Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 09
Mereka
berloncatan keluar dari kamar tahanan itu. Sambil memegang pedang masing-masing
mereka mencari-cari dengan mata mereka. Namun penolong tadi telah lenyap tanpa
meninggalkan bekas.
Mereka hanya
melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini berada
dalam keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang
berdiri, bahkan ada yang sedang mencabut golok dan sikapnya seperti orang
hendak meloncat. Akan tetapi, mereka semua tidak bergerak dan seperti telah
berubah menjadi patung!
Tahulah Sian
Li dan Sian Lun bahwa mereka telah menjadi korban totokan yang amat ampuh!
Mereka tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari keluar dari situ,
menuju ke lorong dari mana mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah
untuk kemudian meloncat pagar tembok.
Akan tetapi
ketika mereka sudah keluar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba
terdengar teriakan-teriakan nyaring.
“Tawanan
lolos! Tawanan lolos!”
“Itu mereka
di taman...!”
“Kepung...!”
Sian Li dan
Sian Lun melihat belasan orang melakukan pengejaran yang dipimpin oleh Cu Ki
Bok sendiri! Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang
mereka ada suara orang.
“Cepat kalian
lari meloncat tembok, biar aku yang menahan mereka!”
Orang
bercaping itu lagi! Karena keadaan mendesak, dua orang muda itu tidak sempat
bicara lagi. Mereka mentaati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka
berlari ke pagar tembok, kemudian meloncat ke atasnya. Ketika tiba di atas
pagar tembok, Sian Li sempat menengok dan ia memandang kagum.
Penolong
mereka yang bercaping itu, hanya seorang diri tanpa senjata, sudah berhasil
menghadang belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat lihai itu!
Tubuh Si Caping itu berkelebatan lincah bagaikan seekor burung walet
menyambar-nyambar dan menghalangi tiap orang yang hendak melakukan pengejaran!
Dan setiap orang, bahkan Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu
dihadang dan dihalangi orang bercaping itu!
“Mari cepat,
Sumoi!” kata suheng-nya.
Sian Li
terpaksa cepat meloncat keluar dan bersama suheng-nya ia pun melarikan diri
meninggalkan tempat itu. Namun, penglihatan tadi tidak pernah dapat dilupakan.
Betapa lihainya kepandaian orang bercaping itu!
Setelah
malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari
mereka. Keduanya merasa sangat lelah dan mereka berhenti di luar sebuah dusun
untuk melepas lelah. Dusun itu mulai hidup. Penghuninya sedang meninggalkan
dusun dan membawa alat pertanian untuk mulai bekerja di sawah ladang.
“Suheng,
kita telah ditolong oleh orang bercaping itu...” kata Sian Li terharu karena
tidak mengira bahwa mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.
“Kita
berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi,” kata pula
Sian Lun, masih tertegun.
“Siapakah
dia, Suheng? Apakah engkau dapat melihat mukanya?”
Sian Lun
menggeleng kepala. “Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan
cuaca terlalu gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apa lagi caping lebar itu
telah menyembunyikan mukanya. Bahkan aku tidak tahu apakah dia itu muda atau
tua, laki-laki atau wanita...”
“Dia jelas
laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh
laki-laki. Sungguh sayang keadaan tidak mengijinkan bagi kita untuk berkenalan
dengan dia, Suheng. Sungguh tidak enak rasanya diselamatkan orang tanpa
mengenal dia siapa, bahkan tidak sempat melihat wajahnya sehingga selain kita
tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak akan mengenalnya.”
“Sudahlah,
Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo sering kali mengatakan bahwa di dunia ini banyak
terdapat orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar itu tidak pernah mau
mengikat diri dengan dendam dan budi? Dia tentu seorang pendekar aneh yang
tidak mau menanam budi, maka menolong secara sembunyi dan tidak memperkenalkan
diri. Kita patut bersyukur bahwa kita sudah terbebas dari bahaya maut, bahkan
menerima kembali pedang kita, dalam keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah
sembuh.”
“Akan tetapi
buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang sangat berharga
dari Nenek Gangga Dewi, dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu
membeli pakalan pengganti dan untuk bekal dalam perjalanan.”
Sian Lun
meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak dari saku bajunya.
“Ini masih ada beberapa potong perak di dalam saku bajuku. Kita masih dapat
membeli makanan untuk beberapa hari lamanya. Mengenai pakaian... wah, terpaksa
sementara ini tidak bisa ganti...”
Mereka
melanjutkan perjalanan. Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki
dusun untuk membeli makanan dan menanyakan jalan.
Sambil
membeli makanan sederhana di kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan
ternyata mereka sudah meninggalkan pantai Sungai Yalu Cangpo sejauh tiga puluh
mil lebih! Perjalanan melalui darat ke timur sangat sukar karena harus melalui
bukit-bukit, hutan-hutan dan daerah liar, di mana terdapat banyak bahaya. Jalan
raya yang biasa digunakan rombongan pedagang masih belasan li jauhnya dari
situ.
Menurut
keterangan penduduk dusun itu, kalau hendak melakukan perjalanan ke timur,
paling aman dan paling cepat adalah melalui Sungai Yalu Cangpo. Mendengar ini,
maka mereka terpaksa harus kembali ke utara sampai ke tepi sungai, lalu
mempergunakan perahu menuju ke timur.
“Aihh, kita
harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana,
bagaimana kita dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang
lagi?”
“Bagaimana nanti
sajalah, Sumoi.”
Percakapan
mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun lebih
menghampiri mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata,
“Saya disuruh seseorang untuk menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda
Berdua).”
Anak itu
menyerahkan sebuah buntalan. Melihat buntalan itu, Sian Lun meloncat kaget dan
girang sekali. Itu adalah buntalan pakaiannya yang telah dirampas oleh
orang-orang Hek-I Lama!
“Siapa yang
menyuruhmu? Di mana dia sekarang?”
Anak itu
menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang memakai caping,
mukanya tidak kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan hanya
menyuruh aku menyerahkan buntalan ini kepada seorang nona berbangsa Han yang
berpakaian merah dan yang berada di kedai ini. Setelah menyerahkan buntalan,
dia pergi.”
Sian Li
membuka buntalan dan memeriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas
permata pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia
bersorak saking gembiranya. Ia mengikat lagi buntalannya di punggung lalu
berkata, “Aku akan mencari dia!”
“Tidak
perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kau temukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau
memperkenalkan diri dan tentu telah pergi jauh.”
Sian Li
dapat memaklumi kebenaran ucapan suheng-nya. Orang itu jelas memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi dan kalau dia tidak menghendaki, tidak mungkin mereka
mampu mengejarnya.
“Sayang
sekali. Padahal aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengannya, Suheng, dan
mengapa pula dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan
kita.”
“Tentu ada
sebabnya dan hanya dia sendiri yang mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau ia
menghendaki, tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya bila
kita mencari dan membeli kuda agar perjalanan ke pantai dapat dilakukan lebih
cepat. Juga engkau perlu membelikan pakaian pengganti untukku. Penolong kita
itu agaknya hanya memperhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu,
sedangkan pakaianku tidak dia ambilkan.”
Sian Lun
tertawa, sama sekali tidak merasa iri kepada sumoi-nya. Sian Li juga tertawa,
akan tetapi entah mengapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong mereka
itu agaknya amat memperhatikannya!
Dengan emas
yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik dengan
harga mahal, kemudian mereka pun meninggalkan dusun itu, menunggang kuda menuju
ke tepian Sungai Yalu Cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam buntalan
Sian Li sehingga kini mereka mendapatkan petunjuk lagi.
Perjalanan
mereka ke tepi sungai itu tidak lagi mendapat gangguan, dan dari seorang
nelayan mereka bahkan mendapatkan petunjuk baru bahwa dari pada naik perahu,
lebih cepat jika mereka menunggang kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri
tepi sungai.
Mereka
menuruti petunjuk ini. Memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui
kuda mereka dan perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Pada waktu mereka
melewati dusun yang cukup ramai, Sian Li membelikan pakaian pengganti untuk
suheng-nya. Kini mereka melakukan perjalanan berkuda dengan perbekalan yang
lengkap pula.
Untuk
memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat, Sian Li dan Sian Lun
berhenti mengaso di tepi sungai yang ditumbuhi banyak rumput gemuk. Mereka
biarkan kuda mereka makan rumput dan beristirahat, dan mereka pun membuka
buntalan bekal makanan dan air bersih. Sambil makan mereka berbincang
membicarakan pengalaman mereka.
"Suheng,
ingatkah Suheng ketika Badhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam itu
menyerang kita di rumah penginapan itu?"
"Ya,
kenapa?"
"Ketika
mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata lalu melarikan diri
secara aneh, karena kita sama sekali tidak melukai mereka."
"Hemm,
dan engkau mengatakan bahwa mungkin ada dewa yang menolong kita?"
"Sekarang
aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!"
"Ehhh,
benarkah? Siapa dia?"
"Tentu
orang bercaping itu juga!"
Sian Lun
menatap wajah sumoi-nya, lalu mengangguk-angguk. "Mungkin dugaanmu itu
benar sekali, Sumoi, akan tetapi tak ada artinya karena kita pun belum tahu
siapa orang bercaping itu."
Sian Li
menghela napas panjang. "Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui
siapa adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam
hatiku."
Setelah kuda
mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan.
Menurut petunjuk di dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di
sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, tepat pada belokan Sungai Yalu
Cangpo yang menikung ke selatan. Dan dari situ, mereka akan menyeberang dan
meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur.....
***************
Dua orang
kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepian Sungai Yalu
Cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah
para pedagang yang hendak membawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan
mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa
dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka bawa
dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan
mereka ke timur melalui daratan. Karena menjadi pusat persaingan para pedagang,
maka dusun itu menjadi makmur dan ramai.
Dengan mudah
Sian Li dan Sian Lun mendapat dua buah kamar di rumah penginapan yang juga
membuka rumah makan di samping rumah penginapan. Tiada hentinya hiruk pikuk
suara orang yang memuat dan membongkar barang di dusun pelabuhan itu.
Pada saat
memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah
kamar untuk mereka, kakak adik seperguruan itu melewati sebuah ruangan duduk di
mana berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah para pedagang
berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai.
Mendengar
logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat
Shantung, seperti logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong
yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya mereka adalah pedagang-pedagang dari
bagian timur sekali, dan mereka langsung merasa bagai bertemu dengan
saudara-saudara dari kampung halaman sendiri!
Memang
demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Bila kita
berada di rantau orang, jauh dari kampung halaman, apa lagi kalau sedang
merindukan kampung halaman, mendengar logat bicara orang sekampung rasanya
seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban dalam hati.
Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak
mendatangkan kesan apa pun.
Kebetulan
mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu.
Maka setelah memasuki kamar masing-masing, mereka dengan pendengaran mereka
yang tajam terlatih, masih dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu.
Mereka segera menaruh perhatian karena tujuh orang pedagang itu membicarakan
soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur, perjalanan
yang akan mereka tempuh.
Mereka
menceritakan pengalaman masing-masing dan sering menyebut-nyebut tentang adanya
seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Taihiap (Pendekar Besar Tangan
Sakti).
"Kalau
tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian
di sini," terdengar seorang di antara mereka bercerita. “Terjadinya kurang
lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal aturan
umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai.
Tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, malah hendak menculik puteri
pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apa lagi pada waktu
mereka hendak mengambil semua gulungan sutera yang paling halus dan paling
mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi
marah, kemudian mengatakan bahwa mereka akan merampas semua barang, menculik
gadis itu, dan membunuh kami semua!"
"Hemmm,
memang sekarang keadaan mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari
berbagai aliran. Ada perampok, dan ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan
pemberontak. Katanya ada pula pasukan keamanan sendiri yang malah merampok dan
mengganggu kami," kata orang ke dua.
"Acun,
lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan kalian diancam, lalu
bagaimana?" kata yang lain.
Orang
pertama yang bernama Acun melanjutkan. "Tentu saja kami tidak mau menyerah
begitu saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di
antara para anggota rombongan kami terdapat beberapa orang yang cukup jagoan.
Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum
terluka, akan tetapi kawan-kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok
merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku,
muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hemm, dia bagaikan seorang malaikat
yang turun dari langit!"
"Acun,
ceritakan, bagaimana dengan sepak terjangnya?" Yang lain-lain juga
mendesak Acun untuk melanjutkan ceritanya. Bahkan di kamar masing-masing Sian
Lun dan Sian Li ikut mendengarkan penuh perhatian.
"Kemunculannya
mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi
baru sekali itulah aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan
halilintar menyambar, dia nampak sebagai bayangan yang menyambar turun dan
golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar, bahkan tubuh kepala
perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat,
bayangan itu meluncur ke sana-sini. Semua senjata para perampok yang jumlahnya
belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi satu terjengkang dan
terbanting roboh."
"Mampus
perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.
"Mampus
apanya? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Taihiap itu tak pernah
melukai orang, apa lagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya
terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar dan
mempunyai kesaktian seperti itu, pasti sudah kusikat habis para penjahat itu,
kubasmi dan kutumpas mereka!" kata Acun.
"Kenapa
sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar
sakti yang aneh itu?" tanya seorang.
"Dan
bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.
"Seperti
biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya
terdengar dari dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat
kepada para perampok, menyadarkan mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak
seorang pun di antara kami yang dapat melihat wajahnya. Gerakannya demikian
cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu."
Mendengar
ini, Sian Li dan Sian Lun tak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena
maklum bahwa yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong
mereka. Keduanya segera keluar dari dalam kamar, saling pandang, lalu
menghampiri tujuh orang pedagang itu.
Para
pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat
pemuda tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu.
Sian Li
cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata,
"Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita
Cuwi dan merasa tertarik sekali karena kami pun mendapat pertolongan dari
seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami."
Mendengar
logat bicara Sian Li, tujuh pedagang itu cepat bangkit berdiri dan membalas
penghormatan Sian Li dan Sian Lun. "Aih, agaknya Kongcu dan Siocia juga
datang dari daerah Shantung seperti kami?"
Karena
datang dari propinsi yang sama, walau pun tempat tinggal mereka terpisah jauh,
mereka segera menjadi akrab. "Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu
bercaping?" tanya Sian Li.
Acun yang
merasa girang mendapat pendengar seorang dara yang demikian cantiknya, dengan
bersemangat segera dia menjawab. "Ketika menolong kami, kami hanya melihat
bayangannya yang berkelebatan secepat kilat dan ia mengenakan sebuah caping
lebar yang menyembunyikan mukanya."
"Bagaimana
bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li, dan orang itu semakin
gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.
"Tubuhnya
sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tak
bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia
seperti bukan manusia!" kata Acun.
"Pengalamanku
dengan pendekar itu pun tak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang gendut
berkata.
"Aku
pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Taihiap itu!" berkata
pula orang ke tiga.
Semenjak
jaman dulu sampai sekarang, wanita memang mempunyai wibawa yang luar biasa
terhadap para pria. Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua mau pun masih
remaja, selalu akan berubah sikap mereka apa bila kedatangan seorang wanita,
apa lagi yang muda dan cantik jelita.
Amat menarik
kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul
wanita di antara mereka. Mereka itu berubah sama sekali. Gerak geriknya,
wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin yang
bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita
memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali.
Mengingatkan kita kepada ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja
ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak!
Lucu,
menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria
menjadi lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah
laku mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak
sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun
perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun terlihat dibuat-buat dan
tidak wajar.
Bermacam-macam
pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, tentang Sin-ciang Taihiap, mereka
memiliki pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tak pernah dapat
dikenal wajahnya. Kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, ia
bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apa lagi memperkenalkan
nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh
sekali, tidak pernah ia membunuh penjahat, bahkan melukai secara parah pun
tidak pernah. Semua penjahat diampuninya, diberi nasehat.
"Bagaimana
mungkin dia akan berhasil," kata Sian Lun pula. "Penjahat harus
dihadapi dengan kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasehat, bagaimana
mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?"
"Belum
tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus
yang berusia enam puluh tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan, sekali pun
dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan buktinya,
menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan
sembuh dari penyakit yang membuatnya menjadi jahat setelah mereka itu bertemu
dengan Sin-ciang Taihiap dan mendapat nasehat dari pendekar aneh itu."
"Paman
Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.
"Benar,
Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li.
Tanpa
diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali
bercerita agar dia menjadi pusat perhatian.
"Di
perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apa
pun tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah
mendengar mengenai kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih)
itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi rambutnya sudah putih
semua. Maka ketika melakukan perjalanan lewat di daerah itu, aku memperkuat
rombonganku dengan sepasukan piauwsu (pengawal) bangsa Miao yang terkenal
gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami
dihadang oleh gerombolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti
biasanya ketika bertemu dengan gerombolan perampok, kami pun telah menawarkan
sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan. Akan tetapi, berapa pun yang
kami tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami
menyerahkan setengah dari semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran, dan
meski jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami kewalahan. Agaknya kami tentu
akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang
Taihiap!"
"Dan
dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping
yang pernah menolong dirinya dan suheng-nya.
"Pendekar
itu tidak bercaping, namun karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya yang
panjang riap-riapan menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali
mukanya. Dia berkelebatan merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat
pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan membawanya lenyap! Semua anak buah
perampok lari ketakutan dan kami pun selamat."
"Lalu
bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasehat dari
pendekar itu berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.
"Tidak
ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan
kemudian aku lewat di daerah itu lagi, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah
cuci tangan, tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan
silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia
menjadi orang baik dan sudah tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah
itu hasil nasehat dari pendekar sakti itu?"
"Dan
bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?" tanya Sian Li.
"Kabarnya,
dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapa pun juga. Entah apa yang terjadi
ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Taihiap."
Sian Li dan
Sian Lun merasa semakin tertarik, apa lagi karena mereka sendiri berhutang
budi, bahkan nyawa kepada pendekar itu. "Apakah di antara Cuwi (Anda
Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama Sin-ciang Taihiap itu?"
Semua orang
yang berada di situ menggeleng kepala. Tak pernah ada yang mendengar siapa nama
pendekar yang aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal
orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia.
Menurut
cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk
berdagang, nama Sin-ciang Taihiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang
lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal nama julukan ini yang
timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para pedagang
yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di
daerah barat ini mau pun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.
Setelah
mendengar dari para pedagang itu semua cerita yang kadang seperti dongeng saja
tentang Sin-ciang Taihiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan,
Sian Li ingin mendengar dari mereka mengenai orang-orang yang pernah
ditentangnya selama ini.
"Apakah
Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek-I Lama?"
Tujuh orang
pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan
hanya berdiam diri tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka
berubah dan mereka menengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.
"Kenapa,
Paman?" Karena terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan
ini dengan berbisik pula.
Yang ditanya
menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan
cepat di atas kertas itu, kemudian menyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu dan
suheng-nya segera membaca tulisan itu.
‘Jangan
bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali.’
Demikian
bunyi tulisan itu, membuat Sian Li saling pandang dengan suheng-nya.
Sian Li
mendekati lelaki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang
segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu lalu berbisik, "Kenapa,
Paman? Apakah mereka jahat dan suka mengganggu?"
Orang itu
menggelengkan kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula. "Mereka
tak pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tak boleh mencampuri urusan
mereka. Penjahat yang paling besar di daerah ini pun tidak ada yang berani
mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki
tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja."
Agaknya
tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran
memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke
kamar masing-masing dan tidur.
Malam itu
Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada
hentinya dia mengenang pendekar yang amat mengagumkan hatinya itu. Kini dia
membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong, bahwa di
empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai. Karena itu mereka berpesan
agar dia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian sendiri. Kini
ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum
beradab itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan
main.
**************
Pada
keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun
sudah bersiap-siap pergi meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan
perjalanan, seorang laki-laki menghampiri mereka. Dengan sikap hormat ia
menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu diterima
oleh Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan segera pergi lagi.
Sian Li
cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis
dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu.
Harap Liem
Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling
mengenal dengan baik maka terjadilah kesalah pahaman. Kalau Jiwi ingin
mengetahui lebih baik siapa kami, kami ingin mengundang Jiwi untuk menghadiri
pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput
Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang.
Keselamatan Jiwi kami jamin.
Pimpinan
Hek-I Lama
"Hemmm,
jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang
jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan
hari ini mereka mengundang kita sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka.
Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Sumoi."
"Suheng,
lupakah Suheng akan nasehat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus
berhati-hati dan waspada, tapi yang lebih penting adalah bahwa kita tak boleh
bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa besar pun
bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggulangi dan
mengatasinya. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan
jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tak akan menggunakan
cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi
juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu
kita."
"Jadi
bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"
"Aku
akan menerimanya dan menghadiri undangan itu."
"Sumoi!
Ingat, hal itu akan berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya
bahaya!"
"Aku
tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para
pimpinan Hek-I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan mencemarkan nama
besar sendiri sengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda
seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan
pengalaman dan menambah pengetahuan? Kini kita mendapat kesempatan mengetahui
lebih banyak tentang Hek-I Lama, kesempatan yang baik sekali karena kita
diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jeri, biarlah aku sendiri saja yang
datang ke sana, Suheng."
Sian Li
tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi
apa-apa dengan dirinya di tempat Hek-I Lama, ia mengharapkan munculnya
Sin-ciang Taihiap untuk kembali menolongnya. Dia harus bertemu lagi dengan
pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, terus mengenal wajahnya dan
namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran.
Wajah Sian
Lun menjadi merah ketika sumoi-nya mengatakan dia jeri. "Sumoi, aku tidak
mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri.
Jika engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan menemanimu."
Sian Li
tersenyum menatap wajah suheng-nya. "Terima kasih, Suheng. Dan maafkan,
bukan maksudku mengatakan engkau takut. Tapi aku ingin sekali menghadiri
undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa pula
maksud undangan mereka kepada kita."
Akhirnya
Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menunggu
kedatangan kereta yang hendak menjemput mereka dengan hati berdebar-debar penuh
ketegangan.
Sian Li
memang berjiwa petualang. Suasana yang mendebarkan hatinya itu merupakan suatu
kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apa lagi kalau dia membayangkan
kemunginan munculnya Sin-ciang Taihiap! Bahkan diam-diam dia mengharapkan
terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali!
Di luar
dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, tetapi belum sore.
Sebagai seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum
mandi dan pakaian belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang
menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pakaian
lebih dahulu.
Sebaliknya,
Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat
bertukar pakaian dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi
dan berganti pakaian segala, pikirnya. Dia malah menanti sumoi-nya di dekat
kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir kereta.
Akan tetapi,
kusir itu selalu menjawab "tidak tahu" untuk segala pertanyaannya,
dan mengatakan bahwa ia hanya bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari
gerak-gerik dan sinar matanya yang tajam membayangkan kecerdikan, Sian Lun
dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah saja. Tentu
dia seorang anggota yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian
tangguh.
Akhirnya
muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan
rambutnya tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian
Lun menjadi semakin gelisah. Kenapa sumoi-nya demikian mempercantik diri?
Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat!
Baru Cu Ki
Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat
tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya
ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada
orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan kecantikan seperti itu,
sumoi-nya akan membuat mata orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan
tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa. Mereka pun naik ke dalam
kereta yang segera dijalankan oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.
Kereta itu
meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki
sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka
akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau menjawab! Ketika
kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan sabarnya.
"Kusir
keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana
engkau akan membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk
menyerang kusir yang duduk di depan.
Akan tetapi
lengannya ditangkap Sian Li. "Suheng, kenapa tidak sabar?" katanya
sambil mengerutkan alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah.
Tentu saja dia membawa kita kepada yang mengutusnya, yaitu Hek-I Lama yang
mengundang kita."
"Nona
berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata
kusir itu dan Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang
sehingga mudah tersinggung dan marah.
Ternyata di
tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar.
Dan suasananya di sana memang dalam keadaan pesta. Banyak orang sedang
membereskan ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan
rumah, merupakan ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang
diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana
terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan
rumah.
Pada saat
itu telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak
pendeta berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang
dipimpin para pendeta Lama berjubah hitam ini semuanya juga berpakaian serba
hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga mereka nampak menyeramkan.
Sian Li dan
Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam
tentulah tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula banyak orang Nepal
yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban
putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang yang mengenakan pakaian Han
seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan
Mongol.
Ketika kakak
beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini
dapat diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama
muridnya, Cu Ki Bok! Mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han
yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh
kang-ouw dan para pendekar.
Pada waktu
itu barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor
satu dari perkumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang
suheng-nya yang duduk di kursi terbesar.
Pendeta Lama
ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh
puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas. Dia hanya duduk
saja bersandar pada kursinya. Agaknya yang aktip dalam pertemuan itu adalah
Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet itu.
Walau pun
hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama
Lulung Lama, akan tetapi Sian Lun menahan diri dan tidak memperlihatkan
kemarahannya. Ada pun Sian Li bersikap tenang, bahkan tersenyum-senyum sehingga
diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah,
ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya.
Kini Sian Li
merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan
kekerasan terhadap dirinya dan suheng-nya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri
demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama
takkan merendahkan diri yang hanya akan mencemarkan nama besarnya sendiri
selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan
pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sangat sopan dan
hormat, padahal baru kemarin pemuda murid tokoh Hek-I Lama itu bersikap kasar
dan tidak sopan.
Akan tetapi,
Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan
suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang
pendekar dari timur yang masih memiliki hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi
dari Kerajaan Bhutan.
Agaknya
sekarang semua tamu sudah berkumpul. Senja mulai datang, lampu-lampu penerangan
dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan
Hek-I Lama menyuguhkan anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan
mempersilakan para tamu makan kue manis yang dihidangkan sebagai pembuka pesta,
Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat dia minta
agar para tamu tidak berisik dan memberi perhatian kepadanya.
Agaknya
bicaranya memang ditujukan kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di sana,
maka dia menggunakan bahasa Han. Para kelompok suku bangsa lain yang tidak
paham bahasa Han terpaksa mendengarkan terjemahannya dari kawan-kawan mereka
yang paham.
"Saudara
sekalian, Cuwi (Anda Sekalian) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur,
kami dari Hek-I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran
Cuwi yang memenuhi undangan kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami
berkumpul, dihadiri pula oleh para sahabat dari Nepal terutama sebagai kawan
seperjuangan kami, dan para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol yang
tak sudi melihat orang-orang Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh
daratan. Cuwi kami undang untuk mengadakan perundingan dan kami ajak untuk
bekerja sama menentang pemerintah Kerajaan Ceng dari bangsa Mancu. Kalau kita
semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan bisa kita kalahkan dan kita usir kembali
ke asal mereka. Kami mengharapkan sambutan dari Cuwi yang kami hormati sebagai
orang-orang gagah di dunia kang-ouw."
Lulung Ma
memberi hormat, lalu duduk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada yang
menjawab, Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran
tuan rumah, di samping Lulung Lama. Dia pun bicara dengan suaranya yang
lantang, dalam bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan kalimat demi kalimat
oleh seorang Han yang duduk di belakangnya.
"Saudara
sekalian, kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini
kita berkumpul sebagai saudara-saudara senasib, sependeritaan dan seperjuangan!
Kita sama-sama sengsara oleh kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja
menjajah seluruh daratan Cina, akan tetapi juga menindas daerah barat, menjajah
Tibet, bahkan menjadi ancaman bagi negara-negara tetangga di barat. Kami,
Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah dari Nepal, siap untuk berjuang
bersama dengan saudara sekalian untuk menentang pemerintah Mancu!"
Setelah
berkata demikian, dibawah sambutan tepuk tangan, pangeran Nepal ini duduk
kembali. Dia seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman, bertubuh
tinggi besar, mukanya brewok dan tampan gagah jantan. Matanya lebar dan
sinarnya tajam, mulutnya selalu dibayangi senyum yang memikat. Pangeran berusia
kurang lebih empat puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan ganteng
sekali.
Di deretan
depan dari para tamu golongan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri. Sian
Li dan Sian Lun semenjak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw
terdapat beberapa orang wanita, dan yang menarik perhatian adalah adanya tiga
orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun.
Ketiganya
cantik menarik, berpakaian serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu
dihias kembang teratai putih. Kini, seorang di antara tiga wanita itu, yang
tertua, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit dan tentu saja ia menjadi
pusat perhatian ketika ia bicara.
"Para
pimpinan Hek-I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?" tanyanya. Suaranya
lantang akan tetapi merdu dan gayanya memikat. Matanya bersinar tajam serta
genit, dan bibirnya tersenyum-senyum. Pandang matanya terus menyambar-nyambar
ke arah Pangeran Gulam Sing.
Lulung Lama
segera bangkit dan memberi hormat. "Omitohud! Pinceng sebagai wakil pimpinan
Hek-I Lama, berterima kasih sekali kalau Toanio yang datang sebagai utusan dan
wakil Pek-lian-kauw memberi petunjuk kepada kami."
Tentu saja
perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika mendengar ucapan
Lulung Lama itu. Kiranya ketiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang dari
Pek-lian-kauw!
Mereka
berdua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih),
yaitu segolongan orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh
lihai. Mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang gigih. Tetapi
sayang, biar pun mereka memberontak terhadap pemerintah penjajah, tetapi nama
Pek-lian-kauw bukan nama yang bersih dan disuka rakyat.
Banyak
tokoh-tokoh mereka yang suka melakukan segala macam kejahatan berkedok
perjuangan. Juga agama mereka merupakan agama yang aneh, yang menyimpang dari
induknya, yaitu Agama Buddha, dan banyak melakukan tindakan sesat. Inilah
sebabnya kenapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak mendapat dukungan
para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw.
"Kami
Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan bukti surat kuasa
sebagai wakil Pek-lian-kauw kepada pimpinan Hek-I Lama. Maka kami diberi
wewenang untuk menghadiri pertemuan ini, menyelidiki serta memutuskan apakah
Pek-lian-kauw menganggap patut untuk dapat bekerja sama dengan kalian.
Pek-lian-kauw sejak dulu selalu menentang pemerintah penjajah dan kami adalah
pejuang-pejuang yang pantang mundur. Maka, kami ingin mengetahui terlebih dulu
apakah kalian ini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu, sebelum
kami menyatakan suka bekerja sama."
Kembali Ji
Kui, wanita yang merupakan saudara paling tua di antara mereka bertiga itu,
mengerling ke arah Gulam Sing yang juga memandang kepada tiga orang wanita itu
sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini terkenal sebagai seorang laki-laki yang
selalu haus wanita, maka tentu saja kehadiran ketiga orang tokoh Pek-lian-kauw
itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya...
"Ucapan
Pek-lian Sam-li wakil dari Pek-lian-kauw itu benar!" mendadak terdengar
suara lantang.
Ternyata
yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang
pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis,
bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan
kanannya memegang sebatang tongkat hitam.
"Kami
harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang
pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami pun
merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak mau menentang
Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan
penjajah Mancu. Kami juga mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak
menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek-I
Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami
harus mengetahui dahulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw
tadi."
Sehabis
bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena di
antara orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak pula yang menyetujui
pendapat kakek pengemis itu.
Sian Li
memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Dia mengenal kakek itu!
Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu.
Tentu saja dia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya
dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw.
Kakek itu
adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam). Dahulu, sesudah
membebaskan dia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya
pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang
merampas dirinya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai
paha pengemis itu. Dia ingat benar semua peristiwa itu dan kini dia memandang
ke arah pengemis itu penuh perhatian.
Mendengar
ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek-I Lama yang sejak tadi duduk
melenggut saja, sekarang menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian
terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri.
"Siapa
yang bicara itu tadi?"
"Kami
adalah Hek-pang Sin-kai, Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam di daerah
selatan!" kata kakek itu dengan berani.
Namun,
begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang padanya,
begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main
oleh karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti
menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan segera
menundukkan mukanya.
"Omitohud,
Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, meski pun Dalai
Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek-I
Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan
bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"
Terdengar
suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti
kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha, agaknya Hek-pang
Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus
terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa
sekarang di Nepal. Raja kami terlalu lemah dan tidak berani menentang orang
Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Lalu, apa
hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu untuk membebaskan tanah
air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"
"Maaf,
Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa
negara Bhutan yang demikian kecilnya, tidak turut bergerak seperti Nepal untuk
menentang Mancu," kata pengemis tua itu pula.
"Omitohud...
agaknya engkau belum mengetahui keadaan di Bhutan, Sin-kai!" terdengar
Lulung Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak mau menentang Mancu, sebab
keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang
sekarang menjadi sesepuh di sana, Puteri Gangga Dewi, sudah menikah pula dengan
seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu
pula."
"Keluarga
Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu
mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang
hadir di situ.
"Tentu
saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semuanya
beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti
Gurun Pasir. Dua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa,
antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"
Sian Lun
sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera
menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isyarat
dengan gelengan kepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa
keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh
mereka yang hadir.
Sian Li
sendiri memang memiliki darah dua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah
keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya
ialah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri
tadi hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.
Dengan
menahan kemarahannya, Sian Lun terpaksa berdiam diri memenuhi permintaan
sumoi-nya. Ia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya yang ditujukan
ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.
"Sekarang
kami tak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan
kami dalam menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan
hati, agar jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi
dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.
Semua orang
memandang pada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah
Thian-li-pang itu. Selain Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan
perkumpulan yang terkenal sangat gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu,
sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina.
Bahkan dua
perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering
kali terjadi kekacauan di kota raja, bahkan juga di istana, ditimbulkan oleh
mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelek-jelekkan
Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?
"Nanti
dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kau
maksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu juga? Dan
bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan
seperjuangan Pek-lian-kauw?"
"Itu
memang benar, tapi dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama
sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah
menyeleweng!"
"Benarkah
itu, Nona?" Hek-pang Sin-kai bertanya heran. "Aku masih mendengar
bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan
akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."
"Huh,
mereka itu orang-orang yang tak mengenal budi, orang-orang yang tidak memiliki
perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka,
kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang
menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau
mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak
pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak
mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan
merugikan dan mengecewakan kami seperti yang dilakukan oleh
Thian-li-pang."
"Ha-ha-ha,
jangan khawatir, Nona!" Pangeran Gulam Sing berbicara dalam bahasa Han
bercampur Nepal, karena baru beberapa tahun ia mempelajari bahasa Han, sehingga
ia selalu dikawal seorang penterjemah.
"Kami
berjanji akan membantu Nona agar kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang
yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha-ha-ha!" Pangeran
Nepal yang ganteng itu mengelus-elus kumisnya yang melintang gagah dan matanya
bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.
Tiga orang
wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan
wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika berbicara dengan
suara mendesah. "Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Di
sana juga banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"
"Benar
sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang
selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang
bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh
tidak boleh dipandang ringan!"
Pangeran
Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha,
kami tidak memandang rendah, Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan hendak
membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita
tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun,
biar pun bodoh, tapi memiliki juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu
kalian dalam segala hal, ha-ha-ha!"
Setelah
berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu lalu
menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan. Singa besi itu
jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk
mengangkatnya! Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu
dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring,
benda itu diangkatnya di atas kepala!
Tentu saja
semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget dan kagum.
Setelah pangeran itu menurunkan kembali singa batu di tempatnya semula, dan
hanya mukanya menjadi kemerahan serta napasnya agak memburu, semua orang
bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang yang memiliki tenaga gajah
seperti pangeran itu. Diam-diam Sian Li dan Sian Lun terkejut juga dan tahulah
mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.
Tiga orang
wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka
tersenyum-senyum gembira. "Aihhh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang
amat kuat, lebih kuat dari pada kuda!" Ji Kui memuji.
Pangeran itu
tertawa. "Ha-ha-ha, setiap saat kami siap menggunakan tenaga kuda kami
untuk Nona bertiga!"
Sekarang
Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isyarat agar semua orang tenang, lalu
ia pun berkata, "Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara
sekalian agaknya telah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di
antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!" Lulung
Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
Akan tetapi
kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara
itu. Saat itu pula, seorang lelaki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh
tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan berbicara dengan suaranya yang
tinggi seperti suara wanita.
"Bersatu
untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah
dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah
berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah
berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan
sehingga mereka sama sekali tidak mau menentang Kaisar, apa lagi membantu usaha
perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Sekarang ini masih banyak para
pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar
penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi
penghalang perjuangan kita."
"Pendapat
itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan
penuh semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama
sekali keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama
keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu, ketika
Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati
Siang Hong-houw. Bahkan putera kandung Ketua Thian-li-pang telah berhasil
diselundupkan ke istana bersama Ang-I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw.
Mereka nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh
Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau
Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan
penghalang besar bagi perjuangan kita!"
Lulung Lama
tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan
Sian Li.
"Ha-ha-ha,
belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan
kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini
hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga
Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat
orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"
Tentu saja
semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang
diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungannya
dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah
hampir tak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki,
dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoi-nya, kini mendapat
kesempatan dan dia pun meloncat berdiri sambil mengepal tinju.
"Kami
bukanlah penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak
yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid dari keluarga Pulau
Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau
Es!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoi-nya, dia sudah
melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah.
Melihat
kenekatan suheng-nya itu, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini
maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai
sekali. Maka ia pun harus melindungi dan membela suheng-nya dan ia pun sudah
melompat ke dekat Sian Lun.
"Suheng
berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang
rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku
keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama dua
keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"
Melihat
munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebagai keluarga Pendekar Pulau Es dan
Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari
tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam terhadap kedua keluarga
besar itu segera menjadi gaduh.
"Bunuh
pengkhianat!"
"Basmi
keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"
"Tangkap
mereka, tentu telah memata-matai kita!"
Teriakan-teriakan
terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan
Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagai
mana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah dia
yang pernah kau ceritakan kepadaku tempo hari?"
Lulung Lama
menoleh pada pangeran itu, kemudian mengangguk. "Baiklah, Pangeran. Memang
sebaiknya salah seorang di antara kita yang maju. Memalukan jika harus maju
keroyokan," katanya.
"Dan
pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" berkata Pek-lian
Sam-li dan tiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun
dengan kerling yang memikat dan senyum yang manis.
Melihat ini,
Gulam Sing tertawa.
"Ha-ha-ha,
tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat
membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang
ini di depan banyak orang tanpa malu-malu mengeluarkan ucapan yang mengandung
arti tak senonoh itu.
"Pangeran,
mari kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat lebih dahulu menangkap
lawan tanpa melukai, kami bertiga ataukah engkau!" tantang Ji Kui.
"Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang.
Setuju?"
Melihat
pandang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing
mengangguk, "Setuju!"
Sian Li dan
Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, apa lagi mereka
sekarang berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan,
sudah mencabut pedang mereka.
"Pangeran
sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!" bentak Sian Li.
Pangeran itu
tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung bagai bulan
sabit. Melihat lawannya sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah
meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.
"Tranggg...!"
Pangeran itu
menangkis dengan babatan goloknya, dan biar pun Sian Li sudah maklum akan
kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedangnya hampir terlepas
dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental sedangkan telapak tangannya yang
berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa
di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.
Sian Lun
yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biar mendongkol sekali karena lawan bersikap
curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tak mau banyak cakap lagi.
Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apa lagi tiga
orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw.
Sambil
membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang
menyambar ke arah tiga orang wanita itu. Pek-lian Sam-li juga telah mencabut
pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan membentuk barisan Segi Tiga.
Ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu
mengepung setangkai bunga, mereka berloncatan ke sana sini, membuat Sian Lun
sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya.
Sian Li juga
segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja
membuat pangeran itu menang angin dan dia pun terus mendesak sambil
tertawa-tawa karena dia ingin lebih duluan menangkap lawannya untuk mendahului
Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik
berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit
itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya
dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.
Akan tetapi,
sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang
mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan tiap
orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi
kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan
sinar pedang lawan.
Pada saat
yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat
tertangkap, mendadak nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali
saja bayangan itu menyambar-nyambar. Mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing
yang sedang bertanding.
Baik Gulam
Sing mau pun Sian Li mengeluarkan seruan kaget pada saat bayangan itu
menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga
langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di
sana bayangan itu berputaran. Juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya
terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai.
Otomatis,
mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu
telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya.
Ia melihat
seorang lelaki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang
dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai
hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat
wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan
rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani, namun ringkas. Dan
dia tidak membawa senjata apa pun.
"Sin-ciang
Taihiap...!" terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan
hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman
begitu orang ini sudah berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan
dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.
Lulung Lama
mewakili suheng-nya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan
langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan
mukanya itu. Dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk
mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi
hormat.
"Omitohud...!
Kiranya engkau adalah Sin-ciang Taihiap yang selama beberapa tahun ini membuat
nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah
engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"
Pendekar
bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu
terdengar suaranya, sangat lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah
dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu
dalam pertemuan ini."
Lulung Lama
mengerutkan alis. "Sin-ciang Taihiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai
sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw,
engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri
urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tak akan mencampuri dan
mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan,
lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang
berkunjung tanpa diundang ini?"
Lulung Lama
bicara dengan nada tinggi hati. Hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar
Hek-I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walau pun sudah
banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Taihiap, dan ke dua karena
pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, bahkan
ada pula suheng-nya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.
Semua orang
menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu. Suasana menjadi sunyi senyap
karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama
akhir-akhir ini amat terkenal namanya.
Pendekar
aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian ia pun
menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.
"Lulung
Lama, aku tidak ingin mencampuri urusan siapa pun. Kalau pun tadi aku melerai
pertandingan adalah karena aku tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan
melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk
bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu
berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, dan setelah selesai
urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."
Lulung Lama
mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao,
seorang di antara sekutunya yang saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan
rumah dia harus dapat melindungi tamunya.
Akan tetapi,
sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu
sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya
asing. "Akulah Thong Nam, kepala suku Miao. Biar pun kami telah mendengar
nama Sin-ciang Taihiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang
engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku,
Sin-ciang Taihiap!"
Pendekar
bercaping itu memutar tubuh ke kiri untuk memandang ke arah Si Pembicara.
Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, namun
tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian
hati.
Tidak
mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri,
karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia
terkenal mempunyai tenaga kuat, ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga
dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, ia pun tahu bahwa di tempat itu,
dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia
terancam bahaya.
Sejenak
pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena ia diam saja,
semua orang menjadi semakin tegang.
"Thong
Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta
kembali sebutir mutiara hitam. Engkau tak berhak memilikinya dan benda itu
harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Semua orang
tidak mengerti mengenai mutiara hitam itu, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut
itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu.
Otomatis
tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang,
"Sin-ciang, Taihiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, dan kuterima dari
mendiang ayahku. Aku tidak pernah mengambilnya dari orang lain!"
"Kalau
begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang sudah mengambilnya. Mutiara Hitam
itu milik orang lain, kuharap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya
kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."
"Sin-ciang
Taihiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut padamu, akan
tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu
dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya."
Kepala suku
Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik baju, kemudian menyerahkan sebuah
mutiara hitam yang tadi ia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama.
"Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang
sombong ini!"
Setelah menyerahkan
benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu lompat ke depan pendekar bercaping
lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik
dan segera dia mendekati suheng-nya. Dobhin Lama menerima benda itu kemudian
mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka
bersinar-sinar.
Sementara
itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di hadapan banyak orang, tanpa banyak
cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas,
seperti seekor beruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu
gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia yakin bahwa sekali dia dapat
menangkap lengan lawan, dia akan mampu membuat lawannya tak berdaya dengan
ringkusan atau bantingan.
Sin-ciang
Taihiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam. Maka dia seperti acuh
saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan
membiarkan lengannya itu tertangkap lawan!
Tentu saja
girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia
mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang mendadak
disentakkan. Dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil
menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya
dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas!
Akan tetapi,
betapa kagetnya ketika dia sama sekali tak mampu menekuk lengan lawan itu.
Jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja dia tidak mampu.
Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang sangat kuat. Padahal,
sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah!
Tiba-tiba
pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak
ditekuk ke belakang dan... Thong Nam tidak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua
tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Thong Nam
tidak terluka, dia hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi
merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi
segera menerjang lawannya.
Sekali ini
dia tidak ingin menangkap, melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang
hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga
setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apa lagi kedua kaki itu
memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan
ujungnya juga runcing.
Dengan
gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Taihiap dapat menghindarkan sambaran dua
buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan secara bertubi-tubi. Tubuhnya
hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di
dekat tubuhnya.
"Hemm,
sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut.
Tiba-tiba
saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan
tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu
tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu!
Pendekar itu
memeriksa sepasang sepatu yang sangat istimewa itu, kemudian jari-jari
tangannya bergerak dan... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua
dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang
sepatu itu kepada Thong Nam.
Kini wajah
Thong Nam berubah pucat. Ia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu
dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama
sekali bukan lawannya dan jika pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang
telah tewas, atau setidaknya terluka berat.
Sementara
itu, Sian Lun yang tadi pertandingannya dihentikan menjadi penasaran. Juga diam-diam,
seperti juga Sian Li, kini hatinya menjadi besar setelah munculnya Sin-ciang
Taihiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi masih berdiri
dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan
telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.
"Kalian
semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, tapi sesungguhnya hanyalah
penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan!
Keluarga Pulau Es dan Istana Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi
penjahat-penjahat seperti kalian!"
Melihat
suheng-nya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat ke dekatnya untuk
membantu. Melihat ini, Lulung Lama menjadi marah dan dia memberi perintah
kepada anak buahnya.
"Tangkap
dua orang muda kurang ajar ini!"
"Tahan!"
Sin-ciang Taihiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap
menyerbu. "Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara
Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan mengenai kedua orang muda ini,
seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah
pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam
pemberontakan."
Kini Dobhin
Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak
semakin kurus dan tinggi ketika dia telah berdiri dan dan memandang kepada
Sin-ciang Taihiap.
"Hemmm,
Sin-ciang Taihiap. Meski pun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami
tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih amat muda. Mengagumkan sekali
seorang yang demikian muda sudah mempunyai ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah
sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kau gunakan untuk mencapai
kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Taihiap, sebagai seorang Han,
apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu?
Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan yang tinggi
padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima
besar."
Dengan sikap
yang sopan pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama, lalu terdengar
suaranya yang lembut namun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran
tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan
bangsa Mancu. Aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan
tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Tetapi, Losuhu,
perjuangan bukanlah perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk
kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapatkan imbalan jasa bagi diri sendiri.
Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa,
tanpa adanya pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, maka perjuangan itu
hanyalah menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi
seperti kedudukan, kemuliaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil
dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat pula meneliti
diri sendiri, apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu
cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri
atau golongan sendiri?"
"Sin-ciang
Taihiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru.
"Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam apa
perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap
pemerintah Tibet yang sah. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka
ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri
sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan
lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita
lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang asli, perjuangan itu hanya menjadi kedok
untuk menutupi kejahatan mereka!"
"Tangkap
mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Taihiap.
"Sin-ciang Taihiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa
kami akan menentangmu!"
Pek-lian
Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan
rumah, "Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka
pun telah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.
"Gadis
ini untukku, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia
sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka
bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang
Taihiap.
Sebelum
Sin-ciang Taihiap bisa mencegah terjadinya pengeroyokan itu, ia sendiri sudah
diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung
Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang pada
kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia
menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apa lagi ketika Lulung Lama juga ikut
menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang
warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam.
Pendekar itu
pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung
walet, beterbangan di antara gulungan sinar senjata dua orang pengeroyoknya!
Akan tetapi,
tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Taihiap agaknya tidak mau
melukai lawan, apa lagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya
untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah
tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan
itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok mau pun Lulung Lama!
Keadaan Sian
Lun mau pun Sian Li sangat payah, walau pun kedua orang muda ini melawan dengan
gigih. Mereka langsung terdesak hebat, akan tetapi tidak mudah pula bagi
lawan-lawan mereka untuk segera meraih kemenangan.
Sian Lun
menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki ilmu
kepandaian tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru
kini mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang dapat menahan
pengeroyokan mereka bertiga!
Memang Sian
Lun bukan merupakan lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh dua orang
gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Walau pun tidak seluruh ilmu
kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, akan tetapi dia
sudah menguasai Hwi-yang Sinkang dan Soat-Im Sinkang, kedua ilmu menggunakan
tenaga sakti yang panas dan dingin, dan juga ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut
(Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng.
Pemuda ini
memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun karena dia menguasai
ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sinkang yang sangat kuat,
maka tiga orang wanita dari Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya
hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan.
Sian Li juga
menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah
menguasai ilmu yang hebat, bahkan dia masih lebih tangguh kalau dibandingkan
suheng-nya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti
Bangau Putih) dari ayahnya. Andai kata ia sudah memiliki banyak pengalaman
bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu.
Akan tetapi,
karena dia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran
asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biar
pun demikian, karena pangeran Nepal itu tidak ingin melukainya dan ingin
menangkap gadis itu hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat
menundukkannya.
Sian Lun
yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang
yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang sangat kuat, membuat tiga
orang tokoh Pek-lian-kauw itu kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi
isyarat dan masing-masing mengaluaran sehelai sapu tangan merah.
Tanpa
diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan sapu tangan merah ke arah pemuda
itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia
tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya
berkunang, kepalanya pening, setelah sangat terlambat, dia baru tahu bahwa tiga
orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.
"Iblis-iblis
betina yang curang...!” Dia berteriak dan memaksakan diri untuk menyerang
dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun
terhuyung-huyung.
Ji Kui
mengeluarkan suara ketawa mengejek. Sekali menggerakkan tangan menotok, Sian
Lun terkulai dalam rangkulannya dan pemuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.
Sian Li
mendengar teriakan suheng-nya dan cepat menengok. Melihat suheng-nya telah
tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat. Bagai seekor burung
bangau dia sudah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada
Pangeran Gulam Sing.
Pangeran ini
terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan
melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li
untuk meloncat ke arah Sian Lun.
Melihat ini,
tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah. Tangan kiri mereka pun
bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh
gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu!
Sukar bagi Sian
Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia
sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga
mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar
melompat, melainkan sambil menggerakkan kaki menendang! Keadaan Sian Li sunggh
berbahaya sekali.
Pada saat
itu pula, Sin-ciang Taihiap yang melihat keadaan itu secepat kilat mengirim
tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan
angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke
belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian
Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran jarum-jarum halus!
Sian Li yang
mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, walau pun tubuhnya
sedang melayang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke
belakang. Bila kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu
dengan pedangnya!
Akan tetapi
pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang
Taihiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga
runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,
"Mari
kita pergi!"
"Tidak,
Suheng-ku...!"
Sian Li
hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh
Sin-ciang Taihiap dan terpaksa dia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia
tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Taihiap sehingga biar
pun dia ingin meronta, tetap saja dia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan
lengan kirinya yang terpegang.
Sian Li
merasa penasaran sekali. Akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini
sudah berulang kali menolongnya, dia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya,
hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut sambil bersungut-sungut.
Mengapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suheng-nya telah tertawan, dan
sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!
Agaknya,
semua orang yang sedang mengadakan pertemuan di sana merasa jeri juga terhadap
Sin-ciang Taihiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apa lagi,
mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka
agar Sin-ciang Taihiap dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka
lagi.
"Harap
Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama.
"Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat
membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat
menguntungkan."
Ji Kui yang
merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan
tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya.
"Jangan
khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan
kami akan membantu agar dia tunduk dan takluk kepada kita."
Ji Hwa,
orang ke dua dari mereka, memandang pada Pangeran Gulam Sing dan sambil
tersenyum manis ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami.
Mengakulah!"
Gulam Sing
juga tersenyum. "Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu.
Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang
kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."
"Hi-hik,
nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim,
wanita Pek-lian-kauw termuda.
Mereka
bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya.
Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.
"Pangeran,
mengapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?"
Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.
"Hemm,
apa kau kira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah
kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau
pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Taihiap tadi?"
"Omitohud,
kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada
hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.
"Sungguh
mengherankan. Tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, kami juga telah
mencoba dengan sihir akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam
air saja!" kata pula Ji Kui.
Jika semua
orang merasa heran, Dobhin Lama justru tertawa. "Ha-ha-ha, kalian seperti
anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh ilmu sihir menjadi punah karena
adanya Sin-ciang Taihiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, karena itu kita
harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum
Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian
Tok-ciam!"
"Ah,
benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang.
"Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung
racun yang sukar dilawan."
“Jangan
gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik
jarum baracun Pek-tlan Tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu
akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Taihiap masih dapat
melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum
tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimana pun juga kita harus
berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."
Mereka
melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur
rencana dan membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tidak berdaya itu
diserahkan kepada Pek-lian Sam-Li untuk menjaga dan menundukkannya. Dan tiga
orang wanita itu dengan wajah berseri-seri lalu mengajak Pangeran Gulam Sing
dan memondong tubuh Sian Lun, pergi mengundurkan diri.
"Cukup,
berhenti!" Sian Li merenggutkan tangannya dan sekali ini ia berhasil.
Mereka kini
berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa.
Orang yang bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegangannya lagi
dan melepaskan lengan kiri Sian Li.
Sian Li
menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba.
Dia menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.
"Kenapa
engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pengecut yang
ketakutan?" dua kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah
karena marah dan penasaran. "Kenapa?"
Orang itu
menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suaranya yang lembut,
"Karena aku tidak ingin melihat engkau tewas di sana."
"Akan
tetapi, aku tidak takut mati!" Sian Li berkata dan membanting kakinya
dengan marah.
Pendekar itu
tidak menjawab, malah melangkah pergi meninggalkan Sian Li. Gadis itu hendak
marah-marah, akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan
agak terhuyung. Tentu saja ia menjadi heran dan mengikuti dari belakang.
Orang
bercaping lebar itu menuju ke sebuah goa besar yang tertutup rumpum semak-semak
berduri, dan agaknya sudah biasa dia berada di situ. Ketika dia memasuki goa,
Sian Li mengikuti dan ternyata goa itu terpelihara dan bersih, merupakan
ruangan yang terlindung. Begitu memasuki goa, pendekar aneh itu lalu duduk
bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li.
Gadis ini
tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biar pun pernah beberapa kali
menolongnya, akan tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa
dirinya melarikan diri, sekarang malah mengacuhkannya sama sekali.
"Heiiii!
Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikiran tidak
senonoh!" bentaknya semakin marah.
Pendekar itu
menggerakkan kepalanya yang tadi bertunduk, akan tetapi tidak langsung
menghadapkan mukanya yang tertutup rambut dan tirai.
"Kenapa
engkau menuduh demikian?" tanyanya, masih lembut dan penuh kesabaran.
"Buktinya,
engkau hanya melarikan aku sendiri saja. Kalau memang hendak menolong, kenapa
hanya aku yang kau tolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"
"Dia
sudah tertawan. Kalau kubiarkan, engkau akan tertawan pula.”
“Aku tidak
takut! Suheng telah ditawan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan
tertawan pula atau mati sekali pun!"
Sejenak
orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih, "Engkau
tentu amat… sayang kepada suheng-mu itu."
"Tentu
saja! Dia Suheng-ku, kalau bukan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"
"Kalau
engkau tadi tewas atau tertawan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong
suheng-mu?"
Ucapan itu
menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu.
Sin-ciang
Taihiap lalu berkata lagi, "Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang
lihai. Karena terpaksa aku mengajakmu melarikan diri dari sana supaya kita
dapat mengatur siasat untuk dapat menolong suheng-mu..." Ucapan itu tidak
dilanjutkan, tetapi berhenti tiba-tiba dan pendekar itu lalu menundukkan
mukanya.
Sian Li masih
curiga, apa lagi melihat orang itu tiba-tiba menghentikan ucapannya dan
sikapnya seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak mengenal siapa
orang ini, belum tahu pula bagaimana wataknya. Siapa tahu semua itu hanya
siasat saja dan orang yang selalu menyembunyikan mukanya itu memang mempunyai
niat yang tidak baik.
"Sudahlah,
aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Suheng!" katanya
dan ia pun hendak meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi,
pendekar bercaping itu sudah mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.
"Jangan!
Sekarang belum boleh..."
Benar saja
dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa.
Sebelum ini, ia selalu mengenang Sin-ciang Taihiap yang pernah menolong dirinya
dan suheng-nya, membuat dia kagum dan ingin sekali bertemu. Akan tetapi setelah
jumpa, kekagumannya menghilang karena ulah pendekar itu yang amat mencurigakan,
dan kini ia malah menjadi marah sekali.
“Siapa pun
tidak boleh melarang aku menolong Suheng-ku!" bentaknya.
Dia pun maju
terus dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kiri. Tangan
kirinya mengenai dada orang itu dan... pendekar itu terdorong ke belakang,
terhuyung-huyung, lalu roboh!
Tentu saja
Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi
demikian lemah? Dia cepat menghampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat
bahwa orang itu sudah pingsan! Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan
tetapi napasnya terengah-engah. Ketika dia menyentuh lengannya, terasa amat panas!
Sian Li
menjadi khawatir sekali. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari
ilmu pengobatan dari Dewa Obat itu, sekali pegang nadi orang itu tahulah dia
bahwa tubuh orang itu sudah keracunan secara hebat! Racun yang berhawa panas,
pikirnya dengan lega.
Racun yang
mengandung hawa panas masih lebih mudah untuk diobati dibandingkan racun
berhawa dingin. Jelas bahwa pendekar ini keracunan dan teringatlah dia ketika
Sin-ciang Taihiap tadi membantunya. Ia diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li
dan pendekar ini yang melompat dan meruntuhkan jarum-jarum itu dengan lengan
bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main.
Jangan-jangan
ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini. Tangannya meraba-raba dan akhirnya
ia tahu bahwa memang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu
lagi Sian Li merobek baju di pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan
di situ, kecil sekali dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu memasuki bagian
tubuh itu dan meracuni darah.
Sebagai
murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus dilakukannya.
Lebih dahulu dia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah
menjalarnya racun, lalu dengan ujung pedangnya yang tajam dia menoreh bintik
hijau itu sehingga kulit dan dagingnya terbuka, dan ia mencongkel keluar
sebatang jarum hitam kehijauan.
Kemudian, ia
menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang sudah keracunan,
lalu menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum
emas serta perak yang dia dapatkan dari Yok-sian Lo-kai, kemudian melakukan
pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa bagian tubuh untuk memunahkan
sisa-sisa hawa beracun yang mengeram di tubuh Sin-ciang Taihiap.
Kurang lebih
setengah jam dia memberi pengobatan sampai dia merasa yakin benar bahwa
pendekar itu telah terbebas dari racun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu.
Pernapasannya mulai normal kembali dan tubuhnya tidak panas seperti tadi.
Melihat
pendekar itu masih rebah telentang dalam keadaan tak sadar, timbul keinginan hati
Sian Li untuk melihat wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia
melihat wajahnya sebentar saja? Orang ini selalu menyembunyikan muka. Kenapa?
Cacadkah dia? Atau ada rahasia lain?
Sekarang ia
tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali. Pendekar ini jauh
dari pada apa yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apa
lagi tak senonoh. Pendekar ini sedang menderita luka beracun yang amat parah
ketika tadi menolongnya.
Karena
itulah maka pendekar itu memaksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu
mereka berdua sudah tertawan pula, atau bahkan terbunuh. Dan memang benar.
Kalau pendekar itu tidak memaksanya melarikan diri, tentu mereka bertiga sudah
tertawan dan tidak ada kesempatan sama sekali untuk menolong suheng-nya.
Pendekar ini
benar. Ia yang terburu nafsu dan terlalu mencurigainya. Dan sekarang, apa
salahnya kalau ia memandang sebentar saja wajahnya yang penuh rahasia,
mengambil kesempatan selagi dia belum siuman?
Dengan
jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu pada diri
sendiri bahwa dia sudah mencuri dan membuka rahasia orang, Sian Li menyingkap
tirai di depan muka itu, lalu menyingkap rambutnya yang terurai awut-awutan
menutupi muka. Ia melihat sebuah wajah yang tampan.
Muka itu
berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu berlekuk, alis yang tebal
hitam dengan mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan bentuk muka yang
amat dikenalnya. Dia terbelalak, tak bergerak seperti patung, lalu bibirnya
berbisik berulang-ulang, seolah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.
"Yo
Han...? Suheng... Kakak Yo Han...?"
Akan tetapi
ia membantah sendiri. Tidak mungkin ini adalah suheng-nya yang selama
bertahun-tahun dirindukannya itu. Suheng-nya itu selamanya tidak pernah suka
berlatih silat. Suheng-nya sangat baik kepadanya, seperti kakak kandungnya
sendiri, akan tetapi sama sekali tidak pandai silat biar pun ayah ibunya
berusaha untuk menggemblengnya. Sedangkan pendekar ini memiliki ilmu silat yang
amat tinggi.
Akan tetapi
wajah ini...! Bagaimana mungkin ia bisa salah? Wajah ini hampir tak pernah
meninggalkan lubuk hatinya. Biar pun kini telah menjadi seorang laki-laki
dewasa, tetapi bentuk muka itu tidak berubah. Dahi itu, hidung mulut dan dagu
itu! Ah, ia teringat akan sesuatu.
Pernah
ketika suheng-nya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian atas,
ia melihat sebuah tahi lalat sebesar kedelai di dada suheng-nya itu, tepat di
tengah ulu hatinya. Semenjak itu, sering kali dia menggoda dan memperolok suheng-nya
dengan tahi lalat itu.
Dengan jari
tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu untuk melihat
dadanya. Ia membuka baju itu dan... di sanalah, tepat di tengah ulu hati,
bertengger tahi lalat itu.
"Kakak
Yo Han...!" Kini ia tidak ragu lagi dan ia pun merangkul, menangis!
Pendekar itu
membuka matanya. Ketika melihat Sian Li menangis di atas dadanya, dia
mendorongnya dengan halus dan bangkit duduk. "Nona... kau..."
Tetapi dia
tidak melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang
berlinangan air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya
penuh kebahagiaan.
"Han-suheng
(Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau jadi bersikap
begini terhadap aku? Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi? Aku Sian Li, Tan
Sian Li...!"
Akan tetapi
Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perbatasan Tibet sehingga
dijuluki Sin-ciang Taihiap oleh mereka yang pernah ditolongnya, tidak merasa
heran. Tentu saja sebelumnya dia sudah tahu atau dapat menduga siapa adanya
gadis remaja berpakaian serba merah itu.
"Sian
Li... Sumoi..." katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang
sedemikian mendalam sehingga Sian Li teringat akan masa lalu, ketika ia
merasakan benar kasih sayang suheng-nya ini kepadanya.
"Suheng...!"
Dan lupa akan segala, lupa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan
merangkul Yo Han, menangis di dalam rangkulan pendekar itu!
Yo Han
membiarkan saja dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat
seperti itu, semua peraturan sudah terlupakan, yang ada hanyalah peluapan
perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa perasaan gembira, terharu dan bahagia
meluap di hati Sian Li.
Ia sendiri
pun merasa terharu dan tanpa terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering
ia membayangkan dan mengenang Sian Li dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia
tidak dapat percaya akan tiba saat seperti sekarang ini, di mana dia merangkul
Sian Li yang menangis di dadanya.
Setelah
gejolak perasaan itu mereda, dengan lembut Yo Han mendorong kedua pundak gadis
itu, bahkan terus memegangi kedua pundak itu dan mengamati wajahnya sambil
tersenyum. Sepasang matanya mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan
amat kagum. Jika ada perubahan pada diri suheng-nya ini, barangkali hanya pada
sinar matanya itulah. Ia pun membalas, mengamati wajah Yo Han.
"Aihhh,
adikku yang dahulu begitu bengal, tabah, keras hati dan pemberani, mengapa
sekarang telah berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"
Seketika
sinar mata itu bernyala. "Aku tidak cengeng! Aku menangis karena haru dan
bahagia! Aihhh, Han-ko, selama ini engkau ke mana sajakah? Kenapa pula engkau
tega meninggalkan aku sampai bertahun-tahun? Bagaimana pula engkau tahu-tahu
sudah menjadi seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang Taihiap? Mengapa
pula engkau selalu menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang? Apa yang
menyebabkan engkau menjadi seorang petualang di daerah ini dan mengapa tidak
kembali kepada kami?"
Diberondong
pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li
penuh kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!
"Panjang
ceritanya, Li-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah melupakan suheng-mu yang
ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"
Sian Li
seperti baru teringat kepada Sian Lun. "Ahhh, engkau benar juga, Han-ko.
Kita harus cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"
Yo Han
mengangguk, diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil
sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang sangat disayangnya ini ternyata
merupakan seorang gadis gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.
"Tidak
akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan
selain di sana banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan
dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita memang harus membebaskannya, akan
tetapi bukan sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada
Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suheng-mu dibebaskan.”
"Tapi...
kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi
apa-apa dengan Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"
"Jangan
khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah
Hitam. Mereka tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak
para pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang
pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan
pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan para pendekar
saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet,
seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di
Nepal dan kini mereka mencari sekutu agar kelak dapat membantu mereka. Sebab
itu jangan khawatir, suheng-mu tak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk untuk
mau bekerja sama dengan mereka."
Hati Sian Li
merasa sangat lega. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya
karena Yo Han adalah suheng-nya yang sejak dahulu paling disayangnya dan
dipercayainya, akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han
bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaan di sini sehingga
keterangannya tadi pasti benar.
"Baiklah
kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu supaya Suheng dapat terbebas dari tangan
mereka. Sekarang, harap kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling
berpisah, Han-ko."
Yo Han
merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak
seperguruan) karena bagaimana pun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh
belajar silat dari ayah ibu Sian Li.
"Memang
sebaiknya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman,
Li-moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati
luka beracun di pundakku? Kurasakan racun itu cukup berbahaya, jika harus
menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun
itu, tentu akan memerlukan waktu paling sedikit sepuluh hari. Akan tetapi
sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat mempunyai
kepandaian pengobatan yang begini hebat?"
Biasanya,
Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau
memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han,
ia merasa amat girang dan bangga.
"Aku
telah mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana
untuk menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.
"Ahhh,
begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat
itu. Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar
Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari
ayah ibumu."
Sian Li
mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han. "Nah, nah,
engkau mau mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga mengenai
pengalamanmu dan engkau sudah memancing-mancing agar aku menceritakan segala
tentang diriku."
Yo Han
tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat
itu. Dan dia bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di
tempat yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini, apa lagi melihat Sian Li
telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan gagah perkasa.
Yo Han
menceritakan pengalamannya dengan singkat saja. "Setelah aku meninggalkan
tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung..."
"Nanti
dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan
sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"
Yo Han
menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus
menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa meski pun membohong adalah
perbuatan tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong!
Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong
agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya!
Kalau
sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena
mendengar ayah ibu gadis itu menyatakan keinginan hati supaya Sian Li jauh
darinya, tentu cerita ini akan mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya
menyinggung, namun menyakitkan dan membingungkan. Maka, dia harus berbohong!
"Lupakah
engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang-I Moli. Aku telah
berjanji kepadanya bahwa kalau dia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku
akan menggantikanmu menjadi muridnya." Lega rasa hati Yo Han setelah dia
mulai memberi keterangan. Bagaimana pun juga, dia tidaklah berbohong, hanya
tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya.
Tentu saja
Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir
setiap hari ia menangis dan menanyakannya. Ia pun teringat akan pembelaan Yo
Han kepadanya terhadap Ang-I Moli.
"Han-ko,
jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"
"Tidak,
Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya.
Aku berhasil lolos darinya dan aku lalu mendapatkan seorang guru di tempat
rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku merantau ke sini adalah untuk
memenuhi pesan terakhir guruku."
"Mencari
mutiara hitam itu?"
"Benar,
Li-moi. Benda mustika itu dahulu adalah milik guruku yang hilang dicuri orang.
Aku hanya ingin merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."
"Dan
engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Taihiap?”
Yo-Han
menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun ia berhasil menyimpan rahasia
dirinya, akan tetapi sekali ini rahasianya terbuka. Bukan oleh orang lain,
bahkan oleh Sian Li!
"Ternyata
tak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu,"
dia bercerita. "Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di
daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun aku berkeliaran di sini, bahkan
sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam
penjelajahan itulah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk
turun tangan menentang kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, karena itu aku
selalu menyembunyikan mukaku dan tidak pernah memperkenalkan diri. Orang-orang
memberi julukan Sin-ciang Taihiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada seorang
pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Taihiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu
engkau Li-moi."
Sian Li
tertawa dan suasana menjadi akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han lalu
teringat akan masa lampau. Suara tawa Sian Li itu bagaikan bunyi musik merdu
yang mendatangkan perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti tetesan air hujan
pada hatinya yang selama ini seperti tanah kering. Terasa demikian sejuk den
segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang
membuat wajahnya berseri.
"Hi-hi-hik,
heh-heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu sekali, Han-ko. Engkau ingin
menyembunyikan diri dan tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan
sengaja ingin mempopulerkan julukanmu atau penyamaranmu itu? Dengan
penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Taihiap sebagai seorang
pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya,
kalau engkau tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan
tahu bahwa engkau ini adalah Sin-ciang Taihiap? Kenapa mesti menyamar lagi,
Han-ko?"
Yo Han
mengangguk-angguk. "Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk
dikenal orang, maka aku bahkan membuat Sin-ciang Taihiap semakin terkenal
karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang aku akan menanggalkan penyamaran diriku
sebagai Sin-ciang Taihiap, dan aku akan menjadi Yo Han biasa saja...”
Setelah
berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu kemudian
menggelung rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut,
tidak dikuncirnya karena dia tidak senang harus mentaati peraturan pemerintah
Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya. Peraturan itu dianggapnya
menghina.
"Tapi
caping itu jangan dibuang, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk
melindungi kepalamu dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang
kau perlukan juga tokoh Sin-ciang Taihiap itu."
"Li-moi,
sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang engkaulah yang harus
menceritakan kepadaku keadaanmu semenjak kita saling berpisah. Engkau kini
sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, lincah dan juga lihai
ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."
"Ketika
engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga
belas tahun lebih, Jadi usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar
ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku menerima gemblengan dari Paman Kakek
Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota Cin-an. Di sana aku
bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid Paman dan Bibi. Selain itu, juga aku
belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."
"Wah,
engkau beruntung sekali, Li-moi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti.
Akan tetapi bagaimana engkau dan suheng-mu itu dapat berada di sini, amat jauh
dari tempat tinggal orang tuamu?"
"Aku
dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung
ke Bhutan, Han-ko."
"Bhutan?
Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"
Sian Li lalu
bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang
perjalanan mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan
bertentangan dengan Lulung Lama dan sekutunya.
Dua orang
muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah
mereka sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka
makan malam secara amat sederhana, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han
di dalam goa. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, menjawab
semua pertanyaan.
Setelah
lewat tengah malam, baru mereka istirahat dan tidur sesudah saling mengetahui
hampir semua keadaan diri masing-masing. Hanya ada satu hal yang masih membuat
Yo Han sangsi dan ragu, yaitu tentang hubungan batin antara Sian Li dan
suheng-nya.
Mereka
adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih dari pada itu?
Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan
keduanya tampan dan cantik, melakukan perjalanan berdua saja. Tak ada anehnya
bila mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya tidak wajar kalau tidak ada
perasaan cinta di antara mereka.
Yo Han tidak
berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya
amat mencinta suheng-nya itu. Dan dia pun tidak akan merasa heran. Suheng Sian
Li itu memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau
menjadi jodoh Sian Li. Hanya saja, dia merasa heran dan tidak enak, mengapa
hatinya menjadi pedih kalau membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling
mencinta dan menjadi jodoh?
Bahkan
bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru
setelah jauh lewat tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur
pulas.
***************
Pada
keesokan harinya, Yo Han menunjukkan kepada Sian Li anak sungai berair jernih
yang mengalir tak jauh dari goa itu, di mana dara itu dapat membersihkan diri.
Mereka mandi bergantian dan dengan badan segar mereka sarapan pagi seadanya,
hanya roti kering dan daging kering yang dihangatkan di atas api unggun,
kemudian mereka pergi meninggalkan goa.
"Kita
harus menolong suheng, Han-ko," kata Sian Li ketika mereka keluar dari
hutan.
"Tentu
saja, Li-moi." Dia menepuk buntalan pakaiannya. "Aku sudah mempersiapkan
capingku. Kalau aku menghadapi para Lama, aku harus berperan sebagai Sin-ciang
Taihiap. Dan aku akan minta dengan hormat kepada mereka untuk mau membebaskan
suheng-mu."
"Akan
tetapi bagaimana mungkin, Han-ko? Bagaimana jika mereka tidak mau menuruti
permintaanmu?"
"Aku
tidak pernah bermusuhan dengan para Lama itu, dan mereka adalah orang-orang
yang menghargai kegagahan. Bila perlu, aku akan menantang mereka dengan taruhan
bahwa kalau aku menang, mereka harus memenuhi permintaanku."
"Kalau
kau kalah?"
"Hemm,
kita harus bertanggung jawab dan tidak lari dari kenyataan, Li-moi. Kalau aku
kalah, mereka boleh melakukan apa saja terhadap diriku."
"Tapi...
itu berbahaya sekali, Han-ko!"
Yo Han
tersenyum. "Aku tahu, Limoi. Semenjak aku mempelajari ilmu silat, tahulah
aku bahwa aku sudah terjun ke dalam dunia kekerasan di mana terdapat penuh
bahaya. Tetapi, hidup seperti apakah yang tidak berbahaya? Hidup itu sendiri
sudah merupakan suatu bahaya, Li-moi. Hidup adalah perjuangan, suatu perjuangan
orang tiada hentinya melawan bahaya yang datang dari segala jurusan. Hidup
merupakan suatu tantangan yang harus kita perjuangkan, kita hadapi, dan
perjuangan itu adalah untuk mengatasi semua tantangan itu, semua bahaya
itu!"
Sian Li
mengerutkan alisnya dan saking tertarik, ia langsung menghentikan langkahnya,
memandang kepada pemuda itu. "Ehhh? Apa maksudmu, Han-ko? Kehidupan
seorang dari dunia persilatan seperti kita ini memang menghadapi banyak
tantangan, banyak bahaya, akan tetapi kehidupan seorang biasa, apakah bahaya
dan tantangannya?"
Yo Han
tersenyum, "Tiada bedanya, Li-moi. Apakah kehidupan seorang petani miskin
itu tidak penuh tantangan yang harus mereka hadapi dan atasi? Tantangan itu
dapat datang dari kemiskinan, dari kesehatan yang terganggu, dari kesejahteraan
keluarga, dari kerukunan keluarganya. Orang bisa ditantang oleh kekurangan
makan, pakaian dan tempat tinggal, oleh gangguan kesehatan oleh percekcokan
rumah tangga, dan seribu satu tantangan lagi. Semua itu mau tidak mau, harus
dihadapi dan diatasi. Kita tidak mungkin dapat lari darinya, karena itulah isi
kehidupan ini, yaitu urusan jasmani, urusan duniawi."
"Hemm,
kalau begitu orang kaya dan orang berpangkat tentu tidak menghadapi semua
tantangan dan kesulitan..."
"Siapa
bilang? Mereka pun dapat sakit, dapat cekcok dengan keluarga. Bahkan masih
ditambah lagi. Orang kaya harus mempertahankan kekayaannya, menjaganya agar tak
berkurang atau lenyap, selalu khawatir akan kehilangan. Demikian pula dengan
orang berkedudukan yang selalu berusaha mempertahankan kedudukannya, takut
kehilangan. Pendeknya, selagi hidup sebagai manusia, kita tidak akan dapat
bebas dari tantangan dan bahaya. Justru itulah isi kehidupan, itulah
romantikanya kehidupan, menghadapi semua itu, berusaha mengatasinya.
Perjuangannya melawan semua tantangan, itulah seninya, seni kehidupan! Betapa
akan membosankan kalau hidup ini tak ada tantangan yang harus ditanggulangi,
dihadapi dan diatasi. Senang baru akan terasa senang kalau kita pernah merasakan
susah. Kepuasan yang sebenarnya hanyalah terasa kalau kita pernah merasa
kecewa. Bukankah begitu, Li-moi?"
Mata Sian Li
terbelalak, kemudian tertawa. "Wah-wah-wah, bicaramu seperti seorang guru
besar kebatinan saja, Han-ko. Menurut Ayah dan Ibuku, dahulu engkau tidak suka
akan kekerasan, tidak suka belajar silat, akan tetapi sekarang malah menjadi
seorang pendekar sakti dan bicaramu seperti seorang pendeta!"
"Li-moi,
jika bicara mengenai kehidupan, apakah hanya para pendeta saja yang harus
mengetahuinya? Kehidupan adalah kita sendiri, Li-moi. Sudah sewajarnya, dan
bahkan sepatutnya kalau setiap orang tahu dan mengerti akan kenyataan di dalam
hidup ini. Sampai sekarang pun aku tidak suka akan kekerasan, Li-moi, karena
aku tahu dan yakin benar bahwa kekerasan bukanlah cara terbaik untuk hidup.
Namun, menghadapi tantangan di dalam kehidupan ini, sekali waktu kita
membutuhkan juga kekuatan untuk menanggulanginya, dn seperti juga semua ilmu,
ilmu silat pun amat berguna kalau saja digunakan melalui garis yang benar,
bukan sebagai alat mengumbar nafsu. Nah, kurasa engkau pun tentu sudah mengerti
akan semua itu, karena aku tahu bahwa orang tuamu adalah sepasang suami isteri
yang bijaksana. Apa lagi engkau telah digembleng oleh paman kakekmu dan
isterinya, juga oleh seorang tokoh besar seperti Yok-sian Lo-kai."
Sian Li
mengangguk-angguk kagum. "Cara mereka bicara tidak jauh bedanya dengan apa
yang kau katakan semua tadi, Han-ko..."
"Hemmm,
ada orang-orang datang ke sini, Li-moi. Jangan katakan bahwa aku adalah Sin-ciang
Taihiap..."
Sian Li
mengangkat muka memandang ke depan dan benar saja. Ada enam orang datang dengan
langkah lebar. Dari jauh saja, sudah nampak bahwa lima orang di antara mereka
adalah para pendeta Lama Jubah Hitam, dapat dilihat dari kepala mereka yang
gundul dan jubah hitam mereka yang lebar. Yang seorang lagi adalah seorang
pemuda.
Setelah
mereka datang lebih dekat dan Sian Li mengenal siapa pemuda itu, wajahnya
berubah merah dan ia menjadi marah. Pemuda itu bukan lain adalah Cu Ki Bok
murid Lulung Lama yang kurang ajar itu. Dan lima orang gundul itu adalah lima
orang anggota Hek-I Lama.
"Jahanam
busuk! Akan kubunuh kalian!" Sian Li pun sudah meraba gagang pedangnya,
akan tetapi Yo Han menyentuh lengannya,
"Sabarlah,
Li-moi, biarkan mereka mengatakan dulu apa maksud mereka mencari kita."
Kini Cu Ki
Bok sudah tiba di depan mereka. Pemuda tinggi tegap yang tampan gagah itu
tersenyum, sedangkan lima orang pendeta Lama yang berdiri di belakangnya, diam
tak bergerak seperti patung.
“Selamat
pagi, Nona Tan Sian Li. Senang sekali bertemu denganmu, karena Nona tentu akan
dapat memberi tahu kepada kami di mana kami dapat bertemu dengan Sin-ciang
Taihiap."
Sian Li
tersenyum mengejek. "Hemm, keparat busuk, andai kata aku tahu sekali pun
tak akan sudi aku memberi tahukan kepadamu!"
"Hemm,
Nona jangan berlagak. Kalau tidak ada Sin-ciang Taihiap, apa kau kira akan
mampu lepas dari tangan kami? Sekarang kami menginginkan Sin-ciang Taihiap,
untuk menyampaikan pesan dari ketua kami. Katakan di mana aku dapat bertemu
dengan dia, dan aku tidak akan mengganggumu lagi, melihat muka pendekar
itu."
"Sobat,
katakan saja kepada kami apa yang hendak kau sampaikan kepada Sin-ciang
Taihiap, dan kamilah yang akan menyampaikan kepadanya," kata Yo Han dengan
suara tenang dan lembut.
Cu Ki Bok
memandang pada Yo Han dengan alis berkerut. Jelas bahwa ia memandang rendah
kepada pemuda itu. Dia tidak mengenalnya, tetapi merasa tidak senang karena
pemuda ini berdua dengan gadis yang dirindukannya.
"Siapa
kamu? Dan mengapa aku harus menyampaikan pesan untuk Sin-ciang Taihiap kepada
kamu?"
Sian Li
marah sekali melihat sikap dan mendengar ucapan yang nadanya menghina dan
memandang rendah itu. Akan tetapi Yo Han tersenyum, gembira bahwa kini dia
dapat menghadapi orang tanpa perlu menyembunyikan wajah aslinya dan orang itu
tetap tidak mengenalnya. Benar juga pendapat Sian Li tadi malam. Sin-ciang
Taihiap yang harus dirahasiakan, bukan Yo Han!
"Namaku
Yo Han. Aku orang biasa saja, akan tetapi aku sudah dipesan oleh Taihiap bahwa
jika ada orang yang mencarinya, boleh menyampaikan kepada kami berdua. Kalau
engkau percaya kepada kami, nah, katakan apa yang kau ingin sampaikan
kepadanya. Kalau tidak percaya, sudahlah, kau cari saja sendiri."
Sian Li
mengeluarkan suara tawa mengejek. "Huh, mana pengecut ini berani mencari
Sin-ciang Taihiap? Baru melihatnya saja, dia akan lari terbirit-birit!"
Lalu dilanjutkannya dengan nada suara marah, "Kawanan serigala ini licik
dan pengecut, beraninya hanya main keroyokan. Buktinya, Suheng-ku ditawan
karena keroyokan. Jahanam Cu Ki Bok, kalau kalian mengganggu Suheng-ku, aku
akan membasmi kalian semua, tak seorang pun kubiarkan hidup!"
Mendengar
ucapan yang keras itu, Cu Ki Bok tidak menjadi marah, bahkan dia tertawa geli.
"Ha-ha-ha, kau mengira suheng-mu itu kami ganggu, Nona? Nona masih saja
salah sangka. Kami bukanlah penjahat. Kami adalah pejuang-pejuang yang memiliki
cita-cita mengusir penjajah Mancu. Kami membutuhkan kerja sama dengan para
pendekar. Bukankah ketua kami tadinya juga menawarkan kerja sama dengan Nona
dan suheng Nona itu? Dan sekarang suheng-mu dengan suka rela membantu kami, dan
dia hidup bersenang-senang. Hemm, suheng-mu memang pandai mempergunakan
kesempatan, aku sendiri sampai iri melihat dia bersenang-senang seperti
itu..."
"Kau
bohong!" Sian Li membentak, tetapi diam-diam dia ingin sekali tahu
kesenangan apa yang dimaksudkan oleh orang itu.
"Sudahlah,
aku pun datang bukan untuk membicarakan urusan Liem Sian Lun. Aku diutus oleh
ketua kami untuk bicara dengan Sin-ciang Taihiap. Kuharap saja dia akan muncul
menemui kami."
"Orang
macam engkau tidak berharga untuk bertemu dengan Sin-ciang Taihiap," kata
Sian Li. "Sampaikan saja kepadaku atau kau boleh minggat dari sini."
Wajah Cu Ki
Bok berubah merah. Dia merasa direndahkan dan dihina oleh gadis itu. Akan
tetapi harus diakuinya bahwa dia memang merasa jeri untuk berhadapan dengan
pendekar sakti itu.
"Baiklah,
akan kusampaikan kepadamu, Nona Tan Sian Li, akan tetapi tidak kepada cacing
tanah itu." Cu Ki Bok menggerakkan kepala ke arah Yo Han dengan sikap amat
merendahkan sehingga wajah Sian Li berubah, merah karena marahnya.
"Cu Ki
Bok, kalau engkau menghina kami berdua, berarti engkau menghina Sin-ciang
Taihiap karena Taihiap sudah memberi kuasa kepada kami berdua untuk mewakilinya
bicara dengan siapa saja! Nah, katakan kepada kami berdua apa keperluanmu tanpa
menghina orang, atau aku akan mewakilinya membunuhmu di sini juga!"
Cu Ki Bok
tidak gentar terhadap Sian Li, akan tetapi dia takut kalau Sin-ciang Taihiap
muncul membantu nona itu. "Baik, dengarlah pesan kami. Ketua kami, Dobhin
Lama mengundang Sin-ciang Taihiap untuk mengadakan pertandingan adu
ilmu..."
"Huh,
dan kalian tentu akan menjebaknya dan mengeroyoknya dengan mengandalkan banyak
orang, bukan?" Sian Li mengejek. Ia sengaja memanaskan hati pihak lawan.
"Sama
sekali tidak!" bantah Cu Ki Bok penasaran. "Nona, engkau belum
mengenal siapa adanya Supek (Uwa Guru) Dobhin Lama! Beliau adalah seorang tokoh
besar di Tibet yang mempunyai kedudukan tinggi. Tidak mungkin Supek menggunakan
siasat. Supek telah lama mendengar akan nama besar Sin-ciang Taihiap dan
sekarang ingin mengadu ilmu dengan Sin-ciang Taihiap. Kalau Sin-ciang Taihiap
mampu menandingi Supek Dobhin Lama, maka mutiara hitam akan dikembalikan
kepadanya."
"Hemmm,
tidak cukup dengan itu! Kalau dia dapat mengalahkan Dobhin Lama, selain mutiara
hitam diserahkan kepadanya, juga Suheng Liem Sian Lun harus dibebaskan!"
kata Sian Li. "Kalau syarat ini tidak dijanjikan, aku tak sudi
menyampaikan kepadanya."
"Ha-ha-ha,
sekarang juga dia sudah bebas, tetapi mana mungkin dia mau meninggalkan segala
kesenangan itu? Akan tetapi baiklah, aku yang tanggung bahwa syarat ke dua itu
dapat diterima dan disetujui oleh Supek. Kalau Supek kalah, Liem Sian Lun akan
dibebaskan dan mutiara hitam akan diserahkan kepada Sin-ciang Taihiap. Akan
tetapi sebaliknya, kalau Supek yang menang, Sin-ciang Taihiap harus membantu
perjuangan untuk menentang penjajah Mancu."
Tentu saja
Sian Li tidak berani lancang menerima syarat itu, maka ia menoleh kepada Yo Han
dan berkata, "Han-ko, bagaimana dengan pendapatmu? Biar pun Taihiap sudah
menyerahkan keputusannya kepadaku, akan tetapi aku ingin menanyakan pendapatmu
sebelum menerima syarat itu."
Yo Han
mengangguk-angguk. "Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar yang selalu
menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bangsa Mancu menjajah, hal itu jelas
tidak adil dan tidak benar, maka tentu saja dia tidak akan berkeberatan untuk
menentang penjajah Mancu."
Sian Li
mengangguk-angguk. "Tepat sekali, aku pun berpikir demikian, Han-ko. Nah,
Cu Ki Bok, akan kusampaikan pesan itu kepada Sin-ciang Taihiap. Aku ulangi
taruhannya. Kalau dia menang, mutiara hitam harus diserahkan kepadanya dan
Suheng-ku harus dibebaskan, tapi kalau Dobhin Lama yang menang, Sin-ciang
Taihiap harus membantu perjuangan menentang penjajah Mancu. Kalau dia menerima
tantangan itu, lalu kapan dan di mana pertandingan itu akan diadakan?"
Cu Ki Bok
tersenyum. "Dalam hal ini, Supek ingin memperlihatkan iktikad baiknya dan
kejujurannya ketika mengajak Sin-ciang Taihiap mengadu ilmu. Supek menyerahkan
kepada Sin-ciang Taihiap untuk menentukan waktu dan tempatnya."
"Kalau
begitu sekarang juga!" Sian Li berkata dengan cepat.
Dara yang
cerdik ini segera mengambil keputusan yang dianggapnya menguntungkan pihaknya.
"Dan tempatnya, di puncak bukit sebelah sana itu!" Ia menunjuk ke
arah bukit di sebelah kiri.
Ia tahu
bahwa tempat yang menjadi sarang Hek-I Lama berada di sebelah kanan, maka bukit
itu tentu merupakan tempat bebas dari pengaruh kekuasaan Hek-I Lama sehingga
kalau diadakan pertandingan di sana, maka pihak musuh tidak akan sempat
mengatur siasat untuk menjebak atau mengeroyok.
Cu Ki Bok memandang
ke arah bukit itu dan mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan melapor
kepada ketua kami. Sebentar lagi, menjelang tengah hari, tentu Supek sudah
berada di puncak bukit itu. Harap saja janji kalian bukan merupakan bual kosong
belaka. Selamat tinggal!" Cu Ki Bok lalu pergi dari situ diikuti lima
orang pendeta Lama.
"Kenapa
engkau memilih tempat pertandingan di puncak bukit itu, Li-moi?"
"Aku
sengaja memilih tempat yang jauh dari mereka agar kita dapat mendahului mereka
ke tempat itu sehingga mereka tidak sempat membuat jebakan. Sebaiknya kalau
kita sekarang juga pergi ke sana, Han-ko, untuk mengenal medan dan
mempersiapkan diri."
Yo Han kagum.
Kiranya Sian Li, Si Bangau Merah yang dahulu sering digendongnya dan diajak
bermain-main itu, kini sudah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, lihai,
pemberani dan juga cerdik sekali. Cara gadis itu tadi menghadapi Cu Ki Bok saja
sudah menunjukkan kecerdikannya. Diam-diam dia merasa bangga.
Mereka lalu
berangkat mendaki bukit yang tadi ditunjuk oleh Sian Li. Bukit itu ternyata
merupakan sebuah bukit yang sunyi, penuh dengan hutan belukar dan tidak nampak
ada dusun di atas bukit. Dusun-dusun hanya terdapat pada kaki bukit.
Begitu
mereka mendaki ke atas, ternyata tidak terdapat dusun di lereng-lereng bukit
itu yang penuh hutan belukar dan rawa-rawa. Bahkan mendaki ke puncak pun tidak
mudah walau pun bukit itu tidak terlalu besar. Karena kini dia sudah berada di
tempat di mana ditentukan adu kepandaian itu, untuk menjaga kalau ada pihak
musuh yang melihatnya, Yo Han sudah mengenakan caping berikut tirai sutera
hitamnya lagi, dan membiarkan rambutnya juga terlepas riap-riapan.
Akan tetapi,
betapa heran mereka ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok berdiri
di situ! Sebuah pondok kayu yang nampak masih baru, mungkin baru beberapa bulan
saja umurnya. Kecil namun kokoh kuat. Di belakang dan kanan kiri pondok itu
terlihat ditanami sayur-sayuran. Di depan pondok, ada sebuah taman yang penuh
bunga indah dan amat menyedapkan pandang mata.
Tentu saja
Sian Li dan Yo Han tertegun sejenak dan saling pandang. Sungguh di luar dugaan
mereka bahwa di tempat sunyi itu terdapat pondok tempat tinggal orang! Siapa
orangnya yang tinggal di tempat sunyi seperti ini? Tentu hanya pertapa atau
pendeta yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai.
Pada waktu
dengan ragu-ragu mereka memasuki pelataran rumah itu yang merupakan sebuah
taman dikelilingi pagar bambu, tiba-tiba terdengar bentakan halus suara wanita,
"Berhenti! Siapa kalian yang berani lancang memasuki pekarangan rumah
orang tanpa diundang?!"
Yo Han dan
Sian Li berhenti, lalu memandang ke arah suara yang keluar dari pinggir pondok.
Ketika pemilik suara muncul, mereka memandang heran.
Wanita itu
berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak cantik dan manis.
Pakaiannya sederhana namun bersih dan ringkas. Tubuhnya masih padat dan tegak,
sikapnya gagah. Sebatang pedang yang tergantung di pinggang menunjukkan bahwa
wanita ini seorang ahli silat yang tidak lemah. Rambut panjang yang sudah
dihias uban itu digelung ke atas, dengan hiasan tusuk sanggul dari perak
berbentuk bunga seruni.
Wanita itu
dengan alis berkerut dan sinar mata tajam menyelidik, mengamati Yo Han dan Sian
Li. Juga ia merasa heran melihat bahwa tamu-tamu yang tidak diundangnya itu
seorang pemuda tampan bermata tajam mencorong, dan seorang gadis yang jelita.
Sian Li yang
lincah jenaka itu sudah dapat menguasai keheranannya. Ia pun tersenyum manis.
"Aih,
Bibi ini manusia ataukah peri? Bibi kelihatan seperti seorang wanita setengah
tua yang cantik dan gagah, agaknya memang seorang manusia dari darah daging.
Akan tetapi kalau manusia, kenapa hidup di puncak bukit yang amat sepi ini
seorang diri?"
Wanita itu
terbelalak dan matanya bersinar marah. "Kau bocah lancang mulut!"
Wanita itu
menggerakkan lengan bajunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat dan melayang
ke depan Sian Li. Gerakannya demikian ringan, seperti terbang saja. Begitu tiba
di depan Sian Li, dia menggerakkan tangan menampar ke arah pundak gadis itu.
Tamparannya
nampak lembut dan tidak mengandung tenaga, akan tetapi ada angin yang dingin
menyambar ke arah pundak SianLi. Gadis ini terkejut, mengenal pukulan yang
mengandung sinkang (tenaga sakti) dingin. Cepat ia pun mengelak dan sambaran
tangan wanita itu luput.
Kini tangan
kanan wanita itu menyambar dan kembali tangan itu menampar ke arah pundak kiri
Sian Li. Kalau tadi tangan kiri wanita itu mendatangkan angin yang dingin
sekali, sekarang tangan kanannya yang menyambar itu membawa angin pukulan yang
amat panas sehingga telapak tangan itu beruap! Kembali Sian Li terkejut dan
cepat ia menggeser kaki, menarik diri kebelakang sehingga pukulan kedua itu pun
luput.
"Ehhh...?!"
Wanita itu
nampak amat terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja
yang lancang mulut itu mampu menghindarkan diri dari dua tamparannya yang
hebat! Ia merasa penasaran dan siap untuk menyerang sungguh-sungguh, akan
tetapi pada saat itu terdengar suara mencegahnya.
"Ibu,
harap jangan pukul orang...!"
Wanita
setengah tua itu terkejut dan membalikkan tubuh, dan ketika ia melihat seorang
pemuda keluar dari pintu pondok, ia cepat mengangkat kedua tangannya ke atas
dan memandang penuh kekhawatiran.
"Ciang
Hun, mengapa engkau bangun? Seharusnya engkau melanjutkan pengobatan dengan
menghimpun hawa murni agar engkau sembuh benar!"
Pemuda itu
tersenyum, "Ibu, aku sudah sembuh."
Mendengar
ini, wanita itu berlari menghampiri dan langsung merangkul pundak pemuda itu
dengan pandang mata yang membuat Sian Li terharu. Pandang mata wanita itu
terhadap puteranya sungguh penuh kasih sayang mendalam! Wanita itu seorang ibu
yang teramat besar kasih sayangnya kepada puteranya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment