Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 04
SEMUA orang
memandang dengan hati tegang kepada Yo Han yang kini berdiri seorang diri di
atas panggung yang tadi dipergunakan untuk mengadu ilmu silat.
Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring, "Dia bocah iblis dari Thian-li-pang itu!"
Semua orang
menengok dan yang berteriak itu adalah tosu Pek-lian-kauw, Kui Thiancu yang
tadi dikalahkan Siangkoan Eng dalam pertandingan. Dia sudah bangkit berdiri
dari tempat duduknya dan menuding-nuding ke arah Yo Han. Kiranya tosu
Pek-lian-kauw ini masih ingat kepada Yo Han yang kurang lebih tiga tahun yang
lalu pernah dia jumpai di perkumpulan Thian-li-pang, yaitu pada saat dia
berkunjung ke sana bersama rekannya, Kwan Thian-cu.
Belum juga
gema suara Kui Thiancu hilang, terdengar seruan nyaring yang lain. “Tosu dari
Pek-lian-kauw harap jangan menghina pemimpin kami! Saudara-saudara sekalian,
perkenalkanlah, pemuda perkasa ini ialah pemimpin kami dari Thian-li-pang yang
telah menyerahkan kedudukan ketua kepada ketua kami yang sekarang!"
Semua orang
menengok dan melihat bahwa yang berbicara itu adalah seorang laki-laki berusia
lima puluhan tahun.
Laki-laki
itu tidak peduli kepada semua orang, melainkan kini dari tempat duduknya
menghadap ke arah Yo Han dan memberi hormat sambil berkata, "Yo-taihiap,
maafkan kelancangan saya. Saya Thio Cu dari Thian-li-pang diutus ketua Lauw
untuk mewakili Thian-li-pang hadir di sini."
Yo Han tidak
mengenal orang itu, akan tetapi kini dia tahu bahwa Thio Cu itu tentulah
seorang tokoh Thian-li-pang, maka dia pun mengangguk dengan sikap yang angkuh.
Siangkoan
Kok memandang kepada Yo Han. "Orang muda, harap cepat perkenalkan diri dan
nyatakan apa kehendakmu di sini," katanya.
Yo Han
memandang ke empat penjuru, lalu menghadap pihak tuan rumah dan berkata sambil
membusungkan dada. "Cuwi (Anda Sekalian), dengarkan aku memperkenalkan
diri. Namaku Yo Han dan seperti dikatakan Paman Thio Cu dari Thian-li-pang
tadi, aku adalah seorang pimpinan Thian-li-pang, tapi aku tidak mau memegang
kedudukan ketua dan kuserahkan kepada Paman Lauw Kang Hui. Aku lebih senang
pergi merantau untuk melaksanakan tugasku yang teramat penting. Kalau tosu
Pek-lian-kauw itu merasa tidak suka kepadaku, hal itu tidak aneh karena aku
pernah melarang Thian-li-pang untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Kurasa,
Thian-li-pang sama dengan Pao-beng-pai, yaitu sekelompok patriot yang menentang
penjajah Mancu, bukan kelompok penjahat yang menggunakan kedok perjuangan untuk
berbuat jahat. Aku sendiri pun bukan orang bersih, tapi aku pantang mengganggu
rakyat jelata. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa aku tidak mewakili siapa pun, ayah
ibuku sudah tiada. Ayahku bernama Yo Jin dan ibuku tentu Cuwi sudah
mengenalnya. Ia bernama Ciong Siu Kwi, berjuluk Bi Kwi."
Terdengar
seruan di sana-sini karena nama Bi Kwi pernah menggemparkan seluruh dunia
persilatan. Bi Kwi (Setan Cantik) terkenal sebagai seorang tokoh yang aneh dan
kejam.
"Hemmm,
Yo Han, kami ingat bahwa Bi Kwi dahulunya memang tokoh kang-ouw yang terkenal,
murid Sam Kwi (Tiga Setan). Namun kemudian dia membalik dan bergabung dengan
mereka yang menamakan diri para pendekar, memihak kepada orang Mancu!"
teriak Siangkoan Kok dan terdengar banyak suara membenarkan.
"Itu
hanya kabar bohong, Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan)! Aku sebagai anaknya
yang lebih tahu. Ayahku tewas, ibuku juga tewas membunuh diri, semua itu
gara-gara mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar keluarga Pulau Es,
keluarga Gurun Pasir serta keluarga Lembah Naga. Aku mendendam kepada mereka,
terutama aku benci sekali kepada bekas bibi guruku, adik seperguruan mendiang
ibu yang bernama Can Bi Lan berjuluk Siauw Kwi! Can Bi Lan itulah yang telah
membujuk suci-nya, yaitu ibuku, untuk bergabung dengan mereka, dan Can Bi Lan
sendiri menjadi isteri pendekar Suling Naga Sim Houw! Aku hendak mengajak mereka
yang menentang pemerintah Mancu untuk tidak saja menentang pemerintah itu, juga
untuk membasmi para antek Mancu, terutama sekali Can Bi Lan dan suaminya, Sim
Houw!"
Yo Han
berbicara dengan semangat berapi-api, matanya mencorong seolah dia marah besar
dan amat membenci nama-nama yang baru saja dia sebutkan. Inilah siasatnya. Dia
ingin melacak jejak penculik puteri bibinya itu dengan cara mendekati
orang-orang kang-ouw dan bersikap seolah dia memusuhi suami isteri yang
kehilangan anaknya itu.
Kembali
suasana menjadi gaduh setelah dia berhenti bicara. Para tamu saling bicara
sendiri dan karena sebagian besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw
yang memang tidak suka kepada para pendekar dari tiga keluarga itu, maka
kebanyakan di antara mereka setuju dengan pendapat Yo Han.
Akan tetapi,
ada pula yang terkejut mendengar hal itu dan di antara mereka adalah para wakil
dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Juga Pangeran Cia
Sun diam-diam terkejut sekali. Pemuda itu merupakan bahaya bagi kerajaan
keluarga kakeknya!
Justru
kerajaan di bawah pimpinan kakeknya selalu ingin mendekati para pendekar dan
para tokoh kang-ouw untuk memanfaatkan kekuatan mereka, namun pemuda ini malah
menghasut. Dia sendiri pun tadinya selain hendak menambah pengetahuan, ingin
pula menyelidiki sampai berapa jauhnya gerakan Pao-beng-pai yang kabarnya
merupakan perkumpulan yang hendak menentang pemerintah Mancu.
"Omitohud...!"
Tiba-tiba terdengar suara halus dan seorang pendeta berkepala gundul yang
usianya sudah enam puluh tahun maju menghadapi Yo Han.
Dia adalah
seorang di antara utusan Siauw-lim-pai yang merasa penasaran sekali ketika
mendengar bahwa Yo Han hendak membasmi keluarga Pulau Es, Gurun Pasir serta
Lembah Naga.
"Orang
muda, engkau masih begini muda, akan tetapi sungguh tinggi hati dan sombong.
Bagaimana mungkin engkau akan menghadapi para pendekar sakti dari ketiga
keluarga itu? Lagi pula, mereka adalah pendekar-pendekar sakti yang bertindak
demi membela mereka yang tertindas dan menentang kejahatan, sama sekali bukan
antek pemerintah. Pinceng (aku) peringatkan agar engkau berhati-hati kalau
bicara. Kami adalah sahabat baik dari para pendekar itu."
"Siancai...!
Apa yang dikatakan Lo Kiat Hwesio dari Siauw-lim-pai memang benar sekali.
Pemuda ini terlalu sombong dan lancang mulut. Kami dari Kun-lun-pai juga
merupakan sahabat para pendekar itu dan pinto (aku) tidak suka mendengar ada
orang menghina mereka. Mereka bukan antek pemerintah!"
Semua orang
menengok dan yang bicara itu adalah seorang tosu (pendeta To) berusia lima
puluh tahun lebih, yang tinggi kurus dan berjenggot panjang.
"Kalau
orang muda she Yo tidak mau menghentikan bualannya, pinto Ciang Tojin dari
Kun-lun-pai pasti tidak akah tinggal diam saja!"
Yo Han
menoleh pula kepada tosu itu, kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
kiranya Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai dan Ciang Tojin dari Kun-lun-pai
mambela para pandakar itu. Mereka itu terang antek Mancu, bahkan Pendekar Super
Sakti sendiri masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kerajaan Mancu. Dia pun
menikah dengan puteri Mancu! Pantas kalau Ji-wi (Kalian Berdua) membela, karena
bukankah selama ini kuil-kuil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai menjadi makmur
berkat bantuan pemerintah Mancu? Sayang sekali, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai
yang besar itu pun kini menjadi kecil karena diperbudak orang-orang
Mancu."
"Keparat,
betapa sombongnya engkau!"
Bayangan
berkelebat dan tosu Kun-lun-pai itu sudah berada di depan Yo Han, berjajar
dengan Lo Kian Hwesio. Kalau hwesio Siauw-lim-pai itu memegang seuntai tasbih
hitam yang matanya besar-besar, tosu itu memegang sebatang tongkat berbentuk
ular yang tingginya sepundak dan besarnya sepergelangan tangan.
Melihat
mereka berdua, Yo Han sengaja tertawa lagi. "Ha-ha-ha-ha, kalian mau apa?
Jangan dikira aku takut menghadapi kalian berdua. Kalian boleh maju berdua
untuk mengeroyok aku. Kalau aku kalah, aku tidak akan banyak mulut lagi dan
akan pergi dari sini. Kalau kalian kalah, jangan kalian ribut mencampuri
urusanku lagi!"
Dua orang
pendeta itu terpancing kemarahan mereka karena Yo Han sengaja menghina
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Mereka lupa bahwa tidaklah pantas bagi mereka
dua orang tua yang berkedudukan tinggi mengeroyok seorang pemuda! Namun,
kemarahan memang membutakan kesadaran dan mendengar tantangan itu, hwesio dan
tosu itu semakin marah.
"Omitohud,
bocah sombong ini agaknya perlu dibuat sadar dengan kekerasan, To-yu!"
kata hwesio itu.
Dia pun
mendahului tosu Kun-lun-pai itu, menggerakkan tasbih di tangannya menyerang Yo
Han. Tosu itu pun menggerakkan tongkatnya dan memukulkannya ke arah tubuh Yo
Han, seperti seorang ayah yang sedang marah-marah dan hendak menghajar anaknya
yang bandel.
Yo Han
memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaian untuk menarik perhatian,
terutama sekali perhatian dari penculik puteri bibinya, atau setidaknya yang
tahu akan peristiwa itu, dan supaya dia dipercaya dan ditarik sebagai sekutu
mereka. Maka, begitu menghadapi serangan dari kedua orang ahli silat kelas
tinggi sebagai tokoh-tokoh partai persilatan besar, dia pun meloncat ke
belakang, kemudian ketika kedua orang lawannya maju mengejar, dia pun
mengerahkan tenaga yang didapat dari Bu-kek Hoat-keng dan mendorongkan kedua
tangannya ke depan, menyambut mereka.
Bukan main
kagetnya kedua orang tua itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari kedua
tangan pemuda itu bagaikan badai. Mereka lantas berusaha menyambut dengan
dorongan tangan kiri yang disertai pengerahan tenaga sinkang. Pertemuan antara
dua hawa pukulan yang amat dahsyat terjadi dan akibatnya, kedua orang tua itu
terdorong dan terjengkang roboh!
Tentu saja
kejadian ini membuat semua orang terkejut. Bahkan Siangkoan Kok sendiri
terbelalak. Dia tahu betapa lihainya tokoh Siauw-lim-pai dan tokoh Kun-lun-pai
itu, akan tetapi dalam segebrakan saja mereka roboh oleh pukulan jarak jauh
yang dahsyat!
Tiba-tiba
terdengar suara lantang. "Ahhh, tidak salah lagi. Dia adalah Sin-ciang
Taihiap yang pernah menggemparkan perbatasan barat!"
Semua orang
menengok dan ternyata yang bicara itu adalah seorang laki-laki tua yang
berjubah pendeta dan dia bukan lain adalah Hoat Cin-jin, tokoh Go-bi-pai!
"Pinto
telah mendengar bahwa Pendekar Tangan Sakti yang tak pernah memperlihatkan
mukanya itu bernama Yo Han, yang dulu pernah membantu para pendeta Lama di
Tibet meredakan pemberontakan!"
Kini semua
orang memandang lagi kepada Yo Han dan mereka tertegun. Mereka sudah mendengar
kebesaran nama Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti) yang membuat gempar di
daerah barat itu, seorang pendekar yang tidak pernah mau memperlihatkan mukanya
sehingga hanya dikenal namanya saja.
Juga
Siangkoan Kok sudah pernah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, maka kini dia
memandang kepada Yo Han dengan penuh selidik. Sedangkan tokoh Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai
tadi terpaksa mengakui kekalahan mereka dan mereka kembali ke tempat duduk
masing-masing. Siangkoan Kok kini maju menghampiri Yo Han.
"Saudara
Yo Han, benarkah engkau ini yang berjulukan Sin-ciang Taihiap?" tanya
ketua Pao-beng-pai itu.
Yo Han
menghadapi pria tinggi besar yang gagah perkasa itu. "Memang benar,
Pangcu. Akan tetapi orang terlalu membesarkannya. Aku bukanlah seorang pendekar
seperti tiga keluarga besar itu! Aku hanya ingin menyadarkan orang-orang
kang-ouw yang tersesat dan mengganggu rakyat, agar mereka itu tidak memusuhi
rakyat melainkan memusuhi pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Pernahkah Pangcu
mendengar aku membunuh seorang kang-ouw seperti yang dilakukan para anggota
tiga keluarga besar itu? Tidak, yang kumusuhi bukanlah orang-orang kang-ouw
melainkan pemerintah Mancu bersama antek-anteknya. Karena itulah, maka aku
sengaja datang untuk bekerja sama dengan orang-orang seperjuangan dan
sehaluan."
Banyak di
antara para tamu, orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang
Sin-ciang Taihiap, menyambut ucapan itu dengan gembira. Hanya mereka yang
merasa dekat dengan keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah
Naga saja yang memandang dengan wajah muram. Pemuda itu sungguh merupakan
bahaya bagi para pendekar, terutama mereka yang tidak menentang pemerintah
Mancu.
Sedangkan
Siangkoan Kok justru merasa gembira bukan main. Inilah orang yang akan menjadi
sekutu yang sangat berguna baginya. "Yo-sicu (orang gagah Yo), sudah lama
kami mencari seorang sekutu yang baik dan agaknya engkaulah orangnya. Hayo, aku
masih merasa penasaran jika tidak mengukur sendiri kekuatanmu, biar pun tadi
engkau sudah memperlihatkan tenagamu yang dahsyat. Kami akan suka sekali
menjadi kawan seperjuanganmu, Sicu, tetapi lebih dahulu aku ingin menguji
kekuatanmu. Bersediakah engkau?"
"Hemmm,
aku mendapatkan kehormatan besar sekali kalau Pangcu dari Pao-beng-pai sendiri
suka memberi petunjuk kepada aku yang muda dan bodoh," kata Yo Han.
"Nah, Pangcu, aku sudah siap."
"Bagus,
aku pun hanya ingin mengukur tenagamu saja, Sicu. Sambutlah doronganku
ini!"
Setelah
berkata demikian, ketua Pao-beng-pai itu menekuk kedua lututnya dengan kaki
terpentang, lalu kedua lengannya melakukan dorongan lurus ke depan yang dimulai
dari bawah pangkal lengan, kedua tangannya terbuka, jari-jari tangan sedikit
ditekuk dan dari kedua telapak tangannya itu lalu menyambar hawa pukulan
dahsyat yang mengeluarkan bunyi berciut dan mengandung hawa dingin!
Maklum bahwa
dia menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan berbahaya, Yo
Han juga cepat menekuk kedua lutut dan seperti tadi ketika menyerang dua orang
pendeta, dia pun mengerahkan tenaga dari Bu-kek Hoat-keng dan dari kedua
telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang tidak kalah hebatnya.
Dua tenaga
yang tidak nampak bertemu di antara mereka dan nampak tubuh mereka tergetar
hebat. Yo Han sengaja tidak menyerang, hanya mempertahankan ketika tenaga lawan
mendorongnya, dan ketua Pao-beng-pai itu merasa betapa dorongannya bertemu
dengan perisai yang kokoh kuat seperti batu karang! Dia kagum bukan main,
kemudian mengerahkan seluruh tenaganya mendorong, sedangkan dari mulutnya
terdengar suara menggereng.
Yo Han tetap
mempertahankan. Biar tenaga lawan itu kuat sekali, jika dia menggunakan Bu-kek
Hoat-keng dan membalas menyerang, dia merasa yakin akan mampu mengatasi lawan.
Namun bukan itu yang dikehendakinya. Maka, dia pun hanya mempertahankan dan
walau pun kedua kakinya tetap memasang kuda-kuda, namun tubuhnya terdorong
sehingga kedua kaki itu tergeser ke belakang sampai tiga kaki!
Melihat hal
ini, ketua Pao-beng-pai semakin kagum. Jarang ada tokoh persilatan mampu
menahan dorongannya itu, dan melihat betapa pemuda itu tidak sampai mengangkat
kakinya, tidak terjengkang melainkan hanya kedua kakinya tergeser ke belakang
dalam keadaan kuda-kuda yang sama, hal ini saja membuktikan betapa kuatnya
pemuda itu.
Dia pun
segera berseru, "Cukup!" dan keduanya menarik tenaga masing-masing.
Siangkoan Kok
agak terengah karena tadi dia sudah mengerahkan seluruh tenaga. Yo Han cepat
membuat pernapasannya memburu agar jangan diketahui orang bahwa dia lebih kuat.
"Hebat!
Engkau masih muda, tetapi sudah memiliki tenaga yang hebat, Sicu! Cukuplah,
biar lain kali saja kita berlatih silat. Engkau cukup berharga untuk menjadi
sekutu kami. Mari Yo-sicu, silakan duduk di atas bersama kami. Dan engkau juga,
Cia-sicu. Engkau pun sudah mampu menandingi puteri kami, bararti engkau juga
cukup berharga dan layak untuk duduk di tempat kehormatan dan semeja dangan
keluarga kami!"
Ketua itu
girang bukan main bahwa di antara para tamunya terdapat dua orang pemuda
seperti Cia Ceng Sun dan Yo Han. Tinggal pilih saja salah satu di antara mereka
untuk menjadi calon mantu. Keduanya sama tampannya dan sama gagahnya. Yo Han
tentu saja lebih kuat, akan tetapi Cia Ceng Sun lebih berwibawa dan terpelajar.
Pesta
pertemuan itu pun dimulai dengan meriah. Sebagai tamu-tamu kehormatan yang
duduk di atas adalah tokoh besar dunia kang-ouw termasuk para tokoh
Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai. Akan tetapi mereka itu
duduk di meja lainnya, sedangkan Yo Han dan Cia Ceng Sun duduk semeja dengan
Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya.
Apa bila
sikap Cia Ceng Sun sopan santun dan sungkan seperti seorang pemuda yang
diharuskan duduk semeja dengan nyonya dan nona rumah, Yo Han menyesuaikan diri
dengan perannya sebagai seorang berandalan kang-ouw. Ia acuh saja, bahkan
bersikap agak dingin! Sikap seorang pemuda kang-ouw yang tinggi hati.
Mula-mula
Siangkoan Eng juga kagum bukan main melihat kelihaian Yo Han, apa lagi nama
besarnya sebagai Pendekar Tangan Sakti. Akan tetapi karena sikapnya itu, maka
perhatian gadis itu lebih banyak tertuju kepada Cia Ceng Sun yang bersikap
ramah, manis dan pandai membawa diri. Bahkan ibunya pun lebih suka kepada Cia
Ceng Sun dari pada kepada Yo Han.
Karena
mereka duduk semeja, mau tidak mau Yo Han terpaksa berkenalan pula dengan Cia
Ceng Sun. Ketua Pao-beng-pai sambil makan minum dan mendengarkan musik dan
nyanyian, mencoba untuk mengorek keterangan tentang riwayat kedua orang pemuda
yang menarik hati itu.
Cia Ceng Sun
menceritakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu yang menerima harta warisan
yang banyak dari mendiang orang tuanya yang hartawan di utara, dan sejak kecil
ia suka mempelajari ilmu silat dari siapa saja sehingga tidak memiliki guru
tertentu.
"Guru
saya banyak sekali, tetapi bukan guru tetap. Ilmu silat apa saja saya pelajari,
dan untuk itu saya telah menghamburkan hampir semua harta peninggalan
ayah."
Tentu saja
dia berbohong. Yang tidak bohong adalah bahwa dia memang mempelajari ilmu-ilmu
silatnya dari banyak guru, tanpa ada guru tetap. "Sampai sekarang pun,
saya merantau untuk menambah pengetahuan dan meluaskan pengalaman,"
tambahnya.
Ketika
ditanya, Yo Han mengaku bahwa dia juga yatim piatu seperti telah diceritakannya
tadi. Tentang ilmu silat, dia katakan bahwa dia mewarisi ilmu-ilmu ibunya, dan
juga dia mempelajari ilmu silat dari para tokoh Thian-li-pang di Bukit Naga.
"Tadinya,
aku dipilih untuk menjadi ketua, akan tetapi karena aku tidak suka terikat, aku
lalu menyerahkan kedudukan itu kepada suheng-ku, Lauw Kang Hui." Dia
mengakhiri ceritanya.
Siangkoan
Kok memandang kagum. "Jadi Lauw Kang Hui adalah suheng-mu? Pantas saja
engkau lihai. Kami pernah mendapat kehormatan bertemu dengan dua orang tokoh
Thian-li-pang yang sakti, yaitu Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong."
Yo Han
mengangguk. "Mereka adalah guru-guruku dan kini mereka sudah meninggal
dunia."
Mereka makan
minum sambil bercakap-cakap dan tidak mengherankan kalau sebentar saja, nampak
keakraban antara Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng. Kebetulan Cia Ceng Sun duduk
di sebelah gadis itu, dan Siangkoan Eng juga bukan seorang gadis pemalu,
sehingga mereka pun becakap-cakap membicarakan ilmu silat.
Dari sikap
dan pandang mata gadis itu, Yo Han saja dapat mengerti bahwa gadis itu tertarik
kepada Cia Ceng Sun yang tampan dan gagah. Apa lagi orang tua gadis itu, mereka
tentu saja lebih mengetahui.
Selain
mengenalkan diri, di dalam pesta perjamuan itu Pao-beng-pai juga menawarkan
kerja sama dengan semua pihak yang menentang penjajah Mancu, tidak peduli
mereka itu dari golongan hitam atau putih, dari kelompok mana pun.
"Untuk
mengusir penjajah dari tanah air kita, satu-satunya cara adalah bersatu padu di
antara seluruh golongan. Bila kita bersatu padu, kita akan menjadi kuat dan
pemerintah penjajah pasti dapat kita tumbangkan!" demikian antara lain
ketua Pao-beng-pai berkata kepada para tamunya.
Pertemuan
itu dibubarkan dengan kesan yang amat baik bagi para tamu. Pao-beng-pai mereka
akui, bahkan kini semua orang tahu bahwa Pao-beng-pai dipimpin oleh keluarga
yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Semua tamu lalu meninggalkan rumah besar
di perkampungan Pao-beng-pai di Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) itu. Kecuali
Yo Han dan Cia Ceng Sun!
Dua orang
pemuda ini menerima undangan khusus dari pihak pimpinan Pao-beng-pai untuk
tinggal selama beberapa hari di situ dengan alasan supaya perkenalan semakin
menjadi akrab. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati Yo Han sebab dia
memang ingin sekali memperoleh keterangan tentang penculik puteri bibinya yang
dia harapkan dapat mendengar dari perkumpulan itu.
Juga Cia
Ceng Sun merasa girang. Ia melihat bahwa Pao-beng-pai merupakan bahaya besar
bagi pemerintahan kakeknya, maka sebagai seorang pangeran, dia berkewajiban
untuk melakukan penyelidikan yang lebih mendalam agar dia memperoleh bahan
untuk membuat pelaporan sehingga pemerintah dapat diselamatkan dan para
pemberontak ini dapat dibasmi. Hanya ada sebuah hal yang membuat hati pangeran
ini gelisah. Yaitu Siangkoan Eng! Dia merasa menyesal sekali, kenapa seorang
gadis seperti itu menjadi puteri kepala pemberontak!
Dua orang
pemuda itu masing-masing memperoleh sebuah kamar di bagian belakang, kamar yang
cukup mewah. Dan biar pun mereka mendapatkan kamar sendiri, namun dua pemuda
itu maklum bahwa diam-diam pihak keluarga tuan rumah selalu mengikuti
gerak-gerik mereka.
Beberapa
orang selalu memasang mata kalau mereka berada di dalam kamar. Hal ini membuat
keduanya berhati-hati dan tidak berani sembarangan bertindak. Juga mereka
maklum bahwa betapa pun ramahnya sikap keluarga tuan rumah, namun agaknya
mereka masih belum percaya benar.
Pada senja
hari itu, mereka duduk berdua saja di ruang depan. Yo Han dan Siangkoan Kok.
Sudah dua hari Yo Han tinggal di rumah keluarga Siangkoan Kok dan dia mulai
mengenal ketua itu sebagai seorang yang memiliki cita-cita besar, yaitu
menumbangkan pemerintah Mancu.
Juga ketua
itu mulai mengaku bahwa ia adalah keturunan keluarga Kerajaan Beng yang sudah
dijatuhkan pasukan Mancu seratus tahun lebih yang lalu. Ketua Pao-beng-pai ini
bercita-cita untuk membangun kembali Kerajaan Beng!
Yo Han
melihat kenyataan bahwa yang dinamakan ‘perjuangan’ oleh Siangkoan Kok ini pada
hakekatnya tiada lain hanyalah suatu usaha balas dendam dan ambisi pribadi.
Alangkah banyaknya orang yang menggunakan kedok perjuangan, demi bangsa, demi
rakyat dan sebagainya, yang pada hakekatnya menyembunyikan kepentingan pribadi.
Siangkoan
Kok bukan berjuang melihat penderitaan rakyat, melainkan bercita-cita untuk
merampas kembali kerajaan, dan tentu dia bercita-cita menjadi raja kalau dia
berhasil membangun kembali Kerajaan Beng.
Perjuangan
itu baru asli kalau dilakukan oleh seluruh rakyat sebagai akibat penderitaan
atau penindasan. Perjuangan yang mengutamakan rakyat tapi tanpa mengikut
sertakan rakyat sendiri, masih diragukan kemurniannya. Siangkoan Kok tidak
mengajak rakyat, melainkan memiliki anak buah sendiri, dan merangkul
orang-orang dari dunia persilatan, baik golongan hitam mau pun putih.
Akan tetapi
bagaimana dengan rakyat jelata? Benarkah mereka itu kini dalam keadaan
tertindas? Yang dia tahu, biar pun Kaisar Kian Liong seorang Mancu, namun dia
dikenal sebagai seorang kaisar yang bijaksana, yang membangun dan berusaha
memakmurkan rakyat, bukan dengan jalan penindasan. Karena itu, nama kaisar itu
harum di kalangan rakyat, bukan sebagai kaisar penindas.
Yo Han
setuju sekali jika pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, bukan oleh bangsa
Mancu. Akan tetapi, dia tidak setuju kalau untuk menumbangkan kekuasaan
pemerintah penjajah itu diadakan pemberontakan-pemberontakan kecil di sana sini
yang bukan lain merupakan ambisi pribadi dari pemimpin-pemimpin kelompok yang
tidak puas dan yang mencari kekuasaan bagi diri sendiri.
Pemberontakan
kecil semacam itu hanya akan menyengsarakan rakyat belaka. Seperti halnya yang
sudah-sudah, gerombolan pemberontak itu selalu mengganggu rakyat pula. Seperti
Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, bahkan Thian-li-pang juga pernah menyeleweng.
Kalau
perkumpulan yang bertujuan menumbangkan penjajah itu dimasuki orang-orang dari
golongan sesat, sudah pasti akan terseret ke dalam kejahatan dan mengganggu
rakyat dengan dalih perjuangan! Dan dia tidak setuju sama sekali!
Jika ada
pemimpin sejati yang dapat membangkitkan rakyat untuk menentang penjajah, maka
dia siap untuk berdiri di barisan terdepan! Akan tetapi karena kehadirannya di
Pao-beng-pai bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan dalam usahanya mencari
jejak penculik puteri bibinya, ia pun tak banyak membantah ketika mendengarkan
ketua itu bicara penuh semangat tentang gerakannya.
"Nah,
bagaimana pendapatmu, Yo-sicu? Setelah engkau mendengarkan semua cita-cita dan
rencanaku, bersediakah engkau bekerja sama dengan kami, baik engkau pribadi mau
pun engkau sebagai pimpinan Thian-Li-pang? Kita akan berjuang bahu-membahu,
menumbangkan penjajah dan kelak kita bersama pula yang akan memetik buahnya,
kita yang akan menikmati hasilnya."
Nah, mulai
tersembul sedikit setan itu, pikir Yo Han. Kita yang akan memetik buahnya,
menikmati hasilnya! Jadi, apa yang dinamakan perjuangan itu hanya merupakan
suatu cara untuk dapat mendatangkan atau menghasilkan buah yang nantinya bisa
dinikmati! Dia menahan diri untuk tidak mengucapkan suara hatinya yang ingin
membantah dan mencela.
"Pangcu
(Ketua)..."
“Aihh,
sesudah kita bergaul begini akrab sebagai kawan seperjuangan, engkau tak perlu
lagi menggunakan sebutan yang asing itu. Sebut saja paman kepadaku, Yo
Han!"
Hemmm, orang
ini memang pandai mempergunakan orang lain, pandai memanfaatkan tenaga orang
lain dengan sikap yang amat menyenangkan.
"Terima
kasih, Paman Siangkoan Kok. Pengangkatan ketua di Thian-li-pang sendiri aku
tolak. Bukan karena aku tidak suka kedudukan, melainkan karena aku ingin bebas
agar aku dapat melakukan balas dendam untuk kematian ayah ibuku. Mereka tewas
karena dijerumuskan oleh Setan Cilik (Siauw Kwi) Can Bi Lan! Sebaiknya aku
dalam keadaan bebas dan tidak terikat dalam usahaku membalas dendam ini. Dan
setelah aku berhasil membunuh Can Bi Lan beserta suaminya, mungkin saat itu
barulah aku akan memimpin Thian-li-pang dan aku akan bekerja sama
denganmu."
Siangkoan
Kok mengangguk-angguk, lalu dua matanya menatap tajam wajah pemuda itu.
"Yo Han, demikian besarkah kebencianmu terhadap Can Bi Lan dan Sim
Houw?"
Yo Han balas
memandang, memperlihatkan rasa heran dan alisnya berkerut. "Paman, kenapa
Paman masih bertanya lagi? Kalau tidak karena ulah Can Bi Lan dan suaminya, dan
seluruh anggota keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga, tentu sampai
sekarang ibuku masih menjadi seorang tokoh kang-ouw yang disegani! Hemmm, kalau
saja aku bisa mendapatkan seorang teman yang dapat dipercaya dan yang mempunyai
ilmu kepandaian yang bisa diandalkan, ingin sekali aku mengajaknya untuk
mendatangi suami isteri itu dan membunuh mereka!"
Ketua
Pao-beng-pai itu tersenyum. "Heh-heh-heh, Yo Han, alangkah mudahnya engkau
bicara! Mungkin kalau hanya Can Bi Lan atau Siauw Kwi, aku atau engkau akan
mampu menandinginya bahkan mengalahkannya. Akan tetapi Sim Houw? Dia adalah
Pendekar Suling Naga, dengan suling pedangnya yang terkenal di seluruh dunia
dan sukar dicari bandingnya! Sungguh berbahaya sekali menghadapinya!"
"Aku
tidak takut, Paman. Sudah pernah aku berusaha menyerbu mereka, akan tetapi aku
seorang diri tidak mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau saja aku dapat
bertemu dengan seseorang yang kucari-cari dan sampai sekarang sayang sekali
belum kutemukan, bersama dia rasanya sanggup aku membasmi keluarga Sim
itu!" kata Yo Han penuh semangat.
"Hemmm,
siapakah orang itu, Yo Han?"
"Namanya
aku tidak tahu, Paman, bahkan aku juga tidak tahu apakah dia pria ataukah
wanita. Yang kuketahui adalah bahwa dia pada dua puluh tahun yang lalu telah
berhasil menculik puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan itu! Apakah Paman
mengetahui siapa penculik itu?"
"Hemmm,
apakah engkau datang ke sini sengaja hendak mencari penculik itu?"
"Memang
telah lama sekali aku mencarinya, Paman. Aku mengunjungi pertemuan yang Paman
adakan untuk mencari tahu tentang penculik itu, dan juga untuk mencari teman
sehaluan."
"Kenapa
engkau mencari penculik itu?"
"Karena,
kalau dia sudah berani menculik puteri suami isteri itu, berarti dia memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi dan juga sangat membenci mereka. Nah, dengan orang
seperti itu, kalau aku dapat mengajaknya, kiranya aku akan mampu untuk membalas
dendam. Apakah Paman mengetahui siapa orangnya dan di mana aku dapat bertemu
dan bicara dengannya?"
Yo Han
sengaja menahan diri dan tidak bertanya tentang anak yang diculik, seolah dia
tidak peduli dan tidak tertarik tentang anak itu. Yang diperlukan adalah si
penculik untuk diajak kerja sama!
Ketua
Pao-beng-pai menggeleng kepalanya. "Tentang penculikan itu pun baru
sekarang aku mendengar darimu, Yo Han. Bahkan aku pribadi tidak pernah
mempunyai urusan langsung dengan Sim Houw dan Can Bi Lan."
Yo Han
mengerutkan alisnya, kecewa. "Kalau Paman tidak tahu, aku akan segera
pergi dari sini untuk bertanya kepada tokoh-tokoh kang-ouw lainnya..."
"Nanti
dulu, Yo Han. Kau bilang bahwa jika engkau sudah berhasil menemukan penculik
itu dan kau ajak dia menyerang musuh-musuhmu, engkau akan memimpin
Thian-li-pang dan bekerja sama dengan kami? Jika memang benar demikian, mungkin
saja aku dapat membantumu. Anak buahku banyak, dan kami memiliki hubungan baik
dengan dunia kang-ouw. Kalau kusebar mereka untuk melakukan penyelidikan, kiraku
dalam waktu beberapa hari saja aku bisa menemukan siapa penculik itu."
"Terima
kasih, Paman! Sebetulnya aku pun sudah mempunyai pikiran seperti itu, tetapi
mana berani aku membikin repot Paman? Kalau Paman suka membantuku, sungguh aku
merasa berterima kasih sekali dan aku pasti akan membalas budi itu dengan kerja
sama!"
"Baiklah,
aku akan membantumu. Sekarang juga akan kuperintahkan para anak buah
Pao-beng-pai untuk mencari keterangan dan menyelidiki siapa adanya orang yang
telah menculik anak dari Pendekar Suling Naga. Engkau tunggu saja dan tinggal
di sini untuk beberapa hari lagi sampai kita mendapatkan hasilnya. Nah, mari
kita minum, Yo Han!"
Mereka
kemudian minum arak, dan tak lama kemudian Siangkoan Kok memanggil para
pembantunya. Dia memerintahkan mereka menyebar anak buah untuk mencari berita
tentang penculik anak Pendekar Suling Naga.
Sementara
itu, pada senja hari itu juga, di dalam taman yang luas dari perkampungan
Pao-beng-pai, nampak Siangkoan Eng berjalan-jalan bersama Cia Ceng Sun. Tidak
ada seorang pun anggota Pao-beng-pai berani mengganggu atau mendekati kedua
orang muda yang berjalan-jalan di taman sambil bercakap-cakap dan nampak akrab
sekali itu. Memang kedua orang muda ini saling tertarik dan saling mengagumi.
Siangkoan
Eng adalah seorang gadis yang hidup di tengah keluarga kang-ouw. Biar pun
ayahnya seorang bekas bangsawan dan tetap berusaha sekuatnya untuk hidup
seperti seorang bangsawan, namun karena lingkungannya adalah orang-orang
kang-ouw yang menjadi anak buah ayahnya, maka dia sudah terbiasa hidup bebas
tanpa ikatan segala macam peraturan.
Maka, sekarang
dia dapat bergaul dengan Cia Ceng Sun dengan bebas tanpa rikuh dan sungkan.
Bahkan ayah dan ibunya juga membiarkannya saja karena kedua orang tua ini tak
keberatan kalau puteri mereka bergaul dengan seorang pemuda yang demikian baik
seperti Cia Ceng Sun.
Setelah tiba
di dekat kolam ikan yang indah, mereka lalu duduk di atas bangku panjang.
Tempat itu memang sangat indah dan romantis. Bunga-bunga beraneka warna mekar
semerbak. Di sana-sini telah dinyalakan lampu-lampu gantung beraneka warna pula
dan pada pohon dekat kolam itu tergantung dua buah lampu berwarna kemerahan
sehingga dalam keremangan senja, kedua orang muda-mudi itu nampak seperti
diselimuti cahaya kemerahan.
"Kongcu,
sesudah engkau berada di sini selama dua hari dua malam ini, bagaimana
pendapatmu tentang keluarga kami, perkumpulan kami dan tempat ini?"
Siangkoan Eng yang oleh ayah ibunya disebut Eng Eng dan oleh semua anak buahnya
disebut Siocia (Nona) itu bertanya sambil menatap wajah pemuda yang tampan itu.
"Sebelum
aku menjawab pertanyaanmu, bagaimana kalau engkau tidak menyebut aku kongcu
(tuan muda) lagi? Terdengarnya begitu asing dan tak sepantasnya jika seorang
gadis seperti engkau menyebut aku kongcu."
Eng Eng
tersenyum. "Hemmm, engkau sendiri menyebut aku siocia (nona), tentu saja
aku menyebutmu kongcu. Habis, kalau tidak menyebut kongcu, harus menyebut bagai
mana?"
"Sebut
saja kakak, dan aku akan menyebutmu adik. Bagaimana pendapatmu?"
"Tidakkah
itu terbalik? Kurasa aku lebih tua darimu!"
"Tidak
mungkin. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun!"
"Kalau
begitu sama, aku pun dua puluh tiga tahun. Baiklah, mulai sekarang, aku akan
menyebutmu toako (kakak), Sun-toako."
"Dan
aku akan menyebutmu Eng-moi (adik Eng)."
"Sun-toako..."
"Eng-moi..."
Keduanya saling pandang dan tertawa gembira.
"Nah,
sekarang kita merasa seperti adik kakak, bukan? Eng-moi, kini aku tidak merasa
sungkan lagi untuk menanyakan hal-hal yang lebih bersifat pribadi, dan harap
kau tidak marah kepadaku."
"Tanyalah,
Toako."
"Engkau
seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan gagah perkasa, puteri seorang
ketua pula, dan usiamu sudah dua puluh tiga tahun. Akan tetapi kulihat engkau
masih sendiri, belum berkeluarga sendiri. Kenapa, Eng-moi?"
Karena
pandainya Cia Ceng Sun mengatur pertanyaan itu dengan sikap bersaudara dan
kata-kata yang halus, Eng Eng tidak merasa tersinggung, walau pun kedua pipinya
berubah kemerahan juga.
"Aih,
itukah? Bagaimana aku dapat membangun rumah tangga sendiri kalau aku belum
bertemu dengan orang yang cocok, Toako? Memang banyak pinangan terhadap diriku
yang berdatangan, akan tetapi selama ini aku belum bertemu dengan seseorang
yang berkenan di hatiku. Kalau aku sudah bertemu yang cocok, mengapa tidak? Dan
engkau sendiri, bagaimana, Toako? Tentu engkau sudah berkeluarga dan mempunyai
satu dua orang anak."
"Ha-ha-ha,
dugaanmu keliru, Eng-moi. Seperti juga engkau, aku masih hidup sebatang kara,
belum mendapatkan jodoh. Mungkin karena selama ini juga belum ada yang cocok
bagiku seperti keadaanmu."
Hening
sejenak, seakan keduanya sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Sementara senja mulai ditelan keremangan menjelang malam tiba. Kemudian
terdengar Eng Eng bicara lirih seperti kepada dirinya sendiri,
"Betapa
serupa keadaan kita...," kemudian ia menghela napas panjang dan
melanjutkan sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh
selidik, seolah sinar matanya hendak menembus cuaca yang semakin remang.
"Toako, wanita seperti apakah yang kiranya dapat kau anggap cocok untuk
menjadi jodohmu?"
Mendengar
pertanyaan ini dan melihat sikap gadis itu, berdebar rasa jantung Cia Ceng Sun.
Dia merasa seperti ditodong dan rasanya sukar untuk mengelak atau menangkis.
Sukar untuk tidak mengaku terus terang.
Sejak dia
melihat gadis ini, dia sudah terpesona. Apa lagi setelah melihat sepak terjang
gadis itu, kemudian sampai mereka mengadu ilmu, dia telah tergila-gila, dia
telah jatuh cinta! Dengan kuat sekali perasaan ini menekannya dan terasa benar
olehnya.
Biar pun dia
tidak melupakan pesan ayahnya agar dia jangan jatuh cinta kepada wanita lain
karena dia sudah ditunangkan dengan Si Bangau Merah, namun tetap saja dia tidak
mampu menolak gelora hatinya, tidak dapat menipu diri sendiri. Dia jatuh cinta
kepada Siangkoan Eng. Padahal, gadis ini adalah puteri seorang pemimpin
pemberontak, masih keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng!
"Eng-moi,
aku mau berterus terang saja, harap engkau tidak marah."
"Eh?
Kenapa aku harus marah kalau engkau bicara terus terang tentang seorang wanita
yang menurut pendapatmu cocok untuk menjadi jodohmu?"
"Eng-moi,
setelah aku tiba di sini, bertemu denganmu, maka tahulah aku bahwa gadis yang
kucari-cari untuk menjadi jodohku itu adalah... yang seperti engkau
inilah..."
"Seperti
aku? Apa maksudmu, Sun-ko?"
"Maksudku...
ehhh, mana mungkin ada gadis yang sama denganmu. Maksudku, bahwa yang selama
ini kucari-cari itu adalah engkau! Engkaulah gadis yang kuidam-idamkan menjadi
jodohku. Eng-moi, tentu saja kalau engkau sudi menerimaku."
"Hemmm,
engkau hendak meminangku? Kenapa? Apa karena aku seperti gadis dalam
mimpimu?"
"Bukan
begitu maksudku, ehh... ahhh, terus terang saja, sejak aku bertemu denganmu,
aku terpesona dan aku jatuh cinta padamu, Eng-moi. Nah, aku sudah berterus
terang, terserah kepadamu."
Hening pula,
sekali ini agak lama dan keduanya menundukkan muka. Seakan lenyap semua
kegagahan dan keberanian mereka. Untuk dapat mengangkat muka dan saling pandang
pun merupakan hal yang bagi mereka membutuhkan keberanian besar sekali pada
saat seperti itu.
Dan
akhirnya, setelah beberapa kali meragu karena mendengar gadis itu berulang kali
menghela napas panjang, Cia Ceng Sun memberanikan diri berkata, "Eng-moi,
harap engkau suka memaafkan aku kalau aku menyinggung perasaanmu."
Memang
sungguh aneh sekali pengaruh cinta terhadap diri seseorang. Cia Ceng Sun ialah
Pangeran Cia Sun, cucu kaisar! Padahal, dalam kedudukannya sebagai pangeran,
dengan kegagahan dan ketampanannya, biasanya seorang pangeran seperti dia
tinggal menunjuk saja gadis mana yang disukainya dan gadis itu akan datang
kepadanya, baik dengan suka rela mau pun atas kehendak orang tua si gadis.
Dan
sekarang, dia bersikap seperti seorang pemuda yang malu-malu dan gelisah ketika
menyatakan cintanya pada seorang gadis biasa, bukan puteri bangsawan, bukan
puteri istana! Dan sikapnya ini bukan sekali-kali disesuaikan dengan
penyamarannya sebagai pemuda biasa. Memang sesungguhnya dia merasa lemah dan
tak berdaya menghadapi Siangkoan Eng!
"Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Toako. Sesungguhnya, aku sendiri merasa bahwa
sekarang setelah bertemu denganmu, aku pun telah menemukan pria yang selama ini
kuharapkan..."
Gadis itu
tidak melanjutkan kata-katanya, malah menundukkan mukanya yang berubah merah.
Biar pun Eng Eng seorang gadis yang gagah perkasa yang wataknya dingin dan
aneh, namun kali ini ia merasa sedemikian malu dan salah tingkah sehingga
jantungnya berdebar keras. Seluruh tubuhnya seperti panas dingin dan kedua
kakinya gemetar!
"Eng-moi...!"
Bukan main girangnya rasa hati Cia Ceng Sun mendengar pengakuan itu. Dia
bukanlah seorang pemuda yang sama sekali belum pernah bergaul dengan wanita,
walau pun dia bukan tergolong pemuda yang mata keranjang dan suka pelesir
seperti para pangeran lainnya.
Mendengar
pengakuan Siangkoan Eng yang sama sekali tidak pernah disangkanya, dia kemudian
menggeser duduknya dan memegang kedua tangan gadis itu. Mereka saling berpegang
tangan. Gadis itu mengangkat mukanya dan pandang matanya sayu, bahkan seperti
hendak menangis. Keempat buah tangan yang saling berpegangan itu menggigil dan
menggetar.
"Eng-moi,
terima kasih, Eng-moi! Aihhh, engkau membuat aku berbahagia sekali. Aku cinta
padamu, Eng-moi."
Biar pun Eng
Eng amat mengharapkan kata-kata itu, tapi setelah diucapkan, ia merasa lucu dan
ia pun tersenyum. "Sun-ko, kita baru dua hari ini berkenalan dan sudah
saling mengaku cinta."
"Apa
salahnya? Kita saling mencinta, baru bertemu sedetik pun apa bedanya? Aku akan
mengirim wali untuk meminangmu kepada orang tuamu, Eng-moi."
"Aku
hanya akan menunggu, Sun-ko..."
Hening
kembali sejenak dan mereka masih saling berpegang tangan. Tetapi mendadak Cia
Ceng Sun melepaskan tangannya dan menunduk, seperti orang melamun dengan alis
berkerut.
"Kenapa,
Koko?" tanya Eng Eng khawatir.
"Ada
satu hal yang mengganjal hatiku, Eng-moi. Yaitu cita-cita ayahmu. Biar pun
sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat, akan tetapi aku tidak
pernah dan tidak suka bermusuhan. Aku tak ingin terlibat pemberontakan terhadap
pemerintah, juga tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun, maka tidak mungkin
aku dapat membantu keluargamu. Aku lebih suka berterus terang, Eng-moi, dari
pada berpura-pura dan palsu."
Gadis itu
tersenyum dan kembali dia menangkap kedua tangan pemuda itu yang tadi
melepaskan diri. "Koko, aku justru bangga sekali karena sikapmu yang
berterus terang ini. Aku sendiri pun hanya melaksanakan kewajiban. sebagai
puteri ayah. Aku tak peduli tentang perjuangan dan hanya membantu ayah
sebagaimana patutnya seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya. Ada pun
tentang permusuhan antara keluarga kami dengan tiga keluarga besar itu, aku
sendiri sudah sering memberi tahu kepada ayah betapa tidak wajarnya memusuhi
seluruh anggota keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga. Tidak wajar
dan juga sangat berbahaya karena tiga keluarga besar itu mempunyai orang-orang
yang sakti dan amat sukar untuk dikalahkan."
"Hemmm,
mengapa ayahmu memusuhi mereka?"
"Menurut
ayah, semenjak orang-orang Mancu menyerbu dan menumbangkan Kerajaan Beng, semua
anggota keluarga-keluarga itu tak pernah menentang, bahkan membantu orang
Mancu."
"Eng-moi,
aku adalah orang yang menghargai kejujuran. Aku pun sudah berterus terang
kepadamu mengatakan bahwa aku tidak mungkin dapat membantu ayahmu. Nah, bagai
mana tanggapanmu, Eng-moi? Bila kita sudah berjodoh, maukah engkau meninggalkan
ini semua dan tak lagi mencampuri urusan pemberontakan dan permusuhan,
melainkan hidup dalam suasana tenteram dan damai di sampingku?"
"Koko,
betapa sudah lama sekali aku merindukan ketenteraman dan kedamaian itu. Aku
akan berbahagia sekali kalau hidup dengan tenteram dan damai di sampingmu, akan
tetapi... tentu ayah dan ibu tidak akan mau membiarkan..."
"Percayalah
kepadaku, Eng-moi. Aku yang akan melindungimu," berkata Cia Ceng Sun
dengan sikap gagah.
Baru sekali
ini selama hidupnya Eng Eng merasa lemah sekali dan amat membutuhkan
perlindungan orang lain kecuali ayah ibunya. Ketika Cia Ceng Sun menariknya,
dia pun merebahkan diri di atas dada pemuda itu, menyembunyikan mukanya di
bawah dagu. Mereka pun tenggelam dalam kemesraan...
Sebagai
hasil percakapan dengan Siangkoan Kok, pada keesokan harinya Yo Han telah
memperoleh keterangan dari ketua Pao-beng-pai itu bahwa penyelidikan anak
buahnya berhasil!
"Penculik
anak Pendekar Suling Naga Sim Houw itu ialah Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak
Beradik Naga Besi). Mereka adalah orang-orang yang sejak dahulu bermusuhan
dengan Pendekar Suling Naga, dan mereka membalas dendam dengan menculik puteri
pendekar itu."
Dapat
dibayangkan betapa besar kegirangan hati Yo Han mendengar keterangan itu. Tidak
disangkanya akan semudah itu dia mendapatkan jejak penculik puteri bibinya!
"Di
mana mereka bertiga, Paman? Ingin sekali aku menemui mereka untuk bisa kuajak
bekerja sama! Dan apakah anak itu masih ada pada mereka? Kalau masih ada, dapat
kita pergunakan untuk memeras dan memaksa orang tuanya! Hemm, sekali ini aku
akan berhasil membalas dendam orang tuaku!"
Melihat
kegembiraan Yo Han, Siangkoan Kok tertawa, "Kebetulan sekali mereka
tinggal tidak terlalu jauh dari sini. Dalam waktu setengah hari engkau akan
tiba di tempat tinggal mereka. Menurut keterangan anak buah Pao-beng-pai yang
melakukan penyelidikan, anak perempuan yang dahulu mereka culik masih hidup dan
tinggal bersama mereka."
Hampir Yo
Han bersorak saking gembiranya. Ia hanya cukup menekan dan mengurangi saja
luapan rasa girang itu. Dalam perannya sebagai musuh bibinya, ia pun sepatutnya
bergembira karena memperoleh sekutu yang dapat dipercaya serta menemukan anak
perempuan yang akan dapat dipergunakan sebagai sandera yang amat berharga.
Siangkoan
Kok lalu memberi keterangan tentang tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te,
yaitu di sebuah lereng di bukit yang tidak jauh dari situ, di mana terdapat
sebuah goa terowongan yang mereka bangun menjadi tempat tinggal tiga bersaudara
itu.
Dengan tulus
hati Yo Han mengucapkan terima kasih kepada Siangkoan Kok, kemudian pamit untuk
melanjutkan perjalanan mencari tempat itu. Siangkoan Kok mengucapkan selamat
jalan sambil berpesan agar pemuda itu tidak melupakan hubungan baik antara
mereka dan kelak dapat membantunya dengan bekerja sama antara Pao-beng-pai dan
Thian-li-pang. Yo Han menyanggupi, lalu berangkat.
Di
pekarangan depan, Yo Han berjumpa dengan Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng yang
nampak berjalan berdampingan dalam suasana yang akrab sekali. Yo Han dapat
melihat bahwa ada apa-apa di antara keduanya, maka dia pun tersenyum.
Memang
mereka merupakan pasangan yang pantas sekali, pikirnya. Namun diam-diam dia
menyayangkan bahwa seorang pemuda yang hebat seperti Cia Ceng Sun itu kini
terlibat dalam keluarga pimpinan pemberontak, bahkan yang memusuhi tiga
keluarga besar. Ah, itu bukan urusannya, pikirnya sambil menggerakkan pundak.
Karena
mereka berdua sudah sama-sama tinggal di situ sebagai tamu Pao-beng-pai, tentu
saja dua orang pemuda ini sudah saling berkenalan walau pun hubungan mereka
tidak akrab sekali. Yo Han lebih sering bercakap-cakap dengan Siangkoan Kok,
namun sebaliknya Cia Ceng Sun lebih sering berduaan dengan Siangkoan Eng.
"Ehhh,
engkau hendak pergi, saudara Yo?" tanya Cia Ceng Sun ketika melihat pemuda
itu hendak pergi meninggalkan pekarangan sambil menggendong buntalan pakaiannya
di punggung.
Eng Eng
hanya mengangguk saja ketika bertemu pandang dengan Yo Han. Biar pun dia merasa
kagum kepada Yo Han, namun ia selalu merasa curiga. Karena bagaimana pun juga
dia tahu, bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang yang sangat tangguh dan
menurut ayahnya, tenaga sinkang pemuda itu seimbang dengan ayahnya!
Apa lagi
pemuda ini pernah membuat nama besar dengan julukan Pendekar Tangan Sakti.
Menghadapi orang yang lebih lihai, tentu saja ia merasa khawatir dan juga
curiga.
“Benar,
saudara Cia. Aku sudah berpamitan kepada Paman Siangkoan Kok dan harus
melanjutkan perjalananku hari ini juga. Nah, selamat tinggal dan semoga saja
engkau berhasil dalam segala cita-citamu. Selamat tinggal, Nona Siangkoan, dan
terima kasih atas kebaikan keluarga Nona selama aku tinggal di sini."
Dengan sikap
tidak terlalu menghormat dan ugal-ugalan seperti tokoh yang perannya dia
mainkan, Yo Han tersenyum lalu membalikkan tubuh meninggalkan mereka, diikuti
pandang mata sepasang orang muda itu.
"Hemmm,
dia seorang pendekar yang hebat! Masih begitu muda tetapi sudah memiliki
kesaktian yang dahsyat," Cia Ceng Sun memuji.
"Tapi
aku tidak terlalu percaya kepadanya, bahkan aku mencurigainya, Koko," kata
Eng Eng.
"Ehhh?
Mengapa? Bukankah dia tokoh Thian-li-pang dan kini bersahabat baik dengan
ayahmu? Bahkan tadi dia menyebut paman kepada ayahmu. Hemmm, aku jadi berpikir
jangan-jangan ayahmu lebih condong memilih dia sebagai calon mantu dari pada
aku!"
Eng Eng
mencubit tangan kekasihnya dengan gemas. "Ihhh! Aku akan minggat kalau
ayah memaksa aku menikah dengan pria lain kecuali engkau. Apakah engkau masih
belum percaya kepadaku, Koko?"
"Maaf,
aku hanya bergurau. Sekarang juga aku akan menghadap ayah dan ibumu untuk
menyatakan keinginan kita, menceritakan hati kita, dan kalau ayah ibumu
mengijinkan, aku segera akan pergi dan mencari seorang wakil untuk kukirim ke
sini dan melakukan pinangan."
"Nah,
begitu lebih baik daripada membicarakan orang lain. Sebaiknya nanti saja,
setelah mereka sarapan baru engkau mengatakan isi hatimu kepada mereka. Akan
kuusahakan agar engkau diundang sarapan sehingga kita berempat dapat berkumpul
dan bercakap-cakap."
Demikianlah,
tidak lama kemudian mereka sudah makan pagi bersama, Cia Ceng Sun, Siangkoan
Eng, Siangkoan Kok dan isterinya, Lauw Cu Si. Setelah makan pagi yang agaknya
dilakukan oleh Siangkoan Kok dengan sikap tergesa-gesa karena dia hendak
bepergian, Cia Ceng Sun mempergunakan kesempatan itu untuk bicara.
"Locianpwe
(Orang Tua Gagah), saya ingin mohon sedikit waktu untuk bicara dengan Locianpwe
berdua, bersama Eng-moi juga," katanya dengan sikap sopan dan tenang.
Bagaimana pun juga, dia seorang pangeran dan tentu saja memiliki wibawa yang
besar sehingga menghadapi ketua Pao-beng-pai itu pun dia dapat bersikap tenang.
"Hemmm,
soal apakah yang hendak kau bicarakan, Cia sicu?"
"Soal
saya dan adik Eng Eng. Harap Locianpwe berdua mengetahui bahwa kami berdua
sudah bersepakat untuk mengaku terus terang kepada Ji-wi (Anda Berdua) sekarang
ini bahwa kami saling mencinta dan juga telah mengambil keputusan untuk hidup
bersama sebagai suami isteri. Saya segera akan pergi, kemudian mengirim seorang
wali untuk melakukan pinangan kepada Ji-wi secara resmi."
Mendengar
pinangan yang diajukan begitu tiba-tiba dengan pengakuan bahwa pemuda itu sudah
saling mencinta dengan puteri mereka dalam waktu tidak lebih dari tiga hari,
suami dan isterinya itu saling pandang. Siangkoan Kok menoleh kepada puterinya
yang juga sedang memandang kepadanya dengan sikap yang tenang pula.
"Eng
Eng, benarkah apa yang dikatakan Cia Ceng Sun barusan? Bahwa kalian saling
mencinta dan engkau sudah setuju untuk menjadi isterinya?"
Dengan sikap
gagah dan penuh tanggung jawab, Eng Eng mengangguk dan berkata, "Benar,
Ayah. Kurasa usiaku sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga sekarang, dan
dialah pilihan hatiku."
Siangkoan
Kok tertawa bergelak. Sukar menduga apakah suara tawa itu karena girang atau
karena geli atau untuk mengejek.
"Ha-ha-ha-ha!
Orang muda she Cia! Engkau tahu bahwa Eng Eng adalah puteri tunggal kami yang
sangat kami sayang. Ia puteri ketua Pao-beng-pai, cantik dan tinggi ilmunya,
masih lebih tinggi dari pada ilmu yang kau kuasai. Kalau ia menghendaki jodoh
seorang pangeran sekali pun, hal itu bukan mustahil akan dapat terlaksana. Eng
Eng kaya raya, berilmu tinggi dan cantik! Dan engkau ini siapakah berani hendak
berjodoh dengannya? Dari keturunan apa? Engkau memang cukup tampan, dan biar
pun tidak selihai puteriku, kepandaianmu lumayan dan tidak memalukan. Akan
tetapi selain itu, apa lagi yang bisa kau berikan kepada puteri kami?"
Panas juga
rasanya perut Cia Ceng Sun mendengar ucapan laki-laki yang akan menjadi ayah
mertuanya itu. Betapa dia diremehkan dan dipandang rendah!
"Apakah
yang Locianpwe minta? Kalau Locianpwe mengajukan syarat, tentu akan saya coba
untuk memenuhinya," katanya sederhana, namun sikapnya tegas.
Mendengar
ucapan yang nadanya menantang itu, Eng Eng mengerutkan alisnya dan merasa
khawatir. Bahkan ia lalu mengerling ke arah kekasihnya dan mengedipkan mata
mencegah, namun sia-sia karena pemuda itu sudah mengeluarkan kata-katanya.
"Ha-ha-ha-ha,
bagus, bagus! Seorang gadis seperti Eng Eng memang tidak sepatutnya didapatkan
dengan amat mudah seperti orang memetik buah apel dari pohon saja! Nah,
permintaanku tidak banyak. Pertama engkau harus bisa memberi tanda mata yang
patut bagi seorang calon isteri macam Eng Eng, dan ke dua, dalam pesta
pernikahan kalian nanti, aku minta agar keluarga Kaisar menjadi tamunya!"
"Ayah!
Permintaan itu keterlaluan!" teriak Eng Eng, dan Ibunya juga berseru
kaget.
"Aihhh,
mana ada permintaan seperti itu? Yang pertama mungkin dapat dilaksanakan, akan
tetapi yang ke dua mustahil! Kita ini apa dan siapa, minta keluarga kaisar
menjadi tamu dalam pesta pernikahan anak kita?" kata Lauw Cu Si.
"Sudahlah,
kalian jangan ribut-ribut. Semua ini kulakukan demi menaikkan derajat anak
kita, dan itu berarti naiknya derajat kita pula! Bagaimana, Cia-sicu,
sanggupkah engkau memenuhi kedua permintaan itu?"
"Saya
sanggup!" berkata Cia Ceng Sun dengan suara yang lantang dan tegas sehingga
mengejutkan tiga orang itu yang sekarang memandang pada pemuda itu dengan mata
terbelalak.
"Sun-koko!
Bagaimana engkau berani menyanggupi syarat yang mustahil itu?" teriak Eng
Eng.
"Tenanglah,
Eng-moi. Demi cintaku kepadamu, aku akan berani menyeberangi lautan api sekali
pun. Akan aku usahakan sedapat mungkin untuk kelak mengundang keluarga kaisar.
Aku mempunyai banyak kenalan di antara para pembesar dan juga penghuni
istana!"
"Ha-ha-ha,
bagus sekali! Setidaknya, kesanggupanmu telah membuktikan adanya cinta kasihmu
yang besar terhadap anak kami, Cia-sicu. Dan sekarang, tanda mata apa yang
pantas kau berikan kepada Eng Eng sebelum engkau pergi dan mengirirm wakil
untuk melakukan pinangan resmi?"
"Harap
Locianpwe sekalian menunggu sebentar, akan saya ambil dari kamar saya."
Pemuda itu
lalu bangkit dan meninggalkan ruangan makan. Pada saat Eng Eng hendak mengejar,
baru saja ia bangkit, ayahnya sudah melarang.
"Eng
Eng, engkau harus pandai menghargai diri sendiri. Tunggu saja di sini, kita
lihat bersama apa yang mampu dia berikan kepadamu. Engkau tidak ingin kelak
kecewa dengan pilihanmu, bukan? Biarkan Ayah yang mengujinya!"
Eng Eng
tidak jadi bangkit. Ia pun tahu bahwa sikap ayahnya yang begitu keras bukan
karena ayahnya tidak suka mempunyai mantu Cia Ceng Sun, namun karena ayahnya
ingin mendapatkan mantu yang benar-benar mencintainya, seorang mantu yang
berani dan pandai.
Agak lama
pemuda itu pergi. Ketika dia masuk kembali ke dalam ruangan itu, ternyata dia
telah berganti pakaian dan telah pula membawa buntalan pakaiannya.
"Sun-koko!
Engkau... kau hendak pergi...?" Eng Eng terkejut sekali karena sebelumnya
kekasihnya tidak mengatakan hendak pergi sekarang juga.
"Benar,
Eng-moi. Aku harus cepat berusaha untuk memenuhi permintaan ayahmu, yaitu mengirim
wali untuk meminang, dan mempersiapkan agar kelak keluarga istana dapat
menghadiri pesta pernikahan kita."
Dia lalu
menghadapi Siangkoan Kok dan mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku bajunya.
"Locianpwe, untuk sementara ini, saya tidak mampu memberikan sesuatu yang
lebih berharga dari pada ini. Harap Locianpwe sekalian tidak merasa kecewa
dengan pemberian tanda mata yang tidak berharga ini."
Ketika
Siangkoan Kok menerima benda itu, dia dan isterinya yang duduk di dekatnya
terbelalak kagum.
"Tidak
berharga?!" Lauw Cu Si berseru. "Wah! Belum pernah selama hidupku
melihat kalung mutiara seindah ini!"
Siangkoan
Kok yang merupakan seorang keturunan bangsawan, juga terbelalak kagum. Dia
mengenal barang yang amat berharga dan langka sehingga terlontar pertanyaannya
penuh keheranan. "Dari mana engkau memperoleh benda mustika seperti
ini?"
"Locianpwe,
sudah saya katakan bahwa saya mewarisi harta kekayaan orang tua saya, dan itu
merupakan satu di antara benda-benda peninggalan itu."
"Nah,
Ayah jangan memandang rendah kepada Sun-koko!" Eng Eng juga berseru.
Ia bangga
sekali walau pun diam-diam ia juga merasa heran bahwa kekasihnya memiliki
simpanan benda yang sedemikian langka dan berharga, yang dikatakannya tadi
‘tidak berharga’. Kalau kalung seperti itu tidak berharga, lalu bagaimana yang
berharga itu?
Sesudah
memeriksa benda berharga itu, Siangkoan Kok lalu menyerahkannya kepada
isterinya yang kini mendapat giliran mengaguminya bersama Eng Eng, lalu dia
berkata kepada pemuda itu. “Baik, tanda mata itu kami terima dan kami anggap
cukup pantas. Sekarang pergilah untuk mengirim utusan dan wali untuk melakukan
pinangan resmi, kemudian aturlah supaya dalam pesta pernikahannya, keluarga
kaisar dapat hadir. Apa bila engkau membohongi kami, awas, aku tidak akan
mengampunimu."
"Baik,
Locianpwe. Nah, saya minta diri. Eng-moi, aku pergi dulu dan doakan saja agar
usahaku berhasil."
"Selamat
jalan, Koko, dan jangan terlalu lama membiarkan aku menunggumu di sini,"
kata gadis itu.
Setelah
memberi hormat, Cia Ceng Sun lalu pergi meninggalkan rumah itu.
Tiba-tiba
Siangkoan Kok berkata kepada puterinya, "Eng Eng, aku mempunyai urusan
penting, karena itu engkau harus dapat mewakill aku. Kau bawa beberapa anak
buah yang boleh diandalkan, dan kau bayangi pemuda itu."
"Ayah!
Apa artinya ini? Kami sudah saling mencinta!"
"Anak
bodoh! Justru karena engkau mencintanya, engkau harus mengenal betul siapa dia!
Bayangi dia dan buktikan sendiri bagaimana cara dia berusaha untuk kelak dapat
menghadirkan keluarga istana di dalam pesta pernikahanmu. Lebih baik kita
waspada, jangan sampai kita dibohongi dan ditipu. Mengerti? Jangan percaya dulu
sebelum kita melihat buktinya, betapa pun besar cintamu kepadanya. Engkau tidak
ingin kelak hidup sengsara, bukan? Dan ingat, engkau bayangi dia, jangan bantu
dan jangan perlihatkan diri, jangan khianati ayahmu karena semua ini demi
kebaikan masa depanmu sendiri."
Eng Eng
mengerti dan dia mengangguk. Bahkan diam-diam dia merasa gembira karena dengan
membayangi Cia Ceng Sun, berarti dia selalu dekat dengan kekasihnya itu, biar
pun dia tidak boleh memperlihatkan diri. Dan memang perlu untuk mengetahui
siapakah sebenarnya kekasihnya itu yang menyanggupi ayahnya untuk menghadirkan
keluarga kaisar dalam pesta pernikahannya!
Dia pun
cepat berkemas, lalu mengajak empat orang pelayannya yang ia percaya, yaitu
empat orang gadis yang berpakaian kuning, merah, biru dan putih. Mereka berlima
lalu segera meninggalkan perkampungan Pao-beng-pai dan dengan mudah mereka
dapat menyusul Cia Ceng Sun dan membayangi pemuda itu dari jauh.
Cia Ceng Sun
sudah keluar dari Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) melalui jalan keluar yang
sudah diberi tanda-tanda sehingga dia tidak akan tersesat ke dalam daerah yang
berbahaya penuh rahasia, dan dia kini tiba di lereng paling rendah dari Kwi-san
(Bukit Setan). Sunyi saja di situ. Matahari sudah naik tinggi dan sinarnya
mulai terasa hangat di badan.
Tiba-tiba
Cia Ceng Sun yang penglihatan dan pendengarannya tajam dan peka, melihat
berkelebatnya bayangan di balik semak-semak di sebelah kirinya. Dia berhenti,
menoleh ke kiri dan membentak.
"Siapa
mengintai di sana?! Keluarlah dan jangan bersembunyi seperti binatang
liar!"
Sesosok
bayangan melompat keluar dari kiri, disusul bayangan lain melayang dari sisi
kanan dan dia sudah berhadapan dengan dua orang laki-laki yang berusia kurang
lebih empat puluh lima tahun. Dua orang itu cepat-cepat memberi hormat
kepadanya dengan berlutut sebelah kaki.
"Mohon
maaf kalau hamba berdua mengejutkan hati Pangeran," kata seorang di antara
mereka yang kumisnya tebal.
"Hamba
berdua diutus ayah Paduka, Pangeran Cia Yan, untuk menjemput Paduka dan
mengawal Paduka pulang sekarang juga karena ada urusan penting," kata
orang ke dua yang kepalanya botak.
"Ssttttt!"
Pangeran Cia Sun atau Cia Ceng Sun menaruh telunjuk ke depan bibir untuk
memberi isyarat agar dua orang itu menahan kata-kata mereka, kemudian menoleh
ke sekeliling.
"Harap
Paduka jangan khawatir, Pangeran. Kami berdua telah melakukan pemeriksaan dan
tempat ini sangat sunyi," kata si kumis tebal.
"Andai
kata ada yang melihatnya juga, siapa yang akan berani mengganggu Paduka?"
sambung si botak.
Tentu saja
kedua orang pengawal istana ini merasa heran melihat sikap sang pangeran.
Mengapa mesti bersikap begitu hati-hati dan takut? Dia seorang pangeran. Siapa
akan berani mengganggunya tentu akan berhadapan dengan pasukan pemerintah!
Pangeran Cia
Sun mengerutkan alis. "Ada urusan penting apakah sampai kalian diutus
mencari aku? Aku bisa pulang sendiri!" katanya tidak senang. "Pula,
bagaimana kalian dapat tahu bahwa aku berada di sini?"
Si kumis
tebal tersenyum bangga. "Pangeran, tak percuma kami berdua menjadi jagoan
istana, pengawal-pengawal yang dipercaya. Pada waktu Paduka pergi, ayah Paduka
Pangeran Cia Yan memerintahkan kami berdua untuk membayangi Paduka dari jauh
dan menjaga keselamatan Paduka. Tugas ini amat mudah karena Paduka memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan cukup kuat untuk mampu membela diri sendiri. Maka
kami hanya menyebar anak buah supaya membayangi dari jauh. Kami mengetahui
bahwa Paduka hadir pula dalam pertemuan Pao-beng-pai, walau pun kami tidak
mungkin dapat masuk ke tempat berbahaya itu."
"Untung
kalian tidak masuk. Bila hal itu terjadi, selain kalian celaka, tentu
penyamaranku akan gagal pula. Lalu bagaimana?" tanya sang pangeran.
Kini si
Botak yang melanjutkan. "Kami merasa sangat khawatir karena setelah semua
tamu keluar dari Ban-kwi-tok, Paduka tidak keluar-keluar. Kami merasa bahwa
tentu ada sesuatu yang terjadi, maka cepat kami mengirim laporan kepada ayah
Paduka. Kami menerima perintah agar menjemput Paduka dan mengajak Paduka pulang
secepatnya. Ayah Paduka tidak berkenan mendengar Paduka bergaul dengan
orang-orang kangouw yang mencurigakan itu, juga Paduka ditunggu karena ada tamu
penting."
"Siapa
tamu penting itu?"
Dua orang
pengawal itu saling pandang dan tersenyum penuh arti. "Paduka tentu akan
senang sekali kalau tiba di rumah. Tunangan Paduka sudah menunggu bersama orang
tuanya."
"Tunanganku
? Jangan bicara sembarangan!"
"Hamba
tidak berbohong. Pendekar wanita Si Bangau Merah….”
“Ahhh!
Sudahlah, kalian ini sungguh menjengkelkan. Bukankah kalian juga tahu bahwa aku
pandai menjaga diri sendiri? Seperti anak kecil saja, di jemput dan
dikawal!"
Tiba-tiba
sang pangeran terkejut dan membalikkan tubuh dengan cepat, juga dua orang
pengawalnya memutar tubuh ke kanan dan terbelalak. Di situ, di hadapan mereka,
telah berdiri lima orang gadis yang cantik-cantik, yang empat orang berpakaian
empat macam warna, dan yang berdiri paling depan luar biasa cantiknya.
Pakaiannya
berkembang, rambutnya digelung ke atas dengan dihias sebuah tiara kecil, tangan
kirinya memegang sebatang hudtim atau kebutan berbulu merah dengan gagang emas.
Sepasang matanya mencorong memandang kepada Pangeran Cia Sun seperti
mengeluarkan api!
"Hmmm…
Pangeran Cia Sun!" terdengar suaranya dingin sekali. "Menyerahlah
engkau untuk menjadi tawanan kami!"
"Eng-moi
!" Pangeran Cia Sun berseru sambil melangkah maju untuk mendekati gadis
kekasihnya itu.
"Diam!
Engkau tak berhak menyebutku seperti itu!" bentak Siangkoan Eng marah.
Si kumis
tebal dan si botak menjadi marah. Mereka meloncat ke depan Pangeran Cia Sun
seperti melindunginya dan menghadapi lima orang gadis cantik itu.
"Apakah
kalian telah menjadi gila? Beliau ini adalah Pangeran Cia Sun, cucu Sribaginda
Kaisar! Beranikah kalian bersikap kurang hormat kepada beliau? Apakah kalian
sudah bosan hidup?" Sebelum selesai berkata, kedua orang pengawal itu
sudah mencabut pedang mereka untuk melindungi sang pangeran.
"Bereskan
mereka!" kata Siangkoan Eng.
Empat orang
pelayannya telah berloncatan menghadapi dua orang pengawal itu sambil mencabut
pedang mereka.
"Kalian
yang sudah bosan hidup!" bentak nona baju kuning.
Nona baju
kuning itu lalu memimpin penyerangan kepada dua orang jagoan istana itu.
Terjadilah pertandingan seru dan hebat. Dua orang jagoan istana itu terkejut
setengah mati karena mendapat kenyataan bahwa empat orang gadis cantik itu
lihai bukan main dalam menggerakkan pedang mereka, dan sebentar saja mereka
berdua terdesak dan terkepung, harus memutar pedang secepatnya untuk melindungi
diri.
Sementara
itu, Siangkoan Eng melangkah maju menghampiri Pangeran Cia Sun, lantas
membentak lagi. "Menyerahtah atau terpaksa aku akan menggunakan
kekerasan!"
"Eng-moi,
ingatlah aku…aku.."
"Tidak
perlu banyak cakap lagi!" bentak Siangkoan Eng.
Siangkoan
Eng sudah menyerang dengan kebutannya, menotok ke arah leher Cia Sun. Pangeran
ini mengelak, akan tetapi Eng Eng menyerang terus, bahkan semakin hebat.
"Eng-moi…
ahh, engkau keterlaluan, tidak memberi kesempatan kepadaku," kata sang
pangeran yang terus mengelak sampai beberapa kali.
"Engkau
mata-mata busuk, pengkhianat, manusia berhati palsu, tidak perlu bicara lagi!"
Sekarang
penyerangan semakin hebat sehingga terpaksa Pangeran Cia Sun menangkis
cengkeraman tangan kanan gadis itu. Begitu kedua lengan saling bertemu, dia
hampir terjengkang! Cia Sun amat terkejut dan baru dia yakin benar bahwa dalam
pertandingan tempo hari, gadis itu selalu mengalah. Sekarang buktinya,
pertemuan tenaga mereka membuktikan bahwa gadis itu jauh lebih kuat dari
padanya.
Kini Cia Sun
melawan setengah hati, tidak mau membalas serangan, hanya mengelak dan
menangkis saja. "Engkau keliru, Eng-moi. Aku memang pangeran yang menyamar
menjadi orang biasa untuk dapat leluasa memperdalam pengetahuan dan pengalaman.
Aku tidak berniat buruk, aku bertemu denganmu dan jatuh cinta."
Karena
berbicara, maka pertahanan pangeran itu kurang kuat dan sebuah totokan jari
tangan kanan Eng Eng membuat dia terkulai dan roboh lemas tak mampu bergerak
lagi! Dan pada saat itu pun, dua orang pengawal itu roboh mandi darah dan tewas
di ujung pedang empat orang gadis pelayan Eng Eng.
"Belenggu
kedua tangannya dan bawa pulang, masukkan ke dalam kamar tahanan dan jangan
ganggu dia sampai ayah pulang," katanya kepada empat orang gadis pelayan
itu.
Empat gadis
pelayan itu segera meringkus Cia Sun yang sudah tidak mampu bergerak,
membelenggu kedua tangannya ke belakang, lalu menggotongnya seperti seekor
kijang yang baru saja ditangkap oleh sekawanan pemburu. Mayat kedua orang
pengawal itu ditinggalkan begitu saja oleh mereka.
Sekitar
sepuluh menit kemudian, barulah beberapa orang muncul dan membawa pergi dua
jenazah jagoan istana itu. Mereka adalah anak buah yang tadi tidak berani
muncul. Sang pangeran yang perkasa bersama dua orang jagoan istana itu saja
tidak mampu menandingi lawan, apa lagi mereka yang hanya anak buah biasa.
Dari jauh
goa itu nampak hitam gelap, walau pun pada saat itu matahari telah tinggi dan
bersinar seterang-terangnya. Tengah hari itu, Yo Han tiba di depan goa di
lereng bukit yang menjadi tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te seperti yang
sudah diceritakan oleh Siangkoan Kok kepadanya.
Dengan sinar
matahari yang sangat terang, maka setelah tiba di depan goa, ternyata tidak
begitu gelap seperti nampaknya dari jauh. Inilah salah satu goa yang terbesar
dan merupakan sebuah ruangan depan, oleh karena di situ terdapat
perabot-perabot seperti bangku dan kursi. Goa itu seperti sebuah rumah besar
saja. Di sebelah dalam terdapat sebuah pintu kayu yang memisahkan ruangan depan
dengan ruangan dalam.
Beberapa
kali Yo Han memanggil-manggil ke arah dalam goa, akan tetapi tidak terdapat
jawaban. Dia tidak berani lancang memasuki tempat tinggal orang lain tanpa
diketahui oleh pemiliknya. Mungkin goa ini merupakan terowongan yang dalam dan
penghuninya berada di bagian belakang sehingga tidak mendengar panggilannya,
pikirnya. Dia lalu mengerahkan khikang dan berseru dengan suara yang seperti
menembus ke seluruh ruangan di dalam goa terowongan itu.
"Tiat-liong
Sam-heng-te! Harap suka keluar untuk bicara dengan aku, Yo Han."
Suara itu
bergema dan gemanya terdengar dari luar. Akan tetapi tetap saja tidak ada
jawaban. Tentu saja sedang keluar, pikir Yo Han. Ia teringat bahwa anak yang
diculik itu kabarnya masih hidup dan berada di sini pula. Kebetulan! Kalau
Tiat-liong Sam heng-te keluar, tentu anak itu berada seorang diri saja! Inilah
kesempatan yang amat baik untuk mengajaknya pergi dari sini, kembali kepada
orang tuanya.
"Sim
Hui Eng! Apakah engkau berada di dalam?" ia berteriak lagi dengan
pengerahan khikang.
Dan sekarang
ada tanggapan dari dalam! Ada suara langkah kaki menuju keluar. Daun pintu itu
terbuka sedikit dan nampaklah wajah seorang gadis cantik mengintai dari balik
daun pintu itu.
"Nona,
aku ingin bicara denganmu!"
Yo Han
berseru. Akan tetapi wajah itu segera lenyap dari balik pintu dan Yo Han cepat
meloncat ke dalam goa lalu lari mengejar. Gadis itu kini berhenti di ruangan
tengah dan tidak lari lagi, melainkan memandangnya dengan amat heran ketika Yo
Han masuk ke ruangan itu.
"Mengapa
engkau masuk ke sini ?" Kini gadis itu menegur, suaranya mengandung rasa
takut. "Jangan masuk, nanti ketiga orang ayahku marah!"
Tiga orang
ayah! Yo Han merasa kasihan sekali. Agaknya gadis itu seperti orang yang
bingung, bahkan mengaku mempunyai tiga orang ayah. Mana mungkin seorang gadis
mempunyai tiga orang ayah? Sudah jelas, pasti ini yang namanya Sim Hui Eng,
puteri bibinya. Hatinya pun terharu.
"Aku
mau bicara denganmu," kata pula Yo Han sambil mendekat.
"Jangan
masuk, nanti ayah marah. Dan aku tentu akan dihukum!"
Yo Han
mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. Tentu tiga orang penculik itu bersikap
kejam terhadap gadis ini, pikirnya.
"Kalau
begitu, mari kita keluar dan bicara di luar supaya ayahmu tidak marah,"
katanya.
Gadis itu
mengangguk dan ketika Yo Han melangkah keluar, ia mengikuti. Akan tetapi,
kembali gadis itu berhenti, bahkan kini masuk ke dalam sebuah ruangan yang
berada di sebelah kiri. Yo Han menengok, dan melihat gadis itu berhenti lagi
bahkan memasuki sebuah ruangan yang agak lebih terang, dia pun melangkah
kembali menghampiri.
"Nona,
kenapa engkau berhenti?"
Gadis itu
kelihatan gelisah dan mengerutkan alisnya, pandang matanya tidak percaya dan
curiga. "Mau bicara apa sih dengan aku? Aku tidak mengenalmu!"
"Akan
tetapi aku mengenalmu. Engkau tentu Sim Hui Eng."
Gadis yang
manis itu menggeleng kepala. "Namaku bukan Sim Hui Eng dan aku tidak
mengenalmu.”
"Mungkin
engkau sendiri tidak tahu bahwa namamu yang sebenarnya adalah Sim Hui Eng
karena engkau diculik orang sejak kecil. Nona, aku hampir yakin bahwa engkaulah
gadis yang kucari, dan aku dapat membuktikan kebenaran hal itu."
"Hemmm,
apakah bukti itu?"
"Kalau
engkau mau memperlihatkan pundak kirimu dan tapak kaki kananmu kepadaku, di
sana ada tanda-tandanya."
"Ihhh,
engkau orang yang kurang ajar! Bagaimana mungkin aku dapat memperlihatkan
pundak dan kakiku kepadamu?" Gadis itu berseru marah sehingga mukanya
berubah kemerahan.
Yo Han
berpikir. Memang sulit juga. Akan tetapi, agaknya Tiat-liong Sam-heng-te, tiga
orang yang oleh gadis itu disebut ayah, sedang tidak berada di situ dan ini
merupakan peluang yang baik sekali. Dia harus dapat melihat bukti itu dan kalau
gadis itu tidak mau memperlihatkannya, dia harus memaksanya. Tidak ada lain
jalan. Kalau tiga orang yang diakui ayah gadis itu berada di situ, tentu hal
ini akan lebih sulit untuk dilaksanakan. Dia harus memeriksa pundak dan kaki
gadis itu agar yakin apakah dugaannya bahwa gadis itu Sim Hui Eng itu benar.
"Nona,
aku tidak bermaksud kurang ajar. Akan tetapi aku harus dapat melihat bukti Itu,
apakah pundak dan kakimu ada tanda-tanda, kelahiran itu ataukah tidak,"
katanya dan dia pun cepat memasuki ruangan yang terang itu.
Gadis itu
menyambutnya dengan serangan pisau yang tadi disembunyikan di belakang
tubuhnya. Yo Han tidak merasa heran. Tentu gadis ini salah paham dan menganggap
dia hendak kurang ajar.
Akan tetapi
karena dia tahu bahwa tanpa paksaan, sukar untuk dapat melihat kaki dan pundak
seorang gadis, dia pun mengelak dan begitu tangan yang memegang pisau itu
menyambar lewat, dia sudah menangkap lengan kanan yang memegang pisau itu dan
secepat kilat jari tangan kanannya menotok sehingga gadis itu tidak mampu
bergerak lagi! la tentu roboh kalau saja Yo Han tidak cepat merangkulnya dan
merebahkannya di atas lantai.
Pada saat
dia merangkul itulah, dia mendengar suara yang aneh di belakangnya. Dia menoleh
dan terkejut melihat betapa jalan masuk ke ruangan itu, tiba-tiba saja tertutup
oleh jeruji besi yang meluncur dari atas. Karena dia sedang merangkul tubuh
gadis itu, maka dia tidak sempat lagi untuk meloloskan diri, dan dia pun
terkurung dalam ruangan itu bersama gadis yang masih tertotok.
Celaka,
tentu mereka yang disebut Tiat-liong Sam-heng-te itu yang menjebaknya, sebab
mengira dia akan kurang ajar terhadap puteri mereka. Akan tetapi dia dapat
memberi penjelasan nanti dan begitu kedua tangannya bergerak, baju di pundak
kiri gadis itu dan sepatu di kaki kanannya telah terbuka. Bajunya dia robek dan
sepatunya dia lepaskan.
Akan tetapi,
matanya terbelalak ketika melihat kulit pundak dan kulit telapak kaki yang
putih mulus tanpa cacat sedikit pun! Wah mungkin dia lupa, pikirnya.
Jangan-jangan terbalik, pundak kanan dan kaki kiri yang harus dia periksa!
Tanpa banyak
ragu lagi, Yo Han kembali merobek baju di pundak kanan dan melepas sepatu yang
kiri dan dia tertegun. Kulit pundak kanan dan kaki kiri itu pun putih mulus,
tidak terdapat tanda apa pun seperti yang diharapkan dan disangkanya. Dia telah
keliru!
Kalau
begitu, Siangkoan Kok telah berbohong kepadanya. Dan ini tentu berarti suatu
tipuan, suatu jebakan! Cepat ia meloncat berdiri untuk mencoba keluar dari situ
dengan menjebol jeruji besi, akan tetapi pada saat itu juga, dari arah pintu,
kanan kiri dan atas, menyembur masuk asap yang kekuningan.
Yo Han
menahan napas dan memaksa diri mendekati jeruji besi untuk menjebolnya. Akan
tetapi, di balik asap tebal nampak orang-orang yang menggunakan tombak yang
ditusukkan ke dalam melalui celah-celah jeruji sehingga terpaksa dia mundur
lagi.
Cepat ia
memeriksa ke belakang, kanan dan kiri, akan tetapi dinding goa itu merupakan
dinding batu alam, entah berapa tebalnya. Tidak ada jalan lari! Dan dia pun tak
mungkin menahan napas terus-terusan. Dia mulai bernapas dan asap sudah memenuhi
goa itu. Yo Han terbatuk-batuk, lalu mencium bau yang masam yang menyesakkan
dada dan ia pun terguling roboh. Pingsan.
*************
Yo Han
bermimpi. Dalam mimpi itu ia mengejar-ngejar seorang gadis cantik yang dapat
berlari kuat sekali, juga kecepatan larinya luar biasa sekali. Akan tetapi
akhirnya, di puncak sebuah bukit, dia dapat menyusul dan menangkap gadis itu,
dirangkulnya dari belakang, kemudian dia merobek baju gadis itu! Bukan untuk
apa-apa melainkan untuk melihat pundaknya! Dia melihat sepasang pundak yang
putih mulus, kemudian gadis itu menendangnya dan dia jatuh terjungkal ke dalam
jurang yang dalam sekali!
Dia membuka
matanya. Tidak, dia tidak mati, tidak jatuh ke jurang. Lalu dia teringat.
Heran, dia tidak berada di lantai batu, tidak berada di ruangan goa lagi, walau
pun masih ada pintu jeruji besi di depannya. Dia rebah di atas lantai ubin, di
sebuah kamar yang cukup luas, kamar yang tidak berjendela, akan tetapi pintunya
berjeruji amat kuat dan di luar pintu terdapat banyak penjaga dengan senjata
tajam dan runcing di tangan. Dia berada dalam tahanan!
Yo Han
bangkit duduk dan terdengar gerakan orang di belakangnya, disusul suara tawa
orang itu, tawa kecil yang bukan mengejek, bukan pula mentertawakan, tetapi
tertawa karena merasa lucu. Ia cepat-cepat menengok dan melihat orang yang
dikenalnya, yaitu pemuda bernama Cia Ceng Sun yang pernah bersama dia menjadi
tamu kehormatan keluarga Siangkoan atau perkumpulan Pao-beng-pai!
"Kiranya
engkau juga di sini, saudara Cia Ceng Sun. Dan kenapa pula engkau tertawa?
Melihat tempat ini, jelas bahwa kita berada di dalam kamar tahanan. Mengapa
engkau malah tertawa?"
Yo Han
bangkit berdiri dan menghampiri pemuda itu yang duduk di depan kayu panjang,
lalu duduk di sampingnya.
Cia Ceng Sun
menahan tawanya dan menepuk pundak Yo Han. "He-heh-heh, Yo-toako, lucu
akan tetapi menyenangkan melihat engkau dibawa masuk dalam keadaan pingsan ke
kamar ini. Berarti aku mempunyai teman yang menyenangkan. Lucunya, kita berdua
yang dipilih oleh Pao-beng-pai menjadi tamu kehormatan dan sekutu, dan kita
berdua pula yang kini menjadi tawanan. Bukankah itu lucu sekali?"
Yo Han kagum
melihat betapa pemuda itu dalam tawanan masih mampu berkelakar dan tertawa
demikian gembira. Wajah yang tampan itu sedikit pun juga tak membayangkan
perasaan takut, bahkan agaknya pengalaman ini amat menyenangkan hatinya.
"Saudara
Cia, kenapa engkau sampai ditawan? Bukankah Siangkoan Kok dan terutama sekali
Siangkoan Siocia (Nona Siangkoan) amat suka padamu?"
Cia Ceng Sun
menarik napas panjang, namun wajahnya masih cerah. "Ini merupakan rahasia
besar yang sukar untuk aku ceritakan kepadamu. Akan tetapi mengapa engkau
sendiri yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali sampai dapat tertawan
mereka? Ini baru aneh!"
Yo Han
memandang dengan serius. "Saudara Cia, kita ini senasib. Bahkan mungkin
sekali kita berdua akan terancam bahaya maut. Jika kita tidak bekerja sama,
bagaimana mungkin akan mampu lolos dari ancaman bahaya? Dan untuk dapat bekerja
sama, kita lebih dulu haruslah dapat saling percaya, bukan?"
Cia Ceng Sun
mengangguk. "Engkau benar sekali, Yo-toako."
"Nah,
aku percaya padamu, apakah engkau tidak percaya padaku sehingga tidak dapat
menceritakan keadaanmu padaku? Dengan mengetahui keadaan kita masing-masing,
barulah kita dapat bekerja sama."
"Kalau
engkau percaya padaku, nah, ceritakanlah mengapa engkau ditawan, Yo-toako."
Yo Han
menghela napas. Pemuda ini selain cerdik, juga agaknya hendak merahasiakan
dirinya. Dia harus memperlihatkan kejujuran dulu supaya pemuda itu benar-benar
dapat percaya padanya.
"Baiklah.
Namaku memang Yo Han dan seperti telah kau ketahui dalam pertemuan itu, memang
aku adalah seorang tokoh Thian-li-pang, bahkan dianggap sebagai pimpinan. Hanya
sikapku memusuhi tiga keluarga besar para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan
Lembah Siluman adalah palsu. Aku sengaja memperlihatkan sikap bermusuhan karena
sedang menyelidiki hilangnya seorang anak dari ketiga keluarga besar itu yang
terjadi dua puluh tahun yang lalu."
Ceng Sun
tertarik sekali. "Wah, sungguh menarik dan aneh. Bagaimana mungkin dapat
mencari anak hilang yang sudah lewat dua puluh tahun? Anak siapa yang hilang
itu dan bagaimana caranya engkau hendak mencarinya, Yo-toako?"
Yo Han lalu
bercerita mengenai hilangnya puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw dan
isterinya, yaitu bibi gurunya yang bernama Can Bi Lan, yang hilang diculik orang
dua puluh tahun yang lalu.
"Itulah
sebabnya aku sengaja menyatakan permusuhanku terhadap suami isteri itu, karena
aku menduga bahwa penculiknya tentulah musuh mereka dan musuh mereka itu siapa
lagi kalau bukan tokoh kang-ouw, tokoh sesat yang lihai? Aku sengaja memancing
untuk mencari penculik itu. Pada waktu kuceritakan hal ini kepada Siangkoan
Kok, dia mengatakan bahwa yang menculik puteri dari suami isteri pendekar itu
adalah Tiat-liong Sam-heng-te, dan memberi tahu di mana tiga orang tokoh sesat
itu tinggal. Aku segera ke sana dan bertemu seorang gadis yang tentu saja
kukira anak yang hilang itu. Aku mengajak ia bicara dan kepadanya aku mengaku
terus terang bahwa aku mencari anak yang hilang dua puluh tahun yang lalu. Aku
bahkan memaksa membuka bajunya dan sepatunya untuk menemukan tanda kelahiran di
pundak dan kaki. Akan tetapi ternyata gadis itu bukan anak yang kucari, dan
ternyata ia adalah umpan yang sengaja dipasang oleh Pao-beng-pai untuk menjebak
dan menangkap aku."
Ceng Sun
tertawa geli. "He-he-heh, orang-orang Pao-beng-pai memang cerdik dan licik
bukan main. Lalu bagaimana cara mereka dapat menangkap dan membuatmu pingsan,
Toako?"
Yo Han lalu
menceritakan betapa dia dijebak dan ruangan dalam goa tertutup jeruji besi,
kemudian ada asap bius yang menyerangnya sehingga dia akhirnya roboh pingsan.
"Agaknya
Siangkoan Kok memang sudah mencurigaiku atau mendengar tentang sepak terjangku
sebagai Pendekar Tangan Sakti, maka dia memasang jebakan itu. Aku terlalu yakin
bahwa gadis itu benar puteri Paman Sim Houw, maka aku ceroboh dan bodoh,
menceritakan maksudku hingga aku ketahuan dan dijebak. Kini aku telah
menceritakan semua dengan terus terang kepadamu, Saudara Cia. Engkau sudah
mengetahui siapa aku dan mengapa aku berada di sini, mengapa pula aku ditangkap.
Tiba giliranmu untuk menceritakan siapa adanya engkau dan mengapa pula engkau
berada di sini sehingga akhirnya ditawan juga."
"Yo-toako,
ini merupakan rahasia besar yang amat gawat dan hanya dapat kuceritakan kepada
orang yang benar-benar dapat kupercaya."
Yo Han
mengerutkan alisnya. "Saudara Cia! Apakah engkau tidak percaya kepadaku,
padahal aku sudah menceritakan segala rahasiaku kepadamu yang berarti aku
percaya padamu?"
"Bukan
begitu, Yo-twako. Akan tetapi karena rahasiaku amat besar dan gawat, aku tidak
boleh bercerita kepada orang lain kecuali seorang saudaraku. Nah, kalau engkau
mau mengangkat saudara dengan aku, barulah aku mau bercerita."
Yo Han
mengerutkan alisnya. Ia kagum dan suka kepada pemuda ini, akan tetapi sama
sekali tak pernah bermimpi akan mengangkat saudara! Akan tetapi, mereka berdua
kini menjadi tawanan dan nyawa mereka terancam, kalau tak ada saling percaya
dan saling pengertian, maka akan sukar bekerja sama. Padahal, dengan kerja sama
pun belum tentu mereka akan dapat lolos menghadapi Pao-beng-pai yang memiliki
banyak anggota dan amat kuat itu, apa lagi memiliki pimpinan yang berilmu
tinggi.
“Baiklah,"
akhirnya dia berkata.
"Bagus,
marilah kita bersumpah di sini saja, Toako," Ceng Sun berkata dan mereka
pun berlutut di atas pembaringan.
Yo Han
segera mengucapkan sumpahnya. "Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat
ini, saya menganggap saudara Cia Ceng Sun…"
"Namaku
yang sebenarnya Cia Sun, Yo-twako," pemuda itu memotong.
Yo Han
membuka mata dan menoleh. Temannya itu juga berlutut di sebelahnya. Nama Cia
Sun ini tidak berarti apa-apa baginya. Dia tidak mengenal nama Cia Sun seperti
juga dia tidak mengenal nama Cia Ceng Sun. Akan tetapi dia merasa seolah-olah
ada sesuatu yang aneh pada kedua nama itu, entah apanya. Dia tak peduli dan
mengulang.
"Saya,
Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini saya menganggap saudara Cia Sun sebagai
adik angkat saya, akan saling memberi dan saling mengasihi seperti kakak dan
adik kandung."
Cia Sun
mengangguk-angguk, kemudian ia pun mengucapkan sumpahnya seperti yang diucapkan
Yo Han. Setelah itu, mereka lalu turun dari pembaringan dan saling memberi
hormat.
Cia Sun
berkata lebih dulu sambil memberi hormat. "Yo-toako, terimalah hormat
adikmu Cia Sun."
"Cia-siauwte,
aku merasa berterima kasih sekali. Nah, sekarang, kau ceritakanlah apa yang
sebenarnya terjadi dengan dirimu supaya kakakmu ini mengetahui segalanya dan
kita dapat saling membantu."
"Mari
kita duduk kembali di pembaringan itu."
Mereka
kemudian duduk di tepi pembaringan dan Cia Sun mulai dengan pengakuannya.
"Namaku memang benar Cia Sun dan kalau engkau tidak mengenal nama ini
adalah karena aku hanyalah putera Pangeran Cia Yan yang tidak begitu terkenal
di luar istana."
"Ahhh,
pantas…!" Yo Han berkata sambil menepuk pahanya.
"Apanya
yang pantas?"
"Ketika
mendengar she Cia, aku sudah merasa aneh, seperti ada sesuatu yang kukenal atau
yang menarik. Kiranya Paduka adalah cucu Sribaginda Kaisar!"
"Hushhh!
Begitukah sikap seorang kakak terhadap adiknya? Yo-toako, aku akan merasa
terhina kalau kakakku sendiri menyebutku paduka. Bagimu aku adalah adik Cia
Sun, tanpa embel-embel pangeran dan sebagainya!"
Melihat
sikap pangeran itu yang kelihatan tidak senang, Yo Han cepat-cepat memegang
lengannya. "Maafkan aku, siauwte. Aku hanya bergurau. Nah, coba lanjutkan
ceritamu, mengapa engkau sampai tersesat ke tempat ini dan mengapa pula engkau
ditawan oleh Pao-beng-pai?"
"Aku
memang sedang merantau, Toako. Aku bosan di istana dan karena sejak kecil aku
gemar belajar silat, maka aku ingin sekali mengenal dunia persilatan, mengenal
dunia kang-ouw. Aku lalu mohon pada orang tuaku untuk merantau meluaskan
pengalaman. Demikianlah, aku tiba di sini sesudah mendengar akan pertemuan yang
diadakan oleh Pao-beng-pai."
"Hemmm,
apakah engkau merantau sekalian hendak menyelidiki tentang gerakan anti
pemerintah?"
"Tidak
sama sekali. Hanya kebetulan saja aku mendengar. Akan tetapi, begitu bertemu
dengan nona Siangkoan, seketika aku jatuh cinta!"
Yo Han
tersenyum, akan tetapi sikapnya bersungguh-sungguh. "Aku tak merasa heran,
Cia-te (adik Cia), karena ia memang seorang gadis yang luar biasa. Ilmu
silatnya tinggi, wajahnya cantik jelita dan anggun, tidak kalah oleh puteri yang
mana pun."
"Akan
tetapi, tentunya engkau mengetahui sendiri betapa cintaku kepadanya itu bahkan
menyiksa perasaanku mengingat bahwa ayahnya adalah ketua Pao-beng-pai yang
tentu saja memusuhi keluargaku."
"Hemmm,
memang liku-liku cinta kadang amat membingungkan. Akan tetapi bagaimana dengan
perasaan nona itu sendiri kepadamu, Cia-te?"
"Dia
pun tidak menolak cintaku, bahkan setuju ketika aku mengajukan pinangan secara
langsung kepada ayahnya."
Yo Han
memandang kaget dan kagum. "Engkau berani langsung meminangnya, Cia-te?
Itu membutuhkan keberanian hebat! Meminang puteri orang yang baru saja
dikenalnya! Dan bagaimana tanggapan orang tuanya?"
"Eng-moi
dan ibunya setuju, dan ayahnya mengajukan syarat, minta tanda ikatan dan juga
kelak dalam pesta pernikahan harus dihadiri Kaisar."
"Gila…!"
"Engkau
tahu siapa aku sebenarnya, Twako. Kalau aku menikah, sudah pasti kakekku, Sri
baginda Kaisar, akan menghadirinya. Oleh karena itu, aku menerima syarat itu
dan sebagai tanda pengikat, aku lalu memberikan seuntai kalung mutiara yang
amat mahal harganya."
"Jadi
engkau mengaku sebagai pangeran?"
"Aku
tidak sebodoh itu. Tentu saja aku tidak mengaku sebagai pangeran. Dan Eng-moi
sudah berjanji kepadaku bahwa kelak setelah menikah dengan aku, dia tidak akan
lagi mencampuri urusan pemberontakan dan permusuhan."
"Aihhh,
siauwte! Jika engkau tak mengaku sebagai pangeran, akan tetapi menyanggupi
untuk mendatangkan Sribaginda Kaisar dalam pesta pernikahanmu, hal itu tentu
akan membuat mereka curiga sekali!"
Cia Sun
menghela napas panjang. "Itulah kesalahanku. Aku tidak menduga sedemikian
jauhnya. Aku kemudian berpamit kepada mereka, berjanji untuk mengirim utusan
dan meminang secara resmi. Dalam perjalanan, muncul tanpa kusangka-sangka dua
orang perwira pengawal yang diutus ayah untuk memanggil aku pulang karena aku
ditunggu oleh tunanganku dan keluarganya."
"Ahh,
engkau sudah bertunangan dan engkau masih meminang nona Siangkoan Eng?" Yo
Han bertanya dengan suara mengandung teguran.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment