Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 07
"Mereka
sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu
tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biar pun mereka sudah terluka.”
Yo Han
menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu
sudah payah sekali, dan jika dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan
sinkang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan
pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat
menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai
seorang di antara mereka mati di tempat.
“Jiwi Supek,
maafkan saya!” katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu.
Kedua
tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan
nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya
ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.
Dua orang
kakek itu mengeluarkan suara keras, kemudian tubuh mereka terdorong ke
belakang. Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung,
lalu dia cepat duduk bersila sambil memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit
duduk dengan susah payah, kemudian bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas
mereka terengah-engah.
Yo Han
memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun
terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih
parah dari pada yang disangkanya. Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh
suheng-nya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan.
Akan tetapi
ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun amat terkejut. Kakek
ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang
sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, ia
pun menderita luka hebat!
Ban-tok
Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan ia pun memandang kepada
Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah
gemetar.
“Suheng, aku
girang dapat mati di tanganmu...” kemudian dia memandang ke angkasa, terbatuk
dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya. “Sute, aku
telah siap menerima pembalasanmu...” Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya
dan kepalanya menunduk.
Thian-te
Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata. “Aku
telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko.
Kedua adikku, tunggulah aku...!” Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan
menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.
Yo Han
berbisik kepada Lauw Kang Hui. “Lauw-suheng, kedua orang Supek kini telah
tewas...!”
“Haaa...?!”
Lauw Kang
Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya. Disentuh sedikit
saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh
kakek Thian-te Tok-ong…..
***************
Lauw Kang
Hui menangis di depan makam gurunya dan supek-nya, juga para murid tingkat
tinggi Thian-li-pang menangisi kematian dua orang tua yang menjadi sesepuh
Thian-li-pang itu.
Yo Han ikut
pula dalam upacara sembahyangan dan dalam kesempatan itu dia berkata kepada
Lauw Kang Hui dan para murid lainnya.
“Karena saya
telah menjadi murid mendiang Suhu Ciu Lam Hok, bahkan juga pernah berguru pada
Supek Thian-te Tok-ong, maka sedikit banyak saya mengenal hubungan dekat dengan
Thian-li-pang. Saya harap peristiwa ini dapat menjadi cermin bagi kita semua.
Tiga orang sesepuh Thian-li-pang itu dahulu yang mendirikan Thian-li-pang, dan
sejak berdiri, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang
berjiwa patriot. Namun, sayang sekali, agaknya mendiang Supek Ban-tok Mo-ko dan
Thian-te Tok-ong terseret oleh arus duniawi yang membuat mereka melakukan
penyelewengan. Apa lagi pada saat Thian-li-pang dipimpin mendiang Suheng Ouw
Ban, hubungan baik dengan Pek-lian-kauw membuat banyak murid yang ikut
melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan jiwa perkumpulan kita. Hendaknya
kita semua selalu ingat bahwa musuh yang paling besar, paling berbahaya dan
paling tangguh adalah dirinya sendiri. Sekali kita mampu menundukkan napsu
sendiri, maka batin kita menjadi kokoh kuat dan tidak mudah terseret ke dalam
kesesatan. Seperti berlayar di tengah samudera, yang paling penting adalah
memiliki perahu yang kokoh kuat sehingga tidak khawatir menghadapi badai dan
taufan. Kepandaian tinggi bahkan dapat mencelakakan kalau tidak disertai batin
yang kuat dan bersih, karena kepandaian itu bahkan dapat kita pergunakan untuk
melakukan kejahatan.”
Lauw Kang
Hui memandang kepada pemuda itu. “Yo Sute, terima kasih atas nasehatmu itu. Kami
sudah mengalami cukup banyak kepahitan sebagai akibat dari penyelewengan yang
sudah kami lakukan. Aku berjanji akan mengembalikan Thian-li-pang ke jalan yang
benar, akan bertindak disiplin dan tegas sehingga Thian-li-pang akan kembali
menjadi perkumpulan pendekar yang bukan saja memusuhi penjajah tanah air, akan
tetapi juga memusuhi perbuatan jahat yang dapat mencelakai orang lain demi
kesenangan diri dan pemuasan nafsu sendiri.”
“Bagus, aku
girang sekali mendengar ini, Lauw-suheng. Aku hanya akan menjadi saksi bahwa
pesan terakhir Suhu Ciu Lam Hok akan terlaksana dengan baik.”
Yo Han lalu
berpamit dari semua murid Thian-li-pang, meninggalkan tempat itu dengan hati
lapang. Satu di antara pesan suhu-nya telah dapat dia laksanakan dengan baik.
Kini dia akan melaksanakan tugas kedua yaitu mencari keluarga mendiang
suhu-nya, yaitu adik suhu-nya yang bernama Ciu Ceng atau keluarganya karena
tentu adik suhu-nya itu sudah menjadi seorang nenek yang sudah tua sekali.
Dia pun
meninggalkan Thian-li-pang dan menuju ke kota raja.
***************
Mendiang
kakek Ciu Lam Hok memang mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Ciu
Ceng. Ketika dia sendiri pergi meninggalkan kota raja, adiknya itu masih
seorang gadis yang cantik dan tinggal bersama ibunya di lingkungan istana.
Kemudian,
Ciu Ceng menikah dengan seorang panglima muda she Gan. Pernikahan ini membuahi
seorang anak laki-laki yang diberi nama Gan Seng. Panglima Gan sendiri gugur
ketika memimpin pasukan membasmi gerombolan pemberontak. Gan Seng yang
mendapatkan pendidikan tinggi, telah mendapat pangkat yang lumayan, yaitu
sebagai pejabat yang mengelola gedung pusaka istana. Jabatan ini penting sekali
karena hanya orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Kaisar saja yang dapat
menduduki pangkat ini.
Gan Seng,
putera Ciu Ceng itu, kini telah berusia lima puluh tahun dan dia hidup serba
kecukupan dengan isterinya dan puteri tunggalnya yang bernama Gan Bi Kim dan
yang pada waktu itu berusia tujuh belas tahun. Juga nenek Ciu Ceng yang sudah
tua tinggal bersama puteranya dan keluarga ini hidup cukup berbahagia.
Tak begitu
sulit bagi Yo Han untuk menyelidiki dan mendengar tentang nenek Ciu Ceng ini.
Girang hatinya ketika dia mendapat keterangan bahwa nenek itu tinggal bersama
puteranya yang menjadi kepala gedung pusaka istana, dan keluarga Gan itu
tinggal di luar istana, walau pun Gan Seng bertugas di lingkungan istana, yaitu
di gedung pusaka.
Maka, pada
hari itu, pagi-pagi dia meninggalkan rumah penginapan dan mendatangi rumah gedung
tempat tinggal Gan Seng. Untuk memenuhi pesan mendiang suhu-nya, dia harus
berkunjung dan menceritakan mengenai meninggalnya kakek Ciu Lam Hok kepada
nenek Ciu Ceng dan memastikan bahwa keluarga itu dalam keadaan sehat dan
baik-baik saja. Baru kemudian dia akan melaksanakan tugas ke tiga, tugas yang
paling sukar, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam di
daerah barat.
Akan tetapi,
alangkah herannya ketika dia tiba di rumah gedung itu. Dia melihat suasana yang
amat sunyi dan ketika seorang pelayan keluar untuk menyapanya, pelayan tua itu
nampak seperti orang yang berduka sekali.
“Saya kira
Kongcu datang berkunjung pada saat yang kurang tepat,” kata pelayan itu.
“Gan-taijin sekeluarga sedang dalam keadaan prihatin dan tidak akan suka menerima
tamu, bahkan memesan kepada saya untuk menolak setiap orang tamu yang datang
berkunjung.”
Tentu saja
Yo Han merasa heran bukan main. Gurunya berpesan agar dia mengunjungi nenek Ciu
Ceng dan membela nenek itu sekeluarganya, kalau perlu dengan taruhan nyawa,
karena dirinya ingin membuktikan rasa sayangnya kepada adiknya itu melalui
muridnya.
“Paman yang
baik, tolong sampaikan bahwa aku datang mohon menghadap Nyonya Besar Ciu Ceng,
ibu dari Gan-taijin. Katakan bahwa aku membawa kabar yang penting sekali dari
kakak nyonya besar yang bernama Ciu Lam Hok. Kalau laporanmu itu tidak mendapat
tanggapan, aku tidak akan mendesak lagi.”
“Tapi...
tapi... Nyonya Besar Tua sedang menderita sakit...”
“Ahh...!” Yo
Han terkejut. “Kalau begitu, lebih penting lagi berita itu. Mungkin laporanmu
tentang kakaknya akan dapat menyembuhkan sakitnya dan engkau akan berjasa
besar, Paman.”
“Benarkah?”
Pelayan itu meragu, kemudian berkata, “Baik, engkau tunggulah sebentar, Kongcu
(Tuan Muda), aku akan melapor ke dalam.”
Yo Han
menunggu dengan sabar, akan tetapi hatinya gelisah juga mendengar bahwa orang
yang dicarinya itu, adik mendiang gurunya yang bernama Ciu Ceng, sedang
menderita sakit. Karena panyakitnya itukah maka keluarga Gan dalam keadaan
prihatin seperti yang dikatakan pelayan tadi?
Tentu saja
akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan sendiri pada malam hari. Namun
dia menghormati adik mendiang suhu-nya dan tidak mau menggunakan cara seperti
seorang pencuri untuk menyelidiki keadaan nenek itu, kecuali bila dia tidak
dapat menghadap secara berterang.
Tidak lama
kemudian, pelayan itu sudah datang lagi dan sekali ini wajahnya berseri.
“Kongcu, dugaanmu tadi amat tepat! Aku memberanikan diri untuk menghadap Nyonya
Besar Tua dan begitu ia mendengar bahwa Kongcu datang membawa berita tentang
kakaknya, ia seketika bangkit dan wajahnya gembira, bahkan ia minta kepada
Kongcu untuk segera menghadap ke dalam kamarnya!”
Bukan main
girangnya hati Yo Han mendengar ini. Dia pun segera mengikuti pelayan itu
memasuki rumah, gedung yang besar. Setelah melalui beberapa ruangan besar serta
lorong berliku-liku, pelayan itu lalu mengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar
yang besar. Dua orang pelayan wanita muda segera mundur ketika melihat ada tamu
pria yang masuk.
Ketika
memasuki kamar itu, Yo Han memandang ke arah pembaringan di mana rebah seorang
nenek yang sudah tua. Nenek itu rebah telentang dan nampak kurus dan pucat.
Ketika Yo Han masuk, ia menoleh dan memandang kepada pemuda itu, lalu terdengar
suaranya lemah.
“Orang muda,
siapakah engkau dan berita apa yang kau bawa mengenai kakakku Ciu Lam Hok?”
Yo Han
menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah nenek yang masih rebah di atas
pembaringan itu. “Saya bernama Yo Han dan saya muridnya.”
Nenek itu
mengeluarkan seruan girang dan dia pun bangkit duduk. Dua orang pelayan wanita
cepat-cepat menghampiri dan membantunya duduk. Setelah duduk, nenek itu
memandang kepada pemuda yang masih berlutut.
“Bangkitlah
dan duduklah, Yo Han. Lekas ambilkan kursi untuk pemuda itu,” perintahnya
kepada pelayan yang segera mengambilkan sebuah kursi dan Yo Han lalu duduk di
atas kursi berhadapan dengan nenek Ciu Ceng yang wajahnya nampak berseri.
“Engkau ini
muridnya? Ahhh, bagaimana dengan kakakku? Dan mengapa engkau yang datang ke
sini, bukan dia sendiri? Betapa rinduku kepada kakakku itu!”
Yo Han
melihat bahwa nenek yang sudah tua itu dalam keadaan sakit dan lemah, maka dia
pun tidak berani mengabarkan tentang kematian gurunya.
“Saya datang
untuk memenuhi pesan dari Suhu Ciu Lam Hok. Saya disuruh mencari adiknya yang
bernama Ciu Ceng, dan saya disuruh menyelidiki keadaan keluarganya dan
diharuskan membantu kalau keluarga itu membutuhkan bantuan.”
“Aihh, kalau
saja kakakku sendiri berada di sini, tentu dia akan dapat menolong kami. Akan
tetapi engkau muridnya, engkau hanya seorang yang masih muda begini, bagai mana
akan mampu menolong kami? Kami sedang dilanda mala petaka.”
“Harap suka
memberi tahukan kepada saya, dan saya akan membantu sekuat tenaga, walau pun
dengan taruhan nyawa, demi memenuhi perintah Suhu!” kata Yo Han dengan sikap
tenang dan suara bersungguh-sungguh.
“Benarkah
itu?” Nenek itu berseru dan suaranya mengandung harapan.
Akan tetapi
pada saat itu, beberapa orang memasuki kamarnya. Mereka itu ternyata adalah
puteranya, Gan Seng, menantunya, dan cucu perempuannya, Gan Bi Kim yang cantik.
Melihat
betapa ibunya yang sedang sakit itu duduk di atas pembaringan dan bercakap-cakap
dengan seorang pemuda asing, tentu saja Gan Seng menjadi heran sekali. Tadi dia
menerima laporan dari seorang pelayan bahwa ibunya kedatangan seorang tamu,
maka dia bersama isteri dan puterinya yang merasa khawatir akan kesehatan
ibunya, segera pergi ke kamar ibunya. Kini tahu-tahu ibunya sudah duduk dan
bercakap-cakap dengan seorang pemuda.
“Siapakah
pemuda ini?” tanya Gan Seng dengan alis berkerut karena dia menganggap pemuda
itu mengganggu ibunya yang perlu beristirahat.
Akan tetapi,
melihat keluarganya memasuki kamarnya, nenek itu lalu memperkenalkan dengan
wajah berseri, “Anakku, pemuda ini adalah Yo Han, dia murid pamanmu Ciu Lam Hok
yang sering kuceritakan kepada kalian.”
“Ah,
begitukah?” Gan Seng tertegun dan merasa heran mengapa pamannya yang tentu
sudah tua sekali, mempunyai murid yang masih begini muda.
Yo Han
sendiri cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Gan Seng, isterinya,
dan juga kepada gadis cantik itu. Nenek Ciu Ceng segera memperkenalkan mereka
kepadanya.
“Yo Han, ini
adalah puteraku Gan Seng, ini mantuku, dan itu cucuku Gan Bi Kim!”
Sambil
memberi hormat, Yo Han berkata kepada Gan Seng. ”Mohon maaf sebanyaknya kepada
Taijin bahwa saya telah berani lancang mengganggu. Saya hanya memenuhi perintah
Suhu, untuk mencari adik Suhu...”
Gan Seng
menggelengkan kepala. “Tidak mengapa, tidak mengapa, hanya...”
Dia
mengerutkan alisnya karena memang pada waktu itu dia sedang menghadapi hal yang
amat memusingkan, bahkan ibunya sampai jatuh sakit karena mala petaka yang
menimpa dirinya itu.
“Seng-ji
(Anak Seng), Yo Han ini diutus oleh gurunya untuk datang berkunjung dan dia
mewakili gurunya untuk menolong kita dari kesukaran! Siapa tahu, dia akan mampu
mengangkat kita keluar dari kesulitan ini!”
“Ibu, mana
mungkin...?” kata Gan Seng meragu.
Melihat
sikap mereka, Yo Han kembali memberi hormat. “Harap Taijin suka memberi tahu
pada saya, kesulitan apa yang dihadapi keluarga Taijin. Saya telah berjanji
kepada Suhu untuk membantu keluarga adik Suhu kalau menghadapi kesulitan, dan
saya akan mentaati perintah Suhu, membantu keluarga Taijin, kalau perlu dengan
taruhan nyawa.”
“Ceritakanlah
kepadanya, Seng-ji. Siapa tahu justru pemuda inilah yang akan mampu membebaskan
kita dari kesulitan ini,” bujuk nenek tua itu.
“Baiklah,
Ibu. Sekarang Ibu beristirahatlah, dan mari Yo Han, kita bicara di ruangan
dalam,” kata Gan Seng.
Yo Han
menoleh kepada nenek Ciu Ceng. “Harap Paduka beristirahat dan saya ingin
menyampaikan pesan Guru saya bahwa Suhu mengutus saya membantu keluarga Paduka
untuk membuktikan bahwa Suhu sayang kepada Paduka.”
Mendengar
ini, nenek Ciu Ceng menangis dan merebahkan dirinya. Tetapi suaranya terdengar
gembira bercampur haru ketika ia berkata, “Ahhh, Hok-koko (Kakak Hok), ternyata
engkau masih teringat kepada adikmu ini! Kakakku yang baik, aku pun selalu
terkenang kepadamu dan aku sayang kepadamu...” Ia menangis dan tertawa
sekaligus dan berita yang diucapkan Yo Han ini merupakan obat yang mujarab bagi
nenek itu.
Dengan hati
lega Gan Seng lalu menggandeng tangan Yo Han, diajaknya keluar dari kamar itu,
diikuti oleh isterinya dan oleh Gan Bi Kim.
Setelah
mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar, Gan Seng yang masih meragu
dan belum yakin benar bahwa pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun,
bersikap sederhana itu akan mampu menolong keluarganya dari mala petaka yang
menimpa, segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya.
“Sebelum
kami menceritakan persoalan yang menyulitkan keluarga kami, terlebih dulu kami
ingin mendengar keteranganmu tentang Paman Tuaku itu dan bagaimana engkau yang
masih muda ini akan mampu menolong kami. Nah, ceritakan di mana adanya Paman
Tuaku itu.”
Kalau
terhadap nenek Ciu Ceng yang sedang sakit Yo Han belum berani berterus terang
tentang kematian suhu-nya, terhadap keluarga ini dia merasa lebih baik untuk
berterus terang. “Taijin...”
“Nanti dulu,
Yo Han. Kalau engkau benar murid pamanku, tidak semestinya engkau menyebut aku
taijin (orang besar). Usiamu masih amat muda. Kau pantas menjadi keponakanku,
maka sebut saja paman kepadaku, agar lebih enak kita bicara. Namaku Gan Seng
dan engkau boleh menyebut aku paman, dan menyebut isteriku bibi. Nah, lanjutkan
ceritamu.”
Wajah Yo Han
berubah merah. Tentu saja dia merasa canggung sekali. Yang dia hadapi adalah
seorang yang berkedudukan tinggi, bagaimana dia dapat menyebut mereka demikian
akrab? Akan tetapi, dia pun tidak berani membantah.
“Terima
kasih atas keramahan Paman dan Bibi. Sesungguhnya di depan Nyonya Besar Gan...”
“Ahhh, kalau
engkau menyebut aku paman, maka engkau sebut saja nenek kepada Ibuku.” Pembesar
itu memotong.
Diam-diam Yo
Han kagum. Keluarga suhu-nya ini memang orang-orang bijaksana. Biar pun
berkedudukan tinggi namun tidak angkuh. “Begini, Paman. Di depan Nenek, saya
tidak berani berterus terang karena melihat beliau sedang sakit. Sebetulnya,
Suhu Ciu Lam Hok telah meninggal dunia...”
“Hemm,
bagaimana meninggalnya?” Gan Seng bertanya.
Yo Han
merasa tidak ada perlunya menceritakan apa adanya. Kalau dia menceritakan
bagaimana suhu-nya disiksa oleh dua orang suheng dari suhu-nya yang juga sudah
tewas, maka ceritanya yang terus terang itu hanya akan mendatangkan penyesalan
dan sakit hati. Tidak ada perlu dan gunanya.
“Suhu
meninggal dunia dengan baik, karena sudah tua. Dan sebelum meninggal, Suhu
meninggalkan pesan kepada saya supaya saya mencari adik Suhu yang bernama Ciu
Ceng, dan supaya saya membantu keluarga adik Suhu itu dengan segala kemampuan
saya. Karena itulah maka saya datang menghadap dan menawarkan bantuan. Apa lagi
kalau Paman sedang menghadapi kesulitan. Katakan apa kesulitan itu, Paman, dan
saya, demi pesan Suhu, akan membantu sekuat tenagaku.”
“Akan
tetapi, kesulitan kami ini amat hebat dan sukar diatasi. Bagaimana seorang muda
seperti engkau akan mampu menolong kami? Bahkan pasukan penyelidik yang sudah
kami kerahkan juga tidak berhasil menolong kami, apa lagi engkau? Apa yang
telah kau pelajari dari mendiang Paman Tua?”
“Mendiang
Suhu sudah mewariskan ilmu-ilmu silatnya kepada saya, Paman, dan saya akan
mengerahkan segala kemampuan saya untuk membantu Paman, tentu saja kalau Paman
percaya kepada saya dan suka menceritakan kesulitan yang Paman hadapi itu
kepada saya.”
“Sebaiknya
ceritakan saja kepada Yo Han,” desak isteri pembesar itu kepada suaminya. “Biar
pun para komandan yang bersahabat telah mengerahkan pasukan mereka untuk
melakukan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau Yo Han mencoba untuk
menyelidiki pula. Semakin banyak yang menyelidiki dan mencari-cari pusaka yang
hilang, semakin baik pula.”
Gan Seng
menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. “Dengarkan baik-baik, Yo Han,
siapa tahu, Tuhan mengutusmu datang ke sini untuk mengangkat kami dari mala
petaka ini.” Pembesar itu lalu bercerita.
Dia menjadi
pembesar yang bertanggung jawab akan semua pusaka milik istana, dan dia
diserahi mengurus gudang pusaka. Selama bertahun-tahun dia bertugas, dibantu
pasukan penjaga yang kuat, tidak pernah terjadi sesuatu.
Akan tetapi,
dua minggu yang lalu, dua buah pusaka lenyap dari dalam gudang pusaka itu. Dua
buah pusaka yang amat penting, yaitu sebuah cap kebesaran Kaisar Kang Hsi,
kakek dari Kaisar Kian Liong yang sekarang, dan sebuah bendera lambang
kekuasaan Kaisar pertama Kerajaan Mancu, telah hilang!
Gegerlah
istana karena kedua benda itu merupakan pusaka yang amat penting sekali,
sebagai tanda kebesaran Kerajaan Ceng-tiauw. Dan sebagai penanggung jawab,
tentu saja Gan Seng segera dihadapkan Kaisar untuk mempertanggung jawabkan
kehilangan itu.
Gan Seng
menjadi sibuk sekali karena Kaisar memberi waktu sebulan kepadanya untuk
menemukan kembali dua buah pusaka yang hilang. Gan Seng sudah memerintahkan
para komandan jaga untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, namun setelah
lewat dua minggu, hasilnya tetap sia-sia belaka. Pencuri itu memasuki gudang
tanpa merusak kunci atau jendela, bahkan tidak ada genteng yang pecah. Dua buah
pusaka itu lenyap secara aneh sekali, tidak meninggalkan bekas!
Gan Seng
tahu bahwa mala petaka akan menimpa keluarganya kalau dua buah benda itu tidak
diketemukan. Dia akan dihukum berat, bahkan keluarganya mungkin akan turut
tersangkut.
“Demikianlah
mala petaka yang menimpa kami, Yo Han. Semua usaha sudah kami lakukan, akan
tetapi sampai hari ini tidak ada hasilnya. Padahal, waktu yang diberikan Kaisar
tinggal dua minggu lagi! Ibuku jatuh sakit karena memikirkan keadaan kami. Nah,
bagaimana engkau akan dapat menolong kami, Yo Han? Pasukan keamanan sudah
dikerahkan tanpa hasil,” kata pembesar itu dengan nada kesal dan putus asa
menutup ceritanya.
Yo Han
mengerutkan alisnya. Memang tidak mudah mencari pusaka yang hilang dari dalam
gudang pusaka, tanpa diketahui siapa yang mengambilnya! Jika para komandan
pasukan, yang lebih hafal akan keadaan di kota raja tidak mampu menemukan dua
buah pusaka itu, apa lagi dia yang sama sekali asing dengan keadaan di situ!
Akan tetapi,
dia akan mencoba, dia tidak putus asa. Dia yakin bahwa Tuhan pasti akan
menolongnya, seperti yang sudah-sudah. Ia akan menyerahkan segalanya pada
Tuhan, dan dengan penyerahan secara total, maka semua tindakannya tentu akan
dibimbing oleh kekuasaanNya.
Bila Tuhan
menghendaki, apa sih sukarnya menemukan kembali dua buah benda yang hilang?
Tetapi jika tidak dikehendaki Tuhan, apa pun yang dilakukan, benda-benda itu
tidak akan dapat ditemukan kembali. Tuhan Maha Kuasa. Segala kehendak Tuhan pun
jadilah! Demikian bisik hatinya.
“Maaf, Paman
dan Bibi, apakah sama sekali tidak ditemukan jejak ke mana lenyapnya dua buah
benda pusaka itu?”
Gan Taijin
menghela napas panjang dan menggelengkan kepala.
“Apakah
tidak ada orang yang dapat dicurigai? Misalnya, adakah orang-orang yang
memusuhi Paman selama ini? Siapa tahu, perbuatan itu merupakan perbuatan yang
disengaja untuk menghancurkan keluarga Paman.”
Suami isteri
itu saling pandang, dan tiba-tiba saja isteri pejabat itu berkata, “Sebaiknya
kuceritakan saja kepadanya!”
Suaminya
mengangguk dan wanita itu lalu berkata kepada Yo Han. “Memang ada orang yang
merasa tidak senang kepada kami dan bukan tidak mungkin bahwa dia melakukan
perbuatan itu untuk mencelakakan kami. Akan tetapi karena tidak ada
bukti-bukti, bagai mana kami dapat menuduh dia?”
“Maaf, Bibi.
Sedikit keterangan saja akan sangat berarti dan penting bagi saya untuk
melakukan penyelidikan. Saya pun tidak akan sembarangan saja menuduh orang, akan
tetapi setidaknya, saya dapat melakukan penyelidikan.”
Gan Seng
menarik napas panjang. “Memang ada yang kami curigai, akan tetapi tidak ada
bukti, dan dia seorang yang berkedudukan tinggi sehingga tidak ada orang yang
akan berani menyelidikinya.”
Yo Han
memandang dengan wajah berseri. “Ahh, siapakah dia orangnya, Paman? Dan mengapa
Paman mencurigai dia?”
“Dia seorang
panglima yang dipercaya oleh Kaisar, seorang jagoan istana she Coan. Coan
Ciangkun ini terkenal lihai dan berkedudukan tinggi. Bagaimana kita akan dapat
membuktikan bahwa dia yang melakukan perbuatan itu? Tiada yang berani
menyelidik ke sana. Rumahnya saja dijaga oleh pasukan keamanan yang kuat!”
“Hemm,
mengapa Paman mencurigai dia? Apakah alasan Paman dan Bibi mencurigai panglima
itu?”
“Coan
Ciangkun pernah melamar puteri kami, Bi Kim,” kata ibu gadis itu.
Yo Han
memandang kepada Bi Kim dan gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah,
akan tetapi bibir gadis itu bergerak dan berkata lirih, “Manusia tak tahu malu
itu!”
“Tentu saja
kami menolak pinangan yang merendahkan kami itu,” kata pula Gan Seng.
“Bayangkan saja, panglima yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu
sekarang sudah mempunyai sedikitnya lima selir, dan dia masih menghendaki anak
kami untuk dijadikan selir! Menghina sekali!”
Yo Han
mengangguk-angguk. Alasan itu memang cukup kuat. Mungkin saja akibat sakit hati
karena lamarannya ditolak, panglima itu lalu melakukan pencurian pusaka untuk
mencelakakan keluarga Gan. Akan tetapi, alasan ini pun tidak begitu meyakinkan.
Kalau hanya ditolak lamarannya, bagaimana panglima itu sampai melakukan
perbuatan yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu? Dan apa manfaat
dan keuntungannya bagi dia?
“Maaf, Paman
dan Bibi. Apakah tidak ada alasan lain yang lebih kuat dari itu sehingga Paman
dan Bibi mencurigai Coan Ciangkun?”
“Ada...
ada...,” berkata Gan Seng. “Semenjak dua buah pusaka itu lenyap, beberapa kali
sudah ia menghubungiku dan mengatakan bahwa jika aku suka menerima lamarannya,
dia akan membantu sampai dua buah benda pusaka itu ditemukan kembali. Nah, aku
hampir yakin bahwa setidaknya dia tahu siapa yang mencuri benda pusaka itu.”
“Ah, terima
kasih, Paman. Sekarang, tolong beri tahukan di mana adanya tempat tinggal
Panglima Coan itu, saya akan melakukan penyelidikan ke sana.”
“Akan
tetapi, itu berbahaya sekali, Yo Han!” kata Gan Seng.
Yo Han
tersenyum. “Harap Paman dan Bibi jangan terlalu khawatir. Mendiang Suhu telah
mengajarkan banyak ilmu kepada saya, dan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha
Sakti, saya kira saya akan berhasil menyelidiki dan mendapat tahu apakah
panglima itu benar yang melakukan pencurian itu ataukah bukan. Semoga kecurigaan
Paman dan Bibi benar sehingga tidak akan sukar lagi untuk mengatasi urusan
ini.”
“Akan
tetapi, para panglima saja yang dimintai bantuan Ayah tidak sanggup menyelidiki
orang itu, apakah kau tidak hanya akan mengantar nyawa ke sana?” tiba-tiba Bi
Kim berkata dengan nada suara khawatir.
Yo Han
memandang gadis itu dan tersenyum. “Harap engkau tidak merasa khawatir, Nona.
Saya akan menjaga diri baik-baik.”
Setelah
mendapatkan keterangan jelas dari Gan Seng mengenai tempat tinggal Coan
Ciangkun, Yo Han lalu berpamit. Tuan rumah sekeluarga mencoba untuk menahannya
dan menghidangkan makan minum, akan tetapi Yo Han menolak dengan halus.
“Masih
banyak waktu bagi kita untuk bercakap-cakap dan makan bersama, yaitu setelah
tugas ini selesai dengan baik. Nah, selamat tinggal, Paman, Bibi dan... Nona.”
“Adik, bukan
nona!” Bi Kim memotong.
“Baiklah,
Adik Bi Kim. Saya pergi dahulu dan mudah-mudahan kalau datang lagi saya akan
membawa kabar baik untuk Paman sekeluarga.”
Untuk bisa
meyakinkan hati mereka, Yo Han sengaja berkelebat dan lenyap dari depan mereka.
Tentu saja ayah, ibu dan anak itu terkejut dan sejenak tertegun. Pemuda itu
dapat menghilang begitu saja dari depan mata mereka! Setelah Yo Han pergi,
tiada hentinya mereka bertiga membicarakan pemuda itu dan timbul harapan di
hati mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu akan berhasil menolong mereka.
**************
Memang benar
sekali apa yang telah dikemukakan Gan Seng, isterinya dan puterinya. Sungguh
tak mudah, bahkan berbahaya sekali untuk melakukan penyelidikan ke dalam gedung
tempat tinggal Panglima Coan itu.
Gedung itu
besar dan dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti sebuah benteng
kecil. Memang pantas menjadi tempat tinggal seorang panglima tinggi yang
memimpin pasukan besar. Di pintu gerbang terdapat sebuah gubuk penjagaan di
mana berkumpul belasan orang prajurit penjaga, dan masih ada lagi pengawal yang
selalu meronda di sekaliling pagar tembok itu.
Yo Han
maklum bahwa di waktu siang hari, tak mungkin menyelundup masuk ke dalam gedung
itu. Andai kata dia dapat mengelabui para penjaga di luar dan dapat masuk ke
dalam, masih ada bahaya ketahuan di bagian dalam gedung yang tentu dijaga
ketat.
Siang hari
itu dia tidak berani masuk, hanya mengelilingi bangunan itu di luar pagar
tembok dan melihat-lihat keadaan. Ketika dia melihat sebuah pohon yang tumbuh
di bagian belakang, agak jauh dari bangunan, dia dapat menduga, bahwa pohon itu
tentu tumbuh di kebun belakang, dekat dengan pagar tembok dan dia pun memilih
tempat ini untuk menyelinap masuk malam nanti kalau sudah gelap.
Siang itu
dia kembali ke rumah penginapan, menanti datangnya malam. Setelah malam tiba,
dia menanti sampai gelap benar barulah meninggalkan rumah penginapan secara
sembunyi, melalui jendela dan meloncat ke atas genteng agar kepergiannya dari
situ tidak ketahuan orang lain.
Tidak lama
kemudian, dia sudah tiba di luar pagar tembok sebelah belakang di mana siang
tadi dia melihat ada pohon di sebelah dalam pagar. Dia menanti sampai peronda
lewat, lalu dia melompat ke atas pagar tembok. Benar dugaannya, pohon itu
tumbuh di kebun belakang dan dia pun melompat ke pohon itu, menanti sambil
meneliti keadaan.
Dari atas
pohon dia dapat melihat beberapa orang penjaga di kanan kiri rumah dan di
sebelah belakang rumah. Di luar pintu belakang terdapat lagi dua orang penjaga
tengah bercakap-cakap. Di atas mereka terdapat sebuah lampu minyak gantung yang
cukup terang.
Bukan main,
pikir Yo Han. Agaknya panglima itu telah melakukan penjagaan diri dengan sangat
ketat. Hal ini saja sudah mencurigakan. Hanya orang yang menjaga diri terhadap
penyerbuan dari luar saja yang menyuruh pasukan pengawal menjaga rumah demikian
ketatnya. Tentu ada sesuatu yang perlu dijaga!
Makin tebal
dugaannya bahwa Panglima Coan inilah yang sengaja mencuri pusaka itu untuk
memaksa Gan Seng menyerahkan anak gadisnya! Bagi seorang panglima yang
mengepalai pasukan, kiranya tidak begitu sulit untuk melakukan pencurian itu.
Seorang atau dua orang penjaga keamanan gudang pusaka itu tentu telah dapat
dipengaruhinya, untuk mencurikan pusaka itu untuknya! Pusaka yang sangat
penting bagi istana, yang kehilangannya akan mendatangkan dosa besar bagi Gan
Taijin, akan tetapi yang tidak ada gunanya bagi Si Pencuri!
Setelah
melihat suasana semakin sunyi dan yang menghalanginya masuk ke gedung besar itu
hanya dua orang penjaga di luar pintu belakang, Yo Han meloncat turun dari atas
pohon, kemudian berindap-indap mendekati dua orang penjaga yang masih duduk
berhadapan di bangku, kini tidak lagi bercakap-cakap melainkan sedang bermain
catur.
Yo Han
mengambil dua buah kerikil dan setelah membidik dengan hati-hati, dua kali
tangannya bergerak. Dua buah batu kerikil melayang dan dengan beruntun, dua
orang pemain catur itu terpelanting dari tempat duduk mereka dalam keadaan
lemas tanpa mampu bergerak akibat jalan darah mereka sudah tertotok oleh
kerikil yang disambitkan tadi.
Dengan cepat
Yo Han meloncat mendekati mereka, lalu menotok pangkal leher mereka sehingga
sekarang mereka juga tak mampu bersuara. Dia menyeret tubuh mereka dan
menyembunyikan tubuh mereka di bagian yang gelap, kemudian dengan hati-hati dia
membuka daun pintu belakang. Dia tiba di taman bunga belakang gedung yang amat
indah.
Tak lama
kemudian, Yo Han sudah mengintai sebuah ruangan di tengah gedung itu. Ada
kesibukan di sana dan ketika dia mengintai, dia melihat seorang panglima, hal
ini dapat ia ketahui dari pakaiannya, sedang dihadapi oleh tiga orang kakek
berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun yang berpakaian preman, akan
tetapi nampaknya kuat.
Dia menduga
bahwa tiga orang itu tentulah jagoan-jagoan dan mungkin sekali panglima itu
yang bernama Coan. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar bermuka
hitam dengan bopeng bekas cacar. Seorang pria yang wajahnya kasar dan buruk
sekali. Tak mengherankan bila Bi Kim dan ayah ibunya menolak pinangannya. Sudah
memiliki banyak selir mukanya buruk pula! Padahal Bi Kim demikian cantik jelita
dan masih amat muda.
Empat orang
itu bercakap-cakap dan Yo Han mengerahkan kepekaan telinganya untuk menangkap
percakapan mereka.
“Akan
tetapi, bagaimana kalau dia menolak, Ciangkun?” tanya salah seorang di antara
tiga jagoan yang mukanya kuning dan matanya sipit.
“Hemmm,
kalau dia menolak, dia akan dijatuhi hukuman berat, juga keluarganya. Dia pasti
tidak akan menolak uluran tanganku untuk menyelamatkan keluarganya,” berkata
pembesar itu sambil menyeringai sehingga nampaklah giginya yang besar-besar.
Makin buruk orang itu kalau menyeringai, pikir Yo Han.
“Kalau
begitu, semua jerih payah kita tidak akan ada gunanya, Ciangkun!” kata orang ke
dua yang perutnya gendut sehingga kancing bajunya bagian bawah terlepas semua
dan nampak kulit perut yang buncit itu.
“Benar,
kalau begitu, apa artinya semua jerih payah ini? Terbasminya keluarga itu sama
sekali tidak membawa keuntungan, Ciangkun,” kata orang ke tiga yang tinggi
kurus dan hidungnya seperti hidung burung kakatua yang melengkung panjang ke
bawah hingga matanya nampak agak juling.
Panglima itu
terbahak. “Ha-ha-ha, apa kalian kira aku begitu bodoh untuk membuang tenaga
sia-sia belaka? Kalau mereka itu bersikeras tidak mau menerimaku, aku akan
menghadap Sri Baginda. Aku akan mencarikan pusaka itu sampai dapat, tentu
dengan imbalan anugerah, yaitu supaya gadis jelita itu diserahkan kepadaku.
Kalau Kaisar yang memerintahkan, mustahil orang she Gan itu berani membantah
lagi. Ha-ha-ha!”
Tiga orang
itu pun tertawa gembira dan memuji kecerdikan majikan mereka. Yo Han yang
mengintai tidak ragu-ragu lagi. Sudah pasti panglima inilah yang bernama Coan
Ciangkun dan tiga orang itu tentu anak buahnya, atau jagoan-jagoannya.
Inilah
kesempatan terbaik, pikirnya. Kalau dia harus mencari pusaka-pusaka itu, tentu
akan sukar sekali karena panglima itu tentu menyembunyikannya. Amat sukar
mencari pusaka yang disembunyikan di gedung sebesar itu, apa lagi yang dipenuhi
penjagaan ketat.
Sekali
dorong saja, jendela yang terkunci dari dalam itu terbuka dan kuncinya jebol.
Sebelum empat orang itu hilang kaget mereka, mendadak mereka melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda.
“Engkaukah
yang disebut Coan Ciangkun?” tanya Yo Han dengan suara tenang sambil memandang
panglima itu.
Setelah
hilang kagetnya dan melihat bahwa yang masuk secara lancang itu hanyalah
seorang pemuda yang tidak memegang senjata dan hanya berpakaian sederhana saja,
bangkitlah kemarahan Coon Ciangkun.
“Sudah tahu
aku Coan Ciangkun dan engkau berani masuk seperti maling? Apakah nyawamu sudah
rangkap lima? Tangkap dia!” bentak panglima itu sambil menudingkan telunjuknya
ke arah muka Yo Han.
Mendengar
ini, Si Perut Gendut tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, cacing tanah, berani
sekali engkau lancang masuk ke sini! Hendak mencuri apakah? Hayo cepat
berlutut, atau akan kupatah-patahkan tulang kedua kakimu supaya engkau berlutut
dan minta ampun kepada Coan Ciangkun!”
Yo Han
bersikap tenang dan matanya masih terus memandang kepada panglima itu. “Aku
tidak ingin mencuri apa-apa, bahkan hendak menangkap pencuri dua buah benda
pusaka dari gedung pusaka istana!”
Tentu saja
ucapannya ini mengejutkan empat orang itu.
“Tong Gu,
cepat kau tangkap dia!” bentak panglima itu kepada Si Gendut yang bernama Tong
Gu.
“Haiiiittt...!”
Tong Gu
menerjang ke depan, gerakannya seperti sebuah bola menggelundung menuju ke arah
Yo Han dan agaknya dia benar-benar hendak mematahkan kedua tulang kaki Yo Han
karena begitu menerjang, dia sudah membuat gerakan menyapu dengan kaki kanannya
yang pendek namun besar. Biar pun berperut gendut, gerakannya gesit sekali dan
kaki kanannya sudah menyambar ke arah kedua kaki Yo Han.
Namun, Yo
Han sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan berdiri tegak
dan masih memandang kepada Coan Ciangkun. Karena itu, tanpa dapat dicegah lagi,
kaki kanan Tong Gu menyambar kedua kakinya dengan amat kuatnya.
“Bresss...!”
Bukan tulang
kedua kaki Yo Han yang patah-patah, melainkan justru Si Gendut yang
berteriak-teriak kesakitan, meloncat-loncat dengan tumpuan kaki kiri sambil
mencoba untuk memegangi kaki kanan dengan kedua tangannya. Tetapi karena kedua
lengannya pendek, sedangkan kaki kanan itu pun pendek, maka sulit baginya agar
bisa memegang kaki itu.
Dan dia pun
berjingkrak menari-nari dengan sebelah kaki. Matanya terbelalak, mulutnya
ngos-ngosan seperti orang makan merica saking nyerinya, karena kakinya terasa
kiut miut seperti pecah-pecah tulangnya. Akan tetapi, dua orang kawannya
menjadi marah dan mereka pun siap untuk menerjang.
Yo Han tidak
mempedulikan mereka. Dia melihat panglima itu pun terkejut dan bangkit dari
tempat duduknya, siap hendak melarikan diri. Sekali tubuhnya berkelebat, Yo Han
sudah meloncat ke dekat panglima itu dan jari tangannya menotok. Tubuh panglima
itu menjadi lemas dan dia pun jatuh terduduk kembali ke atas kursinya. Dia
hanya dapat memandang dengan mata terbelalak karena Yo Han sudah menghampiri
ketiga orang tukang pukul itu dengan sikap tenang.
Kini Tong Gu
Si Gendut sudah mencabut golok besarnya. Tulang kakinya tidak patah, akan
tetapi membengkak dan kebiruan, nyeri sekali. Si Muka Kuning bermata sipit yang
bernama Cong Kak juga sudah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan Si Hidung
Kakatua mencabut rantai baja. Mereka bertiga mengepung Yo Han, namun pemuda ini
bersikap tenang.
Dia tidak
suka berkelahi, tidak suka menggunakan kekerasan, akan tetapi sekarang dia bisa
melihat kebenaran pendapat mendiang gurunya. Kepandaian silat memang penting
sekali, untuk menghadapi orang-orang yang sewenang-wenang seperti ini! Bukan
untuk berkelahi, bukan untuk menggunakan kekerasan, melainkan untuk menundukkan
yang jahat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan!
“Lebih baik
kalian membujuk majikan kalian untuk menyerahkan dua benda curian itu kepadaku.
Jika kalian menggunakan kekerasan, maka kalian sendiri yang akan menjadi korban
kekerasan kalian itu!” Yo Han masih coba menasehati, karena kalau dapat, dia
hendak menyelesaikan masalah itu tanpa harus melawan tiga orang ini.
Tentu saja
nasehatnya itu menggelikan bagi orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan
itu. Mereka sudah marah sekali dan tanpa dikomando lagi, ketiganya sudah
memutar-mutar senjata dan menggerakkan senjata mereka dengan kuat dan cepat,
menerjang ke arah Yo Han.
Pemuda ini
sudah mewarisi ilmu-ilmu yang sangat tinggi, akan tetapi belum pernah dia
menggunakannya dalam perkelahian. Meski demikian, melihat gerakan tiga orang
yang bagi orang lain nampak cepat itu, baginya kelihatan lamban sekali dan dia
dapat melihat jelas ke arah mana senjata mereka itu menyambar. Dengan
kelincahan tubuhnya yang sudah mempelajari segala macam ilmu tari dari Thian-te
Tok-ong yang sebenarnya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi, dengan amat mudahnya
dia mengelak ke sana sini dan semua serangan senjata itu sama sekali tidak
mampu menyentuhnya.
Yo Han tidak
ingin membunuh orang, bahkan melukainya pun dia tidak tega, walau pun dia tahu
bahwa tiga orang ini biasanya menggunakan kekerasan untuk menindas orang lain.
Dia harus bekerja cepat agar urusan itu segera dapat diselesaikannya dengan
baik.
Maka, begitu
tangan kakinya bergerak dengan kecepatan yang tak bisa diikuti pandang mata
tiga orang pengeroyoknya, tiba-tiba tiga orang itu berturut-turut jatuh
terpelanting dalam keadaan lemas tertotok. Senjata mereka lepas dari pegangan
dan mengeluarkan suara berisik ketika terjatuh ke atas lantai.
Akan tetapi,
agaknya suara ribut-ribut itu telah terdengar oleh para pengawal panglima itu.
Sebelas orang prajurit pengawal lalu berserabutan memasuki ruangan yang luas
itu dengan senjata di tangan dan begitu masuk, mereka sudah dapat menduga apa
yang terjadi, melihat majikan mereka duduk tak bergerak dan tiga orang jagoan
itu roboh dan tak mampu bergerak pula. Maka, serentak mereka mengepung Yo Han
dan langsung menyerangnya dengan senjata mereka.
Yo Han
maklum bahwa jika ia tidak bertindak cepat, akan makin sukarlah keadaannya. Dia
pun mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan seekor burung walet beterbangan,
tubuhnya menyambar-nyambar sehingga kembali para pengeroyoknya roboh tertotok
seorang demi seorang. Tubuh mereka berserakan, juga ada yang bertumpuk dan
dalam waktu yang singkat, sebelas orang itu pun sudah roboh semua tanpa mengalami
luka, hanya tertotok dan lemas tak mampu bergerak.
Sebelum
datang lagi pengeroyok, sekali loncat Yo Han telah mendekati Coan Ciangkun yang
marah duduk tertotok dan tak mampu bergerak. Yo Han membebaskan totokannya
terhadap pembesar itu dan Coan Ciangkun dapat pula bergerak. Akan tetapi dia
tidak berani bangkit berdiri karena pemuda yang lihai itu sudah mengancamnya
dengan jari tangan di leher!
“Mau apa
engkau? Engkau akan dihukum mati untuk ini!” kata Coan Ciangkun dengan nada
marah. “Pasukanku akan menangkapmu!”
“Sebelum aku
di tangkap, aku akan dapat membunuhmu lebih dulu, Ciangkun!” Yo Han mengancam.
Wajah yang
marah itu seketika menjadi pucat karena Sang Panglima maklum bahwa pemuda yang
dengan mudahnya merobohkan empat belas orang pengawalnya, tentu tidak hanya
menggertak, akan tetapi benar-benar akan mampu membunuhnya dengan mudah.
“Apa yang
kau inginkan?” tanyanya dan meski pun nadanya masih membentak, namun suara itu
gemetar.
Yo Han
mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, suara banyak orang dan dia tahu
bahwa tentu pasukan penjaga sudah datang mengepung ruangan itu.
“Pertama,
kau perintahkan agar supaya pasukanmu mundur dan jangan mengganggu percakapan
kita di ruangan ini. Hayo cepat lakukan!” Sengaja Yo Han menyentuh leher
panglima itu dengan jari-jari tangannya.
Panglima itu
bergidik dan dia pun berseru dengan suara nyaring.
“Pasukan
jaga, semua mundur dan jangan ganggu aku. Kami sedang bicara dan siapa pun
tidak boleh mengganggu kami!”
Suaranya
dikenal oleh para penjaga. Meski merasa heran, mereka semua mendengar dan tidak
berani mendekati ruangan itu biar pun di sebelah sana mereka tetap mengatur
pengepungan karena mereka tahu bahwa ada seorang asing bersama majikan mereka,
dan bahwa belasan orang pengawal telah dirobohkan orang asing itu.
“Bagus,
Ciangkun. Kalau engkau berkenan memenuhi semua permintaanku, aku akan
membebaskanmu dan tidak akan mengganggumu lagi. Sekarang, keluarkan dua buah
benda mustika yang kau curi dari dalam gedung pusaka istana itu!”
Wajah itu
semakin pucat. “Apa... apa maksudmu? Pusaka... yang mana...?”
“Engkau
tidak perlu berpura-pura lagi, Ciangkun. Aku sudah tahu semuanya. Engkau
mendendam kepada keluarga Gan akibat lamaranmu ditolak, dan untuk membalas
sakit hati itu, engkau sengaja menyuruh orang mencuri dua buah benda pusaka
dari dalam gedung pusaka istana agar Gan Taijin menerima hukuman. Dan engkau
menjanjikan kepada Gan Taijin untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang
hilang itu asal dia mau menyerahkan puterinya kepadamu!”
Sepasang
mata itu terbelalak. “Tidak…! Tidak…! Mana buktinya bahwa aku melakukan semua
itu?”
Yo Han
memandang ke arah meja di depan panglima itu. Sebuah meja yang terbuat dari
papan yang tebal. Dia menggerakkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ujung
meja.
"Krekk-krekk...!”
Dan ujung meja itu hancur menjadi bubuk dalam cengkeramannya.
Wajah
panglima itu menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak ketakutan.
“Ciangkun,
apakah lehermu lebih keras dari pada papan meja ini?”
“Jangan...
jangan bunuh aku... apa yang kau inginkan?” pembesar itu berkata, suaranya
kehilangan keangkuhannya, bernada menyerah.
“Coan
Ciangkun, engkau adalah seorang laki-laki dan memegang jabatan tinggi sebagai
panglima. Semestinya engkau seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi perbuatanmu
ini sungguh memalukan sebagai seorang laki-laki. Kalau pinanganmu ditolak, itu
berarti bahwa nona Gan Bi Kim bukan jodohmu. Kenapa engkau hendak memaksanya
dengan cara yang begini curang dan pengecut? Kedudukanmu tinggi, akan tetapi
watakmu amat rendah. Sekarang, aku hanya ingin engkau memperbaiki kesalahanmu,
mengembalikan dua buah benda pusaka itu kepadaku. Cepat, atau aku akan
kehilangan kesabaranku dan tanganku yang gatal-gatal ini akan mencengkeram
lehermu atau kepalamu!”
Sengaja Yo
Han meraba-raba leher itu dan Coan Ciangkun bergidik.
“Jangan
bunuh... baik, akan kukembalikan...! Tapi... dua buah benda itu disimpan oleh
Tong Gu itu...” Dia menunjuk ke arah tubuh gendut Tong Gu, salah seorang di
antara tiga jagoannya tadi, dengan telunjuk yang menggigil.
Yo Han dapat
menduga bahwa panglima itu tidak main-main atau hendak menipunya. Bagaimana pun
juga, panglima itu telah berada di dalam kekuasaannya dan tidak akan mampu
berbuat apa pun.
“Akan
kusadarkan dia dan lekas perintahkan dia untuk mengambil dua buah pusaka itu!”
katanya dan sekali tangannya bergerak, dia telah membebaskan totokan Tong Gu.
Begitu Si
Gendut itu dapat bergerak, dia meloncat dengan sikap hendak menyerang. Akan
tetapi Coan Ciangkun menghardiknya.
“Tolol, apa
yang akan kau lakukan?!”
Coan
Ciangkun memang mendongkol sekali melihat ketidak becusan para jagoannya. Hanya
melawan seorang pemuda saja, mereka bertiga roboh, bahkan belasan orang
pengawalnya juga roboh. Dan sekarang, masih berlagak hendak melawan!
Tong Gu
terkejut dan membungkuk di depan pembesar itu. “Maafkan hamba... hamba kira...”
“Tidak usah
banyak cakap. Cepat kau ambil kedua buah pusaka itu dan bawa ke sini!” perintah
Coan Ciangkun.
“Baik,
Ciangkun!” kata Tong Gu.
Sebelum Tong
Gu pergi, Yo Han berkata, “Tong Gu, jangan coba untuk main gila. Ingat, nyawa
majikanmu berada di dalam tanganku. Dia akan mati sebelum engkau dapat
melakukan sesuatu terhadap diriku!”
“Kalau
engkau berani main gila, akan kusuruh hukum siksa sampai mati!” bentak Coan
Ciangkun yang agaknya ingin cepat-cepat terbebas dari tangan pemuda yang lihai
itu. “Cepat pergi dan ambil benda-benda itu!”
Tong Gu
keluar dari ruangan itu dan tentu saja dia disambut oleh hujan pertanyaan dari
para rekannya di luar ruangan. Akan tetapi, dia memberi isyarat dengan
telunjuknya di depan mulut.
“Gawat
Ciangkun telah dikuasai iblis itu. Kalau kita bergerak, tentu Coan Ciangkun
akan dibunuhnya. Kita tidak boleh bergerak sebelum Ciangkun dibebaskan. Kepung
saja dari luar dan jangan sampai ada yang lolos. Aku harus mengambilkan pusaka
itu sekarang juga,” bisiknya kepada para pimpinan pasukan.
Sekarang
seluruh penghuni gedung itu telah terbangun dan suasananya menjadi panik.
Namun, pasukan itu hanya mengepung di luar gedung, dan keluarga Coan Ciangkun
berkumpul di sebelah dalam, dijaga oleh pasukan pengawal dengan ketat.
Tong Gu
tidak berani mengabaikan perintah Coan Ciangkun. Dia maklum sepenuhnya bahwa
nyawa majikannya dalam ancaman bahaya maut. Dia pun tahu betapa lihainya pemuda
yang menawan majikannya itu. Bukan saja dia dan dua orang rekannya yang
terkenal jagoan roboh di tangan pemuda itu, juga belasan orang pengawal roboh
dalam waktu singkat. Kepandaian pemuda itu tidak wajar, tidak seperti manusia
biasa!
Tong Gu
muncul kembali ke dalam ruangan itu. Keadaan di sana masih seperti tadi. Coan
Ciangkun masih duduk menghadapi meja yang patah ujungnya, dan pemuda itu masih
tetap berdiri di belakang panglima dengan sikap tenang sekali. Justru
ketenangan sikap pemuda itu yang membuat Tong Gu merasa seram.
Dia
meletakkan bungkusan dua buah benda itu di atas meja depan Coan Ciangkun. Yo
Han lalu membuka bungkusan itu dan melihat bahwa memang itulah dua benda pusaka
yang hilang. Dia sudah mendapat keterangan jelas dari Gan Seng bagaimana bentuk
dan rupa dua buah benda pusaka itu. Tanpa ragu lagi, dia mengambil benda-benda
itu dan menyimpannya ke dalam saku jubahnya.
“Kami sudah
menyerahkan dua buah benda pusaka itu. Sekarang bebaskan kami dan pergilah,
jangan ganggu kami lagi!” kata Coan Ciangkun menuntut.
“Nanti dulu,
Ciangkun,” kata Yo Han dan dia memandang kepada Tong Gu lalu berkata, “Tong Gu,
cepat kau sediakan kertas dan alat tulis untuk Coan Ciangkun!”
Tong Gu
tidak berani membantah dan di dalam ruangan itu memang tersedia alat tulis dan
kertasnya. Setelah perlengkapan itu berada di atas meja, Yo Han lalu berkata,
“Ciangkun, sekarang tulislah surat pengakuanmu bahwa engkaulah yang melakukan
pencurian itu!”
Sepasang
mata itu lantas terbelalak. “Akan tetapi... engkau hendak melaporkan aku dan
mencelakakan aku...?”
Yo Han
tersenyum. “Kami bukanlah orang-orang macam engkau yang suka bertindak curang,
Ciangkun. Surat itu perlu untuk pegangan Gan Taijin supaya engkau tidak lagi
mengganggunya. Kalau engkau berani mengganggunya, maka tentu surat pengakuan
itu akan diserahkannya kepada Sri Baginda Kaisar.”
Panglima
Coan itu menjadi lemas. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan kelak akan
membalas semua ini kepada Gan Seng, kini harapannya itu membuyar bagai asap
tertiup angin. Dia sudah kalah mutlak dan sebagai seorang ahli perang, dia pun
tahu bahwa ada waktu menang dan ada pula waktu kalah. Dan kali ini, dia
benar-benar kalah dan tidak berdaya.
Maka, tanpa
banyak cakap lagi dia segera mengambil pena bulu dan menuliskan surat pengakuan
seperti yang dikehendaki oleh Yo Han. Yo Han mendikte dan diturut oleh panglima
itu. Setelah selesai, Yo Han mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi.
Saya yang
bertanda tangan di bawah ini mengakui sudah mencuri dua benda pusaka, yaitu cap
kebesaran dan bendera lambang kekuasaan dari dalam gudang pusaka istana.
Perbuatan itu saya lakukan untuk membalas dendam dan mencelakai keluarga Gan
Seng, karena lamaran saya terhadap puterinya telah ditolaknya. Kemudian, karena
menginsyafi perbuatan saya yang jahat, saya mengembalikan dua buah benda pusaka
itu dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga Gan lagi.
Tertanda
saya,
PANGLIMA
COAN.
Yo Han
menggulung surat pengakuan itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya pula.
Diam-diam Coan Ciangkun mengepal tinju. Masih ada harapan untuk menebus
kekalahannya, yaitu dengan menghadang pemuda ini, mengerahkan pasukan kemudian
menangkapnya sebelum pemuda itu menyerahkan kedua buah benda pusaka itu dan
surat pengakuannya kepada Gan Seng. Kalau pemuda ini dapat ditangkapnya, semua
itu dapat dirampasnya kembali, maka saat itu dia dapat menebus kekalahannya.
Akan tetapi,
harapan terakhir ini pun membuyar seperti gantungan terakhir pada sehelai
rambut yang putus ketika pemuda itu memegang lengan kanannya dan berkata dengan
lembut tapi nadanya memerintah, “Mari, Ciangkun. Kau antar aku keluar dari
gedung ini!”
Tentu saja
hatinya protes karena perintah itu merupakan tanda kekalahan terakhir baginya,
akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan kepala menunduk, dia pun
melangkah keluar dari ruangan itu. Pergelangan tangan kanannya digandeng Yo
Han, seperti dua orang sahabat baik berjalan bersama, seakan-akan panglima itu
mengantar seorang tamu yang akrab keluar meninggalkan rumahnya!
Para
prajurit dan pengawal yang tadinya sudah mengepung gedung itu, kini hanya bisa
melongo saja tidak berani bertindak apa-apa karena komandan mereka pun diam
dalam seribu bahasa, tidak berani mengeluarkan komando untuk melakukan
penyergapan!
Setelah
sampai di pintu gerbang depan, Yo Han berkata kepada panglima itu. “Coan
Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu. Mudah-mudahan saja engkau tidak
melakukan kekeliruan-kekeliruan selanjutnya. Selamat tinggal!”
Sekali
berkelebat, pemuda itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Beberapa orang
perwiranya langsung berloncatan keluar dengan pedang di tangan, hendak
melakukan pengejaran. Akan tetapi Coan Ciangkun mengangkat tangan kanan ke
atas. Dia maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai dan kalau dia salah langkah
lagi, mungkin dia tidak akan tertolong. Surat pengakuannya tadi merupakan ujung
pedang yang sudah ditodongkan di depan dadanya!
“Jangan
kejar dia! Biarkan pergi, aku telah kalah,” katanya dengan lemas dan dia pun
memasuki gedungnya.
Tentu saja
anak buahnya tak ada yang berani melanggar perintah ini. Apa lagi pemuda itu
sudah lenyap dan mereka tidak tahu harus mencari dan mengejar ke mana.
**************
Pada saat Yo
Han menyerahkan dua buah benda pusaka itu bersama surat pengakuan yang dibuat
Coan Ciangkun, Gan Seng dan isterinya menjadi demikian gembira dan terharu
sehingga kalau tidak dicegah oleh Yo Han, mau rasanya mereka menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki pemuda itu!
Yo Han bukan
saja sudah menyelamatkan Gan Seng, tetapi juga seluruh keluarganya dari
malapetaka yang amat besar! Gan Seng merangkulnya dan kedua matanya basah,
sedangkan isterinya sudah menangis saking harunya, dirangkul puteri mereka, Gan
Bi Kim, yang juga merasa gembira bukan main.
“Yo Han,
engkau sungguh merupakan bintang penolong dan penyelamat keluarga kami. Entah
bagaimana keluarga kami akan dapat membalas budimu ini, Yo Han.”
“Aihh, Paman
Gan, mengapa bicara seperti itu? Saya hanya melaksanakan tugas saya, yaitu
memenuhi perintah dan pesan terakhir dari mendiang Suhu. Kalau Paman hendak
berterima kasih, semestinya berterima kasih kepada Suhu Ciu Lam Hok karena saya
hanya mewakili beliau saja.”
Nenek Ciu
Ceng juga seketika sembuh pada saat mendengar hasil baik yang diperoleh Yo Han
dalam menyelamatkan keluarga puteranya. Ketika diberi tahu tentang kematian
kakaknya, nenek ini menangis dan menuntut kepada puteranya supaya malam itu
juga diadakan sembahyang terhadap arwah kakaknya, mendiang kakek Ciu Lam Hok,
yang telah mengirim muridnya dan menyelamatkan mereka.
Melihat ini,
Yo Han merasa tidak tega untuk menceritakan keadaan kakek Ciu Lam Hok yang
buntung kedua kaki tangannya itu. Biarlah mereka menganggap bahwa suhu hidup
sampai saat terakhir dalam keadaan sehat dan berbahagia, pikirnya.
Tetapi,
betapa kagetnya ketika dia mendengar nenek Ciu Ceng yang bersembahyang di depan
meja sembahyang itu menangis sambil berkata dengan suara sungguh-sungguh,
seolah-olah suhu-nya masih hidup dan berdiri atau duduk di situ.
“Hok-ko,
kami sekeluarga berhutang budi dan nyawa kepada muridmu! Oleh karena itu,
ijinkanlah kami untuk mempererat ikatan antara muridmu dengan keluarga Gan
Seng, keponakanmu. Kami mohon persetujuanmu agar muridmu dapat menjadi jodoh
cucuku Gan Bi Kim.”
Tentu saja
Yo Han terkejut bukan main. Dia tidak dapat mengeluarkan kata apa pun dan
diam-diam dia lalu menyingkir dari ruangan itu, menuju ke kamar yang sudah
disiapkan untuk dia bermalam di rumah keluarga Gan itu. Dia tidak tahu bahwa
gadis cantik itu pun menjadi merah sekali wajahnya dan seperti juga dia, Bi Kim
cepat lari memasuki kamarnya.
Malam itu Yo
Han tidak dapat tidur pulas. Gelisah dia memikirkan ucapan nenek Ciu Ceng.
Ucapan itu bagaikan terdengar terus dan bergema di dalam telinganya. Dia akan
dijodohkan dengan Bi Kim!
Terjadi
semacam pertempuran di dalam hatinya. Ada suara yang seolah memaksanya untuk
membayangkan kesenangan-kesenangan yang akan dinikmatinya bila ia menjadi suami
Bi Kim. Dia seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan tidak punya apa-apa,
mendadak akan menjadi suami seorang gadis puteri bangsawan!
Bi Kim
seorang gadis yang cantik jelita, berdarah bangsawan dan kaya raya. Kalau dia
menjadi suaminya, maka sekaligus derajatnya akan terangkat naik tinggi sekali!
Ia akan mempunyai seorang isteri yang cantik jelita, dari keluarga bangsawan
yang terhormat dan menurut penglihatannya adalah gadis yang baik budi.
Dia akan
menjadi orang yang dimuliakan, yang dihormati dan kaya raya. Bahkan besar
kemungkinan dia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Dan yang lebih dari
semua itu, Bi Kim adalah cucu keponakan dari mendiang suhu-nya! Mau apa lagi?
Belum tentu selama hidup dia akan mendapat kesempatan sebaik itu, menerima
anugerah sebesar itu. Demikian terdengar bisikan di dalam hatinya yang
menonjolkan segi-segi yang akan mendatangkan kesenangan bagi hidupnya.
Akan tetapi,
ada suara lain lagi yang menentangnya. Suara ini menonjolkan hal-hal yang
sebaliknya. Mengingatkan dia bahwa kalau dia menerima perjodohan itu, maka dia
akan kehilangan kebebasannya. Dia akan terikat di situ. Dan tiba-tiba saja
bayangan seorang anak perempuan yang mungil dan berpakaian merah muncul dalam
benaknya. Sian Li!
Bayangan anak
ini selalu saja muncul setiap kali hatinya mengalami guncangan atau dalam
keadaan kesepian atau gelisah seperti sekarang ini. Sian Li yang manis, yang
mungil, yang lincah jenaka, yang amat sayang kepadanya dan amat disayangnya!
Dia ingin bertemu kembali dengan Sian Li!
Kalau dia
menjadi mantu keluarga Gan di kota raja, dia terpaksa harus tinggal di situ,
padahal dia masih harus melaksanakan tugas lain yang dipesan oleh suhu-nya,
yaitu mencari mutiara hitam pusaka milik gurunya yang hilang dan kabarnya dibawa
seorang kepala suku bangsa Miao! Ah, inilah yang dapat dia jadikan alasan!
Mendapatkan jalan untuk digunakan sebagai alasan penolakannya, hatinya tenang
dan dia pun dapat tidur pulas menjelang pagi.
Dia hanya
tidur selama dua jam saja karena pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika
terdengar kokok ayam jantan, dia sudah bangun kembali. Tubuhnya terasa segar.
Jauh lebih menyehatkan tidur selama dua jam dengan pulas dari pada tidur
semalaman suntuk dalam keadaan gelisah.
Dia segera
mandi karena di dalam gedung besar itu selalu tersedia air secukupnya di kamar
mandi. Tubuhnya terasa makin nyaman dan ia pun berganti pakaian. Dan melihat
bahwa rumah itu masih sunyi, agaknya penghuninya masih tidur, dia pun keluar
melalui pintu belakang menuju ke taman bunga yang berada di belakang.
Agaknya,
tiap rumah gedung seorang bangsawan atau hartawan pasti memiliki sebuah taman
bunga yang indah. Taman bunga milik keluarga Gan itu pun luas dan amat indah,
terdapat kolam ikan yang lebar dan anak sungai buatan yang selalu mengalirkan
air yang jernih. Ada beberapa buah jembatan yang cantik sekali, dibuat dengan
seni indah dan dicat merah kuning. Ada pondok kecil tempat berteduh kalau hawa
sedang panas.
Yo Han
mengagumi keindahan taman itu dan karena pada waktu itu musim berbunga sedang
mulai, maka sebagian besar tanaman di situ mulai berkuncup dan berbunga. Bahkan
teratai merah dan putih di kolam ujung juga mekar meriah.
Tiba-tiba Yo
Han terkejut dari lamunannya ketika dia melihat seorang wanita berdiri di dekat
kolam bunga teratai, berdiri membelakanginya. Tadi dia tidak melihatnya karena
serumpun mawar menutupinya dan sekarang dia melihatnya, tetapi sudah terlampau
dekat dan selagi dia hendak cepat membalikkan tubuh pergi dari situ, orang itu
sudah membalikkan tubuh memandangnya dan menegur.
“Yo-twako
(Kakak Yo)...”
Yo Han
merasa serba salah. Hendak pergi dapat menimbulkan kesan tidak ramah dan
sombong, kalau tinggal di situ dapat dianggap kurang sopan karena bertemu
dengan gadis puteri tuan rumah di pagi buta dalam taman. Apa lagi mengingat
bahwa semalam, nenek gadis itu menjodohkan dia dengan Bi Kim. Dia cepat
merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat.
“Kim-moi
(Adik Kim), selamat pagi! Aku tidak tahu bahwa engkau sedang berada di sini,
maafkan aku kalau mengganggu ketenanganmu.”
Wajah gadis
itu berubah kemerahan dan ia menahan senyumnya sambil memandang dari bawah
dengan kepala menunduk. Kerling matanya sungguh amat menarik, kerling sopan dan
malu-malu.
“Ahh,
Yo-toako mengapa bersikap amat sungkan? Tentu saja tidak mengganggu. Akan
tetapi, kulihat sepagi ini engkau sudah bangun, sudah mandi dan berpakaian
rapi!”
“Benar,
Kim-moi, karena aku hanya menanti sampai orang tuamu dan nenekmu bangun untuk
berpamit dari mereka.”
Bi Kim
mengangkat muka dan menatap wajah Yo Han sepenuhnya dengan kedua mata
terbelalak. Diam-diam Yo Han terpesona. Mata itu demikian indahnya ketika
terbelalak. Seperti lukisan! Nampak betapa sepasang alis yang hitam kecil
melengkung itu sedikit terangkat menjauhi mata, dan betapa bulu mata yang halus
lebat itu bergerak-gerak menimbulkan bayang-bayang gelap di sekitar mata, dan
biji mata itu nampak lebih lebar dari biasanya, begitu bening dan lembut,
mengkilat basah.
“Toako...
kau... kau mau berpamit? Mau pergi...?”
Sejenak dua
pasang mata bertemu dan mata yang terbelalak itu akhirnya menunduk kembali,
terbawa muka yang ditundukkan. Dalam suara itu terkandung getaran seperti orang
yang menangis sehingga Yo Han menjadi terheran-heran.
Yo Han
menganggukkan kepala dan kalau gadis itu masih memandangnya, tentu dia tidak
akan mengeluarkan suara, cukup dengan mengangguk saja. Akan tetapi karena gadis
itu menunduk dan tidak memandangnya, tentu saja anggukan kepalanya sebagai
jawaban itu tidak akan terlihat, dan sikap gadis itu jelas menuntut jawaban.
“Benar,
Kim-moi. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku,” katanya lirih dan singkat.
Gadis itu
mengangkat mukanya dan Yo Han merasa semakin heran. Gadis itu jelas menangis,
atau setidaknya berlinang air mata! Sungguh aneh!
“Akan
tetapi, semalam nenek...” Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya dan menunduk
makin dalam, agaknya baru teringat bahwa ia telah mengeluarkan ucapan yang sama
sekali tidak pantas.
Ia tidak
sengaja berkata demikian. Ucapan neneknya semalam yang menjodohkan dia dengan
pemuda ini terngiang di telinganya sepanjang malam, membuat ia tidak dapat
tidur dan pagi-pagi ini ia keluar ke taman dengan suara neneknya masih terus
mengiang di telinganya. Oleh karena itulah, tanpa disadari dan tanpa disengaja,
perasaannya itu terucapkan oleh mulutnya dan biar pun ditahannya, namun ia
telah menyebut neneknya dan tentu pemuda itu dapat mengerti. Betapa memalukan!
Memang Yo
Han mengerti dan dia pun tertegun. Kiranya seperti juga dia, usul nenek Ciu
Ceng itu membuat gadis ini menjadi gelisah!
“Maksudmu,
pernyataan nenek Ciu Ceng tentang... perjodohan itu, Kim-moi?
Mendengar
betapa ucapan pemuda itu terdengar wajar dan santai saja, perlahan-lahan
kecanggungan yang dirasakan gadis itu pun berkurang dan ia berani mengangkat
muka memandang wajah Yo Han.
Bi Kim
mengangguk dan bertanya lirih, “Bagaimana pendapatmu tentang usul nenek itu?”
Hemm, gadis
ini cukup tabah, pikir Yo Han. Dan dia merasa girang sekali.
Memang jauh
lebih baik membicarakan urusan ini dengan hati terbuka, dari pada harus
menyimpannya dalam hati dan kelak menjadi ganjalan. Dia tahu bahwa Bi Kim
adalah seorang gadis terpelajar dan mampu berpikir jauh dan berpandangan luas,
tidak sempit seperti gadis-gadis yang tiada pendidikan yang baik.
“Nanti dulu,
Kim-moi. Karena usul itu datang dari pihak keluargamu, maka aku ingin sekali
mendengar dahulu bagaimana pendapatmu dengan pertanyaan nenek itu. Lebih baik
kita bicara dengan terus terang, karena hal ini menyangkut kehidupan kita
berdua di masa mendatang. Nah, katakan bagaimana pendapatmu?"
Kembali
wajah gadis itu memerah. Biar pun dia bukan gadis dusun dan berpendidikan, akan
tetapi bicara tentang urusan perjodohan tentu saja membuat ia merasa kikuk dan
malu. Ia kembali menunduk dan suaranya terdengar gemetar dan canggung, juga
lirih.
“Apa yang
dapat kukatakan, Toako? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami. Kalau tidak
ada bantuanmu, tentu Ayahku dihukum dan kami yang menjadi keluarganya juga
tidak akan lolos dari hukuman. Lebih lagi, kalau tidak ada engkau yang
menundukkan panglima jahanam itu, dia tentu akan terus merongrong dan
menggangguku. Kini kami bebas dan merasa lega. Semua ini karena pertolonganmu.
Tentu saja aku... aku... ahh, bagaimana aku akan dapat menolak? Aku... ehhh…
setuju sekali.”
Yo Han
mengerutkan alisnya. Dia mengerti akan isi hati gadis itu. Tidak hanya karena
ingin balas budi! Memang gadis itu agaknya suka padanya. Hal ini mudah
diketahuinya dari pandang matanya dan sikapnya, dan jantungnya sendiri berdebar
tegang. Betapa akan senangnya disayang oleh seorang gadis secantik jelita Bi
Kim!
Tetapi,
kembali wajah seorang anak perempuan berpakaian merah muncul di benaknya,
mengusir bayangan menyenangkan dari Bi Kim. Wajah Sian Li! Dan teringatlah dia
akan tugasnya yang penting, yaitu mencari mutiara hitam gurunya. Maka, dia pun
diam saja, termangu-mangu dan tidak tahu harus bicara apa.
Karena
pemuda itu tidak menanggapi pengakuannya tadi, Bi Kim lalu memberanikan diri
melawan rasa canggung dan malu, mengangat muka memandang. Dia melihat pemuda
itu bengong saja, maka dia pun balik bertanya.
“Bagaimana
dengan pendapatmu sendiri, Yo-toako?” suaranya terdengar penuh harap, matanya
bersinar-sinar, dan mulutnya membayangkan senyum dikulum. Mulut gadis itu
memang hebat, begitu penuh daya tarik, menggairahkan dan menantang.
“Aku...?
Ehh, pendapatku? Ahh, bagimana, ya? Kim-moi, pemuda mana yang tidak akan
berbangga hati dan merasa bahagia sekali menjadi jodohmu? Engkau seorang gadis
bangsawan yang cantik jelita dan orang tuamu berkedudukan tinggi, bangsawan dan
hartawan. Selain kecantikanmu, engkau pun berpendidikan dan berbudi baik
sekali. Apa lagi yang dikehendaki seorang pemuda dari seorang gadis? Dan
sebaliknya, aku hanya seorang pemuda yatim piatu yang tidak memiliki apa-apa,
tidak berpendidikan, bodoh dan miskin. Aku bagaikan seekor burung gagak di
samping engkau yang seperti burung dewata! Bagaimana aku berani menjajarkan
diriku yang hina dan papa ini dengan dirimu yang begitu mulia dan anggun?”
“Yo-toako!”
Bi Kim berseru penuh penasaran dan alisnya yang hitam kecil panjang serta
melengkung itu berkerut. “Janganlah engkau merendahkan diri seperti itu! Orang
boleh rendah hati, itu baik sekali. Akan tetapi rendah diri? Tidak ada gunanya,
Toako. Apa lagi kenyataan menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda yang amat
lihai, berilmu tinggi, dan di dekatmu orang akan merasa aman tenteram, tidak
takut menghadapi ancaman apa pun juga. Dibandingkan dengan engkau, aku seorang
gadis yang lemah sekali dan sama sekali tak berdaya menghadapi kejahatan yang
merajalela di dunia ini. Aku hanya bertanya mengenai pendapatmu, bukan keadaan
dirimu yang kau rendahkan seperti itu, Toako.”
Yo Han
tersenyum. Tepat dugaannya. Gadis ini memang pandai dan cerdik, amat pintar
berbicara. “Maafkan aku, Kim-moi. Aku bukan merendahkan diri, melainkan
menyatakan pendapatku berdasarkan kenyataan. Akan tetapi bukan keadaan itu yang
membuat aku terpaksa tidak berani menerima usul dari nenekmu, melainkan karena
aku masih harus melaksanakan tugas yang dipesankan mendiang Suhu kepadaku,
yaitu mencari sebuah benda pusaka milik Suhu yang dulu hilang dicuri orang.”
Gadis itu
nampak kecewa, akan tetapi menutupi perasaannya dengan bertanya serius. “Pusaka
apakah yang hilang itu, Toako?”
“Sebuah
benda pusaka milik Suhu yang disebut Mutiara Hitam, kabarnya kini berada di
tangan seorang kepala suku bangsa Miao. Karena itu, tugas ini harus kulaksanakan
dulu sampai berhasil.”
“Dan kalau
engkau sudah berhasil dengan tugas itu?” Bi Kim mengejar.
“Kalau sudah
berhasil... bagaimana nanti saja. Kelak masih banyak waktu untuk bicara tentang
urusan pribadi, Kim-moi. Bukankah jodoh berada di tangan Tuhan? Bila Tuhan
menghendaki agar kita... berjodoh, pasti hal itu akan terjadi. Sebaliknya,
kalau Tuhan tidak menghendaki, walau direncanakan pun akan gagal. Karena itu,
terus terang saja, sebelum aku selesai menunaikan tugas dari mendiang Suhu, aku
tidak akan memikirkan soal perjodohan. Maaf, Kim-moi,” katanya dan cepat-cepat
menutup ucapannya dengan permintaan maaf karena dia tak ingin menyinggung
perasaan gadis itu. Apa lagi melihat wajah gadis itu berubah agak muram.
Sampai lama
keduanya tidak bicara, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya hingga
membelakangi Yo Han dan terdengar suaranya yang lirih, “Seorang lelaki akan
mudah bicara seperti itu, Toako. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang
perempuan memiliki pendapat seperti itu? Jika belum ada ikatan dengan
seseorang, maka setiap saat orang tua akan menjodohkan seorang gadis dengan
pria mana saja yang dianggap baik dan cocok. Dan engkau tentu tahu, sebagai
seorang anak yang berbakti, tidak mungkin aku dapat menolaknya. Berbeda halnya
kalau seorang gadis sudah terikat, biar pun menanti sampai beberapa tahun pun
tidak ada halangannya...”
Yo Han
merasa betapa jantungnya berdebar keras. Dari ucapan gadis ini saja sudah
mengandung arti pengakuan bahwa gadis itu menginginkan mereka terikat! Ini
berarti bahwa gadis ini berharap menjadi calon jodohnya, bahwa gadis ini
menaruh harapan kepadanya dan cinta padanya!
Yo Han
merasa kasihan. Tidak boleh dia menyia-nyiakan harapan seorang gadis sebaik
ini, tidak boleh dia menghancurkan hatinya. Dia harus dapat mencari alasan yang
lebih tepat. Teringatlah dia akan Sian Li, akan ayah ibu anak itu, yaitu suhu
dan subo-nya, guru-gurunya yang pertama sejak dia kecil sampai dia berusia dua
belas tahun!
Bukankah
suhu dan subo-nya itu dahulu juga amat sayang kepadanya, bahkan sudah
menganggapnya seperti anak mereka sendiri? Sudah lama, sejak menjadi murid
Kakek Ciu Lam Hok, dia menyadari sikap suhu dan subo-nya yang tidak ingin
melihat Sian Li ketularan sikapnya yang dulu sama sekali tidak suka belajar
ilmu silat.
Ia dapat merasakan
kekhawatiran kedua orang suami isteri pendekar itu yang tentu saja prihatin
sekali melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat betapa mungkin
saja Sian Li juga mengikuti jejaknya, tidak mau belajar silat. Karena
pengertian inilah sudah lama dia tidak pernah merasa kecewa atau menyesal. Dia
meninggalkan suhu dan subo-nya itu bukan karena tidak suka, melainkan karena
tidak ingin menyusahkan mereka, tidak ingin mengecewakan mereka kerena Sian Li
mencontoh dia, tidak suka belajar ilmu silat.
“Adik Bi
Kim. Aku mengerti perasaanmu. Dan ketahuilah bahwa aku akan berbohong kalau
tidak mengatakan bahwa setiap orang pemuda akan berbahagia sekali menjadi calon
jodohmu. Akan tetapi untuk aku sendiri, aku tidak berani memutuskan, karena aku
harus bertanya kepada mereka yang berhak menentukan. Aku pun ingin seperti
engkau, menjadi seorang yang berbakti...”
“Yo-toako!
Bukankah kau pernah mengatakan bahwa engkau yatim piatu, tidak memiliki ayah
dan ibu lagi? Dan gurumu, yaitu kakak dari Nenek juga sudah meninggal dunia,
lalu siapa lagi yang berhak menentukan?”
“Belum
kuceritakan semua tentang riwayatku kepadamu, Kim-moi. Sebelum menjadi murid
mendiang Kakek Ciu Lam Hok, aku sudah mempunyai guru-guru yaitu sepasang suami
isteri yang bukan saja mendidikku, akan tetapi juga merawatku sejak aku kecil
ditinggalkan orang tuaku. Merekalah yang membesarkan aku, sejak aku berusia
tujuh tahun ditinggal oleh ayah ibuku, sampai aku berusia dua belas tahun. Lima
tahun aku seolah-olah menjadi anak mereka sendiri dan aku telah menerima budi
yang berlimpah dari mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau aku
menganggap mereka sebagai pengganti orang tuaku dan menyerahkan kepada mereka
untuk urusan perjodohanku. Nah, sekarang sudah kau ketahui semua, Kim-moi. Aku
mohon diri, hari ini aku akan melanjutkan perjalanan mencari pusaka mendiang
Guruku. Selamat tinggal dan semoga kelak kita dapat bertemu kembali.”
“Selamat
jalan, Toako.” Gadis itu cepat membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Yo Han,
akan tetapi pemuda itu masih sempat mendengar tangisnya.
Yo Han lalu
berpamit kepada Nenek Ciu Ceng, Gan Seng dan isterinya. Gan Seng dan isterinya
menyambut dengan ramah dan berterima kasih, akan tetapi Nenek Ciu Ceng tanpa
sungkan kemudian bertanya, “Yo Han, engkau murid kakakku yang baik. Sebelum
engkau pergi, engkau harus lebih dulu menyatakan kesediaanmu menerima
permintaan kami.”
Berdebar
rasa jantung dalam dada Yo Han. Tadinya dia mengira bahwa nenek itu lupa akan
ucapannya ketika bersembahyang di depan meja sembahyang untuk gurunya. Kiranya
pada saat ini, nenek itu mengajukan desakan yang membuat dia merasa serba
salah. Dia melirik kepada Bi Kim yang berdiri di sudut sambil menundukkan
mukanya, karena baik dia dan gadis itu tahu apa yang dimaksudkan oleh nenek
itu. Tetapi, untuk memberi kesempatan baginya menenangkan hatinya yang
terguncang karena tegang dia berkata,
“Permintaan
apakah yang Nenek maksudkan?”
“Apa lagi,
Yo Han? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, dan kami tidak berani minta
apa-apa lagi. Hanya satu, yaitu kami harap engkau suka menerima cucuku Bi Kim
menjadi jodohmu...”
“Nenek...!”
Bi Kim terisak dan lari ke dalam kamarnya.
Melihat ulah
gadis itu, Nenek Ciu Ceng terkekeh. “Heh-heh-heh, malu-malu berarti mau.
Bagaimana, Yo Han? Engkau harus memberi keputusan dulu supaya hati kami merasa
lega.”
Melihat
pemuda itu termenung, hati Gan Seng yang merasa tidak enak melihat ibunya
seperti mendesak dan memaksa, lalu berkata dengan suara lembut. “Yo Han, tentu
saja kami tidak memaksamu. Kami tentu akan merasa berbahagia sekali kalau
engkau suka menerima anak kami sebagai calon isterimu, akan tetapi andai kata
engkau tidak suka, kami pun tidak dapat memaksamu.”
Justru
ucapan yang lembut dari pembesar ini lebih berat rasanya bagi Yo Han. Bagai
mana mungkin dia mengatakan tidak suka dan menolaknya? Dia cepat memberi hormat
kepada tiga orang itu.
“Nenek,
Paman dan Bibi yang baik, harap maafkan saya. Sungguh saya tak akan berani
menolak, bahkan merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kebaikan
penghargaan Sam-wi (Anda Bertiga) yang sudi mencalonkan saya yang yatim piatu
dan papa ini sebagai anggota keluarga. Akan tetapi maafkan, saya belum dapat
memberi keputusan sekarang. Pertama, saya harus menyelesaikan tugas yang
diberikan mendiang Suhu, yaitu menemukan kembali pusaka milik Suhu yang dulu
dicuri orang. Ke dua, mengenai perjodohan, saya harus menyerahkannya kepada
Suhu dan Subo saya yang pertama yang sudah menjadi seperti pengganti orang tua
saya sebelum saya berguru kepada mendiang Suhu Ciu Lam Hok.”
“Baiklah, Yo
Han,” kata Gan-taijin (Pembesar Gan) mendahului agar ibunya tak sempat
mengeluarkan ucapan yang sifatnya memaksa atau menyudutkan pemuda itu. “Kami
sekeluarga akan menanti berita darimu setelah engkau dapat membuat keputusan.”
“Terima
kasih, Paman. Sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya.”
Setelah
memberi hormat lagi, Yo Han mulai melangkah keluar. Akan tetapi terdengar suara
nenek Ciu Ceng, “Ingat, Yo Han. Kami sudah menganggapmu sebagai calon suami
cucuku Bi Kim. Kami akan menolak pinangan dari mana pun juga datangnya dan
selalu menunggumu!”
Gan Seng dan
isterinya tidak sempat mencegah dan ucapan itu berkesan dalam sekali di hati Yo
Han. Mereka sudah menganggap dia tunangan Bi Kim dan ini berarti bahwa gadis
itu tidak bebas lagi! Dia ingin membantah, akan tetapi merasa tidak enak, maka
merasa lebih aman tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan
rumah keluarga pembesar tinggi itu.
Setelah Yo
Han pergi, sampai dua hari lamanya Gan Bi Kim tidak pernah meninggalkan
kamarnya. Ia merasa semangatnya melayang ikut pergi bersama pemuda yang sangat
dikaguminya dan yang telah menjatuhkan cinta hatinya itu. Ia merasa kehilangan,
apa lagi karena jawaban pemuda itu membuat dia tidak yakin akan perjodohannya
dengan pemuda itu.
Setelah
dapat menenteramkan hatinya, ia lalu menghadap ayahnya dan merengek agar ia
dicarikan guru-guru silat yang pandai karena ia ingin belajar ilmu silat.
“Ahhh,
engkau ini aneh-aneh saja, A-kim,” kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya.
“Engkau seorang puteri bangsawan, engkau sudah mempelajari semua ilmu kepandaian
yang sepatutnya dimiliki seorang puteri. Apa lagi yang hendak kau pelajari? Apa
lagi dari seorang guru silat? Ilmu silat hanya akan membuat telapak tanganmu
yang halus menjadi kasar, tubuhmu yang lembut menjadi kaku!”
“Ayah,
lupakah Ayah akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarga kita? Semua itu
terjadi karena kita lemah! Untung ada Han-ko datang menolong. Andai kata tidak,
bagaimana? Coba andai kata aku pandai ilmu silat, tentu sudah kuhajar Coan
Ciangkun yang jahat itu. Ayah, kalau aku pandai ilmu silat, setidaknya aku akan
dapat menjaga keamanan keluarga kita.”
“A-kim,”
kata ibunya membujuk. “Aku ingin anakku menjadi seorang wanita yang halus
lembut dan bijaksana, bukan menjadi tokoh rimba persilatan yang kaku dan
kasar!”
“Tetapi Ibu
agaknya lupa bahwa Koko Yo Han juga seorang tokoh rimba persilatan, seorang
pendekar yang mempunyai ilmu silat yang amat tinggi. Bagaimana kalau aku
dijodohkan dengan dia lalu sama sekali aku tidak tahu ilmu silat, bahkan hanya
seorang gadis yang sangat lemah? Ingatlah, Ayah. Bukankah Uwa kakek Ciu Lam Hok
adalah seorang sakti? Masa aku sebagai cucu keponakannya tidak mengerti ilmu
silat? Ayah, carikan guru silat yang lihai untukku!”
Alasan-alasan
yang dikemukakan puteri mereka yang setiap hari merengek itu akhirnya
menggerakkan hati Gan Seng. Sebagai seorang pejabat tinggi yang dekat dengan
istana, Gan-taijin mengenal para jagoan istana yang memiliki ilmu silat tinggi.
Dia lalu menghubungi para jagoan itu dan mulai hari itu, Gan Bi Kim belajar
ilmu silat dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik di samping ketekunan
yang luar biasa. Ketekunan itu timbul setelah keluarga tertimpa mala petaka,
setelah dara ini bertemu dengan Yo Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dengan
bayaran tinggi yang dapat dipenuhi oleh Gan Seng, guru-guru silat jagoan istana
itu bertambah gembira melihat betapa gadis puteri bangsawan itu ternyata
memiliki bakat yang amat baik dan dapat menjadi murid yang akan menambah tinggi
derajat mereka. Bahkan banyak jagoan istana seperti berlomba untuk mengajarkan
ilmu-ilmu mereka kepada gadis bangsawan yang berbakat dan amat rajin ini.
**************
Bangau Merah
terbang di angkasa
disengat
terik matahari senja
betapa ingin
aku menjadi awan
untuk
melindunginya,
dari
sengatan!
Bangau Merah
melayang di angkasa
hujan lebat
datang menimpanya
betapa ingin
aku menjadi goa
tempat
berteduh bangau jelita!
Bangau Merah
meluncur di angkasa
letih dan
lapar datang menggoda
betapa ingin
aku menjadi ranting berbuah
tempat ia
istirahat dengan makanan berlimpah
Bangau
Merah...
“Heiiii!
Engkau sedang mengapa di situ, Suheng? Dari tadi kudengar menyebut-nyebut nama
samaranku. Engkau dari tadi menyebut Bangau Merah!”
Gadis itu
muncul dan memang dia berpakaian serba merah dengan garis-garis kuning dan
biru. Pakaian itu ringkas, sederhana bentuknya, tetapi terbuat dari sutera
merah yang membuat penampilannya amat cerah dan wajahnya nampak lebih manis,
kulitnya menjadi semakin mulus.
Dia seorang
gadis berusia tujuh belas tahun, baru manis-manisnya, bagai bunga mulai mekar
dan bagaikan buah sedang meranum. Dara ini memang cantik jelita, dengan wajah
yang berbentuk bulat telur, matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dengan
ujung menantang, mulutnya yang kecil dengan bibir tipis lembut yang selalu
kemerahan tanda sehat itu selalu tersenyum mengejek sehingga sering kali lesung
kedua pipinya nampak memikat.
Memang sejak
kecil ia disebut Bangau Merah karena ia suka sekali memakai pakaian berwarna
kemerahan dan ia puteri tunggal Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sangat
terkenal itu. Kalau ayahnya hampir selalu mengenakan pakaian putih, dara ini
selalu mengenakan pakaian berwarna merah. Namanya Tan Sian Li.
Seperti
telah kita ketahui, Sian Li diminta oleh paman kakeknya, yaitu pendekar sakti
Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewarisi ilmu silat mereka.
Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek Sian Li yang bernama Suma Hui, yaitu
nenek dari ibunya.
Meski pun
ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat,
bahkan tidak kalah dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong, namun dia dan
isterinya merasa tidak enak untuk menolak niat baik paman mereka itu. Apa lagi,
Suma Ceng Liong merupakan keturunan dari keluarga Pendekar Pulau Es dan memiliki
ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar wanita
sakti, puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.
Telah lima
tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota
Cin-an di Propinsi Shantung. Setiap satu tahun sekali, jatuh pada hari tahun
baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, selalu datang
berkunjung.
Melihat
bakat yang baik dari Sian Li, apa lagi karena dara ini sejak kecil telah
mendapat pendidikan dasar yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami isteri
itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka kepada dara itu sehingga selama
belajar lima tahun lamanya, Sian Li sudah menjadi seorang gadis yang amat
lihai. Bahkan kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suheng-nya, yaitu
Liem Sian Lun.
Pemuda
berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, suheng-nya.
Sian Lun kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar,
gagah dan tampan. Wajahnya selalu cerah dan dia pun pendiam tidak banyak bicara,
kecuali kalau diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan pandai membuat
sajak.
Suma Ceng
Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, memang tidak mengabaikan pendidikan sastra
terhadap Sian Lun dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai untuk
mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada dua orang murid itu.
Senja itu
memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah
duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun
itu. Tempat ini merupakan tempat kesayangannya, di mana dia dan sumoi-nya
sering kali bermain-main sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan datang ke
tempat itu.
Bukit yang
tidak besar, namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah.
Mereka dapat melihat dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati
keindahan senja kala di situ karena lereng bukit itu berada di sebelah barat.
Ketika tadi
melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung bangau terbang
melayang di angkasa melintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke
sarangnya, teringatlah Sian Lun kepada sumoi-nya. Sumoi-nya itu diberi julukan
Bangau Merah oleh suhu dan subo-nya. Julukan yang tepat sekali oleh karena
sumoi-nya selalu berpakaian merah. Sumoi-nya juga puteri Pendekar Bangau Putih
dan jika sudah bersilat, gerakan sumoi-nya demikian indah, seindah gerakan burung
bangau yang sedang terbang.
Maka,
keindahan dan lamunan telah membuat dia bersajak tentang bangau merah dan
tentang keinginan hatinya untuk menjadi pelindung bagi Sang Bangau Merah! Sajak
ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem Sian Lun telah jatuh cinta
setengah mati kepada sumoi-nya, Si Bangau Merah!
Walau pun
dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun
dia sudah yakin bahwa sumoi-nya tentu tak akan menolak cintanya. Dia bahkan
sudah yakin bahwa kelak sumoi-nya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam
dia menganggap sumoi-nya telah menjadi tunangannya!
Keyakinan
ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia mendengar percakapan antara suhu
dan subo-nya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada malam hari, dia lewat di
depan kamar mereka dan suara mereka menembus jendela kamar sehingga tertangkap
oleh pendengarannya.
“Kebetulan
nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagaimana kalau orang
tuanya tidak setuju?” terdengar suhu-nya berkata. Mendengar namanya disebut,
Sian Lun memperlambat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Aku percaya
keponakanku tentu akan setuju. Apa lagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun adalah
seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh.”
“Aihh, jodoh
di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan,” kata suhu-nya dan mereka
pun tidak bicara lagi.
Sian Lun
tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya sehingga andai kata suhu dan
subo-nya mendengar tangkahnya, tentu mereka tidak akan menduga bahwa dia ikut
mendengarkan percakapan mereka. Dan sejak mendengar percakapan itu, beberapa
bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi
isterinya!
Akan tetapi,
Sian Li amat manja dan lincah galak. Apa lagi ia tahu betapa suheng-nya amat
menyayangnya, juga kakek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian
Lun agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap
manja yang di dalam pandangan Sian Lun bahkan membuat dara itu menjadi semakin
menggemaskan dan menarik hati.
Cinta birahi
kalau sudah mencengkeram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut. Ulah
tingkahnya menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang
dicinta akan nampak semakin manis, bahkan ada pula kelakar yang kasar
mengatakan bahwa kentut seorang kekasih berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah
seorang yang dibenci akan nampak mencemooh dan dianggap senyum itu mengejek dan
mentertawai sehingga menimbulkan amarah!
Sian Lun
terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang timbul di saat yang
romantis itu, tiba-tiba dia ditegur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak
diduga sebelumnya. Saking kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara
yang nampak lebih cantik dari pada biasanya itu, segar habis mandi seperti
setangkai bunga bermandikan embun.
Melihat
pemuda itu tak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li
cemberut.
“Heiii,
Suheng, engkau ini kenapa sih? Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali,
sekarang engkau hanya bengong tanpa menjawab pertanyaanku!”
“Sumoi...
aihh, engkau... engkau demikian cantik... indah sekali, ahh, pantasnya engkau
seorang dewi kahyangan yang baru turun melalui cahaya yang keemasan...”
Kalau saja
tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah tertawa geli.
“Ahhh, yang benar, Suheng!” katanya memancing pujian lebih banyak.
Sian Lun
benar terpesona dan matanya menatap tanpa pernah berkedip, seolah takut kalau
berkedip, keindahan di depannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap
matahari senja, sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan...
"Sungguh,
Sumoi... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari sinar kekuningan, wajahmu
mencorong oleh sinar keemasan, engkau tampak begitu segar, begitu hidup,
berkilauan, matamu bercahaya, senyummu... duhai, Sumoi, betapa cantik jelita
engkau...” Sian Lun tidak biasa merayu, akan tetapi kali ini dia terpesona dan
seperti dalam mimpi rasanya.
“Ahhh,
masa...?” Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.
“Sumoi,
engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita, amat
mempesona dan...”
“Aiih,
sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih
tiba-tiba kau memuji-mujiku seperti ini? Engkau tadi bersajak tentang Burung
Bangau Merah, sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?”
Sian Lun
menghela napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana
romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik
napas panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan sikap dan
kata-katanya tadi membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona
seperti tadi, tentu akan dijawabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan
sumoi-nya itu. Akan tetapi sekarang dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau
sumoi-nya menjadi marah.
“Aku tidak
mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepadamu.”
Sian Li
tersenyum. Gadis berumur tujuh belas tahun yang sejak kecil digembleng ilmu
silat dan kurang berpengalaman ini masih belum sadar dan belum mengerti akan
cinta kasih antara pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sayang kepada
orang-orang yang dekat dan akrab dengannya.
“Tentu saja
engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoi-mu? Kalau tidak sayang,
percuma engkau menjadi Suheng-ku.”
Jawaban ini
demikian wajar dan Sian Lun merasa betapa kecewa hatinya. Gadis ini belum tahu!
Belum tahu bahwa sayangnya bukan seperti suheng terhadap sumoi, bukan seperti
kakak terhadap adiknya, melainkan sayang yang disertai dendam rindu, disertai
birahi seorang pria terhadap wanita!
“Aku sangat
sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padaku.”
“Tentu saja!
Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng? Kurasa engkau tidak begitu bodoh
untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita bersama-sama latihan
silat di sini, belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau
memang engkau sayang kepadaku...”
“Apa yang
harus kulakukan? Katakanlah, Sumoi,” kata Sian Lun dengan penuh gairah dan
harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apa lagi kalau
disuruh memondong tubuh itu, biar sehari penuh pun dia bersedia.
“Aku haus
dan ingin makan buah leci, Suheng. Kau carikanlah untukku, di lereng utara sana
banyak pohon lecinya.”
“Baik, akan
kucarikan, Sumoi. Kau tunggu saja sebentar di sini.”
Sian Lun
lalu meloncat jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana
terdapat kebun pohon leci yang amat luas, milik seorang hartawan yang tinggal
di kota Cin-an. Ia sudah mengenal baik penjaga kebun itu dan pasti akan diberi
kalau dia minta buah leci sekedar untuk dimakan.
Setelah
pemuda itu pergi, Sian Li duduk termenung sambil tersenyum-senyum. Hatinya
merasa gembira sekali oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga. Suheng-nya
memang seorang kakak seperguruan yang amat baik kepadanya.
Semenjak dia
berada di situ, lima tahun yang lalu, suheng-nya selalu bersikap baik dan
mengalah kepadanya. Suheng-nya itulah yang membuat ia tak merasa kesepian
tinggal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan mempelajari ilmu
silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suheng-nya itu dia dapat
berlatih silat, mempelajari sastra, dan bermain-main.
Suheng-nya
adalah seorang pemuda yang tinggi besar, gagah dan tampan, dan selalu
melindunginya. Bahkan pernah suheng-nya itu mengejar beberapa orang pemuda kota
yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar kepadanya. Dia
sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suheng-nya marah-marah dan
menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air
Sungai Kuning! Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong
oleh cemburu!
Tiba-tiba
perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki
lereng itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya dia mengira paman
kakeknya Suma Ceng Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat,
ternyata bukan.
Dia seorang
kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Pakaiannya model
pakaian sastrawan akan tetapi pakaian itu penuh tambalan walau pun amat bersih.
Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang tongkat. Rambut dan cambang serta
jenggot dan kumisnya sudah putih semua, membuat dia nampak tua dan lemah.
Dalam jarak
dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua
tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara
lembut gembira, “Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau
Merah)!”
Sian Li
mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu.
Yang mengetahuinya hanyalah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, juga
suheng-nya. Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu?
“Kek,
siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?”
Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.
“Siancai...!
Dahulu engkau seorang bocah yang mungil lincah, sekarang sudah menjadi seorang
gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah
lupa kepadaku? Beberapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah
kakekmu, di Pao-teng.”
Sian Li
memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah
dan berseri-seri, senyumnya menghias wajah yang manis itu, membentuk lesung
mungil di kedua pipinya.
“Aihh,
kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai...!” Ia pun bangkit dan cepat memberi hormat
kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.
“Ha-ha-ha,
memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke rumah
ayah ibumu di Ta-tung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini
menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini.
Aku segera menyusul ke sini. Siancai... engkau telah menjadi seorang gadis yang
lihai dan manis. Dan aku datang untuk menagih janji, ingat?”
“Tentu saja
aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk menerima pelajaran ilmu
pengobatan dirimu.”
Kakek itu
tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang membawa buah leci
yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoi-nya tertawa-tawa dengan
seorang kakek yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.
“Sumoi,
siapakah kakek jembel ini?” tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali
melihat sumoi-nya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli
laki-laki itu tua atau muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!
“Hushhh,
Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah guruku,
tahu engkau?” bentak Sian Li marah.
Sian Lun
cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoi-nya, lalu dia memberi hormat
kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga amat heran mendengar ucapan
sumoi-nya.
“Ahhh, harap
Locianpwe suka memaafkan saya yang bersikap tidak sopan,” katanya. Bagaimana
pun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra
dan tata susila.
Kakek itu
tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Siancai... kiranya Taihiap (Pendekar
Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid
yang begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu
nafsu menyangka buruk kepada orang lain.”
Wajah Sian
Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat. “Maafkan saya, Locianpwe.
Sumoi, engkau tidak pernah bercerita kepadaku tentang suhu-mu yang satu ini.
Siapakah beliau ini?”
Sian Li
menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata, “Suhu,
silakan makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis.”
Kakek itu
tanpa sungkan lagi mengambil beberapa butir buah leci.
Sian Li lalu
menghadapi suheng-nya. “Suheng, Suhu-ku ini ialah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun
yang lalu Suhu ini berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini
dia datang memenuhi janjinya.”
Kembali Sian
Lun terkejut. Tentu saja ia sudah pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai
(Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu
pengobatan, akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu totok jalan
darah yang amat lihai.
“Locianpwe,
sekali lagi maafkan atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan
sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi.”
Sian Li
cemberut. “Tentu saja akan kuberi tahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau tadi
sudah berani menyebut Guruku kakek jembel!” Sian Li yang amat manja terhadap
suheng-nya itu mengancam.
Yok-sian
Lo-kai tertawa.
“Ha-ha-ha-ha,
engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga.
Suheng-mu sudah mengakui kesalahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa
dia berani bertanggung jawab serta menyesali dan menyadari kesalahannya. Selain
itu, juga aku lebih suka disebut Jembel Tua dari pada Dewa Obat, heh-heh-heh!
Memang julukanku Jembel Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut
Jembel Tua oleh suheng-mu? Ha-ha-ha!”
“Baiklah,
melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah,
sekarang cepat kau beri tahukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu
Suhu Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan.”
“Baik,
Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu,” kata Sian Lun dengan hati lega.
Kalau
sumoi-nya itu mengadu kepada suhu dan subo-nya, tentu dia akan mendapatkan
teguran keras. Dia lalu berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang
mata kakek itu yang masih tersenyum.
“Suheng-mu
sudah memiliki kepandaian yang tinggi, ilmunya berlari cepat cukup hebat,”
kakek itu memuji.
“Ahhh, dia
masih terlalu lambat,” kata Sian Li.
Jawaban ini
menunjukkan bahwa gadis ini tentu dapat berlari lebih cepat dibandingkan
suheng-nya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia percaya bahwa di bawah gemblengan
suami isteri sakti seperti Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, apa lagi mengingat
bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian merah ini menjadi
lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya kepada
dara ini.
“Sian Li,
aku ingin memberi tahu sedikit kepadamu tentang suheng-mu itu.”
Sian Li yang
sedang makan leci menghentikan gerakan mulutnya dan segera menoleh, memandang
kepada kakek itu. “Apa yang Suhu maksudkan? Suheng sudah bersikap kasar, dan
dia memang pantas ditegur dan...”
“Hal itu
sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal yang
ingin kuperingatkan padamu tentang suheng-mu itu. Engkau berhati-hatilah dengan
sikapmu, karena dia amat sayang kepadamu.”
“Tentu saja
dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suheng-ku? Kenapa aku harus
berhati-hati dengan sikapku?”
“Dan
bagaimana dengan engkau sendiri? Sayangkah engkau kepada suheng-mu?”
Dara itu
memandang Yok-sian dengan sinar mata keheranan. Pertanyaan yang aneh, pikirnya.
“Tentu saja
aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Dia berlatih
bersamaku, belajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu
dan dia amat baik kepadaku.”
Kakek itu
tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih amat polos dan belum pernah
mengalami cinta birahi, maka kasih sayangnya terhadap suheng-nya itu adalah
kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya.
“Maksudku,
dia pencemburu besar. Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau
engkau tidak ingin melihat dia marah-marah.”
“Aihhh,
itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng
demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membunuhi orang-orang itu
kalau tidak kularang...“
Kakek itu
merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda
itu sudah jatuh cinta kepada sumoi-nya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar
panas sekali, membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga ketika
melihat sumoi-nya beramah tamah dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda
tadi sudah tidak senang.
“Itu namanya
cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu.”
Sian Li
mengangguk, padahal dia tidak mengerti mengapa suheng-nya bersikap seperti itu.
”Mari kita pulang, Suhu.”
Mereka lalu
menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak menguji ilmu berlari cepat
muridnya. Dia sendiri lalu mengerahkan tenaganya, menggunakan ginkang (ilmu
meringankan tubuh) sehingga larinya cepat sekali, sungguh tak sesuai dengan
usianya yang sudah demikian lanjut.
Namun, walau
pun baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil digembleng dan
ditangani orang-orang sakti. Mula-mula oleh ayah ibunya sendiri, kemudian oleh
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia
persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara
itu bukan saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan pada
waktu tiba di rumah kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di
belakangnya!
Suma Ceng
Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sambil tertawa melihat
dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya.
Yok-sian Lo-kai terkekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka.
“Aihhh...
aku sudah tua, bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?”
“Aihh,
janganlah merendahkan diri, Suhu!” berkata Sian Li. “Suhu datang bukan untuk
mengajarkan ilmu lari kepadaku, melainkan ilmu pengobatan!”
Semua orang
tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa dia
tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu melihat sumoi-nya
beramah tamah dengan kakek itu.
Demikian,
mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada Sian
Li. Bukan saja pengetahuan tentang ramuan obat untuk berbagai penyakit, juga
kakek itu mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan
pijatan. Dan yang amat menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga
tentu saja Sian Li sendiri, kakek itu bahkan juga mengajarkan It-yang Sin-ci,
yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang pernah membuat nama kakek itu terkenal
di dunia persilatan.
Sian Li amat
berbakat, dan sudah memlliki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan saja
dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Yok-sian Lo-kai
kepadanya.
Kakek itu
merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia merasa
puas bahwa akhirnya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya.
Setelah memesan kepada muridnya agar kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk
kebaikan, untuk menolong orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar
wanita penentang kejahatan, Yok-sian Lo-kai lalu pergi meninggalkan rumah Suma
Ceng Liong untuk bertapa ke Liong-san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam
ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan peraknya kepada Sian Li.
Suami isteri
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar kepergian Dewa Obat itu dengan
perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu keponakan mereka, suami
isteri ini mengucapkan terima kasih mereka.
Biar pun ia
sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru
menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus
banyak berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula
ilmu pengobatan dengan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih.
Namun, ia telah menguasai cara berlatih untuk ilmu-ilmu itu.
*************
Liem Sian
Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua
kemampuannya untuk bisa mengimbangi sumoi-nya. Gerakan Sian Li luar biasa
cepatnya, bagai seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebat, bahkan
kadang lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah diselimuti gulungan sinar
pedangnya.
Kalau ada
orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bahwa pemuda
dan dara itu berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pedang mereka, dan
kadang nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara.
Namun, sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang setelah tadi dalam
berlatih silat tangan kosong Sian Lun terpaksa mengakui keunggulan sumoi-nya.
Dalam ilmu pedang Sian Lun memang berbakat sekali, maka dia mampu mengimbangi
permainan pedang sumoi-nya.
Bagi dua
orang muda itu yang sudah menguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka
akan saling melukai. Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu
dengan tangan, bagaikan anggota badan sendiri sehingga mereka sudah menguasai
sepenuhnya. Setiap detik mereka akan mampu menghentikan tusukan atau bacokan
pedang mereka sehingga tidak akan melukai lawan berlatih.
Keduanya
berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga), yaitu
gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam
Bi Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan
mereka ternyata bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan
suling akan tetapi dahsyat dan ganas bagai seekor naga mengamuk. Karena senjata
suling adalah senjata yang khas dari keluarga Suling Emas, maka Kam Bi Eng
telah mengganti suling dengan pedang dan mengajarkan mereka memainkan ilmu itu
dengan sebatang pedang.
Dengan
kelebihan dalam kecepatan gerakan, kini Sian Li mulai mendesak suheng-nya.
Andai kata mereka itu bertanding sungguh-sungguh dalam suatu perkelahian, tentu
Sian Li akan dapat merobohkan suheng-nya karena dia mempunyai beberapa ilmu
yang tidak dipelajari Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian
Lo-kai, dan terutama sekali Ilmu Silat Bangau Putih yang sejak kecil
dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain.
Sekarang,
karena mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka hanya
menggunakan ilmu itu saja. Karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu
dengan baik, maka sukarlah untuk saling mengalahkan.
Sian Li
berhasil mendesak hanya karena mengandalkan kecepatannya dan memang ia lebih
cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali. Sian Lun hanya mampu
menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia
mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoi-nya untuk menyerangnya, maka tentu
saja dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.
“Cukup,
Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!”
Akhirnya
Sian Lun mau mengakui kekalahannya. Pemuda ini tidak merasa iri atau malu,
bahkan merasa bangga bahwa sumoi-nya demikian hebatnya.
“Suheng,
engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh
tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan
tenaga tulang dan otot, aku masih kalah.”
“Bagus
sekali! Ilmu pedang yang hebat, orang-orang muda yang mengagumkan!” Tiba-tiba
terdengar pujian orang.
Cepat Sian
Lun dan Sian Li membalikkan tubuh dan mereka melihat dua orang yang tahu-tahu
sudah berada di situ, di dalam taman di mana mereka berlatih ilmu pedang tadi.
Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka ketahui, hal
ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan.
Sian Li
memandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu sudah
enam puluh tahun lebih usianya, tapi masih tampak tampan dan jantan dengan
kulit sedikit gelap dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di punggung
kakek ini terdapat sepasang pedang dengan ronce biru.
Nenek itu
yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek yang usianya sekitar enam
puluh juga, namun masih cantik dan anggun. Ia berpakaian serba kuning, dengan
kerudung kepala kuning pula. Pada rambutnya yang sudah bercampur uban itu
terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya
yang tipis. Wajah wanita ini asing, bukan wajah seorang bangsa Han. Meski wajah
kakek itu tidak asing bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.
“Kakek dan
Nenek yang baik, siapakah Jiwi (Anda Berdua)? Dan ada kepentingan apa maka jiwi
masuk ke dalam taman kami ini?” Sian Li bertanya dengan lembut.
Kakek itu
menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira. “Kau lihat,
bukankah ia mirip sekali dengan ibunya?” Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan
berkata, “Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan? Engkau Si Bangau
Merah, bukan?”
Sian Li
membelalakkan matanya. “Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek? Siapakah engkau?
Dan siapa pula Nenek ini?”
“Ha-ha-ha-ha,”
kakek itu tertawa. “Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika engkau
masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa,
Sian Li. Aku adalah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi.”
Sian Li
membelalakkan matanya lagi. Mukanya berubah kemerahan mengingat ucapan kakek
tadi bahwa dia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga
membasahi bajunya. Kini dia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya,
Suma Hui. Berbeda dengan paman kakeknya yang kini menjadi gurunya, Suma Ceng
Liong yang hanya adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini bahkan
adalah adik kandung neneknya.
“Aihhh,
kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!” Sian Li berseru gembira.
“Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek... namanya aneh. Nenek
Gangga Dewi? Tentu bukan orang Han...” Sian Li lalu memberi hormat kepada dua
orang tua itu.
“Suheng, ini
adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!” Dara yang lincah itu memberi
tahu Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun
dan Gangga Dewi.
Gangga Dewi
mendekati dan memeluk Sian Li. “Anak manis, engkau cantik bukan main, Aku
memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru
ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah
kandungku.”
Sian Li
menjadi makin gembira dan balas merangkul sambil memandang kagum. Tentu saja ia
sudah pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang
berjuluk Si Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang puteri Kerajaan
Bhutan.
“Aih, Nenek
yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun. Kiranya
engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!”
Karena Sian
Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia sudah akrab dengan
kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma
Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma
Ciang Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali berkunjung ke situ sebelum Sian Li
tinggal bersama Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi
murid mereka.
Setelah
makan bersama, kedua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang
didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian
Lun dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia
bersama Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah.
“Ku-kong aku
ikut!”
Semua orang
terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu. “Aih, Sian Li, kau kira
Bhutan itu dekat? Perjalanan ke sana berbulan-bulan!”
“Aku tidak
takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu
mengenai Bhutan yang indah. Dan dari Kongkong Kao Cin Liong aku pun sering
mendengar cerita tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pengetahuan
dan pengalaman, Ku-kong. Kebetulan sekali kini ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan
Nenek Gangga Dewi yang akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali ikut,
Ku-kong!”
Suma Ceng
Liong diam-diam tersenyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap cucu
keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, darah petualang.
Dahulu ia sendiri pun merupakan seorang petualang, demikian pula isterinya.
Ayah dan ibu Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.
“Akan
tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li? Kami tentu akan merasa
tidak enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini,” kata Kam Bi
Eng.
“Akan tetapi
Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke sini, seperti biasa
setiap tahun baru mereka datang. Dan aku akan berusaha supaya sebelum tahun
baru dapat pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan
isterinya yang akan menemaniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku
ikut...”
Dia
memandang kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi yang saling pandang dan
tersenyum.
Gangga Dewi
mendekat dan merangkulnya. “Tentu saja aku akan senang sekali kalau engkau ikut
ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan Kam Bi
Eng, kami tidak akan berani.”
Suma Ciang
Bun berkata, “Kami telah membeli sebuah kereta. Jika kami menggunakan
perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya
sebelum tahun baru Sian Li akan dapat pulang ke sini.”
Suma Ceng
Liong memandang kepada kakaknya. Jika dia membolehkan Sian Li pergi, dan andai
kata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak
kepada mereka. Tetapi kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada
Sian Li, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Seolah-olah dia tidak
percaya pada mereka.
“Ku-kong
Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendirian, tidak
bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke
barat,” Sian Li berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.
“Hemmm,
engkau memang memiliki hati membaja dan kepala membatu. Orang seperti engkau
ini mana mungkin bisa dilarang? Sian Lun, engkau temani sumoi-mu pergi ke
barat.”
“Baik,
Suhu!” berkata Sian Lun tanpa menyembunyikan suaranya yang mengandung
kegembiraan besar.
“Sian Li,
kami membolehkan engkau pergi, akan tetapi harus ditemani suheng-mu agar ada
yang menemani pada waktu engkau pulang. Selain itu, kalau orang tuamu datang
sebelum engkau pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi
menemanimu.”
Sian Li
girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan semakin menggembirakan hatinya
sebab suheng-nya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan menyenangkan
sekali dan juga amat membantu. Ia bersorak, kemudian menghampiri Kam Bi Eng dan
merangkul nenek itu.
“Terima
kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan membolehkan, karena kalian adalah
orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!”
Suma Ceng
Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya
melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari kemudian, mereka
berempat berangkat meninggalkan dusun Hong-cun.
Suma Ciang
Bun menjual keretanya dan sebagai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang
baik. Mereka berempat lalu melakukan perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng
Liong dan isterinya yang mengantar mereka sampai ke luar dusun, diam-diam ikut
girang dan terharu melihat betapa Sian Li, seperti anak kecil, kelihatan
gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka.
Dara itu
memang berbakat sekali menjadi seorang pendekar. Baru dua hari ia diajarkan
menunggang kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan bahkan berani
membalapkan kudanya! Bahkan Sian Lun juga kalah sigap.
Mereka yakin
bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, takkan marah andai kata mereka
datang sebelum Sian Li kembali. Mereka juga merupakan pendekar-pendekar yang
biasa bertualang. Apa lagi kepergian Sian Li ini bersama kakeknya Suma Ciang
Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun.
Gangga Dewi
menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan perjalanan
cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati.
Karena mereka berempat adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan
bertubuh kuat, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat.
Kalau kuda
mereka sudah terlalu lelah, Suma Ciang Bun lalu menukarkan kuda mereka dengan
kuda yang masih segar dengan menambah uang. Dengan cara demikian maka mereka
dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi.
**************
Pada saat
itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah
berhasil mengamankan seluruh negara. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan
yang menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng
pasukan.
Pemberontakan-pemberontakan
sudah dapat dipadamkan, dan biar pun masih terdapat banyak golongan yang anti
pemerintah Mancu, namun gerakan mereka hanya dilakukan secara sembunyi, tidak
ada yang berani berterang karena pada waktu itu kekuatan pasukan Mancu amat
besar. Apa lagi karena Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati dan banyak
menerima orang-orang Han yang pandai dan diberi kedudukan tinggi. Dan bahkan
pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han yang menganggap bahwa Kaisar Kian
Liong, biar pun seorang Mancu, namun tetap mementingkan rakyat jelata.
Kaisar Kian
Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih dan dia telah
menjadi Kaisar selama lebih dari lima puluh tahun! Belum pernah ada Kaisar yang
memegang tampuk kerajaan selama itu dengan hasil baik. Hal ini adalah karena
Kaisar Kian Liong bukanlah seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya
menjadi pengejar kesenangan sendiri saja.
Sejak muda,
Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul, bahkan akrab
dengan para pendekar dan rakyat jelata, sering kali melakukan perjalanan secara
menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal
sebagai seorang yang bijaksana dan ramah tamah. Kaisar Kian Liong dapat
mempertahankan kedudukannya bukan hanya karena kekuatan angkatan perangnya
saja, tetapi terutama sekali karena nama baiknya itulah.
Pribadi
seorang pemimpin memang menentukan kelancaran pemerintahannya, karena kalau
pribadi itu tidak disukai rakyat, sudah pasti menimbulkan pemberontakan di
mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati rakyat, bahkan juga
menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima
kebudayaan, bahkan sudah menjadikan bahasa Han sebagai bahasa orang-orang Mancu
yang memegang kendali pemerintahan.
Dengan para
negara tetangga, biar pun yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian
selatan, Kaisar Kian Liong mengadakan hubungan baik serta menghargai kedaulatan
masing-masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan
perdagangan dengan negara lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat
pemberontakan, maka hanya terjadi secara kecil-kecilan dan tersembunyi, seperti
yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang.
Akan tetapi
sekarang kedua perkumpulan itu bahkan bermusuhan, karena Thian-li-pang
merupakan perkumpulan pejuang yang gagah dan sungguh-sungguh membela rakyat,
sedangkan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan
berkedok agama, bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng dari agama
aslinya, bercampur dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat.
Karena
kebesaran kerajaan atau Dinasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong,
bahkan negara-negara seperti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan
diri mengirim upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda
persahabatan, sebutan yang diperhalus dari keadaan sebetulnya, yaitu takluk
tanpa perlu diserang lagi. Hanya Kerajaan Nepal sajalah yang pernah menentang,
akan tetapi negara itu diserbu oleh pasukan besar dan kemudian ditundukkan,
tapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.
Karena
keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Tan Sian
Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa adanya gangguan di tengah
perjalanan.
Sian Li
merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat
sebelumnya, melihat perkampungan suku-suku bangsa yang dianggapnya sangat aneh
dan menarik. Perkampungan-perkampungan yang dilaluinya berbeda sama sekali
dengan di daerah timur. Berbeda segalanya, dari rumahnya, pakaiannya, bentuk
wajah dan bahasa, bahkan makanan pun berbeda!
Akan tetapi,
setelah Gangga Dewi memperkenalkan dia dengan orang-orang asing itu,
menerjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, maka Sian Li mendapat
kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu hanya
kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh
di lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan dirinya atau seluruh
bangsa di timur.
Mereka suka
bersahabat, suka tertawa serta membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal
yang tidak enak. Biar pun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya
cara dan campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu
tidak menyukai pahit dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit
asam dan pedas.
Mereka pun
sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti
dirinya juga. Karena merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat
akrab dengan mereka biar pun kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat
kebiasaan yang amat berbeda di antara mereka.
Dengan
adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk
jalan, pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat
menyenangkan bagi tiga orang yang lainnya, terutama sekali bagi Sian Li dan
Sian Lun yang baru sekali itu selama hidup mereka lewat di tempat-tempat
seperti itu.
Biar pun
Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah
lupa bahwa sebelum tibanya tahun baru, Sian Li sudah harus kembali ke rumah
Suma Ceng Liong. Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat
menuju ke Bhutan.
Pada suatu
siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan setelah menyeberangi sungai besar
yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yalu Cangpo atau terkenal pula dengan
nama Brahmaputra. Mereka kini melintasi pegunungan yang paling panjang, besar
dan tinggi di seluruh dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang merupakan tapal
batas antara Bhutan dan Tibet. Di pegunungan yang amat terkenal ini, Sian Li
merasa kagum bukan main. Walau pun perjalanan amat sukar, melalui gunung es
yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak gembira dan kagum.
Siang itu
mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak
dusun-dusun yang termasuk wilayah negeri Bhutan. Menjelang senja, mereka
bertemu dengan pasukan kecil yang terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan
itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat-cepat turun dari atas kuda mereka dan
memberi hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah pasukan keamanan
yang menyamar dengan pakaian biasa dan sedang melakukan perondaan di daerah
perbatasan itu.
Setelah
menerima penghormatan mereka, Gangga Dewi cepat bertanya. “Apakah yang terjadi?
Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak memakai pakaian
seragam pula?”
Pemimpin
pasukan segera melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini di
daerah perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari
Nepal memasuki daerah itu. Mereka adalah mata-mata dari Kerajaan Nepal, dari
pihak keluarga raja yang tak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Mereka
menghasut rakyat di perbatasan Bhutan dan Tibet untuk bersama-sama menentang
dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang di perbatasan Propinsi Se-cuan
dengan tujuan untuk merongrong Kerajaan Ceng.
“Kalau
begitu kalian harus melaksanakan tugas dengan baik. Kita tak ingin terseret
oleh pemberontakan orang-orang Nepal itu, apa lagi mereka juga menjadi musuh
Kerajaan Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Nepal,
petualang-petualang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan
dan kekacauan,” pesan Gangga Dewi.
Dua orang di
antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu
di Bhutan, sedangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan
penyelidikan.
Gangga Dewi
mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari sudah sore. Mereka pun
terpaksa akan bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu
malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah.
Memang hari
telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun itu.
Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat betapa mereka disambut oleh
penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian
yang menyambut kehadiran Sang Puteri! Kiranya dua orang prajurit tadi sudah
memberi kabar ke dusun itu sehingga kepala dusun segera mengerahkan
orang-orangnya untuk menyambut.
Demi
menyenangkan rakyatnya, Gangga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh
Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira pada
saat Gangga Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang bertugas menyerahkan
seikat bunga kepada Sang Puteri.
Sian Li
memandang dengan wajah berseri, sedang Sian Lun mengagumi belasan orang penari
yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis. Dengan tarian lemah gemulai,
tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan lenturnya, diiringi alat-alat
musik yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun terdengar demikian
asyik dan membuat orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang
berirama riang itu.
Ketika
mereka memasuki dusun, mereka lantas disambut oleh kepala dusun dan semua
sesepuh dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas
untuk para tamu agung itu mencuci badan, dipersiapkan kamar-kamar terbaik di
rumah kepala dusun untuk mereka.
Apa lagi
ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun sebagai suaminya, para
penduduk makin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu
menikah dengan seorang pria Han, bukan merupakan halangan, bahkan merupakan
kebanggaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang
mereka puja-puja dan kasihi, juga menikah dengan seorang pria Han yang kemudian
bahkan menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat,
ayah Gangga Dewi.
Malam itu
seluruh dusun bergembira. Sebuah pesta besar diadakan di pendopo rumah kepala
dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir
selaku tamu di panggung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendopo,
hampir seluruh penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk turut
nonton keramaian dan pertunjukan, serta untuk melihat puteri mereka, Gangga
Dewi yang mereka kagumi sebagai seorang puteri yang kabarnya memiliki ilmu
kepandaian seperti seorang dewi!
Serombongan
penari yang cantik manis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya,
menari-nari diiringi musik yang sederhana tetapi menggairahkan seperti musik di
daerah itu, yang mempunyai pukulan gendang dan tambur seolah-olah menghidupkan
semua syaraf di tubuh untuk bergerak dan menari.
Puteri
Gangga Dewi, Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu
kehormatan dan para penari menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu
merasa bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri.
Biasanya,
hanya penari istana saja yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun
yang tentu saja tidak pandai menari sehalus dan seindah penari istana, namun
gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan bunga-bunga hutan yang segar.
Beberapa orang di antara mereka mengerling ke arah Sian Lun dengan kerling
tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah perkasa dan
tampan, apa lagi dia adalah anggota rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para
penabuh musik dan para penonton mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah
sehingga secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li sebagai ‘Dewi Merah’!
Sian Li
sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan
yang disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi sudah memesan
kepada kepala dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han.
Hal ini amat mudah dilakukan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang
hubungan antara Bhutan dengan Cina telah terjalin semenjak ratusan tahun yang
lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau yang disebut Han-Bhutan seperti
Gangga Dewi kini berada di Bhutan, seperti juga banyak di situ keturunan Nepal,
Tibet, dan India.
Sebagai
negara kecil yang terkepung negara-negara besar, Bhutan mempunyai banyak
orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Banyak pula orang Han berdatangan
ke Bhutan sebagai pedagang, sehingga selain pandai membuat masakan khas Bhutan,
para koki bangsa Bhutan pandai pula membuat masakan model Nepal, India, Tibet
atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu
menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak
dirasakan.
Sian Li juga
mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda.
Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka
lebih pantas menjadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok
khas Bhutan di pinggang mereka, dan mereka pun menabuh musik dengan lagak
penari-penari yang lincah.
Apa lagi
penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan
baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh
tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang sedang bermain silat saja.
Kadang-kadang dia melontarkan dua buah kayu pemukul tambur itu ke atas,
kemudian melanjutkan memukul tambur dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi
dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua ini dilakukan secara berirama.
Sian Li
kagum. Hebat memang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun itu.
Sungguh mengagumkan cara dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya lagi
tanpa melihat karena matanya terus menatap tamburnya, seolah-olah kedua
tangannya bermata. Dan pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya
tak mungkin dia itu tidak memiliki kepandaian silat dan tenaga sinkang, pikir
Sian Li.
Akan tetapi
kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian
gadis-gadis cantik itu sudah selesai dan kini muncullah seorang kakek berusia
enam puluhan tahun.
Kakek ini
tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam. Kepalanya gundul atau botak
licin dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula!
Menyeramkan sekali kakek ini, terutama sepasang matanya yang bulat besar dengan
alis yang terlalu tebal sehingga tak wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan
kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan Tibet yang memiliki keahlian sulap
dan bermain ular.
Biar pun
tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu
memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian
lentur seperti seekor ular besar!
Gangga Dewi
mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, “Mulailah dengan pertunjukan yang
hendak kau mainkan, dan lakukan sebaik mungkin.”
Para penari
dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda pemukul
tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma
menunjukkan keahliannya. Pemuda itu masih tetap menghadapi sebuah tambur dan
sebuah gendang, dan dengan kedua tangannya dia mengangkat dua alat musik itu
dan mendekati Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah arena pertunjukan.
Lulung Ma
sudah siap. Pada saat dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar dan
menyeramkan, bahkan pemuda berbadan tinggi tegap itu pun hanya setinggi
dagunya! Padahal, pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa.
Sekarang
pemuda itu memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur
berdentam-dentam dan berirama, kemudian diimbangi oleh bunyi suling yang
bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar kepalan tangan. Suling seperti itu
disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli ular di India untuk
menjinakkan ular yang liar dan berbisa.
Akan tetapi,
kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya
mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking,
memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang
Bhutan di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu
lembut akan tetapi terasa aneh bagi pendengarannya.
Suara suling
berhenti dan sekarang pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul
keras-keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walau pun dari
suara gendang dapatlah diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gendang.
Suara gendang itu bisa terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau
rintik hujan.
Kini kakek
muka hitam itu mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak
dimengerti oleh Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang semenjak
menjadi suami Gangga Dewi sudah mempelajari bahasa daerah isterinya itu,
kemudian menerjemahkan kepada mereka.
“Kakek itu
berkata bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya
yang kosong.”
Sian Li
memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton
tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Dahulu dia merasa amat kagum melihat
tukang sulap mampu mengambil benda-benda dari udara. Tetapi ayah bundanya
mengatakan bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan
terlebih dahulu, dan dibantu pula oleh kecepatan kedua tangannya yang sudah
terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam sulapan.
“Jangan-jangan
dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiapkan lebih dulu!”
berkata Sian Li, suaranya cukup keras karena dianggapnya bahwa yang mengerti
bahasanya tentu hanya mereka berempat.
Akan tetapi
wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap itu menengok kepadanya dan
berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara raksasa!
“Jangan
khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun kecuali kedua
tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik bagaikan dewi, dan suka
berpakaian merah, maka aku menyebut Nona Dewi Merah!”.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment