Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 08
Dia tidak
tahu apa hubungannya semua itu dengan tugasnya untuk membunuh musuh besarnya
ini.
"Aku
harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku,
bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan supaya ia suka menjadi selirku.
Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong
Bwe menolak dan menuntut supaya aku menikahinya sebagai isteri yang sah. Aku
tak mungkin dapat memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga
meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia
mengandung anakku dan sejak itu aku tak pernah dapat menemukannya. Aku selalu
mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih terus mencarinya. Akan tetapi ia
selalu menghilang begitu aku bisa menemukan tempat persembunyiannya. Aku pun
mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak
pernah aku melihat anakku itu pula."
Cu In
mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu nampak
jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap
bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subonya. Akan tetapi
subonya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subonya tidak
mempunyai anak!
"Nah,
demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu ialah gurumu. Aku sudah
mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada
kembang merah. Itu memang kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, selalu menghias
rambutnya dengan bunga merah. Sekarang engkau sudah tahu apa sebabnya maka ia
membenciku dan kini mengutus mu untuk membunuhku. Tapi aku mencintainya, sampai
sekarang pun masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia
akibat sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan
tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu
engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang
anakku itu? Siapa pula namanya?"
Cu In
menggelengkan kepalanya. "Subo tidak pernah mempunyai seorang puteri, juga
tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai
anak."
Ia tidak
menceritakan betapa subonya sangat benci kepada laki-laki. Bahkan sejak ia
masih kecil, ia sudah dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria,
terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subo-nya terhadap The
Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki.
"Nah,
demikianlah ceritaku. Aku tak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan
pribadi. Jika aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka aku
merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin dulu ayahmu berada dalam
pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tak mungkin
ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe
untuk membuat engkau membenci padaku, kemudian membalas dendam kematian ayah
bundamu. Dan melihat keadaan dirimu, walau pun mukamu tertutup cadar, aku
hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe
sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang
matamu itu tidak akan dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan
demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri
membunuhku?"
Cu In
bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya.
Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri
mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci,
bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya!
Pada saat
itu terdengar bentakan suara lembut, "Cu In, cepat laksanakan perintahku.
Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!"
Yang muncul
adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh
kebencian ditujukan kepada The Sun Tek.
Panglima itu
melangkah maju menghampiri, "Hong Bwe...! Ahhh, bertahun-tahun aku
mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku,
Hong Bwe dan sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi
isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah
engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"
"Kejam
katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau
yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah
manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"
Akan tetapi
kini Cu In memandang kepada subo-nya dengan sinar mata penuh tuntutan.
"Subo, benarkah dia itu ayahku?"
"Hemmm,
Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!" kata The Sun Tek, kini
dia hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.
"Tidak
peduli dia itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat
serang dan bunuh dia!" kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya
bercampur tangis saking jengkel hatinya.
"Akan
tetapi, Su... bo...!"
"Tidak
ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"
"Tidak!
Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"
"Kau...
kau... berani membantah perintahku? Dari kecil engkau kubesarkan, kupelihara,
kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku
akan membunuhmu di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil
menghunus pedangnya.
"Jawab
dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kau jawab, baru
aku akan menentukan sikapku."
"Ya
atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"
"Tidak!
Aku tidak mau!"
"Kalau
begitu mampuslah kau di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan
pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan
tetapi pedang gurunya mengejar terus.
"Tranggg...!"
Pedang itu
tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang di dalam
genggaman tangan The Sun Tek.
"Hong
Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kau
buat sendiri? Hong Bwe, aku memang telah bersalah kepadamu, kesalahan karena
keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama,
dan kini aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau
masih mendendam dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Jika dia tidak mau
engkau bahkan akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong
Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai
sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta
maaf kepadamu, aku mohon ampun kepadamu. Apa bila engkau masih mendendam, nah,
inilah dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu
kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku
membunuhku!"
Sim Hong Bwe
atau Ang Hwa Nionio tertegun memandang pria itu. Tiba-tiba tangannya gemetar,
pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The
Sun Tek.
"Kau...
kau... ahhhhh...!"
Tubuhnya
terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan
memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulan
panglima ini.
Cu In
memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan
melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa
ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati,
membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam.
Dendam
ibunya kepada ayahnya demikian mendalam sehingga ia tidak puas jika harus
membunuhnya sendiri, tapi menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya. Dan
pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai
dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini,
ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air
mata bercucuran.
"Cu
In...!" Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak
peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu.
Sementara
itu, Ang Hwa Nio-nio mulai sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam
rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek
berlutut di depan kakinya.
"Hong
Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihatlah, aku benar-benar menyesal dan ingin
menebus semua kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk
membahagiakanmu. Bila perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku.
Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran
tanganku ini, Hong Bwe."
Wanita itu
seperti nanar, memandang sekeliling. "Mana dia...? Mana Cu In
anakku...?" Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai
anaknya.
"Ia
telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya
sendiri hampir saling bunuh. Ahh, kelak kita harus memberi cinta kasih dan
kesayangan kepada anak kita."
"Aku
juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku
sudah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar supaya
mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau..."
"Aku
menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup
bahagia seperti dulu..." The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu.
Ketika itu
muncul seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah.
Melihat The Sun Tek sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita asing di taman
dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangannya, dia berhenti
melangkah, memandang dan tidak berani bertanya.
The Sun Tek
mendengar langkahnya dan menoleh, kemudian berkata kepada Ang Hwa Nio-nio.
"Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku
hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu.
Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan
tinggalkan kami berdua di sini!"
The Kong
dengan patuh memberi hormat kepada Ang Hwa Nio-nio dengan menyebut ‘ibu’,
kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.
"Hong
Bwe, seperti sudah kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau
kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Kini engkau sudah datang, hiduplah
bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap yang
mendapat matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang
anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibunya,
pengganti ibunya."
"Hemmm,
kau kira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau
engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In
dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kau boyong ke sini
kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan
masa lalu. Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!"
Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi
dengan cepat.
"Hong
Bwe...!"
Akan tetapi
The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak
terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup
sebagai suami isteri dengannya.
Sambil
menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat
berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru
bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya.
Dia berjanji
kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang
ke Beng-san bersamanya….
Gadis manis
dan ayahnya itu dikerumuni banyak orang di depan pasar di kota Leng-an. Mereka
adalah seorang gadis bersama dengan ayahnya yang bermain silat, sengaja
mempertontonkan kepandaian mereka sehingga menarik banyak perhatian penonton.
Setelah gadis itu bersilat dengan sepasang pedangnya dengan gerakan indah dan
kuat serta cepat sehingga mendapat tepuk tangan kagum dari para penonton, sang
ayah lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada semua penonton di
sekelilingnya.
"Cu-wi
(saudara sekalian) yang mulia. Kami ayah dan anak mohon maaf sebesarnya bila
kami berani mempertontonkan ilmu silat kami yang masih rendah. Terutama kepada
para eng-hiong (pendekar) yang kebetulan berada di sini, hendaknya dimaklumi
bahwa kami sama sekali tidak bermaksud untuk membanggakan kepandaian kami.
Kalau kami mempertontonkan kepandaian, tidak lain karena kami kekurangan dan
kehabisan bekal dalam perjalanan ini dan mengharapkan sumbangan suka rela dari
para penonton, di samping itu juga mengharapkan mudah-mudahan puteriku akan
menemukan jodohnya di tempat ini."
Ucapan yang
terus terang itu disambut sorak-sorai dan tepuk tangan. Sekarang tahulah semua
orang bahwa gadis itu hendak mencari jodohnya melalui pertandingan silat. Tentu
nanti akan ramai kalau ada pemuda yang berani mencoba-coba.
Dan dugaan
semua orang benar saja. Penawaran jodoh itu menarik perhatian banyak orang. Hal
ini tidak aneh karena gadis itu memang manis sekali.
Wajahnya
berbentuk bulat telur, dengan anak rambut melingkar-lingkar di pelipis serta
dahinya. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dengan ringkas.
Kulitnya agak gelap, akan tetapi menambah kemanisannya.
Matanya
tajam dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, hidungnya kecil mancung serta
mulutnya mengandung daya tarik yang amat kuat. Mulut itu selalu mengandung
senyum memikat, dengan lesung pipit di kiri bibir. Mulut dan mata gadis ini
yang benar-benar memikat. Usianya pun paling banyak delapan belas tahun.
Namun karena
semua orang sudah menyaksikan ketika gadis itu tadi berdemonstrasi silat tangan
kosong kemudian silat sepasang pedang, yang berani maju hanya mereka yang
merasa dirinya cukup tangguh saja.
Mula-mula
seorang pemuda berpakaian ringkas seperti seorang jago silat yang maju. Pemuda
berbaju biru ini melompat ke depan dengan sikapnya yang gagah dan semua orang
bertepuk tangan ketika mengenalnya sebagai putera seorang guru silat di kota
itu. Pemuda itu memang agak menyombongkan kepandaiannya, akan tetapi dia memang
belum mempunyai seorang isteri.
"Saya
ingin mencoba-coba ilmu kepandaian Nona!" katanya dengan gagah dan
terang-terangan sehingga banyak orang tersenyum lebar.
Ayah gadis
itu melangkah maju dan bertanya, "Apakah Sicu hendak menyumbang?"
"Saya
memiliki sedikit uang untuk menyumbang, akan tetapi saya lebih ingin mencoba
ilmu silat puteri Paman. Siapa tahu kami bisa berjodoh." Ucapan ini
disambut gelak tawa para penonton dan sang ayah memberi isyarat kepada
puterinya untuk maju.
Gadis itu
juga bukan seorang gadis pemalu. Dengan sikap tenang ia melangkah maju
menghadapi pemuda baju biru dan bertanya, "Aduh, kepandaian yang manakah
yang Sicu kehendaki? Tangan kosong atau dengan senjata?"
"Ah,
Nona. Kita hanya bermain-main untuk meramaikan suasana, bukan berkelahi untuk
saling melukai. Maka sebaiknya kita main-main dengan tangan kosong saja."
"Baiklah.
Nah, saya sudah siap, Sicu boleh mulai!" kata gadis itu sambil memasang
kuda-kuda.
"Aku
seorang laki-laki, Nona boleh menyerang terlebih dahulu!" kata pemuda baju
biru, mengambil sikap mengalah untuk menarik perhatian.
"Kalau
begitu baiklah. Awas, saya mulai menyerang!"
Gadis itu
mengirim pukulan cepat ke arah dada si pemuda. Pemuda itu mengelak ke kiri dan
membalas dengan tamparan ke arah pundak, namun dengan mudah tamparan ini
dielakkan oleh gadis itu. Segera serang menyerang terjadi dengan seru.
Akan tetapi,
bagi mereka yang mempunyai kepandaian, setelah lewat belasan jurus saja sudah
ketahuanlah bahwa pemuda itu bukan tandingan si gadis. Dia mulai terdesak dan
gerakan gadis itu sedemikian cepatnya, terlalu cepat bagi pemuda baju biru
sehingga dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang dan hanya
dapat mengelak atau menangkis terhadap serangan gadis itu yang datangnya
bertubi-tubi. Belum lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki gadis itu
mengenai lutut si pemuda dan pemuda itu pun terpelanting jatuh.
Sorak-sorai
menyambut kemenangan gadis ini. Pemuda baju biru itu dengan muka merah bangkit
kembali dan setelah memberi hormat lalu mundur, mengaku kalah.
Tiba-tiba
seorang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar
dan mukanya hitam, meloncat ke tengah lingkaran itu. Matanya yang besar
memandang kepada gadis itu dan terdengar suaranya yang parau dan lantang.
"Aku
Hek-houw (Macan Hitam) Bong Kiat ingin mencoba-coba kepandaian Nona!"
Terdengar
seruan-seruan di sana sini ketika Bong Kiat memasuki sayembara memilih suami
itu.
"Dia
sudah beranak-isteri!"
"Tidak
pantas kalau dia ikut!"
Mendengar
seruan-seruan itu, Bong Kiat membusungkan dadanya dan memandang ke
sekelilingnya. "Aku Bong Kiat memang sudah beranak-isteri, akan tetapi siapa
yang bisa melarangku memilih seorang gadis untuk menjadi selirku? Hayo katakan,
siapa berani melarang?"
Si Macan
Hitam Bong Kiat memang sudah terkenal sebagai seorang jagoan yang biasa malang
melintang di kota Leng-an, sering menimbulkan keributan karena memaksakan
kehendaknya sehingga semua orang menjadi takut. Tentu saja tantangannya itu
tidak ada yang berani menyambut dan para penonton hanya diam saja.
Melihat ini,
ayah gadis itu maju menyambut Bong Kiat dengan merangkap kedua tangan depan
dada lalu berkata, "Kami Liong Biauw dan anak Liong Siok Hwa ini memang
sedang mencari jodoh, namun untuk menjadi seorang isteri yang baik, bukan
menjadi seorang selir. Oleh karena itu, harap Sicu suka mengurungkan niatnya
untuk mengadu kepandaian."
"Apa
kau bilang barusan? Mengurungkan niatku mengadu kepandaian untuk memasuki
sayembara ini? Tidak bisa! Engkau tadi sudah mengatakan bahwa siapa yang dapat
mengalahkan Nona ini akan menjadi jodohnya, maka sekarang aku hendak mencoba
kepandaiannya. Kalau aku kalah, sudahlah, akan tetapi bila aku menang, Nona ini
harus menjadi selirku!"
"Tidak
ada yang mengatakan begitu, Sicu. Memang tadi aku mengatakan bahwa kami
mengharapkan anak kami mendapatkan jodoh di sini, akan tetapi bukan untuk
menjadi selir. Dan perjodohan bukan hanya ditentukan oleh kalah menangnya
pertandingan, melainkan oleh cocok tidaknya anakku dengan calon jodohnya."
"Aih,
tidak peduli! Pendeknya, anakmu harus melayani aku bertanding, atau kalau perlu
ayahnya boleh maju mewakilinya. Kalau kalian tidak berani, kalian harus cepat
pergi dari kota ini!"
Liong Biauw,
sang ayah, tentu saja tidak ingin mencari permusuhan, maka dia pun lalu
menghela napas panjang dan berkata kepada puterinya, "Siok Hwa, kemasilah
barang-barangnya. Kita pergi saja dari kota ini." Jelas bahwa dia tak
ingin melanjutkan keributan dengan Si Macan Hitam.
Akan tetapi,
ketika penonton menjadi kecewa karena pertunjukan yang menarik itu akan
berhenti, tiba-tiba dari penonton muncul seorang pemuda.
"Tahan
dulu!" kata pemuda itu, lalu dia menghadapi Bong Kiat. "Sobat engkau
sungguh tak tahu malu. Orang sudah menolak untuk bertanding denganmu karena
engkau sudah berkeluarga, mengapa engkau memaksa? Bagaimana kalau aku mewakili
Nona itu maju menandingimu?"
Bong Kiat
memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. Dia seorang pemuda yang tampan
dan gagah, tubuhnya tinggi besar, mukanya bundar dan matanya lebar. Belum
pernah dia melihat pemuda ini, akan tetapi watak Bong Kiat memang selalu
meremehkan orang lain.
"Tentu
saja boleh, kalau engkau memang sudah bosan hidup!"
Pemuda itu
lalu memberi hormat kepada Liong Biauw dan berkata, "Paman, sebetulnya
saya pun ingin mencoba kepandaian puteri Paman, akan tetapi terdapat gangguan
dari orang tidak tahu malu ini. Maka saya mohon perkenan Paman untuk mewakili
puterimu memberi hajaran kepadanya."
Liong Biauw
merasa tertarik dan suka kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang sudah matang,
usianya sekitar tiga puluh tahun dan matanya yang lebar itu bersinar tajam. Dia
pun mengangguk dan berkata, "Silakan saja akan tetapi berhati-hatilah, dia
bukan lawan yang lemah."
Mendengar
ini, Bong Kiat menjadi semakin sombong. "Hai bocah tidak tahu diri. Berani
engkau mencampuri urusan orang lain. Agaknya tidak mengenal siapa Si Macan
Hitam! Perkenalkan namamu sebelum engkau berkenalan dengan tinjuku!"
Pemuda itu
tersenyum mengejek dan berkata, "Namaku Ji Lam Sang, dari kota raja."
Pemuda itu
sesungguhnya adalah Gu Lam Sang. Setelah diakui sebagai putera angkat oleh
Pangeran Tao Seng, dia berhak memakai nama Tao Lam Sang. Akan tetapi karena
kini Pangeran Tao Seng sendiri sedang menyamar sebagai hartawan Ji, maka dia
pun mengaku marga Ji. Belum tiba saatnya dia menggunakan nama keluarga kerajaan
itu.
Secara
kebetulan saja Lam Sang lewat di kota itu dan hatinya tertarik melihat banyak
orang melihat pertunjukan silat itu. Dia pun menjenguk pertunjukan itu dan
jantungnya berdebar. Dia bukan seorang laki-laki yang mata keranjang, akan
tetapi entah mengapa, begitu melihat Liong Siok Hwa, hatinya tertarik sekali.
Maka kalau tadinya hanya ingin menjenguk sebentar, dia lalu menjadi penonton.
Ia melihat
betapa pemuda baju biru dikalahkan gadis itu. Diam-diam ia semakin kagum. Ilmu
silat gadis itu lumayan tinggi. Lalu muncullah Bong Kiat yang hendak memaksakan
kehendaknya. Melihat betapa Liong Biauw dan puterinya hendak mengalah dan
pergi, dia lalu turun tangan mencampuri.
“Cabut
senjatamu, Ji Lam Sang, dan bersiaplah engkau untuk mampus!” kata Bong Kiat
yang sudah menghunus sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.
Semua orang
bergidik melihat Si Macan Hitam sudah menghunus golok besarnya. Akan tetapi Lam
Sang sendiri hanya tersenyum menghadapi ancaman golok besar yang tajam itu,
bahkan dia berkata dengan nada mengejek.
“Untuk
menghadapi golok pernotong ayam itu aku tidak perlu menggunakan senjata apa
pun, cukup dengan tangan dan kakiku saja. Nah, aku telah siap, cepat gunakan
golok pemotong ayammu itu!”
Bukan main
marahnya Bong Kiat mendengar ejekan ini. Kalau saja Lam Sang tadi tidak
mengejeknya, dia pun tentu akan menghadapi Lam Sang yang bertangan kosong tanpa
senjata, untuk menjaga kehormatannya. Akan tetapi ejekan itu membuatnya marah
dan dia ingin cepat-cepat dapat membunuh lawannya! Dia memutar-mutar golok
besar yang berat itu di atas kepalanya.
"Sambutlah
golokku dan mampuslah!” Bong Kiat membentak dan goloknya meluncur ke depan,
membabat ke arah leher Lam Sang.
Akan tetapi,
pemuda Tibet itu dengan amat mudahnya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, dan
ketika golok itu menyambar lewat, kakinya mencuat dengan cepatnya ke depan,
menendang ke arah perut Bong Kiat. Serangan yang mendadak ini berbahaya sekali,
akan tetapi Bong Kiat juga bukan orang lemah. Dia cepat melangkah mundur
sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.
Akan tetapi
gebrakan pertama yang sudah dapat dibalas secara kontan oleh lawannya membuat
Bong Kiat berhati-hati karena ternyata lawannya memang memiliki ilmu silat yang
tangguh. Kini dia mengayun goloknya dan melakukan serangan bertubi-tubi. Golok
itu membentuk gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Lam Sang.
Semua orang
merasa ngeri melihat buasnya serangan Bong Kiat. Akan tetapi Liong Biauw
mendekati puterinya dan berkata lirih, “Pemuda ini memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi. Dia tentu akan dapat mengalahkan Bong Kiat itu, dan agaknya dia
seorang calon jodohmu yang baik sekali.”
Wajah Siok
Hwa menjadi kemerahan mendengar ucapan ayahnya itu dan ia menonton dengan penuh
perhatian.
Pertandingan
masih berjalan dengan seru. Bong Kiat menjadi penasaran sekali ketika goloknya
tidak pernah mengenai lawan, bahkan kalau sekali-kali Lam Sang menangkis
lengannya, dia merasa betapa lengannya terguncang hebat dan terasa ada hawa
panas menyerangnya. Dia mengamuk semakin hebat, akan tetapi justru ini yang
dikehendaki Lam Sang. Makin marah dan semakin hebat serangannya, makin lemah
pertahanannya.
Ketika
goloknya menyambar, membacok kepala Lam Sang dari atas ke bawah, Gu Lam Sang
mengelak dan membiarkan golok itu lewat. Secepat kilat jari tangannya kemudian
menyambar dan menotok ke arah siku kanan Bong Kiat.
“Wuuuttt...
dukkk!”
Bong Kiat
mengeluarkan teriakan kaget. Tangan kanannya menjadi lumpuh dan golok itu
dengan sendirinya terlepas dari pegangannya dan sebelum dia tahu apa yang
terjadi, tiba-tiba lengan kirinya disambar lawan dan tubuhnya terangkat ke
atas. Kiranya Lam Sang memakai kesempatan itu untuk menangkap lengan kiri lawan
dan memutarnya sehingga tubuh itu terputar ke atas lalu terbanting ke atas
tanah.
“Bukkkkk...!”
Keras sekali
bantingan itu. Bong Kiat merasa tubuhnya bagaikan remuk dan kepalanya menjadi
pening. Ia mencoba bangkit, akan tetapi roboh lagi karena bumi yang diinjaknya
seperti bergelombang.
Lam Sang
tersenyum dan penonton menyambut kemenangan mutlak itu dengan tepuk tangan dan
sorak-sorai.
“Cepat ambil
golok pemotong ayammu dan pergi dari sini!” Lam Sang membentak.
Merasa bahwa
dia sudah benar-benar kalah, hati Bong Kiat menjadi jeri. Dengan kepala masih
pening ia cepat-cepat memungut goloknya, lalu terhuyung-huyung seperti mabuk
meninggalkan gelanggang itu, ditertawakan oleh para penonton.
Lam Sang
menghadapi Liong Biauw dan Siok Hwa. Ia menjura dan bertanya, “Bolehkah
sekarang saya mencoba ilmu kepandaian Nona?”
Dengan muka
kemerahan Siok Hwa mengangguk. “Tentu saja boleh, akan tetapi saya bukan
tandinganmu, Kongcu.”
“Ahh, Nona
terlalu merendahkan diri. Kulihat tadi ilmu pedang Nona lihai sekali. Nona
boleh mempergunakan siang-kiam itu.”
“Engkau
sendiri bertangan kosong, bagaimana aku harus menggunakan senjata? Aku pun akan
menghadapimu dengan tangan kosong, Kongcu.”
“Terserah
kepadamu, Nona. Aku telah siap, harap Nona suka mulai menyerang.”
Siok Hwa
melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri
saja seperti tidak sedang menghadapi pertandingan. Ia merasa tidak enak dan
sebelum menyerang, ia memberi peringatan. “Kongcu sambutlah seranganku ini!”
dan ia pun menerjang dengan cepat sekali.
“Bagus!” Lam
Sang memuji dan dia cepat mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya.
Keduanya
lalu saling serang dengan seru dan cepat. Gerakan mereka begitu cepatnya
sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata para penonton, kecuali oleh mereka
yang berkepandaian.
Liong Biauw
menonton dengan penuh perhatian. Dia segera mengerti bahwa pemuda itu telah
banyak mengalah. Pemuda itu agaknya membiarkan Siok Hwa yang memimpin
penyerangan. Dia sendiri lebih banyak mengelak dan sesekali hanya membalas
dengan serangan sekedarnya saja, tidak bersungguh-sungguh. Kalau dia
bersungguh-sungguh, tentu sudah sejak tadi Siok Hwa dapat dikalahkannya.
Hal ini
membuat hatinya merasa girang bukan main. Agaknya pemuda itu menaruh hati
kepada puterinya maka mengambil sikap mengalah.
Sementara
itu, Siok Hwa menjadi bingung sendiri. Semua jurus terampuh ia keluarkan untuk
menyerang lawan, akan tetapi selalu berhasil dielakkan atau ditangkis. Dan
kalau lawannya menangkis, lengannya bertemu dengan telapak tangan yang lunak.
Ia merasa heran sekali. Tenaga sinkang yang ia keluarkan dalam penyerangannya
seolah lenyap ketika bertemu dengan tangan yang lunak itu, dan kadang tenaganya
membalik.
Ia sudah
mulai berkeringat, akan tetapi belum juga ia mampu mendesak lawan. Ia pun
mengerti bahwa pemuda itu mengalah. Serangan pemuda itu seenaknya saja, berbeda
dengan pertahanannya yang demikian kokoh kuat. Orang yang dapat bertahan
seperti itu, kalau dikehendaki, tentu dapat menyerang dengan hebat pula, tidak
seperti pemuda itu yang menyerang hanya dengan tamparan-tamparan lemah. Ia
mulai menjadi bingung bagaimana caranya untuk mengakhiri pertandingan itu.
Tiba-tiba ia
teringat akan sebuah jurus yang belum dipergunakannya. Jurus itu adalah sebuah
tendangan yang dilakukan dengan tubuh seolah ‘terbang’ di udara. Tendangan ini
ampuh sekali dan jarang ada lawan mampu manghindarkan diri.
“Haiiittt...!”
Siok Hwa
membentak. Tubuhnya meloncat ke udara dan kedua kakinya mencuat dan menendang
ke arah dada dan kepala Lam Sang!
Ketika kedua
tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dia telah menangkap kedua kaki itu. Dia
mendorong sehingga tubuh Siok Hwa terpental, lalu berjungkir balik beberapa
kali sebelum turun kembali ke atas tanah. Indah bukan main gerakan ini dan
semua orang memuji.
Akan tetapi
gadis itu menjadi kemerahan mukanya, tersipu-sipu malu sedangkan Lam Sang
memegang dua buah sepatu gadis itu yang tertinggal di tangannya. Melihat ini,
semua orang bersorak memuji.
Liong Biauw
menghampiri pemuda itu dan menjura, “Anakku sudah kalah olehmu, Ji Kongcu.”
Lam Sang
juga menjura. “Nona telah banyak mengalah, harap maafkan aku.”
Dia lalu
mengembalikan sepasang sepatu itu kepada pemiliknya, dan diterima oleh Siok Hwa
sambil tersipu dan tersenyum malu-malu.
Liong Biauw
segera memberi hormat kepada para penonton. “Cu-wi, terima kasih atas perhatian
dan bantuan Cu-wi. Pertunjukan sudah habis dan dihentikan sampai di sini.”
Penonton
mulai bubar dan Liong Biauw berkata kepada Lam Sang. “Ji Kongcu, silakan ikut
dengan kami ke pondokan kami untuk bicara.”
Lam Sang
hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertiga lalu pergi ke rumah
penginapan di mana ayah dan anak itu menyewa dua buah kamar. Setelah mereka
masuk ke rumah penginapan, Lam Sang dipersilakan masuk ke kamar Liong Biauw dan
di situ mereka berdua mengadakan pembicaraan. Siok Hwa tinggal di kamarnya
sendiri karena maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dengan pemuda itu dan
ia merasa malu untuk menghadirinya.
“Ji Kongcu,
tentunya engkau sudah dapat menduga apa yang hendak kami bicarakan denganmu,
bukan?”
Tentu saja
Lam Sang sudah dapat menduganya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya,
“Apakah yang hendak Paman bicarakan? Aku tidak dapat menduganya.”
“Kongcu
tentu tadi telah mendengar bahwa kami sedang mencarikan jodoh bagi anakku Liong
Siok Hwa dengan mengadakan pertandingan silat. Nah, kini ternyata engkau yang
telah mampu mengalahkan Siok Hwa, maka hal itu berarti bahwa engkau adalah
jodoh Siok Hwa yang selama ini kami nanti-nanti.”
Lam Sang
pura-pura kaget. “Ah, akan tetapi aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk
menikah, Paman!”
Liong Biauw
mengerutkan alis. “Lalu mengapa engkau tadi mengajak Siok Hwa untuk mengadu
kepandaian silat?”
“Aku tadi
hanya iseng-iseng karena kagum melihat ilmu kepandaian puterimu, dan aku
menandingi Bong Kiat karena tidak suka melihat ulahnya.”
“Ji Kongcu,
apakah engkau tidak suka kepada Siok Hwa?”
“Aku kagum
kepadanya, Paman, dan tentu saja aku suka kepadanya. Ia cantik manis dan
berkepandaian lumayan.”
“Kalau
begitu, mengapa menolak? Kami sudah menyatakan setuju untuk menjodohkan ia
denganmu.”
“Tidak
begitu mudah bagiku untuk menikah, Paman. Harus kutanyakan dulu pada orang
tuaku dan aku sendiri belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga.”
“Kalau
begitu, harap engkau suka memberi tahukan orang tuamu. Dari sini kota raja tak
berapa jauh, kami akan menunggu keputusanmu di sini, dalam waktu seminggu
engkau tentu sudah dapat kembali ke sini. Bagaimana, Ji Kongcu?”
“Baiklah
kalau begitu, Paman. Aku akan memberi tahukan orang tuaku dan dalam waktu
seminggu aku akan kembali ke sini,” kata Lam Sang.
Liong Biauw
menjadi gembira sekali dan dia segera memanggil puterinya ke kamarnya. Siok Hwa
muncul dengan muka kemerahan dan kepala ditundukkan.
“Siok Hwa,
kami telah membicarakan tentang perjodohan kalian. Ji Kongcu sekarang hendak
pulang ke kota raja untuk memberi tahu tentang hal itu kepada orang tuanya.
Kita berdua menanti di sini, dan dalam waktu seminggu dia akan kembali
memberikan keputusannya.”
Siok Hwa
makin menunduk dan tersenyum malu sambil melirik ke arah Lam Sang. “Terserah
kepada Ayah saja...” jawabnya lirih.
Lam Sang
memandang gadis itu. Sungguh cantik manis dan menarik sekali. Selama hidupnya
belum pernah dia tertarik oleh wanita dan ini merupakan yang pertama kalinya
dia terpesona oleh kecantikan wanita.
Akan tetapi
dia tidak boleh mengikatkan diri dalam pernikahan. Dia bercita-cita besar,
seperti Pangeran Tao Seng yang mengakuinya sebagai putera. Ia ingin ayah
angkatnya itu menjadi kaisar dan dia menjadi putera mahkota. Sebelum cita-cita
itu tercapai, bagai mana dia boleh mengikatkan diri dalam perjodohan? Tidak
mungkin. Akan tetapi gadis ini sungguh menarik hatinya!
Lam Sang
lalu berpamit kepada Liong Biauw dan Siok Hwa dan dia pergi meninggalkan rumah
penginapan itu, diantar sampai ke pintu luar oleh ayah dan anak itu.
Setelah Lam
Sang pergi. Liong Biauw dengan girang berkata kepada anaknya. “Pilihan kita
tepat sekali Siok Hwa! Dia bukan hanya lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga
tahu aturan dan berbakti kepada orang tua. Engkau menemukan suami yang pilihan
dan aku memperoleh mantu yang baik!”
“Mudah-mudahan
begitu, Ayah,” jawab Siok Hwa lirih, seperti berdoa.
Dan keduanya
pun kembali ke dalam rumah penginapan…..
***************
Malam itu
Siok Hwa tidak dapat tidur. Dia terus membayangkan wajah Lam Sang dan kadang ia
tersenyum sendiri. Hatinya begitu girang dan penuh harapan manis sehingga dia
tak dapat tidur. Kamarnya remang-remang saja, hanya menerima cahaya dari lampu
gantung yang berada di luar kamarnya.
Tiba-tiba
kamarnya menjadi lebih terang dan terkejutlah dia ketika melihat bahwa yang
membuat kamarnya terang itu adalah karena jendela kamarnya telah dibuka orang
dari luar sehingga cahaya lampu di luar dapat menerobos masuk. Akan tetapi
sinar terang itu hanya sebentar.
Sesosok
tubuh orang cepat sekali meloncat memasuki kamarnya melalui jendela dan daun
jendela sudah ditutupkan lagi dari dalam. Kini bayangan itu sudah berdiri di
tengah kamarnya.
Siok Hwa
bangkit duduk dan siap menerjang bayangan itu. Tentu pencuri yang sudah
memasuki kamarnya. Cepat tangannya meraih sepasang pedangnya yang diletakkan di
atas meja dekat pembaringannya.
“Ssttt...
ini aku, Nona...” bisik bayangan itu.
Siok Hwa
terkejut. Suara Lam Sang! Saking kaget dan herannya ia tidak mampu bicara,
hanya memandang saja bayangan itu dengan tangan kiri di atas sepasang pedang yang
masih berada di atas meja.
Bayangan itu
mendekatinya. “Ini aku, Nona. Lam Sang, bukan orang lain. Simpanlah pedangmu.
Engkau tidak ingin membunuh aku, bukan?”
Barulah Siok
Hwa dapat membuka mulutnya. “Engkau... Kongcu? Akan tetapi kenapa... kenapa engkau
memasuki kamarku seperti ini?”
“Aku rindu
sekali kepadamu, Nona. Tak dapat aku menahan kerinduan hatiku padamu, karena
itu aku memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Mungkin pencuri... hati...”
Pemuda itu
menghampiri sampai dekat dan duduk di tepi pembaringan, dekat sekali dengan
Siok Hwa.
“Tidak...
ahh, bukankah engkau tadi sudah berangkat ke kota raja untuk memberi tahu orang
tuamu, Ji Kongcu?”
“Sudah
kukatakan bahwa aku rindu sekali kepadamu, maka aku kembali. Besok masih ada
waktu bagiku untuk pergi ke kota raja. Malam ini aku ingin bersamamu.”
“Tidak...
tidak... tadi aku pun terus memikirkanmu, Ji Kongcu. Akan tetapi tidak seperti
ini. Jangan...”
Siok Hwa
tidak mampu mengeluarkan suara lagi dan tubuhnya telah lemas oleh totokan.
Selanjutnya dia hanya mampu menangis sejadi-jadinya dan menyerah kepada pemuda
yang kini berubah menjadi ganas melebihi binatang liar itu.
Setelah
mengalami penderitaan yang membuat dunianya hancur luluh, Siok Hwa hanya
terbaring tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Dan pemuda itu, pemuda yang
tadinya diharapkannya menjadi suami yang baik, pemuda yang menarik hatinya dan
yang telah merusak kehormatan dirinya itu, sekarang tidur mendengkur di
sisinya! Demikian pulas tidurnya seolah-olah dia tidak pernah melakukan suatu
kesalahan apa pun!
Kurang lebih
tiga jam kemudian barulah totokan pada tubuhnya membuyar dan mulailah Siok Hwa
mampu menggerakkan tubuhnya. Ia bingung, bingung bercampur sedih. Akan
dibunuhnya orang ini? Akan tetapi dia calon suaminya!
Karena tidak
tahu harus berbuat apa, perlahan-lahan ia melangkahi tubuh Lam Sang, lalu
berindap keluar dari kamarnya. Ia menghampiri kamar ayahnya dan mengetuk daun
pintu kamar ayahnya.
“Siapa di
luar...?” tanya Liong Biauw.
“Aku, Ayah.
Bukalah pintunya, cepat...!”
Daun pintu
terbuka. Liong Biauw melihat puterinya dengan pakaian dan rambutnya yang
awut-awutan sedang menangis terisak-isak.
“Ada apa?
Apa yang terjadi?” tanya Liong Biauw bingung.
Siok Hwa
menubruk ayahnya dan menangis dalam rangkulan ayahnya. “Ayah... dia... dia
kembali...”
“Apa...?
Siapa...?”
“Ji Kongcu!
Dia memasuki kamarku dan... dan dia memperkosaku...” Gadis itu kembali
menangis.
Tentu saja
Liong Biauw terkejut bukan main mendengar Ini. “Keparat! Di mana dia sekarang?”
“Tertidur di
kamarku...”
Liong Biauw
berlari memasuki kamarnya mengambil pedang, lalu lari menuju ke kamar Liong
Siok Hwa. Karena pintunya sudah dibuka oleh gadis itu ketika keluar tadi, dia
langsung menerjang masuk. Dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat
sesosok tubuh tidur membujur di atas pembaringan.
Saking
marahnya, orang tua ini tidak mengeluarkan sepatah pun kata lagi dan langsung
menerjang, membacokkan pedangnya ke arah tubuh itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh
itu bergerak menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanan Liong Biauw
yang memegang pedang sehingga pedangnya terlepas dari pegangan.
Lam Sang
yang tadi terbangun segera meloncat turun. Dengan jari-jari tangan terbuka dia
menyerang Liong Biauw. Hebat sekali serangan itu, tidak dapat ditangkis atau
pun dielakkan lagi oleh Liong Biauw. Dia berteriak dan roboh berkelojotan.
Dadanya terkena hantaman tangan terbuka itu dengan pukulan beracun, pukulan
maut.
Liong Siok
Hwa melompat masuk.
”Ayah...!”
teriaknya, akan tetapi tubuhnya segera lemas tertotok dan dia pun dipanggul
oleh Lam Sang yang segera melompat keluar dari tempat itu.
Tidak ada
orang menyaksikan peristiwa itu. Baru pada keesokan harinya para pelayan rumah
penginapan menjadi gempar melihat pintu kamar terbuka dan tubuh Liong Biauw
sudah menjadi mayat, sedangkan puterinya lenyap entah ke mana!
Pagi itu,
Siok Hwa diturunkan dari pundak Lam Sang. Gadis itu menangis, lalu meronta dan
setelah dapat bergerak, ia langsung menyerang pemuda itu dengan pukulan tangan
kanannya. Akan tetapi dengan mudah Lam Sang menangkap pergelangan tangan itu
dan sekali puntir dia sudah dapat menangkap gadis itu yang menjadi tidak
berdaya.
“Engkau
hendak melawanku? Bodoh! Aku justru tidak ingin membunuhmu karena aku suka
kepadamu, Siok Hwa,” kata Gulam Sang sambil melepaskan pergelangan tangan itu.
"Kau...
jahanam busuk...!” Setelah dilepaskan, kembali Siok Hwa menyerang.
Akan tetapi
sekali ini Gulam Sang mengelak dan sekali mendorong dengan tangannya, gadis itu
pun terpelanting keras.
“Engkau
bukan lawanku, Siok Hwa. Dengar baik-baik, kalau aku hendak membunuhmu,
mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja. Akan tetapi aku sama sekali
tidak ingin membunuhmu, bahkan aku ingin engkau ikut aku dan membantu usahaku.
Kelak, kalau aku menjadi pengeran, engkau akan menjadi seorang selirku yang
tercinta.”
Siok Hwa
memandang penuh kebencian, dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya.
“Engkau...engkau telah membunuh ayahku!”
“Salah!
Dialah yang hendak membunuh aku maka terpaksa aku lenyapkan dia. Salahmu juga
karena engkau melapor kepada ayahmu. Kalau dia tidak menyerangku, untuk apa aku
membunuhnya?”
“Kau... kau
jahat...!”
“Kembali
engkau keliru. Aku baik sekali padamu, dan aku sayang padamu.” Kini suara Gulam
Sang berubah, penuh getaran dan penuh wibawa.
Mendadak
saja Siok Hwa merasa dirinya lemas, pikirannya bagaikan melayang-layang.
Kiranya Gulam Sang mulai mempergunakan sihirnya.
“Mulai
sekarang engkau akan menuruti semua kehendakku. Engkau akan selalu taat
kepadaku!”
Siok Hwa
menunduk. “Aku... akan taat kepadamu,” katanya lirih dan tanpa tenaga.
Gulam Sang
merasa girang sekali karena sudah dapat menguasai Siok Hwa.
“Mulai
sekarang, ikutlah ke mana aku pergi kecuali kalau kularang. Sekarang, ikuti
aku!”
Gulam Sang
lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dan seperti telah kehilangan
semangatnya, Siok Hwa lalu mengikutinya. Kalau Gulam Sang berlari, ia pun ikut
pula berlari!
Mulai saat
itu, Siok Hwa telah berada dalam cengkraman Gu Lam Sang. Sekali waktu,
ingatannya kembali dan apa bila dia teringat akan kematian ayahnya dan akan
keadaan dirinya, dia menangis. Akan tetapi ia segera terhibur kalau Gulam Sang
sudah mengeluarkan kata-kata hiburan yang mengandung kekuatan sihir.
Cu In masih
menangis tanpa suara ketika ia berjalan seorang diri masih di kota raja,
setelah dia meninggalkan rumah The Sun Tek. Pikirannya masih kacau. Hatinya
terasa hancur luluh. Padahal, sepatutnya ia berbahagia sekali karena ternyata
ayah bundanya masih hidup! Ia bukan anak yatim piatu. Gurunya adalah ibu
kandungnya dan The Sun Tek adalah ayah kandungnya. Sepatutnya ia bersyukur.
Akan tetapi kenyataannya lain.
Ibunya
sendiri mendidiknya sebagai murid hanya untuk diadu dengan ayah kandungnya. Ia
harus membunuh ayah kandungnya sendiri! Demikian parah racun dendam merusak
hati ibunya sehingga wanita itu ingin melihat kekasihnya terbunuh oleh
puterinya sendiri.

Sebuah
kereta meluncur berpapasan dengan Cu In. Kereta itu segera dihentikan dan
seorang gadis menyingkap tirai kereta dan memanggil-manggilnya.
“Enci Cu
In...! Enci Cu In...!”
Cu In
membalikkan tubuhnya memandang dan dia segera dapat mengenali gadis yang
memanggil dirinya itu. Gadis itu bukan lain adalah Yo Han Li, gadis yang
membantunya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Gadis itu
beserta gurunya, Kai-ong telah membantunya sehingga ia dapat terlepas dari
pengeroyokan yang berbahaya.
Dan dia pun
mengenal gadis itu dari ilmu pedangnya bahwa dia adalah puteri Pendekar Tangan
Sakti Yo Han dan isterinya, Si Bangau Merah! Biar pertemuan dan perkenalan
mereka hanya sebentar, namun berkesan di hati Cu In. Maka ketika melihat bahwa
Han Li yang memanggilnya, ia pun segera menghampiri kereta itu.
Han Li sudah
meloncat turun dari dalam kereta, diikuti oleh seorang gadis lain yang juga
cantik dan berpakaian serba biru.
“Enci Cu In,
girang sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini. Perkenalkan, enci Cu In,
ini adalah adik Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota. Adik Hong, dia adalah
enci Souw Cu In yang pernah kuceritakan kepadamu, ilmu silatnya hebat.”
Mendengar
bahwa gadis itu adalah puterinya Pangeran Mahkota, Cu In memberi hormat dan
dibalas dengan manis oleh Kwi Hong.
“Aku sudah
mendengar tentang dirimu, enci Cu In, dan aku merasa kagum sekali. Mari,
kupersilakan untuk singgah di rumahku agar kita bertiga dapat bercakap-cakap
dengan leluasa dan gembira.”
“Benar, enci
Cu In. Aku bersama suhu sedang menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota,
sudah beberapa hari aku berada di sini. Marilah singgah sebentar, Enci. Aku
ingin mengenalmu lebih dekat.”
Dibujuk oleh
dua orang gadis yang ramah dan manis budi itu, Cu In yang sedang bersedih
menjadi gembira dan ia pun ikut naik ke dalam kereta yang segera dijalankan
menuju ke istana Pangeran Mahkota.
Biar pun Cu
In masih memakai cadar dan mukanya tidak dapat dikenali, namun sikap Han Li dan
Kwi Hong tetap ramah kepadanya, seolah menutupi muka dengan cadar adalah suatu
hal yang biasa saja.
“Enci Cu In,
apakah angkau masih berdarah keturunan Turki dan beragama Islam?” tanya Kwi
Hong ketika mereka sudah tiba di istana dan mereka bertiga bercakap-cakap di
taman bunga yang indah dari istana itu.
“Ahh, tidak.
Mengapa?” tanya Cu In heran.
“Cadarmu itu
meningatkan aku akan kebiasaan para wanita Islam yang pernah kulihat,” kata
pula Kwi Hong dan suaranya terdengar biasa saja sehingga tidak menyinggung
perasaan Cu In. Cu In pun mengerti akan kewajaran pertanyaan itu.
Akan tetapi
pertanyaan mengenai cadar yang menutupi mukanya itu mengingatkan Cu In akan
ibunya! Ibunya yang tadinya dianggap gurunya itulah penyebab ia mengenakan
cadar semenjak menjadi gadis remaja. Gurunya selalu menekankan kepadanya betapa
palsu dan jahatnya semua pria, dan betapa besar bahayanya kalau ada pria jatuh
cinta padanya atau sebaliknya kalau ia mencinta pria. Pria yang demikian itu
harus dibunuh!
Karena
itulah, untuk mencegah agar jangan ada pria yang jatuh cinta kepadanya, maka ia
menutupi mukanya dengan cadar. Ia tidak harus seperti suci-nya yang entah
berapa kali harus membunuh pria karena pria itu tertarik dan jatuh cinta
kepadanya. Dan ketika teringat akan gurunya, mengingatkan pula ia akan
kenyataan bahwa gurunya adalah ibu kandungnya, dan mengingatkan pula bahwa
sikap ibunya yang menyuruh ia membenci setiap orang pria itu berdasarkan sakit
hati ibunya terhadap ayahnya!
Teringat
akan semua ini, hati Cu In menjadi sedih sekali. Dan pada saat itu juga sudah
timbul niat di hatinya untuk menentang sikap ibu kandungnya itu. Menentang
sikapnya yang membenci setiap orang laki-laki, hanya akibat hatinya pernah
disakiti oleh seorang laki-laki. Selama ini dia tidak pernah merasa benci
terhadap laki-laki, dan menganggap mereka sama saja seperti para wanita, ada
yang jahat dan ada pula yang baik.
Tidak adanya
sikap membenci pria ini sudah diperlihatkan ketika dia menyelamatkan Keng Han
dari tangan suci-nya, ketika suci-nya hendak membunuh laki-laki itu karena Keng
Han tidak mau diajak berjodoh dan minggat. Setelah mendengar pengakuan Keng Han
bahwa pemuda itu tidak mencinta suci-nya, sudah cukup menjadi alasan baginya
untuk mencegah suci-nya membunuh Keng Han.
Ingatannya
melayang-layang ketika ia teringat akan pemuda itu. Teringat betapa ia telah
ditolong oleh Keng Han ketika ia tertawan oleh Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai
Lo-kwi, teringat akan perjalanan mereka bersama, malam-malam di dalam goa,
makan minum bersama. Makin terasa di hatinya betapa ia amat tertarik kepada
Keng Han, betapa debar jantungnya menjadi cepat kalau ia teringat kepada pemuda
itu. Namun selama ini perasaan itu selalu ditekannya karena anggapan yang
ditanamkan oleh gurunya sejak kecil dalam perasaannya bahwa semua pria itu
palsu dan jahat.
Akan tetapi
sekarang, setelah ia mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya sendiri yang
membenci kaum pria karena disakiti hatinya oleh seorarig laki-laki, maka
anggapan itu mengendur. Ia bahkan tidak percaya lagi kepada ibunya yang begitu
tega menyuruhnya membunuh ayah kandungnya sendiri!
“Enci Cu In,
engkau melamun?” tiba-tiba Han Li menegur sambil menyentuh tangannya. Han Li
melihat betapa pandang mata Cu In menerawang jauh dan pandangan mata itu kosong
separti orang melamun dan sejak tadi Cu In diam saja.
Cu In
tersentak kaget dan baru sadar. Ia teringat bahwa tadi Kwi Hong menyinggung
tentang cadarnya dan ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.
“Ah, cadarku
ini... sebagai penutup mukaku. Aku tidak ingin orang lain melihat mukaku, aku
malu...,” jawabnya terpaksa sekali.
“Malu?
Engkau yang begini cantik jelita, tetapi malu kalau orang lain melihat mukamu?
Sungguh aneh!” kata Kwi Hong yang memang lincah.
“Aku... sama
sekali tidak cantik, aku... mukaku buruk sekali...,” berkata Cu In dengan
terpatah-patah.
Melihat
sikap yang gugup dari Cu In, Han Li yang juga lincah namun berwatak lembut itu
segera berkata, “Sudahlah, enci Cu In. Kalau engkau ingin menyembunyikan
wajahmu di balik cadar, itu adalah urusamu sendiri dan menjadi hakmu. Kami tak
akan memaksa dirimu untuk memperlihatkan mukamu kepada kami, bukankah begitu, adik
Kwi Hong?”
Kwi Hong
juga seorang gadis yang meski pun puteri pangeran mahkota, namun sudah lumayan
pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum betapa orang kang-ouw memang banyak
yang aneh-aneh, maka ia pun segera berkata, “Tentu saja. Menggunakan cadar
untuk menyembunyikan mukanya adalah rahasia enci Cu In sendiri, meski aku
sungguh ingin dapat melihat muka itu.”
“Kelak akan
datang waktunya kalian dapat melihat mukaku, akan tetapi sekarang belum
waktunya,” kata Cu In.
Ketika
mereka akan bercakap terus mendadak nampak Pangeran Mahkota Tao Kuang datang
memasuki taman itu, berjalan sambil bercakap-cakap dengan Kai-ong Lu Tong Ki.
Ternyata Lu Tong Ki merupakan kawan bercakap-cakap yang menyenangkan bagi
putera mahkota itu.
Raja
Pengemis itu berpengetahuan luas dan biar pun dia hanya seorang yang berjuluk
Raja Pengemis, ternyata dia tidak pernah merasa rendah diri dan dapat melayani
sang Pangeran Mahkota bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ketika itu, hawa agak
panas dan Pangeran Tao Kuang mengajak tamunya untuk barjalan-jalan dalam taman
sambil bercakap-cakap.
Melihat
putrinya bersama Han Li dan seorang gadis lain yang bercadar sedang berada
dalam taman pula, Pangeran Mahkota segera menghampiri.
“Itu ayah
datang!” kata Kwi Hong.
Mendengar
bahwa yang datang adalah Pangeran Mahkota, Cu In segera berdiri dengan perasaan
tidak enak. Ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan merasa bahwa
kedatangannya hanya mengganggu saja.
“Hai,
bukankah itu nona Souw?” Kai-ong Lu Tong Ki berteriak ketika melihat Cu In. Dia
masih ingat ketika bersama-sama Han Li membantu Cu In dari pengeroyokan
Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buahnya.
“Ayah, ini
nona Souw Cu In yang saya undang untuk berkunjung ke mari. Ia seorang yang
memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, Ayah.”
“Bagus, engkau
boleh saja mengajak para sahabatmu yang gagah datang berkunjung, Kwi Hong,”
kata Pangeran Mahkota Tao Kuang sambil menghampiri.
Cu In
bangkit dan memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang. “Harap Paduka suka
memaafkan kalau kedatangan saya ini menganggu,” katanya lembut.
“Ahh sama
sekali tidak mengganggu, Nona. Bahkan kami pun mengundang Nona untuk menjadi
tamu yang terhomat dari kami karena malam nanti kami akan mengadakan perjamuan
makan malam di taman ini untuk menghormati para tamu.”
“Enci Cu In,
aku harap engkau suka menghadirinya!” kata Kwi Hong dengan girang.
“Malam ini
terang bulan. Kita makan malam di bawah sinar bulan sambil membicarakan tentang
ilmu silat. Tentu menggembirakan sekali!” kata Pangeran Tao Kuang.
"Kali
ini engkau tidak boleh menolak, Enci. Aku juga ingin sekali engkau menemaniku!”
kata Yo Han Li sambil memegang tangan gadis bercadar itu.
Cu In merasa
sungkan untuk menolak ajakan mereka yang demikian ramah kepadanya. “Baiklah,
aku akan tinggal semalam dengan kalian.”
Pangeran Tao
Kuang melanjutkan berjalan-jalan di dalam taman bersama Kai-ong Lu Tong Ki dan
tiga orang gadis itu pun melanjutkan percakapan mereka. Akhirnya Kwi Hong
mengantar Cu In ke dalam sebuah kamar yang dipesiapkan untuk Cu In tinggal
semalam itu.
Malam itu
memang terang bulan. Bulan purnama menerangi langit dan bumi. Taman Istana
Pangeran Mahkota nampak indah sekali. Bunga-bunga sedang mekar semerbak harum
dan di sana sini dipasangi lampu-lampu terang yang beraneka warna menambah
semaraknya keadaan di dalam taman.
Malam itu
Pangeran Mahkota datang ke taman disertai selirnya, Liang Siok Cu, satu-satunya
selir yang cocok untuk mendampinginya waktu pangeran menerima tamu-tamu ahli
silat karena selir ini dulu pun seorang tokoh kang-ouw. Kwi Hong yang menemani
ayah ibunya nampak cantik dalam pakaian biru tua dan muda, dengan rambutnya
yang di gelung ke atas, dihias Bangau Emas dan ujungnya diikat sehelai pita
merah.
Cu In segera
diperkenalkan kepada Liang Siok Cu dan mereka pun mulai diayani para pelayan
yang menghidangkan makan malam yang mewah dan serba lezat. Yang paling gembira
adalah Kai-ong Lu Tong Ki. Tanpa sungkan atau malu dia menyantap semua hidangan
dengan lahapnya. Dan ketika mereka memperhatikan Cu In, gadis ini makan dengan
sikap biasa saja.
Karena sudah
terbiasa, maka dia tidak canggung ketika makan, walau pun cadarnya masih
menutupi muka bagian bawah itu. Dia membawa makanan yang disumpit ke balik
cadar dan makan dengan tenang. Cadarnya ikut bergerak-gerak saat mulutnya
dengan perlahan mengunyah makanan.
Ketika
Pangeran Mahkota Tao Kuang sedang menjamu para tamunya dengan gembira,
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, dan tahu-tahu tidak jauh dari sana
berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang bengkok yang terhunus.
Pedang itu berkilau terkena sinar lampu gantung.
“Pangeran
Tao Kuang, bersiaplah engkau untuk menerima pembalasanku atas segala
kecuranganmu!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Keng Han.
Setelah
berkata demikian, tubuhnya melayang dan menerjang ke arah Pangeran Tao Kuang.
Pedangnya menyambar ke arah leher sang pangeran.
Sang
Pangeran adalah seorang yang mempelajari ilmu silat dari mendiang mertuanya,
Sin-tung Koai-jin Liang Cun. Melihat serangan mendadak ini, maka dia pun
cepat-cepat merendahkan tubuhnya untuk mengelak.
“Tranggg...!”
Pedang di
tangan Keng Han tertangkis oleh tongkat bambu yang tadi digerakkan oleh Kai-ong
Lu Tong Ki yang duduk di sebelah kiri pangeran itu.
Ketika
serangan pertamanya gagal, Keng Han terpaksa melompati meja. Ia juga merasa
terkejut sekali ketika merasakan tenaga hebat terkandung pada tongkat bambu
yang menangkisnya. Baru sekarang dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya
adalah seorang berpakaian pengemis!
Seorang
pengemis makan bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan hal luar biasa.
Disangkanya tadi Pangeran Tao Kuang sedang berpesta dengan para selirnya karena
dia melihat beberapa wanita muda cantik menemani pangeran itu makan minum.
Baru
sekarang dia sempat memperhatikan wanita-wanita muda itu dan terkejutlah dia
ketika dia mengenal dua orang di antara mereka. Kwi Hong dan Cu In! Dia tidak
heran melihat Kwi Hong karena dia sudah mengenalnya.
“Han-ko
kaukah itu? Han-ko, kenapa engkau hendak membunuh ayahku? Ayahku orang yang
baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apa pun!” Kwi Hong berseru dan ia pun
telah berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.
Keng Han
menjadi serba salah. Hubungannya dengan Kwi Hong, biar pun tidak begitu lama,
meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Bahkan sebelum tahu behwa gadis ini
adalah saudara sepupunya satu marga, dia mengira bahwa dia telah jatuh cinta
kepada gadis ini. Sekarang, bagaimana dia dapat membunuh ayah gadis itu tanpa
memberi tahukan alasannya yang kuat?
“Dulu
Pangeran Tao Kuang telah bertindak curang sekali. Dua puluh tahun yang lalu dia
melakukan fitnah kepada Pangeran Tao Seng sehingga Pangeran Tao Seng dihukum
buang selama dua puluh tahun, padahal Pangeran Tao Seng tidak berdosa apa-apa.”
“Keterangan
itu bohong!” Mendadak Liang Siok Cu bangkit berdiri dan berseru. “Aku sendiri
yang menjadi saksi ketika itu. Pangeran Tao Kuang sedang berburu dengan dua
orang saudaranya, yaitu Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Dan dua orang
saudaranya itulah yang tiba-tiba mengeroyok dan hendak membunuh Pangeran Tao
Kuang bersama selusin orang pengawalnya yang semua adalah pembunuh bayaran.
Akulah yang menolongnya, bersama mendiang ayahku Aku menjadi saksi bahwa
Pangeran Tao Kuang tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar hendak dibunuh
oleh dua orang pangeran itu sehingga mereka dihukum buang!”
“Aku tidak
percaya…!” suara Keng Han sangat lantang, nyaris seperti berteriak.
“Anak muda…”
Kai-ong ikut bicara. “Apa alasanmu tidak mempercayai keterangan Tao Toanio
tadi?”
“Aku telah
mendengar keterangan yang berbeda!” jawab Keng Han, masih dengan nada keras.
“Aha!”
Kai-ong kembali bicara. “Jadi ada dua keterangan berlainan yang sudah engkau
dengar. Kalau engkau hanya percaya kepada salah satu pihak tanpa mau mendengar
pihak lain, itu berarti engkau tidak mau mencari kebenaran, melainkan berpihak
dengan dasar penilaianmu sendiri, anak muda.”
Kwi Hong
merasa kecewa bahwa keterangan ibunya tidak dipercaya, karena itu ia lalu
berkata, “Han-ko, ibuku tidak pernah berbohong, dan kali ini pun ia berkata
jujur.”
Sejak tadi
Cu In diam tak bergerak, akan tetapi otaknya bekerja keras. Dia memikirkan
beberapa hal yang dialaminya sendiri, juga yang sudah dijalaninya bersama Keng
Han. Entah apa sebabnya, dalam hatinya ada perasaan aneh terhadap pemuda yang
menjadi murid keponakannya itu. Dia tidak ingin melihat pemuda itu celaka!
Sekarang di
tempat ini terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Ada Kai-ong Lu Tong Ki
yang tadi jelas sudah menangkis pedang bengkok Keng Han untuk melindungi
Pangeran Mahkota. Bersama raja pengemis ini hadir pula muridnya, yang juga
adalah puterinya Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau merah, yang kepandaiaannya
sudah pernah dilihatnya begitu lihai.
Melawan dua
orang ini saja tidak mudah bagi pemuda itu untuk mendapat kemenangan. Apa lagi
di situ masih ada Tao Kwi Hong yang memiliki ilmu silat aneh, juga Liang Siok
Cu, ibu dara itu yang merupakan puteri Sin-tung Koai-jin Liang Cun, seorang
datuk yang memiliki kepandaian tinggi pula.
Sukar bagi
Cu In membayangkan murid keponakannya bisa lolos dari empat orang ini, belum
lagi jika diingat adanya puluhan orang pasukan penjaga gedung ini yang tentu
akan ikut mengepung dan menyerbu pemuda itu. Nasib Keng Han lebih banyak celaka
dari pada selamat!
Selain itu,
tiba-tiba dia teringat kepada Ang Hwa Nio-nio. Gurunya ini, yang kemudian
ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, juga pernah memberi keterangan yang
salah, menanamkan kebencian terhadap ayah kandungnya, bahkan menyuruhnya
membunuh ayahnya sendiri.
Untung pada
saat terakhir dia dapat menyadari bahwa semua yang telah didengarnya adalah
kebohongan belaka, sebelum terlanjur ia melakukan tindakan yang keliru. Maka,
ia pun tidak ingin Keng Han terlanjur melakukan kesalahan karena pernah
mendengar keterangan yang tidak benar.
Sementara
itu hati Keng Han sedang diliputi oleh kemarahan setinggi langit dan dendam
sedalam lautan. Pandangannya seperti dibutakan oleh rasa penasaran. Sekian lama
waktu telah dilaluinya serta sekian jauh jarak telah ditempuhnya, dan akhirnya
ia hanya menerima keterangan bahwa ayahnya yang bersalah, bahkan sudah tewas
pula!
“Aku tetap
akan membunuh Pangeran Tao Kuang, apa pun kata kalian. Siapa pun yang
menghalangiku, akan kubunuh juga,” katanya. Mata pemuda ini menyorot bengis,
penuh nafsu membunuh.
Dengan
pedang bengkok yang terhunus, Keng Han melangkah maju ke arah Pangeran Tao
Kuang yang berdiri di belakang tiga orang yang melindunginya, yaitu Liang Siok
Cu, Kwi Hong dan Kai-ong Lu Tong Ki. Akan tetapi, baru dua tindak dia melangkah,
tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Cu In sudah berdiri di
hadapannya, menghalangi dia untuk melangkah lebih jauh.
Walau pun
Keng Han tadi sudah sempat melihat keberadaan Cu In di tempat ini, tak urung ia
terkejut bukan main melihat bibi gurunya telah berdiri di depannya, seolah-olah
hendak menentangnya pula. Sebelum ia sempat bicara, gadis berpakaian putih ini
telah mendahuluinya.
“Keng Han,
cepatlah engkau pergi dari sini. Jangan melakukan perbuatan bodoh yang kelak
akan kau sesali,” Cu In langsung memperingatkan pemuda itu. Kata-kata yang dia
ucapkan ini setengah ditujukan kepada Keng Han, separuh lagi bagi dirinya
sendiri.
“Su-i, kau…
kau…” suara pemuda itu tergagap saking bingungnya.
“Keng Han,
pergilah…” kembali Cu In memperingatkan, kali ini dengan suara yang lebih
lembut dan halus, nyaris seperti bisikan lirih.
Keng Han
merasa sudah kepalang basah, karena itu dengan nekat dia berkata, “Su-i, aku
tetap harus membunuh Pangeran Mahkota.”
“Aku
melarangmu, Keng Han. Jika engkau tetap hendak berbuat nekat, maka engkau harus
melawanku!” kali ini Cu In berkata dengan nada tegas.
Menghadapi
gadis bercadar ini, Keng Han menjadi lemas. Tak mungkin dia menentang Cu In dan
melawannya. Dia menghela napas panjang lalu melangkah mundur. “Biarlah malam
ini kulepaskan dia. Akan tetapi lain kali, dia pasti akan mati di tanganku
untuk membalaskan kematian Pangeran Tao Seng.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!”
Tiba-tiba terdengar Pangeran Tao Kuang tertawa bergelak. “Lelucon macam apa
ini? Orang muda, engkau telah dipermainkan orang akan tetapi tidak tahu. Bukan
hanya tuduhan bahwa aku melakukan fitnah itu palsu adanya, akan tetapi juga
perkiraanmu bahwa Pangeran Tao Seng sudah mati itu bohong belaka. Dia masih
hidup dan dalam keadaan segar bugar, bahkan tinggal di kota raja ini. Dia
menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan memakai nama Ji atau yang terkenal
dengan sebutan Ji Wangwe.“
Keng Han
yang tadinya hendak melarikan diri itu sempat mendengar ucapan ini dan dia
benar-benar terkejut. Mukanya berubah pucat dan dia berkata gugup. “Tidak...
tidak… tidak benar...!”
“Aku tidak
suka berbohong. Kenapa tidak kau selidiki siapa sebetulnya Hartawan Ji itu? Dia
bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri. Dan engkau ini siapakah, orang
muda?” tanya Pangeran Tao Kuang dengan suara halus karena maklum bahwa pemuda
ini agaknya sudah dibohongi dan dipermainkan orang.
Keng Han
merasa tersudut. Keadaannya sungguh tidak menyenangkan, karena dari keadaan
yang menuntut balas dan yang benar, kini berbalik keadaannya menjadi yang
bersalah. Ayahnya bukan seorang yang difitnah melainkan yang memfitnah, bukan
yang dijahati melainkan yang jahat. Yaitu, kalau keterangan mereka semua itu
benar adanya.
Kini ditanya
siapa dirinya, terpaksa dia mengaku untuk alasan mengapa dia begitu mati-matian
membela Pangeran Tao Seng dan ingin membalaskan dendamnya. Setidaknya mereka
semua akan mengerti mengapa dia begitu nekat.
“Aku adalah
puteranya. Ibuku puteri kepala suku Khitan!” jawabnya singkat.
"Ahhh,
kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri! Aku sudah mendengar bahwa
kakanda Tao Seng menikah dengan seorang puteri Khitan di utara. Kiranya engkau
ini puteranya! Akan tetapi aku jelaskan bahwa engkau sudah menerima keterangan
yang sifatnya fitnahan terhadap diri kami. Sebaiknya kalau engkau menemui
Ji-wangwe di kota raja ini dan dialah Pangeran Tao Seng yang sebenarnya, masih
hidup dan sehat. Dan dari dia engkau tentu akan mendapat keterangan tentang
mengapa dia dihukum buang.”
Melihat
semua orang kini berdiri menentangnya, Keng Han menjadi semakin ragu akan
niatnya membunuh Pangeran Tao Kuang. Bagaimana jika semua keterangan ini benar?
Pula, dia
sama sekali tidak menduga bahwa Cu In berada di situ. Dengan adanya Cu In dan
kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa
tahu gadis cantik yang berdiri di dekat kakek jembel pengemis itu juga orang
yang lihai, agaknya sulit baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang. Pula, dia
akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan Pangeran itu
bahwa ayahnyalah yang jahat!
Dan hatinya
berdebar-debar penuh ketegangan dan penasaran mengingat bahwa ayah kandungnya
sendiri menipunya supaya dia mau membunuh Pangeran Tao Kuang yang tidak
bersalah. Demikian jahatkah ayah kandungnya? Dia merasa sangat kecewa dan
menyesal sekali.
“Sudahlah,
aku akan menyelidiki semua itu dan kalau semua keterangan itu benar, aku mohon
maaf sebesarnya!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu telah
lenyap dalam kegelapan malam di antara pohon-pohon.
“Ha-ha-ha,
seorang pendekar memang harus bertindak demi kebenaran, bukan karena mendengar
omongan orang!” Kai-ong Lu Tong Ki berseru nyaring dan masih terdengar
ucapannya itu oleh Keng Han. Pemuda itu melompat pagar tembok di ujung taman
dan keluar dari situ.
Pangeran Tao
kuang menarik napas panjang. “Ahhh, sungguh aku tidak mengerti siapa yang
melakukan fitnah seperti itu. Kasihan keponakanku yang kini menjadi mata gelap
setelah mendengar bahwa ayahnya kufitnah, bahkan kubunuh di tempat pembuangan.
Tentu dia merasa sakit hati sekali kepadaku.”
“Ayah, aku
mengenal baik Keng Han itu!” kata Kwi Hong.
Tidak ada
seorang pun di antara mereka mengetahui betapa hancur rasa hati Kwi Hong! Tadi,
pada saat mendengar Keng Han mengaku sebagai putera Pangeran Tao Seng, ia
merasa jantungnya seperti ditikam. Ahh, betapa ia sudah tergila-gila dan amat
mencinta pemuda itu, dan sekarang, ternyata bahwa pemuda itu adalah kakak
sepupunya!
“Aku juga
heran mendengar engkau tadi menyebut Han-ko kepadanya,” kata Pangeran Tao
Kuang. ”Di mana dan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?”
“Beberapa
kali dia membantuku ketika aku dikeroyok orang jahat, Ayah. Juga ketika aku
bersama Paman Yo Han, ayah enci Han Li ini, dikeroyok orang-orang Pek-lian-pai,
dia membantu. Dia bukan orang jahat, Ayah. Sama sekali bukan!”
“Hemmm,
kalau engkau sudah mengenal kakak sepupumu sendiri, mengapa tidak kau beri
tahukan aku dan Ibumu?”
"Ketika
itu, dia mengaku bernama Si Keng Han, bukan she Tao. Demikian pula aku tidak
memberi tahukan nama margaku maka dia pun tidak tahu. Akan tetapi ketika
pasukan yang menyusul aku itu datang, tentu dia sudah tahu bahwa aku adalah
puteri Ayah, tahu bahwa aku adalah adik sepupunya. Hanya aku yang belum tahu.”
“Ia memang
bukan orang jahat. Aku juga sudah mengenalnya. Karena itu aku percaya bahwa
perbuatannya tadi hanya karena ia mendengar hasutan, mendengar keterangan yang
sengaja diatur orang untuk memanaskan hatinya. Buktinya, setelah dia mendengar
keterangan di sini, dia pun pergi dan tidak melanjutkan usahanya membunuh.”
“Mungkin dia
jeri melihat kehadiran kita semua,” kata Han Li.
“Ahh, tidak,
adik Han Li. Dia seorang gagah yang berkepandalan tinggi. Dan lagi, dia itu
pewaris ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es!”
“Aihhh...,
bagaimana ini, enci Cu In? Kalau dia memang murid keluarga Pulau Es, aku tentu
mengenalnya!” kata Han Li.
“Entahlah,
akan tetapi dia mahir ilmu-iIlmu Pulau Es, dan Keng Han juga masih terhitung
murid keponakanku sendiri karena dia telah menjadi murid suci-ku. Dia pernah
bercerita kepadaku bahwa dia memperoleh ilmu-ilmu aneh itu dari Pulau Hantu.”
“Pulau
Hantu? Tapi ibu yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es tidak pernah
bercerita tentang adanya Pulau Hantu.”
“Sudahlah,
mendengar cerita kalian, aku yakin bahwa Keng Han adalah seorang yang berwatak
pendekar. Setelah apa yang dia dengar dari sini tentang Pangeran Tao Seng, dia
tentu akan melakukan penyelidikan, dan kalau dia sudah tahu duduknya perkara,
aku kira dia tidak akan memusuhiku lagi.”
“Mudah-mudah
begitu, Ayah. Kalau dia datang lagi dan berkeras hendak membunuh Ayah, akulah
yang akan menghadapinya. Dia boleh membunuh Ayah setelah melewati mayatku!”
kata Kwi Hong dengan nada suara mengandung kecewa, penasaran dan juga sedih.
Tidak ada
seorang pun tahu apa yang dirasakan gadis ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta
kepada pemuda itu, dan sekarang melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah kakak
sepupunya sendiri yang hendak membunuh ayahnya!
Setelah
makan minum selesai, Pangeran Tao Kuang lalu mengundurkan diri bersama
selirnya. Liang Siok Cu yang merasa amat khawatir akan keselamatan suaminya
segera memerintahkan pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan ketat, untuk
menjaga agar tidak ada orang luar dapat memasuki istana. Pasukan pengawal
dikerahkan untuk menjaga keselamatan suaminya tersayang.
Cu In juga
berpamitan kepada Kwi Hong. “Hatiku merasa tidak enak sekali dengan terjadinya
peristiwa ini. Bagaimana pun juga, Keng Han adalah murid keponakanku dan aku
ikut bertanggung jawab kalau dia melakukan sesuatu terhadap sang pangeran.
Karena itu, aku tidak jadi bermalam di sini. Aku pamit untuk keluar dari istana
ini karena aku hendak mencari Keng Han, untuk mengajaknya bicara dan
menyadarkannya.”
Tentu saja
Kwi Hong tidak dapat menahannya, karena kepergian Cu In adalah untuk mencegah
Keng Han mengulangi usahanya untuk membunuh ayahnya. Ia mengantar Cu In keluar
dari istana karena seluruh daerah istana telah dijaga pengawal sehingga akan
agak sukarlah bagi Cu In atau siapa saja yang datang dari luar untuk keluar
dari situ begitu saja.
Dengan
pengawalan Kwi Hong, Cu In dapat keluar dengan mudah. Ia lalu melompat dan
lenyap di balik pohon-pohon. Kwi Hong memandang ke arah bayangannya dan
berulang kali Kwi Hong menghela napas panjang. Kalau saja Keng Han itu bukan
kakak sepupunya, kiranya ia pun akan melakukan hal serupa dengan apa yang
dilakukan Cu In yaitu membujuk pemuda itu agar tidak melanjutkan niatnya…..
**************
Cu In
berdiri diam di bawah sebatang pohon besar, berpikir. Akan tidak mudah baginya
untuk mencari Keng Han di kota raja yang sebesar itu, tanpa mengetahui ke mana
pemuda itu pergi. Ke rumah Hartawan Ji? Akan tetapi ia tidak tahu di mana rumah
Hartawan Ji. Tiba-tiba ia teringat akan The Sun Tek, ayah kandungnya.
Ayahnya
adalah The-ciangkun, seorang panglima besar yang kenamaan di kota raja. Sebagai
seorang panglima, tentu The-ciangkun tahu benar apa yang terjadi dua puluh
tahun yang lalu, tentang Pangeran Tao Seng. Apakah betul Pangeran Tao Seng
difitnah oleh Pangeran Tao Kuang, atau apakah dia memang hendak membunuh
Pangeran Mahkota Tao Kuang sehingga dia ditangkap dan dihukum buang?
Juga ayah
kandungnya itu tentu tahu siapakah sabenarnya Hartawan Ji dan di mana tempat
tinggalnya. Ia hampir yakin bahwa Keng Han tentu akan pergi kepada Hartawan Ji
untuk mencari tahu mengenai kebenaran apa yang didengarnya dari Pangeran Tao
Kuang.
Dengan
pikiran ini, Cu In cepat menyelinap dan berkelebat cepat pergi menuju ke rumah
The Sun Tek atau The-ciangkun yang baru siang tadi ia tinggalkan. Ia langsung
saja mendatangi gardu di mana terdapat beberapa orang tentara melakukan
penjagaan dan berkata kepada mereka.
“Harap
kalian laporkan kepada The Sun Tek bahwa aku, Cu In, ingin menghadap dan bicara
dengannya.”
Para penjaga
itu terheran-heran melihat ada seorang wanita bercadar minta bertemu dengan
sang panglima. Akan tetapi, melihat sikap yang sungguh-sungguh dari wanita itu,
seorang di antara mereka segera menghadap ke dalam untuk melaporkan kepada
The-ciangkun.
Kebetulan
The Ciangkun masih belum tidur dan sedang bercakap-cakap dengan The Kong
puteranya. Yang mereka bicarakan bukan lain adalah tentang Ang Hwa Nio-nio dan
The Cu In, puteri Panglima itu. Kalau panglima sudah tidur, tentu penjaga itu
tidak akan berani mengganggunya dan akan mengusir Cu In.
“Maafkan
saya, Ciangkun, kalau saya mengganggu. Akan tetapi di luar terdapat seorang
nona bercadar yang mengaku bernama Cu In dan ingin bertemu dan bicara dengan
Ciangkun.”
Tadinya
penjaga itu mengira bahwa panglima itu tentu akan marah dan menyuruh dia
mengusir wanita pengganggu itu. Akan tetapi dia kecelik ketika melihat pangeran
itu dan puteranya bangkit berdiri ketika mendengar pelaporannya.
“Antarkan
tamu itu ke sini, cepat!” kata The-ciangkun kepada sang penjaga yang cepat
memberi hormat lalu berlari keluar.
“Tapi, Ayah.
Jangan-jangan ia akan menyerang Ayah...” kata The Kong khawatir ketika
mendengar nama Cu In, kakak tirinya itu.
“Tenanglah,
Kong-ji dan jangan khawatir. Kalau ia datang dengan niat buruk, tentu ia tidak
akan menemui penjaga, melainkan masuk dengan melompat pagar untuk mencari dan
membunuhku.”
Tidak lama
kemudian muncullah Cu In, diantar oleh penjaga. The-ciangkun memberi isyarat
kepada tentara itu untuk pergi dan dia segera berkata dengan ramah kepada Cu
In.
“Cu In, mari
duduklah dan katakan apa yang ingin kau bicarakan denganku. Kebetulan sekali
aku pun sedang mencarimu. Kalau malam ini engkau tidak muncul, besok pagi akan
kukerahkan pasukanku untuk mencarimu di seluruh pelosok kota raja!”
Cu In duduk
di atas bangku, berhadapan dengan The-ciangkun dan The Kong lalu dia bertanya,
suaranya terdengar masih dingin, “Mengapa engkau hendak mencariku?”
Biar pun ia
sudah tahu bahwa pria ini adalah ayah kandungnya, namun masih canggung baginya
untuk menyebut ayah.
“Mengapa, Cu
In? Engkau adalah puteriku, maka tentu saja aku menghendaki engkau untuk pulang
dan tinggal bersama ayahmu. Lagi pula ibumu mengajukan syarat. Aku baru dapat
memboyongnya untuk hidup bersama di sini kalau aku membawa engkau kepadanya! Ia
amat mencintamu dan sangat menyesal melihat engkau marah padanya. Karena
itulah, aku girang sekali melihat engkau datang.”
“Benar, enci
Cu In. Engkau harus tinggal bersama kami di sini!” kata pula The Kong, adik
tirinya.
Cu In
menghela napas panjang. “Belum tiba saatnya aku tinggal di sini. Kedatanganku
ini hanya ingin mencari keterangan tentang diri Pangeran Tao Seng.”
“Ehhh?
Pangeran Tao Seng? Apa yang ingin kau ketahui tentang Pangeran Tao Seng?” tanya
The-ciangkun heran.
“Dua puluh
tahun yang lalu Pangeran Tao Seng dijatuhi hukuman buang. Benarkah itu?”
“Memang
benar demikian. Dia dihukum buang selama dua puluh tahun.”
“Dan
sebabnya? Apakah dia difitnah orang lain?”
“Sama sekali
tidak! Aku masih ingat benar. Pada suatu hari, Pangeran Tao Kuang, yaitu
Pangeran Mahkota, diajak berburu binatang oleh Pangeran Tao Seng dan Pangeran
Tao San. Akan tetapi terjadi keanehan. Mereka pulang dengan diantar Sin-tung
Koai-jin Liang Cun bersama puterinya, Liang Siok Cu. Pendekar itu telah
menolong Pangeran Mahkota Tao Kuang yang hampir dibunuh kedua pangeran itu
bersama anak buahnya. Pangeran Tao Kuang pulang dengan selamat dan Pangeran Tao
Seng dan Pangeran Tao San pulang sebagai tawanan, ditawan oleh Sin-tung
Koai-jin dan puterinya. Mereka diadili oleh kaisar sendiri dan dijatuhi hukuman
buang selama dua puluh tahun.”
Cu In
mengangguk-angguk. Ternyata benar apa yang sudah diterangkan oleh Pangeran
Mahkota Tao Kuang, seperti yang pernah didengarnya.
“Dan
kabarnya Pangeran Tao Kuang mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Tao Seng
dalam pembuangannya itu? Benarkah demikian?”
The-ciangkun
menggelengkan kepalanya sambil tertawa. “Ha-ha-ha, dari mana engkau mendengar
berita itu, Cu In? Itu adalah kabar bohong belaka. Tak ada yang membunuh
Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya. Bahkan sampai sekarang ia masih hidup!”
“Apakah dia
sekarang menjadi orang yang disebut Hartawan Ji di kota raja ini?”
The-ciangkun
membelalakkan matanya. “Ahhh, engkau sudah tahu pula? Tidak banyak orang
mengetahuinya kecuali keluarga kerajaan dan beberapa orang pejabat tinggi. Aku
mengetahui juga secara kebetulan saja. Ketika aku pada suatu hari bertemu muka
dengan Hartawan Ji, aku tidak ragu lagi bahwa dia adalah Pangeran Tao Seng!”
“Di mana
rumahnya?”
“Rumahnya
amat mudah dicari. Di jalan raya sebelah selatan taman rakyat ada sebuah rumah
besar bercat kuning. Di depan rumah itu terdapat dua arca singa yang besar dan
indah. Itulah rumahnya.”
Cu In
bangkit berdiri. “Terima kasih atas segala keterangan ini. Maaf, aku harus
pergi sekarang.”
The-ciangkun
dan puteranya juga cepat berdiri. “Ehhh, Cu In, engkau akan pergi ke mana?
Tinggallah saja di sini dan kalau engkau ada urusan, beri tahukan padaku. Aku
yang akan mengurusnya sampai selesai.”
Cu In
tersenyum di balik cadarnya. Ayahnya ini berhati mulia dan menyayangnya, tidak
seperti ibunya. “Terima kasih, urusan ini harus kuselesaikan sendiri tanpa
bantuan siapa pun.”
“Tetapi
engkau adalah puteriku, Cu In. Aku berkewajiban untuk membantumu dalam segala
hal.”
“Benar, enci
Cu In. Atau, jika engkau tidak mau tinggal di sini dan hendak mengurusnya
sendiri, biarkan aku ikut untuk membantumu!” kata The Kong penuh semangat.
“Terima
kasih, aku harus pergi sendiri. Lain kali aku tentu akan datang lagi
berkunjung.”
“Nanti dulu,
Cu In!” kata The-ciangkun khawatir. “Engkau tadi bertanya-tanya mengenai
Pangeran Tao Seng dan Hartawan Ji. Kalau engkau mempunyai urusan pertentangan
dengan Pangeran Tao Seng, aku harap engkau berhati-hati, anakku. Ketahuilah
bahwa Pangeran Tao Seng adalah seorang yang amat berbahaya. Sekarang pun aku
sendiri mencurigainya. Menurut para penyelidik, sudah ada beberapa tokoh dan
datuk sesat datang berkunjung ke rumah Hartawan Ji. Aku khawatir dia sedang
menyusun suatu rencana jahat dan dia berbahaya sekali. Biar pun sekarang
menjadi Hartawan Ji yang nampaknya diam dan tenang, akan tetapi dia seperti
seekor ular yang diam, namun setiap saat siap untuk mematuk dan menyebar
kematian.”
“Aku
mengerti dan sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan sambutan kalian
yang begini baik kepadaku. Selamat malam!” Cu In membalikkan tubuhnya dan
keluar dari tempat itu, terus keluar dari rumah dan pekarangan rumah itu.
Ayah dan
anak itu terus mengikutinya sampai ke tempat penjagaan. Melihat gadis itu
keluar diantar langsung oleh The-ciangkun sendiri, para penjaga diam saja tidak
berani mengganggunya…..
***************
Hati Keng
Han bimbang dan ragu, tegang dan penasaran. Baru saja dia mendengar cerita yang
berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Hartawan Ji! Haruskah dia
mempercayai semua keterangan Pangeran Tao Kuang?
Akan tetapi
setidaknya di sana terdapat Kwi Hong dan Cu In. Dan dia tahu bahwa dua orang gadis
ini tentu tidak akan suka membohonginya. Kalau Pangeran Tao Kuang tidak
berbohong, lalu apakah Hartawan Ji yang berbohong? Kenapa pula dia harus
percaya kepada keterangan Hartawan Ji?
Lalu dia
teringat bahwa Hartawan Ji, menurut Gulam Sang, adalah sekutu pemuda Tibet itu.
Seorang pejuang yang membenci keluarga kaisar Mancu. Jadi wajar saja apa bila
Hartawan Ji menghasut dan mengarang cerita bohong agar dia membunuh Pangeran
Mahkota Tao Kuang karena hal itu akan menguntungkan perjuangannya. Apa lagi
kalau Hartawan Ji itu adalah Pangeran Tao Seng yang agaknya sangat mendendam
kepada Pangeran Tao Kuang.
Akan tetapi
kalau dia itu Pangeran Tao Seng, tentu mengetahui bahwa dia adalah putera kandungnya!
Kenapa harus berbohong kepada putera kandungnya sendiri? Demi membunuh Pangeran
Tao Kuang? Akan tetapi pekerjaan itu amatlah berbahaya.
Sepatutnya
Pangeran Tao Seng tak tega untuk menyuruh puteranya sendiri melakukan perbuatan
yang amat berbahaya bagi nyawanya itu. Tadi pun andai kata dia berkeras hendak
membunuh, menghadapi pangeran itu beserta isterinya dan Kwi Hong, Cu In, kakek
pengemis dan muridnya, belum tentu dia berhasil bahkan mungkin saja dia yang
roboh dan tewas.
Dengan hati
kacau tidak menentu dia berkunjung ke rumah besar Hartawan Ji. Di dalam ruangan
sebelah dalam, ia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama seorang pemuda
yang telah dikenalnya, yang bukan lain adalah Gulam Sang, bersama seorang
wanita muda yang cantik manis namun wajahnya agak muram.
Gadis itu
bukan lain adalah Liong Siok Hwa, gadis yang sudah dikuasai oleh Gulam Sang,
dikuasai badan dan batinnya oleh pengaruh sihir sehingga dia menurut saja apa
yang dikehendaki Gulam Sang darinya. Gulam Sang, setelah berhasil membujuk
Liong Siok Hwa pergi meninggalkan rumah penginapan di mana ayahnya tewas
terbunuh oleh Gulam Sang, lalu membawa gadis itu berkunjung ke rumah Hartawan
Ji di kota raja.
Kedatangannya
disambut hangat oleh Hartawan Ji yang langsung menceritakan tentang kunjungan
Keng Han. Dia juga menceritakan mengenai siasatnya menyuruh Keng Han membunuh
Pangeran Mahkota Tao Kuang.
Mendengar
cerita ini, Gulam Sang lalu menitipkan Liong Siok Hwa kepada Hartawan Ji,
kemudian dia sendiri segera keluar pada malam itu, menuju ke istana Pangeran
Tao Kuang. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia berhasil masuk ke taman dan
mengintai ketika Keng Han datang.
Ia melihat
apa yang terjadi, mendengarkan semua percakapan mereka dan mendahului keluar
dari istana itu. Dia menceritakan kepada Hartawan Ji tentang gagalnya Keng Han
membunuh Pangeran Mahkota.
Di rumah
Hartawan Ji terdapat para datuk yang memang sudah lebih dulu tinggal di rumah
itu, siap-siap membantu Hartawan Ji jika tiba saatnya untuk bergerak membunuh
Kaisar. Mereka adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin.
Ketiga orang ini lalu dipanggil keluar oleh Ji Wan-gwe untuk diajak berunding
bersama Gulam Sang.
“Kenapa
mesti repot-repot? Kalau pemuda itu datang membuat ulah, ada kami di sini. Dia
mau dan bisa berbuat apa terhadap Wan-gwe?” kata Lam-hai Koai-jin memandang
rendah pemuda yang dibicarakan.
Akan tetapi
Swat-hai Lo-kwi yang pernah merasakan ketangguhan pemuda itu berkata, “Lam-hai
Koai-jin harap jangan memandang rendah pemuda bernama Keng Han itu. Dia memang
lihai sekali dan menguasai ilmu-Ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi di
sini terdapat pula aku dan Lo-mo, maka kalau dia membuat ribut, kita tentu akan
dapat menundukkannya.”
“Sebaiknya
diatur siasat untuk menghadapinya. Mula-mula harap Wan-gwe bersikap lembut
terhadap dia. Siapa tahu, kalau dia mengetahui bahwa Wan-gwe itu adalah ayah
kandungnya, dia akan menaati semua kehendak Wan-gwe dan dia mau membantu dengan
terang-terangan. Kalau dia bersikap berlawanan, aku memiliki racun penghisap
semangat yang akan kucampurkan dalam arak yang akan diminumnya. Atau kalau dia
tidak mau minum arak, aku dapat menyerangnya dengan pukulan beracun atau dapat
merobohkannya dengan sihir. Jika semua itu pun tidak berhasil, baru Sam-wi
Locianpwe muncul dan membantu kami.”
“Bagus! Kita
atur seperti yang direncakan oleh Gulam Sang,” jawab Ji Wan-gwe dengan girang.
Meski pun
Keng Han itu putera kandungnya, namun dia lebih percaya kepada putera angkat
ini karena sudah jelas terbukti bahwa Gulam Sang dapat dipercaya dan
benar-benar telah membantunya untuk membuat gerakannya berhasil. Kalau Keng Han
suka mendengarkan bujukannya, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau
sebaliknya, dia pun tidak segan untuk membunuh putera kandung yang sejak kecil
tidak pernah dikenalnya itu.
Kekuasaan
merupakan sesuatu yang diperebutkan oleh setiap orang. Kekuasaan akan menjamin
kehidupannya, mendatangkan kekayaan dan kesenangan sebab sekali orang memegang
kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti akan bisa tercapai. Dan untuk
mendapatkan kekuasaan itu, orang yang lemah hatinya tak segan menggunakan
segala macam cara.
Seperti
Pangeran Tao Seng itu, atau yang sekarang memakai nama Ji Wan-gwe. Demi
mencapai cita-citanya mendapatkan kekuasaan, dia tidak segan merencanakan untuk
membunuh anak kandung sendiri, kalau anak itu menjadi penghalang niatnya.
Demikianlah,
ketika akhirnya Keng Han muncul, dia melihat Hartawan Ji sedang makan minum
bersama Gulam Sang dan seorang gadis yang tidak dikenalnya. Dia tidak takut
dengan adanya Gulam Sang yang dia tahu adalah sekutu Hartawan Ji. Dia melompat
dan turun ke dekat meja makan, membuat tiga orang yang sedang makan minum itu
menjadi terkejut.
Akan tetapi
Hartawan Ji tersenyum ketika melihatnya dan berkata, “Ah, kiranya engkau sudah
kembali, Tao kongcu? Silakan duduk!”
Keng Han
mengerutkan alisnya, akan tetapi dia duduk pula di atas bangku dekat meja.
“Kongcu
tentu belum makan juga. Mari silakan makan minum bersama kami sebelum kita
bicara.”
Akan tetapi
Keng Han tidak menjawab, hanya matanya memandang kepada Hartawan Ji dengan
tajam dan penuh selidik. Hartawan Ji menuangkan secawan arak, kemudian
memberikan kepada Keng Han.
“Ahh, lebih
dulu kami mengucapkan selamat datang dengan secawan arak ini sebagai
penghormatan kami. Silakan, Kongcu!”
Bagaimana
pun juga, karena sikap Hartawan Ji itu baik dan menghormat sekali, juga baginya
persoalannya belum jelas siapa yang bersalah, Keng Han menerima secawan arak
yang tadi dituang dari guci milik Gulam Sang. Keng Han mengangkat cawan dan
minum isinya sampai habis. Melihat ini, mata Gulam Sang mencorong serta
mulutnya tersenyum simpul. Akan tetapi senyum itu berubah.
Kini dia
menyeringai heran melihat Keng Han sama sekali tidak terkulai lemas dan tidak
menjadi pingsan. Tentu saja dia tidak tahu betapa tubuh Keng Han sudah menjadi
kebal akan segala macam racun karena bertahun-tahun dia makan daging ular merah
setiap hari, juga jamur-jamur beracun. Karena itu sedikit racun dalam arak yang
diminumnya sama sekali tidak mempengaruhinya.
“Nah,
bagaimana dengan usahamu, Kongcu? Sudahkah berhasil melenyapkan musuh besarmu
itu?”
“Tidak. Akan
tetapi kini aku mempunyai sebuah pertanyaan yang kuharap engkau suka
menjawabnya dengan terus terang,” kata Keng Han, matanya tidak berkedip menatap
wajah Pangeran Tao Seng sehingga pangeran itu menjadi resah juga.
“Tentu saja.
Pertanyaan apakah itu, Kongcu?”
“Bila aku
katakan bahwa Hartawan Ji bukan lain adalah Pangeran Tao Seng, benarkah
dugaanku ini? Engkau adalah Pangeran Tao Seng, yang kini mengubah nama menjadi
Hartawan Ji! Nah, jawab sejujurnya, benarkah demikian?”
Tao Seng
atau Hartawan Ji tidak merasa terkejut mendengar ini, karena dia memang sudah
diberi tahu oleh Gulam Sang bahwa Keng Han telah mendengar keterangan dari
Pangeran Tao Kuang. Dia hanya berpura-pura terkejut mendengar hal ini dan
bertanya dengan suara heran.
“Ehh,
sebetulnya hal itu sangat dirahasiakan, bagaimana engkau dapat mengetahuinya,
Tao Kongcu?”
“Sudahlah,
tak perlu menyebut Kongcu lagi. Engkau adalah Pangeran Tao Seng, berarti engkau
adalah ayah kandungku! Juga aku pun sudah mendengar bahwa engkau sama sekali
tidak difitnah oleh Pangeran Tao Kuang. Engkau dihukum buang karena usahamu
membunuh Pangeran Tao Kuang mengalami kegagalan. Benarkah semua ini?”
“Benar, akan
tetapi engkau tidak mengetahui semuanya, anakku.”
“Ketika aku
datang menghadapmu, engkau membohongi aku dan sengaja menghasutku supaya aku
membunuh Pangeran Tao Kuang. Betapa jahatnya engkau! Engkau tahu bahwa membunuh
Pangeran Tao Kuang merupakan pekerjaan yang amat berbahaya. Akan tetapi engkau
menyuruh anakmu sendiri menempuh bahaya besar itu. Aku merasa heran dan malu.
Jauh-jauh aku pergi merantau untuk mencari ayahku, tidak tahunya ayahku begini
jahat. Aku malu mempunyai ayah sepertimu!”
“Keng Han,
engkau tahu satu tidak tahu dua. Akulah yang memberimu nama Keng Han. Engkau
anak kandungku, maka pertimbangkanlah semua perbuatanku. Pertama, dua puluh
tahun yang lalu aku memang berniat membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena
merasa diperlakukan tidak adil oleh ayahanda Kaisar. Aku sebagai putera tertua,
mengapa adinda Tao Kuang sebagai Pangeran Ketiga yang diangkat menjadi putera
mahkota? Aku merasa penasaran oleh perlakuan tidak adil itu maka bersama adinda
Pangeran Kedua aku merencanakan untuk membunuhnya. Bukankah itu sudah adil?
Kalau dia mati tentu aku yang diangkat menjadi Putera. Mahkota. Akan tetapi
usaha kami berdua itu gagal, bahkan kami ditangkap dan dijatuhi hukuman buang
selama dua puluh tahun! Bayangkan betapa sengsaranya aku, seorang pangeran yang
biasanya hidup mewah dan terhormat, dibuang di tempat pengasingan selama dua
puluh tahun!”
Keng Han
diam saja. Walau pun di dalam hatinya dia tidak setuju dengan perbuatan ayahnya
yang hendak membunuh Pangeran Mahkota itu, akan tetapi kalau mengingat
penderitaan ayahnya selama dua puluh tahun, dia merasa kasihan juga.
“Nah,
setelah hukumanku selesai dan aku bebas, aku kembali ke kota raja. Agar rakyat
tidak mengenalku, maka aku menyaru menjadi Hartawan Ji. Diam-diam aku bersekutu
dengan orang-orang yang menginginkan jatuhnya kerajaan Ceng, dan aku berniat
untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang dan juga Kaisar! Jika mereka berdua
tewas, sebagai pangeran tertua aku berhak atas tahta kerajaan! Dan kemudian aku
mendengar tentang kedatanganmu dan bahwa engkau seorang yang mempunyai
kepandaian tinggi. Karena itulah, aku sengaja tidak mengaku sebagai ayahmu,
melainkan menghasutmu supaya engkau membenci Pangeran Mahkota dan membunuhnya.
Akan tetapi ternyata usahamu itu pun gagal.”
“Hemmm,
setelah mendengar duduknya perkara, bagaimana mungkin aku membunuh Pangeran
Mahkota Tao Kuang yang tidak bersalah?” bantah Keng Han.
“Sudahlah,
Keng Han. Sekali gagal tidak mengapa. Sekarang, marilah engkau bantu ayahmu
untuk membunuh Kaisar dan Pangeran Tao Kuang. Kalau aku berhasil menjadi
Kaisar, bukankah engkau pun akan menjadi pangeran?”
“Tidak! Aku
tidak sudi terlibat dalam persekutuan jahat itu! Aku tidak mau membantumu dalam
urusan itu!”
Pangeran Tao
Seng mengerutkan alisnya dan matanya yang menatap wajah puteranya berubah
bengis. “Dan apa maumu sekarang, Keng Han?”
“Aku minta
kepadamu supaya engkau suka ikut dengan aku ke Khitan untuk menemui ibuku.
Sudah terlalu lama engkau meninggalkan ibuku yang hidup merana karena selalu
teringat kepadamu dan engkau tidak mempedulikannya sama sekali!”
“Bodoh kau!
Kalau aku menjadi kaisar tentu ia akan segera kuboyong ke sini!” bentak Tao
Seng.
“Aku tidak
menghendaki engkau menjadi kaisar dengan cara yang curang itu. Aku minta engkau
sekarang juga ikut denganku ke Khitan menemui ibu!”
“Kalau aku
tidak mau?”
“Akan
kupaksa dan kuseret kau!” Keng Han juga membentak marah.
Tiba-tiba
Gulam Sang melompat ke depan Keng Han dengan dada terangkat dan sikap
menantang. “Enak saja engkau bicara, Keng Han! Engkau hendak memaksa ayahku
begitu saja? Kalau masih ada aku, jangan harap akan bisa melakukan itu!”
Keng Han
tercengang. “Ayahmu...?”
“Ya, aku
adalah anak angkat dari Pangeran Tao Seng, dan sebagai anak aku setia dan
berbakti padanya, akan membelanya dengan nyawaku. Sebaliknya engkau ini seorang
anak yang tidak berbakti, bahkan durhaka karena hendak memaksa ayahnya sendiri
seperti itu!”
“Minggir!
Ini bukan urusanmu!” bentak Keng Han dan dia pun sudah mendorong ke arah pundak
Gulam Sang dengan tangan kanannya.
Dorongan itu
mengandung hawa panas dan kuat sekali sehingga Gulam Sang cepat mengelak karena
dia sudah mengenal kehebatan tenaga pemuda itu. Sambil mengelak dia pun
membalas sambil mencabut pedangnya. Hebat dan luar biasa dahsyat serangan Gulam
Sang dengan pedangnya itu, disabetkan untuk menebas pinggang Keng Han.
Keng Han
mengelak mundur. Karena dia pun maklum akan kelihaian Gulam Sang, dia lalu
mencabut pedang bengkoknya, kemudian segera menangkis ketika pedang Gulam Sang
menyambar lagi ke arah lehernya.
"Trang...
trang...!”
Dua kali
pedang Gulam Sang bertemu dengan pedang bengkok dan yang kedua kalinya tangan
Gulam Sang tergetar hebat. Gulam Sang merasa penasaran dan mengamuk. Akan
tetapi Keng Han mengimbanginya dengan gerakan yang sangat cepat sehingga mereka
bertempur dengan seru dan hebatnya di tempat itu......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment