Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 11
SETELAH
mereka berlari sampai ke kaki bukit dan tidak ada yang kelihatan melakukan
pengejaran, Sian Li menghentikan langkahnya. Dengan sendirinya Cia Sun dan Hui
Eng juga berhenti berlari. Dengan leher basah oleh keringat, mereka saling
memandang. Akhirnya Sian Li yang lebih dulu bicara, suaranya agak ketus dan
ucapannya ditujukan kepada Hui Eng.
"Sekarang
boleh kau katakan kepadaku, apa artinya ini semua? Engkau yang pernah mengacau
dan memusuhi keluarga kami, mengapa sekarang mendadak membantuku? Bukankah
engkau tokoh Pao-beng-pai dan Siangkoan Kok tadi ketua Pao-beng-pai?"
Sebelum Hui
Eng menjawab, karena hal ini terasa sukar sekali baginya, Cia Sun yang
mendahuluinya memberi keterangan.
"Nona
Tan Sian Li, memang sudah terjadi perubahan besar sekali atas diri Eng-moi ini.
Jangankan engkau atau orang lain, dia sendiri pun terheran-heran ketika
mendengar tentang keadaan dirinya."
Sian Li
mengerutkan alisnya dan kini dia mengamati wajah pemuda itu dengan penuh
selidik. Sikapnya masih dingin. "Hemmm, sebelum engkau bercerita, katakan
dulu siapa engkau ini dan bagaimana engkau dapat mengenal namaku!"
Wajah
pangeran itu berubah menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. "Ehhh...
sebetulnya... yang mengenalimu tadi bukanlah aku, melainkan Eng-moi ini, Nona.
Aku bernama Cia Sun..."
"Cia...?"
Sekarang Sian Li terbelalak memandang pemuda itu dan perlahan-lahan kedua
pipinya berubah kemerahan. "Cia Sun...? Kau... maksudkan
pangeran...?"
"Benar,
Nona. Aku adalah Pangeran Cia Sun yang oleh orang tua kita..." Cia Sun
tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah,
Pangeran. Harap engkau suka menceritakan tentang semuanya ini, tentang Enci
ini, tentang perubahan yang kau katakan tadi."
Sian Li
memotong untuk mengalihkan pembicaraan karena ia menjadi rikuh sekali kalau
harus bicara tentang hubungan di antara mereka. Siapa yang tidak menjadi rikuh
dan gugup kalau secara tiba-tiba dihadapkan kepada seorang pemuda yang oleh
ayah dan ibunya dicalonkan menjadi suaminya.
"Nona,
ketika memusuhi keluargamu dan para pendekar, Eng-moi ini adalah seorang gadis
yang bernama Siangkoan Eng, puteri dari ketua Pao-beng-pai yang bernama
Siangkoan Kok. Akan tetapi, sekarang Eng-moi bukan lagi puteri ketua
Pao-beng-pai, bahkan musuh besarnya, karena Eng-moi ini sebenarnya adalah
puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan, yang hilang ketika
masih kecil."
Sian Li
terbelalak. "Aihhh...! Jadi engkau... engkau inikah puteri Paman Sim Houw
yang hilang itu? Engkau yang dicari-cari semua pendekar, dicari oleh Han-koko
dan aku pun ikut membantu mereka mencarimu? Dan engkau bahkan pernah datang
menemui kami sebagai seorang musuh yang sengaja menantang kami?"
"Benar
sekali, adik Sian Li. Ketika itu aku sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa
aku bahkan anggota keluarga dekat dengan keluarga yang kutantang, sama sekali
tak tahu bahwa aku bukanlah anak kandung Siangkoan Kok dan isterinya. Wanita
yang sejak aku kecil mengaku sebagai ibu kandungku itu adalah Lauw Cu Si, seorang
keturunan Beng-kauw yang memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir."
Kemudian,
secara singkat namun jelas, diceritakanlah semua mengenai dirinya, tentang
Siangkoan Kok dan Lauw Cu Si kepada Sian Li yang mendengarkan dengan bengong.
Cerita itu sungguh seperti dongeng dan tentu saja dia tidak dapat menyalahkan
Hui Eng atas sikapnya ketika memusuhi keluarganya dahulu. Bahkan dia lalu
memegang kedua tangan Hui Eng.
"Aihhh,
enci Hui Eng. Sungguh malang nasibmu, sejak kecil dipisahkan dari ayah ibu
kandung dan dipelihara oleh orang-orang sesat. Akan tetapi dasar engkau
keturunan suami isteri pendekar, maka biar pun engkau mendapat didikan para
tokoh sesat, tetap saja engkau setelah dewasa berjiwa pendekar dan menentang
kejahatan. Kemudian, bagaimana pula ceritanya, engkau dapat bertemu dan
berkenalan dengan... Pangeran Cia Sun ini dan kalian dapat datang tepat pada
waktunya selagi aku terancam oleh pengeroyokan mereka tadi?"
"Kami
saling berkenalan ketika aku dan kakak angkatku Yo Han..."
"Kakak
angkatmu, Pangeran?" Sian Li terbelalak.
"Benar,
Nona Tan. Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan aku sudah saling mengangkat saudara.
Kami bertemu di Pao-beng-pai, kemudian kami mengangkat saudara setelah kami
menjadi tawanan di Pao-beng-pai. Untunglah ada adik Eng ini yang membebaskan
kami. Lalu Pao-beng-pai diserbu oleh pasukan pemerintah. Aku yang
mengkhawatirkan nasib Eng-moi, lalu ikut pasukan untuk mencarinya. Akan tetapi
dia tidak ada dan aku malah sempat bertemu dengan isteri Siangkoan Kok yang
tewas oleh suaminya sendiri. Sebelum meninggal dunia, wanita itulah yang
membuka rahasia Eng-moi kepadaku…"
Pangeran itu
menghentikan kisahnya dan kini Hui Eng yang melanjutkan.
"Aku
mengira bahwa Pangeran Cia Sun yang membawa pasukan dan menghancurkan
Pao-beng-pai. Aku tak peduli kalau Pao-beng-pai yang jahat itu hancur, akan
tetapi aku mendendam karena wanita yang tadinya kuanggap ibu kandungku itu
tewas. Maka aku menyusul ia dan menawannya, dengan maksud membunuhnya di depan
makam ibuku. Akan tetapi, aku mendengar ceritanya dan aku mengetahui keadaan diriku.
Kami... kami lalu berbaik kembali, apa lagi setelah aku mendengar bahwa wanita
yang kuanggap ibu kandungku itu tewas di tangan Siangkoan Kok."
"Tapi,
kenapa kalian dapat datang ke Thian-li-pang?" tanya Sian Li yang masih
terkesan oleh kisah yang terjadi antara kedua orang itu.
Pangeran Cia
Sun yang mengambil keputusan untuk berterus terang, lalu menyambung cerita
kekasihnya tadi. "Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa orang tua kita
sudah menjodohkan kita, akan tetapi sebaiknya aku berterus terang kepadamu,
nona Tan Sian Li. Meski setelah bertemu denganmu aku merasa bahwa orang tuaku
telah melakukan pilihan yang tepat dan bahkan terlalu baik untukku, akan tetapi
aku sudah saling jatuh cinta dengan Eng-moi dan kami telah bersumpah untuk
menjadi suami isteri. Maafkan aku kalau menyinggung..."
Sian Li
tersenyum! Senyum yang cerah dan sedikit pun tidak mengandung penyesalan
sehingga melegakan hati Cia Sun dan Hui Eng. "Aku bahkan merasa lega dan
gembira dengan pernyataanmu ini, Pangeran. Terus terang saja, aku sendiri pun
sama sekali tak setuju dengan tindakan ayah dan ibuku yang memilihkan seorang
calon suami untukku, seorang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui
bagaimana orangnya. Nah, sekarang ceritakan bagaimana kalian dapat datang ke sini.”
"Aku
hendak mengantar Eng-moi menghadap ayah dan ibu kandungnya yang tinggal di
Lok-yang. Akan tetapi dalam perjalanan itu kami mendengar akan sepak terjang
orang-orang Thian-li-pang. Aku merasa penasaran sekali kenapa Thian-li-pang
dapat berubah menjadi perkumpulan yang menyeleweng, padahal, kakak angkatku Yo
Han itu menjadi ketua kehormatannya. Aku lalu mengajak Eng-moi untuk
berkunjung, dan kalau di sana ada Yo-toako, aku ingin menegurnya."
Sian Li
kembali terheran-heran. "Pangeran, apakah engkau masih belum tahu bahwa
Thian-li-pang adalah perkumpulan para pejuang yang hendak membebaskan rakyat
dari cengkeraman penjajah?! Dan engkau sendiri seorang pangeran kerajaan
Ceng..."
"Benar,
Nona. Aku adalah seorang Pangeran Mancu, pemerintah penjajah. Akan tetapi aku
sendiri tidak menyetujui penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan para orang
gagah itu memang sudah benar dan menjadi hak mereka. Aku tidak ingin mencampuri
urusan itu. Aku bercita-cita untuk menjadi orang biasa yang tidak mencampuri
urusan pemerintahan. Bahkan kami sekeluarga pun tak mau memiliki ambisi untuk
memegang kedudukan. Sebab itu, selama perkumpulan pejuang benar-benar merupakan
pahlawan dan patriot sejati, aku menghormati mereka. Akan tetapi kalau mereka
itu melakukan penyelewengan dan menjadikan perjuangan sebagai kedok untuk
menutupi kejahatan yang mereka lakukan, aku pasti akan menentang mereka."
Sian Li
mengangguk-angguk kagum dan dia memandang kepada Hui Eng.
"Aihh,
enci Eng, engkau sudah mendapatkan seorang calon suami yang gagah perkasa.
Sekarang tahulah aku kenapa ayah dan ibu berkeras hendak menjodohkan aku dengan
Pangeran Cia Sun! Harap kau lanjutkan ceritamu, Pangeran."
Mendengar
ucapan San Li yang begitu jujur dan terbuka, memuji pangeran itu begitu saja
tanpa disembunyikan, sepasang kekasih itu tersipu akan tetapi juga merasa suka
dan kagum kepada Si Bangau Merah.
"Kami
segera mendaki Bukit Naga ini dan melihat engkau dikeroyok tadinya aku merasa
ragu karena tidak tahu urusannya. Tapi begitu Eng-moi mengenalmu dan menyebutkan
namamu, kami berdua segera terjun dan membantumu."
Sian Li
menghela napas panjang. "Pertolongan Tuhan datang melalui apa saja, bahkan
yang tidak pernah terduga sekali pun. Siapa yang pernah menyangka bahwa aku
akan diselamatkan oleh orang yang ditunangkan denganku akan tetapi tak pernah
kukenal dan akhirnya harus kutolak, dan oleh orang yang tadinya jelas memusuhi
keluargaku? Kalian datang pada saat yang tepat sekali, karena tadi aku sudah
hampir tidak tahan menghadapi mereka, terutama sekali Ouw-pangcu, ketua baru
Thian-li-pang yang amat lihai itu."
"Sekarang
tiba giliranmu, Nona. Kami ingin sekali mengetahui bagaimana engkau dapat
berada di sana tadi dan dikeroyok banyak orang lihai?" tanya Cia Sun.
Ditanya
begitu, Sian Li teringat akan Yo Han dan mendadak wajahnya menjadi muram. Kalau
saja dia bukan seorang gadis yang tabah dan berhati baja, tentu dia pun sudah
menangis karena teringat bahwa mungkin sekali pria yang dikasihinya itu telah
tewas.
Cia Sun dan
Hui Eng melihat perubahan muka Sian Li itu dan mereka saling pandang. Ketika
beberapa kali Sian Li hanya menghela napas panjang dan menunduk, alisnya
berkerut, Cia Sun menjadi tidak sabar lagi.
"Nona,
apakah yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang membuat engkau enggan
menceritakan kepada kami? Kalau begitu, engkau tidak usah
menceritakannya..."
"Tidak,
Pangeran, bukan begitu, tetapi, ahhh, hatiku sangat risau dan gelisah. Maafkan
kelemahanku ini dan biarlah kuceritakan dari semula. Sebelum kuceritakan
semuanya, sebaiknya kalau aku pun membuat pengakuan padamu, pengakuan yang
hanya dapat aku lakukan setelah engkau berterus terang tentang hubunganmu
dengan enci Hui Eng. Pangeran, aku dan kakak Yo Han... kami berdua...
ehhh..."
Melihat
keraguan Sian Li dan perubahan mukanya yang menjadi merah sekali, terlebih lagi
bibirnya yang mengulum senyum malu-malu, Cia Sun lalu tersenyum, "Kalian
saling mencinta?"
Sian Li
mengerling kepadanya dan mengangguk.
"Ha,
sudah kuduga, Nona. Engkau memang pantas sekali menjadi calon isteri Yo-toako.
Nah, teruskan ceritamu."
"Pada
waktu tiga orang keluarga besar berkumpul di rumah Paman Suma Ceng Liong, aku
tidak melihat Yo Han koko di sana. Aku tahu bahwa dia sedang membantu Paman Sim
Houw untuk mencarikan puterinya yang hilang. Oleh karena itu, aku lalu
mengambil keputusan untuk membantunya mencarikan enci Hui Eng."
Mendengar
ini, Hui Eng lalu berkata. "Aihhh, kalian semua begitu baik, bersusah
payah mencari aku, akan tetapi aku sendiri malah sudah bertindak jahat,
mengacau di sana..." Suaranya penuh penyesalan.
"Ahh,
enci Eng. Seperti yang dikatakan Pangeran tadi, ketika itu engkau bukanlah enci
Sim Hui Eng yang sekarang, melainkan Siangkoan Eng puterinya ketua
Pao-beng-pai. Yang sudah lewat anggap saja mimpi buruk, Enci."
"Engkau
benar adik Sian Li. Teruskan ceritamu."
Sian Li
kemudian menceritakan bahwa dalam perjalanannya, ia pun mendengar tentang
kejahatan orang-orang Thian-li-pang, maka dia pun merasa penasaran dan ingin
sekali menyelidiki. Akhirnya dia bertemu dengan para tokoh Bu-tong-pai di
lereng Bukit Naga dan mendengar penuturan mereka yang membuat dirinya terkejut
setengah mati, yaitu bahwa kabarnya, Yo Han tewas di tangan ketua Thian-li-pang
yang baru.
"Apa...?!
Tidak mungkin itu!" Cia Sun berseru kaget setengah mati.
"Aku
sendiri juga tidak percaya, Pangeran. Lebih tak percaya lagi ketika Ouw Seng
Bu, ketua yang baru itu, menceritakan bahwa Han-koko sudah membunuh para
pimpinan Thian-li-pang, dan bahwa Han-koko datang untuk membunuh dia. Dia melawan
di dekat sumur tua dan akhirnya terluka oleh pukulan Han-koko, akan tetapi para
anak buahnya mengeroyok Han-koko yang katanya tergelincir masuk ke dalam sumur
tua itu. Dan... dan... mereka lalu menimbuni sumur tua itu dengan batu."
Suara Sian Li terdengar lirih dan penuh kegelisahan.
"Tetapi,
aku tetap tidak percaya! Memang ketua baru Thian-li-pang itu lihai, akan tetapi
tidak mungkin dia mampu membuat Yo-toako terjatuh ke dalam sumur. Tidak mungkin
Yo-toako tewas, aku tidak percaya!" kata Cia Sun keras sambil mengepal
tinju, namun suaranya mengandung isak tertahan, tanda bahwa dia juga merasa
gelisah sekali.
"Pangeran,
biarlah adik Sian Li melanjutkan ceritanya. Lalu apa yang terjadi kemudian,
Li-moi?"
"Aku
menuntut kepada Ouw-pangcu agar anak buah Thian-li-pang menggali sumur itu dan
menyingkirkan timbunan batu-batu. Akan tetapi dia melarang dengan alasan sumur
itu keramat bagi Thian-li-pang dan tidak boleh diganggu. Kami bercekcok, lalu
berkelahi dan aku dikeroyok oleh mereka."
"Aku
tetap tidak percaya! Nona, apakah engkau percaya akan keterangan itu? Bohong,
ketua Thian-li-pang itu tentu orang jahat yang berhasil menguasai Thian-li-pang
dengan ilmu kepandaiannya. Mungkin dialah yang telah membunuh para pimpinan
Thian-li-pang dan menjatuhkan fitnah kepada Yo-toako. Kita harus menyelidiki
hal ini!"
"Aku
pun tidak percaya, Pangeran. Akan tetapi, satu hal yang sangat mencemaskan
hatiku adalah kesaksian yang diberikan oleh Cu Kim Giok."
"Cu Kim
Giok? Siapakah itu?" tanda Sim Hui Eng dan Cia Sun hampir berbareng.
"Cu Kim
Giok adalah puterinya Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian dari Lembah Naga
Siluman. Dia keturunan terakhir dari keluarga Lembah Naga Siluman dan masih
terhitung kerabat yang ada hubungan pertalian kekeluargaan denganku. Aku merasa
heran bukan main melihat ia bisa berada di sana, bahkan nampak akrab sekali
dengan Ouw-pangcu itu. Kim Giok inilah yang memberi kesaksian bahwa Ouw-pangcu
memang terluka parah oleh pukulan Han-koko. Kehadiran Kim Giok di sana bukan
sembarangan saja, pasti tersembunyi rahasia di balik itu semua."
"Aihh,
jangan-jangan gadis itu sudah dipengaruhi oleh Ouw Seng Bu itu."
"Aku
pun menduga begitu, Pangeran. Akan tetapi, jelas bahwa Kim Giok tidak menjadi
jahat karenanya. Buktinya, dia berkali-kali memperingatkan Ouw-pangcu supaya
jangan membunuhku atau melukaiku. Agaknya dia pun percaya bahwa Ouw-pangcu
berada di pihak yang benar, bahwa ketua baru itu benar seorang pejuang, seorang
pendekar dan pahlawan, dan agaknya dia pun membenarkan Ouw-pangcu dalam
urusannya dengan Han-koko. Pasti ada apa-apanya di balik semua ini."
"Pangeran,
adik Sian Li, kita semua sudah saling menceritakan apa yang kita alami. Kini
tak ada gunanya untuk menduga-duga dan berheran-heran. Yang terpenting, kita
harus menyelidiki sumur tua itu. Kita harus dapat melihat kenyataan apakah
benar Yo Taihiap sudah tewas seperti dikatakan Ouw-pangcu itu. Dengan demikian,
kita tidak ragu lagi dan setelah itu baru kita putuskan, tindakan apa yang akan
kita ambil."
"Tepat
sekali apa yang dikatakan oleh dinda Hui Eng, Nona. Kita semua harus berusaha
sekuat tenaga untuk mencari bukti tentang keadaan Yo-toako. Karena bukan tidak
ada sebabnya kalau orang-orang Thian-li-pang itu kemudian menimbuni sumur yang
mereka anggap keramat itu dengan batu. Walau pun kita tidak percaya akan berita
tewasnya Yo-toako, namun kita harus mendapat kepastian."
Sian Li
mengangguk. "Memang kalian benar, dan aku pun sudah mengambil keputusan.
Aku tidak akan mau pergi dari sini sebelum mendapat kenyataan yang jelas
tentang diri Han-koko."
Mereka
bertiga lalu turun lagi untuk mencari pedusunan di mana mereka bisa membeli
makanan. Setelah membawa bekal makanan kering dan minuman, mereka bertiga lalu
berangkat lagi mendaki Bukit Naga. Mereka mencari jalan agar dapat memasuki
daerah perkampungan Thian-li-pang dari belakang, langsung menuju ke sumur tua
yang berada di bagian belakang. Sumur yang dipisahkan oleh sebuah bukit kecil
dari perkampungan perkumpulan itu…..
**************
"Adik
Gan Bi Kim, kau tunggu dulu...!"
Gan Bi Kim
menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. Dia melihat pemuda itu berlari
cepat menghampirinya. Wajah Bi Kim berseri gembira ketika mengenal bahwa pemuda
itu adalah Gak Ciang Hun, pemuda yang selalu terbayang di pelupuk matanya
semenjak mereka bertemu lalu berpisah.
Dalam
keadaan duka karena kasihnya yang gagal terhadap Yo Han, ia bertemu pemuda itu
yang juga mengalami derita patah hati karena kasihnya terhadap Si Bangau Merah
tidak terbalas. Mereka seolah-olah merasa saling menemukan, saling menghibur
serta saling mengisi kekosongan hati masing-masing.
Tetapi,
pertemuan singkat itu segera diakhiri perpisahan, membuat Gan Bi Kim merasa
kehilangan. Mereka bertiga, dia, Gak Ciang Hun, dan Tan Sian Li, harus saling
berpisah di jalan perempatan. Sian Li melakukan perjalanan ke utara, Ciang Hun
ke selatan, dan Bi Kim ke timur. Mereka bertiga bertujuan sama, yaitu membantu
pencarian terhadap puteri Sim Houw yang hilang sejak kecil, yaitu Sim Hui Eng.
"Gak-toako...!"
Bi Kim berseru dan kini ia pun lari menghampiri, menyambut pemuda itu dengan
hati terbuka dan kedua tangan di julurkan ke depan. Sejak berpisah, dia merasa
kehilangan dan kesepian, kehilangan gairah dan semangat.
"Kim-moi
(adik Kim)...!"
Kedua orang
itu saling menjulurkan kedua tangan, saling tatap tanpa kata. Dua pasang mata
itu bersinar-sinar, lalu mata Ciang Hun berkaca-kaca sedangkan Bi Kim yang
berusaha keras menahan keras guncangan hatinya, tidak urung meneteskan beberapa
butir air mata saking merasa lega dan bahagia dapat bertemu kembali dengan
orang yang amat dikenangnya.
Ketika ada
beberapa orang pejalan kaki mendatangi, Ciang Hun menggandeng tangan Bi Kim ke
tepi jalan dan mengajaknya duduk di atas batu besar. "Mari kita bicara di
sini, Kim-moi," katanya.
Setelah
duduk saling berhadapan di atas batu, Bi Kim berkata, "Toako, aku tadi
merasa seperti dalam mimpi ketika mendengar panggilanmu, kemudian melihat bahwa
engkau benar-benar datang. Kiranya bukan mimpi dan sekarang betapa bahagianya
rasa hatiku melihatmu, Toako."
Ciang Hun
menggenggam tangan yang masih digandengnya. Dari tangan mereka yang saling
genggam itu saja sudah terasa getaran hati mereka yang berbahagia.
"Kim-moi,
aku gembira sekali bahwa engkau merasa berbahagia melihat aku mengejar dirimu.
Tadinya aku khawatir kalau-kalau engkau akan marah."
"Marah?
Aihh, Toako, pada saat kita saling berpisah, aku merasa kehilangan pegangan,
seolah hidupku hampa. Tetapi, apakah yang menyebabkan engkau kembali kepadaku?
Apakah ada sesuatu yang penting?"
Ciang Hun
tersenyum dan menggelengkan kepala, nampak agak tersipu. Akan tetapi dengan
sejujurnya dia berkata, "Kim-moi, setelah kita saling berpisah, entah
mengapa, hatiku selalu terasa berat. Lalu kupikir betapa besar bahaya yang
mengancammu dalam perjalanan seorang diri. Apa lagi mengingat bahwa kita
sama-sama hendak membantu dan mencari Sim Hui Eng, maka apa salahnya kalau kita
mencari bersama? Dengan berdua, atau bertiga dengan Sian Li, kita akan lebih
kuat menghadapi bahaya, bukan? Nah, aku lalu berbalik mengejarmu."
Bi Kim
tersenyum, "Kalau begitu pikiran kita sama. Aku pun senang sekali engkau
akan menemaniku, Toako. Marilah kita segera menyusul Sian Li ke utara."
"Aku
pernah mendengar bahwa Yo Han menjadi pemimpin Thian-li-pang di Bukit Naga.
Sian Li mungkin sekali mencari Yo Han yang dicintanya itu untuk membantunya
karena Yo Han sedang mencari Hui Eng. Mari kita cari Sian Li ke sana, siapa
tahu ia pergi ke Thian-li-pang di Bukit Naga."
Setelah
Ciang Hun berada di sampingnya, tentu saja Bi Kim mengikuti saja ke mana pemuda
itu pergi. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat ke utara dan kini mereka
merasakan betapa perjalanan mereka amat menyenangkan, tidak lagi merasa
kesepian dan kehilangan…..
***************
Kita
tinggalkan dulu kedua orang ini dan kita tengok keadaan Sian Li, Hui Eng, dan
Cia Sun. Tiga orang ini telah mengambil keputusan untuk menyelidiki sumur tua
di belakang Thian-li-pang untuk mencari bukti kebenaran bahwa Yo Han berada di
dalam sumur dan ditimbuni batu-batu.
Setelah
membuat persiapan secukupnya, tiga orang pendekar ini mendaki Bukit Naga dari
arah belakang Thian-li-pang. Mereka adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Maka biar pun perjalanan pendakian itu amat sulit bagi orang
biasa, tapi dalam waktu yang cukup singkat mereka dapat juga sampai di belakang
bukit yang memisahkan sumur itu dengan pusat Thian-li-pang.
Tempat ini
memang merupakan tempat yang seolah terasing. Juga dianggap keramat oleh para
murid Thian-li-pang sehingga tanpa ijin ketua, tak seorang anggota pun berani
memasuki daerah yang menyeramkan itu.
Hari masih
pagi sekali ketika mereka mulai mendaki bukit dan kini matahari sudah mulai
menyengatkan cahayanya setelah mereka tiba di dekat sumur yang ditimbuni
batu-batu. Tempat itu nampak sunyi, tidak nampak ada seorang pun anak buah
Thian-li-pang.
Hal ini
melegakan hati ketiga orang pendekar itu, membuat mereka lebih leluasa untuk
melakukan pemeriksaan. Andai kata di situ terdapat anak buah Thian-li-pang,
mereka tentu harus merobohkan terlebih dahulu sebelum dapat melakukan
pemeriksaan.
Sian Li
mengerutkan alisnya saat menjenguk ke dalam sumur tua itu. Sumur itu tertutup
banyak batu-batu dan rasanya tidak mungkin batu-batu itu dapat digali dan
disingkirkan hanya oleh mereka bertiga. Tentu akan memakan waktu berhari-hari!
"Ahhh,
benarkah Yo-toako ditimbuni batu-batu itu di dalam sumur ini?" Aku sama
sekali tidak dapat percaya!"
Sim Hui Eng
juga memandang ngeri ke dalam sumur itu. "Aihhh, adik Sian Li, bagai mana
kita akan dapat menyingkirkan batu-batu itu? Tidak tahu sampai berapa dalamnya
sumur ini dan berapa banyaknya batu yang menimbuninya."
"Bagaimana
pun juga, kita harus membongkar batu-batu itu dan mengangkatnya keluar dari sumur.
Kalau tidak begitu, bagaimana kita akan dapat membuktikan bualan ketua baru
Thian-li-pang itu?"
Tapi Sian Li
berkata, "Nanti dulu, Pangeran. Coba engkau dan enci Eng menyerang dan
mengeroyokku di dekat sumur ini, aku ingin melihat kemungkinan Han-koko
tergelincir ke dalam sumur. Mungkin atau tidak hal itu terjadi kalau kita
sedang dikeroyok. Harap kalian mengeroyok dengan sungguh-sungguh, karena kalau
benar Han-koko berkelahi melawan ketua Thian-li-pang itu, dan dikeroyok oleh
para sekutunya, berarti Han-koko menghadapi banyak lawan tangguh. Nah,
mulailah."
Mengerti apa
yang dimaksudkan Si Bangau Merah, Cia Sun dan Hui Eng mengangguk, kemudian
keduanya sudah menyerang gadis itu dari kanan kiri. Sian Li mengelak dan
menangkis, dan membiarkan dirinya terdesak sampai ke tepi sumur. Dengan cara
tidak membalas, ia lalu terdesak mundur sampai ke tepi sumur. Tiba-tiba, nampak
bayangan merah berkelebat ke atas dan gadis itu sudah meloncati kedua orang
lawannya, seperti seekor burung bangau melayang, melampaui kepala mereka.
"Cukup
sudah!" katanya. "Nah, kalian lihat sendiri. Dalam keadaan gawat
menghadapi pengeroyokan, aku saja kiranya mampu meloloskan diri dengan
mengandalkan ginkang. Apa lagi Han-koko yang memiliki tingkat ginkang jauh
lebih tinggi dariku. Jadi, mustahil kalau sampai mereka itu dapat membuat
Han-koko tergelincir ke dalam sumur, bukan?"
"Tepat,
Nona. Aku pun sama sekali tak percaya bahwa Yo-toako demikian bodoh untuk dapat
dibuat tergelincir ke dalam sumur yang bibirnya cukup tinggi ini," kata
Pangeran Cia Sun sambil menyentuh bibir sumur yang tingginya ada satu satu
meter itu. "Dia pasti berbohong!"
"Adik
Sian Li, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah tidak lebih baik kita
serbu saja Thian-li-pang, menangkap ketuanya dan memaksanya untuk mengaku, atau
memaksa dia mengerahkan anak buahnya untuk membongkar batu-batu dalam sumur
ini?" kata Hui Eng.
"Atau
kalau kekuatan mereka terlampau besar bagi kita, biarlah aku mencari bantuan ke
benteng pasukan yang terdekat."
"Nanti
dulu, Pangeran. Aku memang sangat mengkhawatirkan keselamatan Han-koko. Akan
tetapi, andai kata ia benar tewas, kurasa tentu bukan karena perkelahian
melawan orang-orang jahat itu. Ia mungkin saja tewas atau tertawan akibat
dijebak, dan mungkin saja ia tidak berada di dalam sumur ini, melainkan ditawan
di suatu tempat rahasia di sarang Thian-li-pang."
"Ahhh,
itu mungkin sekali!" kata Cia Sun.
"Bagaimana
kalau kita bertiga mencari secara berpencaran? Dengan terpencar, selain lebih
mudah menyusup, juga pencarian dapat dilakukan lebih luas," kata Hui Eng.
Wajah Sian
Li nampak berseri. "Demikianlah sebaiknya, enci Eng! Akan tetapi... ahhh,
aku merasa tidak enak sekali karena selain merepotkan kalian, juga menyeret
kalian ke dalam bahaya besar mengingat betapa lihainya mereka."
"Ihhh,
nona Tan, mengapa engkau mengatakan demikian? Kakak Yo Han adalah kakak
angkatku, karena itu sudah sepatutnya kalau aku rela mengorbankan nyawa sekali
pun untuk membelanya!" kata Cia Sun.
"Ucapan
itu tepat sekali," sambung Hui Eng. "Adik Sian Li, bukankah keluarga
orang tua kita sejak dulu merupakan keluarga besar para pendekar? Aku telah
terseret ke dalam dunia sesat, tetapi sekarang tibalah saatnya aku menebus
semua kekuranganku itu dan memperlihatkan kepada dunia bahwa aku masih tetap
keturunan keluarga pendekar!"
Sian Li
memandang dengan haru. "Kalau begitu, semoga Tuhan melindungi kita semua.
Aku akan mengambil jalan dari sini ke kiri, dan engkau ke kanan, enci Eng.
Pangeran sendiri melakukan penyelidikan di sini dan terus ke bagian belakang
Thian-li-pang."
"Dan
kapan kita bertemu lagi? Di mana?"
"Di
sini saja. Setelah kita melakukan penyelidikan, kita kembali ke sini dan siang
atau sore ini kita harus sudah kembali ke sini mengumpulkan hasil penyelidikan
kita," kata Sian Li.
Setelah
bersepakat, Sian Li berkelebat ke kiri dan Hui Eng meloncat ke kanan. Dalam
sekejap mata saja kedua orang gadis perkasa itu telah lenyap, meninggalkan Cia
Sun seorang diri.
Pangeran ini
termenung, hatinya diliputi penuh kekhawatiran. Pertama-tama tentu saja dia
mengkhawatirkan Hui Eng, gadis yang dicintanya, kemudian dia mengkhawatirkan Yo
Han dan Sian Li. Pihak musuh terlampau kuat, dan jumlah mereka terlalu banyak.
Dia memang
tidak ingin mencampuri urusan pemerintah, juga tidak mencampuri urusan
perjuangan atau pemberontakan. Akan tetapi kali ini ia harus mencari bantuan
pasukan pemerintah, bukan untuk membasmi pemberontak, melainkan untuk
melindungi kedua orang gadis itu dan mencari keterangan tentang Yo Han.
Biar pun dia
tahu bahwa Hui Eng memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan belum tentu
di bawah tingkat kepandaian Si Bangau Merah, akan tetapi menghadapi
Thian-li-pang yang mempunyai anak buah ratusan orang banyaknya, belum lagi
sekutu-sekutunya yang banyak dan lihai, apa yang dapat diperbuat oleh dua orang
gadis itu dibantu olehnya seorang diri?
Setelah
berpikir keras, Cia Sun meninggalkan tempat itu, bukan untuk menyelidiki ke
Thian-li-pang, melainkan kembali menuruni bukit itu untuk memasuki dusun di
mana tadi mereka membeli bekal makanan. Dia tahu bahwa kurang lebih seratus li
dari dusun itu terdapat benteng Siang-heng-koan di mana terdapat pasukan
pemerintah. Dia sendiri tidak mungkin pergi ke sana karena dia harus membantu
dua orang gadis itu.
Melihat
seorang laki-laki sedang menggarap sawah di luar dusun itu, Cia Sun segera
memanggilnya dari pinggir sawah. Laki-laki itu bertubuh kuat berkat pekerjaan
berat di sawah dan setiap hari mandi cahaya matahari, usianya sekitar empat
puluh tahun.
"Toako,
kesinilah sebentar. Aku mempunyai urusan penting untuk dibicarakan!" kata
Cia Sun.
Melihat
seorang pemuda di tepi sawah memanggilnya, dan pemuda itu bukan seperti seorang
pemuda dusun, petani itu segera menghampiri. Tubuh atas yang telanjang itu
nampak kekar, celananya yang hitam penuh lumpur.
"Ada
urusan apakah Kongcu memanggil aku?" tanya heran.
"Sobat,
maukah engkau mendapat penghasilan yang lebih besar jumlahnya dari pada
penghasilan sawahmu selama beberapa tahun?"
"Ehhh?
Apa maksudmu Kongcu? Aku tidak mengerti..."
Cia Sun
mengeluarkan tiga potong besar emas dari sakunya dan memperlihatkannya kepada
petani itu. "Emas ini akan kuberikan kepadamu kalau engkau suka melakukan
sesuatu untukku."
Sepasang
mata itu terbelalak. Biar pun selama hidupnya belum pernah ia melihat emas
sebanyak itu, apa lagi memilikinya, akan tetapi ia pun cukup dewasa untuk
mengetahui bahwa tiga potong besar emas itu bukan saja sangat mahal harganya
dan merupakan jumlah yang lebih besar dari pada hasil sepuluh tahun bekerja di
sawah, bahkan dengan emas itu dia akan mampu membeli sawah yang luas dan rumah
tinggal yang cukup baik!
"Apa
yang harus kulakukan untuk Kongcu? Meski pun aku orang miskin, aku tidak mau
kalau disuruh mencuri atau membunuh orang, biar dibayar berapa banyaknya
pun!"
"Aihhh,
siapa suruh engkau melakukan kejahatan? Tugasmu hanya mudah saja, yaitu
mengantarkan surat ke benteng Siang-heng-koan."
"Benteng
pasukan...? Ahhh, mana aku berani, Kongcu? Aku akan ditangkap!"
"Suratku
akan membuka pintu benteng dan engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai
utusanku. Katakan dulu, sanggupkah engkau?"
Karena hanya
disuruh mengantar surat, dengan penuh semangat petani itu berkata, "Aku...
ehhh, saya sanggup, Kongcu!"
"Kalau
begitu, mari kita ke rumahmu, akan kubuatkan surat itu."
Petani itu
pun bergegas mencuci kaki tangannya, lalu mengenakan baju dan capingnya,
memanggul cangkulnya dan bersama Cia Sun dia pulang. Rumahnya di ujung dusun
itu, sebuah rumah yang amat sederhana, bahkan miskin. Mereka disambut isteri
petani itu bersama empat orang anak mereka yang merasa terheran-heran melihat
petani itu telah pulang bersama seorang pemuda tampan yang bukan seorang
petani.
Petani itu
menyuruh anak isterinya ke belakang. Dia duduk di tengah rumah bersama tamunya.
Atas permintaan Cia Sun, petani itu keluar sebentar untuk membeli alat tulis
dan menyewa seekor kuda yang paling kuat. Kemudian, Cia Sun menulis surat
kepada komandan benteng Siang-heng-koan dan surat itu dibubuhi tanda tangan dan
cap yang selalu dibawanya.
"Nah,
sekarang juga engkau cepat pergi menunggang kuda ke benteng itu dan emas ini
pun boleh kau miliki. Dengan emas ini, maka kau akan dapat mengubah keadaan
hidup keluargamu. Tetapi awas, jika surat ini tidak kau sampaikan, maka pasukan
di benteng itu akan kukerahkan untuk menangkapmu dan engkau beserta seluruh
keluargamu akan dihukum berat. Katakan siapa namamu!" kata Cia Sun sambil
menyerahkan surat itu.
"Nama
hamba Ki Siok...," kata petani itu, kini nampak takut dan hormat.
"Kalau boleh hamba mengetahui nama Kongcu..."
"Katakan
saja kepada komandan benteng itu bahwa engkau diutus oleh seorang yang bernama
Sun dan serahkan suratku itu. Tetapi ingat, tidak boleh orang lain mengetahui
tentang urusan kita ini dan siapa pun juga tidak boleh melihat surat ini. Juga
isteri dan anak-anakmu tidak boleh mengetahui."
"Baik,
baik, hamba mengerti..." kata petani itu ketakutan.
Meski pun
sebodoh-bodohnya manusia, dia pun dapat menduga bahwa pengirim surat ini
tentulah bukan orang sembarangan, buktinya memiliki emas sebanyak itu, bersikap
royal, dan berani mengirim surat kepada komandan benteng.
Setelah
melihat sendiri Ki Siok pergi meninggalkan dusun itu dan menuju ke benteng
Siang-heng-koan, cepat Cia Sun mendaki Bukit Naga dan kembali ke tempat yang
tadi. Matahari telah naik tinggi, tengah hari hampir lewat, tapi di dekat sumur
tua itu nampak sepi, belum kelihatan kedua orang gadis itu kembali. Dia pun
menunggu dengan hati berdebar tegang penuh kekhawatiran…..
***************
Kekuasaan
Tuhan mencakup dan menyelimuti seluruh yang ada, seluruh yang nampak dan yang
tidak nampak oleh mata manusia. Keadaan di seluruh alam semesta ini terjadi
karena Kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan berada di dalam yang paling dalam dan
di luar yang paling luar, mencakup yang terendah sampai yang tertinggi, yang
paling kecil sampai yang paling besar. Kekuasaan Tuhan jugalah yang mencipta,
memelihara, dan mengadakan sampai yang meniadakan.
Segala
sesuatu terjadi karena Kehendak Tuhan. Segala macam suka, duka, indah atau
buruk, hanya merupakan ulah pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.
Sebab akibat
merupakan mata rantai kait mengait yang dibentuk oleh hati akal pikiran kita
sendiri. Tidak ada yang lebih kuat dari pada Kekuasaan Tuhan, yang juga bekerja
di dalam tubuh kita, dari ujung rambut sampai ke kuku jari kaki. Kekuasaan
Tuhan bekerja sepenuhnya kalau kita menyerah. Penyerahan total yang meniadakan
ulah hati akal pikiran sehingga kekuasaan Tuhan mutlak bekerja.
Kalau sudah
begitu, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya Tuhanlah Maha Sempurna, Maha Kuasa.
Segala kehendakNya jadilah!
Ketika dia
terjebak di dalam sumur tua, dan sumur itu ditimbuni batu-batu dari atas, Yo
Han mengerahkan segala daya hati akal pikirannya. Sebagai manusia, memang sudah
tugasnya untuk mempertahankan agar tetap dapat hidup di dalam dunia ini. Dia
berhasil menutup terowongan di dalam sumur itu dengan batu besar sehingga
batu-batu yang dilemparkan dari atas sumur itu tertahan oleh batu besar itu.
Yo Han duduk
bersila di atas gulungan tali, memusatkan semua rasa diri, seolah-olah dia
tenggelam. Dia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam lautan penyerahan. Sampai
malam lewat, dia tidak menyadari dan dia merasa seperti hidup di dalam lautan,
atau di dalam udara tanpa dataran. Tubuhnya ringan, tidak ada secuil pun
pikiran mengganggu batin, bahkan tidak ada lagi rasa enak atau tidak enak.
Seperti
orang tidur atau orang mati, begitu kiranya keadaan Yo Han. Hanya bedanya, dia
sadar. Dia menyadari bahwa dia berada di dasar sumur tua dan tidak ada jalan
keluar. Namun pada saat dia duduk bersila seperti itu, dia tidak merasa
khawatir, tidak merasa apa-apa seolah-olah tidak peduli dan tiada bedanya
baginya.
Malam sudah
lewat dan setelah ada sinar matahari menyorot masuk melalui celah-celah di
antara batu-batu di atas, dia seperti terbangun. Dan teringatlah dia akan semua
yang terjadi kemarin. Kemarin? Hanya samar-samar dia teringat bahwa malam telah
lewat, berarti dia telah semalaman berada di terowongan sumur itu.
Lima orang
pimpinan Thian-li-pang telah tewas dan mayat mereka dilempar ke dalam sumur
yang sekarang ditimbuni batu-batu. Kini semuanya jelas baginya. Ouw Seng Bu
membunuhi para pimpinan Thian-li-pang karena ingin menguasai perkumpulan itu.
Gila!
Bukankah Ouw
Seng Bu murid Lauw Kang Hui, bahkan merupakan murid tersayang? Kalau dia hanya
murid mendiang Lauw Kang Hui, lalu bagaimana mungkin dia mampu membunuh lima
orang tokoh pimpinan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih
tinggi itu? Bagaimana pula para murid Thian-li-pang mau menerima dia sebagai
ketua baru? Dan yang membuat dia lebih terheran-heran lagi, bagaimana gadis
yang diperkenalkan kepadanya sebagai puteri Cu Kun Tek, pendekar sakti dari
Lembah Naga Siluman, dapat berada di Thian-li-pang, bahkan bersahabat baik
dengan Ouw Seng Bu?
"Aku
harus dapat keluar dari sini. Harus! Aku harus dapat membongkar semua rahasia
Ouw Seng Bu, kalau tidak Thian-li-pang akan diselewengkan, dan dunia kang-ouw
akan kacau balau karena kejahatan akan menjadi-jadi. Semoga Tuhan memberi
bimbingan kepadaku," katanya dalam hati.
Perutnya
mulai terasa lapar, akan tetapi dia menampung rembesan air yang menetes turun
dari atas dengan kedua tangan dan setelah minum air beberapa teguk, laparnya
hilang. Mulailah dia memeriksa semua dinding terowongan itu. Dinding itu terjal
ke atas, licin dan keras, tidak mungkin dipanjat, apa lagi di atasnya tidak
nampak lubang yang cukup besar seperti mulut sumur, melainkan tertutup dan
sinar yang masuk pun melalui celah-celah dari samping atas yang tidak nampak
dari situ.
Tiba-tiba
terdengar suara mencicit dan Yo Han melihat seekor tikus yang cukup besar,
sebesar anak kucing, berlari keluar dari sebuah lubang sambil menggigit sebuah
benda hitam kehijauan. Dia merasa heran bagaimana binatang itu mampu membawa
sesuatu dengan gigitan, dan mengeluarkan bunyi mencicit pula. Tikus itu lenyap
menyelinap ke dalam lubang kecil dan tak lama kemudian terdengar suara
mencicit-cicit anak tikus.
Yo Han
tersenyum. Betapa besar kekuasaan Tuhan, pikirnya. Bahkan di tempat seperti ini
pun terdapat makhluk hidup. Belum yang tidak nampak olehnya, seperti cacing dan
kutu-kutu lainnya, bahkan mungkin dalam tetesan-tetesan air itu pun terdapat
makhluk hidupnya! Hatinya semakin tenang karena dia yakin bahwa kekuasaan Tuhan
berada di mana-mana, sehingga kalau memang Tuhan menghendaki dia tidak mati,
tentu ada jalan keluar dari situ!
Tikus itu!
Dia membawa benda hitam kehijauan dan kembali ke sarang, memberi makan kepada
anak-anaknya. Benda tadi tentulah makanan. Teringat ia akan jamur-jamur atau
tanaman dalam air yang terdapat di terowongan goa di mana dia pernah mempelajari
ilmu dari Kakek Ciu Lam Hok!
Kini Yo Han
memandang ke arah lubang dari mana tikus tadi keluar. Bukan lubang sesempit
kepalan tangan ke mana tikus tadi menghilang, melainkan lubang yang cukup
besar, agaknya dia akan dapat memasuki lubang itu dengan merangkak rendah.
Siapa tahu, itu merupakan jalan keluar, setidaknya jalan menuju ke tempat
makanan! Andai kata bukan jalan keluar sekali pun, kalau dari sana dia bisa
mendapatkan makanan sebagai penyambung hidup, itu sudah lumayan namanya.
Akan tetapi,
baru dua meter lebih dia merangkak melalui lubang sempit itu, lubang itu
mengecil dan tubuhnya tak dapat maju lagi. Terpaksa Yo Han menggunakan
tenaganya untuk membongkar batu-batu di depannya, memperbesar terowongan itu
sehingga dia dapat maju lagi.
Tentu saja
pekerjaan ini memakan waktu dan setelah sehari penuh bekerja, dia baru dapat
maju sejauh empat meter dan terpaksa menghentikan pekerjaannya karena lelah dan
gelap. Dia merangkak mundur dan minum air dengan menadah air rembesan dari atas
dengan kedua tangannya sampai kenyang.
Malam itu,
Yo Han mengatur tali sehingga merupakan tempat tidur darurat, lumayan untuk
membiarkan tubuhnya beristirahat dengan rebah terlentang.
Sudah
menjadi lajim bagi kita bahwa dalam keadaan menderita sengsara, kalau semua
daya kita sudah tidak mampu menolong keadaan kita, maka kita baru teringat
kepada Tuhan! Kita lalu merengek-rengek dan memohon kepada Tuhan agar kita
dibebaskan dari penderitaan.
Tentu saja
setiap orang dari kita tidak mau kalau dikatakan bahwa kita hanya teringat
kepada pencipta kita bila kita sedang membutuhkan saja. Di waktu kita dalam
keadaan senang, sewaktu kita berhasil, maka kita tidak ingat lagi kepada Tuhan
dan merasa bahwa semua hasil itu adalah karena kepintaran kita!
Keberhasilan
mendatangkan kesombongan, kita menjadi tinggi hati dan merasa diri kita hebat.
Sebaliknya, dalam keadaan gagal dan menderita, baru kita merasa betapa kita
lemah tak berdaya, dan kita baru berdoa dan meminta-minta kepada Tuhan.
Segala macam
permintaan kita ajukan. Kita mohon diberi rejeki, mohon diberi kenaikan
pangkat, mohon diluluskan ujian, mohon disembuhkan dari penyakit, dan segala
macam permohonan lagi. Kita lupa bahwa segala sarana yang lengkap telah
diberikan Tuhan kepada kita untuk mencapai itu semua.
Untuk
mendapat rejeki, kita sudah diberi anggota tubuh lengkap, berikut hati akal
pikiran untuk kerja dan mencari rejeki. Untuk naik pangkat kita harus bekerja
dengan jujur, setia dan baik. Untuk lulus ujian kita harus belajar dengan
rajin. Untuk sembuh dari penyakit kita harus berobat dan untuk mencegah
datangnya penyakit kita harus hidup bersih dan sehat, dan sebagainya.
Akan tetapi,
kesenangan merupakan semua penggunaan sarana tidak sehat. Karena penggunaan
akal pikiran secara tidak sehat sehingga melahirkan perbuatan yang tidak sehat
pula, maka timbullah semua akibat buruk. Kalau sudah begitu, kita minta-minta
kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari pada akibat perbuatan kita sendiri itu.
Berbahagialah
manusia yang lahir batinnya menyerah dengan tawakal dan ikhlas pada Tuhan,
mendasari semua ikhtiar sehat di atas penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
Bagi seorang yang sudah dapat menyerah lahir batin, maka segala apa pun yang datang
menimpa diri, merupakan kehendak Tuhan yang penuh rahasia.
Tuhan
mengetahui apa yang paling tepat untuk kita, baik itu merupakan hukuman atau
ujian. Hukuman memang tepat untuk mengingatkan kita akan dosa kita dan ujian
akan memperkuat batin dan iman kita. Orang yang menyerah kepada Tuhan hanya
mengenal ucapan terima kasih dan syukur kepada Tuhan, dan hanya mengenal satu
permohonan, yaitu permohonan ampun atas segala dosa yang sudah diperbuatnya di
masa lalu dan bimbingan di masa depan. Tidak banyak mengeluh kalau sedang
ditimpa duka, dan tidak mabuk kalau sedang dijenguk suka.
Pada
keesokan harinya, begitu ada cahaya memasuki terowongan itu, Yo Han sudah
bekerja lagi dengan rajin. Dia tidak tergesa-gesa, tidak terlalu memeras
tenaganya agar tidak sampai kehabisan tenaga dan kelelahan sebab perutnya yang
kosong mengurangi banyak tenaganya.
Setelah tiga
hari lamanya membongkar tumpukan batu dan hanya minum air, setelah tenaganya
hampir habis, lubang itu membesar lagi sehingga dia dapat melanjutkan merangkak
ke depan dan menemukan jamur atau tumbuhan di antara dinding batu yang basah,
jamur liar seperti yang dibawa oleh induk tikus untuk memberi makan kepada
anak-anaknya. Yo Han pernah makan jamur ini atas petunjuk mendiang kakek Ciu
Lam Hok, maka tanpa ragu lagi dia pun makan beberapa potong jamur.
Dan
terhindarlah dia dari bahaya kelaparan! Kini dia dapat melanjutkan usahanya
untuk mencari jalan keluar dengan menjelajahi lubang-lubang yang banyak
terdapat di bawah permukaan bukit itu, merupakan lubang dan terowongan bawah
tanah dari batu karang yang kuat.
Sambil
mengerahkan seluruh anggota badannya, seluruh panca inderanya, didasari
penyerahan diri kepada Tuhan, yakin bahwa kekuatan Tuhan akan membimbingnya, Yo
Han terus bekerja dengan tekun, tak pernah putus asa walau pun beberapa kali
lubang yang diikutinya tiba di dinding buntu dan terpaksa dia harus mencari
lubang lain.
Kalau Yo Han
dengan penuh semangat mencari jalan keluar, maka di atas sumur, di permukaan
bukit itu, terjadi hal-hal yang hebat, yang tentu akan menggelisahkan hati Yo
Han kalau dia mengetahuinya.
Bayangan
tubuh Sim Hui Eng yang ramping padat itu berkelebat cepat, menyelinap di antara
pohon-pohon. Dia sedang melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang, untuk
mengetahui lebih banyak tentang perkumpulan itu dan bila mungkin menyelidiki
apakah benar Yo Han telah tewas, ataukah ditahan di dalam rumah perkumpulan
itu.
Gadis yang
anggun dan cantik ini tidak lagi bersikap dingin dan angkuh seperti dulu saat
dia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai. Dia gunakan ginkang-nya dan
gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang
Thian-li-pang.
Akan tetapi,
hal ini hanya dugaannya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan
kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat
sumur tua itu, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng
Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu.
Tentu saja
gerakan Hui Eng sekarang juga sudah selalu diamati. Setelah gadis itu kini
berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan dia melihat bagian kanan
perkampungan itu nampaknya tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati
pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang akan
diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-li-pang, atau
syukur kalau menemukan sesuatu yang akan bisa menunjukkan tentang Yo Han.
Akan tetapi
baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, tiba-tiba terdengar
gerakan orang. Ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah
terkepung oleh puluhan orang anak buah Thian-li-pang yang semuanya menyeringai
dengan gaya mengejek!
"Hemmm...!"
Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempersiapkan pedang dan kebutannya.
Dua orang
pria yang agaknya menjadi pimpinan dari tiga puluh orang lebih anak buah
Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung
ejekan.
"Nona,
sebaiknya engkau menyerah dan akan kami hadapkan kepada pangcu dari pada
tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka."
Sinar mata
Hui Eng mencorong marah. "Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!"
Pedangnya menyambar ganas.
Dua orang
anggota Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah
agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang
menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga
terhindar dari maut. Para anggota Thian-li-pang yang lainnya sudah mengepung
ketat sambil menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.
"Tar-tar-tarrr...!"

Sinar merah
menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu langsung saja merobohkan
empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang serta kebutannya
menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu
belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggota Thian-li-pang roboh!
"Semua
mundur!" terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan
muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya
amat disayangnya. "Eng Eng, cepat menyerah!"
Akan tetapi
Hui Eng memandang kepada orang yang dulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan
mata mencorong. "Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!"
Siangkoan
Kok melotot. "Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah
menjadi ayahmu yang menyayangmu?"
"Aku
tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku,
dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah
menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua
itu!" Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju
menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.
"Keparat,
kalau begitu engkau tak layak dikasihani!" Siangkoan Kok membentak sambil
menangkis, lalu balas menyerang.
Guru dan
murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang
amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.
Melawan
bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapa pun juga,
semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah
diketahui oleh datuk itu. Biar pun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi
ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang.
Apa lagi
kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak
cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya
mampu memutar pedang dan kebutannya untuk menangkis saja, tidak mendapat
kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.
Melihat
kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul
kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau
akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouw-pangcu, juga dia sendiri
tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas.
Dia masih
sayang kepada Eng Eng. Bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya,
timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti
isterinya. Ia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah
itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita
yang menjadi isterinya.
"Jangan
lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah
pangcu!" kata Siangkoan Kok dengan suara lantang.
Dan
mendengar seruan ini, kedua orang tusu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi
menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis
dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa
melukai atau membunuhnya.
Setelah
melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh
terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu
memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi.
"Jaga
baik-baik dan jangan sampai ia bisa meloloskan diri!" pesannya kepada
beberapa orang Thian-li-pang yang sedang melakukan penjagaan. "Akan
tetapi, siapa yang berani mengganggunya pasti akan dihukum berat!"
Siangkoan
Kok, Im Yang Ji dan Kui Thiancu kemudian meninggalkan tempat tahanan itu sebab
mereka sudah mendengar berita bahwa sekarang Ouw-pangcu sedang berusaha untuk
menawan Si Bangau Merah.
Seperti juga
Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping perkampungan
Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan
karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggota
Thian-li-pang.
Akan tetapi,
sungguh tak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada. Dan melihat
keadaan yang sepi itu, ia pun maklum bahwa agaknya pihak musuh sudah mengetahui
akan kedatangan dirinya dan kini sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang
perangkap.
Dengan
ginkang-nya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Sian Li berkelebat, kemudian
menyelinap ke dalam sebuah taman kecil dan dari sini ia pun meloncat ke atas
genteng dan bersembunyi di balik wuwungan. Gerakannya sedemikian cepatnya
sehingga para anggota Thian-li-pang yang mengawasinya kehilangan jejaknya.
Bahkan Ouw Seng Bu yang diam-diam juga mengamatinya dari dalam, menjadi
terkejut dan bingung karena Si Bangau Merah itu tidak nampak lagi.
Dari balik
wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan dia tersenyum mengejek ketika melihat
beberapa orang anak buah Thian-li-pang yang mulai bermunculan dari tempat
sembunyi mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thian-li-pang telah
mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan dia
masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di
wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.
Sian Li
mengambil jalan memutar. Ia melihat seorang anggota Thian-li-pang mencari ke
arah belakang dengan pedang terhunus di tangan sambil melongok-longok. Sian Li
lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, ia menggerakkan tangan
kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar
dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia hanya sempat mengeluh pendek,
pedangnya terlepas kemudian roboh terkulai, pingsan.
Sian Li
menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangan
itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke
dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.
Anggota
Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman.
Ia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit
kulit lehernya. Pedangnya sendiri!
"Kalau
engkau tidak mau mengaku terus terang, pedang ini akan langsung menembus
tenggorokanmu!" Sian Li mendesis.
Mata orang
itu terbelalak, mukanya berubah pucat. Apa lagi ketika dia merasa perihnya
kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.
"Saya...
saya mengaku terus terang...," katanya lirih.
"Hayo
katakan, di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!"
Orang itu
semakin ketakutan. "Dia... dia... di tempat... tahanan..."
Berdebar-debar
rasa hati Sian Li karena lega. Seperti sudah diduganya, Ouw Seng Bu hanya
membohonginya.
"Di
mana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!"
"Saya...
saya tidak berani... ahhh...!"
Pedang itu
menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri
dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu,
tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.
"Baik...
baik...," katanya.
Sian Li
menarik pedangnya. "Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau
berteriak, akan kucincang tubuhmu."
Dengan tubuh
gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu lalu membawa Sian Li menyelinap
melalui sebuah lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang
lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dengan pedangnya
menodong pada punggung orang itu.
Akhirnya,
setelah melalui jalan yang berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki
ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki
lorong sehingga tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada
jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.
"Dia...
dia ada di sana..." Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu.
Sian Li
menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak
lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke
dalam. Jantungnya berdebar.
"Han-koko...!"
Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh.
Ia melihat
Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang
itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apa lagi anak
buah Thian-li-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.
"Han-koko...!"
Ia memanggil lagi.
Akan tetapi
orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab dan tak bergerak. Agaknya
Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat
menjawabnya, pikir Sian Li. Dia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan
menahan napas itu sampai lama.
Ahhh, Yo Han
tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka bisa tertawan, pikir Sian Li.
Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan
sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya
itu.
"Han-koko,
jangan khawatir, aku akan menolongmu!" katanya.
Ia
memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han
akan memperingatkannya. Sian Li lalu mengeluarkan sulingnya.
Suling itu
hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari
baja pilihan yang sangat kuat. Dia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan
Im-yang Sinkang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng
Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling
Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar
tahanan itu.
"Tranggg...
trakkk!"
Rantai itu
patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka.
Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, dia pun
memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan
ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thian-li-pang memasuki rumah
tahanan itu.
Hemmm, ia
telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.
"Han-koko,
mari kita pergi..." Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang
yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan
tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu!
Kiranya,
ketua baru Thian-li-pang yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang
perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua
ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar
leher itu pun sama, juga pakaiannya.
"Ha-ha-ha,
Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia sudah mati
di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik
engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama
besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa."
"Keparat
Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas
dendam kepadamu!" Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan
menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.
"Ha-ha-ha,
engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihatlah, di luar kamar ini anak
buahku sudah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan Sian
Li. Melawan pun tiada gunanya karena kalau Yo Han saja tak mampu menandingi aku,
apa lagi engkau."
"Jahanam
busuk yang sombong!" Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan
dahsyat.
Diam-diam
Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang kuat dan
dahsyat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan
suara melengking-lengking aneh. Ia melompat ke tepi kamar, tangannya cepat
menekan tombol di dinding sehingga dinding di belakangnya terbuka. Dan ia
melompat masuk.
"Pengecut,
hendak lari ke mana kau?" bentak Sian Li yang cepat-cepat mengejar. Dia
pun ikut meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu
sambil tersenyum mengejek.
Pemuda itu
menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi
tulang-tulangnya berkerotokan! Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang
sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Kini wajahnya berubah, masih
tampan, tapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah
menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin. Matanya liar dan suara
tawanya bagaikan setan tertawa.
Ketika Sian
Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah
seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaan itu
merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.
"Iblis
gila!" bentaknya dan ia menyerang lagi dengan sulingnya.
Kamar yang
ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka
menembus ke kamar tahanan sekarang sudah menutup kembali dengan sendirinya dan
kamar ini lebih luas.
Sian Li
menghantamkan sulingnya ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, Seng Bu
meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping,
dia menangkis dengan tangan kirinya.
"Takkk...!"
Dua tenaga
dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang hingga tiga
langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar
hebat. Ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya
dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya dia
masih mengerahkan tenaga sinkang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.
"Ha-ha-he-he-he!"
Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. "Si Bangau
Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak
dapat ditandingi siapa pun juga. Sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor
satu di dunia dan mengusai dunia kang-ouw. Bahkan setelah menjatuhkan
pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar.
Ha-ha-ha!"
"Gila,
dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib," pikir Sian Li.
Ia harus
dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini
saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu
bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka.
Sian Li
mengeluarkan pekik melengking. Kini dia memutar suling emasnya, memainkan ilmu
pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia
pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.
Sulingnya
berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung yang menyilaukan mata, dan tubuhnya
juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar
emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw
Seng Bu.
Namun,
sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya
membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari
kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li
tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan! Ketika Ouw Seng Bu
melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga
kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah
terdesak oleh tenaga aneh itu.
Pada saat
itu terdengar suara wanita berteriak, "Bu-ko, jangan bunuh atau lukai
dia!"
Mendengar
teriakan itu, Ouw Seng Bu lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, tidak, tidak,
sayang, jangan khawatir!"
Setelah
berkata demikian, mendadak dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari
ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.
"Jangan
lari!" bentak Sian Li yang mengejar.
Terdengar
suara keras dan lorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu
rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan
tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan
memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri
melalui sebuah pintu rahasia.
"Heh-heh-heh,
engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!" kata Ouw Seng Bu.
Mendadak
dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan yang memenuhi lorong. Sian Li
mencium bau harum menyengat dan tahulah dia bahwa asap itu mengandung racun
pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya
menyerang mati-matian pada lawan yang masih terus tertawa-tawa walau pun asap
merah semakin menebal.
Gadis
perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohan dirinya sendiri. Tentu saja,
pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa
disedotnya ketika ia bernapas.
"Keparat
keji, pengecut, curang...!" Ia menyerang kembali akan tetapi kepalanya
terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.
Ketika
siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya sudah rebah di atas sebuah dipan.
Dia melihat betapa kaki tangannya diikat oleh rantai baja yang panjang. Cepat
ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mematahkan
rantai kaki tangannya.
"Jangan,
Sian Li. Jangan patahkan rantai kaki tanganmu," terdengar suara orang.
Sian Li
menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai
kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana
sini, mampu mempergunakan tangan kakinya, akan tetapi rantai itu tidak sampai
pintu kamar tahanan yang beruji.
"Ahh,
kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang..." Sian Li
teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya
kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. "Di mana
Sun-toako?"
"Entah,
kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, lalu tertangkap."
"Tapi
mengapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu
mematahkan rantai kaki tanganmu."
"Agaknya
aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas
tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimana pun juga masih memberi
kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas.
Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan
perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai
ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah
hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti
kemarahan."
Sian Li
mengangguk membenarkan. "Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya
miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi memiliki ilmu seperti iblis sendiri.
Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh itu yang memiliki
ilmu seaneh itu."
"Aku...
aku mengkhawatirkan pangeran..." kata Hui Eng lirih.
"Agaknya
dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudah saja begitu karena kalau
dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku
sekarang mengerti bahwa anggota Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja
dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu amat lihai dan licik sekali.
Sekarang aku sungguh mencemaskan keadaan Han-koko."
Mereka
terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar
tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini
wajahnya agak muram dan matanya mengandung penyesalan.
"Hemmm,
engkau sungguh tidak tahu malu masih berani muncul di depan kami!" Sian Li
langsung menyambut dengan ucapan keras. "Ingin aku melihat wajah Paman Cu
Kun Tek serta Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya
seperti ini, membantu orang-orang jahat!"
Cu Kim Giok
memandang sedih. "Aihhh, tidak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku
bersumpah, Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya
salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani menanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah
orang yang gagah perkasa, seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Bahkan dia
mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman
penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci ini? Engkau
terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan
Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksinya.
Yo Han yang berusaha membunuh Ouw-koko seperti yang telah dilakukannya kepada para
pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Jika Yo Han tidak
tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas
di tangannya. Percayalah, Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar
yang..."
"Gila!
Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal
itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng
Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan
mengerahkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam!
Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya serta
membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!"
Berkata
demikian, karena sambil membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li lantas
menjadi basah dan suaranya gemetar, walau pun mengandung ancaman yang membuat
Kim Giok merasa ngeri.
"Sian
Li, engkau rela mengorankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau
menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang
kuanggap benar dan yang kucinta?"
Dengan muka
penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat. Dua orang gadis
perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari
Lembah Naga Siluman itu.
"Sungguh
aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu...!" kata Sian Li lirih.
"Ihhh,
kenapa hal itu kau anggap aneh, Sian Li?" tanya Hui Eng, tersenyum.
"Akan
tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!"
Hui Eng
tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat
gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka kini berada dalam tahanan musuh
dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh-sungguh merupakan keadaan yang
patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa
tabah hati Sim Hui Eng menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan
pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang
membesarkan hati.
"Hemmm,
apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?" tanya Sian Li.
"Engkau
yang lucu," kata Hui Eng. "Mengapa engkau seperti orang kebakaran
jenggot melihat gadis itu mencintai Ouw Seng Bu?"
"Hushhh!
Mana aku berjenggot?" cela Sian Li, akan tetapi kini ia pun tertawa geli.
"Sian
Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu
menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah,
selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran
Cia Sun, tapi engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran malah memilih aku,
padahal saat itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak kepada
kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tak suka
kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tak akan suka memilih lain
gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw
Seng Bu dan menganggap dia selalu baik dan benar?"
Sian Li
termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap dalam hatinya. Memang apa yang
dikatakan Hui Eng patut direnungkan.
Kita semua
selalu mengambil kesimpulan dan mempunyai pendapat mengenai sesuatu berdasarkan
penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. Kita lupa
bahwa sesuatu itu tiada yang abadi, tak ada yang tetap dan selalu akan
berubah-ubah.
Kita tidak
mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang
kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan
mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada
kalanya pula kita anggap buruk. Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya
orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang,
demikian sebaliknya.
Mengapa
demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapa pun di dunia ini yang tidak
mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan
penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari mau pun tidak,
selalu berdasarkan kepentingan si-aku, si penilai.
Penilaian
muncul dengan pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tak disenangkan. Jika
seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana
mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau
sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak
baik, tak mungkin kita menilainya bagus atau baik.
Biar pun
orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi
kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita
menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andai kata
orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi
kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita
mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat?
Bahkan
seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, karena dia menyenangkan kita,
kita puja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia
itu melakukan sesuatu yang merugikan kita dan tidak menyenangkan kita, misalnya
menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tak mau melayani kita sebagai
kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya? Biasanya, cinta
itu berubah menjadi benci!
Mengapa?
Sebab benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau
menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan,
dinilai buruk dan dibenci!
Hujan
tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas. Akan tetapi jika hujan itu
merupakan sesuatu yang merugikan kita seperti banjir, atau menghalangi
kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Namun kalau hujan itu
datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang
berharap datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya
baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan
tertawa-tawa dan bersyukur!
Demikianlah
panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol dari pada
panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yang sudah menyusup dalam diri
kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah
suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam
kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.
Dapatkah
kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apa pun yang
terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut
kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu
terjadi karena kehendak Tuhan!
Tuhan Maha
Pencipta. Seluruh isi alam maya pada adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi
Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha dan berikhtiar
untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang sudah
menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini supaya hidup kita bermanfaat bagi
diri sendiri, bagi keluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak
merusak.
Dengan
pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang menciptakan kita, menyerah penuh
keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang
terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada
akhirnya ditentukan oleh kekuasaan-Nya.
"Aku
mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir
yakin bahwa dia sudah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras,
orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh
dan berbahaya sekali."
"Kita
lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang
akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita,
mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia,
sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan
mencoba untuk lolos."
Sian Li
mengangguk, diam-diam dia merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti
ini boleh diandalkan.
***************
Gak Ciang
Hun dan Gan Bi Kim tiba di kaki Bukit Naga. Terdapat sebuah kuil tua yang
kosong di kaki bukit sebelah itu. Dan karena hari menjelang senja, mereka
mengambil keputusan untuk melewatkan malam di kuil tua itu. Tadi mereka telah
membeli bekal makanan dari dusun terakhir.
Di luar kuil
tua yang tidak digunakan lagi itu, mereka berhenti dan terkejut melihat ada
seorang tosu duduk bersila di bagian depan kuil. Ciang Hun yang telah
berpengalaman tidak berani lancang dan dia menghampiri tosu itu. Bi Kim mengikutinya
dari belakang, bersiap menghadapi segala kemungkinan karena tahu bahwa mereka
telah berada di daerah Bukit Naga.
"Harap
Totiang memaafkan kami berdua. Karena kemalaman di perjalanan kami ingin
melewatkan malam di kuil tua ini, kalau saja tidak mengganggu Totiang."
"Siancai,
silakan, Kongcu dan Siocia,” kata pendeta itu dengan sikap acuh.
Pada saat
kedua orang muda itu hendak melangkah masuk, dari dalam keluar empat orang tosu
lainnya. Tentu saja hal ini membuat Ciang Hun sangat terkejut.
"Ahhh,
maafkan kami, Cuwi Totiang. Kiranya kuil ini sekarang menjadi tempat tinggal
Totiang sekalian?"
Tosu tertua
yang tadi duduk bersila di luar berkata lembut, "Sama sekali bukan,
Kongcu. Kami berlima juga sedang berteduh dan melewatkan malam di sini. Kuil
ini kosong dan tidak dipergunakan lagi."
"Ahh,
kalau begitu kebetulan dan terima kasih Totiang."
Ciang Hun
dan Bi Kim lalu membersihkan lantai di sudut ruangan depan karena ternyata
hanya ruangan depan itu saja yang masih agak utuh dan bersih, sedangkan ruangan
tengah dan belakang kuil itu sudah rusak dan kotor.
Lima orang
tosu itu duduk bersila, dan dua orang muda di sudut itu lalu menyalakan lilin
yang tadi mereka beli sehingga ruangan itu tidak menjadi gelap lagi. Malam tiba
dan hawa udara amat dinginnya. Dua orang di antara para tosu itu lalu membuat
api unggun dari kayu-kayu yang agaknya sudah mereka cari dan kumpulkan siang
tadi. Keadaan menjadi semakin terang oleh cahaya api unggun dan timbul
kehangatan di situ.
Bi Kim
mengeluarkan buntalan makanan yang mereka beli tadi, dan dengan ramah dan
hormat Ciang Hun dan Bi Kim menawarkan makanan kepada lima orang tosu itu.
"Cuwi
Totiang, mari silakan Cuwi Totiang makan malam bersama kami. Kita makan
seadanya, Totiang," kata Bi Kim.
"Silakan,
Totiang, kami akan gembira sekali untuk menjamu Cuwi dengan makanan kami yang
sederhana," kata pula Ciang Hun.
"Siancai,
Ji-wi adalah dua orang muda yang ramah dan baik. Terima kasih, Kongcu dan
Siocia, kami tadi sudah makan dan sekarang merasa kenyang. Silakan Ji-wi makan,
harap jangan sungkan-sungkan," kata tosu tertua.
Karena
maklum bahwa mereka berdua menghadapi perjalanan yang mungkin sukar dan
membutuhkan banyak pengerahan tenaga, maka kedua orang muda itu tidak merasa
sungkan-sungkan lagi dan mulai makan bak-pao dan dendeng yang tadi mereka beli
sebagai bekal. Setelah mereka selesai makan, membersihkan mulut dan tangan
dengan air yang mereka bawa, mereka diundang duduk dekat api unggun oleh para
tosu.
Dengan
gembira dua orang muda itu duduk mengelilingi api unggun bersama lima orang
pendeta itu.
"Kalau
pinto (saya) tidak salah lihat, Ji-wi bukanlah dua orang muda biasa, melainkan
dua orang muda yang memiliki kepandaian silat. Bolehkah pinto mengetahui nama
Ji-wi dan apa keperluan Ji-wi mendatangi daerah yang berbahaya ini?"
Karena yakin
bahwa lima orang pendeta ini adalah orang-orang beribadat yang baik, maka Ciang
Hun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan mereka. "Totiang, saya
bernama Gak Ciang Hun dan nona ini adalah Gan Bi Kim. Kami berdua melakukan
perjalanan ke sini untuk mencari seorang sahabat kami yang jejaknya menuju ke
bukit ini."
Tiba-tiba
Gan Bi Kim berkata, "Mungkin sekali Cuwi Totiang ada yang melihat sahabat
kami itu lewat di sini!"
"Aihh,
benar juga!" seru Ciang Hun girang. "Apakah Cuwi Totiang melihat
sahabat kami itu lewat di sini? Dia seorang gadis muda..."
"Pakaiannya
serba merah?" potong seorang tosu.
"Benar,
benar!" Ciang Hun berseru girang.
"Siancai,
yang kalian cari itu bukankah Si Bangau Merah, nona Tan Sian Li?"
Dua orang
muda itu hampir berteriak karena girangnya.
"Benar
sekali, Totiang!" kata Gak Ciang Hun. "Apakah Totiang melihatnya? Di
mana?" tanyanya dengan penuh gairah.
"Nanti
dulu, kalau Ji-wi mengenal Si Bangau Merah, tentulah Ji-wi bukan orang-orang
sembarangan. Kongcu she Gak? Hemmm...? Pinto sudah pernah mendengar tentang
Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), apakah hubungan Kongcu dengan
para pendekar she Gak itu?"
"Saya
adalah puteranya..."
"Ahh!
Sungguh kami merasa beruntung bertemu dengan putera Beng-san Siang-eng!"
"Kalau
boleh kami mengetahui, siapakah Cuwi Totiang?" Ciang Hun bertanya,
sekarang sambil memandang penuh perhatian.
Tosu tertua
itu menghela napas panjang. "Pinto disebut Thian Tocu, seorang murid dari
Bu-tong-pai dan empat orang ini adalah para sute pinto. Baru kemarin pinto
berlima bertemu dengan Si Bangau Merah, bahkan dialah yang mengobati pinto dari
pukulan beracun. Karena kekuatan pinto masih belum pulih, maka kami berhenti di
sini untuk memulihkan tenaga."
"Lalu,
ke manakah perginya adik Sian Li?" tanya Ciang Hun.
Tosu itu
menghela napas panjang. "Kami khawatir sekali. Ia pergi mendaki Bukit Naga
dan hendak berkunjung ke Thian-li-pang, padahal keadaan Thian-li-pang telah
berubah sama sekali. Perkumpulan itu telah menyeleweng dan dipimpin oleh
seorang ketua baru yang seperti Iblis. Kami sungguh mengkhawatirkan keselamatan
pendekar wanita itu."
"Totiang,
apakah yang sudah terjadi?" Gan Bi Kim bertanya, ikut pula merasa khawatir
mendengar ucapan tosu itu.
Thian Tocu
lalu menceritakan semua pengalaman mereka berlima. Mereka sengaja mendatangi
Thian-li-pang karena mendengar berita tentang sepak terjang Thian-li-pang yang
menyeleweng, yang menundukkan para tokoh-tokoh kang-ouw dengan kekerasan dan
melakukan pemerasan.
"Bahkan
yang lebih mengejutkan lagi adalah berita mengenai terbunuhnya Pendekar Tangan
Sakti Yo Han oleh ketua baru Thian-li-pang..."
"Ahhh...!
Benarkah itu, Totiang?" Ciang Hun berseru kaget.
"Kami
pun tidak percaya. Ketika kami tanyakan hal itu kepada Ouw-pangcu, ketua baru
Thian-li-pang, dia bahkan mengatakan bahwa Yo Han telah membunuhi para pimpinan
Thian-li-pang, kemudian Yo Han juga menyerang dia. Dalam perlawanan yang
dibantu anak buahnya, Yo Han akhirnya tewas. Demikian keterangan Ouw-pangcu.
Kami tidak percaya sehingga terjadi perkelahian, akan tetapi ketua baru itu
seperti iblis, lihai bukan main dan pinto terkena pukulan beracun darinya. Kami
merasa kalah dan turun bukit, lalu bertemu di jalan dengan Si Bangau Merah yang
mengobati pinto. Kami sungguh mengkhawatirkan Si Bangau Merah yang hendak melakukan
penyelidikan ke tempat berbahaya itu."
"Kalau
begitu, adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus cepat ke sana, Kim-moi!"
kata Ciang Hun, khawatir sekali.
"Gak-taihiap,
sebaiknya bila kita berhati-hati menghadapi Thian-li-pang. Selain ketuanya sangat
lihai, juga kini Thian-li-pang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat yang berilmu
tinggi seperti Siangkoan Kok bekas ketua Pao-beng-pai, juga para tokoh
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai berada di sana. Sebaiknya kalau Ji-wi bersabar
sampai lewat malam ini dan besok pagi-pagi barulah kita mendaki ke sana."
"Kita?"
Ciang Hun bertanya.
"Kongcu,
melihat Ji-wi yang muda-muda tetapi begitu bersemangat untuk membantu Si Bangau
Merah, menentang bahaya dengan gagah berani, kami yang tua-tua merasa malu
kalau hanya tinggal diam saja. Kami akan menemani Ji-wi membantu pendekar
wanita Bangau Merah, walau pun kami tahu bahwa kekuatan kita ini tidak ada
artinya dibandingkan kekuatan mereka yang mempunyai ratusan orang anak
buah."
"Kita
tidak bermaksud menyerang Thian-li-pang, Totiang, tapi hanya hendak menyelidiki
kalau-kalau adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus membantunya."
"Kami
siap membantu, Kongcu."
Demikianlah,
malam itu mereka lewatkan dengan beristirahat dan menghimpun tenaga karena
siapa tahu, besok mereka akan menghadapi musuh dan bahaya yang harus ditentang.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hun, Bi Kim dan lima orang tosu dari
Bu-tong-pai telah mendaki Bukit Naga. Mereka bergerak cepat akan tetapi dengan
hati-hati sekali dan tosu-tosu itu yang memimpin pendakian karena mereka lebih
mengenal daerah itu dari pada kedua orang muda yang baru pertama kali itu
berkunjung ke situ.
Akan tetapi
gerak-gerik tujuh orang ini tidak terlepas dari pengintaian para anak buah
Thian-li-pang. Ouw Seng Bu maklum bahwa sebelum pemuda yang datang bersama Sian
Li dan Hui Eng itu tertangkap, tentu Thian-li-pang akan terancam bahaya.
Apa lagi
ketika dia mendengar dari Siangkoan Kok bahwa pemuda itu adalah seorang
pangeran Mancu! Maka dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan
tersembunyi, siang malam harus melakukan pengamatan terhadap seluruh permukaan
bukit itu. Karena itu begitu tujuh orang itu mendaki bukit, para anak buah
Thian-li-pang telah mengetahuinya dan diam-diam setiap gerak-gerik mereka telah
diamati dan diikuti.
Sementara
itu, di dalam rumah tahanan Cu Kim Giok kembali datang mengunjungi dua orang
tawanan, Hui Eng dan Sian Li. Kini Sian Li sudah dapat menekan kemarahan
hatinya dan melihat munculnya Kim Giok, ia bertanya, suaranya tenang saja.
"Kim Giok, apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami?"
"Sian
Li, engkau melihat sendiri betapa Thian-li-pang bersikap baik kepada kalian
yang bahkan tidak dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai tamu. Aku berharap
dengan sepenuh hatiku supaya kalian berdua juga bisa melihat kenyataan bahwa
Thian-li-pang sesungguhnya mengharapkan persahabatan dan kerja sama dengan
kalian berdua, bukan permusuhan."
"Kim
Giok, sekarang aku mengerti bahwa engkau saling mencinta dengan Ouw Seng Bu,
maka engkau membantu dan membelanya. Aku tidak akan mempersoalkan baik buruknya
Ouw-pangcu itu, tetapi kalau memang benar Thian-li-pang hendak berbaik dan
bersahabat dengan kami, mengapa kami dijebak, dikeroyok dan ditahan di dalam
kurungan ini? Kenapa kami tidak dibebaskan saja?”
"Sian
Li, percayalah, aku sudah minta-minta kepada pangcu supaya kalian dibebaskan,
akan tetapi dia mengajukan alasan kuat sehingga aku sendiri pun tidak berdaya
karena alasannya memang tepat. Ia mengatakan bahwa di dalam perjuangan, kita
harus dapat membedakan mana kawan dan mana lawan. Sekarang ini, kalian
memperlihatkan sikap sebagai lawan, dan kalau kalian dibebaskan, sungguh amat
berbahaya bagi perjuangan Thian-li-pang. Kalian lihai dan dapat mendatangkan
bencana kepada kami, kecuali tentu saja kalau kalian suka bekerja sama dengan
kami dan sama-sama berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Karena itu,
aku mohon kepada kalian, jangan memusuhi Thian-li-pang, jangan memusuhi
Ouw-pangcu, jangan memusuhi kami. Sungguh aku bersumpah, kami tidak mempunyai
niat buruk terhadap kalian, hanya ingin mengajak kalian bekerja sama."
"Cu Kim
Giok, tidak perlu engkau membujuk kami, tentu engkau sudah tahu bahwa kami tak
akan sudi untuk bekerja sama dengan golongan sesat. Sebetulnya, melihat engkau
membantu Ouw-pangcu, hatiku tidak rela, dan aku tidak ingin lagi berbicara
denganmu. Akan tetapi mengingat ayah ibumu, orang-orang yang menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan, aku minta engkau berterus terang mengenai satu hal.
Benarkah Yo Han telah tewas di sumur tua itu?"
Kim Giok
menghela napas panjang. Jawaban itu memang sudah diduganya. Akan tetapi
bagaimana pun juga, apa pun yang terjadi, ia akan tetap membela Seng Bu karena
ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.
"Sian
Li, dengan menyesal sekali terpaksa kukatakan bahwa memang benar Yo Han telah
tewas di dalam sumur," katanya lirih.
Mendengar
keterangan ini, Sian Li menahan jeritnya. Mukanya menjadi pucat dan dia hanya
berdiri termangu-mangu bagaikan patung. Kedua tangan yang dipasangi rantai pada
pergelangannya itu menggenggam...
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment