Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 08
Kiranya
raksasa muka hitam itu pandai bahasa Han, dengan lancar pula! Yang lebih
membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para tamu dan mereka yang
menonton di sekeliling ruang itu, yaitu pendopo yang terbuka, menyambut ucapan
rakasasa muka hitam itu dengan tawa riuh seolah-olah mereka itu mengerti apa
yang diucapkan dalam bahasa Han.
Sian Li
masih tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-orang di situ dengan
bangsa Han sehingga bahasa Han sama sekali bukan merupakan bahasa yang asing
bagi kebanyakan dari mereka. Apa lagi banyak pula terdapat keturunan Han di
antara mereka. Segera terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum
kepada Sian Li.
“Dewi
Merah...! Dewi Merah...!”
Gangga Dewi
turut pula bergembira dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk
menghentikan keributan itu. Setelah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan
dari suaminya itu.
“Ini adalah
cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau Merah.”
Banyak orang
bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan, “Dewi Bangau
Merah! Dewi Bangau Merah!”
Suma Ciang
Bun terseret dalam kegembiraan itu dan dia pun mengumumkan, “Sebutan itu memang
tepat sekali. Namanya memang Dewi (Sian-li)!” Kembali orang bersorak.
Ketika
Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun tidak ikut bertepuk tangan,
bahkan wajah pemuda itu nampak muram, dia pun menahan senyumnya. Dia segera
mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoi-nya, akan
tetapi juga amat pencemburu sehingga kalau ada orang lain, terutama pria yang
memuji Sian Li, dia akan merasa tidak senang dan cemburu!
Gangga Dewi
kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara bising
itu pun terhenti. “Lulung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan
memberi hadiah bunga-bunga kepada kami semua!”
Lulung Ma,
Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti
biasa diperlihatkan tukang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu
dari udara dan... tiba-tiba saja kedua tangannya telah memegang masing-masing
setangkai bunga yang segar berikut beberapa helai daunnya, seolah-olah baru
saja ia memetiknya dari udara!
Akan tetapi,
ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun dan
juga Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang
memiliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat
gerak cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari
dalam lengan baju hitamnya yang longgar.
Memang
benar, Lulung Ma tidak mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan seperti
ucapannya tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya yang dapat bergerak cepat
bukan main sehingga tidak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang panjang
itu ditekuk ke dalam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan
bajunya.
Sambil
menjura ke kanan kiri menyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke
panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu kepada Gangga Dewi
dan Sian Li sambil berkata lantang.
“Bunga-bunga
yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi dan Dewi
Bangau Merah!” Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut
tepuk tangan para penonton.
Sian Lun
yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam
itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam
dan menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia betapa tadi Si Hitam ini juga
memuji Sian Li cantik bagai dewi. Maka dengan hati panas dia gunakan kesempatan
itu untuk berkata sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
“Engkau
hanya mengambil bunga-bunga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?”
Sepasang
mata yang bulat dan besar itu kini memandang pada Sian Lun dengan sinar mata
tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan
rasa tak senangnya.
Lulung Ma
lalu bangkit berdiri, memandang kepada seluruh penonton baik yang di atas
panggung mau pun yang di bawah. “Saudara sekalian, pemuda ini sudah menuduh aku
mengambil bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah tadi kalian melihat aku
mengambil sesuatu dari lengan baju?”
Serentak
terdengar jawaban, “Tidak...! Tidak...!”
Lulung Ma
kemudian tersenyum dan memandang lagi kepada Sian Lun. ”Kongcu (Tuan Muda),
apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?”
Sian Lun
diam saja. Andai kata di lengan bajunya ditaruhkan bunga lebih dahulu sekali
pun, dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat
orang. Untuk pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli
benar. Maka dia menggelengkan kepala.
“Suheng,
jangan mencari keributan!” Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.
Gangga Dewi
yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata, “Memang
dia seorang tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan
pertunjukanmu yang menarik ini!”
Lulung Ma
menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan dan
mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lirih
dan lambat. Akan tetapi Sian Li tadi sempat pula melihat betapa pemuda jangkung
yang tampan itu memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti
orang marah.
Lulung Ma
kini menggerak-gerakkan kedua tangannya, memetik dari udara, menjambak rambut
sendiri, mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap
kali tangannya bergerak, nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan tetapi
sekali ini bukan dua batang bunga segar seperti tadi melainkan berpuluh-puluh
bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lempar-lemparkan kepada para tamu dan
penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan tepuk tangan meriah dan
seruan-seruan keheranan.
Sian Li
melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya menggunakan kecepatan kedua
tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan
baju dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak
nampak oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.
Setelah
membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat mengesankan itu,
Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata, “Sekarang
hamba hendak mencoba untuk mengubah kepala hamba menjadi kepala naga, harap
Paduka memaafkan hamba.”
Mendengar
hal ini, Gangga Dewi mengangguk. Diam-diam puteri ini kagum juga kepada raksasa
hitam yang ternyata pandai itu. Mendengar bahwa orang itu hendak mengubah
kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat menduga bahwa Lulung Ma tentu seorang
ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf
kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan
kepandaiannya, maka sebelumnya dia minta maaf.
Kini Lulung
Ma menghadapi para tamu dan penonton. “Saudara sekalian harap suka tenang,
sekarang aku ingin mengubah kepalaku menjadi kepala naga!”
Lalu dalam
bahasa Han dia berkata sambil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun, “Dewi
Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!”
Dia lalu
memberi isyarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya
dengan tambur, dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan
bergemuruh seperti ada badai dan halilintar mengamuk!
Lulung Ma
menggerakkan kaki tangannya mengikuti suara tambur, dan semakin lama tubuhnya
bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriakan melengking.
“Saudara
lihatlah baik-baik, kepalaku adalah kepala naga berwarna hitam!” Kembali dia
mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi yang makin merendah menjadi
gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang
menggelegar.
Semua orang
lantas terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita
menjerit. Sian Li merasa betapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia
menoleh dan melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma.
Sian Li
tersenyum dan mengerti. Suheng-nya itu memang telah memiliki ilmu silat tinggi
dan sinkang yang kuat, akan tetapi tidak pernah mempelajari ilmu yang dapat menolak
pengaruh sihir seperti dia. Ia sejak kecil telah dilatih untuk membangkitkan
tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan
perlahan-lahan kekuatan itu tumbuh dalam dirinya sehingga ia pun seperti
memiliki kekebalan terhadap sihir.
Tadi ia
sudah menduga bahwa kakek raksasa hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut
(sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti Pek-ho Sin-kun sehingga ia
pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu tetap kepala yang
tadi, tidak berubah menjadi kepala naga.
Dan memang
Sian Lun menjadi terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia
melihat bahwa kepala raksasa hitam itu benar-benar telah berubah menjadi kepala
naga hitam yang amat menyeramkan. Tentu saja bentuk kepala naga itu tidak sama
di antara para penonton, tergantung dari khayal mereka masing-masing.
Ketika Sian
Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dia melihat dua orang tua
ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda bahwa mereka pun
tidak terpengaruh. Hal ini tidaklah mengherankan.
Suma Ciang
Bun adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang
merupakan seorang sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah
menguasai tenaga sakti Im dan Yang dari keluarga sakti itu, tidak terpengaruh.
Demikian
pula dengan Gangga Dewi. Ia mewarisi ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari
Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala itu berubah menjadi kepala naga,
dengan cepat wanita ini mengerahkan sinkang-nya dan buyarlah pengaruh sihir itu
dari pikirannya.
“Suheng…,”
bisik Sian Li kepada suheng-nya yang masih memegang lengannya dalam keadaan
tegang itu. “Tenangkan pikiran dan kerahkan sinkang-mu untuk memecahkan
pengaruh yang mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu
sihir.”
Mendengar
bisikan ini, Sian Lun cepat-cepat melepaskan pegangannya dan dia nampak
memejamkan kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia
membuka matanya lagi, dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.
“Hemmm,
kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!” Sian Lun berkata untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi ia pun sampai terpengaruh dan
sempat terkejut dan gentar.
Lulung Ma
memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian Lun
itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang
semakin menurun, orang-orang melihat asap mengepul menutupi kepala naga itu dan
ketika asap itu lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para
penonton bertepuk tangan dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman.
Kembali Sian
Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pandang mata penuh
kemarahan kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak.
“Suheng,
kuminta engkau jangan mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini
tamu, dan mereka itu hanya menyuguhkan pertunjukan untuk menghibur. Sekali lagi
engkau bersikap seperti itu, aku akan marah padamu,” bisiknya.
Sian Lun
memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun merasa betapa kepanasan hatinya
tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.
Sekarang
Lulung Ma telah memberi hormat lagi kepada Gangga Dewi, lalu kepada para
penonton. “Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan
tari ular!”
Kakek
raksasa hitam itu mengeluarkan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan
suara melengking-lengking. Pemuda penabuh tambur itu bangkit, menghampiri
belasan buah keranjang dan membuka tutup semua keranjang itu, kemudian kembali
menabuh tambur perlahan-lahan seperti suara rintik hujan.
Suara suling
melengking-lengking lembut. Para penonton menjadi tegang dan tak berani
mengeluarkan suara atau bergerak ketika dari belasan buah keranjang itu
bermunculan kepala ular-ular yang besar! Ular-ular itu mengangkat kepala
tinggi-tinggi, seperti ingin menjenguk keluar, mengembangkan leher dan
mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemudian mereka keluar dari
dalam keranjang.
Melihat ini,
para penonton yang berada paling depan mundur ketakutan, bahkan para tamu yang
duduk di panggung juga mengangkat kaki dengan gentar. Ular-ular itu bukan ular
biasa, melainkan ular kobra yang berbisa! Sekali saja digigit ular berbisa itu,
nyawa dapat melayang!
Kini belasan
ekor ular itu sudah keluar dari dalam keranjang masing-masing dan mulai merayap
menghampiri Lulung Ma. Ular itu panjangnya dari satu sampai satu setengah
meter. Mereka merayap dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung
Ma dan belasan ekor ular itu berhenti, masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.
Lulung Ma
menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan
tangan membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih
ditiupnya. Pemuda itu juga memukul tambur dengan irama lirih dan lambat.
Kini
ular-ular itu mulai menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggokkan, menoleh
ke kiri kanan dan nampak bagaikan belasan orang penari yang mempunyai gerakan
lemah gemulai! Para penonton memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak
atau pun bertepuk tangan, takut kalau mengejutkan ular-ular itu.
Dahulu Suma
Ciang Bun pernah belajar ilmu menguasai ular dari mendiang ibunya. Ibunya yang
bernama Kim Hwee Li adalah seorang yang mempunyai ilmu pawang ular. Bahkan Suma
Ciang Bun pernah mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi,
melainkan dengan suara yang dikeluarkan dari bibirnya seperti suitan panjang.
Akan tetapi
kini Suma Ciang Bun kagum menyaksikan kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya
untuk menari seperti itu. Hanya ular-ular peliharaan yang sudah dilatih saja
yang dapat disuruh menari seperti itu. Belum tentu raksasa hitam itu mampu
menguasai dan mengendalikan ular-ular yang liar, pikirnya.
Agaknya
raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini
dengan tangan kirinya, dia memberi isyarat kepada tukang tambur. Pemuda itu
lalu bangkit meninggalkan tamburnya sehingga tinggal suara suling saja yang
melengking dan mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu lalu menuruni
tangga panggung dan dengan suara lantang minta kepada penonton di bawah agar
‘membuka jalan’ untuk barisan ular.
“Harap
minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan kami panggil untuk
mengadakan pesta ular!” katanya.
Tentu saja
orang-orang menjadi ketakutan dan membuka jalan yang cukup lebar seperti
dikehendaki pemuda itu. Si Pemuda Jangkung kembali ke atas panggung dan dia
lalu menangkapi belasan ekor ular itu dengan tangannya dan mengembalikan mereka
ke dalam keranjang masing-masing.
Cara dia
menangkap ular-ular itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun
tahu bahwa pemuda itu dapat menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan
ketika ular terakhir hendak ditangkap, ular itu mematuk dengan serangan cepat
sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang, pemuda itu sudah dapat
mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan dan
memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya.
Diam-diam
Sian Li kagum. Gerakan mengelak dan menjepit leher ular dengan telunjuk dan ibu
jari itu tadi jelas merupakan gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan
jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya akan mampu menangkap senjata rahasia
yang menyambar ke arah dirinya. Ia merasa yakin bahwa pemuda jangkung itu tentu
pandai ilmu silat.
Kini pemuda
jangkung itu sudah menabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling yang
melengking begitu tinggi sehingga hampir tak terdengar, tetapi terasa
getarannya. Suma Ciang Bun terkejut. Itulah lengking tinggi memanggil ular yang
sangat kuat dan berpengaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia memandang rendah.
Kiranya raksasa hitam ini bukan saja mampu memanggil ular-ular liar.
Jantungnya
berdebar tegang. Sungguh berbahaya permainan ini, apa lagi di situ sedang
berkumpul banyak orang. Bagaimana jika ular-ular itu tidak dapat dikendalikan
lagi dan menyerang orang?
Semua orang
juga memandang tegang. Tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis dan
tercium bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada
yang berteriak-teriak.
“Ular...!
Ular...!”
Pemuda itu
sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lantang, “Harap tenang!
Jangan ada yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!”
Kini
nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak bergerak,
ular-ular itu tidak mengganggu. Memang mereka datang dari empat penjuru, bahkan
melalui dekat kaki para penonton, akan tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa
menuju ke tangga dan naik ke panggung, menghampiri kakek raksasa hitam yang
meniup suling! Banyak sekali ular-ular itu, puluhan ekor, bahkan ada ratusan
ekor banyaknya, ada yang besar sekali, banyak pula yang kecil namun amat
berbisa!
Banyak di
antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena merasa ngeri dan takut
kalau-kalau kaki mereka akan diserang ular. Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit
berdiri, bukan takut diserang ular, melainkan khawatir kalau ada tamu yang
dipatuk ular.
Seorang
gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nampak pucat
sekali dan gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan
ketika ada dua ekor ular yang panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular
itu amat berbisa, lewat di dekat kakinya, gadis remaja itu menjerit. Dua ekor
ular itu terkejut dan membalik.
Melihat itu,
seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mendekati gadis itu.
Gerakan mereka ini membuat kedua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak
menyerang gadis yang menjerit, kini membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan
Sian Lun. Ular yang menyerang Sian Lun dan Sian Li itu adalah semacam ular yang
suka melompat tinggi. Kini mereka pun meloncat dan menyerang dengan kecepatan
seperti anak panah lepas dari busurnya.
Akan tetapi
dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari
tangannya menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk
dan tewas seketika! Ada pun ular yang menyerang Sian Lun, disambut oleh pemuda
itu dengan cengkeraman ke arah leher ular itu. Sekali dia meremas, leher ular
itu hancur dan ular itu pun mati seketika.
Lulung Ma
melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu sekarang bagai
tersambung menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau sebab hatinya panas
melihat dua ekor ularnya mati, dan hal ini membuat ular-ular itu menjadi panik
dan kacau pula! Orang-orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari ke sana
sini dengan kacau.
Melihat hal
ini, Suma Ciang Bun cepat bertindak. Terdengar suara melengking aneh dan
meninggi, dan ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka
dan mereka pun tidak ganas lagi, melainkan ketakutan dan lari secepatnya
meninggalkan tempat itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat mereka
ketakutan!
Lulung Ma
menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu
menoleh ke arah Suma Ciang Bun dan memandang dengan mata terbelalak. Kemudian,
setelah semua ular pergi, hanya tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu
memberi isyarat kepada Si Pemuda Jangkung yang segera mengambil dua bangkai
ular itu dan menyimpannya dalam sebuah keranjang.
Kemudian
Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja otomatis ke arah Suma Ciang
Bun. “Harap dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu
menjadi panik. Masih untung ada Enghiong (Orang Gagah) yang tadi membantu kami
mengusir ular-ular itu sehingga tidak ada korban gigitan. Untuk menyatakan
maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan kami akan memperlihatkan tari
silat yang jelek dan hanya sekedar menghibur anda sekalian.”
Akan tetapi
sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi
minggir, berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka
berusia kurang lebih tiga puluh tahun, yang seorang bertubuh gemuk, yang ke dua
kurus, akan tetapi keduanya amat tinggi, setinggi raksasa hitam itu dan nampak
mereka itu memiliki tenaga otot yang kuat.
Melihat
mereka, Lulung Ma segera tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu.
“Agaknya dua orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian
mereka untuk menghibur para tamu. Badhu dan Sagha, silakan!”
Dua orang
itu memberi isyarat pada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang
menggotong sebuah keranjang yang terisi batu-batu sebesar kepala orang. Dan
setelah meletakkan keranjang itu di depan Badhu dan Sagha, mereka turun
kembali.
Badhu yang
gemuk dengan perut gendut itu berdiri tegak dengan dua lutut agak ditekuk, memasang
kuda-kuda kemudian memberi isyarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama
Sagha. Orang ini lalu mengambil sebongkah batu dari keranjang, lalu sekuat
tenaga dia menghantamkan batu itu ke arah perut temannya. Perut yang gendut itu
menerima hantaman batu.
“Bukkk!!”
Hantaman itu
membalik. Sagha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga dia
melontarkan batu itu ke arah perut kawannya.
“Bukkk!!”
Batu itu
mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang menyambut dengan kedua
tangan. Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada, paha,
pundak, bahkan dari belakang mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu
itu selalu mental kembali.
Tentu saja
semua orang menjadi sangat kagum. Tubuh Si Gendut itu memang kebal. Kemudian,
Badhu juga mengambil sebongkah batu dan menghantamkan batu ke arah Sagha yang
kurus. Si Kurus ini menyambut dengan batu di tangannya.
“Darrrr...!!”
Dua buah batu itu pecah berhamburan.
Mereka
kembali mengambil batu dan kini mereka saling hantam, bukan saja di tubuh,
melainkan di kepala. Akan tetapi setiap kali batu itu dihantamkan ke kepala
lawan, batu itu pecah berhamburan!
Tentu saja
para penonton menyambut ini dengan sorak-sorai dan tepuk tangan karena
pertunjukan ini benar-benar menegangkan dan juga mengagumkan. Bagaimana kepala
orang dapat begitu kebal dan keras sehingga batu besar pun pecah pada saat
bertemu kepala!
Setelah
sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan
bergulat! Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sagha yang kurus dengan
kedua tangannya, mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas,
memutar-mutarnya dan membanting sekuat tenaga.
“Bukkk...!”
Tubuh kurus
itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan semua
tulangnya patah-patah. Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah
meloncat bangun kembali, dan kini dia menyergap Si Gendut, menangkap lengannya,
dipuntir ke belakang dan dari belakang tubuhnya dia membanting kawannya itu
dengan sepenuh tenaga.
“Bukkk…!”
Tubuh gendut
gemuk itu terbanting dan semua orang merasa khawatir. Akan tetapi seperti juga
temannya tadi, segera dia bangkit kembali, seolah-olah bantingan tadi sama
sekali tidak dirasakannya.
Sekarang
mereka tidak bergulat lagi, namun berkelahi saling pukul dan saling tendang,
dan sekali ini agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka.
Pukulan dan tendangan mereka elakkan atau tangkis, dan yang sempat mengenai
tubuh pun tidak dirasakan karena keduanya memiliki kekebalan.
Demikian
serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk sorak para penonton yang
merasa kagum bukan main karena mereka seperti melihat dua ekor harimau
bertarung. Memang hebat sekali perkelahian itu, apa lagi juga diiringi musik
tambur dan genderang yang dipukul secara kuat oleh Lulung Ma dan pemuda
jangkung.
Akhirnya,
Lulung Ma yang memukul gendang memberi isyarat dengan pukulan gendang yang
semakin lambat dan lirih, dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun
menghentikan pertandingan mereka. Dengan sikap bangga dan dada yang terangkat,
Si Gendut yang bernama Badhu lalu memandang kepada para tamu dan para penonton.
“Saudara
sekalian, rasanya kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang
bertanding karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau
kalah. Kita semua tahu betapa kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar
Pegunungan Himalaya ini, tak dapat disamakan dengan mereka yang tinggal di
timur, yang bertubuh kerempeng dan berpenyakitan. Akan tetapi, kalau ada di
antara saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki kepandaian yang
katanya dimiliki orang-orang di dunia persilatan, silakan maju. Mari kita
ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk membuka mata kita siapa
sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!”
Dengan sikap
menantang Badhu dan Sagha berdiri di situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan
Sian Li, juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa meski dia tidak menantang secara
langsung, akan tetapi di tempat itu yang jelas merupakan pendatang dari timur
adalah mereka bertiga itu.
Sian Lun dan
Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka bersepakat untuk
menyambut tantangan itu. Sian Li lalu menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan
bertanya, “Bolehkah kami melayani tantangan mereka?”
Gangga Dewi
dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga merasa marah melihat
sikap dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong, bahkan
merendahkan orang-orang Han dengan sengaja. Dia mengangguk dan menjawab. “Biar
Sian Lun yang maju lebih dulu menghadapi Badhu, dan engkau nanti yang
menghadapi Sagha.”
Sian Lun
yang sejak tadi sudah mendongkol sekali, segera bangkit dan sekali kakinya
bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dua orang itu.
“Aku orang
dari timur yang kerempeng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di antara
kalian!” kata Sian Lun dengan suara lantang.
Suasana
menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggota
rombongan Puteri Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui
bahwa dia seorang pemuda Han.
Kalau saja
Sian Lun bukan anggota rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu telah mengejek
dan menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu
tidak berani bersikap kasar dan dia pun menjura sebagai penghormatan.
“Saya tidak
berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang datang dari
timur daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali
Kongcu, baiklah saya akan layani Kongcu main-main sebentar.”
Sagha
tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari
dan pemain musik tadi. Kini Lulung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur
dan gendang dengan gencar. Mereka kelihatan gembira sekali.
Sian Li yang
memandang rendah kedua orang pegulat itu, lalu berseru dengan lantang. “Suheng,
jangan sampai membunuh orang!”
Sian Lun
mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan tangan masih
menabuh gendang, menjawab. “Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum
pernah dikalahkan lawan, bagaimana mungkin dia dapat dibunuh? Dan jangan
khawatir, kami juga tidak akan mau membunuh orang dalam pesta ini, hanya
sekadar menghibur dengan pertunjukan menarik. Badhu, mulailah!”
Dua orang
itu sudah saling berhadapan. Sian Lun bersikap tenang walau pun hatinya panas
mendengar ucapan Lulung Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang
sakti, tahu bahwa membiarkan diri diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap
tenang dan waspada, dan dia mengikuti setiap gerakan lawan dengan pandang
matanya yang mencorong tajam.
Bagai seekor
beruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri
kepala, lalu membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti
dengan gerakan kakinya tetap waspada.
“Kongcu,
silakan menyerang lebih dulu,” kata Badhu yang memandang rendah pemuda yang
nampak lemah itu.
“Badhu,
engkau yang menantang, engkau pula yang harus menyerang terlebih dahulu,” jawab
Sian Lun dengan sikap tetap tenang.
“Ha-ha-ha,
engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dahulu. Awas
seranganku ini!”
Tangan
kirinya menyambar dari atas, akan tetapi Sian Lun membiarkan saja karena dari
gerakan pundak lawan ia tahu bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja,
sedangkan yang sungguh menyerang adalah tangan kanan yang menyambar ke arah
pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah kepadanya, disangkanya akan
begitu mudah dia tangkap!
Hanya dengan
memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu mengenai tempat kosong.
Badhu menyusulkan serangannya bertubi-tubi. Kedua tangannya seperti cakar
beruang menyambar-nyambar untuk mencengkeram dan menangkap.
Sian Lun
maklum bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus
menjaga agar jangan sampai dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang
ahli gulat dapat berbahaya. Maka, dia pun mengelak selalu dan kadang menangkis dari
samping tanpa memberi kesempatan kepada jari-jari tangan yang panjang itu untuk
bisa menangkapnya.
Ketika Badhu
yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tidak pernah berhasil itu
menubruk laksana seekor harimau, dengan kedua lengan dikembangkan, Sian Lun
menggeser kakinya ke kiri. Tubuhnya mengelak dengan lincah dan saat tubuh Badhu
lewat di sebelah kanannya, dia pun mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah
lambung lawan.
“Desss...!”
Tubuh lawan
itu terbanting keras dan bergulingan. Akan tetapi seperti bola karet, dia sudah
bangkit kembali dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan
menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah karena biar pun dia tidak terluka,
namun dia telah terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah oleh para
penonton. Kini dia tidak hanya menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala.
Dia memang
kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau
menggunakan tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan
tangan yang dibuka, dan tangan itu menampar ke arah muka orang. Yang diarah
adalah hidung dan mata karena yakin bahwa betapa pun kebal kepala itu, kalau
hidung dan mata tidak mungkin dilatih kekebalan.
“Plakkk!”
Tubuh itu
tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan dua
tangannya menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi
biru dan sebelah matanya juga dilingkari warna menghitam!
Badhu adalah
seorang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan. Kalau dia biasa menggunakan
otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih
tinggi ilmunya dibandingkan dengan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan
keras serta tebalnya tulang dan kulit. Kini dia menjadi marah sekali dan lupa
diri.
Dia
menggereng seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan
membabi-buta. Serangan membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian
Lun. Maka dia pun menggunakan kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas
dengan pukulan-pukulan tangan terbuka yang ditujukan ke arah bagian badan yang
tak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali tangannya menampar daun telinga,
sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya menendang ke arah sambungan
lutut kedua kaki lawan.
“Brukkk...!”
Sekali ini
Badhu jatuh dan biar pun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali karena
sambungan kedua lututnya telah berpindah tempat!
Para
penonton menahan napas dan suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang
berani bertepuk tangan karena selain mereka merasa bangga kepada Badhu juga
mereka masih tidak dapat percaya bahwa seorang pemuda yang kelihatan lemah itu
benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut tanpa mengalami cidera sedikit
pun, bahkan tanpa pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu!
Terdengar
tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Walau pun hanya
dia seorang yang bertepuk tangan, akan tetapi karena dia sengaja mengerahkan
tenaganya, maka suara tepuk tangannya amat nyaring.
Sagha sudah
membawa teman-temannya, para pemain musik, untuk membantu Badhu meninggalkan
gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.
“Kongcu
hebat, dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu
denganmu. Bersiaplah!”
Sian Lun
tentu saja tidak takut, akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan
merah. “Suheng, jangan tamak! Yang satu ini bagianku!”
Sian Lun
memandang pada sumoi-nya dan tersenyum. “Hati-hati Sumoi, jangan sampai
kesalahan tangan membunuh orang,” katanya dan dia pun kembali ke tempat
duduknya.
Semua tamu
dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena mereka tadi sudah kagum
kepada gadis jelita itu, sekarang melihat gadis itu berani menghadapi dan
hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum,
juga perasaan hati mereka tegang. Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu
sampai lecet, tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tak
ada yang mengira bahwa tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi dari
pada tingkat kepandaian pemuda tampan yang tadi mempermainkan dan mengalahkan
Badhu!
Sagha
sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga pada diri sendiri dan jarang
menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu
saja dia merasa sungkan dan tidak enak sekali.
“Nona, aku
Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur
menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku
berani melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona?
Seluruh dunia akan mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku
melawan lima orang laki-laki yang mengeroyokku dari pada harus bertanding
melawan seorang dara remaja!”
Sian Li
tersenyum mengejek. “Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau
takut, berlututlah dan cabut semua omongan kalian yang sombong tadi, yang
mengejek dan menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau
harus menarik ucapanmu tadi dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!”
Mereka yang
memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa
beraninya! Dan mereka yang tidak paham, cepat-cepat bertanya kepada teman
mereka yang mengerti dan semua orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget
dan heran.
Seorang
gadis yang usianya belum dewasa benar, akan tetapi berani bersikap demikian
meremehkan terhadap seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah memamerkan
demonstrasi kekebalan dan kehebatan tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain
saja demikian kuatnya, kepalanya mampu membikin pecah batu, apa lagi tangannya.
Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu akan remuk!
Mendengar ucapan
Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi merah sekali. Kalau saja
bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu sudah dihantamnya.
Akan tetapi dia berhadapan dengan seorang gadis, anggota rombongan Sang Puteri
Gangga Dewi pula, tentu saja dia tidak berani sembarangan.
“Nona,
mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi engkau bukanlah
lawanku. Aku tidak takut kepadamu, melainkan takut kalau ditertawakan orang
gagah sedunia. Pula, bagaimana aku berani bertanding dengan engkau yang datang
bersama Yang Mulia Puteri Gangga Dewi? Aku takut mendapat marah dari beliau.”
Gangga Dewi
yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bahwa Sian Li sudah
mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh dibandingkan
suheng-nya. Oleh karena itu, tentu saja dia merasa yakin bahwa Sian Li akan
mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan mudah. Juga dia ingin
orang yang sombong itu dapat menerima hajaran karena telah berani mengejek dan
menghina para pendekar Han.
“Sagha,
engkau boleh bertanding melawan Si Bangau Merah, dan kalau engkau mampu menang,
baru aku mengakui bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat.”
Sagha
memberi hormat kepada Gangga Dewi. “Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau
hamba kesalahan tangan dan melukai Nona ini? Hamba tidak ingin Paduka nanti
marah kepada hamba.”
Gangga Dewi
tertawa. “Aku tidak akan marah dan semua orang yang berada di sini menjadi
saksinya.”
“Terima
kasih, Yang Mulia,” kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li. “Baik, Nona.
Mari kita main-main sebentar.”
“Tak usah
main-main, engkau keluarkan semua kepandaianmu dan seranglah sungguh-sungguh
karena aku akan merobohkanmu!” kata Sian Li.
“Hemm, bocah
ini terlalu memandang rendah kepadaku,” pikir Sagha marah. Dia pun tidak
sungkan-sungkan lagi dan mengambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di
depan umum, misalnya dengan merobek baju itu!
“Nona, jaga
seranganku ini!”
Kedua
tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu sudah bergerak cepat
menyambar ke arah tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi. Dibandingkan Badhu,
Sagha yang tinggi kurus ini memang lebih sigap dan cepat.
“Hyaaaahhhh...!”
Dia membentak sambil menyerang.
“Plakkk!”
Kedua
telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan mengeluarkan bunyi keras
ketika terkamannya itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah
lenyap. Cepat dia membalik dan kembali kedua lengan panjang itu bergerak
seperti dua ekor ular, akan tetapi kembali terkamannya mengenai tempat kosong.
Makin cepat
Sagha menyerang, semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton
menjadi bengong saking kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya
bayangan merah berkelebatan dengan sangat cepatnya, menyambar-nyambar di antara
terkaman dan cengkeraman kedua tangan Sagha.
Mendadak,
ketika dia menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, Sian Li berseru
nyaring. Jari telunjuk kirinya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk
dengan cepat seperti kilat menyambar.
“Haiiitttt...!
Tukkk!”
Telunjuk
kiri itu menotok dua kali ke pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu
bergerak karena dia telah menjadi korban ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang
dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai.
Sian Li juga
telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang
hebat dari paman kakeknya, akan tetapi ia tadi menggunakan It-yang Sin-ci untuk
mempraktekkan ilmu yang baru saja ia pelajari dari Raja Obat itu. Dan pada saat
lawan tak mampu bergerak, kaki Sian Li menyambar ke arah lutut. Sagha yang
tidak mampu mengerahkan tenaga lagi roboh terpelanting. Pada saat lawan
terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya.
Para
penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat
betapa Dewi Bangau Merah benar-benar sudah mampu merobohkan Sagha! Maka
terdengarlah tepuk sorak riuh menyambut kejatuhan Sagha.
“Hemmm, mana
kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para pendekar dari timur?
Hanya sebegini saja?” Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan kembali
terdengar orang menyambut dengan suara riuh.
Wajah Sagha
sebentar pucat sebentar merah dari dia meloncat berdiri.
“Aku belum
kalah!” bentaknya.
Dia pun
kembali menyerang, kini bukan ingin menangkap dan merobek baju gadis itu,
melainkan memukul dan menendang dengan dahsyat! Sagha sudah marah sekali dan
lupa bahwa yang dilawannya hanya seorang dara remaja. Dia menyerang bukan lagi
untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh...
Akan tetapi,
Sagha seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan, cengkeraman
dan tendangannya hanyalah mengenai udara kosong sampai terdengar suara
bersiutan. Tiba-tiba, begitu melihat ada kesempatan baik, kembali jari telunjuk
tangan kiri gadis itu meluncur dan seperti tadi, seketika tubuh Sagha tidak
dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak nyaring Sian Li menendang
atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga. Tubuh tinggi kurus itu
terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya, yaitu para
penari dan penabuh musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian
Lun!
Tepuk tangan
dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika Sian
Li berjalan kembali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti
tiba-tiba dan kini Lulung Ma dan pemuda tampan jangkung telah berdiri
berdampingan sambil bertolak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan yang
mengatasi keriuhan di situ, suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua
orang.
“Saudara sekalian!
Kedua orang pembantu kami sudah kalah karena mereka memang bodoh. Sekarang,
kami berdua menantang siapa saja yang memiliki kepandaian untuk mengadu ilmu di
sini. Kami menantang semua dan siapa saja, tidak terkecuali!”
Pandang mata
Lulung Ma lurus ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pandang mata pemuda
jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Walau pun mereka tidak menuding,
jelas bahwa dua orang Han itulah yang mereka tantang!
Tiba-tiba
Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain, menuding ke arah Lulung Ma
dan terdengar suaranya yang lembut namun lantang.
“Lulung Ma,
sikapmu menunjukkan bahwa engkau dan orang-orangmu ini agaknya para penyelundup
yang hendak mengacau di Bhutan! Menyerahlah untuk kami tawan dan kami periksa!”
Mendadak
Lulung Ma mengubah sikapnya yang tadi hormat kepada puteri itu. “Gangga Dewi,
engkau puteri Bhutan yang mengkhianati bangsa sendiri, bersekongkol dengan
orang-orang Han dari timur! Engkau yang sepatutnya ditawan!”
Tiba-tiba
raksasa hitam itu meloncat ke tempat duduk kehormatan, diikuti oleh pemuda
jangkung yang juga sekali menggerakkan kaki sudah ikut melayang ke situ. Lulung
Ma menerjang ke arah Gangga Dewi, sedangkan pemuda jangkung itu menerjang ke
arah Liem Sian Lun!
“Jahanam
busuk!” Suma Ciang Bun meloncat dan melindungi isterinya. Melihat betapa Lulung
Ma menyerang Gangga Dewi dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka, Ciang
Bun memapaki dengan kedua telapak tangannya pula.
“Desss...!”
Dua pasang
telapak tangan bertemu dan akibatnya Ciang Bun terhuyung, akan tetapi Lulung Ma
juga mundur dua langkah. Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa
Si Raksasa Hitam itu sangat kuat dan memiliki sinkang yang ampuh dan dapat
menandingi kekuatan cucu Pendekar Sakti dari Pulau Es itu!
Gangga Dewi
melolos sabuk sutera putihnya dan cepat membantu suaminya dan suami isteri itu
kini mengeroyok Lulung Ma. Gangga Dewi menggunakan sabuk sutera, Suma Ciang Bun
pun sudah menghunus sepasang pedangnya yang bersinar putih, sedangkan Lulung Ma
juga sudah mengeluarkan senjatanya yang terlihat aneh dan dahsyat, yaitu
sepasang roda atau gelang besar yang dipasangi sirip-sirip tajam dan berwarna
kuning keemasan.
Sementara
itu, pemuda jangkung tukang tambur tadi sudah menyerang Sian Lun. Tentu saja
Sian Lun segera menyambut serangannya dengan tangkisan sambil mengerahkan
tenaganya.
“Dukkk!”
Pertemuan
dua lengan membuat Sian Lun hampir terjengkang, maka mengertilah Sian Lun bahwa
pemuda jangkung itu memang benar seperti dugaannya tadi, bukan orang
sembarangan dan mempunyai tenaga sinkang kuat. Sama sekali tidak bisa disamakan
dengan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga otot dan tulang, tenaga
kasar saja. Pemuda jangkung ini memiliki gerakan silat yang lihai, dan dalam
pertemuan tenaga pertama kali tadi, Sian Lun jelas kalah kuat. Oleh karena itu,
gadis yang lincah dan galak ini meloncat ke depan dan sambil mengeluarkan
bentakan, ia sudah menyerang dengan ilmu yang dipelajarinya dari Suma Ceng
Liong dan yang paling disukainya, yaitu ilmu totok Coan-kut-ci (Jari Penembus
Tulang).
“Keparat,
jangan menjual lagak di sini!” bentak Sian Li dan serangannya itu membuat Si
Pemuda Jangkung terkejut. Akan tetapi dia masih mampu menghindarkan diri dengan
melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik tiga kali.
“Nona Merah
yang cantik sekali, mundurlah agar kulitmu yang putih mulus tidak sampai lecet,”
pemuda itu berkata dan ternyata penabuh musik ini seorang pemuda yang selain
lihai ilmu silatnya, juga pandai bicara dan lincah.
Wajah gadis
itu menjadi semerah pakaiannya dan dua matanya melotot. Tanpa banyak cakap lagi
Sian Li sudah menerjang lagi dengan tusukan-tusukan jari tangannya yang amat
berbahaya. Sian Lun juga membantu sumoi-nya dan pemuda ini bahkan sudah
mencabut pedang dan menyerang pemuda jangkung dengan ganasnya.
Si Pemuda
Jangkung terkejut. Kiranya dua orang pengeroyoknya itu sangat berbahaya. Maka
setelah berkali-kali dia berloncatan mengelak, dia lalu melolos senjatanya,
yaitu sehelai sabuk rantai baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau tajam. Dia
memutar senjata itu dan dua batang pisau menyambar-nyambar ke arah Sian Li dan
Sian Lun bagaikan dua ekor burung walet menyambari belalang.
Sian Li juga
sudah mencabut pedangnya dan bersama suheng-nya, ia lalu mengeroyok pemuda
jangkung. Bagaimana pun lihainya pemuda jangkung itu, kini dia menghadapi
pengeroyokan dua orang murid dari Suma Ceng Liong, cucu dari Pendekar Super
Sakti Pulau Es yang paling tangguh, maka sebentar saja dia sudah terdesak hebat
dan kedua pisau di ujung rantai bajanya hanya mampu melindungi dirinya tanpa
mampu membalas serangan lawan.
Lulung Ma
ternyata memang lihai bukan main. Sepasang senjatanya yang berbentuk gelang
besar bersirip itu selain dapat dipegang oleh kedua tangan untuk menangkis dan
menghantam lawan, juga dapat dia lontarkan ke arah lawan. Gelang itu akan
berputar menyambar ke arah lawan, dan jika lawan mengelak, gelang itu berputar
dan membalik kembali ke tangannya.
Beberapa
kali Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi nyaris terkena sambaran senjata yang
istimewa itu. Namun, kedua suami isteri ini adalah orang-orang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi, keturunan orang-orang sakti. Oleh karena itu, betapa
pun dahsyatnya permainan sepasang gelang atau roda di tangan Lulung Ma, tetap
saja mereka mampu mempertahankan diri, bahkan serangan balasan pasangan suami
isteri ini pun sering kali membuat Lulung Ma menjadi repot sekali.
“Kepung
tempat ini, tangkap mereka semua. Mereka mata-mata musuh!” Gangga Dewi
berteriak lantang.
Mendengar
aba-aba ini, pasukan keamanan dan para petugas di dusun itu lalu serentak maju
mengepung dan mengeroyok. Hanya Lulung Ma, pemuda jangkung dan dua orang
pembantu mereka tadi, yaitu Badhu dan Sagha yang terus melakukan perlawanan.
Para pemusik lain dan juga para penyanyi dan penari berdiri berkelompok di
sudut dengan ketakutan.
Penonton
menjadi panik, apa lagi ketika empat orang yang dikeroyok itu berloncatan ke
tengah penonton. Beberapa orang penonton roboh, dan saat Suma Ciang Bun, Gangga
Dewi, Sian Lun dan Sian Li melakukan pengejaran, keempat orang itu sudah lenyap
di antara penonton. Ketika ditanya, para pemusik itu menjawab dengan ketakutan
bahwa mereka tidak tahu, bahkan tidak mengenal empat orang itu. Pamimpin
rombongan itu, seorang kakek yang lemah, akhirnya mengatakan bahwa dia terpaksa
menerima keempat orang itu sebagai anggota rombongan.
“Kenapa
engkau menerima mereka?” Gangga Dewi bertanya.
“Hamba takut
menolak, mohon Paduka mengampuni hamba...” kata kakek itu ketakutan. “Hamba
sama sekali tidak tahu bahwa mereka adalah pemberontak-pemberontak, tidak tahu
bahwa mereka adalah orang-orang Nepal yang hendak mengacau.”
“Katakan,
bagaimana engkau bertemu dengan mereka dan siapa pula mereka itu,” kata pula
Gangga Dewi.
“Pada malam
hari ketika hamba menerima perintah untuk meramaikan penyambutan terhadap
Paduka, hamba telah didatangi kakek yang mengaku bernama Lulung Ma itu. Sebelumnya
hamba telah mengenal dia sebagai seorang pendeta yang bernama Lulung Lama,
yaitu seorang pemimpin dari para pendeta Lama Jubah Hitam di Tibet. Ada pun
pemuda jangkung itu adalah muridnya, seorang peranakan Han-Tibet yang bernama
Cu Ki Bok. Mereka itu... aughhh...!”
Sian Li yang
bergerak paling cepat, sudah meloncat ke kiri dari mana datangnya pisau yang
terbang dan menembus dada kakek pemimpin rombongan pemusik itu. Dia masih
sempat melihat berkelebatnya bayangan di antara penonton. Dia mengejar terus,
akan tetapi karena banyak penonton yang kembali menjadi panik dan lari ke sana
ke mari, dia kehilangan jejak bayangan itu. Akan tetapi melihat bayangan itu
bertubuh jangkung, dia bisa menduga bahwa bayangan yang melempar pisau dan
membunuh kakek pemimpin rombongan pemusik yang sedang memberi keterangan itu
tentulah pemuda jangkung pemukul tambur yang lihai tadi.
Ketika ia
kembali ke tempat tadi, di atas panggung, ternyata kakek itu telah tewas tanpa
dapat melanjutkan keterangannya. Gangga Dewi mengepal tinju. Ia mengajak
suaminya dan dua orang muda-mudi itu untuk segera melanjutkan perjalanan menuju
ke kota raja Thimphu karena dia harus segera melaporkan semua hal yang terjadi
itu kepada raja agar dikerahkan pasukan khusus untuk membasmi dan membersihkan
jaringan mata-mata orang Nepal dan Tibet yang agaknya bersekongkol itu. Harus
mengirim berita pula kepada Kerajaan Nepal dan para pimpinan Lama di Tibet
tentang orang-orang Nepal Tibet yang hendak mengacaukan keadaan yang aman
tenteram itu.
***************
Tan Sian Li
dan suheng-nya diterima dengan penuh keramahan dan kegembiraan oleh keluarga
raja di Bhutan. Juga semua orang menyambut dengan bahagia bahwa Puteri Gangga
Dewi kini telah bersuamikan seorang pendekar yang gagah perkasa, keturunan
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es pula!
Sebentar
saja, semua orang mengenal dan mengagumi Si Bangau Merah, julukan Sian Li.
Selama seminggu tinggal di istana, dua orang muda mudi itu setiap hari dijamu
dan disambut penuh kehormatan dan keramahan. Setelah selama seminggu tinggal di
istana Kerajaan Bhutan, Sian Li dan Sian Lun lalu berpamit dari keluarga
kerajaan itu. Mereka tidak berani tinggal terlalu lama di istana Bhutan, di
mana mereka disambut sebagai tamu agung itu karena mereka harus sudah tiba
kembali di rumah Suma Ceng Liong sebelum sin-cia (tahun baru). Selain itu,
kedua orang muda ini juga ingin meluaskan pengalaman dan hendak melakukan
perjalanan pulang melalui daerah Tibet.
Dengan hati
yang berat Gangga Dewi melepas Sian Li pergi. Dia sudah merasa amat sayang
kepada dara yang lincah itu dan dia memaksa Sian Li menerima bekal emas permata
darinya. Selain itu, juga dia menyediakan dua ekor kuda terbaik untuk mereka.
Akan tetapi, pada waktu Gangga Dewi hendak menyiapkan pasukan pengawal, Sian Li
menolaknya.
“Kami berdua
mampu menjaga diri sendiri, mengapa harus dikawal? Pula, pengawalan membuat
perjalanan menjadi tak menarik dan tidak leluasa,” demikian Sian Li menolak.
Dan
akhirnya, Gangga Dewi, Suma Ciang Bun dan sebagian besar keluarga kerajaan
mengantar keberangkatan dua orang muda itu sampai ke pintu gerbang kota raja.
Selain
mendapatkan hadiah emas permata yang sangat berharga, dan dua ekor kuda
terbaik, juga mereka menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang
dibuat oleh seorang ahli di istana Bhutan, disebutkan tempat-tempat yang akan
mereka lalui dalam perjalanan ke timur melalui Tibet itu. Juga diterangkan akan
bahaya-bahaya yang mungkin mereka hadapi pada setiap tempat.
Selain itu,
Raja Bhutan berkenan memberi sebuah tanda yang terbuat dari sutera yang dicap
tanda kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan disambut
oleh setiap rakyat di daerah Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati.
Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan mengenali tanda keluarga Raja
Bhutan yang menjadi tetangga mereka dan akan menghormatinya.
Ternyata
kemudian bahwa tanda kebesaran ini sangat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li
dan Sian Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu menyambut mereka dengan
penuh penghormatan setiap kali Sian Li terpaksa memperlihatkan tanda itu bila
ada orang yang kelihatan curiga kepada mereka. Tanda kebesaran itu membuat
mereka selalu disambut dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.
Setelah
melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di daerah
yang tandus dan gersang. Mereka tahu dari peta bahwa daerah itu cukup luas dan
mereka harus melakukan perjalanan sehari penuh melewati daerah tandus itu
sebelum tiba di dusun pertama di daerah yang subur. Karena itu, sebelum
melewati daerah ini, mereka telah membawa perbekalan makanan dan terutama
minuman karena menurut keterangan dalam peta, di daerah itu mereka tidak akan
dapat menemukan makanan atau minuman bersih.
Mereka
berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan semakin dalam mereka
memasuki daerah itu, semakin tandus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dapat
hidup di tanah berbatu keras itu. Yang ada hanya batu dan pasir dan biar pun
daerah itu masih cukup tinggi, namun hawanya terasa panas sekali.
Mengerikan
bila melihat ke sekeliling, sedemikian sunyinya. Jangankan manusia, seekor
binatang pun tidak nampak. Bahkan burung-burung pun tahu bahwa daerah itu
adalah merupakan daerah maut, maka di angkasa pun tidak nampak adanya burung
terbang. Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi melengang dan
mengerikan.
Tepat pada
tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk. Oleh karena cahaya matahari menyengat
kulit dengan sangat hebatnya, Sian Li mengajak suheng-nya untuk berhenti dan
beristirahat sebentar di gubuk itu untuk makan roti dan minum air bekal mereka.
Sebuah gubuk
yang sudah tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Hanya merupakan tempat berteduh,
tanpa dinding, hanya atap dan empat buah tiang saja. Akan tetapi di bawah atap
itu terdapat batu datar yang dapat mereka jadikan tempat duduk.
“Lihat, ada
tulisan di sini,” kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekat batu di mana
mereka duduk.
Sian Li
memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat
ukir-ukiran beberapa buah huruf yang agaknya dibuat dengan menggunakan senjata
tajam. Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu diukir oleh seorang yang
pandai menulis dan mengukir, seorang sasterawan atau seniman. Mereka kemudian
meneliti tulisan itu dan membacanya.
Andai kata
aku seorang raja,
aku rela
menukar kerajaanku
untuk
segelas air jernih!
Hanya
sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada
cukup. Sian Li dapat membayangkan keadaan Si Penulis itu. Tentu ia seorang yang
kehabisan air, sedang kehausan, berada di tengah gurun tandus ini. Sungguh luar
biasa sekali. Alangkah berharganya segelas air jernih pada saat sedang
dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga dari pada sebuah kerajaan!
Betapa
besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia. Berlimpah sudah
anugerah dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Alangkah nikmatnya, betapa
pentingnya, alangkah berharganya segelas air, atau sepotong roti, seteguk hawa
udara, bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk mendapatkan itu demikian
mudahnya.
Sudah
tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih!
Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih! Maka berbahagialah manusia yang dapat
menikmati semua anugerah yang berlimpahan di sepanjang hidupnya ini.
Akan tetapi
sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua
berkah yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita
mendapatkan segelas air, nafsu angkara murka membisikkan celaannya, mengapa
tidak ada anggur, mengapa hanya ada air tawar. Dan lenyaplah sudah segala
keindahan dan kenikmatan air itu, bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan
mengecewakan.
Nafsu memang
tidak mengenal puas, tidak mengenal batas. Kalau ada anggur, bisikan beracun
itu masih terus berdengung agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi,
yang lebih enak lagi, yang lebih nikmat lagi. Segala sesuatu yang tidak ada,
yang masih belum terjangkau oleh tangan, selalu akan nampak lebih indah, lebih
nyaman dan lebih menyenangkan dari pada apa saja yang sudah kita miliki.
Mensyukuri
keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah,
sebagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan. Bukan
berarti lalu mandeg dan lunglai, bersandar pada kekuasaan Tuhan belaka. Sama
sekali tidak!
Hidup
berarti gerak, bekerja, berikhtiar sekuat tenaga, sekuat kemampuan. Ini berarti
menjalankan semua alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika
kita diciptakan sebagai manusia. Kita pergunakan semua alat, anggota tubuh,
hati dan alat pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi mencukupi
semua kebutuhan hidup.
Bukan demi
menuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita
menghalalkan semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan
hidup di dunia ini. Apa pun hasilnya, apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun
yang menimpa diri kita, kita terima tanpa mengeluh! Semua kehendak Tuhan
jadilah!
Manusia
hanya dapat menyerah, kita hanya dapat menerima, dan kita wajib membantu
pekerjaan kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tak akan dapat memperoleh padi
tanpa berusaha, walau pun Tuhan sudah menyediakan sinar mataharinya, tanahnya,
airnya, benihnya, udaranya. Kita harus membantu mengerjakan semua itu,
mencangkul tanah, menanam benihnya, mengairi sawah, menuai, menjemur, menumbuk,
dan selanjutnya, sebelum hasilnya dapat menyambung kehidupan kita melalui
makanan.
Sian Li
tertawa. Dia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isyarat kepada suheng-nya
untuk makan dan minum air bekal mereka. Melihat sumoi-nya tertawa, lalu
tersenyum-senyum sambil makan roti dan minum air, Sian Lun memandang heran.
“Ehh, Sumoi,
kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?”
Ia mengamati
wajah yang kemerahan karena sinar matahari itu sehingga kedua pipinya di bawah
mata yang agak menjendul itu menjadi merah sekali, mengamati bibir yang
bergerak-gerak ketika makan roti. Betapa manisnya wajah sumoi-nya!
Sian Li
tersenyum dan sebelum menjawab, ia minum dulu air dari botol airnya. “Tulisan
inilah yang membuat aku tertawa,” katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang
diukir huruf-huruf itu.
“Apanya yang
lucu Sumoi? Huruf-huruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku sangat
mengharukan dan menyedihkan, kenapa engkau malah tertawa?”
“Bukan
karena lucu, Suheng, tapi karena senang dan gembira. Tulisan ini menyadarkan
aku betapa bahagianya diriku. Di tempat seperti ini aku tidak kehausan dan
kelaparan, bukankah saat ini aku masih jauh lebih berbahagia dibandingkan
seorang yang kaya raya seperti raja namun kehausan dan tidak mempunyai air?”
“Engkau
benar, Sumoi. Akan tetapi, andai kata yang menulis ini benar seorang raja, aku
yakin dia tidak akan menulis seperti ini. Apa yang akan dilakukan seorang raja
yang kehausan di tempat ini dan tidak mempunyai air? Tentu dia akan
memerintahkan para pengawalnya untuk segera mencarikan air minum untuknya.”
Sian Li
mengangguk. “Pendapatmu itu memang tepat, Suheng. Karena dia bukan raja, maka
dia menulis seperti ini. Manusia memang siap melakukan apa saja, bersikap yang
aneh-aneh, kalau sedang menghendaki sesuatu yang dibutuhkannya.”
Sian Lun
mengangguk. “Manusia selalu dipermainkan oleh keinginannya, padahal yang
diinginkan di dunia ini selalu berubah-ubah dan banyak sekali macamnya. Seorang
raja yang sakit mungkin mau saja menukar kerajaannya dengan kesehatan dan
keselamatan nyawanya, tetapi dalam keadaan sehat, dia akan mempertahankan dan
memperebutkan kedudukannya dengan taruhan nyawa!”
Setelah melepaskan
lelah dan selesai makan roti dan minum air jernih, kedua orang muda itu lalu
melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi baru beberapa menit mereka melarikan
kuda, mendadak mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang.
Sian Li yang
berada di depan menahan kudanya dan menoleh. Terpaksa Sian Lun pun menahan
kudanya pula dan mereka melihat serombongan orang berkuda membalapkan kuda
mereka dari arah belakang dan melewati mereka.
Rombongan
itu terdiri dari tujuh orang lelaki yang berwajah bengis dan menyeramkan. Pada
saat mengenal dua orang di antara mereka adalah Badhu dan Sagha, dua orang
Nepal yang menjadi anak buah Lulung Lama, Sian Lun cepat-cepat berkata kepada
sumoi-nya, “Sumoi, mari kita kejar mereka!”
Sian Li
hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu,
tetapi karena Sian Lun sudah membalapkan kudanya, dia pun terpaksa melakukan
pengejaran.
“Suheng,
tahan dulu...!” Serunya ketika ia dapat menyusul suheng-nya.
Sian Lun
menahan kendali kudanya dan mereka berhenti.
“Suheng,
untuk apa kita mengejar mereka?” tanyanya.
“Aihh,
bagaimanakah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah
mata-mata yang mengacau di Bhutan? Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?”
“Hemm,
Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus membantu Bhutan.
Akan tetapi, menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas
kita, apa lagi kini kita sedang melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu,
engkau harus ingat pula bahwa kini kita tidak berada di daerah Bhutan lagi,
melainkan daerah Tibet.”
Mendengar
ucapan sumoi-nya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia
mengangguk maklum, kemudian berkata, “Betapa pun juga, karena kita juga melakukan
perjalanan yang searah dengan mereka tadi, tidak ada salahnya kalau kita
diam-diam memperhatikan dan menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan.
Setidaknya kita bisa mencegah perbuatan mereka yang akan merugikan Bhutan,
tanpa menunda perjalanan kita. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?”
Gadis itu
mengangguk. “Tentu saja, Suheng. Aku pun hanya ingin mengingatkanmu agar kita
berhati-hati. Perjalanan masih jauh dan kita tidak mengenal daerah ini.”
Mereka
melanjutkan perjalanan dan walau pun sudah tertinggal jauh oleh rombongan
berkuda tadi, namun mereka masih dapat mengikuti jejak tujuh orang itu dengan
mudah, apa lagi karena memang rombongan itu menuju ke arah yang sama dengan
perjalanan mereka.
Setelah
matahari condong ke barat, menjelang senja, mereka tiba di daerah yang subur,
bukit-bukit yang hijau dan mulai nampak anak sungai mengalir turun. Segera
nampak sebuah dusun yang besar, nampak genteng-genteng rumah dari lereng. Cukup
banyak dan besar-besar rumah yang berada di dusun itu.
Juga jejak
kaki kuda rombongan tadi menuju ke dusun itu. Mereka lalu menuju ke dusun untuk
melewatkan malam dan juga sekalian hendak melihat apa yang akan dilakukan
rombongan Badhu dan Sagha, dua orang ahli silat Nepal yang sombong itu.
Dusun itu
memang merupakan dusun yang besar dan ramai, terletak di tepi Sungai Yalu
Cangpo atau Sungai Brahmaputra yang mengalir dari Pegunungan Himalaya menuju ke
timur. Nama dusun itu dusun Namce.
Daerah itu
memang luas, tanahnya subur karena dekat sungai, dan juga di sungai itu
terdapat banyak ikan sehingga nampak banyak perahu nelayan di situ. Selain ini,
dusun Namce juga menjadi pelabuhan dan orang-orang yang melakukan perjalanan ke
timur, banyak yang mempergunakan perahu melalui sungai yang besar itu.
Meski pun
hanya berupa rumah-rumah sederhana, akan tetapi di dusun Namce terdapat
beberapa rumah penginapan dan rumah makan yang menjual makanan sederhana. Ada
pula pedagang yang menjual bermacam barang keperluan sehari-hari. Semua ini
telah membuat dusun itu menjadi makin ramai, dan terutama sekali karena
lalu-lintas melalui sungai itulah yang mendatangkan kemakmuran kepada dusun
Nam-ce.
Bahkan
orang-orang yang datang dari Lhasa, ibu kota Tibet, yang hendak melakukan
perjalanan ke timur, banyak yang melalui Sungai Brahmaputra. Di sebelah selatan
luar kota Lhasa terdapat sebuah sungai yang airnya menuju ke Sungai Brahmaputra
di dekat Namce, maka banyak yang menggunakan perahu dari Lhasa ke Namce,
kemudian dari dusun pelabuhan ini melanjutkan perjalanan dengan perahu besar ke
timur, mengikuti aliran air Sungai Brahmaputra.
Sian Lun dan
Sian Li menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan yang kecil namun
bersih. Tempatnya pun agak di pinggir dusun sehingga keadaan di situ tak begitu
ramai seperti di bagian tengah dusun, di mana terdapat sebuah pasar yang selalu
ramai dikunjungi orang karena tempat ini merupakan pasar perdagangan.
Setelah
membersihkan diri yang berlepotan debu dan berganti pakaian baru, Sian Li lalu
mengajak Sian Lun keluar dari rumah penginapan dan mencari kedai makanan.
Mereka berada di tempat asing, dan orang-orang di sekeliling mereka adalah
orang-orang dari suku bangsa daerah itu. Hanya kadang saja nampak orang
berpakaian seperti mereka, yaitu orang-orang Han yang hampir semua adalah
pedagang.
Andai kata
Sian Li mengenakan pakaian biasa, tentu dua orang muda ini tidak terlalu
menarik perhatian, walau pun kecantikan Sian Li tentu membuat banyak pria
melirik. Namun, karena gadis itu selalu mengenakan pakaian yang warnanya
kemerahan, baik polos mau pun berkembang, maka tentu saja ia nampak amat
menyolok dan menjadi perhatian setiap orang.
Sian Li
mengajak suheng-nya untuk memasuki sebuah kedai makan yang berada di jalan yang
agak sunyi. Ketika mereka memasuki kedai, senja hampir terganti malam, cuaca
mulai gelap. Kedai itu pun sudah diterangi lampu-lampu minyak yang tergantung
dengan kap-kap lampu beraneka warna sehingga nampak terang dan meriah. Seorang
pelayan menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk.
Sian Li
menyapu ruangan itu dengan sinar matanya. Tidak terlalu banyak tamu di situ.
Seorang pria yang agaknya menurut pakaiannya adalah bangsa Han duduk di sudut
sambil menundukkan muka. Tiga orang bangsa Tibet duduk di tengah ruangan itu,
dan masih ada beberapa orang lagi makan di meja sebelah kiri. Tidak ada sepuluh
orang tamu yang berada di ruangan itu.
Sian Li dan
Sian Lun duduk di bagian kanan. Sengaja Sian Li memilih bangku yang membuat ia
duduk membelakangi para tamu itu. Ia takkan merasa enak makan kalau menghadapi
mata banyak laki-laki yang ditujukan kepadanya dengan sinar mata kurang ajar.
Sian Lun
duduk berhadapan dengan Sian Li sehingga pemuda inilah yang menghadap ke tengah
ruangan, dapat melihat para tamu. Memang, seperti yang dilihatnya, sejak
sumoi-nya masuk ruangan rumah makan, semua tamu yang duduk di situ, semuanya
pria, mengangkat muka dan melempar pandang mata kagum kepada Sian Li. Pandang
mata orang-orang itu seperti melekat pada Sian Li, dan biar pun sumoi-nya sudah
duduk membelakangi mereka, tetap saja mereka itu selalu melirik ke arah gadis
itu. Kecuali seorang saja, yaitu orang Han yang duduk seorang diri di sudut
belakang.
Orang itu
makan sambil menundukkan muka. Ia hanya mengangkat muka memandang sejenak
ketika dia dan sumoi-nya tadi masuk, lalu menundukkan muka kembali, sedikit pun
tidak menaruh perhatian lagi.
Setelah
makanan yang dipesan datang, dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu makan
minum dan baru saja mereka selesai, mereka mendengar suara banyak orang
memasuki rumah makan. Mereka menengok dan sinar mata mereka menjadi keras
ketika mereka mengenal tujuh orang yang tadi mereka bayangi, yaitu Badhu dan
Sagha bersama lima orang kawan mereka!
Sian Li
tidak ingin mencari keributan di situ. Ia hanya ingin menyelidiki, apa yang
akan dilakukan dua orang anak buah Lulung Lama itu, akan tetapi tidak ingin
bentrok secara langsung. Apa lagi dia tahu bahwa dia dan suheng-nya berada di
daerah pihak lawan, maka keadaan dapat berbahaya bagi mereka.
Ia memberi
isyarat kepada suheng-nya, lalu menggapai pelayan yang segera mendekati mereka.
Pelayan lainnya sibuk melayani tujuh orang tamu yang baru masuk. Sian Lun
segera membayar harga makanan dan mereka berdua hendak keluar dari rumah makan
itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar bentakan kasar. “Heiiii, kalian berdua, tunggu dulu!”
Sian Li dan
Sian Lun berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Badhu dan Sagha telah berdiri
menghadapi mereka, sedangkan lima orang kawan mereka masih duduk. Dua orang
Nepal itu lalu menghampiri Sian Li dan Sian Lun yang berdiri dengan tenang dan
tegak.
“Hemm,
kalian ini orang-orang Han yang sombong, mau apa berkeliaran di sini?” kata
Badhu yang berperut gendut.
Sian Li
mengerutkan alisnya dan memandang tajam, lalu bibirnya tersenyum mengejek. Ia
melihat betapa beberapa orang Tibet yang berada di situ tengah memandang ke
arah mereka.
“Bukan kami
orang-orang Han yang sombong dan berkeliaran, karena kami sedang kembali ke
timur dan hanya lewat di sini. Akan tetapi kalianlah dua orang Nepal yang besar
kepala, kalian berkeliaran di sini tentu hanya akan membikin kacau saja!”
Gadis ini
memang cerdik. Tadi mendengar seruan Badhu Si Gendut, para tamu orang-orang
Tibet memandang kepada Sian Li dan Sian Lun dengan mata curiga. Akan tetapi
setelah gadis baju merah itu menjawab dengan suara lantang, pandang mata mereka
berubah dan kini mereka memandang ke arah Badhu dan Sagha dengan alis berkerut.
Wajah Badhu
menjadi kemerahan ketika dia mendengar jawaban Sian Li, dan dengan marah dia
membentak, “Gadis Han yang sombong, jangan bicara sembarangan!”
Sian Li
tersenyum. “Siapa bicara sembarangan, engkau atau aku? Coba kau sangkal,
bukankah kalian sudah membikin kekacauan di Nepal, kemudian di Bhutan dan
setelah gagal di sana, kalian hendak mengacau pula di Tibet ini?”
Badhu
menjadi semakin marah. “Perempuan sombong! Kau lihat saja pembalasan kami atas
semua penghinaanmu!”
Setelah
berkata demikian, Badhu memberi isyarat kepada enam orang kawannya dan mereka
pun keluar dari rumah makan itu tanpa memesan makanan!
Karena ia
memang tidak ingin membikin ribut di rumah makan itu atau di dalam dusun itu,
yang hanya akan menimbulkan kekacauan saja dan juga akan menjadi penghambat
perjalanannya, maka Sian Li juga segera meninggalkan tempat itu. Sian Li
mencegah suheng-nya ketika Sian Lun yang nampaknya marah itu hendak melakukan
pengejaran.
Setelah dua
orang muda itu pergi, ramai para tamu membicarakan peristiwa kecil tadi dan
semua orang merasa kagum dan memuji nona baju merah yang berani menentang
orang-orang Nepal yang terlihat kuat dan bengis tadi. Hanya seorang di antara
mereka yang tidak ikut bicara. Dia adalah laki-laki yang tadi duduk di sudut
belakang. Dia tidak pernah bicara, hanya memanggil pelayan, membayar harga
makanannya dan dia pun segera meninggalkan rumah makan tanpa meninggalkan
kesan.
“Sumoi,
kenapa Sumoi melarangku untuk mengejar mereka? Dua orang Nepal keparat itu
pantas dihajar!” Sian Lun menegur sumoi-nya ketika mereka tiba kembali di rumah
penginapan mereka.
“Suheng,
lupakah engkau bahwa sekarang kita bukan berada di Bhutan lagi, juga bukan di
negara sendiri? Kita berada di Tibet, dan engkau tentu masih ingat bahwa dua
orang Nepal itu adalah anak buah Lulung Lama, seorang tokoh yang menjadi
pimpinan para Lama Jubah Hitam. Ini adalah tempat mereka dan jika terjadi
keributan, tentu kita yang dianggap sebagai pengacau. Tadi pun aku masih
beruntung dapat membalas serangan fitnah mereka sehingga orang-orang Tibet yang
mendengarnya tidak memihak mereka.”
“Ahh, aku
hanya khawatir kalau kita dianggap penakut dan tidak berani kepada mereka. Lagi
pula sekarang ini kita yang diancam dan kita tidak tahu kapan mereka akan turun
tangan mengganggu kita.”
“Suheng,
bukankah Guru kita, kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, pernah memberi tahu
bahwa kita tak boleh tergesa-gesa menurutkan nafsu kemarahan belaka? Bahkan
kita diharuskan bersabar setiap kali menghadapi lawan. Kita harus memakai
kecerdikan, bukan asal hantam saja! Tanpa ancaman mereka pun, kita harus
waspada setiap saat karena bagi seorang pengembara, kita selalu dikelilingi
kemungkinan adanya serangan bahaya. Nah, sekarang kita tidur saja karena besok
pagi-pagi sekali kita harus sudah melanjutkan perjalanan.”
Walau pun di
dalam hatinya Sian Lun masih merasa penasaran dan marah kepada dua orang Nepal
yang tadi sudah mengeluarkan kata-kata kasar dan kurang ajar terhadap
sumoi-nya, namun alasan yang dikemukakan Sian Li sangat kuat dan juga tepat,
maka dia pun hanya mengangguk dan mereka pun memasuki kamar masing-masing.
Malam itu
sunyi sekali di rumah penginapan di mana Sian Li dan Sian Lun menginap. Lewat
tengah malam, keadaan bertambah sunyi dan dingin. Petugas rumah penginapan yang
berjaga malam ada dua orang. Mereka ini pun sudah meringkuk di meja pengurus,
tertidur karena setelah lewat tengah malam, tentu tidak akan ada tamu datang
lagi.
***************
Lima
bayangan hitam menyelinap memasuki rumah penginapan melalui pagar tembok
belakang dengan melompatinya. Gerakan mereka ringan dan gesit sekali,
menunjukkan bahwa lima orang ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi.
Dengan
menyusup seperti lima ekor kucing, tanpa mengeluarkan suara, lima orang ini
akhirnya telah tiba di belakang kamar Sian Lun dan Sian Li yang berdampingan.
Mereka menghampiri jendela dalam dua kelompok, lalu mengintai ke dalam. Gelap
dan sunyi saja dalam kedua kamar itu.
Mereka itu
adalah Badhu dan Sagha, diikuti tiga orang berkepala gundul berjubah hitam.
Tiga orang pendeta Lama Jubah Hitam! Kiranya Badhu dan Sagha hendak memenuhi
ancamannya dan sekali ini mereka tidak mau gagal.
Mereka sudah
maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka mereka berdua datang mengajak
tiga orang tokoh Hek-I Lama (Pendeta Lama Jubah Hitam) yang mempunyai ilmu
tinggi. Ketiga orang itu adalah para pembantu dari Lulung Lama dan memiliki
ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dua orang Nepal itu.
Mereka
memang sudah membuat persiapan serta sudah mengatur rencana pembagian tugas.
Anak buah mereka telah mencari keterangan di mana letak kamar pemuda dan gadis
itu, dan sekarang mereka sudah siap melaksanakan rencana mereka.
Badhu beserta
seorang pendeta jubah hitam akan bertugas membius gadis berpakaian merah dengan
meniupkan asap pembius ke dalam kamar, sedangkan Sagha dibantu dua orang
pendeta jubah hitam akan menerjang masuk ke kamar pemuda Han itu dan
membunuhnya!
Setelah
memberi isyarat, Badhu lalu menghampiri pintu kamar Sian Li. Dengan dibantu
seorang pendeta jubah hitam, dia menyusupkan sebuah pipa kecil ke dalam kamar
itu melalui celah di bawah pintu. Pipa itu bersambung dengan sebuah kantung
kulit yang menggembung. Bersama temannya, Badhu lalu menekan-nekan kantung itu
dan asap beracun tertiup masuk kamar melalui pipa.
Sementara
itu, Sagha beserta dua orang pendeta baju hitam, dengan memegang golok,
mencongkel jendela kamar itu. Dengan mudah saja daun jendela terbuka dan tiga
orang itu berloncatan memasuki kamar yang gelap. Mereka menyalakan lilin dan
kaget sekali ketika melihat betapa tempat tidur pemuda itu kosong, tidak ada
orangnya! Tentu saja Sagha dan dua orang pendeta jubah hitam itu berlompatan
keluar lagi.
“Kamarnya
kosong...!” kata Sagha kepada Badhu yang menjadi heran dan kaget bukan main.
Jika kamar
pemuda itu kosong, tentu kamar gadis itu kosong pula! Ataukah Si Pemuda itu
pindah ke kamar Si Gadis? Badhu tersenyum menyeringai dan berkata dengan suara
mengejek.
“Tentu saja
mereka tidur bersama dalam kamar ini! Siapa orangnya mau membiarkan nona merah
yang cantik molek itu tidur kedinginan seorang diri?” Mereka tertawa, walau pun
suara tawa mereka ditahan agar tidak menimbulkan kegaduhan.
“Mereka
berdua tentu sudah terbius pingsan sekarang,” katanya lagi dengan girang.
Mereka
terlalu memandang rendah kepada Sian Li dan Sian Lun. Tidak percuma dua orang
muda ini menjadi murid orang-orang sakti seperti Suma Ceng Liong dan isterinya,
Kam Bi Eng.
Biar pun dua
orang ini telah melakukan perjalanan jauh dan tubuh mereka terasa lelah, namun
karena tadi bertemu dengan tujuh orang yang hendak membikin ribut di rumah
makan, dan mendengar ancaman Si Gendut Badhu, maka suheng dan sumoi ini tidak
tidur begitu saja. Mereka beristirahat sambil duduk bersila, sehingga biar
tubuh mereka beristirahat, akan tetapi kewaspadaan mereka selalu menjaga
keselamatan mereka.
Sedikit
gerakan lima orang yang mendekati kamar mereka, biar pun tidak menimbulkan
suara gaduh, cukup untuk dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Sian
Li menjadi curiga dan ketika dia mengintai dari jendela kamarnya, dia melihat
bayangan beberapa orang berkelebatan. Tahulah ia bahwa ada penjahat yang
datang.
Ia memang
sudah siap siaga, maka kamarnya berada dalam kegelapan. Sebelum para penjahat
itu melakukan sesuatu, dia sudah membuka jendela samping dan meloncat ke luar,
terus mengambil jalan memutar dan meloncat ke atas genteng.
Hampir saja
dia bertubrukan dengan suheng-nya di atas genteng! Kiranya Sian Lun juga sudah
dapat melihat para penjahat itu dan seperti juga Sian Li, dia keluar dari kamar
dan meloncat ke atas genteng.
“Ada dua
orang menghampiri kamarku, Suheng,” katanya lirih.
“Dan kulihat
tiga orang menghampiri kamarku,” kata pula Sian Lun.
Mereka
berdua sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka mengintai ke bawah.
Mereka melihat apa yang dilakukan lima orang itu, mendengar pula percakapan
mereka yang mengira bahwa mereka berdua tidur sekamar!
Mendengar
ini wajah Sian Li lantas menjadi merah saking marahnya menerima tuduhan kotor
tentang dirinya itu. Juga wajah Sian Lun menjadi merah sekali karena tadi pun,
seperti malam-malam yang lalu, dia sering bermimpi tidur sekamar dengan
sumoi-nya yang telah membuatnya tergila-gila semenjak sumoi-nya remaja!
Kini Sian Li
sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Ia melayang turun, diikuti
suheng-nya sambil berseru, “Jahanam bermulut busuk!”
Lima orang
yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada dua
bayangan orang melayang turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang muda
yang mereka kira sedang tidur bersama di dalam kamar itu dan yang kini tentu
telah roboh pingsan, kini telah berdiri di depan mereka dengan pedang di
tangan.
“Gawat!
Lari...!” teriak Badhu yang memimpin gerakan itu.
Mereka pun
telah berloncatan ke dalam kegelapan malam, lari ke arah belakang rumah
penginapan di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.
“Jahanam
busuk, hendak lari ke mana kalian?” Sian Lun berseru marah dan melakukan
pengejaran.
“Hati-hati,
Suheng!” teriak Sian Li yang juga ikut mengejar.
Dia merasa
khawatir karena dari apa yang dia pelajari, sungguh berbahaya melakukan
pengejaran terhadap penjahat yang lihai atau banyak jumlahnya di malam hari,
apa lagi di tempat yang tidak dikenal keadaannya.
Akan tetapi
ternyata bahwa mereka jauh lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh sehingga
sebentar saja, mereka telah dapat menyusul ketika lima orang penjahat itu tiba
di dalam kebun. Kini setelah tiba di tempat sepi, agaknya Badhu dan
kawan-kawannya sudah siap siaga. Mereka berlima sudah mencabut golok dan tetap
dalam pembagian tugas seperti tadi, Badhu dan seorang pendeta jubah hitam
menyambut Sian Li dengan golok mereka, sedangkan Sagha dan dua orang pendeta
lain menyerang Sian Lun.
Terjadilah
perkelahian yang mati-matian di dalam kebun itu, hanya diterangi oleh sinar
bulan yang datang agak lambat. Mereka lebih mengandalkan ketajaman pendengaran
dari pada penglihatan dan untunglah bahwa untuk ilmu ini, Sian Li dan Sian Lun
telah mendapat gemblengan dari guru mereka.
Meski
demikian, ketika senjata mereka bertemu dengan golok mereka yang berkepala
gundul dan berjubah hitam, Sian Li dan Sian Lun terkejut karena mendapat
kenyataan bahwa tenaga mereka itu sangat kuat, jauh lebih kuat dibandingkan
Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga kasar dari otot-otot yang
terlatih.
Sian Li
masih mampu mengimbangi pengeroyokan Badhu dan seorang pendeta jubah hitam.
Gadis ini mengamuk dengan gerakannya yang indah mirip sekali dengan gerakan
seekor burung bangau. Bangau Merah!
Biar pun
sudah menerima gemblengan berbagai ilmu silat tinggi dari Suma Ceng Liong dan
Kam Bi Eng, akan tetapi yang menjadi inti dari kepandaian Sian Li adalah ilmu
yang berdasarkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Bangau Putih) yang dipelajari
dari ayahnya sendiri sebelum ia berguru pada kakek dan neneknya. Dan memang
Suma Ceng Liong yang menghendaki agar gadis ini memperdalam ilmu warisan
ayahnya itu, hanya kini ilmu silat itu dicampur dengan ilmu lain yang tinggi
sehingga ilmu silat yang berdasarkan gerakan burung bangau itu kini menjadi
aneh dan lihai, namun masih mengandung gerakan halus dari seekor bangau.
Yang repot
adalah Sian Lun. Tingkat kepandaian pemuda ini memang masih kalah jika
dibandingkan sumoi-nya, dan kini dia dikeroyok tiga orang. Kepandaian Sagha
memang tidak ada artinya bagi Sian Lun, akan tetapi dua orang pendeta jubah
hitam itu sungguh lihai bukan main. Melawan seorang saja di antara mereka sudah
merupakan lawan yang tangguh, apa lagi ada dua orang seperti itu, masih
ditambah dengan Sagha lagi. Sian Lun hanya mampu memutar pedangnya, melindungi
dirinya dari sambaran tiga batang golok para pengeroyoknya.
Mendadak
terjadilah keanehan! Lima orang pengeroyok itu berturut-turut mengeluarkan
teriakan kesakitan dan senjata mereka terlepas dari tangan. Mereka itu lalu
berlompatan jauh ke belakang dan melarikan diri dari Sian Li dan Sian Lun yang
tentu saja menjadi bengong terheran-heran. Mereka tidak merasa telah melukai
para pengeroyok itu, akan tetapi mengapa mereka berlima itu melepaskan golok
dan melarikan diri seperti orang ketakutan?
Sian Lun
hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sian Li memegang tangan kirinya
mencegah, “Suheng, mereka itu merupakan lawan berat, berbahaya sekali bila
dikejar. Mari kita kembali ke kamar!” katanya.
“Tetapi, apa
yang telah terjadi? Kenapa mereka melepaskan senjata dan melarikan diri seperti
orang ketakutan?”
Sian Li
menggelengkan kepalanya, “Entahlah, Suheng, aku pun tidak mengerti. Telah
terjadi keanehan malam ini, mungkin ada dewa yang menolong kita.”
Mereka
kemudian kembali ke rumah penginapan dimana telah berkumpul banyak orang.
Kegaduhan tadi membangunkan para tamu, juga para pelayan sehingga kini mereka
berkerumun di depan kamar Sian Li dan kamar Sian Lun. Ketika dua orang muda itu
muncul, tentu saja mereka dihujani pertanyaan.
“Ada dua
orang pencuri hendak memasuki kamar kami berdua,” kata Sian Lun.
“Mereka
menggunakan asap pembius. Harap kalian mundur semua, aku akan membuka jendela
agar asap itu keluar. Awas, yang terkena asap itu dan menyedotnya, akan jatuh
pingsan,” sambung Sian Li.
Sian Li lalu
membuka daun jendela kamarnya, lalu pergi menjauhi kamar itu, demikian pula
Sian Lun. Dari dalam kamar itu membubung asap tipis yang tidak berapa banyak
lagi karena tadi sebagian asap sudah keluar melalui celah-celah pintu, jendela
dan atap.
Orang-orang
menjauh dan memandang heran. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa
pencuri-pencuri itu melarikan diri tanpa membawa barang curian, lalu dikejar
dua orang muda itu, pengurus rumah penginapan lantas merasa lega. Para tamu pun
berangsur kembali ke kamar masing-masing. Tentu saja kini mereka tahu bahwa
gadis berpakaian merah yang cantik dan pemuda tampan itu adalah dua orang
pendekar.
Sementara
itu, dari tempat gelap tak jauh dari situ, seorang laki-laki yang bersembunyi
dalam gelap, meremas-remas jari tangan sendiri. Pandang matanya penuh
ketegangan, keraguan, dan juga keharuan. Bibirnya berkemak-kemik bicara seorang
diri dengan lirih.
“Benarkah
dia? Ahhh, tidak mungkin. Kenapa dia berada di sini dan siapa pemuda itu?
Benarkah dia Sian Li...? Tapi pakaian merah itu... ahhh, benarkah dia Tan Sian
Li...?”
Dengan wajah
penuh keraguan dia masih berdiri termangu-mangu di tempat gelap itu sampai Sian
Li dan Sian Lun memasuki kamar masing-masing dan tempat itu menjadi sunyi
kembali.
Siapakah
pria itu? Dan apa pula yang telah terjadi ketika Sian Li dan Sian Lun dikeroyok
lima orang lawan yang lihai tadi? Mengapa mereka melarikan diri? Kita ikuti
perjalanan mereka selanjutnya.
**************
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun dan Sian Li telah pergi
meninggalkan rumah penginapan. Mereka menuntun kuda mereka ke pasar kuda yang
selalu ramai di tempat itu. Tentu saja dua ekor kuda tunggangan mereka menarik
perhatian pembeli karena dua ekor binatang itu adalah kuda-kuda pilihan yang
berasal dari kandang kuda istana Bhutan! Dengan mudah mereka mendapatkan
pembeli yang berani membayar cukup mahal untuk dua ekor kuda itu.
Sian Li dan
Sian Lun lalu menuju ke bandar sungai untuk menyewa sebuah perahu yang akan
mereka tumpangi sampai ke belokan air Sungai Yalu Cangpo atau Sungai
Brahmaputra yang membelok ke selatan. Dari belokan itu mereka akan mendarat dan
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki atau berkuda lagi menuju ke timur.
Seorang
peranakan Han-Tibet yang mempunyai sebuah perahu yang sedang besarnya,
menyanggupi perjalanan itu dengan upah yang cukup memadai. Orang itu berusia
lebih kurang lima puluh tahun. Kulitnya hangus kecoklatan karena setiap hari
pekerjaannya sebagai nelayan membuat kulitnya setiap hari terbakar sinar
matahari.
Kalau tidak
karena logat bicaranya, tentu sukar dikenal bahwa dia peranakan Han. Baik wajah
maupun pakaiannya sudah sepenuhnya orang Tibet. Orangnya pendiam dan juga
sopan, maka Sian Li memilih orang ini dari pada pemilik perahu lain, walau pun
harus membayar lebih mahal.
Perjalanan
dengan perahu itu cukup menyenangkan. Perahunya kokoh serta seimbang, tukang
perahunya pendiam dan ahli mengemudikan perahu. Air sungai pun tenang dan dalam
karena waktu itu musim semi, tidak banyak hujan. Pemandangan di tepi sungai
juga amat indah, penuh pohon-pohonan menghijau, diseling bunga beraneka warna
dan bentuk. Kadang-kadang sungai itu melewati daerah yang diapit tebing-tebing
bukit yang menjulang tinggi, kadang melalui ladang yang tanahnya landai dan
datar.
Kalau malam
tiba, Sian Li menyuruh tukang perahu menghentikan perahunya. Mereka dapat
mencoba untuk memancing ikan, menggunakan alat pancing milik tukang perahu dan
betapa senangnya hati Sian Li kalau ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Mereka
membakar ikan hasil pancingan mereka, makan ikan dengan arak ringan yang
membuat dua orang muda itu merasa gembira sekali.
Apa lagi
kalau bulan sudah muncul. Duduk di kepala perahu sambil makan ikan bakar,
bercakap-cakap di bawah sinar bulan purnama, dihembus angin malam yang lembut,
bau daun ilalang di sekitar pantai, dan perahu bergoyang lembut seolah-olah
membuat mereka laksana diayun-ayun, sungguh amat menyenangkan. Romantis sekali.
Keadaan dan suasana itulah yang membuat sinar mata Sian Lun ketika dia
memandang wajah sumoi-nya yang tertimpa sinar bulan, lain dari pada biasanya.
Ketika
mendadak suheng-nya yang tadi bercakap-cakap dengan gembira itu kini diam saja,
Sian Li merasakan suatu perubahan pada suheng-nya yang membuatnya menatap wajah
suheng-nya. Diam-diam ia terkejut.
Suheng-nya
memandang kepadanya dengan aneh! Sinar mata suheng-nya itu! Seolah-olah mata
itu dengan lembutnya membelainya, kemudian berusaha untuk menjenguk isi
hatinya. Dan pandang mata itu mengandung sesuatu yang membuat jantungnya lantas
berdebar aneh, karena sepasang mata itu tak pernah berkedip.
“Heiii,
Suheng! Apa-apaan sih engkau ini?” teriaknya untuk menekan guncangan hatinya
sendiri, memecahkan suasana yang membuatnya canggung itu.
“Kenapa,
Sumoi?” kata Sian Lun.
Suara itu
pun berubah bagi Sian Li. Suara itu demikian lembut, seperti mengelusnya dan
keluar dari dalam dada.
“Suheng,
mengapa engkau memandangku seperti itu?” tegurnya.
Mereka dapat
bicara dengan bebas karena tukang perahu sudah tidur di tepi sungai, menggulung
dirinya dalam selimutnya yang tebal.
Dalam
keadaan masih terpesona, seperti tersihir oleh wajah yang nampak cantik jelita
luar biasa ketika bermandikan sinar bulan itu, Sian Lun masih belum tersadar
dan dia menjawab dengan suara penuh kagum dan penuh kasih sayang.
“Engkau...
engkau begitu cantik jelita...“
Dalam
keadaan biasa, pujian dari suheng-nya itu tentu akan membuat Sian Li tertawa
geli. Akan tetapi sekarang, sinar mata suheng-nya membuat wajahnya menjadi
merah sekali ketika mendengar pujian itu. Namun dia memaksa diri menekan
perasaan aneh, rasa senang, gembira dan bangga, dan ia pun memaksa diri untuk
tertawa.
Sian Li
membayangkan dirinya dan suheng-nya yang sudah berlatih bersama, bermain
bersama sejak dia berusia dua belas tahun, ketika dia masih kanak-kanak, dan
tiba-tiba suheng-nya yang biasanya selalu bersikap sopan dan serius kepadanya,
kini memuji kecantikannya. Lucu!
“Hi-hi-hik,
heh-heh... kau lucu, suheng! Mengapa mendadak saja engkau seperti ini?
Jangan-jangan engkau kemasukan setan sungai ini yang kabarnya keramat? Kalau
mau mengagumi kecantikan, tengoklah ke atas. Lihat, bulan itulah yang cantik
jelita penuh senyum.”
Akan tetapi
ucapan yang penuh kelakar itu tidak cukup kuat untuk menyeret Sian Lun turun
kembali ke dalam keadaan seperti biasa yang wajar. Dia masih terpesona!
“Tidak,
Sumoi. Kecantikan Sang Bulan tidak dapat disamakan dengan kecantikanmu!
Kecantikan bulan itu mati, akan tetapi engkau... aih, Sumoi, tidak ada wanita
di seluruh dunia ini yang dapat menyamai kecantikanmu!”
Kalau tadi
Sian Li masih tersenyum-senyum manis, kini senyumnya menghilang dan alisnya
berkerut khawatir. Namun bagi Sian Lun, seperti juga semua laki-laki yang telah
jatuh cinta, perubahan wajah gadis itu sama sekali tak mengubah hasil
pandangannya. Tersenyum, tertawa, merengut atau menangis dan marah-marah, tetap
saja cantik jelita!
Bagi hati
yang sedang tergila-gila oleh cinta, wajah yang cemberut bahkan bertambah
manis! Sebaliknya, bagi hati yang diracuni benci, wajah yang tersenyum pun
dianggap mengejek dan menyebalkan!
“Suheng,
sadarlah! Kita sudah bergaul semenjak aku kecil. Kita biasa berlatih bersama,
bermain bersama. Kenapa sekarang engkau bersikap begini? Mengerikan!
Hentikanlah kelakarmu ini, atau aku akan benar-benar marah, Suheng!” berkata
Sian Li dan untuk menyadarkan suheng-nya, Sian Li memegang lengan pemuda itu
dan mengguncangnya agak keras.
Sian Lun
baru menyadari ketidak wajaran sikapnya. Dia menarik napas panjang seperti
orang mengeluh, “Maaf, Sumoi. Ahhh, maafkan sikapku tadi... akan tetapi... aku
seperti mabok, Sumoi. Mabok oleh apa yang kulihat malam ini. Wajahmu ketika
disinari bulan purnama, rambutmu, matamu, hidung dan bibirmu... ahhh, engkau
memang cantik jelita, sumoi dan aku... aku tak dapat menahan lagi rahasia
hatiku. Aku cinta padamu, Sumoi, aku cinta padamu...”
Sepasang
mata indah itu terbelalak. Pipi yang tadi kemerahan itu mendadak menjadi pucat,
kemudian merah lagi dan tiba-tiba saja Sian Li menggerakkan ke dua tangannya
mendorong kedua pundak Sian Lun. Pemuda itu terkejut, tidak mampu mengelak atau
menangkis, dan tubuhnya terjengkang keluar dari perahu.
“Byuurrr...!”
Air muncrat
tinggi dan tubuh Sian Lun tenggelam! Tidak lama kemudian, pemuda itu muncul
kembali dan gelagapan. Sian Lun bukan tak pandai renang, akan tetapi dia tadi
terlampau terkejut ketika tubuhnya didorong sumoi-nya keluar dari perahu, dan
kini dia pun harus melawan arus air, kembali ke perahu.
“Peganglah
ini!” kata Sian Li yang sudah menjulurkan dayung ke arah pemuda itu.
Setelah tadi
mendorong tubuh suhengya sehingga terjatuh ke dalam air di luar perahu, Sian Li
baru menyesali perbuatannya. Melihat pemuda itu gelagapan, ia lalu menyambar
dayung dan menolongnya naik.
Sian Lun
naik ke perahu dengan pakaian basah kuyup, juga rambutnya basah kuyup. Mereka
berdiri berhadapan di kepala perahu, saling pandang. Sian Li marasa kasihan
juga melihat suheng-nya yang basah kuyup dan nampak bersedih.
“Maafkan
aku, Sumoi,” kata Sian Lun lirih.
Hemmm, sudah
didorong ke dalam air, malah minta maaf. Sian Li merasa semakin menyesal.
“Habis, engkau sih, Suheng, yang aneh-aneh saja. Aku tak suka melihat dan
mendengar engkau seperti tadi! Engkau Suheng-ku, kuanggap seperti kakakku
sendiri, dan aku... aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal cinta. Jangan
sebut-sebut lagi soal itu. Dan kau juga maafkan aku yang tadi mendorongmu
karena marah.”
Sian Lun
menundukkan mukanya. Didorong ke air oleh Sian Li bukan apa-apa, biar pun
didorong seratus kali dia mau asal gadis yang membuatnya tergila-gila itu suka
untuk menerima cintanya. Namun yang membuat hatinya terasa sedih sekali adalah
ucapan sumoi-nya tadi. Sumoi-nya tidak mau bicara tentang cinta dan menganggap
dia seperti kakak sendiri! Dia menundukkan mukanya dan memasuki bilik perahu
untuk bertukar pakaian kering.
Sian Li
memandang ke arah kain tirai yang menutup pintu bilik dengan hati iba. Akan
tetapi dia tidak berbohong dengan ucapannya tadi. Selama ini dia menyayang Sian
Lun sebagai suheng, atau sebagai kakak sendiri, sama sekali tidak pernah
terbayangkan memandang suheng-nya itu sebagai seorang kekasih, sebagai seorang
calon suami! Lucu dan aneh rasanya kalau dia harus menjadi isteri suheng-nya!
Ketika Sian
Li sedang melamun, tiba-tiba perahu itu terguncang hebat. Dia terkejut dan
cepat menengok.
“Heiiii...!”
teriaknya ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam tiba-tiba meloncat dari
air ke atas perahunya, dan sebuah perahu meluncur cepat menuju ke situ. Tahulah
dia bahwa ada orang jahat yang hendak mengganggunya, maka cepat dia menyambut
kedua orang itu dengan serangan kakinya yang melakukan tendangan beruntun.
Tendangan-tendangan
kaki Si Bangau Merah Tan Sian Li tak boleh disamakan dengan tendangan kaki
seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang biasa saja. Tendangan itu selain
sangat cepat datangnya, juga mengandung tenaga sinkang, karena gerakan itu
adalah salah satu jurus ilmu tendangan sakti Soan-hong-twi (Tendangan Angin
Puyuh) yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong!
Dua orang
berpakaian hitam yang basah kuyup itu tak sempat mengelak, hanya mampu
menggerakkan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga mereka.
“Dukkk!
Plakkk!”
Tangkisan
mereka yang disertai tenaga itu bahkan membuat tendangan itu semakin ampuh.
Tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter dan mereka pun terjatuh ke air
kembali. Air muncrat lebih tinggi dari pada ketika Sian Lun tercebur tadi!
Akan tetapi,
dari tepi perahu yang lain telah berloncatan empat orang berpakaian hitam yang
lain lagi. Mereka membawa golok dan sudah menerjang Sian Li dari belakang.
Gadis itu
mendengar sambaran golok dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik tiga
kali dan ketika tubuhnya turun, ia telah meluncur dengan kepala di bawah,
didahului sebatang pedang yang tadi sudah dibawanya meloncat dan dicabut pada
saat tubuhnya berjungkir balik.
Sinar pedang
itu meluncur deras dan menyambar ke arah tiga orang penyerangnya tadi dengan
kecepatan laksana kilat. Gerakannya bagaikan seekor burung bangau merah yang
melayang turun dengan paruh yang runcing di bawah, siap untuk mematuk!
Akan tetapi
tiga orang itu ternyata lihai juga. Mereka memutar golok untuk melindungi diri
dari sinar pedang yang menyambar bagaikan kilat itu.
“Trang-trang-trang...!”
Oleh karena
tiga kali beradu senjata selagi tubuhnya masih di udara, terpaksa Sian Li
berjungkir balik lagi agar jangan sampai terbanting jatuh. Ia dapat turun ke
atas perahu, akan tetapi terhuyung karena perahu itu terguncang oleh tenaga
tiga orang itu. Dan tiga orang itu, yang agaknya lebih terbiasa di atas perahu
yang bergoyang-goyang, sudah menerjang maju!
Tiba-tiba,
Sian Lun yang sudah berganti pakaian dan mendengar suara gaduh di luar bilik
perahu, sudah meloncat dan dengan pedang diputar dia menghadang terjangan tiga
orang itu. Terdengar bunyi berdentangan dan bunga api berpijar ketika pedang di
tangan Sian Lun bertemu dengan tiga batang golok milik para pengeroyok yang
ternyata cukup lihai itu. Dan Sian Li tidak dapat membantu Sian Lun karena pada
saat itu, dua orang lagi sudah meloncat naik dan mengeroyok Sian Li dengan
golok mereka.
“Pendeta-pendeta
busuk, munafik, jahat...!” Sian Li marah sekali dan sambil berteriak
memaki-maki, pedangnya digerakkan dengan dahsyat sehingga membuat kedua orang
pengeroyoknya itu terdesak.
Akan tetapi,
pada saat itu, perahu berguncang keras dan miring! Sian Lun masih sempat
meloncat ke tepi sungai, akan tetapi Sian Li tidak sempat lagi kerena selain
kedua orang lawannya sudah menyergapnya lagi selagi perahu miring dan hampir
terbalik, juga dara ini berada di sisi perahu yang tiba-tiba miring ke bawah.
Dia mencoba
untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya, akan tetapi dua batang golok
menyambar kakinya. Terpaksa Sian Li meloncat dan tak dapat dihindarkan lagi, ia
tercebur ke dalam air!
Kepandaian
Sian Li di air hanya biasa-biasa saja, hanya sekedar dapat berenang dan tidak
sampai tenggelam. Maka ketika dua orang penjahat yang sudah biasa bermain di
air menyelam dan memegangi kedua kakinya, gadis ini tidak berdaya, meronta dan
gelagapan sehingga akhirnya dia tertawan. Kedua tangannya dibelenggu ke
belakang dan ia diseret ke tepi sungai oleh empat orang!
Sementara
itu, Sian Lun yang berhasil melompat ke daratan dan tidak sampai tercebur,
masih dikepung oleh tiga orang lawan yang cukup tangguh. Pemuda ini mengamuk
dan sukarlah bagi tiga orang itu untuk mampu mendesaknya. Akan tetapi, ketika
Sian Lun melihat betapa sumoi-nya tertawan, dia menjadi khawatir sekali dan
juga marah.
“Lepaskan
dia!” bentaknya.
Tiba-tiba
saja tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dia sudah meninggalkan tiga orang
pengepungnya, dan langsung saja dia menyambar ke arah empat orang yang menawan
Sian Li! Pedangnya diputar dan empat orang itu terkejut, cepat mereka
menggerakkan golok untuk menangkis, lalu mengepung Sian Lun.
Pemuda ini
nekat. Dia harus bisa menyelamatkan sumoi-nya. Gerakan pedangnya amat hebat
karena pemuda yang sudah marah dan nekat ini sudah memainkan Ilmu Pedang
Koai-liong-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang telah dipelajarinya dari
subo-nya (ibu gurunya). Pedangnya seperti berubah menjadi seekor naga yang
mengamuk, dan suara desing pedangnya bagaikan auman naga.
Empat orang
lawannya terkejut dan terpaksa mundur berpencaran. Kesempatan itu lalu
digunakan oleh Sian Lun untuk mendekati sumoi-nya dan sekali menggerakkan
pedang, tali pengikat pergelangan kedua tangan Sian Li terbabat putus.
“Awas,
Suheng...!” teriak Sian Li ketika melihat betapa empat orang itu, ditambah tiga
orang lagi, serentak menyerang Sian Lun dari belakang dan kanan kiri!
Sian Lun
membalik sambil memutar pedangnya, sedang Sian Li menerjang orang yang tadi
merampas pedangnya dengan sebuah tendangan ke arah tangan yang memegang golok,
lantas dilanjutkan tubrukan ke depan untuk merampas kembali pedangnya yang
dipegang tangan kiri orang itu. Tubrukannya berhasil pada saat orang itu
mengelak ke samping, dan di lain saat pedang itu telah dirampasnya kembali.
Akan tetapi,
ketika Sian Lun menangkis, terlampau banyak golok yang menyerangnya sehingga
sebuah di antara golok yang menyerangnya, ketika ditangkis dengan putaran
pedangnya, masih sempat melukai pundak kirinya sehingga baju di bagian pundak
itu terobek berikut kulit pundak yang terluka dan berdarah.
“Suheng, kau
terluka?” teriak Sian Li sambil memutar pedang membantu suheng-nya.
“Tidak
mengapa. Kita basmi manusia-manusia busuk ini!” bentak Sian Lun yang sudah
marah sekali, lalu dengan penuh semangat dia juga memutar pedangnya, menyerang
dengan dahsyat.
Kedua orang
kakak beradik seperguruan itu mempergunakan ilmu-ilmu pedang yang amat hebat.
Sian Lun tetap memainkan Ilmu Pedang Naga Siluman, sedangkan Sian Li kini
memainkan Ilmu Pedang Suling Emas seperti yang ia pelajari dari neneknya, Kam
Bi Eng!
Dua macam
ilmu pedang ini memang merupakan ilmu-ilmu pedang yang dahsyat, dan Nenek Kam
Bi Eng telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari ayahnya, Kam Hong, yang sudah
menggabungkan kedua ilmu itu menjadi satu. Karena itu, ketika kedua orang muda
ini memainkan dua macam ilmu itu, mereka segera merupakan pasangan yang amat
kuat sehingga tujuh orang pengeroyok mereka kewalahan dan mereka pun
berloncatan ke belakang, kemudian melarikan diri ke dalam hutan gelap di tepi
sungai.
“Jahanam,
kalian hendak lari ke mana?” Sian Lun melompat dan langsung melakukan
pengejaran.
“Suheng,
jangan kejar!” Sian Li berseru, akan tetapi suheng-nya sudah berlari cepat dan
tidak mau berhenti.
“Suheng,
berbahaya kalau mengejar mereka!” kembali Sian Li berteriak.
Karena Sian
Lun tidak menanggapi dan terus berlari, terpaksa ia pun berlari mengejar dengan
hati amat khawatir. Hutan itu gelap dan cahaya bulan hanya berupa sinar suram
muram yang memasuki celah-celah daun dan ranting. Makin gelap saja dan akhirnya
Sian Li menjadi bingung karena ia kehilangan jejak tujuh orang itu, juga kehilangan
jejak suheng-nya. Tadi ia masih dapat mendengar suara kaki mereka menginjak
daun kering. Akan tetapi kini, di sekelilingnya sunyi dan dia tidak tahu harus
mengejar ke mana.
Dengan
hati-hati dia berjalan ke sana sini, berkeliaran tanpa arah di dalam hutan yang
lebat itu, mengerahkan kekuatan mata dan telinga untuk mencari kembali jejak
mereka. Namun usahanya sia-sia, bahkan untuk kembali ke tepi sungai tempat
perahu tadi pun dia sudah tidak mengenal jalan lagi! Terpaksa Sian Li menunggu
sampai pagi. Tidak lama ia menanti karena tak lama kemudian, sinar bulan
semakin muram, sinar matahari mulai membakar langit di timur.
Setelah
cuaca tak gelap lagi, sudah remang-remang, Sian Li bangkit dari bawah pohon dan
melanjutkan pencariannya. Dia merasa khawatir sekali.
Tiba-tiba ia
mendengar teriakan suheng-nya. “Sumoi, pergilah jauh-jauh, jangan ke sini!”
Mendengar
suara ini, tentu saja Sian Li menjadi terkejut bukan main. Ia seorang gadis
yang cerdik, maka seruan suheng-nya itu membuat ia sejenak termangu. Ia tahu
bahwa suheng-nya tentu berada dalam keadaan bahaya, dan suheng-nya tidak
menghendaki dia mendekat karena tentu ada bahaya mengancamnya pula kalau ia
mendekat!
Akan tetapi,
bagaimana mungkin dia membiarkan saja suheng-nya terancam bahaya? Bagaimana
mungkin ia justru pergi menjauh hanya karena ada bahaya mengancamnya setelah
dia tahu bahwa suheng-nya dalam bahaya? Tidak, dia bahkan harus menolong
suheng-nya.
Terbayang
ketika tadi dengan nekat dan mati-matian suheng-nya menolongnya ketika ia
tertawan, bahkan suheng-nya sampai mengorbankan dirinya dan terluka pundak
kirinya untuk menyelamatkan dirinya. Sekarang ia harus menolong suheng-nya,
meski pun ia akan menghadapi bahaya apa pun!
Setelah
mengambil keputusan tetap, dengan hati-hati akan tetapi cepat sekali, Sian Li
mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari seperti terbang
menuju ke arah suara tadi. Suheng-nya hanya mengeluarkan kalimat itu saja
kemudian keadaan kembali sunyi sehingga tentu saja hatinya menjadi semakin
gelisah, mengkhawatirkan suheng-nya.
Ia tidak
berani memanggil, karena jika ada musuh di sana, tentu akan dapat mendengar
suaranya. Kalau ia ingin menolong suheng-nya, maka ia harus dapat mendekati
tempat suheng-nya itu dengan diam-diam dan tersembunyi. Ia harus melihat
keadaan lebih dulu sebelum turun tangan.
Akan tetapi,
betapa kagetnya ketika ia melihat dari balik batang pohon yang besar,
suheng-nya sudah terbelenggu di bawah sebatang pohon besar, diikat pada pohon
itu dan agaknya suheng-nya pingsan atau tertotok karena lehernya terkulai dan
kepalanya menunduk dalam. Tali yang sangat kuat membelit tubuhnya dari kaki ke
dada, kedua lengan ke belakang, dan diikat kepada batang pohon itu!
Tidak nampak
orang lain di sana! Jika menurutkan dorongan hatinya, tentu saja ia ingin
sekali melompat mendekati suheng-nya dan membebaskannya dari ikatan tali itu.
Akan tetapi kecerdikannya membuat ia berpikir sebelum bergerak.
Mustahil
kalau suheng-nya ditangkap, dibelenggu lalu ditinggalkan saja di situ tanpa ada
penjagaan, Tempat itu begitu sunyi, seolah-olah tak ada orang lain kecuali
suheng-nya. Mustahil! Ini tentu sebuah perangkap, sebuah jebakan!
Ia lalu
membayangkan, jebakan apa yang mungkin dipasang oleh pihak musuh. Mereka dapat
bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, siap dengan anak panah atau
senjata rahasia di tangan. Kalau ia menghampiri suheng-nya, tentu mereka akan
menghujankan anak panah atau senjata rahasia. Akan tetapi tidak mungkin,
pikirnya.
Jika mereka
ingin membunuhnya, kenapa suheng-nya yang telah tertawan itu dibiarkan hidup?
Mereka tentu memasang jebakan untuk menangkapnya hidup-hidup. Jebakan atau
perangkap apa yang mungkin mereka pasang? Sebuah lubang di dekat tempat suheng-nya
diikat? Lubang yang dtutupi rumput agar ia terjeblos ke dalam lubang kalau
menghampiri suheng-nya? Atau mereka akan keluar dan mengepung tempat itu?
Sian Li
mendapatkan perasaan yang aneh sekali. Ia merasa seperti menjadi harimau yang
sedang dipancing dengan umpan! Suheng-nya menjadi kambingnya yang diikat di
sana, untuk memancing munculnya Sang Harimau.
Apa pun yang
akan terjadi, bagaimana nanti sajalah! Yang paling penting, ia harus bisa
menolong suheng-nya! Ia akan bertindak berhati-hati, menjaga segala
kemungkinan. Ia akan memperhatikan sekelilingnya, juga memperhatikan tanah yang
diinjaknya!
Dengan
pedang terhunus di tangan kanan, serta sebatang tongkat dari cabang pohon yang
dipatahkannya, ia kemudian melangkah keluar dari balik pohon. Dengan hati-hati
dia melangkah maju, mempergunakan tongkat yang dua meter panjangnya itu untuk
meraba-raba dan menusuk-nusuk tanah di depannya sebelum dia melangkah. Ia maju
selangkah demi selangkah. Tongkatnya meneliti tanah yang akan diinjaknya,
matanya pun waspada meneliti keadaan sekelilingnya sehingga kalau ada ancaman
datang dari sekitarnya, ia tidak akan mudah dibokong.
Tinggal
kurang lebih sepuluh meter lagi dari tempat Sian Lun diikat pada batang pohon.
Tiba-tiba ia berhenti melangkah. Ujung tongkatnya menembus lapisan rumput! Di
bawah rumput itu ada lubang!
Ia
menyelidiki dengan ujung tongkatnya. Ada lubang bundar yang garis tengahnya
tidak kurang dari satu setengah meter! Lubang itu ditutup lapisan rumput. Kalau
ia melangkah atau berlari di atas lapisan rumput, tentu ia akan terjeblos ke
bawah. Tepat seperti yang diduganya!
Dengan
pengerahan tenaga pada tongkatnya, ia mencongkel lapisan rumput itu sampai
lapisan penutup lubang itu terbuka semua! Kini nampaklah lubang itu, yang
dalamnya tak kurang dari tiga meter! Sekali terjeblos ke dalamnya, tentu ia
akan sukar meloloskan diri, karena tentu mereka akan mengepung lubang dan
mencegah ia melompat keluar lagi.
Sian Li
tersenyum. Untung ia bersikap hati-hati. Dengan ujung tongkat terus meraba, ia
melangkah lagi mengitari lubang dan tiba di depan suheng-nya tanpa ada
rintangan lain. Agaknya hanya lubang itulah satu-satunya perangkap yang
dipasang musuh. Sekarang ia harus cepat membebaskan suheng-nya.
“Suheng...!”
Ia mengguncang pundak suheng-nya.
Akan tetapi
suheng-nya tetap lemas seperti tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus
lebih dahulu melepaskan ikatan itu kalau ingin membebaskan suheng-nya dari
totokan. Totokan yang melenyapkan semua tenaga itu harus dibebaskan dengan
totokan dan mengurut pada punggung, di pusat tenaga tengah pinggang.
Dengan
pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tubuh suheng-nya. Ia
harus merangkul suheng-nya supaya tubuh itu tidak sampai terkulai jatuh. Dan
pada saat ia merangkul suheng-nya itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala
yang lebar, yang siap di atas pohon dan tali-talinya dipegangi beberapa orang
yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala itu pun jatuh menyelimuti Sian Li
dan Sian Lun!
Sian Li
terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada
beberapa hal yang membuat dara perkasa ini tidak dapat lagi menghindarkan diri
dari serangan jala.
Pertama,
perhatiannya hanya ditujukan kepada suheng-nya dan sekelilingnya. Ke dua, baru
saja dia menemukan perangkap lubang tertutup lapisan rumput itu sehingga dia
menganggap sudah terbebas dari ancaman bahaya jebakan dan membuatnya menjadi
lengah. Dan ke tiga, terutama sekali karena dia sedang merangkul suheng-nya
yang lemas untuk mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh.
Sian Li
mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh
orang berpakaian hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik semakin kuat
sehingga ia dan suheng-nya terbelit dan terbungkus jala menjadi satu sampai ia
tidak mampu bergerak lagi.
Dengan mudah
orang-orang berpakaian hitam itu meringkusnya dan mengikat tangan dan kakinya sebelum
dia dikeluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan tangan Sian
Lun diikat pula. Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh
kedua orang muda itu ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, dan
dipegangi orang yang menunggang kuda. Mereka lalu pergi dari situ menunggang
kuda, menuju ke timur.
**************
Matahari
telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah
bangunan yang berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak
sunyi, walau pun di kaki bukit tadi terdapat dusun yang ditinggali orang-orang
suku Tibet dan ada pula suku Miao.
Sian Lun
sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di
punggung kuda, menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi
besar yang menunggang kuda itu, dia tahu bahwa dia dibawa pergi dan hatinya
merasa lega. Tentu sumoi-nya sudah mendengar teriakannya tadi sebelum dia
ditotok pingsan dan sumoi-nya tidak akan mau mendekati tempat yang sudah
dipasangi jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh sekali pun, asal
sumoi-nya selamat, dia ikut girang.
“Suheng...!”
Sian Lun
menengok ke kiri dan terkejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu
mengeluarkan suara. Lehernya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak
meledak. Kiranya Sian Li juga telah tertangkap seperti dia! Diikat kaki
tangannya, ditelungkupkan di punggung kuda dan sama sekali tidak berdaya.
Sungguh celaka!
Melihat
wajah suheng-nya menjadi pucat dan matanya terbelalak, Sian Li tersenyum!
“Suheng, kita belum mati!” katanya dan ucapan ini membesarkan hati Sian Lun.
Benar juga.
Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa!
Jika mereka ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan
mereka tidak menghendaki kematian mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh
dan masih ada harapan bagi mereka berdua untuk mencari jalan membebaskan diri.
Sian Li
memberi isyarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun
mengerti, maka dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpulkan tenaga
untuk bersiap-siaga, di mana ada kesempatan mereka akan membebaskan diri.
Rombongan
itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul masuk ke
dalam rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat
belasan orang, kesemuanya berkepala gundul dan mengenakan jubah hitam. Kiranya
tempat itu merupakan sarang Hek-I Lama yang menjadi orang-orang buruan
pemerintah Tibet!
Sian Lun dan
Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, yang dipisahkan
dinding terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi
dinding pemisah itu kuat bukan main. Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu
besar terbuat dari besi berterali yang kokoh dan dikunci dari luar.
Ketika
dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka dilepas dan kini
hanya kedua tangan mereka saja yang masih terbelenggu ke belakang. Setidaknya,
mereka dapat bergerak, dapat berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila,
mengatur pernapasan.
Sian Li
berpikir. Dia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggota
Lama Jubah Hitam yang menyamar, menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam
dan pakaian mereka juga ringkas, tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia
dan suheng-nya tertawan oleh para pendeta Lama jubah hitam yang menurut
keterangan dipimpin oleh Lulung Lama.
Pendeta Tibet
itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang dimusuhi
pemerintah Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan
dari Nepal yang juga merupakan pemberontak di negaranya sendiri. Mereka itu
sedang melakukan gerakan menghasut dan mengobarkan sikap anti pemerintah Ceng
di Cina, dan agaknya mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan di Cina
dan kini sedang menyusun kekuatan. Semua ini didengarnya dari Gangga Dewi
ketika ia masih berada di Bhutan. Akan tetapi kenapa Lama Jubah Hitam menawan
ia dan suheng-nya?
“Sumoi, apa
kau baik-baik saja?” Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li dari
lamunannya.
Ia
mengangkat muka memandang dan suheng-nya telah berdiri di dekat jeruji pemisah
kamar tahanan mereka. Kedua tangan suheng-nya juga masih terbelenggu. Ikatan
itu longgar saja, akan tetapi tak mungkin diputuskan, karena tali untuk
mengikatnya adalah dari kulit yang amat kuat, yang dapat melentur sehingga
tidak dapat dibikin putus.
“Aku tidak
apa-apa, Suheng. Dan mereka tidak melukaimu?”
“Tidak,
hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan
mereka obati. Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?”
“Aku sendiri
tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus berhati-hati dan
jangan terburu nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu
nafsu, maka telah berlaku sembrono sehingga kita tertawan.”
“Maafkan
aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan
tetapi engkau... aku berterima kasih padamu, Sumoi. Engkau telah membelaku
sehingga engkau sendiri tertawan.”
Melihat
pandang mata suheng-nya yang penuh kasih dan keharuan itu, Sian Li menarik napas
panjang. “Sudahlah, tidak perlu kau sebut-sebut lagi. Kita adalah kakak beradik
seperguruan, tentu saja saling bantu dan saling bela.”
Mendadak
Sian Li memberi isyarat dengan kedipan mata dan Sian Lun menghentikan
percakapan, lalu membalikkan badan untuk memandang ke depan kamar tahanan itu
melalui jeruji di pintu besi. Sian Lun menahan kemarahannya ketika melihat
seorang yang amat dikenalnya, yaitu penabuh tambur murid Lulung Lama yang lihai
itu!
Ingin Sian
Lun memaki, akan tetapi ia takut jika dianggap ceroboh lagi oleh sumoi-nya.
Karena itu dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata penuh kebencian, dan
menyerahkan saja kepada sumoi-nya untuk menentukan sikap dan kalau perlu
bicara. Dia sudah mendapat keterangan bahwa pemuda ini adalah murid Lulung Lama
yang bernama Cu Ki Bok, seorang peranakan Han Tibet. Karena ia telah pernah
bertanding melawan pemuda yang tinggi tegap dan gagah ini, dia tahu bahwa murid
Lulung Lama ini amat lihai.
“Selamat
sore, Nona Tan Sian Li dan sobat Liem Sian Lun. Selamat bertemu kembali!” kata
Cu Ki Bok sambil tersenyum.
Kini
sikapnya sungguh berbeda dengan ketika dia menyamar sebagai tukang tambur itu.
Kini sikapnya riang dan sangat ramah, matanya bersinar-sinar dan bibirnya
tersenyum sedangkan pakaiannya juga pesolek sehingga membuat dia nampak makin
gagah dan tampan.
“Hemmm,
kiranya engkau pula yang mengatur semua kecurangan ini! Cu Ki Bok, kalau engkau
memang orang gagah, mari kita bertanding sampai salah seorang di antara kita
menggeletak menjadi mayat, bukan dengan melakukan pengeroyokan dan perangkap
yang curang! Engkau pengecut tak tahu malu!” Sian Li memaki-maki.
Yang
dimaki-maki tersenyum saja. “Jika saja Suhu tak memiliki rencana lain denganmu,
tentu aku akan suka sekali menyambut tantanganmu itu, Nona, dengan taruhan
bahwa kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku, akan tetapi kalau aku menang,
engkau harus menjadi isteriku.”
Wajah Sian
Li berubah merah sekali dan matanya memancarkan cahaya berapi saking marahnya.
“Huh, tidak tahu malu! Siapa sudi menjadi jodohmu? Engkau hanya seorang
peranakan Han yang sudah lupa diri, lebih suka menjadi budak orang Tibet dan
Nepal, menjadi antek pemberontak!”
“Nona, kalau
bukan engkau yang bicara, tentu sudah kurobek mulutmu! Coba ingat baik-baik,
kalian ini bangsa apakah, Nona Sian Li dan Sobat Sian Lun? Kalian mengaku orang
Han, mengaku penduduk asli, bahkan mengaku sebagai pendekar-pendekar yang gagah
perkasa. Akan tetapi apa yang kalian lakukan untuk negara dan bangsa kita yang
terjajah oleh bangsa Mancu? Aku memang memberontak terhadap penjajahan orang
Mancu. Aku seorang patriot, seorang pahlawan sejati! Dan kalian masih memandang
rendah dan berani memaki aku? Padahal, dengan sikap kalian yang tidak menentang
pemerintah penjajah, berarti kalian sudah menjadi antek orang Mancu yang
menjajah negara dan bangsa kita!” Setelah berkata demikian, Cu Ki Bok
meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Sian Li
saling pandang dengan suheng-nya. Ucapan pemuda tinggi tegap peranakan Han
Tibet itu tadi seperti ujung pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka karena
tepat sekali mengenai sasaran. Mereka sudah sering kali mendengar dari guru
mereka, Suma Ceng Liong dan isterinya, bahwa mereka itu kini selalu prihatin
melihat betapa tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu.
Bahkan Suma
Ceng Liong juga mengakui bahwa di dalam darah keluarga Suma, yaitu keluarga
keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengalir pula darah Mancu! Isteri
Pendekar Super Sakti Suma Han adalah wanita-wanita Mancu. Inilah sebabnya
kenapa sampai sekarang, tidak pernah ada keturunan keluarga Suma yang menentang
pemerintah Mancu. Padahal keluarga ini terkenal sebagai keluarga para pendekar
yang gagah perkasa!
Dan
sekarang, pemuda peranakan Han Tibet yang menawan mereka itu telah mencela
mereka. Salahkah mereka? Benarkah pendapat pemuda peranakan Han Tibet itu? Sian
Li menjadi bingung dan termenung.
“Sumoi,
jangan dengarkan dia,” terdengar Sian Lun berkata. “Pahlawan macam apa dia itu?
Menggunakan orang-orang Tibet dan Nepal, lalu menawan kita secara curang dan
pengecut. Seorang gagah sejati tak akan melakukan perbuatan seperti itu. Jelas
bahwa gerombolan itu jahat seperti apa yang dikatakan Bibi Gangga Dewi, mungkin
sebutan patriot itu hanya sebagai kedok saja.”
Sian Li
memejamkan matanya. Memang, neneknya, Gangga Dewi sudah menceritakan mengenai
Hek-I Lama, yaitu kelompok pendeta Lama Jubah Hitam yang dipimpin oleh Lulung
Lama. Kelompok pendeta ini telah melakukan penyelewengan.
Mula-mula
Lulung Lama adalah seorang pendeta Lama Jubah Merah yang mempunyai kedudukan
cukup tinggi di antara para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi kemudian dia
melakukan pelanggaran, mengganggu wanita, bahkan melakukan perbuatan rendah
dengan memperkosa wanita. Kejahatan ini diketahui dan dia tidak dapat diampuni
lagi, dikeluarkan dari kelompok Lama Jubah Merah di mana dia tadinya menjadi
tokoh.
Lulung Lama
merasa sakit hati dan dia pun lalu membentuk kelompok sendiri dengan mengenakan
Jubah Hitam. Baru dari warna jubahnya saja sudah berarti bahwa dia tidak segan
melakukan perbuatan jahat seperti golongan hitam! Lulung Lama segera diikuti
oleh golongan hitam di daerah Tibet yang menjadi anak buahnya.
Kemudian,
Lulung Lama berkenalan dengan Pangeran Gulam Sing, yaitu pangeran dari Nepal
yang menjadi orang buruan di negaranya karena dia melakukan pemberontakan.
Pangeran Gulam Sing juga mempunyai banyak anak buah. Kedua orang tokoh sesat
itu kemudian bergabung membuat kekacauan di daerah Nepal, Bhutan dan Tibet,
bahkan merencanakan pemupukan kekuatan untuk melakukan serbuan ke timur,
menentang pemerintah Mancu dan menghasut orang-orang Han untuk bersekutu dengan
mereka dan memberontak terhadap pemerintah Kerajaan Mancu dengan dalih
kepatriotan!
“Mungkin
engkau benar, Suheng. Bagaimana pun juga, kita harus waspada dan berhati-hati.
Cu Ki Bok itu lihai dan gurunya lebih lihai lagi. Ditambah dengan anak buah
Hek-I Lama yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, sungguh kita berada dalam
bahaya.”
Tempat
tahanan mereka tidak pernah lowong dari penjagaan di luar ruangan. Sedikitnya
ada empat orang penjaga yang berada di luar ruangan itu, kesemuanya adalah
anggota Hek-I Lama dengan ciri khas mereka, yaitu kepala gundul dan jubah
hitam. Mereka tidak pernah diganggu oleh para penjaga, bahkan secara teratur
mereka mendapat makan dan minum yang layak, dimasukkan ke dalam melalui jeruji
besi oleh penjaga, di atas sebuah baki. Ada nasi, ada sayur, dan ada air teh.
Malam tiba
dan di luar kamar tahanan itu dipasangi lampu minyak. Ada dua buah lampu yang
cukup terang. Sian Li merasa tubuhnya segar dan sehat sekali. Sejauh ini ia dan
suheng-nya diperlakukan dengan baik. Bahkan sore tadi ia mendapat kesempatan
untuk mandi dan bertukar pakaian.
Ia dikawal
ke tempat mandi yang berada di bagian belakang, dikawal oleh empat orang dengan
todongan golok. Belenggu kedua tangannya dilepas dan sebagai gantinya, kaki dan
tangannya dipasangi rantai yang cukup membuat ia mampu bergerak untuk mandi dan
lain-lain.
Ia tidak
begitu bodoh untuk memberontak atau melarikan diri walau kaki dan tangannya
dirantai. Jika ia mau, tentu saja itu merupakan kesempatan. Namun, ia tahu pula
bahwa usahanya itu tidak akan berhasil. Terlalu banyak lawan yang tangguh di
situ, dan pula, andai kata ia mampu melarikan diri, suheng-nya masih tertinggal
di sana. Setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu tiba giliran
Sian Lun.
“Suheng,
jangan membuat ulah,” pesannya ketika pemuda itu digiring keluar.
Dan ia
girang melihat suheng-nya datang lagi dengan pakaian bersih dan wajah yang
segar. Mereka harus mendapat kesempatan yang lebih baik lagi agar keduanya
dapat meloloskan diri.
Selagi Sian
Li duduk bersila mengatur pernapasan untuk melatih sinkang, ia mendengar
percakapan empat orang penjaga di luar kamar tahanan itu. Ia memperhatikan.
Siapa tahu dari percakapan itu ia dapat mengumpulkan keterangan yang penting.
“Heran,
kenapa kita harus bersusah payah menjaga dua orang tahanan ini siang malam dan
melayani mereka seperti tamu di rumah penginapan saja? Mengapa mereka tidak
dibunuh saja agar tidak merepotkan?” terdengar seorang di antara mereka bicara.
“Hushh,
bodoh kamu! Apa tidak melihat betapa cantiknya tawanan itu?” kata yang lain.
“Hemmm,
kalau muda dan cantik, lalu kenapa? Justru semestinya dimanfaatkan untuk
hiburan kita, bukan dijadikan tamu yang hanya merepotkan saja!” omel suara
pertama.
“Aihh,
engkau lancang sekali! Untung tidak terdengar Thai-losu (Guru Besar) atau Cu
Kongcu (Tuan Muda Cu). Kalau terdengar bisa diketuk kepalamu!” tegur suara ke
tiga.
“Kita
senasib dan sependeritaan, kalau bukan dengan kalian bertiga, mana aku berani
sembarangan membuka mulut? Coba, siapa berani membantah sejujurnya! Bukankah
keluhanku tadi juga menjadi suara hati kalian?” kata orang pertama.
“Sudahlah,
kalian tidak usah ribut-ribut,” berkata suara ke empat. “Apa kalian tidak tahu
urusan? Dua orang tawanan ini adalah pendekar-pendekar Han, tentu saja
diperlakukan dengan amat baik oleh Thai-losu. Lagi pula, agaknya Thai-losu
hendak menyenangkan hati Pangeran Gulam Sing. Mereka berdua besok pagi datang
ke sini dan engkau tahu sendiri selera pangeran itu terhadap wanita cantik.”
Mereka
berempat kemudian berbisik-bisik sambil tertawa. Sian Li mendengarkan dengan
alis berkerut dan hatinya menjadi tegang. Bahaya besar mengancam dirinya!
Agaknya orang yang mereka sebut Thai-losu tadi adalah Lulung Lama, dan dia akan
dihadiahkan kepada seorang pangeran yang bernama Gulam Sing, seorang pangeran
Nepal yang haus wanita!
Tentu saja
Sian Li merasa khawatir sekali. Jelas bahwa pada malam hari ini, Lulung Lama
tidak berada di tempat itu dan agaknya besok pagi baru akan tiba. Yang berada
di situ hanya anak buah Hek-I Lama dan pemuda murid Lulung Lama itu. Kalau saja
ia dan suheng-nya dapat keluar dari kamar tahanan dan mematahkan rantai, tentu
mereka berdua akan dapat meloloskan diri! Akan tetapi, bagaimana caranya?
Ia melirik
ke arah suheng-nya dan pemuda itu pun sedang duduk bersila dan menoleh
kepadanya dengan wajah gelisah. Tentu suheng-nya tadi mendengar pula percakapan
di luar kamar tahanan itu dan mengkhawatirkan dirinya yang akan dihadiahkan
kepada Pangeran Gulam Sing!
Malam telah
larut, agaknya sudah lewat tengah malam. Ia melihat suheng-nya dengan hati-hati
menghampiri pintu, lalu kedua tangan suheng-nya coba untuk merenggangkan jeruji
pintu dari baja itu. Dia sendiri pun segera mencoba usaha merenggangkan jeruji
pintu. Namun sia-sia. Jeruji pintu dari baja itu terlampau kokoh.
Mendadak
keempat orang penjaga yang tadi masih terdengar berbisik-bisik itu nampak
membuat gaduh. Seorang di antara mereka berseru lantang, “Siapa itu...?”
Akan tetapi,
tidak ada jawaban dan suasana menjadi sunyi sekali, bahkan empat orang penjaga
itu tidak terdengar lagi suaranya mau pun gerakannya. Selagi Sian Li dan Sian
Lun merasa heran dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nampak
sesosok bayangan orang berkelebat dan dua buah lampu penerangan di luar kamar
tahanan itu mendadak padam. Kini tempat itu hanya mendapat penerangan dari
sinar lampu yang agak jauh sehingga remang-remang dan tidak jelas. Sian Li
melihat sesosok bayangan hitam itu berkelebat di luar pintu kamar tahanan Sian
Lun. Orang itu mengenakan caping lebar menutupi mukanya. Sian Li masih dapat
mendengar orang itu berbisik lirih kepada Sian Lun.
“Tak perlu
bertanya-tanya. Cepat dekatkan tanganmu ke sini.”
Sian Lun
segera mengerti bahwa orang itu datang untuk menolongnya, maka dia pun
menghampiri pintu dan menyorongkan kedua tangannya yang dibelenggu. Terdengar
suara berkeretakan dan belenggu kedua tangan Sian Lun terlepas! Bayangan itu
lalu menyerahkan dua batang pedang kepada Sian Lun dan berkata lagi,
“Cepat
bebaskan sumoi-mu dan kalian lari dari sini!”
Sian Lun
keluar dari kamar tahanan karena daun pintunya ternyata sudah dibuka dan juga
kamar tahanan Sian Li telah terbuka daun pintunya. Dia meloncat masuk ke dalam
kamar tahanan sumoi-nya. Dengan menggunakan pedang, dia membebaskan dara itu
dari belenggu. Dapat dibayangkan betapa gembira dan juga heran hati kedua orang
muda ini ketika mendapat kenyataan bahwa dua batang pedang yang diserahkan oleh
orang itu adalah pedang mereka sendiri yang tadi dirampas oleh para anggota
Hek-I Lama!......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment