Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 06
Ken Han
merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah
terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam
keadaan tertotok. Semua itu tidak merisaukan hatinya, akan tetapi yang membuat
dia khawatir adalah kepalanya. Kepala itu pening sekali dan masih pening
sehingga sukar bagi dia untuk berpikir.
Dia membuka
sedikit matanya dan melihat bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar, seperti
kamar tahanan karena pintunya dari besi dan ada jeruji besi pula di atas pintu.
Di luar kamar itu, dia dapat melihat beberapa orang melalui jeruji besi dan
agaknya mereka melakukan penjagaan. Perlahan-lahan dia pun teringat.
Dia sedang
duduk menghadapi api unggun bersama Souw Cu In dan tiba-tiba terdengar suara
ledakan-ledakan dan asap mengepul tebal, lalu dia pun tidak ingat apa-apa lagi
dan tahu-tahu telah berada di tempat ini dalam keadaan terbelenggu dan
tertotok.
Ia merasa
bahwa belenggu itu tidak sukar dipatahkan, juga totokan itu bisa ia punahkan
dengan mudah. Akan tetapi kepeningan kepalanya masih terasa, maka ia pun diam
saja dan terus rebah berbaring menanti perkembangan lebih lanjut sambil memberi
waktu kepada kepalanya agar bebas dari kepeningan akibat asap racun pembius
itu.
Tidak
terlalu lama dia menunggu. Dia mendengar daun pintu besi itu dibuka orang dan
nampaklah tiga orang memasuki tempat tahanan itu. Seorang di antara mereka
adalah seorang kakek yang segera dikenalnya. Kakek Itu adalah Toat-beng
Kiam-sian yang pernah bentrok dengan dia.
Dulu dia
menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buahnya dan karena
itu kakek ini marah sekali kepadanya. Dia diberi waktu untuk menghadapinya
selama sepuluh jurus dan kalau selama itu dia tidak roboh, dia akan dibebaskan.
Dan dia berhasil bertahan sampai sepuluh jurus. Ketika kakek itu merasa
penasaran hendak menggunakan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam
Niocu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi.
Sekarang
kakek itu agaknya yang menyuruh anak buahnya menawannya. Entah apa yang hendak
dilakukan atas dirinya. Dia pura-pura masih pingsan, tetapi memperhatikan
mereka bertiga dengan telinganya.
“Nah, inilah
pemuda itu. Bagaimana pendapatmu, Siu Lan?
Gadis yang
datang bersama kakek itu memandang wajah Keng Han penuh perhatian. Gadis ini
cukup cantik, dengan pakaiannya yang mewah.
“Dia
kelihatan seperti orang dusun, Ayah,” kata gadis itu setelah mengamati Keng
Han.
“Ha-ha-ha!”
Kakek itu tertawa. “Jangan melihat pakaiannya, Siu Lan. Lihatlah wajahnya.
Bukankah dia tampan dan gagah? Dan tentang ilmu silat, sudah kukatakan bahwa
dia lihai juga dan pantas untuk menjadi jodohmu.”
“Suhu, saya
tidak percaya bahwa dia mampu melawan Sumoi,” berkata pemuda yang datang
bersama mereka.
Pemuda ini
tubuhnya tinggi besar dan berwajah gagah, akan tetapi pandang matanya
membayangkan kecongkakan hati. Jelas dia memandang rendah pada Keng Han yang
menggeletak tidak berdaya di atas dipan itu.
“Dia tidak
pantas untuk melawan Sumoi. Biarlah dia melawan saya lebih dulu. Kalau dia
mampu menandingi saya, baru Sumoi boleh mencobanya!”
Toat-beng
Kiam-sian tertawa dan mengangguk-angguk. “Hmmm, pikiran yang baik itu. Boleh
engkau mencobanya dulu, Bu Tong.”
“Biarlah
saya bebaskan dulu dia dari totokan dan belenggunya!” kata pemuda itu yang
bernama Gan Bu Tong.
Akan tetapi
ketika dia menghampiri dipan, Keng Han segera mengerahkan tenaganya dan totokan
itu pun sudah punah, lalu sekali dia menggerakkan kaki tangannya, ikatan itu
pun putus semua! Keng Han lalu bangkit dan meloncat berdiri menghadapi tiga
orang itu.
“Mengapa
kalian menangkap aku? Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa
kalian berbuat begini?” tegurnya.
Toat-beng
Kiam-sian Lo Cit, puterinya yang bernama Lo Siu Lan serta muridnya itu terkejut
bukan main melihat betapa pemuda itu telah terbebas dari totokan dan dengan
mudahnya mematahkan semua belenggu.
Toat-beng
Kiam-sian maju dan tertawa. “Ha-ha-ha, tempo hari engkau mampu menahan sepuluh
jurus seranganku, sebab itu hatiku amat tertarik untuk mengujimu, orang muda.
Sekarang lawanlah muridku ini, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!”
“Aku tak
ingin bertanding dengan siapa pun tanpa sebab yang jelas. Di antara kita tidak
ada urusan, mengapa kita harus bertanding?”
“Hemmm,
bocah sombong. Ada atau tidak ada urusan, aku akan menandingimu. Kalau engkau
takut, engkau boleh berlutut dan mencium kaki guru sambil meminta ampun, baru
kami akan melepaskanmu,” kata Bu Tong yang memandang rendah.
Keng Han
mengerutkan alisnya. “Aku tidak bersalah apa pun, mengapa harus minta ampun?
Aku tidak sudi melakukannya, jangan engkau menghinaku!”
“Aku memang
sengaja menghinamu, habis engkau mau apa? Aku menantangmu untuk mengadu
kepandaian, kalau engkau menolak berarti engkau takut!”
Panas juga
rasa hati Keng Han. Dia ditangkap tanpa sebab, kemudian ditantang dan dianggap
pengecut kalau tidak berani. Tentu saja dia berani!
“Siapa yang
takut kepada kalian? Aku tidak bersalah apa pun, maka tentu saja aku tidak
takut!”
“Ha-ha-ha,
bagus. Itu barulah suara seorang laki-laki sejati. Orang muda, marilah kita ke
lian-bu-thia dan di sana kita melihat sampai di mana kepandaianmu,” berkata
Toat-beng Kiam-sian.
Makin senang
hatinya menyaksikan kegagahan sikap Keng Han. Sebetulnya, pangcu dari
Kwi-kiam-pang ini sudah tertarik sekali kepada Keng Han ketika Keng Han mampu
menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan juga dapat menangkis Pukulan
Halilintar darinya.
Oleh karena
itu, ketika melihat Keng Han bersama Souw Cu In, dia lalu menyuruh para anggota
Kwi-kiam-pang mempergunakan obat peledak dan pembius untuk menangkap pemuda
itu. Dia bermaksud untuk menjodohkan pemuda ini dengan puterinya, Lo Siu Lan
yang selalu menolak pinangan para pemuda karena di antara mereka tidak ada yang
mampu menandinginya. Memang kepandaian Siu Lan sudah hebat sekali. Bahkan
suheng-nya, Gan Bu Tong juga tidak dapat menandinginya!
Keng Han
menjadi penasaran sekali. Karena ditantang, maka dia pun mengikuti mereka
menuju ke sebuah ruangan yang luas. Ruangan ini merupakan tempat para anggota
Kwi-kiam-pang berlatih silat. Juga dia melihat bahwa anggota perkumpulan itu
banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang! Agaknya sulit baginya untuk
meloloskan diri menggunakan kekerasan karena selain harus menghadapi tiga orang
itu, dia juga harus menghadapi para anggota Kwi-kiam-pang. Maka, dia hendak
menebus kebebasannya dalam pertandingannya itu.
Setelah tiba
di lian-bu-thia (tempat berlatih silat), Keng Han telah dihadapi oleh Bu Tong
yang bersikap angkuh.
“Nah,
bersiaplah engkau untuk melawan aku!” kata Bu Tong.
“Nanti
dulu,” kata Keng Han, lalu dia menoleh kepada Toat-beng Kiam-sian. “Locianpwe
adalah seorang yang berkedudukan tinggi, apakah ucapannya dapat dipercaya?”
Lo Cit
membelalakkan mata. Kakek yang kakinya timpang ini marah sekali mendengar
pertanyaan itu. “Bocah sombong, tentu saja ucapanku dapat dipercaya!”
“Nah, kalau
begitu, setelah aku dapat mengalahkan pemuda muridmu ini, apakah aku akan
dibebaskan dan dibiarkan pergi tanpa diganggu?”
“Heh, nanti
dulu. Kalau engkau mampu mengalahkan muridku, engkau juga harus dapat
mengalahkan puteriku ini, dan selanjutnya harus mampu pula bertahan menghadapi
aku sampai lima puluh jurus. Kalau sudah begitu barulah engkau tidak akan
diganggu lagi, bahkan akan kunikahkan dengan puteriku ini. Ha-ha-ha-ha!”
Bukan main
kagetnya hati Keng Han mendengar ucapan itu. Dirinya hendak dinikahkan dengan
gadis cantik itu? Sungguh keterlaluan sekali peraturan kakek itu. Dia sendiri
pun tidak ditanya apakah dia suka atau tidak!
“Aku tidak
ingin menikah dengan siapa pun juga. Aku hanya minta agar aku dibebaskan dan
tidak diganggu lagi.”
“Ha-ha-ha,
kita lihat saja nanti. Hayo Bu Tong, mulailah dengan seranganmu!” kata Lo Cit
sambil tertawa senang.
Gan Bu Tong
sudah mencabut pedangnya. “Sobat, sebutkan dulu namamu agar engkau jangan mati
tanpa nama.”
“Namaku Si
Keng Han dan aku tidak akan mati melawanmu.”
“Nah, di
sudut itu ada rak senjata. Boleh engkau pilih untuk menghadapi pedangku!”
“Hmmm,
pemuda ini memiliki watak yang gagah juga dan tidak curang,” pikir Keng Han.
“Agaknya mereka ini bukan orang-orang yang jahat, akan tetapi orang-orang yang
suka membawa dan mempertahankan kehendak sendiri.”
“Aku tidak
membutuhkan senjata-senjata itu. Bahkan aku sendiri juga memiliki sebatang
pedang, akan tetapi tidak akan kupergunakan untuk melawanmu. Tangan kakiku
sudah cukup untuk kupakai membela diri,” katanya sambil memamerkan pedang
bengkoknya yang berada di pinggangnya.
“Si Keng
Han, engkau sombong, akan tetapi engkau sendiri yang menentukan. Jangan anggap
aku keterlaluan melawanmu dengan pedangku!” kata Bu Tong penasaran dan marah
karena dia menganggap pemuda itu memandang rendah kepadanya.
Tiba-tiba Lo
Siu Lan mencabut pedangnya dan melemparkan pedang itu kepada Keng Han. “Si Keng
Han, pedang Suheng-ku itu merupakan senjata ampuh. Semua senjata di rak itu
akan patah apa bila bertemu dengan pedangnya, maka pakailah pedangku ini!”
Melihat
pedang itu melayang ke arah dirinya, Keng Han menyambutnya, akan tetapi dia
bahkan berkata kepada gadis itu. “Terima kasih, Nona. Akan tetapi sungguh aku
tidak membutuhkan pedang!” Dan dia melemparkan kembali pedang itu kepada Siu
Lan, lalu menghadapi Bu Tong sambil berseru. “Aku sudah siap menghadapi
seranganmu!”
Gan Bu Tong
semakin marah. Perbuatan sumoi-nya tadi dianggapnya sebagai pukulan baginya.
Sumoi-nya agaknya berpihak kepada pemuda ini!
“Lihat
serangan pedangku!” bentaknya dan dia pun mulai menyerang dengan bacokan
pedangnya.
Akan tetapi
dengan gesit Keng Han mengelak. Bacokan dan tusukan susul menyusul menghujam ke
arah tubuh Keng Han, namun dengan ilmu Hong-in Bun-hoat, Keng Han selalu dapat
mengelak dengan cepat sekali. Setelah belasan jurus mengelak, barulah dia
membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan tangannya yang ampuh.
Pada saat
pedang lawan menyambar ke arah kepalanya, dia malah maju mendekat dan sekali
jari tangannya menyentil pedang, pedang itu lantas terlepas dari tangan Bu
Tong, mengeluarkan suara nyaring berdenting ketika jatuh ke atas lantai. Kalau
Keng Han menghendaki, saat yang baik itu tentu dapat dia pergunakan untuk
merobohkan lawan.
Akan tetapi
dia tidak mau berbuat demikian, melainkan dia mencokel pedang itu dengan
kakinya dan pedang itu melayang ke arah pemiliknya. Bu Tong menangkap pedangnya
dan dengan muka merah sekali dia mengundurkan diri. Setelah pedangnya terlepas
dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi Keng Han.
Lo Siu Lan
gembira sekali melihat betapa Keng Han dapat mengalahkan suheng-nya. Sekali
kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dan dia pun berhadapan
dengan Keng Han. Sejenak gadis itu mengamati Keng Han dari atas sampai ke bawah
seperti orang menaksir seekor kuda yang hendak dibelinya. Hal ini tentu saja
membuat Keng Han tersipu. Dia cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada
gadis itu.
“Nona, di
antara kita tidak ada permusuhan, harap suka menghabiskan urusan ini dan
membiarkan aku pergi dengan aman. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan
kalian.”
Lo Siu Lan
menjawab dengan suaranya yang merdu, “Siapa yang hendak bermusuhan? Kami cuma
ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu dan ternyata engkau mampu
mengalahkan suheng Gan Bu Tong. Maka, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi,
perkumpulan kami disebut Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan), maka aku pun
hanya bisa memainkan pedang. Jika engkau tetap bertangan kosong, sungguh amat
tidak enak bagiku.”
Kembali
diam-diam Keng Han memuji. Gadis ini pun selain tidak curang, juga tidak tinggi
hati seperti suheng-nya.
“Nona, sudah
kukatakan sejak tadi bahwa kalau tidak terpaksa sekali aku tidak pernah
menggunakan pedangku, cukup dengan tangan kakiku saja. Maka apa bila Nona tetap
memaksaku untuk bertanding, gunakanlah pedangmu, aku akan membela diri dengan
kedua kaki tanganku saja.”
“Bagus,
engkau memang seorang pemuda yang pemberani. Nah, sambutlah pedangku ini,
Sobat!” Lu Siu Lan sudah mencabut pedangnya dan nampak sinar menyambar.
Begitu dia
melakukan penyerangan, terdengar bunyi pedang berdesing dan sinar kilat menusuk
ke arah dada Keng Han. Baru gebrakan pertama saja Keng Han sudah tahu bahwa
gadis ini memang lebih lihai dibandingkan suheng-nya. Akan tetapi gerakan yang
cepat itu tidak membuat Keng Han bingung karena baginya kecepatan gerakan gadis
itu masih belum hebat. Dengan mudahnya dia mengelak dari sambaran pedang.
Gadis itu
mendesak terus. Pedangnya berkelebatan, kadang menyerang leher, kadang mengarah
dada dan ada kalanya menyabet ke arah kedua kaki Keng Han. Pemuda ini
memperlihatkan kegesitannya. Sampai sepuluh jurus dia mengelak terus dan baru
pada jurus ke sebelas dia membalas.
Ketika itu
pedang di tangan Siu Lan menyambar ke arah dada dengan tusukan kilat. Keng Han
miringkan tubuhnya dan menggunakan dua jari tangan kirinya untuk menjepit
pedang itu.
Siu Lan
terkejut bukan main karena pedangnya seperti dijepit jepitan baja saja. Biar
pun dia berusaha untuk menariknya, akan tetapi pedang itu tidak dapat terlepas
dari dua jari tangan Keng Han. Gadis itu menjadi amat penasaran dan tangan
kirinya telah meluncur untuk menghantam dada lawan.
Keng Han
juga menggerakkan tangan kanannya. Dia maklum bahwa gadis ini sedang
menggunakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, maka ia pun
mengerahkan sinkang-nya sehingga dari tangan kanannya itu keluar hawa yang
sangat panas. Demikian pula pukulan tangan kiri Siu Lan mengandung hawa panas
karena gadis ini telah menyerang dengan pukulan Halilintar.
“Desssss...!”
Dua telapak
tangan bertemu dan tubuh Siu Lan terhuyung ke belakang karena pada saat itu
juga Keng Han melepaskan jepitan jari tangannya dari pedang lawan.
Siu Lan
cepat mengambil napas panjang untuk menjaga supaya bagian dalam dadanya tidak
terluka. Akan tetapi ia tahu bahwa dirinya kalah, maka ia pun cepat bersembunyi
di balik tubuh ayahnya. Muka gadis itu menjadi merah tersipu dan mulutnya
tersenyum malu-malu. Melihat tingkah puterinya, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit
tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha,
sekarang engkau baru percaya kepada omongan ayahmu? Si Keng Han, engkau telah
mengalahkan anakku Siu Lan, maka mulai sekarang juga engkau harus menjadi
suaminya!”
Keng Han
terkejut sekali dan dia memandang kepada kakek timpang itu dengan alis
berkerut. “Apa maksud Locianpwe? Saya tidak akan menikah dengan siapa pun
juga!”
“Hemmm,
dengarlah Si Keng Han. Anakku menolak semua lamaran orang karena dia sudah
bersumpah untuk menikah dengan pria yang mampu mengalahkan dirinya. Dan kini
engkaulah yang mampu mengalahkannya.”
“Akan tetapi
sejak semula aku tidak menghendaki pertandingan ini. Aku dipaksa. Aku sama
sekali bukan bertanding untuk memperoleh kemenangan dan untuk memperoleh jodoh.
Maaf, Locianpwe, aku tidak dapat menerimanya. Dan sekarang, harap kalian suka
membiarkan aku pergi dari sini!”
“Ho-ho-ho,
tidak demikian mudah, orang muda! Kalau engkau menolak berjodoh dengan
puteriku, hal itu berarti engkau telah menghinaku! Dan siapa saja menghinaku
dia harus mampus! Akan tetapi karena aku menyukaimu, engkau tidak akan kubunuh.
Bersiaplah untuk menahan seranganku sampai lima puluh jurus. Apa bila selama
lima puluh jurus engkau mampu menahan pedang tongkatku, barulah engkau boleh
pergi dari tempatku ini!”
Mendadak
terdengar bentakan halus. “Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sungguh tidak tahu malu
dan mau menghina yang muda!”
Semua orang
terkejut dan menengok. Ternyata, tanpa dapat diketahui para anak buah
Kwi-kiam-pang, Souw Cu In telah muncul di situ. Toat-beng Kiam-sian, puterinya
dan para muridnya tentu saja terkejut dan terheran. Hanya Keng Han yang menjadi
girang bukan main.
“Bibi guru
telah datang! Kalian tidak akan dapat memaksaku untuk kawin!” katanya dan dia
menghampiri Cu In.
Toat-beng
Kiam-sian Lo Cit memandang penuh perhatian dan makin heran mendengar Keng Han
menyebut bibi guru pada seorang gadis yang berpakaian putih dan mukanya bagian
bawah tertutup sutera putih! Teringatlah dia kepada Bi-kiam Niocu yang dahulu
disebut subo oleh pemuda ini. Tahulah dia bahwa gadis bercadar putih ini pun
adalah seorang murid dari Ang Hwa Nio-nio atau sumoi dari Bi-kiam Niocu.
“Nona,
apakah engkau murid Ang Hwa Nio-nio?” tanyanya.
“Tidak
salah, Pangcu. Aku memang murid subo Ang Hwa Nio-nio dan Si Keng Han ini adalah
murid suci-ku, jadi dia masih murid keponakanku sendiri. Sungguh tidak pantas
sekali kalau Pangcu (ketua) hendak memaksanya menikah dengan puterimu. Mana ada
paksaan kepada seorang pria untuk menikah? Dan engkau telah menantangnya untuk
bertanding selama lima puluh jurus pula. Bukankah ini namanya menghina yang
muda? Apakah engkau tidak akan malu kalau hal ini terdengar oleh dunia
kang-ouw?”
Wajah Lo Cit
menjadi merah sekali. Tidak disangkanya bahwa wanita bercadar itu telah
mengetahui dan agaknya juga telah mendengarkan semua percakapan tadi. Hal ini
saja sudah menunjukkan kehebatan ilmu ginkang-nya sehingga tidak ada seorang
pun yang tahu akan kehadirannya.
“Bocah
bermulut lancang! Siapakah namamu yang berani bicara seperti Itu kepadaku?” Lo
Cit mencoba mengangkat namanya.
“Namaku Souw
Cu In, dan memang aku orang biasa saja. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini
memang memalukan sekali, Pangcu. Pertama, engkau menggunakan bahan peledak yang
mengandung racun pembius untuk menangkap Si Keng Han. Kemudian engkau
memaksanya menikah dengan puterimu, dan yang terakhir engkau baru mau
membebaskannya kalau sudah bertanding denganmu selama lima puluh jurus! Sungguh
memalukan!”
“Memang
sungguh memalukan!” Keng Han ikut-ikutan bicara. “Mana aku bisa menahan serangannya
sampai lima puluh jurus? Ini sama saja dengan memaksaku tinggal di sini dan
mengawini puterinya yang tidak kucinta. Mana ada aturan begitu, ya, Bibi Guru?”
“Memang
tidak ada aturan seperti itu di dunia kang-ouw, kecuali dunianya orang-orang
sesat. Tentu Kwi-kiam Pangcu tidak akan suka disebut orang sesat!” kata lagi
Souw Cu In.
Lo Siu Lan
menjadi marah sekali. Ia marah karena melihat hubungan yang akrab antara Keng
Han dan Cu In. Meski pun mereka mengaku sebagai murid keponakan dan bibi guru,
akan tetapi keduanya masih muda dan wanita bercadar itu nampak cantik jelita
serta tubuhnya begitu ramping seperti batang pohon liu. Ia merasa cemburu
sekali!
“Perempuan
hina! Cepat buka cadarmu dan perlihatkan mukamu! Engkau sudah berani mencampuri
urusan kami!” Berkata demikian, Lo Siu Lan telah mencabut pedangnya.
Souw Cu In
mendengus seperti orang mengejek. “Dan engkau, sungguh tidak tahu malu hendak
memaksa seseorang menjadi suamimu!”
“Keparat!”
Lo Siu Lan menyerang dengan pedangnya.
Akan tetapi
bagaikan bayangan saja, tubuh Souw Cu In telah meloncat ke samping dan
tiba-tiba ada sinar putih mencuat dan tahu-tahu pedang di tangan Siu Lan
terlibat dan terampas! Siu Lan terkejut dan melompat mundur. Cu In mengambil
pedang itu dan melemparkannya kembali kepada Siu Lan.
“Siapa yang
keparat masih patut diselidiki!” kata Cu In.
Meski marah
sekali, akan tetapi Siu Lan tidak berani lagi sembarangan bergerak. Dalam
segebrakan saja pedangnya telah terampas!
Lo Cit juga
kaget sekali melihat hal ini. Gadis bercadar itu lihai bukan main.
“Siapa yang
sudah masuk ke sini tidak boleh sembarangan keluar. Kalau Si Keng Han ingin
membebaskan diri, dia harus melalui pertandingan denganku. Tidak usah sampai
lima puluh jurus, melihat dia masih muda biarlah kuberi waktu...”
“Sepuluh
jurus!” kata Keng Han. “Sepuluh jurus sudah merupakan waktu yang lama, melihat
aku yang masih begini muda harus melawan Pangcu yang tua dan tentunya sangat
berpengalaman!”
Toat-beng
Kiam-sian tertegun. Dulu pernah dia menyerang pemuda ini sampai sepuluh jurus
dan ternyata dia tidak dapat merobohkan. Tetapi ketika itu dia tidak
menggunakan pedang tongkatnya. Kalau dia menggunakan pedang tongkatnya, mungkin
dalam satu atau dua jurus saja dia sudah mampu mengalahkan pemuda itu.
“Keng Han,
sepuluh jurus pun sudah terlalu lama. Engkau tidak akan dapat bertahan
menghadapi pedangnya biar pun hanya lima jurus saja!” Ucapan ini bernada
sungguh-sungguh penuh kekhawatiran, padahal sebenarnya merupakan pancingan yang
sangat cerdik dari Souw Cu In.
Gadis ini
telah melihat kelihaian Keng Han yang dapat menandingi seorang datuk besar
seperti Swat-hai Lo-kwi. Kalau pemuda itu mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi,
maka menghadapi Toat-beng Kiam-sian dalam sepuluh jurus saja tak mungkin dia
dikalahkan, apa lagi hanya dalam lima jurus. Bahkan mungkin sampai puluhan
jurus akan mampu bertahan.
Mendengar
ucapan dan melihat sikap Souw Cu In, Toat-beng Kiam-sian membentak, “Baiklah,
sepuluh jurus! Kalau selama sepuluh jurus pedangku masih belum mampu mengalahkanmu,
engkau boleh pergi dari sini tanpa diganggu!”
“Keng Han,
engkau berhati-hatilah. Pedang tongkat itu amat lihai sekali!” Kembali Souw Cu
In berseru.
“Hayo, orang
muda. Kau boleh menggunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata
itu untuk menghadapi pedangku!” kata kakek itu sambil mengangkat tongkat di
tangannya yang di dalamnya terisi pedang.
“Lo-pangcu!
Keng Han tak pernah menggunakan senjata, maka bila kau menggunakan pedang, itu
licik sekali namanya!”
“Dia boleh
memilih senjata yang disukainya! Aku tidak peduli, dia mau bersenjata atau
tidak!”
“Jangan
khawatir, Bibi Guru. Aku memiliki pedangku ini!”
Keng Han
mencabut pedang bengkoknya yang selama ini belum pernah dia pakai untuk
berkelahi. Tetapi, mendengar nasehat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu
pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang
pemberian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.
Melihat
pemuda itu memegang sebatang pedang bengkok, Gan Bu Tong tertawa.
“Ha-ha-ha,
dia memegang sebatang pisau pemotong ayam!” Dia mengejek.
“Diam,
Suheng! Engkau sudah dikalahkannya dengan mudah!” kata Lo Siu Lan ketus.
Akan tetapi
Toat-beng Kiam-sian memandang rendah pedang bengkok itu.
“Orang muda,
bersiaplah menghadapi seranganku!” bentaknya dan pedangnya sudah menyambar
bagaikan kilat cepatnya.
“Singgggg...!”
Keng Han
terkejut bukan main. Dahsyat sekali pedang itu menyambar, beberapa kali lipat
lebih cepat dan kuat dari pada pedang yang dimainkan Lo Siu Lan tadi. Akan
tetapi dia sudah siap. Dengan gerakan sangat tangkas dia mengelak sambil
memutar pedang bengkoknya menangkis.
“Tranggg...!”
Nampak bunga
api berpercikan dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang pedang menjadi
panas den tergetar.
“Jurus
pertama...!” Souw Cu In menghitung dengan suara nyaring sekali.
Lo Cit
merasa penasaran dan mulailah dia mengayun pedangnya dan menyerang dari segala
jurusan dengan kecepatan bagaikan kilat. Memang julukan Dewa Pedang bukan
julukan kosong belaka karena memang hebat sekali ilmu pedangnya. Namun, Keng
Han juga memiliki ilmu Hong-in Bun-hoat yang sakti. Dengan berloncatan ke
sana-sini dan pedang bengkoknya mencorat-coret menuliskan huruf-huruf, dia
dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.
“Jurus ke
dua... ke tiga... ke empat...!” Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang
dimainkan oleh kakek itu.
Pada jurus
ke enam, Keng Han sama sekali belum tersentuh pedang lawan, bahkan kini dia
mampu membalas dengan gerakan corat-coretnya yang membingungkan lawan.
“Jurus ke
delapan...!”
Toat-beng
Kiam-sian menjadi marah bukan main. Sudah delapan jurus lewat akan tetapi
lawannya masih mampu menandinginya, bahkan mampu membalas serangannya. Dan dia
sendiri tidak mengenal ilmu silat pedang lawan yang seperti corat-coret
menuliskan huruf itu. Dia membentak keras sambil berjongkok dan menyabetkan
pedangnya untuk membabat kedua kaki lawan.
“Hyaaaaattttt...!”
Keng Han
meloncat ke atas dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung terbang sehingga
babatan itu hanya lewat di bawah kedua kakinya.
“Jurus ke
sembilan...!” Cu In berseru girang, akan tetapi mendadak wajahnya menjadi pucat
dan ia memandang dengan hati cemas ketika melihat serangan jurus ke sepuluh.
Sekarang Lo
Cit menggerakkan pedangnya ke atas, menyambut tubuh Keng Han yang melompat turun
dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi juga tangan kirinya
menghantam dengan ilmu pukulan Halilintar! Bukan main hebatnya pukulan dan
tusukan pedang ini, sedangkan tubuh Keng Han masih berada di udara.
Sementara
itu, ketika melihat serangan lawan yang nekat dan berbahaya, Keng Han segera
menggerakkan pedang bengkoknya untuk menangkis, sedangkan tangan kirinya juga
dihantamkan ke depan menyambut pukulan Halilintar lawan.
“Tranggg...
desss...!”
Hebat bukan
main pertemuan kedua pedang itu, akan tetapi masih lebih dahsyat lagi pertemuan
kedua telapak tangan. Dan akibatnya, tubuh Lo Cit terdorong sehingga dia
terhuyung ke belakang, sedangkan Keng Han turun ke bawah dengan selamat.
“Jurus ke
sepuluh!” bentak Cu In.
Akan tetapi
agaknya Lo Cit tidak mempedulikan teriakan itu dan kini bahkan menyerang lagi
dengan lebih dahsyat ke arah Keng Han. Dan bersama dengan majunya Lo Cit, kini
beberapa orang murid, di antaranya termasuk Gan Bu Tong, juga hendak melakukan
pengeroyokan.
Melihat
gelagat yang tidak baik ini, Cu In sudah meluncurkan sabuk suteranya yang
berubah menjadi sinar putih menyerang kearah Lo Siu Lan. Siu Lan terkejut akan
tetapi tidak sempat mengelak dan tahu-tahu pinggangnya telah terlibat ujung
sabuk dan sekali Cu In menarik, tubuh Siu Lan terdorong ke arahnya dan ia sudah
menangkap gadis itu dan menodongkan jari-jari tangan kirinya ke atas ubun-ubun
kepala Siu Lan.
“Tahan semua
senjata atau aku akan membunuh Siu Lan!” teriak Cu In dengan suara nyaring.
Toat-beng
Kiam-sian Lo Cit cepat menengok dan wajahnya berubah ketika dia melihat
puterinya telah berada dalam ancaman tangan Cu In. Dia maklum bahwa sekali Cu
In menggerakkan tangan ke arah ubun-ubun kepala anaknya, gadis itu tentu akan
tewas!
“Tahan semua
senjata dan mundur!” bentaknya kepada para muridnya. Semua mundur dan memandang
ke arah Cu In yang masih mengancam Siu Lan.
“Keng Han,
mari kita pergi dari sini. Awas, jangan ada yang mengikuti kami kalau ingin
gadis ini selamat!” kembali Cu In membentak.
Cu In
mendorong Siu Lan agar berjalan di depan, sedangkan ia dan Keng Han berjalan di
belakangnya. Dengan cara ini mereka dapat keluar dari sarang Kwi-kiam-pang
tanpa ada yang berani menghalangi.
Setelah tiba
di luar, Cu In menotok Siu Lan sehingga gadis ini menjadi lemas dan roboh tak
berdaya, kemudian mereka berdua berlari cepat meninggalkan tempat itu. Belasan
li mereka berlari meninggalkan tempat itu sampai mereka memasuki sebuah hutan
yang terdapat di lereng bukit.
Mereka
berhenti melepas lelah dan Keng Han berkata dengan nada suara menegur, “Su-i,
kenapa menggunakan cara yang curang itu untuk menyelamatkan diri?”
“Curang
katamu? Lalu bagaimana dengan Toat-beng Kiam-sian itu? Sudah sepuluh jurus
engkau bertahan terhadap serangannya, ehh, dia malah menyerang lagi dan maju
mengeroyok. Jumlah mereka demikian banyak, bagaimana mungkin kita dapat melawan
mereka? Kalau aku tidak menggunakan akal itu, apa kau kira kita bisa keluar
dengan selamat?”
Keng Han
menundukkan mukanya, harus mengakui kebenaran ucapan gadis itu. “Ahhh, mengapa
di dunia ini banyak orang yang tidak sungkan berlaku curang seperti ketua
Kwi-kiam-pang tadi?”
“Itulah!
Merupakan pelajaran pertama bagimu kalau engkau memasuki dunia kang-ouw, yaitu,
jangan mudah percaya kepada siapa pun juga atau engkau akan tertipu. Lebih
banyak orang yang curang dari pada yang jujur, lebih banyak yang jahat dari
pada yang baik. Nah, sekarang tiba saatnya kita harus berpisah mengambil jalan
masing-masing.”
“Su-i,” Keng
Han berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Kalau perjalanan kita sama, menuju
ke satu jurusan yaitu kota raja, kenapa kita tidak melakukan perjalanan bersama
saja?”
“Tidak
pantas seorang pemuda melakukan perjalanan bersama seorang gadis!”
“Aihh, Su-i,
bukankah engkau ini bibi guruku? Kenapa tidak pantas? Yang penting kita tidak
melakukan sesuatu yang tidak pantas. Pula, agaknya memang sudah semestinya kita
melakukan perjalanan bersama sehingga dapat saling melindungi. Bayangkan saja,
kalau kita tidak melakukan perjalanan bersama, engkau telah celaka di tangan
Tung-hai Lo-mo dan aku sudah celaka di tangan Toat-beng Kiam-sian! Dengan
berdua, kita dapat mengatasi semua bahaya itu.”
Souw Cu In
termenung, agaknya melihat kebenaran dalam ucapan pemuda itu dan kini ia
mempertimbangkan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya.
“Keng Han,
apakah engkau murid keluarga Pulau Es?”
“Bukan,
Su-i. Bahkan aku selama hidup belum pernah bertemu dengan mereka.”
“Akan tetapi
ilmu silatmu itu... aku pernah mendengar subo bercerita tentang ilmu-ilmu
keluarga itu. Katanya ada ilmu yang sifatnya seperti mencorat-coret dengan
tangan atau pedang yang disebut Hong-in Bun-hoat. Tadi engkau menggunakan ilmu
itu, bukan?”
Terhadap
gadis ini Keng Han tidak ingin berbohong. “Memang sesungguhnya aku tadi
memainkan ilmu Hong-in Bun-hoat.”
“Dan kau
bilang bukan murid Pulau Es?”
“Bukan,
Su-i. Aku tidak berbohong. Kudapatkan ilmu ini di sebuah goa di Pulau Hantu,
bersama ilmu-ilmu lain.”
“Ilmu apa
saja? Ahh, kau tidak perlu mengaku kalau hendak merahasiakannya.”
“Kepadamu
aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa, Su-i. Selain Hong-in Bun-hoat, aku juga
menemukan pelajaran ilmu silat Toat-beng Bian-kun, juga ilmu tenaga sakti Hwi-yang
Sinkang dan Swat-im Sinkang.”
Gadis itu
terbelalak dan Keng Han terpesona. Sepasang mata itu demikian indahnya ketika
terbelalak, seperti bintang kembar yang bercahaya terang.
“Tapi semua
itu adalah ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!”
“Entahlah,
Su-i. Aku hanya menemukannya di Pulau Hantu dan telah kupelajari semua itu
selama lima tahun.”
“Pantas saja
engkau mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi dan Toat-beng Kiam-sian. Dan suci telah
mengangkatmu sebagai murid! Betapa lucunya. Padahal suci sendiri tak mungkin
dapat menandingimu. Bahkan subo sendiri belum tentu mampu. Engkau telah
menguasai ilmu-ilmu langka yang sakti, Keng Han.”
Keng Han
tersipu. “Aih, Bibi Guru terlalu memuji. Aku hanya seperti seekor burung yang
baru belajar terbang dan baru saja pergi meninggalkan sarangnya. Aku tak
mempunyai pengalaman apa-apa, maka kalau Su-i sudi melakukan perjalanan
bersamaku, aku dapat belajar banyak.”
“Tidak bisa!
Jika subo mengetahui aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda, tentu dia
akan marah sekali dan aku harus membunuhmu! Nah, pergilah!”
“Akan
tetapi, Su-i...” Suara Keng Han penuh permohonan dan penuh kekecewaan.
“Tidak ada
tapi-tapian, Keng Han. Kita harus berpisah. Pergilah, atau aku akan marah
kepadamu!”
“Su-i...!
kata Keng Han, akan tetapi melihat sinar mata itu mencorong marah, dia lalu
memberi hormat dan berkata, “Baiklah, Su-i, aku tidak berani membantah. Harap
Su-i berhati-hati di jalan dan jagalah dirimu baik-baik, Su-i.”
Dengan wajah
sedih sekali Keng Han lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan gadis itu.
Dia merasa tubuhnya menjadi lemas sehingga segala sesuatu nampak buruk baginya.
Dia merasa kesepian, merasa ditinggalkan oleh sesuatu yang amat berharga
baginya. Kalau tadinya, segala hal nampak menyenangkan, kini menjadi
menyedihkan.
Dia menengok
dan tidak melihat lagi bayangan Cu In. Kesedihan dan kesepian melanda dirinya
sehingga Keng Han tak mampu melangkah lagi. Dia menjatuhkan dirinya duduk di
atas batu dan termenung. Hidupnya terasa hampa. Kerinduan kepada Cu In begitu
mencengkeram hatinya. Membayangkan bahwa dia tak akan dapat bertemu lagi dengan
gadis itu, membuat matanya menjadi basah dan hampir saja dia menangis seperti
anak kecil kalau tidak ditahan-tahannya.
Tiba-tiba
dia menyadari keadaannya dan menepuk kepalanya sendiri. Huh! Mengapa engkau
menjadi cengeng seperti itu? Dia merasa malu kepada diri sendiri, malu kepada
Souw Cu In. Kalau bibi gurunya itu melihat keadaannya, tentu ia akan
menegurnya.
“Tolol!
Cengeng!” Keng Han memaki dirinya sendiri sambil bangkit berdiri, dan dengan
langkah tegap dia melanjutkan perjalanannya menuju ke timur, ke kota raja! Dia
masih memiliki tugas yang teramat penting. Mencari ayah kandungnya.
Souw Cu In
sendiri merasa kesepian dan hatinya terasa berat harus berpisah dari Keng Han.
Gadis ini merasa heran sekali. Belum pernah ia merasa kehilangan seperti ini!
Apa lagi kehilangan seorang sahabat, seorang pria.
Tekanan yang
diberikan subo-nya sejak ia masih kecil membuat ia menganggap setiap orang pria
adalah palsu dan jahat. Apa lagi setelah ia melihat sendiri betapa kaum pria
selalu bersikap menjemukan kalau bertemu dengannya di mana pun. Pria semua mata
keranjang dan ingin menggoda kalau bertemu dengannya.
Akan tetapi
kini dia bertemu Keng Han yang sama sekali berlainan dengan pria yang sering
kali dia bayangkan dan yang pernah dia temukan. Keng Han sama sekali tidak
kurang ajar, bahkan pemuda itu amat sopan dan bersikap baik sekali kepadanya.
Maka, begitu Keng Han meninggalkannya dengan sikap demikian kecewa dan sedih,
hatinya merasa kasihan sekali dan ikut pula berduka dan kehilangan. Baru
sekarang ia merasa kesepian melanda hatinya.
Akan tetapi
gadis yang dididik menjadi keras hati ini dapat menekan perasaannya dan ia pun
melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat sekali. Pada suatu hari tibalah
ia di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Bahkan ia menemukan sebuah kedai
makan di dusun itu. Karena perutnya sudah lapar Souw Cu In memasuki kedai itu
dan memesan makanan dan minuman teh.
Di dalam
kedai teh itu sudah banyak tamu yang sedang makan. Seperti biasa dialami Cu In,
begitu dia memasuki kedai makan itu, banyak mata memandang dan banyak kepala
menengok lalu terdengar suara berbisik-bisik dan tawa yang dibuat-buat. Namun
dia tidak mempedulikan itu semua dan memesan makanannya kepada pelayan yang
menghampirinya.
Tiga orang
pria yang duduk di meja sebelahnya, menghentikan makan mereka ketika melihat Cu
In. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian mewah dan berusia
antara tiga puluh dan empat puluh tahun. Salah seorang di antara mereka, yang
berusia tiga puluh tahun, agaknya menjadi pemimpin mereka.
“Sayang ia
bercadar sehingga kita tidak dapat melihat mukanya,” kata seorang di antara
mereka yang berusia hampir empat puluhan tahun.
“Aku yakin
ia cantik seperti bidadari,” kata orang kedua yang usianya empat puluhan tahun.
“Sudahlah,
lanjutkan makan kalian dan jangan pedulikan orang lain,” kata pemuda yang
berusia tiga puluhan tahun. Dia itu bertubuh tinggi besar, nampak gagah dan
tampan, mukanya bundar dan sepasang matanya lebar sehingga wajah itu nampak
asing.
“Akan
tetapi, Kongcu, yang satu ini berbeda dengan wanita biasa. Kami berani bertaruh
bahwa ia seorang yang luar biasa sekali, penuh rahasia karena muka itu
bercadar,” kata orang pertama.
Orang yang
disebut kongcu itu mencela, “Bila orang menutupi mukanya, apa lagi kalau dia
wanita, tentu dia itu cacat. Sudahlah, mari kita cepat selesaikan makan, kita
harus melanjutkan perjalanan!”
Mereka
melanjutkan makan minum dan karena Cu In makan cepat dan tidak banyak, gadis
ini lebih dulu selesai dan segera membayar makanan dan pergi meninggalkan kedai
makanan itu tanpa mempedulikan orang lain. Tiga orang itu juga sudah selesai
makan dan mereka juga cepat-cepat meninggalkan kedai.
Ketika
berjalan keluar dari dusun itu, Cu In pun tahu bahwa tiga orang itu membayangi
dirinya. Dia pura-pura tidak tahu dan melangkah terus. Akan tetapi setelah tiba
di jalan yang sepi, tiga orang ini berlari cepat menyusulnya.
“Tahan dulu,
Nona!” terdengar suara pria pertama yang berkumis dan berjenggot seperti
kambing.
Cu In
berhenti dan menghadapi tiga orang itu. Dia melihat bahwa dua diantara mereka
memandangnya dengan mulut menyeringai, akan tetapi pemuda berusia tiga puluhan
tahun yang berwajah tampan dan gagah itu bersikap acuh tak acuh.
“Nona, tadi
kita melihatmu di rumah makan,” kata orang kedua yang hidungnya pesek.
“Lalu,
mengapa kalian mengejarku?” tanya Cu In dengan ketus.
“Begini,
Nona. Aku dan temanku ini bertaruh. Aku yakin bahwa wajahmu cantik seperti
bidadari, sebaliknya dia yakin bahwa wajahmu cacat dan buruk. Nah, karena itu
kami harap Nona suka membuka cadar Nona itu sebentar saja agar kami dapat
melihatnya dan menentukan siapa yang menang bertaruh.”
“Aku tidak
peduli kalian bertaruh atau tidak, tetapi aku tidak akan membuka cadarku!” kata
Cu In dengan suara ketus dan marah.
“Aih, Nona.
Mengapa Nona begitu pelit? Memperlihatkan muka sebentar saja, kenapa keberatan?
Nah, kalau begitu biarlah aku yang membuka dan menyingkap cadar itu!” kata si
jenggot kambing dan tangannya meraih ke arah cadar di muka Cu In. Gadis ini
mengelak mundur dan sambaran tangan itu luput.
“Siapa
berani membuka cadarku dia akan mati!” kata Cu In dengan suara membentak.
Akan tetapi
agaknya si jenggot kambing dan si hidung pesek menganggap gertakan Cu In ini
kosong belaka. Bahkan si hidung pesek tertawa.
“Ha-ha-ha,
Thian-ko. Mari kita bertaruh lagi, siapa di antara kita yang lebih dulu dapat
membuka cadar Nona ini!”
Si jenggot
kambing tertawa. “Ha-ha-ha, baik sekali! Jadi taruhan kita ada dua, mengenai
muka gadis ini dan siapa yang lebih dulu menyingkap cadar!”
Keduanya
lalu menerjang maju. Tangan mereka meraih untuk menyambar cadar putih yang
menutupi muka Cu In. Leaki ketiga yang berwajah tampan itu masih memandang
dengan tidak peduli.
Marah sekali
hati Cu In. Cepat ia mengelak sambil berloncatan dari serangan kedua orang yang
hendak merenggut cadarnya dan ia pun menampar dengan pukulan Tangan Beracun.
Akan tetapi kagetlah ia melihat betapa dua orang itu pun mampu mengelak dengan
cepat. Kini keadaannya berubah. Dua orang itu bukan berebutan membuka cadar,
melainkan mengeroyok gadis itu. Terjadilah perkelahian yang seru.
Akan tetapi,
dua orang itu kecelik karena kini mereka bertemu batunya. Ternyata gadis
bercadar itu lihai bukan main dan mereka terdesak hebat oleh pukulan dan
tendangan Cu In. Padahal, kedua orang itu mengira bahwa mereka adalah
orang-orang lihai yang jarang bertemu tanding!
Melihat ini,
sepasang mata lebar dari pemuda tampan itu bersinar-sinar.
“Kalian
mundurlah!” bentaknya, dan sekarang dia sendiri yang maju melawan Cu In. Dua
orang kawannya menaati perintahnya dan mundur menjadi penonton.
Cu In
terkejut setengah mati. Pemuda itu ternyata lihai bukan main, berani menangkis
Tangan Beracunnya, bahkan setiap kali tertangkis dia merasa lengannya tergetar
hebat. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh dan juga mempunyai tenaga
sinkang yang amat kuatnya.
Cu In yang
maklum bahwa lawannya tangguh, segera melolos sabuk suteranya yang menjadi
senjatanya yang ampuh, dan mulai menyerang dengan sabuk suteranya. Akan tetapi
pemuda itu dapat mengelak atau menangkis sambil mencoba untuk menangkap ujung
sabuk sutera putih itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal.
Sabuk sutera
itu seolah hidup di tangan Cu In, bergerak seperti seekor ular dan setiap kali
ditangkap dapat melesat cepat menghindar, lalu menyerang lagi dengan patukan
yang mengarah jalan darah karena sesungguhnya senjata lemas itu dapat
dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Selagi
ramai-ramainya kedua orang ini bertanding, tiba-tiba berkelebat bayangan orang
dan terdengar suara Keng Han.
“Bibi guru,
harap minggir, biar aku yang menghadapinya!”
Bagaimana
Keng Han dapat tiba di situ? Perjalanannya dengan Cui In memang searah,
sama-sama ke timur sehingga tidak aneh kalau dia juga lewat di situ. Ketika
dari jauh dia melihat perkelahian itu, jantungnya berdebar penuh kegembiraan
dan ketegangan karena siapa lagi wanita yang berpakaian putih bersenjata sabuk
sutera putih itu kalau bukan Souw Cu In?
Melihat
orang yang dirindukannya ini hatinya merasa girang sekali, akan tetapi juga
tegang melihat betapa lawan bibi gurunya itu amat tangguh. Apa lagi setelah
dekat dia mengenal pemuda itu sebagai Gulam Sang yang pernah ditandinginya!
Gulam Sang,
putera mendiang gurunya! Bahkan gurunya sebelum meninggal dunia sudah berpesan
agar dia bekerja sama dengan puteranya itu. Maka cepat dia meloncat datang dan
menyuruh bibi gurunya supaya minggir.
Gulam Sang
juga mengenal Keng Han sebagai pemuda tangguh yang pernah menjadi lawannya. Dia
menjadi penasaran karena tadi belum sempat mengalahkan Cu In yang sudah
didesaknya.
“Siapakah
engkau yang mencampuri urusan kami?” bentaknya dan dia memandang kepada Keng
Han dengan mata yang lebar itu mencorong.
“Bukankah
namamu Gulam Sang dan engkau adalah putera dari Gosang Lama?” tanya Keng Han
sambil membalas pandang mata mencorong itu.
Gulam Sang
nampak terkejut dan melangkah mundur setindak mendengar pertanyaan itu. “Siapa
engkau? Apa hubunganmu dengan Gosang Lama?”
Keng Han
melihat betapa keterkejutan pemuda tinggi besar itu agak dibuat-buat karena
suaranya masih biasa saja, hanya tadi seolah sengaja melangkah mundur.
“Aku adalah
muridnya. Sebelum suhu Gosang Lama meninggal dunia, dia berpesan kepadaku agar
dapat bekerja sama denganmu. Akan tetapi kenapa engkau bertempur melawan bibi
guruku ini? Ia adalah bibi guruku dan mustahil ia melakukan kesalahan sehingga
engkau turun tangan bertempur dengannya.”
Wajah Gulam
Sang berubah kemerahan dan dia menoleh kepada dua orang kawannya.
“Kawan-kawanku ini yang usil, maka terjadilah perkelahian. Mereka hendak
menyingkap tabir yang menutupi wajah Nona ini.”
Keng Han
mengerti mengapa mereka berkelahi. Tentu saja bibi gurunya tidak sudi dibuka
cadarnya dan masih beruntung mereka berdua itu tidak sampai dipukul mati.
“Kalian
sudah bertindak lancang. Mengingat engkau putera suhu Gosang Lama, biarlah aku
mintakan ampun kepada bibi guruku,” kata Keng Han sambil menoleh.
Akan tetapi
ternyata Cui In sudah tidak nampak, sudah pergi dari tempat itu tanpa pamit.
Ketika tadi Keng Han muncul, Cu In juga merasa berbahagia sekali. Akan tetapi
ketika mendengar bahwa pemuda tinggi besar itu putera guru Keng Han, Cu In
menjadi marah dan pergi tanpa pamit.
“Ehhh, ke
mana bibi guru?”
Si jenggot
kambing yang menjawab. “Ia sudah pergi sejak tadi.”
Keng Han
memandang kepada si jenggot kambing dan si hidung pesek dengan marah. “Kalian
berdua telah melakukan kesalahan, hayo cepat minta maaf kepadaku dan aku akan
memaafkan atas nama bibi guruku!”
Kedua orang
itu memandang kepada Golam Sang yang mengangguk. Keduanya lalu mengangkat kedua
tangan di depan dada, memberi hormat kepada Keng Han, “Harap sampaikan maaf
kami kepada nona tadi.”
“Saudara
yang baik, siapa namamu dan sejak kapan engkau menjadi murid ayahku?”
“Namaku Si
Keng Han dan semenjak berusia sepuluh tahun aku menjadi murid Gosang Lama
selama lima tahun.”
“Kalau
begitu engkau masih saudaraku sendiri walau pun aku sendiri sejak kecil tidak
pernah bertemu dengan mendiang ayahku. Apa saja yang dipesankan ayah kepadamu
sebelum dia meninggal?”
“Dia
berpesan agar aku bekerja sama denganmu, saling bantu.”
“Bagus
sekali! Mari kita kembali ke dusun dan mencari penginapan supaya kita leluasa
bicara.”
Keng Han
tidak menolak, karena percuma saja andai kata dia akan mengejar Cu In yang
pergi tanpa pamit . Dan dia pun ingin mengenal lebih baik putera suhu-nya ini
yang berkepandaian tinggi dan yang menurut Dalai Lama pernah menjadi murid
Dalai lama yang sakti.
Mereka
kembali ke dusun dan menyewa kamar, kemudian bercakap-cakap berdua saja di
kamar yang disewa Keng Han.
“Nah,
sekarang katakanlah apa yang hendak kau bicarakan, Gulam Sang. Kerja sama yang
bagaimana yang dapat kita bersama lakukan.”
“Nanti dulu,
Keng Han. Aku ingin tahu siapakah orang tuamu dan sekarang ini engkau hendak ke
mana? Kita harus terbuka dan menceritakan keadaan masing-masing, baru kita
dapat bekerja sama, bukan?”
Keng Han
mengangguk-angguk. Dia belum percaya kepada pemuda tinggi besar ini, akan
tetapi bagaimana pun juga, pemuda ini adalah putera Gosang Lama yang pernah
menjadi gurunya yang baik.
“Terus
terang saja, saudara Golam Sang. Ibuku adalah seorang wanita Khitan, puteri
seorang kepada suku di sana dan ayahku...”
Ia berhenti
dan meragu. Haruskah dia mengatakan rahasia tentang ayahnya...?
“Dan ayahmu
tentu bukan orang Khitan!” kata Golam Sang.
“Engkau
benar. Ayahku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng.”
“Ahhh...!”
Gulam Sang nampak terkejut. “Siapa nama ayahmu yang pangeran itu?”
“Nama ayahku
adalah Tao Seng, jadi aku she Tao bernama Keng Han.”
“Ahhh...!”
kembali Golam Sang terkejut. “Apakah Pangeran Tao Seng yang dua puluh tahun
lalu dihukum buang itu?”
“Agaknya
engkau mengetahui banyak hal tentang ayahku, saudara Golam Sang.”
“Aku hanya
mendengar saja bahwa ada dua orang pangeran yang dihukum buang.”
“Dan tahukah
engkau di mana ayahku itu sekarang?”
“Aku tidak
tahu, mungkin di kota raja, mungkin juga masih di tempat pembuangannya, di
Barat. Akan tetapi engkau tentu dapat mencari keterangan di kota raja.
Kebetulan aku mengenal seorang pensiunan pejabat tinggi yang dahulu mempunyai
hubungan erat dengan ayahmu. Kau carilah dia di kota raja dan dia pasti akan
dapat memberi tahu di mana ayahmu. Namanya Ji Soan dan dikenal dengan sebutan
Ji-wangwe (hartawan Ji) karena sekarang dia sudah menjadi seorang saudagar yang
kaya raya. Kau tanyakan kepada siapa saja di mana rumahnya Ji-wangwe, tentu
dengan mudah engkau akan dapat menemukannya.”
“Ahh, terima
kasih, Gulam Sang. Keteranganmu ini penting sekali bagiku. Besok pagi-pagi aku
akan langsung menuju ke kota raja untuk mencari Ji-wangwe itu.”
“Kabarnya,
ayahmu itu difitnah dan dia dihukum dalam keadaan penasaran sekali.”
“Difitnah?”
tanya Keng Han, ingin sekali tahu.
“Ya,
kabarnya yang melakukan fitnah adalah seorang pangeran lain yang kini menjadi
Pangeran Mahkota.”
“Aku
mendengar dari ibuku bahwa ayahku itu adalah Pangeran Mahkota.”
“Mungkin
benar demikian. Mungkin karena dia adalah seorang Pangeran Mahkota, ada
pangeran lain yang iri hati dan melakukan fitnah sehingga dia dihukum buang.”
“Siapakah
pangeran jahat itu?”
“Dia adalah
Pangeran Mahkota Tao Kuang. Akan tetapi urusan itu aku pun tidak tahu banyak.
Yang lebih mengetahui adalah Hartawan Ji itu. Bagaimana pun juga, Pangeran Tao
Kuang dan Kaisar Cia Cing itu adalah musuh besarmu karena mereka yang telah
mencelakakan dan menghukum ayahmu.”
“Kalau benar
ayahku terhukum dengan penasaran, aku akan membalas dendam!” kata Keng Han
dengan hati panas.
“Bagus!
Dalam hal ini, kita dapat bekerja sama. Kita akan sama-sama berjuang untuk
menggulingkan pemerintahan Ceng yang dipegang oleh Cia Cing dan kelak dipegang
oleh Pangeran Tao Kuang itu! Kita bekerja sama dengan teman-teman
seperjuangan.”
“Hemm, kau
maksudkan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang dulu kau bantu
mengeroyok kami itu? Mereka itu bukan orang-orang baik. Aku sudah mendengar
sepak terjang orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Mereka adalah
orang-orang jahat yang berkedok perjuangan. Bagaimana kita dapat bekerja sama
dengan mereka?”
“Nah, di
sini letak kesalah pahaman itu. Engkau berpikiran seperti ketua Thian-li-pang
itu. Kalau kita sungguh-sungguh hendak berjuang menentang pemerintahan, kita
harus mempersatukan semua tenaga dari pihak mana pun. Karena itu kita harus
bersatu padu tanpa mempedulikan watak masing-masing, untuk bersama-sama
menghadapi pasukan pemerintah yang kuat. Aku lebih condong menyetujui pendapat
ketua Bu-tong-pai!”
“Ahh, engkau
juga hadir ketika ada rapat besar itu?”
“Tentu saja.
Aku hadir sebagai pendengar saja. Nah, bagaimana pendapatmu?”
Keng Han
mulai meragu. “Agaknya engkau benar. Aku harus membalas dendam atas kematian
ayahku kalau benar dia sudah mati secara penasaran dan difitnah. Aku suka
bekerja sama denganmu, Gulam Sang.”
Gulam Sang
menjabat tangan Keng Han. “Bagus, kita akan bekerja sama kelak. Kau tunggu saja
di rumah Hartawan Ji, karena dia pun sudah menjadi sekutu kami untuk melakukan
pemberontakan. Pergilah engkau ke sana, cari keterangan tentang ayahmu dan
katakan kepada Ji-wangwe bahwa engkau adalah sahabat dan sekutuku yang suka
untuk bekerja sama.”
Demikianlah,
Keng Han yang masih hijau dalam pengalaman itu percaya sepenuhnya kepada Gulam
Sang karena orang ini adalah putera gurunya yang sudah meninggalkan pesan agar
dia bekerja sama dengan Gulam Sang….
Yo Han dan
Tan Sian Li tidak dapat membantah atau melarang lagi ketika Yo Han Li
menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin merantau untuk mencari pengalaman.
“Bukankah
Ibu dahulu ketika masih muda juga suka merantau mencari pengalaman di dunia
kangouw sehingga Ibu dijuluki Si Bangau Merah di dunia kang-ouw? Juga Ayah
mendapat julukan Pendekar Tangan Sakti karena perantauannya di dunia kangouw.
Saya hanya ingin merantau dan meluaskan pengalaman saja. Saya tidak ingin
mengejar nama julukan dan saya akan selalu berhati-hati agar tak terpancing
dalam permusuhan.”
Demikian
ucapan Yo Han Li yang membuat ayah ibunya tidak dapat membantah lagi dan
terpaksa memberi ijin kepada puterinya untuk merantau. Siapa tahu justru dalam
perantauannya itu puteri mereka akan bertemu dengan jodohnya. Mereka tidak
perlu khawatir karena sekarang Han Li sudah memiliki tingkat kepandaian yang
sebanding dengan tingkat ibunya, sudah cukup kuat untuk menjaga diri.
“Baiklah,
kami mengijinkan engkau untuk pergi merantau meluaskan pengalaman. Akan tetapi
engkau harus berjanji tidak akan pergi lebih lama dari satu tahun. Dalam waktu
setahun engkau harus sudah pulang,” kata Yo Han. “Di dunia kangouw sedang kacau
karena partai besar seperti Bu-tong-pai hendak memberontak dan mengajak
partai-partai sesat untuk bekerja sama. Engkau jangan terpikat oleh mereka itu.
Perjuangan kita lain sifatnya. Kita pantang bekerja sama dengan penjahat dan
kita bergerak melihat suasana.”
“Aku
berjanji, Ayah,” kata Han Li.
“Hati-hatilah,
anakku,” kata Tan Sian Li. “Jangan engkau mencari permusuhan dengan siapa pun.
Meski pun engkau harus membela kebenaran dan keadilan, membela yang tertindas
dan menentang yang jahat, namun kalau tidak terpaksa sekali jangan engkau
membunuh orang. Dan yang harus kau ingat benar, jangan sekali-kali percaya
begitu saja kepada mulut manis seseorang, karena di dunia kangouw banyak sekali
penjahat yang bermuka dan bermulut manis. Engkau harus pandai menjaga harga
dirimu, walau pun tidak perlu tinggi hati. Jika sekiranya ada bahaya mengancam,
sebut nama julukan ayahmu dan nama julukanku, mungkin dapat menolongmu.”
“Baik, Ibu.
Aku akan selalu ingat akan nasehat Ayah dan Ibu.”
Tiga hari
kemudian, Yo Han Li berangkat meninggalkan Thian-li-pang yang berpusat di Bukit
Naga itu dan turun gunung untuk memulai dengan perantauannya. Ia membawa sebuah
buntalan pakaian dan sekantung uang. Tidak lupa ia membawa pula sebatang pedang
pemberian ayahnya yang selalu dipakainya untuk berlatih silat pedang.
Ayah dan
ibunya mengantar puteri mereka sampai keluar pintu gerbang. Bagaimana pun juga,
kedua orang tua ini mengkhawatirkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal.
Mereka tahu bahwa justru kecantikan gadis itu yang akan banyak memberikan
gangguan pada puteri mereka.
Yo Han Li
yang berusia delapan belas tahun itu memang cantik. Wajahnya mirip dengan
ibunya. Mukanya bulat telur dan kulitnya putih mulus, mata agak lebar dan
hidungnya mancung. Mulutnya selalu tersenyum agak mengejek dan dihias lesung
pipit di pipi kiri.
Tubuhnya
sedang dan ramping. Ia berpakaian sederhana, dari sutera berwarna biru dan
kuning. Sepatunya dari kulit berwarna hitam. Ia membawa pedang di pinggangnya
dan buntalan pakaiannya berada di punggungnya.
Apa yang
dikhawatirkan ayah ibu gadis itu ternyata terbukti, bahkan baru sehari setelah
gadis itu meninggalkan rumahnya. Sore itu tibalah Han Li di sebuah bukit yang
masih bertetangga dengan Bukit Naga. Dari bukit itu, kalau ia menoleh, ia akan
melihat Bukit Naga yang dari situ nampak memanjang dan berlekuk-lekuk seperti
tubuh seekor naga, dan karena bentuknya itulah maka bukit itu disebut Bukit
Naga.
Ketika Han
Li sedang melangkah maju dengan cepat untuk mencari dusun di mana ia dapat
melewatkan malam, tiba-tiba muncullah dua belas orang laki-laki yang kelihatan
kasar. Pakaian mereka tidak karuan dan sikap mereka kasar sekali, mata mereka
liar dan bengis, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang muka codet,
yaitu terdapat cacat bekas goresan senjata pada pipi kirinya.
Melihat
seorang gadis berjalan seorang diri, dua belas orang itu tertawa senang dan si
muka codet itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha,
sungguh tidak kusangka di tempat sesunyi ini terdapat seorang nona yang
cantiknya seperti bidadari! Eh, Manis, engkau siapakah dan hendak pergi ke
mana?”
Han Li belum
pernah bertemu dengan orang-orang macam itu, akan tetapi dia sudah mendengar
banyak cerita dari ayah ibunya mengenai orang-orang kasar yang biasanya menjadi
perampok. Maka kini dia pun dapat menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan
segerombolan perampok.
“Aku seorang
gadis perantau yang hendak mencari dusun di depan sana. Harap kalian tidak
menghalangiku pergi.”
“Ha-ha-ha,
untuk apa mencari dusun? Kalau hanya hendak melewatkan malam, ikutlah bersama
kami dan kita bersenang-senang. Kami mempunyai banyak arak dan kami pun telah
menangkap beberapa ekor lembu dari dusun yang kami lewati. Kita berpesta pora.
Mari, Nona!” kata si codet yang menjadi pimpinan gerombolan perampok itu.
Tangan si
codet itu sudah dijulurkan ke depan untuk merangkul pinggang yang ramping itu,
tapi dengan cepat Han Li sudah melangkah mundur. Pandang matanya mencorong
ketika ia berkata, suaranya masih lembut namun mengandung ancaman.
“Sudah
kukatakan, harap jangan halangi dan ganggu aku atau kalian akan menyesal
nanti!”
“Ehhh?
Engkau mengancam kami? Ho-ho-ho-ha-ha, agaknya karena engkau membawa pedang
engkau dapat mengancam kami? Menyerahlah, Nona, dan aku akan bersikap manis
padamu. Kalau engkau berkeras, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan
menangkapmu!”
“Hemmm, sombongnya!
Boleh kau coba kalau engkau mampu menangkap aku!” kata Han Li dan seluruh urat
syaraf di tubuhnya siap untuk menghadapi penyerangan lawan.
“Heiii,
kalian dengar, kawan-kawan? Ia menantangku, ha-ha-ha!”
Semua anak
buahnya juga tertawa. “Jangan sampai dia terluka, sayang kalau sampai terluka,
Toako!”
“Jangan
sampai kulit yang putih mulus itu lecet!”
“Ha-ha-ha,
sekali ringkus saja ia pun akan berada dalam pelukanku. Kalian lihat saja!”
Tiba-tiba si
codet menubruk dengan amat cepatnya. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan
dan jari-jari kedua tangannya menyambar ke depan untuk menerkam Han Li.
Namun dengan
lincah dan mudah saja Han Li menyelinap dan mengelak dari terkaman itu. Ia
melihat bahwa lawannya itu hanya seorang yang mengandalkan kekuatan otot saja
dan gerakannya terlalu lamban baginya. Begitu mengelak, ia sudah menyelinap ke
belakang si codet dan sekali kaki kirinya bergerak, sepatu hitamnya sudah
menendang pantat si codet sehingga tubuh tinggi besar itu jatuh tersungkur!
Semua anak buah
kaget bukan main melihat betapa pimpinan mereka tertendang roboh oleh gadis itu
hanya dalam segebrakan saja. Akan tetapi si codet menjadi penasaran dan marah
sekali karena malu.
Dia
merangkak bangun, lalu menghadapi Han Li dengan muka bengis dan kemerahan,
kedua tangannya dibuka seperti cakar harimau dan tanpa banyak cakap lagi
sekarang dia menyerang dengan pukulan dan tamparan. Sepak terjangnya ganas dan
liar seperti seekor harimau.
Namun bagi
Han Li gerakan itu terasa amat lambat sehingga mudah sekali baginya untuk
mengelak ke kanan kiri dan setelah mendapatkan kesempatan, tangan kirinya
menampar, kini mengenai leher si codet yang kembali terpelanting roboh dan
sekali ini agak lambat dapat bantuan. Kepalanya terasa pening dan lehernya
terasa seperti patah!
Akan tetapi
hajaran kedua kali itu agaknya tidak membuat kepala gerombolan perampok itu
jera. Dia bahkan mencabut golok besarnya dari pinggang dan memutar-mutar golok
itu di atas kepala dengan sikap mengancam. Dia tidak lagi menyayang gadis
cantik itu dan kalau perlu akan disembelihnya untuk meredakan kemarahannya.
Melihat cara
orang mencabut golok dan memutar-mutar di atas kepalanya, tahulah Han Li bahwa
orang ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja, maka ia pun tak mau mencabut
pedangnya. Dia siap menghadapi serbuan orang bergolok itu dengan tangan kosong
saja.
“Bocah
setan, mampuslah kau sekarang!” bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan
ganasnya. Goloknya berayun dari kanan ke kiri membabat ke arah leher Han Li.
Dengan
menundukkan kepala Han Li sudah mengelak. Golok lewat menyambar di atas
kepalanya, kemudian membalik menyambar dari kiri ke kanan membabat pinggangnya!
Dengan geseran kaki ke belakang, kembali Han Li membiarkan golok itu lewat.
Setelah dua
kali bacokannya dengan mudah dapat dielakkan lawan, si codet menjadi semakin
penasaran.
“Hyaaaattt...!”
Dia berteriak nyaring dan kini goloknya menusuk ke arah perut gadis itu.
Han Li
menggeser kaki ke kiri. Ketika golok itu lewat di dekat perutnya, dia melangkah
maju dan secepat kilat tangannya menampar, kini dengan tenaga yang lebih besar
dan tamparan tangannya menghantam bawah leher kepala perampok itu.
“Plakkk...
ughhhhh...!”
Tubuh itu
terbanting keras dan tak dapat bangun kembali. Tamparan tadi amat hebatnya dan
membuat kepalanya seperti remuk, bumi berputar dan matanya menjadi juling.
Sebelas
orang anak buahnya melihat betapa pimpinan mereka roboh segera mencabut golok
masing-masing dan dengan teriakan-teriakan dahsyat mereka serentak menyerbu dan
mengeroyok Han Li yang bertangan kosong dari berbagai jurusan. Akan tetapi
mereka terkejut bukan main.
Gadis yang
tadi berada di tengah-tengah mereka tiba-tiba melayang ke atas dan sudah berada
di belakang mereka. Mereka membalik, tetapi dua kali kaki Han Li melayang dan
dua orang di antara mereka roboh.
Han Li
mengamuk di antara pengeroyokan gerombolan itu dan membagi-bagi tamparan
tangannya yang ampuh dan tendangan. Dalam waktu beberapa menit saja dua belas
orang itu sudah jatuh bangun dan akhirnya, dipimpin oleh si codet, mereka
melarikan diri seperti sekawanan monyet melihat singa betina mengamuk.
Han Li
tersenyum geli dan mengibas-ngibaskan dua tangannya, mengebutkan bajunya supaya
bebas dari kotoran debu, kemudian ia pun melanjutkan perjalanan seperti tak
pernah terjadi sesuatu. Ia sudah mendapatkan pengalaman yang menarik dan ia
sudah memenuhi pesan ayah ibunya, yaitu menentang kejahatan namun tidak
sembarangan membunuh orang. Kalau ia menghendaki, kiranya tidak sukar baginya
untuk membunuh semua lawan tadi.
Han Li
melanjutkan perjalanannya. Yang dituju adalah ke kota raja. Ia sudah mendapat
keterangan dari ayah ibunya di manakah adanya kota raja, dan ia ingin sekali
melihat kota yang besar dan indah itu. Sudah banyak ia mendengar mengenai
keindahan kota raja, namun belum pernah ia melihatnya.
Dengan cepat
ia menuruni lereng bukit itu menuju ke sebuah dusun yang dilihatnya dari lereng
bukit tadi dan mencari tempat untuk bermalam di dusun itu. Sepasang suami
isteri petani yang sederhana dengan senang hati memberikan kamar mereka untuk
Han Li yang menyewanya…..
Beberapa
pekan telah lewat tanpa ada halangan sesuatu yang mengganggu perjalanan Yo Han
Li. Pada suatu pagi tibalah ia di tepi Sungai Kuning di daerah Propinsi Shansi.
Niatnya akan pergi ke kota Tai-goan dan dari sana terus ke kota Peking.
Ia berjalan
menyusuri sungai besar itu untuk mencari tumpangan perahu yang akan dapat
menyeberangkannya. Akan tetapi tepi di mana ia tiba itu sangat sunyi, tidak ada
dusun nelayan di situ. Dan perahu-perahu yang sedang berlayar itu berada di
tengah sungai sehingga ia tidak dapat menghubungi mereka.
Tiba-tiba ia
melihat seorang kakek sedang memancing ikan. Kakek itu duduk di atas sebongkah
batu di tepi sungai dan memegangi tangkai pancing dari batang bambu kecil,
matanya penuh perhatian memandang joran pancingnya.
Memang
itulah nikmatnya seorang pemancing ikan. Memperhatikan joran pancingnya dengan
penuh harapan dan begitu joran pancingnya bergerak, begitu tangan yang memegang
tangkai pancing itu merasakan sentakan, itu tandanya umpan disambar ikan dan
pada saat yang tepat menggerakkan tangkai pancingnya ke atas supaya pancing
dapat menusuk mulut ikan!
Han Li tidak
mengerti tentang seni memancing ikan. Kalau pemancing ikan sedang mencurahkan
segenap perhatian kepada joran pancingnya, dia sama sekali tidak boleh ditegur
atau diganggu. Karena tidak tahu, Han Li menghampiri kakek itu dari belakang
dan bertanya, “Kakek yang baik, tahukah engkau di mana aku bisa menyewa perahu
untuk menyeberangkan aku?”
Kakek yang
sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada joran pancingnya serta melupakan
segala yang berada di sekelilingnya itu terkejut dan marah.
“Apakah
engkau tidak melihat bahwa aku sedang memancing?!” kakek itu membentak tanpa
menoleh.
Han Li
sangat terkejut. “Maafkan kalau aku mengganggu. Kalau engkau dapat memberi
keterangan padaku di mana aku dapat menyewa perahu, biarlah aku beri sedikit
uang agar engkau dapat membeli ikan, dari pada susah payah memancing.”
Tapi kakek
itu menjadi lebih marah lagi. “Aku tidak butuh ikannya! Aku membutuhkan
ketenangan memancingnya. Kalau aku ingin ikan, tidak usah membeli. Dan kalau
hanya menangkap ikan, apa sih sukarnya? Kau lihat!”
Tiba-tiba
kakek itu menggerakkan ujung tangkai pancingnya ke dalam air seperti orang
menusuk dengan tombak. Ketika dia mengangkat tangkai pancing itu... di ujung
tangkai dari bambu itu sudah tertusuk seekor ikan besar yang
menggelepar-gelepar.
Han Li
terkejut sekali. Ia maklum bahwa kakek ini seorang yang berkepandaian tinggi,
maka ia memberi hormat dan berkata, “Harap Locianpwe suka memaafkan kalau aku
sudah mengganggu ketenangan Locianpwe.”
“Enak saja
mengganggu ketenanganku, engkau bahkan sudah menghilangkan seleraku memancing!”
Kakek itu
melemparkan ikan dan tangkai pancingnya ke air, lalu membalikkan tubuhnya
sambil melompat berdiri. Ternyata kakek itu gemuk dan pendek sekali, bahkan
masih kalah tinggi dibandingkan Han Li. Wajahnya seperti kanak-kanak,
telinganya lebar dan matanya kemerahan. Wajah itu mendatangkan rasa ngeri dalam
hati Han Li.
Ketika kakek
itu melihat Han Li, matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. “Aha, kiranya
yang menggangguku adalah seorang gadis yang cantik jelita. Nona, engkau ini
manusia ataukah penunggu sungai ini?”
Dalam ucapan
dan pandang mata kakek itu terkandung keceriwisan seorang yang mata keranjang,
maka Han Li lalu memutar tubuhnya hendak pergi dari situ tanpa menjawab
pertanyaan tadi. Akan tetapi ketika ia memutar tubuh dan baru melangkah, tiba-tiba
ada bayangan orang melewatinya dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di
depannya.
“Ho-ho-ho,
nanti dulu, Nona. Engkau sudah menggangguku dan sekarang hendak pergi begitu
saja? Tidak bisa, tidak boleh! Engkau harus dihukum untuk gangguanmu tadi.”
“Locianpwe,
atas kesalahan itu aku tadi telah minta maaf dan bersedia untuk mengganti
kerugianmu. Harap Locianpwe tidak menghalangiku dan biarkan aku pergi
melanjutkan perjalananku.”
“Ha-ha-ha,
enak saja! Orang yang telah menggangguku selagi memancing, seharusnya dihukum
mati. Akan tetapi melihat engkau begini cantik, biarlah hukuman itu kuubah.
Engkau tidak akan kuhukum mati, tetapi harus menjadi pelayanku selama satu
minggu!”
“Engkau
keterlaluan, Locianpwe. Aku tak mau menjadi pelayanmu walau hanya sehari, apa
lagi seminggu.”
“Hemmm,
keputusan hukumanmu tidak dapat diubah lagi. Mau atau tidak engkau harus
menjadi pelayanku selama seminggu.”
“Aku tidak
sudi dan harap jangan halangi aku pergi!” kata Han Li dengan marah.
Han Li lalu
membalikkan tubuh lagi untuk meninggalkan kakek pendek gemuk itu. Akan tetapi
kembali ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu kembali telah berada di
depannya, mengembangkan kedua lengannya sambil menyeringai.
“Engkau
tidak boleh pergi sebelum aku membebaskanmu!” katanya.
Han Li
menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya dia mendorong pundak kakek itu
sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Akan tetapi betapa terkejutnya Han Li
ketika tangannya bertemu dengan pundak yang sekokoh baja dan tubuh itu sama
sekali tidak tergoyangkan dorongannya!
“Ha-ha-ha,
mana bisa engkau menyuruhku pergi?” Kakek itu mengejek.
Dalam
kemerahannya, Han Li lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar dada kakek
itu. Tamparannya ini kuat sekali karena ia mengerahkan tenaga sinkang.
“Wuuuuuttt...plakkk!”
Untuk kedua
kalinya ia terkejut dan merasa heran. Tamparannya tadi demikian kuatnya
sehingga akan mampu menghancurkan sebongkah batu. Akan tetapi ketika mengenai
dada kakek itu, pukulannya itu tidak berarti sama sekali, tenaga sinkang-nya
bagaikan tenggelam dan hilang sendiri. Ini hebat! Karena maklum bahwa ia
berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya berniat jahat terhadap
dirinya, Han Li lalu menyerang dengan ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti
Bangau Merah) yang dipelajari dari ibunya!
Kakek itu
pun mengeluarkan seruan heran dan tubuhnya demikian cepatnya mengelak ke sana
sini, lalu dia berseru sambil meloncat ke belakang. “Hei, bukankah ini Ang-ho
Sin-kun? Apa hubunganmu dengan Si Bangau Merah?”
Han Li
merasa bangga bahwa kakek ini mengenal ilmu silat ibunya. “Beliau adalah ibu
kandungku!”
“Ho-ho-ho,
kebetulan sekali, tidak dapat menghajar ibunya, anaknya pun boleh mewakili
ibunya. Nah, kini hukumanmu ditambah lagi. Engkau harus menjadi pelayanku
selama satu bulan penuh. Sama sekali tidak boleh ditawar-tawar lagi dan kelak
engkau boleh bercerita kepada Si Bangau Merah bahwa engkau pernah menjadi
pelayanku selama satu bulan! Ha-ha-ha!”
“Kakek yang
sesat! Kalau ayahku mengetahui hal ini, engkau tentu akan dihajar sampai
setengah mampus! Ayah kandungku adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han!”
“Ha-ha-ha,
itu aku sudah tahu karena aku pernah mendengar bahwa Si Bangau Merah telah
menikah dengan Si Tangan Sakti. Karena itu, sampai hari ini perasaan penasaran
di hatiku kupendam saja. Dan sekarang engkau muncul tanpa kusangka-sangka.
Biarlah rasa penasaran ini kutumpahkan kepadamu!”
“Apa
kesalahan ibuku sehingga engkau hendak membalas dendam melalui penghinaan atas
diriku?”
“Dulu, pada
waktu mudanya, Si Bangau Merah pernah mencampuri satu urusanku dan membikin
malu diriku sehingga belasan tahun aku tak ada muka untuk muncul di dunia
kang-ouw. Akan tetapi sekarang, ha-ha-ha, biar dia dibantu suaminya, aku tidak
akan merasa gentar. Nah, hayo cepat berlutut dan beri hormat kepada majikanmu!”
“Aku tidak
sudi!” jawab Han Li.
“Kalau
begitu aku akan memaksamu berlutut!”
Kakek itu
kemudian menggerakkan tangan kirinya ke arah pundak Han Li. Han Li cepat
mengelak, akan tetapi tetap saja merasa pundaknya dilanda angin yang mengandung
hawa panas. Ia meloncat ke belakang dan cepat mencabut pedangnya.
“Kalau
engkau tidak menghentikan perbuatanmu, terpaksa pedangku ikut bicara!”
“Ha-ha-ha-ha,
pedang mainan kanak-kanak itu hendak kau pakai untuk menakut-nakuti aku?
Ha-ha-ha-ho-ho!”
Han Li maklum
bahwa kakek ini sudah nekat, maka ia kemudian memainkan ilmu silat Koai-liong
Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang ia pelajari dari ibunya pula. Ilmu
pedang ini hebat bukan main. Saat ia menggerakkan pedangnya, pedang itu mengaum
seperti seekor singa marah. Pedangnya berkelebatan dan membentuk gulungan sinar
pedang yang dahsyat.
Ilmu pedang
ini berasal dari Lembah Naga Siluman yang dikuasai oleh Kam Hong. Kam Hong
mengajarkan kepada puterinya, Kam Bi Eng dan Kam Bi Eng menurunkan kepada Tan
Sian Li Si Bangau Merah. Kini Tan Sian Li menurunkan kepada puterinya, Yo Han
Li.
Sebetulnya,
ilmu pedang ini merupakan gabungan ilmu pedang dan ilmu silat suling dan
biasanya Tan Sian Li memainkannya dengan sebatang suling berselaput emas. Akan
tetapi Yo Han Li tidak suka menggunakan suling, maka oleh ibunya lalu diganti
pedang. Walau pun dengan pedang ilmu itu menjadi Ilmu Pedang Naga Siluman,
namun unsur-unsur ilmu Suling Emas masih terkandung di dalamnya, maka
kehebatannya luar biasa.
Kakek itu
berilmu tinggi karena sesungguhnya dia adalah seorang tokoh datuk selatan yang
berjuluk Lam-hai Koai-jin (Orang Aneh Laut Selatan). Walau pun usianya sudah
enam puluh tahun namun wajahnya seperti kanak-kanak dan wataknya keras, bahkan
dia mempunyai watak mata keranjang pula.
Melihat Han
Li yang demikian cantiknya, timbul nafsunya dan ingin dia mempermainkan gadis
itu. Apa lagi ketika mendengar bahwa gadis itu puteri Si Bangau Merah, nafsunya
makin menjadi.
Dahulu, dua
puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih bertualang di selatan, pernah dia
bertemu dengan Si Bangau Merah dan hendak mempermainkannya. Akan tetapi dia
lalu dikalahkan oleh pendekar wanita itu. Karena itu, kini dia hendak membalas
dendamnya kepada puteri musuh besarnya itu.
Namun,
menghadapi permainan pedang Han Li, kakek itu menjadi sibuk dan kewalahan juga.
Setelah berloncatan mundur dan kadang ke kanan kiri untuk mengelak, akhirnya
dia menyambar tangkai pancingnya dan dengan senjata istimewa ini dia lalu
melakukan perlawanan.
Tangkai
pancing dari bambu itu bersiutan menyambar-nyambar dan dapat dipergunakan untuk
menangkis pedang lawan tanpa khawatir patah atau putus. Juga tangkai pancing
itu lebih panjang dari pedang sehingga kakek itu lebih leluasa menyerang Han
Li.
Gadis ini
terkejut bukan main. Ia memang sudah menduga bahwa kakek itu lihai sekali, akan
tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dengan tangkai pancing bambu seperti itu
kakek itu mampu melawan, bahkan mendesak dirinya! Ujung tangkai itu kini
menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darahnya. Selain itu, juga
tangkai pancing itu terus berputar-putar bagai dayung lebar dan ujungnya
seperti seekor lebah yang mengancam kepala dan lehernya.
Pada saat
yang amat gawat bagi Han Li, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh,
“Heh-heh-heh, datuk Lam-hai Koai-jin sekarang sudah menjadi seorang pengecut
yang menyerang seorang gadis yang pantas menjadi cucunya!”
Mendengar
suara tawa ini, kakek itu segera menahan gerakan tangkai pancingnya dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Han Li yang sudah terdesak itu untuk melompat
ke belakang.
Ternyata
yang datang dan tertawa itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan
tahun. Tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang kurang makan, pakaiannya juga
penuh tambalan walau pun bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu.
Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga bahwa kakek ini seorang pengemis.
Rambutnya yang sudah putih semua dibiarkan tergantung di sekeliling pundak dan
lehernya.
Melihat
pengemis tua ini, Lam-hai Koai-jin terkejut dan segera mengenalnya.
“Lu Tong Ki,
gembel tua bangka busuk, mau apa engkau mencampuri urusanku? Gadis ini telah
mengganggu aku yang sedang enak-enak memancing ikan, maka perlu kuberi hukuman.
Bukankah itu sudah adil?”
“Memang
adil, heh-heh-heh. Akan tetapi bagaimana caranya gadis ini mengganggumu dan
hukuman apa yang hendak kau berikan kepadanya?”
“Ia
mengganggu ketenanganku memancing ikan.”
“Dia bohong,
Kek!” Han Li cepat berkata. “Aku hanya menghampiri dia dan bertanya di mana aku
bisa mendapatkan tukang perahu untuk menyeberangkan aku ke seberang sana.
Tahu-tahu dia marah dan menyerangku!”
“Heh-heh-heh,
dan hukuman apa yang akan kau berikan kepada Nona ini, Koai-jin?”
“Aku hanya
minta agar ia menjadi pelayanku selama beberapa hari...”
“Tidak
begitu, Kek. Tadi dia minta aku berlutut di depannya sebagai majikanku dan dia
hendak menjadikan aku pelayannya selama satu bulan!” kata pula Han Li dengan
suara nyaring.
“Wah-wah-wah,
ini sudah keterlaluan sekali namanya. Tidak malukah engkau, Koai-jin, menghina
dan mengganggu seorang gadis muda seperti itu?”
“Kai-ong
(Raja Pengemis), jangan engkau usil dan mencampuri urusanku atau terpaksa aku
harus menghajarmu pula!”
Kakek yang
bernama Lu Tong Ki yang berjuluk Kai-ong itu tertawa panjang. “He-he-heh!
Engkau hendak menghajarku? Sejak kapan engkau berani mengeluarkan kesombongan
seperti itu? Dan bagaimana caranya engkau hendak menghajarku? Dengan apa?”
“Tentunya
dengan ini!” Lam-hai Koai-jin berteriak marah sambil menggerakkan tangkai
pancingnya.
Kalau tadi
ketika melawan Han Li dia menggenggam pancingnya sehingga pancing itu tidak
akan melukai Han Li. Sekarang dia melepaskan pancingnya sehingga ketika dia
menyerang, pancing yang berupa kaitan besi kecil menyambar dahsyat ke arah muka
Kai-ong.
Akan tetapi
Lu Tong Ki bersikap tenang sekali. Begitu pancing itu menyambar dekat, tongkat
bambu di tangannya bergerak.
“Trakkk!”
Pancing itu
terpental ketika tertangkis tongkat bambu itu dan selanjutnya kedua kakek itu
saling menyerang dan tubuh mereka berkelebatan dengan cepat sekali. Bagi orang
biasa yang melihatnya, tentu tidak akan mampu mengikuti gerakan mereka karena
dua orang itu seperti berubah menjadi bayang-bayang saja.
Akan tetapi
Han Li sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, karena itu ia dapat
mengikuti gerakan mereka dan ia merasa kagum bukan main. Kedua orang kakek itu
menggunakan kecepatan gerakan mereka untuk mendapat kemenangan dan agaknya
dalam hal ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) keduanya seimbang. Nampaklah
sinar tongkat bergumul dengan sinar tangkai pancing, sedangkan pancingnya
sendiri sudah sejak tadi putus talinya.
Karena tidak
mampu menang dalam hal kecepatan gerakan, Lam-hai Koai-jin kemudian
memperlambat gerakannya dan kini dia menggerakkan tangkai pancingnya dan juga
menggerakkan tangan kirinya yang terisi penuh tenaga sinkang. Melihat ini, Lu
Tong Ki juga mengimbangi lawan dan dia pun mengerahkan tenaga sinkang untuk
menandingi pukulan Koai-jin. Mereka ini saling pukul dan suara pukulan mereka
menderu-deru, membuat pepohonan di sekeliling mereka bergoyang dan daunnya
runtuh berguguran.
Dengan
penasaran sekali Koai-jin melempar tangkai pancingnya, dan kini tubuhnya
berjongkok. Tubuh yang pendek itu berjongkok sampai pantatnya hampir menyentuh
tanah. Dalam keadaan berjongkok itu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka
ke depan, dan dari dalam mulutnya terdengar suara nyaring sekali.
“Kok-kok-kok!”
Han Li
merasa geli karena sikap dan suara Koai-jin seperti seekor katak besar yang
menggembung perutnya.
Akan tetapi
agaknya Kai-ong tidak memandang rendah serangan seperti katak besar ini. Dia
pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah, menekuk kedua lututnya dan dia juga
mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut serangan lawan.
Jarak di
antara mereka ada sekitar dua meter, akan tetapi ketika dua tenaga dahsyat itu
bertemu, Han Li merasa ada getaran hebat melanda dirinya sehingga ia cepat
duduk bersila dan mengarahkan sinkang agar jangan sampai terluka. Ia melihat
betapa kedua orang kakek itu tergetar, akan tetapi tubuh Koai-jin kemudian
terpental dan bergulingan ke belakang, sedangkan tubuh Kai-ong hanya
bergoyang-goyang saja.
Lam-hai
Koai-jin terpental masuk ke dalam sungai. Terdengar suara berjebur, kemudian
tubuhnya lenyap ditelan air. Han Li cepat berlari ke tepi sungai dan melihat.
Ternyata tubuh itu tidak tersembul kembali.
“Ahh, dia
mati Kek...?” tanyanya kepada Kai-ong yang juga sudah berdiri di dekatnya
memandang ke air sungai yang dalam itu.
“He-he-heh,
dia mati? Hemmm, agaknya engkau masih belum mengenal siapa adanya Lam-hai
Koai-jin. Dia datuk besar Laut Selatan, bagaimana bisa mati tercebur ke dalam
sungai? Tidak, saat ini dia pasti sudah muncul jauh dari sini, entah berapa
jauhnya karena ketika tercebur tadi, dia menyelam. Dia memang seekor katak
buduk besar yang lihai!”
“Ahhh...!”
Gadis itu berseru kagum. “Akan tetapi engkau telah dapat mengalahkannya,
Locianpwe!”
Han Li
menyebut locianpwe untuk menghormati kakek pengemis yang ternyata sangat sakti
itu.
“Heh-heh-heh,
jangan sebut aku Locianpwe atau aku tidak akan sudi bicara denganmu. Namaku Lu
Tong Ki, sebut saja aku kakek atau Kai-ong karena memang itu julukanku.
Jelek-jelek aku ini raja lho, walau pun hanya raja pengemis, heh-heh-heh!”
“Baiklah,
aku akan menyebutmu Kakek atau Kai-ong. Aku merasa berterima kasih sekali
kepadamu, Kakek, karena kalau engkau tidak datang mengusir Katak Buduk itu,
entah apa jadinya dengan diriku.”
Kai-ong
menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya mengeluarkan suara berdecak, baru
kemudian da berkata, “Engkau tentu akan celaka sekali! Katak Buduk itu memang
jahat, orang yang paling jahat di selatan dan sampai tua tetap saja dia mata
keranjang dan jahat sekali. Akan tetapi aku melihat ilmu pedangmu hebat sekali,
dan ilmu pedang seperti itu setahuku hanyalah Koai-liong Kiam-sut. Benarkah
demikian?”
“Pandanganmu
tajam sekali, Kek. Memang benar aku tadi memainkan jurus-jurus dari Koai-liong
Kiam-sut.”
“Aha! Kalau
begitu, apa hubungannya dengan Lembah Naga Siluman? Bukankah ilmu itu milik
Pendekar Suling Emas dan Naga Siluman, Locianpwe Kam Hong?”
“Beliau
adalah kakek buyutku, Kek.”
Raja
Pengemis itu nampak girang bukan main. “Kalau begitu sudah tentu engkau puteri
Si Bangau Merah dan Pendekar Tangan Sakti, bukan?”
“Benar
sekali.”
“He-he-heh,
pantas saja Katak Buduk tadi hendak menghinamu karena aku mendengar dia pernah
dikalahkan oleh ibumu.”
“Dia tadi
juga mengatakan demikian, Kek.”
“Engkau
hendak ke manakah dan siapa pula namamu?”
“Namaku Yo
Han Li, dan aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja. Aku tadi mencari
tukang perahu untuk menyewa perahunya menyeberangi sungai ini.”
“Wah,
kebetulan sekali jika begitu. Aku pun hendak ke kota raja, sudah terlalu lama
aku tidak menikmati masakan di dapur istana. Aku mempunyai sebuah perahu kecil.
Tuh di sana perahuku. Han Li, maukah engkau menyeberang bersamaku kemudian
melakukan perjalanan bersamaku ke kota raja?”
“Tentu saja
aku mau, Kek. Akan tetapi...” Ia memandang pakaian kakek itu. “Aku tidak mau
kalau kau ajak mengemis. Aku membawa bekal uang cukup banyak.”
"Ha-ha-ha,
jangan khawatir. Biar pun pengemis, tetapi aku ini rajanya, tahu? Mana ada
seorang raja yang pekerjaannya mengemis?”
“Akan tetapi
pakaianmu itu, Kek. Penuh tambalan. Biar nanti kubelikan pakaian yang lebih
pantas untukmu.”
“Oho, kau
kira yang kupakai ini pakaian apa? Ini adalah pakaian kebesaranku sebagai Raja
Pengemis, tahukah engkau? Biar ditukar dengan pakaian kaisar sekali pun, aku
tidak akan mau. Dan di dalam buntalan ini masih ada beberapa stel pakaian
kebesaran. Jangan khawatir, aku setiap hari mandi dan bertukar pakaian. Biar
pengemis, aku bukan pengemis busuk, heh-heh-heh!”
Wajah Han Li
berubah kemerahan. “Aku pun tidak mengatakan engkau demikian, Kek. Akan tetapi,
orang melakukan perjalanan harus ada hubungannya. Sedangkan aku tidak mempunyai
hubungan apa pun denganmu. Bagaimana kalau aku menyebut suhu dan menjadi
muridmu? Sebagai suhu dan muridnya, tentu tidak aneh melakukan perjalanan
bersama.”
Kakek itu
tertawa dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Li. “Gadis cerdik, engkau
ingin aku mengajarkan ilmu silat kepadamu? Bagaimana kalau kelak Pendekar
Tangan Sakti dan Si Bangau Merah mengetahui? Tentu mereka akan menjadi marah
kepadaku.”
“Tidak, aku
jamin. Kalau orang tuaku bertanya, aku akan mengaku bahwa akulah yang ingin
menjadi muridmu, bukan engkau yang minta aku menjadi muridmu.”
“Heh-heh-heh,
engkau memang cerdik sekali.”
Melihat
kakek itu tidak membantah lagi, Yo Han Li lalu menjatuhkan dirinya berlutut di
depan kakek itu sambil menyebut ‘suhu’. Lu Tong Ki segera membangunkan Han Li.
“Sudahlah,
tak perlu memakai banyak peradatan. Aku memang suka menerima engkau menjadi
murid. Engkau puteri sepasang pendekar besar dan engkau berbakat sekali. Akan
tetapi, dari semua ilmuku yang dapat menandingi ilmu-ilmumu hanya sebuah saja,
yaitu Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Iblis). Itulah yang akan kuajarkan kepadamu
sambil melakukan perjalanan ke kota raja.”
"Terima
kasih, Suhu.”
“Nah,
sekarang mari kita seberangi sungai ini, Han Li.” kata kakek itu sambil
meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang berada di pantai.
Kiranya
kakek itu tadi datang berperahu. Han Li juga menyusul Lu Tong Ki meloncat ke
dalam perahu. Kalau tadi ketika kakek itu meloncat, perahu sama sekali tidak
bergoyang seolah yang hinggap di perahu itu hanya seekor burung. Tetapi ketika
Han Li meloncat, perahu itu bergoyang sedikit. Ini saja menunjukkan bahwa dalam
hal ginkang, kakek itu telah memiliki ilmu yang tinggi sekali.
Karena
perahu itu hanya mempunyai sebuah dayung, Han Li lalu meminta dayung itu dari
gurunya dan sebagai seorang murid yang baik, dialah yang mendayung perahu itu
menyeberang ke pantai timur. Lu Tong Ki tidak membantah dan membiarkan muridnya
mendayung perahu itu. Perahu itu pun meluncur dengan cepatnya karena Han Li
mengerahkan sinkang untuk mendayung perahu itu….
Ketika
perahu itu tiba di seberang sungai, dari perahu mereka dapat melihat seorang
wanita berpakaian putih sedang dikeroyok oleh belasan orang yang memegang
pedang. Wanita itu bersenjatakan sabuk sutera putih dan gerakannya ringan
bagaikan seekor burung bangau putih.
Namun,
belasan orang pengeroyoknya itu membentuk barisan pedang yang lihai sekali
sehingga wanita itu agaknya berada dalam keadaan cukup berbahaya. Ke mana pun
dia bergerak, selalu dia bertemu dengan pedang para pengeroyok yang sudah
mengepung dirinya dengan barisan yang teratur rapi.
Kai-ong Lu
Tong Ki berkata kepada Han Li. “Han Li, kalau melihat perkelahian itu, apa yang
akan kau lakukan? Kau hendak membantu pihak yang mana?”
Han Li
berdiri di perahu dan memandang sejenak.
“Aku akan
melerai dan menegur belasan orang yang mengeroyok seorang wanita itu, Suhu.
Kalau mereka tidak mau menurut, tentu aku akan membantu wanita itu. Ia amat
lihai, akan tetapi para pengeroyoknya menggunakan barisan yang amat kuat.”
“Engkau
benar dan lakukanlah!” kata kakek pengemis itu sambil tersenyum.
Mendengar
ucapan gurunya, Han Li segera melompat ke darat dan berlari menghampiri mereka
yang sedang bertanding. Setelah mencabut pedangnya, Han Li menerjang para
pengeroyok sambil berseru, “Tahan senjata!”
Dua orang
pengeroyok yang pedangnya bertemu dengan Han Li terkejut karena pedang mereka
terpental, hampir terlepas dari pegangan. Yang lain lalu berhenti mengeroyok
gadis berpakaian putih yang bukan lain adalah Souw Cu In itu.
“Berhenti
dulu!” kata Han Li sambil memandang kepada Cu In. “Kalian ini belasan orang
laki-laki mengapa mengeroyok seorang wanita? Itu curang namanya!”
“Siapa kau
berani mencampuri urusan kami?”
“Tidak
peduli aku siapa, akan tetapi kalau melihat kecurangan aku tidak akan tinggal
diam. Kalau kalian ini bertanding satu lawan satu aku tentu tidak akan campur
tangan.”
“Perempuan
ini lancang. Hajar saja!” terdengar teriakan mereka.
Kembali
mereka bergerak dengan teratur dan menggerakkan pedang untuk menyerang. Akan
tetapi sekali ini bukan hanya Cu In yang dikeroyok, melainkan juga Han Li.
Han Li
menggerakkan pedangnya dan Cu In menggerakkan sabuk suteranya. Gerakan dua
orang gadis ini begitu hebatnya sehingga barisan pedang itu mulai menjadi
kacau.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Semua pengeroyok mengundurkan diri
mendengar bentakan ini dan di situ telah muncul seorang kakek berusia enam
puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat dan mendatangi tempat itu dengan
terpincang-pincang. Ternyata kaki kiri kakek ini timpang sehingga jalannya
terpincang-pincang.
Melihat
kakek itu, Cu In amat terkejut karena dia mengenal kakek itu sebagai Toat-beng
Kiam-sian Lo Cit yang amat lihai itu. Baru-baru ini dia dan Keng Han dapat
meloloskan diri dari pengeroyokan kakek ini bersama anak buahnya.
Tadi ketika
menyeberangi sungai dan di daratan timur bertemu dengan belasan orang itu yang
mengeroyoknya dengan pedang, dia sudah menduga bahwa mereka tentulah anak buah
Kwi-kiam-pang. Agaknya di antara mereka ada yang mengenal dirinya yang pernah
bermusuhan dengan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.
“Ha-ha-ha,
kiranya engkau!” Kakek itu menuding ke arah Cu In. “Sekarang jangan harap
engkau akan dapat lolos dari tanganku!”
Berkata
demikian kakek itu lalu menggerakkan tongkat pedangnya menyerang Cu In. Gadis
ini mengelak dan Han Li membantu, akan tetapi para anak buah Kwi-kiam-pang
sudah maju pula mengeroyoknya.
Serangan Lo
Cit terhadap Cu In amat hebatnya sehingga dalam waktu pendek saja Cu In sudah
terdesak hebat. Juga Han Li yang dikeroyok anak buah Kwi-kiam-pang yang
mernbentuk barisan, kini telah terdesak pula.
Tiba-tiba
terdengar suara tawa orang. “Ha-ha-ha, Pangcu dari Kwi-kiam-pang ternyata
hanyalah seorang pengecut yang mengeroyok dua orang gadis muda!”
Mendengar
ucapan itu, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit meloncat mundur untuk melihat. Ketika
melihat seorang kakek berpakaian tambal-tambalan, dia mengerutkan alisnya. Dia
lalu menudingkan tongkat pedangnya ke arah muka pengemis itu dan membentak,
“Bukankah engkau Lu Tong Ki yang di juluki Kai-ong? Mau apa engkau mencampuri
urusan pribadiku?!”
“Heh-heh-heh,
tentu saja aku mencampuri karena yang dikeroyok itu adalah muridku. Bebaskan
kedua orang gadis itu dan aku tidak akan mencampuri urusanmu lagi.”
Lo Cit sebetulnya
merasa jeri terhadap kakek yang namanya terkenal sekali di antara para datuk
itu, akan tetapi dia berbesar hati karena di situ terdapat belasan orang
murid-murid utamanya yang sudah pandai membentuk barisan pedang yang amat
lihai.
“Kalahkan
dulu kami kalau engkau ingin bebas!” tantangnya.
Dia pun
langsung menggerakkan pedang yang tersembunyi dalam tongkatnya itu untuk
menyerang Kai-ong. Melihat pimpinan mereka sudah menyerang kakek pengemis yang
baru tiba itu, anak buah Kwi-kiam-pang kembali menyerbu ke arah Cu In dan Han
Li. Kedua orang gadis itu menggerakkan senjata mereka masing-masing dan bekerja
sama melakukan perlawanan.
Pertempuran
antara Lo Cit melawan Kai-ong amat ramai dan hebatnya. Ternyata tingkat
kepandaian mereka seimbang, hanya Kai-ong mempunyai kecepatan yang lebih dari
lawannya sehingga serangan tongkatnya membuat Li Cit agak kewalahan. Biar pun
ilmu pedang Lo Cit amat dahsyat, akan tetapi karena gerakannya kalah cepat,
dialah yang terdesak......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment