Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 12
MELIHAT
keadaan Si Bangau Merah itu, Hui Eng bertanya kepada Cu Kim Giok dengan suara
yang tegas.
"Cu Kim
Giok, katakan terus terang, demi nama baik nenek moyangmu yang terkenal sebagai
pendekar-pendekar besar Lembah Naga Siluman, apa engkau melihat sendiri
kematian Yo Han itu?"
Kini Cu Kim
Giok memandang kepada Hui Eng dengan alis berkerut, "Hemmm, tidak perlu
aku menjawab pertanyaanmu. Engkau sendiri adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang
pernah mengacau dan memusuhi keluarga besar kami, bahkan kemudian menurut
ayahmu, engkau menjadi seorang pengkhianat dan anak yang durhaka. Aku mau
bicara dengan Tan Sian Li, bukan denganmu!"
"Kim
Giok, engkau tidak tahu dengan siapa engkau bicara. Ketahuilah bahwa enci Eng
ini adalah Sim Hui Eng, puteri Paman Sim Houw yang hilang itu dan sekarang dia
telah mengetahui siapa dirinya."
"Ahhh...!
" Cu Kim Giok terkejut. "Kalau... kalau begitu, kalian berdua harus
mau bekerja sama, aku tidak ingin melihat kalian celaka. Aku mohon kepada
kalian, terimalah uluran tangan Ouw Pangcu untuk bekerja sama dan berjuang,
atau setidaknya, kalian jangan memusuhi kami. Kalau kalian berdua mau berjanji
di depan pangcu, maka aku yang akan menanggung..."
"Sudahlah,
Kim Giok. Sebaiknya kau jawab saja pertanyaan enci Hui Eng tadi. Apakah engkau
melihat sendiri tewasnya Han-koko di sumur tua itu?" tanya Sian Li tak
sabar.
"Pada
saat Yo Han datang, aku memang melihatnya, bahkan kami berkenalan. Dia pun
bicara dengan baik-baik kepada Ouw-pangcu, kemudian dia bicara empat mata
dengan Ouw-pangcu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tahu-tahu aku
mendapatkan Ouw-pangcu sudah terluka parah terkena pukulan di dadanya,
sedangkan para anggota Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sumur
tua. Barulah aku tahu bahwa Ouw-pangcu hampir dibunuh oleh Yo Han dan karena
bantuan para anak buah, Yo Han dapat didesak dan terjerumus ke dalam sumur.
Para anggota Thian-li-pang menimbuni sumur itu dengan batu karena maklum bahwa
kalau Yo Han dapat keluar, tentu akan mengamuk dan semua orang dibunuhi."
Keterangan
bahwa Kim Giok tidak melihat sendiri kematian Yo Han, membuat hati Sian Li
merasa lega kembali. Ia tetap tidak percaya bahwa Yo Han telah tewas. Lebih
tidak percaya lagi bahwa Yo Han telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan
berusaha membunuh Ouw Seng Bu. Ia mengenal pria yang dikasihinya itu.
Yo Han tidak
mau membunuh orang, apa lagi para pimpinan Thian-li-pang di mana dia menjadi
ketua kehormatan. Tidak masuk di akal semua berita itu, walau pun ia percaya
bahwa puteri Lembah Naga Siluman ini tidak bohong. Tentu gadis ini telah
dipengaruhi Ouw Seng Bu dan tertipu!
Pada saat
itu ada dua orang pengawal masuk dan berkata kepada Cu Kim Giok dengan sikap
hormat, "Nona, pangcu minta agar Nona suka menemuinya di ruangan
dalam."
Sikap dan
ucapan penjaga itu saja sudah membuktikan bahwa ketua baru Thian-li-pang amat
menghormati gadis itu. Ia bukan dipanggil, melainkan diminta!
Cu Kim Giok
menoleh kepada dua orang gadis tawanan, kemudian pergi meninggalkan tempat
tahanan itu, diikuti dua orang penjaga dengan sikap hormat. Setibanya di ruang
dalam, Ouw Seng Bu sudah menyambutnya dan kedua orang penjaga itu pun segera
mengundurkan diri.
"Ada
urusan apakah, Bu-Ko?" tanya Kim Giok.
"Giok-moi,
ada lagi orang-orang yang menyelidiki tempat kita tetapi kini mereka telah
tertangkap."
"Siapakah
mereka?" Kim Giok mengerutkan alisnya.
Di dalam
hatinya ia merasa tidak setuju kalau Thian-li-pang menangkapi orang, apa lagi
kalau mereka yang ditawan itu tokoh-tokoh pendekar seperti Sian Li dan Hui Eng.
Kalau sampai Thian-li-pang memusuhi para pendekar dan perkumpulan para pendekar
dunia persilatan, hal itu sungguh tidak baik dan tidak benar. Seluruh
keluarganya tentu akan marah dan menyalahkan dia membantu perkumpulan yang
memusuhi dunia persilatan dan menawan para pendekar.
"Lima
di antara mereka adalah para tosu Bu-tong-pai yang tempo hari, dan dua yang
lain adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Bagaimana dengan hasil
pembicaraan dengan Si Bangau Merah dan puteri Paman Siangkoan Kok tadi?"
Kim Giok
mengerutkan alisnya. "Mereka masih belum mau berbaik, dan puteri Paman Siangkoan
Kok itu ternyata adalah puterinya Paman Sim Houw yang dulu hilang dicullik
orang ketika masih kecil. Hal ini menambah gawat keadaan, Koko, karena Paman
Sim Houw adalah Pendekar Suling Naga yang sakti, pendekar besar dan tokoh di
Lok-yang. Kalau ayah Sian Li, Pendekar Bangau putih dan Pendekar Suling Naga
mengetahui puteri mereka ditawan di sini, lalu memusuhi kita, sungguh amat
berbahaya bagimu, Koko. Lalu siapa pula dua orang pemuda dan gadis yang
tertawan bersama lima orang tosu Bu-tong-pai itu?"
Ouw Seng Bu
kelihatan muram dan berduka. "Giok-moi, sesungguhnya engkau sendiri pun
tahu bahwa aku tidak pernah mencari perkara dan tidak pernah memusuhi mereka.
Adalah mereka sendiri yang datang memusuhi Thian-li-pang. Aku pun merasa heran
mengapa para pendekar itu tidak mau menyadari dan mereka bahkan berpihak kepada
kerajaan Mancu, penjajah yang mencengkeram tanah air dan bangsa? Nah, cobalah
engkau temui dua orang muda itu dan syukur kalau dapat membujuk mereka dan lima
orang tosu itu, menyadarkan mereka akan pentingnya persatuan antara kita untuk
dapat membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah."
Kim Giok
merasa lemas karena pekerjaan membujuk ini merupakan pekerjaan yang sangat
berat baginya. Akan tetapi, ia yakin bahwa kekasihnya benar, maka ia pun siap
untuk membelanya.
Bagaimana
lima orang Bu-tong-pai dan dua orang muda itu dapat tertawan? Seperti kita
ketahui, Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu itu mendaki Bukit Naga
untuk melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang karena dicurigai
kebersihannya. Mereka tidak menyadari bahwa gerak-gerik mereka telah diikuti
oleh para anggota Thian-li-pang. Seorang di antara para anggota itu melapor
kepada Seng Bu yang segera ditemani Siangkoan Kok, Im Yang Ji dan Kui Thiancu,
juga beberapa orang tokoh sesat lain yang telah bergabung, menyambut rombongan
yang mendaki bukit itu.
Sebelum
sampai di perkampungan Thian-li-pang, Gak Ciang Hun dan kawan-kawannya secara
tiba-tiba saja sudah dikepung oleh puluhan orang Thian-li-pang sehingga mereka
berhadapan dengan Ouw Seng Bu dan kawan-kawannya.
Dengan sikap
hormat Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat kepada lima orang tosu dan dua
orang muda itu. "Selamat pagi Ngo-wi Totiang dan kalian berdua sobat muda.
Tidak tahu, entah angin baik apa yang meniup kalian datang ke sini. Kami harap
saja Ngo-wi Totiang sudah menyadari bahwa akhirnya kita semua, tanpa peduli
dari golongan apa, mempunyai tekad yang sama, yaitu bersatu padu menghadapi
penjajah Mancu dan mengusir mereka dari tanah air kita."
Thian Tocu,
tokoh Bu-tong-pai yang menjadi pemimpin rombongan tokoh Bu-tong-pai yang lima
orang itu, membalas penghormatan Ouw Seng Bu dan berkata dengan sikap dan suara
yang amat dingin, "Ouw-pangcu, kami berlima datang kembali bukan dengan
maksud untuk menyerah, walau pun kami mengakui bahwa kami sudah kau kalahkan
dalam pertandingan. Kami bertemu dengan dua orang sahabat muda ini dan kami
ingin menemani mereka untuk berkunjung ke Thian-li-pang. Ketahuilah bahwa
saudara muda ini adalah saudara Gak Ciang Hun, putera dari mendiang Beng-san
Siang-eng, dan ini adalah nona Gan Bi Kim."
"Ahhh,
kiranya Gak-enghiong yang datang berkunjung. Kami dari Thian-li-pang merasa
mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Gak-enghiong dan nona Bi Kim.
Kami memang sedang menghimpun tenaga dari seluruh penjuru tanah air untuk
segera mengadakan persiapan menyerang penjajah Mancu dan mengusirnya. Kami
mendengar bahwa keluarga Gak dari Beng-san adalah pendekar-pendekar dan
pahlawan-pahlawan besar dan gagah yang tentu saja akan suka bekerja sama dengan
kami untuk mengusir penjajah Mancu."
Gak Ciang
Hun sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai betapa cerdik dan liciknya ketua
baru Thian-li-pang itu. Kini begitu bertemu, ketua itu ternyata telah
menunjukkan dua macam kelihaiannya.
Pertama, dia
serombongannya mendadak saja sudah dikepung, ini berarti bahwa sejak mendaki
bukit, mereka telah diketahui dan dibayangi. Dan ke dua, begitu bertemu, ketua
itu sudah bersikap demikian ramah dan hormat sehingga dia sendiri andai kata
belum mendengar dari para tosu, tentu akan terpikat hatinya oleh keramahan
pemuda tampan itu.
Akan tetapi
karena sebelumnya dia sudah mendengar bahwa pemuda ini seorang yang palsu dan
dikabarkan telah membunuh Yo Han, dia pun menyambut dingin saja.
"Pangcu,
kami sengaja datang ke Thian-li-pang dengan tujuan untuk mencari nona Tan Sian
Li. Apakah ia berada di sini?"
"Ahh,
apakah kau maksudkan Si Bangau Merah? Benar, ia berada di sini, menjadi tamu
kehormatan kami. Ia sudah menyatakan setuju untuk membantu kami, untuk bekerja
sama menentang penjajah Mancu. Kalau Gak-enghiong ingin bertemu dengannya,
mari, silakan masuk ke perkampungan kami!" kata Seng Bu dengan wajah cerah
berseri.
Mendengar
jawaban ini, Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tercengang. Jawaban yang tidak mereka
sangka-sangka sama sekali dan mereka berdua sudah merasa gembira. Akan tetapi,
Thian Tocu, tosu Bu-tong-pai itu sudah berkata dengan suara lantang.
"Ouw-pangcu,
tidak perlu engkau membohongi Gan-taihiap dan kami. Kami sama sekali tidak
percaya bahwa nona Tan Sian Li mau bekerja sama denganmu. Kami pun sudah
berjumpa dengannya dan mendengar bahwa engkau telah membunuh Sin-ciang Taihiap
Yo Han, bagaimana mungkin ia mau bekerja sama denganmu? Kalau kau mengatakan
bahwa engkau telah menjebaknya dan menawannya, kami akan lebih percaya!"
Wajah Seng
Bu berubah merah dan matanya kini mencorong memandang kepada tosu Bu-tong-pai
itu. Dia merasa heran bagaimana tosu ini dapat sembuh demikian cepatnya,
padahal dia tahu benar bahwa tosu ini sudah terkena tangan beracun sehingga
terluka parah.
"Totiang,
kalau pihakmu hendak menjadi antek penjajah Mancu dan tidak mau bekerja sama
dengan kami para pejuang patriot bangsa, itu urusanmu. Akan tetapi tidak perlu
banyak mulut di sini. Kami pernah mengampuni kalian dan membiarkan kalian
pergi. Apakah kini kalian minta mati?"
Perubahan
sikap ketua Thian-li-pang ini membuat Gak Ciang Hun yang tadinya tertarik,
menjadi terkejut dan tidak senang. Sikap ketua Thian-li-pang itu sangatlah
aneh. Baru saja wajahnya nampak tampan dan ramah ceria, akan tetapi sekarang
kelihatan begitu bengis, dingin dan sadis. Bahkan sepasang matanya yang
mencorong itu mengandung nafsu membunuh yang mengerikan.
"Ouw-pangcu,
agaknya membunuh merupakan pekerjaan biasa bagimu dan mungkin menjadi
kegemaranmu. Kalau memang engkau merasa sebagai seorang yang gagah, jangan
menyangkal perbuatanmu sendiri dan akui sajalah apa yang telah terjadi dengan
nona Tan Sian Li. Kecuali jika engkau memang pengecut, tidak berani
mempertanggung jawabkan perbuatanmu..."
"Tutup
mulutmu, tosu jahanam!" Seng Bu membentak.
Seng Bu
sudah menggerakkan tangannya. Dia menampar ke arah Thian Tocu sambil
mengerahkan ilmunya yang sangat dahsyat. Hawa beracun yang amat kuat menyambar
ke arah tosu Bu-tong-pai itu.
Melihat hal
ini, Gak Ciang Hun yang mengenal pukulan ampuh, meloncat ke depan dan menangkis
dari samping untuk menolong tosu itu.
"Dukkk...!"
Mendapat
tangkisan ini, Seng Bu mengeluarkan seruan kaget. Dia mundur dua langkah, akan
tetapi Gak Ciang Hun lebih terkejut lagi karena dia sempat terhuyung! Padahal,
putera pendekar kembar Gak ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, sebab
pernah menerima pemindahan tenaga sinkang dari kakeknya, mendiang Bun-beng
Lo-jin Gak Bun Beng! Tetapi, ketika menangkis, dia merasa betapa dari tangan
ketua Thian-li-pang itu menyambar hawa dingin yang aneh sekali, yang membuat
dia sampai terhuyung.
"Pangcu
dari Thian-li-pang, kalau memang ucapan Thian Tocu Totiang tadi tidak benar,
engkau berhak menyangkal, akan tetapi jika benar, memang sudah sepatutnya
engkau berterus terang, bukan malah lalu menyerang seperti yang kau lakukan
tadi!" Ciang Hun menegur.
Senyum iblis
muncul di mulut Ouw Seng Bu. "He-he-he, kami hendak menerima kalian
sebagai sahabat, akan tetapi kalau kalian menghendaki kekerasan baiklah.
Seperti yang kami lakukan terhadap Si Bangau Merah, kami menawarkan
persahabatan dan kerja sama, akan tetapi kalau kalian menolak dan bersikap
memusuhi kami, terpaksa kami harus menawan kalian seperti yang telah kami
lakukan terhadap Si Bangau Merah!"
Mendengar
ini, Ciang Hun lalu mengerutkan alisnya. "Pangcu, kami tidak menghendaki
persahabatan, juga tidak mencari permusuhan. Akan tetapi bila engkau telah
menawan nona Tan Sian Li, kami menuntut agar engkau suka membebaskannya
sekarang juga.”
"Heh-heh-heh,
bagaimana kalau kami tidak mau membebaskannya?"
"Ouw
Seng Bu, kalau engkau tidak mau membebaskan Tan Lihiap, kami akan mengadu nyawa
denganmu!" bentak Thian Tocu marah. Lima orang tosu Bu-tong-pai itu sudah
mencabut pedang mereka masing-masing, siap bertanding mati-matian untuk
menolong Si Bangau Merah.
"Ouw-pangcu,
kami harap engkau suka membebaskan nona Tan Sian Li, supaya kami tidak harus
menggunakan kekerasan."
Siangkoan
Kok yang sejak tadi mendengarkan saja, kini menjadi tidak sabar. "Pangcu,
serahkan saja kepadaku untuk menelikung pemuda sombong ini!"
"Dan
lima orang tosu Bu-tong-pai ini serahkan kepada kami!" kata Kui Thiancu
dan Im Yang Ji.
Ouw Seng Bu
mengangguk dan para pembantunya itu segera bergerak menyerang.
Lima orang
tosu Bu-tong-pai, Ciang Hun beserta Bi Kim menggerakkan senjata mereka
menyambut dan terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Baru tiga orang
pembantu Seng Bu itu saja, bekas ketua Pao-beng-pai, wakil Pek-lian-kauw dan
wakil Pat-kwa-pai sudah merupakan lawan berat bagi lima orang tosu. Sementara
itu masih banyak pula anggota Thian-li-pang tingkat tinggi yang melakukan
pengeroyokan.
Akan tetapi,
bagaimana pun juga Gak Ciang Hun adalah keturunan pendekar sakti. Permainan
pedangnya mantap dan kuat, tenaga sinkang-nya pun mampu menandingi lawan yang
bagaimana pun sehingga Siangkoan Kok yang menandinginya, tidak dapat
mendesaknya dengan cepat.
Gan Bi Kim
juga terdesak hebat oleh Kui Thiancu yang mengejeknya, sedangkan lima orang
tosu kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Thian-li-pang.
Melihat
betapa Siangkoan Kok belum juga mampu menundukkan Ciang Hun, Seng Bu menjadi
tidak sabar lagi. Dia tahu bahwa bekas ketua Pao-beng-pai itu cukup tangguh dan
tidak akan kalah, akan tetapi dia tidak ingin perkelahian itu berlangsung
terlalu lama.
Kalau sampai
Kim Giok mengetahui, gadis itu tentu akan merasa tidak senang. Juga, tidak baik
kalau mereka ini sampai terbunuh. Kalau dia dapat membujuk orang-orang yang
lihai itu untuk bersekutu dengannya, hal itu akan amat menguntungkan dan akan
memperkuat kedudukannya.
Maka ia pun
segera meloncat ke depan dan menyerang Gak Ciang Hun dengan totokan jari
tangannya, menggunakan ilmunya yang aneh, akan tetapi dia membatasi tenaganya
agar jangan sampai melukai berat atau membunuh pemuda itu.
Dengan
lengking yang aneh menyeramkan, Seng Bu menyerang dan Ciang Hun yang menghadapi
Siangkoan Kok saja sudah merasa sibuk karena ilmu kepandaian kakek tinggi besar
itu memang hebat, kini merasa ada sambaran angin dingin dari samping. Dia
mengelak ke kiri dan pada saat itu, Siangkoan Kok menyerangnya dengan pedang,
dibarengi pula dengan tamparan tangan kiri. Ciang Hun menangkis pedang lawan,
lalu memutar tubuh dan menyambut tamparan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya
pula.
"Trang...
plakkk!"
Kedua tangan
itu bertemu dan melekat dan pada saat itu, totokan kedua yang dilakukan Seng Bu
tiba. Ciang Hun tak mampu menghindar lagi dan dia pun roboh lemas terkena
totokan ampuh jari tangan Seng Bu.
"Tangkap
mereka, jangan bunuh!" teriaknya dan teriakan Seng Bu ini menolong.
Gan Bi Kim
yang sudah terdesak, juga lima orang tosu itu, akhirnya roboh. Hanya lima orang
tosu itu yang luka-luka, namun bukan luka yang terlalu parah. Sedangkan Gan Bi
Kim juga roboh terkena totokan Im Yang Ji.
Demikianlah,
lima orang tosu Bu-tong-pai, Ciang Hun, dan Bi Kim lantas tertawan oleh
Thian-li-pang. Mereka dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang cukup
lebar, tidak dirantai seperti halnya Sian Li dan Hui Eng. Akan tetapi kamar
tahanan itu berjeruji tebal dan kokoh kuat, sedangkan di depannya terdapat
penjagaan yang ketat terdiri dari belasan orang anak buah Thian-li-pang…..
**************
Ketika Cu
Kim Giok berdiri di depan jeruji kamar tahanan itu dan melihat Ciang Hun,
wajahnya berubah agak pucat dan matanya terbelalak. Dia tidak begitu peduli
melihat lima tosu Bu-tong-pai, juga ia tidak mengenal gadis cantik yang ikut
tertawan di kamar itu. Akan tetapi ia segera mengenal Gak Ciang Hun yang pernah
dijumpainya di dalam pesta pertemuan keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng
Liong.
"Kau...?!"
serunya kaget. "Bukankah engkau... saudara Gak Ciang Hun...?"
Ciang Hun
hanya memandang dingin. Dia sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai tentang
gadis itu.
"Hemmm...
dan engkau Cu Kim Giok, puteri paman Cu Kun Tek dan bibi Pouw Li Sian dari
Lembah Naga Biluman. Sungguh mengherankan sekali melihat engkau ada di sini dan
menjadi kaki tangan seorang yang sangat jahat seperti Ouw Seng Bu, pangcu baru
dari Thian-li-pang."
Wajah Kim
Giok berubah kemerahan.
"Gak-twako!"
serunya dengan nada protes. "Agaknya engkau pun telah dipengaruhi lima
orang tosu yang sombong ini. Ouw Seng Bu bukanlah seorang jahat. Dia adalah
ketua Thian-li-pang yang berjiwa pahlawan dan bertekad untuk mengusir penjajah
Mancu dari tanah air!"
"Pahlawan
yang bergaul dengan para penjahat dan golongan sesat dari Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-pai? Bukan orang jahat akan tetapi membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han,
membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, bahkan menawan Tan Sian Li? Dan engkau
masih mengatakan dia tidak jahat?"
"Gak-twako,
engkau salah mengerti! Yang membunuh para pimpinan Thian-li-pang ialah Yo Han,
bahkan ia pun hendak membunuh Ouw-pangcu. Ada pun Tan Sian Li terpaksa ditawan
karena ia hendak membunuh Ouw-pangcu dan mengamuk. Juga Ouw-pangcu yang hampir
dibunuh Yo Han sampai terluka parah, dan Yo Han terjerumus ke dalam sumur tua
karena dikeroyok oleh para anggota Thian-li-pang yang membela ketuanya. Dan
tentang pergaulan dengan para tokoh kang-ouw, hal ini adalah karena kita semua
harus bersatu padu menghimpun kekuatan untuk menentang penjajah Mancu! Kalau
tidak bersatu dengan semua golongan, bagaimana mungkin penjajah Mancu bisa
diusir dari tanah air? Harap engkau dapat memaklumi, Gak-twako. Aku berharap
sekali kalau engkau, enci ini, dan para tosu Bu-tong-pai suka bekerja sama
dengan kami, berjuang bahu-membahu menentang penjajah Mancu."
"Cukuplah.
Kami tahu bahwa engkau telah terbius oleh racun yang diberikan Ouw Seng Bu
kepadamu sehingga engkau tidak lagi dapat melihat kenyataan, engkau tidak dapat
lagi membedakan yang benar dan yang salah," kata Ciang Hun marah.
"Sudahlah,
Nona, pergilah dan jangan ganggu kami. Bujuk rayumu itu tak ada gunanya. Kami
hanya merasa menyesal sekali bahwa seorang gadis keturunan keluarga Lembah Naga
Siluman seperti Nona ini sampai dapat ditipu dan dibius oleh seorang penjahat
gila seperti Ouw Seng Bu!" kata Thian Tocu.
Kim Giok tak
dapat menahan lagi mendengar semua itu. Ia membalikkan tubuhnya dan
meninggalkan tempat itu, wajahnya merah dan kedua matanya terasa panas menahan
tangis. Ia merasa amat bingung melihat betapa kekasihnya mempunyai semakin
banyak musuh dari golongan para pendekar, dan hal ini amat merisaukan hatinya.
Setelah
memasuki kamarnya sendiri, Kim Giok tidak dapat lagi menahan tangisnya. Dia
menelungkup di atas pembaringannya dan menangis. Terjadi perang di dalam
batinnya. Mau tidak mau ia mempunyai kecondongan untuk membela dan mempercayai
Sian Li, Hui Eng dan juga Ciang Hun.
Akan tetapi
perasaan ini segera ditentang oleh cinta dan kepercayaannya kepada Seng Bu.
Seng Bu begitu baik kepadanya, begitu mencintanya dan menurut pendapatnya,
kekasihnya itu seorang yang gagah perkasa dan bijaksana. Kim Giok merasa bahwa
kekasihnya tidak salah, bahkan mendatangkan harapan besar bagi nusa bangsa
untuk mengusir penjajah dari tanah air.
Sementara
itu, Sian Li dan Hui Eng sudah menghentikan siu-lian mereka dan merasa tubuh
mereka amat segar dan penuh kekuatan. Akan tetapi Hui Eng melihat kemuraman
membayang di wajah Sian Li yang cantik. Dia tahu bahwa Si Bangau Merah itu
tentu memikirkan Yo Han, maka ia pun menghibur.
"Adik
Sian Li, tenangkan hatimu. Tidak baik dalam keadaan seperti ini membiarkan diri
dicekam kerisauan, membuat kita menjadi lemah," katanya lirih.
Sian Li
mengangkat muka memandang wajah Hui Eng, lalu menghela napas panjang.
"Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi aku tidak pernah mampu melupakan
Han-koko. Membayangkan ia berada di dalam sumur yang ditimbuni batu... ahh,
bagaimana hatiku takkan risau?"
"Kerisauan
hatimu ini tidak akan menolong apa-apa, adik Sian Li, tidak ada manfaatnya sama
sekali. Jangan biarkan hatimu ditekan kerisauan yang menegangkan dan percaya
sajalah bahwa Tuhan tentu akan selalu menolong orang yang baik dan benar. Dan
aku yakin bahwa Yo Han adalah orang yang berada di pihak yang benar. Kalau
Tuhan tidak menghendaki dia mati, biar pun dia benar-benar berada di dalam
sumur itu, aku yakin dia tidak akan mati. Yang penting sekarang memikirkan
bagaimana kita dapat lolos dari sini dan melanjutkan penyelidikan kita tentang
Yo-twako itu."
"Akan
tetapi bagaimana mungkin itu dilakukan, enci Eng? Kita dapat mematahkan rantai
yang mengikat kaki tangan kita, akan tetapi kita tidak akan dapat membuka pintu
besi dan beruji itu, terlalu kuat. Selain itu, para penjaga di luar tentu akan
berteriak-teriak dan kalau Ouw Seng Bu datang bersama pera pembantunya, mereka
itu terlalu banyak dan terlalu kuat bagi kita."
"Tenangkan
hatimu, adik Sian Li. Aku masih memiliki harapan. Lupakah engkau kepada kanda
Cia Sun?" kata Hui Eng dan kedua pipinya menjadi kemerahan ketika ia
teringat kepada pangeran yang menjadi kekasihnya dan kini menjadi tumpuan
harapannya itu.
"Ahh,
engkau benar, enci Eng. Melihat bahwa sampai sekarang Pangeran Cia Sun tidak
nampak tertawan musuh, hal itu berarti bahwa dia masih bebas. Dan tidak mungkin
Pangeran Cia Sun akan membiarkan saja gadis yang paling dicintanya di seluruh
dunia tertawan musuh. Dia pasti berusaha untuk membebaskanmu, enci Eng."
"Ihhh!
Bukan hanya aku, akan tetapi engkau juga pasti akan dia usahakan agar dapat
bebas."
"Akan
tetapi, enci Eng. Bagaimana pun juga, kita mengetahui bahwa dalam hal ilmu
silat, pangeran tidaklah lebih lihai dari pada engkau atau aku. Bagaimana
mungkin dia dapat mengatasi Ouw Seng Bu dan para pembantunya yang lihai, juga
anak buahnya yang cukup banyak?"
"Kukira
dia tidak sebodoh itu, hanya mengandalkan tenaganya sendiri. Bagaimana pun juga
dia seorang pangeran dan tentu tak akan sulit baginya untuk mendapatkan bantuan
pasukan yang terdekat, bukan? Kalau dia mengerahkan pasukan yang besar, tentu
gerombolan penjahat yang berkedok pejuang ini dapat dibasmi."
"Engkau
benar, enci Eng. Akan tetapi, bayangan itu sungguh tidak mengenakkan hatiku.
Kalau pasukan pemerintah yang datang menolong, bukankah itu sama artinya dengan
kita berpihak kepada penjajah?”
"Adik
Sian Li, kita harus dapat melihat kenyataan dan dapat mempertimbangkan dengan
adil. Jika Thian-li-pang merupakan kelompok pejuang, golongan pendekar yang
berjiwa patriot, apakah kita sampai menentang mereka dan menjadi tawanan
mereka? Ingatlah bahwa kalau pasukan pemerintah benar-benar dikerahkan oleh
pangeran Cia Sun untuk menggempur Thian-li-pang, yang digempur adalah
gerombolan penjahat, bukan sebuah perkumpulan pejuang sejati." Ia berhenti
sebentar, lalu melanjutkan penuh keyakinan.
"Aku
mengenal baik Pangeran Cia Sun. Harus aku akui bahwa dia seorang pangeran
Mancu, akan tetapi dia tidak berjiwa penjajah, bahkan dia menghormati para
pejuang dan tidak akan mencampuri urusan pemberontakan para pejuang. Kalau
tidak begitu, bagaimana mungkin dia sampai menjadi adik angkat Sin-ciang Taihiap
Yo Han?"
Sian Li
tersenyum. Tentu saja gadis itu akan membela mati-matian Pangeran Cia Sun,
kekasihnya, tunangan dan calon suaminya pula. Akan tetapi, pembelaan itu pun
bukan hanya ngawur dan ia tak dapat membantah kebenaran apa yang diucapan Hui
Eng.
"Mudah-mudahan
Pangeran Cia Sun cepat muncul dengan bala bantuannya, enci Eng. Aku ingin
cepat-cepat bebas dan mencari Han-ko. Kalau perlu, akan kubongkar dengan
tanganku sendiri batu-batu yang menimbuni sumur tua itu."
Mereka
menerima suguhan makan malam yang dimasukkan melalui lubang antara jeruji baja.
Ternyata Ouw Seng Bu tetap memperlakukan mereka dengan baiknya. Hidangan yang
disuguhkan cukup mewah, bahkan ada pula minuman anggur segar.
Mereka
berdua tidak menolak dan makan sampai kenyang untuk menjaga kondisi tubuh
mereka, kemudian mereka bersemedhi lagi mengumpulkan kekuatan agar selalu siap
menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam mereka pun bisa menduga bahwa berkat
adanya Cu Kim Giok di situ, maka agaknya Ouw Seng Bu bersikap lunak pada
mereka.
Menyerah
dengan penuh kepasrahan, penuh kepercayaan akan kekuasaan Tuhan, dan berdaya
upaya sekuat tenaga dan kemampuan yang ada merupakan dua persyaratan hidup yang
tidak boleh dipisahkan dan tidak boleh pula diabaikan kita. Hanya menyerah saja
tanpa berupaya, atau hanya berupaya saja tanpa penyerahan dengan keimanan
kepada Tuhan, tidaklah lengkap dan tidak pula benar.
Kita hidup
sebagai makhluk hasil ciptaan Tuhan yang sempurna dan lengkap. Semua
perlengkapan yang ada pada kita ini memang diikut sertakan kita agar bisa kita
gunakan untuk keperluan hidup. Panca indera kita, tangan kaki kita, hati akal
pikiran, semua itu merupakan perlengkapan sempurna yang sudah sepatutnya kita
gunakan, kita kerjakan demi kelangsungan hidup ini, demi kesejahteraan, demi
kebahagiaan hidup.
Namun, di
samping daya upaya ini, kita harus yakin sepenuhnya bahwa segala sesuatu baru
dapat terjadi kalau ditentukan oleh kekuasaan Tuhan! Menyerah saja tanpa usaha,
sama saja dengan mempersekutu Tuhan. Kalau perut kita lapar, kita harus makan
dan untuk bisa makan kita harus mencari makanan itu. Hanya menyerah saja tanpa
makan, tidak mungkin kita terbebas dari rasa lapar.
Akan tetapi,
mencari makanan saja tanpa penyerahan kepada Tuhan, kita dapat dibawa
menyeleweng oleh nafsu sehingga kita mudah melakukan penyelewengan, misalnya
mengambil kebutuhan kita itu dari orang lain, mencuri, merampok dan sebagainya.
Maka, kedua
syarat itu tidak bisa terpisahkan, yaitu, pada lahirnya kita berusaha sekuat
kemampuan kita, pada batinnya kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Kalau sudah
begini, lengkaplah sudah. Berhasil atau tidaknya usaha kita, kita serahkan
kepada Tuhan. Yang paling penting, kita berusaha sekuat kemampuan kita!
Kalau sudah
begini, berhasil atau gagal tidak membuat kita terlalu mabuk atau terlalu
kecewa, karena kita maklum sepenuhnya bahwa segala kehendak Tuhan pun jadilah!
Kita hanya dapat bersyukur akan kekuasaan Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui, tahu apa yang terbaik bagi kita.
Mungkin
dalam suatu kenyataan yang bagi hati akal pikiran kita merupakan kegagalan,
tersembunyi suatu hikmah, tersembunyi suatu berkah demi kebaikan kita. Dalam
hidup kita ini, alangkah banyaknya berkah Tuhan bersembunyi di balik pengalaman
yang kita anggap menguntungkan atau tidak menyenangkan.
Demikian
pula dengan Yo Han. Meski menurut hati akal pikiran ia tertimpa mala petaka,
terkubur hidup-hidup di dalam sumur tua, suatu hal yang amat tidak
menyenangkan, juga yang mengancam keselamatan nyawanya, namun pemuda ini sama
sekali tidak tenggelam ke dalam keputus asaan, tidak terseret ke dalam
kedukaan.
Kekuatan
seperti ini dapat kita miliki, yaitu kalau kita memiliki kepasrahan dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan, dengan iman yang sepenuhnya, sehingga kita
sepenuhnya percaya bahwa apa pun yang terjadi, tidak lepas dari kehendak Tuhan!
Yo Han
terbebas dari kematian akibat tertimbun atau tertimpa batu. Kemudian, dia pun
terbebas pula dari bahaya kelaparan ketika dia berhasil menemukan jamur yang
dapat dimakan. Kini, dia berusaha sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar
tanpa sedikit pun pernah mengurangi penyerahannya kepada Tuhan. Dan andai kata
Tuhan menghendaki bahwa dia akan tewas, dia sudah siap setiap saat.
Dengan amat
giat dan tekun, Yo Han terus mencari jalan keluar dengan cara menggali
lubang-lubang yang sempit, mencari jalan menuju keluar. Sebuah demi sebuah batu
dia lepaskan, kemudian melanjutkan gerakannya merayap dalam lubang terowongan
yang kecil sempit itu. Setiap hari, bahkan dalam gelap pun dia bekerja, hanya
berhenti kalau dia memerlukan istirahat untuk menghimpun tenaga baru atau bila
dia benar-benar telah lapar dan mengantuk.
Akhirnya,
pada suatu siang, ketekunan yang penuh penyerahan itu mendatangkan hasil yang
sama sekali di luar dugaannya. Ada sinar terang di depan. Dia merayap terus,
menyingkirkan batu-batu penghalang lubang sempit itu dan akhirnya, ternyata
lubang terakhir yang merupakan lorong amat panjang itu membawa dia muncul di
tepi sebuah tebing jurang, di lereng bukit!
"Terima
kasih, Tuhan!"
Yo Han
berlutut, dengan sepenuh hati merasa bersyukur akan kemurahan Tuhan yang telah
membebaskannya dari dalam bumi yang seolah menghimpitnya itu! Kemudian dia
duduk bersila setelah makan jamur dan menghimpun kekuatan. Dan menjelang sore,
dia mulai mencari jalan menuruni tebing yang curam itu.
Malam gelap
membuat Yo Han terpaksa menghentikan usahanya dan dia melewatkan malam di
tebing jurang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah terang tanah, dia pun
melanjutkan usahanya menuruni tebing itu.
Dia harus
segera kembali ke Thian-li-pang dan mengadakan pembersihan di sana. Kini dia
mengerti bahwa Ouw Seng Bu telah berkhianat, telah membunuhi para pimpinan
Thian-li-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua.
Dan pemuda
yang aneh itu, yang memiliki ilmu aneh pula, sudah mengajak golongan sesat
untuk bersekutu. Thian-li-pang telah diselewengkan sehingga dia harus
bertindak. Dialah yang bertaggung jawab.
Dia kemudian
teringat akan pesan mendiang kakek Ciu Lam Hok, gurunya, supaya dia
membersihkan Thian-li-pang dan mengembalikan Thian-li-pang kepada cita-cita
semula, yaitu perkumpulan orang-orang berjiwa patriot, dan pendekar sejati yang
berjuang untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Menjadi pembela bangsa,
bukan pengganggu keamanan rakyat, bukan menjadi penjahat…..
***************
"Giok-moi...
kenapa engkau menangis...?"
Suara yang
lembut dan sentuhan halus pada pundaknya membuat Kim Giok terkejut. Ia bangkit
duduk dan melihat Seng Bu sudah duduk pula di tepi pembaringannya, dan kini
pemuda itu merangkul pundaknya.
"Koko...
aku... aku merasa gelisah sekali..."
Seng Bu
menarik gadis itu ke dadanya dan mengelus rambutnya yang halus. "Giok-moi
tersayang, mengapa engkau gelisah? Bukankah di sini ada aku yang selalu siap
untuk melindungimu dan membahagiakan hatimu?" Dia mengusap kening gadis
itu dengan bibirnya. "Apakah yang telah terjadi, sayangku?"
"Koko,
betapa hatiku tak akan gelisah dan risau? Ketika aku mencoba untuk membujuk
Sian Li dan Hui Eng, aku hanya mendapat teguran, ejekan dan penghinaan. Ketika
aku menemui tawanan baru itu, ternyata pemuda itu adalah twako Gak Ciang Hun,
dan aku pun di sana menerima celaan dan makian. Ahhh, Koko, sungguh aku merasa
malu dan bersedih sekali..."
"Kalau
begitu, biarlah akan kuhajar mereka, kusiksa mereka yang berani menghina dan
mengejekmu!"
Kim Giok
memegang lengan pemuda itu. "Jangan, Koko! Bukan begitu maksudku. Aku
gelisah dan risau karena aku merasa bimbang. Mengapa mereka menolak berjuang
bersama kita? Mengapa mereka menganggap engkau bersalah dan jahat?"
Rangkulan
Seng Bu semakin erat, dan dia berbisik dekat telinga gadis itu. "Giok-moi,
apakah engkau tak percaya kepadaku? Tentu saja mereka memusuhiku karena mereka
semua itu memihak Yo Han, tidak tahu bahwa Yo Han telah berubah, telah
membunuhi para pemimpin Thian-li-pang, bahkan hampir saja membunuhku. Engkau
tahu sendiri betapa aku hampir mati, Giok-moi. Kalau engkau pun seperti mereka,
tidak percaya kepadaku, habislah sudah harapan hidupku. Hanya engkaulah
satu-satunya orang yang memberi harapan kepadaku. Biar seluruh manusia di dunia
ini tidak percaya kepadaku dan memusuhiku, akan kuhadapi dan kulawan mereka
yang memusuhiku!"
"Koko..."
Kim Giok yang kurang pengalaman itu terbuai oleh kemesraan kata-kata yang
diucapkan Seng Bu. "Aku akan selalu berpihak padamu, selalu membelamu dan
setia kepadamu."
"Terima
kasih, Giok-moi. Aku cinta padamu, Giok-moi. Aku cinta padamu sepenuh jiwa
ragaku."
Ucapan ini
menggetar penuh perasaan dan baru saat itulah Seng Bu benar-benar bicara dari
lubuk hatinya. Memang dia sudah jatuh cinta kepada Kim Giok, walau pun cintanya
bergelimang nafsu birahi. Cintanya timbul karena baginya tak ada lagi gadis
yang lebih cantik menggairahkan dari pada Kim Giok. Dengan tubuh gemetar, dia
mendekap dan mencium pipi dan bibir gadis itu.
Kim Giok
agak terkejut dan dengan halus dia melepaskan diri dari rangkulan. Ia sendiri
kalau mau jujur, merasa senang dengan perlakuan penuh kemesraan itu. Akan
tetapi karena hatinya memang sedang risau, dia pun tidak ingin melanjutkan
kemesraan yang membuat jantungnya berdebar keras itu.
"Koko,
aku ingin bicara padamu."
Seng Bu
tersenyum. "Ehhh? Bukankah sudah sejak tadi kita bicara?"
Dia hendak
merangkul lagi akan tetapi Kim Giok menolak dengan tangannya.
"Aku
tidak main-main dan kuharap engkau juga bersungguh-sungguh, Bu-ko. Aku minta
kepadamu agar engkau suka membebaskan mereka bertiga, yaitu Sian Li, enci Hui
Eng, dan Gak-twako. Kalau engkau tidak membebaskan mereka, hatiku akan selalu
merasa risau. Maukah engkau, Koko?"
Seng Bu
mengerutkan alisnya. Sejenak dia menatap wajah kekasihnya penuh selidik.
"Giok-moi, tidak salahkah apa yang kudengar ini? Engkau minta kepadaku supaya
aku membebaskan orang-orang yang memusuhi aku dan yang hendak membunuhku?"
Dia tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. "Itu berarti melepaskan tiga
ekor harimau yang akan selalu mengancam keselamatanku, keselamatan kita semua,
bahkan akan menggagalkan usaha perjuangan kita. Itukah yang kau
kehendaki?"
"Tentu
saja tidak, Koko. Aku akan mengajukan syarat kepada mereka, kuminta mereka
berjanji tidak memusuhimu kalau kita bebaskan mereka."
"Itu
berbahaya sekali, Giok-moi. Ingat, masih ada seorang lagi dari mereka yang
lolos, yaitu Pangeran Cia Sun. Dia merupakan ancaman besar bagi kita selama dia
masih belum tertangkap. Setelah dia tertawan, baru kita bicarakan lagi tentang
permintaanmu itu. Percayalah padaku, Giok-moi. Bukankah selama ini aku pun
tidak pernah berbohong kepadamu dan kuperintahkan anak buah kita supaya
memperlakukan para tawanan itu dengan baik?"
Kembali Seng
Bu meraih dan merangkul, hendak mencium dan hendak merebahkan gadis itu ke atas
pembaringan. Kim Giok meronta dan melepaskan diri, meloncat turun dari
pembaringan, memandang kepada kekasihnya dengan alis berkerut.
"Koko,
apa yang kau lakukan ini?"
"Giok-moi,
kita saling mencinta dan aku tahu, aku selalu sibuk dengan pekerjaan ini. Kini
aku... aku ingin... memiliki dirimu sepenuhnya. Giok-moi..."
Pemuda itu
hendak merangkul lagi, akan tetapi Kim Giok sudah cepat-cepat melangkah mundur
untuk menghindar.
"Bu-ko,
kita tidak boleh melakukan itu. Kita belum menikah!"
"Giok-moi,
kasihanilah aku. Kita pasti akan menikah, akan tetapi aku harus meminang dirimu
dulu kepada orang tuamu dan hal itu akan makan waktu lama. Aku ingin memiliki
dirimu sepenuhnya, sekarang..."
"Tidak,
aku tidak mau!"
"Giok-moi...!"
Seng Bu menjulurkan kedua tangannya, akan tetapi Kim Giok meloncat keluar dari
dalam kamar itu, dikejar oleh kekasihnya.
Sebetulnya,
Seng Bu bukanlah seorang pemuda yang gila wanita, bukan pula hamba nafsu
birahi. Akan tetapi, dia sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Kim Giok dan ia
takut kehilangan gadis itu yang agaknya kini meragu dan bahkan minta agar para
tawanan dibebaskan.
Kalau dia
dapat menggauli Kim Giok sekarang, tentu gadis itu terikat kepadanya dan tak
akan lepas lagi dari tangannya, bahkan akan lebih kuat dan patuh kepadanya.
Karena itu, sikapnya sekarang yang hendak memaksa Kim Giok menyerahkan diri
seperti lebih dipengaruhi perhitungan yang menguntungkan dirinya dari pada
sekedar terseret nafsu birahi.
Kim Giok
berlari keluar dari bangunan itu. Dia masih terus dikejar oleh Seng Bu yang
tentu saja tidak hendak berlaku kasar, hanya mengejar untuk membujuk
kekasihnya.
"Giok-moi,
tunggu...!" seru Seng Bu sambil tertawa karena merasa betapa kekasihnya
itu seperti mengajaknya bermain kejar-kejaran seperti kanak-kanak saja.
Pada saat
itulah terdengar suara terompet dan tambur, disusul kegaduhan luar biasa di
bawah puncak. Beberapa orang anak buah Thian-li-pang berlari-larian dan ketika
Kim Giok dan Seng Bu yang berhenti berlari memandang, nampak Kui Thiancu, Im Yang
Ji dan Siangkoan Kok datang pula berlarian.
"Ahh,
celaka, Pangcu!" berkata Im Yang Ji dengan muka pucat. Tosu Pat-kwa-pai
yang tinggi kurus ini nampak gugup.
"Apa
yang terjadi? Kenapa kalian begitu panik?" Seng Bu bertanya.
"Pangcu,
pasukan besar pemerintah sudah mengepung kita dari empat penjuru!" kata
pula Im Yang Ji.
"Jahanam!"
Seng Bu berseru marah dan matanya mulai mencorong aneh sehingga Kim Giok yang
melihatnya menjadi terkejut.
Dalam
keadaan marah seperti itu, Seng Bu seolah sudah berubah. Wajahnya bengis,
pandang matanya mencorong dan otaknya mendadak saja menjadi cerdik dan licik
luar biasa.
"Im
Yang Ji Totiang, dan Kui Thiancu Totiang, kalian cepat atur pasukan kalian
masing-masing menyambut musuh dari sayap kanan dan kiri. Dan engkau, paman
Siangkoan, cepat atur barisan Thian-li-pang kita, bagi menjadi dua untuk
mempertahankan depan dan belakang. Aku akan menangkap para tawanan untuk
dijadikan sandera, karena aku yakin Pangeran Cia Sun berdiri di belakang
penyerbuan ini!"
Tiga orang
pembantu itu segera pergi melakukan perintah dan Seng Bu hendak berlari masuk,
agaknya sudah lupa sama sekali kepada Kim Giok.
"Koko,
jangan!" Kim Giok melompat dan gadis ini sudah berdiri menghadang Seng Bu.
"Giok-moi,
minggirlah kau!" bentak Seng Bu marah. Matanya yang mencorong itu sama
sekali sudah tidak mengandung sinar kasih sayang, yang ada hanyalah kebengisan
dan kemarahan.
"Tidak,
Bu-koko! Engkau tidak boleh membuat mereka bertiga menjadi sandera. Bahkan
setelah pasukan pemerintah menyerang, jelas bahwa mereka tidak memiliki
hubungan dengan itu karena mereka berada di sini sebagai tawanan, maka kita sudah
seharusnya membebaskan mereka sekarang juga. Mungkin mereka akan menyadari dan
membantu kita untuk melawan pasukan pemerintah."
"Minggir,
Giok-moi! Kalau mereka tidak boleh dijadikan sandera, mereka bahkan harus
dibunuh agar musuh kita berkurang."
"Ingat,
Bu-ko, musuh kita adalah penjajah Mancu, bukan anggota keluarga besar para
pendekar!" kata Cu Kim Giok dan kini Koai-liong Pokiam sudah terhunus di
tangannya. "Aku tidak memperkenankan siapa pun membunuh para tawanan
itu!"
Mendengar
kata-kata Giok Kim ini, tiba-tiba saja Ouw Seng Bu tertawa, dan suaranya
tawanya sungguh mendirikan bulu roma, sungguh mengerikan sekali.
"Ha-ha-ha-ha-ha,
kiranya engkau pun kini menjadi musuhku, Giok-moi? Engkau kucinta sepenuh jiwa
ragaku, tetapi engkau pun memusuhi aku? Engkau tega sekali, Giokmoi..."
dan laki-laki ini pun menangis!
Kim Giok
sampai menjadi bengong. Baru sekarang dia dapat menduga bahwa pria yang
dicintanya ini adalah seorang yang miring otaknya.
"Ha-ha-ha!"
Seng Bu tertawa lagi. "Engkau hendak membela mereka?" Ia pun
berteriak kepada sekelompok anak buahnya yang berlari dekat. "Heiii,
kalian! Cepat suruh bakar tempat tahanan. Sekarang juga, cepat!"
"Baik,
Pangcu!" sahut mereka dan mereka pun berlarian ke arah rumah tahanan.
"Tidaaak,
jangan...!" Kim Giok melompat ke depan untuk mengejar dan mencegah anak
buah Thian-li-pang itu melakukan pembakaran.
"Cu Kim
Giok, engkau musuh kami!" terdengar bentakan Seng Bu dan dia pun sudah
meloncat, lalu langsung mengirim pukulan ketika tubuhnya dan tubuh Kim Giok
masih melayang di udara.
Karena tak
menduga bahwa pria yang dikasihinya itu akan menyerangnya, juga karena serangan
aneh itu datangnya amat cepat, membawa angin dingin, maka biar pun Kim Giok
berusaha melakukan gerakan poksai (salto) untuk menghindar, namun tetap saja
lambungnya terkena pukulan itu.
"Aughhh...!"
Kim Giok
mengeluh dan tubuhnya terkulai, lalu jatuh ke atas tanah. Ia rebah miring dan
merasa betapa lambungnya seperti dimasuki benda dingin sekali, seperti
sebongkah air beku sehngga dadanya terasa sesak, pandang matanya
berkunang-kunang.
"Giok-moi...
kekasihku... Giok-moi...!" Seng Bu menangis dan dia menghampiri tubuh yang
roboh miring itu.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara yang membuat Seng Bu kaget bagai disengat
binatang berbisa. Tengkuknya terasa dingin dan tebal saking ngeri dan takutnya.
"Ouw
Seng Bu, pengkhianat keji manusia berhati iblis!" Suara Yo Han.
Cepat Seng
Bu membalikkan tubuhnya dan dia sudah berhadapan dengan Yo Han! Dia merasa
seperti dalam mimpi dan menatap wajah Yo Han dengan mata terbelalak. Apa lagi
pada waktu itu dia mendengar suara gaduh pertempuran yang menunjukkan bahwa
pasukan pemerintah sudah menyerbu ke dalam perkampungan Thian-li-pang.
Sementara
itu, Kim Giok mengangkat mukanya. Dia terbelalak ketika melihat api sudah
membakar rumah tahanan. Melihat api mulai berkobar, seakan timbul semangat dan
kekhawatirannya. Ia meloncat dan dengan pedang di tangan, ia seperti melupakan
rasa nyeri di lambungnya. Cepat ia berlari menuju ke rumah tahanan itu, tidak
mempedulikan lagi kepada Seng Bu.
Setelah tiba
di dekat rumah tahanan itu, Kim Giok melihat ada beberapa orang anggota
Thian-li-pang sedang terus membakar bagian samping rumah tahanan yang telah
mulai berkobar. Dengan marah Kim Giok menggerakkan pedangnya sehingga keempat
orang anggota Thian-li-pang itu langsung roboh.
Dua orang
lagi yang menjadi terkejut melihat tunangan ketua mereka mengamuk, tahu bahwa
calon nyonya ketua itu kini menjadi musuh. Mereka menggerakkan golok, akan
tetapi mereka pun segera terpelanting mandi darah, menjadi korban pedang
Koai-liong Po-kiam di tangan gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
Kim Giok
tidak mempedulikan api yang berkobar, dan dengan cepat ia meloncat masuk,
menyelinap dan berlari menuju ke kamar para tahanan. Dia melihat betapa Sian Li
dan Hui Eng sudah dapat mematahkan rantai yang membelenggu kaki tangan mereka
dan mereka berdua kini sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjebol jeruji baja
dengan cara menarik dan membetot-betot, tetapi agaknya usaha ini tidak akan
membawa hasil. Juga di bagian ujung sana, di mana Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan
lima orang tosu ditahan, terdengar pula suara gaduh ketika mereka
mendorong-dorong pintu baja kamar tahanan mereka.
Dengan sisa
tenaga terakhir, Kim Giok menyambut empat orang anggota Thian-li-pang yang
agaknya hendak meninggalkan ruangan yang mulai terbakar itu. Mereka adalah para
penjaga sebelah dalam dan dia tahu bahwa kunci kamar-kamar tahanan itu pasti
berada di tangan mereka.
Pedangnya
berkelebat menyambar-nyambar, maka robohlah empat orang itu. Kim Giok memeriksa
pakaian mereka dan menemukan gelang besi yang digantungi beberapa buah kunci.
Cepat dia menghampiri kamar tahanan di mana Sian Li dan Hui Eng sejak tadi
memandangnya dengan sinar mata penuh harapan dan kegembiraan.
Tentu saja
mereka berdua merasa gembira sekali bahwa pada saat terakhir, ternyata Kim Giok
menunjukkan bahwa ia tetap seorang puteri sepasang pendekar dari Lembah Naga
Siluman yang gagah perkasa!
Setelah Kim
Giok berhasil membuka kunci pintu dan menarik daun pintu baja terbuka, ia pun
terhuyung. Ia menyerahkan gelang kunci kepada Sian Li sambil berpegang kepada
jeruji.
"Cepat...
bebaskan mereka... di ujung sana...!" Dan ia pun terkulai roboh.
"Kim
Giok...!" Sian Li berseru dan cepat merangkulnya. Kepada Hui Eng ia lalu
berkata, "Enci Eng, cepat bebaskan tawanan di ujung sana, bahkan kalau
masih ada yang lain, bebaskan mereka semua."
Hui Eng
menerima kunci itu, dan tidak lama kemudian ia sudah membuka pintu kamar
tahanan di mana Ciang Hun dan lain-lain dikeram.
Sian Li
masih memeriksa keadaan Kim Giok dan terkejutlah ia ketika melihat lambung
gadis itu terdapat tanda menghitam dan sekali raba saja tahulah ia bahwa isi
perut gadis itu telah menderita luka yang agaknya tidak mungkin disembuhkan
lagi.
"Kim
Giok...!" Ia merangkul, penuh keharuan.
Biar pun
gadis yang terluka parah itu tidak menerangkan, Sian Li sudah dapat menduga
bahwa tentu Kim Giok terpukul oleh Ouw Seng Bu pada saat gadis ini nekat hendak
membebaskan ia dan Hui Eng. Hanya yang membuat ia heran, bagaimana Kim Giok
tetap masih dapat membebaskannya, padahal pukulan itu merupakan pukulan maut
yang mematikan.
"Sian
Li... mintakan ampun... kepada ayah ibu...," Kim Giok mengeluh dan terkulai.
"Sian
Li, cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini. Kebakaran mulai membesar dan
sebentar lagi tidak akan ada jalan keluar," berkata Hui Eng yang datang
bersama Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai.
Sian Li
memandang dan Ciang Hun juga berkata, "Benar, adik Sian Li, kita harus
cepat pergi. Ahhh, bukankah itu adik Cu Kim Giok? Kenapa dia?"
Sian Li
menjawab dengan suara gemetar. "Gak-twako... tanpa pertolongan Kim Giok,
kita semua akan hangus dan mati terbakar. Ia yang menolong kita membukakan
pintu tahanan dan ia... ia telah tewas. Mari, bantu aku membawanya keluar,
Twako."
Tanpa
diminta untuk ke dua kalinya, Ciang Hun sudah mengangkat tubuh yang masih
hangat dan lemas itu, memondong dan membawanya ke luar bersama yang lain.
Melihat di
luar telah terjadi pertempuran hebat antara anak buah Thian-li-pang melawan
pasukan pemerintah yang menyerbu masuk, Sian Li segera menyerahkan jenazah Kim
Giok supaya ditunggu oleh lima orang tosu Bu-tong-pai yang masih menderita
luka-luka, sedangkan ia sendiri bersama dengan Hui Eng, Ciang Hun dan Bi Kim
lalu mengamuk, membantu pasukan menyerbu para anggota Thian-li-pang sehingga
mereka itu dibuat cerai-berai dan banyak yang jatuh.
"Aku
harus mencari Seng Bu!" teriak Sian Li dengan marah.
"Aku
akan mencari Siangkoan Kok!" kata pula Hui Eng.
Akan tetapi,
mereka melihat Siangkoan Kok dan dua orang tosu pembantunya, yaitu Im Yang Ji
tokoh Pat-kwa-pai serta Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw, sedang mengamuk dan
membuat para prajurit dan perwira yang mengeroyok menjadi kocar-kacir sehingga
banyak prajurit yang roboh.
Hui Eng yang
melihat Siangkoan Kok mengamuk, segera mencabut pedang dan maju menerjang bekas
ayah angkatnya, sekaligus gurunya itu. Memang Ouw Seng Bu tidak merampas
senjata para tawanan itu sehingga kini mereka dapat menggunakan senjata
masing-masing.
Melihat
gadis itu sudah nekat menyerang bekas ketua Pao-beng-pai yang lihai itu, Sian
Li merasa khawatir dan dia pun turut menerjang maju membantu Hui Eng mengeroyok
Siangkoan Kok. Ada pun Gak Ciang Hun bersama Gan Bi Kim sudah membantu para
perwira dan prajurit yang mengeroyok dua orang tosu Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-kauw.
Siangkoan
Kok yang kaget sekali melihat para tawanan sudah meloloskan diri, terpaksa
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang gadis
yang amat tangguh itu. Tingkat kepandaian bekas puteri dan muridnya itu sudah
hampir menyusulnya, sedangkan Si Bangau Merah juga merupakan seorang wanita
yang amat lihai, maka dia pun harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk
membela diri.
Jumlah
pasukan yang menyerbu sangatlah banyak sehingga orang-orang Thian-li-pang
menjadi kewalahan dan terdesak hebat. Tiba-tiba muncul pula Cia Sun yang
memimpin sebuah regu prajurit pilihan. Saat melihat betapa kekasihnya sudah
bertanding melawan Siangkoan Kok dibantu Tan Sian Li, dia pun segera
memerintahkan para perwira dan prajurit yang memiliki kepandaian untuk ikut
pula mengeroyok.
Pertandingan
berat sebelah itu tidak berlangsung terlalu lama. Biar pun mereka bertiga
berhasil merobohkan banyak prajurit, tapi Siangkoan Kok, Im Yang Ji, dan Kui
Thiancu akhirnya roboh setelah menderita banyak luka-luka. Siangkoan Kok tewas
dengan dada tertembus pedang di tangan Hui Eng. Im Yang Ji dan Kui Thiancu juga
tewas dengan tubuh penuh luka-luka.
Cia Sun
gembira sekali melihat Hui Eng selamat. "Adik Sian Li, di sana kulihat
kakak Yo Han sedang bertanding melawan Ouw Seng Bu."
Sian Li
mengeluarkan suara seperti sorak gembira mendengar ini dan dia pun berlari
cepat menuju ke arah yang ditunjuk Cia Sun diikuti oleh yang lain. Setelah tiba
di tempat yang dimaksudkan, mereka tertegun menyaksikan sebuah pertandingan
yang luar biasa hebatnya.
Ketika ada
yang hendak bergerak membantu Yo Han, Sian Li cepat berkata, "Jangan ada
yang bergerak, Han-koko tidak akan kalah. Dia tidak senang kalau dibantu dengan
pengeroyokan."
Mendengar
ucapan ini, semua orang maklum dan mereka menonton dengan kagum dan juga
tegang, kecuali Sian Li yang percaya sepenuhnya bahwa kekasih hatinya tak akan
kalah.
Pertemuan
antara Yo Han dan Ouw Seng Bu tentu saja membuat ketua Thian-li-pang itu
terkejut setengah mati. Wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak, akan tetapi
perlahan-lahan wajah itu berubah merah dan matanya menjadi mencorong liar penuh
kebencian dan kemarahan.
"Kau...??!!"
Seng Bu berseru dan suaranya terdengar dingin dan tajam mengiris jantung.
Mulutnya kini membentuk senyum menyeringai yang amat bengis.
Yo Han
sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang ini tidak waras, pikirnya.
"Ouw
Seng Bu, kenapa engkau membunuh para pimpinan Thian-li-pang termasuk Lauw
Pangcu?"
Seng Bu
merasa tidak perlu lagi merahasiakan semua perbuatannya, maka dia tertawa.
"Ha-ha-ha, mereka itu tidak ada gunanya, membuat Thian-li-pang menjadi
lemah saja. Thian-li-pang harus menjadi yang terkuat, harus bisa mengajak seluruh
kekuatan untuk menghancurkan penjajah Mancu. Mereka itu orang-orang
lemah!"
"Ouw
Seng Bu, engkau membunuh mereka dan menguasai Thian-li-pang bukan demi
perjuangan, tetapi untuk mencari kedudukan tinggi. Engkau bersekutu dengan
golongan sesat, engkau juga membiarkan anak buah Thian-li-pang melakukan
perbuatan jahat. Bahkan engkau secara tak tahu malu dan curang sekali menjebak
aku ke dalam sumur. Heran sekali kenapa engkau, murid Lauw Pangcu yang dulu
amat dipercaya dan baik, mendadak berubah seperti iblis? Apakah engkau telah
menjadi gila?"
"Yo
Han, semua orang Thian-li-pang memujamu. Kau lalu menjadi sombong. Apa kau kira
hanya engkau yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng? Ha-ha-ha, aku pun telah
menguasainya dan aku akan membunuhmu untuk yang kedua kalinya!" Setelah
berkata demikian, Ouw Seng Bu menyerang dengan gerakan yang aneh dan dahsyat
sekali.
Diam-diam Yo
Han merasa heran dan terkejut sekali mendengar bahwa orang ini telah menguasai
Bu-kek Hoat-keng, apa lagi saat melihat serangan yang luar biasa itu. Yang
membuat dia heran adalah dia dapat mengenali gerakan tangan Seng Bu pada waktu
menyerangnya. Memang itu adalah gerakan dari Bu-kek Hoat-keng!
Karena
merasa heran, Yo Han ingin sekali melihat lebih banyak lagi gerakan itu. Ia pun
mengelak cepat tanpa membalas, membiarkan Seng Bu menyerang secara
bertubi-tubi. Dan tidak salah lagi, jurus-jurus yang dimainkan Seng Bu ketika
menyerangnya adalah ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi semakin lama, semakin
aneh saja perkembangan jurus-jurus itu.
Hebatnya,
serangan itu mengandung hawa dingin yang aneh karena ketika satu kali dia menangkis,
tangannya yang bertemu lengan lawan itu terasa panas! Pukulan Seng Bu itu
mengandung hawa beracun yang ganas luar biasa! Berbahaya sekali bagi lawan dan
tidak mengherankan kalau Lauw Kang Hui dan yang lain-lain tewas di tangan Seng
Bu. Apa bila tidak menguasai Bu-kek Hoat-keng, dia sendiri tentu akan
terpengaruh hawa beracun itu.
Seng Bu yang
merasa bahwa dia sudah memiliki ilmu yang tidak terkalahkan, semakin berbesar
hati melihat Yo Han tak pernah membalas dan hanya lebih banyak mengelak dan berloncatan
untuk menghindarkan serangan-serangannya. Namun dia pun merasa penasaran
melihat dia belum juga berhasil.
Secepatnya
dia harus dapat membunuh Yo Han agar dia mendapat kesempatan untuk melarikan
diri, sebab ia melihat betapa banyaknya pasukan pemerintah yang menyerbu
perkampungan Thian-li-pang itu. Maka, dia segera berteriak memanggil anak
buahnya dan sedikitnya dua puluh orang anak buah Thian-li-pang segera
menggunakan senjata mereka mengepung dan mengeroyok Yo Han!
Yo Han
maklum bahwa Seng Bu mencari kesempatan melarikan diri dan hal ini haruslah
dicegah. Maka, dia pun tidak pernah meninggalkan atau menjauhi Seng Bu. Dia
mulai menggunakan ilmunya untuk menyerang dan menutup jalan keluar Seng Bu,
sedangkan para anak buah Thian-li-pang yang mengepung dan mengeroyoknya dengan
ragu-ragu dan gentar, dia robohkan dengan tendangan dan tamparan saja, tidak
membuat mereka terluka parah.
"Para
anggota Thian-li-pang, cepat ajaklah kawan-kawan untuk melarikan diri! Jangan
hiraukan lagi Ouw Seng Bu yang menyeret kalian ke dalam penyelewengan!"
beberapa kali Yo Han berseru.
"Kelak
aku sendiri yang akan membangun kembali Thian-li-pang!" Yo Han berseru
lagi.
Terjadi
kebimbangan dalam hati para anggota Thian-li-pang. Mereka yang memang berwatak
jahat dan lebih senang dipimpin Seng Bu, sebab di bawah bimbingan Seng Bu
mereka dapat melampiaskan nafsu dan keserakahan mereka secara bebas, tidak mau
mempedulikan seruan Yo Han ini dan mereka tetap melakukan perlawanan dan setia
kepada Seng Bu.
Akan tetapi,
lebih banyak lagi anggota yang hanya terpaksa mentaati ketua baru itu, dan kini
para anggota ini segera menyampaikan pesan kepada kawan-kawan sehaluan dan
mereka pun mulai berserabutan mencari lubang untuk meloloskan diri dari
penyerbuan pasukan pemerintah.
Mendengar
teriakan Yo Han, dan melihat pula betapa anak buahnya yang mengeroyok Yo Han
terpelanting ke kanan kiri sehingga dia tidak mendapat kesempatan sama sekali
untuk meloloskan diri dari Yo Han, Seng Bu menjadi marah dan nekat.
"Yo
Han, engkau harus mati di tanganku!" bentaknya.
Seng Bu pun
menyerang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang menyeramkan, bukan teriakan
manusia lagi melainkan teriakan iblis. Dan pada saat itulah Sian Li dan para
tokoh lain muncul dan menjadi penonton.
Yo Han juga
melihat mereka dan hatinya berdebar girang bukan main melihat Sian Li dalam
keadaan sehat dan selamat. Dia pun mengenal Hui Eng dan Cia Sun, membuat
hatinya menjadi semakin girang melihat bahwa adik angkatnya itu telah bersatu
dengan kekasihnya. Tetapi hanya sebentar dia dapat melirik ke arah Sian Li dan
yang lain-lain karena dia harus kembali memperhatikan lawannya yang ternyata
sangat tangguh dan memiliki ilmu silat yang amat aneh itu.
"Hyaaattt...!"
Melihat
munculnya para tawanan, Seng Bu menjadi nekat. Tahulah dia bahwa dia harus
membela diri mati-matian dan tak ada jalan keluar kecuali dia dapat membunuh Yo
Han. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menyerang dengan gencar. Dua
tangannya melakukan pukulan dengan cara mendorong dengan telapak tangan,
sehingga dari dua tangannya itu menyambar hawa yang dingin bagaikan es, dan
nampak pula uap hitam membiru keluar dari kedua telapak tangan itu.
"Hemmm...!"
Yo Han
mengelak dan menampar dari samping. Lawannya agaknya mengenal gerakan serangan
ini dan dapat mengelak dengan baik, lalu membalas dengan dorongan tangan kanan.
Diam-diam Yo Han makin heran. Dia mengenal benar gerakan kaki tangan Seng Bu
itu.
Kembali
datang serangan dahsyat dari Seng Bu yang mengerahkan seluruh tenaganya dalam
setiap serangan. Yo Han merasa aneh. Dia yakin bahwa gerakan-gerakan itu benar
ilmu Bu-kek Hoat-keng seperti yang pernah dipelajarinya dari kakek Ciu Lam Hok.
Bagaimana
mungkin Seng Bu dapat mempelajarinya? Kakek itu telah meninggal, dan semua
coret-moret di dalam lorong sumur tua telah dihapus. Dia tidak tahu bahwa kakek
Ciu Lam Hok pernah membuat coret-moret lain di sumur ke dua, yang ditemukan
Seng Bu, catatan ilmu itu yang tidak lengkap sama sekali dan yang telah
dipelajari dengan keliru oleh Seng Bu.
Yo Han
mengenal semua gerakan itu, tetapi ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dipelajarinya
memiliki daya mengembalikan setiap pukulan lawan. Bu-kek Hoat-keng bukan
pukulan untuk merobohkan orang, melainkan mempunyai daya tolak yang luar biasa
sehingga serangan yang bagaimana hebat pun, akan membalik kepada penyerangnya
sendiri.
Akan tetapi,
gerakan yang mirip Bu-kek Hoat-keng dan dimainkan Seng Bu ini memiliki daya
serang yang demikian dahsyatnya, mengandung hawa maut dan beracun! Kalau dia
sendiri mempergunakan tenaga Bu-kek Hoat-keng, tentu pukulan aneh dari Seng Bu
itu akan membalik dan mana mungkin ada manusia dapat bertahan jika terkena
pukulan sehebat itu?
Dia tak
ingin membunuh Seng Bu, walau pun dia tahu bahwa Seng Bu telah membunuh Lauw
Kang Hui dan para pimpinan lain dan pemuda itu telah membawa Thian-li-pang
menyeleweng. Dia ingin menyadarkan Seng Bu dan membuat pemuda itu bertobat.
Tidak ada istilah terlambat untuk bertobat selagi manusianya masih hidup.
Akan tetapi,
justru karena dia tak mau membunuh lawan, maka perkelahian itu menjadi amat
seru dan juga tidak mudah bagi Yo Han untuk menundukkan lawannya. Karena dia
memiliki ilmu Bu-kek Hoat-keng yang asli, tentu saja tingkatnya masih lebih
tinggi dibandingkan Seng Bu. Bu-kek Hoat-keng yang dimiliki dan dikuasai Seng
Bu sudah menjadi ilmu sesat yang sangat keji dan berbahaya, sedangkan yang
dikuasai Yo Han adalah ilmu yang mengandung keajaiban, yang memiliki daya
menolak semua kekuatan jahat, bahkan menolak semua hawa beracun.
Namun,
karena Yo Han tidak bermaksud membunuh, tidak membalas serangan lawan dengan
jurus ampuh yang mematikan, dan bahkan dia tidak mau menggunakan tenaga menolak
balik serangan Seng Bu, maka perkelahian itu menjadi ulet dan lama.
Seng Bu
mengerahkan seluruh tenaganya, namun semua hawa sakti yang keluar dari
tubuhnya, bagaikan batu besar dilempar ke dalam telaga saja ketika dipakai
menyerang Yo Han. Semua tenaga itu tenggelam dan tidak mendatangkan akibat apa
pun. Setiap kali Yo Han menangkis, tangan Seng Bu tergetar hebat dan seperti
lumpuh. Seng Bu tidak tahu bahwa bila Yo Han menggunakan tenaga sakti dari
Bu-kek Hoat-keng, maka tenaganya bukan hanya tenggelam, tapi membalik sehingga
seolah dia memukul dirinya sendiri.
Bagi mereka
yang menonton, tentu saja perkelahian itu tampak menegangkan dan amat seru.
Sian Li sampai bermandi peluh menyaksikan perkelahian itu karena tidak
kelihatan kekasihnya itu unggul, walau pun juga tidak nampak terdesak. Agaknya
kedua orang itu memiliki ilmu dan kekuatan yang serupa dan setingkat!
"Haaaiiihhhhh...!!"
Kembali Seng
Bu menyerang, sekali ini tubuhnya mencelat ke atas. Bagaikan seekor burung
garuda dia menyambar turun dengan kedua tangan dijulurkan lurus ke depan,
dengan pengerahan tenaga sepenuhnya pada kedua telapak tangannya yang berwarna
kehitaman dan mengeluarkan uap hitam.
Melihat
serangan maut yang amat berbahaya ini, Sian Li mengepal tangan kanannya dan
matanya memandang terbelalak. Sebagai seorang ahli ilmu silat Ang-ho Sin-kun
(Silat Sakti Bangau Merah), ia tahu betapa besar bahayanya serangan seperti
itu, sebab di dalam ilmu silatnya terdapat pula jurus penyerangan sambil
melayang seperti itu.
Akan tetapi
Yo Han juga mengenal jurus yang berbahaya ini. Tahulah dia bahwa Seng Bu sudah
nekat dan hendak mengadu nyawa! Dengan tenang Yo Han telah mengambil keputusan
bahwa dia harus cepat menundukkan Seng Bu dan merobohkannya, walau pun tidak
harus membunuhnya.
Pemuda ini
agaknya sudah miring otaknya, maka kalau dibiarkan lolos dan membawa pergi
ilmunya yang sesat, akan merupakan bahaya besar bagi umum, terutama sekali bagi
dunia kang-ouw. Dia harus dapat berusaha menyadarkannya atau merampas ilmu
sesat itu.
Laksana
seekor burung walet, tiba-tiba tubuh Yo Han juga mencelat ke atas menyambut
serangan Seng Bu. Melihat ini, Seng Bu mengeluarkan suara tertawa aneh karena
dia girang dan yakin bahwa kali ini akan mampu membunuh Yo Han. Dengan
pengerahan seluruh tenaganya, dia menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah
tubuh Yo Han.
"Wuuuttt...!"
Seng Bu
terkejut karena tiba-tiba tubuh itu lenyap dari depannya dan kedua tangannya
menghantam udara kosong. Maklum bahwa dia telah terkecoh, dia berusaha membuat
gerakan jungkir balik seperti yang dilakukan Yo Han dengan cepat ketika
mengelak tadi. Akan tetapi terlambat. Dari sebelah atasnya, Yo Han telah
menggunakan tangan yang dimiringkan untuk memukul punggung Seng Bu.
"Desss...!!"
Seng Bu
mengeluarkan keluhan lirih dan tubuhnya terbanting ke atas tanah. Yo Han
menyusulnya dengan melayang turun. Akan tetapi, dapat dibayangkan kagetnya hati
Pendekar Tangan Sakti ini ketika tiba-tiba tubuh yang tadinya terbanting roboh
itu telah bergerak meloncat bangun dan menyambut Yo Han yang baru saja turun
itu dengan dorongan kedua tangan, dahsyat bukan main karena Seng Bu mengerahkan
seluruh tenaga terakhir dalam serangan mendadak ini. Ternyata Seng Bu memiliki
kekuatan luar biasa sehingga pukulan Yo Han tadi seolah tidak terasa olehnya!
Tidak ada
lain jalan bagi Yo Han kecuali dia juga menyambut dengan kedua tangannya
didorongkan ke depan.
"Wuuuttt...
plakkk!"
Dua pasang
tapak tangan itu bertemu dan melekat! Yo Han merasa betapa ada hawa yang amat
dingin menyerangnya. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga panas dan kini Seng Bu
yang merasa betapa kekuatannya terdorong oleh tenaga yang dahsyat sekali.
Seng Bu
terus bertahan sehingga terjadilah dorong mendorong dengan menggunakan ilmu
yang sama, yaitu Bu-kek Hoat-keng. Akan tetapi kalau ilmu yang dikuasai Yo Han
murni, sebaliknya yang dikuasai Seng Bu merupakan ilmu sesat yang tercipta
karena latihan yang keliru.
Dari kepala
Yo Han mengepul uap putih, sebaliknya dari kepala Seng Bu mengepul uap hitam.
Seng Bu mendengus-dengus, muka serta lehernya sudah penuh keringat dan
perlahan-lahan, tenaganya mengendur sedangkan hawa panas dari telapak tangan Yo
Han mulai memasuki dirinya melalui kedua tapak tangannya.
Yo Han
merasa mendapatkan kesempatan. Dia harus menggunakan tenaga saktinya untuk
mendorong keluar hawa beracun itu dari tubuh Seng Bu, sambil merusak pusat
penghimpunan sinkang agar selanjutnya Seng Bu tidak dapat lagi mempergunakan
ilmu sesatnya itu.
Yo Han sudah
mengambil keputusan bahwa itulah satu-satunya jalan untuk memaksa Seng Bu
kembali ke jalan yang benar, yaitu dengan meniadakan kekuatan yang akan
mendorongnya melakukan kekejian. Kalau Seng Bu sudah tidak memiliki kekuatan
yang dapat dia andalkan, tentu dia tidak akan mampu merajalela lagi.
Sian Li, Hui
Eng, Ciang Hun, Cia Sun, dan Bi Kim yang maklum apa artinya adu tenaga sinkang
antara kedua orang muda yang lihai itu, menonton dengan hati tegang bukan main.
Terutama sekali Sian Li.
Gadis ini
maklum bahwa dalam adu tenaga sinkang seperti itu, berarti adu nyawa, dan kalau
sampai kekasihnya kalah dalam adu tenaga sinkang ini, ia tahu bahwa Seng Bu
pasti tidak segan-segan untuk membunuhnya. Untuk membantu, ia tidak mau karena
hal itu akan merendahkan Yo Han dan tidak sesuai dengan watak pendekar. Maka,
wajahnya sudah mulai pucat karena ia merasa gelisah sekali.
"Jangan
takut, dia pasti menang," terdengar Hui Eng berbisik di sampingnya dan
Sian Li mengangguk, berterima kasih karena dia pun tahu bahwa Hui Eng cukup
lihai untuk dapat menduga yang tepat, menghilangkan keraguannya sendiri.
Dan memang
ucapan Hui Eng itu bukan sekedar hiburan kosong belaka. Gadis lihai ini sudah
melihat betapa Seng Bu terdesak hebat dalam adu tenaga itu, membuat uap tebal
menghitam keluar dari kepalanya, matanya mendelik dan keringatnya membasahi
muka dan leher, juga nampak betapa tubuh Seng Bu mulai menggigil.
Seng Bu
maklum bahwa dia tak akan menang, akan tetapi dia pun tidak mau menyerah. Masih
dikerahkan tenaganya yang terakhir hingga dia seperti mendengar suara tulang
patah di dalam dadanya. Ia pun melangkah mundur, kedua tangannya ditarik lepas
dari tangan Yo Han dan menggunakan kedua tangan untuk menekan dadanya yang terasa
nyeri. Akhirnya, ia pun memuntahkan darah segar, terhuyung ke belakang.
"Ouw
Seng Bu, masih ada kesempatan hidup bagimu. Pergi berobat dan
bertobatlah!" kata Yo Han lembut.
Dengan mata
mendelik penuh kebencian Seng Bu memandang kepada Yo Han, lalu dia masih nekat
hendak mengerahkan tenaga dan menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia
mengerahkan tenaga sinkang, isi dada perutnya bagai diremas, membuat dia
mengeluh dan terhuyung, dan dia memandang kepada Yo Han dengan mata terbelalak
bingung.
"Seng
Bu, mulai kini engkau tidak akan dapat menggunakan tenaga berbuat kejahatan
lagi. Bertobatlah!" kata Yo Han lembut dan dalam suaranya terkandung
perasaan iba.
Mendengar
ini, tahulah Seng Bu bahwa sudah habis baginya, habis segala-galanya. Dia
teringat secara mendadak kepada Cu Kim Giok, gadis yang dicinta dan
mencintanya, dan di dalam lubuk hatinya timbul penyesalan yang amat mendalam.
Dia mengeluarkan keluhan panjang, kemudian tubuhnya membalik dan dia sudah
berlari menuju ke tempat tahanan yang kini berkobar dimakan api. Yo Han dan
semua orang mengejarnya.
Ketika Seng
Bu melihat lima orang tosu Bu-tong-pai berdiri, dan tak jauh dari situ rebah
sesosok tubuh, dia tersentak kaget mengenal tubuh Kim Giok yang dicarinya.
Tanpa mempedulikan apa pun, dia berseru memanggil, "Giok-moi...!!"
Dan dia pun menubruk mayat gadis itu.
"Giok-moi…
ahhh, Giok-moi...!" Dia meratap dan menangis.
Yo Han dan
yang lain-lain sudah tiba di situ.
"Ouw
Seng Bu iblis busuk, tidak perlu lagi engkau pura-pura menangis! Simpan saja
air mata buayamu itu karena Kim Giok sudah tewas oleh pukulanmu. Engkaulah yang
telah membunuhnya, kenapa engkau kini berpura-pura menangis?" tegur Sian
Li gemas dan marah.
Mendengar
ucapan Sian Li, tangis Seng Bu semakin menjadi-jadi. Seperti anak kecil dia
menangis dan meratap, sesenggukan.
"Giok-moi...
Kim Giok... ampunkan aku... ampunkan aku..." demikian ratapnya berulang
kali.
Kemudian,
tanpa diduga-duga oleh semua orang, mendadak dia menggerakkan tangan kanannya,
meringis menahan nyeri ketika mengerahkan tenaga terakhir dan tangan itu
menyambar dan mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri. Terdengar suara tulang
patah dan dia pun roboh dan tewas di atas jenazah Kim Giok yang masih hangat.
Semua orang
terbelalak, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
"Mungkin
inilah yang terbaik...," kata Yo Han halus, penuh rasa haru dan iba.
"Kakak
Yo Han, untunglah engkau dapat muncul dalam keadaan selamat, kalau tidak...
sukar aku membayangkan apa yang akan terjadi dengan kami semua," kata Cia
Sun.
Yo Han
memandang kepada adik angkatnya itu sambil mengerutkan alisnya. Suaranya memang
lembut, namun penuh teguran ketika dia berkata, "Cia-siauwte, kenapa
engkau melanggar janji, telah mengerahkan pasukan pemerintah untuk menyerbu
perkumpulan pejuang?"
Wajah Cia
Sun berubah kemerahan. "Ah, Twako. Aku sama sekali bukan mengerahkan
pasukan untuk menyerbu perkumpulan pejuang, tetapi terpaksa mengerahkan pasukan
untuk menolong Eng-moi dan nona Sian Li dari tangan penjahat!”
Hui Eng
segera maju membela. "Dia benar! Tanpa datangnya pasukan yang menyerbu
perkumpulan Thian-li-pang yang sudah menjadi gerombolan penjahat itu, mungkin
kami sekarang telah tewas."
Sian Li
sudah maju dan memegang lengan Yo Han dengan mesra. "Han-koko, mereka itu
benar. Pangeran mengerahkan pasukan bukan hanya untuk menyelamatkan kami
berdua, bahkan untuk mencoba menolongmu yang dikabarkan tewas dalam
sumur."
Yo Han
termangu. Jika Sian Li sudah memberi kesaksiannya, tentu dia tidak meragukan
lagi kebenarannya. "Kalau begitu, mari kita pergi dari sini dan bicara di
luar tempat ini." Ia memandang kepada gadis yang tewas di samping Seng Bu
dan bertanya, "Siapakah nona yang tewas ini?"
"Han-koko,
ia bukan orang lain. Ia adalah puteri Paman Cu Kun Tek dari Lembah Naga
Siluman," kata Sian Li.
Yo Han
terbelalak. "Ahhh...!"
"Ia
yang telah membebaskan kami dari rumah tahanan yang terbakar. Tanpa bantuan
dirinya, kami semua tentu sudah terbakar mati di dalam kamar tahanan,"
kata pula Sian Li, lalu ia menunjuk kepada lima orang tosu, Gak Ciang Hun dan
Gan Bi Kim. "Lima orang Totiang ini dari Bu-tong-pai, dan ini kakak Gak
Ciang Hun dan enci ini..."
"Aku
sudah mengenal Yo Taihiap dengan baik, adik Sian Li."
"Benar
apa yang dikatakan oleh saudara Yo Han, kita bicara saja di luar. Biar kubawa
jenazah nona Cu Kim Giok ini keluar," kata Gak Ciang Hun, dan dia lalu
memondong jenazah itu.
"Mari
ikut aku. Aku yang akan membukakan jalan keluar," kata Cia Sun.
Dia pun
berjalan diikuti mereka semua. Tentu saja para perwira atau prajurit tidak
berani menghalangi pangeran ini keluar dari perkampungan Thian-li-pang, diikuti
lima orang tosu Bu-tong-pai, Gak Ciang Hun yang memondong jenazah Cu Kim Giok,
Yo Han, Sian Li, Bi Kim, dan Hui Eng.
Setelah tiba
di kaki bukit, barulah mereka berhenti. Menurut usul Gak Ciang Hun yang
disetujui pula oleh mereka semua, lima orang tosu Bu-tong-pai yang lebih
mengetahui akan urusan itu, diminta agar memilihkan sebidang tanah yang baik
untuk mengubur jenazah Cu Kim Giok. Semua orang membantu menggali lubang dan
dengan upacara sederhana namun khidmat yang dipimpin oleh Thian Tocu tosu dari
Bu-tong-pai.
Setelah
selesai pemakaman yang dilakukan tanpa ada yang bicara, akhirnya mereka
mendapat kesempatan untuk duduk di dekat makam dalam sebuah lingkaran. Barulah
mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Seperti
dengan sendirinya, Sian Li duduk di dekat Yo Han dan pandang mata Sian Li
bersinar-sinar penuh kebahagiaan karena akhirnya dia dapat bertemu dan
berkumpul dengan pria yang sejak kecil telah dicintanya itu. Hui Eng juga duduk
di dekat Cia Sun, sedangkan Bi Kim duduk di dekat Ciang Hun. Secara bergantian
mereka menceritakan pengalaman mereka.
Yo Han
merasa lega dan gembira pada saat mendengar bahwa Hui Eng yang tadinya dianggap
sebagai puteri Siangkoan Kok, ternyata adalah gadis yang selama ini dicari-carinya,
yaitu puteri Liong-siauw Kiam-hiap (Pendekar Pedang Suling Naga) Sim Houw yang
hilang diculik orang sejak kecil. Apa lagi kini Hui Eng sudah menemukan
jodohnya, yaitu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun yang dia tahu adalah seorang
pangeran Mancu yang berjiwa pendekar.
Makin besar
rasa bahagia di dalam hatinya ketika dia melihat bahwa Gan Bi Kim, cucu
keponakan gurunya yang oleh nenek Ciu Ceng dijodohkan dengannya itu nampak
akrab dan saling mencinta dengan Gak Ciang Hun.
Ketika
giliran Yo Han menceritakan pengalamannya, semua orang, terutama sekali Sian Li
merasa ngeri dan kadang mengeluarkan seruan tertahan sambil memegang lengan Yo
Han. Mereka mendengarkan dengan penuh ketegangan dan kengerian.
"Sian-cai...,
sungguh amat menakjubkan sekali mendengar betapa dalam keadaan yang agaknya
sudah tidak ada harapan itu, ternyata Yo Taihiap masih dapat meloloskan diri!
Mengagumkan sekali!"
Yo Han
tersenyum melihat pandang mata mereka semua penuh kekaguman padanya.
"Totiang, dan Cuwi (Saudara sekalian), harap jangan memuji aku.
Sesungguhnya, aku sendiri sudah meragukan apakah aku akan mampu keluar dari
dalam sumur yang sudah ditutup dari luar itu. Namun, dalam keadaan apa pun
juga, sebelum hayat meninggalkan badan, aku tidak akan pernah putus asa. Di atas
segala kekuatan di dunia ini, ada suatu kekuatan yang maha kuat, maha kuasa,
dan maha mengetahui! Aku hanya menyerah kepada kekuasaan itu, yakni kekuasaan
Tuhan Sang Maha Pencipta. Aku selalu yakin sepenuhnya bahwa kekuasaan itu
menyerap sampai ke mana pun, bahkan di dalam tanah itu pun kekuasaanNya bekerja
dengan sempurna. Karena itu, selama badan ini masih dapat bergerak, aku harus
berusaha sekuat kemampuan untuk mempertahankan hidup ini, didasari penyerahan
yang mutlak kepada kekuasaan itu."
"Kekuasaan
itulah To..." Thian Tocu menggumam.
"Saya
kira memang tepat ucapan Totiang. To yang dimaksudkan itulah Hukum Alam, atau
Kekuasaan Tuhan yang selalu bekerja dan bergerak tiada hentinya, tanpa pernah
menyimpang sedikit pun dari ketepatannya, seperti timbul tenggelamnya matahari
dan bulan, seperti gerakan ombak samudera ke kanan kiri yang tiada
berkesudahan. Karena penyerahan mutlak kepada Yang Maha Mengetahui, Yang Maha
Kuasa itulah maka tak ada rasa gelisah atau takut sedikit pun. Dan ketenangan
ini sangat menguntungkan kita dalam menghadapi peristiwa apa saja. Demikianlah,
dengan tekun dan tanpa mengenal menyerah pada kesulitan, dengan pasrah kepada
Tuhan, maka akhirnya kekuatan dari kekuasaan Tuhan itu yang menuntunku hingga
dapat lolos dari ancaman maut di perut bumi."
Semua orang
terkesan dan suasana menjadi sunyi.
"Han-ko,
bagaimana Seng Bu itu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu? Bukankah dia
pula yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, kemudian dia menjatuhkan
fitnah bahwa engkaulah yang telah membunuh mereka. Ketika melawannya, aku dapat
merasakan betapa hebat tenaganya, dan melihat ia bertanding denganmu tadi,
sungguh menegangkan dan menggelisahkan. Lalu bagaimana seorang murid
Thian-li-pang dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, Koko?"
Yo Han
menghela napas panjang. "Agaknya hal itu akan tetap merupakan rahasia yang
tidak terpecahkan, Li-moi. Aku sendiri ketika bertanding dengannya, merasa
heran dan terkejut bukan main karena aku mengenal ilmunya sebagai ilmu yang
pernah kupelajari. Padahal ilmu itu tak pernah dipelajari oleh orang lain dan yang
menguasainya hanyalah mendiang suhu sebagai penemunya dan aku sebagai muridnya.
Tapi entah bagaimana, agaknya Seng Bu dapat pula mempelajari ilmu itu, hanya
saja... ilmu yang dikuasainya itu mempunyai perbedaan bagai bumi dan langit
dengan ilmuku. Ilmu itu menjadi sesat dan berbahaya sekali, mengandung hawa
beracun yang amat dahsyat. Jika tidak salah perhitunganku, agaknya dia secara
kebetulan, entah bagaimana, telah menemukan dan mempelajari ilmu itu, akan
tetapi tanpa bimbingan. Dia mempelajarinya secara keliru sehingga tanpa
disengaja, dia telah menguasai ilmu yang menjadi sesat dan dahsyat, dan mungkin
saja karena penguasaan ilmu itu, dia menjadi berubah dan tidak waras
lagi."
"Aku
ikut merasa menyesal sekali, Twako. Bagaimana pun juga, aku telah membantu
hancurnya Thian-li-pang, padahal engkau tentu tahu bahwa aku tidak pernah
memusuhi para pejuang," kata Cia Sun.
"Bukan
salahmu, Cia-te. Thian-li-pang sudah diselewengkan menjadi gerombolan jahat
yang bersekutu dengan golongan sesat. Biarlah kelak aku akan mencoba
menyusunnya kembali menjadi perkumpulan para pejuang yang sehat dan berjiwa
pendekar, seperti pesan mendiang suhu. Sekarang, apa yang akan kalian
lakukan?"
"Siancai,
kami berlima harus mohon diri, karena kami sudah terlalu lama meninggalkan
Bu-tong-san, Yo Taihiap," berkata Thian Tocu. Lima orang tosu itu bangkit
dan memberi hormat, dibalas oleh enam orang muda itu.
"Ngo-wi
Totiang dari Bu-tong-pai sungguh-sungguh merupakan sahabat yang amat baik,
membelaku sampai hampir menjadi korban kekejaman Ouw Seng Bu."
"Siancai...,
Yo Taihiap tentu telah mengerti sepenuhnya bahwa orang-orang seperti kita ini,
tidak pernah membela seseorang mau pun memusuhi seseorang. Yang kita bela
adalah kebenaran dan yang kita tentang adalah kejahatan. Bukankah begitu,
Taihiap?" kata Thian Tocu.
Yo Han dan
yang lain-lain memandang kagum, kemudian mereka semua mengangguk menyetujui.
"Kalau
begitu terima kasih dan selamat jalan, Totiang."
"Sampai
jumpa, Yo Taihiap dan saudara sekalian."
Lima orang
tosu itu lalu pergi meninggalkan tempat itu. Setelah lima orang tosu itu pergi,
enam orang muda itu saling pandang.
"Nah,
kini tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah," kata Yo Han sambil
memandang kepada Sian Li. "Aku bersama adik Sian Li akan pergi ke rumah
orang tua Li-moi, akan tetapi aku mengharap bantuan adik Cia Sun untuk menemani
kami. Terus terang saja, seperti yang mungkin sudah kalian ketahui, kami berdua
sudah bertekad untuk hidup berdua sebagai suami isteri, padahal oleh orang
tuanya, Li-moi telah dijodohkan dengan adik Cia Sun. Oleh karena itu, aku
membutuhkan bantuan Cia-te untuk menemani kami agar Cia-te yang memberi
penjelasan kepada paman Tan Sin Hong berdua."
"Tentu,
tentu saja aku akan menemani kalian!" seru Cia Sun gembira. "Tetapi
sebelum itu, aku minta kepada kalian semua untuk menemani aku dulu bersama adik
Hui Eng. Aku hendak mengantarkan Eng-moi kepada orang tuanya di Lok-yang.
Mengingat bahwa Eng-moi pernah bertemu dengan ayah ibu kandungnya dalam keadaan
yang tak menyenangkan di rumah pendekar Suma Ceng Liong, maka tentu pertemuan
itu akan terasa canggung. Kalau ada kalian semua yang ikut dan membantu memberi
kesaksian dan penerangan, tentu akan lebih menyenangkan. Terutama sekali, aku
mohon bantuan Yo-toako untuk membicarakan urusan kami berdua kepada orang tua
Eng-moi."
Yo Han
tersenyum memandang kepada Hui Eng yang menjadi merah kedua pipinya dan
menundukkan kepalanya. "Aku mengerti, Cia-te, dan agaknya kita memang
saling membutuhkan. Aku yakin Gak-twako tidak akan keberatan untuk ikut pula ke
Lok-yang membantu adik Sim Hui Eng."
"Ahh,
tentu saja!" kata Gak Ciang Hun dan dia pun nampak tersipu dan salah
tingkah. "Bahkan aku pun... hemmm... aku pun atau maksudku kami berdua,
aku dan adik Gan Bi Kim, amat membutuhkan bantuanmu, Yo-siauwte. Aku pun ingin
berterus terang saja. Aku sudah mendengar dari adik Bi Kim bahwa oleh neneknya,
dia sudah ditunangkan denganmu, Yo-te, akan tetapi kenyataannya sekarang,
engkau saling mencinta dengan adik Sian Li, sedangkan adik Bi Kim... ahhh, kami
berdua saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk bisa berjodoh. Nah,
tanpa bantuan Yo-te, bagaimana kami berdua akan berani menghadapi
keluarganya?"
Kini enam
orang itu saling pandang, dan meledaklah suara tawa mereka. Sian Li yang memang
berwatak lincah jenaka itu tidak menyembunyikan tawanya karena geli hatinya.
"Hik-hik-hik, alangkah lucunya! Agaknya memang kita berenam ini sudah
ditakdirkan untuk saling bantu dan harus melakukan perjalanan bersama. Betapa
menggembirakan! Kita saling kait mengait, saling membutuhkan bantuan!"
Yo Han
mengangguk-angguk. "Memang aneh. Agaknya memang Tuhan menghendaki
demikian! Aku ditunangkan dengan Gan Bi Kim, namun adik Bi Kim berjodoh dengan
Gak-twako dan aku berjodoh dengan Li-moi yang sudah ditunangkan dengan Cia-te,
sedangkan Cia-te berjodoh dengan Sim Hui Eng yang selama ini kita cari-cari!
Baiklah, sekarang diatur begini saja. Pertama-tama kita semua pergi ke rumah
orang tua adik Sim Hui Eng. Bagaimana pun juga, peristiwa bertemunya kembali
adik Eng dengan ayah dan ibunya merupakan hal yang sangat membahagiakan dan
penting sekali. Nah, setelah dari sana, kita tinggalkan dulu adik Eng bersama
orang tuanya, dan Cia-te ikut dengan kami untuk menemui orang tua Li-moi.
Setelah itu, aku akan meninggalkan dulu Li-moi di rumah orang tuanya dan
menemani Gak-twako untuk berkunjung ke rumah adik Gan Bi Kim. Dengan demikian
semua urusan akan menjadi beres!"
Demikianlah,
tiga pasang kekasih itu lalu mulai melakukan perjalanan berantai itu untuk
saling bantu. Mula-mula mereka berenam pergi berkunjung ke Lok-yang.
Pendekar
Suling Naga Sim Houw dan isterinya, Can Bi Lan, menyambut kedatangan mereka
dengan gembira dan juga terheran-heran karena mereka mengenal Hui Eng sebagai
gadis Pao-beng-pai yang pernah membikin kacau pertemuan keluarga besar di rumah
Suma Ceng Liong. Tetapi keheranan mereka berubah menjadi kejutan yang luar
biasa ketika mereka mendengar bahwa gadis itu bukan lain adalah Eng Eng, atau
Sim Hui Eng, anak kandung mereka!
Mula-mula
mereka merasa sukar untuk percaya, akan tetapi setelah Yo Han, Sian Li, dan
Pangeran Cia Sun bercerita, ditambah lagi bukti tanda tahi lalat hitam di
pundak kiri dan noda merah di ibu jari kaki di telapak kaki kanan, Can Bi Lan
menubruk puterinya sambil menjerit dan menangis. Terjadilah pertemuan yang amat
mengharukan hati, dan sukar dilukiskan betapa bahagia rasa hati Sim Houw dan
Can Bi Lan ketika mereka dapat menemukan kembali puteri mereka yang hilang
sejak kecil itu.
Setelah
suasana keharuan mereda, dengan hati-hati Yo Han dan Sian Li menceritakan
mengenai hubungan kasih sayang antara Hui Eng dan Cia Sun. Mereka juga
bercerita tentang semua pengalaman mereka, tentang pembelaan Cia Sun kepada Hui
Eng.
Mula-mula,
suami isteri itu tertegun. Mereka menemukan kembali puteri mereka, akan tetapi
juga mendengar bahwa puteri mereka ingin berjodoh dengan seorang pangeran
Mancu? Akan tetapi, suami isteri ini memang bijaksana.
Mendengar
betapa pangeran calon menantu mereka itu adik angkat Pendekar Tangan Sakti Yo
Han, juga dipuji-puji sebagai bekas calon suami Si Bangau Merah Tan Sian Li,
juga bahwa pangeran itu berjiwa pendekar, tidak memusuhi para pejuang dan tidak
setuju pula dengan penindasan, mereka pun dapat menerima dengan hati lapang.
Pada
keesokan harinya Yo Han dan Sian Li, Ciang Hun dan Bi Kim, mengajak Cia Sun
untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan dulu Hui Eng bersama orang
tuanya. Cia Sun berjanji kepada keluarga itu untuk segera meminta kepada ayah
ibunya untuk mengajukan pinangan secara resmi. Kemudian, Cia Sun mengikuti Yo
Han dan Sian Li mengunjungi orang tua Si Bangau Merah, yaitu Pendekar Bangau
Putih Tan Sin Hong yang tinggal di Ta-tung, sebelah barat Peking.
Sekali ini,
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li menerima puteri mereka dengan gembira dan mereka
berdua bahkan merasa berbahagia sekali ketika mendengar keterangan mereka semua
tentang pembatalan pertalian jodoh antara puteri mereka dengan Cia Sun yang
dengan jujur mengakui bahwa dia saling mencinta dengan Sim Hui Eng.
Kini suami
isteri ini dapat menerima pinangan Yo Han dengan rasa syukur karena bagai mana
pun juga sebetulnya mereka amat menyayangi Yo Han yang kini ternyata sudah
menjadi seorang pendekar sakti yang bernama besar sebagai Pendekar Tangan
Sakti. Suami isteri ini pun turut merasa gembira mendengar bahwa puteri
keluarga Sim yang hilang sejak kecil itu telah ditemukan kembali, bahkan akan
menjadi jodoh Pangeran Cia Sun, bekas calon mantu mereka.
Dari rumah
orang tua Sian Li, Yo Han mengikuti Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim ke kota raja.
Juga Pangeran Cia Sun hendak pulang ke kota raja untuk minta kepada orang
tuanya meminang Sim Hui Eng.
Keluarga
pembesar Gan Seng, juga nenek Ciu Ceng, menyambut pulangnya Gan Bi Kim dengan
gembira pula. Mereka agak tercengang ketika mendengar pengakuan Gan Bi Kim
bahwa ia telah memutuskan pertalian jodohnya dengan Yo Han, karena Yo Han telah
berjodoh dengan gadis lain. Tetapi mereka pun merasa lega ketika diperkenalkan
dengan Gak Ciang Hun sebagai pemuda yang dipilih Bi Kim sebagai calon jodohnya.
Apa lagi Yo
Han ikut bicara dan memberi penjelasan bahwa sebelum bertemu Bi Kim,
sesungguhnya dia sudah mempunyai pilihan hati. Keluarga itu bahkan merasa
bangga mendengar bahwa calon menantu mereka, Gak Ciang Hun, adalah keturunan
pendekar besar yang mempunyai nama harum di dunia persilatan.
Demikianlah,
tiga pasangan kekasih ini tidak menemui halangan apa pun dalam urusan
perjodohan mereka. Pihak orang tua telah menerima dengan senang hati dan
pinangan resmi dilakukan, bahkan pernikahan tiga pasang mempelai ini dirayakan
dalam tahun itu juga. Cia Sun mengajak isterinya, Sim Hui Eng, tinggal di
rumahnya di kota raja, dan sekali waktu keduanya juga tinggal di rumah
mertuanya di Lok-yang. Sementara, Gak Ciang Hun mengajak isterinya, Gan Bi Kim
tinggal di Beng-san, di bekas tempat tinggal orang tuanya, yaitu di puncak
Telaga Warna yang indah.
Yo Han
sendiri bersama isterinya, Tan Sian Li, melakukan perjalanan bulan madu jauh ke
Lembah Naga Siluman, untuk menyampaikan berita duka tentang kematian Cu Kim
Giok kepada keluarga Cu. Berita itu tentu saja disambut dengan tangis oleh Cu
Kun Tek dan Pouw Li Sian, dan mereka mendengarkan keterangan Yo Han dan Sian Li
tentang puteri mereka, dan menerima pesan terakhir Kim Giok melalui Sian Li
untuk memohon ampun kepada ayah ibunya.
Biar pun
hati mereka terasa hancur karena kematian puteri mereka, namun setidaknya
mereka terhibur juga bahwa pada saat-saat terakhir, puteri mereka sadar dan
bertindak sesuai dengan jiwa kependekaran keluarga mereka. Puteri mereka, Cu
Kim Giok, tewas sebagai seorang pendekar wanita yang membela kebenaran. Juga
mereka tidak merasa penasaran karena pembunuh puteri mereka, yaitu ketua
Thian-li-pang Ouw Seng Bu, telah menemui ajalnya pula. Kemudian Pendekar Tangan
Sakti Yo Han bersama isterinya, Si Bangau Merah Tan Sian Li berkunjung ke Bukit
Naga. Di tempat itu, dengan dibantu oleh isterinya, Yo Han mulai menghimpun
kembali perkumpulan Thian-li-pang.
Para anggota
lama yang semula memang tidak setuju dengan kesesatan Thian-li-pang
dikumpulkan. Perkumpulan itu pun didirikan kembali dengan jumlah anggota yang
kecil. Akan tetapi di bawah bimbingan Yo Han, Thian-li-pang dalam waktu yang
singkat telah bangkit kembali menjadi perkumpulan para pendekar pejuang yang
terkenal bersih dan di kemudian hari, Thian-li-pang akan memegang peran penting
dalam perjuangan rakyat menentang kekuasaan penjajah Mancu.
Seperti
tercatat dalam sejarah, setahun lebih kemudian, yaitu pada tahun 1796, Kaisar
Kian Liong meninggal dunia dan tahta kerajaan Ceng lalu dipimpin oleh Kaisar
Cia Cing, putera Kaisar Kian Liong. Kaisar Cia Cing memerintah selama dua puluh
empat tahun (1796-1820), kemudian dilanjutkan oleh puteranya, Kaisar Tao Kuang
(1820-1850). Tetapi, semenjak wafatnya Kaisar Kian Liong, kerajaan Mancu mulai
kehilangan pamor dan kejayaannya mulai memudar. Pemberontakan terjadi di
mana-mana, ditambah lagi dengan masuknya kekuatan asing barat (orang kulit
putih) yang mulai menancapkan kuku kekuasaan mereka di daratan Cina.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment