Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 05
WAKTU itu
malam hampir tiba dan di dalam goa sudah mulai gelap. Namun, berkat kebiasaan,
mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki ketajaman mata yang
dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.
"Yo
Han, apa engkau sudah gila? Kau lihat sendiri, kalau engkau tak pandai
mengelak, tentu engkau sudah mampus diserang Ang-I Moli. Mengapa engkau tetap
tidak mau menerima pelajaran silat dariku? Aku akan membuat engkau orang yang
paling pandai di kolong langit ini."
"Tidak,
Suhu. Teecu tetap takkan mau belajar memukul orang. Untuk apa? Teecu tidak akan
memukul orang, apa lagi membunuh orang. Hidup ini bukan berarti harus saling
bermusuhan dan saling bunuh."
"Tolol!
Kau kira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"
“Teecu tetap
tidak mau! Semenjak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga
tewas hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau dulu mereka tidak pandai
silat, tidak mungkin mereka itu mati muda."
"Huh!
Hal itu terjadi karena ilmu silat mereka masih rendah, masih mentah! Sudahlah,
tidak perlu banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan
kuperlihatkan bukti-bukti kepadamu!"
Sebelum Yo
Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram oleh gurunya
dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar
biasa. Diam-diam dia merasa kagum. Gurunya ini bukan manusia agaknya. Hanya
iblis yang dapat bergerak seperti itu!
Akan tetapi
dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah bukit, menuruni
jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah
terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai disertai gelak tawa
di antara suara tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.
"Suhu,
apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.
Thian-te
Tok-ong melepaskan muridnya, kemudian membiarkan muridnya itu menuntun
tongkatnya, diajaknya memasuki dusun itu.
"Tidak
perlu banyak bertanya dan kau lihatlah saja sendiri," katanya.
Setelah
mereka memasuki dusun, mendadak kakek itu memegang lengan Yo Han dan membawanya
loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang
sedang terjadi di bawah.
Yo Han
terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Dia melihat peristiwa yang
mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat ia merasa ngeri bukan
main. Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan,
membantai orang-orang dusun yang sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.
Ada pula
yang memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya,
menciuminya dan memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga
dari dalam rumah. Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang
menyerang dusun itu dengan kejam sekali.
Hampir saja
Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun
dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat meloncat dari tempat
setinggi itu tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han
lari ke dusun itu.
"Manusia-manusia
jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya berkali-kali dan ke
mana pun tubuhnya berkelebat, dia sudah merampas sebatang golok dan mendorong
seorang perampok sampai terjengkang dan terguling-guling.
Melihat
seorang anak remaja maju mendorong roboh beberapa orang anak buahnya, kepala
perampok yang brewok menjadi marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi
dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang dada dan dengan golok besar diangkat,
dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher anak itu.
Yo Han yang
telah mahir ‘menari’ itu dapat melihat dengan jelas datangnya golok, maka
dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke samping
sehingga golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang,
tetapi karena dia marah melihat orang itu tadi menggeluti seorang wanita, dan
kini melihat orang itu hendak membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru
nyaring,
"Engkau
orang jahat, pergilah!"
Dan
akibatnya sungguh luar biasa sekali. Begitu kena dorongan tangan Yo Han, kepala
perampok itu terlempar bagai daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak
dinding. Dia pingsan seketika karena kepalanya terbentur pada dinding.
Para
perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok
mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan
semua serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tak suka
berkelahi, tidak suka memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan
ini sudah mendarah-daging sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak
ke sana sini saja tanpa membalas.
"Huh,
orang-orang semacam ini masih kau kasihani?" tiba-tiba terdengar seruan
lembut dan Yo Han melihat betapa belasan orang itu terlempar ke kanan kiri,
berkelojotan dan mati semua! Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han
memandang kepada gurunya dengan terbelalak dan alis berkerut.
"Suhu
membunuh mereka semua? Suhu kejam! Sungguh kejam!"
Thian-te
Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu lalu terkekeh-kekeh.
"Dan engkau hendak bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa
dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"
"Mereka
juga kejam seperti setan, tapi jika suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara
mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho,
dan kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka,
kemudian memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan
begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu
tidak sudi membunuh dan tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemmm,
kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihatlah, mengapa
penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah!
Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para
perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup
tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"
Yo Han
tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi.
Di sepanjang perjalanan pulang ke goa, anak itu termenung. Hatinya amat tidak
senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walau pun orang-orang itu perampok
kejam.
Mereka
sampai di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong
menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak
belukar. Mereka melihat seekor harimau sedang menubruk seekor kijang, menerkam
leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan
gigi-gigi runcing tajam itu sudah menghunjam leher dan pundak. Darah dihisap
dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya
memasuki semak belukar.
Thian-te
Tok-ong memandang muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau
itu kejam? Andai kata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan
diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"
"Harimau
itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha!
Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati
kelaparan! Untuk itu ia telah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan,
kuku runcing dan gigi tajam. Harimau tak dapat hidup dengan makan rumput!
Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang
perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"
"Teecu
tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu
jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tak
suka belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan
membuat teecu menjadi jahat!"
"Yo
Han, kau lihat apa ini?"
"Suhu
memegang tongkat!"
"Apakah
tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu
saja!"
"Jadi
engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau
kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu
melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih
merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri
yang akan dapat menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo
jawab!"
Yo Han
menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik.
"Kalau pun teecu memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk
membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apa lagi
membunuhnya!"
"Nah,
demikian pula dengan ilmu silat, anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita
sudah mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul,
menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh
orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita
lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari
serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan
disiksa orang lain, dan ke tiga, yang terutama sekali, kita dapat mengangkat
martabat dan kedudukan kita, dapat menjadi orang yang terpandang di dalam
dunia!"
Yo Han
mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang
terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimana pun juga,
orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak
seperti kaum petani yang tidak pandai silat."
"Ha-ha-ha,
soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah
saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah,
Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau
belajar silat!" berkata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu,
tentang nyawa teecu, semua berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan
hal ini!"
"Huh,
bocah aneh, tolol tapi... benar juga..." kakek itu menggumam.
Sudah sering
dia melihat Yo Han yang tak pandai silat itu tidak mempan diserang racun,
bahkan kebal pula terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang selalu
melindunginya.
Dia sendiri
adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya
kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tak dapat
melihatnya! Dia sama sekali tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya
terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu.
***************
Waktu
berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini sudah tiga tahun Yo
Han berada di dalam goa itu dan usianya sudah lima belas tahun. Dia menjadi
seorang pemuda remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja
keras.
Mukanya yang
lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu membayangkan kegagahan. Rambutnya
gemuk panjang serta dikuncir besar. Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis
matanya amat menyolok karena amat tebal menghitam berbentuk golok. Dahinya
lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walau pun dia pendiam. Sepasang
matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.
Dia sudah
mulai jemu tinggal di dalam goa itu. Setiap hari selain melayani gurunya yang
sudah makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga
siu-lian (semedhi) yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan
memanjangkan usia.
Tetapi, bila
timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada
gurunya. Kakek itu sudah tua sekali. Dia pun merasa kasihan kepada orang
hukuman yang berada di dalam sumur. Bahkan sering kali timbul keinginannya
untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu mengurungkan
niatnya karena dilarang oleh suhu-nya.
Akan tetapi
pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketuanya, yaitu Ouw Ban dan Lauw
Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di
ruangan depan goa. Yo Han disuruh ke dalam oleh suhu-nya dan tidak
diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan mereka pun tidak
boleh.
Yo Han masuk
ke bagian paling dalam dari goa itu supaya tidak dapat mendengarkan percakapan
mereka dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi dia duduk
termenung, matanya yang terlatih itu dapat melihat keadaan yang bagi orang lain
tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat keadaan sumur yang
garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu.
Setiap kali
memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja
sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang
sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu mampu menerima luncuran
bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.
Sambil
menanti percakapan gurunya dengan kedua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu
duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat
gelap di bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar
apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat mengerikan, seperti
suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan
seperti suara manusia!
Tiba-tiba
saja Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukannya pekik
melengking mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan yang
terdengar kini adalah suara nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi,
dan nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian merdu dan lembut.
Jin Sin It
Siauw Thian Te,
It Im It
Yang Wi Ci To!
Yo Han mendengarkan.
Karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca, maka
mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Tetapi, bagaimana seorang remaja
berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata
itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti:
Badan
Manusia Adalah Alam Kecil,
Satu Im
(Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!
Yo Han
menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia
lebih kagum mendengar kemerduan suara itu dari pada isi kata-katanya yang tidak
dia mengerti benar. Jika biasanya dia tak pernah tertarik untuk memeriksa ke
dalam sumur, sebab selain dilarang suhu-nya, juga dia tak pernah menganggur dan
suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, sekarang mendengar
nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main.
Apakah si
penyanyi adalah orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi
hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa
orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh, juga jahat dan
curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan
marah, dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Bagaimana pun juga,
ia harus tahu siapa salah siapa benar, dan bila orang di bawah sumur itu tak
bersalah, dia tidak sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.
Dengan hati
yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang
lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini, bagi dia tidaklah begitu sukar.
Dia telah lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan
binatang cecak merayap di dinding goa! Dengan latihan semedhi, dia bisa
menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan serta
kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.
Dalamnya
sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan meski pun gelap pekat,
akan tetapi pandangan mata Yo Han masih dapat menembus sehingga remang-remang
nampak olehnya bahwa sumur itu agak menyerong. Akhirnya, tibalah dia di dasar
sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi dan terdapat sedikit cahaya yang
datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari jurusan lain.
Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa
hebat bila harus tinggal di situ.
Ketika dia
turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah
batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling.
Tidak mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau
masih ada lorong rahasia lain.
Tiba-tiba
saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah
sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri,
namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin
sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.
Dan guci itu
pun bergerak maju menabraknya!
"Desss...!"
Tubuh Yo Han
terbentur benda lunak, akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya
terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.
"Bressss...!"
Yo Han
terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang
kepada ‘guci’ itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak
memiliki tangan dan tak mempunyai kaki. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh
mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak
yang dapat dibuat jungkir balik, akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki.
Sekarang
penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan
penerangan dan dia memperhatikan makhluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu
bulat dan cukup gemuk, agaknya telanjang tetapi kulitnya ditutup ‘pakaian’
lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai
panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih.
Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali.
Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan
berbahaya.
Kini makhluk
itu berloncatan, bukan menggelundung, tapi berloncatan menghampiri Yo Han. Anak
ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak
mempunyai niat buruk. Dia hanya memandang dengan penuh perhatian.
Wajah itu
kini nampak nyata, wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali. Dan sinar
mata kehijauan itu pun tidak kejam, bahkan mulut yang sebagian tertutup kumis
itu seperti menyeringai tersenyum.
"Kau
tidak mati...? Kau... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lembut,
seperti suara orang yang terpelajar, akan tetapi agak aneh terdengar di tempat
seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.
Yo Han tidak
dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan
menggelengkan kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang
dihadapinya adalah seorang manusia, walau pun aneh, bahkan mungkin sekali
seorang tapa-daksa yang patut dikasihani, maka dia pun berkata,
"Locianpwe,
harap suka ampunkan aku. Aku... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin
melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu."
Dia lalu
menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi.
Jin Sin It
Siauw Thian Te,
It Im It
Yang Wi Ci To!
"Siancai...!
Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Ehh, anak
muda, tahukah engkau apa artinya kalimat itu?"
Yo Han sudah
membaca banyak kitab. Selain itu, memang dia mempunyai kelebihan, bahkan
keanehan di dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia
masih kecil sekali pun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia
pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau
seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar
pertanyaan itu, dia mengangguk.
"Kurasa
aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."
"Tidak,
tidak. Engkau ini yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah
kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan
aku sudah tahu, engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna
yang terkandung dalam kalimat itu."
"Jin
Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe,
kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala makhluk di dunia ini,
manusia adalah merupakan makhluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya
dibandingkan makhluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang
paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam
besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera
terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apa bila
mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari
api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apa bila padam
berarti kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di
alam besar akan berlaku pula di alam kecil. Bukankah, demikian,
Locianpwe?"
"Siancai...!
Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau
dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa
lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.
"Lanjutannya
adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative)
itulah To. Locianpwe, telah menjadi kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan
segala sesuatu di dunia ini adalah dua keadaan yang saling berlawanan, saling
bertentangan, akan tetapi saling dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada
yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu wanita,
dan Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung
di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit,
dingin dan panas dan sebagainya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada
Yang, Im pun tak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan?
Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada
bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi
juga saling melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan
kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan
timbul kekacauan-kekacauan. Bila dalam alam kecil, yaitu badan kita, Im dan
Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau
Im dan Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."
Wajah kakek
itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela
napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha
Kasih Sayang sekali. Manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa
akan adanya To, adanya kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah
manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan
kekacauan-kekacauan di dunia ini. Ehh, benarkah engkau ini seorang manusia yang
masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda
akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"
Yo Han
tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu
dapat dimiliki siapa pun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas
tahun."
"Baru
lima belas tahun? Dan engkau sudah mampu menahan tubrukanku tadi? Padahal,
seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat
hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai
tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke
sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"
Yo Han
mengerutkan alisnya. "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak
ingin menjadi murid dan ahli warismu."
"Ehh?
Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk
menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah,
aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!"
Kepala
dengan tubuh yang buntung itu sekarang berloncatan sehingga terdengar suara
dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han
dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat
karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia
kang-ouw.
"Ketahuilah,
Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai
guru."
"Ehhh?
Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu
yang tidak becus itu!"
"Guruku
adalah Thian-te Tok-ong..."
"Uhhhh...!"
Tiba-tiba
tubuh itu ‘terbang’ ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding
kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan
bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari
lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo
Han.
"Kiranya
engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"
"Ah,
sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tak mau menyerang orang, apa lagi membunuh.
Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka dari itu aku tidak mau menjadi
murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"
Sepasang
mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang
itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak memiliki sebuah
pun gigi lagi.
"Engkau?
Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan
membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha,
engkau boleh membohongi orang lain, akan tetapi jangan coba-coba untuk
membohongi Ciu Lam Hok!"
"Aku
tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."
"Orang
muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong
akan tetapi mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong
mengajar engkau menari? Ha-ha-ha..."
"Benar,
Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."
Kembali
sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan
tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu baru berhenti di
ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Yo Han segera merasa ada
banyak benda-benda kecil yang meluncur deras menyambar ke arah lehernya.
Pemuda ini
cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya
dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Ia cepat menggerakkan tubuh,
menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia
mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek
itu.
"Ha!
Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kau bilang tidak pernah
belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan.
"Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau
setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"
"Locianpwe,
harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan
memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"
Tiba-tiba
ada sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat
mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian
yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa
mengganggu.
"Yang
licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku
secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu.”
Tangan Yo
Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia
mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh.
Kini kakek
itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk
membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang
dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara
orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya.
Orang lain,
betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apa lagi di leher, tentu sudah
roboh dan tewas! Tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari
lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya. Jangankan tewas,
roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan
kenyataan yang dilihatnya.
Tiba-tiba
kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong serigala, dan
tubuhnya sudah bergulingan. Kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar
ke arah tubuh Yo Han.
Pemuda ini
terkejut dan kembali dia ‘menari’, akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek
itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan
mengelak empat lima kali saja, kemudian tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan
ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!
Yo Han
meloncat bangkit kembali dan kembali kakek itu menyerangnya dengan rambut.
Suara rambut itu menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo
Han kini menggunakan ilmu ‘senam’, berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat
membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek
itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.
Pada saat
itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han
mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar
dari kepala atau rambut-rambut itu sehingga Yo Han merasa kepalanya seperti
meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh!
Kakek itu
pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru
kagum.
"Siancai...!
Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa
engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"
Yo Han yang
sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Kini tahulah
dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biar pun tak
bertangan kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali.
Ang-I Moli,
Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua
puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan
iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam ‘Mendorong Bukit’. Akan
tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai
tangan dan kaki ini. Tarian dan senam yang dikuasainya tidak mampu menolongnya.
Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang-I Moli!
"Locianpwe,
tadi sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te
Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku
menjadi muridnya. Aku pula orang yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan
makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku sangat tertarik dengan suara tangisan
dari dalam sumur, maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku,
aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis, bila perlu aku akan
menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung
itu?"
"Ahh...
ahhh... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan... yang
mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"
"Dengan
merayap, Locianpwe. Di antara tari-tarian yang diajarkan oleh Suhu, terdapat
tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.”
"Ahh…
ahhh... engkau ini anak tolol ataukah anak yang sungguh luar biasa? Yo Han,
mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
Yo Han
maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini
hendak membunuhnya, walau pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan
tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.
"Diamlah,
Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu.
Tiba-tiba
rambut kepalanya bergerak, bagai ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu telah
melibat-libat seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat
merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga
memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup!
Yo Han
memejamkan matanya, seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main!
Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi
hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba, memijit, bahkan
menekan-nekannya.
Berulang-ulang
kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia
menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah
pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.
"Locianpwe...!
Engkau tidak apa-apa...?” Yo Han cepat menghampiri.
Kakek itu
menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
"Ya
Tuhan, inilah... inilah..." dan tiba-tiba dia pun menangis! Suara tangis
yang sering didengar oleh Yo Han!
Tentu saja
Yo Han menjadi heran bukan main. "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku
bersalah." Dan Yo Han memandang terharu. "Jadi... kiranya Locianpwe
yang suka meraung dan menangis itu?"
Kakek itu
menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak
mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena
bagai mana pun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.
"Yo
Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya
yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Locianpwe,
entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk
menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu
terkandung ketegasan.
Kakek itu
kini tertawa! Baru saja ia menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa
sekali kakek itu.
"Dan
begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong?
Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi
kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"
"Apa
maksudmu, Locianpwe?"
"Engkau
duduklah, meski pun tempat ini agak kotor, akan tetapi aku akan bercerita, dan
agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan
ceritaku."
"Aku
pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang telah mendorongku untuk menuruni
sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."
Kakek yang
lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja, dan yang kakinya
buntung mulai dari pangkal paha itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandar
dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita,
didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.
Delapan
tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga
kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan
merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan
Ban-tok Mo-ko. Ciu Lam Hok adalah yang termuda, akan tetapi dalam hal ilmu
silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi dari pada tingkat kedua
orang suheng-nya itu. Hal ini adalah karena dia memang suka sekali merantau dan
bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempelajari
ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat.
Pada waktu
Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan
Thian-li-pang didirikan dengan tujuan untuk menghimpun orang-orang gagah,
menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Tak lama kemudian, Ciu Lam Hok pergi
meninggalkan Thian-li-pang untuk kembali bertualang.
Kurang lebih
sembilan tahun yang lalu, ketika mendengar sepak terjang Thian-li-pang yang
mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa
dua orang suheng-nya sudah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu mengenai racun
sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te
Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi). Hatinya merasa khawatir sekali dan dia pun
cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.
Betapa
kagetnya ketika tiba di Thian-li-pang dia melihat bahwa berita yang didengarnya
memang tepat! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang
penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul pula dengan
golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tak segan
melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup
melakukan apa pun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!
Ciu Lam Hok
dengan berani menemui kedua orang suheng-nya, lalu menegur mereka yang ia
anggap menyeleweng. Dua orang suheng-nya kemudian menjadi marah, terjadi
pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Tapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko
yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!
Dua orang
kakek yang sekarang sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan
kecurangan itu berpura-pura menyesal dan bertobat. Dan tentu saja Ciu Lam Hok
mau memaafkan kedua orang suheng-nya itu asal mereka mau mengubah haluan
Thian-li-pang yang dibuat menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa
ditempuh perkumpulan para pendekar.
Dan setelah
akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk
menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu dapat
demikian lihai sekarang.
"Aku
dapat terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang
sangat menarik hati Yo Han. "Aku menceritakan bahwa aku telah menemukan
kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah
kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang sudah menjadi hamba
nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, namun
sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertobat. Biasanya, pernyataan tobat
itu hanya terjadi karena mereka merasa menderita sebagai akibat perbuatan
mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan
pernyataan mereka untuk bertobat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi
untuk menebus kekalahan mereka sebelumnya."
Yo Han
mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka memiliki iman kepada Tuhan sampai ke
tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan jika sudah
begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan
benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin
meliar."
"He-he-heh,
engkau memang anak aneh!” kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada
suatu hari aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tak mampu
lagi menandingi mereka. Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka
mendesak untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu
sudah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam
ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng, mereka
menjadi marah. Lalu mereka menyiksaku, bahkan juga membuntungi kaki tanganku
dan melemparkan aku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan
tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek Hoat-keng dapat kugunakan untuk
menyelamatkan nyawaku, bahkan juga membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan
racun mereka, ha-ha-ha!"
Yo Han
mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya
penasaran. "Ahhh, tentu Locianpwe sudah mengalami penderitaan hebat selama
delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi,
mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"
Kakek itu
menghela napas panjang. "Betapa pun hebatnya ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan
tetapi kalau tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik?
Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh
meter. Dan andai kata aku sudah berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh
dua orang suheng-ku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti
kalah."
"Sungguh
mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap
adik seperguruan sendiri. Tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar
Locianpwe ke sini, berarti mereka menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak
langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap
hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"
"Yo
Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"
Pemuda
remaja itu mengerutkan alis, kemudian mengangguk. "Aku mengerti sekarang.
Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe
tidak berdaya, dengan maksud supaya Locianpwe akhirnya menyerah lalu memberikan
rahasia-rahasia Bu-kek Hoat-keng kepada mereka?"
"Engkau
benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biar pun siksaan ini
kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan
tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku
hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan
untuk menolongku. Sesudah ilmuku ada yang mewarisinya, aku lebih suka mati. Apa
artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan
hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima
kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan
menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"
"Tetapi,
Locianpwe, aku... aku… tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan
kekerasan, tidak mau berkelahi..."
"Heh-heh-heh,
anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"
"Tapi,
ilmu apakah Bu-kek Hoat-keng itu?"
"Ya,
semacam ilmu menyehatkan badan, tiada bedanya dengan ilmu tari dan senam yang
engkau pelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo
Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te
Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi
muridnya?"
"Bukan
begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang
oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku
tinggal di sini bersamamu?"
"Heh-heh-heh,
soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah
engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku ini hanya kupertahankan untuk
menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku
tidak mau hidup lebih lama lagi, meski untuk semenit pun. Sekali aku
menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan
melayang!"
Yo Han
sangat terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki
watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukanlah gertak sambal belaka.
Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimana
pun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Bila dia menolak
dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung
jawabnya, dialah yang membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Suhu,
teecu akan mentaati petunjuk Suhu."
Tiba-tiba
rambut kepala yang panjang itu menyambar, lalu melibat-libat tubuh Yo Han
seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu
tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan
kakek itu pun mulai menangis sesenggukan.
"Ahhh,
engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.
Kakek itu
tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang
dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari,
Yo Han, kita harus cepat-cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan
kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."
"Ehh,
kenapa begitu, Suhu?"
"Sudah,
tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut
itu."
Yo Han
menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu
sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek itu
meloncat-loncat mendekati batu dari dia pun mengikuti.
"Batu
ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambutku dan hidungku saja. Pekerjaan
itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya
lalu kupergunakan untuk membuat terowongan yang menembus ke sumur lain, sumur
alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita
harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari engkau bantu aku
menggeser batu ini ke samping, Yo Han."
Sebelum Yo
Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur.
Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah
anak telinga, serta mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar sangat aneh
dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.
"Ciu
Sute...!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.
"Yo
Han...!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya.
Sebelum Yo
Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok telah mendahului. "Ha-ha-ha, Thian-te
Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"
"Sute
Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suheng-mu sendiri?"
"Ha-ha-ha,
sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi di
antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun untuk
membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu,
meski engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah
kubunuh!"
Mendengar
suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat
terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.
"Suheng,
muridmu pasti sudah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya
menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek
Hoat-keng!"
"Jangan,
Sute. Dia bukan pembual. Kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap
siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."
"Tapi,
dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"
"Hemm,
jangan pandang rendah, Sute. Dia mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan di
bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain
untuk membunuhnya."
Selagi
mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu bahwa gurunya
yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko sangat
keji dan jahat. Maka kini dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak
mengeluarkan suara.
Ciu Lam Hok
memberi isyarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu.
Dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu
tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula
dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser sehingga
nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isyarat untuk
berhenti, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha,
Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau tidak takut, kenapa tidak kalian
berdua saja turun ke sini supaya kalian dapat menemani nyawa murid
kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan.
Ban-tok
Mo-ko sudah marah sekali. Bila tidak ditahan oleh suheng-nya, tentu dia sudah
merayap turun untuk membunuh bekas sute-nya itu. Dulu memang dia harus mengaku
kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suheng-nya ketika mengeroyok pun
tidak akan menang. Akan tetapi, kini sute-nya itu sudah menjadi manusia tapa
daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?
"Tenanglah,
Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Dari pada membahayakan diri sendiri
lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."
"Tapi,
bagaimana dengan muridmu, Suheng?"
"Yo
Han? Ahhh, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han
kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku,
aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari
ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia
pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si
Buntung."
Tidak lama
kemudian dua orang tokoh besar dari Thian-li-pang itu sudah menghujankan
jarum-jarum beracun ke dalam sumur, juga melemparkan banyak ular dan
kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir mereka
menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!
Yo Han dan
Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka menggeser
kembali batu sebesar gajah agar menutupi lubang sehingga semua benda dan
binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan
Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada
jawaban lagi dari bawah.
Tentu saja demikian
karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tak
lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali.
Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu
mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa
gembira.
"Sute,
cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan
batu-batu besar!"
"Tapi,
Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"
Thian-te
Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia
aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biar pun kaki tangannya
sudah buntung, akan tetapi dengan Bu-kek Hoat-keng, kita tidak tahu apa saja
yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa
tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu
besar, biar bagaimana pun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup
lagi."
Ban-tok
Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suheng-nya ini, merasa ngeri dan
takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur
itu sudah ditutup dengan batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi
perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang.
Puluhan
orang anggota Thian-li-pang sekali ini mendapatkan perkenan untuk memasuki goa
sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam
sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk
bergemuruh.
Mereka,
puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang
bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh baru seluruh sumur itu dapat
ditutup. Meski orang memiliki kepandaian seperti dewa sekali pun, kalau berada
di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter lebih itu
ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.
Yo Han
mengikuti kakek buntung itu merangkak melalui terowongan kecil, dan ternyata
panjang terowongan itu hanya belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main
dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai
kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun!
Akhir
terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah
sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup
oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan
sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari
retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walau pun tidak banyak
dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya.
Keadaan
dalam ruangan di dasar sumur ini bahkan lebih baik dari pada dasar sumur
pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu
tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat
terkejut sekali.
“Ahh, apakah
itu, Suhu?”
“Ha-ha-ha,
mereka sedang menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar
tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan
tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur
hidup-hidup di sana.”
Yo Han
bergidik. Bagaimana ada orang yang bisa berbuat demikian kejamnya terhadap adik
seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap muridnya sendiri? Tadinya dia mengira
bahwa Ang-I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di
dunia ini. Siapa kira bahwa orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga
tahun, yang bisa bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam
lagi!
"Nah,
sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita, Yo Han. Ingat, mulai sekarang
kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini
tanpa makan, hanya dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan.
Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukanlah dengan hati-hati, jangan
sampai engkau ketahuan orang-orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan
untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama
beberapa hari supaya tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk
minum mudah saja. Kalau tanah ini kita gali sedikit saja, tentu akan bisa
mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan
oleh orang di atas."
"Suhu,
mengapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita
dapat mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah
mencari makan."
"Yo
Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku takkan mau keluar
dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman dari pada di sini. Ketahuilah bahwa
sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan
menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan
mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya
hanyalah Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apa lagi di sini, tiada seorang
pun yang tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."
Pemuda
remaja itu nampak agak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari
makanan itu, Suhu?"
"Aiiihh!
Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"
"Tapi...
mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"
"Hushh!
Siapa suruh engkau minta-minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua
orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga.
Mengerti? Sekali saja engkau memperlihatkan diri, maka celakalah kita. Tempat
ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."
"Habis,
bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andai kata membeli pun, mereka akan
melihatku. Apa lagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat
membeli makanan?"
"Hemm,
mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau
dapat mencuri makanan dengan sangat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa
diketahui orang."
Sepasang
mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh... aku tidak sanggup, Suhu. Aku
tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat dari pada minta-minta. Heran, mengapa
Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling,
Suhu..."
Kalau saja
kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala
sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.
"Waduh!
Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka
mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan,
pakaian dan apa saja yang kau perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan
kau tinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Cara ini
bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu.”
Dengan
hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu.
"Kau lihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu,
pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"
Sinar
matahari yang mendatangkan penerangan dalam goa itu memang terpantul oleh
beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel
lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.
"Apakah
ini, Suhu?"
"Emas."
"Emas?
Benarkah?" Yo Han terbelalak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua
buah batu yang mengkilap di tangannya, kemudian menoleh ke arah dinding.
"Benar.
Aku tidak sudi menipu orang, apa lagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu
emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja
yang kau kehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah
toko, tidak cukup berharga untuk ditukar dengan sebuah batu emas itu. Kau
tinggalkan saja salah sebuah di tempat engkau mengambil barang, dan pemiliknya
akan bersorak kegirangan karena dia telah mendapat keuntungan besar. Berarti
engkau tidak mencuri, kan?"
Yo Han mengangguk-angguk.
Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah
batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan
batu itu di tempat barang yang diambilnya.
"Kalau
begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."
"Baik,
pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun,
gunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu
menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan rasa lapar dan
haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah,
pergilah."
Yo Han
memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak
merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang,
lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga
sinkang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat
menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ!
Perlahan-lahan
dan dengan hati-hati ia mulai merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga
pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan
tetapi, Yo Han sudah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan ‘tarian
cecak’ ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari
bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang.
Anak muda
itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu
terdapat tenaga sakti yang mukjijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu
tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin
meninggalkannya begitu saja, apa lagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan
menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati
anak itu tidak tega meninggalkannya.
Ketika tiba
di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak.
Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata
mulut sumur berada di dalam sebuah goa yang kecil. Mulut goa nampak di depan
sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak
oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya.
Melihat ini,
Yo Han merasa girang. Sungguh sangat baik tempat sembunyi gurunya di dalam
sumur itu. Tidak mungkin ada orang memasuki terowongan goa yang demikian
sempitnya, dan andai kata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang
itu tentu akan segera kembali keluar setelah melihat bahwa goa terowongan itu
berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!
Lebih baik
lagi, mulut goa kecil itu tertutup rapat oleh semak belukar dan alang-alang.
Dia mengintai dari mulut goa, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di
lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya.
Dia harus
berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia
mengamati dan mengingat tempat itu supaya tidak lupa kalau akan kembali ke
sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu
berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng
itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, sebab nampak
genteng banyak rumah.
Setelah kini
mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang
diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan
bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah
dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu
tanpa dilihat orang.
Dan
giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia
menyelinap ke belakang dan menuju dapur. Ketika dalam intaiannya dia melihat
pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari
dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk
ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu.
Cepat dia
mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti
kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai karung terisi penuh. Dia
mengambil pula mangkok, piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia
meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.
Di sebuah
toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil
mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala
macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.
Ia kembali
ke dalam goa kecil membawa dua buah karung. Ia membayangkan betapa akan
senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko ketika menemukan potongan batu
emas. Seperti juga di rumah makan, dia pun meninggalkan potongan batu emas di
meja di mana dia mengambil pakaian.
Kini dia
merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua buah karung itu,
kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia
terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang
seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek
yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap
saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau
dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apa lagi kakek itu telah
dia angkat sebagai guru.
"Ha-ha-ha,
sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirimkan Tuhan
kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti
akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya
mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang
dibawa turun oleh muridnya.
Ketika dia
melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah
guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut
penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap.
Yo Han
memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Walau pun kaki
tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya
dengan rambutnya, mulutnya, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan. Dan
tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke
sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.
"Tentu
saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di
sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur
ini."
"Hemm,
terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dan
bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan
orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dahulu, terutama Bu-kek
Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."
"Sekali
lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau
mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han
berkata dengan nada suara yang terdengar tegas dan mantap.
Kakek itu
menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah
menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik.
"Muridku yang baik, apakah yang baru kau ucapkan itu sudah keluar dari
hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru
lagi?"
"Tentu
saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasehatiku agar
aku hidup melewati jalan yang benar, selalu menjauhi segala macam bentuk
kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan
seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan
saling bunuh serta saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku
seorang ahli silat. Andai kata sejak kecil ibuku tidak pandai silat seperti
ayahku, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan
aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku
benci ilmu silat!"
"Ha-ha-ha-ha!
Sebaliknya, muridku. Jika ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang
tinggi, tak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena
ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tak mampu membela diri dengan
baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka?
Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"
Pemuda
remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan bersungguh-sungguh.
"Kenapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati pun ada yang
mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama
dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?”
"Bagus!
Benar sekali itu, Yo Han. Bila Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan
akan melindungi kita dan tak ada seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh
kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu
silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah
menghendaki kita mati. Bahkan tanpa ada yang mengganggu pun ia akan mati
sendiri, ha-ha-ha!"
Yo Han
tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu lagi
membantah kebenaran itu.
“Ayah ibumu
memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi tentu saja mereka itu tewas hanya
karena Tuhan telah menghendaki mereka mati. Andai Tuhan tidak menghendaki,
mereka tentu tak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya
seseorang, Tuhan Maha Kuasa!”
Akan tetapi
hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala. "Bagaimana pun
juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"
"Jahat?
Ha-ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang
yang kau bawa turun itu! Lihatlah barang-barang itu, kapak, gunting, jarum,
pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"
Yo Han
memandang gurunya dengan heran dan dia cepat menjawab. "Tentu saja tidak
jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu bisa kita
pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk
menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat
roti dan daging, catut dan martil untuk membuat perabot dari kayu dan
sebagainya."
Kembali
kakek itu tertawa. "Lalu bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Jahat atau
baikkah kedua tanganmu itu?"
Yo Han
memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja
baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua
pekerjaan yang bermanfaat itu."
"Sekarang
dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala
orang, lalu gunting itu untuk menusuk perut orang, pisau untuk menyayat leher
orang, dan jarum untuk disambitkan menyerang lawan, juga catut dan martil itu
untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang
baik dan berguna?"
Yo Han
terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada
yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi... tapi..."
"Dan
bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau
pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah
kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"
"Wah,
wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.
"Nah,
itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau
engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Jika
engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi bukan
benda-benda itu yang menentukan, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat
menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat
pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu
sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik bila sudah
dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang disembunyikan di balik
perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu.
Seperti tanganmu, dapat digunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik,
juga bisa digunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak
benarkah ini?"
Yo Han
mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya. "Kini
aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa
yang berada di dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Ada
pun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"
"Benar
sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya
bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan
kebajikan. Sebaliknya jika batinnya sudah kotor dan jahat, alat apa pun yang
dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."
"Teecu
(murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"
"Nah,
sekarang kita kembali pada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama
seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Jika ilmu
silat tidak digunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh
ilmu itu. Tetapi setelah digunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai
dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat digunakan untuk
melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk
menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si
Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang
mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela
diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu silat
itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau
dengan diberi kuku dan taring? Kenapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat
berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk
melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku,
tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Tetapi manusia memiliki
kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala
macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu
silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap
ancaman dari luar tubuh, selain itu juga untuk menjaga kesehatan dan melepaskan
naluri kesenian melalui gerakan silat. Ilmu silat merupakan gerakan manusia
yang mengandung unsur kesenian, kesehatan, bela diri, juga untuk membela mereka
yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai
oleh orang yang memiliki batin bersih!”
Mendengar
semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasehat ayah
ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan
pengalamannya ketika ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan
kejahatan.
Akan tetapi
juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subo-nya yang
pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Teringat
pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subo-nya itu. Suhu dan subo-nya
berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li
sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.
Dia
membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi
banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang
pandai ilmu silat, gagah perkasa. Bukan hanya pandai dan kuat membela diri
sendiri, tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban
kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.
Tiba-tiba Yo
Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
buntung itu. “Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan
terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya.”
"Bagus
sekali, Yo Han. Jadi, sejak saat ini engkau mau belajar ilmu silat dariku,
bukan? Terutama sekali Bu-kek Hoat-keng?"
Yo Han
mengangguk. "Mudah-mudahan kelak teecu akan mendapat bimbingan Tuhan
sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan
bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."
"Aku
yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah
dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."
Demikianlah,
mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu
Lam Hok. Tentu saja kakek itu sama sekali tidak dapat memberi contoh gerakan.
Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru,
dia menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan
biar pun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar
sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan.
Namun Yo Han
belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh
kemajuan pesat. Apa lagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu ‘tari’ dan
‘senam’ yang sebenarnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te
Tok-ong. Juga sebelum itu dia sudah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu
dan subo-nya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walau pun pengetahuannya hanya
sampai batas teori dan hafalan saja.
****************
Kita
tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam
Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.
Meski pun
lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok
di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa, oleh karena
mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan bisa memperkuat
Thian-li-pang, akan tetapi mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan
segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati.
Pada saat Yo
Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan
penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga turut hadir dalam pertemuan
puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang-I Moli dan
dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang telah bekerja sama dengan
mereka, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat
tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh
kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu.
Mereka
membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang
yang telah mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan
antara empat partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Pembunuhan
atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Pao-teng juga adalah perbuatan para tokoh
Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu.
Dan surat
yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat
mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu
terang menyatakan bahwa kini permusuhan di antara partai-partai persilatan itu
telah mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha
bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir bersama keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Belum lama
ini Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan
keluarga para pendekar itu mengundang para tokoh dari dunia persilatan sebagai
tamunya, termasuk pula empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai,
Kun-lun-pai serta Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah
karena semua tamu amat menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya
mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakilnya untuk bicara secara
terbuka dan dari hati ke hati.
Kao Cin
Liong menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan
Hwesio, bahkan dia sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio
itu. Biar pun sebelum meninggal Thian Kwan Hwesio mengatakan bahwa yang
menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-pai, namun dia merasa curiga dan tidak
percaya. Apa lagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai menyangkal.
Kao Cin
Liong bercerita mengenai luka beracun akibat racun ular hitam yang biasanya
hanya digunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati
semua utusan partai persilatan besar itu mendatangkan kesan mendalam, apa lagi
ketika Suma Ceng Liong yang namanya sudah sangat terkenal dan amat disegani
semua orang turut menyatakan pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh
perhatian.
"Cuwi
adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta
bersikap gagah dan bijaksana. Karena itulah, mengingat bahwa empat partai
persilatan Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah
partai-partai besar yang namanya selalu harum, memiliki murid-murid pendekar,
maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat partai itu hanya menuruti
dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah mendengar tentang peristiwa aneh di
Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) juga sependapat dengan saya bahwa
peristiwa itu sungguh patut dicurigai. Amat mudah dimengerti bahwa tentu ada
pihak ke tiga yang agaknya sengaja ingin mengadu domba! Saya condong
berpendapat bahwa pelaku-pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi
di Gunung Naga, mau pun pembunuh Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke
tiga yang hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh
karena itu, apa bila Cuwi tidak menghentikan permusuhan antara saudara sendiri,
itu berarti Cuwi dengan mudah dapat dipermainkan oleh pihak ke tiga yang mengadu
domba."
Semua orang
mengangguk, mereka menyatakan setuju dengan pendapat dari pendekar yang sangat
mereka hormati itu. Diam-diam mereka pun menduga-duga, siapa kiranya yang amat
berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai
persilatan.
Ada di
antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja pemerintah
Kerajaan Mancu yang tentu ingin melihat partai-partai persilatan itu saling
bermusuhan dan menjadi hancur atau lemah sendiri supaya tidak membahayakan
pemerintah lagi. Akan tetapi Kao Cin Liong menggelengkan kepala.
"Bukan
karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak
menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, walau pun dia
seorang Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja memiliki
kelemahan-kelemahan, sejak muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar.
Dia seorang yang selalu bersikap bijaksana dan ingin bersahabat dengan
partai-partai persilatan besar. Dia pun sangat cerdik, maka saya tidak percaya bahwa
dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para partai persilatan besar
dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan membuat kedudukannya
lemah. Tidak, saya yakin bahwa pihak ke tiga itu bukan pemerintah. Perbuatan
itu bukan menolong pemerintah, melainkan malah membahayakannya."
Semua orang
setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi semakin
bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga
yang mengadu dombakan mereka? Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.
"Yang
terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin
bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing
harus menjaga sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling
bermusuhan lagi. Semua murid harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul
karena adu domba, dan semua bentrokan yang pernah ada agar dianggap selesai
saja. Tidak ada dendam, tiada permusuhan sehingga dengan sikap demikian kita
mendapatkan dua keuntungan. Pertama, kita telah menggagalkan niat busuk pihak
ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu,
kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu
dapat kita ketahui siapa dan kelak kita bersama-sama mengambil tindakan
terhadap mereka."
Kembali
semua orang setuju dan pertemuan itu lalu benar-benar menjadi sebuah pesta yang
menggembirakan di mana para wakil empat partai persilatan itu dapat
berbincang-bincang dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus
dengan penuh pengertian bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.
Demikianlah,
para mata-mata Thian-li-pang kini melaporkan semua peristiwa itu kepada
pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi
sangat kecewa.
"Ini
kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua
Thian-li-pang sambil mengepal tinju. "Dia dapat melarikan diri ke atas
rumah keluarga Kao Cin Liong sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga
itu pula yang menggagalkan siasat yang telah kita atur sebaiknya."
"Memang.
itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur
semua itu dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Tetapi
kini mereka tidak saling bermusuhan lagi, bahkan menyadari bahwa ada pihak ke
tiga yang mengadu domba. Semua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao
Cin Liong."
"Kita
sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula
Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.
"Hemmm,
usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi
diam saja, kini berkata dan semua orang memandang kakek itu.
Semua orang
di situ takut dan menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam
goa tempat pertapaannya itu. Hanya untuk urusan yang amat penting saja dia mau
bertemu dengan pimpinan Thian-li-pang seperti sekarang ini.
"Apakah
kalian belum tahu siapa Kao Cin Liong itu? Dia keturunan Naga Sakti Gurun
Pasir, dan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Jadi,
kalau kita memusuhi mereka, kedua keluarga itu akan dapat mendatangkan
kegagalan pada kita, bahkan mungkin kehancuran. Kita akan membentur batu karang
jika memusuhi mereka. Dan pula, apa untungnya memusuhi mereka? Tujuan kita
hanya satu, menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"
Semua orang
saling pandang dan berdiam diri. Memang tepat apa yang dikatakan datuk dari
Thian-li-pang itu.
"Siancai...!"
Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan
satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara empat partai itu
dengan kerajaan! Oleh karena itu, sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar
Mancu untuk memusuhi mereka."
Semua orang
mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.
"Sayang
sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah
putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita sudah
kehilangan murid kita yang terbaik, Ciang Sun yang tewas karena gagal membunuh
Kaisar Kian Liong."
"Muridmu
itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan
para pangeran yang dapat menggantikannya harus dilakukan dengan cara halus.
Kita dapat menggunakan racun. Akan tetapi harus mencari kesempatan yang baik
dan untuk itu kita harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan dengan
Pangeran Kian Ban Kok harus lebih dipererat agar kalau sudah tiba masanya, dia
tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati lagi Siang Hong-houw dan kita
menyelundupkan orang ke istana. Walau pun harus menunggu bertahun-tahun, akan
tetapi kita harus bersabar dan sekali bergerak harus berhasil."
"Bagus
sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thian-te Tok-ong itu memang tepat.
Kami dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan
dan siap bergerak kalau sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini,
sebaiknya kita dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menahan kesabaran agar
jangan melakukan gerakan yang kasar dulu, agar tidak mengejutkan pihak lawan
sehingga mereka dapat siap siaga," kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.
Demikianlah,
para pemberontak ini akhirnya bersepakat bahwa untuk sementara tidak akan
melakukan gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, tetapi menggunakan
siasat halus untuk menyusup ke dalam istana, menghubungi kembali Siang
Hong-houw dan Pangeran Kian Ban Kok, dan menyusun kekuatan.
ANAK
perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia
bersilat dengan gaya yang indah tetapi gagah. Rambutnya yang hitam panjang
dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita warna
kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor
ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung. Kalau kepala itu
digerakkan dengan cepat, kedua utas kuncir itu pun ikut bergerak meluncur
seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir
itu seperti terbang ke atas kepala.
Gerakan kaki
tangannya mantap dan indah, bagaikan gerakan seekor burung bangau merah. Dia
adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati
ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang.
Tan Sian Li
kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita,
manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat
telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya
yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di
pipinya selalu nampak.
Ia sedang
memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu
silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena usianya baru dua belas
tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum ‘mengisi’
tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu.
Anaknya
masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan
yang amat dahsyat itu. Sekarang, anaknya hanya mempelajari dan menguasai
gerakannya saja, dan kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga
sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap.
Selain ilmu
silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan
dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu dari
Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Dia juga
sudah mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua
orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi
Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.
Biar pun
usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang
luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat bukan main. Jarang ada orang dewasa yang
akan mampu menandinginya.
Ketika dia
menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya,
Kao Hong Li. "Ada tamu yang datang, kalian hentikan dahulu latihan itu,
dan mari keluar menyambut tamu!"
Sian Li
menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapakah yang
datang berkunjung?"
"Seorang
utusan dari Paman Suma Ceng Liong."
Mereka
segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tadi tamu itu
dipersilakan duduk. Saat mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat
seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan berjenggot panjang
bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi
melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan.
Orang itu
sudah mengangkat kedua tangan di depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya
rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu kemudian
mempersilakan tamunya duduk.
"Sian
Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan
mengeluarkan minuman untuk tamu kita."
Tamu itu
cepat menggerakkan tangannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena
urusan ini justru menyangkut diri Siocia (Nona)."
Sin Hong
memandang tamu itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma
Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah
lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu
mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng
ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walau pun dia sendiri dan isterinya sudah
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu
mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat
bimbingan mereka.
Melihat tuan
rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan
menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil
suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka
membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong,
di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke
Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan
ilmu mereka kepada Sian Li.
Membaca
surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya.
"Ahh, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"
Sin Hong
lalu memandang kepada tamu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah
Toako yang telah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami,"
katanya dengan amat ramah. "Harap sampaikan saja pada Paman Suma Ceng
Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun.
Tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."
Tamu itu
dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk
kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena
kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu
saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.
Sian Li
sendiri tadinya hampir menolak ketika diberi tahu bahwa ia akan diberi
pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi
penjelasan oleh ayah ibunya, apa lagi ketika mendengar bahwa dia akan diantar
sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja, ia
pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.
Tiga hari
kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota
Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke
dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di
dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking
merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung,
jadi perjalanan itu tidak memutar.
Pada suatu
senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di
sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan
merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman
tentu akan bermalam di kota ini.
Karena
banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti
dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi
ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan
toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi
ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal,
makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.
Ketika pada
senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki kota
Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan sudah penuh
tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan
tanpa hasil.
"Ahh,
kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li
mulai mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil.
Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar
memang sudah penuh.
"Tidak
perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah
penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita juga dapat menumpang di
rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."
"Mari
kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin
masih ada kamar di sana," kata Sin Hong.
Mereka lalu
menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel
yang tergantung di depan. Hotel itu bernama ‘Thai Li-koan’ (Hotel Besar).
Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di
sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan
menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului
mereka.
"Maaf,
Tuan, semua kamar sudah penuh. Malam ini semua kamar sudah diborong oleh
Ouw-ciangkun dari kota raja."
"Bukankah
hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw
itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li
penasaran.
Pelayan itu
mengangguk. "Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak
menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam,
yaitu kamar-kamar besar sudah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan
masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang
dijaga prajurit pengawal."
"Tapi,
yang disewa kan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba
Sian Li berkata. "Kan masih ada banyak kamar-kamar yang lebih kecil di
kanan kiri dan belakang?"
Pelayan itu
memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian
serba merah ini memang manis sekali.
"Memang
ada, Nona, tapi... ahhh, banyak yang sudah pesan lebih dulu..."
Hong Li yang
amat cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata,
"Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, maka kami akan memberi
imbalan secukupnya!" Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar.
Melihat
mengkilapnya perak itu, sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke
kanan kiri, lalu menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan
membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.
"Marilah,
Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biar pun sudah banyak pemesan, akan
tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada
kalian."
Mereka
memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan lalu
mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka
bertiga. Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu
jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan
dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja untuk keluar masuk.
Ketika
mereka masuk, mereka melihat ada banyak prajurit pengawal yang berjaga-jaga di
sekitar hotel itu, dan bahkan ada prajurit yang sempat menahan Si Pelayan dan
baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu
adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.
"Ingat,
selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, dan juga tidak
boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Prajurit pengawal kepada
mereka.
Setelah
mendapat kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air
hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa
kamarnya pun mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di
rumah-rumah penginapan biasa.
Setelah
berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar
bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel
itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.
Walau pun
malam telah tiba, akan tetapi taman bunga itu masih tetap indah dan dapat
dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu,
kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat
keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.
"Sian
Li, jangan berlari-lari...!" kata ibunya sambil mengejar.
Tiba-tiba
Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolonggg...!"
Hong Li
terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu.
Ia melihat puterinya tengah didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka
hitam. Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu sangat kuat
sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li lantas maklum bahwa
laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, jika tidak, bagaimana
puterinya yang sudah memiliki kelincahan dan ilmu yang lumayan itu demikian
mudah ditangkap?
"Lepaskan
anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi
besar muka hitam.
Laki-laki
itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa.
"Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan
bahwa gadis ini masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan
matang. Marilah, manis, kulepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi
penggantinya."
"Jahanam
busuk...!" Hong Li membentak marah.
Begitu orang
itu melepaskan Sian Li dan mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah
menerjang ke depan dan dia pun menyerang dengan pukulan kedua tangan secara
bertubi. Karena ia tak ingin mencari keributan, dan tidak ingin membunuh orang,
tapi hanya ingin menghajarnya saja, maka nyonya muda ini tidak menggunakan
pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan mempergunakan jurus dari
Sin-liong Ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
Melihat
nyonya muda yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam
menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap
lengan Hong Li.
"Plak-plak-dukk...!"
Tangkisan
terakhir membuat keduanya mengadu tenaga melalui telapak tangan yang
didorongkan. Akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang.
Si Muka
Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya amat nyeri dan
tadi, ketika telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya
tergetar dan dia sampai terdorong ke belakang. Marahlah dia. Segera dia
mencabut golok dari pinggangnya.
"Berani
engkau menyerangku?" bentak Si Muka Hitam dan dia sudah memutar golok di
atas kepalanya.
Kao Hong Li
sudah siap siaga menghadapinya. Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di
pintu belakang.
"Hek-bin
(Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu,
suaranya lembut namun penuh wibawa.
Aneh sekali.
Mendengar teriakan lembut ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu segera
menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh sambil menjawab, suaranya penuh
kepatuhan.
"Baik...,
baik... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu
belakang itu dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.
Kao Hong Li
terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas
pintu dan wajahnya nampak jelas olehnya. Ang-I Moli! Dia masih mengenal wanita
yang pakaiannya serba merah itu! Ang-I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu?
Dan di mana adanya Yo Han? Apakah masih bersama iblis betina itu? Hong Li
merasa betapa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Ia sudah melupakan
laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang memenuhi pikirannya sekarang
hanyalah Ang-I Moli.
"Ibu,
perempuan itu adalah Ang-I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menyadarkannya
dari lamunan. "Mari kita kejar Ibu!"
Anak itu
sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya menyambar pundaknya.
"Sstt,
jangan, Sian Li."
"Ehh?
Kenapa, Ibu? Pertama, laki-laki tadi harus Ibu beri hajaran, supaya dia
bertobat. Dan Ang-I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa
pergi Suheng Yo Han? Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis
betina itu!"
"Ssttt,
ini urusan gawat, Sian Li. Mari kita beri tahu ayah, engkau jangan membuat
ribut. Ingat, mereka itu mempunyai banyak kawan, bahkan ada pula seorang
panglima yang mempunyai banyak prajurit." Hong Li lalu menggandeng tangan
anaknya dan mereka pun kembali ke kamar mereka.
Sin Hong
memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan puterinya yang
demikian tegang. "Ada terjadi apakah?" tanyanya.
"Ayah,
Ang-I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li.
Tentu saja
ayahnya terkejut mendengar pemberi tahuan ini. Tetapi Hong Li memberi isyarat
agar puterinya menutup mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan
apa yang baru saja ia alami di dalam taman. Betapa di taman muncul seorang
laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap kurang ajar dan ketika ia
hendak menghajarnya, muncul Ang-I Moli yang memanggil Si Muka Hitam itu.
Tan Sin Hong
meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau
iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini.
Dan aku heran, apakah Yo Han juga berada di sini?"
"Kita
harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah menurut pelayan tadi,
pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya
malam ini? Dan Ang-I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menjadi tamu
pula."
"Atau
mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang
penting apakah Yo Han juga ikut dengannya di sini? Kita harus menyelidikinya.
Aku selama ini merasa berdosa kepada mendiang ayah ibunya..."
"Malam
ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.
"Aku
ikut!" kata Sian Li penuh semangat.
"Tidak
boleh, Sian Li," berkata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali.
Engkau lihat, baru Si Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apa lagi Ang-I Moli dan
kita belum tahu siapa lagi yang berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa
yang mereka lakukan."
"Dan
menyelidiki apakah Yo Han berada pula di hotel ini," sambung ayahnya.
Walau pun
hatinya merasa kecewa, namun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup
cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam
yang ditemuinya di taman tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu
singkat ia sudah dapat ditangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut
dan ia membuat ayah dan ibunya gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan
merasa menyesal sekali.
Apa lagi
jika suheng-nya, Yo Han, juga berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu
membebaskan suheng-nya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan
menungggu di kamar.
Dari depan
kamar mereka yang berada di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya dapat
melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu sedang
mengadakan pesta.
"Sian
Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya? Jangan keluar, apa lagi
meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan
penyelidikan."
"Baik,
Ayah," kata Sian Li.
"Hati-hati,
Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya
sekali. Dan jangan sekali-kali engkau mendekati ruangan dalam hotel di mana
terdapat penjagaan para prajurit pengawal," pesan ibunya.
Sian Li
mengangguk. Di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya
Ang-I Moli mengingatkan ia akan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia masih
kecil, delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus mengingatkan ia kepada
suheng-nya, Yo Han yang pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suheng-nya
itu pergi meninggalkan keluarga ayahnya karena dibawa oleh wanita iblis itu.
Tentu saja
kini ia hampir melupakan wajah suheng-nya itu. Sang waktu telah menelan
segalanya, juga kedukaannya karena ditinggalkan suheng-nya. Akan tetapi, yang
jelas masih teringat olehnya adalah bahwa suheng-nya itu amat baik kepadanya,
bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.
Sementara
itu, Tan Sin Hong bersama Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. Dengan
perlindungan kegelapan malam, mereka berhasil menyusup ke bagian yang gelap
dari kebun di samping rumah, kemudian dengan gerakan yang ringan bagaikan dua
ekor burung walet, mereka melompat ke atas pohon dan setelah mengintai dari
pohon dan tidak melihat adanya penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke
atas genteng.
Gerakan
mereka begitu ringan sehingga tak menimbulkan suara dan begitu tiba di atas
wuwungan rumah penginapan itu, keduanya mendekam dan dengan hati-hati mereka
memandang ke sekeliling. Hati mereka amat lega melihat bahwa para prajurit
pengawal hanya menjaga di sekitar rumah itu, di bawah. Tentu saja tak ada yang
mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran seorang panglima
kerajaan di hotel itu!
Ruangan
tengah hotel itu dikepung prajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali.
Hal ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung
mereka dan terdapat suatu kegembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan.
Jiwa petualang mereka bangkit.
Sudah
terlalu lama mereka tidak mengalami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan
pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih
bertualang sebagai pendekar dan sering kali menghadapi lawan-lawan tangguh
dalam keadaan yang menegangkan seperti sekarang.
Dengan
hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan
tengah itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, lalu merayap pada genteng di
atas ruangan itu dan mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wuwungan di
kanan kiri yang lebih tinggi sehingga dengan rebah menelungkup, mereka dapat
mengintai ke dalam ruangan itu dengan leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat
semua dengan jelas, juga mereka dapat mendengarkan percakapan mereka yang
berada di bawah.
Ruangan itu
cukup luas dan terang sekali karena sudah diberi tambahan penerangan. Terdapat
beberapa buah meja yang diatur di tengah ruangan, berderet memanjang. Di kepala
meja duduklah seorang berpakaian panglima.
Dia masih
muda, tidak lebih dari dua puluh tiga tahun usianya, berwajah tampan dan gagah,
pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di kanan kiri meja duduk berderet
banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka berpakaian seperti
tosu.
Tentu saja
hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, apa lagi pada
waktu mereka mengenal adanya Ang-I Moli di antara mereka, dan mengenal pula
bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan
orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda
itu yang bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main.
Sepanjang
pengetahuan mereka, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu
menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, meski terkenal
sebagai perkumpulan orang-orang gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan
tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum pemberontak terhadap Kerajaan
Mancu. Lalu, bagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-kauw dan
Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima
kerajaan?
"Aku
tidak melihat adanya Yo Han di sana..." bisik Hong Li dan suaminya memberi
isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan
mengangguk.
Mereka tahu
bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh
Peklian-kauw dan Thian-li-pang bukanlah hal yang dapat dipandang rendah. Baru
Ang-I Moli seorang saja sudah bukan merupakan lawan yang ringan, apa lagi masih
ada para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan orang-orang Thian-li-pang juga terkenal
tangguh.
Sin Hong
mengenal Lauw Kang Hui di situ. Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini
adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil ketuanya sampai ikut hadir juga,
berarti pertemuan itu tentu penting sekali, pikir Sin Hong. Keingin tahuannya
untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk mengetahui
apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini sedang dijamu
oleh seorang panglima muda Kerajaan Mancu!
Dia dan
isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi bentrokan dengan mereka,
sungguh berbahaya. Apa lagi di situ masih terdapat pasukan anak buah panglima
itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri mereka yang
tentunya membutuhkan perlindungan.
"Ciangkun,
sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar
bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut
mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada
panglima itu.
Panglima itu
tertawa. "Aihh, Susiok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya
penjagaan kami? Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong
dan para tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan
diawasi, juga sekeliling ruangan ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah
diblok dan dijaga oleh pasukanku. Tidak ada yang begitu gila untuk berani
mendekati tempat ini!"
Tan Sin Hong
dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu ialah murid keponakan
dari adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat
menduga apa yang telah terjadi.
Kiranya
Thian-li-pang kini telah berhasil menyelundupkan seorang anggotanya ke dalam
kerajaan, bahkan ke dalam istana sebab melihat pakaiannya, panglima dan
pasukannya itu termasuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh keadaan yang
berbahaya sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!
Memang
dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki,
putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga
tahun itu adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian
ayahnya, seorang yang gagah dan berani, juga cerdik sekali.
Saat
Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai persilatan besar karena campur
tangan keluarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan para pimpinan dari
empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan
mereka mencari jalan lain. Kembali mereka menghubungi Siang Hong-houw
(Permaisuri Harum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka
hingga memungkinkan mereka untuk menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang
panglima muda pasukan pengawal istana!
Siang
Hong-houw masih mendendam pada Kerajaan Mancu yang telah menghancurkan suku
bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang, dengan janji
bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan membunuh suaminya, Kaisar
Kian Liong, seperti yang dahulu pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang
berusaha membunuh Kaisar itu tetapi dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang
menyanggupi, hanya mengatakan bahwa penyelundupan orang-orang.
Thian-li-pang
ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk memata-matai semua
siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan mereka apa bila tiba
waktunya untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah Mancu.
Demikianlah,
karena kepandaiannya membawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan Ouw
Ciangkun itu sebentar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya
yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang telah diatur oleh
Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun sudah ‘membuat
jasa’ dengan membasmi gerombolan penjahat yang seakan-akan sengaja diumpankan
oleh dua perkumpulan pemberontak itu. Karena jasa-jasanya itulah maka Kaisar
Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para panglima,
berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.
Karena sudah
mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki
mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah ia berani
mengadakan kontak dengan Thian-li-pang.
Demikianlah,
pada malam hari itu, dengan dalih berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki
mengadakan pertemuan rahasia di hotel besar itu dengan orang-orang
Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Meski pun
yang hadir di ruangan dalam hotel itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan
Thian-li-pang yang berilmu tinggi, tapi karena mereka merasa yakin bahwa tidak
mungkin ada orang berani mengganggu pertemuan itu, maka mereka menjadi teledor
dan kurang teliti. Mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang
telinga ikut melihat dan mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!
"Saya
mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merundingkan
kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak melaporkan
bahwa segalanya berjalan dengan lancar dan sekarang sudah terbuka kesempatan
yang amat baik bagi kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran
yang kini menjadi saingan bagi Pangeran Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.
"Coba
jelaskan, bagaimana kesempatan itu? Kita harus bertindak hati-hati dan sekali
ini, begitu bertindak kita harus berhasil," kata Ang-I Moli.
Ang-I Moli
bersama dua orang tosu itu, yaitu Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan
Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Ang-I Moli ini, semua orang memandang
kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga ingin sekali mendengar jawabannya.
"Kesempatan
ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw
Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Nanti pada
tanggal lima belas bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak
menjamu semua pangeran dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang
tahunnya dan menikmati musim bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan
itulah seluruh pangeran berkumpul di sana dan mereka akan berpesta pada saat
yang sama."
"Bagus!"
Lauw Kang Hui berseru girang. "Kalau semua lalat itu sudah berkumpul,
sekali tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"
"Lauw-pangcu,
engkau hendak menggunakan kekerasan dan menyerang ke taman itu?" Ang-I
Moli bertanya sambil mengerutkan alisnya.
Lauw Kang
Hui tertawa. "Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh
untuk mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw
untuk tidak menggunakan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan
kami agar supaya jangan melanggar janji. Lagi pula, biar pun Ouw Cun Ki telah
berhasil menghimpun satu regu pasukan pengawal pribadinya yang terdiri dari
orang-orang kita sendiri, akan tetapi apa artinya seregu pasukan dalam istana
jika menghadapi pasukan pengawal yang sangat besar jumlahnya? Tidak, kami akan
mempergunakan jalan yang paling halus, dan untuk ini, tentu saja kami
mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."
"Hemm,
Lauw Pangcu, apa yang dapat kami bantu?" berkata Kwi Thian-cu.
"Bukankah Pangcu akan menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu
melalui hidangan? Nah, kalau mengenai racun, siapa yang akan mampu menandingi
para Locianpwe di Thian-li-pang seperti Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan
Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)? Apa pula yang dapat kami lakukan
untuk membantu kalian?”
"Totiang
(Bapak Pendeta) harap jangan salah menyangka. Memang kami sendiri sudah
mempersiapkan racun yang sangat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila
dicampurkan arak. Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan
seorang wanita yang cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya seorang Ang-I Moli
saja yang akan mampu melakukannya, yaitu menjadi kepala pelayan dari Siang
Hong-houw, membantu dalam pesta itu, bahkan yang bertugas menuangkan arak dalam
cawan para pangeran. Nah, pada kesempatan menuangkan arak itulah dapat
digunakan Moli untuk mencampurkan racun kami. Siapa lagi yang akan mampu
melakukannya kalau bukan Ang-I Moli?"
"Aihh,
Lauw Pangcu. Bagaimana mungkin aku dapat melakukan tugas yang berbahaya sekali
itu? Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagai
mana aku akan mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"
Lauw Kang
Hui tertawa. "Ha-ha, apakah Ang-I Moli yang terkenal amat pandai dan lihai
itu sekarang merasa takut?"
"Lauw
Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut kepada siapa
pun juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai
perhitungan, dengan mata terpejam saja memasuki sarang singa dan mati
konyol!" bantah Ang-I Moli dengan muka menjadi merah.
Ouw Cun Ki
segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang-I Moli tidak menyalah
artikan maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang sudah kami atur dan
rencanakan sebelumnya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan,
agar Siang Hong-houw suka menerima Bibi menjadi kepala pelayan sehingga Bibi
tidak akan dicurigai siapa pun juga ketika melayani penuangan arak untuk para
pangeran. Selain itu, juga saya akan mengerahkan pengawal untuk berjaga di
taman itu, yang sebetulnya merupakan pengepungan untuk mencegah campur
tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan takkan gagal, hanya
membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk mencampurkan bubuk racun
itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok. Selain
bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw
untuk suka menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan pada saat
pesta itu terjadi, agar para Locianpwe dari Pek-lian-kauw bisa mengarahkan
kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi para pangeran sehingga mereka akan
tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak bercuriga."
Ang-I Moli
mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka bekerja sama.
Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari
lagi."
"Sebab
itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perundingan di
sini. Memang sebaiknya jika besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke
istana dan diterima oleh Siang Hong-houw. Ada pun para Locianpwe yang akan
menyamar sebagai anggota pengawal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun
bisa saja."
Mendengar
percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi
terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran
dalam sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isyarat
kepada isterinya dan mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali
ke kamar mereka di belakang. Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih
menunggu kembalinya ayah bundanya.
"Bagaimana,
Ayah? Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) juga berada di dalam sana?"
Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.
Sin Hong
menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian serius, Sian Li
segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"
Sin Hong dan
Hong Li sudah sepakat untuk memberi tahu puteri mereka. Sian Li bukan anak
kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah
dapat mengetahui keadaan.
“Sian Li,
telah terjadi hal yang amat penting.” Hong Li lalu menceritakan dengan suara
lirih tentang segala yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita
ibunya, Sian Li mengerutkan alisnya.
“Aih, kalau
begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!” serunya khawatir. “Lalu apa
yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?”
“Engkau tahu
betapa gawatnya keadaan, Sian Li,” kata Sin Hong dengan sikap serius.
“Ibu dan
ayahmu harus cepat melakukan usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan di
istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dahulu, agar
gerakan kami tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami menghadapi
lawan-lawan yang amat jahat dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau
engkau bersembunyi dulu di sini sampai kami kembali.”
Sian Li
mengangguk-angguk. Ia maklum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tak
akan leluasa bergerak. Apa lagi kalau sampai terjadi bentrokan, dia tidak akan
dapat membantu bahkan menjadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat
lihai, merupakan datuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat
membantu orang tuanya.
“Akan
tetapi, sebaiknya engkau bersembunyi saja di kamar, anakku. Dan kalau engkau
membutuhkan makan minum, pesan saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke
sini. Jangan engkau bepergian keluar.”
“Baiklah, Ibu.
Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?”
“Benar, kami
harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi. Bagai
mana pun juga, besok pagi-pagi kami tentu sudah pulang,” kata Sin Hong.
“Andai kata
urusan ini belum selesai pun kami tentu akan kembali ke sini dahulu untuk
menjengukmu, Sian Li,” kata Hong Li.
“Baiklah,
Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali.”
Setelah
sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan jangan keluar dari
kamar, suami isteri pendekar itu kemudian pergi meninggalkan rumah penginapan,
menggunakan kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain yang melihat mereka
meninggalkan tempat itu.
***************
Tentu saja
para prajurit yang menjaga di gardu penjagaan depan rumah gedung tempat tinggal
Panglima Liu merasa curiga ketika Sin Hong dan Hong Li minta agar mereka
melapor kepada panglima itu bahwa suami isteri itu minta menghadap Liu
Tai-ciangkun, Malam sudah larut. Bagaimana mungkin mereka berani mengganggu
atasan mereka yang sedang tidur?
Liu
Tai-ciangkun adalah seorang panglima tua, berusia enam puluh tiga tahun, dan
yang dikenal oleh hampir semua pendekar. Panglima ini terkenal sebagai seorang
panglima yang setia dan adil. Juga dia dapat menghargai para pendekar, bahkan
sering kali dia mengulurkan tangan mengajak kerja sama dengan para pendekar
untuk mengamankan negara dari gangguan para penjahat.
Karena hal
inilah maka Sin Hong mengajak isterinya untuk malam-malam menghadap panglima
itu. Kiranya hanya panglima itu yang dapat mereka harapkan untuk mengatasi
kemelut di istana itu, untuk menghadapi Ouw Ciangkun, murid keponakan wakil
ketua Thian-li-pang yang berhasil menyelundup menjadi perwira pasukan pengawal
istana.
Akan tetapi,
mereka kini berhadapan dengan lima orang prajurit penjaga yang berkeras tidak
dapat menerima tamu pada malam-malam begitu.
“Kalau
memang Jiwi (Kalian Berdua) mempunyai kepentingan dengan Liu Tai-ciangkun,
sebaiknya supaya Jiwi kembali besok saja. Malam-malam begini, bagaimana
panglima dapat menerima tamu? Beliau tentu sudah tidur dan kami tidak berani
lancang untuk mengganggunya,” kata kepala jaga.
“Hemm,
kalian tidak mengenal kami,” bentak Hong Li yang berwatak keras. “Kalau Liu
Tai-ciangkun mendengar bahwa kami yang datang, dia tentu akan cepat-cepat
keluar menyambut!”
Para penjaga
mengerutkan alisnya, dan Sin Hong yang selalu berwatak sabar dan lemah lembut,
cepat maju memberi hormat kepada mereka. “Harap saudara sekalian memaafkan
isteriku. Tetapi sungguh, kami mempunyai urusan yang teramat penting yang harus
kami sampaikan kepada Liu Tai-ciangkun sekarang juga.”
Para penjaga
itu sudah merasa tidak senang dengan sikap keras Kao Hong Li tadi, maka kepala
jaga itu sambil memandang kepada nyonya muda yang cantik dan galak itu,
bertanya, “Sebetulnya, siapakah Jiwi? Kami sama sekali tidak mengenal Jiwi, dan
apa keperluannya? Karena kami belum mengenal Jiwi, bagaimana kami dapat percaya
kepada Jiwi?”
“Hemm,
kalian ingin mengenal kami? Nah, jagalah baik-baik!” kata Hong Li dan sebelum
suaminya mencegah, nyonya muda itu sudah bergerak cepat sekali menyerang dengan
totokan-totokan. Tangannya bergerak cepat bukan main dan tubuhnya berkelebatan
di antara lima orang penjaga itu.
Para penjaga
tentu saja berusaha untuk mengelak, menangkis, bahkan balas memukul. Namun,
tanpa mereka ketahui bagaimana, tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi lemas dan
mereka terkulai roboh satu demi satu tanpa mampu bangkit kembali!
“Nah, kalian
lihatlah. Apa sukarnya bagi kami untuk langsung saja mencari sendiri Liu
Tai-ciangkun ke dalam? Akan tetapi kami tidak mau melakukan itu. Kami
menggunakan tata cara dan sopan santun, akan tetapi kalian malah menolak kami!
Kalian mau tahu siapa kami? Katakan saja pada Liu Tai-ciangkun bahwa yang
datang adalah Pendekar Bangau Putih dan isterinya, puteri pendekar Kao Cin
Liong!”
Setelah
berkata demikian, dengan gerakan yang cepat sekali, tangan Hong Li bergerak
membebaskan totokannya kepada lima orang penjaga itu.
Kini lima
orang itu yang tadi terkejut, tidak banyak tingkah lagi. Mereka bukan saja
berkenalan dengan kelihaian nyonya muda itu, akan tetapi mendengar nama
Pendekar Bangau Putih dan puteri bekas Jenderal Kao Cin Liong, mereka sudah
menjadi tunduk dan tanpa banyak cakap lagi, kepala jaga cepat-cepat berlari
masuk untuk melapor, biar pun untuk itu terpaksa dia harus mengetuk pintu kamar
tidur Sang Panglima, suatu hal yang dalam keadaan biasa, biar bagaimana pun
juga takkan berani dia melakukannya!
Tak lama kemudian
kepala jaga itu kembali. Dengan sikap hormat dia mempersilakan suami isteri
pendekar itu untuk memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri bangunan.
Pada saat
Sin Hong dan Hong Li tiba di rumah yang lebar itu, mereka mendapatkan Liu
Tai-ciangkun sudah duduk menanti. Nampak panglima tua itu baru bangun tidur,
bahkan agaknya dia mengenakan pakaian pengganti baju tidur secara tergesa-gesa,
rambutnya juga nampak kusut.
Mereka
saling memberi hormat, dan panglima itu bangkit dengan wajah berseri-seri.
“Tai-ciangkun,
mohon maaf sebesarnya kalau kami sudah mengganggu Ciangkun dari tidur,” kata
Sin Hong dengan sikap hormat.
“Ah, tidak
apa-apa, Taihiap dan Lihiap. Silakan duduk!” kata panglima itu dengan ramah
sambil mempersilakan mereka untuk duduk di kursi-kursi yang sudah diatur
berhadapan dengan dia, hanya terhalang meja besar. “Kalau Jiwi malam-malam
begini menemuiku, sudah pasti Jiwi membawa urusan yang teramat penting. Nah,
para pengawal sengaja kularang mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah
apa kepentingan itu!” Sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang pembesar
tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.
Sin Hong
kemudian menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan
isterinya ketika mereka mengintai dan mendengarkan percakapan di antara para
tokoh dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun,
perwira pasukan pengawal istana.
Mendengar
laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah bukan
main, di samping juga sangat terkejut. “Aku sudah meragukan perwira muda itu!
Dia terlalu cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda
sendiri! Kiranya para pemberontak itu diam-diam mempergunakan pengaruh Siang
Hong-houw. Sungguh berbahaya sekali. Sekarang juga aku harus mengerahkan satu
pasukan untuk menangkap semua pengkhianat dan pemberontak itu!” Panglima itu
bangkit berdiri.
“Maaf,
Tai-ciangkun. Kukira itu bukanlah tindakan yang tepat dan bijaksana!” kata Kao
Hong Li.
Panglima itu
mengerutkan alisnya, kemudian menghadapi wanita itu dengan sinar mata
penasaran. “Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan
Lihiap mengatakan tidak tepat dan tidak bijaksana? Apa maksud Lihiap?”
“Tai-ciangkun,
mereka kini berada di rumah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau Ciangkun
mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat,
tentu mereka sudah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun pasti akan
terlambat,” kata Hong Li.
“Pula, di
tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat,
mereka memiliki banyak orang yang lihai!” kata pula Sin Hong.
“Andai kata
Ciangkun tidak terlambat dan dapat menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun
untuk menuntut mereka semua? Tak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya
mendengar laporan kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan
dijadikan bukti? Ingat, Ouw-ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau
terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang
Hong-houw yang tentu akan melindungi Ouw-ciangkun?”
Mendengarkan
ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba
jenggotnya dan dia pun mengangguk-angguk. “Benar sekali apa yang Jiwi katakan.
Untung Jiwi mengingatkan aku sehingga tidak bertindak secara tergesa dan
gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Maaf,
Ciangkun,” kata Hong Li. “Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat
pula. Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka
lengah. Namun diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana
mereka itu, untuk menggagalkan rencana jahat mereka. Tanggal lima belas kurang
tiga hari lagi, masih ada waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur
siasat.”
“Kalau
Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, akan ada dua keuntungan.
Pertama, Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang
Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan pengawal yang
dipimpin Ouw-ciangkun di samping menangkap Ang-I Moli yang hendak meracuni
cawan para pangeran. Dan ke dua, penyergapan itu pasti berhasil baik karena
penjahat-penjahat itu telah terkurung di lingkungan istana, bagaimana mereka
akan mampu lolos?” kata Sin Hong.
Panglima itu
mengangguk-angguk “Bagus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Jiwi baik sekali!”
Panglima itu
lalu berunding dengan mereka. Dia akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk
diam-diam mengepung taman itu pada waktu pesta ulang tahun Siang Hong-houw
berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan dapat
tertangkap semua.
"Akan
tetapi, kami sangat membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu berbahaya.
Keselamatan nyawa para pangeran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri
tadi, Ang-I Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan
meracuni cawan arak para pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang
membantu kami untuk melindungi para pangeran dan mencegah perbuatan Ang-I Moli
itu. Demi kepentingan negara, kami mohon Jiwi tidak menolak dan jangan kepalang
membantu kami dalam menyelamatkan para pangeran dan mencegah terjadinya
perbuatan yang amat keji dan jahat.”
Suami isteri
itu saling pandang. Memang tidak semestinya kalau mereka membantu
setengah-setengah. Apa lagi mereka tahu bahwa bantuan mereka bukan berarti
mereka berpihak kepada Kerajaan Mancu semata, tetapi terutama sekali menentang
golongan sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.
“Baiklah,
Tai-ciangkun,” kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. “Kami akan
membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami
yang sekarang masih berada di kamar rumah penginapan itu, maka kami akan
menjemputnya lebih dahulu dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin
menitipkan anak kami di rumah Ciangkun agar keselamatannya terjamin.”
“Ah, kenapa
tidak Jiwi bawa sekalian sejak tadi? Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi
bersama puteri Jiwi.”
Sin Hong dan
Hong Li segera berpamit untuk kembali ke Heng-tai yang jauhnya belasan li dari
benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedungnya itu. Panglima itu
lalu mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan ketika melihat betapa
panglima itu amat menghormati mereka, para prajurit penjaga juga memberi hormat
secara militer seolah suami isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat
tinggi.
Malam telah
berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali di kota Heng-tai. Mereka
langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walau pun
masih ada prajurit pengawal yang menjaga. Agaknya rapat itu sudah selesai dan
kini para tokoh sesat itu entah bersembunyi di mana.
Sin Hong dan
Hong Li segera menyelinap dan bersembunyi ketika tiba di belakang hotel itu dan
dapat melihat kesibukan di antara para prajurit pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun
sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment