Wednesday, June 27, 2018

Cerita Silat Serial Si Bangau Merah Jilid 05



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Si Bangau Merah

                    Jilid 05


WAKTU itu malam hampir tiba dan di dalam goa sudah mulai gelap. Namun, berkat kebiasaan, mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.

"Yo Han, apa engkau sudah gila? Kau lihat sendiri, kalau engkau tak pandai mengelak, tentu engkau sudah mampus diserang Ang-I Moli. Mengapa engkau tetap tidak mau menerima pelajaran silat dariku? Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit ini."

"Tidak, Suhu. Teecu tetap takkan mau belajar memukul orang. Untuk apa? Teecu tidak akan memukul orang, apa lagi membunuh orang. Hidup ini bukan berarti harus saling bermusuhan dan saling bunuh."

"Tolol! Kau kira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"

“Teecu tetap tidak mau! Semenjak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau dulu mereka tidak pandai silat, tidak mungkin mereka itu mati muda."

"Huh! Hal itu terjadi karena ilmu silat mereka masih rendah, masih mentah! Sudahlah, tidak perlu banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperlihatkan bukti-bukti kepadamu!"

Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram oleh gurunya dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-diam dia merasa kagum. Gurunya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak seperti itu!

Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai disertai gelak tawa di antara suara tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.

"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.

Thian-te Tok-ong melepaskan muridnya, kemudian membiarkan muridnya itu menuntun tongkatnya, diajaknya memasuki dusun itu.

"Tidak perlu banyak bertanya dan kau lihatlah saja sendiri," katanya.

Setelah mereka memasuki dusun, mendadak kakek itu memegang lengan Yo Han dan membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang sedang terjadi di bawah.

Yo Han terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Dia melihat peristiwa yang mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat ia merasa ngeri bukan main. Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-orang dusun yang sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.

Ada pula yang memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, menciuminya dan memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah. Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu dengan kejam sekali.

Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat meloncat dari tempat setinggi itu tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.

"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya berkali-kali dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, dia sudah merampas sebatang golok dan mendorong seorang perampok sampai terjengkang dan terguling-guling.

Melihat seorang anak remaja maju mendorong roboh beberapa orang anak buahnya, kepala perampok yang brewok menjadi marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher anak itu.

Yo Han yang telah mahir ‘menari’ itu dapat melihat dengan jelas datangnya golok, maka dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke samping sehingga golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, tetapi karena dia marah melihat orang itu tadi menggeluti seorang wanita, dan kini melihat orang itu hendak membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring,

"Engkau orang jahat, pergilah!"

Dan akibatnya sungguh luar biasa sekali. Begitu kena dorongan tangan Yo Han, kepala perampok itu terlempar bagai daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding. Dia pingsan seketika karena kepalanya terbentur pada dinding.

Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tak suka berkelahi, tidak suka memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.

"Huh, orang-orang semacam ini masih kau kasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo Han melihat betapa belasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua! Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan terbelalak dan alis berkerut.

"Suhu membunuh mereka semua? Suhu kejam! Sungguh kejam!"

Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu lalu terkekeh-kekeh. "Dan engkau hendak bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"

"Mereka juga kejam seperti setan, tapi jika suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"

"Ho-ho-ho, dan kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka, kemudian memuji-muji perbuatan mereka?"

"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi membunuh dan tidak suka menggunakan kekerasan!"

"Hemmm, kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihatlah, mengapa penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"

Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi. Di sepanjang perjalanan pulang ke goa, anak itu termenung. Hatinya amat tidak senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walau pun orang-orang itu perampok kejam.

Mereka sampai di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka melihat seekor harimau sedang menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu sudah menghunjam leher dan pundak. Darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.

Thian-te Tok-ong memandang muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam? Andai kata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"

"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"

"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu ia telah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Harimau tak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"

"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tak suka belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi jahat!"

"Yo Han, kau lihat apa ini?"

"Suhu memegang tongkat!"

"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"

"Tentu saja!"

"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"

"Tidak."

"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan dapat menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo jawab!"

Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau pun teecu memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apa lagi membunuhnya!"

"Nah, demikian pula dengan ilmu silat, anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita sudah mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, yang terutama sekali, kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, dapat menjadi orang yang terpandang di dalam dunia!"

Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimana pun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."

"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"

"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!" berkata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, semua berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan hal ini!"

"Huh, bocah aneh, tolol tapi... benar juga..." kakek itu menggumam.

Sudah sering dia melihat Yo Han yang tak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal pula terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang selalu melindunginya.

Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tak dapat melihatnya! Dia sama sekali tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu.


                ***************


Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini sudah tiga tahun Yo Han berada di dalam goa itu dan usianya sudah lima belas tahun. Dia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras.

Mukanya yang lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk panjang serta dikuncir besar. Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok karena amat tebal menghitam berbentuk golok. Dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walau pun dia pendiam. Sepasang matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.

Dia sudah mulai jemu tinggal di dalam goa itu. Setiap hari selain melayani gurunya yang sudah makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (semedhi) yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia.

Tetapi, bila timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada gurunya. Kakek itu sudah tua sekali. Dia pun merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam sumur. Bahkan sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhu-nya.

Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketuanya, yaitu Ouw Ban dan Lauw Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan depan goa. Yo Han disuruh ke dalam oleh suhu-nya dan tidak diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan mereka pun tidak boleh.

Yo Han masuk ke bagian paling dalam dari goa itu supaya tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi dia duduk termenung, matanya yang terlatih itu dapat melihat keadaan yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu.

Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu mampu menerima luncuran bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.

Sambil menanti percakapan gurunya dengan kedua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat mengerikan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan seperti suara manusia!

Tiba-tiba saja Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukannya pekik melengking mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan yang terdengar kini adalah suara nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, dan nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian merdu dan lembut.

Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!

Yo Han mendengarkan. Karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca, maka mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Tetapi, bagaimana seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti:

Badan Manusia Adalah Alam Kecil,
Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!

Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih kagum mendengar kemerduan suara itu dari pada isi kata-katanya yang tidak dia mengerti benar. Jika biasanya dia tak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, sebab selain dilarang suhu-nya, juga dia tak pernah menganggur dan suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, sekarang mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main.

Apakah si penyanyi adalah orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh, juga jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan marah, dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Bagaimana pun juga, ia harus tahu siapa salah siapa benar, dan bila orang di bawah sumur itu tak bersalah, dia tidak sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.

Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini, bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia telah lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak merayap di dinding goa! Dengan latihan semedhi, dia bisa menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan serta kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.

Dalamnya sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan meski pun gelap pekat, akan tetapi pandangan mata Yo Han masih dapat menembus sehingga remang-remang nampak olehnya bahwa sumur itu agak menyerong. Akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi dan terdapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa hebat bila harus tinggal di situ.

Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong rahasia lain.

Tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.

Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya!

"Desss...!"

Tubuh Yo Han terbentur benda lunak, akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.

"Bressss...!"

Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang kepada ‘guci’ itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak memiliki tangan dan tak mempunyai kaki. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat dibuat jungkir balik, akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki.

Sekarang penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia memperhatikan makhluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk, agaknya telanjang tetapi kulitnya ditutup ‘pakaian’ lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan berbahaya.

Kini makhluk itu berloncatan, bukan menggelundung, tapi berloncatan menghampiri Yo Han. Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak mempunyai niat buruk. Dia hanya memandang dengan penuh perhatian.

Wajah itu kini nampak nyata, wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali. Dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam, bahkan mulut yang sebagian tertutup kumis itu seperti menyeringai tersenyum.

"Kau tidak mati...? Kau... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lembut, seperti suara orang yang terpelajar, akan tetapi agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.

Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan menggelengkan kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah seorang manusia, walau pun aneh, bahkan mungkin sekali seorang tapa-daksa yang patut dikasihani, maka dia pun berkata,

"Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu."

Dia lalu menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi.

Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!

"Siancai...! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Ehh, anak muda, tahukah engkau apa artinya kalimat itu?"

Yo Han sudah membaca banyak kitab. Selain itu, memang dia mempunyai kelebihan, bahkan keanehan di dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil sekali pun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan itu, dia mengangguk.

"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."

"Tidak, tidak. Engkau ini yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan aku sudah tahu, engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam kalimat itu."

"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala makhluk di dunia ini, manusia adalah merupakan makhluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan makhluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apa bila mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apa bila padam berarti kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar akan berlaku pula di alam kecil. Bukankah, demikian, Locianpwe?"

"Siancai...! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.

"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative) itulah To. Locianpwe, telah menjadi kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini adalah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, akan tetapi saling dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu wanita, dan Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit, dingin dan panas dan sebagainya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada Yang, Im pun tak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan? Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-kekacauan. Bila dalam alam kecil, yaitu badan kita, Im dan Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."

Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha Kasih Sayang sekali. Manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini. Ehh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"

Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapa pun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."

"Baru lima belas tahun? Dan engkau sudah mampu menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"

Yo Han mengerutkan alisnya. "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan ahli warismu."

"Ehh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!"

Kepala dengan tubuh yang buntung itu sekarang berloncatan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia kang-ouw.

"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."

"Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak becus itu!"

"Guruku adalah Thian-te Tok-ong..."

"Uhhhh...!"

Tiba-tiba tubuh itu ‘terbang’ ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han.

"Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"

"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tak mau menyerang orang, apa lagi membunuh. Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka dari itu aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak memiliki sebuah pun gigi lagi.

"Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang lain, akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"

"Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."

"Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong akan tetapi mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari? Ha-ha-ha..."

"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."

Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu baru berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Yo Han segera merasa ada banyak benda-benda kecil yang meluncur deras menyambar ke arah lehernya.

Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Ia cepat menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.

"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kau bilang tidak pernah belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"

"Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"

Tiba-tiba ada sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu.

"Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu.”

Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh.

Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya.

Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apa lagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya. Jangankan tewas, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong serigala, dan tubuhnya sudah bergulingan. Kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.

Pemuda ini terkejut dan kembali dia ‘menari’, akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja, kemudian tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!

Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek itu menyerangnya dengan rambut. Suara rambut itu menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo Han kini menggunakan ilmu ‘senam’, berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.

Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu sehingga Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh!

Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.

"Siancai...! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"

Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Kini tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biar pun tak bertangan kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali.

Ang-I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam ‘Mendorong Bukit’. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam yang dikuasainya tidak mampu menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang-I Moli!

"Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula orang yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku sangat tertarik dengan suara tangisan dari dalam sumur, maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis, bila perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"

"Ahh... ahhh... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan... yang mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"

"Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tari-tarian yang diajarkan oleh Suhu, terdapat tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.”

"Ahh… ahhh... engkau ini anak tolol ataukah anak yang sungguh luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."

Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak membunuhnya, walau pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.

"Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu.

Tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, bagai ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu telah melibat-libat seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup!

Yo Han memejamkan matanya, seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba, memijit, bahkan menekan-nekannya.

Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.

"Locianpwe...! Engkau tidak apa-apa...?” Yo Han cepat menghampiri.

Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.

"Ya Tuhan, inilah... inilah..." dan tiba-tiba dia pun menangis! Suara tangis yang sering didengar oleh Yo Han!

Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main. "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah." Dan Yo Han memandang terharu. "Jadi... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"

Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagai mana pun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.

"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan.

Kakek itu kini tertawa! Baru saja ia menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu.

"Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"

"Apa maksudmu, Locianpwe?"

"Engkau duduklah, meski pun tempat ini agak kotor, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."

"Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang telah mendorongku untuk menuruni sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."

Kakek yang lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja, dan yang kakinya buntung mulai dari pangkal paha itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandar dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.

Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Ciu Lam Hok adalah yang termuda, akan tetapi dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang suheng-nya itu. Hal ini adalah karena dia memang suka sekali merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat.

Pada waktu Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan dengan tujuan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Tak lama kemudian, Ciu Lam Hok pergi meninggalkan Thian-li-pang untuk kembali bertualang.

Kurang lebih sembilan tahun yang lalu, ketika mendengar sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suheng-nya sudah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu mengenai racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi). Hatinya merasa khawatir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.

Betapa kagetnya ketika tiba di Thian-li-pang dia melihat bahwa berita yang didengarnya memang tepat! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul pula dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apa pun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!

Ciu Lam Hok dengan berani menemui kedua orang suheng-nya, lalu menegur mereka yang ia anggap menyeleweng. Dua orang suheng-nya kemudian menjadi marah, terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Tapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!

Dua orang kakek yang sekarang sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan kecurangan itu berpura-pura menyesal dan bertobat. Dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua orang suheng-nya itu asal mereka mau mengubah haluan Thian-li-pang yang dibuat menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar.


Dan setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu dapat demikian lihai sekarang.

"Aku dapat terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang sangat menarik hati Yo Han. "Aku menceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang sudah menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, namun sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertobat. Biasanya, pernyataan tobat itu hanya terjadi karena mereka merasa menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan pernyataan mereka untuk bertobat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan mereka sebelumnya."

Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan jika sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."

"He-he-heh, engkau memang anak aneh!” kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tak mampu lagi menandingi mereka. Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesak untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu sudah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng, mereka menjadi marah. Lalu mereka menyiksaku, bahkan juga membuntungi kaki tanganku dan melemparkan aku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek Hoat-keng dapat kugunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan juga membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"

Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ahhh, tentu Locianpwe sudah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"

Kakek itu menghela napas panjang. "Betapa pun hebatnya ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi kalau tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andai kata aku sudah berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suheng-ku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti kalah."

"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan sendiri. Tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"

"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"

Pemuda remaja itu mengerutkan alis, kemudian mengangguk. "Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud supaya Locianpwe akhirnya menyerah lalu memberikan rahasia-rahasia Bu-kek Hoat-keng kepada mereka?"

"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biar pun siksaan ini kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Sesudah ilmuku ada yang mewarisinya, aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"

"Tetapi, Locianpwe, aku... aku… tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau berkelahi..."

"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"

"Tapi, ilmu apakah Bu-kek Hoat-keng itu?"

"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tiada bedanya dengan ilmu tari dan senam yang engkau pelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi muridnya?"

"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"

"Heh-heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku ini hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, meski untuk semenit pun. Sekali aku menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"

Yo Han sangat terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukanlah gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimana pun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Bila dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."

Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, lalu melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun mulai menangis sesenggukan.

"Ahhh, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.

Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat-cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."

"Ehh, kenapa begitu, Suhu?"

"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."

Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek itu meloncat-loncat mendekati batu dari dia pun mengikuti.

"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambutku dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya lalu kupergunakan untuk membuat terowongan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari engkau bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."

Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, serta mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar sangat aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.

"Ciu Sute...!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.

"Yo Han...!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya.

Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok telah mendahului. "Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"

"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suheng-mu sendiri?"

"Ha-ha-ha, sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi di antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun untuk membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, meski engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"

Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.

"Suheng, muridmu pasti sudah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng!"

"Jangan, Sute. Dia bukan pembual. Kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."

"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"

"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."

Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko sangat keji dan jahat. Maka kini dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara.

Ciu Lam Hok memberi isyarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu. Dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser sehingga nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isyarat untuk berhenti, kemudian dia tertawa.

"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau tidak takut, kenapa tidak kalian berdua saja turun ke sini supaya kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan.

Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Bila tidak ditahan oleh suheng-nya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sute-nya itu. Dulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suheng-nya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, kini sute-nya itu sudah menjadi manusia tapa daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?

"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Dari pada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."

"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"

"Yo Han? Ahhh, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."

Tidak lama kemudian dua orang tokoh besar dari Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, juga melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir mereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!

Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka menggeser kembali batu sebesar gajah agar menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah.

Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.

"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"

"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biar pun kaki tangannya sudah buntung, akan tetapi dengan Bu-kek Hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimana pun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."

Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suheng-nya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup dengan batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang.

Puluhan orang anggota Thian-li-pang sekali ini mendapatkan perkenan untuk memasuki goa sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk bergemuruh.

Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh baru seluruh sumur itu dapat ditutup. Meski orang memiliki kepandaian seperti dewa sekali pun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter lebih itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.

Yo Han mengikuti kakek buntung itu merangkak melalui terowongan kecil, dan ternyata panjang terowongan itu hanya belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun!

Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walau pun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya.

Keadaan dalam ruangan di dasar sumur ini bahkan lebih baik dari pada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.

“Ahh, apakah itu, Suhu?”

“Ha-ha-ha, mereka sedang menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana.”

Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang bisa berbuat demikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap muridnya sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang-I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira bahwa orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang bisa bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!

"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, hanya dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukanlah dengan hati-hati, jangan sampai engkau ketahuan orang-orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari supaya tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau tanah ini kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan oleh orang di atas."

"Suhu, mengapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita dapat mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."

"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku takkan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman dari pada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanyalah Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apa lagi di sini, tiada seorang pun yang tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."

Pemuda remaja itu nampak agak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"

"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"

"Tapi... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"

"Hushh! Siapa suruh engkau minta-minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Mengerti? Sekali saja engkau memperlihatkan diri, maka celakalah kita. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."

"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andai kata membeli pun, mereka akan melihatku. Apa lagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"

"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan sangat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."

Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat dari pada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu..."

Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.

"Waduh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kau perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kau tinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Cara ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu.”

Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu. "Kau lihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"

Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam goa itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.

"Apakah ini, Suhu?"

"Emas."

"Emas? Benarkah?" Yo Han terbelalak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, kemudian menoleh ke arah dinding.

"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apa lagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kau kehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar dengan sebuah batu emas itu. Kau tinggalkan saja salah sebuah di tempat engkau mengambil barang, dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia telah mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri, kan?"

Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.

"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."

"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun, gunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan rasa lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."

Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sinkang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ!

Perlahan-lahan dan dengan hati-hati ia mulai merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han sudah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan ‘tarian cecak’ ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang.

Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mukjijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apa lagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya.

Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah goa yang kecil. Mulut goa nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya.

Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh sangat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tidak mungkin ada orang memasuki terowongan goa yang demikian sempitnya, dan andai kata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan segera kembali keluar setelah melihat bahwa goa terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!

Lebih baik lagi, mulut goa kecil itu tertutup rapat oleh semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut goa, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya.

Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati dan mengingat tempat itu supaya tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, sebab nampak genteng banyak rumah.

Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.

Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang dan menuju dapur. Ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu.

Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai karung terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok, piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.

Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.

Ia kembali ke dalam goa kecil membawa dua buah karung. Ia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko ketika menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia pun meninggalkan potongan batu emas di meja di mana dia mengambil pakaian.

Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua buah karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apa lagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.

"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirimkan Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya.

Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap.

Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Walau pun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulutnya, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan. Dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.

"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."

"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dan bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dahulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."

"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dengan nada suara yang terdengar tegas dan mantap.

Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang baik, apakah yang baru kau ucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"

"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasehatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, selalu menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh serta saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andai kata sejak kecil ibuku tidak pandai silat seperti ayahku, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"

"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Jika ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"

Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan bersungguh-sungguh. "Kenapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati pun ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?”

"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Bila Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak ada seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tanpa ada yang mengganggu pun ia akan mati sendiri, ha-ha-ha!"

Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu lagi membantah kebenaran itu.

“Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi tentu saja mereka itu tewas hanya karena Tuhan telah menghendaki mereka mati. Andai Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa!”

Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala. "Bagaimana pun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"

"Jahat? Ha-ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang yang kau bawa turun itu! Lihatlah barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"

Yo Han memandang gurunya dengan heran dan dia cepat menjawab. "Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu bisa kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat perabot dari kayu dan sebagainya."

Kembali kakek itu tertawa. "Lalu bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Jahat atau baikkah kedua tanganmu itu?"

Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."

"Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, lalu gunting itu untuk menusuk perut orang, pisau untuk menyayat leher orang, dan jarum untuk disambitkan menyerang lawan, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"

Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi... tapi..."

"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"

"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.



Si bangau merah


"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Jika engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi bukan benda-benda itu yang menentukan, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik bila sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang disembunyikan di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti tanganmu, dapat digunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, juga bisa digunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"

Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya. "Kini aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada di dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Ada pun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"

"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya jika batinnya sudah kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."

"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"

"Nah, sekarang kita kembali pada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Jika ilmu silat tidak digunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Tetapi setelah digunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat digunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu silat itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Kenapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain itu juga untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Ilmu silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian, kesehatan, bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!”

Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasehat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya ketika ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.

Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subo-nya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subo-nya itu. Suhu dan subo-nya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.

Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa. Bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.

Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu. “Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya.”

"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, sejak saat ini engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan? Terutama sekali Bu-kek Hoat-keng?"

Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan kelak teecu akan mendapat bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."

"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."

Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu sama sekali tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biar pun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan.

Namun Yo Han belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apa lagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu ‘tari’ dan ‘senam’ yang sebenarnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong. Juga sebelum itu dia sudah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subo-nya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walau pun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.


                   ****************


Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.

Meski pun lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa, oleh karena mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan bisa memperkuat Thian-li-pang, akan tetapi mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati.

Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga turut hadir dalam pertemuan puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang telah bekerja sama dengan mereka, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu.

Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang telah mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara empat partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Pembunuhan atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Pao-teng juga adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu.

Dan surat yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu terang menyatakan bahwa kini permusuhan di antara partai-partai persilatan itu telah mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Belum lama ini Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang para tokoh dari dunia persilatan sebagai tamunya, termasuk pula empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai serta Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu amat menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakilnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati.

Kao Cin Liong menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biar pun sebelum meninggal Thian Kwan Hwesio mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-pai, namun dia merasa curiga dan tidak percaya. Apa lagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai menyangkal.

Kao Cin Liong bercerita mengenai luka beracun akibat racun ular hitam yang biasanya hanya digunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati semua utusan partai persilatan besar itu mendatangkan kesan mendalam, apa lagi ketika Suma Ceng Liong yang namanya sudah sangat terkenal dan amat disegani semua orang turut menyatakan pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Cuwi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta bersikap gagah dan bijaksana. Karena itulah, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah mendengar tentang peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) juga sependapat dengan saya bahwa peristiwa itu sungguh patut dicurigai. Amat mudah dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga yang agaknya sengaja ingin mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, mau pun pembunuh Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apa bila Cuwi tidak menghentikan permusuhan antara saudara sendiri, itu berarti Cuwi dengan mudah dapat dipermainkan oleh pihak ke tiga yang mengadu domba."

Semua orang mengangguk, mereka menyatakan setuju dengan pendapat dari pendekar yang sangat mereka hormati itu. Diam-diam mereka pun menduga-duga, siapa kiranya yang amat berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai persilatan.

Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja pemerintah Kerajaan Mancu yang tentu ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan menjadi hancur atau lemah sendiri supaya tidak membahayakan pemerintah lagi. Akan tetapi Kao Cin Liong menggelengkan kepala.

"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, walau pun dia seorang Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja memiliki kelemahan-kelemahan, sejak muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun sangat cerdik, maka saya tidak percaya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan membuat kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa pihak ke tiga itu bukan pemerintah. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan malah membahayakannya."

Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang mengadu dombakan mereka? Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.

"Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua murid harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tiada permusuhan sehingga dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keuntungan. Pertama, kita telah menggagalkan niat busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu, kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita ketahui siapa dan kelak kita bersama-sama mengambil tindakan terhadap mereka."

Kembali semua orang setuju dan pertemuan itu lalu benar-benar menjadi sebuah pesta yang menggembirakan di mana para wakil empat partai persilatan itu dapat berbincang-bincang dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.

Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang kini melaporkan semua peristiwa itu kepada pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi sangat kecewa.

"Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang sambil mengepal tinju. "Dia dapat melarikan diri ke atas rumah keluarga Kao Cin Liong sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat yang telah kita atur sebaiknya."

"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Tetapi kini mereka tidak saling bermusuhan lagi, bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba. Semua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong."

"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.

"Hemmm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja, kini berkata dan semua orang memandang kakek itu.

Semua orang di situ takut dan menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam goa tempat pertapaannya itu. Hanya untuk urusan yang amat penting saja dia mau bertemu dengan pimpinan Thian-li-pang seperti sekarang ini.

"Apakah kalian belum tahu siapa Kao Cin Liong itu? Dia keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Jadi, kalau kita memusuhi mereka, kedua keluarga itu akan dapat mendatangkan kegagalan pada kita, bahkan mungkin kehancuran. Kita akan membentur batu karang jika memusuhi mereka. Dan pula, apa untungnya memusuhi mereka? Tujuan kita hanya satu, menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"

Semua orang saling pandang dan berdiam diri. Memang tepat apa yang dikatakan datuk dari Thian-li-pang itu.

"Siancai...!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara empat partai itu dengan kerajaan! Oleh karena itu, sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."

Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.

"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita sudah kehilangan murid kita yang terbaik, Ciang Sun yang tewas karena gagal membunuh Kaisar Kian Liong."

"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para pangeran yang dapat menggantikannya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat menggunakan racun. Akan tetapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan dengan Pangeran Kian Ban Kok harus lebih dipererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau pun harus menunggu bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali bergerak harus berhasil."

"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thian-te Tok-ong itu memang tepat. Kami dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap bergerak kalau sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan yang kasar dulu, agar tidak mengejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga," kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.

Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat bahwa untuk sementara tidak akan melakukan gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, tetapi menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam istana, menghubungi kembali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian Ban Kok, dan menyusun kekuatan.

ANAK perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat dengan gaya yang indah tetapi gagah. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita warna kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, kedua utas kuncir itu pun ikut bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir itu seperti terbang ke atas kepala.

Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, bagaikan gerakan seekor burung bangau merah. Dia adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang.

Tan Sian Li kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di pipinya selalu nampak.

Ia sedang memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum ‘mengisi’ tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu.

Anaknya masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan yang amat dahsyat itu. Sekarang, anaknya hanya mempelajari dan menguasai gerakannya saja, dan kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap.

Selain ilmu silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Dia juga sudah mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.

Biar pun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat bukan main. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya.

Ketika dia menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya, Kao Hong Li. "Ada tamu yang datang, kalian hentikan dahulu latihan itu, dan mari keluar menyambut tamu!"

Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapakah yang datang berkunjung?"

"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."

Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tadi tamu itu dipersilakan duduk. Saat mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan berjenggot panjang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan.

Orang itu sudah mengangkat kedua tangan di depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu kemudian mempersilakan tamunya duduk.

"Sian Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan mengeluarkan minuman untuk tamu kita."

Tamu itu cepat menggerakkan tangannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena urusan ini justru menyangkut diri Siocia (Nona)."

Sin Hong memandang tamu itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walau pun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.

Melihat tuan rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.

Membaca surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya. "Ahh, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"

Sin Hong lalu memandang kepada tamu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah Toako yang telah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan amat ramah. "Harap sampaikan saja pada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."

Tamu itu dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.

Sian Li sendiri tadinya hampir menolak ketika diberi tahu bahwa ia akan diberi pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah ibunya, apa lagi ketika mendengar bahwa dia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja, ia pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.

Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.

Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu akan bermalam di kota ini.

Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.

Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki kota Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan sudah penuh tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.

"Ahh, kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mulai mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar memang sudah penuh.

"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita juga dapat menumpang di rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."

"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih ada kamar di sana," kata Sin Hong.

Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergantung di depan. Hotel itu bernama ‘Thai Li-koan’ (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.

"Maaf, Tuan, semua kamar sudah penuh. Malam ini semua kamar sudah diborong oleh Ouw-ciangkun dari kota raja."

"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li penasaran.

Pelayan itu mengangguk. "Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, yaitu kamar-kamar besar sudah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga prajurit pengawal."

"Tapi, yang disewa kan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian Li berkata. "Kan masih ada banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"

Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian serba merah ini memang manis sekali.

"Memang ada, Nona, tapi... ahhh, banyak yang sudah pesan lebih dulu..."

Hong Li yang amat cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata, "Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, maka kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar.

Melihat mengkilapnya perak itu, sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke kanan kiri, lalu menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.

"Marilah, Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biar pun sudah banyak pemesan, akan tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada kalian."

Mereka memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan lalu mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga. Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja untuk keluar masuk.

Ketika mereka masuk, mereka melihat ada banyak prajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada prajurit yang sempat menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.

"Ingat, selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, dan juga tidak boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Prajurit pengawal kepada mereka.

Setelah mendapat kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa kamarnya pun mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di rumah-rumah penginapan biasa.

Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.

Walau pun malam telah tiba, akan tetapi taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.

"Sian Li, jangan berlari-lari...!" kata ibunya sambil mengejar.

Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolonggg...!"

Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu. Ia melihat puterinya tengah didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu sangat kuat sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li lantas maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, jika tidak, bagaimana puterinya yang sudah memiliki kelincahan dan ilmu yang lumayan itu demikian mudah ditangkap?

"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar muka hitam.

Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah, manis, kulepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."

"Jahanam busuk...!" Hong Li membentak marah.

Begitu orang itu melepaskan Sian Li dan mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan dia pun menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tak ingin mencari keributan, dan tidak ingin membunuh orang, tapi hanya ingin menghajarnya saja, maka nyonya muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan mempergunakan jurus dari Sin-liong Ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Melihat nyonya muda yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan Hong Li.

"Plak-plak-dukk...!"

Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga melalui telapak tangan yang didorongkan. Akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang.

Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya amat nyeri dan tadi, ketika telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai terdorong ke belakang. Marahlah dia. Segera dia mencabut golok dari pinggangnya.

"Berani engkau menyerangku?" bentak Si Muka Hitam dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya.

Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya. Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.

"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya lembut namun penuh wibawa.

Aneh sekali. Mendengar teriakan lembut ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu segera menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh sambil menjawab, suaranya penuh kepatuhan.

"Baik..., baik... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.

Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas pintu dan wajahnya nampak jelas olehnya. Ang-I Moli! Dia masih mengenal wanita yang pakaiannya serba merah itu! Ang-I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu? Dan di mana adanya Yo Han? Apakah masih bersama iblis betina itu? Hong Li merasa betapa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Ia sudah melupakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang memenuhi pikirannya sekarang hanyalah Ang-I Moli.

"Ibu, perempuan itu adalah Ang-I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menyadarkannya dari lamunan. "Mari kita kejar Ibu!"

Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya menyambar pundaknya.

"Sstt, jangan, Sian Li."

"Ehh? Kenapa, Ibu? Pertama, laki-laki tadi harus Ibu beri hajaran, supaya dia bertobat. Dan Ang-I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han? Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"

"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Mari kita beri tahu ayah, engkau jangan membuat ribut. Ingat, mereka itu mempunyai banyak kawan, bahkan ada pula seorang panglima yang mempunyai banyak prajurit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke kamar mereka.

Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan puterinya yang demikian tegang. "Ada terjadi apakah?" tanyanya.

"Ayah, Ang-I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li.

Tentu saja ayahnya terkejut mendengar pemberi tahuan ini. Tetapi Hong Li memberi isyarat agar puterinya menutup mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap kurang ajar dan ketika ia hendak menghajarnya, muncul Ang-I Moli yang memanggil Si Muka Hitam itu.

Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran, apakah Yo Han juga berada di sini?"

"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah menurut pelayan tadi, pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya malam ini? Dan Ang-I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menjadi tamu pula."

"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting apakah Yo Han juga ikut dengannya di sini? Kita harus menyelidikinya. Aku selama ini merasa berdosa kepada mendiang ayah ibunya..."

"Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.

"Aku ikut!" kata Sian Li penuh semangat.

"Tidak boleh, Sian Li," berkata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Engkau lihat, baru Si Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apa lagi Ang-I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."

"Dan menyelidiki apakah Yo Han berada pula di hotel ini," sambung ayahnya.

Walau pun hatinya merasa kecewa, namun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang ditemuinya di taman tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia sudah dapat ditangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali.

Apa lagi jika suheng-nya, Yo Han, juga berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan suheng-nya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.

Dari depan kamar mereka yang berada di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu sedang mengadakan pesta.

"Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya? Jangan keluar, apa lagi meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."

"Baik, Ayah," kata Sian Li.

"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali. Dan jangan sekali-kali engkau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para prajurit pengawal," pesan ibunya.

Sian Li mengangguk. Di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya Ang-I Moli mengingatkan ia akan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia masih kecil, delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus mengingatkan ia kepada suheng-nya, Yo Han yang pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suheng-nya itu pergi meninggalkan keluarga ayahnya karena dibawa oleh wanita iblis itu.

Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah suheng-nya itu. Sang waktu telah menelan segalanya, juga kedukaannya karena ditinggalkan suheng-nya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bahwa suheng-nya itu amat baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.

Sementara itu, Tan Sin Hong bersama Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. Dengan perlindungan kegelapan malam, mereka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun di samping rumah, kemudian dengan gerakan yang ringan bagaikan dua ekor burung walet, mereka melompat ke atas pohon dan setelah mengintai dari pohon dan tidak melihat adanya penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng.

Gerakan mereka begitu ringan sehingga tak menimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu, keduanya mendekam dan dengan hati-hati mereka memandang ke sekeliling. Hati mereka amat lega melihat bahwa para prajurit pengawal hanya menjaga di sekitar rumah itu, di bawah. Tentu saja tak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran seorang panglima kerajaan di hotel itu!

Ruangan tengah hotel itu dikepung prajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat suatu kegembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit.

Sudah terlalu lama mereka tidak mengalami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih bertualang sebagai pendekar dan sering kali menghadapi lawan-lawan tangguh dalam keadaan yang menegangkan seperti sekarang.

Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, lalu merayap pada genteng di atas ruangan itu dan mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wuwungan di kanan kiri yang lebih tinggi sehingga dengan rebah menelungkup, mereka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.

Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena sudah diberi tambahan penerangan. Terdapat beberapa buah meja yang diatur di tengah ruangan, berderet memanjang. Di kepala meja duduklah seorang berpakaian panglima.

Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka berpakaian seperti tosu.

Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, apa lagi pada waktu mereka mengenal adanya Ang-I Moli di antara mereka, dan mengenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main.

Sepanjang pengetahuan mereka, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, meski terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Lalu, bagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima kerajaan?

"Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana..." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk.

Mereka tahu bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Peklian-kauw dan Thian-li-pang bukanlah hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang-I Moli seorang saja sudah bukan merupakan lawan yang ringan, apa lagi masih ada para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh.


Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ. Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil ketuanya sampai ikut hadir juga, berarti pertemuan itu tentu penting sekali, pikir Sin Hong. Keingin tahuannya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini sedang dijamu oleh seorang panglima muda Kerajaan Mancu!

Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apa lagi di situ masih terdapat pasukan anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri mereka yang tentunya membutuhkan perlindungan.

"Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.

Panglima itu tertawa. "Aihh, Susiok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya penjagaan kami? Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling ruangan ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku. Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu ialah murid keponakan dari adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

Kiranya Thian-li-pang kini telah berhasil menyelundupkan seorang anggotanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana sebab melihat pakaiannya, panglima dan pasukannya itu termasuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh keadaan yang berbahaya sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!

Memang dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki, putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian ayahnya, seorang yang gagah dan berani, juga cerdik sekali.

Saat Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai persilatan besar karena campur tangan keluarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan para pimpinan dari empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan mereka mencari jalan lain. Kembali mereka menghubungi Siang Hong-houw (Permaisuri Harum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka hingga memungkinkan mereka untuk menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang panglima muda pasukan pengawal istana!

Siang Hong-houw masih mendendam pada Kerajaan Mancu yang telah menghancurkan suku bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang, dengan janji bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan membunuh suaminya, Kaisar Kian Liong, seperti yang dahulu pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang berusaha membunuh Kaisar itu tetapi dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang menyanggupi, hanya mengatakan bahwa penyelundupan orang-orang.

Thian-li-pang ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk memata-matai semua siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan mereka apa bila tiba waktunya untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah Mancu.

Demikianlah, karena kepandaiannya membawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan Ouw Ciangkun itu sebentar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang telah diatur oleh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun sudah ‘membuat jasa’ dengan membasmi gerombolan penjahat yang seakan-akan sengaja diumpankan oleh dua perkumpulan pemberontak itu. Karena jasa-jasanya itulah maka Kaisar Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para panglima, berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.

Karena sudah mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah ia berani mengadakan kontak dengan Thian-li-pang.

Demikianlah, pada malam hari itu, dengan dalih berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki mengadakan pertemuan rahasia di hotel besar itu dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Meski pun yang hadir di ruangan dalam hotel itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang berilmu tinggi, tapi karena mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang berani mengganggu pertemuan itu, maka mereka menjadi teledor dan kurang teliti. Mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang telinga ikut melihat dan mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!

"Saya mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merundingkan kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak melaporkan bahwa segalanya berjalan dengan lancar dan sekarang sudah terbuka kesempatan yang amat baik bagi kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran yang kini menjadi saingan bagi Pangeran Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.

"Coba jelaskan, bagaimana kesempatan itu? Kita harus bertindak hati-hati dan sekali ini, begitu bertindak kita harus berhasil," kata Ang-I Moli.

Ang-I Moli bersama dua orang tosu itu, yaitu Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Ang-I Moli ini, semua orang memandang kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga ingin sekali mendengar jawabannya.

"Kesempatan ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Nanti pada tanggal lima belas bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak menjamu semua pangeran dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang tahunnya dan menikmati musim bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan itulah seluruh pangeran berkumpul di sana dan mereka akan berpesta pada saat yang sama."

"Bagus!" Lauw Kang Hui berseru girang. "Kalau semua lalat itu sudah berkumpul, sekali tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"

"Lauw-pangcu, engkau hendak menggunakan kekerasan dan menyerang ke taman itu?" Ang-I Moli bertanya sambil mengerutkan alisnya.

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh untuk mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw untuk tidak menggunakan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan kami agar supaya jangan melanggar janji. Lagi pula, biar pun Ouw Cun Ki telah berhasil menghimpun satu regu pasukan pengawal pribadinya yang terdiri dari orang-orang kita sendiri, akan tetapi apa artinya seregu pasukan dalam istana jika menghadapi pasukan pengawal yang sangat besar jumlahnya? Tidak, kami akan mempergunakan jalan yang paling halus, dan untuk ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."

"Hemm, Lauw Pangcu, apa yang dapat kami bantu?" berkata Kwi Thian-cu. "Bukankah Pangcu akan menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu melalui hidangan? Nah, kalau mengenai racun, siapa yang akan mampu menandingi para Locianpwe di Thian-li-pang seperti Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)? Apa pula yang dapat kami lakukan untuk membantu kalian?”

"Totiang (Bapak Pendeta) harap jangan salah menyangka. Memang kami sendiri sudah mempersiapkan racun yang sangat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila dicampurkan arak. Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan seorang wanita yang cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya seorang Ang-I Moli saja yang akan mampu melakukannya, yaitu menjadi kepala pelayan dari Siang Hong-houw, membantu dalam pesta itu, bahkan yang bertugas menuangkan arak dalam cawan para pangeran. Nah, pada kesempatan menuangkan arak itulah dapat digunakan Moli untuk mencampurkan racun kami. Siapa lagi yang akan mampu melakukannya kalau bukan Ang-I Moli?"

"Aihh, Lauw Pangcu. Bagaimana mungkin aku dapat melakukan tugas yang berbahaya sekali itu? Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagai mana aku akan mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, apakah Ang-I Moli yang terkenal amat pandai dan lihai itu sekarang merasa takut?"

"Lauw Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut kepada siapa pun juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai perhitungan, dengan mata terpejam saja memasuki sarang singa dan mati konyol!" bantah Ang-I Moli dengan muka menjadi merah.

Ouw Cun Ki segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang-I Moli tidak menyalah artikan maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang sudah kami atur dan rencanakan sebelumnya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan, agar Siang Hong-houw suka menerima Bibi menjadi kepala pelayan sehingga Bibi tidak akan dicurigai siapa pun juga ketika melayani penuangan arak untuk para pangeran. Selain itu, juga saya akan mengerahkan pengawal untuk berjaga di taman itu, yang sebetulnya merupakan pengepungan untuk mencegah campur tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan takkan gagal, hanya membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk mencampurkan bubuk racun itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok. Selain bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw untuk suka menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan pada saat pesta itu terjadi, agar para Locianpwe dari Pek-lian-kauw bisa mengarahkan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi para pangeran sehingga mereka akan tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak bercuriga."

Ang-I Moli mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka bekerja sama. Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi."

"Sebab itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perundingan di sini. Memang sebaiknya jika besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke istana dan diterima oleh Siang Hong-houw. Ada pun para Locianpwe yang akan menyamar sebagai anggota pengawal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun bisa saja."

Mendengar percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran dalam sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali ke kamar mereka di belakang. Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih menunggu kembalinya ayah bundanya.

"Bagaimana, Ayah? Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) juga berada di dalam sana?" Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.

Sin Hong menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian serius, Sian Li segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"

Sin Hong dan Hong Li sudah sepakat untuk memberi tahu puteri mereka. Sian Li bukan anak kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah dapat mengetahui keadaan.

“Sian Li, telah terjadi hal yang amat penting.” Hong Li lalu menceritakan dengan suara lirih tentang segala yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita ibunya, Sian Li mengerutkan alisnya.

“Aih, kalau begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!” serunya khawatir. “Lalu apa yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?”

“Engkau tahu betapa gawatnya keadaan, Sian Li,” kata Sin Hong dengan sikap serius.

“Ibu dan ayahmu harus cepat melakukan usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan di istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dahulu, agar gerakan kami tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami menghadapi lawan-lawan yang amat jahat dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau engkau bersembunyi dulu di sini sampai kami kembali.”

Sian Li mengangguk-angguk. Ia maklum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tak akan leluasa bergerak. Apa lagi kalau sampai terjadi bentrokan, dia tidak akan dapat membantu bahkan menjadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat lihai, merupakan datuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu orang tuanya.

“Akan tetapi, sebaiknya engkau bersembunyi saja di kamar, anakku. Dan kalau engkau membutuhkan makan minum, pesan saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke sini. Jangan engkau bepergian keluar.”

“Baiklah, Ibu. Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?”

“Benar, kami harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi. Bagai mana pun juga, besok pagi-pagi kami tentu sudah pulang,” kata Sin Hong.

“Andai kata urusan ini belum selesai pun kami tentu akan kembali ke sini dahulu untuk menjengukmu, Sian Li,” kata Hong Li.

“Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali.”

Setelah sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan jangan keluar dari kamar, suami isteri pendekar itu kemudian pergi meninggalkan rumah penginapan, menggunakan kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain yang melihat mereka meninggalkan tempat itu.


                 ***************


Tentu saja para prajurit yang menjaga di gardu penjagaan depan rumah gedung tempat tinggal Panglima Liu merasa curiga ketika Sin Hong dan Hong Li minta agar mereka melapor kepada panglima itu bahwa suami isteri itu minta menghadap Liu Tai-ciangkun, Malam sudah larut. Bagaimana mungkin mereka berani mengganggu atasan mereka yang sedang tidur?

Liu Tai-ciangkun adalah seorang panglima tua, berusia enam puluh tiga tahun, dan yang dikenal oleh hampir semua pendekar. Panglima ini terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan adil. Juga dia dapat menghargai para pendekar, bahkan sering kali dia mengulurkan tangan mengajak kerja sama dengan para pendekar untuk mengamankan negara dari gangguan para penjahat.

Karena hal inilah maka Sin Hong mengajak isterinya untuk malam-malam menghadap panglima itu. Kiranya hanya panglima itu yang dapat mereka harapkan untuk mengatasi kemelut di istana itu, untuk menghadapi Ouw Ciangkun, murid keponakan wakil ketua Thian-li-pang yang berhasil menyelundup menjadi perwira pasukan pengawal istana.

Akan tetapi, mereka kini berhadapan dengan lima orang prajurit penjaga yang berkeras tidak dapat menerima tamu pada malam-malam begitu.

“Kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) mempunyai kepentingan dengan Liu Tai-ciangkun, sebaiknya supaya Jiwi kembali besok saja. Malam-malam begini, bagaimana panglima dapat menerima tamu? Beliau tentu sudah tidur dan kami tidak berani lancang untuk mengganggunya,” kata kepala jaga.

“Hemm, kalian tidak mengenal kami,” bentak Hong Li yang berwatak keras. “Kalau Liu Tai-ciangkun mendengar bahwa kami yang datang, dia tentu akan cepat-cepat keluar menyambut!”

Para penjaga mengerutkan alisnya, dan Sin Hong yang selalu berwatak sabar dan lemah lembut, cepat maju memberi hormat kepada mereka. “Harap saudara sekalian memaafkan isteriku. Tetapi sungguh, kami mempunyai urusan yang teramat penting yang harus kami sampaikan kepada Liu Tai-ciangkun sekarang juga.”

Para penjaga itu sudah merasa tidak senang dengan sikap keras Kao Hong Li tadi, maka kepala jaga itu sambil memandang kepada nyonya muda yang cantik dan galak itu, bertanya, “Sebetulnya, siapakah Jiwi? Kami sama sekali tidak mengenal Jiwi, dan apa keperluannya? Karena kami belum mengenal Jiwi, bagaimana kami dapat percaya kepada Jiwi?”

“Hemm, kalian ingin mengenal kami? Nah, jagalah baik-baik!” kata Hong Li dan sebelum suaminya mencegah, nyonya muda itu sudah bergerak cepat sekali menyerang dengan totokan-totokan. Tangannya bergerak cepat bukan main dan tubuhnya berkelebatan di antara lima orang penjaga itu.

Para penjaga tentu saja berusaha untuk mengelak, menangkis, bahkan balas memukul. Namun, tanpa mereka ketahui bagaimana, tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi lemas dan mereka terkulai roboh satu demi satu tanpa mampu bangkit kembali!

“Nah, kalian lihatlah. Apa sukarnya bagi kami untuk langsung saja mencari sendiri Liu Tai-ciangkun ke dalam? Akan tetapi kami tidak mau melakukan itu. Kami menggunakan tata cara dan sopan santun, akan tetapi kalian malah menolak kami! Kalian mau tahu siapa kami? Katakan saja pada Liu Tai-ciangkun bahwa yang datang adalah Pendekar Bangau Putih dan isterinya, puteri pendekar Kao Cin Liong!”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat sekali, tangan Hong Li bergerak membebaskan totokannya kepada lima orang penjaga itu.

Kini lima orang itu yang tadi terkejut, tidak banyak tingkah lagi. Mereka bukan saja berkenalan dengan kelihaian nyonya muda itu, akan tetapi mendengar nama Pendekar Bangau Putih dan puteri bekas Jenderal Kao Cin Liong, mereka sudah menjadi tunduk dan tanpa banyak cakap lagi, kepala jaga cepat-cepat berlari masuk untuk melapor, biar pun untuk itu terpaksa dia harus mengetuk pintu kamar tidur Sang Panglima, suatu hal yang dalam keadaan biasa, biar bagaimana pun juga takkan berani dia melakukannya!

Tak lama kemudian kepala jaga itu kembali. Dengan sikap hormat dia mempersilakan suami isteri pendekar itu untuk memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri bangunan.

Pada saat Sin Hong dan Hong Li tiba di rumah yang lebar itu, mereka mendapatkan Liu Tai-ciangkun sudah duduk menanti. Nampak panglima tua itu baru bangun tidur, bahkan agaknya dia mengenakan pakaian pengganti baju tidur secara tergesa-gesa, rambutnya juga nampak kusut.

Mereka saling memberi hormat, dan panglima itu bangkit dengan wajah berseri-seri.

“Tai-ciangkun, mohon maaf sebesarnya kalau kami sudah mengganggu Ciangkun dari tidur,” kata Sin Hong dengan sikap hormat.

“Ah, tidak apa-apa, Taihiap dan Lihiap. Silakan duduk!” kata panglima itu dengan ramah sambil mempersilakan mereka untuk duduk di kursi-kursi yang sudah diatur berhadapan dengan dia, hanya terhalang meja besar. “Kalau Jiwi malam-malam begini menemuiku, sudah pasti Jiwi membawa urusan yang teramat penting. Nah, para pengawal sengaja kularang mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah apa kepentingan itu!” Sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang pembesar tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.

Sin Hong kemudian menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan isterinya ketika mereka mengintai dan mendengarkan percakapan di antara para tokoh dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun, perwira pasukan pengawal istana.

Mendengar laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah bukan main, di samping juga sangat terkejut. “Aku sudah meragukan perwira muda itu! Dia terlalu cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda sendiri! Kiranya para pemberontak itu diam-diam mempergunakan pengaruh Siang Hong-houw. Sungguh berbahaya sekali. Sekarang juga aku harus mengerahkan satu pasukan untuk menangkap semua pengkhianat dan pemberontak itu!” Panglima itu bangkit berdiri.

“Maaf, Tai-ciangkun. Kukira itu bukanlah tindakan yang tepat dan bijaksana!” kata Kao Hong Li.

Panglima itu mengerutkan alisnya, kemudian menghadapi wanita itu dengan sinar mata penasaran. “Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan Lihiap mengatakan tidak tepat dan tidak bijaksana? Apa maksud Lihiap?”

“Tai-ciangkun, mereka kini berada di rumah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau Ciangkun mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat, tentu mereka sudah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun pasti akan terlambat,” kata Hong Li.

“Pula, di tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat, mereka memiliki banyak orang yang lihai!” kata pula Sin Hong.

“Andai kata Ciangkun tidak terlambat dan dapat menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun untuk menuntut mereka semua? Tak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya mendengar laporan kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan dijadikan bukti? Ingat, Ouw-ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang Hong-houw yang tentu akan melindungi Ouw-ciangkun?”

Mendengarkan ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba jenggotnya dan dia pun mengangguk-angguk. “Benar sekali apa yang Jiwi katakan. Untung Jiwi mengingatkan aku sehingga tidak bertindak secara tergesa dan gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Maaf, Ciangkun,” kata Hong Li. “Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat pula. Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka lengah. Namun diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana mereka itu, untuk menggagalkan rencana jahat mereka. Tanggal lima belas kurang tiga hari lagi, masih ada waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur siasat.”

“Kalau Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, akan ada dua keuntungan. Pertama, Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan pengawal yang dipimpin Ouw-ciangkun di samping menangkap Ang-I Moli yang hendak meracuni cawan para pangeran. Dan ke dua, penyergapan itu pasti berhasil baik karena penjahat-penjahat itu telah terkurung di lingkungan istana, bagaimana mereka akan mampu lolos?” kata Sin Hong.

Panglima itu mengangguk-angguk “Bagus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Jiwi baik sekali!”

Panglima itu lalu berunding dengan mereka. Dia akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk diam-diam mengepung taman itu pada waktu pesta ulang tahun Siang Hong-houw berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan dapat tertangkap semua.

"Akan tetapi, kami sangat membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu berbahaya. Keselamatan nyawa para pangeran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri tadi, Ang-I Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan meracuni cawan arak para pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang membantu kami untuk melindungi para pangeran dan mencegah perbuatan Ang-I Moli itu. Demi kepentingan negara, kami mohon Jiwi tidak menolak dan jangan kepalang membantu kami dalam menyelamatkan para pangeran dan mencegah terjadinya perbuatan yang amat keji dan jahat.”

Suami isteri itu saling pandang. Memang tidak semestinya kalau mereka membantu setengah-setengah. Apa lagi mereka tahu bahwa bantuan mereka bukan berarti mereka berpihak kepada Kerajaan Mancu semata, tetapi terutama sekali menentang golongan sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.

“Baiklah, Tai-ciangkun,” kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. “Kami akan membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami yang sekarang masih berada di kamar rumah penginapan itu, maka kami akan menjemputnya lebih dahulu dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin menitipkan anak kami di rumah Ciangkun agar keselamatannya terjamin.”

“Ah, kenapa tidak Jiwi bawa sekalian sejak tadi? Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi bersama puteri Jiwi.”

Sin Hong dan Hong Li segera berpamit untuk kembali ke Heng-tai yang jauhnya belasan li dari benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedungnya itu. Panglima itu lalu mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan ketika melihat betapa panglima itu amat menghormati mereka, para prajurit penjaga juga memberi hormat secara militer seolah suami isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat tinggi.

Malam telah berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali di kota Heng-tai. Mereka langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walau pun masih ada prajurit pengawal yang menjaga. Agaknya rapat itu sudah selesai dan kini para tokoh sesat itu entah bersembunyi di mana.

Sin Hong dan Hong Li segera menyelinap dan bersembunyi ketika tiba di belakang hotel itu dan dapat melihat kesibukan di antara para prajurit pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu......























Terima kasih telah membaca Serial ini



No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12