Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 04
Terdorong
oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur
dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika
mencoba mengerek bungkusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa
sebab! Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah,
gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga
entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!
Karena tidak
mungkin baginya untuk turun ke dasar sumur, juga kini tidak pernah lagi ada
suara mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari
mengirim makanan dengan melemparkannya ke sumur.
Yo Han mulai
merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, yaitu
mengajarkan ‘tari-tarian’ yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu
mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo Han dapat
memuaskan selera bacanya yang tidak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya
dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar,
juga riwayat partai-partai besar di dunia persilatan. Akan tetapi, gurunya tak
pernah mengajaknya bicara tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara
tentang ilmu silat.
***************
Kita
tinggalkan dulu Yo Han yang belajar ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Thian-te Tok-ong,
tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan marilah kita melihat keadaan keluarga
Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.
Setelah
ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan
suheng-nya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir
selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia
menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi
meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya supaya
mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, sering kali Sian Li bermimpi dan
mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.
Tentu saja
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat
sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa
kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa
merelakan Yo Han pergi.
Yo Han bukan
anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat
dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka
berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka
mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis
yang lemah kelak?
Hidup memang
diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang saling
berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia
ini. Justru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan menjadi ada dan
dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada
panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua,
yang menjadi kebalikannya.
Bagaimana
mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya
gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang,
baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal
arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan.
Kita sudah
terseret ke dalam lingkaran setan dari kedua unsur yang berlawanan ini sehingga
kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal,
semua keadaan itu hanyalah hasil dari pada perbandingan dan penilaian yang
selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas,
tetapi lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kekecewaan. Apa yang hari
ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.
Sebetulnya,
susah dan senang hanyalah akibat dari pada penilaian kita sendiri. Hati dan
akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang
licik selalu membuat perhitungan. Semua hal yang menguntungkan kita berarti
senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya.
Kalau hujan
turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena
menguntungkan kita. Sebaliknya, jika hujan turun mengakibatkan banjir atau becek
atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan
kita.
Demikian
pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah
senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari,
dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya
rendah.
Kalau kita
sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja,
dan kesusahan telah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, jika
kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa
bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, dan akan tertimbun
kesenangan atau kesusahan lain yang datang silih berganti.
Orang yang
bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi
itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat
dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa
yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan semuanya
pada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang mengatur dan
menentukan segalanya.
Hujan?
Banjir? Bencana alam? Kehilangan? Keuntungan dan keberhasilan? Sakit dan mati?
Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran dan penuh keikhlasan, berdasarkan
kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Orang yang sudah pasrah lahir batin,
secara menyeluruh kepada Tuhan, tidak akan pernah lagi disentuh derita yang
berlebihan, tidak akan mabok kesenangan.
Setelah
lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat
keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong serta isterinya, Kao Hong Li, lalu
mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar supaya terhibur
hatinya.
Mereka
mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan
indah. Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di salah sebuah
rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk
berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.
Tentu saja
Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan
tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal
pergi Yo Han!
Senang atau
susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan
menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau
perasaan lainnya akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul
karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh
perasaan yang timbul karena peristiwa baru.
Sejak kita
kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita telah digelimangi
nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru.
Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik
yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Jika yang didapatkan itu sudah lama,
akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru.
Sejak
kanak-kanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh
barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tak berubah, tetap saja
tertarik oleh barang mainan yang baru, walau pun bentuk barang permainan itu
yang berbeda.
Permainan
kita pada waktu masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau
permainan dengan kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka
atau barang-barang mainan lain, melainkan permainan berupa harta benda,
kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indera. Meski pun
demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah
sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!
Setelah
berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak
pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah
ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan
neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah
putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek
luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti
penghuni Istana Pulau Es!
Suami isteri
keturunan keluarga pendekar sakti itu kini tinggal di Pao-teng, berdagang
rempah-rempah. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh
tiga tahun sedangkan isterinya, Suma Hui, telah berusia lima puluh tiga tahun.
Semenjak
puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin
Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja
merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko
rempah-rempah yang juga membantu rumah tangga.
Namun, suami
isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka sudah lama mengurung
diri dan tak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tak ada golongan sesat
yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal
lihai sekali, juga karena Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang
panglima perang yang telah banyak jasanya.
Kini, suami
isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang
berlebihan bagi mereka berdua. Mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka
menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota
Pao-teng merasa hormat dan segan kepada mereka.
Dapat
dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek
Suma Hui, ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan
anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dulu pernah merana dan berduka sekali
melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li.
Dulu,
sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi
isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan
jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai
ilmu silat dan sastra.
Namun
sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di
pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai
suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa kemudian
menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak
dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai!
Namun dasar
sudah jodohnya. Hong Li kemudian bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu
dicintanya akan tetapi terputus karena Sin Hong menikah dengan wanita lain.
Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari
isterinya yang melakukan penyelewengan!
Dua hati
yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang
dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma
Hui merasa berbahagia sekali, apa lagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar
mereka.
“Sian Li,
cucuku yang manis sekali...!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya itu
tinggi-tinggi, kemudian mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa
gembira. “Aduh, engkau makin manis saja, Sian Li. Dan pakaianmu merah!
He-he-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”
Kao Cin
Liong mengelus rambut kepala Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui. “Bangau
Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau
Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kongkong!” kata kakek itu dan mengambil
Sian Li dari pondongan isterinya.
Suma Hui
menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.
“Ehh? Mana
murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”
Mendadak
Sian Li yang berada di pondongan kakeknya berkata, “Kongkong dan Bo-bo (Nenek),
Suheng Yo Han nakal, dia pergi bersama seorang bibi iblis!”
Kakek dan
nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini
memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal
karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini
mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu
menagisinya.
“Apa yang
terjadi dengan dia?” bertanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa
sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.
“Ayah dan
Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah
karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama
seminggu dan setiap hari kami mengajak Sian Li pesiar.”
Mereka semua
lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi
kamar Hong Li. Ada pun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak
tidur di kamar neneknya.
Sesudah
beristirahat dan makan malam, dan sesudah Sian Li tertidur pulas di kamar
neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan
nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang
terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih
ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang-I Moli Tee Kui Cu yang mula-mula
menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan
menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!
“Demikianlah,
Ayah dan Ibu. Yo Han sudah pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya.
Kami tidak dapat mencegahnya karena dia sendiri memang sudah berjanji untuk
menukar Sian Li dengan dirinya sendiri.”
“Ahhh,
tetapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji
kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian
membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu
pantas dibasmi!”
“Tidak boleh
kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas
bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak
suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia
sudah berjanji kepada Ang-I Moli supaya iblis betina itu membebaskan Sian Li
dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong
dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo
Han.”
“Apa yang
dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Aku pun tadinya tidak
mau mengalah begitu saja dan sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku
bertanding. Dia memang lihai, akan tetapi kalau dia tidak melarikan diri, tentu
aku akan dapat membunuhnya. Tetapi betapa pun juga, kami tidak mungkin dapat
membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan
baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han
sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu juga sudah tahu bahwa kami ingin
menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu
agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa
kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami
rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu.”
Kao Cin
Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan amat kagum kepada
anak itu. “Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluarga
kalian karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?”
Hong Li
mengangguk dan menunduk. “Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang
kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya sehingga dia rewel terus dan
terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami
harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han
bila terus dekat dengan dia.”
Sin Hong
menarik napas panjang. “Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami sangat sayang kepada
Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak
ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia.”
“Tetapi...
bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke
tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya jadi
terancam...” Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.
“Aku juga
khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tak perlu khawatir,”
kata Hong Li sambil memandang suaminya.
Sekarang
mereka bertiga semuanya memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan
yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.
“Sesungguhnya
pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapa pun
janggalnya. Saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa
disengaja memberi pelajaran kepada saya, yaitu bahwa nyawa setiap orang berada
di tangan Tuhan. Ia amat yakin akan hal ini, maka ia tidak pernah takut
menghadapi apa pun, bahkan ancaman maut sekali pun. Saya merasa yakin bahwa ada
sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang
melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan
yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya
bergerak menangkap ular itu. Tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara
kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia
menguasai pula ilmu menundukkan ular.”
“Aneh
sekali!” kata Suma Hui. “Padahal, walau pun aku sendiri pernah mempelajari ilmu
menundukkan ular, akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku pun tidak
pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li.”
“Itulah
keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari
penculik Sian Li. Kami berdua yang mempunyai kepandaian saja gagal menemukan
penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya? Bahkan lebih hebat
lagi, dapat membujuk Ang-I Moli untuk membebaskan Sian Li!”
Kakek dan
nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimana pun juga, mereka
menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang-I Moli.
“Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya,” kata Suma
Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan
Yo Han sudah pergi bersama Ang-I Moli entah ke mana.
Malam itu,
karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di
dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan
kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya
dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.
Kakek dan
nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai
seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Pada saat puteri mereka itu menikah
dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka
sekali. Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia yang masih
demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak!
Mereka sudah
merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai
hidup, apa lagi tanpa anak, dipandang amat hina dan rendah. Sungguh di luar
dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu
tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi
cucu mereka yang mungil!
Menjelang
tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tertidur pulas dan juga keadaan
sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah
dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar
kakek Kao Cin Liong.
“Taihiap
(Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan
di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.
Kao Cin
Liong yang sedang duduk bersemedhi bisa mendengar seruan ini dengan jelas.
Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian
Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-lim-pai yang
termasuk tokoh karena tingkat dan kepandaian silatnya sudah cukup tinggi.
Mendengar
suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela
dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana
dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan
oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali.
Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia
tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal
Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.
“Tahan...!”
seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio
yang terhuyung, menyambar lengannya.
Hwesio yang
usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia
bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.
“Thian Kwan
Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”
“Mereka...
mereka... orang-orang Bu-tong-pai... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah.
“Kami sudah mengalah... akan tetapi... seperti pernah kuceritakan...
Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami...” Tubuh hwesio itu terkulai
dan dengan lirih dia masih menyebut “Omitohud...!” dan dia pun lemas dan tewas
dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.
Kao Cin
Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan
mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana
para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah
bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio, Bu-tong-pai
menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa
Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan
kepala kuil itu, justru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai,
juga di puncak Bukit Naga!
Dua orang
tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian
Kwan Hwesio.
“Dia ini
tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!” Dan mereka berdua maju menyerang
kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat.
Kakek Kao
Cin Liong terkejut dan berseru, “Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba
untuk mengelak.
Akan tetapi
karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat,
tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu
dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.
“Desss...!”
Kakek itu
terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga
yang kuat bukan main. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat
mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng
dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga.
Sedangkan ia
sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tak ingin bermusuhan dengan
Bu-tong-pai yang para pemimpinnya banyak dikenalnya, dia tidak mengerahkan
seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan
dua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!
Kao Cin
Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Meski pun usianya telah
lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat
dari Gurun Pasir. Karena dia maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan
kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir
tertekuk, dia lantas mengerahkan tenaga Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam
di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana
Gurun Pasir.
“Aaarghhhh...!”
Kakek itu
mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun langsung
terjengkang! Akan tetapi pada saat kakek yang sudah tua itu menghentikan
pengerahan Sin-liong Hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang
menghantamkan tapak tangan mereka ke punggungnya.
“Plakkk!
Dukkk!”
Dua orang
pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa
betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin
Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya
selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong Hok-te tadi demikian hebatnya
sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai
hebat!
“Aiihhh...!”
Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.
“Kongkong...!”
Suma Hui
tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia
menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya
cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja.
Seorang di
antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan
serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu
masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke
arah dada.
Namun, Suma
Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, bila dilakukan
berterang, tentu akan dapat diatasinya.
“Haiiittt...!”
Suara Suma
Hui melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali. Dia berhasil
menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat
penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi
nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang
lihai.
Begitu
kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi
sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan
pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke
sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga
Swat-im Sinkang yang dingin.
Karena
maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah
mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya amat
terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan
lawannya, maka ia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak,
melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung.
Pada saat
tiga orang tosu yang lainnya hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok
bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor
burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao
Hong Li.
Melihat hal
ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari
belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan
main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru
datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria.
Begitu Sin
Hong mengelak dan tangannya mendorong, hawa pukulan yang keluar dari tangannya
lantas membuat lawannya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat membantu
kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong,
mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.
“Ayah...!”
Kao Hong Li yang melihat ayahnya tergeletak di atas genteng, terkejut sekali
dan cepat menghampiri ayahnya.
Dengan napas
empas-empis Kao Cin Liong berkata, “Hong Li... cepat... kau… bantu... ibumu...”
Hong Li
menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk sekali menghadapi
permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biar pun kini dikeroyok dua, tidak
nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat, kemudian membantu ibunya. Kini tosu
berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.
Walau pun
mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa
betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya
untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu!
Bahkan tosu
itu sempat berteriak. “Sute, bantu...!”
Teriakannya
ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat
berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan kedua orang
tosu ini pun sudah mulai terdesak pada saat Sin Hong terpaksa memainkan ilmu
andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun.
Ilmu ini
adalah ilmu yang sangat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang pendekar sakti,
yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng.
Juga tenaga sinkang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong
sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa
sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu.
Sekarang,
melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai sekali, ia
terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan
begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja, dua orang
pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.
Tiba-tiba
terdengar teriakan suara anak kecil, “Ibuuuu...! Ayaahhh...!” Suara ini disusul
suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.
“Hentikan
perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”
Mendengar
teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li sudah terkejut, demikian pula
nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana,
di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong
Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika
lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani
bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak
itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
“Jangan
mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu.
Sin Hong dan
isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li
melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula,
entah ke mana perginya.
“Uhhh...!”
Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke
bawah.
Melihat hal
ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu
dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu
hendak meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.
“Jangan bawa
anakku! Kembalikan!”
“Berhenti,
atau kubunuh anakmu!” Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah
tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak
berani ia mengejar.
Tiba-tiba,
dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu
dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan
tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan
yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa
betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik
dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat
melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.
“Terima
anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat
menangkapnya.
“Ibuuu...!”
“Sian Li,
engkau tidak apa-apa, nak?” Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya,
menciuminya dengan hati lega.
Akan tetapi,
ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada saat itu, Sin Hong
sudah melayang, turun memondong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian
Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang
terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.
“Ibu...!”
Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.
“Aku...
berhasil menghajar penculik tadi... tetapi yang lain... membokong dengan curang
dari belakang... ahhh... bagaimana... ayahmu...?” Wanita itu terkulai dan tentu
segera roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.
“Cepat bawa
masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.
Dia masih
memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya. Mereka
masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walau pun
nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.
Tiga orang
pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi
terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu
saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam
keadaan luka dan pingsan.
“Cepat
kalian undang tabib yang paling pandai di kota ini,” berkata Sin Hong setelah
dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li
merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.
Sin Hong
lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang
telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas
sebuah dipan.
Sin Hong
memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alis melihat
dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah
mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, dan
napasnya empas-empis, tinggal satu-satu.
Kemudian dia
dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak
lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di
lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua benda
kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas
bahwa senjata rahasia itu beracun!
Melihat
keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Dia
terlampau gagah untuk menangis. Dia berusaha menahan gejolak hatinya yang penuh
kekhawatiran dan kemarahan.
Dengan pandang
matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, lalu dengan lembut
dia berkata, “Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biarlah aku yang
berjaga di sini sampai tabib datang.”
Hong Li
maklum akan maksud suaminya. Memang kurang baik membiarkan Sian Li di situ.
Anak ini nampak sangat kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang
rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis
dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.
“Mari, Sian
Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”
Sian Li
digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Pada waktu Hong Li merebahkan puterinya
di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, “Ibu siapa yang
melukai Kakek dan Nenek?”
“Mereka
orang-orang jahat, Sian Li.”
“Kenapa Ayah
dan Ibu tidak menangkap mereka?”
“Mereka itu
lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”
“Tapi, Ibu.
Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”
Kao Hong Li
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi sebelum
tewas, Thian Kwan Suhu sempat berseru bahwa mereka adalah orang-orang
Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”
“Kalau
begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”
“Begitulah.
Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”
Sekarang
Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. “Kalau
begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai! Mereka orang-orang jahat!”
“Ssttt,
sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada
ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan
macam itu,” ibunya menghibur.
Dan setelah
puterinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya.
Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin
Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka
itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin
Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan
menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.
Setelah
tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. “Kiraku hanya ada seorang saja
yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita mesti cepat memberi
kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biar pun tidak
memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman
yang luas.”
Sin Hong
setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah
dan ibu mertua yang terluka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera
mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota
Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong, dan yang satunya pergi Tapa-san untuk
mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu, Tan Sin Hong yang menjadi kenalan
baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan
besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang
Bu-tong-pai.
Setelah tiga
orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama
isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biar pun Sin Hong dan isterinya
sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga
sinkang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa
nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.
Melihat
keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan berbisik kepada
suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar supaya percakapan mereka tidak
mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.
“Para tosu
Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah
dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggung
jawaban mereka. Perbuatan mereka yang melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak
boleh didiamkan begitu saja!”
Tan Sin Hong
mengerutkan alisnya. “Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu
amarah saja. Kita telah sama mengetahui bahwa akhir-akhir ini memang terdapat
pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai hingga sering kali terjadi
bentrokan di antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan ini
memang bukan urusan kita. Kalau kini Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu
terjadi dalam perkelahian karena mereka turut terlibat dalam perkelahian antara
Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai
dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”
“Akan tetapi
hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan
Ayah. Kenapa mereka masih terus menyerang dan tidak mau memandang muka orang
tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, mengapa Ayah dan
Ibu malah mereka serang?”
“Karena itu,
aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau
akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang
bersalah.”
Akan tetapi
isterinya menggelengkan kepala. “Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua
Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus
membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan
Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan
gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai
persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah
menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang?”
Sin Hong
mengangguk-angguk. “Engkau benar. Aku sendiri pun memang ada perasaan curiga
terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja
sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah
dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai
sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dahulu mengirim
surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau
Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjung ke Bu-tong pai
untuk membikin terang perkara ini.”
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek
dan neneknya.
“Ayah dan
Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanya anak itu sambil mendekati
pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.
“Ssttt, Sian
Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan engkau
bermainlah di luar.”
Sian Li
memandang kepada kakek dan neneknya. Alisnya berkerut, mulutnya cemberut. “Kini
Kakek dan Nenek tak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara
gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!”
Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar.
Ayah dan
ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti
kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka
harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti
jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.
Mereka lalu
duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat
betapa keadaan kedua orang tua mereka masih seperti malam tadi, dan kembali
mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sinkang dengan telapak tangan mereka
ditempelkan di punggung si sakit. Walau pun usaha ini belum bisa menyembuhkan,
tapi setidaknya dapat memperkuat hawa murni di dalam tubuh ayah dan ibu mereka
serta memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.
DUA orang
yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat
dan pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan
leher ibu mertuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang
terkandung di luka bagian leher sangat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua
telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah
mertuanya itu lebih parah lagi.
“Hemm,
keadaan mereka ini membuat aku menjadi makin sangsi,” katanya lirih kepada
isterinya. “Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, satu
perkumpulan orang-orang suci dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid
mereka adalah para pendekar-pendekar gagah. Biar pun mereka memiliki pukulan
ampuh yang mengandung sinkang amat kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar
mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar
mereka mempergunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu.”
“Akan
tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah
para tosu Bu-tong-pai,” kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung.
Memang sukar
sekali dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu
berbohong. Apa manfaatnya berbohong? Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas
sehingga tidak mungkin, dapat diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.
“Kita harus
bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu
akan dapat menerangkan kegelapan peristiwa semalam.”
Sementara
itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Pada waktu ia datang ke
rumah kakek dan neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat
sayang kepadanya dan mengajaknya bermain-main. Tapi sekarang, kakek dan
neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apa lagi bermain-main dengannya,
bicara pun mereka itu tidak dapat lagi. Semua itu gara-gara perbuatan penjahat
yang menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, maka ia pun keluar dari
halaman rumah, bermaksud mencari teman bermain.
Ada beberapa
orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang
rempah-rempah. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa dua majikan
mereka menderita luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempah-rempah
mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.
Sian Li
tidak mempedullkan mereka yang tidak dikenalnya itu, dan ia pun keluar dari
pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya
tertarik melihat seorang kakek yang berdiri di tepi jalan, sedang memandang ke
arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang. Nampak
belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio
dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar
tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian
mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat
pula bahwa ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang
hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.
Sian Li
mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang
mengikuti peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan
dan juga penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang
hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.
“Penjahat-penjahat
kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, aku akan membalaskan
kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!”
Sian Li
tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para
hwesio mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar matanya yang
penuh selidik dan mulut tersenyum. Kakek ini berpakaian seperti seorang
sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah
penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walau pun nampaknya bersih. Dia mirip
seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang,
kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu.
Namun
wajahnya masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya pun masih
terang dan senyumnya cerah walau pun mulut itu tidak bergigi lagi. Rambut itu
dibiarkan awut-awutan, sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus, namun
berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di punggungnya, tangan
kanannya memegang sebatang tongkat butut sedang tangan kirinya membawa sebuah
keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.
“Nona kecil
yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?” Tiba-tiba saja kakek itu
mendekat dan bertanya. Sian Li menoleh dan dia memandang kepada kakek itu penuh
perhatian.
“Apakah
engkau orang Bu-tong-pai?” tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya
memandang penuh selidik.
“Kalau
betul, kenapa?” kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.
“Kalau
engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka
tentu akan menghajarmu!”
“Kalau aku
bukan orang Bu-tong-pai?”
“Kalau
bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!”
“Ha-ha-ha,
anak yang baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?”
Sian Li
memandang pada orang itu dengan sinar mata penuh selidik. “Engkau seorang kakek
tua, miskin, dan nampak lemah. Andai kata engkau mempunyai ilmu kepandaian pun,
bagaimana cara engkau mampu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai,
sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Nenekku?”
Kakek itu
memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi
sudah mampu mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Hal ini menandakan
bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang cerdik bukan main.
“Anak baik,
engkau tadi bilang mengenai kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali
aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari
Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang sangat terkenal itu.
Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?”
Mendengar
ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat
di tangan kiri kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan
menariknya. “Kalau begitu, mari cepat, Kek. Tolonglah Kakek dan Nenekku!”
Dia pun
menarik kakek itu berlarian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah.
Empat orang pegawai toko rempah-rempah itu memandang heran, akan tetapi mereka
tidak berani menegur. Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di
ruangan depan.
“Anak baik,
terlebih dulu beri tahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku
terus masuk begitu saja.”
“Kakek,
memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi ada aku yang
membawamu masuk, jadi engkau tidak bersalah. Marilah!” Anak itu menariknya
masuk dan Sian Li lalu berteriak-teriak, “Ayah! Ibu! Aku datang bersama Kakek
yang hendak mengobati Kakek dan Nenek!”
Mendengar
teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar.
Mereka melihat Sian Li sedang menggandeng tangan seorang kakek tua yang
memegang tongkat dan keranjang obat. Sebagai orang-orang yang berpengalaman,
sekali pandang saja suami isteri ini bisa mengenal orang luar biasa, akan
tetapi mereka belum mengenal siapa dia maka keduanya memberi hormat dengan
sopan dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.
“Selamat
datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami
berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe yang
hendak mengobati Ayah dan Ibu kami.”
Kakek itu
tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi
lagi.
“Siancai...
sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih adalah
seorang pendekar perkasa yang sangat pandai membawa diri, rendah hati, dan
sopan, ha-ha-ha!”
Sin Hong dan
isterinya saling pandang, lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu.
“Maafkan kami yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah
mengenal kami.”
“Ha-ha-ha,
tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti
Gurun Pasir, bekas panglima yang sangat terkenal. Dan isterinya adalah seorang
wanita sakti, she Suma masih cucu Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona
cilik pakaian merah ini, aku sudah menduga bahwa tentu ia cucu Kao Cin Liong,
dan karena kalian adalah ayah ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan
menantunya bekas panglima itu?”
“Wah, Kakek
tidak adil!” tiba-tiba Sian Li berseru, “Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan
Kakek, akan tetapi belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya
sebelah pihak saja?”
“Sian Li,
jangan kurang ajar!” bentak ibunya.
“Ho-ho,
namamu Sian Li, anak merah. Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi)
cilik. Tan-taihiap dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang
kedudukannya amat rendah, setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!”
Kembali
suami isteri itu saling pandang. Biar pun suami isteri pendekar ini masih muda,
namun mereka sudah mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah
mendengar akan nama besar banyak orang pandai walau pun belum pernah berjumpa
dengan mereka. Setengah tukang obat dan setengah pengemis?
“Kalau
begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!” seru Kao
Hong Li.
Kakek itu
mengelus jenggotnya sambil tersenyum. “Nyonya muda sungguh mempunyai
pemandangan luas!”
“Aihh,
maafkan kami berdua yang tidak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat)
datang berkunjung!” kata Sin Hong dengan kagum karena dia pun pernah mendengar
akan nama besar tokoh ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw.
“Ha-ha-ha,
alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku lebih
suka disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang
terjadi di rumah Taihiap Kao Cin Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang
terjadi. Kebetulan di luar tadi aku bertemu dengan anak ini! Sian Li menarik
hatiku dan ternyata ia adalah cucu Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal
baik. Nah, mari antar aku melihat dia dan isterinya yang kabarnya terluka.”
Bukan main
girangnya hati Hong Li dan Sin Hong. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu
mengantar tamu itu memasuki kamar di mana Kao Cin Liong dan Suma Hui rebah.
Sian Li mengikuti dari belakang. Kakek itu menurunkan keranjang obat dan
tongkatnya yang cepat disimpan oleh Sian Li ke sudut ruangan, kemudian ia
menghampiri Kao Cin Liong, memeriksa denyut nadinya sebentar, kemudian
memeriksa keadaan Suma Hui. Dia mengangguk-angguk.
“Kabarnya
yang menyerang orang-orang Bu-tong-pai?” tanyanya kepada Sin Hong.
“Begitulah
menurut pengakuan mendiang Thian Kwan Hwesio yang malam tadi dikejar oleh
mereka sampai ke sini. Agaknya hwesio itu hendak minta bantuan Ayah dan Ibu
yang sudah menjadi sahabat baik,” kata Sin Hong.
Yok-sian
Lo-kai mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Pukulan pada punggung
Kao-taihiap ini adalah pukulan yang mengandung Hek-coa-tok (Racun Ular Hitam),
agaknya tidak mungkin orang Bu-tong-pai, apa lagi yang sudah tinggi tingkatnya,
mau menggunakan pukulan keji semacam itu. Juga jarum yang memasuki leher Suma
Lihiap itu merupakan senjata rahasia yang biasa dipergunakan orang-orang
golongan hitam. Sebaiknya kucoba mengeluarkan jarum-jarum itu lebih dahulu,
karena kalau dibiarkan terlalu lama maka akan berbahaya. Tan Taihiap, engkau
mempunyai kekuatan sinkang yang besar, marilah kau bantu aku. Kau tempelkan
telapak tanganmu ke luka di tengkuk dan menggunakan sinkang untuk menyedot,
sedang aku akan menggunakan totokan dan urutan untuk mendorong keluar
jarum-jarum itu. Jangan terlampau kuat agar tidak merusak jalan darah. Bila
telapak tanganmu sudah merasakan gagang jarum tersembul, langsung hentikan.”
Lalu dia menoleh kepada Hong Li dan berkata, “Lihiap, harap kau rebus sebutir
telur, kalau sudah matang, bawa ke sini putihnya saja.”
Hong Li
meninggalkan kamar itu untuk pergi ke dapur, sedangkan Sin Hong lalu duduk
bersila di atas pembaringan, lalu menempelkan tangan kanan ke tengkuk yang
terluka jarum, mengerahkan sinkang menyedot. Kakek itu sendiri duduk di tepian
pembaringan, jari tangannya menotok di sekitar pundak dan tengkuk, lalu
mengurut tengkuk itu sambil mengerahkan sinkang pula. Sian Li duduk di atas
kursi, dia diam saja dan memandang penuh perhatian.
Tak lama
kemudian, Sin Hong merasakan ada dua batang jarum tersembul menyentuh telapak
tangannya. Dia cepat memberi tanda dan Yok-sian Lo-kai menghentikan urutan jari
tangannya. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, nampak gagang dua batang
jarum tersembul dan kakek itu lalu mencabutnya. Bekas luka itu nampak hijau
kehitaman dan pada saat itu, Kao Hong Li sudah datang membawa putih telur yang
sudah dimasak. Yok-sian Lo-kai lalu mencampuri putih telur itu dengan obat
bubuk, memupukkan campuran ini di atas dua lubang kecil bekas jarum, lalu
membalutnya.
“Dalam waktu
satu jam, obat itu boleh diambil dan semua racun sudah akan dihisap keluar,”
katanya dan kini dia mulai mengobati Kao Cin Liong yang masih pingsan. Luka
senjata tajam pada punggung Suma Hui tidak berbahaya dan sudah diobati oleh Sin
Hong dengan obat luka.
Akan tetapi,
pukulan tangan yang mengandung racun Hek-coa-tok memang berbahaya sekali.
Yok-sian Lo-kai yang memiliki ilmu pengobatan dengan totokan dan tusuk jarum,
lalu mulai bekerja. Dia menotok banyak jalan darah di seluruh tubuh Kao Cin
Liong, terutama di seputar tempat luka di punggung. Kemudian dia menggunakan
tiga batang jarum emas untuk menusuk bagian-bagian tertentu, lalu menggetarkan
jarum-jarum itu dengan tenaga sinkang melalui jari-jari tangannya.
Kurang lebih
dua jam kakek ini melakukan pengobatan hingga akhirnya, Kao Cin Liong
muntah-muntah dan keluarlah darah menghitam dari mulutnya. Melihat ini tentu
saja Sin Hong dan Hong Li terkejut dan memandang dengan hati khawatir. Akan
tetapi Yok-sian tersenyum nampak lega, dan saat itu terdengar suara rintihan
lirih dari pembaringan di mana Suma Hui berbaring. Mendengar suara ibunya, Hong
Li cepat menghampiri dan ternyata ibunya baru saja siuman. Melihat ibunya
bergerak hendak duduk, Hong Li kemudian membantu ibunya bangkit duduk.
“Ibu,
bagaimana rasanya badanmu?” Hong Li bertanya, hatinya gembira karena wajah
ibunya nampak kemerahan.
Suma Hui
agaknya baru teringat akan semua keadaan. “Mana ayahmu?”
Ketika ia
menengok ke arah kiri, dan mendengar suaminya muntah-muntah, ia hendak meloncat
turun dan tentu akan terjatuh kalau saja tidak ditahan oleh puterinya.
“Perlahan,
Ibu. Ayah juga terluka dan baru saja ditolong oleh Locianpwe itu.”
Suma Hui
kembali duduk dan kini ia memandang ke arah kakek yang mengurut tengkuk dan
punggung suaminya yang masih muntah-muntah, akan tetapi tidak sehebat tadi.
“Dia...
dia... Yok-sian Lo-kai?” Suma Hui mengenalnya.
Pengemis tua
ahli pengobatan itu sudah selesai menolong Kao Cin Liong dan dia pun kini
menghadapi Suma Hui sambil tersenyum.
“Suma
Lihiap, engkau masih mengenal aku? Bagus! Sudah ditakdirkan Tuhan bahwa
kebetulan saja aku sedang hendak berkunjung ke sini ketika aku melihat engkau
dan suamimu terluka.”
“Ahhh,
terima kasih Lo-kai. Bagaimana suamiku?”
“Aku juga
sudah sembuh. Sungguh besar budi Lo-kai kepada kita!” kata Kao Cin Liong yang
kini juga sudah bangkit duduk.
Yok-sian
Lo-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, kalian ini suami isteri pendekar sungguh
lucu. Apa itu budi dan dendam? Menjadi biang penyakit saja. Kao Taihiap, sejak
engkau menjadi panglima dahulu, entah sudah berapa puluh atau ratus ribu
keluarga yang selamat karena sepak terjangmu. Apa artinya pengobatan yang
kuberikan sekarang ini? Pula, kalau bukan Tuhan menghendaki kalian suami isteri
budiman supaya masih hidup, bagaimana mungkin aku dapat kebetulan berada di
sini?”
Kao Cin
Liong menghela napas panjang dan dia memandang kepada puterinya dan menantunya.
“Ketahuilah, dahulu, ketika aku memimpin pasukan ke barat, pernah aku menderita
luka beracun yang nyaris membunuhku. Untung saat itu aku bertemu dengan
Yok-sian Lo-kai ini dan dialah pula yang menyembuhkan aku.”
“Ha-ha-ha,
urusan sekecil itu masih teringat oleh Kao Tahiap, sedangkan cara Taihiap
ketika menyelamatkan puluhan ribu orang di dusun-dusun yang dilanda gerombolan
pemberontak sama sekali dilupakannyal”
“Kongkong...!
Bo-bo...!” Sian Li datang menghampiri kakek dan neneknya. Mereka lalu
bergantian merangkul cucu mereka itu. “Kelak aku yang akan membasmi para
penjahat yang telah melukai Kongkong dan Bo-bo!” kata Sian Li penuh semangat.
“Siancai...!
Kalian mempunyai seorang cucu yang sehat!” Yok-sian Lo-kai memuji. “Sian Li,
anak yang baik, kalau saja engkau mempelajari ilmu pengobatan seperti itu,
tentu engkau akan mudah saja tadi menyembuhkan kakek dan nenekmu. Apakah engkau
tak ingin belajar ilmu pengobatan?”
“Aku suka
sekali! Kakek yang baik, kau ajarkanlah aku ilmu mengobati seperti itu!”
“Siancai...!
Tentu saja aku suka sekali dan engkau memang berbakat. Akan tetapi, tentu saja
keputusannya tergantung kepada ayah ibumu, Sian Li.”
Kao Cin
Liong mengangguk-angguk dan berkata kepada puterinya, “Hong Li, kalau saja
anakmu bisa dididik oleh Yok-sian Lo-kai, bukan hanya ilmu pengobatan yang akan
diwarisinya, akan tetapi juga ilmu totok Im-yang Sin-ci yang tidak ada duanya
di seluruh dunia ini!”
Hong Li
memandang kepada suaminya. Ia dan suaminya adalah sepasang pendekar yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin mereka menyerahkan anak
tunggal mereka kepada orang lain untuk di jadikan murid? Agaknya Sin Hong dapat
mengerti akan isi hatinya, maka Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu.
“Locianpwe,
kami sebagai orang tua Sian Li menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan
hati Locianpwe yang hendak mendidik anak kami. Akan, tetapi karena dia masih
amat kecil, biarlah kami akan mendidik dan memberi pelajaran dasar kepadanya
lebih dulu. Kelak kalau sudah tiba waktunya, tentu kami akan membawanya
menghadap Locianpwe untuk menerima pendidikan dari Locianpwe.”
Kakek itu
tersenyum. “Ahhh, bagus sekali kalau begitu, Taihiap. Memang seorang tua bangka
yang hidup sebatang kara seperti aku ini, bagaimana mungkin dapat mendidik
seorang anak kecil? Biarlah, kelak kalau usiaku masih panjang, setelah Sian Li
menjadi seorang gadis dewasa, aku akan mewariskan kepandaianku kepadanya.”
Keluarga
yang kini merasa gembira karena kesembuhan Kao Cin Liong dan Suma Hui, menjamu
tamu kehormatan itu dengan makan minum dan mereka mempergunakan kesempatan ini
untuk bercakap-cakap.
“Engkau
adalah orang yang banyak melakukan perantauan, Lo-kai, tentu engkau dapat
menjelaskan apa artinya semua peristiwa yang menimpa kami ini,” kata Kao Cin
Liong yang sudah mengenal baik dewa obat itu.
Yok-sian
Lo-kai menghela napas panjang. “Seperti cerita kalian tadi, ketua kuil yang
murid Siauw-lim-pai itu diserang dan dikejar-kejar beberapa orang tosu
Bu-tong-pai dan dia lari ke sini sampai akhirnya tewas pula di sini. Bahkan
kalian yang hendak melerai dan melindungi hwesio itu juga hampir menjadi
korban. Memang aneh sekali. Kalian menderita pukulan beracun, padahal setahuku,
Bu-tong-pai pantang mempergunakan ilmu pukulan yang keji, yang hanya pantas
dimiliki para tokoh sesat. Bagaimana pun juga, permusuhan antara Bu-tong-pai
dan Siauw-lim-pai memang semakin meruncing, seperti juga permusuhan di antara
keempat perkumpulan besar, yaitu Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan
Go-bi-pai. Aku sendiri merasa heran, bagaimana orang-orang yang mengaku
pendekar, bahkan para pemimpinnya terdiri dari pendeta-pendeta, kini
bermusuhan, saling serang dan saling bunuh seperti binatang buas, penuh dendam
kebencian. Hayaaa, agaknya memang sudah jamannya begini. Jaman penjajahan yang
mendatangkan segala macam bentuk kekeruhan.”
“Akan
tetapi, Lo-kai, apakah kita harus tinggal diam saja? Kalau didiamkan bukankah
permusuhan itu akan makin berlarut-larut dan hal ini amat melemahkan dunia
persilatan terutama golongan putih atau kaum pendekar?” kata Sin Hong sambil
mengerutkan alisnya.
“Bukan itu
saja, bahkan golongan lain yang tidak ikut bermusuhan, dapat terlibat seperti
halnya kami sekarang ini,” kata Hong Li. “Kalau menurutkan hati panas, salahkah
kalau kita mendatangi Bu-tong-pai kemudian menuntut balas atas apa yang mereka
lakukan terhadap ayah dan ibuku yang sama sekali tidak bersalah terhadap
mereka?”
“Dalam
urusan ini, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin,” kata pula
Sin Hong. “Kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Bu-tong-pai
sudah mencelakai orang tua kita. Maka, aku juga sudah mengirim surat teguran
kepada Ketua Bu-tong-pai dan kita lihat saja bagaimana nanti jawaban dari
sana.”
“Siancai...
Ji-wi (Kalian berdua) adalah sepasang suami isteri pendekar yang tentu tidak
kekurangan kebijaksanaan dan tidak akan bertindak sembarangan. Memang, di dalam
jaman penjajahan ini banyak terjadi bentrokan disebabkan salah paham. Ada
sebagian pendekar yang mendukung pemerintah karena menganggap pemerintah dapat
bersikap baik terhadap rakyat jelata, ada sebaliknya yang membenci penjajah
karena mereka itu orang asing. Aihhh, urusan negara adalah urusan yang ruwet,
bagaimana aku dapat mencampurinya? Biarlah aku sekarang pergi dan kelak, kalau
waktunya tiba, aku akan datang menagih janji untuk mewariskan kepandaian yang
ada padaku kepada Sian Li.“
Yok-sian
Lo-kai pergi meninggalkan rumah keluarga Kao tanpa dapat ditahan lagi. Oleh
karena Kao Cin Liong dan Suma Hui masih lemah biar pun sudah sembuh, maka Sin
Hong dan Hong Li yang mewakili mereka melayat ke kuil untuk menghadiri upacara
pembakaran atau perabuan jenazah Thian Kwan Hwesio.
**************
Suma Ceng
Liong ialah seorang pendekar sakti yang hidup bersama isterinya di dusun
Hong-cun, di luar kota Cin-an Propinsi Shan-tung, di lembah Huang-ho yang subur
dan indah. Pendekar ini adalah cucu Pendekar Sakti yang paling lihai, putera
dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil.
Memang Suma
Ceng Liong selain lihai juga amat gagah perkasa. Usianya sudah empat puluh enam
tahun namun dia masih nampak gagah, tinggi besar dengan dagu lonjong dan wajah
yang selalu cerah gembira. Pendekar ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari
keluarga Istana Pulau Es, akan tetapi juga dia pernah digembleng oleh Hek I
Mo-ong, seorang datuk sesat yang amat lihai.
Juga di
samping ilmu silat, dia pernah mempelajari ilmu sihir karena ibunya, Teng Siang
In almarhum, adalah seorang ahli sihir yang ampuh. Oleh karena itu, maka pada
waktu itu bisa dianggap bahwa di antara semua keturunan keluarga Istana Pulau
Es, pendekar Suma Ceng Liong ini merupakan cucu yang paling lihai di antara
tiga orang cucu dalam mendiang Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Ciang Bun, Suma
Hui, dan Suma Ceng Liong.
Pendekar
Suma Ceng Liong menikah dengan seorang wanita yang sakti pula, bahkan dalam hal
kepandaian silat tingkatnya seimbang dengan tingkat kepandaian suaminya. Wanita
ini bernama Kam Bi Eng, puteri dari Pendekar Sakti Kam Hong, pewaris dari
ilmu-ilmu hebat dari Pendekar Suling Emas!
Suami isteri
ini semenjak menikah hidup bahagia, saling mencinta, saling menghormat dan
saling setia. Mereka hanya mempunyai satu orang keturunan, yaitu seorang anak
perempuan yang bernama Suma Lian. Puterinya itu juga seorang pendekar yang
lihai dan kini sudah menikah dengan seorang pendekar murid Suma Ciang Bun,
bernama Gu Hong Beng yang kini tinggal di daerah Heng-san, sebelah selatan
Pao-teng.
Demikiandah
sedikit riwayat pendekar sakti Suma Ceng Liong. Setelah puterinya yang menjadi
anak tunggal itu menikah enam tahun yang lalu, kini Suma Ceng Liong hidup
berdua saja dengan isterinya dan kadang merasa kesepian. Untuk melewatkan waktu
menganggur, mereka membuka toko obat di dusun Hong-cun itu.
Mereka
tadinya bertahan tidak mau menerima murid. Mereka merasa sayang kalau ilmu
kepandaian yang mereka peroleh dari keluarga itu, yang merupakan ilmu silat
turun temurun, baik dari Suma Ceng Liong mau pun dari isterinya, Kam Bi Eng,
akhirnya bisa dipelajari dan dikuasai orang lain yang bukan keluarga mereka.
Akan tetapi,
setahun yang lalu, terjadi kebakaran hebat di rumah keluarga Liem di dusun
mereka yang menewaskan seluruh isi rumah, kecuali seorang anak laki-laki mereka
yang selamat karena kebetulan berada di luar rumah. Suami isteri pendekar itu
merasa kasihan sekali kepada Liem Sian Lun, anak laki-laki itu.
Melihat
betapa anak laki-laki berusia tujuh tahun itu sedemikian tabahnya menghadapi
mala petaka yang menimpa keluarganya sehingga dia menjadi yatim piatu dan sama
sekali tidak mempunyai anggota keluarga lagi, melihat anak itu hanya berlutut
di depan makam ayah ibunya seperti patung, tidak menangis, tergerak hati
mereka.
Suami isteri
ini kemudian mengajak Sian Lun pulang. Mula-mula mereka hanya ingin menolong
saja, menjadikan Sian Lun sebagai pembantu rumah tangga dan pembantu di toko
rempah-rempah milik mereka.
Akan tetapi,
melihat betapa anak itu amat pendiam, penurut dan berwatak baik sekali, juga
setelah mereka mendapat kenyataan bahwa anak itu berbakat dan bertulang baik,
keduanya sepakat untuk mengambil Sian Lun sebagai murid, bahkan dianggap
sebagai anak karena setelah Suma Lian pergi mengikuti suaminya, mereka berdua
sering kali merasa kesepian.
Biar pun
tahu bahwa dia disayang, digembleng ilmu silat bahkan dianggap sebagai anak
angkat, Sian Lun tetap bersikap rendah hati dan rajin bekerja sehingga pasangan
suami isteri pendekar itu menjadi semakin sayang kepadanya.
Karena
sikapnya yang rendah hati ini, walau pun para pegawai toko obat dan
rempah-rempah itu tahu belaka bahwa Sian Lun diperlakukan seperti anak angkat
oleh majikan mereka, namun tak seorang pun merasa iri. Sian Lun membantu
pekerjaan di toko, di rumah, tidak malas dan tidak segan untuk melakukan
pekerjaan dan mengepel, bahkan membantu pekerjaan pelayan di dapur. Pendeknya,
di mana ada kesibukan, di situ tentu ada Sian Lun, maka dia pun disayang oleh
seisi rumah.
Diam-diam
pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya merasa sayang sekali pada murid ini dan
menaruh harapan besar kepada diri anak itu bahwa kelak akan dapat mewarisi
kepandaian mereka dan menjunjung tinggi nama mereka sebagai seorang pendekar
budiman. Sejak berusia tujuh tahun saja sudah nampak bahwa Sian Lun selain
berotak terang, mudah menghafal pelajaran baik sastra mau pun silat, juga
bertubuh tinggi dan tegap, pendiam serta tabah sekali, wajahnya pun cerah.
Ketika
utusan dari Kao Cin Liong tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng sedang duduk di
ruangan depan. Hari masih pagi dan toko obat mereka masih tutup, para pegawai
sedang membersihkan toko dan bersiap-siap untuk membukanya. Sian Lun sejak pagi
tadi sudah bangun, sudah menyapu pekarangan dan sekarang sedang sibuk menyirami
tanaman kembang kesukaan subo-nya (ibu gurunya).
Penunggang
kuda yang memasukkan kudanya ke pekarangan itu, kemudian meloncat turun
tergesa-gesa, amat menarik perhatian. Melihat betapa pria berusia empat puluhan
tahun itu nampak lelah, pakaiannya penuh debu dan jelas bahwa dia baru
melakukan perjalanan yang jauh, Suma Ceng Liong dan isterinya memandang dengan
hati tertarik. Bahkan Sian Lun yang sedang menyiram kembang cepat menurunkan
ember airnya dan lari menghampiri orang yang meloncat turun dari punggung
kudanya.
“Paman
mencari siapakah, dari mana Paman datang dan siapakah nama Paman? Aku akan
melaporkan kepada Suhu dan Subo,” kata Sian Lun dengan sikap hormat, akan
tetapi sepasang matanya yang tajam mengamati wajah pendatang itu penuh selidik.
Mendengar
anak itu menyebut suhu dan subo, utusan ini pun bersikap ramah. “Anak yang
baik, tolonglah beri tahu kepada Locianpwe Suma Ceng Liong dan Nyonya bahwa
saya datang sebagai utusan dari keluarga Kao di Pao-teng dan membawa berita
yang sangat penting.”
Dari suhu
dan subo-nya, Sian Lun pernah mendengar akan nama para keluarga dan kenalan
mereka yang terdiri dari para pendekar. Mendengar bahwa orang ini utusan dari
keluarga Kao di Pao-teng, maka dia cepat berlari menuju ke ruangan depan di
mana suhu dan subo-nya sedang duduk minum teh pagi.
“Suhu dan
Subo, maafkan kalau teecu mengganggu. Akan tetapi penunggang kuda itu mengaku
utusan dari keluarga Kao di Pao-teng. Katanya membawa berita yang amat penting
untuk Suhu dan Subo.”
Tentu saja
suami isteri pendekar itu amat terkejut mendengar bahwa penunggang kuda itu
utusan keluarga Kao di Pao-teng. Kalau tidak ada urusan penting sekali, tentu
Kao Cin Liong tidak akan mengirim utusan. Isteri Kao Cin Liong, yaitu Suma Hui,
adalah kakak sepupu Suma Ceng Liong, maka dia pun cepat bangkit dan memandang
ke arah penunggang kuda itu.
“Saudara
utusan dari Pao-teng, harap lekas datang ke sini menyampaikan berita itu kepada
kami!” Lalu kepada murid mereka Suma Ceng Liong berkata, “Sian Lun, cepat kau
rawat kuda itu, beri makan dan minum di kandang kuda!”
Sian Lun
mentaati perintah gurunya. Dia menerima kendali kuda yang nampak sangat
kelelahan itu, cepat membawanya ke kandang di bagian belakang. Sedangkan tamu
itu dengan sikap hormat lalu menghampiri tuan dan nyonya rumah yang menanti di
serambi depan.
Setelah
dipersilakan duduk dan memperkenalkan diri, tamu itu kemudian mengeluarkan
sesampul surat yang ditulis oleh Tan Sin Hong, mantu keponakan mereka dan
begitu membaca isinya, suami isteri itu mengerutkan alis dengan kaget. Surat
itu memberi tahu bahwa kakak sepupu Suma Ceng Liong, yaitu Suma Hui dan
suaminya, Kao Cin Liong, terluka parah karena pukulan-pukulan beracun dari para
tosu Bu-tong-pai dan bahwa mereka berdua diminta untuk segera datang berkunjung
ke Pao-teng untuk memberi pertolongan.
Suma Ceng
Liong memandang utusan enci-nya itu dengan pandang mata penuh selidik dan minta
padanya untuk menceritakan sejelasnya apa yang telah terjadi. Pelayan toko itu
tidak dapat bercerita banyak.
Dia hanya
menceritakan apa yang telah didengarnya saja, yaitu bahwa pada beberapa hari
yang lalu, pada waktu malam hari, rumah majikannya diserbu beberapa orang tosu
Bu-tong-pai yang berkelahi dengan ketua kuil, yaitu Thian Kwan Hwesio di atas
rumah majikan mereka. Majikan mereka suami isteri berusaha melerai akan tetapi
mereka juga menjadi korban pemukulan para tosu Bu-tong-pai yang marah itu.
Akhirnya Tan
Sin Hong dan Kao Hong Li yang ketika kejadian kebetulan berada di sana berhasil
mengusir para tosu Bu-tong-pai. Sekarang kedua orang majikan mereka dalam keadaan
terluka parah, sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu tewas.
“Kami akan
berangkat sekarang juga!” kata Ceng Liong.
Kepada
utusan itu dia sarankan untuk beristirahat lebih dahulu sebelum pulang, dan dia
menyuruh seorang pembantunya untuk menyambut tamu itu. Dia memanggil Sian Lun
dan memesan kepada anak itu agar baik-baik menjaga rumah karena dia dan
isterinya akan pergi ke Pao-teng.
Sian Lun
mematuhi perintah suhu-nya tanpa berani banyak bertanya. Namun sesudah suhu dan
subo-nya pergi, Sian Lun mendapat banyak kesempatan untuk berbicara dan
bertanya-tanya kepada utusan dari Pao-teng itu.
Karena anak
itu merupakan murid tuan rumah, utusan itu tidak menganggapnya orang luar dan
dia pun menceritakan semua hal yang terjadi. Diam-diam Sian Lun mencatat dalam
ingatannya dan merasa heran sekali.
Menurut
keterangan suhu dan subo-nya, dalam dunia persilatan terdapat dua golongan,
yaitu golongan putih atau para pendekar, dan golongan hitam atau para penjahat.
Dan Bu-tong-pai termasuk golongan putih. Mengapa sekarang orang Bu-tong-pai
membunuh seorang hwesio Siauw-lim-pai, bahkan juga melukai suami isteri yang
terkenal menjadi pendekar itu?
Dia
mendengar dari suhu-nya, siapa adanya pendekar besar Kao Cin Liong dan siapa
pula isterinya yang bernama Suma Hui. Pendekar Kao Cin Liong merupakan
keturunan keluarga Istana Gurun Pasir, dan Suma Hui adalah kakak sepupu
suhu-nya, keturunan keluarga Istana Pulau Es!
Kedatangan
Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, disambut dengan gembira oleh Kao Cin
Liong dan Suma Hui, juga oleh Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang masih berada di
situ. Sebaliknya, Suma Ceng Liong dan isterinya juga girang melihat bahwa
kakaknya telah sembuh, demikian pula kakak iparnya.
"Kami
masih dilindungi Thian dan bertemu dengan Yok-sian Lo-kai sehingga kami dapat
disembuhkan dengan cepat," berkata Suma Hui kepada adiknya, Suma Ceng
Liong, setelah dua orang tamu itu dipersilakan duduk di ruangan dalam.
"Yok-sian
Lo-kai? Ah, sudah pernah kudengar nama besarnya, Enci Hui, akan tetapi aku
belum pernah bertemu dengan dia. Sungguh kebetulan sekali dia dapat mengobati
Enci dan juga Cihu. Akan tetapi, bagaimana mungkin kalian sampai terluka oleh
penjahat, padahal di sini terdapat pula puteri kalian dan mantu kalian yang
amat lihai ini?"
Suma Ceng
Liong memandang kepada Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, seolah hendak menegur
kenapa mereka itu tidak mampu melindungi orang tua mereka.
Kao Cin
Liong menghela napas panjang. "Semuanya terjadi di luar persangkaan.
Begitu mendadak. Lima orang tosu itu memang amat lihai, dan biar pun demikian,
mereka pasti tidak akan mungkin dapat melukai kami kalau saja di samping
kelihaian mereka, mereka itu tidak amat licik dan curang. Mereka menggunakan
kecurangan sehingga kami lengah dan terluka."
"Hemm,
kalau lain kali aku bertemu dengan mereka, akan kuhancurkan kepala mereka itu
satu demi satu!" kata Suma Hui yang wataknya keras.
"Tidak,
Bo-bo. Bo-bo sudah tua, biarlah aku yang akan mencari mereka dan membasmi
mereka yang jahat itu!"
Tiba-tiba
terdengar suara anak kecil dan Sian Li memasuki ruangan itu. Semua orang
menengok dan Suma Ceng Liong dan isterinya memandang kagum. Anak berpakaian
merah itu biar baru berusia empat tahun nampak begitu lincah dan gagah.
"Siapakah
anak manis ini?" tanya Kam Bi Eng.
Kao Hong Li
segera berkata, "Sian Li, hayo cepat memberi hormat kepada kakek dan
nenekmu ini. Kakek Suma Ceng Liong ini adalah adik dari nenekmu dan nenek Kam
Bi Eng ini isterinya." Hong Li memperkenalkan paman dan bibinya.
Sepasang mata
yang lebar dan bening itu mengamati Suma Ceng Liong serta Kam Bi Eng dengan
amat heran. "Ibu, mereka itu masih muda dan gagah, bagaimana aku harus
menyebut mereka Kakek dan Nenek? Mereka belum pantas disebut Kakek dan Nenek,
pantasnya Paman dan Bibi."
Semua orang
tertawa mendengar ucapan yang jujur dan lucu itu. Kam Bi Eng kemudian meraihnya
dan merangkul Sian Li, menciumi pipinya.
Sian Li
memandang wajah Bi Eng dan berkata, "Bibi ini cantik dan gagah sekali,
seperti Ibu!"
Kam Bi Eng
tertawa. "Ih, engkau ini perayu. Aku ini nenekmu, usiaku sudah tua, sudah
dua kali ibumu. Ibumu adalah keponakanku." Ia membelai tubuh anak itu dan
berseru kagum, "Aihhh, anakmu ini memiliki tulang dan bakat yang sangat
baik, Sin Hong" Lalu kepada suaminya ia pun berkata, "Cobalah kau
periksa sendiri!" Dan dengan lembut ia mendorong anak itu kepada Suma Ceng
Liong yang juga merangkulnya.
Suma Ceng
Liong mengangguk-angguk. "Kalian memang beruntung. Anak ini memiliki bakat
yang amat baik. Hemmm, kami akan merasa berbahagia sekali kalau kelak dapat
memberi sedikit bimbingan kepadanya."
"Aihhh,
mengapa tidak?" kata Suma Hui. "Kalau adikku Ceng Liong yang
memberikan bimbingan, aku yakin kelak Sian Li akan menjadi seorang gadis
pendekar yang hebat dan pantas sekali dijuluki Si Bangau Merah Sakti! Sian Li,
cepat kau memberi hormat dan terima kasih kepada kakek dan nenekmu itu!"
Sian Li
memang seorang anak yang amat cerdik. Ia sudah pernah mendengar bahwa ilmu
kepandaian paman kakeknya ini amat hebat, maka mendengar seruan neneknya, ia
pun cepat menjauhkan diri berlutut di depan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang
duduk bersanding. "Kakek dan Nenek, aku menghaturkan terima kasih kepada
Kakek dan Nenek!"
Kao Hong Li
dan Tan Sin Hong saling pandang, lalu Sin Hong tertawa.
"Ha-ha-ha,
anak kami ini masih kecil, baru berusia empat tahun, tetapi sudah banyak yang
menjanjikan akan mengambilnya sebagai murid. Ketika Yok-sian Lo-kai mengobati
Ayah dan Ibu, dia pun telah minta agar kelak Sian Li boleh mewarisi
ilmu-ilmunya, dan sekarang ini Paman dan Bibi juga menjanjikan demikian."
Kao Hong Li
cepat memberi hormat kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. "Paman dan
Bibi sungguh berbudi, dan atas nama anakku, aku menghaturkan banyak terima
kasih."
Sin Hong
juga bangkit memberi hormat dan suasana menjadi gembira sekali. Hal ini tentu
saja tak akan mungkin terjadi kalau Kao Cin Liong dan Suma Hui masih terancam
bahaya seperti tempo hari. Mereka lalu membicarakan tentang permusuhan yang
timbul antara para partai persilatan besar.
"Sungguh
menyebalkan sekali kalau diingat," kata Suma Ceng Liong. "Bagaimana
sih jalan pikiran para pimpinan partai persilatan besar itu? Bangsa kita
dijajah orang Mancu, dan betapa pun besar usaha pemerintah Mancu untuk memakmurkan
rakyat jelata tetap saja bangsa kita dijajah, menjadi budak dan para pembesar
semua adalah orang-orang Mancu, atau kalau ada orang Han juga mereka adalah
anjing-anjing penjilat yang tidak segan menindas bangsa sendiri demi kesetiaan
mereka pada pemerintah Mancu. Akan tetapi, kini partai-partai besar bahkan
ribut saling bermusuhan sendiri sehingga tentu saja rakyat jelata menjadi
semakin menderita, golongan sesat pun merajalela tanpa ada yang menentangnya.
Aihh, sungguh menyedihkan sekali!"
"Adik
Liong, kenapa engkau bisa bilang begitu? Lupakah engkau bahwa darah kita ini
pun merupakan darah campuran. Kakek kita Suma Han memang seorang Han tulen,
akan tetapi bagaimana dengan Nenek kita? Puteri Nirahai, Nenekmu, dan puteri
Lulu, Nenekku, bukanlah orang Han." Suma Hui memperingatkan.
Suma Ceng
Liong mengerutkan alisnya. "Tidak kusangkal akan kebenaran hal itu, Enci.
Memang kenyataannya demikian. Akan tetapi, Kakek kita, Ayah kita, semenjak
dahulu adalah orang-orang gagah yang menjadi pembela rakyat jelata walau pun
tidak pernah mencampuri urusan kenegaraan. Bahkan suamimu, Cihu (Kakak Ipar)
Kao Cin Liong juga mengundurkan diri dari jabatan panglima karena sungkan untuk
mengabdi kepada orang-orang Mancu. Kita tidak perlu menentang pemerintah Mancu,
akan tetapi kita harus tetap menjadi pendekar yang membela kepentingan rakyat
jelata yang tertindas, menentang semua penindas tidak peduli dari bangsa apa
pun! Kalau kini perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai,
Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai saling serang sendiri, bukankah itu amat
menyedihkan?"
"Sudahlah,
hal itu tidak cukup hanya disesalkan saja. Melihat cara para tosu Bu-tong-pai
itu melakukan kecurangan ketika menyerang kami, aku yakin bahwa ada suatu
rahasia yang tersembunyi di balik ini semua. Aku bahkan mempunyai dugaan bahwa
mereka itu bukan orang-orang Bu-tong-pai yang asli!"
"Tetapi,
bukankah sudah lama kita mendengar bahwa memang terdapat permusuhan antara
Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai?" Suma Hui mencela. "Sebelum tewas pun
Thian Kwan Hwesio sendiri mengaku bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai.
Bagai mana dia bisa keliru sangka?"
"Keadaan
itu memang aneh dan mencurigakan," kata Sin Hong. "Harap Ibu dan Ayah
mertua suka menenangkan hati. Sudah menjadi kewajiban saya untuk kelak
melakukan penyelidikan. Siapa tahu ada orang luar yang menyelundup ke dalam
Bu-tong-pai. Saya mengenal baik para pimpinan Bu-tong-pai dan sudah saya surati
ke sana untuk minta pertanggungan jawab mereka."
Dua utusan
yang lain beberapa hari kemudian pulang. Yang diutus mengundang Suma Ciang Bun
tidak berhasil karena pendekar itu tidak berada di rumah dan tidak seorang pun
tahu ke mana perginya. Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun bertemu dengan
Gangga Dewi dan keduanya melakukan pengejaran dan pencarian untuk menolong Yo
Han yang dilarikan Ang-I Moli dan kawan-kawannya.
Akan tetapi
utusan dari Bu-tong-pai datang membawa surat dari Ketua Bu-tong-pai. Seperti
telah diduga oleh Sin Hong, di dalam suratnya itu Ketua Butong-pai menyangkal
telah menyerang keluarga Kao di Pao-teng!
Memang
terdapat sedikit pertentangan dan kesalah pahaman antara Bu-tong-pai dan
Siauw-lim-pai, demikian antara lain surat itu mengatakan, akan tetapi itu hanya
terbatas di kalangan murid-murid yang tinggal di luar pusat saja. Para pimpinan
kedua pihak sedang melakukan penyelidikan dan belum terdapat pertentangan resmi
atau berterang. Maka, Ketua Bu-tong-pai menyangsikan bahwa yang membunuh Thian
Kwan Hwesio, kepala kuil Pao-teng, bahkan juga melukai pendekar besar Kao Cin
Liong dan isterinya, adalah para murid Bu-tong-pai.
Keluarga
pendekar itu kini mengadakan perundingan. "Keadaannya sungguh gawat dan
perlu penyelidikan," kata Suma Ceng Liong. "Kalau dibiarkan
berlarut-larut, tentu akan timbul pertentangan hebat dan akan rusak binasalah
para pendekar dari partai-partai besar karena permusuhan yang tidak menentu
ujung pangkalnya ini."
"Pendapat
Paman itu memang tepat sekali. Saya sendiri sudah mendengar pula bahwa bukan
hanya Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai saja yang dilanda pertentangan, bahkan juga
Go-bi-pai dan Kun-lun-pai. Agaknya di antara empat partai besar ini timbul
suatu kesalah pahaman besar yang membuat mereka saling curiga, dan di antara
murid-murid mereka terdapat permusuhan. Saya kira, sudah sepantasnya bila kita
semua berusaha mendamaikan."
"Tepat
sekali!" Kao Cin Liong juga berseru. "Memang kita harus berusaha
menjernihkan segala kekeruhan ini agar tidak berlarut-larut!"
Isterinya,
Suma Hui cemberut. "Terlalu enak kalau para pengecut itu didiamkan saja.
Bu-tong-pai harus bertanggung jawab dan mencari para pengecut itu sampai dapat,
baru aku mau menghabiskan urusan ini dengan Bu-tong-pai!"
Suaminya
menghiburnya. "Kita harus bersabar dan tidak makin mengeruhkan suasana.
Sudah jelas bahwa Bu-tong-pai dipalsukan orang, tentu saja kita tak bisa
menyalahkan Bu-tong-pai. Aku yakin bahwa Bu-tong-pai sendiri akan bertanggung
jawab dan akan mencari pengacau itu sampai dapat. Lebih baik kalau kita,
keluarga kita, mengundang mereka semua ke sini."
"Bukankah
beberapa bulan lagi merupakan hari ulang tahun Ayah yang ke enam puluh empat?
Bagaimana kalau kita mengundang mereka untuk menghadiri ulang tahun itu? Dengan
demikian tak akan menyolok dan mereka tentu akan datang semua, mengingat akan
hubungan baik antara Ayah dan para pendekar," kata Kao Hong Li.
Semua orang
setuju dan segera mengatur undangan kepada para tokoh persilatan, terutama
empat partai besar itu untuk menghadapi pesta perayaan ulang tahun Kao Cin
Liong yang akan jatuh pada tiga bulan lagi. Setelah bermalam di situ selama
satu minggu, Suma Ceng Liong dan isterinya pulang ke dusun Hong-cun di kota
Cin-an, sedang Tan Sin Hong, isteri dan anaknya kembali ke Ta-tung setelah
mereka berjanji kepada Suma Ceng Liong bahwa kelak puteri mereka Sian Li, akan
diantar ke Hong-cun untuk belajar silat dari pendekar sakti itu.
Yo Han
menari-nari dengan gerakan yang indah namun aneh. Yang mengiringi gerakan
tarinya adalah suaranya suling yang melengking-lengking secara aneh pula. Yo
Han tidak tahu bahwa jika terdengar orang lain, suara suling ini akan dapat
membuat orang yang mendengarnya menjadi tuli atau setidaknya akan roboh
pingsan, karena suara itu melengking tinggi parau dan begitu lembut sehingga
dapat menusuk dan menembus kendangan telinga, menggetarkan jantung dan dapat
menguasai semangat orang!
Memang
Thian-te Tok-ong bukanlah seorang manusia biasa. Tingkat kepandaiannya sudah
amat tinggi, bahkan bukan hanya ilmu silat, melainkan juga tenaga sinkang-nya
yang sangat kuat itu sukar dicari bandingannya. Suara sulingnya itu saja cukup
untuk membuat pendengaran orang menjadi tuli atau mati karena jantungnya
terguncang.
Namun Yo Han
memiliki suatu kelainan yang timbul secara mukjijat. Kepasrahannya yang mutlak
kepada Tuhan membuat dia seolah menjadi kekasih Tuhan yang selalu melindunginya
dengan kekuasaan Tuhan yang gaib. Atau lebih tepat lagi, tenaga sakti yang
memang sudah terkandung dalam diri setiap orang manusia sejak lahir, dan yang
biasanya terpendam dan tak berdaya karena pengaruh nafsu-nafsu daya rendah yang
menguasainya, pada diri Yo Han timbul dan justru berkembang sehingga seluruh
bagian tubuhnya hidup dan bekerja sesuai dengan tugasnya ketika diciptakan.
Thian-te
Tok-ong berusia kurang lebih delapan puluh tahun. Wataknya sudah berubah kekanak-kanakan,
kadang bahkan pikun, akan tetapi dia senang sekali bergurau, dan wataknya juga
nakal suka menggoda orang, seperti kanak-kanak. Tubuhnya pendek kecil seperti
tubuh yang sudah mulai mengkerut dan mengecil saking tuanya, namun gerakannya
masih lincah. Matanya kocak, jelas membayangkan kenakalan, dan mulut yang tidak
ada giginya sebuah pun itu selalu menyeringai seperti seringai anak kecil.
Namun, dia ditakuti seluruh orang Thian-li-pang dan agaknya dia tahu benar akan
hal ini.
Di pusat
Thian-li-pang itu, Thian-te Tok-ong tinggal di bagian paling belakang, bukan
merupakan bangunan lagi, melainkan merupakan sebuah goa besar di bukit. Goa itu
luas sekali dan dilapisi dinding buatan menjadi tempat yang amat kokoh, berikut
lubang-lubang angin dan lubang-lubang untuk memasukkan sinar matahari dari
atas.
Setiap hari
yang keluar masuk goa itu hanyalah burung-burung walet kalau siang, dan
kelelawar-kelelawar bila malam. Keadaannya menyeramkan sehingga tak seorang pun
berani memasuki goa itu tanpa panggilan Thian-te Tok-ong yang jarang pula
keluar dari dalam goa. Makanan dan minuman untuknya dikirim setiap hari oleh
seorang murid Thian-li-pang, akan tetapi itu pun hanya diletakkan di atas batu
dan di ujung depan goa.
Yo Han
adalah seorang anak yang jujur dan tidak pernah berprasangka buruk terhadap
siapa pun juga, walau pun hal ini bukan menunjukkan bahwa dia bodoh. Sama
sekali tidak. Dia peka rasa dan cerdik sekali, akan tetapi karena ada perasaan
kasih terhadap semua orang, maka dia tidak pernah berprasangka. Oleh karena
itu, ketika Thian-te Tok-ong mengajarkan ilmu ‘tarian’ dan ‘senam’ kepadanya,
dia pun lalu mempelajarinya dengan tekun, sama sekali tidak mempunyai prasangka
bahwa semua gerakan tari dan senam itu sesungguhnya merupakan dasar-dasar ilmu
silat yang amat hebat!
Di lain
pihak, Thian-te Tok-ong adalah seorang kakek tua renta yang di waktu mudanya
merupakan seorang datuk sesat yang sangat ditakuti orang. Dia bukan saja ahli
silat, akan tetapi juga ahli sihir dan ahli tentang racun sehingga mendapat
julukan Tok-ong (Raja Racun).
Setelah
merasa bosan merajalela seorang diri saja di dunia kang-ouw, terutama sekali
setelah dua kali dia menelan pil pahit karena dikalahkan dua orang pendekar
sakti, dia lalu mengundurkan diri. Dan untuk melindungi dirinya, dia
bersembunyi di balik sebuah perkumpulan yang didirikannya, yaitu Thian-li-pang.
Perkumpulan
itu maju pesat berkat kepandaiannya, akan tetapi setelah usianya semakin tua,
ia menyerahkan kepengurusan Thian-li-pang kepada sute-nya, yaitu Ban-tok Mo-ko
yang dalam ilmu silat juga sangat lihai, namun tentu saja masih jauh di bawah
tingkat suheng-nya, Thian-te Tok-ong yang mengundurkan diri dan bertapa di
dalam goa itu.
Setelah
setahun Yo Han berada di dalam goa itu menjadi murid Thian-te Tok-ong, sedikit
demi sedikit gurunya mulai mengungkapkan tabir rahasianya. Kakek itu semakin
percaya kepada Yo Han dan mulailah dia menceritakan tentang keadaan
Thian-li-pang, bahkan mulai membuka rahasia diri pribadinya. Yo Han juga merasa
sayang kepada gurunya ini karena dia menganggap kakek itu sebagai seorang tua
renta yang hidupnya tidak berbahagia, yang kesepian dan agaknya
kenangan-kenangan pahit menekan sisa hidupnya.
Dari
Thian-te Tok-ong, Yo Han mendengar bahwa Thian-li-pang didirikan oleh Thian-te
Tok-ong dengan cita-cita yang tinggi. Bukan saja untuk mendirikan sebuah
perkumpulan silat yang ampuh dan memiliki banyak murid pandai yang akan
menjunjung tinggi nama Thian-li-pang, tapi salah satu ciri khas Thian-li-pang
adalah bahwa perkumpulan ini anti pemerintah Mancu, anti penjajahan!
Hal ini
sebenarnya bukan karena Thian-te Tok-ong berjiwa patriot, sama sekali bukan,
melainkan karena dia pernah merasa sakit hati terhadap pemerintah Mancu. Pernah
dulu perkumpulannya cerai berai dan hampir terbasmi ketika pasukan Mancu di
bawah pimpinan Panglima Kao Cin Liong mengadakan pembersihan! Sejak itu dia
bersumpah untuk memimpin perkumpulannya, menjadi perkumpulan anti pemerintah
Mancu.
Tentu saja
kepada Yo Han, kakek ini hanya mengemukakan bahwa Thian-li-pang ialah
perkumpulan patriot yang gagah, yang cinta tanah air dan bangsa, dan yang
bercita-cita membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Ia
berharap anak yang luar biasa ini akan dapat mewarisi ilmu-ilmunya, dan bahkan
kelak menjadi pemimpin Thian-li-pang untuk menghancurkan pemerintah Mancu.
Setelah dua
tahun Yo Han menjadi murid Thian-te Tok-ong dan usianya sudah empat belas
tahun, pada suatu pagi sehabis berlatih ‘menari’, dia dipanggil menghadap pada
gurunya. Sambil berlutut Yo Han duduk di depan gurunya yang bersila di atas
batu datar.
Kakek itu
memandang kepada muridnya, mengangguk-angguk gembira sekali sambil mengelus
jenggotnya yang putih panjang. Muridnya itu kini bukan kanak-kanak lagi.
Usianya sudah menjelang dewasa dan tubuhnya yang sedang itu tegap dan agak tinggi.
Mukanya yang lonjong itu nampak gagah tampan dengan dagu meruncing dan
berlekuk. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkannya tergantung di belakang
punggung. Alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidung mancung dan
mulut itu membayangkan senyum yang ramah dan lembut.
"Yo
Han, tahukah engkau sudah berapa lama engkau menjadi muridku dan berdiam di
sini?"
"Teecu
tidak dapat menghitung hari, Suhu. Akan tetapi tentu sudah ada dua tahun."
"Benar,
dua tahun telah berlalu dengan cepatnya dan kukira engkau telah memperoleh
kemajuan pesat dalam ilmu tari, senam dan juga bertiup suling. Nah, sekarang
aku ingin mengujimu, Yo Han. Engkau mulailah dengan gerakan senam seperti yang
selama ini kau latih. Berdiri dan bersiaplah menanti apa yang kuperintahkan!"
Yo Han
memang amat menyayangi dan menghormati gurunya yang sejak dia berada di situ
bersikap amat baik kepadanya. Mendengar perintah ini, dia pun segera melepas
baju atasnya, bertelanjang dada dan berdiri tegak dengan kedua lengan
tergantung di kanan kiri, siap untuk melakukan senam seperti yang diajarkan
oleh gurunya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gerakan senam itu oleh Thian-te
Tok-ong diambil sebagian dari gerakan silat Thai-kek-koan dan Im-yang-kun.
Mulailah dia
bergerak setelah mendengar aba-aba gurunya. Mula-mula dia mengangkat lengan
kanan ke atas, melingkar di bawah pusar, lalu kedua lengan itu diputar perlahan
saling bertemu seperti orang menangkap bola besar di depan dada sambil menarik
dan menahan napas, lalu dengan hembusan napas perlahan, kedua tangan itu
digerakkan, yang satu ke atas dan yang satu ke bawah seperti menolak dengan
pengerahan tenaga dalam perlahan-lahan. Inilah gerakan dari Thai-kek-koan.
Kemudian
gerakan itu disambung dengan menjulurkan kedua lengan kanan kiri, dengan
telapak tangan agak ke atas, jari-jari menunjuk langit, kemudian siku ditekuk
ke atas dan kedua tangan ke pinggang, dilanjutkan dengan gerakan memutar
tangan. Telapak yang tadinya di bawah menjadi ke atas bagai orang menyodorkan
atau menawarkan sesuatu. Gerakan ini oleh gurunya dinamakan ‘Menghaturkan
Anggur Kepada Dewata’.
"Sekarang
salurkan tenagamu ke arah pundak, perlahan-lahan sampai seluruh tenaga itu
berkumpul di kedua pundakmu!" terdengar Thian-te Tok-ong berkata.
Yo Han
menurut. Kedua tangan yang dilonjorkan itu ditarik kembali sampai ke bawah
ketiak dan dia pun mengerahkan tenaga dari pusar dan dikumpulkan ke pundak.
Kedua pundaknya itu menggembung besar sekali, seperti punuk onta saja!
"Tarik
tenaga itu ke punggungmu dan membuat gerakan menyembah Sang Buddha!" kata
gurunya.
Yo Han
merobah gerakannya, tubuhnya membungkuk dengan muka hampir menyentuh tanah,
kedua tangan merangkap ke depan dan kini punuk di kedua pundak berpindah ke
punggung, membuat dia menjadi seperti orang yang berpunuk dan bongkok!
Thian-te
Tok-ong terus memberi aba-aba dan latihan ‘senam’ ini nampak sungguh amat
mengagumkan bagi orang lain kalau ada yang melihatnya. Anak berusia empat belas
tahun itu bisa memindahkan gumpalan ‘punuk’ yang sesungguhnya merupakan saluran
tenaga sakti itu ke mana saja, ke leher, ke dada, perut, lengan, kaki, bahkan
ke tengkuk leher! Yo Han sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa gumpalan
yang sebenarnya merupakan hawa sinkang itu dapat membuat tubuh bagian itu
menjadi kebal!
"Sekarang
kau lihat di dinding itu. Ada gumpalan batu menonjol, bukan? Nah, batu itu
mengganggu, Yo Han. Coba engkau kerahkan kemauanmu pada telapak tangan kirimu
lalu mendorongnya ke arah batu itu dengan mengerahkan tekad untuk memecahkan
gumpalan batu yang mengganggu dinding itu agar dinding menjadi rata!"
Yo Han tidak
tahu apa artinya ini dan apa pula gunanya. Akan tetapi karena yang harus
diratakan itu hanya batu dinding, dia pun dengan senang hati melakukannya. Dia
mulai menyalurkan tenaga yang mendatangkan gumpalan pada semua bagian tubuh itu
ke arah telapak tangan kirinya, kemudian dengan kemauan bulat dia mendorong ke
arah gumpalan batu menonjol di dinding itu.
Jarak antara
tangannya dan dinding itu ada dua meter. Dia tidak menyadari bahwa dari telapak
tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat dan terdengar suara keras diikuti
pecahnya gumpalan batu dinding menonjol itu!
"Brakkkk!"
Yo Han
sendiri memandang bengong dan matanya terbelalak. Tak disangkanya bahwa
gumpalan batu itu dapat remuk terkena sambaran hawa pukulan tangannya dan hal
ini sungguh membuat dia tidak mengerti. Dia menoleh kepada gurunya ketika
mendengar gurunya tertawa terkekeh-kekeh dengan senangnya.
"Suhu!
Apa yang terjadi? Kenapa batu itu bisa pecah?" tanyanya.
"He-he-heh-heh,
itulah berkat latihan senammu, Yo Han. Jangankan seorang manusia, bahkan batu
pun akan hancur terkena sambaran angin pukulan tanganmu."
"Ihh!
Aku tidak mau memukul orang, Suhu!" kata Yo Han marah.
"Hushh,
siapa suruh kau memukul orang? Engkau hanya berlatih senam agar tubuhmu sehat,
bukan untuk memukul orang. Tadi pun hanya untuk mengetahui sampai di mana
kemajuan latihanmu. Apa kau kira aku ingin muridku menjadi tukang pukul!
Heh-heh, Yo Han, jangan engkau mengira yang bukan-bukan. Sekarang sudah kulihat
kemajuan ilmu senammu, mari kulihat kemajuan ilmu tarianmu Nah, kau pakai
kembali baju atasmu."
Yo Han
merasa girang dan dia pun membereskan kembali pakaiannya. Dia tidak tahu bahwa
dalam usia empat belas tahun itu, tubuhnya sudah menjadi atletis dan indah
sekali, seperti tubuh seorang dewasa yang kuat.
"Aku
ingin melihat engkau mainkan tari kera dan akan kucoba engkau dengan
sambitan-sambitan batu ini. Seekor kera yang sudah mahir menari, biar disambit
bagaimana pun sudah pasti akan mampu mengelak dan tidak akan dapat kena disambit.
Nah, engkau mulailah."
Yo Han sudah
mempelajari tarian ini dengan baik. Tubuhnya lantas membuat gerakan-gerakan
loncatan ke sana-sini, dan kedua tangannya membentuk gerakan kedua tangan kera,
siku ditekuk, pergelangan tangan ditekuk serta kedua kakinya sedikit merendah,
meloncat ke sana-sini, bahkan mulutnya mengeluarkan bunyi seperti kera, dan
bibirnya diruncingkan.
Matanya
melirik ke kanan kiri dengan lincahnya. Kadang dia meloncat ke atas, kadang
bergulingan, gerakannya gesit, lincah dan cepat sekali. Dan kakek itu pun tidak
tinggal diam. Kedua tangannya mengambil batu-batu kecil yang sudah dipersiapkan
bertumpuk di depannya dan dia pun mulai menyambit-nyambitkan batu-batu itu.
Sambitannya cepat dan kuat, namun sungguh mengagumkan.
Yo Han mampu
mengelak dan seolah-olah pendengarannya menjadi sangat tajam dan dia sudah
dapat menangkap arah luncuran batu-batu itu tanpa melihat dengan matanya.
Sampai puluhan batu kecil menyambar, dan tak sebutir pun mengenai tubuhnya!
"Bagus
sekali! Engkau seperti monyet tulen, muridku. Nah, sekarang ilmu tari
harimau!"
Yo Han
mentaati dan tanpa dia sadari, dia kini memainkan silat Harimau yang jarang
didapatkan keduanya. Bukan saja gerakannya tangkas, kedua tangan membentuk
cakar harimau dan gerakannya sangat hidup, akan tetapi juga dari mulutnya
keluar auman seperti harimau, dan andai kata dia mengenakan pakaian bulu
harimau, tentu orang akan mengira dia seekor harimau sungguh!
Ada suatu
keanehan luar biasa pada diri Yo Han yang agaknya juga baru dikenal atau
diduga-duga oleh orang aneh seperti Thian-te Tok-ong. Kakek yang penuh
pengalaman hidup ini pun tidak tahu mengapa ada hal mukjijat terdapat dalam
diri anak itu. Kalau dia mengajarkan suatu ilmu silat baru dengan dalih ilmu
tari atau senam, dia mengajarkan gerakan silat tanpa mengatakan bahwa
gerakan-gerakan itu selain untuk memperkuat tubuh, juga mempunyai daya tahan
dan daya serang yang ampuh.
Akan tetapi,
dia melihat keanehan. Jika Yo Han sudah memainkan tari monyet misalnya, dia
melihat anak itu seolah-olah bukan anak manusia lagi, seolah-olah memang dia
seekor monyet! Gerakannya demikian wajar, tidak dibuat-buat, tidak tiruan,
bahkan ada gerakan aneh yang tidak mungkin dilakukan manusia, kecuali dilakukan
monyet asli.
Demikian
pula gerakan harimau. Kalau anak itu sudah membuat gerakan tari harimau, suara
aumannya persis harimau asli, bahkan gerakan mulutnya, bibirnya, tiada ubahnya
seekor harimau tulen, bahkan kedua matanya juga mencorong seperti mata harimau!
Ini sungguh
sangat ajaib! Kadang-kadang seorang datuk besar seperti Thian-te Tok-ong
menjadi ngeri sendiri! Anak macam apa yang dijadikan muridnya ini?
“Sekarang
pelajaran yang paling akhir, gerakan binatang cecak merayap. Yang paling sukar
dan paling baru. Jangan takut, kalau sampai engkau gagal pun aku tidak akan
marah, akan tetapi kerahkan seluruh kekuatan pada telapak tanganmu, Yo
Han."
"Walau
pun teecu tidak tahu apa maksudnya Suhu mengajarkan ilmu merayap seperti cecak,
sudah mempelajari dengan tekun dan memang amat sukar, Suhu. Akan tetapi, apa
sesungguhnya manfaat ilmu senam meniru akan gerakan cecak seperti itu,
Suhu?"
"He-he-he-heh,
anak bodoh. Masa engkau yang begini cerdik tak tahu gunanya? Selain bisa
menyehatkan tubuhmu, juga amat penting. Bahkan penting sekali. Bayangkan saja.
Suatu hari engkau tak sengaja terjerumus ke dalam sumur yang amat dalam.
Meloncat keluar sudah tidak mungkin, lalu apa yang akan kau lakukan? Apakah
engkau akan mati kelaparan di dalam lubang itu kalau tak ada orang mendengar
teriakanmu minta tolong? Nah kalau engkau pandai menirukan gaya cecak merayap,
tentu engkau akan dapat keluar dari sumur itu dengan merayap melalui
dindingnya. Nah, kau masih bilang tidak ada manfaatnya?"
Yo Han
menjadi girang dan dia pun tentu saja dapat mengerti. "Baik, Suhu. Teecu
akan mencobanya sekarang."
Dan seperti
yang telah diajarkan gurunya, dia lalu duduk bersila, mengatur pernapasan,
menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai buku-buku jarinya mengeluarkan bunyi
berkerotokan. Kemudian dia pun bangkit, menghampiri dinding goa dan merayap
naik menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya yang tidak bersepatu. Dan ia
pun dapat merayap bagai seekor cecak ke atas dan turun ke seberang dinding yang
sana! Setelah turun, napasnya terengah dan keringatnya membasahi seluruh tubuh
karena dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali! Engkau memang muridku yang amat hebat, Yo Han! Sekarang yang
terakhir. Engkau pernah belajar tari lutung hitam yang menggunakan tangan dan
kakinya untuk menangkapi semua benda yang dilemparkan kepadanya. Nah, aku ingin
engkau menarikan itu dan melihat apakah engkau sudah mahir!"
Sebetulnya
Yo Han sudah lelah sekali. Akan tetapi dia memang mempunyai kekerasan hati yang
mengagumkan dan pantang mundur. Apa lagi ia memang patuh pada gurunya yang
dianggapnya amat menyayangnya.
"Suhu,
teecu sudah siap!" katanya sambil berdiri dan memasang kuda-kuda di tengah
ruangan goa itu.
Dia tahu
bahwa jika tadi suhu-nya menghujankan sambitan batu-batu kecil, kini gurunya
hendak menggunakan segala macam ranting untuk menyambitnya seperti hujan anak
panah dan dia bukan saja harus menghindarkan semua luncuran ranting, akan
tetapi juga sedapat mungkin harus bisa menangkap sebanyaknya.
"Awas
serangan!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong menggerakkan dua tangannya dan
puluhan batang ranting meluncur seperti anak panah ke arah seluruh tubuh Yo
Han.
Pemuda
remaja ini bergerak seperti seekor lutung, kaki tangannya bergerak dan bukan
hanya kedua tangannya saja yang mampu menangkis atau menangkap ranting, bahkan
kedua kaki telanjang itu pun berhasil menjepit ranting dengan celah-celah jari
kaki atau menyepaknya pergi.
Akan tetapi,
ketika gurunya menghentikan serangan itu, dia mengeluh dan menjatuhkan diri
bersila di atas lantai goa, menahan sakit sambil memegangi kaki tangannya yang
berdarah dan bengkak-bengkak membiru!
"Suhu,
kenapa kaki tangan teecu menjadi begini?" tanyanya, sekuat tenaga menahan
agar mulutnya tidak mengeluarkan keluhan.
Kakek itu
menghampiri, langkahnya sudah gontai karena memang dia sudah tua sekali. Akan
tetapi matanya mencorong aneh dan berulang kali dia menggelengkan kepala.
"Luar
biasa! Ajaib, seribu kali ajaib! Tahukah engkau, Yo Han, kalau orang lain yang
menangkis dan menangkapi ranting-ranting tadi, tidak peduli bagaimana tinggi
ilmunya saat ini dia pasti sudah akan menjadi kaku dan mampus?"
Yo Han
terbelalak memandang wajah tua itu. "Akan tetapi, kenapa, Suhu?"
"Ranting-ranting
itu semuanya sudah kupasangi bubuk racun yang paling berbahaya di dunia ini,
terdiri dari racun segala macam ular yang paling ampuh. Ada ular cobra, ular
belang hitam, ular merah, ular emas, bahkan racun kalajengking hijau. Siapa pun
yang terkena, pasti mati seketika. Akan tetapi engkau... engkau hanya luka-luka
dan tangan kakimu membiru saja! Bukan main!"
"Tapi,
kenapa, Suhu? Apakah Suhu bermaksud untuk membunuh teecu?"
"Ha-ha-ha-ha,
aku sayang padamu, aku kagum padamu, kepadamulah seluruh tumpuan harapanku
kuberikan, bagaimana mungkin aku akan membunuhmu? Aku hanya akan mengujimu!
Andai kata racun-racun itu mengancam nyawamu, aku sudah menyiapkan obat
penawarnya. Sekarang bahkan tidak perlu lagi. Racun itu hanya berhenti sampai
di pergelangan tangan dan kakimu. Entah kemukjijatan apa yang melindungi
dirimu, Yo Han."
"Tidak
ada kemukjijatan apa-apa kecuali kekuasaan Tuhan yang teecu yakin akan selalu
melindungi teecu, Suhu."
"Heh-heh-heh,
sudah terlalu sering engkau mengatakan begitu. Akan tetapi, bagaimana ada
kekuasaan Tuhan melindungimu, tetapi tidak melindungi orang lain?"
"Suhu,
bagaimana teecu bisa tahu? Kehendak Tuhan, siapa yang tahu? Teecu hanya
merasakan bahwa ada sesuatu di luar kehendak akal pikiran teecu, dan teecu
hanya menyerahkan kepada Tuhan, menyerah dengan sepenuh jiwa raga teecu. Apa
pun yang dikehendaki Tuhan atas diri teecu, akan teecu terima tanpa
mengeluh."
"Engkau
memang anak aneh sekali. Bagaimana rasanya jari-jari tangan dan kakimu?"
"Rasanya
ngilu, nyeri kaku dan gatal-gatal."
"Heh-heh-heh,
tidak percuma gurumu ini berjuluk Tok-ong (Raja Racun), tetapi sekali ini,
Tok-ong sama sekali tidak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan yang ada pada
dirimu. Buktinya, engkau tidak apa-apa. Kalau bukan engkau keadaanmu ini
merupakan penghinaan besar bagiku dan sekali pukul engkau akan mampus. Akan
tetapi engkau muridku, bahkan engkau akan kuajari bagaimana cara untuk
mengobati pengaruh racun dariku."
"Akan
tetapi, Suhu, teecu tidak akan menggunakan racun. Teecu tidak mau mencelakai
orang, tidak mau meracuni orang."
"Ha-ha-ha,
engkau tidak mau mencelakai orang, tetapi akan dicelakai orang. Engkau tak mau
meracuni orang, akan tetapi engkau akan diracuni orang. Aihhh, Yo Han, engkau
belum tahu apa artinya hidup ini. Kau kira dunia kita ini seperti sorga? Neraka
pun tidak sebusuk dunia, kau tahu? Setan-setan pun tidak sejahat manusia, kau
tahu?"
"Tidak,
Suhu! Teecu tidak percaya. Semua manusia pada dasarnya baik. Hanya karena
mempelajari ilmu kekerasan, maka mereka menjadi jahat dan hendak mengandalkan
kekerasan untuk mencari kemenangan. Dan teecu tidak sudi mempelajari
kekerasan."
Thian-te
Tok-ong tertawa terpingkal-pingkal sesudah mendengar ucapan muridnya itu.
Bagaimana dia tidak akan merasa geli? Selama dua tahun ini dia telah
menggembleng Yo Han dengan ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu yang akan dapat
membunuh puluhan orang lawan dan anak ini masih mengatakan tidak sudi
mempelajari kekerasan!
Mereka
berada di tengah goa itu, tidak nampak dari luar. Mendadak terdengar suara
melengking nyaring dari luar pintu goa, disusul kata-kata yang lembut seorang
wanita, namun yang dapat terdengar sampai ke dalam goa.
“Thian-te
Tok-ong, keluarlah engkau, aku Ang-I Moli ingin bicara denganmu!”
Mendengar
suara yang melengking nyaring ini, diam-diam Yo Han terkejut. Tentu saja dia
mengenal siapa itu Ang-I Moli, orang pertama yang memaksanya menjadi murid
walau pun dia tidak pernah diajarkan apa pun. Dia tahu bahwa wanita itu seperti
iblis, selain amat lihai, juga amat jahat dan kejam, maka diam-diam dia
mengkhawatirkan keselamatan kakek tua renta yang selama ini bersikap sangat
baik kepadanya.
Akan tetapi
kakek itu terkekeh. "Ang-I Moli, suaramu sudah cukup nyaring dan dapat
terdengar dari sini. Perlu apa aku harus keluar menemuimu? Kalau engkau mau
bicara, bicaralah, dari sini pun aku dapat mendengarmu dengan baik."
"Thian-te
Tok-ong, tidak perlu kujelaskan lagi, tentu kunjunganku ini sudah kau ketahui
maksudnya. Aku datang untuk menuntut janjimu untuk menukar Sin-tong dengan obat
penawar racun ilmu yang telah kusempurnakan."
"He-he-heh,
engkau sudah menyempurnakan ilmu Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut
Nyawa)? Hebat! Ilmu semacam itu hanya ada seratus tahun yang lalu dan kini
engkau berhasil menguasainya? Perempuan iblis, engkau akan menjadi seorang
tanpa tanding, heh-heh-heh! Mari, Yo Han, mari kita keluar melihat iblis betina
itu!" Kakek itu menjulurkan tongkatnya kepada Yo Han.
Anak itu
memegang ujung tongkat dan menuntun gurunya keluar dari dalam goa. Dia sendiri
sudah sering keluar goa, akan tetapi kakek itu tidak pernah sehingga setelah
kini dia keluar dari goa, matanya disipitkan, silau, dan mukanya nampak pucat
seperti mayat hidup.
Diam-diam
Ang-I Moli sendiri bergidik. Kakek ini seperti bukan manusia lagi dan ia pun
sudah mendengar bahwa kakek tua renta ini merupakan tokoh nomor satu
perkumpulan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian tak dapat diukur
tingginya.
Setelah Yo
Han dan Thian-te Tok-ong tiba di luar goa, mereka melihat ada beberapa orang di
situ. Selain Ang-I Moli yang kini nampak semakin cantik saja, juga di situ
terdapat Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang yang berlutut, dan ada pula
lima orang pria lain yang melihat pakaian mereka adalah petani-petani biasa dan
nampaknya mereka itu ketakutan, berlutut pula tanpa berani mengangkat muka.
Hanya Ang-I
Moli seorang yang tidak berlutut. Hal ini tidaklah aneh karena dia bukan
anggota Thian-li-pang, bahkan ia adalah pemimpin dari perkumpulan Ang-I Mo-pang
di luar kota Kunming.
Dua tahun
yang lalu, ketika ia bersekutu dengan Thian-li-pang, kemudian menyerahkan Yo
Han kepada Lauw Kang Hui wakil ketua Thian-li-pang untuk ditukar dengan dua
belas orang pemuda remaja, ia lalu membawa dua belas orang remaja itu pergi.
Diam-diam ia mulai melatih diri dengan ilmu kejinya itu, dan mengorbankan nyawa
dua belas orang remaja yang dihisap darahnya. Dan kini, dua tahun kemudian, ia
sudah berhasil dengan ilmunya itu dan datang ingin menagih janji, yaitu untuk
minta obat penawar bagi keampuhan ilmunya yang beracun.
Baginya
sendiri, ilmu tanpa ada obat penawarnya amat berbahaya bagi diri sendiri, juga
tidak dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada lain orang. Dan di
dunia ini, yang mampu membuatkan obat penawar bagi segala macam ilmu pukulan
beracun hanyalah Thian-te Tok-ong seorang!
Begitu kakek
tua renta itu muncul, Ang-I Moli membungkuk dengan sikap hormat. Lauw Kang Hui
yang berlutut juga memberi hormat dan berkata, "Teecu mohon Supek sudi
memaafkan kalau teecu mengganggu ketentraman Supek. Teecu mengantarkan Ang-I
Moli yang hendak menagih janji dua tahun yang lalu."
"He-he-heh-heh,
Lauw Kang Hui, mulutmu bicara satu akan tetapi hatimu bicara dua. Katakan saja
bahwa engkau pun datang untuk menagih janji minta diajari sebuah ilmu. Benar
tidak?"
Wajah Lauw
Kang Hui yang biasanya memang sudah merah itu menjadi semakin gelap, akan
tetapi dia menyembah lagi dengan segala kerendahan hati. "Supek, teecu
hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Supek saja, karena semua itu juga demi
kemajuan Thian-li-pang kita."
"Baiklah,
kau tunggu saja. Sekarang, Moli. Aku bukan orang yang suka melanggar janji. Yo
Han memang menyenangkan dan sudah menjadi muridku. Untuk itu, aku tentu akan
memenuhi janjiku. Akan tetapi, bagaimana aku akan dapat membuat obat pemunah
dari ilmu kejimu itu kalau aku tidak melihat dulu buktinya?"
Ang-I Moli
tertawa genit dan memang wanita ini masih manis sekali seperti orang muda saja,
walau pun usianya sudah empat puluh tahun. "Locianpwe Thian-te Tok-ong,
aku sudah mempersiapkan segalanya. Lihatlah lima orang dusun ini. Mereka ini
yang akan kujadikan kelinci percobaan. Nah, harap kau lihat baik-baik!"
Dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya, sehingga yang tampak hanya berkelebatnya
bayangan merah saja, dan tahu-tahu tiga di antara kelima orang itu roboh
terpelanting. Padahal, Ang-I Moli hanya mendorongkan telapak tangannya dari
jauh saja, sama sekali tanpa menyentuh orangnya, akan tetapi dari telapak
tangan itu menyambar hawa yang kebiruan ke arah mereka.
"Keji
sekali kau!" Tlba-tiba Yo Han berseru.
Dari tempat
ia berdiri, Yo Han teringat akan ilmu senamnya dan dia pun mendorongkan kedua
tangannya ke arah dua orang yang belum roboh. Dua orang itu bagaikan kena
disambar angin keras sehingga tubuh mereka terguling-guling sampai jauh, akan
tetapi mereka terhindar dari pukulan beracun Ang-I Moli!
Melihat ini,
Ang-I Moli marah sekali dan ia pun mengerahkan pukulan kedua tangannya,
didorongkan ke arah tubuh Yo Han. Anak ini pun menyambut dengan gerakan senam
yang dinamakan ‘mendorong bukit’.
"Dessss...!"
Yo Han
terjengkang dan roboh pingsan. Akan tetapi Ang-I Moli terhuyung, berpusing lalu
roboh dan muntah darah!
Wanita itu
terbelalak penuh kekagetan, keheranan dan juga ketakutan sebab ia merasa betapa
ilmunya yang amat keji itu, yaitu yang dia beri nama Toat-beng Tok-hiat, tadi
ketika bertemu dengan tenaga dari kedua tangan anak itu, telah membalik dan
melukai dirinya sendiri!
Ia tahu
bahwa ia telah menjadi korban pukulannya sendiri yang membalik dan ia sendiri
tidak mempunyai obat penawarnya! Keadaannya sama dengan tiga orang petani yang
dijadikan kelinci percobaan. Mereka pun roboh dan muntah darah. Baik wajah tiga
orang itu mau pun wajah Ang-I Moli berubah menjadi kebiruan!
Thian-te
Tok-ong menghampiri Yo Han dan ia tertawa terkekeh-kekeh saking girangnya
melihat betapa meski pun pingsan Yo Han sama sekali tidak terluka. Dia
menotokkan tongkatnya ke tengkuk anak itu dan Yo Han pun siuman kembali.
Yo Han
meloncat bangun dan memandang ke arah Ang-I Moli dengan mata terbelalak.
"Suhu... apakah teecu... membuat ia roboh...?"
Thian-te
Tok-ong mengangguk. "Kalau engkau tidak menggunakan senam mendorong bukit,
tentu engkau akan roboh keracunan atau mungkin sudah tewas. Ilmu iblis betina
itu keji bukan main."
Ang-I Moli
terengah-engah dan bangkit duduk. "Locianpwe, aku yakin bahwa seorang
Locianpwe seperti engkau ini tidak akan menelan ludah sendiri dan akan memenuhi
janjinya. Aku menuntut diberi obat penawar untuk ilmu pukulan ini."
"Ha-ha-ha,
sudah lama kubuatkan. Aku mengenal pukulan keji semacam itu, Moli. Akan tetapi
engkau masih untung. Kalau engkau tadi membuat Yo Han tewas, engkau pun tentu
akan kubunuh! Nah, inilah obat penawarnya, berikut catatan cara membuatnya,
terimalah dan buktikan kemanjurannya pada dirimu sendiri."
Kakek itu
melemparkan sebuah bungkusan yang diterima oleh Ang-I Moli. Isi bungkusan itu
ternyata belasan butir pel merah dan sehelai kertas catatan resep pembuatannya.
Menurutkan petunjuk catatan, Ang-I Moli menelan sebutir pel merah dan setelah
bersila sejenak, wajahnya berubah merah kembali dan dia merasa betapa pengaruh
racun di tubuhnya lenyap. Dia girang bukan main, meloncat berdiri lalu
membungkuk terhadap Thian-te Tok-ong.
"Nama
besar Thian-te Tok-ong ternyata bukanlah nama kosong dan bukan pula seorang
pembohong. Aku menghaturkan banyak terima kasih." Lalu kepada Lauw Kang
Hui ia pun berkata, "Lauw Pangcu, kita sudah saling membantu, harap
sampaikan hormatku kepada Ouw Pangcu. Aku mohon diri untuk mengambil jalanku
sendiri. Selamat tinggal!"
"Heiiii,
nanti dulu!" Tiba-tiba Yo Han berseru keras.
Moli
terkejut karena sekali anak itu menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang dan
berdiri di depannya! Anak ini, entah disadari atau pun tidak, telah memiliki
ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat bukan main!
"Huh,
mau apa engkau?" bentaknya, tidak berani memandang rendah karena tentu
saja ia gentar terhadap guru anak itu.
Dengan menuding
telunjuk tangan kanannya, seperti seorang dewasa menegur seorang anak nakal, Yo
Han berkata, "Ang-I Moli, sejak dahulu engkau sungguh tidak berubah,
bahkan menjadi semakin jahat dan keji. Engkau melukai tiga orang petani yang
tidak berdosa itu sampai mereka keracunan dan engkau mau meninggalkan mereka
begitu saja? Mana tanggung jawabmu? Engkau harus menyembuhkan mereka lebih
dulu, baru boleh pergi!"
Ang-I Moli
mengerutkan alisnya. Mana ia mau mentaati permintaan bocah itu?
"Huh!
Peduli apa aku dengan mereka?" Serunya dan ia pun sudah meloncat pergi.
Akan tetapi
Yo Han juga meloncat dan anak ini terkejut sendiri akan tubuhnya melayang dan
dia dapat menghadang di depan wanita pakaian merah itu.
"Aih,
kiranya Tok-ong sudah melatihmu, ya? Yo Han, engkau masih kanak-kanak, sama
sekali bukan lawanku, jangan coba-coba menghalangiku. Kalau aku tidak melihat
muka gurumu, sekali pukul engkau akan mampus. Pergilah!"
"Moli,
aku tidak mau berkelahi, aku tak mau melawanmu atau melawan siapa saja. Akan
tetapi aku minta pertanggungan jawabmu. Tiga orang itu tidak berdosa. Engkau
tidak boleh meninggalkan mereka terluka tanpa kau obati dulu. Hayo cepat kau
sembuhkan mereka!"
"Bocah
setan kau!"
Akan tetapi
mendadak terdengar suara Thian-te Tok-ong terkekeh-kekeh. "Ang-I Moli,
jangan mengira bahwa aku mencampuri urusan percekcokanmu dengan Yo Han anak
kecil. Akan tetapi, dalam dunia kita sudah terdapat peraturan bahwa siapa yang
menang harus ditaati dan siapa kalah harus mentaati. Nah, sekarang begini saja.
Engkau boleh menyerang Yo Han sampai dua puluh jurus, dengan ilmu pukulanmu
yang mana pun, boleh semua kepandaianmu kau keluarkan, kecuali pukulan
Toat-beng Tok-hiat itu. Jika kau pergunakan pukulan itu dan sampai muridku
mati, engkau akan kucabik-cabik. Akan tetapi semua pukulan lain boleh kau
lakukan. Kalau sampai dua puluh jurus engkau tak mampu merobohkannya, nah,
engkau harus mentaati perintahnya mengobati tiga orang petani itu. Kalau
sebelum dua puluh jurus dia jatuh, sudahlah, engkau boleh pergi dan aku yang
akan menghajar kelancangan mulut muridku."
Mendengar
ini, Lauw Kang Hui wakil ketua Thian-li-pang yang datang pula ke situ diam-diam
terkejut bukan main. Bagaimana sih supek-nya itu? Tingkat kepandaian Ang-I Moli
sudah tinggi sekali. Apa lagi setelah sekarang menguasai Toat-beng Tok-hiat,
bahkan ia sendiri pun harus berhati-hati kalau melawan wanita itu.
Dan kini
supek-nya menyuruh Moli menyerang Yo Han sampai dua puluh jurus. Mana mungkin
anak itu mampu bertahan? Baru satu dua jurus saja kepala anak itu dapat hancur!
Akan tetapi tentu saja ia tidak berani mencampuri urusan supek-nya yang amat
ditakuti dan dihormatinya itu.
Ang-I Moli
adalah seorang wanita iblis yang amat licik. Tadinya dengan senang sekali ia
berhasil mendapatkan Yo Han, akan tetapi terpaksa dia melepaskan anak itu
kepada Thian-te Tok-ong. Kini, mendengar tantangan itu, tentu saja ia mendapat
kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya. Kalau ia membunuh anak itu, berarti
anak itu tidak terjatuh ke tangan orang lain, dan ia pun dapat membalas
penghinaan yang diterimanya ketika Yo Han menangkisnya tadi!
"Bagus
sekali! Locianpwe Thian-te Tok-ong, bukan aku yang menantang, tapi syarat itu
memang cukup adil. Nah, Yo Han yang manis, majulah engkau ke sini untuk
menerima kematianmu. Sayang masih begini muda terpaksa engkau harus mampus di
tanganku."
"Suhu,
teecu tidak sudi berkelahi, biar pun melawan iblis betina itu sekali pun,"
kata Yo Han kepada gurunya sambil mengerutkan alisnya.
"Bocah
tolol! Siapa suruh engkau berkelahi? Akan tetapi dia hendak membunuh ketiga
orang petani itu, juga hendak membunuhmu. Engkau tidak perlu memukulnya, engkau
hanya menari saja seperti yang kau pelajari tadi. Gunakan tari monyet dan tari
lutung, dan hendak kulihat apakah perempuan sombong ini akan mampu menyentuh
selembar rambutmu. Hayo cepat engkau menari!"
Mendengar
perintah ini, hati Yo Han tidak ragu-ragu lagi. Ia memang tetap berpendirian
bahwa ia tak akan sudi berkelahi menggunakan kekerasan memukul orang. Akan
tetapi kalau hanya menari dan menghindarkan diri dari serangan orang, itu
namanya bukan berkelahi dan bukan menggunakan kekerasan. Apa lagi ia harus
menyelamatkan nyawa tiga orang petani yang tidak berdosa itu. Maka, dia pun
melangkah maju menghadapi wanita itu dengan hati tabah.
Bagaimana
pun juga, karena ia segan dan takut kepada Thian-te Tok-ong, Ang-I Moli sekali
lagi berkata, "Locianpwe Thian-te Tok-ong, benarkah aku boleh menyerangnya
sampai dua puluh jurus?"
"Perempuan
sombong, siapa yang menyangkal? Cepat serang!"
Ang-I Moli
memang seorang yang amat licik dan curang. Biar pun yang dihadapinya itu
seorang remaja berusia empat belas tahun, namun begitu mendengar ucapan
Thian-te Tok-ong, tanpa memberi peringatan lagi tiba-tiba saja ia sudah
menerjang dengan tiga tamparan yang amat ganas, ke arah kepala Yo Han.
"Wuuut-wuut-wuuuttt...!"
Tiga kali ia
menampar susul menyusul dan... luput!
Bagaikan
seekor kera yang amat lincah, Yo Han telah menari-nari dan semua tamparan itu
sama sekali tidak mampu menyentuhnya. Dia seperti sudah melihat terlebih dahulu
datangnya tamparan.
Tentu saja
Ang-I Moli terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kini ia tidak main-main
lagi, mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh, bukan sekedar untuk
menampar atau memukul, melainkan mengirimkan jurus pukulan mautnya! Bahkan,
setelah lewat sepuluh jurus, berturut-turut dia memukul dengan pukulan ampuh
Pek-lian Tok-ciang, yaitu pukulan beracun yang amat dahsyat, yang dikuasai oleh
para murid Pek-lian-kauw tingkat tinggi saja.
Pukulan ini
mengandung uap putih dan hawa beracun itu cukup untuk membuat orang yang
menghisapnya roboh pingsan! Namun, dengan gerakannya yang lincah selalu Yo Han
dapat menghindarkan diri, bahkan asap yang menerjangnya dan tanpa disengaja
tersedot olehnya sama sekali tak mempengaruhinya. Ia bahkan masih sempat
berseru, "Aih, baunya harum!"
Tentu saja
ucapan yang jujur dari Yo Han ini oleh Ang-I Moli merupakan tamparan dan
ejekan. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring. Tinggal sisa tiga
jurus lagi karena ia sudah menyerang sampai tujuh belas jurus tanpa hasil dan
yang tiga jurus ini akan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, bukan
tenaga sembarangan, melainkan ilmu pukulannya yang baru, yaitu Toat-beng
Tok-hiat!
Terdengar
suara bercuitan seperti tikus-tikus terjepit pada saat ia melancarkan pukulan
ampuh Toat-beng Tok-hiat itu. Latihan pukulan ini baru saja dirampungkan Ang-I
Moli dan merupakan pukulan tingkat tinggi yang hebat bukan main. Jangankan
seorang anak remaja seperti Yo Han yang tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan
seorang wakil ketua Thian-li-pang seperti Lauw Kang Hui saja belum tentu akan
mampu menahan pukulan maut itu!
Diam-diam
Lauw Kang Hui amat terkejut. Dia sendiri tidak sayang kepada Yo Han, akan
tetapi dia tahu betapa sayangnya supek-nya kepada anak itu sehingga kalau
sampai Yo Han celaka, tentu nyawa Ang-I Moli tidak akan dapat diselamatkan
lagi!
Akan tetapi,
Yo Han yang sama sekali belum menyadari bahwa semua latihan yang dilakukan
secara rajin selama dua tahun ini adalah gerakan silat tinggi, telah memiliki
ketajaman penglihatan yang luar biasa. Hal ini adalah karena sebagian besar
waktunya dia berada di dalam goa yang gelap dan remang-remang.
Maka, kini
dia dapat melihat atau mengikuti gerakan tangan dan tubuh Moli dengan jelas
sehingga memudahkan dia untuk berloncatan seperti seekor kera mengelak ke sana
sini dan tiga kali hantaman berturut-turut yang mengeluarkan bunyi bercicit itu
tidak ada yang mengenai tubuhnya.
Ang-I Moli
penasaran bukan main sehingga ia menjadi lupa diri, lupa bahwa sudah dua puluh
jurus ia menyerang dan kini ia menubruk ke depan untuk menerkam anak yang
dianggapnya telah membuat ia kehilangan muka itu.
"Takkk!"
Tubuh Moli
terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya karena disodok ujung
tongkat oleh Thian-te Tok-ong! Sungguh luar biasa sekali gerakan ini. Kakek itu
masih duduk bersila dan jaraknya cukup jauh. Akan tetapi, entah tongkatnya yang
mulur atau lengannya yang memanjang, ujung tongkatnya dapat menyambut serangan
Moli sehingga membuat wanita itu terjengkang.
"Moli,
apakah engkau ingin mampus? Sudah dua puluh jurus dan engkau masih ingin
menyerang terus?" bentak kakek itu terkekeh.
Ang-I Moli
cepat bangkit dan memberi hormat. "Maaf, Locianpwe, tentu aku sudah salah
menghitung."
"Heh-heh-heh,
engkau sudah kalah bertaruh. Hayo lekas kau sembuhkan tiga orang itu kemudian
cepat pergi dari sini, jangan sekali lagi sampai bertemu denganku, karena aku
tidak akan sudi mengampunimu lagi!"
Dengan
terpaksa Ang-I Moli lalu mendekati ketiga orang petani yang tergeletak dengan
muka kebiruan itu. Dia masukkan tangannya ke dalam saku di balik baju luarnya,
tempat ia tadi menyimpan belasan butir pel merah penawar racun pukulan
Toat-beng Tok-hiat yang diberikan oleh Thian-te Tok-ong. Ketika tangannya
keluar dari balik bajunya, tiga butir pel merah sudah berada dalam
genggamannya, yang kemudian satu demi satu dimasukkan ke mulut tiga orang
petani korban pukulannya tadi.
Pel penawar
bikinan Thian-te Tok-ong memang luar biasa mujarab, serta gelar Raja Racun
Langit dan Bumi terbukti bukan julukan kosong belaka. Setelah masing-masing
diminumkan obat, hanya dalam waktu sebentar saja tiga orang petani itu telah
sadar kembali dan lenyap sudah rona kebiruan pada wajah mereka.
Tiga orang
petani itu segera bangkit dengan perasaan bingung, akan tetapi keheranan mereka
tidak berlangsung lama karena Thian-te Tok-ong cepat berkata kepada mereka,
“Kalian berlima lekas pergi dari sini, pulanglah ke tempat asal kalian.”
Meski pun
rasa heran dan bingung mereka belum lenyap sama sekali, namun melihat wajah dan
potongan orang-orang di sekitar itu, ditambah mendengar kata-kata Thian-te
Tok-ong barusan, maka tanpa menanti lebih lama lagi, lima orang petani itu,
tiga orang yang baru sadar bersama dua orang lain yang tidak sempat terpukul
oleh Ang-I Moli, kemudian mulai melangkahkan kaki, pergi meninggalkan tempat
itu.
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati Ang-I Moli. Ia memang tahu bahwa Thian-te
Tok-ong adalah orang nomor satu dari Thian-li-pang, bahkan merupakan seorang
tokoh langka yang tak pernah mencampuri urusan dunia. Dikalahkan Thian-te
Tok-ong masih belum merupakan hal yang memalukan.
Akan tetapi,
ia, datuk besar yang baru saja selesai menguasai ilmu yang amat hebat, ilmu
Toat-beng Tok-hiat yang dianggapnya akan bisa membuat ia menjadi seorang yang
paling lihai di dunia, atau setidaknya seorang di antara yang paling lihai,
kini tidak dapat merobohkan seorang bocah berusia empat belas tahun yang tidak
pandai ilmu silat!
Maka,
setelah ia memandang kepada Yo Han dengan sinar mata mengandung penuh
kebencian, dan di dalam hatinya ia mencatat bahwa kelak pada suatu hari ia
pasti akan membunuh anak ini dan menghisap darahnya sampai tidak tertinggal
setetes pun, ia lalu membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat ia pun lenyap
dari tempat itu.
"He-he-heh-heh,
Yo Han, kau ingat. Ialah mungkin wanita yang kelak harus kau bunuh, kalau tidak
engkau yang akan dibunuhnya, heh-heh-heh!"
Yo Han
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Suhu tahu, teecu tidak akan
mau membunuh siapa pun juga!"
"Heh-heh-heh,
engkau memang anak yang aneh. Nah, Lauw Kang Hui, engkau tentu datang mengantar
perempuan tadi bukan dengan percuma, tentu engkau pun hendak menagih janji,
bukan?"
Lauw Kang
Hui, seperti juga semua murid Thian-Ii-pang, amat takut kepada kakek ini. Kakek
ini bukan saja merupakan orang pertama yang dipuja-puja dan ditakuti, namun
juga terkenal bengis dan entah sudah berapa puluh orang anak buah Thian-li-pang
semenjak dulu dibunuhnya begitu saja dengan kesalahan yang amat sepele. Maka,
dia pun cepat menyembah sambil berlutut.
"Teecu
memberanikan diri mengantar Ang-I Moli karena ia desak-desak, Supek. Ada pun
tentang Supek hendak memberi anugerah kepada teecu atau tidak, teecu serahkan
kepada kebijaksanaan Supek. Bagaimana teecu berani menuntut?"
"Ha-ha-ha,
engkau memang seorang di antara para murid yang cerdik, Kang Hui, tidak seperti
suheng-mu Ouw Ban yang terlalu keras kepala walau pun kepandaiannya lebih
tinggi. Aku sudah mendengar mengenai siasatmu mengadu domba antara empat partai
persilatan besar dan berhasil baik. Ha-ha-ha, sungguh, aku sendiri tak akan
memikirkan sejauh itu. Engkau memang pandai dan aku suka sekali menambahkan
satu dua ilmu pukulan untukmu agar engkau lebih dapat memajukan Thian-li-pang
lagi!"
"Terima
kasih, Supek. Terima kasih!" Akan tetapi dia lalu menambahkan dengan suara
lirih. "Hanya teecu mohon agar Supek sudi melembutkan hati Suhu bila Suhu
memarahi teecu karena urusan ini."
"Gurumu?
Ha-ha-ha, gurumu selalu berat sebelah, terlalu mudah dirayu oleh Ouw Ban.
Jangan takut, kalau gurumu berani mengganggumu, akan kupukul pantatnya sampai
bengkak-bengkak, he-he-he! Nah, ke sinilah dan perhatikan baik-baik. Akan
kuajarkan ilmu Tok-jiauw-kang (Ilmu Cakar Beracun) dan Kiam-ciang (Tangan
Pedang) padamu. Hafalkan baik-baik dan kemudian latihlah, sedikitnya satu dua
tahun baru engkau akan dapat mahir."
"Terima
kasih, Supek!"
Lauw Kang
Hui memasuki mulut goa dan Yo Han yang tidak suka melihat orang belajar silat,
lalu masuk ke dalam goa untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan goa
dan mengirim makanan dan minuman untuk orang hukuman yang berada di dalam
sumur. Sampai tiga hari lamanya Lauw Kang Hui menerima petunjuk dua ilmu itu
dari Thian-te Tok-ong tanpa ada yang berani mengganggu, bahkan mendekat pun
tiada yang berani. Setelah dia hafal benar, Lauw Kang Hui berlutut menghaturkan
terima kasih, kemudian meninggalkan goa yang menjadi sunyi kembali.
Dan Yo Han
pun mulai lagi setiap hari belajar ilmu menari dan senam, karena sampai hari
itu pun Yo Han tetap berkukuh tidak sudi belajar ilmu memukul orang! Pada waktu
usianya sudah lima belas tahun, tetap juga dia berkeras hati tak mau belajar
silat. Habis sudah kesabaran Thian-te Tok-ong. Ia memanggil muridnya menghadap.
Yo Han berlutut di depan Thian-te Tok-ong......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment