Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 09
PANGERAN Tao
Seng sudah bangkit dan mundur sampai mepet dinding. Demikian pula Liong Siok
Hwa mundur dan gentar menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu.
Pertandingan
itu memang hebat sekali. Gulam Sang adalah seorang murid dari Dalai Lama yang
selain mempelajari ilmu silat tinggi juga telah memiliki tenaga sakti yang
ampuh, diperkuat pula oleh ilmu sihirnya. Akan tetapi, berhadapan dengan Keng
Han, dia tidak dapat menggunakan ilmu sihirnya. Orang yang sudah memiliki
tenaga sinkang sekuat Keng Han tidak dapat dipengaruhi sihir lagi. Oleh karena
itu, Gulam Sang hanya mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan aneh
gerakannya.
“Heiiiiittttt...!”
Pedang Gulam
Sang menyambar dari atas ke bawah, membacok ke arah kepala Keng Han.
“Hemmm...!”
Keng Han
mengelak ke kanan sambil menorehkan pedang bengkoknya ke arah lengan lawan yang
memegang pedang. Namun Gulam Sang sudah menarik lengannya, lantas tubuhnya
merendah dan pedangnya membabat ke arah kedua kaki Keng Han.
“Hiaaaaattt...!”
Gulam Sang berteriak
dengan pengaruh sihir, “Robohlah engkau!”
Keng Han
merasa jantungnya tergetar, akan tetapi tidak terpengaruh oleh teriakan itu.
Dia meloncat tinggi ke udara untuk menghindarkan kedua kakinya yang dibabat
pedang, lalu berjungkir balik dan menukik dengan kepala ke bawah, pedangnya
menikam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Gulam Sang.
“Wuttttt...
tranggg...!”
Bunga api
berpijar ketika pedang bertemu dan sekali ini Gulam Sang agak terhuyung, akan
tetapi Keng Han juga harus berjungkir balik untuk mematahkan tenaga dorongan
pedang dari bawah yang menangkisnya. Keduanya telah berhadapan lagi dan saling
menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi kini Keng Han mulai memainkan ilmunya
yang hebat yaitu Hong-In Bun-hoat. Pedang bengkoknya membuat coretan-coretan di
udara seperti orang menulis huruf, akan tetapi akibatnya, permainan pedang
Gulam Sang menjadi kacau.
Semua jurus
yang dimainkan Gulam Sang dikacaukan oleh gerakan pedang di tangan Keng Han.
Setiap serangannya selalu dapat ditangkis lawan, bahkan lawan membalas kontan
dengan cepatnya dan dengan gerakan sambung menyambung yang aneh sekali sehingga
tak lama kemudian Gulam Sang sudah terdesak hebat oleh Keng Han. Dia kini hanya
mampu menangkis dan mengelak dengan repot sekali oleh permainan pedang lawan.
Pada saat
itu, Pangeran Tao Seng memberi isyarat dan muncullah tiga orang datuk yang
sejak tadi sudah mengintai dan menunggu isyarat dari sang pangeran. Swat-hai
Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin tahu-tahu sudah berada di situ.
Lam-hai Koai-jin yang masih memandang rendah Keng Han, bahkan sudah menerjang
dengan senjata ruyungnya.
“Tranggg...!”
Pedang Keng
Han dan ruyung bertemu dan akibatnya, keduanya mundur dua langkah. Baru kini
Keng Han melihat adanya tiga orang kakek itu di situ. Melihat Swat-hai Lo-kwi
dan Tung-hai Lo-mo, barulah dia tahu benar akan kekuatan persekutuan itu.
Ternyata ayahnya itu telah mempergunakan orang-orang dari golongan sesat untuk
membantunya. Dan dia maklum bahwa kalau dia harus menghadapi empat orang ini
sekaligus, tidak mungkin dia akan menang. Mereka terlampau kuat dan paling bisa
dia melawan dua orang di antara mereka. Pikiran Keng Han bekerja cepat dan
tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan meloncat ke dekat ayahnya.
“Jangan
mendekat!” bentaknya dan dia sudah menempelkan pedang bengkoknya pada leher
Pangeran Tao Seng sedangkan tangan kirinya memegang lengan pangeran itu.
“Biarkan
kami keluar. Awas, siapa bergerak, dia akan kubunuh lebih dulu!”
Dia teringat
akan perbuatan Cu In ketika hendak membebaskan diri dari pengeroyokan Toat-beng
Kiam-sian Lo Cit dan anak buah Kwi-kiam-pang, yaitu dengan menyandera puteri Lo
Cit. Kini dia meniru perbuatan Cu In itu dengan menyandera Pangeran Tao Seng.
Ayahnya sendiri!
Memang dalam
keadaan terdesak, apa lagi menghadapi pengeroyokan yang curang, ia boleh saja
mempergunakan kecurangan sebagai taktik untuk menyelamatkan diri. Kini ia
menangkap ayahnya sendiri bukan hanya untuk membebaskan diri dari pengeroyokan,
melainkan karena dia memang hendak menangkap ayahnya dan memaksanya pergi ke
Khitan bersamanya untuk menghadap ibunya!
Benar saja.
Tiga orang datuk itu tidak berani bergerak ketika melihat Keng Han sudah
menyandera sang pangeran. Dan Keng Han yang terus menodong Pangeran Tao Seng
lalu menyeret ayahnya itu menuju ke pintu.
“Sam-wi
Locianpwe (ketiga orang tua gagah), marilah kita serang dia! Dia tidak akan
membunuh ayahnya sendiri!” Mendadak Gulam Sang berteriak dan menyerang dengan
pedangnya.
Keng Han
terkejut sekali. Tak disangkanya Gulam Sang demikian cerdiknya. Memang,
bagaimana pun dia takkan mau membunuh ayahnya dan tadi hanya untuk menggertak
saja.
Tung-hai
Lo-mo sudah mengayun dayung bajanya. Swat-hai Lo-kwi juga menggerakkan
pedangnya dan Lam-hai Koai-jin mengerahkan ruyungnya, serentak menyerang kepada
Keng Han. Terpaksa Keng Han memutar pedangnya untuk menangkis dan melepaskan
pegangannya pada lengan ayahnya.
Merasa
dirinya dilepas, Pangeran Tao Seng cepat meloncat menjauhkan diri. Kini Keng
Han sudah dikeroyok oleh empat orang yang sangat lihai sehingga dia mulai
terdesak hebat.
“Jangan
bunuh dia! Tangkap saja, jangan sekali-kali membunuh dia!” teriak Pangeran Tao
Seng.
Pangeran Tao
Seng masih sangat mengharapkan puteranya itu berubah pikirannya dan mau
membantunya. Bagaimana pun, Keng Han adalah putera kandungnya dan ternyata ilmu
kepandaiannya melebihi Gulam Sang!
Empat orang
itu mendengar seruan ini dan mereka pun membatasi serangan mereka. Biar pun
demikian, tetap saja Keng Han terkepung ketat sekali oleh empat orang itu dan
setelah dia dapat membela diri sampai hampir seratus jurus, ruyung di tangan
Lam-hai Koai-jin mengenai punggungnya, membuat dia terhuyung.
Ruyung di
tangan Lam-hai Koai-jin menyerang terus dengan dorongan ke arah dada. Keng Han
mengelak, akan tetapi dayung baja di tangan Tung-hai Lo-mo menghantam dari
belakang mengenai pahanya dan Keng Han roboh terpelanting. Sebelum dia dapat
meloncat bangun, pedang Gulam Sang sudah menempel di lehernya, juga pedang
Swat-hai Lo-kwi telah mengancam dadanya.
Keng Han
maklum bahwa dia telah kalah dan tertawan. Gulam Sang segera mengikat kaki
tangannya dan dia pun dibawa ke dalam kamar tahanan yang berada di belakang
rumah Hartawan Ji. Kamar tahanan itu kokoh kuat dan dijaga oleh belasan orang
anak buah Gulam Sang.
“Ayah, Keng
Han itu amat berbahaya, apakah tidak sebaiknya kalau dia dibunuh saja?” Gulam
Sang bertanya kepada Pangeran Tao Seng setelah mereka semua kembali ke ruangan
depan untuk berunding.
“Jangan! Aku
menyayangkan ilmu kepandaiannya yang hebat. Akan kubujuk dia agar mau membantu.
Dia akan merupakan tenaga bantuan yang penting sekali,” jawab sang pangeran.
“Bagaimana
kalau dia tidak mau?”
“Kalau dia
keras kepala dan tidak dapat dibujuk, maka kuserahkan dia kepadamu.”
Gulam Sang
nampak gembira sekali. Pemuda ini ingin sekali dapat membunuh Keng Han sebab
diam-diam dia merasa khawatir kalau-kalau kelak ayah angkatnya menerima Keng
Han sebagai puteranya dan tentu kedudukannya akan kalah oleh anak kandung itu.
Baginya, Keng Han merupakan duri dalam daging yang harus dilenyapkan.
“Tetapi aku
membutuhkan bantuanmu. Kita berikan racun perampas ingatan darimu itu. Kalau
sampai dia hilang ingatan, tentu dia tidak mempunyai niat macam-macam lagi dan
akan tunduk kepada semua perintah kita.”
Gulam Sang
mengerutkan alisnya. Dia teringat betapa Keng Han sudah minum racun itu yang
dicampurkan dalam arak yang disuguhkan kepada pemuda itu, akan tetapi sama
sekali tidak nampak tanda-tanda bahwa pemuda itu keracunan! Ahh, mungkin
racunnya kurang banyak, demikian pikirnya.
“Baik, akan
saya laksanakan. Saya akan mencampurkan racun perampas ingatan itu di dalam
makanan dan minumannya.”
Malam itu
udara terasa amat dingin, sedingin hati mereka yang tinggal di gedung tempat
kediaman Ji Wan-gwe….
Pada
keesokan harinya, Keng Han duduk bersila dalam kamar tahanannya. Tangan dan
kakinya tidak dibelenggu, akan tetapi kaki tangannya dipasangi rantai yang
terikat pada dinding sehingga dia tidak akan dapat melarikan diri. Rantai itu
terbuat dari baja dan tebal sekali sehingga tak mungkin dipatahkan.
Keng Han
juga tidak bodoh untuk coba mematahkan rantai itu. Penjaga banyak terdapat di
luar tahanan dan di sana masih terdapat empat orang sakti itu. Dia tidak
mungkin dapat melawan mereka kalau mereka maju bersama. Dia hanya menanti
saatnya untuk dapat meloloskan dirinya.
Maka, dia
pun menjaga kesehatan dan tenaganya dan dia makan semua makanan dan minuman
yang dihidangkan biar pun dia dapat menduga bahwa makanan dan minuman itu
dicampuri racun. Dia tidak takut akan segala racun. Tubuhnya kebal terhadap
segala macam racun. Asal saja mereka tidak mempergunakan asap pembius,
pikirnya.
Pernah dia
tertawan akibat ledakan asap pembius yang dipergunakan oleh orang-orang
Kwi-kiam-pang. Akan tetapi kalau racun itu masuk ke tubuhnya melalui makanan,
atau melalui luka, dia tidak akan terpengaruh. Darahnya memiliki daya menolak
pengaruh racun itu. Pada hari kedua dia ditahan, pagi-pagi sekali Pangeran Tao
Seng sudah mengunjungi kamar tahanannya.
“Anakku,
kenapa engkau masih berkeras hati? Aku adalah ayah kandungmu. Engkau darah
dagingku. Sungguh sengsara hatiku melihat engkau tertawan seperti ini. Anakku,
mengapa engkau tidak mau membantu gerakanku? Katakanlah bahwa engkau akan
membantuku, maka engkau akan dibebaskan dan menjadi puteraku yang tersayang dan
terpercaya.”
Hati Keng
Han panas sekali mendengar ucapan ayahnya itu. Hatinya sudah kecewa sekali
melihat orang yang menjadi ayah kandungnya. Ternyata orang itu amat licik dan
curang bukan main.
“Aku memang
puteramu dan engkau adalah ayah kandungku. Akan tetapi kalau engkau berpikir
bahwa aku akan mau membantu engkau melakukan kejahatan, engkau mimpi di siang
hari. Sampai mati sekali pun aku tak ingin membantumu. Sebaliknya engkau yang
menyadari kekeliruan tindakanmu dan ikut dengan aku menemui ibu. Kalau engkau
mau melakukan itu, tentu aku akan menganggap engkau seorang ayah yang telah
bertobat dan baik, dan aku akan berbakti kepadamu.”
“Jangan
khawatir, Keng Han anakku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, pasti aku akan
memboyong ibumu ke istanaku. Aku juga sangat mencinta ibumu.” Pangeran Tao Seng
membujuk.
“Sudahlah,
tidak perlu membujukku lebih lanjut. Akan sia-sia saja. Biar pun engkau ayah
kandungku, akan tetapi bila kau lanjutkan usahamu untuk berkhianat dan
memberontak, aku akan berdiri di pihak Kaisar kakekku dan Pangeran Mahkota Tao
Kuang pamanku.”
Pangeran Tao
Seng lalu meninggalkan tempat tahanan itu dengan muka merah karena marah, Akan
tetapi dia tidak putus asa dan berharap agar racun perampas ingatan dari Gulam
Sang itu akan bekerja dengan baik sehingga dia dapat membujuk puteranya itu.
Pada malam
kedua, nampak sesosok bayangan putih berkelebat di atas pagar tembok di
belakang rumah Hartawan Ji. Bayangan ini bukan lain adalah Cu In. Setelah gadis
itu mendapatkan keterangan dari The-ciangkun di mana letak rumah Hartawan Ji,
dia lalu datang berkunjung pada malam itu.
Ketika
melihat ada dua orang peronda berjalan menghampiri tempat ia bersembunyi, ia
meloncat dari dalam taman itu ke atas sebatang pohon. Ia berada di atas pohon,
siap bertindak kalau sampai ketahuan. Dan ia mendengarkan mereka
bercakap-cakap.
“Menjemukan
sekali, malam-malam gelap begini harus meronda. Biasanya kita hanya berjaga di
gardu dan dapat terlindung dari cuaca yang amat dingin, dapat membuat api
unggun yang hangat.”
“Ahh, ini
semua gara-gara pemuda yang bandel itu. Kabarnya dia berkepandaian tinggi dan
tidak mau dibujuk untuk membantu Ji Wan-gwe. Heran aku mengapa ada orang tak
mau bekerja kepada Ji Wan-gwe yang kaya raya dan royal.”
“Ketika
hendak menangkap dia pun susah bukan main. Dari teman-teman yang melihat, kabarnya
setelah tiga locianpwe dikerahkan untuk membantu Kongcu, barulah dia dapat
ditawan. Kongcu sendiri kewalahan menghadapi pemuda ini.”
“Hebat.
Sayang sekali kalau pemuda lihai macam itu akhirnya mesti mati karena tidak mau
terbujuk.”
Percakapan
itu cukup bagi Cu In. Tubuhnya melayang turun dan sekali dua tangannya
menyambar, dua orang peronda itu sudah roboh tanpa dapat berteriak, roboh
tertotok tidak mampu bergerak mau pun bersuara.
Ang Hwa
Nio-nio memang memiliki keistimewaan dalam ilmu menotok sehingga ilmunya itu
disebut Tok-ciang (Tangan Beracun) karena sekali totok saja mampu mencabut
nyawa orang. Cu In juga menguasai ilmu ini dan dua orang yang ditotoknya itu
sama sekali tidak mampu berkutik. Akan tetapi dara bercadar ini tidak membunuh
mereka.
Cu In
melolos pakaian hitam salah seorang di antara mereka dan mengenakan pakaian itu
menutupi pakaiannya sendiri yang serba putih. Kemudian ia berkata kepada orang
kedua. “Cepat lakukan perondaan sampai ke tempat tahanan itu. Awas, sekali saja
kau berteriak, nyawamu akan melayang.”
Setelah
berkata demikian dia membebaskan orang kedua dari totokan, lalu memaksa peronda
itu berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Ia berjalan di belakangnya sambil
menyembunyikan mukanya yang bercadar.
Peronda itu
ketakutan setengah mati. Dia maklum bahwa orang yang sekarang berada di
belakangnya itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Kalau dia berteriak,
tentu dia akan tewas. Dia pun masih tidak tahu bagaimana nasib temannya yang
ditinggalkan di belakang semak-semak dalam keadaan tidak bergerak seperti sudah
menjadi mayat.
“Bawa aku ke
tempat tahanan dan berbuatlah seolah-olah engkau melakukan ronda,” desis suara
Cu In di dekat telinga peronda itu.
Peronda itu
hanya mengangguk, membawa lampu teng dan memukul kentungannya, lalu melangkah
menuju ke bagian belakang rumah besar Ji Wangwe. Segera dua orang penjaga yang
berada di luar tempat tahanan menghadap mereka.
“Kanapa
engkau sampai di tempat ini?” tanya seorang diantara dua orang penjaga itu.
Pemuda yang
sudah mendapat pesan dari Cu In berkata dengan suara ketakutan. “Ah,
tolonglah... tadi aku melihat banyak bayangan orang di sana. Aku khawatir akan
datang serangan musuh!”
Mendengar
cerita ini, dua orang itu segera masuk ke dalam dan memberi tahu kepada
kawan-kawannya di sana. Empat orang lain keluar dan kini enam orang itu
bertanya, “Di mana bayangan-bayangan itu?”
“Di
sana...!” Peronda itu menudingkan telunjuknya ke arah taman, sedangkan Cu In
bersembunyi di balik tubuh peronda sehingga mukanya tidak nampak.
“Mari kita
periksa tempat itu!” kata seorang di antara enam penjaga itu dan mereka, segera
berlarian dengan golok di tangan memasuki taman.
Melihat ini,
Cu In segera menotok peronda itu sehingga roboh tak mampu berkutik lagi. Ia pun
cepat-cepat menyelinap melalui pintu dari mana enam orang penjaga tadi keluar.
Ternyata di sebelah dalam masih terdapat tujuh orang penjaga lagi, dan mereka
sedang bermain kartu.
Melihat bayangan
memasuki tempat mereka berjaga, tujuh orang itu serentak bangkit. Melihat bahwa
yang masuk adalah seorang yang menutupi tubuhnya dengan pakaian hitam dan
mukanya bercadar, semua menjadi kaget dan menyambar golok mereka.
“Siapa
engkau?” bentak seorang kepala jaga.
Akan tetapi
Cu In tidak memberi kesempatan kepada mereka. Sabuk sutera putihnya
menyambar-nyambar dengan totokan yang jitu sehingga tujuh orang itu roboh
malang melintang dalam keadaan tertotok.
Dengan cepat
ia dapat menemukan serangkai kunci di atas meja, dan ia segera berlari masuk.
Dari sela-sela jeruji baja ia dapat melihat Keng Han yang duduk bersila dengan
kaki terikat rantai.
“Keng
Han...,” bisiknya.
Keng Han
membuka matanya dan segera dia mengenal orang bercadar itu.
“Cu In...!”
bisiknya kembali.
Cu In
bekerja cepat. Sebuah kunci membuka pintu tahanan yang berat itu, kemudian
dengan sebuah kunci lain ia membuka rantai yang mengikat kaki Keng Han.
“Cu In,
terima kasih...” kata Keng Han girang dan juga terharu.
Lagi-lagi
gadis bercadar ini yang menolongnya. Ketika dia ditawan Kwi-kiam-pang, gadis
ini pula yang menyelamatkannya. Ketika dia hendak dibunuh Bi-kiam Niocu, Cu In
pula yang mencegahnya.
“Ssttt, kita
harus cepat pergi dari sini sebelum mereka semua datang!” kata Cu In yang
segera melompat keluar dari situ, diikuti oleh Keng Han.
Baru saja
mereka tiba di luar, enam orang penjaga yang tadi memeriksa dalam taman sudah
kembali dan melihat bahwa tawanan mereka lolos, mereka terkejut sekali dan
menggunakan golok mereka untuk menyerang Keng Han dan Cu In. Ada pula yang
berteriak-teriak minta tolong sehingga ributlah keadaan di tempat itu.
“Cepat
robohkan mereka dan lari!” kata pula Cu In kepada Keng Han.
Cu In
sendiri sudah merobohkan tiga orang penjaga. Keng Han juga lalu menggunakan
tenaganya, menampar ke sana sini dan tiga orang penjaga dapat dia robohkan
dalam waktu singkat. Pada saat itu, nampak orang-orang berdatangan dengan obor
di tangan.
“Cepat
lari!” kata Cu In pula.
Keng Han
segera mengikuti Cu In melarikan diri. Mereka memasuki taman dan keluar dari
pagar tembok taman itu.
Orang-orang
yang mengejar mereka, Gulam Sang dan para datuk, tidak menemukan jejak mereka
berdua. Ketika mendapat kenyataan bahwa tawanan telah lolos, Gulam Sang menjadi
marah sekali dan dia lantas menampari para penjaga. Sialan sekali para penjaga.
Baru saja ditotok roboh oleh dua orang itu, kini ditampar lagi oleh Gulam Sang
sampai pipi mereka bengkak-bengkak.
Mereka
segera memberi laporan kepada Pangeran Tao Seng. Sejenak sang pangeran berpikir
sambil mengerutkan alisnya, kemudian dia berkata, “Kalau begitu, pelaksanaan
rencana kita harus dipercepat. Sam-wi Locianpwe harap melaksanakan pembunuhan
terhadap kaisar itu selambat-lambatnya besok pagi. Aku khawatir dengan lolosnya
Keng Han maka rencana kita akan menjadi kacau. Gulam Sang, malam ini juga
engkau harus menghubungi Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, juga kerahkan
murid-murld Bu-tong-pai untuk bersiap di luar kota raja. Dan Sam-wi Locianpwe,
harap membawa orang-orang yang dapat diandalkan untuk pekerjaan membunuh
Kaisar. Mereka harus orang-orang berani mati yang sudah disumpah untuk mengakui
sebagai orang Thian-li-pang kalau sampai tertangkap hidup-hidup, sesuai dengan
rencana kita semula.”
Setelah
mengatur semuanya, Pangeran Tao Seng memberi keterangan yang lebih jelas kepada
tiga orang datuk sesat yang bertugas membunuh kaisar itu.
“Seperti
biasanya, sesudah persidangan Kaisar akan pergi ke taman sambil membawa
laporan-laporan untuk dipelajari. Nah, saat itulah kesempatan yang terbaik
untuk turun tangan. Semua menteri dan panglima sudah meninggalkan ruang sidang
dan pulang ke rumah masing-masing, saat itu keadaan di istana dalam suasana
tenang dan tenteram. Para pengawal tentu tidak akan ada yang menduga bahwa akan
terjadi penyerangan. Untuk menyelundupkan kalian ke dalam istana, sudah
kuserahkan kepada Ciu-ciangkun yang akan mengaturnya. Kalian akan diberi
pakaian sebagai pengawal-pengawal istana dan dapat masuk ke dalam istana dengan
leluasa. Nah, bersiaplah kalian semua. Untuk menjaga jangan sampai Keng Han
bertindak terhadap diriku, aku akan mengungsi di luar kota raja, yaitu di dusun
yang telah kalian ketahui sebagai tempat peristirahatanku. Mengerti semua?”
Setelah
semua mengerti dan siap, mereka bubaran. Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji
bersama adiknya, Pangeran Tao San, keluar dari rumah, bahkan keluar dari kota
raja menunggang kereta menuju ke dusun di sebelah utara kota raja. Gulam Sang
pergi pula untuk mempersiapkan pasukan, dan tiga orang locianpwe bersama
selusin anak buah pergi menemui Ciu-ciangkun untuk diselundupkan pagi hari itu
ke dalam istana!
Gulam Sang
sendiri sudah mendapat perintah istimewa dari Pangeran Tao Seng, yaitu untuk
membawa teman dan pergi melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Mahkota Tao
Kuang, tentu saja sesudah dia mengumpulkan pasukan di luar kota raja yang siap
untuk memasuki kota raja dan menyerbu istana, apa bila saatnya telah tiba.
Menurut
rencana Pangeran Tao Seng, apa bila usaha membunuh Kaisar telah berhasil, dan
juga usaha membunuh Pangeran Mahkota berhasil, dia sendiri akan menyerbu ke
dalam istana, mempergunakan pasukan Panglima Ciu yang sudah berhasil dihasutnya
dengan janji pangkat besar, dibantu oleh orang-orang Pek-lian-pai dan
Pat-kwa-pai.
Andai kata
rencana itu gagal, mereka akan menimpakan kesalahan pemberontakan itu kepada
Thian-li-pang.
***************
“Cu In,
sekali lagi engkau menyelamatkan nyawaku. Hutang budi terhadapmu sungguh
bertumpuk-tumpuk, bagaimana aku akan dapat membalasnya? Dan engkau yang sudah
menyaksikan betapa aku akan membunuh Paman Tao Kuang karena aku dihasut oleh
ayah kandungku sendiri, kenapa engkau masih saja mau menolong aku yang sesat
ini?” Keng Han bertanya setelah dia dan Cu In lolos dari rumah Hartawan Ji.
“Tidak ada
hutang piutang budi, Keng Han. Aku membantumu karena melihat bahwa engkau tak
bersalah. Engkau hendak membunuh Pangeran Tao Kuang karena engkau dihasut dan
mendapat keterangan yang keliru.”
“Akan tetapi
bagaimana engkau dapat menduga bahwa aku akan tertimpa mala petaka di rumah
Hartawan Ji yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng itu?”
“Sudah
kuduga bahwa setelah menerima keterangan dari Pangeran Tao Kuang, engkau tentu
akan menuntut balik kepada ayah kandungmu sendiri yang sudah menghasutmu. Dan
kalau engkau melakukan hal itu, besar sekali kemungkinan engkau akan ditentang,
ditawan atau dibunuh karena Pangeran Tao Seng ternyata adalah seorang yang
mabuk kedudukan dan sudah melupakan putera sendiri. Maka aku lalu mencari
keterangan lebih lanjut dan sesudah merasa pasti bahwa Hartawan Ji adalah
Pangeran Tao Seng, malam ini aku segera pergi ke sana. Akan tetapi sudahlah,
hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang ini, apa yang
hendak kau lakukan?”
“Aku harus
menyelamatkan Sribaginda Kaisar. Beliau terancam bahaya maut!”
“Ahh,
benarkah itu? Bahaya apa yang mengancamnya?”
Keng Han
kemudian bercerita tentang ucapan-ucapan Pangeran Tao Seng yang akan membunuh
kaisar dan pangeran mahkota, dan betapa kini di rumah pangeran itu telah
berkumpul datuk-datuk sesat seperti Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo, dan
Lam-hai Koai-jin. Juga di sana terdapat Gulam Sang yang lihai.
“Jika
begitu, kita harus cepat memberi peringatan kepada Pangeran Tao Kuang. Hanya
beliau yang dapat mengatur semua penjagaan agar jangan sampai terjadi
pembunuhan itu.”
“Baik, mari
kita menghadap beliau.”
“Keng Han,
apa sudah kau pikirkan masak-masak semua ini? Ingat, kalau kau bertindak
begini, itu berarti bahwa engkau melawan ayah kandungmu sendiri!”
“Ayah
kandung atau siapa saja yang bertindak salah, harus ditentang. Ayahku itu telah
menyia-nyiakan kehidupan ibuku hingga ibu hidup merana dan selalu menanti di
Khitan. Kemudian ayahku itu sudah bertindak curang hendak membunuh adiknya
sendiri, apa lagi sekarang dia telah bertindak sedemikian jauhnya untuk
membunuh ayahnya sendiri dan juga adiknya yang menjadi pangeran mahtkota. Tentu
saja aku menentangnya!”
Mendengar
ini, Cu In termenung. Hampir bersamaan nasib yang dialami oleh Keng Han dan ia
sendiri. Hanya bedanya, kalau yang menyusahkan hati Keng Han itu ayahnya, ia
lain lagi. Ibu kandungnya yang membuatnya bersusah hati. Ibunya mendidiknya
sebagai murid, menghasutnya supaya ia membunuh ayah kandungnya! Akan tetapi
dapatkah ia membenci ibu kandungnya?
“Keng Han,
apakah engkau membenci ayahmu itu?”
“Tidak, aku
tidak membenci orangnya, melainkan perbuatannya. Maka perbuatannya itu yang kutentang.”
“Bagaimana
kalau nanti ayahmu itu mau mengubah sikapnya dan tidak lagi melakukan
kejahatan?”
“Aku sudah
membujuknya, bahkan hendak memaksanya untuk ikut bersamaku pergi menemui ibu di
Khitan. Akan tetapi semua usahaku itu dihalangi oleh para datuk. Kami berkelahi
dan aku dikeroyok empat sampai akhirnya aku tertawan.”
“Jadi engkau
akan memaafkan ayahmu kalau dia mengubah sikapnya?”
“Tentu saja.
Kalau perbuatannya sudah benar, apa lagi dia itu ayahku, maka aku harus
berbakti kepadanya.”
“Ahhh...!“
“Kau
kenapakah, Cu In?” tanya Keng Han khawatir melihat gadis itu seperti tertegun.
“Tidak
apa-apa. Marilah kita menghadap Pangeran Mahkota.”
“Sebetulnya
aku merasa sungkan dan malu menghadap beliau. Baru dua hari yang lalu aku
berusaha untuk membunuhnya!”
“Jangan
khawatir. Ada aku yang akan menjelaskan kepadanya.”
Mereka
melanjutkan perjalanan menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ketika mereka
hampir tiba di istana itu, Keng Han kembali bertanya, “Cu In, mengapa engkau
begini baik terhadap diriku? Kanapa engkau begini membela aku?”
“Hemmm,
kenapa? Karena engkau pun baik sekali kepadaku. Ingat, engkau pun pernah
menolongku, bukan?”
“Cu In,
suci-mu mengatakan bahwa engkau lebih kejam dari pada ia, akan tetapi aku
melihat engkau sama sekali tidak kejam, bahkan engkau lembut hati dan mulia.
Aku menyebut namamu begitu saja, bukan menyebut Su-I (Bibi Guru), engkau pun
tidak marah. Aku sungguh kagum kepadamu semenjak pertama kali kita bertemu,
aku... aku terpesona melihat sinar matamu dan aku suka sekali kepadamu. Apakah
engkau akan marah dan membunuhku kalau aku mengatakan bahwa aku suka kepadamu?”
Sepasang
mata itu mencorong, namun hanya sebentar. Tadinya Cu In hendak marah sekali
karena ia sudah terbiasa menganggap bahwa kalau ada pria menyatakan suka
kepadanya, maka pria itu hanya merayu saja dan pernyataannya itu palsu adanya
seperti yang sering kali dikatakan gurunya. Akan tetapi kemudian ia teringat
bahwa gurunya atau ibunya itu bersikap demikian karena sakit hati terhadap
kekasihnya, maka kemarahannya pun hilang. Ia tidak perlu percaya lagi kepada
semua pendapat ibunya.
Ia sendiri
tidak dapat menyangkal bahwa ia pun suka sekali kepada Keng Han. Baru sekarang
ia menyadari bahwa pria pun sama saja dengan wanita, ada yang baik dan ada yang
jahat. Dan Keng Han ini jelas bukan laki-laki yang jahat.
Ia menyadari
bahwa kebiasaannya mengenakan cadar supaya mukanya jangan sampai terlihat
laki-laki itu merupakan kebiasaan yang keliru. Tetapi sekarang sudah kepalang,
bahkan hal itu dapat dipakainya untuk menguji sampai di mana rasa suka Keng Han
terhadap dirinya.
“Aku tidak
marah dan tidak akan membunuhmu karena pernyataan itu, Keng Han. Akan tetapi
bagaimana mungkin engkau mengatakan bahwa engkau suka kepadaku pada hal engkau
belum pernah melihat wajahku?”
“Aku tidak
peduli akan wajahmu, Cu In. Bagaimana pun bentuk wajahmu aku tetap akan merasa
suka padamu. Aku kagum akan kepribadianmu, watakmu, cara engkau bicara,
gerak-gerikmu, dan sinar matamu.”
“Tidak, Keng
Han. Jangan katakan begitu. Aku... aku tidak berharga bagimu. Aku gadis
kang-ouw, petualang yang hidup menyendiri, sedangkan engkau adalah seorang
putera pangeran! Tidak, aku sama sekali tidak sebanding denganmu.”
“Cu In,
jangan merendahkan diri sampai demikian! Aku cinta padamu, bukan karena rupa
atau kedudukan. Aku mencinta dirimu, pribadimu, tidak peduli engkau berwajah
bagaimana dan dari golongan apa.”
“Ahhh,
engkau akan menyesal kelak dan kalau engkau menyesal, aku kembali akan menjadi
pembenci pria yang ternyata berhati palsu, kata-katanya tidak dapat dipercaya.”
“Aku tidak
akan menyesal, Cu In. Aku cinta padamu dan tidak ada apa pun yang dapat
mengubah cintaku.”
“Akan tetapi
wajahku buruk sekali, Keng Han. Aku hanyalah seorang wanita yang cacat
mukanya.”
“Aku tidak
percaya! Dan andai kata benar wajahmu cacat, aku tetap akan mencintamu.”
“Benarkah?
Ingin aku melihat apakah pendapat guruku tentang pria benar, bahwa pria hanya
merupakan perayu besar yang tidak setia dan palsu. Kau lihatlah baik-baik, Keng
Han!”
Setelah
berkata demikian, Cu In menyingkap cadarnya memperlihatkan mukanya dari hidung
ke bawah. Keng Han memandangnya dan pemuda itu terbelalak, terkejut dan heran.
Tidak
disangkanya sama sekali bahwa wajah yang di bagian atasnya demikian cantik
jelita, bagian bawahnya mengerikan. Wajah itu totol-totol hitam, seperti bekas
luka yang memenuhi permukaan wajahnya sehingga meski pun hidung dan mulutnya
berbentuk sempurna, namun karena bertotol-totol hitam menjadi buruk untuk
dipandang.
Cu In
menutupkan kembali cadarnya, kemudian berkata dengan nada suara mengejek,
“Engkau terkejut? Engkau ngeri? Wajahku seperti setan, bukan? Nah, apakah masih
ada ada rasa cinta di dalam hatimu, Keng Han?”
Keng Han
sudah dapat menyadari lagi keadaannya dan menguasai perasaannya yang terkejut.
“Aku tetap mencintamu, Cu In. Biar pun wajahmu cacat, engkau tetap Cu In yang
tadi, yang bercadar, yang kucinta. Akan tetapi mengapa wajahmu seperti itu, Cu
In? Aku merasa iba kepadamu dan aku akan berusaha agar supaya cacat di wajahmu
dapat hilang. Akan kucarikan tabib terpandai di dunia ini yang mampu
menyembuhkan dirimu.”
“Kau tidak
benci kepadaku? Tidak jijik melihat mukaku?” tanya Cu In, dalam suaranya
mengandung keheranan.
Keng Han
mendekat dan memegang kedua tangan gadis itu. “Sudah kukatakan, aku mencinta
pribadimu, bukan sekedar kecantikanmu. Aku tetap mencintaimu walau pun wajahmu
cacat. Jadi itulah sebabnya engkau memakai cadar selama ini! Agar mukamu yang
cacat tidak kelihatan orang lain.”
“Benar, aku
tidak ingin ada orang melihat mukaku dan kemudian membenciku. Engkau
benar-benar tidak peduli akan cacat di mukaku?” tanya Cu In tanpa melepas
pegangan Keng Han pada kedua tangannya.
“Aku bukan
tidak peduli, akan tetapi aku bahkan kasihan sekali padamu dan ingin membantumu
mencarikan obat untuk menghilangkan bekas luka di wajahmu itu. Akan tetapi
cacat di mukamu itu tidak mengubah perasaan hatiku yang mencintamu.”
Cu In
melepaskan kedua tangannya dan membalikkan tubuhnya membelakangi pemuda itu.
“Aku... aku tidak percaya...” suaranya mengandung isak.
“Kenapa
engkau tidak percaya? Kenyataan bahwa engkau murid Ang Hwa Nio-nio dan sumoi
Bi-kiam Niocu yang jahat dan kejam itu pun tidak mengubah cintaku padamu, pada
hal aku sama sekali tidak menyukai watak mereka. Aku bersumpah bahwa aku tetap
mencintamu Cu In.”
“Ssttt,
sudahlah. Soal itu dapat kita bicarakan kemudian. Sekarang ada pekerjaan yang
lebih penting. Mari kita menghadap Pangeran Mahkota Tao Kuang.”
Baru
teringat oleh Keng Han betapa lama mereka berhenti di jalan yang sunyi itu. Dia
tersenyum kepada Cu In dan berkata, “Perasaan hati kita lebih penting dari
segala urusan, Cu In. Aku sudah mengutarakan isi hatiku dan hal ini melegakan
sekali. Walau pun aku belum tahu bagaimana tanggapanmu tentang perasaanku, akan
tetapi kini aku merasa lega bahwa engkau mengetaihui akan perasasn hatiku
kepadamu. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”
Ketika
mereka tiba di istana Pangeran Tao Kuang, mereka segera disambut oleh Sang
Pangeran sendiri yang ditemani oleh Kwi Hong dan ibunya, juga Kai-ong dan
muridnya, Yo Han Li yang masih berada di situ. Melihat munculnya Keng Han
bersama Cu In, Kwi Hong segera meloncat ke depan ayahnya dengan pedang terhunus
di tangan.
“Han-ko,
apakah engkau hendak membunuh ayahku?!” bentaknya.
Keng Han
tersenyum. Sudah lama dia mengetahui bahwa Kwi Hong itu adalah adiknya sendiri,
adik sepupu dan semarga. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata. “Tidak,
Hong-moi. Aku bahkan datang untuk minta maaf kepada ayahmu.”
Lega hati
Kwi Hong mendengar ini. Ia pun segera melangkah ke pinggir dekat ayahnya.
“Saya datang
pertama-tama untuk mohon maaf kepada Paman Pangeran!” kata Keng Han sambil
memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang.
Pangeran itu
tersenyum, kemudian berkata, “Aku maafkan engkau, Keng Han. Engkau kemarin
bersikap demikian karena hasutan orang. Apakah kini engkau sudah mengerti benar
akan duduknya perkara?”
“Sudah,
Paman. Bahkan bukan itu saja. Kami, yaitu Cu In dan saya, mengetahui hal-hal
lain yang amat membahayakan keselamatan Paduka dan juga keselamatan Yang Mulia
Kaisar. Ada komplotan yang hendak membunuh Paman dan Kaisar.”
Pangeran Tao
Kuang terkejut mendengar ini dan segera mengajak Cu In dan Keng Han ke ruangan
dalam untuk membicarakan hal itu.
Setelah tiba
di ruangan dalam, Keng Han lalu menceritakan semua pengalamannya. Dia
menceritakan pula rencana ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan
Kaisar.
“Dia yang
kini memakai nama Hartawan Ji telah mengundang datuk-datuk besar yang berilmu
tinggi untuk melaksanakan pembunuhan itu. Karena itulah maka kami berdua
cepat-cepat menghadap Paman untuk menghadapi komplotan pembunuh itu. Di antara
mereka yang bersekutu itu terdapat pula seorang Tibet bernama Gulam Sang yang
agaknya sudah mengadakan persekutuan dengan pihak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
Mungkin mereka akan mengadakan penyerbuan ke kota raja. Juga Bu-tong-pai
bekerja sama dengan mereka. Keadaan ini gawat sekali kalau tidak dipersiapkan
penjagaan yang ketat.” demikian antara lain Keng Han berkata.
“Untuk
menjaga keselamatan Paduka, di sini sudah terdapat adik Kwi Hong, adik Han Li
dan Locianpwe Kai-ong. Akan tetapi untuk menjaga keselamatan Kaisar, perlu
adanya tenaga yang boleh diandalkan untuk mencegah terjadinya pembunuhan,” kata
Cu In.
“Wah, ini
perkara penting sekati. Aku harus segera menghubungi ayahanda Kaisar dan para
panglima untuk melakukan penjagaan dan untuk menyelidiki gerakan musuh di luar
kota raja. Bagaimana kalau kami minta bantuan kalian, Keng Han dan Cu In, untuk
ikut menjadi pengawal Kaisar untuk sementara waktu?”
“Saya
bersedia, Paman.” kata Keng Han.
“Jika memang
dibutuhkan, saya pun suka membantu,” kata pula Cu In penuh semangat.
“Bagus,
kalau begitu sekarang juga kalian berdua ikut dengan aku menghadap Kaisar. Kwi
Hong, engkau menjaga di rumah dan saya mohon bantuan Locianpwe Kai-ong dan nona
Yo untuk membantu Kwi Hong.”
“Baik, Ayah.
Aku dan ibu akan siap siaga.”
“Ha-ha-ha, setelah
siang malam makan dan tidur dengan enak di sini kami tentu saja suka membantu.
Ada pekerjaan itu baik sekali, makan tidur saja setiap hari membuat aku menjadi
malas!” kata Kai-ong.
Maka
berangkatlah Pangeran Tao Kuang menuju ke istana Kaisar, dikawal oleh Keng Han
dan Cu In. Setelah tiba di istana dan diterima oleh Kaisar, Pangeran Tao Kuang
menceritakan keadaan yang berbahaya itu.
Mendengar
laporan ini, Kaisar yang sudah tua itu memukul lengan kursinya.
“Aahhh,
anak-anak macam apa Tao Seng dan Tao San itu? Mereka sudah dihukum, tapi tidak
jera dan malah membikin ulah lagi. Kami serahkan penanggulangan pengacau ini
kepadamu, Tao Kuang. Selesaikan sampai tuntas urusan ini. Aaahh, kalau kami
yang harus memikirkan masalah anak-anak durhaka ini, bahkan hanya akan
mendatangkan penyesalan saja di dalam hati!”
“Baik, Ayah.
Serahkan saja semua ini kepada hamba. Di sini hamba mengajak dua orang pendekar
yang menjadi saksi usaha pemberontakan itu dan hamba harap supaya Ayah suka
menerimanya sebagai pengawal sementara untuk menghadapi mereka yang berani
masuk ke Istana.”
Kaisar
menerima Keng Han dan Cu In dengan senang. Akan tetapi melihat Cu In yang
bercadar, Kaisar mengerutkan alisnya dan berkata, “Kenapa gadis ini memakai
cadar? Sebaiknya kalau cadar itu dilepas agar kami dapat melihat wajahnya.”
“Ampun, Yang
Mulia. Hamba sudah bersumpah untuk tidak membuka cadar ini. Yang berhak
melakukan hanya suami hamba kelak,” kata Cu In.
Keterangannya
ini tidak seluruhnya bohong karena di dalam hatinya ia pun mengambil keputusan
bahwa yang berhak membuka cadar adalah tangan suaminya. Mendengar ini Keng Han
merasa jantungnya berdebar. Gadis ini sudah membuka cadar di depannya, bukankah
itu menunjukkan bahwa gadis ini setuju dia menjadi calon suaminya?
“Hemmm,
sumpah yang aneh. Tetapi sudahlah, karena putera kami yang membawamu ke sini,
engkau boleh bercadar.” Akhirnya Kaisar berkata sambil mengangguk walau pun
merasa heran akan sumpah yang aneh itu.
Keng Han dan
Cu In ditinggalkan dalam istana untuk menjadi pengawal pribadi kaisar. Walau
pun kaisar sudah mempunyai pasukan pengawal pribadi, akan tetapi hadirnya dua
orang muda yang oleh puteranya diperkenalkan sebagai dua orang pendekar yang berilmu
tinggi, kaisar suka menerimanya dan hal ini menambah tenang hatinya.
Pangeran Tao
Kuang sendiri lalu membawa sepasukan pengawal untuk mengawalnya. Dia tidak
segera pulang, akan tetapi mendatangi rumah panglima The Sun Tek yang
dikenalnya sebagai Panglima besar yang memiliki ilmu silat tinggi. Kepada
panglima itu dia menceritakan tentang usaha persekutuan yang dipimpin oleh
Pangeran Tao Seng.
Ia
menyerahkan penyelidikan dan pembasmian gerombolan pemberontak yang mungkin
bersembunyi dekat kota raja, supaya dapat mencegah gerombolan itu menyerbu kota
raja. Sesudah Panglima The Sun Tek menyatakan siap untuk melaksanakan perintah
Kaisar melalui Pangeran Mahkota itu, Pangeran Tao Kuang baru pulang ke
rumahnya, dikawal pasukan pengawal dengan ketat.
Panglima The
Sun Tek dengan cepat mengerahkan pasukan istimewa untuk menambah kekuatan
penjagaan di istana, lalu menyebar penyelidik untuk menyelidiki apakah ada
gerombolan yang bersembunyi di sekitar kota raja.
Kaisar Cia
Cing yang usianya sudah lebih dari tujuh puluh lima tahun itu nampak tenang
saja mendengar bahwa dirinya terancam bahaya maut. Apa lagi dengan adanya Keng
Han dan Cu In, dia merasa aman. Ada pun penambahan pengawal istana membuat dia
lebih tenang lagi karena penjagaan menjadi ketat sekali.
Keng Han dan
Cu In sama sekali tidak menyangka bahwa di antara pengawal istana itu terdapat
Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka ini di selundupkan oleh panglima
yang sudah dipengaruhi Pangeran Tao Seng, yaitu Panglima Ciu, ke dalam pasukan
pengawal istana! Ada pun Swat-hai Lo-kwi oleh Panglima Ciu diselundupkan ke
dalam pasukan penjaga istana Pangeran Mahkota.
Tentu saja
ketiga orang datuk sesat ini menyamar sehingga kelihatan muda dan seperti
anggota pasukan biasa. Dua orang datuk, yaitu Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai
Koai-jin, bertugas untuk membunuh kaisar. Bersama dengan mereka diselundupkan
pula anak buah Pek-lian-pai sebanyak selosin orang untuk membantu usaha dua
orang datuk itu.
Sedangkan
Swat-hai Lo-kwi dibantu oleh selosin prajurit pula, yaitu para anggota dari
Pat-kwa-pai. Gulam Sang sendiri memimpin pasukan inti Pek-lian-pai dan
Pat-kwa-pai bersama para tokoh kedua gerombolan itu, mempersiapkan pasukannya
di luar kota raja, siap untuk membantu apa bila saatnya tiba.
Penyerbuan
itu akan dibarengi dengan gerakan pasukan Panglima Ciu dari dalam. Bila saatnya
tiba, Panglima Ciu akan melepaskan anak panah berapi di udara sebagai tanda
kepada gerombolan yang bersembunyi di luar kota raja. Penyerbuan akan dilakukan
pada malam hari.
Pangeran Tao
Kuang yang sudah menerima keterangan sejelasnya dari Keng Han dan Cu In,
berhubungan terus dengan Panglima The Sun Tek. Panglima ini adalah seorang
panglima perang yang telah hafal akan liku-liku siasat perang. Maka dia tidak
terpancing keluar dan mengerahkan pasukannya keluar kota raja.
Ia menaruh
curiga kalau-kalau pihak pemberontak justru telah menyelundupkan banyak pasukan
ke dalam kota raja. Mudah saja untuk menyusup dengan menyamar sebagai pedagang
atau petani yang menjual hasil ladang mereka ke kota raja. Maka dia pun membagi
pasukannya menjadi dua bagian. Yang satu bagian diperuntukkan membasmi
gerombolan yang berada di luar kota raja, sedangkan sebagian lagi tetap menjaga
di kota raja kalau-kalau pihak musuh sudah menyelundupkan pasukan ke dalam kota
raja untuk menyerbu istana. Penjagaan di istana diperketat.
Malam itu
teramat indah. Biar pun tidak ada bulan di angkasa namun malam itu penuh
bintang. Langit bersih sehingga semua bintang nampak di angkasa bagaikan
butir-butir mutiara di hamparan beludru hitam. Apa bila ada orang yang
menengadah, maka akan nampak keindahan yang luar biasa, nampak pula kekuasaan
Tuhan yang tiada taranya.
Bintang-bintang
itu berkelap-kelip, ada yang berkejap ada pula yang tenang diam tanpa sinar
gemerlapan. Cahaya sekian banyak bintang di angkasa, tak terhitung banyaknya,
membuat cuaca di bumi nampak remang-remang. Cahaya bintang-blntang itu demikian
lembut sehingga malam terasa sejuk.
Kalau ada
angin semilir, barulah terasa betapa dinginnya hawa udara di saat itu. Dingin
dan sunyi, penuh pesona dan rahasia. Kadang nampak bintang meluncur lalu lenyap
membuat kita bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi jauh di atas itu.
Benarkah
pendapat kuno bahwa setiap bintang itu mewakili seorang manusia. Agaknya
pendapat kuno ini berlebihan. Buktinya banyak bintang yang sudah beratus tahun
masih nampak cemerlang di angkasa sedangkan manusia sudah berganti beberapa generasi.
Apakah di bintang itu terdapat makhluk hidup? Mungkin saja, siapa tahu. Tuhan
Maha Kuasa, maka tidak ada hal yang tidak mungkin. Kalau Tuhan menghendaki,
mungkin saja di antara bintang-bintang itu ada bintang yang seperti dunia kita
ini.
Malam yang
indah. Akan tetapi malam yang mencekam bagi para penjaga di istana. Beberapa
orang melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamar tidur Kaisar. Akan
tetapi ketika diperiksa, ternyata tidak ada siapa-siapa.
Ketika
mendengar laporan para penjaga itu, Keng Han dan Cu In siap siaga dengan penuh
kewaspadaan. Keng Han menyuruh para prajurit pengawal untuk mengepung kamar
tidur kaisar, sedangkan dia sendiri bersama Cu In sudah melayang naik ke atas
atap, menjaga kalau-kalau ada yang menyerbu dari atas. Penjagaan itu demikian
ketat sehingga siapa pun yang akan memasuki kamar kaisar, dari luar mau pun
dari atas, pasti akan ketahuan. Kecuali kalau ada yang masuk melalui bawah
tanah, suatu hal yang tidak mungkin.
Tengah malam
tiba. Bintang-bintang semakin jelas kelihatan, membuat Keng Han dan Cu In yang
berada di atas atap menjadi kagum bukan main. Terutama sekali Keng Han. Sudah
sering dia melihat malam penuh bintang, akan tetapi entah bagaimana, belum
pernah nampak seindah malam ini. Dia tersenyum seorang diri, maklum mengapa
hatinya demikian tenteram dan bahagia, walau pun sedang menghadapi tugas yang
berbahaya. Bukan lain karena Cu In berada di situ, di dekatnya!
Terdengar
bunyi langkah dua losin prajurit pengawal datang dari arah luar. Mereka itu
adalah satu regu prajurit pengawal yang datang untuk menggantikan para prajurit
yang sudah berjaga sejak sore tadi. Komandan prajurit yang baru datang menerima
laporan dari komandan prajurit yang diganti bahwa tadi nampak bayangan yang
mencurigakan berkelebat, akan tetapi kini suasana aman dan tenang sedangkan
bayangan itu tidak dapat ditemukan.
“Mungkin
hanya bayangan burung yang terbang lewat,” akhirnya komandan itu menutup
keterangannya kepada komandan yang baru. “Betapa pun juga, harap menjaga dengan
hati-hati dan waspada.”
Dia tidak
menceritakan bahwa Keng Han dan Cu In sedang berada di atas atap karena dia
sendiri tidak tahu di mana dua orang pengawal pribadi kaisar itu bersembunyi.
Pergantian pengawal sudah dilakukan. Para prajurit pengawal yang baru nampak
masih segar dan mereka mengepung kamar kaisar, bahkan kadang melakukan
perondaan di sekeliling tempat itu.
Keng Han dan
Cu In mendengar suara mereka dan melongok ke bawah. Mereka tahu bahwa ada
pergantian pengawal, maka mereka tidak mengacuhkan lagi. Kedua orang muda ini
terus bersembunyi di atas atap dengan waspada, mengawasi empat penjuru dengan
tatapan tajam. Tak lama kemudian mereka mendengar suara gedebak-gedebuk seperti
orang jatuh.
“Cu In,
cepat kau periksa di bawah, biar aku yang menjaga di sini!” kata Keng Han.
Cu In
melayang turun. Dia kaget bukan main melihat beberapa orang prajurit pengawal
menyerang kawan-kawannya sendiri! Dia sama sekali tidak tahu bahwa di antara
dua losin prajurit itu, yang empat belas orang adalah anak buah Pek-lian-pai
yang sekarang menyamar sebagai prajurit, termasuk juga dua orang datuk sesat,
Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin!
Melihat
sepuluh orang prajurit diserang oleh prajurit yang lain dan empat orang sudah
roboh tak bergerak lagi, Cu In berseru, “Tahan...!”
Akan tetapi,
para prajurit penyerang itu bahkan menyerangnya dan seorang di antara mereka
yang memegang ruyung berseru, “Lo-mo, cepat bergerak dari atas!”
Tung-hai
Lo-mo mengenal Cu In yang bercadar. Karena tahu betapa lihainya wanita itu,
maka dia menyerahkannya kepada Lam-hai Koai-jin dan selosin anak buah
Pek-lian-pai. Maka mendengar seruan Lam-hai Koai-jin, Tung-hai Lo-mo segera
meloncat naik ke atas atap. Diperhitungkannya, kalau memasuki kamar lewat atap
tentu tidak ada yang tahu dan kalau dia dapat membunuh kaisar dengan tangannya
sendiri, tentu pahalanya besar dan Pangeran Tao Seng akan memberi hadiah yang
besar.
Namun,
begitu kakinya menginjak atap, terdengar bentakan nyaring yang mengejutkan
hatinya. “Berhenti, siapa engkau?!”
Kiranya Keng
Han sudah berdiri di depannya. Dia segera mengenal Keng Han, akan tapi pemuda
itu sendiri tidak mengenalnya karena kakek itu memakai samaran sebagai seorang
prajurit biasa. Melihat Keng Han menghadang dengan pedang bengkok di tangannya,
Tung-hai Lo-mo cepat menggerakkan tombaknya. Sebagai prajurit tentu saja dia
tak mungkin membawa-bawa dayungnya, maka dia memilih memegang tombak dari pada
senjata lain karena tombak itu dapat dipergunakan sebagai senjata dayungnya.
Melihat
prajurit itu telah menyerangnya dengan tombak, Keng Han menangkis dengan pedang
bengkoknya.
“Tranggg...!”
Keduanya
terdorong mundur tiga langkah. Keng Han terkejut sekali. Orang yang dikirim
ayahnya untuk membunuh kaisar ini ternyata lihai dan memiliki tenaga sinkang
yang kuat!
Maka dia pun
mengerahkan tenaganya dan segera mainkan pedangnya dengan ilmu silat Hong-in
Bun-hoat. Pedang itu menyambar-nyambar dengan gerakan aneh seperti
mencorat-coret di udara membuat huruf-huruf, akan tetapi akibatnya hebat,
Tung-hai Lo-mo segera terdesak mundur. Datuk sesat ini berpikir bahwa kalau
bertempur di atas, berbahaya baginya. Selain atap itu licin dan miring, juga
dia tidak mempunyai kawan. Kalau di bawah terdapat selosin anak buah
Pek-lian-pai dan masih ada Lam-hai Koai-jin pula.
Maka dia
membabatkan tombaknya menyerampang kedua kaki lawan. Ketika Keng Han meloncat
untuk menghindarkan sambaran tombak, kesempatan ini dipergunakan oleh Tung-hai
Lomo untuk meloncat turun ke bawah!
“Pembunuh
jahat, engkau hendak lari ke mana?” bentak Keng Han. Dia pun meloncat ke bawah
melakukan pengejaran.
Melihat Keng
Han meloncat turun, Tung-hai Lo-mo menggunakan tombak menyambut dengan tusukan
yang cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Keng Han sudah waspada dan pada saat
melihat lawannya menyambutnya dengan tusukan, dia pun memutar pedang bengkoknya
untuk melindungi tubuhnya.
“Trang-tranggg...!”
Bunga api berpercikan ketika kedua senjata itu bertemu dan mereka segera
bertanding lagi dengan serunya.
Sementara
itu, pertandingan antara Cu In melawan Lam-hai Koai-jin juga berlangsung seru.
Akan tetapi karena Cu In membantu para prajurit pengawal yang diserang oleh
orang-orang Pek-lian-pai yang menyamar, ia jadi terkeroyok, apa lagi ruyung di
tangan Lam-hai Koai-jin membuatnya terdesak. Akan tetapi, dengan sabuk
suteranya gadis ini berhasil merobohkan lima orang anak buah Pek-lian-pai
sehingga kini jumlah mereka tinggal tujuh orang lagi. Mereka itu dapat dilawan
para prajurit pengawal yang tulen sehingga Cu In hanya menghadapi Lam-hai
Koai-jin seorang saja!
Lam-hai
Koai-jin ialah seorang datuk selatan yang bertubuh gendut pendek. Permainan
ruyungnya menggiriskan. Senjata berat itu dapat dia gerakkan dengan cepat
sehingga mengeluarkan suara berdesing-desing.
Namun,
lawannya adalah Cu In yang mempunyai ginkang yang luar biasa. Kecepatan gerakan
Cu In membingungkan Lam-hai Koai-jin. Sabuk sutera putih yang dimainkan Cu In
bagaikan kilat menyambar-nyambar, atau bagaikan seekor naga bermain di angkasa.
Ujungnya melecut dan menotok sehingga datuk gendut pendek itu seolah terkepung
oleh belasan ujung sabuk yang menyerangnya secara bertubi-tubi.
Baik
Tung-hai Lo-mo mau pun Lam-hai Koai-jin kini mulai maklum bahwa usaha mereka
mengalami gangguan. Apa lagi sekarang berdatangan pasukan pengawal lainnya yang
mendengar akan perkelahian itu kemudian mereka datang berbondong-bondong untuk
membantu teman-teman mereka.
Melihat ini,
Tung-hai Lo-mo berseru, “Lari...!”
Dia sendiri
sudah meloncat jauh ke belakang untuk melarikan diri. Lam-hai Koai-jin juga
meloncat jauh mengikuti jejak kawannya. Para anak buah mereka juga ingin lari,
akan tetapi kini bantuan sudah datang dan mereka terkepung dengan ketat
sehingga tak lama kemudian, kedua belas orang anak buah Pek-lian-pai yang
menyamar sebagai prajurit pengawal itu berhasil dirobohkan. Di antara mereka
ada yang belum tewas dan hanya terluka, maka yang terluka lalu ditawan.
Pintu yang
menuju ke kamar tidur kaisar terbuka dari dalam. Dua orang thaikam muncul.
Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di luar kamar, maka mereka membuka
pintu untuk melihat apa yang terjadi. Kaisar pun sudah terjaga dari tidur dan
memerintahkan thaikam untuk memeriksa keadaan di luar.
“Para
pembunuh menyamar sebagai prajurit pengawal datang menyerang, akan tetapi
mereka semua sudah tertangkap!” Keng Han melapor kepada para thaikam dan mereka
itu dapat melapor kepada Kaisar.
“Siapa yang
menyuruh kalian? Hayo cepat katakan!” bentak Keng Han kepada empat orang
penyerbu yang terluka dan sudah diikat kedua tangannya.
Akan tetapi
empat orang itu diam saja tidak mau menjawab.
“Katakan
kalian dari golongan apa?” tanya lagi Keng Han.
Seorang di
antara mereka kini mengangkat muka memandang kepada Keng Han dan menjawab
singkat. “Kami anggota Thian-li-pang!”
Keng Han dan
Cu In terkejut sekali. Anggota Thian-li-pang? Mereka teringat kepada Han Li
yang berada di rumah Pangeran Mahkota. Gadis itu puteri ketua Thian-li-pang!
“Mungkin
mereka berbohong. Kita undang Han Li ke sini untuk mengenali mereka,” kata Cu
In dan Keng Han menyetujui.
Keadaan kini
sudah aman. Tidak mungkin ada pembunuh yang dapat masuk dari luar istana yang
sudah dijaga ketat oleh pasukan. Kalau tadi mereka kebobolan adalah karena para
penjahat itu menyamar sebagai prajurit-prajurit pengawal istana.
“Benar,
sekarang di sini sudah aman. Kita serahkan kepada para prajurit untuk menjaga
keamanan selanjutnya dan kita harus cepat pergi ke rumah Pangeran Mahkota.
Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan,” kata Keng Han.
Keduanya
lalu pergi meninggalkan istana. Dari para penjaga di luar istana mereka
mendapat kabar bahwa dua orang pembunuh yang lihai dan menyamar sebagai
prajurit-prajurit itu telah berhasil lolos. Mereka tidak mempedulikannya lagi.
Penjahat-penjahat itu pasti tidak berani masuk kembali ke istana, pikir mereka.
Dengan cepat mereka lalu menuju ke istana Pangeran Tao Kuang.
Di istana
ini pun terjadi keributan. Menjelang tengah malam, ada bayangan tiga belas
orang memasuki istana lewat pagar tembok belakang taman. Mereka segera ketahuan
karena penjagaan sudah diatur dengan ketat dan terjadi pertempuran antara tiga
belas orang itu dengan para prajurit.
Akan tetapi
tiga belas orang itu ternyata lihai, terutama sekali seorang di antara mereka,
yaitu seorang kakek yang memegang pedang. Banyak prajurit penjaga roboh di
tangan kakek ini yang bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi.
Akan tetapi
Pangeran Tao Kuang segera dilapori penjaga dan Tao Kwi Hong bersama ibunya
Liang Siok Cu, ditemani pula oleh Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki dengan cepat
pergi ke tempat di mana terjadi pertempuran, yaitu di taman bunga di bagian
belakang istana. Sedangkan Pangeran Tao Kuang sendiri yang nyawanya terancam,
telah masuk ke dalam kamar rahasia yang tidak akan dapat ditemukan orang luar.
Swat-hai
Lo-kwi mengamuk dan dia mencari kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam
istana itu mencari Pangeran Tao Kuang. Pedangnya membabat ke sana sini.
“Tranggg...!”
Tiba-tiba
pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat bambu. Biar pun hanya tongkat bambu,
tapi ternyata mampu membuat pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi terpental dan
tangannya terasa panas. Datuk sesat ini segera memandang penuh perhatian pada
penangkisnya. Ternyata yang menangkis pedangnya adalah seorang kakek tinggi
kurus, berpakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat bambu, berdiri
sambil tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.
“Ha-ha-ha-ha-ha!
Kiranya Swat-hai Lo-kwi yang memimpin penyerbuan ini. Tidak aneh bila Swat-hai
Lo-kwi dapat diperalat kaum pemberontak, tentu dengan janji pahala yang
muluk-muluk!” kata Kai-ong Lu Tong Ki.
“Kai-ong,
jangan mencampuri urusanku. Apakah engkau telah menjadi anjing peliharaan
penjajah Mancu?”
“Heh-heh-heh,
tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta
tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”
“Keparat,
mampuslah engkau!”
Swat-hai
Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka
ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukannya sembarang serangan, melainkan
serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.
“Haiiiiit...!”
Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.
“Hemmm...!”
Kai-ong juga
mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya
sendiri.
“Desssss...!”
Dua tangan
bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai
tiga langkah, sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi
dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.
“Haiiiiit!”
Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar.
Kai-ong juga
menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang
dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi
setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar, bahkan
dapat terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.
Sementara
itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu pula oleh Han Li, sudah
mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata
memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para prajurit penjaga merasa lega dengan
munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.
Liang Siok
Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil, sebab ia adalah seorang ahli
tiam-hiat-to (menotok jalan darah). Tongkatnya merupakan senjata andalannya
karena tongkat itu lantas menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya.
Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik
terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu.
Kwi Hong
mengamuk lebih hebat lagi. Dengan pedangnya dia cepat mainkan Ngo-heng Sin-kiam
sehingga lawan-lawannya menjadi kerepotan melindungi dirinya dari sambaran
pedang yang ampuh itu. Tidak lama kemudian tiga orang lawan telah dapat
dirobohkan oleh pedang di tangan Kwi Hong.
Han Li memiliki
ilmu kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Kwi Hong atau ibunya. Ia telah
mewarisi banyak ilmu silat dari ayah dan ibunya. Akan tetapi menghadapi para
penyerbu ini, ia menyerang mereka dengan setengah hati. Bahkan ia tidak
mencabut pedangnya, melainkan hanya membagi-bagi tamparan dan tendangan saja.
Akan tetapi, walau ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang menentang
penjajah, tamparan dan tendangan itu sudah cukup membuat empat orang
terpelanting roboh.
Para
prajurit mengeroyok tiga orang sisa para penyerbu dan mereka pun roboh menjadi
korban senjata para prajurit. Sekarang tinggal Swat-hai Lo-kwi seorang yang
masih bertanding melawan Kai-ong. Ketika Kwi Hong hendak membantu kakek itu,
lengannya dipegang Han Li.
“Jangan,
Suhu tidak memerlukan bantuan. Dia tidak akan kalah.”
Mendengar
ucapan Han Li itu, Kwi Hong menghentikan gerakannya. Gadis yang suka bertualang
di dunia kang-ouw ini mengerti bahwa banyak tokoh besar persilatan tidak suka
dibantu apa bila sedang bertanding satu lawan satu, tidak mau bersikap curang
melakukan pengeroyokan. Maka, membantunya dapat juga diartikan penghinaan. Ia
pun berdiri menonton pertandingan yang hebat itu.
Akan tetapi
sekarang ternyata betapa perlahan-lahan Swat-hai Lo-kwi terdesak hebat oleh
tongkat Kai-ong. Mereka bergerak cepat sekali. Yang nampak hanya dua gulungan
sinar pedang dan sinar tongkat.
“Tranggg…!”
tiba-tiba terdengar suara nyaring.
Sesosok
tubuh mencelat keluar dari medan pertandingan, dan yang meloncat itu adalah
Swat-hai Lo-kwi. Dari ujung bibir sebelah kiri mengalir darah dan tangannya
menekan dadanya. Jelas bahwa dia telah terkena tongkat itu pada dadanya
sehingga menderita luka dalam.
“Sekarang
aku memang mengaku kalah, Kai-ong. Akan tetapi akan datang saatnya aku membalas
kekalahan ini!” Dan dia pun sudah melompat menjauh, melarikan diri dalam
kegelapan malam.
Setelah
semua musuh tidak dapat melakukan gerakan lagi, dan dua belas orang itu ada
yang tewas dan ada yang hanya terluka, Pangeran Tao Kuang kemudian diberi tahu.
Pangeran itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memerintahkan pengawal
untuk menyeret seorang di antara mereka yang terluka dan dibawa ke depan
Pangeran Tao Kuang.
“Kamu datang
dari perkumpulan mana?”
“Dari
Thian-li-pang!” jawab orang itu dengan lantang.
“Bohong!”
bentak Yo Han Li sambil bergegas menghampiri orang itu. “Kalau engkau dari
Thian-li-pang, coba katakan siapa aku ini!”
Orang itu
hanya memandang kepada Han Li, akan tetapi tidak menjawab.
“Hayo
katakan, siapa aku!” kembali Han Li membentak dan kini gadis yang marah itu
telah mencabut pedangnya dan menodongkan ke dada orang itu.
Orang itu
menjadi pucat wajahnya, kemudian menggeleng kepalanya dan menjawab, “Tidak...
tidak tahu...”
“Nah, Paman
Pangeran, jelas bahwa dia berbohong ketika mengaku sebagai anggota
Thian-li-pang.” Setelah berkata demikian, pedangnya membuat gerakan.
“Bret-bret-bret...!”
Baju bagian
dada orang itu terbuka sehingga di bawah sinar lampu dapat terlihat jelas di
dada itu ada cacahan gambar pat-kwa (segi delapan).
“Dia dari
Pat-kwa-pai!” seru Kwi Hong yang mengenal tanda gambar itu.
Han Li
mengangguk. “Benar. Aku mendengar bahwa di Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai ada
terdapat pasukan berani mati. Sampai mati pun mereka tidak mau mengaku bahwa
mereka adalah murid Pat-kwa-pai, maka sengaja tadi dia menyebut Thian-li-pang
untuk mengalihkan kesalahan kepada Thian-li-pang.”
Pangeran Tao
Kuang mengangguk-angguk dan memerintahkan para pengawal untuk menyingkirkan
mayat-mayat itu dan untuk menawan mereka yang masih hidup.
Pada saat
itu muncul Keng Han dan Cu In. Melihat pangeran berada di taman bersama Kwi
Hong, ibunya dan Han Li bersama gurunya, juga melihat banyak tubuh menggeletak
berserakan di tempat itu, mereka dapat menduga bahwa penyerangan terhadap diri
Pangeran Mahkota juga telah dapat digagalkan.
“Mereka
mengaku dari perkumpulan apa?” tanya Keng Han.
“Ada yang
mengaku dari Thian-li-pang, akan tetapi nona Yo Han Li telah membuktikan bahwa
mereka adalah anak buah Pat-kwa-pai. Lihat tanda di dadanya itu.”
Keng Han dan
Cu In melihat tanda gambar pada dada orang itu dan Cu In mengangguk-angguk.
“Sudah kami duga! Akan tetapi kami tidak menduga bahwa ada tanda gambar
perkumpulan mereka di dada. Orang-orang yang menyerbu ke istana juga mengaku
dari Thian-li-pang.”
“Ahh, kita
harus dapat membuktikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang,” kata Han Li.
“Aku harus menjadi saksi di sana.”
“Untuk
itulah kami datang ke sini. Selain hendak melihat keadaan di sini juga untuk
menjemput engkau adik Han Li. Hanya engkau yang dapat memastikan bahwa mereka
bukan dari Thian-li-pang.”
“Baik, mari
kita berangkat,” kata Han Li tegas. Gadis ini tentu saja ingin membersihkan
nama perkumpulannya dari fitnah yang dilontarkan para calon pembunuh kaisar
serta pangeran itu.
Setelah
mereka tiba di istana, seorang penyerbu yang terluka yang tadi mengaku dari
Thian-li-pang, dibawa menghadap Han Li yang telah diterima menghadap Kaisar
sendiri. Orang itu didorong dan dipaksa berlutut di depan Kaisar.
Han Li lalu
menghampiri orang itu dan bertanya, “Engkau dari perkumpulan apa?”
Orang itu
menjawab tanpa ragu-ragu lagi. “Dari Thian-li-pang!”
Han Li lalu
bertanya sambil mencabut pedangnya, ditodongkan ke arah dada orang itu. “Kalau
engkau dari Thian-lipang, katakan siapakah aku?”
Orang itu
berdongak memandang wajah Han Li. Akan tetapi dia tidak mengenalnya dan
menggeleng kepala sambil berkata, “Saya tidak tahu.”
Han Li
memberi hormat kepada Kaisar. “Nah, Yang Mulia. Orang ini jelas berbohong.
Kalau dia memang orang Thian-li-pang pasti dia mengenal siapa hamba. Hamba
adalah puteri ketua Thian-li-pang.”
Setelah
berkata demikian, pedangnya bergerak beberapa kali dan baju di bagian dada
tawanan itu pun robek-robek. Semua orang memandang dan melihat cacahan gambar
berbentuk bunga teratai di dada itu.
“Dia seorang
anggota Pek-lian-kauw, Yang Mulia,” kata Han Li.
“Benar, dia
anggota Pek-lian-kauw!” kata Cu In.
Sekarang
bagi mereka jelaslah bahwa selosin anak buah yang menyerbu istana adalah para
anak buah Pek-lian-pai sedangkan selosin yang menyerbu istana pangeran adalah
anggota Pat-kwa-pai! Maka terhapuslah dugaan bahwa Thian-li-pang yang mengirim
orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.
Namun di
luar istana sudah terlanjur tersiar berita yang datangnya dari para pengawal
yang menjadi saksi ketika tawanan-tawanan itu mengaku bahwa mereka adalah orang
Thian-li-pang. Akibatnya, umum berpendapat bahwa Thian-li-pang sudah mulai
dengan pemberontakannya dan sudah pula mengutus orang-orangnya untuk membunuh
kaisar dan pangeran mahkota.
Setelah
membuka rahasia para penyerbu itu di depan Kaisar sendiri, Keng Han dan Cu In
berpamit kepada kaisar. Kaisar hendak memberi hadiah kepada mereka dan memberi
anugerah pangkat, namun keduanya dengan hormat dan halus menolaknya. Mereka
keluar dari istana dan waktu itu sudah jauh lewat tengah malam. Mendadak mereka
melihat panah api diluncurkan orang di udara.
“Apa itu?”
tanya Cu In.
“Panah api!
Tentu menjadi suatu tanda yang dilakukan orang di dalam kota raja untuk mereka
yang berada di luar kota raja. Aku khawatir penyerbuan akan dimulai.”
“Mengapa
khawatir? Bukankah menurut Pangeran Mahkota, semua itu sudah diaturnya dengan
baik? Kita lihat saja. Kalau memang mereka menyerbu dan kota raja terancam,
kita berdua harus turun tangan membantu.”
“Kau benar,
Cu In. Walau pun yang menggerakkan semua ini adalah ayah kandungku sendiri,
akan tetapi terpaksa aku harus menentangnya. Dia memberontak untuk dapat
merampas tahta kerajaan dengan cita-cita menjadi kaisar! Andai yang memberontak
itu para pejuang bangsa Han, meski pun aku keturunan Mancu dan Khitan, aku
tidak akan membantu siapa-siapa.”
Cu In
mengangguk. “Aku setuju sekali dengan pendapatmu, Keng Han. Pemberontakan
dilakukan oleh orang-orang yang berambisi mengangkat diri sendiri menjadi
penguasa, dan mereka sudah menggunakan tokoh-tokoh sesat serta
kumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kalau
Thian-li-Pai yang bergerak, tentulah bukan menggunakan cara ini dan di
belakangnya tentu mendapat dukungan rakyat jelata. Mari kita melihat lagi ke
istana Pangeran Mahkota untuk mendapat petunjuk dari pangeran.”
Keduanya
lalu berlari cepat menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ternyata mereka semua
tidak beristirahat, melainkan berkumpul di ruangan depan, juga menanti sesuatu
yang pasti akan terjadi.
“Kami
melihat panah api diluncurkan ke udara,” kata Keng Han setelah mereka berdua
menghadap sang pangeran.
“Kami juga
sudah mengetahuinya. Tentu itu merupakan tanda bagi pemberontak yang berada di
luar kota raja. Semua telah diatur oleh The Ciangkun. Dia telah mengetahui
semua siasat pemberontak dan sudah siap siaga menghadapi pemberontak, baik yang
di dalam kota raja mau pun yang berada di luar.”
Cu In amat
kaget mendengar bahwa yang memimpin pertahanan adalah The Ciangkun. ”Apakah
yang dimaksudkan itu adalah ciangkun yang bernama The Sun Tek?” tanya Cu In.
“Benar,”
jawab Pangeran Tao Kuang. “Dia adalah seorang panglima besar yang pandai ilmu
silat dan ilmu perang, dan juga setia. Apakah engkau mengenalnya, Nona?”
“Saya
mengenalnya dengan baik, Pangeran,” kata Cu In.
“Bagus,
kalau begitu kalian pergilah membantunya. Nona Yo Han Li dan Kai-ong biar tetap
di sini untuk menjaga kemungkinan penyerbuan mata-mata musuh.”
“Baik,” kata
Keng Han dan Cu In. Mereka lalu keluar dari istana itu.
“Cu In,
benarkah engkau mengenal Panglima The itu?”
“Tentu saja
mengenalnya. Dia itu ayah kandungku,” kata Cu In terus terang.
“Ehhh...?”
Keng Han
menghentikan langkahnya dan memandang Cu In. Wajah bercadar itu hanya nampak
garis-garisnya saja dalam malam yang hanya diterangi bintang-bintang itu.
“Bukankah
engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ayah ibumu sudah mati terbunuh musuh,
dan engkau mencari musuh itu?”
“Memang
benar, akan tetapi belum waktunya aku menceritakan kepadamu. Lihat, di sana
sudah terjadi pertempuran!”
Mereka
berlari ke tempat itu dan ternyata yang bertempur itu adalah pasukan anak buah
Panglima Ciu yang mempertahankan benteng mereka yang sudah dikepung pasukan
anak buah Panglima The.
Sementara
itu, tempat persembunyian pasukan inti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di luar
kota raja juga sudah ditemukan oleh para penyelidik. Dan begitu ada tanda panah
api, sebagian pasukan Panglima The yang sudah mengepung tempat itu segera
bertindak menyerbu.
Tiba-tiba
terdengar suara lantang. “Panglima Ciu! Di sini Panglima The dengan semua
pasukannya yang kuat. Lebih baik engkau menyerahlah karena semua persekutuanmu
dengan pihak pemberontak telah kami ketahui. Heiii, para prajurit dalam
benteng! Kalau kalian tidak menyerah, tentu kalian semua akan mati ditumpas
pasukan kami!”
Mendengar
seruan ini, banyak prajurit pasukan yang berlari keluar dari benteng tanpa
membawa senjata sambil mengacungkan kedua tangan ke atas. Mereka membiarkan
diri mereka ditangkap dan ditawan.
Panglima Ciu
yang maklum bahwa terlibatnya dalam persekutuan pemberontak itu tentu tidak
akan mendapat pengampunan, dengan nekat terus memimpin anak buahnya yang masih
setia untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi karena kalah banyak jumlahnya,
juga para anak buahnya sudah kehilangan semangat, dengan mudah pasukannya dapat
dihancurkan dan Panglima Ciu sendiri dengan pedang di tangan menyerang Panglima
The.
Cu In dan
Keng Han melihat ini, tetapi mereka tidak memberi bantuan karena melihat bahwa
pasukan Panglima The jauh lebih kuat dari pada musuh. Juga ketika Panglima Ciu
bertanding melawan Panglima The, Cu In hanya menonton, tidak membantu ayah
kandungnya. Memang Panglima The tidak perlu dibantu sebab belum sampai lima
puluh jurus, pedangnya sudah menyambar dan memenggal leher Panglima Ciu.
Seorang
pembantunya mengangkat kepala Panglima Ciu tinggi-tinggi dengan sebatang tombak
dan berseru. “Hentikan perlawanan kalian. Panglima kalian telah tewas!”
Mendengar
dan melihat ini, para prajurit hilang nyalinya. Mereka membuang senjata dan
menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.
Sementara
itu, pertempuran yang terjadi di luar kota raja juga tidak berlangsung lama.
Jumlah para pemberontak itu jauh lebih kecil dibandingkan pasukan pemerintah.
Walau pun di antara mereka terdapat Gulam Sang yang dibantu Liong Siok Hwa dan
beberapa orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, tetapi karena dikeroyok
banyak sekali orang, akhirnya Gulam Sang mengajak Liong Siok Hwa untuk
melarikan diri!
Demikianlah
watak seorang yang licik. Demi memperoleh kedudukan tinggi dia mau melakukan
perbuatan apa pun, akan tetapi begitu melihat usahanya gagal, dia lebih dulu
melarikan diri.
Gulam Sang
mengajak Siok Hwa melarikan diri ke Bu-tong-pai di mana dia menyamar sebagai
Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang tua itu. Liong Siok Hwa yang datang
bersama Gulam Sang itu, diterima oleh para tokoh Bu-tong-pai dengan hormat.
Bahkan setelah Thian It Tosu keluar dari tempat pertapaannya, dia mengumumkan
kepada para anggota bahwa mulai hari itu juga, Liong Siok Hwa diterima menjadi
muridnya. Sebagai murid Thian It Tosu, tentu saja Siok Hwa boleh tinggal di
perkampungan Bu-tong-pai sesuka hatinya.
Beberapa
hari kemudian Bu-tong-pai kedatangan banyak tamu, antara lain Ji Wan-gwe,
Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Lam-hai Koai-jin dan masih banyak orang lagi.
Mereka semua adalah pelarian, setelah kalah dan gagal dalam usaha mereka
menyerbu istana dan membunuh kaisar serta putera mahkota.
Thian It
Tosu menerima mereka dengan senang hati dan mereka menjadi tamu-tamu kehormatan
Bu-tong-pai. Mereka semua pergi ke Bu-tong-pai dan berkumpul di sana dengan
tujuan untuk menyembunyikan diri dan agar dapat mengadakan pertemuan dan
berunding. Dalam perundingan mereka, Ji Wangwe atau Pangeran Tao Seng menyesalkan
para pembantunya yang ternyata sama sekali gagal dalam tugas mereka.
“Akan tetapi
semua kegagalan itu bukan kesalahan kami, melainkan karena rahasia kita telah
bocor dan pihak musuh mengetahui akan semua rencana kita. Aku yakin bahwa yang
mengkhianati kita adalah Tao Keng Han!”
Tung-hai
Lo-mo mengangguk dan berkata, “Memang benar. Kalau tidak ada pemuda itu tentu
kami telah berhasil membunuh Kaisar! Pemuda itu telah mengkhianati Pangeran,
ayahnya sendiri.”
Pangeran Tao
Seng mengepal tinjunya. “Jika tahu akan begini jadinya, sudah kubunuh dia
ketika dulu dia tertawan!”
“Tidak ada
gunanya Ayah marah-marah. Kita masih mempunyai rencana kedua. Kalau rencana ini
berhasil, keadaan kita menjadi semakin kuat sehingga kita akan mampu
mengobarkan pemberontakan.”
“Hemmm,
rencana apakah itu, Kongcu?” tanya Swat-hai Lo-kwi dan para tokoh lainnya yang
juga ingin mengetahuinya.
“Begini,”
kata Pangeran Tao Seng. “Bu-tong-pai telah sepenuhnya kita kuasai. Dengan
membonceng kepada nama Bu-tong-pai, kita dapat mengumumkan bahwa Bu-tong-pai
mengadakan pemilihan bengcu (pemimpin rakyat) baru. Tentu saja harus kita
usahakan agar Gulam Sang yang akan menang dan menjadi bengcu baru. Nah, kalau
kedudukan bengcu sudah di tangan kita, kiranya akan mudah bagi kita untuk
menggerakkan semua orang di dunia kang-ouw untuk mulai dengan gerakan pemberontakan
yang besar.”
“Pikiran
yang sangat bagus! Akan tetapi bagaimana dengan bengcu yang sekarang?” tanya
Tung-hai Lo-mo.
“Dalam
pemilihan bengcu pada sepuluh tahun yang lalu, sebagian besar orang memilih
Pendekar Tangan Sakti Yo Han yang kini menjadi ketua Thian-li-pang. Akan tetapi
dia tak bersedia menjadi ketua. Maka pilihan lalu dijatuhkan kepada Bhe Seng
Kok, seorang pendekar Siauw-lim-pai. Nah, kalau kita hendak merampas kedudukan
bengcu, terlebih dahulu kita harus singkirkan Bhe Seng Kok ini. Kalau bengcu
yang lama sudah tewas, tentu harus diadakan pemilihan bengcu baru. Dan
Bu-tong-pai yang akan mempelopori pemilihan itu,” kata Gulam Sang.
Semua orang
memandang pemuda Tibet ini dengan kagum. Dia agaknya tahu akan segala peristiwa
di dunia persilatan.
“Akan tetapi
siapa yang akan menyingkirkan ketua Bhe Seng Kok? Aku pun mendengar bahwa murid
Siauw-lim-pai itu tangguh sekali!”
“Aku yang
akan melakukannya, dengan bantuan Tung-hai Lo-mo. Apa bila kita berdua yang
menghadapinya, aku tanggung dia akan tewas!” kata pula Gulam Sang.
Pangeran Tao
Seng mengerutkan alisnya. “Murid Siauw-lim-pai? Ahhh, kalau sampai
Siauw-lim-pai mengetahuinya dan memusuhi kita, akan celakalah. Kekuatan mereka
besar sekali dan nama mereka sudah terkenal sehingga lain-lain aliran tentu
akan berpihak kepada Siauw-lim-pai.”
“Harap
Paduka tidak khawatir. Pembunuhan itu harus dilakukan dengan menggelap dan
menyamar sehingga kalau pun ada yang melihatnya mereka tentu tidak akan
mengenal kami. Kami membunuh dengan alasan sebagai balas dendam musuh lama.
Sebagai seorang pendekar, kalau sampai Bhe Seng Kok tewas terbunuh oleh
orang-orang yang mendendam, tentu tidak mengherankan semua orang dan hal itu
wajar saja terjadi,” demikian kata Gulam Sang.
Mendengar
ini, Pangeran Tao Seng menjadi lega hatinya dan dia menyerahkan saja urusan itu
kepada anak angkatnya yang sudah dipercaya sepenuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa
kalau Gulam Sang masih setia kepadanya, padahal perebutan tahta telah gagal,
hal ini adalah disebabkan Gulam Sang masih membutuhkan harta kekayaannya untuk
membiayai rencananya.
Setelah
selesai perundingan itu, Swat-hai Lo-kwi dan Lam-hai Koai-jin berpamit untuk
pulang ke tempat masing-masing dengan janji bahwa kelak pada pemilihan bengcu
mereka pasti akan hadir dan siap membantu Gulam Sang. Tung-hai Lo-mo tinggal di
situ untuk membantu Gulam Sang….
Keng Han
meninggalkan istana dan kota raja bersama Cu In. Biar pun tidak berjanji
keduanya ternyata melakukan perjalanan bersama. Setelah mereka berada jauh dari
kota raja, Keng Han menunda langkahnya dan berhenti. Melihat ini Cu In juga
berhenti melangkah. Keduanya saling pandang. Keng Han lalu bertanya, dalam
suaranya mengandung kekhawatiran kalau-kalau gadis itu akan meninggalkan dia
lagi.
“Cu In, ke
manakah tujuan perjalananmu kali ini?”
Cu In tidak
menjawab, hanya menengok ke depan dan kanan kiri seperti orang mencari
jawabannya dari pohon-pohon dan sawah ladang yang berada di kanan kirinya.
“Dan engkau
sendiri, Keng Han. Engkau hendak ke manakah?” akhirnya dia bertanya kembali
tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.
Keng Han
menghela napas panjang. “Tujuan perjalananku meninggalkan Khitan adalah untuk
mencari ayah kandungku, kemudian mengajaknya pulang ke Khitan karena ibu amat
merindukannya. Tapi kenyataannya, ayahku seorang ambisius yang memberontak dan
melakukan perbuatan jahat dengan usaha pembunuhan-pembunuhan itu. Bahkan
sekarang ayah telah menjadi seorang pelarian dan buruan pemerintah, dan aku
tidak tahu dia berada di mana. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, dan aku akan
mengikuti saja ke mana engkau pergi, Cu In.”
Gadis itu
menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Keng Han
juga mengambil tempat duduk di depannya.
“Aku sendiri
belum tahu ke mana aku harus pergi,” kata Cu In.
“Cu In,
bukankah engkau mempunyai ayah dan ibu? Engkau berjanji akan menceritakan
kepadaku tentang pengalamanmu. Dulu engkau mengatakan bahwa engkau yatim piatu
dan engkau hendak membalas dendam kepada pembunuh orang tuamu. Akan tetapi
kemudian engkau mengatakan bahwa engkau sudah bertemu dengan ayah bundamu.
Bagaimanakah ini?”
Cu In
menghela napas panjang lagi. Kalau bukan kepada Keng Han, dia pasti segan
menceritakan persoalan ayah ibunya. Akan tetapi ia amat tertarik dan percaya
kepada Keng Han, maka ia merasa tidak tega untuk berbohong.
“Sejak kecil
sekali aku dipelihara subo (ibu guru) dan subo selalu mengatakan bahwa ayah
ibuku telah dibunuh orang. Setelah aku dewasa, subo mengatakan padaku bahwa
pembunuh ayah bundaku adalah The Sun Tek yang tinggal di kota raja.”
“Ahhh...!”
Keng Han berseru heran. “Kau maksudkan The Ciangkun yang memimpin pembasmian
pemberontak itu?”
“Benar,
dialah orangnya. Aku dapat mencarinya di kota raja dan aku sudah siap untuk
membunuhnya, akan tetapi The Ciangkun menceritakan tentang hubungannya dengan
Ang Hwa Nio-nio. Ternyata bahwa subo-ku adalah bekas kekasih The Sun Tek, dan
bahwa aku adalah puteri mereka berdua! Muncul guruku atau ibuku yang memaksa aku
harus membunuh The Sun Tek. Karena aku sudah tahu bahwa aku anak The Ciangkun,
maka aku tidak mau melakukannya. Subo marah dan hendak membunuhku, akan tetapi
dicegah ayahku. Hatiku demikian sakit rasanya. Kiranya ibuku mendendam
sedemikian hebatnya kepada ayahku sehingga dia mendidik aku sebagai muridnya
hanya dengan maksud supaya sesudah dewasa aku akan membunuh ayahku sendiri!
Pembalasan dendam yang amat keji. Karena hatiku sakit, aku lalu meninggalkan
mereka.”
Keng Han
mendengarkan dengan penuh perhatian, menghela napas dan berulang kali
menggeleng kepalanya. “Dan bagaimana engkau dapat terlibat dalam keluarga
Putera Mahkota?”
“Aku bertemu
dengan adik Yo Han Li yang sekereta dengan Kwi Hong. Ia memanggilku dan mereka
membujuk aku agar suka berkunjung ke rumah Kwi Hong. Demikianlah, maka aku
berada di sana ketika engkau hendak membunuh Pangeran Mahkota.”
Kembali Keng
Han menghela napas. “Nasib kita hampir sama, Cu In. Engkau disuruh membunuh
ayahmu oleh ibumu sendiri, dan aku hampir saja membunuh pangeran yang tak
bersalah. Engkau mendapat kenyataan betapa kejam ibumu, dan aku pun mendapat
kenyataan betapa kejam ayahku. Hemm, sekarang aku mulai mengerti kenapa Bi-kiam
Niocu begitu membenci pria dan kalau ada pria mencintanya harus dibunuhnya.
Tentu engkau pun demikian, bukan?”
“Memang
subo-ku atau ibuku selalu mendidik kami berdua agar membenci kaum pria.
Dikatakannya bahwa laki-laki itu semua palsu dan pembohong, tukang bujuk rayu
yang berbahaya, maka kami diharuskan menjauhkan diri dari laki-laki dan kalau
ada laki-laki yang menggoda, harus cepat dibunuh! Akan tetapi semenjak aku...
bertemu denganmu, pandanganku sudah berubah. Seperti juga wanita, laki-laki itu
ada yang jahat dan ada yang baik. Apa lagi setelah aku mengetahui mengapa ibu
demikian membenci pria, aku tahu bahwa sebabnya hanya karena ia sakit hati dan
dendam kepada seorang pria.”
“Akan
tetapi, bagaimana ibumu dahulu sampai berpisah dari The Ciangkun?”
“Ayah
dilarang orang tuanya mengambil ibuku yang seorang wanita kang-ouw sebagai
isteri, dan dia sudah ditunangkan dengan wanita lain, seorang gadis bangsawan.
Ayah membujuk ibu agar suka menjadi selir, akan tetapi ibu tidak mau dan mereka
berpisah ketika ibuku sudah mengandung aku tiga bulan.”
Keng Han
merasa terharu dan ikut bersedih akan nasib gadis ini.
“Ahh,
sekarang aku mengerti pula mengapa engkau menutupi mukamu dengan cadar. Tentu
agar tidak terlihat oleh pria sehingga tidak ada yang melihat dan menggodamu
sehingga engkau akan terpaksa membunuhnya.”
Cu In
mengangguk membenarkan. Pada saat itu pula terdengar seruan orang, “Cu In...!
Engkau di sini? Aku mencarimu ke mana-mana, kiranya engkau berada di sini.
Sungguh aku girang sekali bisa menemukan anakku di sini!”
Keng Han dan
Cu In menoleh dan ternyata yang mengeluarkan ucapan itu bukan lain adalah
Panglima The Sun Tek! Cu In bangkit berdiri dan Keng Han juga bangkit berdiri.
“Engkau
tentu pemuda yang bernama Tao Keng Han. Aku sudah mendengar banyak tentang
dirimu dan aku kagum sekali, orang muda.”
Keng Han
cepat-cepat memberi hormat pula. “Sebaliknya saya pun mendengar bahwa berkat
pimpinan Paman maka para pemberontak dapat diruntuhkan.”
“Dan ada
urusan apakah engkau mencariku, Ciangkun?” tanya Cu In, suaranya dingin.
“Ah, Cu In.
Engkau adalah puteriku. Aku ayah kandungmu! Tentu saja aku mencarimu.”
“Ibuku
sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya, maka ayahku juga sebaiknya
demikian. Biarlah aku menganggap diriku ini tidak memiliki ayah dan ibu
lagi...” Dalam suaranya terkandung isak tangis.
“Cu In,
harap engkau jangan berpendirian seperti itu. Ayahmu adalah seorang yang
terhormat, gagah dan terpandang. Dan dia pun sudah bersusah payah mencarimu.
Aku sendiri, kalau saja ayahku bersikap sebaik ayahmu, tentu akan menyambutnya
dengan bahagia sekali,” kata Keng Han membujuk.
“Akan tetapi
apa artinya seorang ayah bagiku, bila tanpa seorang ibu? Ibuku memusuhi ayah,
apakah aku harus mengkhianati ibuku?” Pertanyaan Cu In ini ditujukan kepada ayahnya.
“Cu In,
ketahuilah bahwa ibumu bersedia menghabiskan sisa hidupnya bersamaku, tapi
dengan satu syarat bahwa aku harus dapat mengajakmu pulang menemuinya. Karena
itu, demi kebahagiaan kita, marilah kita pergi mengunjungi ibumu di Beng-san.”
“Ahh, itu
bagus sekali! Aku ikut merasa girang, Cu In. Aku mau menemanimu ke sana.”
“Sebaiknya
kita semua ke sana,” kata The Sun Tek. “Kai-ong dan muridnya juga sudah
berangkat. Ketahuilah bahwa Bu-tong-pai mengundang semua orang kang-ouw untuk
datang ke sana untuk mengadakan pemilihan bengcu baru.”
“Bengcu
baru?” tanya Keng Han heran. “Lalu ke mana perginya bengcu yang lama?”
“Entahlah,
itu pun menjadi pertanyaan di dalam hatiku. Beng-san tidak terlalu jauh dari
Bu-tong-san. Setelah aku dapat memboyong isteriku, kita semua dapat singgah
pula di Bu-tong-san untuk menghadiri pertemuan besar itu. Di sana tentu akan
dapat terjawab mengapa diadakan pemilihan bengcu baru dan ke mana perginya
bengcu yang lama. Bukankah yang menjadi bengcu adalah Bhe Seng Kok, tokoh
Siauw-lim-pai?”
“Benar,
Paman. Saya pun pernah mendengar bahwa bengcu yang sekarang bernama Bhe Seng
Kok.”
“Kalau
begitu, marilah kita berangkat, Cu In. Kita mengunjungi ibumu dan aku akan
memboyongnya ke kota raja. Dari sana kita sekalian pergi ke Bu-tong-pai untuk
melihat pemilihan bengcu baru.”
Akhirnya,
setelah dibujuk oleh Keng Han, Cu In mau juga pergi bersama ayahnya dan Keng
Han. Mereka bertiga lalu melakukan perjalanan ke Beng-san dan Cu In menjadi
penunjuk jalan. Selama dalam perjalanan ini, The Sun Tek mengerti dari sikap
dan kata-kata Keng Han dan Cu In bahwa kedua orang muda ini saling menaruh
hati! Akan tetapi dia diam-diam merasa girang karena diketahuinya bahwa Keng
Han seorang pemuda yang baik sekali, walau pun dia itu putera Pangeran Tao Seng
yang memberontak.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment