Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 11
Sebuah
kereta kuda berhenti di halaman depan gedung istana Pangeran Mahkota Tao Kuang.
Setelah kepala jaga memeriksa siapa yang berada di dalam kereta itu, dia lalu
memberi hormat dan kereta itu diperbolehkan masuk sampai ke pintu depan istana.
Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di
ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu
berkereta itu. Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota
tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar
menyambut.
“Ayo kalian
ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi
sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan keluarga kami yang bisa
kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.
Ketika
mereka tiba di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan.
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut
sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan
pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Begitu
melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah
karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia Sun dan
isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami isteri dan putera
mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya
yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu!
Begitu pun
Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya lalu menjadi
kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia
dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga
tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah
menjadi seorang dewasa yang ganteng!
Demikian
pula dengan Cia Kun. Dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga
terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.
Pangeran Cia
Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li. “Ehh, bukankah engkau
Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”
Sebelum Han
Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa, “Bagus, kiranya
kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi.”
“Akan tetapi
siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”
“Ah, Paman
ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu
engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”
“Bukankah
Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.
“Benar, dia
dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah
Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”
Pangeran Cia
Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.
“Nah, mari
kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan
ramah.
Mereka semua
diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena di ruangan itu terdapat
banyak jendela sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.
“Kanda
Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa
Kanda baru saja diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali
mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”
“Benar,
Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang
membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah
mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han
Li yang telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat.
Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu pun menyamar
sebagai pengawal pribadi Kaisar.”
“Ahh, kami
merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan
selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”
Karena di
situ memang sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran,
diikuti yang lain minum tiga cawan arak.
“Bagaimana
pun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami
terancam bahaya maut. Mereka berdua yang bisa menandingi pihak pemberontak
itu.”
Cia Sun
tersenyum memandang kepada Han Li. “Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan
Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apa lagi sekarang
menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”
“Aihh, Paman
Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.”
“Li-moi,
ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa
Hong-moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya
Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima
pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu mempunyai banyak macam ilmu
silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata
penuh kagum.
Pemuda ini
sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak
secara halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan
kini perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya
dibandingkan Han Li.
“Aih,
Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han
Li? Kalau dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman
Pangeran Cia sendiri memiliki ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu
memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua
ilmunya!”
“Ahh, Ayah
dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak dapat
maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada
adik sepupunya itu dengan senyum.
“Kwi Hong,
kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun untuk bicara di taman? Biarkan
kami yang tua-tua bicara di sini,” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.
“Ah, taman
bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk
sekali. Marilah, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di
sana!”
Karena
ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga
orang muda itu ke taman bunga.
Setelah tiga
orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang, “Kanda
Pangeran, sebetulnya apakah yang sudah terjadi? Siapakah yang mendalangi
pemberontakan itu?”
Pangeran Tao
Kuang menghela napas panjang. “Sungguh memalukan bila dipikir. Yang menjadi
dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”
“Bukankah
mereka telah dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda
Pangeran?” tanya Cia Sun.
“Benar, akan
tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan
menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu, akan
tetapi mendiamkan saja. Bagaimana pun juga mereka adalah saudara-saudara kita
dan pada kenyataannya hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh
tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan
datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku
sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”
“Kakanda
tadi sudah memberi tahukan bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang
bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”
“Benar dan
tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu
putera dari kakanda Tao Seng.”
Pangeran
Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuh dia karena
pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan
tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia
terkena hasutan.
Cia Sun
mendengarkan dengan perasaan heran bercampur kagum. “Jadi pemuda itu memusuhi
ayahnya sendiri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”
“Benar. Akan
tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian
sebab melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak
mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala
suku Khitan.”
Pangeran Cia
Sun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang
pendekar yang besar!”
“Dia memang
berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali
sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar
dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan
tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai
prajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu
dapat kabur. Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh
ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam
kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau
Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana
kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng
akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”
“Keterlaluan
sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia sudah tertangkap kembali?”
“Belum.
Begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Kini para
penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu dia akan
dijatuhi hukuman mati.”
“Aku dapat
menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka
tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka
adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya
besar,” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.
“Hemmm, tiga
nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja
tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun
yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia
kang-ouw, maka ia mengenal pula ketiga orang datuk yang disebutkan tadi.
“Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau
Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”
Pangeran
Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk. “Dugaan itu memang tepat sekali. Tidak
dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”
“Akan tetapi
masih ada satu hal lagi yang sangat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”
“Apa yang
kau herankan?”
“Hadirnya Yo
Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai
tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan
tetapi Han Li, dia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah
kakak angkatku. Akan tetapi walau pun demikian, ayahnya itu juga ketua
Thian-li-pang yang jelas-jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu
juga dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang
hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”
Pangeran Tao
Kuang tersenyum. “Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona
Yo Han Li. Ia tidak mengenal satu pun orang-orang itu sebagai anggota
Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang
dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Tadinya aku pun sangat curiga kepada nona
Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali,
bahkan cocok dengan Kwi Hong. Oleh sebab itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa
nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan
melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”
Pangeran Cia
Sun mengangguk-angguk, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang
mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan, “Menurut penglihatanku, nona Yo
sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus
terang dia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang
pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, tetapi sama sekali tidak membenci
keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan, dan kini mereka hanya
bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat-pejabat yang menyeleweng
atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di
sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari
serbuan para pembunuh.”
Kembali Cia
Sun mengangguk-angguk. “Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar
Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Dia hampir tak
pernah membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan,
kemudian diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”
Sementara
itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.
“Taman
begini indah, hawa pun begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak,
meniup suling dan menabuh yangkim. Akan tetapi, karena kita belum mempersiapkan
peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita
masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.
“Bagus!” Cia
Kun memuji. “Engkau yang mengusulkan, sebaiknya engkau yang terlebih dulu
mulai, Hong-moi!”
“Tidak,
sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang
paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar
membuka mata kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan
Han Li.
Han Li
tersenyum. “Sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita.
Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau
dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”
Kwi Hong
bertepuk tangan dan bersorak. “Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak
berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah
terhadap wanita!”
Menghadapi
serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi.
“Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari
ibuku.”
Kwi Hong
bertepuk tangan. “Wah, tentu hebat sekali!”
Cia Kun lalu
mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut sebuah kipas putih
dari pinggangnya, kemudian dia berkata sambil tersenyum. “Ibuku biasanya
memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Oleh karena
aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan
itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”
Cia Kun lalu
melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang
dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan
terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan
yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan.
Pemuda itu
memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu
berhenti. Lehernya sedikit berkeringat namun pernapasannya biasa saja, tanda
bahwa dia sudah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya
ketika berlatih tadi.
Kwi Hong
bertepuk tangan, diikuti oleh Han Li. Dan Han Li berkata, “Sungguh kiam-hoat
(ilmu pedang) yang bagus!”
“Aihh,
Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun
sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.
“Siapa
menertawakan, Kun-ko?” Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu
datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh
jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu
silatmu telah maju pesat sekali.”
“Terima
kasih atas pujianmu, Li-moi.”
“Haiii,
kalian ini agaknya sudah lama berkenalan,” kata Kwi Hong sambil memandang wajah
kakak misannya.
“Tentu
saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. “Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku
sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”
“Ah, pantas
saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk
menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong dengan gembira. Tadi ia merasa bangga
dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh kakak misannya.
“Ihh, apakah
engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona
rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh
lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”
“Wah,
kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali
berdebat dan bicara. Baiklah, sebagai nona rumah aku harus mengalah. Akan
tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku.“
“Mana
mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali.
Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”
“Hong-moi,
aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat
menolak lagi,” Cia Kun juga membujuk.
“Baiklah,
boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.”
Kwi Hong
lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat
sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja,
tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan
kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain
silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu silat yang
secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan istana kaisar.
Dan kedua
orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedang itu, mengandung tenaga
keras tetapi kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong
memainkannya dengan gerakan yang indah sekali.
Kini Yo Han
Li yang merasa kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu. Akan
tetapi, kalau dibandingkan dengan ilmu pedang yang dimainkan Cia Kun tadi,
jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong ini lebih lihai. Juga Cia Kun
kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya
demikian kuat dan cepat.
Setelah Kwi
Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li langsung menyambutnya
dengan tepuk tangan.
“Kiam-hoat
itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.
“Wah,
Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak
akan berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil
menghampiri adik misannya itu.
“Kalian
berdua terlalu memujiku!” berkata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya
yang berkeringat itu dengan sapu tangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang
memperlihatkan kepandaiannya.”
“Karena
kalian tadi bermain pedang, biarlah aku pun menggunakan pedang,” kata Han Li
sambil mencabut pedangnya. Pedang itu tipis dan tidak begitu panjang.
Setelah
memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan
pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin
cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan
angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau
sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan!
Sungguh ilmu silat yang luar biasa, baru sinar pedangnya saja mampu membuat
daun-daun itu berjatuhan!
Cia Kun dan
Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka
tidak tahu bahwa itu adalah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga
Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi
silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya.
Baru setelah
gulungan sinar itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang
bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedang
dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.
“Hebat!
Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.
“Memang
hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi,” kata Cia
Kun.
“Ahh, engkau
bisa saja memuji orang, Kun-ko!”
“Aku tidak
asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo
kalau tidak percaya!”
Yo Han Li
mengangguk. “Memang hebat ilmu pedangmu tadi. Aku tidak pernah melihat ilmu
pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”
“Ilmu pedang
itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Pada saat aku mencari-cari buku bacaan
di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar
dibaca. Aku lalu minta tolong kepada para sastrawan di istana dan akhirnya
mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng Kiam-sut. Nah,
aku pun lalu mempelajarinya.”
“Hebat
sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung sekali
dapat menemukannya, adik Kwi Hong.”
“Jangan
terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang sangat hebat. Apa sih
namanya?”
“Itu adalah
Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”
“Dari kitab
kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh
seorang gadis yang cerdik dan tekun, Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum
sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi
Hong menjadi kemerahan.
“Ahh,
Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala
ini nanti membesar dan meledak karena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.
Cia Kun juga
tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong. Dari pandang mata ini mereka
dapat mengetahui bahwa keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini.
Tadinya Cia
Kun menyatakan suka kepadanya, bahkan ayah dan ibunya sudah datang meminangnya.
Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun
tidak lagi mengharapkannya dan memindahkan perhatian kepada Kwi Hong.
Mereka
memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, sama-sama berdarah
bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya
akan merupakan gangguan bagi mereka.
“Ahh,
kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dahulu
untuk rebahan di kamarku.”
“Ahhh, tentu
saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin.“ Kwi Hong
mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”
“Ah, tidak
usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin
mengaso.”
“Kalau
begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”
Han Li lalu
pergi dari situ. Setelah agak jauh dia mendengar suara Kwi Hong dan Cia Kun.
Keduanya tertawa-tawa dengan gembira.
“Semoga
mereka berbahagia,” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk
menuju ke kamar yang disediakan untuknya.
“Nah,
kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggalkan berdua saja. Aku memang
ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah sekian lama
tidak saling bertemu dan tadi begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak
karuan. Kini engkau sudah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan
juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali,
Hong-moi.”
“Wah,
pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin
disamakan dengan bidadari?” Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa.
Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.
“Sungguh,
Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku ada sebuah patung Dewi
Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”
“Aku kau
samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau
sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri
istana yang tergila-gila padamu.”
“Entahlah,
aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat
menyamai engkau, Hong-moi. Karena itulah, aku akan mohon kepada ayah ibuku
untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”
“Ihh! Jangan
bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi
merah sekali. Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.
“Engkau
marah, Hong-moi? Maafkan kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah
bundaku melamarmu, aku ingin lebih dahulu mengetahui darimu, apakah hatimu
sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar
orang tuaku tidak usah melamar kalau kemudian kau akan menolaknya. Maka itu,
katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”
Kwi Hong
merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta pada seorang pemuda, dan
pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak
sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami
isteri.
Sekarang Cia
Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu, tentu saja sukar baginya untuk
menjawab. Di dalam hatinya, ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang
pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang
juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi.
Mau apa lagi?
“Hong-moi,
jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku
tidak akan merasa sakit hati andai kata engkau menolakku. Aku hanya ingin
adanya kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.”
“Ahhh,
Kun-ko... urusan begituan... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita
kembali kepada mereka.“
Dan tanpa
menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini
merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang,
ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan
kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak
setuju!
Ketika Cia
Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong
dan wajah pemuda itu berseri serta matanya bersinar-sinar, mereka sudah dapat
menduga. Apa lagi saat melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan
mukanya!
Mereka
berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu
depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan
kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan
agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk
meminang gadis itu. Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena
mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai menantu puteri Pangeran Mahkota.
Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin…..
**************
Bi-kiam
Niocu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik
napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua
puluh dua tahun, dia belum pernah merasa jatuh cinta terhadap seorang pria. Apa
lagi akibat penekanan dari subo-nya bahwa semua pria adalah jahat dan palsu,
dia bahkan membenci kaum pria.
Dan karena
ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia
banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya.
Akan tetapi sejak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh
cinta kepada pemuda itu. Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah
pemuda itu membuatnya tergila-gila. Bahkan saking cintanya, ia lalu menjadikan
pemuda itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama.
Akhirnya ia
pun minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya, walau pun maksud ini
bertentangan dengan ajaran subo-nya. Ia berani menentang maut demi cintanya
kepada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya.
Sakit sekali
rasa hatinya. Ingin dia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa
karena ternyata dia tidak mampu mengalahkan Keng Han, bahkan sebagian rambutnya
putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah.
Apa lagi
ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan
buruk! Dari pada memilih dirinya yang cantik jelita, pemuda itu malah memilih
gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya
dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang
terjadi di sana.
Pada suatu
hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu
gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota
itu. Mulailah dia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah
melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen
Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.
Masuknya
seorang wanita seperti Niocu, yang cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja
menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah
makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Niocu disambut seorang pelayan
serta diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut. Puluhan pasang mata pria
mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan.
Sudah biasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum. Asal tidak ada
yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli.
Akan tetapi
hatinya tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri
menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah
tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, dan wajahnya berbentuk bundar dengan
mata yang lebar. Pemuda itu duduk menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu
bersikap tidak acuh. Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah
dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya.
Sekali pun pemuda itu tak memandang kepadanya!
Wanita memang
aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak
senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja
sambil agak dibanting untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu
memperhatikan dirinya.
Akan tetapi
pria itu mengangkat muka dan hanya memandang kepada pedangnya di atas meja,
sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah
makan itu menoleh kepadanya. Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia
lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda
di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan
mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya
dari cawan.
Bila pemuda
itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak
menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan
pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia
mereka rata-rata dua puluh lima tahun.
“Bukan main
cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!” terdengar seorang di antara mereka
berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Niocu.
“Kasihan ia
makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?” kata
orang kedua.
“Bagus
sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana
kalau ia menolak undangan kita dan marah?” kata yang ketiga.
“Hemmm,
siapa yang tidak mengenalku, si penakluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang
menolak undanganku. Kalian lihat saja!” berkata orang keempat, seorang pemuda
yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali.
Dia lalu
bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat
dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin
dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.
“Maafkan
aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat
merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja
kami. Kami yang akan membayar semua pesanan Nona! Marilah, Nona, kami
mengundang dengan hormat!”
Niocu
mengerutkan alisnya. Meski pun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya
makan bersama, namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda
ini tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walau pun undangan
itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.
“Terima
kasih. Aku ingin makan sendirian di sini, tidak ingin ditemani siapa pun juga,”
jawabnya dingin.
“Aih, Nona.
Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin
selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan sangat menghargai mereka.
Marilah, Nona, harap jangan malu-malu.”
Kalau
tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar
tajam memandang kepada pemuda itu, mula-mula ke wajah lalu pakaiannya. Pemuda
yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.
“Sudahlah,
jangan ganggu aku lagi. Cepat pergilah!” kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya.
“Pergi atau engkau akan menyesal nanti!”
Akan tetapi
mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri di dekat Niocu dan melihat betapa
cantiknya gadis itu.
“Nona begini
cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan
menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu akan mendapatkan
kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan dan
bahkan di antara kami ada yang menjadi putera jaksa. Engkau akan terhormat
kalau memenuhi undangan kami.” Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.
“Hemmm,
sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan
tidak tahu malu!”
Terdengar
suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda
yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih
makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda
hartawan itu. Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar
dia menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.
“Siapa
engkau? Berani mencampuri urusanku?” Dan tiga orang pemuda lain juga sudah
bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.
Akan tetapi
pemuda itu hanya tersenyum. Dia lalu mengambil empat biji kacang goreng,
dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat
biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba
pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri
bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet
dan kulitnya pecah!
Empat orang
pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang.
Apa lagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani
melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan
melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.
“Orang
lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!” kata mereka dan empat orang
itu maju hendak menghajar laki-laki itu.
Kini pria
itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah
empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka
mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar
dibuka.
Barulah
mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi
ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar
dari rumah makan itu!
Niocu
menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang
kepadanya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”
Pemuda itu
pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak
pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga
makanan, dia keluar lebih dulu. Tidak lama kemudian, Niocu juga selesai makan,
membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam
di rumah penginapan Hok-lai itu.
Si pelayan
segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng.
Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat
menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen
itu. Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap hendak mandi,
tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela
dan menjenguk keluar.
Dan ia
melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang
dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang tadi
sudah membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar. Pemuda itu memang
benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang
memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu hanya dengan kedua
tangan kosong saja melawan mereka, membagi pukulan dan tendangan.
Melihat ini,
Niocu tidak sabar lagi dan segera berlari ke tempat itu dan terjun ke dalam
perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok
si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak
menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja, akan
tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang!
Pemuda itu
pun dengan cepat merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jeri bukan
main melihat sepak terjang dua orang yang sedang mereka keroyok. Mereka segera
melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh. Pemuda itu
berhadapan dengan Niocu.
“Terima
kasih atas bantuanmu!” katanya sambil mengangguk.
Niocu balas
mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang
menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi serta bertukar pakaian. Akan
tetapi sejak tadi dia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya.
Seorang
pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar
aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata
keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu
sungguh gagah dan lihai.
Pada
keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia
tiba di luar kota Hue-nam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju
arah yang sama. Meski ia hanya melihat dari belakang, namun hatinya berdebar
karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin. Dia mempercepat
langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu,
pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang
wanita menegur lebih dulu.
“Perlahan
dulu, Nona,” terdengar suara pemuda itu.
Niocu
menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya. Kini dia berhadapan dengan pemuda
itu.
“Ah, kiranya
engkau!” katanya dengan wajar.
“Nona, tidak
kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak
pergi ke manakah?”
“Aku hendak
pergi ke Bu-tong-san.”
Wajah pemuda
tampan itu berseri. “Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun
sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!”
Niocu
memandang dengan tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati pemuda itu.
“Apakah engkau murid Bu-tong-pai?”
“Sama sekali
bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di
sana. Kalau memang engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apa bila Nona tidak
berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama. ”Ucapan pemuda itu wajar
saja. “Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau
kecewa.”
Niocu
diam-diam merasa gembira sekali. Ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin
mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan
arah perjalanan mereka ternyata sama!
Tentu saja
ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan
sembunyi sudah mengamatinya dan tahu bahwa dia meninggalkan losmen dan pergi
keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke
jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!
“Aku hendak
ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang
kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui
tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?”
“Benar
sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari
Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah
kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuan itu sebagai tamu agung.”
“Aihh,
kebetulan sekali kalau begitu.”
“Jadi Nona
tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?”
“Tentu saja
tidak.”
“Terima
kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gulam Sang. Kalau boleh aku
mengetahui, siapakah nama Nona?”
“Namaku
Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw lebih mengenalku sebagai Bi-kiam
Niocu.”
“Ahhh! Jadi
Nona yang disebut Bi-kiam Niocu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi
Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah
orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan
perjalanan bersama.”
Melihat
kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda
ini tidak bermuka-muka.
“Melihat
namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau
berasal?”
Gulam Sang
menjawab cepat. “Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Tetapi setelah berada di
sini aku tidak merasa sebagai orang asing.”
“Mari kita
lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gulam Sang. Ahh, aku
harus menyebut apa padamu?“
“Sebut saja
namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu,” kata Gulam
Sang merendah.
“Baiklah,
Gulam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat
pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau
dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?”
“Guruku
hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet.”
“Aihh, tidak
mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah
menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Mengapa waktu aku ke sana
engkau tidak berada di sana, Gulam Sang?”
“Aku sudah
lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah
pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau
pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?”
“Ahh, aku
sendiri tidak memiliki urusan apa pun dengannya. Akan tetapi aku mengantar
seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai
Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama.”

Berdebar
jantung dalam dada Gulam Sang. Tentu saja dia telah mengetahui semuanya. Gosang
Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama
karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa
kali, bahkan pernah bertanding pula melawan pemuda itu yang dia tahu amat
lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han!
Pada saat
itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu
hatinya tertarik, apa lagi mendengar bahwa nona ini Bi-kiam Niocu yang namanya
tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini supaya suka
menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia pun dapat
berkenalan dengan gadis ini.
“Niocu,
sebagai seorang yang mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi seperti engkau ini,
apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?”
Niocu
menoleh sambil terus berjalan. “Cita-cita? Apakah maksudmu? Aku sudah puas
dengan keadaanku yang sekarang.”
“Ahh, mana
mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita
untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya.”
Niocu
menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han, tapi
ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Dia pun tidak kerasan tinggal di
Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The Ciangkun, hidup
di kota raja!
“Saat ini
aku belum mempunyai cita-cita, Gulam Sang. Dan bagaimana dengan engkau? Apakah
engkau memiliki cita-cita yang muluk?”
“Tentu saja!
Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang sedang berusaha
menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku
memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku
memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta, juga dihormati
dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?”
Niocu diam
saja, namun alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian
dia mengangguk. “Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang sekali. Aku pun
bercita-cita seperti itu, Gulam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?”
“Mudah saja,
Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau juga akan memperoleh
pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. Kita bekerja sama dengan
Bu-tong-pai serta dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan
dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin
sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar
bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!”
Hati Bi-kiam
Niocu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gulam Sang sejak
tadi sudah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gulam
Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik
hatinya.
Mereka
melanjutkan perjalanan. Gulam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan
sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka
terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang
sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia
melepaskan jubahnya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu!
Niocu tahu
akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gulam Sang menyelimutinya dilakukan
dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya.
Gulam Sang juga berjaga semalam suntuk untuk menjaga supaya perapian yang
dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam.
Demikian
pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gulam Sang selalu mencarikan untuk
mereka. Dalam perjalanan bersama ini, Niocu melihat bahwa Gulam Sang lebih
memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu. Tanpa kata ia dapat mengerti
bahwa Gulam Sang jatuh cinta kepadanya.
Hal ini
mendatangkan kebanggaan di hatinya. Kini ia pun sama sekali tidak membenci pria
yang jatuh hati padanya, semenjak gurunya menyatakan bahwa semua pantangan dan
larangan itu telah dihapus. Ia boleh menikah dengan pria yang dicinta dan
mencinta dirinya.
Dan bagi
Gulam Sang sendiri, Bi-kiam Niocu merupakan tenaga yang sangat penting. Selain
gadis ini cantik jelita sehingga dia akan merasa puas dan senang kalau dapat
memperisterinya, juga gadis ini memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga dapat
menjadi pembantu yang berharga.
Berbeda
dengan Liong Siok Hwa yang sekarang menjadi kekasihnya itu. Siok Hwa juga
seorang gadis manis, namun masih kalah dibandingkan dengan Niocu. Dan Siok Hwa
hanya memiliki ilmu silat rendah saja, tidak banyak gunanya untuk membantunya.
Juga tidak ada orang tahu bagaimana hubungannya dengan Siok Hwa yang kini
berada di Bu-tong-pai. Para murid Bu-tong-pai hanya menganggap bahwa Siok Hwa
adalah tamu dari ketua mereka dan sahabat dari Gulam Sang!
Saat mereka
tiba di Bu-tong-pai, Gulam Sang disambut para murid dengan sikap hormat sebab
orang ini merupakan tamu kehormatan ketua mereka. Pernah Thian It Tosu, tentu
saja sebagai penyamaran Gulam Sang, memesan kepada para muridnya agar supaya
memperlakukan Gulam Sang sebagai tamu terhormat karena Gulam Sang merupakan
kenalan dekat dengan Thian It Tosu!
Bi-kiam
Niocu sudah mempunyai nama besar, maka orang-orang Bu-tong-pai juga telah
mendengar akan kelihaian pendekar wanita itu. Maka semua orang menghormatinya.
Oleh Gulam Sang, Niocu diberi sebuah kamar yang bersih dan lengkap. Ketika
Niocu bertanya di mana adanya Thian It Tosu, Gulam Sang menjawab bahwa Thian It
Tosu kini lebih sering kali mengurung diri di dalam ruangan bersemedhi dan tak
mau diganggu. Pada waktunya dia akan keluar sendiri dari kamar semedhi itu.
Sebelum dia keluar, tak seorang pun boleh mengganggunya.
Pada
keesokan harinya, benar saja Thian It Tosu keluar dari dalam kamarnya dan murid
kepala memberi laporan bahwa keadaan Bu-tong-pai baik-baik saja dan bahwa Gulam
Sang telah pulang akan tetapi karena ada urusan ke dusun di kaki bukit,
pagi-pagi tadi sudah berangkat meninggalkan Bu-tong-pai!
Dari
kalangan Bu-tong-pai hanya Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang mengetahui bahwa
Gulam Sang tidak turun gunung, melainkan menyamar sebagai Thian It Tosu yang
sekarang ada di hadapan para murid itu. Selain dua orang itu, tidak ada orang
lain yang tahu. Dua orang ini berada di bawah tekanan dan ancaman bahwa Thian
It Tosu yang asli akan dibunuh kalau mereka membocorkan rahasia.
Orang ke
tiga yang mengetahuinya adalah Liong Siok Hwa yang terpaksa mau dijadikan
kekasih Gulam Sang. Ia telah ternoda, ayahnya telah tewas dan biar pun
bagaimana juga, ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Gulam Sang.
Akan tetapi
semenjak Bi-kiam Niocu datang bersama Gulam Sang dan mendapatkan sebuah kamar
yang besar, hati Liong Siok Hwa menjadi tidak enak. Gadis itu terlalu cantik
untuk tidak dicurigai. Apa lagi melihat sikap Gulam Sang terhadap gadis itu
yang begitu manis budi dan menghormat, hati Liong Siok Hwa dipenuhi rasa
cemburu yang hebat.
Dia sudah
terlalu mengenal Gulam Sang sehingga ia tahu pula bahwa Gulam Sang mencinta
gadis yang baru datang itu. Dan sejak kehadiran Bi-kiam Niocu di Bu-tong-pai,
Gulam Sang tidak pernah berkunjung ke kamarnya di waktu malam seperti biasanya,
seolah Gulam Sang telah lupa kepadanya.
Pada hari
yang sudah ditentukan, berdatanganlah para tokoh kang-ouw di Bu-tong-pai.
Sebuah panggung didirikan dan dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Thian It
Tosu sendiri sebagai tuan rumah duduk di belakang panggung, didampingi oleh
Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang merupakan murid-murid kepala dari
Bu-tong-pai.
Dua orang
murid ini sama sekali tidak berani berkutik, apa lagi membongkar rahasia Gulam
Sang karena orang ini telah mengancam akan membunuh guru mereka yang ditahan di
ruangan tahanan bawah tanah oleh Gulam Sang dan dijaga siang malam oleh
orang-orang Pek-lian-pai yang membantu Gulam Sang.
Di antara
para tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, termasuk ketua-ketua partai dan
para datuk, hadir pula di situ Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan puterinya, Yo
Han Li. Han Li telah meninggalkan kota raja bersama gurunya, Kai-ong Lu Tong
Ki. Han Li mengatakan kepada Kai-ong bahwa sudah tiba saatnya ia harus pulang
ke Bukit Naga, pusat Thian-li-pang.
“Engkau
telah menguasai ilmu Tongkat Pemukul Iblis, maka tidak perlu lagi mengikuti
aku. Pulanglah, Han Li, dan selalu bersikaplah sebagai seorang pendekar wanita
yang menegakkan kebenaran dan keadilan.”
“Apakah Suhu
tidak ikut bersama teecu ke Bukit Naga dan bertemu dengan ayah bundaku?”
Lu Tong Ki
menggoyang-goyang tangan kirinya. “Bertemu Pendekar Tangan Sakti dan pendekar
wanita Si Bangau Merah? Wah, tidak, aku malu sudah mengangkat engkau menjadi
muridku.”
“Tidak
apa-apa, Suhu. Aku yang menanggung kalau orang tuaku marah kepadamu.”
“Tidak, aku
lebih senang merantau dan mencari makanan yang enak-enak. Selamat jalan!” kata
kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu.
Han Li merasa
kehilangan. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat
Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota, bahkan
sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan. Han Li tidak tahu
betapa gurunya itu pergi dengan wajah muram dan hati yang merasa sengsara.
Manusia
memang sukar membebaskan diri dari pada ikatan-ikatan antara manusia, ikatan
dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan kepandaian. Segala sesuatu yang
menyenangkan segera melekat dan mengikat manusia sehingga dia merasa sedih
kalau harus berpisah dengan yang menyenangkan itu.
Han Li
pulang dan banyak sekali yang diceritakan kepada ayah bundanya. Juga tentang
orang-orang yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan orang-orang
yang tertangkap hidup itu mengaku bahwa mereka itu orang dari Thian-li-pang,
padahal kenyataannya mereka adalah orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
“Keparat!”
Yo Han marah sekali. “Kiranya begitu permainan mereka? Mereka melakukan fitnah
keji untuk memburukkan nama Thian-li-pang. Jika pemerintah mendengar ini tentu
kita akan diserbu pasukan!”
“Harap
jangan khawatir, Ayah. Aku sudah menjadi saksi bahwa mereka bukan orang
Thian-li-pang karena tidak ada yang dapat mengenali aku dan ketika kurobek baju
di dada mereka terdapat tanda-tanda Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai di dada
mereka. Baik kaisar mau pun pangeran mahkota melihat sendiri sehingga kita
bebas dari tuduhan yang merupakan fitnah itu.”
Han Li
kemudian bercerita betapa ia bertemu dengan Kai-ong Lu Tong Ki dan menjadi
muridnya mempelajari ilmu Tongkat Pemukul Iblis, dan betapa dengan gurunya itu
ia menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota.
“Aku melihat
sendiri bahwa Pangeran Mahkota sekeluarganya adalah orang-orang yang baik dan
dapat menghargai orang-orang gagah.”
Yo Han yang
marah kepada Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ketika mendengar bahwa Thian It Tosu
dari Bu-tong-pai mengadakan undangan kepada orang-orang gagah, lalu berangkat
dan kini dia ditemani isterinya, Si Bangau Merah serta puterinya.
Nafsu memang
menguasai manusia, tidak peduli orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh.
Nafsu yang semula diikut-sertakan manusia agar manusia dapat hidup bahagia,
ternyata nafsu yang tadinya hanya menjadi peserta dan alat, sebaliknya malah
menjadi majikan manusia. Dalam segala tindakannya, manusia selalu dikendalikan
nafsu. Rasa benci, marah, dendam, iri dan sebagainya adalah akibat dari batin
yang dikuasai nafsu.
Nafsu
menghendaki kesenangan dan kalau kesenangan itu diganggu maka timbullah marah
dan benci yang akibatnya melahirkan duka. Sejak jaman dahulu kala sampai
sekarang, orang sudah menyadari akan hal ini. Sudah banyak usaha dilakukan
manusia untuk mengendalikan nafsu. Melalui agama, bertapa, menyiksa diri dan
sebagainya.
Akan tetapi
semua itu telah gagal. Kegagalan ini terbukti dari keadaan dunia di jaman
dahulu sampai saat ini. Permusuhan terjadi di mana-mana, bukan hanya permusuhan
antara negara dan bangsa, bahkan permusuhan antara bangsa sendiri, antara
rekan, teman dan bahkan keluarga. Padahal mereka itu semua beragama, semua
maklum akan bekerjanya nafsu yang menyeret manusia pada perbuatan jahat dan
permusuhan.
Kenapa
demikian? Karena pengertian mereka hanya sebatas akal pikiran saja. Padahal,
nafsu daya rendah telah menguasai hati dan akal pikiran kita. Dalam keadaan
demikian maka hati akal pikiran ini bahkan membela perbuatan-perbuatan kita
yang sesat. Kalau dua orang bermusuhan, tentu hati akal pikiran selalu membela
diri sendiri sebagai pihak yang benar dan lawannya sebagai pihak yang bersalah!
Bahkan
seorang pencuri pun, yang tentu tahu bahwa mencuri itu tidak baik atau jahat,
dibela hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu yang lalu mengatakan
bahwa manusia mencuri karena kelaparan sehingga mereka membutuhkan uang, karena
ini dan itu. Pendeknya, hati akal pikiran membela perbuatan mencuri itu sebagai
perbuatan yang tidak jahat.
Karena hati
akal pikiran sudah bergelimang nafsu, maka pengertian tidak ada gunanya, tidak
dapat mengekang dan mengendalikan nafsu yang sudah menyusup ke dalam diri kita
sampai ke tulang sumsum, sampai ke pembuluh darah. Buktinya cukup banyak.
Orang-orang
yang katanya berkepandaian tinggi, berilmu, para sarjana dan cerdik pandai
banyak yang melakukan tindakan menyimpang dari kebenaran. Ada yang korup, ada
yang menyalah gunakan kekuasaannya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa
pengertian atau kepandaian hati akal pikiran tidak berdaya menghadapi nafsu
yang selalu ingin mencari enak, ingin mencari senang dan kepuasan lahir mau pun
batin.
Kalau sudah
begitu, bagaimana agar kita dapat mengendalikan nafsu? Hanya satu yang dapat
mengendalikan nafsu, yaitu Penciptanya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu
menyingkirkan nafsu, yang mampu mengembalikan nafsu ke tempatnya semula, yaitu
menjadi peserta dan pembantu manusia dalam kehidupannya, tidak menjadi majikan
dari manusia. Karena itu, jalan satu-satunya bagi kita adalah menyerah kepada
Tuhan! Penyerahan yang tulus ikhlas, dengan segala kerendahan hati, dengan
tawakal dan kesabaran. Kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, tidak ada lagi hal
yang tidak mungkin dilakukan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita dan
menundukkan nafsu.
Yo Han,
isterinya Tan Sian Li, dan puteri mereka Yo Han Li, berangkat meninggalkan
rumah dan pergi berkunjung ke Bu-tong-pai. Semua urusan perkumpulan
Thian-li-pang diserahkan kepada para murid kepala untuk bekerja seperti biasa
dan menjauhkan diri dari pertikaian dan permusuhan….
***************
“Cu-wi
(Saudara sekalian) yang terhormat tentu sudah mendengar akan berita yang
menyedihkan itu, yaitu bahwa bengcu Bhe Seng Kok telah tewas terbunuh orang
yang tidak kita ketahui siapa orangnya. Oleh karena kedudukan bengcu sekarang
ini sedang lowong, maka pinto (saya) memberanikan diri untuk mengundang Cu-wi
berkumpul hari ini di Bu-tong-pai agar dapat melakukan pemilihan bengcu baru!”
demikian Thian It Tosu berkata kepada para tamunya.
“Kami
setuju...!” Banyak seorang orang berteriak.
Mereka yang
berteriak itu adalah orang-orang kang-ouw golongan sesat yang memang sudah
diatur terlebih dahulu oleh Gulam Sang. Terutama sekali para tokoh Pek-lian-pai
dan Pat-kwa-pai, mereka itu tanpa kecuali segera menyambut dengan teriakan
setuju.
Tiba-tiba
terdengar suara yang nyaring, melebihi suara banyak orang yang menyatakan
setuju. “Tunggu dulu!”
Teriakan ini
membuat semua orang yang berseru setuju berhenti berteriak dan semua orang
menengok ke arah pembicara. Ternyata yang berseru nyaring tadi adalah Yo Han
dan pendekar ini melompat naik ke atas panggung di mana Thian It Tosu berdiri.
Melihat ini,
Thian It Tosu merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata lantang,
“Siancai! Kiranya Yo-taihiap yang berseru tadi. Mengapa Taihiap berseru supaya
kami menunggu dulu? Apa lagi yang harus ditunggu?”
Yo Han
menjawab, suaranya lantang sehingga dapat terdengar semua orang. “Thian It
Totiang, di antara kita telah terjalin persahabatan yang erat dan aku Yo Han
mengakui bahwa Totiang adalah seorang ketua yang bijaksana dan para murid
Bu-tong-pai adalah pendekar-pendekar yang menjadi pembela kebenaran dan
keadilan. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi perubahan besar di
Bu-tong-pai. Totiang tak lagi memegang teguh kependekaran Bu-tong-pai. Seperti
dulu, sekarang pun aku dapat melihat orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai
di sini! Mereka dan seluruh orang-orang golongan sesat tidak berhak untuk ikut
melakukan pemilihan bengcu!”
“Siancai,
ucapan Yo-taihiap keterlaluan. Bengcu adalah pemimpin dari dunia kang-ouw,
tidak hanya milik orang-orang seperti Yo-taihiap ini. Dunia kang-ouw milik
semua orang yang gagah perkasa, ahli-ahli silat di dunia tanpa membedakan
golongan,” jawab Thian It Tosu.
“Tidak!”
bentak Yo Han. “Semua locianpwe dan sahabat dari dunia kang-ouw pasti tidak
menyetujui turutnya golongan sesat dalam pemilihan ini. Terutama sekali
Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai! Aku pribadi mempunyai perhitungan dengan kedua
perkumpulan sesat itu. Mereka mengirim pembunuh-pembunuh ke kota raja untuk
membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Hal itu bukan urusan kami, akan tetapi
ketika di antara mereka ada yang tertangkap hidup, mereka mengaku sebagai
anggota Thian-li-pang. Itu merupakan fitnah yang keji dan sekarang kita
kebetulan berkumpul di sini, maka aku tantang para pimpinan Pek-lian-pai dan
Pat-kwa-pai untuk menyelesaikan urusan denganku melalui pertandingan!” Yo Han
memang marah sekali karena nama Thian-li-pang difitnah oleh mereka.
Sesosok
tubuh melayang ke atas panggung dan seorang tosu telah berdiri di depan Yo Han
sambil tersenyum mengejek.
“Pinto Koai
Tosu adalah seorang di antara pimpinan Pat-kwa-pai. Tidak kami sangkal bahwa
Pat-kwa-pai mengirim orang-orangnya untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang.
Semua pejuang yang menghendaki berakhirnya penjajahan Mancu tentu akan setuju
dengan usaha kami itu. Akan tetapi tahukah Cu-wi, apa yang terjadi di sana?
Orang-orang kita itu sudah dihadapi oleh puteri Yo-pangcu! Puteri Yo-pangcu
membela pangeran mahkota! Dan tahukah Cu-wi apa artinya itu? Artinya bahwa
Thian-li-pang telah menjadi antek penjajah!”
“Tutup
mulutmu yang kotor!” Yo Han berteriak lantang, memandang Koai Tosu. “Puteri
kami berada di sana sebagai tamu, dan sudah wajar kalau tamu membela tuan rumah
yang hendak dibunuh. Dulu sudah kukatakan bahwa Thian-li-pang adalah
perkumpulan para patriot, akan tetapi kami ingin menumbangkan kekuasaan
penjajah bukan dengan cara-cara yang curang dan keji. Justru puteri kami yang
mengetahui bahwa orang-orang yang mengaku orang Thian-li-pang itu sebetulnya
adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.”
“Kami
mengaku sebagai orang Thian-li-pang bukan untuk melakukan fitnah, tetapi untuk
menggugah semangat perjuangan Thian-li-pang yang kini agaknya menjadi lemah,”
kata pula Koai Tosu penuh semangat.
“Cukup! Di
sini sekali lagi kukatakan bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai tidak berhak ikut
pemilihan bengcu dan aku menantang kalian untuk menyelesaikan urusan itu lewat
pertandingan!” Yo Han berseru dengan tegas.
“Siancai!
Agaknya Yo-pangcu menganggap diri sendiri yang paling hebat! Akan tetapi pangcu
kami tidak hadir di sini sehingga tidak dapat memenuhi tantangan Yo-pangcu!”
Tiba-tiba
Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-pai, juga meloncat dan berdiri di samping Koai
Tosu. “Siancai, tantangan Yo-pangcu tidak dapat kami sambut karena ketua kami
juga tidak berada di sini. Kalau Yo-pangcu merasa penasaran, boleh datang ke
tempat kami agar ketua kami dapat menyambut!” kata Thian Yang Ji.
Melihat dua orang
tosu ini, Yo Han sudah menjadi marah sekali.
“Kalian
berdua pernah mengerahkan anak buah untuk mengeroyok kami dahulu ketika kami
meninggalkan Bu-tong-pai. Kalian menggunakan banyak orang untuk mengeroyok
kami. Kalau kalian memang ada kepandaian, kalian berdua boleh mewakili ketua
kalian dan sekarang kalian berdua menghadapi aku!”
“Siancai!
Pada waktu itu pun sudah ternyata bahwa ketua Thian-li-pang bersekutu dan
menjadi antek penjajah. Ketika itu pun muncul pasukan penjajah membantu
Yo-pangcu. Apakah Yo-pangcu akan menyangkal hal itu?”
“Sama sekali
tidak!” jawab Yo Han. “Tetapi pasukan itu bergerak untuk menyelamatkan nona Tao
Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota, bukan untuk membantuku!”
Melihat
suasana semakin panas, Thian It Tosu maju untuk melerai. “Sudahlah, tempat ini
didirikan untuk pemilihan bengcu, sama sekali bukan untuk berkelahi. Urusan
pribadi boleh diselesaikan di tempat lain, bukan di Bu-tong-pai. Kalau Sam-wi
(Kalian bertiga) masih menghargai Bu-tong-pai sebagai sahabat, harap pertikaian
ini tidak dilanjutkan di sini.”
Yo Han
menyadari kebenaran ucapan Thian It Tosu, maka dia pun memberi hormat dan
berkata, “Maafkan aku, Totiang. Ucapan Totiang benar dan aku tidak akan memaksa
mereka untuk bertanding di sini. Akan tetapi aku tetap tidak setuju kalau yang
dipilih itu orang dari golongan sesat!”
Ketika
orang-orang membicarakan ucapan Yo Han yang mereka anggap mewakili para
pendekar, di sebelah dalam bangunan induk Bu-tong-pai terjadi hal yang menarik.
Pada saat semua perhatian ditujukan ke dalam, sesosok bayangan yang cepat
seperti seekor burung walet sudah menyelinap masuk ke dalam gedung itu tanpa
diketahui seorang pun.
Bayangan ini
bukan lain adalah Keng Han. Pemuda ini datang ke Bu-tong-pai bukan tertarik
oleh pemilihan bengcu, melainkan dia hendak mencari ayahnya, Pangeran Tao Seng
yang disangkanya bersembunyi di Bu-tong-pai.
Di ruangan
tengah dia melihat seorang wanita muda sedang dipegangi dua orang pria yang
tinggi besar. Wanita itu meronta dan berteriak, “Aku harus membuka kedoknya!
Thian It Tosu itu palsu adanya. Dia adalah Gulam Sang!”
Akan tetapi
baru saja ia mengucapkan itu, seorang di antara dua orang tinggi besar
menggerakkan tangannya, dihantamkan ke tengkuk gadis itu yang lantas terkulai
lemas. Tewas seketika!
Keng Han
yang bersembunyi tertegun. Dia tidak mengenal siapa adanya gadis itu, juga
tidak mengetahui persoalannya. Pula, untuk menolong gadis itu sudah tidak
keburu lagi, maka dia diam saja.
Ucapan gadis
itu yang membuat dia tertegun. Thian It Tosu adalah Gulam Sang yang menyamar!
Jika begitu, di mana adanya Thian It Tosu yang sesungguhnya? Dan wanita itu
sudah dibunuh karena membocorkan rahasia itu.
Dia mencari
terus, tidak mempedulikan dua orang dan gadis yang dibunuh itu. Setiap kamar
dijenguknya, akan tetapi dia belum juga melihat adanya ayahnya di situ.
Tiba-tiba nampak seorang murid Bu-tong-pai berjalan, agaknya dia yang bertugas
menjaga dalam bangunan itu.
Keng Han
menanti sampai bayangan itu mendekat. Dia meloncat, dan menyergapnya dengan
totokan sehingga orang itu tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.
“Cepat
katakan, di mana adanya Thian It Tosu?” katanya sambil membebaskan totokan pada
leher orang itu sehingga dapat bicara.
“Suhu? Suhu
jelas berada di luar, menyambut para tamu,” kata murid itu dengan heran.
“Dan di mana
adanya Pangeran Tao Seng?”
“Tidak ada
pangeran di sini!”
Keng Han
mengingat-ingat, lalu bertanya, “Apakah di sini ada tempat tahanan rahasia?”
“Ada...
ada…”
Keng Han
lalu menotok lagi lehernya sehingga orang itu tidak mampu bersuara lagi, lalu
melepaskan totokan sehingga kini orang itu mampu bergerak lagi. Dapat bergerak
akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.
“Hayo cepat
antarkan aku ke tempat tahanan itu! Awas, kalau engkau meronta atau lari, aku
akan membunuhmu!”
Orang itu
mengangguk lalu melangkah ke belakang, tangan kirinya dipegang oleh Keng Han.
Dia membawa Keng Han ke belakang bangunan dan di taman terdapat sebuah pondok.
“Di sanakah
tempat tahanan itu?”
Orang itu
menunjukkan ke pondok, lalu ke bawah.
Terpaksa
Keng Han kembali membebaskan totokannya pada leher sehingga orang itu dapat
bicara lagi. Sebetulnya dia tidak suka melakukan ini karena sekali saja orang
itu berteriak, semua usahanya akan gagal! Akan tetapi orang itu sudah menjadi
begitu takut sekali sehingga dia tidak berani berteriak.
“Katakan,
apakah penjara itu berada di bawah pondok itu?”
“Benar,
merupakan penjara rahasia.”
“Bagaimana
caranya masuk?”
“Di sana ada
arca yang sesudah diputar tiga kali ke kanan, akan terbuka pintu yang menuju ke
lorong bawah tanah.”
“Kau tidak
berbohong?”
“Tidak, akan
tetapi kalau engkau hendak masuk ke sana, engkau akan menempuh bahaya besar.
Tempat itu di jaga ketat oleh orang-orang Pek-lian-kauw!”
“Terima
kasih! Maaf, terpaksa aku membuatmu tak berdaya sampai aku berhasil keluar
lagi.” Kembali jari-jari tangannya bergerak cepat dan orang itu roboh terkulai
serta tidak mampu bersuara.
Keng Han
menyeret tubuh orang itu, disembunyikan di belakang semak-semak, lalu dia
berindap-indap memasuki pondok. Pondok itu kosong dan setelah diperiksanya,
benar saja terdapat sebuah arca singa di atas meja. Ia menghampiri arca itu dan
memutarnya ke kanan tiga kali, sambil terus waspada karena dia khawatir itu merupakan
jebakan. Akan tetapi tidak begitu, karena terdengar bunyi berderit dan di
lantai kamar itu terbuka sebuah lubang dengan tangga yang menurun ke bawah.
Keng Han
lalu menuruni tangga dengan hati-hati sekali. Ternyata anak-anak tangga itu
menembus sebuah lorong yang diterangi oleh lampu-lampu dinding. Ia melangkah
maju terus dengan hati-hati dan berhenti ketika mendengar suara orang
bercakap-cakap. Dia pun mengintai.
Di depan
terdapat lima orang penjaga yang membawa golok di tangan. Agaknya itulah
orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ. Keng Han memperhitungkan dengan
teliti sebelum bergerak, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat ke depan dan
kedua tangannya yang bergerak cepat sudah merobohkan dua orang!
Tiga orang
yang lain terkejut melihat munculnya seorang pemuda dan robohnya dua orang
rekan mereka. Tiga orang itu lalu menyerang dengan golok mereka. Akan tetapi
mereka kalah cepat. Dua orang roboh oleh kedua tangan Keng Han sedangkan yang
seorang lagi roboh oleh tendangannya. Keng Han cepat menotok lima orang itu
agar jangan mampu bergerak mau pun bersuara.
Dia maju
terus dan akhirnya dia melihat sebuah kamar tahanan dengan pintu besi dan
jendela beruji besi. Ketika dia memandang ke dalam, dia melihat seorang tosu
tua sedang bersila dan bersemedhi. Dan tosu itu bukan lain adalah Thian It Tosu
yang asli!
“Totiang...!”
Keng Han berseru lirih.
Akan tetapi
suara itu cukup untuk menggugah tosu itu dari semedhinya dan dia menoleh ke
kanan, ke arah ruji jendela. Di sana dia melihat seorang pemuda yang sama
sekali tidak dikenalnya.
“Siapa
engkau orang muda?”
“Ssttt,
Totiang, saya datang untuk membebaskan Totiang.”
Pendeta itu
terkejut dan girang, lalu cepat dia meloncat dari lantai dan berdiri di balik
ruji besi.
“Pintu ini
terkunci kuat sekali, juga jendela ini agaknya terlalu kuat untuk dijebol,”
kata kakek itu.
Keng Han
teringat. “Akan saya cari kuncinya!”
Dia lalu
menghampiri kelima orang itu dan memeriksa mereka satu demi satu. Akhirnya dia
dapat menemukan kuncinya di dalam saku salah seorang di antara mereka. Cepat
dia menggunakan kunci untuk membuka pintu besi yang tebal dan berat itu.
Melihat para
penjaga menggeletak tak mampu berdaya, tahulah Thian It Tosu bahwa penolongnya
seorang pemuda yang berilmu tinggi. Padahal orang-orang Pek-lian-kauw yang
berjaga di situ rata-rata merupakan anggota pilihan yang sudah memiliki ilmu
silat yang tangguh!
“Ke mana
engkau hendak membawa pinto, orang muda? Apakah yang telah terjadi?”
Dengan
singkat Keng Han menceritakan. “Gulam Sang telah menangkap Totiang dan menyekap
dalam penjara itu. Dan dia sendiri menyamar sebagai Totiang. Dia membawa
Bu-tong-pai bersekutu dengan orang-orang sesat seperti Pek-lian-pai dan
Pat-kwa-pai, kemudian dia membawa Bu-tong-pai untuk memberontak, mengirim
orang-orang untuk mencoba membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota. Akan tetapi
usahanya gagal dan kini dia mengundang para tokoh kang-ouw untuk mencari bengcu
baru karena bengcu yang lama sudah terbunuh orang tanpa diketahui siapa yang
membunuhnya. Marilah, Totiang. Kita ke sana dan membuka rahasia penyamaran
Gulam Sang.”
Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Niocu telah berada di depan
mereka.
“Niocu,
kau... di sini?” Keng Han benar-benar terkejut melihat wanita itu.
“Dan engkau
pun mau apa berada di sini? Aku di sini sebagai tamunya Thian It Tosu, bukankah
demikian, Totiang?”
“Siancai!
Pinto tidak pernah bertemu denganmu, Nona.”
“Apa? Baru kemarin
dulu Totiang menerimaku sebagai tamu dan sahabat Gulam Sang. Bagaimana baru dua
hari Totiang sudah lupa lagi padaku?”
“Niocu,
engkau telah ditipu orang! Ketahuilah bahwa aku baru saja membebaskan Thian It
Tosu dari penjara bawah tanah.”
“Tapi...tapi
Thian It Tosu kemarin dulu benar-benar menerimaku. Aku tidak berbohong, Keng
Han.”
“Engkau
memang tidak berbohong, melainkan telah dibohongi orang. Thian It Tosu yang
kemarin dulu menerimamu itu bukan lain adalah Gulam Sang yang menyamar. Gulam
Sang sudah menguasai Bu-tong-pai dengan menyamar sebagai Thian It Tosu dan dia
menahan Totiang ini di bawah tanah.”
“Ihhh...
rasanya tidak mungkin. Gulam Sang adalah seorang yang baik budi dan gagah
perkasa.”
“Hemmm,
agaknya engkau sudah melupakan sama sekali nasehat gurumu. Di dunia ini memang
terdapat banyak pria yang jahat dan Gulam Sang merupakan seorang yang paling
jahat di antara mereka.”
“Benarkah
begitu, dapatkah aku percaya padamu, Keng Han?”
“Buktikan
saja sendiri. Kami mau keluar untuk membongkar rahasia ini. Mari kau lihat dan
dengar sendiri!”
Pada saat
itu, Thian It Tosu penyamaran Gulam Sang sedang berdiri di atas panggung dan
berkata dengan suara lantang. “Saudara sekalian, bengcu telah dibunuh orang.
Untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, kita harus memilih seorang bengcu baru.
Kalau sudah mendapatkan bengcu yang baru, tentu kita dapat memulai dengan
perjuangan kita.”
“Tahan
dulu...!”
Terdengar
teriakan sangat nyaring dan sesosok bayangan melompat ke atas panggung.
Ternyata dia adalah Keng Han. Melihat pemuda ini Gulam Sang merasa terkejut
sekali.
“Orang muda,
telah kami katakan padamu, bahwa gurumu Gosang Lama itu seorang penjahat dan
kami dari Bu-tong-pai terkenal sebagai para pendekar! Engkau muncul lagi
mempunyai keperluan apakah?”
Keng Han
tidak menjawab, melainkan berpaling kepada semua orang yang hadir.
“Cu-wi,
apakah Cu-wi (Saudara sekalian) mengenal orang ini?” Dia menuding ke arah Thian
It Tosu yang palsu.
Banyak orang
tertawa menanggapi pertanyaan yang mereka anggap aneh itu.
“Heiii,
orang muda! Siapa yang tidak mengenalnya? Beliau adalah Thian It Tosu ketua
Bu-tong-pai. Siapa pun yang berada di sini tentu tahu akan hal itu. Mengapa
engkau menanyakannya?”
“Ketahuilah,
Cu-wi yang mulia. Orang ini bukan Thian It Tosu. Dia adalah Thian It Tosu
palsu!”
“Orang muda,
enak saja engkau bicara! Pinto adalah Thian It Tosu, mengapa engkau bilang
palsu?”
“Cu-wi
menghendaki bukti?” suara Keng Han nyaring sekali, mengatasi suara semua orang
yang riuh rendah terheran-heran mendengar bahwa Thian It Tosu yang di atas
panggung adalah palsu.
Keng Han
lalu memberi isyarat dengan tangannya dan sesosok tubuh lain melayang dan
berada di atas panggung. Ketika semua orang memandang mereka, mereka berseru
terheran-heran karena orang itu juga Thian It Tosu! Di panggung itu berdiri dua
orang Thian It Tosu yang sama, baik bentuk tubuh, wajah dan pakaiannya!
Selagi semua
orang ribut bicara sendiri mengomentari pemunculan dua orang Thian It Tosu itu,
Keng Han berkata dengan lantang, “Nah, kini saudara sekalian sudah melihat
buktinya. Thian It Tosu yang baru muncul inilah yang asli, sedangkan Thian It
Tosu yang pertama tadi adalah palsu. Dia adalah Gulam Sang yang menyamar
sebagai Thian It Tosu!”
Tentu saja
Gulam Sang menjadi marah sekali dan juga bingung. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa Keng Han mampu membebaskan Thian It Tosu sehingga kedoknya terbongkar.
Akan tetapi dia masih ingin mempertahankan diri dan dia segera berseru.
“Dia itu
yang palsu! Lihat ini, Pek-coa-kiam ini jelas milik Thian It Tosu yang asli.
Akulah yang asli dan dia itu palsu!” Setelah berkata demikian, dengan pedang
Pek-coa-kiam di tangan, Gulam Sang menyerang dan menusukkan pedangnya kepada
Thian It Tosu.
“Tranggg...!”
Pedangnya
itu tertangkis oleh pedang di tangan Bi-kiam Niocu. Wanita ini marah sekali
kepada Gulam Sang. Pemuda itu tadinya dia harapkan untuk menjadi suaminya, akan
tetapi ternyata pemuda itu malah telah menipu dan membohonginya.
“Niocu,
kuharap engkau jangan mencampuri urusan ini, atau bantulah aku membunuh Thian
It Tosu yang palsu ini!”
“Engkaulah
yang palsu, Gulam Sang!” bentak Bi-kiam Niocu.
Akan tetapi
dara ini terkejut ketika pedangnya yang menangkis pedang Pek-coa-kiam itu
terpental dan tangannya tergetar hebat. Pemuda Tibet itu ternyata mempunyai
tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.
Keng Han
meloncat ke depan Niocu, kemudian berkata, “Mundurlah, Niocu. Jahanam ini
adalah musuh besarku, biarlah aku yang menghadapinya! Nah, Gulam Sang,
sebaiknya engkau melepas kedokmu itu!”
Gulam Sang
yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu memandang Keng Han dengan mata
mencorong penuh kebencian.
“Engkau
pengacau sinting, biar kubunuh engkau terlebih dahulu!” Dengan bentakan ini,
Gulam Sang menyerang Keng Han dengan Pedang Ular Putih.
Serangan itu
hebat sekali dan Pek-coa-kiam itu menyambar ke arah leher Keng Han. Akan tetapi
Keng Han yang sudah tahu betapa lihainya Gulam Sang, sudah mengelak dengan
loncatan jauh ke belakang. Akan tetapi, Gulam Sang mendesak terus dengan
Pek-coa-kiam yang ampuh itu sehingga Keng Han harus berloncatan dan mengelak ke
sana sini dan nampak terdesak serta tidak mampu balas menyerang.
Saat itu
Bi-kiam Niocu berteriak, “Keng Han, pakailah pedangku ini!” Ia melontarkan
pedangnya ke arah Keng Han yang menyambutnya dengan tangan.
Kini Keng
Han juga memegang sebatang pedang. Ketika Gulam Sang menyerang lagi dengan
bacokan dahsyat, Keng Han malah maju dan menangkis sambil mengerahkan
sinkang-nya.
“Tranggggg...!”
Sepasang
pedang itu bertemu dengan hebatnya. Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It
Tosu itu terdorong mundur ke belakang. Akan tetapi ketika Keng Han melihat
pedangnya, ternyata pedang itu sudah buntung pada bagian ujungnya! Jelaslah
bahwa Pek-coa-kiam di tangan Gulam Sang itu sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang
sangat ampuh.
Namun dari
pertemuan tenaga itu dapat diketahui bahwa dalam hal sinkang, ternyata Gulam
Sang masih belum mampu menandingi Keng Han. Keng Han kemudian balas menyerang
dengan pedang buntungnya. Dia memainkan ilmu Hongin-bun-hoat, pedang buntungnya
seperti menulis dan membuat corat-coret di udara, akan tetapi semua itu
sebenarnya merupakan serangan yang dahsyat bukan main.
Menghadapi
ilmu pedang yang aneh ini, Gulam Sang terkejut dan kini dia yang terdesak
mundur. Beberapa kali dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan pedangnya untuk
menangkis dan membabat pedang buntung lawan, akan tetapi usahanya itu tidak
pernah berhasil karena Keng Han selalu mengelak kalau diajak beradu pedang.
Di antara
para penonton terdapat Yo Han, Tan Sian Li, dan juga Yo Han Li yang sejak tadi
menonton pertandingan itu. Yo Han sendiri juga kaget dan tidak mengerti mengapa
muncul dua orang Thian It Tosu. Dia masih ragu-ragu siapa di antara kedua orang
itu yang asli dan mana pula yang palsu. Maka ketika Keng Han bertanding dengan
Thian It Tosu, Yo Han, isterinya dan puterinya tidak tahu harus memihak yang
mana.
Akan tetapi
ketika Keng Han mulai memainkan ilmu Hong-in-bun-hoat, mereka bertiga lalu
memandang heran. Pemuda itu sedemikian hebatnya memainkan Hong-in Bun-hoat yang
mereka kenal. Bahkan biar pun pedangnya sudah buntung, dia sekarang mampu
mendesak Thian It Tosu yang menjadi kewalahan dan main mundur terus.
Pertandingan
itu memang hebat bukan main. Gulam Sang yang didesak terus itu telah
mengeluarkan semua ilmunya, bahkan beberapa kali dia membentak dengan kekuatan
sihirnya untuk merobohkan Keng Han. Akan tetapi, ilmu sihirnya tidak mempan
terhadap Keng Han karena pemuda ini telah memiliki tenaga sakti yang hebat.
Dan setelah
mereka bertanding sampai seratus jurus lebih, tahulah Yo Han, isteri dan
puterinya bahwa Thian It Tosu itu jelas palsu. Hal ini mudah saja diketahui.
Kalau Thian It Tosu ini asli, tentu menggunakan ilmu pedang Bu-tong-pai yang
sudah mereka kenal. Akan tetapi Thian It Tosu ini sama sekali tidak
mempergunakan ilmu silat Bu-tong-pai melainkan menggunakan ilmu silat yang aneh
dan belum pernah mereka lihat!
Yo Han yang
berpengalaman luas itu berbisik kepada isteri dan puterinya, “Ilmu silatnya
tentu datang dari Barat. Dan lihat, dia menggunakan sihir dalam
bentakan-bentakannya itu. Untung bagi Keng Han, dia sudah memiliki sinkang yang
cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir itu.”
Tiba-tiba
Keng Han mengubah ilmu silatnya. Pedangnya masih membuat gerakan ilmu Hong-in
Bun-hoat, tetapi tangan kirinya memukul dengan jurus pukulan ilmu Toat-beng
Bian-kun yang kelihatan lemah lembut namun menyembunyikan kekuatan yang amat
dasyat. Dan Gulam Sang benar-benar terdesak hebat.
Pada saat
itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak, “Bocah
lancang!. Berani engkau menghina tuan rumah kami, ketua Bu-tong-pai?”
Yo Han
melihat bahwa mereka itu adalah para datuk sesat yang terkenal, yaitu Swat-hai
Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang datuk ini memang
sengaja tidak keluar dulu dan hanya mengintai dari dalam, melihat perkembangan
keadaan.
Ketika
melihat Keng Han datang bersama Thian It Tosu, tahulah mereka bahwa Gulam Sang
terancam bahaya. Apa lagi setelah melihat betapa Gulam Sang terdesak hebat oleh
Keng Han, mereka tidak dapat tinggal diam saja.
Ketiganya
lalu keluar dan segera melompat ke atas panggung, meninggalkan Pangeran Tao
Seng yang masih bersembunyi di dalam kamar rahasia. Karena mereka berada di
kamar rahasia, maka tadi Keng Han tidak berhasil menemukan ayahnya ketika
mencari di seluruh kamar tahanan dalam rumah induk Bu-tong-pai itu.
Melihat tiga
orang datuk sesat itu maju, Bi-kiam Niocu yang sudah marah sekali melihat Gulam
Sang menyamar sebagai Thian It Tosu juga melompat ke atas panggung.
“Main
keroyokan bukan watak orang gagah!” dia berseru.
Dan ia sudah
siap untuk melawan siapa saja yang hendak mengeroyok Keng Han, biar pun ia
bertangan kosong karena pedangnya sudah dipinjamkan kepada Keng Han.
Han Li tadi
melihat betapa gadis itu meminjamkan pedangnya kepada Keng Han, maka tanpa ragu
lagi ia mencabut pedangnya dan melemparkannya kepada Bi-kiam Niocu sambil
berseru, “Enci, pakailah pedangku ini!”
Niocu
menyambut pedang itu dengan tangan kanannya, lalu dia menghadapi Swat-hai
Lo-kwi yang juga memegang sebatang pedang.
Pada saat
itu pula, dua bayangan berkelebat ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah
Yo Han dan isterinya, si Bangau Merah Tan Sian Li! Tan Sian Li telah mencabut
suling emas yang diselipkan pada pinggangnya, sedangkan Yo Han yang tidak
pernah bersenjata itu hanya berdiri dengan tangan kosong.
Tan Sian Li
menghadapi Tung-hai Lo-mo sambil berkata lantang, suaranya mengejek. “Main
keroyokan, ya? Kami juga bisa!”
Tanpa banyak
komentar lagi wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik itu sudah
menggerakkan sulingnya untuk menyerang Tung-hai Lo-mo. Terdengarlah suara
berdesing nyaring dan suling itu kini menjadi sinar keemasan yang
melengking-lengking! Terpaksa Tung-hai Lo-mo menyambut dengan pedangnya, dan
mereka berdua sudah bertanding dengan hebatnya.
Sekarang
hanya tertinggal Lam-hai Koai-jin yang belum mendapat lawan. Maka Yo Han segera
menghadapinya sambil berkata, “Lam-hai Koai-jin, engkau ingin memperlihatkan
kepandaianmu? Majulah dan akulah lawanmu!”
Melihat Yo
Han, Lam-hai Koai-jin sudah merasa gentar. Dia maklum betapa tinggi ilmu kepandaian
Pendekar Tangan Sakti ini. Selagi dia meragu untuk menyambut tantangan Yo Han,
Thian It Tosu yang sejak tadi hanya menonton saja lalu melangkah maju dan dia
berseru lantang, “Cuwi harap menahan senjata dan berhenti berkelahi!”
Mendengar
bentakan nyaring ini semua menahan senjata, Thian It Tosu yang palsu sudah
terdesak hebat, mandi peluh dan napasnya terengah-engah. Maka seruan untuk,
berhenti bertanding itu telah menyelamatkannya.
Thian It
Tosu lalu menghampiri Gulam Sang dan berkata, “Gulam Sang, engkau yang menjadi
gara-gara semua keributan ini. Pinto tak ingin bila Bu-tong-pai dijadikan
tempat pertempuran. Harap para saudara yang membela Gulam Sang dan membelaku
suka mundur semua dan biarkan kami berdua yang menyelesaikan urusan ini!”
Sikap Thian
It Tosu berwibawa sekali. Tiga orang datuk itu segera mundur. Melihat ini,
Bi-kiam Niocu, Yo Han dan Tan Sian Li juga mengundurkan diri. Kini yang berdiri
di atas panggung hanya kedua orang yang sama itu.
Thian It
Tosu berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. “Gulam Sang, untuk
membuktikan siapa yang asli dan palsu di antara kita berdua, mari kita
bertanding ilmu di sini, disaksikan oleh semua orang. Akan tetapi, yang namanya
Thian it Tosu itu selamanya tak pernah menyerang lawan yang tidak bersenjata.
Nah, beranikah engkau melawan pinto?”
“Hemmm,
engkaulah yang palsu dan jangan mencoba untuk mengelabui orang lain. Aku Thian
It Tosu yang asli. Tentu saja aku siap melawanmu dengan tangan kosong!”
Setelah
berkata demikian, Thian It Tosu yang palsu itu lalu melontarkan pedangnya ke
bawah dan pedang itu lalu menancap di atas papan, bergoyang-goyang saking
kuatnya lontaran itu.
Sekarang
kedua orang kakek itu saling berhadapan dan semua orang menahan napas
menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Dua orang Thian It Tosu saling berhadapan
untuk saling menyerang.
Kalau tadi
Yo Han, Keng Han dan dua orang wanita itu menaati permintaan Thian It Tosu
adalah karena mereka menghormati Thian It Tosu sebagai tuan rumah. Mereka ini
yakin dan percaya kepada Keng Han bahwa yang muncul belakangan itu adalah ketua
Bu-tong-pai yang asli. Juga semua murid Bu-tong-pai yakin dan tahu mana yang
asli dan mana yang palsu dengan melihat cara Thian It Tosu tadi bertanding
melawan Keng Han.
Gulam Sang
adalah murid Dalai Lama yang lebih banyak mempelajari kebatinan. Sebab itu
pemuda ini merasa sinkangnya lebih dapat diandalkan dibandingkan ilmu silatnya.
Apa lagi dia pun tahu bahwa ketua Bu-tong-pai yang menjadi lawannya ini setiap
hari telah diberi racun sehingga sekarang sudah keracunan hebat. Dalam keadaan
begini tentu saja Thian It Tosu tidak akan mampu sepenuhnya mengerahkan
sinkangnya.
Selain itu,
Gulam Sang juga tahu bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai sungguh lihai dan sulit
dicari tandingannya. Karena itu, setelah mengetahui bahwa pertandingannya
melawan Thian It Tosu akan dilakukan dengan tangan kosong tanpa senjata, dia
merasa yakin bahwa dia akan dapat memenangkan pertandingan ini.
Dia lalu
menerjang ke depan dan mulai dengan serangannya. Thian It Tosu mengelak dan
bersilat dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Kini Gulam Sang tidak dapat menirukan
lagi dan mengeluarkan ilmu silatnya yang dia pelajari dari Dalai Lama.
Melihat
kenyataan ini, para murid Bu-tong-pai tidak ragu lagi untuk menentukan siapa di
antara dua orang yang sedang bertanding itu mana yang asli mana yang palsu.
Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu, dua orang murid kepala di Bu-tong-pai yang selama
itu sudah terpaksa menuruti kemauan Gulam Sang karena khawatir bahwa Gulam Sang
akan membunuh guru mereka, sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka
segera berloncatan ke atas panggung, diikuti oleh belasan orang murid lainnya.
“Dialah yang
palsu!” bentak Thian Yang Cu kepada Gulam Sang sehingga para murid itu
mengepungnya.
Melihat ini,
Gulam Sang menjadi gentar dan Thian It Tosu memanfaatkannya dengan sebuah
tendangan yang mengenai dadanya. Gulam Sang roboh dan para murid sudah mengayun
pedang untuk membunuhnya.
Akan tetapi
Thian It Tosu berseru nyaring, “Jangan bunuh!”
Gulam Sang
tidak dibunuh, akan tetapi ia ditangkap dan banyak senjata menodongnya. Thian
Yang Cu lalu menjambak rambutnya dan sekali tarik dengan kuat, terlepaslah
kedok yang dipakai oleh Gulam Sang.
Thian Yang
Cu mengangkat kedok itu ke atas dan berseru kepada semua tamu. “Lihat, dia
menggunakan kedok menyamar sebagai guru dan ketua kami. Dia adalah Gulam Sang!”
Bukan hanya
pendekar yang terheran-heran, bahkan tiga datuk yang tadi membelanya terkejut
dan merasa heran. Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa Thian It Tosu
yang selama ini mereka anggap asli itu ternyata palsu.
“Kalau
begitu, semua janji itu pun palsu.”
“Bunuh saja
keparat itu!” demikian banyak orang berteriak-teriak karena marah.
Akan tetapi
Thian Yang Cu melarang para murid membunuhnya.
“Gulam Sang,
permainanmu sudah berakhir. Semestinya engkau dibunuh oleh banyak senjata murid
Bu-tong-pai. Akan tetapi kami akan membebaskan engkau kalau engkau suka memberi
obat penawar racun dari tubuh ketua kami.”
Gulam Sang
menyeringai. “Bagus jika kalian mengetahui dan ingat akan keadaan Thian It
Tosu!” katanya.
Karena dia
sudah ditodong dan tak mungkin melawan lagi, dia merogoh saku dalam di bajunya
dan mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Kemudian dia berkata kepada Thian It
Tosu, “Tubuhmu sudah penuh dengan racun yang berada di dalam makanan dan
minumanmu selama ini. Telanlah obat ini dan engkau akan sembuh kembali.”
Thian It
Tosu menerima bungkusan itu dan seorang murid mengambilkan air teh. Thian It
Tosu membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam mulut, kemudian air
teh itu diminumnya. Setelah obat itu memasuki perutnya, dari dalam perut itu
keluarlah bunyi dan dia merasa betapa rasa nyeri di dada dan perut
menghilang.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment