Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 25
"Kao-goanswe,
bukan kami tidak meihat kenyataan itu, tetapi kami juga mengharapkan pengertian
dari keluarga Kao yang terhormat bahwa kami memperjuangkan tuntutan rakyat.
Kami sendiri menghormati dan mengagumi Pangeran, bahkan juga menyayangi beliau sebagai
seorang pangeran yang bijaksana dan baik. Akan tetapi kami tak melihat cara
lain untuk memaksakan tuntutan kami agar dipenuhi oleh Kaisar kecuali melalui
penahanan diri Pangeran. Oleh karena itu, kami pun rela untuk mengorbankan
nyawa demi perjuangan. Kami, biar pun bodoh, tidak dapat membenarkan sikap
keluarga Kao yang kami hormati sebagai keluarga gagah perkasa itu, ialah untuk
menjadi anjing penjilat Kaisar!"
“Bu-locianpwe!”
Kao Cin Liong memandang dengan mata terbelalak marah mendengar makian itu.
“Cin Liong,
mundurlah dan biarkan aku menghadapi Bu-taihiap, biar tua sama tua!”
Tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat, cepat bukan main dan tahu-tahu pria setengah tua
berlengan buntung sebelah itu telah berdiri di dekat puteranya! Cin Liong
menjura kepada Bu Seng Kin, dan tanpa berkata apa-apa lagi dia pun mundur dan
duduk di dekat ibunya.
Kini puncak
pertemuan itu pun terjadilah dan semua orang merasakan ketegangan ini, tahu
pula bahwa kini berdiri dua orang setengah tua yang sama-sama sakti dan
memiliki nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, walau pun keduanya jarang
terjun ke dalam urusan dunia. Mereka itu sama-sama tenang dan berhadapan,
saling pandang sambil tersenyum simpul, seolah-olah dua orang itu adalah
sahabat-sahabat lama saling jumpa dan berhadapan, sama sekali tidak nampak
kemarahan membayang di wajah mereka, sama sekali bukan seperti dua orang calon
lawan yang saling berhadapan!
Hanya pada
wajah kedua orang pria gagah inilah nampak perbedaannya. Kalau wajah Bu-taihiap
selalu tersenyum ramah, wajah seorang pria tampan yang menarik hati, sebaliknya
pada wajah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, biar pun juga tampan dan
terang, namun wajah ini nampak amat berwibawa, terutama sekali sepasang matanya
yang mencorong seperti mata naga itu! Wajah Si Lengan Buntung ini mendatangkan
rasa segan dan jeri bagi mereka yang berhadapan dengannya dan yang mempunyai
niat buruk. Pada saat itu, Kao Kok Cu memandang wajah lawan dengan penuh
perhatian dan terdengar suaranya yang tenang dan tegas.
“Bu-taihiap,
sayang sekali bahwa seorang pendekar seperti engkau masih mampu mengeluarkan
kata-kata seperti itu. Perlu diketahui bahwa kami keluarga Kao, sejak dahulu,
di jaman sebelum Pemerintah Ceng berdiri, nenek moyang kami telah hidup sebagai
panglima-panglima perang. Jika sekarang puteraku sebagai keturunan mereka,
menjadi seorang Panglima pula, hal itu sama sekali bukan berarti bahwa keluarga
Kao adalah anjing-anjing penjilat Kaisar! Keluarga kami belum pernah ada yang
menjadi pemberontak!”
Bu-taihiap
memperlebar senyumnya, akan tetapi senyumnya ini mengandung ejekan. “Memang
kami adalah pemberontak! Akan tetapi pemberontak terhadap kaisar lalim,
terhadap kaisar penjajah! Kami memberontak karena itu merupakan perjuangan yang
agung dan suci!”
“Dan dengan
beberapa gelintir orang ini, kalian bermaksud untuk mengalahkan sebuah
kerajaan?”
“Memang
tidak mungkin, akan tetapi setidaknya kami dapat mengganggu pemerintah Kaisar
lalim, mengacaukan di sana-sini, menawan Pangeran untuk memaksa Kaisar
memperlakukan kami dengan baik!”
“Dan
akibatnya Kaisar lalu membalas dendam kepada rakyat yang dianggap
pengikut-pengikut kalian? Itukah hasilnya? Seperti yang baru-baru ini dilakukan
Kaisar membakar biara Siauw-lim-si? Apakah itu yang kalian kehendaki?”
“Apa?!
Kao-taihiap menyalahkan kami dengan terjadinya peristiwa pembakaran kuil?”
Seorang di antara para pendekar Siauw-lim-pai berteriak penasaran.
Kao Kok Cu
menjawab tenang, “Ada akibat tentu ada sebabnya! Akibat kekerasan tentu
disebabkan oleh kekerasan pula! Bukankah terjadi penyerangan-penyerangan
pribadi oleh jagoan-jagoan Siauw-lim-pai terhadap Kaisar? Bukankah itu juga
merupakan sebab utama pembakaran kuil sebagai balas dendam?”
“Tapi, kalau
kami menyerang Kaisar, hal itu ada sebabnya pula....”
“Aku tahu,”
kata Kao Kok Cu. “Akibat dan sebab memang merupakan mata rantai yang tak
terpisahkan. Satu sebab menimbulkan akibat dan si akibat itu menjadi sebab baru
dari akibat lain yang baru pula, dan demikian seterusnya. Kalau perbuatan
kalian ada sebabnya, maka harus diketahui pula bahwa perbuatan Kaisar pun ada
sebabnya! Bukan aku membenarkan sikap Kaisar, sama sekali tidak. Akan tetapi
kita harus dapat membuka mata melihat kenyataan, dan bertindak sebagai seorang
pendekar sejati, bukan seperti orang-orang yang hanya mementingkan diri
sendiri, menuruti dendam dan tanpa mempedulikan bahaya yang kita akibatkan dari
perbuatan kita, yang nantinya akan menimpa orang-orang tidak berdosa, seperti
yang terjadi pada para pendekar Siauw-lim-pai!”
Kao Kok Cu
bicara dengan penuh perasaan karena memang sesungguhnya pendekar ini merasa
berduka sekali mendengar akan semua peristiwa itu. Dia tahu bahwa Kaisar Yung Ceng
telah menyeleweng dari pada kebenaran, menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan
untuk mengejar nafsu dan dendamnya sendiri. Tetapi, dia menganggap bahwa semua
usaha para pendekar yang mengaku diri sebagai patriot-patriot itu pun tidak
memperbaiki keadaan dan hanya terdorong oleh nafsu dendam belaka, jadi tidak
ada bedanya dengan tindakan Kaisar pula.
Hening
sejenak setelah pendekar berlengan satu itu bicara, karena kata-katanya tadi,
yang dikeluarkan dengan suara mantap dan mengandung getaran kuat, meninggalkan
kesan mendalam di hati para pendekar. Mereka dapat merasakan bahwa mereka
berhadapan dengan seorang yang tidak biasa menjilat-jilat ke atas dan menekan
ke bawah, seorang yang bertindak dengan bijaksana dan tahu betul bahwa
tindakannya itu tidak menyimpang dari kebenaran.
Bu Seng Kin
juga tahu akan hal ini, akan tetapi tentu dia tidak biasa mengalah begitu saja
untuk menyerahkan Pangeran yang telah berada dalam kekuasaan mereka. Bagai mana
pun juga, Pangeran merupakan kunci keberhasilan usahanya untuk memaksa Kaisar
memperbaiki semua kesalahan yang telah dilakukan Kaisar. Membangun biara
Siauw-lim kembali, membebaskan semua pendekar patriot dari pada pengejaran dan
lain-lain. Bukankah itu amat penting bagi perjuangan mereka?
“Kao-taihiap,
terserah apa pun yang menjadi pendapatmu, akan tetapi terus terang saja, kami
tidak dapat membebaskan Pangeran sebelum ada jawaban datang dari Kaisar tentang
tuntutan kami.”
“Bagus,
kalau begitu marilah kita pertaruhkan Pangeran dalam pertandingan antara kita.
Kalau aku kalah olehmu, kami akan pergi dari sini tanpa banyak bicara lagi,
sebaliknya kalau engkau suka mengalah, engkau harus serahkan Pangeran kepada
kami.”
“Terserah
apa yang hendak kau lakukan, kami tetap mempertaruhkan Pangeran. Dan kalau
engkau menantangku, Kao-taihiap, biar pun aku sadar akan kebodohanku sendiri
dan akan kesaktianmu, maka aku pun tidak akan mundur selangkah pun!”
“Baik Bu
Seng Kin, hari ini Kao Kok Cu minta pelajaran darimu!” kata Kao Kok Cu sambil
melangkah maju mendekat.
“Akulah yang
minta pelajaran darimu!” jawab Bu Seng Kin sambil memasang kuda-kuda.
Semua orang
memandang penuh perhatian, dengan hati yang berdebar karena tegang. Mereka
memandang kagum melihat bhesi (kuda-kuda) yang dipasang oleh Bu-taihiap.
Pendekar ini nampak gagah sekali, mula-mula berdiri di atas jari-jari kaki,
kemudian menggerakkan kaki kanan ke depan membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan
di depan, lalu tubuhnya membalik ke arah lawan dan kuda-kudanya telah berubah
menjadi kedua kaki terpentang dan ditekuk menjadi siku, tubuhnya lurus tegak,
tangan kiri terbuka di depan dada kiri, membentuk cakar harimau, dengan telapak
ke depan dan tangan kanan, juga seperti cakar harimau, telentang di pinggang
kanan, sepasang matanya memandang lurus ke depan, ke arah lawan dan mulutnya
yang khas, senyum yang mudah sekali meruntuhkan hati wanita itu.
Tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi, Kao Kok Cu yang mempelajari kedudukan kuda-kuda
lawan, lalu membuat gerakan pula, kaki kanannya disepakkan ke samping lalu
meluncur ke depan, terpentang jauh sehingga tubuhnya hampir menelungkup dengan
kaki kanan jauh di depan dengan jari-jari membentuk cakar naga, lengan baju
kiri yang kosong itu dikibaskan ke belakang dan menjadi kaku seperti diisi besi
lurus ke belakang dan mukanya yang menunduk dalam itu nampak menjadi semakin
pucat kehijauan, dan sepasang matanya mencorong dari bawah ke arah lawan!
Bu-taihiap
terkejut dan bergidik. Dia dapat menduga bahwa inilah ilmu dari orang gagah ini
yang membuat dia disebut Naga Sakti. Kuda-kuda itu seperti kedudukan seekor
naga saja! Dan mata itu! Bu-taihiap maklum bahwa melawan orang seperti ini
tidak boleh coba-coba, melainkan harus langsung mengeluarkan ilmu simpanan yang
paling ampuh, karena melawan seorang yang amat lihai hanya ada dua pilihan, yaitu
menang seketika atau terancam kekalahan. Tidak bisa dibuat berkepanjangan
mengeluarkan jurus-jurus tidak berarti.
Maka dia pun
lalu membuat gerakan lagi, kuda-kudanya berubah dan kini kedua kakinya merapat,
berjingkat di atas ujung kedua sepatunya, kedua lengan diangkat tinggi-tinggi
di atas kepala, membentuk paruh burung yang siap untuk mematuk lawan bebuyutan,
yaitu ular atau naga. Itulah kuda-kuda Ilmu Silat Kim-sin Ho-kun (Ilmu Silat
Burung Bangau Emas) yang sebenarnya bersumber dari Ilmu Silat Ho-kun yang
aslinya adalah dari Siauw-lim-pai akan tetapi yang telah dikombinasikan dengan
ilmu aliran lain dan oleh Bu-taihiap dikembangkan dan diciptakan menjadi
Kim-sin Ho-kun yang amat hebat.
Demikian
hebatnya ilmu ini sehingga tiada seorang pun di antara isterinya yang mampu
menguasainya dengan baik, tidak ada seperempat bagian saja. Akan tetapi,
Bu-taihiap sendiri sebagai penciptanya telah menguasai dengan sempurna. Ujung
jari-jari tangan yang dibentuk seperti paruh burung itu, dapat menotok semua
bagian tubuh dengan amat kuatnya, juga dapat sekali patuk menghancurkan batu,
dan di dalam lengan itu, dari siku sampai ke ujung semua jari, dipenuhi sinkang
yang membuat lengan itu kebal dan berani dipakai menangkis senjata tajam lawan.
Selain itu, paruh burung itu pun dapat membuat gerakan ‘menggigit’, yaitu
dengan membuka kumpulan jari untuk mencengkeram dengan kekuatan yang dahsyat!
Saking kuatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam kedua lengan itu, maka
gerakannya didahului oleh angin yang kuat dan bercuitan bunyinya.
Melihat
gerakan lawan, Kao Kok Cu juga menggerakkan tubuhnya, kedua kakinya seperti
didorong ke depan, tidak melangkah, melainkan bergeser maju dan ujung lengan
baju kiri yang kosong dan tadi lurus menuding ke belakang itu sekarang
terangkat melengkung ke belakang seperti ekor kalajengking.
Melihat
lawannya tidak mengubah kuda-kuda, maklumlah Bu-taihiap bahwa memang lawannya
telah mengeluarkan ilmu yang paling diandalkan, maka dia pun tidak mau
sungkan-sungkan lagi dan membentak nyaring, “Kao-taihiap, lihat serangan!”
Bu-taihiap
menubruk ke depan, kedua tangan yang membentuk paruh burung itu menyerang ke arah
kepala dan dada. Terdengar angin menyambar saat dua tangan itu menyambar dan
tidak nampak oleh mata saking cepatnya. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir juga
menggerakkan tangan kanan dan lengan baju kosong yang melengkung ke atas itu,
dengan menyeret kaki belakang ke depan, menyambut serangan lawan.
“Plak!
Dessss....!”
Paruh kanan
Bu-taihiap tertangkis oleh lengan baju kosong, sedangkan paruh kirinya disambut
oleh telapak tangan Kao Kok Cu. Pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu
hebat bukan main dan keduanya terdorong ke belakang! Semua yang hadir merasakan
getaran hebat dari benturan tenaga itu, membuat rambut kepala mereka bersama
pakaian mereka berkibar seperti mendadak ada angin keras melanda tempat itu!
“Bu-taihiap,
awas seranganku!” Tiba-tiba Kao Kok Cu membentak.
Tubuhnya
meluncur ke depan, dan sampai di depan lawan tubuhnya tiba-tiba membalik dengan
putaran kakinya. Lengan baju kosong itu menyambar seperti pecut atau seperti
seekor naga yang memukul, disusul lengan kanannya yang menotok lambung lawan.
Bukan main hebatnya serangan ini, oleh karena ini adalah serangan dari Ilmu
Sin-liong Hok-te (Naga Mendekam di Bumi). Terdengar suara angin mendesir keras
dan semua penonton yang berada terlalu dekat cepat mundur karena angin itu
mengandung hawa panas!
Bu Seng Kin
terkejut bukan main. Seperti lawannya tadi, dia pun tidak mau mengelak,
melainkan cepat menggunakan kedua lengan untuk menangkis disertai pengerahan
tenaga sekuatnya.
“Dukk!
Dessss....!”
Kembali
keduanya terdorong ke belakang, tapi jika Kao Kok Cu hanya terdorong dua
langkah tanpa mengubah kedudukan kakinya karena hanya tergeser, maka lawannya
terdorong dan melangkah mundur terhuyung sampai tiga langkah lebarnya!
Sudah cukup
bagi mereka untuk mengadu tenaga keras lawan keras dan biar pun tidak banyak
selisihnya, akan tetapi Bu-taihiap harus mengakui bahwa dia memang kalah kuat
dalam hal kekuatan sinkang. Kalau dia terus mengandalkan sinkang-nya mengadu
kekuatan, akhirnya dia akan terancam luka dalam yang amat berbahaya. Kekuatan
lawan itu tak sewajarnya, dan mungkin karena sebelah lengannya buntung itulah
maka lawan dapat menghimpun kekuatan yang demikian dahsyatnya.
Maka ia pun
lalu menerjang ke depan, kali ini mengerahkan tenaga pada kecepatannya dan
bagaikan seekor burung bangau beterbangan, dia sudah menyerang dengan lebih
mengutamakan serangan dari arah atas tubuh lawan di sekitar kepala, leher dan
dada.
Akan tetapi,
Kao Kok Cu bersikap tenang sekali. Seperti seekor ular atau naga yang melingkar
di atas tanah menanti serbuan burung dari atas. Ular atau naga itu bersikap
tenang dan hanya sekali-kali menggerakkan kepala atau ekornya untuk mematuk
atau menyabet pada saat burung yang menjadi lawannya menyambar turun!
Kao Kok Cu
tidak menyerang lebih dahulu, hanya menanti sampai lawan melakukan serangan,
barulah dia bergerak, kadang-kadang mendahului sehingga serangan lawan gagal
dan berbalik menjadi terserang, atau juga dia menangkis atau mengelak sambil
langsung saja membalas. Dengan cara demikian, biar pun Bu-taihiap nampaknya
lebih sibuk dengan serangan-serangannya, tetapi sesungguhnya dialah yang
terdesak karena setiap kali lawan membalas dia terpaksa harus menghindar
cepat-cepat, seperti seekor burung yang selalu mengelak dari serangan ular atau
naga di bawah.
“Wut-wut-wut-wuttt....!”
Tiba-tiba
Bu-taihiap merubah gerakannya, menyerang tidak hanya dari atas, melainkan dari
bawah dan gerakannya berubah menjadi gerakan harimau, akan tetapi masih ada
dasar gerakan burung bangau. Kiranya dia telah berhasil mengkombinasikan kedua
ilmu silat ini dan serangannya amat cepat, mendatangkan angin besar.
“Wir....
syuuut-syuutttt....!”
Kao Kok Cu
mengelak dan membalas pula dengan lecutan lengan bajunya disusul hantaman
tangan kanannya. Mereka saling serang dengan serunya. Pukulan dibalas pukulan
secara langsung, dan dalam waktu singkat saja mereka telah saling serang dengan
cepat dan mantap, pukul-memukul dan tangkis-menangkis, akan tetapi lebih banyak
mereka itu saling mengelak dan saking cepatnya, sukar dilihat gerakan tangan
mereka, bahkan tubuh mereka pun kini berputaran seperti benang ruwet menjadi
satu!
“Plakkk!
Dukkk!”
Mereka
terdorong ke belakang lagi, akan tetapi kini muka Bu-taihiap agak pucat dan
mulutnya menahan rasa nyeri karena ternyata telah ‘tersentuh’ ujung lengan baju
yang tak berisi lengan tangan itu! Dia merasa penasaran dan menyerang lagi.
Kemudian terjadi pukul-memukul dan elak-mengelak, gerakan mereka itu seperti
telah diatur saja, seperti dua orang seperguruan yang sedang berlatih silat,
setiap pukulan mengenai tempat kosong dan selalu dibalas, ditangkis, membalas
lagi, dielakkan dan menerima balasan.
Begitu cepat
dan hebat, angin menyambar-nyambar dan kini mereka berdua agaknya menggunakan
tenaga lain karena lantai ruangan itu tergetar seperti ada gempa bumi! Tetapi,
kini mulai tampak betapa Bu-taihiap terdesak mundur. Wajahnya penuh keringat,
dari kepalanya mengepul uap putih tebal sedangkan Kao Kok Cu hanya berkeringat
sedikit saja dan belum ada uap mengepul dari kepalanya! Para ahli di situ
maklum bahwa kekalahan Bu-taihiap agaknya tinggal menunggu waktu saja.
Perkelahian
itu demikian menegangkan dan menarik perhatian semua orang yang hadir sehingga
mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat di dekat
ruangan itu, dan barulah mereka terkejut ketika bayangan seorang gadis yang
memegang sebatang suling emas telah menyerbu medan pertempuran dan gadis itu
membentak, “Jangan bunuh ayahku!”
Kao Kok Cu
kaget bukan main mendengar suara melengking tinggi dengan getaran yang luar
biasa kuatnya dan melihat sinar kuning emas menyambar dengan totokan itu
disambung dengan amat cepatnya ke arah tujuh bagian tubuhnya yang berbahaya!
Bukan main
cepatnya gerakan itu, dan bukan main kuatnya getaran tenaga khikang yang
terkandung dalam setiap totokan. Hebatnya, kalau suling itu mengeluarkan hawa
dingin, yang makin membahayakan totokan, tangan kiri gadis itu pun masih
menampar ke bagian yang berlawanan dan tamparan itu mengandung hawa panas! Gadis
ini selain memiliki ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, kemudian akhir
serangan pedang itu menjadi tusukan yang berubah menjadi totokan, juga memiliki
sinkang yang telah demikian kuat sehingga mampu mengerahkan dua macam hawa yang
berlawanan dalam satu serangan!
Belum pernah
pendekar ini mengalami hal seperti ini, belum pernah menghadapi lawan sehebat
ini, maka dia sampai mengeluarkan seruan “Bagus sekali....!” dan cepat-cepat
dia menghindarkan dirinya dengan putaran lengan baju kosong itu untuk menangkis
setiap totokan dan berusaha melibat suling emas itu dengan lengan baju.
Sementara
itu, Cin Liong yang sedang nonton pertempuran seru antara ayahnya dan
Bu-taihiap dengan keuntungan di pihak ayahnya, maklum bahwa sebentar lagi
ayahnya tentu akan keluar sebagai pemenang. Akan tetapi dapat dibayangkan
betapa heran dan marahnya ketika tiba-tiba ada wanita yang menyerang ayahnya
dengan demikian hebatnya. Dan betapa kagetnya melihat bahwa dara itu adalah Ci
Sian yang telah dikenalnya! Maka cepat dia pun meloncat ke medan pertempuran
itu dan berseru keras, “Ci Sian, Jangan serang ayahku!”
Karena Cin
Liong menyerbu ke medan pertempuran sambil menggunakan kedua tangannya untuk
merampas suling, dengan maksud menghentikan serangan dara itu, Ci Sian mengira
bahwa pemuda itu menyerangnya. Maka dengan marah ia pun sudah meninggalkan
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan kini ia menyerang Cin Liong!
Tentu saja
Cin Liong menjadi kelabakan diserang kalang-kabut oleh suling emas itu. Dia
terkejut sekali. Dahulu, ketika dia bertemu dengan gadis ini, Ci Sian belum
memiliki ilmu yang sehebat ini. Akan tetapi sekarang, benar-benar dia terkejut
bukan main karena serangan-serangan dara ini benar-benar luar biasa dahsyatnya,
sedangkan tenaga yang terkandung di dalam serangan-serangan itu juga amat kuat!
“Plakkk!
Dukkk!”
Karena tidak
mungkin mengelak lagi dan dia tidak mau kepalanya remuk oleh pukulan suling, terpaksa
dia menggunakan kedua tangannya, yang satu menangkis suling sedangkan yang
kanan menangkis hantaman tangan kiri gadis itu, dan akibatnya dia terdorong ke
belakang dengan dada terasa sesak karena kedua tangannya bertemu dengan dua
kekuatan yang saling bertentangan, yang satu panas seperti api dan yang lain
dingin seperti es!
Dan
hebatnya, dara itu terus menyerang dengan hebat, tetap menggunakan sulingnya
sehingga karena kewalahan dan tahu bahwa serangan-serangan itu sungguh sangat
berbahaya, maka Cin Liong terpaksa di samping mengelak dan menangkis, juga
harus balas menyerang untuk menahan gelombang serangan dara itu.
Sedangkan
Bu-taihiap yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri melihat betapa dara itu yang
dikenalnya sebagai yang diyakininya adalah puterinya sendiri, bangkit kembali
semangatnya dan menyerang Kao Kok Cu! Tentu saja peristiwa ini mengejutkan
semua orang. Terutama sekali melihat betapa dara yang memegang suling itu
benar-benar hebat sekali kepandaiannya dan suling yang dipakainya sebagai
senjata itu selain menjadi sinar kuning emas yang bergulung-gulung, juga
mengeluarkan bunyi seperti dimainkan dan ditiup oleh mulut yang pandai saja!
Selagi semua
orang kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara
halus namun amat berwibawa, “Harap Cu-wi hentikan semua pertempuran bodoh ini!”
Suara itu
mengandung teguran dan penyesalan dan semua orang memang terkejut sekali karena
yang bersuara itu bukan lain adalah Pangeran Kian Liong sendiri! Akan tetapi
Pangeran itu tidak sendirian, karena di belakangnya berdiri seorang pemuda yang
gagah perkasa dan bersikap tenang, dan pemuda itu berkata pula,
“Sumoi,
harap mundur dan jangan berkelahi!”
Melihat
munculnya Sang Pangeran, Kao Kok Cu dan Kao Cin Liong cepat melompat mundur dan
menghampiri Pangeran itu. Pangeran Kian Liong adalah sahabat baik Cin Liong dan
memang sejak dahulu Pangeran ini amat suka kepada pemuda itu, maka dia lalu
mendekat.
Ketika Cin
Liong hendak memberi hormat, Sang Pangeran memegang lengannya dan berkata, “Jenderal
Muda yang gagah! Kiranya engkau telah datang pula, apakah engkau sengaja
mencariku?”
“Tidak,
Pangeran, hamba mendengar Paduka di sini hanya kebetulan saja. Hamba sedang
mencari Sim Hong Bu untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang dicuri orang,
dan hamba dibantu oleh ayah dan ibu hamba.”
“Ahh, kalau
Naga Sakti Gurun Pasir yang turun tangan, segalanya tentu beres!” kata Sang
Pangeran dengan gembira. Kemudian Pangeran itu menghadapi Bu-taihiap yang masih
bingung melihat munculnya Pangeran itu secara tiba-tiba dan dia merasa
ragu-ragu untuk memerintahkan teman-temannya mempergunakan kekerasan.
“Bu-taihiap,
harap jangan heran kalau aku telah dibebaskan oleh pendekar sakti ini,” katanya
sambil menunjuk kepada Kam Hong. “Para pendekar yang menjagaku sama sekali
bukan lawannya, dan dalam segebrakan saja mereka semua telah roboh dan pingsan.
Apalagi dia datang bersama sumoi-nya, Nona Bu Ci Sian yang selalu melindungiku,
dan meski Nona ini puterimu, namun kurasa tidak sependapat denganmu dalam hal perjuangan
dan pemberontakan. Dan di sini kulihat ada Jenderal Kao Cin Liong yang gagah
perkasa, dengan ayah bundanya yang lebih perkasa lagi, maka kiranya kalian para
pendekar tidak akan mampu menahanku lagi.”
Bu Seng Kin
memandang kepada Kam Hong. Jadi pemuda ini suheng dari puterinya? Dia tadi
sudah terheran-heran karena biar pun hanya beberapa gebrakan saja, dia sempat
menyaksikan puterinya yang menyerang Naga Sakti Gurun Pasir, kemudian menyerang
jenderal muda itu! Dia melihat bahwa puterinya itu benar-benar memiliki ilmu
kepandaian yang amat hebat.
“Bu-locianpwe,”
kata Cin Liong yang merasa tidak enak melihat keadaan pemimpin para patriot
itu, apalagi tadi dia melihat betapa Ci Sian membantu pendekar itu. Kalau
sampai terjadi pertempuran lagi, sungguh dia tidak sanggup untuk melawan Ci
Sian, bukan jeri oleh keahlian dara itu, melainkan tidak sampai hati untuk
berkelahi melawan gadis ini.
Setelah dia
bertanding beberapa gebrakan saja, tiba-tiba Cin Liong melihat kenyataan yang
membuatnya terkejut setengah mati, yaitu bahwa selama ini dia tidak pernah
dapat melupakan dara ini, dan baru sekarang terasa olehnya bahwa sebetulnya
sejak dahulu, sejak pertemuan di antara mereka dalam benteng pasukan Nepal, dia
telah jatuh hati kepada Ci Sian!
“Seperti
telah saya katakan tadi, kedatangan kami bertiga adalah untuk mencari Sim Hong
Bu yang kami tahu berada di sini. Kami membawa perintah Sri Baginda Kaisar
untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang telah dicuri dan sekarang
berada di tangannya. Kami bukan datang untuk memusuhi para pendekar. Hanya
kebetulan saja kami tahu tentang Pangeran dan setelah beliau sekarang bebas,
maka saya ingin mengulang permintaan saya, yaitu agar orang yang bernama Sim
Hong Bu suka keluar dan berhadapan dengan saya.”
Bu-taihiap
tersenyum pahit. Dia dan kawan-kawannya telah gagal. Mereka, para patriot itu,
tentu saja hanya dapat melakukan penahanan terhadap diri Sang Pangeran dengan
rahasia saja, dan setelah sekarang Pangeran itu lolos, tak mungkin
mempergunakan kekerasan, karena tentu mereka akan dihadapi pasukan besar yang
akan membasmi mereka dalam waktu singkat.
“Jenderal
Kao, kau carilah sendiri pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu.”
Dari dalam
terdengar suara wanita, “Suheng, jangan....!”
Lalu
muncullah seorang pemuda yang gagah, diikuti oleh seorang dara berpakaian
wanita yang kelihatan gelisah sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Sim Hong Bu!
Dia dan Pek In memang disuruh menyembunyikan diri dan jangan memperlihatkan
diri ketika keluarga Kao datang berkunjung. Akan tetapi ketika mendengar
percakapan tentang dirinya, Sim Hong Bu tidak dapat menahan hatinya lagi dan
biar pun dicegah oleh Pek In yang merasa khawatir, dia tetap saja nekad keluar.
Semua orang
memandang kepadanya. Dengan sikap tenang Sim Hong Bu menghadap Bu-taihiap dan
menjura, lalu berkata dengan suara penuh penyesalan, “Bu-locianpwe, sungguh
saya menyesal sekali karena kedatangan saya di sini hanya menimbulkan kegagalan
dan kerugian saja bagi para saudara yang perkasa. Kalau saya tidak datang ke
sini, tentu tidak akan terjadi keluarga Kao menyusul ke sini. Oleh karena itu,
biarlah saya menghadapi mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh pribadi saya!”
Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu menghadapi Kao Cin Liong dan juga Kam
Hong.
“Kebetulan
sekali kita bertemu di sini. Kao Cin Liong, tidak kupungkiri bahwa akulah
pewaris Koai-liong Po-kiam dan pedang pusaka ini adalah hak milik nenek moyang
guruku. Kalau engkau menjadi utusan Kaisar untuk merampas kembali pedang ini,
majulah! Pedang ini hanya dapat diambil orang lain melalui mayatku saja!”
Dan sebelum
Kao Cin Liong menjawab, Sim Hong Bu juga berkata kepada Kam Hong dengan lebih
dulu menjura, “Kam-taihiap, aku menyesal sekali untuk menyatakan ini, akan
tetapi karena Taihiap juga sudah berada di sini, biarlah sekalian kusampaikan
bahwa aku melaksanakan pesan guruku bahwa kalau aku bertemu denganmu, aku harus
menantangmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul antara Suling Emas dengan
Kim-siauw Kiam-sut-nya melawan Lembah Naga Siluman dengan Koai-liong
Kiam-sut-nya. Karena urusan antara kita hanyalah urusan siapa yang lebih unggul
dan pertandingan dapat dilakukan secara persahabatan, maka biarlah aku akan
menandingi dulu suling emasmu sebelum aku harus mempertaruhkan pedang pusaka
ini dengan nyawaku.”
Setelah
berkata demikian, nampak sinar berkelebat dibarengi suara melengking nyaring
sekali seperti suling ditiup dan tahu-tahu pemuda itu telah memegang sebatang
pedang yang sinarnya berkilauan mengerikan dan sinar kebiruan masih terbayang
di dalam pandangan mata semua orang, padahal sinar yang tadi berkelebat itu
telah lenyap karena pedang itu kini tidak digerakkan, melainkan melintang di
depan dada Sim Hong Bu.
Seperti juga
Cin Liong, Kam Hong tertegun dan kagum melihat sikap Sim Hong Bu. Sejak
pertemuan pertama dia memang suka dan kagum kepada Sim Hong Bu dan dia pun
sudah menyaksikan kehebatan ilmu pedang pemuda ini ketika bersama dengan Ci
Sian, Hong Bu mengalahkan Hek-i Mo-ong. Diam-diam, dia tadinya mengharapkan
perjodohan antara Sim Hong Bu dan Ci Sian, yang dianggapnya sebagai pasangan
yang cocok sekali. Akan tetapi, pemuda itu kini berhadapan dengan dia sebagai
wakil keluarga Cu yang hendak menuntut balas atas kekalahan mereka!
Cin Liong
sendiri juga meragu. Dia pun sejak mendengar akan riwayat pedang pusaka itu,
merasa betapa beratnya tugas yang dipikulnya. Bukan berat karena berhadapan
dengan lawan yang tangguh, melainkan merasa berat karena sebetulnya hatinya
condong untuk mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya yang syah, yaitu
keluarga Cu. Akan tetapi, bagaimana pun juga, pedang itu telah dicuri dari
istana dan sudah sepantasnya kalau dikembalikan ke tempatnya.
Selagi Cin
Liong dan Kam Hong tertegun dan merasa ragu-ragu dan menyesal bahwa mereka
harus menghadapi pemuda gagah perkasa itu sebagai lawan tanpa ada urusan
pribadi, kesemuanya hanya karena ikatan tugas belaka, tiba-tiba terdengar
bentakan Ci Sian dan nampak sinar kuning emas menyambar dan langsung menyerang
ke arah Sim Hong Bu.
“Tring-trang-cringggg....!”
Tiga kali
suling emas itu bertemu dengan pedang Naga Siluman dan nampak bunga api
berpijar. Hong Bu terkejut bukan main dan cepat meloncat ke belakang.
“Nanti
dulu...., Ci Sian.... aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu!”
“Tidak, ya?
Engkau adalah jagoan yang mewakili Pedang Naga Siluman, dan akulah yang
mewakili suheng-ku, mewakili Suling Emas! Hayoh, tidak usah banyak cerewet.
Selagi di sini berkumpul banyak Locianpwe, banyak pendekar yang gagah perkasa,
mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul antara Suling Emas dan Pedang Naga
Siluman!”
Ci Sian
sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya. Kam Hong mengerutkan alisnya, akan
tetapi dia memandang sambil tersenyum ketika melihat tarikan muka pemuda itu
yang menjadi kebingungan sekali! Kembali amat jelas nampak oleh pendekar ini
bahwa pemuda yang gagah perkasa itu sungguh mencinta sumoi-nya! Menghadapi
serangan dara yang dicintanya itu agaknya merupakan hal yang paling
membingungkan dan menggelisahkan hati Sim Hong Bu. Beberapa kali pedangnya
menangkis dan berkali-kali dia minta kepada Ci Sian untuk menghentikan
serangannya. Akan tetapi Ci Sian nekat terus dan mendesak terus, suling emasnya
mengeluarkan suara menjerit-jerit seperti ditiup oleh orang yang sedang marah!
“Ci Sian....
dengar.... jangan....!” Hong Bu berkali-kali berteriak untuk mencegah dara itu.
Akan tetapi
Ci Sian sungguh terlampau marah untuk dapat ditahan lagi. Sulingnya menyerang
semakin ganas dan bunyi lengking sulingnya makin hebat. Semua orang yang
menyaksikan gerakan suling ini bergidik ngeri dan para Locianpwe yang berada di
situ juga menjadi bengong dan kagum sekali. Bahkan Pendekar Sakti Gurun Pasir
sendiri mengamati semua gerakan itu dengan sinar mata berkilat saking
gembiranya karena baru sekali ini pendekar sakti itu melihat suatu ilmu yang
benar-benar hebat luar biasa.
Kalau sampai
seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir ini tercengang kekaguman,
maka apalagi para pendekar lain yang hadir di situ. Bu-taihiap sendiri
memandang dengan wajah berseri-seri walau pun tadinya dia terkejut dan
terheran-heran, juga bingung melihat watak puterinya yang membolak-balik
seperti angin itu, tadinya membantunya dan kini malah menyerang Sim Hong Bu!
Akan tetapi semua keheranannya itu ditelan oleh rasa kagum menyaksikan ilmu
silat dengan suling yang demikian hebatnya. Dia malah terpengaruh juga oleh
getaran tenaga khikang yang terbawa oleh suara suling!
Yang bingung
adalah Hong Bu sendiri. Tentu saja, biar pun dia tahu bahwa dara itu amat
lihai, dia tidak takut dan dapat menandinginya. Akan tetapi, mana mungkin dia
menghadapi dara ini sebagai lawan? Dia mencinta Ci Sian! Dia rela mati untuk
dara ini! Bagaimana dia dapat mengangkat pedang untuk melawannya, melukainya
atau bahkan membunuhnya? Lebih baik dia yang mati. Dengan hati yang perih
seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan bingung sekali, setelah beberapa kali
menangkis dan mengelak, Sim Hong Bu tiba-tiba meloncat dan melarikan diri secepatnya
dari tempat itu!
“Ke mana
engkau hendak lari?” bentak Ci Sian yang hendak mengejarnya, akan tetapi suara
Kam Hong lebih cepat lagi.
“Sumoi,
jangan kejar dia!”
Suara Kam
Hong merupakan satu-satunya suara di dunia ini yang mempunyai pengaruh besar
bagi Ci Sian. Biar pun belum tentu ia selalu taat, akan tetapi setidaknya,
suara Kam Hong selalu diperhatikannya dan sekali ini ia pun berhenti dan tidak
melanjutkan pengejarannya.
Melihat
larinya Sim Hong Bu, Cin Liong khawatir kalau-kalau pemuda itu lenyap dan
pedang pusaka itu tidak berhasil dirampasnya kembali. “Ayah, harap suka
lindungi Sang Pangeran, aku hendak mengejarnya!” katanya dan tanpa menanti
jawaban ayahnya, pemuda ini sudah berkelebat lenyap untuk mengejar Sim Hong Bu.
Keadaan
menjadi agak tegang dan suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu setelah apa
yang terjadi tadi.
“Ah, betapa
sayangnya melihat para pendekar yang gagah perkasa kini bersikap seperti
anak-anak kecil yang memperebutkan mainan, saling serang untuk saling membunuh.
Betapa menyedihkan!” Pangeran Kian Liong berkata sambil menggeleng-geleng
kepala.
Mendengar
ucapan ini, Bu Seng Kin cepat-cepat menjawab dengan suara mengandung penasaran.
“Pangeran, kami adalah pejuang-pejuang rakyat yang tertindas sebagai akibat
kesewenang-wenangan Kaisar. Juga kami membela rekan-rekan kami para pendekar
yang dikejar, dibunuh dan hendak dibasmi oleh Kaisar, seperti halnya
sahabat-sahabat dari Siauw-lim-pai. Kami sama sekali tidak hendak memperebutkan
sesuatu, melainkan minta agar kami diperlakukan dengan baik sebagai manusia,
sebagai rakyat yang memiliki tanah air ini!”
Jawaban yang
bersemangat itu membuat para pendekar yang berada di situ merasa tergugah.
Mereka mengangkat dada dan sinar mata mereka pun menjadi berapi penuh semangat.
“Tapi, siapa
pun yang hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai dosa apa pun dalam
urusan Kaisar itu, pasti akan kuhadapi dengan sulingku!” Ci Sian berkata,
suaranya juga tegas dan nyaring, dan suling emas itu dilintangkan di depan
dadanya.
Bu-taihiap
memandang kepada gadis ini dengan alis berkerut. “Ci Sian, sungguh mati kami
bingung sekali melihat sikapmu. Siapakah yang engkau bela? Tadi, aku melihat
engkau sebagai seorang puteriku yang gagah perkasa dan berbakti, yang
membantuku ketika aku terdesak oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan
tetapi, kemudian engkau bahkan melawan dan menyerang Sim Hong Bu yang berdiri
di pihak kami sebagai seorang pendekar patriot! Dan sekarang pula, engkau
hendak membantu dan membela Sang Pangeran. Bagaimanakah ini dan sesungguhnya di
pihak siapa engkau berdiri?”
“Aku tidak
memihak siapa pun juga. Aku bebas dan hanya berpihak kepada kebenaran. Kalau
tadi aku membantumu adalah karena mengingat bahwa engkau adalah ayah kandungku,
biar pun aku sama sekali tidak menyukai kenyataan itu! Dan aku melawan Sim Hong
Bu karena dia menantang Ilmu Suling Emas! Sekarang aku membela Sang Pangeran
karena beliau adalah orang yang bijaksana dan sama sekali tidak bersalah!”
“Hemm, Ci
Sian, sesungguhnya di manakah engkau berdiri? Apakah engkau seorang pendekar
yang berjiwa patriot dan membela tanah air dan bangsa dari penindasan, ataukah
engkau hendak menjadi seorang pengkhianat bangsa dan menjadi antek dari Kaisar
penjajah?”
Kini wajah
Ci Sian menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi!
“Biar pun
engkau ayah kandungku, jangan harap untuk dapat memberi kuliah kepadaku!
Tengoklah diri sendiri! Seorang di antara isterimu adalah bekas panglima Nepal!
Apakah dia pun seorang pecinta rakyat dan tanah air kita? Aku tidak peduli tentang
urusan perebutan kedudukan. Aku bukan pengkhianat siapa-siapa, juga bukan
pemberontak.”
Pangeran
Kian Liong melangkah maju. “Ah, cukuplah kiranya percekcokan ini. Nona Bu, aku
telah mengenalmu sebagai seorang dara gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Apa
pun juga pandanganmu terhadap ayah kandungmu, tidak baiklah kalau membenci
orang tua sendiri. Sekarang, Bu-taihiap, dengarlah baik-baik. Tidak perlu
diributkan lagi mengenai diriku, dan hentikan semua pertikaian yang tiada
artinya ini. Aku berjanji, kalian semua yang hadir di sini menjadi saksi, bahwa
aku akan memperjuangkan semua tuntutan kalian itu kepada ayahku, Sri Baginda
Kaisar. Biar pun aku tidak menjadi tawanan di sini, biar pun aku tidak menjadi
sandera, akan tetapi aku berjanji bahwa aku akan mengajukan tuntutan-tuntutan
itu kepada Kaisar dan aku kira semua tuntutan itu akan dikabulkan.”
Bu-taihiap
mengerutkan alisnya. Biar pun mereka semua masih berada di dalam sarang para
pendekar patriot, akan tetapi keadaan sungguh tidak menguntungkan dirinya. Kini
Pangeran telah mempunyai banyak pelindung yang amat tinggi ilmu kepandaiannya.
Dia sendiri tadi sudah merasakan kelihaian Naga Sakti Gurun Pasir. Dan biar pun
kini Jenderal Kao Cin Liong sudah tidak berada di situ melainkan mengejar Sim
Hong Bu, akan tetapi sebagai penggantinya di situ terdapat puterinya, Bu Ci
Sian yang dia tahu telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi
suheng-nya yang membebaskan Pangeran itu, dapat diduga tentu memiliki ilmu yang
lebih hebat lagi.
Menggunakan
kekerasan dan pengeroyokan berarti hanya akan menggagalkan usaha perjuangan itu
sendiri, karena pemerintah tentu akan segera mengirim pasukan dan menghancurkan
mereka. Akan tetapi mengalah begitu saja juga amat memalukan dan dapat
menimbulkan penafsiran bahwa para pendekar patriot merasa takut!
Selagi
Bu-taihiap kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba saja
terdengar teriakan dari para penjaga di luar, “Utusan ke kota raja telah tiba
kembali!”
Wajah
Bu-taihiap menjadi cerah kembali dan dia cepat berkata kepada Sang Pangeran,
“Harap Paduka ketahui bahwa orang yang kami utus ke kota raja menyampaikan
tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar telah pulang. Kita dengarkan saja bersama
apa yang dihasilkan oleh tuntutan itu.”
Ketika dua
orang utusan itu memasuki ruangan yang penuh orang itu, apalagi melihat pula
Pangeran Kian Liong di situ, mereka menjadi ragu-ragu dan memandang kepada
Bu-taihiap dengan sikap bingung.
“Laporkanlah
saja apa yang menjadi hasil tuntutan kita kepada Kaisar, biar didengar oleh
semua yang berada di sini,” kata Bu-taihiap kepada dua orang utusan itu.
“Jangan kalian ragu-ragu lagi.”
“Kami telah
menyampaikan surat tuntutan itu kepada kepala pengawal. Setelah disuruh menanti
dan di jaga ketat, seolah-olah kami hendak ditangkap dengan kekerasan, tak lama
kemudian muncul seorang pembesar istana dan kami menerima jawaban tertulis yang
harus kami segera sampaikan kepada Taihiap.”
Dua orang
utusan itu mengeluarkan sepucuk surat bersampul yang ada cap istana,
menyerahkannya kepada Bu-taihiap.
Pendekar ini
menerima dengan hati bangga dan juga wajah berseri. Jawaban dari istana berarti
bahwa tuntutan mereka itu dihargai dan disambut. Kalau sebaliknya, tentu dua
orang utusan itu sudah ditangkap atau dibunuh! Sambil tersenyum dia membuka
sampul dan berkata kepada Sang Pangeran, “Harap Paduka ikut pula mendengarkan
jawaban dari istana, juga semua saudara harap mendengarkan.”
Setelah
berkata demikian, Bu-taihiap lalu membuka surat itu dan membaca dengan suara
keras. Di dalam surat itu tertulis bahwa Kaisar menerima semua tuntutan itu dan
berjanji akan mengabulkannya, namun diminta agar Sang Pangeran segera
dipersilakan pulang ke istana karena kaisar menderita sakit.
Mendengar
ini, semua orang terkejut, juga Sang Pangeran sendiri.
“Ah, kiranya
Sri Baginda Kaisar sedang sakit!” katanya. Lalu dia menoleh kepada Kao Kok Cu,
“Kao-taihiap, aku harus segera kembali ke kota raja!”
“Kami akan
mengantar Paduka pulang,” kata pendekar berlengan satu itu.
Bu-taihiap
juga girang sekali melihat isi jawaban yang menyatakan bahwa tuntutan mereka
akan dikabulkan, maka dia pun segera menyediakan sebuah kereta dan kuda yang
segar untuk dipakai oleh Sang Pangeran ke kota raja. Kao Kok Cu dan isterinya
lalu cepat mengawal Pangeran untuk naik kereta menuju ke kota raja, dikusiri
sendiri oleh Wan Ceng dan suaminya. Sedangkan Kam Hong segera meninggalkan
ternpat itu untuk mengejar Sim Hong Bu pula, bersama sumoi-nya. Bu Seng Kin
berusaha untuk menahan puterinya, agar mau tinggal di situ bersamanya, namun
dengan sikap angkuh dan keras Ci Sian menolak.
“Biar pun
engkau adalah ayah kandungku, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah
merasakan kasih sayangmu. Oleh karena itu, bagiku engkau sama saja seperti
orang lain, Ayah. Maka aku tidak mungkin dapat tinggal bersamamu, kecuali....
kecuali....”
“Kecuali
apa?”
“Kalau
engkau hidup sendirian saja!”
Tang Cun Ciu
yang pernah bermusuhan dengan Ci Sian, bahkan pernah mereka berdua itu
berkelahi, berkata dengan suara dingin, “Bu Ci Sian, engkau harus dapat melihat
kenyataan! Hidup tidaklah semanis yang engkau kira. Ayahmu telah mempunyai
isteri-isteri lain, dan ini adalah kenyataan, biar pun hati tidak setuju akan
tetapi mana bisa mengubah kenyataan? Betapa pun juga kami adalah
isteri-isterinya, mana mungkin dipisahkan begitu saja?”
Ci Sian
cemberut. “Aku pun tidak mau merampas Ayah. Boleh kalian semua miliki
selamanya, aku tidak membutuhkan dia. Suheng, mari kita pergi! Tidak tahan aku
berlama-lama di tempat ini!” katanya sambil melompat keluar, diikuti oleh Kam
Hong.
Biar pun
Bu-taihiap agak terpukul batinnya oleh sikap puterinya itu, namun kegembiraan
karena tuntutan para patriot diterima dan hendak dikabulkan oleh Kaisar
merupakan hiburan besar. Bu-taihiap lalu menyebar orang-orangnya untuk
menyampaikan berita baik itu kepada seluruh pendekar patriot yang tersebar di
banyak kota, dan mereka sekarang tinggal menanti pelaksanaan dari pada janji
Kaisar yang hendak mengabulkan permintaan mereka itu…..
***************
Akan tetapi,
sementara itu, Kaisar yang menjanjikan pemenuhan tuntutan itu sendiri sedang
menderita sakit yang parah karena luka oleh pisau beracun itu menjadi makin
membengkak dan mulai meracuni darah dalam tubuhnya!
Ketika
Pangeran Kian Liong tiba di istana dan langsung mengunjungi Kaisar, Pangeran
ini terkejut bukan main melihat keadaan Kaisar yang amat payah. Dia mendengar
akan peristiwa penyerangan selir itu dan Sang Pangeran menghela napas panjang.
Ketika mendengar bahwa selir itu sehari sebelum melakukan penyerangan
dikunjungi seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai puteranya, tahulah Kian
Liong siapa yang dimaksudkan oleh mereka. Pemuda itu pernah dijumpai sebagai
seorang pendekar patriot yang bersemangat. Kembali akibat dari pada
penyelewengan ayahnya, pikir Pangeran ini. Ayahnya kini memetik buah dari pada
pohon yang ditanamnya sendiri.
Biar pun
keadaan penyakitnya amat parah, ketika Kaisar mendengar akan kedatangan
puteranya, dia membuka matanya dan memberi isyarat kepada Pangeran Kian Liong untuk
duduk. Pangeran itu lalu duduk di tepi pembaringan.
“Bagus,
engkau sudah dibebaskan?” kata Kaisar itu bersemangat meski suaranya lirih dan
lemah dan napasnya agak memburu. “Bagus, sekarang juga akan kuperintahkan agar
dikirim pasukan besar untuk membasmi seluruh pemberontak-pemberontak laknat
itu!”
“Harap
Paduka tenang dan tidak membiarkan kemarahan meracuni diri Paduka yang sedang
sakit,” kata Sang Pangeran. “Agaknya Paduka lupa bahwa Paduka telah menjanjikan
untuk mengabulkan permohonan mereka....”
“Permohonan?
Mereka menuntut! Tidak ada janji dengan para pemberontak! Akan kubasmi sampai
ke akar-akarnya!”
Pangeran
Kian Liong dengan halus membantah, bahwa yang disebut pemberontak oleh Kaisar
itu adalah pendekar-pendekar patriot-patriot sejati yang menjadi sakit hati
karena penekanan terhadap mereka oleh pemerintah.
“Terutama
sekali pembakaran biara Siauw-lim-si membuat mereka itu menjadi semakin
mendendam. Kalau kita bersikap baik kepada mereka, maka kita dapat menggunakan
tenaga mereka itu dengan baik dan demi kemakmuran negara. Kalau ditekan, mereka
akan melawan dan kita harus ingat bahwa jumlah mereka cukup besar dan gerakan
mereka itu didukung oleh hampir seluruh kaum kang-ouw.”
“Kalau perlu
akan kubasmi seluruh kaum kang-ouw!” Kaisar membentak marah.
Akan tetapi
dengan suara halus, Pangeran Mahkota itu mencoba untuk mengingatkan Kaisar.
Kaisar menjadi marah dan jengkel sekali dan hal ini sebetulnya amat tidak baik
bagi kesehatannya sehingga Kaisar jatuh pingsan lagi dan penyakitnya menjadi
makin berat!
Melihat
keadaan Kaisar yang penyakitnya semakin payah itu, para pembesar lalu
mengadakan musyawarah, dipimpin oleh Pangeran Kian Liong dan atas persetujuan
dari Kaisar yang kadang-kadang siuman itu, maka diangkatlah Pangeran Kian Liong
sebagai pelaksana dan penguasa menggantikan Kaisar yang memang menjadi haknya
sebagai Pangeran Mahkota. Dan begitu Pangeran muda ini duduk sebagai penguasa
tertinggi, maka keluarlah keputusan-keputusan yang amat bijaksana dan melegakan
hati para pembesar yang setia, juga melegakan hati rakyat dan para pendekar.
Di antara
keputusan-keputusan itu adalah pembangunan biara Siauw-lim, dihentikan
pengejaran terhadap para pendekar patriot, peringanan pajak bagi rakyat,
terutama di dusun-dusun, pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dan sebagainya.
Tentu saja keputusan-keputusan baru ini, selain di satu pihak disambut dengan
gembira, namun di lain pihak ada orang-orang yang menyambutnya dengan tidak
senang.
Dan mereka
itu adalah orang-orang yang memang pada dasarnya membenci bangsa Han yang
mereka anggap sebagai bangsa yang lebih rendah dari pada mereka. Mereka ini
adalah pembesar-pembesar Mancu yang berkuasa di istana, yang merasa sebagai
bangsa yang berkuasa di Tiongkok. Selain beberapa orang di antara para pembesar
Mancu, hanya beberapa orang saja karena tidak semua pembesar bangsa Mancu
berwatak seperti itu bahkan sebagian besar telah melebur diri menjadi bangsa
Han pula dengan menerima semua kebudayaan, ada pula pihak lain yang tidak puas
dan bahkan marah-marah dengan adanya kebijaksanaan-ke-bijaksanaan baru dari
Pangeran Kian Liong ini. Mereka itu adalah pembesar-pembesar, terutama di
daerah-daerah, tidak peduli apakah mereka itu berbangsa Mancu atau Han, yang
merasa amat dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru seperti
meringankan pajak dan sebagainya itu. Dengan adanya kebijaksanaan baru ini,
tertutuplah banyak sumber penghasilan mereka melalui korupsi!
Betapa pun
juga, karena Pangeran Kian Liong melaksanakan semua keputusan itu dengan
bijaksana, dan tidak ragu-ragu untuk menghukum mereka yang melanggar, maka
setuju atau tidak setuju, keputusan-keputusan itu dijalankan juga oleh para
pembesar. Dan rakyat bersorak gembira dengan hati agak lega karena mereka
merasa agak terangkat dari jurang kesukaran dan terlepas dari himpitan-himpitan
yang amat berat.
Penyakit
Kaisar semakin payah dan akhirnya Kaisar Yung Ceng meninggal dunia pada tahun
1735. Kaisar ini meninggal dalam keadaan sengsara, oleh karena penyakitnya
membuat dia menderita dan rebah tersiksa selama berbulan-bulan, hampir setahun.
Tidak ada
kesulitan timbul dalam penobatan Pangeran Kian Liong menjadi kaisar. Sejak
tahun 1735 dia memang telah menjadi penguasa penuh, dan pada tahun 1736, hanya
beberapa bulan setelah meninggalnya Kaisar Yung Ceng, maka Pangeran Kian Liong
dinobatkan sebagai kaisar penuh.
Setelah
menjadi kaisar, maka Pangeran Kian Liong makin berani dalam tindakan
kebijaksanaannya. Berbagai peraturan yang dianggapnya hanya bersumber kepada
keinginan pembesar-pembesar yang bersangkutan untuk menumpuk harta kekayaan dan
memperkuat kekuasaan belaka dihapus dan dirubah secara radikal.
Pembesar-pembesar digantinya dengan orang-orang yang cakap.
Kaisar muda
ini pun mengulurkan tangan kepada para pendekar, siapa saja yang ingin
menyumbangkan tenaga demi kemakmuran negara dan rakyat, diterimanya tanpa pilih
bulu, dan diberi kedudukan yang sesuai dengan kepandaian masing-masing. Selain
ini, juga Kaisar Kian Liong menggunakan tangan besi terhadap para penjahat dan
koruptor. Keadaan berubah sama sekali, baik di dalam pemerintahan mau pun keadaan
dalam kehidupan rakyat jelata. Kaisar ini berusaha sedapat mungkin untuk
menarik simpati rakyat, untuk menghapus kesan bahwa mereka itu terpimpin oleh
kaum penjajah. Di dalam istana sendiri, Kaisar mengadakan pembersihan dan
mengenyahkan para penjilat dan pembesar-pembesar korup.
Tentu saja
semua ini disambut oleh para pendekar dengan hati lega. Memang, perasaan tidak
senang bahwa negara dipimpin oleh bangsa Mancu masih ada dalam lubuk hati
mereka. Namun, yang terpenting pada waktu itu adalah melihat rakyat hidup
sejahtera dan makmur, tidak tertindas. Yang penting adalah kemakmuran lahiriah
lebih dulu dan mereka melihat dalam diri kaisar baru ini seorang pemimpin yang
adil, yang bahkan lebih baik dari pada kaisar-kaisar bangsa sendiri ratusan
tahun yang lalu.
Kaisar Kian
Liong selain menghargai tenaga para pendekar, juga tak mengabaikan para ahli
sastra. Dia pun mengulurkan tangan kepada kaum sastrawan untuk menyumbang
tenaga dan pikiran, tentu dengan imbalan-imbalan yang memadai, dengan
kedudukan-kedudukan yang sesuai, sehingga pada masa pemerintahan Kaisar ini,
kesusastraan berkembang biak dengan baiknya.
Dan memang
tercatat dalam sejarah bahwa Pangeran Kian Liong merupakan satu-satunya kaisar
yang berhasil di dalam pemerintahan Mancu, bahkan jarang ada kaisar yang
demikian gemilang pada dinasti-dinasti sebelumnya. Kaisar Kian Liong sendiri
adalah seorang yang amat mengagumi Kaisar Tang Thai Cung, yaitu kaisar di dalam
Dinasti Tang yang dianggapnya sebagai seorang kaisar yang bijaksana dan patut
dicontoh.
Maka dalam
banyak hal, dia mencontoh Kaisar Dinasti Tang itu yang memerintah selama dua
puluh tahun dan telah mencapai banyak sekali kemajuan untuk rakyat dan
negaranya. Dan Kaisar Kian Liong ini malah menjadi Kaisar sampai selama enam
puluh tahun! Sungguh merupakan masa pemerintahan yang amat lama dan jarang ada
kaisar yang seperti dia. Hal ini membuktikan kebijaksanaannya ketika memerintah
sehingga tidak banyak terjadi pemberontakan terhadap pimpinannya!
Memang tidak
dapat disangkal bahwa jiwa patriot masih belum padam di dalam hati para
pendekar. Namun api pemberontakan di dalam hati itu mengecil bahkan hampir
padam selama pemerintahan Kaisar Kian Liong karena para pendekar itu segan dan
tunduk kepada Kaisar yang bijaksana itu. Semua propinsi dalam keadaan tenteram,
bahkan negara-negara yang tadinya suka menyeberang perbatasan dan mengadakan
pengacauan, kini menarik pasukan mereka tidak berani mengganggu. Mereka pun
maklum bahwa dalam sebuah negara yang tenteram dan makmur, terhimpun kekuatan
yang hebat, bukan hanya kekuatan pasukannya, melainkan terutama sekali karena
setiap orang rakyat siap sedia untuk mempertahankan ketenteraman hidupnya dan
akan bangkit melawan pengacau dari luar.
Pada jaman
Kaisar Yung Ceng, telah terjadi kontak-kontak dengan bangsa Rusia dan bangsa
ini malah diperbolehkan membuka perwakilan di kota raja. Juga telah lama
diadakan hubungan perdagangan dengan bangsa Portugal sebagai bangsa asing yang
paling dulu mengadakan hubungan dagang dengan Tiongkok. Kemudian berturut-turut
datang pula bangsa Belanda, Inggris dan Perancis. Akan tetapi, Kaisar Kian
Liong membatasi gerakan mereka dan menjaga benar-benar agar mereka itu tidak
mempengaruhi rakyat di mana mereka tinggal dengan kebudayaan mereka. Setiap
gerak-gerik mereka diawasi dan perdagangan pun dibatasi agar rakyat tidak
sampai tertipu dan dirugikan.
Demikianlah
keadaan pada waktu pemerintah Kaisar Kian Liong, dan kalau pun ada terjadi
pemberontakan, maka pemberontakan itu hanya terjadi di daerah pinggiran yang
berbatasan dengan negara tetangga, pemberontakan suku bangsa yang masih liar
dan yang selalu tidak mau menerima peraturan-peraturan dari pusat. Akan tetapi
semua pemberontakan itu pun dengan mudah dapat ditundukkan dan diatasi.
Melihat
keadaan ini, kaum pendekar juga bangkit kembali semangat mereka. Kalau dulu, di
waktu para pendekar itu kecewa menyaksikan kelaliman Kaisar Yung Ceng sehingga
mereka tidak acuh terhadap keamanan rakyat, kini mereka bangkit dan menentang
para penjahat yang hendak mengacaukan ketenteraman. Dengan adanya para pendekar
ini, makin tenteramlah kehidupan rakyat jelata, berkat kebijaksanaan Kaisar
Kian Liong yang pandai mengambil hati kaum cerdik pandai dan gagah perkasa di
seluruh negeri.
Diam-diam
Kao Cin Liong merasa kagum sekali terhadap Sim Hong Bu yang dalam pertemuannya
dengan para pendekar patriot itu telah muncul dengan gagah perkasa, menantang
dia dan bahkan menantang suheng dari Ci Sian yang bernama Kam Hong itu. Akan
tetapi dia mengerutkan alisnya kalau teringat betapa pemuda itu menjadi
demikian bingungnya ketika dihadapi dan diserang oleh Ci Sian, bahkan dia pun
melihat dengan jelas betapa Hong Bu terus mengalah, bahkan kemudian melarikan
diri, bukan karena takut kepadanya atau kepada Ci Sian, melainkan karena jelas
bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau menghadapi Ci Sian sebagai musuh.
“Dia
mencinta Ci Sian!” demikianlah berkali-kali hatinya berkata dengan perasaan
tidak nyaman. Dia sendiri juga jatuh cinta kepada Ci Sian dan agaknya kini dia
menemui seorang saingan berat dalam diri Sim Hong Bu, pemuda gagah perkasa ahli
waris keluarga Cu yang telah mewarisi pula pedang pusaka Koai-liong Po-kiam
itu.
Cin Liong
menjadi semakin kagum pada waktu dia melakukan pengejaran dan sampai
berpekan-pekan, bahkan lebih dari sebulan, belum juga dia mampu menyusul Hong
Bu. Memang dia telah menemukan jejak pemuda itu dengan penyelidikan dan
bertanya-tanya, tetapi Hong Bu selalu lenyap dengan cepatnya. Bahkan setelah
dia mengejar ke barat, tiba-tiba saja jejak pemuda itu menuju ke utara, ke kota
raja! Di dalam perjalanan mencari dan mengikuti jejak Hong Bu ini, Cin Liong
mendengar tentang Kaisar yang tengah jatuh sakit berat dan betapa kini Pangeran
Kian Liong yang menjadi pejabat dan pelaksana yang tertinggi.
Dia merasa
amat gembira dan percaya sepenuhnya bahwa Pangeran itu tentu akan mengadakan
perubahan-perubahan bijaksana seperti yang sering kali dikatakan dan dijanjikan
oleh Pangeran itu. Keyakinan ini membuatnya menjadi lega dan dengan hati tenang
dia melanjutkan pengejarannya.
Dan ketika
dia tiba di kota Pao-ting di sebelah selatan kota raja, dia mendengar bahwa
pemuda yang dikejarnya itu menuju ke hutan di sebelah barat kota itu, di
Pegunungan Thian-hong-san. Keterangan ini didapatnya dari para penjaga kota
yang mengenal jenderal muda ini, karena Pao-ting tidak jauh dari kota raja dan
nama Kao Cin Liong amat dikenal karena kegagahannya. Dia cepat melakukan pengejaran
ke daerah hutan di kaki pegunungan itu dan pada keesokan harinya pagi-pagi
dengan hati berdebar dan juga girang dia melihat orang yang diburunya itu
berada di bawah pohon bersama seorang laki-laki berusia kurang lebih empat
puluh tahun yang berpakaian seperti seorang pemburu.
Siapakah
pria berpakaian pemburu itu? Dan mengapa Hong Bu pergi ke tempat itu, di dalam
hutan sunyi? Seperti kita ketahui, Hong Bu bingung bukan main ketika melihat Ci
Sian menyerangnya kalang-kabut dan bahkan semakin nekat. Dia tidak takut kepada
dara ini, akan tetapi melihat betapa dara itu menyerangnya dengan demikian
mati-matian seperti seorang musuh besar dan berniat membunuhnya, hatinya terasa
seperti ditusuk dan kedukaan membuat dia melupakan semua urusannya. Maka dia
pun tidak kuat bertahan dan melarikan diri secepatnya karena dia khawatir
kalau-kalau Ci Sian mengejarnya. Setelah melihat dara yang amat dicintanya itu
menganggapnya sebagai musuh, Hong Bu menjadi lemas dan lenyap semua semangatnya
untuk menghadapi orang-orang yang memusuhinya.
Dia lalu
melakukan perjalanan cepat, tidak mau kalau sampai tersusul orang. Dia bahkan
tidak bernafsu untuk berkelahi dengan siapa pun, yang teringat hanya Ci Sian,
dan hatinya menjadi semakin kacau membayangkan betapa dara itu menyerangnya
mati-matian! Hal seperti ini tidak mungkin dibiarkan saja, pikirnya. Dia jatuh
cinta kepada Ci Sian dan satu-satunya jalan hanya meminangnya untuk menjadi
isterinya! Dan dia mempunyai harapan baik karena agaknya Bu Seng Kin, pemimpin
para patriot itu, suka kepadanya dan agaknya tidak akan menolak kalau dia
meminang Ci Sian yang ternyata adalah puterinya!
Apa pun
hasilnya nanti, berhasil mau pun gagal hal ini akan membuat hatinya lega dan
tidak bimbang seperti sekarang ini. Biarlah dia ditolak kalau dara itu memang
tidak dapat membalas cintanya. Akan tetapi harus ada ketentuan, ada kepastian,
tidak seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa sebenarnya dara itu tidak
membencinya, bahkan melihat sinar mata dara itu kepadanya, dahulu sebelum
terjadi pertikaian tentang permusuhan dan persaingan antara Ilmu Kim-siauw
Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, dia pernah melihat sinar mata dara itu
bersinar-sinar mesra kepadanya. Mungkin dara itu juga ada hati kepadanya, hanya
karena urusan permusuhan itu, maka kini menjadi marah dan membencinya.
Demikianlah,
Hong Bu lalu mencari pamannya, satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya,
yaitu Sim Hok An, juga bekerja sebagai pemburu. Akan tetapi Sim Hok An ini
bukanlah paman asli, bukan adik mendiang ayahnya seperti halnya pamannya Sim
Tek yang sudah tewas di tangan Su-ok dahulu itu, melainkan adik sepupu yang
masih bernama keluarga sama, yaitu she (nama keluarga) Sim. Sim Hok An inilah
satu-satunya keluarganya yang dapat menjadi walinya untuk mengajukan pinangan
kepada Bu Seng Kin, meminang Ci Sian! Untuk keperluan itulah maka Hong Bu
mencari-cari pamannya itu.
Tentu saja
tadinya dia mencari ke tempat tinggalnya yang lama, akan tetapi dia mendengar
bahwa pamannya telah pindah ke Pao-ting bersama keluarganya, yaitu seorang isteri
dan dua orang anak dan cepat dia menyusul ke Pao-ting. Di tempat ini dia
mendengar bahwa pamannya sedang bekerja, yaitu seperti biasa, pekerjaan memburu
ke dalam hutan. Pekerjaan ini kadang-kadang sampai makan waktu seminggu.
Setelah memperoleh banyak hasil buruan barulah pulang untuk menjual hasil
buruan ke kota. Maka dia pun segera menyusul ke hutan itu. Dia sama sekali
tidak tahu bahwa ada orang yang selalu membayanginya atau mengejarnya, ke mana
pun dia pergi.
Demikianlah,
akhirnya Cin Liong berhadapan dengan Hong Bu dalam hutan yang sunyi, ketika
Hong Bu sedang bercakap-cakap dengan Sim Hok An, pada pagi hari itu.
“Sim Hong
Bu, akhirnya aku dapat menemukan engkau!” Cin Liong berseru dengan lantang,
hatinya girang sekali karena akhirnya pengejarannya berhasil.
Hong Bu yang
tidak menyangka sama sekali akan dapat disusul oleh utusan Kaisar yang hendak
merampas pedangnya ini terkejut, akan tetapi mukanya segera menjadi merah
karena marah. Dia meloncat bangun, berdiri dengan tegak, dan menoleh kepada pamannya.
“Maaf,
Paman. Aku mempunyai urusan pribadi dengan orang ini, biarlah kuselesaikan dulu
urusanku dengan dia, baru kita sambung percakapan kita tadi.” Sikapnya tenang
sekali.
Akan tetapi,
melihat sikap dua orang muda yang sama gagahnya itu, Sim Hok An yang juga sudah
bangkit berdiri segera menegur, “Hong Bu, apakah yang terjadi? Siapakah dia itu
dan ada urusan apakah?”
Tentu saja
pamannya dapat melihat sikap yang serius dari keduanya, maka Hong Bu lalu
berkata dengan terus terang, “Paman, aku mempunyai sebatang pedang dan orang
ini hendak merampasnya, maka hal ini harus kami putuskan dengan perkelahian.
Harap Paman jangan mencampuri dan berdiri agak menjauh karena orang ini adalah
Jenderal Kao Cin Liong, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”
Terkejutlah
orang setengah tua itu dan dia pun segera melangkah mundur dan duduk di bawah
sebatang pohon agak jauh dari situ. Dia belum tahu bahwa keponakannya yang
semenjak kecil telah menghilang, dan kabarnya bersama dengan Sim Tek melakukan
perburuan di utara dan baru sekarang pulang itu, telah menjadi seorang yang
amat lihai. Setelah pamannya itu mundur, barulah Hong Bu menghadapi Cin Liong.
“Nah, Kao
Cin Liong, kita telah berdiri berhadapan sekarang. Di sini tiada orang lain dan
Pamanku itu tentu tidak akan mencampuri. Kita adalah sama-sama laki-laki,
katakanlah, apa yang kau hendaki maka engkau menyusulku ke tempat ini?”
“Sim Hong
Bu, engkau tahu apa yang kukehendaki. Sayang bahwa ketika kita bertemu di rumah
para pendekar itu, engkau melarikan diri....”
“Aku sama
sekali tidak lari darimu, atau dari Kam-taihiap, atau dari siapa pun!”
“Kalau
begitu, kenapa engkau melarikan diri?”
“Bukan urusanmu!”
bentak Hong Bu dan mukanya berubah merah sekali.
Hatinya
sedih karena harus bicara tentang urusan yang mendatangkan duka di hatinya itu,
mengingatkan dia bahwa dia sudah dimusuhi oleh Ci Sian dengan mati-matian.
“Engkau
tetap menghendaki pedang Koai-liong Po-kiam yang sebenarnya menjadi hak milikku
sebagai ahli waris keluarga Cu di Lembah Naga Siluman?”
“Hemm,
maksudmu Lembah Suling Emas?”
“Bukan,
sekarang namanya telah menjadi Lembah Naga Siluman! Nah, jawablah.”
“Tidak
salah, memang aku mencari untuk minta dikembalikannya pedang pusaka itu. Betapa
pun juga, pedang itu tadinya adalah pusaka istana dan dicuri orang, maka harus
dikembalikan ke sana.”
“Bagus! Dan
jawabanku tetap seperti dahulu, yaitu engkau baru dapat merampas dan membawa
pergi pedang itu melalui mayatku!”
“Baiklah,
akan kucoba untuk merampasnya darimu, Hong Bu. Sesungguhnya, terus terang saja
aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, dan bahkan aku tidak benci
sama sekali kepadamu. Akan tetapi, engkau tahu bahwa aku adalah seorang petugas
yang menerima perintah untuk merampas kembali pedang pusaka istana, dan karena
engkau kebetulan orangnya yang membawa pedang itu, dan kalau engkau tidak mau
menyerahkannya kepadaku dengan damai, terpaksa aku harus menggunakan kekerasan.”
“Bagus,
kata-kata jantan! Aku pun ingin sekali mencoba sampai di mana lihainya putera
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang telah mengalahkan keluarga Cu!”
Mendengar
disebutnya Naga Sakti Gurun Pasir, Sim Hok An menggigil dan mukanya pucat. Biar
pun dia hanya seorang pemburu, akan tetapi keluarga Sim adalah pemburu yang
berpengalaman dan banyak sekali kenalan di antara orang-orang kang-ouw, maka
nama besar itu tentu saja pernah didengarnya. Juga dia mendengar tentang pedang
Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana itu. Siapa kira, ternyata pedang itu
berada di tangan keponakannya, dan kini keponakannya itu akan bertanding
melawan putera Naga Sakti Gurun Pasir. Hampir dia tidak percaya akan semua itu
dan merasa seperti dalam mimpi.
Melihat
betapa jenderal muda itu masih tidak mengeluarkan senjata, Hong Bu yang
keistimewaannya hanyalah ilmu pedangnya yang memang luar biasa itu,
perlahan-lahan mencabut Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar kebiruan yang
menyilaukan mata. Sim Hok An terkejut dan tidak terasa lagi dia menggeser
duduknya di belakang pohon dan mengintai dari balik batang pohon itu!
“Ahhh,
memang pedang pusaka yang hebat. Pantas saja dijadikan rebutan!” kata Cin
Liong.
Tadinya dia
hendak mengadu kepandaian tanpa senjata karena memang di antara mereka tidak
ada permusuhan atau kebencian pribadi, tetapi melihat betapa pemuda lawannya
itu telah mengeluarkan pedang yang hendak dijadikan rebutan, dia tidak berani
menghadapi pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan seperti itu, maka Cin Liong
juga mencabut pedangnya, pedang tanda pangkatnya, sebatang pedang yang terbuat
dari bahan yang baik pula, yang tidak takut menghadapi keampuhan senjata
pusaka. Pedangnya itu mengkilap dan kalau digerakkan mengeluarkan sinar putih
seperti pedang biasa yang tajam.
Sejenak
mereka berdiri berhadapan, pedang di tangan dan hati ragu-ragu. Seperti juga
lawannya, Hong Bu merasa betapa janggalnya keadaan mereka berdua. Tidak saling
mengenal, bahkan tidak pernah ada urusan apa pun di antara mereka, tahu-tahu
kini berdiri berhadapan sebagai musuh yang mungkin akan saling bunuh! Teringat
pula dia kepada Ci Sian yang juga secara tiba-tiba saja berdiri menghadapinya
sebagai musuh.
Dan dia pun
menarik napas panjang. Sebelum menjadi murid keluarga Cu, dia sama sekali tidak
pernah punya musuh! Kalau dia membenci Im-kan Ngo-ok misalnya adalah karena
mereka itu jahat dan pula pamannya, Sim Tek, tewas di tangan Su-ok. Akan tetapi
apa salahnya orang-orang seperti Ci Sian, Kam Hong, Kao Cin Liong dan ayahnya,
Kao Kok Cu? Terutama sekali Ci Sian dan Kam Hong, sama sekali dia tidak ingin
memusuhi mereka. Juga Cin Liong ini demikian gagah perkasa. Tapi kini harus
berhadapan dengannya sebagai musuh!
“Kao Cin
Liong, seperti juga kata-katamu tadi, aku tidak mempunyai permusuhan pribadi
denganmu, juga tidak membencimu. Akan tetapi kita berdua, oleh tugas
masing-masing, terpaksa kini berhadapan sebagai lawan. Kalau aku sampai
kesalahan tangan dan engkau terluka atau tewas di tanganku, harap kau suka
maafkan!”
Cin Liong
tersenyum dan merasa semakin tertarik. Dia akan lebih suka menjadikan pemuda
ini teman dari pada lawan. “Demikian pula aku, Sim Hong Bu. Nah, mari kita
mulai saja!”
Entah siapa
di antara mereka yang menyerang terlebih dahulu. Serangan yang dilakukan
setengah hati dan yang mudah ditangkis lawan, kemudian menanti sampai sang
lawan melakukan serangan balasan. Akan tetapi begitu mereka mengadu tenaga dan
teringat bahwa lawan yang dihadapi adalah seorang yang amat lihai, mereka
menambah kecepatan dan tenaga, dan belasan jurus kemudian keduanya sudah saling
mengerahkan kecepatan dan tenaga sinkang mereka sehingga tubuh mereka tidak
nampak lagi oleh Sim Hok An yang makin lama semakin bengong dan takjub.
Apalagi
ketika terdengar suara mengaung-ngaung mengerikan dari pedang di tangan Hong
Bu, orang setengah tua itu semakin menjauhi tempat itu dan memandang dengan
hati penuh ketakjuban, ketegangan dan juga kengerian. Dia melihat daun-daun
pohon rontok seperti tersambar pisau tajam, dan dua gulungan sinar biru dan
putih itu sungguh indah dipandang, tetapi kalau teringat bahwa sinar-sinar itu
merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, dia menjadi ngeri.
Sementara
itu, dua orang pemuda itu sendiri makin kagum terhadap lawannya masing-masing.
Rasa kagum yang bercampur rasa penasaran. Serangan-serangan lawan sungguh amat
berbahaya, akan tetapi juga pertahanan lawan demikian kokoh kuatnya sehingga
sukar ditembus oleh pedang mereka. Hanya ada perbedaan sedikit antara mereka!
Koai-liong
Kiam-sut sungguh merupakan ilmu pedang yang amat tangguh dan ampuh. Pedang yang
diputar sampai mengeluarkan suara menggeram dan menggereng, mengaum seperti
seekor binatang buas itu saja sudah menunjukkan betapa anehnya gerakan-gerakan
itu. Dan dalam hal ilmu pedang ini, harus diakui bahwa Cin Liong masih kalah
kuat setingkat.
Ilmu Pedang
Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) adalah perombakan dari Ilmu
Sin-liong-ciang-hoat, bukan ilmu pedang asli, dalam arti kata diciptakan
sengaja dengan pedang. Biar pun hebat, namun gerakannya tidaklah sehebat dan
seaneh Koai-liong Kiam-sut yang memang diciptakan untuk pedang yang khusus
pula.
Akan tetapi,
dalam hal sinkang dan ginkang, ternyata Hong Bu masih kalah setingkat pula. Hal
ini adalah karena dasar latihan Hong Bu kalah oleh Cin Liong yang semenjak
kecil sudah digembleng oleh ayahnya sendiri, yaitu Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir. Dan karena masing-masing mempunyai kelebihan ini, maka keadaan mereka
menjadi seimbang! Dengan ilmu pedangnya yang ampuh, Hong Bu berusaha mendesak
lawannya, akan tetapi Cin Liong dapat menghalau semua itu dengan kelebihan
tenaga sinkang dan juga kelebihan kecepatan gerakannya, dan yang dapat membalas
dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Rasa kagum
telah tidak terasa lagi kini, yang terasa hanyalah rasa penasaran dalam hati
masing-masing! Memang, pementingan diri selalu paling menonjol dalam batin
manusia, dan sinar kasih yang menyinar keluar itu tak tampak lagi karena
tertutup oleh debu-debu, antara lain yang paling gelap adalah debu pementingan
diri ini. Seperti sebuah lampu yang kacanya penuh debu sehingga sinarnya dari
dalam tidak dapat menyorot keluar.
Karena
penasaran itulah, maka biar pun dalam hati masing-masing tidak ada kebencian,
dua orang pemuda itu mengerahkan seluruh daya keampuhan mereka untuk saling
mengalahkan, merobohkan, melukai, bahkan membunuh. Dan perkelahian adu pedang
itu sudah berlangsung lebih seratus jurus. Mereka sama kuat, sama ulet, dan
biar pun sudah sekian lamanya, mereka terus bergerak dengan kekuatan dikerahkan
seluruhnya, namun mereka tidak nampak lelah. Saling serang, saling desak, hebat
bukan kepalang sehingga Sim Hok An yang menonton sambil bersembunyi di balik
batang pohon menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya agak gemetar.
Kembali lima
puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba Hong Bu yang sudah merasa penasaran bukan
main, mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya berkelebat seperti
halilintar. Sungguh serangan yang luar biasa dahsyatnya, jauh lebih dahsyat
dari pada yang sudah-sudah.
Cin Liong
terkejut, tidak mengira bahwa lawan masih dapat mengeluarkan jurus yang
demikian dahsyatnya, yang agaknya merupakan jurus simpanan. Dia pun cepat-cepat
mengerahkan tenaga dan menangkis, berusaha untuk membikin pedang lawan terpental
dengan mempergunakan kelebihan tenaganya.
“Cringgg....!”
Dua pedang
bertemu, tetapi agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh Hong Bu karena
pedangnya terpental, bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan meluncur ke
arah leher Cin Liong dari samping dengan kecepatan kilat!
Cin Liong
tidak dapat menangkis lagi karena datangnya serangan itu amat mendadak dan
tidak disangkanya semula, maka cepat dia menjatuhkan diri ke depan miring ke
kanan dan tangannya memukul ke depan karena dia menjatuhkan diri bukan hanya
untuk mengelak, melainkan juga untuk balas menyerang.
“Hiaaattt....!”
Bentakan keras dari Cin Liong ini berbareng dengan guratan ujung pedang yang
mengenai pundak kanannya, akan tetapi pukulannya tadi yang juga dielakkan oleh
Hong Bu masih menyerempet paha kaki lawan.
Keduanya
meloncat mundur ke belakang, menahan rasa nyeri. Pundak kanan Cin Liong
berdarah, kulitnya terobek berikut bajunya, sedangkan Hong Bu merasa betapa
kaki kanannya, di atas lutut, nyeri bukan main, membuatnya agak terpincang!
Ternyata dalam gebrakan hebat tadi, keduanya telah sama-sama menderita luka,
biar pun tidak berat akan tetapi cukup mengejutkan dan membuat keduanya
waspada.
“Engkau
hebat, Hong Bu!” Cin Liong memuji.
“Dan engkau
pun telah berhasil melukaiku, bukan main!” Hong Bu menjawab.
Tanpa
berkata apa-apa kecuali itu, keduanya sudah maju lagi, kini bergerak dengan
hati-hati, dan keduanya kembali saling serang dengan ganas. Akan tetapi,
sebelum pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung seperti tadi, tiba-tiba
terdengar suara halus namun penuh wibawa, “Tahan senjata!”
Cin Liong
segera mengenal suara ayahnya, maka dia meloncat ke belakang menjauhi lawan
sambil melintangkan pedangnya. Sedangkan Sim Hong Bu yang juga segera mengenal
pendekar sakti lengan buntung itu, menarik napas panjang.
“Ahhh,
melawan puteramu saja aku tidak mampu menang, apalagi melawan ayahnya, Pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir! Betapa pun juga, jangan dikira aku takut. Majulah,
Taihiap, dan aku tidak akan penasaran kalau tewas di tanganmu untuk membela
nama keluarga Cu yang telah melepas budi kepadaku!” Dia pun melintangkan
pedangnya dan memasang kuda-kuda menghadapi Pendekar Sakti Gurun Pasir.
Pendekar
berlengan satu ini tersenyum dan juga melangkah maju mendekat “Orang muda,
ketika kami datang ke lembah itu, adalah dalam rangka utusan Kaisar untuk
mencari kembali pedang yang hilang. Maka bentrokan yang terjadi antara kami dan
keluarga Cu hanyalah karena urusan tugas, bukan urusan pribadi. Sampai saat ini
kami tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan keluarga Cu. Maka, kalau urusan
tugas lalu dijadikan urusan pribadi, jika mereka itu mengalah terhadap kami
lalu mendendam dan menyuruh murid mereka membalas kekalahan itu, apakah engkau
anggap hal itu benar?”
Dengan jujur
Sim Hong Bu menjawab, “Terus terang saja, Taihiap, hal itu memang tidak benar.
Akan tetapi kalau seorang murid tidak memenuhi pesan dan permintaan gurunya,
apakah hal itu juga benar?” Dia membalas bertanya.
Kao Kok Cu
tersenyum, memuji kecerdikan pemuda ini yang menangkis pertanyaannya dengan
sebuah pertanyaan yang tepat pula. “Memang, tentu saja tidak memenuhi
permintaan guru pun merupakan hal yang tidak benar, akan tetapi harus ditinjau
dulu apa macam permintaan itu! Ada dua macam permintaan, baik yang diajukan
dari guru sendiri sekali pun, yaitu permintaan yang pantas dan tidak pantas.
Kalau Suhu-mu minta agar supaya engkau melakukan hal yang tidak benar dan tidak
pantas dan engkau memenuhinya, bukankah hal itu berarti satu hal yang sama
sekali tidak berbakti, malah durhaka sifatnya?”
“Ehhh....?”
Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang ini dia mendengar
ada orang berfilsafat bahwa memenuhi permintaan seorang guru malah merupakan
hal yang durhaka dan tidak berbakti! “Apa maksudmu, Lo-taihiap?”
“Sim Hong
Bu, kalau seorang murid melihat tindakan gurunya tidak benar, bukankah murid
yang bijaksana akan mengingatkannya dan mencegah supaya gurunya jangan sampai
melakukan tindakan itu. Kalau si murid malah membantu melakukan hal yang tidak
benar itu, apakah dia dapat dinamakan murid yang baik, berbakti dan benar? Nah,
tindakan gurumu mendendam kepada kami adalah tidak benar, hal ini telah kau
katakan sendiri tadi. Akan tetapi mengapa engkau bersikeras untuk melaksanakan
perintah gurumu yang tidak benar itu?”
Sim Hong Bu
menjadi bingung.
Memang,
urusan hauw atau ‘berbakti’ merupakah hal yang banyak membingungkan orang.
Sejak jaman dahulu, berbakti terhadap guru atau orang tua dianggap sebagai ketaatan
si anak terhadap guru atau orang tua. Dan melihat bahwa di sini terdapat suatu
hal yang amat menguntungkan maka kata ‘berbakti’ itu dipergunakan oleh guru
atau orang tua untuk membuat murid atau anak menjadi tidak berdaya!
Setiap kali
seorang anak tidak menurut kata-kata orang tua, maka anak itu akan dicap
sebagai anak ‘put-hauw’ (tidak berbakti) sehingga si anak terbiasa untuk
mentaati segala perintah orang tua agar menjadi anak berbakti. Dan biar pun
pada lahirnya si anak mentaati karena ingin disebut berbakti, di dalam hatinya
si anak mengeluh dan memberi cap kepada orang tuanya sebagai ‘tidak
mencintanya’. Maka timbullah celah yang besar antara orang tua dan anak.
Si orang tua
ingin anaknya mentaatinya, dengan dalih bahwa semua perintahnya itu demi
kebahagiaan dan kebaikan si anak, sikap seperti ini sesungguhnya bukan lain
hanyalah sikap mementingkan diri sendiri, mencari enaknya sendiri, karena kalau
anaknya taat, dialah yang akan merasakan senang dan berbahagia. Si orang tua
sudah memastikan bahwa apa yang dianggapnya baik itu mesti baik pula bagi si
anak dan apa yang dianggapnya membahagiakan itu mesti pula membahagiakan si
anak! Sikap seperti ini yang sampai sekarang masih dipraktekkan oleh
orang-orang tua yang sesungguhnya timbul karena kekurang pengertian,
menciptakan apa yang dinamakan ‘gap’ atau celah antara orang tua dan anak.
Adanya celah
yang merenggangkan orang tua dan anaknya adalah karena tidak adanya kasih
sayang, tidak adanya cinta kasih dalam batin masing-masing. Kalau ada cinta kasih,
maka tidak ada lagi istilah berbakti atau durhaka, yang ada hanyalah kerja
sama, saling membantu dalam hidup secara wajar, tanpa ingin disebut baik karena
bantuan-bantuan masing-masing itu, yang ada hanyalah kasih sayang dan tidak ada
sedikit pun keinginan untuk senang sendiri, menang sendiri, atau benar sendiri!
Betapa
bahagianya sebuah rumah tangga jika terdapat kasih sayang ini di antara suami,
isteri, dan anak-anak mereka! Peraturan-peraturan yang kaku dan dipaksakan
hanya menimbulkan kemanisan lahir saja namun di dalam batin masing-masing
merasa sakit hati dan menaruh dendam, kebencian terselubung senyum dan sikap
ramah tamah palsu. Dan suasana seperti itu hanya dapat tercipta apabila dimulai
dari diri sendiri! Bukan ingin mengatur orang lain.
Cinta kasih
harus timbul dari batin sendiri, tanpa paksaan, dan cinta kasih sama sekali
tidak mengharapkan balas dari orang lain. Akan tetapi cinta kasih mengandung
daya mukjijat yang dapat membersihkan dan menerangkan orang lain pula!
Dalam
kebingungan mendengarkan kata-kata yang baru sekali ini didengarnya namun yang
dapat menusuk perasaannya karena dia merasa betapa semua ucapan itu tak dapat
dibantah karena memang benar dan memang keadaannya pun demikian, maka Hong Bu
mencari akal bagaimana untuk menjawab. Mendengar ucapan itu, matanya seperti
terbuka betapa selama ini, semenjak dia melepaskan pakaian sebagai pemburu dan
menjadi murid orang sakti dan memperoleh ilmu-ilmu yang membuat dia menjadi
pendekar, dia merasa kehilangan sesuatu, dia merasa hidupnya tidak bahagia
lagi, tidak seperti ketika dia masih menjadi seorang pemburu muda yang kasar
dan bodoh.
Kini
terbukalah matanya. Kiranya dia telah kehilangan kebebasan dan kewajaran! Dia
telah terikat, dan dia terpaksa oleh ikatan itu untuk melakukan hal-hal yang
tidak sejalan dengan suara hatinya, sehingga semua tindakannya ialah palsu dan
menimbulkan konflik dalam batinnya sendiri! Dia harus melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan kehendak hatinya!
“Akan
tetapi, Taihiap.... bukankah semua hal ini dimulai dari pihakmu? Kalau keluarga
Kao tidak datang menyerbu ke lembah untuk merampas pedang, tidak mungkin akan
terjadi pertandingan itu yang mengakibatkan guru-guruku kalah dan lalu
mendendam!” Bantahannya ini lemah, namun setidaknya merupakan bantahan pula yang
bukan tidak benar.
“Semua
akibat tentu ada sebabnya, orang muda, dan kalau kita menelusuri sebabnya, maka
tidak akan ada habisnya. Kami datang ke lembah karena kami diutus Kaisar, dan
kami diutus Kaisar karena pedang dicuri oleh seorang penghuni lembah, dan tentu
kalian mempunyai pula sebab-sebabnya atas perbuatan itu. Tidak akan ada
habisnya. Maka yang penting sekarang adalah saat ini, apakah kita akan terus
menimbulkan sebab-sebab baru dan akibat-akibat baru. Tergantung sepenuhnya di
tangan kita.”
“Akan tetapi
kalau Taihiap sekeluarga masih terus mengejar-ngejarku, untuk merampas pedang,
mana mungkin aku....”
“Tidak lagi!
Untung bahwa kedatanganku belum terlambat. Aku ingin memberitahukan kalian
berdua bahwa mulai sekarang, pedang Koai-liong Po-kiam itu adalah sah menjadi
milikmu, Sim Hong Bu.”
“Ayah....!”
Cin Liong berseru heran.
Ayahnya
tersenyum. “Tidak tahukah engkau bahwa Pangeran Mahkota telah merubah banyak
sekali peraturan dan menyudahi segala macam pertikaian dengan tindakan-tindakan
bijaksana? Di antaranya adalah pembangunan kembali biara Siauw-lim dan juga
pengakuan bahwa Koai-liong Po-kiam adalah berasal dari keluarga Cu, maka
pemerintah tidak menuntut kembalinya lagi.”
“Bagus....!”
Cin Liong bersorak gembira dan setelah menyimpan kembali pedangnya dia lantas
menghampiri Hong Bu. Pemuda ini pun tersenyum dan menyimpan Koai-liong Pokiam,
kemudian melangkah ke depan sambil agak terpincang. Mereka saling berjabat
tangan dengan gembira.
“Hong Bu,
aku girang sekali bahwa kini kita dapat menjadi sahabat!”
“Aku pun
girang sekali, Kao-goanswe.”
“Ehhh,
apa-apaan menyebut jenderal di antara teman! Aku kagum sekali melihat ilmu
kepandaianmu, Hong Bu.”
“Dan aku
takluk kepadamu, Cin Liong. Kalau dilanjutkan aku tentu kalah.”
“Ahh, engkau
terlalu merendah. Belum tentu!”
Suasana
menjadi gembira sekali. Juga Kao Kok Cu ikut gembira karena kedatangannya tidak
terlambat untuk memisahkan dua orang pemuda yang seperti dua ekor naga sakti
sedang berlaga itu. Kalau dilanjutkan, tentu salah seorang di antara mereka
akan tewas dan yang seorang lagi juga tentu tak luput dari pada luka-luka
hebat.
Begitu
mendengar keputusan Pangeran tentang pedang itu, cepat-cepat Kao Kok Cu
meninggalkan kota raja, menyuruh isterinya menanti di kota raja dan dia sendiri
cepat-cepat pergi menyusul dan mencari Cin Liong yang sedang melakukan
pengejaran terhadap Sim Hong Bu. Dan untung dia datang tepat pada waktunya. Di
Pao-ting dia mendengar dari penjaga kota tentang puteranya itu, maka dia cepat
menyusulnya.
“Sim Hong
Bu, kulihat pedangmu itu luar biasa sekali. Itulah yang dinamakan Koai-liong
Kiam-sut?”
“Benar,
Locianpwe,” jawabnya, kini menyebut Locianpwe kepada Pendekar sakti itu, “Saya
diangkat sebagai ahli waris oleh mendiang suhu Ouwyang Kwan yang menyamar
sebagai Yeti, dan sayalah satu-satunya orang yang berhak memiliki Koai-liong
Po-kiam ini bersama ilmunya yang khas diciptakan untuk itu, yaitu Koai-liong
Kiam-sut.” Dengan singkat Sim Hong Bu lalu menceritakan riwayat pertemuannya
dengan Yeti sampai dia diangkat menjadi ahli waris.
Kao Kok Cu
mengelus jenggotnya yang masih pendek itu, menarik napas panjang. “Di dunia
persilatan muncul Koai-liong Kiam-sut dan juga Kim-siauw Kiam-sut, sungguh amat
mengagumkan sekali!”
“Sayang
sekali bahwa Suling Emas dan Pedang Naga Siluman terpaksa harus berdiri
bertentangan....,” Hong Bu mengeluh.
“Ehh,
kenapakah begitu, Hong Bu? Aku melihat bahwa engkau juga menantang pewaris
Kim-siauw Kiam-sut, mengapa?” tanya Cin Liong.
Hong Bu
menarik napas panjang. Memang hal ini amat menyusahkan hatinya, tidak hanya
karena dia amat kagum kepada Kam Hong dan tidak ingin memusuhinya, terutama
sekali karena Ci Sian juga merupakan pewaris Kim-siauw Kiam-sut. “Kembali
karena ikatan dengan keluarga Cu....” dan dia pun menceritakan betapa keluarga
Cu kalah oleh Kam Hong maka memesan kepadanya untuk mengadu ilmu dengan pewaris
Kim-siauw Kiam-sut.
“Ah, sayang
sekali....” kata Kao Kok Cu. “Agaknya masih ada kaitan dekat sekali dengan
kedua ilmu itu, setidaknya bersumber sama.”
Setelah
bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat baik, akhirnya mereka berpisah. Cin
Liong bersama ayahnya diperkenalkan kepada Sim Hok An yang bersembunyi sejak
tadi. Hong Bu memperkenalkan dia sebagai satu-satunya keluarga yang masih ada,
dan Sim Hok An memberi hormat kepada pendekar sakti dan puteranya. Kemudian Kao
Kok Cu dan puteranya pamit dan mereka kembali ke kota raja di mana Wan Ceng
menanti-nanti mereka.
Di dalam
perjalanan, ayah dan anak ini tiada hentinya membicarakan Sim Hong Bu sebagai
seorang pemuda yang sederhana, gagah perkasa dan berbudi baik. Seorang pendekar
sejati! Dan dalam kesempatan berdua itu, Cin Liong lalu mengaku terus terang
kepada ayahnya tentang cintanya kepada Ci Sian.
Kao Kok Cu
terkejut dan heran. “Apa? Dara pewaris Kim-siauw Kiam-sut yang.... ehh, galak
sekali itu?”
“Di antara
ribuan orang gadis yang kujumpai, hanya dialah yang menjatuhkan hatiku, Ayah.
Memang ia keras hati, kekerasan hati yang terbuka dan jujur.... ehh, bukankah
Ayah juga menyukai keterbukaan dan kejujuran?” Pemuda yang cerdik ini
mengingatkan ayahnya secara halus bahwa ibunya juga seorang wanita yang keras
hati.
Ayahnya
tertawa dan mengerti isyarat itu. “Ceritakanlah perkenalan antara kalian,”
katanya.
Cin Liong
lalu menceritakan pertemuannya yang pertama kali dengan Ci Sian, ketika dia
menyamar dan menyusup ke dalam benteng tentara Nepal yang ketika itu dipimpin
oleh Nandini, ibu Siok Lan yang kini ikut Bu-taihiap sebagai satu di antara
isteri-isterinya.
“Pada waktu
itu pun, sebetulnya aku sudah tertarik kepadanya, maka ketika Siok Lan
memperlihatkan kasih sayangnya, aku tidak dapat menerimanya, Ayah. Aku mencinta
Ci Sian, dan hal ini baru terasa benar di hatiku ketika ia menyerangku, yaitu
ketika ia membela ayah kandungnya yang sedang bertanding denganmu itu.”
Kao Kok Cu
mengangguk-angguk. “Lika-liku cinta memang aneh, dan aku tidak heran bahwa
engkau jatuh cinta kepadanya. Ia memang seorang dara yang penuh semangat, yang
gagah perkasa dan memiliki keberanian istimewa, juga kulihat ilmu silatnya
hebat sekali, agaknya tidak di sebelah bawah tingkatmu atau tingkat Hong Bu.”
“Itulah yang
amat mengherankan hatiku, Ayah. Saat aku bertemu dengannya beberapa tahun yang
lalu di Himalaya itu, ilmu silatnya biasa saja. Akan tetapi sungguh heran,
ketika kami mengadu senjata, ia memiliki tenaga sinkang yang luar biasa hebat,
malah ada dua macam hawa yang bertentangan dalam tenaganya, amat panas dan
dingin.”
“Ehhh....?
Tenaga sinkang seperti yang dimiliki keluarga Pulau Es?”
“Agaknya
begitulah, Ayah. Akan tetapi lepas dari semua itu, bagaimana pendapat Ayah
tentang cintaku kepadanya?”
“Bagaimana
pendapatku? Ehh, apakah ia juga mencintaimu? Itu yang penting.”
Cin Liong
menarik napas panjang. “Sayang, aku tidak tahu dengan pasti, Ayah. Melihat
sikap dan sinar matanya, agaknya.... aku boleh berharap demikian. Akan tetapi
sungguh sayang, aku sendiri belum pernah menyatakan cinta dan bertanya, karena
memang ketika kami bertanding di sarang para pendekar itulah aku sadar bahwa
sesungguhnya aku cinta padanya.”
“Ahh,
sungguh luar biasa kalau diingat bahwa ia itu kebetulan anak Bu Seng Kin lagi!”
“Mengapa,
Ayah?”
“Lupakan
engkau? Keluarga Bu marah-marah dan mendendam kepada kita karena usul mereka
denganmu kita tolak. Dan sekarang agaknya.... kita yang akan berbalik melamar
anak perempuan mereka yang lain. Betapa janggalnya ini!”
“Ayah khawatir
kalau lamaran kita ditolak? Kukira tidak perlu takut, Ayah. Kita harus
mengajukan pinangan kepada Bu-locianpwe, itu adalah menurut kepantasan dan
peraturan belaka, karena dia adalah ayah kandung Ci Sian. Akan tetapi, melihat
sikap Ci Sian terhadap ayahnya, andai kata keluarga Bu menolak pinangan itu
sekali pun, aku masih belum putus asa selama belum mendengar keputusan Ci Sian
sendiri. Lagi pula kalau Bu-locianpwe menolak, aku masih dapat meminang kepada
Ci Sian sendiri, atau kepada suheng-nya yang agaknya malah lebih dekat dengan
Ci Sian dari pada ayah kandungnya sendiri.”
Pendekar
sakti itu menarik napas panjang. “Mari kita bicarakan persoalan ini dengan
Ibumu, Cin Liong. Baru kita putuskan apa yang akan kita lakukan dalam urusan
ini.”
Mereka pun
melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja dengan cepat. Betapa pun juga,
mereka merasa bergembira bahwa tugas-tugas Cin Liong telah dapat diselesaikan
dengan baik. Pertama, Pangeran Kian Liong telah dapat diselamatkan dan ke dua,
urusan pedang pun telah selesai dengan baik, sungguh pun kedua hal itu tidak
dapat dikatakan bahwa tenaga keluarga Kao saja yang membereskannya…..
***************
Bermacam
perasaan teraduk dalam hati Cia Han Beng saat diam-diam meninggalkan kota raja.
Ibunya telah tewas! Biar pun hal itu tidak diumumkan, namun dia dapat
menduganya dengan jelas. Dia mendengar bahwa Kaisar tiba-tiba menderita sakit,
dan menurut desas-desus yang didengarnya, penyakit Kaisar adalah luka yang
keracunan. Bagaimana Kaisar tiba-tiba menderita luka yang membuatnya menjadi
sakit payah kalau bukan dilakukan oleh ibunya? Tentu ibunya telah menyerang
Kaisar, nyaris berhasil, akan tetapi tentu telah menebus dengan nyawa sendiri.
Hal ini dia yakin benar karena siapakah yang akan mampu lolos dengan selamat
setelah percobaannya membunuh Kaisar?
Dia merasa
berduka. Tentu saja! Ibu kandungnya sudah tewas dan dia tidak dapat
membayangkan bagaimana kematian ibunya itu. Ditangkap dan disiksa lebih dulu?
Kiranya, tidak demikian. Ibunya bukan seorang bodoh, bahkan Ibunya memiliki
ilmu silat yang lumayan. Kalau usahanya gagal, tentu ibunya tidak membiarkan
dirinya ditangkap dan disiksa, melainkan membunuh diri. Kiranya hanya ada dua
kemungkinan. Ibunya mati bunuh diri setelah gagal, atau tewas di tangan Kaisar
yang dia tahu memang memiliki kepandaian silat lebih tinggi dari pada ibunya.
Betapa pun juga, Kaisar telah menderita luka parah sekali.
Dia
mendengar pula tentang diangkatnya Pangeran Kian Liong sebagai penggantinya dan
mendengar tentang perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Pangeran yang
bijaksana itu. Hal ini mengurangi kedukaannya dan kedukaan karena kematian
ibunya itu terhibur oleh kebanggaan akan jasa ibunya! Ya, ibunya berjasa besar.
Ibunya telah berhasil, jauh lebih berhasil dari pada usaha ratusan bahkan mungkin
ribuan orang pendekar patriot! Ibunya telah menyerang Kaisar dengan cara
langsung, dan telah memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang amat baik
bagi para patriot! Ibunya seorang patriot sejati! Mengorbankan diri dan
menghembuskan nyawa akan tetapi menolong nasib rakyat dan para pendekar! Patut
dibanggakan!
Akan tetapi,
di samping semua perasaan itu ketika dia meninggalkan kota raja, ada suatu
perasaan duka yang masih menyelinap di dalam hatinya kalau dia teringat kepada
Ci Sian. Dia mencinta dara itu. Akan tetapi dia melihat kenyataan bahwa dara
itu tidak membalas cintanya, bahwa dara itu tidak mencintanya, dan pertentangan
paham di antara mereka tentu akan merupakan jurang yang amat lebar yang akan
memisahkan mereka. Dengan adanya perbedaan paham tentang perjuangan itu kiranya
tidaklah mungkin dapat terjalin pertalian kasih sayang di antara mereka. Dia
bukan seorang pemuda yang berpikiran sempit, melainkan orang yang sejak kecil
telah digembleng oleh berbagai kepahitan hidup sehingga tidak menurutkan
perasaan belaka.
Akhirnya dia
berkunjung ke Cin-an, diterima dengan amat ramah-tamah oleh keluarga Bu Seng
Kin. Apalagi ketika keluarga Bu mendengar bahwa pemuda itu adalah putera dari
selir Kaisar yang telah menyerang Kaisar dan mengakibatkan Kaisar terluka parah
kemudian Kaisar tewas oleh lukanya itu, maka pandangan para patriot terhadap
Cia Han Beng menjadi naik dan pemuda itu dianggap sebagai putera seorang
patriot sejati.
Di dalam
pertemuan antara Cia Han Beng dengan para patriot dan terutama dengan keluarga
Bu di Cin-an itu, terjadilah kontak antara dua hati melalui sinar mata mereka,
yaitu antara pemuda Kun-lun-pai ini dan Bu Siok Lan.
Kontak ini
dimulai ketika pemuda itu untuk pertama kalinya datang memperkenalkan diri
sebagai seorang sepaham, yaitu golongan patriot yang menentang penjajahan
bangsa Mancu. Karena ingin sekali mengukur kelihaian pemuda ini, maka Bu Seng
Kin lalu mengajaknya ke lian-bu-thia dan di ruangan ini Bu-taihiap lalu minta
kepada Han Beng untuk memperlihatkan ilmu silatnya dan sebagai pasangannya
adalah Siok Lan. Tentu saja tadinya kedua pihak ini saling memandang rendah.
Siok Lan
memang mempunyai watak keras dan agak tinggi hati. Hal ini mungkin timbul
karena ibunya adalah bekas panglima, dan ayahnya adalah seorang pendekar sakti
yang amat terkenal. Maka, mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu adalah
murid Kun-lun-pai, dia memandang rendah. Akan tetapi begitu mereka bergebrak
dan saling serang, keduanya terkejut.
Han Beng
tidak menyangka bahwa Bu Siok Lan ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat
dan tidak mengecewakan menjadi puteri Bu-taihiap, pemimpin para patriot di
Cin-an itu. Sebaliknya Siok Lan terkejut bukan main karena hanya dalam beberapa
gebrakan saja tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang tinggi, dan
bahkan tenaga sinkang-nya jauh lebih kuat dari pada tenaganya sendiri. Dan
timbullah kekaguman dalam hatinya, apalagi ketika Han Beng tidak mendesaknya
melainkan banyak bersikap mengalah.
Hal ini
tidak luput pula dari pandangan Bu-taihiap yang tajam. Seorang pemuda yang
lihai sekali, pikir pendekar ini. Dan memiliki watak yang halus dan baik
sehingga mau pula mengalah terhadap puteri tuan rumah dalam pibu persahabatan
itu.
Setelah
lewat seratus jurus, Siok Lan mencabut pedangnya dan minta untuk bertanding
ilmu pedang.
“Harap
Cia-enghiong suka memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku,” demikian kata Siok
Lan sambil mencabut pedangnya. Napasnya agak memburu dan lehernya penuh
keringat setelah ia harus melayani lawan sampai seratus jurus tadi.
Cia Han Beng
tersenyum. “Ah, Nona Bu sungguh terlalu merendahkan diri,” katanya. “Sebagai
puteri Bu-locianpwe, tentu ilmu pedangmu hebat bukan main. Mana berani aku
main-main dengan ilmu pedangmu? Biarlah aku mengaku kalah saja.”
Bu-taihiap
senang akan sikap ini, dan diam-diam timbul harapan dalam dirinya untuk dapat
menjodohkan puterinya itu dengan pemuda ini. Pemuda ini, dibandingkan dengan
Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah menolak perjodohan yang diusulkannya
itu, tidaklah kalah terlalu banyak! Dia tahu bahwa pemuda ini telah mewarisi
ilmu-ilmu yang tertinggi dari para pimpinan Kun-lun-pai agaknya.
“Cia-enghiong,
harap jangan bersikap sungkan. Anakku yang bodoh ini sudah mohon petunjukmu,
dan kami sendiri pun sudah lama tidak pernah melihat Kun-lun Kiam-sut. Maka,
harap Cia-enghiong tidak terlalu pelit untuk memperlihatkan sampai di mana
kemajuan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat terkenal itu.”
Karena
desakan pendekar itu, terpaksa Cia Han Beng menjura kepada Siok Lan sambil
berkata, “Maafkan, Nona.”
Dan
tangannya sudah mencabut sebatang pedang yang begitu dicabut tampak sinar merah
yang seperti warna darah. Itulah pedang Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah)
pemberian suhu-nya, sebuah di antara pedang-pedang pusaka dari Kun-lun-pai.
Melihat pedang bersinar merah ini, keluarga Bu memandang kagum karena mereka
semua sebagai ahli-ahli silat mengenal sebatang pedang pusaka yang baik.
“Siok Lan,
engkau pakailah pedangku ini!” Tiba-tiba Nandini berkata sambil mencabut
pedangnya dan menyerahkannya kepada Siok Lan.
Karena dara
ini mengenal pedang ibunya sebagai pedang hadiah dari Raja Nepal dan merupakan
sebatang pedang yang baik pula, maka ia pun cepat menukar pedangnya. Tentu saja
di samping ingin meminjamkan pedangnya kepada puterinya agar dapat menandingi
pedang merah lawan, juga Puteri Nandini memperkenalkan diri secara tidak
langsung bahwa ia adalah ibu Siok Lan.
Dan memang
Han Beng memandang dengan rasa heran dalam hatinya. Dari suaranya, dia dapat
menduga bahwa wanita itu bukanlah seorang wanita Han, akan tetapi wanita
setengah tua itu selain cantik, juga memiliki sikap yang gagah sekali. Dia
hanya dapat menduga bahwa tentu ibu Siok Lan itu adalah seorang wanita dari
suku bangsa yang jauh di barat atau di utara, tapi sepatutnya dekat daerah
Tibet.
“Cia-enghiong,
mulailah!” Siok Lan melintangkan pedang ibunya di depan dada sambil tersenyum.
Hatinya telah terpikat melihat betapa tadi dengan tangan kosong ia sama sekali
tidak berdaya menghadapi pemuda perkasa ini.
“Silakan,
Nona, aku sudah siap,” kata Cia Han Beng yang tentu saja sebagai seorang tamu,
apalagi sebagai seorang pria yang menghadapi seorang wanita, merasa segan untuk
memulai dengan serangan lebih dulu. Hal ini menyenangkan hati Siok Lan dan
setelah mengeluarkan seruan panjang yang nyaring akan tetapi juga merdu, ia
sudah menggerakkan pedang di tangannya itu membuka serangan.
Han Beng
menangkis dan pemuda ini dengan hati-hati sekali menjaga agar jangan sampai
pedangnya merusak pedang gadis itu. Terjadilah pertandingan ilmu pedang yang
amat indah. Semua orang memandang kagum karena permainan pedang pemuda
Kun-lun-pai itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali.
Setelah
lewat lima puluh jurus, Siok Lan sudah tak dapat melakukan serangan balasan
lagi. Semua gerakannya tertutup, dan walau pun pemuda itu menyerangnya dengan
perlahan, dan lambat saja bagi pemuda itu, namun bagi Siok Lan sudah membuatnya
repot bukan main. Akhirnya, oleh karena napasnya memburu dan lengannya yang
memegang pedang terasa sangat lelah dan kehabisan tenaga karena setiap
tangkisan pedangnya mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh buku
tulangnya nyeri, Siok Lan meloncat ke belakang.
“Cia-enghiong,
aku menerima petunjukmu. Terima kasih!” dan gadis ini lalu menjura dan tanpa
banyak cakap lagi lalu melarikan diri ke ruangan belakang. Jangan dikira bahwa
gadis ini merasa malu karena kalah, melainkan malu karena melihat perasaannya
sendiri terhadap pemuda itu.
Pemuda itu
sendiri pun tergerak hatinya. Dia melihat seorang dara yang selain cantik manis
akan tetapi juga penuh semangat perjuangan, puteri seorang pemimpin pejuang.
Tentu saja dia tidak mungkin dapat membandingkan gadis yang mana pun juga
dengan Ci Sian yang telah merebut hatinya untuk pertama kalinya, juga dia tidak
dapat membandingkan kepandaian Siok Lan dengan Ci Sian yang benar-benar
membuatnya kagum sekali. Dia sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan Ci Sian
seandainya dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya sekali pun. Akan tetapi, dia
tertarik kepada Siok Lan yang sepaham dengan dia, yaitu berjiwa patriot
menentang penjajahan.
Dan oleh
karena itulah, setelah beberapa hari kemudian Bu Seng Kin dan keluarganya
mengundangnya untuk bicara tentang perjodohan, dan ketika keluarga itu
mengusulkan pertalian jodoh antara dia dan Bu Siok Lan, Han Beng menerimanya
dengan girang.
“Karena saya
kini telah yatim piatu dan tidak mempunyai anggota keluarga lagi, maka untuk
urusan ini sebaiknya kalau saya meminta doa restu dari Suhu di Kun-lun-pai,”
demikian saja dia menjawab.
“Tentu saja,
hal itu baik sekali!” kata Bu Seng Kin. “Biarlah kita mencari hari baik dan
kami akan mengirim utusan menghadap ke Kun-lun-pai dan membicarakan urusan
perjodohan ini kepada mereka dengan resmi. Sementara ini, kita anggap bahwa
engkau telah bertunangan dengan Siok Lan.”
Tentu saja
sebelum membicarakan urusan perjodohan itu dengan Han Beng, lebih dulu Bu Seng
Kin dan Nandini telah bicara dengan Siok Lan dan melihat gadis itu agaknya tak
menolak, bahkan nampak malu-malu sebagai tanda kalau seorang perawan dilamar
orang dan tidak menolak.
Dan untuk
pertunangan atau tali perjodohan yang disetujui kedua pihak ini, walau pun
belum diresmikan oleh karena mereka belum menghadap pimpinan Kun-lun-pai yang
sebetulnya hanya merupakan wakil-wakil atau wali yang tidak langsung saja dari
Han Beng dan tidak mungkin akan menolaknya, maka pertunangan itu lalu dirayakan
secara sederhana oleh keluarga Bu. Hadir dalam perayaan sederhana itu para
patriot pejuang yang menganggap Han Beng sebagai orang yang berjasa besar dalam
perjuangan mereka.
Karena pesta
berlangsung di antara golongan sendiri, maka biar pun diadakan dengan sederhana
tapi amat meriah. Tak ada golongan luar yang diundang, maka percakapan yang
terjadi dalam pesta kecil pun itu berjalan dengan lancar dan terbuka. Akan
tetapi, betapa heran dan terkejut hati semua orang ketika penjaga di luar
dengan suara lantang mengumumkan datangnya keluarga Kao dari kota raja! Semua
percakapan terhenti dan pihak tuan rumah, diikuti keluarganya, bangkit dan
berjalan ke pintu untuk menyambut.
Keheranan
yang tadinya menyelinap di dalam hati Bu Seng Kin berubah menjadi kejutan besar
sekali. Alisnya berkerut dan sepasang matanya memandang tajam ketika dia
melihat bahwa yang muncul adalah tiga orang yang pernah datang di tempat ini
dan menggegerkan semua sahabatnya para patriot. Mereka ini bukan lain adalah
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, isterinya yang berwatak keras dan
juga lihai itu, dan puteranya, Jenderal Kao Cin Liong! Tentu saja jantungnya
berdebar tegang dan biar pun dia pernah kalah oleh pendekar sakti dengan satu
lengan itu dan isteri-isterinya juga kalah oleh keluarga Kao, namun dia tidak
merasa gentar, bahkan memandang marah.
Bu Seng Kin
cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada, menghormat kepada tiga orang
tamu itu. “Ah, kiranya keluarga Kao yang gagah perkasa yang telah datang. Harap
banyak maaf karena tidak mengetahui terlebih dahulu akan kunjungan Sam-wi, maka
kami tidak dapat melakukan penyambutan secara selayaknya.”
Kao Kok Cu
tersenyum dan mengangkat tangannya ke depan dada. “Maaf, maaf...., kamilah yang
seharusnya minta maaf karena datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu sehingga
agaknya kami amat mengganggu Bu-enghiong dan para sahabat yang gagah perkasa,
yang agaknya sedang mengadakan pesta.”
“Ahh, sama
sekali tidak mengganggu. Malah kebetulan, silakan Sam-wi masuk dan duduk
sebagai tamu kehormatan kami. Hendaknya Sam-wi ketahui bahwa malam ini kami
sedang merayakan pertunangan puteri kami.”
Mendengar
ini, tiga orang itu menjadi girang sekali, meski ada pula perasaan tidak enak
dalam hati mereka. Pihak keluarga Bu pernah mengusulkan tali perjodohan dengan
keluarga mereka, dan mereka telah menolaknya. Dan kini, setelah gadis yang
pernah ditolak itu bertunangan dengan orang lain, mereka datang sebagai tamu
yang tidak diundang!
“Maaf, kalau
begitu kami tidak berani mengganggu kegembiraan keluarga Bu-enghiong. Biarlah
kami datang besok pagi saja,” kata Kao Kok Cu.
“Ahh, kenapa
sungkan-sungkan? Silakan, kami tahu bahwa Sam-wi merasa sungkan dan canggung
karena kami tidak mengundang. Akan tetapi, biarlah sekarang kami mengundang
Sam-wi untuk hadir dan duduk sebagai tamu kami yang terhormat.”
Kao Kok Cu
memandang kepada isterinya. Wan Ceng adalah orang yang berhati keras dan
terbuka. Kini melihat sikap tuan rumah, ia pun mengangguk kepada suaminya dan
wanita gagah ini melepaskan kalungnya yang dihias mainan seekor naga emas mata
mutiara biru yang amat indah.
Setelah
mereka masuk ke dalam ruangan itu, diikuti pandang mata seluruh tamu, juga
pandang mata Bu Siok Lan yang mukanya sebentar berubah pucat dan sebentar
berubah merah, Wan Ceng melopori keluarganya, menghampiri Siok Lan dan berkata,
“Kami merasa gembira sekali memperoleh kesempatan untuk mengucapkan selamat atas
pertunanganmu, Nona Bu Siok Lan. Dan sebagai tanda bahwa kami sekeluarga ikut
merasa turut gembira, terimalah sebuah tanda mata dari kami ini!” Wan Ceng
menyerahkan kalungnya yang amat indah itu.
Siok Lan
girang sekali melihat sikap wanita gagah perkasa ini. Setelah ia memandang
kepada ayah bundanya dan melihat isyarat yang menyetujui, dia pun lalu memakai
kalung itu dibantu oleh Wan Ceng, lalu menghaturkan terima kasih. Peristiwa ini
seolah-olah memecahkan semua dinding pemisah di antara mereka dan tiga orang
tamu agung ini segera memberi selamat kepada Bu Seng Kin, kepada Nandini,
bahkan mereka bertiga lalu diperkenalkan dengan calon suami Siok Lan, yaitu Cia
Han Beng.
Ketika
mendengar siapa adanya tamu-tamu agung itu, tentu saja Han Beng terkejut setengah
mati dan memandang kepada pria berlengan buntung itu dengan penuh kagum. Nama
besar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja sudah sering kali didengarnya
dan tidak disangkanya bahwa kini dia akan berhadapan dengan pendekar itu,
bahkan menerima ucapan selamat atas pertunangannya. Di lain pihak, ketika
mendengar bahwa tunangan Siok Lan adalah murid utama dari Kun-lun-pai, keluarga
Kao juga merasa kagum.
Mereka
bertiga kemudian dijamu sebagai tamu-tamu kehormatan dan semua orang bergembira
ria pada pesta sederhana itu. Di dalam percakapan mereka selanjutnya, kedua
pihak adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, hanya persoalan politik saja
yang memisahkan mereka menjadi golongan patriot yang anti pemerintah dan
golongan yang membantu pemerintah. Akan tetapi, keluarga Bu ini maklum bahwa
belum tentu pembantu-pembantu pemerintah merupakan penjilat-penjilat yang hanya
haus akan kekuasaan dan harta belaka. Mereka melihat kenyataan betapa orang
seperti Kao Cin Liong itu biar pun menjadi seorang panglima, namun dia menjadi
panglima karena ingin menenteramkan kehidupan rakyat, dan dia pun berani
menentang ketidak adilan di kalangan atas.
Dalam
kesempatan itu pula, pada saat menjelang bubar pesta, Kao Kok Cu mendapat
kesempatan baik untuk menyatakan isi hatinya kepada pihak tuan rumah.
“Bu-enghiong, sesungguhnya amat janggallah apa yang akan kami kemukakan ini,
dan kalau tidak mengingat bahwa keluarga Bu adalah keluarga gagah perkasa, yang
seperti juga kami tentu akan lebih dapat menerima keterbukaan dan kejujuran,
agaknya kami tidak akan berani mengemukakan maksud hati kami ini.”
Bu Seng Kin
memandang tajam penuh selidik, juga penuh keheranan hati. “Ah, urusan apakah
gerangan yang dikandung dalam hati Kao-taihiap? Memang lebih baik segala urusan
dikeluarkan melalui mulut dan diperbincangkan sampai beres, daripada disimpan
di dalam hati dan dapat menimbulkan penyakit.”
Kao Kok Cu
menarik napas panjang, lalu memandang kepada Cin Liong yang bersikap tenang
saja. Kemudian memandang kepada isterinya. Melihat sikap suaminya yang
kelihatan amat sungkan itu, Wan Ceng merasa kasihan dan ia pun berkata dengan
terus terang kepada Bu Seng Kin, “Beginilah, Bu-enghiong. Terus terang saja
kami datang mengunjungi keluargamu adalah untuk melakukan lamaran terhadap
puterimu...”
“Ehhh....!”
Puteri Nandini bangkit berdiri dan mukanya menjadi pucat.
Wan Ceng
tersenyum. “Maaf, tentu saja kami tidak gila untuk meminang puterimu yang telah
mengikat jodoh dengan orang lain. Maksud kami adalah melamar Bu Ci Sian.”
Nandini
duduk kembali dan mukanya menjadi merah lagi. Bu Seng Kin terbelalak, lalu
pandang matanya nampak muram.
“Untuk
putera tunggal Ji-wi?” tanya Bu Seng Kin kepada suami isteri itu sambil
memandang kepada Kao Cin Liong.
Kini Kao Kok
Cu yang menjawab karena pertanyaan itu terasa amat tidak menyedapkan hatinya,
“Bu-enghiong, sekali lagi kami mohon maaf. Tentu engkau sendiri mengerti bahwa
soal perjodohan adalah soal hati dari orang yang bersangkutan. Kami orang tua
sekali pun tidak berhak mencampuri dan kami sebagai orang tua hanya
melaksanakan saja hasrat hati anak yang bersangkutan. Jadi, tentu engkau maklum
pula bahwa putera kami telah jatuh cinta kepada puterimu, yaitu Bu Ci Sian,
karena inilah kami mengajukan pinangan.”
Ucapan
pendekar sakti berlengan satu itu sudah cukup jelas. Di situ terkandung
penyesalan bahwa keluarga Kao pernah menolak usul ikatan jodoh dan kini malah
mengajukan pinangan untuk puteri keluarga Bu yang lain.
Semua itu
dilakukan karena permintaan anak, dan juga dia mengingatkan bahwa jodoh adalah
urusan hati, urusan cinta kasih antara kedua orang muda, oleh karena itu dapat
saja terjadi seperti keadaan mereka, yaitu menolak Siok Lan dan meminang Ci
Sian.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment