Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 10
Bhe Seng Kok
adalah seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan tinggal di kota Cian-an.
Sepuluh tahun yang lalu, pada saat diadakan pemilihan bengcu, dia juga hadir.
Tadinya semua orang sudah sepakat untuk memilih serta menunjuk Pendekar Sakti
Yo Han untuk menjadi bengcu baru, akan tetapi Yo Han yang pada waktu itu sudah
menjadi ketua Thian-li-pang menolak. Atas usul Yo Han yang mengenal baik Bhe
Seng Kok, pendekar Siauw-lim-pai inilah yang kemudian dipilih menjadi bengcu.
Bhe Seng Kok menerimanya dan sejak itu dialah yang menjadi bengcu.
Tugas
seorang bengcu adalah mengepalai seluruh dunia kang-ouw dan kalau terjadi
bentrokan di antara orang kang-ouw, bengcu inilah yang akan menyelesaikannya.
Akan tetapi ketika terjadi perang antara pemberontak dan pemerintah, dia sama
sekali tidak mau mencampurinya. Biar pun banyak anggota kang-ouw yang terlibat,
akan tetapi Bhe Seng Kok menganggap itu urusan pemerintah dan dia tidak mau
melibatkan diri, hanya mendengar laporan dari orang-orang kang-ouw saja. Bhe Seng
Kok hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga dan tidak pernah menikah. Bahkan
ada keinginan dalam hatinya untuk kembali ke biara Siauw-lim-pai dan menjadi
hwesio di sana.
Pada suatu
hari Bhe Seng Kok sedang duduk sendiri di dalam rumahnya yang tidak besar.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang di depan rumahnya dan dia cepat keluar
untuk menyambut tamu yang datang. Ternyata yang datang adalah dua orang,
seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang
dayung baja. Sebagai seorang bengcu, tentu saja Bhe Seng Kok mengenal hampir
semua orang dari kalangan kang-ouw, apa lagi tokoh-tokoh golongan tua. Maka
begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera
menyambut dengan ramah.
“Ahh,
kiranya Tung-hai Lo-mo yang datang berkunjung. Selamat datang dan marilah kita
duduk di dalam agar dapat bicara dengan leluasa.”
“Terima
kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo.
Tung-hai
Lo-mo masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gulam Sang, pemuda gagah itu. Bhe Seng
Kok lalu mempersilakan dua orang tamunya.
“Silakan
Ji-wi (kalian berdua) duduk!”
“Terima
kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo sambil tersenyum. “Perkenalkan pemuda ini
bernama Gulam Sang, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi bukan main.”
Bhe Seng Kok
mengangguk, lalu dia memandang kepada Gulam Sang sambil berkata, “Maafkan kalau
aku belum mengenal Sicu, karena Sicu masih muda dan baru muncul di dunia
kang-ouw. Tung-hai Lo-mo, ada keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat
ini?”
“Yang
mempunyai keperluan justru Gulam Sang kongcu ini. Aku hanya mengantarkan dia
saja.”
“Ahh,
begitukah? Sicu, ada keperluan apakah maka Sicu datang menemuiku?”
Gulam Sang
tersenyum mengejek. “Aku mendengar bahwa engkau adalah bengcu yang mengepalai
seluruh dunia kang-ouw. Benarkah?”
“Benar, dan
aku menjadi bengcu karena dipilih dan didorong oleh para saudara di dunia
kang-ouw.”
“Seorang
bengcu tentu mempunyai ilmu silat yang tak terkalahkan. Karena tertarik dan
ingin sekali membuktikan sendiri bagaimana hebatnya ilmu silat bengcu, maka
sekarang aku sengaja datang untuk menantangmu mengadu ilmu silat!” kata Gulam
Sang terus terang.
Bhe Seng Kok
tersenyum lebar dan berkata, “Orang muda, menjadi bengcu bukan diukur dari ilmu
silatnya saja, melainkan harus pula memiliki kebijaksanaan dan rasa keadilan.
Bengcu bukan jagoan yang membanggakan ilmu silatnya, maka tidak perlu kita
harus mengadakan pibu (mengadu ilmu silat).”
“Maaf,
Bengcu. Kurasa pendapat itu tidak benar,” kata Tung-hai Lo-mo. “Kongcu Gulam
Sang ini datang dari jauh di Barat. Kalau permintaannya untuk pibu tidak
dipenuhi, tentu dia akan menceritakan kepada semua orang bahwa Bengcu takut
bertanding dengan dia.”
Gulam Sang
tertawa. “Ha-ha-ha, kalau memang Bengcu takut bertanding melawanku, akuilah
saja. Asalkan engkau suka berlutut memberi hormat tiga kali padaku, aku tidak
akan memaksamu lagi.”
Berkerut
alis Bhe Seng Kok. “Tidak ada yang takut dan tidak ada yang perlu berlutut! Aku
menolak diadakan pibu hanya karena menyayangkan Sicu yang masih muda. Kalau
sampai Sicu terluka dalam pibu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Seorang
bengcu melayani tantangan seorang pemuda yang tidak ternama tanpa alasan.
Tidak, aku tidak mau pibu denganmu!”
Gulam Sang
bangkit dan mencabut pedangnya. “Engkau telah menghinaku Pendeknya, mau atau
tidak engkau harus melawanku untuk menentukan siapa di antara kita yang lebilh
lihai!”
Melihat kenekatan
Gulam Sang, Bhe Seng Kok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Begitukah
yang kau kehendaki? Kalau begitu terpaksa aku akan melayanimu!” Setelah berkata
demikian, Bhe Seng Kok menyambar pedangnya yang tergantung di dinding. “Mari
kita pergi ke kebun di belakang agar lebih leluasa bertanding!”
Mereka pergi
ke kebun di belakang rumah itu. Di kebun ini biasanya Bhe Seng Kok bercocok
tanam.
“Nah, di
sini tempatnya luas dan engkau boleh mulai, orang muda!”
“Bengcu,
jagalah seranganku!” kata Gulam Sang dan dia sudah menyerang dengan ganasnya.
Melihat
serangan ini, diam-diam Bhe Seng Kok terkejut karena dia mengenal ilmu silat
yang dahsyat. Maka dia pun menangkis dengan pedangnya, lalu membalas serangan
itu. Gulam Sang juga dapat menghindarkan diri dan mereka sudah bertanding
dengan seru.
Melihat
betapa semua serangan Gulam Sang bukan sekedar untuk menguji kepandaian,
melainkan benar-benar menyerang dengan serangan maut yang berbahaya, Bhe Seng
Kok terpaksa mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang kokoh kuat. Bengcu ini
adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya sudah mencapai
tingkat tinggi.
Akan tetapi
sekali ini dia bertemu dengan Gulam Sang yang pernah mempelajari ilmu-ilmu
dahsyat dari Dalai Lama, maka pertandingan itu berlangsung seimbang dan amat
hebatnya. Sinar kedua pedang itu bergulung-gulung dan dua orang yang bertanding
itu merasa betapa tangguh lawannya. Seratus jurus telah lewat tanpa ada yang
terdesak dan ternyata tingkat mereka seimbang!
Mendadak
sebatang dayung baja yang kuat dan berat menyambar ke arah Bhe Seng Kok. Bengcu
itu terkejut bukan main. Segera dia mengelak dan menahan pedangnya, kemudian
menudingkan telunjuknya kepada Tung-hai Lo-mo.
“Lo-mo,
kau...!” Bhe Seng Kok berseru.
Akan tetapi
pada saat itu pedang di tangan Gulam Sang sudah menyerangnya dari belakang. Bhe
Seng Kok sedang mencurahkan perhatiannya kepada Tung-hai Lo-mo, maka dia tidak
tahu akan kecurangan itu dan tahu-tahu punggungnya sudah ditembusi pedang.
Bengcu itu
roboh terlentang, matanya mendelik ke arah kedua orang itu dan berseru, “Kalian
keji dan curang...!” Dan dia pun terkulai, menghembuskan napas terakhir.
“Bagus!”
kata Tung-hai Lamo. “Perkelahian ini tidak nampak oleh orang lain. Mari cepat
pergi dari sini, jangan sampai terlihat orang lain!”
Keduanya
lalu cepat melarikan diri, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon kemudian
melompat keluar dari pagar tembok rumah itu. Tidak ada orang lain yang
melihatnya dan baru beberapa hari kemudian mayat Bhe Seng Kok ditemukan
tetangganya yang mencium bau mayat.
Tidak ada
orang mengetahuinya siapa yang membunuh bengcu itu. Melihat bengcu itu tewas
dengan luka di punggung dan masih memegang sebatang pedang, semua orang tahu
bahwa bengcu itu terbunuh dalam suatu perkelahian, akan tetapi tidak ada yang
tahu siapa pembunuh itu.
Matinya
bengcu ini segera tersiar ke seluruh pelosok negeri. Hanya dua hari setelah
kematian bengcu itu, Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengundang para tokoh
kang-ouw dan ketua partai-partai besar untuk datang ke Bu-tong-san. Bu-tong-pai
hendak menjadi pelopor untuk pemilihan bengcu baru. Undangan ini pun tersiar
cepat sehingga terdengar sampai ke kota raja. Maka The Sun Tek juga mendengar
tentang undangan Bu-tong-pai itu walau pun dia belum mendengar akan kematian
Bhe Seng Kok.
Orang yang
memiliki pamrih besar yang dia sendiri sebut sebagai cita-cita, memang
mempunyai seribu satu macam akal untuk mencapai apa yang dituju. Dia tidak
peduli lagi akan caranya, segala macam cara akan dianggap halal dan pantas
dilakukan demi mencapai apa yang dicita-citakan.
Seperti
Gulam Sang dan kawan-kawannya itu. Baru saja mereka gagal dalam usaha membunuh
kaisar dan pangeran mahkota, juga penyerbuan ke kota raja gagal, mereka kini
sudah menjalankan siasat lain. Dan untuk keberhasilan siasat itu, mereka pun
tidak segan-segan membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah. Siapa pun
yang dianggap menghalangi jalan mereka tentu akan dihancurkan….
Mereka
bertiga melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari tibalah mereka di
kaki Beng-san. The Sun Tek berjalan paling depan, kemudian di belakangnya Cu In
berjalan di samping Keng Han.
Cu In yang
menjadi penunjuk jalan. “Di depan itu terdapat jalan simpangan ke kiri. Jalan
itulah yang harus diambil, Ayah. Membelok ke kiri.” Kini Cu In sudah tidak
asing lagi menyebut ayah kepada The Sun Tek dan sebutan ini benar-benar
membahagiakan hati panglima itu dan juga menyenangkan hati Keng Han.
“Kita sudah
berjalan lebih dari setengah hari, apakah tidak baik kalau kita beristirahat
lebih dulu?” Keng Han mengusulkan. Dia sendiri sebetulnya masih dapat bertahan,
akan tetapi dia melihat betapa dahi Cu In sudah berkeringat dan dia merasa
kasihan kepada gadis itu.
Mendengar
ini, The Sun Tek tersenyum dan menghentikan langkahnya. “Engkau benar, Keng
Han. Saking besarnya semangatku ingin cepat-cepat bertemu isteriku, aku sampai
lupa akan kelelahan, dahaga dan kelaparan. Mari kita beristirahat sejenak
sambil makan bekal kita.”
Cu In diam
saja, akan tetapi juga tidak membantah. Mereka memilih tempat yang teduh di
bawah pohon besar dan duduk di atas batu yang terdapat di situ. Keng Han lalu
membuka buntalan dan mengeiuarkan beberapa potong roti kering dan dendeng
kering. Juga seguci anggur dan tiga buah cawan. Tanpa banyak cakap lagi mereka
duduk makan dan minum. Karena mereka sudah lelah dan lapar, maka makanan
sederhana itu bagi mereka terasa nikmat sekali. Sesudah selesai makan mereka
lalu duduk beristirahat melepas lelah.
“Cu In,
anakku. Engkau mengenakan cadar di mukamu karena tekanan ibumu supaya mukamu
tidak sampai terlihat pria yang dianggapnya semua jahat. Akan tetapi, kukira
sekarang pendapat ibumu itu lain lagi, maka pantangan itu pun harus dapat kau
buang jauh-jauh. Tidak semua pria merupakan orang jahat. Contohnya Keng Han
ini. Apakah engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang laki-laki yang jahat?”
“Tidak,
Ayah,” kata Cu In sambil menundukkan mukanya.
“Apakah
engkau menganggap ayahmu ini laki-laki yang jahat pula?”
“Tidak juga,
Ayah.”
“Nah, kalau
begitu kenapa engkau selalu memakai cadar itu menyembunyikan mukamu dari kami?
Aku ini ayahmu, Cu In. Aku ingin sekali melihat mukamu. Maka kuminta, bukalah
cadar itu, Cu In.”
Melihat
gadis itu menjadi kebingungan, Keng Han lalu berkata dengan lembut. “Cu In,
bukalah cadarmu dan biarkan ayahmu melihatmu. Seorang ayah yang baik tentu akan
tetap menyayang anaknya, bagaimana pun juga wajah anaknya itu.“
“Ayah, kau
berjanji tidak akan membenciku atau malu mengakui aku sebagai anakmu setelah
melihat wajahku?”
“Ahh,
bagaimana mungkin? Engkau tetap anakku, tidak peduli bagaimana pun bentuk
wajahmu. Bukalah cadar itu sebentar saja, untukku.”
Cu In lalu
menghadapi ayahnya dan berkata, “Lihatlah Ayah, betapa buruk rupaku!” Ia
menyingkap cadarnya dan The Sun Tek sampai melangkah mundur dua langkah saking
kagetnya.
“Engkau...
jijik melihatku, Ayah?”
“Tidak, ah,
tidak...!” Ayah itu menghampiri dan memeluk Cu In yang sudah menutupkan lagi
cadarnya. “Aku tetap sayang kepadamu, bahkan aku iba kepadamu. Tapi kenapa
mukamu sampai begini, anakku? Kenapa?”
“Ketika
kecil aku diserang penyakit cacar yang berat sehingga setelah sembuh mukaku
bercacat seperti ini.”
“Nah, apa
kataku, Cu In. Orang yang mencinta dengan hati tulus tidak akan berubah hanya
karena melihat muka yang dicintanya itu cacat. Bahkan rasa iba memperdalam rasa
cinta itu. Jangan khawatir, kelak aku akan mengobati dan menghilangkan cacat di
mukamu itu!”
Dari ucapan
ini The Sun Tek dapat menduga bahwa pemuda itu pun sudah pernah melihat muka
anaknya yang cacat. Sudah melihat bahwa muka gadis itu mengerikan akan tetapi
tetap mencintanya, sungguh merupakan seorang pemuda yang sulit dicari keduanya
di dunia ini.
“Ucapan Keng
Han benar, anakku. Kami akan mencarikan tabib yang terpandai untuk mengobatimu.
Nanti sesudah kita hidup serumah dengan ibumu, aku akan menyebar anak buahku
untuk mencarikan tabib itu. Nah, sesudah sekarang engkau melihat bukti bahwa
kami tidak berubah sikap terhadapmu setelah melihat mukamu yang cacat, tentu
engkau menyadari bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini jahat seperti yang
diajarkan ibumu. Baru dua orang yang melihat wajahmu, yaitu aku dan Keng Han,
akan tetapi kami tidak menjadi jijik atau membencimu.”
“Bukan baru
Ayah dan Keng Han yang melihatnya. Ada seorang lain yang melihatnya dan begitu
dia melihatku, langsung saja aku akan dibunuh.”
“Siapakah
orang itu, Cu In?” tanya Keng Han dengan cepat.
“Tung-hai
Lo-mo. Kau ingat, Keng Han ketika engkau menolongku dari tangan Tung-hai Lo-mo
dan Swat-hai Lo-kwi? Nah, ketika itu Tung-hai Lo-mo yang menawanku sempat
membuka cadarku dan begitu dia melihat wajahku, dia hendak membunuhku. Baiknya
engkau datang dan menolong.”
“Tung-hai
Lo-mo? Datuk sesat itu memang orang yang jahat. Biar pun tidak membuka cadarmu
pun dia tetap seorang jahat yang harus dibasmi! Orang laki-laki macam dia tidak
masuk hitungan, Cu In. Seperti juga julukannya, dia memang seorang iblis!” kata
The Sun Tek marah.
“Aku sendiri
akan membunuhnya, Ayah, sesuai dengan sumpahku dahulu bahwa siapa yang berani
membuka cadarku, dia harus mati di tanganku.”
“Ahhh,
sumpah itu mengerikan sekali anakku. Aku sendiri dan Keng Han juga sudah
melihat wajahmu, apakah engkau juga akan membunuh kami?”
“Tidak, Ayah.
Sumpahku itu sudah kuanggap habis begitu aku bertemu dengan Keng Han dan
kemudian melihat bahwa kebencian ibuku terhadap laki-laki hanyalah sekedar
pelampiasan amarahnya terhadapmu. Akan tetapi perkenankan aku memakai cadar
ini, Ayah. Pertama, karena aku sudah terbiasa memakainya sehingga kalau
ditanggalkan aku merasa malu seolah telanjang, dan kedua kupakai supaya tidak
menjadi perhatian orang. Ketiga, agar engkau dan Keng Han tidak akan menjadi
malu.”
“Aku? Malu?
Kenapa aku harus malu?”
“Punya anak
yang cacat wajahnya.”
“Aku adalah
seorang yang berani menghadapi kenyataan betapa pun pahitnya, Cu In. Cacatnya
wajahmu tidak mengurangi kasih sayangku kepada engkau sebagai puteriku!”
“Dan kenapa
aku harus malu, Cu In?” tanya Keng Han dengan suara mengandung rasa penasaran.
“Kalau
orang-orang melihat wajahku lalu mendengar bahwa engkau... mencinta padaku,
bukankah engkau akan menjadi bahan tertawaan?”
Keng Han
terkejut. Gadis ini membuka rahasia hatinya begitu saja di depan ayahnya! Dia
menjadi tersipu dan salah tingkah, lalu memandang kepada The Sun Tek. Panglima
ini juga memandangnya, wajahnya berseri dan mulutnya pun tersenyum, lalu
kepalanya mengangguk perlahan.
“Cu In, apa
pun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Orang boleh menertawakan aku sesuka
hati mereka, namun aku tetap seorang sahabat yang amat mencintamu.”
“Ayah, kau
dengar itu? Apakah ucapan seperti itu bisa dipercaya? Bagaimana mungkin seorang
pemuda yang amat tampan dan gagah tanpa cacat dapat mencinta aku yang berwajah
buruk mengerikan ini? Aku belum dapat percaya sepenuhnya!”
“Cu In,
engkau belum mengerti tentang cinta. Bagaikan aku dan ibumu. Apa pun yang telah
dilakukan oleh ibumu, aku tetap mencinta dan menyayangnya. Bagi seorang yang
mencinta dengan tulus, segala macam cacat pada diri orang yang dicintanya tidak
ada artinya. Bukankah begitu, Keng Han?”
“Benar
sekali, Paman. Aku mencinta Cu In karena kepribadiannya, bukan hanya karena
wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku bahkan merasa semakin sayang karena
iba, dan kelak aku akan mencarikan tabib yang pandai untuk mengobati cacatnya
itu.”
“Nah,
anakku. Engkau beruntung sekali menemukan pemuda seperti ini. Cintanya tulus
dan suci, dan aku pun setuju sekali kalau dia menjadi menantuku!”
“Ayah.
Apakah Ayah telah tahu siapa dia? Dia adalah putera Tao Seng, pangeran yang
memberontak itu! Nah, apakah Ayah masih setuju juga berbesan dengan pengkhianat
Pangeran Tao Seng itu?”
“Menilai
orang dengan melihat ayahnya adalah picik. Belum tentu seorang ayah yang baik
budi memiliki anak yang baik pula dan tidak semua ayah yang jahat memiliki anak
yang jahat pula. Aku tidak peduli calon menantuku itu anak siapa, yang penting
asal pribadinya baik. Dan kulihat Keng Han adalah seorang pendekar yang baik
dan gagah perkasa.”
Cu In
menundukkan mukanya, akan tetapi terlihat betapa sepasang mata itu mencorong
berseri. “Aku sendiri tidak dapat menjawab sekarang. Kita lihat nanti sajalah.
Sekarang yang penting kita harus bertemu ibu dulu. Masih ada ibuku yang
mempunyai hak untuk menentukan siapa calon menantunya.”
Keng Han
diam saja, akan tetapi The Sun Tek mengerutkan alisnya. Dia sudah tahu akan
watak isterinya yang keras. Kalau isterinya tidak menyetujui Keng Han, sampai
mati pun ia tentu tidak akan menyetujuinya!
Pada saat
itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang
wanita yang cantik jelita. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik
jelita, kulit mukanya putih mulus, pipinya kemerahan, mata dan bibirnya begitu
manisnya sehingga tiap pria pasti akan tertarik. Rambutnya yang dibiarkan
terurai panjang di punggungnya itu diikat sutera merah dekat kepala.
Punggungnya membawa sebatang pedang.
“Suci
kiranya engkau!” tegur Cu In.
Keng Han
merasa tidak enak juga kalau tidak menyapa wanita itu.
“Subo...!”
katanya, terpaksa menyebut subo kepada Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok karena dia
pernah diberi pelajaran cara menghindarkan totokannya yang amat lihai.
Akan tetapi
Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Keng Han dengan mata
bersinar marah. Ia sudah merendahkan diri begitu rupa terhadap pemuda itu,
bahkan menemani pemuda itu sampai dapat menghadap Dalai Lama, akan tetapi apa
balasan Keng Han kepadanya? Saat diajak berjodoh dan lari minggat meninggalkan
subo-nya, pemuda itu tidak mau! Dan sekarang nampak bergaul akrab sekali dengan
sumoi-nya!
Niocu menudingkan
telunjuknya yang runcing ke arah muka bercadar itu dan terdengar suaranya yang
lantang. “Sumoi, apa artinya ini? Engkau bukan saja sudah melanggar pantangan
subo, bahkan engkau berani membawa dua orang laki-laki ke sini! Apa kau sudah
bosan hidup? Hayo lekas bunuh dua orang laki-laki itu, atau aku akan segera
melaporkan kepada subo!”
“Kebetulan
sekali kalau begitu, Suci. Cepat laporkan kepada subo bahwa aku datang
menghadap bersama ayahku dan saudara Keng Han yang sudah berulang-ulang kali
menyelamatkan diriku.”
“Apa kau
bilang? Ayahmu...?” Niocu mengamati The Sun Tek dengan penuh perhatian.
“Ya, Ayahku.
Sudahlah jangan bertanya panjang lebar. Beri tahukan saja bahwa aku datang
bersama ayahku dan sahabat baikku, tentu subo akan mengerti.”
Betapa pun
marahnya, Niocu yang galak dan kejam ini masih jeri terhadap Cu In yang tingkat
kepandaiannya lebih tinggi darinya.
“Baik, dan
kalian tentu akan dibunuh semua!” Ia pun berkelebat dan pergi.
“Cu In,
itukah yang terkenal dengan julukan Bi-kiam Niocu? “ tanya The Sun Tek kepada
puterinya.
“Benar,
Ayah. Ia suci-ku dan patuh sekali kepada guru kami sehingga ia melaksanakan
semua perintah guru. Entah berapa banyak laki-laki yang telah dibunuh olehnya
karena berani bersikap ceriwis kepadanya.”
The Sun Tek
menghela napas panjang. “Mudah-mudahan nanti aku bisa menghentikan semua
perintah ibumu yang keterlaluan itu.”
Mereka
mendaki bukit Beng-san dengan cepat.
“Kita akan
mengambil jalan pintas, Ayah, agar supaya lebih dekat. Akan tetapi kita harus
berhati-hati karena daerah ini termasuk wilayah yang dilindungi oleh keluarga
Gak.”
“Keluarga
Gak…?” Keng Han bertanya sambil mengingat-ingat.
Sambil terus
berjalan, Cu In kemudian menjelaskan tentang keluarga Gak yang tadi dia
sebutkan.
“Keluarga
Gak adalah keluarga yang sakti. Paman Gak Ciang Hun sendiri adalah orang yang
dekat dengan keluarga Pulau Es. Ilmu silatnya lihai sekali. Juga isterinya
memiliki ilmu silat yang hebat. Bahkan subo sendiri kalau tidak perlu sekali
tidak mau lewat di daerah ini.”
Keng Han
tertarik sekali. “Kalau begitu, dia tentu mengenal baik Paman Yo Han.”
“Kiranya
demikian. Sudah lama aku mendengar akan nama besar Pendekar Tangan Sakti Yo
Han. Apa lagi isterinya yang berjuluk Bangau Merah adalah seorang wanita sakti.
Kabarnya ia pernah belajar dari locianpwe Suma Ceng Liong yang merupakan
keturunan langsung dari Keluarga Pulau Es.”
Keng Han
mengangguk-angguk. “Kalau begitu tidak salah lagi bahwa Pulau Hantu itu adalah
Pulau Es yang dulu tenggelam dan kini muncul lagi. Paman Yo Han mengenal semua
ilmu silat yang kupelajari dari pulau itu.”
“Ahh, kalau
begitu engkau adalah pewaris ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!” seru The Sun Tek
dengan kagum.
“Ahh, hanya
kebetulan saja aku menemukan dan mempelajari, Paman. Dibandingkan dengan
orang-orang keturunan keluarga itu tentu kepandaianku tidak ada artinya. Aku
belajar sendiri tanpa ada yang membimbing.”
“Jangan
merendahkan diri, Keng Han. Aku sendiri sudah melihat betapa hebatnya ilmu
kepandaianmu, dapat menandingi ilmu silat para datuk sesat.”
“Engkau
terlalu memuji, Cu In. Ilmumu sendiri juga hebat sekali.”
Dua orang
muda itu saling memuji dan saling merendahkan diri mereka sehingga The Ciangkun
yang mendengarnya menjadi senang. Pertanda baik bagi orang yang saling mencinta
dan calon berjodoh.
Akan tetapi
mereka tak menemui halangan sehingga mereka menduga bahwa keluarga Gak itu
disegani dan ditakuti orang karena adalah pendekar-pendekar yang lihai. Akan
tetapi mereka sendiri tidak pernah usil mencampuri urusan orang lain sehingga
biar pun ada orang asing memasuki wilayah mereka asal orang asing itu tidak
mengganggu, juga tidak dilarang.
Ketika
mereka tiba di pondok tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio, ternyata wanita itu sudah
menunggu di serambi depan bersama Bi-kiam Niocu. Wanita itu agaknya mengenakan
pakaian yang masih baru dan rambutnya tersisir rapi dengan hiasan kembang
merah. Agaknya ia sudah diberi tahu oleh Niocu akan kedatangan Cu In, Keng Han,
dan laki-laki setengah tua itu.
Ketika
melihat The Ciangkun, Ang Hwa Nio-nio menyambutnya dengan ucapan dingin.
“Hemmm, kiranya engkau memenuhi janjimu, menemukan dan membawa Cu In ke sini.”
Mendengar
sikap dan mendengar ucapan yang nadanya dingin itu, Cu In merasa marah sekali
kepada wanita yang menjadi ibu dan gurunya itu. Dia pun berkata, “Kalau tidak
dibujuk Ayah dan Keng Han, sampai mati pun aku tidak akan mau datang ke sini
lagi!”
Ang Hwa
Nio-nio memandang kepada Cu In. Hatinya bagaikan ditusuk rasanya. Puteri
kandungnya sendiri berkata seperti itu!
“Cu In,
jangan berkata begitu, Nak!” katanya.
“Mengapa
baru sekarang ibu memanggilku seperti itu? Mengapa ibu mengingkari dan
mengatakan bahwa aku yatim piatu dan dipungut menjadi murid, kemudian bahkan
aku disuruh membunuh ayah kandungku sendiri? Mengapa?” Sekarang dalam suara
gadis berkerudung itu terdengar isak tangis.
Ang Hwa
Nio-nio menghela napas panjang. “Engkau tidak mengetahui penderitaanku selama
itu, Cu In. Hidup seorang diri, menahan semua rasa rindu. Bahkan peristiwa itu
membuat aku membenci dan ingin membunuh semua pria! Akan tetapi setelah bertemu
dengan ayahmu, aku menginsyafi kekeliruanku. Ternyata tidak semua laki-laki itu
jahat. Juga ayahmu sama sekali bukan seorang laki-laki jahat.”
Mendengar
semua percakapan itu, Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok menjadi terheran-heran. Ia
membelalakkan matanya yang indah, memandang kepada The Sun Tek, lalu kepada
gurunya.
“Jadi...
Paman ini... dia suami Subo?” tanyanya dengan suara lirih terputus-putus.
Ang Hwa
Nio-nio hanya mengangguk dan kedua matanya menjadi basah, berlinang air mata!
Makin heranlah Niocu. Belum pernah selama ini ia melihat subo-nya menangis.
“Aku... aku
memang bersalah diracuni sakit hatiku, Cu In. Maafkan ibumu, Nak...”
The Sun Tek
lalu berkata, “Sudahlah, mari kita lupakan semua yang terjadi dan memulai hidup
baru yang penuh kasih sayang dan berbahagia. Cu In, ibumu telah minta maaf.
Cairkan perasaan hatimu yang membeku itu.”
“Benar, Cu
In. Bagaimana pun juga, beliau adalah ibu kandungmu yang melahirkanmu kemudian
memeliharamu sampai menjadi dewasa,” kata Keng Han membujuk.
Semenjak
melihat ibunya menangis dan bicara dengan suara terputus-putus mengakui
kesalahannya, Cu In sudah menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran akan
tetapi tidak kelihatan karena ia menundukkan mukanya. Kini mendengar bujukan
ayahnya dan Keng Han, ia lalu bangkit dan berlari menubruk kedua kaki ibunya.
“Ibuku...!”
“Cu In... Cu
In... engkau anakku, anak tunggal. Kau maafkan ibumu, ya?” Ibunya juga
merangkul dan keduanya bertangisan.
“Tidak ada
yang perlu dimaafkan, Ibu. Aku dapat memaklumi perasaan Ibu.”
“Subo,
bagaimanakah ini? Jadi Sumoi adalah puteri Subo sendiri dan Paman ini adalah
suami Subo?”
Keng Han pun
melangkah maju dan menghampiri Niocu sambil berkata, “Sesungguhnya begitulah,
Subo.”
“Jangan kau
panggil subo kepadaku! Seperti orang mengejek saja. Panggil saja Niocu seperti
dulu. Siapa yang tidak tahu bahwa ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmuku? Jangan
sekali-kali panggil subo lagi atau aku akan menganggap engkau menghinaku.”
Ang Hwa
Nio-nio yang tahu benar bahwa hati para muridnya itu penuh rasa kebencian
kepada pria seperti yang sejak dulu ia tekankan, tahu pula akan watak Bi-kiam
Niocu. “Bi Kiok, sudahlah. Mulai sekarang, jangan membenci setiap pria. Hanya
yang jahat saja boleh kau benci. Akan tetapi kalau pria itu baik, tak ada
salahnya menjadi sahabatnya.”
“Ibu,
bagaimana kalau ada pria yang mencinta Suci? Apakah dia harus dibunuh?”
“Tidak,
tidak. Dulu itu aku sudah gila. Jatuh cinta bukanlah hal yang jahat. Kalau ada
pria yang jatuh cinta dan Bi Kiok tidak membalas cintanya, jauhi saja dan
katakan terus terang.”
“Bagaimana
kalau teecu yang jatuh cinta, Subo? Apakah pria itu harus dibunuh?”
“Tidak!
Kalau engkau mencinta seseorang dan orang itu pun mencintamu, maka tiada
halangannya engkau berjodoh dengan dia.”
“Aihh,
terima kasih, Subo! Adik Cu In, mulai sekarang engkau tidak perlu lagi menutupi
mukamu. Kutukan itu telah dihapuskan oleh Subo!”
“Suci, aku
tidak mau menjadi buah tertawaan orang dengan mukaku yang penuh cacat ini!
Tidak, aku kini mempunyai sumpah bahwa aku tak akan membuka cadar ini sebelum
aku menikah. Pada waktu malam pengantin aku akan membuka dan membuang cadar ini
untuk selamanya!”
“Sumoi...!”
kata Niocu sambil memandang kepada Keng Han.
Dari sikap
mereka dia dapat menduga bahwa keduanya saling mencinta. Akan tetapi bila kelak
Keng Han melihat wajah sumoi-nya itu, apakah Keng Han akan mau menjadi
suaminya?
“Bi Kiok, Cu
In sudah mempunyai pendirian begitu, engkau tidak boleh mencampurinya!” kata
Ang Hwa Nio-nio sambil tersenyum.
Niocu
memandang bengong. Belum pernah dilihatnya gurunya itu tersenyum, apa lagi
tertawa. Dan ia melihat wajah subo-nya itu kini penuh senyuman dan ternyata
gurunya itu masih cantik walau pun usianya sudah lima puluh tahun!
“Hong Bwe,
anak kita ini sudah memiliki calon jodohnya, bahkan sudah pernah melihat
mukanya.”
“Ayah...!”
Cu In berseru dan dahinya nampak kemerahan.
“Cu In,
engkau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu di depan ayahmu, Ha-ha-ha!”
“Benarkah
itu?” Ang Hwa Nio-nio berseru, dari nada suaranya terdengar gembira bukan main,
“Siapakah laki-laki yang bijaksana itu?”
“Orangnya
dekat di sini, apa engkau tidak dapat menduganya, Hong Bwe?”
“Ahh,
engkaukah itu, orang muda? Benarkah engkau mencinta Cu In dengan setulus
hatimu?”
Biar pun
dengan perasaan sungkan dan tersipu, Keng Han menjawab dengan lantang, “Benar,
Bibi. Saya mencinta Cu In dengan segenap jiwa ragaku.”
“Ahhh, tidak
mungkin!” mendadak Bikiam Niocu berseru nyaring. “Sama sekali tidak mungkin!”
Tentu saja
dia merasa sangat terkejut mendengar ucapan Keng Han itu. Dia pernah mencinta
Keng Han dan mengharapkan pemuda itu bisa menjadi suaminya. Akan tetapi Keng
Han menolaknya. Dan sekarang Keng Han menyatakan bahwa dia mencinta Cu In?
Rasanya tidak mungkin.
Ia sendiri seorang
wanita cantik dan ia menyadari benar akan hal ini. Sebaliknya, ia pun sudah
melihat wajah sumoi-nya yang totol-totol hitam dan buruk sekali. Kalau Keng Han
pernah melihat wajah itu, bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta kepada wanita
yang wajahnya sedemikian buruknya?
The Sun Tek
berkata, suaranya tegas dan berwibawa, “Mengapa tidak mungkin? Ada dua macam
cinta di dunia ini. Yang pertama cinta murni yang tidak dipengaruhi oleh
buruknya rupa, buruknya nama atau kemiskinan. Yang kedua adalah cinta nafsu
yang digerakkan oleh keadaan yang dicinta seperti wajah elok, terkenal,
berkuasa atau kaya raya. Dan cinta Keng Han seperti cinta yang pertama tadi.”
“Ucapan
suamiku ini benar, Bi Kiok. Lihat cinta suamiku kepadaku. Walau pun namaku
buruk dan terkenal sebagai seorang yang disebut kejam dan sesat, akan tetapi
cintanya kepadaku sama sekali tidak pernah berkurang. Usahakan supaya engkau
menemukan seorang pria seperti itu, yang mencintamu bukan sekedar pelampiasan
nafsu belaka!”
The Sun Tek
berkata kepada Ang Hwa Nio-nio, “Hong Bwe, sebaiknya engkau segera berkemas
karena sekarang juga kita akan pergi ke kota raja, pulang ke rumah kita.”
“Pulang...?”
Ang Hwa Nio-nio bertanya, suaranya seperti orang kebingungan, seperti di dalam
mimpi.
“Ya, pulang
ke rumah kita di kota raja.”
“Aku sudah
bersiap-siap, lama sebelum engkau datang,” kata Ang Hwa Nio-nio dengan kedua
pipinya berubah kemerahan. “Aku hanya membawa sebuah buntalan saja.”
“Subo,
apakah Subo akan pergi meninggalkan tempat ini?” tanya Bi-kiam Niocu.
“Benar, Bi
Kiok. Aku akan pergi, akan pulang ke kota raja, meninggalkan Beng-san dan tak
akan kembali ke sini lagi. Rumah beserta isinya ini kutinggalkan kepadamu,
menjadi milikmu.”
Ang Hwa
Nio-nio lalu mengambil buntalan yang menjadi bekalnya, kemudian mengajak suami
dan puterinya untuk segera berangkat.
Keng Han
tidak ikut. “Paman, sebagai seorang anak, saya harus mencari ayah saya,
membujuknya agar dia menghentikan usahanya memberontak dan mengajaknya pulang
ke Khitan. Setelah itu barulah orang tua saya akan mengajukan peminangan resmi
atas diri Cu In.”
The Sun Tek
mengangguk-angguk, diam-diam memuji calon mantunya itu. “Itu adalah suatu niat
yang mulia sekali. Pergilah, kami akan menunggumu di kota raja. Memang sudah
semestinya kalau orang tuamu merestui perjodohanmu.”
The Sun Tek,
Ang Hwa Nio-nio dan Cu In segera berangkat. Akan tetapi belum jauh mereka
pergi, Cu In membalikkan tubuhnya dan lari menghampiri Keng Han.
“Keng Han,
kuharap engkau suka menyimpan ini baik-baik!” Ia pun meloloskan sabuk suteranya
yang putih. “Selama ini sabukku menjadi temanku yang setia.”
Keng Han
merasa terharu sekali ketika menerima sabuk sutera putih itu. Dia pun lalu
mengambil pedang bengkoknya dan diserahkan kepada Cu In.
“Terima
kasih, Cu In. Dan ini pedangku harap kau simpan baik-baik. Pedang ini adalah
pemberian ibuku dan biarlah sekarang untuk sementara ini disimpan oleh calon
isteriku yang tercinta.”
“Selamat
tinggal, Keng Han,” kata Cu In sambil menerima pedang bengkok itu.
“Selamat
jalan dan selamat berpisah untuk sementara, Cu In,” kata Keng Han. Gadis itu
lalu pergi dengan cepat menyusul orang tuanya.
“Hi-hik-hik,
sungguh lucu. Seperti orang bermain sandiwara saja. Alangkah mesranya, Keng
Han!” Bi-kiam Niocu mengejek sambil tertawa.
“Kalau dua
hati sudah bertemu dalam cinta, tentu saja timbul kemesraan, Niocu.“
“Aku heran
sekali. Apakah matamu sudah buta, Keng Han?”
“Niocu,
harap engkau jangan menghinaku. Kenapa engkau mengatakan mataku buta?”
“Benarkah
engkau sudah menyaksikan bagaimana bentuk wajah sumoi Cu In?”
“Sudah,
mengapa?”
“Wajahnya
begitu buruk dan menjijikkan! Engkau dapat mencinta gadis dengan wajah seperti
itu?”
“Niocu,
engkau belum mengenal apa artinya cinta. Aku mencinta Cu In sejak ia belum
memperlihatkan mukanya. Aku mencinta dia, aku mencinta pribadinya, bukan
mencinta wajahnya. Setelah aku melihat mukanya, cintaku semakin kuat karena ada
dorongan perasaan iba kepadanya. Aku kelak akan mencarikan tabib terpandai di
seluruh dunia untuk mengobatinya!”
“Hi-hik-hik,
percuma saja. Cacat di mukanya itu menurut kata subo dan sumoi sendiri, adalah
cacat bekas cacar. Mana mungkin pulih kembali? Kelak engkau akan menyesal.
Kalau semua orang menertawakanmu ketika engkau bersanding dengan isterimu yang
wajahnya seperti setan...!”
“Cukup,
Niocu! Jangan engkau menghina Cu In atau aku akan menghajarmu!”
“Eh-eh-eh,
engkau akan menghajarku? Lupakah, engkau bahwa aku ini gurumu?”
“Hemmm,
memang engkau pernah mengajari cara menghadapi tok-ciang, akan tetapi tadi
engkau sendiri yang menyuruh aku memanggil Niocu. Jadi sekarang aku bukan lagi
muridmu.”
“Hemmm,
pedangmu sudah kau berikan kepada kekasihmu, bagaimana engkau akan melawan aku?
Dengan sabuk sutera putih pemberian kekasihmu itu?”
“Niocu,
untuk melawanmu tidak perlu aku menggunakan senjata!” kata Keng Han sambil
mengikatkan sabuk sutera putih itu di pinggangnya.
“Keparat!
Berulang kali engkau menghinaku, menolakku, dan sekaranglah kesempatan bagiku
untuk membunuhmu! Jika aku tidak dapat memperolehmu, orang lain juga tidak
boleh!” Berkata demikian, Bi-kiam Niocu mencabut pedangnya lalu menyerang
dengan cepat dan dahsyat.
Namun Keng
Han dengan tenang saja menggerakkan tubuhnya mengelak dari tusukan ke arah dada
itu.
“Percuma,
Niocu. Engkau tidak akan menang. Hentikanlah seranganmu itu dan jangan ganggu
aku lagi!” Keng Han masih mencoba untuk memperingatkan lawannya.
“Mampuslah!”
Niocu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.
“Wuuuuuttt...
singgg...!”
Pedang yang
menebas ke arah leher itu luput karena dielakkan oleh Keng Han. Keng Han
mengalah dan terus mengelak sampai sepuluh jurus. Ketika melihat gadis itu
makin nekat menyerangnya, dia pun lalu membalas.
Tangan
kirinya menampar ke arah leher Niocu, akan tetapi ketika Niocu mengelak, dia
langsung disambut oleh tangan kanan Keng Han yang menjotos ke arah lambungnya.
Niocu berseru kaget dan melompat mundur ke belakang sehingga jotosan ke lambung
itu luput.
Keng Han
segera bersilat dengan ilmu Toat-beng Bian-kun, sebuah di antara ilmu silat
pusaka Pulau Es. Nampaknya saja ilmu silat ini lemah lembut seperti kapas, akan
tetapi di dalamnya terkandung tenaga sinkang yang mengancam lawan dengan
dahsyatnya! Menghadapi ilmu silat aneh dan berbahaya sekali ini, Niocu terdesak
mundur terus.
“Hentikan
seranganmu, Niocu. Hentikan!” Keng Han berkali-kali membujuk.
Akan tetapi
Niocu yang sudah menjadi penasaran itu tidak mempedulikan seruannya dan
menyerang terus. Tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya ke belakang dan gelungan
rambutnya terlepas sehingga rambut itu pun menjadi riap-riapan dan panjang
sampai ke pinggang.
Rambut ini,
yang lembut dan berbau harum, adalah senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan
pedang di tangan kanan Niocu. Bahkan gerakan rambut ini datangnya bisa tidak
terduga-duga, dapat dipergunakan untuk menyolok mata, melibat dan mencekik
leher, bahkan menotok ke arah jalan darah lawan.
Tapi Keng
Han telah mengenal kelihaian rambut panjang itu. Ketika Niocu menusukkan
pedangnya ke arah perut, tiba-tiba saja rambutnya melibat leher Keng Han! Keng
Han mengelak ke kiri akan tetapi tidak dapat lagi mengelak dari rambut yang
sudah melilit lehernya. Dia menggunakan tangan kirinya, menangkap rambut itu
dan sekali tarik, rambut itu putus setengahnya!
Niocu
menjerit kaget. Rambutnya yang tadinya sepanjang pinggang kini hanya tinggal
sepundak! Akan, tetapi ketika sedang mundur dan kaget melihat rambutnya, Keng
Han sudah maju dan menendang ke arah pergelangan tangannya yang memegang
pedang.
Kembali
Niocu menjerit kaget dan pedangnya terlepas dari pegangan, mencelat ke atas.
Mendadak nampak bayangan tubuh orang yang menangkis pedang yang terpental itu.
Ketika bayangan itu turun, ternyata dia seorang laki-laki berusia empat puluhan
tahun. Wajahnya penuh berewok seperti muka harimau dan berewok serta rambutnya
sudah putih semua!
“Bi-kiam
Niocu, ini pedangmu! Apa engkau perlu bantuanku menghadapi bocah lancang ini?”
Bi-kiam
Niocu bukan seorang yang curang. Sebaliknya, dia menghargai kegagahan dan tanpa
malu lagi ia mengaku dalam hati bahwa kepandaiannya tidak mampu menandingi
kepandaian Keng Han. Ia menyimpan kembali pedangnya dan menyanggul rambutnya
yang tinggal sepundak, lalu berkata kepada orang itu.
“Pek-thou-houw
(Harimau Kepala Putih), tidak perlu engkau mencampuri urusanku. Dan ada
keperluan apakah engkau datang ke sini?”
Orang yang
berjuluk Harimau Kepala Putih itu menghela napas panjang. Bi-kiam Niocu ini
ternyata masih sama angkuhnya dengan dulu. Seorang wanita yang amat dingin dan
angkuh! Maka dia pun tidak mau bicara panjang lebar, hanya menyampaikan
tugasnya saja.
“Bi-kiam
Niocu, aku diutus oleh Thian It Tosu dari Bu-tong-pai untuk mengundang Ang Hwa
Nio-nio ke Bu-tong-san, karena di sana akan diadakan rapat besar antara para
datuk dan tokoh kang-ouw. Harap engkau suka minta pada gurumu untuk menemuiku
atau aku yang menghadap ke dalam,” kata Pek-thou-houw sambil memandang ke arah
rumah itu.
“Guruku
sudah pergi dan tidak akan kembali,” kata Bi-kiam Niocu, “maka tidak mungkin
dapat pergi. Akan tetapi aku yang akan mewakilinya datang ke Bu-tong-san.”
“Begitu juga
bagus, Niocu. Kami semua sudah mendengar nama besar Bi-kiam Niocu. Niocu,
bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memberi hajaran kepada bocah ini agar
lain kali dia tidak akan menggodamu lagi?”
Bi-kiam
Niocu tersenyum mengejek. “Sesukamulah!” katanya.
Pek-thou-houw
menghampiri Keng Han yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja. “Heh, orang
muda, siapa namamu? Aku tidak biasa membunuh orang yang tak memiliki nama!”
bentak Harimau Kepala Putih itu dengan sikap bengis.
“Namaku Si
Keng Han dan kuharap engkau tidak mencampuri urusan antara aku dan Niocu,” kata
Keng Han dengan lembut.
“Apa katamu?
Kalau aku mencampuri, kau mau apa?”
“Sesukamulah
kalau begitu. Tapi aku sudah memperingatkan!” kata Keng Han, kini tidak lembut
lagi bahkan suaranya mengandung gertakan.
“Awas
seranganku. Heh-heiiiiittt!”
Si Kepala
Putih itu mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau dan tubuhnya sudah
meloncat ke depan, sikapnya persis harimau yang hendak menerkam korbannya,
kedua tangan dibentangkan dengan jari-jari membentuk cakar harimau.
“Hemmm...!”
Keng Han
mengenal ilmu silat harimau ini. Akan tetapi harus diakui bahwa Si Harimau
Kepala Putih ini sudah mempelajari segala bentuk gerakan harimau dengan seksama
dan seorang ahli dalam Houw-kun (silat Harimau) itu. Dia percaya bahwa dua
cakar itu sanggup merobek kulit dan daging lawan! Karena sudah mengenal ilmu
itu, dengan mudah dia mengelak dengan lompatan ke kiri dan begitu ‘harimau’ itu
turun ke atas tanah, dia sudah menampar dengan tangan kiri.
“Wuuuuuttt...
plakkk...!”
Keng Han
terkejut sendiri. Tanpa dia sadari, tangan kirinya masih memegang potongan
rambut Niocu sehingga ketika dia menampar, rambut itu yang melecut ke arah muka
Pek-thou-houw!
Pek-thou-houw
berteriak kesakitan. Lecutan cambuk istimewa itu keras sekali sehingga
meninggalkan jalur merah pada pipi dan lehernya. Sementara itu, Keng Han yang
baru ingat akan rambut itu sudah mendekati Niocu dan menjulurkan tangan
mengembalikan rambut.
“Maafkan
aku, Niocu. Aku menyesal sekali.” katanya.
Bi-kiam
Niocu menyambar rambutnya sambil menggigit bibir dan menahan keluarnya air
mata, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Pek-thou-houw
tertegun. Saat melihat bahwa Bi-kiam Niocu lari pergi, dan teringat akan
lecutan rambut tadi, dia pun merasa jeri. Tahulah dia bahwa Bi-kiam Niocu tadi
agaknya kalah oleh pemuda itu, apa lagi dia! Maka, tanpa pamit lagi dia pun
lari meninggalkan Keng Han.
Keng Han
memandang ke arah bayangan Niocu dan berulang kali dia menghela napas panjang.
Mudah-mudahan kelak dia bisa mendapatkan seorang pria yang benar-benar
mengasihinya, pikirnya.
Dia merasa
kasihan pada Bi-kiam Niocu. Dia mengerti bahwa Bi-kiam Niocu mencintai dirinya,
bahkan pernah mengajaknya menikah lalu lari minggat dari subo-nya. Sekarang,
melihat dia saling mencinta dengan Cu In, tentu hati wanita itu penuh iri dan
cemburu, maka berusaha mati-matian untuk membunuhnya.
Dia tahu
bahwa Bi-kiam Niocu bukan orang jahat, dan kalau wataknya menjadi kejam
terhadap kaum pria, hal itu adalah karena sejak kecil dara ini dididik untuk
membenci pria. Akan tetapi mulai sekarang, dia berharap gadis itu berubah pula
setelah melihat betapa subo-nya kembali kepada kekasihnya, bahkan merestui
perjodohan antara dia dan Cu In.
“Semoga
engkau kelak menemukan jodohmu yang tepat, Niocu,” kata Keng Han sambil menarik
napas panjang dan dia pun pergi ke Bu-tong-san.
Dia tertarik
mendengar dari Pek-thou-houw tadi bahwa Bu-tong-pai akan mengadakan pertemuan
besar. Siapa tahu dia akan dapat kembali bertemu dengan ayahnya di sana,
mengingat bahwa gerakan ayahnya itu sejalan dengan sikap Bu-tong-pai yang
hendak memberontak......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment