Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 01
HUJAN
pertama yang turun tadi malam amat lebat, deras dan merata sampai puluhan li
jauhnya. Hujan yang melegakan hati para petani, melegakan tanah kering yang
sudah berbulan-bulan merindukan air. Pagi hari ini udara sangat cerah, seolah
matahari lebih berseri dari pada biasanya, seperti wajah seorang kanak-kanak
tersenyum dan tertawa sehabis menangis. Kewajaran yang indah tak ternilai.
Seluruh
permukaan bumi segar berseri seperti seorang puteri jelita baru keluar dari
danau sehabis mandi bersih. Daun-daunan nampak hijau segar dan basah, demikian
pula bunga-bunga, walau pun tidak tegak lagi melainkan lebih banyak menunduk
karena hembusan air dan angin semalam. Tanah yang barusan disiram air selagi
kehausan itu mengeluarkan uapan bau tanah yang sedap, bau yang mengingatkan
orang pada masa kanak-kanak ketika dia bermain-main dengan lumpur yang
mengasyikkan.
Burung-burung
pun lebih lincah pagi itu. Suasana yang menakutkan mereka semalam, hujan dan
angin ribut, merupakan bahaya mala petaka yang sudah lewat dan mereka menyambut
munculnya matahari pagi dengan kicau saling sahut, dan mereka siap-siap
berangkat bekerja mencari makan. Kegembiraan nampak pada wajah para petani yang
memanggul cangkul, berangkat ke sawah ladang yang sekarang kembali menjadi
subur menumbuhkan harapan hasil panen yang baik.
Segala
sesuatu di dunia ini nampak indah selama kita tidak menyimpan kenangan masa
lalu. Kenangan hanyalah menimbulkan perbandingan dan perbandingan menghilangkan
keindahan saat ini.
"Yo
Han, engkau ini bagaimana? Aku dan suhu-mu bersungguh-sungguh mengajarkan
dasar-dasar ilmu silat kepadamu, akan tetapi engkau selalu acuh menerimanya,
bahkan tidak mau berlatih."
Suara wanita
yang mengomel ini pun merupakan sebagian dari keindahan pagi itu kalau tidak
dinilai. Perusak keindahan adalah penilaian dan perbandingan.
Anak
laki-laki itu berusia dua belas tahun. Dia berdiri dengan sikap hormat, akan
tetapi pandang matanya sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut kepada
wanita yang menegurnya, wanita yang duduk di atas bangku di depannya. Mereka
berada di kebun yang terletak di belakang rumah, di mana tadi anak laki-laki
itu menyapu kebun yang penuh dengan daun-daun yang berguguran semalam.
Wanita itu
adalah Kao Hong Li atau Nyonya Tan Sin Hong. Suami isteri pendekar ini sejak
menikah lima tahun yang lalu, tinggal di kota Ta-tung, di sebelah barat kota
raja Peking, di mana mereka membuka sebuah toko rempah-rempah serta hasil
pertanian dan perkebunan.
Tan Sin Hong
adalah seorang pendekar yang terkenal, walau pun kini dia hidup dengan tenang
dan tenteram di kota Ta-tung, tak lagi bertualang di dunia persilatan. Dia
pernah terkenal sekali dengan julukannya Pendekar Bangau Putih atau Si Bangau
Putih.
Julukannya
ini adalah karena dia merupakan satu-satunya pendekar yang menguasai ilmu silat
Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) ciptaan dari mendiang tiga orang
sakti yang menggabungkan ilmu-ilmu mereka, yaitu mendiang Kao Kok Cu Si Naga
Sakti Gurun Pasir, isterinya Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat
yang pernah terkenal dengan julukan Si Jari Maut!
Si Bangau
Putih Tan Sin Hong pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya
yang dahsyat. Akan tetapi setelah menikah, dia hidup dengan tenang tenteram
bersama isterinya di kota Ta-tung, walau pun usianya masih sangat muda, yaitu
baru dua puluh tujuh tahun. Kesukaannya akan pakaian berwarna putih membuat dia
lebih dikenal sebagai Si Bangau Putih.
Tan Sin Hong
seorang pria yang nampaknya biasa dan sederhana saja, sikapnya selalu lembut
dan ramah. Hanya pada matanya sajalah nampak bahwa dia bukanlah orang
sembarangan. Matanya itu kadang mencorong penuh kekuatan dan kewibawaan.
Isterinya
yang kini duduk di kebun itu bernama Kao Hong Li, berusia dua puluh enam tahun.
Isteri Si Bangau Putih itu pun bukan wanita sembarangan. Ia puteri pendekar Kao
Cin Liong, bahkan cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mengherankan
kalau nyonya muda ini pun memiliki ilmu silat yang hebat, walau pun tidak
sehebat suaminya. Sukarlah mencari seorang yang cukup lihai untuk mampu
menandingi Kao Hong Li.
Kao Hong Li
ialah seorang wanita yang cantik. Wajahnya bulat telur dan kecantikannya
terutama terletak kepada sepasang matanya yang lebar dan jeli. Sikapnya lincah,
gagah dan juga galak. Ia seorang wanita yang cerdik, pandai bicara. Seperti
juga Tan Sin Hong yang pernah menikah dengan wanita lain kemudian bercerai, Kao
Hong Li juga seorang janda muda ketika menikah dengan Sin Hong.
Meski dua
orang pendekar ini saling mencinta ketika mereka masih perjaka dan gadis, namun
keadaan membuat mereka tidak berjodoh dan menikah dengan orang lain. Tan Sin
Hong pernah menikah dengan Bhe Siang Cun, puteri guru silat Ngo-heng Bu-koan,
sedangkan Kao Hong Li menikah dengan Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di
kota Pao-teng.
Namun,
karena pernikahan ini tidak dilandasi cinta, sebentar saja terjadi keretakan
dan akhirnya keduanya bercerai dari isteri dan suami masing-masing. Saat dalam
keadaan menjadi duda dan menjadi janda inilah mereka saling berjumpa kembali
dan kegagalan perjodohan mereka masing-masing itu semakin mendekatkan dua hati
yang memang sejak dahulu sudah saling mencinta itu. Dan mereka pun menjadi
suami isteri.
Suami isteri
yang saling mencinta itu hidup cukup berbahagia, dan setahun setelah pernikahan
mereka, mereka dikaruniai seorang puteri yang mereka beri nama Tan Sian Li,
yang kini telah berusia empat tahun.
Ada pun anak
laki-laki berusia dua belas tahun yang sepagi itu telah menerima teguran Kao
Hong Li, adalah murid suami isteri itu. Namanya Yo Han dan sejak lima tahun
yang lalu dia sudah diambil murid oleh Tan Sin Hong. Yo Han adalah seorang anak
yatim piatu. Ayah ibunya telah tewas di tangan tokoh-tokoh sesat.
Ayah Yo Han
seorang petani yang jujur dan sama sekali tidak pandai ilmu silat, akan tetapi
dia memiliki watak yang gagah perkasa melebihi seorang pendekar silat! Ibu anak
itu seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, bahkan dahulunya sebelum menikah
dengan Yo Jin, yaitu ayah Yo Han, wanita itu merupakan seorang tokoh sesat yang
ditakuti orang. Namanya Ciong Siu Kwi dan ia dijuluki Bi Kwi (Setan Cantik)
karena biar pun wajahnya cantik jelita, namun ia jahat seperti setan!
Setelah
bertemu Yo Jin dan menikah dengan pemuda dusun yang sama sekali tidak mampu
bermain silat itu, wataknya lantas berubah sama sekali. Ia menyadari semua
kesalahannya dan ia hidup sebagai seorang isteri yang baik, bahkan setelah
melahirkan Yo Han, ia menjadi seorang ibu yang sangat baik. Akan tetapi,
agaknya latar belakang kehidupannya mendatangkan mala petaka.
Pohon yang
ditanamnya dahulu itu berbuah sudah dan ia pula yang harus memetik dan makan
buahnya. Meski ia sudah berusaha untuk menjauhkan diri dari dunia kang-ouw,
bahkan dari dunia persilatan, namun tetap saja musuh-musuh mencarinya!
Melibatkan suami dan puteranya pula sehingga untuk menyelamatkan anak dan
suami, terpaksa Bi Kwi Ciong Siu Kwi mencabut kembali pedangnya!
Dan
akibatnya, ia dan suaminya tewas di tangan tokoh-tokoh sesat. Masih baik bagi
anaknya bahwa dia, yaitu Yo Han, dapat tertolong oleh Tan Sin Hong yang
kemudian mengambilnya sebagai murid. Demikianlah riwayat singkat Yo Han dan
kedua orang gurunya.
Dan semenjak
gurunya, Tan Sin Hong, menikah dengan Kao Hong Li dan tinggal di kota Ta-tung,
Yo Han bekerja dengan rajin sekali. Walau pun gurunya telah berhasil dalam
usaha perdagangannya, dan sudah mampu menggaji pelayan, namun tetap saja Yo Han
membantu semua pekerjaan dari menyapu kebun, membersihkan perabot rumah dan
sebagainya. Tidak ada yang menyuruhnya, melainkan karena dia suka bekerja, dia
suka mengerjakan kaki tangannya.
Sejak
menjadi murid Sin Hong, pendekar ini mengajarkan ilmu silat dasar kepada Yo
Han. Akan tetapi sungguh mengherankan sekali, anak itu tidak suka belajar
silat. Dia lebih tekun belajar membaca dan menulis sehingga dalam usia dua
belas tahun, dia telah mampu membaca kitab-kitab sastra dan filsafat yang
berat-berat seperti Su-si Ngo-keng! Dia pandai pula menulis sajak, pandai
bermain suling dan pandai bernyanyi! Akan tetapi, selama lima tahun menjadi
murid Si Bangau Putih Tan Sin Hong, dia belum mampu melakukan gerakan menendang
atau memukul yang benar!
Tan Sin Hong
dapat memaklumi keadaan muridnya itu. Dia teringat betapa dahulu, ayah dan ibu
anak ini selalu menjaga agar putera mereka tidak mengenal ilmu silat. Mereka
mengajarkan ilmu baca-tulis kepada putera mereka, akan tetapi Yo Han sama
sekali tidak diperkenalkan dengan ilmu silat. Hal ini dikehendaki oleh Yo Jin,
dan Bi Kwi juga menyetujui karena suami isteri ini melihat kenyataan betapa
dunia persilatan penuh dengan kekerasan, dendam dan permusuhan.
Bahkan
Bi-kwi sendiri benar-benar meninggalkan dunia persilatan, hanya hidup sebagai
seorang isteri dan ibu di dusun, sebagai petani yang hidup sederhana namun
tenteram penuh damai. Karena memaklumi bahwa pendidikan ayah ibu ini ikut pula
membentuk watak dan kepribadian Yo Han, maka biar pun dia melihat betapa Yo Han
sama sekali tidak suka mempelajari ilmu silat, dia pun tidak pernah menegur.
Akan tetapi,
yang suka mengomel dan merasa penasaran adalah isterinya, Kao Hong Li. Wanita
ini memiliki watak yang lincah, gagah dan juga galak. Ia merasa penasaran bukan
main melihat Yo Han tidak pernah memperhatikan pelajaran ilmu silat, bahkan
mengacuhkannya sama sekali. Padahal, mereka, terutama suaminya, sudah berusaha
sedapatnya untuk menjadi seorang guru yang baik bagi Yo Han.
Apa akan
kata orang dunia persilatan kalau melihat Yo Han menjadi seorang yang sama
sekali tidak tahu ilmu silat, padahal dia adalah murid ia dan suaminya? Yang
tidak tahu tentu mengira bahwa mereka suami isteri memang tidak bersungguh hati
mengajarkan silat kepada Yo Han, bahkan tentu disangkanya membenci anak itu.
Padahal ia
dan suaminya amat menyayang Yo Han. Anak itu mereka anggap sebagai anak
sendiri, atau adik sendiri. Apa lagi Yo Han adalah seorang anak yang tahu diri,
amat pandai membawa diri, rajin bekerja, juga amat cerdik. Mempelajari segala
macam kepandaian, dia cerdik luar biasa, akan tetapi hanya satu hal dia tidak
peduli, yaitu ilmu silat.
Pagi hari
itu, karena telah merasa kesal sekali melihat Yo Han hanya bekerja di kebun,
sama sekali tidak mau berlatih silat, Kao Hong Li tak dapat menahan kesabaran
hatinya lagi dan ia pun menegur muridnya.
"Nah,
hayo jawab. Kenapa engkau tak mau melatih ilmu-ilmu silat yang sudah diajarkan
oleh suhu-mu dan aku? Sudah berapa banyak ilmu silat yang kami ajarkan
kepadamu, yang semua teorinya engkau sudah hafal, akan tetapi belum pernah aku
melihat engkau mau melatihnya! Hayo jawab sekarang, Yo Han, jawablah
sejujurnya, mengapa engkau tidak mau berlatih silat?"
Sejak tadi
anak itu menatap wajah subo-nya (ibu gurunya), dengan sikap tenang dan pandang
mata lembut, wajah tersenyum seperti seorang tua melihat seorang anak kecil
yang marah-marah!
"Benarkah
Subo menghendaki teecu (murid) bicara terus terang sejujurnya, dan Subo tidak
akan menjadi marah, apa pun yang menjadi jawaban teecu?"
"Kenapa
mesti marah? Dengar baik-baik, Yo Han. Pernahkah aku atau suhu-mu marah-marah
jika engkau memang bertindak benar? Selama ini, kami harus mengakui bahwa
engkau seorang anak yang baik dan seorang murid yang patuh, juga rajin bekerja
dan semua ilmu pengetahuan dapat kau kuasai dengan baik dan kau pelajari dengan
tekun. Kecuali ilmu silat! Kalau memang jawaban dan keteranganmu sejujurnya dan
benar, mengapa aku harus marah? Kalau aku ini menegurmu karena engkau tidak mau
berlatih silat, bukanlah untuk kepetinganku, melainkan demi masa depanmu
sendiri.”
Anak itu
memandang kepada subo-nya dengan mata membayangkan keharuan hatinya. Setelah
gurunya selesai bicara, dia pun menarik napas panjang.
"Subo,
teecu tahu benar betapa Subo dan Suhu amat sayang kepada teecu, amat baik
kepada teecu. Teecu tak habis merasa bersyukur dan berterima kasih atas segala
budi kebaikan Subo dan Suhu, Dan maafkanlah kalau tanpa sengaja teecu telah
membuat Subo dan Suhu kecewa, menyesal dan marah. Sekarang, teecu hendak
menjawab secara terus terang saja, sebelumnya mohon Subo memaafkan teecu."
Diam-diam
Kao Hong Li memandang kagum. Sering ia merasa kagum kepada anak ini. Bicaranya
demikian lembut, sopan, teratur seperti seorang dewasa saja, yang terpelajar
tinggi pula!
"Katakanlah
jawabanmu kenapa engkau tidak suka berlatih silat. Aku tak akan marah,"
katanya, kini suaranya tidak keras penuh teguran lagi.
"Subo,
teecu suka mempelajari ilmu silat karena di situ teecu menemukan keindahan seni
tari, juga teecu menemukan olahraga yang menyehatkan dan menguatkan badan,
memperbesar daya tahan terhadap penyakit dan kelemahan. Akan tetapi, teecu
tidak suka melatihnya karena teecu melihat bahwa di dalam ilmu silat terdapat
kekerasan pula. Karena itu, maka ilmu silat itu jahat!"
Sepasang
mata Kao Hong Li yang memang lebar dan jeli itu terbelalak semakin lebar.
"Jahat...?!"
"Ya,
tentu jahat, Subo. Ilmu silat adalah ilmu memukul orang, bahkan membunuh orang
lain. Apa ini tidak jahat namanya?"
"Wah,
pendapatmu itu terbalik sama sekali, Yo Han! Justru ilmu silat membuat kita
dapat membela diri terhadap kejahatan, juga dapat kita pergunakan untuk
membasmi kejahatan. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk kejahatan, tentu saja
tidak benar. Akan tetapi ilmu silat dapat dipergunakan untuk menentang
kejahatan, seperti yang dilakukan para pendekar. Ilmu silat adalah ilmu bela
diri, baik dari serangan orang jahat mau pun binatang buas. Yang jahat itu
bukan ilmu silatnya, seperti juga segala macam ilmu di dunia ini. Jahat atau
tidaknya, baik atau tidaknya, tergantung dari manusianya, bukan dari ilmunya.
Ilmu silat atau ilmu apa pun tidak akan ada artinya tanpa Si Manusia yang
mempergunakannya."
Yo Han
mengangguk-angguk. “Teecu mengerti, Subo. Semua yang Subo katakan itu memang
kenyataan dan benar adanya. Baik atau buruk tergantung pada orang yang
menguasainya. Seperti Suhu dan Subo, walau pun ahli-ahli ilmu silat, namun sama
sekali tidak jahat. Yang membuat teecu tidak mau melatih diri dengan ilmu silat
adalah karena melihat sifat dari ilmu silat itu. Sifatnya adalah kekerasan,
perkelahian, saling bermusuhan. Itulah yang membuat teecu tidak suka
menguasainya.”
Kao Hong Li
sudah mulai merasa perutnya panas. Ia memang galak dan teguh dalam
pendiriannya. "Yo Han, lupakah engkau bahwa kalau tidak ada ilmu silat,
engkau sudah mati sekarang ketika engkau terjatuh ke tangan para tokoh
sesat?"
"Maaf,
Subo. Nyawa kita berada di tangan Tuhan! Kalau Tuhan belum menghendaki teecu
mati, biar diancam bahaya bagaimana pun juga, ada saja jalannya bagi teecu untuk
terhindar dari kematian. Sebaliknya, kalau Tuhan sudah menghendaki seseorang
mati, biar dia memiliki kesaktian setinggi langit sedalam lautan, tetap saja
dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari kematian. Bukankah begitu,
Subo?"
Diam-diam
Kao Hong Li terkejut. Dari mana anak ini dapat pengertian seperti itu?
"Anak
baik, biar nyawa berada di tangan Tuhan, akan tetapi sudah menjadi kewajiban
setiap orang manusia untuk menjaga diri, untuk selalu berusaha menyelamatkan
diri dari segala ancaman. Dan ilmu silat dapat menjamin kita untuk
menyelamatkan diri dari ancaman orang jahat atau binatang buas."
"Subo,
maafkan kalau teecu berterus terang. Teecu selalu ingat betapa Ayah dan Ibu
tewas, karena Ibu pernah berkecimpung di dunia persilatan. Ibu sudah terlalu
banyak menanam permusuhan, sudah terlalu banyak bergelimangan kekerasan, maka
akhirnya Ibu tewas dalam kekerasan pula, bahkan membawa Ayah menjadi korban.
Selain itu, sudah banyak teecu mendengar kisah yang dituturkan oleh Subo dan
Suhu, kisah para pendekar sakti. Mereka itu hampir semua tewas dalam
perkelahian, dalam kekerasan."
"Kau
keliru, Yo Han. Memang benar bahwa banyak pendekar tewas dalam perkelahian,
seperti juga sebagian besar prajurit tewas dalam pertempuran. Akan tetapi,
justru itu adalah kematian terhormat bagi seorang pendekar. Tewas dalam
melaksanakan tugas menentang kejahatan adalah kematian yang terhormat!"
"Membunuh
atau terbunuh merupakan kematian terhormat, Subo? Ahh, teecu tak dapat
menerimanya. Semua kepandaian yang dimiliki manusia didapatkan karena kekuasaan
dan kemurahan Tuhan. Juga ilmu silat. Akan tetapi sungguh sayang bahwa
kemurahan dan kekuasaan Tuhan itu diselewengkan oleh manusia untuk saling
bunuh. Tidak, Subo. Teecu tidak mau membunuh orang! Teecu tidak mau belajar ilmu
silat, ilmu memukul dan membunuh orang."
Kao Hong Li
menjadi semakin marah. "Bagaimana kalau engkau sekali waktu diancam oleh
orang jahat untuk dibunuh?"
"Tentu
teecu akan berusaha untuk menyelamatkan diri, melindungi diri dengan segala
kekuatan dan kemampuan yang ada, akan tetapi bukan berarti teecu akan berusaha
membunuhnya. Jika teecu sudah berusaha sekuatnya untuk melindungi diri,
cukuplah."
"Hemm,
bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu dari serangan orang jahat yang
hendak membunuhmu kalau engkau tidak pandai ilmu silat?"
"Teecu
serahkan saja kepada Tuhan! Sudah teecu katakan tadi bahwa nyawa berada di
tangan Tuhan. Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati di tangan penjahat itu,
tentu teecu akan dapat menghindarkan diri."
Kao Hong Li
sudah kehilangan kesabarannya. Dia bangkit berdiri dan menatap wajah anak itu.
"Yo Han, aku khawatir bahwa engkau sudah dihinggapi kesombongan besar yang
tolol!"
"Maafkan
teecu, Subo," kata Yo Han sambil menundukkan mukanya.
"Bocah
sombong! Kalau engkau tidak mau belajar silat, kalau engkau menganggap bahwa
belajar silat itu salah, lalu engkau mau belajar apa? Engkau menjadi murid
suami isteri pendekar, kalau tidak mau belajar silat dari kami, lalu mau
belajar apa?"
"Teecu
ingin belajar hidup yang benar dan sehat, belajar untuk menjadi manusia yang
berguna, baik bagi diri sendiri, bagi orang lain, dan bagi Tuhan. Teecu akan
mempelajari segala ilmu yang berguna dan indah, sastra, seni apa saja, asalkan
bukan ilmu yang merusak..."
"Sombong!"
Kao Hong Li membentak, kini ia sudah marah. "Kau mau bilang bahwa ilmu
silat adalah ilmu yang merusak?"
Pada saat
itu, muncullah Tan Sin Hong. Sejak tadi dia sudah mendengar percakapan antara
isterinya dan murid mereka. Dia tidak menyalahkan isterinya yang marah-marah.
Dia sendiri pun tentu akan marah kalau saja dia tidak teringat akan keadaan Yo
Han di waktu kecilnya.
"Aihh,
ada apakah ini sepagi ini sudah ribut-ribut?" Sin Hong menegur sambil
tersenyum tenang.
Melihat
suaminya datang, Kao Hong Li segera menuding kepada Yo Han.
"Coba
lihat muridmu ini! Dia menjadi murid kita tentu kita beri pelajaran ilmu silat.
Ehh, dia malah menganggap bahwa ilmu silat itu ilmu yang jahat, ilmu yang
merusak! Apa tidak membikin panas perut?"
"Sudahlah,
nanti kita bicarakan lagi hal itu," Sin Hong menghibur isterinya, lalu
bertanya kepada Yo Han. "Yo Han, apakah engkau lupa bahwa hari lusa adalah
suatu hari yang bahagia? Nah, ada peristiwa bahagia apakah hari lusa itu?"
Yo Han
mengangkat mukanya dan wajahnya berseri-seri memandang kepada suhu-nya yang
telah mengalihkan percakapan yang membuat hatinya merasa tidak enak terhadap
subo-nya tadi.
"Teecu
tahu, Suhu. Besok lusa adalah hari ulang tahun yang ke empat dari Sian
Li."
"Ha,
jadi engkau ingat? Dan sudahkah engkau mempersiapkan hadiahmu untuk adikmu
itu?"
Yo Han
menggeleng kepala. "Belum, Suhu."
Yo Han amat
mencinta adiknya, puteri kedua orang gurunya itu. Bahkan sejak Sian Li bisa
merangkak, Yo Han lah yang selalu mengasuhnya dan mengajaknya bermain-main
sehingga Sian Li juga amat sayang kepadanya.
Sin Hong
mengeluarkan uang dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Yo Han.
"Nah, ini uang boleh kau pakai untuk membelikan hadiahmu untuk Sian
Li."
Akan tetapi
Yo Han menggeleng kepalanya, "Suhu, teecu ingin memberi hadiah sesuatu
yang merupakan hasil pekerjaan tangan teecu sendiri kepada adik Sian Li."
"Hemm..."
Sin Hong menyimpan kembali uangnya. "Dan sudah kau buatkan itu?
"Belum,
Suhu!"
"Kalau
begitu, mulai hari ini kau boleh mulai mengerjakannya. Jangan bantu pekerjaan
tukang kebun dan pelayan, tapi selesaikan membuat hadiahmu untuk adikmu."
Berseri
wajah Yo Han. Memang dua orang gurunya tidak pernah menyuruh dia bekerja, akan
tetapi dia sendiri yang merasa tidak enak kalau harus menganggur. Selalu ada
saja yang dia kerjakan. Sekarang gurunya memberi dia kesempatan sepenuhnya
untuk membuatkan hadiah untuk Sian Li.
"Baik,
terima kasih, Suhu. Sekarang pun teecu hendak mulai membuatkan hadiah
itu!" Dan dia pun pergi meninggalkan kebun itu, menuju ke sungai kecil
yang mengalir di sebelah selatan rumah itu.
Setelah Yo
Han pergi, baru Sin Hong bicara dengan isterinya. "Sudahlah, kalau dia
tidak mau berlatih silat, kita tidak perlu memaksanya. Kita sudah mengajarkan
ilmu-ilmu kita yang paling baik, dan dia sudah menghafalkan semua teorinya.
Tinggal terserah kepada dia sendiri hendak melatihnya atau tidak."
"Akan
tetapi, dia adalah murid kita. Kalau kelak dunia persilatan tahu bahwa dia
murid kita akan tetapi lemah dan tidak pandai memainkan ilmu silat, bukankah
kita yang akan menjadi bahan tertawaan?"
Sin Hong
menggelengkan kepala. "Belum tentu demikian. Aku melihat bahwa dia bukan
anak sembarangan. Dia pemberani dan tabah, juga sangat cerdik. Dan dia
mempunyai kasih sayang kepada sesamanya. Lihat saja. Dia tidak pernah menjadi
jagoan, akan tetapi semua anak di kota ini mengenalnya dan bersikap sangat baik
kepadanya. Dia disukai dan disegani, bukan saja oleh anak-anak, bahkan juga
orang-orang tua tetangga kita selalu memujinya karena sikapnya yang sopan dan
baik budi."
"Bagaimana
pun juga, aku khawatir bila terjadi serangan orang jahat terhadap
dirinya..."
"Tidak
perlu khawatir, Li-moi. Biarkan saja dia tumbuh sewajarnya, menurut apa yang
disukainya dan kita lihat saja. Yang paling penting, dia tidak melakukan
sesuatu yang menyimpang dari kebenaran. Apa lagi, dia amat sayang kepada Sian
Li."
Hong Li
mengangguk. "Memang, Sian Li juga sayang sekali kepadanya. Justru inilah
yang kadang merisaukan hatiku."
"Ehh?
Engkau risau karena anak kita menyayang Yo Han?"
"Yo Han
bagaikan kakak bagi Sian Li dan kelak, tentu Sian Li akan mencontoh segala peri
laku Yo Han. Kalau Yo Han membenci ilmu silat, menganggapnya jahat, bagaimana
kalau dia mempengaruhi Sian Li dan anak kita juga tidak suka berlatih
silat?"
Sin Hong
mengangguk-angguk. "Aku akan bicara dengan Yo Han tentang itu dan minta
supaya dia jangan menanamkan pendapatnya itu kepada Sian Li, bahkan agar dia
bisa membujuk Sian Li supaya suka mempelajari dan berlatih ilmu silat."
Mendengar
ucapan suaminya itu, baru legalah rasa hati Hong Li.
"Sungguh
seorang anak yang aneh sekali Yo Han itu," katanya menarik napas panjang.
Ia sendiri
amat suka kepada Yo Han. Siapa yang takkan suka kepada anak yang pandai membawa
diri dan rajin itu? Wajahnya tak pernah muram, terang dan amat ramah, juga
berhati lembut.
**************
Memang tidak
berlebihan kalau wanita pendekar itu mengatakan bahwa Yo Han adalah seorang
anak yang aneh sekali. Memang nampaknya saja Yo Han seorang anak biasa yang
tiada bedanya dengan anak-anak lainnya. Akan tetapi memang terdapat sesuatu
yang luar biasa pada diri anak ini, yang membuat Kao Hong Li dan juga suaminya
mengetahui bahwa Yo Han bukanlah anak biasa.
Sikap anak
itu demikian dewasa, pandangannya luas dan kadang-kadang aneh dan tak pantas
dimiliki seorang anak berusia dua belas tahun. Wajahnya memang tampan, akan
tetapi itu pun tidak aneh. Dan wataknya sederhana. Pakaian pun amat sederhana
walau pun selalu bersih dan rapi.
Meski pun
kedua orang gurunya amat sayang kepadanya dan selalu berusaha agar dia senang
dan tidak kekurangan sesuatu, tapi Yo Han tidak pernah minta apa-apa, hanya
menerima saja apa pun yang diberikan kepadanya tanpa memilih. Yang membuat
suami isteri itu sering kali kagum adalah kecerdikannya. Dia seolah mampu
membaca pikiran orang!
Terutama
sekali dalam pelajaran sastra, kecerdasan anak itu sangat menonjol. Dalam usia
dua belas tahun, dia sudah mampu membaca kitab-kitab yang berat-berat. Bukan
saja kitab-kitab sejarah, juga kitab-kitab agama dan filsafat. Kitab-kitab
Su-si Ngo-keng sudah hafal olehnya, dan andai kata dia mau, dalam usia dua
belas tahun itu bukan tidak mungkin dia akan lulus dalam ujian kenegaraan bagi
para siu-cai (semacam gelar sarjana).
Tan Sin Hong
sendiri adalah seorang yang suka membaca dan dia memiliki kumpulan kitab-kitab
kuno di dalam kamar perpustakaannya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa
kalau sedang membersihkan kamar itu, Yo Han tenggelam ke dalam kitab-kitab itu,
membaca kitab-kitab yang kadang masih terasa sukar bagi Sin Hong sendiri!
Banyak hal
yang dibacanya, baik dalam kitab sejarah mau pun kitab keagamaan, yang kemudian
mempengaruhi batin Yo Han yang aneh, yang membuat ia ngeri menghadapi
kekerasan, membuat dia merasa ngeri melihat kenyataan betapa kehidupan manusia
bergelimang kekerasan.
Di samping
itu, ada sesuatu yang amat luar biasa pada diri Yo Han, yang sering kali
membuat dia sendiri merasa heran. Sering dia merasa seakan-akan ada kekuatan
yang melindunginya, kekuatan yang kadang-kadang bekerja di dalam dan di luar
dirinya, yang bekerja di luar kehendaknya, bahkan di luar pengertiannya. Suatu
tenaga mujijat, suatu kekuatan yang bekerja di luar hati dan akal pikirannya.
Hal ini
tadinya tak diketahuinya. Akan tetapi karena beberapa kali telah terjadi hal
yang tadinya dianggap suatu ‘kebetulan’ saja, mulailah dia menyadari bahwa hal
itu bukanlah suatu kebetulan belaka.
Mula-mula
keanehan itu terjadi saat dia membaca sebuah kitab agama kuno yang berisi
dongeng-dongeng yang mengandung makna-makna terpendam. Amat sukar dimengerti oleh
orang dewasa yang sudah banyak membaca kitab agama sekali pun.
Yo Han
menemukan kitab ini di dalam kamar perpustakaan suhu-nya. Dia membacanya dan
segera menemukan kesulitan. Banyak huruf kuno yang tidak dikenalnya, dan lebih
banyak pula kalimat yang tidak dimengerti maknanya. Karena dia memang seorang
kutu buku, dia tidak putus asa dan terus membaca.
Makin dia
berusaha untuk mengerti isi kitab, makin sukarlah baginya dan makin bingung dan
ruwetlah pikirannya. Akhirnya, karena kelelahan, bukan karena jengkel, dia pun
lalu tertidur. Tidur sambil duduk dan kitab itu masih terbuka di atas meja di
depannya.
Ketika
setengah jam kemudian dia terbangun, dia melihat lagi kitab itu dan... dia
dapat membaca dengan lancar, bahkan dapat mengerti apa arti isi kitab itu. Hal
yang tadinya dianggap sukar, setelah dia bangun tidur, menjadi mudah, yang
gelap menjadi terang. Hal itu terjadi dengan sendirinya, bukan hasil pemerasan
pikiran, seperti secara wajar dan otomatis saja.
Demikianlah,
banyak hal seperti itu terjadi selama kurang lebih dua tahun ini. Yo Han mulai
mengerti bahwa kekuatan mujijat itu terjadi kalau dia pasrah kepada Tuhan,
kalau dia tidak mempergunakan daya hati dan akal pikirannya. Seperti telah
diatur saja oleh tenaga mujijat.
Setelah
gurunya memberi ijin kepadanya untuk segera membuatkan hadiah untuk Sian Li, Yo
Han segera pergi ke sungai yang letaknya kurang lebih satu li saja dari rumah
gurunya. Dia tahu bahwa bahan yang dibutuhkannya untuk membuat hadiah itu
berada di tepi sungai. Bahan itu hanya tanah liat, lain tidak!
Ia ingin
membuatkan patung kecil atau boneka dari tanah liat, buatan tangannya sendiri,
untuk Sian Li! Dia tahu bahwa ia dapat membuat sebuah boneka yang indah dari
tanah, liat. Sudah sering ia bermain-main dengan tanah liat dan ia mendapat
kenyataan betapa tanah liat itu demikian penurut dalam remasan jari-jari
tangannya, demikian mudahnya dibentuk menjadi apa saja yang dikehendakinya.
Dia dapat
membuat segala macam patung binatang dari tanah liat. Rasanya seperti jika dia
melukis. Dengan goresan, dia pun dapat membentuk apa saja yang dilihatnya, baik
yang dilihatnya dalam kenyataan mau pun yang dilihatnya dalam bayangan khayal.
Yo Han tiba
di tepi sungai dan dia segera menuju ke bagian di mana terdapat tanah liat yang
baik. Bagian ini sunyi sekali. Hanya dia dan beberapa orang kawannya bermain,
tetangga gurunya, yang mengetahui tempat ini. Kini dia berada di situ seorang
diri dan segera dia turun ke tepian sungai dan mengambil tanah liat dengan
kedua tangannya. Mudah saja menggali tanah liat yang lunak dan basah itu, lalu
dikumpulkannya sampai cukup banyak, dan dibawanya tanah liat segumpal besar itu
ke bawah sebatang pohon besar di tepi sungai.
Ketika baru
saja dia menurunkan tanah liat yang dibawanya, saat dia duduk di atas akar
pohon yang menonjol keluar dari tanah, tanpa disengaja kakinya menginjak seekor
ular! Bagian ekornya yang diinjaknya itu.
Ular itu
terkejut, dan juga marah. Tubuhnya membalik, kemudian kepalanya meluncur dan
menyerang ke arah leher Yo Han yang sudah duduk. Tangan kanan Yo Han cepat
bergerak dan tahu-tahu leher ular itu telah terjepit di antara jari-jari
tangannya. Dia telah dapat menangkap leher ular itu!
Tak jauh
dari situ, Sin Hong memandang terbelalak! Tadi pun dia melihat serangan ular
yang amat mendadak itu dan wajahnya menjadi pucat. Terlalu jauh baginya untuk
dapat menolong dan menyelamatkan muridnya, juga gerakan ular itu terlalu cepat.
Dia sudah membayangkan betapa leher itu pasti akan dipatuk ular. Bukan ular
biasa, melainkan ular hijau yang racunnya amat jahat!
Akan tetapi,
apa yang dilihatnya? Yo Han telah dapat menangkap leher ular itu, hanya sedikit
selisihnya karena moncong ular itu tinggal sejengkal lagi dari leher Yo Han!
Dia sendiri, kalau diserang ular secara tiba-tiba seperti itu, masih meragukan
apakah berani menghindarkan diri dengan cara menangkap leher ular itu!
Perbuatan
ini amat berbahaya karena sekali meleset dan leher terpatuk ular beracun itu,
akan amat hebat akibatnya. Kalau kaki yang terpatuk ular, masih banyak harapan
untuk diobati, akan tetapi leher terletak demikian dekat dengan kepala dan
jantung. Dia hanya terbelalak memandang dan semakin bengonglah dia ketika
melihat apa yang terjadi.
Yo Han
sendiri terbelalak ketika melihat bahwa yang ditangkap tangannya itu adalah
seekor ular hijau yang dia tahu beracun! Dia merasa heran karena sungguh dia
tidak menyadari, apa yang dilakukan tangannya tadi, seolah-olah tangan itu
bergerak sendiri dengan amat cepatnya menangkap leher ular! Akan tetapi, dia
memang seorang anak yang memiliki keberanian luar biasa.
Setelah kini
dia melihat kepala ular itu, dengan mata yang nampaknya begitu putus asa dan
ketakutan, lidah yang terjulur keluar masuk, tubuh yang menggeliat-geliat
melibat lengannya tanpa daya karena dia merasa betapa lengannya diisi tenaga
yang membuat lengannya itu seperti berubah menjadi baja, timbul perasaan
kasihan di dalam hatinya.
"Ular
hijau, kenapa engkau hendak mematukku? Kalau seandainya aku menyentuh atau
menginjak tanpa kusengaja, sepatutnya engkau memaafkan aku. Engkau yang sengaja
hendak mematukku pun dapat kumaafkan. Kita sepatutnya bermaaf-maafan sesudah
sama-sama diciptakan hidup di dunia ini. Bukankah begitu, ular hijau?"
Sin Hong
terbelalak, tak pernah berkedip ketika melihat betapa kini ekor ular yang tadi
membelit-belit lengan muridnya itu melepaskan belitannya, dan melihat betapa Yo
Han dengan lembut melepaskan leher yang ditangkap tangannya itu, membiarkan
ular itu ke atas tanah. Dan ular itu sama sekali tidak nampak buas lagi, tidak
menyerang! Juga tidak melarikan diri ketakutan.
Sekarang
ular itu perlahan-lahan menghampiri Yo Han yang sudah duduk di atas akar,
mengelilingi anak itu, perlahan-lahan, kadang-kadang mendekat dan menyentuh
kaki Yo Han dengan tubuhnya, bagai tingkah seekor kucing manja yang mengusapkan
tubuhnya ke kaki majikannya.
Yo Han sudah
tidak mempedulikan ular itu lagi, melainkan asyik dengan pekerjaannya. Dua
tangannya mulai bekerja dengan cekatan, meremas-remas tanah liat itu sehingga
menjadi lunak dan liat, dan mulai membentuk patung yang hendak dibuatnya.
Sampai beberapa lamanya, ular hijau itu bergerak di sekitar Yo Han mengusapkan
tubuhnya ke kaki anak itu, kadang menggunakan lidahnya menjilat. Yo Han yang
tenggelam dalam pekerjaannya seperti sudah melupakan binatang itu dan akhirnya,
ular itu pun pergi dengan tenang.
Beberapa
kali, dalam pengintaian itu Sin Hong menelan ludah. Dia merasa bagai dalam
mimpi. Yo Han demikian mudahnya menangkap leher ular yang sedang menyerangnya,
ular beracun yang terkenal amat ganas. Kemudian, lebih aneh lagi, dengan ucapan
dan sikapnya, dia mampu membuat seekor ular berbisa yang ganas berubah menjadi
seekor binatang yang jinak dan manja seperti kucing. Apa artinya semua ini?
Tentu saja
Sin Hong menjadi penasaran bukan main. Dia adalah guru anak itu. Dan semenjak
berusia tujuh tahun, Yo Han selalu ikut dengan dia. Akan tetapi bagaimana
sampai saat ini dia sama sekali tidak mengenal muridnya itu? Tidak tahu akan
keadaan muridnya yang aneh?
Muridnya itu
tak pernah mau melatih ilmu silat yang diajarkan, akan tetapi kini buktinya,
anak itu sedemikian lihainya! Kapankah belajarnya? Dari siapa? Gerakan tangan
ketika menangkap ular berbisa tadi tidak dikenalnya. Sangat mirip dengan jurus
Bangau Putih Mematuk Ular. Akan tetapi hanya mirip. Jauh bedanya.
Jurus dari
ilmu silat Pek-ho Sin-kun itu menggunakan jari tangan untuk mencengkeram tubuh
ular dan memang yang dimaksud lehernya, sedang dalam ilmu silat menghadapi
manusia dipergunakan untuk menangkap lengan lawan yang menyerang. Akan tetapi
gerakan Yo Han tadi begitu cepat, akan tetapi begitu lembut sehingga ketika
leher ular tertangkap, ular itu tidak mampu melepaskan diri, akan tetapi juga
tidak tersiksa dan tidak luka. Gerakan apa itu?
Dan sikapnya
kemudian terhadap ular berbisa itu, sungguh tidak dimengertinya! Kenapa Yo Han
bersikap seaneh itu dan bagaimana pula ular itu berubah menjadi sejinak itu?
Apakah artinya semua itu? Ilmu apakah yang dikuasai Yo Han?
Sin Hong
adalah seorang pendekar yang gagah dan jujur, tentu saja tidak suka akan
hal-hal yang dirahasiakan, tidak suka akan kepura-puraan. Di depannya, Yo Han
tidak pernah berlatih silat, sehingga dia dan isterinya menganggap dia lemah
dan tidak dapat bersilat. Akan tetapi apa kenyataannya sekarang?
Serangan
ular tadi sangat cepat dan berbahaya. Hanya seorang ahli silat tingkat tinggi
saja yang mampu menghindarkan bahaya maut itu dengan cara menangkap leher ular
yang sedang menyerang dalam jarak sedemikian dekatnya. Dan tadi Yo Han mampu
melakukannya. Hal ini membuktikan bahwa anak itu sama sekali bukan lemah, hanya
berlagak lemah saja. Apakah diam-diam dia telah mempelajari dan melatih ilmu
silat lain? Atau mempunyai seorang guru lain? Dia harus membongkar semua
rahasia ini, dia tidak mau dipermainkan lagi.
Sekali
melompat, Sin Hong sudah berada di dekat Yo Han. Anehnya, anak itu sama sekali
tidak kelihatan kaget atau gugup, dan kini teringatlah Sin Hong bahwa muridnya
itu memang tidak pernah gugup apa lagi kaget atau takut. Selalu tenang saja
seperti air telaga yang dalam.
"Suhu...!"
kata Yo Han memberi hormat dengan membungkuk karena kedua tangannya berlepotan
lumpur tanah liat.
Sejak tadi
Sin Hong mengamati wajah Yo Han. Kini melihat wajah muridnya itu wajar dan
biasa-biasa saja, dia melirik ke arah bongkahan tanah liat di tangan anak itu
dan dia terkejut, juga kagum. Dalam waktu sesingkat itu, jari-jari tangan anak
itu telah mampu membentuk sebuah boneka anak-anak yang ukurannya demikian
sempurna. Kepala, kaki, tangan sudah terbentuk dan demikian serasi. Hanya wajah
kepala itu yang belum dibuat.
"Suhu,
ada apakah Suhu mencari teecu?" tanya Yo Han.
Suara dan
sikap yang amat wajar itu membuat Sin Hong menjadi bingung dan tak tahu harus
berbuat apa.
"Apa
yang kau bikin itu?" akhirnya dia bertanya.
"Boneka
tanah, Suhu, hadiah teecu untuk adik Sian Li," kata Yo Han.
Keharuan
menyelinap di hati Sin Hong, Juga sedikit iri hati. Tidak ada hadiah yang lebih
indah dan memuaskan hati melebihi benda buatan tangan sendiri. Jika saja dia
mampu membuat boneka tanah seindah yang sedang dibuat Yo Han, dia pun akan
senang membuatkan sebuah untuk puterinya!
Akan tetapi,
renungan Sin Hong buyar seketika karena dia teringat lagi akan ular tadi. Suatu
kesempatan yang amat baik untuk menguji muridnya, untuk mengetahui rahasia yang
menyelimuti diri muridnya.
Mendadak
saja, dengan tenaga terukur, kecepatan yang hampir menyamai kecepatan gerakan
ular tadi, tangannya meluncur dan jari tangannya lantas menotok ke arah leher
muridnya, seperti ular yang mematuk tadi, dari arah yang sama pula dengan
gerakan ular tadi. Gerakannya ini pun tiba-tiba selagi Yo Han tak mengira,
kiranya persis seperti keadaannya ketika diserang ular hijau tadi.
Dan
satu-satunya gerakan yang dilakukan Yo Han adalah gerak refleks atau reaksi
yang umum. Dia terkejut dan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Tentu saja
serangan itu akan dapat mengenai leher Yo Han kalau Sin Hong menghendaki.
Sin Hong
merasa kecelik. Kenapa Yo Han sama sekali tidak menangkis atau mengelak, sama
sekali tidak ada gerakan seorang ahli silat yang mahir? Kalau dia bersikap
seperti itu tadi ketika dipatuk ular, tentu dia sudah celaka, mungkin sekarang
sudah tewas oleh racun ular!
Ataukah Yo
Han sudah tahu bahwa dia sedang diuji dan sengaja tidak mau menangkis atau
mengelak untuk mengelabui gurunya? Ahh, tidak mungkin! Seorang ahli silat
tinggi memang dapat menangkap gerakan serangan dengan cepat, akan tetapi tidak
mungkin bisa menduga secepat itu. Serangannya tadi terlalu cepat untuk diterima
dan dirancang pikiran. Jadi jelas bahwa muridnya ini memang tidak tahu ilmu
silat sama sekali. Akan tetapi ular tadi?
"Apakah
maksud gerakan Suhu tadi?" tanya Yo Han dengan sikap masih tetap tenang
seolah tidak terjadi sesuatu. Kekagetannya ketika diserang tadi pun hanya
merupakan reaksi saja, bukan kaget lalu disusul rasa takut. Ini saja sudah amat
mengagumkan hati Sin Hong.
"Yo
Han, engkau ini muridku, bukan?" tiba-tiba Sin Hong bertanya dan dia pun
duduk di atas akar pohon, di sebelah Yo Han.
Anak itu
menoleh dan memandang wajah suhu-nya dengan sinar mata mengandung penuh
pertanyaan. "Tentu saja, kenapa Suhu bertanya?"
"Dan
sejak lima tahun yang lalu, sejak engkau kehilangan orang tuamu, engkau hidup
dengan aku, bukan?"
Sepasang
mata anak itu bertemu dengan pandang mata Sin Hong dan pendekar ini merasa
seolah sinar mata anak itu menembus dan menjenguk isi hatinya! Dia tahu bahwa
muridnya memiliki mata yang tajam dan lembut, akan tetapi baru sekarang dia
merasa betapa sinar mata itu seperti menjenguk ke dalam lubuk hatinya.
"Teecu
tahu dan teecu selalu ingat akan kebaikan Suhu dan Subo. Selama hidup, teecu
akan ingat kebaikan itu, Suhu, dan Suhu bersama Subo, bagi teecu bukan hanya
guru, akan tetapi juga pengganti orang tua teecu."
Sin Hong terheran.
Anak ini luar biasa, karena memang itulah yang dipikirkannya tadi. Dia merasa
penasaran karena anak itu dianggapnya seperti anak sendiri, namun masih
menyimpan rahasia dirinya dan masih berpura-pura lagi!
"Nah,
karena itu, Yo Han. Hubungan antara murid dan guru, atau antara anak dan orang
tua, sebaiknya tidak menyimpan rahasia, bukan?"
"Memang
benar, Suhu. Apakah Suhu mengira teecu menyimpan rahasia? Dugaan itu tidak
benar, Suhu. Teecu tidak pernah menyimpan rahasia terhadap Suhu atau
Subo."
Anak seperti
Yo Han ini tidak mungkin dibohongi, pikir Sin Hong kaget. Lebih baik dia
berterus terang.
"Yo
Han, memang terus terang saja, aku dan subo-mu merasa heran melihat sikap dan
pendirianmu. Engkau menjadi murid kami akan tetapi tidak mau berlatih silat.
Lalu apa artinya kami menjadi gurumu?"
"Bukan
hanya ilmu silat yang telah diajarkan Suhu dan Subo kepada teecu. Teecu telah
menerima pelajaran sifat yang gagah berani, adil dan menjauhi perbuatan jahat
dari Suhu dan Subo. Juga selama ini banyak yang telah teecu pelajari. Sastra,
seni, dan banyak lagi. Terima kasih atas semua bimbingan itu, Suhu."
"Engkau
benar-benar tidak dapat bermain silat sama sekali, Yo Han?" pertanyaan ini
tiba-tiba saja karena Sin Hong memang bermaksud hendak bertanya secara terbuka.
Yo Han
menggeleng kepala, sikapnya tenang saja dan wajahnya tidak membayangkan
kebohongan.
"Yo
Han, aku tadi sempat melihat betapa engkau dapat menghindarkan ancaman maut
ketika engkau menangkap leher ular yang mematukmu dengan cepat. Ular hijau yang
berbisa, mematukmu secara tiba-tiba dan engkau mampu menangkapnya. Gerakan apa
itu kalau bukan gerakan silat?"
"Ahhh...?
Itukah yang Suhu maksudkan? Ular itu tadi? Teecu juga tak tahu sama sekali
bahwa teecu diserang ular, dan teecu juga tidak menggerakkan tangan teecu.
Tangan itu yang bergerak sendiri menangkap ular, Suhu."
Sin Hong
mengerutkan alisnya, hatinya bimbang. Jika orang lain yang bicara demikian,
tentu akan dihardiknya dan dikatakan bohong. Akan tetapi, sulit membayangkan
bahwa Yo Han membohong!
"Engkau
tidak mempelajari ilmu silat lain kecuali yang kami ajarkan?"
Sin Hong
menatap tajam wajah Yo Han, dan anak itu membalas tatapan mata gurunya dengan
tenang. Dia tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala. Gelengan kepala yang
amat mantap dan jelas menyatakan penyangkalannya.
"Engkau
tidak mempunyai seorang guru silat lain kecuali kami?"
Kembali Yo
Han tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala.
"Lalu...
gerakan tangan menangkap ular tadi?"
"Bukan
teecu yang menggerakkan. Maksud teecu, teecu tidak sengaja dan tangan itu
bergerak sendiri."
"Ahhhhh...!"
Ingin dia menghardik dan mengatakan bohong, akan tetapi sikap anak itu demikian
meyakinkan.
"Coba...
kau ulangi gerakan tanganmu ketika menangkap leher ular itu, Yo Han. Anggap
saja lengan tanganku ini ular itu tadi." Dan Sin Hong menggerakkan
tangannya seperti ular mematuk. Akan tetapi Yo Han hanya menggelengkan
kepalanya.
"Teecu
tidak dapat, Suhu. Sama sekali teecu tidak ingat lagi, karena ketika tangan
teecu bergerak, teecu sama sekali tak memperhatikan dan tahu-tahu ular itu
telah tertangkap oleh tangan teecu."
"Hemmm...!"
Sin Hong mengamati wajah muridnya dengan pandangan mata tajam dan menyelidik.
Namun muridnya itu tidak berbohong!
"Pernahkah
engkau mengalami hal-hal seperti itu? Ada gerakan yang tidak kau sadari dan
yang membantumu?"
Di luar
dugaan Sin Hong, anak itu mengangguk! Tentu saja Sin Hong menjadi tertarik
sekali. "Ehhh? Apa saja? Coba kau ceritakan kepadaku, Yo Han."
"Sering
kali teecu merasa terbimbing, tahu-tahu sudah bisa saja. Misalnya kalau teecu
membaca kitab, menghafal dan sebagainya. Kalau teecu merasa kesukaran kemudian
menghentikan semua usaha, bahkan tertidur, begitu bangun teecu sudah bisa!
Padahal sebelumnya teecu mengalami kesulitan besar."
"Kau
merasa seperti... seperti ada sesuatu yang membimbingmu, melindungimu?"
Ragu-ragu Yo
Han mengangguk perlahan, alisnya berkerut karena dia sendiri tidak tahu dengan
jelas. "Kurang lebih begitulah, Suhu. Teecu hanya bisa bersyukur dan
berterima kasih kepada Tuhan."
Sin Hong
mengerutkan alisnya, pikirannya diputar. Kalau anak ini memiliki sinkang, yaitu
hawa murni yang membangkitkan tenaga sakti, dia tidak merasa heran karena
tenaga sakti itu juga melindungi tubuh, walau pun perlindungan itu hanya dapat
bangkit kalau dikehendaki. Tetapi tenaga mukjijat yang melindungi Yo Han ini
lain lagi. Lebih dahsyat, lebih hebat karena bergerak atau bekerja justru kalau
tidak ada kehendak!
Semacam
nalurikah? Atau kekuasaan Tuhan yang ada pada setiap apa saja di dunia ini,
terutama di dalam diri manusia, dan pada diri Yo Han kekuasaan itu bekerja
dengan sepenuhnya? Dia tidak tahu, juga Yo Han tidak tahu! Bagaimana pun juga,
dia tahu bahwa muridnya ini mendapatkan berkah yang luar biasa dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, maka diam-diam dia memandang muridnya dengan hati penuh kagum dan
juga segan.
Seorang
manusia, meski pun masih bocah, yang telah menerima anugerah sedemikian
besarnya dari Tuhan patut dikagumi dan disegani. Pantas saja kadang-kadang anak
ini mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya terlampau tinggi bagi seorang
kanak-kanak. Kiranya bila sedang demikian itu, yang bekerja di dalam dirinya
bukan lagi hati dan akal pikirannya yang dikemudikan nafsu badan, melainkan
badan, hati dan akal pikiran yang digerakkan oleh kekuasaan Tuhan!
Ada pula
pikiran lain menyelinap dalam benak Sin Hong. Apakah bimbingan gaib yang
dirasakan oleh Yo Han itu datang dari roh ayah dan ibunya? Dia tak dapat
menjawab. Apa pun dapat saja terjadi pada seorang anak yang telah bisa mencapai
tingkat seperti itu, kebersihan batin dari kekerasan!
Sin Hong
tidak mau mengganggu muridnya membentuk boneka yang sedang dibuatnya. Di sini
pun dia dibuat tertegun. Pernah dia melihat ahli-ahli pembuat patung di kota
raja, baik ahli-ahli memahat patung, maupun juga ahli pembuat patung dari tanah
liat. Mereka adalah orang-orang yang sudah belajar kesenian itu selama
bertahun-tahun, di bawah pimpinan guru-guru yang ahli. Keahlian mereka
setidaknya masih terpengaruh oleh ilmu pengetahuan, oleh latihan dan belajar.
Akan tetapi,
Yo Han tidak pernah mempelajari seni membuat patung. Dan lihat! Jari-jari
tangan itu demikian trampil, demikian cekatan dan pembentukan patung itu
seolah-olah tanpa disengaja. Akan tetapi pada patung boneka tanah liat itu dia
mulai melihat bentuk muka puterinya, Sian Li! Diam-diam dia bergidik. Bocah
macam apakah muridnya ini? Sungguh tidak wajar, tidak umum! Dia pun
meninggalkan muridnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kagum, ada
heran, ada pula ngeri!
Setibanya di
rumah, dia menceritakan apa yang didengarnya dari jawaban Yo Han, juga tentang
pembuatan patung boneka, kepada isterinya yang mendengarkan dengan alis
berkerut. Akan tetapi Kao Hong Li diam saja, walau pun hatinya merasa gelisah
pula. Gelisah mengingat akan puterinya, karena hubungan puterinya dengan Yo Han
amat dekatnya. Puterinya amat sayang kepada Yo Han, dan ibu ini khawatir
kalau-kalau kelak anaknya akan meniru segala kelakuan Yo Han yang aneh-aneh dan
tidak wajar.
Ketika hari ulang
tahun ke empat dari Tan Sian Li tiba, ulang tahun itu dirayakan dengan
sederhana. Hanya keluarga dari empat orang itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li,
murid dan puteri mereka Yo Han dan Tan Sian Li, ditambah dengan tiga orang
pembantu rumah tangga yang merayakan pesta kecil yang mereka adakan.
Pada waktu
Yo Han menyerahkan hadiahnya yang dibungkus rapi, Tan Sian Li bersorak gembira.
Apa lagi ketika bungkusan itu dibuka dan isinya sebuah patung tanah liat yang
indah, anak kecil itu tertawa-tawa gembira. Ia tidak tahu betapa ayah ibunya,
juga tiga orang pembantu rumah tangga itu, menjadi bengong melihat sebuah
patung tanah liat yang berupa seorang anak perempuan kecil dengan wajah persis
Tan Sian Li! Demikian halus buatan patung itu sehingga nampak seperti hidup
saja!
Suami isteri
itu saling pandang dan kembali Kao Hong Li merasa tak enak sekali. Makin jelas
buktinya bahwa Yo Han bukan orang biasa, bukan anak biasa. Mana mungkin ada
anak berusia dua belas tahun yang tidak pernah mempelajari seni membuat patung
dapat membuat patung sedemikian indahnya, dan mirip sekali dengan wajah Sian
Li? Diam-diam dia bergidik ngeri, seperti juga suaminya. Akan tetapi tiga orang
pembantu rumah tangga itu memuji-muji penuh kagum.
Selain
patung kanak-kanak itu, yang membuat Sian Li gembira sekali adalah pakaian yang
dipakainya, hadiah dari ibunya. Pakaian berwarna serba merah! Dasarnya merah
muda, kembang-kembangnya merah tua. Indah sekali. Memberi pakaian serba merah
kepada anak yang dirayakan ulang tahunnya, merupakan hal yang wajar dan lajim.
Namun, tidak
demikian halnya dengan Sian Li. Semenjak ia menerima hadiah pakaian serba merah
itu, sejak dipakainya pakaian merah itu, ia tidak membiarkan lagi pakaian itu
dilepas! Ia tidak mau memakai pakaian lain yang tidak berwarna merah! Dan
ketika dipaksa, ia menangis terus, dan tangisnya baru terhenti jika Yo Han
menggendongnya, akan tetapi ia masih merengek.
"Baju
merah... huuu, baju merah...!"
Tan Sin Hong
dan Kao Hong Li menjadi bingung. Anak mereka itu memang agak manja dan kalau
sudah menangis sukar dihentikan, kecuali oleh Yo Han. Kini, biar pun tidak
menangis setelah dipondong Yo Han, tetap saja merengek minta pakaian merah!
"Suhu
dan Subo, kasihanilah Adik Sian Li. Beri ia pakaian merah, karena warna itulah
yang menjadi warna pilihan dan kesukaannya. Dalam pakaian merah, baru akan
merasa tenang, tenteram dan senang! Tadi ketika Subo memberinya pakaian serba
merah, dan ketika ia memakainya, ia merasakan kesenangan yang luar biasa, maka
kini ia tidak mau lagi diberi pakaian yang tidak berwarna merah."
Suami isteri
itu saling pandang. Karena mereka tahu bahwa ucapan Yo Han itu bukan ucapan
anak-anak begitu saja, mempunyai makna yang lebih mendalam, maka mereka lalu
terpaksa membelikan pakaian-pakaian serba merah untuk Sian Li. Dan benar saja.
Begitu ia memakai pakaian merah, ia nampak gembira dan bahagia sekali! Dan
sejak hari itu, Sian Li tidak pernah lagi memakai pakaian yang tidak berwarna merah.
****************
Malam itu
kembali hujan lebat. Hawa udara amat dinginnya. Sian Li sudah tidur nyenyak dan
suasana sunyi bukan main. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, masih belum
tidur. Lilin di atas meja di dalam kamar mereka masih menyala karena mereka
masih bercakap-cakap. Hong Li duduk di atas pembaringan dan suaminya duduk di
atas kursi dalam kamar itu.
Mereka
biasanya bersikap hati-hati, apa lagi malam itu mereka membicarakan tentang
murid mereka, Yo Han. Akan tetapi, karena murid mereka sudah masuk kamar, biar
pun andai kata belum pulas juga tidak mungkin dapat mendengarkan percakapan
mereka. Hujan di luar kamar amat derasnya. Takkan ada orang lain yang dapat
mendengarkan percakapan mereka dari luar kamar.
"Bagaimana
pun juga, aku merasa tidak enak sekali," kata Hong Li setelah beberapa
lamanya mereka berdiam diri. "Sian Li begitu dekat dengannya. Sulit untuk
mencegah anak kita itu tidak mengikuti jejak Yo Han. Tidak mungkin pula kita
menjauhkan anak kita dari Yo Han karena Sian Li sudah menjadi manja sekali dan
paling suka kalau bermain-main dengan Yo Han. Bagaimana jadinya kalau anak kita
itu kelak tidak mau belajar ilmu silat, dan mengikuti jejak Yo Han menjadi
anak... aneh, anak ajaib tidak seperti manusia! Ih, aku merasa ngeri membayangkan
anak kita kelak menjadi seperti Yo Han!"
"Hemm,
tentu saja aku pun menginginkan anak kita menjadi seorang manusia biasa, dan
terutama menjadi seorang pendekar wanita seperti engkau, ibunya. Akan tetapi
bagaimana caranya untuk menjauhkannya dari Yo Han?" kata Sin Hong.
"Tidak
ada cara lain kecuali memisahkan mereka!” kata Hong Li.
“Memisahkan?"
Sin Hong berkata dengan suara mengandung kekagetan. "Akan tetapi,
bagaimana? Yo Han adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak
keluarga lagi, dan dia juga murid kita!"
“Soalnya
hanya ini. Kita lebih sayang Sian Li ataukah lebih sayang Yo Han. Keduanya
memang kita sayang, akan tetapi mana yang lebih berat bagi kita?"
Sin Hong
menarik napas panjang. Isterinya mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya
satu. "Tentu saja kita lebih memberatkan Sian Li. Bagaimana pun juga, ia
adalah anak kita, darah daging kita. Akan tetapi aku pun tidak ingin melihat Yo
Han terlantar, aku tidak mau menyia-nyiakan anak yang tidak mempunyai kesalahan
apa pun itu."
"Tentu
saja! Kita bukannya orang-orang jahat dan kejam yang demi kepentingan anak
sendiri lalu membikin sengsara orang lain. Sama sekali tidak. Maksudku,
bagaimana jika kita mencarikan tempat baru untuk Yo Han? Memberi dia kesempatan
untuk mendapat guru yang baru, atau melihat bakatnya, bagaimana kalau kita
menitipkan dia di kuil, di mana terdapat orang-orang pandai dan saleh? Tentu
saja kita dapat membayar biaya pendidikannya setiap bulan atau setiap
tahun."
Sin Hong
mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa isterinya cukup bijaksana. Isterinya
adalah seorang pendekar wanita tulen, cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir! Ayahnya
putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan ibunya cucu Pendekar Super Sakti! Ia pun
setuju dengan usul isterinya itu.
Memang,
jalan terbaik ialah memisahkan Yo Han dari Sian Li, dan cara pemisahan yang
sebaiknya adalah menyingkirkan Yo Han dari rumah mereka dengan memberi jaminan
terhadap kehidupan Yo Han selanjutnya. Paling baik jika dititipkan di kuil agar
dia dapat belajar lebih lanjut. Siapa tahu dibawah pimpinan para pendeta kuil,
ketidak wajarannya itu akan berubah dan Yo Han akan menjadi seorang anak yang
biasa. Kalau sudah begitu tentu tidak ada halangannya bagi Yo Han untuk kembali
kepada mereka.
"Ahhh,
aku teringat sekarang! Bagaimana kalau kita minta tolong kepada Thian Sun
Totiang?" dia berkata.
"Maksudmu,
kepala kuil di lereng Pegunungan Heng-san itu? Bukankah Thian Sun Tosu itu
seorang tokoh Kun-lun-pai?" kata Hong Li mengingat-ingat.
"Benar
sekali. Selain ilmu silatnya tinggi juga beliau adalah seorang pendeta yang
hidup saleh. Tentu dia dapat membimbing Yo Han dalam ilmu kerohanian. Juga
beliau adalah sahabatku. Tentu saja kita dapat memberi sumbangan untuk kuilnya
sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk keperluan Yo Han."
"Bagus,
aku pun setuju sekali!" kata Hong Li. Keduanya merasa lega dengan
keputusan itu dan Sin Hong meniup padam lilln di atas meja, tanda bahwa
keduanya akan tidur.
Di dalam
hujan yang lebat, dalam udara yang amat dingin itu. Yo Han keluar dari dalam
kamarnya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia keluar dari dalam kamarnya.
Akan tetapi dia tidak peduli dan hanya menyerah kepada dorongan yang membuat
kakinya berjalan keluar dari dalam kamar, keluar melalui pintu belakang ke
dalam hujan! Tentu saja rambut dan pakaiannya basah kuyup, namun dia tidak
peduli karena kakinya terus melangkah. Bahkan hawa dingin itu tidak
dirasakannya sama sekali, kalau pun ada perasaan di tubuhnya, maka yang ada
bahkan perasaan sejuk segar dan nikmat!
Seperti
dituntun, kedua kakinya menuju ke jendela kamar suhu-nya! Jejak kakinya tentu
akan terdengar oleh suhu dan subo-nya kalau saja malam itu tidak ada hujan.
Suara hujan jatuh ke atas genteng dan tanah, juga ke atas daun-daun pohon, jauh
lebih berisik dari pada jejak kakinya, maka walau pun andai kata suami isteri
pendekar itu memiliki ketajaman pendengaran sepuluh kali lipat, belum tentu
akan mampu mengetahui bahwa ada orang melangkah di luar jendela kamar mereka.
Yo Han
mendengar semua percakapan mengenai dirinya itu! Ia memejamkan matanya, dan
setelah lilin dalam kamar itu tertiup padam, dia pun kembali ke kamarnya dengan
tubuh terasa lemas. Dia mendengar percakapan suhu dan subo-nya. Dia tidak
sengaja ingin mendengarkan percakapan mereka.
Entah
bagaimana kedua kakinya bergerak membawa dia ke dalam hujan dan mendekati kamar
mereka sehingga dia mendengar percakapan mereka. Suhu dan subo-nya tidak
menghendaki dia untuk tinggal lebih lama di rumah mereka! Mereka ingin
memisahkan dia dari Sian Li! Dia akan dititipkan di sebuah kuil!
Setelah
memasuki kamarnya, dia duduk di atas kursi bagaikan patung. Pakaian dan
rambutnya yang basah kuyup tidak dipedulikannya. Dia merasa sedih bukan main.
Dia harus meninggalkan mereka yang dia kasihi. Harus meninggalkan Sian Li!
Tanpa
terasa, dua titik air mata turun ke atas pipinya, mencair dan menjadi satu
dengan kebasahan air hujan. Tidak, dia tidak boleh menangis! Menangis tiada
gunanya, bahkan hanya membuat hatinya menjadi semakin sedih! Pada waktu
mendengar kematian ayah bundanya dulu, lima tahun yang lalu, dia pun
mengeraskan hatinya, tidak membiarkan diri menangis berlarut-larut.
Pada
keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut agak kusut, pagi-pagi
sekali Yo Han sudah memondong Sian Li yang sudah dimandikan ibunya.
"Subo,
teecu hendak mengajak adik Sian Li bermain di kebun," kata Yo Han kepada
subo-nya yang sudah keluar dari dalam kamar bersama suhu-nya.
Kedua orang
suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa tidak tega untuk sepagi itu
menyatakan keinginan mereka menitipkan Yo Han ke kuil. Biarkan anak itu
bermain-main dulu dengan Sian Li.
"Ajaklah
ia bermain-main, akan tetapi nanti kalau waktu sarapan pagi, ajak ia
pulang," kata Hong Li dan Sin Hong mengangguk setuju.
“Baik,
Subo,” kata Yo Han.
Dia
menurunkan Sian Li, menggandeng tangan anak itu dan keduanya lalu berlari-lari
meninggalkan rumah, menuju ke belakang rumah. Melihat betapa gembiranya Sian Li
diajak bermain-main oleh Yo Han, suami isteri itu saling pandang lagi dan
keduanya menghela napas panjang. Mereka maklum betapa mereka semua, terutama
sekali Sian Li, akan merasa kehilangan Yo Han kalau anak itu pergi meninggalkan
rumah mereka. Akan tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan Sian Li, mereka harus
melegakan hati, Yo Han harus dipisahkan dari anak mereka!
Biasanya,
pagi-pagi sekali Yo Han sudah rajin bekerja. Bekerja pagi-pagi saat matahari
belum terbit menjadi kesukaannya. Bekerja apa saja, menyapu halaman,
membersihkan jendela-jendela rumah dari luar. Bekerja apa saja asal berada di
luar rumah karena yang dinikmatinya bukan hanya pekerjaan itu, melainkan
terutama sekali adalah suasana di pagi hari.
Baginya pagi
hari merupakan saat yang paling indah. Munculnya matahari seolah-olah
membangkitkan semangat, gairah dan tenaga kepada segala makluk di permukaan
bumi. Akan tetapi, pagi hari itu dia ingin sekali mengajak Sian Li
bermain-main. Dia sudah mengambil keputusan untuk pergi, seperti yang
dikehendaki suhu dan subo-nya. Dia mengerti betapa beratnya bagi mereka untuk
menyuruh dia pergi. Maka dia harus membantu mereka. Dialah yang akan berpamit
sehingga tak memberatkan hati mereka.
Pula, dia
tidak mau kalau dititipkan di kuil mana pun juga. Kalau dia harus berpisah dari
suhu dan subo-nya, juga dari Sian Li yang dikasihinya, lebih baik dia berkelana
dengan bebas dari pada harus berdiam di dalam kuil seperti seekor burung dalam
sangkar. Dan sebelum pergi, dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main,
ingin menyenangkan hati adiknya itu untuk yang terakhir kalinya.
Dia mengajak
Sian Li ke tepi sungai, tempat yang paling disenanginya karena tempat itu
memang indah sekali. Sunyi dan tenang. Mendengarkan burung berkicau dan air
sungai berdendang dengan riak kecil, sungguh amat merdu dan menyejukkan hati.
Duduk di atas rumput di tepi sungai, menatap langit yang sangat indah, langit
di timur yang mulai kemerahan, serta mutiara-mutiara embun di setiap ujung
daun. Tak dapat digambarkan indahnya.
Dia duduk
dan memangku Sian Li yang memandang ke arah air di sungai dengan wajah berseri.
Dia menunduk, mencium kepala anak itu. Betapa dia amat menyayang adiknya.
Dicium kepalanya, Sian Li memandang dan merangkulkan kedua lengannya yang kecil
di leher Yo Han. Semenjak kecil ia diajar menyebut suheng (kakak seperguruan)
kepada Yo Han. Melihat kakaknya itu memandang kepadanya dengan sepasang mata
penuh kasih sayang, anak itu tersenyum.
“Aku sayang
suheng...,” katanya lucu.
Yo Han
mencium pipinya. “Aku pun sayang kepadamu, adikku...”
Hatinya
terharu sekali karena dia dapat merasakan kasih sayang di antara mereka yang
menggetarkan hatinya. Dia harus berpisah dari anak ini! Bahkan karena adiknya
inilah dia harus meninggalkan rumah suhu-nya! Suhu dan subo-nya tidak ingin
kelak Sian Li mencontoh sikap dan wataknya! Begitu burukkah sikap dan wataknya?
Dia mengerti
bahwa guru dan subo-nya amat kecewa karena dia tidak suka berlatih silat. Dan
membayangkan betapa adik yang bersih ini kelak menjadi seorang gadis yang
perkasa, seperti ibunya dulu, hidupnya penuh bahaya dan acaman musuh, hidup
selalu waspada, membunuh atau dibunuh, ingin dia menangis.
Adiknya ini
akan menjadi pembunuh! Akan memenggal leher orang dengan pedangnya, atau
menusukkan pedang menembus dada dan jantung orang. Atau sebaliknya, disiksa dan
dibunuh orang!
“Ihhh,
Suheng... menangis?” anak itu memandang ketika dua titik air mata turun ke atas
pipi kakaknya, dan tangannya menyentuh air mata di pipi itu sehingga runtuh.
Sentuhan lembut yang menggetarkan hati Yo Han.
“Sian Li...”
Dia merangkul, menyembunyikan mukanya di atas kepala anak itu.
“Suheng,
Ayah dan Ibu melarang kita menangis...,” kata anak itu lagi. “Apakah Suheng
menangis?” Suaranya masih belum jelas dan terdengar lucu, tapi justru
mengharukan sekali.
Yo Han
mengeraskan hatinya dan diam-diam dia mengusap air matanya, kemudian dia
membiarkan adiknya dapat memandang mukanya yang tadi disembunyikan di rambut
kepala Sian Li. Dia menggeleng.
“Aku tidak
menangis, sayang.”
Anak itu
tertawa dan alangkah manis dan lucunya kalau ia tertawa.
“Hore…
Suheng tidak menangis. Suheng gagah perkasa!”
Yo Han
merasa jantungnya seperti ditusuk. Anak sekecil ini sudah menghargai kegagah
perkasaan! Anak sekecil ini telah menjadi calon pendekar wanita, seorang calon
hamba kekerasan! Sudah terbayang olehnya kelak Sian Li menjadi seorang gadis
yang selalu membawa pedang di belakang punggungnya.
Ia cepat
dapat menguasai kesedihan dan keharuannya, dan teringat bahwa ia mengajak
adiknya pagi ini ke tepi sungai untuk bermain-main dan menyenangkan hati
adiknya.
“Sian Li,
sekarang katakan, engkau ingin apa? Katakan apa yang kau inginkan dan aku pasti
akan mengambilnya untukmu. Katakan, adikku sayang.” Yo Han membelai rambut
kepala adiknya.
Sian Li
berloncatan girang dan bertepuk tangan.
“Betul,
Suheng? Engkau mau mengambilkan yang kuingini? Aku ingin itu, Suheng...” Ia
menunjuk ke arah pohon yang tumbuh dekat situ.
“Itu apa?”
Yo Han memandang ke arah pohon itu. Pohon itu tidak berbunga. Apa yang diminta
oleh Sian Li? Daun?
“Itu yang
merah ekornya...”
“Hee? Merah
ekornya? Apa...?”
“Burung itu,
Suheng. Cepat, nanti dia terbang lagi. Aku ingin memiliki burung itu...”
Yo Han
menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menangkap burung yang
berada di pohon? Sebelum ditangkap, burung itu akan terbang.
“Aku tidak
bisa, Sian Li. Burung itu punya sayap, pandai terbang, sedangkan aku... lihat,
aku tak bersayap!” Yo Han melucu sambil berdiri dan mengembangkan dua
lengannya, seperti hendak terbang.
“Uhhh! Kalau
Ayah atau Ibu, mudah saja menangkap burung di pohon. Suheng kan muridnya, masa
tidak bisa?”
Yo Han
merangkul adiknya. “Sian Li, terang saja aku tidak bisa, dan juga, untuk apa
burung ditangkap? Biarkan dia terbang bebas. Kasihan kalau ditangkap lalu
dimasukkan sangkar. Itu menyiksa namanya, kejam. Kita tidak boleh menyiksa
mahluk lain, adikku sayang...”
“Uuuuh...
Suheng...! Kalau begitu, ambilkan saja itu yang mudah. Itu tuh, yang kuning dan
biru...”
Yo Han
mengerutkan alisnya melihat adiknya menunjuk ke arah serumpun bunga yang
berwarna merah. Yang diminta, yang berwarna kuning dan biru. Itu bukan warna
bunga, tetapi warna beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan di sekeliling
rumpun bunga itu. Adiknya minta dia menangkapkan seekor kupu kuning dan seekor
kupu biru!
Memang
mudah, akan tetapi dia pun tidak suka melakukan itu. Dia tidak suka menyiksa
manusia mau pun binatang, apa lagi kupu-kupu, binatang yang demikian indah dan
tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Akan tetapi, untuk menolak lagi
permintaan Sian Li, dia pun tidak tega. Maka dia pun pura-pura mengejar
kupu-kupu yang beterbangan dengan panik, pura-pura mencoba untuk menangkap
dengan kedua tangannya namun tidak berhasil, dan sebagai gantinya, dia memetik
beberapa tangkai bunga merah dan memberikan itu kepada adiknya.
“Wah,
kupu-kupunya terbang. Ini saja gantinya, Sian Li. Kembang ini indah sekali.
Kalau dipasang di rambutmu, engkau akan bertambah manis.”
“Tidak
mau...! Aku tidak mau kembang. Aku ingin burung dan kupu-kupu. Aihh... Suheng
nakal. Aku mau kupu-kupu dan burung...” Sian Li lalu membanting-banting kaki
dengan manja dan mulai menangis.
Yo Han
menjatuhkan diri berlutut dan merangkul adiknya. “Dengarlah baik-baik, adikku
sayang. Apakah engkau mau dikurung dalam kurungan, dan apakah engkau mau kalau
kaki tanganmu dibuntungi?”
Mendengar
ini, Sian Li terheran. Dengan pipi basah air mata ia memandang kakaknya, tidak
mengerti.
“Kau tentu
tidak mau bukan?”
Sian Li
menggelengkan kepala, masih terheran-heran kenapa kakaknya yang biasanya sangat
sayang kepadanya dan memanjakannya, kini hendak mengurung dan bahkan
membuntungi kaki tangannya!
“Bagus kalau
engkau tidak mau! Nah, sama saja, adikku sayang. Engkau tidak mau ditangkap dan
dikurung, burung itu pun akan susah sekali kalau kau tangkap dan kau masukkan
sangkar, dikurung dan tidak boleh terbang bermain-main dengan teman-temannya.
Engkau tidak mau dibuntungi kaki tanganmu, juga kupu-kupu itu tidak suka dan
merasa kesakitan dan susah kalau sayapnya dipatahkan, kakinya dibuntungi. Kita
tidak boleh menyiksa binatang yang tidak bersalah apa-apa, adikku sayang.
Kubikinkan boneka tanah liat saja, ya?”
Akan tetapi
Sian Li yang manja masih membanting-banting kaki dan mulutnya cemberut, walau
pun tidak menangis lagi. “Suheng, katanya engkau mau... mau memenuhi semua
permintaanku, ternyata semua permintaanku kau tolak...”
Pada saat
itulah nampak berkelebat bayangan merah, dan tahu-tahu di depan mereka telah
berdiri seorang wanita yang pakaiannya serba merah! Pakaian berwarna merah ini
segera menarik perhatian Yo Han karena adiknya pun sejak hari ulang tahun ke
empat itu setiap hari juga memakai pakaian merah! Jadi di situ sekarang berada
seorang anak perempuan empat tahun yang pakaiannya serba merah, beserta seorang
wanita cantik yang juga pakaiannya berwarna merah. Yo Han memandang penuh
perhatian.
Ia seorang
wanita yang berwajah cantik. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggang yang
kecil dan pinggul besar seperti tubuh seekor kumbang. Usianya kurang lebih tiga
puluh tahun kalau melihat wajah dan bentuk badannya, pada hal sesungguhnya dia
sudah berusia empat puluh tahun!
Wajahnya
bundar dan putih dilapisi bedak, pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis.
Rambutnya digelung ke atas model gelung para puteri bangsawan. Pakaiannya yang
serba merah itu terbuat dari sutera yang mahal dan halus dan selain pesolek,
wanita itu pun rapi dan bersih, bahkan sepatunya yang terbuat dari kulit merah
itu pun mengkilap. Di punggungnya nampak sebatang pedang dengan sarung berukir
indah dengan ronce-ronce biru yang menyolok karena warna pakaiannya yang merah.
“Heii, anak
baju merah, engkau manis sekali!” Wanita itu berseru dan suaranya merdu.
“Engkau minta burung dan kupu-kupu? Mudah sekali, aku akan menangkapkan burung
dan kupu-kupu untukmu. Lihat!”
Wanita itu
melihat ke atas. Ada beberapa ekor burung terbang meninggalkan pohon besar dan
ada yang lewat di atas kepalanya. Wanita itu menggerakkan tangan kiri ke arah
burung yang terbang lewat, seperti menggapai dan... burung itu mengeluarkan
teriakan lalu jatuh seperti sebuah batu ke bawah, disambut oleh tangan kiri
wanita itu.
“Nah, ini
burung yang kau inginkan, bukan?” Ia memberikan burung berekor merah yang kecil
itu kepada Sian Li yang menerimanya dengan gembira sekali.
Yo Han
mengerutkan alisnya ketika mendekat dan ikut melihat burung kecil yang berada
di tangan adiknya. Kini burung itu tidak dapat terbang lagi, dan ketika mencoba
untuk menggerak-gerakkan kedua sayap kecilnya, kedua sayap itu seperti lumpuh
dan ada sedikit darah. Tahulah dia bahwa sayap burung itu terluka entah oleh
apa.
Kini dia
menoleh dan melihat wanita itu menggerakkan kedua tangannya ke arah dua ekor
kupu-kupu yang beterbangan. Ada angin menyambar dari kedua telapak tangan itu
dan dua ekor kupu-kupu itu bagai disedot dan ditangkap oleh dua tangan itu,
kemudian diberikan pula kepada Sian Li.
“Nah, ini
dua ekor kupu-kupu yang kau inginkan, bukan?”
Sian Li
girang sekali. “Kupu-kupu indah! Burung cantik...!” Ia sudah sibuk dengan
seekor burung dan dua ekor kupu-kupu yang dipegangnya.
“Adik Sian
Li, mari kita pergi dari sini!” kata Yo Han tak senang.
Dia hendak
menggandeng lengan adiknya. Akan tetapi, mendadak tubuh Sian Li seperti terbang
ke atas dan tahu-tahu sudah berada di dalam pondongan wanita itu. Sian Li
terpekik gembira ketika tubuhnya melayang ke atas.
“Suheng, aku
dapat terbang...!” teriaknya gembira.
Wanita
berpakaian merah itu tersenyum dan wajahnya nampak semakin muda ketika ia
tersenyum. “Ya, engkau ikut saja dengan aku, anak manis, dan aku akan
mengajarmu terbang, juga menangkap banyak burung dan kupu-kupu. Engkau suka,
bukan?”
“Aku suka!
Aku senang...!”
“Sian Li,
turun dan mari kita pulang,” Yo Han berkata lagi.
“Tidak, aku
ingin ikut bibi ini, menangkap burung dan kupu-kupu, juga belajar terbang!”
“Sian Li...”
Wanita itu
mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Anak yang baik, jadi namamu Sian Li
(Dewi)? Nah, mari kita terbang seperti bidadari-bidadari baju merah,
hi-hi-hik!”
Yang nampak
oleh Yo Han hanyalah bayangan merah berkelebat, dan yang tertinggal hanya suara
ketawa merdu wanita itu yang bergema dan kemudian lenyap pula. Wanita
berpakaian merah itu bersama Sian Li telah lenyap dari depannya, seolah-olah
mereka benar-benar telah terbang melayang, atau menghilang dengan amat
cepatnya.
“Sian Li...!
Bibi baju merah, kembalikan Sian Li kepadaku!”
Yo Han
berlari ke sana-sini, berteriak-teriak, akan tetapi adiknya tetap tak kembali,
juga wanita yang melarikannya itu tak kembali. Terpaksa Yo Han lalu cepat
berlari kencang, sekuat tenaga, pulang ke rumah gurunya.
Sin Hong dan
Hong Li terkejut melihat murid mereka itu berlari-lari pulang tanpa Sian Li dan
dari wajahnya, nampak betapa murid mereka itu dalam keadaan amat tegang dan
napasnya terengah-engah karena dia telah berlari-lari secepatnya.
“Yo Han, ada
apakah?” Sin Hong menagur muridnya.
“Yo Han, di
mana Sian Li?” Hong Li bertanya dengan mata dibuka lebar, mata seorang ibu yang
gelisah mengkhawatirkan anaknya.
“Suhu,
Subo... adik Sian Li... ia dilarikan seorang wanita berpakaian merah...,” kata
Yo Han dengan napas masih terengah-engah.
Suami isteri
itu sekali bergerak sudah meloncat dan memegang lengan Yo Han dari kanan kiri.
“Apa? Apa
yang terjadi? Ceritakan, cepat!” bentak Sin Hong.
“Teecu
sedang bermain-main dengan adik Sian Li di tepi sungai ketika tiba-tiba muncul
seorang wanita berpakaian merah. Ia menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk
Sian Li, kemudian ia memondong adik Sian Li dan menghilang begitu saja.”
“Seperti apa
wajah wanita itu? Berapa usianya?” tanya Hong Li, wajahnya berubah dan matanya
menyinarkan kemarahan.
“Ia berusia
kurang lebih tiga puluh tahun, Subo. Semua pakaiannya berwarna merah, sampai
sepatunya. Wajahnya cantik pesolek, di punggungnya nampak pedang dengan ronce
biru...”
“Ke mana
larinya?” tanya Sin Hong.
“Teecu tidak
tahu, Suhu. Setelah memondong adik Sian Li, dia lalu menghilang begitu saja,
teecu tidak tahu ke arah mana dia lari...”
“Inilah
jadinya kalau punya murid tolol!” Tiba-tiba Hong Li berteriak marah. “Lima
tahun menjadi murid, sedikit pun tidak ada gunanya. Kalau engkau berlatih silat
dengan baik, sedikitnya engkau tentu akan dapat melindungi Sian Li dan anakku
tidak diculik orang. Anak bodoh, sombong...!”
”Suhu dan
Subo, teecu pasti bertanggung jawab! Teecu akan mencari adik Sian Li dan
membawanya pulang. Teecu tidak akan kembali sebelum berhasil menemukan dan
membawa pulang adik Sian Li!” Yo Han berseru, menahan air matanya dan mengepal
kedua tangannya.
Akan tetapi
Sin Hong sudah berseru kepada isterinya, “Tidak perlu ribut, mari kita cepat
pergi mengejar penculik itu!” Seruan ini disusul berkelebatnya dua orang suami
isteri pendekar itu dan dalam sekejap mata saja mereka lenyap dari depan Yo
Han.
Yo Han
tertegun sejenak, kemudian sambil menahan isaknya, dia pun lari keluar dari
rumah. Dia tidak tahu harus mengejar ke mana, akan tetapi dia tidak peduli dan
dia membiarkan kedua kakinya yang berlari cepat itu membawa dirinya pergi
keluar kota Ta-tung, entah ke mana!
Sin Hong dan
Hong Li berlari cepat menuju ke tepi sungai, kemudian mereka mencari-cari,
menyusuri sungai. Namun, usaha mereka tak berhasil. Anak mereka lenyap tanpa
meninggalkan jejak! Tentu saja mereka merasa gelisah sekali.
“Bocah sial
itu harus diajak ke sini agar dia menunjukkan ke mana larinya penculik itu dan
di mana peristiwa itu terjadi. Kau mencari dulu di sini, aku mau mengajak Yo
Han ke sini!” kata Hong Li dan ia pun sudah meninggalkan suaminya, pulang ke
rumah untuk mengajak Yo Han ke tepi sungai.
Akan tetapi
setelah tiba di rumah, ia tidak lagi melihat Yo Han! Dicari dan dipanggilnya
murid itu, namun Yo Han tidak ada dan nyonya muda ini pun teringat akan
teriakan Yo Han yang akan bertanggung jawab dan akan mencari Sian Li sampai
dapat! Terpaksa Hong Li kembali lagi ke tepi sungai.
“Dia... dia
tidak ada di rumah...!” katanya.
Sin Hong
mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Tentu dia sudah pergi untuk memenuhi janjinya
tadi. Dan dia pasti tidak akan pernah datang kembali sebelum menemukan dan
mengajak Sian Li pulang.”
“Uhh, dia
mau bisa apa?” Hong Li berseru, marah dan gelisah. “Bagaimana dia akan mampu
mengejar penculik yang berilmu tinggi, apa lagi merampas kembali anak kita?”
Wanita itu mengeluh dan hampir menangis. “Sian Li... ahhh, di mana kau...?”
“Mari kita
cari lagi!” kata Sin Hong, tidak mau membiarkan isterinya dilanda kegelisahan
dan kedukaan.
Mereka lalu
mencari-cari di sekitar daerah itu, mencari jejak, namun sia-sia belaka. Anak
mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak dan semua orang yang mereka jumpai dan
mereka tanyai, tidak ada seorang pun yang melihat anak mereka atau wanita
berpakaian serba merah seperti yang diceritakan Yo Han tadi.
Setelah hari
larut malam mereka terpaksa pulang. Sampai di rumah Hong Li menangis, dan
suaminya hanya dapat menghiburnya.
“Tenangkan
hatimu. Kurasa penculik itu tidak berniat mengganggu anak kita. Kalau wanita
penculik itu musuh kita dan ingin membalas dendam, tentu ia sudah membunuh anak
kita di waktu itu juga. Akan tetapi, ia membawanya pergi dan menurut keterangan
Yo Han, ia bahkan bersikap baik, menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian
Li.”
Dihibur
demikian, Hong Li menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya. “Kau kira
siapakah wanita berpakaian merah itu?”
Sin Hong
menggeleng kepalanya. “Sudah kupikirkan dan kuingat-ingat, tetapi rasanya belum
pernah aku mempunyai musuh seorang wanita berpakaian serba merah. Apa lagi
usianya baru sekitar tiga puluh tahun. Engkau tahu sendiri, tokoh wanita sesat
di dunia kang-ouw yang pernah menjadi musuhku, bahkan yang tewas di tanganku,
hanyalah Sin-kiam Mo-li. Tentu ia seorang tokoh baru dalam dunia kang-ouw,
bahkan kita tidak tahu apakah dia termasuk tokoh sesat ataukah seorang pendekar
yang merasa suka kepada anak kita.”
“Tak mungkin
seorang pendekar wanita menculik anak orang!” Hong Li berkata. “Hemm, terkutuk
orang itu. Kalau sampai kutemukan dia, akan kuhancurkan kepalanya! Ehhh,
jangan-jangan bekas isterimu yang melakukan itu...“
Sin Hong
memandang isterinya. Dia tahu bahwa pertanyaan itu bukan terdorong oleh
cemburu, tetapi oleh kegelisahan yang membuat jalan pikiran isterinya menjadi
kacau. Dia menikah dengan Hong Li sebagai seorang duda, akan tetapi juga Hong
Li seorang janda. Mereka telah mengetahui keadaan masing-masing, dan mereka pun
sudah saling menceritakan riwayat mereka dan nasib buruk mereka dalam
pernikahan pertama itu.
“Tidak
mungkin Bhe Siang Cun yang melakukannya,” kata Sin Hong sambil menggeleng
kepala. “Usianya sekarang baru kurang lebih dua puluh empat tahun, dan juga ia
tidak berpakaian merah. Pula, ia tidak akan berani melakukan hal itu. Ia bukan
penjahat dan tidak ada alasan baginya untuk mengganggu kita. Tidak, dugaan itu
menyimpang jauh. Coba kau ingat baik-baik, mungkin pernah engkau dahulu
bermusuhan dengan seorang tokoh sesat yang berpakaian merah?”
Hong Li
mengingat-ingat. Bekas suaminya jelas tak dapat dicurigai. Bekas suaminya itu,
Thio Hui Kong, adalah putera seorang jaksa yang adil dan jujur. Juga tiada
alasan bagi Thio Hui Kong untuk mengganggunya. Mereka telah bercerai.
Tokoh jahat
berpakaian merah? Rasanya ia belum pernah menemui wanita berpakaian merah dalam
semua pengalamannya ketika masih sebagai seorang pendekar wanita. Pakaian
merah?
Tiba-tiba ia
meloncat berdiri. “Ahh...!” Ia teringat.
“Engkau
ingat sesuatu?” Suaminya bertanya.
“Memang ada
tokoh sesat berpakaian merah, akan tetapi bukan wanita. Kau ingat Ang-I Mo-pang
(Perkumpulan Iblis Baju Merah)? Tokoh yang terakhir, Ang-I Siauw-mo (Iblis
Kecil Baju Merah) tewas di tanganku!”
Sin Hong
mengerutkan alisnya. “Hemmm... Ang-I Mo-pang? Bukankah dulu sarangnya berada di
luar kota Kunming, di Propinsi Hu-nan? Tapi, Ang-I Mo-pang sudah hancur dan
rasanya tidak ada tokohnya yang wanita dan yang lihai...”
“Betapa pun
juga, itu sudah merupakan suatu petunjuk. Dari pada kita meraba-raba di dalam
gelap. Aku akan pergi ke Kunming, menyelidiki mereka. Siapa tahu penculik itu
datang dari sana. Ang-I Mo-pang memang beralasan cukup kuat untuk memusuhiku
dan mendendam kepadaku. Aku akan berangkat besok pagi-pagi!”
“Nanti dulu,
Li-moi. Jangan tergesa-gesa. Kemungkinannya kecil saja, walau pun aku juga
setuju kalau kita menyelidik ke sana. Akan tetapi kita tunggu dulu beberapa
hari. Kita menanti kembalinya Yo Han. Siapa tahu dia berhasil...“
“Bocah
sombong itu? Mana mungkin? Kalau kita berdua tidak berhasil, bagaimana anak
tolol itu akan berhasil? Dialah biang keladinya sehingga anak kita diculik
orang!”
“Li-moi,
tenanglah dan di mana kebijaksanaanmu? Bagaimana pun juga, kita tidak dapat
menyalahkan Yo Han. Andai kata dia telah menguasai ilmu silat, kepandaiannya
itu pun belum matang. Apa artinya seorang anak berusia dua belas tahun
menghadapi seorang penculik yang lihai? Andai kata Yo Han pernah latihan ilmu
silat, tetap saja dia tidak akan mampu melindungi Sian Li.”
“Akan
tetapi, apa perlunya kita menunggu beberapa hari? Dia tidak akan berhasil, dan
penculik itu akan semakin jauh...”
“Kita lihat
saja, Li-moi. Lupakah engkau betapa banyak hal-hal aneh dilakukan Yo Han? Kita
tunggu sampai tiga hari. Kalau dia belum pulang maka kita akan segera berangkat
ke Kunming, menyelidiki ke sana. Bahkan kalau di sana pun kita gagal, kita
terus akan melakukan pelacakan. Akan kutanyakan pada semua tokoh kang-ouw
tentang seorang wanita yang berpakaian merah seperti yang digambarkan Yo Han
tadi.”
Akhirnya,
dengan air mata berlinang di kedua matanya, Hong Li menyetujui keinginan
suaminya. Akan tetapi, jelas bahwa semalaman itu mereka tidak mampu tidur
pulas.
***************
“Tidak mau!
Aku ingin pulang... aku ingin Ayah dan Ibu, aku ingin pulang...!” Anak itu
merengek-rengek dan suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng
bukit yang sunyi itu.
Wanita
berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li. “Sian Li, engkau bidadari kecil
berpakaian merah yang manis, tidak patut kalau engkau menangis...”
“Aku tidak
menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari
matanya. Ia hanya merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang,
aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di tempat jelek ini. Baunya tidak
enak!”
“Bukankah
engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa
sekarang minta pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.
“Aku ingin
ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan
aku pulang, Bibi.”
“Hemm,
baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik,
engkau anak manis, engkau bidadari kecil merah...“
Ketika
wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan
anak itu pun terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu lalu
merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan daun-daun kering dan
memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya. Dia pun
tersenyum.
“Anak
manis... ahh, pantas sekali menjadi anakku atau muridku... aku berbahagia
sekali mendapatkanmu, sayang...”
Siapakah
wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal
oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun
ini, ia merupakan seorang tokoh kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera
tersohor karena kelihaiannya.
Orang-orang
di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang-I Moli (Iblis
Wanita Baju Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan
ia tidaklah semuda nampaknya. Usianya sudah empat puluh tahun!
Ia memang
cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka ia nampak
berusia tiga puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya
merah karena yan-ci, dan alis mata, juga bulu mata, hitam karena penghitam
rambut.
Dugaan Kao
Hong Li tentang Ang-I Mo-pang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang
tepat. Ada hubungan dekat sekali antara Ang-I Moli Tee Kui Cu dengan Ang-I
Mo-pang, perkumpulan yang pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar
itu. Wanita berpakaian serba merah ini adalah adik dari mendiang Tee Kok, yang
dulu pernah menjadi ketua Ang-I Mo-pang.
Ketika Ang-I
Mo-pang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari
guru-guru yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di
mana ia mempelajari banyak macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga
mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh Pek-lian-kauw. Setelah
merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw
dan ia pun kembali ke Kunming, mengumpulkan para bekas anggota Ang-I Mo-pang
yang masih hidup, Ia lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri
sendiri menjadi ketua!
Demikianlah
riwayat singkat Ang-I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang
pandai menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh
orang anggota Ang-I Mo-pang, dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya.
Dia pun
gemar sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para
pembantunya, dan ia sendiri berkelana sampai jauh, bukan hanya mencari
pengalaman, melainkan juga untuk bertualang, mencari harta, mencari pria karena
dia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.
Dan pada
pagi hari itu, tanpa disengaja dia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan
berusia empat tahun yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak
itu mengenakan pakaian serba merah, yaitu warna kesukaannya dan bahkan warna
yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan suka sekali. Ia
lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya,
sekaligus juga muridnya.
Dengan sikap
menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah
pulas atau pingsan oleh tekanan jarinya, pada jalan darah di tengkuk anak itu.
Kemudian ia menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil
tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir nyamuk dan hawa
dingin.
Mendadak,
pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu. Ia pun melompat bangun.
Sebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali
dan tidak tergesa mengeluarkan pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang
datang memasuki kuil pada waktu itu.
Sesosok
bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang-I Moli berada. Bayangan itu
tidak berindap-indap, melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki
berat menghampiri ruangan. Ketika bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo
Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak terhuyung karena
kelelahan!
“Ahh,
kiranya engkau...!” Ang-I Moli berkata dengan hati lega. Akan tetapi ia juga
memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini bisa menyusulnya? Bagaimana dapat
membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu?
Yo Han
sendiri tidak mengerti dan tidak mampu menjawab kalau pertanyaan itu diajukan
kepadanya. Ketika dia lari meninggalkan rumah suhu-nya, dia tidak mempunyai
tujuan. Dia tidak tahu ke mana harus mencari penculik Sian Li. Maka dia pun
membiarkan dirinya terbawa oleh sepasang kakinya yang berlari.
Dia tidak
sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi
diculik orang, bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan
dengan tepi sungai itu! Dia berlari terus sampai akhirnya dia tiba di tepi
sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang.
Dan dia
berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik
tinggi, dia pun terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung
saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat menahan karena dia berlari terus sejak
tadi tanpa berhenti. Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat.
Dan begitu bangun, dia ingat bahwa dia harus mencari Sian Li. Dia bangkit lagi
dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin mendekati
sebuah bukit yang berada jauh di depan.
Dia tidak
peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa
dia harus dapat menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah
bahwa jika Tuhan memang menghendaki, ia pasti akan dapat mengajak Sian Li
pulang! Keyakinan ini timbul semenjak dia kecil, sejak dia dapat membaca dan
mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.
Yang ada
hanya kewaspadaan, yang ada hanya KEPASRAHAN. Tiada aku yang waspada, tiada aku
yang pasrah. Selama ada ‘aku’, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu
cara untuk memperoleh sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah NAFSU dan aku
selamanya berkeinginan, berpamrih.
Kalau NAFSU
yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara mencapai
sesuatu yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan
kesengsaraan. Senang susah bersilih ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa
takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut kehilangan, takut gagal,
takut menderita takut sakit, takut mati. Kegelisahan menghantui pikiran.
Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, kepasrahan akan segala yang
sudah, sedang dan akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas
terhadap kekuasaan TUHAN, berarti kembali kepada kodratnya.
Yo Han terus
berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit,
malam pun tiba. Dia melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia
melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Ia memasuki ruangan itu dan...
ia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur berselimut,
dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!
Sejenak
mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli. “Ah, kiranya engkau? Bagai
mana engkau dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”
Yo Han
menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan
Sian Li, seolah dia baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia
merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya. Dengan kedua kaki lemas dia pun
menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.
“Bibi yang
baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kau lakukan ini sungguh tidak baik,
menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,”
kata-katanya lirih namun jelas dan dia memandang ke arah api unggun, di mana
lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilat-jilat.
Ang-I Moli
juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu
dengan penuh keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap
demikian tenang dan dewasa, bahkan begitu datang mengeluarkan ucapan lembut
yang seperti menegur dan menggurui!
“Bocah aneh,
apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang
akan dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja.
Bagaimana ia
tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya
setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa
pun, bahkan orang yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan
dengannya. Akan tetapi anak ini tenang saja, bahkan menegurnya.
“Bibi,
kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak
baik sama sekali. Bibi membikin susah ayah dan ibu anak ini, juga
menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah Bibi sudah berpikir baik-baik
bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”
Tokoh
kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum
akan keberanian anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ
hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia ditegur dan diwejangi oleh seorang anak
laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan kegelian hati
yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,
“Dan apa
yang kau maksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”
“Bibi yang
baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kau larikan ini. Ayah dan ibunya kini
mencari-carimu, ke mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukan
dirimu dan kalau sudah begitu, siapa yang berani menanggung keselematanmu?”
Ang-I Moli
tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Dia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua
matanya menjadi basah air mata. “Hi-hi-he-he-heh! Kau berani menggertak dan
menakut-nakuti aku? Aku suka kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku,
sebagai muridku Aku tidak takut menghadapi siapa pun juga. Lalu engkau
menyusulku ke sini mau apa?”
“Bibi, untuk
apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia
manja, bengal dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak
jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang yang dapat membantu Bibi dalam
pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biarlah kugantikan saja.
Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Sebagai pengganti Sian Li, saya akan
mengerjakan apa saja yang Bibi perintahkan. Akan tetapi Sian Li harus
dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”
“Oooo, jadi
ayah ibu anak ini adalah suhu dan subo-mu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”
“Ia adalah
sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”
“Hemm,
menurut engkau, jika suhu dan subo-mu dapat mengejarku, aku berada dalam
bahaya. Begitukah?” Ia tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak takut akan
ancaman orang tua anak perempuan yang diculiknya.
“Aku tidak
menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo adalah dua orang yang mempunyai
kepandaian silat tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”
“Ehhh? Dan
engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!” Wanita
itu tertawa geli.
Yo Han tidak
merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Aku memang tidak
belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Tetapi
aku tidak berbohong. Mereka sangat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan
mereka.”
Ang-I Moli
menjadi marah bukan main. Ucapan yang terakhir itu langsung menyinggung
keangkuhannya dan dianggap merendahkan, bahkan amat menghina. Sekali bergerak,
ia sudah berada di dekat Yo Han dan mencengkeram pundak anak itu.
Yo Han
merasa pundaknya nyeri sekali, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau
menggerakkan tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.
“Bocah sombong!
Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan
melayang!”
Wanita
berpakaian serba merah itu diam-diam merasa heran bukan main. Anak yang
pundaknya telah dicengkeramnya itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut.
Masih tenang-tenang saja seperti tak terjadi apa-apa, bahkan suaranya pun masih
tenang dan penuh teguran dan nasihat.
“Nyawaku
berada di tangan Tuhan, Bibi. Engkau berhasil membunuhku atau tidak, kalau
engkau tak mengembalikan Sian Li, sama saja. Engkau akan mengalami kehancuran
di tangan Suhu dan Subo. Sebaliknya jika engkau mengembalikan Sian Li, kemudian
mau menerima aku sebagai gantinya, maka aku dapat minta kepada Suhu dan Subo
untuk menghabiskan perkara penculikan Sian Li.”
Ang-I Moli
yang telah menjadi marah dan tersinggung, hendak menggunakan tangannya
mencengkerem leher anak itu dan membunuhnya. Akan tetapi pada waktu tangannya
mencengkeram pundak, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran dalam pundak
itu, getaran yang lembut akan tetapi mengandung kekuatan dahsyat yang membuat
ia merasa seluruh tubuhnya tergetar pula.
Ia merasa
heran, lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk memeriksa tubuh anak itu.
Dirabanya leher, pundak, dada dan punggung dan ia semakin terheran-heran. Anak
ini memiliki tulang yang kokoh kuat dan jalan darahnya demikian sempurna.
Inilah seorang anak yang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Belum tentu
dalam sepuluh ribu orang anak menemukan seorang saja seperti ini!
Tubuh yang
agaknya memang khusus diciptakan untuk menjadi seorang ahli silat yang hebat.
Dan wataknya demikian teguh, tenang dan penuh keberanian. Akan tetapi anak ini
mengaku tidak mempelajari ilmu silat!
Walau pun
demikian, anak ini mengatakan bahwa suhu dan subo-nya adalah dua orang sakti!
Kiranya bukan bualan kosong saja karena hanya orang orang sakti yang dapat
memilih seorang murid dengan bentuk tulang, jalan darah dan sikap sehebat anak
ini.
“Brrttt...!”
Sekali
menggerakkan kedua tangan, baju yang dipakai anak itu robek dan direnggutnya
lepas dari badan. Kini Yo Han bertelanjang dada. Ang-I Moli bukan hanya
meraba-raba, kini juga melihat bentuk dada itu. Dan ia terpesona. Bukan main!
Ia tadi
sudah memeriksa keadaan tubuh Sian Li. Memang seorang anak yang memiliki tubuh
baik pula, bertulang baik berdarah bersih. Akan tetapi dibandingkan anak
laki-laki ini, jauh bedanya, tidak ada artinya lagi!
“Anak yang
aneh,” katanya sambil tangannya masih meraba-raba dada dan punggung yang
telanjang itu. “Siapa namamu?”
“Aku she Yo,
namaku Han.”
“Yo Han...?
Siapa orang tuamu?”
“Aku yatim
piatu. Pengganti orang tuaku adalah Suhu dan Subo.”
“Siapa sih
suhu dan subo-mu yang kau puji setinggi langit itu.”
“Aku bukan
sekedar memuji kosong apa lagi membual, Bibi. Suhu-ku bernama Tan Sin Hong dan
berjuluk Pendekar Bangau Putih, dan Subo-ku bernama Kao Hong Li, cucu Pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir.”
Ang-I Moli
menelan ludah! Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa anak yang
diculiknya adalah puteri dari suami isteri pendekar sakti itu! Tentu saja dia
pernah mendengar akan nama mereka. Bahkan mereka adalah dua di antara para
pendekar yang pernah membasmi Ang-I Mo-pang!
Mereka
termasuk musuh-musuh lama dari kakaknya, dari Ang-I Mo-pang. Akan tetapi ia pun
tidak begitu tolol untuk memusuhi mereka. Biar pun ia sendiri belum pernah
menguji sampai di mana kehebatan ilmu mereka, namun tentu saja jauh lebih aman
untuk tidak mencari permusuhan baru dengan mereka.
Melihat
wanita berpakaian merah itu diam saja, Yo Han melanjutkan. “Nah, engkau tahu
bahwa aku bukan menggertak belaka. Tentu engkau pernah mendengar nama mereka.
Sekarang, bagaimana kalau engkau mengembalikan Sian Li kepada mereka, Bibi?”
Ang-I Moli
mengamati wajah Yo Han dengan penuh perhatian.
“Kalau aku
mengembalikan Sian Li, engkau mau ikut bersamaku dan menjadi muridku?”
“Sudah
kukatakan bahwa aku suka menggantikan Sian Li. Bagiku yang terpenting aku harus
dapat mengajak Sian Li pulang ke rumah Suhu dan Subo. Setelah aku mengantar ia
pulang, aku akan ikut bersamamu.”
“Hemm, kau
kira aku begitu goblok? Jika aku membiarkan engkau mengajak ia pulang, tentu
engkau tidak akan kembali kepadaku. Yang datang kepadaku tentu suami isteri itu
untuk memusuhiku.”
Yo Han
mengerutkan alis, memandang kepada wanita itu. Ang-I Moli terkejut. Sepasang
mata anak itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap tertimpa sinar!
“Bibi, aku
tidak sudi melanggar janjiku sendiri! Juga, hal itu akan membikin Suhu dan Subo
marah kepadaku. Kami bukan orang-orang yang suka menyalahi janji.”
“Baik, mari,
sekarang juga kita bawa Sian Li kembali ke rumah orang tuanya.”
Biar pun
tubuhnya sudah terlalu penat untuk melakukan perjalanan lagi, namun Yo Han
menyambut ajakan ini dengan gembira. “Baik, dan terima kasih, Bibi. Ternyata
engkau bijaksana juga.”
Ang-I Moli
memondong tubuh Sian Li. “Mari kau ikuti aku.”
Melihat
wanita itu lari keluar kuil, Yo Han cepat mengikutinya. Akan tetapi, Ang-I Moli
hendak menguji Yo Han, apakah benar anak ini tidak pandai ilmu silat. Ia
berlari cepat dan sebentar saja Yo Han tertinggal jauh.
“Bibi,
jangan cepat-cepat. Aku akan sesat jalan. Tunggulah!”
Ang-I Moli
menanti, diam-diam merasa sangat heran. Kalau anak itu murid suami isteri
pendekar yang namanya amat terkenal itu, bagaimana begitu lemah? Menangkap
kupu-kupu saja tidak mampu, dan diajak berlari cepat sedikit saja sudah
tertinggal jauh. Padahal, anak itu memiliki tubuh yang amat baik. Kelak ia akan
menyelidiki hal itu.
Ketika ia
memeriksa tubuh Yo Han tadi, bukan saja ia mendapatkan kenyataan bahwa anak itu
bisa menjadi seorang ahli silat yang hebat, juga mendapat kenyataan lain yang
mengguncangkan hatinya. Anak itu memiliki darah yang amat bersih dan kalau ia
dapat menghisap hawa murni serta darah anak laki-laki itu melalui hubungan
badan, dia akan mendapatkan obat kuat dan obat awet muda yang amat ampuh!
Tidak lama
mereka berjalan karena Ang-I Moli membawa mereka ke tepi sungai, lalu ia
mengeluarkan sebuah perahu yang tadinya ia sembunyikan di dalam semak belukar
di tepi sungai.
“Kita naik
perahu supaya dapat cepat tiba di Ta-tung,” kata Ang-I Moli dan ia menyeret
perahu ke tepi sungai, dibantu oleh Yo Han.
Tidak lama
kemudian, mereka pun sudah naik ke perahu yang meluncur cepat terbawa arus air
sungai dan didayung pula oleh Yo Han, dikemudikan oleh dayung di tangan wanita
pakaian merah itu. Sian Li masih pulas, rebah miring di dalam perahu.
Melalui air,
perjalanan tentu saja tidak melelahkan, apa lagi karena mereka mengikuti aliran
air sungai, bahkan jauh lebih cepat dibandingkan perjalanan melalui darat.
Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah mendarat di tempat
di mana kemarin Ang-I Moli bertemu dengan Yo Han dan Sian Li.
“Nah,
bawalah ia pulang, dan kau cepatlah kembali ke sini. Kutunggu,” kata Ang-I Moli
kepada Yo Han. Ia lalu menotok punggung Sian Li dan anak ini pun sadar, seperti
baru terbangun dari tidur.
Sian Li amat
girang melihat Yo Han berada di situ dan Yo Han segera memondongnya, menatap
wajah wanita itu dan berkata, “Engkau percaya kepadaku, Bibi?”
Ang-I Moli
tersenyum. “Tentu saja. Kalau engkau membohongiku sekali pun, engkau tak akan
dapat lolos dari tanganku!”
“Aku takkan
bohong!” kata Yo Han.
Dia pun
membawa Sian Li keluar dari perahu, lalu berjalan secepatnya menuju pulang.
Hatinya merasa lega dan gembira bukan main karena dia telah berhasil membawa
Sian Li pulang seperti telah dijanjikannya kepada suhu dan subo-nya. Dia telah
bertanggung jawab atas kehilangan adiknya itu, dan sekarang dia telah memenuhi
janji dan tanggung jawabnya.
**************
Tan Sin Hong
dan isterinya, Kao Hong Li, semalaman tadi tak dapat pulas sejenak pun dan
pagi-pagi sekali mereka sudah bangun. Dengan wajah muram dan rambut kusut
mereka duduk di beranda depan seperti orang-orang yang sedang menantikan
sesuatu. Memang mereka menanti pulangnya Yo Han, dan kalau mungkin bersama Sian
Li yang diculik orang. Hong Li menganggap hal ini tidak mungkin, hanya harapan
kosong belaka dan sia-sia. Akan tetapi suaminya berkeras hendak menanti
kembalinya Yo Han sampai tiga hari!
“Yo Han...”
Tiba-tiba Sin Hong berseru.
Hong Li yang
sedang menunduk terkejut, mengangkat mukanya dan wajahnya seketika
berseri-seri. Matanya bersinar-sinar, seperti matahari yang baru muncul dari
balik awan hitam.
“Sian
Li...!” Ia pun meloncat dan berlari menyambut Yo Han yang datang memondong
adiknya itu.
“Ibu...!
Ayah...!” Sian Li bersorak girang dan dia merasa terheran-heran ketika ibunya
merenggutnya dari pondongan Yo Han, lalu mendekap dan menciuminya dengan kedua
mata basah air mata!
“Ibu...
menangis? Tidak boleh menangis, Ibu tidak boleh cengeng dan lemah!” Sian Li
menirukan kata-kata ayah dan ibunya kalau ia menangis.
Ibunya yang
masih basah kedua matanya itu tersenyum.
“Tidak, ibu
tidak menangis. Ibu bergembira...!”
Sin Hong
sudah menyambut Yo Han dan memegang tangan murid itu, menatapnya sejenak lalu
berkata, “Mari masuk dan kita bicara di dalam.”
Mereka duduk
di ruangan dalam, mengelilingi meja. Sian Li dipangku oleh ibunya yang
memeluknya seperti takut akan kehilangan lagi.
“Nah,
ceritakan bagaimana engkau dapat mengajak pulang adikmu, Yo Han,” kata Sin
Hong.
Hong Li
memandang dengan penuh kagum, heran dan juga bersyukur bahwa muridnya itu
benar-benar telah mampu mengembalikan Sian Li kepadanya. Padahal ia sendiri dan
suaminya sudah mencari-cari sampai seharian penuh tanpa hasil, bahkan tidak
dapat menemukan jejak Sian Li dan penculiknya.
“Suhu dan
Subo, ketika teecu pergi hendak mencari adik Sian Li, teecu segera berlari ke
luar kota, melalui pintu gerbang selatan. Sehari kemarin teecu berlari dan
berjalan terus dan pada malam hari tadi, teecu tiba di lereng sebuah bukit.
Teecu melihat sebuah kuil dan ada sinar api unggun dari dalam kuil. Teecu
memasuki kuil tua yang kosong itu dan di situlah teecu melihat Adik Sian Li
tidur dijaga oleh wanita pakaian merah itu.”
“Akan
tetapi, Yo Han. Bagaimana engkau bisa tahu bahwa adikmu dibawa ke tempat itu
oleh penculiknya?” Hong Li bertanya dengan heran.
“Teecu juga
tidak tahu bagaimana Adik Sian Li bisa berada di dalam kuil itu, Subo...”
“Aku diajak
naik perahu oleh Bibi baju merah. Ia baik sekali, Ibu. Kami menangkap ikan dan
Bibi memasak ikan untukku. Enak sekali! Setelah turun dari perahu, kami
berjalan-jalan ke lereng bukit dan memasuki kuil tua itu, Setelah malam menjadi
gelap, aku ingin pulang, mengajaknya pulang dan... dan... aku lupa lagi, tertidur.”
Sin Hong
bertukar pandang dengan isterinya. Pantas usaha mereka mencari jejak telah
gagal. Kiranya anak mereka dibawa naik perahu oleh penculiknya.
“Yo Han,
kalau engkau tidak tahu bahwa Sian Li dibawa ke kuil tua itu, lalu bagaimana
engkau dapat langsung pergi ke sana?” Sin Hong mendesak, memandang tajam penuh
selidik.
Yo Han
menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Teecu tidak tahu Suhu. Teecu
membiarkan kaki berjalan tanpa tujuan, ke mana saja untuk mencari adik Sian Li.
Dan tahu-tahu teecu tiba di sana dan menemukan mereka.”
“Tetapi,
bagaimana penculik itu membiarkan engkau mengajak Sian Li pulang? Bagai mana
engkau dapat menundukkannya?” Hong Li bertanya, semakin heran dan merasa bulu
tengkuknya meremang karena ia mulai merasa bahwa ada ‘sesuatu’ yang ajaib telah
terjadi pada diri muridnya itu.
Yo Han
tersenyum memandang subo-nya, lalu memandang kepada suhu-nya. “Teecu
membujuknya untuk membiarkan teecu membawa adik Sian Li pulang. Dia tidak tahu
bahwa adik Sian Li adalah puteri Suhu dan Subo. Teecu memberi tahu kepadanya
dan mengatakan bahwa kalau ia tidak mengembalikan Sian Li, tentu Suhu dan Subo
akan dapat menemukannya dan ia pasti akan celaka. Teecu mengatakan bahwa kalau
ia mau menyerahkan kembali Sian Li, teecu-lah yang akan menggantikan adik Sian
Li menjadi muridnya, menjadi pelayannya, dan ikut dengannya. Nah, ia setuju dan
teecu membawa adik Sian Li pulang. Tetapi teecu harus segera kembali kepadanya.
Ia masih menunggu teecu di tepi sungai...”
“Yo Han!
Engkau hendak ikut dengan penculik itu? Ahhh, aku tidak akan membiarkan!
Menjadi murid seorang penculik jahat? Tidak boleh!” kata Hong Li marah. “Aku
bahkan akan menghajar iblis itu!”
Kao Hong Li
sudah meloncat dengan marah, akan tetapi gerakannya terhenti ketika terdengar
Yo Han berseru, ”Subo, jangan!”
“Hah?! Iblis
itu menculik anakku, kemudian menukarnya dengan engkau untuk dibawa pergi. Dan
engkau melarang aku untuk menghajar iblis itu?”
“Maaf, Subo.
Apakah Subo ingin melihat murid Subo menjadi seorang rendah yang melanggar
janjinya sendiri, menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut?”
“Ehhh...?
Apa maksudmu?”
“Subo,
bagaimana pun juga, teecu (murid) adalah murid Subo. Teecu sudah berjanji
kepada wanita berpakaian merah itu bahwa setelah teecu mengantar Sian Li
pulang, teecu akan kembali kepadanya dan menjadi muridnya, pergi ikut
dengannya. Kalau teecu sudah berjanji, lalu sekarang teecu tidak kembali
kepadanya, bahkan Subo akan menghajarnya, bukankah berarti teecu melanggar
janji sendiri?”
“Aku tidak
peduli akan janjimu itu! Engkau tidak perlu melanggar janji, engkau pergilah
kepadanya. Akan tetapi aku tetap saja akan menemuinya dan menghajarnya!”
berkata Hong Li dengan marah.
“Subo!” kata
pula Yo Han dan suaranya tegas. “Kenapa Subo hendak menghajar wanita itu? Kalau
Subo melakukan itu, berarti Subo jahat!”
“Ehhh?” Hong
Li terbelalak memandang kepada anak itu.
“Yo Han!”
kata pula Sin Hong. “Subo-mu hendak menghajar penculik, mengapa engkau malah
katakan jahat?” Dia bertanya hanya karena ingin tahu isi hati anak itu yang
amat dikaguminya sejak dia tadi mendengarkan kata-kata anak itu kepada
isterinya.
“Suhu,
wanita berpakaian merah itu memang benar tadinya hendak melarikan Sian Li, akan
tetapi ia bersikap sangat baik terhadap Sian Li, dan ia melarikannya karena
ingin mengambilnya sebagai murid. Ia sayang kepada Sian Li. Lalu, teecu menemukannya
dan teecu membujuk supaya ia mengembalikan Sian Li. Dan ia sudah memperbolehkan
Sian Li teecu bawa pulang. Teecu sendiri yang berjanji untuk ikut pergi
dengannya. Jika sekarang Subo dan Suhu menghajarnya, bukankah itu sama sekali
tidak benar?”
Sin Hong
memberi isyarat dengan pandang mata kepada isterinya, lalu menarik napas
panjang dan berkata kepada muridnya itu. “Baiklah kalau begitu, Yo Han. Kami
tentu saja tak menghendaki engkau menjadi seorang yang melanggar janjimu
sendiri. Engkau sudah yakin ingin menjadi murid wanita itu? Kalau engkau ingin
memperoleh guru yang baik, tempat tinggal yang lain, kami sanggup mencarikannya
yang amat baik untukmu.”
Yo Han
menggeleng kepalanya. “Tidak Suhu. Teecu akan ikut dengan wanita itu seperti
yang telah teecu janjikan. Teecu akan berangkat sekarang juga supaya ia tidak
terlalu lama menunggu.”
Dia lalu
pergi ke dalam kamarnya, mengambil buntalan pakaian yang memang telah dia
persiapkan semenjak tadi malam. Memang semalam ia telah merencanakan untuk
pergi meninggalkan rumah itu, akan tetapi karena hatinya terasa berat
meninggalkan Sian Li, maka pagi itu ia ingin menyenangkan Sian Li dengan
mengajaknya bermain-main di tepi sungai sebelum dia pergi.
Suami isteri
itu juga merasa heran melihat demikian cepatnya Yo Han mengumpulkan pakaiannya
karena sebentar saja anak itu sudah menghadap mereka kembali. Yo Han
menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang gurunya.
“Suhu dan
Subo, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah
dilimpahkan kepada teecu, terima kasih atas kasih sayang yang telah dicurahkan
kepada teecu. Dan teecu mohon maaf apabila selama ini teecu melakukan banyak
kesalahan dan membuat Suhu dan Subo menjadi kecewa. Teecu mohon diri, Suhu dan
Subo” Suaranya tegas dan sikapnya tenang, sama sekali tidak nampak dia berduka,
tidak hanyut oleh perasaan haru.
“Baiklah, Yo
Han. Kalau memang ini kehendakmu. Dan berhati-hatilah engkau menjaga dirimu,”
kata Sin Hong.
“Setiap
waktu kalau engkau menghendaki, kami akan menerimamu kembali dengan hati dan
tangan terbuka, Yo Han,” kata pula Kao Hong Li, dengan hati terharu. Terasa
benar ia betapa ia menyayang murid itu seperti kepada adik atau anak sendiri.
“Terima
kasih, Suhu dan Subo.” Yo Han membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
“Suheng, aku
ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang sejak tadi melihat dan mendengarkan saja tanpa
mengerti benar apa yang mereka bicarakan, kini turun dari pangkuan ibunya dan
berlari menghampiri Yo Han.
Yo Han
memondong anak itu, mencium kedua pipi dan dahinya, lalu menurunkannya kembali.
“Sian Li, aku mau pergi dulu, engkau tidak boleh ikut. Engkau bersama ayah dan
ibumu di sini. Kelak kita akan bertemu kembali, adikku.” Dan dengan cepat Yo
Han lari meninggalkan anak itu, tidak tega mendengar ratap tangisnya dan melihat
wajahnya.
“Suheng! Aku
ikut... aku ikut...!” Anak itu lantas merengek walau pun tidak menangis, dan
terpaksa Sin Hong memondongnya karena anak itu hendak lari mengejar Yo Han.
“Hemm, aku
mau melihat siapa iblis betina itu!” Hong Li sudah meloncat keluar dan Sin Hong
yang memondong anaknya hanya menggeleng kepala, lalu melangkah keluar pula
dengan Sian Li di pondongannya.
Yo Han
berlari-lari menuju sungai. Dia tidak ingin wanita berpakaian merah itu mengira
dia melanggar janji. Dan benar saja, ketika dia tiba di tepi sungai, wanita itu
tidak lagi berada di dalam perahu, melainkan sudah duduk di tepi sungai dengan
wajah tidak sabar. Perahunya berada di tepi sungai pula, agaknya sudah
ditariknya ke darat.
Melihat Yo
Han datang berlari sambil membawa buntalan, wajah yang tadinya cemberut itu
tersenyum. “Hemm, kusangka engkau membohongiku! Kiranya engkau datang pula!”
Yo Han juga
cemberut ketika dia sudah berdiri di depan wanita itu. “Sudah kukatakan, aku
bukan seorang yang suka melanggar janji. Aku harus berpamit dulu kepada Suhu
dan Subo-ku, dan mengambil pakaianku ini.”
“Andai kata
engkau menipuku sekali pun engkau tak akan terlepas dari tanganku. Hayo kita
berangkat!” kata Ang-I Moli Tee Kui Cu.
“Tahan
dulu...!”
Bentakan
yang merdu dan nyaring ini mengandung getaran dan wibawa yang amat kuat
sehingga Ang-I Moli terkejut sekali dan cepat-cepat ia membalikkan tubuh.
Kiranya di depannya telah berdiri seorang wanita cantik dan gagah, berusia
kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajahnya bulat telur, matanya lebar dan
indah jeli, sinar matanya tajam menembus.
“Subo...!”
Yo Han berseru melihat wanita cantik itu.
“Diam kau!”
Kao Hong Li membentak muridnya.
Matanya
tidak pernah melepaskan wajah wanita berpakaian merah itu. Ia belum pernah
melihat wanita itu dan memperhatikannya dengan seksama. Wajah yang cantik itu
putih dengan bantuan bedak tebal, nampak cantik seperti gambar oleh bantuan
pemerah bibir dan pipi, dan penghitam alis. Pakaiannya yang serba merah ketat
itu menempel tubuh yang ramping dan seksi, dengan pinggulnya yang bulat besar.
Mendengar Yo
Han menyebut subo kepada wanita muda ini. Ang-I Moli terkejut. Tidak
disangkanya subo dari anak itu masih sedemikian mudanya. Jadi inikah cucu dari
Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya.
“Hemmm,
siapakah engkau dan mengapa engkau menahan kami?” Ang-I Moli bertanya,
senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah.
“Aku Kao
Hong Li, ibu dari anak perempuan yang telah kau culik!” jawab Hong Li, juga
sikapnya tenang, akan tetapi sepasang mata yang tajam itu bersinar marah.
“Siapakah engkau ini iblis betina yang berani mencoba mencoba untuk menculik
anakku kemudian membujuk murid kami untuk ikut denganmu? Jawab, dan jangan mati
tanpa nama!”
Sikap garang
Kao Hong Li sedikit banyak menguncupkan hati Ang-I Moli. Ia seorang tokoh sesat
yang tidak mengenal takut dan memandang rendah orang lain, akan tetapi ia
teringat akan ancaman Yo Han tadi bahwa wanita ini adalah cucu Naga Sakti Gurun
Pasir, bahkan suaminya adalah Si Bangau Putih yang namanya amat terkenal itu.
“Hemmm,
bocah sombong. Jangan kau mengira bahwa aku Ang-I Moli takut mendengar
gertakanmu.” Ia membesarkan hatinya sendiri. “Aku tidak menculik puterimu, tapi
hanya mengajaknya bermain-main. Dan tentang bocah ini, dia sendiri yang ingin
ikut aku untuk menjadi muridku. Kalau tidak percaya, tanya saja kepada anak
itu.”
“Subo,
memang benar teecu sendiri yang ingin ikut dengan Bibi ini. Harap Subo jangan
mengganggunya!”
Hong Li
menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, memang tidak ada alasan baginya
untuk menghajar wanita berpakaian merah itu, apa lagi membunuhnya. Anaknya
sendiri tadi pun mengatakan bahwa wanita ini bersikap baik kepada Sian Li, dan
kini Yo Han mengatakan bahwa memang dia sendiri yang ingin menjadi muridnya.
“Baiklah,
aku tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, setidaknya aku harus tahu apakah ia
cukup pantas untuk menjadi gurumu, Yo Han. Aku tidak rela menyerahkan muridku
dalam asuhan orang yang tidak memiliki kepandaian, apa lagi kalau orang itu
pengecut. Kuharap saja engkau tidak terlalu pengecut untuk menolak tantanganku
menguji ilmu kepandaianmu, Ang-I Moli.”
Kulit muka
yang ditutup riasan tebal itu masih nampak berubah kemerahan. Tentu saja Ang-I
Moli marah sekali dikatakan bahwa ia seorang pengecut.
“Kao Hong
Li, engkau bocah sombong. Kau kira aku takut kepadamu?”
“Bagus kalau
tidak takut! Nah, kau sambutlah seranganku ini. Haiiittt!”
Hong Li
langsung menerjang maju setelah memberi peringatan, dan karena ia memang ingin
menguji sampai di mana kelihaian wanita baju merah itu, maka begitu menyerang
ia sudah memainkan jurus dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga
Sakti) yang sangat dahsyat, apa lagi karena dalam memainkan ilmu silat ini ia
menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) dari ibunya. Hong
Li telah menggabung dua ilmu yang hebat itu. Sin-liong Ciang-hoat adalah ilmu
yang berasal dari Istana Gurun Pasir, sedangkan tenaga Hui-yang Sinkang adalah
ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es, yang ia pelajari dari ayah dan ibunya.
“Wuuuuttt...
plak! Plak!”
Tubuh Ang-I
Moli terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main. Ketika tadi dia
menangkis sampai beberapa kali, lengannya bertemu dengan hawa panas yang luar
biasa kuatnya sehingga kalau ia tidak membiarkan dirinya mundur, tentu ia akan
celaka. Sebagai seorang tokoh sesat yang sudah mengangkat diri menjadi seorang
pangcu (ketua) tentu saja Ang-I Moli merasa penasaran sekali.
Ia lalu
membalas dengan serangan ampuh. Setelah mengerahkan tenaga dalam yang telah
dilatihnya dari para pimpinan Pek-lian-kauw, ia mengeluarkan suara melengking
dan ketika dua tangannya menyerang, dari kedua telapak tangan itu mengepul uap
atau asap hitam dan angin pukulannya membawa asap hitam itu menyambar ke arah
muka Kao Hong Li.
Pendekar wanita
ini mengenal pukulan beracun yang ampuh, maka ia pun melangkah mundur dan
mengerahkan tenaga sinkang mendorong dengan kedua tangan terbuka pula. Dua
tenaga dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, asap hitam itu membalik dan
Ang-I Moli kini merasakan hawa yang amat dingin sehingga kembali ia terkejut.
Itulah tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju), juga ilmu yang berasal dari
Istana Pulau Es!
Ang-I Moli
terpaksa mundur kembali dan kemarahannya memuncak. Dua kali mengadu tenaga itu
membuat dia sadar bahwa lawannya memang lihai bukan main. Dalam hal tenaga
sinkang, jelas dia kalah kuat.
“Manusia
sombong, kau sambut pedangku!” bentaknya, lalu mulutnya berkemak-kemik dan dia
pun berseru sambil membuat gerakan laksana melontarkan sesuatu ke udara, “Pedang
terbangku menyambar lehermu!”
Kao Hong Li
terbelalak ketika dia melihat sinar terang dan bayangan sebatang pedang
meluncur dari udara ke arah dirinya! Padahal ia tak melihat wanita itu mencabut
pedang. Inilah ilmu sihir, pikirnya dan ia pun cepat mencabut pedangnya dan
melindungi dirinya dengan putaran pedang.
“Hentikan
perkelahian! Hentikan...!” terdengar Yo Han berseru.
Begitu anak
ini melangkah ke depan, sinar pedang itu pun lenyap secara tiba-tiba dan Hong
Li mendapat kenyataan bahwa ia tadi telah ‘bertempur’ melawan bayang-bayang.
Sementara
itu, Ang-I Moli juga terkejut karena tiba-tiba pengaruh sihirnya lenyap begitu
saja. Pada saat itu, ia melihat pula munculnya seorang laki-laki berusia dua
puluh tujuh tahun yang memiliki sinar mata lembut tetapi mencorong memondong
anak perempuan baju merah tadi. Tahulah dia bahwa tentu laki-laki gagah perkasa
ini ayah Sian Li yang berjuluk Si Bangau Putih. Ang-I Moli menduga bahwa tentu
pendekar inilah yang tadi melenyapkan pengaruh sihirnya, maka ia menjadi semakin
jeri.
Memang
tadinya dia merasa suka sekali kepada Sian Li, kemudian melihat bakat yang luar
biasa pada diri Yo Han, dia pun rela menukarkan Sian Li yang suka rewel dan
tidak mau ikut dengan suka rela itu dengan Yo Han yang suka ikut dengannya. Akan
tetapi melihat betapa suami isteri yang amat lihai itu sekarang berada di
depannya dan dia tahu bahwa melawan mereka berdua sama dengan mencari penyakit,
Ang-I Moli lalu meloncat ke arah perahunya sambil memaki Yo Han.
“Anak
pengkhianat!” Ia mendorong perahunya ke air, lalu perahu itu diluncurkannya ke
tengah sungai.
“Tunggu kau,
iblis betina!” Hong Li yang masih marah itu berteriak dan kini ia pun sudah
mengamangkan pedangnya. Akan tetapi Yo Han cepat berdiri di depan subo-nya.
“Subo, harap
jangan kejar dan serang dia lagi! Dia adalah guruku yang baru!” Setelah berkata
demikian, Yo Han lantas meloncat ke air, dan berenang mengejar perahu itu.
“Bibi... ehhh, Subo (Ibu Guru), tunggulah aku...!”
Melihat ini,
Ang-I Moli memandang heran sekali. Anak itu ternyata sama sekali bukan
pengkhianat, bukan pelanggar janji! Ia pun terkekeh senang dan menahan
perahunya. Ketika Yo Han telah tiba di pinggir perahu, ia mengulurkan tangan
dan menarik anak itu naik ke dalam perahunya.
“Anak baik,
ternyata engkau setia kepadaku. Hi-hi-hik, aku senang sekali!”
Dari pantai,
Hong Li masih mengamangkan pedangnya. “Yo Han, lekas kembali ke sini engkau!
Engkau akan rusak dan celaka kalau engkau ikut dengan perempuan iblis itu!”
“Subo,
maafkan teecu. Teecu sudah berjanji kepada Bibi ini, dan lagi pula, teecu harus
meninggalkan Suhu dan Subo, teecu harus meninggalkan... adik Sian Li. Bukankah
itu yang Subo kehendaki? Teecu harus dipisahkan dari adik Sian Li. Nah, setelah
sekarang teecu menentukan jalan sendiri, mengapa Subo hendak menghalangi?
Sudahlah, Subo, maafkan teecu dan… selamat tinggal.” Yo Han lalu mengambil
dayung dan mendayung perahu itu.
Hong Li
masih penasaran saja dan hendak mengejar, akan tetapi ada sentuhan lembut
tangan suaminya pada lengannya. Ia menoleh dan melihat suaminya tersenyum
sambil menggelengkan kepalanya.
“Suheng, aku
ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang melihat Yo Han mendayung perahu yang mulai
meluncur menjauh, berteriak dan meronta dalam pondongan ayahnya.
Hong Li menyimpan
kembali pedangnya dan memondong puterinya. “Jangan ikut, Sian Li. Suheng-mu
sedang pergi menuntut ilmu. Kelak engkau pasti akan bertemu kembali dengan
dia.” Ia memeluk anaknya dan menciuminya, menghibur sehingga Sian Li tidak
berteriak-teriak lagi.
Suami isteri
itu berdiri di tepi sungai dan mengikuti perahu yang menjauh itu dengan pandang
mata mereka.
“Aku tetap
khawatir,” bisik Hong Li. “Wanita itu jelas tokoh sesat. Julukannya Ang-I Moli.
Aku khawatir Yo Han akan menjadi tersesat kelak.”
Suaminya
menggeleng kepala. “Jangan khawatir. Yo Han bukanlah anak yang berbakat jahat.
Aku melihat hal yang aneh lagi tadi. Ketika engkau diserang dengan sihir,
kulihat engkau terkejut dan wanita itu berdiri mengacungkan tangan dan
berkemak-kemik, ada sinar menyambar ke arahmu...”
“Memang
benar. Aku pun terkejut akan tetapi tiba-tiba sinar itu menghilang.”
“Itulah!
Begitu Yo Han melompat ke depan dan menghentikan perkelahian, sinar itu lenyap
dan kulihat wanita berpakaian merah itu terkejut dan ketakutan. Aku menduga
bahwa kekuatan sihirnya itu punah dan lenyap oleh teriakan Yo Han! Nah, karena
itu, biarkanlah dia pergi. Aku yakin dia tidak akan dapat terseret ke dalam
jalan sesat.”
Mereka lalu
pulang membawa Sian Li yang sudah tidur di dalam pondongan ibunya. Berbagai
perasaan mengaduk hati kedua orang suami isteri itu. Ada perasaan menyesal dan
mereka merasa kehilangan Yo Han, ada pula perasaan lega karena kini puteri
mereka dapat dipisahkan dari Yo Han tanpa mereka harus memaksa Yo Han keluar
dari rumah mereka, ada pula perasaan khawatir akan nasib Yo Han yang dibawa
pergi oleh seorang tokoh sesat.
Segala macam
perasaan duka, khawatir dan sebagainya tidak terbawa datang bersama peristiwa
yang terjadi menimpa diri kita, melainkan timbul sebagai akibat dari cara kita
menerima dan menghadapi segala peristiwa itu. Pikiran yang penuh dengan ingatan
pengalaman masa lalu membentuk sebuah sumber di dalam diri kita, sumber berupa
bayangan tentang diri pribadi yang disebut aku, dan dari sumber inilah segala
kegiatan hidup terdorong.
Karena
si-aku ini diciptakan pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah, maka segala
kegiatan, segala perbuatan pun selalu didasari pada kepentingan si-aku. Jika
sang aku dirugikan, maka timbullah kecewa, timbullah iba diri dan duka. Jika
sang aku terancam dirugikan, maka timbul rasa takut dan khawatir. Si AKU ini
selalu menghendaki jaminan keamanan menghendaki kesenangan dan menghindari
kesusahan.
Si AKU ini
mendatangkan penilaian baik buruk, tentu saja didasari untung-rugi bagi diri
sendiri. Baik buruk timbul karena adanya penilaian, dan penilaian adalah
pilihan si-aku, karenanya penilaian selalu didasari nafsu daya rendah yang
selalu mementingkan diri sendiri. Kalau sesuatu menguntungkan, maka dinilai
baik, sebaliknya kalau merugikan, dinilai buruk.
Sebagai
contoh, kita mengambil hujan. Baik atau burukkah hujan turun? Hujan adalah suatu
kewajaran, suatu kenyataan dan setiap kenyataan adalah wajar karena hal itu
sudah menjadi kodrat, menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hujan baru
disebut baik atau buruk bila sudah ada penilaian. Yang menilai adalah kita,
didasari nafsu daya rendah yang mengaku diri sebagai sang aku.
Bagi orang
yang membutuhkan air hujan, maka hujan di sambut dengan gembira dan dianggap
baik, karena menguntungkan dirinya, misalnya bagi para petani yang sedang
membutuhkan air untuk sawah ladangnya. Sebaliknya, bagi orang-orang yang merasa
dirugikan dengan turunnya hujan, maka hujan itu tentu saja dianggap buruk!
Padahal, hujan tetap hujan, wajar, tidak baik tidak buruk.
Demikian
pula dengan segala macam peristiwa atau segala macam yang kita hadapi. Selalu
kita nilai, tanpa kita sadari bahwa penilaian itu berdasarkan nafsu
mementingkan diri sendiri. Kalau ada seseorang berbuat menguntungkan kepada
kita, kita menilai dia sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan, kita
menilainya sebagai orang jahat. Jelaslah bahwa penilaian adalah sesuatu hal
yang pada hakekatnya menyimpang dari kebenaran. Yang kita nilai baik belum
tentu baik bagi orang lain, dan sebaliknya.
Penilaian
mendatangkan reaksi, mempengaruhi sikap dan perbuatan kita selanjutnya.
Perbuatan yang didasari hasil penilaian ini jelas tidak sehat. Dapatkah kita
menghadapi segala sesuatu tanpa menilai, tapi menghadapi seperti apa adanya?
Kalau tindakan kita tidak lagi dipengaruhi hasil penilaian, maka tindakan itu
terjadi dengan spontan dipimpin kebijaksanaan.
Permainan
pikiran yang mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan hanya mendatangkan
duka dan khawatir, seperti yang pada saat itu dialami oleh Tan Sin Hong dan
isterinya, Kao Hong Li.
**************
“Jangan
bohong kau!” Ang-I Moli membentak.
Yo Han yang
berdiri di depannya memandang dengan sinar mata marah. “Subo, sudah berulang
kali aku mengatakan bahwa aku tidak pernah dan tidak akan mau berbohong!”
jawabnya dengan tegas.
Mereka
berada di dalam sebuah ruangan kuil tua di lereng bukit. Kuil ini belum rusak
benar. Baru setahun ditinggalkan penghuninya, yaitu seorang pertapa tosu dan
agaknya tidak ada yang mau mengurus kuil yang berada di tempat terpencil ini.
Hanya kuil
yang berada di daerah pedusunan yang makmurlah baru bisa berkembang dengan
baik. Banyak pengunjung datang bersembahyang dan banyak dana pula datang
membanjir sehingga berlebihan untuk pembiayaan kuil. Akan tetapi sebuah kuil
tua di lereng bukit yang sunyi? Jauh dari dusun jauh dari masyarakat? Siapa
yang mau hidup sengsara dan serba kekurangan di situ?
Kuil itu
sekarang kosong dan dalam perjalanannya pulang, saat melewati tempat ini dan
kemalaman, Ang-I Moli mengajak Yo Han untuk melewatkan malam di tempat sunyi
itu. Wanita itu masih terkenang akan kelihaian Kao Hong Li. Wanita cucu Naga
Sakti Gurun Pasir itu demikian lihainya. Dan suaminya, Si Bangau Putih, tentu
lebih lihai pula.
Ia sendiri
yang ditakuti banyak orang di dunia kang-ouw, sekarang merasa ngeri kalau
membayangkan bahaya maut yang mengancamnya ketika ia berhadapan dengan suami
isteri pendekar itu. Kalau suhu dan subo-nya sedemikian saktinya, tentu
muridnya juga telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, demikian pendapatnya. Oleh
karena itu, ketika ia bertanya kepada Yo Han tentang ilmu silat, berapa banyak
ilmu kedua orang gurunya yang telah dikuasainya, Yo Han menjawab bahwa dia
tidak pandai ilmu silat dan tentu saja Ang-I Moli menduga dia berbohong.
“Bagaimana
mungkin, sebagai murid suami isteri yang lihai itu engkau tidak menguasai
sedikit pun ilmu silat? Sudah berapa lama engkau menjadi murid mereka, Yo Han?”
“Sudah lima
tahun, Subo.”
“Hemm, apa
lagi sudah begitu lama. Bagaimana mungkin engkau tidak pandai ilmu silat?
Bukankah engkau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka?”
“Aku tidak
pernah berlatih, Subo. Aku tidak suka ilmu silat.”
Mata wanita
cantik itu terbelalak, lalu ia memandang penuh perhatian kepada Yo Han dengan
alis berkerut. “Engkau tidak suka ilmu silat?” Ang-I Moli tertawa
terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya. “Kao Hong Li dan Tan Sin Hong adalah
sepasang suami isteri pendekar yang sakti, dan murid tunggalnya tidak pandai
dan tidak suka ilmu silat?” Ia tertawa-tawa lagi sampai keluar air
matanya.”Habis, apa saja yang kau pelajari dari mereka selama lima tahun itu?”
“Subo,
kenapa Subo mentertawakan hal itu? Aku memang tidak suka ilmu silat, dan yang
kupelajari dari Suhu dan Subo-ku itu adalah ilmu membaca dan menulis, membuat
sajak, bernyanyi dan meniup suling, pengetahuan mengenai kebudayaan dan
filsafat hidup, mempelajari kitab-kitab sejarah kuno...”
Dia terpaksa
berhenti bicara karena Ang-I Moli sudah tertawa lagi terkekeh-kekeh. Yo Han
hanya berdiri memandang dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar marah.
Setelah
menghentikan tawanya, wanita itu mengusap air mata dari kedua matanya, lalu
memandang kepada pemuda remaja itu. “Anak baik, aku mengambilmu sebagai murid
dan aku akan mengajarkan ilmu silat pula kepadamu. Bagaimana?”
Yo Han
menggeleng kepalanya. “Percuma saja, Subo. Aku tidak akan menolak segala yang
kau ajarkan kepadaku, akan tetapi aku takkan suka berlatih silat sehingga semua
pengertian ilmu silat yang kau berikan kepadaku tidak akan ada gunanya.”
Ang-I Moli
teringat sesuatu. “Yo Han, kalau engkau memang sama sekali tidak pandai ilmu
silat, mengapa engkau begini tabah dan berani? Padahal engkau tidak mempunyai
kemampuan untuk membela diri apa bila diserang lawan. Bagaimana engkau menjadi
begini berani?”
“Aku tidak
suka kekerasan, mengapa mesti takut, Subo? Orang yang tidak melakukan
kejahatan, tidak merugikan orang lain, tidak membenci orang lain, kenapa mesti
takut? Aku tidak pernah takut, Subo, karena tidak pernah membenci orang lain.”
“Yo Han,
kalau engkau tidak mau belajar ilmu silat dariku, lalu kenapa engkau mau ikut
dengan aku?” Wanita itu akhirnya bertanya heran.
“Subo lupa.
Bukan aku yang ingin ikut Subo, melainkan Subo yang mengajakku dan aku ikut
Subo sebagai penukaran atas diri Sian Li.”
Wanita itu
menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan memandang dengan heran.
Sungguh seorang anak laki-laki yang aneh sekali. Begitu tabah, sedikit pun
tidak mengenal takut, begitu teguh memegang janji, sikapnya demikian gagah
perkasa seperti seorang pendekar tulen, akan tetapi, sedikit pun tidak pandai
ilmu silat bahkan tak suka ilmu silat!
Akan tetapi,
melihat wajah yang tampan gagah itu, ia lalu teringat akan keadaan tubuh pemuda
remaja itu. Wajah Ang-I Moli segera berseri, mulutnya tersenyum dan pandang
matanya menjadi genit sekali.
“Tidak suka
berlatih silat pun tidak mengapalah, Yo Han, asal engkau mentaati semua
perintahku dan menuruti semua permintaanku.” Ia lalu menggapai. “Engkau
duduklah di sini, dekat aku, Yo Han.”
Tanpa
prasangka buruk, Yo Han mendekat, lalu duduk di atas lantai yang tadi sudah dia
bersihkan dan diberi tilam rumput kering yang dicarinya di ruangan belakang
kuil tua itu, sebagai persiapan tempat mereka nanti tidur melewatkan malam.
Akan tetapi, suaranya tegas ketika dia berkata,
“Subo, aku
akan selalu mentaati perintahmu selama perintah itu tidak menyimpang dari
kebenaran. Namun kalau Subo memerintahkan aku melakukan hal yang tidak benar,
maaf, terpaksa akan kutolak!”
“Hi-hik,
tidak ada yang tidak benar, muridku yang baik. Engkau tahu, aku amat sayang
kepadamu, Yo Han. Engkau anak yang amat baik, dan aku senang sekali mempunyai
murid seperti engkau.” Wanita itu memegang tangan Yo Han dan membelai tangan
itu.
Merasa
betapa jari-jari tangan yang berkulit halus itu dengan lembut membelai-belai
tangannya, kemudian bagaikan laba-laba jari-jari tangan itu merayap naik di
sepanjang lengannya, Yo Han merasa geli dan juga aneh. Jantungnya lalu berdebar
tegang dan dengan gerakan lembut dia pun menarik lengannya yang dibelai itu.
“Subo,
apakah Subo tidak lapar?” Mendadak dia bertanya dan pertanyaan itu sudah cukup
untuk membuyarkan gairah yang mulai membayang di dalam benak Ang-I Moli. Ia pun
terkekeh genit.
“Hi-hik,
bilang saja perutmu lapar, sayang. Nah, buka buntalanku itu, di situ masih ada
roti kering dan daging kering, juga seguci arak.”
Mendapatkan
kesempatan untuk melepaskan diri dari belaian gurunya yang baru itu, Yo Han
cepat-cepat bangkit dan mengambil buntalan pakaian gurunya, lalu mengeluarkan
bungkusan roti dan daging kering, beserta seguci arak yang baunya keras sekali.
Dia menaruh semua itu di depan Ang-I Moli dan ketika merasakan betapa roti dan
daging kering itu keras dan dingin, dia pun berkata,
“Subo, aku
hendak mencari kayu bakar dan air.”
“Ehh? Untuk
apa? Makanan sudah ada, minuman juga sudah ada.”
“Akan tetapi
roti dan daging itu keras dan dingin, Subo. Kalau dipanaskan dengan uap air
tentu akan menjadi hangat dan lunak. Juga aku lebih suka minum air dari pada
arak. Ini aku membawa panci untuk masak air, Subo,” katanya sambil mengeluarkan
sebuah panci dari dalam buntalan pakaiannya.
Ang-I Moli
memandang dan tersenyum. Ia semakin tertarik kepada Yo Han dan ia harus
bersikap manis untuk bisa menundukkan hati perjaka remaja itu. Pemuda ini tidak
mau menjadi muridnya dalam arti yang sesungguhnya. Maka ia harus dapat
memanfaatkan pemuda itu bagi kesenangan dan keuntungan dirinya sendiri.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment