang Dalai Lama bukan perkara yang mudah.”

Bukan main girangnya hati Keng Han. Untung ada Niocu, kalau tidak ada wanita itu, agaknya tak mungkin kedua orang pendeta Lama itu mau membawa mereka ke Lhasa.

Ibu kota Lhasa amat besar dan terutama sekali bangunan kuno yang megah di bukit itu nampak sangat megah dan hebat. Keng Han yang sejak kecil berada di daerah Khitan yang amat sederhana, kemudian berada di Pulau Es sampai lima tahun lamanya, belum pernah selama hidupnya menyaksikan kemegahan dan keindahan seperti itu.

Dia merasa takjub dan merasa dirinya kecil. Apa lagi melihat penjagaan di depan tempat tinggal Dalai Lama. Dia bergidik. Tidak mungkin dia dapat memasuki tempat itu dengan kekerasan. Beratus-ratus pendeta Lama yang nampaknya berkepandaian menjaga di situ, dengan tongkat atau pun kebutan di tangan. Untuk dapat memasuki istana Dalai Lama dia harus mengalahkan ratusan orang pendeta Lama!

Dua orang pendeta Lama itu menemui pendeta penghubung dan menceritakan betapa mereka berdua nyaris tewas di tangan para Lama Jubah Kuning yang memberontak namun diselamatkan oleh dua orang muda itu. Kemudian mereka minta kepada pendeta penghubung untuk mengajukan permohonan kepada Dalai Lama agar kedua orang itu, seorang di antaranya adalah Bi-kiam Niocu murid dari Ang Hwa Nio-nio, diperkenankan menghadap karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan.

Keng Han dan Bi-kiam Niocu memperkenalkan nama mereka masing-masing kepada para pendeta penghubung. Pendeta-pendeta penghubung itu lalu melaporkan ke dalam. Tidak lama kemudian mereka keluar lagi dan berkata dengan suara lantang dan jelas.

“Tuan muda Si Keng Han dan Nona Siang Bi Kiok dipersilakan masuk menghadap Yang Mulia Dalai Lama!”

Mereka diantar atau dikawal oleh dua orang pendeta Lama. Ketika memasuki bangunan itu, Keng Han mengamati semua bagian dalam ruangan-ruangan yang luas dan terukir indah itu dengan penuh kagum sehingga Bi-kiam Niocu merasa geli melihat tingkah laku Keng Han seperti seorang dusun yang memasuki sebuah istana.

Akan tetapi yang menyolok sekali, kalau di bagian luar dijaga ketat sekali, di sebelah dalam bahkan amat sunyi, tidak nampak penjaga atau pengawal. Bahkan ketika mereka memasuki ruangan di mana Dalai Lama duduk, di situ tak nampak penjaga sama sekali, hanya ada dua orang pendeta cilik yang agaknya menjadi pelayan Sang Dalai Lama!

“Si Keng Han kongcu bersama Siang Bi Kiok siocia telah datang menghadap!” Pendeta pengantar itu melaporkan.

Sang Dalai Lama lalu memberi isyarat agar mereka berdua mundur, bahkan kemudian memberi isyarat pula kepada dua orang pendeta cilik untuk mengambilkan minuman.

Si Keng Han merasa dirinya kecil ketika berhadapan dengan pendeta yang sederhana itu. Pendeta Lama itu duduk di atas pembaringan yang bentuknya seperti teratai dari perak, dengan jubah warna kuning kemerahan yang amat sederhana. Kepalanya gundul kelimis. Sepasang matanya yang penuh wibawa itu memandang dengan sinar lembut, mulutnya tersenyum ramah.

Bersama Bi-kiam Niocu, Keng Han lalu memberi hormat, mengangkat kedua tangan di depan dada dan membungkuk.

“Kongcu dan Siocia silakan duduk!” kata Dalai Lama dengan ramah.

Kemudian dua orang pendeta cilik itu menyuguhkan secangkir air teh harum. Setelah menyuguhkan air teh, mereka pun mengundurkan diri sehingga yang berada di ruangan itu tinggal mereka berdua bersama Sang Dalai Lama.

Kalau Keng Han hendak membalaskan kematian gurunya, alangkah mudahnya dan ini merupakan kesempatan yang baik. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Kwi Hong dan juga Bi-kiam Niocu, bahwa Dalai Lama adalah seorang pendeta yang mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi di luar. Andai kata dia mampu membunuh Dalai Lama, dia pun tidak akan dapat meloloskan diri dari tempat yang terjaga oleh ratusan orang pendeta Lama itu.

“Terima kasih, Losuhu,” kata Bi-kiam Niocu dan Keng Han juga mencontoh wanita itu mengucapkan terima kasih, kemudian mereka duduk berhadapan dengan pendeta itu.

Wibawa yang teramat kuat menyinar dari pendeta itu. Pandang matanya yang lembut, mulutnya yang penuh senyum, kesabaran yang terbayang di seluruh wajahnya, semua itu membuat Keng Han merasa semakin tidak enak hatinya. Dia seolah merasa berdosa mendendam kepada seorang pendeta seperti ini.

“Nah, orang-orang muda yang baik, kini ceritakan apa maksud kalian menemui pinceng (saya),” kata Dalai Lama dengan suara ramah.

“Saya hanya mengantar sobat ini menghadap, Losuhu. Saya sendiri tidak mempunyai urusan apa pun,” jawab Niocu yang agaknya juga merasa tak enak berhadapan dengan pendeta itu.

Dalai Lama memandang kepada Keng Han sejenak, kemudian bertanya, “Orang muda, ada keperluan apakah yang membawamu jauh-jauh datang ke tempat ini dan bertemu dengan pinceng? Katakanlah sejujurnya, pinceng siap mendengarkan.”

Keng Han menelan ludah sendiri sebelum dia menjawab dan suaranya terdengar agak gemetar, “Losuhu, saya datang ini untuk menghadap Losuhu dan bertanya mengapa Losuhu mengutus tiga orang pendeta Lama Jubah Merah untuk membunuh suhu-ku?”

“Omitohud...! Siapakah suhu-mu itu, Kongcu?”

“Suhu bernama Gosang Lama, seorang pendeta Lama Jubah Kuning. Suhu telah hidup tenteram di daerah utara, kenapa suhu dicari dan kemudian dibunuh dengan kejamnya? Saya menuntut keadilan, Losuhu.”

“Omitohud...! Gosang Lama itu suhu-mu? Ahhh, engkau tentu tidak tahu siapa Gosang Lama yang kau angkat menjadi guru itu, Kongcu. Dia tidak dibunuh, namun menerima hukuman dari semua kejahatannya.”

“Dihukum? Jahat? Akan tetapi suhu tidak melakukan sesuatu yang jahat!”

“Mungkin tidak selama menjadi gurumu. Akan tetapi sebelum itu, apakah engkau tahu apa saja yang telah dilakukan Gosang Lama?”

Keng Han menggelengkan kepalanya dan tidak dapat menjawab.

“Orang muda, berhati-hatilah dengan akal pikiran dan hatimu sendiri, terutama sekali waspadalah terhadap rasa dendam. Dendam itu merupakan racun yang akan meracuni dan merusak hati sendiri, menimbulkan perbuatan yang kejam dan tanpa perhitungan lagi. Dendam bagaikan api yang membakar hati dan mendatangkan kebencian yang mendalam. Akan tetapi ketahuilah, segala sesuatu yang telah terjadi itu ada kaitannya dengan karma, ada kaitannya dengan perbuatannya sendiri. Perbuatannya sendiri itulah yang akan menimbulkan akibat yang menimpa diri sendiri. Engkau mendendam karena kematian gurumu, akan tetapi tidak tahu mengapa gurumu dihukum mati. Kalau engkau menuruti nafsu dendam itu, bukankah berarti engkau bertindak semau sendiri tanpa pertimbangan lagi? Dan mungkin karena dendam itu engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Jangan mencari sebab dan kesalahan keluar, orang muda, melainkan carilah di dalam diri sendiri, karena sebab dan kesalahan itu berada di dalam dirinya sendiri.”

Keng Han tertegun. Dia merasa betapa tepat dan benarnya ucapan itu. Dia mendendam atas kematian gurunya. Akan tetapi dia tidak tahu kenapa gurunya dibunuh. Bagaimana kalau gurunya yang bersalah? Bukankah berarti dia membela orang yang bersalah?

“Losuhu, mohon Losuhu ceritakan apa saja yang sudah diperbuat oleh suhu Gosang Lama sehingga dia harus dihukum mati.”

“Gosang Lama sudah melakukan pelanggaran-pelanggaran pada waktu mudanya. Dia melakukan perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas-petugas dapat menemukan dia dan melaksanakan hukuman mati itu. Nah, apakah kini engkau masih juga hendak membela kematian orang yang telah melakukan demikian banyak dosa, orang muda yang baik?”

Keng Han tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya dan menjawab, “Losuhu, bagaimana pun juga suhu Gosang Lama tidak pernah melakukan pembunuhan...”

“Omitohud! Apakah pinceng harus menceritakan semua? Dia telah membunuh banyak orang, bahkan tiga orang utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, telah dibunuhnya. Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?”

Keng Han merasa terpukul sekali. “Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?”

“Benar sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?”

“Tidak, akan tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu.”

“Hemmm, dan engkau tidak merasa heran apa bila ada seorang pendeta Lama dapat mempunyai anak?”

Keng Han kembali merasa terpukul dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet. Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini ia hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia lakukan?

“Akan tetapi saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid adalah untuk berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!”

“Omitohud! Orang yang bijaksana selalu meneliti perbuatannya sendiri, selalu mencari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang sudah menyuruh menghukum Gosang Lama, maka pinceng memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang pinceng. Engkau boleh menyerang sesukamu dan pinceng tidak akan membalas.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan tetap duduk bersila, lalu melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah.

“Nah, engkau boleh menyerang pinceng sesukamu, orang muda.”

Keng Han merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Jika dia dapat membunuh Dalai Lama, tentulah roh suhu-nya akan tenang. Akan tetapi dia lalu teringat akan penjagaan ketat di tempat itu. Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu.

“Losuhu, kalau saya menyerang Losuhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini.”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat pergi dengan aman.”

Keng Han masih ragu-ragu dan menoleh kepada Bi-kiam Niocu, bertanya, “Bagaimana, Niocu? Apa yang harus kulakukan?”

Bi-kiam Niocu tersenyum dan berkata, “Losuhu Dalai Lama sudah mengijinkan engkau untuk menyerangnya. Nah, untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak kau lakukan itu?”

“Baik!” Akhirnya Keng Han mengambil keputusan. “Akan tetapi kalau saya menyerang Losuhu, hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!”

“Tentu saja, dan semenjak tadi pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu.” Dalai Lama masih tetap duduk bersila dengan senyumnya yang lembut.

Keng Han lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke lengan kiri, kemudian dia berseru, “Maafkan saya, Losuhu!”

Keng Han pun memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti. Dua macam hawa yang berlawanan menyambar ke arah Dalai Lama.

Kakek ini dengan tenang mengangkat kedua tangan pula untuk menyambut dan ketika tangan-tangan itu bertemu, Keng Han merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan benda yang lunak dan halus, yang seolah menyerap semua tenaga yang keluar dari lengannya. Kemudian, sebuah tenaga yang sangat hebat mendorongnya sehingga dia terhuyung ke belakang, membuat napasnya terengah akan tetapi dia tidak terluka.

Dalai Lama masih duduk seperti tadi dan sinar mata yang lembut itu memandang penuh keheranan. “Orang muda, engkau bilang bahwa engkau muridnya Gosang Lama, akan tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari Pulau Es?”

Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua macam ilmu rahasia yang dipelajarinya di Pulau Hantu!

“Bukan suhu Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu.”

“Kalau begitu engkau murid Pulau Es?”

“Juga bukan. Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu.”

“Hemmm, suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagaimana, apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?”

“Tidak, Losuhu. Mataku kini sudah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali. Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya.”

“Orang yang dapat melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu.”

Keng Han dan Niocu segera berpamit kepada Dalai Lama. Pendeta itu mengucapkan selamat jalan, kemudian mereka keluar bersama dua orang pendeta pengantar. Setelah meninggalkan Lhasa, Keng Han merasa girang dan hatinya terasa ringan sekali, tak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya.

“Ternyata engkau benar, Niocu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali. Betapa pun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Kini tugas itu hanya tinggal satu lagi, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu.”

Bi-kiam Niocu tersenyum lebar. “Sama saja, Keng Han. Engkau pun akan kecelik besar sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana semuanya adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan. Jika suhu-mu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan bahwa semua kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu.”

“Bagaimana pun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Niocu. Kalau ternyata suhu memang benar telah melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai, biarlah aku yang akan memintakan maaf dari mereka.”

“Engkau keras kepala!” Niocu berkata sambil tersenyum.

Perjalanan meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkat, Niocu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal subo-nya itu.

Pada suatu pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana munculnya, seorang wanita sudah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda.

Wajahnya yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan. Matanya tajam sekali dan ketika itu, dia berdiri seperti patung memandang bergantian kepada Keng Han dan Niocu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan sedangkan di punggungnya nampak sebatang pedang.

Begitu melihat wanita ini mendadak muncul di depanya, Bi-kiam Niocu menjadi terkejut setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu.

“Subo...!” katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar.

Tahulah Keng Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Niocu yang pernah disebut oleh Niocu dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu.

Wanita itu memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia adalah seorang pendeta wanita yang mengasingkan diri di Pegunungan Beng-san itu, seorang Tokouw (Pendeta To) berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah.

Ang Hwa Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita. Yang pertama adalah Siang Bi Kiok yang berjuluk Bi-kiam Niocu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Niocu, yaitu gadis yang berpakaian putih dan wajah bagian bawahnya tertutup sapu tangan putih pula.

Kini, melihat Bi-kiam Niocu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang Hwa Nio-nio marah bukan main. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang terus memandang kepada murid pertamanya itu seperti api yang membakar.

Ang Hwa Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri kaum pria. Dia malah membuat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali. Inilah sebabnya mengapa dalam pertemuan pertama, Bi-kiam Niocu juga hendak membunuh Keng Han.

“Siang Bi Kiok, apa yang sedang kau lakukan ini?” Akhirnya Ang Hwa Nio-nio menegur muridnya.

Dengan gugup Bi-kiam Niocu menjawab, “Apa...apa yang Subo maksudkan?”

“Hemmm, engkau melakukan perjalanan dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura bertanya apa yang aku maksudkan?” kata wanita itu bengis.

“Ahhh, itukah, Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena sejalan, maka kami pun berjalan bersama. Tidak ada apa-apa di antara dia dan teecu...” Bi-kiam Niocu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar.

“Bagus! Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan bertemu?”

Bukan main kagetnya hati Bi-kiam Niocu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh salah satu orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Niocu apakah benar murid Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama!

“Ampun, Subo. Kami... kami sungguh tidak ada hubungan apa pun, hanya melakukan perjalanan bersama saja.”

“Diam! Jika engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini, dan engkau juga!”

Setelah berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga seolah-olah ia dapat menghilang!

Wajah Bi-kiam Niocu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tanpa bergerak.

Keng Han lalu berkata, “Sudahlah, Niocu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku.”

Setelah berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuhnya. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya, meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Niocu sudah berdiri di depannya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya.

“Berhenti!” bentaknya. “Si Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri yang akan dibunuh oleh guruku!”

Keng Han memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya.

“Akan tetapi, mengapa, Niocu? Mengapa engkau hendak membunuhku?” Dia menuntut. “Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, Niocu.”

Pedang di tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah. “Keng Han, kita harus melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apa pun yang mampu menghalangi kita hidup bersama.”

Keng Han semakin kaget mendengar ucapan itu. “Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku... aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Niocu tidak bisa kita menikah.”

Sepasang mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali. “Apa?! Engkau tidak mencinta padaku? Subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka aku harus membunuhmu. Jadi selama ini aku salah sangka, ternyata engkau tidak cinta padaku?”

Keng Han menggeleng kepalanya. “Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh. Tidak, Niocu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu.”

“Bagus! Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau!”

Dan wanita itu segera menyerang Keng Han, membabi buta mengayunkan pedangnya bagaikan kilat menyambar-nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk membunuh.

Keng Han cepat mengelak sambil mundur. “Niocu, ingat, kita bukan musuh!” Beberapa kali Keng Han memperingatkan.

Akan tetapi Bi-kiam Niocu yang sudah marah sekali itu tidak peduli dan hanya berteriak, “Mampuslah!”

Pedangnya menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Oleh karena dia tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak melawan dia tentu akan terancam bahaya maut.

Ilmu silat Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dapat dimainkan dengan tangan kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan jurus Hong-in Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Niocu segera terdesak hebat. Bantuan tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tiada artinya lagi bagi Keng Han yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong sehingga serangkum hawa yang sangat dingin dari Swat-im Sinkang menyambar dan membuat Bi-kiam Niocu terhuyung dan menggigil.

Baru lewat tiga puluh jurus saja Bi-kiam Niocu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka dia hanya mendesak saja.

Pada saat itu nampak bayangan putih datang berkelebat amat cepatnya dan sinar putih panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pendeknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih yang panjang dan juga tubuhnya terlibat sehingga tahu-tahu dia telah dibuat tak berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru datang.

Melihat keadaan Keng Han, Bi-kiam Niocu, berseru, “Mampuslah engkau sekarang!”

Dengan cepat ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu bersama tubuhnya. Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan mata terbuka.

“Singgg... tranggggg...!”

Bunga-bunga api berpecikan dan menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Niocu kepadanya itu. Dan ketika Keng Han menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang melibat tubuhnya!

“Sumoi, mengapa kau menangkis?”

“Suci, engkau tidak berhak membunuhnya!” kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu dalam pendengaran Keng Han.

“Subo sudah menyuruh aku membunuhnya, Sumoi!” bantah Bi-kiam Niocu.

“Subo mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah mendengar bahwa dia tidak mencintamu. Aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Apakah engkau ingin aku melaporkan pada subo betapa engkau membujuknya untuk minggat dan menikah denganmu?”

“Sumoi...! Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang...”

“Tadi aku membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan kini aku melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya. Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak mencintamu dan bahwa engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia dan tidak mempunyai hubungan apa pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu.”

Dengan uring-uringan Bi-kiam Niocu diam saja. Gadis berpakaian putih itu lalu menarik kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han.

Pemuda itu sudah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan Bi-kiam Niocu kepadanya, dia lalu memberi hormat kepada wanita itu sambil berkata, “Niocu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku!” katanya pula kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat.

Karena kedua orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak menengok kembali….

Bukit Menjangan berada di Pegunungan Cin-ling-san. Disebut demikian karena di bukit itu memang banyak terdapat binatang kijang dan menjangan. Tadinya banyak pemburu yang mencari binatang itu di Bukit Menjangan sehingga jumlah binatang itu makin lama semakin berkurang.

Akan tetapi, pada suatu hari datanglah seorang datuk yang memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya. Semenjak dia tinggal di situ, tidak ada lagi pemburu berani naik ke Bukit Menjangan. Tadinya memang ada yang naik, akan tetapi setiap kali ada pemburu berani naik ke bukit itu, dia pasti turun lagi dengan digotong karena terluka parah.

Karena penyerangnya tidak nampak, hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat, dan pemburu yang terluka itu menggigil kedinginan, maka segera tersiar berita bahwa penyerangnya tentu siluman dan sejak itu tidak ada lagi yang berani berburu binatang di Bukit Menjangan. Pegunungan Cin-ling-san sangat luasnya dan terdapat puluhan bukit sehingga mereka mengalihkan ladang perburuan mereka ke bukit-bukit lainnya.

Sebetulnya siapakah datuk yang kini bertempat tinggal di Bukit Menjangan itu? Kalau saja ada yang berani dan mampu naik menyelidiki, dia akan melihat sebuah pondok bambu berada di puncak bukit, dan yang tinggal di situ adalah seorang laki-laki raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun lebih. Dia bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi yang dahulu pernah menyerang Keng Han pada saat pemuda itu pertama kali datang ke Pulau Hantu.

Sebagai seorang datuk besar, Swat-hai Lo-kwi juga tertarik dengan munculnya Pulau Hantu. Ia telah melakukan penyelidikan ke sana dan telah berkelahi melawan tiga puluh orang pimpinan Harimau Hitam yang kemudian dibunuhnya satu demi satu. Bahkan dia pun sudah melukai Keng Han dengan pukulannya yang mengandung racun berhawa dingin.

Akan tetapi kemudian dia merasa jeri menyaksikan betapa pulau itu dihuni oleh ular-ular merah yang amat berbahaya. Dan melihat pulau itu kosong tidak ada apa-apanya yang berharga, dia lalu pergi meninggalkan Pulau Hantu. Karena tertarik oleh pemandangan di Bukit Menjangan, akhirnya dia memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya.

Sejak dia tinggal di situ, dia tidak memperkenankan siapa pun juga naik ke bukit. Yang berani naik tentu dipukulnya dengan pukulannya yang membuat orang lantas menggigil kedinginan sehingga akhirnya tidak ada yang berani mengunjungi tempat itu dan dia tidak lagi merasa terganggu.

Swat-hai Lo-kwi mencari tempat pengasingan yang tidak terganggu orang lain bukan karena ingin bertapa, melainkan karena dia sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat yang amat hebat dan dia tidak ingin ada orang lain melihatnya.

Swat-hai Lo-kwi memang memiliki sinkang yang berhawa dingin sekali. Kini dia melatih diri untuk menyempurnakan sinkang-nya itu sehingga kalau dia menyerang orang, dia dapat membuat lawannya itu menjadi beku darahnya dan tewas seketika! Kurang lebih setahun lamanya dia melatih ilmu itu dan kini dia telah berhasil. Yang menjadi kelinci percobaan ilmunya itu adalah binatang-binatang kijang dan menjangan yang berada di bukit itu.

Kini, dari jarak kurang lebih sepuluh meter, dia mampu memukul binatang-binatang itu dengan pukulan jarak jauhnya sehingga membuat binatang itu roboh dan tewas dalam keadaan darahnya beku! Bukan main hebatnya ilmu ini dan Swat-hai Lo-kwi merasa dirinya yang paling jagoan di antara para ahli silat mana pun.

Pada suatu pagi yang amat dingin, Swat-hai Lo-kwi sedang menghangatkan diri dengan membuat api unggun dan memanggang daging kijang untuk sarapan pagi. Mendadak ia menjadi waspada dan matanya mengerling ke kiri karena dari arah itu ia mendengar suara langkah orang.

Langkah itu demikian ringan sehingga dia merasa heran sekali. Orang yang datang ini pasti seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan masih saja memanggang paha kijang itu dengan tekun sambil menghangatkan tubuh dari serangan hawa dingin pagi itu.

“Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa tentu engkau Iblis Lautan Es yang berada di tempat ini karena orang-orang yang terpukul itu mati kedinginan!” Tiba-tiba terdengar suara.

Ketika Swat-hai Lo-kwi menoleh, ia melihat seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja berdiri di situ sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya dan bersandar pada dayungnya. Melihat kakek yang datang itu, Swat-hai Lo-kwi juga tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya Setan Lautan Timur yang datang berkunjung. Setan tua, mau apa engkau mengganggu ketenteraman hidupku di tempat ini?” Kata-katanya yang terakhir itu mengandung tantangan.

“Wah, sejak kapan Swat-hai Lo-kwi menerima kedatangan seorang sahabat seperti ini? Aku, Tung-hai Lo-mo (Setan Tua Lautan Timur) tidak pernah datang ke suatu tempat tanpa urusan penting. Aku sengaja mengunjungimu untuk urusan penting sekali, penting bagi kita berdua.”

“Nanti dulu, aku kini tak mau sembarangan bicara dengan orang yang belum kuketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Marilah kita main-main sebentar, hendak kulihat apakah selama ini engkau maju atau bahkan mundur dalam ilmumu, Lo-mo!” tantang Swat-hai Lo-kwi sambil bangkit berdiri.

“Bagus, bagus! Engkau masih saja belum berubah, Lo-kwi. Engkau selalu tinggi hati dan menganggap diri sendiri terpandai. Baiklah, majulah dan coba rasakan hebatnya dayung bajaku!”

“Awas seranganku!” Lo-kwi berseru dan dia sudah menyerang dengan tangan kirinya.

Serangkum hawa yang sangat dingin menyambar. Akan tetapi Lo-mo adalah datuk dari timur yang kepandaiannya juga sangat tinggi. Dia menghindar dan dayungnya meluncur menyapu ke arah pinggang Lo-kwi.

Lo-kwi menggunakan tangannya menangkis, lalu menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi, Lo-mo juga dapat menangkis serangannya dan tidak terpengaruh oleh hawa dingin yang menyambar itu. Keduanya sudah bertanding dengan seru sekali dan sebentar saja lima puluh jurus telah lewat.

Merasa betapa lawannya benar-benar tangguh, Lo-kwi lalu menyerang dengan pukulan jarak jauhnya, yang selama setahun ini dilatihnya di bukit itu.

“Hyaaaaattt... ahhhhh!”

Dia berseru dengan suara melengking dan dari kedua telapak tangannya nampak sinar putih kebiruan menyambar ke arah lawan.

Tung-hai Lo-mo agaknya maklum akan hebatnya serangan jarak jauh ini. Dia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah, lalu dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya dan dalam keadaan setengah berjongkok dia menyambut pukulan jarak jauh itu.

“Wuuuttttt... desss...!”

Keduanya terdorong ke belakang dan Tung-hai Lomo agak menggigil kedinginan, akan tetapi dia segera dapat mengusir hawa itu dengan pengerahan sinkang-nya.

“Hebat! Pukulanmu tadi hebat sekali. Orang lain mana akan mampu menahannya? Aku kagum sekali padamu, Lo-kwi!” kata Lo-mo yang merasa kalah kuat dalam adu tenaga ini.

Lo-kwi juga tertawa. “Ha-ha-ha, engkau juga telah memperoleh kemajuan pesat, Lo-mo. Nah, engkau memang pantas berunding denganku, lekaslah katakan apa yang menjadi keperluanmu datang berkunjung ini.”

“Ha-ha-ha-ha, bicara sih mudah, akan tetapi perut lapar ini perlu diisi. Kulihat panggang daging kijang itu sudah matang.”

Mereka kemudian makan daging panggang di dekat api unggun tanpa bicara apa-apa. Lo-mo mengeluarkan sebuah guci arak dan menenggaknya, lalu menyerahkan kepada Lo-kwi.

“Ini arak pilihan dari Hang-ciu. Engkau pantas minum bersamaku, Lo-kwi!” katanya.

Swat-hai Lo-kwi tanpa sungkan-sungkan lagi menerima guci itu lalu menuangkan isinya ke dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelegak. Setelah itu barulah keduanya bicara.

“Nah, sekarang bicaralah!” kata Swat-hai Lo-kwi.

“Begini, Lo-kwi. Orang dengan kepandaian seperti kita ini, apakah cukup harus begini saja? Tinggal di tempat sunyi dan tidak dipandang orang? Padahal, orang-orang macam kita ini sudah sepatutnya kalau memegang kedudukan tinggi, dihormati dan dipandang orang, hidup penuh kemuliaan dan kemewahan.”

Swat-hai Lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada Tung-hai Lo-mo dengan alis berkerut. “Lo-mo, kalau engkau mengharapkan agar aku suka menghambakan diri kepada penjajah Mancu untuk memperoleh kedudukan tinggi, engkau mimpi!”

“Siapa yang hendak mengabdikan diri kepada bangsa Mancu? Aku pun tidak sudi. Akan tetapi persoalannya lain sama sekali. Kita bahkan membantu untuk menjatuhkan Kaisar Mancu yang sekarang ini.”

Mendengar ucapan itu, Lo-kwi mulai tertarik. “Aku pun tidak mau membantu dan juga tak sudi menjadi antek perkumpulan-perkumpulan pemberontak semacam Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, Thian-li-pang dan sebagainya.”

“Ahh, tidak sama sekali. Dengar dulu baik-baik, Lo-kwi. Di kota raja terdapat dua orang pangeran yang pernah dihukum buang oleh kaisar karena mereka hendak membunuh pangeran mahkota. Sekarang dua orang pangeran itu telah bebas dan kembali ke kota raja. Nah, mereka berdua itulah yang menghubungi aku dan minta agar aku juga minta bantuanmu. Merekalah yang ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kaisar yang sekarang bertahta.”

“Hemmm, sama saja. Kalau mereka berhasil, tentu mereka yang menjadi penguasa dan berarti kita harus mengabdi kepada bangsa Mancu. Apa bedanya?”

“Engkau belum mengerti maksudku. Kita membonceng saja, dan kalau pemberontakan ini berhasil dan kaisar dapat dibunuh, kita akan rebut kedudukan kaisar itu dari tangan mereka! Kita mempunyai harapan menjadi kaisar atau setidaknya menjadi Koksu atau Menteri!”

Lo-kwi semakin tertarik. “Akan tetapi, apa artinya tenaga kita berdua?”

“Kita berdua menjadi pembantu utama. Sekarang kedua orang pangeran itu sudah mulai menyusun kekuatan. Kita dapat membujuk partai-partai lain untuk mau bekerja sama. Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sudah terbujuk. Juga Bu-tong-pai! Dan Bu-tong-pai bahkan hendak mengadakan pertemuan dengan seluruh perkumpulan dan perorangan yang berjiwa patriot untuk diajak bekerja sama. Juga kita harus menghubungi para Pendeta Lama Jubah Kuning yang tentu siap membantu. Pendeknya, gerakan ini harus berhasil baik. Dan kita berdua yang menjadi pembantu utama kedua orang pangeran itu tentu dapat mengatur bagaimana sebaiknya untuk kita berdua. Coba pikir, dari pada engkau hidup seperti ini, makan daging kijang panggang dan hidup seperti orang liar, bukankah lebih baik menggunakan kepandaianmu untuk mencari kedudukan setinggi mungkin?”

Swat-hai Lo-kwi mulai terbujuk. Dia menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama dengan Lo-mo membantu gerakan Pangeran Tao San dan Pangeran Tao Seng.

Seperti kita ketahui, kedua orang pangeran ini dihukum buang selama dua puluh tahun dan sekarang mereka telah bebas. Mereka kembali ke kota raja dan nampaknya mereka telah bertobat. Akan tetapi, ternyata diam-diam mereka kini sedang menyusun kekuatan untuk memberontak.....



                     
BERSAMBUNG KE JILID 05





















Terima kasih telah membaca Serial ini


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12