Wednesday, June 27, 2018

Cerita Silat Serial Si Bangau Merah Jilid 02



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Si Bangau Merah

                    Jilid 02


Seorang perjaka remaja yang memiliki tubuh sebaik itu akan menguntungkan sekali bagi kewanitaannya. Akan membuat ia awet muda dan kuat, juga hawa murni di tubuh muda itu akan dapat dihisapnya dan dapat menambah kekuatan tenaga dalam di tubuhnya. Selain itu, cita-citanya untuk menguasai sebuah ilmu rahasia yang selama ini ditunda-tundanya, kini akan dapat diraihnya dengan mudah!

Untuk dapat menguasai ilmu rahasia itu, ia harus dapat menghisap darah murni selosin orang perjaka yang memiliki darah yang bersih dan badan yang sempurna. Kini ia telah mendapatkan Yo Han dan anak ini sudah lebih dari cukup, bahkan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan selosin orang pemuda remaja biasa!

“Baiklah, engkau boleh pergi mencari air dan kayu bakar. Akan tetapi cepat kembali. Hari telah sore dan sebentar lagi akan gelap,” katanya halus dan ramah.

“Baik, Subo.”

Yo Han berlari keluar dari kuil itu. Dia tidak tahu bahwa Ang-I Moli membayanginya dari jauh. Wanita ini tidak ingin kehilangan Yo Han, maka begitu anak itu berlari keluar, dia pun menggunakan ilmu kepandaiannya dan mengikutinya tanpa diketahui oleh Yo Han. Bagi seorang seperti Ang-I Moli Tee Kui Cu, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang benar-benar jujur dan setia sehingga dapat dipercaya sepenuhnya!

Sejak kecil wanita ini hidup di dalam lingkungan dunia hitam, berkecimpung di dalam kesesatan, di dalam suatu masyarakat di mana kata jujur dan setia sudah tidak dikenal lagi, di mana segala cara dihalalkan demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, ia pun tidak dapat percaya sepenuhnya kepada Yo Han.

Ia tidak ingin kehilangan Yo Han yang baginya sekarang menjadi amat penting. Ia takut kehilangan pemuda itu, takut pemuda itu melarikan diri atau dilindungi orang lain. Juga ia hendak menguji sampai di mana pemuda itu mampu mempertahankan kejujuran dan kesetiaannya.

Ang-I Moli tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menemukan seorang pemuda yang luar biasa, yang berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Di dalam batin Yo Han belum pernah terdapat pamrih yang bermacam-macam, bahkan dia tidak mengenal itu.

Yo Han menghadapi segala sesuatu yang terjadi sebagai apa adanya, tidak pernah dia membuat gagasan atau rekaan macam-macam. Dia hanya melihat kenyataan yang ada untuk dihadapinya secara spontan, dia tidak pernah membuat rencana dan akal demi kepentingan diri sendiri.

Ia melihat kenyataan bahwa suhu dan subo-nya tak menghendaki dia di rumah mereka, dengan alasan agar puteri mereka jangan sampai kelak meniru sikap dan pendiriannya. Dia tahu bahwa demi kebaikan keluarga suhu-nya, dia harus menyingkir, menjauhkan diri dari mereka. Oleh karena itulah dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan mereka yang sesungguhnya amat dia sayangi.

Kemudian, karena ia harus menyelamatkan Sian Li, ia telah berjanji kepada Ang-I Moli untuk mengikuti wanita itu sebagai muridnya. Janjinya itu akan dipegangnya dengan teguh. Dia tidak akan melarikan diri karena dia pun sama sekali tidak pernah merasa takut kepada Ang-I Moli. Dia belum mengenal benar orang macam apa adanya Ang-I Moli, gurunya yang baru itu.

Bukan main senang dan lega rasa hati Ang-I Moli yang membayangi Yo Han, ketika melihat bahwa sedikit pun anak itu tidak memperlihatkan sikap ingin melarikan diri. Dia mengumpulkan kayu bakar, kemudian menemukan sumber air dan mengisi pancinya penuh air, setelah itu dia kembali ke kuil tanpa ragu-ragu. Ketika Yo Han memasuki kuil, Ang-I Moli tentu saja sudah lebih dahulu berada di tempat semula, duduk bersila sambil tersenyum manis.

“Aihh, cepat juga engkau mendapatkan air dan mengumpulkan kayu kering, Yo Han,” pujinya, kemudian dia membantu muridnya membuat api unggun dan memasak air di panci.

Setelah roti dan daging kering dipanasi dengan uap air, mereka lalu makan roti dan daging yang sudah menjadi lunak dan juga hangat itu, yang memang terasa jauh lebih enak dari pada kala dimakan keras dan dingin. Dengan gembira sekali Ang-I Moli makan roti dan daging kering sambil sesekali minum arak, sedangkan Yo Han hanya minum air yang sudah dimatangkan.

Setelah makan kenyang, mereka duduk-duduk dekat api unggun. Sementara itu, malam telah tiba. Api unggun itu sangat menolong mereka mengusir nyamuk dan hawa dingin.

Setelah duduk termenung di dekat api unggun, Yo Han mengeluh. Sambil mengangkat muka memandang wajah subo-nya yang sejak tadi memperhatikannya tanpa bicara, dia berkata, “Subo, sekarang aku merasa betapa aku kehilangan kitab-kitab itu. Biasanya, di waktu malam begini aku tentu membaca kitab. Akan tetapi sekarang, kitab-kitab itu jauh di rumah Suhu dan Subo, dan di sini aku tidak dapat membaca apa-apa.”

Wanita itu tersenyum. “Jangan kau khawatir, Yo Han. Setelah tiba di rumah, aku akan mencarikan kitab bacaan untukmu.”

Subo juga mempunyai kitab-kitab bacaan?” Yo Han memandang dengan sinar mata gembira.

Akan aku carikan untukmu. Apa sih sukarnya mencari kitab-kitab itu? Akan aku carikan sebanyaknya untukmu. Aku sayang padamu Yo Han, dan kuharap engkau pun sayang kepadaku dan akan menuruti semua keinginanku.”

Subo baik kepadaku, mengapa aku tidak sayang? Dan tentu saja aku akan menuruti semua keinginan Subo. Subo, bolehkah aku tidur dulu? Perjalanan hari ini yang tidak melalui air lagi, berjalan kaki sehari penuh, amat melelahkan badan dan aku ingin tidur.” Yo Han lalu merebahkan dirinya miring di sudut ruangan itu, di seberang api unggun, terpisah dari subo-nya.

Ang-I Moli tersenyum. “Yo Han, jangan lupa lagi. Apa yang harus kau lakukan sebelum tidur?”

Yo Han juga tersenyum, lalu bangkit dan membawa air ke bagian belakang kuil untuk membersihkan mulutnya. Pada malam pertama mereka melakukan perjalanan, masih berperahu, subo-nya yang baru ini telah memberi sebuah pelajaran tentang kebersihan kepadanya, yaitu keharusan membersihkan mulut sewaktu akan tidur.

Lihat gigiku ini,” demikian kata subo-nya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi. “Belum ada sebuah pun yang rusak atau tanggal, padahal banyak orang seusiaku sudah hampir kehabisan giginya. Ini hasil menjaga kebersihan. Bukan saja hasilnya gigi menjadi bersih dan utuh, juga kesehatanku menjadi amat baik karena hampir semua penyakit datangnya lewat mulut. Cara membersihkan mulut dan gigi yang paling baik adalah membersihkannya setiap kali kita hendak tidur. Hal ini harus menjadi kebiasaanmu semenjak malam ini, Yo Han!” Demikianlah Ang-I Moli memberi pelajaran tentang kesehatan dan kalau dia terlupa, seperti pada malam ini, Ang-I Moli selalu memperingatkannya.

Pelajaran kesehatan yang agaknya amat sederhana ini sesungguhnya menguntungkan sekali dan alangkah baiknya bagi Yo Han. Biasanya orang meremehkannya. Padahal, kebiasaan membersihkan mulut di waktu hendak tidur merupakan satu di antara usaha penjagaan kesehatan yang paling baik dan paling mudah!

Tidak lama kemudian, Yo Han sudah tidur pulas di atas rumput kering. Dia tidak tahu bahwa semenjak tadi Ang-I Moli sudah berpindah tempat di dekatnya dan kini wanita itu duduk bersila di sebelahnya, tiada hentinya mengamati wajahnya yang tidur nyenyak, di bawah sinar api unggun yang membuat wajahnya menjadi kemerahan.

Aku harus mulai sekarang juga, pikir wanita itu. Lebih cepat ia dapat menguasai Yo Han, lebih baik. Dengan lembut tangannya meraba wajah pemuda itu, membelai dagu dan leher, lalu membelai semua tubuh Yo Han. Pemuda remaja itu menggeliat dalam tidurnya dan Ang-I Moli menarik tangannya.

Anak ini amat luar biasa, pikirnya sambil menahan gairah yang sudah mulai membakar dirinya. Mungkin saja dia akan menolak keras, bahkan melawan dan tak mau menyerah biar diancam bagaimana pun juga. Keberaniannya memang luar biasa. Kalau terjadi hal seperti itu, tentu amat merugikan dirinya. Kalau ia menggunakan paksaan, anak ini akan dapat mati sebelum ia memperoleh hasil yang memuaskan.

Ia harus dapat menghisap kemurnian anak ini sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh Yo Han. Ia akan memberi makanan dan minuman yang mengandung obat penguat badan dan akhirnya, semua hawa murni dan darah murni itu akan berpindah ke tubuhnya tanpa diketahui oleh pemuda remaja itu, atau kelak diketahui kalau sudah terlambat dan pemuda yang kehabisan darah dan hawa murni itu akan tewas pula.

Dan ia akan mampu melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Ia akan menjadi seorang yang sukar dicari tandingnya! Ia akan dapat merajai dunia persilatan dengan ilmunya itu.

Kembali ia mengamati wajah Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ahh, mengapa ia begitu bodoh? Kalau membujuk anak ini, agaknya ia akan gagal total. Anak ini bukan seorang anak yang mudah dibodohi atau dibujuk halus, atau pun yang mudah ditundukkan dengan ancaman atau siksaan. Padahal, ia menghendaki agar dia menyerahkan diri dengan suka rela! Dengan demikian maka hasilnya akan lebih baik lagi bagi dirinya.

Dan satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan sihirnya! Mengapa ia lupa akan kepandaiannya itu? Ia pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw dan kini ilmu sihirnya sudah lebih dari kuat untuk mempengaruhi seorang bocah! Orang dewasa pun kalau tidak memiliki sinkang yang kuat akan mudah ia tundukkan dengan kekuatan sihirnya. Apa lagi pemuda remaja yang lemah ini!

Ang-I Moli yang duduk bersila menghadapi Yo Han itu lalu membuat guratan-guratan dengan telunjuk kanannya, kemudian mulutnya berkemak-kemik, matanya terpejam. Ia membaca semacam mantera untuk mulai mempergunakan ilmu sihirnya untuk menyihir dan menguasai semangat Yo Han yang masih tidur nyenyak.

Setelah membaca mantera, ia lalu membuka kedua matanya yang mengeluarkan sinar aneh menatap wajah Yo Han. Juga kedua tangannya kini digerakkan dengan aneh, jari tangannya terbuka seperti cakar, dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak, kedua tangan itu diputar-putar sekitar kepala dan tubuh Yo Han. Kembali mulutnya berkemak-kemik, kini mengeluarkan bisikan yang mendesis-desis.

Yo Han, engkau telah berada dalam kekuasaanku, seluruh semangat dan kemauanmu tunduk padaku. Jika nanti engkau kusuruh bangun, engkau akan tunduk dan menyerah padaku penuh kepasrahan, engkau akan menganggap aku sebagai wanita paling cantik yang kau kasihi, engkau akan dibakar gairah birahi dan engkau akan menuruti segala kehendakku dengan gembira. Kemauanmu akan lemah dan lembut bagaikan domba, gairah birahimu akan bangkit setangkas harimau. Engkau akan selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku, dengan mentaati semua perintahku, hanya aku satu-satunya orang yang kau kasihi, kau taati...” Ia lalu menutup bisikan mendesis itu dengan tiupan dari mulutnya ke arah muka Yo Han tiga kali.

Yo Han... Yo Han... Yo Han... bangunlah engkau, sayang!” Dia mengguncang pundak pemuda itu, menggugahnya.

Yo Han adalah seorang anak yang memiliki kepekaan luar biasa. Sejak kecil, di waktu dia tidur, jika ada sesuatu yang tidak wajar, sedikit suara saja sudah cukup menggugah dirinya dari tidur pulas. Maka begitu Ang-I Moli menyentuh pundaknya ia pun terbangun, membuka kedua matanya, tetapi tidak seperti biasanya, dia tidak segera bangkit duduk, namun memandang kosong ke depan, seperti orang melamun, seperti melihat sesuatu yang amat menarik hati.

Dan memang dia merasa melihat sesuatu yang amat aneh. Dia merasa seolah kaki dan tangannya terbelenggu, juga suaranya lenyap bagaikan gagu, dan dirinya hanyut oleh gelombang samudera, semakin ke tengah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Kemudian ia merasa ada kekuatan yang menariknya ke tepi, bahkan ia seperti sedang menunggang gelombang, makin dekat ke tepi, lalu kaki tangannya yang tadinya seperti terbelenggu itu terlepas bebas, dan mulutnya dapat bersuara lagi. Dia berenang sekuat tenaga ke tepi, dan berhasil mendarat di pantai.

Apa... apa yang terjadi padaku? Ya Tuhan, apa yang terjadi...?”

Suara ini pun seperti keluar dengan sendirinya, dari balik perasaan hatinya yang diliputi keheranan. Dan begitu dia menyebut nama Tuhan. Semua itu pun lenyap dan seperti orang bangkit dari mimpi buruk, dia kini duduk dan melihat bahwa di depannya duduk Ang-I Moli yang bersila.

Melihat pemuda remaja itu telah bangun duduk, Ang-I Moli tersenyum manis, merasa yakin bahwa sihirnya telah mengena dan telah menguasai anak itu, walau pun ketika Yo Han menyebut Tuhan tadi hatinya merasa amat tidak enak.

Yo Han, engkau sayang padaku, bukan?” Ia menguji.

Yo Han memandang wajah subo-nya dengan heran, lalu menjawab lirih, “Tentu saja aku sayang padamu, Subo. Kenapa Subo menanyakan hal itu dan membangunkan aku?”

Hemmm, anak tampan. Aku ingin engkau membuktikan kasih sayangmu padaku. Nah, kesinilah, Yo Han, peluklah aku… ciumlah aku,” katanya dengan senyum memikat dan nada suara memerintah.

Akan tetapi, kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hatinya! Anak itu tidak bergerak menuruti perintahnya, bahkan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata bersinar marah!

Subo, apa artinya ini? Subo menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak patut!”

Tentu saja Ang-I Moli terkejut. Bukankah sihirnya tadi sangat kuat dan anak ini sudah berada di dalam cengkeraman ilmu sihirnya? Kenapa sekarang dia berani membantah dan menolak perintahnya?

Yo Han! Aku sayang padamu dan engkau pun sayang padaku. Apa salahnya kalau engkau memelukku dan menciumku untuk menyatakan kasih sayangmu itu?”

Tapi aku bukan anak kecil lagi yang pantas dipeluk cium, Subo! Aku seorang pemuda yang sudah berusia dua belas tahun, menuju ke masa remaja!”

Sekarang Ang-I Moli merasa penasaran bukan main. Semua ucapan Yo Han itu tidak menunjukkan bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir! Semua jawaban Yo Han itu mengandung perlawanan, bukan ketaatan.

Ia pun menguji lagi dan dengan suara nyaring mengandung perintah dia berseru, “Yo Han, bangkitlah berdiri!”

Dan anak itu pun segera bangkit berdiri. Begitu taat!

Tambahkan kayu pada api unggun!” perintahnya pula.

Tanpa menjawab, dan sedikit pun tidak membantah, Yo Han menghampiri api unggun, memilih beberapa potong kayu bakar, kemudian menambahkannya kepada api unggun sehingga api kini membesar.

Yo Han, sekarang duduklah kembali ke sini, di depanku!”

Sekali lagi Yo Han mentaati perintah itu dan menghampiri subo-nya, lalu duduk di depan subo-nya. Begitu taat dan sedikit pun tidak membantah. Mereka duduk bersila saling berhadapan, dekat sekali sehingga Yo Han dapat mencium bau harum minyak bunga yang semerbak dari pakaian dan rambut wanita itu.

Melihat betapa Yo Han selalu taat, Ang-I Moli menjadi semakin heran dan penasaran. Kenapa sekarang anak itu begitu taat seolah sihirnya termakan olehnya?

Yo Han…, kau rabalah kedua pipiku dan daguku dengan kedua tanganmu,” kembali ia memerintah.

Yo Han hanya memandang heran saja, akan tetapi kedua tangannya bergerak dan dia pun meraba-raba kedua pipi yang halus dan dagu meruncing itu.

Teruskan, raba leher dan dadaku...,” kata pula Ang-I Moli, kini suaranya mulai gemetar oleh bangkitnya kembali gairahnya.

Akan tetapi sekarang, kedua tangan itu bukan turun ke leher dan dadanya, melainkan turun kembali ke atas pangkuan Yo Han. Anak itu sama sekali tidak melaksanakan perintahnya.

Yo Han, aku perintahkan, cepat kau raba dan belai leher dan dadaku dengan kedua tanganmu!” ia membentak, mengisi suaranya dengan kekuatan sihir sepenuhnya.

Tetapi, jangankan anak itu melaksanakan perintahnya, bahkan kini Yo Han memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, heran dan juga penasaran.

Subo, kenapa Subo mengeluarkan perintah yang aneh-aneh? Maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah itu.”

Barulah kini Ang-I Moli terkejut. Jelas bahwa anak ini tidak berada di bawah pengaruh sihirnya! Tidak pernah! Kalau tadi nampak dia mentaati hanya karena taat yang wajar, bukan pengaruh sihir sama sekali. Ia pun menjadi marah.

Yo Han, bukankah engkau sudah berjanji akan mentaati semua perintahku? Mengapa sekarang engkau membantah dan tak memenuhi perintahku yang amat sederhana dan mudah ini?”

Subo, sudah kukatakan bahwa semua perintah Subo akan kutaati, kecuali bila perintah itu untuk melakukan sesuatu yang jahat dan tidak benar. Perintah Subo itu tidak baik, karenanya maka aku tidak mau melaksanakannya. Perintahkan aku mengerjakan yang pantas, betapa berat pun pasti akan kutaati, Subo.”

Yo Han,” kini Ang-I Moli hendak mendapatkan kepastian dan ia tidak mau membuang waktu sia-sia dengan membawa anak itu jauh-jauh ke tempat tinggalnya untuk kelak tidak tercapai pula maksudnya. “Engkau harus mentaati semua perintahku, kalau tidak, untuk apa aku mempunyai murid yang membandel dan membantah?”

Untuk perintah yang tidak pantas, terpaksa aku menolak, Subo.”

Wanita yang sudah terbakar oleh gairah nafsunya sendiri itu, sama sekali tidak tahu bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh, memiliki sesuatu dalam dirinya yang oleh manusia pada umumnya akan dianggap aneh.

Dia tidak pernah mempelajari ilmu silat dengan latihan, kecuali hanya menghafal semua teorinya saja, dan dia pun tidak pernah belajar ilmu sihir. Namun, kekuatan sihir yang digunakan Ang-I Moli terhadap dirinya, sama sekali tidak mempan, sama sekali tidak mempengaruhinya, hanya mendatangkan mimpi bahwa dia hampir dihanyutkan ombak samudera. Kekuatan sihir Ang-I Moli bagaikan arus air sungai yang menerjang batu, mengguncang sedikit saja lalu lewat tanpa mampu menghanyutkan batu itu.

Karena kini merasa yakin bahwa anak itu tidak lagi dapat dipengaruhinya dengan sihir, Ang-I Moli menjadi penasaran dan tak sabar lagi. Ia lalu menanggalkan pakaian luarnya, begitu saja di depan mata Yo Han.

Anak ini mula-mula memandang dengan mata terbelalak heran. Akan tetapi pandang matanya lalu menunduk ketika dia melihat tubuh subo-nya hanyalah terbungkus pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang.

Melihat betapa agaknya anak itu tidak dapat dipengaruhi oleh kecantikan dan keindahan tubuhnya, maklum karena usianya pun baru dua belas tahun, belum dewasa, Ang-I Moli lalu merangkul dan menciumi Yo Han. Diterkamnya anak itu bagaikan seekor harimau menerkam kelinci!

Subo, apa yang Subo lakukan ini?! Subo, lepaskan aku! Ini tidak boleh, tidak benar, tidak baik...!”

Akan tetapi betapa pun dia meronta, tetap saja dia tidak berdaya menghindarkan diri. Yo Han kalah tenaga dan tak mampu bergerak lagi saat wanita itu menerkamnya sehingga dia terguling dan dia lalu ditindih, digeluti, didekap dan diciumi. Yo Han hanya dapat memejamkan matanya dan mulutnya berkemak-kemik dengan sendirinya.

Ya Tuhan... ya Tuhan...” Dia hanya menyebut Tuhan berulang-ulang.

Semenjak Yo Han mengenal akan kekuasaan Yang Maha Kuasa melalui bacaan dalam kitab-kitab, dia yakin benar bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah satu, tunggal dan Maha Kuasa. Keyakinan ini yang selalu membuat Yo Han secara otomatis menyebut Tuhan setiap kali terjadi sesuatu menimpa dirinya. Hal ini mungkin karena dia sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi sehingga dia dapat menyerahkan diri sepenuhnya dan seikhlasnya kepada Tuhan.

Ang-I Moli menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tak melawan lagi, sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah dia sedang menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikan-bisikan yang menyebut Tuhan berulang-ulang itu sangat mengganggunya, bahkan api gairah birahi yang tadi membakar dirinya perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.

Engkau... engkau tidak mau melayani hasratku...?” tanya Ang-I Moli dengan suaranya yang terengah-engah.

Yo Han tidak menjawab, tubuhnya telentang sedangkan pakaiannya awut-awutan. Dia menggeleng dengan tegas.

Biar pun dengan ancaman mati? Engkau tetap tidak mau?”

Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak benar!” Jawab Yo Han, suaranya lirih namun tegas dan sepasang matanya bersinar-sinar.

Plak! Plak!”

Dua kali Ang-I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke kanan kiri dan kedua pipinya menjadi merah. Ang-I Moli tidak ingin membunuhnya maka tamparan tadi pun menggunakan tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang dengan tabah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.

Hemmm, hendak kulihat sekarang! Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu sendiri! Nah, sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti semua kehendakku, engkau akan hidup senang. Sebaliknya, bila engkau tetap menolak, aku juga bisa memaksamu dengan obat perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau akan menderita dan mati!”

Subo, dengan ancaman siksaan apa pun Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak takut mati karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati, aku pun akan menyerah dengan rela...”

Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau mau atau tidak?”

Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan Subo ini tidak benar dan berdosa. Kelak Subo akan menerima hukuman dari Tuhan!”

Tutup mulutmu!”

Tangan Ang-I Moli bergerak, lalu jari-jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan pinggang Yo Han.

Tubuh Yo Han terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh teguran.

Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya...”

Tukkk!”

Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara.

Hi-hik, bocah cerewet!” Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama sekali.

Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah laksana mata iblis, juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, sedang wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.

Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Dan engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuh yang mengering tanpa darah. He-he-heh!” Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini.

Kalau saja Yo Han mau menuruti semua kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.

Sekarang terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang. Ia akan menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin anak itu hanya akan bertahan dua tiga hari saja. Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai dia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu!

Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar, Moli lalu menambah kayu, dan api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk dekat api unggun saat memilih isi bungkusan. Sisa obat itu dia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya.

Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat.

Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut.

Rasa takut adalah perkembangan dari si-aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran. Si AKU yang merasa terancam menimbulkan rasa takut. Takut kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut jika kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati.

Si AKU ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik. Rasa takut akan timbul jika si AKU merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti, takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut akan kehilangan harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihi karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si AKU yang sesungguhnya hanyalah khayalan dari sang pikiran yang menimbulkan rasa takut.

Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tetap tidak mengenal rasa takut sebab ia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan mau pun batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membimbingnya dan menjaganya.

Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, lalu mengambil guci dan hendak menuang isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.

Heh-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak akan sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han?”

Akan tetapi anak itu tidak menjawab. Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Hanya mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia bagaikan seorang bayi di dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman!

Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam ‘gendongan’ kekuasaan TUHAN yang meliputi seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran mau pun yang tak terjangkau. Jika sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti itu, apa lagi yang dapat menimbulkan rasa takut?

Heh-heh-heh-heh!” Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarutkannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.

Hi-hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak sekali, bukan? Racun kedua mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau lantas menjadi seekor kuda jantan dalam birahi! Hi-hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau tak akan pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan terus-menerus hasrat kejantananmu itu sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu sampai habis, hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni di dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hi-hik!”

Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang-I Moli kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang-I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya bagai iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.

Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman yang sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah mulutmu,” kata Moli dengan suara manis merayu.

Tentu saja Yo Han tak mau membuka mulutnya. Ia memang masih bisa menggerakkan mulut karena yang tak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.

Buka mulutmu kataku!” Sekarang Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.

Anak bandel!” Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han.

Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air dalam cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.

Hi-hi-hik, racun itu sudah masuk perutmu, Yo Han. Engkau akan segera tertidur karena pengaruh racun perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi bila engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh akan menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang...” berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu mampu bergerak kembali.

Yo Han menggerak-gerakkan kaki tangannya yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, lalu bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.

Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingatlah, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat yang buruk bagi dirimu sendiri…” Yo Han menghentikan ucapannya karena tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap.

Ang-I Moli terkekeh genit. “Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang-I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Engkau sudah mulai mengantuk? Tidurlah sayang, tidurlah...!”

Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan turut merebahkan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap.

Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga. Ia tidak tahu bahwa tidak lama kemudian api unggun itu padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya sudah terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya.


                   **************


Karena sangat kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu.

Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu. Namun gerak-geriknya halus walau pun ringan dan cekatan.

Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil. Tangannya memegang sebatang kayu kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bara itu pun menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Dia memilih tempat, mencari bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam.

Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab.

Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu menyala kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awut-awutan. Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali.

Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, lantas dia pun mengumpulkan rumput kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu. Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan duduk bersila.

Walau pun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang banyak beterbangan di situ hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit.

Entah apa yang menyebabkan nyamuk-nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan asap yang harum.

Wanita itu duduk bersila dan memejamkan matanya setelah mulutnya mengomel lirih. “Omitohud... alangkah tega menodai tempat suci ini, sungguh pun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud...”

Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam semedhi yang mendalam. Siapakah wanita ini?

Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walau pun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat.

Rambut itu digelung secara aneh, tak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walau pun garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa.

Di antara dua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan Tibet. Tubuhnya masih padat dan ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih.

Kalau ada orang Bhutan yang melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat padanya. Hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia adalah seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga dekat dari raja Bhutan.

Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, sedang ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio.

Gangga Dewi lahir di Bhutan. Dia dilahirkan sesudah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan ibunya, lalu dia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu. Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil dia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai dia dewasa dan kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa.

Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, saat dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, yaitu Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena penyakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia.

Bagaikan orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya, seolah-olah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan. Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis berjuluk Tiong Khi Hwesio.

Kemudian ia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia ia merasa terasing di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup bahagia dengan suaminya, yaitu seorang Bhutan asli. Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir sampai meninggal di sana bersama saudaranya seayah berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca secara lengkap dalam cerita KISAH SI BANGAU PUTIH.

Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi tetap hidup dalam keadaan tenteram dan bahagia. Bahkan dua orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja. Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada kalanya terang juga ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadilah perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan negara tetangganya, yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima kerajaan, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan yang turut berperang melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas.


Walau pun di waktu masih hidup suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut, bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, tapi ketika suaminya tewas, Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam. Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak mampu menghibur hatinya. Sesudah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun lamanya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula.

Biar pun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah sunyi yang penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus, serta banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok, namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya. Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, juga kadang menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia mempunyai ilmu kepandaian tinggi, pernah pula digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang.

Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng mengganggunya. Padahal, meski pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita dia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita mau pun dengan tubuhnya yang ramping dan berisi.

Demikianlah, pada malam hari itu Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua, ia pun memasukinya, sama sekali tak mengira akan melihat pemandangan yang membuat dirinya merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak, namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walau pun kuil kosong, membuat ia merasa penasaran.

Bagaimana pun juga, manusia terikat oleh hukum adat, hukum umum, sopan santun dan tata susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya, Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biar pun di sana terdapat berbagai agama, di antaranya Agama Kristen, Hindu, Buddhis dan lain-lainnya, akan tetapi di antara agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian.

Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Jika ada pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimana pun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, selalu memupuk perbuatan baik dan saling menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam gelap sudah memudar sehingga cuaca menjadi remang-remang, saat burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan, Ang-I Moli terjaga dari tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya, kemudian bangkit duduk dan memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. Dia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.

“Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku...”

Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Bagaikan orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri. Mukanya berubah merah sekali, sepasang matanya terbelalak dan cepat dua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.

“Apa... apa yang kau lakukan ini, Bibi?” bentaknya marah.

Wanita itu memandang heran sekali, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Menurut penglihatan dan pendengarannya barusan, Yo Han sama sekali tidak berubah! Tidak hilang ingatannya, tidak terangsang sama sekali! Ini tidak mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu akan terpengaruh oleh pel-pel itu! Apa lagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh dibilang kanak-kanak.

“Yo Han, kau... kau... ke sinilah, sayang.” Ia mencoba untuk meraih. Akan tetapi Yo Han menghindarkan diri dengan langkah ke belakang.

“Bibi, apakah engkau sudah menjadi gila?” Suara Yo Han lantang dan penuh teguran. “Ingatlah, perbuatanmu ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi.”

“Yo Han, ke sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Marilah kita menikmati hidup ini...” Kembali wanita itu meraih dan kini, biar pun Yo Han mengelak, tetap saja pergelangan tangannya tertangkap oleh wanita itu.

Yo Han meronta, akan tetapi apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu? “Lepaskan aku! Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang keji dan hina! Walau kau siksa, kau bunuh sekali pun, aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!”

“Plakk!”

Sebuah tamparan dengan telak mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan di lain detik, dia telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi.

Ang-I Moli menyeringai. Gairah birahinya sudah menghilang, terganti kemarahan karena ia dimaki-maki tadi.

“Anak tolol! Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kau kira kalau engkau telah menolakku, engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan hawa murni dari tubuhmu? Hemm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis hari ini juga. Darahmu akan kuminum sampai habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan kemudian sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan lebih dahulu mampus kehabisan darah!”

Wanita itu tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimana pun juga Yo Han merasa ngeri. Bukan takut akan ancaman itu, akan tetapi ngeri melihat wajah wanita itu dan mendengar suaranya. Dia merasa seperti berhadapan dengan iblis, bukan manusia lagi.

“Sratttt...!”

Tangan wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu telah menyayat leher di dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah mengucur. Wanita itu lalu menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisap darah yang keluar!

Pada saat yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu bergerak, terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.

“Omitohud... hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!”

Ada hawa pukulan mendorong dari samping dan dengan terkejut Ang-I Moli meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak mengerikan sekali. Seperti seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang berada di bibir. Matanya liar memandang kepada wanita berkerudung yang berdiri di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.

“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?” Ang-I Moli membentak dengan marah sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi.

Ang-I Moli sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan kepala berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat menduga bahwa wanita ini datang dari barat dan bukan berbangsa Han.

Gangga Dewi tidak menjawab. Semenjak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya lalu bergerak dan nampak sinar putih menyambar ke arah tubuh Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih yang meluncur bagaikan tombak dan begitu mengenai pundak dan pinggang Yo Han dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya.

Yo Han seorang anak yang sangat cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera menggelindingkan tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu, lantas melompat bangun dan berdiri di belakangnya berlindung di belakang Gangga Dewi.

“Terima kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),” katanya.

Gangga Dewi melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher anak ltu, luka yang tadi sempat dihisap oleh wanita berpakaian serba merah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan memberikannya kepada Yo Han.

“Kau obati luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti mengucur.”

“Heiii, keparat busuk! Siapakah engkau ini? Katakan namamu sebelum aku mencabut nyawamu!”

Meski pun sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras. Dengan perlahan kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan dia nampak lebih tinggi dari biasanya, anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang tersembunyi di balik kelembutannya.

“Perempuan sesat, tidak ada hubungan apa pun di antara kita dan aku pun tidak ingin berkenalan denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang sudah kau lakukan terhadap anak ini tak mungkin kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, cepatlah pergi dan bertobatlah. Masih belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan bertobat!”

“Keparat sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau sedang berhadapan? Aku adalah Ang-I Moli dan tidak ada orang bisa hidup terus jika ia berani menentangku. Lekas kembalikan anak itu kepadaku, kemudian buntungi lengan kirimu, baru aku akan mengampunimu!”

Mendadak Yo Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang-I Moli dan dia marah sekali. Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya lantang penuh teguran.

“Ang-I Moli! Tidak boleh kau lakukan itu! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam menyuruh ia untuk membuntungi lengannya sendiri? Engkau boleh menyiksaku, membunuhku, akan tetapi tidak boleh mencelakai orang lain hanya karena diriku.” Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata, “Locianpwe, harap cepat pergi dan jangan mengorbankan diri hanya karena aku!”

Gangga Dewi terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin sekali ia mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai terjatuh ke tangan wanita jahat itu.

“Anak baik, ke sinilah engkau!” Tangan wanita berkerudung itu bergerak ke depan dan Yo Han merasa dirinya tertarik kembali ke belakang wanita itu.

Gangga Dewi kini memandang kepada Ang-I Moli, lalu mengangguk-angguk. “Kini aku tidak merasa heran. Kiranya engkau memang bukan manusia, melainkan iblis betina (Moli). Pantas engkau melakukan kekejaman seperti itu. Ang-I Moli, engkau sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang kebajikan dari dia.”

“Engkau memang sudah bosan hidup!” Ang-I Moli membentak.

Dan tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan tubrukan ke arah Gangga Dewi. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring, tubuhnya seperti terbang meluncur dan kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah leher Gangga Dewi.

Wanita Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia pun menggeser kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han yang berdiri di belakangnya dan tubuh anak itu terlempar sampai lima meter ke arah kiri. Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi kini berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat tubuhnya melayang keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu. Gangga Dewi sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak leluasa untuk menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.

“Jangan lari kau, keparat!”

Ang-I Moli marah sekali ketika terjangannya hanya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke arah pakaian luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum, juga menyambar pedangnya, mencabut senjata itu dan melemparkan sarung pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran.

Akan tetapi orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, di tempat yang terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya yang kemerahan membakar dan menghalau sisa kegelapan malam. Yo Han berdiri di belakang sebatang pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Tadi, setelah dia bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia melihat bayangan kuning berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada di dekatnya.

“Anak baik, engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya. sekali.”

Yo Han hanya mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi. Sekarang dia tidak mengkhawatirkan lagi, maklum bahwa wanita berkerudung itu bukan orang sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapa pun juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau sampai ada orang menderita celaka apa lagi sampai tewas karena membela dia.

“Bersiaplah untuk segera mampus, engkau perempuan asing yang lancang!” Ang-I Moli membentak lagi.

Sekarang ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ternyata lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas. Tidak begitu sulit bagi Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu dengan menggerakkan kaki kirinya, melangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar untuk menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.

“Syuuuttt...!”

Ang-I Moli terkejut bukan main dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, lalu melompat ke belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk menotok ke arah pergelangan tangannya, gerakannya aneh, cepat dan dari jari telunjuk itu datang angin yang amat dingin.

Tahulah ia bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu memutar pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi. Pedang diputar sedemikian cepatnya sehingga bentuk pedang itu lenyap dan berubah menjadi gulungan sinar yang mendesing-desing. Dari gulungan sinar itu kadang mencuat sinar yang menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau tusukan.

Gangga Dewi terpaksa mengerahkan ginkang-nya dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Gerakan senjata lawan itu demikian cepat sehingga ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Ang-I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat gerakannya. Ia tahu bahwa sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung ini, tidak mungkin ia bisa menguasai Yo Han. Padahal, tadi ia sudah mencicipi darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan, dan menguatkan badan rasanya!

Gangga Dewi terus saja mengelak dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Gerakannya demikian lincah dan indah, seperti sedang menari saja sehingga Yo Han merasa kagum. Dia teringat kepada subo-nya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat juga nampak memiliki gerakan yang indah, seperti menari saja!

Dia menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya, ke dua seni olah raga juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah yang membuat ia tak suka belajar silat. Bela diri ini mengandung kekerasan sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, tetapi balas menyerang dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat membunuh lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam gerakan wanita berkerudung yang menolongnya, dan dia pun kagum.

Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya untuk hanya terus menerus mengelak saja. Kalau hal itu terus dilanjutkan akan membahayakan keselamatan dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai, dan selisih tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak.

Ketika kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang, tiba-tiba ia membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke belakang itu ia bersalto sampai lima kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang tadi ia lolos dari pinggang pada waktu ia berjungkir balik di udara. Hampir saja Yo Han bertepuk tangan memuji, bukan memuji kehebatan ginkang itu, melainkan memuji keindahan gerakan tadi.

“Engkau iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!” kata Gangga Dewi dan sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu meluncur ke depan dan menegang, menjadi seperti batang tombak yang kaku.

Pada saat itu, Ang-I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi menggerakkan sabuk sutera putih itu menangkis.

“Takkk!”

Dan pedang itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku dan kuat! Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau heran. Bagaimana pun juga, dia pernah tinggal bersama sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak mempelajari ilmu silat walau pun hanya mengerti dan dihafalkannya saja. Dia tahu bahwa sabuk sutera di tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya mempergunakan tenaga sinkang yang tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu. Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh, juga amat indahnya.

Kini terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika Gangga Dewi hanya terus-terusan mengelak. Kini dua orang wanita yang lihai itu saling serang dan diam-diam Ang-I Moli mengeluh. Sabuk sutera putih itu memang hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat putus sabuk sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba sabuk itu menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung sabuk itu beberapa kali sempat menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.

“Haiiittt...!”

Mendadak Ang-I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang membabat ke arah leher lawan.

Gangga Dewi merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari bawah ia hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Tetapi tiba-tiba tangan kiri Ang-I Moli bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi.

“Uhhhhh...!”

Gangga Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa batang jarum kecil merah runtuh.

“Keji...!” bentak Gangga Dewi.

Dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang-I Moli. Gerakannya amat cepat karena dia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang. Ang-I Moli melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Ia pun mengerahkan tenaganya untuk menangkis dengan pedang.

“Plakkk!”

Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.

“Tukkk!”

Ang-I Moli mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat merampas pedang itu melalui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap di antara semak-semak.

Wajah Ang-I Moli langsung menjadi pucat saking marahnya. ”Keparat jahanam engkau! Hayo mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!”

Gangga Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang Maha Kasih mengampuni semua dosamu.” Sambil berkata demikian, Gangga Dewi telah menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Akan tetapi Ang-I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.

“Biar kukirim engkau ke neraka!” bentaknya.

Kini ia pun sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw.

Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau harum-harum keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.

“Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?”

Akan tetapi, Gangga Dewi tak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan tubuhnya dan menangkis dari samping dengan memutar lengannya.

“Dukkk!”

Tubuh Gangga Dewi tergetar dan pada saat itu, secara curang sekali kaki Ang-I Moli melayang ke arah selangkangan Gangga Dewi.

“Uhhh...!” Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh. Namun, tetap saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang-I Moli yang melapisi sepatunya dengan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh!

Melihat lawannya roboh miring, Ang-I Moli girang sekali, “Mampuslah!” Ia berseru dan menubruk ke depan untuk mengirimkan pukulan yang terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan lawan yang sudah roboh itu.

“Moli, jangan...!” Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang-I Moli menyusulkan pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring.

Akan tetapi tentu saja Ang-I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan tetap melanjutkan pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu Pek-lian Tok-ciang!

Tetapi, saat ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya terjatuh miring. Ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengirim pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki tangannya menempel pada tanah, diam-diam ia mengerahkan ilmu simpanan yang dahulu pernah dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.

“Dessss...!”

Hebat bukan main pertemuan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang-I Moli terlempar ke atas seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas tanah! Bukan main kagetnya Ang-I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita berkerudung itu.

Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Dan masih untung baginya bahwa tenaga rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terbanting jatuh, juga mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada dan perutnya.

Ang-I Moli bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia tidak bisa memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian hebat.

“Mampuslah!” bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo Han.

“Awas...!” Gangga Dewi berteriak.

Ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han mengeluh dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil itu.

Gangga Dewi tidak mempedulikan lagi Ang-I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh. Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan muka pucat dan napas yang terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya ia pingsan.

Ketika Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba, tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk seluruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.

“Anak yang malang...!” katanya.

Ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada Yo Han, menutupi lima bintik merah itu. Ia mengerahkan sinkang-nya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, juga dari balik kerudung kepalanya mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak tersembul keluar.

Gangga Dewi menggunakan sapu tangan sutera, mencabuti kelima batang jarum yang amat lembut itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.

“Iblis betina kejam...!” katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia memeriksa luka bekas jarum.

“Omitohud...!” Serunya kaget dan heran.

Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seakan-akan darah beracun itu didorong dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sinkang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu dapat dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu?

Akan tetapi, andai kata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam keadaan pingsan! Tidak mungkin dia mampu mengerahkan sinkang-nya dalam keadaan pingsan. Kalau bukan tenaga sinkang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya pingsan, yang mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh?

“Omitohud...!” kembali lagi wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak mengamati dada itu.

Kini darah yang keluar dari kelima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak terengah lagi, dan agaknya dia tidur pulas!

“Omitohud...!” Gangga Dewi terheran-heran dan kagum.

Dia lalu mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu, bungkusan obat bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah pun berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh.

Kalau menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti itu, di dadanya, kecil sekali harapannya untuk bisa diselamatkan nyawanya. Akan tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu supaya jarum-jarum itu keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya. Racun berbahaya itu dapat keluar dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan!

Sungguh selama hidupnya belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada kekuatan mukjijat yang melindunginya?

Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, jari telunjuk Gangga Dewi lalu menekan tengah-tengah di bawah hidung, sedikit di atas bibir. Yo Han mengeluh dan membuka matanya. Pada saat melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.

“Di mana wanita jahat itu?”

“Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri.”

“Aahhhh... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?” kata Yo Han dengan hati lega. “Aku tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh...”

Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang tadi kena tendang masih berdenyut nyeri.

“Ia memang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagai mana dengan lehermu?” Gangga Dewi sengaja tak menyinggung dulu soal luka di dada.


 Si bangau merah


Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang-I Moli. “Sudah kering berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia... ia menghisap darahku!”

“Dan bagaimana dengan dadamu?”

“Dadaku? Kenapa dadaku, Locianpwe?”

Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik. “Tidak tahukah engkau bahwa dadamu terluka oleh jarum-jarum beracun?”

“Ahhh...?” Yo Han amat terkejut. “Aku tidak tahu, Locianpwe.” Dia meraba dadanya dan menggigit bibir.

“Sakitkah?”

“Perih sedikit.”

“Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?”

Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang sakit, Locianpwe.”

Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas rumput. Mereka saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,

“Locianpwe sudah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima kasih, Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan padaku untuk membalas budi kebaikan Locianpwe ini.”

Gangga Dewi semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali. “Anak yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

“Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatang kara, yatim piatu dan aku sedang dalam perjalanan mengikuti Ang-I Moli.”

“Omitohud, anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang-I Moli?”

“Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku... aku menjadi muridnya dan sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah sampai di sini, ternyata ia berubah mengerikan dan hendak membunuhku, menghisap darahku..., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi.”

“Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku pun datang ke kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang-I Moli?”

“Baru kurang lebih dua minggu.”

“Ehhh? Jadi, engkau belum belum belajar ilmu silat darinya?”

“Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe.”

“Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?”

“Aku belum pernah latihan ilmu silat,” kata Yo Han.

Dia tidak mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat dari suhu dan subo-nya di Tatung, akan tetapi ia hanya menghafal saja, dan tak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu dan subo-nya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang benar.

Tentu saja jawaban Yo Han membuat Gangga Dewi menjadi makin terkejut dan heran. Selamanya belum pernah latihan silat. Tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani menentang seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?

“Yo Han, keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau melakukan perjalanan bersama Ang-I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi murid seorang seperti Ang-I Moli dan apa yang hendak kau pelajari darinya kalau bukan ilmu silat?”

Yo Han menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya sering dilakukan manusia adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak suka bicara tentang suhu dan subo-nya.

“Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya meski aku tidak akan mau belajar ilmu silat darinya.”

“Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?”

“Tidak, akan tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, dia menculik seorang anak perempuan. Aku lalu membujuknya untuk mengembalikan anak itu kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan diriku. Jadi anak itu akan dibebaskan, akan tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, maka aku menyanggupi. Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke sini.”

“Bukan main! Luar biasa! Omitohud... belum pernah aku mendengar hal seperti ini...!” kata Gangga Dewi dan ia pun tertegun.

Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih lagi, bocah ini tidak tewas biar pun terkena lima batang jarum di dadanya, jarum-jarum beracun yang ia tahu sangat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Anak apakah ini?

“Ahhh, Locianpwe. Apanya yang bukan main dan luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali tak mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara manusia sudah merupakan suatu kewajiban, bukan?”

“Omitohud... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu ingin sekali menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang melakukan perjalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk memperdalam agama dan mencari kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin sekali menghisap darahnya.”

Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut.

“Ha-ha-ha, Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?”

“Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?”

“Locianpwe, aku ini adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!”

“Omitohud... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun sudah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?”

Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab dengan sikap bersahaja, “Juga banyak kitab Agama Buddha dan kitab sejarah yang penuh kekerasan.”

Setelah sejenak tidak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya, “Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang-I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kau lakukan?”

“Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apa pun juga. Melihat kejahatan Ang-I Moli yang sudah tak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andai kata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan.”

Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Masih sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.

“Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana?”

Yo Han menggelengkan kepalanya. “Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, barulah masuk Propinsi Se-cuan.”

Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu pada saat ia meninggalkan Bhutan, tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!

“Anak baik, kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah maka engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan?”

“Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung.”

“Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?”

“Aku sudah membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu huruf yang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri.”

“Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, tapi kenapa engkau ingin melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?”

“Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang.”

Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Lebih dari seratus tahun yang lalu, pada tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu bangsa Mancu baru saja menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu.

Banyak raja-raja muda dan penguasa-penguasa daerah merasa kehilangan pegangan, dan saat melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.

Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak demikian kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, akan dibunuhnya! Bahkan pernah dia memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya disebabkan dia tak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para prajuritnya diikuti isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri!

Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi bagaikan seorang raja, didukung oleh anak buahnya. Dia begitu takut jika sampai kedudukannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Maka dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya telah dibunuh tanpa dosa!

“Omitohud... mengapa engkau malah ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang tiada taranya itu? Ketahuilah bahwa hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga kini lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si yang tinggal di Se-cuan dibandingkan penduduk aslinya yang tinggal sedikit.”

“Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung mendirikan batu monumen dengan huruf tunggal berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti rakyat. Setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat kemudian dibalikkan agar huruf itu tak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia.”

Gangga Dewi mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapa pun baik mau pun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tidak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu dapat kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hakekatnya hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apa lagi sekarang di wilayah Barat sudah mulai tidak aman, banyak pergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa Mancu di timur.”

“Locianpwe, aku tak takut menghadapi kesukaran, dan aku juga tidak takut menghadapi pergolakan.”

Gangga Dewi tersenyum. Jika ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau hanya diceritakan oleh orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti!

Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi. Kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis semacam Ang-I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat, yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya.


"Yo Han, biar hanya sedikit, aku telah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan.”

“Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu.”

Gangga Dewi menghela napas panjang. “Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tak pernah berkunjung ke timur. Oleh karena itu aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat yang asing bagiku. Jika saja engkau suka menolongku, Yo Han.”

“Menolong Locianpwe?” Aku...? Aihh, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe?” Yo Han bertanya dengan heran. Sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

“Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tak tahu ke mana harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan tapi sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemani dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya.”

Dua pasang mata itu bertemu. Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Ia merasa kasihan, dan juga baru saja ia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan.

Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan jiwanya. Jika sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana ia akan mampu menolak? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi.

Dengan tegas dia mengangguk. “Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya lebih dulu aku harus mengetahui siapa namanya, bagaimana rupanya, dan berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain.”

“Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik.”

“Bukan menolong, Locianpwe, tapi hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama ayahmu itu?”

“Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio...”

“Ahhh... Tiong Khi Hwesio...?” Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.

“Ya, kenapa, Yo Han?” tanya Gangga Dewi. Anak ini memang penuh kejutan. “Apakah engkau mengenal nama itu?”

“Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhu-ku.”

“Ehhh?”

Untuk kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan terdapat pada diri anak ini.

“Bukankah gurumu Ang-I Moli tadi?”

“Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, sejak aku kehilangan orang tua, aku sudah dipelihara oleh suhu dan subo-ku yang pertama, Locianpwe. Mereka itu adalah suhu dan subo-ku, juga pengganti orang tuaku. Mereka adalah orang-orang sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.”

“Wahh... Omitohud... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han. Siapakah suhu dan subo-mu itu? Katakan, siapa nama mereka?”

“Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locianpwe mengenal mereka?”

Gangga Dewi menggelengkan kepalanya. “Dan kau katakan tadi bahwa suhu-mu yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?”

“Benar, Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng...”

“Ahhh...! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda bernama Wan Tek Hoat! Omitohud... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han, ternyata di antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhu-mu dan subo-mu itu.”

“Suhu-ku tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah kuceritakan tadi.”

“Kalau begitu, suhu-mu itu terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih murid keponakanku sendiri! Dan subo-mu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li? She Kao...”

“Subo juga amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir...”

“Ahh, kalau begitu, ayah subo-mu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi Wan Ceng!”

“Sedangkan ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es.”

“She Suma...?”

“Ya, kalau tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui...”

“Omitohud...! Ibu dari subo-mu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ahh, ahh, jadi engkau murid dari suami isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga? Hebat! Tapi... tapi... kau katakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?”

“Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe...”

“Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat, Yo Han. Kalau dihitung dari suhu-mu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu. Kalau dihitung dari subo-mu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subo-mu itu terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi.”

”Baiklah, Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu dan Subo adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku... aku tidak pernah mau berlatih silat sebab aku melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan bakat dan watakku.”

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!

“Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?”

“Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, meski pun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah mau berlatih.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak melihat manfaatnya berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan kekerasan dan kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga, dan tidak ingin menang dari siapa pun. Untuk apa berlatih silat?”

Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu dia akan marah. Tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah, sehingga ia menganggap bahwa pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.

“Lalu, kalau suhu dan subo-mu telah menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang-I Moli?”

“Sudah kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang-I Moli, aku menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan.”

“Tapi, kenapa tidak kau laporkan pada suhu dan subo-mu? Tentu mereka akan mampu mengusir Ang-I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan keluarga yang amat baik itu?”

Yo Han diam sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya, “Bibi tentu tidak ingin kalau aku membohong, bukan?”

“Tentu saja tidak!”

“Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang kenapa aku pergi meninggalkan Suhu dan Subo. Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?”

Gangga Dewi memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi keras hati, jujur, dan pemberani. “Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu dan subo-mu itu, karena mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang.”

Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke rumah suhu dan subo-nya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke dua, tentu saja suhu-nya merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya.

Tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah suhu dan subo-nya. Dia telah meninggalkan mereka karena kehadirannya di rumah itu tak dikehendaki suhu dan subo-nya, terutama subo-nya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu dan subo-nya akan menitipkan dia ke dalam kuil dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan suhu dan subo-nya.

“Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi kepada seseorang yang tentu akan dapat pula memberi tahu ke mana Bibi harus pergi untuk menemui ayah Bibi itu.”

“Hemm, siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?”

“Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri dan bertapa di Pegunungan Tapa-san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggota keluarga Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun.”

“Suma... Ciang... Bun...?”

Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar dan wajah itu berubah pucat sekali, lalu menjadi merah. Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi dia cepat menguasai perasaannya. “Dia... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han.”

Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia amat tertarik pada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau mungkin ia ingin menariknya menjadi muridnya. Apa lagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau juga cucu muridnya sendiri.

Dan pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar dari suhu-nya bahwa tiga orang guru dari suhu-nya itu telah meninggal dunia semua.

Di lain pihak, Yo Han juga sangat kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa dan tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subo-nya, Gangga Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet.


                   **************


Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak dalam sejarah dia akan dikenal sebagai Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu, yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar semenjak muda sampai lanjut sekali.

Sejak berusia sembilan belas tahun ia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan tetapi belum nampak tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan singgasana. Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun, ia masih nampak penuh semangat.

Harus diakui dalam sejarah bahwa selama ia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan daerah barat itu kemudian diberi nama Sinkiang (Daerah Baru).

Bala tentara di bawah Kaisar Kian Liong sangat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu ke daerah itu, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.

Bala tentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan Mancu menyerang bagai gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah barat. Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit di Pegunungan Himalaya, telah membuktikan kehebatan pemerintahan Kaisar Kian Liong. Akhirnya pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan juga memaksa mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.

Bukan hanya ke barat bala tentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga ketika terjadi kekacauan di selatan, yaitu saat bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar Kian Liong segera mengirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini lalu memukul mundur bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma.

Meski sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mati-matian mempertahankan diri sehingga tidak dapat ditundukkan, tetapi Kaisar Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi ‘pelajaran’ dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina. Demikian pula dengan negeri An-nam yang pada jaman pemerintahan bangsa Mongol sudah ditundukkan, lalu sempat memberontak dan oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.

Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang ‘pilihan Tuhan’ bahkan ada yang menyebutnya wakil Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat jelata terhadap Kaisarnya sehingga seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan tidak dianggap sebagai manusia lumrah!

Padahal, bila ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan keadaan seorang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekali pun, akan terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga halnya manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-duka dan puas-kecewa.

Ketika itu tahun 1780, dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun. Permaisurinya sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apa lagi sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Hong-houw (Permaisuri Harum).

Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar Kian Liong memang terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak ia pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita cantik.

Setelah dia menjadi Kaisar, di samping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun, seperti halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu birahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar! Nafsu tidak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.

Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu di Sinkiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau mendengar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria. Biar pun puteri itu, anak seorang kepala suku bernama Ho-couw, sudah menikah dengan seorang kepala suku beragama ISLAM, akan tetapi di seluruh Sinkiang ia terkenal dengan sebutan Puteri Harum!

Mendengar berita mengenai wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum pernah selama hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau harum! Keharuman pada tubuh wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!

Kebetulan pada waktu itu banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan panglima pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, sudah mendapat pesan khusus dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang puteri itu dan membawanya ke istana dalam keadaan sehat dan selamat.

Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang istimewa. Pada waktu Jenderal Cao Hui menghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi sangat terpesona menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang khas itu. Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat.

Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalanan amat jauh itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan.

Ia pasti seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu dan segera mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan kemudian menjulukinya Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum.

Pada bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan keluarganya, teringat akan negaranya dan keadaan lingkungan yang amat berbeda.

Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung. Dan atas saran dari para penasehatnya, dia lalu memerintahkan membangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama, dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, juga di situ dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang diberi nama Ruang Mandi Para Bidadari.

Bahkan Kian Liong memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu. Dengan demikian, sang puteri dapat melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan itu dari loteng istananya sehingga dapat mengatasi kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.

Mendapat perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan mulai berusaha untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sulit karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan keluarganya yang telah terbasmi, apa lagi ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.

Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Hong-houw sering kali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam. Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua kegemarannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu birahinya.

Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat Siang Hong-houw memang dari dalam, walau pun bukan tanpa usaha.

Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu tentu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!

Daya tahan tubuh manusia itu sangat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak mudanya sering menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu birahinya, bahkan kadang-kadang dia juga mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya.

Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih. Kini dia merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja ia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering ia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab dari pada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.

Kerenggangan sebagai akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu luang pada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri. Meski Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang yang beragama Islam, tapi permaisuri ini merasa kesepian dan ia pun merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan kepercayaan.

Oleh karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab, Siang Hong-houw menjadi makin akrab dengan seorang thai-kam yang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan oleh ayahnya untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam.

Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar bisa mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur. Maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam. Dengan adanya Mo Si Lim, maka kerinduan Siang Hong-houw pada bangsanya dapat terhibur. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sinkiang.

Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang memiliki cita-cita untuk mengusir penjajah Mancu dari Cina. Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya sudah tewas ketika daerah barat diserbu oleh pasukan Mancu.

Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, supaya dia dapat mendekati dan melayani Puteri Harum.

Sore hari itu Siang Hong-houw duduk sendiri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja dia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khusus dibuat untuknya. Pada waktu dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.

"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."

Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walau pun usianya sudah empat puluh tahun lebih.

Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran anak. Dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya.

Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu birahi. Ketika dipisahkan dengan paksa dari suaminya, maka bersama dengan kematian suaminya, mati pulalah gairah birahinya. Jika ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar yang sangat menyayangnya. Dan sekarang, setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.

Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.

"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur.

Thaikam itu membuka daun pintu, lalu masuk dan menutupkan kembali daun pintu. Dia menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.

"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama sekali tentang Thian-li-pang. Bukankah engkau telah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"

Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya sangat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil sehingga orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.

"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menunggu perintah dan panggilan Paduka, Puteri. Untuk langsung menghadap, hamba tidak berani karena khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba membawakan sepucuk surat permohonan dari Ketua Thian-li-pang sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."

"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.

Mo Si Lim mengeluarkan sampul surat dari saku dalam bajunya. Setelah menyembah, dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sampulnya, lalu mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang coretannya indah. Lalu dia mulai membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika dia membacanya.

"Muslim, apakah engkau juga sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali membaca isi surat.

Muslim atau Mo Si Lim menyembah. "Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa Thian-li-pang ingin mengajukan permohonan pada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."

"Muslim, permintaan mereka yang pertama masih wajar, tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat kusetujui. Cepat kau nyalakan api di tungku perapian itu dulu, surat ini harus dibakar lebih dahulu baru kita bicara."

Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara, dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi. Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.

"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tak dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar supaya aku suka membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."

Tidak nampak perubahan apa pun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya, "Yang mulia, mengapa pula mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"

"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, bila tidak dibunuh sekarang, beberapa tahun lagi tentu Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu asli karena ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung pangeran itu."

Mo Si Lim mengangguk-angguk. "Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya sampaikan kepada mereka?"

Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan yang gemerlapan.

"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dari Sinkiang dulu. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku masih belum dapat menyetujuinya. Bagaimana pun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Jika mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walau pun aku mendukung perjuangan mereka."

Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi kemudian mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruang duduk itu. Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya. Ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya yang tersayang ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja.

Sebelum bangsa Mancu datang menjajah, rumah ini dahulu adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apa lagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.

Agaknya Mo Si Lim tidak asing lagi dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, tapi mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping.

Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,

"Selamat pagi, Sobat... saya hendak bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada di sini?"

Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.

"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.

Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini. Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun sudah berjanji akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang sangat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan menyelamatkan diri.

"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."

"Hemmm, engkau tentu adalah seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.

"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"

Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru, "Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka ingin mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"

Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus. "Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, antara kita lebih baik tak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?”

"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pangcu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun.

Si Tinggi Kurus ini menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana bagi perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia mendapat kepercayaan ini karena Ciang Sun adalah seorang di antara pembantu-pembantu utama yang mempunyai kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.

Mo Si Lim duduk di kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggota Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.

"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."

"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang Sun bertanya, nada suaranya menegur.

"Hemmm, kalian ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat rahasia seperti itu tentu saja butuh ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."

"Baiklah, kami dapat mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"

Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggota Thian-li-pang yang berdiri bagai patung dan dengan suara mengandung kebanggaan ia pun berkata, "Yang Mulia Siang Hong-houw mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang."

Ia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti dan orang-orang Thian-li-pang itu merasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang bernilai cukup besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.

Akan tetapi, bagi Ciang Sun sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang paling penting. "Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"

Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang hanya mau enaknya saja. Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah!

Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau ayahnya gagal terpilih. Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun.

Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.

"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum berkenan menyetujui."

"Ahh! Justru itulah yang terpenting bagi kami! Jika usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"

"Hemmm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda Kaisar... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"

"Tetapi... beliau hanya kami minta persetujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur, hanya memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa menyelundup ke dalam istana tanpa dicurigai dan tanpa dilarang, begitu saja!"

"Apa pun yang kalian katakan, tetap saja Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat pembunuhan itu!" Mo Si Lim berkeras.

"Kalau begitu, kita akan menggunakan siasat yang ke dua!" teriak Ciang Sun kepada kawan-kawannya sebagai isyarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi perjuangan dan demi berhasilnya rencana kami, terpaksa engkau kami korbankan! Salahnya Siang Hong-houw yang tak menyetujui rencana kami!" Dan tiba-tiba saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang Mo Si Lim!

"Ahhhh!"

Mo Si Lim melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang didudukinya menjadi korban bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua. Sambil bergulingan Mo Si Lim yang juga mempunyai ilmu silat yang lumayan, telah mencabut pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan orang anggota Thian-li-pang sudah mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thaikam itu, juga Ciang Sun yang lihai sekali sudah menyerang lagi dengan pedangnya.

Mo Si Lim memutar pedangnya membela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia takkan menang, apa lagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia pun roboh mandi darah dengan tubuh penuh luka dan tewas seketika!

Dan pada siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada pasukan pengawal istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh seorang pencuri yang membawa perhiasan dari dalam istana. Orang gagah itu bukan lain adalah Ciang Sun yang membawa kepala Mo Si Lim dalam buntalan, bersama peti hitam kecil berisi perhiasan yang amat berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim, Ciang Sun lalu memberi tahu kepada anak buahnya bahwa kini terbukalah kesempatan baginya untuk menyelundup ke dalam istana, dengan bertindak sebagai pembunuh pencuri perhiasan itu dan mengembalikan perhiasan itu kepada istana.

"Perhiasan ini memang mahal harganya dan merupakan sumbangan yang besar bagi kita, akan tetapi kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan mengembalikan perhiasan ini. Kalian boleh berangkat ke pusat dan melaporkan kepada Pangcu kita!"

Demikianlah, dengan hati penuh semangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti hitam kecil itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan pengawal yang langsung menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang mengaku telah membunuh pencuri perhiasan milik Siang Hong-houw!

Tentu saja Kaisar Kian Liong terkejut mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar pembunuh pencuri itu dibawa menghadap kepadanya, juga dia memerintahkan agar Siang Hong-houw datang pula ketika mendengar bahwa yang dicuri adalah perhiasan milik permaisurinya itu.

Biar pun dia dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap berjalan dengan gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah seorang pendekar yang sudah digembleng menjadi seorang patriot yang gagah berani, yang rela mengorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu mengusir penjajah dari tanah air. Semangat ini pun bukan tanpa dorongan penyebab yang membuat dia menyimpan dendam dalam hatinya, yang membuat dia membenci pemerintah Mancu.

Ayah dan ibunya tewas dalam bentrokan antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa Mancu. Dendam ini membuat dia membenci semua orang Mancu. Apa lagi melihat betapa bangsanya diperlakukan dengan tidak adil oleh para penguasa bangsa Mancu, kebenciannya bertambah.

Dia semenjak muda membantu gerakan pemberontakan di mana-mana. Namun semua usaha pemberontakan itu selalu gagal karena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di antara pasukan itu terdapat jago-jago silat yang amat lihai, baik orang Mancu sendiri atau orang-orang Han yang telah diperalat oleh pemerintah Mancu. Saking bencinya, Ciang Sun bahkan sudah bersumpah tak akan menikah sebelum penjajah Mancu dapat dihancurkan.
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12