Friday, June 29, 2018

Cerita Silat Serial Pusaka Pulau Es Jilid 06



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Pusaka Pulau Es

                   Jilid 06


Ken Han merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam keadaan tertotok. Semua itu tidak merisaukan hatinya, akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah kepalanya. Kepala itu pening sekali dan masih pening sehingga sukar bagi dia untuk berpikir.

Dia membuka sedikit matanya dan melihat bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar, seperti kamar tahanan karena pintunya dari besi dan ada jeruji besi pula di atas pintu. Di luar kamar itu, dia dapat melihat beberapa orang melalui jeruji besi dan agaknya mereka melakukan penjagaan. Perlahan-lahan dia pun teringat.

Dia sedang duduk menghadapi api unggun bersama Souw Cu In dan tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan dan asap mengepul tebal, lalu dia pun tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu telah berada di tempat ini dalam keadaan terbelenggu dan tertotok.

Ia merasa bahwa belenggu itu tidak sukar dipatahkan, juga totokan itu bisa ia punahkan dengan mudah. Akan tetapi kepeningan kepalanya masih terasa, maka ia pun diam saja dan terus rebah berbaring menanti perkembangan lebih lanjut sambil memberi waktu kepada kepalanya agar bebas dari kepeningan akibat asap racun pembius itu.

Tidak terlalu lama dia menunggu. Dia mendengar daun pintu besi itu dibuka orang dan nampaklah tiga orang memasuki tempat tahanan itu. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang segera dikenalnya. Kakek Itu adalah Toat-beng Kiam-sian yang pernah bentrok dengan dia.

Dulu dia menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buahnya dan karena itu kakek ini marah sekali kepadanya. Dia diberi waktu untuk menghadapinya selama sepuluh jurus dan kalau selama itu dia tidak roboh, dia akan dibebaskan. Dan dia berhasil bertahan sampai sepuluh jurus. Ketika kakek itu merasa penasaran hendak menggunakan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam Niocu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi.

Sekarang kakek itu agaknya yang menyuruh anak buahnya menawannya. Entah apa yang hendak dilakukan atas dirinya. Dia pura-pura masih pingsan, tetapi memperhatikan mereka bertiga dengan telinganya.

“Nah, inilah pemuda itu. Bagaimana pendapatmu, Siu Lan?

Gadis yang datang bersama kakek itu memandang wajah Keng Han penuh perhatian. Gadis ini cukup cantik, dengan pakaiannya yang mewah.

“Dia kelihatan seperti orang dusun, Ayah,” kata gadis itu setelah mengamati Keng Han.

“Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa. “Jangan melihat pakaiannya, Siu Lan. Lihatlah wajahnya. Bukankah dia tampan dan gagah? Dan tentang ilmu silat, sudah kukatakan bahwa dia lihai juga dan pantas untuk menjadi jodohmu.”

“Suhu, saya tidak percaya bahwa dia mampu melawan Sumoi,” berkata pemuda yang datang bersama mereka.

Pemuda ini tubuhnya tinggi besar dan berwajah gagah, akan tetapi pandang matanya membayangkan kecongkakan hati. Jelas dia memandang rendah pada Keng Han yang menggeletak tidak berdaya di atas dipan itu.

“Dia tidak pantas untuk melawan Sumoi. Biarlah dia melawan saya lebih dulu. Kalau dia mampu menandingi saya, baru Sumoi boleh mencobanya!”

Toat-beng Kiam-sian tertawa dan mengangguk-angguk. “Hmmm, pikiran yang baik itu. Boleh engkau mencobanya dulu, Bu Tong.”

“Biarlah saya bebaskan dulu dia dari totokan dan belenggunya!” kata pemuda itu yang bernama Gan Bu Tong.

Akan tetapi ketika dia menghampiri dipan, Keng Han segera mengerahkan tenaganya dan totokan itu pun sudah punah, lalu sekali dia menggerakkan kaki tangannya, ikatan itu pun putus semua! Keng Han lalu bangkit dan meloncat berdiri menghadapi tiga orang itu.

“Mengapa kalian menangkap aku? Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa kalian berbuat begini?” tegurnya.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit, puterinya yang bernama Lo Siu Lan serta muridnya itu terkejut bukan main melihat betapa pemuda itu telah terbebas dari totokan dan dengan mudahnya mematahkan semua belenggu.

Toat-beng Kiam-sian maju dan tertawa. “Ha-ha-ha, tempo hari engkau mampu menahan sepuluh jurus seranganku, sebab itu hatiku amat tertarik untuk mengujimu, orang muda. Sekarang lawanlah muridku ini, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!”

“Aku tak ingin bertanding dengan siapa pun tanpa sebab yang jelas. Di antara kita tidak ada urusan, mengapa kita harus bertanding?”

“Hemmm, bocah sombong. Ada atau tidak ada urusan, aku akan menandingimu. Kalau engkau takut, engkau boleh berlutut dan mencium kaki guru sambil meminta ampun, baru kami akan melepaskanmu,” kata Bu Tong yang memandang rendah.

Keng Han mengerutkan alisnya. “Aku tidak bersalah apa pun, mengapa harus minta ampun? Aku tidak sudi melakukannya, jangan engkau menghinaku!”

“Aku memang sengaja menghinamu, habis engkau mau apa? Aku menantangmu untuk mengadu kepandaian, kalau engkau menolak berarti engkau takut!”

Panas juga rasa hati Keng Han. Dia ditangkap tanpa sebab, kemudian ditantang dan dianggap pengecut kalau tidak berani. Tentu saja dia berani!

“Siapa yang takut kepada kalian? Aku tidak bersalah apa pun, maka tentu saja aku tidak takut!”

“Ha-ha-ha, bagus. Itu barulah suara seorang laki-laki sejati. Orang muda, marilah kita ke lian-bu-thia dan di sana kita melihat sampai di mana kepandaianmu,” berkata Toat-beng Kiam-sian.

Makin senang hatinya menyaksikan kegagahan sikap Keng Han. Sebetulnya, pangcu dari Kwi-kiam-pang ini sudah tertarik sekali kepada Keng Han ketika Keng Han mampu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan juga dapat menangkis Pukulan Halilintar darinya.

Oleh karena itu, ketika melihat Keng Han bersama Souw Cu In, dia lalu menyuruh para anggota Kwi-kiam-pang mempergunakan obat peledak dan pembius untuk menangkap pemuda itu. Dia bermaksud untuk menjodohkan pemuda ini dengan puterinya, Lo Siu Lan yang selalu menolak pinangan para pemuda karena di antara mereka tidak ada yang mampu menandinginya. Memang kepandaian Siu Lan sudah hebat sekali. Bahkan suheng-nya, Gan Bu Tong juga tidak dapat menandinginya!

Keng Han menjadi penasaran sekali. Karena ditantang, maka dia pun mengikuti mereka menuju ke sebuah ruangan yang luas. Ruangan ini merupakan tempat para anggota Kwi-kiam-pang berlatih silat. Juga dia melihat bahwa anggota perkumpulan itu banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang! Agaknya sulit baginya untuk meloloskan diri menggunakan kekerasan karena selain harus menghadapi tiga orang itu, dia juga harus menghadapi para anggota Kwi-kiam-pang. Maka, dia hendak menebus kebebasannya dalam pertandingannya itu.

Setelah tiba di lian-bu-thia (tempat berlatih silat), Keng Han telah dihadapi oleh Bu Tong yang bersikap angkuh.

“Nah, bersiaplah engkau untuk melawan aku!” kata Bu Tong.

“Nanti dulu,” kata Keng Han, lalu dia menoleh kepada Toat-beng Kiam-sian. “Locianpwe adalah seorang yang berkedudukan tinggi, apakah ucapannya dapat dipercaya?”

Lo Cit membelalakkan mata. Kakek yang kakinya timpang ini marah sekali mendengar pertanyaan itu. “Bocah sombong, tentu saja ucapanku dapat dipercaya!”

“Nah, kalau begitu, setelah aku dapat mengalahkan pemuda muridmu ini, apakah aku akan dibebaskan dan dibiarkan pergi tanpa diganggu?”

“Heh, nanti dulu. Kalau engkau mampu mengalahkan muridku, engkau juga harus dapat mengalahkan puteriku ini, dan selanjutnya harus mampu pula bertahan menghadapi aku sampai lima puluh jurus. Kalau sudah begitu barulah engkau tidak akan diganggu lagi, bahkan akan kunikahkan dengan puteriku ini. Ha-ha-ha-ha!”

Bukan main kagetnya hati Keng Han mendengar ucapan itu. Dirinya hendak dinikahkan dengan gadis cantik itu? Sungguh keterlaluan sekali peraturan kakek itu. Dia sendiri pun tidak ditanya apakah dia suka atau tidak!

“Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun juga. Aku hanya minta agar aku dibebaskan dan tidak diganggu lagi.”

“Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Hayo Bu Tong, mulailah dengan seranganmu!” kata Lo Cit sambil tertawa senang.

Gan Bu Tong sudah mencabut pedangnya. “Sobat, sebutkan dulu namamu agar engkau jangan mati tanpa nama.”

“Namaku Si Keng Han dan aku tidak akan mati melawanmu.”

“Nah, di sudut itu ada rak senjata. Boleh engkau pilih untuk menghadapi pedangku!”

“Hmmm, pemuda ini memiliki watak yang gagah juga dan tidak curang,” pikir Keng Han. “Agaknya mereka ini bukan orang-orang yang jahat, akan tetapi orang-orang yang suka membawa dan mempertahankan kehendak sendiri.”

“Aku tidak membutuhkan senjata-senjata itu. Bahkan aku sendiri juga memiliki sebatang pedang, akan tetapi tidak akan kupergunakan untuk melawanmu. Tangan kakiku sudah cukup untuk kupakai membela diri,” katanya sambil memamerkan pedang bengkoknya yang berada di pinggangnya.

“Si Keng Han, engkau sombong, akan tetapi engkau sendiri yang menentukan. Jangan anggap aku keterlaluan melawanmu dengan pedangku!” kata Bu Tong penasaran dan marah karena dia menganggap pemuda itu memandang rendah kepadanya.

Tiba-tiba Lo Siu Lan mencabut pedangnya dan melemparkan pedang itu kepada Keng Han. “Si Keng Han, pedang Suheng-ku itu merupakan senjata ampuh. Semua senjata di rak itu akan patah apa bila bertemu dengan pedangnya, maka pakailah pedangku ini!”

Melihat pedang itu melayang ke arah dirinya, Keng Han menyambutnya, akan tetapi dia bahkan berkata kepada gadis itu. “Terima kasih, Nona. Akan tetapi sungguh aku tidak membutuhkan pedang!” Dan dia melemparkan kembali pedang itu kepada Siu Lan, lalu menghadapi Bu Tong sambil berseru. “Aku sudah siap menghadapi seranganmu!”

Gan Bu Tong semakin marah. Perbuatan sumoi-nya tadi dianggapnya sebagai pukulan baginya. Sumoi-nya agaknya berpihak kepada pemuda ini!

“Lihat serangan pedangku!” bentaknya dan dia pun mulai menyerang dengan bacokan pedangnya.

Akan tetapi dengan gesit Keng Han mengelak. Bacokan dan tusukan susul menyusul menghujam ke arah tubuh Keng Han, namun dengan ilmu Hong-in Bun-hoat, Keng Han selalu dapat mengelak dengan cepat sekali. Setelah belasan jurus mengelak, barulah dia membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan tangannya yang ampuh.

Pada saat pedang lawan menyambar ke arah kepalanya, dia malah maju mendekat dan sekali jari tangannya menyentil pedang, pedang itu lantas terlepas dari tangan Bu Tong, mengeluarkan suara nyaring berdenting ketika jatuh ke atas lantai. Kalau Keng Han menghendaki, saat yang baik itu tentu dapat dia pergunakan untuk merobohkan lawan.

Akan tetapi dia tidak mau berbuat demikian, melainkan dia mencokel pedang itu dengan kakinya dan pedang itu melayang ke arah pemiliknya. Bu Tong menangkap pedangnya dan dengan muka merah sekali dia mengundurkan diri. Setelah pedangnya terlepas dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi Keng Han.


Lo Siu Lan gembira sekali melihat betapa Keng Han dapat mengalahkan suheng-nya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dan dia pun berhadapan dengan Keng Han. Sejenak gadis itu mengamati Keng Han dari atas sampai ke bawah seperti orang menaksir seekor kuda yang hendak dibelinya. Hal ini tentu saja membuat Keng Han tersipu. Dia cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada gadis itu.

“Nona, di antara kita tidak ada permusuhan, harap suka menghabiskan urusan ini dan membiarkan aku pergi dengan aman. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian.”

Lo Siu Lan menjawab dengan suaranya yang merdu, “Siapa yang hendak bermusuhan? Kami cuma ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu dan ternyata engkau mampu mengalahkan suheng Gan Bu Tong. Maka, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, perkumpulan kami disebut Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan), maka aku pun hanya bisa memainkan pedang. Jika engkau tetap bertangan kosong, sungguh amat tidak enak bagiku.”

Kembali diam-diam Keng Han memuji. Gadis ini pun selain tidak curang, juga tidak tinggi hati seperti suheng-nya.

“Nona, sudah kukatakan sejak tadi bahwa kalau tidak terpaksa sekali aku tidak pernah menggunakan pedangku, cukup dengan tangan kakiku saja. Maka apa bila Nona tetap memaksaku untuk bertanding, gunakanlah pedangmu, aku akan membela diri dengan kedua kaki tanganku saja.”

“Bagus, engkau memang seorang pemuda yang pemberani. Nah, sambutlah pedangku ini, Sobat!” Lu Siu Lan sudah mencabut pedangnya dan nampak sinar menyambar.

Begitu dia melakukan penyerangan, terdengar bunyi pedang berdesing dan sinar kilat menusuk ke arah dada Keng Han. Baru gebrakan pertama saja Keng Han sudah tahu bahwa gadis ini memang lebih lihai dibandingkan suheng-nya. Akan tetapi gerakan yang cepat itu tidak membuat Keng Han bingung karena baginya kecepatan gerakan gadis itu masih belum hebat. Dengan mudahnya dia mengelak dari sambaran pedang.

Gadis itu mendesak terus. Pedangnya berkelebatan, kadang menyerang leher, kadang mengarah dada dan ada kalanya menyabet ke arah kedua kaki Keng Han. Pemuda ini memperlihatkan kegesitannya. Sampai sepuluh jurus dia mengelak terus dan baru pada jurus ke sebelas dia membalas.

Ketika itu pedang di tangan Siu Lan menyambar ke arah dada dengan tusukan kilat. Keng Han miringkan tubuhnya dan menggunakan dua jari tangan kirinya untuk menjepit pedang itu.

Siu Lan terkejut bukan main karena pedangnya seperti dijepit jepitan baja saja. Biar pun dia berusaha untuk menariknya, akan tetapi pedang itu tidak dapat terlepas dari dua jari tangan Keng Han. Gadis itu menjadi amat penasaran dan tangan kirinya telah meluncur untuk menghantam dada lawan.

Keng Han juga menggerakkan tangan kanannya. Dia maklum bahwa gadis ini sedang menggunakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, maka ia pun mengerahkan sinkang-nya sehingga dari tangan kanannya itu keluar hawa yang sangat panas. Demikian pula pukulan tangan kiri Siu Lan mengandung hawa panas karena gadis ini telah menyerang dengan pukulan Halilintar.

“Desssss...!”

Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Siu Lan terhuyung ke belakang karena pada saat itu juga Keng Han melepaskan jepitan jari tangannya dari pedang lawan.

Siu Lan cepat mengambil napas panjang untuk menjaga supaya bagian dalam dadanya tidak terluka. Akan tetapi ia tahu bahwa dirinya kalah, maka ia pun cepat bersembunyi di balik tubuh ayahnya. Muka gadis itu menjadi merah tersipu dan mulutnya tersenyum malu-malu. Melihat tingkah puterinya, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, sekarang engkau baru percaya kepada omongan ayahmu? Si Keng Han, engkau telah mengalahkan anakku Siu Lan, maka mulai sekarang juga engkau harus menjadi suaminya!”

Keng Han terkejut sekali dan dia memandang kepada kakek timpang itu dengan alis berkerut. “Apa maksud Locianpwe? Saya tidak akan menikah dengan siapa pun juga!”

“Hemmm, dengarlah Si Keng Han. Anakku menolak semua lamaran orang karena dia sudah bersumpah untuk menikah dengan pria yang mampu mengalahkan dirinya. Dan kini engkaulah yang mampu mengalahkannya.”

“Akan tetapi sejak semula aku tidak menghendaki pertandingan ini. Aku dipaksa. Aku sama sekali bukan bertanding untuk memperoleh kemenangan dan untuk memperoleh jodoh. Maaf, Locianpwe, aku tidak dapat menerimanya. Dan sekarang, harap kalian suka membiarkan aku pergi dari sini!”

“Ho-ho-ho, tidak demikian mudah, orang muda! Kalau engkau menolak berjodoh dengan puteriku, hal itu berarti engkau telah menghinaku! Dan siapa saja menghinaku dia harus mampus! Akan tetapi karena aku menyukaimu, engkau tidak akan kubunuh. Bersiaplah untuk menahan seranganku sampai lima puluh jurus. Apa bila selama lima puluh jurus engkau mampu menahan pedang tongkatku, barulah engkau boleh pergi dari tempatku ini!”

Mendadak terdengar bentakan halus. “Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sungguh tidak tahu malu dan mau menghina yang muda!”

Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, tanpa dapat diketahui para anak buah Kwi-kiam-pang, Souw Cu In telah muncul di situ. Toat-beng Kiam-sian, puterinya dan para muridnya tentu saja terkejut dan terheran. Hanya Keng Han yang menjadi girang bukan main.

“Bibi guru telah datang! Kalian tidak akan dapat memaksaku untuk kawin!” katanya dan dia menghampiri Cu In.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit memandang penuh perhatian dan makin heran mendengar Keng Han menyebut bibi guru pada seorang gadis yang berpakaian putih dan mukanya bagian bawah tertutup sutera putih! Teringatlah dia kepada Bi-kiam Niocu yang dahulu disebut subo oleh pemuda ini. Tahulah dia bahwa gadis bercadar putih ini pun adalah seorang murid dari Ang Hwa Nio-nio atau sumoi dari Bi-kiam Niocu.

“Nona, apakah engkau murid Ang Hwa Nio-nio?” tanyanya.

“Tidak salah, Pangcu. Aku memang murid subo Ang Hwa Nio-nio dan Si Keng Han ini adalah murid suci-ku, jadi dia masih murid keponakanku sendiri. Sungguh tidak pantas sekali kalau Pangcu (ketua) hendak memaksanya menikah dengan puterimu. Mana ada paksaan kepada seorang pria untuk menikah? Dan engkau telah menantangnya untuk bertanding selama lima puluh jurus pula. Bukankah ini namanya menghina yang muda? Apakah engkau tidak akan malu kalau hal ini terdengar oleh dunia kang-ouw?”

Wajah Lo Cit menjadi merah sekali. Tidak disangkanya bahwa wanita bercadar itu telah mengetahui dan agaknya juga telah mendengarkan semua percakapan tadi. Hal ini saja sudah menunjukkan kehebatan ilmu ginkang-nya sehingga tidak ada seorang pun yang tahu akan kehadirannya.

“Bocah bermulut lancang! Siapakah namamu yang berani bicara seperti Itu kepadaku?” Lo Cit mencoba mengangkat namanya.

“Namaku Souw Cu In, dan memang aku orang biasa saja. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini memang memalukan sekali, Pangcu. Pertama, engkau menggunakan bahan peledak yang mengandung racun pembius untuk menangkap Si Keng Han. Kemudian engkau memaksanya menikah dengan puterimu, dan yang terakhir engkau baru mau membebaskannya kalau sudah bertanding denganmu selama lima puluh jurus! Sungguh memalukan!”

“Memang sungguh memalukan!” Keng Han ikut-ikutan bicara. “Mana aku bisa menahan serangannya sampai lima puluh jurus? Ini sama saja dengan memaksaku tinggal di sini dan mengawini puterinya yang tidak kucinta. Mana ada aturan begitu, ya, Bibi Guru?”

“Memang tidak ada aturan seperti itu di dunia kang-ouw, kecuali dunianya orang-orang sesat. Tentu Kwi-kiam Pangcu tidak akan suka disebut orang sesat!” kata lagi Souw Cu In.

Lo Siu Lan menjadi marah sekali. Ia marah karena melihat hubungan yang akrab antara Keng Han dan Cu In. Meski pun mereka mengaku sebagai murid keponakan dan bibi guru, akan tetapi keduanya masih muda dan wanita bercadar itu nampak cantik jelita serta tubuhnya begitu ramping seperti batang pohon liu. Ia merasa cemburu sekali!

“Perempuan hina! Cepat buka cadarmu dan perlihatkan mukamu! Engkau sudah berani mencampuri urusan kami!” Berkata demikian, Lo Siu Lan telah mencabut pedangnya.

Souw Cu In mendengus seperti orang mengejek. “Dan engkau, sungguh tidak tahu malu hendak memaksa seseorang menjadi suamimu!”

“Keparat!” Lo Siu Lan menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi bagaikan bayangan saja, tubuh Souw Cu In telah meloncat ke samping dan tiba-tiba ada sinar putih mencuat dan tahu-tahu pedang di tangan Siu Lan terlibat dan terampas! Siu Lan terkejut dan melompat mundur. Cu In mengambil pedang itu dan melemparkannya kembali kepada Siu Lan.

“Siapa yang keparat masih patut diselidiki!” kata Cu In.

Meski marah sekali, akan tetapi Siu Lan tidak berani lagi sembarangan bergerak. Dalam segebrakan saja pedangnya telah terampas!

Lo Cit juga kaget sekali melihat hal ini. Gadis bercadar itu lihai bukan main.

“Siapa yang sudah masuk ke sini tidak boleh sembarangan keluar. Kalau Si Keng Han ingin membebaskan diri, dia harus melalui pertandingan denganku. Tidak usah sampai lima puluh jurus, melihat dia masih muda biarlah kuberi waktu...”

“Sepuluh jurus!” kata Keng Han. “Sepuluh jurus sudah merupakan waktu yang lama, melihat aku yang masih begini muda harus melawan Pangcu yang tua dan tentunya sangat berpengalaman!”

Toat-beng Kiam-sian tertegun. Dulu pernah dia menyerang pemuda ini sampai sepuluh jurus dan ternyata dia tidak dapat merobohkan. Tetapi ketika itu dia tidak menggunakan pedang tongkatnya. Kalau dia menggunakan pedang tongkatnya, mungkin dalam satu atau dua jurus saja dia sudah mampu mengalahkan pemuda itu.

“Keng Han, sepuluh jurus pun sudah terlalu lama. Engkau tidak akan dapat bertahan menghadapi pedangnya biar pun hanya lima jurus saja!” Ucapan ini bernada sungguh-sungguh penuh kekhawatiran, padahal sebenarnya merupakan pancingan yang sangat cerdik dari Souw Cu In.

Gadis ini telah melihat kelihaian Keng Han yang dapat menandingi seorang datuk besar seperti Swat-hai Lo-kwi. Kalau pemuda itu mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi, maka menghadapi Toat-beng Kiam-sian dalam sepuluh jurus saja tak mungkin dia dikalahkan, apa lagi hanya dalam lima jurus. Bahkan mungkin sampai puluhan jurus akan mampu bertahan.

Mendengar ucapan dan melihat sikap Souw Cu In, Toat-beng Kiam-sian membentak, “Baiklah, sepuluh jurus! Kalau selama sepuluh jurus pedangku masih belum mampu mengalahkanmu, engkau boleh pergi dari sini tanpa diganggu!”

“Keng Han, engkau berhati-hatilah. Pedang tongkat itu amat lihai sekali!” Kembali Souw Cu In berseru.

“Hayo, orang muda. Kau boleh menggunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata itu untuk menghadapi pedangku!” kata kakek itu sambil mengangkat tongkat di tangannya yang di dalamnya terisi pedang.

“Lo-pangcu! Keng Han tak pernah menggunakan senjata, maka bila kau menggunakan pedang, itu licik sekali namanya!”

“Dia boleh memilih senjata yang disukainya! Aku tidak peduli, dia mau bersenjata atau tidak!”

“Jangan khawatir, Bibi Guru. Aku memiliki pedangku ini!”

Keng Han mencabut pedang bengkoknya yang selama ini belum pernah dia pakai untuk berkelahi. Tetapi, mendengar nasehat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang pemberian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.

Melihat pemuda itu memegang sebatang pedang bengkok, Gan Bu Tong tertawa.

“Ha-ha-ha, dia memegang sebatang pisau pemotong ayam!” Dia mengejek.

“Diam, Suheng! Engkau sudah dikalahkannya dengan mudah!” kata Lo Siu Lan ketus.

Akan tetapi Toat-beng Kiam-sian memandang rendah pedang bengkok itu.

“Orang muda, bersiaplah menghadapi seranganku!” bentaknya dan pedangnya sudah menyambar bagaikan kilat cepatnya.

“Singgggg...!”

Keng Han terkejut bukan main. Dahsyat sekali pedang itu menyambar, beberapa kali lipat lebih cepat dan kuat dari pada pedang yang dimainkan Lo Siu Lan tadi. Akan tetapi dia sudah siap. Dengan gerakan sangat tangkas dia mengelak sambil memutar pedang bengkoknya menangkis.

“Tranggg...!”

Nampak bunga api berpercikan dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang pedang menjadi panas den tergetar.

“Jurus pertama...!” Souw Cu In menghitung dengan suara nyaring sekali.

Lo Cit merasa penasaran dan mulailah dia mengayun pedangnya dan menyerang dari segala jurusan dengan kecepatan bagaikan kilat. Memang julukan Dewa Pedang bukan julukan kosong belaka karena memang hebat sekali ilmu pedangnya. Namun, Keng Han juga memiliki ilmu Hong-in Bun-hoat yang sakti. Dengan berloncatan ke sana-sini dan pedang bengkoknya mencorat-coret menuliskan huruf-huruf, dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.

“Jurus ke dua... ke tiga... ke empat...!” Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang dimainkan oleh kakek itu.

Pada jurus ke enam, Keng Han sama sekali belum tersentuh pedang lawan, bahkan kini dia mampu membalas dengan gerakan corat-coretnya yang membingungkan lawan.

“Jurus ke delapan...!”

Toat-beng Kiam-sian menjadi marah bukan main. Sudah delapan jurus lewat akan tetapi lawannya masih mampu menandinginya, bahkan mampu membalas serangannya. Dan dia sendiri tidak mengenal ilmu silat pedang lawan yang seperti corat-coret menuliskan huruf itu. Dia membentak keras sambil berjongkok dan menyabetkan pedangnya untuk membabat kedua kaki lawan.

“Hyaaaaattttt...!”

Keng Han meloncat ke atas dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung terbang sehingga babatan itu hanya lewat di bawah kedua kakinya.

“Jurus ke sembilan...!” Cu In berseru girang, akan tetapi mendadak wajahnya menjadi pucat dan ia memandang dengan hati cemas ketika melihat serangan jurus ke sepuluh.

Sekarang Lo Cit menggerakkan pedangnya ke atas, menyambut tubuh Keng Han yang melompat turun dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi juga tangan kirinya menghantam dengan ilmu pukulan Halilintar! Bukan main hebatnya pukulan dan tusukan pedang ini, sedangkan tubuh Keng Han masih berada di udara.

Sementara itu, ketika melihat serangan lawan yang nekat dan berbahaya, Keng Han segera menggerakkan pedang bengkoknya untuk menangkis, sedangkan tangan kirinya juga dihantamkan ke depan menyambut pukulan Halilintar lawan.

“Tranggg... desss...!”

Hebat bukan main pertemuan kedua pedang itu, akan tetapi masih lebih dahsyat lagi pertemuan kedua telapak tangan. Dan akibatnya, tubuh Lo Cit terdorong sehingga dia terhuyung ke belakang, sedangkan Keng Han turun ke bawah dengan selamat.

“Jurus ke sepuluh!” bentak Cu In.

Akan tetapi agaknya Lo Cit tidak mempedulikan teriakan itu dan kini bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat ke arah Keng Han. Dan bersama dengan majunya Lo Cit, kini beberapa orang murid, di antaranya termasuk Gan Bu Tong, juga hendak melakukan pengeroyokan.

Melihat gelagat yang tidak baik ini, Cu In sudah meluncurkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih menyerang kearah Lo Siu Lan. Siu Lan terkejut akan tetapi tidak sempat mengelak dan tahu-tahu pinggangnya telah terlibat ujung sabuk dan sekali Cu In menarik, tubuh Siu Lan terdorong ke arahnya dan ia sudah menangkap gadis itu dan menodongkan jari-jari tangan kirinya ke atas ubun-ubun kepala Siu Lan.

“Tahan semua senjata atau aku akan membunuh Siu Lan!” teriak Cu In dengan suara nyaring.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit cepat menengok dan wajahnya berubah ketika dia melihat puterinya telah berada dalam ancaman tangan Cu In. Dia maklum bahwa sekali Cu In menggerakkan tangan ke arah ubun-ubun kepala anaknya, gadis itu tentu akan tewas!

“Tahan semua senjata dan mundur!” bentaknya kepada para muridnya. Semua mundur dan memandang ke arah Cu In yang masih mengancam Siu Lan.

“Keng Han, mari kita pergi dari sini. Awas, jangan ada yang mengikuti kami kalau ingin gadis ini selamat!” kembali Cu In membentak.

Cu In mendorong Siu Lan agar berjalan di depan, sedangkan ia dan Keng Han berjalan di belakangnya. Dengan cara ini mereka dapat keluar dari sarang Kwi-kiam-pang tanpa ada yang berani menghalangi.

Setelah tiba di luar, Cu In menotok Siu Lan sehingga gadis ini menjadi lemas dan roboh tak berdaya, kemudian mereka berdua berlari cepat meninggalkan tempat itu. Belasan li mereka berlari meninggalkan tempat itu sampai mereka memasuki sebuah hutan yang terdapat di lereng bukit.


Mereka berhenti melepas lelah dan Keng Han berkata dengan nada suara menegur, “Su-i, kenapa menggunakan cara yang curang itu untuk menyelamatkan diri?”

“Curang katamu? Lalu bagaimana dengan Toat-beng Kiam-sian itu? Sudah sepuluh jurus engkau bertahan terhadap serangannya, ehh, dia malah menyerang lagi dan maju mengeroyok. Jumlah mereka demikian banyak, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka? Kalau aku tidak menggunakan akal itu, apa kau kira kita bisa keluar dengan selamat?”

Keng Han menundukkan mukanya, harus mengakui kebenaran ucapan gadis itu. “Ahhh, mengapa di dunia ini banyak orang yang tidak sungkan berlaku curang seperti ketua Kwi-kiam-pang tadi?”

“Itulah! Merupakan pelajaran pertama bagimu kalau engkau memasuki dunia kang-ouw, yaitu, jangan mudah percaya kepada siapa pun juga atau engkau akan tertipu. Lebih banyak orang yang curang dari pada yang jujur, lebih banyak yang jahat dari pada yang baik. Nah, sekarang tiba saatnya kita harus berpisah mengambil jalan masing-masing.”

“Su-i,” Keng Han berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Kalau perjalanan kita sama, menuju ke satu jurusan yaitu kota raja, kenapa kita tidak melakukan perjalanan bersama saja?”

“Tidak pantas seorang pemuda melakukan perjalanan bersama seorang gadis!”

“Aihh, Su-i, bukankah engkau ini bibi guruku? Kenapa tidak pantas? Yang penting kita tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Pula, agaknya memang sudah semestinya kita melakukan perjalanan bersama sehingga dapat saling melindungi. Bayangkan saja, kalau kita tidak melakukan perjalanan bersama, engkau telah celaka di tangan Tung-hai Lo-mo dan aku sudah celaka di tangan Toat-beng Kiam-sian! Dengan berdua, kita dapat mengatasi semua bahaya itu.”

Souw Cu In termenung, agaknya melihat kebenaran dalam ucapan pemuda itu dan kini ia mempertimbangkan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya.

“Keng Han, apakah engkau murid keluarga Pulau Es?”

“Bukan, Su-i. Bahkan aku selama hidup belum pernah bertemu dengan mereka.”

“Akan tetapi ilmu silatmu itu... aku pernah mendengar subo bercerita tentang ilmu-ilmu keluarga itu. Katanya ada ilmu yang sifatnya seperti mencorat-coret dengan tangan atau pedang yang disebut Hong-in Bun-hoat. Tadi engkau menggunakan ilmu itu, bukan?”

Terhadap gadis ini Keng Han tidak ingin berbohong. “Memang sesungguhnya aku tadi memainkan ilmu Hong-in Bun-hoat.”

“Dan kau bilang bukan murid Pulau Es?”

“Bukan, Su-i. Aku tidak berbohong. Kudapatkan ilmu ini di sebuah goa di Pulau Hantu, bersama ilmu-ilmu lain.”

“Ilmu apa saja? Ahh, kau tidak perlu mengaku kalau hendak merahasiakannya.”

“Kepadamu aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa, Su-i. Selain Hong-in Bun-hoat, aku juga menemukan pelajaran ilmu silat Toat-beng Bian-kun, juga ilmu tenaga sakti Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang.”

Gadis itu terbelalak dan Keng Han terpesona. Sepasang mata itu demikian indahnya ketika terbelalak, seperti bintang kembar yang bercahaya terang.

“Tapi semua itu adalah ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!”

“Entahlah, Su-i. Aku hanya menemukannya di Pulau Hantu dan telah kupelajari semua itu selama lima tahun.”

“Pantas saja engkau mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi dan Toat-beng Kiam-sian. Dan suci telah mengangkatmu sebagai murid! Betapa lucunya. Padahal suci sendiri tak mungkin dapat menandingimu. Bahkan subo sendiri belum tentu mampu. Engkau telah menguasai ilmu-ilmu langka yang sakti, Keng Han.”

Keng Han tersipu. “Aih, Bibi Guru terlalu memuji. Aku hanya seperti seekor burung yang baru belajar terbang dan baru saja pergi meninggalkan sarangnya. Aku tak mempunyai pengalaman apa-apa, maka kalau Su-i sudi melakukan perjalanan bersamaku, aku dapat belajar banyak.”

“Tidak bisa! Jika subo mengetahui aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda, tentu dia akan marah sekali dan aku harus membunuhmu! Nah, pergilah!”

“Akan tetapi, Su-i...” Suara Keng Han penuh permohonan dan penuh kekecewaan.

“Tidak ada tapi-tapian, Keng Han. Kita harus berpisah. Pergilah, atau aku akan marah kepadamu!”

“Su-i...! kata Keng Han, akan tetapi melihat sinar mata itu mencorong marah, dia lalu memberi hormat dan berkata, “Baiklah, Su-i, aku tidak berani membantah. Harap Su-i berhati-hati di jalan dan jagalah dirimu baik-baik, Su-i.”

Dengan wajah sedih sekali Keng Han lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan gadis itu. Dia merasa tubuhnya menjadi lemas sehingga segala sesuatu nampak buruk baginya. Dia merasa kesepian, merasa ditinggalkan oleh sesuatu yang amat berharga baginya. Kalau tadinya, segala hal nampak menyenangkan, kini menjadi menyedihkan.

Dia menengok dan tidak melihat lagi bayangan Cu In. Kesedihan dan kesepian melanda dirinya sehingga Keng Han tak mampu melangkah lagi. Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas batu dan termenung. Hidupnya terasa hampa. Kerinduan kepada Cu In begitu mencengkeram hatinya. Membayangkan bahwa dia tak akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu, membuat matanya menjadi basah dan hampir saja dia menangis seperti anak kecil kalau tidak ditahan-tahannya.

Tiba-tiba dia menyadari keadaannya dan menepuk kepalanya sendiri. Huh! Mengapa engkau menjadi cengeng seperti itu? Dia merasa malu kepada diri sendiri, malu kepada Souw Cu In. Kalau bibi gurunya itu melihat keadaannya, tentu ia akan menegurnya.

“Tolol! Cengeng!” Keng Han memaki dirinya sendiri sambil bangkit berdiri, dan dengan langkah tegap dia melanjutkan perjalanannya menuju ke timur, ke kota raja! Dia masih memiliki tugas yang teramat penting. Mencari ayah kandungnya.

Souw Cu In sendiri merasa kesepian dan hatinya terasa berat harus berpisah dari Keng Han. Gadis ini merasa heran sekali. Belum pernah ia merasa kehilangan seperti ini! Apa lagi kehilangan seorang sahabat, seorang pria.

Tekanan yang diberikan subo-nya sejak ia masih kecil membuat ia menganggap setiap orang pria adalah palsu dan jahat. Apa lagi setelah ia melihat sendiri betapa kaum pria selalu bersikap menjemukan kalau bertemu dengannya di mana pun. Pria semua mata keranjang dan ingin menggoda kalau bertemu dengannya.

Akan tetapi kini dia bertemu Keng Han yang sama sekali berlainan dengan pria yang sering kali dia bayangkan dan yang pernah dia temukan. Keng Han sama sekali tidak kurang ajar, bahkan pemuda itu amat sopan dan bersikap baik sekali kepadanya. Maka, begitu Keng Han meninggalkannya dengan sikap demikian kecewa dan sedih, hatinya merasa kasihan sekali dan ikut pula berduka dan kehilangan. Baru sekarang ia merasa kesepian melanda hatinya.

Akan tetapi gadis yang dididik menjadi keras hati ini dapat menekan perasaannya dan ia pun melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat sekali. Pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Bahkan ia menemukan sebuah kedai makan di dusun itu. Karena perutnya sudah lapar Souw Cu In memasuki kedai itu dan memesan makanan dan minuman teh.

Di dalam kedai teh itu sudah banyak tamu yang sedang makan. Seperti biasa dialami Cu In, begitu dia memasuki kedai makan itu, banyak mata memandang dan banyak kepala menengok lalu terdengar suara berbisik-bisik dan tawa yang dibuat-buat. Namun dia tidak mempedulikan itu semua dan memesan makanannya kepada pelayan yang menghampirinya.

Tiga orang pria yang duduk di meja sebelahnya, menghentikan makan mereka ketika melihat Cu In. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian mewah dan berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun. Salah seorang di antara mereka, yang berusia tiga puluh tahun, agaknya menjadi pemimpin mereka.

“Sayang ia bercadar sehingga kita tidak dapat melihat mukanya,” kata seorang di antara mereka yang berusia hampir empat puluhan tahun.

“Aku yakin ia cantik seperti bidadari,” kata orang kedua yang usianya empat puluhan tahun.

“Sudahlah, lanjutkan makan kalian dan jangan pedulikan orang lain,” kata pemuda yang berusia tiga puluhan tahun. Dia itu bertubuh tinggi besar, nampak gagah dan tampan, mukanya bundar dan sepasang matanya lebar sehingga wajah itu nampak asing.

“Akan tetapi, Kongcu, yang satu ini berbeda dengan wanita biasa. Kami berani bertaruh bahwa ia seorang yang luar biasa sekali, penuh rahasia karena muka itu bercadar,” kata orang pertama.

Orang yang disebut kongcu itu mencela, “Bila orang menutupi mukanya, apa lagi kalau dia wanita, tentu dia itu cacat. Sudahlah, mari kita cepat selesaikan makan, kita harus melanjutkan perjalanan!”

Mereka melanjutkan makan minum dan karena Cu In makan cepat dan tidak banyak, gadis ini lebih dulu selesai dan segera membayar makanan dan pergi meninggalkan kedai makanan itu tanpa mempedulikan orang lain. Tiga orang itu juga sudah selesai makan dan mereka juga cepat-cepat meninggalkan kedai.

Ketika berjalan keluar dari dusun itu, Cu In pun tahu bahwa tiga orang itu membayangi dirinya. Dia pura-pura tidak tahu dan melangkah terus. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sepi, tiga orang ini berlari cepat menyusulnya.

“Tahan dulu, Nona!” terdengar suara pria pertama yang berkumis dan berjenggot seperti kambing.

Cu In berhenti dan menghadapi tiga orang itu. Dia melihat bahwa dua diantara mereka memandangnya dengan mulut menyeringai, akan tetapi pemuda berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tampan dan gagah itu bersikap acuh tak acuh.

“Nona, tadi kita melihatmu di rumah makan,” kata orang kedua yang hidungnya pesek.

“Lalu, mengapa kalian mengejarku?” tanya Cu In dengan ketus.

“Begini, Nona. Aku dan temanku ini bertaruh. Aku yakin bahwa wajahmu cantik seperti bidadari, sebaliknya dia yakin bahwa wajahmu cacat dan buruk. Nah, karena itu kami harap Nona suka membuka cadar Nona itu sebentar saja agar kami dapat melihatnya dan menentukan siapa yang menang bertaruh.”

“Aku tidak peduli kalian bertaruh atau tidak, tetapi aku tidak akan membuka cadarku!” kata Cu In dengan suara ketus dan marah.

“Aih, Nona. Mengapa Nona begitu pelit? Memperlihatkan muka sebentar saja, kenapa keberatan? Nah, kalau begitu biarlah aku yang membuka dan menyingkap cadar itu!” kata si jenggot kambing dan tangannya meraih ke arah cadar di muka Cu In. Gadis ini mengelak mundur dan sambaran tangan itu luput.

“Siapa berani membuka cadarku dia akan mati!” kata Cu In dengan suara membentak.

Akan tetapi agaknya si jenggot kambing dan si hidung pesek menganggap gertakan Cu In ini kosong belaka. Bahkan si hidung pesek tertawa.

“Ha-ha-ha, Thian-ko. Mari kita bertaruh lagi, siapa di antara kita yang lebih dulu dapat membuka cadar Nona ini!”

Si jenggot kambing tertawa. “Ha-ha-ha, baik sekali! Jadi taruhan kita ada dua, mengenai muka gadis ini dan siapa yang lebih dulu menyingkap cadar!”

Keduanya lalu menerjang maju. Tangan mereka meraih untuk menyambar cadar putih yang menutupi muka Cu In. Leaki ketiga yang berwajah tampan itu masih memandang dengan tidak peduli.

Marah sekali hati Cu In. Cepat ia mengelak sambil berloncatan dari serangan kedua orang yang hendak merenggut cadarnya dan ia pun menampar dengan pukulan Tangan Beracun. Akan tetapi kagetlah ia melihat betapa dua orang itu pun mampu mengelak dengan cepat. Kini keadaannya berubah. Dua orang itu bukan berebutan membuka cadar, melainkan mengeroyok gadis itu. Terjadilah perkelahian yang seru.

Akan tetapi, dua orang itu kecelik karena kini mereka bertemu batunya. Ternyata gadis bercadar itu lihai bukan main dan mereka terdesak hebat oleh pukulan dan tendangan Cu In. Padahal, kedua orang itu mengira bahwa mereka adalah orang-orang lihai yang jarang bertemu tanding!

Melihat ini, sepasang mata lebar dari pemuda tampan itu bersinar-sinar.

“Kalian mundurlah!” bentaknya, dan sekarang dia sendiri yang maju melawan Cu In. Dua orang kawannya menaati perintahnya dan mundur menjadi penonton.

Cu In terkejut setengah mati. Pemuda itu ternyata lihai bukan main, berani menangkis Tangan Beracunnya, bahkan setiap kali tertangkis dia merasa lengannya tergetar hebat. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh dan juga mempunyai tenaga sinkang yang amat kuatnya.

Cu In yang maklum bahwa lawannya tangguh, segera melolos sabuk suteranya yang menjadi senjatanya yang ampuh, dan mulai menyerang dengan sabuk suteranya. Akan tetapi pemuda itu dapat mengelak atau menangkis sambil mencoba untuk menangkap ujung sabuk sutera putih itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal.

Sabuk sutera itu seolah hidup di tangan Cu In, bergerak seperti seekor ular dan setiap kali ditangkap dapat melesat cepat menghindar, lalu menyerang lagi dengan patukan yang mengarah jalan darah karena sesungguhnya senjata lemas itu dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Selagi ramai-ramainya kedua orang ini bertanding, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar suara Keng Han.

“Bibi guru, harap minggir, biar aku yang menghadapinya!”

Bagaimana Keng Han dapat tiba di situ? Perjalanannya dengan Cui In memang searah, sama-sama ke timur sehingga tidak aneh kalau dia juga lewat di situ. Ketika dari jauh dia melihat perkelahian itu, jantungnya berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan karena siapa lagi wanita yang berpakaian putih bersenjata sabuk sutera putih itu kalau bukan Souw Cu In?


                  
cerita silat karya kho ping hoo


Melihat orang yang dirindukannya ini hatinya merasa girang sekali, akan tetapi juga tegang melihat betapa lawan bibi gurunya itu amat tangguh. Apa lagi setelah dekat dia mengenal pemuda itu sebagai Gulam Sang yang pernah ditandinginya!

Gulam Sang, putera mendiang gurunya! Bahkan gurunya sebelum meninggal dunia sudah berpesan agar dia bekerja sama dengan puteranya itu. Maka cepat dia meloncat datang dan menyuruh bibi gurunya supaya minggir.

Gulam Sang juga mengenal Keng Han sebagai pemuda tangguh yang pernah menjadi lawannya. Dia menjadi penasaran karena tadi belum sempat mengalahkan Cu In yang sudah didesaknya.

“Siapakah engkau yang mencampuri urusan kami?” bentaknya dan dia memandang kepada Keng Han dengan mata yang lebar itu mencorong.

“Bukankah namamu Gulam Sang dan engkau adalah putera dari Gosang Lama?” tanya Keng Han sambil membalas pandang mata mencorong itu.

Gulam Sang nampak terkejut dan melangkah mundur setindak mendengar pertanyaan itu. “Siapa engkau? Apa hubunganmu dengan Gosang Lama?”

Keng Han melihat betapa keterkejutan pemuda tinggi besar itu agak dibuat-buat karena suaranya masih biasa saja, hanya tadi seolah sengaja melangkah mundur.

“Aku adalah muridnya. Sebelum suhu Gosang Lama meninggal dunia, dia berpesan kepadaku agar dapat bekerja sama denganmu. Akan tetapi kenapa engkau bertempur melawan bibi guruku ini? Ia adalah bibi guruku dan mustahil ia melakukan kesalahan sehingga engkau turun tangan bertempur dengannya.”

Wajah Gulam Sang berubah kemerahan dan dia menoleh kepada dua orang kawannya. “Kawan-kawanku ini yang usil, maka terjadilah perkelahian. Mereka hendak menyingkap tabir yang menutupi wajah Nona ini.”

Keng Han mengerti mengapa mereka berkelahi. Tentu saja bibi gurunya tidak sudi dibuka cadarnya dan masih beruntung mereka berdua itu tidak sampai dipukul mati.

“Kalian sudah bertindak lancang. Mengingat engkau putera suhu Gosang Lama, biarlah aku mintakan ampun kepada bibi guruku,” kata Keng Han sambil menoleh.

Akan tetapi ternyata Cui In sudah tidak nampak, sudah pergi dari tempat itu tanpa pamit. Ketika tadi Keng Han muncul, Cu In juga merasa berbahagia sekali. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda tinggi besar itu putera guru Keng Han, Cu In menjadi marah dan pergi tanpa pamit.

“Ehhh, ke mana bibi guru?”

Si jenggot kambing yang menjawab. “Ia sudah pergi sejak tadi.”

Keng Han memandang kepada si jenggot kambing dan si hidung pesek dengan marah. “Kalian berdua telah melakukan kesalahan, hayo cepat minta maaf kepadaku dan aku akan memaafkan atas nama bibi guruku!”

Kedua orang itu memandang kepada Golam Sang yang mengangguk. Keduanya lalu mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Keng Han, “Harap sampaikan maaf kami kepada nona tadi.”

“Saudara yang baik, siapa namamu dan sejak kapan engkau menjadi murid ayahku?”

“Namaku Si Keng Han dan semenjak berusia sepuluh tahun aku menjadi murid Gosang Lama selama lima tahun.”

“Kalau begitu engkau masih saudaraku sendiri walau pun aku sendiri sejak kecil tidak pernah bertemu dengan mendiang ayahku. Apa saja yang dipesankan ayah kepadamu sebelum dia meninggal?”

“Dia berpesan agar aku bekerja sama denganmu, saling bantu.”

“Bagus sekali! Mari kita kembali ke dusun dan mencari penginapan supaya kita leluasa bicara.”

Keng Han tidak menolak, karena percuma saja andai kata dia akan mengejar Cu In yang pergi tanpa pamit . Dan dia pun ingin mengenal lebih baik putera suhu-nya ini yang berkepandaian tinggi dan yang menurut Dalai Lama pernah menjadi murid Dalai lama yang sakti.

Mereka kembali ke dusun dan menyewa kamar, kemudian bercakap-cakap berdua saja di kamar yang disewa Keng Han.

“Nah, sekarang katakanlah apa yang hendak kau bicarakan, Gulam Sang. Kerja sama yang bagaimana yang dapat kita bersama lakukan.”

“Nanti dulu, Keng Han. Aku ingin tahu siapakah orang tuamu dan sekarang ini engkau hendak ke mana? Kita harus terbuka dan menceritakan keadaan masing-masing, baru kita dapat bekerja sama, bukan?”

Keng Han mengangguk-angguk. Dia belum percaya kepada pemuda tinggi besar ini, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda ini adalah putera Gosang Lama yang pernah menjadi gurunya yang baik.

“Terus terang saja, saudara Golam Sang. Ibuku adalah seorang wanita Khitan, puteri seorang kepada suku di sana dan ayahku...”

Ia berhenti dan meragu. Haruskah dia mengatakan rahasia tentang ayahnya...?

“Dan ayahmu tentu bukan orang Khitan!” kata Golam Sang.

“Engkau benar. Ayahku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng.”

“Ahhh...!” Gulam Sang nampak terkejut. “Siapa nama ayahmu yang pangeran itu?”

“Nama ayahku adalah Tao Seng, jadi aku she Tao bernama Keng Han.”

“Ahhh...!” kembali Golam Sang terkejut. “Apakah Pangeran Tao Seng yang dua puluh tahun lalu dihukum buang itu?”

“Agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang ayahku, saudara Golam Sang.”

“Aku hanya mendengar saja bahwa ada dua orang pangeran yang dihukum buang.”

“Dan tahukah engkau di mana ayahku itu sekarang?”

“Aku tidak tahu, mungkin di kota raja, mungkin juga masih di tempat pembuangannya, di Barat. Akan tetapi engkau tentu dapat mencari keterangan di kota raja. Kebetulan aku mengenal seorang pensiunan pejabat tinggi yang dahulu mempunyai hubungan erat dengan ayahmu. Kau carilah dia di kota raja dan dia pasti akan dapat memberi tahu di mana ayahmu. Namanya Ji Soan dan dikenal dengan sebutan Ji-wangwe (hartawan Ji) karena sekarang dia sudah menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Kau tanyakan kepada siapa saja di mana rumahnya Ji-wangwe, tentu dengan mudah engkau akan dapat menemukannya.”

“Ahh, terima kasih, Gulam Sang. Keteranganmu ini penting sekali bagiku. Besok pagi-pagi aku akan langsung menuju ke kota raja untuk mencari Ji-wangwe itu.”

“Kabarnya, ayahmu itu difitnah dan dia dihukum dalam keadaan penasaran sekali.”

“Difitnah?” tanya Keng Han, ingin sekali tahu.

“Ya, kabarnya yang melakukan fitnah adalah seorang pangeran lain yang kini menjadi Pangeran Mahkota.”

“Aku mendengar dari ibuku bahwa ayahku itu adalah Pangeran Mahkota.”

“Mungkin benar demikian. Mungkin karena dia adalah seorang Pangeran Mahkota, ada pangeran lain yang iri hati dan melakukan fitnah sehingga dia dihukum buang.”

“Siapakah pangeran jahat itu?”

“Dia adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Akan tetapi urusan itu aku pun tidak tahu banyak. Yang lebih mengetahui adalah Hartawan Ji itu. Bagaimana pun juga, Pangeran Tao Kuang dan Kaisar Cia Cing itu adalah musuh besarmu karena mereka yang telah mencelakakan dan menghukum ayahmu.”

“Kalau benar ayahku terhukum dengan penasaran, aku akan membalas dendam!” kata Keng Han dengan hati panas.

“Bagus! Dalam hal ini, kita dapat bekerja sama. Kita akan sama-sama berjuang untuk menggulingkan pemerintahan Ceng yang dipegang oleh Cia Cing dan kelak dipegang oleh Pangeran Tao Kuang itu! Kita bekerja sama dengan teman-teman seperjuangan.”

“Hemm, kau maksudkan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang dulu kau bantu mengeroyok kami itu? Mereka itu bukan orang-orang baik. Aku sudah mendengar sepak terjang orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Mereka adalah orang-orang jahat yang berkedok perjuangan. Bagaimana kita dapat bekerja sama dengan mereka?”

“Nah, di sini letak kesalah pahaman itu. Engkau berpikiran seperti ketua Thian-li-pang itu. Kalau kita sungguh-sungguh hendak berjuang menentang pemerintahan, kita harus mempersatukan semua tenaga dari pihak mana pun. Karena itu kita harus bersatu padu tanpa mempedulikan watak masing-masing, untuk bersama-sama menghadapi pasukan pemerintah yang kuat. Aku lebih condong menyetujui pendapat ketua Bu-tong-pai!”

“Ahh, engkau juga hadir ketika ada rapat besar itu?”

“Tentu saja. Aku hadir sebagai pendengar saja. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Keng Han mulai meragu. “Agaknya engkau benar. Aku harus membalas dendam atas kematian ayahku kalau benar dia sudah mati secara penasaran dan difitnah. Aku suka bekerja sama denganmu, Gulam Sang.”

Gulam Sang menjabat tangan Keng Han. “Bagus, kita akan bekerja sama kelak. Kau tunggu saja di rumah Hartawan Ji, karena dia pun sudah menjadi sekutu kami untuk melakukan pemberontakan. Pergilah engkau ke sana, cari keterangan tentang ayahmu dan katakan kepada Ji-wangwe bahwa engkau adalah sahabat dan sekutuku yang suka untuk bekerja sama.”

Demikianlah, Keng Han yang masih hijau dalam pengalaman itu percaya sepenuhnya kepada Gulam Sang karena orang ini adalah putera gurunya yang sudah meninggalkan pesan agar dia bekerja sama dengan Gulam Sang….


Yo Han dan Tan Sian Li tidak dapat membantah atau melarang lagi ketika Yo Han Li menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin merantau untuk mencari pengalaman.

“Bukankah Ibu dahulu ketika masih muda juga suka merantau mencari pengalaman di dunia kangouw sehingga Ibu dijuluki Si Bangau Merah di dunia kang-ouw? Juga Ayah mendapat julukan Pendekar Tangan Sakti karena perantauannya di dunia kangouw. Saya hanya ingin merantau dan meluaskan pengalaman saja. Saya tidak ingin mengejar nama julukan dan saya akan selalu berhati-hati agar tak terpancing dalam permusuhan.”

Demikian ucapan Yo Han Li yang membuat ayah ibunya tidak dapat membantah lagi dan terpaksa memberi ijin kepada puterinya untuk merantau. Siapa tahu justru dalam perantauannya itu puteri mereka akan bertemu dengan jodohnya. Mereka tidak perlu khawatir karena sekarang Han Li sudah memiliki tingkat kepandaian yang sebanding dengan tingkat ibunya, sudah cukup kuat untuk menjaga diri.

“Baiklah, kami mengijinkan engkau untuk pergi merantau meluaskan pengalaman. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan pergi lebih lama dari satu tahun. Dalam waktu setahun engkau harus sudah pulang,” kata Yo Han. “Di dunia kangouw sedang kacau karena partai besar seperti Bu-tong-pai hendak memberontak dan mengajak partai-partai sesat untuk bekerja sama. Engkau jangan terpikat oleh mereka itu. Perjuangan kita lain sifatnya. Kita pantang bekerja sama dengan penjahat dan kita bergerak melihat suasana.”

“Aku berjanji, Ayah,” kata Han Li.

“Hati-hatilah, anakku,” kata Tan Sian Li. “Jangan engkau mencari permusuhan dengan siapa pun. Meski pun engkau harus membela kebenaran dan keadilan, membela yang tertindas dan menentang yang jahat, namun kalau tidak terpaksa sekali jangan engkau membunuh orang. Dan yang harus kau ingat benar, jangan sekali-kali percaya begitu saja kepada mulut manis seseorang, karena di dunia kangouw banyak sekali penjahat yang bermuka dan bermulut manis. Engkau harus pandai menjaga harga dirimu, walau pun tidak perlu tinggi hati. Jika sekiranya ada bahaya mengancam, sebut nama julukan ayahmu dan nama julukanku, mungkin dapat menolongmu.”

“Baik, Ibu. Aku akan selalu ingat akan nasehat Ayah dan Ibu.”

Tiga hari kemudian, Yo Han Li berangkat meninggalkan Thian-li-pang yang berpusat di Bukit Naga itu dan turun gunung untuk memulai dengan perantauannya. Ia membawa sebuah buntalan pakaian dan sekantung uang. Tidak lupa ia membawa pula sebatang pedang pemberian ayahnya yang selalu dipakainya untuk berlatih silat pedang.

Ayah dan ibunya mengantar puteri mereka sampai keluar pintu gerbang. Bagaimana pun juga, kedua orang tua ini mengkhawatirkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal. Mereka tahu bahwa justru kecantikan gadis itu yang akan banyak memberikan gangguan pada puteri mereka.

Yo Han Li yang berusia delapan belas tahun itu memang cantik. Wajahnya mirip dengan ibunya. Mukanya bulat telur dan kulitnya putih mulus, mata agak lebar dan hidungnya mancung. Mulutnya selalu tersenyum agak mengejek dan dihias lesung pipit di pipi kiri.

Tubuhnya sedang dan ramping. Ia berpakaian sederhana, dari sutera berwarna biru dan kuning. Sepatunya dari kulit berwarna hitam. Ia membawa pedang di pinggangnya dan buntalan pakaiannya berada di punggungnya.

Apa yang dikhawatirkan ayah ibu gadis itu ternyata terbukti, bahkan baru sehari setelah gadis itu meninggalkan rumahnya. Sore itu tibalah Han Li di sebuah bukit yang masih bertetangga dengan Bukit Naga. Dari bukit itu, kalau ia menoleh, ia akan melihat Bukit Naga yang dari situ nampak memanjang dan berlekuk-lekuk seperti tubuh seekor naga, dan karena bentuknya itulah maka bukit itu disebut Bukit Naga.

Ketika Han Li sedang melangkah maju dengan cepat untuk mencari dusun di mana ia dapat melewatkan malam, tiba-tiba muncullah dua belas orang laki-laki yang kelihatan kasar. Pakaian mereka tidak karuan dan sikap mereka kasar sekali, mata mereka liar dan bengis, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang muka codet, yaitu terdapat cacat bekas goresan senjata pada pipi kirinya.

Melihat seorang gadis berjalan seorang diri, dua belas orang itu tertawa senang dan si muka codet itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, sungguh tidak kusangka di tempat sesunyi ini terdapat seorang nona yang cantiknya seperti bidadari! Eh, Manis, engkau siapakah dan hendak pergi ke mana?”

Han Li belum pernah bertemu dengan orang-orang macam itu, akan tetapi dia sudah mendengar banyak cerita dari ayah ibunya mengenai orang-orang kasar yang biasanya menjadi perampok. Maka kini dia pun dapat menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan segerombolan perampok.

“Aku seorang gadis perantau yang hendak mencari dusun di depan sana. Harap kalian tidak menghalangiku pergi.”

“Ha-ha-ha, untuk apa mencari dusun? Kalau hanya hendak melewatkan malam, ikutlah bersama kami dan kita bersenang-senang. Kami mempunyai banyak arak dan kami pun telah menangkap beberapa ekor lembu dari dusun yang kami lewati. Kita berpesta pora. Mari, Nona!” kata si codet yang menjadi pimpinan gerombolan perampok itu.

Tangan si codet itu sudah dijulurkan ke depan untuk merangkul pinggang yang ramping itu, tapi dengan cepat Han Li sudah melangkah mundur. Pandang matanya mencorong ketika ia berkata, suaranya masih lembut namun mengandung ancaman.

“Sudah kukatakan, harap jangan halangi dan ganggu aku atau kalian akan menyesal nanti!”

“Ehhh? Engkau mengancam kami? Ho-ho-ho-ha-ha, agaknya karena engkau membawa pedang engkau dapat mengancam kami? Menyerahlah, Nona, dan aku akan bersikap manis padamu. Kalau engkau berkeras, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu!”

“Hemmm, sombongnya! Boleh kau coba kalau engkau mampu menangkap aku!” kata Han Li dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk menghadapi penyerangan lawan.

“Heiii, kalian dengar, kawan-kawan? Ia menantangku, ha-ha-ha!”

Semua anak buahnya juga tertawa. “Jangan sampai dia terluka, sayang kalau sampai terluka, Toako!”

“Jangan sampai kulit yang putih mulus itu lecet!”

“Ha-ha-ha, sekali ringkus saja ia pun akan berada dalam pelukanku. Kalian lihat saja!”

Tiba-tiba si codet menubruk dengan amat cepatnya. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan dan jari-jari kedua tangannya menyambar ke depan untuk menerkam Han Li.

Namun dengan lincah dan mudah saja Han Li menyelinap dan mengelak dari terkaman itu. Ia melihat bahwa lawannya itu hanya seorang yang mengandalkan kekuatan otot saja dan gerakannya terlalu lamban baginya. Begitu mengelak, ia sudah menyelinap ke belakang si codet dan sekali kaki kirinya bergerak, sepatu hitamnya sudah menendang pantat si codet sehingga tubuh tinggi besar itu jatuh tersungkur!

Semua anak buah kaget bukan main melihat betapa pimpinan mereka tertendang roboh oleh gadis itu hanya dalam segebrakan saja. Akan tetapi si codet menjadi penasaran dan marah sekali karena malu.

Dia merangkak bangun, lalu menghadapi Han Li dengan muka bengis dan kemerahan, kedua tangannya dibuka seperti cakar harimau dan tanpa banyak cakap lagi sekarang dia menyerang dengan pukulan dan tamparan. Sepak terjangnya ganas dan liar seperti seekor harimau.

Namun bagi Han Li gerakan itu terasa amat lambat sehingga mudah sekali baginya untuk mengelak ke kanan kiri dan setelah mendapatkan kesempatan, tangan kirinya menampar, kini mengenai leher si codet yang kembali terpelanting roboh dan sekali ini agak lambat dapat bantuan. Kepalanya terasa pening dan lehernya terasa seperti patah!

Akan tetapi hajaran kedua kali itu agaknya tidak membuat kepala gerombolan perampok itu jera. Dia bahkan mencabut golok besarnya dari pinggang dan memutar-mutar golok itu di atas kepala dengan sikap mengancam. Dia tidak lagi menyayang gadis cantik itu dan kalau perlu akan disembelihnya untuk meredakan kemarahannya.

Melihat cara orang mencabut golok dan memutar-mutar di atas kepalanya, tahulah Han Li bahwa orang ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja, maka ia pun tak mau mencabut pedangnya. Dia siap menghadapi serbuan orang bergolok itu dengan tangan kosong saja.

“Bocah setan, mampuslah kau sekarang!” bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan ganasnya. Goloknya berayun dari kanan ke kiri membabat ke arah leher Han Li.

Dengan menundukkan kepala Han Li sudah mengelak. Golok lewat menyambar di atas kepalanya, kemudian membalik menyambar dari kiri ke kanan membabat pinggangnya! Dengan geseran kaki ke belakang, kembali Han Li membiarkan golok itu lewat.

Setelah dua kali bacokannya dengan mudah dapat dielakkan lawan, si codet menjadi semakin penasaran.

“Hyaaaattt...!” Dia berteriak nyaring dan kini goloknya menusuk ke arah perut gadis itu.

Han Li menggeser kaki ke kiri. Ketika golok itu lewat di dekat perutnya, dia melangkah maju dan secepat kilat tangannya menampar, kini dengan tenaga yang lebih besar dan tamparan tangannya menghantam bawah leher kepala perampok itu.

“Plakkk... ughhhhh...!”

Tubuh itu terbanting keras dan tak dapat bangun kembali. Tamparan tadi amat hebatnya dan membuat kepalanya seperti remuk, bumi berputar dan matanya menjadi juling.

Sebelas orang anak buahnya melihat betapa pimpinan mereka roboh segera mencabut golok masing-masing dan dengan teriakan-teriakan dahsyat mereka serentak menyerbu dan mengeroyok Han Li yang bertangan kosong dari berbagai jurusan. Akan tetapi mereka terkejut bukan main.

Gadis yang tadi berada di tengah-tengah mereka tiba-tiba melayang ke atas dan sudah berada di belakang mereka. Mereka membalik, tetapi dua kali kaki Han Li melayang dan dua orang di antara mereka roboh.

Han Li mengamuk di antara pengeroyokan gerombolan itu dan membagi-bagi tamparan tangannya yang ampuh dan tendangan. Dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah jatuh bangun dan akhirnya, dipimpin oleh si codet, mereka melarikan diri seperti sekawanan monyet melihat singa betina mengamuk.

Han Li tersenyum geli dan mengibas-ngibaskan dua tangannya, mengebutkan bajunya supaya bebas dari kotoran debu, kemudian ia pun melanjutkan perjalanan seperti tak pernah terjadi sesuatu. Ia sudah mendapatkan pengalaman yang menarik dan ia sudah memenuhi pesan ayah ibunya, yaitu menentang kejahatan namun tidak sembarangan membunuh orang. Kalau ia menghendaki, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh semua lawan tadi.

Han Li melanjutkan perjalanannya. Yang dituju adalah ke kota raja. Ia sudah mendapat keterangan dari ayah ibunya di manakah adanya kota raja, dan ia ingin sekali melihat kota yang besar dan indah itu. Sudah banyak ia mendengar mengenai keindahan kota raja, namun belum pernah ia melihatnya.

Dengan cepat ia menuruni lereng bukit itu menuju ke sebuah dusun yang dilihatnya dari lereng bukit tadi dan mencari tempat untuk bermalam di dusun itu. Sepasang suami isteri petani yang sederhana dengan senang hati memberikan kamar mereka untuk Han Li yang menyewanya…..

Beberapa pekan telah lewat tanpa ada halangan sesuatu yang mengganggu perjalanan Yo Han Li. Pada suatu pagi tibalah ia di tepi Sungai Kuning di daerah Propinsi Shansi. Niatnya akan pergi ke kota Tai-goan dan dari sana terus ke kota Peking.

Ia berjalan menyusuri sungai besar itu untuk mencari tumpangan perahu yang akan dapat menyeberangkannya. Akan tetapi tepi di mana ia tiba itu sangat sunyi, tidak ada dusun nelayan di situ. Dan perahu-perahu yang sedang berlayar itu berada di tengah sungai sehingga ia tidak dapat menghubungi mereka.

Tiba-tiba ia melihat seorang kakek sedang memancing ikan. Kakek itu duduk di atas sebongkah batu di tepi sungai dan memegangi tangkai pancing dari batang bambu kecil, matanya penuh perhatian memandang joran pancingnya.

Memang itulah nikmatnya seorang pemancing ikan. Memperhatikan joran pancingnya dengan penuh harapan dan begitu joran pancingnya bergerak, begitu tangan yang memegang tangkai pancing itu merasakan sentakan, itu tandanya umpan disambar ikan dan pada saat yang tepat menggerakkan tangkai pancingnya ke atas supaya pancing dapat menusuk mulut ikan!

Han Li tidak mengerti tentang seni memancing ikan. Kalau pemancing ikan sedang mencurahkan segenap perhatian kepada joran pancingnya, dia sama sekali tidak boleh ditegur atau diganggu. Karena tidak tahu, Han Li menghampiri kakek itu dari belakang dan bertanya, “Kakek yang baik, tahukah engkau di mana aku bisa menyewa perahu untuk menyeberangkan aku?”

Kakek yang sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada joran pancingnya serta melupakan segala yang berada di sekelilingnya itu terkejut dan marah.

“Apakah engkau tidak melihat bahwa aku sedang memancing?!” kakek itu membentak tanpa menoleh.

Han Li sangat terkejut. “Maafkan kalau aku mengganggu. Kalau engkau dapat memberi keterangan padaku di mana aku dapat menyewa perahu, biarlah aku beri sedikit uang agar engkau dapat membeli ikan, dari pada susah payah memancing.”

Tapi kakek itu menjadi lebih marah lagi. “Aku tidak butuh ikannya! Aku membutuhkan ketenangan memancingnya. Kalau aku ingin ikan, tidak usah membeli. Dan kalau hanya menangkap ikan, apa sih sukarnya? Kau lihat!”

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan ujung tangkai pancingnya ke dalam air seperti orang menusuk dengan tombak. Ketika dia mengangkat tangkai pancing itu... di ujung tangkai dari bambu itu sudah tertusuk seekor ikan besar yang menggelepar-gelepar.

Han Li terkejut sekali. Ia maklum bahwa kakek ini seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia memberi hormat dan berkata, “Harap Locianpwe suka memaafkan kalau aku sudah mengganggu ketenangan Locianpwe.”

“Enak saja mengganggu ketenanganku, engkau bahkan sudah menghilangkan seleraku memancing!”

Kakek itu melemparkan ikan dan tangkai pancingnya ke air, lalu membalikkan tubuhnya sambil melompat berdiri. Ternyata kakek itu gemuk dan pendek sekali, bahkan masih kalah tinggi dibandingkan Han Li. Wajahnya seperti kanak-kanak, telinganya lebar dan matanya kemerahan. Wajah itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Han Li.

Ketika kakek itu melihat Han Li, matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. “Aha, kiranya yang menggangguku adalah seorang gadis yang cantik jelita. Nona, engkau ini manusia ataukah penunggu sungai ini?”

Dalam ucapan dan pandang mata kakek itu terkandung keceriwisan seorang yang mata keranjang, maka Han Li lalu memutar tubuhnya hendak pergi dari situ tanpa menjawab pertanyaan tadi. Akan tetapi ketika ia memutar tubuh dan baru melangkah, tiba-tiba ada bayangan orang melewatinya dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di depannya.

“Ho-ho-ho, nanti dulu, Nona. Engkau sudah menggangguku dan sekarang hendak pergi begitu saja? Tidak bisa, tidak boleh! Engkau harus dihukum untuk gangguanmu tadi.”

“Locianpwe, atas kesalahan itu aku tadi telah minta maaf dan bersedia untuk mengganti kerugianmu. Harap Locianpwe tidak menghalangiku dan biarkan aku pergi melanjutkan perjalananku.”

“Ha-ha-ha, enak saja! Orang yang telah menggangguku selagi memancing, seharusnya dihukum mati. Akan tetapi melihat engkau begini cantik, biarlah hukuman itu kuubah. Engkau tidak akan kuhukum mati, tetapi harus menjadi pelayanku selama satu minggu!”

“Engkau keterlaluan, Locianpwe. Aku tak mau menjadi pelayanmu walau hanya sehari, apa lagi seminggu.”

“Hemmm, keputusan hukumanmu tidak dapat diubah lagi. Mau atau tidak engkau harus menjadi pelayanku selama seminggu.”

“Aku tidak sudi dan harap jangan halangi aku pergi!” kata Han Li dengan marah.

Han Li lalu membalikkan tubuh lagi untuk meninggalkan kakek pendek gemuk itu. Akan tetapi kembali ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu kembali telah berada di depannya, mengembangkan kedua lengannya sambil menyeringai.

“Engkau tidak boleh pergi sebelum aku membebaskanmu!” katanya.

Han Li menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya dia mendorong pundak kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Akan tetapi betapa terkejutnya Han Li ketika tangannya bertemu dengan pundak yang sekokoh baja dan tubuh itu sama sekali tidak tergoyangkan dorongannya!

“Ha-ha-ha, mana bisa engkau menyuruhku pergi?” Kakek itu mengejek.

Dalam kemerahannya, Han Li lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar dada kakek itu. Tamparannya ini kuat sekali karena ia mengerahkan tenaga sinkang.

“Wuuuuuttt...plakkk!”

Untuk kedua kalinya ia terkejut dan merasa heran. Tamparannya tadi demikian kuatnya sehingga akan mampu menghancurkan sebongkah batu. Akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, pukulannya itu tidak berarti sama sekali, tenaga sinkang-nya bagaikan tenggelam dan hilang sendiri. Ini hebat! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya berniat jahat terhadap dirinya, Han Li lalu menyerang dengan ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah) yang dipelajari dari ibunya!

Kakek itu pun mengeluarkan seruan heran dan tubuhnya demikian cepatnya mengelak ke sana sini, lalu dia berseru sambil meloncat ke belakang. “Hei, bukankah ini Ang-ho Sin-kun? Apa hubunganmu dengan Si Bangau Merah?”

Han Li merasa bangga bahwa kakek ini mengenal ilmu silat ibunya. “Beliau adalah ibu kandungku!”

“Ho-ho-ho, kebetulan sekali, tidak dapat menghajar ibunya, anaknya pun boleh mewakili ibunya. Nah, kini hukumanmu ditambah lagi. Engkau harus menjadi pelayanku selama satu bulan penuh. Sama sekali tidak boleh ditawar-tawar lagi dan kelak engkau boleh bercerita kepada Si Bangau Merah bahwa engkau pernah menjadi pelayanku selama satu bulan! Ha-ha-ha!”

“Kakek yang sesat! Kalau ayahku mengetahui hal ini, engkau tentu akan dihajar sampai setengah mampus! Ayah kandungku adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han!”

“Ha-ha-ha, itu aku sudah tahu karena aku pernah mendengar bahwa Si Bangau Merah telah menikah dengan Si Tangan Sakti. Karena itu, sampai hari ini perasaan penasaran di hatiku kupendam saja. Dan sekarang engkau muncul tanpa kusangka-sangka. Biarlah rasa penasaran ini kutumpahkan kepadamu!”

“Apa kesalahan ibuku sehingga engkau hendak membalas dendam melalui penghinaan atas diriku?”


“Dulu, pada waktu mudanya, Si Bangau Merah pernah mencampuri satu urusanku dan membikin malu diriku sehingga belasan tahun aku tak ada muka untuk muncul di dunia kang-ouw. Akan tetapi sekarang, ha-ha-ha, biar dia dibantu suaminya, aku tidak akan merasa gentar. Nah, hayo cepat berlutut dan beri hormat kepada majikanmu!”

“Aku tidak sudi!” jawab Han Li.

“Kalau begitu aku akan memaksamu berlutut!”

Kakek itu kemudian menggerakkan tangan kirinya ke arah pundak Han Li. Han Li cepat mengelak, akan tetapi tetap saja merasa pundaknya dilanda angin yang mengandung hawa panas. Ia meloncat ke belakang dan cepat mencabut pedangnya.

“Kalau engkau tidak menghentikan perbuatanmu, terpaksa pedangku ikut bicara!”

“Ha-ha-ha-ha, pedang mainan kanak-kanak itu hendak kau pakai untuk menakut-nakuti aku? Ha-ha-ha-ho-ho!”

Han Li maklum bahwa kakek ini sudah nekat, maka ia kemudian memainkan ilmu silat Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang ia pelajari dari ibunya pula. Ilmu pedang ini hebat bukan main. Saat ia menggerakkan pedangnya, pedang itu mengaum seperti seekor singa marah. Pedangnya berkelebatan dan membentuk gulungan sinar pedang yang dahsyat.

Ilmu pedang ini berasal dari Lembah Naga Siluman yang dikuasai oleh Kam Hong. Kam Hong mengajarkan kepada puterinya, Kam Bi Eng dan Kam Bi Eng menurunkan kepada Tan Sian Li Si Bangau Merah. Kini Tan Sian Li menurunkan kepada puterinya, Yo Han Li.

Sebetulnya, ilmu pedang ini merupakan gabungan ilmu pedang dan ilmu silat suling dan biasanya Tan Sian Li memainkannya dengan sebatang suling berselaput emas. Akan tetapi Yo Han Li tidak suka menggunakan suling, maka oleh ibunya lalu diganti pedang. Walau pun dengan pedang ilmu itu menjadi Ilmu Pedang Naga Siluman, namun unsur-unsur ilmu Suling Emas masih terkandung di dalamnya, maka kehebatannya luar biasa.

Kakek itu berilmu tinggi karena sesungguhnya dia adalah seorang tokoh datuk selatan yang berjuluk Lam-hai Koai-jin (Orang Aneh Laut Selatan). Walau pun usianya sudah enam puluh tahun namun wajahnya seperti kanak-kanak dan wataknya keras, bahkan dia mempunyai watak mata keranjang pula.

Melihat Han Li yang demikian cantiknya, timbul nafsunya dan ingin dia mempermainkan gadis itu. Apa lagi ketika mendengar bahwa gadis itu puteri Si Bangau Merah, nafsunya makin menjadi.

Dahulu, dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih bertualang di selatan, pernah dia bertemu dengan Si Bangau Merah dan hendak mempermainkannya. Akan tetapi dia lalu dikalahkan oleh pendekar wanita itu. Karena itu, kini dia hendak membalas dendamnya kepada puteri musuh besarnya itu.

Namun, menghadapi permainan pedang Han Li, kakek itu menjadi sibuk dan kewalahan juga. Setelah berloncatan mundur dan kadang ke kanan kiri untuk mengelak, akhirnya dia menyambar tangkai pancingnya dan dengan senjata istimewa ini dia lalu melakukan perlawanan.

Tangkai pancing dari bambu itu bersiutan menyambar-nyambar dan dapat dipergunakan untuk menangkis pedang lawan tanpa khawatir patah atau putus. Juga tangkai pancing itu lebih panjang dari pedang sehingga kakek itu lebih leluasa menyerang Han Li.

Gadis ini terkejut bukan main. Ia memang sudah menduga bahwa kakek itu lihai sekali, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dengan tangkai pancing bambu seperti itu kakek itu mampu melawan, bahkan mendesak dirinya! Ujung tangkai itu kini menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darahnya. Selain itu, juga tangkai pancing itu terus berputar-putar bagai dayung lebar dan ujungnya seperti seekor lebah yang mengancam kepala dan lehernya.

Pada saat yang amat gawat bagi Han Li, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, datuk Lam-hai Koai-jin sekarang sudah menjadi seorang pengecut yang menyerang seorang gadis yang pantas menjadi cucunya!”

Mendengar suara tawa ini, kakek itu segera menahan gerakan tangkai pancingnya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Han Li yang sudah terdesak itu untuk melompat ke belakang.

Ternyata yang datang dan tertawa itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun. Tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang kurang makan, pakaiannya juga penuh tambalan walau pun bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga bahwa kakek ini seorang pengemis. Rambutnya yang sudah putih semua dibiarkan tergantung di sekeliling pundak dan lehernya.

Melihat pengemis tua ini, Lam-hai Koai-jin terkejut dan segera mengenalnya.

“Lu Tong Ki, gembel tua bangka busuk, mau apa engkau mencampuri urusanku? Gadis ini telah mengganggu aku yang sedang enak-enak memancing ikan, maka perlu kuberi hukuman. Bukankah itu sudah adil?”

“Memang adil, heh-heh-heh. Akan tetapi bagaimana caranya gadis ini mengganggumu dan hukuman apa yang hendak kau berikan kepadanya?”

“Ia mengganggu ketenanganku memancing ikan.”

“Dia bohong, Kek!” Han Li cepat berkata. “Aku hanya menghampiri dia dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan tukang perahu untuk menyeberangkan aku ke seberang sana. Tahu-tahu dia marah dan menyerangku!”

“Heh-heh-heh, dan hukuman apa yang akan kau berikan kepada Nona ini, Koai-jin?”

“Aku hanya minta agar ia menjadi pelayanku selama beberapa hari...”

“Tidak begitu, Kek. Tadi dia minta aku berlutut di depannya sebagai majikanku dan dia hendak menjadikan aku pelayannya selama satu bulan!” kata pula Han Li dengan suara nyaring.

“Wah-wah-wah, ini sudah keterlaluan sekali namanya. Tidak malukah engkau, Koai-jin, menghina dan mengganggu seorang gadis muda seperti itu?”

“Kai-ong (Raja Pengemis), jangan engkau usil dan mencampuri urusanku atau terpaksa aku harus menghajarmu pula!”

Kakek yang bernama Lu Tong Ki yang berjuluk Kai-ong itu tertawa panjang. “He-he-heh! Engkau hendak menghajarku? Sejak kapan engkau berani mengeluarkan kesombongan seperti itu? Dan bagaimana caranya engkau hendak menghajarku? Dengan apa?”

“Tentunya dengan ini!” Lam-hai Koai-jin berteriak marah sambil menggerakkan tangkai pancingnya.

Kalau tadi ketika melawan Han Li dia menggenggam pancingnya sehingga pancing itu tidak akan melukai Han Li. Sekarang dia melepaskan pancingnya sehingga ketika dia menyerang, pancing yang berupa kaitan besi kecil menyambar dahsyat ke arah muka Kai-ong.

Akan tetapi Lu Tong Ki bersikap tenang sekali. Begitu pancing itu menyambar dekat, tongkat bambu di tangannya bergerak.

“Trakkk!”

Pancing itu terpental ketika tertangkis tongkat bambu itu dan selanjutnya kedua kakek itu saling menyerang dan tubuh mereka berkelebatan dengan cepat sekali. Bagi orang biasa yang melihatnya, tentu tidak akan mampu mengikuti gerakan mereka karena dua orang itu seperti berubah menjadi bayang-bayang saja.

Akan tetapi Han Li sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, karena itu ia dapat mengikuti gerakan mereka dan ia merasa kagum bukan main. Kedua orang kakek itu menggunakan kecepatan gerakan mereka untuk mendapat kemenangan dan agaknya dalam hal ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) keduanya seimbang. Nampaklah sinar tongkat bergumul dengan sinar tangkai pancing, sedangkan pancingnya sendiri sudah sejak tadi putus talinya.

Karena tidak mampu menang dalam hal kecepatan gerakan, Lam-hai Koai-jin kemudian memperlambat gerakannya dan kini dia menggerakkan tangkai pancingnya dan juga menggerakkan tangan kirinya yang terisi penuh tenaga sinkang. Melihat ini, Lu Tong Ki juga mengimbangi lawan dan dia pun mengerahkan tenaga sinkang untuk menandingi pukulan Koai-jin. Mereka ini saling pukul dan suara pukulan mereka menderu-deru, membuat pepohonan di sekeliling mereka bergoyang dan daunnya runtuh berguguran.

Dengan penasaran sekali Koai-jin melempar tangkai pancingnya, dan kini tubuhnya berjongkok. Tubuh yang pendek itu berjongkok sampai pantatnya hampir menyentuh tanah. Dalam keadaan berjongkok itu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka ke depan, dan dari dalam mulutnya terdengar suara nyaring sekali.

“Kok-kok-kok!”

Han Li merasa geli karena sikap dan suara Koai-jin seperti seekor katak besar yang menggembung perutnya.

Akan tetapi agaknya Kai-ong tidak memandang rendah serangan seperti katak besar ini. Dia pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah, menekuk kedua lututnya dan dia juga mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut serangan lawan.

Jarak di antara mereka ada sekitar dua meter, akan tetapi ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu, Han Li merasa ada getaran hebat melanda dirinya sehingga ia cepat duduk bersila dan mengarahkan sinkang agar jangan sampai terluka. Ia melihat betapa kedua orang kakek itu tergetar, akan tetapi tubuh Koai-jin kemudian terpental dan bergulingan ke belakang, sedangkan tubuh Kai-ong hanya bergoyang-goyang saja.

Lam-hai Koai-jin terpental masuk ke dalam sungai. Terdengar suara berjebur, kemudian tubuhnya lenyap ditelan air. Han Li cepat berlari ke tepi sungai dan melihat. Ternyata tubuh itu tidak tersembul kembali.

“Ahh, dia mati Kek...?” tanyanya kepada Kai-ong yang juga sudah berdiri di dekatnya memandang ke air sungai yang dalam itu.

“He-he-heh, dia mati? Hemmm, agaknya engkau masih belum mengenal siapa adanya Lam-hai Koai-jin. Dia datuk besar Laut Selatan, bagaimana bisa mati tercebur ke dalam sungai? Tidak, saat ini dia pasti sudah muncul jauh dari sini, entah berapa jauhnya karena ketika tercebur tadi, dia menyelam. Dia memang seekor katak buduk besar yang lihai!”

“Ahhh...!” Gadis itu berseru kagum. “Akan tetapi engkau telah dapat mengalahkannya, Locianpwe!”

Han Li menyebut locianpwe untuk menghormati kakek pengemis yang ternyata sangat sakti itu.

“Heh-heh-heh, jangan sebut aku Locianpwe atau aku tidak akan sudi bicara denganmu. Namaku Lu Tong Ki, sebut saja aku kakek atau Kai-ong karena memang itu julukanku. Jelek-jelek aku ini raja lho, walau pun hanya raja pengemis, heh-heh-heh!”

“Baiklah, aku akan menyebutmu Kakek atau Kai-ong. Aku merasa berterima kasih sekali kepadamu, Kakek, karena kalau engkau tidak datang mengusir Katak Buduk itu, entah apa jadinya dengan diriku.”

Kai-ong menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya mengeluarkan suara berdecak, baru kemudian da berkata, “Engkau tentu akan celaka sekali! Katak Buduk itu memang jahat, orang yang paling jahat di selatan dan sampai tua tetap saja dia mata keranjang dan jahat sekali. Akan tetapi aku melihat ilmu pedangmu hebat sekali, dan ilmu pedang seperti itu setahuku hanyalah Koai-liong Kiam-sut. Benarkah demikian?”

“Pandanganmu tajam sekali, Kek. Memang benar aku tadi memainkan jurus-jurus dari Koai-liong Kiam-sut.”

“Aha! Kalau begitu, apa hubungannya dengan Lembah Naga Siluman? Bukankah ilmu itu milik Pendekar Suling Emas dan Naga Siluman, Locianpwe Kam Hong?”

“Beliau adalah kakek buyutku, Kek.”

Raja Pengemis itu nampak girang bukan main. “Kalau begitu sudah tentu engkau puteri Si Bangau Merah dan Pendekar Tangan Sakti, bukan?”

“Benar sekali.”

“He-he-heh, pantas saja Katak Buduk tadi hendak menghinamu karena aku mendengar dia pernah dikalahkan oleh ibumu.”

“Dia tadi juga mengatakan demikian, Kek.”

“Engkau hendak ke manakah dan siapa pula namamu?”

“Namaku Yo Han Li, dan aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja. Aku tadi mencari tukang perahu untuk menyewa perahunya menyeberangi sungai ini.”

“Wah, kebetulan sekali jika begitu. Aku pun hendak ke kota raja, sudah terlalu lama aku tidak menikmati masakan di dapur istana. Aku mempunyai sebuah perahu kecil. Tuh di sana perahuku. Han Li, maukah engkau menyeberang bersamaku kemudian melakukan perjalanan bersamaku ke kota raja?”

“Tentu saja aku mau, Kek. Akan tetapi...” Ia memandang pakaian kakek itu. “Aku tidak mau kalau kau ajak mengemis. Aku membawa bekal uang cukup banyak.”

"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Biar pun pengemis, tetapi aku ini rajanya, tahu? Mana ada seorang raja yang pekerjaannya mengemis?”

“Akan tetapi pakaianmu itu, Kek. Penuh tambalan. Biar nanti kubelikan pakaian yang lebih pantas untukmu.”

“Oho, kau kira yang kupakai ini pakaian apa? Ini adalah pakaian kebesaranku sebagai Raja Pengemis, tahukah engkau? Biar ditukar dengan pakaian kaisar sekali pun, aku tidak akan mau. Dan di dalam buntalan ini masih ada beberapa stel pakaian kebesaran. Jangan khawatir, aku setiap hari mandi dan bertukar pakaian. Biar pengemis, aku bukan pengemis busuk, heh-heh-heh!”

Wajah Han Li berubah kemerahan. “Aku pun tidak mengatakan engkau demikian, Kek. Akan tetapi, orang melakukan perjalanan harus ada hubungannya. Sedangkan aku tidak mempunyai hubungan apa pun denganmu. Bagaimana kalau aku menyebut suhu dan menjadi muridmu? Sebagai suhu dan muridnya, tentu tidak aneh melakukan perjalanan bersama.”

Kakek itu tertawa dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Li. “Gadis cerdik, engkau ingin aku mengajarkan ilmu silat kepadamu? Bagaimana kalau kelak Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau Merah mengetahui? Tentu mereka akan menjadi marah kepadaku.”

“Tidak, aku jamin. Kalau orang tuaku bertanya, aku akan mengaku bahwa akulah yang ingin menjadi muridmu, bukan engkau yang minta aku menjadi muridmu.”

“Heh-heh-heh, engkau memang cerdik sekali.”

Melihat kakek itu tidak membantah lagi, Yo Han Li lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu sambil menyebut ‘suhu’. Lu Tong Ki segera membangunkan Han Li.

“Sudahlah, tak perlu memakai banyak peradatan. Aku memang suka menerima engkau menjadi murid. Engkau puteri sepasang pendekar besar dan engkau berbakat sekali. Akan tetapi, dari semua ilmuku yang dapat menandingi ilmu-ilmumu hanya sebuah saja, yaitu Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Iblis). Itulah yang akan kuajarkan kepadamu sambil melakukan perjalanan ke kota raja.”

"Terima kasih, Suhu.”

“Nah, sekarang mari kita seberangi sungai ini, Han Li.” kata kakek itu sambil meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang berada di pantai.

Kiranya kakek itu tadi datang berperahu. Han Li juga menyusul Lu Tong Ki meloncat ke dalam perahu. Kalau tadi ketika kakek itu meloncat, perahu sama sekali tidak bergoyang seolah yang hinggap di perahu itu hanya seekor burung. Tetapi ketika Han Li meloncat, perahu itu bergoyang sedikit. Ini saja menunjukkan bahwa dalam hal ginkang, kakek itu telah memiliki ilmu yang tinggi sekali.

Karena perahu itu hanya mempunyai sebuah dayung, Han Li lalu meminta dayung itu dari gurunya dan sebagai seorang murid yang baik, dialah yang mendayung perahu itu menyeberang ke pantai timur. Lu Tong Ki tidak membantah dan membiarkan muridnya mendayung perahu itu. Perahu itu pun meluncur dengan cepatnya karena Han Li mengerahkan sinkang untuk mendayung perahu itu….

Ketika perahu itu tiba di seberang sungai, dari perahu mereka dapat melihat seorang wanita berpakaian putih sedang dikeroyok oleh belasan orang yang memegang pedang. Wanita itu bersenjatakan sabuk sutera putih dan gerakannya ringan bagaikan seekor burung bangau putih.

Namun, belasan orang pengeroyoknya itu membentuk barisan pedang yang lihai sekali sehingga wanita itu agaknya berada dalam keadaan cukup berbahaya. Ke mana pun dia bergerak, selalu dia bertemu dengan pedang para pengeroyok yang sudah mengepung dirinya dengan barisan yang teratur rapi.

Kai-ong Lu Tong Ki berkata kepada Han Li. “Han Li, kalau melihat perkelahian itu, apa yang akan kau lakukan? Kau hendak membantu pihak yang mana?”

Han Li berdiri di perahu dan memandang sejenak.

“Aku akan melerai dan menegur belasan orang yang mengeroyok seorang wanita itu, Suhu. Kalau mereka tidak mau menurut, tentu aku akan membantu wanita itu. Ia amat lihai, akan tetapi para pengeroyoknya menggunakan barisan yang amat kuat.”

“Engkau benar dan lakukanlah!” kata kakek pengemis itu sambil tersenyum.

Mendengar ucapan gurunya, Han Li segera melompat ke darat dan berlari menghampiri mereka yang sedang bertanding. Setelah mencabut pedangnya, Han Li menerjang para pengeroyok sambil berseru, “Tahan senjata!”

Dua orang pengeroyok yang pedangnya bertemu dengan Han Li terkejut karena pedang mereka terpental, hampir terlepas dari pegangan. Yang lain lalu berhenti mengeroyok gadis berpakaian putih yang bukan lain adalah Souw Cu In itu.

“Berhenti dulu!” kata Han Li sambil memandang kepada Cu In. “Kalian ini belasan orang laki-laki mengapa mengeroyok seorang wanita? Itu curang namanya!”

“Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”

“Tidak peduli aku siapa, akan tetapi kalau melihat kecurangan aku tidak akan tinggal diam. Kalau kalian ini bertanding satu lawan satu aku tentu tidak akan campur tangan.”

“Perempuan ini lancang. Hajar saja!” terdengar teriakan mereka.

Kembali mereka bergerak dengan teratur dan menggerakkan pedang untuk menyerang. Akan tetapi sekali ini bukan hanya Cu In yang dikeroyok, melainkan juga Han Li.

Han Li menggerakkan pedangnya dan Cu In menggerakkan sabuk suteranya. Gerakan dua orang gadis ini begitu hebatnya sehingga barisan pedang itu mulai menjadi kacau.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Semua pengeroyok mengundurkan diri mendengar bentakan ini dan di situ telah muncul seorang kakek berusia enam puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat dan mendatangi tempat itu dengan terpincang-pincang. Ternyata kaki kiri kakek ini timpang sehingga jalannya terpincang-pincang.

Melihat kakek itu, Cu In amat terkejut karena dia mengenal kakek itu sebagai Toat-beng Kiam-sian Lo Cit yang amat lihai itu. Baru-baru ini dia dan Keng Han dapat meloloskan diri dari pengeroyokan kakek ini bersama anak buahnya.

Tadi ketika menyeberangi sungai dan di daratan timur bertemu dengan belasan orang itu yang mengeroyoknya dengan pedang, dia sudah menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kwi-kiam-pang. Agaknya di antara mereka ada yang mengenal dirinya yang pernah bermusuhan dengan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.

“Ha-ha-ha, kiranya engkau!” Kakek itu menuding ke arah Cu In. “Sekarang jangan harap engkau akan dapat lolos dari tanganku!”

Berkata demikian kakek itu lalu menggerakkan tongkat pedangnya menyerang Cu In. Gadis ini mengelak dan Han Li membantu, akan tetapi para anak buah Kwi-kiam-pang sudah maju pula mengeroyoknya.

Serangan Lo Cit terhadap Cu In amat hebatnya sehingga dalam waktu pendek saja Cu In sudah terdesak hebat. Juga Han Li yang dikeroyok anak buah Kwi-kiam-pang yang mernbentuk barisan, kini telah terdesak pula.

Tiba-tiba terdengar suara tawa orang. “Ha-ha-ha, Pangcu dari Kwi-kiam-pang ternyata hanyalah seorang pengecut yang mengeroyok dua orang gadis muda!”

Mendengar ucapan itu, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit meloncat mundur untuk melihat. Ketika melihat seorang kakek berpakaian tambal-tambalan, dia mengerutkan alisnya. Dia lalu menudingkan tongkat pedangnya ke arah muka pengemis itu dan membentak, “Bukankah engkau Lu Tong Ki yang di juluki Kai-ong? Mau apa engkau mencampuri urusan pribadiku?!”

“Heh-heh-heh, tentu saja aku mencampuri karena yang dikeroyok itu adalah muridku. Bebaskan kedua orang gadis itu dan aku tidak akan mencampuri urusanmu lagi.”

Lo Cit sebetulnya merasa jeri terhadap kakek yang namanya terkenal sekali di antara para datuk itu, akan tetapi dia berbesar hati karena di situ terdapat belasan orang murid-murid utamanya yang sudah pandai membentuk barisan pedang yang amat lihai.

“Kalahkan dulu kami kalau engkau ingin bebas!” tantangnya.

Dia pun langsung menggerakkan pedang yang tersembunyi dalam tongkatnya itu untuk menyerang Kai-ong. Melihat pimpinan mereka sudah menyerang kakek pengemis yang baru tiba itu, anak buah Kwi-kiam-pang kembali menyerbu ke arah Cu In dan Han Li. Kedua orang gadis itu menggerakkan senjata mereka masing-masing dan bekerja sama melakukan perlawanan.

Pertempuran antara Lo Cit melawan Kai-ong amat ramai dan hebatnya. Ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya Kai-ong mempunyai kecepatan yang lebih dari lawannya sehingga serangan tongkatnya membuat Li Cit agak kewalahan. Biar pun ilmu pedang Lo Cit amat dahsyat, akan tetapi karena gerakannya kalah cepat, dialah yang terdesak......



                    
BERSAMBUNG KE JILID 07





















Terima kasih telah membaca Serial ini


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12