Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 06
"Kalau
begitu, Yo Taihiap hendak membawa Thian-li-pang supaya bekerja sama dengan
Pao-beng-pai?" tanya Lauw Kang Hui.
"Teecu
tidak mengerti, Suhu. Ada yang aneh dalam sikap Yo Taihiap. Pada saat semua
tamu berpamitan, ketika teecu bertanya kepadanya kalau teecu bisa membantunya,
dia bahkan menyuruh teecu cepat-cepat pergi dan mengatakan agar teecu tak
mencampuri urusan pribadinya di sana."
"Urusan
pribadi?" Lauw Kang Hui bertanya heran.
"Suhu,
kalau benar begitu, tentunya Yo Taihiap tak bermaksud untuk bergabung dengan
Pao-beng-pai untuk urusan perjuangan. Mungkin ia hendak minta bantuan
Pao-beng-pai untuk menghadapi musuh-musuhnya. Kalau teecu tidak salah dengar,
tadi Thio-suheng mengatakan bahwa dia memusuhi para pendekar dari tiga keluarga
besar," kata Seng Bu.
"Hemmm,
mungkin pendapatmu itu benar, Seng Bu. Bagaimana pendapatmu, Thio Cu? Engkau
melihat semua peristiwa di sana, tentu lebih tahu."
"Teecu
kira pendapat sute Seng Bu tadi benar. Ketika memperkenalkan diri, Yo Taihiap
juga menyatakan bahwa dia amat membenci dan memusuhi dua orang, yaitu Pendekar
Suling Naga Sim Houw dan isterinya yang bernama Can Bi Lan, masih bibi guru
sendiri dari Yo Taihiap. Dia mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena kedua
orang itu dan dia mendendam kepada mereka."
"Jelas
bahwa Yo Taihiap memang hendak mengurus persoalan pribadi, maka kita pun tidak
boleh tergesa-gesa bekerja sama dengan Pao-beng-pai," kata Lauw Kang Hui.
"Akan
tetapi, Suhu, bukankah kalau kita bekerja sama dengan perkumpulan yang kuat
itu, maka perjuangan kita akan menjadi lebih berhasil?" Seng Bu bertanya
dengan nada memprotes.
"Sute,
engkau tahu apa? Kita harus mentaati Suhu dan juga menunggu isyarat dari Yo
Taihiap," Lu Sek menegur sute-nya dengan alis berkerut.
Seng Bu
menghela napas. "Baik, maafkan aku, Suci. Oya, Suci, kemarin Suhu memberi
petunjuk agar aku mengajak Suci untuk menjadi lawan berlatih supaya ilmu-ilmu
yang sedang kulatih dapat memperoleh kemajuan." Dia mengalihkan perhatian.
"Aihhh,
Sute. Sekarang Thio-suheng sedang bercerita tentang pengalamannya, engkau malah
membicarakan urusan latihan."
"Maaf,
aku takut lupa..."
Lauw Kang
Hui tertawa. "Ha-ha-ha, memang benar, Lu Sek. Aku sudah terlalu tua untuk
menjadi pasangannya berlatih. Dan hanya engkau yang dapat melayaninya."
Lu Sek
mengangguk dan mengerti. Dia tahu apa yang dimaksudkan oleh sute-nya dan
suhu-nya. Memang, ada dua macam ilmu silat guru mereka, yaitu Tok-jiuaw-kang
dan Kiam-ciang, hanya diajarkan kepada dia dan sute-nya saja. Selain guru
mereka, hanya mereka berdua yang dapat memainkan ilmu itu, maka tentu saja
hanya mereka berdua yang dapat menjadi pasangan berlatih.
"Baik,
kita bicarakan soal latihan itu lain hari saja, Sute," katanya kepada Seng
Bu yang mengangguk sambil tersenyum.
Thio Cu
melanjutkan ceritanya mengenai pengalamannya di pertemuan yang diadakan
Pao-beng-pai itu. Akan tetapi tak ada yang menarik lagi bagi para pendengarnya
karena yang menarik bagi mereka hanyalah tentang Yo Han dan tentang keluarga
Siangkoan.
Tentu saja
Thio Cu sama sekali tidak tahu bahwa pemuda bernama Cia Ceng Sun yang dia
ceritakan itu sesungguhnya adalah seorang pangeran Mancu! Jika saja dia tahu
dan menceritakan hal itu, sudah pasti peristiwa dan kenyataan ini akan menarik
perhatian para pendengarnya.
Demikianlah,
mulai hari ini, walau pun mereka belum ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua
secara resmi, baru dicalonkan, namun Lu Sek dan Lauw Kin makin berkuasa di
Thian-li-pang, sedangkan Lauw Kang Hui hanya menjadi penasehat saja, walau pun
dia masih disebut dan dianggap sebagai ketua.
**************
Ouw Seng Bu
menyelinap ke dalam hutan di kaki Bukit Naga itu, lalu dia duduk di atas batu
besar. Belum sepuluh menit dia duduk, terdengar gerakan orang dan dia pun cepat
menoleh ke arah suara itu. Muncul seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan
yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya penuh brewok.
"Paman
Su, engkau sudah datang? Bagaimana kabarnya?" tanya Seng Bu tanpa turun
dari batu besar.
Laki-laki
itu adalah seorang anggota Thian-li-pang, dan dia pun cepat maju menghampiri
kemudian memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada.
"Ouw
Kongcu (Tuan Muda Ouw), aku ada membawa kabar baik. Pek Sim Siansu sendiri yang
mengirim salam untuk Kongcu dan sebagai tanda persahabatan beliau mengirim
benda ini kepada Kongcu, dengan harapan agar pertengahan bulan depan Kongcu
suka memenuhi undangannya. Kunjungan Kongcu akan disambut dengan gembira."
Tiba-tiba
Seng Bu melirik ke arah kanan. Dia mendengar gerakan orang, meski gerakan itu
hampir tak bersuara. Dia tahu bahwa ada orang yang mengintai dan mendengarkan
percakapannya dengan orang itu. Jantungnya berdebar tegang. Celaka, pikirnya.
Su Kian adalah
bekas kepercayaan mendiang ayahnya yang sampai sekarang masih tetap setia
kepada ayahnya, walau pun ia telah menjadi anggota Thian-li-pang yang ikut
bersumpah untuk kembali ke jalan yang benar dan taat kepada ketua Lauw. Su Kian
merupakan satu-satunya orang yang dipercayanya dan siap membantu supaya ia
dapat menguasai Thian-li-pang dan memimpin perkumpulan ini seperti mendiang
ayahnya dulu, melanjutkan perjuangan ayahnya menentang kerajaan Mancu secara
kekerasan. Dan dia telah mengutus Su Kian untuk menghubungi Pek-lian-kauw dan
menceritakan kepada pimpinan Pek-lian-kauw akan niatnya untuk bekerja sama
setelah dia dapat menguasai Thian-li-pang seluruhnya.
Walau pun
dia tahu bahwa ada orang mempunyai kepandaian tinggi yang mengintai dan
menyaksikan pertemuannya dengan Su Kian, juga mendengar percakapan mereka tadi,
namun Seng Bu bersikap tenang dan mendengarkan laporan Su Kian sampai habis,
bahkan ia menerima benda pemberian ketua Pek-lian-kauw kepadanya. Ketika
buntalan kain kuning itu dibuka isinya adalah sebuah mainan berbentuk seekor
naga yang terbuat dari batu giok! Indah sekali dan tentu berharga mahal bukan
main.
Tiba-tiba
Seng Bu melemparkan benda indah dan mahal itu ke atas tanah dan dia lalu
menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Su Kian sambil memaki-maki dengan
suara nyaring dan marah.
"Su
Kian, berani engkau membujuk aku untuk menerima uluran tangan Pek-lian-kauw?
Engkau pengkhianat, sepantasnya engkau dibunuh!"
Tangannya
bergerak cepat sekali dan Su Kian yang terbelalak matanya dan ternganga
mulutnya itu tidak sempat mengelak, menangkis atau bahkan mengeluarkan suara
apa pun. Totokan itu cepat datangnya dan dia pun terpelanting lemas.
Pada saat
itu, muncul sesosok bayangan berkelebat dan Lu Sek sudah berdiri di sana,
diikuti Lauw Kin dan di belakang mereka masih nampak bayangan beberapa orang
yang berkelebat. Seng Bu hanya mengerling saja, dan pada saat melihat bahwa
yang muncul adalah belasan orang saudara seperguruannya yang dipimpin oleh Lu
Sek, tangannya kembali bergerak ke depan, mencengkeram ke arah kepala Su Kian
dan orang itu pun tewas seketika terkena cengkeraman Tok-jiauw-kang. Mukanya
membiru.
"Sute,
kenapa engkau membunuhnya?" Lu Sek melompat dekat dan menegur Seng Bu.
Seng Bu
mengerutkan alisnya, dia nampak marah sekali. "Pengkhianat ini layak
dibunuh seratus kali!" katanya. "Suci, dia mengkhianati kita. Dia
mengadakan hubungan dengan Pek-lian-kauw, bahkan membujuk aku untuk bekerja
sama dengan Pek-lian-kauw. Lihat, dia hendak menyampaikan pemberian ketua
Pek-lian-kauw kepadaku!"
Dia
membungkuk dan mengambil mainan berbentuk naga dari batu giok tadi dan sekali
mengerahkan tenaga menjempit benda itu di antara kedua tangannya, benda itu pun
remuk berkeping-keping dan dilemparkan ke atas tanah dengan pandang mata muak.
Lu Sek masih
mengerutkan alisnya dan kini semua murid ketua Thian-lipang sudah berada di
situ, menghadapi Seng Bu dengan setengah lingkaran.
"Aku
telah mendengarnya. Akan tetapi, kenapa engkau membunuhnya padahal engkau tadi
sudah merobohkannya dengan totokan?" bertanya pula Lu Sek dengan sinar
mata penuh selidik, sedangkan para tokoh Thian-li-pang lainnya memandang kepada
pemuda itu.
Seng Bu
memandang ke arah mayat Su Kian dengan alis berkerut. Dia amat marah dan kecewa
sekali harus membunuh pembantunya yang paling dipercayanya itu. Terpaksa dia
membunuhnya karena yang menyaksikan pertemuannya dengan Su Kian terlalu banyak.
Tak mungkin dia membunuh belasan orang ini untuk menutupi rahasianya.
Tadi pun dia
sudah sengaja menotoknya, untuk lebih dahulu melihat siapa yang muncul setelah
melakukan pengintaian. Kalau hanya satu dua orang saja yang mengintai, tentu
dia akan membunuh mereka dan memulihkan pembantunya. Akan tetapi yang muncul
belasan orang sehingga dengan hati berat dia terpaksa cepat membunuh Su Kian untuk
membungkamnya dan menyimpan rahasianya.
"Suci,
tadinya aku ingin menangkapnya dan menyeretnya ke depan Suci. Akan tetapi
melihat Suci sudah datang, aku tak dapat menahan kemarahanku dan
membunuhnya!"
"Hemmm,
memang dia pantas dibunuh, akan tetapi kenapa harus begitu tergesa-gesa?
Semestinya engkau membiarkan dia hidup agar dia dapat membuat pengakuan dan
kita akan dapat membongkar semua rahasianya, sudah sampai seberapa jauh ia
melakukan pengkhianatan dan hubungan dengan Pek-lian-kauw. Sekarang dia telah
mati, tentu kita tidak dapat memperoleh keterangan yang berharga."
Melihat
suci-nya menegurnya, Seng Bu menundukkan mukanya. "Maafkan aku, Suci,
dalam kemarahanku, aku tidak ingat lagi akan hal yang penting itu. Akan tetapi,
sebelum aku membunuhnya, dia tadi sudah menceritakan betapa dia mengadakan
hubungan dengan pimpinan Pek-lian-kauw dan betapa Pek-lian-kauw ingin
menyambung kembali hubungannya dengan kita seperti dulu, mengajak kita bekerja
sama untuk menghadapi penjajah. Bahkan dia membujukku dengan hadiah naga kemala
yang katanya diberikan kepadaku oleh Pek Sim Siansu ketua Pek-lian-kauw."
"Sudahlah,
Sute. Kalau kita bekerja sama dengan Pek-lian-kauw, mereka hanya akan menyeret
para anggota kita ke dalam jalan yang sesat, dan melakukan kejahatan demi
keuntungan diri sendiri dengan kedok perjuangan. Su Kian sudah menjadi
pengkhianat, dan dia sudah terhukum mati. Akan tetapi, satu hal yang membuat
aku tidak senang, kenapa engkau melupakan pesan Suhu, Ouw-sute? Lupakah engkau
akan pesan Suhu tentang penggunaan Tok-jiauw-kang? Mengapa engkau mempergunakan
ilmu itu untuk membunuhnya? Dengan pukulan biasa pun engkau akan sanggup
membunuhnya."
Sikap dan
ketegasan serta suara suci-nya membuat Seng Bu diam-diam merasa sangat
tersinggung. Hemmm, baru saja diangkat menjadi calon ketua, sudah begini tinggi
hati dan angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia menunduk menyembunyikan pandang
matanya, mengambil sikap mengalah dan mengaku salah.
"Maaf,
Suci. Karena marah aku menjadi mata gelap dan tanpa sadar mempergunakan ilmu
itu. Karena belum menguasai ilmu itu dengan sempurna maka tadi aku kelepasan
tangan."
Tentu saja
ucapan ini sama sekali bohong, akan tetapi menyenangkan hati Lu Sek yang merasa
bahwa tingkat kepandaian sute-nya yang merupakan orang nomor dua di antara para
murid suhu-nya, masih jauh di bawah tingkatnya sendiri.
"Harap
Suci tidak melapor kepada Suhu agar aku tidak mendapat teguran. Cukup Suci yang
menegurku dan aku sudah menyadari kesalahanku."
"Sudahlah,
lupakan hal itu. Sekarang ceritakan, bagaimana engkau dapat berada di sini dan
mengadakan pertemuan dengan Su Kian. Tadi kami melihat gerakan Su Kian yang
mencurigakan, maka diam-diam kami membayanginya karena memang sudah lama aku
memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan."
"Begini,
Suci. Malam tadi dia menemuiku dan mengatakan bahwa pagi hari ini dia ingin
membicarakan sesuatu yang teramat penting, yang katanya masih menyangkut urusan
Thian-li-pang. Tadinya aku merasa heran mengapa dia tidak bicara secara terbuka
saja, akan tetapi dia mengatakan bahwa hanya aku yang dia percaya, maka dia
minta agar aku datang ke sini sekarang dan dia akan menceritakan kepentingannya
itu. Dapat Suci bayangkan betapa kaget hatiku mendengar pelaporannya tentang hubungannya
dengan Pek-lian-kauw, dan saat ia membujukku untuk mau bekerja sama dengan
Pek-lian-kauw dan memberikan benda itu, aku menjadi marah sekali. Selanjutnya,
Suci mungkin telah mendengar dan melihat sendiri."
Lu Sek
mengangguk-angguk. "Pengalaman ini agar bisa menjadi peringatan kepadamu,
Sute, bahkan kita sama sekali tidak boleh menyimpang dari jalan yang sekarang
diambil Thian-li-pang, sesuai dengan pengarahan Yo Taihiap dan bimbingan Suhu
selama ini."
Yo Taihiap
lagi, Yo Taihiap lagi, demikian Seng Bu mengomel di dalam hatinya. Macam apakah
Yo Han itu sehingga semua orang seolah-olah tunduk dan amat taat padanya?
Bertahun-tahun tak pernah muncul, tidak melakukan sesuatu untuk Thian-li-pang,
akan tetapi semua pimpinan Thian-li-pang selalu menyebut-nyebut namanya penuh
hormat!
Mereka lalu
kembali ke markas Thian-li-pang setelah Lu Sek menyuruh para sute-nya
menguburkan jenazah Su Kian sebagaimana mestinya, di tempat itu juga. Bagi
seorang pengkhianat, tidak ada tempat peristirahatan di makam keluarga
Thian-li-pang!
Seng Bu ikut
pulang dengan wajah biasa, akan tetapi hatinya mengalami tekanan yang berat.
Dia terpaksa harus membunuh Su Kian, satu-satunya orang kepercayaannya di
Thian-li-pang. Bahkan hanya Su Kian yang tahu bahwa dia telah mewarisi ilmu
Bu-kek Hoat-keng. Su Kian pula yang selama ini menjadi perantara baginya untuk
berhubungan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw.
Dia telah
mengambil keputusan untuk mengambil alih pimpinan Thian-li-pang, kemudian
bergabung dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti dulu ketika ayahnya
masih menjadi ketua Thian-li-pang. Dan sudah cukup lama, melalui Su Kian, dia
mengadakan hubungan rahasia dengan para pimpinan Pek-lian-kauw.
Ketika
mereka berjalan pulang, Seng Bu melangkah mendekati Lu Sek yang berjalan
berdampingan dengan Lauw Kin, yang bukan rahasia lagi kini menjadi sahabat baik
dan bahkan kedua orang itu telah merencanakan pernikahan dalam waktu dekat.
Hubungan antara janda dan duda yang tidak mempunyai anak dan masih bersaudara
seperguruan ini direstui oleh Lauw Kang Hui.
"Suci,
aku merasa menyesal sekali atas kejadian tadi...," Seng Bu berkata.
Lu Seng
mengerutkan alisnya dan menoleh, memandang kepada sute-nya itu dengan sinar
mata heran dan penuh selidik. "Sute, apa sih yang mendatangkan perubahan
pada dirimu? Biasanya engkau pendiam, akan tetapi hari ini engkau banyak
bicara. Bukankah urusan itu sudah selesai?"
"Aku
tetap merasa menyesal sekali telah kelepasan tangan, Suci. Hal itu terjadi
karena aku belum menguasai Tok-jiauw-kang sepenuhnya. Aku teringat akan pesan
Suhu agar aku mengajak engkau untuk memberi petunjuk dalam latihan. Maukah
engkau memberi petunjuk kepadaku, Suci?"
"Hemmm,
baiklah. Nanti akan kusediakan waktu untuk itu."
"Bagaimana
kalau besok pagi-pagi sekali, Suci? Aku biasa berlatih di dekat sumur tua yang
ditutup itu. Di sana amat sunyi dan kurasa latihan ini tidak baik bila sampai
terlihat murid lain."
"Baiklah,
besok pagi kusediakan waktu."
"Aku
akan menunggumu pada saat matahari mulai menyingsing, Suci." Tanpa menanti
jawaban suci-nya, Seng Bu kembali menjauhkan diri dan berjalan bersama para
murid Thian-li-pang lainnya.
Setelah Seng
Bu menjauhkan diri, Lauw Kin berkata kepada Lu Sek, "Kulihat Ouw-sute itu
setia kepada Thian-li-pang. Dia tegas dan semangatnya untuk maju besar sekali.
Kita beruntung mendapatkan seorang pembantu seperti dia. Kelak ia boleh
diharapkan untuk membawa Thian-li-pang maju."
Lu Sek
menghela napas. "Tadinya aku juga mengira bahwa Suhu akan mengangkat dia
menjadi calon ketua. Dia memang berbakat dan ilmu silatnya maju pesat, hanya di
bawah tingkatku saja. Akan tetapi, agaknya Suhu melihat bahwa dia masih terlalu
muda dan kadang-kadang wataknya amat aneh. Seperti yang tadi ia lakukan, ia
menggunakan Tok-jiauw-kang untuk membunuh Su Kian, padahal ilmu itu merupakan
ilmu simpanan yang hanya boleh dipergunakan kalau terpaksa menghadapi lawan
berat dan nyawanya terancam saja. Dan dia bahkan mempergunakannya untuk
membunuh seorang anggota Thian-li-pang sendiri begitu saja!"
"Akan
tetapi, pengkhianat itu memang sudah sepatutnya dibunuh."
"Itu
memang benar, akan tetapi dia tak perlu mempergunakan Tok-jiauw-kang. Mungkin
karena ia memang belum menguasai ilmu itu dengan sempurna. Ilmu itu memang amat
sulit, sama sulitnya dengan ilmu Kiam-ciang. Biarlah besok kuberi petunjuk
kepadanya, sesuai dengan perintah Suhu."
Lauw Kin
tidak bicara lagi, namun hatinya mengandung kekhawatiran. Tadi dia seperti
melihat sinar mata yang aneh dari pandang mata Seng Bu terhadap suci-nya,
seperti kilatan mata yang tajam dan dingin.
Ketua lama,
ketua baru beserta wakilnya telah mati dibunuh orang, mati dalam keadaan yang
sangat menyedihkan, dengan seluruh tubuh menjadi hangus. Segera terdengar jerit
tangis dan keadaan menjadi amat gaduh, di samping pertanyaan yang dihujankan
kepada Seng Bu.
"Ouw-sute,
apa yang telah terjadi?"
"Ouw-suheng,
siapa pembunuh mereka?"
Demikian
pertanyaan yang datang dari para suheng-nya, sute-nya atau suci-nya, juga para
paman dan bibi gurunya. Seng Bu mengangkat kedua tangan ke atas.
"Harap
kalian suka tenang dahulu. Dalam keadaan gaduh begini, bagaimana aku dapat
bicara? Tenanglah, tenang dan hentikan lolong dan tangis itu!"
Suaranya
halus namun tegas dan mengandung kekuatan yang membuat semua orang menahan diri
untuk tidak mengeluarkan suara agar dapat mendengarkan dengan jelas. Setiap
orang anggota Thian-li-pang merasa marah, sedih dan ingin sekali tahu apa yang
telah terjadi.
"Tadi
aku bangun pagi-pagi sekali dan berjalan-jalan, seperti sering kulakukan.
Ketika tiba di dekat tempat ini, aku melihat sesosok bayangan berlari cepat
menuruni lereng. Aku segera mengejarnya karena curiga, akan tetapi aku hanya
dapat mengenalnya dari jauh saja. Pagi masih terlampau gelap dan dia menghilang
di dalam hutan di kaki bukit itu. Aku lalu kembali ke sini, untuk melihat
mengapa orang itu datang ke sini dan aku menemukan Suhu, Suci dan Suheng telah
menggeletak dan tak bernyawa lagi. Aku lalu cepat turun dan memukul kentungan
untuk memberi tahu kepada kalian."
"Tapi
siapakah orang yang melarikan diri itu? Apakah dia pembunuh jahanam itu?"
"Meski
pun tidak melihat dia membunuh Suhu bertiga, akan tetapi aku yakin dia yang
membunuh."
"Siapa
dia? Kau tadi mengatakan, mengenalnya dari jauh. Siapakah pembunuh itu?"
"Dia
adalah... Si Tangan Sakti Yo Han!" kata Seng Bu dengan suara tegas.
"Yo
Taihiap...?!"
"Ahh,
tidak mungkin!"
"Bagaimana
dia yang mengangkat Lauw Pangcu menjadi ketua malah membunuhnya?"
"Aku
tidak percaya!"
Riuh rendah
suara mereka yang menyanggah dan menentang keterangan Seng Bu. Tak seorang pun
di antara para anak buah Thian-li-pang percaya bahwa Yo Han yang telah
melakukan pembunuhan terhadap tiga orang pimpinan Thian-li-pang itu.
Kembali Seng
Bu mengangkat kedua tangan ke atas, minta agar semua orang tenang dan
mendengarkannya. Setelah semua orang diam, Seng Bu berkata, "Kalian
percaya atau tidak, akan tetapi aku yakin bahwa Yo Han yang telah membunuh
Suhu, Suci dan Suheng."
"Tapi
engkau tidak melihat dia dengan jelas!"
Kini majulah
Thio Cu, yaitu seorang yang termasuk tokoh Thian-li-pang dan masih adik
seperguruan Lauw Kang Hui walau tingkatnya kalah jauh. Thio Cu ini adalah
seseorang yang mewakili Thian-li-pang ketika menghadiri pertemuan antara para
tokoh di sarang Pao-beng-pai. Dia memberi isyarat kepada semua orang untuk
tidak membuat gaduh lagi.
"Ouw
Seng Bu, bagaimana engkau dapat merasa begitu yakin bahwa Yo Taihiap yang
melakukan pembunuhan itu? Coba jelaskan alasanmu!"
Seng Bu
mengangguk. "Begini, Thio-susiok (paman guru Thio). Kita semua mengetahui
belaka bahwa Yo Han adalah murid mendiang kakek guru Ciu Lam Hok, bukan? Nah,
kakek paman guru Ciu Lam Hok pernah dibuntungi dan dihukum ke dalam sumur tua
oleh kedua kakek guru pendiri Thian-li-pang. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
kalau kini kita mencurigai Yo Han. Dia tentu mendendam kepada Thian-li-pang dan
kini dia datang membunuh para pimpinannya."
Semua orang
terdiam, akan tetapi Thio Cu mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.
"Alasan
itu kurang kuat. Kalau memang dia mendendam kepada Thian-li-pang kenapa tidak
dari dulu dia membasmi Thian-li-pang? Dia bahkan menunjuk suhu Lauw Pangcu
menjadi ketua. Tidak, Seng Bu. Itu bukan merupakan bukti bahwa pembunuhnya
adalah Yo Taihiap."
Mendengar
ucapan Thio Cu ini, para anggota Thian-li-pang menyatakan persetujuan mereka.
"Kalian
minta bukti bahwa pembunuhnya adalah Yo Han? Lihat saja keadaan tiga mayat itu.
Tubuh mereka hangus, jelas akibat pukulan beracun yang sangat hebat. Aku yakin
bahwa hal itu hanyalah dapat dilakukan oleh seseorang yang sudah menguasai
Bu-kek Hoat-keng dan ilmu itu, seperti kita telah mendengarnya, dikuasai oleh Yo
Han ketika dia belajar di dalam sumur. Bukti itu sudah amat kuat. Yo Han yang
membunuh Suhu, Suci dan Suheng. Dan aku yang kelak akan membalaskan sakit hati
ini!"
"Hemmm,
Ouw Seng Bu, jangan takabur kau! Andai kata benar pembunuhnya adalah
Yo-taihiap, jelas bahwa mereka bertiga ini saja tidak mampu mengalahkan Yo
Taihiap, apa lagi engkau! Lagi pula, tidak ada yang dapat membuktikan bahwa
mereka ini tewas karena pukulan Bu-kek Hoat-keng yang dilakukan oleh Yo
Taihiap."
"Thio-suciok,
lupakah engkau bahwa aku adalah pembantu dari ketua baru, mendiang Lu-suci?
Setelah Lu-suci dan Lauw-suheng sebagai ketua dan wakilnya di Thian-li-pang
tewas, maka aku sebagai pimpinan ke tiga, berhak untuk menggantikan mereka
menjadi pemimpin di Thian-li-pang! Nah, dengan demikian, akulah orangnya yang
berhak untuk menyelidiki urusan pembunuhan ini."
Thio Cu
mengerutkan alisnya. "Tidak, urusan ini terlalu besar! Pembunuhan ini
harus dibongkar! Dan tentang pemilihan ketua baru, sebaiknya bila kita menunggu
munculnya Yo Taihiap agar dia yang mengadakan pemilihan ketua baru!"
"Thio-susiok,
aku sudah dipilih Suhu untuk menjadi orang ke tiga di Thian-li-pang, dan engkau
berani memandang rendah kepadaku? Sekarang begini saja. Siapa di antara para
anggota Thian-li-pang yang menyetujui pendapat susiok Thio Cu, silakan berdiri
di belakangnya! Dan yang menganggap aku sebagai pemimpin Thian-li-pang
sehubungan dengan kematian Suhu, Suci dan Suheng, harap jangan mendekati
mereka!"
Ada lima
orang yang kini berdiri di belakang Thio Cu. Mereka adalah orang-orang yang
masih disebut paman guru oleh Seng Bu. Tentu karena mereka merasa lebih tua dan
lebih tinggi kedudukannya sebagai anggota Thian-li-pang, mereka berpihak kepada
Thio Cu. Kini enam orang itu, dipimpin oleh Thio Cu, berdiri berhadapan dengan
Seng Bu.
Melihat
sikap mereka yang menantang, Seng Bu mendadak tertawa sehingga semua orang
terkejut. Suara tawa itu amat menyeramkan, dan kini mereka melihat betapa mata
pemuda itu mencorong aneh, sedangkan senyumnya dingin mengerikan.
"Paman
Thio Cu dan kelima Paman lain, kalian berenam tetap tidak percaya bahwa Yo Han
yang membunuh Suhu, Suci dan Suheng? Tak percaya bahwa ilmu pukulan Bu-kek
Hoat-keng yang telah dipergunakan Yo Han membunuh mereka?"
"Kami
tidak percaya karena tidak ada buktinya. Siapa dapat membuktikan tuduhanmu
itu?" tanya Thio Cu.
"Akulah
orangnya yang dapat membuktikannya! Aku menguasai ilmu itu, bukan hanya Yo Han,
maka aku yakin benar bahwa Yo Han menggunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk
membunuh mereka bertiga!"
Tentu saja
ucapan ini sangat mengejutkan dan mengherankan semua orang. Thio Cu dan
kawan-kawannya mengerutkan alisnya, kemudian memandang aneh kepada Seng Bu,
menyangka bahwa pemuda itu telah menjadi gila.
"Ouw
Seng Bu, jangan engkau bicara yang bukan-bukan. Siapa dapat mempercayai
omonganmu yang seperti orang gila itu?"
Kembali Beng
Bu tertawa dan kini dia menoleh ke arah semua anggota Thian-li-pang.
"Kalian semua lihat baik-baik. Thio Cu dan lima orang ini tetap tidak
percaya. Biarlah mereka membuktikan sendiri dan kalian menjadi saksi. Aku akan
menggunakan Bu-kek Hoat-keng kepada mereka seperti yang dilakukan Yo Han
terhadap Suhu, Suheng dan Suci, dan kalian nanti lihat akibatnya!"
"Seng
Bu, apakah engkau sudah gila?" Thio Cu berseru lagi.
"Kalian
berenam, bersiaplah untuk membuktikan kebenaran tuduhanku!"
Tiba-tiba
pemuda itu mengeluarkan suara melengking yang amat menyeramkan, seperti suara
iblis dari neraka atau seekor binatang buas sedang menderita hebat. Tubuhnya
bergerak ke depan secara aneh, kedua tangannya bergerak seperti orang mabuk.
Thio Cu dan lima orang saudaranya yang mengira Seng Bu telah menjadi gila,
cepat bersiap siaga untuk menangkap dan menundukkan murid keponakan yang
mendadak menjadi gila itu.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kaget perasaan hati mereka pada saat mereka dilanda angin
topan yang dahsyat. Mereka sudah berusaha menangkis, namun semua tangkisan itu
sia-sia belaka, lengan mereka seperti lumpuh dan enam orang itu terkena
tamparan tangan kiri Seng Bu pada dada mereka.
Bagaikan
daun-daun kering yang dihembus angin badai, tubuh mereka terlempar dan
terjengkang, roboh malang-melintang, lalu berkelojotan dan tewas! Dan yang
membuat semua anggota Thian-li-pang terbelalak dan memandang ngeri adalah
ketika mereka melihat betapa wajah dan tubuh enam orang itu menjadi kehitaman dan
hangus!
Seng Bu
telah biasa kembali. Kini dengan penuh wibawa dia berdiri bertolak pinggang,
menghadapi semua anggota Thian-li-pang dan suaranya terdengar halus namun penuh
wibawa. "Ada lagi di antara kalian yang tidak percaya kepadaku bahwa
pembunuh Suhu, Suheng dan Suci adalah Yo Han? Dan apakah ada lagi yang tidak
setuju kalau aku mulai saat ini menjadi ketua Thian-li-pang dan memimpin
kalian?"
Tak ada
seorang pun berani menjawab. Peristiwa itu terlampau hebat dan semua orang
masih tertegun, hanya berdiri diam seperti patung.
"Hayo
jawab, apakah ada yang hendak menentangku?!" Seng Bu membentak, sekarang
suaranya terdengar menyeramkan, mengejutkan semua orang.
Mereka itu
serentak menjatuhkan diri berlutut menghadap Seng Bu, seakan-akan takut
kalau-kalau pemuda itu menjadi marah kemudian menjatuhkan tangan saktinya
kepada mereka.
"Tidak
ada... tidak ada..."
"Kami
semua tunduk kepada Pang-cu..."
"Hidup
Ouw-pangcu!"
Seng Bu
tersenyum, senyum biasa yang membuat wajahnya nampak tampan menarik.
"Bagus, aku akan memimpin kalian, membawa Thian-li-pang maju, tidak
seperti saat sekarang ini. Thian-li-pang akan menjadi perkumpulan terbesar!
Kalau Yo Han berani datang, aku akan membunuhnya dengan ilmu yang sama!
Sekarang, kita bereskan semua jenazah ini. Tidak perlu dikubur, kita mesukkan
saja ke dalam sumur tua itu!"
Semua orang
terbelalak dan bergidik, akan tetapi tidak ada yang berani membantah. Melihat
sikap para anggota itu ragu-ragu, Seng Bu tidak sabar dan dia menghampiri
jenazah-jenazah itu, lalu sekali angkut, kedua tangannya sudah mencengkeram
empat batang tubuh, masing-masing tangan mengangkat dua mayat. Dengan langkah
lebar dia lalu menghampiri semak belukar, dan melempar-lemparkan empat batang
tubuh itu ke dalam sumur tua! Dua kali dia membawa delapan mayat, dan mayat
terakhir, yaitu mayat Lauw Kang Hui, dibawanya dan dimasukkannya pula ke dalam
sumur tua!
Semua orang
hanya terbelalak, bergidik dan takut sekali kepada pemuda yang biasanya lembut
dan ramah itu. Mereka kini memandang Seng Bu seolah-olah pemuda itu kini
berubah menjadi iblis yang amat menakutkan.
"Kalian
tahu mengapa aku tidak mengubur jenazah mereka dan membiarkan mereka menjadi
penunggu sumur tua?" tanya Seng Bu kepada para anah buah Thian-li-pang.
Tidak ada
seorang pun dapat menjawab, bahkan tidak berani membuka mulut, hanya
menggelengkan kepala menyatakan bahwa mereka tidak tahu.
"Aku
bukanlah orang yang tak mengenal aturan. Aku melempar semua mayat ke dalam
sumur tua dengan maksud tertentu," kata Seng Bu dengan sikap biasa, ramah
lembut dan berwibawa. "Biarlah mereka itu menjadi arwah penasaran, hal ini
kusengaja. Nanti kalau aku sudah berhasil menangkap Yo Han, dia akan
kulemparkan ke dalam sumur, baik masih hidup atau pun telah mati. Dengan
demikian, arwah Suhu, Suci dan Suheng akan merasa senang, bisa membalas dendam
kepada Yo Han. Juga arwah enam orang anggota Thian-li-pang semua akan ikut
mengeroyok dan menyiksa Yo Han."
Semua
anggota diam saja, masih tertegun dan masih terkejut dan ketakutan.
"Sekarang
semua kembali dan berkumpul di ruangan besar. Sebagai ketua baru aku akan
mengadakan peraturan baru. Kita harus dapat menjadikan Thian-li-pang sebagai
perkumpulan yang besar dan makmur, tidak seperti sekarang ini. Miskin dan tak
pernah melakukan apa-apa yang sesuai dengan perjuangan kita dalam menentang
pemerintah Mancu."
Sesudah
mereka berada di sarang Thian-li-pang, Seng Bu lalu mengumpulkan seluruh
anggota dan dia membuat peraturan baru yang membongkar semua peraturan lama.
Dan mulai hari itu, Thian-li-pang kembali seperti sebelum Yo Han memasukinya,
yaitu menjadi perkumpulan yang dengan kedok perjuangan melakukan apa saja untuk
dapat mengumpulkan harta.
Mereka
menguasai tempat-tempat pelesir di kota-kota dan menundukkan jagoan-jagoan yang
memimpin kelompok-kelompok penjahat hingga semua penjahat harus mengakui
Thian-li-pang sebagai pimpinan dan menyerahkan sebagian dari hasil kejahatan
mereka sebagai tanda menakluk atau pajak. Mereka yang berani menentang lalu
dihancurkan dengan mudah karena selain Thian-li-pang mempunyai banyak anggota
yang tangguh, juga ketuanya adalah seorang yang lihai.
Tidak sukar
bagi para anggota Thian-li-pang untuk mengambil cara hidup baru ini, yang
sebetulnya hanya merupakan pengulangan atau kambuhan saja dari cara hidup
mereka yang terdahulu. Dan memang hasilnya dapat segera dirasakan oleh para
anggota, yakni kemakmuran dan serba kecukupan, walau pun uangnya didapat dari
hasil kekerasan dan kejahatan. Dalam waktu beberapa bulan saja, nama
Thian-li-pang semakin tersohor dan perkumpulan ini menjadi perkumpulan yang
amat kaya dan berpengaruh, juga amat ditakuti orang.
Ouw Seng Bu
mempunyai alasan sendiri untuk membenarkan tindakannya itu. Pernah ia
mengumpulkan semua anggotanya, kemudian dengan panjang lebar ia menandaskan
bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar.
Mereka yang
tadinya merasa penasaran juga melihat bahwa ketua mereka kini menjalin hubungan
baik lagi dengan Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai serta gerombolan-gerombolan lainnya
yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai gerombolan jahat dan golongan hitam,
menjadi hilang perasaan penasaran itu setelah mendengar keterangan ketua mereka
yang baru dan masih muda itu.
"Perjuangan
menentang pemerintah penjajah Mancu adalah perjuangan yang suci," demikian
antara lagi Seng Bu berkata. “Cita-citanya hanya satu, yaitu menentang dan
menggulingkan pemerintah penjajah, mengusir penjajah Mancu dari tanah air dan
dapat membebaskan bangsa dari belenggu penjajah! Perjuangan tidak mengenal
golongan putih atau golongan hitam. Yang terpenting adalah cita-cita tercapai.
Demi tercapainya cita-cita perjuangan, apa pun boleh kita lakukan, tidak ada
pantangan lagi!"
Ucapan Seng
Bu disambut dengan gembira oleh semua anak buah Thian-li-pang. Cara yang
dipakai ketua mereka itu tentu saja membuka kesempatan besar bagi mereka untuk
memuaskan keinginan mereka sendiri dengan membonceng perjuangan! Mereka dapat
saja menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada rakyat, dapat
melakukan perampokan atau pencurian karena semua itu menjadi benar dan baik
kalau mereka menggunakan alasan demi perjuangan!
Tujuan
menghalalkan segala cara! Itulah pendirian mereka yang telah dicengkeram oleh
nafsu. Nafsu selalu menghendaki supaya keinginannya dapat tercapai, tersalurkan
dan terpuaskan. Mengejar keinginan atau ambisi berarti membiarkan nafsu untuk
merajalela menguasai diri sehingga kesadaran lenyap, akal sehat menjadi sakit,
dan pertimbangan patah-patah. Nafsu untuk mendapatkan apa yang diinginkan
menyeret kita melakukan segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang
sifatnya merusak.
Tujuan
mengumpulkan harta sebanyaknya akan menghalalkan kita melakukan korupsi,
perampokan, penipuan, pencurian dan sebagainya, sebab harta akan dianggap
sebagai sumber kesenangan. Tujuan mendapatkan kedudukan yang dianggap sebagai
sumber kemuliaan, kehormatan dan kesenangan menghalalkan kita melakukan
pengkhianatan, kelicikan, penipuan dan menghantam siapa saja yang menghalangi
kita, dan kalau perlu membunuh penghalang itu!
Semua ambisi
dan semua keinginan, tidak lain hanyalah pengejaran terhadap apa yang dianggap
menjadi sumber kesenangan. Sementara itu, pikiran yang sudah bergelimang nafsu
akan membela semua perbuatan itu, dengan memberi istilah yang indah-indah dan
muluk-muluk terhadap pengejaran keinginan itu, misalnya perjuangan, cita-cita
dan sebagainya.
Yang
terpenting justru terletak kepada cara itu. Cara berarti tindakan, cara berarti
saat ini, sekarang. Tujuan hanya merupakan khayal, belum ada. Yang menentukan
adalah cara itu, tindakan itu, sekarang ini. Yang sekarang ini menentukan yang
nanti, karena yang nanti hanya merupakan akibat dan kelanjutan dari yang
sekarang. Tidak mungkin mencapai tujuan yang baik dengan cara yang buruk, tidak
mungkin mencapai tujuan yang bersih dengan cara yang kotor. Kalau caranya
kotor, akhirnya yang didapat sebagai akibat cara itu pun pasti kotor.
Kalau orang
melakukan sesuatu sambil membayangkan tujuan yang hendak dicapai oleh tindakannya
itu, maka besar kemungkinan dia terseret oleh nafsu dan dibutakan oleh kemilau
tujuan yang hendak dicapai. Tindakan yang benar adalah tindakan yang tidak
terbimbing nafsu, melainkan tindakan yang dasarnya penyerahan kepada Tuhan
sehingga tindakan itu akan selalu terbimbing oleh kekuasaan Tuhan. Tindakan
seperti ini merupakan tindakan yang dilakukan demi tindakan yang penuh kasih
terhadap tindakan itu, karena kekuasaan Tuhan berlimpahan dengan kasih.
Kalau kita
mencintai apa yang kita lakukan, mencintai apa yang kita kerjakan, demi
pekerjaan itu sendiri tanpa membayangkan hasilnya, maka apa yang akan kita
lakukan itu sudah pasti benar dan baik, sebagai kemampuan kita. Jika kita
belajar dan mencintai apa yang kita lakukan, sudah pasti dengan sendirinya kita
memperoleh kemajuan dan ijazah tanpa kita mengejarnya. Ijazah itu hanya
merupakan akibat atau buah dari pada pohon yang kita tanam sendiri, yaitu
mengerjakan pelajaran itu.
Sebaliknya,
kalau kita belajar demi mendapatkan ijazah, maka kita akan mudah terseret
karena yang kita pentingkan hanya ijazahnya, bukan pelajarannya sehingga
mungkin kita akan melakukan penyelewengan dengan menyontek, dengan membeli,
menyogok dan sebagainya.
Bukan
berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali bukan. Menikmati
kesenangan merupakan anugerah dari Tuhan! Kalau Tuhan tidak menghendaki, tentu
kita tidak diberi perlengkapan sebagai sarana untuk dapat menikmati kesenangan
itu. Kita berhak menikmati kesenangan karena itu pemberian dari Tuhan, tetapi
kesenangan yang tidak dibuat-buat, tidak dicari-cari, tidak dikejar-kejar.
Kesenangan
letaknya di dalam perasaan hati. Rasa senang yang menyelinap di dalam hati
tanpa dikejar-kejar, itulah kesenangan sejati yang biasa kita namakan
kebahagiaan. Kesenangan yang dikejar dan diberi adalah kesenangan nafsu.
Biasanya kesenangan seperti ini lebih nikmat dikenang dan dibayangkan dari pada
dialami pada saatnya. Hal ini timbul karena perbandingan dengan apa yang kita
kenang, apa yang kita bayangkan.
Seolah-olah
semua kenikmatan itu sudah menjadi hambar, dihisap habis oleh kenangan dan bayangan
masa lalu dan masa depan. Tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan,
pada saat itu, kalau kesenangan menyelinap di hati, itulah kebahagiaan.
Seperti
melihat penglihatan indah, mendengar suara merdu, mencium bau harum. Kita
mendapatkan kebahagiaan pada saat itu juga, dan habis pula pada saat itu. Kalau
kita menyimpannya dalam ingatan, maka kebahagiaan itu berubah menjadi
kesenangan.
Pikiran dan
ingatan paling suka menguyah-nguyah pengalaman yang nikmat, kemudian
membayangkan dengan latar belakang kenangan. Dari sini timbulnya pengejaran,
dan bila yang dikejar sudah dapat, akan terasa hambar karena tidak seindah yang
dikenang dan dibayangkan!
Kebahagiaan
adalah saat demi saat, tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Bahkan
hidup adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Yang lalu sudah mati dan hanya
kenangan, yang akan datang hanya bayangan khayal.
Ouw Seng Bu
telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, ilmu yang menjadi aneh karena dia
mempelajarinya dari catatan yang tidak lengkap, dipelajari tanpa bimbingan guru
sehingga pelajaran yang tidak lengkap dan terbalik-balik itu menyeretnya ke
alam yang mendekati kegilaan.
Memang dia
menjadi lihai bukan main, akan tetapi, ilmu itu pun mempengaruhi hati akal
pikirannya, membuat dia kadang-kadang kumat seperti orang gila, bahkan dapat
lebih mengerikan lagi, seperti iblis sendiri yang menjelma ke dalam tubuh
manusia.
"Apa
kau bilang? Heh, Sun-ji (anak Sun), lupakah engkau siapa dirimu ini? Engkau
adalah cucu Kaisar, tahu? Engkau adalah seorang pangeran, cucu kaisar sendiri!
Dan kau berani katakan bahwa engkau jatuh cinta kepada puteri ketua
Pao-beng-pai, kaum pemberontak itu? Gila!"
"Ayah,
apakah cucu kaisar itu bukan manusia? Dan puteri Pao-beng-pai juga bukan
manusia? Kami berdua sama-sama manusia, pria dan wanita, maka apa yang perlu
diherankan kalau kami saling jatuh cinta?" bantah Pangeran Cia Sun di
depan ayahnya dan ibunya.
Dia baru
saja pulang dan langsung melapor kepada ayah ibunya bahwa dia jatuh cinta
kepada Siangkoan Eng, puteri ketua Pao-beng-pai dan minta kepada orang tuanya
agar meminang gadis itu untuk menjadi isterinya.
"Anakku,
bagaimana engkau bisa berkata seperti itu?" Ibunya membujuk dengan lembut
dan meletakkan tangannya di pundak puteranya. "Tentu saja engkau tak
mungkin dapat disamakan dengan pemuda biasa yang lain, dapat menikah dengan
sembarang gadis saja."
"Akan
tetapi, Ibu. Kami sudah saling mencinta, dan cinta tidak mengenal pangkat atau
derajat!" bantah Cia Sun.
"Cia
Sun!" Ayahnya, Pangeran Cia Yan, membentak marah. "Ingat, sejak
engkau masih kecil, kami telah mengikat tali perjodohanmu dengan puteri
Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong. Puterinya itu seorang gadis yang cantik
jelita, berbudi, gagah perkasa dan bahkan mendapat julukan Si Bangau Merah.
Kami bangga sekali mempunyai mantu seperti gadis itu. Baru-baru ini ayah ibu
gadis itu datang ke sini. Mereka menantimu, akan tetapi sia-sia saja mereka
menanti walau pun kami sudah mengirim orang untuk mencarimu dan memanggilmu
pulang. Dalam pertemuan itu kami sudah mematangkan urusan itu, dan dengan resmi
kami mengambil keputusan untuk menjodohkan engkau dengan Tan Sian Li. Ialah
calon jodohmu, bukan wanita lain!"
"Tetapi,
Ayah. Aku dan dia tidak saling mencinta, bahkan bertemu muka pun belum
pernah!" Cia Sun membantah.
"Sudah
cukup!" Pangeran Cia Yan membentak marah. "Engkau yang belum pernah
membalas budi ayah ibumu, sekarang bahkan hendak menjadi anak yang murtad dan
tidak berbakti? Pendeknya, Tan Sian Li adalah calon isterimu, bukan perempuan
lain!"
Ibunya cepat
melerai. "Anakku, kenapa engkau menjadi bingung? Tentu saja engkau dapat
mengambil wanita lain sebagai selir kalau engkau menyukai gadis-gadis
lain..."
Ayahnya
memotong. "Tentu saja engkau boleh memiliki selir, akan tetapi
selir-selirmu pun harus gadis baik-baik supaya jangan menodai nama keluarga
kita. Kita ini keluarga Cia, keluarga Kaisar, tahu? Kalau engkau mencinta gadis
lain, tentu boleh kau jadikan selir, dan gadis itu... siapa tadi kau bilang?
Ahhh, puteri dari ketua Pao-beng-pai? Kau maksudkan perkumpulan pemberontak
yang baru saja mengadakan pertemuan rahasia dengan para pemberontak lain untuk
menggulingkan pemerintah? Gila!"
"Tapi
Siangkoan Eng tidak seperti ayahnya, Ayah. Ia sama sekali tidak jahat, bahkan
ia berjanji kalau menjadi isteriku, tidak akan mencampuri urusan dunia
kang-ouw, tak akan mencampuri urusan pemberontakan lagi..."
"Ihhh,
engkau agaknya telah terkena guna-guna. Dan Pao-beng-pai...? Hemmm, kiranya
engkaukah pemuda yang ditawan mereka itu?"
"Ayah
tahu tentang itu?" Cia Sun memandang ayahnya dengan heran. "Memang
aku telah ditawan mereka, dan kalau tidak ada Eng-moi, tentu aku telah mereka
bunuh, atau dijadikan sandera untuk mengacau pemerintah, Ayah."
"Sudah,
jangan bicara lagi tentang gadis Pao-beng-pai itu! Sekarang pun pasukan telah
bergerak ke sana untuk membasminya sampai ke akar-akarnya dan membunuh seluruh
pimpinannya."
Cia Sun
terbelalak. "Ahhh? Apa yang Ayah katakan?"
Pangeran Cia
Yan mengangguk-angguk dan tersenyum, merasa menang. Lalu dia pun berkata bangga,
"Apa kau kira pemerintah begitu bodoh? Di antara para tamu, terdapat
mata-mata kita yang diselundupkan. Jika engkau saja bisa menyelundup menjadi
tamu, apa lagi mata-mata yang cerdik. Kini Ciong-ciangkun (perwira Ciong) sudah
membawa pasukan untuk membasmi gerombolan pemberontak itu dan..." Pangeran
Cia Yan amat terkejut melihat puteranya buru-buru bangkit berdiri dan melangkah
pergi."...Hei, kau mau ke mana?"
Cia Sun
menoleh dan berkata, "Ayah, Ibu, aku harus pergi, aku harus menyelamatkan
Eng-moi dan ibunya. Mereka tidak bersalah, mereka tidak boleh ikut
terbasmi!" Dan pemuda itu pun berlari cepat meninggalkan rumah orang
tuanya, tidak mempedulkan teriakan ayah ibunya yang memanggilnya.
Kedua orang
tua itu hanya menghela napas panjang dan menggeleng kepala saja. "Itulah
sebabnya aku ingin sekali dia menjadi suami seorang wanita perkasa seperti Si
Bangau Merah," kata Pangeran Cia Yan kepada isterinya. "Semenjak dia
suka belajar silat, wataknya pun berubah menjadi keras kepala dan berjiwa
petualang. Kalau dia tidak mendapatkan seorang isteri yang pandai dan
berwibawa, berilmu tinggi, tentu tidak ada yang akan mampu
mengendalikannya."
Cia Sun
cepat berlari ke markas pasukan untuk mencari Perwira Ciong yang sudah
dikenalnya. Akan tetapi dia terlambat. Perwira itu telah berangkat bersama
pasukannya yang berjumlah seribu orang. Cia Sun cepat-cepat melakukan
pengejaran, menunggang seekor kuda.
Pada waktu
itu memang banyak terdapat perkumpulan atau kelompok orang-orang yang melakukan
usaha untuk menentang pemerintah kerajaan Mancu. Akan tetapi, satu demi satu
perkumpulan pejuang yang disebut pemberontak oleh kerajaan Mancu itu berhasil
dihancurkan.
Kekuatan
pasukan Mancu masih amat kuat, sedangkan para pejuang itu tidak memiliki
persatuan yang kokoh. Mereka bahkan membentuk kelompok sendiri-sendiri. Bukan
hanya itu, bahkan di antara mereka kadang terdapat bentrokan sendiri yang tentu
saja melemahkan kekuatan mereka. Banyak pula bermunculan perkumpulan pejuang
yang lebih condong menjadi perkumpulan golongan sesat atau golongan hitam,
karena mereka melakukan segela macam bentuk kejahatan.
Pao-beng-pai
merupakan satu di antara perkumpulan pejuang yang pada hakekatnya memang
membenci, bahkan menaruh dendam kepada kerajaan Mancu. Hal ini adalah karena
pemimpinnya atau pendirinya, Siangkoan Kok, adalah seorang keturunan dari
keluarga kerajaan Beng yang telah dijatuhkan oleh bangsa Mancu.
Oleh karena
itu, gerakan perjuangan Pao-beng-pai ini lebih condong kepada gerakan untuk
membalas dendam atau merampas kembali tahta kerajaan Beng yang dulu sudah
dirampas oleh bangsa Mancu yang kemudian mendirikan kerajaan Ceng. Tetapi,
karena Siangkoan Kok, keturunan keluarga kerajaan Beng itu juga seorang datuk
sesat, bahkan isterinya, Lauw Cu Si, juga keturunan pimpinan Beng-kauw yang
terkenal sebagai suatu perkumpulan sesat, maka Pao-beng-pai juga merupakan
perkumpulan yang tak pantang melakukan kekejaman atau kejahatan.
Pihak
pemerintah kerajaan selalu mengamati perkembangan perkumpulan-perkumpulan
pemberontak seperti itu. Pemerintah memang maklum bahwa tidak mudah membasmi
seluruh pemberontak sampai ke akar-akarnya. Sudah sering kali pasukan pemerintah
menghancurkan gerombolan pemberontak, namun para anak buahnya yang berhasil
meloloskan diri segera bergabung lagi dengan kelompok pemberontak lain. Oleh
karena itu, pemerintah hanya memperhatikan kelompok yang besar-besar dan
berbahaya saja.
Ketika Pao-beng-pai
mengadakan pertemuan dengan para tokoh kang-ouw, tentu saja peristiwa ini tidak
terlepas dari perhatian para mata-mata yang disebar oleh pemerintah. Setelah
menyaksikan pertemuan itu, serta mendengar betapa Pao-beng-pai menyusun
kekuatan, mengajak semua pihak yang menentang pemerintah untuk bergabung dan
bekerja sama untuk melakukan pemberontakan, mata-mata cepat memberi kabar ke
kota raja dan para panglima yang bertugas menumpas setiap pemberontakan segera
mengambil tindakan tegas dan cepat.
Panglima
Ciong, yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan pandai,
yang sudah sering kali melakukan pembasmian terhadap para pemberontak, segera
ditugaskan untuk memimpin pasukan seribu orang menyerbu dan membasmi
Pao-beng-pai di Han-kwi-kok, lembah Bukit Iblis.
***************
Siangkoan
Kok marah sekali ketika mendengar bahwa puterinya, Siangkoan Eng, pergi dari
Ban-kwi-kok tanpa pamit. Selama belasan hari ini ia memang tak pernah menengok
lagi kepada isteri dan puterinya itu, semenjak dia marah-marah dan hampir
membunuh Eng Eng. Dia tidak mempedulikan mereka, dan berpengantinan dengan
isterinya yang baru, yaitu bekas muridnya yang dipaksanya untuk melayaninya dan
menjadi pengganti isterinya.
Dengan
kemarahan meluap-luap, lelaki tinggi besar yang berusia lima puluh lima tahun
ini, pergi mencari Lauw Cu Si, isterinya yang sedang menangis di ruangan
belakang. Mukanya merah sekali dan begitu melihat isterinya, yang menangis, ia
pun membentak.
"Ke
mana perginya anak durhaka itu? Tentunya engkau sengaja menyuruh dia minggat,
bukan?" bentakan ini disertai tangannya menggebrak meja sehingga seluruh
ruangan itu bagaikan tergetar.
Lauw Cu Si
yang sedang duduk menangisi kepergian puterinya, segera menghentikan tangisnya
dan bangkit berdiri. Nyonya berusia empat puluh tahun ini masih cantik. Kalau
biasanya dia selalu tunduk dan penurut, kini dia bangkit berdiri dan tegak
menghadapi suaminya. Mukanya diangkat dan sepasang matanya bersinar-sinar
menatap ke wajah suaminya dengan penuh keberanian dan kemarahan, lalu telunjuk
kirinya ditudingkan ke arah muka suaminya dan terdengar suaranya, suara yang
menggetar dan mengandung kemarahan yang hebat.
"Kau...!
Kau manusia binatang, engkau iblis busuk, engkaulah yang membuat Eng Eng
melarikan diri, meninggalkan aku! Engkau yang harus bertanggung jawab. Ia
bukanlah anakmu, bukan darah dagingmu, bukan apa-apamu. Ia milikku, anakku,
tetapi engkau hampir membunuhnya! Sekarang ia pergi dan engkau yang harus
bertanggung jawab!"
Kemarahan
Siangkoan Kok meluap-luap. Selama ini isterinya itu belum pernah memaki dirinya
seperti itu. "Perempuan busuk tak mengenal budi! Aku telah mengangkatmu
dari lembah kehinaan setelah Beng-kauw hancur, juga memelihara anakmu seperti
anakku sendiri. Dan begini balasan kalian kepadaku? Kalau tahu akan begini,
sudah sejak dulu Eng Eng kubunuh, dan kau juga!"
"Apa?
Kau hendak membunuh kami? Cobalah kalau engkau mampu! Kau kira aku takut
padamu?"
Saking
sedihnya ditinggal pergi anaknya, wanita itu menjadi marah dan nekat. Walau pun
ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannrya masih kalah dibandingkan suaminya, dia
berani menantang!
"Bagus,
kalau begitu mampuslah kau, Lauw Cu Si, perempuan tak tahu diri!"
Siangkoan Kok menerjang isterinya dengan dahsyat.
Akan tetapi,
Lauw Cu Si yang sudah nekat, cepat mengelak dan membalas dengan tak kalah
dahsyatnya. Bahkan wanita ini sudah mencabut pedangnya, lalu menyerang
bertubi-tubi. Siangkoan Kok juga mencabut pedangnya dan suami isteri ini lalu
berkelahi mati-matian.
Lauw Cu Si
adalah seorang tokoh sesat, keturunan ketua Beng-kauw. Ia memiliki ilmu silat
yang dahsyat dan keji pula. Tingkat kepandaiannya sudah tinggi dan ia hanya
kalah sedikit saja dibandingkan suaminya, maka tidaklah terlalu mudah bagi
Siangkoan Kok untuk membunuh isterinya.
Para murid
dan anggota Pao-beng-pai yang melihat perkelahian ini, menjadi bingung sekali.
Mereka sama sekali tidak berani mencampuri. Orang-orang yang mungkin berani
mencampuri hanyalah Siangkoan Eng, atau mungkin juga Tio Sui Lan, murid kepala
dari Siangkoan Kok yang kini menjadi selirnya itu.
Akan tetapi
pada saat itu, Eng Eng tidak ada, sudah pergi tanpa pamit. Dan ketika para
murid mencari Tio Sui Lan, mereka juga tidak dapat menemukan murid utama yang
selama beberapa hari ini menjadi isteri ketua mereka. Karena bingung, tidak
tahu harus berbuat apa, para murid dan anggota Pao-beng-pai itu bahkan menjauh,
sama sekali tidak berani mencampuri perkelahian antara sang ketua dan
isterinya, karena mereka tahu bahwa mencampuri berarti akan mati konyol.
Pada saat
semua orang menjadi bingung itu, terdengar suara gaduh di lereng bukit, suara
tambur dan terompet, suara sorakan riuh rendah. Inilah suara genderang perang
yang dibunyikan oleh pasukan pemerintah yang datang menyerbu.
Siangkoan
Kok sudah dapat menekan dan mendesak Lauw Cu Si. Pedangnya berubah menjadi
gulungan sinar kemerahan, dan biar pun Lauw Cu Si sudah melawan dengan nekat
saking marahnya, tetap saja ia kalah tingkat dan mulai terdesak, bahkan ia
telah menderita beberapa luka karena tusukan dan bacokan pedang.
Suara tambur
dan terompet itu mengejutkan Siangkoan Kok. Akan tetapi Lauw Cu Si tidak
peduli. Satu-satunya perhatian wanita ini hanyalah ingin membunuh pria yang
selama ini dipuja dan ditaatinya, karena pria ini hampir saja membunuh
puterinya, dan kini ingin membunuhnya.
Namun,
Siangkoan Kok yang kini terkejut dan bingung mendengar suara gaduh yang disusul
sorak-sorai dan suara pertempuran, cepat menggerakkan kakinya menendang. Karena
isterinya memang sudah terdesak oleh pedangnya, maka tendangan itu tidak dapat
dielakkan Lauw Cu Si.
"Desss...!"
Kaki
Siangkoan Kok yang besar dan kuat itu menghantam perut isterinya, dan Lauw Cu
Si terjengkang serta terlempar, roboh terbanting dan pingsan! Siangkoan Kok
sudah tak lagi mempedulikan isterinya karena dari teriakan-teriakan para anak
buah Pao-beng-pai, dia dengan terkejut sekali mengetahui bahwa sarangnya
diserbu pasukan pemerintah!
Pada saat
itu, muncul Tio Sui Lan bersama belasan orang perwira! Wanita muda itu
menudingkan telunjuk kirinya ke arah Siangkoan Kok sambil berkata, "Inilah
si jahanam Siangkoan Kok, si manusia iblis!"
Melihat
munculnya murid yang telah dipaksanya menjadi isterinya itu bersama belasan
orang perwira, Siangkoan Kok segera tahu apa yang terjadi. Murid ini ternyata
sudah mengkhianatinya! Pantas sejak pagi Sui Lan tidak nampak.
Pada waktu
dia bangun tidur tadi, dia tidak melihat Sui Lan di sisinya. Hal ini sudah
membuatnya marah-marah, apa lagi ketika mendengar bahwa Eng Eng sudah minggat
meninggalkan Pao-beng-bai, kemarahannya semakin memuncak. Selama ini Eng Eng
menjadi puterinya yang patuh, bahkan menjadi pembantu utama, menjadi tokoh
kedua sesudah dia di Pao-beng-pai. Apa lagi sekarang tahu-tahu murid yang telah
dipaksanya menjadi isteri selama belasan hari itu, tiba-tiba muncul dengan
belasan orang perwira pemerintah yang membawa pasukan dan yang agaknya kini
melakukan penyerbuan ke situ.
"Pengkhianat
kau...!" teriaknya sambil melotot memandang kepada wanita yang malam tadi
masih menjadi kekasihnya tercinta.
Akan tetapi
Sui Lan tersenyum mengejek, dengan kedua matanya bercucuran air mata!
"Engkaulah manusia iblis! Dan inilah pembalasanku, Siangkoan Kok!"
teriaknya.
Dengan nekat
Sui Lan yang telah memegang pedang itu kini menerjang dan menyerang pria yang
selama ini menjadi gurunya yang ditaati. Kemudian ketaatannya dihancurkan
bersama kehormatannya yang direnggut secara paksa oleh orang yang dihormatinya
itu.
Para perwira
itu amat terkejut. Tadi ketika mereka memimpin pasukan mendaki lereng Kwi-san
menuju Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan), setelah semalaman mengurung ketat
tempat itu, mereka bertemu dengan seorang wanita cantik yang menuruni lereng.
Segera wanita itu dikepung. Wanita itu adalah Tio Sui Lan!
Pada saat
melihat bahwa tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah, Sui Lan yang
tadinya hendak melarikan diri, menjadi girang sekali. Ia lalu menyatakan bahwa
ia ingin membantu pasukan pemerintah menghancurkan Pao-beng-pai. Ia mengatakan
bahwa tanpa petunjuk jalan yang mengenal tempat itu, penyerbuan akan menghadapi
kesulitan karena di sekeliling Ban-kwi-kok dipasangi jebakan-jebakan yang amat
berbahaya.
Usulnya
diterima dan demikianlah, berkat petunjuk wanita yang menjadi pengkhianat
karena sakit hati itu, pasukan pemerintah dapat naik dengan mudah sampai
mengurung sarang Pao-beng-pai. Sekarang, setelah berhasil menyusup dengan
diam-diam, mereka melakukan penyerbuan serentak sehingga menggegerkan para
anggota Pao-beng-pai.
Sui Lan
menjadi petunjuk jalan bagi para perwira untuk mencari pemimpin pemberontak dan
sempat melihat pemimpin pemberontak itu baru saja merobohkan isterinya sendiri.
Dan melihat Sui Lan tiba-tiba menyerang Siangkoan Kok, para perwira tentu saja
amat terkejut dan khawatir karena mereka semua sudah mendengar betapa lihainya
ketua Pao-beng-pai itu. Mereka serentak maju, namun terlambat.
Ketika Sui
Lan menyerang Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini demikian marahnya sehingga
dia langsung menyambut bekas murid dan juga bekas kekasih paksaannya itu dengan
pedangnya. Sambutan yang dahsyat dan penuh keberanian hingga pedangnya seperti
kilat menyambar.
"Tranggg...
crakkk!"
Pedang di
tangan Tio Sui Lan terlempar jauh, disusul tubuhnya yang roboh mandi darah
karena pedang di tangan Siangkoan Kok sudah menembus ke dadanya! Wanita yang
malang itu tewas seketika karena pedang ketua Pao-beng-pai itu beracun, juga
pedang itu menembus jantungnya.
Belasan
orang perwira cepat menerjang dan mengeroyoknya. Mereka adalah jagoan-jagoan
dari kota raja. Biar pun kalau maju seorang demi seorang, mereka bukan lawan
Siangkoan Kok, namun karena mereka maju bersama, tentu saja ketua Pao-beng-pai
itu menjadi kewalahan dan repot sekali.
Apa lagi
melihat keadaan di luar rumah yang amat gaduh. Ia ingin melihat keadaan para
anggotanya, maka dia pun meloncat ke belakang dan menghilang melalui sebuah
pintu yang segera tertutup sendiri ketika belasan orang perwira itu hendak
mengejar.
"Itu
isterinya, kita basmi saja sekalian!" teriak seorang perwira.
Ketika itu
Lauw Cu Si sudah siuman dari pingsannya dan ia sudah bangkit duduk lalu berdiri
sambil memegang pedangnya yang tadi terlepas pada waktu ia roboh tertendang
suaminya. Saat melihat belasan orang perwira itu mengepungnya, ia pun
melintangkan pedang di depan dada.
"Hemmm,
bunuhlah aku. Aku memang telah terperosok, bodoh sekali menjadi isteri
Siangkoan Kok!" katanya dengan sikap gagah walau pun tubuhnya sudah
luka-luka oleh pedang suaminya dan terutama sekali, tendangan tadi masih terasa
dan melemahkan tubuhnya.
"Bunuh
dia!" teriak para perwira dan siap hendak mengeroyok.
"Tahan,
jangan serang!" mendadak terdengar seruan nyaring.
Ketika para
perwira menoleh, mereka terkejut dan heran mengenal Pangeran Cia Sun sudah
berada di situ dengan pedang di tangan.
"Lebih
baik kalian cepat mengejar ketua Pao-beng-pai dan membasmi anak buahnya!"
Cia Sun memberikan perintahnya.
Belasan
orang perwira itu meragu, “Tapi... tapi... ia bisa berbahaya bagi
Paduka...," kata seorang perwira sambil menunjuk ke arah wanita itu.
"Tidak!
Aku mengenalnya, ia tidak jahat. Kalian pergilah!"
Para perwira
memberi hormat, lalu segera berloncatan keluar dari ruangan itu, untuk memimpin
anak buah mereka yang ketika itu sedang bertempur melawan para anggota
Pao-beng-pai.
"Bibi...!"
kata Cia Sun. "Di mana Eng-moi...?"
Wanita itu
hanya menggeleng kepala. Ia hendak menggerakkan kakinya, akan tetapi ia
terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul Cia Sun.
"Bibi...
menderita luka-luka...? Oleh para perwira itu?"
Wanita itu
menggeleng, hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba ia muntah darah. Melihat ini,
terkejutlah Cia Sun, maklum bahwa wanita itu terluka parah. Dipondongnya Lauw
Cu Si yang setengah pingsan itu dan terpaksa dia melangkahi mayat Tio Sui Lan
yang tadinya membuat dia terkejut bukan main ketika pertama kali memasuki
ruangan itu, mengira itu mayat kekasihnya. Dia merebahkan tubuh Lauw Cu Si ke
atas sebuah bangku panjang.
Sekarang
Lauw Cu Si dapat bicara, biar pun terengah-engah dan menahan rasa nyeri.
"Jahanam itu... Siangkoan Kok... yang memukulku..."
Tentu saja
Cia Sun merasa heran sekali. "Bibi, di mana Eng-moi?"
"Ia
sudah pergi kemarin, tanpa pamit. Itu yang membuat Siangkoan Kok marah..."
"Tapi
kenapa Eng-moi pergi?"
"Ketika
Siangkoan Kok tahu bahwa Eng Eng membebaskanmu, dia menghajar Eng Eng dan
hendak membunuhnya. Aku mencegahnya dan membuka rahasia bahwa dia tidak berhak
membunuh Eng Eng yang bukan anaknya..."
"Bukan
puterinya?" Tentu saja Cia Sun terkejut dan heran.
"Ketika
aku menjadi isterinya, aku membawa Eng Eng yang sudah berusia dua tahun
lebih..."
"Ahhh,
kalau begitu Eng-moi puteri Bibi dengan suami lain?"
Wanita itu
kembali menggelengkan kepala, hendak bicara akan tetapi kembali ia batuk-batuk
dan muntah darah. Tendangan yang mengenai dadanya itu memang hebat sekali,
membuat ia menderita luka dalam yang parah. Sejenak ia terngengah-engah,
wajahnya pucat sekali.
Cia Sun
sudah merasa bingung sekali mendengar bahwa Eng Eng yang ternyata bukan puteri
kandung ketua Pao-beng-pai itu sudah pergi tanpa pamit. Dia tidak tahu harus
berbuat apa terhadap ibu Eng Eng yang keadaannya payah itu.
"Engkau...
benar... seorang pangeran?"
Cia Sun
mengangguk. "Aku memang Pangeran Cia Sun, Bibi, akan tetapi aku mencinta
Eng-moi."
"Kalau
begitu, dengar baik-baik...," suaranya makin lemah seperti berbisik.
"Aku...
aku tidak dapat bertahan lama, aku akan mati... dan inilah saatnya aku membuka
rahasia..., dan engkau tepat orangnya yang kuberi tahu... dengar, Eng Eng bukan
puteri Siangkoan Kok juga bukan anakku..."
"Ehhh?
Lalu... dia anak siapa, Bibi?"
"Ayah
ibunya adalah orang-orang yang selalu dimusuhi oleh golongan kami... golongan
Beng-kauw... aku amat membenci ayah ibunya, terutama ayahnya, karena itulah...
aku... menculik Eng Eng ketika ia berusia tiga tahun. Akan tetapi, aku... aku
amat mencintanya seperti anakku sendiri... juga Siangkoan Kok menyayangnya
sampai engkau muncul..."
"Ahhh...!"
Bermacam
perasaan mengaduk hati pangeran itu. Ada perasaan kaget, heran, namun juga
kasihan dan bahkan ada perasaan girang. Girang bahwa kekasihnya itu bukanlah
anak kandung ketua Pao-beng-pai dan isterinya!
"Akan
tetapi... ke mana aku harus mencarinya, Bibi? Aku harus mencari dia sampai
menemukannya. Aku mencintanya dan akan mengambilnya sebagai isteriku!"
Cia Sun
terkejut melihat wanita itu napasnya sudah empas-empis, dan agaknya sudah tidak
mampu menjawabnya, matanya sudah terpejam.
"Bibi...!
Bibi...! Katakanlah, di mana Eng-moi?" Cia Sun mengguncang-guncang pundak
wanita yang sudah sekarat itu.
Wanita itu
membuka matanya yang sudah sayu dan suaranya hanya bisik-bisik saja.
"Suling Naga... itulah ayah kandungnya... dia tinggal di
Lok-yang...cari... cari ke sana..." Leher itu terkulai, mata itu terpejam
dan wanita itu pun mati.
Cia Sun
bangkit berdiri, termenung. Sebutan ‘Suling Naga’ terngiang di telinganya. Dan
dia tertegun. Dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Naga yang tinggal
di Lok-yang. Kalau dia tak salah ingat, namanya Sim Houw, seorang pendekar yang
sakti, terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat luar biasa, pedang yang
berbentuk suling, pedang suling, atau suling pedang.
Jadi Eng Eng
adalah puteri pendekar sakti itu! Ketika masih kecil diculik oleh Lauw Cu Si
karena wanita itu sebagai orang Beng-kauw menganggap pendekar itu sebagai musuh
besar.
"Ahhh...!!"
tiba-tiba dia terbelalak.
Dia teringat
pada Yo Han. Bukankah Yo Han mencari puteri pendekar itu yang hilang? Kalau
begitu, anak yang dicari oleh Yo Han itu bukan lain adalah Eng Eng! Dia lalu
mengingat-ingat. Yo Han, yang telah menjadi saudara angkatnya ketika mereka
berdua dikurung sebagai tahanan di sarang Pao-beng-pai, pernah menceritakan
bahwa anak yang dicari itu mempunyai ciri-ciri yang khas, dan ada noda merah
sebesar ibu jari kaki di tapak kaki kanannya. Mendengar suara pertempuran di
luar, Cia Sun khawatir kalau-kalau gadis itu kembali dan ikut pula bertempur
membela Pao-beng-pai melawan pasukan pemerintah. Cepat ia menyelinap keluar dan
mencari-cari.
Pertempuran
sudah hampir usai. Pihak pemberontak tidak mampu menandingi pasukan yang jauh
lebih besar jumlahnya, apa lagi dipimpin oleh para jagoan istana. Bahkan
Siangkoan Kok juga tidak nampak dan ketika dia tanyakan kepada para perwira,
mereka pun tidak tahu ke mana perginya ketua pemberontak itu. Ternyata Siangkoan
Kok telah meloloskan diri, tidak mempedulikan anak buahnya yang dibantai
pasukan.
Setelah
mencari keterangan dan merasa yakin bahwa Eng Eng tidak pernah kembali dan
tidak terlibat dalam pertempuran itu, Cia Sun segera meninggalkan tempat itu
untuk pergi mencari kekasihnya. Banyak anggota Pao-beng-pai yang tewas, sisanya
ditawan. Gagallah gerakan Pao-beng-pai, seperti yang dialami oleh banyak
kelompok-kelompok pemberontak terdahulu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment