Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 08
Semenjak
tadi Sian Li memperhatikan pria yang tinggi besar, gagah dan berwibawa itu.
Pada waktu ia melakukan perjalanan untuk menyelidiki Pao-beng-pai, ia telah
mencari keterangan tentang perkumpulan itu, tentang ketuanya dan tentang puteri
ketua yang pernah datang mengacau pertemuan tiga keluarga besar. Pao-beng-pai
telah terbasmi dan di tempat yang tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai,
terdapat kakek yang lihai ini.
"Bukankah
engkau yang bernama Siangkoan Kok, majikan di Ban-kwi-kok dan ketua Pao-beng-pai
yang telah hancur?"
Pertanyaan
yang dilontarkan Sian Li ini sungguh amat mengejutkan hati semua orang. Bukan
hanya Gak Ciang Hun dan Bi Kim yang terkejut, juga Lurah So dan semua orang
yang tadi sibuk melayani kakek itu.
Lurah So dan
para pembantunya menjadi pucat mendengar bahwa kakek itu ternyata adalah ketua
Pao-beng-pai, perkumpulan yang mereka takuti. Mereka semua sudah mendengar akan
Pao-beng-pai. Juga ketuanya, yaitu Siangkoan Kok majikan Lembah Selaksa Setan.
Akan tetapi hanya namanya saja yang mereka ketahui, belum pernah melihat
orangnya.
"Ha-ha-ha,
engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena
engkau memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!"
"Bagus!
Kiranya benar engkaulah ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani
menantang keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh dia keluar untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya!" Sian Li membentak.
"Sian-moi,
kiranya tidak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!" kata Ciang Hun
yang sudah mencabut pedangnya.
"Benar,
jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!" kata pula Gan
Bi Kim yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.
"Ha-ha-ha,
kiranya kalian semua hanya pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah
Mancu!" bekas ketua Pao-beng-pai itu berkata dengan nada mengejek sambil
menertawakan mereka.
Wajah Sian
Li berubah merah. "Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak
ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang,
tetapi penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat. Kini bersiaplah untuk
mampus!"
Sian Li
sudah menerjang dengan senjata sulingnya. Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat
menggerakkan senjata mereka, mengeroyok.
Siangkoan
Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, kini dia menghadapi
pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan
Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pendekar-pendekar lihai,
maka dia tak berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya,
memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.
Apa bila
ketiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh kepandaian dan tenaga
mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya
melindungi diri dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk
berkelahi. Apa lagi mengingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya
adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh.
Dia tidak
ingin menambah lagi jumlah musuhnya di luar pasukan pemerintah yang telah
membasmi perkumpulannya. Bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok
lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang sudah
ia janjikan kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga
merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini, dan
juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.
Maka,
setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyok itu
dengan hati-hati mundur menjaga jarak, mendadak saja Siangkoan Kok meloncat ke
kiri. Dan sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah
mencengkeram leher baju Lurah So serta menempelkan pedangnya di leher lurah
yang menjadi pucat ketakutan itu.
"Kalau
ada yang menyerangku, terlebih dahulu aku akan menyembelih lurah ini!"
bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus
mendorongnya keluar rumah.
Ciang Hun,
Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimana pun juga,
mereka tidak mau mengorbankan nyawa lurah yang tak berdosa itu. Mereka hanya
mampu memandang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li
hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.
"Siangkoan
Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan
berhenti sampai aku dapat membunuhmu!"
Ketua
Pao-beng-pai itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, aku sedang malas
bertanding, Nona manis, dan kini aku menangkap dia hanya untuk mencegah kalian
mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk
melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya."
Setelah tiba
di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah
So, dan setelah tiba di tepi sebuah hutan dia baru melepaskan lurah itu
kemudian menghilang ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau
mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke dalam
hutan amatlah berbahaya.
Melihat tiga
orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai itu, Lurah So yang
dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai sama sekali, segera menghampiri dan
memberi hormat, menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon supaya
malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.
"Pertama,
supaya kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian
Bertiga), dan kedua, supaya hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram.
Kalau Sam-wi pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan
ketakutan membayangkan iblis itu kembali datang ke rumah kami." Demikian
antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga,
akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.
Seluruh
penghuni dusun itu bersuka ria karena lurah mereka telah bebas dari gangguan
ketua Pao-beng-pai yang mereka takuti. Para penghuni itu ramai memuji-muji
pemuda dan dua orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan
terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut mereka.
Sehabis
makan minum, akhirnya tiga orang muda-mudi itu mendapat kesempatan untuk bicara
bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tiada anggota keluarga yang
berani mengganggu mereka bertiga yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan
ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.
"Aku
berterima kasih sekali kepada Taihiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar
Wanita)," kata Gan Bi Kim. "Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu
silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai
itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan
diriku," kata Bi Kim.
"Aihh,
Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya
ilmu kepandaian ketua Pao-beng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita
bertiga maju bersama, barulah kita dapat mengusirnya," kata Ciang Hun.
"Benar,
Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama,
yaitu menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau
dapat tiba di tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-beng-pai itu?"
Gan Bi Kim
menghela napas panjang. "Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah,
tidak seperti engkau yang berjulukan Si Bangau Merah dan kakak ini yang
keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu sampai mengenal kalian dan
merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim, berasal dari kota raja dan aku sedang
melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan pengalaman setelah aku
mempelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk
membela diri. Pada saat tiba di sini, aku mendengar akan kejahatan kakek tadi
yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan
mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang sangat
lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku
hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu dan nama kakak ini."
"Namaku
Tan Sian Li, enci Kim," kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis
kota raja yang dari sikapnya saja telah dapat diduga bahwa ia seorang gadis
terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis
bangsawan.
"Dan
namaku Gak Ciang Hun, nona Gan," Ciang Hun memperkenalkan diri.
Dia bagaikan
terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis
itu, entah sinar matanya yang lembut, atau pun mulutnya yang memiliki bibir
yang mempesonakan.
"Aihh,
Gan-toako, kita orang segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim.
Kiranya tidak perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!" kata Sian
Li yang wataknya terbuka dan jujur.
Bi Kim
tersenyum sambil memandang kepada pemuda itu. "Li-moi tadi berkata benar,
Gak-toako. Aku pun merasa seolah-olah aku sudah mengenal kalian selama
bertahun-tahun."
Ciang Hun
tersenyum girang. "Baiklah, Kim-moi (adik Kim)."
"Enci
Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah payah
bertualang seperti gadis kang-ouw? Aku sendiri tentu lain lagi, karena memang
aku dari keluarga petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup
berkelana. Tapi engkau..."
Bi Kim
tersenyum dan memegang lengan Sian Li. "Aihh, janganlah berkata seperti
itu, Li-moi. Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, mengapa mesti
memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku
mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas,
mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku juga pernah
mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Sebab itu,
aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau."
Tentu saja
Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han,
pemuda idamannya yang sudah ditunangkan dengannya oleh neneknya. "Dan
engkau sendiri, dari mana hendak ke mana, Li-moi? Dan juga engkau,
Gak-toako?"
"Panjang
ceritanya," kata Sian Li. "Beberapa pekan yang lalu, diadakan
pertemuan dari tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga
Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri ketua
Pao-beng-pai yang menantang kami. Dia dapat dikalahkan dan kemudian pergi. Aku
sendiri menjadi sangat penasaran dan pergi hendak menyelidiki
Pao-beng-pai..."
"Dan
karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu
mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama," sambung
Ciang Hun.
"Tapi
aku pernah mendengar berita bahwa Pao-beng-pai sudah dibasmi oleh pasukan
pemerintah," kata Bi Kim.
"Benar,
kami terlambat dan kami tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, tapi malah
bertemu dengan ayahnya di sini."
"Jadi
kalian berdua saja berani datang untuk mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu
berbahaya sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apa lagi kalau
perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat banyak anak buahnya," kata Gan
Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.
"Aku
bukan hanya hendak menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan
terhadap Pao-beng-pai hanya sambil lalu saja, yang terutama sekali kepergianku
adalah untuk mencari Han-koko..." Sian Li berhenti sebentar sambil memandang
kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah mendengar
pengakuan Si Bangau Merah.
"Han-koko?
Siapa itu Han-koko?" tanya Bi Kim, tersenyum.
Sian Li baru
ingat bahwa Bi Kim sama sekali tak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang
gadis yang tidak merasa perlu untuk merahasiakan hubungannya dengan Yo Han
terhadap seorang sahabat yang dipercayanya, dia pun tertawa.
"Aihh,
aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk
Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han... ehhh, engkau
kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?"
"Tentu
saja aku terkejut," Bi Kim tersenyum, menahan debaran jantungnya,
"Siapa yang tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Taihiap? Dan
engkau menyebut dia Han-koko? Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat
dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?"
Sian Li
tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya berubah menjadi kemerahan. Sambil
menundukkan mukanya dan dengan tersipu ia berkata, "Boleh dibilang
begitulah karena dia... dan aku... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak
menjadi suami isteri."
Karena
mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi
Kim tiba-tiba terbelalak, mukanya pucat dan napasnya terengah sejenak. Bahkan
dia kemudian menunduk dan mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk
cepat mengusir dua titik air matanya.
Akan tetapi
Ciang Hun yang semenjak tadi mengamatinya, dapat melihat perubahan ini.
Diam-diam dia pun merasa amat terkejut dan heran. Hatinya lalu menduga-duga.
Ketika Sian
Li kembali mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim telah
dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang
sangat hebat. Siapa orangnya yang tidak merasa seperti ditikam jantungnya
ketika mendengar pengakuan seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu
ternyata saling mencinta dengan laki-laki yang selama ini dicari dan
dirindukannya karena laki-laki itu adalah tunangannya!
Menurut
gejolak hatinya, ingin sekali dia marah-marah kepada Sian Li. Tetapi dia lalu
mengingat-ingat kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda
yang ditunangkan dengannya oleh neneknya itu belum pernah menyatakan cinta
kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi jawaban dan mengambil
keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.
"Kau
kenapakah, enci Kim? Engkau kelihatan termenung..." kata Sian Li.
Bi Kim
mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Kemudian dia
menggelengkan kepalanya.
"Tidak
apa-apa, adik manis. Aku hanya merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita
Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat
usiamu yang masih amat muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar
Tangan Sakti."
Sian Li
memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh. "Hi-hi-hik, engkau
keliru sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan
tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat
tahun!"
Bi Kim
terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li.
"Aku... aku tidak mengerti..." katanya bingung.
Sian Li
tersenyum dan memegang lengan Bi Kim. "Engkau tidak perlu heran, enci Kim.
Ketahuilah, ketika aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan
menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami berpisah dan baru belasan tahun
kemudian kami kembali saling bertemu dan langsung kami saling jatuh cinta
kembali, maksudku... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walau
pun sifat cinta itu berubah..."
Kembali
sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya. Setelah
mendengar semua keterangan itu, tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat
mengharapkan Yo Han untuk menjadi calon jodohnya. Bukan Sian Li yang merampas
tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil!
Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, berarti
dialah yang merampas kekasih orang!
Keangkuhan
yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat
Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan
batinnya dengan Yo Han. Dia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han
yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah!
Untuk
mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu
hatinya, Bi Kim lalu bertanya dengan suara heran, "Adik manis, kenapa
engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia meninggalkanmu?"
Pertanyaan
yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, meski sesungguhnya
pertanyaan itu mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang
hubungan antara Sian Li dan Yo Han.
"Ahhh,
banyak sekali yang menyebabkannya, Enci, dan sebenarnya hal ini merupakan
rahasiaku..."
"Siauw-moi,
aku mulai merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan
percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dahulu?"
kata Ciang Hun yang merasa tidak enak hati karena agaknya kehadirannya hanya
akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab.
Sian Li
tersenyum dan mengangguk. Diam-diam dia merasa terharu dan juga senang karena
pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaan dirinya. Dia selalu
merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu harus menceritakan
segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.
"Gak-toako
ini seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali. Aku amat kagum dan
menghormatinya, apa lagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan.
Maksudku, dia masih keturunan keluarga dari perguruan Pulau Es, sedangkan
kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es,"
kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.
"Aku
pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan,"
kata Bi Kim. "Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu
dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi."
"Ahh,
tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk
menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako..., aku jadi tidak tega untuk banyak
bercerita tentang Han-koko dan aku..."
"Tidak
tega?" Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, "Kenapa tidak
tega?"
"Karena
dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya,
walau pun aku suka dan hormat sekali kepadanya. Aku sudah menceritakan mengenai
hubunganku dengan Han-koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan
hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya
kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya."
Bi Kim
semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu
jujur, begitu terbuka! "Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit
sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah,
sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?"
Sian Li lalu
bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya
yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah
ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!
"Akan
tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu,
walau pun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat
juga."
"Siapakah
pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu."
"Dia
Pangeran Cia Sun."
Diam-diam Bi
Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja dia tahu siapa pangeran itu. Seorang
pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang
gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya!
Bahkan dia
sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat
pangeran itu dan dia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini... Si Bangau
Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!
"Hemm,
menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para
pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat."
"Biar
seratus kali lebih baik dari itu, aku tetap tidak sudi, Enci. Aku hanya mau
berjodoh dengan Han-ko! Nah, pada waktu ayah dan ibu mengajakku menghadiri
pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han-koko
di sana. Namun ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Pao-beng-pai
membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi,
aku lalu meninggalkan ayah ibu secara diam-diam karena aku ingin mencari
Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai. Sebetulnya aku ingin membatalkan niat
ayah dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari
Han-koko sampai dapat."
"Ke
mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?" tanya Bi Kim, diam-diam merasa
heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah
ini.
Ia pun
sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia
mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat
besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum
resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas
kehendak mereka yang bersangkutan!
"Han-koko
menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang
hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun
usianya. Hingga kini, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada
berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan oleh Pendekar Suling Naga
dan isterinya tak berhasil. Bahkan andai kata anak itu ditemukan juga, anak itu
sudah tidak mengenal orang tua kandungnya, dan sebaliknya suami isteri itu pun
takkan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang
hilang itu!"
"Aih,
betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin bisa mencarinya jika tidak pernah
melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?" kata
Bi Kim.
Dia merasa
ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan
tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian sulitnya.
Andai kata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa dia adalah
anak yang hilang itu?
"Memang
ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua
buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan
sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada
dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!"
"Aku
akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya."
"Terima
kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Kini aku merasa bingung harus ke mana
mencari kekasihku itu. Aku sangat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia
sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku."
Tanpa
disadari oleh Sian Li, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit
untuk beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapat masing-masing sebuah
kamar di rumah keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.
Bi Kim rebah
di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak supaya
jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Dia
merasa hatinya bagai diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya.
Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk
pertama kali ia bertemu dengan Yo Han.
Pertama kali
Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid dari mendiang
paman kakeknya Ciu Lam Hok. Ketika itu keluarga ayahnya sedang dilanda
malapetaka.
Ayahnya yang
menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena
banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang. Yo Han menyelidiki dan
ternyata yang melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan
hal itu untuk memaksa keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima
itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya. Dan dalam keadaan
berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman
kakeknya, tiba-tiba menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!
Semua itu
terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk
dengan tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari
guru-guru silat yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya, sehingga kini dia
menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan.
Semua itu
dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon
suaminya seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti
ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu
yang tidak kunjung datang, dia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi
mencari Yo Han!
Dan
sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku
terus terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan
mereka jauh lebih dahulu dari pada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja
Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang diajukan oleh neneknya!
Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!
Bi Kim
terpaksa mendekap mukanya dengan bantal karena tangisnya semakin menjadi-jadi.
Nafasnya sampai terasa sesak karena dia menahan-nahan sekuatnya agar jangan
sampai terdengar suara tangisnya.
Segala macam
perasaan yang mengandung susah dan senang ialah permainan nafsu. Nafsu memang
selalu memiliki satu arah tujuan, yaitu kesenangan yang dinikmati tubuh melalui
panca indera. Jika penyebab kesenangan itu lepas dari tangan, kesenangan itu
dalam sekejap mata dapat berubah menjadi kebalikannya, yaitu kesusahan.
Cinta asmara
antara pria dan wanita merupakan suatu perasaan manusia yang paling rumit dan
aneh. Dalam perasaan yang ada pada tiap diri seorang manusia yang normal ini,
yang agaknya memang telah menjadi anugerah atau yang disertakan pada manusia
sejak manusia itu dilahirkan, terkandung banyak hal.
Ada pengaruh
naluri daya tarik antara lawan jenis yang alami, naluri yang ada pada tiap
makhluk ciptaan Tuhan, yang bergerak mau pun yang tidak, daya tarik yang
merupakan syarat mutlak bagi pengembang biakan makhluk itu. Daya tarik alami
ini yang membuat lawan jenis kelamin saling tertarik, lalu saling mendekati
sehingga terjadilah penyatuan yang melahirkan makhluk baru sebagai proses
penciptaan yang amat indah dan suci.
Di samping
naluri yang sifatnya suci dan alami, masuk pula pengaruhi nafsu dan dalam cinta
asmara, nafsu memainkan peran sepenuhnya sehingga memberikan kesenangan
selengkapnya kepada manusia yang dilanda cinta. Kenikmatan akan dirasakan
manusia melalui kesenangan yang terkandung dalam panca indera. Bila orang
sedang bercinta, mata akan melihat keindahan pada orang yang dicinta, telinga
mendengar kemerduan, hidung mencium keharuman. Segala macam perasaan, sentuhan
dan apa saja menjadi terasa teramat indah!
Namun,
karena nafsu memegang peran yang begitu besarnya, maka seperti akibat dari pada
permainan nafsu, semua kesenangan itu setiap saat dapat saja berubah menjadi
kesusahan. Tidak ada kesenangan melebihi senangnya orang bercinta, dan tidak
ada kesusahan hati melebihi orang gagal dalam bercinta! Dunia seakan kiamat,
harapan seakan-akan hancur lebur, hidup seakan-akan tiada artinya lagi!
Dalam saat
seperti itu, betapa banyaknya orang yang kurang tabah dan kurang sadar lalu
melakukan perbuatan dungu seperti membunuh diri, atau membunuh orang yang
menggagalkan cintanya termasuk orang yang dicintanya itu sendiri! Dalam mabuk
cinta, kita lupa bahwa segala kesenangan itu ada batasnya, dan tidak abadi!
Jelas bahwa
nafsu yang bermain-main di dalam cinta kasih tidak abadi pula. Yang abadi
adalah sesuatu yang datangnya bukan dari nafsu yang menggelimangi hati akal
pikiran. Yang asli dan abadi adalah cinta yang tidak dikotori nafsu dan cinta
inilah yang menjadi dasar dari segala perasaan yang baik. Cinta ini yang
mungkin biasa kita namakan kasih sayang!
Kasih ini
terdapat di dalam sinar matahari, di dalam titik-titik air hujan, dalam
gelombang samudera, dalam bersilirnya angin semilir, dalam merekahnya dan
harumnya bunga-bunga, dalam senyum ranum dan matangnya buah-buahan, di dalam
air mata seorang ibu, di dalam belaian tangannya, di dalam pandang mata seorang
ayah, di dalam tangis seorang bayi dan masih banyak lagi.
Gan Bi Kim
menjadi korban dari ulah nafsu itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya hancur
lebur. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu bahwa kesusahan, seperti juga
dengan kesenangan, tidak abadi, bahkan tidak akan panjang umurnya, walau pun
dibandingkan kesenangan, kesusahan lebih lama dirasakan manusia.
Tidak
mungkin senang terus tanpa kesusahan, seperti tidak mungkinnya susah terus
tanpa ada kesenangan. Bahkan di waktu siang hari pun tidak selalu terang
benderang, kadang-kadang digelapkan awan mendung, dan malam gelap gulita pun
kadang-kadang diterangi bulan atau bintang-bintang!
Dalam
keadaan senang, orang lupa bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu. Dalam
keadaan susah, seseorang seolah-olah merasa bahwa tak ada harapan lagi dan
selalu dia akan menderita susah, seperti sakit yang tak mungkin dapat diobati
lagi!
Bi Kim
merasa semakin tidak tahan. Berduka di dalam kamar yang asing, seorang diri
digerogoti kenangan lama, membuat ia merasa sumpek dan pengap. Malam telah tiba
dan suasana sunyi. Ia membuka daun pintu dan melangkah keluar, melalui gang
masuk ke dalam taman bunga milik keluarga lurah itu. Agak lega rasanya ketika
ia berada di luar, di udara terbuka.
Ia melangkah
terus. Malam tidak gelap benar karena ada banyak sekali bintang di langit,
tidak terhitung banyaknya karena langit cerah tanpa mendung sehingga hampir
semua bintang bermunculan, ada yang tersenyum, ada yang berkedip-kedip.
Bunga-bunga
di taman itu banyak yang mekar indah, karena memang waktu itu musim bunga telah
berumur dua bulan sehingga suasana taman itu indah sekali, bermandikan cahaya
bintang yang kehijauan. Ditambah lagi suara jangkerik dan belalang laksana
sekumpulan musik yang mendendangkan lagu malam dalam irama yang bebas namun
tidak kacau, bahkan serasi.
Tiba-tiba
suasana itu, yang pada mulanya menghibur, sekarang bagaikan menyentuh
perasaannya, mendatangkan keharuan yang mendalam hingga ia terhuyung, menutupi
muka dengan tangannya dan menangis. Kini ia berada di luar rumah dan ia tidak
begitu menahan isak tangisnya, dan terdengar rintihan kalbunya keluar melalui
mulutnya dalam bentuk tangis lirih dan sedu sedan.
Dia sama
sekali tidak tahu bahwa Gak Ciang Hun yang semenjak tadi duduk melamun seorang
diri di dekat kolam ikan, kini bangkit dan memandang kepadanya dari sebelah
kiri. Pemuda itu menghela napas panjang, dan alisnya berkerut.
Dia sudah
melihat perubahan sikap gadis itu sejak Sian Li mengaku bahwa ia dan Yo Han
saling mencinta. Dia melihat betapa Gan Bi Kim terbelalak dengan muka pucat dan
napasnya terengah-engah ketika mendengar pengakuan Sian Li itu dan betapa gadis
itu berusaha untuk menenangkan diri secepatnya. Dia menduga-duga, akan tetapi
dia tidak menemukan jawabannya.
Dan kini,
selagi dia melamun seorang diri di dalam taman mengenangkan nasib dirinya yang
menderita penolakan cintanya terhadap Sian Li, atau lebih tepat lagi menderita
putusnya cinta dikarenakan Sian Li mengaku bahwa gadis itu hanya mencinta Yo
Han, tiba-tiba saja dia melihat Bi Kim menangis sedih seorang diri di dalam
taman! Karena merasa terharu dan iba, bagaikan terkena pesona dan seperti tidak
disadarinya, Ciang Hun melangkah perlahan menghampiri. Setelah dekat, dia
berkata lirih.
"Adik
Bi Kim..."
Bi Kim
tersentak kaget, seperti diseret dari dunia lamunan kembali ke dunia kenyataan
yang pahit dan membingungkan. Segera ia menghapus air mata dengan tangannya dan
mengucek-ucek kedua matanya, memaksa bibirnya tersenyum.
"Aihh,
kiranya Gak-toako... kaget sekali aku karena tidak mengira di sini ada orang
lain."
Hati Ciang
Hun makin terharu. Gadis ini jelas sedang menderita batin yang membuatnya
berduka, akan tetapi masih berusaha untuk bersikap wajar yang sangat canggung.
Dia pun tidak berpura-pura lagi karena dia merasa kasihan dan ingin sekali
dapat membantu gadis itu, kalau memang gadis itu membutuhkan bantuan.
"Kim-moi,
sejak tadi aku berada di sini, ingin menikmati malam musim bunga yang indah
ini. Malam sangat cerah, langit bersih terhias bintang-bintang. Mengapa engkau
malah berduka dan menangis, Kim-moi?"
"Aku...
aku tidak berduka, tidak menangis..." Bi Kim cepat membantah, tetapi
suaranya membuktikan bahwa ia memang habis menangis, bahkan masih terkandung
sisa tangis di dalam getaran suaranya.
"Ahh,
Kim-moi, biar pun kita baru berkenalan hari ini, akan tetapi tentu engkau juga
telah merasakan seperti yang kami rasakan, yaitu bahwa kita berasal dari satu
golongan dan seperti keluarga sendiri. Di antara saudara atau sahabat baik,
kalau ada seorang yang mengalami kesulitan, sudah sepantasnya kalau yang lain
membantu, bukan? Andai kata aku yang mengalami kesusahan, apakah engkau tidak
bersedia untuk menolongku, Kim-moi?"
"Tentu
saja, Toako! Engkau sendiri dan Li-moi tadi pun telah menolongku dari ancaman
ketua Pao-beng-pai. Tentu aku pun akan mengulurkan tangan membantumu kalau aku
bisa."
"Nah,
begitu pula dengan aku, Kim-moi. Kini aku mengulurkan tangan dan aku bersedia
membantu dirimu mengatasi kesusahanmu. Nah, maukah engkau menceritakan kenapa engkau
begini bersedih?"
Ditanya
orang lain tentang kesedihannya dengan suara yang demikian penuh perhatian dan
seakan turut merasakan, keharuan memenuhi hati Bi Kim dan tak tertahankan lagi
air matanya bercucuran. Akan tetapi ia menggigit bibir dan tak mau mengeluarkan
suara tangis. Ia menggelengkan kepala dan menghapus air matanya dengan sapu
tangannya yang sudah basah.
"Engkau...
engkau atau siapa pun di dunia ini tidak akan dapat menolongku, Toako... memang
sudah ditakdirkan bahwa nasibku amat buruk..." kembali ia mengusapkan sapu
tangan ke arah kedua matanya.
"Siauw-moi,
tidak ada nasib buruk itu! Segala sesuatu yang terjadi menimpa diri kita sudah
sewajarnya, dan ada sebab akibatnya. Bukan nasib buruk, karena nasib buruk itu
hanya pandangan orang yang kecil hati dan tidak tabah menghadapi kenyataan
hidup. Kenyataan hidup memang tidak selalu putih, ada kalanya hitam, tidak
selalu manis, ada kalanya pahit. Akan tetapi, manis atau pun pahit, kalau kita
dapat menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup yang tidak terlepas dari hukum
alam, maka kita akan mampu menghadapinya dengan tabah. Tidak ada masalah yang
tidak dapat diatasi, asalkan kita tabah, tidak meninggalkan daya ikhtiar dan
didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, Kim-moi. Aku tadi sudah melihat
perubahan pada sikapmu. Pada waktu Li-moi bercerita dengan terus terang, memang
wataknya terbuka dan jujur, bahwa ia dan Yo Han saling mencinta, aku melihat
engkau terbelalak kaget dan mukamu pucat sekali. Kim-moi, aku yakin bahwa
kedukaanmu tentu ada hubungannya dengan cerita Li-moi itu, atau setidaknya, ada
hubungannya dengan Yo Han. Benarkah dugaanku?"
Bi Kim
menundukkan mukanya. Sampai lama ia tidak menjawab, hanya menarik napas panjang
berulang kali. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, dan kalau sampai
Sian Li mengetahui hal ini, sungguh amat tidak enak. Pemuda ini dapat
dipercaya, dan dengan bantuan pemuda ini ia akan lebih mudah menyembunyikan
rahasianya dari Sian Li.
"Gak-toako,"
katanya sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam, "Kalau
aku berterus terang kepadamu, maukah engkau berjanji untuk merahasiakan ini
dari adik Sian Li?"
"Aku
berjanji demi kehormatanku, Kim-moi."
"Ketahuilah,
Toako, bahwa guru dari Sin-ciang Taihiap Yo Han adalah adiknya nenekku. Pada
suatu hari, Yo-toako datang berkunjung ke kota raja dan dia berhasil menolong
ayahku yang terancam malapetaka karena lenyapnya beberapa buah pusaka istana,
padahal ayahku menjabat sebagai pengatur gedung pusaka itu. Karena rasa
bersyukur, di depan meja sembahyang paman kakekku itu, nenekku lalu menjodohkan
aku dengan Yo-toako."
"Ahhh,
begitukah...?" Gak Ciang Hun menggumam lirih.
"Ya
begitulah, Toako. Biar pun perjodohan itu belum diresmikan, akan tetapi sejak
saat itu, aku sudah menganggap diriku sebagai calon isteri Yo Han. Dan tentu dapat
kau bayangkan betapa kaget rasa hatiku ketika tadi aku mendengar bahwa adik Tan
Sian Li saling mencinta dengan Yo Han."
Ciang Hun
mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya. "Apakah Yo Han juga sudah
menyetujui ikatan jodoh itu?"
Gadis itu
menggeleng. "Belum, Toako. Bahkan dia minta supaya urusan perjodohan itu
ditangguhkan sampai dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Usul perjodohan itu
datang dari nenek, dan dia belum menyatakan setuju atau tidak setuju."
"Akan
tetapi... maafkan pertanyaanku ini, apakah kalian sudah saling mencinta?"
Gadis itu
menarik napas panjang. Wajahnya nampak memelas sekali walau pun tidak kelihatan
jelas di bawah sinar ribuan bintang yang lembut, akan tetapi tarikan muka itu
membuat Ciang Hun maklum bahwa pertanyaannya mendatangkan kepedihan hati.
"Terus
terang saja, Toako, aku amat kagum padanya dan selama ini aku menganggap bahwa
aku cinta padanya. Akan tetapi... ahh, cinta sepihak tidak mungkin, bukan? Dia
sudah saling mencinta dengan adik Sian Li... aku akan memberi tahu kepada
nenekku dan orang tuaku bahwa aku tidak mungkin berjodoh dengannya."
Hening
sejenak, kemudian Bi Kim tercengang melihat pemuda itu tertawa, akan tetapi
suara tawanya sumbang. "Ha-ha-ha-heh-heh, alangkah lucunya! Betapa
lucunya...!!"
Tentu saja
Bi Kim mengerutkan alisnya. Wajahnya berubah merah, pandang matanya bersinar
tajam karena marah. Ia mengira bahwa pemuda itu mengejeknya! Padahal, ia telah
mempercayainya dan menceritakan rahasia hatinya yang sebetulnya tidak harus
diceritakan kepada siapa pun.
"Toako,
kau... kau mentertawakan aku...?!" bentaknya marah.
Ciang Hun
menyadari sikapnya yang dapat menimbulkan kesalah pahaman itu, maka ia
menghentikan tawanya dan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada meminta
maaf.
"Maafkan
aku, Siauw-moi. Aku sama sekali bukan mentertawakan engkau, melainkan
mentertawakan diriku sendiri karena sungguh amat lucu keadaan kita
berdua!" Kembali dia tertawa, akan tetapi menahan sehingga tawanya tidak
bersuara.
Bi Kim masih
mengerutkan alisnya. "Hemmm, apanya yang lucu dengan ceritaku tadi?"
"Dengarlah,
Kim-moi. Sudah lama aku pun jatuh cinta kepada adik Tan Sian Li! Dan kau tahu,
sebelum aku sempat menyatakan cintaku padanya, ia mengaku kepadaku seperti yang
diceritakan kepadamu tadi, yaitu bahwa dia mencinta Yo Han dan hanya mau
berjodoh dengan Yo Han. Kau tentu mengerti betapa hancurnya perasaan hatiku,
tetapi aku dapat menerima kenyataan pahit itu. Sama sekali tidak aku duga bahwa
engkau mengalami hal yang sama benar dengan aku, dan kita berdua sama-sama
mendengar keputusan yang menghancurkan itu dari mulut Li-moi. Hanya bedanya di
antara kita, engkau mencinta yang laki-laki, aku mencinta yang perempuan.
Ha-ha-ha, bukankah lucu sekali?"
Ciang Hun
tertawa-tawa lagi dan sekali ini, Bi Kim juga tertawa. Mereka berdua
tertawa-tawa, akan tetapi tawa mereka terasa sumbang dan semakin lama, suara
tawa mereka semakin sumbang hingga akhirnya Bi Kim menangis dan Ciang Hun juga
mengeluh dan menahan tangisnya!
Dalam
keadaan seperti itu keduanya dapat saling merasakan betapa sedih dan perihnya
hati yang hampa karena cinta sepihak. Perasaan yang mendatangkan iba diri
karena diri serasa tiada harganya, tidak ada yang menyayang! Dan timbullah
perasaan iba yang mendalam satu lama lain.
"Kim-moi,
kita harus dapat menerima kenyataan... Sudahlah, Kim-moi, jangan bersedih
lagi..." karena merasa iba sekali, Ciang Hun mendekat dan menyentuh lengan
gadis itu.
Bagaikan
tanggul penahan air bah yang bobol, bendungan itu kini pecah dan setengah
menjerit Bi Kim menangis dan merangkul Ciang Hun, menangis di dada pemuda itu
sampai mengguguk. Semua perasaan pedih, perih dan duka yang semenjak tadi
selalu ditahan-tahannya di dalam hati, sekarang dilepaskannya semua melalui
tangisnya yang meledak-ledak.
Ciang Hun
mengelus rambut itu. Dia pun berdongak memandang langit yang dipenuhi
bintang-bintang, dua matanya sendiri basah. Dia maklum sekali bahwa gadis itu
sedang ditekan perasaan yang amat berat, maka jalan terbaik adalah
membiarkannya menangis melarutkan semua tekanan batin yang dapat menimbulkan
penyakit luar dan dalam.
Setelah
tangisnya itu agak mereda, bagai badai yang mereda, Ciang Hun berkata,
"Ehh, Kim-moi, lihatlah betapa bodohnya kita. Apakah dengan gagalnya cinta
kasih kita, lalu dunia ini akan kiamat? Lihat di langit itu, jutaan bintang
mentertawakan kita yang lemah. Kita bukanlah orang lemah, kita harus mampu
menanggulangi semua tantangan hidup. Kegagalan hanya akan memperkuat batin
kita, mematangkan kita. Sama sekali keliru kalau kita putus asa dan membiarkan
diri tenggelam dalam kecewa dan duka."
Bi Kim sadar
dan ia pun seperti baru menyadari bahwa ia telah menangis di atas dada Ciang
Hun. Ia melepaskan rangkulannya dan tersipu. Ia menghapus sisa air matanya,
memandang kepada pemuda itu, mencoba untuk tersenyum.
"Engkau
benar, Toako. Maafkan atas kelemahanku, dan maafkan kelakuanku tadi yang tidak
pantas."
"Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Siauw-moi, tidak ada yang tidak pantas. Aku mengerti
perasaanmu dan aku dapat merasakan pula kepahitan yang melanda hatimu. Bukankah
kita sama-sama mengalaminya? Akan tetapi, sama-sama pula kita dapat
mengatasinya, bukan?"
"Terima
kasih, Gak-toako."
Ciang Hun
lalu menasehati agar gadis itu kembali ke kamarnya karena akan kurang baik
dugaan orang kalau ada yang melihat mereka berada di taman berdua saja pada
waktu malam seperti itu. Bi Kim menyetujui. Ia pun kembali ke kamarnya,
meninggalkan Ciang Hun yang masih termenung seorang diri di taman itu.
Mulai saat
itu, tumbuhlah perasaan aneh di dalam hati kedua orang itu. Mereka saling
merasa kasihan, dan perasaan ini menumbuhkan suatu perasaan baru dari cinta
kasih, ingin saling menghibur, ingin saling membahagiakan!
Pohon cinta
memang bisa tumbuh dengan perantaraan belas kasihan, atau kekaguman, senasib,
kesamaan pandangan, kesamaan selera dan banyak perasaan lain lagi. Dan sekali
orang jatuh cinta, maka segala yang ada pada diri orang yang dicintai nampak
indah, segala yang dilakukan orang yang dicinta selalu menyenangkan hati. Maka
tidak terlalu berlebihan bila orang mengatakan bahwa cemberut seorang yang
dicinta menjadi pemanis, sebaliknya senyum seorang yang dibenci makin
menyebalkan!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah bangun dan mandi. Ketika dia
keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan pakaian bersihnya, dan seperti
biasa pakaiannya serba merah sehingga ia nampak segar dan jelita seperti
setangkai bunga mawar merah di waktu pagi hari, masih segar membasah
bermandikan embun pagi, ia melihat Gan Bi Kim dan Gak Ciang Hun juga sudah
mandi. Mereka kemudian duduk di ruangan dalam di luar kamar mereka.
Setelah
mereka duduk bertiga, Sian Li lantas berkata. "Pagi ini aku akan
melanjutkan perjalananku, dan sebelum aku bertemu dengan Han-ko, aku tidak akan
pulang."
"Memang,
sebaiknya kalau kita bertiga pergi dari sini," kata Ciang Hun.
"Tidak
enak kalau mengganggu keluarga Lurah So terlalu lama."
"Adik
Sian Li, aku akan mencoba untuk membantumu, ikut mencarikan anak yang hilang
itu. Siapa tahu aku akan bertemu dengan gadis yang mempunyai tanda-tanda di
pundak kiri dan kaki kanan itu. Siapa namanya?"
"Namanya
Sim Hui Eng," jawab Sian Li.
"Aku
pun akan membantumu mencari Yo Han, kalau jumpa akan kuberi tahu bahwa engkau
mencarinya. Paling lambat pada hari Sin-cia (Tahun Baru Imlek), berhasil atau
tidak, aku akan memberi kabar kepadamu, di rumah orang tuamu di Ta-tung,"
berkata Ciang Hun.
Sian Li
tersenyum memandang kepada dua orang sahabatnya itu. "Terima kasih, kalian
baik sekali. Karena kita bertiga mencari orang, maka akan lebih besar
harapannya akan berhasil kalau kita berpencar. Kita mencari dengan berpencar
dan berjanji saling jumpa lagi pada hari Sin-cia. Bagaimana pendapat
kalian?"
"Setuju!"
kata Ciang Hun. "Pada hari Sin-cia, aku akan berkunjung ke rumahmu,
Li-moi.”
“Dan
bagaimana dengan kau, Kim-cici? Di mana kita akan bertemu hari Sin-cia
nanti?"
"Aku
setuju dengan pendapat Gak-toako. Aku pun akan berkunjung ke rumahmu pada hari
Sin-cia, Li-moi."
"Bagus!
Aku akan menanti kunjungan kalian dengan hati gembira. Ayah dan ibu pasti juga
akan bergembira sekali bila menerima kunjungan kalian. Nah, mari sekarang kita
berangkat!"
Tiga orang
muda perkasa itu lalu berpamitan kepada Lurah So sekeluarga, kemudian
meninggalkan rumah dan dusun itu. Setelah tiba di perempatan jalan, mereka
berpisah. Sian Li menuju ke utara, Ciang Hun ke selatan dan Bi Kim ke timur...
GADIS itu
duduk di bawah pohon, agak jauh dari jalan raya dan tidak nampak dari jalan
karena tempat itu agak tertutup oleh hutan kecil yang berada di luar tembok
kota raja. Gadis yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun itu anggun dan
cantik jelita. Pakaiannya indah. Rambutnya digelung tinggi dan dihias tiara kecil.
Melihat pakaiannya pantasnya ia adalah seorang puteri bangsawan yang kaya raya.
Namun sungguh aneh, ia berada seorang diri di tempat sunyi itu, bahkan lebih
aneh lagi, ia duduk termenung dengan air mata mengalir menuruni kedua pipinya.
Bila orang
mengetahui sikap gadis itu, dia tentu akan semakin terheran-heran. Gadis itu
adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona
Dewi. Oleh semua anggota Pao-beng-pai dan bahkan di dunia kang-ouw, dia dikenal
sebagai puteri ketua Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan nama gadis itu adalah
Siangkoan Eng atau biasa dipanggil ayah ibunya Eng Eng saja.
Akan tetapi,
sudah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang
membuat Eng Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air
mata! Padahal, dahulu sebagai puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai
seorang wanita perkasa yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Jika orang
yang pernah mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan
merasa terkejut dan heran bukan main.
Bagaimana ia
tidak akan menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng
dilanda perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan
dendam. Karena membebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya.
Kemudian ayahnya menyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid
ayahnya dan sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa
ayahnya tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu!
Dan setelah
dia terluka parah oleh pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi,
yaitu ibunya membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya
hanyalah ayah tirinya! Dan pada saat ia bertanya kepada ibunya, siapa ayah
kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu amat membenci
ayah kandungnya.
Semua
peristiwa itu membuat dirinya merasa sedih bukan main. Orang yang selama ini
dianggap ayahnya sendiri, ternyata orang lain dan sangat kejam terhadap ibunya
dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, ibunya malah sangat membenci ayah
kandungnya dan tidak mau memberi tahukan siapa nama ayah kandungnya, masih
hidup ataukah sudah mati.
Semua ini
menghancurkan hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah,
meninggalkan Pao-beng-pai dan bersembunyi di sebuah goa yang banyak terdapat di
Ban-kwi-kok. Di Lembah Selaksa Setan ini terdapat goa-goa besar yang ditakuti
orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan dan iblis.
Karena itu, jangankan rakyat biasa, bahkan para anggota Ban-kwi-kok sendiri
jarang ada yang berani datang, apa lagi bermalam di goa-goa itu.
Dalam
kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah goa dan
setiap hari dan malam dia hanya duduk bersemedhi, menghimpun tenaga sakti untuk
mengobati luka dalam yang diderita akibat pukulan ayah tirinya! Ayah tirinya
amat jahat, hampir membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan menurut ibunya, ayah
kandungnya juga amat jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur
rasanya bagi Eng Eng.
Pada keesokan
hatinya, selagi bersemedhi, dia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi
pertempuran di Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia
belum bentrok dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng-pai dengan
taruhan nyawa. Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap
duduk bersila.
Ia masih
belum pulih. Kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja, ia akan
celaka. Selain itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya
kini condong untuk menentang dan melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa
sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang
kepadanya, tentu kini dia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya!
Karena
perasaan itu, dia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam goa. Akan tetapi
setelah pertempuran itu berhenti, baru dia teringat akan ibunya! Betapa pun dia
marah kepada ibunya yang mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja
sekarang dia mengkhawatirkan ibunya.
Ayah
kandungnya sakti, juga ibunya mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga
mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, dia tidak tahu siapa
yang melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai. Dia harus melihat bagaimana keadaan
ibunya, agar supaya hatinya menjadi lega.
Karena keadaan
sangat sunyi, maka dia pun keluar dari dalam goa dan pergi ke sarang
Pao-beng-pai. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggota
Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya entah lari ke mana. Yang lebih
mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia menemukan mayat ibunya dan mayat Sui
Lan!
Ia lalu
menubruk dan menangisi mayat ibunya. Ketika dua orang anggota Pao-beng-pai yang
melihat munculnya nona mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng
bertanya apa yang telah terjadi.
Dua orang
anggota Pao-beng-pai itu lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang
menyerbu Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap
bahwa Sui Lan dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!
"Dan di
mana Pangcu (Ketua)?" Ia tidak mau menyebut ayah.
"Kami
tidak tahu, Nona. Melihat bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau
telah berhasil menyelamatkan diri."
"Bagaimana
pasukan pemerintah mampu naik ke tempat ini dan melalui semua jebakan
rahasia?" tanyanya penasaran.
"Kami
sempat melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona.
Tentu dialah yang menjadi penunjuk jalan."
Eng Eng
terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia mengepal tinju. Hatinya
berteriak memaki Cia Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah
membawa pasukan datang menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai
mata-mata.
Laki-laki
berhati palsu! Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya di dalam
hati. Dibantu dua orang anggota Pao-beng-pai itu, Eng Eng kemudian mengubur
jenazah ibunya dan Sui Lan, di lereng sebuah bukit yang bersih.
Demikianlah,
kini ia berada di luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia
bukan seorang wanita cengeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah
cukup ia menangisi di depan jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini
ia mencucurkan air mata bukan karena teringat kematian ibunya.
Ia menangis
karena teringat akan Cia Sun! Ia akan mencari, menangkap dan menyiksa, lalu
membunuh Cia Sun! Akan tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat
melakukan itu. Ia amat mencinta pangeran itu! Mengenangkan sikap manis dan
mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan mampu melukainya,
menyakitinya, apa lagi membunuhnya? Inilah yang membuat ia bercucuran air mata
menangis!
Senja datang
dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya. "Cengeng!
Lemah!" Ia memaki diri sendiri.
Bagaimana
pun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang menyebabkan Pao-beng-pai runtuh
dan habis terbasmi, bahkan ia pula yang menyebabkan ibunya tewas! Dia bukan
membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas dendam bagi Siangkoan
Kok, tetapi ia harus membalas dendamnya atas kematian Sui Lan dan ibunya,
terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!
Sesudah
menghapus air matanya dan mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang
kota raja sebelah selatan. Karena ia nampak seperti seorang gadis bangsawan
atau hartawan, tidak pula membawa senjata sebab senjata istimewanya, yaitu
sebatang hud-tim (kebutan) terselip di pinggang, di balik baju, maka para
penjaga di pintu gerbang hanya memandang kagum, tidak mengganggunya.
Malam itu
gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang
lembab. Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah
mereka yang lebih hangat dibandingkan hawa di luar.
Apa lagi di
rumah kaum bangsawan dan hartawan, di mana terdapat perapian yang bisa
mendatangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali,
tak ada yang mau meninggalkan rumah. Sebab itu jalan-jalan raya juga sepi dari
lalu lintas.
Kesepian itu
amat membantu Eng Eng yang sudah mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya
digelung dan diikat ke belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tak
dihias tiara. Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya
yang cepat sukar diikuti pandang mata.
Senjata
kebutan yang berbulu merah dan bergagang emas terselip di pinggang depan,
dengan bulunya sudah digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung
di punggung. Sekuntum jarum hitam juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini
membekali diri dengan senjata lengkap karena ia hendak menangkap Pangeran Cia
Sun di rumah gedung keluarga pangeran itu.
Sore tadi
setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan tidak sukar
untuk mendapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah gedung
besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat tinggal
Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan seorang di
antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).
Seperti
telah kita ketahui, biar pun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat
Kaisar Kian Liong, yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, akan
tetapi sesungguhnya, Pangeran Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil
hubungan gelap dengan kakak iparnya. Oleh karena itu, biar pun resminya
pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti
anaknya sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota,
akan tetapi dia merupakan seorang di antara para pangeran yang disayang oleh
kaisar.
Malam itu,
di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak
memegang jabatan penting, juga tak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat
tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidak dijaga ketat seperti tempat
kediaman para pangeran lain. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan
melakukan perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.
Tentu saja
amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok
tanpa diketahui para penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke
taman bunga yang terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak
bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah
dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintaian dari atas.
Lampu-lampu
di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak
dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai
dari atas, akhirnya dia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan
suara keras. Jantungnya berdebar tegang saat ia mendengar suara Pangeran Cia
Sun! Suara yang lembut namun kuat.
"Ayah
dan Ibu, sekali lagi saya mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah
dan tidak mau mentaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak
karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu itu kurang baik untuk saya. Sama sekali
tidak! Saya sudah mendengar tentang Si Bangau Merah, mendengar bahwa dia
seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, berwatak gagah perkasa serta
berbudi baik. Juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang
terkenal."
"Nah,
kau mau apa lagi? Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah
perkasa, berbudi baik dan cantik jelita. Apakah semua hal itu belum memenuhi
syarat bagimu untuk menjadi isterimu?" terdengar suara Pangeran Cia Yan,
ayah pemuda itu, membentak.
"Benar
sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah
mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya.
Masih kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?"
Kalau
tadinya Eng Eng yang mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera
menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian
ibunya, kini mendengar apa yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia
mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu tentang ikatan jodoh.
Ia sendiri
tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan dapat menjadi
isterinya, dan tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan
menikah dengan orang lain. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia
tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan
sudah sepatutnya ia membencinya karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu
sekarang telah menjadi musuh besarnya.
Meski ia
tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah
tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri. Ia ingin sekali
mengetahui apa jawaban pangeran itu dan bagaimana isi hatinya! Maka, dia pun
mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.
"Sebagai
seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak
ada kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia
memiliki kekurangan yang amat besar artinya, yaitu ia tak memiliki cinta! Saya
tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah
dengan gadis yang saya cinta!"
Eng Eng
merasa betapa kedua kakinya gemetar. Ia cepat mengerahkan tenaga untuk
melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan
pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh
tangan yang amat lembut. Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan
pengerahan tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan
terus.
"Omong
kosong!" kata sang ayah. "Kalau nanti kalian sudah saling bertemu dan
saling bergaul, cinta itu akan datang dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau
tampan, kalian sama-sama suka ilmu silat, kalau kalian saling bergaul, pasti
kalian akan saling jatuh cinta."
"Itu
mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi
saya telah mencinta seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah dengan gadis
yang saya cinta itu."
Kini kedua
kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja dia tak mampu bertahan lagi. Dia
memejamkan mata, menahan napas dan dengan susah payah baru berhasil menguasai
jantungnya yang melonjak-lonjak mendengar pengakuan itu.
"Dia
musuhku, aku benci padanya, dia musuhku!" demikian berulang-ulang dia
melawan gejolak hatinya sendiri. Dan dia mendengarkan terus.
"Jika
engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan.
Engkau menikah dengan Si Bangau Merah, dan gadis yang kau cinta itu menjadi
selirmu..." kata sang ibu.
"Maaf,
Ibu. Saya tidak mau mempunyai selir!"
"Hemmm,
apa salahnya dengan hal itu?" bantah ayahnya. "Engkau seorang
pangeran, sudah sepatutnya mempunyai selir. Semua pangeran di sini memiliki
selir, tidak hanya seorang malah."
"Akan
tetapi saya berbeda, Ayah. Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau
menikah dengan wanita lain." Pangeran itu berkeras.
"Aihhh,
engkau keras kepala, Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu
seperti ini? Siapa namanya?" tanya sang ibu.
Di atas
genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang. Matanya setengah
terpejam, mulutnya tersenyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan
pangeran itu terdengar olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan dia
mendengarkan terus, siap untuk mengembangkan senyum mendengar ibu pangeran itu
menanyakan namanya!
"Ibu,
gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia
she (bermarga) Sim dan namanya Hui Eng..."
Terdengar
gerakan di atas genteng. Cia Sun dapat mendengar suara itu, akan tetapi dia
mengira itu suara kucing.
Saat
mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah Eng Eng yang tadinya tersenyum
itu menjadi pucat. Mulutnya yang tersenyum berubah menjadi ternganga, dan
matanya terbelalak. Kemudian wajah yang pucat itu berubah kemerahan ketika
kedua tangannya dikepal.
"Jahanam
keparat kau!" bentaknya di dalam hatinya. Kini kebenciannya terhadap Cia
Sun memuncak. "Engkau membohongi aku, engkau merayu dan menipuku!"
Sekarang dia
pun mengerti. Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai untuk menyelidiki
keadaan perkumpulan itu. Ketika orang-orang mulai mencurigainya, dengan
ketampanan dan kehalusan budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan
hatinya. Semua itu palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai
mata-mata. Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan
isterinya. Namanya Sim Hui Eng! Keparat! Dan dia masih berani berpura-pura
meminangku!
"Jahanam
kau!"
Eng Eng
tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia
berada di luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-cakap.
Ia mengerahkan tenaga dan menerjang daun jendela.
"Brakkk...!"
Daun jendela
pecah berantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang
terbelalak memandang kepadanya.
"Kau...!"
seru Cia Sun.
Akan tetapi
pada saat itu, dari jarak dekat sekali, selagi pangeran itu tertegun karena
sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu
dengan kekasihnya, Eng Eng menggerakkan tangan kirinya. Dua batang jarum hitam
langsung menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.
"Ahhhhh...!"
Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting.
Sebelum
tubuhnya terbanting, dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya. Lengan
kirinya mengempit tubuh Cia Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia
sudah keluar dari rongga jendela yang berlubang.
Suami isteri
yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera
mereka diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.
"Tolong...!
Pangeran diculik...!" teriak isteri Pangeran Cia Yan.
"Tangkap
penculik! Tangkap penjahat!" Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami
isteri itu mencoba untuk mengejar lewat pintu.
Akan tetapi,
dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit
tubuh Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun
menghilang di dalam kegelapan malam.
Karena malam
itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Eng untuk dapat
melarikan Cia Sun dari rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan
bingung. Kedua pundaknya terasa panas sekali dan tubuhnya lemas. Akan tetapi
dia menahan rasa nyeri itu dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia
berkata dengan heran.
"Bukankah
engkau Eng-moi? Eng-moi, kenapa kau lakukan ini kepadaku?"
Eng Eng diam
saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini
keluar dari kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan
yang melakukan pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu
gerbang sambil mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, tentu menimbulkan kecurigaan
dan ia akan segera dikepung prajurit.
Sementara
itu, Pangeran Cia Sun berpkir, apa yang membuat orang yang dicintainya dan yang
dia tahu juga amat mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan tega untuk
melukainya dan menculiknya. Dan dia pun teringat.
Ketika
terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di
antara para penyerbu. Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu
melakukan penyerbuan.
"Eng-moi,
kini engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng-pai? Eng-moi,
bukan... bukan aku yang melakukan. Engkau salah duga. Marilah kita bicara
baik-baik dan kau dengarkan semua keteranganku."
Mendengar
ucapan ini, tiba-tiba Eng Eng mendapat akal untuk dapat membawa keluar pangeran
ini dari kota raja tanpa kesulitan. Dia harus dapat membawa pangeran ini
keluar. Ia akan menyiksanya, memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh
pangeran ini di depan makam ibunya!
"Aku
memang ingin bicara denganmu, tapi di luar kota raja. Kalau engkau membawaku
keluar dari pintu gerbang, aku mau berbicara denganmu di sana. Kalau tidak, aku
akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi."
Cia Sun
bergidik. Dia tidak takut mati. Meski dia seorang pangeran, namun dia berjiwa
pendekar dan kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia
merasa ngeri adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu. Begitu tak
wajar, begitu dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat menduga bahwa gadis itu
tentu sedang dibakar api dendam dan kebencian.
"Baiklah,
Eng-moi. Bebaskan totokanmu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang
curiga. Aku akan mencari dua ekor kuda untuk kita."
"Jangan
mengira engkau akan dapat lari dariku. Sebelum kau lari, aku akan membunuh
dirimu!" kata Eng Eng.
Setelah
membebaskan totokannya Eng Eng kemudian memberi sebuah pil merah untuk ditelan
oleh Cia Sun. Dan sesudah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi.
Kebetulan
nampak serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang yang
menunggang kuda sedang datang dari depan. Cia Sun segera memberi isyarat kepada
rombongan berkuda. Pada waktu mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan
mereka, enam orang itu terkejut, lalu turun dari atas kuda dan memberi hormat
kepada Pangeran Cia Sun.
"Kami
membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik," kata pangeran
itu.
Enam orang
itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda. Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk
menunggang kuda itu dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti
yang dikehendaki oleh Eng Eng.
Satu jam
kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan
keamanan untuk menangkap penculik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah
geger dan kekacauan, apa lagi ketika ada prajurit yang melapor bahwa Pangeran
Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela bersama seorang yang
berpakaian hitam. Bahkan pangeran itu sendiri yang meminta dua ekor kuda kepada
rombongan prajurit dan kemudian menunggang kuda keluar dari pintu gerbang
selatan.
Tentu saja
berita ini membuat para perwira yang memimpin pengejaran itu menjadi ragu dan
bingung. Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan
suka rela? Tentu pangeran itu akan marah kalau pasukan melakukan pengejaran.
Akibat
kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan setengah hati. Andai kata mereka dapat
bertemu Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap
gadis berpakaian hitam seperti diperintahkan Pangeran Cia Yan. Mereka tentu
akan melihat lebih dahulu bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.
Karena
memang sudah merencanakan lebih dulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran
itu memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis. Mereka lalu turun dari atas
kuda, menambatkan kuda dan membiarkan saja dua ekor kuda itu makan rumput.
Karena
tubuhnya masih terasa sakit akibat tusukan dua batang jarum di pundaknya,
jarum-jarum hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas
rumput, memandang kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata
yang bernyala-nyala. Walau pun tempat itu gelap, namun Cia Sun seakan-akan
dapat melihat sepasang mata yang sedang memandang marah itu.
Malam masih
teramat dingin, akan tetapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak
bersih dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, biar
pun hanya remang-remang.
"Nah,
katakanlah, Eng-moi, apakah artinya semua ini? Benarkah dugaanku tadi bahwa
engkau marah kepadaku karena menyangka akulah yang memimpin pasukan menyerbu
Pao-beng-pai?"
Sejak tadi
Eng Eng menahan kemarahannya, terutama kemarahan karena mendengar percakapan
antara pangeran itu dan orang tuanya tadi. Kini, kemarahannya meledak!
"Engkau
manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang
berbudi rendah!"
"Silakan
memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng-moi, akan tetapi,
setidaknya jelaskan dahulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andai
kata engkau membunuhku, aku tidak akan mati penasaran.”
"Huh,
tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa!
Engkaulah yang membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui
Lan! Engkau menyamar, kemudian menyelundup ke Pao-beng-pai untuk memata-matai
Pao-beng-pai. Engkau bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu,
mengkhianati Pao-beng-pai sendiri. Ternyata semua perbuatanmu hanya palsu.
Engkau mempermainkan aku, engkau memimpin pasukan membasmi Pao-beng-pai,
membunuh keluargaku! Engkau sungguh keji, kejam dan curang!" Suara Eng Eng
terkandung isak tangis.
"Hemmm,
kalau begitu tepat dugaanku. Engkau marah kepadaku karena mengira aku yang
memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku
tidak memimpin pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana caranya aku
dapat mengumpulkan pasukan besar untuk menyerbu Pao-beng-pai? Tidak, bukan aku
yang mengerahkan pasukan itu. Aku mendengar bahwa ada pasukan yang pergi
menyerbu Pao-beng-pai, karena tempatnya telah diketahui. Pada saat Pao-beng-pai
mengadakan pertemuan itu, di antara para tamu terdapat orang-orang yang
menentang. Merekalah yang memberi laporan kepada pemerintah. Panglima Ciong
yang memimpin pasukan itu menyerbu, dan aku cepat-cepat menyusul untuk
menyelamatkan engkau dan ibumu."
"Omong
kosong! Rayuan gombal! Siapa yang dapat percaya? Jika bukan engkau yang menjadi
penunjuk jalan, bagaimana mungkin pasukan itu dapat naik ke Lembah Selaksa
Setan, dapat melampaui semua jebakan dan membasmi Pao-beng-pai? Tidak perlu
lagi engkau mencoba untuk membohongi aku!" Saking marahnya, tubuh Eng Eng
bergerak, tangannya menyambar ke arah dada Cia Sun.
"Bukkk!"
Pukulan
tangan terbuka itu keras sekali sehingga tubuh Cia Sun langsung terjengkang dan
terguling-guling. Eng Eng lari mengejar dan kembali tangannya menampar ke arah
kepala orang yang sudah rebah di atas tanah itu. Akan tetapi tangan itu hanya
tertahan di udara, tidak jadi memukul.
Cia Sun
terbatuk-batuk, dadanya terasa sesak. Akan tetapi dia masih tersenyum ketika
mengangkat kepala memandang. "Kenapa tidak kau lanjutkan, Eng-moi?
Pukullah, hajar dan siksalah aku, bunuhlah kalau hal itu akan dapat meredakan
kemarahanmu."
"Kenapa...
kenapa engkau tidak melawan? Tidak mengelak atau menangkis?!” Bentak Eng Eng.
"Untuk
apa? Aku rela mati di tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi. Hanya
kuminta, sebelum engkau membunuhku, dengarlah dulu keteranganku..."
"Huh,
keterangan bohong! Penuh tipuan!"
"Andai
kata benar aku berbohong sekali pun, kumohon padamu, lebih dahulu dengarlah
kebohonganku sebelum engkau membunuhku. Setelah aku memberi keterangan, nah,
engkau boleh percaya atau tidak, boleh membunuhku atau tidak, terserah
padamu."
"Bohong!
Kau penipu! Ahh, untuk kebohongan itu saja, aku dapat membunuhmu seratus
kali!"
Dan kini Eng
Eng kembali menampar, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun
terguling-guling dan tidak mampu bergerak lagi. Pingsan! Pada waktu Eng Eng
hendak memberi pukulan terakhir, ia teringat akan niat semula, yaitu membunuh
pemuda itu di depan makam ibunya, maka ia pun menahan diri.
"Biar
aku bersabar sampai besok. Engkau pasti akan mampus di depan makam ibuku,
bedebah!" katanya.
Dia pun
duduk di bawah pohon untuk bersemedhi. Akan tetapi, semedhinya tak pernah
berhasil. Ia bahkan amat gelisah dan beberapa kali mendekati Cia Sun, untuk
mendapat kepastian bahwa pemuda itu belum tewas.
Malam
terganti pagi. Pagi yang amat indah. Sinar matahari pagi agaknya telah mengusir
semua kegelapan, kegelapan alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati tiap
insan. Sinar matahari mendatangkan kehidupan. Burung-burung berkicau, sibuk
menyiapkan diri untuk bekerja. Ayam jantan berkeruyuk saling sahut. Semua
nampak cerah gembira, bahkan daun-daun nampak berseri.
Seluruh
makhluk seolah-olah menyambut munculnya sinar kehidupan dengan puja-puji kepada
Yang Maha Kasih. Sang Maha Pencipta melalui keharuman, melalui keindahan,
melalui suara. Keharuman rumput dan tanah basah, daun dan bunga, keharuman
udara itu sendiri.
Eng Eng juga
terpengaruh oleh semua keindahan itu. Sekarang hatinya terasa ringan dan
perasaan marahnya tidak terasa lagi olehnya. Namun, ketika ia menengok ke arah
Pangeran Cia Sun, ia teringat segalanya dan ia pun segera bangkit menghampiri.
Cia Sun
sudah siuman, namun seluruh tubuhnya masih terasa nyeri. Melihat gadis itu
menghampiri, dia pun bangkit duduk, memandang kepada gadis itu dengan senyum
sedih! Senyum itu seperti pisau menusuk kalbu bagi Eng Eng.
"Eng-moi,
kenapa bekerja kepalang tanggung? Mengapa engkau tidak membunuh aku
semalam?" tanya Cia Sun.
Eng Eng
hampir tidak percaya. Pemuda bangsawan ini masih bersikap demikian manis
kepadanya. Bukan, bukan sikap yang terdorong rasa takut, namun sikap yang
demikian wajar. Masih tersenyum, dan pandang mata kepadanya itu demikian lembut
dan mesra, jelas nampak sinar kasih sayang di dalamnya. Padahal, dia sudah
menyiksanya sampai pingsan, bahkan nyaris membunuhnya!
"Aku
akan membunuhmu di depan makam ibuku!" katanya singkat.
"Eng-moi,
arwah ibumu akan berduka jika engkau melakukan itu. Aku bukan pembunuh ibumu,
aku bahkan berusaha berusaha menyelamatkannya, dan ia meninggal dunia di dalam
rangkulanku."
"Bohong!!"
"Eng-moi,
untuk apa pula aku berbohong? Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan
penasaran mati di tanganmu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan
dan menyesal di kemudian hari. aku hanya ingin supaya engkau mengetahui dengan
betul siapa sebetulnya dirimu. Aku telah mengetahui rahasia besar tentang
dirimu, Eng-moi, dan aku akan menceritakan semua itu, kalau engkau bersedia
mendengarkan. Memang semua akan kedengaran sangat aneh bagimu, dan mungkin
engkau akan menganggap aku berbohong, akan tetapi demi Tuhan, aku tidak
berbohong."
Agaknya
sinar matahari memang berpengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya
terhadap Eng Eng. Gadis itu merasa agak tenang dan ia bisa melihat kenyataan
bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa yang akan diceritakan oleh pemuda itu.
Bohong atau tidak, pemuda itu memang berhak untuk membela diri.
Dan melihat
wajah yang tampan dan yang tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak
oleh tamparannya semalam, timbul juga perasaan iba di dalam hatinya.
"Bicaralah,
tapi aku tetap tak akan percaya padamu," katanya dengan sikap ketus yang
dipaksakan.
Eng Eng
bahkan tidak menatap langsung wajah yang bengkak-bengkak itu. Dia merasa tidak
enak, mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya pria
di dunia ini yang dicintanya.
Lega rasa
hati Cia Sun. Dia sama sekali tidak akan menyesal kalau dia dibunuh wanita yang
dicintanya ini, hanya dia akan merasa menyesal karena perbuatan itu merupakan
suatu perbuatan yang berdosa bagi Eng Eng. Dia tidak ingin melihat kekasihnya
ini menjadi seorang yang jahat.
"Eng-moi,
setelah engkau membebaskan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja. Akan
tetapi, setelah tiba di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin
pasukan untuk menyerbu Pao-beng-pai. Aku terkejut dan cepat aku kembali lagi ke
sana untuk menyusul pasukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan
keselamatan ibumu. Namun aku terlambat. Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan
telah menyerbu ke perkampungan Pao-beng-pai..."
"Tanpa
adanya penunjuk jalan, tidak mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah
Pao-beng-pai yang dipasangi banyak jebakan rahasia!" Eng Eng memotong dan
kini sepasang matanya mengamati wajah pemuda itu penuh selidik dan hatinya
menuduh bahwa tentu pemuda itu yang menjadi penunjuk jalan.
"Dugaanmu
memang benar, Eng-moi. Hal ini pun kuketahui kemudian dari perwira yang
memimpin penyerbuan itu. Memang ada penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan
itu dapat menyerbu dengan mudah..."
"Engkaulah
penunjuk jalan itu!" bentak Eng Eng.
Cia Sun
tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi, bukan aku. Penunjuk
jalan itu adalah seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui
Lan..."
"Bohong!
Tidak mungkin...!" teriak Eng Eng.
Akan tetapi
teriakan mulutnya ini tidak sesuai dengan perasaan hatinya yang menjadi
bimbang. Setelah apa yang dilakukan Siangkoan Kok terhadap Sui Lan, memaksanya
menjadi isteri dan memperkosanya, bukan hal yang tidak mungkin kalau Sui Lan
lalu berkhianat.
Pula, Sui
Lan tentu saja mengenal semua jalan rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai,
sedangkan Cia Sun tidak akan mengetahui banyak tentang jebakan-jebakan itu.
Kalau Sui Lan yang menjadi penunjuk jalan, tentu saja pasukan itu akan dapat
menyerbu naik dengan mudah.
"Engkau
mau percaya atau tidak, terserah kepadamu, Eng-moi. Aku hanya mendengar
keterangan para perwira. Ketika pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki,
tiba-tiba muncul gadis itu yang kemudian menawarkan diri menjadi penunjuk
jalan. Saat pasukan menyerbu, Siangkoan Kok sedang berkelahi dengan isterinya
dan ibumu telah terdesak. Gadis yang mengkhianati gurunya itu kemudian
menyerang Siangkoan Kok, akan tetapi dengan mudah ia dirobohkan dan tewas di
tangan gurunya sendiri!"
"Tapi
ibuku...! Tentu ia terbunuh oleh pasukan pemerintah!" kata Eng Eng, mulai
tertarik karena apa yang diceritakan Cia Sun itu agaknya memang masuk akal. Ia
sudah melihat mayat Sui Lan dan luka yang mengakibatkan kematiannya memang luka
beracun yang dikenalnya sebagai racun dari pedang Siangkoan Kok!
Dengan sikap
tenang Cia Sun menggeleng kepala. Kini senyumnya menghilang dan dia mengerutkan
alisnya, mengenang kembali peristiwa menyedihkan itu.
"Sudah
kuceritakan tadi, ketika pasukan menyerbu, aku cepat ikut di barisan depan
karena aku ingin mencegah agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang.
Ketika kami tiba di sana, kami melihat ibumu berkelahi dengan ayahmu dan ibumu
lalu roboh tertendang ayahmu. Aku cepat mencegah ketika pasukan hendak
menyerang ibumu yang sudah roboh, dan memerintahkan mereka mengejar ayahmu yang
melarikan diri. Aku kemudian memondong tubuh ibumu yang pingsan dan ternyata ia
telah menderita luka-luka parah, tentu ketika berkelahi melawan ayahmu…."
Cia Sun berhenti sebentar untuk mengamati wajah Eng Eng dan melihat bagaimana
tanggapan dan sikap gadis itu terhadap ceritanya.
"Terus,
lalu bagaimana?" Eng Eng mulai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa
akan kemarahan dan kebenciannya terhadap Cia Sun.
"Aku
membawa ibumu ke dalam rumah, kemudian kurebahkan di bangku panjang. Aku telah
mencoba untuk merawatnya, akan tetapi sia-sia. Ibumu hanya siuman untuk bicara
sedikit kepadaku, meninggalkan pesan-pesan dan akhirnya dia meninggal dunia
dalam rangkulanku."
"Ibuku...,
bagaimana aku bisa mempercayaimu? Engkau berbohong. Pada saat engkau merayuku,
engkau hanya pura-pura..."
"Tidak,
Eng-moi. Langit dan Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh mencintamu, sejak
pertama kali kita bertemu, sampai sekarang..."
"Bohong!
Pendusta!" Eng Eng kembali marah karena ia ingat akan percakapan antara
pemuda ini dan orang tuanya, tentang pengakuan Cia Sun kepada ayah ibunya bahwa
pemuda itu telah mencinta seorang gadis lain.
"Eng-moi,
mengapa engkau tidak percaya kepadaku dan menuduhku berbohong?" Cia Sun
bertanya.
Dia merasa
kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran. Itu adalah akibat racun dari
jarum Eng Eng, juga karena dia mengalami tamparan-tamparan malam tadi. Tetapi
dia mempertahankan diri agar tidak jatuh pingsan lagi. Ia memandang gadis itu
dengan sinar mata penuh permohonan.
Eng Eng
melompat berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada pangeran itu dengan
sinar mata membakar. Makin diingat tentang percakapan keluarga pangeran itu,
semakin panaslah hatinya.
"Bagaimana
aku dapat percaya omongan perayu busuk macam engkau? Engkau telah mencinta
seorang gadis yang lain dan masih engkau berani mengatakan bahwa engkau
mencintaku?"
Biar pun
kepalanya sudah pening sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun
membelalakkan matanya dan berkata dengan suara mengandung penasaran.
"Sekali ini, engkau yang berbohong, Eng-moi! Aku tidak pernah dan tidak
akan mencinta gadis lain kecuali engkau seorang!"
"Pendusta
besar! Kedua telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah dan ibumu
bahwa engkau mencinta gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau
engkau berani! Kuhancurkan mulutmu kalau engkau berdusta!"
Cia Sun
mencoba untuk tersenyum, akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut-denyut di
kepalanya, membuat kepalanya seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi
pahit sekali.
"Aku
tidak berdusta, Eng-moi. Memang benarlah, aku mencinta Sim Hui Eng, semenjak
pertama kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim
Hui Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi... ahhh..." Cia Sun tidak dapat
menahan lagi rasa nyeri di dada dan kepalanya. Dia pingsan lagi.
Cia Sun
tidak tahu betapa Eng Eng memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka
pucat. Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu.
Ia bernama
Sim Hui Eng? Apa pula artinya ini? Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun? Dia
harus tahu apa artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia
hanya mencinta gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa
Sim Hui Eng adalah ia sendiri! Bagaimana pula ini?
Namanya
seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan Eng. Kemudian karena ibunya membuka
rahasia bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi
memakai nama keluarga Siangkoan, lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw. Dan
kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bahwa ia she Sim, dan nama
lengkapnya Hui Eng!
Jangan-jangan
pangeran ini tidak bohong dan sudah mengenal ayah kandungnya. Ayah kandungnya!
Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah ayah kandungnya she Sim?
Benarkah semua cerita Cia Sun? Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh pingsan
sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya.
Eng Eng berlutut
di dekat tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika dia berada begitu dekat
dengan pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaannya ketika ia melihat
wajah yang tampan itu bengkak-bengkak. Ia cepat mengeluarkan sebutir pil, lalu
menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun
yang dibukanya dengan penekanan kepada rahang pemuda itu.
Pil itu
sukar ditelan, maka terpaksa dia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut
pemuda itu sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa
jalan darah, membuat pemuda itu hanya setengah pingsan. Kemudian ia mengurut
sana sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat gosok yang selalu
dibawanya sebagai bekal. Lalu, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda
itu, menyalurkan sinkang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka di
sebelah dalam tubuhnya.
Akhirnya Cia
Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu bersimpuh di dekatnya
sedang menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa betapa lembutnya telapak
tangan yang mengeluarkan hawa panas itu.
"Ah,
Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku? Terima kasih..."
katanya lembut dan wajah yang kini hanya tinggal membiru karena bengkaknya
sudah hilang itu tersenyum!
Senyum
itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah dan
memaki-makinya, kiranya hatinya tak akan sesakit itu. Sejak ditangkapnya tadi,
sampai disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu berbicara
lembut, pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.
"Aku
mengobatimu hanya supaya engkau tidak mampus sekarang," katanya, suaranya
diketus-ketuskan. "Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi
bahwa aku bernama Sim Hui Eng! Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin
kusiksa lebih berat lagi!"
"Sejak
tadi aku tidak pernah mempermainkanmu, tak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau
yang kurang sabar mendengarkan keteranganku. Nah, sekarang aku lanjutkan
ceritaku tadi. Sebelum ibumu meninggal dunia dalam rangkulanku, ia sempat menceritakan
satu rahasia yang amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hatimu
sehingga mungkin engkau semakin tak percaya kepadaku. Nah, sekarang sudah
siapkah engkau mendengarkan ceritaku tentang pengakuan ibumu?"
Eng Eng
merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia hampir yakin bahwa
pangeran ini tidak pernah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia
sudah menculiknya, menyiksanya dan bahkan nyaris membunuhnya. Kemungkinan ini
membuat darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat
sekali.
"Ceritakan
semua!" perintahnya.
"Rahasia
yang dibuka oleh bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng-moi.
Pertama-tama, engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Pao-beng-pai!"
Cia Sun
mengira bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia
kecelik. Gadis itu sedikit pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan
mulutnya seperti membentuk senyum mengejek.
"Aku
sudah tahu. Dia adalah ayah tiriku," katanya pendek.
Cia Sun
menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia
bukan apa-apamu."
Eng Eng
terbelalak. "Apa... apa maksudmu? Aku dibawa ibu ketika masih kecil,
berusia dua tiga tahun ketika ibuku menikah dengan Siangkoan Kok! Kenapa kau
katakan dia bukan ayah tiriku?"
"Inilah
rahasia besar yang dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi
Lauw Cu Si itu menikah dengan Siangkoan Kok, dia membawa seorang anak kecil dan
anak itu adalah engkau, Eng-moi. Akan tetapi, engkau bukan anak kandung bibi
Lauw Cu Si!"
"Ehhh...?!!"
Eng Eng berseru setengah menjerit. "Apa… apa maksudmu...?!" Tangan
gadis itu menangkap lengan Cia Sun kemudian mencengkeramnya, seluruh tubuhnya
gemetar dan wajahnya semakin pucat.
"Aku
mendengar dari Nyonya Siangkoan Kok, yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng-moi. Agaknya
karena tahu bahwa dia akan tewas, maka dia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau
bukan anak kandungnya, engkau telah dia culik dari orang tuamu ketika engkau
masih kecil, kemudian diakui sebagai anaknya sendiri."
"Tapi...
tidak mungkin! Apa buktinya? Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya
ceritamu ini?"
"Sabar
dan tenanglah, Eng-moi. Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu
Si sendiri yang bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku
lalu teringat kepada Yo-toako! Engkau ingat Sin-ciang Taihiap Yo Han?"
Eng Eng
mengerutkan alisnya. Tentu saja dia teringat kepada pendekar yang amat lihai
itu. "Apa hubungannya dia dengan ceritamu itu?"
"Eng-moi,
masih ingatkah engkau akan pengakuan Yo-toako bahwa dia sedang mencari seorang
gadis yang diculik orang semenjak kecil? Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan
Yo-toako bertugas untuk mencarinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok
yang menyuruh mendiang Tio Sui Lan untuk memancingnya ke dalam goa lalu
menjebak dan menangkapnya. Nah, gadis yang dicari-carinya itu adalah engkau,
Eng-moi. Engkaulah gadis yang ketika kecil diculik itu, dan penculiknya adalah
bibi Lauw Cu Si yang selama ini kau anggap sebagai ibumu sendiri."
Eng Eng
masih terbelalak dan seperti berubah menjadi patung. Tentu saja dia masih
diombang-ambingkan kebimbangan.
"Tapi...
tapi apa buktinya bahwa... ibuku meninggalkan pesan itu kepadamu, dan apa
buktinya bahwa aku benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng itu? Tanpa bukti,
bagaimana mungkin aku dapat mempercayai ceritamu?"
Cia Sun
menghela napas panjang. "Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa
mendiang bibi Lauw Cu Si membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara,
tidak ada seorang pun saksinya. Dan dia sudah meninggal dunia, jadi tidak
mungkin lagi ditanyai. Akan tetapi, aku mempunyai suatu tanda rahasia yang ada
pada dirimu, seperti yang diceritakan Yo-toako kepadaku. Ketika Yo-toako
menerima tugas mencari anak yang hilang diculik itu, orang tua anak itu memberi
tahukan kepadanya adanya dua tanda rahasia di badan anak itu yang merupakan
ciri-ciri khas atau tanda sejak lahir. Jika aku katakan tanda-tanda itu dan
kemudian ternyata cocok dengan keadaan dirimu, apakah engkau masih akan
menganggap aku pendusta yang patut kau siksa dan kau bunuh di depan makam bibi
Lauw Cu Si?"
Tentu saja
Eng Eng menjadi sangat bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau
membayangkan bahwa pangeran itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama
sekali tidak menipunya, dan ia telah menyiksanya seperti itu!
"Katakanlah,
tanda-tanda apa yang terdapat pada anak yang diculik itu?" tanyanya,
suaranya jelas terdengar gemetar.
"Yo-toako
hanya berpegang pada tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang
terculik itu, maka tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu terdapat di
bagian tubuh yang selalu tertutup..."
"Katakan
cepat, tanda-tanda apa itu?" tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia
sudah tidak sabar sekali.
"Pertama,
anak itu mempunyai sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia
pun mempunyai sebuah noda merah sebesar ibu jari kaki di telapak kaki
kanannya."
Eng Eng
meloncat ke belakang. Matanya terbelalak dan seluruh tubuhnya menggigil.
Melihat ini, Cia Sun menguatkan tubuhnya dan bangkit berdiri, menghampiri
dengan pandang mata khawatir.
"Kenapa,
Eng-moi... dan be... benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu...? Benarkah
bahwa engkau ini Sim Hui Eng?" Suara pangeran itu juga gemetar karena dia
merasa tegang, khawatir kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang
disangkanya.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment