Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 09
SAMPAI lama
Eng Eng tidak mampu bicara. Mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis
dan ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar,
"Bagaimana... perasaanmu terhadap aku kalau aku tidak mempunyai
tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?"
"Eng-moi,
masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan
meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau
bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau
tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapa pun juga.
Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekali pun.
Tapi... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"
Tiba-tiba
Eng Eng menjatuhkan diri berlutut kemudian menangis terisak-isak. Tentu saja
pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.
"Eng-moi,
kenapa, Eng-moi...? Ahhh, maafkan jika aku sudah membuat hatimu berduka,
Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi dari
pada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi."
Ucapan itu
membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya bagaikan
ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis
itu dengan lembut.
"Eng-moi,
ada apakah...?"
Akhirnya Eng
Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata
mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.
"Kau...
kau lihat sendiri... apakah... ada tanda-tanda itu..."
Ia lalu
menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu serta kaos kakinya
yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana,
jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak
kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.
"Kau...
kau benar-benar Sim Hui Eng...!" serunya seperti bersorak gembira.
Eng Eng kini
merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran..., ampunkan aku... aku telah
berbuat kejam dan tidak adil padamu... aku... aku layak kau pukul. Balaslah,
Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku... huuu-huhuuuuu...!"
Gadis itu
tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah terhadap
dirinya sendiri dan sangat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah
disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh
Lauw Cu Si sehingga ia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan
rahasia dirinya.
Pangeran ini
telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh. Ia telah
menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu
pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.
Melihat
betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia
Sun cepat-cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak
membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tak akan dilepaskan
lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke
dalam rambut itu.
Sampai
beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan. Beberapa kali Eng Eng
mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu
dengan jari-jari gemetar.
Setelah
gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar
di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, "Sudahlah,
Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu.
Memang batinmu mengalami guncangan yang hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat
dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."
"Pangeran..."
Cia Sun
menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng.
"Hushhh..., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh
wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon
isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"
Eng Eng
tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia. "Kakanda... Cia Sun..."
Betapa merdunya panggilan itu.
"Adinda
Hui Eng..." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing
baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
"Kakanda
Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menunggu engkau
memberi tahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Apakah ayah ibuku masih
hidup?"
"Engkau
akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali jika mendengar siapa ayah ibumu,
Eng-moi. Pada saat engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku
sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa
ayah dan ibumu, kekagumanku padamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama
Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan. Ehhh, kenapa kau, Eng-moi (adinda
Eng)?"
Mendengar
disebutnya kedua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri
sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata
terbelalak dan muka pucat.
"Ayahku...
Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil...! Aihhhh... Kakanda... sekali
ini celakalah aku..."
Cia Sun
cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau
berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami
isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia
persilatan!"
"Aihh,
engkau tidak tahu, Koko! Ahh, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka.
Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar
para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam
peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku.
Akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan
menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku
telah bersikap sangat angkuh dan menghina tiga keluarga besar, dan ternyata
Pendekar Suling Naga itu adalah ayahku sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan
dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng
gemetar seperti orang terserang demam.
"Jangan
risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu engkau
mewakili Pao-beng-pai maka tentu saja engkau menganggap para pendekar itu
sebagai musuh. Apa lagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena pada waktu itu
engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti
mengapa engkau mendapat tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap
sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan
Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar
itu."
Gadis itu
menatap wajah Cia Sun. "Ehhh, kenapa begitu?"
"Aku
sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw
Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur.
Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau
Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu,
yaitu untuk membalas dendam terhadap Pendekar Suling Naga dan isterinya yang
terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan
mengadu dirimu melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu
sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri."
"Akan
tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang
merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, mengapa aku sampai dapat
terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku
kembali?"
"Pertanyaan
seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang
itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah
sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk
menemukan anak mereka kembali. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka.
Agaknya si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali sudah
menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok sehingga tidak seorang pun
mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik itu. Semua orang, bahkan
Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."
Eng Eng
mengangguk-angguk, semua rasa penasarannya hilang. Akan tetapi tetap saja ia
mengerutkan alisnya. Jika saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah
orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekali pun, dia tentu akan berbahagia
sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang
asli.
Akan tetapi,
Pendekar Suling Naga?! Semua pengalamannya ketika dia menantang tiga keluarga
besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa
malu bukan main.
"Koko,
aku... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu..."
Cia Sun
merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah
naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
"Eng-moi,
buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tak pernah berhenti
memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu.
Mereka tentu akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali.
Dan mengenai kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan
khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang
tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tak akan ada yang
menyesalkan tindakanmu dahulu."
"Aihh,
aku merasa ngeri sekali bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah
memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua
saja. Aku... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu
besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku ..."
"Hushhhhh,
jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti
aku mencintamu?"
"Apakah
itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku
terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, akibat hatiku panas
mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu,
Koko."
"Bagus,
dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"
Gadis itu
mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam
suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan
cintanya, "Tentu saja aku mau, koko!"
"Nah,
kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tak mungkin meninggalkan tata
susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan secara
baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua.
Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau
diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja, kemudian aku akan mengirim
utusan untuk meminangmu secara terhormat."
Gadis itu
mengerutkan alis, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata
pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua
ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tidak lama kemudian, sepasang orang
muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.
Oleh karena
Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran
yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di
sepanjang perjalanan itu dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh
penghormatan, mendapat tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu
pesta dan dapat menukar kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup
menyenangkan bagi Eng Eng!
Yo Han
mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di lereng paling
atas, dekat puncak. Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui
Eng, puteri Pendekar Suling Naga. Namun, usahanya sia-sia. Tak pernah dia
berhasil mendengar keterangan tentang penculikan terhadap putri pendekar sakti
itu.
Dia sudah
memasuki dunia kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya
untuk dimintai keterangan kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah
menculik puteri Pendekar Suling Naga dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi
semua usahanya, dari bujukan halus sampai kekerasan, tidak ada hasilnya.
Agaknya
tidak ada seorang pun tahu siapa gerangan yang menculik puteri pendekar itu.
Penculiknya agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak
itu, dia seperti menghilang ke dalam bumi membawa anak culikannya!
Akhirnya Yo
Han mengambil kesimpulan bahwa tanpa banyak tenaga pembantu, akan sukarlah
menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah
dianggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang
adalah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki hubungan luas dalam dunia
kang-ouw.
Mungkin para
tokoh kangouw yang sudah ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan
mereka sendiri yang melakukan penculikan, karena dia dianggap sebagai Pendekar
Tangan Sakti, seorang pendekar yang menentang kejahatan. Bila anak buah
Thian-li-pang yang melakukan penyelidikan, mungkin akan lebih mudah.
Orang-orang kang-ouw tentu akan bersikap lebih terbuka di antara golongan
sendiri.
Benar
sekali, kenapa sejak dahulu dia tidak minta bantuan para anggota Thian-li-pang,
pikirnya menyesali diri sendiri. Paman Lauw Kang Hui tentu akan senang
membantunya sehingga lebih besar harapannya untuk dapat menemukan orang yang
pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga!
Demikianlah,
pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak
tahu bahwa di Thian-li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu
bahwa Lauw Kang Hui dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang sudah tewas,
terbunuh oleh Ouw Seng Bu, yang kini menjadi ketua Thian-li-pang…..
Memang
Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak pimpinannya dipegang oleh Ouw
Seng Bu. Pemuda tampan yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini
membiarkan para anggota Thian-li-pang berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan
dia menjalin hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti yang
dahulu pernah dilakukan Thian-li-pang sebelum muncul Yo Han yang kemudian
membersihkan perkumpulan pejuang itu.
Ouw Seng Bu
bahkan memiliki cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang dengan dia
yang menjadi pemimpin besar. Kalau semua kekuatan kelompok pejuang sudah
dipersatukan, baik itu dari golongan pendekar mau pun golongan sesat, dan dia
yang menjadi pemimpin besar, tentu perjuangan untuk mengusir penjajah Mancu
akan berhasil. Dan jika sudah berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar, tentu
berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru! Besar sekali jangkauan cita-cita
pemuda ini.
Setelah
secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi-kok, menolong
gadis itu dari ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula menundukkan bekas ketua
Pao-beng-pai yang lalu berjanji untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim
Giok berkunjung ke Bukti Naga.
Kim Giok
sudah mendengar tentang perkumpulan Thian-lipang yang di dunia kang-ouw (sungai
telaga, atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para patriot yang
berjuang untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa
kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda tampan dan gagah yang
mengaku sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalanan menuju ke
Bukit Naga, Kim Giok melihat betapa sikap Seng Bu memang sangat baik. Pemuda itu
pendiam, juga sopan dan ramah terhadap dirinya.
Cu Kim Giok
merupakan puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, adalah
pendekar keturunan langsung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman.
Ibunya tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid
mendiang Bu Beng Lokai.
Sebagai anak
tunggal, tentu saja Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Dan
biar pun usianya baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang
pendekar wanita yang amat lihai.
Akan tetapi
tentu saja ia kurang pengalaman karena ini merupakan yang pertama kali ia
merantau seorang diri untuk meluaskan pengalamannya. Meski pun demikian, ia
sudah membawa banyak bekal nasehat dan pesan kedua orang tuanya.
Andai kata
Seng Bu bersikap ceriwis terhadapnya, terdapat kegenitan dalam pandang mata
atau kata-katanya saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng
Bu sungguh baik. Dia nampak seperti seorang pemuda pendiam yang sopan dan
berwatak pendekar sejati! Inilah sebabnya mengapa Kim Giok merasa tertarik
sekali, kagum dan merasa suka.
Rasa
kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di
pusat perkampungan Thian-li-pang. Para anggota Thian-li-pang rata-rata terlihat
gagah perkasa dengan pakaian yang rapi serta bersih, baik prianya mau pun
wanitanya, dan mereka semua menyambut kedatangan Seng Bu dengan sikap yang amat
menghormat!
Masih begitu
muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pejuang yang terkenal
gagah perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok dapat
menaksir bahwa anggota perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang
banyaknya.
Akan tetapi,
hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima
orang tamu yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara
tamu-tamu itu adalah dua orang tosu (pendeta) berambut panjang yang pada baju
di dadanya ada lukisan teratai putih. Orang-orang Pek-lian-kauw (Agama Teratai
Putih)! Ada lagi tiga orang pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi
delapan) pada dadanya. Ia pernah mendengar akan nama perkumpulan pemberontak
yang namanya tidak bersih di dunia kang-ouw sebab para anggotanya tidak pantang
melakukan segala macam kejahatan!
Setelah
kelima orang tamu itu meninggalkan perkampungan Thian-li-pang, barulah Kim Giok
memberanikan diri menemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan penasaran
dalam hatinya. Ia melihat pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas,
sedang memberi perintah kepada belasan orang pembantunya.
Melihat ini,
Kim Giok yang sudah sampai di ambang pintu, mundur kembali. Akan tetapi Seng Bu
telah melihatnya dan ketua ini berseru dengan ramah.
"Nona
Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan
silakan duduk."
Setelah
gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari
mereka yang sedang melakukan perundingan, Seng Bu melanjutkan, "Harap suka
menunggu sebentar, Nona, pembicaraan kami sudah hampir selesai."
Kim Giok
mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka. Akan tetapi Seng Bu
tidak melirihkan suaranya saat pemuda itu melanjutkan pengarahannya kepada para
pembantunya.
"Kalian
sudah tahu akan tugas-tugas kalian? Terserah kalian membagi tugas, tapi kalian
harus ingat apa yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi
semua kelompok pejuang, membujuk mereka agar suka bekerja sama dengan
mengemukakan alasan seperti yang sudah kujelaskan tadi. Kalau ada yang tidak
bersedia bekerja sama, kalian selidiki keadaan mereka, siapa para pemimpinnya
dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku bisa segera mengambil
tindakan. Dan ke dua, selidiki pula kelemahan-kelemahan yang ada di dalam
keluarga kaisar, terutama orang-orang yang dekat hubungannya dengan kaisar.
Sudah mengerti semua?"
Belasan
orang itu menyatakan bahwa mereka sudah mengerti, dan Seng Bu kemudian
mempersilakan mereka keluar. Sikap pemuda itu demikian tegas dan berwibawa
hingga Kim Giok yang ikut mendengarkan merasa kagum sekali.
Setelah
belasan orang pembantunya keluar, Seng Bu menghampiri Kim Giok dan duduk
berhadapan dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa, amat sopan dan ramah,
sangat menghormati gadis yang dianggap sebagai seorang tamu agung di
Thian-li-pang.
"Nona
Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa tadi aku meninggalkanmu seorang diri karena
kesibukanku menerima tamu malam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku.
Apakah semalam Nona enak tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang
mengecewakan?"
"Terima
kasih, Pangcu (Ketua). Pelayanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu
disanjung di sini. Pangcu, aku sengaja datang mencarimu karena aku melihat
sesuatu yang membuat hatiku merasa penasaran sekali dan aku mengharapkan
jawaban yang sejujurnya darimu."
Seng Bu
menatap wajah gadis itu. Semenjak pertama kali berjumpa, ia telah terpesona.
Dia bukanlah seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi,
belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini
manis sekali dan terutama yang membuat dia terpesona adalah sepasang matanya.
Mata itu demikian indahnya.
Selain ini,
ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demikian pendiam dan gagah.
Semua ini ditambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari
Lembah Naga Siluman! Kiranya sukar dicari keduanya gadis seperti ini.
Selama ini
Seng Bu sibuk menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukannya di dalam sumur
maut, maka dia pun tidak sempat memikirkan hal lain. Apa lagi, dia memang bukan
tergolong pemuda yang suka bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang
dia merasa kagum dan tertarik kepada seorang gadis.
"Nona
Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau
merasa penasaran, tanyakanlah dan aku akan menjawab sejujurnya."
Kim Giok
juga menatap tajam sehingga dua pasang mata mereka bertaut, seperti saling
menyelidik, hingga kemudian Kim Giok berkata, "Pangcu, bukan aku sebagai
tamu ingin mencampuri urusan tuan rumah. Akan tetapi, aku suka menjadi tamu di
Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu ini adalah
perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati, yang
selalu menentang kejahatan dan berpihak kepada kebenaran, seperti yang pernah
kudengar dibicarakan orang di dunia kang-ouw. Aku percaya itu, apa lagi setelah
aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini membuat aku merasa
penasaran bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai
menjadi tamu Thian-li-pang! Bagaimana ini? Aku sudah mendengar bahwa kedua
perkumpulan itu merupakan perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"
Seng Bu
tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa
canggung. "Ahh, kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini
membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, Nona. Akan tetapi, apakah Nona
tertarik oleh urusan perjuangan? Lika-liku perjuangan amat rumit, Nona.
Dipandang sepintas lalu dari segi kependekaranmu, memang rasanya janggal jika
melihat kami juga berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang
oleh para pendekar. Tapi, dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan golongan
terpaksa harus dikesampingkan. Yang paling penting adalah urusan perjuangan,
urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman penjajah
Mancu."
"Maksudmu
bagaimana, Pangcu?"
"Tentu
engkau telah mengetahui, hampir satu setengah abad negara kita dijajah bangsa
Mancu, dan selama satu setengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk
merebut kembali tanah air selalu gagal. Mengapa begitu? Karena tidak ada
persatuan di antara para kelompok yang berjuang! Bahkan banyak kelompok
perjuangan yang saling gempur sendiri, bersaing dan memperebutkan kebenaran
demi kepentingan pribadi atau golongan. Itulah penyebab utama dari kegagalan
perjuangan selama ini, dan kami dari Thian-li-pang melihat kekeliruan itu, maka
kini kami berusaha untuk mengubahnya.”
"Caranya?"
"Mempersatukan
semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana pula golongan hitam,
mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa
saja, dari golongan mana pun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak
terjangnya, asalkan dia itu menentang pemerintah penjajah Mancu, dia adalah
sekutu kita! Dengan cara ini, maka di seluruh negeri akan terdapat persatuan
yang kokoh dan kalau sudah tercapai persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah
penjajah bukan merupakan masalah yang sukar lagi."
"Jadi
pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih
sahabat, dan suka menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat
pula?"
"Benar,
Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, bersama Pat-kwa-pai, yang
ketiganya merupakan perkumpulan para pejuang, bisa bersatu padu dan
bersama-sama menentang penjajah, bukankah itu akan jauh lebih kuat dari pada
kalau kami berjuang sendiri-sendiri secara terpisah? Apa lagi kalau seluruh
kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam mau pun putih, dapat bersatu
padu!"
"Kebenaran
pendapat itu tidak dapat disangkal, Pangcu. Akan tetapi kita kaum pendekar
bagaimana mungkin bekerja sama dengan kaum sesat? Justru tugas utama kita adalah
untuk menentang segala perbuatan jahat dari kaum sesat, serta membela yang
lemah tertindas dan menentang yang kuat tetapi jahat!”
Ketua yang
masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak
terbawa perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu
pun tidak terbawa dan terseret dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran
masing-masing.
"Sudah
kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan kepentingan
golongan harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana
mungkin muncul persatuan, dan tanpa persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan?
Buktinya, semua usaha perjuangan yang lalu selama ini, baik dari golongan putih
mau pun dari golongan hitam, gagal semua. Karena terpecah-pecah! Kalau kita
menuruti kepentingan pribadi dan golongan, misalnya kalau kita tidak mau
bersatu dengan golongan sesat dan memusuhi mereka, maka kita akan terpecah
belah dan akibatnya akan melemahkan diri sendiri. Dengan demikian, yang untung
adalah pemerintah penjajah! Sudah mengertikah engkau, Nona?"
Cu Kim Giok
bukan seorang gadis yang bodoh. Dia termenung dan menelan ucapan ketua itu
dalam hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang dimaksudkan Seng Bu.
"Aku
mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanamkan jiwa
kependekaran di dalam hatiku, rasanya sangat berat bagiku menerima kenyataan
dari kebenaran pendapatmu tadi. Kalau kita para pendekar tidak menentang
golongan sesat, bukankah kehidupan rakyat akan menjadi semakin parah dan
sengsara, tertindas oleh kejahatan tanpa ada yang membela dan melindungi?"
"Tentu
saja kita tidak hanya berdiam diri saja kalau terjadi kejahatan di depan mata
kita, Nona. Kita wajib melindungi orang yang menjadi korban kejahatan. Akan
tetapi, urusan itu bukan merupakan urusan yang diutamakan kepentingannya, lebih
penting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita menentang kejahatan, harus
dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan antara golongan.
Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa kejahatan hanyalah merupakan akibat dari
tidak sehatnya pemerintah. Seperti sebuah penyakit, kejahatan, ketidak amanan,
ketidak makmuran, bahkan kesengsaraan rakyat hanya merupakan bintik-bintik
kecil akibat penyakit itu. Bla kita memberantas dan mengobati bintik-bintiknya
saja tak akan banyak manfaatnya karena bintik-bintik itu akan timbul lagi
setelah diobati sebab penyakit itu masih ada. Kita harus lebih mementingkan
pengobatan penyakitnya, sumber penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, sumber
penyakitnya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air kita dicengkeram
penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat jelata.
Kalau penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa
sendiri, maka penyakit itu sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul
bintik-bintik berbahaya. Segala bentuk kejahatan akan dapat kita tumpas.
Penindasan yang dilakukan para penjahat itu tidak ada artinya kalau
dibandingkan dengan penindasan dan penghisapan yang dilakukan penjajah terhadap
kita."
Kim Giok
tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia kagum sekali dan sekarang ia dapat mengerti
sepenuhnya. "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak penasaran lagi
melihat Thian-li-pang bersahabat dengan golongan sesat, jika maksudnya hanya
untuk mempersatukan tenaga melawan penjajah."
Sejak
percakapan itu, Kim Giok semakin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang
itu, dan sebaliknya Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lembah Naga
Siluman. Ketika Seng Bu minta agar gadis itu tinggal di Thian-li-pang sebagai
tamu kehormatan selama beberapa hari, Kim Giok tidak menolak.
Demikianlah,
ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah tinggal
selama lima hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu
semakin akrab namun ketua itu masih tetap bersikap sopan dan tak pernah
menyatakan perasaan hatinya.
Kim Giok
sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang. Dan ia sudah
mendengar pula kisah yang aneh, peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa
bulan yang lalu, yaitu tentang pembunuhan terhadap ketua Thian-li-pang yang
dilakukan oleh seorang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin Thian-li-pang,
yaitu Sin-ciang Taihiap Yo Han.
Ia sudah
pernah mendengar nama itu, maka menyatakan keheranannya kepada Seng Bu mengapa
Yo Han yang dianggap sebagai pemimpin besar malah membunuh ketua Thian-li-pang.
Dengan cerdik Seng Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu dilakukan Yo Han untuk
membalas dendam atas kematian gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian
pandainya Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya dan gadis ini pun merasa
tidak senang kepada pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu…..
*************
Kita kembali
kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan santai. Kembali ke tempat
ini, di mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya,
mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala
macam kenangan lama padanya. Bahkan kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia
terkenang kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya sejak
dia masih seorang pemuda remaja.
Akan tetapi,
percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya kembali menimbulkan harapan baru dalam
hatinya. Ketika dia meninggalkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu yang
dulu pernah menjadi suhu dan subo-nya pertama kali, harapannya sudah hancur
luluh. Ia mendengar betapa suhu dan subo-nya hendak menjodohkan Sian Li dengan
seorang pangeran di kota raja!
Tentu saja
seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis seperti Si
Bangau Merah itu dari pada dia! Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap!
Akan tetapi,
kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Cia Sun, lalu bersahabat, bahkan pernah
senasib sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat saudara. Dan dari adik
angkatnya yang pangeran ini dia mendengar bahwa ternyata adik angkatnya itulah
pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li!
Akan tetapi,
di samping berita mengejutkan itu, terdapat kenyataan yang membuat dia tumbuh
lagi semangatnya, timbul pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan
Sian Li tidak saling mencinta. Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu
puteri ketua Pao-beng-pai!
Dalam
perjalanannya menuju ke Thian-li-pang, dia pun sudah mendengar mengenai
pembasmian Pao-beng-pai yang dilakukan oleh pasukan pemerintah. Ia mengira
bahwa tentu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun, yang melakukan penyerbuan itu,
walau pun ada kesangsian di hatinya apakah sang pangeran mau melakukan hal itu
mengingat akan cintanya terhadap Siangkoan Eng.
Tiba-tiba Yo
Han menghentikan langkahnya dan mengerutkan alisnya. Dia mendengar suara orang
bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa
mereka yang bercakap-cakap itu sedang berjalan menuruni lereng. Yo Han
menyelinap ke balik pohon besar.
Sudah lama
dia meninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana keadaannya. Walau
pun dia percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi pimpinan
perkumpulan itu, akan tetapi sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena
bagai mana pun juga, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak benar di
Thian-li-pang, dialah yang bertanggung jawab. Gurunya berpesan agar dia
menyelamatkan Thian-li-pang dari penyelewengan, maka biar pun tidak memimpin
langsung, dia harus selalu mengawasi.
Mereka yang
tertawa-tawa tadi sekarang telah datang mendekat dan dari balik batang pohon,
Yo Han mengintai. Alisnya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika
ia melihat dua orang anggota Thian-li-pang sedang berjalan sambil
bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua orang pendeta muda yang dari tanda
gambar di dadanya bisa diketahuinya sebagai dua orang anggota Pat-kwa-pai!
Ia merasa
heran bukan main. Bagaimana mungkin anggota Thian-li-pang bergaul begitu
demikian akrabnya dengan anggota Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai golongan
sesat yang menggunakan kedok perjuangan, atau bisa juga dikatakan sebagai
pemberontak-pemberontak yang tidak segan-segan menggunakan kejahatan serta
kekejaman dalam pemberontakan mereka?
Yo Han
menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat
orang itu. Dia tidak mengenal para anggota Thian-li-pang. Yang dikenalnya
hanyalah Lauw Kang Hui dan pimpinannya, bahkan dia tidak tahu nama para
pimpinan mudanya satu demi satu. Akan tetapi, melihat sikap mereka, siapa lagi
mereka itu kalau bukan anggota Thian-li-pang?
Dan mereka
telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggota
Pat-kwa-pai itu sungguh mencurigakan sekali. Dengan ilmu kepandaiannya yang
tinggi, tidak sukar bagi Yo Han untuk membayangi mereka, kadang malah demikian
dekatnya sehingga dia dapat mendengarkan sebagian percakapan mereka. Setelah
mendengar percakapan itu dia pun yakin bahwa dua orang itu adalah anggota
Thian-li-pang.
"Kenapa
kalian khawatir?" terdengar seorang di antara dua anggota Thian-li-pang
itu berkata kepada dua orang tosu itu. "Kalau hanya kami berdua yang
menghilang dari tempat penjagaan, tidak akan kentara. Pula siapa sih yang akan
berani mendaki Bukit Naga dan mengganggu wilayah Thian-li-pang? Baru mendengar
nama Thian-li-pang saja, nyali mereka sudah terbang melayang!" Mereka
tertawa-tawa.
"Pula,
berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah
sana? Andai kata para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu
kita tidak akan dimarahi. Bukankah Thian-li-pang kini bersahabat baik dengan
Pat-kwa-pai?"
Kembali
mereka tertawa-tawa. Mereka tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju ketika
mendengarkan percakapan itu.
Akhirnya
empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu
terdapat sebuah kedai arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai
caping lebar, duduk pula dengan memilih tempat jauh di sudut dan capingnya
tidak dilepas sehingga mukanya tertutup. Ketika pelayan datang menghampiri, dia
memesan arak dan semangkuk bubur.
Terdengar
ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri
mereka dan menuntut supaya mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli
makanan dan minuman yang mereka pesan.
"Sudah
terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa membayar! Aku tidak
mau dirugikan lagi, harap kalian suka membayar lebih dulu," kata pemilik
kedai itu, seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang kurus agak
bongkok.
Seorang
anggota Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning bangkit, kemudian bertolak
pinggang. "Apa katamu tadi? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau
berhadapan? Kami berdua adalah anggota Thian-ii-pang dan kedua orang sahabat
kami ini adalah anggota Pat-kwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami adalah pahlawan
bangsa, pembela rakyat dan tanah air! Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan
dan minuman saja bagi kami engkau tidak rela? Kami berjuang dengan taruhan
nyawa dan engkau tidak mau menjamu makan minum kepada kami?"
Seorang di
antara dua orang tosu Pat-kwa-pai itu menggebrak meja dan dengan sikap bengis
berkata, "Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau engkau ingin
kedaimu ini kami hancurkan?!"
"Kalian
sungguh kejam!" Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya.
"Jika hanya dua tiga orang saja yang datang minta makan minum, kami pasti
rela, akan tetapi kalau setiap hari datang dan jumlah kalian sampai puluhan
orang selalu minta makan dan minum dengan gratis, kami bisa bangkrut! Kami pun
mempunyai keluarga yang harus hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."
"Jahanam,
masih banyak cakap? Engkau memang perlu dihajar!" bentak salah seorang
anggota Thian-li-pang bermuka kuning tadi. Sekali kaki kanannya terayun
menendang, pemilik kedai itu terpelanting keras.
"Penuhi
permintaan kami tanpa banyak cakap lagi atau engkau akan kuhajar sampai
mampus!" bentaknya.
"Ayah...!"
Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Dia segera
menubruk ayahnya yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan.
Melihat
gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggota Pat-kwa-pai
tersenyum menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu
memaksanya duduk di sebuah bangku dekat meja mereka.
"Ha-ha-ha,
tukang warung! Lekas keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi
gadismu. Nona, kau temani kami makan minum di sini dan cepat suruh pelayan
mengeluarkan hidangan dan arak terbaik," katanya.
Gadis itu
tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit berdiri.
"Ayah, turuti saja permintaan mereka."
Keempat
orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki
dapur untuk menyediakan hidangan bagi empat orang itu.
"Manis,
engkau lebih bijaksana dari pada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak
tentu ayahmu telah menjadi mayat," kata si muka kuning sambil mencolek
dagu gadis itu.
Gadis itu
membuang muka dan berkata, "Kami sudah memenuhi permintaan kalian,
menyuguhkan hidangan, harap jangan ganggu aku lagi." Gadis itu bangkit
berdiri.
"Duduk
saja, engkau tidak boleh pergi," kata seorang tosu Pat-kwa-pai.
"Aku
akan membantu ayah mempersiapkan hidangan untuk kalian," bantah gadis itu.
"Dan
menaruh racun dalam hidangannya, ya? Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis.
Kami berempat makan minum dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum
sehingga kalau hidangan itu beracun, engkau yang akan lebih dulu
keracunan!" Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia terduduk
kembali.
Tiba-tiba
terdengar suara lembut namun nadanya mengejek. "Ini rumah makan macam apa,
membiarkan empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau yang
busuk sekali, empat orang maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus
mengaku harimau!"
Jelas sekali
makna ucapan itu. Empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah yang dimaki
tikus dan maling! Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki mereka
seperti itu. Mengatakan mereka maling kecil dan tikus.
Tentu saja
mereka terbelalak dan muka mereka berubah kemerahan pada saat mereka menoleh
dan memandang ke arah meja di sudut kanan, di mana duduk seorang laki-laki yang
mengenakan sebuah caping lebar sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama
sekali.
Akan tetapi
tidak dapat diragukan lagi. Orang bercaping itulah yang tadi mengeluarkan
ucapan menghina karena ucapannya datang dari arah itu dan di sudut itu tak ada
orang lain kecuali dia. Serentak empat orang itu meninggalkan gadis puteri
pemilik kedai dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja di mana Yo Han
duduk.
Yo Han
bersikap tenang saja, bahkan kini menuangkan arak ke dalam cawannya yang telah
kosong.
"Heiii,
kaukah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina kami?!" bentak salah seorang
di antara mereka.
Yo Han
mengangkat cawan araknya dan membawanya ke mulut.
"Heiii,
apakah engkau tuli? Kalau benar engkau yang tadi bicara, coba ulangi ucapanmu
kalau engkau berani!" kata si muka kuning yang ingin mendapat kepastian
bahwa orang bercaping ini yang tadi bicara. Apa lagi melihat orang bercaping
itu ternyata masih muda, maka dia agak merasa ragu-ragu apakah benar pemuda itu
berani mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Kalian
berempat memang maling kecil dan tikus-tikus busuk. Pergilah!" kata Yo
Han, menahan kemarahannya mengingat bahwa dua di antara mereka adalah termasuk
anak buahnya sendiri, anggota Thian-li-pang!
"Jahanam!"
"Keparat!"
Empat orang
itu marah sekali dan menggerakkan tangan memukul dari depan belakang dan kanan
kiri. Yo Han menggerakkan tangannya yang memegang cawan arak ke arah
sekelilingnya dan empat orang itu berteriak dan terhuyung mundur karena muka
mereka disiram arak. Biar pun hanya arak, dan tidak banyak pula karena isi
cawan itu dibagi empat, namun ketika mengenai muka, terutama mata, membuat
mereka sejenak tidak mampu membuka mata dan kulit muka terasa perih.
Setelah
menggosok-gosok matanya dan dapat melihat lagi, empat orang itu mencabut golok
mereka dan serentak menyerang sambil memaki dengan kamarahan memuncak.
Orang-orang yang sedang makan minum di situ menjadi ketakutan dan berhamburan
lari keluar. Juga pemilik kedai dan puterinya, beserta para pelayan, sudah
bersembunyi di balik meja dengan tubuh gemetar ketakutan.
Yo Han masih
tetap duduk, akan tetapi kedua tangannya mengambil sepasang sumpit dan juga dua
buah mangkok yang kosong. Begitu empat orang dengan golok mereka menyerbu
mendekat, kembali kedua tangan Yo Han bergerak.
Dua sumpit
menembus pundak kanan dua orang tosu sehingga golok mereka terlepas dan mereka
mengaduh-aduh, sedangkan dua buah mangkok menghantam muka dua orang anggota
Thian-li-pang dengan kerasnya. Dua orang Thian-li-pang itu terjengkang roboh
dengan muka berdarah karena mangkok yang menghantam muka mereka tadi
pecah-pecah dan melukai mereka. Memang tidak sampai membunuh mereka, namun
mereka terjengkang roboh dengan muka berlumuran darah dan pingsan!
Dua orang
tosu terbelalak dan tidak berani melawan lagi, bahkan melarikan diri keluar
dari rumah makan itu ketika Yo Han dengan sikap sembarangan saja mencengkeram
baju di punggung kedua orang anggota Thian-li-pang itu dan melempar tubuh
mereka yang pingsan ke sudut ruangan itu di mana mereka rebah bertumpuk.
Kemudian, dia melanjutkan makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Pemilik
rumah makan bersama puterinya segera menghampiri Yo Han, mengucapkan terima
kasih sambil membungkuk-bungkuk.
"Terima
kasih atas pertolongan Taihiap, akan tetapi... ahhh, bagaimana dengan nasib
kami? Tentu mereka akan datang lagi dan akan menghancurkan rumah kami, bahkan
mungkin kami pun akan mereka bunuh..."
"Benar
apa yang dikatakan Ayah, Taihiap," berkata gadis itu sambil menangis.
"Harap Taihiap suka melepaskan dua orang itu, karena sudah pasti kami yang
akan menderita akibat pembalasan mereka."
"Paman
dan Nona, harap jangan khawatir. Aku akan menunggu di sini sampai mereka semua
datang. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan diganggu lagi oleh
mereka. Kalian tenang saja. Nanti akan kuganti semua kerugian karena kerusakan
yang diakibatkan keributan ini. Sekarang, tolong tambahkan arak seguci untukku.
Aku akan menanti mereka datang semua."
Biar pun khawatir
sekali, ayah anak itu tidak berani membantah lagi. Mereka tadi sudah melihat
betapa mudahnya pemuda bercaping ini mengalahkan empat orang pengacau. Akan
tetapi mereka tahu belaka betapa kuatnya Thian-li-pang dan kalau mereka semua
itu datang, apakah pemuda itu akan mampu menghadapi mereka seorang diri saja?
Dua orang
tosu Pat-kwa-pai yang sedang bermain-main ke Thian-li-pang tadi, tentu saja
tidak mau tinggal diam. Mereka terluka dan masing-masing menderita kesakitan
dengan sebatang sumpit masih menancap dan menembusi pundak mematahkan tulang
pundak, sedangkan dua orang teman mereka sudah ditawan.
Mereka cepat
mendaki lereng Bukit Naga yang menjadi sarang Thian-li-pang dan sambil meringis
kesakitan mereka melapor kepada para anggota Thian-li-pang yang melakukan
penjagaan di pintu gerbang perkampungan perkumpulan itu.
Tentu saja
para anggota Thian-li-pang menjadi gempar dan marah mendengar bahwa dua orang
kawan mereka dirobohkan seorang asing di dusun yang berada di kaki bukit.
Mereka cepat melapor kepada kepala jaga. Mereka menganggap urusan itu terlalu
kecil untuk dilaporkan kepada ketua, bahkan mereka tidak ingin ketua mendengar
bahwa mereka tidak mampu membereskan urusan kecil itu.
"Di
mana jahanam itu sekarang? tanya seorang murid yang tingkatnya lebih tinggi.
"Di
dalam kedai arak dusun itu," kata dua orang tosu itu.
Murid yang
termasuk tingkat atas dari Thian-li-pang itu lalu mengumpulkan empat orang
saudara lain. "Kalian tetap berjaga saja di sini, kami berlima yang akan
menghajarnya," katanya dan lima orang yang memiliki tingkat tiga di
Thian-li-pang itu segera turun dari lereng bukit sambil berlari cepat.
Sekejap
saja, lima orang murid Thian-li-pang yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun
ini telah tiba di depan kedai arak itu. Mereka melihat betapa kedai arak itu
sepi sekali, dan ada beberapa orang yang mengitai dari jauh dengan sikap
ketakutan.
Dengan sikap
gagah kelima orang itu memasuki kedai. Di dalam ruangan kedai yang biasanya
penuh tamu itu, ternyata sekarang kosong. Hanya ada seorang tamu sedang
minum-minum seorang diri di sudut dan mereka melihat orang itu mengenakan
caping lebar sehingga tak nampak mukanya. Mereka melihat pula dua orang adik
seperguruan mereka duduk bersandar dinding di lantai sudut itu dengan muka
berlumuran darah!
Pada saat
dua orang itu melihat lima orang kakak seperguruan mereka muncul di pintu rumah
makan, mereka segera bangkit.
"Suheng,
tolonglah kami...," kata mereka setengah meratap.
Mereka
hendak menghampiri kawan-kawan mereka, akan tetap begitu tangan Yo Han
bergerak, dua butir kacang menyambar dan mengenai dada kedua orang itu, membuat
mereka mengeluh dan roboh kembali! Melihat hal itu, lima orang yang baru datang
tentu saja menjadi marah sekali.
"Jahanam
busuk!" bentak salah seorang di antara mereka dan lima orang itu serentak
menyerang Yo Han dari sekelilingnya.
Yo Han masih
tetap duduk di atas bangkunya. Kedua tangannya bergerak, juga kedua kakinya
menyambar dan empat orang pengeroyok lalu roboh terpelanting! Orang kelima yang
melihat ini, terbelalak kaget dan dengan jeri dia melangkah mundur.
Empat orang
yang roboh itu mencoba untuk mencabut pedang dan kembali menyerang. Akan tetapi
sebelum mereka dapat melakukan serangan, kembali kaki tangan Yo Han bergerak
tanpa dia turun dari bangkunya. Akibatnya, keempat orang itu roboh kembali,
pedang mereka terlepas berkerontangan dan mereka tidak mampu bangkit.
Melihat ini
orang ke lima segera meloncat keluar dan melarikan diri ketakutan. Dia tidak
tahu bahwa memang Yo Han sengaja melepasnya, dengan maksud supaya dia melapor
kepada pimpinan Thian-li-pang. Dengan tenang ia turun dari bangkunya, lalu
tangannya mencengkeram punggung baju mereka dan melemparkan tubuh mereka satu
demi satu ke sudut ruangan sehingga kini di situ berserakan dan bertumpuk enam
orang anggota Thian-li-pang.
Ketika
melakukan hal ini, enam orang itu dapat sekilas melihat tampangnya dan dua di
antara mereka terbelalak.
"Sin...
ciang... Taihiap..." Mereka berbisik dan jatuh pingsan saking kaget dan
takutnya.
Tentu saja
mereka sangat ketakutan karena mereka sudah melawan pemimpin besar
Thian-li-pang! Apa lagi mereka juga segera menyadari bahwa mereka sudah
melakukan penyelewengan besar dari garis-garis yang ditentukan pemimpin besar ini,
menyadari bahwa Thian-li-pang telah berubah semenjak ketua Lauw Kang Hui tewas
dan pimpinan dipegang oleh Ouw Seng Bu.
Yo Han tidak
peduli dan melanjutkan minum seorang diri. Dia harus meluruskan kembali
Thian-li-pang seperti pesan mendiang suhu-nya, yaitu kakek Ciu Lam Hok. Dia
sengaja merobohkan para anggota Thian-li-pang dan menumpuk tubuh mereka di
sudut ruangan kedai itu untuk memancing kedatangan para pimpinan Thian-li-pang
ke situ, terutama sekali Lauw Kang Hui.
Dia tidak
langsung datang ke Thian-li-pang karena maklum betapa besar bahayanya kalau dia
melakukan itu. Kalau benar para pemimpin Thian-li-pang sudah menyeleweng dan
dia dimusuhi, maka mendatangi pusat Thian-li-pang sama saja dengan menghadapi
bahaya besar.
Thian-li-pang
mempunyai anggota yang rata-rata kuat, juga para pemimpinnya lihai, di samping
tempat itu pun berbahaya dan penuh rahasia. Ia harus dapat memancing para
pemimpinya keluar dan datang ke rumah makan ini, agar lebih leluasa dia turun
tangan menghajar mereka dan memaksa mereka untuk kembali ke jalan yang benar
seperti dikehendaki mendiang Ciu Lam Hok gurunya.
Sementara
itu, anggota Thian-li-pang yang ketakutan dan lari pulang, membuat para anggota
lainnya menjadi gempar. Mereka tidak berani menganggap persoalan itu kecil lagi,
apa lagi ketika rekan mereka menceritakan betapa empat kawannya roboh dengan
mudah sekali oleh si caping lebar yang aneh. Mereka lalu berangkat untuk
melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
Ketika itu,
ketua Thian-li-pang yang baru, Ouw Seng Bu, sedang menjamu dua orang tamu yang
dihormatinya, yaitu Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Seperti diceritakan di
bagian depan, Cu Kim Giok tertarik kepada Ouw Seng Bu dan menganggap pemuda itu
seorang ketua perkumpulan besar Thian-li-pang yang amat tampan, gagah perkasa
dan berjiwa patriot, membuat ia merasa tunduk dan kagum bukan main.
Ada pun
Siangkoan Kok, bekas ketua Pao-beng-pai, juga dapat ditundukkan Ouw Seng Bu
dengan ilmunya yang luar biasa sehingga kini Siankoan Kok yang perkumpulannya
sudah hancur itu mau menggabungkan diri untuk menentang pemerintah dan mencari
kedudukan yang tinggi.
Demikian
besar rasa kagum Cu Kim Giok kepada Ouw Seng Bu sehingga dia tidak berkeberatan
untuk makan bersama dua orang tosu wakil Pek-lian-kauw dan dua orang tosu wakil
Pat-kwa-pai yang datang sebagai tamu Thian-li-pang. Padahal, sejak kecil ia
telah mendengar dari ayah ibunya bahwa Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang
banyak melakukan kejahatan, walau pun perkumpulan itu terkenal sebagai
perkumpulan yang menentang pemerintah Mancu. Alasan yang dikemukakan Ouw Seng
Bu bahwa untuk menentang penjajah, semua kekuatan harus bersatu, tanpa
membeda-bedakan antar golongan putih atau hitam, dapat ia terima bahkan
membenarkannya.
Demikianlah,
pada saat itu, Ouw Seng Bu, sedang makan minum semeja dengan Cu Kim Giok,
Siangkoan Kok, dan empat orang tosu, yaitu dua tokoh Pat-kwa-pai dan dua orang
tokoh Pek-lian-kauw.
Wakil
Pat-kwa-pai yang tubuhnya tinggi kurus bernama Im Yang Ji, murid kepala ketua
Pat-kwa-pai yang lihai, yang datang bersama bersama adik seperguruannya. Ada
pun wakil dari Pek-lian-kauw adalah Kui Thiancu yang sudah kita kenal ketika
dia mewakili Pek-lian-kauw dan hadir dalam pesta yang diadakan Siangkoan Kok
saat masih menjadi ketua Pao-beng-pai, yang datang bersama seorang adik
seperguruannya pula.
Ouw Seng Bu
yang merasa bergembira sekali sudah mendapat dua sekutu yang boleh dibanggakan,
Siangkoan Kok yang selain amat lihai juga dapat diharapkan menghimpun banyak orang
untuk menjadi anak buah mereka, dan Cu Kim Giok. Gadis puteri majikan Lembah
Naga Siluman ini tentu saja merupakan seorang sekutu yang sangat besar artinya,
karena tentu akan dapat menjadi jembatan agar para tokoh kang-ouw lainnya suka
bergabung dengan Thian-li-pang.
Selain itu,
semenjak pertemuan yang pertama kalinya, hati Ouw Seng Bu sudah terjerat. Dia
tahu bahwa dia jatuh cinta kepada gadis yang bermata indah dan amat manis itu.
"Mari
kita minum untuk persatuan di antara kita yang kokoh kuat untuk menumbangkan
penjajah dan mengusir mereka dari tanah air tercinta!" dengan penuh
semangat Ouw Seng Bu berkata.
Enam orang
lainnya yang duduk semeja itu menyambut dengan penuh semangat pula. Bahkan Cu
Kim Giok merasa bangga karena ia merasa yakin bahwa ayah ibunya tentu akan
merasa bangga pula melihat puteri mereka kini bersekutu dengan para pejuang
yang hendak menumbangkan pemerintah penjajah Mancu!
Baru saja
mereka mengosongkan cawan, seorang anggota Thian-li-pang dengan sangat
tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu. Dia adalah kepala jaga, dan biar pun dalam
hal tingkatan, orang ini masih adik seperguruan Ouw Seng Bu, yaitu murid
mendiang Lauw Kang Hui, akan tetapi karena kini Ouw Seng Bu telah menjadi ketua
dan orang itu bukan lain hanya seorang anak buah, ketua Thian-li-pang yang
masih muda itu mengerutkan alisnya dan merasa terganggu.
"Hemmm,
ada urusan apa hingga engkau berani datang mengganggu kami?" bentaknya
dengan sikap berwibawa.
"Harap
maafkan kelancangan saya, Pangcu. Akan tetapi saya hendak melapor bahwa ada
seseorang yang telah merobohkan dan menawan enam orang anggota kita di kedai
arak di dusun bawah sana."
Kerut di
antara mata Seng Bu semakin mendalam dan matanya mencorong marah. "Hemmm,
muncul seorang pengacau saja kalian tidak mampu membereskannya sendiri dan
masih melapor kepada kami?"
"Maaf,
Pangcu. Mula-mula, dua orang anggota kita bersama seorang teman anggota
Pat-kwa-pai dan seorang anggota Pek-lian-kauw minum di kedai itu, bertemu
dengan si pengacau yang merobohkan dua orang anggota kita, akan tetapi hanya
melukai dua orang tosu sahabat dan membiarkan mereka pergi. Dua orang anggota
Thian-li-pang itu ditawannya di kedai. Kemudian, lima orang saudara tua kami
turun lereng, bermaksud untuk memberi hajaran. Akan tetapi, empat orang di antara
mereka roboh dan ditawan. Seorang dapat melarikan diri melapor dan menurut
laporannya, empat orang saudara tua itu dalam segebrakan saja roboh oleh
pengacau yang bercaping lebar itu."
"Hemmm...!"
Ouw Seng Bu diam-diam terkejut.
Yang disebut
saudara tua adalah para anggota yang tingkatnya sejajar dengan dirinya, yaitu
murid atau murid keponakan dari mendiang Lauw Kang Hui. Kalau empat orang di
antara mereka roboh dengan mudah oleh pengacau itu, dapat dibayangkan alangkah
lihainya orang itu.
"Ahhh, siapa
berani melukai anggota Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?" seru Im Yang Ji,
tokoh Pat-kwa-pai dengan marah. Dia sudah mulai mabuk, maka hatinya mudah
sekali panas mendengar bahwa seorang anak buahnya sudah dilukai orang.
"Toyu, kita harus menghajar orang itu!" katanya kepada dua orang tosu
Pek-lian-kauw.
Kui Thiancu
mengangguk dan bangkit berdiri, memberi hormat kepada Seng Bu sambil berkata,
"Pangcu, biarlah kami berempat yang menghajar orang itu dan menyeretnya ke
sini agar Pangcu dapat menghukumnya. Pangcu tak perlu marah-marah dan terganggu
makan minum. Sebaiknya, Pangcu, Nona dan Siangkoan Locianpwe tetap melanjutkan
makan minum. Kami berempat akan segera kembali sambil menyeret si pengacau
itu."
Ouw Seng Bu
mengangguk dan bangkit berdiri membalas penghormatan empat orang tosu itu.
"Kalau
Cuwi hendak menghajar si pengacau yang telah melukai anggota Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-pai, silakan dan harap jangan membunuhnya karena saya ingin melihatnya
dan menanyainya mengapa dia berani memusuhi kita."
Empat orang
tosu itu mengangguk dan ke luar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Setelah
mereka pergi, Ouw Seng Bu menoleh kepada Cu Kim Giok sambil tersenyum.
"Aihh,
ada-ada saja. Sayang sekali masih terdapat orang-orang yang tidak menghargai
perjuangan kita sehingga mereka itu bukan membantu kita, bahkan memusuhi kita
dan lebih rela menjadi antek penjajah Mancu. Siapa yang tidak akan merasa
menyesal kalau orang-orang pandai yang termasuk golongan para pendekar, seperti
Sin-ciang Taihiap Yo Han itu, membiarkan dirinya menjadi anjing penjilat dan
antek penjajah Mancu."
"Sangat
menyakitkan hati memang!" kata Siangkoan Kok sambil menuangkan arak dari
cawan ke dalam mulutnya. "Bahkan para pendekar dari keluarga pendekar
terbesar di dunia persilatan, rela mengekor kepada penjajah Mancu. Harap
maafkan aku, nona Cu. Selama ini aku pun belum pernah mendengar keluarga Cu
dari Lembah Naga Siluman menjadi antek Mancu, meski hubungan keluargamu dekat
sekali dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Dua keluarga pendekar itulah
yang sejak dulu membantu penjajah Mancu, sungguh mengecewakan sekali. Apakah
mereka tak pernah tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa liar yang menjajah
tanah air dan bangsa kita? Kita berjuang untuk membebaskan bangsa dari
cengkeraman penjajah, namun mereka tidak membantu kita dan malah memusuhi
kita!"
Wajah Kim
Giok berubah menjadi agak kemerahan. Selain pengaruh arak, juga hatinya
tersentuh. Ia telah jatuh cinta kepada Ouw Seng Bu dan merasa yakin akan
kebenaran pemuda itu, akan kemurnian perjuangan melawan penjajah.
Dia pun tahu
bahwa di antara keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, memang terdapat hubungan
yang akrab dengan kerajaan Mancu, bahkan ada pertalian hubungan darah. Walau
pun ayah ibunya tidak pernah memusuhi kerajaan Mancu secara berterang, akan
tetapi juga mereka tidak pernah menjadi pembantu langsung atau pejabat. Akan
tetapi, harus diakui bahwa keluarga orang tuanya sangat dekat dengan keluarga
Pulau Es dan Gurun Pasir.
Sekarang pandangannya
terhadap Siangkoan Kok juga berubah. Kakek tua ini adalah seorang pejuang
sejati, pikirnya, seperti juga Seng Bu, meski kakek ini berwatak keras dan
aneh, tidak seperti Seng Bu yang halus dan tampan.
"Meski
keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir tidak memusuhi kita secara terang-terangan,
akan tetapi mereka tidak mau bersatu dengan kita untuk menghancurkan penjajah.
Kita harap saja nona Cu akan dapat membujuk mereka dan membuka mata mereka
betapa pentingnya perjuangan menentang penjajah. Yang kukhawatirkan hanyalah
satu orang saja, yaitu Sin-ciang Taihiap..."
"Hemmm,
orang itu memang amat berbahaya dan dia pun telah menjadi antek penjajah.
Bahkan dia bergaul akrab sekali dengan seorang pangeran Mancu, yaitu Pangeran
Cia Sun," kata Siangkoan Kok.
Dengan
singkat Siangkoan Kok lalu menceritakan betapa Yo Han beserta Pangeran Cia Sun
pernah menyelundup ke dalam perkumpulannya, Pao-beng-pai sehingga berakibat
perkumpulannya itu dihancurkan pasukan pemerintah.
"Sudah
jelas bahwa pasukan itu dibawa datang oleh Yo Han dan Cia Sun yang bekerja
sebagai mata-mata," kata Siangkoan Kok mengakhiri ceritanya.
"Yo Han
memang harus dibasmi. Dia pun merupakan ancaman bagi Thian-li-pang pula, karena
dulu dia pernah diangkat oleh mendiang suhu Lauw Kang Hui sebagai pemimpin
Thian-li-pang. Sewaktu-waktu dia bisa muncul di sini, dan kemudian menggunakan
hak kekuasaannya untuk mengubah Thian-li-pang dari suatu perkumpulan pejuang
menjadi perkumpulan pengekor kerajaan Mancu," kata Seng Bu penasaran.
"Biarkan
saja dia datang, kita akan sambut dia dengan pedang. Aku akan membantumu
menundukkannya, Pangcu," berkata Siangkoan Kok yang masih merasa sakit
hati kalau teringat kepada Yo Han dan Cia Sun yang dianggapnya menjadi penyebab
kehancuran Pao-beng-pai.
"Akan
tetapi, dia lihai bukan main, paman Siangkoan," kata Seng Bu,
"Sebaiknya kalau kita menggunakan siasat untuk menundukkannya, dan kuharap
Paman dan juga nona Cu suka membantuku untuk menundukkannya kalau dia berani
datang di sini."
"Tentu
saja aku akan membantumu, Pangcu," kata Kim Giok tanpa ragu lagi.
Sin-ciang
Taihiap adalah seorang yang jahat, pikirnya, telah mengkhianati Thian-li-pang,
juga membunuh ketua Thian-li-pang, bahkan dia bergaul dengan Pangeran Cia Sun
dari kerajaan Mancu. Yo Han sudah membunuh banyak tokoh Thian-li-pang dan orang
yang sejahat itu memang harus ditentang.
"Kalau
perlu, kita minta bantuan tenaga ketua Pek-lian-kauw dan ketua
Pat-kwa-pai," kata Siangkoan Kok yang diam-diam juga merasa jeri terhadap
Sin-ciang Taihiap.
"Memang
aku sudah mempunyai rencana, dan sudah mengirim surat kepada mereka," kata
Seng Bu.
Mereka
kemudian melanjutkan makan minum dan merasa yakin bahwa dua orang tosu
Pek-lian-kauw bersama dua orang tosu Pat-kwa-pai tadi akan mampu membereskan
kerusuhan dan menyeret pengacaunya ke markas Thian-li-pang…..
*************
Empat orang
tosu itu memasuki rumah makan dengan hati-hati, dan di belakang mereka nampak
dua belas orang anggota Thian-li-pang tingkat tertinggi, siap dengan pedang di
tangan. Pada waktu mereka memasuki pintu depan rumah makan itu, Kui Thiancu
tokoh Pek-lian-kauw yang memimpin rombongan, memberi isyarat kepada
kawan-kawannya untuk berhenti.
Tadi dia
sudah merundingkan dengan Im Yang Ji serta dua orang tosu lainnya untuk
mempermainkan pengacau yang berada di rumah makan itu dengan mempergunakan
kekuatan sihir. Sekarang mereka berempat mengerahkan kekuatan sihir, menyatukan
kekuatan mereka.
Mulut mereka
berkemak-kemik membaca mantera, dan mata mereka memandang ke arah caping yang
menutupi kepala dan muka Yo Han, kemudian mereka menudingkan telunjuk kanan ke
arah caping itu. Kui Thiancu yang ditunjuk menjadi juru bicara mereka berempat,
segera berkata dengan suara bergema dan mengandung kekuatan sihir.
"Caping
yang berada di atas kepala pengacau, terbanglah ke sini!"
Para anggota
Thian-li-pang yang bergerombol di luar pintu rumah makan itu terbelalak heran
dan kagum. Mereka melihat betapa caping yang menutupi kepala orang yang duduk
membelakangi mereka di sudut itu tiba-tiba saja terbang melayang ke atas dan
meninggalkan kepala itu.
Empat orang
tosu itu sudah siap untuk mentertawakan Yo Han. Tetapi wajah mereka yang
tadinya menyeringai itu seketika berubah ketika caping yang melayang ke atas
itu kini menyambar ke arah mereka seperti peluru yang berputar-putar
mengeluarkan suara berdesing! Tentu saja mereka terkejut bukan main dan mereka
cepat mengelak.
Caping itu
bagaikan berubah menjadi seekor burung elang yang menyambar-nyambar kepala
mereka sehingga mereka sibuk berloncatan ke sana-sini. Akhirnya, setelah gagal
memperoleh korban, caping itu melayang kembali ke arah kepala pemiliknya,
kemudian hinggap di atas kepala seperti burung terbang kembali ke sarangnya!
Sekarang
empat orang tosu itu saling pandang. Mereka maklum bahwa pemilik caping itu sudah
mempermainkan mereka dan bahwa kekuatan sihir mereka tadi sama sekali tidak
berhasil!
Kui Thiancu
melihat betapa ruangan itu terlalu sempit dan banyak terhalang meja serta
bangku sehingga kawan-kawannya takkan dapat leluasa untuk mengeroyok lawan yang
agaknya amat lihai ini. Karena itu dia segera membentak, "Orang bercaping
sombong! Engkau berani melukai para anggota Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-kauw. Jika engkau memang berkepandaian dan bukan seorang pengecut,
keluarlah dan mari kita mengadu kepandaian di luar yang luas! Jika engkau tidak
mau keluar, maka kami akan membakar rumah ini!"
Setelah
berkata demikian, Kui Thiancu memberi isyarat dan bersama teman-temannya, dia
pun melangkah keluar dan menanti di luar rumah makan.
Mendengar
ucapan yang bernada mengancam itu, pemilik kedai dan puterinya menjadi
ketakutan. Mereka nekat keluar dari persembunyian mereka, kemudian menjatuhkan
diri berlutut di depan Yo Han.
"Taihiap...
tolonglah... harap Taihiap keluar dari sini dan berkelahi diluar saja... jangan
sampai rumah kami dibakar...!"
Juga enam
orang anggota Thian-li-pang yang masih meringkuk di sudut ruangan itu dan tetap
tidak berani bergerak, menjadi pucat ketakutan. Mereka sejak tadi takut pergi
dari situ, takut kalau dirobohkan kembali oleh si caping lebar yang amat lihai
itu. Akan tetapi sekarang ada ancaman dari tosu tadi, kalau mereka diam saja di
situ, tentu mereka akan ikut terbakar!
Yo Han tentu
saja tidak ingin merugikan si pemilik rumah makan. Tanpa menjawab dia pun
menyambar buntalan pakaiannya, menggendong buntalan itu, lantas mengeluarkan
sepotong emas dan melemparkannya ke atas meja.
"Ini
untuk menggantikan semua kerugianmu, Paman," katanya sambil melangkah
keluar perlahan-lahan.
Tentu saja
ayah dan anak itu terkejut dan gembira bukan main. Pemberian itu puluhan kali
lebih banyak dari pada kerugian yang mereka derita.
Sementara
itu, pada waktu si caping lebar melangkah lambat-lambat keluar dari rumah
makan, empat orang tosu serta selosin anggota Thian-li-pang memandang dengan
hati tegang. Yo Han melangkah dengan muka ditundukkan sehingga mereka masih
belum bisa melihat wajahnya. Setelah sampai di depan empat orang tosu itu, Yo
Han berhenti melangkah.
"Heiii,
orang asing!" bentak Kui Thiancu marah. "Siapa engkau dan apa pula
sebabnya engkau melukai para anggota Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-kauw?"
Tanpa mengangkat
mukanya yang menunduk dan tertutup caping, Yo Han menjawab, suaranya terdengar
sangat dingin, "Sejak dahulu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw adalah
penjahat-penjahat yang berkedok perjuangan, tidak aneh kalau hari ini mereka
kembali melakukan kejahatan. Akan tetapi, Thian-li-pang adalah perkumpulan
pejuang-pejuang sejati, sekarang anak buahnya menyeleweng, patut disesalkan dan
dibuat penasaran!"
"Keparat,
enak saja engkau membuka mulut! Perlihatkan mukamu, atau engkau begitu pengecut
untuk memperkenalkan diri?"
"Kui
Thiancu, aku bukanlah orang asing bagimu," kata Yo Han dan kini dia
mengangkat mukanya sehingga sekilas nampak wajahnya, akan tetapi dia sudah
menunduk kembali. Mereka yang sudah mengenalnya terkejut, termasuk Kui Thiancu.
"Ahhh,
kiranya Sin-ciang Taihiap? Semenjak kapan engkau memusuhi Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-kauw?"
"Kui
Thiancu, aku tak memusuhi siapa pun, akan tetapi akan menghajar siapa saja yang
berbuat jahat. Anak buah Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai melakukan kejahatan
bersama anak buah Thian-li-pang yang menyeleweng, maka aku menghajar mereka.
Pergilah dan jangan mencampuri urusanku dengan Thian-li-pang, ini merupakan
urusan dalam Thian-li-pang sendiri."
Akan tetapi
Kui Thiancu sudah marah sekali, apa lagi memang dia tahu bahwa ketua
Thian-li-pang, sekutunya, harus membunuh orang ini yang merupakan ancaman bagi
perkumpulan itu.
"Serang
dan bunuh dia!" bentaknya.
Ia pun telah
menggerakkan pedangnya, diikuti Im Yang Ji dan dua tosu lain yang sudah
mencabut pedang. Kini Yo Han dikeroyok empat orang tosu! Yo Han bergerak cepat,
tubuhnya berkelebat dan menyelinap di antara gulungan sinar empat batang pedang
itu.
Sementara
itu, selosin anak buah Thian-li-pang tadi terkejut bukan main ketika melihat
wajah Yo Han. Akan tetapi, mereka semua telah menjadi anak buah Ouw Seng Bu dan
mereka sudah ikut melakukan penyelewengan, maka tentu saja kini mereka pun
tidak menghendaki Yo Han yang berkuasa di Thian-li-pang, oleh karena hal itu
akan berarti hilangnya semua kesenangan yang selama ini mereka peroleh sejak
Seng Bu menjadi ketua. Maka, mereka pun serentak ikut mengeroyok!
Seorang di
antara mereka diam-diam sudah berlari naik ke lereng bukit untuk melapor kepada
ketuanya. Ketika dia tiba di pusat Thian-li-pang, Ouw Seng Bu yang menjamu
Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok, baru saja selesai makan minum.
"Celaka,
Pangcu. Sin-ciang Taihiap Yo Han telah muncul. Dialah orang yang mengacau
tadi!" anggota itu melapor dengan suara gemetar.
Mendengar
ini, Ouw Seng Bu meloncat bangkit. Dia nampak gugup. Akan tetapi, melihat
Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok di situ, dia menenangkan diri.
"Di mana
dia sekarang?"
"Dia
kini berada di luar rumah makan, dikeroyok oleh keempat orang tosu dan sebelas
orang anggota kita, Pangcu. Saya lari pulang untuk melapor kepada Pangcu."
Ouw Seng Bu
yang amat cerdik itu bertindak cepat sekali.
"Paman
Siangkoan Kok, harap Paman tidak memperlihatkan diri kepada Yo Han dan
bersembunyi di dalam kamar Paman. Nona Cu, harap engkau juga beristirahat di
dalam kamar sampai nanti aku memberi tahukan segalanya kepadamu. Aku akan
menghadapi Yo Han dan menerimanya dengan baik-baik untuk mencegah jatuhnya
banyak korban."
Siangkoan
Kok dan Cu Kim Giok mengangguk. Mereka pergi ke kamar masing-masing yang sudah
diberikan kepada mereka sejak mereka tiba di situ.
Ouw Seng Bu
segera mengumpulkan anak buahnya dan dengan tegas memesan agar mereka semua
memperlihatkan sikap lunak dan takluk terhadap Yo Han, dan bersikap seperti
dulu agar tidak menimbulkan kecurigaan di dalam hati Pendekar Tangan Sakti.
Kemudian, dia menuju ke kamar Cu Kim Giok dan mengetuk daun pintunya.
Setelah Cu
Kim Giok muncul, Ouw Seng Bu pun berkata, "Nona Cu, sekarang saatnya
engkau bisa membantuku. Aku ingin menaklukkan Yo Han tanpa mendatangkan banyak
korban, karena itu aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia yang sudah
menyebar pembunuhan di sini. Engkau bersikaplah sebagai seorang tamuku, seorang
sahabat baikku..."
"Tapi,
apa manfaatnya kehadiranku..."
"Banyak
sekali, Nona. Engkau akan menimbulkan kepercayaan di hatinya bahwa kita tak
mempunyai maksud tertentu terhadap dirinya. Bila melihat engkau sebagai tamuku,
pasti dia akan percaya kepadaku. Marilah, Nona, aku... sungguh aku membutuhkan
pertolonganmu. Ataukah... engkau begitu tega tidak mau membantuku?"
Ouw Seng Bu
sudah dapat melihat selama dia bergaul dengan Kim Giok bahwa gadis itu pun
membalas perasaan hatinya, bahwa gadis itu pun jatuh cinta kepadanya, maka dia
mempergunakan sikap lunak dan menarik rasa iba gadis itu. Dia berhasil, karena
Cu Kim Giok mengangguk.
"Baiklah,
Pangcu. Aku akan membantumu."
"Engkau
tidak perlu bicara atau berbuat apa pun, hanya mengaku saja bahwa engkau
menjadi sahabatku. Nah, aku tidak ingin menyuruhmu berbuat jahat atau berbohong
bukan?"
Mereka
berdua segera berlari cepat menuruni lereng bukit dan ketika mereka memasuki
dusun dan tiba di depan kedai arak, mereka berdua tertegun. Apa yang telah
terjadi?
Yo Han
dikeroyok oleh empat orang tosu lihai dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga
oleh sebelas orang murid Thian-li-pang dari tingkat atas. Para pengeroyok itu
semuanya menggunakan pedang, sedangkan Yo Han bertangan kosong!
Akan tetapi,
tubuhnya yang dapat dibuat ringan seperti bayangan itu berkelebatan di atas belasan
batang pedang dan setiap kali terbuka kesempatan, begitu tangan atau kakinya
bergerak menyambar, tentu salah seorang pengeroyok dapat dirobohkan! Dia
mengenal gerakan silat orang-orang Thian-li-pang, mengenal cakar beracun
mereka, maka dengan mudah dia dapat mengenal bagian lemah mereka sehingga
setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, seorang anggota Thian-li-pang
terjungkal.
Yo Han tidak
mau membunuh mereka, hanya merobohkan dan membuat mereka tak mampu bangkit
kembali karena patah tulang atau menotok mereka sehingga tak mampu bergerak
kembali. Akhirnya, sebelas orang Thian-li-pang itu pun roboh tak dapat bangkit
kembali dan tinggal dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang tosu Pat-kwa-pai
saja yang masih terus mengeroyoknya dengan serangan membabi buta karena sejak
tadi serangan pedang mereka tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.
"Orang-orang
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, kalian pergilah. Aku tak ingin bermusuhan dengan
kalian dan jangan mencampuri urusan kami orang-orang Thian-li-pang!" dua
kali Yo Han menegur dan menyuruh mereka pergi.
Ketika empat
orang itu terus mengamuk tanpa mempedulikan kata-katanya, Yo Han menjadi marah.
"Kalian ini orang-orang bandel yang pantas menerima hajaran!"
Dia pun
bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Bu-kek Hoat-keng. Segera timbul angin
berpusing yang cepat sekali, membuat empat orang tosu itu ikut terputar dan
sebelum mereka tahu apa yang terjadi, pedang mereka beterbangan lepas dari
tangan. Mereka pun seperti dilontarkan oleh tenaga yang sangat kuat, terlempar
dan terbanting sampai beberapa meter jauhnya! Agaknya Si Tangan Sakti itu
memang tidak ingin membunuh mereka sehingga mereka hanya terbanting keras tanpa
menderita luka parah.
Pada saat
mereka terbanting itulah, Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok menuruni lereng. Ouw Seng
Bu mengenal gerakan Yo Han itu. Dia pun merasa sanggup bergerak hingga
menimbulkan angin berpusing seperti itu seperti yang pernah dia pelajari dalam
sumur!
Ketika
melihat Seng Bu, empat orang tosu seperti mendapat hati. Mereka dengan muka
meringis kesakitan karena pinggul mereka tadi terbanting keras, bangkit
menyongsong kedatangan Seng Bu.
"Pangcu...,"
kata mereka, akan tetapi Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat.
"Harap
Totiang berempat suka memaafkan kami dan meninggalkan tempat ini. Biarkan kami
menyelesaikan urusan dalam Thian-li-pang."
Empat orang
tosu itu merasa heran, akan tetapi karena mereka sudah maklum bahwa ketua baru
itu tentu akan menggunakan siasat. Mereka pun memberi hormat dan pergi dari
tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
Kini Seng Bu
berdiri berhadapan dengan Yo Han dan keduanya saling pandang.
"Kiranya
Sin-ciang Taihiap yang datang! Harap maafkan siauwte bersama para anggota
Thian-li-pang yang tidak tahu akan kedatangan Taihiap dan tidak sempat
menyambut seperti mestinya." Dia memberi hormat.
Yo Han
mengerutkan alis, memandang penuh selidik. Dia tadi mendengar Kui Thiancu
menyebut ‘pangcu’ kepada pemuda tampan ini! Dengan sikap tenang namun suaranya
tegas dan menyelidik, Yo Han berkata,
"Wajahmu
tidak asing bagiku. Bukankah engkau seorang di antara para murid suheng Lauw
Kang Hui? Mengapa tosu tadi menyebutmu sebagai pangcu? Di mana suheng Lauw Kang
Hui dan apa yang terjadi dengan Thian-li-pang? Mengapa Thian-li-pang kini
bersahabat dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan mengapa pula
ada murid Thian-li-pang yang dapat melakukan kejahatan di dusun ini?"
Diberondong
pertanyaan-pertanyaan itu, Seng Bu merasa laksana dihujani serangan yang
berbahaya. Dia memberi hormat lagi.
"Taihiap,
banyak sekali hal-hal yang amat hebat telah terjadi di tempat kita. Suhu...
suhu telah... mati dibunuh orang... dan aku terpaksa untuk sementara mewakili
dan diangkat menjadi pangcu karena tidak ada orang lain lagi yang dapat
memegang kedudukan itu sebagai pemimpin sementara. Suhu Lauw Kang Hui dibunuh
orang, demikian pula suci Lauw Sek, suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan susiok
Thio Cu. Semua tewas dibunuh orang..."
"Ahhh?!"
Yo Han benar-benar merasa terkejut. "Siapakah yang membunuh mereka?"
"Panjang
ceritanya, Taihiap. Marilah kita naik dulu ke tempat kita dan di sana nanti aku
menceritakan semuanya. Banyak sekali rahasia tersembunyi di balik semua
peristiwa yang mengerikan itu, Taihiap."
Yo Han masih
mengerutkan alisnya, akan tetapi dia mengangguk. Ketika mereka mulai mendaki
bukit dan melihat gadis manis yang datang bersama Ouw Seng Bu ikut pula
mendaki, dia berhenti dan bertanya.
"Nanti
dulu, siapakah Nona ini?"
"Taihiap,
Nona ini adalah nona Cu Kim Giok. Dia seorang sahabat baikku dan sekarang
menjadi tamu terhormat di Thian-li-pang. Dia bukan gadis sembarangan, Taihiap.
Aku yakin Taihiap pernah mendengar tentang keluarga majikan Lembah Naga
Siluman, yaitu keluarga Cu. Nah, Nona ini adalah puteri dari pendekar besar Cu
Kun Tek dari Lembah Naga Siluman."
"Ahhh,
kiranya Nona dari keluarga yang terkenal itu," berkata Yo Han sambil
memberi hormat.
Kim Giok
cepat membalas penghormatan itu.
"Harap
Yo Taihiap tidak bersikap merendah. Sudah lama aku mendengar tentang nama besar
Taihiap. Sayang dalam pertemuan tiga keluarga besar di rumah Paman Suma Ceng
Liong di Hong-cun, Taihiap tidak ikut hadir."
Yo Han
tersenyum. Ia sejenak memandang gadis itu penuh selidik. "Jadi engkau
adalah sahabat baik dari... ehhh, ketua Thian-li-pang ini?"
"Benar,
dan baru beberapa hari aku menjadi tamu dari Thian-li-pang."
"Taihiap
agaknya sudah lupa kepadaku. Aku murid termuda dari mendiang suhu Lauw Kang
Hui, namaku Ouw Seng Bu," ketua itu memperkenalkan diri.
Yo Han
mengangguk-angguk. "Ya, aku sekarang teringat. Jadi semua murid tertua
dari suheng Lauw Kang Hui telah dibunuh orang?"
Diam-diam Cu
Kim Giok mengerling dan mengamati wajah pendekar itu. Menurut cerita yang
didengarnya dari Seng Bu, orang inilah yang membunuh Lauw Kang Hui dan para
muridnya. Apakah sekarang dia sedang berpura-pura? Ataukah ada rahasia lain di
balik pembunuhan itu dan pembunuhnya bukan Sin-ciang Taihiap melainkan orang
lain lagi? Sukar diduga apa yang terkandung dalam hati pemilik wajah tampan
dengan sinar mata tajam mencorong itu.
"Taihiap,
nanti saja akan kuceritakan semua setelah kita tiba di rumah," kata Seng
Bu.
Yo Han
mengangguk. Mereka lalu mendaki lereng bukit dan ketika mereka tiba di pintu
gerbang perkampungan Thian-li-pang, dengan sikap meriah dan gembira para murid
Thian-li-pang segera menyambut mereka.
"Sin-ciang
Taihiap datang! Sin-ciang Taihiap sudah datang!" demikian mereka berteriak
dan bersorak sambil memberi hormat.
Yo Han
menerima sambutan itu dengan senyum, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran
bukan main. Betapa jauh bedanya antara sikap para anggota Thian-li-pang yang
berada di perkampungan ini dengan mereka yang tadi berada di dusun! Seolah-olah
tak wajar lagi!
Setelah
mereka memasuki ruangan dalam, Seng Bu lalu berkata kepada Cu Kim Giok,
"Nona Cu, maafkan saya, harap Nona suka beristirahat dan meninggalkan kami
berdua untuk membicarakan soal perkumpulan kami."
Cu Kim Giok
mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Seng Bu lalu menutup pintu ruangan
itu, kemudian dia pun mempersilakan Yo Han untuk duduk.
Yo Han duduk
dan menghela napas panjang. "Nah, sekarang ceritakanlah semua. Apa yang
telah terjadi di sini? Ceritakan semua dengan jelas."
Tiba-tiba
Ouw Seng Bu menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han sambil menangis! Yo Han
mengerutkan alisnya dan menegur dengan tegas.
"Ouw
Seng Bu, sikapmu ini sungguh memalukan sekali! Engkau telah ditunjuk sebagai
ketua, akan tetapi anak buah Thian-li-pang menyeleweng, Thian-li-pang
mengadakan persekutuan dengan partai-partai sesat seperti Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-kauw, bahkan sekarang engkau menangis seperti anak kecil atau seperti
wanita lemah yang cengeng. Engkau tidak patut menjadi ketua Thian-li-pang!"
"Yo
Taihiap, harap maafkan dan kasihanilah saya! Saya terpaksa menjadi ketua karena
tidak ada orang lainnya lagi. Hanya sayalah satu-satunya murid mendiang suhu
yang dianggap paling kuat. Akan tetapi, setelah suhu beserta para susiok dan
suheng tewas, saya menjadi bingung dan tidak mampu lagi mengendalikan semua
murid, tidak dapat mencegah kalau ada yang melakukan penyelewengan. Mereka
semua condong untuk memberontak dan saya tak berdaya menghadapi mereka. Juga
saya tak berani menolak ketika Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw melakukan
pendekatan, takut kalau-kalau mereka akan memusuhi kami. Sekarang Taihiap telah
pulang, maka saya menyerahkan kepada Taihiap untuk mengatur kembali perkumpulan
kita ini."
"Sudahlah,
duduklah dan sekarang ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana suheng Lauw Kang
Hui dan yang lain-lain sampai dibunuh orang, dan siapa pembunuh mereka
itu."
Seng Bu
duduk dan menghapus air matanya.
"Peristiwa
yang terjadi itu amat mengerikan dan penuh rahasia, Yo Taihiap. Kami hanya
melihat ada bayangan hitam yang menangkap mereka seorang demi seorang kemudian
membawa mereka masuk ke dalam sumur tua itu. Dan setelah mereka dibawa masuk ke
dalam sumur, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya lagi sehingga kami semua
menganggap bahwa mereka tentu telah tewas terbunuh."
"Hemmm,
siapakah bayangan hitam itu?" Yo Han bertanya, alisnya berkerut, penasaran
sekali.
"Itulah
yang membuat kami semua penasaran, Taihiap. Tak ada yang dapat melihatnya,
hanya melihat bayangan hitam seperti setan, menangkap mereka dan membawa loncat
ke dalam sumur. Tentu saja peristiwa itu membuat semua anggota menjadi panik
dan ketakutan. Karena itu, untuk meredakan kepanikan mereka, maka terpaksa saya
untuk sementara menggantikan kedudukan suhu dan memimpin mereka."
"Akan
tetapi, mengapa kalian tidak memasuki sumur itu untuk menyelidiki apa yang
terjadi di sana? Siapa tahu suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain belum
tewas?"
Seng Bu
kelihatan terkejut dan ketakutan. "Maafkan kami, Yo Taihiap. Tentu saja
kami juga berpikir demikian, mengharapkan mereka belum tewas dan sewaktu-waktu
akan muncul keluar. Akan tetapi, untuk menyelidikinya, untuk memasuki sumur tua
itu, siapa yang berani?"
"Tidak
berani? Aihh, tak kusangka orang-orang Thian-li-pang berubah menjadi penakut
dan pengecut!" Lalu Yo Han melanjutkan sambil menatap tajam wajah Seng Bu,
"Dan engkau sendiri, yang sudah menerima menjadi ketua, mengapa engkau
tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikinya?"
Seng Bu
menundukkan mukanya. "Maafkan kami semua, Yo Taihiap. Sebetulnya kami
ingin sekali, akan tetapi kami takut. Kalau suhu dan para susiok, suci dan
suheng sendiri tak berdaya dibawa masuk ke sumur oleh bayangan hitam itu, lalu
bagaimana mungkin kami akan bisa menandinginya? Memasuki sumur berarti mati
konyol, dan kami semua, tidak berani."
Yo Han
menghela napas panjang, teringat akan mendiang kakek Ciu Lam Hok. Gurunya itu
adalah seorang yang gagah perkasa, bahkan dua orang paman gurunya, mendiang
Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, biar pun keduanya sudah menyeleweng dari
jalan kebenaran, tetap saja mereka berdua adalah orang-orang yang gagah
perkasa. Begitu pula murid mereka, Lauw Kang Hui, memiliki keberanian dan
kegagahan.
Akan tetapi
bagaimana sekarang para murid Thian-li-pang menjadi begitu penakut dan
pengecut? Sedangkan gurunya pernah berpesan agar dia mengawasi Thian-li-pang
dan berusaha mengusahakan agar Thian-li-pang pulih kembali menjadi perkumpulan
besar yang berjiwa pahlawan pembela nusa bangsa.
"Sudah
berapa lamakah peristiwa hilangnya suheng Lauw Kang Hui ke dalam sumur tua itu
terjadi?"
"Sudah
kurang lebih tiga bulan, Yo Taihiap."
Yo Han
merasa penasaran dan khawatir. Kalau sampai tiga bulan mereka tidak keluar dari
dalam sumur tua itu, kecil sekali harapannya mereka masih hidup. Akan tetapi,
mati atau hidup mereka itu, dia harus mengetahui dengan pasti.
"Baiklah,
kalau begitu biar aku sendiri yang akan memasuki sumur itu dan melakukan
penyelidikan," Yo Han berkata.
Ouw Seng Bu
memandang dengan mata terbelalak. "Akan tetapi, Taihiap. Itu berbahaya
sekali!"
Yo Han
tersenyum, "Seorang gagah tidak gentar menempuh bahaya, asal itu dilakukan
demi kebaikan. Lupakah engkau akan pelajaran kegagahan dari
Thian-li-pang?"
"Be...
benar, Taihiap. Akan tetapi... sumur tua itu penuh rahasia dan menyeramkan,
tentu banyak iblis yang menjadi penghuninya di sana sehingga tak seorang pun
berani memasukinya. Saya takut kalau sampai terjadi sesuatu atas diri
Taihiap..."
"Mati
hidup di tangan Tuhan. Aku tidak minta ditemani siapa pun kalau memang kalian
takut. Biarlah aku sendiri yang masuk dan kalian berjaga di luar sumur saja.
Sediakan sehelai tali yang kuat dan panjang, sekarang juga aku akan memasuki
sumur itu untuk menyelidiki keadaan suheng Lauw Kang Hui dan yang
lain-lain."
"Baik,
Taihiap."
"Dan
mulai saat ini, Thian-li-pang harus memutuskan hubungan dengan Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-kauw. Para murid dilarang bergaul dengan mereka, dan kalau ada yang
melanggar, harus dihukum berat. Dua orang anggota Thian-li-pang yang tadi
membuat kerusuhan di rumah makan harus dihukum kurung selama sepekan. Nah,
laksanakan!"
"Baik,
Taihiap."
Ouw Seng Bu
membuka daun pintu dan berseru memanggil pembantunya. Para murid kelas
tertinggi dari Thian-li-pang datang berlarian dan berkumpul di luar pintu
ruangan itu. Seng Bu lalu berkata dengan suara lantang kepada mereka.
"Seluruh
anggota agar bersiap-siap dan berkumpul di dekat sumur tua dan sediakan sehelai
tambang yang kuat dan panjang. Sin-ciang Taihiap sendiri akan turun ke dalam
sumur melakukan penyelidikan sekarang juga!"
Terdengar
seruan-seruan kaget di antara para anggota Thian-li-pang, namun mereka segera
mentaati perintah ketua mereka itu. Dengan diantar oleh Ouw Seng Bu, mereka
semua lalu bergegas pergi ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang dan
tiba di dekat sumur tua...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment