Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 23
Dara itu
bukan lain adalah Ci Sian. Ketika melihat Han Beng dikeroyok, tentu saja Ci
Sian segera menghampiri dan hendak turun tangan membantu. Akan tetapi saat
melihat Su-ok mendekati kereta dan mengancam Sang Pangeran, dia cepat menyambar
dan menyelamatkan Sang Pangeran dengan menyambut serangan Su-ok yang dahsyat
itu. Oleh karena dia sudah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum
sesat yang berilmu tinggi, maka begitu terjun ia telah mengerahkan khikangnya
ketika menyambut pukulan sakti dari Su-ok yang mengakibatkan Si Gundul itu
terlempar.
Su-ok yang
sudah bangkit kembali itu memandang bengong. Sekarang Ci Sian sudah menerjang
dan membantu Han Beng, memutar sulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah pun
kata ia sudah menyerang Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu. Ji-ok juga terkejut
ketika ada sinar emas menyambarnya, dan ketika ia menangkis menggunakan
Kiam-ci, hampir saja ia terguling seperti yang telah dialami oleh Su-ok.
Terkejutlah
Im-kan Ngo-ok melihat ini dan mereka teringat akan Kam Hong yang juga amat
lihai dalam mempergunakan suling emas sebagai senjata. Dan melihat kehebatan
dara ini, mengertilah mereka bahwa pihak lawan bertambah dengan seorang yang
lihai, biar pun hanya merupakan seorang gadis remaja saja. Maka Su-ok juga
cepat terjun ke medan perkelahian dan membantu teman-temannya. Biarlah,
Pangeran itu ditinggalkan sebentar. Paling perlu merobohkan dua orang muda ini.
Pangeran itu pun tentu tidak akan mampu melarikan diri sampai jauh.
Cia Han Beng
merasa girang bukan main melihat munculnya Ci Sian. Bukan hanya gembira karena
dia memperoleh seorang kawan yang amat lihai dan boleh diandalkan, akan tetapi
juga gembira karena keselamatan Sang Pangeran dapat lebih terjamin sekarang,
dan terutama sekali dia merasa gembira memperoleh kesempatan bertemu kembali
dengan dara ini! Meski pada lahirnya pemuda ini tidak memperlihatkan sesuatu,
akan tetapi sesungguhnya dia telah jatuh hati kepada Ci Sian Sian pada
pertemuan pertama mereka di Kun-lun-san, terutama setelah keduanya saling
menguji kepandaian dalam sebuah pibu persahabatan.
“Nona,
terima kasih atas bantuanmu!” serunya dan kini pedangnya makin hebat
gerakannya, menjadi gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar dahsyat.
Ci Sian
tidak menjawab, melainkan memutar sulingnya dengan tidak kalah dahsyatnya.
Kalau dulu mereka berpibu, sekarang mereka seolah-olah bersaing
mendemonstrasikan kepandaian mereka. Tentu saja yang mengalami kerugian dalam
hal ini adalah Im-kan Ngo-ok! Menghadapi seorang Han Beng saja mereka tadi
sudah merasa sukar sekali untuk merobohkannya, apalagi kini ditambah dengan
nona yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah tingkat pemuda
Kun-lun-pai itu.
Setelah
dibantu oleh Ci Sian, kini Han Beng mendesak lima orang datuk itu. Sampai
kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba Han Beng mengeluarkan bentakan
nyaring.
“Haiiiitttt....!”
Pedangnya
menyambar ganas, tahu-tahu nampak darah muncrat dan robohlah Ngo-ok yang memang
sudah terluka dan paling lemah dan lambat gerakannya itu. Kini ujung pedang
pemuda itu menembus lehernya, maka setelah berkelojotan di atas tanah, matilah
Ngo-ok, orang termuda dari Im-kan Ngo-ok!
Hal ini
membuat empat orang kakek dan nenek itu terkejut, marah dan berduka sekali.
Tidak pernah mereka sangka bahwa seorang di antara mereka berlima akan dapat
terbunuh orang! Dan pembunuhnya seorang yang masih amat muda lagi. Su-ok yang
paling sering cekcok dengan Ngo-ok akan tetapi sesungguhnya paling mencintanya,
menjadi marah sekali dan dengan teriakan setengah terisak dan menerjang kepada
Han Beng. Namun Ci Sian yang tidak mau kalah oleh kawannya itu telah
menyambutnya. Sulingnya mengeluarkan getaran yang melengking-lengking, dan
nampak sinar emas itu terpecah menjadi banyak dan tahu-tahu ujung suling sudah
menotok dan mengenai pelipis Su-ok!
“Prokkk....!”
Tubuh Su-ok
terjengkang dan berkelojotan karena pelipis kepalanya retak. Sama seperti
Ngo-ok, tidak lama dia berkelojotan lalu tewas. Kini tiga orang kakek dan nenek
itu baru tahu bahwa pihak lawan mereka memang hebat bukan main dan merupakan
lawan yang amat berbahaya. Dan mereka tinggal bertiga, kalau dilanjutkan perkelahian
itu, bukan tidak mungkin mereka bertiga akan mengalami nasib yang sama dengan
Su-ok dan Ngo-ok.
Maka Toa-ok
mengeluarkan suara bersuit nyaring dan dua orang adiknya maklum akan isyarat
ini. Mereka lalu menyerang dengan sehebatnya, membuat dua orang muda itu
terpaksa mundur. Kesempatan itu mereka pergunakan untuk menyambar tubuh Su-ok
dan Ngo-ok yang sudah tidak bernyawa. Toa-ok menyambar tubuh Ngo-ok sedangkan
Sam-ok menyambar tubuh Su-ok, lalu ketiganya meloncat jauh dan melarikan diri.
Ci Sian yang
merasa penasaran itu hendak mengejar, tetapi Han Beng menahannya.
“Harap
jangan kejar, Nona. Lebih penting melindungi Pangeran.”
Teringatlah
Ci Sian bahwa Sang Pangeran masih berada di situ dan kalau mereka berdua
melakukan pengejaran, memang Pangeran menjadi tak terlindung dan hal ini
berbahaya sekali.
“Biar lain
kali kubasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok,” katanya.
Melihat
sepak terjang dua orang muda-mudi itu, Pangeran Kian Liong merasa kagum bukan
main. Dia keluar dari keretanya, lalu menghampiri dua orang pendekar itu dan
menjura dengan senyum kagum.
“Ah, sudah
banyak aku bertemu dan melihat kepandaian tokoh-tokoh persilatan yang gagah
perkasa. Akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan dua orang pemuda dan
pemudi yang selain gagah perkasa, tampan dan cantik, juga memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa hebatnya! Sungguh aku merasa kagum bukan main.
Bolehkah aku mengenai siapa Taihiap dan Lihiap, agar aku dapat mengucapkan
terima kasihku?”
Melihat
sikap yang demikian merendah dan lembut dari Sang Pangeran, Ci Sian juga merasa
heran dan kagum. Memang Pangeran ini amat hebat, seperti berita tentang dirinya
yang sering didengarnya. Seorang Pangeran yang sama sekali tidak tinggi hati,
bersikap ramah dan rendah hati.
Akan tetapi,
biar pun diam-diam Han Beng juga kagum melihat sikap Sang Pangeran, dia tidak
dapat melupakan bahwa Pangeran itu adalah seorang pemuda bangsawan Mancu,
keluarga Kaisar penjajah, bahkan menjadi calon pengganti Kaisar penjajah pula.
Bahkan, di balik semua itu, masih ada satu hal yang amat mengganjal hatinya,
yaitu mengingat bahwa ayahnya tewas oleh ayah Pangeran ini, dan bahwa ibunya
telah dirampas pula oleh ayah Pangeran ini! Hanya kebijaksanaannya berkat
pendidikan batin gurunya sajalah yang membuat dia tidak merasa mendendam kepada
Pangeran ini.
“Kalian
tentu telah mengenalku sebagai Pangeran Kian Liong,” kembali Sang Pangeran
berkata dengan ramah. “Maka, sudah sepatutnya kalau aku pun dapat mengenal nama
kalian.”
Ci Sian
sudah membalas penghormatan itu dengan menekuk sebelah kakinya dan merangkapkan
kedua tangan di depan dadanya. “Pangeran, nama saya adalah Bu Ci Sian.”
“Ah, Nona
Bu, sungguh sangat kagum hatiku menyaksikan sepak terjang Nona tadi, dan
terimalah ucapan terima kasihku. Tanpa ada pertolonganmu, tentu aku sudah
terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok.”
“Belum
tentu, Pangeran. Bukankah di sini ada seorang pendekar yang telah melindungi
Pangeran?” kata Ci Sian sambil memandang kepada Cia Han Beng, merasa heran
mengapa pemuda itu nampak dingin saja terhadap Sang Pangeran, bahkan tidak
membalas ucapan Sang Pangeran.
“Taihiap,
bolehkah aku mengetahui namamu?”
Han Beng
mengerutkan alisnya dan membuang muka, tidak menjawab. Ci Sian hendak
menegurnya, akan tetapi ia segera teringat siapa adanya pemuda ini! Ayah pemuda
ini tewas di tangan para pembantu Kaisar! Dan ibunya kabarnya dirampas pula.
Dan pemuda ini adalah tokoh Kun-lun-pai yang berjiwa patriot! Tentu saja lain
pandangan pemuda ini sebagai seorang patriot terhadap Pangeran Kian Liong,
seorang pangeran penjajah, seorang berbangsa Mancu!
“Pangeran,
seorang seperti Paduka tidak layak mengenal nama seorang rakyat biasa seperti
saya.”
“Ahh....!”
Pangeran Kian Liong tertegun.
Dan dari
sikap itu saja maklumlah Sang Pangeran orang macam apa yang berada di depannya.
Tentu seorang patriot yang anti penjajahan, pikirnya sambil menarik napas
panjang penuh hati sesal.
Melihat
sikap Pangeran yang tetap halus akan tetapi jelas merasa kesal dan berduka itu,
Ci Sian merasa betapa sikap pemuda Kun-lun-pai itu tidak sepatutnya. Ia sendiri
tidak peduli akan soal patriot atau bukan patriot. Ia tidak mengerti akan semua
itu, dan ia bertindak hanya menurut naluri kemanusiaannya.
“Cia-enghiong,”
kata Ci Sian, suaranya agak dingin. “Mengapa engkau bersikap seperti orang
tidak suka kepada Pangeran? Bukankah beliau telah bersikap manis dan ramah
kepada kita?”
“Maaf,
bagaimana pun juga, aku tidak mampu melupakan kenyataan bahwa dia adalah
seorang Pangeran Mancu, penjajah tanah air kita,” jawab Han Beng tanpa peduli
bahwa Sang Pangeran sendiri berada di tempat itu mendengarkan kata-katanya.
“Tapi, kalau
engkau beranggapan demikian, mengapa tadi engkau melindunginya dari ancaman
Im-kan Ngo-ok? Mengapa tidak kau biarkan saja Pangeran penjajah ini tewas di
tangan mereka?” Ci Sian bertanya, suaranya mulai merasa penasaran. Memang sikap
dara ini amat terbuka, dan ia selalu siap untuk menentang segala sesuatu yang
dianggapnya tidak benar.
“Nona,
engkau tahu bahwa kami para patriot tak pernah membenci pribadi-pribadi atau
perorangan. Kami menentang penjajahan, bukan membenci seseorang. Dan kalau aku
melindunginya, bukan berarti aku melindungi pribadi Pangeran, namun sesuai
dengan rencana dan garis perjuangan para patriot. Untuk perjuangan ini, aku
rela walau pun harus mengorbankan nyawaku.”
“Lalu apa
yang hendak kau lakukan terhadap Sang Pangeran sekarang?” Ci Sian bertanya,
suaranya lantang.
“Sesuai
dengan tugas yang kuterima, aku harus membawa Pangeran pergi dari sini,
menyelamatkannya dari orang-orang yang hendak membunuhnya.”
“Membawanya
kembali ke istana di kota raja?”
Pemuda itu
menggeleng kepala, “Tugasku bukan demikian, melainkan membawanya ke suatu
tempat.”
“Sebagai
tawanan para patriot?”
Pemuda itu
mengangguk.
“Aku yang
akan menentangmu!” tiba-tiba dara itu berseru dan mengeluarkan sulingnya,
melintangkan sulingnya di depan dada.
Pemuda itu
tercengang dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, Nona? Nona
seorang pendekar yang berilmu tinggi, mana mungkin Nona hendak melindungi
Pangeran penjajah dan hendak menentang kami....?”
“Aku tidak
peduli akan segala patriot, segala penjajah, segala tetek-bengek! Pendeknya,
aku hendak mengantar Pangeran kembali ke tempat tinggalnya, ke istananya di
kota raja. Dan siapa pun yang hendak mencelakainya, baik orang-orang jahat
macam Im-kan Ngo-ok, mau pun orang-orang macam kau yang menamakan dirinya
patriot, akan kutentang dan kulawan!”
Han Beng
memandang bingung, lalu menarik napas panjang, nampak berduka. “Ahh, tidak
kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu dalam keadaan seperti ini....“
Pangeran
Kian Liong sudah mendengar cukup. Dia melangkah maju sambil tersenyum. “Aku
dapat memaklumi keadaan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sebelum kalian
berdua ribut-ribut, marilah kita berbincang-bincang tentang diriku yang hendak
dijadikan rebutan. Banyak orang menilai diriku begini, begitu, hanya dengan
memandang diriku sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Mancu! Apa sih salahnya
seorang manusia yang dilahirkan sebagai seorang putera Kaisar penjajah Mancu?
Seperti juga apa salahnya kalau orang dilahirkan sebagai putera patriot,
sebagai anak seorang penjahat, seorang jembel, dan sebagainya lagi? Kita ini
masing-masing dilahirkan tanpa kita minta menjadi anak siapa pun! Mengapa
setelah terlahir, kita lupa akan hal ini, dan kita memecah-mecah manusia
sebagai penjajah, sebagai pejuang, sebagai ini dan itu? Bukankah ketika kita
terlahir, kita ini sama? Sebagai seorang orok yang begitu terlahir, telanjang
dan menangis? Salahkah kalau aku menjadi putera Kaisar Mancu? Bagiku, yang
penting adalah manusianya, bukan embel-embel berupa bangsanya atau
keturunannya, hartanya, kedudukannya, atau kepandaiannya, atau agamanya dan
sebagainya. Manusia tetap manusia, diberi embel-embel apa pun juga, dan yang
menentukan apakah dia patut disebut manusia atau tidak bukanlah embel-embelnya
itu, melainkan si manusianya sendiri. Aku menjadi Pangeran Mahkota adalah karena
keadaanku, dan aku tidak pernah menganggapnya buruk, karena aku pun tak pernah
menyalah gunakan kedudukan. Dan aku berjanji kelak kalau menjadi kaisar, akan
menjadi kaisar yang baik, untuk manusia, bukan untuk bangsa ini atau itu,
melainkan untuk rakyatku.”
“Mudah
memang bagi Paduka untuk bicara demikian, Pangeran,” Han Beng segera membantah.
“Karena Paduka tidak pernah menderita karena penjajahan itu, Paduka tidak
pernah merasakan bagaimana rakyat ditindas, tidak merasa betapa ayah Paduka
dibunuh, ibu Paduka diperkosa orang, harta Paduka dirampas orang! Bangsa Mancu
telah menjajah dan menindas bangsa Han, apakah kami para patriot yang mencinta
rakyat dan tanah air tidak seharusnya dan sepatutnya bangkit dan kemudian
berusaha mengenyahkan penjajah?”
Pangeran itu
tersenyum. “Sudah kukatakan, semua itu telah terjadi dan aku tidak bertanggung
jawab. Tanggung jawabku adalah sekarang ini, kalau menjadi pangeran ya jadilah
pangeran yang baik, kalau menjadi kaisar jadilah kaisar yang baik dan demikian
seterusnya menurut kedudukan masing-masing. Seperti kulihat, bangsa Mancu yang
menjajah itu kini malah melebur dirinya menjadi bangsa Han! Mana ada kebudayaan
Mancu dipelihara? Mana ada kesusastraan Mancu atau kesenian Mancu? Bahkan
bahasa Mancu pun tidak selancar kupergunakan seperti bahasa Han. Bukan aku
membela bangsa Mancu, melainkan kenyataannya demikian. Bagiku, semua manusia
itu sama saja, bangsa apa pun juga adanya. Baik buruk ditentukan oleh
manusianya, bukan oleh bangsanya. Membeda-bedakan bangsa hanya menimbulkan
kebencian dan permusuhan belaka.”
“Hem, Paduka
akan bicara lain kalau ayah Paduka dibunuh kaisar, kalau ibu Paduka dipaksa
kaisar menjadi selirnya!” kata Han Beng dengan suara penuh kepahitan.
Sang
Pangeran terkejut juga mendengar ini dan memandang tajam.
Pada saat
itu Ci Sian sudah melangkah maju menghadapi Han Beng dan berkata dengan suara
menantang, “Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Cia Han Beng! Sekarang
terserah kepadamu! Aku akan mengawal Pangeran pulang ke kota raja dan siapa pun
juga yang akan mengganggunya, biar engkau sekali pun, terpaksa akan kuhadapi
sebagai lawan! Ingat, aku tidak berpihak kepada kerajaan, juga tidak berpihak
kepada kaum patriot. Aku tidak mengerti soal itu dan tidak mau tahu. Aku hanya
bertindak sebagai seorang yang ingin menjadi seorang pendekar, membela yang
lemah terancam, menentang yang kuat sewenang-wenang. Nah, terserah kepadamu!”
Sejenak Han
Beng meragu. Kalau bukan Ci Sian yang berdiri menghalangi, tentu akan
diterjangnya dan dilawannya, betapa pun lihainya pelindung Pangeran itu. Akan
tetapi Ci Sian yang berdiri di depan dan menantangnya. Dia bukan takut melawan
dara ini, sama sekali tidak, karena biar pelindung Pangeran lebih lihai dari
pada Ci Sian sekali pun akan dilawannya. Akan tetapi dia enggan melawan Ci Sian
sebagai musuh. Dia telah jatuh cinta pada dara ini. Akhirnya dia menarik napas
panjang dan menyarungkan pedang Ang-hio-kiam yang sejak tadi masih dipegangnya.
“Sudahlah,
aku tak ingin menghadapimu sebagai musuh, Nona. Sampai jumpa!” Berkata
demikian, pemuda itu lalu meloncat dan sebentar saja lenyaplah pemuda itu dari
dalam hutan itu.
Pangeran
Kian Liong menarik napas panjang. “Sayang.... sayang hatinya dipenuhi oleh
dendam....”
“Akan tetapi
dia seorang murid Kun-lun-pai yang baik sekali, Pangeran, dan memang
keadaannya.... ehhh, patut dikasihani.”
Sang
Pangeran memandang tajam kepada dara yang mendatangkan rasa kagum di hatinya
itu. “Ahhh, benarkah bahwa ayahnya terbunuh Kaisar dan Ibunya dirampas....”
Dara itu
mengangguk.
Sang
Pangeran mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Sekarang aku tahu.... selir
ayah ada yang katanya bekas isteri seorang pendekar Kun-lun-pai. Hemm, luar
biasa sekali, dan pemuda itu, yang sesungguhnya masih saudara tiriku, yang
telah diracuni dendam, bahkan telah menyelamatkan aku dari ancaman Im-kan
Ngo-ok.”
“Tidak luar
biasa, Pangeran. Ingat, dia seorang pendekar dan seorang patriot.”
“Dan engkau,
Nona Bu?”
“Saya? Saya
seorang biasa, bukan patriot.”
“Tapi kenapa
engkau menolongku, Nona?”
“Karena saya
sudah banyak mendengar tentang Paduka sebagai seorang pangeran yang bijaksana,
bahkan orang-orang gagah mengharapkan kelak kalau Paduka menjadi kaisar, Paduka
akan menghapus segala kelaliman, membasmi segala kejahatan yang terjadi. Karena
itu, sudah sepatutnyalah kalau saya melindungi Paduka dari ancaman mala
petaka.”
“Hemm,
sungguh hebat. Dan sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan diriku, Nona?”
“Mengantar
Paduka menuju ke kota raja.”
Pangeran itu
teringat kepada Su-bi Mo-li dan memandang kepada empat mayat mereka dengan mata
ngeri.
“Dan kalau
kita sudah tiba di kota raja?” Ingin dia mengetahui, pamrih apa yang
tersembunyi di balik keinginan dara ini untuk mengawal dan melindunginya.
“Sesudah
kita di kota raja? Tentu saja Paduka kembali ke istana Paduka dengan aman.”
“Dan
engkau?”
“Saya? Saya
akan melanjutkan perjalanan saya.”
“Ke manakah,
Nona?”
“Ke mana
saya sendiri belum tahu. Saya sedang mencari Suheng saya, Pangeran.”
“Dan kau....
setelah berhasil mengantarku ke istana, engkau tidak menghendaki imbalan jasa
apa-apa?”
Ci Sian
memandang wajah yang halus itu dengan tajam, tidak mengerti. “Imbalan jasa apa?
Saya tidak menghendaki apa-apa, hanya menghendaki Paduka selamat sampai di
istana, cukuplah. Imbalan apa? Jasa apa?”
Melihat
keterbukaan hati dara ini yang polos dan jujur sekali, Sang Pangeran menjadi
kagum bukan main. Seorang dara yang masih murni dan telah memiliki ilmu
kepandaian yang demikian hebatnya!
“Kalau
begitu, mari kita pergi, Nona. Tidak tahan aku untuk berdiam di sini lebih lama
lagi.”
“Baik,
Pangeran. Mari kita pergunakan dua ekor kuda itu, jangan mempergunakan kereta
karena hal itu akan menarik perhatian orang.”
Pangeran itu
tak membantah dan karena memang dia tidak memakai pakaian pangeran, hanya
pakaian pemuda biasa, maka ketika mereka berdua berdampingan menunggang kuda,
tidak akan ada yang menyangka bahwa yang pria itu adalah Pangeran Mahkota.
Orang tentu akan mengira bahwa mereka hanya sepasang muda-mudi yang melakukan
perjalanan belaka, atau sepasang suami isteri yang masih amat muda, atau juga
sepasang pendekar.
Melihat
sikap Ci Sian yang amat lincah gembira, gagah perkasa dan amat tabah, hati
Pangeran itu menjadi makin suka dan kagum. Sebaliknya melihat sikap Pangeran
yang amat ramah, lemah-lembut, sama sekali tidak ceriwis, dan setelah
bercakap-cakap ia mendapatkan kenyataan bahwa Sang Pangeran memiliki
pengetahuan yang amat luas, Ci Sian juga merasa kagum. Hatinya terhibur juga
melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang begini pandai, tahu akan
segala hal, bahkan tahu akan keadaan di dunia kang-ouw!
“Nona Bu,
engkau memiliki ilmu silat yang amat tinggi sekali, maka kukira engkau tentu
masih mempunyai hubungan dengan Bu-taihiap, Bu Seng Kin. Bukankah demikian?”
Ci Sian
terkejut dan menoleh kepada pemuda yang menunggang kuda di sampingnya itu. Akan
tetapi ia tidak mungkin dapat membohong kepada sepasang mata yang jernih tajam
itu. Maka ia pun mengangguk tanpa menjawab karena hatinya kesal mendengar
disebutnya nama ayahnya.
“Masih ada
hubungan apakah, kalau aku boleh bertanya?”
Terpaksa Ci
Sian menjawab singkat, “Dia.... dia itu ayah kandung saya.”
“Ah....!
Maaf, maaf, kiranya Nona adalah puteri Bu-taihiap? Sungguh luar biasa! Kalian
ini keluarga Bu agaknya hendak melimpahi diriku dengan budi-budi yang amat
besar. Bukan hanya ayahmu yang pernah menyelamatkan diriku, juga dari tangan
penjahat-penjahat Im-kan Ngo-ok, sekarang puterinya juga!”
“Dia....
ayah saya pernah menolong Paduka?”
“Benar,
malah dia menolongku disertai tiga orang isterinya dan seorang puterinya. Yang
manakah di antara tiga orang isterinya itu yang menjadi ibumu, Nona?”
Ci Sian
maklum siapa yang dimaksud dengan puteri ayahnya itu. Tentu Bu Siok Lan, puteri
ayahnya dan Panglima Nepal Nandini itu, siapa lagi? Dan tiga orang isterinya
itu ia pun sudah dapat menduganya. Siapa lagi kalau bukan Nandini, Nikouw Gu
Cui Bi, dan wanita dari Lembah Suling Emas, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu?
Ia cemberut, hatinya kesal sekali. Akan tetapi ia harus menjawab pertanyaan
Sang Pangeran.
“Ibu saya
telah meninggal dunia. Saya tidak mengenal mereka itu!” Dan ia pun cemberut
lalu mencambuk kudanya sehingga kudanya lari congklang.
Sang
Pangeran juga mencambuk kudanya untuk mengejar. Pangeran ini biar pun masih amat
muda, akan tetapi sudah berpengetahuan luas. Dia tahu bahwa dara itu marah.
Agaknya dara itu telah tak beribu dan tidak setuju ayahnya yang mempunyai
banyak isteri itu. Dan diam-diam dia pun tersenyum. Dia tahu bahwa Bu-taihiap
adalah seorang pria yang suka akan wanita, tampan gagah dan banyak pula wanita
yang tergila-gila kepadanya.
Seorang pria
pengejar wanita, hidung belang akan tetapi bertanggung-jawab. Dia pun menarik
napas panjang. Ada perbedaan antara pria seperti Bu-taihiap dengan Kaisar atau
pembesar-pembesar yang mengumpulkan banyak selir. Selir-selir itu tidak ada
ubahnya binatang-binatang peliharaan yang dibeli dengan kemuliaan atau harta.
Akan tetapi, wanita-wanita yang menjadi isteri Bu-taihiap adalah karena
tertarik, dan karena saling mencinta. Keduanya tentu ada baiknya dan ada
buruknya.
Para selir
yang tertarik oleh kemuliaan dan harta memang dapat hidup rukun akan tetapi
mereka melayani suami mereka hanya dengan kemesraan palsu belaka. Sebaliknya,
para isteri pria seperti Bu-taihiap itu semua mencintanya, akan tetapi tentu
saja tidak dapat hidup rukun satu sama lain, dan akibatnya sang suami yang
selalu menghadapi isteri-isteri yang penuh cemburu dan keluarganya menjadi
retak. Contohnya adalah keluarga pendekar Bu ini. Puteri kandungnya sendiri,
dara yang lincah jenaka dan gagah perkasa, yang sebenarnya tentu dapat menjadi
seorang puteri yang mencinta ayah kandungnya, kini agaknya membenci keluarga
ayahnya.
Dan di dalam
perjalanan mereka itu tidak terjadi gangguan. Agaknya setelah Im-kan Ngo-ok
kalah, bahkan dua orang di antara mereka tewas, tidak ada lagi yang berani
mencari dan mencoba untuk mengganggu Sang Pangeran. Agaknya para tokoh golongan
sesat sudah mendengar akan tewasnya dua orang dari Im-kan Ngo-ok. Hal ini amat
mengejutkan hati mereka dan mereka menjadi gentar, maklum bahwa Sang Pangeran
dilindungi oleh orang-orang yang benar-benar amat sakti.
Pada suatu
hari, selagi Sang Pangeran dan Ci Sian berkuda dengan perlahan-lahan seenaknya
sambil menikmati pemandangan indah dari lereng sebuah bukit, tiba-tiba Pangeran
Kian Liong melihat jauh di bawah sana ada debu mengebul tinggi dan kemudian
nampak pasukan besar tentara kerajaan berbaris. Dia merasa heran sekali.
“Hemm, itu
adalah pasukan kerajaan yang cukup besar jumlahnya!” katanya kepada Ci Sian.
“Pemimpinnya bahkan seorang pangeran, dapat kulihat dari corak benderanya.”
“Ada terjadi
apakah, Pangeran?” tanya Ci Sian. “Apakah sudah terjadi perang? Dengan siapa?”
Ci Sian teringat akan perang antara tentara kerajaan melawan tentara Nepal di
daerah Tibet.
“Entahlah.
Menurut pendengaranku, tidak ada perang, bahkan tak ada pemberontakan yang
perlu dipadamkan setelah Jenderal Kao berhasil memadamkan pemberontakan di
barat.”
“Jenderal
Kao Cin Liong?” Ci Sian bertanya.
“Benar!
Ehhh, apakah engkau sudah mengenalnya, Nona?”
Ci Sian
tersenyum. “Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran. Bahkan saya bertemu dengan
dia ketika dia sedang menyamar dan menyusup ke dalam benteng musuh, yaitu
benteng pasukan Nepal.”
“Ahhh? Lain
kali harap kau ceritakan tentang hal itu, Nona Bu. Sekarang, kita harus
mengikuti pasukan itu. Ingin kuketahui apa yang hendak mereka lakukan.”
“Bagaimana
kalau kita mengejar dan menyusulnya, kemudian Paduka dapat bertanya kepada
komandannya?”
“Tidak, aku
tidak ingin mencampuri urusan mereka, apalagi mereka itu tentu bergerak atas
perintah atasan. Aku hanya ingin tahu apa yang akan mereka lakukan.”
Dan mereka
berdua pun melarikan kuda untuk mengikuti pasukan besar itu. Dan di sepanjang
jalan, dengan hati penuh kemarahan dan kedukaan, Sang Pangeran melihat bekas
tangan para anak buah pasukan itu. Perampasan-perampasan, pemukulan-pemukulan,
perbuatan-perbuatan kurang ajar terhadap wanita-wanita.
Biar pun
belum sampai terjadi perkosaan atau pembunuhan, namun sikap pasukan itu sungguh
memalukan, bukan merupakan sikap pasukan yang berdisiplin dan baik, dan sikap
seperti itu hanya memancing kebencian rakyat terhadap pemerintah! Diam-diam
Sang Pangeran mencatat semua bekas tangan pasukan itu untuk kelak dia laporkan
dan dia tuntut agar komandan pasukan yang lengah dan tidak berdisiplin itu
menerima hukuman atau setidaknya menerima teguran dan penurunan pangkat,
sedangkan para anak buah pasukannya menerima hukuman yang cukup keras.
Ci Sian
sibuk mengumpulkan data-data dan bukti-bukti tentang keburukan sikap serta
sepak terjang para pasukan itu dengan bertanya-tanya kepada para penghuni
dusun-dusun di sepanjang jalan yang dilalui pasukan.
Ternyata
pasukan itu berjumlah seribu orang dan bersenjata lengkap. Dipimpin oleh
seorang pangeran dan dua orang jenderal yang berkepandaian tinggi! Mendengarkan
ciri-ciri dari Pangeran dan jenderal itu, tahulah Sang Pangeran, siapa mereka.
Pangeran
yang memimpin itu adalah seorang keponakan ayahnya, seorang pangeran yang
usianya sudah tiga puluh lima tahun dan terkenal memiliki ilmu silat cukup
tinggi, bernama Pangeran Seng Goan Ong, sedangkan dua orang jenderal itu pun
terkenal memiliki kepandaian yang hebat.
Yang seorang
adalah Jenderal Tang Sen Hoat, yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh
tinggi besar bertenaga gajah, sedangkan jenderal ke dua adalah Jenderal Boan
Ciong, seorang jenderal berusia hampir lima puluh tahun yang selain ahli dalam
ilmu siasat perang, juga memiliki ilmu silat tinggi pula.
Diam-diam
Sang Pangeran merasa heran. Kalau menghadapi pemberontakan, kenapa yang dikirim
hanya seribu orang pasukan, akan tetapi pemimpinnya sampai seorang pangeran dan
dua orang jenderal? Dan dua orang jenderal itu pun bukan ahli-ahli perang,
melainkan pelatih-pelatih. Jenderal Tang ialah seorang pelatih silat, sedangkan
Jenderal Boan pelatih ilmu perang. Pangeran Seng Goan Ong juga terkenal sebagai
seorang penasehat dalam hal latihan-latihan ketangkasan bagi para pasukan
pengawal istana.
Karena ingin
sekali tahu, maka Pangeran Kian Liong mengajak Ci Sian untuk terus mengikuti
barisan itu sehingga mereka membuat perjalanan menyimpang, bahkan kini makin
meninggalkan kota raja. Akan tetapi Ci Sian juga merasa gembira saja karena
Pangeran ini merupakan teman seperjalanan yang mengasyikkan, pandai bicara, dan
sikapnya amat baik dan menyenangkan. Dia seolah-olah merasa sejak lama telah
mengenal Pangeran itu dan mereka bagaikan dua orang sahabat baik, atau seperti
saudara saja.
Hubungan
antar manusia memang akan menjadi sesuatu yang amat indah dan akrab kalau yang
berhubungan itu adalah dua orang manusianya tanpa mengikut sertakan segala
macam embel-embelnya. Namun sungguh sayang sekali. Kita selalu melupakan segi
kemanusiaannya pada seseorang dan kita lebih mementingkan embel-embelnya itu
ialah kedudukannya, harta bendanya, kemampuannya, pendidikannya, agamanya, dan
sebagainya.
Kita selalu
menilai manusia dari embel-embelnya itulah, maka tidaklah mengherankan apabila
hubungan antara manusia merupakan hubungan yang palsu, hubungan antara dua
orang munafik. Yang berhubungan hanyalah gambaran-gambaran yang kita bentuk
berdasarkan embel-embel itu, bukan hubungan antara dua manusia yang sebenarnya.
Hubungan antara dua gambaran manusia ini selalu mendatangkan konflik.
Kalau kita
masing-masing menelanjangi diri dari pada segala embel-embel itu, kalau kita
memandang orang lain tanpa disertai gambaran embel-embel itu, maka yang tinggal
hanyalah manusianya, tanpa perbedaan, dan dalam hubungan antara manusia seperti
ini, tanpa embel-embel lagi, barulah tercipta sesuatu yang disinari cinta
kasih, karena lenyapnya gambaran-gambaran itu melenyapkan pula pamrih yang
bersembunyi di balik hubungan itu. Dan sekali timbul pamrih, apa pun yang kita
lakukan adalah palsu!
***************
Biara
Siauw-lim-si amat terkenal sejak dahulu. Dari biara inilah keluarnya bukan saja
ajaran-ajaran Agama Buddha, akan tetapi juga di situ pula dicetak
pendekar-pendekar silat kenamaan yang gagah perkasa. Partai persilatan Siauw-lim-pai
merupakan sebuah di antara partai-partai yang besar, bahkan tidak dapat
disangsikan lagi bahwa ilmu silat banyak bersumber pada Siauw-lim-pai.
Di jaman
dahulu, yang diperbolehkan belajar ilmu silat Siauw-lim-pai hanyalah para
hwesio dan orang yang ingin mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih
dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah
hwesio. Peraturan ini dahulunya dijaga keras, oleh karena menurut pendapat para
pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio saja yang
patut mempelajari ilmu silat.
Seorang
hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat
mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik.
Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu
itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk
perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa
mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan
mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia
amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia
mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak
sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan sejenis kekuasaan pula.
Memang ada
beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang
menerima murid bukan pendeta. Tetapi tentu saja pilihan para pimpinan
Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio
yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih.
Namun, sejak
Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi
oleh Kaisar Yung Ceng, berubahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai
pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa
perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperbanyak
murid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu akhirnya
mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot.
Ketika
mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang
luar, bukan hwesio, menjadi muridnya, berbondong-bondong datanglah
pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu.
Tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biar pun telah
merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima
sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau
menerima terlalu banyak.
Oleh karena
itu, mereka kemudian mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan
mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. Ini merupakan ujian pertama
untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka. Puluhan orang muda
yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima
masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang
pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap
berlutut di situ.
Pimpinan
Siauw-lim-pai juga mengadakan ujian diam-diam dengan cara mengeluarkan dan
menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang
sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua
hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu.
Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang
menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan
dipersilakan pulang saja.
Banyaklah
yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih,
setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang
tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan
dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang
hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak-anak murid
Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.
Jangan
dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai
ini. Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga
ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat
masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada
yang disuruh bekerja di dapur di mana tiap hari dilakukan pekerjaan memasak
bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggota Siauw-lim-pai yang
hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air,
memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya.
Bagi yang
tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka
memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah
diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak belian! Mereka itu
pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu adalah pelajaran pokok
atau dasar bagi mereka!
Para hwesio
yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan
mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang
bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang
diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari
dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu.
Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai
pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid,
dia telah mulai berlatih sinkang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga
sinkang yang amat kuat.
Ada yang
pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah
sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia
rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya
akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah
menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat.
Yang
pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh
mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia
telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja
dia akan mampu membelah kayu.
Yang bekerja
memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat
mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini, dia mempergunakan adukan
yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu,
tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua
tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya.
Demikian
pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan
tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun
itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan
mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun
belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram
sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya
dasar-dasar ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang luar biasa.
Bermacam-macam
cara latihan diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si.
Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar
tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut ‘mengasah
pedang bermata dua’ karena hasilnya ada dua macam. Pertama, tanpa sadar si
murid telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke
dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan
pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara.
Dengan
saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat
biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini,
setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang
berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat.
Setelah
mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai
melatih ilmu silat dasar kepada mereka. Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja
memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi
mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam
kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki
mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu
berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda!
Setelah
mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga jika ditendang atau
didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya,
seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu
pukulan dan ilmu langkah.
Bermacam
ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling
kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat
Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga)
dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang.
Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan
semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali.
Mereka
melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul
secara naluri, akan tetapi justru karena naluri membela diri ini, di dalamnya
tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat, yang sesuai dengan kekuasaan alam
yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri. Hal
ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat,
mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan
cara bernapas saat bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka
terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang
liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra
dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan
dari gerakan binatang-binatang itu, maka gerakan ilmu silat yang pada dasarnya
mencontoh gerakan binatang itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali.
Demikianlah keadaan
Siauw-lim-si pada waktu itu. Para pimpinan Siauw-lim-pai tak tahu sama sekali
bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang
kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyelundup dan menyusup dan diterima
menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai semua gerakan
Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat
mengetahui semua rahasia perkumpulan ini.
Pada suatu
hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai
tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang
memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai,
mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan
Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya
empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, bersikap angker dan galak.
“Apa yang
kalian lakukan di sini?!” bentak hwesio tinggi besar itu.
Dua orang
pemuda itu amat terkejut. Seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah
kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio
dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas
kitab.
“Dukkkk!”
Murid itu
menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan
main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat! Dia menjadi
penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak
sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh
murid itu.
“Dukkk....
plakkk!”
Kembali
murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga
sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tak kalah olehnya! Dia
terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah.
“Siapa
kalian sebenarnya? Apa yang kalian lakukan di sini?!”
Dua orang
muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara
mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya.
Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia, atau mereka berdua, adalah seorang
yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda
ini dan dia terkejut bukan main.
“Kalian pengkhianat....!”
bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang.
Akan tetapi,
orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua
orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari
utara.
“Hui Sian
Hwesio!” kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek, “Mungkin engkau
mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami
adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak
keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam
melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara
Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!”
“Hui Sian
Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio,” sambung orang ke dua yang
memeriksa kitab tadi. “Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih
muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu,
hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan
suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi.”
“Mungkin
juga menjadi jenderal, mengingat akan kemampuanmu.”
Hui Sian
Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, ia masuk menjadi hwesio karena
wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka,
dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu
hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa
dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri. Kini, terbuka
kesempatan baginya!
Dan memang
dia pun tahu bahwa melawan pemerintah sama dengan membunuh diri. Dia sudah
tidak setuju dan sering menentang keputusan suhu-nya, Ketua Siauw-lim-pai yang
menerima murid-murid luar dan yang bergabung dengan kaum patriot penentang
Kaisar itu. Kini, kesempatan baik terbuka. Mereka lalu berbisik-bisik dan mulai
saat itulah Hui Sian Hwesio, seorang di antara kepercayaan-kepercayaan dan
murid-murid terlihai dari Ketua Siauw-lim-pai, diam-diam menjadi pengkhianat
dan menjadi kaki tangan Kaisar!
Hui Sian
Hwesio mulai dengan usahanya membujuk murid-murid Siauw-lim-si untuk mengikuti
jejaknya dan memang dia berhasil membujuk beberapa orang yang siap membantunya
dan membantu pasukan pemerintah kalau saatnya tiba, yaitu membantu pasukan
untuk membasmi Siauw-lim-si!
Sayang
sekali bahwa kebanyakan para pendeta Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, yaitu
Sang Ketua dan tokoh-tokoh lain di bawahnya, selain memiliki kepandaian silat
tinggi, juga merupakan orang-orang yang terlalu sabar dan mengalah. Ada
beberapa orang di antara mereka yang menaruh curiga terhadap Hui Sian Hwesio,
namun mereka ini tidak mau bertindak lebih jauh lagi.
Mereka hanya
diam-diam menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada beberapa orang murid
Siauw-lim-pai yang mereka pilih dan sukai, menurunkannya secara diam-diam untuk
dapat melawan orang-orang seperti Hui Sian Hwesio kelak, dan untuk dipakai
membela Siauw-lim-pai. Ada pun mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang
telah bersumpah untuk selamanya tidak akan mempergunakan kekerasan. Yang
bersumpah seperti ini adalah sebagian besar, hampir semua tokoh-tokoh tingkat
atas Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya sendiri.
Demikianlah
keadaan di Siauw-lim-si yang di sebelah dalamnya telah dihuni musuh-musuh dalam
selimut. Dan dalam keadaan seperti itulah, pada suatu hari, seperti yang telah
direncanakan oleh Hui Sian Hwesio dan kawan-kawannya, setelah pendeta ini
keluar dari kuil pada suatu malam untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan
para pimpinan pemerintah, pasukan pemerintah yang terdiri dari seribu orang itu
datang untuk menyerbu Siauw-lim-pai! Dan pasukan inilah yang dilihat dan
diam-diam diikuti oleh Pangeran Kian Liong dan Ci Sian.
Kali ini
pasukan Kerajaan Mancu itu datang menyerbu dengan alasan bahwa pendeta
Siauw-lim-pai telah menculik Pangeran Mahkota! Hal ini tentu saja merupakan
fitnah, akan tetapi bukan fitnah yang tidak berdasar. Bukankah lenyapnya
Pangeran Mahkota terjadi ketika beliau menjadi tamu kuil Hok-te-kong di Pao-ci?
Dan bukankah kuil itu dipimpin oleh seorang hwesio murid Siauw-lim-pai? Tentu
saja, kuil itu sendiri telah dibasmi, para hwesionya ditangkap dan dihukum mati
sebagai pemberontak sebelum pasukan besar itu berangkat menyerbu Siauw-lim-pai
pusat, dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal.
Ketika pasukan
menyerbu, Hui Sian Hwesio sendiri yang membuka-bukakan pintu-pintu berlapis
itu. Beberapa orang hwesio murid Siauw-lim-pai yang melihat ini terkejut dan
tentu saja hendak menghalangi, akan tetapi dengan senjata tombak kapaknya, Hui
Sian Hwesio membunuh empat orang murid itu! Mulailah Hui Sian Hwesio
memperlihatkan mukanya yang sesungguhnya!
Seorang
pendekar, yaitu murid Siauw-lim-pai bukan hwesio yang telah menerima
latihan-latihan ilmu dari para pimpinan yang telah mempersiapkan mereka untuk
membela Siauw-lim-pai, melihat ini cepat mengejar dan menyerang Hui Sian
Hwesio, namun terlambat sudah. Pintu gerbang telah terbuka dan pasukan
pemerintah, dikepalai Pangeran dan dua orang jenderal yang perkasa, telah
menyerbu bagaikan gelombang samudera.
Terjadilah
pertempuran yang amat hebat! Kurang lebih lima puluh orang murid-murid
Siauw-lim-pai yang baru, terdiri dari pemuda-pemuda penuh semangat dan bagaikan
harimau-harimau muda, ditambah lagi kurang lebih seratus orang murid
Siauw-lim-pai yang menjadi hwesio, melakukan perlawanan mati-matian. Terjadilah
pertempuran di semua bagian biara yang besar itu. Di depan, di ruangan tengah,
di pekarang, di taman bunga, di ruangan dalam dan belakang.
Banjir darah
terjadi di biara yang biasanya hanya menjadi tempat pemujaan bagi para biarawan
itu. Darah para pendekar Siauw-lim-pai, para hwesio Siauw-lim-pai, dan juga
sebagian besar darah pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai itu sungguh
hebat. Biar pun jumlah mereka hanya kurang lebih seratus lima puluh orang yang
menghadapi penyerbuan seribu orang tentara, namun mereka melakukan perlawanan
gigih dan setiap murid Siauw-lim-pai baru roboh setelah menjatuhkan sedikitnya
dua orang lawan! Hui Sian Hwesio sendiri juga mengamuk, dikeroyok oleh tiga
orang murid baru dari Siauw-lim-pai. Juga Sang Pangeran yang memimpin
penyerbuan, bersama dua orang jenderal, mengamuk bagaikan binatang-binatang
buas.
Para murid
Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan dengan cara berlari ke sana-sini, saling
bantu dan main kucing-kucingan. Akan tetapi mereka merasa menyesal sekali dan
gelisah melihat betapa Ketua Siauw-lim-pai bersama para pucuk pimpinan, sama
sekali tidak mau ikut bertempur membela Siauw-lim-pai, melainkan berkumpul di
ruang sembahyang, duduk bersila dan bersemedhi, menerima kematian dengan sikap
tenang penuh damai! Kalau saja belasan orang pucuk pimpinan itu mau turun
tangan, biar pun akhirnya kalah juga karena kalah jumlah, kiranya akan lebih
banyak musuh dapat dihancurkan dan ditewaskan.
Pertempuran
hebat itu terjadi dengan serunya, dan makan waktu hampir setengah hari. Melihat
betapa murid-murid Siauw-lim-pai lebih banyak merobohkan anggota pasukan dengan
cara kucing-kucingan di tempat yang tentu saja lebih mereka kenal itu, Sang
Pangeran lalu memerintahkan pasukan panah untuk menghujankan panah api ke
biara! Biara mulai terbakar! Karena setiap murid Siauw-lim-pai terlibat dalam
perkelahian mati-matian, dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan api, maka
sebentar saja biara itu menjadi lautan api!
Melihat ini,
para pendekar Siauw-lim-pai mengamuk nekad. Mereka itu memang hebat bukan main,
merupakan pemuda-pemuda yang sudah berubah seperti menjadi naga-naga muda yang
tidak takut mati dan pantang mundur. Akan tetapi, api yang membakar biara itu
membuat mereka tidak dapat main kucing-kucingan lagi dan terpaksa mereka itu
memusatkan tenaga di pekarangan depan di mana terjadi pertempuran terakhir yang
amat dahsyat. Sang Pangeran dan dua orang jenderal yang memimpin pasukan, tewas
pula di tangan para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bahkan Hui Sian
Hwesio sendiri akhirnya tewas setelah hwesio ini merobohkan sedikitnya lima
orang murid gemblengan dari Siauw-lim-pai.
Akhirnya,
melalui pertempuran yang merupakan pembantaian terhadap murid-murid
Siauw-lim-pai, semua murid Siauw-lim-pai, kecuali delapan orang murid baru,
telah tewas. Darah membanjir di mana-mana dan mungkin hanya api itu saja yang
akan dapat mencuci bersih noda-noda darah sampai tak berbekas lagi. Andai kata
tidak terjadi pembasmian dan kebakaran, tentu tempat itu tidak mungkin lagi
dijadikan biara, setelah darah ratusan orang membanjiri tempat itu, setelah
ratusan tubuh kehilangan nyawa di tempat itu. Sungguh mengerikan sekali dan
juga menyedihkan betapa sebuah biara kini berubah menjadi seperti gambaran neraka!
Melihat
penyerbuan itu, Pangeran Kian Liong yang berada di belakang pasukan, beberapa
kali berusaha mencegahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena para
pimpinan pasukan telah menyerbu ke dalam. Para pasukan mana mungkin berhenti
bergerak tanpa perintah dari atasan mereka. Dan Ci Sian memegangi lengan
Pangeran itu dan mencegahnya untuk lari ke dalam karena hal itu tentu saja
merupakan bahaya besar bagi keselamatan Sang Pangeran.
Di dalam
terjadi perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi.
Untuk dia sendiri, tentu saja Ci Sian dapat melindungi dirinya dari
senjata-senjata dan pukulan-pukulan yang menyasar, akan tetapi bagaimana Sang
Pangeran akan dapat menyelamatkan diri? Untuk melindungi Pangeran di antara
pertempuran yang telah menjadi semacam peperangan kecil itu pun kiranya amat
berbahaya dan sukar.
Maka Ci Sian
mencegah Sang Pangeran untuk lari masuk sehingga Pangeran itu hanya dapat
menonton sambil membanting-bantingkan kaki dan beberapa titik air mata mengalir
turun di atas sepasang pipinya yang pucat. Ci Sian sendiri merasa ngeri sekali
menyaksikan pembantaian itu. Makin terbuka matanya betapa buruk akibat dari
pada kekerasan, dari pihak mana pun datangnya. Dara ini pun dapat memandang
semua penderitaan itu dengan mata yang tidak berat sebelah. Ia melihat betapa
tentara yang tewas secara menyedihkan itu pun adalah manusia-manusia biasa
saja, sesungguhnya tiada bedanya antara mereka dan para pendekar Siauw-lim-pai.
Manusianya
sama, penderitaan mereka pun sama. Dan dasar yang mendorong mereka sampai
berbunuh-bunuhan itu pun sama, walau pun namanya saja mungkin berbeda. Para
tentara itu pun menganggap kematian mereka sebagai pengorbanan perjuangan, atau
setidaknya mereka mengabdi kepada pemerintah dan mereka itu merasa bahwa
kematian di pihak mereka adalah kematian yang gagah perkasa, kematian seorang
pahlawan, seorang tentara yang jantan!
Di lain
pihak, para pendekar Siauw-lim pun memiliki dasar yang sama pula. Mereka itu
menganggap diri mereka berkorban demi perjuangan, dan mereka mengabdi kepada
suatu cita-cita, mengabdi kepada gambaran bahwa mereka berjuang untuk rakyat,
untuk tanah air, menentang penjajah. Mereka menganggap bahwa pihak mereka mati
sebagai pendekar-pendekar perkasa, seorang patriot sejati! Dan kedua pihak
dengan dasar yang sama ini, sama-sama merasa benar, telah berbunuh-bunuhan
dengan ganas dan garangnya! Betapa menyedihkan ini!
Dan yang
lebih menyedihkan lagi, segerombolan manusia yang menjadi penggerak semua
bunuh-membunuh ini, semua peperangan ini, mereka itu menggerakkan rakyat yang
diperalat itu dari tempat yang paling aman, jauh sekali di belakang sana. Baik
gerombolan manusia yang menjadi penggerak pihak penjajah mau pun yang dijajah,
yang diserang atau yang menyerang, pendeknya pihak-pihak yang saling
bermusuhan, mereka itu selalu mengatur pergerakan dari tempat aman.
Dengan
berbagai cara rakyat telah dapat ditarik untuk menjadi prajurit, untuk menjadi
pejuang, untuk menjadi patriot, untuk menjadi pahlawan dan banyak sebutan muluk
lagi. Yang jelas, untuk menjadi alat atau senjata kelompok atau gerombolan itu.
Dan kalau pergerakan itu menang, kelompok penggerak yang tadinya mengatur dari
tempat aman dan jauh di belakang itu lalu muncul paling depan, dan menepuk dada
dan mereka inilah yang akan menikmati buah dan hasil dari pada kemenangan itu,
lupa lagi kepada rakyat yang menjadi alat mereka, yang biar pun keluar sebagai
pemenang namun tetap saja mengalami luka-luka. Rakyat ini lalu dilupakan, atau
hanya diberi sekedar pujian-pujian kosong.
Dan
bagaimana kalau kalah? Gerombolan pengatur dari belakang itu akan lari lebih
dulu menyelamatkan diri, membawa apa saja yang berharga untuk dibawa,
meninggalkan rakyat yang mereka peralat itu menjadi sasaran pembantaian lawan!
Hal ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, di bagian mana
pun di dunia ini. Akan tetapi sungguh menyedihkan, sampai sekarang pun manusia
masih belum mau membuka mata melihat kenyataan ini, karena mabok akan pujian,
mabok akan kedudukan, mabok akan kekuasaan yang memang terdapat dalam semua
itu. Apalagi selalu didengang-dengungkan sebutan-sebutan muluk dalam
slogan-slogan kosong.
Tidak ada
rakyat di dunia ini yang mau atau suka perang. Hanya orang gila dan tidak waras
otaknya sajalah yang mau perang. Tidak pernah ada rakyat yang menganjurkan
perang. Rakyat di seluruh dunia ingin hidup tenteram dan penuh damai. Akan
tetapi, ada saja kelompok manusia yang haus akan kekuasaan, menyalah gunakan
kesetiaan rakyat, membakar-bakar hati mereka, untuk mencapai ambisi-ambisi
pribadi dalam batin mereka yang menamakan dirinya pemimpin-pemimpin rakyat, di
seluruh dunia ini. Kapankah rakyat di seluruh dunia ini tidak ada kecualinya,
membuka mata dan melihat kenyataan ini, tidak mau lagi dibodohi dengan segala
slogan kosong, menolak perang? Betapa kita rindu akan keadaan dunia seperti
itu.
Ketika
pertempuran sudah mendekati akhirnya, ketika delapan orang pendekar yang
menjadi sisa dari kurang lebih seratus lima puluh orang murid Siauw-lim-pai
yang melawan itu masih melawan, sedangkan para pendeta yang bersemedhi di dalam
menjadi makanan api yang berkobar, barulah Ci Sian membiarkan Pangeran dengan
pengawalannya menerobos masuk ke dalam pekarangan luar itu. Delapan orang
pendekar itu telah terkurung rapat dan agaknya betapa pun lihai mereka, namun
mereka sudah amat lelah, dan tak lama lagi mereka ini pun tentu akan roboh
mandi darah dan tewas.
“Berhenti!
Hentikan pertempuran gila ini! Di sini Pangeran Mahkota Kian Liong yang
bicara!” Pangeran itu berteriak sambil berdiri di tempat tinggi setelah dibawa
oleh Ci Sian ke tempat itu.
Para
prajurit dan perwira yang mengepung delapan orang pendekar itu berhenti
menyerang dan melompat mundur, lalu menoleh. Mereka mengenal pemuda yang
sederhana itu, lalu mereka memberi hormat. “Hidup Sang Pangeran!” mereka
berseru.
Delapan
orang pendekar itu pun berdiri memandang. Mereka semua tidak memakai baju,
hanya bercelana panjang saja. Tubuh mereka berkilat oleh keringat dan darah,
dan tubuh-tubuh itu membayangkan kekuatan luar biasa. Tubuh pemuda-pemuda yang
tidak begitu besar, namun jelas membayangkan kekuatan yang membaja. Celana
mereka pun penuh percikan darah dan lengan tangan serta senjata mereka
berlepotan darah pula.
Sejenak Sang
Pangeran memejamkan kedua matanya, penuh kengerian. Bahkan Ci Sian sendiri,
seorang pendekar yang memiliki kesaktian, merasa ngeri. Belum pernah selamanya
dia melihat pemandangan seperti ini, walau pun ia pernah menyaksikan peperangan
di lereng Himalaya dahulu. Yang mendatangkan kengerian adalah melihat mayat
para pendekar yang tewas dalam pengeroyokan yang berat sebelah ini. Dan suasana
di situ panas sekali, panas oleh keadaan perkelahian dan panas oleh api yang
bernyala-nyala membakar biara. Panas luar dalam.
“Aku,
Pangeran Mahkota Kian Liong, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul dan
mengundurkan diri dari kuil ini, dan membiarkan sisa orang Siauw-lim-pai untuk
pergi dari sini tanpa diganggu!”
Mendengar
perintah ini, para sisa pasukan itu tidak ada yang berani membantah. Apalagi
mereka sendiri pun sudah merasa lelah, dan gentar melihat banyaknya teman
mereka yang tewas, gentar menghadapi delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang
amat tangguh itu, turun semangat mereka melihat betapa dua orang jenderal dan
pangeran yang memimpin pasukan telah roboh dan tewas pula. Maka, mendengar
perintah ini, mereka lalu mundur dan para perwira lalu mulai meneriakkan
perintah-perintah, ada yang menolong teman yang terluka, ada yang merawat luka
masing-masing.
Delapan
orang pendekar Siauw-lim-pai itu sejenak memandang kepada Sang Pangeran dan
dara yang menemaninya itu, pandang mata mereka tajam penuh kebencian, penuh
permusuhan, penuh dendam, akan tetapi juga penuh pengertian bahwa Pangeran ini
lain dari pada yang lain, dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan
langkah gagah, sedikit pun tidak menengok lagi kepada Sang Pangeran, apa pula
menghaturkan terima kasih, biar mereka tahu benar bahwa Sang Pangeran baru saja
menyelamatkan nyawa mereka.
“Uh, manusia
tak tahu diri! Tidak mengenal budi!” Ci Sian marah-marah, mengepal tinju
memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu.
Sang
Pangeran tersenyum. “Hemm, tenanglah, Nona Bu. Apakah engkau tidak dapat
membayangkan keadaan hati mereka? Baru saja terjadi pembantaian besar-besaran.
Saudara-saudara mereka, ratusan jumlahnya, dibunuh, dibakar hidup-hidup dan
juga Siauw-lim-pai yang merupakan perguruan mereka dibasmi, dibakar. Lalu,
setelah tinggal delapan orang, aku menyelamatkan mereka. Apa artinya itu bagi
mereka?”
“Tapi, bukan
Paduka yang menyuruh dilakukannya pembantaian ini!”
“Apa bedanya
bagi mereka? Yang melakukan pembantaian ialah pasukan pemerintah, dan aku
adalah Pangeran Mahkota, calon kaisar, jadi pemerintah juga. Tentu saja mereka
tidak berterima kasih, bahkan mungkin menganggap bahwa pengampunan atau
penyelamatan ini sebagai suatu pukulan dan penghinaan bagi kehormatan mereka.”
“Aihh....!”
Ci Sian terkejut sekali. “Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal
Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka?”
Pangeran itu
menarik napas panjang. “Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina
mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukatakan kepada pemuda perkasa
Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan
sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku
akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang
benar. Kalau toh tindakanku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting,
aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku
sendiri.”
Ci Sian
mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang. “Pangeran,
mendengar semua kata-kata Paduka tadi, saya menjadi semakin bingung dan makin
merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan
dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya.”
“Sudahlah,
mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Sang Pangeran yang lalu menemui para
perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur
jenazah-jenazah para anggota pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang
Siauw-lim-pai sepantasnya.
“Ini
merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami
hukum!” Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira
itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran.
Ci Sian
melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja.
Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah. Ia seakan-akan
melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan
lebih tua dari pada Kam Hong sekali pun. Padahal Pangeran ini masih amat muda!
Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab.
Ketika
mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar
masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan
kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan
belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum.
Melihat
bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran
terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata,
suaranya halus, “Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama
hidupmu?”
Ci Sian
terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di
bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu
mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya
melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang
kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.
“Tentu saja,
Pangeran. Sudah sering sekali!”
“Benarkah
itu? Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan
segala keindahannya? Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya
gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu.
Pandanglah tanpa kenangan pengalaman lalu.”
Ci Sian
tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai
memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang semua itu dengan
mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan
dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan sudah pernah dilihatnya.
Pandangannya tanpa menilai, tanpa membandingkan dan.... sejenak terjadi
keharuan yang luar biasa, sukar dia mengatakan apakah itu. Ada SESUATU yang
ajaib.... yang membawanya bagaikan hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu,
keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan,
menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan
rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.
“Aihhh....
Pangeran....,” keluhnya.
“Ehhh? Apa
yang kau lihat? Apa yang kau rasakan?”
“Saya....
saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi,
seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya....
ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!”
Sang
Pangeran tersenyum, “Mengapa harus takut menghadapi semua kebesaran dan
keindahan ini, Nona? Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan
segala sesuatu? Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin
dapat bersatu dengan segala-galanya?” Ucapan Pangeran itu makin membingungkan,
sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah
ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya
ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.
“Pangeran,
maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu?”
Sang
Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam.
Lalu dia tersenyum. “Bahagia? Apakah bahagia itu? Ha-ha, engkau menanyakan
sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang
hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang
berlawanan, Nona.”
Kemudian
Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai
sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan bernyanyi lirih.
Kebahagiaan....
semua
manusia merindukan!
siapakah
gerangan Anda?
di mana
gerangan Anda?
Seakan
tampak dalam cahaya bulan
tersenyum di
antara kelopak mawar
rupawan
menyelinap di antara bayang-bayang
beterbangan
di antara hembusan angin.
Kuraih dan
kupeluk mesra hanya untuk sadar
kecewa bahwa
semua itu
hanya
bayangan hampa
dan sama
sekali bukan Anda!
Seperti
nampak Anda menggapai
menunggang
cahaya matahari pagi
seperti
nampak Anda mengintai
di balik
senyum kekasih jelita
di antara
gelak tawa sahabat
di dalam
sorak-sorai kanak-kanak!
Sunyi sekali
setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam
batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat
kebenaran di dalamnya. Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri,
rindu akan kebahagiaan, tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan
kebahagiaan itu? Dan di manakah adanya? Manusia mencari-cari kebahagiaan,
melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam
harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia
pada akhir pencarian itu!
“Ah,
Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab
pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa
tahu siapa dan di mana yang kita cari,” kata Ci Sian.
“Nah, itulah
jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona? Itulah justru jawabannya yang tepat!
Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita
cari-cari itu! Mungkinkah ini? Siapakah yang pernah mengenal bahagia? Yang kita
kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat
saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin
kita hendak mencarinya?”
“Habis,
bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran?”
“Berbahagialah
orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah
tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!”
“Mana
mungkin? Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari
kebahagiaan!”
“Nona Bu,
dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia? Dalam keadaan tidak
berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti
mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita?
Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal? Yang penting
adalah menyelidiki. Mengapa batin kita sengara, Mengapa kita tidak berbahagia!
Itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita
tidak sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi? Camkan ini
baik-baik, Nona. Kebahagiaan tidak ada karena kita kecewa, karena kita
sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah
lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau,
Nona Bu?”
Ci Sian
mengangguk akan tetapi ia belum mengerti! “Jadi, apakah kebahagiaan itu
sesungguhnya?”
Sang
Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan
tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada
seseorang. “Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya? Sayang, saya sendiri pun tidak
tahu, Nona Bu.”
“Kalau
begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta
itu, Pangeran.”
Pangeran
muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian
Sang Pangeran menarik napas panjang. “Memang, suasana malam ini demikian indah
dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul
pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang
cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan
kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang
dinamakan cinta kasih itu, Nona?”
“Mana aku
tahu, Pangeran? Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagai mana
aku bisa tahu bahwa itu adalah cinta kasih jika sekali waktu aku merasakannya?”
“Itu adalah
jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, mengagumkan sekali!
Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata
yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan,
kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan
tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat,
tentu saja aku mengetahuinya. Nah, sekarang dengarkanlah nyanyian ini, Nona
Bu.” Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan
mulailah dia bernyanyi.
Cinta,
kata keramat
penuh rahasia
bahan
renungan para seniman dan pujangga.
Antara anak
dan orang tua ada kebaktian
antara warga
dan negara ada kesetiaan
antara pria
dan wanita ada kemesraan
antara manusia
dan Tuhannya ada penyembahan.
Itukah
cinta?
Namun,
semua itu
mengandung keinginan
menguasai,
memiliki, menikmati,
keselamatan,
kebahagiaan, kepuasan,
sekali gagal
yang diinginkan
timbullah
kedurhakaan, pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah
cinta?
Seperti juga
tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara
belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke
dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak
menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk
beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.
“Wah, jika
begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran?” Akhirnya Ci Sian
bertanya.
Akan tetapi
Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum. “Aku pun tidak
tahu, Nona Bu.”
Nyanyian
Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan
menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih. Kita sudah terlalu
mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan
terhadap cinta kasih itu?
Begitu
mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta
kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah
kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti
kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa
atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya? Cintakah
kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja,
menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian jika sekali waktu si anak
tidak menurut dan tak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya?
Begitukah yang dinamakan cinta?
Sebagai seorang
suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami
dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani,
disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung
syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu
dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak
menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita
sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan
marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih?
Kita dengan
mudah saja, dengan mulut mau pun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa
kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta
Tuhan! Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi
hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih!
Kita mencinta karena kita ingin memperoleh sesuatu, kita mencinta karena kita
ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat,
ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita
itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta?”
Kalau kita
mau menyelidiki lalu mengerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini
melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh
kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani
menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih dari pada semua yang
bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu
menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!
Bumi
terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun,
kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang,
sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan
cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu. Semua begitu
indah...., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang
minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk
siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk
siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa
udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan
waspada? Begitu terangnya sinar cinta kasih....! Bukan dari siapa untuk siapa.
Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada ‘aku’, cinta
kasih pun tiada!
Pada
keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia
itu, setelah bersama Pangeran Mahkota menelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh
dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian dan Pangeran Kian
Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.
Ketika mereka
menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan
itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di
bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan
bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang.
Ci Sian
mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar
tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok,
dan Sam-ok! Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata
mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian
karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda
Kun-lun-pai itu.
Biar pun
tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat
mereka tak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur
jenazah kedua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, diam-diam mereka
kemudian membayangi Sang Pangeran. Mereka tidak berani sembarangan turun tangan
karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti
saat baik.
Setelah
melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka lalu keluar
menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang
luar biasa, tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat
mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada
di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu? Tangkap
saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak
berdaya, pikir mereka.
Tetapi,
ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang
masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yang mengagumkan.
Ia pun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan,
apalagi jika di sana terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka,
cepat dia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, lalu
tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang
Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding
tinggi.
“Paduka
cepat berlindung di balik dinding itu!” kata Ci Sian.
Pangeran
Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut.
Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri menghadang di depannya,
melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan
adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi
Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak perlu khawatir kalau-kalau
Pangeran itu dilarikan orang dari belakang.
Tiga orang
datuk itu kini sudah berdiri di depannya. “Iblis cilik, sekarang tiba saatnya
engkau akan mampus di tangan kami dan menebus dosa yang kau lakukan ketika kau
membunuh Su-ok dan Ngo-ok,” kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.
“Hemm,
mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak
lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak
cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan mala petaka bagi
manusia lain saja!” kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya.
Ia sengaja
mengerahkan khikang-nya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti
ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khikang Ci Sian sudah mencapai tempat
tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang
dari Pendekar Siluman Kecil. Maka, biar pun sesungguhnya ia belum mencapai
tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat
dilakukan suheng-nya, Kam Hong, ketika bersama suheng-nya mempelajari Ilmu
Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga
sinkang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian
pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu.
Tiga orang
datuk itu kagum bukan main. Mereka tahu bahwa untuk bisa menggerakkan suling
sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan
hal mudah. Tanpa khikang dan sinkang tingkat tinggi jangan harap akan dapat
melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung.
Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini kemudian merampas Putera
Mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap
para pendekar sakti.
“Ji-moi dan
kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!” kata orang
pertama dari Im-kan Ngo-ok.
Ucapan itu
saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini
bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok, melainkan juga
untuk menangkap Sang Pangeran.
Mungkin ini
merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapa pun
juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu
berarti bahwa Sang Pangeran tak akan dibunuh, tetapi ditangkap untuk
kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu.
Hal ini
menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang
Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya. Serangan jarak
jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak
sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring
terdengar makin meninggi.
“Hemm, maut
sudah menanti kalian, masih banyak lagak!” Dara itu menerjang ke depan dan
langsung ia menyerang Toa-ok.
Sulingnya
berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking
nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun
cepat mengelak. Namun, sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri
untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus
sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas!
Memang Ci
Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh
Ji-ok dan Sam-ok, akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini
yang hendak menangkap Pangeran. Karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak
Toa-ok!
Melihat
betapa Toa-ok sudah terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan
mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera
menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar
sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang
menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi
tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok.
Siasat Ci
Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali
tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapa pun dicobanya. Selalu
jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biar pun Toa-ok
telah memiliki sinkang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun
menghadapi serangan suling ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan
kekebalannya. Dia telah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran
pertama menghadapi dara yang lihai ini. Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang telah
diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang
Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir
bahwa Pangeran akan dilarikan musuh.
Betapa pun
juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang
berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar
biasa. Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang
selain penuh dengan tenaga sinkang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang
sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek
yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas
tanpa terluka. Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu,
mengeluarkan sinar gemilang dan mengandung getaran suara dahsyat, agaknya akan
sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan
Toa-ok.
Ada pun
Ji-ok, wanita bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang).
Jari jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan
berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan, baru
hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian
telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sinkang dari Pulau Es sehingga
sama sekali ia tidak repot menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu.
Sedangkan
orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biar pun tingkat kepandaiannya tidak
melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu
silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat
tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat
pukulan-pukulan maut.
Ci Sian
harus menghadapi serangan tiga orang yang sifatnya berbeda-beda ini, namun
kesemuanya amat berbahaya. Memang harus diakui bahwa dara itu telah mewarisi
suatu ilmu yang dalam jenisnya tiada keduanya di dunia. Ilmu Pedang Suling Emas
asli yang mengandung semua segi kekuatan ilmu silat yang dahsyat, juga dibantu
dengan tenaga khikang yang dilatihnya bersama Kam Hong. Semua ini ditambah lagi
dengan ilmu sinkang yang diterimanya dari Suma Kian Bu membuat ia menjadi
seorang ahli silat yang sukar dicari tandingannya.
Akan tetapi,
betapa pun juga, Ci Sian hanyalah seorang dara yang baru berusia delapan belas
tahun lebih, masih muda remaja dan pengalamannya dalam hal mengadu ilmu silat,
dibandingkan dengan tiga orang lawannya, tentu saja kalah jauh sekali. Maka,
ketika tiga orang pengeroyoknya itu mulai memperlebar jarak, Ci Sian menjadi
repot sekali. Ia harus pontang-panting ke sana-sini, melalui jarak yang agak
lebar itu, untuk mencegah mereka agar jangan sampai salah seorang di antara
mereka menggunakan kesempatan untuk menculik Sang Pangeran.
Dan karena
itu, mulailah Ci Sian merasa kewalahan. Ia tak mungkin dapat mengerahkan semua
tenaga dan kepandaian untuk dipusatkan menyerang kepada seorang lawan saja
karena dua orang lawan lainnya selalu akan mencegahnya dan terpaksa ia harus
membagi-bagi serangannya itu. Hal ini tentu saja membuat serangannya menjadi
kurang kuat dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan. Kalau hanya bertanding
satu lawan satu, ia merasa yakin akan dapat merobohkan lawan dalam waktu yang
tidak lama. Sayang keadaan tidak menguntungkan dan ia mulai terhimpit.
Tiba-tiba
terdengar suara lengkingan tinggi dari jauh. Suara itu makin lama makin keras
dan nadanya naik turun seperti mengimbangi lengkingan suara yang keluar dari
suling di tangan Ci Sian.
“Suheng....”
Seruan ini hanya keluar dari hati Ci Sian, akan tetapi hampir saja ia celaka.
Mendengar
lengking suara suling itu, hatinya dipenuhi perasaan yang mengguncangkan
batinnya. Ada rasa gembira, girang, terharu bercampur-aduk menjadi satu,
membuat gerakan sulingnya menjadi kacau dan ketika itu, pukulan Kiam-ci yang
dilakukan Ji-ok menuju ke arah lehernya! Untunglah pada detik terakhir Ci Sian
dapat mencurahkan perhatiannya lagi, menjadi waspada dan cepat ia miringkan
tubuhnya.
“Bretttt!”
Ujung leher bajunya terobek.
Ci Sian
terkejut dan maklum bahwa menghadapi pengeroyokan tiga orang ini ia sama sekali
tidak boleh lengah, maka ia pun kembali mencurahkan perhatiannya. Sementara
itu, suara melengking dari jauh itu makin lama semakin nyaring dan akhirnya
tiga orang pengeroyok Ci Sian itu menjadi kacau gerakan-gerakannya. Kiranya
suara melengking-lengking itu merupakan suara yang nengandung daya serang luar
biasa terhadap batin mereka! Tiga orang itu merasa seolah-olah telinga mereka
ditusuk-tusuk oleh suara itu, jantung mereka ditarik-tarik dan sukar sekali
bagi mereka untuk dapat mengumpulkan perhatian.
Ci Sian
maklum siapa yang telah membantunya. Suara suling itu tidak meragukan lagi.
Maka timbullah semangatnya dan membayangkan betapa ia kini dapat bertemu dengan
suheng-nya, mendatangkan kegembiraan demikian besarnya bercampur keharuan yang
mendalam sehingga ketika dia menggerakkan sulingnya dengan kekuatan yang lebih
besar karena timbul semangatnya, kedua matanya basah dan di atas kedua pipinya
nampak air mata, akan tetapi gerakan sulingnya semakin hebat sehingga
berturut-turut ia dapat menotok pundak Sam-ok dan paha Ji-ok!
Dua orang
datuk itu terkejut dan juga terheran-heran bagaimana kini dara ini bertambah
lihai. Juga mereka bingung oleh suara melengking itu yang tanpa mereka sadari
telah banyak mengurangi kelihaian gerakan mereka yang menjadi kacau.
Toa-ok
maklum bahwa dara itu dibantu oleh orang pandai, apalagi kakek ini melihat
betapa ada bayangan beberapa orang berkelebatan disusul dengan lenyapnya Sang
Pangeran, maka dia pun lalu mengeluarkan suara bersuit nyaring dan tiga orang
datuk itu kemudian melompat jauh dan melarikan diri. Ci Sian tidak mengejar,
bahkan tidak mempedulikan mereka lagi. Ia menyimpan sulingnya, lalu menoleh ke
kiri.
“Suheng....!”
serunya memanggil karena tadi datangnya suara suling melengking itu dari kiri.
Dan muncullah Kam Hong!
Mereka
berdiri saling berhadapan, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Sejenak
mereka hanya saling pandang saja dan air mata menetes turun membasahi pipi Ci
Sian semakin deras.
“Sumoi....!”
“Suheng....!”
Ci Sian lari
dan Kam Hong juga melangkah maju, kedua lengan mereka berkembang.
“Suheng....
ahhh, Suheng....!”
Mereka
saling tubruk dan saling peluk. Ci Sian menangis terisak-isak ketika didekap
oleh kedua lengan itu. Terasa benar oleh mereka berdua betapa amat rindu hati
mereka terhadap diri masing-masing. Terasa benar oleh mereka betapa pertemuan
ini seperti tetesan air jernih kepada tanah kering merekah yang kehausan akan
cinta kasih, yang penuh kerinduan. Terasa benar oleh mereka bahwa mereka itu
sesungguhnya saling mencinta. Terasa dalam dekapan itu.
“Suheng....,
Suheng...., kenapa kau tinggalkan aku begini lama....?” Ci Sian mengeluh dengan
suara diselingi isak tangisnya.
“Sumoi, kau
maafkan aku....”
Keduanya tak
bicara lagi. Apa perlunya bicara? Getaran yang keluar dari seluruh tubuh mereka
sudah mengucapkan beribu-ribu kata yang dapat dimengerti dengan jelas oleh
masing-masing. Mereka saling mencinta. Mereka merasa sengsara jika saling
berpisah. Mereka berbahagia kalau saling berdekatan. Cukuplah ini.
“Suheng....,
berjanjilah, engkau takkan meninggalkan aku lagi.... selamanya....,” Ci Sian
berbisik, merasa betapa tangan suheng-nya mengelus rambut kepalanya sehingga ia
memperketat dekapannya, seolah-olah ia ingin menyatukan dirinya dengan
suheng-nya agar tidak sampai saling terpisah lagi.
“Tidak,
Sumoi, tidak lagi....”
Ci Sian
mengangkat muka. Mereka saling berpandangan, penuh rindu. Kasih sayang
terbayang jelas di mata mereka. Melihat muka yang basah itu, ingin sekali Kam
Hong menunduk untuk mencium, untuk menghisap air mata yang membasahi muka itu.
Akan tetapi pendekar ini menahan hasrat hatinya dan hanya menggunakan jari-jari
tangan untuk mengusap air mata itu, jari-jari tangannya gemetar dan hatinya
terharu sekali.
Sudah lama
ia sengaja menjauhkan diri dari sumoi-nya ini, karena kesadarannya tidak mau
menerima kalau dia telah jatuh cinta kepada sumoi-nya yang sepatutnya menjadi
keponakannya ini. Akan tetapi, sekarang dia tahu benar bahwa dia sungguh sangat
mencinta dara ini! Padahal, Ci Sian baru berusia delapan belas tahun, dan
dia.... sudah tiga puluh satu tahun! Ahhh, ini tidak boleh terjadi, pikirnya
dan dengan halus dia lalu melepaskan rangkulannya.
“Sumoi,
bagaimanakah engkau bisa berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang Im-kan
Ngo-ok itu?”
“Karena
mereka itu hendak membalas dendam atas kematian Su-ok dan Ngo-ok.”
“Ahhh,
engkau telah membunuh dua orang manusia iblis itu?”
“Ya, bersama
dengan seorang pendekar dari Kun-lun-pai. Dan selain itu, mereka juga hendak
menangkap Pangeran.... ehhh, mana dia....?” Ci Sian baru sekarang teringat
kepada Pangeran itu dan menengok, melepaskan dekapannya dan kelihatan bingung
melihat betapa tempat itu sunyi dan tidak nampak Sang Pangeran di situ.
“Siapa yang
kau cari?”
“Pangeran
Mahkota! Dia tadi di sana, di dekat dinding gunung itu.... ah, ke mana dia?” Ci
Sian lalu berteriak memanggil Pangeran Kian Liong. Akan tetapi tidak terdengar
jawaban.
“Ketika aku
tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi.”
“Ahhh,
celaka…. celaka! Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti
memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!” Ci Sian
berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak
nampak bayangan Pangeran atau penculiknya.
“Sumoi,
orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk
Im-kan Ngo-ok tanpa kau ketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan
orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke
mana larinya. Sekarang lebih baik kau ceritakan dahulu semuanya, Sumoi. Nanti
kita akan mencarinya bersama.”
Ci Sian yang
masih terlalu girang oleh pertemuan ini segera melupakan Sang Pangeran dan
mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan
mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong pergi
meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh
dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik
sekali. Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan
isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlomba kuda dan
ketika menghadapi ular hijau raksasa.
Mendengar
penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong lalu menarik napas panjang. “Semenjak
dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu
dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sinkang dari Pulau Es. Engkau sungguh
beruntung, Sumoi. Pantas tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh
kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sinkang-nya.
Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sinkang dari Pulau Es. Hebat,
hebat.... dan aku kagum sekali.”
Ci Sian
melanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda
Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan
melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, juga tentang pembakaran
kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain.
Kam Hong
menarik napas panjang. “Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah
memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang
pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan.”
“Memang
tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain
lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang bijaksana
sekali.”
Lalu Ci Sian
menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar, bahkan sudah
membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang telah terkurung dan
terancam maut.
Mendengar
kisah ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang pada sumoi-nya dengan sinar
mata penuh kagum. Sumoi-nya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia
teringat betapa sumoi-nya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih
pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi
sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang,
dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan
tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum.
Melihat
keadaan suheng-nya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri
kewanitaannya merasa betapa mata suheng-nya itu memandang dengan penuh
kekaguman.
“Aih,
Suheng, apa sih yang kau pandang?” tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat
kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa
malunya.
Dan Kam Hong
pun tersadar. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia
menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang. Dengan jujur
dia berkata, “Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam
waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang
telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... ehhh, cantiknya luar
biasa!”
Dapat
dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking
gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu.
Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling.
“Ihhh,
Suheng.... jangan memperolokku....!”
“Tidak,
Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau
juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.”
“Sudahlah,
Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang
aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau
pergi, Suheng, dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian?”
“Aku
merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal
di puncak Bukit Nelayan.”
Lalu dia
bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu
Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan karena kekecewaannya
melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan
Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia
tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai.
Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu kemudian
menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan dari mendiang Yok-Sian-jin
(Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia.
Kam Hong
tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan
itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama
kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini,
tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.
“Setelah
guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa
dengan Yu Hwi dan suaminya.”
Lalu ia
menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana ia mendengar bahwa Pangeran
dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui
bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa
kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, tetapi
akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf.
Ci Sian
tertawa geli mendengar penuturan itu. “Dan engkau ceritakan tentang kematian
kakeknya, Suheng?”
Kam Hong
menggeleng kepala. “Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin
menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya
sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap
lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa
kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara
sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi.”
“Aku girang
sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu.”
“Aku pun
girang dapat bertemu denganmu, Sumoi.”
“Juga
rindu....?”
“Juga
rindu....“
Girang
sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa
panas.
“Akan
tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi.”
“Pertanyaan
yang mana?”
“Dulu
itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu
tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri?” Sepasang mata yang jeli itu memandang
tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan.
Mendengar
pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya amat
terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri
termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya.
Dara ini
mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu,
menghampiri suheng-nya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan
hati penuh ingin tahu, “Suheng, mengapakah?”
Ketika Kam
Hong membalik dan memandang sumoi-nya, wajahnya berubah agak pucat sehingga
mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoi-nya itu dan
sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua
mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Dan akhirnya Kam Hong berkata,
suaranya mengandung getaran aneh.
“Sumoi,
lihat baik-baik, pria macam apakah suheng-mu ini?”
Dan Ci Sian
memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya,
tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun
mengandung kelembutan.
“Suheng-ku
seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa?”
“Ingatkah
engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoi-ku, engkau menyebutku paman?”
“Habis,
mengapa?”
“Tahukah
engkau berapa usiamu sekarang, Sumoi?”
“Usiaku?” Ci
Sian tersenyum, merasa bahwa suheng-nya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja.
“Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa?”
“Dan aku
sudah hampir tiga puluh dua tahun!” kata Kam Hong, suaranya mengandung
kesedihan.
“Habis,
mengapa?”
“Usia kita
selisih tiga belas tahun!”
“Lalu,
mengapa?”
Kam Hong
meremas-remas jari tangan itu tanpa disadarinya karena hatinya terguncang,
“Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang
sudah tua?”
Dan Ci Sian
tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan
kanannya masih dipegang suheng-nya. “Wah, dengarlah ini, kakek tua renta
mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!”
“Harap
jangan memperolokku, Sumoi.”
“Siapa
mengolokmu? Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah
tua? Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua.”
“Dan engkau
baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!”
“Suheng!” Ci
Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut. “Sekarang
engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih
kanak-kanak? Aku sudah berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani
menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih
kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?”
“Maaf,
Sumoi....!” Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. “Bukan begitu
maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara
kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu....
melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia
sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu
menjauhkan diri....“
Ci Sian
memandang bengong. “Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tak mengerti, Suheng....
Mengapa demikian? Mengapa engkau lalu meninggalkan aku dan apa artinya engkau
mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Sim Hong Bu? Memang dia
mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal
itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng.
Aku.... lebih senang berada di sampingmu dari pada di samping siapa pun juga di
dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku,
jangan lagi tinggalkan aku seorang diri.”
“Ci Sian,
tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan.”
“Aku tidak
ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!”
“Tidak
mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan saat itu kita harus saling
berpisah.”
“Aku tidak
akan menikah dengan siapa pun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita
takkan pernah berpisah lagi....“
Kam Hong
memegang kedua tangan itu lagi dan sampai lama keduanya hanya berdiri saling
pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu
dan berkata, “Mari kita cari Sang Pangeran, jangan sampai beliau tertimpa mala
petaka....”
“Tapi kau
berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng.”
“Aku berjanji.”
“Sumpah?”
“Sumpah!”
Keduanya
kemudian melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi
ditunggangi oleh Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka
memecahkan kesunyian lereng bukit itu…..
Betapa
anehnya asmara! Membuat dua orang manusia, seorang wanita dan seorang pria,
merasa saling tertarik dan saling terikat oleh sesuatu yang tidak mereka
ketahui apa. Yang terasa hanyalah bahwa mereka itu ingin selalu saling
berdekatan, saling bermesraan, dan merasa sengsara kalau berpisah. Cinta asmara
antara pria dan wanita adalah sesuatu yang penuh rahasia, dan di dalam cinta
asmara ini, mereka berdua hanyalah manusia-manusia, pria dan wanita, yang
saling tertarik dan saling mengasihi.
Cinta tidak
mengenal perbedaan usia, tidak mengenal perbedaan suku atau kedudukan, tidak
mengenal agama atau paham kepercayaan yang berbeda. Pendeknya, cinta itu
meniadakan semua perbedaan di antara mereka, yang paling penting bagi cinta
adalah manusianya. Sedangkan semua yang lain hanyalah embel-embel saja.
Kebijaksanaanlah
yang membuat Kam Hong meragu, melihat perbedaan usia di antara mereka. Namun,
mampukah kebijaksanaan menandingi cinta? Cinta membuat segala hal mungkin saja
terjadi. Bukan usia, bukan harta, bukan agama yang menentukan, melainkan
manusianya. Dan dua insan yang saling mencinta itu pun tertarik oleh
manusianya, bukan embel-embelnya karena kalau tertarik oleh embel-embelnya,
maka itu bukan cinta namanya! Bukan….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment