Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 24
Ke manakah
perginya Pangeran Kian Liong? Tadi Toa-ok telah melihat berkelebatnya beberapa
orang yang disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran. Dan memang benar
demikianlah. Selagi tiga orang datuk kaum sesat itu mengeroyok Ci Sian,
muncullah tiga orang yang bergerak cepat, kemudian mereka itu menyambar tubuh
Sang Pangeran, menotoknya dan melarikannya dengan cepat sekali.
Mereka
bertiga ternyata menggunakan ilmu berlari cepat, membuat Pangeran Kian Liong
merasa seperti diterbangkan saja. Pangeran ini tahu bahwa kembali dia telah
ditawan dan dilarikan orang, entah dari golongan mana. Akan tetapi Pangeran ini
tidak merasa takut.
Kiranya yang
menculik Pangeran itu adalah tiga di antara para pendekar Siauw-lim-pai yang
delapan orang banyaknya itu, yang telah diselamatkan oleh Sang Pangeran dari
kepungan pasukan pada waktu Siauw-lim-si dibakar. Mereka membawa Sang Pangeran
kepada sebuah kereta yang sudah dipersiapkan oleh kawan-kawan mereka, kemudian
melarikan Pangeran menuju ke timur.
“Harap
Paduka tidak khawatir. Kami memang menawan Paduka, akan tetapi hal ini kami
lakukan bukan karena kebencian pribadi. Kami adalah patriot-patriot bangsa Han,
harap Paduka memaklumi keadaan kami,” kata seorang di antara mereka dengan
sikap hormat.
Pangeran
Kian Liong hanya tersenyum dan mengangguk. “Ke manakah kalian hendak
membawaku?” tanyanya.
“Kepada
pimpinan kami di kota Cin-an,” jawaban singkat ini diterima Sang Pangeran tanpa
banyak cakap lagi.
Malah
kebetulan, pikirnya. Dia kelak akan menjadi kaisar, maka dia pun harus tahu
benar tentang seluk-beluk mereka yang menganggap diri mereka sebagai para
patrtiot ini. Kelak, mau tidak mau, dialah yang akan berhadapan dengan mereka
ini. Dan dia pun perlu melakukan pendekatan, agar selain mengetahui keadaan
mereka lahir batin, juga dia akan dapat bicara dengan mereka, terutama sekali
para pemimpinnya. Jadi Cin-an, di Propinsi Shantung itu sarang mereka?
Perjalanan
ke Cin-an itu bukan dekat, akan tetapi di sepanjang perjalanan, tiga orang
pendekar Siauw-lim-pai itu bersikap sopan dan amat baik. Diam-diam Sang
Pangeran memperhatikan. Dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka yang
menamakan dirinya para patriot Han itu belum meluas, yaitu belum memperoleh
banyak dukungan rakyat. Buktinya, di sepanjang perjalanan mereka itu merahasiakan
perjalanan itu dan tidak pernah mereka menghubungi rakyat yang membantu mereka.
Namun, harus diketahui bahwa mereka itu bersikap hati-hati sekali dan agaknya
banyaknya teman-teman mereka yang diam-diam menjadi penyelidik dan pelindung
sehingga perjalanan kereta itu tidak pernah mendapat gangguan.
Setelah
melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, akhirnya kereta memasuki kota
Cin-an di Propinsi Shantung, langsung memasuki pekarangan sebuah rumah yang
cukup besar dan kuno. Kereta itu terus bergerak masuk ke belakang, melalui
jalan samping sehingga tidak nampak lagi dari depan. Sang Pangeran dipersilakan
turun, lalu diiringkan memasuki rumah besar melalui pintu belakang.
Ruangan di
dalam rumah besar kuno itu luas sekali. Ketika Pangeran Kian Liong memasuki
ruangan itu, dia memandang ke kanan kiri dengan penuh perhatian. Ruangan itu
nampak sunyi karena tidak ada suara, akan tetapi ternyata di situ duduk banyak
orang. Laki-laki dan wanita-wanita yang kelihatan penuh semangat dan gagah
perkasa.
Lima orang
pendekar Siauw-lim-pai yang lain hadir pula di situ, jadi lengkap delapan orang
dengan yang membawanya ke situ. Nampak pula beberapa orang hwesio, bahkan ada
pula yang berpakaian seperti tosu. Akan tetapi yang terbanyak adalah pria-pria
berpakaian seperti pendekar. Mereka duduk di atas bangku-bangku tidak teratur,
akan tetapi semua menghadap kepada seorang laki-laki setengah tua yang usianya
kira-kira lima puluh tahun namun masih nampak tampan dan gagah. Ada beberapa
orang duduk di dekat pria ini, termasuk tiga orang wanita cantik setengah tua.
Pangeran
Kian Liong segera mengenal pria gagah ini, dan dia pun dipersilakan untuk duduk
berhadapan dengan pria gagah yang agaknya menjadi pimpinan para patriot di
tempat itu. Di antara orang-orang yang duduk di dekat pria gagah itu, nampak
pula seorang pemuda yang kelihatan lebih gagah lagi, bersama dengan seorang
dara yang menggunakan pakaian pria sehingga nampaknya sebagai seorang pemuda
yang amat tampan. Akan tetapi sekali pandang saja tahulah Sang Pangeran bahwa
pemuda yang amat tampan itu adalah seorang gadis.
“Ahh,
selamat datang, Pangeran!” kata pria tua yang gagah itu sambil bangkit berdiri
memberi hormat, suaranya halus dan ramah, juga sikapnya menghormat. “Maafkan
kalau kami membuat Paduka banyak kaget dan lelah, akan tetapi kami girang bahwa
Paduka tiba di sini dalam keadaan sehat dan selamat.”
Pangeran
Kian Liong tersenyum, seperti biasa sikapnya tenang sekali dan yang amat
mengagumkan para patriot adalah bahwa Pangeran ini biar pun masih amat muda,
namun sikapnya seperti seorang dewasa yang menghadapi sekelompok anak nakal
saja.
“Silakan
duduk, Pangeran,” kata pula pria tua gagah itu.
“Terima
kasih, Bu-taihiap,” jawab Sang Pangeran sambil duduk dan memandang ke
sekeliling.
Sedikitnya
ada dua puluh lima orang di dalam ruangan yang luas itu, kesemuanya adalah
orang-orang yang bersikap gagah. Diam-diam dia merasa amat sayang bahwa
orang-orang gagah seperti ini sekarang berdiri berhadapan dengan dia sebagai
orang-orang yang memusuhinya, atau setidaknya memusuhi kerajaan ayahnya.
“Kalau boleh
aku bertanya, mengapa dalam waktu singkat saja terjadi perubahan besar dan
sikap Bu-taihiap menjadi berlawanan? Ketika aku hendak ditangkap Im-kan Ngo-ok,
Bu-taihiap melindungiku, dan sekarang Bu-taihiap menawanku sebagai musuh. Apa
artinya semua ini?”
Bu Seng Kin
atau Bu-taihiap tersenyum lebar dan kelihatan semakin ganteng biar pun usianya
sudah setengah abad.
“Tak perlu
diherankan, Pangeran, karena semua itu hanya menjadi akibat dari keadaan
Pangeran dan Kaisar yang juga berlawanan. Kalau tempo hari kami menyelamatkan
Paduka, hanyalah karena kami hendak menolong seorang pangeran yang bijaksana
dari ancaman penjahat-penjahat macam Im-kan Ngo-ok. Dan kalau sekarang ini kami
terpaksa menawan Paduka adalah karena kami adalah patriot-patriot dan Paduka
adalah putera mahkota.”
Pangeran
muda itu mengangguk-angguk. “Aku dapat mengerti, Bu-taihiap. Lalu, setelah aku
ditawan dan dibawa sini, apakah yang hendak kalian lakukan terhadap diriku?”
“Tentu
Paduka tidak mau menerima kalau kami mengatakan bahwa ayah Paduka, Sri Baginda
Kaisar Yung Ceng, telah melakukan banyak sekali kejahatan dan kelaliman,
bertindak sewenang-wenang terhadap para orang gagah?”
“Aku maklum
apa yang kau maksudkan, akan tetapi bagaimana pun juga, pada waktu ini, aku
hanya seorang Pangeran Mahkota dan seluruh kekuasaan mutlak berada di tangan
Kaisar.”
“Kaisar
telah melakukan banyak tindakan sewenang-wenang, bahkan baru-baru ini telah
membasmi dan membakar biara Siauw-lim-si. Tentu Paduka mengetahuinya, bahkan
juga Paduka menyaksikannya dan Paduka pula yang menyelamatkan delapan orang
pendekar Siauw-lim-pai.”
“Aku sudah
tahu akan semua itu. Lalu apa kehendakmu?”
“Kaisar
bukan seorang penguasa yang baik, dan menambah dendam dan sakit hati para
pendekar yang sejak dahulu tidak rela membiarkan tanah air dan bangsa
dicengkeram penjajah Mancu. Harap Paduka maafkan kalau kami bicara sejujurnya,
karena Paduka adalah seorang yang juga memiliki kegagahan dan kebijaksanaan.”
Pangeran
Kian Liong kembali tersenyum, bukan tersenyum pahit, sama sekali tidak
membayangkan perasaan sakit mendengar ucapan itu, melainkan tersenyum maklum
akan ‘kenakalan’ anak-anak di sekelilingnya.
“Nanti dulu,
Bu-taihiap. Yang dinamakan penjajah itu adalah kalau satu negara menjajah
negara lain, satu bangsa menjajah bangsa lain. Akan tetapi kurasa bangsa Mancu
tidak mempunyai negara lain kecuali di sini, dan bangsa Mancu sekarang pun
sudah tidak ada dan menjadi satu dengan bangsa Han! Aku sendiri, sebagai
Pangeran, sama sekali tidak merasa sebagai bangsa Mancu, tanah airku di sini
dan negaraku juga di sini. Memang pada mulanya, bangsa Mancu yang merupakan
bangsa Nomad itu menyerbu ke selatan dan karena kelemahan dan kesalahan bangsa
Han sendirilah, yang tidak ada persatuan, sering berkelahi sendiri, dan Kaisar
amat lemah, para pembesarnya tidak ada yang jujur dan setia, semua tukang
korup, maka akhirnya bangsa Mancu dapat menjatuhkan Kaisar yang berkuasa dan
untuk selanjutnya sampai sekarang memimpin bangsa Han membangun negara. Akan
tetapi aku bukan membela kerajaan Ayahku, sama sekali tidak, hanya bicara
menurut kenyataan saja. Memang, Ayahku telah menyeleweng, menyerbu Siauw-lim-si
dan semua itu dilakukan hanya karena urusan-urusan pribadi. Ayah telah menjadi
lemah pula dan hal ini amat kusesalkan. Kalau aku menjadi kaisar, semua hal
yang bengkok pasti akan kubikin lurus, dan niatku hanya ingin memajukan bangsa,
membangun negara dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata.”
Semua
patriot mendengarkan dengan alis berkerut. Mereka semua sudah tahu bahwa
Pangeran ini memang amat bijaksana dan andai kata Pangeran ini yang menjadi
kaisar, agaknya keadaan pun akan berubah. Akan tetapi kenyataannya sekarang,
Kaisar Yung Ceng telah menimbulkan dendam di hati para pendekar dan patriot.
“Kami dapat
percaya apa yang Paduka katakan, akan tetapi kenyataan sekarang ini amat pahit
bagi kami, dan Paduka masih belum menjadi kaisar. Oleh karena itu, kami harus
bertindak, dan tidak mungkin kami diam saja membiarkan Kaisar terus melakukan
kelaliman sambil menanti Paduka menggantikannya.”
“Hemm,
Bu-taihiap, langsung katakan saja. Apa yang hendak kalian lakukan kepadaku?
Membunuhku? Aku tidak takut mati. Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku
untuk memberontak terhadap Ayah dan pemerintahku sendiri.”
Bu Seng Kin
tertawa. “Kami pun tidak begitu bodoh, Pangeran. Mana mungkin kami mengharapkan
Paduka, seorang Pangeran Mancu, memberontak terhadap Kerajaan Mancu sendiri?
Tidak, kami pun cukup menghargai sikap Paduka yang baik dan kami percaya bahwa
Paduka akan menjadi kalsar yang paling bijaksana di antara semua Kaisar Mancu
yang pernah ada.”
“Lalu apa
kehendak kalian sekarang?”
“Kami tidak
akan mengganggu Paduka, hanya untuk sementara ini terpaksa Paduka kami tahan
dulu sebagai sandera. Dengan Paduka sebagai sandera, kami hendak mengajukan
tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar, dan sebelum tuntutan kami dipenuhi, Paduka
tidak akan kami bebaskan.”
Pangeran itu
tetap saja bersikap tenang. “Apakah adanya tuntutan-tuntutan kalian, kalau
boleh aku tahu?”
“Tuntutan
pertama, agar biara Siauw-lim-si yang telah dibakar itu dibangun kembali. Ke
dua, agar semua pendekar Siauw-lim-pai dan para pendekar lain, patriot-patriot
bangsa, tidak dikejar-kejar dan dibebaskan dari tuduhan memberontak. Ke tiga,
agar bangsa Han diperlakukan sama rata dengan orang-orang Mancu dan ke empat,
agar para pendekar diberi kebebasan untuk membawa senjata guna bekal dan
perlindungan diri di waktu mengadakan perjalanan jauh.”
Pangeran
Kian Liong mengangguk-angguk. “Tuntutan yang cukup patut, hanya yang nomor dua
itu harus ada pelaksanaan timbal-balik. Jika para patriot tak ingin dikejar dan
dianggap memberontak tentu saja mereka jangan melakukan gerakan memberontak.
Aku akan ikut membujuk Kaisar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan kalian itu.”
Semua
patriot yang berkumpul di situ merasa lega dan girang. Kalau tuntutan-tuntutan
mereka dipenuhi, tentu saja tidak ada alasan bagi mereka untuk memberontak.
Pemberontakan bukanlah soal yang mudah. Untuk memberontak terhadap kerajaan
yang demikian kuatnya, harus mempunyai sedikitnya ratusan ribu orang pasukan
dan perlengkapan yang besar. Kalau hanya sekelompok pendekar saja, mana mungkin
dapat melakukan pemberontakan?
Demikianlah,
mulai hari itu, Sang Pangeran diperlakukan sebagai seorang agung walau pun dia
tidak mempunyai kebebasan dan menjadi tawanan. Siang malam dikawal dan dijaga.
Bu-taihiap lalu mengirim utusan dan surat kepada Kaisar untuk menyampaikan
tuntutannya. Tentu saja tempat di mana Pangeran ditahan itu sangat
dirahasiakan.
Pemuda gagah
perkasa dan gadis berpakaian pria yang duduk di dekat Bu-taihiap ketika
Pangeran Mahkota dihadapkan itu adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In! Bagai manakah
kedua orang dari Lembah Suling Emas yang kini berubah nama menjadi Lembah Naga
Siluman itu dapat tiba di tempat itu dan bergabung dengan para patriot? Untuk
mengetahui hal ini, mari kita ikuti perjalanan pemuda Sim Hong Bu, pewaris dari
ilmu mukjijat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Pemuda inilah satu-satunya
orang yang mewarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hebat, bahkan pedang
pusaka itu pun kini berada di tangannya, selalu disembunyikan di balik bajunya
yang panjang.
Seperti
telah kita ketahui, Sim Hong Bu secara kebetulan bertemu dengan Ci Sian ketika
dia muncul membantu dara itu menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai itu.
Kemudian, karena diam-diam Kam Hong pergi, maka Ci Sian melakukan perjalanan
bersama Sim Hong Bu.
Akan tetapi,
sebentar saja terjadi percekcokan ketika Ci Sian mendengar bahwa Sim Hong Bu
yang mewakili Lembah Naga Siluman dan keluarga Cu, kalau bertemu dengan Kam
Hong hendak menantang Kam Hong mengadu ilmu, yaitu mengadu Ilmu Pedang
Kim-siauw Kiam-sut melawan ilmunya, Koai-liong Kiam-sut, Mendengar ini, Ci Sian
marah-marah dan menantang Hong Bu, bahkan lalu menyerangnya sehingga terjadi
pertandingan seru di mana Hong Bu mengalah.
Ci Sian
meninggalkannya dan pemuda ini berduka sekali. Dia telah jatuh cinta kepada Ci
Sian semenjak perjumpaannya dahulu, beberapa tahun yang lalu ketika Ci Sian
masih seorang dara kecil di pegunungan yang tertutup salju. Semenjak itu dia
tidak pernah dapat melupakan Ci Sian, dan pertemuan terakhir ini menimbulkan
kekaguman hebat melihat betapa dara itu telah menjadi seorang pendekar wanita
yang amat lihai. Kekaguman yang mempertebal cintanya dan yang membuatnya tanpa
ragu-ragu lagi menyatakan cintanya kepada dara itu. Akan tetapi, dara itu
agaknya membencinya! Karena dia adalah pewaris Koai-liong Po-kiam dan dia
dianggap musuh besar dari Kam Hong, suheng dara itu, Hong Bu merasa sedih
sekali.
Perasaan
duka dalam hati seorang pemuda yang merasa ditolak cintanya memang amat
menyiksa. Segala sesuatu tampak hampa dan hidup rasanya menjadi hambar.
Kegembiraan lenyap dan yang ada hanya perasaan iba duka yang semakin besar.
Dalam
keadaan seperti ini, Hong Bu melanjutkan perjalanannya. Dia merasa seperti
sebuah boneka hidup yang hidupnya hanya untuk melaksanakan tugas-tugas belaka.
Tugasnya adalah pertama-tama, menyelamatkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam
agar jangan sampai terampas oleh utusan Kaisar yang mencari dan mengejarnya
sebagai buronan. Ke dua, dia harus mencari Kam Hong untuk mempertahankan nama
keluarga Cu dan untuk menyatakan bahwa Ilmu Koai-liong Kiam-sut tidak kalah
oleh Ilmu Kim-siauw Kiam-sut. Dan juga, dia harus menebus kekalahan para
gurunya itu dari tangan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
Pada suatu
hari yang amat panas, lewat tengah hari, Hong Bu duduk beristirahat di bawah
sebatang pohon yang rindang. Keteduhan di bawah sebatang pohon terasa nikmat
sekali setelah dia tadi terpanggang di dalam terik matahari, membuatnya
mengantuk. Akan tetapi dia tidak tidur, melainkan melamun. Terbayanglah di
pelupuk matanya tentang perubahan dirinya dan keadaannya. Dahulu, ketika dia
masih menjadi seorang pemburu biasa, tanpa ilmu yang tinggi, hanya seorang
pemburu kasar biasa, kehidupannya selalu penuh dengan kegembiraan. Menyusuri
jejak binatang saja sudah mendatangkan kegembiraan tersendiri. Dalam keadaan
berburu sudah mendatangkan ketegangan dan kegembiraan yang penuh harapan.
Apalagi kalau ternyata dia berhasil merobohkan binatang buruannya, girangnya
bukan main. Dilanjutkan dengan penjualan hasil buruan, juga mendatangkan
kegembiraan tertentu. Dan sekarang?
Sekarang
jauh berbeda dari pada dahulu. Dia kini bukan seorang pemburu kasar biasa lagi.
Dia seorang ahli waris ilmu silat tinggi yang tiada duanya di dunia. Dia telah
menjadi seorang berilmu, seorang pendekar! Katakanlah dia telah maju! Akan
tetapi bagaimana jadinya? Lenyaplah kegembiraan hidup seperti yang dirasakannya
ketika dia masih menjadi seorang pemburu kasar dan bodoh.
Kini dia
menjadi seorang yang mempunyai banyak musuh! Lenyap semua kebahagiaan,
lenyaplah semua ketenteraman. Dia dikejar-kejar dan dibebani tugas berat. Dan
lebih dari itu malah, dia berjumpa dengan Ci Sian hanya untuk patah hati! Sedih
hatinya, dan orang yang berduka biasanya memang selalu mudah mengantuk. Dalam
kedukaan, orang membuang dan menghamburkan banyak sekali kekuatan batin, maka
mudah membuatnya mengantuk. Tanpa disadarinya, sambil bersandar batang pohon,
Hong Bu pun tertidur.
Kebanyakan
dari kita saling berlomba untuk mengejar yang kita namakan KEMAJUAN. Semenjak
masih kecil sekali, sejak duduk di kelas nol, kita didorong dan dibentuk oleh
orang-orang tua kita dan oleh guru-guru kita untuk mencari kemajuan.
Angka-angka di buku laporan sekolah menunjukkan apakah kita maju ataukah tidak,
dan kemajuan selalu dianggap sebagai sesuatu yang sangat baik, menjadi tujuan
kita sejak kecil sehingga setelah kita dewasa, tak mungkin lagi kita terlepas
dari kehausan akan apa yang kita namakan kemajuan itu.
Apakah yang
sesungguhnya yang kita namakan kemajuan? Dalam buku laporan sekolah,
angka-angka kita menunjukkan bahwa kemajuan adalah apabila angka-angka kita
lebih baik dari pada yang sudah. Jadi kemajuan tampak setelah ada perbandingan.
Sekarang kelas satu, lain tahun kelas dua, itu namanya maju. Sekarang
berpenghasilan sepuluh ribu rupiah sebulan, lain waktu dua puluh ribu rupiah,
itu namanya kemajuan! Si A lebih maju dari pada si B dan si C lebih maju lagi.
Semua orang berlari, berlomba untuk mencapai apa yang kita namakan kemajuan.
Jadi kemajuan adalah suatu keadaan yang kita anggap lebih baik dari pada
keadaan lain yang sudah ada. Bukankah demikian? Lebih dari itu. Kemajuan kita
anggap sebagai sesuatu yang jauh lebih baik, lebih menyenangkan, lebih enak,
pendeknya lebih mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Oleh karena itulah
maka kita berlomba untuk mengejar kemajuan.
Akan tetapi,
benarkah demikian keadaannya? Benarkah kemajuan akan mendatangkan kesenangan
dan kepuasan? Memang, tujuan yang tercapai mendatangkan kepuasan dan
kesenangan, akan tetapi hanya sejenak saja. Penyakit yang sudah mendarah daging
pada diri kita, yaitu mencari kemajuan, akan timbul pada saat kita telah
mencapai sesuatu yang kita kejar-kejar itu, yaitu mencari kemajuan lain yang
lebih menyenangkan dari pada apa yang kita capai. Diberi sejengkal ingin
sehasta, ingin sedepa, ingin yang lebih panjang lagi. Dan kita terseret ke
dalam saluran keinginan untuk maju ini sampai kita masuk lubang kubur.
Ini pun
tidak menjadi soal kalau saja kita tidak melihat bahwa dalam pelaksanaan
pengejaran suatu cita-cita, pengejaran ambisi, pengejaran sesuatu atau suatu
keadaan yang kita inginkan, menimbulkan tindakan-tindakan yang kadang-kadang
merupakan penyelewengan. Untuk dapat maju, kadang-kadang kita tidak segan untuk
mendorong orang lain, untuk melangkahi orang lain, mendahului orang lain.
Bahkan tidak jarang, untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, apa yang
menjadi tujuan kita, maka kita mempergunakan segala daya upaya, tidak peduli
lagi apakah daya upaya itu benar ataukah tidak.
Maka,
dapatlah kita lihat keadaan di sekeliling kita. Mengejar ‘kemajuan dalam harta’
menimbulkan korupsi, penyelundupan, perdagangan gelap, perdagangan morphin dan
sejenisnya, pencopetan dan banyak lagi pekerjaan kotor lain. Pengejaran
‘kemajuan dalam kedudukan’ menimbulkan perebutan kekuasaan yang menyeret orang
banyak ke dalam permusuhan, jegal-menjegal, bahkan dapat memuncak sampai pada
berbunuh-bunuhan.
Mengapa kita
harus mengejar kemajuan? Sampai di manakah batas kemajuan itu? Kalau kita
mempelajari sesuatu, kalau kita mengerjakan sesuatu, mengapa harus ada dorongan
untuk memperoleh kemajuan? Apakah untuk memperoleh hasil baik dalam sesuatu
yang kita kerjakan itu harus didasari hasrat untuk maju? Ke manakah minat dan
rasa cinta kita kepada apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan? Dengan
minat dan rasa cinta, maka pikiran untuk memperoleh kemajuan tidak dipedulikan
lagi!
Si A dan si
B berdagang kue yang mereka buat sendiri. Usaha mereka serupa, dengan modal
yang sama. Si A membuat kue dengan penuh minat dan penuh rasa cinta kepada
pekerjaannya. Si B membuat kue dengan penuh keinginan untuk mendapat ‘kemajuan’
yang dalam hal ini tentu saja agar banyak laku dan banyak untung, terutama
sekali banyak untung dan lekas memperoleh hasil besar. Siapakah di antara
mereka yang akan menghasilkan kue yang baik?
Si A tentu
saja. Minatnya dan rasa cintanya terhadap pekerjaannya akan membuat dia
melakukan pekerjaannya, yaitu membuat kue, dengan tekun, sebaik mungkin,
selezat mungkin atau dalam istilah dagangannya, menjaga mutu yang utama,
sedangkan soal keuntungan tidak membuat dia buta. Sebaliknya si B yang ingin
lekas mendapatkan hasil banyak, mungkin saja mengurangi gulanya, mengurangi
mutu bahannya, agar kalkulasi lebih rendah, agar untung lebih banyak, dan tentu
saja dia akan membuat secepat dan sebanyak mungkin. Nah, jelas nampak perbedaan
antara perbuatannya yang didorong oleh keinginan maju dan pekerjaan atau
perbuatan yang didorong oleh minat dan cinta terhadap apa yang dilakukannya.
Mengapa kita
tidak menanamkan cinta ini kepada anak-anak, agar mereka itu mencintai apa pun
yang mereka lakukan atau kerjakan? Mengapa selalu mengiming-imingi mereka
dengan pujian, kemajuan, lebih pintar dari pada anak lain, lebih menang dari
pada anak lain? Mengapa menanamkan benih persaingan dan ingin selalu paling
tinggi dalam batin mereka yang masih bersih dan murni itu?
Hong Bu yang
tertidur pulas di bawah pohon menjadi terkejut, seolah-olah ada yang
menggugahnya. Dia terkejut oleh kenyataan bahwa dia tertidur tanpa disadarinya,
itu suatu hal yang amat tidak baik bagi seorang ahli silat, apalagi kalau di
mana-mana terdapat musuh dan bahaya. Dia pun meloncat dan memandang ke kanan
kiri. Tiba-tiba telinganya mendengar suara beradunya senjata. Ada orang-orang
sedang berkelahi, pikirnya. Cepat dia pun menyambar bungkusan pakaiannya dan
larilah dia ke arah suara itu, suara orang-orang berkelahi, di dalam hutan.
Ketika dia
tiba di tempat itu, dia semakin terkejut mengenal seorang pemuda yang amat
tampan sedang dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki
tinggi besar yang daun telinga sebelah kirinya buntung. Tentu saja dia mengenal
pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Cu Pek In! Dia terheran mengapa Cu Pek
In dapat berada di tempat itu, padahal jaraknya dari lembah di mana dara itu
tinggal terpisah ribuan lie jauhnya.
Nampak Cu
Pek In menggunakan sebatang pedang untuk melawan. Semenjak lembah itu
meninggalkan nama Lembah Suling Emas dan berganti nama menjadi Lembah Naga
Siluman, Cu Pek In juga tidak lagi mau mempergunakan suling emas untuk senjata.
Ia sudah mengganti suling emasnya dengan sebatang pedang yang baik karena
memang di lembah itu banyak terdapat senjata yang baik, dan ia tidak kaku
memainkan pedang karena selain semenjak kecil Cu Pek In menerima gemblengan
ayahnya sendiri dengan berbagai macam ilmu silat dengan senjata apa pun, juga
sesungguhnya gerakan suling itu merupakan gerakan pedang pula.
Akan tetapi,
belasan laki-laki yang mengeroyok Pek In itu adalah orang-orang kasar yang
semua memiliki kepandaian lumayan dan tenaga besar. Terutama sekali pemimpin
mereka yang buntung daun telinga kirinya itu, sungguh merupakan lawan yang
tangguh. Dara yang berpakaian pria itu mulai terdesak dan terkurung rapat dan
karena Si Telinga Buntung itu memainkan sepasang goloknya dengan hebat, maka
Pek In tidak diberi kesempatan lagi untuk merobohkan anak buahnya, tetapi
terpaksa memutar pedang hanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan
senjata para pengeroyoknya itu.
Melihat
sumoi-nya terdesak dan terancam bahaya, apalagi melihat Si Telinga Buntung itu
lihai sekali, Hong Bu menjadi marah. Cepat dia mencabut Koai-liong-kiam yang tersembunyi
di balik jubahnya dan sekali dia meloncat dan menggerakkan senjata pusakanya,
nampak sinar biru yang menyilaukan mata, dan biar pun kepala perampok telinga
buntung itu berusaha memapakinya dengan sepasang goloknya, seketika goloknya
itu terbabat putus dan sinar biru yang menyambar itu menembus lehernya.
Sinar itu
terus menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja, robohnya kepala rampok
yang lehernya tertembus sinar pedang itu disusul oleh enam orang anak buahnya.
Melihat ini, sisa para perampok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta
ampun. Akan tetapi Pek In mengamuk dan merobohkan mereka semua. Hong Bu cepat
mencegahnya, akan tetapi dalam amukannya, dara itu telah membunuh lima orang,
dan hanya ada empat orang lagi saja yang sempat diselamatkan Hong Bu dan mereka
hanya mengalami luka-luka oleh pedang Pek In!
Setelah
semua perampok roboh, barulah Pek In membalik dan menghadapi Hong Bu. Mereka
berdiri saling berpandangan, dan kemudian terdengar Pek In terisak menangis.
“Suheng, kau.... kau kejam sekali.... uhu-hu-huuuuh....“
Hong Bu
memandang heran. Baru saja dia hendak menegur dan mengatakan betapa kejamnya
sumoi-nya hendak membunuh lawan yang sudah mengaku kalah dan minta ampun, malah
didahului oleh dara itu yang menangis dan mengatakannya kejam sekali!
“Sumoi, apa
maksudmu mengatakan aku kejam?”
Mendengar
pertanyaan ini, Pek In menangis semakin terisak-isak. Hong Bu yang melihat
betapa empat orang anggota perampok yang belum tewas, hanya terluka itu,
mengerang kesakitan akan tetapi juga dapat mendengar percakapan mereka,
kemudian menggandeng tangan Pek In dan dara itu ditariknya pergi dari situ.
“Mari kita
bicara di tempat lain, Sumoi....,” katanya.
Pek In masih
menangis dan membiarkan dirinya digandeng dan dibawa ke tempat lain, agak jauh
dari tempat para perampok menggeletak itu.
“Nah,
katakanlah, mengapa aku kejam?”
“Suheng....
kau.... pergi begitu saja meninggalkan aku.... hu-huuuuh, aku telah
mencari-carimu setengah mati, berbulan-bulan lamanya.... sampai aku hampir
putus harapan.... hu-hu-hu.... kenapa engkau begitu kejam meninggalkan
aku....?”
Melihat dara
yang biasanya amat tabah dan belum pernah dilihatnya menangis itu kini
sesenggukan, Hong Bu merasa kasihan juga. Dara ini sudah ditinggal ayahnya yang
mengasingkan diri sebagai pertapa, dan dia tahu bahwa dara ini amat dekat
dengan dia, maka setelah dia pergi, memang seolah-olah Pek In hidup sendirian
saja di lembah yang sunyi itu. Karena merasa kasihan, maka dia lalu merangkul
gadis itu dan mengelus rambutnya.
Merasa
betapa pemuda itu merangkul dan mengelus-elus rambutnya, Pek In menangis
semakin keras dan dia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada
pemuda itu.
“Suheng....
aku cinta padamu, Suheng.... aku tidak mau terpisah darimu lagi.... lebih baik
aku mati saja dari pada harus berjauhan darimu....“
Bukan main
kagetnya hati Hong Bu mendengar ini. Memang dia tahu bahwa gadis ini
mencintanya, akan tetapi kalau gadis ini akan terus bersamanya, tidak mungkin
pula, sebab dia mencinta Ci Sian, bukan gadis ini. Akan tetapi dengan halus dia
melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya
perlahan dan sambil memegang kedua pundak itu dengan lengan diluruskan, dia
memandang wajah yang manis dan basah air mata itu. Gadis ini masih terisak,
sesenggukan.
“Sumoi,
dengarlah baik-baik. Bukan aku tidak suka kalau engkau ikut denganku, akan
tetapi engkau tentu tahu bahwa aku mempunyai tugas yang luar biasa beratnya dan
berbahayanya. Pertama, aku menjadi orang buruan dan dikejar-kejar oleh utusan
Kaisar yang amat sakti. Engkau sendiri tahu betapa ayahmu dan Susiok Cu Seng Bu
yang demikian saktinya, tidak mampu menandingi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Dan
aku dicari oleh pendekar itu dan isterinya dan puteranya, jenderal muda yang
juga amat lihai. Ke dua, aku harus menebus kekalahan para guru dari Naga Sakti
Gurun Pasir, tugas yang amat berat dan berbahaya. Ke tiga, aku harus menebus
kekalahan Suhu dari Suling Emas Kam Hong. Nah, bagaimana engkau dapat ikut
denganku? Membela diri sendiri saja sudah amat berat bagiku, apalagi harus
melindungi engkau?”
“Aku tidak
akan mengganggumu, Suheng. Engkau tidak perlu melindungi aku, karena aku dapat
membela diri sendiri. Kalau perlu, jangan lagi kau cari mereka, pendeknya,
terserah apa saja yang hendak kau lakukan, tapi aku tidak mau kau tinggal lagi,
tidak mau aku berpisah darimu.”
“Tapi,
Sumoi, Suhu akan marah kepadaku. Engkau harus kembali ke lembah, Sumoi. Aku
berjanji, kalau sudah selesai semua urusan dan tugasku, aku pasti akan kembali
ke sana....”
“Tidak, aku
tidak mau kembali ke tempat yang sunyi itu. Aku bisa mati kesepian di sana,
tanpa engkau. Aku ingin mati hidup bersamamu, Suheng.”
“Ahh....!”
Hong Bu menjadi bingung sekali.
Dia tahu
bahwa Pek In adalah seorang gadis yang keras hati dan yang sejak kecil terlalu
dimanja oleh ayahnya sehingga apa pun yang diinginkannya, harus terlaksana!
Kalau dia menolak, tentu Pek In akan marah dan sukar dibayangkan apa yang akan
dilakukan oleh gadis yang keras hati ini. Dia lalu berjalan pergi dari situ
dengan muka tunduk, maklum bahwa gadis itu mengikutinya dari belakang.
Sampai lama
mereka berjalan tanpa berkata-kata. Dan akhirnya Pek In mempercepat langkahnya
berjalan di samping suheng-nya, lalu menyentuh lengan suheng-nya itu. “Suheng,
apakah engkau marah kepadaku?” tanyanya sambil memandang wajah yang tampan itu.
“Hemm....?
Tidak marah, aku hanya bingung, Sumoi.”
“Suheng, kau
maafkanlah diriku kalau aku menyusahkan dan membingungkan hatimu. Akan tetapi
sungguh mati, aku tidak dapat berpisah darimu, Suheng. Aku.... aku cinta padamu
dan lebih baik aku mati saja dari pada harus kau tinggalkan....”
Hong Bu
menarik napas panjang. Sejenak ia menatap wajah itu. Wajah yang manis. Seorang
gadis yang baik dan gagah perkasa keturunan pendekar. Alangkah mudahnya baginya
untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini, kalau saja dia tidak lebih
dulu tergila-gila kepada Ci Sian. Bagi seorang pemburu sederhana seperti dia,
Pek In merupakan dara yang sudah terlampau baik. Akan tetapi, apa hendak
dikata, dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Ci Sian, dan tidak mungkin
agaknya untuk melupakan Ci Sian dan menengok kepada gadis lain, walau pun dia
masih merasa perih hatinya melihat Ci Sian tidak membalas cintanya, bahkan
memusuhinya!
“Ah, betapa
hidup ini penuh derita,” pikirnya, “Dara yang dicintanya justru memusuhinya,
dan dara yang mencintanya tak mungkin dibalasnya.”
Demikianlah,
dengan terpaksa sekali Hong Bu melakukan perjalanan bersama Pek In. Dia masih
bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian dia teringat bahwa
mereka berada dekat dengan kota Cin-an di mana menurut berita yang didengarnya
terdapat sarang pendekar patriot. Memang sejak lama Hong Bu telah merasa setia
kawan dengan para pendekar patriot, terutama sekali setelah terjadi pembakaran
biara Siauw-lim-si.
Memang
tadinya dia sudah memiliki keinginan untuk singgah di Cin-an dan mengunjungi
pusat perkumpulannya para pendekar patriot itu. Kini, setelah Pek In ikut
bersamanya, timbul pikirannya bahwa sebaiknya jika dia mengajak gadis itu ke
pusat para pendekar. Siapa tahu Pek In yang berwatak pendekar itu akan tertarik
hatinya dan kalau saja dia bisa menitipkan Pek In untuk sementara di tempat
itu, bersama dengan para pendekar patriot, maka selain dia sendiri tidak
dibebani berat untuk melindunginya, juga mungkin gadis itu mau ditinggalkannya.
Orang yang seperti Pek In harus diberi kesibukan yang mengasyikkan dan
menyenangkan hatinya.
Demikianlah,
Hong Bu lalu mengajak sumoi-nya melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an.
Akan tetapi karena mereka memasuki kota Cin-an setelah lewat senja, maka Hong
Bu merasa tidak enak untuk langsung mencari dan mengunjungi para pendekar. Maka
dia lalu mencari penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan untuk
melewatkan malam itu.
“Suheng,
engkau sengaja menuju ke kota ini, hendak mencari siapakah?” Pek In bertanya
setelah mereka makan malam dan duduk di ruangan dalam, tidak jauh dari kamar
mereka.
Melihat di
kanan kiri tidak ada orang, Hong Bu lalu menjawab sambil berbisik, “Sumoi,
selama engkau meninggalkan lembah, di dalam perantauanmu, apakah engkau pernah
mendengar mengenai para pendekar patriot yang mulai bergerak karena penekanan
Kaisar?”
Pek In
mengangguk. “Aku pernah mendengar tentang dibakarnya biara Siauw-lim-si,
Suheng. Mereka itukah yang kau maksudkan?”
Hong Bu
mengangguk. “Mereka dan banyak orang lagi yang merasa tidak suka melihat
kelaliman Kaisar dan tidak suka melihat penjajahan bangsa Mancu atas bangsa
kita. Apakah engkau tidak tertarik?”
Pek In
mengangguk. “Memang mereka itu hebat dan gagah sekali, Suheng. Akan tetapi apa
hubungannya dengan kita?”
“Memang
tidak ada hubungannya secara langsung, Sumoi. Akan tetapi apakah kita juga
harus diam saja menyaksikan kelaliman Kaisar itu? Bayangkan saja. Para pendeta
di Siauw-lim-si, para pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu,
yang selalu membela kaum lemah tertindas dan menentang mereka yang jahat
sewenang-wenang, dibasmi dan biaranya dibakar. Entah berapa banyaknya pendekar
gagah perkasa yang tidak berdosa dibunuh, dibantai oleh pasukan besar. Bukankah
kita ini juga merasa sebagai pendekar, Sumoi?”
“Lalu apa
yang hendak kau lakukan, Suheng?”
“Aku ingin
menemui mereka, ingin berkenalan dengan orang-orang gagah itu.”
“Baik
sekali! Di mana? Di sini?”
Hong Bu
mengangguk. “Ya, aku mendengar bahwa mereka berkumpul di Cin-an ini, dan kini
aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Kabarnya, aku mendengar dari seorang
pendekar yang hidup sebagai nelayan sungai yang kulalui, mereka itu berkumpul
di sebuah rumah kuno yang disebut Gedung Mawar Kuning. Kiraku tidak sukar
mencari rumah dengan nama seperti itu.”
“Baik, aku
ikut, Suheng. Aku pun senang sekali kalau dapat berkenalan dengan mereka,
dan....“
Tiba-tiba
Hong Bu mengeluarkan bunyi, “Ssttt....!” dan memberi tanda agar Sumoi-nya tidak
bicara lagi.
Seorang
pelayan rumah penginapan membawa lentera mengantar masuk tiga orang tamu baru
yang agaknya baru tiba di malam itu. Karena mereka diberi kamar agak ke
belakang, maka mereka itu melewati kamar-kamar Hong Bu dan Pek In ketika
diantar oleh pelayan ke kamar mereka di belakang. Diam-diam Hong Bu
memperhatikan mereka, juga Pek In dan wajah Pek In berubah pucat sekali, lalu
gadis ini menundukkan mukanya, atau lebih tepat menyembunyikan muka dan memutar
tubuh membelakangi tamu-tamu itu.
Hong Bu
memandang dengan penuh perhatian dan jantungnya berdebar tegang. Dia tidak
mengenal mereka itu, akan tetapi mereka segera dapat menduga siapa adanya pria
setengah tua gagah perkasa yang buntung sebelah lengannya itu! Ciri khas dari
Pendekar Sakti Gurun Pasir!
Kalau saja
orang ini tidak datang bersama seorang wanita setengah tua yang cantik jelita
dan gagah dan seorang pemuda yang ganteng sekali, juga amat gagah, tentu dia
dapat menduga bahwa mungkin saja orang itu bukan Si Pendekar Buntung Lengan.
Akan tetapi, melihat dua orang teman Si Buntung itu, hatinya tidak ragu-ragu
lagi. Siapa lagi kalau bukan Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya yang
lihai itu? Akan tetapi tiga orang itu agaknya tidak mempedulikan dia, juga tidak
melihat kepada Pek In yang sudah membuang muka.
Setelah
mereka itu lewat dan memasuki tikungan, barulah Pek In memegang lengan Hong Bu
dan berbisik, “Itu mereka....”
Hong Bu
mengangguk dan memberi isyarat kepada sumoi-nya untuk memasuki kamar sumoi-nya.
Setibanya di dalam kamar, Hong Bu berkata, “Aku mengenal mereka. Tentu inilah
Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya, bukan?”
“Benar!
Apakah mereka melihatku, Suheng? Mereka tentu mengenalku.”
“Agaknya
mereka tidak menoleh kepadamu, akan tetapi siapa tahu? Mereka adalah
orang-orang sakti, dan kedatangannya di rumah penginapan ini sungguh suatu hal
yang terlalu kebetulan. Mereka mencari-cariku, kenapa kebetulan mereka datang
ke rumah penginapan di mana aku berada? Sumoi, kita harus pergi sekarang juga!”
“Tidak, aku
tidak takut!” Pek In berseru dan mengepal tinju. “Aku tidak sudi melarikan
diri!”
“Bukan
melarikan diri karena takut, Sumoi, melainkan....”
“Apa....?”
“Sudahlah,”
Hong Bu tidak mau mengatakan bahwa dia terpaksa melarikan diri karena dia berada
bersama Pek In.
Betapa pun
lihainya Pek In, gadis ini sama sekali bukan tandingan para pendekar sakti itu
dan kalau harus melindungi gadis itu, tentu dia tidak akan dapat bergerak
leluasa. “Sumoi, bukankah engkau ingin ikut denganku?”
“Benar....,”
dan wajah yang manis itu kembali nampak khawatir. “Jangan.... tinggalkan aku,
Suheng!”
“Nah, aku
mau pergi sekarang. Engkau ikut ataukah tidak?” Setelah berkata demikian, Hong
Bu pergi meninggalkan gadis itu, memasuki kamarnya dan mengambil buntalan
pakaiannya.
Pek In tidak
menjawab, akan tetapi tahu-tahu ia telah mengikuti pemuda itu dan sudah membawa
pula buntalan pakaiannya. Wajahnya cemberut, akan tetapi masih manis.
Setelah
mereka berdua meninggalkan rumah penginapan itu melalui jalan jendela dan
melakukan perjalanan cepat, Pek In mengomel, “Sungguh memalukan sekali kalau
kita harus melarikan diri dari mereka.”
“Sumoi,
seorang pendekar bukan saja harus berani dan gagah perkasa, akan tetapi juga
harus cerdik. Aku bukan takut kepada mereka, akan tetapi kita harus cerdik.
Mereka bertiga itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi sekali.
Sebaiknya kalau kita lebih dulu menemui para pendekar patriot yang tentu tidak
bersahabat dengan mereka, mengingat mereka itu adalah kaki tangan Kaisar.”
“Huh, jadi
engkau hendak mencari teman?”
“Bukan,
hanya hendak mengimbangi mereka kalau-kalau mereka maju mengeroyok.”
Pek In
memandang dengan tajam. “Aih, bagaimana engkau dapat menduga serendah itu
kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Dia dan anak isterinya mendatangi
lembah bertiga saja, sama sekali tidak takut akan dikeroyok, karena mereka
percaya bahwa seorang pendekar tidak nanti akan berlaku curang! Dan aku pun
percaya bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bukanlah orang yang curang!”
Hong Bu
hanya tersenyum. Tetap saja dia tidak mau mengatakan bahwa tindakannya itu
bukan sekali-kali karena takut, melainkan karena dia harus menyelamatkan
pedang, jangan sampai terampas utusan Kaisar. Pula, dia pun harus melindungi
Pek In. Bagai mana mungkin dia sekaligus melindungi pedang dan Pek In? Kecuali
kalau Pek In sudah berada di tempat aman, misalnya di antara para pendekar
patriot itu barulah dia akan merasa lega dan mungkin saja dia malah akan
menantang siapa yang berhak memiliki pedang pusaka, juga menebus kekalahan
gurunya.
Tidak sukar
bagi mereka untuk mencari Gedung Mawar Kuning itu. Setiap orang tahu di mana
adanya gedung tua itu yang kini menjadi sebuah perkumpulan silat yang bernama
perguruan silat Kim-jiauw-eng (Garuda Kuku Emas). Memang gedung ini pernah
menjadi pusat perguruan silat yang masih merupakan cabang dari Siauw-lim-pai
itu. Gurunya adalah seorang she Ciong yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai
dan memang Ilmu Silat Kim-jiauw-eng yang diajarkannya itu masih bersumber pada
ilmu silat Siauw-lim-pai. Karena itulah, maka ketika ada pergerakan para
pendekar patriot, gedung tua yang besar ini dipilih menjadi pusat tempat
pertemuan mereka.
Gedung itu
dikurung pagar tembok yang tingginya hampir tiga meter. Akan tetapi bukan
merupakan penghalang yang sulit bagi Hong Bu dan Pek In. Mereka meloncat ke
atas pagar tembok itu dan melayang ke sebelah dalam. Akan tetapi begitu kedua
kaki mereka turun ke atas tanah, terlihat berkelebatnya bayangan banyak orang
dan tahu-tahu mereka telah dikepung oleh belasan orang yang rata-rata memiliki
ilmu silat yang tinggi! Kiranya gerak-gerik mereka sejak mendekati gedung
sampai ketika mereka berdua melompat ke atas pagar tembok telah diketahui oleh
para penjaga dan hal ini saja menunjukkan betapa kuatnya penjagaan para
pendekar di ternpat itu!
“Kami bukan
musuh!” Hong Bu cepat berkata sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Kami adalah sahabat-sahabat yang ingin bertemu dengan pimpinan para Enghiong
di sini!”
Tentu saja
ucapan itu tidak bisa diterima begitu saja. Dua orang ini masuk secara gelap
bukan melalui pintu sebagai tamu, mana bisa mereka mempercayai keterangan itu?
Pula, keadaan para pendekar patriot di situ merupakan rahasia, tidak ada yang
tahu bahwa tempat itu menjadi sarang mereka. Maka, orang yang datang dan tahu
akan hal itu sungguh merupakan orang yang patut dicurigai.
“Siapa
engkau?” bentak seorang di antara mereka.
“Namaku Sim
Hong Bu, dan ini adalah Cu Pek In....”
“Aihhh,
kiranya benar Pek In....!” Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita dan seorang
wanita berkelebat datang dan berdiri di depan Pek In.
Tempat itu
mendapat penerangan dari obor yang dibawa datang seorang pendekar sehingga
mereka dapat saling memandang. Kini Hong Bu dan Pek In segera mengenal wajah
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Melihat bibinya, Pek In cepat memberi hormat,
diturut pula oleh Hong Bu.
“Dan ini
Hong Bu malah! Ahh, masuklah. Kawan-kawan, mereka ini adalah
keponakan-keponakanku sendiri!”
Hong Bu dan
Pek In merasa terheran-heran melihat bahwa bibi mereka berada di tempat itu,
akan tetapi keheranan mereka lenyap ketika mereka dihadapkan dengan pimpinan
para pendekar itu yang ternyata adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap! Biar pun di
dalam hatinya ada rasa tidak senang, namun Pek In dapat mengerti mengapa
bibinya berada di situ. Kiranya bibinya ini telah menyusul bekas kekasihnya, si
pendekar perayu wanita itu yang sekarang telah menjadi pimpinan para pendekar
patriot!
Bu-taihiap
girang bukan main menerima Hong Bu dan Pek In. Dia sudah mendengar dari
isterinya, yaitu Tang Cun Ciu tentang diri pemuda ini yang katanya merupakan
pewaris pedang Koai-liong Po-kiam berikut Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang
tiada tandingannya di dunia ini! Maka pemuda itu merupakan tenaga yang sangat
boleh diandalkan, dan juga dia sudah mendengar tentang Cu Pek In, puteri
tunggal dari penghuni Lembah Suling Emas yang kini menjadi Lembah Naga Siluman
itu.
“Selamat
datang, Sim Hong Bu! Aku sudah banyak mendengar tentang kelihaianmu dari bibi
gurumu. Dan engkau, Cu Pek In. Ayahmu adalah seorang sahabatku yang amat baik!”
Cu Pek In
dan Sim Hong Bu memberi hormat, biar pun di dalam hatinya Cu Pek In memaki
laki-laki ganteng ini, karena laki-laki inilah yang merayu hati Tang Cun Ciu,
isteri dari toapek-nya sehingga toapek-nya itu meninggal dunia karena duka! Dan
sekarang, dengan tak tahu malu sekali isteri toapek-nya itu malah menyusul
kekasihnya! Biar pun mereka itu sekarang menjadi pimpinan pendekar patriot,
tetap saja baginya mereka memiliki perbuatan-perbuatan yang serba busuk! Itulah
sebabnya mengapa Pangeran Kian Liong yang menjadi tawanan itu melihat adanya
pemuda perkasa dan gadis berpakaian pria yang bukan lain adalah Sim Hong Bu dan
Cu Pek In di antara para pendekar patriot, duduk di dekat Bu-taihiap dan tiga
orang isterinya yang merupakan puncak pimpinan para patriot itu.
Tentu saja
Cu Pek In tidak salah mengenal orang, dan juga dugaan Sim Hong Bu adalah benar
bahwa tiga orang yang memasuki rumah penginapan itu adalah keluarga Kao. Pria
gagah perkasa yang lengannya buntung itu memang adalah Si Naga Sakti Gurun
Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Muda
Kao Cin Liong.
Seperti
telah kita ketahui, Jenderal Muda Kao Cin Liong diperintah oleh Kaisar sendiri
untuk mencari dan merampas kembali sampai berhasil pedang pusaka Koai-liong
Pokiam yang lenyap dari istana. Untuk menghadapi tugas yang amat sukar dan
berat ini, Kao Kok Cu dan isterinya yang kebetulan sedang mengunjungi putera mereka,
segera turun tangan dan membantu putera mereka. Bertiga, keluarga sakti ini
telah mendatangi Lembah Suling Emas atau yang telah berganti nama baru Lembah
Naga Siluman.
Dengan gagah
perkasa tiga orang ini menyerbu lembah itu, mengalahkan keluarga Cu yang sakti
sehingga mengakibatkan dua orang sakti, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, terpaksa
mengundurkan diri. Akan tetapi, kemenangan atas diri kedua orang tokoh keluarga
Cu yang sakti ini, bukan berarti pedang pusaka itu dapat mereka rebut kembali.
Pedang itu menurut keterangan pihak keluarga Cu yang kalah itu, berada di
tangan murid mereka yang merupakan ahli waris pedang dan ilmu itu, adalah Sim
Hong Bu.
Demikianlah,
keluarga Kao yang gagah perkasa itu melanjutkan usaha atau tugas mereka, yaitu
mencari pedang pusaka yang dibawa pergi pemuda yang bernama Sim Hong Bu.
Kemudian, dalam perjalanan mereka, keluarga Kao ini mendengar tentang geger
yang dihebohkan oleh tindakan Kaisar terhadap Siauw-lim-si, yaitu pembakaran
biara atau Kuil Siauw-lim-si dan menewaskan banyak sekali murid-murid
Siauw-lim-pai.
Tentu saja,
seperti para pendekar di dunia kang-ouw, berita ini amat mengejutkan hati
mereka dan menimbulkan perasaan tidak senang dan tidak puas. Semenjak dahulu,
keluarga ini memandang tinggi nama Siauw-lim-pai dan tahu bahwa partai
persilatan ini adalah partai yang bersih dan terhormat, yang mempunyai banyak
pendekar sakti yang gagah perkasa. Dan kini Kaisar telah bertindak dengan
kejam, menggunakan pasukan besar untuk membunuh banyak murid Siauw-lim-pai, berusaha
membasmi partai ini bahkan telah membakar habis biara Siauw-lim-si.
Kao Cin
Liong sendiri marah-marah mendengar berita itu. “Sungguh terlalu!” katanya
ketika mereka mendengar berita itu. “Kalau sikap Sri Baginda Kaisar seperti ini
dan kelaliman ini dilanjutkan, alangkah rendahnya kalau aku menghambakan diri
kepada seorang lalim! Lebih baik aku meletakkan jabatanku dan bersahabat dengan
para pendekar Siauw-lim-pai yang tertimpa mala petaka!”
“Memang amat
menggemaskan! Apalagi kalau diingat bahwa Sri Baginda Kaisar sendiri pernah
menjadi murid Siauw-lim-pai! Perbuatan seorang murid yang sungguh keji dan
murtad!” kata pula ibunya yang memang sejak muda memiliki watak keras akan
tetapi jujur dan adil.
Pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. Dia adalah seorang pendekar yang
sudah matang, tidak mudah dipengaruhi oleh segala macam keadaan, dan tidak lagi
membiarkan diri diseret nafsu perasaan. “Apa pun juga alasannya, perbuatan
Kaisar memang tidak patut, dan juga bukan merupakan perbuatan yang baik dan
menguntungkan pemerintah. Akan tetapi, Cin Liong, kau harus selalu ingat bahwa
kau adalah seorang pendekar. Kau harus selalu dapat menjaga nama dan memenuhi
tugasmu dengan baik. Tugasmu saat ini adalah mencari dan merebut kembali pedang
pusaka kerajaan, dan bukan watak seorang pendekar untuk meninggalkan tugas yang
belum dilaksanakan sampai berhasil.”
Cin Liong
mengangguk-angguk. “Saya mengerti, Ayah. Saya akan terus mencari Sim Hong Bu
dan apa pun hasilnya, saya harus dapat mencari dia. Setelah bertemu dan bicara
dengan dia tentang pedang itu, baru saya akan kembali dan melapor kepada Sri
Baginda Kaisar tentang pelaksanaan tugas ini. Setelah itu, baru saya
mengundurkan diri meletakkan jabatan. Pangeran Mahkota Kian Liong adalah orang
yang bijaksana sekali. Menurut berita yang kita dengar, beliau malah
membebaskan dan menyelamatkan sisa murid-murid Siauw-lim-pai sebanyak delapan
orang, Pangeran ini tahu mana yang benar dan mana yang salah. Karena itu,
biarlah saya menanti sampai kelak Pangeran Kian Liong yang menjadi kaisar,
barulah saya akan menawarkan kembali tenaga saya untuk mengabdikan diri.”
Ayah dan
ibunya menyatakan persetujuan mereka dan ketiga orang gagah ini pun melanjutkan
perjalanan mereka. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main ketika mendengar
lagi berita angin dari para pendekar di kang-ouw bahwa Sang Pangeran Mahkota
telah lenyap dan sedang dicari oleh orang-orang gagah berbagai golongan. Tentu
saja mereka, terutama sekali Cin Liong yang masih bertugas sebagai seorang
jenderal, apalagi yang menjadi sahabat baik Pangeran Kian Liong, merasa gelisah
bukan main.
“Ahh, biar
pun ini merupakan tugas yang tidak langsung menjadi perintah Kaisar, akan
tetapi mencari dan menyelamatkan Sang Pangeran tidak kalah pentingnya dari pada
mencari dan merebut kembali pedang itu,” kata Cin Liong.
“Memang,
kita harus ikut mencari Sang Pangeran. Jangan sampai beliau dikuasai oleh
orang-orang jahat,” kata ayahnya.
“Sungguh
Pangeran Mahkota merupakan seorang pemuda yang luar biasa,” kata Wan Ceng
setengah mengomel. “Beliau adalah seorang pemuda yang lemah, akan tetapi
mengapa selalu suka melakukan perjalanan merantau sendirian saja tanpa
pengawal? Padahal, sebagai seorang pangeran mahkota tentu saja bahaya selalu
mengancam beliau.”
“Beliau akan
menjadi kaisar yang baik,” suaminya mengangguk-angguk. “Seorang yang semenjak
muda sudah melenyapkan rasa takut dengan rasa kasih sayang terhadap rakyatnya.
Beliau ingin melihat sendiri dan mendengar sendiri keadaan dan kehidupan rakyat
serta keluh-kesah mereka. Hanya seorang kaisar yang memerintah rakyatnya dengan
kasih sayang sajalah, seperti seorang ayah yang benar-benar mencinta
anak-anaknya, maka sebuah negara akan benar-benar menjadi makmur dan kuat.”
Keluarga
yang gagah perkasa ini melanjutkan perjalanannya sambil menyelidiki dan
mendengar-dengarkan dan akhirnya, pada suatu siang ketika melewati sebuah hutan
tidak jauh dari kota Cin-an, mereka melihat belasan orang laki-laki rebah
malang-melintang. Sebagian besar telah tewas, akan tetapi ada beberapa orang
yang masih hidup, walau pun luka-luka mereka amat parah dan mereka ini pun
sukar untuk dapat diselamatkan lagi. Agaknya, baru beberapa jam mereka itu
telah dirobohkan oleh musuh yang amat kuat. Tiga orang muda ini cepat
menghampiri mereka yang masih hidup, memeriksa, namun mereka memperoleh
kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu menolong lagi.
“Siapakah
yang melakukan ini dan mengapa?” Kao Cin Liong bertanya kepada seorang di
antara mereka yang agaknya masih lebih kuat dari pada yang lain. Ayah bundanya
hanya ikut mendengarkan saja, membiarkan putera mereka menangani urusan ini.
Setelah
diberi beberapa teguk minuman arak, meski lemah orang itu dapat juga bicara,
“Kami.... menghadang seorang pemuda yang bersenjata suling emas.... kami hampir
berhasil.... lalu muncul pemuda yang berpedang.... pedang sinar biru....
aahhh....” Dan orang itu pun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
kepalanya sudah terkulai.
Yang
lain-lainnya terlampau parah luka-luka mereka sehingga sama sekali tidak mampu
bicara lagi. Bahkan sebelum tiga orang pendekar itu dapat berbuat sesuatu,
mereka yang terluka parah itu pun tewas pula.
Setelah
memeriksa semua perampok itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah
benar-benar tewas, Cin Liong bersama ayah ibunya lalu menggali lubang besar dan
mengubur semua jenazah itu dengan sederhana. Mereka, keluarga gagah perkasa
yang berjiwa pendekar ini tidak mungkin dapat membiarkan saja jenazah belasan
orang itu tanpa dikubur, walau pun mereka dapat menduga bahwa mereka itu semua
adalah anggota perampok.
“Hemm,
pedang bersinar biru? Dan pemuda bersenjata suling emas?” Cin Liong berkata
ketika mereka melanjutkan perjalanan.
Ayahnya
memandang kepadanya. “Engkau dapat menduga siapa mereka?”
Puteranya
mengangguk, juga ibunya berkata, “Aku pun sudah tahu siapa mereka itu.”
“Bagus,
kalau begitu mari kita cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Daerah ini termasuk
daerah kota Cin-an, ke mana lagi mereka kalau tidak ke kota itu? Dan kabarnya,
di kota Cin-an itu pula berkumpulnya para pendekar patriot,” kata Si Naga Sakti
Gurun Pasir.
Tanpa
menyebut nama, tiga orang pendekar yang cerdas ini sudah dapat menduga bahwa
pemuda bersenjata suling emas itu tentulah Cu Pek In dan pedang bersinar biru
itu, apa lagi kalau bukan Koai-liong Po-kiam?
Demikianlah,
keluarga sakti ini akhirnya dapat mengikuti jejak Cu Pek In dan Sim Hong Bu,
dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Cu Pek In dan Sim Hong Bu
terkejut bukan main ketika melihat tiga orang ini. Dan biar pun Pek In cepat
membuang muka, dan tiga orang sakti itu seolah-olah tidak melihat adanya dua
orang muda itu, namun sesungguhnya Cin Liong dan ayah bundanya sudah melihat
mereka dan mereka yakin kini bahwa dugaan mereka adalah benar.
Biar pun
mereka tidak melihat adanya senjata pedang pusaka yang mereka cari-cari itu
pada diri pemuda yang nampak sederhana itu, mereka dapat menduga bahwa pedang
itu tentu disembunyikan dan hal ini bahkan lebih meyakinkan hati mereka. Kalau
bukan Koai-liong Po-kiam yang dibawa pemuda ini, perlu apa disembunyikan? Dan
kalau pedang itu tentu saja disembunyikan, karena pedang itu adalah pedang
pusaka yang hilang dari istana.
Dan ketika
pada malam hari itu Hong Bu dan Pek In melarikan diri dari losmen, hal ini pun
sama sekali tidak terlewat dari pengamatan keluarga itu. Diam-diam mereka
bertiga cepat membayangi dari jauh. Mereka melihat betapa bayangan dua orang
muda itu melompati pagar tembok sebuah rumah tua dan mereka tidak berani
ceroboh memasuki rumah orang.
“Kau berjagalah
di sini bersama Ibumu, aku akan menyelidiki rumah siapa ini,” kata Kao Kok Cu.
Cin Liong
dan ibunya mengangguk dan bersembunyi sambil mengintai untuk melihat
kalau-kalau dua orang yang mereka bayangi tadi keluar dari situ lagi. Si Naga
Sakti Gurun Pasir tak lama pergi. Dia sudah muncul kembali dan berbisik kepada
puteranya dan isterinya, “Wah, kiranya rumah inilah yang menjadi sarang
patriot! Mereka sedang berkumpul di sini!”
Berita ini
benar-benar amat mengejutkan hati Cin Liong dan ibunya. Baiknya mereka tadi
tidak ceroboh memasuki sarang yang amat berbahaya, yang penuh dengan
orang-orang sakti itu. Kedua orang yang mereka bayangi telah masuk ke situ,
berarti bahwa itu pun tentu mempunyai hubungan yang erat dengan penghuni rumah
itu!
“Bagaimana baiknya
sekarang?” tanya Kao Kok Cu untuk mencoba puteranya. Betapa pun juga yang
mempunyai tugas itu adalah puteranya, dan pendekar ini sudah percaya penuh
kepada kecerdasan dan kewaspadaan puteranya sehingga dia menyerahkan keputusan
kepada puteranya itu.
“Ayah, tidak
baik kalau kita menyerbu sekarang. Mereka adalah pendekar-pendekar, bukan
penjahat-penjahat. Sebaiknya kita besok pagi datang sebagai tamu dan dengan
terus terang akan saya sampaikan kepada pimpinan para patriot agar menyerahkan
Sim Hong Bu kepada saya dengan alasan urusan pribadi. Kita harus menjaga agar
jangan sampai terjadi bentrokan antara kita dengan para patriot.”
Ayahnya
mengangguk lalu berkata, “Memang bijaksana dengan cara demikian. Namun aku
meragukan apakah patriot-patriot itu akan menerimamu dengan sikap bersahabat
karena mereka tahu bahwa engkau adalah seorang perwira tinggi istana.”
“Terserah
kepada mereka. Yang jelas, kedatangan kita bukanlah untuk urusan antara Kaisar
dan mereka, melainkan urusan pedang.”
Mereka lalu
kembali ke rumah penginapan. Mereka merasa yakin bahwa kedua orang muda yang
mereka bayangi tadi tidak tahu bahwa mereka tadi membayangi mereka, dan juga
mereka dapat menduga bahwa tentu Sim Hong Bu berbesar hati setelah berada di
markas para pendekar patriot itu dan tidak akan pergi untuk sementara waktu.
Dengan adanya pengejaran dari keluarga Kao, tentu pemuda itu menganggap bahwa
markas itu merupakan tempat persembunyian yang paling aman. Dan memanglah,
semua pendapat ini tepat sekali.
Akan tetapi,
Jenderal Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak tahu bahwa pada
malam hari itu juga, pangeran mahkota tiba pula di Cin-an dan ditahan di dalam
rumah yang menjadi markas para patriot, itu! Andai kata mereka terus mengamati
di tempat itu, tentu mereka akan melihat hal ini dan mungkin akan terjadi
bentrokan yang sukar dapat dicegah lagi.
Hati Cia Han
Beng merasa bingung dan gelisah sekali. Dia merasa menyesal bahwa dara yang
membuatnya jatuh cinta, ternyata tidak sepaham dengan dia mengenai perjuangan
para patriot. Bahkan dara itu dengan kekerasan telah membawa pergi Sang
Pangeran, dan dia sama sekali tidak ada keberanian hati, atau lebih tepat lagi
tidak tega, untuk menentang dengan kekerasan. Dia merasa betapa tiba-tiba dia
menjadi seorang yang lemah sekali, dan dia tahu bahwa selama Ci Sian melindungi
Sang Pangeran, dia tidak akan tega untuk merebut Pangeran itu.
Dia pun tahu
bahwa Ci Sian hanya bertindak sebagai seorang pendekar, sama sekali tidak
memihak pemerintah dan menentang para patriot, tapi hanya ingin melindungi yang
lemah dari ancaman bahaya seperti selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar.
Hal inilah yang membuatnya bingung dan putus asa. Andai kata Ci Sian itu
seorang penjilat pemerintah penjajah tentu cintanya akan dapat dilawannya
sendiri dan dia tentu akan mau menentang dara itu. Akan tetapi, dara itu adalah
seorang pendekar yang mengagumkan hatinya.
Tak mungkin
aku berhasil sebagai seorang patriot kalau begini, keluhnya dengan hati kesal
sekali setelah dia berpisah dari Ci Sian. Tidak, dia akan mengambil cara lain.
Dia tahu bahwa Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang hebat dan
bijaksana, maka dia pun tidak terlalu menyesal akan sikap Ci Sian. Dia sendiri,
andai kata dia tidak mempunyai jiwa pemberontak terhadap kekuasaan penjajah,
tentu dia pun tidak akan segan untuk mempertaruhkan nyawanya guna membela
seorang pangeran mahkota yang bijaksana seperti Pangeran Kian Liong.
Yang jahat,
yang menjadi biang keladi semua peluapan kemarahan hati para patriot adalah
kelaliman Kaisar! Kaisarlah yang harus dibasmi! Peristiwa pembakaran biara
Siauw-lim-si, perlakuan sewenang-wenang terhadap orang-orang Han, semua adalah
perbuatan Kaisar yang membenci orang Han. Dan kalau dia telah gagal menangkap
Pangeran, masih ada jalan lain baginya yang lebih langsung dan tepat, yaitu
menyerbu ke istana dan mencoba untuk membunuh Kaisar. Dia tahu bahwa perbuatan
ini amat berbahaya, karena istana merupakan tempat yang amat kuat dengan
penjagaan ketat, di mana berkumpul perwira-perwira berkepandaian tinggi dan
pengawal-pengawal yang gemblengan. Akan tetapi, dia mempunyai harapan. Bukankah
ibu kandungnya berada di sana sebagai selir Kaisar?
Demikianlah,
dengan hati yang telah mengambil keputusan tetap, Cia Han Beng pergi ke kota
raja. Biar pun para pengawal dan pembesar yang mengurus dalam istana, para
thaikam (orang kebiri) menyambutnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, namun
mereka itu melapor juga kepada ibu pemuda itu yang menjadi selir Kaisar bahwa
ada seorang pemuda bernama Cia Han Beng dan mengaku sebagai keluarga dekat
mohon menghadap.
Tentu saja
ibu pemuda itu terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan cepat-cepat
memerintah thaikam untuk mempersilakan pemuda itu menghadapnya di dalam taman.
Selir Kaisar ini memilih taman sebagai tempat pertemuannya dengan puteranya
agar mereka dapat bicara dengan leluasa di tempat terbuka sehingga tidak akan
ada yang dapat mencuri dengar percakapan antara mereka.
Dengan
pengawal dua orang pengawal dalam yang juga terdiri dari laki-laki yang sudah
dikebiri, Han Beng dipersilakan memasuki taman. Ketika tiba di pondok indah
dekat kolam ikan, Han Beng melihat seorang wanita cantik dengan pakaian yang
mewah berdiri menantinya dengan kedua mata basah dengan air mata. Melihat
ibunya, Han Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan dia pun cepat maju
berlutut di depan kaki ibu kandungnya sambil menundukkan mukanya. Selir itu
memejamkan mata dan menggunakan sapu tangan menyusuti air matanya, kemudian
memberi isyarat kepada dua orang pengawal kebiri itu untuk meninggalkannya
bersama puteranya.
Setelah dua
orang pengawal itu mengundurkan, wanita itu lalu membungkuk dan merangkul
puteranya, disuruhnya Han Beng berdiri dan sejenak mereka berdua saling
berpandangan dengan hati yang tidak keruan rasanya.
“Han
Beng....!” Akhirnya wanita itu berbisik yang merupakan jerit yang keluar
langsung dari dalam hatinya.
“Ibu....!”
Han Beng menahan agar air matanya tidak jatuh bertitik, sungguh pun dia sudah
merasa betapa hatinya tergetar dan kedua matanya terasa panas.
Kalau ibunya
merasa berduka dan terharu sekali melihat puteranya, sebaliknya pemuda ini
selain terharu, juga merasa panas hatinya melihat ibunya hidup sebagai seorang
selir kaisar yang berpakaian begini indah dan mewah, sedangkan ayahnya telah
terbunuh oleh Kaisar yang kini menjadi suami ibunya!
“Han Beng,
mari kita duduk di bangku itu.... kita bicara di luar saja agar jangan ada
orang lain mendengarkan dengan sembunyi,” Ibunya berbisik dan menggandeng
tangan puteranya, diajaknya puteranya itu duduk di bangku panjang di tengah
taman, jauh dari pondok.
Wanita
setengah tua itu, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak
cantik sekali, apalagi karena dia kini mengenakan pakaian yang demikian indah
dan rambutnya disanggul secara istimewa seperti biasa dandanan para selir
Kaisar. Kini, melihat puteranya, seketika hancur berantakan segala kemuliaan
yang dirasakannya setiap hari dan terbayanglah di pelupuk matanya segala
peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu!
Ia hidup
saling mencinta bersama suaminya yang merupakan seorang pendekar gagah perkasa,
dengan seorang putera mereka, yaitu Han Beng. Kemudian, datanglah mala petaka
itu! Suaminya adalah seorang pendekar yang pernah menjadi sahabat Ai Seng Kiauw
murid Siauw-lim-pai yang suka bersahabat dengan para pendekar itu, yang kini
telah menjadi Kaisar Yung Ceng! Dan ketika mereka mengadakan perjalanan sampai
ke kota raja, suaminya teringat akan sahabat itu dan biar pun telah dicegahnya,
suaminya tetap nekad berkunjung dan menghadap bekas sahabat yang kini menjadi
kaisar itu.
Dan memang,
Kaisar menyambutnya dengan ramah dan manis budi. Tetapi terjadilah mala petaka
ketika Kaisar memandang kepadanya! Memandang kepadanya dengan sinar mata yang
demikian mesra dan penuh nafsu birahi!
Maka
terjadilah kesemuanya itu, peristiwa yang mengubah hidupnya! Suaminya telah
terbunuh, dan ia pun diambil selir oleh Kaisar! Dan ia.... ia tidak melawan....
ia seorang wanita yang lemah melihat kemuliaan membayang di depan mata! Ia pun
menyerahkan diri, bukan dengan terlalu terpaksa, bahkan dengan harapan baru.
Kalau dulunya ia hidup sebagai seorang isteri pendekar yang bertualang, yang
kadang-kadang menderita lapar dan tidur di kuil-kuil tua atau di hutan-hutan,
sekarang ia menjadi seorang yang dihormati dan dimuliakan!
Dan Kaisar
pun sayang kepadanya. Bahkan Pangeran Mahkota sendiri memandangnya sebagai
seorang ibu! Mau apa lagi? Puteranya, lari entah ke mana. Dan kini, puteranya
itu muncul di depannya! Maka terjadilah perang di dalam hati wanita ini, perang
antara kemewahan dan kemuliaan di istana, melawan kasih sayang seorang ibu
kandung terhadap anaknya. Dan kemuliaan itu pun kini menipis.
Segala macam
kesenangan di dunia ini, apa pun juga bentuknya, tidak akan abadi. Kesenangan
selalu disusul oleh kebosanan, atau juga oleh keinginan memperoleh yang lebih
besar lagi sehingga kesenangan yang ada itu tidak begitu berarti lagi.
Demikian
pula dengan wanita ini. Kemuliaan dan kemewahan itu memang dirasakan dan
dinikmatinya betul pada mulanya, dalam waktu beberapa bulan, beberapa tahun.
Tetapi kemewahan dan kemuliaan yang dilimpahkan kepadanya setiap hari itu mulai
menimbulkan kebosanan dan kemuakan. Apalagi dengan munculnya puteranya ini yang
mendatangkan lagi kenang-kenangan lama, membuat batin ibu ini merasa
terguncang.
“Han
Beng.... Anakku.... Puteraku sayang.... akhirnya engkau mau juga menjenguk
ibumu....” Ia berkata sambil mengusap air matanya yang terus bercucuran.
Han Beng
memandang wajah ibunya. Ada juga rasa iba, rasa haru dan rasa mesra yang timbul
dari kasih sayangnya terhadap wanita yang menjadi ibunya ini. Akan tetapi yang
lebih lagi adalah rasa marah. Ibunya sampai hati benar berenang di dalam
kemewahan di samping laki-laki yang telah membunuh suaminya!
“Ibu....,”
katanya, suaranya agak gemetar. “Aku datang ini bukan untuk menjenguk Ibu,
melainkan untuk....,” dia berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri yang
sunyi. Dua orang tadi berdiri di luar taman, biar pun memandang ke arahnya akan
tetapi tidak dapat mendengar percakapan itu.
“Untuk apa,
Anakku? Engkau membutuhkan apa....? Ibumu akan dapat menolongmu, Nak....”
“Nah, terima
kasih, Ibu. Itulah yang kubutuhkan, yaitu pertolonganmu. Kuharap Ibu suka
membantuku dan suka memberi jalan kepadaku agar niat hatiku tercapai.”
“Niat
hatimu? Apa niat itu? Apakah engkau ingin.... menikah?” Dengan air mata masih
berlinang, wanita itu mencoba untuk tersenyum dan memandang wajah puteranya
yang tampan.
“Bukan. Niat
hatiku adalah untuk membunuh Kaisar!”
“Eiihhh....!”
Wanita itu menahan jeritnya dengan menutupkan tangan kiri di depan mulut, matanya
terbelalak dan tangan kanannya mencengkeram lengan puteranya. “Kau.... kau
sudah.... gila....!”
Pemuda itu
melangkah mundur, melepaskan diri dari pegangan tangan ibunya sambil memandang
tajam penuh kemarahan dan rasa penasaran. Akan tetapi suaranya masih perlahan
karena dia pun tidak ingin suaranya terdengar oleh orang lain, “Ibu, selain
Ayah telah dibunuh oleh Kaisar, juga seluruh pendekar bangsa Han ditindasnya,
kuil Siauw-lim-si dibakarnya, dan rakyat ditindasnya. Sekarang Ibu justru
bersenang-senang menjadi selir kaisar lalim itu. Ibu, katakanlah sekarang,
siapakah di antara kita yang pantas disebut gila?”
“Han Beng!
Engkau hanya terdorong oleh dendam atas kematian ayahmu....”
“Tidak, Ibu.
Urusan pribadi hanya urusan kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan seluruh
bangsa! Tentu saja aku merasa sakit hati atas kematian Ayah, akan tetapi aku
hendak membunuh Kaisar bukan karena itu, melainkan untuk membebaskan rakyat
dari penindasan Kaisar penjajah yang lalim. Dan Ibu, kalau memang Ibu masih
mempunyai sedikit jiwa kependekaran seperti mendiang Ayah, Ibu harus
membantuku.”
“Tapi....
tapi.... berbahaya sekali, Anakku! Kaisar sendiri memiliki kepandaian yang
lihai, belum lagi kalau diingat bahwa beliau selalu dilindungi oleh
pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi! Engkau akan tertangkap dan
terbunuh sebelum engkau mampu mendekatinya!”
“Akan
tetapi, aku yakin bahwa sewaktu-waktu Kaisar tentu berdua saja dengan Ibu, di
mana tidak ada seorang pun pengawal yang mendekat. Kalau aku tidak mungkin
mendekatinya, maka Ibu mudah sekali. Apa sukarnya bagi Ibu untuk menyerang dan
membunuhnya sewaktu dia mendekati Ibu?”
“Apa kau
gila? Aku.... aku adalah selirnya! Isterinya!”
“Bagiku bukan!
Ibu adalah isteri Ayah yang telah dibunuh Kaisar, Ibu adalah isteri Ayah yang
dirampas oleh Kaisar! Ibu adalah wanita Han yang tidak ingin melihat rakyat
ditindas oleh Kaisar penjajah lalim!”
“Ohhhh....
Anakku...., aku.... aku memang bersalah.... tapi.... tapi tidak tahukah engkau
bahwa Ibumu ini hanya seorang wanita? Aku.... cinta padanya, Han Beng.”
Pemuda itu
merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. “Hemm, kalau begitu, Ibu sudah lupa
kepada Ayah, Ibu tidak cinta kepadaku, dan Ibu juga tidak peduli dengan bangsa
sendiri?”
“Bukan....
ah, aku cinta padamu, Anakku. Engkau anakku satu-satunya.... akan tetapi ini
lain lagi, Han Beng.”
“Sudahlah,
Ibu, tak perlu banyak ribut lagi. Kalau ketahuan orang, maka semua usahaku
gagal dan kita berdua akan celaka. Ibu tinggal pilih saja sekarang, Ibu lakukan
sendiri bunuh Kaisar lalim itu, atau Ibu mencarikan jalan agar aku dapat
mendekatinya dan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri. Jika Ibu menolak,
aku akan mengamuk dan menyerbu ke dalam istana! Mati bukan apa-apa bagiku. Mati
sebagai orang gagah jauh lebih berharga dari pada hidup sebagai pengkhianat
bangsa dan pengecut!”
Wajah wanita
itu berubah pucat. Pengkhianat dan pengecut! Itulah lontaran dan makian
puteranya sendiri kepadanya, walau pun bukan merupakan makian langsung. Dan
kalau ia menolak, berarti ia membiarkan puteranya itu mati. Menyerbu istana
seorang diri saja tiada bedanya dengan bunuh diri. Dengan muka pucat sekali dan
bibir gemetar, pandang mata sayu dan wajah layu, akhirnya wanita ini mengangguk
dan berkata lirih, “Baiklah, Han Beng. Akan kulakukan itu!”
“Ibu....!”
Han Beng berlutut dan menubruk kedua kaki ibunya, dua titik air mata keluar
dari sepasang matanya.
Dia yakin
benar-benar, bahwa perbuatan ibunya itu selain akan membunuh Kaisar, juga bunuh
diri. Akan tetapi, dia akan merasa bangga melihat ibunya mati seperti itu dari
pada melihat ibunya hidup menjadi selir Kaisar laknat yang lalim itu!
“Ibu
ternyata seorang patriot wanita yang gagah perkasa. Ibu berani mengorbankan
nyawa demi bangsa, aku bangga dan terharu sekali, Ibu. Engkau memang Ibuku yang
patut dipuja sepanjang masa!”
“Kau keliru,
Han Beng. Aku melakukannya sama sekali bukan demi bangsa, bukan demi Ayahmu,
bukan demi diriku sendiri, melainkan demi engkau, Anakku. Nah, pergilah.”
Ucapan
ibunya itu menyadarkan Han Beng dan dia pun bangkit lalu mundur, menatap wajah
ibunya yang pucat, menatapnya untuk yang terakhir kali. Memang ada sedikit
kekecewaan dalam hatinya bahwa ibunya hendak melakukan pengeroyokan itu bukan
demi bangsa, melainkan demi dia. Betapa pun juga, yang penting adalah
terbunuhnya Kaisar lalim, pikirnya.
“Terima
kasih, Ibu. Selamat tinggal, selamat berpisah dan ampunkan anakmu….”
Wanita itu
hanya mengangguk dan Han Beng lalu keluar, disambut oleh dua orang pengawal itu
dan diantarkan sampai ke pintu tembusan di mana kembali dia diterima oleh
pengawal lain yang mengantarnya sampai ke pintu yang lebih luar. Demikianlah,
akhirnya pemuda ini, setelah melalui penjagaan yang amat ketat, tiba di pintu
gerbang istana paling luar dan akhirnya keluarlah dia dari lingkaran istana.
Sementara
itu, wanita itu berdiri seperti patung lilin. Mukanya pucat dan matanya
berlinang air mata. Demi cintanya kepada anaknya, bisik hatinya.
Cinta memang
sudah menjadi hal yang amat janggal dalam pengertian kita. Demikian banyaknya
kata ini telah kita pecah-pecah artinya, disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing sehingga cinta bahkan menimbulkan banyak kesengsaraan dan mala
petaka.
Han Beng
ingin melihat ibunya menjadi seorang patriot, seorang pahlawan. Pemuda ini lupa
bahwa ibunya seorang manusia pula, bahwa ibunya memiliki selera dan cara hidup
sendiri, yang mungkin saja berbeda dengan orang lain, berbeda dengan dia. Akan
tetapi dia ingin membentuk ibunya menjadi seperti yang diidamkannya, seperti
yang dianggap patut menjadi ibunya, yaitu wanita pahlawan!
Dia
menganggap ini benar, tentu saja. Akan tetapi sebenarnya, di dasar dari
hatinya, dia hanya mengejar keinginan hatinya sendiri saja. Dialah yang akan
bangga kalau ibunya menjadi pahlawan bangsa! Dialah yang akan merasa bahagia.
Apakah ibunya menyukai hal ini? Bukan urusannya! Apakah ibunya berbahagia jika
tewas sebagai pahlawan bangsa? Juga sama sekali hal ini dilupakannya.
Dianggapnya bahwa secara otomatis ibunya tentu berbahagia pula, seperti dia!
Demikian
pula wanita itu. Ia mau saja membiarkan dirinya berkorban. Dianggapnya
pengorbanannya ini demi cinta kasihnya kepada puteranya. Akan tetapi benarkah
demikian? Agaknya hal ini masih harus diselidiki dengan teliti. Kalau dia
mencintai puteranya, belum tentu dia membiarkan dirinya diperkosa kemudian
menjadi selir dari Kaisar yang telah membunuh suaminya dan hampir juga membunuh
puteranya kalau pemuda itu tidak dapat meloloskan diri.
Memang,
cinta telah menjadi sesuatu yang amat aneh, bahkan kadang-kadang menjadi
pendorong perbuatan-perbuatan yang luar biasa kejamnya. Padahal, yang mereka
namakan sebagai cinta itu sesungguhnya hanyalah nafsu belaka, nafsu
menyenangkan diri sendiri, perasaan sendiri melalui orang lain. Jadi, orang
yang katanya dicinta setengah mati itu hanya dijadikan semacam jembatan saja
untuk dapat menyeberang dan memetik kesenangan untuk diri sendiri.
Han Beng
bersembunyi di kota raja setelah dia keluar dari istana. Dia hendak menanti
saat yang amat menegangkan itu. Saat di mana akan diumumkan tentang kematian
Kaisar! Mati di tangan ibu kandungnya!
Dan saat
yang dinanti-nantikan Han Beng itu ternyata tidak terlalu lama. Bahkan pada
malam itu juga Kaisar menjatuhkan pilihan kepada ibu Han Beng untuk
melayaninya! Memang Kaisar cukup mencinta wanita ini, seorang wanita bekas
pendekar yang kuat tubuhnya, tidak seperti para selir lain yang lemah. Kaisar
sendiri adalah seorang ahli silat, maka dia merasa memiliki persamaan dengan
selirnya ini, dan Kaisar suka sekali mengajak selir ini bercakap-cakap tentang
ilmu silat di waktu selir ini diberi giliran untuk melayaninya dalam kamar
selama semalam.
Dan malam
itu, ibu Han Beng berdandan secara istimewa, menambah wangi-wangian pada
tubuhnya, dan memasuki kamar Kaisar dengan senyum cerah dan penuh daya pikat
sehingga Kaisar semakin terpikat dan menyambutnya dengan pelukan dan ciuman
mesra.
Mereka
bercakap-cakap, bercumbu dan bermain cinta. Lewat tengah malam, ketika Kaisar
sedang tidur pulas kelelahan, ibu Han Beng dengan air mata bercucuran lalu
menghujamkan sebatang pisau belati ke dada Kaisar. Namun, karena tangan yang
memegang pisau itu gemetar dan karena wanita itu menutup matanya karena tidak
tega menyaksikan tangannya membunuh pria yang sesungguhnya dicintanya, maka
ujung pisau mengenai tulang iga dan meleset. Kaisar Yung Ceng yang memiliki
tubuh kuat dan kepandaian tinggi seketika telah terbangun dan otomatis
tangannya menghantam dengan sekuatnya.
“Dessss....!”
Pukulan
Kaisar itu amat kuatnya, dan tak dapat dielakkan oleh wanita itu yang memang
masih memejamkan kedua matanya sehingga tubuh wanita itu terlempar ke bawah
dari pembaringan dan terbanting dalam keadaan kepala retak dan tidak bernyawa
lagi! Kaisar cepat memanggil pengawal, mencabut pisau itu dan roboh pingsan.
Pisau belati
itu tidak menembus jantung atau bagian lain yang penting, akan tetapi ternyata
bahwa pisau itu mengandung racun sehingga keadaan Kaisar cukup parah. Luka di
dadanya itu membengkak dan para tabib yang merawatnya merasa khawatir sekali.
Kaisar sendiri yang sudah sadar sepenuhnya, maklum akan keadaan dirinya, maka
mulailah dia mencari-cari dan menanyakan Pangeran Mahkota Kian Liong.
Diam-diam
Kaisar menyesali semua perbuatannya dan dia tahu benar bahwa malapetaka yang
menimpanya malam itu adalah karena perbuatannya sendiri. Dia telah lengah,
tidak mengira bahwa ternyata masih ada tersembunyi dendam yang demikian
mendalam di balik senyum manis dan pelayanan yang amat menyenangkan hatinya
dari wanita bekas isteri sahabatnya itu.
Saat dia
mendengar laporan bahwa sehari sebelumnya wanita itu menerima kunjungan seorang
pemuda yang mengaku sebagai anak selir itu, maklumlah Kaisar bahwa itulah
pendorongnya mengapa selirnya yang biasanya sangat mencintanya itu tega untuk
mencoba membunuhnya. Dan sebagai seorang ahli silat, dia pun yakin bahwa kalau
selirnya itu tidak memejamkan mata, tentu tusukan itu akan menewaskannya, dan
dia tidak akan berhasil membunuh selirnya dengan sekali pukul saja.
Selagi para
panglima, menteri dan hulubalang bingung karena tidak ada yang tahu di mana
adanya Sang Pangeran, datanglah utusan para patriot yang telah menawan Sang
Pangeran! Kaisar Yung Ceng menerima dan mendengarkan surat tuntutan itu
dibacakan pembantunya kepadanya. Wajahnya berubah merah, akan tetapi dia
menarik napas panjang. Pada saat itu dia tidak dapat banyak bergerak serta
tidak bisa turun dari pembaringan, dia tidak dapat berbuat banyak.
“Kirim
jawaban kepada mereka bahwa aku berjanji akan memenuhi semua tuntutan mereka
itu, akan tetapi minta agar Pangeran Kian Liong cepat dibebaskan dan diantar
kembali ke istana, karena keadaanku,” perintahnya kepada para petugas.
Tentu saja
utusan para patriot itu girang bukan main, bukan hanya bahwa mereka tidak
dihukum atau dibunuh seperti yang sudah mereka khawatirkan, akan tetapi bahkan
menerima janji dari Kaisar yang akan memenuhi semua tuntutan itu. Juga mereka
mendengar bahwa Kaisar telah diserang oleh selirnya sendiri dan nyaris tewas!
Maka, mereka cepat kembali ke Cin-an untuk membawa balasan dan janji Kaisar…..
***************
Entah siapa
di antara mereka yang lebih terkejut dan heran ketika pihak tamu dan pihak tuan
rumah itu bertemu di ruangan tamu yang luas itu. Kao Cin Liong dan ayah
bundanya sama sekali tidak mengira bahwa yang menjadi pemimpin para pendekar
patriot di Cin-an itu ternyata adalah Bu Seng Kin sekeluarga, sebaliknya
Bu-taihiap juga tidak menyangka bahwa tamu-tamunya yang datang adalah Jenderal
Kao Cin Liong dan Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya! Sejenak mereka
hanya berdiri bengong saling pandang, lupa untuk saling memberi hormat
sebagaimana layaknya tamu dan tuan rumah! Akhirnya, Bu-taihiap yang memang
berwatak lincah dan gembira itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha,
memang tidak salah dikatakan orang bahwa dunia ini tidaklah sebesar yang disangka
orang! Tak kami sangka akan dapat berjumpa di tempat ini dengan Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya yang gagah perkasa!”
Kecuali
keluarga Bu yang sudah mengenal keluarga Kao ini, para pendekar patriot
terkejut setengah mati seperti mendengar suara guntur di hari terang ketika
mereka mendengar bahwa tamu itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang
namanya bagi mereka seperti nama tokoh dongeng saja dan yang selamanya belum
pernah mereka lihat orangnya. Kini semua mata ditujukan kepada pria setengah
tua berlengan satu itu bersama isteri dan puteranya, penuh kagum dan juga
gentar karena mereka itu belum tahu apa yang diinginkan oleh pendekar sakti
sekeluarga ini dengan munculnya di tempat itu dalam keadaan yang amat gawat,
yaitu selagi Pangeran Mahkota menjadi tamu agung, juga tawanan mereka.
“Kami pun
tidak mengira bahwa di sini akan dapat bertemu dengan Bu-taihiap yang ternyata
kini mengumpulkan banyak orang-orang gagah!” kata Kao Kok Cu sambil memberi
hormat yang dibalas dengan gembira oleh tuan rumah.
“Silakan
duduk, silakan duduk dan selamat datang…!” Setelah mereka semua duduk,
Bu-taihiap bertanya, “Keperluan apakah kiranya yang dibawa oleh keluarga Kao
yang mulia sehingga mau mendatangi tempat ini?”
“Yang punya
kepentingan adalah putera kami, maka biarlah dia yang menjelaskan,” kata pula
pendekar itu dengan suara tenang.
Cin Liong
lalu berkata sambil memandang ke kanan kiri karena dia tidak melihat adanya
Hong Bu dan Pek In di situ.
“Bu-locianpwe,”
katanya hormat. “Saya adalah utusan Kaisar yang sedang mencari seorang bernama
Sim Hong Bu, dan karena semalam saya melihat dia memasuki rumah ini, maka saya
minta dengan hormat kepada Locianpwe untuk memberitahukan kepada saya di mana
adanya dia. Kalau masih berada di sini, hendaknya disuruh keluar menemui kami.
Kalau sudah pergi, harap beri tahu ke mana perginya.”
Kembali
Bu-taihiap tertawa bergelak. Di dalam hatinya, pendekar ini terkejut sekali
melihat bahwa jenderal muda ini mencari Sim Hong Bu, dan isterinya, Tang Cun
Ciu, yang duduk pula di situ tentu saja mengerti mengapa keluarga Kao mencari
Hong Bu, akan tetapi dia diam saja hanya memandang tajam. Bu-taihiap yang masih
merasa penasaran karena lamarannya ditolak tempo hari, kini memperoleh
kesempatan untuk mengejek.
“Ahh, sampai
hampir lupa aku bahwa aku berhadapan dengan seorang jenderal kaki tangan Kaisar
Mancu, juga aku lupa bahwa yang terhormat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir
adalah ayah dari jenderal besar antek Kaisar penjajah!”
Mendengar
ejekan ini, Kao Kok Cu tersenyum saja dengan tenang. Namun isterinya, Wan Ceng,
sudah bangkit berdiri dengan muka merah. “Orang she Bu! Kenapa engkau menjadi
tuan rumah yang begini kasar dan kurang ajar? Kalau mau menghina orang dan
membawa-bawa keluarga, apakah lupa bahwa engkau yang pura-pura menjadi pimpinan
pendekar patriot, akan tetapi di sini mempunyai seorang isteri yang pernah
menjadi Panglima Nepal? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah berkhianat dan
bersekongkol dengan bangsa Nepal pula?”
Hebat sekali
serangan kata-kata Wan Ceng ini. Wajah Bu Seng Kin menjadi merah sekali dan
Nandini, Puteri Nepal itu sudah bangkit berdiri dengan marah. “Sudah sepatutnya
kalau pihak tamu yang bersopan diri!” bentak wanita ini. “Tamu yang menyerang
tuan rumah dengan kata-kata adalah tamu-tamu yang tak tahu diri!” Akan tetapi
suaminya sudah memberi isyarat agar ia duduk kembali, dan wanita Nepal itu
duduk dengan marah.
“Kao-taihiap
datang bertiga dan agaknya sudah tahu bahwa kami di sini adalah pendekar-pendekar
patriot yang menentang Kaisar Mancu yang lalim. Karena Sam-wi (Kalian Bertiga)
merupakan utusan Kaisar, maka kami dapat saja nenganggap Sam-wi sebagai
musuh-musuh kita, sebagai antek kaki tangan Kaisar. Kalau kami mengerahkan
teman-teman untuk mengeroyok Sam-wi, apakah kalian tidak akan celaka?”
“Boleh coba!
Siapa takut keroyokan?” tantang Wan Ceng dengan marah sambil bertolak pinggang.
Suaminya
lalu memegang tangannya dan dengan halus membujuknya untuk duduk kembali. Cin
Liong juga membujuk ibunya sehingga akhirnya nyonya yang keras hati ini mau
duduk kembali dengan kedua pipi merah dan mulut cemberut, sepasang matanya
mencorong penuh kemarahan.
“Harap saja
Bu-locianpwe tidak berkata seperti itu. Kalau memang saya bermaksud buruk
terhadap Bu-locianpwe dan semua teman, apa sukarnya bagi saya untuk datang
bersama pasukan besar untuk menumpas kalian?”
“Seperti
yang telah dilakukan terhadap Siauw-lim-si?” Bu-taihiap mengejek. “Lihat, di
antara ratusan orang murid Siauw-lim-pai, hanya delapan saudara inilah yang
dapat lolos,” katanya sambil menunjuk kepada delapan orang laki-laki gagah
perkasa yang berdiri di sudut ruangan itu dengan sikap kereng.
Cin Liong
memandang kepada mereka dan berkata, “Saya tidak tahu-menahu akan hal itu dan
merasa ikut menyesal dengan terjadinya hal itu. Akan tetapi, kedatangan kami
tanpa pasukan hanya untuk menunjukkan bahwa kami tidak bermaksud buruk terhadap
Locianpwe dan teman-teman.”
“Ha-ha-ha,
boleh saja kalau Kao-goanswe (Jenderal Kao) hendak membawa pasukan besar.
Hendak kulihat apa yang dapat mereka lakukan kalau kuberi tahu bahwa Pangeran
Kian Liong telah berada dalam tahanan kami!”
Bukan main
kagetnya Kao Cin Liong dan ayah bundanya mendengar ini. Mereka merasa terkejut
dan juga khawatir. Dan Cin Liong menghadapi dua hal yang amat penting, yaitu
soal merampas kembali pedang Koai-liong Po-kiam dan menyelamatkan Pangeran
Mahkota. Tentu saja menyelamatkan Pangeran lebih penting. Hal ini juga
diketahui oleh Kao Kok Cu. Maka pendekar ini lalu berkata dengan suaranya yang
tenang sekali.
“Bu-taihiap,
urusan putera kami berkenaan dengan perintah Kaisar memang adalah urusannya
sendiri, akan tetapi kalau sudah menyangkut diri Pangeran Mahkota, mau tidak
mau aku pun terpaksa harus melibatkan diri. Siapa pun orangnya yang hendak
mengganggu pribadi Pangeran Kian Liong, akan kuhadapi sebagai lawan! Nah, kami
bertiga sudah berada di sini, dan kami bertiga siap mempertaruhkan nyawa kami
demi melindungi keselamatan Sang Pangeran! Kalau kalian semua yang mengaku
orang-orang gagah dan pendekar-pendekar hendak mengganggu Pangeran yang tidak
punya sangkut-pautnya dengan kelaliman Kaisar, maka kalian adalah orang-orang
licik dan curang. Maka, kami bertiga menantang untuk mengadu ilmu, guna
memperebutkan Pangeran!”
Bu-taihiap
menjadi marah mendengar ini. Memang dia pun ingin membalas penghinaan tempo
hari karena lamarannya ditolak. Akan tetapi, sebagai seorang pendekar besar dia
pun tidak sudi untuk melakukan pengeroyokan. Nandini, Puteri Nepal yang merasa
sakit hati karena penolakan lamaran tempo hari, kini mendengar pula penghinaan
yang ditujukan kepada dirinya, sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
Dalam hal kekerasan hati, wanita ini tidak kalah oleh Wan Ceng, maka ia pun
sudah bangkit berdiri lagi.
“Bagus! Ada
tamu menantang tuan rumah, sungguh merupakan kekurang ajaran yang memuncak.
Akulah yang akan maju lebih dulu melawan keluarga Kao yang sombong dan tinggi
hati!” Berkata demikian, wanita Nepal ini telah mencabut pedang dan berdiri
tegak, sinar matanya tertuju kepada Wan Ceng maka jelaslah oleh siapa pun juga
bahwa wanita ini menantang isteri Naga Sakti Gurun Pasir!
Tentu saja
Wan Ceng merasa bahwa dirinya ditantang, maka ia pun meloncat bangun dan
membentak, “Siapa sih takut melawan perempuan Nepal, panglima yang sudah jatuh
dan kini menjadi selir orang?”
Semua orang
yang berada di situ maklum bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dihindarkan
lagi, maka mereka mundur sambil menarik bangku masing-masing, memberi tempat
yang luas bagi mereka yang hendak berlaga. Kao Kok Cu dan Bu Seng Kin tidak
dapat melarang isteri masing-masing. Pula, mereka yang akan berlaga adalah
wanita lawan wanita dan masing-masing percaya akan kelihaian isteri mereka, dan
perkelahian dilakukan dengan satu lawan satu, maka sebagai orang-orang gagah
mereka merasa malu untuk melarang.
Wan Ceng
tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya tersenyum
mengejek ketika ia pun mencabut pedangnya yang begitu dicabut, membuat semua
orang merasa seram. Pedang itu adalah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa
Racun) yang hawanya saja sudah terasa oleh semua orang, hawa yang mengerikan.
“Hemm,
engkau menantang sambil mencabut pedang, berarti engkau sudah bosan hidup!”
kata Wan Ceng sambil melintangkan pedang di depan dada. “Mulailah!”
“Isteriku,
jangan sampai membunuh orang!” tiba-tiba terdengar Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir berkata dengan halus kepada isterinya.
Wan Ceng
menoleh pada suaminya, melihat sepasang mata suaminya memandangnya penuh
teguran. Ia pun tersenyum, mengangguk dan menoleh lagi kepada Nandini sambil
berkata, “Untung bagimu, suamiku melarangku membunuhmu.”
Ucapan
terakhir merupakan kata-kata yang oleh Nandini diterima sebagai kesombongan
yang melampaui batas dan amat menghina. Ia adalah seorang bekas panglima yang
tentu saja menganggap kematian dalam pertempuran sebagai hal yang sudah wajar
dan tidak perlu ditakuti, akan tetapi calon lawannya begitu memandang ringan
kepadanya, seolah sudah memastikan bahwa ia akan kalah!
“Tak perlu
banyak cerewet, bersiaplah untuk mampus!” pedangnya menyambar ganas dan wanita
Nepal ini sudah menerjang dengan dahsyat. Wanita ini jauh lebih tinggi dari
pada Wan Ceng dan memiliki tenaga besar, dan karena hatinya marah sekali, maka
begitu menerjang ia telah melakukan serangkaian serangan yang bertubi-tubi.
Wan Ceng
memutar Ban-tok-kiam dan menangkis atau mengelak dari semua serangan itu,
diam-diam memperhatikan gaya ilmu pedang lawan yang ternyata tidaklah lemah.
Dan memang Nandini selama ini memperoleh petunjuk dari suaminya sehingga ilmu
pedangnya memperoleh kemajuan pesat. Betapa pun juga, yang dilawannya adalah
Wan Ceng, seorang wanita yang selain memiliki tenaga sinkang yang hebat berkat
anak ular naga yang pernah dimakannya, juga ia mempelajari banyak macam ilmu dan
akhirnya menerima petunjuk dari suaminya yang sakti.
Maka,
menghadapi Wan Ceng, Nandini masih kalah setingkat, lebih dari itu, pedang di
tangan Wan Ceng adalah pedang Ban-tok-kiam yang menggiriskan. Baru hawa pedang
saja saat menyambar mendatangkan rasa dingin dan perih, dan kalau sampai
mengenai kulit lawan, amatlah berbahaya karena tanpa adanya obat penawar dari
Wan Ceng, nyawa lawan sukar tertolong lagi! Agaknya Nandini mengenal pedang
ampuh dan berbahaya, maka ia pun memutar pedangnya dengan cepat untuk
melindungi tubuhnya agar jangan sampai terluka pedang lawan.
Kao Kok Cu
yang melihat betapa isterinya masih lebih tinggi ilmunya, merasa khawatir
kalau-kalau pihak lawan akan terluka oleh Ban-tok-kiam, maka dia meneriaki
isterinya, “Isteriku, jangan menggunakan Ban-tok-kiam!”
Mendengar
kata-kata ini, Wan Ceng tertawa lalu menyimpan kembali pedangnya. Melihat ini,
Nandini juga menghentikan serangan pedangnya. Ia tidak mau menyerang lawan yang
sudah menyimpan senjatanya. Hal ini saja sudah membuat berkurang kebencian dari
hati Wan Ceng. Kiranya wanita Nepal ini memiliki watak yang gagah pula,
pikirnya kagum.
Ia tadi
mentaati suaminya bukan karena ia takut kepada suaminya. Sama sekali tidak,
bahkan terlalu sering ia membantah sampai membuat suaminya kadang-kadang
pusing. Akan tetapi ia kini menurut karena dengan perbuatan itu seolah-olah ia
telah menang angin dan ‘mengampuni’ lawan. Kini ia tersenyum dan mengeluarkan
dua buah pisau belati dari pinggangnya. Inilah sepasang senjatanya yang amat
diandalkan ketika ia masih gadis dahulu. Sepasang belati ini sama sekali tidak
beracun, dan memang inilah yang dikehendaki oleh suaminya.
Kalau hanya
menghadapi Nandini dengan kedua tangan kosong, amatlah berbahaya bagi Wan Ceng,
akan tetapi dengan senjata sepasang belati ini, Kao Kok Cu dapat menilai bahwa
isterinya tidak akan kalah, dan kalau sampai isterinya melukai lawan sekali
pun, maka luka dengan belati jauh lebih ringan kalau dibandingkan dengan luka
karena Ban-tok-kiam.
Melihat Wan
Ceng telah memegang sepasang pisau belati, Nandini mengeluarkan teriakan
nyaring dan sudah menyerang lebih ganas dari pada tadi. Wanita ini semakin
penasaran dan marah karena pergantian senjata dari lawan itu jelas merupakan
penghinaan dan pandangan yang merendahkan dirinya.
Sementara
itu, diam-diam Bu-taihiap mengeluh oleh karena dia tahu bahwa isterinya ini
masih kalah dibandingkan dengan nyonya pendekar Gurun Pasir itu. Akan tetapi
dia pun merasa kagum dan lega bahwa Naga Sakti Gurun Pasir itu menyuruh
isterinya berganti senjata. Dia mengenali pedang yang amat menggiriskan itu dan
tadi diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan isterinya.
Betapa pun
juga, dia merasa menyesal akan watak keras Nandini yang telah berani maju,
tidak memperhitungkan kepandaian sendiri. Memang, isterinya itu telah memiliki
kepandaian yang cukup hebat dan di atas kepandaian kebanyakan orang, namun
dibandingkan dengan dua isterinya yang lain, yaitu Gu Cui Bi dan Tang Cun Ciu,
Nandini masih kalah jauh. Andai kata yang maju tadi Gu Cui Bi agaknya baru
ramai melawan nyonya galak itu, dan kalau Tang Cun Ciu yang maju, dia yakin
pihaknya akan menang. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tentu saja Nandini yang
maju karena isterinya itu tentu saja merasa sakit hatinya oleh penolakan ikatan
jodoh antara puterinya dan putera keluarga Kao, maka tadi pun dia tidak
melarang.
Kekhawatiran
pendekar ini memang terbukti. Meski kini ia telah berganti senjata dengan
sepasang belati, namun ternyata memang tingkat kepandaian Wan Ceng masih menang
dibandingkan dengan lawannya, maka setelah lima puluh jurus, Wan Ceng
‘mengunci’ pedang lawan dengan putaran pisau belatinya yang kiri, dan cepat
sekali pisau belatinya yang kanan bergerak ke depan. Mestinya pisau belati itu
menusuk lambung, akan tetapi sengaja ia menurunkan sasarannya sehingga pisau
belatinya menusuk dan merobek paha kiri lawan.
Nandini
mengeluarkan teriakan kaget dan meloncat ke belakang, terhuyung karena pahanya
terobek dan berdarah cukup banyak. Melihat ini, Siok Lan berteriak marah dan
meloncat ke depan untuk menyerang Wan Ceng, akan tetapi Bu-taihiap membentak.
“Siok Lan,
mundur kau!”
Gadis itu
memandang marah, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya lalu memapah ibunya
dan merawat luka di paha dengan obat dan membalutnya.
Gu Cui Bi,
isteri Bu-taihiap yang lain, tetap duduk diam saja tidak mau mencampuri urusan
itu. Keluarga Kao ribut dengan suaminya dan Nandini, ia tahu karena lamaran ditolak
dan hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bahkan adanya Siok Lan
sebagai puteri suaminya dan Nandini itu kadang-kadang mendatangkan rasa iri
dalam hatinya. Maka kali ini ia pun diam saja.
Berbeda
dengan Tang Cun Ciu. Mendengar bahwa keluarga itu datang untuk mengejar Sim
Hong Bu juga dan tentu saja untuk merampas kembali Koai-liong Po-kiam, sebagai
pencuri pedang itu dari istana dia merasa ikut bertanggung jawab. Melihat
kekalahan Nandini dan melihat ilmu silat isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir
itu, ia merasa sanggup untuk menandinginya, maka dengan sekali meloncat ia
telah berada di tengah ruangan itu menghadapi Wan Ceng.
“Biarlah aku
yang melawan pengacau!” teriaknya.
Wan Ceng
mengenal wanita ini, maka ia tersenyum mengejek. “Tidak usah isteri orang she
Bu maju satu demi satu, biarlah maju semua sekaligus, biar ada seratus orang
sekali pun, siapa takut?”
Tentu saja
ejekan ini amat menyakitkan, tetapi Bu-taihiap yang memang merupakan seorang
pria yang paling tebal muka terhadap urusan wanita, tertawa, “Wah, kalau ada
seratus, betapa senangnya, akan tetapi aku tentu repot sekali! Ha-ha-ha!”
Diam-diam
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir mengerutkan alis, akan tetapi dia tidak berkata
apa-apa, hanya hatinya yang berbisik betapa pria itu benar-benar merupakan
seorang perayu wanita, seorang bandot yang luar biasa akan tetapi juga jujur!
“Ibu, harap
suka mundur, biarkan aku menghadapi nyonya ini!” tiba-tiba Cin Liong sudah
meloncat maju ke dekat ibunya.
Wan Ceng
sebenarnya tidak takut menghadapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, hanya ia agak
lelah menghadapi Nandini yang cukup tangguh tadi, maka ia mengangguk lalu
mundur, duduk di dekat suaminya.
Sejenak
mereka saling berhadapan dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama maklum
bahwa lawan yang dihadapi amatlah tangguhnya. Cin Liong sudah tahu bahwa wanita
yang bernama Tang Cun Ciu ini berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah),
seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, seorang tokoh dari
keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal lihai itu. Bahkan wanita inilah yang
telah mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam dari gudang istana!
Sementara
itu, Tang Cun Ciu juga tidak berani memandang rendah lawannya. Biar pun pemuda
ini masih muda, akan tetapi pemuda ini adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir,
dan sedemikian mudanya telah diangkat menjadi jenderal yang berarti bahwa tentu
dia memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Dengan
gerakan halus Tang Cun Ciu mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Wanita
ini memiliki banyak macam ilmu silat, akan tetapi kelihaiannya memang dalam
bersilat pedang, dan untuk ilmu ini ia pernah menerima ilmu dari mendiang
suaminya, yaitu Cu San Bu, yaitu yang disebut Pat-hong Sin-kiam (Pedang Sakti
Delapan Penjuru Angin). Ilmu ini telah dipecah menjadi dua, yaitu ilmu silat
tangan kosong dan ilmu silat pedang. Dan gerakan ilmu pedangnya juga berdasar
dari ilmu keluarga Cu yang amat tangguh.
“Jenderal
Muda, keluarkanlah senjatamu!” tantangnya dengan suara lantang namun sikapnya
tenang seolah-olah wanita setengah tua yang masih cantik ini sudah yakin akan
kemenangannya.
Cin Liong
sebetulnya lebih suka menghadapi lawan dengan mengandalkan kaki tangan saja,
akan tetapi dia menghadapi isteri seorang locianpwe, maka dia tak ingin
dianggap memandang rendah kalau bertangan kosong saja. Maka dia pun mencabut
sebatang pedang, yaitu pedang pemberian Kaisar sendiri sebagai tanda
pangkatnya. Karena dia sedang menjalankan tugas sebagai utusan Kaisar, maka
biar pun dia mengenakan pakaian biasa, namun pedang pangkatnya itu tidak pernah
ditinggalkannya.
Melihat Cin
Liong sudah mencabut senjatanya pula, Tang Cun Ciu lalu membentak, “Lihat
senjata!” Dan pedangnya yang sudah berkelebat, berubah menjadi sinar yang amat
menyilaukan mata karena cepatnya.
“Tranggg....!”
Cin Liong
sengaja menangkis karena dia hendak menguji sampai di mana kuatnya tenaga
lawan. Kedua pihak merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang itu
tergetar hebat, tanda bahwa pertemuan kedua pedang itu amatlah kuatnya, dan
tahulah mereka bahwa pihak lawan memang memiliki sinkang yang kuat. Mereka
sejenak memandang ke arah pedang masing-masing dan merasa lega bahwa pedang
mereka tidak rusak oleh pertemuan yang amat keras tadi. Tang Cun Ciu sudah
menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi, dan kini ia tidak mengandalkan
tenaga, tetapi kecepatannya. Bentuk pedang itu lenyap, berubah menjadi sinar
bergulung-gulung yang menghujankan serangan dari berbagai jurusan ke arah Cin
Liong.
Pemuda ini
sebaliknya bergerak dengan amat cepatnya, namun gerakannya mantap dan setiap
serangan lawan dapat dihalaunya dengan tepat, baik dengan tangkisan mau pun
dengan pengelakan. Dan walau pun setiap tiga kali serangan lawan baru dapat
dibalasnya dengan satu kali saja serangan, akan tetapi serangannya amat kuat
dan berbahaya sehingga setiap kali dibalas, nyonya itu terpaksa menarik
gulungan sinar pedangnya untuk membentuk benteng kuat dan biar pun demikian
tetap saja ia harus melangkah dua tiga tindak ke belakang.
Semua orang
yang hadir memandang dengan mata penuh ketegangan, dan para pendekar patriot
memandang dengan mata hampir tak pernah berkedip. Para murid Siauw-lim-pai yang
berada di situ adalah ahli-ahli silat yang lihai, tetapi menyaksikan
perkelahian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu melawan jenderal muda itu
mereka merasa kagum dan takjub bukan main. Barulah mereka tahu bahwa tingkat
kepandaian mereka sungguh masih jauh dibandingkan dengan dua orang yang sedang
bertanding ini. Mereka mengagumi isteri dari pimpinan mereka, akan tetapi
mereka pun tercengang menyaksikan gerakan Cin Liong.
Hanya
pandang mata Bu-taihiap dan Kao Kok Cu saja yang dapat menilai dan tahu apa
yang terjadi dalam perkelahian yang nampaknya seolah-olah nyonya itu di pihak
yang lebih kuat karena lebih banyak menyerang. Tapi mereka berdua ini tahu
benar bahwa sesungguhnya nyonya itu kewalahan menghadapi Cin Liong! Dalam
mengadu tenaga, jelas kalah kuat, dan mengandalkan ginkang atau keringanan
tubuh untuk bergerak cepatnya tidak menolong karena pemuda itu pun ternyata
memiliki ginkang yang tidak kalah hebatnya. Biar pun ilmu pedang nyonya itu
istimewa dan merupakan ilmu pedang pilihan, namun sebaliknya pemuda itu juga
telah memiliki ilmu pedang yang luar biasa sekali.
Perkelahian
ini jauh lebih menegangkan dari pada perkelahian pertama antara Nandini dan Wan
Ceng. Para penonton saja merasakan getaran-getaran dari gerakan mereka yang
amat kuat, dan angin menyambar-nyambar ke segala penjuru. Kadang-kadang, mereka
yang kurang tinggi tingkat kepandaiannya tidak mampu lagi mengikuti gerakan
kedua orang ini yang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka. Bagi
mereka ini, yang nampak hanya kaki dan tangan kedua orang itu saja yang
kadang-kadang lenyap di antara gulungan sinar pedang, kadang-kadang nampak
bergerak ke sana-sini, bahkan tangan dan kaki itu bukan hanya dua pasang,
melainkan banyak sekali saking cepatnya kaki dan tangan itu bergerak!
Akan tetapi
Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Isterinya itu, betapa pun lihainya, agaknya
tidak akan mampu menanggulangi pemuda yang amat lihai itu. Diam-diam dia
menarik napas panjang. Tingkat kepandaian isterinya sudah tinggi sekali, dia
sendiri pun hanya menang tidak banyak dibandingkan dengan isterinya itu. Kalau
sekarang isterinya kalah oleh pemuda ini, maka tinggal dia seoranglah. Mungkin
dia akan dapat menandingi pemuda itu, akan tetapi mampukah dia menandingi
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Diam-diam dia bergidik. Baru puteranya saja
sudah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, apalagi pendekar sakti
itu sendiri!
Hal ini
bukan timbul karena dia merasa takut atau gentar, sama sekali tidak. Melainkan
dia khawatir kalau-kalau memang keluarga pendekar Kao ini hendak menggunakan
kekerasan untuk merampas Sang Pangeran, dia pun terpaksa akan menggunakan
kekerasan mengancam Pangeran untuk sandera. Ini bukan urusan pribadi, melainkan
urusan perjuangan, dan untuk perjuangan, maka segala kehormatan pribadi boleh
ditinggalkan lebih dahulu! Untuk perjuangan, demi kemenangan perjuangan, tidak
ada yang dinamakan curang. Segala jalan demi kemenangan perjuangan adalah
benar, demikianlah pendapat para cendekiawan di jaman dahulu!
Kita tidak
dapat menyalahkan jalan pikiran pendekar Bu Seng Kin ini. Sebab memang
kenyataannya pun demikianlah.
Sejak jaman
dahulu, kekuasaan membuat manusia mampu melakukan segala macam kekejian dan
kelicikan. Sejak jaman dulu, ada saja sekelompok orang yang memegang kekuasaan
atas orang terbanyak, disebut penguasa, pemimpin, atau pemerintah, yang dengan
segala daya upaya hendak mempertahankan kekuasaannya, bahkan hendak memperkuat
dan memperbesar kekuasaannya. Untuk mempengaruhi orang terbanyak, untuk dapat
mempergunakan tenaga mereka semua itu, muncullah slogan-slogan dan
anjuran-anjuran yang muluk-muluk. Tentang kepahlawanan, tentang sucinya
perjuangan dan banyak lagi pujuan-pujian bagi mereka yang mau berjuang alias
menghadapi musuh dengan taruhan nyawa, tentu saja didengungkan bahwa taruhan
nyawa itu adalah untuk tanah air, untuk bangsa, dan sebagainya lagi. Bahwa apa
pun yang dilakukan manusia demi kemenangan perjuangan adalah suci dan agung!
Betapa
anehnya, betapa munafiknya dan betapa kejamnya. Di dalam perang, yang
diperhalus dengan sebutan perjuangan dan sebagainya, yang pada hakekatnya
hanyalah kebencian yang memuncak dan bunuh membunuh antara manusia, timbullah
kejanggalan-kejanggalan yang mengerikan. Segala macam perbuatan manusia yang
dalam keadaan wajar dianggap sebagai perbuatan jahat dan haram, di dalam
perjuangan itu pun dihalalkan.
Membunuh
seorang manusia saja dalam keadaan atau waktu yang wajar akan dianggap
kejahatan yang amat besar dan si pembunuh akan dituntut, dihukum
seberat-beratnya. Namun, di dalam perjuangan atau perang, membunuh
sebanyak-banyaknya manusia, yang kebetulan berada di pihak musuh, dianggap
sebagai perbuatan yang mulia, gagah berani, dan si pembunuh akan dipuji-puji,
bahkan diberi hadiah-hadiah dan dinamakan pahlawan, menerima bintang dan
sebagainya lagi. Demikian pula, segala macam perbuatan yang biasanya dianggap
jahat dan haram dan si pelakunya dihukum, dalam masa perang yang dinamakan
perjuangan itu si pelakunya dianggap baik, halal, berjasa dan diberi hadiah dan
pujian. Di sini berlaku istilah tujuan menghalalkan segala cara!
Apakah benar
bahwa suatu tujuan, apa pun juga itu namanya, yang dijangkau dengan jalan kekerasan,
kekejaman, pembunuhan, kepalsuan seperti itu, adalah tujuan yang suci murni?
Dapatkah tujuan terlepas dari sifat pelaksanaan atau caranya mencapai tujuan
itu? Bukankah di dalam tujuan itu terkandung si cara, sebaliknya di dalam cara
itu terkandung pula si tujuan? Benarkah bahwa jalan penipuan, kebencian,
pembunuhan, kekerasan dan kepalsuan itu akan membawa kita kepada sesuatu yang
luhur dan suci?
Pertanyaan-pertanyaan
ini amatlah penting bagi kita semua dan kiranya perlu kita selidiki bersama
dengan membuka mata, membuang semua teori-teori lapuk karena teori-teori itu
hanya kita pergunakan untuk mengecat dan memperhalus kesemuanya itu belaka,
untuk kita gunakan sebagai bahan-bahan pembelaan diri untuk membenarkan segala
cara yang jelas kotor dan keji itu. Kalau sudah begitu, barulah kita dapat
memandang dengan sempurna, melihat keadaannya seperti apa adanya, dan dapat
menyelidik sampai sedalam-dalamnya tanpa terpengaruh oleh segala macam
pendapat-pendapat yang pada hakekatnya hanyalah untuk membenarkan diri sendiri
belaka.
Kekhawatiran
Bu-taihiap memang terbukti. Setelah perkelahian itu lewat kurang lebih seratus
jurus, mendadak Tang Cun Ciu mengeluarkan pekik melengking yang sangat
mengejutkan semua orang. Pekik ini bukan seperti suara manusia, tetapi seperti
suara suling ditiup dengan nada tinggi sekali! Melengking nyaring dan langsung
menyerang jantung lawan melalui pendengarannya!
Mendengar
ini, Cin Liong terkejut sekali dan cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk
melawan dan menahan serangan melalui khikang istimewa ini. Dan memang itu
adalah inti dari ilmu para penghuni Lembah Suling Emas, yaitu khikang yang
dapat dikerahkan melalui suara dan suara itu sendiri dapat menyerang lawan yang
dihadapinya. Lawan yang kurang kuat, baru mendengar suara ini saja sudah
tergetar jantungnya dan dapat membuat menjadi lumpuh atau gugup, atau
setidaknya menjadi kacau. Kekuatan suara seperti ini dimiliki pula oleh
binatang-binatang buas seperti harimau, singa dan lain-lain, yang dengan
suaranya saja sudah mampu membuat calon korban menjadi lumpuh!
Dan menyusul
serangan suaranya itu, secepat kilat, Tang Cun Ciu menyambitkan pedangnya yang
meluncur seperti anak panah ke arah tubuh lawan, sedangkan kedua tangannya
sendiri lalu bergerak mendorong ke depan dalam penyerangan yang lebih hebat
pula! Bukan main memang serangan wanita perkasa yang berjuluk Dewi Pengejar
Arwah ini. Sekaligus ia telah melancarkan tiga macam serangan yang amat hebat!
Hal ini membuktikan bahwa wanita ini pun telah melihat kenyataan bahwa ia
takkan menang melawan pemuda tangguh ini, maka ia telah mengeluarkan ‘simpanan’
terakhir, yaitu dengan penyerangan maut yang luar biasa ini!
Cin Liong
juga maklum bahwa lawannya telah menjadi nekad dan bahwa lawannya hendak
mengadu nyawa. Maka dia pun cepat beraksi, melepaskan pedang dari tangan kanan
dengan melontarkannya ke depan, menyambut pedang lawan yang meluncur ke arah
lehernya itu, dan dia pun menggerakkan kedua lengannya, didorongkan ke depan
untuk menyambut lawan dengan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, yaitu
ilmu simpanan dari ayahnya yang membuat nama ayahnya terkenal sebagai Naga
Sakti Gurun Pasir.
“Cringgg....
desss....!”
Dua batang
pedang itu bertemu di udara dan keduanya meluncur ke bawah menancap di atas
tanah sampai separuhnya lebih! Pada saat kedua pasang tangan itu bertemu, tubuh
Tang Cun Ciu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh kalau ia tidak
cepat-cepat berjungkir balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali,
sedangkan tubuh Cin Liong hanya terdorong mundur dua langkah saja.
Marahlah
Tang Cun Ciu, karena benturan terakhir itu sudah membuktikan bahwa ia telah
kalah. Wanita ini memang memiliki kekerasan hati yang istimewa, dan keberanian
yang luar biasa sekali sehingga tidak heran kalau ialah yang telah menggegerkan
kota raja dan dunia kang-ouw dengan mencuri pedang pusaka dari istana! Biar pun
ia tahu bahwa pemuda itu terlampau kuat baginya, namun begitu ia sudah turun ke
atas tanah, langsung saja tubuhnya meluncur lagi ke depan dengan loncatan
seperti terbang cepatnya, dan kakinya telah melakukan tendangan terbang dan
bertubi-tubi tiga kali, pertama tendangan ke arah kepala, ke dua ke arah ulu
hati dan ke tiga ke arah pusar!
Cin Liong
memandang kagum. Wanita ini benar-benar tangguh sekali. Cepat-cepat dia
berloncatan mengelak dan setelah menghindarkan diri dari tiga tendangan itu,
Cin Liong lalu membalas serangan dengan mengeluarkan jurus-jurus Sin-liong
Ciang-hoat! Dan mulailah Cun Ciu terdesak terus, main mundur dan tidak tahan
menghadapi serangan-serangan yang aneh ini, yang dilakukan dengan tubuh lurus,
kadang-kadang bahkan hampir mendekam ke atas tanah.
Setelah
mencoba untuk menghindarkan diri sampai belasan jurus, akhirnya sebuah
tendangan dari kaki kiri Cin Liong tepat mengenai pinggir lututnya dan nyonya
itu pun terpelanting roboh! Ia mencoba untuk meloncat bangun, akan tetapi roboh
lagi karena lututnya terasa nyeri dan ternyata tulang lututnya telah terlepas
sambungannya!
Bu Seng Kin
cepat meloncat mendekati isterinya, dan dengan beberapa kali mengurut lutut itu
maka tulangnya dapat tersambung kembali dan dengan berloncatan di atas sebelah
kakinya, Tang Cun Ciu terpaksa mundur setelah mencabut pedangnya dari dalam
tanah, duduk kembali dengan muka marah dan mulut cemberut. Ia tidak pedulikan
Cin Liong yang sudah menjura kepadanya sambil berkata,
“Harap
maafkan saya....”
Akan tetapi
sikap pemuda ini sungguh membuat Bu-taihiap merasa kagum bukan main dan dia pun
menarik napas panjang penuh penyesalan. Sayang, sungguh sayang sekali bahwa
pemuda seperti ini tidak bisa menjadi mantunya. Betapa akan bangga hatinya
mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini yang selain pandai sehingga semuda
itu sudah menjadi jenderal kepercayaan Kaisar, juga amat gagah dan rendah hati.
Seorang pendekar komplit!
“Kedua orang
isteriku yang bodoh telah kalah, maka sekarang biarlah aku si tua bangka yang
tidak tahu diri ini mohon pelajaran dari keluarga Kao!” Dia sengaja menyebut
keluarga Kao, oleh karena untuk menantang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir
secara langsung dia masih merasa segan!
Cin Liong
yang masih berdiri di tengah ruangan itu dan kini melihat pendekar Bu sudah berdiri
di depannya, kemudian menjura dengan hormat. “Bu-locianpwe, sesungguhnya
kedatangan kami di sini sama sekali tidak mempunyai niat untuk bertanding
dengan siapa pun juga, apalagi bermusuhan dengan para pendekar yang kami
hormati. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar tentu saja saya harus
melaksanakan tugas, dan setelah mendengar bahwa Sang Pangeran berada di sini,
sudah menjadi tugas saya untuk membebaskannya. Dan untuk itu, kami tidak
segan-segan untuk mengorbankan nyawa. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi oleh
Locianpwe, dan saya harap saja Locianpwe tidak akan memejamkan mata melihat
kenyataan bahwa segala yang dilakukan Kaisar sama sekali tidak dapat ditimpakan
kesalahannya kepada Pangeran. Maka sekali lagi, saya harap Locianpwe suka
mempertimbangkan dan menghabiskan segala macam perkelahian yang tiada gunanya
sampai di sini saja dan membiarkan kami untuk mengawal Sang Pangeran pulang ke
kota raja.”
Ucapan itu
sungguh penuh kegagahan dan juga tidak dapat dibantah kebenarannya. Semua
pendekar yang berada di situ juga diam-diam merasa malu dan menganggukkan
kepala mereka. Akan tetapi, di balik kebenaran yang nyata ini ada kebenaran
lain, yaitu kebenaran yang teramat khas dan mutlak bagi mereka, kebenaran
perjuangan! Demi perjuangan, maka kebenaran yang lain boleh disingkirkan
dahulu….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment