Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 07
GADIS itu
berdiri termenung di lereng itu. Dia memandang lurus ke depan, ke arah bukit
menghitam yang disebut orang Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan). Memang nampak
menyeramkan dari lereng itu, seolah-olah lembah itu memang sepantasnya dihuni
oleh setan dan iblis.
Para
penduduk dusun di sekitar kaki Bukit Setan itu menganggap Ban-kwi-kok sebagai
lembah yang keramat sehingga tiada seorang pun berani mendaki ke sana. Akan
tetapi, menurut keterangan para penghuni dusun, baru sebulan yang silam lembah
itu diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Kabar itu
mengatakan bahwa terjadi pertempuran besar, kemudian pasukan pemerintah turun
dan membawa banyak tawanan, kemudian lembah itu nampak terbakar. Biar pun
desas-desus mengatakan bahwa gerombolan yang bersembunyi di lembah itu sudah
terbasmi habis, dan lembah itu telah kosong, perkampungan gerombolan
pemberontak telah dibakar, namun masih saja tidak ada seorang pun yang berani
naik ke sana.
Gadis itu
masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Cantik manis dan
nampak gagah dengan pakaiannya yang sederhana namun serasi dengan bentuk
tubuhnya yang padat dan ramping, dan pakaian itu bersih.
Wajahnya
yang manis, dengan sepasang matanya yang indah dan bersinar tajam, juga
sederhana, tanpa dipoles bedak dan gincu. Akan tetapi, kulit mukanya memang
sudah halus dan putih, dan kedua pipinya kemerahan karena sehat, demikian pula
sepasang bibirnya merah tanpa gincu.
Biar pun dia
muda dan cantik manis, namun di sepanjang perjalanan tidak pernah atau jarang
sekali ada pria yang berani mengganggunya. Hal ini karena penampilannya yang
pendiam dan gagah, dengan sebatang pedang di punggungnya sehingga mudah diduga
bahwa ia bukan wanita sembarangan yang boleh diganggu begitu saja, tetapi
seorang wanita kang-ouw, seorang pendekar wanita.
Dan memang
dugaan itu benar. Gadis muda ini adalah Cu Kim Giok, puteri tunggal dari
pendekar Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian.
Cu Kun Tek
adalah pendekar yang merupakan keturunan para pendekar Cu, majikan Lembah Naga
Siluman. Cu Kun Tek terkenal mewarisi ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu
Pedang Naga Siluman). Juga ilmu tangan kosongnya Kiam-to Sin-ciang (Tangan
Sakti Pedang dan Golok) dan Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru
Angin) hebat sekali.
Ada pun ibu
gadis itu, yang bernama Pouw Li Sian, bahkan lebih lihai bila dibandingkan
suaminya. Pouw Li Sian ini adalah murid mendiang Bu Beng Lokai yang sakti.
Ketika Cu
Kim Giok diajak oleh ayah ibunya menghadiri ulang tahun dan pertemuan tiga
keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong, gadis ini merasa gembira bukan main.
Dan bangkitlah keinginannya untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan dengan
jalan merantau seperti yang dilakukan para pendekar.
Ayah ibunya
tidak merasa keberatan. Mereka sendiri adalah pendekar-pendekar yang dahulu di
waktu mudanya sudah biasa melakukan penjalanan merantau memperluas pengalaman.
Pula, puteri mereka sudah mewarisi ilmu kepandaian mereka dan tingkat
kepandaian gadis itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkat mereka sehingga
Kim Giok telah memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dan menjaga diri
sendiri.
Tentu saja
Kim Giok juga sangat tertarik dengan peristiwa yang terjadi di rumah Suma Ceng
Liong, yaitu munculnya seorang gadis cantik lihai yang mengaku sebagai seorang
puteri tokoh Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar. Oleh karena
itulah, pada siang hari itu, ia tiba di Kwi-san dan sekarang termangu berdiri
di lereng itu setelah ia mendengar keterangan penduduk tentang penyerbuan
pasukan pemerintah yang sudah membasmi gerombolan Pao-beng-pai di Lembah
Selaksa Setan.
Ahh,
pikirnya, sayang aku datang terlambat. Andai kata tidak terlambat, tentu akan
bisa menyaksikan terbasminya gerombolan itu, dan kalau perlu ia akan membantu
pasukan.
Bukan semata
karena ia ingin membantu pemerintah. Ayah ibunya berpesan supaya ia tidak
melibatkan diri dengan pemerintah Mancu. Akan tetapi, ia dapat mempergunakan
kesempatan selagi gerombolan itu ditumpas, untuk bisa membalas sikap sombong
dara gadis Pao-beng-pai itu terhadap tiga keluarga besar. Ia lalu menduga-duga,
bagaimana dengan nasib gadis cantik itu? Apakah ikut terbunuh? Atau tertawan?
Tidak ada
gunanya lagi mendaki ke lembah yang sudah hancur itu. Tentu tidak ada lagi
orang di sana. Cu Kim Giok membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan
lereng itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba
pendengarannya yang tajam terlatih mendengar gerakan orang.
Ia berhenti
melangkah dan memandang ke sekeliling penuh kewaspadaan dan tiba-tiba
bermunculan lima orang laki-laki yang nampak bengis. Mereka itu berloncatan
dari balik semak belukar. Melihat bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis
yang cantik manis, mereka cengar-cengir dan menyeringai dengan sikap kurang
ajar, dengan mata yang liar dan bengis.
Kim Giok
bersikap tenang, akan tetapi matanya yang indah tajam itu menyapu mereka. Lima
orang itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Tubuh mereka
rata-rata kekar dan kuat. Pakaian mereka butut dan kotor, tentu sudah lama
tidak pernah berganti pakaian.
Melihat
pakaian kotor itu seperti seragam abu-abu, teringatlah ia akan beberapa orang
lelaki yang ikut datang mengawal gadis Pao-beng-pai yang berkunjung ke rumah
Suma Ceng Liong tempo hari. Agaknya mereka ini sisa anggota Pao-beng-pai, pikir
gadis yang cukup cerdik ini. Dan memang dugaannya benar.
Lima orang
itu adalah mereka yang berhasil lolos dari penyerbuan pasukan pemerintah.
Karena takut muncul di tempat umum, lima orang ini bersembunyi saja di Kwi-san,
tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai.
Mereka
mengharapkan dapat bertemu dengan seorang di antara para pimpinan mereka karena
mereka tahu bahwa ketua mereka tidak tewas, juga tidak ikut tertawan. Hanya
nyonya ketua mereka yang tewas. Bahkan nona puteri ketua juga tidak ikut
tertawan.
Ketika dari
tempat persembunyian mereka nampak ada gadis yang datang ke tempat itu, mereka
tadinya mengira bahwa gadis itu tentulah Siangkoan Eng sehingga mereka merasa
girang sekali. Akan tetapi setelah mereka muncul, mereka melihat bahwa gadis
itu sama sekali bukan puteri ketua mereka, melainkan seorang gadis lain yang
asing sama sekali, akan tetapi gadis itu cantik manis dan menarik.
Seorang di
antara mereka, yang berhidung besar dan bermata lebar, agaknya menjadi pimpinan
mereka, melangkah maju sambil tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu nampak
karena bajunya kehilangan kancing dan terbuka. Perut itu terguncang-guncang
naik turun ketika dia tertawa.
"Ha-ha-ha-ha-ha,
kawan-kawan, alangkah beruntungnya kita hari ini! Kita kedatangan seorang bidadari
yang cantik jelita, yang agaknya menaruh iba kepada kita dan datang untuk
menghibur kita. Ha-ha-ha-ha-ha!"
Teman-temannya
ikut pula tertawa. Selama sebulan lebih mereka dicekam ketakutan, kekurangan
dan kedukaan. Dan hari ini, tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangka, mereka
berhadapan dengan seorang gadis cantik! Tentu saja mereka bergembira.
Anak buah
Pao-beng-pai terdiri dari bermacam-macam orang, akan tetapi kebanyakan dari
mereka adalah orang-orang yang berjiwa sesat. Kalau membutuhkan, mereka tidak
segan untuk melakukan perampokan dan berbagai kejahatan lainnya. Dan kini,
melihat seorang gadis seorang diri di tempat sunyi itu, tentu saja timbul
gairah mereka, seperti lima ekor harimau kelaparan melihat munculnya seekor
domba seorang diri.
"He-he-heh-heh,
Nona manis, siapakah engkau, siapa namamu dan mengapa engkau berada di sini
seorang diri? Apakah engkau sengaja datang hendak menghibur kami berlima?
Ha-ha-ha!" Si hidung besar kembali berkata dan kini mereka berlima, sambil
tersenyum menyeringai, sudah mengambil posisi mengepung gadis itu agar tidak
dapat melarikan diri.
Akan tetapi,
sebetulnya lima orang itu harus tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang
gadis yang bukan gadis sembarangan saja. Hal ini sebetulnya dapat dilihat dari
sikap Kim Giok. Biar pun sudah dikepung lima orang itu, ia bersikap
tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang mengancam dirinya, tidak
ada sesuatu yang perlu ditakuti.
"Aneh...
aneh sekali..." Kim Giok tidak menjawab pertanyaan, bahkan bergumam sambil
menggelengkan kepalanya.
"Apanya
yang aneh, Nona manis? Kami bukan orang-orang aneh, kami adalah laki-laki
sejati dan engkau sebentar lagi akan membuktikannya sendiri, heh-heh!"
kata si hidung besar sambil melangkah maju mendekat.
"Aneh,
kenapa masih ada sisa anak buah Pao-beng-pai? Kenapa kalian tidak mampus atau
tertawan?" kata Kim Giok, masih tenang saja.
Mendengar
ucapan gadis itu, lima orang bekas anak buah Pao-beng-pai nampak sangat
terkejut. Mereka saling pandang dan kini mengepung lebih ketat dengan sikap
bengis dan mengancam.
"Nona,
siapakah engkau sebenarnya dan mau apa engkau datang ke tempat ini?" Suara
si hidung besar kini galak dan mengandung ancaman, tidak lagi menggoda seperti
tadi.
"Namaku
tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Juga aku tidak mempunyai sangkut paut
dengan pembasmian Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Aku hanya heran mengapa
kalian tidak ikut mampus atau tertawan. Nah, karena di antara kita tidak ada
urusan, minggirlah dan biarkan aku lewat!" kata Kim Giok.
Dia memang
tidak ingin mencari keributan dengan bekas anak buah Pao-beng-pai yang sudah
hancur itu. Tapi kalau ia bertemu dengan gadis tokoh Pao-beng-pai yang pernah
mengacau di rumah Suma Ceng Liong, tentu akan lain lagi sikapnya.
Akan tetapi,
ketika ia mulai melangkah, lima orang itu cepat menghadangnya dan tetap
mengepungnya. Bahkan kini sikap mereka kembali seperti tadi, dengan pandang
mata yang tidak sopan.
"Hemmm,
engkau tak boleh pergi sebelum menghibur kami, Nona manis!" Dan si hidung
besar cepat menggerakkan kedua lengannya yang panjang, jari-jari tangan yang
besar panjang itu hendak merangkul.
"Wuuut...
plakkk! Aughhh...!"
Tubuh tinggi
besar si hidung besar itu terjengkang. Ternyata ketika kedua tangannya sudah
hampir menyentuh kedua pundak gadis itu untuk merangkul, gadis itu dengan
gerakan cepat sekali menyelinap ke samping sehingga tubrukan itu luput dan sekali
Kim Giok menggerakkan tangan kiri menampar, leher di bawah telinga si hidung
besar kena ditampar dan orang itu pun terjengkang dan terbanting, melotot dan
meraba lehernya dengan mata terbelalak dan mulut mengaduh-aduh.
Empat orang
temannya menjadi kaget dan marah. Mereka berempat cepat menyerbu, seolah-olah
hendak berlomba untuk lebih dulu dapat meringkus gadis manis itu. Namun, sekali
ini mereka membentur karang. Gerakan Kim Giok cepat bukan main, tangan dan
kakinya menyambar-nyambar dan dalam segebrakan saja, empat orang itu pun sudah
terpelanting dan roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya!
Kelima orang
itu mengaduh-ngaduh dan menyumpah-nyumpah. Dasar golongan kasar yang tidak tahu
diri dan yang selalu merasa diri mereka paling pandai, lima orang itu tidak
melihat kenyataan bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan gadis manis yang
mereka sangka domba itu. Mereka tidak menyadari bahwa yang disangka domba itu
sesungguhnya seekor singa betina yang amat tangguh!
Mereka
merasa penasaran. Sekarang nafsu birahi mereka terbang lenyap, terganti oleh
nafsu amarah yang hanya bisa diredakan dengan darah! Mereka cepat mencabut
golok mereka dan berloncatan berdiri.
Kim Giok
sudah dapat menilai sampai di mana kemampuan lima orang lawannya, maka dia pun
tidak mau mencabut pedangnya, hanya berdiri tegak sambil tersenyum manis.
Kelima orang itu sudah menggerakkan golok mereka. Bagaikan binatang-binatang
yang haus darah, mereka sudah menyerang Kim Giok, serangan maut yang
dimaksudkan untuk membunuh!
Akan tetapi,
pandangan mata mereka menjadi kabur ketika gadis itu bergerak cepat dan lenyap
bentuk tubuhnya, hanya nampak bayangannya berkelebat menyambar-nyambar bagaikan
seekor capung. Itulah Pat-hong Sin-kun yang membuat tubuh gadis itu seolah-olah
bergerak dari delapan penjuru angin!
Dan ketika
kelima orang itu membacok-bacok secara membabi-buta ke arah bayangan tubuh
gadis itu tanpa hasil, Kim Giok kembali membagi tamparan dan tendangan. Kini ia
menambah tenaganya hingga lima orang lawan yang terkena tamparan atau
tendangan, roboh untuk tidak dapat bangkit dengan cepat, hanya mengaduh-aduh,
ada yang patah tulang, ada yang nanar dan ada pula yang mendadak mulas
perutnya!
Kim Giok
berdiri sambil bertolak pinggang, memandang kelima orang lawan yang masih mengeluh
kesakitan itu.
"Hemmm,
pantas saja Pao-beng-pai terbasmi oleh pasukan pemerintah. Kiranya kalian ini
hanya mengaku sebagai pejuang, akan tetapi sesungguhnya hanyalah segerombolan
penjahat kecil yang tidak tahu malu. Perampok dan pengganggu wanita.
Orang-orang macam kalian ini berani mengaku pejuang?"
"Nona,
ucapanmu itu lancang sekali!" tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan
dalam, juga amat berwibawa karena Kim Giok merasa betapa isi dadanya tergetar
oleh suara itu.
Ia terkejut
dan cepat menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara dan semakin kagetlah ia
ketika melihat bayangan mendaki lereng itu dari arah kanan. Kalau orang itu
yang tadi mengeluarkan suara, alangkah kuatnya khikang dari orang itu. Jelas
bahwa dia mampu mengirim suara dari jauh dengan demikian kuatnya, dan hal ini
menunjukkan bahwa dia akan berhadapan dengan seorang yang amat lihai.
Gerakan
orang itu pun cepat bukan main. Sebentar saja dia telah berada di situ, berdiri
tegak berhadapan dengan Kim Giok. Gadis ini memang penuh perhatian.
Seorang pria
jantan berusia lima puluh lima tahun yang sangat gagah. Tubuhnya tinggi besar
dan kokoh kuat bagaikan batu karang. Mukanya persegi merah dan jenggotnya
terpelihara rapi, di punggungnya nampak gagang pedang dengan ronce merah.
"Pangcu...!"
lima orang itu segera memaksa diri untuk memberi hormat dengan berlutut kepada
orang yang baru tiba ini.
Tahulah Kim
Giok bahwa pria ini adalah ketua Pao-beng-pai! Tentu orang ini ayah dari gadis
lihai yang dulu pernah mengacau pesta pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong!
Biar pun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, namun
puteri dari sepasang pendekar Lembah Naga Siluman ini sedikit pun tak merasa
gentar. Hanya ia bersikap waspada.
Pria itu
menengok ke arah lima orang anggota Pao-beng-pai itu dan mendengus marah, lalu
dia menghadapi Kim Giok lagi. Pandang matanya yang sangat tajam mencorong itu
mengamati Kim Giok penuh selidik, dari kepala sampai ke kakinya.
Seperti
sudah diceriterakan di bagian depan, pada waktu Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah,
Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini, telah dikepung oleh belasan orang jagoan
istana yang datang bersama muridnya, Tio Sui Lan, murid utama yang kemudian dia
paksa menjadi isterinya setelah dia bercekcok dengan isterinya, Lauw Cu Si.
Dia berhasil
membunuh Sui Lan dan melukai Cu Si, akan tetapi ketika dia menghadapi
pengeroyokan belasan orang jagoan istana yang membuatnya amat terdesak,
kemudian mendengar keributan di luar dengan adanya penyerbuan pasukan
pemerintah, dia cepat meninggalkan para pengeroyoknya. Setelah tiba di luar,
dia melihat betapa tempat itu diserbu oleh pasukan yang besar sekali jumlahnya.
Tahulah ia bahwa semua usahanya telah gagal, gerakannya hancur.
Karena
maklum bahwa melawan pasukan itu pun tidak akan ada gunanya dan akhirnya bahkan
hanya akan membahayakan diri sendiri, dia pun meninggalkan Ban-kwi-kok! Dia
melarikan diri bukan karena takut, melainkan karena maklum betapa akan
sia-sianya melakukan perlawanan terus.
Sebagai
seorang yang amat cerdik dan licik, dia tidak mau berlaku nekat yang akhirnya
mengorbankan dirinya sendiri. Tidak, demi cita-citanya, biar pun sekali ini
kelompoknya dihancurkan, apa bila dia masih hidup, dia dapat membentuk dan
membangun kembali Pao-beng-pai, berjuang terus sampai dapat menjatuhkan kerajaan
Ceng, serta mengusir orang-orang Mancu dari tanah air!
Karena dia
ingin mengetahui keadaan bekas markas Pao-beng-pai yang telah dibasmi dan
dibakar, maka siang hari itu dia mendaki Kwi-san dan kebetulan dia melihat dan
mendengar apa yang terjadi di lereng itu biar pun dia masih jauh.
"Nona,
siapakah engkau yang begitu lancang memaki dan menghina Pao-beng-pai?"
bentaknya dengan alis berkerut dan wajah bengis.
Kim Giok
adalah seorang gadis yang sejak kecil telah dilatih ayah ibunya sendiri. Bukan
hanya ilmu silat tinggi, akan tetapi juga kebudayaan sehingga dia tahu sopan
santun. Menghadapi seorang yang kedudukannya tinggi seperti ketua Pao-beng-pai,
ia memang ada menaruh hormat. Akan tetapi mengingat betapa puteri orang ini
pernah menghina dan mengacau dalam pertemuan tiga keluarga besar, ia merasa
tidak senang dan ia pun tidak memberi hormat.
"Kalau
aku tidak salah duga, tentulah engkau ini ketua Pao-beng-pai yang telah dibasmi
pasukan pemerintah!" katanya, dan dia pun menentang pandang mata pria itu
dengan penuh keberanian.
"Benar,
akulah Siangkoan Kok. Sekarang katakan, siapa engkau dan kenapa engkau menghina
Pao-beng-pai!"
"Maaf,
Pangcu. Aku sama sekali tak berniat menghina Pao-beng-pai. Bahkan aku akan
menghormati Pao-beng-pai jika memang perkumpulan itu sungguh-sungguh merupakan
perkumpulan para orang gagah yang berjuang menentang penjajah Mancu. Akan
tetapi, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Aku mendengar tentang
penyerbuan pasukan pemerintah terhadap Pao-beng-pai dan aku ingin melihat
keadaan di sini. Aku, Cu Kim Giok, ingin meluaskan pengalaman dan kesempatan
ini tidak kulewatkan begitu saja. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Lima orang
itu muncul dan mengaku sebagai anggota Pao-beng-pai. Mereka bersikap sebagai
penjahat-penjahat kecil yang hendak merampok dan mengganggu wanita. Kalau
memang para anggota Pao-beng-pai seperti itu, lalu apa yang harus kukatakan
terhadap Pao-beng-pai?"
Siangkoan
Kok melirik ke arah anak buahnya yang kini telah bangkit berdiri bergerombol
sambil memandang penuh harapan, ingin melihat ketua mereka menundukkan gadis
yang sudah menghajar mereka itu. Lalu dia berkata, "Tidak sembarang orang
boleh menilai kami. Nona, aku ingin melihat lebih dulu sampai di mana
kepandaianmu, baru aku akan mengambil keputusan, apa yang harus kulakukan
terhadap dirimu."
"Pangcu,
kalau engkau membela mereka itu, aku berani mengatakan bahwa memang
Pao-beng-pai dipimpin oleh orang yang tidak baik!" kata Kim Giok berani.
"Kita
bicara lagi setelah kita mengadu kepandaian. Nah, sambutlah seranganku
ini!"
Setelah
berkata demikian, Siangkoan Kok menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala
gadis itu. Angin yang dahsyat menyambar, disusul angin yang menyambar dari
samping karena tangannya yang kedua sudah mengikuti serangan pertama itu dengan
mencengkeram ke arah perut.
Kim Giok
memang kurang pengalaman bertanding, namun dia sudah digembleng oleh ayah
bundanya sejak kecil, maka ia segera mengenal serangan yang berbahaya. Cepat
dia pun mengerahkan ginkang-nya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang untuk
mengelak sehingga serangan kedua tangan Siangkoan Kok yang beruntun itu luput.
Diam-diam
Siangkoan Kok maklum bahwa gadis ini meski pun masih muda, memang cukup berisi,
agaknya tak kalah jika dibandingkan dengan mendiang Tio Sui Lan, murid
pertamanya. Ia kembali mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin
berpusing.
Kembali Kim
Giok menggunakan ginkang dan mengelak dengan gerakan cepat sekali, membuat
tubuhnya hanya merupakan bayangan yang berkelebatan mengelak di antara hujan
serangan lawan. Oleh karena maklum bahwa lawannya benar-benar tangguh, Kim Giok
cepat mencabut pedangnya. Nampaklah sinar berkilat dan terdengar bunyi desing yang
aneh, seperti gerengan binatang buas, bagaikan auman harimau. Itulah Koai-liong
Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman), pedang milik ayahnya yang diberikan
padanya agar gadis itu dapat melindungi diri dengan baik.
Melihat
sinar pedang dan dengungnya yang menyeramkan itu, diam-diam Siangkoan Kok
terkejut dan kagum bukan main.
"Ahhh,
po-kiam (pedang pusaka) yang hebat!" teriaknya.
Begitu Kim
Giok memainkan pedangnya, dia pun semakin kaget dan cepat mencabut pedangnya
sendiri. Dia kaget karena dia maklum bahwa walau pun dia memiliki tingkat
kepandaian tinggi, namun terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi pedang
seperti itu dengan tangan kosong saja. Apa lagi gerakan ilmu pedang gadis itu
pun hebat dan dahsyat, bagaikan seekor naga yang mengamuk.
Segera
terjadi pertandingan pedang yang amat seru.
Setelah
lewat belasan jurus, mendadak Siangkoan Kok meloncat jauh ke belakang dan
berseru, "Tahan dulu!"
Kim Giok
berdiri tegak, pedang juga tegak lurus di depan dadanya.
"Nona,
bukankah itu Koai-liong Kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang barusan kau
mainkan? Dan tentu pedang itu Koai-liong Pokiam! Apa hubunganmu dengan keluarga
Cu dari Lembah Naga Siluman?"
Kim Giok
tersenyum. "Namaku Cu Kim Giok, tentu engkau bisa menduganya,
Pangcu."
"Ahh,
benar! Engkau tentu keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman! Sudah lama
aku mendengar tentang keluarga Cu yang gagah perkasa. Ah, sungguh beruntung
hari ini dapat menguji kepandaian seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga
Siluman. Nah, kini sambutlah seranganku ini dan keluarkan seluruh ilmu pedang
Naga Siluman itu, Nona!"
Setelah
berkata demikian, Siangkoan Kok menerjang ke depan dengan dahsyat karena dia
tahu betapa lihainya pedang dan ilmu pedang gadis muda itu. Dia memang sejak
dahulu ingin sekali menguasai semua ilmu silat tinggi di seluruh dunia, maka
dia sejak dahulu memancing para tokoh persilatan untuk mengadu ilmu dan dengan
cara itu, dia dapat mempelajari ilmu mereka.
Kini,
berhadapan dengan seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu
saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu untuk memaksa Kim Giok
memainkan ilmu pedang itu. Justru kelihaian Siangkoan Kok terletak kepada
kekuatan ingatannya sehingga sekali melihat, dia sudah hampir dapat mengingat
dan menguasai gerakan itu. Karena pengetahuannya yang luas tentang ilmu-ilmu
dari para tokoh besar, maka dia pun tentu saja menjadi lihai bukan main.
Karena
didesak lawan yang lihai, tentu saja terpaksa Kim Giok memainkan Kaoi-liong
Kiam-sut sepenuhnya, bahkan ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat memang ilmu
pedang gadis ini. Pedangnya langsung berubah menjadi sinar yang
bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mengaung, seolah-olah ada naga yang
melayang-layang dan mengamuk.
Melihat hal
ini, lima orang anak buah Pao-beng-pai itu diam-diam memaki diri mereka
sendiri. Mereka seperti buta, tak melihat bahwa gadis itu adalah seorang yang
demikian lihainya. Bergidik mereka membayangkan betapa tadi mereka berani
hendak kurang ajar kepada gadis itu. Apa bila tadi gadis itu mencabut
pedangnya, mungkin sekarang mereka telah menjadi setan-setan tanpa kepala!
Betapa pun
hebatnya ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, namun ketangguhan seseorang bukan
hanya bergantung sepenuhnya pada ilmu silatnya, melainkan lebih banyak pada
keadaan orang itu sendiri. Jika dibandingkan Siangkoan Kok, tentu saja Kim Giok
kalah segala-galanya, walau pun mungkin ilmu pedangnya tidak kalah bila
dibandingkan ilmu pedang lawan. Ia kalah tenaga, kalah pengalaman bertanding,
juga jauh kalah matang dalam gerakan ilmu pedang.
Setelah
lewat seratus jurus, karena ditekan terus sehingga ia harus berulang-ulang kali
memainkan ilmu pedangnya, dia sudah mandi keringat dan napasnya mulai
tersengal. Tahulah gadis ini bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh
oleh pedang lawan.
Namun, ia
sudah dilatih ayah ibunya untuk tidak mengenal takut dan pantang menyerah
kepada orang yang jahat. Lebih baik mati dengan pedang di tangan dari pada
menyerah kepada pada seorang yang jahat dan yang tentu akan membuat ia lebih
menderita dari pada kalau ia roboh dan tewas. Baru lima orang anak buahnya saja
sudah seperti itu, apa lagi ketuanya! Maka, ia pun terus menggerakkan pedangnya
dengan nekat, walau pun tenaganya sudah banyak berkurang.
Makin lama,
semakin repotlah Kim Giok, hanya mampu mengelak dan menangkis saja, itu pun
setiap kali menangkis, pedangnya terpental dan lengannya tergetar hebat. Pada
saat itu terdengar suara tertawa yang aneh, tawa mengejek yang mengandung
getaran yang membuat dua orang yang sedang bertanding itu terpaksa menghentikan
gerakan mereka karena mereka merasa betapa jantung mereka terguncang.
Menggunakan
kesempatan terlepas dari desakan karena lawan menghentikan gerakan pedangnya,
Kim Giok segera melompat ke belakang dan menengok ke arah orang yang tertawa
itu. Juga Siangkoan Kok menoleh.
Yang tertawa
itu adalah seorang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun,
gagah dan tampan sekali. Alisnya hitam tebal dan panjang, matanya mencorong.
Hidungnya mancung dan mulutnya yang tersenyum itu manis. Dagunya juga kokoh dan
mukanya bersih. Tubuhnya tegap berisi otot yang membuat dia nampak gagah.
Pakaian yang dikenakan pemuda itu tidak mewah, namun rapi dan bersih.
Pemuda itu
sudah menghentikan tawanya dan kebetulan dia memandang kepada Kim Giok. Dua
pasang mata bertemu pandang, melekat, kemudian wajah Kim Giok berubah kemerahan
dan ia pun menundukkan mukanya. Hatinya berdebar aneh dan harus diakui bahwa ia
merasa amat tertarik kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.
Akan tetapi,
sebaliknya Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, matanya melotot marah. Tentu saja
dia memandang rendah kepada pemuda yang tidak dikenalnya itu, yang berarti
tidak terkenal pula.
"Heh
siapa engkau berani mentertawakan aku dan mencampuri urusanku?"
Pemuda
tampan itu bukan lain adalah Ouw Seng Bu yang belum lama ini telah berhasil
menguasai Thian-li-pang dan menjadi ketuanya. Dia mendengar mengenai kehancuran
Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Dia ingin sekali melihat bagaimana
keadaan Pao-beng-pai sekarang karena dia ingin memperkuat Thian-li-pang dengan
bersekutu dan bekerja sama dengan para perkumpulan lainnya yang besar seperti
Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai, dan Pao-beng-pai.
Biar pun dia
sendiri belum pernah melihat Siangkoan Kok, namun dia sudah menyelidiki dan
mendengar bagaimana keadaan ketua Pao-beng-pai itu. Maka, ketika melihat pria
setengah tua yang gagah perkasa itu bertanding melawan seorang gadis yang juga
lihai, akan tetapi gadis itu terdesak, Ouw Seng sengaja mengeluarkan suara tawa
yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kedua orang yang sedang
bertanding itu terkejut dan menghentikan pertandingan mereka.
Mendengar
teguran dari Siangkoan Kok, Seng Bu yang datang untuk mencari kawan, tersenyum.
"Bukankah kini aku tengah berhadapan dengan Siangkoan Kok, pangcu dari
Pao-beng-pai?" tanyanya, kini sikapnya sopan dan ramah.
Siangkoan
Kok mengamati pemuda itu. Dia seorang yang berpengalaman. Dari suara tawa
pemuda itu tadi saja, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang
lemah. Akan tetapi karena dia tidak mengenalnya, maka dia memandang rendah.
"Engkau
sudah tahu namaku, mengapa masih berani lancang mencampuri urusanku?!"
bentaknya. "Siapa engkau?!"
"Namaku
Ouw Seng Bu dan seperti juga engkau, aku seorang pengcu (ketua) pula. Aku
adalah pangcu dari Thian-li-pang."
"Bohong!"
Siangkoan Kok membentak marah.
Sementara
itu, kelima orang bekas anak buahnya kini sudah memegang golok mereka
masing-masing dan siap untuk membantu ketua mereka kalau diperintahkan. Ada pun
Kim Giok, walau pun tidak mengenal siapa pemuda itu, akan tetapi di dalam
hatinya ia sudah condong untuk berpihak kepadanya sehingga kalau sampai pemuda
itu terancam bahaya, tanpa diminta pun ia pasti akan membantunya.
"Ha-ha-ha,
orang muda. Jangan engkau mencoba untuk membohongi aku. Kau kira aku tidak tahu
siapa ketua Thian-li-pang? Ketuanya adalah Lauw Kang Hui, dan pemimpin besarnya
adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han. Bukankah begitu? Dan engkau ini, orang bernama
Ouw Seng Bu tidak pernah dikenal sebagai ketua Thian-li-pang!"
Seng Bu
tersenyum dan menggeleng kepala. "Itu menandakan bahwa Pao-beng-pai yang
telah hancur tak lagi pandai meneliti keadaan di dunia kang-ouw. Engkau agaknya
tidak tahu, Pangcu, bahwa Lauw Pangcu dari Thian-li-pang telah tewas dan akulah
yang menjadi penggantinya. Ada pun Yo Han, ahh, dia bukan orang Thian-li-pang
dan dia tak mempunyai urusan apa pun dengan Thian-li-pang."
Siangkoan
Kok masih sangsi, akan tetapi karena dia memang tidak tahu perkembangan di
dunia kang-ouw, maka dia tidak membantah lagi.
"Walau
engkau benar ketua Thian-li-pang, itu pun tidak memberi hak kepadamu untuk
mencampuri urusanku! Nah, mau apa engkau datang ke sini?"
"Pangcu,
aku mendengar bahwa Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah. Begitulah jadinya
kalau kita tidak mau bekerja sama antara perkumpulan pejuang. Aku datang hendak
mengulurkan tangan kepadamu, mengajakmu bekerja sama. Thian-li-pang sejak
dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Beberapa kali kami
sudah menyusup ke istana dan biar pun belum berhasil, namun nama kami cukup
ditakuti. Akan tetapi setelah tiba di sini, markas Pao-beng-pai sudah hancur,
dan aku melihat Pangcu bahkan sedang bertanding melawan seorang gadis muda.
Siapakah Nona ini dan mengapa pula bertanding melawan Pangcu?"
"Huh,
dia berani berkeliaran di sini dan memukul anak buahku!" kata Siangkoan
Kok dengan singkat karena dia tidak menghendaki orang luar mencampuri
urusannya.
Akan tetapi
Seng Bu yang amat tertarik kepada gadis cantik manis yang juga lihai ilmu
pedangnya itu, kini sudah menghadapi Kim Giok lalu mengangkat kedua tangan
depan dada memberi hormat.
"Nona
telah mengenal namaku. Aku Ouw Seng Bu, ketua Thian-li-pang dan kalau boleh aku
bertanya, siapakah Nona dan mengapa engkau bertanding melawan Pangcu dari
Pao-beng-pai yang amat lihai?"
Kim Giok
cepat membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, lalu ia menjawab,
"Namaku Cu Kim Giok dan aku sedang merantau untuk meluaskan pengalaman.
Ketika tiba di sini aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dibasmi pasukan
pemerintah, maka aku sengaja hendak melihat bekas-bekasnya di sini. Tiba-tiba
muncul lima orang itu yang hendak merampok dan bersikap kurang ajar kepadaku.
Aku menghajar mereka. Lalu muncul Pangcu dari Pao-beng-pai ini yang memaksaku
untuk bertanding."
Mendengar
ini, Seng Bu kembali menghadapi Siangkoan Kok, "Aih, Pangcu semestinya
malu terhadap Cu-siocia (nona Cu) ini. Anak buahmu yang bersalah, dan
sepantasnya engkau yang minta maaf kepadanya dan menghukum anak-anak buahmu,
bukan malah menantang Cu-siocia untuk bertanding." katanya mencela.
Wajah ketua
Pao-beng-pai menjadi merah sekali dan matanya mencorong tajam. "Ouw Seng
Bu, engkau ini siapa berani berkata seperti itu kepadaku? Kalau engkau memang
mengulurkan tangan ingin bekerja sama dengan aku, setidaknya aku tentu harus
tahu orang macam apa engkau ini dan apakah engkau pantas duduk sejajar dengan
aku!"
"Hemmm,
sudah kudengar bahwa Siangkoan Kok adalah orang yang berwatak angkuh dan selalu
memandang rendah orang lain. Baiklah, akan tetapi bagaimana kalau aku mampu
menandingi ilmu silatmu?"
"Ouw
Seng Bu, jika memang engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku mau menjadi
sekutumu, bahkan aku akan membantu Thian-li-pang. Akan tetapi, kalau engkau
tidak mampu menandingi aku, engkau harus cepat berlutut minta ampun kepadaku dan
tidak mencampuri urusanku lagi. Kalau engkau bukan ketua Thian-li-pang, tentu
engkau akan kubunuh."
"Bagus!
Nah, aku sudah siap, Siangkoan Pangcu. Tetapi karena aku ingin bersahabat
denganmu, bukan bermusuhan, maka sebaiknya kita bertanding dengan tangan kosong
saja."
"Baik,
sambutlah seranganku ini, orang she Ouw!"
Setelah
berkata begitu, Siangkoan Kok yang sudah menyimpan pedangnya, menerjang dengan
pukulannya yang mengandung tenaga sinkang yang dahsyat. Karena dia ingin
cepat-cepat mengalahkan lawannya, maka dia mengerahkan tenaganya yang disebut
Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi) dan begitu kedua tangan kakinya
bergerak menggunakan ilmu ini, terdengar suara berkerotokan pada buku-buku
tulangnya!
Walau pun
masih menderita nyeri, lima orang anak buah Pao-beng-pai kini memandang dengan
wajah gembira. Mereka merasa yakin sekali bahwa ketua mereka yang sakti akan
dapat mengalahkan pemuda itu pula.
Akan tetapi,
Kim Giok memandang dengan sinar mata penuh khawatir. Pemuda itu jelas muncul
dan membantunya, bahkan dia berani menegur bekas ketua Pao-beng-pai untuk
membelanya. Dan ia tahu betapa lihainya Siangkoan Kok, apa lagi kini
mengeluarkan ilmu yang demikian mengerikan.
Dia tidak
dapat maju membantu, karena satu di antara pesan yang ditekankan ayah dan
bundanya adalah supaya dia menjadi seorang yang gagah dan pantang untuk
bertindak curang. Dan maju melakukan pengeroyokan merupakan suatu perbuatan yang
curang dan ia tak mau melakukannya. Maka ia hanya menjadi penonton yang risau,
dan hanya siap untuk melindungi kalau pemuda she Ouw itu terancam maut.
Menghadapi
serangan yang sangat dahsyat dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu juga maklum bahwa
kalau dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Lauw Kang Hui saja, dia
tak akan menang. Bahkan mendiang gurunya itu, Lauw Kang Hui, masih kalah
setingkat dibandingkan bekas ketua Pao-beng-pai ini.
Akan tetapi
dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia sudah cepat mengeluarkan ilmu
rahasianya, yaitu Bu-kek Hoat-keng! Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar
bunyi aneh bersiutan dan angin pukulan dari dua tangannya mendatangkan angin
berpusing. Dengan mudah saja dia menangkis lima kali pukulan lawan yang datang
beruntun susul menyusul, kemudian dia pun membalas dengan cepat dan tak kalah
dahsyatnya!
Siangkoan
Kok terkejut bukan main. Sedikit banyak, dia sudah mengenal ilmu andalan dari
Lauw Kang Hui. Walau pun dia belum dapat menirukan, namun dia sudah banyak mendengar
dua ilmu andalan Thian-li-pang, yaitu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang.
Dia sudah
mengenali kedua ilmu ini. Dan karena mengenal, setidaknya dia akan lebih mudah
menghadapi dan melawannya. Akan tetapi, gerakan pemuda ini sama sekali tak
dikenalnya! Dia hanya merasa ada angin berpusing datang menyambar dan dia harus
mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambutnya.
"Plak!
Desss...!!"
Siangkoan
Kok berjungkir balik ke belakang, dan setelah membuat salto tiga kali baru dia
terbebas dari dorongan tenaga yang tentu akan membuatnya terjengkang kalau saja
dia tidak membuat salto tadi.
Seng Bu
sendiri terkejut dan kagum melihat ginkang yang diperlihatkan lawan. Akan
tetapi dia menyerang terus dan sekali ini, Siangkoan Kok yang maklum bahwa
lawan memiliki tenaga yang mukjijat, tidak mau mengadu tenaga secara langsung,
melainkan menggunakan kecepatan gerakan untuk menghindar kemudian membalas
serangan itu dengan sepenuh tenaga.
Terjadilah
perkelahian yang amat hebat! Beberapa kali bila kedua tangan mereka saling bertemu,
keduanya terdorong mundur. Tanpa diketahui orang lain, terjadilah perubahan
pada diri Seng Bu, seperti biasa kalau dia memainkan ilmunya itu. Sepasang
matanya berubah liar, senyumnya menjadi dingin mengerikan dan beberapa kali ia
mengeluarkan suara tawa yang aneh.
"Siangkoan
Kok, engkau takkan menang melawanku!" beberapa kali dia mengeluarkan
ucapan ini yang didahului dan diakhiri suara tawa ha-ha-hi-hi-hi seperti orang
gila.
Hal ini
membuat Siangkoan Kok merasa amat penasaran dan semakin marah. Dia telah
mengerahkan semua jurus yang menjadi andalannya, tapi dia tidak mampu menembus
benteng pertahanan lawan, meski pun lawannya juga belum mampu merobohkan atau
mendesaknya. Mereka memiliki tingkat yang seimbang!
"Ouw
Seng Bu, marilah kita bertanding dengan senjata!" bentaknya sambil
meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya.
Seng Bu
hanya terkekeh dan melihat pemuda itu agaknya tidak membawa senjata, Kim Giok
cepat menghampiri dan menyodorkan pedangnya.
"Kau
pergunakanlah pedangku ini!"
Ouw Seng Bu
memandang gadis itu dengan matanya yang mencorong liar hingga Kim Giok
terkejut. Akan tetapi pemuda itu menerima juga Koai-liong-kiam, lalu menghadap
Siangkoan Kok sambil tertawa.
"He-he-heh,
Siangkoan Kok. Apakah perlu diteruskan? Kalau aku membiarkan saja pun engkau
akan mampus. Lihat baik-baik kedua telapak tanganmu."
Mendengar
ini, Siangkoan Kok cepat-cepat memeriksa kedua tangannya dan wajahnya berubah
pucat. Kedua telapak tangannya berwarna menghitam dan terasa panas bukan main!
"Kau...!
Aku... keracunan...!" katanya.
"Ha-ha-ha,
dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak kusedot kembali hawa beracun itu,
engkau akan mati. Perlukah dilanjutkan? Atau engkau mengaku kalah?"
Siangkoan
Kok menarik napas panjang dan kembali menyarungkan pedangnya. Dia harus mengaku
kalah, kalau ingin hidup!
"Baiklah,
Ouw-pangcu. Aku mengaku kalah. Akan tetapi sebelum kita bicara, punahkan dulu
racun dari kedua tanganku."
"Baik,
duduklah bersila, Siangkoan Pangcu, dan acungkan kedua telapak tanganmu ke
atas, menghadap ke belakang," kata Seng Bu.
Siangkoan
Kok duduk bersila, mengangkat kedua tangan ke atas dan menghadapkan kedua
telapak tangan yang menghitam itu ke belakang! Seng Bu yang telah menguasai
Bu-kek Hoat-keng secara keliru, memang telah mendapatkan suatu ilmu pukulan
yang mengandung hawa beracun.
Jika
Siangkoan Kok tidak memiliki sinkang yang amat kuat, tentu ia telah tewas
dengan tubuh hangus. Untung bahwa ketua Pao-beng-pai itu mempunyai sinkang kuat
sehingga hawa beracun itu hanya berhenti sampai di pergelangan tangannya saja,
dihambat oleh sinkang-nya.
Sekarang
Seng Bu menjulurkan kedua tangannya dan ditempelkan pada kedua tangan Siangkoan
Kok. Sampai beberapa menit lamanya dia terus mengerahkan sinkang-nya sehingga
tubuh kedua orang itu menggigil. Perlahan-lahan, warna menghitam di kedua
tangan Siangkoan Kok menjadi hilang, tersedot ke dalam kedua tangan Seng Bu!
Setelah Seng
Bu melepaskan kedua tangannya dan meloncat ke belakang, Siangkoan Kok memeriksa
kedua tangannya dan ternyata kedua telapak tangannya sudah bersih. Dia lalu
memandang kepada Seng Bu dengan kagum.
"Ouw-pangcu,
sekarang aku percaya. Engkau masih muda akan tetapi lihai bukan main, dan aku
akan suka menjadi sekutumu. Karena Pao-beng-pai sudah terbasmi pasukan
pemerintah penjajah, maka biarlah aku membantumu untuk memperkuat Thian-li-pang
dan kita bersama akan menjatuhkan pemerintah kerajaan Mancu!"
"Nanti
dulu, Siangkoan Pangcu. Urusan di sini harus dibereskan dulu. Sebaiknya kalau
engkau minta maaf kepada Nona Cu, dan memberi hukuman kepada lima orang bekas
anak buahmu."
Siangkoan
Kok menghela napas panjang. Dia maklum bahwa pemuda yang mengaku ketua
Thian-li-pang itu lihai bukan main, mempunyai ilmu pukulan yang amat aneh dan
berbahaya. Dia akan melihat dulu keadaan di Thian-li-pang. Kalau memang pantas
dia bantu, apa salahnya? Baginya, yang penting adalah menggulingkan pemerintah
Mancu! Dan memang tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan keluarga Cu
dari Lembah Naga Siluman.
"Nona
Cu, maafkan sikapku tadi." Dia menjura kepada gadis itu. Tentu saja Kim
Giok segera membalas penghormatan ketua Pao-beng-pai itu.
"Tidak
mengapa, Pangcu, hanya kesalah pahaman saja," katanya.
Sekarang
Siangkoan Kok menoleh ke arah lima orang anak buahnya yang menyeringai. Ketika
dia melangkah maju menghampiri mereka, lima orang itu memandang dengan wajah
pucat dan mata ketakutan. Melihat sikap ketua mereka yang sudah amat mereka
kenal, mereka ketakutan dan maklum bahwa ketua mereka itu marah kepada mereka.
Dengan kaki menggigil, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi,
Siangkoan Kok menggerakkan tangan kirinya lima kali dan lima orang itu pun
terjengkang dan tewas seketika! Melihat ini, terkejutlah Kim Giok. Lima orang
itu memang jahat dan patut dihajar, akan tetapi hukuman mati itu ia anggap
terlalu keras. Akan tetapi karena yang membunuh adalah ketua mereka sendiri, ia
pun tidak dapat mencampuri.
Sementara
itu, Seng Bu merasa sangat senang dan puas melihat cara Siangkoan Kok
membuktikan kesungguhan niat kerja sama dengan dia. Dia kini menghadapi Kim
Giok dan berkata, sikapnya pun sudah pulih, ramah dan sopan.
"Nona
Cu, secara kebetulan kita saling bertemu dan berkenalan di sini. Mendengar tadi
Nona berkata bahwa Nona sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, sudikah
Nona menerima undanganku untuk berkunjung ke Thian-li-pang bersama Siangkoan
Pangcu ini? Pasti Nona akan mendapat pengalaman dan pengetahuan lebih
luas."
Karena
memang merasa tertarik dan kagum sekali melihat pemuda yang ternyata mampu
menundukkan Siangkoan Kok, lagi pula ia pun tahu bahwa tanpa bantuan Ouw Seng
Bu, mungkin ia sudah menderita celaka di tangan ketua Pao-beng-pai dan anak
buahnya, maka Kim Giok mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya.
Tetapi,
Siangkoan Kok agaknya merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan
bersama mereka.
"Ouw-pangcu,
aku bukan seorang yang suka mengingkari janji. Aku pasti akan datang berkunjung
ke Thian-li-pang, karena bukan hanya engkau yang membutuhkan bantuan dariku,
tetapi juga aku sendiri amat membutuhkan kerja sama dengan orang sepertimu.
Memang engkau benar, tanpa adanya kerja sama antara kekuatan-kekuatan yang ada,
perjuangan kita menentang penjajah tidak akan berhasil. Nah, silakan engkau dan
Nona Cu pergi dulu, Ouw-pangcu, aku akan segera menyusul berkunjung ke
sana."
Ketua
Thian-li-pang itu setuju dan demikianlah, dia mengajak Cu Kim Giok untuk pergi
lebih dahulu.
Setelah
mereka pergi, Siangkoan Kok menjatuhkan diri duduk di atas batu, termenung
memandang ke arah mayat lima orang anak buahnya yang terbaring malang
melintang. Dia mengerutkan alisnya. Terpaksa dia membunuh mereka, untuk
memuaskan hati Ouw Seng Bu.
Kini hatinya
panas bukan main. Ketua Thian-li-pang itu memaksanya membunuh anak buahnya
sendiri. Dia, Siangkoan Kok, adalah keturunan kaisar kerajaan Beng, berdarah
bangsawan tinggi. Bagaimana mungkin dia begitu direndahkan untuk menjadi
pembantu saja dari seorang pemuda ingusan macam Ouw Seng Bu, betapa pun
lihainya pemuda itu karena menguasai ilmu pukulan beracun yang hebat?
Tidak, dia
harus menjadi kepala, dia harus menjadi pemimpin, dia harus menjadi yang nomor
satu. Dia akan mencari akal untuk mengalahkan dan menjatuhkan Ouw Seng Bu. Dia
mengepal tinju, kemudian dia melempar-lemparkan lima buah mayat itu ke dalam
jurang yang dalam agar tidak kelihatan terlantar di tempat itu...
Siangkoan
Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia berhenti dan
memutar tubuhnya, lalu memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak menghitam dari
situ. Selama bertahun-tahun ia membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa kini
ia harus meninggalkan tempat itu yang sudah kosong dan hancur. Selama belasan
tahun dia menghimpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk hancur dalam waktu
sehari saja!
Dia merasa
berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap sangat
bodoh. Dia terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang
menentang pemerintah harusnya menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara
diam-diam pula, tidak boleh memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum
sempat memberontak.
Ia harus
mulai lagi dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap dari
pada yang sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang
jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga
amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah
mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai.
Kemudian dia
berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggapnya seperti anak sendiri sehingga
Eng Eng yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi
seorang gadis yang mempunyai kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu
tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh diandalkan, terutama Eng
Eng.
Akan tetapi
sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng
sudah lari. Dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan
musuhnya! Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, kini
telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah. Dia hanya seorang
diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa
dibunuhnya.
"Aku
tak boleh putus asa," bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil
mengepal tinju. "Aku harus mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat
lagi."
Seandainya
saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi
pembantu-pembantunya! Jika tadi Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah
dapat membujuk atau memaksa Cu Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau
menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan dan kemudaan Kim
Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang
setia.
Dengan
keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, kemudian pria perkasa ini
melanjutkan perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di
dalam sakunya masih terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya,
walau pun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya,
tak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang mana pun.
Ketika dia
memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong
ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang. Karena itu Siangkoan Kok
mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu.
Meski pun
dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng
Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah
melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi besar gagah
perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun.
Akan tetapi,
walau pun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah
mendengar dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup
cukup makmur karena sawah dan ladang di daerah itu amat subur, juga bahwa
kepala dusunnya kaya raya.
So-chungcu
(Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu
sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang
laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berpakaian
cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki
pekarangan rumah mereka. Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil
memandang penuh perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan
tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang datang itu.
Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?
Sekarang
mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia
delapan belas tahun, bangkit berdiri dan memandang pada tamu itu. Oleh karena
tamu pria itu sudah setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa
sungkan. Andai kata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa,
puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.
"Apakah
engkau kepala dusun di sini?" kata tamu itu tiba-tiba, mendahului tuan
rumah. Suaranya menggelegar dan sikapnya berwibawa, namun sikapnya ini tidak
menghormat si kepala dusun seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya.
Akan tetapi,
So-chungcu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari
kota, mungkin seorang pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu
mengangguk. "Benar, saya adalah kepala dusun di sini. Siapakah Saudara
serta dari mana dan hendak ke mana? Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah
kami?"
Siangkoan
Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus.
Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia
delapan belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata
kelinci. Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda
bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.
"Saya
hanyalah orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya
ingin melewatkan malam di sini, di rumah ini," kata Siangkoan Kok dengan
sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti
dikabulkan.
Mulailah
Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis
berkerut. Tamu ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan.
Tidak mengenalkan nama, tidak menceritakan maksud kedatangannya, namun
datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu, bahkan tidak memohon agar
diterima!
"Hemmm,
kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam,
yaitu di balai dusun. Tetapi setiap tamu harus mendaftarkan namanya, tempat
tinggalnya, supaya kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh
pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, rumah ketiga dari sini, dan di sana
sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!" kata tuan rumah itu,
mengusir dengan nada halus.
Tetapi,
jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi
terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.
"Lurah
So, tak perlu banyak cakap lagi. Cepat sediakan sebuah kamar terbaik di rumah
ini untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan
malam yang enak. Karena itu sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam dan
bebek, dan aku ingin makan dilayanioleh wanita yang muda-muda dan
cantik-cantik!" berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri
dan puteri lurah itu.
Dia bukan
seorang mata keranjang, tapi dia hanya ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin
dihormati secara berlebihan. Kalau pun dia pernah memaksa muridnya, mendiang
Tio Sui Lan, karena dia marah kepada isterinya dan ingin mendapatkan ganti
isterinya. Dan Sui Lan pada saat itu yang paling dekat dengannya, maka dia
mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa.
Sebelum
peristiwa itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain. Curahan nafsu dalam
diri Siangkoan Kok bukan kepada wanita cantik, tetapi kepada pengejaran
cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan Beng dan dia yang menjadi
kaisar!
Tentu saja
Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu. Seorang
pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu
secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!
Lurah So
tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima
orang dari samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar
dan nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang
malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan perondaan dan memang rumah
samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.
"Usir
orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!" perintah Lurah So dengan
geram sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok.
Lima orang
itu segera menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu
memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biar pun mereka
bukan tukang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat wewenang,
lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara itu,
isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam
rumah.
"Hayo
engkau cepat pergi dari sini!" kata seorang penjaga.
"Kalau
tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!" bentak orang
kedua.
Siangkoan
Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. "Aku tidak mau pergi
dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap
diriku!"
Mendengar
kata-kata serta melihat sikap yang penuh tantangan ini, lima orang penjaga
menjadi marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang
setengah tua itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerakkan kedua
tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, lalu terguling-guling
sampai beberapa meter jauhnya!
Anjing yang
tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, kini terlepas. Dan
anjing itu menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong
dibuka lebar, memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.
Melihat
serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Dengan jari terbuka
tangan kirinya menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah
kepala anjing.
"Krekkk!"
Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.
Lima orang
penjaga itu terkejut. Mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil
berloncatan berdiri. Akan tetapi, saat Siangkoan Kok menggerakkan kakinya,
tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak, maka segera lima
batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.
"Apakah
kalian ingin mampus seperti anjing itu?!" bentaknya dan sekali tangan
kirinya meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.
"Kalau
permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So serta
keluarganya dan membakar rumah ini. Jika ada penghuni dusun ini berani
melawanku, akan kubunuh mereka semua!"
Dia
melepaskan lagi cengkeramannya, dan Lurah So dengan muka pucat lalu menyuruh
para penjaga itu mundur. Lurah So kemudian membungkuk dan memberi hormat pada
Siangkoan Kok.
"Maafkan
kami... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Taihiap
(Pendekar Besar)."
"Cukup
sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu
makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!"
"Silakan,
Taihiap... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri.
Silakan!"
Dengan
langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang
masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan
ketakutan mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada
penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak
berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So
telah dicengkeram oleh tamu aneh itu.
Terpaksa
Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri untuk Siangkoan Kok,
menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru
masak untuk menyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan
malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia
menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan
sampai diganggu tamu itu.
Sementara
itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih
juga menuruni lereng Kwi-san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajahnya yang
bulat telur dan kulit putih kemerahan. Matanya lebar dengan sinar tajam,
hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang sangat manis karena
ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.
Dari
pakaiannya yang serba merah, mudah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apa
lagi kalau nampak sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Dia
adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li!
Seperti
telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di dalam
pesta ulang tahun dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia
kecewa karena tidak melihat Yo Han di sana, apa lagi kemudian terjadi
pengacauan yang dilakukan Eng Eng dari Pao-beng-pai.
Hal ini
dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah ibunya dengan diam-diam
di rumah Suma Ceng Liong. Ia hanya meninggalkan surat untuk ayah ibunya bahwa
dia pergi untuk membantu Yo Han mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan
juga untuk menyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar.
Karena tidak
tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tujuan tertentu. Ke mana
pun dia pergi, dia bertanya-tanya mengenai pendekar yang berjuluk Sin-ciang
Taihiap (Pendekar Tangan Sakti), namun tidak pernah menemukan orang yang dapat
menunjukkan di mana adanya pendekar yang dicarinya itu.
Akhirnya,
dia menuju ke Bukit Setan untuk menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan
menuju ke sana itulah dia mendengar akan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap
gerombolan pemberontak itu, mendengar betapa Pao-beng-pai dibasmi oleh pasukan
pemerintah. Namun ia tetap pergi ke sana dan berhasil naik sampai ke Lembah
Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah menjadi puing
karena dibakar oleh pasukan pemerintah.
Sian Li sama
sekali tidak tahu bahwa pada saat dia meninggalkan lembah itu, di lembah
sebelah bawah tengah terjadi perkelahian antara Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok
yang kemudian dibantu oleh Ouw Seng Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia
melewati lembah itu. Ia terus menuruni lembah dan ketika tiba di kaki bukit, ia
lantas menuju ke dusun yang tadi dilihatnya dari lembah terakhir.
Pada saat
dia memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di
seberang hutan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.
"Nona
Tan Sian Li...!"
Sian Li
terkejut. Ia menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang. Segera
ia mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu.
"Twako
(Kakak) Gak Ciang Hun...!" serunya girang dan juga heran sekali.
Terakhir ia
berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diadakan pertemuan
antara tiga keluarga besar. "Bagaimana engkau dapat berada di sini?"
Dengan wajah
berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun lalu menjawab,
"Aku memang menyusul dan mencarimu setelah kami semua mengetahui
kepergianmu."
Sian Li
mengerutkan alisnya. "Kenapa, Gak-twako? Mau apa engkau menyusul dan
mencariku?"
Ciang Hun
menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja dia
menyusul Sian Li karena mengkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua
ini terdorong oleh perasaan cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak
berani menceritakan itu.
"Aku...
aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku
ingin pula ikut menyelidiki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka
aku cepat-cepat pergi menyusulmu, Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan
lebih kuat dan..."
"Gak-twako,
jangan menyebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja. Bagaimana pun
juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau perguruan.
Nah, kalau aku menyebutmu kakak, sudah sepatutnya kau menyebut aku adik,
bukan?"
Wajah Ciang
Hun menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. Memang pemuda ini, walau pun
sudah berusia dua puluh sembilan tahun, akan tetapi belum berpengalaman dalam
pergaulan dengan wanita, maka dia merasa canggung dan rikuh.
"Baiklah,
Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula
menyelidiki Pao-beng-pai. Akan tetapi aku menjadi bingung ketika mendengar
bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah. Maka aku hanya
berkeliaran di sekitar kaki bukit sampai tadi kebetulan sekali aku melihatmu,
maka aku mengejarmu."
Siang Li
yang merasa lelah, tidak begitu senang bila membayangkan dirinya melakukan
perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya,
tapi Yo Han! Dan dia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun
terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Dan ini hanya berarti bahwa pemuda
perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia
harapkan!
Sian Li
adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu,
di bawah pohon yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih
cukup panas dan duduk di tempat teduh itu terasa sangat nyaman, apa lagi karena
ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni Lembah Selaksa Setan tadi.
"Gak-twako,
sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali
untuk mencari kanda Yo Han." Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama
pemuda itu, dan matanya memandang tajam.
Ciang Hun
mengerutkan alisnya. "Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?"
Sian Li
mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda
itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak kalau dia terpukul. Sebaiknya
aku berterus terang saja, pikir gadis itu, dari pada membiarkan dia
berlarut-larut hanyut dalam khayal.
"Benar,
Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri
Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin
ikut ayah dan ibu ke kota raja."
Ciang Hun
sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya
pertama kali sudah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han. Dia menduga
bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu. Untuk
mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya, "Kenapa engkau tidak ingin
ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona... ehh, Siauw-moi?"
"Hemmm,
orang tuaku hendak mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan
perjodohanku. Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran
Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan semenjak dahulu dan kini orang tuaku
hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon mantu
pangeran!"
Ciang Hun
memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tak mengurangi
kecantikannya.
"Akan
tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu
penghormatan yang besar? Engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa
putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah
ibumu..."
"Tidak
peduli bagaimana pun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu
lagi aku merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku inginkan menjadi
suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko..."
"Sin-ciang
Taihiap Yo Han?" Ciang Hun bertanya. Dia tidak merasa heran karena hal ini
sudah diduganya.
Gadis itu
mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang
Hun tidak lagi mengharapkannya.
"Ia
memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormati dia.
Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan
orang tuamu, pangeran itu...?"
"Aku
tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku
akan mencarinya."
"Kalau
begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita
dapat menemukan Yo Han!" kata Ciang Hun penuh semangat.
Ciang Hun
memang berjiwa pendekar. Meski pun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa
cintanya kepada Sian Li tak akan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk
tangan sebelah, akan tetapi dia tidak menjadi patah hati. Tidak, dia dapat
menerima dan menghadapi kenyataan. Apa lagi mendengar bahwa pilihan hati Sian
Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih
baik dari dirinya sendiri!
Dia tahu
bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci
Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena bagaimana pun juga, di antara
mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga besar. Dia harus
membantu gadis itu menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan
kebahagiaannya.
Sian Li
mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu,
dan juga kagum. Seorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh
cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan
dan menyentuh lengan Ciang Hun.
"Benarkah,
Twako? Aihhh, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat
baik. Terima kasih, Twako!"
Ciang Hun
mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu
kekanak-kenakan!
"Mari
kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi
gelap, dan kita harus dapat melintasi hutan ini sebelum malam tiba."
"Marilah,
Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat
sebuah dusun. Kita ke sana sebelum malam tiba, Twako."
Mereka
memasuki hutan itu dengan langkah cepat. Akan tetapi ketika mereka hampir tiba
di seberang, mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan
heran, bahkan sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja ketika
cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.
Siapa lagi
kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk
menakut-nakuti mereka? Memang mereka merasa ngeri, akan tetapi mereka adalah
dua orang pendekar yang tidak mudah lari ketakutan. Mereka menghentikan langkah
dan memperhatikan. Suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita
lain.
"Sudahlah
jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini..."
Orang yang
menangis itu berkata dengan suara ketakutan, "Tetapi... Ibu... bagaimana
dengan ayah? Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu...?"
Mendengar
percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang
wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat
itu, menahan jerit mereka ketika mendadak muncul dua bayangan orang dalam cuaca
yang sudah remang-remang itu. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat
bahwa yang muncul adalah seorang gadis cantik bersama seorang pemuda tampan.
"Jangan
takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak
Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan tadi mendengar percakapan
kalian. Mengapa kalian bersembunyi di sini dan siapa yang mengancam keselamatan
suami Bibi?"
Melihat
sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita
itu lalu memberi hormat dan berkata, "Aku adalah isteri Lurah So di dusun
sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami didatangi seorang
laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah
kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta
dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing
kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak
melarikan diri dan bersembunyi di sini."
"Hemmm,
apakah orang itu perampok dan mempunyai banyak teman?" tanya Sian Li
penasaran dan sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.
Akan tetapi
nyonya itu menggeleng kepala. "Dia hanya seorang diri, dan lagaknya tidak
seperti perampok. Pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja
memerintah kami. Ahh, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku
dicelakakan olehnya..."
"Siauw-moi,
mari kita ke sana!" kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar
kelakuan tamu yang demikian kurang ajar.
"Mari,
Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu
tak tahu diri itu!" kata Sian Li.
Melihat
sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula
harapan mereka agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.
Hari telah
menjadi gelap pada saat mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang
tadinya ramai itu sekarang mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah
menutupkan pintu dan jendelanya. Tiada seorang pun berani menampakkan diri di
luar rumah, mereka semua telah mendengar akan munculnya seorang manusia yang
jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun.
Ketika mereka
berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut.
Suara itu datangnya dari ruangan makan seperti yang diberi tahukan ibu dan anak
itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebelah belakang.
Mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang
bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang
pedang).
Gadis itu
berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan
rambutnya yang hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang
kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya amat indah, dengan bibir yang
kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan gadis ini
memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia
sedang marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian.
Akan tetapi,
Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biar pun
hanya menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh
sepasang pedang lawannya, bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan
telanjang dia berani menangkis pedang, seolah-olah lengannya terbuat dari baja
saja!
Sian Li dan
Ciang Hun tidak mengenal wanita cantik manis yang meski pun melihat kehebatan
lawan, namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak
tahu siapa gadis itu, juga ibu dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan
Ciang Hun meragu untuk turun tangan.
Gadis yang
mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau
Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Dia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu
kepala gudang pusaka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng.
Saat Yo Han
telah tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya,
yaitu mendiang Ciu Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar
suka berkunjung kepada cici-nya yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu
Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah Bi Kim.
Ketika Yo
Han berkunjung ke sana, nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok
dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang itu nenek itu
menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han. Dan
kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han, walau pun Yo Han
sendiri tidak mencintanya karena semenjak remaja, Yo Han telah jatuh cinta
kepada Tan Sian Li, Si Bangau Merah!
Yo Han
meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi Kim merasa amat penasaran karena
belum mendapatkan kepastian dari Yo Han, maka ia pun lalu mendesak ayahnya
untuk mengundang jagoan-jagoan istana dan mengajarkan ilmu silat kepadanya.
Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai memainkan sepasang pedang.
Setelah
ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim
merasa penasaran. Dia merasa bahwa dia telah menguasai ilmu pedang dan pandai
menjaga diri, maka pada suatu hari, dia pun lolos dari gedung ayahnya,
meninggalkan sepucuk surat dan menyatakan kepada ayah ibunya bahwa dia pergi
untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!
Pada sore
hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusun itu. Ia sudah lelah dan ingin
bermalam di dusun itu. Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun
itu tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di jalan pun tidak nampak seorang pun
manusia!
Akan tetapi,
dia tahu benar bahwa dusun itu bukan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih
terpelihara, juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan dusun. Dan
lebih dari itu, ia pun dapat mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah-rumah
yang tertutup rapat dan yang tidak dipasangi lampu walau pun senja telah
mendatang.
Karena
merasa heran dan penasaran, ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah
rumah dan tangis itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis
itu sudah didekap tangan, ia tidak sabar lagi dan mengetuk daun pintu rumah
itu.
"Paman
atau bibi, bukalah pintunya. Aku bukan orang jahat. Aku seorang gadis yang
kebetulan kemalaman dan ingin bermalam di dusun ini. Biarkan aku menginap
semalam di rumah kalian, nanti akan kuberi pengganti kerugian!"
Setelah
beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar juga jawaban
seorang wanita dari dalam, tanpa membuka pintu. "Nona, maafkan kami...
tempat kami penuh sesak... ehh, kalau Nona ingin bermalam... datanglah ke rumah
kepala dusun, di sebelah itu, sepuluh rumah dari sini."
Terpaksa Bi
Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah
kepala dusun. Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar bila
dibandingkan rumah-rumah lain. Dan memang hanya rumah besar ini saja yang daun
pintu sebelah depan terbuka, dan di dalam rumah itu dipasangi lampu penerangan
yang cukup banyak. Ketika Bi Kim memasuki pekarangan, beberapa orang
bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini pun ketakutan.
"Nona
mencari siapakah?" seorang setengah tua bertanya dengan suara gemetar,
juga tiga orang temannya nampak ketakutan.
"Aku
seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta
pertolongan lurah agar suka menerimaku semalam ini."
Empat orang
itu saling pandang, kemudian menengok ke arah dalam rumah dan orang setengah
tua tadi berbisik, "Nona, pergilah dari sini. Di rumah ini kedatangan
seorang penjahat yang menakutkan. Dia sedang memaksa lurah untuk menjamunya
dengan pesta. Dia jahat sekali!"
Mendengar
ini, Gan Bi Kim tersenyum dan meraba gagang siang-kiam yang tergantung di
punggungnya, "Aku tidak takut, bahkan kalau ada penjahat mengganggu rumah
ini, aku akan mengusirnya."
Kembali
empat orang itu saling pandang. "Kalau begitu, masuklah, pergilah ke
ruangan belakang, ruangan makan. Akan tetapi, kami tidak berani mengantarmu,
Nona." kata mereka dan kembali mereka menyelinap ke dalam
bayangan-bayangan yang gelap.
Tentu saja
Bi Kim merasa heran dan penasaran. Dengan langkah lebar ia memasuki rumah itu.
Sunyi saja, agaknya semua orang, seperti empat orang pria tadi, sudah lari
menyingkir dan bersembunyi ketakutan. Namun terdengar suara di ruangan belakang
dan dia pun menuju ke sana.
Ruangan itu
luas dan terang sekali. Sebuah meja makan besar penuh hidangan yang masih
mengepulkan uap berada di tengah ruangan. Seorang pria tinggi besar duduk makan
minum seorang diri, dilayani oleh tiga orang wanita muda. Seorang laki-laki
lain berusia lima puluh tahun lebih, tinggi kurus, berdiri di sudut, memandang
dengan sikap takut-takut.
Mendengar
langkah kaki, pria yang sedang makan itu menoleh dan ketika melihat Bi Kim,
wajahnya berseri, matanya memandang penuh selidik dan dengan suaranya yang
parau berwibawa dia bertanya, "Siapa kau? Mau apa kau masuk ke sini?"
Karena tidak
tahu mana lurah yang dia cari, Bi Kim memandang kepada pria yang sedang makan
itu, bertanya, "Aku ingin bertemu dengan lurah dusun ini. Mana dia?"
"Aku...
akulah Lurah So dari dusun ini, Nona..." Lurah So berkata dengan gagap.
Kini Bi Kim
menoleh kepada pria tinggi besar yang bukan lain adalah Siangkoan Kok itu.
"Hemmm, jadi orang inikah yang datang mengacau?" Bi Kim bertanya
sambil menoleh kepada Lurah So.
Akan tetapi
lurah ini tidak berani mengeluarkan suara, bahkan menunduk karena takut membuat
marah tamunya. Juga tiga orang wanita muda itu tidak berani bergerak.
"Ha-ha-ha,
engkau cantik manis, Nona. Engkau jauh lebih cantik dari pada tiga orang
perempuan dusun ini. Sayang puteri lurah ini telah melarikan diri. Biar engkau
menjadi penggantinya menemaniku makan minum. Mari, Nona, duduklah di sini,
makan minum sepuasnya!"
"Hemmm,
kiranya engkau ini jahanam busuk, manusia tak tahu diri, begitu datang ke rumah
orang bertindak sewenang-wenang. Setelah aku datang, jangan harap engkau akan
dapat menjual lagak lagi. Hayo pergilah cepat meninggalkan rumah ini,
tinggalkan dusun ini, atau sepasang pedangku akan membuat engkau menjadi setan
tanpa kepala!" Berkata demikian, untuk menggertak, Bi Kim mencabut
sepasang pedangnya.
Sepasang
pedang yang baik karena ayahnya mencarikan sepasang pedang pilihan untuk
puterinya. Nampak kilat menyambar pada waktu gadis itu mencabut sepasang
pedangnya.
Akan tetapi,
Siangkoan Kok tertawa dan sama sekali tidak kelihatan gentar.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali. Aku memang lebih senang kalau gadis cantik yang menemani aku
makan minum bukan seorang wanita lemah. Nah, sekarang kita bertaruh, Nona.
Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi
kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk.
Bagai mana?"
Wajah Bi Kim
berubah merah sekali, matanya mencorong penuh kemarahan. "Jahanam
busuk!" katanya melihat orang itu bangkit dan menghampirinya. "Engkau
memang layak dibasmi!" Dan sepasang pedangnya sudah menyambar ganas.
Akan tetapi
Siangkoan Kok dapat mengelak dengan mudah dan dia segera mengenal bahwa ilmu
pedang nona ini bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu pedang yang tinggi
nilainya. Hal ini tidak mengherankan sebab Bi Kim telah dilatih oleh
jagoan-jagoan istana yang lihai.
Maka, timbul
penyakit lama Siangkoan Kok. Dia tidak segera mengalahkan gadis yang tingkatnya
masih jauh di bawahnya itu, bahkan dia menggulung kedua lengan bajunya agar
tidak sampai robek, menggunakan dua lengan untuk menangkis serangan pedang
sambil memperhatikan jurus-jurus ilmu pedang itu untuk menambah pengetahuannya
yang sudah banyak.
Tentu saja
Lurah So dan tiga orang gadis dusun yang dipaksa menjadi pelayan tadi merasa
ketakutan. Apa lagi melihat betapa tamu yang ditakuti itu mampu melawan si
gadis yang berpedang hanya dengan tangan kosong saja.
Juga Bi Kim
sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa penjahat ini memang luar
biasa, memiliki kesaktian. Apa lagi dia, bahkan guru-gurunya belum tentu mampu
menandingi kakek ini!
Pada saat
pertandingan itu berlangsung, muncullah Sian Li dan Ciang Hun. Akan tetapi
karena kedua orang pendekar ini tidak mengenal Bi Kim, tentu saja mereka tidak
dapat turun tangan membantu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa gadis
ber-siang-kiam itu dan mengapa pula berkelahi melawan kakek yang amat lihai
itu.
Seperti yang
mereka duga, kakek itu hanya mempermainkan lawannya dan setelah dia mengenal
benar ilmu pedang berpasangan dari Bi Kim, tiba-tiba saja Siangkoan Kok
membentak nyaring dan tahu-tahu sepasang pedang itu sudah berpindah tangan! Dia
menyeringai ketika Bi Kim meloncat ke belakang dengan kaget.
"Ha-ha-ha,
engkau telah kalah, Nona. Nah, engkau harus menemani aku makan minum sampai
mabuk!"
"Tidak
sudi! Sebelum mati aku tidak akan mengaku kalah!" bentak Bi Kim dan ia pun
menerjang lagi, kini dengan tangan kosong.
Kini Sian Li
dan Ciang Hun tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa gadis itu merupakan orang yang
menentang penjahat lihai itu, maka keduanya sudah melompat ke depan untuk
mencegah Bi Kim bertindak nekat. Dengan sepasang pedang saja bukan lawan kakek
itu, apa lagi bertangan kosong.
"Tahan...!"
kata Sian Li dan dari samping dia sudah menangkap pergelangan tangan Bi Kim dan
menariknya ke samping.
Bi Kim yang
tertangkap pergelangan tangannya, merasa tenaganya lumpuh, maka ia terkejut
sekali dan menurut saja ditarik ke samping.
Siangkoan
Kok mengerutkan alisnya, memandang pada Sian Li yang berpakaian merah dan Ciang
Hun yang gagah.
"Huh,
siapa lagi kalian ini yang datang mengganggu kesenanganku!" katanya sambil
melemparkan sepasang pedang rampasan dari Bi Kim.
Biar pun
hanya dilempar sambil lalu saja, namun sepasang pedang itu meluncur bagai anak
panah ke arah Sian Li dan Ciang Hun! Jelas bahwa kakek yang lihai itu sengaja
hendak menguji kepandaian dua orang muda yang baru muncul!
Dengan
tenang Sian Li menangkap pedang yang meluncur ke arahnya dari samping, dengan
jalan menjepitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya, persis seperti anak-anak
menangkap capung pada ekornya.
Sedangkan
Ciang Hun lebih repot lagi, mengelak ke samping lalu memutar tubuh dan
menangkap pedang itu pada gagangnya dari belakang! Dari cara menangkap pedang
ini saja sudah dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian Si Bangau Merah lebih
tinggi dari pada tingkat kepandaian Gak Ciang Hun!
Siangkoan
Kok agak terkejut. Kiranya dua orang muda ini amat hebat! Sama sekali tidak
boleh dipandang ringan, tidak dapat disamakan dengan kepandaian Bi Kim.
Ciang Hun
dan Sian Li menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepada Bi Kim, kemudian
Sian Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Siangkoan Kok.
"Engkau
ini orang tua yang kelihatan gagah perkasa, juga mempunyai ilmu kepandaian
tinggi. Sungguh menjijikkan sikapmu di dusun ini, bertindak seperti perampok
kecil saja!"
Wajah
Siangkoan Kok berubah kemerahan.
"Bocah
bermulut lancang!" Setelah berkata demikian, dia menubruk ke arah Sian Li
dan mengirim serangan kilat.
Namun,
nampak bayangan merah berkelebat dan Sian Li sudah dapat mengelak dari serangan
dahsyat itu. Ketika tubuhnya turun di depan kakek itu, dia sudah memegang
sebatang suling berselaput emas, sikapnya gagah dan tenang sekali.
Siangkoan
Kok terkejut sekali, apa lagi ketika melihat suling emas itu. Alisnya berkerut
mengingat-ingat. Pakaian merah! Tentu saja!
"Hemmm,
apakah engkau ini yang berjuluk Si Bangau Merah?" tanya Siangkoan Kok
sambil memandang penuh selidik.
Sian Li
menggerakkan sulingnya. Terdengar suara berdesing, disusul ucapannya yang
lantang, "Memang benar aku yang dijuluki Si Bangau Merah."
"Bagus!
Ha-ha-ha, hari ini aku sungguh beruntung, dapat bertemu dengan tokoh-tokoh muda
dunia kangouw. Dan engkau siapa orang muda?" tanyanya. "Tidak perlu
engkau menjawab, biarkan aku menebak siapa engkau!"
Setelah
berkata demikian, tubuhnya berkelebat. Tangannya mendorong dengan telapak
tangan terbuka ke arah dada Ciang Hun. Pemuda ini sama sekali tidak menduga
akan diserang, maka dia tidak sempat mengelak lagi, lalu mengerahkan tenaga
sinkang-nya dan menggerakkan kedua tangan terbuka menyambut.
"Dukkkkk!"
Keduanya terdorong ke belakang.
Ciang Hun
sudah berjongkok dan berlutut dengan sebelah kakinya. Kedua tangannya di depan
dada, dengan kedua telapak tangannya menghadap ke atas.
Siangkoan
Kok terbelalak. "Wah, apakah engkau memiliki sinkang yang disebut Tenaga
Inti Bumi? Engkau mengambil tenaga dari tanah?"
Diam-diam
Gak Ciang Hun tertegun dan kagum. Sekali beradu tenaga yang membuat dia tadi
terlempar dan terpaksa memasang kuda-kuda Dewa Menyangga Bumi untuk memulihkan
tenaga dan siap menghadapi serangan lanjutan lawan, dan kakek itu sudah mengenal
dasar ilmunya.
Memang dia
tadi telah menggunakan tenaga yang menjadi ilmu warisan keluarga Gak. Bahkan
mendiang kakeknya, Bu-beng Lo-kai atau dahulu bernama Gak Bun Beng, sebelum
meninggal dunia sudah mengoperkan tenaga kepadanya sehingga meski pun bakatnya
tidak sangat baik, namun dia telah dapat menghimpun tenaga sinkang itu.
"Orang
muda, apakah hubunganmu dengan mendiang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda
Beng-san)?" tanyanya lagi.
Ciang Hun
tak ingin menyombongkan dirinya, akan tetapi dia pun bangga dengan nama besar
kedua ayahnya. "Mereka adalah ayah kandungku!" jawabnya gagah, sama
sekali tidak merasa sungkan mengaku bahwa dia memiliki dua orang ayah kandung!
Memang suatu
hal yang aneh dalam keluarga itu. Ayahnya adalah sepasang pendekar kembar yang
mencintai seorang wanita, maka keduanya menjadi suami wanita itu dan lahirlah
Ciang Hun, anak dari seorang ibu dan dua orang ayah.
"Ha-ha-ha-ha,
pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, mengingat bahwa kalian
keturunan orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau
Merah dari orang muda she Gak! Dan engkau juga, Nona. Tadi permainan siang-kiam
(sepasang pedang) darimu cukup lumayan, membuktikan bahwa engkau pun sudah
dilatih oleh guru yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang muda, kita
mempererat perkenalan dengan makan minum!"
Siangkoan
Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah
majikan yang dihormati bagai seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua
kemuliaan itu habislah sudah.
Anak buahnya
dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah
diobrak-abrik, seluruh hartanya habis. Habislah sudah semuanya, bahkan ia
kehilangan anak yang disayangnya walau pun hanya anak tiri, juga kehilangan
isteri yang dia bunuh sendiri, serta kehilangan murid tersayang yang diambilnya
secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh.
Sekarang dia
sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi. Karena itu, melihat tiga orang muda
ini, yang gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis
perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya untuk bersahabat dengan mereka.
Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan tiga orang muda
seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi
dan dia akan jaya kembali.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment