Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 05
PEGUNUNGAN
Bu-tong-san merupakan pusat dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat
terkenal. Semenjak dahulu Bu-tong-pai memiliki pendekar-pendekar yang amat
tangguh sehingga namanya menjadi terkenal dan dihormati oleh semua perguruan
lain dan juga para pendekar.
Biasanya,
Bu-tong-san nampak sunyi saja karena memang para penduduknya hanya orang-orang
dusun yang bersahaja. Akan tetapi pada hari itu, Pegunungan Bu-tong-san menjadi
ramai dengan kunjungan banyak orang dari bermacam-macam golongan. Ada yang berpakaian
seperti hwesio, ada pula tosu, ada yang berpakaian seperti pengemis dan ada
pula yang seperti seorang hartawan. Ada yang sikapnya lemah lembut seperti kaum
sastrawan, akan tetapi ada pula yang berpakaian ringkas dan sikapnya gagah
perkasa seperti kaum persilatan.
Undangan
yang, dilakukan oleh Butong-pai ternyata mendapat banyak sambutan. Siapa tidak
mengenal Bu-tong-pai? Kalau Bu-tong-pai mengundang semua tokoh kang-ouw,
berarti tentu ada keperluan yang sangat penting. Bahkan mereka yang tidak diundang
sekali pun, hanya karena mendengar saja bahwa Bu-tong-pai mengundang
orang-orang kang-ouw, banyak pula yang turut datang untuk melihat perkembangan,
menonton dan menambah pengalaman. Mereka ini dapat menduga bahwa yang diundang
oleh pihak Bu-tong-pai tentulah para jagoan-jagoan yang berilmu tinggi dan yang
hanya mereka dengar namanya saja.
Ketika itu
yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu, seorang tosu berusia enam
puluh tahun yang bertubuh sedang, berjenggot dan berkumis panjang. Ada pun pembantunya
adalah dua orang murid utamanya, yaitu Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang dahulu
pernah datang berkunjung ke rumah Pendekar Tangan Sakti Yo Han untuk
menyampaikan surat dan undangan.
Di antara
para tamu itu terdapat pula Yo Han. Isterinya dan puterinya tidak ikut. Yo Han
datang ke Bu-tong-pai dengan hati diliputi perasaan penasaran dan juga
keheranan. Dia tak mengerti akan sikap Thian It Tosu. Kenapa mendadak tosu itu
hendak mengobarkan pemberontakan? Karena khawatir bahwa pertemuan itu akan mendatangkan
keributan, maka dia melarang isteri dan puterinya untuk ikut serta. Kalau
terjadi keributan, biar dia sendiri yang akan menghadapinya.
Seperti para
tamu lainnya, Yo Han juga disambut oleh dua orang murid utama itu. Para tamu
dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang luas sekali dan mereka mendapatkan
tempat duduk yang diatur menurut kedudukan masing-masing. Ada tempat bagi para
ketua perguruan dan para tokoh tingkatan tua, dan ada tempat bagi yang
muda-muda.
Yo Han
sebagai seorang pendekar yang amat terkenal mendapat tempat kehormatan di
antara para ketua perguruan yang terkenal. Tentu saja Yo Han bertemu dengan
muka-muka lama yang sudah dikenalnya sehingga terjadilah pertemuan dalam
suasana yang cukup menggembirakan di antara mereka.
Anehnya, Thian
It Tosu sendiri belum kelihatan menyambut. Ketika ada orang yang menanyakan
kepada Thian Yang Cu, atau Bhok Im Cu, kedua orang tosu ini menjawab bahwa suhu
mereka sedang semedhi dan nanti kalau sudah tiba saatnya tentu akan keluar
menyambut para tamu.
Setelah para
tamu datang memenuhi ruangan itu, barulah Thian It Tosu muncul. Yo Han yang
sudah mengenal baik tosu itu melihat betapa wajah tosu itu agak pucat, seperti
orang yang sedang menderita sakit.
Thian It
Tosu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada para tamu dan
berkata dengan suara parau, “Harap Cu-wi maafkan, saya sedang sakit batuk dan
serak.”
Lalu dia
mempersilakan semua orang duduk dan dia sendiri duduk di kursi ketua yang sudah
disiapkan. Thian Yang Cu lalu berdiri dan memberi hormat kepada semua orang
yang hadir.
“Harap Cu-wi
semua suka memaafkan. Agaknya Suhu mendadak menderita sakit batuk dan suaranya
hampir hilang. Karena itu, pinto yang ditunjuk sebagai wakil pembicara.”
Semua orang
mengangguk-angguk dan maklum. Betapa pun lihainya seseorang, apa lagi kalau
sudah tua, dapat saja terserang penyakit. Dan penyakit yang diderita Thian It
Tosu itu meski pun tidak berat, namun membuat dia tidak mampu mengeluarkan
suara sehingga sudah sepantasnya kalau diwakili oleh murid utamanya.
“Seperti
yang Cu-wi semua ketahui dari undangan Suhu, Cu-wi diminta berkumpul untuk
menyatakan persetujuan atas usul Suhu, yaitu mempersiapkan diri untuk menyerang
kota raja dan menggulingkan kedudukan kaisar Mancu. Sudah tiba saatnya bangsa
kita dibebaskan dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Kita semua yang berkumpul
di sini adalah kaum patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Melihat bangsa
kita dijajah oleh penjajah Mancu, apakah kita harus berpangku tangan saja? Kita
harus bergerak, dan sekaranglah saatnya, selagi kaisar yang memegang tampuk
pemerintahan seorang yang lemah. Kalau kita bersatu dan menyerbu kota raja,
tentu kita akan menang dan dapat merampas istana, mengakhiri penjajahan!”
Ketika Thian
Yang Cu berhenti bicara, suasana menjadi gaduh sekali karena mereka
masing-masing saling berbicara sendiri. Thian It Tosu membiarkan mereka
berunding sendiri, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Thian Yang Cu,
membisikkan sesuatu. Thian Yang Cu lalu bangkit berdiri lagi dan mengangkat
kedua tangan ke atas.
“Mohon
tenang, saudara sekalian. Kami percaya bahwa Cu-wi (Saudara sekalian) yang
berwatak patriot tentu menyetujui pendapat dan usul ketua kami. Yang setuju,
tinggal mempersiapkan diri saja, kalau waktunya sudah tiba tentu akan diberi
tahu. Terutama sekali para ketua perkumpulan, harap menyiapkan anak buahnya
untuk sewaktu-waktu menerima panggilan dan bergabung dengan kami. Kalau ada
yang hendak menyatakan pendapatnya, silakan, akan tetapi satu-satu saja, agar
mudah didengar.”
Mendadak
terdengar suara lembut. “Omitohud...!”
Semua orang
memandang dan ternyata yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi besar yang
mewakili Siauw-lim-pai.
“Kami dari
Siauw-lim-pai tidak begitu setuju dengan usul dari Bu-tong-pangcu. Memang benar
kami semua berjiwa patriot dan ingin melihat bangsa kita terbebas dari belenggu
penjajahan. Akan tetapi apa yang dapat kita perbuat dalam keadaan seperti
sekarang ini? Biar pun kita semua hendak berjuang, akan tetapi harus diketahui
dengan siapa kita berjuang dan bagaimana pula keadaan kekuatan kita. Pinceng
melihat di sini banyak pula perkumpulan yang hanya berkedok pejuang akan tetapi
tidak segan melakukan kejahatan terhadap rakyat, Bekerja sama dengan mereka itu
merupakan pantangan bagi kami. Bu-tong-pangcu tentu mengerti siapa-siapa yang
kami maksudkan itu dan sebaiknya kalau mereka itu tidak diajak berunding
tentang perjuangan.”
Setelah
berkata demikian hwesio itu duduk kembali. Seperti tadi, mereka semua lantas
saling bicara sendiri dengan gaduhnya.
Pada saat
itu, Yo Han yang sejak tadi sudah merasa penasaran sekali melihat hadirnya
perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan
lain-lainnya, juga sudah bangkit berdiri. Suaranya terdengar lembut namun
lantang sehingga mengatasi semua suara dan semua orang terdiam mendengarkan.
“Kami dari
Thian-li-pang ingin bicara!”
Thian It
Tosu sendiri berdiri dan memberi isyarat dengan tangan mempersilakan Yo Han
untuk bicara.
“Thian It
Totiang, Totiang bukanlah kenalan baru dari kami dan kami sudah mengenal bahwa
Bu-tong-pai ialah sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot di samping berwatak
pendekar. Oleh karena itu, saya tidak menganggap aneh kalau Bu-tong-pai
mengajak untuk bangkit melawan penjajah meski sekarang belum tiba saatnya,
melihat kekuatan musuh dan kekuatan kita sendiri yang masih terpecah belah.
Akan tetapi melihat betapa Bu-tong-pai juga mengundang perkumpulan-perkumpulan
sesat, sungguh ini amat tidak sesuai dengan kependekaran Bu-tong-pai. Kami
setuju dengan pendapat Losuhu dari Siauw-lim-pai tadi bahwa banyak perkumpulan
yang berkedok pejuang tapi sebenarnya hanya merupakan perkumpulan sesat yang
suka mengganggu rakyat. Selama mereka itu masih mencampuri urusan kami, maka
tentu akan timbul kekacauan. Kami mohon Thian It Tosu mempertimbangkan kembali
dan mengusir golongan sesat dari pertemuan ini, barulah kita bicara tentang
perjuangan. Selama mereka itu hadir, kami tidak suka ikut dalam pertemuan ini!”
Thian It
Tosu kembali berbisik kepada Thian Yang Cu dan wakilnya ini lalu berdiri dan
bicara, “Yo-pangcu dari Thian-li-pang harus suka bicara terus terang. Siapakah
di antara kita ini yang disebut golongan sesat? Justru dalam perjuangan, semua
kekuatan harus dipersatukan. Harap dijelaskan siapa yang dianggap golongan
sesat supaya persoalan menjadi terang.”
Karena
ditantang untuk berterus terang, Yo Han tanpa ragu-ragu lalu berseru dengan
suara gagah, “Perlukah hal itu disebutkan lagi? Semua orang gagah di sini
mengetahui siapa-siapa tokoh sesat yang turut hadir di sini. Dan mengenai
perkumpulan golongan sesat, siapa belum tahu bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai
merupakan perkumpulan sesat? Mengapa mereka menerima undangan pula? Bagaimana
pun juga, kami tidak dapat bekerja sama dengan mereka itu!”
Sekarang
Thian It Tosu bangkit berdiri dan dengan suaranya yang parau dia berkata,
“Yo-pangcu bicara tidak adil! Bukankah tadi Yo-pangcu sendiri yang mengatakan
bahwa pihak musuh terlalu kuat sedangkan pihak kita masih terpecah belah.
Mengapa kita tak mengajak dua perkumpulan itu turut berjuang? Dalam keadaan
begini kita harus bersatu padu, menghilangkan kepentingan sendiri demi
perjuangan!”
“Tidak
mungkin! Perjuangan kita akan diselewengkan oleh mereka yang memang sesat itu.
Selain perjuangan akan gagal, juga nama baik kita sebagai pendekar akan menjadi
rusak. Semua orang akan menyangka kita juga melakukan perampokan dan pencurian
terhadap rakyat seperti mereka!” kata Yo Han dengan lantang pula.
Dari pihak
Pek-lian-pai muncul Thian Yang Ji, seorang tosu tokoh Pek-lian-kauw yang
berusia lima puluh tahun lebih dan dia sudah memegang pedang telanjang di
tangan kanannya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yo Han sambil berteriak,
“Yo-pangcu
dari Thian-li-pang sungguh terlalu menghina kami dari Pek-lian-pai. Sudah lama
pinto mendengar akan kehebatan ilmu dari ketua Thian-li-pang. Kalau sekarang
engkau menghina kami berarti menantang kami. Mari kita selesaikan urusan ini di
ujung pedang.”
“Benar,
Yo-pangcu juga menghina Pat-kwa-pai, kami juga menantang Yo-pangcu untuk
menyelesaikan urusan di ujung pedang!” terdengar seruan dan seorang laki-laki
berusia empat puluh tahun tokoh Pat-kwa-pai juga berdiri sambil menghunus
pedang.
Yo Han
tersenyum mengejek. “Kita adalah tamu-tamu. Aku tidak mau menghina tuan rumah
dengan bertindak semauku sendiri. Kecuali kalau tuan rumah mengijinkan, aku
akan menerima tantangan kalian dan kalian berdua boleh maju bersama!”
Akan tetapi
Thian It Tosu segera bangkit berdiri dan berseru dengan suaranya yang parau,
“Harap Sam-wi suka melihat muka pinto dan tidak mengadakan keributan serta
perkelahian di sini! Yo-pangcu, kami sungguh tidak dapat menyetujui pendapat
Pangcu itu. Pada saat seperti sekarang ini, kami membutuhkan sebanyak mungkin
tenaga untuk menentang pemerintah, baik dari golongan mana pun juga, tidak
pandang bulu. Kecuali mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa
kami tolak kehadirannya di sini. Semu pihak yang mau membantu dan bekerja sama
untuk berjuang, kami anggap tamu kehormatan kami.”
Pada saat
itu Keng Han juga berada di antara para tamu golongan muda. Dia datang ke
Bu-tong-san untuk menuntut ketua Bu-tong-pai tentang permusuhan ketua itu
dengan mendiang gurunya, Gosang Lama, seperti yang sudah dipesan oleh gurunya
itu. Ketika dia sedang mendengarkan perbantahan tadi, tiba-tiba lengannya
disentuh orang.
Pada waktu
dia menoleh, dia terbelalak heran, juga kaget dan senang karena yang menyentuh
lengannya itu bukan lain adalah Kwi Hong, gadis yang pernah dia jumpai di kota
Tung-san ketika gadis itu menghajar para murid Pek-houw Bu-koan yang bersikap
kurang ajar kepadanya.
“Hong-moi,
kau di sini?”
“Han-ko,
engkau juga di sini, mau apakah? Apa engkau juga hendak memberontak?”
“Ahh, tidak.
Aku mempunyai urusan pribadi dengan ketua Bu-tong-pai.”
“Hemmm,
tentu karena pesan gurumu itu, bukan? Berbahaya sekali, Han-ko. Dia lihai bukan
main dan kau lihat sendiri, di sini banyak temannya yang juga terdiri dari
orang-orang tua angkatan tinggi yang lihai bukan main.”
“Aku tidak
takut. Bahkan biarlah orang sebanyak ini bisa menjadi saksi akan kejahatan
Bu-tong-pai yang memusuhi guruku yang tidak berdosa.”
“Jangan,
Han-ko. Biar aku membubarkan dulu mereka ini, baru engkau bicara dengan ketua
Bu-tong-pai.”
Setelah
berkata demikian, gadis itu berdiri dan dengan lantang dia berkata, ditujukan
kepada ketua Bu-tong-pai yang baru saja menjawab ucapan Yo Han tadi.
“Heiii, apa
yang aku dengar ini? Bu-tong-pai hendak memberontak terhadap pemerintah dan
membujuk semua orang untuk memberontak? Apakah tidak takut akan bala tentara
kerajaan yang tentu akan membasmi kalian semua? Janganlah bertindak begitu
bodoh!”
Semua orang
terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Kwi Hong sendiri agaknya lupa bahwa
dia sedang menyamar, bukan sebagai puteri Pangeran Mahkota, melainkan sebagai
gadis kang-ouw biasa! Beberapa orang murid Bu-tong-pai sudah mengepung tempat
itu dan siap untuk turun tangan.
Melihat ini,
Yo Han yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu segera berseru, “Tahan dulu!
Gadis itu hanya memberi peringatan dan ucapannya memang betul. Kita ini bukan
apa-apa jika sudah berhadapan dengan pasukan pemerintah. Apa artinya beberapa
ribu anggota kita semua yang dikumpulkan jika melawan ratusan ribu pasukan
pemerintah? Hanya akan mati konyol dan bunuh diri belaka. Sudah kukatakan bahwa
masih belum waktunya bergerak, bukan berarti bahwa aku tidak suka berjuang
membebaskan rakyat dari penjajahan!”
“Nah, itu
baru kata-kata yang bijaksana. Yo-pangcu memang benar sekali. Kalau kita
ketahuan pemerintah, kita tentu akan terbasmi habis. Karena itu sebaiknya
sekarang kita bubaran saja sebelum ada pasukan pemerintah yang datang!” kata
pula Kwi Hong dengan suaranya yang lantang.
Ucapan Kwi
Hong dan terutama Yo Han itu berpengaruh sekali. Mereka yang diam-diam merasa
tak setuju dengan tindakan Bu-tong-pai yang tergesa-gesa, segera cepat-cepat
meninggalkan tempat itu! Dan akhirnya hanya tinggal Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai
beserta beberapa rombongan kaum sesat saja yang tinggal. Perkumpulan para
pendekar seperti Siauw-lim-pai dan lain-lainnya telah pergi meninggalkan tempat
itu, menganggap bahwa Bu-tong-pai lancang dan tidak mengenal keadaan.
Hal ini
membuat Thian It Tosu marah sekali. Dia memandang ke arah Kwi Hong dengan mata
melotot. Akan tetapi pada saat itu, Keng Han sudah melangkah maju menghadapi
ketua Bu-tong-pai itu dan berkata dengan suara nyaring,
“Bu-tong
Pangcu, saya bernama Si Keng Han. Saya datang bukan untuk segala macam urusan
pemberontakan, melainkan untuk bertanya kepada Bu-tong-pai. Apa sebabnya
Bu-tong-pai memusuhi guruku yang tidak bersalah?”
Thian It
Tosu mengelus-elus jenggotnya. “Siancai, siapakah gurumu?” tanyanya dengan
suara yang parau.
“Guruku
bernama Gosang Lama!”
“Gosang
Lama, Pendeta Lama Jubah Kuning itu? Akan tetapi kami tidak memusuhinya!” jawab
Thian It Tosu, kelihatan bingung sekali.
Thian Yang
Cu yang maju dan melanjutkan keterangan ketuanya. “Gosang Lama tidak ada
sangkut pautnya dengan kami, akan tetapi ia sudah berani melukai beberapa orang
murid kami. Karena itulah kami melawannya dan berhasil mengusirnya dari sini.
Jadi benar ucapan Pangcu tadi, bukan kami yang memusuhi, tetapi Gosang Lama
sendiri. Dan karena engkau muridnya, tentu engkau akan membalaskan kekalahan
gurumu itu!”
Thian Yang
Cu melompat ke depan diikuti Bhok Im Cu dan kedua orang tosu ini berdiri di
depan Keng Han dengan sikap menantang.
“Kalian
mundurlah!” kata Thian It Tosu kepada dua orang murid utamanya, kemudian ia
berdiri dan menghadapi Keng Han. “Gosang Lama yang memusuhi kami dan kami yang
bertanggung jawab atas kekalahannya dari kami. Oleh karena itu, kalau engkau
hendak membalas atas kekalahannya itu, pinto yang akan menghadapimu, orang
muda!”
Keng Han
merasa tidak enak kalau hanya berdiam diri. Bagaimana pun juga, dia harus
menghormati pesan terakhir dari gurunya. Dia telah gagal melaksanakan pesan
gurunya untuk membunuh Dalai Lama, apakah sekarang dia juga harus gagal
memenuhi pesan yang kedua? Setidak-tidaknya, dia kini harus memperlihatkan
sikapnya yang memusuhi Bu-tong-pai seperti diharapkan gurunya.
“Bagus!
Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Bu-tong-pai yang telah mengalahkan
guruku!” katanya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi Thian It Tosu.
“Ha-ha-ha,
siancai...! Walau pun badanku sedang sakit, akan tetapi engkau tidak akan mampu
mengalahkan aku, orang muda. Sebaiknya kalau engkau menyadari kesalahan gurumu
dan tidak menuntut balas agar engkau tidak sampai tewas atau terluka.”
Yo Han
memandang heran. Kenapa Thian It Tosu sekarang bersikap seperti itu?
Kata-katanya bernada angkuh, padahal biasanya Thian It Tosu orangnya penyabar
dan tentu tidak mau melayani tantangan seorang pemuda seperti itu. Dia mulai
merasa tidak senang. Thian It Tosu kini sudah berubah. Agaknya dia telah
terbujuk oleh orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sehingga kini bukan saja
berniat untuk memberontak, akan tetapi juga sikapnya mulai keras.
Di samping
itu, dia juga merasa sayang kalau sampai pemuda itu tewas di Bu-tong-pai, hanya
untuk membela seorang guru yang berada di pihak yang bersalah. Dia pun sudah
mendengar tentang pemberontakan Lama Jubah Kuning di Tibet, maka kalau memang
guru pemuda ini seorang Lama Jubah Kuning, mungkin Lama itulah yang berada di
pihak yang bersalah.
Akan tetapi
dia sudah terlambat karena Keng Han sudah menyerang dengan cepatnya kepada tosu
itu. Namun serangannya dapat dielakkan oleh Thian It Tosu. Pemuda itu menyerang
lagi dan begitu dia memainkan ilmu silatnya, Yo Han hampir berseru saking
kagetnya.
Dia sendiri
tidak mempelajari ilmu silat itu, akan tetapi dia mengenal ilmu silat itu,
karena isterinya juga menguasainya. Itulah Hong-in Bun-hoat, ilmu silat yang
mencorat-coret di udara seperti orang menuliskan huruf dengan gerakan silatnya!
Itulah ilmu keturunan keluarga Pulau Es.
Keng Han
yang maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai, segera melakukan pukulan jarak
jauh dengan tenaga sinkang-nya. Kakek itu menahan dengan kedua tangan pula dan
akibatnya, keduanya terpental ke belakang.
Yo Han makin
terkejut. Dia maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai itu, akan tetapi pemuda
itu mampu membuat ketua itu terdorong ke belakang walau dia sendiri pun juga
terdorong ke belakang.
Sementara
itu, Thian It Tosu juga terkejut bukan main dan menjadi sangat penasaran. Dia
sudah meloncat maju lagi dan kini dia mencabut sebatang pedang yang berkilauan
sinarnya, dan itulah pedang pusaka Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih).
Yo Han
maklum benar betapa bahayanya kalau Thian It Tosu sudah mencabut pedang. Selain
pedang itu merupakan pusaka yang ampuh, juga ketua itu memang mempunyai
keahlian dalam permainan pedang. Maka, tanpa ragu lagi dia lalu melompat dan
berdiri di antara mereka yang hendak berkelahi.
“Harap tahan
dulu!” serunya lantang.
Thian It
Tosu sudah amat marah itu menegur, “Yo-pangcu, apakah engkau hendak turut
mencampuri urusan Bu-tong-pai?”
“Tidak sama
sekali, Totiang. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa tidak semestinya Totiang
melayani pemuda ini. Gurunya boleh jadi bersalah terhadap Bu-tong-pai, tetapi
pemuda ini tidak bersalah apa-apa. Dia hanya ingin membalaskan kekalahan
gurunya dan tidak perlu sampai Totiang mencabut pedang dan membunuhnya!
Bukankah sudah sewajarnya jika yang tua dan yang lebih tinggi tingkatnya
mengalah dan menggunakan kesabaran?”
Thian It
Tosu mengerutkan alis. “Siancai, kata-katamu memang masuk akal, Pangcu. Akan tetapi
engkau tadi tentu melihat dan mendengar sendiri betapa bocah ini yang
menantang, bukan kami yang memulai.”
“Mungkin
karena dia tidak mengerti dan biarlah saya yang mencoba menyadarkannya,
Totiang.”
Setelah
berkata demikian, Yo Han kemudian menghadapi pemuda itu dan sejenak dia
memandang penuh perhatian. Dari sinar mata pemuda itu dia dapat menduga bahwa
pemuda itu bukan orang jahat, melainkan seorang yang pemberani dan keras hati.
“Orang muda,
dengarlah nasehatku baik-baik. Apa yang sedang kau lakukan ini sama sekali
keliru dan menyimpang dari kebenaran.”
Keng Han
mengerutkan alisnya memandang. Dia tadi sudah merasa amat suka kepada Yo Han
yang menentang kehendak Bu-tong-pai yang mengajak memberontak terhadap
pemerintah. Apa bila ayah kandungnya sekarang telah menjadi kaisar, bukankah
berarti pemberontakan itu ditujukan kepada ayahnya? Atau setidaknya
pemberontakan ini akan ditujukan kepada keluarganya karena ayahnya adalah
Pangeran Mahkota. Tentu saja niat memberontak Bu-tong-pai itu sudah membuat hatinya
tak senang dan dia condong menyetujui pendapat Yo Han yang menentang niat itu.
“Paman,
harap Paman tidak turut campur urusan kami. Bagaimana Paman tadi dapat
mengatakan perbuatanku keliru dan menyimpang dari kebenaran? Bukankah memang
sudah selayaknya kalau seorang murid membela gurunya yang sudah mati? Sebelum
meninggal dunia, guru saya memesan agar saya membalaskan permusuhannya dengan
Bu-tong-pai.”
“Membalas
dendam itu sendiri adalah perbuatan yang tidak benar, hanya menurutkan nafsu
kebencian dan amarah. Setelah engkau mendapat keterangan bahwa gurumu berada di
pihak yang bersalah, apakah engkau akan melanjutkan balas dendam mu itu?
Bukankah jika begitu berarti engkau akan menambah beban dosa gurumu? Sepatutnya
engkau menebus kesalahan gurumu dengan perbuatan yang benar, bukan menambah
besar dosa itu dengan perbuatan yang tidak benar. Engkau masih amat muda dan
perlu banyak belajar dari kehidupan, jangan menurutkan nafsu. Apa yang dapat
kau lakukan terhadap perkumpulan Bu-tong-pai yang besar? Ketahuilah, aku
sendiri menjadi saksi bahwa perkumpulan Bu-tong-pai terdiri dari
pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan tidak biasa melakukan kejahatan.”
Kembali Keng
Han merasa terpukul sekali. Nasehat itu hampir sama dengan nasehat yang
diterimanya dari Dalai Lama.
Pada saat
itu, Kwi Hong sudah berada di sampingnya. “Apa yang diucapkan Paman ini semua
benar, Han-ko. Marilah kita pergi dari tempat ini. Arwah suhu-mu tentu akan
mengampunimu kalau dia sudah menginsafi kesalahannya.”
Kwi Hong
menarik tangannya dan Keng Han tidak membantah lagi ketika ditarik pergi oleh
Kwi Hong.
Ada pun Yo
Han merasa senang sekali melihat pemuda itu sudah mau meninggalkan tempat itu.
Dia sendiri lalu memberi hormat kepada Thian It Tosu dan berkata, “Terima kasih
atas undangan Totiang, dan saya mohon diri karena merasa tidak pada tempatnya
kalau saya menghadiri pertemuan ini.” Melihat dua orang tokoh dari Pek-lian-pai
dan Pat-kwa-pai yang tadi menantangnya, dia lalu menambahkan sambil menoleh ke
arah mereka. “Bila masih ada yang merasa penasaran dengan pendapatku tadi dan
hendak menyelesaikan urusan dengan kekerasan, saya dapat melayaninya di kaki
gunung, di luar wilayah Bu-tong-pai.”
Setelah
berkata demikian, Yo Han pun langsung melangkah pergi dan setelah dia pergi,
lebih banyak lagi orang yang meninggalkan tempat itu. Terpaksa sekarang Thian
It Tosu melanjutkan perundingannya hanya dengan orang-orang yang sebagian besar
berasal dari golongan sesat….
“Orang muda,
perlahan dulu!”
Keng Han
yang sedang berjalan bersama Kwi Hong, terkejut dan menahan langkahnya, lalu
memutar tubuhnya. Kiranya yang menegurnya adalah ketua Yo Han yang tadi telah
menasehatinya.
“Ada
keperluan apakah Paman menyusul perjalananku?” tanya Keng Han dengan sikap
hormat.
“Aku sengaja
mengejar karena ada sesuatu yang ingin sekali kubicarakan denganmu. Bukankah
namamu tadi Si Keng Han? Dan Nona ini siapakah?”
“Namaku Kwi
Hong, Paman,” kata Kwi Hong ramah. “Paman berani sekali menentang para
pemberontak itu, untung tadi tidak terjadi perkelahian.”
“Engkau
lebih berani lagi, Nona. Engkau bahkan mengancam mereka semua sehingga dapat
menyadarkan banyak orang.”
“Aku hanya
bicara sebenarnya. Di waktu yang aman ini, kenapa orang bicara tentang
pemberontakan? Jika ketahuan pemerintah, bukankah itu mencari penyakit
namanya?”
“Paman,”
kata Keng Han. “Urusan apakah yang hendak Paman bicarakan dengan aku?”
“Begini,
Keng Han. Benarkah gurumu itu Gosang Lama?”
“Benar
sekali.”
“Akan tetapi
aku melihat gerakan ilmu silatmu tadi sama sekali tidak asing bagiku. Bukankah
engkau tadi menggunakan ilmu silat Hong-in Bun-hoat, ilmu dari keluarga Pulau
Es? Apakah engkau masih keluarga atau murid keluarga Pulau Es?”
“Sama sekali
bukan, Paman. Terus terang saja, aku mempelajari ilmu itu dari Pulau Hantu,
melalui coretan-coretan di dinding goa di sana.”
“Ahhh,
engkau telah mewarisi ilmu yang menjadi pusaka Pulau Es!”
Akan tetapi
tiba-tiba mereka menghentikan bicara mereka karena mereka mendengar gerakan
orang. Dan tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan orang-orang
Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang,
dan dipimpin oleh Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-kauw itu dan seorang tosu
bernama Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai. Di dekat mereka masih terdapat seorang
pemuda yang amat gagah perkasa, tinggi besar dan berwajah tampan, matanya lebar
sekali menambah ketampanan wajahnya yang bundar.
“Yo-pangcu,
engkau tadi menantang kami. Nah, sekarang kami datang untuk mencoba kepandaian
ketua Thian-li-pang!” kata Thian Yang Ji dengan marah.
“Ketua
Thian-li-pang ternyata hanya seorang penakut yang pura-pura menjadi patriot,
tidak berani diajak berjuang melawan penjajah!” kata pula Koai Tosu.
Yo Han
memandang dengan senyum mengejek. Sikapnya yang tenang membuat Keng Han dan Kwi
Hong kagum sekali. Dikepung lima puluh orang lebih masih bisa demikian
tenangnya. Ketua Thian-li-pang ini benar-benar seorang gagah perkasa. Diam-diam
Keng Han mengambil keputusan untuk membela ketua Thian-li-pang ini sekuat
tenaga.
“Mempergunakan
banyak orang untuk menggertak, apakah ini yang dinamakan gagah perkasa?
Mengandalkan pengeroyokan untuk mendapat kemenangan, anak kecil pun bisa dan
terutama orang-orang yang curang sekali!” kata Kwi Hong dengan lantang.
“Gadis
lancang mulut! Tadi pun di sana engkau bicara seakan-akan engkau membela
kerajaan Mancu. Apakah engkau adalah seorang antek atau mata-mata Mancu? Untuk
melawanmu, tidak perlu keroyokan, pinto sendiri saja pun cukup untuk
melawanmu!” kata Koai Tosu menantang gadis itu.
“Bagus!
Siapa takut kepada segala macam tosu bau? Jubahmu saja seperti tosu dan
pertapa, akan tetapi siapa tidak tahu di dalamnya? Engkau seperti buaya
berkulit ikan emas, di luarnya bagus di dalamnya busuk. Aku tidak takut
kepadamu!” kata Kwi Hong sambil mencabut pedangnya. Gadis yang pakaiannya serba
biru ini lalu membusungkan dada dan memandang dengan mata bersinar-sinar.
“To-yu,
hati-hatilah. Melihat hiasan rambut gadis itu, agaknya dia yang disebut orang
Si Bangau Emas!” kata Thian Yang Ji memperingatkan kawannya.
“Wah,
kebetulan sekali kalau begitu. Benarkah engkau Si Bangau Emas, Nona?” tanya
Koai Tosu.
“Kalau
benar, mau apa? Lekas engkau minggat dari sini kalau takut!”
“Ha-ha-ha, masih
muda tetapi mulutnya tajam sekali dan lagaknya seperti seekor naga. Bagus, mari
kita main-main sebentar, Nona!” Koai Tosu juga mencabut pedangnya.
Kwi Hong
segera menyerang dengan hebatnya. Demikian ganas serangannya sehingga lawannya
terkejut dan tidak berani memandang ringan lagi. Apa lagi ketika Kwi Hong
memainkan Ngo-heng Sin-kiam, tosu itu segera terdesak dan terpaksa harus
memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang dahsyat sekali
itu.
Sementara
itu, Thian Yang Ji berkata kepada Yo Han, “Yo-pangcu, mari kita selesaikan
urusan di antara kita dengan senjata!” kata-kata ini dilanjutkan dengan
tangannya yang cepat mencabut pedangnya.
“Majulah,
Totiang. Senjataku hanyalah kaki tanganku yang diberikan Tuhan kepadaku!” jawab
Yo Han dan memang ketua Thian-li-pang ini tidak pernah menggunakan senjata.
Selain dia mengandalkan kaki tangannya, juga ilmu kepandaiannya sudah
sedemikian tingginya sehingga apa pun yang dipegangnya dapat dijadikan senjata!
“Bagus,
engkau sendiri yang mengatakan, jangan bilang bahwa pinto curang!” kata tosu
itu sambil menyerang dengan pedangnya, namun dengan mudahnya Yo Han mengelak
sambil membalas serangan tosu yang cukup lihai itu.
Keng Han
melihat betapa lihainya lawan Kwi Hong sehingga dia merasa khawatir akan
keselamatan nona ini.
“Hong-moi,
biarkan aku saja melawan tosu itu!” katanya.
Akan tetapi
pemuda tinggi besar dan gagah itu sudah maju menghadapinya. “Sobat, engkau
adalah lawanku. Mari majulah kalau engkau memang memiliki kegagahan!”
Sebetulnya
Keng Han enggan berkelahi dengan orang itu tanpa alasan apa pun. Maka dia
ragu-ragu dan tidak menjawab, hanya memperhatikan Kwi Hong yang sebenarnya
bertemu lawan yang tangguh. Meski gadis ini memiliki ilmu pedang Ngo-keng
Sin-kiam yang ampuh, akan tetapi ia kalah pengalaman sehingga setelah tosu itu
mulai mengenal gerakannya, gadis itu berbalik terdesak mundur.
Oleh karena
tidak ditanggapi oleh Keng Han, pemuda itu juga memperhatikan jalannya
perkelahian antara Yo Han dan Thian Yang Ji. Alisnya berkerut melihat betapa Yo
Han mempermainkan Thian Yang Ji. Meski ketua Thian-li-pang itu hanya bertangan
kosong saja dan Thian Yang Ji bersenjata pedang, namun jelas nampak betapa
dalam belasan jurus saja Thian Yang Ji mulai terdesak hebat. Melihat ini, pemuda
itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan melompat dekat lalu menyerang Yo Han
dengan pukulan jarak jauh yang mendatangkan angin besar.
Yo Han
tekejut dan menangkis. Tangkisan itu membuat dia mundur dua langkah, akan
tetapi pemuda itu pun terhuyung mundur. Melihat pemuda itu melakukan
pengeroyokan, Keng Han menjadi penasaran.
“Jangan
curang!” Keng Han berseru dan dia lalu menyerang pemuda itu.
Pemuda itu
menangkis dan kembali dua tenaga yang dahsyat bertemu. Akibatnya Keng Han
terdorong mundur, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung. Keduanya sama-sama
terkejutnya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat sekali.
Kini
pertandingan menjadi tiga pasang. Kwi Hong masih terdesak oleh Koai Tosu yang
lihai sekali ilmu pedangnya. Untung Kwi Hong sudah menguasai Ngo-heng Sin-kiam
sehingga ia masih mampu melindungi dirinya sehingga pedang lawan tak pernah
dapat menembus pertahanannya. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia roboh.
Sebaliknya,
perkelahian antara Yo Han melawan Thian Yang Ji justru membuat tosu itu
terdesak. Walau pun dia berpedang dan Yo Han tidak, namun dia hampir tidak kuat
lagi menghadapi ilmu Bu-kek Hoat-keng dari Yo Han yang amat hebat.
Akan tetapi
yang paling ramai dan dahsyat adalah pertandingan antara Keng Han dan pemuda
itu. Mereka ternyata memiliki tenaga yang seimbang. Keng Han memainkan
ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Pulau Hantu, yaitu Hong-In Bun-hoat dan
Toat-beng Bian-kun, bahkan mengerahkan tenaga panas dan dingin yang berada di
tubuhnya.
Akan tetapi,
pemuda itu masih dapat mengimbanginya dengan ilmu silat yang aneh dan
bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Bila saja Keng Han tidak
memiliki sinkang yang kuat sekali berkat latihan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im
Sinkang, tentu dia terpengaruh oleh bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan
sihir itu.
Tiba-tiba
Thian Yang Ji yang terdesak itu berseru dan anak buahnya maju mengeroyok,
demikian pula dengan anak buah Koai Tosu. Lima puluh orang maju mengeroyok tiga
pendekar itu.
Tentu saja
Yo Han, Kwi Hong dan Keng Han harus mengerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya menghadapi pengeroyokan itu. Mereka sudah merobohkan beberapa orang
pengeroyok, akan tetapi karena lawan mereka tangguh sekali, pengeroyokan itu
membuat mereka sibuk juga. Terutama Kwi Hong.
Menghadapi
Koai Tosu seorang saja ia sudah repot, apa lagi dikeroyok belasan orang. Ia
mulai main mundur dan lelah karena harus menangkis sekian banyak senjata yang
menyerangnya. Keadaan gadis itu mulai gawat, sedangkan Yo Han dan Keng Han
tidak berdaya menolongnya karena mereka sendiri repot dengan pengeroyokan itu.
Pada saat
yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali, dan
tidak lama kemudian muncul pasukan pemerintah yang tidak kurang dari seratus
orang banyaknya. Seorang perwira yang memimpin pasukan itu berseru, “Tuan
puteri dalam bahaya! Cepat selamatkan beliau!”
Dia sendiri
sudah menyerbu dengan pedangnya membantu Kwi Hong yang dikeroyok oleh banyak
orang. Para anak buah pasukan itu pun serentak menyerbu dan kini anak buah
Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai berbalik menjadi kalang kabut dan langsung
terdesak hebat oleh pasukan yang dua kali lipat banyaknya itu.
Melihat ini,
Thian Yang Ji terkejut bukan main. Ia cepat memutar pedangnya, melompat mundur
dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, ia berteriak, “Gulam Sang,
cepat melarikan diri!”
Pemuda
tinggi besar yang masih melawan Keng Han mendengar seruan ini, kemudian
melompat ke belakang. Sementara Keng Han sendiri tertegun mendengar suara Thian
Yang Ji tadi sehingga dia tidak mengejar. Gulam Sang?
Dia teringat
akan pesan mendiang gurunya, Gosang Lama supaya kelak bekerja sama dengan
putera suhu-nya itu yang bernama Gulam Sang! Jadi pemuda tinggi besar itu
putera gurunya! Menurut penjelasan Dalai Lama, putera gurunya itu telah menjadi
murid Dalai Lama. Tidak mengherankan bila dia mempunyai ilmu yang tinggi
sehingga dalam pertandingan tadi dia tidak mudah mengalahkannya.
Koai Tosu
juga melarikan diri bersama Thian Yang Ji, lalu diikuti teman-temannya yang
belum roboh. Dalam sekejap saja kedua orang ini sudah lenyap dari pandangan.
“Jangan
kejar!” teriak Kwi Hong kepada komandan pasukan itu.
Perwira itu
menghampiri Kwi Hong dan memberi hormat. “Tuan Puteri tidak apa-apa? Tidak
terluka?”
“Sama sekali
tidak. Untung kalian muncul membantu, jika tidak tentu kami akan celaka.
Bhok-ciangkun, bagaimana engkau dapat muncul bersama pasukanmu di sini?”
“Kami mendapat
tugas dari Yang Mulia Pangeran Mahkota untuk mencari Tuan Puteri. Sudah sebulan
lebih kami mencari dan kebetulan saja kami mendapatkan Paduka di sini. Kami
pikir bahwa mungkin sekali Paduka pergi ke Bu-tong-san.”
Sementara
itu, Yo Han dan Keng Han mendengar semua percakapan itu. Wajah Keng Han berubah
pucat saking kagetnya mendengar ucapan panglima itu terhadap Kwi Hong. Tuan
puteri? Pangeran Mahkota? Apa artinya ini? Jadi Kwi Hong adalah seorang puteri
istana dan masih ada hubungannya dengan Pangeran Mahkota?
Yo Han juga
tercengang dan dia lalu memberi hormat kepada Kwi Hong. “Kiranya Nona adalah
Tuan Puteri dari istana. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat.”
“Ahh, Paman
Yo. Puteri atau bukan aku tetap saja sama, dan aku yang berterima kasih. Kalau
tidak ada Paman tadi, tentu aku sudah celaka di tangan mereka.”
Keng Han
memandang gadis itu dan Kwi Hong juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu
pandang, dan melihat pemuda itu diam saja tanpa mengeluarkan suara, Kwi Hong
tersenyum dan berkata, “Han-ko, mengapa engkau diam saja?”
“Engkau...
engkau adalah puteri istana... dan aku...” Keng Han tidak dapat melanjutkan
kata-katanya.
Dia tadinya
hendak berkata bahwa dia pun putera Pangeran Mahkota. Untung dia masih ingat
dan menyimpan rahasianya. Sebelum dia bertemu dengan ayahnya, dia tidak akan
membuka rahasianya.
“Benar, aku
memang puteri Pangeran Mahkota dan namaku Tao Kwi Hong, lalu kenapa, Han-ko?
Aku masih Kwi Hong yang biasa itu bagimu.”
“Akan
tetapi, Tuan Puteri...”
“Aihh, sebut
aku Hong-moi seperti biasa, Han-ko. Kita masih tetap sahabat, bukan?”
“Benar,
Hong-moi, kita tetap bersahabat.”
Pada saat
itu, Bhong-ciangkun memberi hormat kepada Kwi Hong dan berkata, “Sudah berbulan
Paduka meninggalkan istana. Yang Mulia Pangeran amat gelisah, maka harap Paduka
segera mengikuti kami untuk pulang ke kota raja.”
“Itu benar
sekali, Tuan Puteri. Sebaiknya Tuan Puteri segera mengikuti pasukan ini dan
pulang ke kota raja,” kata Yo Han yang ikut merasa tidak enak sekali. Tanpa disengaja,
dia malah melindungi puteri pangeran penjajah!
Keng Han
merasa tidak enak jika diam saja. “Memang itu yang paling tepat, Hong-moi.
Orang tuamu tentu cemas memikirkan keselamatanmu.”
“Engkau
ikutlah dengan kami ke kota raja, Han-ko. Bukankah dulu engkau mempunyai niat
melihat-lihat kota raja?”
“Tidak
sekarang, Hong-moi. Lain kali bila aku ke kota raja, aku tentu akan mencarimu.”
“Benarkah,
Han-ko? Datang saja ke istana ayahku. Ayahku adalah Pangeran Mahkota dan semua
orang tahu di mana istananya.”
Keng Han
merasa terharu. Jangan-jangan gadis ini adalah saudaranya seayah!
“Baik,
Hong-moi.”
Kwi Hong
lalu diberi seekor kuda yang bagus dan berangkatlah ia dikawal pasukan itu
meninggalkan kaki Pegunungan Bu-tong-san. Setelah gadis itu pergi dan derap
kaki kudanya tidak terdengar lagi, bayangannya tidak nampak lagi, Keng Han
terharu dan menghela napas panjang.
Yo Han
agaknya mengerti akan isi hati pemuda itu dan dia pun menghibur, “Ada waktunya
berpisah dan ada waktunya bertemu, Sobat Muda. Aku melihat gadis itu baik
sekali padamu sehingga kelak kalian tentu akan dapat saling berjumpa kembali.”
Tiba-tiba
timbul keinginan di dalam hati Keng Han untuk minta keterangan dari Yo Han ini.
Sebagai ketua Thian-li-pang dan seorang pendekar kenamaan yang dihormati, tentu
Yo Han mengetahui banyak tentang keluarga kaisar.
“Paman Yo,
kalau boleh aku bertanya, siapakah nama Pangeran Mahkota itu?”
Pertanyaan
yang diajukan sambil lalu ini tidak menarik kecurigaan Yo Han dan dianggap
pertanyaan biasa seorang yang ingin tahu karena Pangeran Mahkota itu ayah dari
gadis yang menjadi sahabat pemuda itu.
“Namanya
Pangeran Mahkota Tao Kuang.”
Keng Han menyimpan
keheranannya. Tadinya dia menduga bahwa Pangeran Mahkota bernama Tao Seng.
Ataukah ayahnya itu kini telah menjadi kaisar?
“Dan
siapakah nama kaisar sekarang, Paman?”
“Ahh, engkau
belum tahu? Agaknya engkau belum banyak merantau di dunia ramai, Keng Han. Nama
kaisar adalah Kaisar Cia Cing.”
Kembali Keng
Han termenung. Kalau kaisar dan putera mahkotanya bukan ayahnya, lalu di mana
adanya ayahnya dan apa pula kedudukannya? Dengan amat hati-hati agar jangan
sampai kentara bahwa dia menaruh perhatian, dia lalu bertanya,
“Memang saya
belum banyak merantau di dunia ramai sehingga tidak tahu apa-apa, Paman. Tetapi
saya pernah mendengar tentang seorang pangeran bernama Pangeran Tao Seng.
Adakah nama pangeran yang demikian itu?”
“Pangeran
Tao Seng?” Yo Han mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Kalau aku tidak salah,
dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng itu bersama Pangeran Tao San telah
menerima hukuman buang. Mereka dihukum karena berselisih dengan Pangeran
Mahkota Tao Kuang.”
“Ahhh,
dibuang? Ke manakah?”
“Mana aku
tahu? Bahkan mungkin juga dia sudah meninggal dunia sekarang. Orang yang
dihukum amat berat, apa lagi dihukum buang di tempat terasing, jarang yang kuat
bertahan.”
Hampir saja
Keng Han meloncat saking kaget dan sedihnya mendengar ini. Ayahnya yang
disangkanya menjadi pangeran mahkota atau bahkan kaisar itu, telah meninggal
dalam pembuangan!
“Kenapa,
Keng Han? Kenapa engkau menanyakan pangeran itu?”
“Ahh, tidak
apa-apa, Paman. Hanya aku pernah bertemu seorang yang dahulu pernah ditolong
oleh Pangeran Tao Seng, dan dia minta tolong kepadaku untuk menyampaikan
hormatnya kalau aku kebetulan bertemu dengannya.”
“Ohh,
begitukah? Keng Han, aku tertarik sekali melihat engkau ketika tadi berkelahi
melawan pemuda tinggi besar yang lihai sekali itu. Engkau dapat menahan
pukulannya dan engkau menggunakan ilmu-ilmu Pulau Es. Agaknya aku sempat
melihat engkau mempergunakan ilmu Toat-beng Bian-kun pula. Benarkah?”
Keng Han
juga kagum sekali. Orang ini dapat mengenal ilmu pukulannya, padahal dia
sendiri dalam keadaan sedang dikeroyok oleh banyak orang. “Benar, Paman. Memang
di Pulau Hantu itu aku menemukan dua ilmu silat itu yang kupelajari dengan
tekun.”
“Dan
tenagamu itu! Coba kau terima pukulanku ini, Keng Han!”
Yo Han
segera mendorongkan kedua tangannya ke arah Keng Han. Serangkum angin yang
dahsyat lantas menyambar sehingga Keng Han amat terkejut. Cepat dia menerima dengan
kedua tangannya dan secara otomatis dua hawa yang berlawanan di dalam tubuhnya
bekerja.
“Wuuuttttt...
dessss...!” Keduanya terdorong ke belakang dan Yo Han berseru kaget.
“Ahh,
bukankah kedua tanganmu itu tadi menggunakan tenaga Hwi-yang Sinkang dan
Swat-im Sinkang?”
Karena sudah
terlanjur ketahuan, terpaksa Keng Han membenarkan. “Memang aku juga mempelajari
sinkang itu dari coretan di dinding goa.”
“Bukan main!
Kalau begitu engkau benar-benar telah mewarisi pusaka Pulau Es, Keng Han!
Berhati-hatilah engkau dan pergunakan ilmu-ilmu itu untuk kebaikan. Ketahuilah
bahwa keluarga para pendekar Pulau Es adalah para pendekar yang gagah perkasa.
Kalau engkau keliru menggunakan ilmu-ilmu itu ke arah kejahatan, pasti mereka
semua akan mencari dan membinasakanmu. Ilmu-ilmu pusaka Pulau Es tidak boleh
digunakan untuk kejahatan.”
“Semoga
Tuhan menghindarkan aku dari perbuatan jahat, Paman!” Keng Han berkata penuh
semangat. Ia adalah putera bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya
adalah puteri kepala suku Khitan, bagaimana mungkin dia bisa menjadi seorang
penjahat?
Mereka lalu
berpisah. Yo Han kembali ke Thian-li-pang di Bukit Naga dan Keng Han
melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi dia menjadi bingung. Bagaimana kalau
ayahnya benar-benar telah tewas seperti diduga oleh Yo Han tadi?
Bagaimana
pun juga, dia harus menyelidiki ke kota raja dan kalau benar ayahnya telah
mati, dia harus membalas kematian ayahnya itu! Pantas selama ini ayahnya tak
pernah menengok ibunya. Kiranya ia telah dihukum buang. Dua puluh tahun yang
lalu, jadi tidak lama setelah ayahnya meninggalkan ibunya.
Keng Han
berjalan dengan wajah muram. Dia tengah teringat kepada Kwi Hong. Harus
diakuinya bahwa dia tertarik sekali pada Kwi Hong yang bersikap amat baik
kepadanya. Hampir dia menduga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu.
Tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka. Kwi Hong adalah Tao Kwi
Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu
tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh. Makin dikenang semakin
sedih hatinya.
Selagi dia
berjalan perlahan-lahan, tidak peduli ke mana dia pergi asal ke timur,
tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki orang. Cepat dia
menyelinap dan bersembunyi ke balik semak belukar. Tak lama kemudian dia
melihat dua orang kakek berjalan dengan langkah panjang. Salah seorang di
antara mereka segera dikenalnya sebagai kakek yang dahulu pernah memukulnya
ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Kakek raksasa berambut putih itu tidak
akan pernah dilupakan.
Ada pun
kakek kedua adalah seorang berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus,
tangan kanan memegang sebatang dayung baja dan lengan kirinya memanggul tubuh
seorang wanita yang pakaiannya serba putih dan mukanya tertutup topeng sutera
putih pula. Jantung Keng Han berdebar tegang! Itulah gadis berpakaian putih
yang menjadi sumoi dari Bi-kiam Niocu! Jelas bahwa gadis itu telah tertotok.
Tubuhnya amat lemas ketika dipanggul oleh kakek tinggi kurus itu.
Kakek yang
usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu memang benar adalah Swat-hai Lo-kwi,
kakek yang dahulu bertemu dengan Keng Han di Pulau Hantu. Ada pun kakek kedua
yang menawan Souw Cu In, gadis berpakaian putih itu adalah Tung-hai Lo-mo.
Kedua orang kakek ini sedang berjalan seiring menuju ke Bu-tong-san.
Bagaimana
gadis berpakaian putih itu sampai jatuh ke tangan Tung-hai Lomo? Gadis itu
adalah murid Ang Hwa Nio-nio, murid ke dua. Akan tetapi karena ia lebih
berbakat dan lebih disayang oleh Ang Hwa Nio-nio maka dalam hal ilmu silat, ia
justru lebih lihai dari suci-nya, Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Niocu. Akan
tetapi, ia yang begitu lihai bagaimana sampai dapat ditawan dua orang kakek
datuk sesat itu?
Terjadinya
tadi pagi. Ketika itu Souw Cun In sedang berjalan seorang diri dan melewati
sebuah dusun. Di dusun itu sedang diadakan keramaian karena ada pesta
pernikahan di rumah kepala dusun. Tentu saja semua penduduk dusun itu
berdatangan sehingga suasana dusun itu ramai dan meriah sekali.
Selagi orang
ramai merayakan pesta itu, datanglah dua orang kakek memasuki tempat pesta.
Mereka berdua disambut sebagai tamu walau pun tidak ada yang mengenalnya, dan
memang demikianlah kebiasaan di dusun itu. Setiap kali ada pesta, siapa pun
yang datang akan dianggap sebagai tamu dan disuguhi hidangan. Dua orang kakek
itu bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo. Dasar dua orang datuk
sesat, mereka tidak merasa puas hanya dilayani sebagai tamu biasa.
“Hai, tidak
tahukah kalian siapa yang datang ini? Kami adalah dua orang datuk dan kami
minta pelayanan istimewa. Hayo keluarkan arak pengantin yang terbaik dan
hidangan yang paling lezat, kemudian sepasang pengantin harus melayani kami
makan minum!” Demikianlah kata Tung-hai Lo-mo yang berwatak mata keranjang itu.
Swat-hai Lo-kwi hanya tertawa saja melihat ulah kawannya.
Tentu saja
suasana menjadi gempar. Tuan rumah, si kepala dusun, datang menemui mereka dan
berusaha untuk membujuk mereka supaya jangan membuat kacau pesta pernikahan.
Mereka akan dilayani sebagai tamu terhormat seperti yang lain.
“Tidak,
pengantin wanita harus melayani kami makan minum!” Tung-hai Lomo berkata dengan
nada membentak.
Kepala dusun
itu menjadi marah. Bersama beberapa orang pemuda dia menghampiri dua orang tua
itu dan berkata dengan suara tegas.
“Kami tidak
bisa menuruti kehendak kalian yang tidak pantas itu. Kalau mau, terimalah
pelayanan kami apa adanya, atau pergi dari sini dan jangan menimbulkan
kekacauan!”
Lo-mo
menoleh kepada Lo-kwi. “Mereka belum mengenal siapa kita, karena itu berani
sembarangan. Mereka harus dihajar agar mengenal siapa kita!”
Kedua orang
kakek itu lalu menerjang maju dan kepala dusun bersama enam orang pemuda itu
sudah terlempar ke sana sini!
Orang-orang
muda di dusun itu menjadi sangat marah. Mereka lalu maju mengeroyok, akan
tetapi hasilnya mereka sendiri yang terlempar malang melintang terkena tamparan
dan tendangan kakek itu.
Pada saat
itu terdengar bentakan nyaring tapi lembut. “Dari mana datangnya dua orang
kakek yang begini jahat?” Dan muncullah seorang gadis berpakaian putih yang
wajah bagian bawahnya tertutup kain putih pula. Demikian cepat gerakannya
sehingga tidak ada orang yang melihatnya datang.
Lo-kwi dan
Lo-mo juga ikut menengok dan menghadapi gadis itu. Mereka tertawa dan Lo-mo
berkata, “Haa! Mengapa gadis secantik kamu menutupi mukamu dengan kain? Engkau
pun harus melayani kami makan minum bersama mempelai wanita, jadi ada dua orang
pelayan untuk kami berdua.”
“Ji-wi
(kalian berdua) tentulah termasuk datuk yang tingkatnya sudah tinggi dalam ilmu
silat. Mengapa masih tidak malu mengganggu orang dusun? Harap Jiwi menghentikan
perbuatan yang akan mencemarkan nama besar Ji-wi sendiri.” Gadis itu berkata
lagi. Sepasang matanya yang tidak ditutupi itu nampak bening dan bersinar tajam
menyapu kedua orang datuk sesat itu.
“Nona,
siapakah engkau? Apa lagi baru seorang gadis muda sepertimu, bahkan kalau
gurumu sendiri datang ke sini, kami tidak akan gentar menghadapinya!”
“Guruku
adalah seorang pendeta wanita bernama Ang Hwa Nio-nio. Jika beliau melihat
perbuatan kalian, kalian tentu tidak akan diberi ampun!”
Dua orang
kakek itu bangkit berdiri. “Aha, kiranya murid Ang Hwa Nio-nio?” seru Lo-kwi.
“Bagus, kini aku mendapat kesempatan baik untuk membalas penghinaan yang pernah
kuterima dari Ang Hwa Nio-nio!”
“Dan Nona
ini tentu cantik luar biasa, sayang kalau dilewatkan begitu saja!” kata Lo-mo
sambil menyeringai.
“Kiranya
kalian adalah orang-orang yang sesat dan memang patut diberi hajaran!” kata
gadis itu yang bukan lain adalah Souw Cu In yang kebetulan lewat di dusun itu.
“Lo-kwi,
biarkan aku yang menangkap gadis ini!” berkata pula Lo-mo yang sudah tergiur
hatinya melihat bentuk tubuh dan juga muka bagian atas dari Souw Cu In. Lo-kwi
hanya tersenyum dan menenggak arak dari guci yang berada di atas meja.
Tung-hai
Lo-mo memandang rendah gadis berkedok itu, maka dia tidak menggunakan dayungnya
yang ia sandarkan pada meja. Dia lalu menerjang dengan kedua tangannya yang
panjang itu, menerkam dari kanan dan kiri. Agaknya dengan sekali tubruk saja
dia hendak menangkap gadis itu. Akan tetapi dia kecelik sama sekali. Tangannya
hanya menerkam angin belaka karena Souw Cu In sudah dapat mengelak dengan
sangat mudah, dan dengan geseran kakinya sudah berada di belakang lawan. Lo-mo
membalik dengan cepat dan kini menyerang lagi dengan pukulan yang dilanjutkan
cengkeraman tangannya.
Souw Cu In
cepat menangkis. Tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental
dan gadis itu langsung membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek
tinggi kurus itu. Lo-mo menjadi terkejut sekali. Tamparan itu keras dan
mendatangkan angin, maka dia lalu meloncat ke belakang untuk menghindarkan
dirinya. Tiba-tiba ada sinar kecil putih meluncur ke arah mukanya. Lo-mo
terkejut dan cepat hendak mengelak, akan tetapi ujung sabuk sutera putih yang
panjang itu masih mengenai pundaknya.
“Prattt...!”
Dan dia
terhuyung ke belakang. Baju di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa
perih. Bukan main marahnya. Disambarnya dayung baja yang disandarkan pada meja
tadi dan kini dia menyerang dengan ganasnya kepada gadis berpakaian putih itu.
Para tamu menjadi geger. Medan pesta menjadi medan perkelahian! Kepala dusun
dan para orang muda yang tadi sempat berkenalan dengan kelihaian Lo-mo hanya
dapat menonton sambil berdoa semoga gadis berpakaian putih itu mendapatkan
kemenangan.
Perkelahian
berlangsung seru dan seimbang. Lo-mo memainkan dayungnya yang terus
menyambar-nyambar. Akan tetapi gadis itu lincah sekali gerakannya sehingga
setiap sambaran dayungnya selalu dapat dihindarkan. Bahkan lecutan sabuk
suteranya yang meledak-ledak itu kadang mengacam kepalanya karena terus
mengirim totokan ke arah jalan-jalan darah di tubuhnya. Biar pun pertandingan
berjalan seimbang, namun karena Lo-mo kalah dalam hal kecepatan bergerak, dia
lebih banyak menerima serangan dan kelihatan terdesak.
Melihat
temannya tidak mampu mengalahkan gadis itu, Lo-kwi tidak mau tinggal diam. Dia
masih mendendam kepada Ang Hwa Nio-nio yang pernah mengalahkannya dalam
pertandingan. Maka kini dia hendak melampiaskan dendamnya kepada murid Ang Hwa
Nio-nio itu. Dia segera maju dan melancarkan pukulannya yang mengandung sinkang
dingin.
Merasa ada
hawa dingin menghantamnya dari samping, Souw Cu In amat terkejut dan maklum
bahwa kakek ke dua membantu temannya. Dia mengelak dengan loncatan ke kiri
sambil memutar sabuk suteranya yang melingkar dan membalik menyerang Lo-kwi.
Akan tetapi Lo-kwi lalu menangkisnya dengan pukulannya yang ampuh sehingga
ujung cambuk itu terpental. Pada saat itu dayung di tangan Lomo telah menyambar
lagi. Souw Cu In mengelak akan tetapi pukulan Lo-kwi kembali menyambar dengan
dahsyatnya. Kembali Cu In melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.
Sebetulnya,
tingkat kepandaian Souw Cu In sudah tinggi sekali dan kalau dibandingkan dengan
Lo-kwi atau Lo-mo, tingkatnya seimbang. Akan tetapi karena kedua iblis tua itu
maju bersama mengeroyoknya, tentu saja Cu In menjadi kewalahan! Akhirnya,
sebuah pukulan dari Lo-kwi menyerempet pundaknya, membuat ia terhuyung dan
kesempatan itu dipergunakan oleh Lo-mo untuk menotoknya sehingga dia menjadi
lemas dan tidak mampu bergerak lagi.
Lo-mo
tertawa puas dan memanggul tubuh yang ramping itu, lalu mengambil sabuk sutera
putih itu dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Cu In.
“Mari kita
pergi dari sini!” katanya kepada Lo-kwi.
Karena
merasa tidak enak bahwa semua orang dusun sudah memusuhi mereka, Lo-kwi
menyambar seguci arak dan segera pergi mengikuti temannya yang sudah lebih
dahulu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Cu In.
“Hei, tunggu
dulu!” berkata Lo-kwi setelah mereka meninggalkan dusun itu. “Untuk apa engkau
menawannya?”
“Heh-heh-heh,
untuk apa? Tentu untuk bersenang-senang. Gadis ini cantik sekali!”
“Bodoh.
Apakah kau tidak mau melihat dulu mukanya yang ditutupi itu? Bukan tidak ada
sebabnya ia selalu menutupi mukanya!” kata Lo-kwi.
Mendengar
ini, Lo-mo lalu menurunkan tubuh Souw Cu In ke atas tanah dan tangannya
menyingkap kedok putih itu. Dia terbelalak dan Lo-kwi tertawa mengejeknya.
“Kalau
begitu, kita bikin mampus saja bocah setan ini. Untuk apa dibawa-bawa?” kata
Lo-mo dengan marah.
“Nanti dulu.
Aku pernah dihina oleh Ang Hwa Nio-nio, pernah dikalahkannya walau pun
selisihnya sedikit saja. Aku ingin membawa muridnya kepadanya untuk
menghinanya.”
“Kalau ia
marah dan menyerangmu?”
“Ha-ha-ha,
sudah kukatakan tadi bahwa aku hanya kalah sedikit saja olehnya. Jika ada
engkau yang membantuku, tentu kita berdua akan mampu membunuhnya dengan amat
mudah!”
“Engkau
hendak membawa aku bermusuhan pula dengannya?” Lo-mo membantah.
“Ehhh,
Kawan. Bukankah kita sudah bersekutu untuk membantu Bu-tong-pai? Kalau kita ini
sekutu, dalam segala hal haruslah bersatu, bukan?”
Lo-mo
menarik napas panjang. “Baiklah, mari kita pergi.”
Dia lalu
mengambil lagi tubuh Cu ln dan memanggulnya, akan tetapi tidak lagi lembut dan
mesra seperti tadi, melainkan dengan kasar dia memanggul tubuh itu. Keduanya
kemudian melanjutkan perjalanan, hendak menuju ke tempat tinggal Ang Hwa
Nio-nio dan Lo-kwi yang menjadi penunjuk jalan.
Demikianlah
mereka tidak tahu bahwa mereka sudah diintai oleh Keng Han yang lalu membayangi
mereka dari belakang. Setelah hari menjadi sore, kedua orang datuk itu
beristirahat di dalam sebuah goa dan mereka menaruh tubuh Cu In di atas tanah,
di ujung goa itu. Kemudian mereka mengeluarkan bekal roti kering dan minum
anggur yang tadi dibawa oleh Lo-kwi dari rumah pengantin.
Keng Han
mendekati mereka. Setelah tiba di balik semak dekat goa, dia lalu mengambil
beberapa buah batu kerikil. Dia membidik dan menyambitkan batu-batu kerikil itu
ke arah tubuh Cu In yang menggeletak di sudut goa. Bidikannya tepat dan dengan
mudah dia sudah membebaskan Cu In dari totokannya.
Gadis ini
terkejut dan juga girang. Dia tahu bahwa ada orang yang menolongnya, telah
membebaskan totokannya dengan sambitan batu-batu kerikil. Akan tetapi karena
kedua tangannya masih terbelenggu sabuknya sendiri, dia pura-pura tak bergerak.
Diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya dan perlahan-lahan dia dapat meloloskan tangannya
dari ikatan sabuknya. Setelah tangannya bebas, ia pun meloncat bangun, sabuk
sutera yang menjadi senjata ampuhnya itu telah berada di tangannya.
Mendengar
gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka
melihat gadis itu telah bebas dan juga telah siap menyerang dengan sabuknya!
Mereka meloncat berdiri dan bersiap pula. Bahkan Lo-mo sudah menyambar dayung
bajanya.
Akan tetapi,
pada saat itu ada bayangan orang melayang dan tahu-tahu sudah berada di depan
goa. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-kwi, kakek raksasa rambut putih yang
dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia segera
menghadapinya.
“Kakek tua,
sebetulnya seorang yang sudah tua sepertimu ini sebaiknya mencari jalan terang
dengan perbuatan-perbuatan yang baik agar kelak mendapat pengampunan dari
Tuhan, bukan malah menumpuk kejahatan!“ kata Keng Han.
Lo-kwi tidak
mengenal Keng Han. Pada saat mereka bertemu dahulu, Keng Han baru berusia lima
belas tahun, masih remaja dan sekarang pemuda remaja itu telah menjadi seorang
pemuda dewasa. Akan tetapi Souw Cu In mengenal Keng Han yang pernah hendak
dibunuh suci-nya. Ia tahu bahwa pemuda itu yang menolongnya, akan tetapi ia pun
menjadi khawatir akan keselamatan pemuda itu. Kalau pemuda itu melawan suci-nya
saja kalah, bahkan diakui murid oleh suci-nya, bagaimana mungkin dia akan
menandingi Swat-hai Lo-kwi?
Maka, untuk
menolong pemuda itu, ia sudah cepat menyerang dengan sabuk suteranya ke arah
Lo-mo sambil berseru, “Sobat, kau cepat lari dari sini!”
Akan tetapi
Keng Han tidak lari, bahkan dia pun lalu menyerang Lo-kwi! Serangannya
mendatangkan angin yang amat kuat sehingga Lo-kwi terkejut dan mengelak,
kemudian membalas dengan pukulannya yang dingin. Menghadapi pukulan dingin ini,
Keng Han menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan hawa panas dari
Hwi-yang Sinkang.
“Wuuuttttt...
desssss...!”
Akibatnya,
tubuh kakek raksasa itu lantas terpental ke belakang. Bukan main kagetnya
Swat-hai Lo-kwi karena ketika tangannya tertangkis tadi, ada hawa yang panas
sekali menyusup ke tubuhnya melalui lengannya sehingga membuyarkan tenaga
dingin yang tadi dikerahkannya. Dia lalu menerjang lagi dengan ilmu silatnya
yang aneh dan Keng Han melayaninya dengan Hong-in Bun-hoat sehingga terjadilah
perkelahian yang seru di antara mereka.
Sementara
itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena kemarahannya kepada
kakek yang tinggi kurus ini. Sabuk sutera putihnya menyambar-nyambar dan
meledak-ledak di atas kepala lawan dengan totokan-totokan yang berbahaya.
Ang Hwa
Nio-nio memang seorang ahli totok yang lihai sekali, dan ia telah menurunkan
ilmu totoknya itu kepada kedua orang muridnya. Hanya bedanya, kalau Siang Bi
Kiok atau Bi-kiam Niocu diajar menotok dengan jari tangan, Souw Cu In melakukan
totokan-totokan dengan ujung sabuk suteranya! Karena kini tidak lagi dibantu
Lo-kwi yang sibuk sendiri melawan pemuda itu, Lo-mo menjadi kewalahan dan
segera terdesak oleh gadis berpakaian putih itu.
Keng Han
juga sama sekali tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya. Ketika lawannya
lengah, sebuah hantaman dengan tangan kirinya mengenai pundak lawan. Tangan
kirinya mengandung Swat-im Sinkang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sinkang
dingin itu kini menggigil kedinginan. Dia menjadi jeri dan berteriak kepada
kawannya.
“Lo-mo, mari
kita pergi!”
Teriakan itu
sudah dimengerti oleh Lo-mo bahwa kawannya itu tak mampu menandingi lawan, maka
dia memutar dayungnya dengan cepat dan dahsyat. Menghadapi serangan dahsyat
ini, terpaksa Cu In mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lo-mo untuk
meloncat dan melarikan diri bersama kawannya.
Cu In yang
masih marah sekali kepada kakek itu hendak mengejar, namun Keng Han berkata,
“Tidak menguntungkan mengejar lawan yang sudah kalah. Apa lagi mereka berdua!”
Mendengar
ini, Cu In tidak melanjutkan pengejarannya. Dia berdiri memandang pemuda itu
dengan sinar matanya yang tajam sambil menggulung kembali sabuk suteranya dan
menyelipkan di pinggangnya.
“Kenapa
engkau membantuku?” Pertanyaan itu pendek akan tetapi seperti suara orang yang
menuntut.
Keng Han
menjadi bingung. “Kenapa? Kenapa, ya? Barangkali karena melihat seorang wanita
sedang ditawan oleh dua orang datuk sesat, atau barangkali juga karena engkau
pernah menyelamatkan nyawaku ketika aku akan dibunuh oleh Bi-kiam Niocu.”
“Aku tidak
menyelamatkanmu, tapi menghindarkan suci dari perbuatan yang keliru. Aku tidak
menghutangkan budi apa pun padamu. Lalu kenapa engkau menolongku? Jawab yang
jelas!” Wanita itu kembali bertanya dengan suara sungguh-sungguh.
“Jawabannya
mudah saja. Melihat seorang wanita ditawan orang jahat, tentu saja aku
menolongnya.”
“Bagaimana
kalau wanita itu bukan aku?”
“Aku tetap
akan menolongnya, tidak peduli orang itu engkau atau siapa pun juga. Sudah
menjadi tugas kewajibanku untuk menolong orang yang tertindas dan menentang
orang yang jahat. Nah, puaskah engkau dengan jawaban itu?”
Souw Cu In
menghela napas panjang, mukanya nampak lega. “Cukup puas. Jadi itu berarti
bahwa engkau menolong tanpa pamrih, bukan menolong aku pribadi, melainkan aku
sebagai wanita yang terancam bahaya.”
“Tentu saja.
Pula, andai kata aku menolong karena engkau, itu pun tidak aneh, bukan? Engkau
pernah menyelamatkan aku, sudah semestinya kalau sekarang aku membalas budi
itu.”
“Tidak!
Jangan kau lakukan itu. Tidak ada budi di antara kita. Aku adalah wanita biasa
bagimu, bukan? Engkau tidak tertarik kepadaku karena aku pernah menolongmu,
atau karena keadaan diriku?”
Keng Han
merasa betapa anehnya pertanyaan wanita ini. Kemudian dia teringat akan
keterangan Bi-kiam Niocu. Guru kedua orang gadis itu adalah nenek yang amat
kejam itu, melarang kedua orang muridnya berhubungan akrab dengan pria. Mereka
dilarang jatuh cinta atau dicinta oleh seorang laki-laki. Kalau ada laki-laki
yang jatuh cinta kepada mereka, mereka harus membunuh pria itu!
Karena
itulah agaknya wanita berkedok ini bertanya kepadanya untuk melihat apakah dia
menaruh perhatian atau jatuh cinta kepadanya. Diam-diam dia bergidik! Kalau dia
mengaku tertarik, mungkin wanita ini akan membunuhnya!
“Engkau aneh
sekali, Nona. Aku menolongmu tanpa pamrih apa pun!”
Mendengar
jawaban yang tegas itu, baru Souw Cu In kelihatan tenang. Matanya berseri dan
sinarnya tidak setajam tadi, melainkan lembut.
“Siapakah
namamu?”
“Namaku Si
Keng Han.”
“Jadi engkau
telah menjadi murid suci-ku?”
“Benar, subo
mengajarkan ilmu menotok kepadaku.”
“Kalau
begitu aku ini su-i-mu (bibi gurumu) maka sudah semestinya engkau menyebut bibi
guru kepadaku.”
“Akan tetapi
engkau masih begini muda, tidak pantas aku menyebut bibi guru!”
“Keng Han,
engkau murid suci-ku, bukan? Apakah suci-ku sudah begitu tua sehingga ia
menjadi gurumu?”
Keng Han
teringat dan dia pun memberi hormat sambil berkata, “Baiklah, Su-i!”
“Bagaimana
engkau tadi dapat melihat aku dibawa dua orang datuk itu? Engkau hendak pergi
ke manakah?”
“Aku sedang
melakukan perjalanan ke timur, ke kota raja, dan tadi aku melihat kedua orang
datuk itu lewat. Melihat mereka menawanmu, aku lalu membayangi mereka dan
setelah mereka tiba di sini, aku turun tangan menolongmu.”
“Pantas
engkau pandai membebaskan totokan pada tubuhku, kiranya sudah belajar dari
suci. Akan tetapi, aku lihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci,
mengapa engkau menjadi muridnya? Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka
dan cinta terhadap suci?”
“Tidak sama
sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain
aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo sudah lebih dulu
menunjukkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu.”
“Untung
engkau tidak mencintanya, jika engkau mencintanya berarti engkau harus mati di
tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti
kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu.”
“Aku... aku
tidak berani...!” kata Keng Han ngeri.
Akan tetapi
dia tak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap
Niocu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan
dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi.
“Nah,
sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han,” kata Souw Cu In.
“Su-i,
setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak
mengetahui namamu?”
“Namaku Souw
Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!”
“Su-i,
sungguh berbahaya pergi sekarang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan
kegelapan dalam perjalanan. Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua
orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?”
Gadis itu
nampak membelalakkan matanya dan memandang ke arah depan, lalu alisnya berkerut.
“Lalu bagaimana baiknya?”
“Yang
terbaik adalah melewatkan malam di goa ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu
angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah
Su-i tidak merasa lapar?”
Souw Cu In
termenung. Baru sekarang terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali.
“Begitu pun baik, tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan
makanan?”
“Jangan
khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita
panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya.”
“Aku masih
mempunyai seguci arak,” berkata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan
pakaiannya.
“Kalau
begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang
buruan, Su-i!” Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat.
Dia harus
cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar
baginya untuk memperoleh binatang buruan. Senja menjelang malam itu menjadi
waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang
menarik perhatian Keng Han.
Dia pergi ke
sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan
beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang
berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang
makan dua ekor saja tentu sudah kenyang. Cepat dia pun berlari kembali ke goa
tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun.
“Ini hasil
buruanku, Su-i!” katanya bangga sambil memperlihatkan empat ekor burung yang
sudah mati itu.
Dengan
pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua
bulunya, kemudian menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun.
“Bagaimana
mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui? Tentu rasanya tidak enak. Aku
membawa bumbu untuk itu!” kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan
pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam, merica, bawang dan
lain-lainnya.
Keng Han
merasa girang sekali. Mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu
dipanggangnya. Tercium bau sedap pada saat daging burung itu terpanggang. Tentu
saja yang dapat membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya,
terutama bawangnya.
Sebentar
saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan. Ketika Keng Han
memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis
itu makan daging burung tanpa sedikit pun memperlihatkan mulutnya. Tangannya
yang membawa daging itu ke balik topeng sutera dan yang kelihatan hanya kain
itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan.
Keng Han
merasa penasaran sekali. Ia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita
luar biasa. Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang,
melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi
yang halus dan putih mulus, alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai,
melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang
pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu semua
saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak
nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan
mulut itu tentu indah sekali.
Setelah
makan daging burung panggang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu
membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung
dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han.
“Nah, kau
minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya sebagai penyegar setelah makan.”
Keng Han
tertegun. “Tapi... mana cawannya, Su-i?”
“Cawan?
Untuk apa? Aku tidak mempunyai cawan.”
“Untuk minum
tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?”
“Bodoh!
Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?”
Jantung
dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona
itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula!
“Akan
tetapi, mana aku berani? Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i? Bagaimana aku
berani mengotori dengan minum dari mulut guci?”
Gadis itu
memandang keheranan, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun. “Engkau
ini kenapa? Apakah mulutmu mengandung penyakit? Apakah engkau sedang menderita
sakit batuk yang parah?”
“Tidak,
Su-i.”
“Nah, kalau
begitu minumlah dari mulut guci!”
Jika gadis
itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun
itu, sebaliknya Keng Han bahkan terheran-heran melihat keterbukaan nona itu
yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur itu dari
mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia
mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci,
menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang
janggal.
Kemudian
Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian
kotornya. Ia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu
lantai goa yang paling rata. Kemudian dia baru mempersilakan Cu In untuk duduk
atau rebah di situ.
“Silakan
Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar
goa sambil menjaga agar api unggun tidak padam.”
Cu In
mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian. Kemudian pada waktu ia
dipersilakan mengaso, ia pun mengangguk, lalu bangkit dan melangkah ke dalam
goa. Langkahnya! Alangkah indah lenggangnya, bagaikan seekor harimau betina
melangkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat!
Cu In duduk
di tempat yang sudah dibersihkan itu, kemudian dia merebahkan diri miring
berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah tertidur pulas.
Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur.
Keng Han
merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan
kebahagiaan seperti ini, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong. Dia juga
merasa tertarik dan suka sekali kepada dara itu. Akan tetapi semenjak dia
mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara
sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu.
Kemudian dia
melakukan perjalanan bersama Bi-kiam Niocu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka
sekali kepada Niocu, akan tetapi rasa sukanya itu sekedar bersahahat, bahkan
dia menjadi muridnya. Maka ketika Niocu bertanya tentang cinta, terus terang
dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Niocu sebagai seorang pria mencinta
wanita, melainkan sebagai murid mencinta guru atau seorang sahabat mencinta
sahabatnya.
Dan
sekarang... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik
dengan kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis
itu walau pun hanya semalam!
Keng Han
termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun. Dia sama
sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya dan memandang
kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia
merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain
sekali dari pada pemuda lain.
Kaum lelaki
yang dijumpainya selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan
selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya.
Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari
mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan
pandai membawa diri.
Di samping
itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Tadi sudah
dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi. Pemuda ini memiliki tenaga
sinkang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun,
sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda
yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totokan dari suci-nya! Dan
wajahnya! Sungguh tampan dan gagah.
Mendadak
Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap
pemuda itu.
Tidak! Ia
tidak ingin tertarik kepada pemuda itu. Ia tidak ingin harus membunuh pemuda
itu. Dan ia menghela napas panjang. Ia dan suci-nya sudah bersumpah kepada subo
mereka untuk tidak jatuh cinta, dan kalau ada pria yang jatuh cinta kepada
mereka harus mereka bunuh!
Semua lelaki
jahat, demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka. Semua
lelaki itu jahat dan palsu, bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang
dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia menghisap madu
kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!
Dan, kalau
menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han
juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu hanya merupakan
akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya!
Lewat tengah
malam, Souw Cu In terbangun dari tidur. Ia menggeliat karena tubuhnya terasa
kaku akibat tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar
topeng untuk menahan nguapnya, dan ia bangkit berdiri. Dihampirinya Keng Han
dan ia berkata dengan suara yang kasar.
“Sekarang
engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga,” katanya.
Keng Han
merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia pun lalu
memandang dan berkata. “Tak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku
berjaga di sini sampai malam lewat.”
“Tidak!”
suara Cu In membentak karena dalam perasaannya, sikap baik pemuda ini hanya
akal untuk merayunya saja. “Kau kira aku ini orang macam apa? Engkau sudah
berjaga setengah malaman, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk
berjaga!”
Melihat
sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali. “Kalau
bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk.”
Cu In duduk
di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun. Mereka
saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya. Wajah
yang meski hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa
sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak
rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya!
“Kau melihat
apa?” bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia
menatap wajah itu.
“Tidak
apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam
sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini.”
“Tidak, aku
tidak mau tidur.”
“Kalau
begitu, kita berdua tidak tidur,” kata Keng Han bersikeras.
“Engkau
bandel!”
“Bukan cuma
aku yang bandel.”
Keduanya
diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan
kayu kering. Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah
Niocu juga pernah berkata betapa sumoi-nya ini lebih kejam darinya? Akan tetapi
dia tak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin
berhati kejam.
“Engkau
berasal dari mana?” tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu
saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian.
Terhadap
Souw Cu In, entah apa sebabnya, Keng Han tidak ingin menyembunyikan rahasianya.
“Aku berasal dari daerah Khitan.”
“Engkau
orang Khitan?”
“Peranakan
Khitan. Ibuku orang Khitan, tapi ayahku orang Han.” Ia masih belum berani
mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu.
“Pantas. Aku
sudah menduga bahwa engkau seorang peranakan. Di mana orang tuamu sekarang?”
“Ibuku masih
di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku...”
“Bagaimana
dengan ayahmu? Sudah matikah?”
Keng Han
menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. “Aku belum pernah melihat
ayahku. Semenjak aku di dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu
dan sejak itu tidak pernah kembali.”
Souw Cu In
melempar sepotong kayu di api unggun sehingga bunga-bunga api terbang membubung
ke atas.
“Huh!”
katanya gemas. “Benar juga kata subo. Lelaki adalah makhluk yang palsu dan
kejam!”
“Akan tetapi
aku memang sedang mencari ayahku, Su-i. Dia harus menjelaskan kenapa dia tidak
pernah pulang menengok ibu. Kalau memang benar dia telah melupakannya dan
mengkhianatinya, aku sendiri yang akan menghajarnya!”
“Hemmm, apa
lagi yang terjadi kalau bukan ayahmu bertemu dengan wanita lain yang lebih
cantik lalu ayahmu mengawini wanita itu dan melupakan ibumu?”
“Belum
tentu. Kurasa ayahku tidak sejahat itu! Akan tetapi, aku ingin mencarinya
sampai dapat! Dan engkau sendiri, Su-i. Maukah engkau bercerita tentang dirimu?
Dari Niocu aku sudah tahu bahwa engkau juga murid Ang Hwa Nio-nio, dan bahwa
engkau pun memiliki pendirian yang sama dengan Bi-kiam Niocu tentang pria.
Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Maukah engkau bercerita?”
“Hemm, untuk
apa bercerita tentang diriku padamu?” Sepasang mata itu menatap tajam penuh
selidik.
Keng Han
menghela napas panjang. “Bukan apa-apa, Su-i. Akan tetapi engkau adalah bibi
guruku, dengan adanya hubungan ini, tidak pantaskah kalau aku mengenalmu lebih
baik lagi? Agar engkau tidak menjadi seperti orang asing lagi bagiku.”
“Engkau
sudah mengetahui namaku.”
“Ya, aku
masih ingat. Nama Su-i adalah Souw Cu In, hanya itu yang kuketahui.”
Aku juga
seperti engkau. Hidup keluargaku tidak bahagia. Ayah ibuku telah meninggal
dunia, terbunuh musuh. Ketika itu aku baru berusia lima tahun, lalu aku diambil
murid oleh subo. Nah, hanya begitu saja riwayatku. Aku pun sedang mencari-cari
seseorang untuk membalas kematian ayah ibuku.”
“Musuh besar
yang membunuh ayah ibumu itu?”
“Benar.
Ahhh, sudahlah. Kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu?” Dia seperti
menegur diri sendiri. “Oh ya, ke mana engkau hendak mencari ayahmu itu, Keng
Han?”
Mendengar
gadis itu tiba-tiba membelokkan arah percakapan, tahulah Keng Han bahwa gadis
itu tidak mau lagi bercerita tentang dirinya. Maka dia pun menjawab sejujurnya,
“Aku hendak mencari ayahku di kota raja.”
“Ahhh...!”
“Kenapa Su-i
terkejut mendengar itu?”
“Tujuan
perjalananku juga ke kota raja!”
Bukan main
girangnya hati Keng Han mendengar ini.
“Kalau
begitu kebetulan sekali, Su-i. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
“Tidak!
Besok pagi kita harus berpisah, melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Jika subo
mengetahui, baru malam ini saja kita berada di sini berdua, sudah cukup bagi
subo untuk menuduh yang tidak-tidak dan membunuhku!”
“Gurumu amat
kejam terhadap laki-laki, Su-i!” Keng Han memprotes.
“Tidak!
Guruku sudah sangat adil. Engkau tidak tahu betapa hatinya telah dihancurkan,
kehidupannya sudah dilumatkan, oleh kaum pria! Ia hanya membalas dendam! Aku
pun mencari musuh besarku itu, juga sekalian untuk mencari musuh besar yang
dulu telah menghancurkan kebahagiaan hidup guruku. Orangnya sama!”
“Ahhh...!”
Keng Han
bukan hanya terkejut mendengar ucapan itu, akan tetapi dia juga terkejut
mendengar suara lain, suara gerakan orang-orang di sekitar mereka! Akan tetapi
karena malam itu gelap sekali dan api unggun itu tidak terlalu besar, dia tidak
melihat apa-apa.
“Engkau
dengar tadi?” Souw Cu In bertanya. Keng Han mengangguk dan keduanya lalu
waspada.
Tiba-tiba
terdengar ledakan-ledakan keras di sekitar mereka. Mereka terkejut dan cepat
meloncat berdiri, tidak tahu harus berbuat apa karena musuh masih belum nampak
dan ledakan-ledakan masih terjadi di sekeliling mereka. Agaknya musuh menyerang
mereka dengan bahan ledakan yang mengeluarkan asap tebal.
Kedua orang
itu tidak berani sembarang bergerak karena khawatir kalau-kalau diserang musuh
yang tidak kelihatan. Akan tetapi tiba-tiba keduanya mencium bau keras sekali
dan Souw Cu In berseru.
“Tahan
napas...!”
Tetapi sudah
terlambat. Keduanya sudah menghisap asap terlalu banyak dan mereka
terbatuk-batuk, lalu roboh terkulai dan pingsan. Kiranya bahan peledak itu
mengandung racun pembius yang kuat sekali.
Tubuh Keng
Han memang sudah kebal terhadap racun, berkat dia makan daging ular merah. Akan
tetapi yang kebal adalah tubuhnya sehingga andai kata dia terkena makan racun
atau dilukai oleh racun, tentu hawa beracun dalam tubuhnya akan menolak dan
membuatnya kebal. Akan tetapi sekali ini dia terkena racun pembius berupa asap
yang memasuki paru-parunya, maka dia pun tidak dapat bertahan dan roboh pingsan
seperti Souw Cu In.
Beberapa
bayangan orang yang memakai kedok tebal berkelebatan memasuki tabir asap itu
dan menghampiri kedua orang yang sudah pingsan itu. Akan tetapi ketika empat
orang itu menghampiri Keng Han dan Cu In, Cu In melompat dan dua orang roboh
tewas seketika terkena pukulan Tok-ciang (Tangan Beracun).
Kiranya Cu
In belum pingsan seperti keadaan Keng Han. Ketika wanita ini tahu bahwa ada
musuh menggunakan asap beracun, ia meneriaki Keng Han, akan tetapi Keng Han yang
terlambat. Ia sendiri baru sedikit menghisap asap beracun. Untuk menyelamatkan
diri, ia menjatuhkan diri agar tidak terpengaruh asap yang membubung ke atas.
Setelah ada empat orang datang, Cu In cepat menyerang dan setelah merobohkan
dua orang, dia pun melompat menjauh, keluar dari tabir asap itu. Dua orang
berkedok lain menggotong Keng Han dan membawanya pergi dari situ.
Souw Cu In
merasa khawatir sekali, akan tetapi tidak dapat mencegah dengan adanya tabir
asap pembius yang menghalanginya. Setelah tabir asap menipis dan mulai hilang,
barulah ia melakukan pengejaran. Akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka,
apa lagi malam itu gelap sekali dan api unggun yang mereka buat malam tadi
sudah hampir padam.
Terpaksa dia
duduk kembali dekat api unggun dan menambahkan kayu bakar sehingga api unggun
itu membesar kembali. Akan tetapi dia sudah tidak mungkin dapat tidur lagi. Sambil
menanti lewatnya malam, ia duduk bersila dekat api unggun dan memperhatikan
sekelilingnya dengan pendengarannya. Hatinya amat gelisah memikirkan Keng Han.
Ia menduga-duga siapa yang menangkap pemuda itu dan apa alasannya. Juga dia
mengingat-ingat siapa tokoh dunia kang-ouw yang suka mempergunakan alat peledak
yang mengandung racun pembius itu.
Ia lalu
teringat kepada seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Ban-tok Kwi-ong
(Raja Iblis Selaksa Racun). Datuk inikah yang melakukannya? Akan tetapi rasanya
tidak mungkin. Seorang datuk seperti dia itu biasanya memiliki ketinggian hati,
tidak mungkin kalau hanya hendak menangkap seorang pemuda saja harus
menggunakan peledak racun pembius. Siapa pun yang menangkap pemuda itu, Keng
Han berada dalam bahaya dan dia harus menolong pemuda itu.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment