Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 02
Seorang
perjaka remaja yang memiliki tubuh sebaik itu akan menguntungkan sekali bagi
kewanitaannya. Akan membuat ia awet muda dan kuat, juga hawa murni di tubuh
muda itu akan dapat dihisapnya dan dapat menambah kekuatan tenaga dalam di tubuhnya.
Selain itu, cita-citanya untuk menguasai sebuah ilmu rahasia yang selama ini
ditunda-tundanya, kini akan dapat diraihnya dengan mudah!
Untuk dapat
menguasai ilmu rahasia itu, ia harus dapat menghisap darah murni selosin orang
perjaka yang memiliki darah yang bersih dan badan yang sempurna. Kini ia telah
mendapatkan Yo Han dan anak ini sudah lebih dari cukup, bahkan jauh lebih kuat
jika dibandingkan dengan selosin orang pemuda remaja biasa!
“Baiklah,
engkau boleh pergi mencari air dan kayu bakar. Akan tetapi cepat kembali. Hari
telah sore dan sebentar lagi akan gelap,” katanya halus dan ramah.
“Baik,
Subo.”
Yo Han
berlari keluar dari kuil itu. Dia tidak tahu bahwa Ang-I Moli membayanginya
dari jauh. Wanita ini tidak ingin kehilangan Yo Han, maka begitu anak itu
berlari keluar, dia pun menggunakan ilmu kepandaiannya dan mengikutinya tanpa
diketahui oleh Yo Han. Bagi seorang seperti Ang-I Moli Tee Kui Cu, tidak
mungkin ada orang di dunia ini yang benar-benar jujur dan setia sehingga dapat
dipercaya sepenuhnya!
Sejak kecil
wanita ini hidup di dalam lingkungan dunia hitam, berkecimpung di dalam
kesesatan, di dalam suatu masyarakat di mana kata jujur dan setia sudah tidak
dikenal lagi, di mana segala cara dihalalkan demi keuntungan dan kepentingan
diri sendiri. Oleh karena itu, ia pun tidak dapat percaya sepenuhnya kepada Yo
Han.
Ia tidak
ingin kehilangan Yo Han yang baginya sekarang menjadi amat penting. Ia takut
kehilangan pemuda itu, takut pemuda itu melarikan diri atau dilindungi orang
lain. Juga ia hendak menguji sampai di mana pemuda itu mampu mempertahankan
kejujuran dan kesetiaannya.
Ang-I Moli
tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menemukan seorang pemuda yang luar
biasa, yang berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Di dalam batin Yo Han belum
pernah terdapat pamrih yang bermacam-macam, bahkan dia tidak mengenal itu.
Yo Han
menghadapi segala sesuatu yang terjadi sebagai apa adanya, tidak pernah dia
membuat gagasan atau rekaan macam-macam. Dia hanya melihat kenyataan yang ada
untuk dihadapinya secara spontan, dia tidak pernah membuat rencana dan akal
demi kepentingan diri sendiri.
Ia melihat
kenyataan bahwa suhu dan subo-nya tak menghendaki dia di rumah mereka, dengan
alasan agar puteri mereka jangan sampai kelak meniru sikap dan pendiriannya.
Dia tahu bahwa demi kebaikan keluarga suhu-nya, dia harus menyingkir,
menjauhkan diri dari mereka. Oleh karena itulah dia mengambil keputusan untuk
pergi meninggalkan mereka yang sesungguhnya amat dia sayangi.
Kemudian,
karena ia harus menyelamatkan Sian Li, ia telah berjanji kepada Ang-I Moli
untuk mengikuti wanita itu sebagai muridnya. Janjinya itu akan dipegangnya dengan
teguh. Dia tidak akan melarikan diri karena dia pun sama sekali tidak pernah
merasa takut kepada Ang-I Moli. Dia belum mengenal benar orang macam apa adanya
Ang-I Moli, gurunya yang baru itu.
Bukan main
senang dan lega rasa hati Ang-I Moli yang membayangi Yo Han, ketika melihat
bahwa sedikit pun anak itu tidak memperlihatkan sikap ingin melarikan diri. Dia
mengumpulkan kayu bakar, kemudian menemukan sumber air dan mengisi pancinya
penuh air, setelah itu dia kembali ke kuil tanpa ragu-ragu. Ketika Yo Han
memasuki kuil, Ang-I Moli tentu saja sudah lebih dahulu berada di tempat
semula, duduk bersila sambil tersenyum manis.
“Aihh, cepat
juga engkau mendapatkan air dan mengumpulkan kayu kering, Yo Han,” pujinya,
kemudian dia membantu muridnya membuat api unggun dan memasak air di panci.
Setelah roti
dan daging kering dipanasi dengan uap air, mereka lalu makan roti dan daging
yang sudah menjadi lunak dan juga hangat itu, yang memang terasa jauh lebih
enak dari pada kala碌 dimakan keras dan dingin. Dengan
gembira sekali Ang-I Moli makan roti dan daging kering sambil sesekali minum
arak, sedangkan Yo Han hanya minum air yang sudah dimatangkan.
Setelah
makan kenyang, mereka duduk-duduk dekat api unggun. Sementara itu, malam telah
tiba. Api unggun itu sangat menolong mereka mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Setelah
duduk termenung di dekat api unggun, Yo Han mengeluh. Sambil mengangkat muka
memandang wajah subo-nya yang sejak tadi memperhatikannya tanpa bicara, dia
berkata, “Subo, sekarang aku merasa betapa aku kehilangan kitab-kitab itu.
Biasanya, di waktu malam begini aku tentu membaca kitab. Akan tetapi sekarang,
kitab-kitab itu jauh di rumah Suhu dan Subo, dan di sini aku tidak dapat
membaca apa-apa.”
Wanita itu
tersenyum. “Jangan kau khawatir, Yo Han. Setelah tiba di rumah, aku akan
mencarikan kitab bacaan untukmu.”
“Subo juga mempunyai kitab-kitab
bacaan?” Yo Han memandang dengan sinar mata gembira.
“Akan aku carikan untukmu. Apa sih
sukarnya mencari kitab-kitab itu? Akan aku carikan sebanyaknya untukmu. Aku
sayang padamu Yo Han, dan kuharap engkau pun sayang kepadaku dan akan menuruti
semua keinginanku.”
“Subo baik kepadaku, mengapa aku tidak
sayang? Dan tentu saja aku akan menuruti semua keinginan Subo. Subo, bolehkah
aku tidur dulu? Perjalanan hari ini yang tidak melalui air lagi, berjalan kaki
sehari penuh, amat melelahkan badan dan aku ingin tidur.” Yo Han lalu
merebahkan dirinya miring di sudut ruangan itu, di seberang api unggun,
terpisah dari subo-nya.
Ang-I Moli
tersenyum. “Yo Han, jangan lupa lagi. Apa yang harus kau lakukan sebelum
tidur?”
Yo Han juga
tersenyum, lalu bangkit dan membawa air ke bagian belakang kuil untuk
membersihkan mulutnya. Pada malam pertama mereka melakukan perjalanan, masih
berperahu, subo-nya yang baru ini telah memberi sebuah pelajaran tentang
kebersihan kepadanya, yaitu keharusan membersihkan mulut sewaktu akan tidur.
”Lihat gigiku ini,” demikian kata
subo-nya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi.
“Belum ada sebuah pun yang rusak atau tanggal, padahal banyak orang seusiaku
sudah hampir kehabisan giginya. Ini hasil menjaga kebersihan. Bukan saja
hasilnya gigi menjadi bersih dan utuh, juga kesehatanku menjadi amat baik
karena hampir semua penyakit datangnya lewat mulut. Cara membersihkan mulut dan
gigi yang paling baik adalah membersihkannya setiap kali kita hendak tidur. Hal
ini harus menjadi kebiasaanmu semenjak malam ini, Yo Han!” Demikianlah Ang-I
Moli memberi pelajaran tentang kesehatan dan kalau dia terlupa, seperti pada
malam ini, Ang-I Moli selalu memperingatkannya.
Pelajaran
kesehatan yang agaknya amat sederhana ini sesungguhnya menguntungkan sekali dan
alangkah baiknya bagi Yo Han. Biasanya orang meremehkannya. Padahal, kebiasaan
membersihkan mulut di waktu hendak tidur merupakan satu di antara usaha
penjagaan kesehatan yang paling baik dan paling mudah!
Tidak lama
kemudian, Yo Han sudah tidur pulas di atas rumput kering. Dia tidak tahu bahwa
semenjak tadi Ang-I Moli sudah berpindah tempat di dekatnya dan kini wanita itu
duduk bersila di sebelahnya, tiada hentinya mengamati wajahnya yang tidur
nyenyak, di bawah sinar api unggun yang membuat wajahnya menjadi kemerahan.
Aku harus
mulai sekarang juga, pikir wanita itu. Lebih cepat ia dapat menguasai Yo Han,
lebih baik. Dengan lembut tangannya meraba wajah pemuda itu, membelai dagu dan
leher, lalu membelai semua tubuh Yo Han. Pemuda remaja itu menggeliat dalam
tidurnya dan Ang-I Moli menarik tangannya.
Anak ini
amat luar biasa, pikirnya sambil menahan gairah yang sudah mulai membakar
dirinya. Mungkin saja dia akan menolak keras, bahkan melawan dan tak mau
menyerah biar diancam bagaimana pun juga. Keberaniannya memang luar biasa.
Kalau terjadi hal seperti itu, tentu amat merugikan dirinya. Kalau ia
menggunakan paksaan, anak ini akan dapat mati sebelum ia memperoleh hasil yang
memuaskan.
Ia harus
dapat menghisap kemurnian anak ini sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh Yo
Han. Ia akan memberi makanan dan minuman yang mengandung obat penguat badan dan
akhirnya, semua hawa murni dan darah murni itu akan berpindah ke tubuhnya tanpa
diketahui oleh pemuda remaja itu, atau kelak diketahui kalau sudah terlambat
dan pemuda yang kehabisan darah dan hawa murni itu akan tewas pula.
Dan ia akan
mampu melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Ia akan menjadi seorang yang sukar
dicari tandingnya! Ia akan dapat merajai dunia persilatan dengan ilmunya itu.
Kembali ia
mengamati wajah Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ahh, mengapa ia begitu bodoh?
Kalau membujuk anak ini, agaknya ia akan gagal total. Anak ini bukan seorang
anak yang mudah dibodohi atau dibujuk halus, atau pun yang mudah ditundukkan
dengan ancaman atau siksaan. Padahal, ia menghendaki agar dia menyerahkan diri
dengan suka rela! Dengan demikian maka hasilnya akan lebih baik lagi bagi
dirinya.
Dan
satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan sihirnya! Mengapa ia lupa akan
kepandaiannya itu? Ia pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw dan kini
ilmu sihirnya sudah lebih dari kuat untuk mempengaruhi seorang bocah! Orang
dewasa pun kalau tidak memiliki sinkang yang kuat akan mudah ia tundukkan
dengan kekuatan sihirnya. Apa lagi pemuda remaja yang lemah ini!
Ang-I Moli
yang duduk bersila menghadapi Yo Han itu lalu membuat guratan-guratan dengan
telunjuk kanannya, kemudian mulutnya berkemak-kemik, matanya terpejam. Ia
membaca semacam mantera untuk mulai mempergunakan ilmu sihirnya untuk menyihir
dan menguasai semangat Yo Han yang masih tidur nyenyak.
Setelah
membaca mantera, ia lalu membuka kedua matanya yang mengeluarkan sinar aneh
menatap wajah Yo Han. Juga kedua tangannya kini digerakkan dengan aneh, jari
tangannya terbuka seperti cakar, dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak, kedua
tangan itu diputar-putar sekitar kepala dan tubuh Yo Han. Kembali mulutnya
berkemak-kemik, kini mengeluarkan bisikan yang mendesis-desis.
“Yo Han, engkau telah berada dalam
kekuasaanku, seluruh semangat dan kemauanmu tunduk padaku. Jika nanti engkau
kusuruh bangun, engkau akan tunduk dan menyerah padaku penuh kepasrahan, engkau
akan menganggap aku sebagai wanita paling cantik yang kau kasihi, engkau akan
dibakar gairah birahi dan engkau akan menuruti segala kehendakku dengan
gembira. Kemauanmu akan lemah dan lembut bagaikan domba, gairah birahimu akan
bangkit setangkas harimau. Engkau akan selalu berusaha untuk menyenangkan
hatiku, dengan mentaati semua perintahku, hanya aku satu-satunya orang yang kau
kasihi, kau taati...” Ia lalu menutup bisikan mendesis itu dengan tiupan dari
mulutnya ke arah muka Yo Han tiga kali.
“Yo Han... Yo Han... Yo Han...
bangunlah engkau, sayang!” Dia mengguncang pundak pemuda itu, menggugahnya.
Yo Han
adalah seorang anak yang memiliki kepekaan luar biasa. Sejak kecil, di waktu
dia tidur, jika ada sesuatu yang tidak wajar, sedikit suara saja sudah cukup
menggugah dirinya dari tidur pulas. Maka begitu Ang-I Moli menyentuh pundaknya
ia pun terbangun, membuka kedua matanya, tetapi tidak seperti biasanya, dia
tidak segera bangkit duduk, namun memandang kosong ke depan, seperti orang
melamun, seperti melihat sesuatu yang amat menarik hati.
Dan memang
dia merasa melihat sesuatu yang amat aneh. Dia merasa seolah kaki dan tangannya
terbelenggu, juga suaranya lenyap bagaikan gagu, dan dirinya hanyut oleh
gelombang samudera, semakin ke tengah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Kemudian ia merasa ada kekuatan yang menariknya ke tepi, bahkan ia seperti
sedang menunggang gelombang, makin dekat ke tepi, lalu kaki tangannya yang
tadinya seperti terbelenggu itu terlepas bebas, dan mulutnya dapat bersuara
lagi. Dia berenang sekuat tenaga ke tepi, dan berhasil mendarat di pantai.
“Apa... apa yang terjadi padaku? Ya
Tuhan, apa yang terjadi...?”
Suara ini
pun seperti keluar dengan sendirinya, dari balik perasaan hatinya yang diliputi
keheranan. Dan begitu dia menyebut nama Tuhan. Semua itu pun lenyap dan seperti
orang bangkit dari mimpi buruk, dia kini duduk dan melihat bahwa di depannya
duduk Ang-I Moli yang bersila.
Melihat
pemuda remaja itu telah bangun duduk, Ang-I Moli tersenyum manis, merasa yakin
bahwa sihirnya telah mengena dan telah menguasai anak itu, walau pun ketika Yo
Han menyebut Tuhan tadi hatinya merasa amat tidak enak.
“Yo Han, engkau sayang padaku, bukan?”
Ia menguji.
Yo Han
memandang wajah subo-nya dengan heran, lalu menjawab lirih, “Tentu saja aku
sayang padamu, Subo. Kenapa Subo menanyakan hal itu dan membangunkan aku?”
“Hemmm, anak tampan. Aku ingin engkau
membuktikan kasih sayangmu padaku. Nah, kesinilah, Yo Han, peluklah aku…
ciumlah aku,” katanya dengan senyum memikat dan nada suara memerintah.
Akan tetapi,
kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hatinya! Anak itu tidak
bergerak menuruti perintahnya, bahkan memandang kepadanya dengan alis berkerut
dan mata bersinar marah!
“Subo, apa artinya ini? Subo menyuruh
aku melakukan sesuatu yang tidak patut!”
Tentu saja
Ang-I Moli terkejut. Bukankah sihirnya tadi sangat kuat dan anak ini sudah
berada di dalam cengkeraman ilmu sihirnya? Kenapa sekarang dia berani membantah
dan menolak perintahnya?
“Yo Han! Aku sayang padamu dan engkau
pun sayang padaku. Apa salahnya kalau engkau memelukku dan menciumku untuk
menyatakan kasih sayangmu itu?”
“Tapi aku bukan anak kecil lagi yang
pantas dipeluk cium, Subo! Aku seorang pemuda yang sudah berusia dua belas
tahun, menuju ke masa remaja!”
Sekarang
Ang-I Moli merasa penasaran bukan main. Semua ucapan Yo Han itu tidak
menunjukkan bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir! Semua jawaban Yo Han itu
mengandung perlawanan, bukan ketaatan.
Ia pun
menguji lagi dan dengan suara nyaring mengandung perintah dia berseru, “Yo Han,
bangkitlah berdiri!”
Dan anak itu
pun segera bangkit berdiri. Begitu taat!
“Tambahkan kayu pada api unggun!”
perintahnya pula.
Tanpa
menjawab, dan sedikit pun tidak membantah, Yo Han menghampiri api unggun,
memilih beberapa potong kayu bakar, kemudian menambahkannya kepada api unggun
sehingga api kini membesar.
“Yo Han, sekarang duduklah kembali ke
sini, di depanku!”
Sekali lagi
Yo Han mentaati perintah itu dan menghampiri subo-nya, lalu duduk di depan
subo-nya. Begitu taat dan sedikit pun tidak membantah. Mereka duduk bersila
saling berhadapan, dekat sekali sehingga Yo Han dapat mencium bau harum minyak
bunga yang semerbak dari pakaian dan rambut wanita itu.
Melihat
betapa Yo Han selalu taat, Ang-I Moli menjadi semakin heran dan penasaran.
Kenapa sekarang anak itu begitu taat seolah sihirnya termakan olehnya?
“Yo Han…, kau rabalah kedua pipiku dan
daguku dengan kedua tanganmu,” kembali ia memerintah.
Yo Han hanya
memandang heran saja, akan tetapi kedua tangannya bergerak dan dia pun
meraba-raba kedua pipi yang halus dan dagu meruncing itu.
“Teruskan, raba leher dan dadaku...,”
kata pula Ang-I Moli, kini suaranya mulai gemetar oleh bangkitnya kembali
gairahnya.
Akan tetapi
sekarang, kedua tangan itu bukan turun ke leher dan dadanya, melainkan turun
kembali ke atas pangkuan Yo Han. Anak itu sama sekali tidak melaksanakan
perintahnya.
“Yo Han, aku perintahkan, cepat kau
raba dan belai leher dan dadaku dengan kedua tanganmu!” ia membentak, mengisi
suaranya dengan kekuatan sihir sepenuhnya.
Tetapi,
jangankan anak itu melaksanakan perintahnya, bahkan kini Yo Han memandang
kepadanya dengan sinar mata yang aneh, heran dan juga penasaran.
“Subo, kenapa Subo mengeluarkan
perintah yang aneh-aneh? Maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah itu.”
Barulah kini
Ang-I Moli terkejut. Jelas bahwa anak ini tidak berada di bawah pengaruh
sihirnya! Tidak pernah! Kalau tadi nampak dia mentaati hanya karena taat yang
wajar, bukan pengaruh sihir sama sekali. Ia pun menjadi marah.
“Yo Han, bukankah engkau sudah
berjanji akan mentaati semua perintahku? Mengapa sekarang engkau membantah dan
tak memenuhi perintahku yang amat sederhana dan mudah ini?”
“Subo, sudah kukatakan bahwa semua
perintah Subo akan kutaati, kecuali bila perintah itu untuk melakukan sesuatu
yang jahat dan tidak benar. Perintah Subo itu tidak baik, karenanya maka aku
tidak mau melaksanakannya. Perintahkan aku mengerjakan yang pantas, betapa berat
pun pasti akan kutaati, Subo.”
“Yo Han,” kini Ang-I Moli hendak
mendapatkan kepastian dan ia tidak mau membuang waktu sia-sia dengan membawa
anak itu jauh-jauh ke tempat tinggalnya untuk kelak tidak tercapai pula
maksudnya. “Engkau harus mentaati semua perintahku, kalau tidak, untuk apa aku
mempunyai murid yang membandel dan membantah?”
“Untuk perintah yang tidak pantas,
terpaksa aku menolak, Subo.”
Wanita yang
sudah terbakar oleh gairah nafsunya sendiri itu, sama sekali tidak tahu bahwa
Yo Han adalah seorang anak yang aneh, memiliki sesuatu dalam dirinya yang oleh
manusia pada umumnya akan dianggap aneh.
Dia tidak
pernah mempelajari ilmu silat dengan latihan, kecuali hanya menghafal semua
teorinya saja, dan dia pun tidak pernah belajar ilmu sihir. Namun, kekuatan
sihir yang digunakan Ang-I Moli terhadap dirinya, sama sekali tidak mempan,
sama sekali tidak mempengaruhinya, hanya mendatangkan mimpi bahwa dia hampir
dihanyutkan ombak samudera. Kekuatan sihir Ang-I Moli bagaikan arus air sungai
yang menerjang batu, mengguncang sedikit saja lalu lewat tanpa mampu
menghanyutkan batu itu.
Karena kini
merasa yakin bahwa anak itu tidak lagi dapat dipengaruhinya dengan sihir, Ang-I
Moli menjadi penasaran dan tak sabar lagi. Ia lalu menanggalkan pakaian luarnya,
begitu saja di depan mata Yo Han.
Anak ini
mula-mula memandang dengan mata terbelalak heran. Akan tetapi pandang matanya
lalu menunduk ketika dia melihat tubuh subo-nya hanyalah terbungkus pakaian
dalam yang tipis dan tembus pandang.
Melihat
betapa agaknya anak itu tidak dapat dipengaruhi oleh kecantikan dan keindahan
tubuhnya, maklum karena usianya pun baru dua belas tahun, belum dewasa, Ang-I
Moli lalu merangkul dan menciumi Yo Han. Diterkamnya anak itu bagaikan seekor
harimau menerkam kelinci!
“Subo, apa yang Subo lakukan ini?!
Subo, lepaskan aku! Ini tidak boleh, tidak benar, tidak baik...!”
Akan tetapi
betapa pun dia meronta, tetap saja dia tidak berdaya menghindarkan diri. Yo Han
kalah tenaga dan tak mampu bergerak lagi saat wanita itu menerkamnya sehingga
dia terguling dan dia lalu ditindih, digeluti, didekap dan diciumi. Yo Han
hanya dapat memejamkan matanya dan mulutnya berkemak-kemik dengan sendirinya.
“Ya Tuhan... ya Tuhan...” Dia hanya
menyebut Tuhan berulang-ulang.
Semenjak Yo
Han mengenal akan kekuasaan Yang Maha Kuasa melalui bacaan dalam kitab-kitab,
dia yakin benar bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah satu, tunggal
dan Maha Kuasa. Keyakinan ini yang selalu membuat Yo Han secara otomatis
menyebut Tuhan setiap kali terjadi sesuatu menimpa dirinya. Hal ini mungkin
karena dia sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi sehingga dia dapat menyerahkan
diri sepenuhnya dan seikhlasnya kepada Tuhan.
Ang-I Moli
menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tak
melawan lagi, sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah dia sedang
menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikan-bisikan yang menyebut Tuhan
berulang-ulang itu sangat mengganggunya, bahkan api gairah birahi yang tadi
membakar dirinya perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.
“Engkau... engkau tidak mau melayani
hasratku...?” tanya Ang-I Moli dengan suaranya yang terengah-engah.
Yo Han tidak
menjawab, tubuhnya telentang sedangkan pakaiannya awut-awutan. Dia menggeleng dengan
tegas.
“Biar pun dengan ancaman mati? Engkau
tetap tidak mau?”
“Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau
melakukan hal yang tidak benar!” Jawab Yo Han, suaranya lirih namun tegas dan
sepasang matanya bersinar-sinar.
“Plak! Plak!”
Dua kali
Ang-I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke
kanan kiri dan kedua pipinya menjadi merah. Ang-I Moli tidak ingin membunuhnya
maka tamparan tadi pun menggunakan tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan
rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang dengan tabah, sedikit pun
tidak memperlihatkan perasaan takut.
“Hemmm, hendak kulihat sekarang!
Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu sendiri! Nah,
sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti semua kehendakku,
engkau akan hidup senang. Sebaliknya, bila engkau tetap menolak, aku juga bisa
memaksamu dengan obat perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan
menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau akan menderita dan mati!”
“Subo, dengan ancaman siksaan apa pun
Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak takut mati
karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati,
aku pun akan menyerah dengan rela...”
“Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau
mau atau tidak?”
“Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan
Subo ini tidak benar dan berdosa. Kelak Subo akan menerima hukuman dari Tuhan!”
“Tutup mulutmu!”
Tangan Ang-I
Moli bergerak, lalu jari-jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan
pinggang Yo Han.
Tubuh Yo Han
terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak
memandang wajah wanita itu dengan penuh teguran.
“Subo dan aku adalah guru dan murid,
tidak sepatutnya...”
“Tukkk!”
Kembali
wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi
mengeluarkan suara.
“Hi-hik, bocah cerewet!” Wanita itu
kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama
sekali.
Tadinya dia
melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut
dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah laksana mata iblis,
juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, sedang
wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.
“Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid
lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau,
harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir!
Dan engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba,
sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuh yang mengering
tanpa darah. He-he-heh!” Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan
keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini.
Kalau saja
Yo Han mau menuruti semua kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat
dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih
lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya
dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.
Sekarang
terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang. Ia akan
menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin anak itu hanya akan bertahan dua tiga
hari saja. Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai dia
menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi
dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu!
Melihat api
unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar, Moli lalu menambah kayu, dan
api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil
menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain
dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan
tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk dekat api unggun saat memilih
isi bungkusan. Sisa obat itu dia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di
tangannya.
Yo Han
mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa
dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan
seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat.
Dia merasa
yakin bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang
Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat.
Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa
segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan.
Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut.
Rasa takut
adalah perkembangan dari si-aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu
melalui pikiran. Si AKU yang merasa terancam menimbulkan rasa takut. Takut
kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut
jika kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati.
Si AKU ingin
selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting,
terbesar, terbaik. Rasa takut akan timbul jika si AKU merasa terancam
kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti,
takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang
dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut akan kehilangan
harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihi
karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si
AKU yang sesungguhnya hanyalah khayalan dari sang pikiran yang menimbulkan rasa
takut.
Yo Han dalam
keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tetap tidak mengenal
rasa takut sebab ia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya,
kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan
sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan mau pun batin, telah diserahkan
kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membimbingnya dan
menjaganya.
Moli
memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, lalu mengambil
guci dan hendak menuang isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera
ditahannya.
“Heh-heh, aku lupa! Engkau tidak suka
arak. Kalau dicampur arak akan sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air
saja. Bukankah begitu, Yo Han?”
Akan tetapi
anak itu tidak menjawab. Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja
sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia
mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Hanya mendengar dan
melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja
menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia bagaikan seorang bayi
di dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman!
Demikianlah
keadaan seorang yang berada dalam ‘gendongan’ kekuasaan TUHAN yang meliputi
seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di
dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia,
di mana saja yang terjangkau pikiran mau pun yang tak terjangkau. Jika sudah
terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti
itu, apa lagi yang dapat menimbulkan rasa takut?
“Heh-heh-heh-heh!” Moli menuangkan air
ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di
dalam cawan, melarutkannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati
Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.
“Hi-hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik.
Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun
perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan
tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak sekali, bukan? Racun kedua
mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau lantas menjadi seekor
kuda jantan dalam birahi! Hi-hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau tak akan
pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan terus-menerus hasrat
kejantananmu itu sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah
obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu sampai habis,
hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni di dalam tubuhmu
tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hi-hik!”
Yo Han tidak
merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang-I Moli
kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu
mengapa wanita ini dijuluki Ang-I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya
memang wataknya bagai iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan
dan kekejaman luar biasa.
“Bukalah mulutmu, sayang. Biar
kutuangkan minuman yang sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah
mulutmu,” kata Moli dengan suara manis merayu.
Tentu saja
Yo Han tak mau membuka mulutnya. Ia memang masih bisa menggerakkan mulut karena
yang tak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia
tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.
“Buka mulutmu kataku!” Sekarang Moli
membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan
dia merapatkan kedua bibirnya.
“Anak bandel!” Moli berkata, lalu
tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan,
mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang
memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah
tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han.
Anak itu
terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli
menuangkan air dalam cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah
larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan
masuk ke dalam perutnya.
“Hi-hi-hik, racun itu sudah masuk
perutmu, Yo Han. Engkau akan segera tertidur karena pengaruh racun perampas
ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi bila engkau terbangun, engkau akan jinak
dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau.
Hi-hik, sungguh akan menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang...”
berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu
mampu bergerak kembali.
Yo Han
menggerak-gerakkan kaki tangannya yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, lalu
bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.
“Bibi, engkau sendiri yang tadi
mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu
subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan
yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingatlah, Bibi, perbuatan yang jahat akan
menghasilkan akibat yang buruk bagi dirimu sendiri…” Yo Han menghentikan
ucapannya karena tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerangnya dengan hebat
sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap.
Ang-I Moli
terkekeh genit. “Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku
Ang-I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu
tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Engkau sudah mulai
mengantuk? Tidurlah sayang, tidurlah...!”
Wanita itu
terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering
dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan turut
merebahkan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu dengan mesra. Ia
sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu
bekerja, ia sudah siap.
Karena ia
pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga. Ia tidak tahu bahwa
tidak lama kemudian api unggun itu padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia
tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun
karena dia agaknya sudah terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya.
**************
Karena
sangat kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti
menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa
lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua
yang kosong itu.
Bayangan itu
ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan
kepala juga dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari
bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat
dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu. Namun gerak-geriknya halus walau pun
ringan dan cekatan.
Langkahnya
tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil. Tangannya memegang sebatang
kayu kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bara itu pun
menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter.
Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya
tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Dia memilih tempat, mencari
bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam.
Bagian depan
dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain
lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang
angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi
tempat itu agak lembab.
Ia lalu
mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali
ayun, bara itu menyala kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu
itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan
perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian
dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga
pakaiannya awut-awutan. Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul
laki-laki itu dengan erat sekali.
Ia
menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan
tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tak mau tinggal di ruangan dalam
karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu
itu dengan ayunan tangannya, lantas dia pun mengumpulkan rumput kering dan
menaburkannya di sudut ruangan depan itu. Setelah itu, ia memadamkan kembali
nyala api dan duduk bersila.
Walau pun
angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan
nyamuk yang banyak beterbangan di situ hanya beterbangan di sekitarnya dan
agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian
tubuh yang nampak dan dapat digigit.
Entah apa
yang menyebabkan nyamuk-nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu.
Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak
berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita
itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan
asap yang harum.
Wanita itu
duduk bersila dan memejamkan matanya setelah mulutnya mengomel lirih.
“Omitohud... alangkah tega menodai tempat suci ini, sungguh pun kuil ini sudah
tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik
dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud...”
Akan tetapi,
ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam
semedhi yang mendalam. Siapakah wanita ini?
Ia seorang
wanita yang tidak muda lagi walau pun masih nampak cantik. Usianya sudah empat
puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak
tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu
halus dan panjang, berkilau tanda sehat.
Rambut itu
digelung secara aneh, tak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup
kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walau pun
garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah
banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang matanya jeli dan
tajam, lebar dan berwibawa.
Di antara
dua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita
ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil yang terletak di sebelah
selatan Tibet. Tubuhnya masih padat dan ramping, tanda bahwa selain sehat, juga
wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih.
Kalau ada
orang Bhutan yang melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat
padanya. Hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak dan pakaiannya yang
seperti pakaian pendeta itu menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di
Kerajaan Bhutan. Ia adalah seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga
dekat dari raja Bhutan.
Memang
sesungguhnya demikianlah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri
dari Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan.
Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, sedang ayahnya adalah
seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama
Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi
seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Gangga Dewi
lahir di Bhutan. Dia dilahirkan sesudah lebih dari sepuluh tahun ayahnya
menikah dengan ibunya, lalu dia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu.
Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil dia
pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai dia dewasa dan kemudian menikah
dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa.
Gangga Dewi
hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi,
saat dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, yaitu Puteri Syanti Dewi,
meninggal dunia karena penyakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah
ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia.
Bagaikan
orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam
isterinya, seolah-olah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam
kuburan. Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek
Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan
jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis
berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Kemudian ia
meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia ia merasa terasing
di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup bahagia
dengan suaminya, yaitu seorang Bhutan asli. Maka dia pun pergi ke timur,
kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir sampai
meninggal di sana bersama saudaranya seayah berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng
dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca secara
lengkap dalam cerita KISAH SI BANGAU PUTIH.
Sepeninggal
ayahnya, Gangga Dewi tetap hidup dalam keadaan tenteram dan bahagia. Bahkan dua
orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah
dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja. Akan tetapi,
kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar,
ada kalanya terang juga ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun
yang lalu, terjadilah perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan
negara tetangganya, yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima kerajaan,
suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan yang turut berperang melawan pasukan
Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas.
Walau pun di
waktu masih hidup suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut,
bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang
terlalu jantan, tapi ketika suaminya tewas, Gangga Dewi merasa kehilangan
sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam. Agaknya ia mewarisi watak
ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan
yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah
kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak
mampu menghibur hatinya. Sesudah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima
tahun lamanya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari
ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula.
Biar pun
perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah sunyi yang
penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus, serta banyak pula ancaman
datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok, namun
Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya. Kadang dia menggabungkan diri
dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, juga kadang menyendiri. Namun,
ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia
mempunyai ilmu kepandaian tinggi, pernah pula digembleng oleh ayah kandungnya
sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang.
Selain itu,
sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng
mengganggunya. Padahal, meski pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun,
sebagai wanita dia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan
wajahnya yang masih cantik jelita mau pun dengan tubuhnya yang ramping dan
berisi.
Demikianlah,
pada malam hari itu Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua, ia pun
memasukinya, sama sekali tak mengira akan melihat pemandangan yang membuat
dirinya merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita
tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak, namun
melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walau pun kuil kosong,
membuat ia merasa penasaran.
Bagaimana
pun juga, manusia terikat oleh hukum adat, hukum umum, sopan santun dan tata
susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari
makhluk lainnya. Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal
tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat
pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya, Kerajaan Bhutan,
agama amat dihormati, dan biar pun di sana terdapat berbagai agama, di
antaranya Agama Kristen, Hindu, Buddhis dan lain-lainnya, akan tetapi di antara
agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian.
Kerukunan
agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Jika ada
pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya
kembali. Bagaimana pun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di
antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup saleh dengan cara
tidak melakukan perbuatan jahat, selalu memupuk perbuatan baik dan saling
menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta,
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan,
maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu
merupakan pekerjaan nafsu.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan
kepadatan malam gelap sudah memudar sehingga cuaca menjadi remang-remang, saat
burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang
berulang setiap hari, yaitu mencari makan, Ang-I Moli terjaga dari tidurnya. Ia
menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka
matanya, kemudian bangkit duduk dan memandang kepada Yo Han yang masih tidur
nyenyak. Dia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.
“Bangunlah,
sayang. Bangunlah dan peluklah aku...”
Yo Han
membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya
didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Bagaikan orang dipagut ular, dia
meronta dan bangkit berdiri. Mukanya berubah merah sekali, sepasang matanya
terbelalak dan cepat dua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang
awut-awutan dan setengah telanjang.
“Apa... apa
yang kau lakukan ini, Bibi?” bentaknya marah.
Wanita itu
memandang heran sekali, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan
didengarnya. Menurut penglihatan dan pendengarannya barusan, Yo Han sama sekali
tidak berubah! Tidak hilang ingatannya, tidak terangsang sama sekali! Ini tidak
mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu akan
terpengaruh oleh pel-pel itu! Apa lagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh
dibilang kanak-kanak.
“Yo Han,
kau... kau... ke sinilah, sayang.” Ia mencoba untuk meraih. Akan tetapi Yo Han
menghindarkan diri dengan langkah ke belakang.
“Bibi,
apakah engkau sudah menjadi gila?” Suara Yo Han lantang dan penuh teguran.
“Ingatlah, perbuatanmu ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi.”
“Yo Han, ke
sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Marilah kita menikmati hidup
ini...” Kembali wanita itu meraih dan kini, biar pun Yo Han mengelak, tetap
saja pergelangan tangannya tertangkap oleh wanita itu.
Yo Han
meronta, akan tetapi apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu?
“Lepaskan aku! Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak akan sudi
menuruti kehendakmu yang keji dan hina! Walau kau siksa, kau bunuh sekali pun,
aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!”
“Plakk!”
Sebuah
tamparan dengan telak mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan
di lain detik, dia telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi.
Ang-I Moli
menyeringai. Gairah birahinya sudah menghilang, terganti kemarahan karena ia
dimaki-maki tadi.
“Anak tolol!
Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kau kira kalau engkau telah
menolakku, engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan
hawa murni dari tubuhmu? Hemm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis hari
ini juga. Darahmu akan kuminum sampai habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan
kemudian sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan lebih dahulu mampus
kehabisan darah!”
Wanita itu
tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimana pun juga Yo Han merasa ngeri.
Bukan takut akan ancaman itu, akan tetapi ngeri melihat wajah wanita itu dan
mendengar suaranya. Dia merasa seperti berhadapan dengan iblis, bukan manusia
lagi.
“Sratttt...!”
Tangan
wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu
telah menyayat leher di dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah
mengucur. Wanita itu lalu menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisap
darah yang keluar!
Pada saat
yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu
bergerak, terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.
“Omitohud...
hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!”
Ada hawa
pukulan mendorong dari samping dan dengan terkejut Ang-I Moli meloncat berdiri
dan membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak
mengerikan sekali. Seperti seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang
berada di bibir. Matanya liar memandang kepada wanita berkerudung yang berdiri
di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.
“Keparat!
Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?” Ang-I Moli membentak dengan
marah sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi.
Ang-I Moli
sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan
kepala berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat
menduga bahwa wanita ini datang dari barat dan bukan berbangsa Han.
Gangga Dewi
tidak menjawab. Semenjak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih
menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya lalu bergerak dan nampak sinar putih
menyambar ke arah tubuh Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih
yang meluncur bagaikan tombak dan begitu mengenai pundak dan pinggang Yo Han
dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya.
Yo Han
seorang anak yang sangat cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera
menggelindingkan tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu, lantas melompat
bangun dan berdiri di belakangnya berlindung di belakang Gangga Dewi.
“Terima
kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),” katanya.
Gangga Dewi
melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher anak ltu, luka yang tadi
sempat dihisap oleh wanita berpakaian serba merah. Ia mengeluarkan sebuah
bungkusan kertas dan memberikannya kepada Yo Han.
“Kau obati
luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti
mengucur.”
“Heiii,
keparat busuk! Siapakah engkau ini? Katakan namamu sebelum aku mencabut
nyawamu!”
Meski pun
sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras.
Dengan perlahan kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan dia nampak
lebih tinggi dari biasanya, anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang
tersembunyi di balik kelembutannya.
“Perempuan
sesat, tidak ada hubungan apa pun di antara kita dan aku pun tidak ingin
berkenalan denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang sudah kau
lakukan terhadap anak ini tak mungkin kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum
terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, cepatlah pergi dan bertobatlah. Masih
belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan
bertobat!”
“Keparat
sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau sedang berhadapan? Aku adalah
Ang-I Moli dan tidak ada orang bisa hidup terus jika ia berani menentangku.
Lekas kembalikan anak itu kepadaku, kemudian buntungi lengan kirimu, baru aku
akan mengampunimu!”
Mendadak Yo
Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang-I Moli dan dia marah sekali.
Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya
lantang penuh teguran.
“Ang-I Moli!
Tidak boleh kau lakukan itu! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam
menyuruh ia untuk membuntungi lengannya sendiri? Engkau boleh menyiksaku,
membunuhku, akan tetapi tidak boleh mencelakai orang lain hanya karena diriku.”
Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata, “Locianpwe, harap cepat pergi dan
jangan mengorbankan diri hanya karena aku!”
Gangga Dewi
terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin
sekali ia mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai
terjatuh ke tangan wanita jahat itu.
“Anak baik,
ke sinilah engkau!” Tangan wanita berkerudung itu bergerak ke depan dan Yo Han
merasa dirinya tertarik kembali ke belakang wanita itu.
Gangga Dewi
kini memandang kepada Ang-I Moli, lalu mengangguk-angguk. “Kini aku tidak
merasa heran. Kiranya engkau memang bukan manusia, melainkan iblis betina
(Moli). Pantas engkau melakukan kekejaman seperti itu. Ang-I Moli, engkau
sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang kebajikan dari dia.”
“Engkau
memang sudah bosan hidup!” Ang-I Moli membentak.
Dan
tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan
tubrukan ke arah Gangga Dewi. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring,
tubuhnya seperti terbang meluncur dan kedua lengannya dikembangkan, kedua
tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah leher Gangga Dewi.
Wanita
Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia
pun menggeser kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han
yang berdiri di belakangnya dan tubuh anak itu terlempar sampai lima meter ke
arah kiri. Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi kini
berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat
tubuhnya melayang keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu. Gangga Dewi
sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak
leluasa untuk menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.
“Jangan lari
kau, keparat!”
Ang-I Moli
marah sekali ketika terjangannya hanya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke
arah pakaian luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum,
juga menyambar pedangnya, mencabut senjata itu dan melemparkan sarung
pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran.
Akan tetapi
orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, di
tempat yang terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya
yang kemerahan membakar dan menghalau sisa kegelapan malam. Yo Han berdiri di
belakang sebatang pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Tadi, setelah
dia bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia
melihat bayangan kuning berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada
di dekatnya.
“Anak baik,
engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya. sekali.”
Yo Han hanya
mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang
akan terjadi. Sekarang dia tidak mengkhawatirkan lagi, maklum bahwa wanita
berkerudung itu bukan orang sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapa pun
juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau sampai ada orang menderita
celaka apa lagi sampai tewas karena membela dia.
“Bersiaplah
untuk segera mampus, engkau perempuan asing yang lancang!” Ang-I Moli membentak
lagi.
Sekarang ia
menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya
meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi.
Namun, ternyata lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas.
Tidak begitu sulit bagi Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu
dengan menggerakkan kaki kirinya, melangkah ke samping sambil memiringkan
tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar untuk menotok ke arah
pergelangan tangan yang memegang pedang.
“Syuuuttt...!”
Ang-I Moli
terkejut bukan main dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, lalu
melompat ke belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk
menotok ke arah pergelangan tangannya, gerakannya aneh, cepat dan dari jari
telunjuk itu datang angin yang amat dingin.
Tahulah ia
bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu
memutar pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi. Pedang diputar sedemikian
cepatnya sehingga bentuk pedang itu lenyap dan berubah menjadi gulungan sinar
yang mendesing-desing. Dari gulungan sinar itu kadang mencuat sinar yang
menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau tusukan.
Gangga Dewi
terpaksa mengerahkan ginkang-nya dan berloncatan ke sana-sini untuk
menghindarkan diri dari sambaran pedang. Gerakan senjata lawan itu demikian
cepat sehingga ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas
menyerang. Ang-I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat
gerakannya. Ia tahu bahwa sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung
ini, tidak mungkin ia bisa menguasai Yo Han. Padahal, tadi ia sudah mencicipi
darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan, dan menguatkan badan rasanya!
Gangga Dewi
terus saja mengelak dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Gerakannya
demikian lincah dan indah, seperti sedang menari saja sehingga Yo Han merasa
kagum. Dia teringat kepada subo-nya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat
juga nampak memiliki gerakan yang indah, seperti menari saja!
Dia
menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya,
ke dua seni olah raga juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah
yang membuat ia tak suka belajar silat. Bela diri ini mengandung kekerasan
sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, tetapi balas menyerang
dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat
membunuh lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam
gerakan wanita berkerudung yang menolongnya, dan dia pun kagum.
Akan tetapi,
setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya
untuk hanya terus menerus mengelak saja. Kalau hal itu terus dilanjutkan akan
membahayakan keselamatan dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai, dan selisih
tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak.
Ketika
kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang,
tiba-tiba ia membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke
belakang itu ia bersalto sampai lima kali dan ketika tubuhnya turun ke atas
tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang tadi ia lolos
dari pinggang pada waktu ia berjungkir balik di udara. Hampir saja Yo Han
bertepuk tangan memuji, bukan memuji kehebatan ginkang itu, melainkan memuji
keindahan gerakan tadi.
“Engkau
iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!” kata
Gangga Dewi dan sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu
meluncur ke depan dan menegang, menjadi seperti batang tombak yang kaku.
Pada saat
itu, Ang-I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi
menggerakkan sabuk sutera putih itu menangkis.
“Takkk!”
Dan pedang
itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku
dan kuat! Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau
heran. Bagaimana pun juga, dia pernah tinggal bersama sepasang suami isteri
yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak mempelajari ilmu
silat walau pun hanya mengerti dan dihafalkannya saja. Dia tahu bahwa sabuk
sutera di tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya
mempergunakan tenaga sinkang yang tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu.
Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh, juga amat
indahnya.
Kini
terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika
Gangga Dewi hanya terus-terusan mengelak. Kini dua orang wanita yang lihai itu
saling serang dan diam-diam Ang-I Moli mengeluh. Sabuk sutera putih itu memang
hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat putus sabuk
sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba
sabuk itu menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung
sabuk itu beberapa kali sempat menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir
saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.
“Haiiittt...!”
Mendadak
Ang-I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang
membabat ke arah leher lawan.
Gangga Dewi
merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari
bawah ia hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Tetapi tiba-tiba
tangan kiri Ang-I Moli bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke
arah tubuh Gangga Dewi.
“Uhhhhh...!”
Gangga Dewi
terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia
melompat ke belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan
dirinya. Beberapa batang jarum kecil merah runtuh.
“Keji...!”
bentak Gangga Dewi.
Dan kini
sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang-I Moli.
Gerakannya amat cepat karena dia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada
lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang. Ang-I Moli melihat
datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Ia pun mengerahkan tenaganya untuk
menangkis dengan pedang.
“Plakkk!”
Pedang
bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya
melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.
“Tukkk!”
Ang-I Moli
mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi
kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat
merampas pedang itu melalui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat
gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap
di antara semak-semak.
Wajah Ang-I
Moli langsung menjadi pucat saking marahnya. ”Keparat jahanam engkau! Hayo
mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!”
Gangga Dewi
tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis
betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan
semoga Yang Maha Kasih mengampuni semua dosamu.” Sambil berkata demikian,
Gangga Dewi telah menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya
yang ramping.
Akan tetapi
Ang-I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.
“Biar
kukirim engkau ke neraka!” bentaknya.
Kini ia pun
sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat,
yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan
ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya
dari Pek-lian-kauw.
Melihat
betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau
harum-harum keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.
“Omitohud,
kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?”
Akan tetapi,
Gangga Dewi tak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua
tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan
tubuhnya dan menangkis dari samping dengan memutar lengannya.
“Dukkk!”
Tubuh Gangga
Dewi tergetar dan pada saat itu, secara curang sekali kaki Ang-I Moli melayang
ke arah selangkangan Gangga Dewi.
“Uhhh...!”
Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh.
Namun, tetap saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang-I Moli yang
melapisi sepatunya dengan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting
roboh!
Melihat
lawannya roboh miring, Ang-I Moli girang sekali, “Mampuslah!” Ia berseru dan
menubruk ke depan untuk mengirimkan pukulan yang terakhir, pukulan maut yang
akan menewaskan lawan yang sudah roboh itu.
“Moli,
jangan...!” Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang-I Moli menyusulkan
pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring.
Akan tetapi
tentu saja Ang-I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan tetap
melanjutkan pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu Pek-lian Tok-ciang!
Tetapi, saat
ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya
terjatuh miring. Ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan
kepada lawannya untuk mengirim pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki
tangannya menempel pada tanah, diam-diam ia mengerahkan ilmu simpanan yang
dahulu pernah dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan
maut, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka
ia menyambut pukulan itu.
“Dessss...!”
Hebat bukan
main pertemuan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang-I Moli terlempar ke atas
seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas
tanah! Bukan main kagetnya Ang-I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan
wanita berkerudung itu.
Ia tidak
tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Dan masih untung baginya bahwa tenaga
rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau
demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terbanting jatuh, juga
mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada
dan perutnya.
Ang-I Moli
bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan
tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal
bahwa ia tidak bisa memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan
dan kebencian hebat.
“Mampuslah!”
bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo
Han.
“Awas...!”
Gangga Dewi berteriak.
Ia cepat
meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han
mengeluh dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil
itu.
Gangga Dewi
tidak mempedulikan lagi Ang-I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh.
Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang
dengan muka pucat dan napas yang terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya
ia pingsan.
Ketika
Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu,
seperti dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba,
tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk seluruhnya
dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu
kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan
racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan
jantung! Sungguh berbahaya sekali.
“Anak yang
malang...!” katanya.
Ia pun
bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak
tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada
Yo Han, menutupi lima bintik merah itu. Ia mengerahkan sinkang-nya, menyedot
dan setelah dahinya basah oleh keringat, juga dari balik kerudung kepalanya
mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak
tersembul keluar.
Gangga Dewi
menggunakan sapu tangan sutera, mencabuti kelima batang jarum yang amat lembut
itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun,
pikirnya.
“Iblis
betina kejam...!” katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia
memeriksa luka bekas jarum.
“Omitohud...!”
Serunya kaget dan heran.
Ia melihat
darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seakan-akan darah
beracun itu didorong dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang
memiliki sinkang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini memiliki sinkang
yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu dapat
dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu?
Akan tetapi,
andai kata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini
jelas dalam keadaan pingsan! Tidak mungkin dia mampu mengerahkan sinkang-nya
dalam keadaan pingsan. Kalau bukan tenaga sinkang, lalu tenaga apa yang
demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya pingsan, yang mampu
mendorong keluar racun dari dalam tubuh?
“Omitohud...!”
kembali lagi wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak
mengamati dada itu.
Kini darah
yang keluar dari kelima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti
bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes.
Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak terengah
lagi, dan agaknya dia tidur pulas!
“Omitohud...!”
Gangga Dewi terheran-heran dan kagum.
Dia lalu
mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu,
bungkusan obat bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat
luka itu pada lima luka kecil dan darah pun berhenti menetes. Ia mengenakan
lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh.
Kalau
menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti
itu, di dadanya, kecil sekali harapannya untuk bisa diselamatkan nyawanya. Akan
tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu supaya jarum-jarum itu
keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya. Racun berbahaya itu dapat keluar
dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan
pingsan!
Sungguh
selama hidupnya belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan
mendengar pun belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada
kekuatan mukjijat yang melindunginya?
Setelah
mengenakan kembali pakaian Yo Han, jari telunjuk Gangga Dewi lalu menekan
tengah-tengah di bawah hidung, sedikit di atas bibir. Yo Han mengeluh dan
membuka matanya. Pada saat melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera
teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.
“Di mana
wanita jahat itu?”
“Tenanglah,
anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri.”
“Aahhhh...
jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?” kata Yo Han dengan hati lega. “Aku
tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh...”
Gangga Dewi
tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang tadi kena tendang masih
berdenyut nyeri.
“Ia memang
licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagai
mana dengan lehermu?” Gangga Dewi sengaja tak menyinggung dulu soal luka di
dada.
Yo Han meraba
luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang-I Moli. “Sudah kering
berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan.
Ia... ia menghisap darahku!”
“Dan
bagaimana dengan dadamu?”
“Dadaku?
Kenapa dadaku, Locianpwe?”
Gangga Dewi
menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik. “Tidak tahukah engkau bahwa dadamu
terluka oleh jarum-jarum beracun?”
“Ahhh...?”
Yo Han amat terkejut. “Aku tidak tahu, Locianpwe.” Dia meraba dadanya dan
menggigit bibir.
“Sakitkah?”
“Perih sedikit.”
“Coba
bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?”
Yo Han
menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang
sakit, Locianpwe.”
Gangga Dewi
terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas
rumput. Mereka saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,
“Locianpwe
sudah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima
kasih, Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan padaku untuk
membalas budi kebaikan Locianpwe ini.”
Gangga Dewi
semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali.
“Anak yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?”
“Namaku Yo
Han, Locianpwe. Aku hidup sebatang kara, yatim piatu dan aku sedang dalam
perjalanan mengikuti Ang-I Moli.”
“Omitohud,
anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau
dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang-I Moli?”
“Aku tidak
tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku... aku menjadi muridnya dan
sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah sampai di
sini, ternyata ia berubah mengerikan dan hendak membunuhku, menghisap
darahku..., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi.”
“Omitohud!
Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku pun datang ke
kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang-I
Moli?”
“Baru kurang
lebih dua minggu.”
“Ehhh? Jadi,
engkau belum belum belajar ilmu silat darinya?”
“Sama sekali
belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe.”
“Apakah
selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?”
“Aku belum
pernah latihan ilmu silat,” kata Yo Han.
Dia tidak
mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat dari suhu dan
subo-nya di Tatung, akan tetapi ia hanya menghafal saja, dan tak pernah
berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu dan subo-nya, maka dia
mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang benar.
Tentu saja
jawaban Yo Han membuat Gangga Dewi menjadi makin terkejut dan heran. Selamanya
belum pernah latihan silat. Tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia
selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani
menentang seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Padahal, sekali pukul saja
iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?
“Yo Han,
keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar
ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan
tetapi engkau melakukan perjalanan bersama Ang-I Moli sebagai muridnya!
Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi
murid seorang seperti Ang-I Moli dan apa yang hendak kau pelajari darinya kalau
bukan ilmu silat?”
Yo Han
menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya sering
dilakukan manusia adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia
pun tidak suka bicara tentang suhu dan subo-nya.
“Begini,
Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya meski aku tidak akan mau belajar ilmu
silat darinya.”
“Engkau
dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?”
“Tidak, akan
tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, dia
menculik seorang anak perempuan. Aku lalu membujuknya untuk mengembalikan anak
itu kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya
dengan diriku. Jadi anak itu akan dibebaskan, akan tetapi aku harus ikut dengannya,
menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya,
maka aku menyanggupi. Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya
sampai ke sini.”
“Bukan main!
Luar biasa! Omitohud... belum pernah aku mendengar hal seperti ini...!” kata
Gangga Dewi dan ia pun tertegun.
Bocah ini,
bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk
menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar
silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih
lagi, bocah ini tidak tewas biar pun terkena lima batang jarum di dadanya,
jarum-jarum beracun yang ia tahu sangat jahat dan mematikan karena dilepas oleh
seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Anak apakah ini?
“Ahhh,
Locianpwe. Apanya yang bukan main dan luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali
tak mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga
aku terhindar dari bahaya maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara
manusia sudah merupakan suatu kewajiban, bukan?”
“Omitohud...
engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu
ingin sekali menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka
saleh yang melakukan perjalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong
Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk memperdalam agama dan mencari
kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin
sekali menghisap darahnya.”
Yo Han
tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut.
“Ha-ha-ha,
Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang
menjadi Sun Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?”
“Engkau tahu
pula akan cerita See-yu-ki?”
“Locianpwe,
aku ini adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis.
Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang
lain telah saya baca semua!”
“Omitohud...
engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas
tahun sudah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau
sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?”
Dapat
dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan
menjawab dengan sikap bersahaja, “Juga banyak kitab Agama Buddha dan kitab
sejarah yang penuh kekerasan.”
Setelah
sejenak tidak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu
bertanya, “Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang-I Moli, engkau hendak
ke mana? Apa yang akan kau lakukan?”
“Locianpwe,
aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apa pun
juga. Melihat kejahatan Ang-I Moli yang sudah tak mengakui aku sebagai muridnya
lagi, andai kata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka
lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku
membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di
Propinsi Secuan.”
Untuk ke
sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Masih
sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.
“Kota
Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana?”
Yo Han
menggelengkan kepalanya. “Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe.
Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau
dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si,
barulah masuk Propinsi Se-cuan.”
Gangga Dewi
yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu pada saat ia meninggalkan Bhutan,
tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!
“Anak baik,
kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah maka engkau hendak ke Ceng-tu
di Se-cuan?”
“Locianpwe,
baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu
monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung.”
“Ahhh? Batu
monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?”
“Aku sudah
membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf
saja, yaitu huruf yang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri.”
“Yo Han,
engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, tapi kenapa engkau ingin
melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?”
“Kisah itu
amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah
menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka
menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang.”
Gangga Dewi
bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di
Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Lebih dari seratus
tahun yang lalu, pada tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang
penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu bangsa Mancu baru saja
menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul
pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan
bangsa Mancu.
Banyak
raja-raja muda dan penguasa-penguasa daerah merasa kehilangan pegangan, dan
saat melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan
diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba
atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.
Chang Sian
Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak demikian kejamnya
sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak
berkenan di hati, akan dibunuhnya! Bahkan pernah dia memerintahkan para
prajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya disebabkan dia
tak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para prajuritnya diikuti
isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri!
Chang Sian
Cung mengangkat diri menjadi bagaikan seorang raja, didukung oleh anak buahnya.
Dia begitu takut jika sampai kedudukannya diganggu orang, maka setiap ada orang
yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Maka dalam waktu beberapa bulan saja,
hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya
telah dibunuh tanpa dosa!
“Omitohud...
mengapa engkau malah ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman
yang tiada taranya itu? Ketahuilah bahwa hampir semua orang di daerah itu,
terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga
kini lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si yang tinggal di
Se-cuan dibandingkan penduduk aslinya yang tinggal sedikit.”
“Aku telah
membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian
Cung mendirikan batu monumen dengan huruf tunggal berbunyi BUNUH itu untuk
menakut-nakuti rakyat. Setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat
kemudian dibalikkan agar huruf itu tak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu
monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian
Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia.”
Gangga Dewi
mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Memang benar demikian, akan tetapi yang
terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya
selewatan saja, betapa pun baik mau pun buruknya. Semua itu lewat dan takkan
pernah kembali. Tidak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu dapat kembali
melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan
dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hakekatnya
hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup
kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apa
lagi sekarang di wilayah Barat sudah mulai tidak aman, banyak pergolakan dan
pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa
Mancu di timur.”
“Locianpwe,
aku tak takut menghadapi kesukaran, dan aku juga tidak takut menghadapi
pergolakan.”
Gangga Dewi
tersenyum. Jika ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar
sendiri, kalau hanya diceritakan oleh orang lain, tentu ia tidak akan percaya
ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu,
lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki
seorang pendekar sakti!
Anak seperti
ini memiliki harga diri yang tinggi. Kalau ia menawarkan diri untuk menjadi
guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi
murid seorang wanita iblis semacam Ang-I Moli, hal itu adalah karena dia hendak
menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras
hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus
pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat
sangat, yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya.
"Yo
Han, biar hanya sedikit, aku telah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sebatang
kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia
ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal
dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa
Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur
untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan.”
“Locianpwe
seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha
Locianpwe itu.”
Gangga Dewi
menghela napas panjang. “Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik.
Semenjak dewasa aku tak pernah berkunjung ke timur. Oleh karena itu aku sudah
lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat yang asing bagiku. Jika saja engkau
suka menolongku, Yo Han.”
“Menolong
Locianpwe?” Aku...? Aihh, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat
menolongmu, Locianpwe?” Yo Han bertanya dengan heran. Sepasang mata yang jernih
itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan
cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.
“Yo Han, aku
seorang asing di tempat ini. Aku tak tahu ke mana harus mencari ayahku. Aku
hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat
jauh dan lama, dari Bhutan tapi sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau
menolongku, Yo Han, menemani dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku
itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari
keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang
bertanya-tanya.”
Dua pasang
mata itu bertemu. Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh
harap, penuh permintaan. Ia merasa kasihan, dan juga baru saja ia diselamatkan
oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan.
Baru saja
orang ini menolongnya, menyelamatkan jiwanya. Jika sekarang penolongnya ini
minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana ia akan mampu menolak? Kalau
dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu
aturan) dan tidak mengerti budi.
Dengan tegas
dia mengangguk. “Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau
engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya lebih dulu aku harus
mengetahui siapa namanya, bagaimana rupanya, dan berapa usianya sehingga aku
dapat bertanya-tanya kepada orang lain.”
“Ah, terima
kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang
baik.”
“Bukan
menolong, Locianpwe, tapi hanya sekedar membantu mencari keterangan saja.
Siapakah nama ayahmu itu?”
“Ayahku
bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari
Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio
(pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio...”
“Ahhh...
Tiong Khi Hwesio...?” Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata
terbelalak.
“Ya, kenapa,
Yo Han?” tanya Gangga Dewi. Anak ini memang penuh kejutan. “Apakah engkau
mengenal nama itu?”
“Tentu saja,
karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhu-ku.”
“Ehhh?”
Untuk
kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan
sama sekali tidak disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam
keanehan terdapat pada diri anak ini.
“Bukankah
gurumu Ang-I Moli tadi?”
“Sebelum aku
ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, sejak aku
kehilangan orang tua, aku sudah dipelihara oleh suhu dan subo-ku yang pertama,
Locianpwe. Mereka itu adalah suhu dan subo-ku, juga pengganti orang tuaku.
Mereka adalah orang-orang sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan
keluarga Istana Gurun Pasir.”
“Wahh...
Omitohud... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han. Siapakah suhu
dan subo-mu itu? Katakan, siapa nama mereka?”
“Suhu
bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locianpwe mengenal
mereka?”
Gangga Dewi
menggelengkan kepalanya. “Dan kau katakan tadi bahwa suhu-mu yang bernama Tan
Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?”
“Benar,
Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu
Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang
bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng...”
“Ahhh...!
Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda
bernama Wan Tek Hoat! Omitohud... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han,
ternyata di antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak
baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhu-mu dan subo-mu itu.”
“Suhu-ku
tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu
seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti
yang telah kuceritakan tadi.”
“Kalau
begitu, suhu-mu itu terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau
masih murid keponakanku sendiri! Dan subo-mu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li?
She Kao...”
“Subo juga
amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir...”
“Ahh, kalau
begitu, ayah subo-mu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi
Wan Ceng!”
“Sedangkan
ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es.”
“She
Suma...?”
“Ya, kalau
tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui...”
“Omitohud...!
Ibu dari subo-mu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ahh, ahh, jadi engkau murid
dari suami isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari
Istana Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga?
Hebat! Tapi... tapi... kau katakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat,
tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?”
“Aku adalah
seorang murid yang tidak baik, Locianpwe...”
“Wah, jangan
engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat,
Yo Han. Kalau dihitung dari suhu-mu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi
gurumu. Kalau dihitung dari subo-mu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan
Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subo-mu itu terhitung keponakanku
sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi.”
”Baiklah,
Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu
dan Subo adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku... aku
tidak pernah mau berlatih silat sebab aku melihat kekerasan dalam ilmu silat
yang tidak cocok dengan bakat dan watakku.”
Gangga Dewi
mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia
memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!
“Tapi mereka
berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?”
“Tentu saja,
Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu
silat mereka. Akan tetapi, meski pun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak
pernah mau berlatih.”
“Kenapa?”
“Karena aku
tidak melihat manfaatnya berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan
kekerasan dan kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa
pun juga, tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga, dan tidak ingin menang
dari siapa pun. Untuk apa berlatih silat?”
Sombongnya,
pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu dia akan
marah. Tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah, sehingga ia menganggap
bahwa pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.
“Lalu, kalau
suhu dan subo-mu telah menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau
meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang-I Moli?”
“Sudah
kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang-I
Moli, aku menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan.”
“Tapi,
kenapa tidak kau laporkan pada suhu dan subo-mu? Tentu mereka akan mampu
mengusir Ang-I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan
keluarga yang amat baik itu?”
Yo Han diam
sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya, “Bibi tentu
tidak ingin kalau aku membohong, bukan?”
“Tentu saja
tidak!”
“Nah, kalau
begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang kenapa aku pergi meninggalkan Suhu
dan Subo. Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di
mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?”
Gangga Dewi
memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi
keras hati, jujur, dan pemberani. “Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah
suhu dan subo-mu itu, karena mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang.”
Yo Han tahu
bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke
rumah suhu dan subo-nya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan
ke dua, tentu saja suhu-nya merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi
Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat
menemui ayahnya.
Tetapi,
tidak mungkin dia kembali ke rumah suhu dan subo-nya. Dia telah meninggalkan
mereka karena kehadirannya di rumah itu tak dikehendaki suhu dan subo-nya,
terutama subo-nya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali
ke sana, tentu suhu dan subo-nya akan menitipkan dia ke dalam kuil dan dia
tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau
menyusahkan suhu dan subo-nya.
“Aku tidak
dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi kepada
seseorang yang tentu akan dapat pula memberi tahu ke mana Bibi harus pergi
untuk menemui ayah Bibi itu.”
“Hemm,
siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?”
“Dia adalah
seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri dan bertapa di Pegunungan
Tapa-san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan
dapat menerangkan di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggota keluarga
Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari
Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun.”
“Suma...
Ciang... Bun...?”
Sepasang
mata itu terbelalak, bibir itu gemetar dan wajah itu berubah pucat sekali, lalu
menjadi merah. Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi
dia cepat menguasai perasaannya. “Dia... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari
kita pergi mencarinya, Yo Han.”
Pergilah
mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia
amat tertarik pada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau
mungkin ia ingin menariknya menjadi muridnya. Apa lagi setelah kini terdapat
kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau juga cucu
muridnya sendiri.
Dan
pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang
sudah lama ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar
dari suhu-nya bahwa tiga orang guru dari suhu-nya itu telah meninggal dunia
semua.
Di lain
pihak, Yo Han juga sangat kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah
perkasa dan tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng
dan tidak mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia
tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subo-nya, Gangga
Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai
hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet.
**************
Kaisar Kian
Liong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak dalam sejarah dia akan
dikenal sebagai Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu,
yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar
semenjak muda sampai lanjut sekali.
Sejak
berusia sembilan belas tahun ia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat
puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan tetapi belum nampak tanda-tanda
bahwa ia akan meninggalkan singgasana. Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun,
ia masih nampak penuh semangat.
Harus diakui
dalam sejarah bahwa selama ia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh
tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang
dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana.
Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan daerah barat itu
kemudian diberi nama Sinkiang (Daerah Baru).
Bala tentara
di bawah Kaisar Kian Liong sangat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul
kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu ke daerah itu, Kaisar
Kian Liong mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu.
Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan
diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi
Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.
Bala tentara
bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan
Mancu menyerang bagai gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah
barat. Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit
di Pegunungan Himalaya, telah membuktikan kehebatan pemerintahan Kaisar Kian
Liong. Akhirnya pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan juga memaksa
mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.
Bukan hanya
ke barat bala tentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga
ketika terjadi kekacauan di selatan, yaitu saat bangsa Birma mengacau di
Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar Kian Liong segera mengirimkan pasukan
pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini lalu memukul mundur bangsa
Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma.
Meski sampai
dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mati-matian mempertahankan
diri sehingga tidak dapat ditundukkan, tetapi Kaisar Kian Liong sudah cukup
puas telah dapat memberi ‘pelajaran’ dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui
kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina. Demikian pula dengan negeri An-nam yang pada
jaman pemerintahan bangsa Mongol sudah ditundukkan, lalu sempat memberontak dan
oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.
Bagi rakyat,
seorang Kaisar dianggap sebagai orang ‘pilihan Tuhan’ bahkan ada yang
menyebutnya wakil Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat
jelata terhadap Kaisarnya sehingga seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan
tidak dianggap sebagai manusia lumrah!
Padahal,
bila ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan
keadaan seorang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekali pun, akan terbuka
matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa!
Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga
halnya manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya
bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia
yang berbatin lemah, tidak kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang
selalu menjadi korban permainan suka-duka dan puas-kecewa.
Ketika itu
tahun 1780, dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun.
Permaisurinya sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian
Liong tidak merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apa lagi
sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi,
yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang
Hong-houw (Permaisuri Harum).
Selir yang
kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar
Kian Liong memang terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak ia
pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai
seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh
rakyat jelata. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah
tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita
cantik.
Setelah dia
menjadi Kaisar, di samping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia
tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun,
seperti halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu birahi pun seperti api, makin diberi
umpan, semakin lapar! Nafsu tidak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang
dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya
mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.
Ketika
seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat,
yaitu di Sinkiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak
akan tertarik kalau mendengar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti
bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan
keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria. Biar pun puteri itu, anak
seorang kepala suku bernama Ho-couw, sudah menikah dengan seorang kepala suku
beragama ISLAM, akan tetapi di seluruh Sinkiang ia terkenal dengan sebutan
Puteri Harum!
Mendengar
berita mengenai wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum
pernah selama hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau
harum! Keharuman pada tubuh wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah
keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!
Kebetulan
pada waktu itu banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak
taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan
panglima pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, sudah mendapat pesan khusus
dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang puteri itu dan membawanya ke
istana dalam keadaan sehat dan selamat.
Operasi itu
berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri
dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang istimewa. Pada waktu
Jenderal Cao Hui menghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar
ini menjadi sangat terpesona menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang
khas itu. Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat.
Tubuhnya begitu
halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung
sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit
jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya
dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalanan amat jauh itu tersiar
keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan.
Ia pasti
seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu
dan segera mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan kemudian menjulukinya
Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum.
Pada
bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu
berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat
akan keluarganya, teringat akan negaranya dan keadaan lingkungan yang amat
berbeda.
Kaisar Kian
Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung. Dan atas saran dari para
penasehatnya, dia lalu memerintahkan membangun sebuah istana mungil yang diberi
nama Istana Bulan Purnama, dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum,
juga di situ dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang diberi nama Ruang
Mandi Para Bidadari.
Bahkan Kian
Liong memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan
khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu. Dengan demikian, sang
puteri dapat melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat
melihat semua bangunan itu dari loteng istananya sehingga dapat mengatasi
kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.
Mendapat
perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa
terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong
dan mulai berusaha untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sulit
karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan keluarganya yang telah
terbasmi, apa lagi ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria
yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.
Sebagai
seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang
Hong-houw sering kali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi
berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam. Demikianlah, sejak saat
itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua kegemarannya
mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia
menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu birahinya.
Ketika dia
berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar
empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh
pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman
keringat Siang Hong-houw memang dari dalam, walau pun bukan tanpa usaha.
Sejak kecil,
wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar,
bahkan kalau mandi selalu tentu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana
dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak
mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan
sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!
Daya tahan
tubuh manusia itu sangat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian
Liong sejak mudanya sering menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu
birahinya, bahkan kadang-kadang dia juga mempergunakan ramuan obat-obatan untuk
memperkuat tubuhnya.
Hal ini baru
terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih. Kini dia
merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang
saja ia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering ia menjauhkan
diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab dari
pada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.
Kerenggangan
sebagai akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak
waktu luang pada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada
suku bangsanya sendiri. Meski Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan
ibadahnya sebagai seorang yang beragama Islam, tapi permaisuri ini merasa
kesepian dan ia pun merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa
lebih akrab karena persamaan kepercayaan.
Oleh karena
kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca
kitab, Siang Hong-houw menjadi makin akrab dengan seorang thai-kam yang bernama
Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan
sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan
namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan
oleh ayahnya untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama
Islam.
Bahkan Siang
Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar bisa mempunyai seorang
pelayan berbangsa Uighur. Maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim
dijadikan thai-kam. Dengan adanya Mo Si Lim, maka kerinduan Siang Hong-houw
pada bangsanya dapat terhibur. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap
dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sinkiang.
Akan tetapi,
beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan
dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang memiliki cita-cita untuk
mengusir penjajah Mancu dari Cina. Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk
tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga
tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya sudah tewas ketika daerah
barat diserbu oleh pasukan Mancu.
Mo Si Lim
adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat
dia rela dijadikan thai-kam, supaya dia dapat mendekati dan melayani Puteri
Harum.
Sore hari
itu Siang Hong-houw duduk sendiri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja dia
melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang
khusus dibuat untuknya. Pada waktu dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu,
ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.
"Suruh
dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa
saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."
Dayang itu,
seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu,
memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian
depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di
atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walau pun usianya sudah
empat puluh tahun lebih.
Wajah yang
putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis
lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia
bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya
masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran
anak. Dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang
keluar dari tubuhnya.
Ia seorang
wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu birahi. Ketika dipisahkan
dengan paksa dari suaminya, maka bersama dengan kematian suaminya, mati pulalah
gairah birahinya. Jika ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan
karena rasa kasihan kepada Kaisar yang sangat menyayangnya. Dan sekarang,
setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw
merasa lebih enak dan senang.
Ketukan pada
pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali,
pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.
"Masuklah,
Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur.
Thaikam itu
membuka daun pintu, lalu masuk dan menutupkan kembali daun pintu. Dia
menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.
"Bangkit
dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana,
terutama sekali tentang Thian-li-pang. Bukankah engkau telah menyelidiki
Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"
Mo Si Lim
menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang
Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya sangat indah. Mereka
berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil sehingga orang kebiri
itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.
"Kebetulan
sekali, hamba memang sedang menunggu perintah dan panggilan Paduka, Puteri.
Untuk langsung menghadap, hamba tidak berani karena khawatir menimbulkan
kecurigaan. Hamba membawakan sepucuk surat permohonan dari Ketua Thian-li-pang
sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."
"Surat
Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw
dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.
Mo Si Lim
mengeluarkan sampul surat dari saku dalam bajunya. Setelah menyembah, dia
menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek
sampulnya, lalu mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang
coretannya indah. Lalu dia mulai membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu
berkerut ketika dia membacanya.
"Muslim,
apakah engkau juga sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri
setelah dua kali membaca isi surat.
Muslim atau
Mo Si Lim menyembah. "Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu
mengatakan bahwa Thian-li-pang ingin mengajukan permohonan pada Paduka melalui
surat yang harus hamba sampaikan ini."
"Muslim,
permintaan mereka yang pertama masih wajar, tetapi yang ke dua sungguh berat
untuk dapat kusetujui. Cepat kau nyalakan api di tungku perapian itu dulu,
surat ini harus dibakar lebih dahulu baru kita bicara."
Mo Si Lim
melaksanakan perintah itu tanpa bicara, dan setelah api bernyala, Siang
Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera
membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi. Mereka lalu duduk
lagi berhadapan seperti tadi.
"Ketahuilah,
Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi
sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tak
dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar supaya aku suka
membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."
Tidak nampak
perubahan apa pun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang
pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan
ketika dia bertanya, "Yang mulia, mengapa pula mereka hendak melakukan
pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"
"Mereka
bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia
Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, bila tidak dibunuh sekarang,
beberapa tahun lagi tentu Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan
tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau
ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu asli karena ibu mereka pun
wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan
akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan
demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung
pangeran itu."
Mo Si Lim
mengangguk-angguk. "Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan
yang harus saya sampaikan kepada mereka?"
Puteri Harum
bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri sebuah almari dan
mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil
hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan yang
gemerlapan.
"Ini
perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dari Sinkiang
dulu. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung
perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka
yang ke dua, sekarang aku masih belum dapat menyetujuinya. Bagaimana pun juga,
aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku
bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku.
Jika mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah,
sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak
mau lagi diganggu mereka walau pun aku mendukung perjuangan mereka."
Mo Si Lim
menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku
jubahnya bagian dalam, menyembah lagi kemudian mengundurkan diri, keluar dari
kamar atau ruang duduk itu. Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri
bertepuk tangan memanggil dayangnya. Ia pun memasuki kamarnya untuk membuat
persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini
Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya yang tersayang ini.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa
ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa
sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan
berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang
lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno
yang berdiri di sudut kota raja.
Sebelum
bangsa Mancu datang menjajah, rumah ini dahulu adalah sebuah istana milik
seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup
kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar
dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apa lagi
keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak
angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.
Agaknya Mo
Si Lim tidak asing lagi dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, tapi
mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus
kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki
rumah itu melalui pintu samping.
Rumah itu
nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba
muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya.
Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang
lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan
hati-hati dia berkata kepada orang itu,
"Selamat
pagi, Sobat... saya hendak bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada
di sini?"
Akan tetapi
tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan
delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh
sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.
"Siapa
engkau?" Si Tinggi Besar membentak.
Mo Si Lim
adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini.
Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun sudah
berjanji akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi
hari ini, saat yang sangat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang
Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak
dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan
hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan menyelamatkan
diri.
"Aku
adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian
cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."
"Hemmm,
engkau tentu adalah seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan
Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si
Lim tidak kalah gertak.
"Siapakah
kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak
mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual
beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur
dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan
untuk menangkap kalian?"
Pada saat
itu muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru,
"Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka ingin
mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"
Mo Si Lim
mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus. "Ah, Saudara Ciang Sun,
apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada
saling kepercayaan, antara kita lebih baik tak ada hubungan saja! Bukankah aku
hanya akan membantu Thian-li-pang?”
"Sekali
lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari
pangcu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun.
Si Tinggi
Kurus ini menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi
penting itu, yaitu mencari dana bagi perkumpulan orang-orang gagah yang hendak
menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan
pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia mendapat kepercayaan ini karena
Ciang Sun adalah seorang di antara pembantu-pembantu utama yang mempunyai
kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.
Mo Si Lim
duduk di kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggota
Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap
gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim
lalu mengambil sikap angkuh.
"Saudara
Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia
Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."
"Kenapa
baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari
yang lalu?" Ciang Sun bertanya, nada suaranya menegur.
"Hemmm,
kalian ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa
surat rahasia seperti itu tentu saja butuh ketelitian dan kewaspadaan. Kalau
sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian
enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."
"Baiklah,
kami dapat mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang
Hong-houw?"
Mo Si Lim
memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggota Thian-li-pang yang berdiri
bagai patung dan dengan suara mengandung kebanggaan ia pun berkata, "Yang
Mulia Siang Hong-houw mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari
cengkeraman penjajah. Yang Mulia merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang
berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan
Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan
beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang."
Ia
mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di
atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti dan
orang-orang Thian-li-pang itu merasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja
tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang bernilai cukup besar
dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.
Akan tetapi,
bagi Ciang Sun sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang paling penting.
"Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan
sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"
Mo Si Lim
menarik napas panjang. Orang-orang ini memang hanya mau enaknya saja.
Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan
cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah!
Pangeran Cia
Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki
banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya
merupakan calon kalau ayahnya gagal terpilih. Pangeran Cia Cing berusia empat
puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun.
Sedangkan
Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon
Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal,
mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak
mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya
Thian-li-pang justru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya,
juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan
Kaisar boneka.
"Sayang
sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang
Hong-houw belum berkenan menyetujui."
"Ahh!
Justru itulah yang terpenting bagi kami! Jika usaha itu berhasil, berarti
perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak
menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"
"Hemmm,
hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari
Sribaginda Kaisar... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja?
Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak
akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal
ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"
"Tetapi...
beliau hanya kami minta persetujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur,
hanya memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa menyelundup ke dalam istana
tanpa dicurigai dan tanpa dilarang, begitu saja!"
"Apa
pun yang kalian katakan, tetap saja Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat
pembunuhan itu!" Mo Si Lim berkeras.
"Kalau
begitu, kita akan menggunakan siasat yang ke dua!" teriak Ciang Sun kepada
kawan-kawannya sebagai isyarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi
perjuangan dan demi berhasilnya rencana kami, terpaksa engkau kami korbankan!
Salahnya Siang Hong-houw yang tak menyetujui rencana kami!" Dan tiba-tiba
saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang Mo Si Lim!
"Ahhhh!"
Mo Si Lim
melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang didudukinya menjadi
korban bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua. Sambil
bergulingan Mo Si Lim yang juga mempunyai ilmu silat yang lumayan, telah
mencabut pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan orang anggota
Thian-li-pang sudah mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thaikam itu,
juga Ciang Sun yang lihai sekali sudah menyerang lagi dengan pedangnya.
Mo Si Lim
memutar pedangnya membela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia
takkan menang, apa lagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama, dia pun roboh mandi darah dengan tubuh penuh luka dan tewas
seketika!
Dan pada
siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada
pasukan pengawal istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh seorang pencuri
yang membawa perhiasan dari dalam istana. Orang gagah itu bukan lain adalah
Ciang Sun yang membawa kepala Mo Si Lim dalam buntalan, bersama peti hitam
kecil berisi perhiasan yang amat berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim,
Ciang Sun lalu memberi tahu kepada anak buahnya bahwa kini terbukalah
kesempatan baginya untuk menyelundup ke dalam istana, dengan bertindak sebagai
pembunuh pencuri perhiasan itu dan mengembalikan perhiasan itu kepada istana.
"Perhiasan
ini memang mahal harganya dan merupakan sumbangan yang besar bagi kita, akan
tetapi kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan
mengembalikan perhiasan ini. Kalian boleh berangkat ke pusat dan melaporkan
kepada Pangcu kita!"
Demikianlah,
dengan hati penuh semangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti hitam
kecil itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan
pengawal yang langsung menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang
mengaku telah membunuh pencuri perhiasan milik Siang Hong-houw!
Tentu saja
Kaisar Kian Liong terkejut mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar
pembunuh pencuri itu dibawa menghadap kepadanya, juga dia memerintahkan agar
Siang Hong-houw datang pula ketika mendengar bahwa yang dicuri adalah perhiasan
milik permaisurinya itu.
Biar pun dia
dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap
berjalan dengan gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah
seorang pendekar yang sudah digembleng menjadi seorang patriot yang gagah
berani, yang rela mengorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu mengusir
penjajah dari tanah air. Semangat ini pun bukan tanpa dorongan penyebab yang
membuat dia menyimpan dendam dalam hatinya, yang membuat dia membenci
pemerintah Mancu.
Ayah dan
ibunya tewas dalam bentrokan antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa
Mancu. Dendam ini membuat dia membenci semua orang Mancu. Apa lagi melihat
betapa bangsanya diperlakukan dengan tidak adil oleh para penguasa bangsa
Mancu, kebenciannya bertambah.
Dia semenjak
muda membantu gerakan pemberontakan di mana-mana. Namun semua usaha
pemberontakan itu selalu gagal karena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di
antara pasukan itu terdapat jago-jago silat yang amat lihai, baik orang Mancu
sendiri atau orang-orang Han yang telah diperalat oleh pemerintah Mancu. Saking
bencinya, Ciang Sun bahkan sudah bersumpah tak akan menikah sebelum penjajah
Mancu dapat dihancurkan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment