Friday, June 29, 2018

Cerita Silat Serial Pusaka Pulau Es Jilid 08



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Pusaka Pulau Es

                   Jilid 08


Dia tidak tahu apa hubungannya semua itu dengan tugasnya untuk membunuh musuh besarnya ini.

"Aku harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku, bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan supaya ia suka menjadi selirku. Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong Bwe menolak dan menuntut supaya aku menikahinya sebagai isteri yang sah. Aku tak mungkin dapat memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia mengandung anakku dan sejak itu aku tak pernah dapat menemukannya. Aku selalu mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih terus mencarinya. Akan tetapi ia selalu menghilang begitu aku bisa menemukan tempat persembunyiannya. Aku pun mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak pernah aku melihat anakku itu pula."

Cu In mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu nampak jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subonya. Akan tetapi subonya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subonya tidak mempunyai anak!

"Nah, demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu ialah gurumu. Aku sudah mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada kembang merah. Itu memang kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, selalu menghias rambutnya dengan bunga merah. Sekarang engkau sudah tahu apa sebabnya maka ia membenciku dan kini mengutus mu untuk membunuhku. Tapi aku mencintainya, sampai sekarang pun masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia akibat sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang anakku itu? Siapa pula namanya?"

Cu In menggelengkan kepalanya. "Subo tidak pernah mempunyai seorang puteri, juga tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak."

Ia tidak menceritakan betapa subonya sangat benci kepada laki-laki. Bahkan sejak ia masih kecil, ia sudah dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria, terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subo-nya terhadap The Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki.

"Nah, demikianlah ceritaku. Aku tak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan pribadi. Jika aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka aku merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin dulu ayahmu berada dalam pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tak mungkin ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe untuk membuat engkau membenci padaku, kemudian membalas dendam kematian ayah bundamu. Dan melihat keadaan dirimu, walau pun mukamu tertutup cadar, aku hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang matamu itu tidak akan dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri membunuhku?"

Cu In bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya. Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci, bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya!

Pada saat itu terdengar bentakan suara lembut, "Cu In, cepat laksanakan perintahku. Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!"

Yang muncul adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh kebencian ditujukan kepada The Sun Tek.

Panglima itu melangkah maju menghampiri, "Hong Bwe...! Ahhh, bertahun-tahun aku mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku, Hong Bwe dan sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"

"Kejam katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"

Akan tetapi kini Cu In memandang kepada subo-nya dengan sinar mata penuh tuntutan. "Subo, benarkah dia itu ayahku?"

"Hemmm, Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!" kata The Sun Tek, kini dia hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.

"Tidak peduli dia itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat serang dan bunuh dia!" kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya bercampur tangis saking jengkel hatinya.

"Akan tetapi, Su... bo...!"

"Tidak ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"

"Tidak! Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"

"Kau... kau... berani membantah perintahku? Dari kecil engkau kubesarkan, kupelihara, kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil menghunus pedangnya.

"Jawab dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kau jawab, baru aku akan menentukan sikapku."

"Ya atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"

"Tidak! Aku tidak mau!"

"Kalau begitu mampuslah kau di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan tetapi pedang gurunya mengejar terus.

"Tranggg...!"

Pedang itu tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang di dalam genggaman tangan The Sun Tek.

"Hong Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kau buat sendiri? Hong Bwe, aku memang telah bersalah kepadamu, kesalahan karena keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama, dan kini aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau masih mendendam dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Jika dia tidak mau engkau bahkan akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta maaf kepadamu, aku mohon ampun kepadamu. Apa bila engkau masih mendendam, nah, inilah dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku membunuhku!"

Sim Hong Bwe atau Ang Hwa Nionio tertegun memandang pria itu. Tiba-tiba tangannya gemetar, pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The Sun Tek.

"Kau... kau... ahhhhh...!"

Tubuhnya terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulan panglima ini.

Cu In memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati, membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam.

Dendam ibunya kepada ayahnya demikian mendalam sehingga ia tidak puas jika harus membunuhnya sendiri, tapi menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya. Dan pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini, ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran.

"Cu In...!" Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu.

Sementara itu, Ang Hwa Nio-nio mulai sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek berlutut di depan kakinya.

"Hong Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihatlah, aku benar-benar menyesal dan ingin menebus semua kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membahagiakanmu. Bila perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku. Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran tanganku ini, Hong Bwe."

Wanita itu seperti nanar, memandang sekeliling. "Mana dia...? Mana Cu In anakku...?" Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai anaknya.

"Ia telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya sendiri hampir saling bunuh. Ahh, kelak kita harus memberi cinta kasih dan kesayangan kepada anak kita."

"Aku juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku sudah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar supaya mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau..."

"Aku menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup bahagia seperti dulu..." The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu.

Ketika itu muncul seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah. Melihat The Sun Tek sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita asing di taman dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangannya, dia berhenti melangkah, memandang dan tidak berani bertanya.

The Sun Tek mendengar langkahnya dan menoleh, kemudian berkata kepada Ang Hwa Nio-nio. "Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu. Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan tinggalkan kami berdua di sini!"

The Kong dengan patuh memberi hormat kepada Ang Hwa Nio-nio dengan menyebut ‘ibu’, kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.

"Hong Bwe, seperti sudah kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Kini engkau sudah datang, hiduplah bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap yang mendapat matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibunya, pengganti ibunya."

"Hemmm, kau kira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kau boyong ke sini kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan masa lalu. Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!" Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi dengan cepat.

"Hong Bwe...!"

Akan tetapi The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup sebagai suami isteri dengannya.

Sambil menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya.

Dia berjanji kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang ke Beng-san bersamanya….

Gadis manis dan ayahnya itu dikerumuni banyak orang di depan pasar di kota Leng-an. Mereka adalah seorang gadis bersama dengan ayahnya yang bermain silat, sengaja mempertontonkan kepandaian mereka sehingga menarik banyak perhatian penonton. Setelah gadis itu bersilat dengan sepasang pedangnya dengan gerakan indah dan kuat serta cepat sehingga mendapat tepuk tangan kagum dari para penonton, sang ayah lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada semua penonton di sekelilingnya.

"Cu-wi (saudara sekalian) yang mulia. Kami ayah dan anak mohon maaf sebesarnya bila kami berani mempertontonkan ilmu silat kami yang masih rendah. Terutama kepada para eng-hiong (pendekar) yang kebetulan berada di sini, hendaknya dimaklumi bahwa kami sama sekali tidak bermaksud untuk membanggakan kepandaian kami. Kalau kami mempertontonkan kepandaian, tidak lain karena kami kekurangan dan kehabisan bekal dalam perjalanan ini dan mengharapkan sumbangan suka rela dari para penonton, di samping itu juga mengharapkan mudah-mudahan puteriku akan menemukan jodohnya di tempat ini."

Ucapan yang terus terang itu disambut sorak-sorai dan tepuk tangan. Sekarang tahulah semua orang bahwa gadis itu hendak mencari jodohnya melalui pertandingan silat. Tentu nanti akan ramai kalau ada pemuda yang berani mencoba-coba.

Dan dugaan semua orang benar saja. Penawaran jodoh itu menarik perhatian banyak orang. Hal ini tidak aneh karena gadis itu memang manis sekali.

Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan anak rambut melingkar-lingkar di pelipis serta dahinya. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dengan ringkas. Kulitnya agak gelap, akan tetapi menambah kemanisannya.

Matanya tajam dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, hidungnya kecil mancung serta mulutnya mengandung daya tarik yang amat kuat. Mulut itu selalu mengandung senyum memikat, dengan lesung pipit di kiri bibir. Mulut dan mata gadis ini yang benar-benar memikat. Usianya pun paling banyak delapan belas tahun.

Namun karena semua orang sudah menyaksikan ketika gadis itu tadi berdemonstrasi silat tangan kosong kemudian silat sepasang pedang, yang berani maju hanya mereka yang merasa dirinya cukup tangguh saja.

Mula-mula seorang pemuda berpakaian ringkas seperti seorang jago silat yang maju. Pemuda berbaju biru ini melompat ke depan dengan sikapnya yang gagah dan semua orang bertepuk tangan ketika mengenalnya sebagai putera seorang guru silat di kota itu. Pemuda itu memang agak menyombongkan kepandaiannya, akan tetapi dia memang belum mempunyai seorang isteri.

"Saya ingin mencoba-coba ilmu kepandaian Nona!" katanya dengan gagah dan terang-terangan sehingga banyak orang tersenyum lebar.

Ayah gadis itu melangkah maju dan bertanya, "Apakah Sicu hendak menyumbang?"

"Saya memiliki sedikit uang untuk menyumbang, akan tetapi saya lebih ingin mencoba ilmu silat puteri Paman. Siapa tahu kami bisa berjodoh." Ucapan ini disambut gelak tawa para penonton dan sang ayah memberi isyarat kepada puterinya untuk maju.

Gadis itu juga bukan seorang gadis pemalu. Dengan sikap tenang ia melangkah maju menghadapi pemuda baju biru dan bertanya, "Aduh, kepandaian yang manakah yang Sicu kehendaki? Tangan kosong atau dengan senjata?"

"Ah, Nona. Kita hanya bermain-main untuk meramaikan suasana, bukan berkelahi untuk saling melukai. Maka sebaiknya kita main-main dengan tangan kosong saja."

"Baiklah. Nah, saya sudah siap, Sicu boleh mulai!" kata gadis itu sambil memasang kuda-kuda.

"Aku seorang laki-laki, Nona boleh menyerang terlebih dahulu!" kata pemuda baju biru, mengambil sikap mengalah untuk menarik perhatian.

"Kalau begitu baiklah. Awas, saya mulai menyerang!"

Gadis itu mengirim pukulan cepat ke arah dada si pemuda. Pemuda itu mengelak ke kiri dan membalas dengan tamparan ke arah pundak, namun dengan mudah tamparan ini dielakkan oleh gadis itu. Segera serang menyerang terjadi dengan seru.

Akan tetapi, bagi mereka yang mempunyai kepandaian, setelah lewat belasan jurus saja sudah ketahuanlah bahwa pemuda itu bukan tandingan si gadis. Dia mulai terdesak dan gerakan gadis itu sedemikian cepatnya, terlalu cepat bagi pemuda baju biru sehingga dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang dan hanya dapat mengelak atau menangkis terhadap serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Belum lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki gadis itu mengenai lutut si pemuda dan pemuda itu pun terpelanting jatuh.

Sorak-sorai menyambut kemenangan gadis ini. Pemuda baju biru itu dengan muka merah bangkit kembali dan setelah memberi hormat lalu mundur, mengaku kalah.

Tiba-tiba seorang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, meloncat ke tengah lingkaran itu. Matanya yang besar memandang kepada gadis itu dan terdengar suaranya yang parau dan lantang.

"Aku Hek-houw (Macan Hitam) Bong Kiat ingin mencoba-coba kepandaian Nona!"

Terdengar seruan-seruan di sana sini ketika Bong Kiat memasuki sayembara memilih suami itu.

"Dia sudah beranak-isteri!"

"Tidak pantas kalau dia ikut!"

Mendengar seruan-seruan itu, Bong Kiat membusungkan dadanya dan memandang ke sekelilingnya. "Aku Bong Kiat memang sudah beranak-isteri, akan tetapi siapa yang bisa melarangku memilih seorang gadis untuk menjadi selirku? Hayo katakan, siapa berani melarang?"

Si Macan Hitam Bong Kiat memang sudah terkenal sebagai seorang jagoan yang biasa malang melintang di kota Leng-an, sering menimbulkan keributan karena memaksakan kehendaknya sehingga semua orang menjadi takut. Tentu saja tantangannya itu tidak ada yang berani menyambut dan para penonton hanya diam saja.

Melihat ini, ayah gadis itu maju menyambut Bong Kiat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu berkata, "Kami Liong Biauw dan anak Liong Siok Hwa ini memang sedang mencari jodoh, namun untuk menjadi seorang isteri yang baik, bukan menjadi seorang selir. Oleh karena itu, harap Sicu suka mengurungkan niatnya untuk mengadu kepandaian."

"Apa kau bilang barusan? Mengurungkan niatku mengadu kepandaian untuk memasuki sayembara ini? Tidak bisa! Engkau tadi sudah mengatakan bahwa siapa yang dapat mengalahkan Nona ini akan menjadi jodohnya, maka sekarang aku hendak mencoba kepandaiannya. Kalau aku kalah, sudahlah, akan tetapi bila aku menang, Nona ini harus menjadi selirku!"

"Tidak ada yang mengatakan begitu, Sicu. Memang tadi aku mengatakan bahwa kami mengharapkan anak kami mendapatkan jodoh di sini, akan tetapi bukan untuk menjadi selir. Dan perjodohan bukan hanya ditentukan oleh kalah menangnya pertandingan, melainkan oleh cocok tidaknya anakku dengan calon jodohnya."

"Aih, tidak peduli! Pendeknya, anakmu harus melayani aku bertanding, atau kalau perlu ayahnya boleh maju mewakilinya. Kalau kalian tidak berani, kalian harus cepat pergi dari kota ini!"

Liong Biauw, sang ayah, tentu saja tidak ingin mencari permusuhan, maka dia pun lalu menghela napas panjang dan berkata kepada puterinya, "Siok Hwa, kemasilah barang-barangnya. Kita pergi saja dari kota ini." Jelas bahwa dia tak ingin melanjutkan keributan dengan Si Macan Hitam.

Akan tetapi, ketika penonton menjadi kecewa karena pertunjukan yang menarik itu akan berhenti, tiba-tiba dari penonton muncul seorang pemuda.

"Tahan dulu!" kata pemuda itu, lalu dia menghadapi Bong Kiat. "Sobat engkau sungguh tak tahu malu. Orang sudah menolak untuk bertanding denganmu karena engkau sudah berkeluarga, mengapa engkau memaksa? Bagaimana kalau aku mewakili Nona itu maju menandingimu?"

Bong Kiat memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar, mukanya bundar dan matanya lebar. Belum pernah dia melihat pemuda ini, akan tetapi watak Bong Kiat memang selalu meremehkan orang lain.

"Tentu saja boleh, kalau engkau memang sudah bosan hidup!"

Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Liong Biauw dan berkata, "Paman, sebetulnya saya pun ingin mencoba kepandaian puteri Paman, akan tetapi terdapat gangguan dari orang tidak tahu malu ini. Maka saya mohon perkenan Paman untuk mewakili puterimu memberi hajaran kepadanya."

Liong Biauw merasa tertarik dan suka kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang sudah matang, usianya sekitar tiga puluh tahun dan matanya yang lebar itu bersinar tajam. Dia pun mengangguk dan berkata, "Silakan saja akan tetapi berhati-hatilah, dia bukan lawan yang lemah."

Mendengar ini, Bong Kiat menjadi semakin sombong. "Hai bocah tidak tahu diri. Berani engkau mencampuri urusan orang lain. Agaknya tidak mengenal siapa Si Macan Hitam! Perkenalkan namamu sebelum engkau berkenalan dengan tinjuku!"

Pemuda itu tersenyum mengejek dan berkata, "Namaku Ji Lam Sang, dari kota raja."

Pemuda itu sesungguhnya adalah Gu Lam Sang. Setelah diakui sebagai putera angkat oleh Pangeran Tao Seng, dia berhak memakai nama Tao Lam Sang. Akan tetapi karena kini Pangeran Tao Seng sendiri sedang menyamar sebagai hartawan Ji, maka dia pun mengaku marga Ji. Belum tiba saatnya dia menggunakan nama keluarga kerajaan itu.

Secara kebetulan saja Lam Sang lewat di kota itu dan hatinya tertarik melihat banyak orang melihat pertunjukan silat itu. Dia pun menjenguk pertunjukan itu dan jantungnya berdebar. Dia bukan seorang laki-laki yang mata keranjang, akan tetapi entah mengapa, begitu melihat Liong Siok Hwa, hatinya tertarik sekali. Maka kalau tadinya hanya ingin menjenguk sebentar, dia lalu menjadi penonton.

Ia melihat betapa pemuda baju biru dikalahkan gadis itu. Diam-diam ia semakin kagum. Ilmu silat gadis itu lumayan tinggi. Lalu muncullah Bong Kiat yang hendak memaksakan kehendaknya. Melihat betapa Liong Biauw dan puterinya hendak mengalah dan pergi, dia lalu turun tangan mencampuri.

“Cabut senjatamu, Ji Lam Sang, dan bersiaplah engkau untuk mampus!” kata Bong Kiat yang sudah menghunus sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.

Semua orang bergidik melihat Si Macan Hitam sudah menghunus golok besarnya. Akan tetapi Lam Sang sendiri hanya tersenyum menghadapi ancaman golok besar yang tajam itu, bahkan dia berkata dengan nada mengejek.

“Untuk menghadapi golok pernotong ayam itu aku tidak perlu menggunakan senjata apa pun, cukup dengan tangan dan kakiku saja. Nah, aku telah siap, cepat gunakan golok pemotong ayammu itu!”

Bukan main marahnya Bong Kiat mendengar ejekan ini. Kalau saja Lam Sang tadi tidak mengejeknya, dia pun tentu akan menghadapi Lam Sang yang bertangan kosong tanpa senjata, untuk menjaga kehormatannya. Akan tetapi ejekan itu membuatnya marah dan dia ingin cepat-cepat dapat membunuh lawannya! Dia memutar-mutar golok besar yang berat itu di atas kepalanya.

"Sambutlah golokku dan mampuslah!” Bong Kiat membentak dan goloknya meluncur ke depan, membabat ke arah leher Lam Sang.

Akan tetapi, pemuda Tibet itu dengan amat mudahnya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, dan ketika golok itu menyambar lewat, kakinya mencuat dengan cepatnya ke depan, menendang ke arah perut Bong Kiat. Serangan yang mendadak ini berbahaya sekali, akan tetapi Bong Kiat juga bukan orang lemah. Dia cepat melangkah mundur sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.

Akan tetapi gebrakan pertama yang sudah dapat dibalas secara kontan oleh lawannya membuat Bong Kiat berhati-hati karena ternyata lawannya memang memiliki ilmu silat yang tangguh. Kini dia mengayun goloknya dan melakukan serangan bertubi-tubi. Golok itu membentuk gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Lam Sang.

Semua orang merasa ngeri melihat buasnya serangan Bong Kiat. Akan tetapi Liong Biauw mendekati puterinya dan berkata lirih, “Pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tentu akan dapat mengalahkan Bong Kiat itu, dan agaknya dia seorang calon jodohmu yang baik sekali.”

Wajah Siok Hwa menjadi kemerahan mendengar ucapan ayahnya itu dan ia menonton dengan penuh perhatian.

Pertandingan masih berjalan dengan seru. Bong Kiat menjadi penasaran sekali ketika goloknya tidak pernah mengenai lawan, bahkan kalau sekali-kali Lam Sang menangkis lengannya, dia merasa betapa lengannya terguncang hebat dan terasa ada hawa panas menyerangnya. Dia mengamuk semakin hebat, akan tetapi justru ini yang dikehendaki Lam Sang. Makin marah dan semakin hebat serangannya, makin lemah pertahanannya.

Ketika goloknya menyambar, membacok kepala Lam Sang dari atas ke bawah, Gu Lam Sang mengelak dan membiarkan golok itu lewat. Secepat kilat jari tangannya kemudian menyambar dan menotok ke arah siku kanan Bong Kiat.

“Wuuuttt... dukkk!”

Bong Kiat mengeluarkan teriakan kaget. Tangan kanannya menjadi lumpuh dan golok itu dengan sendirinya terlepas dari pegangannya dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba lengan kirinya disambar lawan dan tubuhnya terangkat ke atas. Kiranya Lam Sang memakai kesempatan itu untuk menangkap lengan kiri lawan dan memutarnya sehingga tubuh itu terputar ke atas lalu terbanting ke atas tanah.

“Bukkkkk...!”

Keras sekali bantingan itu. Bong Kiat merasa tubuhnya bagaikan remuk dan kepalanya menjadi pening. Ia mencoba bangkit, akan tetapi roboh lagi karena bumi yang diinjaknya seperti bergelombang.

Lam Sang tersenyum dan penonton menyambut kemenangan mutlak itu dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.

“Cepat ambil golok pemotong ayammu dan pergi dari sini!” Lam Sang membentak.

Merasa bahwa dia sudah benar-benar kalah, hati Bong Kiat menjadi jeri. Dengan kepala masih pening ia cepat-cepat memungut goloknya, lalu terhuyung-huyung seperti mabuk meninggalkan gelanggang itu, ditertawakan oleh para penonton.

Lam Sang menghadapi Liong Biauw dan Siok Hwa. Ia menjura dan bertanya, “Bolehkah sekarang saya mencoba ilmu kepandaian Nona?”

Dengan muka kemerahan Siok Hwa mengangguk. “Tentu saja boleh, akan tetapi saya bukan tandinganmu, Kongcu.”

“Ahh, Nona terlalu merendahkan diri. Kulihat tadi ilmu pedang Nona lihai sekali. Nona boleh mempergunakan siang-kiam itu.”

“Engkau sendiri bertangan kosong, bagaimana aku harus menggunakan senjata? Aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, Kongcu.”

“Terserah kepadamu, Nona. Aku telah siap, harap Nona suka mulai menyerang.”

Siok Hwa melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri saja seperti tidak sedang menghadapi pertandingan. Ia merasa tidak enak dan sebelum menyerang, ia memberi peringatan. “Kongcu sambutlah seranganku ini!” dan ia pun menerjang dengan cepat sekali.

“Bagus!” Lam Sang memuji dan dia cepat mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya.

Keduanya lalu saling serang dengan seru dan cepat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata para penonton, kecuali oleh mereka yang berkepandaian.

Liong Biauw menonton dengan penuh perhatian. Dia segera mengerti bahwa pemuda itu telah banyak mengalah. Pemuda itu agaknya membiarkan Siok Hwa yang memimpin penyerangan. Dia sendiri lebih banyak mengelak dan sesekali hanya membalas dengan serangan sekedarnya saja, tidak bersungguh-sungguh. Kalau dia bersungguh-sungguh, tentu sudah sejak tadi Siok Hwa dapat dikalahkannya.

Hal ini membuat hatinya merasa girang bukan main. Agaknya pemuda itu menaruh hati kepada puterinya maka mengambil sikap mengalah.

Sementara itu, Siok Hwa menjadi bingung sendiri. Semua jurus terampuh ia keluarkan untuk menyerang lawan, akan tetapi selalu berhasil dielakkan atau ditangkis. Dan kalau lawannya menangkis, lengannya bertemu dengan telapak tangan yang lunak. Ia merasa heran sekali. Tenaga sinkang yang ia keluarkan dalam penyerangannya seolah lenyap ketika bertemu dengan tangan yang lunak itu, dan kadang tenaganya membalik.

Ia sudah mulai berkeringat, akan tetapi belum juga ia mampu mendesak lawan. Ia pun mengerti bahwa pemuda itu mengalah. Serangan pemuda itu seenaknya saja, berbeda dengan pertahanannya yang demikian kokoh kuat. Orang yang dapat bertahan seperti itu, kalau dikehendaki, tentu dapat menyerang dengan hebat pula, tidak seperti pemuda itu yang menyerang hanya dengan tamparan-tamparan lemah. Ia mulai menjadi bingung bagaimana caranya untuk mengakhiri pertandingan itu.


Tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus yang belum dipergunakannya. Jurus itu adalah sebuah tendangan yang dilakukan dengan tubuh seolah ‘terbang’ di udara. Tendangan ini ampuh sekali dan jarang ada lawan mampu manghindarkan diri.

“Haiiittt...!”

Siok Hwa membentak. Tubuhnya meloncat ke udara dan kedua kakinya mencuat dan menendang ke arah dada dan kepala Lam Sang!

Ketika kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dia telah menangkap kedua kaki itu. Dia mendorong sehingga tubuh Siok Hwa terpental, lalu berjungkir balik beberapa kali sebelum turun kembali ke atas tanah. Indah bukan main gerakan ini dan semua orang memuji.

Akan tetapi gadis itu menjadi kemerahan mukanya, tersipu-sipu malu sedangkan Lam Sang memegang dua buah sepatu gadis itu yang tertinggal di tangannya. Melihat ini, semua orang bersorak memuji.

Liong Biauw menghampiri pemuda itu dan menjura, “Anakku sudah kalah olehmu, Ji Kongcu.”

Lam Sang juga menjura. “Nona telah banyak mengalah, harap maafkan aku.”

Dia lalu mengembalikan sepasang sepatu itu kepada pemiliknya, dan diterima oleh Siok Hwa sambil tersipu dan tersenyum malu-malu.

Liong Biauw segera memberi hormat kepada para penonton. “Cu-wi, terima kasih atas perhatian dan bantuan Cu-wi. Pertunjukan sudah habis dan dihentikan sampai di sini.”

Penonton mulai bubar dan Liong Biauw berkata kepada Lam Sang. “Ji Kongcu, silakan ikut dengan kami ke pondokan kami untuk bicara.”

Lam Sang hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertiga lalu pergi ke rumah penginapan di mana ayah dan anak itu menyewa dua buah kamar. Setelah mereka masuk ke rumah penginapan, Lam Sang dipersilakan masuk ke kamar Liong Biauw dan di situ mereka berdua mengadakan pembicaraan. Siok Hwa tinggal di kamarnya sendiri karena maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dengan pemuda itu dan ia merasa malu untuk menghadirinya.

“Ji Kongcu, tentunya engkau sudah dapat menduga apa yang hendak kami bicarakan denganmu, bukan?”

Tentu saja Lam Sang sudah dapat menduganya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya, “Apakah yang hendak Paman bicarakan? Aku tidak dapat menduganya.”

“Kongcu tentu tadi telah mendengar bahwa kami sedang mencarikan jodoh bagi anakku Liong Siok Hwa dengan mengadakan pertandingan silat. Nah, kini ternyata engkau yang telah mampu mengalahkan Siok Hwa, maka hal itu berarti bahwa engkau adalah jodoh Siok Hwa yang selama ini kami nanti-nanti.”

Lam Sang pura-pura kaget. “Ah, akan tetapi aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk menikah, Paman!”

Liong Biauw mengerutkan alis. “Lalu mengapa engkau tadi mengajak Siok Hwa untuk mengadu kepandaian silat?”

“Aku tadi hanya iseng-iseng karena kagum melihat ilmu kepandaian puterimu, dan aku menandingi Bong Kiat karena tidak suka melihat ulahnya.”

“Ji Kongcu, apakah engkau tidak suka kepada Siok Hwa?”

“Aku kagum kepadanya, Paman, dan tentu saja aku suka kepadanya. Ia cantik manis dan berkepandaian lumayan.”

“Kalau begitu, mengapa menolak? Kami sudah menyatakan setuju untuk menjodohkan ia denganmu.”

“Tidak begitu mudah bagiku untuk menikah, Paman. Harus kutanyakan dulu pada orang tuaku dan aku sendiri belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga.”

“Kalau begitu, harap engkau suka memberi tahukan orang tuamu. Dari sini kota raja tak berapa jauh, kami akan menunggu keputusanmu di sini, dalam waktu seminggu engkau tentu sudah dapat kembali ke sini. Bagaimana, Ji Kongcu?”

“Baiklah kalau begitu, Paman. Aku akan memberi tahukan orang tuaku dan dalam waktu seminggu aku akan kembali ke sini,” kata Lam Sang.

Liong Biauw menjadi gembira sekali dan dia segera memanggil puterinya ke kamarnya. Siok Hwa muncul dengan muka kemerahan dan kepala ditundukkan.

“Siok Hwa, kami telah membicarakan tentang perjodohan kalian. Ji Kongcu sekarang hendak pulang ke kota raja untuk memberi tahu tentang hal itu kepada orang tuanya. Kita berdua menanti di sini, dan dalam waktu seminggu dia akan kembali memberikan keputusannya.”

Siok Hwa makin menunduk dan tersenyum malu sambil melirik ke arah Lam Sang. “Terserah kepada Ayah saja...” jawabnya lirih.

Lam Sang memandang gadis itu. Sungguh cantik manis dan menarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia tertarik oleh wanita dan ini merupakan yang pertama kalinya dia terpesona oleh kecantikan wanita.

Akan tetapi dia tidak boleh mengikatkan diri dalam pernikahan. Dia bercita-cita besar, seperti Pangeran Tao Seng yang mengakuinya sebagai putera. Ia ingin ayah angkatnya itu menjadi kaisar dan dia menjadi putera mahkota. Sebelum cita-cita itu tercapai, bagai mana dia boleh mengikatkan diri dalam perjodohan? Tidak mungkin. Akan tetapi gadis ini sungguh menarik hatinya!

Lam Sang lalu berpamit kepada Liong Biauw dan Siok Hwa dan dia pergi meninggalkan rumah penginapan itu, diantar sampai ke pintu luar oleh ayah dan anak itu.

Setelah Lam Sang pergi. Liong Biauw dengan girang berkata kepada anaknya. “Pilihan kita tepat sekali Siok Hwa! Dia bukan hanya lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga tahu aturan dan berbakti kepada orang tua. Engkau menemukan suami yang pilihan dan aku memperoleh mantu yang baik!”

“Mudah-mudahan begitu, Ayah,” jawab Siok Hwa lirih, seperti berdoa.

Dan keduanya pun kembali ke dalam rumah penginapan…..


                        ***************


Malam itu Siok Hwa tidak dapat tidur. Dia terus membayangkan wajah Lam Sang dan kadang ia tersenyum sendiri. Hatinya begitu girang dan penuh harapan manis sehingga dia tak dapat tidur. Kamarnya remang-remang saja, hanya menerima cahaya dari lampu gantung yang berada di luar kamarnya.

Tiba-tiba kamarnya menjadi lebih terang dan terkejutlah dia ketika melihat bahwa yang membuat kamarnya terang itu adalah karena jendela kamarnya telah dibuka orang dari luar sehingga cahaya lampu di luar dapat menerobos masuk. Akan tetapi sinar terang itu hanya sebentar.

Sesosok tubuh orang cepat sekali meloncat memasuki kamarnya melalui jendela dan daun jendela sudah ditutupkan lagi dari dalam. Kini bayangan itu sudah berdiri di tengah kamarnya.

Siok Hwa bangkit duduk dan siap menerjang bayangan itu. Tentu pencuri yang sudah memasuki kamarnya. Cepat tangannya meraih sepasang pedangnya yang diletakkan di atas meja dekat pembaringannya.

“Ssttt... ini aku, Nona...” bisik bayangan itu.

Siok Hwa terkejut. Suara Lam Sang! Saking kaget dan herannya ia tidak mampu bicara, hanya memandang saja bayangan itu dengan tangan kiri di atas sepasang pedang yang masih berada di atas meja.

Bayangan itu mendekatinya. “Ini aku, Nona. Lam Sang, bukan orang lain. Simpanlah pedangmu. Engkau tidak ingin membunuh aku, bukan?”

Barulah Siok Hwa dapat membuka mulutnya. “Engkau... Kongcu? Akan tetapi kenapa... kenapa engkau memasuki kamarku seperti ini?”

“Aku rindu sekali kepadamu, Nona. Tak dapat aku menahan kerinduan hatiku padamu, karena itu aku memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Mungkin pencuri... hati...”

Pemuda itu menghampiri sampai dekat dan duduk di tepi pembaringan, dekat sekali dengan Siok Hwa.

“Tidak... ahh, bukankah engkau tadi sudah berangkat ke kota raja untuk memberi tahu orang tuamu, Ji Kongcu?”

“Sudah kukatakan bahwa aku rindu sekali kepadamu, maka aku kembali. Besok masih ada waktu bagiku untuk pergi ke kota raja. Malam ini aku ingin bersamamu.”

“Tidak... tidak... tadi aku pun terus memikirkanmu, Ji Kongcu. Akan tetapi tidak seperti ini. Jangan...”

Siok Hwa tidak mampu mengeluarkan suara lagi dan tubuhnya telah lemas oleh totokan. Selanjutnya dia hanya mampu menangis sejadi-jadinya dan menyerah kepada pemuda yang kini berubah menjadi ganas melebihi binatang liar itu.

Setelah mengalami penderitaan yang membuat dunianya hancur luluh, Siok Hwa hanya terbaring tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Dan pemuda itu, pemuda yang tadinya diharapkannya menjadi suami yang baik, pemuda yang menarik hatinya dan yang telah merusak kehormatan dirinya itu, sekarang tidur mendengkur di sisinya! Demikian pulas tidurnya seolah-olah dia tidak pernah melakukan suatu kesalahan apa pun!

Kurang lebih tiga jam kemudian barulah totokan pada tubuhnya membuyar dan mulailah Siok Hwa mampu menggerakkan tubuhnya. Ia bingung, bingung bercampur sedih. Akan dibunuhnya orang ini? Akan tetapi dia calon suaminya!

Karena tidak tahu harus berbuat apa, perlahan-lahan ia melangkahi tubuh Lam Sang, lalu berindap keluar dari kamarnya. Ia menghampiri kamar ayahnya dan mengetuk daun pintu kamar ayahnya.

“Siapa di luar...?” tanya Liong Biauw.

“Aku, Ayah. Bukalah pintunya, cepat...!”

Daun pintu terbuka. Liong Biauw melihat puterinya dengan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan sedang menangis terisak-isak.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Liong Biauw bingung.

Siok Hwa menubruk ayahnya dan menangis dalam rangkulan ayahnya. “Ayah... dia... dia kembali...”

“Apa...? Siapa...?”

“Ji Kongcu! Dia memasuki kamarku dan... dan dia memperkosaku...” Gadis itu kembali menangis.

Tentu saja Liong Biauw terkejut bukan main mendengar Ini. “Keparat! Di mana dia sekarang?”

“Tertidur di kamarku...”

Liong Biauw berlari memasuki kamarnya mengambil pedang, lalu lari menuju ke kamar Liong Siok Hwa. Karena pintunya sudah dibuka oleh gadis itu ketika keluar tadi, dia langsung menerjang masuk. Dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat sesosok tubuh tidur membujur di atas pembaringan.

Saking marahnya, orang tua ini tidak mengeluarkan sepatah pun kata lagi dan langsung menerjang, membacokkan pedangnya ke arah tubuh itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu bergerak menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanan Liong Biauw yang memegang pedang sehingga pedangnya terlepas dari pegangan.

Lam Sang yang tadi terbangun segera meloncat turun. Dengan jari-jari tangan terbuka dia menyerang Liong Biauw. Hebat sekali serangan itu, tidak dapat ditangkis atau pun dielakkan lagi oleh Liong Biauw. Dia berteriak dan roboh berkelojotan. Dadanya terkena hantaman tangan terbuka itu dengan pukulan beracun, pukulan maut.

Liong Siok Hwa melompat masuk.

”Ayah...!” teriaknya, akan tetapi tubuhnya segera lemas tertotok dan dia pun dipanggul oleh Lam Sang yang segera melompat keluar dari tempat itu.

Tidak ada orang menyaksikan peristiwa itu. Baru pada keesokan harinya para pelayan rumah penginapan menjadi gempar melihat pintu kamar terbuka dan tubuh Liong Biauw sudah menjadi mayat, sedangkan puterinya lenyap entah ke mana!

Pagi itu, Siok Hwa diturunkan dari pundak Lam Sang. Gadis itu menangis, lalu meronta dan setelah dapat bergerak, ia langsung menyerang pemuda itu dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi dengan mudah Lam Sang menangkap pergelangan tangan itu dan sekali puntir dia sudah dapat menangkap gadis itu yang menjadi tidak berdaya.

“Engkau hendak melawanku? Bodoh! Aku justru tidak ingin membunuhmu karena aku suka kepadamu, Siok Hwa,” kata Gulam Sang sambil melepaskan pergelangan tangan itu.

"Kau... jahanam busuk...!” Setelah dilepaskan, kembali Siok Hwa menyerang.

Akan tetapi sekali ini Gulam Sang mengelak dan sekali mendorong dengan tangannya, gadis itu pun terpelanting keras.

“Engkau bukan lawanku, Siok Hwa. Dengar baik-baik, kalau aku hendak membunuhmu, mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja. Akan tetapi aku sama sekali tidak ingin membunuhmu, bahkan aku ingin engkau ikut aku dan membantu usahaku. Kelak, kalau aku menjadi pengeran, engkau akan menjadi seorang selirku yang tercinta.”

Siok Hwa memandang penuh kebencian, dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya. “Engkau...engkau telah membunuh ayahku!”

“Salah! Dialah yang hendak membunuh aku maka terpaksa aku lenyapkan dia. Salahmu juga karena engkau melapor kepada ayahmu. Kalau dia tidak menyerangku, untuk apa aku membunuhnya?”

“Kau... kau jahat...!”

“Kembali engkau keliru. Aku baik sekali padamu, dan aku sayang padamu.” Kini suara Gulam Sang berubah, penuh getaran dan penuh wibawa.

Mendadak saja Siok Hwa merasa dirinya lemas, pikirannya bagaikan melayang-layang. Kiranya Gulam Sang mulai mempergunakan sihirnya.

“Mulai sekarang engkau akan menuruti semua kehendakku. Engkau akan selalu taat kepadaku!”

Siok Hwa menunduk. “Aku... akan taat kepadamu,” katanya lirih dan tanpa tenaga.

Gulam Sang merasa girang sekali karena sudah dapat menguasai Siok Hwa.

“Mulai sekarang, ikutlah ke mana aku pergi kecuali kalau kularang. Sekarang, ikuti aku!”

Gulam Sang lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dan seperti telah kehilangan semangatnya, Siok Hwa lalu mengikutinya. Kalau Gulam Sang berlari, ia pun ikut pula berlari!

Mulai saat itu, Siok Hwa telah berada dalam cengkraman Gu Lam Sang. Sekali waktu, ingatannya kembali dan apa bila dia teringat akan kematian ayahnya dan akan keadaan dirinya, dia menangis. Akan tetapi ia segera terhibur kalau Gulam Sang sudah mengeluarkan kata-kata hiburan yang mengandung kekuatan sihir.

Cu In masih menangis tanpa suara ketika ia berjalan seorang diri masih di kota raja, setelah dia meninggalkan rumah The Sun Tek. Pikirannya masih kacau. Hatinya terasa hancur luluh. Padahal, sepatutnya ia berbahagia sekali karena ternyata ayah bundanya masih hidup! Ia bukan anak yatim piatu. Gurunya adalah ibu kandungnya dan The Sun Tek adalah ayah kandungnya. Sepatutnya ia bersyukur. Akan tetapi kenyataannya lain.

Ibunya sendiri mendidiknya sebagai murid hanya untuk diadu dengan ayah kandungnya. Ia harus membunuh ayah kandungnya sendiri! Demikian parah racun dendam merusak hati ibunya sehingga wanita itu ingin melihat kekasihnya terbunuh oleh puterinya sendiri.


               
 cerita silat karya kho ping hoo


Sebuah kereta meluncur berpapasan dengan Cu In. Kereta itu segera dihentikan dan seorang gadis menyingkap tirai kereta dan memanggil-manggilnya.

“Enci Cu In...! Enci Cu In...!”

Cu In membalikkan tubuhnya memandang dan dia segera dapat mengenali gadis yang memanggil dirinya itu. Gadis itu bukan lain adalah Yo Han Li, gadis yang membantunya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Gadis itu beserta gurunya, Kai-ong telah membantunya sehingga ia dapat terlepas dari pengeroyokan yang berbahaya.

Dan dia pun mengenal gadis itu dari ilmu pedangnya bahwa dia adalah puteri Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan isterinya, Si Bangau Merah! Biar pertemuan dan perkenalan mereka hanya sebentar, namun berkesan di hati Cu In. Maka ketika melihat bahwa Han Li yang memanggilnya, ia pun segera menghampiri kereta itu.

Han Li sudah meloncat turun dari dalam kereta, diikuti oleh seorang gadis lain yang juga cantik dan berpakaian serba biru.

“Enci Cu In, girang sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini. Perkenalkan, enci Cu In, ini adalah adik Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota. Adik Hong, dia adalah enci Souw Cu In yang pernah kuceritakan kepadamu, ilmu silatnya hebat.”

Mendengar bahwa gadis itu adalah puterinya Pangeran Mahkota, Cu In memberi hormat dan dibalas dengan manis oleh Kwi Hong.

“Aku sudah mendengar tentang dirimu, enci Cu In, dan aku merasa kagum sekali. Mari, kupersilakan untuk singgah di rumahku agar kita bertiga dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.”

“Benar, enci Cu In. Aku bersama suhu sedang menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota, sudah beberapa hari aku berada di sini. Marilah singgah sebentar, Enci. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Dibujuk oleh dua orang gadis yang ramah dan manis budi itu, Cu In yang sedang bersedih menjadi gembira dan ia pun ikut naik ke dalam kereta yang segera dijalankan menuju ke istana Pangeran Mahkota.

Biar pun Cu In masih memakai cadar dan mukanya tidak dapat dikenali, namun sikap Han Li dan Kwi Hong tetap ramah kepadanya, seolah menutupi muka dengan cadar adalah suatu hal yang biasa saja.

“Enci Cu In, apakah angkau masih berdarah keturunan Turki dan beragama Islam?” tanya Kwi Hong ketika mereka sudah tiba di istana dan mereka bertiga bercakap-cakap di taman bunga yang indah dari istana itu.

“Ahh, tidak. Mengapa?” tanya Cu In heran.

“Cadarmu itu meningatkan aku akan kebiasaan para wanita Islam yang pernah kulihat,” kata pula Kwi Hong dan suaranya terdengar biasa saja sehingga tidak menyinggung perasaan Cu In. Cu In pun mengerti akan kewajaran pertanyaan itu.

Akan tetapi pertanyaan mengenai cadar yang menutupi mukanya itu mengingatkan Cu In akan ibunya! Ibunya yang tadinya dianggap gurunya itulah penyebab ia mengenakan cadar semenjak menjadi gadis remaja. Gurunya selalu menekankan kepadanya betapa palsu dan jahatnya semua pria, dan betapa besar bahayanya kalau ada pria jatuh cinta padanya atau sebaliknya kalau ia mencinta pria. Pria yang demikian itu harus dibunuh!

Karena itulah, untuk mencegah agar jangan ada pria yang jatuh cinta kepadanya, maka ia menutupi mukanya dengan cadar. Ia tidak harus seperti suci-nya yang entah berapa kali harus membunuh pria karena pria itu tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Dan ketika teringat akan gurunya, mengingatkan pula ia akan kenyataan bahwa gurunya adalah ibu kandungnya, dan mengingatkan pula bahwa sikap ibunya yang menyuruh ia membenci setiap orang pria itu berdasarkan sakit hati ibunya terhadap ayahnya!

Teringat akan semua ini, hati Cu In menjadi sedih sekali. Dan pada saat itu juga sudah timbul niat di hatinya untuk menentang sikap ibu kandungnya itu. Menentang sikapnya yang membenci setiap orang laki-laki, hanya akibat hatinya pernah disakiti oleh seorang laki-laki. Selama ini dia tidak pernah merasa benci terhadap laki-laki, dan menganggap mereka sama saja seperti para wanita, ada yang jahat dan ada pula yang baik.

Tidak adanya sikap membenci pria ini sudah diperlihatkan ketika dia menyelamatkan Keng Han dari tangan suci-nya, ketika suci-nya hendak membunuh laki-laki itu karena Keng Han tidak mau diajak berjodoh dan minggat. Setelah mendengar pengakuan Keng Han bahwa pemuda itu tidak mencinta suci-nya, sudah cukup menjadi alasan baginya untuk mencegah suci-nya membunuh Keng Han.

Ingatannya melayang-layang ketika ia teringat akan pemuda itu. Teringat betapa ia telah ditolong oleh Keng Han ketika ia tertawan oleh Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lo-kwi, teringat akan perjalanan mereka bersama, malam-malam di dalam goa, makan minum bersama. Makin terasa di hatinya betapa ia amat tertarik kepada Keng Han, betapa debar jantungnya menjadi cepat kalau ia teringat kepada pemuda itu. Namun selama ini perasaan itu selalu ditekannya karena anggapan yang ditanamkan oleh gurunya sejak kecil dalam perasaannya bahwa semua pria itu palsu dan jahat.

Akan tetapi sekarang, setelah ia mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya sendiri yang membenci kaum pria karena disakiti hatinya oleh seorarig laki-laki, maka anggapan itu mengendur. Ia bahkan tidak percaya lagi kepada ibunya yang begitu tega menyuruhnya membunuh ayah kandungnya sendiri!

“Enci Cu In, engkau melamun?” tiba-tiba Han Li menegur sambil menyentuh tangannya. Han Li melihat betapa pandang mata Cu In menerawang jauh dan pandangan mata itu kosong separti orang melamun dan sejak tadi Cu In diam saja.

Cu In tersentak kaget dan baru sadar. Ia teringat bahwa tadi Kwi Hong menyinggung tentang cadarnya dan ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Ah, cadarku ini... sebagai penutup mukaku. Aku tidak ingin orang lain melihat mukaku, aku malu...,” jawabnya terpaksa sekali.

“Malu? Engkau yang begini cantik jelita, tetapi malu kalau orang lain melihat mukamu? Sungguh aneh!” kata Kwi Hong yang memang lincah.

“Aku... sama sekali tidak cantik, aku... mukaku buruk sekali...,” berkata Cu In dengan terpatah-patah.

Melihat sikap yang gugup dari Cu In, Han Li yang juga lincah namun berwatak lembut itu segera berkata, “Sudahlah, enci Cu In. Kalau engkau ingin menyembunyikan wajahmu di balik cadar, itu adalah urusamu sendiri dan menjadi hakmu. Kami tak akan memaksa dirimu untuk memperlihatkan mukamu kepada kami, bukankah begitu, adik Kwi Hong?”

Kwi Hong juga seorang gadis yang meski pun puteri pangeran mahkota, namun sudah lumayan pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum betapa orang kang-ouw memang banyak yang aneh-aneh, maka ia pun segera berkata, “Tentu saja. Menggunakan cadar untuk menyembunyikan mukanya adalah rahasia enci Cu In sendiri, meski aku sungguh ingin dapat melihat muka itu.”

“Kelak akan datang waktunya kalian dapat melihat mukaku, akan tetapi sekarang belum waktunya,” kata Cu In.

Ketika mereka akan bercakap terus mendadak nampak Pangeran Mahkota Tao Kuang datang memasuki taman itu, berjalan sambil bercakap-cakap dengan Kai-ong Lu Tong Ki. Ternyata Lu Tong Ki merupakan kawan bercakap-cakap yang menyenangkan bagi putera mahkota itu.

Raja Pengemis itu berpengetahuan luas dan biar pun dia hanya seorang yang berjuluk Raja Pengemis, ternyata dia tidak pernah merasa rendah diri dan dapat melayani sang Pangeran Mahkota bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ketika itu, hawa agak panas dan Pangeran Tao Kuang mengajak tamunya untuk barjalan-jalan dalam taman sambil bercakap-cakap.

Melihat putrinya bersama Han Li dan seorang gadis lain yang bercadar sedang berada dalam taman pula, Pangeran Mahkota segera menghampiri.

“Itu ayah datang!” kata Kwi Hong.

Mendengar bahwa yang datang adalah Pangeran Mahkota, Cu In segera berdiri dengan perasaan tidak enak. Ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan merasa bahwa kedatangannya hanya mengganggu saja.

“Hai, bukankah itu nona Souw?” Kai-ong Lu Tong Ki berteriak ketika melihat Cu In. Dia masih ingat ketika bersama-sama Han Li membantu Cu In dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buahnya.

“Ayah, ini nona Souw Cu In yang saya undang untuk berkunjung ke mari. Ia seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, Ayah.”

“Bagus, engkau boleh saja mengajak para sahabatmu yang gagah datang berkunjung, Kwi Hong,” kata Pangeran Mahkota Tao Kuang sambil menghampiri.

Cu In bangkit dan memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang. “Harap Paduka suka memaafkan kalau kedatangan saya ini menganggu,” katanya lembut.

“Ahh sama sekali tidak mengganggu, Nona. Bahkan kami pun mengundang Nona untuk menjadi tamu yang terhomat dari kami karena malam nanti kami akan mengadakan perjamuan makan malam di taman ini untuk menghormati para tamu.”

“Enci Cu In, aku harap engkau suka menghadirinya!” kata Kwi Hong dengan girang.

“Malam ini terang bulan. Kita makan malam di bawah sinar bulan sambil membicarakan tentang ilmu silat. Tentu menggembirakan sekali!” kata Pangeran Tao Kuang.

"Kali ini engkau tidak boleh menolak, Enci. Aku juga ingin sekali engkau menemaniku!” kata Yo Han Li sambil memegang tangan gadis bercadar itu.

Cu In merasa sungkan untuk menolak ajakan mereka yang demikian ramah kepadanya. “Baiklah, aku akan tinggal semalam dengan kalian.”

Pangeran Tao Kuang melanjutkan berjalan-jalan di dalam taman bersama Kai-ong Lu Tong Ki dan tiga orang gadis itu pun melanjutkan percakapan mereka. Akhirnya Kwi Hong mengantar Cu In ke dalam sebuah kamar yang dipesiapkan untuk Cu In tinggal semalam itu.

Malam itu memang terang bulan. Bulan purnama menerangi langit dan bumi. Taman Istana Pangeran Mahkota nampak indah sekali. Bunga-bunga sedang mekar semerbak harum dan di sana sini dipasangi lampu-lampu terang yang beraneka warna menambah semaraknya keadaan di dalam taman.

Malam itu Pangeran Mahkota datang ke taman disertai selirnya, Liang Siok Cu, satu-satunya selir yang cocok untuk mendampinginya waktu pangeran menerima tamu-tamu ahli silat karena selir ini dulu pun seorang tokoh kang-ouw. Kwi Hong yang menemani ayah ibunya nampak cantik dalam pakaian biru tua dan muda, dengan rambutnya yang di gelung ke atas, dihias Bangau Emas dan ujungnya diikat sehelai pita merah.

Cu In segera diperkenalkan kepada Liang Siok Cu dan mereka pun mulai diayani para pelayan yang menghidangkan makan malam yang mewah dan serba lezat. Yang paling gembira adalah Kai-ong Lu Tong Ki. Tanpa sungkan atau malu dia menyantap semua hidangan dengan lahapnya. Dan ketika mereka memperhatikan Cu In, gadis ini makan dengan sikap biasa saja.

Karena sudah terbiasa, maka dia tidak canggung ketika makan, walau pun cadarnya masih menutupi muka bagian bawah itu. Dia membawa makanan yang disumpit ke balik cadar dan makan dengan tenang. Cadarnya ikut bergerak-gerak saat mulutnya dengan perlahan mengunyah makanan.

Ketika Pangeran Mahkota Tao Kuang sedang menjamu para tamunya dengan gembira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, dan tahu-tahu tidak jauh dari sana berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang bengkok yang terhunus. Pedang itu berkilau terkena sinar lampu gantung.

“Pangeran Tao Kuang, bersiaplah engkau untuk menerima pembalasanku atas segala kecuranganmu!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Keng Han.

Setelah berkata demikian, tubuhnya melayang dan menerjang ke arah Pangeran Tao Kuang. Pedangnya menyambar ke arah leher sang pangeran.

Sang Pangeran adalah seorang yang mempelajari ilmu silat dari mendiang mertuanya, Sin-tung Koai-jin Liang Cun. Melihat serangan mendadak ini, maka dia pun cepat-cepat merendahkan tubuhnya untuk mengelak.

“Tranggg...!”

Pedang di tangan Keng Han tertangkis oleh tongkat bambu yang tadi digerakkan oleh Kai-ong Lu Tong Ki yang duduk di sebelah kiri pangeran itu.

Ketika serangan pertamanya gagal, Keng Han terpaksa melompati meja. Ia juga merasa terkejut sekali ketika merasakan tenaga hebat terkandung pada tongkat bambu yang menangkisnya. Baru sekarang dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah seorang berpakaian pengemis!

Seorang pengemis makan bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan hal luar biasa. Disangkanya tadi Pangeran Tao Kuang sedang berpesta dengan para selirnya karena dia melihat beberapa wanita muda cantik menemani pangeran itu makan minum.

Baru sekarang dia sempat memperhatikan wanita-wanita muda itu dan terkejutlah dia ketika dia mengenal dua orang di antara mereka. Kwi Hong dan Cu In! Dia tidak heran melihat Kwi Hong karena dia sudah mengenalnya.

“Han-ko kaukah itu? Han-ko, kenapa engkau hendak membunuh ayahku? Ayahku orang yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apa pun!” Kwi Hong berseru dan ia pun telah berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.

Keng Han menjadi serba salah. Hubungannya dengan Kwi Hong, biar pun tidak begitu lama, meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Bahkan sebelum tahu behwa gadis ini adalah saudara sepupunya satu marga, dia mengira bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini. Sekarang, bagaimana dia dapat membunuh ayah gadis itu tanpa memberi tahukan alasannya yang kuat?

“Dulu Pangeran Tao Kuang telah bertindak curang sekali. Dua puluh tahun yang lalu dia melakukan fitnah kepada Pangeran Tao Seng sehingga Pangeran Tao Seng dihukum buang selama dua puluh tahun, padahal Pangeran Tao Seng tidak berdosa apa-apa.”

“Keterangan itu bohong!” Mendadak Liang Siok Cu bangkit berdiri dan berseru. “Aku sendiri yang menjadi saksi ketika itu. Pangeran Tao Kuang sedang berburu dengan dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Dan dua orang saudaranya itulah yang tiba-tiba mengeroyok dan hendak membunuh Pangeran Tao Kuang bersama selusin orang pengawalnya yang semua adalah pembunuh bayaran. Akulah yang menolongnya, bersama mendiang ayahku Aku menjadi saksi bahwa Pangeran Tao Kuang tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar hendak dibunuh oleh dua orang pangeran itu sehingga mereka dihukum buang!”

“Aku tidak percaya…!” suara Keng Han sangat lantang, nyaris seperti berteriak.

“Anak muda…” Kai-ong ikut bicara. “Apa alasanmu tidak mempercayai keterangan Tao Toanio tadi?”

“Aku telah mendengar keterangan yang berbeda!” jawab Keng Han, masih dengan nada keras.

“Aha!” Kai-ong kembali bicara. “Jadi ada dua keterangan berlainan yang sudah engkau dengar. Kalau engkau hanya percaya kepada salah satu pihak tanpa mau mendengar pihak lain, itu berarti engkau tidak mau mencari kebenaran, melainkan berpihak dengan dasar penilaianmu sendiri, anak muda.”

Kwi Hong merasa kecewa bahwa keterangan ibunya tidak dipercaya, karena itu ia lalu berkata, “Han-ko, ibuku tidak pernah berbohong, dan kali ini pun ia berkata jujur.”

Sejak tadi Cu In diam tak bergerak, akan tetapi otaknya bekerja keras. Dia memikirkan beberapa hal yang dialaminya sendiri, juga yang sudah dijalaninya bersama Keng Han. Entah apa sebabnya, dalam hatinya ada perasaan aneh terhadap pemuda yang menjadi murid keponakannya itu. Dia tidak ingin melihat pemuda itu celaka!

Sekarang di tempat ini terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Ada Kai-ong Lu Tong Ki yang tadi jelas sudah menangkis pedang bengkok Keng Han untuk melindungi Pangeran Mahkota. Bersama raja pengemis ini hadir pula muridnya, yang juga adalah puterinya Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau merah, yang kepandaiaannya sudah pernah dilihatnya begitu lihai.

Melawan dua orang ini saja tidak mudah bagi pemuda itu untuk mendapat kemenangan. Apa lagi di situ masih ada Tao Kwi Hong yang memiliki ilmu silat aneh, juga Liang Siok Cu, ibu dara itu yang merupakan puteri Sin-tung Koai-jin Liang Cun, seorang datuk yang memiliki kepandaian tinggi pula.

Sukar bagi Cu In membayangkan murid keponakannya bisa lolos dari empat orang ini, belum lagi jika diingat adanya puluhan orang pasukan penjaga gedung ini yang tentu akan ikut mengepung dan menyerbu pemuda itu. Nasib Keng Han lebih banyak celaka dari pada selamat!

Selain itu, tiba-tiba dia teringat kepada Ang Hwa Nio-nio. Gurunya ini, yang kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, juga pernah memberi keterangan yang salah, menanamkan kebencian terhadap ayah kandungnya, bahkan menyuruhnya membunuh ayahnya sendiri.

Untung pada saat terakhir dia dapat menyadari bahwa semua yang telah didengarnya adalah kebohongan belaka, sebelum terlanjur ia melakukan tindakan yang keliru. Maka, ia pun tidak ingin Keng Han terlanjur melakukan kesalahan karena pernah mendengar keterangan yang tidak benar.

Sementara itu hati Keng Han sedang diliputi oleh kemarahan setinggi langit dan dendam sedalam lautan. Pandangannya seperti dibutakan oleh rasa penasaran. Sekian lama waktu telah dilaluinya serta sekian jauh jarak telah ditempuhnya, dan akhirnya ia hanya menerima keterangan bahwa ayahnya yang bersalah, bahkan sudah tewas pula!

“Aku tetap akan membunuh Pangeran Tao Kuang, apa pun kata kalian. Siapa pun yang menghalangiku, akan kubunuh juga,” katanya. Mata pemuda ini menyorot bengis, penuh nafsu membunuh.

Dengan pedang bengkok yang terhunus, Keng Han melangkah maju ke arah Pangeran Tao Kuang yang berdiri di belakang tiga orang yang melindunginya, yaitu Liang Siok Cu, Kwi Hong dan Kai-ong Lu Tong Ki. Akan tetapi, baru dua tindak dia melangkah, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Cu In sudah berdiri di hadapannya, menghalangi dia untuk melangkah lebih jauh.

Walau pun Keng Han tadi sudah sempat melihat keberadaan Cu In di tempat ini, tak urung ia terkejut bukan main melihat bibi gurunya telah berdiri di depannya, seolah-olah hendak menentangnya pula. Sebelum ia sempat bicara, gadis berpakaian putih ini telah mendahuluinya.

“Keng Han, cepatlah engkau pergi dari sini. Jangan melakukan perbuatan bodoh yang kelak akan kau sesali,” Cu In langsung memperingatkan pemuda itu. Kata-kata yang dia ucapkan ini setengah ditujukan kepada Keng Han, separuh lagi bagi dirinya sendiri.

“Su-i, kau… kau…” suara pemuda itu tergagap saking bingungnya.

“Keng Han, pergilah…” kembali Cu In memperingatkan, kali ini dengan suara yang lebih lembut dan halus, nyaris seperti bisikan lirih.

Keng Han merasa sudah kepalang basah, karena itu dengan nekat dia berkata, “Su-i, aku tetap harus membunuh Pangeran Mahkota.”

“Aku melarangmu, Keng Han. Jika engkau tetap hendak berbuat nekat, maka engkau harus melawanku!” kali ini Cu In berkata dengan nada tegas.

Menghadapi gadis bercadar ini, Keng Han menjadi lemas. Tak mungkin dia menentang Cu In dan melawannya. Dia menghela napas panjang lalu melangkah mundur. “Biarlah malam ini kulepaskan dia. Akan tetapi lain kali, dia pasti akan mati di tanganku untuk membalaskan kematian Pangeran Tao Seng.”

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar Pangeran Tao Kuang tertawa bergelak. “Lelucon macam apa ini? Orang muda, engkau telah dipermainkan orang akan tetapi tidak tahu. Bukan hanya tuduhan bahwa aku melakukan fitnah itu palsu adanya, akan tetapi juga perkiraanmu bahwa Pangeran Tao Seng sudah mati itu bohong belaka. Dia masih hidup dan dalam keadaan segar bugar, bahkan tinggal di kota raja ini. Dia menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan memakai nama Ji atau yang terkenal dengan sebutan Ji Wangwe.“

Keng Han yang tadinya hendak melarikan diri itu sempat mendengar ucapan ini dan dia benar-benar terkejut. Mukanya berubah pucat dan dia berkata gugup. “Tidak... tidak… tidak benar...!”

“Aku tidak suka berbohong. Kenapa tidak kau selidiki siapa sebetulnya Hartawan Ji itu? Dia bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri. Dan engkau ini siapakah, orang muda?” tanya Pangeran Tao Kuang dengan suara halus karena maklum bahwa pemuda ini agaknya sudah dibohongi dan dipermainkan orang.

Keng Han merasa tersudut. Keadaannya sungguh tidak menyenangkan, karena dari keadaan yang menuntut balas dan yang benar, kini berbalik keadaannya menjadi yang bersalah. Ayahnya bukan seorang yang difitnah melainkan yang memfitnah, bukan yang dijahati melainkan yang jahat. Yaitu, kalau keterangan mereka semua itu benar adanya.

Kini ditanya siapa dirinya, terpaksa dia mengaku untuk alasan mengapa dia begitu mati-matian membela Pangeran Tao Seng dan ingin membalaskan dendamnya. Setidaknya mereka semua akan mengerti mengapa dia begitu nekat.

“Aku adalah puteranya. Ibuku puteri kepala suku Khitan!” jawabnya singkat.

"Ahhh, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri! Aku sudah mendengar bahwa kakanda Tao Seng menikah dengan seorang puteri Khitan di utara. Kiranya engkau ini puteranya! Akan tetapi aku jelaskan bahwa engkau sudah menerima keterangan yang sifatnya fitnahan terhadap diri kami. Sebaiknya kalau engkau menemui Ji-wangwe di kota raja ini dan dialah Pangeran Tao Seng yang sebenarnya, masih hidup dan sehat. Dan dari dia engkau tentu akan mendapat keterangan tentang mengapa dia dihukum buang.”

Melihat semua orang kini berdiri menentangnya, Keng Han menjadi semakin ragu akan niatnya membunuh Pangeran Tao Kuang. Bagaimana jika semua keterangan ini benar?

Pula, dia sama sekali tidak menduga bahwa Cu In berada di situ. Dengan adanya Cu In dan kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa tahu gadis cantik yang berdiri di dekat kakek jembel pengemis itu juga orang yang lihai, agaknya sulit baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang. Pula, dia akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan Pangeran itu bahwa ayahnyalah yang jahat!

Dan hatinya berdebar-debar penuh ketegangan dan penasaran mengingat bahwa ayah kandungnya sendiri menipunya supaya dia mau membunuh Pangeran Tao Kuang yang tidak bersalah. Demikian jahatkah ayah kandungnya? Dia merasa sangat kecewa dan menyesal sekali.

“Sudahlah, aku akan menyelidiki semua itu dan kalau semua keterangan itu benar, aku mohon maaf sebesarnya!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu telah lenyap dalam kegelapan malam di antara pohon-pohon.

“Ha-ha-ha, seorang pendekar memang harus bertindak demi kebenaran, bukan karena mendengar omongan orang!” Kai-ong Lu Tong Ki berseru nyaring dan masih terdengar ucapannya itu oleh Keng Han. Pemuda itu melompat pagar tembok di ujung taman dan keluar dari situ.

Pangeran Tao kuang menarik napas panjang. “Ahhh, sungguh aku tidak mengerti siapa yang melakukan fitnah seperti itu. Kasihan keponakanku yang kini menjadi mata gelap setelah mendengar bahwa ayahnya kufitnah, bahkan kubunuh di tempat pembuangan. Tentu dia merasa sakit hati sekali kepadaku.”

“Ayah, aku mengenal baik Keng Han itu!” kata Kwi Hong.

Tidak ada seorang pun di antara mereka mengetahui betapa hancur rasa hati Kwi Hong! Tadi, pada saat mendengar Keng Han mengaku sebagai putera Pangeran Tao Seng, ia merasa jantungnya seperti ditikam. Ahh, betapa ia sudah tergila-gila dan amat mencinta pemuda itu, dan sekarang, ternyata bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya!

“Aku juga heran mendengar engkau tadi menyebut Han-ko kepadanya,” kata Pangeran Tao Kuang. ”Di mana dan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?”

“Beberapa kali dia membantuku ketika aku dikeroyok orang jahat, Ayah. Juga ketika aku bersama Paman Yo Han, ayah enci Han Li ini, dikeroyok orang-orang Pek-lian-pai, dia membantu. Dia bukan orang jahat, Ayah. Sama sekali bukan!”

“Hemmm, kalau engkau sudah mengenal kakak sepupumu sendiri, mengapa tidak kau beri tahukan aku dan Ibumu?”

"Ketika itu, dia mengaku bernama Si Keng Han, bukan she Tao. Demikian pula aku tidak memberi tahukan nama margaku maka dia pun tidak tahu. Akan tetapi ketika pasukan yang menyusul aku itu datang, tentu dia sudah tahu bahwa aku adalah puteri Ayah, tahu bahwa aku adalah adik sepupunya. Hanya aku yang belum tahu.”

“Ia memang bukan orang jahat. Aku juga sudah mengenalnya. Karena itu aku percaya bahwa perbuatannya tadi hanya karena ia mendengar hasutan, mendengar keterangan yang sengaja diatur orang untuk memanaskan hatinya. Buktinya, setelah dia mendengar keterangan di sini, dia pun pergi dan tidak melanjutkan usahanya membunuh.”

“Mungkin dia jeri melihat kehadiran kita semua,” kata Han Li.

“Ahh, tidak, adik Han Li. Dia seorang gagah yang berkepandalan tinggi. Dan lagi, dia itu pewaris ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es!”

“Aihhh..., bagaimana ini, enci Cu In? Kalau dia memang murid keluarga Pulau Es, aku tentu mengenalnya!” kata Han Li.

“Entahlah, akan tetapi dia mahir ilmu-iIlmu Pulau Es, dan Keng Han juga masih terhitung murid keponakanku sendiri karena dia telah menjadi murid suci-ku. Dia pernah bercerita kepadaku bahwa dia memperoleh ilmu-ilmu aneh itu dari Pulau Hantu.”

“Pulau Hantu? Tapi ibu yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es tidak pernah bercerita tentang adanya Pulau Hantu.”

“Sudahlah, mendengar cerita kalian, aku yakin bahwa Keng Han adalah seorang yang berwatak pendekar. Setelah apa yang dia dengar dari sini tentang Pangeran Tao Seng, dia tentu akan melakukan penyelidikan, dan kalau dia sudah tahu duduknya perkara, aku kira dia tidak akan memusuhiku lagi.”

“Mudah-mudah begitu, Ayah. Kalau dia datang lagi dan berkeras hendak membunuh Ayah, akulah yang akan menghadapinya. Dia boleh membunuh Ayah setelah melewati mayatku!” kata Kwi Hong dengan nada suara mengandung kecewa, penasaran dan juga sedih.

Tidak ada seorang pun tahu apa yang dirasakan gadis ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada pemuda itu, dan sekarang melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya sendiri yang hendak membunuh ayahnya!

Setelah makan minum selesai, Pangeran Tao Kuang lalu mengundurkan diri bersama selirnya. Liang Siok Cu yang merasa amat khawatir akan keselamatan suaminya segera memerintahkan pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan ketat, untuk menjaga agar tidak ada orang luar dapat memasuki istana. Pasukan pengawal dikerahkan untuk menjaga keselamatan suaminya tersayang.

Cu In juga berpamitan kepada Kwi Hong. “Hatiku merasa tidak enak sekali dengan terjadinya peristiwa ini. Bagaimana pun juga, Keng Han adalah murid keponakanku dan aku ikut bertanggung jawab kalau dia melakukan sesuatu terhadap sang pangeran. Karena itu, aku tidak jadi bermalam di sini. Aku pamit untuk keluar dari istana ini karena aku hendak mencari Keng Han, untuk mengajaknya bicara dan menyadarkannya.”

Tentu saja Kwi Hong tidak dapat menahannya, karena kepergian Cu In adalah untuk mencegah Keng Han mengulangi usahanya untuk membunuh ayahnya. Ia mengantar Cu In keluar dari istana karena seluruh daerah istana telah dijaga pengawal sehingga akan agak sukarlah bagi Cu In atau siapa saja yang datang dari luar untuk keluar dari situ begitu saja.

Dengan pengawalan Kwi Hong, Cu In dapat keluar dengan mudah. Ia lalu melompat dan lenyap di balik pohon-pohon. Kwi Hong memandang ke arah bayangannya dan berulang kali Kwi Hong menghela napas panjang. Kalau saja Keng Han itu bukan kakak sepupunya, kiranya ia pun akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Cu In yaitu membujuk pemuda itu agar tidak melanjutkan niatnya…..


                   **************


Cu In berdiri diam di bawah sebatang pohon besar, berpikir. Akan tidak mudah baginya untuk mencari Keng Han di kota raja yang sebesar itu, tanpa mengetahui ke mana pemuda itu pergi. Ke rumah Hartawan Ji? Akan tetapi ia tidak tahu di mana rumah Hartawan Ji. Tiba-tiba ia teringat akan The Sun Tek, ayah kandungnya.

Ayahnya adalah The-ciangkun, seorang panglima besar yang kenamaan di kota raja. Sebagai seorang panglima, tentu The-ciangkun tahu benar apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, tentang Pangeran Tao Seng. Apakah betul Pangeran Tao Seng difitnah oleh Pangeran Tao Kuang, atau apakah dia memang hendak membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang sehingga dia ditangkap dan dihukum buang?

Juga ayah kandungnya itu tentu tahu siapakah sabenarnya Hartawan Ji dan di mana tempat tinggalnya. Ia hampir yakin bahwa Keng Han tentu akan pergi kepada Hartawan Ji untuk mencari tahu mengenai kebenaran apa yang didengarnya dari Pangeran Tao Kuang.

Dengan pikiran ini, Cu In cepat menyelinap dan berkelebat cepat pergi menuju ke rumah The Sun Tek atau The-ciangkun yang baru siang tadi ia tinggalkan. Ia langsung saja mendatangi gardu di mana terdapat beberapa orang tentara melakukan penjagaan dan berkata kepada mereka.

“Harap kalian laporkan kepada The Sun Tek bahwa aku, Cu In, ingin menghadap dan bicara dengannya.”

Para penjaga itu terheran-heran melihat ada seorang wanita bercadar minta bertemu dengan sang panglima. Akan tetapi, melihat sikap yang sungguh-sungguh dari wanita itu, seorang di antara mereka segera menghadap ke dalam untuk melaporkan kepada The-ciangkun.

Kebetulan The Ciangkun masih belum tidur dan sedang bercakap-cakap dengan The Kong puteranya. Yang mereka bicarakan bukan lain adalah tentang Ang Hwa Nio-nio dan The Cu In, puteri Panglima itu. Kalau panglima sudah tidur, tentu penjaga itu tidak akan berani mengganggunya dan akan mengusir Cu In.

“Maafkan saya, Ciangkun, kalau saya mengganggu. Akan tetapi di luar terdapat seorang nona bercadar yang mengaku bernama Cu In dan ingin bertemu dan bicara dengan Ciangkun.”

Tadinya penjaga itu mengira bahwa panglima itu tentu akan marah dan menyuruh dia mengusir wanita pengganggu itu. Akan tetapi dia kecelik ketika melihat pangeran itu dan puteranya bangkit berdiri ketika mendengar pelaporannya.

“Antarkan tamu itu ke sini, cepat!” kata The-ciangkun kepada sang penjaga yang cepat memberi hormat lalu berlari keluar.

“Tapi, Ayah. Jangan-jangan ia akan menyerang Ayah...” kata The Kong khawatir ketika mendengar nama Cu In, kakak tirinya itu.

“Tenanglah, Kong-ji dan jangan khawatir. Kalau ia datang dengan niat buruk, tentu ia tidak akan menemui penjaga, melainkan masuk dengan melompat pagar untuk mencari dan membunuhku.”

Tidak lama kemudian muncullah Cu In, diantar oleh penjaga. The-ciangkun memberi isyarat kepada tentara itu untuk pergi dan dia segera berkata dengan ramah kepada Cu In.

“Cu In, mari duduklah dan katakan apa yang ingin kau bicarakan denganku. Kebetulan sekali aku pun sedang mencarimu. Kalau malam ini engkau tidak muncul, besok pagi akan kukerahkan pasukanku untuk mencarimu di seluruh pelosok kota raja!”


Cu In duduk di atas bangku, berhadapan dengan The-ciangkun dan The Kong lalu dia bertanya, suaranya terdengar masih dingin, “Mengapa engkau hendak mencariku?”

Biar pun ia sudah tahu bahwa pria ini adalah ayah kandungnya, namun masih canggung baginya untuk menyebut ayah.

“Mengapa, Cu In? Engkau adalah puteriku, maka tentu saja aku menghendaki engkau untuk pulang dan tinggal bersama ayahmu. Lagi pula ibumu mengajukan syarat. Aku baru dapat memboyongnya untuk hidup bersama di sini kalau aku membawa engkau kepadanya! Ia amat mencintamu dan sangat menyesal melihat engkau marah padanya. Karena itulah, aku girang sekali melihat engkau datang.”

“Benar, enci Cu In. Engkau harus tinggal bersama kami di sini!” kata pula The Kong, adik tirinya.

Cu In menghela napas panjang. “Belum tiba saatnya aku tinggal di sini. Kedatanganku ini hanya ingin mencari keterangan tentang diri Pangeran Tao Seng.”

“Ehhh? Pangeran Tao Seng? Apa yang ingin kau ketahui tentang Pangeran Tao Seng?” tanya The-ciangkun heran.

“Dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng dijatuhi hukuman buang. Benarkah itu?”

“Memang benar demikian. Dia dihukum buang selama dua puluh tahun.”

“Dan sebabnya? Apakah dia difitnah orang lain?”

“Sama sekali tidak! Aku masih ingat benar. Pada suatu hari, Pangeran Tao Kuang, yaitu Pangeran Mahkota, diajak berburu binatang oleh Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Akan tetapi terjadi keanehan. Mereka pulang dengan diantar Sin-tung Koai-jin Liang Cun bersama puterinya, Liang Siok Cu. Pendekar itu telah menolong Pangeran Mahkota Tao Kuang yang hampir dibunuh kedua pangeran itu bersama anak buahnya. Pangeran Tao Kuang pulang dengan selamat dan Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San pulang sebagai tawanan, ditawan oleh Sin-tung Koai-jin dan puterinya. Mereka diadili oleh kaisar sendiri dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun.”

Cu In mengangguk-angguk. Ternyata benar apa yang sudah diterangkan oleh Pangeran Mahkota Tao Kuang, seperti yang pernah didengarnya.

“Dan kabarnya Pangeran Tao Kuang mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya itu? Benarkah demikian?”

The-ciangkun menggelengkan kepalanya sambil tertawa. “Ha-ha-ha, dari mana engkau mendengar berita itu, Cu In? Itu adalah kabar bohong belaka. Tak ada yang membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya. Bahkan sampai sekarang ia masih hidup!”

“Apakah dia sekarang menjadi orang yang disebut Hartawan Ji di kota raja ini?”

The-ciangkun membelalakkan matanya. “Ahhh, engkau sudah tahu pula? Tidak banyak orang mengetahuinya kecuali keluarga kerajaan dan beberapa orang pejabat tinggi. Aku mengetahui juga secara kebetulan saja. Ketika aku pada suatu hari bertemu muka dengan Hartawan Ji, aku tidak ragu lagi bahwa dia adalah Pangeran Tao Seng!”

“Di mana rumahnya?”

“Rumahnya amat mudah dicari. Di jalan raya sebelah selatan taman rakyat ada sebuah rumah besar bercat kuning. Di depan rumah itu terdapat dua arca singa yang besar dan indah. Itulah rumahnya.”

Cu In bangkit berdiri. “Terima kasih atas segala keterangan ini. Maaf, aku harus pergi sekarang.”

The-ciangkun dan puteranya juga cepat berdiri. “Ehhh, Cu In, engkau akan pergi ke mana? Tinggallah saja di sini dan kalau engkau ada urusan, beri tahukan padaku. Aku yang akan mengurusnya sampai selesai.”

Cu In tersenyum di balik cadarnya. Ayahnya ini berhati mulia dan menyayangnya, tidak seperti ibunya. “Terima kasih, urusan ini harus kuselesaikan sendiri tanpa bantuan siapa pun.”

“Tetapi engkau adalah puteriku, Cu In. Aku berkewajiban untuk membantumu dalam segala hal.”

“Benar, enci Cu In. Atau, jika engkau tidak mau tinggal di sini dan hendak mengurusnya sendiri, biarkan aku ikut untuk membantumu!” kata The Kong penuh semangat.

“Terima kasih, aku harus pergi sendiri. Lain kali aku tentu akan datang lagi berkunjung.”

“Nanti dulu, Cu In!” kata The-ciangkun khawatir. “Engkau tadi bertanya-tanya mengenai Pangeran Tao Seng dan Hartawan Ji. Kalau engkau mempunyai urusan pertentangan dengan Pangeran Tao Seng, aku harap engkau berhati-hati, anakku. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng adalah seorang yang amat berbahaya. Sekarang pun aku sendiri mencurigainya. Menurut para penyelidik, sudah ada beberapa tokoh dan datuk sesat datang berkunjung ke rumah Hartawan Ji. Aku khawatir dia sedang menyusun suatu rencana jahat dan dia berbahaya sekali. Biar pun sekarang menjadi Hartawan Ji yang nampaknya diam dan tenang, akan tetapi dia seperti seekor ular yang diam, namun setiap saat siap untuk mematuk dan menyebar kematian.”

“Aku mengerti dan sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan sambutan kalian yang begini baik kepadaku. Selamat malam!” Cu In membalikkan tubuhnya dan keluar dari tempat itu, terus keluar dari rumah dan pekarangan rumah itu.

Ayah dan anak itu terus mengikutinya sampai ke tempat penjagaan. Melihat gadis itu keluar diantar langsung oleh The-ciangkun sendiri, para penjaga diam saja tidak berani mengganggunya…..


                   ***************


Hati Keng Han bimbang dan ragu, tegang dan penasaran. Baru saja dia mendengar cerita yang berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Hartawan Ji! Haruskah dia mempercayai semua keterangan Pangeran Tao Kuang?

Akan tetapi setidaknya di sana terdapat Kwi Hong dan Cu In. Dan dia tahu bahwa dua orang gadis ini tentu tidak akan suka membohonginya. Kalau Pangeran Tao Kuang tidak berbohong, lalu apakah Hartawan Ji yang berbohong? Kenapa pula dia harus percaya kepada keterangan Hartawan Ji?

Lalu dia teringat bahwa Hartawan Ji, menurut Gulam Sang, adalah sekutu pemuda Tibet itu. Seorang pejuang yang membenci keluarga kaisar Mancu. Jadi wajar saja apa bila Hartawan Ji menghasut dan mengarang cerita bohong agar dia membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena hal itu akan menguntungkan perjuangannya. Apa lagi kalau Hartawan Ji itu adalah Pangeran Tao Seng yang agaknya sangat mendendam kepada Pangeran Tao Kuang.

Akan tetapi kalau dia itu Pangeran Tao Seng, tentu mengetahui bahwa dia adalah putera kandungnya! Kenapa harus berbohong kepada putera kandungnya sendiri? Demi membunuh Pangeran Tao Kuang? Akan tetapi pekerjaan itu amatlah berbahaya.

Sepatutnya Pangeran Tao Seng tak tega untuk menyuruh puteranya sendiri melakukan perbuatan yang amat berbahaya bagi nyawanya itu. Tadi pun andai kata dia berkeras hendak membunuh, menghadapi pangeran itu beserta isterinya dan Kwi Hong, Cu In, kakek pengemis dan muridnya, belum tentu dia berhasil bahkan mungkin saja dia yang roboh dan tewas.

Dengan hati kacau tidak menentu dia berkunjung ke rumah besar Hartawan Ji. Di dalam ruangan sebelah dalam, ia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama seorang pemuda yang telah dikenalnya, yang bukan lain adalah Gulam Sang, bersama seorang wanita muda yang cantik manis namun wajahnya agak muram.

Gadis itu bukan lain adalah Liong Siok Hwa, gadis yang sudah dikuasai oleh Gulam Sang, dikuasai badan dan batinnya oleh pengaruh sihir sehingga dia menurut saja apa yang dikehendaki Gulam Sang darinya. Gulam Sang, setelah berhasil membujuk Liong Siok Hwa pergi meninggalkan rumah penginapan di mana ayahnya tewas terbunuh oleh Gulam Sang, lalu membawa gadis itu berkunjung ke rumah Hartawan Ji di kota raja.

Kedatangannya disambut hangat oleh Hartawan Ji yang langsung menceritakan tentang kunjungan Keng Han. Dia juga menceritakan mengenai siasatnya menyuruh Keng Han membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang.

Mendengar cerita ini, Gulam Sang lalu menitipkan Liong Siok Hwa kepada Hartawan Ji, kemudian dia sendiri segera keluar pada malam itu, menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia berhasil masuk ke taman dan mengintai ketika Keng Han datang.

Ia melihat apa yang terjadi, mendengarkan semua percakapan mereka dan mendahului keluar dari istana itu. Dia menceritakan kepada Hartawan Ji tentang gagalnya Keng Han membunuh Pangeran Mahkota.

Di rumah Hartawan Ji terdapat para datuk yang memang sudah lebih dulu tinggal di rumah itu, siap-siap membantu Hartawan Ji jika tiba saatnya untuk bergerak membunuh Kaisar. Mereka adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Ketiga orang ini lalu dipanggil keluar oleh Ji Wan-gwe untuk diajak berunding bersama Gulam Sang.

“Kenapa mesti repot-repot? Kalau pemuda itu datang membuat ulah, ada kami di sini. Dia mau dan bisa berbuat apa terhadap Wan-gwe?” kata Lam-hai Koai-jin memandang rendah pemuda yang dibicarakan.

Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi yang pernah merasakan ketangguhan pemuda itu berkata, “Lam-hai Koai-jin harap jangan memandang rendah pemuda bernama Keng Han itu. Dia memang lihai sekali dan menguasai ilmu-Ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi di sini terdapat pula aku dan Lo-mo, maka kalau dia membuat ribut, kita tentu akan dapat menundukkannya.”

“Sebaiknya diatur siasat untuk menghadapinya. Mula-mula harap Wan-gwe bersikap lembut terhadap dia. Siapa tahu, kalau dia mengetahui bahwa Wan-gwe itu adalah ayah kandungnya, dia akan menaati semua kehendak Wan-gwe dan dia mau membantu dengan terang-terangan. Kalau dia bersikap berlawanan, aku memiliki racun penghisap semangat yang akan kucampurkan dalam arak yang akan diminumnya. Atau kalau dia tidak mau minum arak, aku dapat menyerangnya dengan pukulan beracun atau dapat merobohkannya dengan sihir. Jika semua itu pun tidak berhasil, baru Sam-wi Locianpwe muncul dan membantu kami.”

“Bagus! Kita atur seperti yang direncakan oleh Gulam Sang,” jawab Ji Wan-gwe dengan girang.

Meski pun Keng Han itu putera kandungnya, namun dia lebih percaya kepada putera angkat ini karena sudah jelas terbukti bahwa Gulam Sang dapat dipercaya dan benar-benar telah membantunya untuk membuat gerakannya berhasil. Kalau Keng Han suka mendengarkan bujukannya, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia pun tidak segan untuk membunuh putera kandung yang sejak kecil tidak pernah dikenalnya itu.

Kekuasaan merupakan sesuatu yang diperebutkan oleh setiap orang. Kekuasaan akan menjamin kehidupannya, mendatangkan kekayaan dan kesenangan sebab sekali orang memegang kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti akan bisa tercapai. Dan untuk mendapatkan kekuasaan itu, orang yang lemah hatinya tak segan menggunakan segala macam cara.

Seperti Pangeran Tao Seng itu, atau yang sekarang memakai nama Ji Wan-gwe. Demi mencapai cita-citanya mendapatkan kekuasaan, dia tidak segan merencanakan untuk membunuh anak kandung sendiri, kalau anak itu menjadi penghalang niatnya.

Demikianlah, ketika akhirnya Keng Han muncul, dia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama Gulam Sang dan seorang gadis yang tidak dikenalnya. Dia tidak takut dengan adanya Gulam Sang yang dia tahu adalah sekutu Hartawan Ji. Dia melompat dan turun ke dekat meja makan, membuat tiga orang yang sedang makan minum itu menjadi terkejut.

Akan tetapi Hartawan Ji tersenyum ketika melihatnya dan berkata, “Ah, kiranya engkau sudah kembali, Tao kongcu? Silakan duduk!”

Keng Han mengerutkan alisnya, akan tetapi dia duduk pula di atas bangku dekat meja.

“Kongcu tentu belum makan juga. Mari silakan makan minum bersama kami sebelum kita bicara.”

Akan tetapi Keng Han tidak menjawab, hanya matanya memandang kepada Hartawan Ji dengan tajam dan penuh selidik. Hartawan Ji menuangkan secawan arak, kemudian memberikan kepada Keng Han.

“Ahh, lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dengan secawan arak ini sebagai penghormatan kami. Silakan, Kongcu!”

Bagaimana pun juga, karena sikap Hartawan Ji itu baik dan menghormat sekali, juga baginya persoalannya belum jelas siapa yang bersalah, Keng Han menerima secawan arak yang tadi dituang dari guci milik Gulam Sang. Keng Han mengangkat cawan dan minum isinya sampai habis. Melihat ini, mata Gulam Sang mencorong serta mulutnya tersenyum simpul. Akan tetapi senyum itu berubah.

Kini dia menyeringai heran melihat Keng Han sama sekali tidak terkulai lemas dan tidak menjadi pingsan. Tentu saja dia tidak tahu betapa tubuh Keng Han sudah menjadi kebal akan segala macam racun karena bertahun-tahun dia makan daging ular merah setiap hari, juga jamur-jamur beracun. Karena itu sedikit racun dalam arak yang diminumnya sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Nah, bagaimana dengan usahamu, Kongcu? Sudahkah berhasil melenyapkan musuh besarmu itu?”

“Tidak. Akan tetapi kini aku mempunyai sebuah pertanyaan yang kuharap engkau suka menjawabnya dengan terus terang,” kata Keng Han, matanya tidak berkedip menatap wajah Pangeran Tao Seng sehingga pangeran itu menjadi resah juga.

“Tentu saja. Pertanyaan apakah itu, Kongcu?”

“Bila aku katakan bahwa Hartawan Ji bukan lain adalah Pangeran Tao Seng, benarkah dugaanku ini? Engkau adalah Pangeran Tao Seng, yang kini mengubah nama menjadi Hartawan Ji! Nah, jawab sejujurnya, benarkah demikian?”

Tao Seng atau Hartawan Ji tidak merasa terkejut mendengar ini, karena dia memang sudah diberi tahu oleh Gulam Sang bahwa Keng Han telah mendengar keterangan dari Pangeran Tao Kuang. Dia hanya berpura-pura terkejut mendengar hal ini dan bertanya dengan suara heran.

“Ehh, sebetulnya hal itu sangat dirahasiakan, bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Tao Kongcu?”

“Sudahlah, tak perlu menyebut Kongcu lagi. Engkau adalah Pangeran Tao Seng, berarti engkau adalah ayah kandungku! Juga aku pun sudah mendengar bahwa engkau sama sekali tidak difitnah oleh Pangeran Tao Kuang. Engkau dihukum buang karena usahamu membunuh Pangeran Tao Kuang mengalami kegagalan. Benarkah semua ini?”

“Benar, akan tetapi engkau tidak mengetahui semuanya, anakku.”

“Ketika aku datang menghadapmu, engkau membohongi aku dan sengaja menghasutku supaya aku membunuh Pangeran Tao Kuang. Betapa jahatnya engkau! Engkau tahu bahwa membunuh Pangeran Tao Kuang merupakan pekerjaan yang amat berbahaya. Akan tetapi engkau menyuruh anakmu sendiri menempuh bahaya besar itu. Aku merasa heran dan malu. Jauh-jauh aku pergi merantau untuk mencari ayahku, tidak tahunya ayahku begini jahat. Aku malu mempunyai ayah sepertimu!”

“Keng Han, engkau tahu satu tidak tahu dua. Akulah yang memberimu nama Keng Han. Engkau anak kandungku, maka pertimbangkanlah semua perbuatanku. Pertama, dua puluh tahun yang lalu aku memang berniat membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ayahanda Kaisar. Aku sebagai putera tertua, mengapa adinda Tao Kuang sebagai Pangeran Ketiga yang diangkat menjadi putera mahkota? Aku merasa penasaran oleh perlakuan tidak adil itu maka bersama adinda Pangeran Kedua aku merencanakan untuk membunuhnya. Bukankah itu sudah adil? Kalau dia mati tentu aku yang diangkat menjadi Putera. Mahkota. Akan tetapi usaha kami berdua itu gagal, bahkan kami ditangkap dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun! Bayangkan betapa sengsaranya aku, seorang pangeran yang biasanya hidup mewah dan terhormat, dibuang di tempat pengasingan selama dua puluh tahun!”

Keng Han diam saja. Walau pun di dalam hatinya dia tidak setuju dengan perbuatan ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota itu, akan tetapi kalau mengingat penderitaan ayahnya selama dua puluh tahun, dia merasa kasihan juga.

“Nah, setelah hukumanku selesai dan aku bebas, aku kembali ke kota raja. Agar rakyat tidak mengenalku, maka aku menyaru menjadi Hartawan Ji. Diam-diam aku bersekutu dengan orang-orang yang menginginkan jatuhnya kerajaan Ceng, dan aku berniat untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang dan juga Kaisar! Jika mereka berdua tewas, sebagai pangeran tertua aku berhak atas tahta kerajaan! Dan kemudian aku mendengar tentang kedatanganmu dan bahwa engkau seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Karena itulah, aku sengaja tidak mengaku sebagai ayahmu, melainkan menghasutmu supaya engkau membenci Pangeran Mahkota dan membunuhnya. Akan tetapi ternyata usahamu itu pun gagal.”

“Hemmm, setelah mendengar duduknya perkara, bagaimana mungkin aku membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang yang tidak bersalah?” bantah Keng Han.

“Sudahlah, Keng Han. Sekali gagal tidak mengapa. Sekarang, marilah engkau bantu ayahmu untuk membunuh Kaisar dan Pangeran Tao Kuang. Kalau aku berhasil menjadi Kaisar, bukankah engkau pun akan menjadi pangeran?”

“Tidak! Aku tidak sudi terlibat dalam persekutuan jahat itu! Aku tidak mau membantumu dalam urusan itu!”

Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya dan matanya yang menatap wajah puteranya berubah bengis. “Dan apa maumu sekarang, Keng Han?”

“Aku minta kepadamu supaya engkau suka ikut dengan aku ke Khitan untuk menemui ibuku. Sudah terlalu lama engkau meninggalkan ibuku yang hidup merana karena selalu teringat kepadamu dan engkau tidak mempedulikannya sama sekali!”

“Bodoh kau! Kalau aku menjadi kaisar tentu ia akan segera kuboyong ke sini!” bentak Tao Seng.

“Aku tidak menghendaki engkau menjadi kaisar dengan cara yang curang itu. Aku minta engkau sekarang juga ikut denganku ke Khitan menemui ibu!”

“Kalau aku tidak mau?”

“Akan kupaksa dan kuseret kau!” Keng Han juga membentak marah.

Tiba-tiba Gulam Sang melompat ke depan Keng Han dengan dada terangkat dan sikap menantang. “Enak saja engkau bicara, Keng Han! Engkau hendak memaksa ayahku begitu saja? Kalau masih ada aku, jangan harap akan bisa melakukan itu!”

Keng Han tercengang. “Ayahmu...?”

“Ya, aku adalah anak angkat dari Pangeran Tao Seng, dan sebagai anak aku setia dan berbakti padanya, akan membelanya dengan nyawaku. Sebaliknya engkau ini seorang anak yang tidak berbakti, bahkan durhaka karena hendak memaksa ayahnya sendiri seperti itu!”

“Minggir! Ini bukan urusanmu!” bentak Keng Han dan dia pun sudah mendorong ke arah pundak Gulam Sang dengan tangan kanannya.

Dorongan itu mengandung hawa panas dan kuat sekali sehingga Gulam Sang cepat mengelak karena dia sudah mengenal kehebatan tenaga pemuda itu. Sambil mengelak dia pun membalas sambil mencabut pedangnya. Hebat dan luar biasa dahsyat serangan Gulam Sang dengan pedangnya itu, disabetkan untuk menebas pinggang Keng Han.

Keng Han mengelak mundur. Karena dia pun maklum akan kelihaian Gulam Sang, dia lalu mencabut pedang bengkoknya, kemudian segera menangkis ketika pedang Gulam Sang menyambar lagi ke arah lehernya.

"Trang... trang...!”

Dua kali pedang Gulam Sang bertemu dengan pedang bengkok dan yang kedua kalinya tangan Gulam Sang tergetar hebat. Gulam Sang merasa penasaran dan mengamuk. Akan tetapi Keng Han mengimbanginya dengan gerakan yang sangat cepat sehingga mereka bertempur dengan seru dan hebatnya di tempat itu......



                   
BERSAMBUNG KE JILID 09





















Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12