Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 06
Ketika Sin
Hong dan Hong Li kembali ke kamar mereka, suami isteri ini mendapatkan pintu
kamar itu tidak terkunci. Mereka mendorong daun pintu kamar terbuka dan tidak
melihat puteri mereka di dalam kamar! Mereka mencari-cari di sekitar kamar,
namun tak nampak bayangan Sian Li! Mulailah mereka merasa khawatir, apa lagi
ketika mereka meneliti tempat tidur anak itu dan mendapat kenyataan bahwa
tempat tidur itu masih rapi, tidak ada bekas ditiduri anak mereka.
Mereka
cepat-cepat memanggil pelayan yang kemarin memberi kamar kepada mereka. Dengan
sinar mata penuh ancaman, Hong Li mendorong pelayan itu masuk kamar dan
mencengkeram pundaknya.
“Hayo
katakan di mana anak perempuan kami!”
Pelayan itu
meringis kesakitan dan kedua lututnya menggigil. “Saya... saya tidak tahu...,
apa... apa yang telah terjadi maka Jiwi marah kepada saya?”
“Malam tadi
kami meninggalkan anak kami seorang diri di kamar ini, tetapi sekarang ia tidak
ada. Apakah engkau melihatnya semalam? Hayo katakan, kalau engkau tidak mau
mengaku atau berbohong, kami akan membunuhmu!” Sin Hong yang biasanya tenang
dan lembut itu, kini terpaksa menghardik dan mengancam karena dia pun mulai
gelisah sekali.
“Sungguh
mati Taihiap dan Lihiap, sungguh mati saya tidak tahu. Semalam kami semua sibuk
sekali melayani semua perintah Ouw Ciangkun sehingga kami sama sekali tidak
sempat mengurus hal-hal lainnya. Kami semua tidak pernah melihat puteri Jiwi...
tidak nampak Siocia keluar kamar. Sungguh mati saya tidak tahu...”
Suami isteri
itu saling pandang.
“Sudahlah,”
akhirnya Sin Hong berkata. “Kalau engkau benar tidak tahu, tidak mengapa dan
pergilah. Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong, kelak masih belum terlambat
bagi kami untuk menghukummu!”
“Terima
kasih, Taihiap, terima kasih, Lihiap... nanti kalau saya melihat atau mendengar
tentang Siocia, tentu akan segera saya laporkan kepada Jiwi...”
Hong Li
mengangguk dan pelayan yang sudah menggigil ketakutan dengan muka pucat itu,
kini bagaikan seekor tikus yang baru saja lolos dari cengkeraman kucing, dia
berlari keluar.
“Heran, ke
mana Sian Li pergi?” Sin Hong berkata lirih.
“Tentu ada
hal yang tidak beres! Akan kuserbu saja ke dalam dan akan paksa mereka mengaku
di mana anak kita!” kata Hong Li.
Akan tetapi
Sin Hong memegang lengannya. “Sssttt, perlahan dulu. Tidak ada gunanya
menggunakan kekerasan. Kita berhadapan dengan perwira yang mempunyai pasukan!
Tidak bisa kita menuduh mereka begitu saja tanpa bukti. Sebaiknya kita
mengamati kepergian mereka. Kalau jelas Sian Li berada dengan mereka, baru kita
turun tangan menyelamatkan puteri kita. Kalau tidak ada, kita harus mencari
jalan lain.”
Hong Li
menurut, akan tetapi ia nampak agak pucat dan gelisah. “Kalau Ang-I Moli yang
melakukan penculikan terhadap Sian Li, kali ini aku akan mengadu nyawa
dengannya!”
“Yang
penting, kita harus dapat menemukan dulu di mana adanya Sian Li, dan melihat
anak kita itu dalam keadaan selamat,” kata Sin Hong.
“Tidak ada
kemungkinan lainnya,” berkata Hong Li. “Lenyapnya anak kita itu pasti ada
hubungannya dengan komplotan pemberontak yang semalam mengadakan rapat di sini.
Tentu orang-orang Pek-lian-kauw, Thian-li-pang dan para pemberontak itu yang
harus bertanggung jawab.”
“Karena itu,
kita amati saja mereka. Dan kita pun akan menghadapi mereka di istana. Di sana
kita lebih banyak mendapat kesempatan untuk menangkap Ang-I Moli, kemudian
memaksanya mengaku untuk mengembalikan anak kita.”
Setelah
mencari-cari tanpa hasil, kemudian mengintai keberangkatan Ouw Ciangkun dan
pasukannya dan tidak melihat adanya Sian Li di sana bersama pasukan itu, juga
mereka berdua tidak melihat adanya Ang-I Moli beserta para tokoh Pek-lian-kauw
dan Thian-li-pang, terpaksa, meski dengan hati berat, Sin Hong dan Hong Li
segera berlari ke benteng Liu Tai-ciangkun.
Panglima itu
terkejut bukan main mendengar bahwa puteri sepasang pendekar itu telah lenyap
dari kamar rumah penginapan. “Jangan khawatir, Taihiap dan Lihiap, kami akan
menyebar penyelidik untuk mencari keterangan tentang puteri Jiwi (Kalian) itu.”
Dan seketika
itu juga panglima Liu menyebar anak buahnya yang ahli untuk melakukan
penyelidikan ke kota Heng-tai dan sekitarnya, mencari jejak nona Tan Sian Li,
gadis cilik berusia dua belas tahun itu.
Ada pun
suami isteri itu sendiri oleh Liu Tai-ciangkun kemudian diselundupkan ke dalam
istana. Mereka menyamar sebagai pengawal-pengawal yang tergabung dalam pasukan
pengawal istana bagian luar.
Dengan
memegang tanda perintah khusus dari Liu Tai-ciangkun dan seorang perwira
pasukan pengawal yang menjadi sahabat panglima itu, Sin Hong serta Hong Li dapat
bergerak bebas dalam istana itu tanpa dicurigai orang. Tetapi, sepasang suami
isteri ini hanya menyembunyikan diri sambil menanti datangnya saat yang
ditentukan, yaitu pada malam bulan purnama di taman besar, di mana Siang
Hong-houw hendak mengadakan pesta ulang tahunnya, dan dihadiri oleh semua
pangeran.
Penanggalan
Imlek dibuat menurut peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu, setiap
tanggal lima belas dapat dipastikan bahwa bulan purnama sebulat-bulatnya dan
seterang-terangnya.
Malam itu bulan
purnama amat cerahnya karena di langit tidak ada awan menghalang. Dan kemulusan
bulan ini menambah meriahnya pesta di taman istana yang amat indah. Lampu-lampu
gantung beraneka bentuk dan warna menambah indah suasana, seolah-olah
menggantikan bintang-bintang yang tidak nampak di langit karena sinarnya
ditelan cahaya bulan purnama. Bunga-bunga di taman itu sedang mekar semerbak,
menambah keindahan malam itu.
Siang
Hong-houw sudah berusia empat puluh tahun lebih. Akan tetapi, permaisuri ini
masih nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Sanggulnya
tinggi dan dihias emas permata, pakaiannya juga gemerlapan dan semua itu
ditambah kecantikannya dan senyumnya yang tidak pernah meninggalkan bibirnya,
membuat dia nampak cantik jelita dan menarik sekali. Para pangeran yang hadir
adalah putera-putera tirinya, dan semua pangeran menyayang Siang Hong-houw yang
selalu bersikap manis terhadap mereka.
Pesta
berjalan dengan meriah. Delapan orang pangeran dan enam belas orang puteri
hadir. Mereka semua adalah saudara-saudara seayah berlainan ibu. Kaisar sendiri
tidak hadir, juga tidak ada selir lainnya yang hadir. Hal ini memang
dikehendaki Siang Hong-houw yang ingin berpesta dengan anak-anak tirinya saja
untuk menghibur hatinya.
Untuk
membuat pesta bertambah meriah, serombongan besar pemusik, penyanyi dan penari
menyajikan hiburan-hiburan yang bermutu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin
Hong dan Hong Li, tentu saja atas usaha Liu Tai-ciangkun, untuk berbaur dengan
rombongan seniman dan seniwati itu agar mereka dapat hadir lebih dekat dengan
para pangeran. Kalau mereka menyamar menjadi pengawal, maka kehadiran mereka
tentu dalam jarak yang jauh dan sukar bagi mereka untuk melindungi para
pangeran.
Taman itu
sendiri dijaga oleh tiga puluh lebih orang pengawal yang merupakan pasukan
istimewa dan yang dipimpin oleh Ouw-ciangkun.
Biar pun
mereka berada di antara para seniman, Sin Hong dan Hong Li selalu waspada
mengamati keadaan di sekeliling. Terutama sekali mereka memperhatikan para
prajurit yang berjaga di situ karena mereka tahu bahwa di antara para prajurit
itu tentu terdapat para tokoh sesat yang menyelundup. Mereka melihat betapa
Ouw-ciangkun sendiri turun tangan melakukan perondaan di dalam taman itu,
seakan-akan hendak menjaga dan melindungi semua orang yang sedang berpesta di
dalam taman.
Tempat pesta
itu sendiri berada di tengah taman, di mana terdapat sebuah kolam ikan yang
dikelilingi petak rumput yang luas. Di atas petak rumput inilah dipasangi
kursi-kursi dan meja yang mengelilingi kolam ikan. Suasana sungguh meriah dan
gembira, walau pun yang sedang berpesta tidak terlalu banyak.
Ketika Sin
Hong dan Hong Li melayangkan pandang mata mereka ke arah mereka yang sedang
berpesta, kedua orang suami isteri ini terkejut bukan main. Terkejut, heran dan
juga amat girang karena mereka melihat seorang kakek yang gagah, yang mereka
kenal karena kakek itu bukan lain adalah Suma Ciang Bun!
Dan di dekat
kakek itu duduk seorang wanita setengah tua yang nampak asing, namun wanita ini
masih nampak cantik dan juga sikapnya gagah sekali. Sin Hong dan Hong Li tidak
mengenal wanita itu, akan tetapi kehadiran Suma Ciang Bun di tempat itu sungguh
membuat mereka heran akan tetapi juga girang.
Bagaimana
Suma Ciang Bun dapat berada di taman itu dan menjadi seorang di antara mereka
yang ikut berpesta? Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun dan nenek Gangga Dewi
melakukan perjalanan bersama untuk mencari Yo Han yang diculik Ang-I Moli.
Mereka terus membayangi Ang-I Moli selama bertahun-tahun, namun akhirnya mereka
kehilangan jejak iblis betina itu.
Setelah
mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka berdua terpaksa menghentikan usaha
mereka mencari Yo Han. Mereka telah bergaul dengan akrab dan mudah bagi mereka
untuk menyadari bahwa api yang puluhan tahun lalu membakar hati mereka ternyata
masih belum padam. Mereka masih saling mencinta!
Dan pada
suatu hari yang baik, Gangga Dewi yang lebih tegas dan berani dibandingkan Suma
Ciang Bun, menyatakan perasaannya itu kepada Suma Ciang Bun. Pendekar ini
menyambutnya dengan terharu dan gembira sampai tak tertahan lagi Suma Ciang Bun
menangis!
Akhirnya,
Suma Ciang Bun mengajak Gangga Dewi untuk berkunjung ke sebuah kuil. Kepala
kuil itu adalah seorang sahabatnya, seorang pendeta Agama To. Tosu itulah yang
mengatur upacara pernikahan antara Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, tanpa dihadiri
seorang pun tamu, hanya disaksikan oleh delapan orang tosu lainnya. Namun,
secara hukum agama pernikahan itu sudah sah dan sejak saat itu, Suma Ciang Bun
hidup bersama Gangga Dewi sebagai suami isteri!
Dalam
perjalanan mereka melakukan perantauan, keduanya hidup dengan rukun saling
mencinta dan saling menghormat. Dalam banyak hal, Gangga Dewi bersikap
kejantanan dan menjadi pemimpin, sedangkan Suma Ciang Bun lebih kewanitaan dan
lebih banyak menyetujui apa yang diputuskan oleh isterinya.
Suma Ciang
Bun dan Gangga Dewi mengunjungi keluarga pendekar itu. Mereka sudah berkunjung
ke rumah Kao Cin Liong dan Suma Hui kakak perempuannya, juga sudah mengunjungi
rumah Suma Ceng Liong. Dua orang saudaranya ini menerima mereka dengan gembira
sekali. Mereka itu semua menyatakan perasaan sukur bahwa akhirnya Suma Ciang
Bun menemukan jodohnya, walau pun sudah agak terlambat. Apa lagi yang
dipilihnya adalah bekas kekasihnya dahulu, dan puteri dari mendiang Wan Tek
Hoat pula. Masih ada hubungan yang tidak jauh!
Demikianlah,
pada saat mereka berdua merantau sampai ke kota raja, Gangga Dewi teringat
kepada Siang Hong-houw yang sudah dikenalnya sebelum menjadi selir Kaisar,
ketika masih tinggal di barat dahulu. Karena pengawal istana melaporkan kepada
Siang Hong-houw bahwa ada seorang wanita yang bernama Gangga Dewi dari Bhutan
datang berkunjung bersama suaminya, permaisuri itu menjadi gembira bukan main.
Cepat dia menyambut dan ketika bertemu, kedua orang wanita itu saling rangkul
dengan akrab sekali.
Demikian
girangnya hati Siang Hong-houw bisa bertemu dengan sahabat lamanya yang
mendatangkan kenangan lama sebelum dia menjadi selir Kaisar, sehingga dia
menahan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun supaya tinggal di istana sebagai
tamunya, tamu kehormatan dan agar dapat turut menghadiri pesta ulang tahunnya
yang diadakan pada tanggal lima belas.
Gangga Dewi
yang berpengalaman itu dapat melihat betapa sesungguhnya sahabatnya itu
menderita tekanan batin walau pun hidup di dalam gemerlapnya kemewahan dan
kemuliaan, maka ia merasa amat kasihan kepada sahabatnya itu. Dibandingkan
dengan sahabatnya yang hidup sebagai seorang permaisuri yang mulia, ia merasa
berbahagia sekali dan merasa jauh lebih beruntung biar pun ia bersama suaminya
hidup sederhana, bahkan selama ini hidup sebagai perantau yang tidak tentu
tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia membujuk suaminya untuk memenuhi
permintaan Siang Hong-houw dan tinggal di istana sampai tiba saatnya pesta
ulang tahun itu.
Ketika
akhirnya pesta pada malam hari itu tiba, diam-diam mereka pun merasa heran
mengapa Siang Hong-houw merayakan ulang tahunnya secara demikian sederhana,
tidak dihadiri Kaisar, tidak pula dihadiri oleh para selir lain atau pejabat
tinggi, melainkan dihadiri oleh semua pangeran dan puteri, anak-anak tiri Siang
Hong-houw.
Suma Ciang
Bun sama sekali tidak pernah menduga bahwa di antara para seniman dan seniwati
yang menghibur di pesta itu, terdapat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li! Tentu saja
Suma Ciang Bun tidak mengenal kedua orang itu karena Sin Hong dan Hong Li mengenakan
bedak yang tebal dan mengubah corak wajah mereka.
Sementara
itu Ang-I Moli berpakaian sebagai pelayan kepala. Dia pun memakai riasan
penyamaran supaya jangan dikenal orang. Ketika Ouw Ciangkun menyarankan kepada
Siang Hong-houw agar Ang-I Moli bisa diterima sebagai kepala pelayan, dengan
alasan bahwa keamanan di situ harus dijaga ketat, Siang Hong-houw yang tidak
menyangka buruk menerimanya begitu saja. Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa
hati Ang-I Moli ketika ia mengenal Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Sungguh
tidak dinyana sama sekali bahwa dua orang yang amat lihai itu berada pula di
situ sebagai tamu! Tentu saja Ang-I Moli menjadi bingung. Apakah artinya itu?
Apakah Siang Hong-houw sudah menduga akan sesuatu dan sengaja mendatangkan dua
orang lihai itu untuk menjamin keamanan di situ?
Beberapa kali
Ang-I Moli mencari-cari Ouw Ciangkun dengan pandang matanya. Akan tetapi ia
tidak memiliki kesempatan lagi untuk berunding dengan perwira itu. Munculnya
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi demikian mendadak dan tidak tersangka-sangka
sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk berunding dengan sekutunya lagi.
Bagaimana pun juga, rencana semula harus dilanjutkan!
Ang-I Moli
sama sekali tidak tahu bahwa kejutan baginya bukan hanya munculnya Suma Ciang
Bun dan Gangga Dewi. Ia tidak tahu bahwa di antara para seniman itu terdapat
pula dua orang yang ditakutinya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Ia tidak
dapat mengenal mereka, akan tetapi suami isteri itu dapat segera mengenalnya.
Hal ini
bukan karena penyamarannya kurang baik. Sama sekali tidak. Andai kata suami isteri
itu belum tahu bahwa dia akan menyamar sebagai kepala pelayan dan bertugas
memberi racun pada cawan arak para pangeran, agaknya belum tentu suami isteri
pendekar itu akan mengenalnya.
Akan tetapi,
di luar tahunya, Sin Hong dan Hong Li segera dapat mengenali kepala pelayan
setengah tua yang cantik dan lembut itu, dan mereka sudah siap siaga dan
mengamati gerak-gerik Ang-I Moli dengan seksama. Suami isteri pendekar ini
maklum bahwa pada saat itu, Liu Tai-ciangkun tentu juga sudah mengerahkan
pasukan untuk mengepung taman itu dan memblokir semua jalan keluar dari dalam
istana.
Sejak tadi,
nampak Ang-I Moli mengatur para pelayan, gadis-gadis manis yang cekatan, untuk
mengeluarkan hidangan dan keadaan berjalan lancar tanpa ada sesuatu hal yang
mencurigakan. Kemudian, tibalah saat menegangkan yang dinanti-nanti oleh Sin
Hong dan Hong Li.
Permaisuri
itu memberi isyarat pada pelayan pribadinya yang datang membawa sebuah guci
arak yang bentuknya asing dan indah, yang terbuat dari emas murni. Dengan sikap
lembut dan ramah, Siang Hong-houw mengangkat guci itu ke atas,
memperlihatkannya kepada anak-anak tirinya, juga kepada Suma Ciang Bun dan
Gangga Dewi, kemudian berkata,
“Aku masih
menyimpan seguci anggur buatan bangsaku Uighur yang amat baik, sudah puluhan
tahun umurnya. Selain amat manis dan lezat, juga kasiatnya dapat membuat badan
sehat dan semangat tinggi.”
Para
pangeran bersorak gembira, sedangkan para puteri tersenyum-senyum. Gangga Dewi
menyentuh lengan suaminya. “Anggur Uighur yang sudah puluhan tahun umurnya
memang amat hebat.”
Ang-I Moli
menghampiri Siang Hong-houw, kemudian dia berkata dengan penuh hormat dan
halus, “Perkenankan hamba sendiri yang mewakili Paduka menuangkan anggur ke
dalam cawan para tamu yang mulia.”
Oleh karena
sejak pertama kali Ang-I Moli bersikap halus, ramah dan sopan sehingga
menyenangkan hati Siang Hong-houw, maka dia pun mengangguk dan menyerahkan guci
anggur itu kepada kepala pelayan baru yang cekatan itu.
Ang-I Moli
dengan sikapnya yang menarik dan lembut, segera menuangkan anggur dari guci itu
ke dalam cawan di depan Siang Hong-houw, kemudian ke dalam cawan arak di depan
Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun yang sama sekali tidak mencurigai sesuatu.
Kemudian, dengan teliti dan tahu peraturan, kepala pelayan itu menuangkan anggur
ke dalam cawan para pangeran, mulai dari yang paling tua sampai yang paling
muda, baru menuangkan anggur ke dalam cawan para puteri.
Semua hal
itu dilakukan dengan tepat dan cermat, tidak ada setetes pun anggur yang
menetes keluar sehingga semua orang merasa senang. Juga tidak ada yang menduga
bahwa ketika menuangkan anggur untuk para pangeran, kecuali untuk Pangeran Kian
Ban Kok, kuku jari telunjuk kiri wanita itu sempat menjentik keluar bubuk racun
yang sebelumnya sudah dipersiapkan, menempel di ujung lengan baju sehingga di
setiap cawan arak itu terpecik bubuk racun halus yang tidak kelihatan orang
lain.
Sin Hong dan
Hong Li sendiri akan sukar dapat mengetahui gerakan ini, akan tetapi sebelumnya
mereka sudah tahu, tentu saja perhatian mereka tercurah ke arah tangan wanita
itu dan mereka tahu bahwa bubuk racun telah disebar dan dibagi. Suma Ciang Bun
dan Gangga Dewi sendiri, yang lihai dan berpengalaman, tidak tahu akan hal itu
karena mereka tidak menyangka buruk.
Ketika semua
cawan telah terisi dan Siang Hong-houw mendahului mengangkat cawan dan
mempersilakan semua orang minum, dan semua orang telah mengangkat cawan
masing-masing dengan wajah amat gembira penuh senyum, tiba-tiba terdengar
seruan nyaring.
“Tahan semua
cawan! Harap Paduka sekalian jangan minum anggur itu!”
Tentu saja
semua orang, termasuk Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, terkejut dan heran
mendengar teriakan itu dan semua orang memandang ketika Kao Hong Li keluar dari
rombongan seniman seniwati yang sejak tadi menghibur para tamu dengan musik,
nyanyian dan tarian mereka.
Karena tidak
ingin gagal, Hong Li cepat menyambung teriakannya tadi sambil memberi hormat
kepada semua orang yang merupakan keluarga agung Kaisar. “Harap Paduka semua
jangan minum anggur itu karena semua cawan sudah diracuni, kecuali cawan para
puteri dan Pangeran Kian Ban Kok. Semua cawan pangeran lain telah diracuni dan
siapa yang minum anggur itu akan tewas!”
Tentu saja
semua orang terkejut bukan main mendengar ini dan otomatis semua orang
meletakkan cawan masing-masing di atas meja dan memandang cawan itu dengan hati
ngeri.
Melihat ini,
Pangeran Kian Ban Kok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. Tadi
wanita itu mengatakan bahwa semua pangeran diberi racun, kecuali dia. Ini sama
saja dengan menuduh bahwa kalau benar ada yang meracuni para pangeran, maka
pelaku itu bersekongkol dengan dia karena dia sendiri tidak diracuni.
“Perempuan
rendah! Engkau hanya seorang wanita penghibur! Sungguh lancang sekali mulutmu
menuduh Ibu Permaisuri hendak meracuni para pangeran! Engkau berbohong dan akan
kubuktikan.”
Pangeran
Kian Ban Kok yang sungguh tidak tahu bahwa diam-diam dia dipilih oleh para
pemberontak untuk menjadi pangeran tunggal karena ibunya ialah seorang wanita
Han, cepat menyambar cawan anggur di depan pangeran yang duduk di sebelah
kanannya, kemudian sekali tuang, isi cawan itu memasuki tenggorokannya.
“Nah, aku
sudah minum dari cawan seorang pangeran lain! Apa engkau masih berani
mengatakan bahwa cawan semua pangeran, kecuali aku, sudah diberi racun?!”
bentak Pangeran Kian Ban Kok.
Akan tetapi
semua orang terbelalak memandang pangeran ini karena melihat betapa wajah
pangeran ini berubah kehijauan, lalu menghitam dan tiba-tiba dia mengeluarkan
teriakan melengking dan terjungkal roboh. Dia tewas seketika! Terdengar
jeritan-jeritan para puteri dan teriakan para pangeran yang menjadi panik.
Melihat
keadaan yang kacau ini, Ang-I Moli terkejut bukan main. Ia lantas tahu bahwa
rahasianya diketahui wanita anggota rombongan pemusik itu dan akibatnya sungguh
hebat. Pangeran Kian Ban Kok yang seharusnya menjadi satu-satunya pangeran yang
tidak terbunuh, kini malah keracunan dan tewas. Maklum bahwa keadaannya di situ
berbahaya, ia pun menjadi bingung.
Tiba-tiba
terdengar bunyi suitan. Itu merupakan tanda dan teringatlah Ang-I Moli bahwa
menurut rencana mereka, kalau sampai usaha mereka meracuni para pangeran itu
gagal, maka jalan satu-satunya hanyalah mempergunakan kekerasan membunuhi para
pangeran! Maka, tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan ia sudah memegang pedang
yang tadi ia sembunyikan di balik bajunya.
Akan tetapi,
tiba-tiba wanita anggota pemusik yang tadi berteriak, sudah meloncat ke
depannya dan wanita itu berseru, “Ang-I Moli, sekali ini engkau tidak akan
lolos dari tanganku!”
Wanita itu
sudah menggosok mukanya yang tertutup bedak tebal, kemudian menoleh ke arah
Suma Ciang Bun dan berteriak, “Paman Suma Ciang Bun, aku Kao Hong Li. Cepat
lindungi para pangeran! Ada komplotan pombunuh!”
Pada saat
itu pula, Ang-I Moli yang terkejut ketika mendengar pengakuan Kao Hong Li,
telah menyerangnya dengan tusukan pedang. Tapi Kao Hong Li sudah cepat mengelak
dan membalas dengan tamparan tangan kiri yang mengandung hawa beracun karena ia
menggunakan ilmu pukulan Ban-tok-ciang.
Sementara
itu, Sin Hong sudah pula meloncat dari rombongan pemusik dan pada saat itu, dua
orang prajurit pengawal yang memegang pedang terhunus sudah berloncatan untuk
menyerang para pangeran. Dengan hantaman tangan dan tendangan kaki, dia membuat
dua orang anggota Thian-li-pang yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu
terjengkang dan terpelanting.
“Paman Suma
Ciang Bun, cepat selamatkan para pangeran!” teriak pula Sin Hong.
Suma Ciang
Bun dan Gangga Dewi sudah berloncatan ke depan. Mereka tadinya amat bingung,
akan tetapi begitu tadi mendengar suara Kao Hong Li, Ciang Bun terkejut dan
juga girang. Apa lagi ketika melihat munculnya Sin Hong. Mendengar seruan Sin
Hong, dia lalu menyambar lengan isterinya.
“Mari kita
lindungi mereka!”
Suami isteri
ini berloncatan melindungi para pangeran yang terlihat sangat bingung dan
ketakutan. Ketika ada prajurit-prajurit pengawal dengan senjata di tangan
menyerbu ke arah para pangeran. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menggerakkan
tangan kaki dan robohlah empat orang penyerbu.
Sementara
itu, wajah Siang Hong-houw menjadi pucat sekali pada waktu tadi ia melihat
betapa Pangeran Kian Ban Kok roboh dan tewas begitu minum arak dari cawan
seorang pangeran lain. Permaisuri Kaisar ini sama sekali tak tahu tentang
rencana pembunuhan keji terhadap para pangeran itu dan begitu kini telah jatuh
korban, tentu saja ia menjadi terkejut dan gelisah.
Apa lagi
saat para prajurit pengawal yang seharusnya bertugas melindungi keselamatan
keluarga Kaisar, kini berbalik malah hendak membunuh para pangeran. Dan dia
sudah melibatkan diri dengan pembunuh-pembunuh itu!
Kalau ia mau
bekerja sama dengan Thian-li-pang, hal itu ia kerjakan karena ia melihat
Thian-li-pang sebagai pejuang untuk mengusir penjajah Mancu. Sama sekali tak
pernah disangkanya bahwa sekutu itu akan bertindak demikian nekatnya, meracuni
dan hendak membunuh para pangeran. Padahal, sebelumnya ia sudah mendapatkan
janji mereka bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan di dalam istana.
Ia merasa
telah ditipu dan dibohongi, dan tahu bahwa ia ikut bertanggung jawab karena
dialah yang menerima masuknya orang-orang Thian-li-pang seperti Ouw Cun Ki yang
dijadikan panglima pasukan pengawal, bahkan baru saja ia menerima pula wanita
cantik sebagai kepala pelayan dalam pesta itu!
Melihat
munculnya seorang wanita beserta seorang pria dari rombongan pemusik yang
menentang usaha pembunuhan para pangeran, bahkan ketika melihat dua orang tamu
agungnya, yaitu Gangga Dewi dan suaminya juga sudah berloncatan melindungi para
pangeran, Siang Hong-houw cepat bertindak.
“Mari cepat
menyingkir ke dalam!” katanya.
Ia bersama
para pangeran dan puteri meninggalkan tempat yang kini menjadi medan
pertempuran itu, kembali ke istana, dikawal oleh Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Setelah semua pangeran dan puteri memasuki istana bersama Siang Hong-houw, dan
jenazah Pangeran Kian Ban Kok diangkut masuk pula, barulah suami isteri itu
kembali ke taman dan ikut membantu pasukan menghadapi anak buah gerombolan yang
terdiri dari tokoh-tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw itu.
Pasukan
pengawal yang dipimpin Ouw Ciangkun yang bukan lain adalah Ouw Cun Ki putera
Ketua Thian-li-pang sendiri, yaitu Ouw Ban, bukan semua anggota Thian-li-pang.
Anggota Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang diselundupkan oleh Ouw Cun Ki
menjadi prajurit pasukan pengawal hanya ada dua puluh orang lebih. Selebihnya
adalah prajurit pengawal asli.
Oleh karena
itu, ketika para prajurit asli melihat bahwa pasukan mereka dikepung oleh
pasukan besar pimpinan Panglima Liu, mereka terkejut dan heran. Akan tetapi,
melihat adegan di taman itu, dan mendengar betapa pemimpin mereka ternyata
adalah seorang pemberontak yang hendak membunuh para pangeran, tentu saja sikap
mereka segera membalik dan turut menyerang orang-orang Thian-li-pang dan
Pek-lian-kauw. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena orang-orang
Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw, biar pun rata-rata pandai ilmu silat,
dikeroyok banyak sekali lawan.
Melihat
betapa keadaan amat tidak menguntungkannya, Ouw Cun Ki melompat hendak
melarikan diri. Akan tetapi, nampaklah bayangan berkelebat dan tahu-tahu
seorang pria gagah dengan pakaian serba putih telah berdiri tepat di depannya.
Orang ini bukan lain adalah Tan Sin Hong yang sudah menanggalkan jubahnya
sebagai pemain musik dan kini mengenakan pakaian putihnya yang ringkas.
“Ouw Cun Ki,
engkau hendak lari ke mana? Engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!”
kata Sin Hong.
“Penjilat
busuk, anjing penjajah Mancu!” teriak Ouw Cun Ki. Dia sudah mempergunakan
pedangnya untuk menusuk ke arah dada Sin Hong.
Muka Sin
Hong berubah merah ketika menerima makian ini, akan tetapi karena dia tahu
bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan orang jahat dan sudah bersekongkol
dengan Pek-lian-kauw yang berkedok perjuangan namun diam-diam menyembunyikan
pamrih yang mementingkan diri sendiri, maka dia tahu bahwa dia bukan berhadapan
dengan para pahlawan pejuang, melainkan dengan para penjahat.
“Jahanam,
orang macam engkau ini yang mengotorkan perjuangan!” bentaknya sambil mengelak
dan membalas dengan tendangan yang biar pun dapat dihindarkan Ouw Cun Ki, namun
tetap saja membuat putera Ketua Thian-li-pang itu terhuyung.
Ouw Cun Ki
putera Ouw Ban Ketua Thian-li-pang ini baru berusia dua puluh tiga tahun,
tampan gagah dan telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Tentu saja dia lihai
sekali dan termasuk seorang tokoh Thian-li-pang yang berkedudukan penting.
Akan tetapi,
kali ini dia berhadapan dengan Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sudah
menggunakan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih).
Maka, walau pun pemuda itu memegang pedang dan menyerang dengan nekat, dalam
beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak oleh pukulan, totokan dan tendangan Sin
Hong yang membuat dia terus mundur dan kadang terhuyung.
Sementara
itu, pertandingan antara Kao Hong Li melawan Ang-I Moli berlangsung seru.
Kepandaian kedua orang wanita ini lebih seimbang dibandingkan kepandaian antara
Sin Hong dan Ouw Cun Ki.
Ang-I Moli
kini telah menguasai ilmu barunya, yaitu Toat-beng Tok-hiat (Darah beracun
Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Ilmu ini dilatih secara menyeramkan karena
telah puluhan orang anak laki-laki dikorbankan untuk mematangkannya. Dan kini
Ang-I Moli telah menguasai ilmu itu, bahkan telah dapat membuat obat penawar
pukulan beracun itu yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong.
Melihat
betapa lihainya Kao Hong Li, Ang-I Moli yang menggunakan pedang di tangan kanan
itu, lalu menyelingi serangannya dengan dorongan tangan kiri yang mengandung
pukulan beracun yang amat jahat itu.
Ketika
pertama kali Ang-I Moli menyerang dengan dorongan telapak tangan kiri yang
mengeluarkan semacam uap putih dan yang juga membawa bau yang busuk seperti bau
mayat, Hong Li maklum bahwa dia menghadapi pukulan beracun yang berbahaya.
Maka, ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga dari ilmu Ban-tok-ciang (Tangan
Racun Selaksa) yang juga merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun.
Biar pun tidak sejahat Toat-beng Tok-hiat, akan tetapi juga tidak kalah
ampuhnya.
“Plakkk!”
Dua telapak
tangan bertemu dan akibatnya, tubuh kedua orang wanita itu terdorong ke
belakang. Keduanya terkejut, akan tetapi yang merasa lebih penasaran adalah
Ang-I Moli. Setelah berhasil menguasai Toat-beng-tok-hiat, ia mengira bahwa di
dunia ini tidak ada ilmu pukulan yang dapat menandingi ilmunya itu!
Sebelum
kedua orang wanita ini kembali saling terjang, mendadak nampak bayangan
berkelebat dan Gangga Dewi telah berhadapan dengan Ang-I Moli.
“Iblis
betina Ang-I Moli, sekarang aku mengenalmu! Di mana kau sembunyikan Yo Han?
Hayo cepat beri tahu atau terpaksa aku akan menyiksamu untuk mengaku!” bentakan
Gangga Dewi ini selain sangat mengejutkan hati Ang-I Moli, juga membuat Kao
Hong Li memandang heran. Ia tidak mengenal wanita cantik yang tadi dia lihat
duduk di sebelah pamannya, Suma Ciang Bun. Dan sekarang wanita ini mengenal
Ang-I Moli, bahkan menyebut-nyebut nama Yo Han!
Ang-I Moli
sudah pernah bertemu dan bertanding dengan Gangga Dewi dan dia tahu akan
kelihaian wanita Bhutan itu. Tak disangkanya bahwa wanita itu dapat mengenal ia
yang sudah menyamar.
“Mampuslah!”
bentaknya dan ia pun menggerakkan pedangnya menusuk.
Gangga Dewi
memiliki ginkang yang hebat dan dia mampu bergerak cepat bukan main. Serangan
pedang itu dapat dielakkannya dengan amat mudah dan begitu tangan kirinya
bergerak, nampaklah gulungan sinar putih mengkilat yang panjang seperti seekor
ular menyambar. Kiranya Gangga Dewi telah membalas pula dengan serangan sabuk
sutera putihnya. Sab碌k itu meluncur kaku bagaikan berubah
menjadi tongkat menotok ke arah dada Ang-I Moli.
Ang-I Moli
menangkis dengan pedangnya, dan tangan kirinya mendorong dengan ilmu yang
diandalkannya, yaitu Toat-beng Tok-hiat. Serangkum uap putih yang berbau busuk
menyambar dan Gangga Dewi cepat meloncat ke belakang, maklum bahwa lawannya itu
menggunakan pukulan beracun yang amat jahat.
“Bibi, biar aku yang menghalau iblis
betina ini!” Kao Hong Li membentak.
Hong Li
menerjang maju, sekali ini menggunakan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat dari
Istana Gurun Pasir. Demikian hebatnya daya serang ilmu ini sehingga Ang-I Moli
yang memegang pedang itu tidak berani menyambut dan terhuyung ke belakang.
Gangga Dewi
sudah mendapat bisikan dari suaminya siapa adanya Kao Hong Li, yaitu keponakan
suaminya, puteri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, maka ia pun memutar sabuk
suteranya dan berseru.
“Kao Hong Li, aku adalah isteri
pamanmu Suma Ciang Bun. Namaku Gangga Dewi dari Bhutan.”
Mendengar
ini, Hong Li merasa heran akan tetapi juga gembira. Ia pernah mendengar akan
keadaan pamannya, Suma Ciang Bun yang mempunyai kelainan, tidak menyukai wanita
karenanya tidak mau menikah. Dan kini tahu-tahu dia mempunyai seorang isteri
yang cantik, seorang wanita Bhutan. Dan ia pun teringat bahwa ayah dan ibunya
pernah bercerita tentang seorang puteri Bhutan bernama Syanti Dewi yang menikah
dengan pendekar Wan Tek hoat, saudara tiri dari neneknya, yaitu mendiang nenek,
Wan Ceng!
“Apakah engkau puteri dari kakek Wan
Tek Hoat, Bibi?” katanya sambil mengelak dari sambaran pedang Ang-I Moli yang
sudah membalas serangannya.
“Benar! Mari kita tundukkan iblis ini,
Hong Li!”
Kao Hong Li
semakin gembira dan kedua orang wanita ini mendesak Ang-I Moli yang menjadi
sibuk sekali. Menghadapi seorang di antara mereka saja, amat sukar baginya
untuk mendapatkan kemenangan. Kini mereka maju bersama mengeroyoknya. Tentu
saja ia kewalahan dan terus mundur.
“Singgg...!”
Dengan nekat
Ang-I Moli membacokkan pedang ke arah kepala Gangga Dewi. Wanita Bhutan ini
mengelebatkan sabuknya yang kini menjadi lemas dan sabuk itu menyambut pedang,
terus melibatnya dengan kuat.
Ang-I Moli
terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, namun sia-sia saja karena sabuk
sutera putih itu sudah melibat pedang dengan amat kuatnya. Ketika dia sedang
bersitegang dan menarik-narik pedangnya supaya terlepas, Hong Li sudah meloncat
ke depan. Sekali jari tangannya meluncur dan menotok, Ang-I Moli roboh terkulai
dengan lemas.
Hong Li
menginjak perut Ang-I Moli. Melihat ini, Gangga Dewi berseru, “Jangan bunuh
dulu!”
Hong Li
memandang wanita Bhutan itu sambil tersenyum. “Bibi, tentu aku tidak ingin
membunuhnya. Akan kuserahkan kepada Liu Tai-ciangkun. Akan tetapi, dia harus
lebih dahulu mengatakan di mana dia menyembunyikan puteriku. Hayo, Moli, tiada
gunanya engkau melawan lagi. Aku dapat membunuhmu, menyiksamu. Katakan di mana
engkau menyembunyikan puteriku, dan aku tidak akan menyiksamu, melainkan
menyerahkan engkau kepada Liu Ciangkun.”
“Aku tidak tahu, aku tak pernah
melihat puterimu,” jawab Ang-I Moli dengan sikap acuh. Ia tahu bahwa ia telah
kalah dan tertawan, akan tetapi wanita sesat yang lihai dan cerdik ini tidak
merasa gentar. Selama dia masih hidup, ia tidak akan pernah putus asa dan
menyerah.
“Bohong! Puteriku yang kami tinggalkan
di rumah penginapan itu telah hilang. Siapa lagi kalau bukan engkau dan
kawan-kawanmu yang sudah manculiknya? Hayo katakan, di mana dia!”
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu.
Terserah engkau mau percaya atau tidak,” jawab Ang-I Moli acuh.
“Iblis busuk, engkau benar-benar patut
dihajar!” Hong Li yang sangat mengkhawatirkan puterinya, mengangkat tangan hendak
memukul. Akan tetapi Gangga Dewi menyentuh pundaknya.
“Nanti dulu, Hong Li. Ia harus memberi
tahu dulu di mana adanya Yo Han. Ang-I Moli, engkau dan dua orang tosu itu
melarikan Yo Han. Beberapa tahun yang lalu aku pernah mengejarmu dan mencarimu,
tetapi gagal. Nah, katakan di mana Yo Han sekarang?”
Ang-I Moli
tersenyum mengejek. “Yo Han sudah menjadi murid pimpinan Thian-li-pang dan dia
sudah menjadi orang Thian-li-pang. Kalau engkau hendak mencarinya, carilah di
Thian-li-pang.”
Karena dapat
menduga bahwa dalam keadaan seperti itu, Ang-I Moli kiranya tidak ada perlunya
lagi membohong. Hong Li tidak mendesaknya lagi melainkan menyerahkan wanita itu
kepada seorang perwira untuk dibelenggu dan dijadikan tawanan.
“Bibi, kita tangkap yang lain dan paksa
mereka mengaku di mana anakku Sian Li dan di mana pula adanya Yo Han,” kata
Hong Li dan kedua orang wanita ini lalu terjun lagi ke dalam pertempuran.
Sementara
itu, Sin Hong yang juga sudah berhasil menundukkan dan merobohkan Ouw Cun Ki
tanpa membunuhnya. Bekas perwira pasukan pengawal hasil selundupan orang
Thian-li-pang ini dibelenggu dan menjadi tawanan. Melihat betapa isterinya dan
wanita Bhutan itu mengamuk, membantu Suma Ciang Bun, Sin Hong juga membantu
mereka dan keadaan para tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw semakin terdesak.
Akhirnya belasan orang dapat ditawan dan beberapa orang tewas.
Kaisar Kian
Liong marah sekali mendengar bahwa Ouw Cun Ki yang dipercaya dan diberi
anugerah pangkat tinggi itu ternyata ialah mata-mata pemberontak Thian-li-pang
yang diselundupkan ke istana. Dia memerintahkan para panglimanya untuk
menghukum berat kepada para pemberontak itu, yaitu hukuman buang dan hukum mati
bagi para pemimpinnya.
Meski tiada
bukti bahwa Siang Hong-houw terlibat langsung dengan para pemberontak, namun
permaisuri itulah yang memberi angin dan yang memperkenalkan Ouw Cun Ki kepada
Kaisar. Akan tetapi ketika Kaisar yang merasa tidak enak hati dan tidak senang
mengunjungi permaisurinya, dia mendapatkan bahwa Siang Hong-houw sedang rebah
dan dalam keadaan sakit keras.
Melihat
keadaan Siang Hong-houw, Kaisar tidak tega lagi untuk menegur atau bertanya.
Dan memang penyakit permaisuri itu cukup payah, bahkan pertolongan para tabib
tidak mampu mengurangi penderitaannya. Permaisuri ini merasa amat berduka dan
kecewa karena telah dibohongi untuk kedua kalinya oleh orang-orang
Thian-li-pang.
Hampir saja
semua pangeran tewas keracunan, dan kalau hal itu sampai terjadi, maka ialah
yang bertanggung jawab. Bahkan kematian Pangeran Kian Ban Kok juga membuat ia
merasa bersalah besar. Ia merasa bahwa kematian itu tidak akan terjadi kalau
saja ia tidak memasukkan Ouw Cun Ki ke dalam istana! Hal itu berarti bahwa
ialah pembunuh pangeran itu dan perasaan ini membuat ia berduka dan menyesal
bukan main.
Ia memang
amat mendendam terhadap pemerintah Mancu yang telah menghancurkan kehidupan
keluarganya. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Liong amat
menyayangnya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga kalau ia sebagai seorang
isteri yang dicinta sampai melakukan kejahatan terhadap Kaisar dan keluarganya,
maka ialah yang berdosa besar.
Perasaan
bersalah ini mendatangkan penyesalan yang membuat Siang Hong-houw lalu jatuh
sakit parah. Demikian parah sakitnya sehingga beberapa bulan kemudian, Siang
Hong-houw atau Permaisuri Harum ini meninggal dunia karena sakitnya.
Setelah
merobohkan banyak orang tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, Sin Hong, Hong
Li, dibantu Suma Ciang Bun serta Gangga Dewi, mencoba mencari keterangan
tentang Sian Li dan Yo Han kepada mereka. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang
pun di antara mereka tahu mengenai dua orang itu. Akhirnya, setelah menyerahkan
semua tawanan kepada Liu Ciangkun, empat orang itu meninggalkan istana tanpa
mengharap balas jasa sama sekali.
Mereka
berempat keluar dari istana kemudian saling menceritakan pengalaman
masing-masing. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menceritakan tentang pertemuan
mereka dengan Yo Han yang diculik dan dilarikan Ang-I Moli dan dua orang tosu
Pek-lian-kauw.
“Menurut pengakuan Ang-I Moli tadi, Yo
Han diserahkan kepada pimpinan Thian-li-pang dan menjadi murid mereka. Aku
harus pergi mencarinya di sarang Thian-li-pang!” kata Gangga Dewi.
“Hemm, kukira tidak mudah untuk
menentang Thian-li-pang. Perkumpulan pemberontak itu selain mempunyai anak buah
yang ribuan orang banyaknya, juga bersekutu dengan Pek-lian-kauw sehingga
mereka itu kuat sekali. Kita harus berhati-hati dalam melakukan penyelidikan.”
“Benar sekali apa yang dikatakan oleh
Paman Suma Ciang Bun,” berkata Tan Sin Hong. “Pasukan pemerintah pun sulit
sekali membasmi perkumpulan Thian-li-pang yang selalu merahasiakan tempat yang
menjadi sarang mereka. Di mana-mana mereka mempunyai cabang, bahkan banyak
orang gagah yang membantu mereka karena mereka itu selalu melakukan gerakan
menentang pemerintah Mancu.”
“Bagi kami, yang paling penting adalah
mencari anak kami. Sian Li lenyap dari rumah penginapan di mana orang-orang
Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw mengadakan rapat,” kata Hong Li dengan nada
suara mengandung kegelisahan.
“Hemm, memang amat mencurigakan,” kata
Suma Ciang Bun. “Siapa lagi kalau bukan mereka yang menculik anakmu? Akan
tetapi, tiada seorang pun di antara mereka yang kita robohkan mengakui melihat
anak itu. Sebaiknya kalau kita mencari keterangan di rumah penginapan itu
lagi.”
Mereka
berempat lalu pergi ke rumah penginapan itu dan melakukan penyelidikan lagi.
Akhirnya, dari seorang tukang masak di rumah penginapan itu, mereka mendengar
bahwa pada saat lenyapnya Sian Li, seperti biasanya di depan dapur berkumpul
banyak pengemis dan di antaranya terdapat seorang pengemis tua yang asing.
Ketika Sian
Li melihat para pengemis meminta makanan sisa, tukang masak itu melihat betapa
pengemis asing itu menghampiri Sian Li dan minta sumbangan dari nona kecil itu.
Oleh Sian Li, pengemis itu diberi sepotong uang perak dan pengemis itu pun
pergi, tidak jadi minta makanan sisa.
Keterangan
itu sebenarnya tidak begitu berarti, namun cukup menjadi bahan pemikiran Sin
Hong dan isterinya, juga Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
“Dalam keadaan seperti itu, setiap
kemungkinan dapat saja terjadi, dan tiap orang asing patut dicurigai,” kata
Gangga Dewi. Mereka kemudian minta pada tukang masak untuk menggambarkan
keadaan pengemis itu.
“Dia sudah berusia enam puluh tahun,
tinggi kurus dengan punggung bongkok seperti udang. Dia memegang tongkat butut
dan suaranya seperti orang dari daerah selatan. Matanya juling.” Demikian
keterangan yang mereka peroleh.
Empat orang
pendekar itu lalu berpencar, mencari pengemis-pengemis di kota Heng-tai. Kepada
setiap pengemis, mereka memberi hadiah dan bertanya mengenai pengemis seperti
yang digambarkan tukang masak tadi.
SIN HONG
sendiri yang akhirnya mendapatkan keterangan, setelah para pengemis lain hanya
mengaku bahwa mereka pun baru hari itu melihat pengemis bongkok itu. Salah seorang
di antara mereka menerangkan bahwa pengemis tua bongkok itu datang dari selatan
dan merupakan seorang pengemis yang jahat. Si Bongkok itu lihai sekali dan
sering berlaku sewenang-wenang terhadap para pengemis lain. Bahkan Phoa-pangcu,
yaitu ketua para pengemis di kota Heng-tai, pernah dipukul babak-belur ketika
menegur pengemis bongkok yang bersikap sewenang-wenang itu.
“Kau tahu
siapa dia?” Sin Hong bertanya.
“Dia hanya
mengaku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam),” jawab
pengemis itu.
“Dan engkau
melihat dia bersama seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang
berpakaian serba merah?” Sin Hong mendesak.
Pengemis itu
tidak melihatnya. Sin Hong menjadi putus asa, apa lagi ketika ia bertemu
kembali dengan isterinya dan dengan Suma Ciang Bun bersama Gangga Dewi, ketiga
orang itu pun sama sekali tidak menemukan jejak Sian Li.
“Sebaiknya
kalian melanjutkan perjalanan ke Cin-an dan ceritakan peristiwa kehilangan anak
itu kepada Adik Suma Ceng Liong,” berkata Suma Ciang Bun. “Dengan demikian maka
dia pun akan dapat membantu kalian mencari jejak. Sedangkan kami sendiri akan
melanjutkan usaha kami mencari jejak Sian Li.”
Karena tidak
melihat jalan lain yang lebih baik, Sin Hong dan Hong Li setuju dan dua
pasangan itu saling berpisah. Sin Hong dan isterinya pergi ke Cin-an untuk
mengunjungi Suma Ceng Liong, sedangkan Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi akan
melanjutkan usaha mereka mencari jejak Sian Li.
Juga
diam-diam mereka hendak menyelidiki Thian-li-pang karena menurut pengakuan Ang-I
Moli, Yo Han kini berada di perkumpulan pemberontak itu.
*************
Ke manakah
perginya Sian Li? Ketika anak ini ditinggal pergi ayah ibunya, diam-diam ia
merasa kesal untuk berdiam diri di kamarnya saja. Maka, setelah menanti dua jam
di kamarnya dan tidak melihat ayah ibunya pulang, Sian Li keluar dari dalam
kamarnya dengan maksud untuk berjalan-jalan menghilangkan kekesalannya.
Gadis kecil
ini tidak tahu bahwa sejak ia keluar dari dalam kamarnya, sepasang mata sudah
mengikutinya, sepasang mata yang nampak kemerahan dan kejam. Pemilik mata ini
bukan lain adalah Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), pria empat puluh tahunan
yang bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan yang pernah mengganggu Sian Li di
taman.
Dia adalah
seorang di antara anak buah Ang-I Moli yang bertugas jaga di luar ruangan
rapat. Sejak tadi, dia mendendam kepada ibu gadis cilik berpakaian merah itu
karena selain dia terpaksa harus melepaskan gadis cilik yang manis itu, juga
dia merasa malu karena dikalahkan ibu gadis itu. Hanya karena takut kepada
Ang-I Moli saja dia pergi meninggalkan mereka ibu dan anak. Dan kini, selagi
dia bertugas jaga, dia melihat anak perempuan berpakaian merah yang manis itu
keluar dari dalam kamarnya, seorang diri pula.
Hek-bin-houw
mengikuti Sian Li dan dia berpikir bahwa penjagaan di situ sudah cukup kuat.
Jika dia tinggalkan sebentar tidak akan ada yang tahu dan juga tidak mengurangi
kekuatan penjagaan. Dia harus dapat membalas rasa penasaran dan dendamnya tadi,
sekaligus bersenang-senang.
Setelah
mendapat pikiran kotor ini, Hek-bin-houw yang memang selamanya menjadi seorang
yang berwatak buruk dan jahat sekali, segera meloncat keluar ketika Sian Li
tiba di tempat gelap dan sunyi, di samping bangunan rumah penginapan.
Sian Li
terkejut ketika ada orang meloncat ke depannya, apa lagi ketika dia mengenal
orang itu sebagai Si Muka Hitam tinggi besar yang pernah bersikap kurang ajar
di taman terhadap dirinya dan mendapat hajaran dari ibunya. Akan tetapi sebelum
ia sempat lari atau berteriak, Hek-bin-houw telah menubruk dan menyergapnya
bagai seekor harimau menubruk kambing, dan sebelum Sian Li mengeluarkan suara,
Si Tinggi Besar muka hitam itu telah menotok jalan darah di pundak dan
tengkuknya, membuat gadis cilik itu terkulai lemas dan tidak mampu mengeluarkan
suara lagi.
Sambil
terkekeh girang Hek-bin-houw lalu memanggul tubuh anak perempuan yang tak lagi
mampu meronta itu dan membawanya loncat ke dalam taman, untuk dibawa keluar
dari taman itu. Dia tahu bahwa tak jauh dari situ terdapat sebuah kuil tua yang
kosong. Tempat itu merupakan tempat yang baik sekali dan tersembunyi. Ke
sanalah dia lari sambil memanggul tubuh Sian Li yang sudah tidak mampu
bergerak.
“Heh-heh,
tadi engkau dan ibumu menghinaku. Sekarang aku akan membalas dendam kepadamu,
dan kelak kepada ibumu!" kata Hek-bin-houw ketika dia sudah menyelinap
masuk ke dalam kuil kosong itu.
Dengan kasar
dia melemparkan tubuh Sian Li ke atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan
kotor. Tempat itu biasanya hanya menjadi tempat bermalam bagi para gelandangan
yang tidak mempunyai rumah tinggal.
Mendadak
nampak sinar yang biar pun hanya kecil, akan tetapi karena munculnya tiba-tiba
dan di tempat yang amat gelap itu, maka sinar ini menerangi seluruh ruangan dan
mengejutkan, juga sangat menyilaukan mata. Hek-bin-houw terkejut dan menoleh.
Kiranya
sinar itu adalah nyala api sebatang lilin yang dinyalakan seorang kakek jembel.
Sekarang lilin itu diletakkan di sudut, di dekat kakek jembel yang duduk
bersila sambil memandang kepada Hek-bin-houw dan Sian Li dengan sinar mata
penuh selidik.
"Ha-ha-ha,
kiranya seekor anjing yang datang menggangguku," kata kakek jembel itu.
Tentu saja
Hek-bin-houw marah bukan main. Pertama, dia merasa terganggu, ke dua, dia
dimaki anjing!
"Keparat!
Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hek-bin-houw, mengerti? Ayo cepat
menggelinding pergi dari sini, atau akan kubunuh kau!" Hek-bin-houw
mencabut golok dari pinggangnya dengan sikap mengancam.
Kakek jembel
itu terkekeh, lalu dia bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya kurus jangkung, akan
tetapi punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat hitam.
"Ha-ha-ha,
engkau berjuluk Hek-bin-kauw (Anjing Bermuka Hitam), ya? Ha-ha, memang tepat,
engkau memang persis anjing bermuka hitam. Dan aku berjuluk Hek-pang Sin-kai
(Pengemis Sakti Tongkat Hitam), tongkat hitamku ini tepat sekali untuk memukul
anjing muka hitam."
Tentu saja
Hek-bin-houw marah bukan main. Sudah jelas julukannya harimau, sengaja diubah
menjadi anjing oleh Si Cebol ini.
"Jahanam
busuk, rupanya engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan goloknya sudah
menyambar dahsyat ke arah leher pengemis bongkok itu. Akan tetapi, dengan
gerakan tenang sekali, Si Bongkok itu lalu menggerakkan tongkat bututnya yang
berwarna hitam untuk menangkis.
"Trakkkk...!"
Harimau Muka
Hitam itu terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali karena golok di
tangannya hampir saja terlepas. Bukan main besarnya tenaga yang terkandung
dalam tongkat hitam itu pada waktu menangkisnya tadi.
Akan tetapi,
dasar orang yang selalu mengandalkan tenaga dan kepandaiannya sendiri untuk
memaksakan kehendaknya, yang selalu memandang rendah terhadap orang lain,
Hek-bin-houw masih belum mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang yang
mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia bahkan menjadi semakin marah dan
penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang kakek jembel yang bongkok dapat
menandinginya.
"Mampuslah!"
bentaknya dan kini dia pun menyerang lebih hebat lagi, goloknya berubah menjadi
sinar yang menyambar ke arah kepala pengemis itu.
"Manusia
tidak tahu diri!"
Pengemis itu
terkekeh dan kini tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang bukan
saja menangkis golok, akan tetapi tangkisan itu membuat tongkatnya membalik dan
menotok ke arah pergelangan tangan.
Hek-bin-houw
berteriak nyaring dan goloknya terlepas karena lengan kanannya tiba-tiba
menjadi lumpuh. Sebelum dia tahu apa yang terjadi, ujung tongkat hitam telah
menotok dua kali ke arah ulu hati dan tenggorokannya. Hek-bin-houw lantas
terkulai roboh dan tidak dapat bangun kembali!
"Heh-heh-heh-heh,
ada saja jalan bagi orang yang sudah bosan hidup!" kata pengemis bongkok
itu.
Dia pun menghampiri
Sian Li yang masih telentang tak mampu bergerak. Gadis kecil itu memandang
kepada pengemis yang berdiri mengamatinya dengan mata terbelalak, tapi sama
sekali tidak kelihatan takut.
"Heh-heh-heh,
engkau memang anak yang manis sekali. Pantas saja anjing hitam itu menculikmu.
Akan tetapi engkau terlalu manis untuk anjing macam dia. Engkau ikut saja
denganku, anak manis!" Sekali tongkatnya bergerak dengan amat cepat, kakek
jembel itu telah membebaskan totokan dari tubuh Sian Li.
Anak ini
meloncat berdiri, agak terhuyung karena tubuhnya masih terasa kaku setelah
beberapa lamanya dalam keadaan tertotok. Akan tetapi dia segera dapat berdiri
tegak dan dengan sikap tegas dia berkata,
"Aku
tidak mau ikut denganmu atau dengan siapa pun."
"Ehh?
Baru saja engkau kubebaskan dari tangan anjing hitam ini! Apakah engkau lebih
suka ikut dengan dia?" Tongkat hitamnya menuding ke arah muka Hek-bin-houw
yang sudah tak bernyawa lagi.
"Aku
tidak sudi ikut dengan dia, juga tidak mau ikut denganmu. Aku hanya ikut Ayah
dan Ibuku!"
"Tapi,
engkau telah kutolong!"
"Aku
tidak pernah minta pertolonganmu."
"Huh,
engkau manis tetapi tak kenal budi. Pantas ditawan anjing hitam ini, dan
sekarang engkau harus ikut dengan aku, mau atau tidak!"
"Aku
tidak mau!" kata Sian Li dan ia pun sudah siap untuk melawan.
Melihat
gadis cilik ini memasang kuda-kuda dengan sikap yang indah sekali, diam-diam
pengemis itu terkejut. Ia mengenal dasar silat yang amat hebat, akan tetapi
tahu bahwa anak itu belum memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka ilmu yang
hebat pun tidak ada artinya tanpa didukung tenaga sinkang yang mendatangkan
kecepatan dan kekuatan.
"Hayo
ikut!" katanya dan tangan kirinya menyambar.
Sian Li
tidak dapat mengelak lagi dan ia pun membuat gerakan menangkis. Akan tetapi,
karena tenaganya memang belum kuat, maka tangkisan itu membuat tangannya bahkan
ditangkap Si Pengemis yang terkekeh dan di lain saat, Sian Li telah tertotok
kembali dan sekali tarik, tubuhnya melayang naik dan hinggap di pundak pengemis
bongkok itu yang segera meloncat keluar dari kuil dan berlari cepat di dalam
kegelapan malam.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek pengemis bongkok itu telah keluar dari
kota Heng-tai sambil memanggul tubuh Sian Li di pundak kiri, dan dia berjalan
perlahan-lahan di luar kota yang masih sunyi itu. Hawa udara pagi itu sejuk
sekali.
Siapakah
pengemis bongkok yang amat lihai itu? Dia adalah seorang tokoh persilatan yang
terkenal, namun dia termasuk tokoh sesat yang suka mengandalkan kepandaian
untuk memaksakan keinginannya dan tak pantang melakukan tindakan yang jahat.
Oleh karena itu, Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) termasuk
seorang tokoh sesat walau pun di selatan dia mempunyai perkumpulan yang
terkenal, yaitu Hek-pang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) di mana
ia menjadi ketuanya. Karena dia seorang petualang yang suka berkelana, maka
perkumpulan itu sering ditinggalkan olehnya dan dia serahkan kepada para
wakilnya untuk mengurusnya.
Ketika
Hek-pang Sin-kai menolong Sian Li dari tangan Hek-bin-houw, perbuatan itu dia
lakukan bukan karena dia memang suka menolong orang. Dia turun tangan membunuh
Hek-bin-houw hanya karena Si Muka Hitam itu berani menentang dan menyerangnya.
Akan tetapi, pada saat melihat Sian Li yang manis dan mungil, timbul rasa suka
di hati kakek jembel itu dan dia ingin mengambil anak itu sebagai seorang
muridnya.
Saking
lelahnya, pada waktu dibawa lari dari kuil, Sian Li tertidur atau tak ingat
diri di panggulan pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu
menyadarkannya dan kini, biar pun tubuhnya tak tampak bergerak, ia dapat
bersuara dan berulang-ulang minta agar kakek itu melepaskan dirinya. Akan
tetapi, Hek-pang Sin-kai hanya terkekeh dan tidak mempedulikannya.
Pagi itu
amat sunyi dan Sian Li sudah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena
sejak tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Percuma saja
bicara, pikirnya. Saat itu masih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak
pernah bertemu orang. Nanti saja kalau ada orang, ia akan menjerit minta
tolong.
Tiba-tiba ia
melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan.
Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga
supaya suaranya terdengar lantang.
"Kakek
jahat, lepaskan aku!" teriaknya dan karena kepalanya tergantung di
belakang pundak kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari
jalan simpangan itu menengok, lalu nenek itu pun membelok dan mengikuti
penculiknya dari belakang.
Melihat ini,
Sian Li berkata lagi.
"Kakek
jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku
mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"
"Heh-heh-heh,
aku tidak takut kepada ayah ibumu, anak manis!" kata Hek-pang Sin-kai,
terkekeh mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.
"Engkau
tertawa karena tidak mengetahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau
akan mati berdiri!" kata pula Sian Li.
Sian Li
melihat betapa nenek yang berjalan di belakang itu mempercepat langkahnya
sehingga jaraknya semakin dekat, hanya sepuluh meter saja di belakangnya.
Kembali
kakek jembel itu tertawa bergelak ketika mendengar ancaman Sian Li yang
dianggapnya hanya gertakan belaka.
"Ayahku
adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangau Putih! Sedangkan ibuku adalah
keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!" kata pula Sian Li dan
sekali ini, benar saja ia merasa betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.
"Hemm,
engkau hanya membual!" kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawanya
hilang karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.
"Siapa
membual? Ibuku itu bernama Kao Hong Li. Kakek Kao Cin Liong adalah putera Naga
Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super
Sakti dari Istana Pulau Es!"
Sekarang
Hek-pang Sin-kai tak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bukan main
mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa anak ini tak mungkin membual karena dari
mana anak ini dapat mengenal nama-nama besar itu? Akan tetapi, di samping
kekagetannya, dia bahkan menjadi semakin gembira.
"Bagus!
Kalau begitu, engkau keturunan para pendekar sakti. Engkau pantas menjadi
muridku!" katanya gembira dan bangga. Kalau dia dapat mengambil murid
keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya tentu akan terangkat
tinggi sekali!
Tiba-tiba
kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar ke arah
kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh,
maka cepat dia membalik ke kanan dan menggerakkan tongkat serta tangan kirinya
untuk menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan
berkelebat dan tahu-tahu tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya,
sudah dirampas orang!
Pada saat
dia membalik, dia melihat seorang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan
bahkan telah membebaskan totokan atas diri gadis cilik itu.
"Anak
yang baik, engkau minggirlah, biar kubereskan jembel busuk ini!" kata
nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke samping.
Sian Li
menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di pinggir jalan yang masih sunyi itu
sambil memandang kepada dua orang tua yang sudah saling berhadapan itu dengan
hati tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau
nenek itu seorang penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi
ditolong dan ikut dengannya.
Dengan muka
merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke arah muka
nenek itu. "Nenek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani
menentang Hek-pang Sin-kai?"
Nenek itu
tersenyum dan sungguh amat mengagumkan. Nenek yang usianya sedikitnya enam
puluh tujuh tahun itu, yang seluruh rambutnya sudah hampir putih semua, begitu
tersenyum, nampak jauh lebih muda karena giginya masih berderet rapi! Mudah
diduga bahwa nenek ini pada waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia
sekian tuanya, tubuhnya masih ramping padat.
Memang dia
bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari pendekar
Kam Hong yang dahulu terkenal sebagai Pendekar Suling Emas! Nenek ini, di
samping sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoi-nya (adik
seperguruan) dan sudah menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling
Emas) serta Kim-kong Sin-im (Tiupan Suling Sakti Sinar Emas).
Di samping
ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek ini seorang pawang
ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sinkang gabungan Im dan
Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari
mendiang Pendekar Super Sakti!
"Bagus!
Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai? Sudah lama aku mendengar akan
nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk
menghajarmu sampai engkau bertobat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"
"Nenek
sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku ini menamatkan riwayat
hidupmu.”
Senyum itu
masih belum hilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti orang
berkabung, namun sangat rapi dan bersih itu.
"Pengemis
jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."
"Bagus!
Kalau begitu, mampuslah tanpa nama!" bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun
sudah menerjang dengan tongkatnya.
Dari cara
nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya saja ia sudah dapat menduga
bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, maka
begitu menyerang, dia sudah mempergunakan tongkatnya tanpa peduli bahwa nenek
itu bertangan kosong. Dia pun menyerang dengan jurus-jurus maut dari ilmu
tongkatnya.
Tongkat
hitam itu seperti seekor ular hidup, meluncur ke depan dan membuat gerakan
memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu melangkah
mundur untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah leher itu, ujung tongkat
terus meluncur ke depan karena pengemis itu pun sudah melangkah maju dan kini
ujung tongkatnya membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah
jalan-jalan darah terpenting di bagian depan tubuh! Serangan itu sungguh
dahsyat dan merupakan serangan maut.
"Hemm,
kejam sungguh!" Nenek Bu Ci Sian berseru lirih.
Pengemis itu
tidak pernah bermusuhan dengannya, akan tetapi kini agaknya berusaha
sungguh-sungguh untuk membunuhnya! Ia menggunakan kelincahan gerakannya yang
masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, totokan berikutnya
terus mengancam dirinya sehingga dengan terpaksa nenek itu mencabut sebatang
suling dari ikat pinggangnya.
Segera
nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi sehingga
mengejutkan hati Hek-pang Sin-kai. Suara melengking yang keluar dari suling
yang digerakkan itu seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia
terkejut dan cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi dirinya dari
suara itu, akan tetapi serangannya menjadi gagal.
Dengan
penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikutnya. Akan
tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat
kepandaian jauh lebih tinggi darinya!
Begitu nenek
Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas bergulung-gulung menyilaukan
mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bingung sebab selain gerakan
tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak serangannya,
juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar
dengan ancaman dahsyat, juga selalu mengeluarkan bunyi yang menusuk-nusuk
telinganya! Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah
memainkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan.
Nenek Bu Ci
Sian bukanlah seorang yang kejam, walau pun dahulu di waktu mudanya dia
terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tidak mengenal ampun
terhadap para penjahat. Setelah menjadi isteri suheng-nya sendiri, yaitu
pewaris Suling Emas, ia menjadi lembut dan tidak kejam untuk melakukan
pembunuhan.
Walau pun ia
tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk
membunuhnya. Kalau ia menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan
dapat merobohkan dan menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, sekarang ia
hanya mempergunakan sulingnya untuk mengepung dengan sinar yang
bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul tak terlalu keras ke arah pundak,
punggung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang digebuki
ibunya!
Maklum bahwa
dia tak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-kai kemudian meloncat
jauh ke belakang dan tiba-tiba ia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya yang
terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersudut dan kalah.
Selain untuk dapat menyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran
tongkat itu digunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran.
Tongkat
meluncur dengan kecepatan bagai anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke
dada nenek Bu Ci Sian.
"Hemmm...!"
Nenek itu
menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat itu, dan begitu tongkat
yang meluncur itu bertemu suling, suling diputar sehingga tongkat itu
berputaran menempel pada suling.
"Hyaaattt...!"
Nenek Bu Ci
Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang tadi sudah terputar-putar melekat
pada suling itu sekarang tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang telah
melarikan diri! Tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan
tongkat itu dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari
belakang!
Kakek jembel
itu mengeluarkan teriakan kesakitan. Akan tetapi saking takut jika dikejar dan
dibunuh, ia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari
tongkat yang menembus paha kirinya.
Sejak tadi,
Sian Li mengikuti pertandingan itu dan diam-diam ia merasa girang bahwa nenek
itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa
melihat nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.
"Nek,
kenapa tidak kau bunuh saja kakek jembel jahat itu?"
Mendengar
ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dengan alisnya berkerut.
"Kenapa harus dibunuh?" tanyanya.
"Dia
jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau sudah membebaskan mereka yang
akan menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah membiarkan dia
pergi. Tentu dia akan mencelakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi,
berarti engkau pun ikut bersalah, Nek."
Nenek Bu Ci
Sian terbelalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga galak dan tak kenal
ampun terhadap orang jahat. Ia pun tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di
waktu muda.
"Anak
baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui?”
Sian Li
memandang tajam, “Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"
“Kalau
benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma
Ceng Liong?"
"Tentu
saja!" kata anak itu, "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku,
bahkan dia calon guruku."
"Ehh?"
Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakuan itu.
"Engkau
menjadi muridnya? Bagaimana pula ini?"
"Sebelum
aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah engkau,
Nek?"
Nenek Bu Ci
Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan sangat berhati-hati. ”Engkau
sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya.”
"Tentu
saja. Nenek Kam Bi Eng amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao
Cin Liong dan kami bertemu di sana.”
"Nah,
aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."
"Aihhh,
kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!" berkata Sian Li sambil cepat memberi
hormat sambil berlutut.
Nenek itu
girang sekali, lalu mengangkat bangun anak itu dan memeluknya. "Engkau
bahkan sudah mengenal namaku?"
"Tentu
saja. Sejak aku kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek
Buyut Kam Hong yang berjulukan Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut.
Sekarang baru aku bisa melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan
main, dengan mudah mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat
tadi."
"Sekarang
ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah
ibumu?"
Sian Li
menceritakan tentang pengalamannya dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang
persekutuan di antara Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan
persekutuan jahat. Karena Sian Li memang cerdik dan ia telah mendengar dari
ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu
Ci Sian berubah tegang.
"Aihh,
kalau begitu, ayah ibumu kini tengah menghadapi urusan besar yang menyangkut
keselamatan keluarga Kaisar. Pantas saja engkau diculik orang dan tidak
kebetulan, yang menolongmu juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai.
Untung sekali agaknya Tuhan yang menuntunku pagi-pagi ini lewat di sini
sehingga dapat melihat engkau dalam tawanan penjahat itu. Akan tetapi, apa
artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan menjadi calon
gurumu?"
"Sebetulnya,
aku bersama Ayah dan Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena
sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti
yang telah dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu
mengajak aku berpesiar ke kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai,
terjadi peristiwa itu."
"Aih,
begitukah? Bagus sekali jika begitu. Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju
ke rumah anak dan mantuku itu."
"Akan
tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan menjadi bingung.
Sebaiknya kalau kita kembali dulu ke Heng-tai dan..."
"Berbahaya
sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang
Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu, kemudian mereka
mengeroyokku, bagaimana aku akan mampu melindungimu?"
"Aku
tidak takut, Nek."
"Ini
bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau
terbebas dari bahaya, apakah kita harus kembali mendatangi bahaya dan
membiarkan engkau tertawan musuh? Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan
gelisah sekali. Sebaiknya, marilah kuantar engkau ke Cin-an. Aku yakin ayah dan
ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang akan mencari
mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan berkunjung
ke Ta-tung untuk memberi tahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."
Akhirnya
Sian Li menurut karena bagaimana pun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang akan
diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka berdua ke Cin-an dan mereka diterima
dengan penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng.
"Ibu,
kenapa Ayah tidak ikut?" Kam Bi Eng bertanya.
Ditanya
demikian, tiba-tiba wajah nenek itu menjadi murung. Inilah yang ia khawatirkan,
namun sejak tadi ditahan-tahannya. Ia adalah seorang wanita yang tabah, akan
tetapi ia khawatir bahwa anaknya yang akan menderita duka.
"Ibu,
apa yang terjadi?" Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya
menjadi murung setelah ia bertanya tentang ayahnya.
Nenek itu
menghela napas panjang. "Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"
"Sudah
lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu beramai-ramai
kita memperingati ulang tahunnya yang ke delapan puluh?" berkata Kam Bi
Eng, masih mengamati wajah ibunya dengan khawatir.
"Engkau
benar. Usianya memang sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita
dengan tenang sebulan yang lalu..."
"Ibuuuu...!"
Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya. "Ibu,
kenapa...? Kenapa Ibu diam saja? Kenapa aku tidak diberi tahu?" Ia
bertanya di antara ratap tangisnya.
Nenek itu
tidak ikut menangis, melainkan tersenyum lembut sehingga anaknya merasa heran
memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu
bertanya dengan hati-hati, "Akan tetapi, Ibu, mengapa kami tidak diberi
tahu mengenai kematian Ayah?"
Nenek Bu Ci
Sian mengusap kepala puterinya. ”Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini semua
kehendak ayahmu. Dia sudah memesan supaya begitu dia menghembuskan napas
terakhir, aku segera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari
kematiannya. Ini adalah pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan
aku memberitakan kematiannya kepadamu setelah lewat satu bulan."
"Tapi...
tapi mengapa...?" Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.
"Engkau
mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikirannya. Dia tak
ingin jenazahnya dibiarkan berminggu-minggu atau berhari-hari membusuk sebelum
dikubur. Dia juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut pendapatnya,
orang yang meratapi yang mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri. Dapat
dibayangkan betapa sedihku saat terpaksa memenuhi permintaan terakhirnya itu,
menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri
oleh para tetangga saja. Sampai matinya, ayahmu ingin sederhana, memperlihatkan
kerendahan hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."
Mendengar
suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk
menangis lagi. Ia merangkul Ibunya. "Baiklah, Ibu. Kalau begitu, kami akan
pergi ke makam Ayah untuk bersembahyang." Kemudian ia merangkul Sian Li
dan bertanya kepada ibunya. "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang
bersama Ibu? Apakah Ibu yang singgah di rumah Sin Hong dan Hong Li, dan
mengajak anak ini ke sini?"
"Panjang
ceritanya," kata nenek itu. "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan
Sian Li dan mendengar bahwa ia memang sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini,
maka aku lalu mengajaknya."
Nenek itu
lalu menceritakan apa yang terjadi.
Mendengar
cerita itu, Suma Ceng Liong berseru, "Aih, sungguh berbahaya sekali kalau
Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin
Hong dan Hong Li tentu menghadapi bahaya sangat besar karena orang-orang
Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw banyak yang lihai."
"Hemm,
apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mereka?" tanya
Bi Eng sambil memandang suaminya dengan penuh selidik.
Ceng Liong
mengenal sinar mata isterinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas
panjang. "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu,
akan tetapi bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li
terancam bahaya?"
"Tentu
saja tidak. Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga untuk mencari
mereka," kata isterinya penuh semangat.
"Tidak
usah kalian sibuk," kata nenek Bu Ci Sian. "Aku yang akan mencari
mereka. Aku memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kembali
ke kota raja dan mencari mereka."
"Aih,
Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu
beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari
mereka."
"Sian
Lun? O ya, cucu muridku itu, di mana dia?" Nenek itu bertanya dan
memandang ke kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempunyai
seorang murid, dan dia sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai
anak angkat oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.
Suami isteri
itu agaknya baru teringat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam, lalu
berteriak, "Sian Lun...! Di mana engkau? Kesinilah, nenekmu datang!”
Dari arah
belakang terdengar jawaban. "Teecu datang, Subo!”
Tak lama
kemudian muncullah seorang pemuda remaja yang gagah perkasa. Pemuda ini walau
pun baru berusia lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti
seorang dewasa. Wajahnya yang tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar
dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu
tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke arah nenek Bu Ci Sian.
"Nenek,
selamat datang dan terimalah hormat saya."
Nenek itu
memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan
menyuruhnya bangun berdiri. "Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah
kelihatan dewasa!"
"Terima
kasih, Nek." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subo-nya.
"Harap Suhu dan Subo maafkan teecu. Karena melihat nenek datang bersama
tamu, maka teecu tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan
penting."
"Ah,
tamu ini bukan orang lain, Sian Lun," kata Kam Bi Eng. "Ia bernama
Tan Sian Li. Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Ta-tung.
Sian Li, perkenalkan, ini murid kami bernama Liem Sian Lun.”
Dua orang
remaja itu berdiri dan saling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di
depan dada sebagai penghormatan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini
memandang kepada Suma Ceng Liong, lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.
"Ku-kong
(Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana? Mengingat dia murid Kakek dan
Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Susiok (Paman Guru)..."
Suma Ceng
Liong tertawa. "Memang harusnya engkau menyebut dia paman, mengingat bahwa
dia murid kami dan engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan
belajar ilmu dari kami, maka berarti engkau menjadi murid kami pula dan kalian
adalah saudara seperguruan."
Wajah Sian
Li berseri-seri. "Aihh, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak
Seperguruan)! Memang aku jauh lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya
sedikit lebih tua dari padaku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan
dari pada menjadi paman dan keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!"
Katanya sambil menghadapi Sian Lun. Semua orang lalu tersenyum dan Sian Lun
dengan sikap tersipu membalas penghormatan itu.
"Sumoi...,"
katanya lirih.
Suma Ceng
Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu Ci
Sian. Akhirnya nenek ini setuju bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan
Sin Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para
penjahat kalau diperlukan, sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li
dan Sian Lun.
Karena Sian
Li selalu mengkhawatirkan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma Ceng
Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah mereka, menuju ke kota raja,
melakukan perjalanan secepatnya. Akan tetapi, tiga hari kemudian, mereka telah
kembali bersama Sin Hong dan Hong Li!
Tentu saja
Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu
gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap
tanpa meninggalkan jejak.
Kiranya, Tan
Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di istana, juga sedang
melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan jejak
anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam
Bi Eng. Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan
Hong Li yang mendengar bahwa anak mereka dalam keadaan selamat dan kini berada
di rumah paman mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan
dengan pesta keluarga, walau pun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong
sempat membuat mereka termenung dan berduka.
Demikianlah,
setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari mereka
semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana
berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang. Mereka ke sini untuk bersembahyang di
depan makam mendiang pendekar sakti Kam Hong yang dikubur di taman belakang
istana kuno itu.
Kam Bi Eng
membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk turut dengannya
tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.
"Bi
Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang
ayahmu? Sekarang ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang.
Biarlah aku tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kelak kalau aku mati,
aku ingin dikubur di sebelah makam ayahmu."
Biar pun
hatinya merasa berat, terpaksa Kam Bi Eng meninggalkan ibunya seorang diri di
istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Dia kembali ke
Cin-an bersama suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian
Lun dan Sian Li.
Ada pun Tan
Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka setelah
menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu. Mereka
kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima
tahun anak itu belajar ilmu di Cin-an, pada setiap tahun baru mereka pasti akan
datang berkunjung.
"Suhu,
bagaimana keadaan Suhu?" pemuda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek
di atas lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas
dada itu.
Kakek itu
menghela napas panjang. "Kini telah tiba bagiku saat terbebas dari segala
penderitaan hidup. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat
memperpanjang usia manusia yang sudah tiba di garis akhirnya."
"Tapi,
Suhu...!"
"Hushhh!
Tidak senangkah hatimu melihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang
mencintamu, sekarang terbebas dari hukuman yang membuat hidupnya amat sengsara
ini? Inginkah engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang
lebih lama lagi?"
Pemuda itu
menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang namun
tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan berlekuk, alisnya tebal
berbentuk golok, dahinya lebar, hidung mancung dan mulutnya membayangkan
keramahan dan kelembutan meski dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan
tanpa batas,
Pakaiannya
sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan
kuat-kuat itu memperlihatkan bentuk pinggang yang ramping. Tubuhnya padat walau
tidak memperlihatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara
sederhana saja dan dibiarkan tergantung di belakang punggung.
Dilihat
sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, seperti seorang di antara ribuan
pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda petani atau pemuda yang bekerja
kasar. Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda bangsawan, apa lagi
terpelajar. Tetapi kalau orang melihat dengan perhatian, akan nampak bahwa
sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya terdapat
ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan.
Kalau pemuda
itu nampak seperti pemuda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama
sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti
manusia biasa pada umumnya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan
badan saja. Tanpa kaki tanpa tangan! Rambutnya yang putih panjang itu lebih
panjang dari badannya dan kini menyelimutinya seperti sehelai selimut kapas.
Mereka
berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar
sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan
lengannya itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi
guru terakhir Yo Han.
Pada waktu
pertama kali memasuki sumur di dalam goa di sebelah belakang sarang
Thian-li-pang di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo
Han berusia lima belas tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini
berarti bahwa dia telah tinggal di dalam sumur itu selama lima tahun.
Setiap hari
dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek yang buntung lengan dan kakinya
itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah menguasai ilmu yang amat
hebat. Dia kini sudah menyadari bahwa dia dilatih ilmu silat yang amat hebat.
Karena dia
mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang
menggunakannya, maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempelajari ilmu-ilmu
yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan
menggunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang.
Dalam waktu
empat tahun, Yo Han sudah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan kini
dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu ‘tari’ dan ‘senam’ yang
dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya adalah ilmu silat yang hebat.
Dan di bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan
di perdalam sehingga matang.
Lalu, satu
tahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu menurunkan ilmunya yang
dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-kek Hoat-keng
yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.
"Bahkan
karena ilmu ini pulalah aku disiksa oleh dua orang Suheng-ku. Mereka begitu
menginginkan ilmu Bu-kek Hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi
kaki tanganku, dan menyiksaku di dalam sumur. Kini, ilmu itu telah kuwariskan
kepadamu Yo Han. Hatiku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan
memulihkan nama baik Thian-li-pang, bisa mencuci bersih Thian-li-pang dari
unsur-unsur jahat, menjadikan perkumpulan itu sebagai perkumpulan para pahlawan
yang berjuang demi tanah air dan bangsa."
Demikianlah
katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han. Selama setahun
kemudian barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal
mematangkannya melalui latihan saja.
Dan semenjak
menurunkan ilmu itu kesehatan kakek Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit
dan biar pun Yo Han sudah membantunya dengan penggunaan ilmu Bu-kek Hoat-keng
yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan darah dengan cara
menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat itu. Namun karena usia
tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja
menjadi lemah dan sakit-sakitan.
Penderitaan
yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau bukan dia yang sudah
menguasai ilmu Bu-kek Hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat bertahan sampai
sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu!
Demikianlah,
pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin payah.
Ketika dia menempelkan telapak tangannya di dada gurunya, tahulah dia bahwa
jantung gurunya bekerja lemah sekali. Sungguh amat mengherankan.
Ketika
gurunya melatih Bu-kek Hoat-keng, gurunya demikian penuh semangat dan tidak
mengenal lelah. Kini, seolah-olah tenaganya habis setelah setahun penuh melatih
ilmu itu. Ketika dia mendengar ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.
" Suhu
memang berkata benar. Akan tetapi, Suhu, hidup kita ini sudah dicengkeram dan
dipengaruhi oleh peradaban serta tata susila yang sudah diterima oleh semua
orang. Bagaimana mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan
bahwa teecu akan lebih senang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui
kematian? Seluruh dunia akan mengutuk teecu kalau teecu berani mengatakan hal
seperti itu."
Mendengar
ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, sejak dahulu
aku sudah tahu bahwa engkau hebat, muridku. Matamu yang ketiga selalu terbuka
sehingga engkau lebih awas dan lebih waspada dari pada orang biasa. Engkau
melihat segalanya seolah menembus dan engkau dapat melihat intinya. Engkau
melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-ha-ha, dibandingkan engkau,
aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati dengan mata
terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah
siap!" kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak. Akan tetapi, suara
ketawanya itu makin lama semakin surut dan akhirnya berhenti sama sekali. Kedua
matanya terpejam.
Yo Han cepat
meraba dada gurunya kembali, dan tahulah dia bahwa tubuh itu sudah menjadi
mayat. Dia menunduk dengan sikap amat hormat untuk menghormati jenazah
suhu-nya. Dia tidak menangis, tak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada
orang lain. Juga karena suhu-nya ini, walau pun kaki tangannya buntung, namun
kewaspadaannya tidak buntung dan suhu-nya tahu bahwa andai kata dia menangisi
kematian suhu-nya, maka tangisnya itu palsu.
Tangisnya
itu bukan bersedih untuk suhu-nya, melainkan bersedih untuk dirinya sendiri,
karena ditinggalkan, karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong
perasaan agar tidak menganggap diri sendiri keterlaluan, tak mengenal budi!
Dia tidak
menangis karena memang tak ada hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang
perlu disedihkan. Bahkan kalau dia mau jujur, ada perasaan lega dalam hatinya
bahwa gurunya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini bebas dari
penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, berarti dia bebas pula
untuk meninggalkan sumur itu!
Gurunya
pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya supaya diletakkan di lantai
kamar yang kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan goa batu di dalam sumur
itu. "Engkau tahu, tempat itu sangat kusukai. Setiap kali melakukan
siu-lian (semedhi) aku selalu menggunakan kamar itu. Biarlah kelak aku
beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku, badanku," demikian
pesannya.
Dengan hati
dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal di tempat terasing itu, tanpa
ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa dijenguk keluarga mau pun kawan,
Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan membawanya ke dalam goa,
lalu merebahkannya di dalam goa itu.
Kemudian dia
mengumpulkan semua bahan yang masih ada, roti dan daging kering, dan beberapa
potong pakaian. Dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding
sumur dan memasukkan semua itu di dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan
buntalan di punggungnya, dan memasuki goa, berlutut di depan jenazah gurunya.
"Suhu,
sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu membaringkan jenazah Suhu di sini, dan
sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk
melaksanakan pesan Suhu. Suhu, untuk terakhir kalinya, teecu menghaturkan
terima kasih melalui ucapan yang keluar dari sanubari teecu."
Dia memberi
hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya, kemudian dia keluar dari dalam
goa kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding sumur dan terowongan.
Setelah yakin bahwa tidak ada sisa coretan dan lukisan yang dibuat suhu-nya
dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek
Hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.
Dengan
tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang
mendaki tangga saja. Dengan cepat tibalah dia di dalam goa di atas tanah, goa
yang menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dari dalam goa yang tertutup semak-semak
yang rimbun dan penuh duri itu, lapat-lapat dia mendengar suara orang. Maka,
dia pun menanti di goa itu, duduk dengan santai sambil melamun. Dia mengingat
kembali pesan terakhir dari gurunya.
Pertama-tama,
dia sudah dipesan untuk pergi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam
Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang dulu
membantu perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa
besar, maka dia menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan
lalu dinikahkan dengan seorang puteri adik Kaisar Kang Hsi.
Akan tetapi
karena dia melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji akan memperbaiki nasib
rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan menindas rakyat
dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wan-gwe, Jenderal Ciu Kwan menjadi marah dan
memberanikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan
dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati.
Ciu Kwan
yang beristeri seorang puteri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang pertama
adalah Ciu Lam Hok, sedangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng.
Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu berdarah pendekar dan
pembela rakyat.
Meski pun
ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut
dihukum, tetapi diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu. Dia pun
pergi meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik
Kaisar itu diampuni dan masih dianggap keluarga istana. Ciu Lam Hok sangat
mencinta adiknya, akan tetapi terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena
dia tidak sudi tinggal di dalam istana, bahkan dia menaruh dendam atas kematian
ayahnya yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan besar.
Demikianlah,
setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun, bersama
dua orang suheng-nya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang bertujuan untuk
menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah
diceritakan oleh kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suheng-nya setelah
bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang
pula, mulai menyeleweng ke jalan sesat. Dia menentang mereka sehingga akhirnya
dia disiksa dan menderita selama bertahun-tahun di dalam sumur.
Sering kali
kakek buntung itu mengenang keluarganya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya,
terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat menduga bahwa ibunya tentu
telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena perasaan rindunya ini, maka
dia membebankan tugas di pundak muridnya supaya sesudah muridnya keluar dari
dalam sumur, pertama-tama Yo Han harus mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng,
seorang puteri di istana dan mengenal keluarga adiknya itu.
Bahkan dia
meninggalkan pesan bahwa Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga
Ciu Ceng sebagai tanda kasih sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo
Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng dengan taruhan nyawa!
"Pesanku
ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir buat adikku, yaitu saudara
kandungku yang tunggal itu, maka aku sungguh mengharapkan agar engkau akan bisa
melaksanakannya dengan baik, Yo Han," demikian kakek itu menutup pesannya
yang pertama.
Pesan ke dua
dari gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus
pergi mencari Mutiara Hitam, yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna
hitam dan yang mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki
kakek Ciu, akan tetapi dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan,
benda mustika itu lenyap dan kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di
selatan.
Yo Han
mendapat tugas untuk mencari dan merampas kembali benda itu yang bukan saja
sangat penting karena khasiatnya, juga hal ini untuk mengangkat kembali nama
besar Ciu Lam Hok sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan.
Ada pun
pesan ke tiga dari gurunya adalah supaya dia membersihkan Thian-li-pang dari
tangan-tangan kotor, kemudian mengembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai
suatu perkumpulan orang-orang gagah yang ingin membebaskan rakyat dari tangan
penjajah Mancu berdasarkan kebenaran serta keadilan, bukannya dibawa
menyeleweng seperti sekarang ini.
"Aku
tahu bahwa kedua suheng-ku itu menyeleweng sesudah mereka bergaul dengan
orang-orang Pek-lian-kauw. Karena itulah Thian-li-pang harus dibersihkan dari
pengaruh Pek-lian-kauw dan menjadi perkumpulan para pahlawan, para patriot
kembali. Di antara para murid Thian-li-pang masih banyak yang bersih, hanya
saja mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah dicengkeram pengaruh
Pek-lian-kauw. Engkau bersihkan Thian-li-pang, muridku. Sesungguhnya untuk
Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil
membersihkan Thian-li-pang, berarti semua penderitaanku ini tidak
sia-sia."
Yo Han
mengepal tinjunya. Dia harus melaksanakan pesan ini terlebih dahulu. Apa pun
resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apa lagi kini
dia memang berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan
dua tugas yang lain, dan berusaha melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang
dari pengaruh jahat.
Setelah
orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan goa itu pergi menjauh, dia pun
menyelinap keluar dari goa. Dari balik semak-semak dia melihat betapa
Thian-li-pang agaknya tengah melakukan suatu kegiatan sebab para anggotanya
terlihat berbondong-bondong menuju ke pekarangan rumah induk.
Dia sudah
mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa tentu akan ada pertemuan besar di
pekarangan. Hanya pada saat ada rapat besar yang melibatkan seluruh anggota,
maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah induk. Dia
pun mulai menyusup mendekat dan kemudian mengintai.
Memang benar
dugaan Yo Han. Pada hari itu sedang diadakan pertemuan penting di
Thian-li-pang. Semua anggota yang berada di pusat, yang jumlahnya tidak kurang
dari dua ratus orang, berkumpul di pekarangan yang luas itu.
Anggota
Thian-li-pang tersebar di banyak tempat, puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi
dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang hadir dalam rapat itu adalah
ketua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggota di pusat.
Pertemuan
itu amat penting. Selain dihadiri oleh ketuanya, yaitu Ouw Ban dan wakilnya,
yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini
jarang muncul dan mereka menjadi penasehat dan pujaan para pimpinan
Thian-li-pang, yaitu Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil ketua, serta
suheng-nya, yaitu Thian-te Tok-ong yang selama bertahun-tahun bersembunyi dan
bertapa di dalam goa. Kalau dua orang ini sampai muncul di dalam rapat itu,
tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang tokoh
Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua
orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang bersama Ang-I Moli.
Sesudah
semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang bercerita secara
singkat akan gagalnya usaha mereka untuk membunuh para pengeran di istana.
Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan Ang-I Moli tokoh
Pek-lian-kauw, ditangkap dan dihukum mati bersama banyak anggota Thian-li-pang
dan Pek-lian-kauw yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.
"Kita
tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!" Ouw Ban berseru dengan suara
keras karena hatinya diliputi kemarahan dan kedukaan akibat kematian puteranya.
"Kita akan mengumpulkan semua kekuatan dan kita serbu istana, kita bunuh
Kaisar serta seluruh keluarganya!"
Ucapan yang
penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggota
Thian-li-pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk tangan gembira dan
setelah sorakan itu mereda.
Kwan
Thian-cu yang bertubuh gendut itu tertawa, "Ha-ha-ha, Pangcu dari
Thian-li-pang sungguh gagah sekali! Memang pendapatnya itu tepat sekali.
Perjuangan kita tak akan berhasil sebelum kita membunuh Kaisar Kian Liong dan
para pangeran. Kalau mereka terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau
balau dan kita gunakan kesempatan itu untuk mengerahkan pasukan menghancurkan
mereka!"
Kembali
ucapan ini disambut sorakan. "Hancurkan penjajah Mancu!"
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring. "Diam...!"
Semua orang
terdiam, lalu memandang orang yang mengeluarkan bentakan nyaring itu. Yang
membentak adalah Ban-tok Mo-ko. Meski pun kakek yang usianya sudah delapan
puluh tiga tahun ini biasanya halus dan ramah, akan tetapi bentakannya
mengandung getaran yang amat kuat sehingga semua orang langsung terdiam dan
suasana menjadi hening sehingga suaranya terdengar cukup jelas walau pun suara
itu bernada lembut.
"Ouw
Ban," berkata Ban-tok Mo-ko dengan suara yang berpengaruh. "Sebelum
engkau mengemukakan usul baru, sebaiknya kalau kita membicarakan mengenai
kedudukanmu sebagai ketua. Tahukah engkau kenapa kali ini aku sampai ikut
menghadiri pertemuan ini, bahkan Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari
goanya?"
Ouw Ban
memandang wajah gurunya dengan alis yang berkerut dan sinar mata penuh
pertanyaan. "Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."
"Ouw
Ban, apakah engkau masih juga belum menyadari kesalahanmu? Sebagai ketua engkau
tidak becus! Semua langkah yang kau ambil sudah gagal, bahkan merugikan
Thian-li-pang yang telah kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau malah
hendak membunuh lebih banyak murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh mereka
menyerbu istana?"
Ouw Ban
nampak penasaran sekali. "Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi
perjuangan!"
"Hemmm,
perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan
perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu amat ngawur. Sejak engkau
menyelundupkan Ciang Sun ke istana, menghubungi Siang Hong-houw, engkau telah
banyak melakukan kesalahan yang amat merugikan perjuangan kita. Dan sekarang
engkau akan menyuruh banyak murid bunuh diri dengan menyerbu istana yang
terjaga kuat sekali? Ouw Ban, karena engkau muridku, aku menjadi sangat malu.
Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"
Wajah Ouw
Ban menjadi merah. Ia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya, karena
kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan sekarang gurunya bahkan
mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua
orang tokoh Pek-lian-kauw!
Dia segera
ingat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia
orang pertama yang paling tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi dari
kedudukan gurunya dan supek-nya yang hanya merupakan penasehat!
"Suhu
lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!" katanya. Suaranya kini kasar dan
penuh kemarahan. "Aku berhak memutuskan apa yang harus dilakukan oleh
Thian-li-pang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana,
membunuh Kaisar Kian Liong! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi
rencanaku ini!"
Semua orang
menjadi terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya
pertentangan antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan
mata bersinar-sinar.
“Ouw Ban,
engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam dan sakit hati karena
kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan
lagi untuk kepentingan Thian-li-pang!"
"Ha-ha-ha-ha,
Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi Ketua
Thian-li-pang. Singkirkan saja dia dan kita ganti dengan murid lain!" kata
Thian-te Tok-ong.
Mendengar
ini, Ouw Ban menjadi semakin marah. Biar pun dia menghormati suhu dan
supek-nya, tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang mendendam karena
kematian puteranya.
Dia memang
maklum akan kelihaian suhu dan supek-nya, dan takut kepada mereka. Tapi
sekarang, melihat keinginannya membalas dendam kematian puteranya dihalangi,
bahkan kedudukannya sebagai Ketua Thian-li-pang akan digeser, dia pun tak
mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supek-nya adalah dua orang kakek yang
sudah tua renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya.
Bangkitlah dia dari tempat duduknya dan dia menghadapi suhu dan supek-nya.
"Dahulu
aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala
ranting, juga oleh semua anggota setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang
paling kuat dan paling tepat menjadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin
mencopot aku dari kedudukan ketua, siapa pun juga dia, harus dapat mengalahkan
dan merobohkan aku!"
"Heh-heh-heh-heh,
muridmu ini memang bejat, Sute! Biar aku yang menghajarnya!"
Wajah
Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang
biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar-benar sangat
marah. Dia melangkah maju menghadapi muridnya dan berkata kepada suheng-nya,
"Suheng,
dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyelewengannya. Aku yang
harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepatlah berlutut dan
menerima hukuman!"
Akan tetapi
Ouw Ban yang sudah marah sekali itu tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah
suhu-nya dengan berani. Suhu-nya sudah berusia delapan puluh tiga, tubuhnya
sudah nampak kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apa
lagi dia tahu bahwa hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhu-nya sudah
dipelajarinya.
"Memang,
aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu pun harus
tunduk terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"
"Ouw
Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?!" sekali lagi Ban-tok
Mo-ko membentak.
"Bila
terpaksa, siapa pun juga akan kulawan. Aku harus mempertahankan kedudukanku
sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"
"Kalau
begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu.
Tiba-tiba
dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang telah siap siaga,
maka dia pun menangkis dan langsung balas menyerang pula!
Semua orang
memandang dengan hati tegang. Tiada seorang pun berani mencampuri atau melerai
karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan
seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nampak bahwa usia tua membuat
Ban-tok Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya.
Muridnya itu
pun sudah tua. Usia Ouw Ban sudah tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya tetap
sepuluh tahun lebih tua. Dan kalau Ouw Ban masih giat bergerak dan berlatih
silat, Ban-tok Mo-ko lebih banyak bersemedhi dan tak pernah berlatih. Oleh
karena itu, meski dalam hal tenaga sinkang Ban-tok Mo-ko masih kuat, tetapi dia
kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama
kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!
Pada saat
untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang menghindar dari
desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring. Dua tangannya berubah
merah dan dia pun memukul ke depan dengan dorongan kedua tangan terbuka. Itulah
ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat!
Melihat hal
ini, Ban-tok Mo-ko juga mengerahkan sinkang-nya dan menggunakan ilmu pukulan
yang sama, menyambut dorongan, kedua tangan itu.
"Plakkk!"
Dua pasang
tangan itu saling bertemu dan telapak tangan mereka lalu saling melekat.
Keduanya mengerahkan tenaga sinkang, saling dorong dan sebentar saja nampak uap
mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh
tenaga sinkang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu
bahwa guru dan murid ini sedang mati-matian mengadu sinkang yang berarti mereka
mengadu nyawa. Yang kalah kuat akan roboh den tewas!
Akan tetapi
tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kirinya menepuk
punggung sute-nya. "Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"
Begitu
punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum
tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja
tubuh Ouw Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh
terbanting dan muntah darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!
Ban-tok
Mo-ko memejamkan dua matanya, kemudian duduk bersila dan menarik napas panjang
beberapa kali untuk memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong
tertawa dan berkata kepada para murid Thian-li-pang, "Singkirkan mayat
murid murtad itu agar kita dapat bicara dengan tenang."
Beberapa
orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban, lalu dibawa ke belakang.
Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia telah dianggap
sebagai seorang murid murtad.
Ban-tok Moko
lalu berkata kepada semua orang dengan suaranya yang lembut. “Para anggota
Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Oleh karena Ouw Ban telah murtad dan
disingkirkan, maka sekarang yang berhak memimpin pertemuan ini adalah wakil
ketua, yaitu Lauw Kang Hui. Kang Hui, kau pimpin pertemuan ini dan sebaiknya
jika diadakan pemilihan ketua baru lebih dulu, baru kita akan mengambil
langkah-langkah berikutnya.”
Lauw Kang
Hui memberi hormat kepada suhu-nya dan supek-nya, lalu dia menghadapi semua
orang.
“Saya merasa
menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban.
Hendaknya peristiwa ini bisa dijadikan contoh bagi semua murid Thian-li-pang
supaya jangan ada lagi yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan
perkumpulan. Sekarang, saya persilakan saudara-saudara sekalian untuk
mengajukan usul-usul bagai mana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru.”
Ramailah
sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar
masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian
diadakan pemilihan di antara para calon itu.
Akan tetapi,
Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan
menggeleng kepalanya. “Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang
memerlukan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Jika
diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang
kelak akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan supaya pimpinan
Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung
tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!”
Semua orang
yang berada di sana menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang,
mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek
yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.
Dua orang
kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat
membaca isi hati suheng-nya maka dia pun bangkit dan berkata, “Kami berdua
adalah orang-orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi untuk
merepotkan diri mengurus hal-hal yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi
agar semua murid melakukan tugasnya dengan baik. Kami berdua tidak dapat
menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah terlalu tua. Oleh karena itu,
kami mempunyai usul supaya jabatan ketua dipegang oleh murid kami Lauw Kang
Hui. Dia boleh memilih wakilnya dan para pembantunya. Apakah semua setuju?”
Tepuk tangan
dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para
anggota Thian-li-pang bisa menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua.
Selama ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah menunjukkan jasa-jasanya,
bahkan untuk urusan luar yang mengandung bahaya, dia jauh lebih aktip
dibandingkan suheng-nya Ouw Ban yang telah tewas itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua
tangannya ke atas, memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah
semua orang menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui kemudian berkata dengan suara
lantang, sambil memberi hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan
supek-nya.
“Harap Suhu
dan Supek suka memaafkan teecu. Semua yang akan teecu katakan ini bukan berarti
bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk
mengeluarkan semua perasaan penasaran yang telah lama menekan hati teecu.”
“Lauw Kang
Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya jika kita bicara
secara jujur, mengeluarkan semua isi hati kita. Bicaralah!” kata Ban-tok Mo-ko.
Lauw Kang
Hui lalu menghadapi semua anggota yang mencurahkan seluruh perhatian kepadanya.
“Saudara-saudara
sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya sebagai
ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu
syarat, yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri.
Selama ini, sepak terjang Thian-li-pang seolah-olah sudah dikendalikan oleh
Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan yang kita alami. Oleh karena itu,
saya hanya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua kalau mulai saat ini juga
kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal
Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan melawan penjajah Mancu, akan tetapi
kita mengambil jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri.”
Kini terjadi
perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan
pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju
itu tentu saja para murid yang sudah menikmati keuntungan akibat kerja sama
mereka dengan Pek-lian-kauw. Ada para anggota yang menganggap bahwa kerja sama
dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang sebaliknya.
Tentu saja
pendapat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan penilaian
selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri
sendiri akan dinilai baik, sedangkan yang merugikan akan dinilai buruk. Oleh
karena itu maka timbul pertentangan, yang diuntungkan menganggap baik dan yang
tidak diuntungkan menganggap buruk.
Dua orang
tokoh dari Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang
dengan alis berkerut saat mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu
yang gendut dan pandai bicara segera bangkit berdiri dan suaranya terdengar
lantang.
“Siancai...!
Pendapat dari Lauw-pangcu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa penasaran
sekali! Bukankah selama ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang
setia? Ingat, kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu
Thian-li-pang. Bahkan sekarang kami pun siap membantu apa bila Thian-li-pang
hendak menyerbu istana dan membunuh Kaisar Mancu! Mengapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu
bisa mengatakan bahwa pihak kami hanya menggagalkan sepak terjang
Thian-li-pang? Sungguh penasaran sekali dan kami tidak dapat menerimanya.”
“Hemm, Kwan
Thian-cu Totiang (Pendeta) harap tenang dan suka mempertimbangkan ucapan kami.
Selama ini, mendiang Suheng Ouw Ban selalu mendengarkan nasehat pihak
Pek-lian-kauw, bahkan kegagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa
Pek-lian-kauw. Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan kami
dan mengenai perjuangan, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing
tanpa saling mencampuri. Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah
pertemuan pribadi perkumpulan kami, maka dengan hormat kami harap supaya jiwi
Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka meninggalkan pertemuan ini.”
Dua orang
pendeta dari Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja
kehilangan Ang-I Moli yang merupakan andalan mereka. Wanita itu telah dihukum
mati sebagai akibat kegagalan kerja sama mereka ketika hendak membunuh para
pangeran. Dan sekarang, mereka diusir begitu saja oleh ketua baru
Thian-li-pang.
“Sungguh
keterlaluan sekali! Thian-li-pang tak mengenal budi,” teriak Kui Thian-cu yang
bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak semakin tua.
Banyak
anggota Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga
nampak gelisah dan penasaran sekali sehingga nampak sikap permusuhan antara dua
kelompok yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang menentang.
“Hemmm,
agaknya ketua yang baru sekarang hendak membawa Thian-li-pang menjadi
pengkhianat, ingin membantu pemerintah penjajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw
yang selamanya anti penjajah?” teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah amat
menantang.
“Jiwi
Totiang! Kalian hanyalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?!” bentak
Lauw Kang Hui yang sudah marah.
Agaknya
perkelahian tak akan dapat dihindarkan lagi, sedangkan dua orang kakek sakti
dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja dengan sikap tenang.
Pada saat
yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara
mereka berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang
namun lembut. Tubuhnya yang sedang tapi tegap itu mengenakan pakaian yang
bersih namun sederhana. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!
Agaknya,
Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula
Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru, “Heii, bukankah engkau
Yo Han...?!”
Yo Han
menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan merangkap
kedua tangan di depan dada dan membungkuk sambil berkata, “Jiwi Supek (Kedua
Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat
keadaan, terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit.”
Tanpa
menanti jawaban kedua orang kakek yang memandang bengong itu, segera Yo Han
menghadapi semua orang Thian-li-pang. Kedua orang kakek itu bengong karena
merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam sumur bersama Ciu
Lam Hok? Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai seorang pemuda
yang tampan dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula?
Suara Yo Han
terdengar lantang ketika dia bicara.
“Saudara-saudara
sekalian, para murid dan anggota Thian-li-pang, dengarkan baik-baik. Seluruh
dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan
orang-orang gagah yang selain menentang kejahatan dan menentang penjajahan,
juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi akhir-akhir ini, semua orang
tahu belaka bahwa telah terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan
dari jalan benar yang dilakukan Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar
dan terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah penjajah akan tetapi
juga yang suka berbuat jahat! Langkah yang diambil Thian-li-pang mengikuti
jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dulu terkenal menyeleweng dari pada
kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan.
Betapa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara mengejar
cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula. Yang penting sekali
adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga
bersih. Pelaksanaan adalah benihnya, dan tiada benih buruk mendatangkan buah
yang baik. Saya menghormati dan setuju sekali pendapat Suheng Lauw Kang Hui
tadi, yang bertekad untuk menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan
orang-orang gagah, perkumpulan pendekar pahlawan!”
Mereka yang
tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walau pun mereka
sekarang juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah
mereka lihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong. Lauw
Kang Hui sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan
pendapatnya, dia pun diam saja dan hendak melhat perkembangan selanjutnya.
Kwan
Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo
Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan pada saat mereka membantu
Ang-I Moli. Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, kedua orang tosu ini
marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju sambil memandang kepada Yo Han
dengan mata melotot. Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir,
maka mereka pun tidak mau mempergunakan ilmu sihir.
“Pemuda
sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu? Siapa pun
yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup. Kami akan membunuhmu
sekarang juga!”
Dua orang
tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemuda itu bersikap tenang saja dan
dia menatap kedua orang tosu itu secara bergantian.
“Jiwi
Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta, berjubah dan
berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung
dari pakaian atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah
banyak melakukan kejahatan, maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu
hanyalah kedok belaka. Apa yang saya katakan tadi adalah kebenaran, dan bukan
bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapa pun.”
“Keparat,
kau makin kurang ajar saja! Rasakan pukulanku!” bentak Kwan Thian-cu yang marah
sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini telah menerjang dengan
pukulan maut dari kedua telapak tangannya.
“Desss...!”
Pukulan
kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua tangan Lauw
Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu
bertemu dengan tenaga sinkang sepenuhnya, dan akibatnya, Kwan Thian-cu yang
kalah kuat terdorong, terjengkang dan tubuh yang gendut itu terguling-guling
sampai beberapa meter jauhnya.
Kui Thian-cu
cepat menghampiri saudaranya dan membantunya bangkit. Masih untung bagi Kwan
Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tak berniat membunuhnya, maka tadi ketika
menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu Pek-lian-kauw
itu memang kalah kuat, begitu kedua tangannya bertemu dengan tangan calon ketua
baru Thian-li-pang, tubuhnya seperti diterjang gajah dan terjengkang ke
belakang.
“Totiang,
jika kami tidak memandang Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan, tentu saat
ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw
tidak mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan meninggalkan tempat ini,”
kata Lauw Kang Hui dengan tegas.
Kedua orang
tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Mereka merasa malu, tetapi juga maklum bahwa melawan pun tiada gunanya. Mereka
tahu pula bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka
mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah
penjajah.
Setelah dua
orang tosu itu pergi dan tidak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong
berkata dengan nada suara yang penuh kemarahan. “Yo Han, engkau ini anak masih
ingusan sudah berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada
pula Lauw Kang Hui, dan engkau membikin malu kami dengan sepak terjangmu
seolah-olah engkau yang paling hebat di sini!”
“Maaf,
sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Berdua),” kata
Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hormat.
“Bocah
lancang, engkau berani memandang rendah kepada kami, ya?” Ban-tok Mo-ko juga
membentak. “Tanpa perintah kami, engkau telah berani mencari gara-gara dengan
Pek-lian-kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak berhak untuk bertindak atas
nama Thian-li-pang. Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!”
Setelah
berkata demikian Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat
serangan gurunya itu, Lauw Kang Hui terkejut. Gurunya sudah melancarkan
serangan pukulan maut kepada Yo Han. Biar pun dia membenarkan tindakan Yo Han
tadi, namun karena Yo Han bukanlah apa-apa baginya, dia tidak berani lancang
melindunginya dari serangan gurunya yang hebat itu. Dia hanya memandang dengan
mata terbelalak, juga semua anggota Thian-li-pang memandang dan mereka semua
merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua mengenal
kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locianpwe dari
Thian-li-pang.
“Maaf,
Supek!” kata Yo Han.
Ketika Yo
Han melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu datang
menyambar dirinya, ia pun menggerakkan dua tangannya yang mula-mula menyembah
ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus ke ulu
hati, lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke arah
bawah membentuk lingkaran, lalu bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi
dan kedua tangan ini dengan kedua telapak tangan terbuka kemudian menghadap ke
depan dan lengannya diluruskan.
Tiada hawa
pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok
Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan betapa hawa pukulan kedua
tangannya membalik dan biar pun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting
oleh kuatnya hawa pukulannya sendiri yang membalik!
“Ho-ho, anak
ini memang perlu dihajar!” kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik
sekali melihat betapa sute-nya yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang
hanya di bawah tingkatnya, sampai terpelanting jatuh.
Dia pun
mengebutkan lengan baju kanannya. Dia memukul dari jauh, mempergunakan hawa
pukulan yang amat dahsyat, lalu tongkat di tangan kirinya menyusul, menotok ke
arah pusar Yo Han.
“Maaf,
Supek!” kata pula Yo Han.
Yo Han tahu
betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali dia menggerakkan kedua tangannya
sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah petunjuk kakek Ciu Lam Hok,
yaitu ilmu yang disebut Bu-kek Hoat-keng.
Begitu dua
tangan Yo Han membuat gerakan memutar dan menyambut tamparan dan totokan tongkat,
seperti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga
berseru kaget dan biar pun dia tidak terpelanting seperti sute-nya, akan tetapi
dia terhuyung ke belakang dan dua serangannya tadi membalik, tangan kanan
menampar kepalanya sendiri dan tongkatnya membalik ke arah pusarnya sendiri!
“Hemmm,
Bu-kek Hoat-keng...!” seru kakek bertubuh pendek kecil ini sesudah mampu
mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget
bukan main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali
“Yo Han!”
bentak Ban-tok Mo-ko. “Betapa beraninya engkau mencampuri urusan pribadi
Thian-li-pang?”
Yo Han
memberi hormat kepada dua orang kakek itu. “Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua), harap
maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun mempunyai hak
mencampuri urusan Thian-li-pang dan semua yang saya lakukan ini adalah untuk
memenuhi pesan dari Suhu. Semenjak dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan para
pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi sejak Thian-li-pang dibawa bersekutu
dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa jadinya? Thian-li-pang melupakan
sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti jejak Pek-lian-kauw, tidak
segan melakukan kejahatan dengan kedok perjuangan. Suhu pesan kepada saya untuk
mengembalikan Thian-li-pang ke jalan yang benar.”
“Ciu Lam Hok
itu... di mana dia sekarang? Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat. Katakan,
di mana Ciu Lam Hok?” Thian-te Tok-ong bertanya.
Yo Han
menarik napas panjang, teringat betapa suhu-nya itu hidup menderita karena
perbuatan dua orang kakek yang menjadi supek-nya ini.
“Suhu telah
meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia.”
“Ahhhh...!”
Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.
“Jiwi Supek
yang membuat Suhu hidup tersiksa!” berkata pula Yo Han dengan suara mengandung
teguran dan memandang tajam kepada dua orang kakek itu.
Dua orang
kakek itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat betapa kejam
mereka terhadap sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku
curang hanya karena iri hati dan ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih
tinggi dari pada ilmu mereka.
Entah
bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang
kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka, bahkan raungan
dan teriakan Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat mereka semakin penasaran
dan membenci karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka.
Akan tetapi
kini mendengar bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka
kehilangan, dan merasa menyesal. Karena tidak ada lagi harapan untuk
mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati, maka sekarang seolah-olah
yang teringat hanya perbuatan mereka terhadap sute itu, dan betapa mereka
bertiga merupakan pendiri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling
setia.
“Aihhh,
Sute, kami sudah berdosa kepadamu...” Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru
dan kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis.
Melihat dua
orang kakek yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil,
semua anggota Thian-li-pang terheran-heran, dan Lauw Kang Hui menundukkan kepalanya.
Wakil ketua ini pun menyadari betapa Thian-li-pang memang sudah jauh
menyeleweng, anak buahnya banyak yang tak segan-segan melakukan perbuatan jahat
bersama anak buah Pek-lian-kauw yang dalam hal penyelewengan sudah menjadi guru
mereka.
Tiba-tiba
Ban-tok Mo-ko maju menghampiri suheng-nya dan menudingkan telunjuknya ke arah
muka suheng-nya.
“Suheng,
semua ini gara-gara engkau! Engkau sudah membuntungi kaki tangannya, engkau
telah berlaku kejam kepada Sute! Kini Sute sudah meninggal, tentu arwahnya akan
menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh, Sute...
maafkan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!”
Thian-te
Tok-ong menghentikan tangisnya dan dia pun menghadapi sute-nya dengan mata
berkilat dan alis berkerut.
“Apa kau
bilang? Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah yang memberi siasat
itu kepadaku! Engkau yang menganjurkan aku untuk turun tangan terhadap Sute Ciu
Lam Hok! Dan aku menyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam Hok, inilah orangnya
yang menjadi penyebab kematianmu, bukan aku!”
“Suheng,
Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena engkau
murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama ilmu Bu-kek Hoat-keng.
Engkaulah yang menanggung dosa terbesar, Suheng!”
“Keparat,
engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!”
“Bohong!”
“Engkau
pengecut, tak berani bertanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu
Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!”
“Engkau
biang keladinya!”
Dua orang
kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa
dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini
sama-sama merasa menyesal, merasa berdosa terhadap sute mereka yang sekarang
sudah meninggal dunia.
Karena
saling menyalahkan, duka dan menyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling
serang dengan hebatnya. Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak
ada anggota Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai berarti
membahayakan nyawa sendiri. Di seputar kedua orang itu, angin pukulan
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa
mundur menjauh supaya tidak sampai terkena serangan hawa pukulan.
Pertandingan
antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah sangat tua, tidak lagi
mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera
mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing, dan mengerahkan sinkang untuk
mengalahkan lawan.
Di lain
saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri dengan dua kaki
terpentang, kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan pengerahan
tenaga sinkang. Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang tahu bahwa
pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup.
Lauw Kang
Hui mengerti pula dan dia menjadi sangat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya,
Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat dibandingkan supek-nya, dan bahwa gurunya
terancam maut. Namun, tentu saja dia tidak berani mencampuri, tidak berani
melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu merobohkan suhu-nya dan
supek-nya, maka timbul harapannya.
Cepat dia
menghampiri Yo Han dan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Sute Yo Han,
tolonglah mereka. Cepat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh.”
Yo Han yang
sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggelengkan kepalanya. “Kurasa
tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan
andai kata aku dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka
dalam...“
Lauw Kang
Hui memandang kepada dua orang kakek itu. Dia merasa gelisah melihat betapa
dari ujung bibir gurunya sudah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa
gurunya telah menderita luka dalam. Dan walau pun di bibir Thian-te Tok-ong
belum nampak darah, akan tetapi wajah kakek yang kecil pendek itu pucat sekali......
Terima kasih
telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment