Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 07
Sementara
itu, setelah kini dibantu Han Li, Cu In mengamuk dan dapat mendesak para
pengeroyoknya. Anak buah Kwi-kiam-pang yang membentuk kiam-tin (barisan pedang)
mulai kacau dan kocar-kacir diamuk dua orang gadis perkasa itu.
Akan tetapi
Kai-ong agaknya maklum bahwa apa bila datang lebih banyak anak buah
Kwi-kiam-pang, tentu keadaan mereka akan menjadi berbahaya sekali. Juga dia pun
maklum bahwa Dewa Pedang itu mempunyai anak perempuan dan murid yang lihai.
Kalau mereka datang mengeroyok, kekuatan mereka bertambah dan tentu dia bersama
dua orang gadis itu menjadi repot. Kai-ong memutar tongkatnya dengan cepat,
membuat Lo Cit terkejut dan mundur.
“Lo Cit,
biarlah lain kali saja kita lanjutkan perkelahian ini, aku masih mempunyai
banyak urusan. Han Li dan engkau Nona, mari kita pergi!”
Sebetulnya
Han Li dan Cu In merasa heran mengapa orang tua itu mengajak mereka pergi,
padahal keadaan mereka tidak kalah, bahkan sedang mendesak lawan. Akan tetapi
Han Li tidak berani membantah perintah gurunya.
“Enci, mari
kita pergi!” ajaknya kepada Cu In.
Cu In
sendiri maklum bahwa tanpa bantuan gadis dan gurunya itu, tentu ia akan celaka
di tangan musuh. Maka ia pun melompat keluar dari gelanggang perkelahian dan
pergi mengikuti Han Li yang sudah melarikan diri bersama gurunya.
Melihat tiga
orang itu melarikan diri, Lo Cit yang tahu diri tidak mengejar. Keadaannya tadi
sudah sangat terdesak, jelas kekuatan musuh lebih besar. Mengejar berarti
mencari penyakit, maka dia pun tidak mau mengejar, dan mengajak anak buahnya
untuk kembali ke bukit Kwi-san.
Setelah
yakin bahwa mereka tidak dikejar, Kai-ong berhenti berlari dan dua orang gadis
itu pun berhenti. Kai-ong tertawa-tawa, “Heh-heh-heh, baru sekali ini aku
berlari-larian seperti orang dikejar anjing!”
“Akan
tetapi, Suhu. Kita sama sekali tidak kalah, malah kita mendesak lawan, kenapa
Suhu mengajak kami melarikan diri?”
“Benar,
Locianpwe, orang-orang Kwi-kiam-pang itu adalah orang-orang jahat yang perlu
dihajar. Kenapa Locianpwe mengajak kami melarikan diri?” bertanya pula Cu In
dengan hati penasaran.
“Heh-heh-heh,
kalian tahu? Kalau aku mengajak kalian melarikan diri itu adalah untuk
keselamatan kalian! Aku mengenal Kwi-kiam-pang. Selain mereka itu lihai, juga
mereka licik dan curang sekali, suka menggunakan alat-alat rahasia dan jumlah
mereka banyak. Kalau yang lain-lain berdatangan, bagaimana aku akan mampu
menyelamatkan kalian. Lebih baik kita pergi selagi mereka terdesak sehingga
mereka tidak berani mengejar, heh-heh-heh!”
“Sudah lama
aku mendengar kecerdikan Kai-ong, dan ternyata memang Locianpwe cerdik sekali!”
puji Cu In.
“Ehhh?
Engkau mengenal nama julukanku?”
“Sudah lama
aku mengenalnya, Locianpwe dan hari ini aku beruntung sekali mendapat
pertolongan Locianpwe dan Adik ini.”
“Enci, tak
ada kata tolong-menolong. Sudah menjadi kewajiban kami untuk turun tangan
menentang yang jahat. Enci, namaku Yo Han Li, dan bolehkah kami tahu siapa nama
Enci?”
“Hemmm,
melihat ilmu pedangmu tadi, engkau tentu puteri dari Pendekar Tangan Sakti Yo
Han dan Si Bangau Merah, bukan?”
“Ahh, Enci
ternyata berpandangan luas dan mempunyai banyak pengalaman sehingga mengenal
pula ilmu pedangku. Siapakah engkau, Enci yang baik?”
“Namaku Souw
Cu In dari Beng-san.”
“He-he-heh,
engkau dari Beng-san? Melihat sepak terjangmu yang hebat dengan sabuk suteramu,
tentu engkau ini murid Ang Hwa Nio-nio. Benarkah?”
Cu In
memberi hormat. “Locianpwe berpandangan luas dan tentu mengenal Subo.”
Kai-ong
mengerutkan alisnya. “Hemm, siapa yang tidak mengenal Ang Hwa Nio-nio dan
muridnya Bi-kiam Niocu yang tanpa berkedip suka membunuhi orang? Nama mereka
terkenal sekali!”
Mendengar
ini, Cu In juga mengerutkan alis. Ia sendiri harus mengakui bahwa subo-nya dan
suci-nya sangat kejam terhadap kaum pria. Salah sedikit saja tentu akan mereka
bunuh! Ia sendiri tidak demikian dan selalu menentang perbuatan yang kejam itu,
dan karena ini pula ia selalu menyembunyikan mukanya agar tidak dilihat pria
dan tidak ada pria yang tertarik kepadanya, agar dia tidak usah menyakiti atau
membunuh pria itu.
“Subo dan
suci memang tersohor, aku lebih suka tidak dikenal orang,“ katanya perlahan dan
suaranya mengandung penyesalan besar. “Sekarang aku harus pergi, dan sekali
lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Kalian)!” Setelah
berkata demikian, gadis berpakaian putih itu lalu berkelebat lenyap dari situ.
Han Li
menghela napas panjang. “Sayang sekali ia pergi. Padahal aku ingin berkenalan
lebih lanjut dan ingin melihat wajahnya, Suhu.”
“Ah,
sudahlah. Lebih baik ia lekas pergi dan tidak bersama kita agar kita tidak
berurusan dengannya. Ia menyembunyikan mukanya tentu bukannya tanpa sebab, apa
lagi kalau mengingat watak suci dan subo-nya.”
“Kenapa suci
dan subo-nya, Suhu?”
“Mereka
adalah pembunuh-pembunuh kejam. Kalau ada laki-laki berani menegur atau memuji,
atau bahkan hanya memandang mereka terlalu lama, laki-laki itu tentu akan
dibunuhnya! Mereka itu pembenci kaum pria yang sudah hampir gila barangkali!”
“Ahhh...!
Akan tetapi aku melihat enci Souw Cu In tadi begitu lemah lembut dan aku yakin
dia pasti memiliki wajah yang cantik sekali.”
“Hemmm,
siapa tahu? Menurut pengalamanku, wanita yang memiliki wajah cantik tentu
selalu ingin memamerkan kecantikannya itu, bukan malah disembunyikan di balik
cadar. Aku ragu apakah ia memiliki wajah cantik seperti yang kau duga!”
“Akan
tetapi, wajahnya bagian atas demikian indahnya, terutama sepasang matanya.
Tidak mungkin kalau dari hidung ke bawah tidak sempurna.”
“Sudahlah,
bagaimana pun juga, ia hendak menyembunyikan dirinya di balik cadar. Itu adalah
haknya. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”
Guru dan
murid ini melanjutkan perjalanan dan makin lama Han Li semakin sayang kepada
gurunya. Gurunya bersikap manis budi, lemah lembut dan mengajarkan ilmu tongkat
dengan sungguh-sungguh. Dia merasa seolah melakukan perjalanan bersama kakeknya
sendiri….
Para
pendekar serta ketua-ketua perkumpulan persilatan besar semacam Siauw-lim-pai,
Kun-lun-pai dan yang lain-lain merasa heran sekali melihat sikap Thian It Tosu,
ketua Bu-tong-pai yang secara mendadak begitu bersemangat untuk memberontak
terhadap kerajaan Ceng. Dan yang lebih mengherankan mereka lagi adalah betapa
ketua ini kini tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan
perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
Bahkan
banyak tokoh Bu-tong-pai sendiri merasa heran akan sikap ketua mereka ini. Akan
tetapi karena Thian It Tosu memiliki alasan yang kuat, yaitu untuk berjuang
harus menyatukan segala kekuatan, mereka pun tidak berani membantah.
Pada suatu
hari Thian It Tosu memanggil para sute dan muridnya dalam suatu rapat. Ketua Bu-tong-pai
ini masih merasa badannya kurang enak dan kurang sehat sehingga suaranya juga
masih parau.
"Pinto
merasa tidak sehat, maka untuk memulihkan kesehatan, pinto harus beristirahat
dan bersemedhi. Selama pinto bersemedhi, tidak ada seorang pun boleh mengganggu
pinto.”
Para sute
dan murid menyatakan setuju dan tidak akan melanggar perintah ketua itu. Thian
It Tosu yang bertubuh tinggi besar itu menghela napas lega.
“Masih ada
satu pesanan lagi. Kalau dalam beberapa hari ini datang seorang pemuda bernama
Gulam Sang, harap kalian menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan dan
melayaninya sebaik-baiknya. Dia adalah seorang tokoh Lama Jubah Kuning yang
berilmu tinggi dan dia sudah menjanjikan kerja sama dengan pinto. Para Lama
Jubah Kuning akan menjadi sekutu kita dalam perjuangan.”
Kembali
semua orang menyatakan taat akan pesan itu. Dan sejak hari itu Thian It Tosu
mengurung diri di dalam sebuah ruangan tertutup untuk bersemedhi.
Pesan Thian
It Tosu benar terjadi. Tiga hari kemudian di Bu-tong-pai muncullah seorang
pemuda yang gagah dan tampan, bermuka bundar dengan mata lebar, dan mengaku
bernama Gulam Sang.
“Aku bernama
Gulam Sang berasal dari Tibet. Aku sudah menerima pesan dari Thian It Tosu
untuk bergabung di sini. Dapatkah aku bertemu dengan Thian It Tosu?”
“Saat ini
ketua kami sedang bersemedhi dan sama sekali tidak boleh diganggu. Akan tetapi
beliau sudah memesan kepada kami agar supaya menerima Kongcu (Tuan Muda)
sebagai tamu terhormat. Silakan Kongcu menanti di sini sampai suhu keluar dari
tempat pertapaannya sehingga dapat bertemu dan bicara.”
“Ah, tidak
mengapa kalau begitu. Memang tidak baik mengganggu pangcu (ketua) yang sedang
bersemedhi. Baiklah, aku akan tinggal di sini menunggu sampai beliau keluar.
Aku bisa melewatkan waktuku dengan berjalan-jalan menikmati keindahan
Pegunungan Bu-tong-san.”
Para tosu
dan murid Bu-tong-pai diam-diam merasa heran dan tidak senang karena Gulam Sang
yang dikatakan seorang tokoh Lama Jubah Kuning itu ternyata minum arak dan
makan daging.
Ketika Gulam
Sang melihat keheranan mereka, dia lalu tertawa dan memberi alasan. “Dahulu aku
memang seorang pendeta Lama yang tentu saja pantang minum arak dan makan
daging. Akan tetapi karena sekarang aku menjadi orang biasa, bukan pendeta
lagi, maka pantangan itu pun sudah aku tinggalkan.”
Setiap hari
Gulam Sang meninggalkan Bu-tong-pai, dan setelah hari mulai gelap baru dia
kembali. Tak ada seorang pun mengetahui apa saja yang dikerjakan orang aneh
ini.
Tiga hari
kemudian, Thian It Tosu keluar dari ruangan semedhinya. Selama tiga hari itu
hanya seorang saja diperbolehkan memasuki ruangan semedhi, yaitu Thian Tan
Tosu, seorang sute-nya yang bertugas untuk mengirim makanan. Tentu saja begitu
keluar dari ruangan semedhinya, Thian It Tosu menerima laporan tentang
kunjungan Gulam Sang.
“Biarkan
saja kalau dia pergi setiap hari, karena tentu ada hubungannya dengan usaha
perjuangan kita. Kalau dia pulang, suruh Thian Tan Tosu mengantarnya masuk
kamar semedhiku. Pinto akan menemuinya di sana.”
Tidak lama
Thian It Tosu keluar, setelah menerima laporan-laporan, dia pun masuk lagi ke
dalam kamar semedhi itu.
Sore
harinya, Gulam Sang pulang ke Bu-tong-pai. Para tosu memberi tahu kepadanya
bahwa Thian It Tosu tadi memesan agar dia diajak masuk ke ruangan semedhi.
Gulam Sang menjadi gembira. Dengan diantar oleh Thian Tan Tosu, dia pun masuk
ke dalam ruangan semedhi itu.
Tidak ada
seorang pun mengetahui apa yang mereka bicarakan. Bahkan Thian Tan Tosu juga
tidak tahu karena setelah membawa Gulam Sang masuk, dia pun disuruh keluar
lagi. Sampai jauh malam barulah Gulam Sang keluar dari ruangan itu, kemudian
memasuki kamarnya sendiri.
Pada
keesokan harinya, Gulam Sang berpamit dari para tosu karena dia hendak pergi ke
kota raja untuk mengadakan kontak hubungan dengan sekutunya di sana.
“Malam tadi
hal itu sudah kubicarakan dengan Thian It Tosu dan aku sudah berpamit
kepadanya. Kalau beliau keluar, katakan saja bahwa aku sudah berangkat ke kota
raja,” demikian pesannya kepada para tosu Bu-tong-pai.”
Dan setelah
Gulam Sang berangkat pergi, pada keesokan harinya Thian It Tosu sudah keluar
dari kamar semedhinya dan memimpin Bu-tong-pai seperti biasa. Akan tetapi
banyak terjadi hal yang membingungkan para tosu yang lain.
Thian It
Tosu sering kali menerima kunjungan tokoh-tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan
bahkan tokoh-tokoh dari dunia sesat! Mereka tidak diijinkan hadir dalam
pertemuan itu sehingga tidak tahu apa yang dibicarakan oleh ketua mereka dengan
tokoh-tokoh sesat itu. Dan para tosu Bu-tong-pai hanya dapat merasa heran dan
khawatir.
Pada suatu
hari, terjadilah hal yang menggemparkan para tokoh dan murid Bu-tong-pai. Hari
itu kembali Thian It Tosu menerima beberapa orang Pek-lian-pai. Menjelang
rapat, terdengar suara gaduh. Para tosu yang berlari menuju ke ruangan sidang
yang tertutup itu melihat tubuh seorang tosu terlempar keluar, dan ketika
mereka semua melihat, ternyata tubuh itu adalah Beng An Tosu yang telah tewas!
Selagi
mereka ramai membicarakan hal itu, Thian It Tosu muncul dengan mata
bersinar-sinar penuh kemarahan, “Itulah jadinya kalau ada yang lancang berani
mengintai dan mendengarkan percakapan kami. Pinto kira yang mengintai itu tentu
mata-mata musuh, maka pinto menyerangnya sungguh-sungguh sehingga dia tewas.
Kiranya dia adalah sute (adik seperguruan) Beng An Tosu sendiri! Biarlah hal
ini menjadi peringatan bagi kalian agar jangan ada yang berani lancang
mendengarkan atau mengintai kami!”
Semua
anggota Bu-tong-pai benar-benar merasa heran bukan main. Beng An Tosu merupakan
seorang tosu yang jujur dan setia, bahkan biasanya amat dipercaya oleh Thian It
Tosu. Dan sekarang Beng An Tosu tewas di tangan ketua mereka sendiri! Mulailah
para tosu Bu-tong-pai merasa tidak puas dan menduga bahwa ketua mereka agaknya
sudah terlalu dipengaruhi oleh para tokoh sesat itu. Akan tetapi apa yang dapat
mereka lakukan?
Pada suatu
hari, terlihat banyak tamu yang berdatangan dan berkunjung ke Bu-tong-pai.
Mereka disambut oleh Thian It Tosu sendiri. Dan kepada para anggota Bu-tong-pai
yang terheran-heran melihat hadirnya para tokoh dan datuk sesat, Thiat It Tosu
kemudian memperingatkan mereka bahwa untuk berhasilnya perjuangan, dia tidak
mempedulikan golongan dari mana yang akan membantunya. Memang para tamu yang
berdatangan di waktu itu sangat istimewa.
Thian Yang
Cu dari Bu-tong-pai yang merupakan murid utama dari Thian It Tosu, dan juga
Thian Tan Tosu, dipercaya untuk membantu ketua Bu-tong-pai itu menyambut para
tamu. Selain dua orang tosu ini, tidak ada orang lain boleh mencampuri dan
hanya menjadi penonton dari jauh saja.
Tokoh-tokoh
besar dari dunia persilatan golongan sesat berdatangan. Koai Tosu tokoh
Pat-kwa-pai bersama beberapa orang temannya anggota Pat-kwa-pai datang lebih
dulu. Lalu Thian Yang Ji tokoh Pek-lian-pai juga datang bersama belasan orang
kawannya. Kemudian muncul pula Swat-hai Lo-kwi yang sudah tua dan semua
rambutnya sudah putih itu! Swat-hai Lo-kwi datang bersama Tung-hai Lo-mo yang
tak pernah ketinggalan membawa dayung bajanya. Bahkan Ban-tok Kwi-ong, datuk
sesat dari selatan itu juga muncul.
Mereka semua
dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar tertutup, mengadakan rapat yang penuh
rahasia sehingga para anak buah Bu-tong-pai sendiri tidak ada yang boleh
mendengarkan.
Thian It
Tosu yang memimpin rapat itu nampak bersemangat serta gembira sekali, dan
dengan berapi-api dia berkata, “Saudara sekalian, kita tidak perlu mempedulikan
para pejuang yang tidak mau bekerja sama dengan kita. Setidaknya mereka itu
pasti tidak akan membantu pemerintah Mancu.”
“Pangcu
kapan kita mulai bergerak? Aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat hancurnya
kerajaan Ceng!” kata Swat-hai Lo-kwi.
“Benar, aku
pun sudah siap dengan sedikitnya lima puluh orang kawanku untuk mulai bergerak
menyerang musuh!” kata Tung-hai Lo-mo.
“Harap
saudara sekalian bersabar. Kita harus sabar dan memakai perhitungan yang
masak,“ kata Thian It Tosu. “Kalian masih ingat ketika pertemuan dulu itu?
Gadis yang memperingatkan kita agar jangan memberontak itu telah kami selidiki
dan ternyata dara itu adalah puteri dari Putera Mahkota!”
“Ahhh...!”
Semua orang berseru kaget.
“Jangan
panik! Karena itu, kita harus berhati-hati karena tentu gadis itu akan
bercerita kepada ayahnya dan tentu keadaan kita telah diamati dari jauh dan
mungkin pemerintah telah menyebar mata-mata. Kalau kini kita bergerak, baru
mengumpulkan banyak orang saja sudah akan ketahuan dan sebelum kita bergerak,
tentu kita akan dipukul lebih dulu. Dan kita harus ingat bahwa kekuatan pasukan
pemerintah amat besar.”
“Lalu
bagaimana kita akan bergerak dan mulai berjuang?” tanya Ban-tok Kwi-ong.
“Sabar! Kita
harus mempergunakan siasat. Kami perhitungkan, kalau beberapa orang di antara
kita yang memiliki ilmu tinggi, seperti Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Ban-tok
Kwi-ong dan beberapa orang lagi pergi ke kota raja dan berhasil menyusup ke
dalam istana, akan mudah bagi kita untuk membunuh kaisar dan Putera Mahkota!
Kalau hal itu terjadi, kaisar dan Putera Mahkota dibinasakan, tentu di istana
akan terjadi kekacauan. Kita akan berusaha supaya yang menjadi pengganti kaisar
adalah orang yang berpihak kepada kita. Semua itu akan diatur oleh sekutu kita
yang kini juga sedang berada di kota raja, yaitu Gulam Sang.”
“Ahh, Lama
Jubah Kuning itu?” terdengar beberapa orang bertanya.
“Benar, akan
tetapi sekarang dia bukanlah pendeta Lama lagi. Dia sudah menghubungi beberapa
orang hartawan yang akan membiayai semua rencana kita, juga dialah yang akan
berhubungan dengan para pangeran di istana. Apa bila pangeran pilihan kita yang
menggantikan menjadi kaisar, tentu segalanya akan mudah diatur selanjutnya.”
“Akan
tetapi, tidak mudah untuk menyusup ke dalam istana. Pekerjaan itu berbahaya
sekali dan nyawa taruhannya,” kata Swat-hai Lo-kwi.
“Harap
Lo-kwi jangan khawatir. Hal itu pun serahkan saja kepada Gulam Sang Kongcu. Dia
yang akan mengatur sehingga kalian semua akan menyusup ke dalam istana tanpa
dicurigai. Misalnya menjadi guru silat salah seorang pangeran, atau ahli
pengobatan dari pangeran lain, atau juga pembantu baru. Pendeknya, kalian akan
dapat masuk ke istana dengan berterang, tentu saja dengan menyamar. Semua itu
telah direncanakan oleh Gulam Sang Kongcu. Kalian tinggal menanti berita
selanjutnya dari kami…..”
***************
Telah lama
kita tinggalkan Tao Seng dan Tao San, dua orang pangeran yang dulu telah
dijatuhi hukuman buang oleh kaisar karena usaha mereka hendak membunuh Putera
Mahkota Tao Kuang, akan tetapi mengalami kegagalan karena Pangeran Tao Kuang
dapat ditolong oleh Liang Cun yang berjuluk Sin-tung Koai-jin dan puterinya,
yaitu Liang Siok Cu. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Liang Siok Cu
kemudian menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang kemudian melahirkan Tao Kwi
Hong.
Bagaimana
dengan kedua orang pangeran yang dibuang itu? Mereka dijatuhi hukuman buang
selama dua puluh tahun dan telah dilupakan orang. Akan tetapi, mereka tidaklah
lenyap begitu saja. Juga mereka tidak mati dalam pembuangan mereka, meski
mereka hidup sengsara. Tidak, mereka masih hidup!
Pada suatu
hari, mereka bahkan kembali ke kota raja karena hukuman mereka sudah habis.
Keluarga kaisar tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kembalinya dua pangeran
itu. Akan tetapi, lingkungan istana bersikap tidak acuh kepada mereka yang
dianggap telah melakukan kejahatan yang memalukan.
Tao Seng dan
adik tirinya, Tao San, kini telah menjadi dua orang laki-laki setengah tua. Tao
Seng kini berusia empat puluh lima tahun dan Tao San berusia empat puluh empat
tahun. Mereka mengumpulkan harta kekayaan mereka, kemudian menjadi pedagang
yang berhasil sehingga mereka menjadi kaya raya.
Untuk
membuang riwayat yang memalukan di waktu yang lalu. Tao Seng kini memakai nama
Ji dan terkenal dengan sebutan Ji Wan-gwe (Hartawan Ji), sedangkan Tao San
menggunakan nama San Wan-gwe (Hartawan San). Hanya keluarga kaisar saja yang
tahu bahwa Ji Wan-gwe dan San Wan-gwe adalah bekas Pangeran Tao Seng dan Tao
San.
Karena saat
dihukum buang mereka masih muda, maka setelah lewat dua puluh tahun, mereka
sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Setelah menjadi hartawan, keduanya lalu
mengambil isteri dan membentuk keluarga baru.
Keliru kalau
ada yang menganggap bahwa kedua orang pangeran itu telah menjadi jera atau
sadar akan kesalahan mereka. Sama sekali tidak dan sebaliknya malah. Peristiwa
hukuman bagi mereka itu mendatangkan dendam kesumat yang membuat mereka tidak
segan untuk mencari jalan membalas dendam mereka.
Di dalam
pembuangan mereka di barat, pada suatu hari Pangeran Tao Seng bertemu dengan
seorang pemuda yang menarik hatinya. Pada saat itu dia berusia empat puluh
tahun dan pemuda itu berusia dua puluh lima tahun. Pemuda itu menarik
perhatiannya karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan pandai
pula dalam ilmu sihir. Pemuda itu adalah Gulam Sang!
Gulam Sang
sendiri adalah seorang pelarian dari Tibet. Dia adalah murid para pendeta Lama
termasuk Dalai Lama, akan tetapi akhirnya dia berkhianat dan memihak Pendeta
Lama Jubah Kuning untuk memberontak. Maka dia dikejar-kejar dan melarikan diri
ke timur sampai bertemu dengan Pangeran Tao Seng.
Mungkin
karena nasib sama, mereka segera menjadi akrab, dan akhirnya Pangeran Tao Seng
melihat bahwa pemuda itu kelak akan amat berguna baginya, maka dia kemudian
mengangkat Gulam Sang sebagai puteranya! Mula-mula Gulam Sang merasa ragu-ragu
untuk menerimanya, karena walau pun Tao Seng adalah seorang pangeran akan
tetapi pangeran buangan!
Tetapi
Pangeran Tao Seng lalu menceritakan ambisinya. Ia hendak membalas dendam dan
merebut kekuasaan kaisar! Kalau dia telah berhasil menjadi kaisar, maka dia
akan mengangkat Gulam Sang menjadi Pangeran Mahkota yang kelak akan
menggantikan dia menjadi kaisar. Janji muluk inilah yang menarik hati Gulam
Sang dan akhirnya dia menerima menjadi putera Pangeran Tao Seng.
Demikianlah,
setelah hukuman buang mereka habis dan Pangeran Tao Seng bersama Pangeran Tao
San kembali ke timur, Gulam Sang juga ikut pergi ke kota raja Peking, di mana
dia dikenal sebagai putera Tao Seng yang bernama Tai Lam Sang.
Pada suatu
hari, di rumah tempat kediamannya, Tao Seng mengajak Gulam Sang dan Tao San
bercakap-cakap tentang rencananya.
“Kita
mempunyai cita-cita yang besar,” demikian Tao Seng bicara kepada Tao San dan
Gulam Sang. “Akan tetapi jangan dikira mudah saja untuk membuat cita-cita kita
dapat menjadi kenyataan. Selama lima tahun ini engkau banyak belajar dariku,
Lam Sang. Engkau sudah mempelajari sastra dan budaya sehingga tahu bagaimana
untuk menjadi seorang pribumi. Akan tetapi untuk sungguh-sungguh bisa berhasil,
engkau harus pergi menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw. Terutama sekali
hubungilah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Dalam hubungan itu sebaiknya kalau
engkau menggunakan namamu sendiri dan mengaku saja dari Lama Jubah Kuning. Kita
harus menyusun kekuatan dan untuk itu, engkaulah yang bertugas mengadakan
hubungan-hubungan dengan mereka. Kalau saatnya sudah tiba, barulah kita turun
tangan.”
Semua
rencana diatur oleh Tao Seng, sedangkan pelaksananya adalah Gulam Sang yang
memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa. Dengan sangat mudahnya, melalui
ilmu silatnya yang tinggi dan ilmu sihirnya, dia mampu mempengaruhi
Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Didatanginya para pimpinan kedua perkumpulan, itu
dan di depan mereka dia membuktikan kehebatan kepandaiannya.
Setelah
mendengar bahwa Gulam Sang adalah seorang Tibet dan dari kelompok Lama Jubah
Kuning, mereka semua percaya dan menariknya sebagai sekutu dan sahabat.
Tercapailah rencana pertama dari Tao Seng, yaitu mencari sekutu yang memiliki
banyak anak buah dan yang memusuhi pemerintah.
“Lam Sang,
aku tahu benar bahwa orang-orang pribumi bangsa Han pada umumnya tidak suka
akan pemerintah Mancu yang mereka anggap sebagai penjajah. Mereka itu
mendendam, tetapi mereka belum ada yang sungguh-sungguh bergerak karena merasa
kekuatan mereka belum ada. Akan tetapi, begitu kekuatan mereka dianggap cukup,
tentu mereka bergerak menyerang pemerintah. Karena itu, tugasmu yang ke dua
adalah membujuk partai-partai bersih, para pendekar, terutama dari
Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan lain-lain. Jika dipersatukan,
mereka itu merupakan kekuatan yang amat besar karena mereka memiliki banyak
pendekar yang sakti. Nah, engkau harus mencari akal bagaimana cara untuk dapat
mempengaruhi mereka sehingga mereka mau diajak bersekutu dan memberontak.”
Kembali Tao
Seng membuat rencana. Ditambah dengan kecerdikannya sendiri, Gulam Sang lalu
mulai bergerak. Ia melakukan penyelidikan terhadap semua perkumpulan silat
besar itu dan mencari kelemahan-kelemahan mereka. Tetapi sukar sekali menemukan
kelemahan mereka, sampai akhirnya dia mendengar betapa ketua Bu-tong-pai yang
bernama Thian It Tosu berada dalam keadaan yang tidak sehat.
Kekuasaan
tosu itu besar sekali. Setiap kata-katanya merupakan hukum bagi para anak murid
Bu-tong-pai. Lebih dari itu, Bu-tong-pai amat terkenal di antara semua partai
dan sangat dihormati. Betapa besar pengaruh orang yang menjadi ketua
Bu-tong-pai, tidak hanya di dalam perguruan itu sendiri, melainkan juga di
dunia kang-ouw. Kalau saja dia dapat menguasai Bu-tong-pai!
Dengan
pikiran ini dia kemudian mulai mempelajari keadaan Thian It Tosu,
kebiasaan-kebiasaannya, tingkah lakunya, caranya berbicara, dan sebagainya.
Ketua yang berusia enam puluh tahun itu bertubuh tinggi besar, amat mirip
dengan tubuhnya. Ini merupakan modal utama baginya.
Setelah
mempelajari semua dengan baik, mulailah dia bertindak. Mula-mula dia menguji
diri sendiri. Dengan ilmunya menyamar, dia menggunakan topeng tipis terbuat
dari karet yang menutupi mukanya sehingga wajahnya berubah menjadi wajah Thian
It Tosu, lengkap dengan jenggot dan kumisnya yang panjang. Topeng itu
sedemikian sempurna sehingga kalau tidak dikupas dari mukanya, tidak akan ada
orang yang tahu bahwa dia memakai topeng. Pakaiannya pun persis dengan pakaian
jubah tosu.
Pada suatu
senja, dalam cuaca remang-remang, dia pun berjalan dekat Bu-tong-san dan
sengaja berjalan berpapasan dengan lima orang murid Bu-tong-pai. Pada waktu
melihat dia, serta merta lima orang murid itu memberi hormat dan menyebutnya
suhu.
Dia pun menirukan
suara Thiat It Tosu. “Hemmm, sudah larut senja begini baru pulang. Kalian dari
mana?”
“Kami pergi
berburu dan sekalian mencari kayu bakar, Suhu,” jawab kelima orang murid itu.
Gulam Sang
merasa gembira sekali. Ujiannya terhadap dirinya sendiri yang menyamar sebagai
Thian It Tosu berhasil baik. Pada lain harinya, dia sengaja muncul di siang
hari menemui murid-murid yang sedang bekerja di luar dan tidak ada seorang pun
murid yang meragukan bahwa dia adalah Thian It Tosu.
Setelah
yakin benar baru dia melanjutkan rencananya. Dia melakukan pengintaian dan pada
suatu hari dia melihat Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu sedang pergi berdua
turun gunung. Dia sudah menyelidiki dengan jelas siapa adanya dua orang tosu
ini.
Thian Tan
Tosu adalah sute dari Thian It Tosu sedangkan Thian Yang Cu adalah salah
seorang murid utama dari Thian It Tosu. Dia juga telah mempelajari keadaan dua
orang tosu ini dan maklum bahwa ia mampu menaklukkannya, baik dengan ilmu silat
mau pun dengan ilmu sihirnya. Dengan menyamar sebagai Thian It Tosu, di tempat
yang sunyi di lereng bukit dia muncul menghadang dua orang yang sedang
melakukan perjalanan itu.
Begitu
bertemu dengan Thian It Tosu palsu ini, Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu segera
memberi hormat.
“Suheng...!”
“Suhu...!”
“Hemmm, Sute
dan Thian Yang Cu, kalian hendak pergi ke mana?” tanya Gulam Sang atau Thian It
Tosu palsu itu.
Kedua orang
itu memandang heran. “Apakah Suheng sudah lupa lagi? Tadi Suheng yang minta
kami untuk mencari sumbangan ke kota, untuk membeli bahan pakaian kita semua.”
“Oh, benar
juga, pinto yang lupa. Sute, sudah lama pinto tidak melihat kemajuan ilmu
silatmu. Juga engkau Thian Yang Cu. Sebagai murid utama engkau harus memiliki
ilmu silat yang tinggi.”
“Saya mohon
petunjuk, Suheng,” kata Thian Tan Tosu.
“Teecu
(murid) mohon petunjuk Suhu,” kata Thian Yang Cu.
“Baik,
sekarang kalian berdua coba untuk bertanding dengan pinto supaya pinto dapat
melihat di mana letak kekurangan-kekuranganmu. Maju dan seranglah!”
“Teecu tidak
berani, Suhu.”
“Berani atau
tidak, engkau harus melawanku bertanding. Kalau tidak, bagaimana pinto
mengetahui kelemahanmu dan memberi petunjuk?”
“Suheng,
akhir-akhir ini kesehatan Suheng terganggu, sungguh tidak baik mengeluarkan
banyak tenaga untuk berlatih.” Thian Tan Tosu juga mencegah.
“Sute,
engkau tidak memperoleh banyak kemajuan, untuk melawanmu bertanding, pinto
tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Kalau kalian sungkan menyerang lebih
dulu, baiklah pinto yang menyerang lebih dulu. Lihat pukulan!” Dengan cepat
Thian It Tosu menyerang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dua orang itu.
Akan tetapi
Thian Yang Cu dan Thian Tan Tosu dapat mengelak dengan sigapnya dan kedua orang
ini tidak dapat menolak lagi. Mereka harus mengeluarkan kepandaiannya agar
dinilai oleh sang ketua.
Akan tetapi
serangan mereka dapat dielakkan dengan mudah oleh tosu yang selama ini nampak
kurang sehat itu. Gerakannya demikian cepatnya sehingga serangan dua orang
tokoh Bu-tong-pai itu hanya mengenai angin saja. Kemudian terdengar Thian It
Tosu membentak, kedua kakinya ditekuk rendah, kedua tangan didorongkan ke depan
dan akibatnya, Thian Tan Tosu terhuyung ke belakang sedangkan Thian Yang Cu
terpental beberapa meter jauhnya!
Dua orang
itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal pukulan sang ketua, pukulan aneh
yang dilakukan dengan dua kaki ditekuk itu, akan tetapi daya pukulan itu
sungguh dahsyat bukan main. Thian Yang Cu yang ilmu silatnya sudah cukup tinggi
langsung merasa sesak dadanya, sedangkan Thian Tan Tosu merasa kepalanya
pening.
Thian Yang
Cu segera memberi hormat, kemudian berkata dengan malu-malu. “Teecu memang
bodoh dan lemah.”
Dia merasa
malu sekali bahwa menghadapi gurunya, mengeroyok pula dengan paman gurunya,
mereka berdua dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja! Itu pun suhu-nya masih
menahan tenaganya. Kalau tenaga sinkang yang dahsyat itu dikeluarkan semua,
mungkin mereka berdua sudah tidak mampu bangkit lagi.
“Wah, suheng
agaknya telah menciptakan jurus pukulan baru yang hebat bukan main!” kata pula
Thian Tan Tosu dengan kagum.
“Hemm, pinto
tidak menciptakan jurus baru, tapi kalian yang bodoh, kalian yang lemah, tidak
ada kemajuan sama sekali. Sungguh menyebalkan dan menyedihkan sekali!”
“Suhu...!”
“Suheng...!”
“Diam!
Kalian membuatku kecewa. Bila kepandaian kalian hanya sebegitu saja, padahal
kalian merupakan dua orang terpenting di Bu-tong-pai sesudah pinto, apa jadinya
nanti dengan Bu-tong-pai? Hanya akan menjadi bahan tertawaan saja. Dengar
baik-baik, aku melarang kalian membicarakan lagi tentang latihan kita tadi!
Mengerti?”
“Baik,
Suheng.”
“Baik,
Suhu.”
Thian It
Tosu sudah tidak mempedulikan keduanya lagi dan membalikkan tubuhnya, lalu
berkelebat cepat lenyap dari situ. Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu saling
pandang dengan heran. Mengapa ketua mereka yang biasanya ramah dan tutur
sapanya halus lembut itu mendadak menjadi begitu galak? Akan tetapi larangan
tadi amat berkesan di dalam hati mereka dan suara ketua itu seolah-olah masih
berdengung berulang-ulang di telinga mereka.
“Thian Yang
Cu, kau pikir bagaimana baiknya sekarang?”
“Susiok
(Paman Guru), sebaiknya kita kembali dan menghadap Suhu, mohon agar kita diajari
ilmu pukulan baru yang dahsyat tadi.”
“Kalau dia
marah?”
“Biar kita
tanggung berdua. Pelajaran itu penting sekali untuk memperkuat Bu-tong-pai,
Susiok. Dan memang sudah sepatutnya kalau suhu mengajarkan kepada kita.”
“Akan tetapi
karena dia sudah melarang kita membicarkkan hal itu, tentu berarti dia tidak
suka terdengar oleh orang lain. Maka, kita harus mencari saat yang tepat selagi
suheng berada seorang diri untuk menghadap dan mohon diberi pelajaran itu.”
Kedua orang
itu lalu kembali ke Bu-tong-pai. Dan pada sore harinya, ketika Thian It Tosu
sedang berjalan-jalan di taman bunga perkumpulan itu seorang diri dan di
sekitar tempat itu sunyi tidak nampak seorang pun murid Bu-tong-pai, muncullah
Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu, segera berlutut di depan Thian It Tosu
sedangkan Thian Tan Tosu memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua
tangan ke depan dada.
Thian It
Tosu adalah seorang tosu yang ramah dan lembut, akan tetapi dia pun keras
memegang disiplin dan semua peraturan Bu-tong-pai harus ditaati. Merasa
terganggu ketika berjalan-jalan itu, dia mengerutkan alisnya dan bertanya
kepada mereka dengan singkat, “Apa maksudnya ini? Kalian mau apa?”
Kedua orang
itu menjadi gentar mendengar pertanyaan singkat itu. Mereka mengira bahwa Thian
It Tosu marah, dan sebelum mereka sempat menjawab tiba-tiba terdengar suara
lembut di belakang mereka.
“Siancai-siancai-siancai...!
Dari mana datangnya orang yang berani menyamar sebagai pinto?”
Ketika dua
orang menoleh, mereka terkejut melihat ada seorang Thian It Tosu yang lain
berada di situ. Semuanya sama, bentuk tubuhnya, wajahnya, bahkan suaranya.
Hanya bedanya, yang baru muncul ini bersuara lembut, sedangkan yang pertama
tadi nampak marah.
Dengan
sendirinya kedua orang itu berpihak kepada yang baru datang. Yang pertama
itulah yang palsu. Mereka berani memastikan hal itu. Bukankah yang pertama
bersikap aneh dan keras terhadap mereka bahkan merobohkan mereka dengan pukulan
aneh dan ampuh?
“Suheng,
orang itu adalah orang yang memalsukan dan menyamar sebagai Suheng!” kata Thian
Tan Tosu kepada tosu yang baru muncul.
“Benar,
Suhu! Harap Suhu suka memberi hajaran padanya. Akan tetapi dia lihai sekali,
Suhu.” kata pula Thian Yang Cu dan keduanya sudah meloncat ke belakang tosu
yang baru muncul.
Thian It
Tosu yang pertama tercengang. “Ehhh, lelucon macam apa ini? Pinto Thian It
Tosu. Saudara siapakah dan mengapa menyamar sebagai pinto?”
“Siancai...!
Inilah yang dinamakan maling teriak maling. Sute dan kau Thian Yang Cu, karena
kesehatanku masih terganggu, bantulah pinto menangkap maling ini!”
Biar pun
gentar menghadapi ketua palsu yang amat lihai itu, namun karena sekarang Thian
It Tosu berada dengan mereka, kedua orang itu menjadi berani dan cepat mereka
menyerang Thian It Tosu yang pertama.
Kakek itu
mengelak dan menangkis, lalu dia berseru, “Sute! Thian Yang Cu, ini adalah
pinto, Thian It Tosu! Kalian tertipu!”
“Hemmm,
manusia jahat. Engkaulah yang menipu. Sejak dahulu Thian It Tosu adalah pinto!”
bentak tosu kedua dan dia pun segera menyerang dan mengeroyok Thian It Tosu
pertama.
Tosu itu
mencoba untuk melawan, akan tetapi sebuah tamparan tosu kedua mengenai pundak
kanannya. Agaknya tosu pertama itu memang sedang terganggu kesehatannya
sehingga gerakannya tidaklah setangkas tosu kedua. Dia terhuyung dan kesempatan
itu dipergunakan oleh tosu kedua untuk mengirim pukulan tamparan yang sangat
kuat ke dadanya.
“Bukkk...!”
Tosu itu terpelanting, muntah darah dan pingsan.
“Biarkan
pinto yang menangani, mungkin dia masih berbahaya. Kita bawa ke tempat tahanan
bawah tanah. Pinto ingin mengetahui siapa saja kawan-kawannya dan apa maksudnya
menyelundup masuk menyamar sebagai pinto.” Tosu kedua dengan ringan sekali
memanggul tubuh tosu pertama yang pingsan.
Thian Tan
Tosu dan Thian Yang Cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tahanan bawah
tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang
melihat semua peristiwa ini.
Setelah tiba
di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian
It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.
“Biar kita
periksa dia dan membuka kedoknya!” kata Thian Tan Tosu.
Thian Yang
Cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It
Tosu, maka bersama susiok-nya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai
menarik-narik kumis serta jenggot Thian It Tosu yang palsu. Akan tetapi, betapa
pun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika
mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu asli dan tidak memakai
kedok apa pun.
Kedua orang
itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi
tosu kedua.
“Dia asli!”
kata Thian Tan Tosu dengan muka berubah pucat. “Kalau begitu engkau yang
palsu!”
Thian It
Tosu palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri
menghadang di pintu kamar tahanan. “Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu.
Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku
telah selesai semua, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia
harus tinggal di sini sebagai tawananku!”
“Jahanam!
Siapa engkau yang begini jahat?” bentak Thian Yang Cu marah.
“Siapa aku
kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau
kakek ini akan mati di sini, baru kemudian kalian menyusulnya.”
“Kami akan
mengadu nyawa denganmu!” Thian Tan Tosu membentak marah dan dia sudah menyerang
ke arah ketua palsu itu.
Akan tetapi
tangan Gulam Sang menampar sehingga tubuh Thian Tan Tosu terlempar dan roboh.
Thian Yang Cu juga menyerang, akan tetapi sama saja, dalam segebrakan saja dia
pun roboh. Dan sebelum kedua orang itu bangkit lagi, secepat kilat Gulam Sang
menggerakkan jari tangannya menotok sehingga dua orang itu tidak mampu bergerak
lagi, rebah telentang di samping tubuh Thian It Tosu yang masih pingsan.
Gulam Sang
kini berjongkok di dekat mereka dan suaranya terdengar penuh wibawa. Kiranya
dia sedang menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi dua orang yang sudah
ditotoknya itu.
“Dengar
baik-baik, Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu! Nyawa ketua kalian sudah berada di
tanganku. Dia sudah kupukul dengan pukulan beracun dan hanya aku yang memegang
obat penawarnya. Kalau tidak kuberi obat, dalam waktu sebulan dia akan mati
dengan tubuh hancur. Kalau kuberi obat penawar, dia hanya akan menderita sakit,
akan tetapi dalam waktu tiga bulan dia akan sembuh sama sekali. Kalian berdua
juga berada di tanganku, akan tetapi aku akan membebaskan kalian dan memberi
obat penawar kepada ketua kalian kalau kalian berjanji akan taat kepadaku.
Kalau tidak taat, kalian bertiga dan semua murid Bu-tong-pai akan kubunuh!”
Walau pun
berada di bawah pengaruh sihir, Thian Tan Tosu masih dapat membantah, “Kalau
kami harus menaatimu untuk melakukan kejahatan, lebih baik engkau bunuh kami
sekarang juga!”
“Ha-ha-ha,
siapa yang akan berbuat jahat? Aku bukanlah penjahat, melainkan pejuang. Aku
hanya hendak meminjam Bu-tong-pai untuk mempersatukan semua tenaga dan
menggerakkan mereka untuk memberontak terhadap penjajah. Bagaimana, maukah
kalian berdua berjanji?”
Thian Tan
Tosu berpikir sejenak. Kalau memang tidak diharuskan melakukan kejahatan,
melainkan untuk perjuangan, lebih baik ia taat agar Thian It Tosu tidak
terbunuh. Orang ini sangat licik dan lihai bukan main, sedangkan Thian It Tosu
berada dalam keadaan tidak sehat dan lemah sehingga sulit dicari kawan yang
dapat mengimbangi orang aneh ini.
“Aku
berjanji akan taat asal bukan untuk kejahatan!” katanya dan mendengar ucapan
susiok-nya, Thian Yang Cu juga mengikutinya dan mengucapkan janjinya pula.
Gulam Sang
tertawa senang, lalu dia membuka jubah Thian It Tosu, memperlihatkan dada tosu
itu kepada dua orang tokoh Bu-tong-pai. Ternyata di dada itu terdapat tanda
telapak jari lima buah yang menghitam. Orang ini bukan hanya menggertak.
Pukulannya memang beracun dan nyawa Thiat It Tosu berada di tangannya.
Gulam Sang
lalu memulihkan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu dari totokannya. Dia tidak
khawatir kalau mereka itu akan memberontak, karena selain mereka telah
berjanji, juga mereka telah dipengaruhi kekuatan sihirnya sehingga dia mampu
mengendalikan pikiran mereka.
“Gosokkan
minyak ini pada gambar telapak tangan hitam di dadanya dan minumkan pil ini
padanya. Racun itu perlahan-lahan akan meninggalkannya dan sesudah lewat tiga
bulan dia akan sembuh sama sekali.”
Gulam Sang
segera mengeluarkan obat yang berupa minyak itu, dan Thian Tan Tosu lalu
mengobati suheng-nya. Ketika siuman Thian It Tosu mencoba untuk bangkit duduk,
segera ditopang oleh murid dan sute-nya. Dia memandang ke arah Gulam Sang.
“Apa artinya
semua ini? Siapakah engkau?”
“Thian It
Tosu, aku tidak mempunyai niat buruk. Aku hanya ingin meminjam namamu dan
Bu-tong-pai untuk menggerakkan semua tenaga para pejuang untuk mulai dengan
pemberontakan terhadap pemerintah penjajah. Apa bila niatku itu sudah
terlaksana dan tercapai, akan kukembalikan Bu-tong-pai kepadamu. Akan tetapi
jika engkau mencoba untuk menghalangiku, maka engkau akan mati bersama seluruh
muridmu. Bu-tong-pai juga akan kuhancurkan!”
“Siancai...!
Melakukan pemberontakan sekarang merupakan kebodohan. Engkau tidak akan
berhasil...” kata Thian It Tosu lemah.
“Ha-ha-ha,
kita sama-sama melihatnya nanti!”
Tiba-tiba
Gulam Sang bersuit dan muncullah lima orang yang gerakannya ringan dan cekatan.
Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang sudah bersekutu dengan Gulam Sang.
Kiranya semenjak tadi mereka melakukan pengintaian dan ketika Thian It Tosu
dibawa masuk kamar tahanan bawah tanah, mereka juga membayangi.
“Apa yang
harus kita lakukan, Kongcu?” tanya seorang di antara lima orang itu.
“Kalian
berjagalah di sini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang
Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!”
“Baik,
Kongcu.”
“Nah, Thian
Tan Tosu. Engkau setiap hari dua kali harus membawakan makanan dan minuman
untuk Thian It Tosu dan lima orang penjaganya. Tidak boleh ada orang lain
kecuali kalian berdua yang mengetahui bahwa Thian It Tosu ditawan di sini dan
bahwa yang menjadi Thian It Tosu adalah aku.”
Thian It
Tosu palsu itu lalu mengajak dua orang yang diakuinya sebagai sute-nya dan
muridnya itu untuk keluar dari tempat tahanan tanpa terlihat orang lain,
meninggalkan Thian It Tosu bersama lima orang penjaganya.
Demikianlah,
mulai hari itu yang memimpin Bu-tong-pai ialah Thian It Tosu yang palsu. Dengan
pandainya Gulam Sang berperan sebagai Thian It Tosu, selalu menggunakan alasan
bahwa badannya tidak sehat sehingga harus beristirahat dan bersemedhi dalam
kamarnya. Kalau sudah berada di kamar semedhinya, dengan mudah dia mengubah
dirinya menjadi Gulam Sang yang diterima sebagai ‘tamu terhormat’ dari
Bu-tong-pai.
Dengan
penyamaran itu pula dia mengundang semua partai besar dan tokoh persilatan,
menghasut mereka untuk bekerja sama melakukan pemberontakan. Tentu saja dia
juga bersekutu dengan Pek-lian-pai, Pak-kwa-pai serta para tokoh dan datuk
sesat, sesuai seperti yang direncanakan Pangeran Tao Seng! Semua itu adalah
siasat Pangeran Tao Seng yang dilaksanakan oleh Gulam Sang.
Akan tetapi
tepat seperti yang diramalkan Thian It tosu, pertemuan itu akhirnya gagal
karena penolakan Yo Han, ketua Thian-li-pang. Apa lagi dengan munculnya Tao Kwi
Hong yang mengancam mereka, dan sepak terjang Keng Han yang mencari tahu sebab
permusuhan gurunya, Gosang Lama dengan Bu-tong-pai.
Pada saat
Thian It Tosu palsu ditanya tentang permusuhan antara Bu-tong-pai dengan Gosang
Lama, dia terkejut sekali. Akan tetapi dasar orang cerdik, Gulam Sang pandai
mencari alasan tentang sebab permusuhan itu dan dia lalu menjatuhkan
kesalahannya di pundak Gosang Lama, atau ayah kandungnya sendiri!
Ketika
sebagai Gulam Sang dia bertemu Keng Han yang dianggapnya sebagai teman karena
ia adalah putera gurunya, Gulam Sang berhasil pula mengajak pemuda itu untuk
bekerja sama, bahkan dia sudah memberi alamat Ji Wan-gwe di kota raja yang
banyak mengetahui tentang keadaan Pangeran Tao Seng.
Tentu saja
secepatnya dia mengirim utusan dengan pemberitahuan kepada Pangeran Tao Seng
atau ayah angkatnya itu bahwa akan datang seorang pemuda bernama Keng Han yang
sedang mencari tahu tentang Pangeran Tao Seng, yang diakui oleh pemuda itu
sebagai ayah kandungnya. Juga ia memberi tahu bahwa Keng Han mempunyai ilmu
silat yang amat lihai sehingga kalau perlu pemuda itu dapat dimanfaatkan.
Yang merasa
tersiksa hatinya adalah Thian Yang Cu beserta Thian Tan Tosu. Mereka merasa
tidak berdaya karena takut akan ancaman Gulam Sang untuk membunuh Thian It Tosu
yang selalu dijaga oleh lima orang jagoan dari Pek-lian-pai itu. Juga mereka
tahu betul akan kelihaian Gulam Sang yang mungkin akan melaksanakan ancamannya,
yaitu membasmi Bu-tong-pai kalau rahasianya terbongkar.
Keng Han
merasa kagum dan terpesona ketika dia tiba di kota raja. Belum pernah dia
melihat bangunan-bangunan sebesar dan seindah itu. Dia benar-benar seperti
seorang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar. Tidak sukar
baginya mencari rumah Hartawan Ji karena nama itu sudah terkenal di kota raja.
Dan dia pun mengunjungi rumah itu, sebuah gedung besar yang mempunyai pintu
gerbang besar dan tebal, dijaga pula oleh orang-orang yang nampaknya seperti
tukang-tukang pukul atau ahli-ahli silat.
Kepada para
penjaga pintu ini ia mengaku bernama Si Keng Han dan ingin menghadap Hartawan
Ji karena urusan penting. Dia disuruh menanti sebentar sementara seorang
penjaga melaporkan ke dalam, dan tidak lama kemudian dipersilakan memasuki
kamar tamu yang besar dan mewah. Keng Han memandangi semua keindahan itu.
Gambar-gambar, sajak-sajak, hiasan-hiasan dan bahkan meja kursi di situ berukir
indah. Oleh pengawal yang mengantarnya dia dipersilakan duduk menanti dan
pengawal itu sendiri lalu keluar lagi.
Bunyi
langkah kaki membuat jantung Keng Han berdebar amat tegang. Benarkah cerita
Gulam Sang bahwa dia akan mendapat keterangan yang lebih jelas tentang ayahnya?
Begitu tuan rumah muncul, dia cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat
sambil mengamati wajah orang itu.
Dia melihat
seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang masih gagah dan tampan,
berpakaian sutera sebagaimana pakaian seorang hartawan. Sebaliknya, tuan rumah
itu yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri juga mengamati pemuda yang
kini memberi hormat di depannya. Diam-diam dia merasa kagum dan bangga.
Puteranya! Akan tetapi di dalam hati yang sudah mengeras itu tidak ada rasa
keharuan, hanya ada perasaan girang karena mungkin dia akan mendapatkan seorang
pembantu yang amat berguna.
“Maafkan,
Tuan...”
“Jangan
sebut aku tuan, panggil saja paman,” kata Pangeran Tao Seng atau Hatawan Ji
ramah.
“Maafkan
kalau kedatangan saya ini mengganggu kesibukan Paman.”
“Ahh, tidak
mengapa. Silakan duduk dan perkenalkan siapa dirimu dan ada kepentingan apa
ingin bertemu denganku.”
Keng Han
mengambil tempat duduk. Bantalan kursinya lunak sekali, enak diduduki.
“Nama saya
Si Keng Han, Paman, dan nama Paman diperkenalkan kepada saya oleh seorang
sahabat yang bernama Gulam Sang.”
“Aha,
begitukah? Gulam Sang itu adalah putera angkatku sendiri.”
Baru
sekarang Keng Han mengetahui dan dia pun terkejut. Kiranya putera gurunya itu
telah diambil anak oleh hartawan ini. “Apa bila begitu, semua keterangannya
mengenai Paman tentu benar semua.”
“Keterangan
apakah tentang diriku?”
“Bahwa Paman
pernah mengenal ayah kandung saya dan mengetahui tentang semua peristiwa yang
menimpa diri ayah kandung saya.”
“Siapakah
ayah kandungmu?”
“Dahulu ayah
kandung saya adalah seorang pangeran, namanya Pangeran Tao Seng.”
“Akan tetapi
bukankah namamu Si Keng Han dan nama margamu Si?”
“Itu hanya
untuk penyamaran saja, Paman. Tidak baik kiranya kalau saya menggunakan nama
keluarga istana, hanya akan menarik perhatian orang saja.”
Tao Seng
mengangguk-angguk, menyatakan bahwa dia dapat mengerti. “Lalu apa yang hendak
kau tanyakan tentang Pangeran Tao Seng? Siapa pula ibumu dan di mana ia
sekarang berada?”
”Saya hendak
mencari ayah kandung saya, akan tetapi saya mendengar bahwa ayah saya difitnah
orang sehingga dihukum buang. Ibu saya adalah seorang wanita Khitan, puteri
kepala suku. Ibu yang mengutus saya pergi mencari ayah kandung saya karena
setelah meninggalkan ibu selama dua puluh tahun, sedikit pun dia tidak pernah
memberi kabar.”
Ji Wan-gwe
sekarang merasa yakin bahwa yang berhadapan dengan dia adalah putera
kandungnya, putera Silani. Bahkan dia yang dahulu memesan kepada Silani bahwa
jika isterinya itu melahirkan seorang anak laki-laki agar diberi nama Tao Keng
Han!
Akan tetapi,
kalau ada sedikit getaran pada jantungnya karena terharu bertemu putera
kandungnya, ingatannya akan cita-citanya lebih besar dan lebih kuat sehingga
dia dapat menekan perasaannya. Dia pun menghela napas besar seperti orang
bersedih, padahal napas panjang itu untuk menekan rasa harunya.
“Menyedihkan
sekali nasib ayahmu itu, Kongcu. Ketahuilah bahwa saya dahulu menjadi pengawal
dari ayah kandungmu. Bahkan ketika Pangeran Tao Seng dibuang ke barat, saya
tetap mengikutinya untuk menemani dan melayaninya. Dia memang terkena fitnah,
Kongcu.”
“Demikian
kata Gulam Sang. Bukankah ayah seorang pangeran mahkota? Bagaimana dia bisa
terkena fitnah dan siapa pula yang memfitnahnya?”
“Semua itu
terjadi akibat iri hati. Salah seorang pangeran lain yang bernama Tao Kuang
merasa iri hati karena ayahmu yang terpilih sebagai pangeran mahkota. Maka dia
lalu melakukan fitnah dan menuduh ayahmu hendak memberontak serta membunuh
kaisar. Memang ada bukti-bukti karena bukti-bukti itu memang sudah disediakan
lebih dulu oleh Pangeran Tao Kuang. Oleh karena dituduh hendak membunuh kaisar
dan membunuh Pangeran Tao Kuang, maka ayahmu lalu dihukum buang selama dua
puluh tahun. Saya mengikutinya sampai di tempat pembuangannya.”
“Ahh,
kasihan sekali ayah kandungku! Dan sekarang dia berada di mana, Paman Ji?”
Hartawan Ji
menghela napas lagi. “Agaknya Pangeran Tao Kuang tidak puas karena ayahmu hanya
dihukum buang. Ia menghendaki kematian ayahmu maka dia menyuruh orang untuk
menyusul ke barat, dan di sana orang-orangnya berhasil meracuni ayahmu sehingga
meninggal dunia!”
“Ahhh...!”
Keng Han menundukkan mukanya karena tidak ingin kelihatan menangis atau
berduka.
Sampai lama
keduanya terdiam, kemudian terdengar Hartawan Ji berkata dengan suara yang
mengandung kemarahan.
“Akan tetapi
kita tidak tinggal diam Kongcu! Dendam sedalam lautan ini harus ditebus dengan
kematian Pangeran Tao Kuang dan kaisar!”
“Akan tetapi
bagaimana mungkin, Paman? Kita hanyalah orang-orang biasa, bagaimana mungkin
dapat menentang kekuasaan yang memiliki ratusan ribu pasukan?”
“Kita tidak
bergerak sendiri, Kongcu. Dengarlah. Dengan bantuan anakku Gulam Sang, kita
sudah menghimpun persekutuan yang cukup kuat. Banyak partai persilatan besar,
para tokoh kang-ouw yang sakti, sudah siap membantu. Kalau engkau suka membantu,
kiranya tidak akan sukar untuk membunuh Pangeran Tao Kuang atau bahkan kaisar
sekali pun.”
“Tentu saja
saya suka membantu. Di mana jenazah ayahku dimakamkan, Pamain Ji?”
“Atas
permintaannya sendiri sebelum meninggal, jenazahnya sudah diperabukan, akan
tetapi sampai sekarang abunya belum dapat kukubur atau kubuang ke laut. Aku
masih takut kalau-kalau ada yang tahu atau pun mengenalku sebagai pengawal
ayahmu, bisa celaka aku. Abu jenazah itu masih kusimpan di rumah ini, kubuatkan
sebuah meja abu. Kalau Kongcu hendak bersembahyang di depan meja abu, silakan,
Kongcu.”
Keng Han
berterima kasih sekali dan dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam
yang hiasannya lebih indah. Mereka sampai di sebuah ruangan di mana terdapat
sebuah meja dan abu itu yang tersimpan di dalam sebuah bejana dari perak. Tidak
ada tulisan apa pun di situ dan hal ini dapat dimengerti oleh Keng Han karena
hartawan itu tentunya tidak ingin ketahuan bahwa dia bekas pengawal Pangeran
Tao Seng.
Keng Han
lalu bersembahyang dan berlutut di depan meja abu itu. Dia terkenang pada
ibunya dan hatinya seperti diremas. Lima tahun lebih dia meninggalkan ibunya
dengan harapan akan dapat bertemu dengan ayahnya. Siapa sangka sekarang dia
hanya dapat bersembahyang di depan abunya.
“Ayah, saya
bersumpah untuk membalas dendam kematian ayah!" katanya kuat-kuat, yang
membuat Hartawan Ji yang berdiri di belakangnya tersenyum penuh arti.
Setelah
bersembahyang mereka bercakap-cakap lagi berdua saja, di ruangan lain.
"Untuk
membunuh kaisar memang merupakan hal yang sulit sekali karena kaisar selalu
terkurung rapat oleh para pengawalnya. Akan tetapi membunuh Pangeran Tao Kuang
yang kini menjadi Putera Mahkota itu tentu lebih mudah. Dia tidak terjaga
begitu ketat. Hanya saja, Pangeran Tao Kuang memiliki seorang selir yang pandai
ilmu silat. Tadinya ayah mertuanya juga berada di sana, akan tetapi setelah
ayah mertuanya meninggal, yang perlu diperhitungkan adalah selirnya itu. Apakah
engkau berani menyerbu ke sana dan melawan selirnya yang lihai itu?"
"Untuk
membalas dendam, saya berani melakukan apa saja, Paman Ji!"
"Bagus!
Kalau begitu sebaiknya engkau tinggallah di sini beberapa waktu lamanya untuk
mempelajari keadaan dalam Istana Pangeran Mahkota. Setelah hafal akan keadaan
di sana barulah engkau bergerak. Apakah engkau membutuhkan bantuan,
Tao-kongcu?"
"Tidak
dalam hal ini jangan sampai Paman tersangkut. Untuk membalaskan dendam ayah,
biar aku sendiri yang bertanggung jawab."
"Baiklah,
kalau begitu akan kuusahakan menemukan denah istana pangeran mahkota itu
sehingga engkau akan lebih mudah bergerak kalau sudah berhasil masuk ke
sana."
Keng Han
mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali. Walau pun dia tidak dapat
bertemu dengan ayahnya, kalau dia dapat membalaskan sakit hatinya, dia sudah
merasa puas sekali. Tentu hal ini juga akan menjadi hiburan bagi ibunya sesudah
kelak mendengar tentang kematian ayah kandungnya….
Yo Han Li
dan Kai-ong Lu Tong Ki memasuki kota raja. Semenjak kecil Han Li tinggal di
Bukit Naga dan biar pun dia pernah melihat kota besar, akan tetapi baru sekali
ini dara ini melihat kota raja, maka banyak hal yang membuatnya menjadi
bengong! Banyaknya toko, rumah penginapan dan rumah makan yang serba besar,
taman-taman yang besar dan indah, banyaknya orang berlalu lalang, pagoda-pagoda
yang nampak dari jauh di lereng bukit, semua itu membuatnya berulang kali
memuji.
"Uhhh,
apa sih bagusnya semua itu? Hanya dapat dipandang akan tetapi tidak dapat
dirasakan! Lihat nanti kalau kita bisa mendapatkan hidangan kaisar atau
pangeran, baru engkau akan benar-benar kagum! Hidangan-hidangan itu bukan hanya
dapat dipandang dan dicium sedapnya, akan tetapi juga dapat dirasakan dengan
lidah! Wahhh, mulutku menjadi basah mengingat semua itu."
Han Li
tersenyum geli. Yang diingat oleh gurunya ini hanya makanan saja. Selama ini,
hampir setiap hari ia harus memasak makanan untuk gurunya yang mengatakan bahwa
ia pandai memasak dan bahwa masakannya sedap sekali.
"Engkau
berbakat seni memasak, Han Li!" pujinya berulang-ulang. "Tahukah
engkau bahwa memasak itu merupakan seni yang tinggi nilainya? Cara mengerat
daging atau memotong sayurnya, cara membesarkan atau mengecilkan apinya dan
berapa lamanya memasak, semuanya itu mengandung seni tersendiri. Bumbu-bumbu
sederhana saja di tangan seorang ahli akan dapat mendatangkan kelezatan pada
masakan. Apa saja yang dimasak oleh seorang yang berbakat seni memasak, tentu
enak!"
Gurunya
memang tukang makan. Kalau perlu dia akan mencuri makanan! Pernah ketika mereka
melewati sebuah rumah makan yang memamerkan bebek panggang, Kai-ong lalu
berjalan di dekat rumah makan itu, dan ketika dia keluar dari situ, di bawah
baju rombengnya telah tersembunyi seekor bebek panggang utuh. Di sepanjang
jalan bebek panggang itu dilahapnya sambil memberi komentar tentang rasa bebek
panggang itu.
Jarang ada
makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu
manis, terlalu kering dan sebagainya. Jika sekarang dia sudah memuji setinggi
langit sebelum merasakan hidangan istana, Han Li percaya bahwa hidangan itu
tentulah benar-benar istimewa.
Ketika
mereka berjalan lewat depan sebuah gedung seperti istana, Kai-ong berhenti.
"Ahhh, itu rumah Pangeran Mahkota. Aku yakin hidangan masakan di sini
tidak kalah lezat dari pada yang berada di istana kaisar. Kaisar sudah terlalu
tua, tentu giginya pun sudah banyak yang ompong dan masakannya tentu yang
lunak-lunak saja. Berbeda dengan masakan di istana Pangeran Mahkota, tentu lengkap
dengan yang agak keras. Han Li, kita makan di dapur Pangeran Mahkota
saja!"
Han Li
memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat prajurit
pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat
makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan
dikeroyok, apa lagi kemudian ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai
pencuri makanan!
"Akan
tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu."
"Heh-heh-heh,
tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari
ikuti aku!"
Kai-ong lalu
mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang
mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa di situ tidak
ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi
itu. Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas
pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia
melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di
sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah.
"Nah,
sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam
dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu di sana itu!" Kai-ong memberi
petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk. Han Li segera lari ke belakang
rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri
berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.
Bagai sebuah
bayangan, Kai-ong menyelinap masuk. Han Li yang disuruh bersembunyi hanya
menunggu. Jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Ia tidak
takut akan ancaman pengeroyokan, hanya merasa malu kalau sampai ketahuan masuk
ke rumah orang untuk mencuri makanan!
Tidak lama
kemudian, Kai-ong muncul lagi dan memberi isyarat dengan tangan kepada Han Li
untuk mengikutinya. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki di mana adanya
dapur istana itu. Han Li berlari menghampirinya dan keduanya lalu menyelinap
masuk melalui pintu belakang.
Tiba-tiba Kai-ong
menarik tangan Han Li untuk bersembunyi. Baru sekejap saja Han Li bersembunyi
di balik tembok, dia melihat tiga orang pengawal yang membawa tombak lewat di
dekat mereka. Untung mereka sudah bersembunyi. Kalau terlambat sebentar saja
mereka tentu sudah ketahuan!
Setelah tiga
orang pengawal itu lewat, kembali Kai-ong mengajak Han Li melanjutkan
perjalanan memasuki bagian yang lebih dalam di istana itu. Setibanya di dapur,
Han Li melihat ada kesibukan di dalam dapur. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya
dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur. Han Li mencontoh perbuatan
gurunya dan kini mereka mendekam di atas atap dapur mengintai ke bawah.
Sebelum
dapat melihat apa-apa, lebih dulu hidung Han Li disambut bau masakan yang amat
sedap. Cepat ia mengintai dan melihat lima orang koki sedang membuat masakan.
Bermacam-macam masakan itu.
"Hemmm,
udang besar saus tomat itu nampaknya menggapai-gapai kepadaku," Kai-ong
berbisik dan dia menjilat bibirnya sendiri.
Han Li
merasa geli dan juga heran ketika gurunya mengeluarkan segulung tali yang di
ujungnya dipasangi besi kaitan seperti sebuah pancing! Han Li baru mengerti
setelah gurunya menurunkan pancing itu ke bawah dan menanti sampai para koki
itu lengah, barulah dia mengayun pancingnya dan besi kaitan itu dengan tepat
sekali mengait seekor udang goreng saus tomat yang segera ditariknya ke atas.
Segera ditangkapnya udang yang masih panas itu dan dimakannya dengan lahap
sekali.
"Wah,
enaknya bukan main!" Dia memuji dan di lain saat dia sudah mengait seekor
lagi yang lalu diberikan kepada Han Li.
Sebetulnya
Han Li tidak berselera makan masakan curian itu, akan tetapi ia tidak mau
mengecewakan gurunya, maka dimakannya udang itu. Ternyata memang lezat sekali.
Setelah
menghabiskan lima ekor udang besar, dan selagi matanya sedang mencari-cari
masakan lain, di bawah terjadi keributan. Si tukang masak udang goreng saus
tomat itu yang membuat ribut.
"Heiii!!
Udangku ke mana? A Sam, jangan main-main kau!" tegurnya kepada temannya
yang sedang memasak masakan ayam tanpa tulang. "Tentu engkaulah orangnya
yang makan udang-udangku. Kenapa bisa tinggal setengahnya?"
"Ngawur!
Siapa makan udang-udangmu? Sejak tadi aku mempersiapkan masakanku sendiri, mana
aku ada waktu untuk memperhatikan udangmu, apa lagi mencurinya dan
memakannya."
"Akan
tetapi udang besar itu tadinya berjumlah belasan ekor, sekarang tinggal delapan
ekor lagi! Yang berada di dekatku hanya engkau. Siapa lagi yang mencurinya
kalau bukan engkau?"
"Aku
tidak mencuri udangmu. Jangan main tuduh sembarangan kau!"
Teman-teman
yang lain melerai. "Sudahlah, mungkin dimakan kucing."
"Tidak
ada kucing yang masuk ke sini." bantah koki udang yang merasa kehilangan.
Sementara
itu, di dalam keributan itu, selagi para koki bicara dan lengah, seekor ayam
tanpa tulang sudah melayang naik ke atas. Kai-ong membaginya dengan Han Li dan
mereka makan masakan istimewa. Ayam itu masih utuh, akan tetapi ketika digigit,
sama sekali tidak ada tulangnya dan ayam itu diisi cacahan daging dengan
bumbunya yang sedap.
"Heiii...!
Mana ayamku?" tiba-tiba koki ayam yang tadi dituduh mencuri udang,
berteriak.
"Ayam
apa lagi?!" tanya teman-temannya.
"Tadi
masih di sini, baru saja kuangkat dari tempat masak. Semua ada lima ekor, akan
tetapi lihat, hanya tingga empat ekor. Yang seekor lagi terbang ke mana?"
"Mana
ada ayam tanpa tulang itu dapat terbang?"
"Tentu
ada yang mencuri dan menyembunyikan. A-cui, engkau tadi menuduh aku sudah
mencuri udang-udangmu. Agaknya engkau kini hendak membalas dendam, kemudian
engkau menyembunyikan ayamku!"
"Kau
gila! Aku tidak mencuri ayammu!" A-cui membentak.
Dua orang itu
sudah saling mengacungkan pisau dapur yang tajam, akan tetapi dilerai
teman-temannya. Akhirnya keributan itu pun mereda dan mereka melanjutkan
pekerjaan mereka.
Sementara
itu, seekor ayam cabut tulang tadi telah habis memasuki perut Kai-ong dan Han
Li. Kai-ong menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan minyak dan menggumam,
"Wah, enak... lezat...!"
"Suhu,
aku sudah kenyang. Mari kita pergi dari sini," bisik Han Li.
"Wah,
nanti dulu. Baru mencicipi sedikit sudah mau pulang! Dan lagi, makan seperti ini
kurang enak. Aku ingin mencicipi masakan rebung kaki biruang itu, dan itu ada
swi-ke pemakan burung, dan panggang bebeknya, goreng burung merpati, wah, masih
begitu banyak dan engkau telah mengajak pulang? Nanti dulu ah!"
Kai-ong
mematahkan ujung genting, diremasnya menjadi potongan kecil-kecil lalu mulai
menyambitkan ke bawah.
"Aduh,
siapa memukul kepalaku?" teriak seorang koki gendut sambil menggosok-gosok
kepalanya yang botak.
"Aduh!
Aku juga dipukul. Kamu yang memukul kepalaku, ya?" teriak A-sam dan dia
langsung saja menuduh A-cui.
Acui menjadi
marah lagi. "Siapa yang memukul? Aduh, siapa mengetuk kepalaku?"
Kemudian
terdengar mereka semua mengaduh dan suasana menjadi kacau. Dalam keadaan
seperti itu, Kai-ong memberi isyarat kepada Han Li dan mengajak gadis itu
melayang turun ke dalam dapur!
Dengan
cekatan Kai-ong sudah mengambil semangkok sop ayam muda dan sambil berjongkok
dan bersembunyi di belakang meja dia menyambar pula sepasang sumpit dan
mulailah dia makan dengan lahapnya. Dia memberi isyarat kepada Han Li supaya
meniru perbuatannya.
Tetapi Han
Li yang juga ikut bersembunyi di belakang meja menggerakkan pundaknya, lalu
menyambar sepotong bak-pauw dan memakannya. Bak-pauw adalah sebuah roti biasa
yang berisi daging dan sayur, akan tetapi bak-pauw yang terdapat dalam dapur
Pangeran Mahkota ini lain rasanya. Memang enak sekali.
Setelah
mencicipi berbagai macam masakan, Kai-ong ingin minum dan merangkaklah dia ke
tempat penyimpanan guci-guci arak. Dia membuka sebuah guci dan dituangkan
isinya begitu saja ke mulutnya.
"Heiii,
ke mana masakan goreng burung merpatiku?"
"Dan
kenapa sop ayam muda ini tinggal sedikit?"
"Ca
rebung muda kaki biruangku juga tinggal sedikit!"
"Wah,
bau arak! Jangan-jangan ada guci arak yang pecah!"
Lima orang
koki itu ribut-ribut dan mencari ke sana ke mari. Tentu saja guru dan murid itu
sibuk berloncatan ke sana ke mari untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi
Kai-ong yang keenakan minum arak tidak sempat lagi bersembunyi. Seorang di
antara lima koki itu melihatnya dan berteriak, "Wah, ini dia malingnya.
Seorang pengemis tua!"
"Celaka,
masakan kita diusiknya, banyak yang dimakannya. Apakah keluarga pangeran hanya
mendapatkan sisanya?"
"Hayo
kita tangkap pencuri itu!"
Dua orang
sudah menerjang maju untuk menangkap Kai-ong, akan tetapi Han Li cepat melompat
ke depan. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik
melindungi kakek itu.
"Paman
sekalian, maafkanlah kami yang sudah mencicipi sedikit masakan kalian. Suhu,
mari kita pergi!"
"He-he-heh,
nanti dulu, Han Li. Kabarnya Pangeran Mahkota adalah seorang yang amat
dermawan. Siapa kira, makanan untuk keluarganya demikian mewah, sedangkan di
luar istananya banyak rakyat kelaparan!" Kai-ong minum terus dan nampaknya
kakek raja pengemis ini sudah mulai mabuk.
"Mari
kita lapor ke dalam!" Lima orang koki itu lalu berlarian keluar dari dalam
dapur.
"Suhu,
mari kita cepat pergi. Para pengawal tentu segera berdatangan!"
"Heh-heh-heh,
aku tidak pernah melarikan diri dari dapur sebelum perutku benar-benar kenyang.
Mari kita makan dengan leluasa, Han Li. Begini lebih enak. Ini ada nasi dari Hang-ciu,
nasinya lembut dan harum sedap."
Kai-ong
tidak mau pergi, malah kini duduk menghadapi meja, menyambar mangkok dan sumpit
lalu mulai makan dengan lahapnya. Han Li membanting-banting kakinya dengan
bingung. Sudah terdengar suara banyak kaki berlari ke tempat itu.
"Wah,
ini bagaimana, Suhu? Mereka sudah berdatangan!"
"Biarkan
saja. Kalau mereka berani mengganggu aku makan, akan kuhajar! Nih, kau makan
nasi, Han Li. Atau ingin buah-buahan segar. Itu di sana banyak anggur, buah
leci dan apel. Tinggal pilih mana yang kau suka, heh-heh-heh!"
"Akan
tetapi, Suhu...!" Han Li tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada
saat itu di ambang pintu dapur telah bermunculan pasukan pengawal yang
jumlahnya belasan orang.
Seorang
komandan pengawal menudingkan goloknya ke arah Kai-ong yang sedang melahap
makanan.
"Pencuri
busuk, engkau berani mengacau di dapur istana pangeran?"
"Heh-heh-heh,
makanan ini datangnya dari perahan keringat rakyat, apakah kami tidak boleh
merasakannya? Aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota adalah seorang yang dermawan
dan bijaksana. Apakah dia tidak mengijinkan kami mencicipi makanan ini?"
kata Kai-ong sambil menggigit paha ayam dan menyeringai ke arah para pengawal.
"Keparat,
berani engkau...!"
"Tahan
dulu, Ciangkun. Biarkan kami bicara dengan mereka!" tiba-tiba terdengar
suara lembut dan perwira pengawal itu terpaksa mundur lagi karena yang
menegurnya adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang sendiri.
Han Li dan
Kai-ong memandang penuh perhatian dan melihat munculnya seorang laki-laki
bangsawan yang tampan dan berwibawa. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di
sebelah kanannya berdiri seorang wanita cantik dan di sebelah kirinya berdiri
seorang gadis manis. Baik wanita cantik mau pun gadis manis itu membawa
sebatang pedang di punggung mereka sehingga mereka nampak anggun dan juga
gagah.
Pria itu
adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Gadis manis itu bukan lain adalah Tao Kwi
Hong dan wanita cantik itu adalah ibunya. Mereka tadi telah bersiap hendak
makan siang saat mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek
pengemis yang mencuri makanan. Pangeran Mahkota Tao Kuang tertarik mendengar
ini dan dikawal oleh Tao Kwi Hong dan ibunya, Liang Siok Cu, mereka bergegas
menuju ke dapur.
Pangeran
Mahkota Tao Kuang memiliki watak seperti kakeknya, yaitu suka bergaul dan
menghargai orang-orang kang-ouw. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis
itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia
lalu melarang para pengawal turun tangan.
Dia sendiri
lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat dan berkata
dengan lembut, "Apakah kunjungan Locianpwe dan Nona ini hanya untuk
mencicipi makanan?"
"Habis,
untuk apa lagi? Kami tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang,
heh-heh-heh!" kata Kai-ong.
"Kamilah
Pangeran Mahkota Tao Kuang. Kalau memang begitu, biar kami mengundang Locianpwe
dan Nona ini untuk makan bersama!" Penawaran ini diajukan dengan sikap
yang lembut dan manis sehingga Han Li merasa tidak enak dan malu sendiri.
"Kau
dengar itu, Han Li?" Kai-ong berkata sambil tertawa girang. "Sudah
sejak lama aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota Tao Kuang adalah seorang yang
bijaksana dan kini terbukti kebenaran berita itu. Terima kasih, Pangeran, tentu
saja kami menerima undanganmu itu, ha-ha-ha!"
Han Li diam
saja akan tetapi merasa tidak enak hati. Sejak kecil ia mendengar tentang
penjajahan bangsa Mancu terhadap negara dan bangsanya. Dia sendiri adalah
puteri ketua Thian-li-pang yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan sekarang
ia diundang makan bersama oleh keluarga Pangeran Mahkota bangsa Mancu! Akan
tetapi, menolak pun tidak mungkin karena gurunya sudah menerima, maka ia pun
mengikuti saja ketika mereka dipersilakan masuk ke dalam ruangan makan yang
luas.
Setelah
mereka duduk menghadapi meja makan, hidangan-hidangan yang paling lezat
disuguhkan. Pangeran Tao Kuang memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi
arak dalam cawan-cawan perak di depan tamunya kemudian menyulangi dua orang
tamunya dengan secawan arak.
"Silakan
Ji-wi (Anda Berdua) minum untuk ucapan selamat datang dari kami dan untuk
perkenalan ini."
Sambil
tersenyum lebar Kai-ong minum secawan arak itu dan Han Li hanya mencontoh
gurunya.
Pangeran Tao
Kuang memperkenalkan selirnya dan puterinya, lalu bertanya, "Siapakah nama
Locianpwe yang terhormat dan siapa pula Nona ini?"
"He-he-heh,
Pangeran. Terima kasih bahwa Paduka suka menyambut kami orang-orang biasa
dengan ramah tamah. Saya bernama Lu Tong Ki, hanya orang biasa saja, bahkan
pengemis yang tidak pernah minta-minta."
"Lu
Tong Ki...? Apakah bukan Kai-ong (Raja Pengemis) Lu Tong Ki?" mendadak
Liang Siok Cu bertanya dengan kaget.
"Heh-heh-heh,
saya hanyalah rajanya para pengemis, Nyonya."
"Mendiang
ayahku Liang Cun sering bicara tentang Locianpwe," kata nyonya itu kagum.
Kini
sepasang mata Lu Tong Ki terbelalak, "Liang Cun? Ahhh, Sin-tung Koai-jin
sudah meninggal dunia dan Nyonya adalah puterinya? Pantas, kalian begini ramah.
Kiranya keturunan seorang datuk dari Thai-san!"
"Ha-ha-ha,
kiranya kita berada di antara orang sendiri!" Pangeran Tao Kuang tertawa
gembira.
"Dan
engkau, Enci yang baik, siapakah namamu?" tiba-tiba Kwi Hong bertanya
kepada Han Li sambil memandang gadis itu penuh perhatian. "Apakah engkau
murid Locianpwe ini?"
"Benar,
aku adalah murid Suhu, namaku Yo Han Li," jawab Han Li singkat.
Mereka mulai
makan dan minum. Setelah acara makan selesai, di mana Kai-ong dapat memuaskan
seleranya, tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa sambil mengelus perutnya.
"Aihhh, kalau setiap hari makan begini, dalam waktu sebulan aku akan
menjadi orang gendut!"
Semua orang
tertawa dan Kai-ong kembali berkata, "Ha-ha-ha, Pangeran tentu tidak
menduga siapa adanya nona yang mengakui saya sebagai gurunya ini. Sesungguhnya
ia jauh lebih terkenal dari pada saya yang hanya raja kaum pengemis. Ibunya
terkenal dengan julukan Si Bangau Merah, ayahnya lebih terkenal lagi dengan
julukan Pendekar Tangan Sakti yang juga menjadi ketua Thian-li-pang..."
"Ahhh...!!"
Liang Siok
Cu berseru kaget sambil memandang Han Li, sedangkan wajah Pangeran Tao Kuang
juga berubah agak pucat. Akan tetapi Kwi Hong berseru girang.
"Aih,
kiranya Enci ini puteri Paman Yo? Senang sekali bertemu dengan puteri Paman Yo
Han!"
"Kwi
Hong, apakah engkau mengenal ketua Thian-li-pang?" tanya Pangeran Mahkota
Tao Kuang, sedangkan isterinya bersiap untuk melindungi suaminya kalau-kalau
puteri pemberontak itu mempunyai niat jahat.
"Ayah,
aku tidak tahu apakah paman Yo itu ketua Thian-li-pang. Yang aku ketahui dia
adalah seorang yang gagah perkasa dan dahulu pernah menolongku dari
pengeroyokan pemberontak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Aku kagum sekali
kepadanya!"
Han Li tadi
terkejut bukan main mendengar gurunya memperkenalkan ayahnya sebagai ketua
Thian-li-pang. Akan tetapi dia merasa heran dan juga lega mendengar bahwa Kwi
Hong pernah ditolong ayahnya. Ketika dia melirik ke arah gurunya, dia melihat
Kai-ong tersenyum-senyum padanya. Dia pun bisa menduga bahwa gurunya sengaja
menyebut Thian-li-pang untuk menguji hingga di mana ketulusan hati dan
kebijaksanaan Pangeran Mahkota itu!
Dan memang
sebenarnya begitulah. Maklum bahwa ucapannya tadi bisa mendatangkan bahaya,
maka diam-diam Kai-ong juga sudah bersiap-siap. Dia cerdik sekali dan andai
kata disebutnya Thian-li-pang itu membuat Pangeran Mahkota marah dan
mengerahkan pasukan pengawalnya, dia tentu akan bertindak menawan sang pangeran
terlebih dulu agar dia dan muridnya dapat keluar dari istana itu dengan aman!
Akan tetapi
dia pun merasa lega ketika ucapan Kwi Hong membuyarkan suasana yang tegang
tadi. Kini Pangeran Mahkota yang berkata kepada Han Li, di dalam suaranya
mengandung perasaan heran.
"Aneh
sekali! Ketua Thian-li-pang pernah menolong puteriku dan hari ini aku menjamu
puterinya! Padahal semua orang tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah
perkumpulan yang berjiwa pemberontak!"
"Ayah
saya tidak pernah membenci perorangan, Pangeran. Yang ditentangnya adalah
penjajah dan penindasan!" jawab Han Li dengan tegas.
"He-he-heh,
dalam anggapan Paduka memang Thian-li-pang pemberontak, Pangeran," berkata
pula Kai-ong. "Akan tetapi dalam anggapan kami rakyat jelata,
Thian-li-pang berjiwa pendekar dan pejuang."
"Berjuang
untuk apa?" Pangeran Mahkota mendesak.
"Berjuang
untuk menegakkan kebenaran serta keadilan, berjuang untuk kemerdekaan tanah air
dan bangsa," kata pula Kai-ong dan ketika mengucapkan kata-kata ini, dia
tidak lagi tertawa melainkan berkata dengan suara dan wajah serius.
"Sama
saja, itu pemberontakan namanya, menentang pihak yang berkuasa," Pangeran
Mahkota Tao Kuang membantah.
"Harap
Paduka mempertimbangkan dengan hati dan kepala yang tenang dan dingin,"
kata pula Kai-ong. "Coba Paduka tempatkan diri Paduka sebagai rakyat kami.
Apakah Paduka tidak mempunyai keinginan untuk memerdekakan tanah air dan bangsa
dari belenggu penjajah? Salahkah itu kalau seseorang bercita-cita untuk
kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?"
Pangeran Tao
Kuang mengangguk-angguk. "Mungkin juga kami akan berpendirian yang sama.
Akan tetapi kami bukan penindas. Kami menganggap bangsa Han seperti bangsa
sendiri. Kami ingin menjalankan pemerintahan yang adil, ingin menyejahterakan
rakyat."
"Kami
percaya, Pangeran. Tapi yang ditentang oleh para pejuang adalah pemerintahan
penjajah, bukan perorangan, seperti yang dikatakan murid saya Han Li
tadi."
"Akan
tetapi sekarang terbukti bahwa di antara kita tiada kebencian atau permusuhan.
Anak kami pernah diselamatkan oleh ketua Thian-li-pang dan anak ketua
Thian-li-pang kami undang makan menjadi tamu terhormat kami!" kata
Pangeran Tao Kuang sambil tersenyum.
"Ayah,
kuharap enci Han Li menjadi tamu kita untuk beberapa waktu lamanya. Aku ingin
mengenalnya lebih dekat dan berbincang-bincang tentang ilmu silat
dengannya!" kata Kwi Hong kepada ayahnya.
Pangeran
Mahkota Tao Kuang mengangguk sambil tersenyum ramah kepada Kai-ong, "Aku
tidak keberatan dan mereka ini boleh tinggal di istana sebagai tamu berapa lama
pun mereka kehendaki!"
Kai-ong
tertawa. "Bagus! Aku suka sekali tinggal di sini beberapa lamanya sampai
puas makan enak setiap hari. Han Li, kita tinggal di sini sampai bosan!"
Kwi Hong
merasa gembira sekali. Dengan senyum manis ia bangkit menghampiri Han Li dan
menggandeng tangan gadis itu. "Mari kita melihat-lihat taman, enci Han Li.
Akan kutunjukkan kamarmu di mana engkau boleh tinggal!"
Kedua orang
gadis itu pergi dan meninggalkan Kai-ong yang diajak bercakap-cakap oleh
Pangeran Tao Kuang. Seorang raja pengemis bersama muridnya menjadi tamu dari
Pangeran Mahkota…..
***************
Cu In tidak
peduli bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang dijumpainya di
jalan dalam kota raja. Mukanya yang tertutup sutera putih dari batas hidung ke
bawah itulah yang menarik perhatian orang. Akan tetapi tak ada seorang pun
mengganggunya. Tentu mereka itu mengira bahwa ia seorang wanita dari Turki atau
negara Islam lainnya. Wanita-wanita Islam biasanya menutup mukanya dengan cadar
seperti itu.
Tidak sukar
bagi Cu In untuk mendapat keterangan di mana adanya rumah Panglima The Sun Tek.
The-ciangkun adalah seorang panglima yang terkenal di kota raja. Dialah yang
memimpin pasukan ketika memadamkan pemberontakan di selatan. The-ciangkun
seorang panglima yang bukan hanya pandai ilmu perang, akan tetapi juga seorang
yang memiliki ilmu silat tinggi.
Cu In tidak
tahu orang macam apa adanya The Sun Tek. Yang penting baginya adalah bahwa ia
harus membunuh orang itu. Menurut gurunya, panglima The itu adalah musuh besar
gurunya, dan lebih dari pada itu, panglima The itulah yang membunuh ayah
bundanya sehingga ia menjadi seorang yatim piatu sejak masih bayi!
Sejak bayi
dia dipelihara oleh subo-nya, maka kini tugas untuk membunuh musuh besar
subo-nya itu akan dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk membalas budi
gurunya, melainkan juga untuk membalas dendam ayah bundanya.
Cu In merasa
agak heran namun girang melihat kenyataan bahwa rumah itu tidak dijaga regu
keamanan seperti rumah para panglima tinggi lainnya. Rumah itu dari luar nampak
sunyi saja. Cu In lalu mengelilingi pagar tembok rumah itu dan ternyata rumah
itu memiliki pekarangan dan taman yang luas sekali.
Hari itu
panas sekali. Matahari telah naik tinggi. Bagaikan seekor burung saja
ringannya, Cu In sudah melompati pagar tembok di bagian belakang rumah itu dan
mendekam di atas untuk mengintai ke sebelah dalam pagar. Ternyata di sebelah
dalamnya terdapat sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga warna warni yang
sedang berkembang sehingga suasana di taman itu nyaman dan indah sekali.
Ia melompat
turun ke sebelah dalam dan menyelinap di antara pohon-pohon. Agak jauh di
tengah taman itu terdapat sebuah pondok dengan dinding rendah dan bagian
atasnya terbuka. Semacam tempat untuk duduk bersantai menikmati keindahan
taman. Di depan pondok itu terdapat sebuah kolam ikan dengan bunga teratai dan
ikan-ikan emas berenang di dalam kolam. Gemercik suara air di kolam yang jatuh
dari sebuah pancuran mendatangkan suara yang menyejukkan hati.
Cu In cepat
menyusup ke balik rumpun bunga. Ia melihat seorang laki-laki melangkah
seenaknya dengan santai menuju ke panggung atau pondok itu, memasukinya dan
duduk di atas bangku menghadapi kolam ikan. Cu In mengintai dan melihat bahwa
pria itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi rambut kepalanya sudah
banyak beruban.
Rambut itu
dikuncir ke belakang dan diikat dengan sutera biru. Wajah yang mulai berkerut
merut itu masih nampak tampan dan gagah. Akan tetapi dalam sinar matanya
mengandung duka.
Sampai lama
pria itu termenung memandangi kolam ikan, dan berulang kali pula dia menghela
napas panjang. Tiba-tiba pria itu menengadahkan mukanya, memandangi awan yang
berarak di angkasa, dan dia membaca sajak.
Seperti awan
bergerak di angkasa
kita
bercanda penuh suka dan tawa
sumpah
saling mencinta saling setia
berbahagia
memadu asmara
Semua itu
hilang musnah
ketika angin
datang menerpa
kita
berpisah dan merana
yang
tertinggal hanyalah air mata!
Cu In
tertegun. Dia mengenal betul sajak itu karena gurunya, Ang Hwa Nio-nio, sering
menyanyikan sajak itu dalam sebuah lagu yang sedih. Dan sekarang pria itu
bersajak yang sama!
Karena
perasaan terguncang, tubuh Cu In membuat gerakan. Biar pun gerakan itu tidak
menimbulkan suara keras, akan tetapi pria itu sudah memutar tubuhnya dan
terdengar suaranya yang lantang,
"Sobat,
tiada gunanya lagi engkau bersembunyi. Aku telah mengetahui keberadaanmu di
situ!" Pria itu memandang ke arah Cu In.
Cu In
terpaksa muncul dari balik rumpun bunga lalu menghampiri pondok itu. Pria itu
nampak terkejut dan terheran-heran melihat bahwa yang muncul adalah seorang
gadis yang mukanya ditutup cadar putih, pakaiannya juga serba putih.
"Siapa
engkau? Apa keperluanmu datang ke tempat ini tanpa diundang?" tanya pria
itu dan suaranya mengandung wibawa yang kuat.
Akan tetapi
Cu In tidak menjawab, melainkan balas bertanya, "Apakah engkau yang
bernama The Sun Tek?"
"Tidak
salah, akulah The Sun Tek. Siapakah engkau, Nona?"
"Namaku
Souw Cu In dan aku datang ke sini untuk membunuhmu, The Sun Tek!"
The Sun Tek
sama sekali tidak menjadi terkejut mendengar pengakuan itu, bahkan dia nampak
begitu tenang. Sebagai seorang panglima besar, dia tahu bahwa banyak orang
menginginkan kematiannya, terutama untuk membalas dendam karena dia sudah
sering menghancurkan usaha pemberontakan di mana-mana sehingga tidaklah aneh
jika ada yang mendendam kepadanya.
Sering pula
terdapat usaha orang-orang yang memusuhinya untuk membunuhnya. Akan tetapi baru
kali ini usaha itu akan dilakukan seorang gadis muda. Hal ini mendatangkan rasa
penasaran di dalam hatinya.
"Membunuh
orang tentu ada alasannya yang kuat, Nona. Dan kenapa engkau hendak membunuhku?
Kita belum pernah bertemu dan di antara kita tidak terdapat urusan apa
pun!"
"Kita
memang tidak pernah bertemu, akan tetapi engkau keliru kalau mengira di antara
kita tidak pernah terdapat urusan apa pun. Alasanku datang untuk membunuhmu ini
cukup kuat. Pertama, aku hendak membalaskan dendam kematian ayah bundaku yang
dahulu sudah kau bunuh! Dan kedua, aku datang mewakili guruku yang menjadi
musuh besarmu!"
The Sun Tek
mengerutkan alisnya. Kedudukan dirinya sebagai panglima besar yang memimpin
pasukan memang banyak resikonya. Entah berapa banyak orang yang dapat menaruh
dendam kepadanya karena orang tuanya terbunuh dalam perang.
"Hemm,
siapakah nama ayah bundamu itu, Nona? Aku tidak merasa pernah membunuh orang,
kecuali tentu saja dalam perang. Apakah dahulu ayah bundamu itu tewas dalam
peperangan melawan pasukanku?"
"Aku
tidak tahu siapa ayah bundaku, tidak pernah mengenalnya karena sejak aku masih
bayi engkau telah membunuh mereka."
"Lalu
bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku pembunuh mereka?"
"Guruku
yang memberi tahu."
"Aha,
gurumu yang kau wakili untuk menghadapi aku sebagai musuh besarnya itu? Dan
siapa gerangan nama gurumu itu, Nona?"
"Guruku
adalah Ang Hwa Nio-nio!"
The Sun Tek
membelalakkan kedua matanya, kemudian wajahnya nampak muram dan mengandung
duka.
"Ahhh,
Hong Bwe... Hong Bwe, sampai begitu mendalamkah bencimu terhadap diriku?
Bertahun tahun aku mencarimu dan kini tiba-tiba muncul muridmu untuk
membunuhku."
Cu In tidak
mengerti apa yang dimaksudkan pria itu. Ia sudah melolos sabuk suteranya dan
berkata, "The Sun Tek, bersiaplah engkau untuk menghadapi
seranganku!"
"Nanti
dulu, nona Souw. Bersabarlah karena aku tak akan pernah melarikan diri darimu.
Engkau tidak dapat membunuh orang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Engkau
harus yakin benar bahwa aku adalah pembunuh orang tuamu. Dan tentang
permusuhanku dengan gurumu Ang Hwa Nio-nio itu, tidakkah engkau ingin untuk
mengetahui sebab sebabnya?"
"Aku
hanya mendengar tentang kematian ayah bundaku dari guruku, dan kalau guruku
sampai menganggap bahwa engkau musuh besarnya, tentulah engkau telah melakukan
hal yang amat jahat terhadap subo."
"Tahan
dulu dan dengarlah sebentar penjelasanku. Aku melihatmu sekarang ini, tiada
ubahnya seperti melihat gurumu ketika itu! Bentuk tubuhmu, matamu itu, dan
suaramu! Engkau seperti pinang dibelah dua dengan Hong Bwe! Karena itulah aku
ingin engkau mendengar penjelasanku."
Cu In
meragu. Dia tidak mengenal siapa itu Hong Bwe, akan tetapi dia pun tidak dapat
menolak keinginan orang tua ini untuk menceritakan persoalannya dengan gurunya.
Dia pun meragukan, jangan-jangan bukan orang ini pembunuh ayah bundanya.
Subo-nya bercerita demikian mungkin hanya supaya dia membenci orang ini.
"Sesukamu,
bicaralah, akan tetapi jangan harap aku akan percaya begitu saja terhadap
keteranganmu."
"Percaya
atau tidak terserah padamu. Terima kasih jika engkau suka untuk mendengar
ceritaku. Silakan duduk, nona Souw."
The Sun Tek
mempersilakan Cu In duduk. Gadis ini pun lalu mengambil tempat duduk berhadapan
dengan panglima itu. Mereka hanya terhalang oleh sebuah meja kecil.
Setelah
menghela napas panjang beberapa kali, The Sun Tek berkata, "Aku tidak tahu
sampai tingkat apa ilmu silatmu, akan tetapi kalau gurumu sudah mengutusmu
untuk membunuhku, aku percaya bahwa engkau tentu cukup lihai. Barangkali nanti
aku akan terbunuh olehmu, oleh karena itu aku senang bahwa engkau suka
mendengar ceritaku. Terjadinya cerita ini kurang lebih dua puluh tahun yang
lalu. Pada saat itu, aku belum menjadi seorang panglima, akan tetapi aku suka
bertualang di dunia kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw. Aku lalu
bertemu seorang gadis kang-ouw bernama Sim Hong Bwe. Kami berkenalan dan saling
jatuh cinta. Ketika itulah aku melamar pekerjaan sebagai seorang perwira muda.
Karena orang tuaku mengenal panglima yang bertugas menerima para perwira muda,
maka aku pun dapat diterima sebagai seorang perwira. Orang tuaku lalu
mendesakku untuk menikah. Ketika aku memberi tahu bahwa aku telah mempunyai
seorang pilihan hati, yaitu Sim Hong Bwe, ayahku menjadi marah. ‘Menikah dengan
seorang gadis kang-ouw? Tidak!’ katanya. Karena aku telah memiliki tugas dan
kedudukan, aku harus menikah dengan seorang gadis baik-baik, berasal dari
keluarga yang terhormat. Aku tidak mampu membantah ayahku, maka terpaksa aku
menerima saja dijodohkan seorang gadis puteri seorang bangsawan."
Sampai di
sini The Sun Tek menghentikan ceritanya, agaknya dia mengingat kembali
peristiwa yang membuatnya selalu berduka itu. Dia memandang kepada Cu In, akan
tetapi Cu In tidak mengacuhkannya......
Terma kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment