Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 05
Dia mulai
memandang pemuda tampan dan halus itu sebagai adiknya sendiri, maka dia secara
otomatis menegurnya.
"Ahhh,
engkau tidak tahu, Twako. Aku ditunangkan oleh orang tuaku dengan gadis itu,
akan tetapi bagaimana aku bisa mencinta seorang gadis yang baru sekali
kumelihatnya, itu pun ketika ia masih kecil? Aku tidak berani menentang
kehendak orang tuaku, akan tetapi biar pun aku sudah ditunangkan, namun aku
masih merasa bahwa hatiku bebas. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepada Eng-moi?
Sudah jelas Eng-moi mencintaku dan aku mencintanya, sedangkan Si Bangau Merah
itu, belum tentu ia suka kepadaku atau aku suka kepadanya."
Sepasang
mata Yo Han terbelalak. "Si Bangau Merah...?"
Pangeran itu
tersenyum. "Ya, tunanganku adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si
Bangau Merah, namanya Tan Sian Li. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih Tan Sin
Hong dan ibunya adalah puteri bekas panglima Kao Cin Liong. Ia masih keturunan
keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Kenalkah engkau kepadanya, Twako?"
Yo Han dapat
menenangkan kembali hatinya yang terguncang keras mendengar bahwa tunangan
pangeran ini adalah Tan Sian Li, kekasihnya! Ia mendengar keterangan orang tua
Sian Li bahwa kekasihnya itu sudah ditunangkan dengan seorang pangeran, akan
tetapi siapa dapat menduga bahwa pangeran itu adalah pemuda ini, Cia Sun yang
kini menjadi adik angkatnya?
"Aku
mengenal nama besarnya. Cia-te, apakah engkau pernah melihatnya sekarang?"
tanyanya.
Diam-diam
dia membandingkan antara Sian Li dan Siangkoan Eng. Memang keduanya cantik
jelita, keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi dia, tentu saja
Sian Li lebih hebat, lebih segala-galanya. Biar pun demikian, dia yakin bahwa
jika pangeran ini sebelumnya telah melihat Sian Li, belum tentu dia akan mudah
terpikat oleh gadis lain yang secantik Siangkoan Eng sekali pun.
"Sudah
kukatakan tadi bahwa aku baru bertemu satu kali dengannya, itu pun saat kami
masih remaja. Bahkan aku sudah hampir lupa bagaimana wajahnya, dan tidak tahu
pula bagaimana wataknya."
"Cia-te,
lanjutkanlah ceritamu. Sesudah engkau bertemu dengan kedua orang perwira
pengawal itu, lalu bagaimana?"
"Selagi
mereka bercakap-cakap dengan aku, mendadak saja muncul Eng-moi bersama empat
orang pelayannya. Aku terkejut dan mencoba untuk memberi penjelasan. Akan
tetapi dia sudah marah sekali, menganggap aku sebagai pangeran yang menjadi
mata-mata dan tentu akan memusuhi Pao-beng-pai. Ia lalu merobohkan aku dan
menawanku, sedangkan dua orang perwira itu diserang oleh empat orang
pelayannya. Mereka tentu telah tewas. Nah, segala penjelasanku tidak diterima
oleh ketua Pao-beng-pai mau pun Siangkoan Eng sendiri, dan aku lalu dimasukkan
ke dalam kamar tahanan ini. Eh, belum lama aku berada di sini, engkau digotong
masuk dalam keadaan pingsan."
Setelah
saling mendengar pengalaman mereka yang diceritakan dengan sejujurnya itu,
segera dua orang pemuda yang mengangkat saudara dalam keadaan aneh itu menjadi
akrab sekali. Mereka bercakap-cakap saling menceritakan riwayat mereka.
Akan tetapi
ada satu hal yang masih tetap dirahasiakan oleh Yo Han, yaitu mengenai
hubungannya dengan Tan Sian Li, Si Bangau Merah yang menjadi tunangan pangeran
itu. Dia merahasiakan hal ini karena dia tidak ingin menimbulkan suasana yang
tak enak di antara mereka.
Kenyataan
bahwa pangeran ini tidak saling mencinta dengan Sian Li, bahkan pangeran itu
kini jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, menimbulkan perasaan senang dan harapan
baru dalam hatinya. Dan timbul pula tekad dalam hatinya untuk membantu pangeran
itu supaya dapat melangsungkan perjodohannya dengan Siangkoan Eng. Tentu saja,
tanpa dia sadari, tanpa dia sengaja, dibalik sikapnya ini terdapat dasar kuat
dari hasrat hatinya agar pangeran itu dapat terlepas dari ikatannya dengan Sian
Li.
**************
Tengah malam
telah lewat, akan tetapi Siangkoan Eng masih belum juga tidur. Ia sejak sore
tadi mondar-mandir dalam kamarnya dengan wajah muram. Ia menderita tekanan
batin dan kebingungan semenjak ia menangkap Cia Ceng Sun dan memasukkannya ke
dalam kamar tahanan, kemudian melapor kepada ayahnya bahwa Cia Ceng Sun itu
sebenarnya adalah seorang pangeran Mancu. Ayahnya marah bukan main.
"Jahanam,
aku sudah curiga! Pantas dia enak saja menerima syaratku bahwa dalam pesta
pernikahan harus hadir kaisar! Kiranya kaisar adalah kakeknya sendiri! Dia
tentu datang untuk memata-matai kita! Celaka! Kalau begitu, bagus sekali bila
engkau sudah menawannya, anakku. Kita dapat mempergunakannya sebagai sandera
penting untuk melindungi diri kalau-kalau ada penyerangan dari pemerintah. Dan
kalau dia sudah tidak ada gunanya lagi, akan kusiksa dia sampai mampus!"
Setelah
Siangkoan Eng berada di dalam kamarnya sendiri, ucapan terakhir ayahnya itu
selalu terngiang di telinganya. Cia Ceng Sun yang ternyata adalah Pangeran Cia
Sun itu akan disiksa ayahnya sampai mati! Dan dia tidak dapat menipu diri. Dia
tetap mencinta pemuda itu, pangeran atau pun bukan!
Apa lagi
kalau ia teringat akan percakapannya dengan Cia Sun, teringat betapa pemuda itu
berjanji akan membawanya ke dalam kehidupan yang tenteram penuh kedamaian, tak
mau terlibat dalam pemberontakan dan permusuhan. Ia bahkan hampir yakin bahwa
pemuda itu bukan datang untuk memata-matai Pao-beng-pei.
Akan tetapi,
karena terkejut dan marah mendengar pemuda itu seorang pangeran yang menyamar
sebagai pemuda biasa, ia telah menangkapnya. Sekarang pemuda itu sudah menjadi
tawanan ayahnya, tawanan penting dan dia tidak mungkin dapat minta kepada
ayahnya untuk mengampuni atau membebaskan Cia Sun.
Kini
Siangkoan Eng menjatuhkan diri duduk di tepi pembaringan, wajahnya muram dan
sedih hampir menangis. Dia bertepuk tangan dua kali, dan sesudah seorang
pelayan menjawab dengan ketukan pada pintu dalam, dia memerintahkan pelayan itu
memasuki kamar. Pelayan itu kelihatan heran melihat nonanya belum tidur.
"Panggil
Sui Lan ke sini!" katanya singkat.
Pelayan itu
mengangguk dan cepat keluar. Tak lama kemudian, terdengar ketukan daun pintu
sebelah luar dan suara pelayan tadi melapor bahwa Nona Sui Lan telah datang.
"Sui
Lan, masuklah!" berkata Siangkoan Eng.
Daun pintu
depan terbuka dan masuklah seorang gadis cantik berusia dua puluh satu tahun.
Gadis itu kelihatan baru bangun tidur, agaknya tadi sedang tidur ketika pelayan
memanggilnya. Gadis bernama Tio Sui Lan ini adalah seorang murid yang pandai
dari Siangkoan Kok dan merupakan teman bermain bagi Siangkoan Eng, juga menjadi
orang kepercayaannya, bahkan juga sumoi-nya (adik seperguruan).
"Suci,
tengah malam begini memanggilku, ada kepentingan apakah gerangan yang bisa
kulakukan untukmu?" Dan karena mereka memang bergaul akrab, ia pun
menghampiri lalu duduk di tepi pembaringan, di sebelah suci-nya itu.
"Duduklah,
dan maaf kalau aku mengganggu tidurmu, Sui Lan."
"Aih,
Suci, kenapa sungkan kepadaku? Engkau kelihatannya belum tidur, dan wajahmu
kusut serta muram seperti orang bersedih. Ada apakah, Suci?"
Siangkoan
Eng memegang lengan gadis manis itu. "Sumoi, engkau adalah orang yang
paling kupercaya. Kini hatiku sedang risau. Engkau tahu sendiri bahwa pemuda
yang tadinya kita kenal sebagai Cia Ceng Sun itu sudah ditunangkan denganku.
Kami saling mencinta. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa dia seorang pangeran
dan aku sendiri yang telah menawannya sehingga kini dia dikurung di dalam
tahanan."
"Akan
tetapi, itu sudah benar, Suci. Bukankah dia dapat menjadi orang berbahaya
sekali dan sudah merugikan kita? Dia memata-matai kita dan dia bahkan sudah
menipu Suci. Aku yakin bahwa cintanya pun hanya pura-pura."
"Diam!
Jangan lagi berkata demikian atau aku akan lupa bahwa engkau sumoi-ku dan akan
kuhajar kau!" mendadak Siangkoan Eng membentak dan gadis itu memandang
dengan wajah pucat.
"Maafkan
aku, Suci..."
Siangkoan
Eng menghela napas panjang dan kembali dia memegang lengan gadis itu.
"Engkaulah yang harus memaafkan aku. Aku begini bingung sehingga sangat
mudah tersinggung. Ketahuilah, sampai detik ini aku tak dapat menghilangkan
cintaku padanya, apa lagi membencinya. Aku yakin bahwa dia bukan mata-mata, dan
dia benar-benar mencintaiku. Aku menyesal sekali telah terburu nafsu sehingga
menangkapnya."
Diam-diam
Siu Lan terkejut, akan tetapi ia tidak berani menyatakan pendapatnya, takut
salah. Dia terharu karena suci-nya atau juga nonanya yang biasanya keras hati
itu kini menjadi lemah oleh cinta!
"Akan
tetapi, Suci sudah terlanjur menangkap dia, lalu hal apa yang dapat aku lakukan
untukmu?"
"Engkau
adalah satu-satunya murid ayah yang dipercaya oleh ayah. Semua anggota
Pao-beng-pai juga tunduk padamu. Apa lagi baru saja engkau berjasa dalam
menjebak dan menangkap Pendekar Tangan Sakti Yo Han, tokoh pimpinan
Thian-li-pang itu. Nah, karena Cia Sun ditahan dalam satu kamar tahanan dengan
Yo Han, maka aku minta engkau suka berkunjung ke sana dan melihat keadaan Cia
Sun."
Sui Lan
membelalakkan matanya. "Malam-malam begini? Saat ini sudah tengah malam,
Suci. Lalu apa alasanku tengah malam begini berkunjung ke tempat tahanan?"
"Katakan
saja kepada penjaga bahwa engkau sedang mendapat tugas dari ayah untuk
mengamati penjagaan supaya kedua orang tahanan itu tidak sampai lolos.
Perhatikan apakah Cia Sun telah diperlakukan dengan baik oleh para penjaga
seperti yang sudah aku perintahkan kepada mereka, apakah ia mendapatkan makanan
sepantasnya, bagai mana keadaannya. Kemudian, engkau harus dapat menyerahkan
ini kepada Cia Sun tanpa diketahui penjaga." Siangkoan Eng menyerahkan
sebuah surat yang dilipat-lipat menjadi kecil kepada sumoi-nya.
"Suci,
engkau melibatkan aku dalam pekerjaan yang amat berbahaya, sebab kalau suhu
tahu tentu aku akan dibunuhnya. Setidaknya, aku berhak mengetahui, apa yang
akan kau lakukan agar aku dapat menyesuaikan sikapku. Aku pasti akan
membantumu, Suci. Akan tetapi, apakah maksudmu memberiku tugas ini? Apa artinya
semua ini dan apa rencanamu?"
Siangkoan
Eng merangkul sumoi-nya. "Sumoi, kalau engkau berkhianat kepadaku dan
melaporkan kepada ayah, aku akan celaka. Engkau saja yang dapat kupercaya. Aku
memberi surat kepada Cia Sun, minta supaya dia bersiap-siap menyambut rencanaku
malam ini."
"Dan
apa rencanamu itu, Suci?"
Siangkoan
Eng mengusir semua keraguannya. Memang berbahaya sekali. Kalau dia memberi tahu
kepada sumoi-nya dan gadis itu melaporkan kepada ayahnya, bukan saja rencananya
gagal, akan tetapi bahkan amat membahayakan keselamatan Cia Sun dan dia
sendiri. Akan tetapi, dia tidak melihat jalan lain.
"Sumoi,
setelah larut malam nanti, aku akan membebaskan Cia Sun."
Gadis itu
terbelalak, kaget dan heran.
"Suci!
Engkau yang menangkapnya dan melaporkannya kepada suhu, dan engkau pula yang
kini akan membebaskannya. Bagaimana pula ini?"
"Sudahlah,
Sumoi. Ini demi cintaku, dan untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawaku. Maukah
engkau membantuku? Atau engkau akan melaporkan kepada ayah?"
Sui Lan
merangkul suci-nya. "Suci, engkau tahu bahwa aku menganggapmu bagaikan
kakak sendiri. Aku hidup sebatang kara dan di dunia ini hanya engkaulah
satu-satunya sahabatku, juga saudaraku. Percayalah, aku akan melaksanakan tugasmu
dengan baik. Akan tetapi, dia satu kamar dengan orang she Yo itu.
Bagaimana?"
"Justru
aku ingin memanfaatkan dia. Kita tahu, ilmu silat Si Tangan Sakti itu amat
hebat. Kalau mereka berdua melarikan diri bersama, aku yakin ayah sendiri tidak
akan mampu menangkap mereka dan Cia Sun tentu akan dapat terbebas."
Siangkoan Eng lalu turun dari pembaringan. "Nah, lakukanlah tugasmu,
Sumoi. Hati-hati, jangan ada yang melihat ketika engkau menyerahkan surat itu
karena kalau ketahuan penjaga, semua rencanaku dapat gagal sama sekali!"
"Percayalah
padaku, Suci." Sui Lan meninggalkan kamar suci-nya dan setelah Sui Lan
pergi, Siangkoan Eng duduk termenung.
Sementara
itu, dengan langkah biasa Sui Lan pergi ke sebuah bangunan khusus yang berada
di perkampungan Pao-beng-pai itu, bangunan yang digunakan sebagai tempat
tawanan. Para penjaga tentu saja tidak melarang dia masuk, bahkan memberi
hormat, apa lagi ketika Sui Lan mengatakan bahwa ia mendapat tugas khusus dari
ketua untuk memeriksa keadaan tawanan.
Juga para penjaga
sebelah dalam yang berlapis-lapis, semuanya mengenal baik siapa gadis ini.
Murid tersayang dari Siangkoan Kok, sekaligus orang kepercayaan pimpinan
Pao-beng-pai. Bahkan semua orang tahu bahwa Pendekar Tangan Sakti Yo Han, tokoh
Thian-li-pang, dapat ditawan berkat pancingan nona ini.
Diam-diam
Sui Lan meragukan kemungkinan berhasilnya rencana yang dibuat suci-nya.
Bagaimana mungkin tawanan dapat lolos dari tempat ini? Selain penjagaan ketat
yang berlapis-lapis, juga satu-satunya jalan keluar harus melalui
rintangan-rintangan berupa jebakan-jebakan rahasia yang sukar ditembus.
Akhirnya
tibalah ia di depan kamar tahanan yang berjeruji tebal itu. Dan ia melihat dua
orang tawanan itu sedang duduk bersila, saling berhadapan dan mengobrol!
Kelihatan mereka demikian tenangnya! Pangeran itu bahkan nampak gembira. Ketika
ia berdiri di depan jeruji kamar itu, mereka berdua menoleh kemudian memandang
dirinya.
Melihat Sui
Lan, Yo Han lalu tersenyum masam. "Nah, itulah dia gadis lihai yang sudah
digunakan sebagai umpan sehingga aku terjebak," kata Yo Han tanpa
terdengar suara atau pandang mata yang membenci gadis itu.
Sesuai
dengan perintah suci-nya, Sui Lan memperhatikan keadaan dua orang tawanan itu,
terutama Cia Sun. Dia melihat betapa mereka dalam keadaan sehat, bahkan wajah
mereka sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut atau murung. Jelas bahwa
mereka diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti yang telah
diperintahkan suci-nya.
Sui Lan
memberi isyarat kepada para penjaga untuk menjauh. Mereka mentaati, akan tetapi
tentu saja memandang dari jauh sambil mendengarkan. Sui Lan mengambil sikap
seperti orang mengejek.
"Hemmm,
kalian sudah tertangkap seperti dua ekor tikus, masih berlagak. Akuilah saja
bahwa kalian sudah memata-matai Pao-beng-pai. Benar, tidak? Kalian menyamar dan
berpura-pura, sungguh licik dan pengecut!"
Sui Lan
sengaja mengejek dan memaki dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh para
petugas yang melakukan penjagaan di bagian terdalam tempat itu.
Yo Han
tersenyum. Dia seorang yang cerdik dan dia melihat sikap yang tidak wajar dari
gadis itu, bahkan dapat merasakan betapa suara gadis itu sengaja ditinggikan
supaya terdengar oleh semua orang. Apa yang tersembunyi di balik sikap yang
disengaja itu? Pasti ada! Karena itu, dia segera menanggapi, disesuaikan dengan
sikap gadis itu yang sengaja menghina mereka. Kesengajaan yang dapat dia lihat
dari suara dan sikap gadis itu yang tidak sewajarnya.
"Aha,
kiranya engkau gadis palsu, gadis licik dan curang! Bukannya kami yang curang,
melainkan Pao-beng-pai. Kalau tidak licik, pengecut dan curang, coba bebaskan
kami dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Sui Lan
semakin marah. "Jahanam! Engkau telah merobek bajuku, engkau pun melepas
sepatuku. Engkau laki-laki mesum dan kurang ajar! Kalau tidak dihalangi suhu,
tentu engkau sudah kubunuh!"
"Ha-ha-ha,
engkau mampu membunuhku? Kita lihat saja!" kata Yo Han.
Cia Sun
memandang kakak angkatnya itu dengan mata terbelalak. Ia mengenal Yo Han tidak
seperti itu! Begitu kasar kata-katanya terhadap seorang gadis!
"Keparat
busuk, rasakan dan makan jarumku ini!"
Tangan kiri
gadis itu bergerak dan sinar lembut meluncur ke dalam kamar tahanan itu melalui
celah-celah jeruji yang cukup lebar. Jika dipandang oleh para penjaga dari
jauh, jelas bahwa gadis itu menyerang Yo Han dengan jarum rahasia yang ampuh!
Akan tetapi,
Yo Han menangkap sinar putih yang menyambarnya, dan menyimpannya ke dalam saku
bajunya dengan kecepatan yang tidak dapat terlihat oleh para penjaga. Memang
jarum yang disambitkan Sui Lan, namun jarum yang membawa lipatan kertas kecil!
Melihat
sambitannya tidak mengenai sasaran, Sui Lan memaki-maki lalu meninggalkan
tempat itu, memesan kepada para penjaga agar menjaga dengan ketat.
"Kecuali Suhu sendiri, suci Siangkoan Eng, dan aku sendiri, siapa pun
dilarang memasuki tempat ini! Mengerti?!" bentaknya kepada para penjaga
sebelum ia pergi dari situ.
Dua jam
kemudian, malam sudah sangat larut dan hawa yang dingin membuat semua orang
mengantuk. Demikian pula para penjaga di bangunan tempat tahanan itu. Akan
tetapi mereka tidak berani tidur dan melakukan penjagaan ketat secara
bergantian.
Ketika
Siangkoan Eng muncul dan membentak para penjaga yang sedikit mengantuk, mereka
terkejut dan cepat mengambil sikap tegak dan siap. Sikap Siangkoan Eng galak
terhadap para penjaga. Dia memarahi setiap orang penjaga yang kelihatan
mengantuk atau habis tidur.
"Kalian
tak boleh lengah sedikit pun! Dua orang tawanan ini amat lihai dan amat
penting. Kini aku harus memeriksa segala kemungkinan, jangan sampai mereka
lolos!" katanya dengan suara galak.
Suaranya
terdengar sampai kamar tahanan di mana kedua orang pemuda itu sedang duduk
bersila. Mendengar suara ini, berubah wajah Cia Sun dan jantung kedua orang
tawanan itu berdebar tegang.
Tidak lama
kemudian, setelah memeriksa di sepanjang jalan, tibalah Siangkoan Eng di lorong
terakhir yang menuju ke kamar-kamar tahanan. Dua belas orang penjaga lorong itu
menyambut dengan sikap yang tegak dan siap.
"Tidak
ada yang tertidur di antara kalian?" bentak Siangkoan Eng.
"Tidak,
Nona."
"Bagus!
Siapa yang memegang kunci kamar tahanan?” bentaknya pula. "Ia mempunyai
tanggung jawab yang amat penting!"
"Saya,
Nona!" kata seorang di antara para penjaga yang bertubuh tinggi besar,
bermuka bopeng, yaitu kepala regu yang menjaga kamar tahanan dan lorong itu.
"Apakah sudah kau periksa benar bahwa pintu itu terkunci rapat?"
"Sudah,
Nona."
"Berikan
kuncinya kepadaku. Hendak aku periksa sendiri!" kata Siangkoan Eng.
"Awas kau kalau menguncinya tidak benar!"
"Silakan,
Nona!" kata si bopeng sambil menyerahkan sebuah kunci yang besar.
Karena sikap
Siangkoan Eng yang amat galak dan keras itu, para penjaga nampak takut
kepadanya, tak berani mendekat sehingga ketika gadis itu menghampiri pintu
jeruji besi kamar tahanan, para penjaga hanya melihat dari jarak sepuluh meter.
Pada saat
gadis itu menghampiri pintu jeruji, mereka melihat betapa dua orang tawanan itu
tidur di lantai, di tengah kamar, agak mendekat pintu. Mereka tidur mendengkur,
dan Siangkoan Eng mencoba kunci pintu, apakah terkunci dengan benar atau tidak.
Pada saat
itu, dua orang tawanan itu bergerak cepat bagaikan kilat dan Yo Han sudah
menotok gadis itu melalui celah jeruji, lantas mencengkeram pundaknya dengan
tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengancam lehernya. Cia Sun juga cepat
mencabut pedang yang terselip di pinggang Siangkoan Eng, lalu menghardik kepada
para penjaga yang berloncatan mendekat.
"Semua
berhenti dan jangan ada yang bergerak. Kalau ada yang bergerak, kami akan
membunuh Siangkoan Eng!"
Bentakan itu
berpengaruh karena para penjaga yang dua belas orang banyaknya itu tak berani
berkutik, seperti telah berubah menjadi arca di tempat masing-masing. Tentu
saja mereka tidak menghendaki nona mereka dibunuh.
Nampaknya
nona mereka memang sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri. Sudah ditotok,
dicengkeram lagi. Dan mereka semua juga tahu atau sudah mendengar betapa
lihainya dua orang tawanan itu, terutama sekali Yo Han yang kini mencengkeram
nona mereka.
Cia Sun
merampas kunci dan melalui celah jeruji, dia membuka kunci pintu, lalu mereka
berdua keluar. Yo Han menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang punggung,
lalu membebaskan totokannya.
"Hayo
antar kami keluar. Bergerak sedikit saja melawan, lehermu akan
kupatahkan!" katanya geram.
Siangkoan
Eng kelihatan terkejut dan marah, akan tetapi dia pun tahu bahwa dia tidak
berdaya. Ketika melihat para penjaga memandangnya dengan bingung, dia pun
berkata gemas, “Biar mereka lewat. Lain kali masih ada kesempatan bagi kita
untuk menangkap mereka kembali dan kalian akan mendapat bagian menyiksa
mereka!"
Para penjaga
terpaksa membiarkan gadis itu digiring keluar oleh dua orang tawanan itu.
Demikian pula para penjaga di tengah dan di luar, tidak ada yang berani berkutik
melihat nona mereka diancam seperti itu. Siangkoan Eng juga menyuruh mereka
mundur dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat sambil mengeluarkan ancaman
bahwa kelak mereka semua pasti akan dapat menangkap kembali dan membalas kedua
orang itu.
Karena
menggiring Siangkoan Eng, tentu saja para penjaga tidak berani menggunakan alat
rahasia untuk menjebak. Nona mereka terancam dan sekali menggerakkan tangan,
kedua orang tawanan itu dapat membunuhnya dengan mudah. Tentu saja mereka tidak
berani berkutik, bahkan membunyikan tanda bahaya pun tidak berani. Apa lagi
nona mereka sudah memerintahkan agar mereka tidak melawan dan membiarkan dua
orang tawanan itu lewat.
Karena tidak
ada penjaga yang berani menghalangi, dengan sangat mudahnya Yo Han dan Cia Sun
dapat keluar dari perkampungan Pao-beng-pai itu menggiring Siangkoan Eng.
Setelah mereka keluar dari pintu gerbang, barulah para penjaga berani
berlari-lari untuk memberi laporan kepada Siangkoan Kok.
Akan tetapi,
ketika Siangkoan Kok terbangun dan terkejut, juga marah sekali mendengar betapa
kedua orang tawanan itu lolos bahkan menggiring Siangkoan Eng yang dibuat tidak
berdaya, kedua orang tawanan itu telah lari jauh.
Setelah tiba
di luar pintu gerbang, agak jauh di tempat sepi, Yo Han melepaskan kedua tangan
Siangkoan Eng.
"Eng-moi..."
Cia Sun memegang kedua lengan gadis itu.
Siangkoan
Eng memandang dengan muka sedih, kemudian berkata dengan suara lirih,
"Engkau pergilah..."
"Eng-moi,
mengapa engkau tidak ikut kami saja pergi meninggalkan neraka itu?" bujuk
Cia Sun.
"Neraka
itu tempat tinggal ayah ibuku, Koko. Bagaimana aku dapat meninggalkan ibuku
begitu saja? Tidak, kalian pergilah cepat sebelum ayah dan para anggota
Pao-beng-pai datang."
"Eng-moi,
aku bersumpah akan kembali dan membawamu sebagai isteriku. Aku cinta padamu,
Eng-moi."
"Aku
pun cinta padamu, tidak peduli engkau ini pangeran atau pengemis...,” Siangkoan
Eng berkata dalam isaknya, akan tetapi isaknya terhenti ketika Cia Sun, tanpa
sungkan dan malu di depan Yo Han, merangkul dan menciumnya.
Pada saat
itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari perkampungan itu hingga
mereka berdua saling melepaskan rangkulan.
"Pergilah
sebelum terlambat," kata Siangkoan Eng.
"Benar,
Cia-te, kita harus cepat-cepat pergi. Nona, maafkan kami, terpaksa aku harus
menotokmu."
"Silakan,"
kata Siangkoan Eng.
Yo Han cepat
menotok gadis itu sehingga lemas tak mampu bergerak, bahkan dia pun menotok
mulutnya sehingga gadis itu tidak dapat bersuara pula. Cia Sun menyambut tubuh
yang lemas itu agar tidak terjatuh, lalu merebahkannya telentang di atas
rumput. Setelah menciumnya sekali lagi, Cia Sun terpaksa melompat dan mengejar
Yo Han yang sudah lari terlebih dahulu karena kini terdengar langkah kaki
orang-orang berlari datang dan nampak pula mereka membawa obor.
Siangkoan
Kok dan isterinya yang memimpin para anak buah Pao-beng-pai melakukan
pengejaran, menemukan puteri mereka dalam keadaan telentang di atas rumput,
tanpa dapat bersuara mau pun bergerak. Dengan marah Siangkoan Kok memerintahkan
anak buahnya mencari dan melakukan pengejaran sampai ke bawah bukit, sementara
dia dan isterinya membebaskan totokan pada diri Siangkoan Eng.
Dengan muka
merah dan mata berkilat menahan kemarahannya, Siangkoan Kok yang tak mau
ribut-ribut memarahi puterinya di tempat terbuka, kemudian mengajak isteri dan
puterinya kembali ke rumah mereka, dan memerintahkan semua anak buahnya untuk
terus mencari.
Sekarang
mereka bertiga berada di dalam rumah, di ruangan dalam di mana tidak ada
pelayan yang boleh masuk. Semua pelayan diperintahkan untuk keluar dari ruangan
itu, dan mereka menanti di luar dengan wajah pucat karena mereka maklum bahwa
ketua mereka marah bukan main.
"Nah,
sekarang katakanlah terus terang, apa yang sudah kau lakukan!" Siangkoan
Kok membentak puterinya yang telah duduk di samping ibunya.
Siangkoan
Eng mengangkat muka menatap wajah ayahnya, sedikit pun tidak merasa takut walau
pun ia tahu bahwa ayahnya marah sekali karena kedua orang tawanan itu dapat
meloloskan diri.
"Apa
yang harus kukatakan, Ayah? Tadi, untuk merasa yakin bahwa dua orang tawanan
itu tidak dapat melarikan diri, aku memeriksa tempat tawanan itu. Mendadak,
ketika aku memeriksa kunci pintu kamar tahanan itu, Pendekar Tangan Sakti yang
tadinya kukira tidur pulas, meloncat dan telah menyergapku melalui celah jeruji
besi. Gerakannya tak terduga dan cepat bukan main sehingga aku dapat
ditotoknya. Mereka membuka piritu dengan kunci setelah membuat aku tidak
berdaya, dan mengancam para penjaga untuk membunuhku apa bila mereka mencoba
menghalangi larinya kedua orang tawanan itu. Nah, setelah berhasil keluar dari
pintu gerbang, mereka lalu menotok dan meninggalkan aku, sampai Ayah
menemukanku."
"Kau
bohong! Kau pembohong besar!" Siangkoan Kok membentak dan matanya melotot
lebar.
Dalam
kemarahannya, pria yang tinggi besar dan gagah ini kelihatan semakin besar dan
garang menyeramkan. Akan tetapi Siangkoan Eng tenang-tenang saja.
"Ayah,
kenapa Ayah mengatakan aku bohong? Untuk apa aku berbohong? Kenapa aku harus
membohongi Ayah?"
"Mengapa…?!
Karena engkau sudah jatuh cinta kepada pangeran Mancu itu! Karena engkau sudah
tergila-gila padanya! Tak tahu malu, merendahkan diri tergila-gila kepada
seorang pangeran Mancu!"
"Hemmm,
apa alasan Ayah menuduhku berbohong?"
"Apa
alasannya…?! Bocah murtad, pengkhianat! Seumur hidupku, belum pernah aku
melihat engkau sedemikian penakut dan bodoh sehingga dapat dikelabui musuh,
dapat disergap dan ditundukkan dari dalam kamar tahanan, lalu sedemikian
penakut sehingga ketika engkau ditawan dan digiring keluar, engkau
memerintahkan para anak buah kita untuk membiarkan kedua orang itu pergi! Kau
boleh mengelabui orang lain, akan tetapi tidak mungkin mampu membohongi aku!
Aku sudah sangat mengenal watakmu. Engkau tak mengenal takut, engkau cerdik,
tak mungkin dapat ditundukkan dua orang tawanan semudah itu, kecuali kalau
engkau memang sengaja hendak membantu mereka lolos!"
"Itu
hanya dugaan Ayah belaka. Mana buktinya?" tantang Siangkoan Eng yang
memang sejak kecil digembleng oleh ayah ibunya agar tidak mengenal takut.
"Bocah
setan. Engkau masih mau menantangku untuk menunjukkan bukti? Kau kira aku belum
melakukan penyelidikan dan belum membongkar rahasiamu yang busuk dan
memalukan?" Siangkoan Kok membentak ke arah pintu memanggil pelayan dan
ketika seorang pelayan wanita masuk dengan sikap takut-takut, dia membentak,
"Panggil Sui Lan ke sini! Cepat!!"
Pelayan itu
lari tunggang langgang dan diam-diam Siangkoan Eng terkejut. Apakah Sui Lan telah
mengkhianatinya dan melapor kepada ayahnya? Rasanya hal itu tak mungkin
terjadi. Ia hampir yakin akan kesetiaan sumoi-nya itu kepadanya.
Tidak lama
kemudian Sui Lan masuk dan memberi hormat kepada suhunya. Dengan suara biasa ia
berkata seperti orang melapor, "Maaf, Suhu. Sudah teecu (murid) dengar
dari laporan anak buah bahwa pencarian itu tidak berhasil..."
“Diam
kau!" Siangkoan Kok membentak. "Jangan bicara kalau tidak kutanya,
dan setiap jawaban harus kau jawab sejujurnya!"
"Baik,
Suhu."
Gadis itu
pun lalu duduk di atas bangku yang ditunjuk oleh gurunya. Berbeda dengan
Siangkoan Eng yang nampaknya masih tenang, Tio Sui Lan kelihatan agak pucat dan
matanya mengandung kegelisahan ketika melihat kemarahan gurunya.
Setelah
melihat muridnya yang sebenarnya merupakan murid yang paling disayangnya itu
duduk, Siangkoan Kok lalu menghadapi puterinya lagi. Dia tetap berdiri,
bagaikan gunung karang di depan puterinya yang duduk di samping ibunya. Lauw Cu
Sin, wanita berusia empat puluh lima tahun yang masih cantik itu, mengerutkan
alisnya dan hanya mendengarkan, pandang matanya juga gelisah.
"Nah,
sekarang Sui Lan telah berada di sini. Eng Eng, apakah engkau masih tidak mau
mengakui pengkhianatan terhadap Pao-beng-pai dan bahwa engkau sudah membantu
kedua orang itu membebaskan diri?"
"Ayah
hanya menuduh tanpa bukti," kembali Siangkoan Eng atau Eng Eng membantah,
sikapnya tetap berani.
"Brakkkk…!!"
Meja di
samping kirinya dihantam tangan kiri Siangkoan Kok sehingga papan meja itu
hancur berkeping-keping.
"Engkau
masih berani mengatakan aku menuduhmu tanpa bukti? Anak durhaka, dengar
baik-baik. Aku telah menyelidiki dan menanyai para penjaga. Dua jam sebelum
engkau muncul, si iblis cilik Sui Lan ini sudah datang lebih dahulu ke tempat
tahanan, memasuki tempat tahanan dan mengatakan kepada para penjaga bahwa aku
sengaja memerintah dia agar menjaga para tawanan. Para penjaga lalu melihat Sui
Lan cekcok dengan para tahanan, kemudian ia menyambitkan jarum ke arah para
tahanan. Para penjaga melihat berkelebatnya sinar putih halus! Sui Lan, jawab.
Benarkah itu?"
"Benar,
Suhu. Teecu marah dan menyerang orang she Yo dengan jarum teecu dan..."
"Bohong!
Ingin kau kurobek mulutmu? Mana mungkin jarum rahasiamu bersinar putih? Tentu
bukan jarum yang kau sambitkan, melainkan surat, gulungan kertas atau alat lain
untuk mengirim pesan!"
"Suhu..."
"Diam!"
Tangan
Siangkoan Kok menyambar ke arah muridnya sehingga gadis itu terpelanting dari
bangkunya dan bajunya robek lebar memperlihatkan sebagian dadanya. Sui Lan
bangkit dan berlutut sambil membetulkan letak bajunya. Untung gurunya tidak
berniat membunuhnya sehingga ia tidak terluka.
"Eng
Eng, engkau masih hendak membantah? Engkau sudah mengirim pesan lewat Sui Lan
kepada pangeran Mancu itu. Kemudian, dua jam setelah itu, engkau sendiri yang
datang berkunjung ke sana, berpura-pura melakukan pemeriksaan dan sengaja
engkau membiarkan dirimu dibuat tak berdaya! Engkau bahkan membantu mereka
lolos karena engkau sudah tergila-gila kepada seorang pangeran Mancu. Tak tahu
malu!"
Kini tahulah
Eng Eng bahwa Sui Lan tidak berkhianat. Rahasianya terbongkar semata-mata
karena kecerdikan ayahnya yang memang luar biasa. Ia menghela napas panjang.
"Ayah,
aku melakukan hal itu demi menjaga baik nama Ayah."
Mata itu
melotot. "Apa kau bilang? Menjaga nama baikku?" Karena heran, maka
untuk sementara kemarahannya tertunda.
"Ayah
adalah ketua Pao-beng-pai yang baru saja mengenalkan diri kepada para tokoh
kang-ouw, dikenal sebagai pemimpin perkumpulan patriot yang gagah perkasa. Akan
tetapi, Ayah sudah menawan Pendekar Tangan Sakti secara curang. Bagaimana kalau
sampai terdengar dunia persilatan? Apa lagi aku yakin bahwa Pangeran Cia Sun
bukan seorang mata-mata Mancu. Biar pun dia pangeran Mancu, akan tetapi dia
bukan mata-mata, melainkan seorang pemuda yang ingin meluaskan pengetahuan dan
pengalaman di dunia kang-ouw. Mana mungkin seorang pangeran melakukan pekerjaan
mata-mata yang berbahaya? Tentu keluarganya tidak akan menyetujuinya."
"Cukup!
Katakan saja engkau tergila-gila kepada pangeran Mancu itu!"
Siangkoan
Eng yang yakin bahwa ayahnya amat menyayangnya dan tidak mungkin dia sampai
terancam malapetaka oleh tangan ayahnya, kemudian menjawab dengan sama
lantangnya, "Tidak kusangkal, Ayah. Memang aku mencinta Cia Sun dan dia
pun amat mencintaku. Akan tetapi, bukankah Ayah juga sudah menerima
pinangannya, menerima pula tanda pengikat perjodohannya, dan bahkan Ayah mengajukan
syarat yang sudah disanggupinya? Apakah Ayah ingin menarik kembali janji dan
ucapan Ayah?"
"Jahanam
kau! Kau ingin Ayah mempunyai mantu seorang pangeran Mancu?"
"Mengapa
tidak, Ayah? Dia pangeran biasa, bukan calon kaisar!"
"Keparat,
anak durhaka, engkau memang patut dihajar!" bentak Siangkoan Kok dan dia
pun menerjang ke depan, tangannya terayun memukul ke arah kepala Eng Eng.
Gadis itu
terkejut. Ia sama sekali tak pernah menduga bahwa ayahnya akan sedemikian
marahnya sehingga mau memukulnya, hal yang selama ini belum pernah dilakukan
oleh ayahnya. Yang mengejutkan hatinya adalah ketika melihat betapa tangan
ayahnya itu memukul ke arah kepalanya. Pukulan maut!
Kalau
kepalanya terkena pukulan itu, tentu akan pecah dan ia pun akan tewas seketika!
Otomatis, sebagai seorang ahli silat yang gerakannya serba otomatis, dengan
cepat dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis karena untuk mengelak, ia
tidak berani dan hal itu tentu akan membuat ayahnya menjadi semakin marah.
"Desss...!!"
Meski ia
telah menangkis, karena ia tidak berani pula mengerahkan seluruh tenaganya,
hantaman ayahnya itu tetap saja hebat bukan main. Tenaga yang dahsyat menerpa
dan menerjang dirinya sehingga membuat kursi yang didudukinya patah-patah dan
tubuhnya terjengkang sampai berguling-guling. Sungguh hal ini tidak disangkanya
sama sekali.
Kepalanya
terasa pening, dadanya pun nyeri karena hawa pukulan itu menerjang masuk lewat
lengannya. Dari mulutnya keluar darah segar dan Eng Eng yang kemudian rebah
menelungkup itu, menggerakkan tubuh telentang dan ia bertopang pada siku
kanannya. Ia kemudian mengangkat tangan kiri ke arah ayahnya, bibirnya berdarah
dan matanya terbelalak.
"Ayah...?!"
terkandung penasaran, keheranan dan kekagetan dalam suara itu.
Melihat
keadaan Eng Eng, kemarahan Siangkoan Kok bukan mereda, namun menjadi semakin
marah karena tangkisan puterinya tadi dianggapnya sebagai perlawanan.
"Engkau
memang patut dibunuh!" bentaknya lagi dan dia sudah mencabut pedangnya,
menerjang ke depan dan mengayun pedangnya untuk memenggal leher Eng Eng yang
masih bertopang pada sikunya.
"Singgg...!
Tranggg...!"
Pedangnya
tertangkis pedang lain dan dia cepat meloncat ke belakang. Mukanya merah sekali
saat ia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah isterinya sendiri, Lauw
Cu Si! Wanita cantik itu berdiri dengan pedang di tangan, dan dengan mata
mencorong ia menghadapi suaminya.
"Engkau
harus melangkahi mayatku terlebih dulu jika hendak membunuhnya!" katanya,
suaranya tenang akan tetapi mengandung ancaman yang mengerikan.
Kalau saja
yang menantang itu orang lain, tanpa banyak cakap lagi tentu Siangkoan Kok akan
membunuhnya. Akan tetapi, isterinya adalah keturunan Beng-kauw. Biar pun
Beng-kauw telah hancur, namun di dunia persilatan masih terdapat banyak sekali
bekas tokoh Beng-kauw yang lihai sekali. Kalau dia membunuh isterinya, apa lagi
tanpa sebab yang kuat, tentu dia akan berhadapan dengan banyak musuh yang amat
berbahaya dan ini berarti akan melemahkan Pao-beng-pai.
Melihat
keraguan ayahnya, Eng Eng yang masih merasa sesak dadanya dan kini sudah
bangkit duduk berkata memelas. "Ayah, bukankah aku ini anakmu,
darah-dagingmu? Seekor binatang buas sekali pun tidak akan membunuh anak
sendiri..."
"Dia
bukan ayahmu! Engkau bukan anaknya!" Tiba-tiba Lauw Cu Si berkata dan
wajah Eng Eng seketika pucat sekali, matanya terbelalak dan hampir ia jatuh
pingsan.
"Ibu...
dia... dia bukan ayahku...?" Ia berbisik-bisik berulang-ulang. Ibunya
sudah berlutut dan merangkulnya.
"Tenanglah,
tidak akan ada manusia di dunia ini dapat membunuhmu tanpa melangkahi
mayatku!" kata ibu itu sambil merangkul puterinya dan memandang suaminya
dengan sinar mata menantang.
Siangkoan
Kok menjadi merah sekali mukanya. "Baiklah, kalian ibu dan anak memang
jahanam! Memang kau bukan anakku! Ketika menjadi isteriku, ibumu telah membawa
engkau! Seorang gadis sudah mempunyai anak tanpa ayah. Huh, perempuan macam apa
itu! Dan sekarang, kalian hendak mengkhianati aku!"
Setelah
berkata demikian, Siangkoan Kok menyarungkan pedangnya, kemudian hendak
melangkah keluar. Akan tetapi dia melihat Sui Lan yang masih berlutut dengan
muka pucat dan baju robek.
"Engkau
juga mengkhianatiku. Mestinya engkau kubunuh! Akan tetapi, aku tidak akan
membunuhmu, tetapi mulai sekarang, engkau menggantikan perempuan laknat itu dan
melayaniku sebagai isteriku!" Sekali tangannya bergerak dia telah
menyambar tubuh Sui Lan dan memondongnya keluar dari kamar itu.
"Tidak,
Suhu...! Jangan, Suhu...! Tidaaaaakkk...!"
Gadis itu
menjerit-jerit, namun Siangkoan Kok tidak peduli dan melangkah lebar menuju ke
kamarnya sendiri, menutupkan daun pintu dengan keras dan tangis Sui Lan semakin
sayup terdengar.
"Ibu...
ahh, Ibu... aku… aku harus menolong sumoi...," Eng Eng mencoba untuk
bangkit berdiri, akan tetapi ia terhuyung dan jatuh ke dalam rangkulan ibunya.
"Hemmm,
apa yang dapat kau lakukan, Eng Eng? Marilah kurawat lukamu, kita masuk ke
kamarmu. Aku tidak sudi lagi memasuki kamar yang tadinya menjadi kamar kami
itu. Mulai sekarang aku pindah ke kamarmu."
"Tapi,
Ibu...! Kasihan Sui Lan. Ibu, tolonglah sumoi. Setidaknya, ayah... ahh, suami
Ibu masih memandang muka Ibu. Tolonglah, cegahlah agar sumoi tidak menjadi
korban."
Ibunya
menggoyang kedua pundak, sikapnya acuh saja. Ia adalah seorang bekas tokoh
besar Beng-kauw, sebuah perkumpulan sesat. Ia adalah seorang tokoh sesat
sehingga peristiwa seperti itu tidak ada artinya baginya. Ia tidak peduli
seujung rambut pun.
"Tidak
ada sangkut pautnya dengan aku. Kalau dia hendak membunuhmu, barulah aku akan
bangkit. Akan tetapi Sui Lan? Huh, aku tahu bahwa sudah lama Siangkoan Kok
memandang padanya penuh birahi. Agaknya sekarang ini kesempatan baginya. Sui
Lan bersalah, kalau aku mencegahnya sekali pun, tentu dia akan dibunuh gurunya.
Biarlah, jangan ambil peduli!" Ibu itu menarik Eng Eng ke kamar puterinya
yang berada agak jauh di samping kiri.
Eng Eng
menangis karena merasa tidak berdaya. "Lebih baik dia mati... lebih baik
dia mati..." Ia berulang-ulang berbisik, akan tetapi ibunya tidak
mempedulikannya dan tetap melanjutkan membawanya ke kamar.
Eng Eng
mencoba untuk mengusir bayangan sumoi-nya yang meronta-ronta dalam pondongan
pria yang selama ini dianggapnya ayahnya, ditaatinya dan disayangnya.
"Ibu,
kenapa selama ini Ibu tidak pernah memberi tahu kepadaku bahwa dia itu bukan
ayahku?" tanya Eng Eng ketika ibunya memeriksa tubuhnya, lalu menyalurkan
tenaga sinkang untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhnya karena terguncang hawa
pukulan Siangkoan Kok yang kuat. Kemudian ia pun minum obat yang diberikan
ibunya.
Setelah
puterinya menelan obat, barulah Lauw Cu Si menjawab. "Untuk apa? Selama
ini dia menyayangmu seperti anak sendiri. Baru setelah kalian bertentangan
dalam urusan gerakan Pao-beng-pai, dia hampir membunuhmu. Engkau masih terlalu
kecil ketika aku menjadi isterinya, maka kupikir sebaiknya tak perlu kau tahu
bahwa dia bukan ayahmu, sampai tadi ketika dia hampir membunuhmu."
"Kalau
begitu... nama keluargaku bukan Siangkoan?"
"Tentu
saja bukan!"
"Lalu
siapa? Siapakah nama ayah kandungku dan di mana dia, Ibu?"
"Hemmm,
dia sudah mati. Kalau engkau tidak suka nama marga Siangkoan boleh kau pakai
nama keluargaku, yaitu Lauw. Namaku Lauw Cu Si dan kalau engkau tidak suka nama
Siangkoan, boleh kau ganti Lauw, jadi namamu Lauw Eng."
"Tapi,
siapa nama ayah kandungku, Ibu? Aku ingin menggunakan nama marganya!"
"Sudahlah
aku tidak mau bicara tentang dia. Aku tak suka mengingatnya!" Suara wanita
itu mulai terdengar ketus sehingga Eng Eng merasa heran sekali.
"Akan
tetapi, kenapa, Ibu? Kalau pun ayah kandungku sudah mati, kenapa Ibu tak mau
memberi tahukan namanya? Dan di manakah kuburannya? Aku ingin bersembahyang di
depan kuburannya."
"Cukup!
Aku tidak sudi menyebut namanya. Aku juga sudah lupa namanya. Aku benci
padanya!" Suara itu semakin galak.
Eng Eng
terkejut dan semakin heran. "Tapi, dia sudah mati, Ibu..."
"Dia
sudah mati atau masih hidup, tetap saja aku paling benci kepadanya. Sudah,
kalau engkau bicara tentang dia lagi, aku akan marah sekali!"
Eng Eng
tidak berani melanjutkan lagi. Dia sudah kehilangan ayahnya, atau orang yang
selama ini dianggap ayahnya yang disayangnya dan ditaatinya, dan kini dia tidak
ingin kehilangan ibunya pula. Pasti pernah terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu
yang sangat menyakitkan hati ibunya yang telah dilakukan ayah kandungnya
sehingga ibunya begitu membencinya setengah mati. Kalau benar demikian, berarti
ayah kandungnya juga telah melakukan sesuatu yang amat jahat.
Hatinya
terasa perih dan nyeri sekali. Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri
akan tetapi ternyata hanya ayah tiri itu seorang jahat, dan ayah kandungnya
sendiri pun dahulunya orang jahat. Ketika ia terkenang kepada Pangeran Cia Sun,
Eng Eng merasa jantungnya seperti ditusuk. Ia merasa rendah diri.
Dua orang
pemuda itu berhasil meninggalkan Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Iblis) yang berada
di bagian barat Kwi-san (Bukit Iblis), bahkan kini mereka mulai turun dari
bukit itu. Setelah jauh, menjelang tengah hari, mereka lalu duduk beristirahat
di bawah pohon besar di dalam sebuah hutan kecil yang sunyi.
Melihat
betapa wajah Cia Sun agak murung, Yo Han lantas berkata, "Mengapa engkau
kelihatan murung, Cia-te? Bukankah sepatutnya kita bersyukur karena sudah
terhindar dari ancaman maut di sana?"
Pangeran itu
memandang kakak angkatnya. "Yo-twako, aku takut. Aku khawatir sekali apa
yang akan terjadi dengan Eng-moi. Aku amat mencintanya..."
Yo Han
tersenyum. "Engkau aneh sekali, Cia-te. Ketika engkau dan aku berada dalam
tahanan dan dalam keadaan tidak berdaya, setiap saat dapat saja kita dibunuh,
engkau sama sekali tidak merasa takut, bahkan selalu nampak gembira. Akan
tetapi sekarang, setelah terbebas dari bahaya, engkau malah begitu takut."
Cia Sun
menghela napas panjang. "Biasanya aku tidak pernah takut, Yo-twako. Akan
tetapi sekarang, aku gelisah sekali dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku
dapat menghilangkan perasaan takut atau gelisah ini."
"Tidak
ada cara untuk menghilangkan takut, Cia-te. Takut adalah perasaan kita sendiri,
dan yang ingin menghilangkan itu pun perasaan kita sendiri. Takut timbul karena
ulah pikiran, dan keinginan menghilangkan juga ulah pikiran, Cia-te. Kalau kita
tidur, pikiran kita tidak bekerja, maka takut pun tidak ada. Pikiran
menimbulkan rasa takut, duka, dan sebagainya. Namun, kesadaran akan rasa takut
itu sendiri, tanpa adanya usaha untuk melenyapkan, akan mendatangkan perubahan,
mendatangkan kesadaran dan dengan sendirinya takut pun tidak nampak
bekasnya."
Apa yang
dikatakan Yo Han bukanlah teori, melainkan pengalaman yang sudah dialami
sendiri oleh pemuda itu.
Takut bersumber
dari pikiran, dan pikiran bergelimang nafsu, membentuk aku. Keakuan inilah yang
menjadi sumber segala perasaan. Aku terancam, pikiran membayangkan segala hal
buruk yang dapat menimpa diriku, maka timbullah takut.
Aku yang
mengaku-aku adalah pikiran bergelimang nafsu. Nafsu membuat kita selalu ingin
senang, tidak mau susah. Maka, membayangkan kesusahan yang akan menimpa diri
inilah yang kemudian menimbulkan rasa takut.
Takut adalah
ulah pikiran yang membayangkan hal yang belum terjadi, membayangkan hal buruk
yang mungkin menimpa kita. Yang sehat takut sakit. Bila sudah datang sakit,
bukan sakit lagi yang ditakuti, melainkan mati, lalu takut akan keadaan sesudah
mati dan selanjutnya. Membayangkan hal-hal yang belum terjadi, itulah penyebab
rasa takut. Kalau pikiran tidak membayangkan hal-hal yang belum terjadi, takut
pun tidak ada.
Iblis
menggoda kita manusia melalui nafsu-nafsu kita sendiri. Sebenarnya nafsu adalah
anugerah Tuhan yang disertakan pada kita sejak kita lahir. Nafsu diikut
sertakan untuk menjadi alat kita, menjadi budak kita yang membantu kita dalam
kehidupan di dunia lain. Tuhan Maha Murah, Tuhan Maha Asih.
Dengan
memiliki nafsu, kita bisa menikmati kehidupan di dunia ini melalui panca indera
kita, melalui semua alat tubuh kita lahir batin. Iblis melihat ketergantungan
kita kepada nafsu, mempergunakan nafsu untuk menyeret kita sehingga kita bukan
lagi memperalat dan memperbudak nafsu, melainkan kita yang diperalat dan
diperbudak. Dan jika sudah begitu, kita tidak berdaya, menjadi permainan nafsu
yang akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan, menjadi seperti kanak-kanak yang
diberi makanan enak, tidak mengenal batas makan sebanyaknya untuk kemudian
menderita sakit yang menyengsarakan.
Kalau sudah
menderita akibat menuruti nafsu, barulah timbul penyesalan, dan alat lain dalam
tubuh memprotes, akal sehat melihat betapa merugikan dan tidak menyenangkan
akibat dari menuruti dorongan nafsu tadi. Akan tetapi, usaha menghentikan
pengaruh nafsu itu tak akan berhasil, atau sukar sekali mendatangkan hasil.
Usaha itu
datang dari hati akal pikiran pula, padahal hati akal pikiran sudah bergelimang
nafsu. Bagaimana mungkin nafsu meniadakan nafsu, atau nafsu mengalahkan dirinya
sendiri? Tidak mungkin! Bahkan akal pikiran yang sudah dipengaruhi nafsu daya rendah
itu membela pekerjaan nafsu.
Contohnya
banyak kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita ini.
Adakah manusia yang tidak menyadari akan perbuatannya yang benar? Adakah
seorang pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu buruk? Adakah seorang
koruptor yang tidak tahu bahwa korupsi itu jahat dan buruk? Semua tahu belaka!
Seperti
contoh terdekat dan teringan, adakah seorang perokok atau pemabuk yang tidak
tahu bahwa merokok atau bermabukan itu tidak baik? Tentu tidak ada! Setiap
orang pasti tahu, akan tetapi apa daya? Pengetahuan ini tidak mampu
menghentikan ikatan pengaruh nafsu.
Yang
berjudi, walau tahu benar bahwa berjudi itu tidak baik, tidak mampu
menghentikan kebiasaannya berjudi! Demikian pula halnya dengan perampok,
pencuri, koruptor dan sebagainya! Kenapa begitu? Karena pengetahuan itu ada di
pikiran, dan pikirannya pun sudah bergelimang nafsu. Bahkan hati akal pikiran
yang sudah bergelimang nafsu akan membela perbuatan-perbuatan itu.
Seorang
pencuri dibela pikirannya sendiri bahwa ia mencuri karena terpaksa, karena tak
ada pekerjaan, karena ia ingin menghidupi keluarga, dan sebagainya. Seorang
koruptor dibela oleh pikirannya sendiri bahwa ia korupsi karena semua orang pun
melakukannya, karena gajinya tak mencukupi, karena keluarganya ingin hidup
mewah, dan seribu satu macam alasan lagi.
Jika semua
usaha sudah gagal, lalu apa yang harus kita lakukan untuk menanggulangi
pengaruh nafsu kita sendiri? Di dalam pertanyaan ini sudah terkandung
jawabannya. Selama kita berusaha melakukan sesuatu, kita tak akan berhasil,
karena yang berusaha menundukkan nafsu adalah nafsu itu sendiri. Bila kita
sudah ingin menundukkan nafsu, kita hanya waspada mengamati gejolak nafsu kita,
tanpa ada keinginan mengubahnya, maka baru akan terjadi perubahan!
Tanpa adanya
si-aku yang berusaha, tanpa adanya si-aku alias nafsu melalui pikiran yang
merajalela, nafsu menjadi bagaikan api yang tidak ditambah minyak. Kekuasaan
Tuhan akan bekerja!
Dalam urusan
kehidupan sehari-hari, mencari sandang, pangan, papan, hidup sebagai manusia
yang berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu saja kita harus
mempergunakan hati akal pikiran. Akan tetapi dalam urusan rohanian, alat-alat
jasmani kita tidak berdaya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mutlak berkuasa. Maka,
kita hanya menyerah! Kekuasaan Tuhan yang akan mengembalikan nafsu-nafsu kita
pada kedudukan asalnya, yaitu menjadi peserta dan alat kita, bukan sebaliknya
kita yang diperalat.
"Yo-twako,
sebenarnya, apa sih yang kita cari di dunia ini? Mengapa dalam kehidupan ini
selalu kita dipermainkan senang dan susah, puas dan kecewa? Bahkan apa yang menyenangkan
pun menjadi membosankan. Kenyataan hidup terlalu sering berlawanan dengan apa
yang kita idamkan dan harapkan. Sekelumit kesenangan segera diseling segunung
kesusahan. Bukankah kita manusia ini seperti selalu mencari-cari? Apa yang kita
cari? Kebahagiaan? Di mana dan apakah kebahagiaan itu? Pertanyaan ini selalu
menggangguku dan sudah kutanyakan kepada banyak sekali orang-orang pandai,
tetapi tak pernah aku memperoleh jawaban yang meyakinkan dan memuaskan."
Yo Han
tersenyum lebar. "Pertanyaanmu itu agaknya sudah menjadi pertanyaan dunia
sepanjang masa, pertanyaan seluruh manusia di permukaan bumi ini, Cia-te. Kita
selalu mencari-cari kebahagiaan, mengejar-ngejar kebahagiaan, akan tetapi tak
pernah dapat menemukannya. Kalau ada kalanya merasa menemukan, ternyata dalam
waktu singkat yang kita tadinya anggap sebagai kebahagiaan itu berubah menjadi
kesengsaraan. Kita mengejar dan mencari terus selama kita hidup."
"Akan
tetapi, adakah orang yang betul-betul telah menemukan kebahagiaan itu, Twako?
Dan dimanakah sebenarnya kebahagiaan itu?"
"Cia-te.
Marilah kita selidiki bersama. Mungkinkah kita mencari sesuatu yang tidak kita
kenal?"
"Tentu
saja mustahil!" jawab sang pangeran tanpa ragu.
"Tepat.
Karena itu, sebelum kita bertanya di mana adanya kebahagiaan yang kita cari,
lebih dulu aku hendak bertanya, apakah kebahagiaan itu, Cia-te?"
"Kebahagiaan!
Tentu saja kebahagiaan ialah suatu perasaan, yaitu perasaan bahagia!"
"Kalau
begitu pertanyaan yang menyusul, apakah engkau pernah mengalami perasaan
bahagia itu, Cia-te?"
Pangeran Cia
Sun tertegun dan mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. "Rasanya pernah
dan sering malah. Kalau aku merasa bebas dari kepusingan apa pun, merasa bebas
dan lega, seperti ketika aku berada seorang diri di tepi laut yang sunyi,
seperti kalau aku berada di puncak gunung yang sunyi pada suatu senja memandang
matahari tenggelam, seolah-olah aku melayang di antara sinar senja, ketika aku
saling tatap dan bercakap-cakap dengan Eng-moi, yah, sering kali aku merasakan
itu dan mungkin aku selalu mencari-cari saat atau detik-detik seperti
itu..."
"Nah,
itulah, Cia-te! Sekali saat kita merasa berbahagia seperti yang kau alami itu.
Akan tetapi nafsu menguasai hati akal pikiran. Karena nafsu selalu mengejar
keenakan serta kesenangan, maka nafsu di hati akal pikiran membuat kita lantas
ingin mengabadikan perasaan bahagia di saat itu! Kita ingin memilikinya! Dan
kita terseret oleh nafsu, yaitu menjadikan saat indah dan suci itu menjadi
semacam kesenangan. Jadi, yang kita cari selama ini, yang dicari-cari oleh
setiap manusia di dunia ini, hanyalah kesenangan yang mengenakan topeng
kebahagiaan. Yang bisa dikejar hanya kesenangan, Cia-te. Mudah saja mengejar
kesenangan yang sebenarnya makanan nafsu itu, melalui mata, hidung, telinga,
mulut, kulit serta anggota badan luar dan dalam lainnya. Kesenangan timbul dari
kenangan, dari pengalaman, yang diulang-ulang, karenanya mati dan selalu
disusul oleh kebosanan. Kebahagiaan sudah ada dan selalu ada. Hidup bagaikan
awan berarak di angkasa, bagaikan gelombang di samudera, tak dapat ditangkap
dan dimiliki, tak dapat diulang-ulang, dirasakan saat demi saat tanpa bayangan
kenangan masa lalu."
Pangeran Cia
Sun tertawa dan memegangi kepala dengan kedua tangannya. "Aduh, kepalaku
yang pening, Twako. Jika begitu, menurut Twako apakah amat tidak baik bila
dalam hidup ini kita bersenang-senang?"
Yo Han
tertawa pula. "Wah, bukan begitu, Cia-te! Menikmati keenakan dan
kesenangan dalam hidup merupakan anugerah yang sudah sepatutnya kita nikmati.
Manusia berhak menikmati kenikmatan dan kesenangan melalui panca-indra. Akan
tetapi, diperhamba nafsu lain lagi akibatnya. Kita lalu menjadi hamba, setiap
saat hanya mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan dengan melupakan segala
macam cara. Di sini perlunya kita mempergunakan alat kita yang lainnya, yaitu
akal budi untuk mempertimbangkan, kesenangan macam apa yang baik dan tidak
baik, yang sehat dan tidak sehat. Engkau tentu mengerti apa yang ku maksudkan."
Pangeran itu
mengangguk-angguk. "Sekarang, bagaimana baiknya, Twako? Sebetulnya aku
ingin sekali memperisteri Eng-moi, akan tetapi jelas bahwa ayahnya pasti tidak
akan menyetujuinya. Ia anti pemerintah, anti Mancu, sedangkan aku justru
seorang pangeran Mancu."
"Memang
keadaan kalian itu sulit sekali, Cia-te. Akan tetapi, aku tetap yakin bahwa
lahir, jodoh dan mati ditentukan dan sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan. Maka,
bersabarlah dan sebaiknya sekarang engkau kembali dulu karena dipanggil
keluargamu. Sebaiknya kalau kau ceritakan persoalanmu ini kepada orang tuamu.
Mungkin mereka akan dapat menemukan jalan sehingga akhirnya engkau akan dapat
berjodoh dengan kekasihmu itu."
Pangeran itu
menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih. "Agaknya mustahil jika ayah
mengijinkan aku menikah dengan Eng-moi, kalau ia mengetahui bahwa Eng-moi
adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang menentang pemerintah."
"Kalau
begitu, lebih sulit lagi. Tapi percayalah, Cia-te, betapa pun sulit dan
mustahilnya suatu urusan bagi kita manusia, kalau Tuhan menghendaki, segala
kesulitan itu akan terlampaui dan perkara ini dapat diatasi dengan segala
ikhtiarmu, dengan penyerahan diri kepada kekuasaanNya."
"Dan
sekarang, engkau sendiri hendak ke mana, Twako? Aku akan kembali ke kota raja.
Maukah engkau ikut denganku ke sana? Akan kuperkenalkan kepada ayah
ibuku."
Diam-diam Yo
Han merasa ngeri. Ikut ke sana dan bertemu dengan Sian Li? Ahh, tidak! Dia
tidak ingin membuat adik angkatnya ini menjadi terganggu apa bila tahu bahwa
dia mempunyai hubungan dekat sekali dengan gadis tunangannya itu. Juga dia
tidak mau membuat Sian Li menjadi rikuh. Di samping itu, dia pun tidak ingin
menyiksa diri sendiri bila menyaksikan pertunangan antara adik angkatnya dengan
gadis yang dicintanya.
"Terima
kasih, Cia-te. Akan tetapi, aku harus melanjutkan pelaksanaan tugasku, yaitu
mencari puteri bibi guruku yang hilang sejak kecil itu."
"Pekerjaan
yang teramat sukar, Twako. Bagaimana mungkin mencari seseorang yang belum
pernah kau kenal sama sekali? Apa lagi dia hilang ketika berusia tiga tahun dan
jarak waktunya sudah dua puluh tahun. Ia sendiri mungkin tidak ingat lagi akan
keadaan dirinya ketika berusia tiga tahun."
"Kalau
saja aku dibimbing dalam kekuasaan Tuhan, tidak ada perkara yang sulit, Cia-te.
Engkau tentu ingat kata-kataku tadi. Aku tidak akan putus asa dan akan terus
mencari. Setidaknya, aku mengetahui tanda pada tubuhnya ketika ia lahir, yaitu
di pundak kirinya dan di kaki kanannya."
Pangeran itu
tertawa geli. "Ha-ha-ha-ha, sekarang mengertilah aku mengapa gadis yang
mengirim surat Eng-moi kepadaku melalui jarum yang disambitkan padamu itu
memaki-maki mu! Kiranya engkau pernah menyangka gadis itu sebagai gadis yang
kau cari dan engkau tentu membuka bajunya untuk melihat pundaknya, juga membuka
sepatunya untuk melihat kakinya. Pantas ia marah-marah!" Pangeran itu
tertawa geli dan Yo Han juga ikut tertawa dengan muka kemerahan.
"Apa
lagi ketika engkau menjawabnya dengan sikap kasar, aku sempat terheran-heran
melihat sikapmu, Twako. Ehhh, kiranya engkau bersandiwara dan tahu bahwa gadis
itu tentu mempunyai maksud tertentu. Nyatanya ia menyambitmu dengan jarum yang
ada surat Eng-moi sehingga kita dapat siap melaksanakan sandiwara ketika
Eng-moi datang membebaskan kita."
"Memang
dialah gadis yang disuruh Siangkoan Kok untuk menjebakku. Baru kemudian
kuketahui bahwa dia adalah murid terbaik dari ketua Pao-beng-pai itu. Nah,
sekarang sebaiknya kita saling berpisah di sini, Cia-te. Percayalah, jika
engkau memang berjodoh dengan nona Siangkoan Eng, kelak engkau pasti dapat
menjadi suaminya. Dan kalau tugasku selesai, kelak pada suatu hari aku pasti
akan mengunjungimu di kota raja."
Dua orang
pemuda itu bangkit dan setelah saling memberi hormat dan saling rangkul, mereka
lalu mengambil jalan masing-masing. Pangeran Cia Sun kembali ke kota raja
sedangkan Yo Han mengambil jalan yang belum dia ketahui menuju ke mana karena
dia pun tidak tahu ke mana harus mencari Sim Hui Eng. Ia akan melanjutkan
ikhtiarnya itu dengan menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw, terutama para
golongan sesat untuk menyelidiki siapa pelaku penculikan atas diri puteri bibi
gurunya itu.
**************
Pemuda itu
berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tubuhnya sedang namun tegap. Dadanya
bidang dan kekar dengan otot-otot menggelembung sehingga nampak jantan dan
gagah. Wajahnya juga tampan dan bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung dan
mulutnya memiliki bentuk yang manis, dengan dagu yang kokoh dan mata mencorong
seperti bintang. Pakaiannya sederhana bentuknya, namun bersih, dan rambutnya
pun tersisir rapi.
Seorang
pemuda yang tampan dan gagah. Apa lagi pada pagi hari itu, dia berlatih silat
seorang diri di bawah pohon besar itu dengan gerakan yang perkasa, cepat
tangkas dan mengandung tenaga yang amat kuat sehingga daun-daun pohon itu
bergoyang-goyang seperti dilanda angin.
Makin lama
gerakan pemuda itu makin cepat. Tiba-tiba, sambil membalikkan tubuhnya,
tangannya bergerak memukul ke arah sebatang pohon sebesar paha orang. Tangan
itu tidak sampai menyentuh batang pohon, masih ada satu setengah meter
jaraknya, tetapi kemudian terdengar suara…..
"Kraaakkk!"
dan batang pohon itu pun patah dan tumbang!
Sekarang
mulut pemuda itu tertarik dan menyeringai aneh, dan pada saat itu, nampak
berkelebat seekor burung yang terkejut mendengar robohnya pohon kecil itu.
Burung itu terbang ke dekat pohon besar, dan pemuda itu mendadak saja meloncat
ke atas serta tangannya bergerak ke arah burung.
Dan sebagai
akibatnya, burung itu tiba-tiba terjatuh seperti sebuah batu dan disambar oleh
tangan pemuda itu yang juga melayang turun. Sambil membuang bangkai burung itu,
dia menengadah, kemudian wajah yang tampan itu menyerigai, dan dia pun tertawa
bergelak seperti kesetanan!
Lalu dia
berjongkok, memeriksa bangkai burung yang seluruh tubuhnya sudah menjadi hitam,
keracunan. Kembali dia tertawa, akan tetapi tawa ini aneh karena berhenti
secara tiba-tiba seperti tercekik. Dia lalu memandang ke sekeliling,
seolah-olah takut kalau ada yang melihat atau mendengarnya, kemudian dia pun
meloncat dan menyelinap ke balik semak belukar dan tahu-tahu tubuhnya lenyap.
Kalau ada
orang yang melihat dan mencarinya, menyingkap semak belukar, orang itu tentu
akan melihat adanya sebuah sumur yang amat dalam di balik semak belukar itu.
Sumur yang tua dan kalau dilihat dari atas, tidak nampak dasarnya, saking dalam
dan gelapnya.
Dapatlah
dibayangkan betapa besar bahayanya kalau orang berani menuruni sumur itu,
dengan tangga atau tali sekali pun, karena dia tidak tahu apa yang berada di
dasar sumur. Mungkin gas beracun, atau ular berbisa.
Orang itu
tentu akan bertambah heran dan kagum kalau melihat betapa pemuda tadi memasuki
sumur dengan cara merayap melalui dinding sumur. Gerakannya cepat bagai seekor
cicak saja yang merayap menuruni dinding! Dan kini, pemuda itu sudah berada di
ruangan bawah tanah yang mendapat sinar matahari dari celah-celah batu retak di
atas.
Pemuda itu
tertawa-tawa seorang diri, menghadapi sebuah dinding yang penuh dengan coret-coretan
huruf dengan gambar-gambar yang sebagian sudah terhapus.
"Ha-ha-ha-ha,
susiok-kong (kakek paman guru) Ciu Lam Hok yang buntung tangan dan kakinya itu
mencoba untuk melenyapkan Bu-kek Hoat-keng! Ha-ha-ha, arwahnya tentu sekarang
akan cemberut kalau melihat betapa usahanya itu tidak sempurna, dan bahwa ilmu
Bu-kek Hoat-keng akhirnya dapat dimiliki orang yang paling berhak, yaitu aku,
Ouw Seng Bu, ha-ha-ha!"
Seperti
orang sinting pemuda itu tertawa-tawa dan sekarang dia menggunakan kedua
tangannya menggaruk-garuk ke permukaan dinding batu. Sungguh hebat bukan main.
Gerakan jari-jari tangannya itu membuat dinding batu ini lantas rontok bagaikan
tepung saja, seolah-olah dinding batu itu hanya merupakan tanah yang lunak.
Sebentar saja, terhapuslah sudah semua huruf dan gambar yang tercoret di
dinding itu.
Siapakah
pemuda itu? Ia merupakan seorang tokoh muda dari Thian-li-pang dan seperti
kata-katanya tadi, ia bernama Ouw Seng Bu. Belasan tahun yang lalu, ketika dia
sendiri masih seorang anak laki-laki kecil berusia delapan atau sembilan tahun,
Thian-li-pang, perkumpulan orang-orang gagah anti penjajah Mancu itu dipimpin
oleh mendiang Ouw Ban sebagai ketuanya.
Ouw Ban
mempunyai dua orang putera. Yang pertama adalah Ouw Cun Ki yang dahulu
diselundupkan ke istana untuk membunuh kaisar Mancu, akan tetapi dia tertawan
dan dihukum mati. Yang ke dua adalah Ouw Seng Bu yang ketika peristiwa itu
terjadi, masih kecil.
Kemudian
terjadilah perpecahan di kalangan para pimpinan Thian-li-pang sehingga Ouw Ban
tewas di tangan guru-gurunya sendiri, yaitu mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te
Tok-ong. Kemudian muncul Yo Han yang secara kebetulan mewarisi ilmu kepandaian
kakek yang buntung kaki tangannya di dalam sumur rahasia, yaitu mendiang kakek
Ciu Lam Hok, sute dari Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memiliki ilmu
kesaktian hebat.
Munculnya Yo
Han akhirnya membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh-pengaruh sesat dan jahat
partai-partai lain seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan kehadiran Yo Han
menyebabkan pimpinan Thian-li-pang beralih kepada Lauw Kang Hui sebagai
ketuanya.
Lauw Kang
Hui telah sadar dan membawa kembali Thian-li-pang ke jalan lurus, sebagai
perkumpulan orang gagah yang menentang penjajah Mancu. Juga dia merasa iba pada
Ouw Seng Bu, putera suheng-nya dan mengajarkan ilmu silat kepada keponakannya
itu.
Ouw Seng Bu
berlatih dengan rajin. Di depan paman guru yang kini menjadi gurunya dan di
depan para tokoh Thian-li-pang, ia selalu memperlihatkan sikap sebagai seorang
pemuda yang gagah perkasa dan pendiam. Namun, pemuda ini tidak pernah melupakan
pesan mendiang ayahnya dahulu ketika dia masih kecil bahwa sekali waktu, dia
harus berani memasuki serta menyelidiki sumur di bawah tanah, mencari
peninggalan kakek paman gurunya yang sakti.
Demikianlah,
setelah ia memiliki ilmu kepandaian dan cukup gagah, dalam usia delapan belas
tahun, dia nekat mencari dan menemukan sumur di balik semak belukar itu dan
nekat memasukinya dengan tali yang panjang. Setelah mencari-cari dan
membongkar-bongkar batu besar di dalam goa dan terowongan di bawah tanah,
akhirnya dia berhasil menemukan dinding penuh coretan dan gambaran itu yang
tadinya tertutup batu besar.
Agaknya
kakek Ciu Lam Hok dahulu pernah membuat coretan dan gambaran di dinding itu,
kemudian menghapus sebagian dan menutupi dinding dengan batu besar. Dia pun
tahu bahwa itulah ilmu Bu-kek Hoat-keng yang merupakan ilmu rahasia kakek
buntung itu, maka dengan penuh ketekunan dia mulai mempelajari ilmu itu secara
rahasia.
Selama lima
tahun dia rajin belajar tanpa mengetahui bahwa karena ilmu yang aneh itu tidak
lengkap, maka ia pun menyimpang dari jalur yang semestinya. Tanpa disadarinya,
dia telah melakukan latihan yang salah, bahkan kadang-kadang berlawanan.
Berkali-kali dia jatuh pingsan karena salah mengerahkan tenaga sinkang.
Akan tetapi,
setelah lima tahun belajar dengan tekun dan rahasia, tanpa diketahui siapa pun
juga, akhirnya dia berhasil menguasai ilmu yang aneh dan dahsyat bukan main.
Tanpa disadarinya, penyelewengan cara latihan yang salah itu juga telah
mendatangkan perubahan pada dasar wataknya, pusat susunan syarafnya.
Dia memang
masih nampak pendiam dan lembut, jujur dan baik di depan para pimpinan
Thian-li-pang. Akan tetapi pada saat-saat tertentu, bila dia sedang berada
seorang diri, terutama sekali sehabis dia berlatih ilmu silat Bu-kek Hoat-keng
yang tidak lengkap itu, dia lalu menjadi seperti kesetanan, seperti sinting,
tertawa-tawa sendiri, kadang-kadang menangis sendiri, dan pandang matanya yang
biasanya lembut dan jujur itu mencorong penuh kecerdikan!
Juga latihan
yang salah itu membuat dia berhasil menguasai pukulan yang mengandung hawa
beracun yang dapat membuat semua yang dipukulnya menjadi tewas dengan tubuh
menghitam seperti menjadi hangus! Hal ini diketahuinya ketika beberapa kali dia
menguji kecepatannya, membunuh burung atau binatang lain yang ditemuinya.
Dengan sekali pukul, binatang itu akan tewas dengan tubuh hangus!
Pagi hari
itu ia merasa telah menamatkan ilmunya. Maka, ia menghapus semua coretan di
dinding itu dengan jari-jari tangannya yang memiliki kekuatan demikian
dahsyatnya sehingga sekali garuk saja permukaan dinding itu rontok dan semua
coretan lenyap.
Setelah merasa
puas karena di situ tidak terdapat apa pun juga yang dapat dipelajari orang
lain, Ouw Seng Bu lalu merayap keluar dari dalam terowongan goa bawah tanah
melalui sumur, dan menutupkan kembali sumur itu dengan semak belukar. Kemudian
dia pun berjalan dengan santai kembali ke markas Thian-li-pang yang berada di
dekat puncak Bukit Naga.
Matahari
sudah mulai meninggi dan cuaca cerah sekali. Wajah pemuda itu kini kembali
menjadi lembut dan senyumnya ramah gembira, jauh berbeda dengan ketika dia
berlatih silat dan di dalam tanah tadi. Dia kini menjadi seorang pemuda yang
nampak ramah dan murah senyum, pendiam dan lembut menyenangkan!
Ketua
Thian-li-pang yang bernama Lauw Kang Hui ini telah tua sekali, usianya sudah
tujuh puluh tiga tahun. Meski pun dia masih nampak tinggi besar dengan muka
merah, gagah dan berwibawa, namun bagaimana pun juga, usia tua membuat
semangatnya banyak menurun.
Saat itu
diam-diam Lauw Kang Hui tengah melihat-lihat siapa kiranya yang pantas untuk
dijadikan penggantinya. Dia sendiri tidak memiliki keturunan, dan di antara
para anggota Thian-li-pang dan murid-muridnya, hanya ada dua orang muridnya
yang agaknya cukup dapat dipercaya.
Yang pertama
adalah murid wanita yang sudah berusia empat puluh tahun, berwajah buruk dan
berwatak kasar namun setia kepada Thian-li-pang, bernama Lu Sek. Wanita ini
sudah menjadi janda dan tak mempunyai anak. Suaminya tewas dalam pertempuran
membela Thian-li-pang.
Bahkan,
menurut penilaian Lauw Kang Hui, di antara para muridnya, Lu Sek inilah yang
paling lihai, mempunyai tingkat yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi
dibandingkan apa yang dicapai oleh Ouw Seng Bu, yaitu murid ke dua yang
dipercayanya dan dianggap merupakan calon penggantinya. Ia masih bimbang,
apakah ia harus menunjuk Lu Sek ataukah Ouw Seng Bu untuk menjadi penggantinya,
menjadi ketua Thian-li-pang.
Meski pun
seorang wanita, Lu Sek sangat berwibawa dan penuh semangat. Juga janda itu
memiliki hubungan dekat dengan Lauw Kin, duda yang berusia lima puluh tahun dan
tidak mempunyai anak pula. Lauw Kin masih keponakan Lauw Kang Hui sendiri,
putera tunggal adiknya yang mati muda.
Hati ketua
itu lebih condong memilih Lu Sek untuk menjadi calon penggantinya. Ilmu
silatnya paling tinggi di antara semua murid Thian-li-pang, apa lagi kalau
dibantu Lauw Kin yang mungkin sekali menjadi suaminya. Selain itu, hatinya
sedikit tidak enak kalau mencalonkan Ouw Seng Bu. Bagaimana pun juga, Seng Bu
adalah putera mendiang suheng-nya, Ouw Ban yang dahulu pernah menjadi ketua
Thian-li-pang, dan yang telah menyelewengkan Thian-li-pang ke jalan sesat.
Lauw Pangcu
(Ketua Lauw) telah sarapan pagi dan duduk di ruangan depan ketika dia melihat
Seng Bu melangkah masuk dari luar. Kebetulan sekali, pikirnya. Dia harus lebih
dahulu memberi tahu muridnya itu agar kalau pada suatu hari dia mengambil
keputusan, muridnya ini tidak merasa kecewa.
Beberapa
kali dalam sikap muridnya itu ia melihat tanda bahwa Seng Bu mengharapkan kelak
akan bisa menjadi ketua Thian-li-pang. Bahkan para tokoh Thian-li-pang sebagian
besar juga menyangka bahwa pemuda yang pandai membawa diri ini pantas menjadi
calon penggantinya.
Kalau saja
di situ terdapat Pendekar Tangan Sakti Yo Han, tentu tidak sukar baginya untuk
mengambil keputusan berdasarkan petunjuk pendekar muda yang sakti itu. Tapi
sudah lima tahun lebih Yo Han yang dianggap menjadi pemimpin besar atau penasehat
Thian-li-pang tak pernah terdengar beritanya. Kini ia harus mengambil keputusan
sendiri dan dia harus dapat bersikap bijaksana demi keutuhan para tokoh di
Thian-li-pang. Dia berteriak memanggil nama muridnya itu.
Seng Bu
cepat memasuki ruangan di mana gurunya duduk seorang diri, dan dia lalu memberi
hormat dan mengucapkan selamat pagi.
"Duduklah
di sini, Seng Bu," kata ketua yang sudah berusia lanjut itu sambil
menunjuk ke arah sebuah kursi di depannya, sebelum muridnya itu berlutut.
"Terima
kasih, Suhu," berkata Seng Bu yang merasa heran.
Dia tahu
bahwa tentu ada urusan penting maka suhunya mempersilakannya duduk di kursi,
tidak membiarkan dia berlutut seperti biasa. Dia duduk dan menundukkan muka
dengan sikap siap mendengarkan dan mentaati semua perintah gurunya.
"Seng
Bu, apakah engkau sudah sarapan pagi dan dari mana engkau sepagi ini sudah
berkeringat?"
"Teecu
baru saja berlatih silat, Suhu, nanti setelah mandi teecu akan sarapan di
dapur," jawab Seng Bu dengan sikap hormat.
"Bagus,
engkau memang rajin. Kalau engkau mencontoh suci-mu Lu Sek rajinnya dalam
berlatih silat, kurasa engkau akan mampu mencapai tingkatnya."
"Teecu
tidak berani, Suhu. Tidak mungkin mengejar Lu-suci yang amat lihai."
Lauw Kang
Hui tersenyum. Muridnya ini selalu bersikap rendah hati dan sopan, selalu
menyenangkan hati orang lain. "Seng Bu, apakah dua ilmu simpananku yang
terakhir aku ajarkan padamu, sudah dapat kau kuasai dengan baik?"
"Suhu
maksudkan Tok-jiauw-kang (Cengkeraman Beracun) serta Kiam-ciang (Tangan Pedang)?
Setiap hari teecu sudah berlatih diri dengan tekun dan mohon petunjuk
Suhu."
Lauw Kang
Hui menghela napas panjang. "Aku sudah terlalu tua untuk dapat berlatih
dengan kedua ilmu itu denganmu, Seng Bu. Sebaiknya engkau minta kepada Lu Sek
untuk latihan bersama agar engkau dapat memperoleh banyak kemajuan."
"Baik,
Suhu. Teecu (murid) akan mohon bantuan Lu-suci."
"Aku
ingin sekali lagi mengingatkanmu, Seng Bu. Hanya kepada Lu Sek dan engkau dua
orang sajalah aku mengajarkan dua ilmu simpananku itu. Oleh karena itu, jangan
dilupakan bahwa dua macam ilmu itu adalah ilmu yang amat berbahaya dan
mematikan lawan. Kalau engkau tidak terancam maut atau pun terpaksa sekali,
janganlah engkau menggunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerang lawan.
Mengerti?"
"Teecu
mengerti, Suhu."
Lauw Kang
Hui menghela napas panjang. "Sampai sekarang kalau teringat aku masih
merasa menyesal bukan main karena dahulu aku pernah mempergunakan kedua ilmu
itu secara sembarangan sehingga menjatuhkan banyak korban yang tidak semestinya
kubunuh. Sekarang aku menghendaki agar seluruh murid Thian-li-pang, selain
menjadi patriot-patriot yang menentang penjajah Mancu, juga menjadi
pendekar-pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, dan tidak mempergunakan
ilmu untuk memaksakan kehendak dan berbuat kejahatan."
"Teecu
mengerti."
"Ingat,
kalau sampai terjadi penyelewengan oleh siapa pun juga, andai kata aku yang
sudah tua tidak mampu lagi menghukum, kelak kalau Sin-ciang Taihiap Yo Han
datang berkunjung, dia tentu akan turun tangan dan menindak mereka yang berani
melakukan penyelewengan."
"Teecu
mengerti, Suhu." Seng Bu menunduk menyembunyikan senyum mengejek yang
mendesak keluar ke mulutnya. Lalu dia bersikap biasa dan hormat kembali,
mengangkat mukanya yang jujur dan bertanya kepada suhunya, "Suhu, apakah
Sin-ciang Taihiap itu luar biasa lihainya? Apakah Suhu sendiri tidak akan mampu
menandinginya?"
Lauw Kang
Hui tersenyum.
"Ha-ha-ha,
Seng Bu, jangan samakan aku dengan dia! Bahkan dua orang kakek gurumu sekali
pun, yaitu mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, tidak akan mampu
menandingi Pendekar Tangan Sakti Yo Han."
"Luar
biasa sekali! Bukankah usia Sin-ciang Taihiap masih sangat muda, Suhu? Hanya
beberapa tahun lebih tua dari teecu? Teecu masih ingat ketika masih
kanak-kanak, dia tidak banyak lebih tua dari teecu."
"Benar,
dia hanya beberapa tahun lebih tua darimu. Akan tetapi, dia telah mewarisi ilmu
yang mukjijat dari kakek paman gurumu, mendiang supek Ciu Lam Hok di sumur
bawah tanah."
"Maaf,
Suhu. Teecu mendengar bahwa kakek itu buntung kaki dan tangannya. Dalam keadaan
seperti itu, ilmu silat macam bagaimanakah yang dapat beliau ajarkan kepada
Sin-ciang Taihiap?"
Lauw Kang
Hui menghela napas panjang. "Ilmu yang mukjijat, ilmu yang luar biasa dan
tidak ada keduanya di dunia ini. Ilmu itu disebut Bu-kek Hoat-keng dan hanya
Sin-ciang Taihiap seorang saja yang menguasainya. Sukar dicari tandingannya."
"Suhu
maksudkan bahwa kalau memiliki ilmu Bu-kek Hoat-keng itu, orang akan dapat
menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan?"
Lauw Kang
Hui mengangguk-angguk. "Mungkin saja. Namun, Yo Han Taihiap bukanlah orang
semacam itu. Tidak, dia tidak mau menonjolkan diri, bahkan untuk menjadi ketua
Thian-li-pang saja dia menolaknya. Karena dia maka Thian-li-pang harus menjaga
diri menjadi perkumpulan yang gagah dan menegakkan kebenaran dan
keadilan."
"Teecu
sudah mengerti, Suhu. Bolehkah teecu mengundurkan diri sekarang untuk pergi
mandi?"
"Nanti
dulu, ada satu hal lagi ingin kubicarakan denganmu, Seng Bu."
"Urusan
apakah itu, Suhu? Teecu siap mendengarkan."
"Engkau
tentu tahu bahwa mengurus Thian-li-pang tidaklah mudah, selain harus ketat
mengawasi sepak terjang para anak buah Thian-li-pang, juga harus dapat
menghadapi ancaman dari luar. Aku sekarang sudah semakin tua dan lemah, kurang
bersemangat. Coba katakan, siapakah di antara para anggota Thian-li-pang yang
waktu ini memiliki ilmu kepandaian silat paling tinggi sesudah aku, Seng
Bu?"
Siapa lagi
kalau bukan aku, bisik hati pemuda itu. Bahkan suhunya sendiri pun tidak akan
mampu menandinginya! Akan tetapi mulutnya menjawab tanpa ragu, "Tentu saja
Lu-suci, Suhu."
"Tepat
sekali Seng Bu. Dan oleh karena itu, kurasa engkau pun akan setuju kalau aku
mengangkat suci-mu itu menjadi calon penggantiku, menjadi calon ketua
Thian-li-pang, bukan?"
"Teecu
setuju, Suhu," katanya sambil menunduk, karena dia harus menyembunyikan
lagi tarikan sinis pada mulutnya.
"Melihat
hubungan suci-mu dengan suheng-mu Lauw Kin, kurasa mereka akan menjadi pasangan
yang akan mampu memimpin Thian-li-pang. Dan engkaulah yang kuharapkan akan
dapat membantu mereka. Maukah engkau kini berjanji untuk membantu mereka sekuat
tenagamu, Seng Bu? Karena engkaulah orang ke dua yang kupercaya setelah
suci-mu."
"Teecu
berjanji akan membantu Lu-suci, Suhu."
"Bagus!
Kini legalah hatiku. Besok kita adakan upacara besar, mengumpukan seluruh
anggota untuk mengumumkan pengangkatan Lu Sek menjadi calon ketua
Thian-li-pang, Lauw Kin menjadi wakil ketua dan engkau menjadi pembantu utama.
Nah, sekarang engkau boleh pergi."
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi seluruh anggota Thian-li-pang sudah berkumpul di
ruangan besar yang biasa dipergunakan untuk rapat dan juga berlatih silat. Di
bawah bimbingan Lauw Kang Hui, Thian-li-pang dalam lima tahun lebih ini sejak
kematian Ouw Ban, sudah kembali ke jalan benar. Akan tetapi, banyak anggota
yang dikeluarkan dan disaring sehingga kini hanya memiliki sedikit anggota
saja. Namun, seluruh anggota itu merupakan orang-orang gagah yang berwatak
pendekar dan juga yang berjiwa patriot.
Para anggota
yang langsung menjadi murid-murid Lauw Kang Hui hanya ada belasan orang. Yang
terutama di antara mereka tentu saja adalah Lu Sek, Lauw Kin, dan Seng Bu. Para
murid lain memiliki tingkat yang lebih rendah dari tiga orang ini, walau pun
tentu saja mereka jauh lebih lihai dari pada para anggota biasa yang hanya
mempelajari ilmu silat Thian-li-pang dari para murid ini.
Selama ini,
Lauw Kin yang mewakili pamannya, juga gurunya dan ketuanya, untuk membimbing
para anggota dalam berlatih silat. Lu Sek mewakili ketua untuk urusan luar
Thian-li-pang. Oleh karena itu, desas-desus tentang akan diangkatnya kedua
orang ini menjadi ketua dan wakil ketua, diterima oleh para anggota
Thian-li-pang dengan wajar dan gembira karena memang selama ini kedua tokoh
itulah yang aktif mewakili sang ketua yang sudah lanjut usia itu mengurusi
Thian-li-pang bagian luar dan bagian dalam.
Saat Lauw
Kang Hui keluar dari dalam, seluruh anggota Thian-li-pang sudah berkumpul dan
tiga belas orang murid ketua itu pun sudah berada di situ. Mereka duduk paling
depan dan mereka semua segera bangkit berdiri ketika Lauw Pangcu muncul.
Setelah
menerima penghormatan semua murid dan anggota Thian-li-pang, Lauw Kang Hui
duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Setelah duduk, dia pun memberi
isyarat kepada ketiga belas orang muridnya yang mengambil tempat duduk di
bangku yang tempatnya lebih rendah. Sementara itu, para anggota Thian-li-pang
lainnya tetap berdiri dengan rapi.
Suasana
menjadi hening karena semua anggota tidak berani mengeluarkan suara, siap
menanti untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh ketua mereka. Juga para
murid duduk dengan sikap tenang dan patuh.
"Para
murid dan anggota Thian-li-pang semua, dengarlah baik-baik apa yang kukatakan
dan laksanakan dengan patuh. Seperti kalian ketahui, lebih lima tahun sejak
Sin-ciang Taihiap Yo Han menyerahkan kepemimpinan Thian-li-pang padaku, telah
terjadi banyak perubahan. Biar pun dalam hal perjuangan kita belum dapat
berbuat banyak, namun kita telah bisa membelokkan arah kemudi dan kembali ke
jalan benar sebagai perkumpulan yang membela kebenaran dan keadilan, sesuai
dengan apa yang diinginkan Pendekar Tangan Sakti. Akan tetapi, sekarang aku
telah semakin tua, usiaku sudah tujuh puluh empat tahun, sudah kekurangan
semangat. Sudah lama kita menanti-nanti datangnya Yo Taihiap, akan tetapi dia
belum kunjung datang. Oleh karena itu, sekarang aku akan menentukan pilihanku,
untuk mengangkat calon-calon pimpinan Thian-li-pang sehingga kalau
sewaktu-waktu aku mati, tidak akan terjadi kekacauan karena tidak ada pimpinan.
Sementara itu, andai kata nanti Yo Taihiap datang dan tidak setuju dengan
pilihanku, maka tentu saja calon yang kupilih ini dapat saja diganti sesuai
dengan kehendak Yo Taihiap. Setujukah kalian semua?"
Serentak
seratus orang lebih itu menyambut dengan suara yang penuh semangat,
"Setujuuuuu...!!"
Sambil
tersenyum gembira atas sambutan meriah itu, Lauw Pangcu mengangkat tangan minta
supaya semua orang diam, lalu dia melanjutkan dengan suara gembira.
"Bagus!
Nah, kini hendak kuumumkan siapa yang kupilih menjadi calon pimpinan
Thian-li-pang yang akan menggantikan aku sewaktu-waktu jika kukehendaki atau
sewaktu-waktu aku meninggalkan dunia. Pertama, yang akan menjadi ketua adalah
muridku Lu Sek. Biar pun ia seorang wanita, namun tingkat kepandaiannya adalah
yang paling tinggi di antara kalian semua. Pula, dia sudah berpengalaman dan
sudah biasa mewakili aku. Ada pun yang menjadi wakilnya kutetapkan murid dan juga
keponakanku Lauw Kin. Sedangkan pembantu utama mereka adalah muridku Ouw Seng.
Kalau memang kelak dibutuhkan, ketua boleh mengangkat para pembantu lainnya.
Setujukah kalian? Kalau ada yang tak setuju, boleh mengajukan
pendapatnya!"
Akan tetapi,
tidak seorang pun yang menolak dan kembali mereka berseru menyatakan
persetujuan mereka. Dan seperti yang telah menjadi kebiasaan perkumpulan itu,
segera dilakukanlah upacara sembahyang untuk mengesahkan pengangkatan calon
pimpinan Thian-li-pang.
Setelah
upacara sembahyang dilakukan, para anggota dipersilakan bubar dan kembali ke
tempat masing-masing melakukan tugas sehari-hari. Akan tetapi, tiga orang
pimpinan baru itu masih ditahan oleh Lauw Kang Hui untuk diberikan pengarahan
serta nasehat-nasehat. Dalam kesempatan ini, Lauw Kang Hui minta kepada tiga
orang muridnya itu untuk mulai membawa Thian-li-pang pada cita-cita mereka
semula, yaitu menggulingkan pemerintah penjajah Mancu.
"Pemerintah
penjajah Mancu sangat kuat, tentu saja dengan jumlah anggota kita yang hanya
seratus orang lebih, tak mungkin kita akan mampu melawan bala tentara Mancu.
Kita harus bisa menghimpun kekuatan dengan mengajak rakyat jelata untuk
menentang penjajah, dan terutama sekali harus bersatu dengan para perkumpulan
pejuang lain. Aku ingin sekali mendengar berita dari Thio Cu yang kuutus
sebagai wakil Thian-li-pang mengunjungi pertemuan yang diadakan oleh
Pao-beng-pai. Kalau benar Pao-beng-pai merupakan perkumpulan anti penjajah,
tentu kita boleh bersekutu dengan mereka. Tapi jika Pao-beng-pai hanya
merupakan perkumpulan penjahat yang berkedok perjuangan seperti Pek-lian-pai,
Pat-kwa-pai, kita tidak perlu mendekati mereka."
Mendengar
ucapan gurunya itu, Lu Sek dan Lauw Kin mengangguk-angguk setuju, tapi
diam-diam Ouw Seng Bu tidak senang hatinya. Ia berpendapat bahwa itulah
kekeliruan Thian-li-pang maka sampai sekarang tidak memperoleh kemajuan,
seperti ketika masih dipegang pimpinannya oleh mendiang ayahnya.
Dahulu,
Thian-li-pang terkenal dengan keberaniannya, bahkan beberapa kali mencoba untuk
membunuh kaisar dan para pangeran Mancu sehingga dulu Thian-li-pang ditakuti
dan terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Namun sekarang,
Thian-li-pang hanya tinggal namanya saja.
Yang penting
adalah menggulingkan pemerintah Mancu, dan untuk itu, semua kekuatan harus
dikerahkan, tidak peduli dari golongan mana pun juga. Biar penjahat, maling dan
perampok sekali pun, jika memang mau harus diajak untuk menentang penjajah,
harus dianggap kawan seperjuangan.
Juga dia
mempunyai pendapat bahwa sesungguhnya, dialah yang paling berhak untuk memimpin
Thian-li-pang. Bukan saja karena dia memiliki kepandaian yang paling tinggi di
antara mereka semua, melainkan terutama sekali karena dialah keturunan ketua
yang dulu.
Kalau dia
yang menjadi ketua, dia akan membuat Thian-li-pang menjadi perkumpulan pejuang
yang paling hebat. Siapa tahu, justru di tangan dialah penjajah Mancu dapat
digulingkan. Dan bukan mustahil pula, kalau dia sudah menjadi jagoan nomor satu
di dunia, yang paling lihai di antara semua tokoh persilatan, memiliki pengikut
yang paling besar, setelah penjajah roboh, dia yang akan diangkat menjadi
kaisar baru! Cita-cita ini muncul dalam hati Ouw Seng Bu semenjak dia
mempelajari ilmu rahasia di dalam goa bawah tanah.
Selagi empat
orang pimpinan Thian-li-pang itu berbincang-bincang, muncullah Thio Cu yang
baru pulang dari perjalanan mengunjungi Pao-beng-pai bersama beberapa orang
saudaranya. Kedatangannya tentu saja disambut oleh para anggota Thian-li-pang.
Thio Cu
sendiri, sesudah mendengar bahwa Lauw Pang-cu berada di ruangan besar bersama
ketiga orang yang baru saja dipilih menjadi calon pimpinan baru, segera pergi
menghadap. Sedangkan kawan-kawannya sibuk menceritakan apa yang mereka alami
dalam pertemuan yang diadakan Pao-beng-pai.
Lauw Kang
Hui gembira sekali ketika melihat Thio Cu datang menghadap. "Aih, baru
saja aku membicarakan engkau, Thio Cu," kata kakek itu kepada Thio Cu yang
menjadi seorang di antara murid-muridnya. "Cepat ceritakan bagaimana
keadaan Pao-beng-pai. Siapa ketuanya dan bagaimana keadaannya. Kuatkah mereka?
Apakah mereka adalah perkumpulan pejuang asli seperti kita? Dan apa yang
terjadi dalam pertemuan itu?"
"Banyak
hal menarik yang terjadi di sana, Suhu, juga ada hal yang aneh-aneh. Ketua
Pao-beng-pai bernama Siangkoan Kok, kabarnya dia masih keturunan keluarga
kaisar Kerajaan Beng-tiauw. Isterinya bernama Lauw Cu Si, nama keturunannya
sama dengan Suhu, dan kabarnya ia adalah keturunan dari partai Beng-kauw yang
telah hancur. Ilmu kepandaian mereka amat tinggi, Suhu. Teecu (murid)
menyaksikan sendiri betapa ketua Pao-beng-pai itu dalam beberapa jurus saja
mengalahkan Thian Ho Sianjin bersama tiga orang tokoh lain yang maju berbareng
mengeroyoknya..."
"Wahhh...!
Maksudmu Thian Ho Sianjin ketua Pat-kwa-pai itu?" tanya Lauw Kang Hui
terkejut.
"Benar,
Suhu!"
Lauw Kang
Hui terbelalak. Dia sendiri tak akan mampu mengalahkan ketua Pat-kwa-pai itu,
dan sekarang, Thian Ho Sianjin dibantu tiga orang kawannya kalah oleh Siangkoan
Kok dalam beberapa jurus saja!
"Bahkan
kemudian, Kui Thiancu, tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal pandai bermain pedang
itu, dikalahkan dengan mudah oleh puteri ketua Pao-beng-pai yang bernama
Siangkoan Eng. Beberapa orang tokoh lagi yang maju menguji kepandaian pimpinan
Pao-beng-pai, semua juga dikalahkan dengan mudah."
"Bukan
main!" seru Lu Sek yang juga tertegun seperti gurunya mendengar kehebatan
pimpinan Pao-beng-pai.
Diam-diam
Ouw Seng Bu juga kagum sekali. Timbul keinginan hatinya untuk mengenal lebih
dekat keluarga Siangkoan yang amat lihai itu. Mampukah dia menandingi mereka?
"Bagaimana
dengan para wakil perguruan-perguruan silat besar seperti Siauw-lim-pai,
Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan lain-lainnya?" tanya pula Lauw
Pangcu semakin tertarik.
"Empat
partai besar itu dianggap sebagai tamu kehormatan dan dipersilakan duduk di
kursi-kursi kehormatan sejajar dengan ketua Pao-beng-pai. Perkumpulan itu
mengajak semua aliran, baik dari partai bersih mau pun golongan sesat, untuk
secara bersama-sama menggulingkan pemerintah penjajah Mancu..."
"Tepat
sekali!" tiba-tiba Ouw Seng Bu berseru nyaring sehingga mengejutkan semua
orang yang mengenalnya sebagai seorang pemuda yang biasanya pendiam.
"Apanya
yang tepat, Seng Bu? Apa maksudmu?" tanya Lauw Kang Hui.
Wajah Seng
Bu berubah merah. Dia menyesali diri sendiri kenapa tidak dapat menahan diri.
Akan tetapi berkat kecerdikannya yang luar biasa, dia sudah mampu menguasai
dirinya dan menyediakan jawaban yang tepat.
"Maksud
teecu, perkumpulan yang amat kuat seperti Pao-beng-pai itu tepat sekali untuk
dijadikan sekutu menentang penjajah, bukankah begitu Lu-suci dan Suheng?"
Lu Sek dan
Lauw Kin mengangguk, akan tetapi Lauw Kang Hui menarik napas panjang.
"Belum tentu. Kita harus mengenal benar keadaan mereka. Lalu apa pula yang
terjadi di sana, Thio Cu?"
"Ada
peristiwa yang pasti akan mengejutkan hati Suhu. Teecu melihat Sin-ciang
Taihiap Yo Han berada pula di sana."
"Ahhh...!"
Seruan ini keluar dari mulut keempat orang itu. Berita ini sungguh merupakan
kejutan besar.
"Apa
yang dilakukan Pendekar Tangan Sakti di sana? Ceritakan, Thio Cu,
ceritakan!" kata Lauw Kang Hui, tertarik sekali.
"Yo
Taihiap termasuk mereka yang ingin menguji kepandaian pimpinan Pao-beng-pai.
Kui Thiancu dari Pek-lian-kauw mengenalnya dan memaki Yo Taihiap sebagai iblis
dari Thian-li-pang. Teecu kemudian maju membelanya, mengatakan bahwa Yo Taihiap
ialah pemimpin Thian-li-pang. Kemudian, Yo Taihiap memperkenalkan diri kepada
pimpinan Pao-beng-pai dan bahwa dia memusuhi pemerintah Mancu, juga dia
memusuhi ketiga keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah
Siluman. Juga dia mencela empat partai besar sebagai para pendekar yang tak
bersemangat, tidak mau menentang penjajah. Celaannya memarahkan Ciong Tojin
dari Kun-lun-pai dan Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai, akan tetapi Yo Taihiap
menantang mereka. Dua orang pendeta itu lalu mengeroyoknya, tetapi mereka
kalah! Kemudian Hoat Cinjin dari Go-pi-pai mengenal Yo Taihiap sebagai
Sin-ciang Taihiap. Ketua Pao-beng-pai tertarik dan dia sendiri pun turun tangan
menguji kepandaian Yo Taihiap. Mereka mengadu sinkang dan agaknya mereka
sama-sama kuat, sehingga Siangkoan Kok menerima Yo Taihiap sebagai tamu agung
dan sahabat yang akan bekerja sama."
Semua orang
mendengarkan cerita itu dengan hati tertarik. Kalau tadi mereka kagum terhadap
keluarga ketua Pao-beng-pai, kini mereka kagum dan bangga pula terhadap Yo Han
yang mereka anggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang........
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment