Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 03
Kaisar sudah
duduk di singgasana, didampingi Siang Hong-houw ketika Ciang Sun yang dikawal
pasukan pengawal dalam, berlutut menghadap Sribaginda. Kaisar Kian Liong
memandang pria yang tinggi kurus itu, lalu memandang ke arah buntalan kain
kuning dan buntalan kain merah yang dibawa Ciang Sun.
Setelah
mengucapkan penghormatannya dengan ucapan ‘ban-ban-swe’ (panjang usia), Ciang
Sun tetap berlutut dan menanti perintah.
"Kami
telah mendengar laporan tentang dirimu. Namamu Ciang Sun dan engkau telah
membunuh seorang pencuri yang membawa sekotak perhiasan milik Hong-houw?"
"Benar
sekali laporan itu, Sribaginda."
"Bagaimana
engkau tahu bahwa dia pencuri dan yang dicurinya adalah perhiasan milik Siang
Hong-houw?" tanya pula Kaisar Kian Liong.
"Pencuri
itu sendiri yang menawarkan barang perhiasannya kepada hamba, dan ia pula yang
mengaku bahwa perhiasan itu milik Yang Mulia Siang Hong-houw. Karena hamba
ingin berbakti kepada Paduka, maka hamba kemudian menyerangnya, membunuhnya,
membawa kepalanya sebagai bukti dan hendak mengembalikan kotak terisi perhiasan
ini kepada Yang Mulia Siang Hong-houw!" kata Ciang Sun dengan penuh
semangat.
Kaisar Kian
Liong mengangguk-angguk dan menoleh pada permaisurinya. Wanita cantik itu
mengerutkan alisnya, sejak tadi matanya tidak pernah meninggalkan buntalan
kuning yang bulat itu.
Kaisar
memberi isyarat kepada pengawal pribadinya. "Bawa peti itu mendekat sini
dan buka agar kami dapat melihat isinya. Siang Hong-houw tentu akan mengenal
apakah benar peti berisi perhiasan itu miliknya."
Pengawal
memberi hormat, lalu mengambil buntalan kain merah yang ditaruh di atas lantai
di depan Ciang Sun, membawanya mendekat dan membuka buntalan itu. Siang
Hong-houw tentu saja segera mengenal peti hitam kecil miliknya dan tahulah ia
apa yang terjadi. Tentu pembantunya yang setia itu telah terbunuh dan ia
bergidik melirik ke arah buntalan kain kuning.
Dan ia pun
segera dapat menggunakan kacerdikannya untuk menduga apa yang terjadi.
Penolakannya untuk menyetujui rencana pembunuhan atas Kaisar itulah yang
menjadi sebabnya. Tentu Mo Si Lim dibunuh untuk dijadikan korban, supaya
seorang pembunuh dapat menyelundup masuk!
Ia melirik
ke arah Ciang Sun yang kebetulan juga sedang melirik kepadanya, kemudian dia
menangkap sinar mata berkilat dari orang kurus itu ke arah Kaisar. Dia pun
dapat menduga. Orang ini pembunuh kejam! Kaisar terancam.
"Buka
peti itu," kata Kaisar dan pengawal membukanya.
Nampaklah
isi peti itu. Perhiasan yang berkilauan dan gemerlapan.
"Hong-houw,
milikmukah perhiasan itu?" tanya Kaisar Kian Liong.
Siang
Hong-houw mengangguk. Kaisar Kian Liong mengerutkan alis dan marah kepada
pencuri yang berani mengambil barang perhiasan permaisurinya yang tercinta.
"Buka
buntalan itu. Kami ingin melihat siapa yang berani mencurinya!"
Pengawal
lalu menghampiri buntalan kuning dan membukanya. Nampaklah kepala Mo Si Lim
dengan mata melotot. Siang Hong-houw mengeluarkan seruan tertahan.
"Dia...
Muslim, thai-kam yang setia!" teriaknya. "Sribaginda, orang ini tentu
pembunuh yang berbahaya! Memang hamba sudah menyuruh Muslim untuk menjual
perhiasan itu, perhiasan yang dulu hamba bawa dari Sinkiang, untuk diberikan
kepada fakir miskin di Sinkiang karena hamba mendengar mereka hidup sangat
sengsara. Sama sekali bukan perhiasan yang pernah hamba dapatkan dari Paduka,
melainkan milik hamba pribadi. Akan tetapi, Muslim dibunuh... orang ini tentu
penjahat. Mungkin dia mempunyai niat jahat terhadap Paduka!"
Tiba-tiba
Siang Hong-houw telah meloncat ke dekat Sribaginda. Ia seorang wanita yang
pernah belajar ilmu silat dan cepat ia sudah mencabut pedang yang tergantung di
dekat kursi singgasana Kaisar.
Ciang Sun
marah sekali ketika mendengar betapa Siang Hong-houw yang tadinya amat
diharapkan akan membantunya, dan bahkan sudah menyatakan dukungannya terhadap
Thian-li-pang, kini tiba-tiba membuka rahasianya dan menggagalkan kesempatan
yang diperolehnya untuk menyelundup ke dalam istana Kaisar agar dapat membunuh
Kaisar. Dia maklum bahwa saatnya hanya sekarang. Kalau dia tidak bertindak
sekarang, akan terlambat karena dia tentu akan ditangkap dan dihukum.
"Hidup
Thian-li-pang! Mampuslah Kaisar penjajah Mancu!"
Teriakan ini
melengking nyaring, mengejutkan semua orang sehingga para pengawal tertegun dan
tidak bergerak ketika Ciang Sun melompat ke arah Sribaginda Kaisar. Biar pun
dia bertangan kosong, namun dengan nekat dia meloncat dan menyerang ke arah
Kaisar.
Akan tetapi,
Siang Hong-houw sudah memutar pedangnya, merupakan perisai di depan Kaisar
sehingga serangan Ciang Sun itu tentu saja tidak berhasil, bahkan terpaksa dia
meloncat ke samping. Pada waktu dia hendak menyerang Hong-houw untuk merampas
pedang, para pengawal sudah menyerbu dan mengeroyoknya.
"Bunuh
penjahat itu!" Siang Hong-houw berseru dan ia lalu menggandeng Kaisar,
cepat-cepat dilarikan masuk ke dalam.
Ciang Sun
mengamuk. Akan tetapi, yang mengeroyoknya adalah para pengawal dalam yang
rata-rata memiliki kepandaian tinggi, bahkan di antara mereka terdapat
panglima-panglima yang menjadi jagoan istana, maka dalam waktu singkat saja dia
telah roboh dan tewas! Cepat para pengawal menyingkirkan mayatnya, juga
menyingkirkan kepala Mo Si Lim, dan ada yang menyimpan peti hitam kecil untuk
kelak disampaikan kepada Siang Hong-houw.
Tentu saja
peristiwa itu lantas menggagalkan rencana orang-orang Thian-li-pang untuk
membunuh Kaisar, bahkan menggagalkan pula usaha mereka mendapat sumbangan dari
Siang Hong-houw. Dan di lain pihak, Puteri Harum berjasa besar dan Kaisar makin
percaya kepadanya.
Akan tetapi
peristiwa itu pun diam-diam membuat Siang Hong-houw menjadi bersedih sekali.
Bukan saja bersedih karena kehilangan pembantunya yang setia, Muslim, akan
tetapi juga bersedih karena dia terpaksa harus melakukan dua hal yang
bertentangan dan meresahkan batinnya sendiri.
Di satu
pihak, ia mendukung Thian-li-pang yang ia tahu merupakan perkumpulan para
patriot yang hendak mengusir penjajah Mancu, bangsa yang juga telah membasmi
suku bangsanya sendiri, bahkan yang telah membunuh ayahnya dan suaminya. Akan
tetapi di lain pihak, ia bersetia kepada Kaisar Kian Liong yang telah menjadi
suaminya dan yang secara pribadi bersikap amat baik dan penuh kasih sayang
kepadanya.
Peristiwa
ini sudah demikian mengguncang hati Sang Puteri sehingga sejak terjadinya
peristiwa itu, ia tak pernah sehat lagi, selalu sakit-sakitan. Ia hidup dengan
batin merana sampai kurang lebih delapan tahun kemudian, dan dalam tahun 1788
meninggal dunia karena penyakit akibat penderitaan batin ini, dalam usia yang
belum tua benar.
Demikianlah
keadaan kota raja dan istana Kaisar Kian Liong pada waktu itu. Dalam usia
tuanya, pemerintahan Kaisar Kian Liong mengalami kemunduran dan
pemberontakan-pemberontakan timbul di daerah-daerah perbatasan. Biar pun
demikian, dia merupakan satu di antara kaisar-kaisar di Cina yang paling lama
memegang tampuk kerajaan, yaitu selama enam puluh tahun (1736-1796).
***************
"Betapa
indahnya pemandangan alam di pegunungan ini, Yo Han!” seru Gangga Dewi.
Yo Han yang
berhenti melangkah pula, memandang kepada wanita itu. Seorang wanita yang
nampak gagah berdiri dengan perkasa, cantik dan agung, wajah berseri dan kedua
pipi kemerahan tanda sehat. Angin pegunungan bersilir mempermainkan rambut
halus yang terlepas dari ikatan dan bermain di depan dahi. Mulut wanita itu
tersenyum cerah dan pandang matanya membelai tamasya alam yang terbentang luas
di depan mereka, di bawah sana.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Yo Han diselamatkan dari tangan Ang-I Moli
oleh Gangga Dewi, dan kini Yo Han melakukan perjalanan bersama Gangga Dewi,
membantu wanita Bhutan ini untuk mencari Suma Ciang Bun karena Yo Han merasa
yakin bahwa Suma Ciang Bun akan dapat memberi tahu kepada Gangga Dewi di mana
ayah wanita itu berada.
Yo Han ikut
melayangkan pandang matanya ke bawah sana. Bagaikan sebuah lukisan mukjijat,
tamasya alam itu terbentang luas di hadapan kakinya. Lereng bukit itu seperti
dilukis dengan indahnya. Memang indah sekali, tetapi Yo Han merasa heran
mengapa Gangga Dewi begitu kagum melihat keindahan alam itu.
Bagi dia, di
mana-mana terdapat keindahan alam itu. Meski keadaannya berbeda-beda, namun dia
selalu menemukan keindahan di mana pun, seperti melihat seribu macam bunga,
bentuk dan warnanya berbeda-beda, namun setiap tangkai bunga mengandung
keindahan agung!
“Aku telah
mendengar bahwa Pegunungan Tapa-san memiliki tamasya alam yang amat indah. Baru
sekarang aku menyaksikan kebenaran berita itu. Betapa bahagianya Suma Ciang Bun
itu hidup di tempat yang memiliki lingkungan seindah ini.”
Keindahan
yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata tiada lain
hanyalah kesenangan. Dan segala macam bentuk kesenangan hanyalah permainan
nafsu dan akhirnya selalu membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas, tak
pernah mengenal kepuasan yang mutlak, selalu hendak meraih dan menjangkau yang
belum dicengkeramnya.
Oleh karena
itu, kita cenderung untuk mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita
dapatkan. Namun kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, akan
pudarlah keindahannya sehingga kita tidak mampu menikmatinya lagi. Itulah
sebabnya mengapa orang kota dapat menikmati keindahan di alam pegunungan,
sebaliknya orang dusun di pegunungan dapat menikmati keindahan kota!
Orang kota
akan bosan dengan keadaan di kota, sebaliknya orang dusun juga bosan akan
keadaan di dusun. Baik orang kota mau pun orang dusun selalu mengejar yang
tidak mereka miliki. Pengejaran ini memang menjadi sifat dari nafsu daya
rendah. Dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan.
Kalau tidak
tercapai apa yang kita kejar, kecewa dan duka menindih batin kita. Kalau
tercapai apa yang kita kejar, hanya sebentar saja kita menikmatinya, kemudian
kita merasa bosan atau juga kecewa karena yang kita capai itu ternyata tidaklah
seindah yang kita bayangkan semula ketika kita masih mengejarnya.
Karena itu,
orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak
menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan
menikmati segala yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik.
Segala
keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar
badan. Sepiring masakan termahal, akan terasa hambar di mulut kalau batin
sedang keruh, sebaliknya sebungkus nasi dengan kecap termurah akan terasa
nikmat di mulut kalau batin sedang jernih.
Hal-hal yang
paling sederhana pun akan terasa nikmat dan indah bagi panca-indra kita kalau
batin kita dalam keadaan jernih. Dan batin yang jernih adalah suatu keadaan,
bukan hasil buatan pikiran. Keadaan batin yang jernih timbul oleh kekuasaan
Tuhan, dan kita hanya dapat menyerah dan pasrah dengan penuh keikhlasan dan
ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
Kalau sudah
begitu, apa pun yang terjadi kepada diri kita, kita terima dengan penuh rasa
syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah dikehendaki Tuhan dan
Tuhan tahu apa yang baik bagi kita! Tidak mabok oleh keadaan yang kita anggap
menyenangkan, tidak mengeluh oleh keadaan yang kita anggap tidak menyenangkan.
Penyerahan
total kepada Tuhan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan hingga kita bisa
melihat bahwa di dalam segala peristiwa terkandung kekuasaan Tuhan hingga
sebaliknya dari mabok kesenangan dan mengeluh kesusahan, kita akan meneliti
untuk menemukan hikmahnya dalam setiap peristiwa.
Setelah
sesaat berdiri bagai patung menikmati keindahan alam di sekelilingnya, Gangga
Dewi menarik napas panjang, sepanjang mungkin hingga tubuhnya dapat menampung
hawa udara yang bersih dan segar sejuk. Beberapa lamanya dia berlatih
pernapasan untuk membuang semua hawa kotor dari dalam tubuh, menggantikannya
dengan hawa udara yang jernih dan mengandung kekuatan mukjijat itu.
Tiba-tiba
Gangga Dewi menangkap pundak Yo Han dan menariknya sambil meloncat ke belakang.
"Singgg...!"
Sebuah benda mengkilat menyambar lewat.
"Ada
apakah, Bibi?" tanya Yo Han.
Gangga Dewi
melepaskan Yo Han di belakangnya dan dia pun melangkah ke depan, menjauhi
tebing. Yo Han mengikuti dari belakang dan kini dia tidak bertanya lagi karena
dia telah melihat pula munculnya tiga orang itu. Seorang di antara mereka
adalah Ang-I Moli, hal ini dapat dilihat dengan jelas walau pun mereka itu
masih agak jauh, karena pakaiannya yang serba merah.
"Itu
mereka!" teriak Ang-I Moli yang tadi telah menyambitkan senjata rahasianya
yang berupa jarum beracun dan yang telah dielakkan oleh Gangga Dewi.
"Akhirnya kita dapat menemukan mereka!"
Kini tiga
orang itu sudah tiba di depan Gangga Dewi yang seolah melindungi Yo Han yang
berada di belakangnya. Melihat cara mereka berlari mendaki dengan amat cepat
itu, tahulah Gangga Dewi bahwa dua orang yang datang bersama Ang-I Moli itu pun
bukan orang-orang lemah. Ia memandang dengan penuh perhatian.
Dua orang
itu adalah laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang
bertubuh gendut dengan perut seperti perut kerbau dan mukanya bulat, sedangkan
yang kedua bertubuh kecil katai seperti anak berusia belasan tahun, tetapi
mukanya penuh keriput dan kelihatan jauh lebih tua dari pada usia sebenarnya.
Mereka berdua itu mengenakan jubah pendeta dengan rambut digelung ke atas
seperti kebiasaan yang dilakukan para tosu (pendeta To).
Tosu yang
gendut dengan muka seperti kanak-kanak dan selalu tersenyum cerah akan tetapi
sinar matanya kejam itu tertawa.
"Ha-ha-ha,
Moli! Engkau sudah mengganggu ketenangan kami, mengajak kami berlari-lari
mengejar, kiranya yang kau cari hanya seorang bocah seperti itu, yang dapat
kita temukan ratusan orang banyaknya di pasar, tinggal pilih. Kenapa
susah-susah?"
"Hemmm,
engkau mana tahu? Sudahlah, anak itu urusanku, aku mengajak kalian untuk menghadapi
perempuan asing ini!" kata Ang-I Moli.
"Moli,
engkau bilang bahwa engkau tidak mampu mengalahkan perempuan ini? Aneh sekali!
Apa sih keahliannya?" berkata pula tosu yang katai kecil memandang rendah
Gangga Dewi.
Gangga Dewi
menegakkan kepala. Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan, memandang kepada
tiga orang itu dengan sikap angkuh.
"Ang-I
Moli, engkau sungguh seorang iblis betina yang tak tahu malu! Anak ini tidak
sudi ikut denganmu karena engkau jahat, cabul dan keji, dan engkau hendak
memakannya, hendak membunuhnya dengan minum darahnya. Aku mencegah terjadinya
kekejaman itu dan hanya menghajarmu agar engkau menyadari kesesatanmu. Kiranya
kini engkau datang mengajak dua orang kawanmu! Hemmm, agaknya memang sudah
sepantasnya orang macam engkau yang berwatak iblis ini dibasmi dari permukaan
bumi!"
"Kwan
Suheng dan Kui Suheng, kalian hadapi perempuan asing itu, biar aku yang akan
menangkap bocah itu!" Ang-I Moli berseru.
"Heh-heh-heh,
Moli Sumoi (Adik Seperguruan) yang baik. Kenapa harus repot-repot? Biar kami
menundukkan mereka agar mereka menyerah dengan suka rela, tidak perlu
merepotkan dan melelahkan badan," kata tosu gendut.
"Benar,
kami akan tundukkan mereka dengan sihir!" kata tosu katai.
Dua orang tosu
itu adalah suheng (kakak seperguruan) Ang-I Moli dalam perkumpulan
Pek-lian-kauw, yang gendut bernama Kwan Thian-cu, yang katai bernama Kui
Thian-cu. Kini keduanya melepas ikatan rambut sehingga rambut mereka
riap-riapan, dan Kwan Thian-cu mencabut golok, Kui hian-cu mencabut pedang.
Akan tetapi
mereka tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang, melainkan mereka memegang
senjata itu lurus di depan muka seperti mencium senjata itu. Mata mereka
terpejam, mulut berkemak kemik membaca doa, sedang tangan kiri membuat gerakan
melingkar-lingkar di depan dada, kemudian telunjuk kiri membuat coret-coret di
udara seperti sedang melukis atau menuliskan sesuatu. Kemudian dengan senjata
mereka di kedua tangan, mereka membuat gerakan menyembah ke atas, lalu ke bawah,
lalu ke empat penjuru. Barulah mereka membuka mata memandang kepada Gangga Dewi
dan Yo Han, dan kini Si Katai mengeluarkan suara yang terdengar penuh wibawa.
"Dengar
dan lihatlah, perempuan berkerudung kuning, dan juga engkau anak laki-laki!
Semua kekuatan hitam di empat penjuru membantu kami! Kekuasaan langit dan bumi
melindungi kami! Kalian berdua akan tunduk dan menurut kepada kami, melakukan
apa saja yang kami perintahkan! Sanggupkah kalian?"
Gangga Dewi
terkejut bukan main. Ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang, tanda bahwa ada
hawa atau kekuatan yang tidak wajar sedang menyerang dan berusaha
mempengaruhinya. Kata-kata yang keluar dari mulut Si Katai itu menembus
hatinya. Ia tahu bahwa kedua orang tosu itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang
lihai dan ia pernah melatih diri dengan menghimpun kekuatan batin untuk menolak
pengaruh sihir. Ia sudah mengerahkan tenaga itu, akan tetapi ada dorongan yang
amat kuat membuat ia terpaksa membuka mulut.
"Aku
sang... sang..." Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan pengaruh
itu agar ia tidak mengatakan ‘sanggup’.
Pada saat ia
bersitegang melawan pengaruh yang semakin kuat itu, tiba-tiba terdengar suara
ketawa di belakangnya.
"Ha-ha-heh-heh,
lihat, Bibi Gangga Dewi! Dua orang tosu itu sungguh lucu. Apa yang sedang
mereka lakukan itu? Apakah mereka itu dua orang anak wayang yang sedang
membadut?"
Mendengar
suara ketawa dan ucapan Yo Han itu, seketika lenyaplah pengaruh sihir yang
hampir menguasai dirinya dan lenyap pula ‘hawa’ yang membangkitkan bulu roma
tadi.
Dua orang
tosu itu terbelalak memandang ke arah Yo Han. Ketika anak itu tertawa lalu
bicara, mereka berdua merasa betapa kekuatan sihir mereka yang mereka kerahkan
itu membalik seperti gelombang melanda diri mereka sendiri sehingga mereka
menjadi sesak napas dan terpaksa menghentikan ilmu sihir itu!
Ang-I Moli
juga melihat semua ini dan ia berkata, "Nah, sudah kukatakan bahwa anak
itu bukan anak sembarangan. Dia terkena jarum-jarumku akan tetapi tidak mati,
dan segala kekuatan sihir tidak bisa mempengaruhinya. Sekarang baru kalian
percaya? Hayo kalian bunuh perempuan asing itu dan aku yang akan menangkap anak
itu!"
Kalau Gangga
Dewi, Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu amat tercengang keheranan
melihat peristiwa tadi, Yo Han sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia
memang tidak merasakan apa-apa, dan kalau tadi dia mentertawakan dua orang tosu
itu karena memang dia merasa heran dan geli melihat tingkah mereka. Sama sekali
dia tidak mengerti bahwa dua orang tosu itu melakukan sihir, dan sama sekali
dia pun tidak tahu bahwa suara ketawanya membuyarkan semua pengaruh sihir
mereka.
Di luar
kesadarannya sendiri, ada kekuatan mukjijat dari kekuasaan Tuhan yang selalu
melindungi anak ini. Kekuatan mukjijat ini mungkin saja timbul karena kepercayaannya
yang total kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bukan sekedar percaya di mulut seperti
yang dimiliki kebanyakan orang.
Kita semua
mengaku ber-Tuhan, tetapi pengakuan kita itu sungguh amat meragukan, apakah
pengakuan itu timbul dari dalam dan sesungguhnya, ataukah pengakuan itu hanya
keluar dari pikiran yang bergelimang nafsu. Kalau hanya pengakuan mulut dan
pikiran saja, tidak ada gunanya sama sekali. Buktinya, kita mengaku ber-Tuhan
tetapi kita masih berani melakukan hal-hal yang tidak benar.
Kita adalah orang-orang
munafik yang ingat pada Tuhan hanya bila kita membutuhkan pertolongan atau
perlindungan saja, hanya teringat kepada Tuhan kalau kita sedang menderita.
Kita melupakan Tuhan begitu nafsu sedang mencengkeram kita, begitu kita
berenang di lautan kesenangan duniawi.
Sejak kecil
sekali, melalui kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dikembangkan oleh perasaan
yang peka, Yo Han bukan sekedar mengaku ber-Tuhan, melainkan dia dapat
merasakan kekuasaanNya dalam dirinya, yakin dan selalu ingat, selalu pasrah.
Begitu mutlak kepercayaannya kepada Tuhan hingga ia pasrah dan menyerah. Hanya
kepada Tuhanlah dia berlindung karena dia tidak beribu-bapa lagi dan ancaman
maut tak cukup kuat untuk membuat dia takut dan lupa akan kepasrahan dan
penyerahannya.
Inilah yang
membuat dia di luar kesadarannya, selalu diliputi kekuasaan Tuhan. Dan di dunia
ini, kekuatan atau kekuasaan apakah yang dapat menandingi kekuasaan Tuhan? Apa
lagi hanya permainan sihir dari dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, permainan
sihir yang bersandar kepada kekuasaan iblis, tentu saja tidak dapat menyentuh
Yo Han yang sudah dilindungi kekuasaan maha dahsyat yang tidak nampak.
Kwan
Thian-cu dan Kui Thian-cu saling pandang, dan merasa betapa tengkuk mereka
dingin. Selama hidup mereka belum pernah ada orang yang mampu membuyarkan
kekuatan sihir mereka tanpa pengerahan kekuatan batin.
Kalau hanya
lawan yang memiliki kekuatan batin tanggung-tanggung saja, tentu akan menyerah
dan tunduk terhadap kekuatan sihir mereka berdua yang disatukan. Akan tetapi anak
kecil itu, anak belasan tahun, hanya dengan ketawa polosnya telah mampu
membuyarkan kekuatan sihir mereka?
Ataukah
wanita peranakan barat itu yang memiliki kemampuan ini? Akan tetapi mereka
lihat betapa tadi wanita itu sudah hampir menyerah kepada mereka. Diam-diam
mereka bergidik dan jeri terhadap anak kecil itu.
Maka,
mendengar permintaan Ang-I Moli, mereka merasa girang. Lebih nyaman di hati
menghadapi serta mengeroyok wanita itu dari pada harus menangkap anak ajaib
itu! Mereka lalu meloncat dan menyerang Gangga Dewi dengan senjata mereka.
Gangga Dewi
mengelak dengan lompatan ke samping sambil menggerakkan tangannya melolos sabuk
sutera putihnya.
Akan tetapi
dua orang tosu Pek-lian kauw itu mendesak dengan serangan-serangan mereka yang
ganas. Sungguh janggal sekali melihat dua orang berpakaian pendeta kini
memainkan golok dan pedang, menyerang seorang wanita dengan dahsyat dan buas,
dengan muka beringas dan nafsu membunuh menguasai mereka, membuat mereka
seperti dua ekor binatang buas yang haus darah.
Mutu batin
seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Akan tetapi, kita
sudah terlanjur hidup di dalam masyarakat di mana nilai-nilai kemanusiaan
diukur dari keadaan lahiriahnya, dari pakaiannya. Pangkat, kedudukan, predikat
dan pekerjaan, harta, bahkan sikap dan kata-kata hanya merupakan pakaian
belaka. Semua itu dapat menjadi topeng yang palsu. Namun, kita sudah terlanjur
suka akan yang palsu-palsu.
Kita
menghormati orang karena hartanya, karena pangkatnya. Kita menilai orang dari
kedudukannya, dari sikapnya. Padahal, seorang pendeta belum tentu saleh,
seorang pembesar belum tentu bijaksana, seorang hartawan belum tentu dermawan,
seorang yang bermulut manis belum tentu baik hati.
Kita
tersilau oleh kulitnya, sehingga tidak lagi mampu melihat isinya. Hal ini
disebabkan karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu,
sehingga penilaian kita pun didasari keuntungan diri kita sendiri. Yang
menguntungkan kita lahir batin itulah baik, yang merugikan kita lahir batin
itulah buruk!
Karena kita
semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pakaiannya, yaitu nama
besar, harta dunia, kedudukan tinggi, penampilan dan semua pulasan luar, maka
kita pun berlomba untuk mendapatkan semua itu. Kita memperebutkan harta,
kedudukan dan sebagainya karena dari kesemuanya itulah kita mendapat
penghargaan dan penghormatan. Kita lupa bahwa penghargaan dan penghormatan
semua itu adalah palsu, kita lupa bahwa yang dihormati adalah pakaian kita,
harta kita, kedudukan kita, nama kita! Kita semua makin hari makin lelap dalam
alam kemunafikan.
Kita
seyogianya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita termasuk ke dalam kelompok
munafik ini? Bilakah kita akan sadar dari kelelapan kemunafikan ini, menjadi
penganut peradaban yang tak beradab, kemoralan yang tidak bermoral? Pertanyaan
selanjutnya, kalau sudah menyadari keadaan yang buruk ini, beranikah kita untuk
keluar dari dunia kemunafikan ini kemudian hidup baru sebagai manusia
seutuhnya? Manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan, yang
berbudi, berakhlak, bersusila, berakal pikir, dan berbakti kepada Sang Maha
Pencipta?
Kesadaran
seperti itu hanya dapat timbul apa bila kita mau dan berani mawas diri,
bercermin bukan sekedar mematut-matut diri dan memperelok muka, tetapi
bercermin menjenguk dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati
kita. Berani melihat kekotoran yang selama ini melekat dalam batin kita. Kalau
sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran dan kesadaran ini
mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan!
Pikiran
tidak mungkin membersihkan kekotoran ini, karena pikiran sudah bergelimang
nafsu, sehingga apa pun yang dilakukannya tentu mengandung pamrih kepentingan
diri, demi keenakan dan kesenangan diri, lahir mau pun batin. Akan tetapi,
kerendahan diri membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total kepada Tuhan
Yang Maha Kasih, menyerah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan.
Dan Tuhan
Maha Kasih! Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah bulat-bulat,
menyerah dengan kerendahan diri sehingga di dalam penyerahan ini, pikiran tidak
ikut campur. Karenanya, penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh
kerendahan hati, penuh kerinduan dan cinta kasih kepada Tuhan yang telah
mengasihi kita tanpa batas! Dari sini akan timbul gerak hidup yang wajar,
manusiawi, tidak palsu dan tidak munafik lagi.
Pertempuran
hebat segera terjadi setelah Gangga Dewi memutar sabuk sutera putih di
tangannya. Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu mengeroyoknya dan setelah lewat hanya
beberapa jurus saja, tahulah Gangga Dewi bahwa kedua orang lawannya ini lihai
sekali. Menghadapi seorang dari mereka saja belum tentu dia akan menang, apa
lagi dikeroyok dua. Namun, bukan hal ini yang merisaukan hatinya, melainkan
keselamatan Yo Han. Anak itu kini menghadapi Ang-I Moli, wanita iblis yang amat
berbahaya dan keji itu.
Dan memang
Yo Han terancam bahaya ketika Ang-I Moli menghampirinya dengan mata
bersinar-sinar dan mulut menyeringai. Wajahnya yang cantik tampak menyeramkan
dan membayangkan kekejaman yang mengerikan. Yo Han juga maklum bahwa ia
terancam bahaya, namun dia sama sekali tidak merasa takut.
Anak berusia
dua belas tahun itu sejak mulai ada pengertian, sudah menyerah kepada Tuhan
sehingga tidak mengenal arti takut lagi. Dia yakin benar bahwa nyawanya berada
di tangan Tuhan dan bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, jangankan baru seorang
manusia sesat macam Ang-I Moli, biar semua iblis dan setan menyerangnya, dia
tidak akan mati! Keyakinan yang sudah mendarah-daging ini membuat dia tabah,
dan dengan sinar mata yang tenang dan jernih, sekarang dia berdiri menghadapi
Ang-I Moli yang menghampirinya.
"Hi-hi-hi-hik,
Yo Han, engkau hendak lari ke mana sekarang? Tidak ada lagi yang akan mampu
meloloskan engkau dari tanganku, heh-heh!" Ang-I Moli menghampiri semakin
dekat dan mulutnya berliur karena ia membayangkan betapa seluruh darah dalam
tubuh anak ajaib itu akan dihisapnya dan ia akan segera dapat menguasai ilmu
dahsyat yang diidamkannya itu.
"Ang-I
Moli, aku tidak akan lari ke mana pun. Kalau Tuhan menghendaki, maka Dia yang
akan meloloskan aku dari tanganmu!"
Mendengar
jawaban itu, Ang-I Moli tertawa terkekeh-kekeh. “He-he-heh! Tuhan? Mana Tuhanmu
itu? Suruh dia keluar melawanku, heh-heh!" ia lalu menerjang ke depan,
jari tangannya menotok ke arah pundak Yo Han karena ia bermaksud menangkap anak
itu dan perlahan-lahan menikmati korbannya.
Yo Han tidak
pernah berlatih silat. Walau pun secara teori dia tahu bahwa wanita itu
menyerangnya dengan totokan, dan dia tahu pula betapa sesungguhnya amat mudah
untuk mematahkan serangan ini, namun karena tubuhnya tak pernah dilatih, maka
dia tidak dapat melakukan hal itu dan dia pun diam saja, hanya pasrah kepada
Tuhan.
"Tukkk!"
Jari tangan
Ang-I Moli menotok jalan darah di pundak. Tubuh Yo Han tiba-tiba menjadi lemas
dan dia terkulai roboh. Ang-I Moli terkekeh, akan tetapi ketika ia menengok dan
melihat betapa dua orang suheng-nya itu, walau pun sudah dapat mendesak Gangga
Dewi namun belum berhasil merobohkan dan membunuhnya, lalu ia meloncat dengan
pedang di tangan untuk membantu dua orang suheng-nya.
Tentu saja
Gangga Dewi menjadi makin repot melayani pengeroyokan tiga orang lawan yang
lihai itu. Tadi pun dikeroyok oleh dua orang tosu itu, ia telah terdesak dan
hanya mampu melindungi diri saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas
menyerang.
Tapi, dengan
memainkan gabungan dari ilmu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan
Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) melalui sabuk suteranya, serta
sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi yang semuanya itu dulu ia dapatkan dari
gemblengan ayahnya, ia masih mampu membela diri dan sejauh itu belum ada ujung
senjata para pengeroyok mengenai dirinya. Namun, kalau ia harus terus mempertahankan
diri tanpa balas menyerang, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan akan
roboh juga.
"Heiii,
kalian ini tiga orang yang berwatak amat pengecut! Mengeroyok seorang wanita
bertiga. Percuma saja kalian mempelajari ilmu silat kalau hanya untuk mengeroyok
secara curang dan pengecut."
Yang paling
kaget mendengar bentakan itu adalah Ang-I Moli. Ia cepat membalik dan
terbelalak melihat Yo Han telah berdiri di situ sambil menuding-nudingkan
telunjuk dan mencela dia dan kedua orang suheng-nya, seperti seorang kakek yang
mencela dan menasehati cucu-cucunya yang nakal dan bandel!
Betapa ia
tak akan kaget? Tadi ia telah menotok anak itu, totokan yang ia rasakan tepat
sekali. Jangankan seorang anak kecil yang tidak tahu silat, biar pun lawan yang
tangguh sekali pun, kalau sudah tertotok seperti itu pasti akan terkulai lemas
dan paling sedikit seperempat jam lamanya takkan dapat berkutik. Akan tetapi
anak ini tahu-tahu sudah bangkit kembali dan menuding-nudingnya!
"Ehhh,
anak setan, akan kubunuh kau sekarang juga!"
Kemarahan
membuat wanita iblis itu lupa akan keinginannya memanfaatkan darah anak itu dan
saking kaget dan marahnya, kini ia menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah
leher Yo Han.
"Singgg...!"
Serangan itu luput!
Ang-I Moli
terbelalak lagi saking herannya. Anak itu seperti didorong angin ke samping dan
jatuh bergulingan, dan justru hal ini membuat sambaran pedangnya tidak mengenai
sasaran. Ia membalik dan mengejar, akan tetapi mendadak dia terhuyung dan
hampir terjungkal karena saking tergesa-gesa dan marah tadi, dia kurang waspada
sehingga kakinya terantuk batu.
Ketika ia
bangkit kembali, ia melihat Yo Han sudah duduk dengan sikap tenang sekali di
atas tanah. Anak itu memang sudah tahu bahwa melawan tiada gunanya dan lari pun
akan percuma. Maka dia lalu duduk dan pasrah, menyerahkan nasib dirinya kepada
Tuhan.
“Anak
setan...!" Kini Ang-I Moli teringat lagi bahwa ia membutuhkan Yo Han, maka
ia pun meloncat dekat dan mengayun tangan kirinya, kini menampar ke arah
tengkuk.
"Plakkk!"
Tubuh anak
itu terguling dan ia roboh pingsan. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa
anak itu sudah pingsan dan tidak akan mudah siuman dalam waktu dekat, ia lalu
meloncat lagi dan kembali mengeroyok Gangga Dewi yang sudah kewalahan. Namun
pada saat itu nampak bayangan orang berkelebat.
"Dunia
tidak akan pernah aman selama ada orang-orang sesat berkeliaran mengumbar
nafsunya!" bayangan itu berkata.
Begitu dua
tangannya bergerak, segera nampak sepasang pedang yang bersinar putih mengkilap
berada di kedua tangannya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu ke
dalam perkelahian itu dan membantu Gangga Dewi! Semua orang memandang pada
bayangan itu.
Dan ternyata
bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh satu
tahun dengan wajah yang berbentuk bundar, kulitnya agak gelap, kumis dan
jenggotnya terpelihara rapi. Wajah itu tampan dan mengandung kegagahan, gerak
geriknya lembut dan sinar matanya tajam.
Baik Gangga
Dewi mau pun tiga orang pengeroyoknya tidak mengenal orang ini, akan tetapi
karena jelas bahwa ia membantu Gangga Dewi, maka Ang-I Moli sudah langsung
menyambutnya dengan sambitan jarum-jarum beracun merah.
"Hemmm,
memang keji!" orang laki-laki itu berseru dan sekali tangan kanan
bergerak, pedangnya diputar dan dibantu kebutan lengan baju, semua jarum
tertangkis runtuh.
Ang-I Moli
sudah menyusulkan serangan dengan pedangnya. Orang itu menangkis dan balas
menyerang. Mereka bertanding dengan pedang, dan ternyata ilmu pedang orang itu
lihai bukan main, membuat Ang-I Moli terkejut dan terpaksa ia harus mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh ilmu pedang simpanannya untuk
melindungi dirinya dari sambaran sepasang pedang lawan yang lihai itu.
Tentu saja
orang itu lihai karena dia adalah Suma Ciang Bun! Pria yang sekarang hidup
mengasingkan diri di Pegunungan Tapa-san ini adalah seorang cucu Pendekar
Istana Pulau Es. Biar pun bakatnya tidak sangat menonjol dibandingkan keluarga
Istana Pulau Es yang lain, namun karena dia sudah mempelajari ilmu-ilmu dari
ayah dan ibunya, maka dia juga menjadi seorang pendekar yang sangat lihai.
Banyak ilmu hebat yang dikuasainya, dan sekarang, dengan sepasang pedangnya dia
memainkan ilmu pedang pasangan Siang-Mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis)
dan dalam waktu belasan jurus saja Ang-I Moli yang lihai telah terdesak hebat.
Akan tetapi,
sambil melawan wanita berpakaian merah itu, Suma Ciang Bun melirik ke arah
wanita gagah yang dikeroyok oleh dua orang berpakaian tosu. Dia melihat betapa
wanita itu terdesak hebat dan berada dalam bahaya karena selain nampaknya sudah
lelah sekali, juga paha kirinya sudah terluka dan berdarah. Maka, setelah
mendesak Ang-I Moli, tiba-tiba dia meloncat ke dalam arena pertempuran membantu
Gangga Dewi yang dikeroyok Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu.
Begitu Suma
Ciang Bun menerjang dan membantu Gangga Dewi, dua orang tokoh dari
Pek-lian-kauw itu terkejut karena serangan Suma Ciang Bun sangat kuatnya,
membuat mereka berdua harus loncat ke belakang dan terpaksa menghadapinya,
meninggalkan Gangga Dewi yang sudah payah dan kelelahan.
Karena kini
mendapat bantuan yang kuat, timbul kembali semangat Gangga Dewi.
"Terima
kasih, Sobat. Mari kita basmi iblis-iblis Pek-lian-kauw yang jahat ini!"
serunya dan meski pun paha kirinya sudah terluka, dia memutar pedangnya dan
bersama Suma Ciang Bun mendesak tiga orang lawan itu.
Tiba-tiba
dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu membaca mantera yang aneh, kemudian Kwan
Thian-cu berseru, "Kalian berdua orang-orang bodoh! Lihat baik-baik siapa
kami! Kami lebih berkuasa, hayo kalian cepat berlutut memberi hormat kepada
kami!" Dalam suara ini terkandung kekuatan sihir. Agaknya mereka berusaha
untuk mencoba sihir mereka kembali untuk menundukkan dua orang lawan tangguh
itu.
Gangga Dewi
terhuyung. Akan tetapi Suma Ciang Bun adalah cucu Pendekar Sakti Pulau Es, ia
sudah memiliki kekebalan terhadap sihir. Kakeknya, Pendekar Super Sakti, adalah
seorang yang memiliki kepandaian sihir amat kuatnya, dan biar pun ilmu itu
tidak dipelajari oleh Suma Ciang Bun, namun dia memiliki kekebalan terhadap
segala macam ilmu sihir. Maka, melihat sikap lawan, Suma Ciang Bun tertawa
halus.
"Hemmm,
kalian tidak perlu menjual segala macam sulap dan sihir di depanku.”
Dua orang
tosu itu terkejut dan pada saat itu, Gangga Dewi yang sudah tak terpengaruh
sihir, menerjang dengan hebat, disusul Suma Ciang Bun yang menggerakkan
sepasang pedangnya. Tiga orang itu terpaksa memutar senjata sambil mundur.
Akan tetapi,
Ang-I Moli yang licik sudah meloncat ke dekat tubuh Yo Han yang masih pingsan.
Ia menyambar tubuh itu dan dipanggulnya dengan tangan kiri, lalu ia berteriak
nyaring,
"Hentikan
perlawanan kalian atau aku akan membunuh anak ini!"
Mendengar
ucapan itu, Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi terkejut, menahan pedang mereka dan
memandang ke arah Ang-I Moli. Mereka melihat betapa wanita iblis itu telah
memanggul tubuh Yo Han dan sedang mengancamkan pedangnya ke dekat leher anak
itu. Melihat ini, Gangga Dewi menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dia
dan penolongnya ini bergerak, tentu wanita iblis itu tidak akan ragu-ragu untuk
membunuh Yo Han.
"Sudahlah,
biarkan mereka pergi," katanya lirih, namun tegas dan penuh wibawa.
Suma Ciang
Bun mengerutkan alisnya. Ketika datang tadi, dia melihat anak itu ditampar
pingsan oleh wanita berpakaian merah dan ia bisa menduga bahwa wanita yang
gagah perkasa itu tentu melindungi Si Anak sehingga ia dikeroyok. Sekarang,
setelah anak itu ditawan dan diancam, wanita itu merasa tidak berdaya dan
terpaksa menyerah.
"Mari
kita pergi!" Ang-I Moli berkata kepada dua orang suheng-nya dan ia pun
meloncat jauh membawa tubuh Yo Han yang masih pingsan. Dua orang takoh
Pek-lian-kauw juga cepat-cepat mengejar karena mereka juga merasa jeri setelah
Suma Ciang Bun muncul membantu Gangga Dewi.
Melihat
betapa tiga orang itu melarikan anak yang dipondong Si Iblis Betina berpakaian
merah, Suma Ciang Bun merasa gelisah. "Tapi... mereka membawa pergi anak
itu...!" katanya khawatir sambil kakinya melangkah ke depan dengan maksud
untuk melakukan pengejaran.
"Jangan
dikejar!" kata Gangga Dewi mantap. "Kalau dikejar justru akan
membahayakan keselamatan nyawanya. Dan lagi, aku percaya Yo Han mampu menjaga
dirinya."
"Yo
Han? Yo... Han...? Anak itu...?"
Gangga Dewi
memandang tajam. "Engkau mengenal Yo Han?"
"Kalau
benar Yo Han yang kau maksudkan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia pernah
tinggal bersamaku di sini..."
"Ahhh,
kalau begitu engkau tentu Suma Ciang Bun!" kata Gangga Dewi dengan girang.
Suma Ciang
Bun menatap wajah wanita yang gagah perkasa itu. "Benar, dan... kalau
boleh aku mengetahui... siapakah... ehhh, Nyonya ini...?"
Gangga Dewi
memandang dengan wajah berubah kemerahan, matanya bersinar-sinar dan hatinya
dicekam keharuan yang hampir membuat dia menangis. Ingin memang dia menangis!
Suma Ciang Bun memang nampak jauh lebih tua dari pada tiga puluhan tahun yang
lalu. Akan tetapi masih tampan, masih lembut dan canggung pemalu!
"Ciang
Bun... kau... benarkah engkau sudah lupa kepadaku?" tanyanya.
Wanita yang
berhati keras ini telah mampu mengendalikan perasaannya. Meski hatinya
menjerit, namun dia dengan gagah dapat menahan diri. Sungguh hal ini
menunjukkan betapa Gangga Dewi kini sudah menjadi seorang wanita yang lebih
kuat hatinya lagi dibandingkan dahulu.
Di waktu
mudanya, sebagai seorang gadis yang menuruni jiwa petualang ayah ibunya, dia
pernah merantau ke timur dan dalam perantauannya itulah dia pernah mengalami
peristiwa bersama Suma Ciang Bun, peristiwa yang membuat ia tidak dapat
melupakan pria ini selama hidupnya.
Dalam
perantauannya itu, ketika itu ia baru berusia delapan belas tahun, ia menyamar
sebagai seorang pria dan mengganti namanya menjadi Ganggananda. Dan ia bertemu
dengan Ciang Bun yang menyangka dia seorang pria. Diam-diam dia jatuh cinta
kepada Suma Ciang Bun yang gagah perkasa.
Mereka
bersahabat. Kemudian, ia pun mendapat kenyataan bahwa Ciang Bun ternyata juga
mencintanya, tetapi mencintanya bukan sebagai Gangga Dewi, melainkan sebagai
Ganggananda! Ternyata cucu Pendekar Sakti Pulau Es itu memiliki suatu kelainan,
yaitu tidak suka berdekatan dengan wanita, melainkan suka kepada sesama pria!
Ciang Bun
jatuh cinta kepadanya secara aneh, yaitu karena ia disangka pria. Ia tahu akan
hal itu dari Suma Hui, kakak dari Suma Ciang Bun. Ketika ia menyatakan sendiri,
membuka rahasia dirinya kepada Suma Ciang Bun, dan mendengar pengakuan Ciang
Bun bahwa pemuda itu mencinta dirinya sebagai pria, bukan sebagai wanita, Gangga
Dewi lalu melarikan diri.
Bagaimana
mungkin ia hidup bersama seorang pemuda yang mencintanya sebagai pria, betapa
besar pun ia mencinta pemuda itu? Ia lari meninggalkan Ciang Bun, lalu kembali
ke Bhutan dengan hati hancur dan luka karena cinta yang gagal. Karena itulah,
ia menurut saja saat ayah dan ibunya menjodohkan ia dengan seorang panglima
muda di Bhutan, panglima yang masih murid ayahnya sendiri dan seorang pria
Bhutan yang gagah perkasa.
Ia berusaha
untuk melupakan Ciang Bun. Sampai suaminya tewas di dalam perang dan ia sudah
mempunyai dua orang anak yang sudah dinikahkannya pula, kemudian sampai ia
pergi lagi ke timur untuk mencari ayahnya, ia sudah hampir tidak pernah ingat
lagi kepada Suma Ciang Bun.
Siapa kira,
ia lalu bertemu Yo Han dan anak itulah yang mengajaknya menemui Suma Ciang Bun
untuk bertanya di mana ia dapat menemukan ayahnya. Dan ketika Yo Han menyebut
nama Suma Ciang Bun, dapat dibayangkan betapa rasa kagetnya. Dan kini, ia telah
berhadapan dengan bekas kekasih hatinya itu.
Suma Cian
Bun menatap wajah Gangga Dewi dengan sinar mata keheranan dan penuh pertanyaan.
Dia sudah tidak dapat mengingat lagi wajah wanita perkasa yang berdiri di
depannya ini.
Seorang
wanita yang cantik dan gagah. Rambutnya sudah beruban, namun wajahnya masih
segar dan nampak muda. Pakaiannya dari sutera kuning, juga rambut beruban yang
mengkilap dan tebal panjang itu ditutup kerudung sutera kuning. Namun hiasan
rambutnya yang berbentuk burung merak masih dapat terlihat karena kerudung itu
tipis. Wajah yang cantik, membayangkan ketabahan dan semangat yang amat kuat.
Akan tetapi,
ia tetap tidak dapat mengingat wajah ini, apa lagi karena jarang ia bergaul
dengan wanita. Dia merasa heran sekali mendengar betapa wanita ini tadi
menyebut namanya sedemikian akrabnya. Hanya di dalam hatinya ada keyakinan
bahwa ia seperti pernah mengenal sinar mata itu, sepasang mata yang lebar dan
jernih sekali, juga tajam berwibawa.
"Siapa...
siapakah Nyonya? Aku... rasanya pernah bertemu, tapi aku lupa lagi di mana dan
kapan..."
Gangga Dewi
tidak merasa menyesal atau kecewa. Ada baiknya kalau Suma Ciang Bun
melupakannya. Dahulu dia selalu teringat kepada Suma Ciang Bun dengan hati
penuh iba dan ia selalu membayangkan betapa hancur hati pemuda itu akibat
ditinggalkannya, betapa pemuda itu tentu merana dan hidup sengsara. Kalau Suma
Ciang Bun dapat melupakannya, maka hal itu sungguh baik sekali.
Akan tetapi,
ia melihat betapa sinar mata pria ini jelas menunjukkan betapa dia telah
menderita banyak sekali. Matanya begitu redup dan ada kesedihan mendalam yang
tak pernah hapus dari batinnya.
"Ciang
Bun, aku dari Bhutan!" ia membantu ingatan bekas kekasih hatinya itu.
Tiba-tiba
mata itu terbelalak, sinarnya penuh pengenalan. Wajah itu mendadak menjadi
pucat sekali, bibir itu gemetar dan beberapa kali bergerak tanpa suara, kedua
tangan dikembangkan dan agaknya Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya
untuk akhirnya dapat mengeluarkan suara. Dan bagaikan air bah yang membanjir
karena jebol tanggulnya, dari dalam dadanya menghambur suara yang tidak jelas.
"Gangga...
kau Gangga... Gangga Dewi...!" Dan dia pun menubruk wanita itu.
Gangga Dewi
membiarkan dirinya dirangkul dan ia pun balas memeluk.
"Ciang
Bun...!"
Ia harus
mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melindungi tubuhnya ketika merasa betapa
dekapan itu sangat kuatnya. Akan remuklah tulang-tulang iganya kalau ia tidak
mengerahkan tenaga, dan dengan hati penuh iba ia pun berbisik, "... aku
Ganggananda, Ciang Bun."
"Gangga
Dewi... engkau Gangga Dewi...!" hanya itu yang dapat diucapkan Ciang Bun.
Wanita itu
merasa jantungnya seperti diremas-remas ketika ia menengadah dan melihat betapa
air mata bercucuran dari kedua mata pria gagah perkasa itu. Suma Ciang Bun
menangis! Menangis seperti seorang wanita.
Gangga Dewi
merasa semakin terharu, Ciang Bun mencium dahi dan rambutnya dan ia dapat
merasakan detak jantung yang penuh kasih sayang dalam dada pria itu.
"Ya
Tuhan, terima kasih, terima kasih bahwa engkau telah mempertemukan aku kembali
dengan Gangga-ku... Ahhh, Gangga Dewi, betapa aku rindu kepadamu..."
"Aku
pun rindu kepadamu, Ciang Bun. Akan tetapi kepada siapakah engkau rindu? Gangga
Dewi ataukah Ganggananda...?"
"Sama
saja, Gangga, sama saja. Aku mencintamu, mencinta pribadimu, tidak peduli
engkau pria atau wanita...”
Kembali Suma
Ciang Bun mencium dahi Gangga Dewi dengan penuh cinta kasih dan Gangga Dewi
merasa betapa ada air mata membasahi dahinya dan menuruni pipinya. Jawaban itu
melegakan hatinya dan ia pun balas merangkul. Betapa keadaan seperti ini sering
kali terjadi dalam mimpinya ketika dulu, betapa ia merindukan rangkulan pria
ini.
Akan tetapi,
tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan keluhan perlahan dan dia pun segera melepaskan
rangkulan, kemudian melangkah ke belakang dan pada saat Gangga Dewi memandang,
ia melihat wajah itu basah air mata yang masih menetes turun, dan wajah itu
kembali pucat, mulutnya bergerak-gerak gugup.
"Aih,
Gangga Dewi... kau maafkan aku... ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Gangga,
maafkan aku... maafkan aku..." Dan kini Ciang Bun menangis sambil menutupi
muka dengan kedua tangannya.
Gangga Dewi
memandang dan wajahnya sendiri berubah pucat. Kiranya Ciang Bun masih seperti
dulu! Masih menangis cengeng bagai seorang wanita lemah, dan agaknya merasa
menyesal atas sikapnya yang penuh kehangatan dan kemesraan tadi karena ia
muncul sebagai wanita. Agaknya Ciang Bun teringat lagi bahwa ia seorang wanita
dan menyesali perbuatannya tadi. Perasaan kecewa yang membuat hatinya nyeri
langsung terasa oleh Gangga Dewi.
"Ciang
Bun," katanya dan suaranya kini kering dan tegas. "Katakan mengapa
engkau minta maaf? Mengapa? Katakan…"
Ciang Bun
menurunkan kedua tangannya dan memandang dengan mata merah. Ia pun sudah bisa
menguasai hatinya, tidak menangis lagi meski kedua matanya masih basah.
"Gangga
Dewi, maafkanlah kelemahanku tadi. Sesungguhnya barusan aku telah lupa diri,
saking haru dan girangku bertemu denganmu. Aku telah melakukan hal yang tidak
pantas, tidak sopan. Aku lupa bahwa engkau bukanlah Gangga Dewi yang dahulu
lagi, engkau seorang yang telah bersuami, berumah tangga. Aku sudah mendengar
bahwa engkau kini menjadi seorang isteri yang berbahagia di Bhutan, dengan
anak-anakmu. Ahhh, aku ikut merasa girang bahwa engkau hidup berbahagia,
Gangga."
Gangga Dewi
tersenyum. Hatinya senang karena ternyata Ciang Bun tidak minta maaf sebagai
tanda bahwa penyakitnya yang dulu masih ada, melainkan minta maaf karena
teringat bahwa ia seorang yang telah bersuami. Hal ini wajar, bahkan baik
sekali, tanda bahwa pria ini masih dapat menguasai gelora nafsunya.
"Dan
engkau sendiri bagaimana, Ciang Bun?" tanyanya, sikapnya tenang, juga
Ciang Bun agaknya sudah mampu menguasai hatinya dan kini mereka berdiri saling
pandang dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin menjenguk isi hati
masing-masing.
Mendengar
pertanyaan itu, Ciang Bun menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Aku
masih hidup sendirian, Gangga. Sejak engkau pergi, aku telah kehilangan
segala-galanya dan aku lalu hidup mengasingkan diri di sini. Gangga Dewi,
bagaimana dengan suami dan anak-anakmu? Kenapa pula engkau melakukan perjalanan
seorang diri dan bersama Yo Han?"
"Ciang
Bun, aku pergi meninggalkan Bhutan. Aku sekarang juga hidup sendirian seperti
engkau. Suamiku telah lama meninggal dalam perang. Kedua orang anakku juga
sudah berumah tangga dan hidup berbahagia dengan keluarga masing-masing. Aku
kesepian. Ibu telah meninggal dan ayahku telah lama meninggalkan Bhutan. Aku
lalu pergi untuk mencari ayahku, dan dalam perjalanan aku bertemu Yo Han.
Dialah yang mengajak aku ke sini karena dia berkata bahwa engkau tentu tahu di
mana adanya ayahku"
"Ahhh...!
Yo Han telah dilarikan orang jahat. Kita harus cepat mengejarnya Gangga. Kita
harus menyelamatkannya dari tangan mereka. Nanti saja kita bicara lagi, yang
penting sekarang kita harus menolong Yo Han!" Suma Ciang Bun yang teringat
kepada Yo Han meloncat jauh ke depan untuk melakukan pengejaran.
"Tahan
dulu...!" Suma Ciang Bun melihat bayangan kuning berkelebat mendahuluinya
dan Gangga Dewi sudah berdiri di depannya menghalanginya.
Suma Ciang
Bun mengerutkan alisnya. "Yo Han terjatuh di tangan orang-orang jahat, nyawanya
terancam bahaya dan kini aku hendak mengejar serta menolongnya. Kenapa engkau
mencegahku, Gangga Dewi?"
"Kenapa
engkau hendak menolong Yo Han?"
“Tentu saja!
Aku sayang padanya. Ia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin
Hong. Meski anak lain yang tidak kukenal sekali pun, sudah sepatutnya
kubebaskan dari tangan orang-orang jahat itu. Apa lagi Yo Han!" Suma Ciang
Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi Gangga Dewi menghadangnya.
"Nanti
dulu, Suma Ciang Bun. Tenanglah dan mari kita bicarakan dengan kepala dingin.
Kau kira aku tidak sayang kepada Yo Han? Walau belum lama kami saling
berkenalan, namun anak itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bahkan aku
suka dan ingin mengambilnya sebagai murid. Justru karena kita sayang kepadanya,
kita tidak boleh melakukan pengejaran secara langsung, karena hal ini bahkan
akan membahayakan dirinya. Kalau Ang-I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan
pengejaran, ia tidak akan ragu untuk segera membunuh Yo Han! Kau tahu, Ciang
Bun, perkenalanku dengan Yo Han justru ketika aku merampasnya dari cengkeraman
Ang-I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas anak itu kembali dari tanganku,
dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak menyelamatkan Yo
Han, kita harus menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!”
Suma Ciang
Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Ia berada
dalam pemainan gelombang perasaan. Ketika ia tadi mendengar bahwa Gangga Dewi
kini hidup seorang diri, sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan
luar biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul dengan adanya suatu harapan
baru. Akan tetapi kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri Yo
Han. Sekarang menghadapi sikap Gangga Dewi yang sedemikian tegas dan tenang,
dia merasa sama sekali tak berdaya, seperti seorang bawahan menghadapi
atasannya!
"Kurasa
engkau benar, Gangga Dewi. Baiklah, aku menurut saja bagaimana baiknya untuk
dapat menolong Yo Han."
"Kita
membayangi mereka dari jarak jauh dan menjaga agar mereka jangan sampai tahu
bahwa kita membayangi mereka. Kita mendekati mereka dan mencari kesempatan baik
untuk turun tangan, suatu penyerbuan mendadak sehingga mereka tidak mempunyai
kesempatan untuk membunuh Yo Han."
"Akan
tetapi, kalau kita berlambat-lambat, aku khawatir mereka akan mengganggu dan
membunuh Yo Han dan kita akan terlambat."
Gangga Dewi
menggeleng kepalanya. "Engkau, tidak mengenal betul siapa Yo Han. Aku
sendiri pun masih terheran-heran dan takjub melihat keadaan anak itu. Dia mampu
menjaga dirinya sendiri. Dia memiliki kekuatan yang ajaib. Mari kita mulai
membayangi mereka dan akan kuceritakan semua tentang keanehan Yo Han dalam
perjalanan."
"Karena
pengejaran ini mungkin makan waktu lama, biarlah aku akan membawa bekal pakaian
dulu, Gangga. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Mari!"
Keduanya
lalu berlari mendaki lereng dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pondok
sederhana yang kokoh, yang terletak di dataran dekat puncak, sebuah tempat yang
amat indah pemandangan alamnya dan sejuk sekali hawanya.
"Alangkah
indahnya tempat ini..." Gangga Dewi memuji.
Dengan wajah
berseri ia memandang ke empat penjuru dari tempat ketinggian itu, dan dengan
tarikan napas panjang menghisap hawa udara yang jernih, sejuk dan harum karena
di sekitar tempat itu terdapat banyak sekali pohon dan tumbuh-tumbuhan yang
sedang berkembang.
Suma Ciang
Bun hanya tersenyum gembira dan mencatat ucapan Gangga Dewi itu di dalam
hatinya. Dia lalu membawa pakaian dalam buntalannya dan tidak lama kemudian
mereka berdua sudah menuruni puncak dengan ilmu berlari cepat mereka. Biar pun
tak mengeluarkan suara, keduanya merasa betapa ada kebahagiaan besar
menyelubungi hati mereka ketika mereka melakukan perjalanan bersama seperti
itu. Tanah dalam hati mereka yang tadinya hampir mengering itu seolah-olah
tersiram embun pagi yang sejuk, menerima siraman air yang membuat tanah itu
hidup kembali dan bunga-bunga cinta yang tadinya seperti layu kini mekar
kembali.
Mereka
melakukan pengejaran dan mencari jejak Ang-I Moli yang melarikan Yo Han dan
sepanjang perjalanan ini, mereka saling menceritakan pengalaman mereka sejak
mereka saling berpisah kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu!
Setelah
mendengarkan Ciang Bun menceritakan semua pengalamannya, Gangga Dewi merasa
terharu sekali. Sekarang ia merasa yakin bahwa Ciang Bun memang mencinta
dirinya. Bukan hanya mencintanya sebagai seorang pemuda yang dulu memakai nama
samaran Ganggananda, melainkan mencintainya dengan tulus walau pun sudah tahu
bahwa ia seorang wanita, bukan pria seperti yang disangkanya semula.
Ciang Bun
rela hidup menyendiri, tidak lagi mau mencari pasangan, baik pria mau pun
wanita. Ia merasa terharu, akan tetapi tidak memperlihatkannya.
"Gangga,
sekarang giliranmu untuk bercerita. Semenjak tadi aku ingin sekali mendengar
mengenai semua pengalamanmu mulai kita saling berpisah sampai sekarang."
Mereka
bercakap-cakap di dalam sebuah goa di mana mereka terpaksa melewatkan malam.
Jejak Ang-I Moli yang mereka dapatkan melewati bukit itu dan karena malam itu
gelap, mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan dan terpaksa melewatkan malam
di goa itu. Mereka membuat api unggun, dan setelah makan malam, yaitu makan
roti dan daging kering yang dibawa oleh Ciang Bun dan minum air jernih yang
dibawa Gangga sebagai bekal, mereka lalu bercakap-cakap.
"Baiklah,
Ciang Bun. Pengalamanku jauh lebih menyenangkan dari pada pengalaman dirimu,
walau pun berakhir dengan perasaan kesepian juga."
Ia kemudian
menceritakan mengenai pernikahannya dengan seorang panglima Bhutan, hidup
berbahagia sampai mempunyai dua orang anak. Akan tetapi setelah kedua orang
anaknya berumah tangga, dan suaminya tewas di dalam medan perang, ia pun merasa
kesepian sekali.
"Sudah
bertahun-tahun ayah meninggalkan Bhutan, semenjak ibu meninggal. Aku ingin
sekali bertemu dengan ayah, maka aku lalu meninggalkan Bhutan dan pergi
mencarinya di timur. Dalam perjalanan inilah aku bertemu dengan Yo Han yang
sedang terancam keselamatannya oleh Ang-I Moli itu. Aku menolong Yo Han dan
berhasil mengusir Ang-I Moli. Ketika mendengar bahwa guru Yo Han yang pertama
yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid ayahku, tentu saja aku menganggap Yo
Han seperti warga sendiri. Dia yang mengajak aku ke sini untuk menemuimu,
karena menurut Yo Han, engkau tentu tahu di mana ayahku berada. Nah, sekarang
katakan, di manakah ayahku, Ciang Bun? Engkau tahu siapa ayahku, bukan?"
Suma Ciang
Bun menarik napas panjang. Wajahnya yang tampan itu nampak muram. "Tentu
saja aku tahu siapa ayahmu, Gangga. Ayahmu dahulu terkenal dengan julukan Si
Jari Maut, bernama Wan Tek Hoat dan lalu menjadi hwesio dengan julukan Tiong
Khi Hwesio. Benarkah?"
"Benar,
dan ayahku selalu memuji-muji keluarga Pulau Es. Di mana dia sekarang?"
"Ketahuilah,
Gangga Dewi. Kurang lebih lima tahun yang lalu, ayahmu pergi ke Istana Gurun
Pasir, dan tinggal di sana bersama Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dengan
isterinya..."
"Bibi
Wan Ceng, saudara seayah dari ayahku?" Gangga Dewi memotong.
"Benar,
Gangga. Tiga orang tua itu tinggal di Istana Gurun Pasir, hidup dengan tenteram
dan bahagia, bahkan mereka bertiga mengambil Tan Sin Hong sebagai murid. Betapa
beruntung pendekar itu, sekaligus menjadi murid mereka bertiga."
"Ahhh!
Kalau begitu, ayahku kini masih di sana?"
Ciang Bun
menarik napas panjang dan sampai lama tidak dapat menjawab, karena dia merasa
ragu untuk menerangkan keadaan yang sesungguhnya.
"Ciang
Bun, jawablah! Aku bukan anak kecil lagi, aku siap untuk mendengar berita apa
pun. Masih hidupkah ayahku? Dan apakah dia masih berada di Istana Gurun
Pasir?"
Setelah
beberapa kali menarik napas panjang, Suma Ciang Bun lalu berkata, "Terjadi
hal yang menyedihkan dan juga amat menggemaskan, Gangga. Tiga orang tua itu
telah mengasingkan diri di tempat sunyi itu dan tak mau lagi mencampuri urusan
dunia, hidup dengan tenang tenteram. Akan tetapi, orang-orang yang dulu pernah
mereka kalahkan atau mereka basmi, yaitu orang-orang sesat dari dunia hitam,
agaknya masih menaruh dendam. Orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw,
beserta beberapa orang datuk sesat lainnya, telah menyerbu Istana Gurun Pasir
dan mengeroyok tiga orang tua itu. Akibatnya, meski pun pihak pengeroyok itu
banyak yang terluka dan tewas, namun tiga orang Locianpwe itu juga tewas... ah,
maafkan aku, Gangga Dewi, telah menyampaikan berita duka ini."
Akan tetapi
Gangga Dewi sama sekali tidak nampak berduka atau terkejut, bahkan ia mengepal
tinju dan bangkit berdiri. Wajahnya yang tertimpa api unggun itu kemerahan dan
cantik sekali, gagah pula, dan matanya bersinar-sinar.
"Bukan
berita duka, Ciang Bun! Aku bahkan bangga mendengar ayah tewas seperti itu.
Sungguh sesuai dengan wataknya yang gagah. Apa lagi tewas dalam menentang para
datuk sesat bersama Bibi Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak,
aku tidak berduka, apa lagi ayah memang telah berusia lanjut. Aku bangga karena
dia mati secara gagah perkasa! Akan tetapi aku penasaran kepada mereka yang
melakukan penyerbuan itu. Sungguh pengecut dan curang! Mengeroyok tiga orang
yang sudah tua dan yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
"Begitulah
watak orang-orang jahat dari dunia sesat, Gangga."
"Siapakah
mereka itu? Kalau engkau tahu, sebutkan namanya satu demi satu, aku akan pergi
mencarinya dan membunuh mereka!" kata Gangga Dewi dengan marah.
"Tenanglah,
Gangga. Mereka semua sudah tidak ada lagi. Seorang demi seorang telah tewas
oleh para pendekar muda, termasuk Tan Sin Hong."
"Oh ya,
mengapa Tan Sin Hong diam saja ketika tiga orang gurunya dikeroyok? Apakah dia
tidak membantu, dan kalau demikian, mengapa, dia dapat lolos dan hidup? Apakah
dia melarikan diri?"
"Sama
sekali tidak. Pada waktu peristiwa penyerbuan itu terjadi, baru saja Sin Hong
menerima sebuah ilmu dari tiga orang gurunya, bahkan menerima pengoperan tenaga
gabungan mereka. Selama setahun Sin Hong harus memperdalam ilmu itu dan ia sama
sekali tidak boleh menggunakan sinkang, karena kalau hal itu dilanggar, dia
akan tewas oleh tenaganya sendiri! Itulah sebabnya dia tidak mampu membela
ketika tiga orang gurunya dikeroyok. Dia ditawan, akan tetapi mampu meloloskan diri
dan bersembunyi untuk menyelesaikan ilmu baru itu selama setahun. Setelah itu,
baru dia pergi mencari mereka yang membunuh tiga orang gurunya. Akhirnya,
setelah bekerja sama dengan para pendekar muda lainnya, dia berhasil menewaskan
para penjahat itu. Dia bekerja sama dengan para pendekar muda keturunan Istana
Pulau Es dan Istana Gurun Pasir."
Gangga Dewi
mengangguk-angguk. "Ahhh puaslah rasa hatiku. Kematian ayah sudah
dibersihkan dari penasaran oleh para pendekar keluarga Istana Pulau Es dan
Istana Gurun Pasir! Sungguh merupakan suatu kehormatan besar sekali dan aku
ikut merasa bangga dan berbahagia. Tentu arwah ayah akan merasa bangga dan puas
pula. Ingin aku berjumpa dan mengucapkan rasa terima kasihku kepada Tan Sin
Hong. Dia masih terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri. Namun,
bagaimana aku dapat bertemu dengan dia tanpa membawa Yo Han, muridnya yang
terculik penjahat? Mari, Ciang Bun, kita percepat usaha kita mencari jejak
iblis betina itu."
Mereka lalu
berlari cepat dan tiga hari kemudian baru mereka mendapatkan jejak Ang-I Moli.
Mereka mendapatkan keterangan dari penduduk sebuah dusun di kaki bukit. Tidak
begitu sukar mencari jejak Ang-I Moli dan dua orang tosu itu. Ang-I Moli adalah
seorang wanita cantik yang selalu menggunakan pakaian merah. Keadaannya
menyolok sekali dan orang yang berjumpa dengannya tidak mudah melupakannya.
Jejak itu
menuju ke Propinsi Hu-nan di sebelah selatan. Mereka melakukan pengejaran
terus, sementara hubungan mereka menjadi semakin akrab. Dua orang setengah baya
ini merasa seperti menjadi muda kembali dan mereka terkenang akan masa lalu
ketika mereka masih sama muda dan juga melakukan perjalanan bersama.
Akan tetapi
sekarang perasaan mereka lebih mendalam dibandingkan dahulu karena sekarang
agaknya Suma Ciang Bun telah sembuh dari kelainan yang dideritanya. Atau
mungkin juga dia tidak berubah, hanya karena sifat Gangga Dewi yang gagah
perkasa, keras dan bahkan ‘jantan’ itu yang membuat Ciang Bun semakin jatuh
cinta. Andai kata sikap Gangga Dewi lunak dan penuh kewanitaan, belum tentu ia
akan merasa demikian tertarik dan jatuh cinta untuk ke dua kalinya. Kalau
dahulu dia mencinta Ganggananda, kini dia benar-benar mencinta Gangga Dewi
sebagai wanita.
Ketika
Gangga Dewi menceritakan tentang keadaan Yo Han yang aneh, Suma Ciang Bun
termenung. Mereka menghadapi api unggun di sebuah kuil kosong di luar sebuah
dusun di mana mereka terpaksa harus melewatkan malam karena di dusun itu tidak
ada rumah penginapan.
"Sungguh
luar biasa sekali anak itu," katanya termenung. "Dahulu ketika dia
dititipkan kepadaku oleh Sin Hong, aku hanya melihat dia sebagai seorang anak
yang luar biasa cerdiknya, berwatak halus dan berpemandangan terlalu dewasa dan
luas bagi seorang anak berusia tujuh tahun. Memang sudah menonjol dan aku amat
sayang kepadanya, akan tetapi belum memperlihatkan sesuatu yang aneh. Dia tidak
pernah berlatih silat akan tetapi luka beracun dan kekuatan sihir tidak
mempengaruhinya? Hebat!"
"Aku
melihat sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu, Ciang Bun. Akan tetapi dia
tidak mau menceritakan riwayatnya. Sebetulnya, anak siapakah dia?"
Suma Ciang
Bun menghela napas panjang dan sejenak menatap wajah wanita yang sangat
dicintanya itu.
"Aihhh,
dunia ini penuh dengan penderitaan. Bahkan orang yang baik hati nampaknya lebih
banyak menderita ketimbang orang yang menyeleweng dari kebenaran. Mungkin
memang demikianlah keadaannya yang wajar. Orang jahat menjadi hamba nafsu, dan
penghambaan nafsu ini tampaknya mendatangkan kesenangan. Tentu saja kesenangan
duniawi yang palsu. Ayah kandung Yo Han adalah seorang laki-laki bernama Yo
Jin, dia seorang petani yang jujur dan tidak pandai silat. Akan tetapi juga
seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tak berkedip takut menghadapi
ancaman maut, berani menentang kejahatan. Bahkan sikapnya yang jantan itulah
yang menjatuhkan seorang tokoh sesat, seorang iblis betina cantik yang terkenal
dengan sebutan Bi Kwi (Setan Cantik). Bukan hanya menjatuhkan hatinya, akan
tetapi setelah mereka menjadi suami isteri, Bi Kwi yang tadinya terkenal
sebagai seorang tokoh sesat yang sangat jahat dan kejam itu menjadi sadar sama
sekali! Dia ikut suaminya menjadi seorang petani di dusun yang mencuci
tangannya dari segala macam kekerasan."
"Luar
biasa dan menarik sekali!"
"Nah,
mereka menikah dan lahirlah Yo Han! Suami isteri itu telah bersepakat untuk
tidak memperkenalkan putera mereka itu dengan kekerasan dan kehidupan dunia
persilatan. Mereka tidak mengajarkan ilmu silat kepada Yo Han. Tentu saja hal
ini terpengaruh oleh sikap Yo Jin yang tidak suka akan kekerasan, dan juga oleh
pengalaman-pengalaman pahit dari Bi Kwi selama ia menjadi tokoh sesat dalam
dunia kang-ouw."
"Keputusan
yang bijaksana," Gangga Dewi memuji.
"Akan
tetapi, latar belakang kehidupan Bi Kwi tidak membiarkan dia hidup tenang dan
tenteram. Ada saja penjahat yang menginginkan tenaganya, dan orang-orang jahat
itu menculik Yo Han yang baru berusia tujuh tahun, bahkan menculik Yo Jin pula.
Karena suami dan puteranya diculik penjahat yang memaksa dia membantu golongan
sesat, terpaksa Bi Kwi terjun lagi ke dunia kang-ouw. Suami isteri itu berhasil
menukar diri mereka dengan putera mereka yang dibebaskan dan Yo Han diserahkan
kepada Tan Sin Hong oleh ayah dan ibunya. Sin Hong menitipkan Yo Han kepadaku,
dan dia sendiri bersama para pendekar lalu membasmi penjahat di mana terdapat
pula pembunuh-pembunuh yang membunuh kakek dan nenek penghuni Istana Gurun
Pasir, termasuk ayahmu itu. Dan dalam pertempuran itu, ayah dan ibu Yo Han yang
juga membalik dan membantu para pendekar menentang golongan sesat yang tadinya
mereka bantu demi menyelamatkan putera mereka, tewas sehingga Yo Han menjadi
seorang yatim-piatu."
Gangga Dewi
berulang kali menghela napas panjang.
"Omitohud...!
Betapa penuh kekerasan kehidupan manusia di dunia ini. Sekarang aku mengerti
mengapa Yo Han tidak pernah mau melatih ilmu silat walau pun dia memiliki suhu
dan subo yang berkepandaian tinggi seperti Tan Sin Hong dan Kao Hong Li itu. Hanya
yang tetap membuat aku heran, bagaimana dia dapat mempunyai kekuatan aneh yang
dapat menolak pengaruh racun dan ilmu sihir. Sungguh aneh sekali!"
"Hal
itu tentu akan dapat kita ketahui kelak kalau kita sudah berhasil
membebaskannya dari tangan Ang-I Moli," kata Suma Ciang Bun.
"Mudah-mudahan
saja kita tidak akan terlambat," kata Gangga Dewi.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan kuil tua itu dan
melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat untuk melakukan pengejaran dan
mencari Yo Han yang diculik Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya dari
Pek-lian-kauw itu.
**************
Siang itu
cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di
puncak bukit itu yang biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang
telah puluhan tahun umurnya, kini nampak terang ditembusi cahaya matahari yang
kuat. Di langit tidak ada mendung, hanya ada awan-awan putih berserakan di sana
sini, tidak menghalangi kecerahan sinar matahari, bahkan menjadi hiasan langit
yang indah.
Tepat pada
tengah hari, nampaklah bayangan-bayangan orang berkelebat memasuki hutan itu.
Hutan yang biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan
orang-orang yang memiliki gerakan yang amat ringan dan cekatan.
Mula-mula
nampak seorang tosu. Umurnya sekitar lima puluh tahun dengan sebatang pedang di
punggung. Tosu tinggi kurus itu muncul dengan loncatan yang ringan, berada di
atas lapangan rumput yang dikurung oleh pohon-pohon tinggi dan dia memandang ke
sekeliling.
Pandang
matanya yang tajam sudah melihat adanya beberapa sosok bayangan orang yang
bergerak dengan cepat dan sekarang suasana nampak sunyi kembali.
Bayangan-bayangan itu agaknya sudah menyelinap dan bersembunyi di balik
pohon-pohon besar atau semak belukar.
Setelah
memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan ia pun berseru
dengan suara lantang karena dia mengerahkan khikang-nya hingga suaranya
langsung keluar dari perut dan terdengar melengking nyaring.
"Sejak
kapan orang-orang Go-bi-pai menjadi pengecut? Sesudah orang yang diundang
datang memenuhi tantangan, kenapa malah bersembunyi-sembunyi? Keluarlah, orang
orang Go-bi-pai. Pinto (aku) dari Kun-lun-pai sudah datang memenuhi
tantanganmu!"
Belum lagi
lenyap gema suara itu, nampak sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah
pohon besar. Dengan ringan sekali tubuh itu berjungkir balik beberapa kali dan
seorang kakek berusia enam puluh tahun berpakaian seperti seorang petani
sederhana telah berdiri di depan tosu Kun-lun-pai itu. Tubuhnya tegap dan kaki
tangannya kokoh kuat seperti biasa tubuh seorang petani yang biasa bekerja
keras. Kulitnya juga coklat terbakar matahari.
"Siancai...!"
Tosu Kun-lun-pai itu berseru, sedang matanya bersinar penuh kemarahan.
"Kiranya Go-bi Nung-jin (Petani Gobi) yang muncul! Hemmm, engkau petani
yang biasa berwatak jujur, katakan, sejak kapan Go-bi-pai memusuhi Kun-lun-pai
dan mengirim tantangan? Pinto (aku) mewakili Kun-lun-pai untuk menyambut
tantangan Go-bi-pai itu!"
"Ciang
Tosu, apa artinya kata-katamu itu? Kami tidak pernah dan tidak akan memusuhi
Kun-lun-pai. Kedatanganku ke sini pada saat ini bukan sebagai penantang, bahkan
aku mewakili Go-bi-pai untuk menyambut tantangan Bu-tong-pai!" Kemudian
kakek petani itu memandang ke sekelilingnya dan dengan lantang dia pun
berteriak, "Di mana orang orang Bu-tong-pai yang telah berani mengirim
tantangan kepada Go-bi-pai? Nah, aku datang mewakili Go-bi-pai untuk menerima
tantangan itu!"
Tentu saja
Ciang Tosu dari Kun-lun-pai merasa heran bukan main, akan tetapi sebelum ia
dapat berkata sesuatu, nampak bayangan berkelebat keluar dari balik semak
belukar dan di situ telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia
empat puluh tahun lebih.
Orang ini
berpakaian bagai seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang
pedang. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah, matanya tajam memandang pada
kakek petani yang tadi menantang Bu-tong-pai. Sikap orang ini hormat, mungkin
karena dia merasa lebih muda. Dia lalu mengangkat kedua tangan di depan dada
menghadapi kakek petani Go-bi Nung-jin.
"Go-bi
Nung-jin adalah seorang pendekar Go-bi-pai yang amat gagah. Dan selama ini
Bu-tong-pai selalu memandang hormat dan menganggap Go-bi-pai sebagai saudara.
Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai, bahkan saya datang ke sini sebagai wakil
dari Bu-tong-pai untuk menghadapi tantangan yang kami terima dari
Siauw-lim-pai! Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai atau partai persilatan
mana pun juga."
Setelah
berkata demikian kepada Go-bi Nung-jin yang menjadi terheran-heran, wakil
Bu-tong-pai itu pun sekarang memandang ke sekeliling lalu berseru dengan
pengerahan khikang-nya.
"Orang-orang
Siauw-lim-pai, dengarlah baik-baik! Kalian sudah menantang Bu-tong-pai dan
inilah aku, Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai mewakili partai kami untuk menerima
tantangan kalian!"
Mendengar
ucapan wakil Bu-tong-pai ini, Go-bi Nung-jin dan Ciang Tosu lantas saling
pandang dengan heran. Dan pada saat itu terdengar suara halus namun terdengar
jelas dan menggetarkan.
"Omitohud...!
Agaknya dunia sudah akan kiamat! Apa yang terjadi sungguh aneh!" Dan
muncullah seorang hwesio berusia lima puluhan tahun.
Phoa Cin Su
murid Bu-tong-pai segera memberi hormat. "Kiranya Loan Hu Hwesio yang
datang mewakili Siauw-lim-pai yang menantang Bu-tong-pai. Nah, saya yang mewakili
Bu-tong-pai untuk menerima tantangan yang membuat kami merasa penasaran sekali
itu!" Karena Phoa Cin Su agaknya sudah mengenal benar siapa hwesio
Siauw-lim-pai ini, dia pun segera meloloskan pedangnya dari pinggang dan siap
untuk bertanding!
Akan tetapi
hwesio Siauw-lim-pai itu malah merangkap kedua tangan di depan dadanya.
"Omitohud...! Phoa-sicu harap bersabar dulu. Ketahuilah bahwa
Siauw-lim-pai selalu memandang Bu-tong-pai dengan hormat dan sebagai rekan,
bagaimana Siauw-lim-pai dapat mengirim tantangan? Pinceng (aku) datang ini pun
sebagai wakil Siauw-lim-pai yang menerima tantangan dari Kun-Lun-pai!"
Tentu saja
wakil-wakil dari empat perkumpulan atau partai persilatan terbesar di seluruh
negeri itu menjadi terheran-heran mendengar ini. Kun-lun-pai menerima tantangan
dari Go-bi-pai, lalu Go-bi-pai menerima tantangan dari Bu-tong-pai, sedangkan
Bu-tong-pai menerima tantangan dari Siauw-lim-pai dan kini Siauw-lim-pai
menerima tantangan dari Kun-lun-pai Apa artinya semua ini?
"Siancai...!"
Ciang Tosu berseru heran. "Bagaimana kami bisa menantang Siauw-lim-pai
yang kami anggap sebagai sahabat dan juga sumber segala ilmu yang kami miliki?
Itu tidak mungkin sama sekali!”
“Omitohud,
demikian pula Siauw-lim-pai tak pernah menantang Bu-tong-pai," kata Loan
Hu Hwesio dari Siauw-lim-pai.
"Saya
juga berani memastikan bahwa Bu-tong-pai tidak pernah menantang
Go-bi-pai," kata Phoa Cin Su.
"Dan
Go-bi-pai juga tidak mungkin menantang Kun-lun-pai!" kata Go-bi Nung-jin.
"Omitohud..."
Sekarang hwesio Siauw-lim-pai itu mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Harap Cu-wi bersabar dulu. Para suhu pimpinan di Siauw-lim-pai tidak
mungkin keliru. Ketika mengutus pinceng turun gunung memenuhi tantangan itu,
pinceng sendiri melihat surat tantangan yang ditandai dengan cap dari
Kun-lun-pai."
Ciang Tosu
dari Kun-lun-pai, Phoa Cin Su dari Bu-tong-pai, beserta Go-bi Nung-jin dari
Go-bi-pai serempak menyatakan, bahwa mereka pun melihat keaslian surat
tantangan yang diterima pimpinan masing-masing. Surat-surat tantangan itu pun
memakai tanda cap dari partai yang menantang.
"Omitohud...!
Kalau begitu, tentu ada pemalsuan. Ada pihak lain yang sengaja mengirim
surat-surat tantangan itu untuk mengadu domba atau hendak mengacau keadaan.
Kita harus waspada!"
Tiba-tiba
terdengar suara tawa bergelak. Suara ini bergema ke empat penjuru sehingga
sukar diketahui dari mana asal suara itu. Empat orang wakil dari empat
perkumpulan silat besar itu maklum bahwa ada orang pandai muncul, maka mereka
pun sudah siap siaga.
Phoa Cin Su
sudah mencabut pedang. Ciang Tosu juga sudah mencabut pedang dari punggungnya.
Sedangkan Go-bi Nung-jin menyambar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang
cangkul yang gagangnya lurus seperti toya, dan hwesio Siauw-lim-pai yang tidak
pernah bersenjata itu siap dengan pengerahan sinkang dan setiap urat syarafnya
menegang. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang yang
memiliki tingkat kedua dari perguruan masing-masing.
"Ha-ha-ha-ha-ha...!"
Suara ketawa yang bergema di empat penjuru itu disusul oleh kata-kata yang juga
mengandung getaran kuat. "Kalian berempat bagaikan tikus-tikus yang
terjepit!"
Tiba-tiba
saja muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi besar
dan bermuka merah. Dia mengenakan jubah lebar yang berwarna merah pula.
Pakaiannya seperti seorang pendeta, tapi rambutnya digelung rapi dan mengkilap
bekas minyak, dan jepitan rambutnya merupakan perhiasan dari emas permata yang
mahal. Akan tetapi di balik jubah merah itu nampak pula baju ketat sulaman
benang perak yang gemerlapan.
Di antara
empat orang tokoh partai-partai persilatan besar itu, hanya Loan Hu Hwesio yang
mengenal orang ini. Hwesio ini menjura dengan sikap hormat kepada kakek tinggi
besar bermuka merah itu.
"Ahhh,
kiranya Lauw Enghiong (Orang Gagah she Lauw) yang datang. Tidak tahu apa
alasannya maka engkau datang-datang memaki kami empat orang wakil partai-partai
persilatan?"
"Huhh!"
kakek tinggi besar itu mendengus dengan sikap mengejek. "Apa lagi kalian
ini jika bukan tikus-tikus pengkhianat bangsa, atau anjing-anjing, penjilat
penjajah Mancu?"
Phoa Cin Su,
jago dari Bu-tong-pai itu menjadi merah mukanya karena marah. "Loan Hu
Hwesio, siapakah orang yang sombong dan bermulut lancang ini?"
Hwesio
Siauw-lim-pai itu belum menjawab, kakek tinggi besar itu sudah mendahuluinya.
"Kalian wakil-wakil Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai. Ketahuilah
bahwa kini kalian berhadapan dengan aku Lauw Kang Hui, wakil Ketua
Thian-li-pang!"
Tiga orang
itu terkejut. Tentu saja mereka sudah mendengar nama besar perkumpulan
Thian-li-pang, sebuah perkumpulan orang-orang yang menamakan diri mereka
patriot dan yang dengan gigih menentang pemerintah, yaitu penjajah Mancu dan
memberontak di mana-mana untuk menjatuhkan pemerintah penjajah. Akan tetapi di
antara para anak buah Thian-li-pang, banyak pula yang melakukan penyelewengan.
Mereka melakukan kejahatan mengandalkan kekuatan mereka, mengganggu rakyat
dengan perampokan dan pemerasan. Maka, dari empat buah perkumpulan persilatan
besar itu, tentu sudah pernah murid-murid mereka bentrok dengan orang-orang
Thian-li-pang yang melakukan kejahatan.
"Siancai,
kalau begitu agaknya Thian-li-pang yang membuat undangan palsu kepada kami
empat perguruan tinggi. Benarkah begitu?" kata Ciang Tosu dari
Kun-lun-pai.
"Ha-ha-ha,
memang tepat! Kami yang membuat undangan palsu. Empat perguruan silat seperti
perkumpulan kalian itu hanyalah perkumpulan pengkhianat dan pengecut. Kalian
tidak menentang penjajah, tidak mau bekerja sama dengan kami, bahkan menentang
kami dan banyak sudah anak buah kami yang tewas di tangan kalian!"
"Hemmm,
apa anehnya hal itu? Kami bukanlah perkumpulan pemberontak, kami tidak
mempunyai urusan dengan pemberontakan. Kalau murid-murid kami menentang
murid-murid Thian-li-pang, tentu bukan perkumpulan atau pemberontakannya yang
ditentang, melainkan perbuatan jahat yang dilakukan oleh para murid
Thian-li-pang. Kami adalah perkumpulan para pendekar yang menentang kejahatan,
kapan saja, di mana saja dan dilakukan siapa saja!" kata Go-bi Nung-jin.
"Benar
sekali itu!" kata Phoa Cin Su. "Murid-murid kami pernah menentang
anggota Thian-li-pang, bukan karena mereka memberontak terhadap pemerintah,
tetapi karena mereka itu merampok dan memeras rakyat jelata!"
"Ha-ha-ha,
sudah berada di ambang maut, kalian masih berani bermulut besar! Kalian
berempat bersiaplah untuk mampus dan kelak menjadi penyebab pertentangan antara
perkumpulan kalian sendiri!"
Lauw Kang
Hui tertawa dan pada saat itu muncullah seorang wanita cantik yang bukan lain
adalah Ang-I Moli Tee Kui Cu dan dua orang suheng-nya dari Pek-lian-kauw, yaitu
Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Munculnya tiga orang ini disusul munculnya
belasan orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang mengepung tempat itu!
"Omitohud...!"
kata Loan Hu Hwesio pada saat melihat orang-orang Pek-lian-kauw yang dapat
dikenal dari gambar teratai putih di bagian dada mereka. "Kiranya
Thian-li-pang bersekongkol pula dengan perkumpulan siluman jahat dan agama
palsu Pek-lian-kauw!"
"Kepung!
Bunuh mereka!" Lauw Kang Hui sudah memberi aba-aba.
Dia sendiri
sudah mencabut sebatang golok besar dan menyerang Loan Hu Hwesio! Golok besar
yang berat itu menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar perak yang amat
kuat menyambar ke arah leher Loan Hu Hwesio.
Pendeta
Siauw-lim-pai ini cepat mengelak dengan menundukkan muka dan menggeser kakinya
sehingga tubuhnya mendoyong ke kanan dan dari jurusan ini, lengan kirinya
meluncur dan dari jari tangannya menghantam ke arah lambung lawan. Lauw Kang
Hui mengelebatkan goloknya menyambut hantaman ini sehingga terpaksa Loan Hu
Hwesio menarik kembali lengannya yang diancam babatan golok, lalu kakinya yang
menendang dengan cepat dan kuat ke arah perut lawan.
Hebat memang
gerakan silat tangan kosong dari hwesio Siauw-lim-pai ini dan memang ilmu silat
Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat yang paling tua dan bahkan telah menjadi
sumber dari pada ilmu-ilmu silat lainnya.
Tapi Lauw
Kang Hui bukan seorang lemah. Dia juga sudah mempelajari banyak macam ilmu
silat, di antaranya ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai sehingga ia bisa mengenal
gerakan lawan, maka dia dapat menjaga diri dan membalas dengan dahsyat pula.
Terjadilah
serang menyerang yang seru antara dua orang ini. Akan tetapi ada beberapa orang
anggota Thian-li-pang yang membantu wakil ketua mereka sehingga hwesio dari
Siauw-lim-pai ini dikeroyok dan terdesak hebat. Dia hanya bersenjatakan kaki
tangan dibantu dua ujung lengan bajunya yang longgar dan panjang.
Ang-I Moli
sudah menerjang Phoa Cin Su, jagoan Bu-tong-pai dengan pedangnya. Phoa Cin Su
menyambut dengan pedang pula, maka kedua orang ini pun segera bertarung dengan
seru. Seperti juga Lauw Kang Hui, wanita ini dibantu oleh lima orang anggota
Thian-li-pang sehingga tentu saja Phoa Cin Su segera terdesak. Menghadapi Ang-I
Moli seorang saja dia sudah menemukan tanding yang tidak ringan, apa lagi kini
dikeroyok!
Ciang Tosu
dikeroyok oleh Kwan Thian-cu yang menggunakan golok, bersama Kwan Thian-cu yang
masih dibantu oleh lima orang anggota Pek-lian-kauw sehingga tosu dari
Kun-lun-pai itu pun terdesak hebat. Sementara itu, Kui Thian-cu dan lima orang
anggota Pek-lian-kauw lainnya telah mengepung dan mengeroyok Go-bi Nung-jin
yang memakai senjata cangkul.
Memang Lauw
Kang Hui yang mengirim surat tantangan kepada empat penguruan itu telah
merencanakan siasatnya lebih dahulu sehingga kini empat orang itu terkurung dan
dikeroyok sesuai yang telah direncanakan.
Setelah
usaha Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar gagal, juga usaha mereka untuk
mengajak Siang Hong-houw bersekongkol membunuh Kaisar tidak berhasil pula
bahkan mereka kehilangan Ciang Sun, tokoh Thian-li-pang yang tewas dalam
usahanya untuk membunuh Kaisar, Thian-li-pang kemudian menggunakan siasat lain.
Para pimpinannya berkumpul dan mengatur rencana.
Pertama,
mereka mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw, agama sesat yang juga
merupakan perkumpulan yang memberontak terhadap pemerintah. Kedua, mereka
merencanakan siasat adu domba untuk mengacaukan dunia persilatan sehingga para
pendekar dari empat perguruan silat yang besar akan saling bermusuhan dan tidak
ada kesempatan lagi untuk menentang mereka dan membantu pemerintah kalau mereka
melancarkan gerakan pemberontakan.
Demikianlah,
surat tantangan kepada empat buah perkumpulan besar itu diatur dan kini para
wakil empat perkumpulan itu dikepung dan dikeroyok, dipimpin oieh Lauw Kang Hui
yang menjadi wakil Ketua Thian-li-pang.
Pek-lian-kauw
diwakili oleh Ang-I Moli, Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu dengan sepuluh orang
anggota Pek-lian-kauw lainnya untuk membantu gerakan menjebak para tokoh dari
empat perkumpulan besar itu.
Seperti kita
ketahui, Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya itu melarikan diri dari kejaran
Gangga Dewi yang dibantu Suma Ciang Bun. Ia menculik Yo Han dan membawa anak
itu melarikan diri. Mereka berhasil lolos dari pengejaran dua orang sakti itu
dan tiba di sarang Pek-lian-kauw yang kebetulan sekali sedang menerima para
pimpinan Thian-li-pang untuk mengadakan persekutuan.
Ketika empat
orang wakil pimpinan para perguruan besar itu dikeroyok, Ang-I Moli yang tidak
pernah melepaskan Yo Han dari pengawasannya, menggantung anak itu di atas
pohon!
Yo Han dapat
melihat dan mendengar semua yang terjadi, akan tetapi biar pun hatinya merasa
penasaran dan marah, dia tidak berdaya. Kaki tangannya terbelenggu dan dia
digantung jungkir balik di cabang pohon yang tinggi itu! Dia hanya dapat
menonton dan mendengarkan, dan hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat betapa
kejahatan mengganas tanpa dia dapat berbuat sesuatu.
Makin nampak
olehnya betapa jahat orang-orang yang memiliki ilmu silat, dan betapa celaka
orang-orang yang berada di pihak kebenaran apa bila mereka menjadi pendekar
silat. Andai kata empat orang itu merupakan orang-orang biasa, petani-petani
yang tidak pandai ilmu silat, tidak mungkin kini mereka dikeroyok oleh
orang-orang yang baginya nampak seperti serigala-serigala yang haus darah itu!
Akhirnya
terjadi apa yang dikhawatirkan Yo Han yang tidak berdaya itu. Mula-mula Loan Hu
Hwesio yang roboh.
Seperti juga
tiga orang tokoh lainnya, setelah dikeroyok selama lima puluh jurus yang
dipertahankannya dengan mati-matian, Loan Hu Hwesio sudah menderita luka-luka.
Pada suatu saat yang baik, dia berhasil memukulkan dua tangannya ke arah dada
Lauw Kang Hui dengan pengerahan tenaga sekuatnya tanpa mempedulikan lagi
perlindungan diri sendiri. Dia ingin mengadu nyawa dengan wakil Ketua
Thian-li-pang itu. Pukulannya berhasil mengenai sasarannya dengan tepat sekali.
"Bukkkk...!"
Kedua
telapak tangan itu mengenai dada yang bidang dari Lauw Kang Hui. Tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Loan Hu Hwesio ketika kedua telapak
tangannya bertemu dengan benda yang keras dan kuat sekali. Ketika dua tangannya
menghantam dada, Lauw Kang Hui sama sekali tidak mengelak bahkan membarengi
dengan gerakan goloknya ke arah lambung lawan. Dan hanya sedetik setelah kedua
tangan hwesio itu menghantam dada, ujung golok juga menyabet lambung dan
merobek lambung perut Loan Hu Hwesio!
Lauw Kang
Hui terhuyung ke belakang oleh pukulan itu, akan tetapi Loan Hu Hwesio terkulai
roboh mandi darah! Wakil Ketua Thian-li-pang itu tidak terluka karena di balik
jubah merahnya dia sudah menggunakan baju ketat dari sulaman benang perak yang
membuat tubuhnya kebal!
"Jangan
bunuh dulu!" bentak Lauw Kang Hui kepada para pembantunya yang tadinya
hendak menghujankan senjata karena marah. Beberapa orang kawan mereka yang
mengeroyok juga tadi dirobohkan hwesio yang lihai itu.
Robohnya
Loan Hu Hwesio yang terluka parah disusul robohnya Ciang Tosu oleh Kwan
Thian-cu dan teman-temannya. Ciang Tosu roboh dengan luka parah pada lehernya,
membuat dia roboh pingsan dengan darah mengucur keluar dari luka itu. Phoa Cin
Su juga roboh oleh tusukan pedang Ang-I Moli pada dadanya, sedangkan Go-bi
Nung-jin yang tadi mengamuk dengan hebat, roboh pula oleh bacokan pedang Kui
Thian-cu yang mengenai pinggangnya.
Seperti juga
Lauw Kang Hui, tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu melarang anak buah mereka
membunuh orang yang dikeroyok dan telah roboh terluka parah. Kemudian, Lauw
Kang Hui memberi isyarat kepada tiga orang sekutunya. Mereka mengangguk.
Kwan
Thian-cu lalu mengambil cangkul yang tadi dipergunakan Go-bi Nung-jin sebagai
senjata dan dengan senjata ini dia lalu menghantam ke arah kepala Ciang Tosu,
tokoh Kun-lun-pai yang sudah roboh tak berdaya ini. Tanpa dapat mengeluarkan
keluhan lagi. Ciang Tosu yang dihantam cangkul itu tewas dengan kepala luka
besar oleh cangkul.
Kini Kui
Thian-cu mengambil pedang milik Phoa Cin Su dan dengan pedang itu dia pun
menyerang kepala Go-bi Nung-jin. Tokoh dari Go-bi-pai ini pun langsung tewas
seketika dengan kepala terluka hebat oleh pedang itu.
Lauw Kang
Hui yang tadi merobohkan Loan Hu Hwesio mempergunakan pedang milik Ciang Tosu
dari Kun-lun-pai tadi untuk membunuh bekas lawannya itu dengan melukai
kepalanya pula. Kini tinggallah Poa Cin Su.
Karena
mereka mengatur siasat agar empat orang saling bunuh sesuai dengan bunyi surat
tantangan masing-masing, maka seharusnya Phoa Cin Su murid dari Bu-tong-pai
terbunuh oleh murid Siauw-lim-pai yang mengirim surat tantangan. Akan tetapi
Loan Hu Hwesio tidak pernah menggunakan senjata, maka Ang-I Moli merasa
ragu-ragu bagai mana harus membunuh murid Bu-tong-pai itu.
"Mudah
saja," kata Lauw Kang Hui sambil tersenyum. "Aku pernah mempelajari
ilmu pukulan Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja) dari Siauw-lim-pai. Biarlah aku
memukul dia dengan ilmu itu."
Lauw Kang
Hui lalu menghampiri tubuh Phoa Cin Su yang sudah tergolek dan terluka parah
tanpa mampu bangkit lagi itu. Dia lalu menggerak-gerakkan jari tangan kanannya
sehingga terdengar bunyi berkerotokan, lalu dipukulkannya telapak tangan
kanannya ke arah kepala Phoa Cin Su. Terdengar suara keras dan kepala itu pun
menjadi retak, dan Phoa Cin Su tewas seketika. Ada tanda telapak tangan dengan sebagian
jari-jarinya pada pipi dan pelipis yang terpukul!
Walau pun
dia harus beberapa kali memejamkan mata karena merasa ngeri, Yo Han dapat
melihat semua itu. Dia seorang anak yang cerdik, maka setelah melihat dan
mendengar kesemuanya itu, dia pun mengerti apa yang menjadi siasat keji dari
orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Diam-diam dia merasa penasaran
bukan main.
Bahaya besar
mengancam keamanan negeri, pikirnya. Tentu dua gerombolan penjahat yang
bersekutu itu akan mengirimkan mayat-mayat itu sebagai bukti kepada perguruan
masing-masing yang telah menerima surat tantangan, sehingga dengan demikian
maka empat perguruan besar itu akan saling bermusuhan! Sungguh tipu muslihat
yang amat jahat dan kejam.
Dia melihat
betapa mereka membawa pergi mayat-mayat itu, akan tetapi dia tak dapat menahan
kemarahannya.
"Ang-I
Moli! Engkau sudah membiarkan dirimu terseret ke dalam perbuatan yang paling
keji dan jahat yang pernah kulihat! Apakah engkau tidak takut akan akibat dari
semua perbuatanmu itu? Tuhan pasti akan menghukummu, Ang-I Moli!"
Suara anak
itu lantang sekali, mengejutkan Lauw Kang Hui yang tak pernah tahu bahwa Ang-I
Moli datang membawa anak kecil yang kini digantung di pohon. Dia menoleh dan
melihat anak yang tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia pun terbelalak.
"Moli,
siapa dia?"
Ang-I Moli
tersenyum. "Aihh, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!”
Wanita ini
lalu meloncat ke atas pohon, melepaskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit
tubuh anak itu lalu membawanya meloncat turun.
Sementara
itu, pada waktu Ang-I Moli sibuk menurunkan Yo Han tadi, Lauw Kang Hui
mendengar dari dua orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu adalah seorang anak
luar biasa dan Ang-I Moli hendak menghisap darah anak itu untuk memenuhi
persyaratan melatih ilmu rahasianya. Lauw Kang Hui merasa tertarik sekali, maka
ketika Ang-I Moli sudah menurunkan Yo Han, dia cepat menghampiri.
Kini Yo Han
sudah diturunkan dan anak itu berdiri dengan gagah walau pun tubuhnya terasa
nyeri semua dan kepalanya masih pening karena terlalu lama digantung terbalik.
Lauw Kang Hui melihat sepasang mata yang begitu jernih akan tetapi juga tajam
tanpa dibayangi takut sedikit pun.
“Anak baik,
siapa namamu?” tanyanya
“Namaku Yo
Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berkedudukan tinggi,
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, tetapi mengapa melakukan perbuatan
yang demikian keji dan pengecut?”
Kembali Lauw
Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini! Begitu
beraninya. Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.
“Moli,
titipkan anak itu kepada kedua suheng-mu. Aku ingin bicara penting denganmu,”
kata Lauw Kang Hui.
“Ada urusan
apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?” bertanya Moli setelah mereka pergi agak jauh
agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain, terutama Yo Han. Biar pun
dia wakil Ketua Thian-li-pang, namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.
“Kuharap
engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah kau
tawan?”
Ang-I Moli
tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. “Aih, itu urusan pribadiku,
Lauw Pangcu. Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urusan pribadi orang?”
Dia tersenyum dan melirik manja.
“Katakan
saja terus terang. Bukankah engkau hendak menghisap darahnya untuk dapat
memenuhi persyaratan engkau mempelajari sebuah ilmu rahasia?”
Ang-I Moli
terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suheng-nya yang berdiri di sana
sambil menjaga Yo Han.
“Hemmm,
tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya kepadamu!”
“Apa
salahnya, Moli? Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang.”
“Benar, Lauw
Pangcu.”
“Kalau
begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu
berikan saja kepadaku!”
Ang-I Moli
menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik, lalu dengan alis
berkerut ia berkata, “Hemmm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu
sama harganya dengan dua belas orang perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu
kecil. Aku harus menanti satu dua tahun lagi...”
“Kalau
begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan
sehat! Dan akan kupilihkan mereka yang telah agak dewasa sehingga engkau tak
perlu menanti sampai satu dua tahun lagi. Anak itu bertingkah aneh, tentu akan
repot sekali menawannya selama satu dua tahun. Bagaimana?”
Tawaran ini
menarik hati Moli. Memang dia sering kali merasa jengkel dengan Yo Han. Setelah
melarikan anak ini selama kurang lebih tiga bulan, dia sampai bosan mencoba
menjatuhkan anak ini ke dalam pelukannya. Berbagai macam cara sudah dia
gunakan. Dengan sihir bantuan dua orang suheng-nya. Dengan ramuan obat dan
racun. Dengan totokan. Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya.
Sihir dan
racun agaknya tak mempengaruhi anak itu. Juga ancaman, siksaan dan bujuk rayu
tidak mempan! Untuk mendapatkan darah anak itu melalui penghisapan darahnya
melalui mulut begitu saja, selain ia merasa muak juga daya gunanya banyak
berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh anak itu.
“Hemmm,
usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang,
kuharap engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo
Han?”
Lauw Kang
Hui menghela napas panjang. “Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi
kedudukan atau tingkatnya di Thian-li-pang?”
“Tentu saja
Ouw Pangcu, suheng-mu,” jawab Ang-I Moli tanpa ragu lagi. “Kalau bukan Sang
Ketua yang paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi?”
“Bukan dia.”
“Ah, aku
tahu. Tentu guru kalian, Locianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan
tetapi dia sudah tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?”
“Memang Suhu
tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi dari pada suheng
dan aku. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu.”
“Wah, kalau
begitu aku tidak tahu lagi.”
“Yang paling
tinggi tingkatnya di antara kami di Thian-li-pang adalah Supek (Uwa Guru)
Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)!”
“Ahhh...?
Tapi... bukankah beliau sudah... sudah tidak ada lagi?”
“Tidak ada
di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang
baru-baru ini memesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang
berbakat luar biasa, aku harus membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika
aku melihat Yo Han, aku tertarik dan siapa tahu, anak seperti itulah yang
dicari Supek.”
“Lauw
Pangcu, aku senang sekali dapat membantu Locianpwe Thian-te Tok-ong! Siapa tahu
kelak beliau suka membantuku kembali sebagai imbalan jasaku.”
“Hemm,
bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?”
“Ilmu
rahasia yang akan kulatih merupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku
hendak memohon bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong supaya mau membuatkan obat
penawarnya.”
“Baik, akan
kusampaikan kepada Supek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan suka
membantu.”
Tepat
seperti yang sudah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh
perguruan-perguruan silat besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya
bedanya, bukan seluruh mayatnya yang dikirim, namun hanya kepalanya saja!
Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara direndam sehingga tidak membusuk,
lalu dimasukkan ke dalam guci besar dan ditutup rapat, kemudian dimasukkan
dalam peti lalu dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok
(kantor pengiriman barang).
Bisa
dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu saat menerima kiriman kepala.
Petugas piauw-kiok mengaku sesuai dengan pesanan pengirim peti itu. Pengirim
peti ke Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim) mengatakan bahwa orang yang mengirim peti
itu mengaku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. Petugas pengirim peti untuk
Kun-lun-pai mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai, dan petugas pengiriman
peti untuk Go-bi-pai mengaku disuruh seorang murid Bu-tong-pai, serta petugas
pengiriman peti untuk Bu-tong-pai mengaku disuruh seorang murid Siauw-lim-pai.
Tentu saja
para murid perguruan-perguruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula
para ketua masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para
pengirim barang itu.
Ketika
mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua lalu mengirim murid-murid
terpandai untuk memenuhi undangan di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri
apakah benar ada tantangan seperti dalam surat yang telah mereka terima. Kini,
murid-murid itu kembali hanya tinggal kepala saja dan pada saat mereka
melakukan pemeriksaan, jelas bahwa murid-murid itu memang tewas oleh senjata
lawan dari perguruan yang mengirim tantangan.
Biar pun
sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih
belum yakin benar. Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa
perguruan yang mengirim tantangan adalah dari golongan bersih, para pendekar
yang tidak pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan bersahabat erat. Bagaimana
tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan sekarang melakukan pembunuhan terhadap
murid yang mereka utus untuk memenuhi undangan di Bukit Naga itu? Bagaimana pun
juga, telah terbukti bahwa murid mereka tewas.
Biar pun
para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi
kemarahan dan sakit hati mereka. Mulailah terjadi bentrokan-bentrokan di antara
empat partai persilatan besar itu. Setiap kali terjadi pertemuan, maka
murid-murid Kun-lun-pai menyerang murid-murid Go-bi-pai, Go-bi-pai akan
menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-lim-pai dan sebaliknya
Siauw-lim-pai menyerang Kun-lun-pai.
Terjadi
beberapa kali bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka
mau pun yang tewas. Dan sesudah terjadi bentrokan-bentrokan itu, mau tidak mau
para pimpinan partai masing-masing ikut pula terseret. Dan mulailah terjadi
pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu, persis seperti apa
yang diinginkan Thian-li-pang yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw…..
**************
Yo Han
diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang-I Moli. Sebagai gantinya, wanita iblis
itu oleh Lauw Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja seperti yang dia janjikan.
Remaja-remaja itu satu demi satu mati kehabisan darah dalam pelukan iblis
betina itu.
Yo Han
diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Ia diperlakukan dengan baik,
bahkan Lauw Kang Hui terus membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa
Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot yang hendak membebaskan bangsa
dan tanah air dari tangan penjajah Mancu. Namun, semua itu percuma.
Yo Han tidak
dapat melupakan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan
bagaimana pun juga, dia tetap menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang
bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu muslihat dan kejam. Dia sudah banyak
membaca tentang para pahlawan yang dengan setulusnya hati berjuang membela
tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri.
Akan tetapi,
apa yang diperlihatkan orang-orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tak ada
hubungannya sama sekali dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman
penjajah! Bahkan Thian-li-pang telah mengadu domba antara perguruan-perguruan
silat besar yang terdiri dari bangsa sendiri! Setiap orang pendekar pasti tidak
setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu.
Dan
Thian-li-pang juga bersekutu dengan orang-orang seperti Ang-I Moli dan dua
orang suheng-nya, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, ia sendiri sudah
membuktikan sendiri betapa jahatnya Ang-I Moli! Oleh karena itu, biar pun dia
diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan dibujuk dengan omongan manis,
tetap saja dia tidak percaya pada perkumpulan ini.
Di dalam
perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak kuat,
dengan perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal laksana benteng.
Perkampungan di lereng bukit itu luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan
tidak kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-li-pang tinggal di situ.
Mereka setiap hari latihan silat dan berbaris.
Ketika dia
dihadapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw
Ban yang berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang kepada Yo Han seperti
orang menaksir seekor kuda yang akan dibelinya.
“Namamu Yo
Han?” tanya Sang Ketua, suaranya parau dan besar.
Yo Han memandang
kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat kekuningan seperti orang
berpenyakitan itu. Dia mengangguk. “Benar, namaku Yo Han.”
“Engkau mau
menjadi murid Thian-li-pang?” tanya pula ketua itu.
Yo Han
memandangnya dengan sinar mata tajam. Dengan tegas dia menggelengkan kepala,
lalu menjawab. “Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat,
kejam dan pengecut!”
Ouw Ban
membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. “Dan kau bilang anak
ini luar biasa?”
Lauw Kang
Hui tersenyum. “Suheng, bukankah sikapnya yang luar biasa pemberani ini
menunjukkan keluar biasaannya?”
“Huh, kita
lihat saja sampai di mana keluar biasaannya. Bocah sombong, cobalah kau sambut
ini!”
Mendadak
saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main. Saking
cepatnya, gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak dan tahu-tahu telapak
tangan itu telah mengenai tengkuk Yo Han.
“Plakk!”
Tubuh Yo Han
yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu roboh pingsan.
“Suheng! Kau
membunuhnya?” tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu berlutut
memeriksa anak itu.
“Hemmm,
kalau dia mati pun lebih baik dari pada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak
macam itu kau katakan luar biasa?” kata Ketua Thian-li-pang.
Lauw Kang
Hui mendapat kenyataan bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bangkit
lagi berdiri dan memandang kepada kakak seperguruannya.
“Suheng,
keluar biasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan
dewasa, akan tetapi juga menurut keterangan Ang-I Moli, anak ini kebal terhadap
racun dan tidak dapat dipengaruhi sihir.”
“Ha-ha-ha,
apakah engkau tidak mengenal orang macam apa adanya Ang-I Moli, Sute? Engkau
dikibuli saja! Masa anak semacam ini ditukar dengan dua belas orang pemuda
remaja yang pilihan. Engkau sungguh bodoh, Sute.”
“Kurasa ia
tidak berani mempermainkan aku, Suheng. Bagaimana pun juga, biarlah dia kubawa
menghadap Supek, dan biarlah Supek saja yang menentukan apakah anak ini memenuhi
syarat ataukah tidak.”
“Sute,
agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya? Engkau hendak
menyuapnya supaya engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat
kepandaianmu akan melampaui aku?”
Lauw Kang
Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang kepada
wajah suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehh? Kenapa engkau menyangka buruk
seperti itu, Suheng? Suheng sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk
mencarikan seorang anak yang luar biasa supaya Supek dapat menggemblengnya dan
kelak akan makin memperkuat Thian-li-pang.”
“Kalau
begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!” Ketua
Thian-li-pang itu mengambil sesuatu dari saku jubahnya.
“Suheng,
jangan! Ang-tok-ting (Paku Beracun Merah) itu dapat membunuhnya!” berkata Lauw
Kang Hui. “Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap sihir saja.”
Lauw Kang
Hui maklum bahwa suheng-nya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain yang
diterima menjadi murid Thian-te Tok-ong karena suheng-nya itu ingin sekali agar
puteranya sendiri yang mewarisi ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan
tetapi supek mereka menganggap bahwa Ouw Cun Ki, putera suheng-nya yang berusia
lima belas tahun itu tidak cukup berbakat.
Akan tetapi
Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah meluncurkan sebatang paku ke
arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Sinar merah kecil
menyambar sehingga Lauw Kang Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan
karena serangan itu tentu akan membunuh Yo Han.
Akan tetapi
pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han siuman dari pingsannya dan anak yang
tadinya sama sekali tidak bergerak itu bangkit duduk dan gerakan yang tidak
disengaja ini membuat sambaran paku tidak mengenai sasaran! Paku itu lewat
dekat lehernya dan menancap ke lantai, bahkan amblas ke dalam dan tidak nampak
lagi!
“Ehhhh...?”
Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran sekali.
Tangannya bergerak ke saku jubahnya lagi.
“Suheng,
tidak cukupkah itu?” Lauw Kang Hui segera memegang lengan suheng-nya, mencegah
suheng-nya menyerang lagi. “Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?”
“Huh, hanya
kebetulan saja dia siuman!”
“Sama sekali
tidak kebetulan. Nampaknya kebetulan akan tetapi justru yang kebetulan itulah
yang luar biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, barulah
Suheng boleh lakukan apa saja terhadap dirinya.”
“Sute, aku
masih penasaran!” kata Ouw Ban.
“Suheng,
jangan!” cegah Lauw Kang Hui.
Suheng dan
sute atau ketua dan wakilnya itu bersitegang dan pada saat itu terdengar suara
batuk-batuk di belakang mereka. Dua orang itu mengenal suara ini dan cepat
mereka membalik, lalu keduanya menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu...!
Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar...”
Karena Yo Han
sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul. Seorang
kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah
berwarna kelabu itu digelung ke atas seperti rambut pendeta tosu. Yang menyolok
pada wajahnya itu adalah sepasang alisnya yang amat tebal dan panjang. Pandang
matanya sayu seperti orang mengantuk.
Mendengar
dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu
kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!
“Hemm, Ouw
Ban dan Lauw Kang Hui,” kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan memandang
kepada dua orang muridnya itu silih berganti. “Entah mengapa aku ingin sekali
keluar kamar, akan tetapi begitu sampai di sini aku melihat kalian bertengkar
dan bersitegang. Heran, kalau Thian-li-pang dipimpin oleh kalian berdua, lalu
kalian saling bertengkar, apa akan jadinya dengan perkumpulan kita?” Suara
kakek itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung teguran keras.
“Maafkan,
Suhu. Teecu berdua bukan bertengkar, hanya teecu ingin menguji kebenaran
keterangan sute tentang anak ini.”
“Benar,
Suhu. Sebetulnya tadi teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini
karena teecu hendak membawanya menghadap Supek, yang sudah memesan kepada teecu
untuk mencarikan seorang anak luar biasa.”
“Anak luar
biasa...?” Ban-tok Mo-ko, kakek itu, sekarang memandang Yo Han penuh perhatian.
“Apanya yang luar biasa pada anak ini?”
“Itulah,
Suhu. Teecu juga menganggap bahwa, anak ini tidak ada apa-apanya yang luar
biasa. Sekali tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute...”
“Suhu,
Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun
dan pengaruh sihir,” kata Lauw Kang Hui.
“Ehhh?
Benarkah?” kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu mengeluarkan
sinar ketika dia mengamati wajah Yo Han.
“Teecu
hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, tapi Sute mencegahnya, maka
tadi teecu berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu.”
Kakek itu
menggerakkan tangan memberi isyarat kepada dua orang muridnya agar tidak
bersuara, kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sepasang mata
yang biasanya sayu itu kini mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus
kepala Yo Han melalui sepasang mata anak itu, kemudian terdengar suaranya
menggetar, lirih mendesis, dan jelas sekali.
“Anak baik,
siapa namamu?”
Yo Han
adalah anak yang sudah mengenal sopan santun. Sudah menjadi kebudayaan sejak
jaman dulu untuk menghormati orang yang lebih tua, apa lagi orang setua kakek
itu. Oleh karena pertanyaan kakek itu ramah dan halus, ia pun menjawab dengan
sikap hormat.
“Nama saya
Yo Han, Kek.”
Bagi orang
yang sudah biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah
menunjukkan bahwa korbannya telah masuk perangkap dan tentu akan mentaati
segala perintah. Kakek itu memandang lebih tajam dan suaranya semakin berwibawa
ketika dia berkata, dengan nada memerintah walau pun masih ramah dan halus.
“Yo Han,
kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah padaku!”
Orang yang
terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehendaknya dan
kesadarannya sendiri akan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Namun betapa
kaget dan herannya hati kakek tokoh besar Thian-lipang itu. Anak itu sama
sekali tidak mentaati perintahnya, hanya tetap berdiri dan memandang padanya
dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih.
“Maafkan,
Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan guruku,
bukan orang tuaku, bahkan bukan pula kakekku.”
Sekarang
barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sute-nya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng
kepalanya, tak habis heran. Apa kekuatan sihirnya telah punah dan kini dia
telah menjadi lemah? Padahal, selama dia mengundurkan diri dari urusan
perkumpulan dan berdiam di kamarnya, dia memperbanyak latihan semedhi sehingga
sepatutnya kalau kekuatan sihirnya semakin bertambah.
“Lauw Kang
Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!”
Dua orang
murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka dengan patuh. Dan
kini kakek itu berseru dengan nada memerintah.
“Lauw Kang
Hui dan Ouw Ban, sekarang kalian duduklah di lantai dan menangis!”
Dalam
keadaan wajar, walau pun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua
orang itu tidak akan mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil
ketua Thian-li-pang, tentu mereka tidak mau kalau disuruh menangis seperti anak
kecil tanpa sebab, bahkan seperti orang gila saja. Akan tetapi karena mereka
sudah dicengkeram pengaruh sihir yang amat kuat, begitu mendengar perintah
Ban-tok Mo-ko, mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan keduanya
menangis seperti dua orang anak kecil kehilangan barang mainan!
Tentu saja
Yo Han yang tidak mengerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek
berusia enam puluh dan enam puluh lima tahun sekarang menangis mengguguk
seperti anak-anak kecil tanpa sebab, menjadi terheran-heran dan juga penasaran
kepada orang yang memerintah kedua orang ketua itu.
“Kek,
sungguh tidak pantas sekali apa yang kau lakukan ini! Mengapa engkau menghina
murid-murid sendiri seperti ini?” Yo Han berkata dengan nada menegur.
Ban-tok
Mo-ko terkejut dan merasa heran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah
dua orang muridnya dan berkata dengan suara tenang. “Kalian bangkitlah!”
Dua orang
pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur,
nampak bingung dan tidak tahu apa yang telah terjadi.
“Yo Han,
katakan mengapa tidak pantas dan menghina?” tanya Ban-tok Mo-ko kepada anak
itu.
“Mereka ini
adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga murid-muridmu sendiri.
Akan tetapi mengapa engkau menyuruh mereka menangis seperti anak-anak kecil?
Bukankah itu tidak pantas dan menghina namanya?”
Barulah dua
orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka digunakan oleh guru mereka untuk
menguji kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh.
Namun, tadi jelas bahwa ilmu sihir itu tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok
Mo-ko juga menyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran dan kagum bukan
main.
“Kang Hui,
sebaiknya ajak anak ini menghadap supek-mu. Biar dia yang menentukan!”
Mendengar
ini, Lauw Kang Hui merasa gembira sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw Ban
tadi, dia mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak yang luar biasa ini
kepada supek-nya, yaitu hadiah sebuah ilmu baru. Bukan karena dia ingin
mengungguli suheng-nya, melainkan untuk kemajuannya sendiri.
“Mari Yo
Han, kita menghadap supek!” katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan
menariknya pergi.
Karena tidak
berdaya, meski hatinya menolak, namun Yo Han tidak dapat membantah dan dia pun
hanya menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu mendekatkan diri
kepada Tuhan. Imannya kuat karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya dan
Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan harapannya dan ia selalu
menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Maka, menghadapi
apa pun dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkandung keyakinan
akan kekuasaan Tuhan, bahwa bila Tuhan menghendaki dia harus mati sekali pun,
tidak ada kekuasaan lain yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia telah
pasrah dan menghadapi maut pun dia tidak gentar.
Lauw Kang
Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan Thian-li-pang
yang ternyata amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit yang
penuh dengan jurang dan goa. Di depan salah sebuah goa besar, Lauw Kang Hui
berhenti sambil tetap memegang tangan Yo Han. Dia tahu akan keadaan luar biasa
anak ini, maka dia tidak berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu akan
mampu meloloskan diri.
Setelah tiba
di depan goa, Lauw Kang Hui menghadap ke arah goa dan menarik tubuh Yo Han
untuk bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena
tangannya ditarik ke bawah, maka ia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui
walau pun ia tidak bermaksud untuk memberi hormat ke arah goa.
Maka ketika
wakil ketua Thian-li-pang itu mengangkat-angkat kedua tangannya di depan dada,
dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian ke arah goa. Goa itu
lebarnya ada sepuluh meter dan nampak terawat bersih seperti rumah saja. Ada
pintu di kanan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka dan nampak menghitam
gelap.
“Supek yang
mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!” Tetapi suara itu hanya bergema di
dalam goa dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun.
Lauw Kang
Hui menanti sejenak, maklum bahwa supek-nya memang tidak pernah mau diganggu
dan tidak pernah mau berhubungan dengan dunia di luar goa kalau tidak ada
keperluan yang teramat penting.
“Supek,
teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan
kepada teecu!”
Kembali
hening sejenak. Mendadak terdengar suara angin dari dalam goa dan tiba-tiba
saja tubuh Yo Han tersedot ke arah goa. Anak itu mencoba untuk mempertahankan
diri, akan tetapi tubuhnya terguling-guling seperti bola saja menggelinding ke
arah goa dan lenyap ditelan kegelapan goa.
Tak lama
kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa. “Heh-heh-heh, bagus
sekali, Kang Hui. Engkau boleh pergi sekarang!”
“Maaf,
Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang-I Moli, dan teecu sudah berjanji
kepadanya untuk mohon bantuan Supek memberikan obat penawar dari hawa beracun
pukulan yang sedang dilatihnya.”
“Heh-heh, Si
Iblis Betina Cilik Ang-I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang dia latih
itu?”
“Katanya
ilmu itu disebut Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa).”
“Wah-wah-wah,
keji sekali! Untuk menguasai ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan darah
perjaka-perjaka remaja yang sehat!”
“Tadinya
anak ini yang akan dia jadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup
karena anak ini lebih berharga dari pada dua belas orang remaja biasa.”
“Huh, iblis
betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini,
berarti aku merasa cocok dengan dia dan boleh kau serahkan obat penawar itu
kepadanya. Nah, sekarang pergilah!”
“Maaf,
Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon
sedikit petunjuk Supek agar supaya teecu mendapat kemajuan dalam ilmu silat
teecu.”
“Heh-heh-heh-heh,
engkau orang tamak! Tetapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan
kuajarkan sebuah ilmu kepadamu.”
“Terima
kasih, Supek. Terima kasih!” kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia
bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.
Sementara
itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba
di dalam goa, masih terduduk di lantai goa di dekat sepasang kaki yang kurus
dan telanjang karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu
memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada
kaki secara kasar, di masing-masing kaki.
Yo Han
merasa penasaran dan juga marah sekali. Ia adalah seorang anak yang pernah
menjadi murid suami isteri yang sakti, maka biar pun dia tidak pernah berlatih
ilmu silat, namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam.
Dia tahu
bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk
menariknya dari luar goa. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian
tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya
saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu bahwa orang ini tentu
lihai bukan main.
Akan tetapi
dia sama sekali tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia
hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu
bangkit berdiri!
Baru setelah
Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher
bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah
dijinjing pergi memasuki goa itu yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas,
seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan
duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam goa itu tidak gelap
seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga
sinar matahari dapat masuk. Juga goa itu menembus ke terowongan belakang dari
mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.
Yo Han
dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh
tangan yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang
yang membawanya ke dalam goa. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan
diam-diam Yo Han terkejut.
Seorang
kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun umurnya. Rambutnya putih seperti
kapas, tinggal sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak
mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian
kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya
sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus
bagaikan kaki tangan anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil tetapi nampak
ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan mulutnya selalu
menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!
Mereka saling
pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja
dibandingkan Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo
Han merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau
jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek
ini jauh berbeda di bandingkan Ban-tok Mo-ko.
“Heh-heh-heh,
aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?” tanya kakek itu, dan suaranya
seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah.
Yo Han
kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia tadi bicara dengan Ban-tok
Mo-ko dan dua orang muridnya, kakek ini dapat mendengarkan!
“Benar,
Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han,” jawabnya dan dia bersikap hormat
karena maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.
“Heh-heh,
dan engkau anak luar biasa?” tanya kakek itu pula.
Yo Han
merasa kesal. Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Tanpa diminta dia pun
menghampiri sebuah dipan dan naik, kemudian duduk bersila di atas dipan itu,
mulutnya cemberut.
“Orang-orang
itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup
sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan
aku anak luar biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di
dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin
melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang
pula menggangu.”
Kakek itu
terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat
gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas
dipan dan kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak
itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan
orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.
“Heh-heh-heh,
aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dia biasanya cermat dan dia haus
akan ilmu baru dariku. Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu.”
Setelah
berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan dua tangan itu sudah
memegang kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh
amat aneh. Dia tidak mampu bergerak!
Tahulah dia
bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat
aneh yang membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi
lumpuh.
Thian-te
Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari
tangannya, pijat sana, pijit sini, mengelus-elus bagian belakang kepala yang
menonjol, mengukur dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah
seperti cecak berbunyi. “Ck-ck-ck-ck!”
Kemudian,
kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut,
kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu
semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada
Yo Han.
Anak itu
merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Ia hanya
pasrah saja, tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya
bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari
kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita
celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan
memang menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk
berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat
dia gerakkan.
Yo Han
merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti
meraba-raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran,
lalu ke dadanya, juga berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.
Tiba-tiba,
ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya,
hawa panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas
lantai di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada
Yo Han yang kini mendadak mampu bergerak lagi, dan kakek itu berseru dengan
penuh takjub.
“Wah-wah-wah,
apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat
yang begini! Heiii, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid
orang-orang pandai?”
Yo Han
cemberut. “Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu
tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Tapi apa
yang kau lakukan terhadap aku yang muda? Meski pun aku pernah menjadi murid
orang pandai, akan tetapi jika Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari
ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah
belajar silat!”
“Tapi...
tapi... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!”
“Aku tidak
tahu, Locianpwe. Dan apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah
kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan?
Kekuatan yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala
sesuatu di ALAM MAYAPADA ini? Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam
tubuhku ini?”
“Wahhh! Luar
biasa! Memang engkau anak luar biasa. Engkaulah yang sudah lama kunanti, telah
lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas
menjadi orang yang kelak akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-li-pang, yang
akan membersihkan nama Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya.
Ha-ha-ha-heh-heh!”
“Locianpwe,
aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang
dirindukan itu akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu
kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan
tentu akan muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut
pengalaman para orang suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga
dan benar.”
Kakek itu
terbelalak, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini
seorang bocah, tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo
Han, apa itu yang dirindukan jiwa?”
“Apa yang
dirindukan oleh setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan
bersatu dengan samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api jika bukan kepada
api yang menjadi pusatnya? Demikianlah yang sudah kubaca. Hanya persatuan
dengan sumber inilah yang akan membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala
kesenangan yang memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?”
“Kepada
Tuhan?” kakek itu memandang heran.
“Tentu saja.
Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa?
Bukankah segala sesuatu datang dari padaNya dan sudah sepatutnya kembali
kepadaNya?”
“Wah-wah-wah...!
Engkau ini siapa sih?” katanya setengah berkelakar.
Akan tetapi
Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata,
“Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Aku ini juga setetes air
seperti Locianpwe, yang selalu merindukan samudera!”
“Hahhh?”
Kakek itu
kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang
datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, tetapi
setelah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus
mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing sebelum bisa kembali
ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya.
Dan
lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar
kembali ke samudra, ada pula yang harus melalui pencomberan, lumpur dan
kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu sesudah akhirnya kembali ke samudra,
akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka.
“Yo Han,
engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai
muridku.”
Locianpwe
ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi
muridmu.”
“Ehh? Hah?
Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun
akan suka sekali menjadi muridku!”
“Akan tetapi
aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin
dulu mengetahui. Kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan
apakah kepadaku?”
“Ha-ha-ha,
apa saja yang kau ingin pelajari!”
Kakek ini
memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki
keteguhan hati dan tidak mengenal takut. Maka dia harus tahu dulu apa yang
diinginkan dan tak diinginkan anak ini sebelum menjawab agar supaya dia tidak
sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.
“Segala
macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe,
kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat.”
Kalau tidak
cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia
ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu
silatnya dan mendidik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang
pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang. Dan sekarang, anak yang
dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja
kecuali ilmu silat!
“Heh-heh-heh,
bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan
tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?”
“Aku tidak
membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena
aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak
dan hanya mendatangkan permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini.”
“Heh-heh-heh,
cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat
kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu
sehat. Bagaimana?”
Yo Han
mengamati wajah yang kecil itu. “Tidak akan mengajarkan cara memukul dan
menendang orang, apa lagi cara membunuh?”
“Ho-ho-ho,
sama sekali tidak! Memangnya kau pikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo?
Aku suka padamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin dan pandai
menari indah!”
Yo Han
tersenyum. “Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu.” Dan anak ini lalu
menjatuhkan diri berlutut. “Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan
melayani Suhu di sini.”
“Ha-ha-ha-ha,
bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!”
Mulai hari
itu, Yo Han tinggal di dalam goa bersama gurunya. Ternyata untuk mereka sudah
dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan
untuk gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong mengajarkan ‘tari’ dan ‘senam’
kepada Yo Han.
Memang kakek
ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga buah unsur, yaitu pertama
tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan,
kesehatan lahir batin.
Dia
mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang
dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet, Tarian
Ular dan sebagainya. Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang
dahsyat.
Yo Han tekun
melatih diri dengan ‘tari-tarian’ itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah
menggembleng diri dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini,
otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara teoritis tanpa
disengaja keluar dan terkandung dalam gerak ‘tariannya’.
Kurang lebih
seminggu setelah dia berada di dalam goa itu, pada suatu malam Yo Han
dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan
semacam lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip
suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan
derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa,
namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa
betapa tengkuknya dingin sekali.
Dia segera
lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersemedhi, menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu.
“Suhu, suara
apakah yang terdengar dari arah belakang itu?” tanyanya kepada kakek itu yang
sudah membuka matanya ketika dia berlutut,
“Heh-heh,
engkau mendengar juga, Yo Han? Jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima
tahun ini kadang terdengar keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung
belakang terowongan ini.”
“Tapi...
suara apakah itu, Suhu?”
Thian-te
Tok-ong menghela napas panjang. “Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri.
Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu
merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan
mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewakili aku menurunkan
makanan ke bawah sana. Tiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman, tentu
ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur.”
“Tapi, siapa
dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?”
“Panjang
ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kau ketahui, orang itu
seperti iblis atau seperti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tidak
seorang pun mampu menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur
itu, dan andai kata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh
manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri.
Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?”
Yo Han
mengangguk kemudian menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman
yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan
sejak hari itu, dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makanan ke
sumur itu.
Sumur itu
kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi sangat dalam. Ketika dia
mencoba untuk menjenguk ke dalam, yang nampak hanyalah kehitaman belaka, hitam
pekat dan gelap sekali. Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan
sebutan ‘locianpwe’ beberapa kali, namun selalu tidak ada jawaban.
Menurut
pesan Thian-te Tok-ong, seharusnya dia melemparkan begitu saja bungkusan
makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak
kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya dengan tali dan
mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter tali yang ujungnya mengikat
buntalan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah
seperti kalau dia lemparkan!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment